Parallel Session IC : Monetary & Macroeconomy Policy 12 Desember 2007, Jam 13.15-14.45 Wisma Makara, Kampus UI – Depok INTERAKSI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER DI INDONESIA : PENDEKATAN VECTOR AUTOREGRESSION Yulia Indrawati Fakultas Ekonomi Universitas Jember Abstrak Paper ini bertujuan untuk menganalisis interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia. Lebih khusus paper ini bertujuan untuk melihat pengaruh shocks kebijakan fiskal dan moneter dalam jangka pendek. Perdebatan interaksi kebijakan fiskal dan moneter terkait dengan dampak dari defisit anggaran terhadap sasaran tunggal kebijakan moneter yaitu inflasi. Begitu sebaliknya adanya kebijakan moneter yang terlalu ketat dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi yang merupakan tujuan utama kebijakan fiskal. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan pendekatan vector autoregression (VAR) menunjukkan bahwa adanya shock kebijakan fiskal bersifat permanen dan negatif terhadap inflasi dan direspon dengan kebijakan moneter yang ketat. Sedangkan adanya shock kebijakan moneter menyebabkan pengaruh permanen negatif pada menurunnya pertumbuhan ekonomi. Kata Kunci : Interaksi, Kebijakan Fiskal dan Moneter 1. Latar Belakang Dalam dekade terakhir, beberapa negara baik negara maju maupun emerging countries mengadopsi kerangka kerja inflation targeting dalam sistem kebijakan moneter. Inflation targeting merupakan sebuah kerangka dalam sistem kebijakan moneter dengan sasaran tunggal menciptakan stabilisasi tingkat harga. Sebuah konsensus dalam kerangka kerja inflation targeting adalah tercapainya tingkat inflasi yang rendah dan stabil dengan salah satu karakteristik yang harus dipenuhi adalah adanya independensi bank sentral. Menurut Masson (1997), keberhasilan kerangka kerja inflation targeting akan lebih efektif bila diawali dengan implementasi setelah berhasil mencapai disinflasi. Faktor lainnya adalah pentingnya koordinasi yang tinggi antara pihak yang mempengaruhi harga dan pengambil kebijakan moneter serta tidak adanya dominasi fiskal dalam kebijakan moneter. Menurut Sargant dan Wallace (1981), independensi bank sentral belum cukup untuk melihat efektifitas kebijakan moneter. Lebih lanjut Woodford (1994, 2001) dan beberapa ekonom lainnya menyatakan bahwa independensi bank sentral akan tercapai apabila kebijakan fiskal tidak mempengaruhi tingkat harga dan government solvency harus terpenuhi yang lebih dikenal dengan Fiscal Theory of Price Level (FTPL). Menurut teori ini bahwa baik kebijakan moneter maupun fiskal memiliki pengaruh terhadap tingkat harga secara terpisah (Leith and Lewis, 2000). Interaksi kebijakan fiskal dan moneter telah lama menjadi perdebatan di kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan moneter diarahkan pada pencapaian target menjaga stabilitas tingkat harga, sementara di sisi lain kebijakan fiskal ditetapkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Permasalahan utama interaksi kebijakan fiskal dan moneter terletak pada terjadinya trade-off antara pencapaian stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi terutama dalam jangka pendek. Dampak defisit fiskal yang tinggi dapat menyebabkan kenaikan tingkat inflasi, begitu halnya perekonomian dengan tingkat inflasi yang tinggi juga memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Perkembangan perekonomian yang semakin dinamis dan terintegrasi dengan perekonomian dunia memberikan implikasi penting bagi para pelaku ekonomi terutama dalam pengambilan kebijakan makroekonomi. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan bagian integral dari kebijakan makroekonomi yang memiliki target yang harus dicapai baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter melalui koordinasi yang baik akan memberikan sinyal positif bagi pasar dan menjaga stabilitas makroekonomi. Keselarasan kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia pada tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang baik. Dari sisi kebijakan fiskal, dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal, pemerintah mampu memberikan stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini ditunjukkan dari defisit anggaran yang mampu dikendalikan pada level 1,0% dari PDB pada tahun 2006 meskipun lebih tinggi dari sasaran awal 0,7% dari PDB. Terkendalinya defisit anggaran ini mampu memberikan stimulus pertumbuhan ekonomi mencapai 5,5% pada tahun 2006. Sedangkan dari sisi moneter, stabilitas harga tetap terjaga dengan pengendalian inflasi pada level 6,60% (yoy) dibandingkan awal tahun 2006 yang mencapai 17,03%(y-oy) (Bank Indonesia, 2006). Hal ini juga ditandai dengan menurunnya tingkat suku bunga SBI sehingga kondisi tersebut memberikan sinyal yang positif bagi sektor riil. 2 2. Tujuan Penulisan Paper ini bertujuan untuk menganalisis interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia dengan melihat respon pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga terhadap shocks yang bersumber dari kebijakan fiskal dan moneter. Bagian ketiga dari paper ini akan membahas mengenai tinjauan teoritis interaksi kebijakan fiskal dan moneter, fungsi reaksi dari kedua kebijakan. Bagian keempat mengetengahkan metodologi penelitian yang digunakan dalam studi ini. Bagian kelima menampilkan hasil analisis baik deskriptif maupun kuantitatif. Bagian akhir dari tulisan ini adalah kesimpulan. 3. Tinjauan Teoritis dan Empiris 3.1 Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter : Perspektif Fiscal Theory of Price Level Interaksi kebijakan fiskal dan moneter dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan Fiscal Theory of Price Level (FTPL). Teori ini menyebutkan bahwa bila pengambil kebijakan fiskal tidak memenuhi intertemporal budget constraint, maka kebijakan fiskal lebih memberikan pengaruh terhadap tingkat harga. Kebijakan moneter dapat mengontrol stabilisasi harga apabila Ricardian Equivalence terpenuhi. Model dasar FTPL menjelaskan peran jangka pendek kebijakan fiskal sebagai stabilisasi yang konsisten dengan kebijakan moneter yang aktif. Sedangkan kebijakan fiskal yang aktif atau pasif menjadi tidak relevan. Oleh karena itu, kombinasi stabilisasi dan solvency menjadi tidak kredibel. Adanya pengaruh kebijakan fiskal terhadap inflasi dan output menyebabkan permasalahan time inconsistency dalam kebijakan moneter. Kondisi ini akan menimbulkan konflik terhadap solvency hutang pemerintah jangka panjang. Banyaknya kegagalan studi empiris mengenai interaksi kebijakan disebabkan belum dimasukkannya fiscal solvency jangka panjang dalam model. Diawali dengan persamaan intertemporal government budget constraint (IGBC) harus dipenuhi dimana hutang t merupakan penjumlahan dari present discount value dari ekspektasi surplus anggaran (selisih antara pendapatan pajak termasuk seigniorage dengan pengeluaran pemerintah t t ) (Gt ) (T ) (D ) (S ) k1) S t + k N Dt + N ……………………………….. ∞ hutang memiliki limdapat Dt =solvency + ∑asetEpublik ∏ ∏ N →dipenuhi t ∞ Et Kondisi pada saat sektor publik tidak dan menjadi + rt +transversality dengan probabilitas positif. Untuk memenuhi k = 0 nol. j =1 1 + rt + j j =1 ini,1kondisi j 2) N …………………………………. D t + n pada asumsikondisi Lim N →∞ Eadalah = 0transversality. t ∏ Untuk menguji apakah solvency terpenuhi didasarkan Sehingga kondisi IGBC yang harus dipenuhi adalah j =1 1 + rt + j ………………………………………….. 3) G T rt Dpengeluaran − + t t antara t −1 Persamaan 3 menggambarkan keterkaitan pemerintah, pendapatan pemerintah dan pembayaran bunga . (rt Dt −1 ) 3.2 Fungsi Reaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter 3 Fungsi reaksi kebijakan fiskal dan moneter untuk menggambarkan bagaimana otoritas pengambil kedua kebijakan memiliki preferensi yang sama untuk mencapai stabilisasi inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara optimal. Fungsi tujuan kebijakan fiskal dan moneter dapat dibentuk melalui model permintaan dan penawaran agregat. Dalam jangka pendek, adanya output gap yang positif akan diikuti oleh ekspansi kebijakan moneter (penurunan tingkat suku bunga dibawah keseimbangan jangka ( y > y*) (i − π *) panjang , ekspansi kebijakan fiskal dan shocks permintaan positif ( f > 0) ……………………………………4) ε1 r ADterhadap i −atauπturun r) + α (naik ηf +positif/negatif ε1 : y =targety * −akan * −dalam Tingkat inflasi relatif merespon π π * output gap dan shocks penawaran . ε2 ………………………………………….. 5) AS = + − y*) +ε2 π π β : * ( ybertanda Dimana, ~ dan adalah parameter positif ,η sumber daya tersedia maka kesejahteraan sosial , σ )αbila, βdiasumsikan ε 1 , ε(20kebijakan, Untuk menganalisa mencapai maksimum pada saat tidak ada shocks sehingga dan dan dalam y = y * = π π* kondisi ini stance kebijakan menjadi dan . Sedangkan preferensi sosial dalam i := r + π f* = 0 bentuk kuadratik diformulasikan menjadi ………………………………6) 2 2 Diasumsikan bahwa S social loss function memiliki bobot output dan inflasi yang sama dan adalah positif. Bila instrumen yang digunakan bank sentral independen dan memiliki target dalam stabilisasi harga, sehingga fungsi kerugian bank sentral menjadi ……………………………………. 7) 2 2 Diasumsikan juga sebagai alternatif, fungsi kerugian bank sentral juga memasukkan stabilisasi M output. Dalam kasus ini, kebijakan moneter yang optimal menimbulkan masalah time inconsistent terhadap stance kebijakan fiskal. Sedangkan fungsi kerugian pemerintah dengan target stabilisasi output adalah …………………………………… 8) 2 2 Sehingga fungsi kerugian sosial sebagai F jumlah dari fungsi kerugian bank sentral dan pemerintah adalah …………………………………………. 9) S F best reply M function dapat dicapai dengan cara Optimalisasi kebijakan fiskal dan moneter sebagai meminimisasi fungsi kerugian masing-masing kebijakan fiskal dan moneter dengan kendala persamaan 4) dan 5) sebagai berikut Bank Sentral : L ≡ (π − π *) + µ (r − r ) + ( y − y*) + γf 2 µ,γ L ≡ (π − π *) + µ (r − r ) L ≡ ( y − y*) + γf L ≡L +L i br = r + π * + αβ [β (ηf + ε 1 ) + ε 2 ] …………………………….. 10) α β2 +µ 2 Otorita fiskal dengan menggunakan f br = : L η F η2 +γ Otorita fiskal dengan menggunakan [α (i − π * −r ) − ε ] ………………………………. 11) 1 L:S 4 2 [ ( ) r − ((1 + (12) η α (1 + β 2 ) i − π * −…………………… β 2 )ε 1 + βε 2 ) f = Masing-masing otorita kebijakan menggunakan instrumen kebijakan (tingkat suku bunga naik, + η 2atau(1penawaran. + β 2) i γ defisit anggaran turun dalam merespon ekspansi shocks permintaan f br 4. Metodologi Penelitian 4.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder runtun waktu tahunan dengan periode pengamatan tahun 1970-2006. Beberapa variabel yang digunakan adalah tingkat suku bunga sebagai proxy instrumen kebijakan moneter, pengeluaran pemerintah sebagai proxy kebijakan fiskal, inflasi dan output. Data inflasi yang digunakan adalah inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun dasar 2000. Data output aktual adalah data Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan 2000. Semua data diperoleh dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia dari Bank Indonesia dan CD Room IFS-IMF. 4.2 Metode Analisis 4.2.1 Analisis Deskriptif Analisis ini bertujuan untuk mengetahui deskriptif perkembangan beberapa indikator makroekonomi yang disajikan dalam bentuk grafis maupun numerik. Selain itu analisis ini juga untuk mengetahui pengaruh ada tidaknya dominasi fiskal. 4.2.2 Analisis Kuantitatif Metode analisis yang digunakan dalam studi ini adalah vector autoregression (VAR) untuk melihat bagaimana respon inflasi dan output terhadap shocks kebijakan fiskal dan moneter. Sebelum menggunakan metode VAR, dilakukan uji stasioneritas data menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF test), pemilihan lag optimum dan uji kointegrasi. Impulse response dan variance decomposition digunakan untuk melihat respon terhadap adanya shocks kebijakan. 4.2.2.1 Vector Autoregression (VAR) VAR merupakan sistem persamaan dinamis yang menguji hubungan antara variabelvariabel ekonomi dengan menggunakan asumsi minimal atas struktur/teori ekonomi yang mendasarinya. VAR menjelaskan bahwa setiap variabel yang ada dalam model tergantung pada pergerakan masa lalu variabel tersebut dan juga pergerakan masa lalu seluruh variabel yang ada dalam sistem. VAR kurang menekankan pada asumsi ekonomi. Oleh karena itu untuk melihat pengaruh adanya shocks terhadap variabel endogen digunakan analisis impulse response dan variance decomposition. Representasi dari model VAR adalah sebagai berikut (Harris, 1995: 77): zt = A1zt-1 + ... + Akzt-k + ut ut ~ IN (0, Σ) .................................(13) di mana zt adalah set variabel endogen (nx1) dan setiap Ai adalah (nxn) matriks parameter. Fungsi impulse response dan variance decomposition merupakan properti dari model VAR untuk melihat dampak goncangan dari variabel inovasi terhadap variabel-variabel lainnya. Impulse response adalah respon variabel endogen akibat adanya inovasi (kejutan) dari variabel endogen yang lain. Dengan menggunakan analisis impulse response dapat disimulasikan dampak perubahan salah satu variabel independen terhadap fluktuasi variabel dependennya pada masa yang akan datang. Variance decomposition bertujuan untuk memisahkan dampak masing-masing variabel inovasi tersebut secara individual terhadap respon yang diterima suatu variabel. 5 ] Analisis impulse response mempunyai kemampuan forward looking sehingga berguna untuk melacak atau memprediksi nilai sekarang dan yang akan datang dari variabel endogen akibat adanya efek kejutan atau inovasi atas variabel yang bersangkutan. Impulse response merupakan suatu alur (path) dimana variabel akan kembali pada keseimbangan setelah mengalami kejutan. Bentuk reduce form dari representasi moving average dapat ditulis sebagai berikut : Δxt = εt + Σ ψm εt-m .................................................. (14) Maka koefisien ψm dapat diinterpretasikan sebagai respon lag ke-m dari setiap unit kenaikan yang terjadi pada periode t, atau: (15) δ(∆xt +................................................ m) ψmsatu=kejutan (inovasi) pada gangguan (ε ) secara orthogonal Respon lag atas terjadinya dinyatakan: δεt δ(∆xt + m ) δΕ(∆xt + mΙ∆................................................ xjt , ∆xjt − 1,...Yt )(16) = = ψmLj Di mana L adalah kolom j dari matrik triangular L dan Y = [Δx , ..., Δx ]. Persamaan tersebut δ(∆xjt ) jt impulse response. dikenal dengan δε fungsi t j t t-1 t-p Sedangkan analisis variance decomposition adalah mendekomposisi variasi kesalahan prediksi atau menyatakan suatu proporsi dari rangkaian perubahan dikarenakan adanya kejutan atas variabel satu terhadap kejutan variabel yang lain. Secara matematis nilai variance decomposition dapat dinyatakan sebagai berikut. MSE dari langkah prediksi ke-m dapat dihitung sebagai: E (Δxt+m – Δxt+m | t)( Δxt+m – Δxt+m | t) = Σ + ψ1Σψi + ... + ψm-1Σψ’m-1 ......................... (17) Dengan catatan bahwa εt = Let. Kemudian matrik covariance εt apabila didekomposisi: Σ = Σ LiL’idii ................................................................. (18) di mana dii adalah elemen diagonal i matrik D dan n adalah jumlah variabel Maka matrik MSE dapat ditulis : Σ dii [LiL’i + ψ1LiL’iψ’1 + ... + ψm-1LiL’iψ’m-1] .......................................... (19) Oleh karena itu, kontribusi inovasi atau kejutan orthogonal i terhadap MSE Vt = dii [LiL’i + ψ1LiL’iψ’1 + ... + ψm-1LiL’iψ’m-1] ....................................... (20) Jadi, dekomposisi variasi kesalahan prediksi ke-i atau variance decomposition ke-i diperoleh dari elemen diagonal matrik Vt. 5. Hasil Analisis 5.1 Perkembangan Indikator Kebijakan Fiskal dan Moneter Sejak implementasi inflation targeting framework diadopsi pada Juli 2005, indikator makroekonomi Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup berarti. Terlihat bahwa inflasi IHK mengalami penurunan menjadi 5,27% (y-oy) pada bulan November 2006 dibandingkan bulan Oktober sebelumnya yang mencapai 14,55%, di atas target yang ditetapkan. Penurunan inflasi juga ditandai juga dengan penurunan BI rate menjadi 9,25% pada Desember 2006. 6 (%) 20 18 16 14 12 10 8 6 4 9 11 7 5 3 2006.1 9 11 7 5 3 2005.1 9 11 7 5 3 2004.1 9 11 7 5 3 0 2003.1 2 Sumber : Bank Indonesia Grafik 5.1 : Perkembangan Inflasi IHK Indonesia tahun 2000-2006 Begitu halnya dengan indikator makroekonomi lainnya seperti pertumbuhan ekonomi juga mengalami kenaikan cukup signifikan sebesar 5,2% pada triwulan II tahun 2006 dibandingkan dengan periode sebelumnya yaitu 4,60%. (%) 15 10 5 2006.I III 2005.I III III 2004.I 2003.I III 2002.I III III 2001.I 2000.I III 1999.I III 1998.I III 1997.I III III 1996.I -5 1995.I 0 -10 -15 -20 Grafik 5.2 : Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sedangkan dari sisi fiskal, pemerintah telah melakukan serangkaian kebijakan dan reformasi melalui konsolidasi fiskal untuk menekan defisit anggaran. Pada tahun 2006, defisit anggaran berhasil ditekan menjadi 22,4 triliun Rupiah dibandingkan tahun 2005 yang mencapai 26,2 triliun Rupiah. Sementara itu pembiayaan defisit dari sisi perbankan dalam negeri menunjukkan penurunan pada tahun 2005 sebesar 4,2 triliun rupiah dibandingkan tahun 2004 yang mencapai 23,9 triliun Rupiah. Namun pada tahun 2006 kembali mengalami kenaikan menjadi 23 triliun Rupiah (Departemen Keuangan, 2006). Kondisi ini menunjukkan relatif rendahnya dominasi fiskal pada sektor perbankan. Sebagaimana dalam pengaturan institusional menurut UU no.23 tahun 1999 dengan amandemen UU No.3 tahun 2004, bahwa Bank Indonesia dilarang untuk memberikan pinjaman pada pemerintah termasuk membeli surat utang negara pada pasar primer kecuali di pasar sekunder dalam rangka operasi pasar terbuka. 7 5.2 Hasil Analisis Data 5.2.1 Deskriptif Data Bagian ini memfokuskan pada metode numerik atau angka dalam mendeskripsikan data. Ada dua klasifikasi metode numerik yang digunakan untuk mendeskripsikan data kuantitatif yaitu ukuran tendensi sentral dan ukuran variabilitas (Kuncoro, 2003:173). Berikut ini adalah deskripsi data dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian. Tabel 5.1 : Deskripsi Variabel INTEREST LGOV LGDP LCPI Mean 14.65111 10.07995 13.56831 3.147413 Median 15.19500 10.21617 13.59391 3.182297 Maximum 39.07000 13.14138 14.37487 5.050048 Minimum 6.000000 6.132964 12.51237 0.963174 Std. Dev. 6.840672 1.977165 0.569956 1.178394 Skewness 1.130844 -0.327207 -0.298111 -0.152614 Kurtosis 5.679143 2.272070 1.818896 2.181421 Sumber : Data diolah Berdasarkan tabel 5.1, terlihat bahwa pada umumnya perbandingan nilai rata-rata dan nilai median menunjukkan bahwa nilai rata-rata lebih rendah dibanding dengan nilai median. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian memiliki kecondongan negatif. Sedangkan tingkat variabilitas data yang relatif tinggi ditunjukkan oleh variabel tingkat bunga yaitu dengan nilai standar deviasi sebesar 6,84 dan didukung dengan rentang nilai tertinggi dan terendah yang cukup lebar dibandingkan dengan variabel lainnya. 5.2.2 Stasioneritas Data Uji akar-akar unit merupakan uji stasioneritas data yang dimaksudkan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model otoregresif yang ditaksir memiliki nilai satu atau tidak. Untuk mengetahui stasioneritas data pada variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini digunakan uji yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller (ADF). Tabel 5.2 memuat hasil uji akarakar unit. Tabel 5.2 Hasil Uji Akar-akar Unit pada Data Level Variabel C T N Tingkat suku bunga (interest) -2,535 -2,612 -1,366 Pengeluaran Pemerintah (LGOV) -2,024 -2,352 6,948 Inflasi (LCPI) -1,192 -1,969 6,132 Output (LGDP) -2,219 -1,155 7,931 Keterangan: signifikan pada: (a) α =1 persen; (b) α =5 persen; (c) α =10 persen; Dari tabel 5.2 terlihat bahwa data yang digunakan belum stasioner pada derajat 0 atau I(0) sehingga perlu dilakukan penurunan pada derajat pertama (uji derajat integrasi). Berikut ini disajikan tabel yang memuat hasil uji akar-akar unit pada derajat integrasi pertama. Tabel 5.3 Hasil Uji Derajat Integrasi pada Data First Difference Variabel C T N Tingkat suku bunga (interest) -5.919a -5.829 a -5.997 a Pengeluaran Pemerintah (LGOV) -4.569 a -4.873a -1.413 Inflasi (LCPI) -4.365a -4.465 a -2.110 b 8 Output (LGDP) -4.146 a -4.457a Keterangan: signifikan pada: (a) α =1 persen; (b) α =5 persen; (c) α =10 persen. -2.175 b Dari tabel 5.3, hasil uji derajat integrasi pada tingkat diferensi pertama terlihat bahwa variabel-variabel yang digunakan pada umumnya telah stasioner pada α = 1%, 5% dan 10%. Sehingga dapat dijelaskan bahwa seluruh variabel dalam penelitian ini telah stasioner pada derajat yang sama. 5.2.3 Analisis Impulse Response Berdasarkan hasil estimasi VAR (3), dapat digambarkan keterkaitan variabel endogen yang digunakan dalam studi ini. Berikut gambar respon dari variabel fundamental makroekonomi inflasi dan output terhadap shocks yang bersumber dari variabel kebijakan fiskal dan moneter. Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of LCPI to INTEREST Response of LCPI to LGOV .08 .08 .04 .04 .00 .00 -.04 -.04 -.08 -.08 -.12 -.12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 Response of LGDP to INTEREST 3 4 5 6 7 8 9 10 9 10 Response of LGDP to LGOV .03 .03 .02 .02 .01 .01 .00 .00 -.01 -.01 -.02 -.02 -.03 -.03 -.04 -.04 -.05 -.05 -.06 -.06 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 Gambar 5.3 : Respon Inflasi dan Output terhadap Variabel Kebijakan Berdasarkan gambar 5.3, perubahan tingkat suku bunga direspon positif oleh tingkat inflasi pada awal periode sampai dengan tahun kelima dan kemudian menghilang menuju kondisi keseimbangan, sedangkan perubahan pengeluaran pemerintah sampai pada tahun ke-4. Artinya adanya kebijakan fiskal yang ekspansif dan kebijakan moneter yang ketat melalui kenaikan tingkat suku bunga menyebabkan kenaikan tingkat inflasi. Sedangkan respon output terhadap perubahan tingkat suku bunga dan kebijakan fiskal adalah negatif. Untuk pengaruh variabel kebijakan fiskal menghilang menuju kondisi keseimbangan setelah horison ke-7. Kondisi ini menunjukkan kebijakan moneter ketat melalui kenaikan tingkat suku bunga menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengindikasikan kebijakan penurunan suku bunga diperlukan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi sektor riil, sedangkan pengaruh 9 kenaikan tingkat bunga terhadap kenaikan inflasi hanya direspon temporer. Indikasi kebijakan fiskal yang ekspansif menyebabkan kenaikan inflasi meskipun hanya berlangsung cepat dan menyebabkan penurunan output. Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of INTEREST to LCPI Response of INTEREST to LGDP 3 3 2 2 1 1 0 0 -1 -1 -2 -2 -3 -3 -4 -4 -5 -5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 10 2 Response of LGOV to LGDP 3 4 5 6 7 8 9 10 9 10 Response of LGOV to LCPI .16 .16 .12 .12 .08 .08 .04 .04 .00 .00 -.04 -.04 -.08 -.08 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 Gambar 5.4:Respon Kebijakan Fiskal - Moneter terhadap Inflasi dan Output Gambar 5.4 menunjukkan respon kebijakan fiskal dan moneter terhadap perubahan inflasi dan output. Tingkat suku bunga merespon positif adanya perubahan output dan menghilang menuju keseimbangan. Sedangkan perkembangan inflasi direspon negatif artinya adanya kenaikan inflasi direspon dengan penurunan tingkat bunga. Hal ini menunjukkan kebijakan tingkat suku bunga dilakukan secara hati-hati untuk tetap menjaga iklim yang kondusif bagi sektor riil. Sedangkan adanya inovasi perkembangan output dan inflasi direspon positif oleh kebijakan fiskal. 5.2.4 Analisis Variance Decomposition Analisis variance decomposition digunakan untuk melihat dekomposisi sebuah variabel endogen dari adanya kejutan variabel lainnya. Berikut hasil analisis variance decomposition : Tabel 5.4 : Variance Decomposition Inflasi dan Output Variance Decomposition CPI Period S.E. INTEREST LGOV LCPI LGDP 1 2 4.227641 5.446887 43.71911 34.94863 4.947936 24.40019 51.33295 35.61154 0.000000 5.039639 10 3 4 5 6 7 8 9 10 5.769597 6.257759 6.621170 7.050170 7.404761 7.627833 7.821987 8.017094 27.36674 23.37827 19.31433 15.89313 13.26064 11.30258 10.13997 9.516782 28.59883 23.76188 21.33851 22.33184 25.66809 29.12248 31.98191 34.56597 35.16850 45.28655 52.89930 56.36087 56.30871 54.75795 52.67660 50.16650 8.865932 7.573300 6.447856 5.414156 4.762559 4.816980 5.201516 5.750745 Variance Decomposition LGDP: Period S.E. INTEREST LGOV LCPI LGDP 1 0.125250 45.67200 2.989611 21.01219 30.32620 2 0.156392 43.51681 11.64842 8.719129 36.11563 3 0.170930 40.25705 16.76704 5.932651 37.04326 4 0.182837 38.11837 17.29429 5.956753 38.63058 5 0.197972 35.88367 17.62421 6.480261 40.01186 6 0.216206 34.47476 17.10346 7.330404 41.09138 7 0.235014 33.69853 16.64695 7.979052 41.67546 8 0.252625 33.18922 16.30237 8.421989 42.08642 9 0.267892 32.76373 15.98068 8.649652 42.60594 10 0.282073 32.45529 15.66227 8.700249 43.18219 Berdasarkan tabel 5.4, komposisi terbesar dari tingkat inflasi dipengaruhi oleh inovasi dirinya sendiri diikuti pengeluaran pemerintah sebagai proxy kebijakan fiskal dan tingkat suku bunga. Sedangkan komposisi terbesar dari output selain inovasi dirinya sendiri adalah tingkat suku bunga diikuti pengeluaran pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen kebijakan fiskal memiliki kontribusi cukup besar terhadap tingkat inflasi, begitu halnya dengan tingkat suku bunga terhadap output. 6. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 6.1 Kesimpulan 1. Adanya shocks kebijakan fiskal memberikan pengaruh positif terhadap tingkat inflasi, dan direspon negatif oleh penggunaan instrumen tingkat bunga. 2. Adanya inovasi kebijakan moneter menyebabkan menurunnya tingkat output atau pertumbuhan ekonomi, dan direspon positif oleh instrumen kebijakan fiskal 3. Pergerakan tingkat inflasi lebih banyak dikontribusi oleh inovasi dirinya sendiri dan pengeluaran pemerintah sedangkan pergerakan output lebih dikontribusi oleh pergerakan tingkat suku bunga 6.2 Implikasi Kebijakan 1. Kebijakan tingkat suku bunga hendaknya dilakukan secara hati-hati karena dampaknya terhadap sektor riil dan pertumbuhan ekonomi 2. Kebijakan fiskal bukan hanya memperhatikan target pertumbuhan ekonomi namun hendaknya juga memperhatikan stabilisasi harga karena pengaruhnya yang cukup besar terhadap inflasi 3. Pentingnya koordinasi yang lebih sinergis, untuk mencapai keselarasan pencapaian kemakmuran masyarakat 11 DAFTAR PUSTAKA Bank Indonesia, (2003), “Bank Indonesia:Bank Sentral Republik Indonesia, Tinjauan Kelembagaan, Kebijakan, dan Organisasi”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, 2005-2006, Laporan Perekonomian Indonesia Claeys, Peter, (2005), “Monetary and Budgetary Policy Interaction : An SVAR Analysis of Stabilization Policies, Europian University Institute, March 1st Departemen Keuangan, 2006, Nota Keuangan Republik Indonesia Enders, Walter, (2004), “Applied Econometric Time Series”, John Wiley and Sons, Inc. Harris, Richard, (1995), “Cointegration Analysis in Econometric Modelling”, Prentice Hall Hutabarat, Akhis R., (2000), “Pengendalian Inflasi melalui Inflation Targeting”, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bagian Studi Sektor Riil, Bank Indonesia, Oktober Leith, Campbell and Simon Wren-Lewis, (2000),”Interaction Between Monetary and Fiscal Policy Rule, The Economic Journal, 110, March Masson, P.R, Savastano, M.A, Sharma, S, (1997), The Scope for Inflation Targeting in Developing Countries, IMF Working Paper WP/97/130 Muscatelli, V.Anton, Patrizio Tirelli and Carinine Trecroci, (2002), “Monetary and Fiscal Policy Interactions Over the Cycle : Some Empirical Evidence, CESifo Working Paper, No.817 Simorangkir, Iskandar ,(2007), “Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal di Indonesia : Suatu Kajian dengan Pendekatan Game Theory, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari Walsh, Carl E., (2001), “Monetary Theory and Policy”, The MIT Press Cambridge 12