PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA PADA TAHUN 2013 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi Diajukan oleh: Andrea Nita Karisa NIM : 118114034 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA PADA TAHUN 2013 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi Diajukan oleh: Andrea Nita Karisa NIM : 118114034 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015 i PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PERSETUJUAN PEMBIMBING EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA PADA TAHUN 2013 Skripsi yang diajukan oleh: Andrea Nita Karisa NIM: 118114034 Telah disetujui oleh: Pembimbing Utama (Septimawanto Dwi Prasetyo, S.Farm., M.Si., Apt.) Tanggal: 20 Februari 2015 ii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Pengesahan Skripsi Berjudul EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA PADA TAHUN 2013 Oleh: Andrea Nita Karisa NIM: 118114034 Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Pada tanggal: 01 April 2015 Mengetahui, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Dekan Aris Widayati, M.Si, Apt, Ph.D Panitia Penguji Skripsi Tandatangan 1. Septimawanto Dwi Prasetyo, S.Farm., M.Si., Apt. ........................... 2. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK. ........................... 3. Dita Maria Virginia, S.Farm., M.Sc.,Apt. ........................... iii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN “Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya” Matius 21 : 22 “Believe in yourself and all that you are. Know that there is something inside you that is greater than any obstacles” Christian D. Larson Karya kecilku ini kupersembahkan untuk: Tuhan Yesus Kristus yang selalu membimbing setiap langkahku dengan kasihNya yang sungguh mulia dan besar Papa dan mamaku tersayang yang selalu mendampingi dan menyayangiku sepenuh hati Kedua kakakku yang selalu ada untuk mengajariku berbagai hal berharga dalam hidup ini iv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013”, tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah. Apabila dikemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, 20 Februari 2015 Penulis (Andrea Nita Karisa) v PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertandatangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Andrea Nita Karisa Nomor Mahasiswa : 118114034 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013” berserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 20 Februari 2015 Yang menyatakan, (Andrea Nita Karisa) vi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan semangat, motivasi, dorongan, kritik dan saran sampai terselesaikannya skripsi ini, terutama kepada: 1. Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih karunia dan berkat-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 2. Bapak Dr. Samuel Zacharias selaku direktur utama RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di RS. Emanuel tersebut. 3. Bapak Herry dan rekan-rekan di Instalasi Rekam Medis RS. Emanuel yang telah banyak membantu proses pengambilan data. 4. Bapak Septimawanto Dwi Prasetyo S.Farm., M.Si., Apt. selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah bersedia memberikan bimbingan, motivasi, kritik dan saran dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam proses penyusunan skripsi ini. 5. Ibu dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK selaku dosen penguji atas saran, kritik, dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis. 6. Ibu Dita Maria Virginia, S.Farm., M.Sc., Apt selaku dosen penguji atas masukkan, kritik dan saran, serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis. 7. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt., yang telah memberikan saran dan bantuan dalam proses penyusunan skripsi. vii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 8. Dr. Tiur selaku salah satu dokter anak di RS. Emanuel yang telah membantu penulis dengan memberikan saran dan pengarahan dalam proses penyusunan skripsi ini. 9. Papa dan mamaku tersayang yang selalu ada untuk memberikan dukungan, doa, motivasi dan kesabaran serta pengertian dan bantuan finansial kepada penulis selama proses penyusunan skripsi. 10. Kedua kakakku tersayang Nico dan Ellen yang selalu memberikan dukungan dan semangat untuk penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 11. Teman-teman baikku yang terkasih Brigita Yulise, Vina Alvionita Soesilo, Merlinda Guntoro, Angeline Syahputri, dan Maria Desita Putri, terima kasih untuk segala bantuan, semangat dan tawa yang kalian berikan selama proses penyusunan skripsi ini. 12. Teman-teman angkatan 2011, terkhusus teman-teman kelas FKK-A atas harihari yang menyenangkan selama kuliah. 13. My beloved pets Geisha, Inka, dan Gero yang selalu menjadi mood booster bagi penulis di rumah Banjarnegara. 14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi yang membutuhkan, terutama demi kemajuan pengetahuan dibidang Farmasi. Yogyakarta, 20 Februari 2015 Penulis viii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI INTISARI Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Menurut survei pada tahun 2005, kejadian demam tifoid menduduki tempat kedua dari 10 penyakit dan sebagian besar menyerang anakanak. Pengobatan demam tifoid dilakukan menggunakan antibiotika, namun pengobatan menggunakan antibiotika yang tidak tepat berpotensi memicu timbulnya resistensi bakteri sehingga perlu adanya evaluasi terapi yang diharapkan dapat membantu pasien untuk memperoleh pelayanan medis yang optimal sehingga pasien dapat terhindar dari Drug Related Problems (DRPs). Tujuan penelitian ini sendiri adalah untuk memberikan gambaran DRPs mengenai penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013 yang kemudian dibandingkan dengan acuan atau pustaka yang sesuai. Penelitian ini bersifat non eksperimental deskriptif evaluatif dengan data retrospektif pada tahun 2013. Data penelitian diambil dari catatan rekam medis pasien demam tifoid yang diperoleh di instalasi rekam medik RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara. Data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif evaluatif. Terdapat 32 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ditemukan sejumlah 36 kasus DRPs, yaitu 3 kasus terapi tanpa indikasi (unecessary drug therapy), 29 kasus dosis terlalu rendah (dosage too low) dan 4 kasus dosis terlalu tinggi (dosage too high. Antibiotika yang paling banyak digunakan adalah antibiotika ceftriaxone sebesar 86,1%. Kata kunci: antibiotika, demam tifoid, Drug Related Problems (DRPs) ix PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ABSTRACT Typhoid fever is an infectious disease caused by the bacterium Salmonella thypi. According to a survey conducted in 2005, the incidence of typhoid fever were placed in second list out of 10 diseases and mostly affects children. Treatment of typhoid fever conducted using antibiotics, but treatment with antibiotics is also potentially lead to bacterial resistance if not used properly, so that the need for evaluation of therapy that may help patients to obtain optimal medical care and patients can be spared from the Drug Related Problems (DRPs). The purpose of this study itself is to provide an overview of DRPs on antibiotics usage in typhoid fever pediatric patients at Emanuel Hospital Purwareja Klampok Banjarnegara in 2013 which was then compared with the appropriate reference or literatures. This study is non-experimental descriptive retrospective evaluative data in 2013. The data were taken from medical records of typhoid fever pediatric patients records obtained in the hospital medical record installation at Emanuel Hospital Purwareja Klampok Banjarnegara. Data were analyzed descriptively evaluative. There were 32 patients who met the inclusion criteria and were found some 36 cases of DRPs related to the use of antibiotics, namely 3 cases of unecessary drug therapy, 29 cases of dosage too low and 4 cases of dosage too high. The most widely used antibiotic is ceftriaxone of 86.1%. Keywords: antibiotics, typhoid fever, Drug Related Problems (DRPs) x PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL............................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................... ii HALAMAN PENGESAHAN............................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................ iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA................................................ v LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS............................... vi PRAKATA............................................................................................. vii INTISARI............................................................................................... ix ABSTRACT............................................................................................. x DAFTAR ISI.......................................................................................... xi DAFTAR TABEL.................................................................................. xiv DAFTAR GAMBAR............................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................... xvi BAB I. PENDAHULUAN..................................................................... 1 A. Latar Belakang............................................................................. 1 1. Perumusan Masalah................................................................ 3 2. Manfaat Penelitian.................................................................. 4 3. Keaslian Penelitian.................................................................. 4 B. Tujuan Penelitian......................................................................... 6 1. Tujuan Umum.......................................................................... 6 2. Tujuan Khusus......................................................................... 6 BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA..................................................... 7 A. Demam Tifoid............................................................................... 7 B. Antibiotika..................................................................................... 16 C. Drug Related Problems (DRPs).................................................... 17 D. Keterangan Empiris....................................................................... 20 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN................................................ 21 A. Jenis dan Rancangan Penelitian..................................................... 21 xi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI B. Variabel dan Definisi Operasional................................................ 21 C. Subjek Penelitian........................................................................... 23 D. Bahan Penelitian............................................................................ 24 E. Lokasi Penelitian............................................................................ 24 F. Tata Cara Penelitian....................................................................... 25 G. Keterbatasan Penelitian................................................................. 28 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................ 30 A. Karakteristik Pasien....................................................................... 30 1. Distribusi Pasien Berdasarkan Usia......................................... 30 2. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin.......................... 32 B. Profil Penggunaan Obat dan Profil Penggunaan Antibiotika........ 33 1. Antibiotika............................................................................... 34 a. Jenis dan Golongan Antibiotika................................... 34 b. Indikasi dan Pilihan Terapi Antibiotika....................... 36 c. Dosis dan Frekuensi Pemberian Antibiotika................ 38 d. Durasi dan Rute Pemberian Antibiotika....................... 40 2. Obat Saluran Pencernaan.......................................................... 42 3. Obat Suplemen dan Nutrisi....................................................... 42 4. Obat yang Mempengaruhi Darah.............................................. 42 5. Obat Analgetik dan Antipiretik................................................. 43 6. Obat Antiradang (Antiinflamasi)............................................... 43 7. Obat Saluran Pernafasan............................................................ 44 8. Infus........................................................................................... 44 C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)........................................ 45 1. Terapi Tanpa Indikasi................................................................. 46 2. Dosis Terlalu Rendah................................................................. 47 3. Dosis Terlalu Tinggi................................................................... 49 D. Rangkuman Evaluasi Drug Related Problems (DRPs).................... 50 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................... 51 A. Kesimpulan...................................................................................... 51 B. Saran................................................................................................ xii 52 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 56 LAMPIRAN.............................................................................................. 59 BIOGRAFI PENULIS............................................................................... 98 xiii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR TABEL Tabel I. Terapi yang Direkomendasikan WHO untuk Demam Tifoid........................................................................... Tabel II. 15 Persentase Golongan Obat yang Digunakan Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013............ 33 Tabel III. Pemakaian Antibiotika Kombinasi............................... 36 Tabel IV. Pemakaian Antibiotika Tunggal................................... 36 Tabel V. Durasi Pemakaian Antibiotika..................................... 40 Tabel VI. Jenis DRPs Penggunaan Antibiotika Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS.Emanuel Purwareja Klampok Pada Tahun 2013.......................................... Tabel VII. 46 Hasil Evaluasi DRPs Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjar-negara Pada Tahun 2013.............................................. xiv 51 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RS Emanuel Pur-wareja Klampok Banjarnegara Periode 2013................ Gambar 2. 24 Persentase Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Berdasarkan Distribusi Usia di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013................................ Gambar 3. 31 Persentase Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Berdasarkan Jenis Kelamin di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013................................ Gambar 4. 32 Persentase Jenis Antibiotika yang Digunakan Sebagai Terapi Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pedia-trik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada Tahun 2013............................................................ Gambar 5. 34 Persentase Profil Penggunaan Terapi Antibiotika Tunggal dan Kombinasi pada Pengobatan Demam Tifoid Kelom-pok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjar-negara tahun 2013.......................................................... Gambar 6. 35 Profil Rute Pemberian Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013................................. xv 41 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Nilai Normal Pemeriksaan Data Laboratorium Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik RS. Emanuel Pur-wareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013....... Lampiran 2. Guideline Dosis Antibiotika untuk Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik…………………………………. Lampiran 3. 60 61 Hasil Wawancara Peneliti Dengan Dokter Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Mengenai Standar Pengobatan Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik........................................................................ Lampiran 4. 62 Analisis Drug Related Problems (DRPs) Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik RS. Emanuel Purwareja Klam-pok Banjarnegara Pada Tahun 2013............................. Lampiran 5. 64 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara.......... xvi 97 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang saluran pencernaan dan disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang, terutama yang terletak di daerah tropis dan subtropis (Widodo, 2010). Berdasarkan data WHO di tahun 2003, diperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di Indonesia sendiri ditemukan 900.000 kasus demam tifoid dengan lebih dari 20.000 kasus yang meninggal tiap tahunnya (WHO, 2003). Kejadian demam tifoid banyak dijumpai di negara-negara berkembang seperti di Indonesia dan kebanyakan menyerang anak-anak. Prevalensi demam tifoid di Indonesia menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 sebesar 1,6% dewasa dan sebesar 4,3% terjadi pada anak-anak. Data survey mortalitas yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2005 di 10 provinsi menyatakan bahwa angka kematian bayi yang diakibatkan demam tifoid berada pada peringkat kesembilan (1,2%) sedangkan angka kematian balita yang disebabkan oleh demam tifoid berdasarkan data terakhir pada tahun 2002 – 2003 yaitu 46/1000 kelahiran hidup (Herawati, 2009). Penularan penyakit ini adalah melalui saluran cerna dengan tertelannya bakteri Salmonella thypi. Setelah itu, apabila respon imunitas usus (imunoglobulin A) kurang baik, maka bakteri dapat berkembang biak atau berkolonisasi dan 1 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2 menembus sel-sel epitel, serta menginfeksi folikel limfoid di usus halus (Chen, 2008). Pilihan terapi pada sebagian besar kasus demam tifoid adalah menggunakan antibiotika. Namun penggunaan antibiotika secara tidak tepat atau tidak rasional dapat menyebabkan terjadinya Drug Related Problems (DRPs) yang mana menurut Cipolle (2004) merupakan peristiwa yang tidak diinginkan karena dapat mengganggu pencapaian tujuan terapi suatu obat kepada pasien. Hasil penelitian Rufaldi (2011) di Yogyakarta menunjukkan bahwa terdapat ketidakrasionalan dalam penatalaksanaan terapi antibiotika terhadap pasien demam tifoid kelompok pediatrik, yaitu sebesar 16,13% penggunaan antibiotika dikategorikan rasional, 70,98% tidak rasional karena kesalahan dosis, 48,39% tidak rasional karena kesalahan dalam interval/frekuensi pemberian, 25,81% tidak rasional karena durasi pemberian terlalu pendek, dan 1,61% tidak rasional karena tersedianya antibiotika lain yang lebih efektif. Ketepatan pemilihan obat, khususnya antibiotika bagi pasien kelompok pediatrik sangatlah penting. Hal ini disebabkan karena pada pasien pediatrik organ – organ yang digunakan untuk melakukan metabolisme obat (seperti hati dan ginjal) belum sempurna perkembangannya, sehingga, apabila pemberian antibiotika pada anak-anak tidak tepat, bisa jadi antibiotika tersebut akan menimbulkan efek toksik atau menjadi racun didalam tubuh anak yang mana berbahaya bagi keselamatan anak tersebut (Roespandi dan Nurhamzah, 2007). Rumah Sakit Emanuel adalah salah satu rumah sakit swasta tipe C dengan nilai BOR (Bed Occupancy Ratio) sebesar 80%, yang terletak di kecamatan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 3 Purwareja Klampok, kabupaten Banjarnegara yang merupakan bagian dari wilayah karisidenan Banyumas, dengan mayoritas penduduknya adalah masyarakat dengan kondisi perekonomian menengah kebawah. Sebagian besar wilayah Banjarnegara merupakan perkampungan penduduk dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk (Wihartoyo, 2012). Sebagai contoh masih terdapat banyak sampah di sungai yang digunakan untuk mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga, serta tempat bermain dan berenang anak-anak di kampung setempat. Kondisi sanitasi yang buruk ini merupakan salah satu faktor utama penyebaran bakteri Salmonella thypi penyebab penyakit demam tifoid yang cukup luas di daerah Banjarnegara. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi DRPs terkait penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. DRPs dibagi menjadi 7 kategori menurut Cipolle (2004), yaitu terapi tanpa indikasi, perlu terapi tambahan, pemilihan obat tidak tepat, dosis terlalu rendah, efek samping obat, dosis terlalu tinggi, dan ketidakpatuhan pasien. 1. Rumusan Masalah a. Seperti apa karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013? b. Seperti apa profil penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013? PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 4 c. Seperti apa DRPs terkait penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013? 2. Manfaat Penelitian Manfaat praktis a. Sumber informasi bagi farmasis dan tenaga kesehatan lain dalam pengambilan keputusan mengenai penatalaksanaan penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik sehingga dapat mencegah terjadinya DRPs. b. Memberi bahan pertimbangan kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian obat, khususnya obat golongan antibiotika, dalam rangka mencegah terjadinya DRPs. Manfaat teoritis a. Sebagai awal bagi penelitian yang lebih lanjut dan studi mengenai evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien penderita demam tifoid kelompok pediatrik ataupun pasien dengan penyakit lain. 3. Keaslian Penelitian Penelitian yang berhubungan dengan evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu: 1. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotika Pada Kasus Demam Tifoid Yang Dirawat Pada Bangsal Penyakit Dalam Di RSUP. Dr. Kariadi Semarang tahun PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 5 2. 2008. Hasilnya adalah dari 137 kasus terapi hanya 11 terapi yang masuk konsep rasional, 126 lainnya dikategorikan tidak rasional (Santoso, 2009). 3. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada Pengobatan Kasus Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Yogyakarta Periode Juli 2007 – Juni 2008. Hasilnya yaitu terapi antibiotika yang paling banyak digunakan adalah Tiamfenikol dengan DTPs 10 kasus dosis terlalu rendah, 28 kasus interaksi obat (Sari, 2009). 4. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang Periode Juni 2008 – Juni 2009. Hasil: Antibiotika kloramfenikol terbanyak digunakan (65,2%) dengan DRPs yang diperoleh 4 kasus dosis terlalu rendah, 2 kasus dosis terlalu tinggi dan 2 kasus efek samping obat (Pratiwi, 2010). 5. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Ypgyakarta Periode Januari – Desember 2010. Hasil: 16,13% penggunaan antibiotika yang rasional, 70,98% tidak rasional karena kesalahan dosis, 48,39% tidak rasional karena kesalahan dalam interval/frekuensi pemberian, 25,81% tidak rasional karena durasi pemberian terlalu pendek, dan 1,61% tidak rasional karena tersedianya antibiotika lain yang lebih efektif (Rufaldi, 2011). 6. Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid bagi Pasien Anak Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2000 – Desember 2001. Hasil yang diperoleh yaitu jenis kelamin pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna, anak yang berumur > 5 – 12 tahun lebih banyak menderita PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 6 7. demam tifoid daripada anak yang berumur < 1 – 5 tahun, jenis antibiotika yang terbanyak digunakan adalah kotrimoxazole (44,32%). Ditemukan 4 kasus efek samping obat dan 9 kasus interaksi obat (Triana, 2003). Perbedaan penelitian ini dengan yang telah disebutkan diatas adalah terletak pada subjek yang diteliti, tempat penelitian, serta waktu pelaksanaannya. Sedangkan beberapa persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang telah disebutkan diatas adalah terletak pada topik penelitian, yaitu evaluasi DRPs pada pasien di rumah sakit, serta penyakit yang diteliti, yakni demam tifoid. B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. 2. Tujuan Khusus 1. Memberi gambaran karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. 2. Memberi gambaran profil penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. 3. Mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) terkait penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emannuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Demam Tifoid 1. Definisi Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang saluran pencernaan dan disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang, terutama yang terletak di daerah tropis dan subtropis (Widodo, 2010). Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang disebabkan bakteri Salmonella thypi dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang banyak orang dan masih merupakan masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara berkembang (Musnelina, 2004). 2. Epidemiologi Penyebaran demam tifoid sangat luas, khususnya di negara-negara berkembang dengan kondisi sanitasi yang buruk. Demam tifoid endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin, Kepulauan Karibia, dan Oceania. Diantara beberapa wilayah tersebut, demam tifoid paling banyak terjadi di negara-negara berkembang ataupun negara-negara terbelakang. Demam tifoid menginfeksi kurang lebih 2,1 juta orang (angka kejadian 3,6/1000 populasi) dan diperkirakan membunuh 200.000 orang setiap tahunnya (Brusch, 2010). 7 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 8 3. Patofisiologi Salmonella thypii masuk melalui makanan dan minuman yang tercemar. Sebagian bakteri dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Apabila respon immunitas (Imunoglobulin A) usus kurang baik maka bakteri akan menembus sel-sel epitel, selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria bakteri berkembang biak dan ditelan oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag, kemudian dibawa ke jaringan limfoid Plaques peyeri di illeum terminalis. Melalui duktus torasikus, bakteri yang terdapat di dalam makrofag masuk ke dalam sirkulasi darah. Selanjutnya menyebar ke organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di dalam hati bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan diekskresikan ke dalam lumen usus melalui cairan empedu, sebagian bakteri ini dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi menembus usus (Brusch, 2010). 4. Manifestasi Klinis Masa tunas demam tifoid berlangsung selama 10-14 hari. Keluhan dan gejala demam tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ (Brusch, 2010). Secara klinis gambaran klinis demam tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan sistem saraf pusat. Panas atau demam lebih dari 7 hari, biasanya makin hari makin meninggi sehingga pada minggu kedua panas tinggi secara terus menerus. Demam biasanya dialami pada PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 9 malam hari. Gejala gangguan gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah dan kembung (Brusch, 2010). Pada minggu pertama, terdapat keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut. Pada umumnya timbul gejala seperti demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, tidak nafsu makan, mual, muntah, perut kembung, perasaan tidak nyaman diperut, serta diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Pemeriksaan fisik hanya ditemukan suhu badan meningkat. Pada minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, denyut jantung relatif lambat, lidah yang khas (kotoran ditengah, tepi dan ujung merah, tremor/bergetar, hati membesar, limpa membesar, dan gangguan psikis) (Ali, 2006). Pada minggu ketiga, suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan bahkan normal kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Meskipun demikian, justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak dari ulkus. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus, sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian pada penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Ali, 2006). Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan, meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 10 femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer, tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati dapat mengakibatkan timbulnya relaps (Brusch, 2010). 5. Diagnosis Penegakan diagnosis harus dilakukan sedini mungkin agar bisa diberikan terapi yang tepat serta meminimalkan terjadinya komplikasi. Penegakan diagnosis demam tifoid ini masih kurang lengkap apabila belum ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium secara konvensional dapat dilakukan melalui identifikasi adanya antigen / antibodi sample (darah) dan melalui kultur mikroorganisme. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan hematologi, urinalisis, kimia klinik, imunoserologi, dan mikrobiologi (Brusch, 2010). Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid, antara lain: a. Hematologi Kadar hemoglobin dapat menurun atau tetap normal apabila terjadi pendarahan diusus atau perforasi. Jumlah leukosit sering rendah (leukopenia) tetapi dapat juga normal atau tinggi, sedangkan jumlah trombosit sering menurun atau tetap normal (Brusch, 2010). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 11 b. Urinalisis Adanya protein didalam urin bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam). Jumlah eritrosit dan leukosit normal, apabila terjadi peningkatan, dimungkinkan akibat adanya pendarahan (Brusch, 2010). c. Kimia Klinik Enzim hati (SGPT dan SGOT) akan meningkat sebagai gambaran adanya komplikasi pada fungsi hati (mulai dari peradangan hingga hepatitis akut) (Brusch, 2010). d. Imunoserologi Pemeriksaan serologi Widal ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi dalam darah terhadap antigen kuman Salmonella thypii / parathypii (reagen). Uji ini merupakan tes kuno yang masih amat populer dan paling sering digunakan terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi, karena itulah antibodi jenis ini dikenal sebagai febrile agglutinin (Brusch, 2010). Reaksi Widal adalah suatu reaksi pengendapan antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terdapat pada serum penderita penyakit demam tifoid. Reaksi Widal bertujuan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang disangka menderita demam tifoid (Jurwanto, 2009). Hasil uji Widal dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 12 disebabkan oleh faktor-faktor seperti pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaciae sp.), reaksi amnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena beberapa faktor, antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik lain (Sherwal et al, 2004). Selain menggunakan Uji Widal, dapat dilakukan pula pemeriksaan anti Salmonella typhi Imunoglobulin M (IgM) dengan reagen TubexRTF sebagai solusi pemeriksaan yang cukup sensitif, spesifik, praktis untuk mendeteksi penyebab demam akibat infeksi bakteri Salmonella typhi Pemeriksaan anti Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF ini dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella typhi. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit (Judarwanto, 2012). Tubex, mendeteksi kemampuan antibodi anti-Salmonella O9 dari serum pasien dengan cara menghambat ikatan antara indikator antibodi-partikel dan magnetik antigen-partikel. Tes ini juga spesifik untuk mendeteksi antigen Salmonella O9 (lipopolisakarida grup D) dalam larutan dan memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi organisme Salmonella grup D secara langsung dari koloni agar atau kultur darah. Hal tersebut membuat Tubex menjadi tes yang unik. Kemampuannya mendeteksi antibodi dan antigen secara PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 13 teoritis penting untuk diagnosis serologis penyakit infeksi akut, karena antigen yang diharapkan muncul pada infeksi pertama (Judarwanto, 2012). e. Mikrobiologi Uji kultur merupakan standar baku untuk pemeriksaan demam tifoid. Apabila hasil biakan positif maka diagnosis pasti untuk demam tifoid. Apabila hasilnya negatif, maka belum tentu bukan demam tifoid, karena hasil negatif palsu dapat terjadi dan disebabkan oleh beberapa faktor seperti jumlah darah sample yang terlalu sedikit, adanya kesalahan pada saat tahap preparasi, sudah mendapat terapi antibiotika, atau sudah mendapat vaksinasi demam tifoid sebelumnya (WHO, 2003). 6. Penatalaksanaan Tata laksana pengobatan demam tifoid antara lain adalah dengan penggunaan antibiotika. Antibiotika yang biasa diberikan antara lain adalah kloramfenikol, amoksisilin, ampisilin serta golongan sefalosporin generasi ketiga seperti Cefixime, Cefotaxime, dan Ceftriaxone (Shah et al., 2006). Kloramfenikol merupakan salah satu obat pilihan utama dalam pengobatan demam tifoid. Kloramfenikol biasanya diberikan secara oral kepada pasien, namun tidak menutup kemungkinan juga apabila kloramfenikol diberikan melalui saluran intravena dengan tujuan untuk mempercepat kerja obat apabila pasien sudah benar-benar membutuhkan pertolongan. Kloramfenikol mempunyai ketersediaan biologik sebesar 80% pada pemberian intravena. Waktu paruh plasmanya 3 jam pada bayi baru lahir dan bila terjadi sirosis hepatik diperpanjang sampai dengan 6 jam. Pada anak berusia 6-12 tahun diberikan dosis sebesar 40-50 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 14 mg/kgBB/hari, sedangkan pada anak berumur 1-3 tahun membutuhkan dosis sebesar 50-100 mg/kgBB/hari. Bila diberikan secara intravena, kloramfenikol dapat diberikan sebesar 50-80 mg/kgBB/hari pada anak berusia 7-12 tahun, dan 50-100 mg/kgBB/hari pada anak berusia 2-6 tahun (Lacy et al., 2006). Ampisilin dan amoksisilin memiliki kemampuan menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Obat ini mempunyai ketersediaan biologik sebesar 60% dan waktu paruh plasma 1,5 jam (pada bayi baru lahir: 3,5 jam). Dosis yang dianjurkan diberikan pada anak adalah 100-200 mg/kgBB/hari (Lacy et al., 2006). Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO,menyebutkan antibiotika lain yang dapat digunakan untuk pengobatan demam tifoid selain kloramfenikol dan amoksisilin adalah antibiotika golongan fluorokuinolon dan sefalosporin generasi ketiga. Antibiotika golongan fluorokuinolon yang dapat digunakan dalam pengobatan demam tifoid contohnya yaitu ofloxacin dan ciprofloxacin dengan dosis dan frekuensi pemberian 15 mg/kgBB per 12 jam. Antibiotika golongan fluorokuinolon diketahui memiliki kekuatan penetrasi dinding sel bakteri lebih besar dibandingkan dengan antibiotika pendahulunya seperti kloramfenikol, ampicillin dan amoxicillin. Namun pada prakteknya, penggunaan antibiotika golongan kuinolon tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menyebabkan toksisitas pada tulang yang berakibat terhambatnya pertumbuhan anak (Shah et al., 2006). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Baker et al., (2009) juga menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika golongan kuinolon pada anak usia < 18 tahun dapat meningkatkan terjadinya ruptur tendon. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 15 Antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga yang dapat menjadi pilihan untuk pengobatan demam tifoid antara lain cefixime, cefotaxime, dan ceftriaxone. Cefixime bisa dijadikan sebagai pilihan pertama pengobatan demam tifoid. Cefixime memiliki ketersediaan biologik sebesar 40-50%, waktu paruh eleminasi 3-4 jam, serta membutuhkan waktu sekitar 2-6 jam untuk mencapai konsentrasi maksimum. Dosis yang biasa digunakan pada anak-anak adalah 15-20 mg/kgBB/hari selama 10-14 hari (Lacy et al., 2006). Cefotaxime dan ceftriaxone merupakan alternatif antibiotika yang dapat digunakan untuk pengobatan demam tifoid yang disertai dengan beberapa komplikasi penyakit penyerta lain. Cefotaxime dan ceftriaxone digunakan sebagai pilihan pertama apabila ditemukan adanya riwayat resistensi suatu bakteri terhadap antibiotika golongan kuinolon. Dosis Cefotaxime untuk anak berumur lebih dari 12 tahun adalah 1-2 gram setiap 4-12 jam dan untuk anak berumur kurang dari 12 tahun dengan berat badan kurang dari 50 kg adalah 50-200 mg/kgBB/hari. Dosis ceftriaxone untuk anak-anak adalah 50-100 mg/kgBB/hari dengan interval 1-2 kali perharinya dengan dosis maksimum perhari 4 gram (Lacy et al., 2006). (WHO, 2003). Tabel I. Terapi yang direkomendasikan WHO untuk demam tifoid PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 16 Selain dengan terapi antibiotik, terapi lain juga perlu dilakukan pada pengobatan demam tifoid, antara lain seperti pemberian oral atau intravena cairan tubuh, pemberian antipiretik, serta asupan nutrisi yang cukup kedalam tubuh (WHO, 2003). B. Antibiotika 1. Definisi Antibiotika adalah suatu zat senyawa obat alami maupun sintesis yang digunakan untuk membunuh kuman penyakit dalam tubuh manusia dengan berbagai mekanisme sehingga manusia terbebas dari infeksi bakteri (Katzung, 2008). Istilah “antibiotika” pada awalnya dikenal sebagai senyawa alami yang dihasilkan oleh jamur atau mikroorganisme lain yang digunakan untuk membunuh bakteri penyebab penyakit pada manusia atau hewan. Secara teknis istilah “agen anti bakteri” mengacu kepada kedua senyawa alami dan buatan tersebut baik sintesis maupun semi-sintesis. Antibiotika yang akan digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin terhadap mikroorganisme (Katzung, 2008). 2. Penggolongan a. Berdasarkan toksisitas selektif Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan bakterisidal. Agen bakteriostatik menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan agen bakterisida membunuh bakteri. Contoh antibiotika yang bersifat bakteriostatik yaitu Kloramfenikol, teterasiklin, eritromisin, trimetropim, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 17 dll. Sedangkan contoh untuk antibiotika yang bersifat bakterisida yaitu penisilin, sefalosporin, aminoglikosida, vankomisin, polimiksin, dll (Katzung, 2008). b. Berdasarkan mekanisme kerja Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotika dikelompokkan sebagai berikut: 1. Inhibitor sintesis dinding sel bakteri 2. Inhibitor sintesis protein bakteri 3. Menghambat sintesa folat 4. Mengubah permeabilitas membran sel 5. Mengganggu sintesis DNA 6. Mengganggu sintesa RNA (Katzung, 2008). c. Berdasarkan aktivitas antibiotika Berdasarkan aktivitasnya, antibiotika dikelompokkan menjadi 1. Antibiotika spektrum luas (broad spectrum) 2. Antibiotika spektrum sempit (narrow spectrum) (Ganiswara, 1995). C. Drug Related Problems (DRPs) Drug related problems (DRPs) atau sering diistilahkan dengan drug therapy problems (DTPs) adalah kejadian atau efek yang tidak diharapkan yang dialami pasien dalam proses terapi dengan obat (Cipolle, 2004). Drug related problem (DRPs) dibagi menjadi 4 kategori besar, yaitu: 1. Aspek indikasi yang terdiri dari perlu terapi tambahan dan pemberian obat yang tidak diperlukan. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 18 2. Aspek efektifitas yang terdiri dari salah pemberian obat dan dosis terlalu rendah. 3. Aspek kemanan yang terdiri dari efek samping dan dosis terlalu tinggi. 4. Aspek kepatuhan (Cipolle, 2004). Adapun penyebab untuk masing-masing kategori DRPs, antara lain: a. Terapi tanpa indikasi (unnecessary drug therapy) Disebabkan oleh terapi yang diperoleh sudah tidak sesuai, menggunakan terapi polifarmasi yang seharusnya bisa menggunakan terapi tunggal, kondisi yang seharusnya mendapat terapi non farmakologi, terapi efek samping yang dapat diganti dengan obat lain, dan penyalahgunaan obat. b. Memerlukan terapi tambahan (needs additional drug therapy) Disebabkan oleh munculnya kondisi kronik yang membutuhkan terapi, memerlukan terapi untuk mengurangi resiko munculnya kondisi medis baru, memerlukan terapi kombinasi untuk memperoleh efek obat kuat atau efek tambahan. c. Pemilihan obat yang tidak tepat (wrong drug) Dapat disebabkan oleh obat yang efektif tetapi harganya relatif mahal atau bukan obat yang paling aman untuk digunakan, kombinasi obat yang tidak tepat sehingga efek yang dihasilkan tidak maksimal. d. Dosis terlalu rendah (dosage too low) Umumnya disebabkan oleh penggunaan obat dengan dosis yang terlalu rendah untuk dapat menimbulkan efek terapi yang diinginkan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 19 (respon), jarak pemberian obat dalam frekuensi yang panjang atau jarang untuk dapat memberikan efek terapi, adanya interaksi obat yang dapat mengurangi jumlah obat yang tersedia dalam bentuk aktif, durasi terapi pengobatan terlalu pendek untuk dapat menghasilkan efek terapi. e. Efek obat yang merugikan (adverse drug reaction) Dapat disebabkan karena obat menimbulkan efek yang tidak diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan menejemen dosis, interaksi obat yang memunculkan efek atau reaksi yang tidak diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan menejemen dosis, aturan dosis yang telah diberikan atau diubah terlalu cepat, obat yang dapat menimbulkan alergi, dan obat yang mempunyai kontraindikasi dengan keadaan pasien. f. Dosis terlalu tinggi (dosage too high) Dapat disebabkan karena dosis yang diberikan terlalu tinggi sehingga memunculkan efek yang berlebihan, frekuensi pemberian obat terlalu pendek sehingga terjadi akumulasi, durasi terapi pengobatan terlalu panjang, interaksi obat dapat menghasilkan efek toksik, obat diberikan atau dinaikkan dosisnya terlalu cepat. g. Ketidakpatuhan pasien (noncompliance) Dapat disebabkan karena pasien tidak memahami aturan pemakaian, pasien lebih memilih atau suka untuk tidak menggunakan obat-obatan, pasien lupa untuk mengkonsumsi obatnya, harga obat terlalu mahal PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 20 bagi pasien, pasien tidak mampu menelan obat atau menggunakan obat itu sendiri secara tepat. Karena itulah diperlukannya peran seorang farmasis dalam mencegah terjadinya ketidakrasionalan penggunaan obat oleh pasien (Cipolle, 2004). D. Keterangan Empiris Penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi adanya Drug Related Problems (DRPs) terkait penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian mengenai Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013 merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif dan menggunakan data retrospektif. Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental karena karena tidak adanya perlakuan terhadap subjek uji. Rancangan penelitian deskriptif evaluatif karena tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran dan evaluasi mengenai Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. Penelitian ini menggunakan data retrospektif karena data yang diambil menggunakan penelusuran terhadap dokumen yang terdahulu, yaitu berupa kartu rekam medik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Profil karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Klampok Banjarnegara yang meliputi usia, jenis kelamin, catatan keperawatan, hasil laboratorium, dan diagnosa. 21 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 22 2. Profil penggunaan antibiotika oleh pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang terbagi menjadi jenis dan golongan antibiotika, indikasi dan pilihan terapi antibiotika, dosis dan frekuensi pemberian antibiotika, serta durasi dan rute pemberian antibiotika. 3. Pasien adalah seseorang atau sekelompok anak (pediatrik) yang terbagi menjadi 3 bagian berdasarkan usia menurut Izenberg (2000), meliputi kelompok neonatus (≤ 1 tahun), kelompok balita (> 1 – 5 tahun), dan kelompok usia anak-anak (> 5 – 12 tahun), baik laki-laki maupun perempuan yang didiagnosis positif menderita demam tifoid dan menerima terapi antibiotika di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. 4. Subjek penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah semua pasien pediatrik, baik pria maupun wanita yang didiagnosis positif menderita demam tifoid dan menerima terapi antibiotika di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. 5. Drug Related Problems (DRPs) yang akan dievaluasi pada penelitian ini dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu butuh tambahan obat (need additional drug therapy), tidak butuh obat (unnecessary drug therapy), salah pemberian obat (wrong drug), dosis obat yang tidak mencukupi atau kurang (dosage too low), efek samping obat (adverse drug reaction), dosis obat yang berlebih (dose too high). 6. Wawancara dengan dokter anak (penulis resep) dalam penelitian dilakukan setelah lembar data rekam medik pasien dianalisis. Hasil analisis tersebut digunakan untuk menyusun panduan pertanyaan yang digunakan untuk PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 23 wawancara dengan dokter anak tersebut. Hasil wawancara digunakan untuk melengkapi pembahasan terhadap hasil analisis sekaligus menjadi salah satu guideline atau acuan untuk evaluasi pengobatan pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara. C. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah semua pasien pediatrik yang berumur 0-12 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, yang positif terdiagnosa positif demam tifoid (didukung dengan catatan rekam medik dan hasil pemeriksaan laboratorium yang lengkap dan dapat dikonfirmasi) dan mendapatkan terapi pengobatan menggunakan antibiotika, serta menyelesaikan pengobatan di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara sampai dinyatakan sembuh (diizinkan pulang) oleh dokter. Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu pasien pediatrik dengan catatan rekam medik yang tidak lengkap atau tidak bisa dikonfirmasi, pasien pediatrik yang terdiagnosa demam tifoid dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang tidak lengkap atau tidak dapat dikonfirmasi sebagai penunjang utama penegakan diagnosa dokter terhadap demam tifoid, pasien pediatrik yang tidak mendapatkan terapi pengobatan menggunakan antibiotika, serta pasien pediatrik yang terdiagnosa demam tifoid dengan beberapa penyakit penyerta. Penelitian yang dilakukan juga melibatkan dokter anak RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara (penulis resep) sebagai subjek penelitian yang dilakukan melalui wawancara. Wawancara tersebut dilakukan untuk melengkapi pembahasan terhadap hasil analisis data penelitian, sekaligus menjadi salah satu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 24 acuan untuk evaluasi pengobatan pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara. 218 populasi demam Tifoid 118 pasien pediatrik demam tifoid 42 pasien dengan penyakit penyerta Eksklusi 86 pasien Inklusi 32 pasien 36 pasien dengan catatan RM dan hasil laboratorium tidak lengkap 8 pasien suspect (terduga) demam tifoid Gambar 1. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Periode 2013 D. Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu rekam medik pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang ada di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. Rekam medik adalah riwayat pengobatan dan perawatan pasien yang dapat digunakan sebagai bahan penelitian yaitu yang memuat data karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa masuk, terapi yang diberikan, catatan keperawatan, dan hasil pemeriksaan laboratorium. E. Lokasi Penelitian Pengambilan data dilakukan di Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara yang beralamat di Jl. Ahmad Yani, Purwareja, Klampok, Banjarnegara, 53474. Pengambilan data tersebut dilakukan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 25 tepatnya di instalasi rekam medik Rumah Sakit Emannuel Purwareja Klampok Banjarnegara. F. Tata Cara Penelitian 1. Pengurusan Izin Penelitian Penelitian diawali dengan mengurus izin penelitian yang diperoleh dari Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara sebagai lokasi untuk pengambilan data. 2. Analisis Situasi Analisis situasi dengan cara mencari data kartu rekam medik pasien demam tifoid kelompok pediatrik pada tahun 2013 yang diperoleh melalui komputer di Instalasi Rekam Medik RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara. 3. Pengambilan data Penulusuran data lembar rekam medik di Instalasi Rekam Medik mengenai jumlah pasien kelompok pediatrik yang terdiagnosa positif menderita demam tifoid, usia pasien, jenis kelamin pasien, berat badan pasien, data laboratorium, jenis dan golongan antibiotik yang diberikan pada pasien, dosis dan frekuensi pemberian antibiotik. Pencarian pasien demam tifoid kelompok pediatrik dilakukan sesuai dengan definisi operasional yang telah ditetapkan sebelumnya menggunakan nomor rekam medik yang didapat. Pengumpulan data dari rekam medik tersebut dilakukan dengan tanpa mengganggu aktivitas petugas kesehatan di rumah sakit tersebut. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 26 4. Pengolahan data dan analisis hasil Data diolah secara deskriptif dengan memberikan gambaran karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik sebagai subjek penelitian, profil penggunaan obat pasien, serta profil penggunaan antiobiotika pasien. Pengolahan data secara evaluatif dilakukan dengan mengevaluasi DRPs penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik. Pengolahan data secara deskriptif dan evaluatif dijelaskan secara rinci sebagai berikut: a. Karakteristik pasien Analisis deskriptif mengenai karakteristik pasien dilakukan dengan mengelompokkan pasien demam tifoid kelompok pediatrik berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin yang kemudian dinyatakan dalam bentuk persentasi. b. Profil penggunaan antibiotika pasien Profil penggunaan antibiotika oleh pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang akan dianalisis terbagi menjadi jenis dan golongan antibiotika, indikasi dan pilihan terapi antibiotika, dosis dan frekuensi pemberian antibiotika, serta durasi dan rute pemberian antibiotika. c. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) a) Butuh tambahan obat (need additional drug therapy) b) Tidak butuh obat (unnecessary drug therapy) c) Salah pemberian obat (wrong drug) d) Dosis obat yang tidak mencukupi atau kurang (dosage too low) PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 27 e) Efek samping obat (adverse drug reaction) f) Dosis obat yang berlebih (dose too high) Hasil evaluasi Drug Related Probelms (DRPs) kemudian akan dianalisis dengan metode subjektif, objektif, assesment, dan plan (SOAP). Subjektif meliputi umur, jenis kelamin, lama dirawat, diagnosa, keluhan, perjalanan penyakit, dan status keluar pasien. Objektif yaitu meliputi hasil laboratorium, tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, dan respiratori), kondisi kesadaran pasien, dan penatalaksanaan obat yang diterima oleh pasien. Assesment merupakan penilaian yang dilakukan terkait evaluasi penggunaan antibiotika. Sedangkan plan atau rekomendasi merupakan saran yang diberikan untuk mengatasi DRPs yang muncul dalam penggunaan antibiotika berdasarkan acuan yang ada. Acuan yang digunakan untuk evaluasi yang terjadi dalam pengobatan pasien demam tifoid kelompok pediatrik adalah Standar Pelayanan Medis Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara, Drug Information Handbook (Lacy et al., 2006), Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit (Roespandi dan Nurhamzah, 2007), dan Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever (WHO, 2003). 5. Penyajian Hasil Analisis Hasil atau data yang muncul akan disajikan dalam bentuk tabel dan dilakukan pula analisis DRPs yang muncul berdasarkan acuan yang digunakan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara evaluatif dengan cara mengevaluasi DRPs yang terjadi pada penggunaan antibiotika dan dibahas dalam bentuk uraian dan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan atau diagram. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 28 G. Keterbatasan Penelitian Penelitian dengan data retrospektif memiliki kelemahan bila dibandingkan dengan data prospektif. Pada penelitian dengan data retrospektif tidak memungkinkan mengamati lebih lanjut perkembangan kondisi pasien yang sesungguhnya berkaitan dengan analisis DRPs. Sebagai contoh, kepatuhan pasien terhadap regimen terapi. Oleh karena itu, pada penelitian ini hanya dapat dilakukan menggunakan 6 aspek DRPs, sedangkan aspek ketidakpatuhan pasien (noncompliance) tidak dapat dilakukan. Selain itu, kelemahan dari penggunaan data retrospektif yang lainnya yaitu acuan yang digunakan untuk mengevaluasi DRPs yang terjadi pada penelitian tidak dapat menggunakan acuan yang terbaru. Keterbatasan lain yang terdapat pada penelitian ini adalah waktu. Pihak Rumah Sakit Emanuel menyediakan waktu yang sangat terbatas untuk melakukan wawancara dokter anak sebagai penulis resep, dimana hal tersebut menyebabkan hasil wawancara dengan dokter anak yang digunakan bersifat menyeluruh, tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi satu per satu kasus yang diperoleh, serta penelitian ini hanya mengevaluasi mengenai penggunaan antibiotika tanpa melihat dan mengevaluasi secara lengkap keseluruhan pengobatan lain yang diberikan pada pasien sehingga DRPs terkait perlu terapi tambahan (need additional drug therapy) tidak teridentifikasi pada penelitian ini. Selain itu, dari dua dokter anak sebagai penulis resep di Rumah Sakit Emanuel, hanya satu dokter anak yang bersedia dan dapat diwawancarai oleh penulis. Hal ini menyebabkan acuan sebagai Standar Pelayanan Medis RS. Emanuel yang digunakan untuk PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 29 mengevaluasi DRPs terkait penggunaan antibiotika pasien demam tifoid kelompok pediatrik kurang lengkap. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian mengenai “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Tahun 2013” dilakukan dengan menelusuri lembar data rekam medik pasien pediatrik yang positif terdiagnosa demam tifoid. Berdasarkan data hasil penelusuran dari bagian instalasi rekam medik RS Emanuel, diperoleh 32 kasus sebagai bahan penelitian yang mempunyai data rekam medik lengkap, yaitu mencantumkan usia, jenis kelamin, berat badan, diagnosa utama, lama perawatan, catatan keperawatan, data pemeriksaan laboratorium, dan terapi yang diberikan. A. Karakteristik Pasien 1. Distribusi pasien berdasarkan usia Pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang diteliti adalah pasien yang berusia 0 – 12 tahun. Izenberg (2000) membagi kelompok pediatrik menjadi 3 bagian berdasarkan usia, yaitu kelompok neonatus (≤ 1 tahun), kelompok balita (> 1 – 5 tahun), dan kelompok usia anak-anak (> 5 – 12 tahun). Dari hasil penelitian didapatkan kasus demam tifoid di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013 paling banyak terjadi pada kelompok usia anak-anak yaitu pada rentang > 5 – 12 tahun sebesar 59,4 % dan kelompok usia balita yaitu pada rentang > 1 – 5 tahun sebesar 40,6%. Hasil penelitian ini mendukung hasil 30 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 31 penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Ochiai et al. (2008) mendapatkan hasil bahwa anak pada rentang usia 6 – 12 tahun memiliki risiko terserang demam tifoid lebih besar, yaitu dari total kasus sebanyak 131 kasus demam tifoid pada kelompok pediatrik sebesar 58 kasus (44,27%) terjadi pada rentang usia 6 – 12 tahun dan sisanya terjadi pada kelompok balita dan neonatus. Penelitian oleh Rufaldi (2011) juga diperoleh hasil bahwa anak pada rentang usia 6 – 12 tahun paling banyak terserang demam tifoid, yaitu sebesar 42,9% dengan sisanya terjadi pada kelompok balita dan neonatus. Hal ini disebabkan karena pada saat usia tersebut (> 5 – 12 tahun) anak-anak sangat menyukai membeli makanan sembarangan dilingkungan sekitar yang higienitasnya tidak dapat dijamin. Lingkungan, dalam hal ini salah satu contohnya adalah faktor higienitas, merupakan salah satu faktor pendukung untuk mengurangi atau menambah luas penyebaran demam tifoid (Musnelina et al., 2004). Distribusi Pasien Berdasarkan Usia 40,6% 59,4% > 5 - 12 tahun > 1 - 5 tahun Gambar 2. Persentase Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Berdasarkan Distribusi Usia di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2. 32 Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin Jumlah pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang diperoleh sebagai subjek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi adalah sebanyak 32 pasien. Dari total pasien tersebut, 16 adalah pasien laki-laki dan 16 sisanya adalah pasien perempuan. Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Musnelina et al. (2004) dan Rufaldi (2011) diperoleh hasil yang berbeda dimana jumlah pasien demam tifoid kelompok pediatrik jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Menurut Musnelina et al. (2004), anak laki-laki lebih banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan dikarenakan karena anak laki-laki umumnya memiliki aktifitas diluar rumah yang lebih banyak daripada anak perempuan. Hal ini memungkinkan anak laki-laki untuk memiliki risiko lebih besar untuk terserang demam tifoid dibandingkan anak perempuan. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin 50% 50% Laki-laki Perempuan Gambar 3. Persentas Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Berdasarkan Jenis Kelamin di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 33 B. Profil Penggunaan Obat dan Profil Penggunaan Antibiotika Profil penggunaan obat pada pasien demam tifoid pada kelompok pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara merupakan gambaran pengobatan yang diberikan, meliputi kelas terapi obat dan golongan obat yang akan disajikan dalam bentuk tabel disertai beberapa penjelasan singkat. Gambaran secara umum distribusi penggunaan obat pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 menurut kelas terapinya ditunjukkan pada tabel II. Tabel II. Persentase Golongan Obat yang Digunakan Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 Jumlah Kasus Persentase No Kelas Terapi Obat Golongan Obat (n=207) (%) 1 Antibiotika Sefalosporin 36 17,4 Antitukak 1 0,5 Laksatif 3 1,4 Obat Saluran 2 Antidiare 1 0,5 Pencernaan Antiemetik 8 3,9 Antispasmodik 1 0,5 Vitamin 13 6,3 3 Suplemen dan Nutrisi Nutrisi 13 6,3 Obat yang 4 Antikoagulan 1 0,5 Mempengaruhi Darah Analgetik dan 5 Non-Opioid 36 17,4 Antipiretik Anti-inflamasi dan Kortikosteroid 32 15,4 6 antialergi Non-steroid 3 1,4 Antihistamin 5 2,4 Antitusif 1 0,5 Obat Saluran 7 Ekspektoran 15 7,2 Pernafasan Nasal Dekongestan 4 1,9 Mukolitik 2 1,0 RL 26 12,6 8 Infus DS 5% 6 2,9 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 1. 34 Antibiotika Persentase penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 adalah sebesar 17,4%. Evaluasi penggunaan antibiotika dibagi menjadi jenis dan golongan antibiotika, indikasi dan pilihan terapi antibiotika, dosis dan frekuensi antibiotika, serta durasi dan rute pemberian antibiotika. a. Jenis dan Golongan Antibiotika Hasil penelitian berkaitan dengan jumlah serta persentasi jenis dan golongan antibiotika dalam penatalaksanaan demam tifoid pada kelompok pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara bertujuan untuk mengetahui jenis dan golongan antibiotika apa saja yang diresepkan dokter kepada pasien demam tifoid kelompok pediatrik dirumah sakit tersebut. Jenis Antibiotika yang Digunakan pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 11,1% 2,8% 0 86,1% Ceftriaxone Cefixime Cefotaxime Gambar 4. Persentase Jenis Antibiotika yang Digunakan Sebagai Terapi Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada Tahun 2013 Berdasarkan data dari rekam medik, antibiotika yang digunakan dari total 32 pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 yang menjadi bahan penelitian terdiri dari 3 jenis, yaitu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 35 Ceftriaxone, Cefotaxime dan Cefixime, yang mana ketiganya sama-sama berasal dari golongan sefalosporin generasi ketiga. Jenis antibiotika yang paling tinggi penggunaannya adalah jenis antibiotika Ceftriaxone, yaitu sebesar 86,1% kemudian disusul dengan cefixime sebesar 11,1% dan cefotaxime sebesar 2,8%. Dari kasus-kasus yang diteliti tersebut, juga dijumpai beberapa kasus dengan penggunaan lebih dari satu jenis antibiotika yang mana dimaksudkan sebagai terapi kombinasi (ceftriaxone dengan cefixime) maupun sebagai antibiotika pengganti (cefotaxime diganti dengan cefixime). Penggunaan Terapi Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 12,5% 0 0 87,5% Terapi Tunggal Terapi Kombinasi Gambar 5. Persentase Profil Penggunaan Terapi Antibiotika Tunggal dan Kombinasi pada Pengobatan Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 Terapi kombinasi digunakan pada kasus-kasus khusus dan beberapa tujuan tertentu, seperti untuk mencegah resistensi bakteri terhadap antibiotika yang sifatnya mendadak, mendapatkan manfaat dari dua atau lebih antibiotika yang mekanisme kerjanya saling bersinergi, menangani kemungkinan adanya infeksi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 36 yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri, memperluas spektrum aktivitas kerjanya dalam membunuh bakteri, dan digunakan untuk menangani suatu kasus infeksi yang berat (Murray et al., 2009). Dari hasil penelitian diperoleh terapi antibiotika tunggal sebesar 28 kasus (87,5%) dan terapi antibiotika kombinasi sebesar 4 kasus (12,5%). Tabel III. Pemakaian Antibiotika Kombinasi No Antibiotika Jumlah Kasus 1 Ceftriaxone + Cefixime (Kombinasi) 3 2 Cefixime + Cefotaxime (Ganti Obat) 1 Tabel IV. Pemakaian Antibiotika Tunggal No Antibiotika Jumlah Kasus 1 Ceftriaxone 28 b. Indikasi dan Pilihan Terapi Antibiotika Terapi antibiotika diindikasikan untuk menghambat serta membunuh mikroorganisme atau bakteri penyebab infeksi pada pasien. Tatalaksana pengobatan demam tifoid menggunakan antibiotika pada penelitian ini sudah tepat karena diindikasikan untuk membunuh Salmonella typhii yang merupakan bakteri penyebab penyakit demam tifoid. Antibiotika yang biasa diberikan antara lain PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 37 adalah kloramfenikol, amoksisilin, ampisilin serta golongan sefalosporin generasi ketiga seperti Cefixime, Cefotaxime, dan Ceftriaxone (Shah et al., 2006). Kloramfenikol dan cefixime merupakan dua antibiotika yang digunakan sebagai lini pertama dalam pengobatan demam tifoid. Cefixime yang merupakan bagian dari golongan sefalosporin generasi ketiga terbukti dapat menjadi pilihan antibiotika setelah pada beberapa penelitian ditemukan resistensi bakteri terhadap kloramfenikol (Shah et al., 2006). Jenis antibiotika dari golongan sefalosporin generasi ketiga seperti cefotaxime dan ceftriaxone juga dapat digunakan sebagai antibiotika pilihan pertama untuk pengobatan demam tifoid apabila ditemukan adanya riwayat resistensi suatu bakteri terhadap antibiotika golongan kuinolon seperti ofloxacin dan ciprofloxacin (WHO, 2003) atau pasien tidak menunjukkan adanya perbaikkan gejala klinis setelah penggunaan antibiotika jenis kloramfenikol atau amoksisilin (Roespandi dan Nurhamzah, 2007). Namun dewasa ini, penggunaan ceftriaxone dan cefixime yang biasanya digunakan sebagai pilihan ketiga terapi pengobatan demam tifoid mulai bergeser menjadi pilihan utama dalam pengobatan demam tifoid. Ditemukannya beberapa kasus mengenai resistensi bakteri terhadap kloramfenikol mendorong para peneliti untuk mencari alternatif antimikroba untuk melawan penyakit demam tifoid. Beberapa daerah endemik demam tifoid tidak lagi menggunakan kloramfenikol sebagai first line therapy namun mulai menggunakan antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga seperti cefixime dan ceftriaxone. Hal tersebut didukung oleh adanya penelitian menggunakan metode Susceptibilitas yang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 38 dilakukan oleh Santillan, Garcia, dan Benavante (2000). Isolat yang digunakan adalah isolat bakteri Salmonella typhii penyebab demam tifoid dan antibiotika yang digunakan adalah kloramfenikol, ampisilin, trimetoprim, dan cefixime. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 24 isolat, 22 isolat sensitif terhadap ampisilin, 96% sensitif sulfametoxazole, terhadap serta kloramfenikol 24 isolat dan (100%) kombinasi sensitif trimetoprim terhadap – cefixime (Santillan et al., 2000). c. Dosis dan Frekuensi Pemberian Antibiotika Dalam terapi pengobatan pada pasien dosis dan frekuensi pemberian antibiotika harus disesuaikan dengan diagnosis penyakit, tingkat keparahan penyakit atau infeksi, mekanisme kerja obat, serta efek samping yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan antibiotika tersebut (adverse drug reaction). Dosis yang diberikan untuk pasien kelompok pediatrik haruslah benar-benar diperhatikan, sebab organ – organ yang digunakan untuk melakukan metabolisme obat (seperti hati dan ginjal) belum sempurna perkembangannya pada anak-anak. Sehingga, apabila pemberian dosis antibiotika pada anak-anak tidak tepat, bisa jadi antibiotika tersebut akan menimbulkan efek toksik atau menjadi racun didalam tubuh anak yang mana berbahaya bagi keselamatan anak tersebut (Benin dan Dowel, 2001). Frekuensi penggunaan antibiotika dipengaruhi oleh sifat farmakokinetika obat serta kondisi patofisiologis dari pasien. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam suatu farmakokinetika obat adalah t½ eleminasi dari obat. Definisi dari t½ eleminasi obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh obat untuk PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 39 mencapai penurunan konsentrasi obat sebesar 50% dari konsentrasi awal pada plasma. Nilai t½ eleminasi untuk masing-masing obat bervariasi. Tujuan dari adanya interval pemberian suatu obat adalah untuk menjaga konsentrasi obat dalam cairan plasma agar selalu berada pada konsentrasi terapeutik minimal sehingga obat dapat bekerja dan memberikan efek yang diharapkan. Kondisi organ hati dan ginjal sebagai organ ekskresi utama juga mempengaruhi frekuensi pemberian obat. Jika terdapat gangguan atau kelainan pada organ ekskresi tersebut, maka proses eleminasi obatpun akan terganggu atau berjalan lebih lambat (Benin dan Dowel, 2001). Jenis antibiotika yang digunakan berdasarkan hasil penelitian mengenai “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Tahun 2013” ini adalah ceftriaxone, cefixime, dan cefotaxime yang berasal dari golongan sefalosporin generasi ketiga. Dosis antibiotika ceftriaxone yang digunakan untuk pasien kelompok pediatrik yaitu 50 – 100 mg/kgBB/hari disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien, dengan frekuensi pemberian setiap 12 jam. Untuk cefixime, dosis yang digunakan yaitu 15 - 20 mg/kgBB/hari. Dosis cefixime yang diberikan juga disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien dengan frekuensi pemberian setiap 12 jam. Sedangkan untuk cefotaxime dosis yang digunakan yaitu 50 – 200 mg/kgBB/hari, yang juga disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien, dengan frekuensi pemberian setiap 8 jam (Lacy et al., 2006). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 40 d. Durasi dan Rute Pemberian Antibiotika Durasi pemberian antibiotika berkaitan dengan proses pembunuhan bakteri atau mikroba penginfeksi. Tiap jenis antibiotika mempunyai waktu optimum untuk membunuh suatu bakteri atau mikroba tertentu. Ceftriaxone optimal untuk pengobatan demam tifoid apabila digunakan selama 5 – 7 hari, sedangkan cefixime optimal untuk pengobatan demam tifoid apabila digunakan selama 8 – 14 hari. Dengan kata lain, dapat diasumsikan bahwa ceftriaxone mampu membunuh bakteri Salmonella typhii penyebab demam tifoid dalam waktu 5 -7 hari, sedangkan cefixime dalam waktu 8 – 14 hari. Durasi pengobatan yang ditingkatkan atau ditambah akan menghasilkan efek terapeutik yang tidak jauh berbeda dengan durasi optimal, bahkan dapat meningkatkan risiko terjadinya resistensi bakteri apabila penggunaan antibiotika melebihi waktu optimal (Islam et al., 1993). Tabel V. Durasi Pemakaian Antibiotika No Antibiotika 1 Ceftriaxone 2 Cefixime 3 Cefotaxime Durasi Jumlah Kasus 2 3 4 5 3 4 5 3 3 7 10 11 1 1 2 1 Menurut pustaka yang digunakan sebagai acuan tidak disebutkan secara spesifik mengenai rute pemberian antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam tifoid. Namun secara umum rute pemberian antibiotika untuk pasien PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 41 demam tifoid dapat dibagi menjadi dua, yaitu secara intravena (i.v) dan secara peroral (p.o). Rute pemberian secara i.v maupun p.o dilakukan dengan berbagai maksud dan tujuan. Pemberian antibiotika secara i.v umumnya dilakukan agar obat lebih cepat masuk kedalam tubuh dan memberikan efek. Pemberian obat secara i.v juga memberikan beberapa keuntungan dibandingkan secara p.o, yaitu menghindari first pass effect dan mencegah obat terdegradasi oleh asam lambung (Cunha, 2007). Rute Pemberian Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 11,1% 0 0 Intravena (i.v) Peroral (p.o) 88,9% Gambar 6. Profil Rute Pemberian Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 Gambar 6 menunjukkan rute pemberian antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. Dapat dilihat bahwa rute pemberian antibiotika yang paling sering digunakan adalah secara intravena (i.v). Total 36 penggunaan terapi antibiotika pada 32 pasien tersebut, sebanyak 32 antibiotika diberikan secara intravena (88,9%) dan 4 diberikan secara peroral (11,1%). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2. 42 Obat Saluran Pencernaan Demam tifoid merupakan penyakit yang menyerang saluran pencernaan (infeksi). Gejala yang umum dialami oleh pasien demam tifoid adalah gangguan gastrointestinal yang dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah dan kembung (Ali, 2006). Maka dari itu, penggunaan obat-obatan untuk saluran pencernaan sangat membantu pasien demam tifoid dalam mengatasi gejala atau manifestasi klinis yang timbul akibat infeksi saluran pencernaan sehingga pasien dapat merasa nyaman. Persentase penggunaan obat untuk saluran pencernaan pada penelitian ini adalah sebesar 6,8%, yang terbagi atas golongan antitukak (0,5%), golongan laksatif (1,4%), golongan antidiare (0,5%), golongan antiemetik (3,9%) dan golongan antispasmodik (0,5%). 3. Obat Suplemen dan Nutrisi Terapi lain juga perlu dilakukan pada pengobatan demam tifoid selain menggunakan antibiotika, yaitu pemberian asupan nutrisi yang cukup kedalam tubuh (WHO, 2003) untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan atau daya tahan tubuh pasien karena beberapa pasien demam tifoid kelompok pediatrik (subjek penelitian) mengutarakan keluhan tidak nafsu makan serta badan lemas. Persentase penggunaan obat suplemen dan nutrisi pada penelitian ini adalah sebesar 12,6%, yang terdiri atas golongan vitamin (6,3%) dan nutrisi (6,3%). 4. Obat yang Mempengaruhi Darah Pada penelitian ini obat yang digunakan untuk mengatur sistem koagulasi darah pada pasien adalah golongan obat antikoagulan. Obat antikoagulan atau hemostatis ini diperlukan pada pasien demam tifoid untuk memperbaiki, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 43 melancarkan sistem sirkulasi atau peredaran darah, serta pembentukan darah akibat adanya pendarahan, seperti mimisan. Persentase penggunaan obat yang mempengaruhi darah pada penelitian ini adalah sebesar 0,5% yang terdiri atas golongan antikoagulan. 5. Obat Analgetik dan Antipiretik Obat analgetik yang diberikan pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik ini berfungsi untuk menghilangkan rasa nyeri atau sakit tanpa menghilangkan kesadaran pasien, sedangkan obat antipiretik diberikan untuk menurunkan demam pada pasien yang mana merupakan gejala klinis yang sangat sering dialami oleh pasien demam tifoid. Jenis analgesik yang digunakan ada dua yaitu analgesik opioid dan analgesik non-opioid. Pada hasil penelitian ini jenis analgesik yang digunakan hanyalah analgesik jenis non-opioid (Tjay, 2007). Jenis analgesik opioid tidak digunakan karena dikhawatirkan dapat menimbulkan ketergantungan bila digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama. Persentase penggunaan obat analgetik pada penelitian ini adalah sebesar 17,4% yang terdiri atas analgetik golongan non-opioid. 6. Obat Antiradang (Anti Inflamasi) dan Antialergi Obat antiradang atau anti inflamasi yang digunakan pada terapi untuk pasien demam tifoid kelompok pediatrik adalah obat-obatan golongan kortikosteroid, seperti cortidex®, colergis® (bethametasone dan deksklorfeniramin maleat), kalmetason, dan deksametason, serta golongan non-steroid (NSAID), seperti relafen® (ibuprofen). Penggunaan obat anti inflamasi ini bertujuan untuk mengurangi radang atau inflamasi yang terjadi pada pasien demam tifoid, dan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 44 obat golongan kortikosteroid juga memiliki fungsi sebagai imunosupresan serta antialergi (contoh: colergis®, yang diindikasikan untuk alergi yang membutuhkan terapi kortikosteroid) (Tjay, 2007). Persentase penggunaan obat antiradang pada penelitian ini adalah sebesar 16,8%, yang terbagi atas 15,4% anti inflamasi golongan kortikosteroid dan 1,4% anti inflamasi golongan non-steroid. 7. Obat Saluran Pernafasan Obat untuk saluran pernafasan yang digunakan pada penelitian ini adalah golongan obat antihistamin, antitusif, ekspektoran, nasal dekongestan dan mukolitik. Obat-obatan untuk saluran pernafasan tersebut digunakan untuk menangani batuk, pilek, dan sesak nafas karena adanya mukus pada saluran pernafasan. Batuk, pilek dan sesak nafas yang seringkali dialami oleh pasien demam tifoid menyebabkan ketidaknyamanan serta rasa sakit ditenggorokan (diakibatkan karena batuk yang terus menerus). Persentase penggunaan obat untuk saluran pernafasan pada penelitian ini adalah sebesar 13,0%, yang terdiri atas 2,4% golongan antihistamin, 0,5% golongan antitusif, 7,2% ekspektoran, 1,9% golongan nasal dekongestan, dan 1,0% golongan mukolitik. 8. Infus Pemberian infus pada pasien, khususnya pasien rawat inap, bertujuan untuk menjaga kesetimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh pasien. Persentasi penggunaan infus pada penelitian ini adalah sebesar 15,5% yang terdiri atas infus RL (12,6%) dan infus DS 5% (2,9%). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 45 C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Proses penatalaksanaan terapi pada pasien di rumah sakit harus dilakukan secara rasional dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian (benefit and risk) dari efek yang ditimbulkan dari proses pengobatan yang diberikan. Pada penelitian ini, identifikasi Drug Related Problems (DRPs) dilakukan dengan mengevaluasi permasalahan yang timbul berkaitan dengan penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. Adapun kategori DRPs yang dievaluasi yaitu butuh tambahan obat, tidak butuh obat, salah pemberian obat, dosis obat yang tidak terlalu rendah, dosis obat terlalu tinggi, dan munculnya efek yang tidak diinginkan atau efek samping obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi permasalahan terkait penggunaan antibiotika sebagai terapi pengobatan pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik. Pemberian obat-obatan, khususnya antibiotika, untuk pasien kelompok pediatrik haruslah benar-benar diperhatikan, sebab organ – organ yang digunakan untuk melakukan metabolisme obat (seperti hati dan ginjal) belum sempurna perkembangannya pada anak-anak. Apabila terdapat kesalahan dalam pemberian antibiotika pada anak-anak, bisa jadi antibiotika tersebut akan menimbulkan efek toksik atau menjadi racun didalam tubuh anak yang mana berbahaya bagi keselamatan anak tersebut (Roespandi dan Nurhamzah, 2007). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 46 TABEL VI. Jenis DRPs Penggunaan Antibiotika Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Pada Tahun 2013 Jumlah Nomor Kasus No Jenis DRPs DRPs (Di Lampiran) (n=36) Terapi tanpa indikasi 1 06, 09, 30 3 (unecessary drug therapy) 01, 02, 03, 04, 05, 07. 08, 10, Dosis terlalu rendah (dosage too 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 2 29 low) 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32 Dosis terlalu tinggi (dosage too 3 10, 16, 19, 27 4 high) 1. Terapi tanpa indikasi (unecessary drug therapy) Penyebab kategori DRPs jenis ini antara lain terapi yang diperoleh sudah tidak sesuai, menggunakan terapi polifarmasi atau kombinasi yang seharusnya bisa menggunakan terapi tunggal, kondisi yang seharusnya mendapat terapi non farmakologi, terapi efek samping yang dapat diganti dengan obat lain, dan penyalahgunaan obat. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 3 kasus DRPs kategori terapi tanpa indikasi yang disebabkan oleh penggunaan terapi kombinasi yang seharusnya masih bisa menggunakan terapi tunggal, yaitu pada kasus nomor 06, 09, dan 30. Penggunaan kombinasi antibiotika memiliki tujuan-tujuan tertentu, seperti mencegah resistensi bakteri terhadap antibiotika yang sifatnya mendadak, mendapatkan manfaat dari dua atau lebih antibiotika yang mekanisme kerjanya saling bersinergi, menangani kemungkinan adanya infeksi yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri, memperluas spektrum aktivitas kerjanya dalam membunuh bakteri, dan digunakan untuk menangani suatu kasus infeksi yang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 47 berat (Murray et al., 2009). Penggunaan kombinasi antibiotika pada kasus-kasus yang ditemukan pada penelitian ini antara lain kombinasi ceftriaxone dengan cefixime, dan cefixime yang digantikan dengan cefotaxime. Kombinasi ceftriaxone dan cefixime kurang tepat, karena ditinjau dari bakteri penyebab demam tifoid, yaitu Salmonella thypi, kombinasi antibiotika umumnya digunakan untuk menangani infeksi berat yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri (polimikroba) dengan memanfaatkan efek sinergisme yang saling menunjang efektivitasnya satu sama lain, sedangkan pada kasus-kasus hasil penelitian ini pasien dinyatakan hanya terdiagnosa demam tifoid dan tidak disertai penyakit lain yang kemungkinan disebabkan oleh kuman atau bakteri lainnya selain Salmonella thypi, sehingga dalam penanganannya cukup diberikan terapi tunggal antibiotika. Hasil penelitian ini menunjukkan efek dari pemberian kombinasi antibiotika yang tidak tepat karena seharusnya masih dapat menggunakan terapi tunggal tidak tampak pada pasien karena pada catatan keperawatan di lembar rekam medik pasien ditunjukkan bahwa pasien-pasien tersebut tidak mengutarakan keluhan yang berkaitan dengan terapi tanpa indikasi (unecessary drug therapy), dan pasien juga keluar rumah sakit atau pulang rumah dengan status sembuh dan diizinkan oleh dokter. Sehingga dapat dikatakan bahwa DRPs yang terjadi pada kasus-kasus terkait dosis yang terlalu rendah tersebut merupakan DRPs potensial. 2. Dosis terlalu rendah (dosage too low) Beberapa penyebab kategori DRPs jenis ini antara lain adanya penggunaan obat dengan dosis yang terlalu rendah untuk dapat menimbulkan efek terapi yang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 48 diinginkan (respon), jarak pemberian obat dalam frekuensi yang panjang atau jarang untuk dapat memberikan efek terapi, adanya interaksi obat yang dapat mengurangi jumlah obat yang tersedia dalam bentuk aktif, durasi terapi pengobatan terlalu pendek untuk dapat menghasilkan efek terapi. Kadar antibiotika minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dikenal dengan istilah kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Fungsi antibiotika terhadap KHM dapat dibagi menjadi fungsi terhadap konsentrasinya (concentration dependent) dan terhadap waktu (time dependent). Pada antibiotika golongan concentration dependent, semakin tinggi kadar obat dalam darah maka semakin tinggi atau kuat pula daya kerjanya sehingga kecepatan dan efektivitas kerjanya dapat ditingkatkan dengan menaikkan kadar obat dalam darah hingga jauh di atas KHM. Sedangkan pada antibiotika jenis time dependent, selama kadarnya dapat dipertahankan sedikit di atas KHM sepanjang durasi kerjanya, kecepatan dan efektivitas kerja obat tersebut akan mencapai nilai maksimal. Jenis antibiotika dari golongan sefalosporin generasi ketiga seperti ceftriaxone, cefixime dan cefotaxime merupakan antibiotika yang mekanisme kerjanya dalam membunuh bakteri penyebab infeksi (bakterisidal) dipengaruhi oleh waktu (time dependent) (Nuermberger dan Grosset, 2004). Pada hasil penelitian, diperoleh 29 kasus DRPs kategori dosis terlalu rendah (dosage too low), yaitu pada nomor kasus 01, 02, 03, 04, 05, 07. 08, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, dan 32 (dapat dilihat pada lampiran). Pemberian antibiotika dengan dosis yang terlalu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 49 rendah secara langsung mempengaruhi efektivitas terapi yang ingin dicapai serta lamanya masa rawat inap pasien. Semua kasus yang terkait dosis terlalu rendah tersebut tidak disebabkan oleh karena regimen dosis yang diberikan untuk pasien terlalu rendah (underdose) berdasarkan berat badan pasien, namun dikarenakan oleh durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval pemberiannya yang terlalu panjang. Durasi penggunaan obat yang terlalu singkat merupakan salah satu penyebab jenis DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low) yang mana berpengaruh dalam pencapaian efektivitas terapi. Durasi penggunaan antibiotika ini berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali, sedangkan interval atau frekuensi pemberian suatu obat yang terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat tersebut didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan (Benin dan Dowel, 2001). Dari hasil penelitian ini, efek dari pemberian antibiotika dengan dosis yang terlalu rendah dan durasi penggunaan yang terlalu singkat tidak tampak pada pasien karena pada catatan keperawatan di lembar rekam medik pasien ditunjukkan bahwa pasien-pasien tersebut tidak mengutarakan keluhan yang berkaitan dengan efek dari dosis antibiotika yang terlalu rendah, dan pasien juga keluar rumah sakit atau pulang rumah dengan status sembuh dan diizinkan oleh dokter. Sehingga dapat dikatakan bahwa DRPs yang terjadi pada kasus-kasus terkait dosis yang terlalu rendah tersebut merupakan DRPs potensial. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 3. 50 Dosis terlalu tinggi (dosage too high) Jenis DRPs ini umumnya disebabkan karena dosis yang diberikan terlalu tinggi sehingga memunculkan efek yang berlebihan, frekuensi pemberian obat terlalu pendek sehingga terjadi akumulasi, durasi terapi pengobatan terlalu panjang, interaksi obat dapat menghasilkan efek toksik, obat diberikan atau dinaikkan dosisnya terlalu cepat. Pemberian antibiotika pada pasien pediatrik haruslah diperhatikan secara khusus regimen dosisnya. Hal ini disebabkan pada pasien pediatrik organ – organ yang digunakan untuk melakukan metabolisme obat (seperti hati dan ginjal) belum sempurna perkembangannya pada anak-anak. Pemberian dosis antibiotika pada anak-anak yang tidak tepat, berisiko menimbulkan efek yang tidak diinginkan atau bahkan berpotensi menimbulkan efek toksik (menjadi racun) didalam tubuh anak yang mana berbahaya bagi keselamatan anak tersebut. Selain itu, penggunaan antibiotika dengan dosis yang terlalu tinggi atau tidak tepat juga berpotensi mengakibatkan timbulnya resistensi antibiotika (Roespandi dan Nurhamzah, 2007). Dari hasil penelitian ini diperoleh 4 kasus DRPs kategori dosis terlalu tinggi (dosage too high), yaitu kasus nomor 10, 16, 19, dan 27 (dapat dilihat pada lampiran). Pada keempat kasus tersebut, dosis antibiotika ceftriaxone yang diberikan melebihi regimen dosis antibiotika yang terdapat pada guideline therapy yang menjadi acuan dalam analisis data penelitian ini, yaitu 50 – 100 mg/kgBB/hari. Namun dilihat dari keluhan yang diutarakan oleh pasien selama masa perawatan serta status keluar pasien yang sembuh dan diizinkan oleh dokter, dapat dilihat bahwa efek yang dapat terjadi akibat pemberian antibiotika dengan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 51 dosis terlalu tinggi tersebut tidaklah terjadi. DRPs yang terjadi pada kasus-kasus terkait dosis yang terlalu tinggi tersebut merupakan DRPs potensial. D. Rangkuman Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penelitian mengenai evaluasi DRPs terkait penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 memperoleh hasil sejumlah 36 kasus DRPs, yaitu 3 kasus terapi tanpa indikasi (unecessary drug therapy) sebesar 8,3%, 29 kasus dosis terlalu rendah (dosage too low) sebesar 80,6% dan 4 kasus dosis terlalu tinggi (dosage too high) sebesar 11,1%. Jenis DRPs yang terjadi adalah DRPs potensial, yakni jenis DRPs yang mungkin terjadi atau dialami oleh pasien namun tidak tampak ditinjau dari keluhan yang diutarakan oleh pasien tersebut tetapi tetap berpotensi efek yang merugikan pasien. DRPs aktual yang merupakan jenis DRPs yang benar-benar dialami oleh pasien dan menimbulkan efek yang merugikan pasien, tidak ditemukan dalam penelitian ini. Tabel VII. Hasil Evaluasi DRPs Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013. No. Kasus Antibiotika (Generik) Dosis Pemberian (mg/hari) Dosis Literatur (mg/hari) DRPs 01 Ceftriaxone 1700 1150 – 2300 Dosis terlalu rendah 02 Ceftriaxone 1000 750 – 1500 Dosis terlalu rendah 03 Ceftriaxone 1600 1050 – 2100 Dosis terlalu rendah Kategori Penyebab DRPs Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang Durasi terlalu pendek & interval PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 52 Tabel VIII. Lanjutan 04 Ceftriaxone 500 440 – 880 Dosis terlalu rendah 05 Ceftriaxone 1400 1000 – 2000 Dosis terlalu rendah 06 Ceftriaxone Cefixime 1800 200 1150 – 2300 345 – 460 Terapi tanpa indikasi 07 Cefixime Cefotaxime 200 1000 268,5 – 358 895 – 3580 Dosis terlalu rendah 09 Ceftriaxone Cefixime 2000 200 1500 – 3000 450 – 600 Terapi tanpa indikasi 10 Ceftriaxone 1400 605 – 1210 Dosis terlalu tinggi dan Dosis terlalu rendah 11 Ceftriaxone 1200 800 – 1600 Dosis terlalu rendah 12 Ceftriaxone 1200 700 – 1400 Dosis terlalu rendah 13 Ceftriaxone 1000 1550 - 3100 Dosis terlalu rendah 14 Ceftriaxone 1200 750 – 1500 Dosis terlalu rendah 15 Ceftriaxone 2000 1000 – 2000 Dosis terlalu rendah 16 Ceftriaxone 1800 785 – 1570 Dosis terlalu tinggi & Dosis terlalu rendah 17 Ceftriaxone 1000 975 – 1950 Dosis terlalu rendah terlalu panjang Interval pemberian terlalu panjang Interval pemberian terlalu panjang Dapat menggunakan terapi tunggal Durasi penggunaan terlalu pendek Dapat menggunakan terapi tunggal Dosis terlalu tinggi & Interval terlalu panjang Interval pemberian terlalu panjang Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang Dosis terlalu tinggi & interval terlalu panjang Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 53 Tabel VIII. Lanjutan Dosis terlalu rendah Dosis terlalu tinggi & Dosis terlalu rendah 18 Ceftriaxone 1600 975 – 1950 19 Ceftriaxone 1800 860 – 1720 20 Ceftriaxone 1200 800 – 1600 Dosis terlalu rendah 21 Ceftriaxone 1800 1000 – 2000 Dosis terlalu rendah 22 Ceftriaxone 1600 850 – 1700 Dosis terlalu rendah 23 Ceftriaxone 2000 1300 – 2600 Dosis terlalu rendah 24 Ceftriaxone 1500 1050 – 2100 Dosis terlalu rendah 25 Ceftriaxone 1200 650 – 1300 Dosis terlalu rendah 26 Ceftriaxone 1200 1000 – 2000 Dosis terlalu rendah 27 Ceftriaxone 2000 945 – 1890 Dosis terlalu tinggi & Dosis terlalu rendah 28 Ceftriaxone 1700 1200 – 2400 Dosis terlalu rendah 29 Ceftriaxone 1200 700 – 1400 Dosis terlalu rendah 30 Ceftriaxone Cefixime 2000 200 1300 – 2600 390 – 520 Terapi tanpa indikasi 31 Ceftriaxone 1000 655 – 1310 Dosis terlalu rendah Interval terlalu panjang Dosis terlalu tinggi & interval terlalu panjang Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang Interval pemberian terlalu panjang Interval terlalu panjang Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang Dosis terlalu tinggi & interval terlalu panjang Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang Dapat menggunakan terapi tunggal Interval pemberian terlalu panjang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 54 Tabel VIII. Lanjutan 32 Ceftriaxone 1200 DRPs : Drug Related Problems 860 – 1720 Dosis terlalu rendah Durasi terlalu pendek & interval terlalu panjang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian mengenai “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013” diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik, yaitu: a. Kelompok usia anak-anak (> 5 – 12 tahun) sebesar 59,4 % dan kelompok usia balita (> 1 – 5 tahun) sebesar 40,6%. b. 50% pasien pediatrik laki-laki dan 50% pasien pediatrik perempuan. 2. Profil penggunaan antibiotika pada pasien, yaitu: a. Sebesar 86,1% menggunakan antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga jenis ceftriaxone b. Sebesar 11,1% menggunakan antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga jenis cefixime c. Sebesar 2,8% menggunakan antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga jenis cefotaxime 3. Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada pasien, yaitu: a. Sebanyak 3 kasus terapi tanpa indikasi (unecessary drug therapy) b. Sebanyak 25 kasus dosis terlalu rendah (dosage too low) c. Sebanyak 4 kasus dosis terlalu tinggi (dosage too high) 54 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 55 B. Saran 1. Untuk Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara perlu dilakukan: a. Adanya penentuan standar dosis terapi antibiotika untuk pasien demam tifoid kelompok pediatrik dengan menggunakan literatur atau acuan yang terbaru agar dapat mengoptimalkan efektivitas terapi dan pelayanan medis bagi pasien. b. Pengisian data lembar rekam medik sebaiknya diusahakan agar lebih disiplin, lengkap dan jelas, serta menggunakan bahasa yang baik (bahasa Indonesia), sehingga terhindar dari adanya kesalahan membaca dan pelaksanaan terapi pada pasien dapat berjalan lebih optimal. 2. Untuk penelitian selanjutnya: a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara prospektif mengenai penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik untuk melihat kajian kepatuhan pasien (compliance) pada aspek pharmaceutical care dan dapat digunakan acuan terbaru untuk mengevaluasi DRPs yang terjadi pada penelitian tersebut. b. Perlu dilakukan wawancara dengan dokter penulis resep secara mendalam untuk setiap kasus yang dijadikan subjek penelitian. c. Perlu dilakukan penelitian yang sama namun di rumah sakit yang berbeda agar dapat diketahui penatalaksanaan terapi dan jumlah kasus yang teridentifikasi sehingga dapat dijadikan perbandingan. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 56 DAFTAR PUSTAKA Ali, S., 2006, Thypoid Fever, Gildeprints, Netherland, pp. 25 – 43. Benin, A.L. dan Dowel, S.F., 2001, Antibiotic Resistance and Implications for The Appropriate Use of Antimicrobial Agents, Humana Press Inc., New Jersey, pp. 3 – 25. Brusch, J., 2010, Thypoid Fever: Treatment and Medication, http://emedicine.medscape.com/article.231135, diakses tanggal 14 April 2014. Chen, K. dan Pohan, H.T., 2008, Penatalaksanaan Terkini Demam Tifoid, http://medicineforthesoul.multiply.com/journal/item/8, diakses tanggal 14 April 2014. Cunha, B.A., 2007, Drugs; Administration and Kinetic of Drugs, http://www.merckmanuals.com/home/sec02/ch011/ch011b.html, diakses tanggal 09 September 2014. Cipolle, R.J., 2004, Pharmaceutical Care Practice: The Clinician’s Guide, The McGraw-Hill Companies, Inc., USA, pp. 172-176. Ganiswara, 1995, Farmakologi dan Terapi, Fakultas Kedokteran Indonesia, hal. 25-38. Halim, S., 2013, Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Diuretik Pada Pasien Geriatri Dengan Hipertensi Komplikasi Stroke Di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2012 – Juni 2013, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pp. 21-22. Herawati, M.H., 2009, Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian Demam Tifoid di Indonesia Tahun 2007, Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan vol. XIX no. 4, pp. 165 – 173. Hudson, J.Q., 2008, Pharmacotherapy: A Pathophsyologic Approach, 7th ed., The McGraw-Hill Companies, Inc., pp. 746-749. Indriani, D.V., 2010, Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009 – Maret 2010, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, p. 33. Islam, A., Butler, T., Kabir, I., and Alam, H., 1993, Treatment of Thypoid Fever with Ceftriaxone for 5 Days or Chloramphenicol for 14 Days: a PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 57 Randomized Clinical Trial, Antimicrobial Agents and Chemotherapy, vol.37 No.8, pp. 1572 – 1575. Izenberg, N., 2000, Handbook of Pediatric Drug Therapy, 2nd edition, Springhouse Corporation, USA, pp. 1525 – 1527. Jurwanto, W., 2009, Koran Indonesia Sehat: Demam Tifus, Yudhasmara Publisher, Jakarta. Kass, E.H., and Platt, R., 1990, Current Therapy of Infectous Disease-3, BC Pecker Inc., Philadelphia, pp. 105-116. Katzung, B., 2008, Basic and Clinical Pharmacology, 10th edition, Mc Graw-Hill, USA, pp. 1007-1012. Lacy, C.F., Armstrong, L.L., and Goldman, M.P., 2006, Drug Information Handbook: A Comprehensive Resource of All Clinicians and Healthcare Professionals, Lexi-Comp Inc., USA, pp. 149-1089. Mansjoer, A. dan Triyanti, K., 1999, Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, jilid 1, Penerbit Media Aesculapius FKUI, Jakarta, hal. 421-425. Musnelina, L. dan Andayani, P., 2004, Pola Pemberian Antibiotika Pengobatan Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 20012002, Makara, Kesehatan, volume 8, no. 1, hal. 27-31. Mutschler, E., and Derendorf, H., 1995, Drug Actions: Basic Principles and Therapeutic Aspects, CRS Press Medpharm Scientific Publisher, Stuttgart, Germany, pp. 515-519. Nuermberger, E. dan Grosset, J., 2004, Pharmacokinetic and Pharmacodynamic Issues in the Treatment of Mycobacterial Infections, www.antimicrobe.org/EJCMID/e2.pdf, diakses tanggal 05 April 2015. Ochiai, R., Camilo, J., Carolina, M., Dong, B., Sujit, K., and Magdarina, D., 2008, A Study of Thypoid Fever in Five Asian Countries: Disease Burden and Implications for Controls, Buletin of The World Helath Organization, http://www.who.int/bulletin/volume/862/4/en/268.pdf, diakses tanggal 18 Oktober 2014. Pratiwi, E.P, 2010, Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Angoesdjam Ketapang Periode Juni 2008 - Juni 2009, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, p. 22. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 58 Roespandi, H., dan Nurhamzah, W., 2007, Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, hal. 167-168. Rufaldi, C.D., 2011, Evaluasi Penggunaan Antiobiotika Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari - Desember 2010, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pp. 14, 28. Santillan, R.M., Garcia, G.R., Benavente, I.H., and Garcia, E.M., 2000, Efficacy of Cefixime in the Therapy of Typhoid Fever, West Pharmacology Society, pp. 65 – 66. Sari, L.M., 2009, Evaluasi Drug Therapy Problems Pada Pengobatan Kasus Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Yogyakarta Periode Juni 2007 – Juni 2008, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, p. 24. Shah, R., Kundu, R., Ganguly, N., Ghosh, T., and Yewale, V., 2006, IAP Task Force Report: Management of Enteric Fever in Children, Indian Pediatric volume 43, pp.884-887. Shulman, 1992, The Biology and Clinical Basic of Infectious Disease, 4th edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, USA, pp. 134-146. Soedarto, 1996, Penyakit-Penyakit Infeksi di Indonesia, Widya Medika, Jakarta, hal. 42-49. Tjay, T.H., 2007, Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya, Edisi 6, Gramedia, Jakarta, pp. 519 – 522. Triana, M., 2003, Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid bagi Pasien Anak Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2000 – Desember 2001, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Widodo, D., 2010, Kebijakan Penggunaan Antibiotika Bertujuan Meningkatkan Kualitas Pelayanan Pasien dan Mencegah Peningkatan Resistensi Kuman, Cermin Dunia Kedokteran (CDK), vol. 37, no. 1, hal. 7-10. Wihartoyo, B., 2012, Sejarah dan Makna Simbol Kabupaten Banjarnegara, www.wihartoyobna.blogspot/2012/sejarah-kabupaten-banjarnegara.com, diakses tanggal 17 Maret 2015. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 58 World Health Organization, 2003, Background Document: The Diagnosis, Treatment, and Prevention of Thypoid Fever, World Health Organization, http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_V&B_03.07.pdf, diakses tanggal 14 April 2014. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI LAMPIRAN 59 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 60 Lampiran 1. Nilai Normal Pemeriksaan Data Laboratorium Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013 Parameter Hemoglobin Leukosit Eritrosit Eosinofil Basofil Neutrofil Limfosit Monosit Widal S. typhii H Widal S. typhii O Ig G antibodi S. typhii Ig M antibodi S. typhii Nilai Normal Laki-laki Perempuan 14 – 18 12 – 16 4,8 – 10,8 4,8 – 10,8 4,7 – 6,1 4,2 – 5,4 0,045 – 0,44 0,045 – 0,44 0,0 – 0,2 0,0 – 0,2 1,8 – 8 1,8 – 8 0,9 – 3,2 0,9 – 3,2 0,16 – 1 0,16 – 1 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Satuan g/dL 103/µL 106/µL 103/µL 103/µL 103/µL 103/µL 103/µL - PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 61 Lampiran 2. Guideline Dosis Antibiotika untuk Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Acuan / Pustaka (Lacy et al., 2006) (Roespandi dan Nurhamzah, 2007) (WHO, 2003) (Kass dan Platt, 1990) Drug Name Dose Duration Ceftriaxone Cefixime Cefotaxime Meropenem Imipenem + Cilastatin Cephradine 50 – 100 mg/kg/day/12 jam 20 mg/kg/day/12 jam 50 – 200 mg/kg/8 jam 60 mg/kg/day/8 jam 15 – 25 mg/kg/6 jam 50 – 100 mg/kg/6 jam Chloramphenicol Amoxicillin Cotrimoxazole Ceftriaxone Cefixime 50 – 100 mg/kg/6 jam 100 mg/kg/hari 48 mg/kg/12 jam 80 mg/kg/hari 20 mg/kg/12 jam 7 – 14 days 10 days 10 days 5 – 7 days 10 days Chloramphenicol Amoxicillin Cefixime 50 – 75 mg/kg/hari 75 – 100 mg/kg/hari 15 – 20 mg/kg/hari 14 – 21 days 14 days 7 – 14 days Chloramphenicol 50 mg/kg/6 jam 7 – 14 days 8 – 14 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 62 Lampiran 3. Hasil Wawancara Peneliti Dengan Dokter Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Mengenai Standar Pengobatan Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik 1. Penyebab demam tifoid pada kelompok pediatrik di RS Emanuel paling umum adalah karena pola makan (kebiasaan menjajan) yang tidak bersih dan tidak sehat. 2. Gejala yang paling umum dari demam tifoid yaitu demam tinggi disertai mual muntah, nyeri perut dan diare selama beberapa hari. 3. Uji laboratorium dilakukan diawal sebagai penunjang diagnosa yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien demam tifoid. Uji laboratorium yang dilakukan berupa tes hematologi dan imunoserologi. 4. Obat lini pertama atau first line yang diberikan pada pasien demam tifoid (kelompok pediatrik) yaitu antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga ceftriaxone yang dosisnya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Apabila pasien mengalami alergi terhadap ceftriaxone, dapat digunakan pula antibiotika lain seperti cefixime, cefadroxil, cefotaxime, kloramfenikol. 5. Ceftriaxone dipilih sebagai first line therapy untuk pengobatan demam tifoid di RS Emanuel dibandingkan kloramfenikol yang sudah secara umum digunakan sebagai first line therapy untuk demam tifoid di Indonesia. Hal ini sebabkan karena kloramfenikol menimbulkan rasa nyeri saat diberikan secara intravena, selain itu durasi penggunaan kloramfenikol cukup lama yakni 7 – 14 hari dengan frekuensi 4 – 5x sehari. Sedangkan untuk ceftriaxone, pada saat digunakan secara intravena PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 63 6. tidak menimbulkan rasa nyeri dan durasi penggunaannya cukup singkat yaitu 5 – 7 hari dengan frekuensi 1 – 2 x sehari. 7. Terapi pengobatan dan durasi atau masa perawatan terhadap pasien yang diberikan juga disesuaikan dengan kondisi ekonomi keluarga pasien. 64 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TIDAK Lampiran 4. Analisis Drug Related Problems (DRPs) Pasien Demam TifoidTINDAKAN Kelompok Pediatrik RS.TERPUJI Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013 No. Kasus : 01 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 7 tahun / Perempuan / 23 kg Masuk Rumah Sakit : 31 Maret 2013 – 02 April 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium ( 31 Maret 2013 ) Basofil : 0,00 Neutrofil : 4,50 Hematologi Hemoglobin : 10,7 Limfosit : 2,22 Leukosit : 6,83 Monosit : 1,18 Eritrosit : 4,50 Eosinofil : 0,041 31 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 40,5 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) - Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : - Badan panas, lemas, mual Keluhan Pasien Penatalaksanaan Obat Ceftriaxone 1,7 gram i.v Antrain 1 cc i.v Kalmetasone 1/2 ampul i.v Relafen 1 cth Cortidex 2/3 ampul i.v Rhinos Junior 3/4 cth Infus RL Perjalanan Penyakit : Pasien panas, mual dan muntah-muntah sejak kemarin sore Status Keluar :Sembuh dan diizinkan P Si √ √ √ √ √ So M √ √ √ √ √ 01 38,7 Masih agak panas, sudah lebih enakkan P Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ 02 36 Sudah enakkan P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M √ √ √ √ Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 2 hari, dan interval pemberiannya juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari dengan interval pemberiannya tiap 12 jam/hari (WHO, 2003). Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi penggunaan terlalu singkat dapat menyebabkan bakteri penginfeksi belum sepenuhnya terbunuh dan beresiko menginfeksi kembali, sedangkan interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone hingga 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 02 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 4 tahun / Perempuan / 15 kg Perjalanan Penyakit : Badan panas sejak 4 hari lalu, sudah minum obat tapi tidak Masuk Rumah Sakit : 21 Mei 2013 – 24 Mei 2013 sembuh Diagnosa Masuk : Demam tifoid Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Objektif Pemeriksaan Laboratorium ( 21 Mei 2013 ) Basofil : 0,03 Immunoserologi Neutrofil :10,41 S. thypii H : Hematologi Hemoglobin : 12,1 Limfosit : 2,06 S. thypii O : Positif 1/320 Leukosit : 14,34 Monosit : 1,81 Ig G antibodi S. thypii : Eritrosit : 4,47 Ig M antibodi S. thypii : Eosinofil : 0,03 21 22 23 24 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 38 37,6 36,2 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Panas, pusing, Sudah tidak Sudah tidak Keluhan Pasien badan lemas panas panas P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M Penatalaksanaan Obat Antrain 0,3 cc √ √ √ Ceftriaxone 1 gram i.v √ √ √ Cortidex 2/3 ampul √ √ √ √ √ √ √ √ Curvit 1 cth √ √ √ √ Pyrexin 1,5 cth √ √ √ √ √ √ √ √ Oxoryl 2/3 cth √ √ √ √ √ Curmunos 1 cth √ √ √ √ Infus RL √ √ Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 3 hari, dan interval pemberiannya juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari dengan interval pemberiannya tiap 12 jam (WHO, 2003). Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi penggunaan terlalu singkat dapat menyebabkan bakteri penginfeksi belum sepenuhnya terbunuh dan beresiko menginfeksi kembali, sedangkan interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. 65 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone hingga 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 03 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Perempuan / 21 kg Perjalanan Penyakit : Badan panas dan batuk-batuk sejak 4 hari lalu Masuk Rumah Sakit : 01 Juli 2013 – 05 Juli 2013 Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium ( 01 Juli 2013 ) Basofil : 0,02 Immunoserologi Neutrofil : 5,33 S. thypii H : Hematologi Hemoglobin : 13,0 Limfosit : 3,06 S. thypii O : Positif 1/320 Leukosit : 10,56 Monosit : 1,17 Ig G antibodi S. thypii :Eritrosit : 4,72 Ig M antibodi S. thypii : Eosinofil : 0,98 01 02 03 04 05 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 37,8 36,2 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Badan agak Masih panas, Sudah tidak Sudah enakkan Sudah enakkan Keluhan Pasien panas dan batuk batuk berkurang begitu panas P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M Penatalaksanaan Obat Terfacef® 1,6 gram i.v √ √ √ √ Infus Ds 5% √ √ √ Cortidex 1/2 ampul √ √ √ √ √ √ √ √ Progesic 1 cth √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Comtusi 1 cth √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Imunos 1 cth √ √ Curmunos 1 cth √ √ √ √ Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan terfacef® (ceftriaxone) terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, dan interval pemberiannya juga terlalu panjang yaitu > 12 jam. Durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari dengan interval pemberiannya tiap 12 jam (WHO, 2003). Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi penggunaan terlalu singkat dapat menyebabkan bakteri penginfeksi belum sepenuhnya terbunuh dan beresiko menginfeksi kembali, sedangkan interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. 66 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone hingga 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 04 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 2 tahun / Perempuan / 8,8 kg Perjalanan Penyakit : Badan panas naik turun selama 2 minggu, sudah diberi obat Masuk Rumah Sakit : 15 Maret 2013 – 19 Maret 2013 tidak sembuh-sembuh, 3 hari terakhir batuk-batuk. Diagnosa Masuk : Demam tifoid Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Objektif Pemeriksaan Laboratorium (15 Maret 2013 ) Basofil : 0,03 Immunoserologi Neutrofil : 4,18 S. thypii H : Hematologi Hemoglobin : 12,4 Limfosit : 3,68 S. thypii O : Positif 1/160 Leukosit :10,33 Monosit : 2,38 Ig G antibodi S. thypii : Eritrosit : 4,66 Ig M antibodi S. thypii : Eosinofil : 0,06 15 16 17 18 19 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 38 37,6 36,5 37 36,1 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Badan panas, Masih agak Masih agak Tidak ada Tidak ada batuk-batuk, panas, sudah Keluhan Pasien panas, batuk keluhan keluhan pusing tidak batuk P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M Penatalaksanaan Obat Ceftriaxone 500 gram i.v √ √ √ √ √ Cortidex 2/3 ampul √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Comtusi ½ cth √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Curmunos 1 cth √ √ √ √ √ Progesic ½ cth √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Infus Ds 5% √ √ √ Assessment Dosis ceftriaxone yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 440 – 880 mg/hari (Lacy et al., 2006) dan durasi penggunaannya juga sudah tepat yaitu 5 – 7 hari (WHO, 2003) namun interval pemberiannya terlalu panjang yaitu > 12 jam. Interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. 67 68 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rekomendasi Pemberian ceftriaxone dilakukan tiap 12 jam/hari. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 05 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Laki-laki / 20 kg Masuk Rumah Sakit : 04 Maret 2013 – 08 Maret 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium ( 04 Maret 2013 ) Basofil : 0,01 Neutrofil : 3,29 Hematologi Hemoglobin : 8,4 Limfosit : 2,80 Leukosit : 19,01 Monosit : 0,56 Eritrosit : 4,79 Eosinofil : 0,04 04 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 38 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Keluhan Pasien Penatalaksanaan Obat Oxoryl 1 cth Terfacef® 1,4 gram i.v Progesic 0,5 cth Cortidex ¾ ampul Rhinos Junior 1 cth Infus RL Perjalanan Penyakit : Demam tinggi, nyeri kepala, mual dan batuk sejak 2 hari lalu. Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/160 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 05 - Panas, pusing, mual, batuk dan gatal-gatal Masih panas dan batuk, gatalgatal P P √ Si So √ √ M √ √ √ √ Si √ √ √ √ √ So M √ √ √ √ √ √ 06 Sudah tidak begitu panas, masih gatalgatal P Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 07 35,6 - 08 36,1 - Sudah enakkan Sudah enakkan P √ √ √ P √ √ √ Si √ So M √ √ √ Si So M P Si So M √ Assessment Dosis terfacef® (ceftriaxone) yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 1000 – 2000 mg/hari (Lacy et al., 2006) dan durasi penggunaannya juga sudah tepat yaitu 5 – 7 hari (WHO, 2003) namun interval pemberiannya terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rekomendasi Pemberian ceftriaxone dilakukan tiap 12 jam/hari. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. . No. Kasus : 06 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 8 tahun / Laki-laki / 23 kg Perjalanan Penyakit : Badan panas naik turun, batuk-pilek, perut sakit, mual-mual dan Masuk Rumah Sakit : 15 Februari 2013 – 18 Februari 2013 muntah Diagnosa Masuk : Demam tifoid Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Objektif Pemeriksaan Laboratorium (15 Februari 2013 ) Eosinofil: 0,00 Immunoserologi Basofil : 0,01 S. thypii H : Hematologi Hemoglobin : 12,1 Neutrofil : 3,52 S. thypii O : Positif 1/320 Leukosit : 16,71 Limfosit : 1,78 Ig G antibodi S. thypii : Eritrosit : 5,81 Monosit : 1,88 Ig M antibodi S. thypii : 15 16 17 18 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 38 37,3 36,2 35,4 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) 80 Respiratori (x/menit) 20 Badan panas, Sudah tidak Sudah tidak agak mual, begitu panas, Sudah enakkan Keluhan Pasien begitu panas batuk-pilek masih batuk P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M Penatalaksanaan Obat Ranitidin ½ ampul √ Infus RL √ √ √ Papaverin ½ ampul √ √ Antrain 0,6 cc √ √ Trifed ½ cth √ Ondancentron ½ ampul √ Comtusi 1 cth √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Progesic 1 cth √ √ √ √ Terfacef® 1,8 gram √ √ √ √ Cortidex ¾ ampul √ √ √ √ √ √ √ Cefspan® 1 cth √ √ √ √ √ √ 69 70 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Assessment Terapi tanpa indikasi: Kombinasi ceftriaxone dan cefixime kurang tepat, karena ditinjau dari bakteri penyebab demam tifoid, yaitu Salmonella thypi, kombinasi antibiotika umumnya digunakan untuk menangani infeksi berat yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri (polimikroba) dengan memanfaatkan efek sinergisme yang saling menunjang efektivitasnya satu sama lain, sedangkan pada kasus ini pasien dinyatakan hanya terdiagnosa demam tifoid dan tidak disertai penyakit lain yang kemungkinan disebabkan oleh kuman atau bakteri lainnya selain Salmonella thypi, sehingga dalam penanganannya cukup diberikan terapi tunggal antibiotika. Rekomendasi Menggunakan salah satu jenis antibiotika sebagai terapi tunggal. Pasien disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi konsumsi jajanan yang kurang bersih atau tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 07 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Laki-laki / 17,9 kg Masuk Rumah Sakit : 16 Maret 2013 – 21 Maret 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium ( 16 Maret 2013 ) Eosinofil: 0,02 Basofil : 0,01 Hematologi Hemoglobin : 13,97 Neutrofil : 7,95 Leukosit : 15,56 Limfosit : 2,60 Eritrosit : 6,03 Monosit : 0,88 16 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 38 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Keluhan Pasien Penatalaksanaan Obat Cortidex 2/3 ampul Infus RL Cefspan® 1 cth Oxoryl ¾ cth Vestein Cefarin® 1000 mg Lacto-B Perjalanan Penyakit : Badan panas, batuk-pilek, mencret sudah semingguan Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Badan panas, kepala pusing P Si So √ M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 17 36,3 Sudah tidak panas, agak susah makan P Si So M √ √ √ √ 18 Sudah tidak panas, sudah mau makan P Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Immunoserologi S. thypii H : Positif 1/160 S. thypii O : Positif 1/160 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 19 20 36,3 36,4 Sudah lebih enakkan P √ Si 21 35,4 - Sudah lebih enakkan So M √ √ P √ Si √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Sudah lebih enakkan So M P Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 71 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Assessment Penggunaan cefixime sebagai terapi demam tifoid pada pasien sudah tepat karena cefixime merupakan salah satu lini pertama untuk pengobatan demam tifoid selain kloramfenikol (Shah et al., 2006). Dosis terlalu rendah: Dosis cefspan® (cefixime) yang diberikan pada pasien terlalu rendah yaitu 200 mg/hari sedangkan pada literatur dosis cefixime yang tepat sesuai berat badan pasien adalah 268,5 – 358 mg/hari (Lacy et al., 2006). Durasi penggunaan cefixime terlalu singkat yaitu hanya 3 hari, sedangkan pada literatur durasi penggunaan cefixime yang tepat yaitu 7 – 14 hari (Lacy et al., 2006). Interval penggunaan cefixime terlalu pendek, yaitu < 12 jam. Pemberian obat dengan interval terlalu pendek dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya akumulasi didalam tubuh pasien yang mana berbahaya bagi kesehatan pasien tersebut. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Menaikkan dosis cefspan® (cefixime) menjadi 268,5 – 358 mg/12 jam dan memperpanjang durasi penggunaan cefixime menjadi 7 – 14 hari. Pasien disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi konsumsi jajanan yang kurang bersih atau tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 08 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Perempuan / 16 kg Masuk Rumah Sakit : 08 April 2013 – 12 April 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium ( 08 April 2013 ) Eosinofil: 0,00 Basofil : 0,01 Hematologi Hemoglobin : 12,70 Neutrofil : 6,41 Leukosit : 9,45 Limfosit : 2,28 Eritrosit : 4,52 Monosit : 0,75 08 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 37,9 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Badan panas Keluhan Pasien Penatalaksanaan Obat Infus RL Ceftriaxone 1,2 gram i.v Cortidex 2/3 ampul Curvit 1 cth Progesic 1 cth Perjalanan Penyakit : Badan panas naik turun sejak 3 hari lalu, batuk-pilek, mulai susah makan kemaren siang. Status Keluar : Sembuh dan diizinkan P √ √ √ Si So √ √ √ √ √ M P √ √ √ √ √ 09 38 - 10 37,4 - Badan panas Susah makan Si √ √ So M P √ √ √ √ √ √ Si So M √ √ √ √ Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 11 12 36,2 35,8 Sudah mau Sudah enakkan makan, enakkan P Si So M P Si So M √ √ √ √ P Si So M 72 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Comtusy ¾ cth Colergis 1 cth √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Assessment Dosis ceftriaxone yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 800 – 1600 mg/hari (Lacy et al., 2006) dan durasi penggunaannya juga sudah tepat yaitu 5 – 7 hari (WHO, 2003) namun interval pemberiannya terlalu panjang. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat interval pemberian antibiotika yang terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Ceftriaxone diberikan tiap 12 jam/hari. Pasien disarankan menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi konsumsi jajanan yang kurang bersih atau tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 09 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 11 tahun / Laki-laki / 30 kg Masuk Rumah Sakit : 12 Februari 2013 – 16 Februari 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium ( 12 Februari 2013 ) Eosinofil: 0,00 Basofil : 0,01 Hematologi Hemoglobin : 11,9 Neutrofil : 3,79 Leukosit : 14,28 Limfosit : 1,12 Eritrosit : 5,21 Monosit : 0,49 12 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 39,1 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Keluhan Pasien Penatalaksanaan Obat Terfacef® 2 gram i.v Cortidex 1 ampul Pyrexin ¾ cth Vosedon 1,5 cth Cefarox® 100 mg Infus Ds 5% Perjalanan Penyakit : Badan panas, sakit perut, agak mual sejak 3 hari lalu Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Panas, pusing, sakit perut, mual P Si √ √ √ √ So M √ √ √ 13 37,6 Masih panas, masih agak mual P Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ P √ √ √ √ 14 36,2 - √ √ Sudah lebih enakkan Si So M P Si √ √ √ √ √ √ √ Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/640 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 15 16 36 36,2 - So M √ √ √ √ P Si So M P Si So M 73 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Assessment Terapi tanpa indikasi: Kombinasi ceftriaxone dan cefixime kurang tepat, karena ditinjau dari bakteri penyebab demam tifoid, yaitu Salmonella thypi, kombinasi antibiotika umumnya digunakan untuk menangani infeksi berat yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri (polimikroba) dengan memanfaatkan efek sinergisme yang saling menunjang efektivitasnya satu sama lain, sedangkan pada kasus ini pasien dinyatakan hanya terdiagnosa demam tifoid dan tidak disertai penyakit lain yang kemungkinan disebabkan oleh kuman atau bakteri lainnya selain Salmonella thypi, sehingga dalam penanganannya cukup diberikan terapi tunggal antibiotika. Rekomendasi Menggunakan salah satu jenis antibiotika sebagai terapi tunggal. Pasien disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi konsumsi jajanan yang kurang bersih atau tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 10 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 2 tahun / Laki-laki / 12,1 kg Masuk Rumah Sakit : 21 Februari 2013 – 25 Februari 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium ( 21 Februari 2013 ) Basofil : 0,02 Neutrofil : 7,30 Hematologi Hemoglobin : 10,8 Limfosit : 4,17 Leukosit : 24,97 Monosit : 1,38 Eritrosit : 4,82 Eosinofil : 0,06 21 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 37,8 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Demam, tidak Keluhan Pasien bisa BAB P Si So M Penatalaksanaan Obat Terfacef® 1,4 gram i.v √ Cortidex ½ ampul √ √ Opilax 1 cth √ Relafen 1 cth √ Imunos 1 cth √ Sorbitol 1 cth √ Infus RL √ Perjalanan Penyakit : Badan panas naik turun sudah seminggu terakhir Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/640 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 22 - 23 - 24 - 25 - Sudah bisa BAB Sudah enakkan Sudah enakkan Sudah enakkan P √ P √ √ P √ √ P √ √ Si So M √ √ √ √ √ √ Si So M √ √ Si So M √ √ √ √ √ √ Si So M P Si So M PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Assessment Dosis terlalu tinggi: Dosis terfacef® (ceftriaxone) yang diberikan terlalu tinggi yaitu 1400 mg/hari sedangkan dosis ceftriaxone berdasarkan literatur acuan yang digunakan untuk pasien dengan berat badan 12,1 kg yaitu 605 – 1210 mg/hari (Lacy et al., 2006). Dosis terlalu rendah: Interval pemberian ceftriaxone terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Ditinjau dari keluhan pasien efek dari dosis terlalu tinggi dan dosis terlalu rendah tidak tampak. Rekomendasi Menurunkan dosis terfacef® (ceftriaxone) menjadi 605 – 1210 mg/12 jam . Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 11 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 5 tahun / Perempuan / 16 kg Perjalanan Penyakit : Badan panas, batuk, agak pilek, dan agak mual sejak 4 hari lalu Masuk Rumah Sakit : 20 Februari 2013 – 24 Februari 2013 Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium ( 20 Februari 2013 ) Eosinofil : 0,02 Immunoserologi Basofil : 0,01 S. thypii H : Hematologi Hemoglobin : 13,2 Neutrofil : 0,64 S. thypii O : Positif 1/160 Leukosit : 10,30 Limfosit : 3,27 Ig G antibodi S. thypii : Eritrosit : 4,72 Monosit : 0,38 Ig M antibodi S. thypii : 20 21 22 23 24 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 38,3 37 37 35,6 36,1 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Panas, batuk Masih batuk Masih batuk Sudah enakkan Keluhan Pasien P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M Penatalaksanaan Obat Ceftriaxone 1,2 gram i.v √ √ √ √ √ Cortidex 2/3 ampul √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Pyrexin 1 cth √ √ √ √ √ √ √ Comtusy 2/3 cth √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Infus Ds 5% √ √ √ Assessment Dosis ceftriaxone yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 800 – 1600 mg/hari (Lacy et al., 2006) dan durasi penggunaannya juga sudah tepat yaitu 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone terlalu panjang yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari interval pemberian antibiotika yang terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. 74 75 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rekomendasi Ceftriaxone diberikan dengan interval tiap 12 jam. Pasien disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 12 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 3 tahun / Perempuan / 14 kg Masuk Rumah Sakit : 20 Juni 2013 – 24 Juni 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (20 Juni 2013 ) Basofil : 0,00 Neutrofil : 5,95 Hematologi Hemoglobin : 11,7 Limfosit : 3,92 Leukosit : 10,68 Monosit : 0,73 Eritrosit : 4,12 Eosinofil :0,08 20 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 38 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Badan panas, Keluhan Pasien batuk-batuk P Si So M Penatalaksanaan Obat Terfacef® 1,2 gram i.v √ Pyrexin 1 cth √ √ √ Comtusy 1 cth √ √ √ Cortidex ½ ampul √ √ Ambroxol ½ cth √ √ √ Curvit 1 cth √ Infus RL √ Perjalanan Penyakit : Badan panas sejak seminggu lalu, batuk-batuk Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Ig G antibodi S. thypii : Positif Ig M antibodi S. thypii : Positif P √ √ √ √ √ 21 36,8 - 22 - 23 - 24 - - - - - Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ P √ √ √ √ √ √ Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ √ P √ Si So M √ √ P √ √ √ √ Si So M P Si So M 76 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan terfacef® (ceftriaxone) terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone terlalu panjang yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan terfacef® (ceftriaxone) menjadi 5 – 7 hari dengan pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 13 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 12 tahun / Perempuan / 31 kg Masuk Rumah Sakit : 22 Februari 2013 – 24 Februari 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (22 Februari 2013) Basofil : 0,01 Neutrofil : 4,30 Hematologi Hemoglobin : 12,1 Limfosit : 0,82 Leukosit : 17,50 Monosit : 1,11 Eritrosit : 5,01 Eosinofil : 0,13 22 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) 110/80 Suhu Tubuh (°C) 38 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) 82 Respiratori (x/menit) Badan panas Keluhan Pasien dan lemas P Si So M Penatalaksanaan Obat Ceftriaxone 1 gram i.v √ Curcuma 1 tablet √ Curvit 1 cth √ √ Kalmetason 1 ampul i.v √ √ Sistenol 1 tablet √ √ √ Infus RL √ Perjalanan Penyakit : Badan panas, lemas, susah makan, pusing Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 23 36,1 Susah tidak panas, enakkan P Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 24 35,8 Sudah lebih enakkan P Si So M √ √ √ P Si So M P Si So M P Si So M 77 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Assessment Dosis terlalu rendah: Dosis ceftriaxone yang digunakan pada pasien terlalu rendah yaitu 1000 mg/hari sedangkan dosis ceftriaxone yang tepat sesuai berat badan pasien dalam literatur acuan yang digunakan yaitu 1550 – 3100 mg/hari (Lacy et al., 2006). Selain itu durasi penggunaannya juga terlalu singkat yaitu hanya 2 hari sedangkan pada literatur acuan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Menaikkan dosis ceftriaxone menjadi 1550 – 3100 mg/12 jam dan memperpanjang durasi penggunaannya hingga 5 – 7 hari. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 14 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Laki-laki / 15 kg Masuk Rumah Sakit : 21 Februari 2013 – 25 Februari 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (21 Februari 2013) Basofil : 0,02 Neutrofil : 2,31 Hematologi Hemoglobin : 11,8 Limfosit : 1,60 Leukosit : 23,24 Monosit : 0,41 Eritrosit : 6,00 Eosinofil : 0,00 21 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 38 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Badan panas Keluhan Pasien dan batuk-batuk P Si So M Penatalaksanaan Obat Progesic 1 cth √ √ √ Comtusi 2/3 cth √ √ √ Pyrexin 1 cth √ √ Cortidex 2/3 ampul √ √ √ Ceftriaxone 1,2 gram i.v √ Perjalanan Penyakit : Badan panas, pusing dan batuk sudah 4 hari Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 22 37,2 Masih batuk P √ √ √ Si √ √ √ So M √ √ √ √ √ √ √ 23 36,5 Batuk sudah berkurang P Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 24 35,8 Tidak ada keluhan P Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 25 36 Tidak ada keluhan P Si So M P Si So M 78 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Infus RL √ √ √ Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 15 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 8 tahun / Perempuan / 20 kg Masuk Rumah Sakit : 15 Februari 2013 – 18 Februari 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (15 Februari 2013) Basofil : 0,01 Neutrofil : 4,03 Hematologi Hemoglobin : 11,8 Limfosit : 2,43 Leukosit : 16,65 Monosit : 0,94 Eritrosit : 5,19 Eosinofil : 0,01 15 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 38 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Badan panas, Keluhan Pasien batuk P Si So M Penatalaksanaan Obat Terfacef 2 gram i.v √ Cortidex ¾ ampul √ √ √ Comtusi 1 cth √ √ √ Progesic 1 cth √ √ √ Infus RL √ Curvit 1 cth √ √ Perjalanan Penyakit : Badan panas sejak 3 hari lalu, batuk-batuk dari kemaren sore Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 16 36,2 Masih agak panas P Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 17 - 18 - Sudah enakkan Sudah enakkan P √ P √ √ √ √ Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ Si So M P Si So M P Si So M 79 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan terfacef® (ceftriaxone) terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan terfacef® menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 16 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 4 tahun / Laki-laki / 15,7 kg Masuk Rumah Sakit : 21 Mei 2013 – 24 Mei 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (21 Mei 2013) Basofil : 0,02 Neutrofil : 9,30 Hematologi Hemoglobin : 13,0 Limfosit : 6,00 Leukosit : 16,40 Monosit : 0,92 Eritrosit : 4,78 Eosinofil : 0,16 21 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 38,7 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Badan panas, Keluhan Pasien susah makan P Si So M Penatalaksanaan Obat Ceftriaxone 1,8 gram i.v √ Cortidex 2/3 ampul √ √ √ Progesic 1 cth √ √ √ Curmunos 1 cth √ Infus RL √ Perjalanan Penyakit : Badan panas naik turun sudah sekitar seminggu Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : - P √ √ √ √ 22 36,7 - 23 35,9 - 24 36,1 - - - Sudah enakkan Si So M P √ Si So M P √ √ √ √ √ √ √ √ Si So M √ √ √ √ √ P Si So M P Si So M 80 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Assessment Dosis terlalu tinggi: Dosis ceftriaxone yang diberikan terlalu tinggi yaitu 1800 mg/hari sedangkan dosis ceftriaxone berdasarkan literatur acuan yang digunakan untuk pasien dengan berat badan 15,7 kg yaitu 785 – 1570 mg/hari (Lacy et al., 2006). Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan terfacef® (ceftriaxone) juga terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone terlalu panjang yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu tinggi dan durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat serta interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Menurunkan dosis ceftriaxone menjadi 785 – 1570 mg/12 jam dan memperpanjang durasi penggunaannya sesuai literatur acuan hingga 5 – 7 hari. Pasien disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 17 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 3 tahun / Laki-laki / 19,5 kg Masuk Rumah Sakit : 21 Februari 2013 – 24 Februari 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (21 Februari 2013) Basofil : 0,02 Neutrofil : 4,88 Hematologi Hemoglobin : 12,0 Limfosit : 2,63 Leukosit : 13,71 Monosit : 0,47 Eritrosit : 4,80 Eosinofil : 0,02 21 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 39,5 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Badan panas, Keluhan Pasien batuk-batuk P Si So M Penatalaksanaan Obat Antrain 0,5 cc √ √ Progesic ¾ cth √ √ √ Comtusi ¾ cth √ √ √ √ Perjalanan Penyakit : Badan panas, batuk-batuk dan mual sejak 5 hari lalu, sudah minum obat macam-macam tapi tidak sembuh. Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 22 37,8 Masih agak panas dan batuk P Si So M √ √ √ √ √ √ √ 23 36,7 Tidak ada keluhan P Si So M 24 36,2 Tidak ada keluhan P Si So M √ √ √ √ √ √ P Si So M P Si So M 81 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Curmunos 1 cth Ceftriaxone 1 gram i.v Cortidex 2/3 ampul Infus RL √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 18 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 7 tahun / Perempuan / 19,5 kg Masuk Rumah Sakit : 20 Mei 2013 – 24 Mei 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (20 Mei 2013) Basofil : 0,01 Neutrofil : 5,25 Hematologi Hemoglobin : 11,8 Limfosit : 1,41 Leukosit : 7,34 Monosit : 0,57 Eritrosit : 4,63 Eosinofil : 0,00 20 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 37,8 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Badan panas, kepala sakit Keluhan Pasien sekali P Si So M Penatalaksanaan Obat Terfacef® 1,6 gram i.v √ Cortidex 2/3 ampul √ √ √ Perjalanan Penyakit : Badan panas dan pusing sejak 3 hari lalu Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/80 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 21 38 Masih panas, menangis kencang P Si So M √ √ √ P √ 22 36,5 - 23 - 24 35,8 - Sudah agak enakkan Sudah agak enakkan Sudah agak enakkan Si So M P √ √ √ Si √ So M √ P √ √ Si So M P Si So M 82 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Imunos 1 cth Curvit 1 cth Progesic 1 cth Infus Ds 5% √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Assessment Dosis terfacef® (ceftriaxone) yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 975 – 1950 mg/hari (Lacy et al., 2006) dan durasi penggunaan ceftriaxone juga sudah tepat sesuai dengan literatur yang digunakan yaitu 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Terfacef® (ceftriaxone) diberikan tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 19 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Perempuan / 17,2 kg Masuk Rumah Sakit : 19 November 2013 – 22 November 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Lab. (19 November 2013) Eosinofil : 0,01 Basofil : 0,01 Hematologi Hemoglobin : 12,6 Neutrofil : 27,64 Leukosit : 14,70 Limfosit : 1,79 Monosit : 0,58 Eritrosit : 4,86 Tanda Vital Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Keluhan Pasien Penatalaksanaan Obat Ceftriaxone 1,8 gram i.v Comtusi 1 cth Cortidex 2/3 ampul 19 38,7 114 Panas, batuk P Si So M √ √ √ √ √ √ √ Perjalanan Penyakit : Badan panas, batuk-batuk, agak mual sejak semalam Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : Positif 1/160 S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : - 20 37 Masih batuk P Si So M √ √ √ √ √ √ √ 21 36,4 Sudah enakkan P Si So M √ √ √ √ √ 22 36,5 Sudah enakkan P Si So M P Si So M P Si So M 83 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Pyrexin 1 cth Infus RL √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Assessment Dosis terlalu tinggi: Dosis ceftriaxone yang diberikan terlalu tinggi yaitu 1800 mg/hari sedangkan dosis ceftriaxone berdasarkan literatur acuan yang digunakan untuk pasien dengan berat badan 17,2 kg yaitu 860 – 1720 mg/hari (Lacy et al., 2006). Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 3 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu tinggi dan durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat serta interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Menurunkan dosis ceftriaxone menjadi 860 – 1720 mg/12 jam dan memperpanjang durasi penggunaannya menjadi 5 – 7 hari. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 20 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 4 tahun / Perempuan / 16 kg Masuk Rumah Sakit : 19 Mei 2013 – 22 Mei 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (19 Mei 2013) Eosinofil : 0,01 Basofil : 0,00 Hematologi Hemoglobin : 10,6 Neutrofil : 4,13 Leukosit : 22,91 Limfosit : 1,44 Eritrosit : 4,06 Monosit : 0,33 19 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 37,8 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) 100 Respiratori (x/menit) 24 Badan panas, pusing, mual, Keluhan Pasien menangis kuat P Si So M Penatalaksanaan Obat Oxoryl 1 cth √ √ √ Progesic 2/3 cth √ √ √ √ Perjalanan Penyakit : Badan panas dan batuk-pilek. Semalam pasien tiba-tiba mimisan Status Keluar : Sembuh dan diizinkan 20 36,6 - 21 35,6 - Masih batuk dan pilek Tidak ada keluhan P √ √ Si √ √ So M √ √ Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/80 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 22 36,1 Tidak ada keluhan P Si So M P Si √ √ √ √ √ So M P Si So M P Si So M 84 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Ceftriaxone 1,2 gram i.v Vometa ¾ cth Kalnex ½ ampul Cortidex 2/3 ampul Curvit 1 cth Infus RL √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 21 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 8 tahun / Perempuan /20 kg Masuk Rumah Sakit : 15 September 2013 – 17 September 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Lab. (15 September 2013) Basofil : 0,02 Neutrofil : 28,26 Hematologi Hemoglobin : 13,3 Limfosit : 1,79 Leukosit : 31,34 Monosit : 0,67 Eritrosit : 4,74 Eosinofil : 0,00 15 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) 110/80 Suhu Tubuh (°C) 38 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Lemas, agak susah makan, Keluhan Pasien panas P Si So M Penatalaksanaan Obat Perjalanan Penyakit : Panas sudah 5 hari, semalam tidak bisa tidur karena batuk-batuk terus sampai pusing Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/160 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 16 - 17 - Sudah enakkan Sudah enakkan P P Si So M Si So M P Si So M P Si So M P Si So M 85 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI √ √ √ Ceftriaxone 1,8 gram i.v Cortidex 2/3 ampul Progesic 1 cth Codipront ¾ cth Infus RL √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 3 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 22 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Laki-laki / 17 kg Masuk Rumah Sakit : 08 April 2013 – 12 April 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (08 April 2013) Basofil : 0,01 Neutrofil : 6,33 Hematologi Hemoglobin : 12,7 Limfosit : 2,58 Leukosit : 10,24 Monosit : 1,32 Eritrosit : 4,64 Eosinofil : 0,00 08 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 39,5 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) 116 Respiratori (x/menit) - Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 09 - Panas, batuk, mual Keluhan Pasien Penatalaksanaan Obat Progesic 1 cth Perjalanan Penyakit : Badan panas, batuk, mual sejak 3 hari lalu Status Keluar : Sembuh dan diizinkan P Si So √ M √ Masih agak panas P √ Si So M √ √ 10 Sudah tidak panas, agak enakkan P Si So M √ √ √ 11 36,1 - 12 - Sudah enakkan Sudah enakkan P P √ Si √ So M √ √ Si So M P Si So M 86 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI √ √ Comtusi 1 cth Antrain 0,4 cc Ceftriaxone 1,6 gram i.v Curvit 1 cth Infus RL √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 3 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 23 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 9 tahun / Laki-laki / 26 kg Masuk Rumah Sakit : 01 Desember 2013 – 05 Desember 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Lab. (01 Desember 2013) Hematologi Hemoglobin : 12,9 Leukosit : 8,18 Eritrosit : 4,72 Eosinofil : 0,01 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Keluhan Pasien Penatalaksanaan Obat Infus RL Perjalanan Penyakit : Badan panas sejak 4 hari lalu, semalam batuk-batuk dan agak mual Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Basofil : 0,01 Neutrofil : 5,98 Limfosit : 0,90 Monosit : 1,28 01 39,4 115 Badan panas, lemas, batuk P Si So M √ Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/80 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 02 38 Masih panas P √ Si So M 03 Masih panas, batuk berkurang P Si So M 04 Tidak ada keluhan P Si So M 05 36,2 Sudah enakkan P Si So M P Si So M 87 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Antrain 0,5 cc Terfacef® 2 gram i.v Vometrax ½ ampul Pyrexin 2 cth Cortidex 2/3 cth Curmunos 1 cth Comtusi 1 cth √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Assessment Dosis terfacef® (ceftriaxone) yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 1300 – 2600 mg/hari (Lacy et al., 2006) dan durasi penggunaannya juga sudah tepat yaitu 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian terlalu panjang, hal ini dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Terfacef® (ceftriaxone) diberikan tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 24 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 7 tahun / Laki-laki / 21 kg Masuk Rumah Sakit : 16 Januari 2013 – 20 Januari 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (16 Januari 2013) Basofil : 0,02 Neutrofil : 13,79 Hematologi Hemoglobin : 11,5 Limfosit : 3,08 Leukosit : 24,10 Monosit : 2,24 Eritrosit : 6,02 Eosinofil : 0,06 16 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) 110/60 Suhu Tubuh (°C) 39,5 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Panas, batukKeluhan Pasien batuk P Si So M Penatalaksanaan Obat Ceftriaxone 1,5 gram i.v √ Cortidex 2/3 ampul √ √ Perjalanan Penyakit : Badan panas selama seminggu, batuk-batuk Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 17 37,8 Masih agak batuk P Si So M √ √ √ √ 18 Sudah tidak batuk P Si So M √ √ √ 19 - 20 - Sudah enakkan Sudah enakkan P √ P √ Si So M Si So M P Si So M 88 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Pyrexin ¾ cth Oxoryl 2/3 cth Curmunos 1 cth Comtusi ¾ cth Infus RL √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Assessment Dosis ceftriaxone yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 1050 – 2100 mg/hari (Lacy et al., 2006) dan durasi penggunaannya juga sudah tepat yaitu 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian terlalu panjang, yaitu > 12 jam, hal ini dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Ceftriaxone diberikan tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 25 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 3 tahun / Laki-laki / 13 kg Masuk Rumah Sakit : 25 Januari 2013 – 27 Januari 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (25 Januari 2013) Eosinofil : 0,01 Basofil : 0,01 Hematologi Hemoglobin : 11,5 Neutrofil : 3,02 Leukosit : 16,71 Limfosit : 3,18 Eritrosit : 4,81 Monosit : 0,29 25 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 38,8 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Badan panas, Keluhan Pasien pusing P Si So M Penatalaksanaan Obat Cortidex 2/3 ampul √ √ Terfacef® 1,2 gram i.v √ Progesic ¾ cth √ √ √ Curvit ½ cth √ Perjalanan Penyakit : Badan panas naik turun sudah 3 hari Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 26 - 27 36,1 - Sudah enakkan Sudah enakkan P P √ √ √ Si √ So M √ √ √ √ √ √ Si √ So M P Si So M P Si So M P Si So M 89 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Infus RL √ Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan terfacef® (ceftriaxone) terlalu singkat, yaitu hanya 3 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan terfacef® menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 26 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 4 tahun / Laki-laki / 20 kg Masuk Rumah Sakit : 28 Januari 2013 – 01 Februari 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (28 Januari 2013) Basofil : 0,02 Neutrofil : 3,77 Hematologi Hemoglobin : 12,5 Limfosit : 2,34 Leukosit : 13,40 Monosit : 1,00 Eritrosit : 3,50 Eosinofil : 0,01 28 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 38,8 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Keluhan Pasien Penatalaksanaan Obat Ceftriaxone 1,2 gram i.v Cortidex 2/3 ampul Progesic 1 cth Rhinos Junior ¾ cth Vometa ¾ cth Perjalanan Penyakit : Demam tinggi, mual-muntah sudah 2 hari ini. Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : Positif Ig M antibodi S. thypii : - Badan panas, mual sekali P √ √ √ Si √ √ √ √ √ So M √ √ √ 29 Masih agak panas, mual berkurang P Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ P √ √ √ 30 - 01 35,7 - 02 35,6 - Sudah tidak panas Sudah tidak panas Sudah enakkan Si √ √ √ So M √ √ P √ √ √ Si So M √ √ P Si So M P Si So M 90 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Infus RL √ √ Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan terfacef® menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 27 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Laki-laki / 18,9 kg Masuk Rumah Sakit : 07 Februari 2013 – 11 Februari 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (07 Februari 2013) Basofil : 0,02 Neutrofil : 3,25 Hematologi Hemoglobin : 11,7 Limfosit : 1,78 Leukosit : 17,77 Monosit : 0,35 Eritrosit : 4,85 Eosinofil : 0,00 07 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) 110/70 Suhu Tubuh (°C) 38 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) 108 Respiratori (x/menit) 23 Pusing, mual, Keluhan Pasien dan badan lemas P Si So M Penatalaksanaan Obat Terfacef® 2 gram i.v √ Antrain 1 cc √ √ √ Cortidex 2/3 ampul √ √ √ Curmunos 1 cth √ Vometa ½ cth √ √ √ Infus RL √ Perjalanan Penyakit : Badan panas naik turun, sakit perut, pusing, mual-mual, semalam muntah 2 kali. Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/80 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 08 37,6 - 09 35,6 - 10 36,1 - 11 36,3 - - - Sudah enakkan - P Si √ So M P √ Si So M P √ Si So M P √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Si So M P Si So M 91 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Assessment Dosis terlalu tinggi: Dosis terfacef® (ceftriaxone) yang diberikan terlalu tinggi yaitu 2000 mg/hari sedangkan dosis ceftriaxone berdasarkan literatur acuan yang digunakan untuk pasien dengan berat badan 18,9 kg yaitu 945 – 1890 mg/hari (Lacy et al., 2006). Durasi penggunaan ceftriaxone sudah tepat sesuai dengan literatur yang digunakan yaitu 5 – 7 hari (WHO, 2003). Dosis terlalu rendah: Interval pemberian terlalu panjang, yaitu < 12 jam, hal ini dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu tinggi dan interval pemberian antibiotika yang terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Dosis terfacef® (ceftriaxone) diturunkan menjadi 945 – 1890 mg/12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 28 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Laki-laki / 24 kg Masuk Rumah Sakit : 16 November 2013 – 18 November 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Lab. (16 November 2013) Basofil : 0,01 Neutrofil : 4,61 Hematologi Hemoglobin : 11,6 Limfosit : 2,47 Leukosit : 6,70 Monosit : 1,18 Eritrosit : 4,71 Eosinofil : 0,052 16 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 37,8 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) 116 Respiratori (x/menit) Badan panas, mual, susah Keluhan Pasien makan P Si So M Penatalaksanaan Obat Ceftriaxone 1,7 gram i.v √ Cortidex 2/3 ampul √ √ Curvit 1 cth √ √ Progesic 1 cth √ √ √ √ Imunos 1 cth √ Infus RL √ Perjalanan Penyakit : Demam naik turun selama 4 hari. Sudah minum obat penurun panas tidak sembuh-sembuh Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : Positif 1/160 S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 17 36,5 - 18 35,8 - Sudah tidak panas, enakkan Sudah enakkan P √ √ √ Si So M P √ √ √ √ √ √ √ √ Si So M P Si So M P Si So M P Si So M 92 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 2 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 29 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 3 tahun / Perempuan / 14 kg Masuk Rumah Sakit : 17 Juni 2013 – 20 Juni 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (17 Juni 2013) Basofil : 0,01 Neutrofil : 6,81 Hematologi Hemoglobin : 12,9 Limfosit : 2,07 Leukosit : 18,71 Monosit : 1,47 Eritrosit : 4,33 Eosinofil : 0,00 17 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 38 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Panas, batukKeluhan Pasien pilek, pusing P Si So M Penatalaksanaan Obat Ceftriaxone 1,2 gram i.v √ Curmunos 1 cth √ Curvit 1 cth √ √ Kalmetason 2/3 ampul √ √ √ Pyrexin ¾ cth √ √ √ √ Comtusi ¾ cth √ √ √ √ Perjalanan Penyakit : Badan panas, batuk-pilek, tenggorokan sakit Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/160 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 18 Sudah tidak panas P Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 19 Tidak ada keluhan P Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 20 35,7 Tidak ada keluhan P Si So M P Si So M P Si So M 93 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Infus RL √ Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 3 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 30 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 11 tahun / Perempuan / 26 kg Masuk Rumah Sakit : 16 Agustus 2013 – 19 Agustus 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (16 Agustus 2013) Eosinofil: 0,07 Basofil : 0,02 Hematologi Hemoglobin : 11,8 Neutrofil : 3,77 Leukosit : 9,01 Limfosit : 1,24 Eritrosit : 6,20 Monosit : 0,30 Tanda Vital Penatalaksanaan Obat Terfacef® 2 gram i.v Infus Ds 5% Vosedon 1,5 cth Cortidex ½ ampul Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : - 16 37,8 - Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Keluhan Pasien Perjalanan Penyakit : Panas, batuk-pilek, mual-mual Status Keluar : Sembuh dan diizinkan Panas, batukbatuk, mual P Si So √ √ √ √ M 17 Masih agak panas, sudah tidak batuk P Si So M √ √ √ √ P √ Si 18 - 19 - - Sudah enakkan So M P Si So M P Si So M P Si So M 94 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Cefspan® 1 cth Ondancentron ½ ampul Trifed 1 cth Progesic 1 cth Comtusi 1 cth √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Assessment Terapi tanpa indikasi: Kombinasi ceftriaxone dan cefixime kurang tepat, karena ditinjau dari bakteri penyebab demam tifoid, yaitu Salmonella thypi, kombinasi antibiotika umumnya digunakan untuk menangani infeksi berat yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri (polimikroba) dengan memanfaatkan efek sinergisme yang saling menunjang efektivitasnya satu sama lain, sedangkan pada kasus ini pasien dinyatakan hanya terdiagnosa demam tifoid dan tidak disertai penyakit lain yang kemungkinan disebabkan oleh kuman atau bakteri lainnya selain Salmonella thypi, sehingga dalam penanganannya cukup diberikan terapi tunggal antibiotika. Rekomendasi Menggunakan salah satu jenis antibiotika sebagai terapi tunggal. Pasien disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi konsumsi jajanan yang kurang bersih atau tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 31 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 2 tahun / Perempuan / 13,1 kg Masuk Rumah Sakit : 11 Maret 2013 – 15 Maret 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (11 Maret 2013) Eosinofil : 0,04 Basofil : 0,01 Hematologi Hemoglobin : 10,8 Neutrofil : 4,71 Leukosit : 16,41 Limfosit : 3,88 Eritrosit : 4,63 Monosit : 1,24 11 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 37,8 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) Respiratori (x/menit) Badan panas Keluhan Pasien dan batuk-batuk P Si So M Penatalaksanaan Obat Imunos 1 cth √ Relafen 1 cth √ √ √ Opilax 1 cth Ceftriaxone 1 gram i.v √ Curvit ½ cth √ Perjalanan Penyakit : Badan panas dan batuk-batuk sudah seminggu. Status Keluar : Sembuh dan diizinkan P √ √ 12 - 13 - Masih batuk - Si So M Si Susah BAB So M P √ - Si So M P √ √ √ √ √ √ Si √ √ √ P √ Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/640 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 14 15 36,2 35,8 - √ √ √ √ √ √ √ So M P Si So M 95 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Progesic ¾ cth Infus RL √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Assessment Dosis ceftriaxone yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 655 – 1310 mg/hari (Lacy et al., 2006). Durasi penggunaan ceftriaxone juga sudah tepat sesuai dengan literatur acuan yaitu 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian terlalu panjang, yaitu > 12 jam, hal ini dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Ceftriaxone diberikan dengan interval tiap 12 jam. Pasien disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. No. Kasus : 32 Subjektif Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 4 tahun / Laki-laki / 17,2 kg Masuk Rumah Sakit : 21 Juli 2013 – 24 Juli 2013 Diagnosa Masuk : Demam tifoid Objektif Pemeriksaan Laboratorium (21 Juli 2013) Eosinofil : 0,01 Basofil : 0,01 Hematologi Hemoglobin : 13,8 Neutrofil : 3,76 Leukosit : 14,71 Limfosit : 2,44 Eritrosit : 5,50 Monosit : 1,01 21 Tanggal Tekanan Darah (mmHg) Suhu Tubuh (°C) 38,8 Tanda Vital Denyut Nadi (x/menit) 115 Respiratori (x/menit) Panas, mual Keluhan Pasien P Si So M Penatalaksanaan Obat Infus RL √ Pyrexin 1 cth √ √ √ √ Ceftriaxone 1,2 gram i.v √ Cortidex 2/3 ampul √ √ √ Progesic 1 cth √ √ √ √ Curvit 1 cth √ Curmunos 1 cth √ Perjalanan Penyakit : Badan panas, mual-muntah sudah 3 hari ini Status Keluar : Sembuh dan diizinkan P √ √ √ √ 22 Si So M 23 35,6 Sudah enakkan P Si So M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Immunoserologi S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/160 Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 24 35,8 Sudah enakkan P Si So M P Si √ √ √ So M P Si So M PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Assessment Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter. Rekomendasi Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup. 96 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 97 Lampiran 5. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 98 BIOGRAFI PENULIS Penulis skripsi dengan judul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013” memiliki nama lengkap Andrea Nita Karisa. Penulis lahir di Wonosobo pada tanggal 17 Juli 1993 dari pasangan Bhe Imam Wiyono dan Yayang Setiati sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai dari TK Pertiwi Banjarnegara (1997 – 1999), SD Kristen Debora Banjarnegara (1999 – 2005), SMPN 1 Banjarnegara (2005 – 2008), SMA Bruderan Purwokerto (2008 – 2011), dan kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama menjalani perkuliahan, penulis juga terlibat dalam beberapa aktivitas kepanitiaan dan organisasi. Penulis pernah menjadi anggota seksi keamanan Pharmacy Performance and Event Cup (2012), anggota seksi keamanan Hari Bumi Universitas Sanata Dharma (2013), anggota seksi acara Kampanye Informasi Obat (2013), serta penulis merupakan ketua Program Kreativitas Mahasiswa (bidang Pengabdian Masyarakat) SI BOLANG (Strategi Ideal Belajar Obat Herbal Lebih Menyenangkan Bagi Siswa SD Kanisius Kenalan Kulon Progo Yogyakarta) yang dinyatakan lolos dikti pada tahun 2014.