plagiat merupakan tindakan tidak terpuji plagiat

advertisement
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)
PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM
TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT
EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA
PADA TAHUN 2013
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Diajukan oleh:
Andrea Nita Karisa
NIM : 118114034
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)
PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM
TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT
EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA
PADA TAHUN 2013
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Diajukan oleh:
Andrea Nita Karisa
NIM : 118114034
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
i
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)
PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM
TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT
EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA
PADA TAHUN 2013
Skripsi yang diajukan oleh:
Andrea Nita Karisa
NIM: 118114034
Telah disetujui oleh:
Pembimbing Utama
(Septimawanto Dwi Prasetyo, S.Farm., M.Si., Apt.)
Tanggal: 20 Februari 2015
ii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pengesahan Skripsi Berjudul
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)
PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM
TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT
EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA
PADA TAHUN 2013
Oleh:
Andrea Nita Karisa
NIM: 118114034
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma
Pada tanggal: 01 April 2015
Mengetahui,
Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma
Dekan
Aris Widayati, M.Si, Apt, Ph.D
Panitia Penguji Skripsi
Tandatangan
1. Septimawanto Dwi Prasetyo, S.Farm., M.Si., Apt.
...........................
2. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK.
...........................
3. Dita Maria Virginia, S.Farm., M.Sc.,Apt.
...........................
iii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh
kepercayaan, kamu akan menerimanya”
Matius 21 : 22
“Believe in yourself and all that you are. Know that there is
something inside you that is greater than any obstacles”
Christian D. Larson
Karya kecilku ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus yang selalu membimbing setiap langkahku dengan kasihNya yang sungguh mulia dan besar
Papa dan mamaku tersayang yang selalu mendampingi dan menyayangiku
sepenuh hati
Kedua kakakku yang selalu ada untuk mengajariku berbagai hal berharga
dalam hidup ini
iv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul
“Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada Pasien
Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok
Banjarnegara Pada Tahun 2013”, tidak memuat karya atau bagian karya orang
lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana
layaknya karya ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah ini,
maka saya bersedia menanggung segala sanksi peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Yogyakarta, 20 Februari 2015
Penulis
(Andrea Nita Karisa)
v
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertandatangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama
: Andrea Nita Karisa
Nomor Mahasiswa
: 118114034
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
“Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada
Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit Emanuel
Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013” berserta perangkat yang
diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk
media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara
terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan
akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 20 Februari 2015
Yang menyatakan,
(Andrea Nita Karisa)
vi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada
Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja
Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013” sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan
semangat,
motivasi,
dorongan,
kritik
dan
saran
sampai
terselesaikannya skripsi ini, terutama kepada:
1.
Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih karunia dan berkat-Nya sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
2.
Bapak Dr. Samuel Zacharias selaku direktur utama RS. Emanuel Purwareja
Klampok Banjarnegara yang telah memberikan ijin untuk melakukan
penelitian di RS. Emanuel tersebut.
3.
Bapak Herry dan rekan-rekan di Instalasi Rekam Medis RS. Emanuel yang
telah banyak membantu proses pengambilan data.
4.
Bapak Septimawanto Dwi Prasetyo S.Farm., M.Si., Apt. selaku Dosen
Pembimbing skripsi yang telah bersedia memberikan bimbingan, motivasi,
kritik dan saran dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam proses
penyusunan skripsi ini.
5.
Ibu dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK selaku dosen penguji atas saran, kritik, dan
bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.
6.
Ibu Dita Maria Virginia, S.Farm., M.Sc., Apt selaku dosen penguji atas
masukkan, kritik dan saran, serta bimbingan yang telah diberikan kepada
penulis.
7.
Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt., yang telah memberikan saran dan
bantuan dalam proses penyusunan skripsi.
vii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
8.
Dr. Tiur selaku salah satu dokter anak di RS. Emanuel yang telah membantu
penulis dengan memberikan saran dan pengarahan dalam proses penyusunan
skripsi ini.
9.
Papa dan mamaku tersayang yang selalu ada untuk memberikan dukungan,
doa, motivasi dan kesabaran serta pengertian dan bantuan finansial kepada
penulis selama proses penyusunan skripsi.
10. Kedua kakakku tersayang Nico dan Ellen yang selalu memberikan dukungan
dan semangat untuk penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
11. Teman-teman baikku yang terkasih Brigita Yulise, Vina Alvionita Soesilo,
Merlinda Guntoro, Angeline Syahputri, dan Maria Desita Putri, terima kasih
untuk segala bantuan, semangat dan tawa yang kalian berikan selama proses
penyusunan skripsi ini.
12. Teman-teman angkatan 2011, terkhusus teman-teman kelas FKK-A atas harihari yang menyenangkan selama kuliah.
13. My beloved pets Geisha, Inka, dan Gero yang selalu menjadi mood booster
bagi penulis di rumah Banjarnegara.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran agar skripsi ini dapat
menjadi lebih baik. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi yang membutuhkan, terutama
demi kemajuan pengetahuan dibidang Farmasi.
Yogyakarta, 20 Februari 2015
Penulis
viii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
INTISARI
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella thypi. Menurut survei pada tahun 2005, kejadian demam tifoid
menduduki tempat kedua dari 10 penyakit dan sebagian besar menyerang anakanak. Pengobatan demam tifoid dilakukan menggunakan antibiotika, namun
pengobatan menggunakan antibiotika yang tidak tepat berpotensi memicu
timbulnya resistensi bakteri sehingga perlu adanya evaluasi terapi yang
diharapkan dapat membantu pasien untuk memperoleh pelayanan medis yang
optimal sehingga pasien dapat terhindar dari Drug Related Problems (DRPs).
Tujuan penelitian ini sendiri adalah untuk memberikan gambaran DRPs mengenai
penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah
Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013 yang kemudian
dibandingkan dengan acuan atau pustaka yang sesuai.
Penelitian ini bersifat non eksperimental deskriptif evaluatif dengan data
retrospektif pada tahun 2013. Data penelitian diambil dari catatan rekam medis
pasien demam tifoid yang diperoleh di instalasi rekam medik RS. Emanuel
Purwareja Klampok Banjarnegara. Data yang diperoleh selanjutnya akan
dianalisis secara deskriptif evaluatif.
Terdapat 32 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ditemukan
sejumlah 36 kasus DRPs, yaitu 3 kasus terapi tanpa indikasi (unecessary drug
therapy), 29 kasus dosis terlalu rendah (dosage too low) dan 4 kasus dosis terlalu
tinggi (dosage too high. Antibiotika yang paling banyak digunakan adalah
antibiotika ceftriaxone sebesar 86,1%.
Kata kunci: antibiotika, demam tifoid, Drug Related Problems (DRPs)
ix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ABSTRACT
Typhoid fever is an infectious disease caused by the bacterium Salmonella
thypi. According to a survey conducted in 2005, the incidence of typhoid fever
were placed in second list out of 10 diseases and mostly affects children.
Treatment of typhoid fever conducted using antibiotics, but treatment with
antibiotics is also potentially lead to bacterial resistance if not used properly, so
that the need for evaluation of therapy that may help patients to obtain optimal
medical care and patients can be spared from the Drug Related Problems (DRPs).
The purpose of this study itself is to provide an overview of DRPs on antibiotics
usage in typhoid fever pediatric patients at Emanuel Hospital Purwareja Klampok
Banjarnegara in 2013 which was then compared with the appropriate reference or
literatures.
This study is non-experimental descriptive retrospective evaluative data in
2013. The data were taken from medical records of typhoid fever pediatric
patients records obtained in the hospital medical record installation at Emanuel
Hospital Purwareja Klampok Banjarnegara. Data were analyzed descriptively
evaluative.
There were 32 patients who met the inclusion criteria and were found
some 36 cases of DRPs related to the use of antibiotics, namely 3 cases of
unecessary drug therapy, 29 cases of dosage too low and 4 cases of dosage too
high. The most widely used antibiotic is ceftriaxone of 86.1%.
Keywords: antibiotics, typhoid fever, Drug Related Problems (DRPs)
x
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA................................................
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...............................
vi
PRAKATA.............................................................................................
vii
INTISARI...............................................................................................
ix
ABSTRACT.............................................................................................
x
DAFTAR ISI..........................................................................................
xi
DAFTAR TABEL..................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR.............................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................
xvi
BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................
1
A. Latar Belakang.............................................................................
1
1. Perumusan Masalah................................................................
3
2. Manfaat Penelitian..................................................................
4
3. Keaslian Penelitian..................................................................
4
B. Tujuan Penelitian.........................................................................
6
1. Tujuan Umum..........................................................................
6
2. Tujuan Khusus.........................................................................
6
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA.....................................................
7
A. Demam Tifoid...............................................................................
7
B. Antibiotika.....................................................................................
16
C. Drug Related Problems (DRPs)....................................................
17
D. Keterangan Empiris.......................................................................
20
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN................................................
21
A. Jenis dan Rancangan Penelitian.....................................................
21
xi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
B. Variabel dan Definisi Operasional................................................
21
C. Subjek Penelitian...........................................................................
23
D. Bahan Penelitian............................................................................
24
E. Lokasi Penelitian............................................................................
24
F. Tata Cara Penelitian.......................................................................
25
G. Keterbatasan Penelitian.................................................................
28
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................
30
A. Karakteristik Pasien.......................................................................
30
1. Distribusi Pasien Berdasarkan Usia.........................................
30
2. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin..........................
32
B. Profil Penggunaan Obat dan Profil Penggunaan Antibiotika........
33
1. Antibiotika...............................................................................
34
a. Jenis dan Golongan Antibiotika...................................
34
b. Indikasi dan Pilihan Terapi Antibiotika.......................
36
c. Dosis dan Frekuensi Pemberian Antibiotika................
38
d. Durasi dan Rute Pemberian Antibiotika.......................
40
2. Obat Saluran Pencernaan..........................................................
42
3. Obat Suplemen dan Nutrisi.......................................................
42
4. Obat yang Mempengaruhi Darah..............................................
42
5. Obat Analgetik dan Antipiretik.................................................
43
6. Obat Antiradang (Antiinflamasi)...............................................
43
7. Obat Saluran Pernafasan............................................................
44
8. Infus...........................................................................................
44
C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)........................................
45
1. Terapi Tanpa Indikasi.................................................................
46
2. Dosis Terlalu Rendah.................................................................
47
3. Dosis Terlalu Tinggi................................................................... 49
D. Rangkuman Evaluasi Drug Related Problems (DRPs).................... 50
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................
51
A. Kesimpulan...................................................................................... 51
B. Saran................................................................................................
xii
52
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
56
LAMPIRAN..............................................................................................
59
BIOGRAFI PENULIS...............................................................................
98
xiii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel I.
Terapi yang Direkomendasikan WHO untuk Demam
Tifoid...........................................................................
Tabel II.
15
Persentase Golongan Obat yang Digunakan Pasien
Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel
Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013............
33
Tabel III.
Pemakaian Antibiotika Kombinasi...............................
36
Tabel IV.
Pemakaian Antibiotika Tunggal...................................
36
Tabel V.
Durasi Pemakaian Antibiotika.....................................
40
Tabel VI.
Jenis DRPs Penggunaan Antibiotika Pasien Demam
Tifoid Kelompok Pediatrik di RS.Emanuel Purwareja
Klampok Pada Tahun 2013..........................................
Tabel VII.
46
Hasil Evaluasi DRPs Pasien Demam Tifoid Kelompok
Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjar-negara Pada Tahun 2013..............................................
xiv
51
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RS Emanuel Pur-wareja Klampok Banjarnegara Periode 2013................
Gambar 2.
24
Persentase Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik
Berdasarkan Distribusi Usia di RS Emanuel Purwareja
Klampok Banjarnegara tahun 2013................................
Gambar 3.
31
Persentase Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik
Berdasarkan Jenis Kelamin di RS Emanuel Purwareja
Klampok Banjarnegara tahun 2013................................
Gambar 4.
32
Persentase Jenis Antibiotika yang Digunakan Sebagai
Terapi Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pedia-trik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara
pada Tahun 2013............................................................
Gambar 5.
34
Persentase Profil Penggunaan Terapi Antibiotika Tunggal
dan Kombinasi pada Pengobatan Demam Tifoid Kelom-pok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjar-negara tahun 2013..........................................................
Gambar 6.
35
Profil Rute Pemberian Antibiotika pada Pasien Demam
Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja
Klampok Banjarnegara tahun 2013.................................
xv
41
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Nilai Normal Pemeriksaan Data Laboratorium Pasien
Demam Tifoid Kelompok Pediatrik RS. Emanuel Pur-wareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013.......
Lampiran 2.
Guideline Dosis Antibiotika untuk Pasien Demam Tifoid
Kelompok Pediatrik………………………………….
Lampiran 3.
60
61
Hasil Wawancara Peneliti Dengan Dokter Di Rumah Sakit
Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Mengenai
Standar Pengobatan Pasien Demam Tifoid Kelompok
Pediatrik........................................................................
Lampiran 4.
62
Analisis Drug Related Problems (DRPs) Pasien Demam
Tifoid Kelompok Pediatrik RS. Emanuel Purwareja Klam-pok Banjarnegara Pada Tahun 2013.............................
Lampiran 5.
64
Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Di Rumah
Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara..........
xvi
97
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang saluran
pencernaan dan disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi yang masih dijumpai
secara luas di berbagai negara berkembang, terutama yang terletak di daerah
tropis dan subtropis (Widodo, 2010).
Berdasarkan data WHO di tahun 2003, diperkirakan terdapat sekitar 17
juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus
kematian tiap tahun. Di Indonesia sendiri ditemukan 900.000 kasus demam tifoid
dengan lebih dari 20.000 kasus yang meninggal tiap tahunnya (WHO, 2003).
Kejadian demam tifoid banyak dijumpai di negara-negara berkembang
seperti di Indonesia dan kebanyakan menyerang anak-anak. Prevalensi demam
tifoid di Indonesia menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
sebesar 1,6% dewasa dan sebesar 4,3% terjadi pada anak-anak. Data survey
mortalitas yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada
tahun 2005 di 10 provinsi menyatakan bahwa angka kematian bayi yang
diakibatkan demam tifoid berada pada peringkat kesembilan (1,2%) sedangkan
angka kematian balita yang disebabkan oleh demam tifoid berdasarkan data
terakhir pada tahun 2002 – 2003 yaitu 46/1000 kelahiran hidup (Herawati, 2009).
Penularan penyakit ini adalah melalui saluran cerna dengan tertelannya
bakteri Salmonella thypi. Setelah itu, apabila respon imunitas usus (imunoglobulin
A) kurang baik, maka bakteri dapat berkembang biak atau berkolonisasi dan
1
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2
menembus sel-sel epitel, serta menginfeksi folikel limfoid di usus halus
(Chen, 2008).
Pilihan terapi pada sebagian besar kasus demam tifoid adalah
menggunakan antibiotika. Namun penggunaan antibiotika secara tidak tepat atau
tidak rasional dapat menyebabkan terjadinya Drug Related Problems (DRPs)
yang mana menurut Cipolle (2004) merupakan peristiwa yang tidak diinginkan
karena dapat mengganggu pencapaian tujuan terapi suatu obat kepada pasien.
Hasil penelitian Rufaldi (2011) di Yogyakarta menunjukkan bahwa
terdapat ketidakrasionalan dalam penatalaksanaan terapi antibiotika terhadap
pasien demam tifoid kelompok pediatrik, yaitu sebesar 16,13% penggunaan
antibiotika dikategorikan rasional, 70,98% tidak rasional karena kesalahan dosis,
48,39% tidak rasional karena kesalahan dalam interval/frekuensi pemberian,
25,81% tidak rasional karena durasi pemberian terlalu pendek, dan 1,61% tidak
rasional karena tersedianya antibiotika lain yang lebih efektif.
Ketepatan pemilihan obat, khususnya antibiotika bagi pasien kelompok
pediatrik sangatlah penting. Hal ini disebabkan karena pada pasien pediatrik organ
– organ yang digunakan untuk melakukan metabolisme obat (seperti hati dan
ginjal) belum sempurna perkembangannya, sehingga, apabila pemberian
antibiotika pada anak-anak tidak tepat, bisa jadi antibiotika tersebut akan
menimbulkan efek toksik atau menjadi racun didalam tubuh anak yang mana
berbahaya bagi keselamatan anak tersebut (Roespandi dan Nurhamzah, 2007).
Rumah Sakit Emanuel adalah salah satu rumah sakit swasta tipe C dengan
nilai BOR (Bed Occupancy Ratio) sebesar 80%, yang terletak di kecamatan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3
Purwareja Klampok, kabupaten Banjarnegara yang merupakan bagian dari
wilayah karisidenan Banyumas, dengan mayoritas penduduknya
adalah
masyarakat dengan kondisi perekonomian menengah kebawah. Sebagian besar
wilayah Banjarnegara merupakan perkampungan penduduk dengan kondisi
sanitasi lingkungan yang buruk (Wihartoyo, 2012). Sebagai contoh masih terdapat
banyak sampah di sungai yang digunakan untuk mencuci pakaian dan alat-alat
rumah tangga, serta tempat bermain dan berenang anak-anak di kampung
setempat. Kondisi sanitasi yang buruk ini merupakan salah satu faktor utama
penyebaran bakteri Salmonella thypi penyebab penyakit demam tifoid yang cukup
luas di daerah Banjarnegara.
Pada penelitian ini dilakukan evaluasi DRPs terkait penggunaan
antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel
Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. DRPs dibagi menjadi 7
kategori menurut Cipolle (2004), yaitu terapi tanpa indikasi, perlu terapi
tambahan, pemilihan obat tidak tepat, dosis terlalu rendah, efek samping obat,
dosis terlalu tinggi, dan ketidakpatuhan pasien.
1. Rumusan Masalah
a. Seperti apa karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah
Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013?
b. Seperti apa profil penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok
pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada
tahun 2013?
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4
c. Seperti apa DRPs terkait penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid
kelompok
pediatrik
di
Rumah
Sakit
Emanuel
Purwareja
Klampok
Banjarnegara pada tahun 2013?
2. Manfaat Penelitian
Manfaat praktis
a. Sumber informasi bagi farmasis dan tenaga kesehatan lain dalam pengambilan
keputusan mengenai penatalaksanaan penggunaan antibiotika pada pasien
demam tifoid kelompok pediatrik sehingga dapat mencegah terjadinya DRPs.
b. Memberi bahan pertimbangan kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan
dalam melakukan pengawasan dan pengendalian obat, khususnya obat
golongan antibiotika, dalam rangka mencegah terjadinya DRPs.
Manfaat teoritis
a. Sebagai awal bagi penelitian yang lebih lanjut dan studi mengenai evaluasi
Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien penderita
demam tifoid kelompok pediatrik ataupun pasien dengan penyakit lain.
3. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berhubungan dengan evaluasi Drug Related Problems
(DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid yang pernah dilakukan
sebelumnya, yaitu:
1. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotika Pada Kasus Demam Tifoid Yang
Dirawat Pada Bangsal Penyakit Dalam Di RSUP. Dr. Kariadi Semarang tahun
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
5
2. 2008. Hasilnya adalah dari 137 kasus terapi hanya 11 terapi yang masuk
konsep rasional, 126 lainnya dikategorikan tidak rasional (Santoso, 2009).
3. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada Pengobatan Kasus Demam
Tifoid Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman
Yogyakarta Periode Juli 2007 – Juni 2008. Hasilnya yaitu terapi antibiotika
yang paling banyak digunakan adalah Tiamfenikol dengan DTPs 10 kasus
dosis terlalu rendah, 28 kasus interaksi obat (Sari, 2009).
4. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid
di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang Periode Juni 2008 –
Juni 2009. Hasil: Antibiotika kloramfenikol terbanyak digunakan (65,2%)
dengan DRPs yang diperoleh 4 kasus dosis terlalu rendah, 2 kasus dosis terlalu
tinggi dan 2 kasus efek samping obat (Pratiwi, 2010).
5. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid
di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Ypgyakarta Periode Januari –
Desember 2010. Hasil: 16,13% penggunaan antibiotika yang rasional, 70,98%
tidak rasional karena kesalahan dosis, 48,39% tidak rasional karena kesalahan
dalam interval/frekuensi pemberian, 25,81% tidak rasional karena durasi
pemberian terlalu pendek, dan 1,61% tidak rasional karena tersedianya
antibiotika lain yang lebih efektif (Rufaldi, 2011).
6. Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid bagi Pasien Anak Di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2000 – Desember
2001. Hasil yang diperoleh yaitu jenis kelamin pria dan wanita tidak berbeda
secara bermakna, anak yang berumur > 5 – 12 tahun lebih banyak menderita
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
6
7. demam tifoid daripada anak yang berumur < 1 – 5 tahun, jenis antibiotika yang
terbanyak digunakan adalah kotrimoxazole (44,32%). Ditemukan 4 kasus efek
samping obat dan 9 kasus interaksi obat (Triana, 2003).
Perbedaan penelitian ini dengan yang telah disebutkan diatas adalah
terletak pada subjek yang diteliti, tempat penelitian, serta waktu pelaksanaannya.
Sedangkan beberapa persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang
telah disebutkan diatas adalah terletak pada topik penelitian, yaitu evaluasi DRPs
pada pasien di rumah sakit, serta penyakit yang diteliti, yakni demam tifoid.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika
pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja
Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.
2. Tujuan Khusus
1. Memberi gambaran karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di
RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.
2. Memberi gambaran profil penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid
kelompok
pediatrik
di
Rumah
Sakit
Emanuel
Purwareja
Klampok
Banjarnegara pada tahun 2013.
3. Mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) terkait penggunaan antibiotika
pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emannuel Purwareja
Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Tifoid
1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang saluran
pencernaan dan disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi yang masih dijumpai
secara luas di berbagai negara berkembang, terutama yang terletak di daerah
tropis dan subtropis (Widodo, 2010).
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang
disebabkan bakteri Salmonella thypi dengan gejala demam lebih dari satu minggu,
gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Penyakit ini
termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang banyak orang dan
masih merupakan masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara
berkembang (Musnelina, 2004).
2. Epidemiologi
Penyebaran demam tifoid sangat luas, khususnya di negara-negara
berkembang dengan kondisi sanitasi yang buruk. Demam tifoid endemik di Asia,
Afrika, Amerika Latin, Kepulauan Karibia, dan Oceania. Diantara beberapa
wilayah tersebut, demam tifoid paling banyak terjadi di negara-negara
berkembang ataupun negara-negara terbelakang. Demam tifoid menginfeksi
kurang lebih 2,1 juta orang (angka kejadian 3,6/1000 populasi) dan diperkirakan
membunuh 200.000 orang setiap tahunnya (Brusch, 2010).
7
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
8
3. Patofisiologi
Salmonella thypii masuk melalui makanan dan minuman yang tercemar.
Sebagian bakteri dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus. Apabila respon immunitas (Imunoglobulin A) usus kurang baik maka
bakteri akan menembus sel-sel epitel, selanjutnya ke lamina propria. Di lamina
propria bakteri berkembang biak dan ditelan oleh sel-sel fagosit terutama
makrofag. Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag,
kemudian dibawa ke jaringan limfoid Plaques peyeri di illeum terminalis. Melalui
duktus torasikus, bakteri yang terdapat di dalam makrofag masuk ke dalam
sirkulasi darah. Selanjutnya menyebar ke organ retikuloendotelial tubuh terutama
hati dan limpa. Di dalam hati bakteri masuk ke dalam kandung empedu,
berkembang biak dan diekskresikan ke dalam lumen usus melalui cairan empedu,
sebagian bakteri ini dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi menembus usus
(Brusch, 2010).
4. Manifestasi Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung selama 10-14 hari. Keluhan dan
gejala demam tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan
sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ
(Brusch, 2010).
Secara
klinis
gambaran
klinis
demam
tifoid
berupa
demam
berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan sistem saraf pusat. Panas atau
demam lebih dari 7 hari, biasanya makin hari makin meninggi sehingga pada
minggu kedua panas tinggi secara terus menerus. Demam biasanya dialami pada
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
9
malam hari. Gejala gangguan gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual,
muntah dan kembung (Brusch, 2010).
Pada minggu pertama, terdapat keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut. Pada umumnya timbul gejala seperti demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, tidak nafsu makan, mual, muntah, perut kembung, perasaan tidak
nyaman diperut, serta diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu
pertama, diare lebih sering terjadi. Pemeriksaan fisik hanya ditemukan suhu badan
meningkat. Pada minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
denyut jantung relatif lambat, lidah yang khas (kotoran ditengah, tepi dan ujung
merah, tremor/bergetar, hati membesar, limpa membesar, dan gangguan psikis)
(Ali, 2006).
Pada minggu ketiga, suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan bahkan
normal kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau
berhasil diobati. Meskipun demikian, justru pada saat ini komplikasi perdarahan
dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak dari ulkus. Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai peritonitis lokal maupun umum, maka hal
ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus, sedangkan keringat dingin,
gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi
gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian pada penderita demam tifoid pada minggu ketiga
(Ali, 2006).
Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan, meskipun pada awal
minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
10
femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan
berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari
serangan primer, tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi
primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati dapat
mengakibatkan timbulnya relaps (Brusch, 2010).
5. Diagnosis
Penegakan diagnosis harus dilakukan sedini mungkin agar bisa diberikan
terapi yang tepat serta meminimalkan terjadinya komplikasi. Penegakan diagnosis
demam tifoid ini masih kurang lengkap apabila belum ditunjang dengan hasil
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium secara konvensional dapat
dilakukan melalui identifikasi adanya antigen / antibodi sample (darah) dan
melalui kultur mikroorganisme. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
meliputi pemeriksaan hematologi, urinalisis, kimia klinik, imunoserologi, dan
mikrobiologi (Brusch, 2010).
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid, antara lain:
a. Hematologi
Kadar hemoglobin dapat menurun atau tetap normal apabila terjadi
pendarahan diusus atau perforasi. Jumlah leukosit sering rendah (leukopenia)
tetapi dapat juga normal atau tinggi, sedangkan jumlah trombosit sering
menurun atau tetap normal (Brusch, 2010).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
11
b. Urinalisis
Adanya protein didalam urin bervariasi dari negatif sampai positif (akibat
demam). Jumlah eritrosit dan leukosit normal, apabila terjadi peningkatan,
dimungkinkan akibat adanya pendarahan (Brusch, 2010).
c. Kimia Klinik
Enzim hati (SGPT dan SGOT) akan meningkat sebagai gambaran adanya
komplikasi pada fungsi hati (mulai dari peradangan hingga hepatitis akut)
(Brusch, 2010).
d. Imunoserologi
Pemeriksaan serologi Widal ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi
dalam darah terhadap antigen kuman Salmonella thypii / parathypii (reagen).
Uji ini merupakan tes kuno yang masih amat populer dan paling sering
digunakan terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di
Indonesia. Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil
positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi, karena itulah antibodi jenis ini
dikenal sebagai febrile agglutinin (Brusch, 2010).
Reaksi Widal adalah suatu reaksi pengendapan antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terdapat pada serum penderita penyakit
demam tifoid. Reaksi Widal bertujuan untuk menentukan adanya aglutinin
dalam
serum
penderita
yang
disangka
menderita
demam
tifoid
(Jurwanto, 2009).
Hasil uji Widal dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat
memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
12
disebabkan oleh faktor-faktor seperti pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi
silang dengan spesies lain (Enterobacteriaciae sp.), reaksi amnestik (pernah
sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat
disebabkan oleh karena beberapa faktor, antara lain penderita sudah
mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1
minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit
imunologik lain (Sherwal et al, 2004).
Selain menggunakan Uji Widal, dapat dilakukan pula pemeriksaan anti
Salmonella typhi Imunoglobulin M (IgM) dengan reagen TubexRTF sebagai
solusi pemeriksaan yang cukup sensitif, spesifik, praktis untuk mendeteksi
penyebab demam akibat infeksi bakteri Salmonella typhi Pemeriksaan anti
Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF ini dilakukan untuk
mendeteksi antibody terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik
terhadap bakteri Salmonella typhi. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi
akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit (Judarwanto, 2012).
Tubex, mendeteksi kemampuan antibodi anti-Salmonella O9 dari serum
pasien dengan cara menghambat ikatan antara indikator antibodi-partikel dan
magnetik antigen-partikel. Tes ini juga spesifik untuk mendeteksi antigen
Salmonella O9 (lipopolisakarida grup D) dalam larutan dan memiliki
kemampuan untuk mengidentifikasi organisme Salmonella grup D secara
langsung dari koloni agar atau kultur darah. Hal tersebut membuat Tubex
menjadi tes yang unik. Kemampuannya mendeteksi antibodi dan antigen secara
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
13
teoritis penting untuk diagnosis serologis penyakit infeksi akut, karena antigen
yang diharapkan muncul pada infeksi pertama (Judarwanto, 2012).
e. Mikrobiologi
Uji kultur merupakan standar baku untuk pemeriksaan demam tifoid.
Apabila hasil biakan positif maka diagnosis pasti untuk demam tifoid. Apabila
hasilnya negatif, maka belum tentu bukan demam tifoid, karena hasil negatif
palsu dapat terjadi dan disebabkan oleh beberapa faktor seperti jumlah darah
sample yang terlalu sedikit, adanya kesalahan pada saat tahap preparasi, sudah
mendapat terapi antibiotika, atau sudah mendapat vaksinasi demam tifoid
sebelumnya (WHO, 2003).
6. Penatalaksanaan
Tata laksana pengobatan demam tifoid antara lain adalah dengan
penggunaan antibiotika. Antibiotika yang biasa diberikan antara lain adalah
kloramfenikol, amoksisilin, ampisilin serta golongan sefalosporin generasi ketiga
seperti Cefixime, Cefotaxime, dan Ceftriaxone (Shah et al., 2006).
Kloramfenikol merupakan salah satu obat pilihan utama dalam pengobatan
demam tifoid. Kloramfenikol biasanya diberikan secara oral kepada pasien,
namun tidak menutup kemungkinan juga apabila kloramfenikol diberikan melalui
saluran intravena dengan tujuan untuk mempercepat kerja obat apabila pasien
sudah benar-benar membutuhkan pertolongan. Kloramfenikol mempunyai
ketersediaan biologik sebesar 80% pada pemberian intravena. Waktu paruh
plasmanya 3 jam pada bayi baru lahir dan bila terjadi sirosis hepatik diperpanjang
sampai dengan 6 jam. Pada anak berusia 6-12 tahun diberikan dosis sebesar 40-50
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
14
mg/kgBB/hari, sedangkan pada anak berumur 1-3 tahun membutuhkan dosis
sebesar 50-100 mg/kgBB/hari. Bila diberikan secara intravena, kloramfenikol
dapat diberikan sebesar 50-80 mg/kgBB/hari pada anak berusia 7-12 tahun, dan
50-100 mg/kgBB/hari pada anak berusia 2-6 tahun (Lacy et al., 2006).
Ampisilin dan amoksisilin memiliki kemampuan menurunkan demam
lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Obat ini mempunyai
ketersediaan biologik sebesar 60% dan waktu paruh plasma 1,5 jam (pada bayi
baru lahir: 3,5 jam). Dosis yang dianjurkan diberikan pada anak adalah 100-200
mg/kgBB/hari (Lacy et al., 2006).
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO,menyebutkan antibiotika lain yang
dapat digunakan untuk pengobatan demam tifoid selain kloramfenikol dan
amoksisilin adalah antibiotika golongan fluorokuinolon dan sefalosporin generasi
ketiga. Antibiotika golongan fluorokuinolon yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid contohnya yaitu ofloxacin dan ciprofloxacin dengan
dosis dan frekuensi pemberian 15 mg/kgBB per 12 jam. Antibiotika golongan
fluorokuinolon diketahui memiliki kekuatan penetrasi dinding sel bakteri lebih
besar dibandingkan dengan antibiotika pendahulunya seperti kloramfenikol,
ampicillin dan amoxicillin. Namun pada prakteknya, penggunaan antibiotika
golongan kuinolon tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menyebabkan
toksisitas pada tulang yang berakibat terhambatnya pertumbuhan anak
(Shah et al., 2006). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Baker et al., (2009)
juga menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika golongan kuinolon pada anak
usia < 18 tahun dapat meningkatkan terjadinya ruptur tendon.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
15
Antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga yang dapat menjadi
pilihan untuk pengobatan demam tifoid antara lain cefixime, cefotaxime, dan
ceftriaxone. Cefixime bisa dijadikan sebagai pilihan pertama pengobatan demam
tifoid. Cefixime memiliki ketersediaan biologik sebesar 40-50%, waktu paruh
eleminasi 3-4 jam, serta membutuhkan waktu sekitar 2-6 jam untuk mencapai
konsentrasi maksimum. Dosis yang biasa digunakan pada anak-anak adalah 15-20
mg/kgBB/hari selama 10-14 hari (Lacy et al., 2006).
Cefotaxime dan ceftriaxone merupakan alternatif antibiotika yang dapat
digunakan untuk pengobatan demam tifoid yang disertai dengan beberapa
komplikasi penyakit penyerta lain. Cefotaxime dan ceftriaxone digunakan sebagai
pilihan pertama apabila ditemukan adanya riwayat resistensi suatu bakteri
terhadap antibiotika golongan kuinolon. Dosis Cefotaxime untuk anak berumur
lebih dari 12 tahun adalah 1-2 gram setiap 4-12 jam dan untuk anak berumur
kurang dari 12 tahun dengan berat badan kurang dari 50 kg adalah 50-200
mg/kgBB/hari. Dosis ceftriaxone untuk anak-anak adalah 50-100 mg/kgBB/hari
dengan interval 1-2 kali perharinya dengan dosis maksimum perhari 4 gram (Lacy
et al., 2006). (WHO, 2003).
Tabel I. Terapi yang direkomendasikan WHO untuk demam tifoid
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
16
Selain dengan terapi antibiotik, terapi lain juga perlu dilakukan pada
pengobatan demam tifoid, antara lain seperti pemberian oral atau intravena cairan
tubuh, pemberian antipiretik, serta asupan nutrisi yang cukup kedalam tubuh
(WHO, 2003).
B. Antibiotika
1. Definisi
Antibiotika adalah suatu zat senyawa obat alami maupun sintesis yang
digunakan untuk membunuh kuman penyakit dalam tubuh manusia dengan
berbagai
mekanisme
sehingga
manusia
terbebas
dari
infeksi
bakteri
(Katzung, 2008).
Istilah “antibiotika” pada awalnya dikenal sebagai senyawa alami yang
dihasilkan oleh jamur atau mikroorganisme lain yang digunakan untuk membunuh
bakteri penyebab penyakit pada manusia atau hewan. Secara teknis istilah “agen
anti bakteri” mengacu kepada kedua senyawa alami dan buatan tersebut baik
sintesis maupun semi-sintesis. Antibiotika yang akan digunakan untuk membasmi
mikroba penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas selektif
setinggi mungkin terhadap mikroorganisme (Katzung, 2008).
2. Penggolongan
a. Berdasarkan toksisitas selektif
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotika yang bersifat
bakteriostatik dan bakterisidal. Agen bakteriostatik menghambat pertumbuhan
bakteri, sedangkan agen bakterisida membunuh bakteri. Contoh antibiotika yang
bersifat bakteriostatik yaitu Kloramfenikol, teterasiklin, eritromisin, trimetropim,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
17
dll. Sedangkan contoh untuk antibiotika yang bersifat bakterisida yaitu penisilin,
sefalosporin, aminoglikosida, vankomisin, polimiksin, dll (Katzung, 2008).
b. Berdasarkan mekanisme kerja
Berdasarkan
mekanisme
kerjanya
terhadap
bakteri,
antibiotika
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Inhibitor sintesis dinding sel bakteri
2. Inhibitor sintesis protein bakteri
3. Menghambat sintesa folat
4. Mengubah permeabilitas membran sel
5. Mengganggu sintesis DNA
6. Mengganggu sintesa RNA (Katzung, 2008).
c. Berdasarkan aktivitas antibiotika
Berdasarkan aktivitasnya, antibiotika dikelompokkan menjadi
1. Antibiotika spektrum luas (broad spectrum)
2. Antibiotika spektrum sempit (narrow spectrum) (Ganiswara, 1995).
C. Drug Related Problems (DRPs)
Drug related problems (DRPs) atau sering diistilahkan dengan drug
therapy problems (DTPs) adalah kejadian atau efek yang tidak diharapkan yang
dialami pasien dalam proses terapi dengan obat (Cipolle, 2004).
Drug related problem (DRPs) dibagi menjadi 4 kategori besar, yaitu:
1. Aspek indikasi yang terdiri dari perlu terapi tambahan dan pemberian obat
yang tidak diperlukan.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
18
2. Aspek efektifitas yang terdiri dari salah pemberian obat dan dosis terlalu
rendah.
3. Aspek kemanan yang terdiri dari efek samping dan dosis terlalu tinggi.
4. Aspek kepatuhan (Cipolle, 2004).
Adapun penyebab untuk masing-masing kategori DRPs, antara lain:
a.
Terapi tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)
Disebabkan oleh terapi yang diperoleh sudah tidak sesuai,
menggunakan terapi polifarmasi yang seharusnya bisa menggunakan
terapi tunggal, kondisi yang seharusnya mendapat terapi non
farmakologi, terapi efek samping yang dapat diganti dengan obat lain,
dan penyalahgunaan obat.
b.
Memerlukan terapi tambahan (needs additional drug therapy)
Disebabkan oleh munculnya kondisi kronik yang membutuhkan
terapi, memerlukan terapi untuk mengurangi resiko munculnya
kondisi medis baru, memerlukan terapi kombinasi untuk memperoleh
efek obat kuat atau efek tambahan.
c.
Pemilihan obat yang tidak tepat (wrong drug)
Dapat disebabkan oleh obat yang efektif tetapi harganya relatif mahal
atau bukan obat yang paling aman untuk digunakan, kombinasi obat
yang tidak tepat sehingga efek yang dihasilkan tidak maksimal.
d.
Dosis terlalu rendah (dosage too low)
Umumnya disebabkan oleh penggunaan obat dengan dosis yang
terlalu rendah untuk dapat menimbulkan efek terapi yang diinginkan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
19
(respon), jarak pemberian obat dalam frekuensi yang panjang atau
jarang untuk dapat memberikan efek terapi, adanya interaksi obat
yang dapat mengurangi jumlah obat yang tersedia dalam bentuk aktif,
durasi terapi pengobatan terlalu pendek untuk dapat menghasilkan
efek terapi.
e.
Efek obat yang merugikan (adverse drug reaction)
Dapat disebabkan karena obat menimbulkan efek yang tidak
diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan menejemen dosis,
interaksi obat yang memunculkan efek atau reaksi yang tidak
diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan menejemen dosis,
aturan dosis yang telah diberikan atau diubah terlalu cepat, obat yang
dapat menimbulkan alergi, dan obat yang mempunyai kontraindikasi
dengan keadaan pasien.
f.
Dosis terlalu tinggi (dosage too high)
Dapat disebabkan karena dosis yang diberikan terlalu tinggi sehingga
memunculkan efek yang berlebihan, frekuensi pemberian obat terlalu
pendek sehingga terjadi akumulasi, durasi terapi pengobatan terlalu
panjang, interaksi obat dapat menghasilkan efek toksik, obat diberikan
atau dinaikkan dosisnya terlalu cepat.
g.
Ketidakpatuhan pasien (noncompliance)
Dapat disebabkan karena pasien tidak memahami aturan pemakaian,
pasien lebih memilih atau suka untuk tidak menggunakan obat-obatan,
pasien lupa untuk mengkonsumsi obatnya, harga obat terlalu mahal
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
20
bagi pasien, pasien tidak mampu menelan obat atau menggunakan
obat itu sendiri secara tepat. Karena itulah diperlukannya peran
seorang farmasis dalam mencegah terjadinya ketidakrasionalan
penggunaan obat oleh pasien (Cipolle, 2004).
D. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi adanya Drug Related
Problems (DRPs) terkait penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid
kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara
pada tahun 2013.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan
antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Emanuel Purwareja
Klampok Banjarnegara pada tahun
2013 merupakan jenis penelitian non
eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif dan menggunakan data
retrospektif.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental karena karena
tidak adanya perlakuan terhadap subjek uji. Rancangan penelitian deskriptif
evaluatif karena tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran dan
evaluasi mengenai Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada
pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok
Banjarnegara pada tahun 2013.
Penelitian ini menggunakan data retrospektif karena data yang diambil
menggunakan penelusuran terhadap dokumen yang terdahulu, yaitu berupa kartu
rekam medik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja
Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Profil karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit
Emanuel Klampok Banjarnegara yang meliputi usia, jenis kelamin, catatan
keperawatan, hasil laboratorium, dan diagnosa.
21
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
22
2. Profil penggunaan antibiotika oleh pasien demam tifoid kelompok pediatrik
yang terbagi menjadi jenis dan golongan antibiotika, indikasi dan pilihan terapi
antibiotika, dosis dan frekuensi pemberian antibiotika, serta durasi dan rute
pemberian antibiotika.
3. Pasien adalah seseorang atau sekelompok anak (pediatrik) yang terbagi
menjadi 3 bagian berdasarkan usia menurut Izenberg (2000), meliputi
kelompok neonatus (≤ 1 tahun), kelompok balita (> 1 – 5 tahun), dan kelompok
usia anak-anak (> 5 – 12 tahun), baik laki-laki maupun perempuan yang
didiagnosis positif menderita demam tifoid dan menerima terapi antibiotika di
Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.
4. Subjek penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah semua pasien
pediatrik, baik pria maupun wanita yang didiagnosis positif menderita demam
tifoid dan menerima terapi antibiotika di Rumah Sakit Emanuel Purwareja
Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.
5. Drug Related Problems (DRPs) yang akan dievaluasi pada penelitian ini dibagi
menjadi 6 kelompok, yaitu butuh tambahan obat (need additional drug
therapy), tidak butuh obat (unnecessary drug therapy), salah pemberian obat
(wrong drug), dosis obat yang tidak mencukupi atau kurang (dosage too low),
efek samping obat (adverse drug reaction), dosis obat yang berlebih (dose too
high).
6. Wawancara dengan dokter anak (penulis resep) dalam penelitian dilakukan
setelah lembar data rekam medik pasien dianalisis. Hasil analisis tersebut
digunakan untuk menyusun panduan pertanyaan yang digunakan untuk
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
23
wawancara dengan dokter anak tersebut. Hasil wawancara digunakan untuk
melengkapi pembahasan terhadap hasil analisis sekaligus menjadi salah satu
guideline atau acuan untuk evaluasi pengobatan pasien demam tifoid kelompok
pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah semua pasien pediatrik yang berumur 0-12
tahun, baik laki-laki maupun perempuan, yang positif terdiagnosa positif demam
tifoid (didukung dengan catatan rekam medik dan hasil pemeriksaan laboratorium
yang lengkap dan dapat dikonfirmasi) dan mendapatkan terapi pengobatan
menggunakan antibiotika, serta menyelesaikan pengobatan di RS. Emanuel
Purwareja Klampok Banjarnegara sampai dinyatakan sembuh (diizinkan pulang)
oleh dokter. Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu pasien pediatrik dengan
catatan rekam medik yang tidak lengkap atau tidak bisa dikonfirmasi, pasien
pediatrik yang terdiagnosa demam tifoid dengan hasil pemeriksaan laboratorium
yang tidak lengkap atau tidak dapat dikonfirmasi sebagai penunjang utama
penegakan diagnosa dokter terhadap demam tifoid, pasien pediatrik yang tidak
mendapatkan terapi pengobatan menggunakan antibiotika, serta pasien pediatrik
yang terdiagnosa demam tifoid dengan beberapa penyakit penyerta.
Penelitian yang dilakukan juga melibatkan dokter anak RS Emanuel
Purwareja Klampok Banjarnegara (penulis resep) sebagai subjek penelitian yang
dilakukan melalui wawancara. Wawancara tersebut dilakukan untuk melengkapi
pembahasan terhadap hasil analisis data penelitian, sekaligus menjadi salah satu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
24
acuan untuk evaluasi pengobatan pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di
Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara.
218 populasi demam
Tifoid
118 pasien pediatrik
demam tifoid
42 pasien dengan
penyakit penyerta
Eksklusi 86
pasien
Inklusi 32 pasien
36 pasien dengan
catatan RM dan hasil
laboratorium tidak
lengkap
8 pasien suspect
(terduga) demam tifoid
Gambar 1. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RS Emanuel Purwareja
Klampok Banjarnegara Periode 2013
D. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu rekam
medik pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang ada di RS. Emanuel
Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. Rekam medik adalah riwayat
pengobatan dan perawatan pasien yang dapat digunakan sebagai bahan penelitian
yaitu yang memuat data karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin, berat
badan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa masuk, terapi yang diberikan, catatan
keperawatan, dan hasil pemeriksaan laboratorium.
E. Lokasi Penelitian
Pengambilan data dilakukan di Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit
Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara yang beralamat di Jl. Ahmad Yani,
Purwareja, Klampok, Banjarnegara, 53474. Pengambilan data tersebut dilakukan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
25
tepatnya di instalasi rekam medik Rumah Sakit Emannuel Purwareja Klampok
Banjarnegara.
F. Tata Cara Penelitian
1. Pengurusan Izin Penelitian
Penelitian diawali dengan mengurus izin penelitian yang diperoleh dari
Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara sebagai lokasi untuk
pengambilan data.
2. Analisis Situasi
Analisis situasi dengan cara mencari data kartu rekam medik pasien
demam tifoid kelompok pediatrik pada tahun 2013 yang diperoleh melalui
komputer di Instalasi Rekam Medik RS. Emanuel Purwareja Klampok
Banjarnegara.
3. Pengambilan data
Penulusuran data lembar rekam medik di Instalasi Rekam Medik
mengenai jumlah pasien kelompok pediatrik yang terdiagnosa positif menderita
demam tifoid, usia pasien, jenis kelamin pasien, berat badan pasien, data
laboratorium, jenis dan golongan antibiotik yang diberikan pada pasien, dosis dan
frekuensi pemberian antibiotik.
Pencarian pasien demam tifoid kelompok pediatrik dilakukan sesuai
dengan definisi operasional yang telah ditetapkan sebelumnya menggunakan
nomor rekam medik yang didapat. Pengumpulan data dari rekam medik tersebut
dilakukan dengan tanpa mengganggu aktivitas petugas kesehatan di rumah sakit
tersebut.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
26
4. Pengolahan data dan analisis hasil
Data diolah secara deskriptif dengan memberikan gambaran karakteristik
pasien demam tifoid kelompok pediatrik sebagai subjek penelitian, profil
penggunaan obat pasien, serta profil penggunaan antiobiotika pasien. Pengolahan
data secara evaluatif dilakukan dengan mengevaluasi DRPs penggunaan
antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik.
Pengolahan data secara deskriptif dan evaluatif dijelaskan secara rinci
sebagai berikut:
a. Karakteristik pasien
Analisis deskriptif mengenai karakteristik pasien dilakukan dengan
mengelompokkan pasien demam tifoid kelompok pediatrik berdasarkan
distribusi umur dan jenis kelamin yang kemudian dinyatakan dalam
bentuk persentasi.
b. Profil penggunaan antibiotika pasien
Profil penggunaan antibiotika oleh pasien demam tifoid kelompok
pediatrik yang akan dianalisis terbagi menjadi jenis dan golongan
antibiotika, indikasi dan pilihan terapi antibiotika, dosis dan frekuensi
pemberian antibiotika, serta durasi dan rute pemberian antibiotika.
c. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)
a) Butuh tambahan obat (need additional drug therapy)
b) Tidak butuh obat (unnecessary drug therapy)
c) Salah pemberian obat (wrong drug)
d) Dosis obat yang tidak mencukupi atau kurang (dosage too low)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
27
e) Efek samping obat (adverse drug reaction)
f) Dosis obat yang berlebih (dose too high)
Hasil evaluasi Drug Related Probelms (DRPs) kemudian akan dianalisis
dengan metode subjektif, objektif, assesment, dan plan (SOAP). Subjektif
meliputi umur, jenis kelamin, lama dirawat, diagnosa, keluhan, perjalanan
penyakit, dan status keluar pasien. Objektif yaitu meliputi hasil laboratorium,
tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, dan respiratori), kondisi kesadaran pasien,
dan penatalaksanaan obat yang diterima oleh pasien. Assesment merupakan
penilaian yang dilakukan terkait evaluasi penggunaan antibiotika. Sedangkan plan
atau rekomendasi merupakan saran yang diberikan untuk mengatasi DRPs yang
muncul dalam penggunaan antibiotika berdasarkan acuan yang ada. Acuan yang
digunakan untuk evaluasi yang terjadi dalam pengobatan pasien demam tifoid
kelompok pediatrik adalah Standar Pelayanan Medis Rumah Sakit Emanuel
Purwareja Klampok Banjarnegara, Drug Information Handbook (Lacy et al.,
2006), Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit (Roespandi dan
Nurhamzah, 2007), dan Background Document: The Diagnosis, Treatment and
Prevention of Typhoid Fever (WHO, 2003).
5. Penyajian Hasil Analisis
Hasil atau data yang muncul akan disajikan dalam bentuk tabel dan
dilakukan pula analisis DRPs yang muncul berdasarkan acuan yang digunakan.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara evaluatif dengan cara
mengevaluasi DRPs yang terjadi pada penggunaan antibiotika dan dibahas dalam
bentuk uraian dan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan atau diagram.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
28
G. Keterbatasan Penelitian
Penelitian dengan data retrospektif memiliki kelemahan bila dibandingkan
dengan data prospektif. Pada penelitian dengan data retrospektif tidak
memungkinkan mengamati lebih lanjut perkembangan kondisi pasien yang
sesungguhnya berkaitan dengan analisis DRPs. Sebagai contoh, kepatuhan pasien
terhadap regimen terapi. Oleh karena itu, pada penelitian ini hanya dapat
dilakukan menggunakan 6 aspek DRPs, sedangkan aspek ketidakpatuhan pasien
(noncompliance) tidak dapat dilakukan. Selain itu, kelemahan dari penggunaan
data retrospektif yang lainnya yaitu acuan yang digunakan untuk mengevaluasi
DRPs yang terjadi pada penelitian tidak dapat menggunakan acuan yang terbaru.
Keterbatasan lain yang terdapat pada penelitian ini adalah waktu. Pihak
Rumah Sakit Emanuel menyediakan waktu yang sangat terbatas untuk melakukan
wawancara dokter anak sebagai penulis resep, dimana hal tersebut menyebabkan
hasil wawancara dengan dokter anak yang digunakan bersifat menyeluruh, tidak
dapat digunakan untuk mengevaluasi satu per satu kasus yang diperoleh, serta
penelitian ini hanya mengevaluasi mengenai penggunaan antibiotika tanpa melihat
dan mengevaluasi secara lengkap keseluruhan pengobatan lain yang diberikan
pada pasien sehingga DRPs terkait perlu terapi tambahan (need additional drug
therapy) tidak teridentifikasi pada penelitian ini. Selain itu, dari dua dokter anak
sebagai penulis resep di Rumah Sakit Emanuel, hanya satu dokter anak yang
bersedia dan dapat diwawancarai oleh penulis. Hal ini menyebabkan acuan
sebagai Standar Pelayanan Medis RS. Emanuel yang digunakan untuk
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
29
mengevaluasi DRPs terkait penggunaan antibiotika pasien demam tifoid
kelompok pediatrik kurang lengkap.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian
mengenai
“Evaluasi
Drug
Related
Problems
(DRPs)
Penggunaan Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di
Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Tahun 2013” dilakukan
dengan menelusuri lembar data rekam medik pasien pediatrik yang positif
terdiagnosa demam tifoid. Berdasarkan data hasil penelusuran dari bagian
instalasi rekam medik RS Emanuel, diperoleh 32 kasus sebagai bahan penelitian
yang mempunyai data rekam medik lengkap, yaitu mencantumkan usia, jenis
kelamin, berat badan, diagnosa utama, lama perawatan, catatan keperawatan, data
pemeriksaan laboratorium, dan terapi yang diberikan.
A. Karakteristik Pasien
1.
Distribusi pasien berdasarkan usia
Pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang diteliti adalah pasien yang
berusia 0 – 12 tahun. Izenberg (2000) membagi kelompok pediatrik menjadi 3
bagian berdasarkan usia, yaitu kelompok neonatus (≤ 1 tahun), kelompok balita (>
1 – 5 tahun), dan kelompok usia anak-anak (> 5 – 12 tahun). Dari hasil penelitian
didapatkan kasus demam tifoid di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara
pada tahun 2013 paling banyak terjadi pada kelompok usia anak-anak yaitu pada
rentang > 5 – 12 tahun sebesar 59,4 % dan kelompok usia balita yaitu pada
rentang > 1 – 5 tahun sebesar 40,6%. Hasil penelitian ini mendukung hasil
30
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
31
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Ochiai et al. (2008) mendapatkan
hasil bahwa anak pada rentang usia 6 – 12 tahun memiliki risiko terserang demam
tifoid lebih besar, yaitu dari total kasus sebanyak 131 kasus demam tifoid pada
kelompok pediatrik sebesar 58 kasus (44,27%) terjadi pada rentang usia 6 – 12
tahun dan sisanya terjadi pada kelompok balita dan neonatus. Penelitian oleh
Rufaldi (2011) juga diperoleh hasil bahwa anak pada rentang usia 6 – 12 tahun
paling banyak terserang demam tifoid, yaitu sebesar 42,9% dengan sisanya terjadi
pada kelompok balita dan neonatus. Hal ini disebabkan karena pada saat usia
tersebut (> 5 – 12 tahun) anak-anak
sangat menyukai membeli makanan
sembarangan dilingkungan sekitar yang higienitasnya tidak dapat dijamin.
Lingkungan, dalam hal ini salah satu contohnya adalah faktor higienitas,
merupakan salah satu faktor pendukung untuk mengurangi atau menambah luas
penyebaran demam tifoid (Musnelina et al., 2004).
Distribusi Pasien Berdasarkan Usia
40,6%
59,4%
> 5 - 12 tahun
> 1 - 5 tahun
Gambar 2. Persentase Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik
Berdasarkan Distribusi Usia di RS Emanuel Purwareja Klampok
Banjarnegara tahun 2013
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2.
32
Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin
Jumlah pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang diperoleh sebagai
subjek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi adalah sebanyak 32 pasien. Dari
total pasien tersebut, 16 adalah pasien laki-laki dan 16 sisanya adalah pasien
perempuan. Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Musnelina et al.
(2004) dan Rufaldi (2011) diperoleh hasil yang berbeda dimana jumlah pasien
demam tifoid kelompok pediatrik jenis kelamin laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan. Menurut Musnelina et al. (2004), anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan
dikarenakan karena anak laki-laki umumnya memiliki aktifitas diluar rumah yang
lebih banyak daripada anak perempuan. Hal ini memungkinkan anak laki-laki
untuk memiliki risiko lebih besar untuk terserang demam tifoid dibandingkan
anak perempuan.
Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis
Kelamin
50%
50%
Laki-laki
Perempuan
Gambar 3. Persentas Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik
Berdasarkan Jenis Kelamin di RS Emanuel Purwareja Klampok
Banjarnegara tahun 2013
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
33
B. Profil Penggunaan Obat dan Profil Penggunaan Antibiotika
Profil penggunaan obat pada pasien demam tifoid pada kelompok
pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara merupakan gambaran
pengobatan yang diberikan, meliputi kelas terapi obat dan golongan obat yang
akan disajikan dalam bentuk tabel disertai beberapa penjelasan singkat. Gambaran
secara umum distribusi penggunaan obat pada pasien demam tifoid kelompok
pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 menurut
kelas terapinya ditunjukkan pada tabel II.
Tabel II. Persentase Golongan Obat yang Digunakan Pasien Demam Tifoid
Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara
tahun 2013
Jumlah Kasus Persentase
No
Kelas Terapi Obat
Golongan Obat
(n=207)
(%)
1
Antibiotika
Sefalosporin
36
17,4
Antitukak
1
0,5
Laksatif
3
1,4
Obat Saluran
2
Antidiare
1
0,5
Pencernaan
Antiemetik
8
3,9
Antispasmodik
1
0,5
Vitamin
13
6,3
3
Suplemen dan Nutrisi
Nutrisi
13
6,3
Obat yang
4
Antikoagulan
1
0,5
Mempengaruhi Darah
Analgetik dan
5
Non-Opioid
36
17,4
Antipiretik
Anti-inflamasi dan
Kortikosteroid
32
15,4
6
antialergi
Non-steroid
3
1,4
Antihistamin
5
2,4
Antitusif
1
0,5
Obat Saluran
7
Ekspektoran
15
7,2
Pernafasan
Nasal Dekongestan
4
1,9
Mukolitik
2
1,0
RL
26
12,6
8
Infus
DS 5%
6
2,9
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
1.
34
Antibiotika
Persentase penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok
pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 adalah
sebesar 17,4%. Evaluasi penggunaan antibiotika dibagi menjadi jenis dan
golongan antibiotika, indikasi dan pilihan terapi antibiotika, dosis dan frekuensi
antibiotika, serta durasi dan rute pemberian antibiotika.
a. Jenis dan Golongan Antibiotika
Hasil penelitian berkaitan dengan jumlah serta persentasi jenis dan
golongan antibiotika dalam penatalaksanaan demam tifoid pada kelompok
pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara bertujuan untuk
mengetahui jenis dan golongan antibiotika apa saja yang diresepkan dokter
kepada pasien demam tifoid kelompok pediatrik dirumah sakit tersebut.
Jenis Antibiotika yang Digunakan pada Pasien
Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel
Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013
11,1%
2,8%
0
86,1%
Ceftriaxone
Cefixime
Cefotaxime
Gambar 4. Persentase Jenis Antibiotika yang Digunakan Sebagai Terapi
Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja
Klampok Banjarnegara pada Tahun 2013
Berdasarkan data dari rekam medik, antibiotika yang digunakan dari total
32 pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok
Banjarnegara tahun 2013 yang menjadi bahan penelitian terdiri dari 3 jenis, yaitu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
35
Ceftriaxone, Cefotaxime dan Cefixime, yang mana ketiganya sama-sama berasal
dari golongan sefalosporin generasi ketiga.
Jenis
antibiotika yang paling tinggi penggunaannya adalah jenis
antibiotika Ceftriaxone, yaitu sebesar 86,1% kemudian disusul dengan cefixime
sebesar 11,1% dan cefotaxime sebesar 2,8%. Dari kasus-kasus yang diteliti
tersebut, juga dijumpai beberapa kasus dengan penggunaan lebih dari satu jenis
antibiotika yang mana dimaksudkan sebagai terapi kombinasi (ceftriaxone dengan
cefixime) maupun sebagai antibiotika pengganti (cefotaxime diganti dengan
cefixime).
Penggunaan Terapi Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid
Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok
Banjarnegara tahun 2013
12,5%
0
0
87,5%
Terapi Tunggal
Terapi Kombinasi
Gambar 5. Persentase Profil Penggunaan Terapi Antibiotika Tunggal dan
Kombinasi pada Pengobatan Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS.
Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013
Terapi kombinasi digunakan pada kasus-kasus khusus dan beberapa tujuan
tertentu, seperti untuk mencegah resistensi bakteri terhadap antibiotika yang
sifatnya mendadak, mendapatkan manfaat dari dua atau lebih antibiotika yang
mekanisme kerjanya saling bersinergi, menangani kemungkinan adanya infeksi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
36
yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri, memperluas spektrum aktivitas
kerjanya dalam membunuh bakteri, dan digunakan untuk menangani suatu kasus
infeksi yang berat (Murray et al., 2009). Dari hasil penelitian diperoleh terapi
antibiotika tunggal sebesar 28 kasus (87,5%) dan terapi antibiotika kombinasi
sebesar 4 kasus (12,5%).
Tabel III. Pemakaian Antibiotika Kombinasi
No
Antibiotika
Jumlah Kasus
1
Ceftriaxone + Cefixime
(Kombinasi)
3
2
Cefixime + Cefotaxime
(Ganti Obat)
1
Tabel IV. Pemakaian Antibiotika Tunggal
No
Antibiotika
Jumlah Kasus
1
Ceftriaxone
28
b. Indikasi dan Pilihan Terapi Antibiotika
Terapi antibiotika diindikasikan untuk menghambat serta membunuh
mikroorganisme atau bakteri penyebab infeksi pada pasien. Tatalaksana
pengobatan demam tifoid menggunakan antibiotika pada penelitian ini sudah tepat
karena diindikasikan untuk membunuh Salmonella typhii yang merupakan bakteri
penyebab penyakit demam tifoid. Antibiotika yang biasa diberikan antara lain
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
37
adalah kloramfenikol, amoksisilin, ampisilin serta golongan sefalosporin generasi
ketiga seperti Cefixime, Cefotaxime, dan Ceftriaxone (Shah et al., 2006).
Kloramfenikol dan cefixime merupakan dua antibiotika yang digunakan
sebagai lini pertama dalam pengobatan demam tifoid. Cefixime yang merupakan
bagian dari golongan sefalosporin generasi ketiga terbukti dapat menjadi pilihan
antibiotika setelah pada beberapa penelitian ditemukan resistensi bakteri terhadap
kloramfenikol (Shah et al., 2006).
Jenis antibiotika dari golongan sefalosporin generasi ketiga seperti
cefotaxime dan ceftriaxone juga dapat digunakan sebagai antibiotika pilihan
pertama untuk pengobatan demam tifoid apabila ditemukan adanya riwayat
resistensi suatu bakteri terhadap antibiotika golongan kuinolon seperti ofloxacin
dan ciprofloxacin (WHO, 2003) atau pasien tidak menunjukkan adanya
perbaikkan gejala klinis setelah penggunaan antibiotika jenis kloramfenikol atau
amoksisilin (Roespandi dan Nurhamzah, 2007).
Namun dewasa ini, penggunaan ceftriaxone dan cefixime yang biasanya
digunakan sebagai pilihan ketiga terapi pengobatan demam tifoid mulai bergeser
menjadi pilihan utama dalam pengobatan demam tifoid. Ditemukannya beberapa
kasus mengenai resistensi bakteri terhadap kloramfenikol mendorong para peneliti
untuk mencari alternatif antimikroba untuk melawan penyakit demam tifoid.
Beberapa daerah endemik demam tifoid tidak lagi menggunakan kloramfenikol
sebagai first line therapy namun mulai menggunakan antibiotika golongan
sefalosporin generasi ketiga seperti cefixime dan ceftriaxone. Hal tersebut
didukung oleh adanya penelitian menggunakan metode Susceptibilitas yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
38
dilakukan oleh Santillan, Garcia, dan Benavante (2000). Isolat yang digunakan
adalah isolat bakteri Salmonella typhii penyebab demam tifoid dan antibiotika
yang digunakan adalah kloramfenikol, ampisilin, trimetoprim, dan cefixime. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 24 isolat, 22 isolat sensitif terhadap ampisilin,
96%
sensitif
sulfametoxazole,
terhadap
serta
kloramfenikol
24
isolat
dan
(100%)
kombinasi
sensitif
trimetoprim
terhadap
–
cefixime
(Santillan et al., 2000).
c. Dosis dan Frekuensi Pemberian Antibiotika
Dalam terapi pengobatan pada pasien dosis dan frekuensi pemberian
antibiotika harus disesuaikan dengan diagnosis penyakit, tingkat keparahan
penyakit atau infeksi, mekanisme kerja obat, serta efek samping yang dapat
ditimbulkan oleh penggunaan antibiotika tersebut (adverse drug reaction). Dosis
yang diberikan untuk pasien kelompok pediatrik haruslah benar-benar
diperhatikan, sebab organ – organ yang digunakan untuk melakukan metabolisme
obat (seperti hati dan ginjal) belum sempurna perkembangannya pada anak-anak.
Sehingga, apabila pemberian dosis antibiotika pada anak-anak tidak tepat, bisa
jadi antibiotika tersebut akan menimbulkan efek toksik atau menjadi racun
didalam tubuh anak yang mana berbahaya bagi keselamatan anak tersebut
(Benin dan Dowel, 2001).
Frekuensi penggunaan antibiotika dipengaruhi oleh sifat farmakokinetika
obat serta kondisi patofisiologis dari pasien. Salah satu faktor yang perlu
diperhatikan dalam suatu farmakokinetika obat adalah t½ eleminasi dari obat.
Definisi dari t½ eleminasi obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh obat untuk
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
39
mencapai penurunan konsentrasi obat sebesar 50% dari konsentrasi awal pada
plasma. Nilai t½ eleminasi untuk masing-masing obat bervariasi. Tujuan dari
adanya interval pemberian suatu obat adalah untuk menjaga konsentrasi obat
dalam cairan plasma agar selalu berada pada konsentrasi terapeutik minimal
sehingga obat dapat bekerja dan memberikan efek yang diharapkan. Kondisi
organ hati dan ginjal sebagai organ ekskresi utama juga mempengaruhi frekuensi
pemberian obat. Jika terdapat gangguan atau kelainan pada organ ekskresi
tersebut, maka proses eleminasi obatpun akan terganggu atau berjalan lebih
lambat (Benin dan Dowel, 2001).
Jenis antibiotika yang digunakan berdasarkan hasil penelitian mengenai
“Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika pada Pasien
Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok
Banjarnegara Tahun 2013” ini adalah ceftriaxone, cefixime, dan cefotaxime yang
berasal dari golongan sefalosporin generasi ketiga. Dosis antibiotika ceftriaxone
yang digunakan untuk pasien kelompok pediatrik yaitu 50 – 100 mg/kgBB/hari
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien, dengan frekuensi pemberian
setiap 12 jam. Untuk cefixime, dosis yang digunakan yaitu 15 - 20 mg/kgBB/hari.
Dosis cefixime yang diberikan juga disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
pasien dengan frekuensi pemberian setiap 12 jam. Sedangkan untuk cefotaxime
dosis yang digunakan yaitu 50 – 200 mg/kgBB/hari, yang juga disesuaikan
dengan kondisi dan kebutuhan pasien, dengan frekuensi pemberian setiap 8 jam
(Lacy et al., 2006).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
40
d. Durasi dan Rute Pemberian Antibiotika
Durasi pemberian antibiotika berkaitan dengan proses pembunuhan bakteri
atau mikroba penginfeksi. Tiap jenis antibiotika mempunyai waktu optimum
untuk membunuh suatu bakteri atau mikroba tertentu. Ceftriaxone optimal untuk
pengobatan demam tifoid apabila digunakan selama 5 – 7 hari, sedangkan
cefixime optimal untuk pengobatan demam tifoid apabila digunakan selama 8 –
14 hari. Dengan kata lain, dapat diasumsikan bahwa ceftriaxone mampu
membunuh bakteri Salmonella typhii penyebab demam tifoid dalam waktu 5 -7
hari, sedangkan cefixime dalam waktu 8 – 14 hari. Durasi pengobatan yang
ditingkatkan atau ditambah akan menghasilkan efek terapeutik yang tidak jauh
berbeda dengan durasi optimal, bahkan dapat meningkatkan risiko terjadinya
resistensi bakteri apabila penggunaan antibiotika melebihi waktu optimal
(Islam et al., 1993).
Tabel V. Durasi Pemakaian Antibiotika
No
Antibiotika
1
Ceftriaxone
2
Cefixime
3
Cefotaxime
Durasi
Jumlah Kasus
2
3
4
5
3
4
5
3
3
7
10
11
1
1
2
1
Menurut pustaka yang digunakan sebagai acuan tidak disebutkan secara
spesifik mengenai rute pemberian antibiotika yang digunakan dalam pengobatan
demam tifoid. Namun secara umum rute pemberian antibiotika untuk pasien
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
41
demam tifoid dapat dibagi menjadi dua, yaitu secara intravena (i.v) dan secara
peroral (p.o). Rute pemberian secara i.v maupun p.o dilakukan dengan berbagai
maksud dan tujuan. Pemberian antibiotika secara i.v umumnya dilakukan agar
obat lebih cepat masuk kedalam tubuh dan memberikan efek. Pemberian obat
secara i.v juga memberikan beberapa keuntungan dibandingkan secara p.o, yaitu
menghindari first pass effect dan mencegah obat terdegradasi oleh asam lambung
(Cunha, 2007).
Rute Pemberian Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid
Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja
Klampok Banjarnegara tahun 2013
11,1%
0
0
Intravena (i.v)
Peroral (p.o)
88,9%
Gambar 6. Profil Rute Pemberian Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid
Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara
tahun 2013
Gambar 6 menunjukkan rute pemberian antibiotika pada pasien demam
tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada
tahun 2013. Dapat dilihat bahwa rute pemberian antibiotika yang paling sering
digunakan adalah secara intravena (i.v). Total 36 penggunaan terapi antibiotika
pada 32 pasien tersebut, sebanyak 32 antibiotika diberikan secara intravena
(88,9%) dan 4 diberikan secara peroral (11,1%).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2.
42
Obat Saluran Pencernaan
Demam tifoid merupakan penyakit yang menyerang saluran pencernaan
(infeksi). Gejala yang umum dialami oleh pasien demam tifoid adalah gangguan
gastrointestinal yang dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah dan kembung
(Ali, 2006). Maka dari itu, penggunaan obat-obatan untuk saluran pencernaan
sangat membantu pasien demam tifoid dalam mengatasi gejala atau manifestasi
klinis yang timbul akibat infeksi saluran pencernaan sehingga pasien dapat merasa
nyaman. Persentase penggunaan obat untuk saluran pencernaan pada penelitian ini
adalah sebesar 6,8%, yang terbagi atas golongan antitukak (0,5%), golongan
laksatif (1,4%), golongan antidiare (0,5%), golongan antiemetik (3,9%) dan
golongan antispasmodik (0,5%).
3.
Obat Suplemen dan Nutrisi
Terapi lain juga perlu dilakukan pada pengobatan demam tifoid selain
menggunakan antibiotika, yaitu pemberian asupan nutrisi yang cukup kedalam
tubuh (WHO, 2003) untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan atau daya tahan
tubuh pasien karena beberapa pasien demam tifoid kelompok pediatrik (subjek
penelitian) mengutarakan keluhan tidak nafsu makan serta badan lemas.
Persentase penggunaan obat suplemen dan nutrisi pada penelitian ini adalah
sebesar 12,6%, yang terdiri atas golongan vitamin (6,3%) dan nutrisi (6,3%).
4.
Obat yang Mempengaruhi Darah
Pada penelitian ini obat yang digunakan untuk mengatur sistem koagulasi
darah pada pasien adalah golongan obat antikoagulan. Obat antikoagulan atau
hemostatis ini diperlukan pada pasien demam tifoid untuk memperbaiki,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
43
melancarkan sistem sirkulasi atau peredaran darah, serta pembentukan darah
akibat adanya pendarahan, seperti mimisan. Persentase penggunaan obat yang
mempengaruhi darah pada penelitian ini adalah sebesar 0,5% yang terdiri atas
golongan antikoagulan.
5.
Obat Analgetik dan Antipiretik
Obat analgetik yang diberikan pada pasien demam tifoid kelompok
pediatrik ini berfungsi untuk menghilangkan rasa nyeri atau sakit tanpa
menghilangkan kesadaran pasien, sedangkan obat antipiretik diberikan untuk
menurunkan demam pada pasien yang mana merupakan gejala klinis yang sangat
sering dialami oleh pasien demam tifoid. Jenis analgesik yang digunakan ada dua
yaitu analgesik opioid dan analgesik non-opioid. Pada hasil penelitian ini jenis
analgesik yang digunakan hanyalah analgesik jenis non-opioid (Tjay, 2007). Jenis
analgesik opioid tidak digunakan karena dikhawatirkan dapat menimbulkan
ketergantungan bila digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama. Persentase
penggunaan obat analgetik pada penelitian ini adalah sebesar 17,4% yang terdiri
atas analgetik golongan non-opioid.
6.
Obat Antiradang (Anti Inflamasi) dan Antialergi
Obat antiradang atau anti inflamasi yang digunakan pada terapi untuk
pasien demam tifoid kelompok pediatrik adalah obat-obatan golongan
kortikosteroid, seperti cortidex®, colergis® (bethametasone dan deksklorfeniramin
maleat), kalmetason, dan deksametason, serta golongan non-steroid (NSAID),
seperti relafen® (ibuprofen). Penggunaan obat anti inflamasi ini bertujuan untuk
mengurangi radang atau inflamasi yang terjadi pada pasien demam tifoid, dan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
44
obat golongan kortikosteroid juga memiliki fungsi sebagai imunosupresan serta
antialergi (contoh: colergis®, yang diindikasikan untuk alergi yang membutuhkan
terapi kortikosteroid) (Tjay, 2007). Persentase penggunaan obat antiradang pada
penelitian ini adalah sebesar 16,8%, yang terbagi atas 15,4% anti inflamasi
golongan kortikosteroid dan 1,4% anti inflamasi golongan non-steroid.
7.
Obat Saluran Pernafasan
Obat untuk saluran pernafasan yang digunakan pada penelitian ini adalah
golongan obat antihistamin, antitusif, ekspektoran, nasal dekongestan dan
mukolitik. Obat-obatan untuk saluran pernafasan tersebut digunakan untuk
menangani batuk, pilek, dan sesak nafas karena adanya mukus pada saluran
pernafasan. Batuk, pilek dan sesak nafas yang seringkali dialami oleh pasien
demam tifoid menyebabkan ketidaknyamanan serta rasa sakit ditenggorokan
(diakibatkan karena batuk yang terus menerus). Persentase penggunaan obat untuk
saluran pernafasan pada penelitian ini adalah sebesar 13,0%, yang terdiri atas
2,4% golongan antihistamin, 0,5% golongan antitusif, 7,2% ekspektoran, 1,9%
golongan nasal dekongestan, dan 1,0% golongan mukolitik.
8.
Infus
Pemberian infus pada pasien, khususnya pasien rawat inap, bertujuan
untuk menjaga kesetimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh pasien. Persentasi
penggunaan infus pada penelitian ini adalah sebesar 15,5% yang terdiri atas infus
RL (12,6%) dan infus DS 5% (2,9%).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
45
C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)
Proses penatalaksanaan terapi pada pasien di rumah sakit harus dilakukan
secara rasional dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian (benefit and
risk) dari efek yang ditimbulkan dari proses pengobatan yang diberikan. Pada
penelitian ini, identifikasi Drug Related Problems (DRPs) dilakukan dengan
mengevaluasi permasalahan yang timbul berkaitan dengan penggunaan antibiotika
pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja
Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. Adapun kategori DRPs yang dievaluasi
yaitu butuh tambahan obat, tidak butuh obat, salah pemberian obat, dosis obat
yang tidak terlalu rendah, dosis obat terlalu tinggi, dan munculnya efek yang tidak
diinginkan atau efek samping obat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi permasalahan terkait
penggunaan antibiotika sebagai terapi pengobatan pada pasien demam tifoid
kelompok pediatrik. Pemberian obat-obatan, khususnya antibiotika, untuk pasien
kelompok pediatrik haruslah benar-benar diperhatikan, sebab organ – organ yang
digunakan untuk melakukan metabolisme obat (seperti hati dan ginjal) belum
sempurna perkembangannya pada anak-anak. Apabila terdapat kesalahan dalam
pemberian antibiotika pada anak-anak, bisa jadi antibiotika tersebut akan
menimbulkan efek toksik atau menjadi racun didalam tubuh anak yang mana
berbahaya bagi keselamatan anak tersebut (Roespandi dan Nurhamzah, 2007).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
46
TABEL VI. Jenis DRPs Penggunaan Antibiotika Pasien Demam Tifoid
Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Pada Tahun 2013
Jumlah
Nomor Kasus
No
Jenis DRPs
DRPs
(Di Lampiran)
(n=36)
Terapi tanpa indikasi
1
06, 09, 30
3
(unecessary drug therapy)
01, 02, 03, 04, 05, 07. 08, 10,
Dosis terlalu rendah (dosage too 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18,
2
29
low)
19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26,
27, 28, 29, 31, 32
Dosis terlalu tinggi (dosage too
3
10, 16, 19, 27
4
high)
1.
Terapi tanpa indikasi (unecessary drug therapy)
Penyebab kategori DRPs jenis ini antara lain terapi yang diperoleh sudah
tidak sesuai, menggunakan terapi polifarmasi atau kombinasi yang seharusnya
bisa menggunakan terapi tunggal, kondisi yang seharusnya mendapat terapi non
farmakologi, terapi efek samping yang dapat diganti dengan obat lain, dan
penyalahgunaan obat. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 3 kasus DRPs
kategori terapi tanpa indikasi yang disebabkan oleh penggunaan terapi kombinasi
yang seharusnya masih bisa menggunakan terapi tunggal, yaitu pada kasus nomor
06, 09, dan 30.
Penggunaan kombinasi antibiotika memiliki tujuan-tujuan tertentu, seperti
mencegah resistensi bakteri terhadap antibiotika yang sifatnya mendadak,
mendapatkan manfaat dari dua atau lebih antibiotika yang mekanisme kerjanya
saling bersinergi, menangani kemungkinan adanya infeksi yang disebabkan oleh
lebih dari satu jenis bakteri, memperluas spektrum aktivitas kerjanya dalam
membunuh bakteri, dan digunakan untuk menangani suatu kasus infeksi yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
47
berat (Murray et al., 2009). Penggunaan kombinasi antibiotika pada kasus-kasus
yang ditemukan pada penelitian ini antara lain kombinasi ceftriaxone dengan
cefixime, dan cefixime yang digantikan dengan cefotaxime. Kombinasi
ceftriaxone dan cefixime kurang tepat, karena ditinjau dari bakteri penyebab
demam tifoid, yaitu Salmonella thypi, kombinasi antibiotika umumnya digunakan
untuk menangani infeksi berat yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri
(polimikroba) dengan memanfaatkan efek sinergisme yang saling menunjang
efektivitasnya satu sama lain, sedangkan pada kasus-kasus hasil penelitian ini
pasien dinyatakan hanya terdiagnosa demam tifoid dan tidak disertai penyakit lain
yang kemungkinan disebabkan oleh kuman atau bakteri lainnya selain Salmonella
thypi, sehingga dalam penanganannya cukup diberikan terapi tunggal antibiotika.
Hasil penelitian ini menunjukkan efek dari pemberian kombinasi
antibiotika yang tidak tepat karena seharusnya masih dapat menggunakan terapi
tunggal tidak tampak pada pasien karena pada catatan keperawatan di lembar
rekam
medik
pasien
ditunjukkan
bahwa
pasien-pasien
tersebut
tidak
mengutarakan keluhan yang berkaitan dengan terapi tanpa indikasi (unecessary
drug therapy), dan pasien juga keluar rumah sakit atau pulang rumah dengan
status sembuh dan diizinkan oleh dokter. Sehingga dapat dikatakan bahwa DRPs
yang terjadi pada kasus-kasus terkait dosis yang terlalu rendah tersebut
merupakan DRPs potensial.
2.
Dosis terlalu rendah (dosage too low)
Beberapa penyebab kategori DRPs jenis ini antara lain adanya penggunaan
obat dengan dosis yang terlalu rendah untuk dapat menimbulkan efek terapi yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
48
diinginkan (respon), jarak pemberian obat dalam frekuensi yang panjang atau
jarang untuk dapat memberikan efek terapi, adanya interaksi obat yang dapat
mengurangi jumlah obat yang tersedia dalam bentuk aktif, durasi terapi
pengobatan terlalu pendek untuk dapat menghasilkan efek terapi.
Kadar
antibiotika
minimal
yang
diperlukan
untuk
menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroba dikenal dengan istilah kadar hambat
minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Fungsi antibiotika terhadap
KHM dapat dibagi menjadi fungsi terhadap konsentrasinya (concentration
dependent) dan terhadap waktu (time dependent). Pada antibiotika golongan
concentration dependent, semakin tinggi kadar obat dalam darah maka semakin
tinggi atau kuat pula daya kerjanya sehingga kecepatan dan efektivitas kerjanya
dapat ditingkatkan dengan menaikkan kadar obat dalam darah hingga jauh di atas
KHM. Sedangkan pada antibiotika jenis time dependent, selama kadarnya dapat
dipertahankan sedikit di atas KHM sepanjang durasi kerjanya, kecepatan dan
efektivitas kerja obat tersebut akan mencapai nilai maksimal. Jenis antibiotika dari
golongan sefalosporin generasi ketiga seperti ceftriaxone, cefixime dan
cefotaxime merupakan antibiotika yang mekanisme kerjanya dalam membunuh
bakteri penyebab infeksi (bakterisidal) dipengaruhi oleh waktu (time dependent)
(Nuermberger dan Grosset, 2004).
Pada hasil penelitian, diperoleh 29 kasus DRPs kategori dosis terlalu
rendah (dosage too low), yaitu pada nomor kasus 01, 02, 03, 04, 05, 07. 08, 10,
11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, dan 32
(dapat dilihat pada lampiran). Pemberian antibiotika dengan dosis yang terlalu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
49
rendah secara langsung mempengaruhi efektivitas terapi yang ingin dicapai serta
lamanya masa rawat inap pasien. Semua kasus yang terkait dosis terlalu rendah
tersebut tidak disebabkan oleh karena regimen dosis yang diberikan untuk pasien
terlalu rendah (underdose) berdasarkan berat badan pasien, namun dikarenakan
oleh durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat
dan interval
pemberiannya yang terlalu panjang. Durasi penggunaan obat yang terlalu singkat
merupakan salah satu penyebab jenis DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low)
yang mana berpengaruh dalam pencapaian efektivitas terapi. Durasi penggunaan
antibiotika ini berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh
bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam
tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi
kembali, sedangkan interval atau frekuensi pemberian suatu obat yang terlalu
panjang dapat menyebabkan konsentasi obat tersebut didalam cairan plasma tidak
mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang
diharapkan (Benin dan Dowel, 2001).
Dari hasil penelitian ini, efek dari pemberian antibiotika dengan dosis
yang terlalu rendah dan durasi penggunaan yang terlalu singkat tidak tampak pada
pasien karena pada catatan keperawatan di lembar rekam medik pasien
ditunjukkan bahwa pasien-pasien tersebut tidak mengutarakan keluhan yang
berkaitan dengan efek dari dosis antibiotika yang terlalu rendah, dan pasien juga
keluar rumah sakit atau pulang rumah dengan status sembuh dan diizinkan oleh
dokter. Sehingga dapat dikatakan bahwa DRPs yang terjadi pada kasus-kasus
terkait dosis yang terlalu rendah tersebut merupakan DRPs potensial.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3.
50
Dosis terlalu tinggi (dosage too high)
Jenis DRPs ini umumnya disebabkan karena dosis yang diberikan terlalu
tinggi sehingga memunculkan efek yang berlebihan, frekuensi pemberian obat
terlalu pendek sehingga terjadi akumulasi, durasi terapi pengobatan terlalu
panjang, interaksi obat dapat menghasilkan efek toksik, obat diberikan atau
dinaikkan dosisnya terlalu cepat. Pemberian antibiotika pada pasien pediatrik
haruslah diperhatikan secara khusus regimen dosisnya. Hal ini disebabkan pada
pasien pediatrik organ – organ yang digunakan untuk melakukan metabolisme
obat (seperti hati dan ginjal) belum sempurna perkembangannya pada anak-anak.
Pemberian dosis antibiotika pada anak-anak yang tidak tepat, berisiko
menimbulkan efek yang tidak diinginkan atau bahkan berpotensi menimbulkan
efek toksik (menjadi racun) didalam tubuh anak yang mana berbahaya bagi
keselamatan anak tersebut. Selain itu, penggunaan antibiotika dengan dosis yang
terlalu tinggi atau tidak tepat juga berpotensi mengakibatkan timbulnya resistensi
antibiotika (Roespandi dan Nurhamzah, 2007).
Dari hasil penelitian ini diperoleh 4 kasus DRPs kategori dosis terlalu
tinggi (dosage too high), yaitu kasus nomor 10, 16, 19, dan 27 (dapat dilihat pada
lampiran). Pada keempat kasus tersebut, dosis antibiotika ceftriaxone yang
diberikan melebihi regimen dosis antibiotika yang terdapat pada guideline therapy
yang menjadi acuan dalam analisis data penelitian ini, yaitu 50 – 100
mg/kgBB/hari. Namun dilihat dari keluhan yang diutarakan oleh pasien selama
masa perawatan serta status keluar pasien yang sembuh dan diizinkan oleh dokter,
dapat dilihat bahwa efek yang dapat terjadi akibat pemberian antibiotika dengan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
51
dosis terlalu tinggi tersebut tidaklah terjadi. DRPs yang terjadi pada kasus-kasus
terkait dosis yang terlalu tinggi tersebut merupakan DRPs potensial.
D. Rangkuman Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)
Penelitian mengenai evaluasi DRPs terkait penggunaan antibiotika pada
pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok
Banjarnegara tahun 2013 memperoleh hasil sejumlah 36 kasus DRPs, yaitu 3
kasus terapi tanpa indikasi (unecessary drug therapy) sebesar 8,3%, 29 kasus
dosis terlalu rendah (dosage too low) sebesar 80,6% dan 4 kasus dosis terlalu
tinggi (dosage too high) sebesar 11,1%. Jenis DRPs yang terjadi adalah DRPs
potensial, yakni jenis DRPs yang mungkin terjadi atau dialami oleh pasien namun
tidak tampak ditinjau dari keluhan yang diutarakan oleh pasien tersebut tetapi
tetap berpotensi efek yang merugikan pasien. DRPs aktual yang merupakan jenis
DRPs yang benar-benar dialami oleh pasien dan menimbulkan efek yang
merugikan pasien, tidak ditemukan dalam penelitian ini.
Tabel VII. Hasil Evaluasi DRPs Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di
RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013.
No.
Kasus
Antibiotika
(Generik)
Dosis Pemberian
(mg/hari)
Dosis Literatur
(mg/hari)
DRPs
01
Ceftriaxone
1700
1150 – 2300
Dosis terlalu
rendah
02
Ceftriaxone
1000
750 – 1500
Dosis terlalu
rendah
03
Ceftriaxone
1600
1050 – 2100
Dosis terlalu
rendah
Kategori
Penyebab DRPs
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
Durasi terlalu
pendek & interval
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
52
Tabel VIII. Lanjutan
04
Ceftriaxone
500
440 – 880
Dosis terlalu
rendah
05
Ceftriaxone
1400
1000 – 2000
Dosis terlalu
rendah
06
Ceftriaxone
Cefixime
1800
200
1150 – 2300
345 – 460
Terapi tanpa
indikasi
07
Cefixime
Cefotaxime
200
1000
268,5 – 358
895 – 3580
Dosis terlalu
rendah
09
Ceftriaxone
Cefixime
2000
200
1500 – 3000
450 – 600
Terapi tanpa
indikasi
10
Ceftriaxone
1400
605 – 1210
Dosis terlalu
tinggi dan Dosis
terlalu rendah
11
Ceftriaxone
1200
800 – 1600
Dosis terlalu
rendah
12
Ceftriaxone
1200
700 – 1400
Dosis terlalu
rendah
13
Ceftriaxone
1000
1550 - 3100
Dosis terlalu
rendah
14
Ceftriaxone
1200
750 – 1500
Dosis terlalu
rendah
15
Ceftriaxone
2000
1000 – 2000
Dosis terlalu
rendah
16
Ceftriaxone
1800
785 – 1570
Dosis terlalu
tinggi & Dosis
terlalu rendah
17
Ceftriaxone
1000
975 – 1950
Dosis terlalu
rendah
terlalu panjang
Interval
pemberian terlalu
panjang
Interval
pemberian terlalu
panjang
Dapat
menggunakan
terapi tunggal
Durasi
penggunaan
terlalu pendek
Dapat
menggunakan
terapi tunggal
Dosis terlalu
tinggi & Interval
terlalu panjang
Interval
pemberian terlalu
panjang
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
Dosis terlalu
tinggi & interval
terlalu panjang
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
53
Tabel VIII. Lanjutan
Dosis terlalu
rendah
Dosis terlalu
tinggi & Dosis
terlalu rendah
18
Ceftriaxone
1600
975 – 1950
19
Ceftriaxone
1800
860 – 1720
20
Ceftriaxone
1200
800 – 1600
Dosis terlalu
rendah
21
Ceftriaxone
1800
1000 – 2000
Dosis terlalu
rendah
22
Ceftriaxone
1600
850 – 1700
Dosis terlalu
rendah
23
Ceftriaxone
2000
1300 – 2600
Dosis terlalu
rendah
24
Ceftriaxone
1500
1050 – 2100
Dosis terlalu
rendah
25
Ceftriaxone
1200
650 – 1300
Dosis terlalu
rendah
26
Ceftriaxone
1200
1000 – 2000
Dosis terlalu
rendah
27
Ceftriaxone
2000
945 – 1890
Dosis terlalu
tinggi & Dosis
terlalu rendah
28
Ceftriaxone
1700
1200 – 2400
Dosis terlalu
rendah
29
Ceftriaxone
1200
700 – 1400
Dosis terlalu
rendah
30
Ceftriaxone
Cefixime
2000
200
1300 – 2600
390 – 520
Terapi tanpa
indikasi
31
Ceftriaxone
1000
655 – 1310
Dosis terlalu
rendah
Interval terlalu
panjang
Dosis terlalu
tinggi & interval
terlalu panjang
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
Interval
pemberian terlalu
panjang
Interval terlalu
panjang
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
Dosis terlalu
tinggi & interval
terlalu panjang
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
Dapat
menggunakan
terapi tunggal
Interval
pemberian terlalu
panjang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
54
Tabel VIII. Lanjutan
32
Ceftriaxone
1200
DRPs : Drug Related Problems
860 – 1720
Dosis terlalu
rendah
Durasi terlalu
pendek & interval
terlalu panjang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada
Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja
Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013” diperoleh hasil sebagai berikut:
1.
Karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik, yaitu:
a. Kelompok usia anak-anak (> 5 – 12 tahun) sebesar 59,4 % dan
kelompok usia balita (> 1 – 5 tahun) sebesar 40,6%.
b. 50% pasien pediatrik laki-laki dan 50% pasien pediatrik
perempuan.
2.
Profil penggunaan antibiotika pada pasien, yaitu:
a. Sebesar 86,1% menggunakan antibiotika golongan sefalosporin
generasi ketiga jenis ceftriaxone
b. Sebesar 11,1% menggunakan antibiotika golongan sefalosporin
generasi ketiga jenis cefixime
c. Sebesar 2,8% menggunakan antibiotika golongan sefalosporin
generasi ketiga jenis cefotaxime
3.
Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada pasien, yaitu:
a. Sebanyak 3 kasus terapi tanpa indikasi (unecessary drug therapy)
b. Sebanyak 25 kasus dosis terlalu rendah (dosage too low)
c. Sebanyak 4 kasus dosis terlalu tinggi (dosage too high)
54
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
55
B. Saran
1.
Untuk Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara perlu
dilakukan:
a. Adanya penentuan standar dosis terapi antibiotika untuk pasien
demam tifoid kelompok pediatrik dengan menggunakan literatur atau
acuan yang terbaru agar dapat mengoptimalkan efektivitas terapi dan
pelayanan medis bagi pasien.
b. Pengisian data lembar rekam medik sebaiknya diusahakan agar lebih
disiplin, lengkap dan jelas, serta menggunakan bahasa yang baik
(bahasa Indonesia), sehingga terhindar dari adanya kesalahan
membaca dan pelaksanaan terapi pada pasien dapat berjalan lebih
optimal.
2.
Untuk penelitian selanjutnya:
a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara prospektif mengenai
penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik
untuk melihat kajian kepatuhan pasien (compliance) pada aspek
pharmaceutical care dan dapat digunakan acuan terbaru untuk
mengevaluasi DRPs yang terjadi pada penelitian tersebut.
b. Perlu dilakukan wawancara dengan dokter penulis resep secara
mendalam untuk setiap kasus yang dijadikan subjek penelitian.
c. Perlu dilakukan penelitian yang sama namun di rumah sakit yang
berbeda agar dapat diketahui penatalaksanaan terapi dan jumlah kasus
yang teridentifikasi sehingga dapat dijadikan perbandingan.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
56
DAFTAR PUSTAKA
Ali, S., 2006, Thypoid Fever, Gildeprints, Netherland, pp. 25 – 43.
Benin, A.L. dan Dowel, S.F., 2001, Antibiotic Resistance and Implications for
The Appropriate Use of Antimicrobial Agents, Humana Press Inc., New
Jersey, pp. 3 – 25.
Brusch, J., 2010,
Thypoid Fever: Treatment
and Medication,
http://emedicine.medscape.com/article.231135, diakses tanggal 14 April
2014.
Chen, K. dan Pohan, H.T., 2008, Penatalaksanaan Terkini Demam Tifoid,
http://medicineforthesoul.multiply.com/journal/item/8, diakses tanggal 14
April 2014.
Cunha,
B.A., 2007, Drugs; Administration and Kinetic of Drugs,
http://www.merckmanuals.com/home/sec02/ch011/ch011b.html, diakses
tanggal 09 September 2014.
Cipolle, R.J., 2004, Pharmaceutical Care Practice: The Clinician’s Guide, The
McGraw-Hill Companies, Inc., USA, pp. 172-176.
Ganiswara, 1995, Farmakologi dan Terapi, Fakultas Kedokteran Indonesia, hal.
25-38.
Halim, S., 2013, Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Diuretik
Pada Pasien Geriatri Dengan Hipertensi Komplikasi Stroke Di Rumah
Sakit Panti
Rini Yogyakarta Periode Januari 2012 – Juni 2013, Skripsi,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pp. 21-22.
Herawati, M.H., 2009, Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian Demam
Tifoid di Indonesia Tahun 2007, Media Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan vol. XIX no. 4, pp. 165 – 173.
Hudson, J.Q., 2008, Pharmacotherapy: A Pathophsyologic Approach, 7th ed.,
The McGraw-Hill Companies, Inc., pp. 746-749.
Indriani, D.V., 2010, Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi Di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009 – Maret 2010, Skripsi,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, p. 33.
Islam, A., Butler, T., Kabir, I., and Alam, H., 1993, Treatment of Thypoid Fever
with Ceftriaxone for 5 Days or Chloramphenicol for 14 Days: a
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
57
Randomized Clinical Trial, Antimicrobial Agents and Chemotherapy,
vol.37 No.8, pp. 1572 – 1575.
Izenberg, N., 2000, Handbook of Pediatric Drug Therapy, 2nd edition,
Springhouse Corporation, USA, pp. 1525 – 1527.
Jurwanto, W., 2009, Koran Indonesia Sehat: Demam Tifus, Yudhasmara
Publisher, Jakarta.
Kass, E.H., and Platt, R., 1990, Current Therapy of Infectous Disease-3, BC
Pecker Inc., Philadelphia, pp. 105-116.
Katzung, B., 2008, Basic and Clinical Pharmacology, 10th edition, Mc Graw-Hill,
USA, pp. 1007-1012.
Lacy, C.F., Armstrong, L.L., and Goldman, M.P., 2006, Drug Information
Handbook: A Comprehensive Resource of All Clinicians and Healthcare
Professionals, Lexi-Comp Inc., USA, pp. 149-1089.
Mansjoer, A. dan Triyanti, K., 1999, Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, jilid 1,
Penerbit Media Aesculapius FKUI, Jakarta, hal. 421-425.
Musnelina, L. dan Andayani, P., 2004, Pola Pemberian Antibiotika Pengobatan
Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Tahun 20012002, Makara, Kesehatan, volume 8, no. 1, hal. 27-31.
Mutschler, E., and Derendorf, H., 1995, Drug Actions: Basic Principles and
Therapeutic Aspects, CRS Press Medpharm Scientific Publisher,
Stuttgart, Germany, pp. 515-519.
Nuermberger, E. dan Grosset, J., 2004, Pharmacokinetic and Pharmacodynamic
Issues
in
the
Treatment
of
Mycobacterial
Infections,
www.antimicrobe.org/EJCMID/e2.pdf, diakses tanggal 05 April 2015.
Ochiai, R., Camilo, J., Carolina, M., Dong, B., Sujit, K., and Magdarina, D., 2008,
A Study of Thypoid Fever in Five Asian Countries: Disease Burden and
Implications for Controls, Buletin of The World Helath Organization,
http://www.who.int/bulletin/volume/862/4/en/268.pdf, diakses tanggal 18
Oktober 2014.
Pratiwi, E.P, 2010, Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Penderita
Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Angoesdjam Ketapang
Periode Juni 2008 - Juni 2009, Skripsi, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta, p. 22.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
58
Roespandi, H., dan Nurhamzah, W., 2007, Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak
di Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, hal.
167-168.
Rufaldi, C.D., 2011, Evaluasi Penggunaan Antiobiotika Pada Pasien Demam
Tifoid Kelompok Pediatrik Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti
Rapih Yogyakarta Periode Januari - Desember 2010, Skripsi, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta, pp. 14, 28.
Santillan, R.M., Garcia, G.R., Benavente, I.H., and Garcia, E.M., 2000, Efficacy
of Cefixime in the Therapy of Typhoid Fever, West Pharmacology
Society, pp. 65 – 66.
Sari, L.M., 2009, Evaluasi Drug Therapy Problems Pada Pengobatan Kasus
Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan
Sleman Yogyakarta Periode Juni 2007 – Juni 2008, Skripsi, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta, p. 24.
Shah, R., Kundu, R., Ganguly, N., Ghosh, T., and Yewale, V., 2006, IAP Task
Force Report: Management of Enteric Fever in Children, Indian Pediatric
volume 43, pp.884-887.
Shulman, 1992, The Biology and Clinical Basic of Infectious Disease, 4th edition,
WB. Saunders Company, Philadelphia, USA, pp. 134-146.
Soedarto, 1996, Penyakit-Penyakit Infeksi di Indonesia, Widya Medika, Jakarta,
hal. 42-49.
Tjay, T.H., 2007, Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek
Sampingnya, Edisi 6, Gramedia, Jakarta, pp. 519 – 522.
Triana, M., 2003, Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid bagi Pasien Anak Di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari
2000 – Desember 2001, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Widodo, D., 2010, Kebijakan Penggunaan Antibiotika Bertujuan Meningkatkan
Kualitas Pelayanan Pasien dan Mencegah Peningkatan Resistensi Kuman,
Cermin Dunia Kedokteran (CDK), vol. 37, no. 1, hal. 7-10.
Wihartoyo, B., 2012, Sejarah dan Makna Simbol Kabupaten Banjarnegara,
www.wihartoyobna.blogspot/2012/sejarah-kabupaten-banjarnegara.com,
diakses tanggal 17 Maret 2015.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
58
World Health Organization, 2003, Background Document: The Diagnosis,
Treatment, and Prevention of Thypoid Fever, World Health Organization,
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_V&B_03.07.pdf, diakses tanggal
14 April 2014.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
LAMPIRAN
59
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
60
Lampiran 1. Nilai Normal Pemeriksaan Data Laboratorium Pasien Demam
Tifoid Kelompok Pediatrik RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara
Pada Tahun 2013
Parameter
Hemoglobin
Leukosit
Eritrosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Widal S. typhii H
Widal S. typhii O
Ig G antibodi S. typhii
Ig M antibodi S. typhii
Nilai Normal
Laki-laki
Perempuan
14 – 18
12 – 16
4,8 – 10,8
4,8 – 10,8
4,7 – 6,1
4,2 – 5,4
0,045 – 0,44
0,045 – 0,44
0,0 – 0,2
0,0 – 0,2
1,8 – 8
1,8 – 8
0,9 – 3,2
0,9 – 3,2
0,16 – 1
0,16 – 1
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Satuan
g/dL
103/µL
106/µL
103/µL
103/µL
103/µL
103/µL
103/µL
-
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
61
Lampiran 2. Guideline Dosis Antibiotika untuk Pasien Demam Tifoid
Kelompok Pediatrik
Acuan / Pustaka
(Lacy et al., 2006)
(Roespandi dan
Nurhamzah, 2007)
(WHO, 2003)
(Kass dan Platt, 1990)
Drug Name
Dose
Duration
Ceftriaxone
Cefixime
Cefotaxime
Meropenem
Imipenem + Cilastatin
Cephradine
50 – 100 mg/kg/day/12 jam
20 mg/kg/day/12 jam
50 – 200 mg/kg/8 jam
60 mg/kg/day/8 jam
15 – 25 mg/kg/6 jam
50 – 100 mg/kg/6 jam
Chloramphenicol
Amoxicillin
Cotrimoxazole
Ceftriaxone
Cefixime
50 – 100 mg/kg/6 jam
100 mg/kg/hari
48 mg/kg/12 jam
80 mg/kg/hari
20 mg/kg/12 jam
7 – 14 days
10 days
10 days
5 – 7 days
10 days
Chloramphenicol
Amoxicillin
Cefixime
50 – 75 mg/kg/hari
75 – 100 mg/kg/hari
15 – 20 mg/kg/hari
14 – 21 days
14 days
7 – 14 days
Chloramphenicol
50 mg/kg/6 jam
7 – 14 days
8 – 14
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
62
Lampiran 3. Hasil Wawancara Peneliti Dengan Dokter Di Rumah Sakit
Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Mengenai Standar Pengobatan
Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik
1. Penyebab demam tifoid pada kelompok pediatrik di RS Emanuel paling
umum adalah karena pola makan (kebiasaan menjajan) yang tidak bersih
dan tidak sehat.
2. Gejala yang paling umum dari demam tifoid yaitu demam tinggi disertai
mual muntah, nyeri perut dan diare selama beberapa hari.
3. Uji laboratorium dilakukan diawal sebagai penunjang diagnosa yang
dilakukan oleh dokter terhadap pasien demam tifoid. Uji laboratorium
yang dilakukan berupa tes hematologi dan imunoserologi.
4. Obat lini pertama atau first line yang diberikan pada pasien demam tifoid
(kelompok pediatrik) yaitu antibiotika golongan sefalosporin generasi
ketiga ceftriaxone yang dosisnya disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan pasien. Apabila pasien mengalami alergi terhadap ceftriaxone,
dapat digunakan pula antibiotika lain seperti cefixime, cefadroxil,
cefotaxime, kloramfenikol.
5. Ceftriaxone dipilih sebagai first line therapy untuk pengobatan demam
tifoid di RS Emanuel dibandingkan kloramfenikol yang sudah secara
umum digunakan sebagai first line therapy untuk demam tifoid di
Indonesia. Hal ini sebabkan karena kloramfenikol menimbulkan rasa nyeri
saat
diberikan
secara
intravena,
selain
itu
durasi
penggunaan
kloramfenikol cukup lama yakni 7 – 14 hari dengan frekuensi 4 – 5x
sehari. Sedangkan untuk ceftriaxone, pada saat digunakan secara intravena
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
63
6. tidak menimbulkan rasa nyeri dan durasi penggunaannya cukup singkat
yaitu 5 – 7 hari dengan frekuensi 1 – 2 x sehari.
7. Terapi pengobatan dan durasi atau masa perawatan terhadap pasien yang
diberikan juga disesuaikan dengan kondisi ekonomi keluarga pasien.
64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT
MERUPAKAN
TIDAK
Lampiran 4. Analisis Drug Related Problems
(DRPs) Pasien
Demam TifoidTINDAKAN
Kelompok Pediatrik
RS.TERPUJI
Emanuel Purwareja Klampok
Banjarnegara Pada Tahun 2013
No. Kasus : 01
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 7 tahun / Perempuan / 23 kg
Masuk Rumah Sakit : 31 Maret 2013 – 02 April 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium ( 31 Maret 2013 )
Basofil : 0,00
Neutrofil : 4,50
Hematologi
Hemoglobin : 10,7
Limfosit : 2,22
Leukosit : 6,83
Monosit : 1,18
Eritrosit : 4,50
Eosinofil : 0,041
31
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
40,5
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
-
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : -
Badan panas,
lemas, mual
Keluhan Pasien
Penatalaksanaan Obat
Ceftriaxone 1,7 gram i.v
Antrain 1 cc i.v
Kalmetasone 1/2 ampul i.v
Relafen 1 cth
Cortidex 2/3 ampul i.v
Rhinos Junior 3/4 cth
Infus RL
Perjalanan Penyakit : Pasien panas, mual dan muntah-muntah sejak kemarin sore
Status Keluar :Sembuh dan diizinkan
P
Si
√
√
√
√
√
So
M
√
√
√
√
√
01
38,7
Masih agak
panas, sudah
lebih enakkan
P Si So M
√
√
√
√
√
√
√
√
02
36
Sudah enakkan
P
Si
So M
P
Si
So M
P
Si
So M
P
Si
So M
√
√
√
√
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 2 hari, dan interval pemberiannya juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Durasi
penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari dengan interval pemberiannya tiap 12 jam/hari (WHO, 2003). Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat
dan interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi penggunaan terlalu singkat
dapat menyebabkan bakteri penginfeksi belum sepenuhnya terbunuh dan beresiko menginfeksi kembali, sedangkan interval pemberian terlalu panjang dapat
menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis
terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang
oleh dokter.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone hingga 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan
memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 02
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 4 tahun / Perempuan / 15 kg
Perjalanan Penyakit : Badan panas sejak 4 hari lalu, sudah minum obat tapi tidak
Masuk Rumah Sakit : 21 Mei 2013 – 24 Mei 2013
sembuh
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium ( 21 Mei 2013 )
Basofil : 0,03
Immunoserologi
Neutrofil :10,41
S. thypii H : Hematologi
Hemoglobin : 12,1
Limfosit : 2,06
S. thypii O : Positif 1/320
Leukosit : 14,34
Monosit : 1,81
Ig G antibodi S. thypii : Eritrosit : 4,47
Ig M antibodi S. thypii : Eosinofil : 0,03
21
22
23
24
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu
Tubuh
(°C)
38
37,6
36,2
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Panas, pusing,
Sudah tidak
Sudah tidak
Keluhan Pasien
badan lemas
panas
panas
P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Antrain 0,3 cc
√
√
√
Ceftriaxone 1 gram i.v
√
√
√
Cortidex 2/3 ampul
√
√ √
√
√ √ √
√
Curvit 1 cth
√
√
√
√
Pyrexin 1,5 cth
√ √
√ √ √ √ √ √
Oxoryl 2/3 cth
√ √ √
√
√
Curmunos 1 cth
√
√
√
√
Infus RL
√
√
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 3 hari, dan interval pemberiannya juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Durasi
penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari dengan interval pemberiannya tiap 12 jam (WHO, 2003). Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi penggunaan terlalu singkat dapat
menyebabkan bakteri penginfeksi belum sepenuhnya terbunuh dan beresiko menginfeksi kembali, sedangkan interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan
konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah
akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
65
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone hingga 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan
memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 03
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Perempuan / 21 kg
Perjalanan Penyakit : Badan panas dan batuk-batuk sejak 4 hari lalu
Masuk Rumah Sakit : 01 Juli 2013 – 05 Juli 2013
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium ( 01 Juli 2013 )
Basofil : 0,02
Immunoserologi
Neutrofil : 5,33
S. thypii H : Hematologi
Hemoglobin : 13,0
Limfosit : 3,06
S. thypii O : Positif 1/320
Leukosit : 10,56
Monosit : 1,17
Ig G antibodi S. thypii :Eritrosit : 4,72
Ig M antibodi S. thypii : Eosinofil : 0,98
01
02
03
04
05
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
37,8
36,2
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Badan agak
Masih panas,
Sudah tidak
Sudah enakkan
Sudah enakkan
Keluhan Pasien
panas dan batuk batuk berkurang
begitu panas
P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Terfacef® 1,6 gram i.v
√
√
√
√
Infus Ds 5%
√
√
√
Cortidex 1/2 ampul
√ √ √
√ √
√
√ √
Progesic 1 cth
√ √ √
√ √ √ √ √
√
√
Comtusi 1 cth
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √
Imunos 1 cth
√
√
Curmunos 1 cth
√
√
√
√
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan terfacef® (ceftriaxone) terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, dan interval pemberiannya juga terlalu panjang yaitu > 12 jam.
Durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari dengan interval pemberiannya tiap 12 jam (WHO, 2003). Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu
singkat dan interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi penggunaan terlalu
singkat dapat menyebabkan bakteri penginfeksi belum sepenuhnya terbunuh dan beresiko menginfeksi kembali, sedangkan interval pemberian terlalu panjang dapat
menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis
terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang
oleh dokter.
66
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone hingga 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan
memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 04
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 2 tahun / Perempuan / 8,8 kg
Perjalanan Penyakit : Badan panas naik turun selama 2 minggu, sudah diberi obat
Masuk Rumah Sakit : 15 Maret 2013 – 19 Maret 2013
tidak sembuh-sembuh, 3 hari terakhir batuk-batuk.
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (15 Maret 2013 )
Basofil : 0,03
Immunoserologi
Neutrofil : 4,18
S. thypii H : Hematologi
Hemoglobin : 12,4
Limfosit : 3,68
S. thypii O : Positif 1/160
Leukosit :10,33
Monosit : 2,38
Ig G antibodi S. thypii : Eritrosit : 4,66
Ig M antibodi S. thypii : Eosinofil : 0,06
15
16
17
18
19
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu
Tubuh
(°C)
38
37,6
36,5
37
36,1
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Badan panas,
Masih agak
Masih agak
Tidak ada
Tidak ada
batuk-batuk,
panas, sudah
Keluhan Pasien
panas, batuk
keluhan
keluhan
pusing
tidak batuk
P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Ceftriaxone 500 gram i.v
√
√
√
√
√
Cortidex 2/3 ampul
√
√ √
√ √
√
√ √
√
√
Comtusi ½ cth
√ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √
Curmunos 1 cth
√
√
√
√
√
Progesic ½ cth
√ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √
Infus Ds 5%
√
√
√
Assessment
Dosis ceftriaxone yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 440 – 880 mg/hari (Lacy et al., 2006) dan durasi penggunaannya juga sudah tepat yaitu 5 – 7 hari
(WHO, 2003) namun interval pemberiannya terlalu panjang yaitu > 12 jam. Interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs
dosis terlalu rendah (dosage too low). Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi
terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat tidak
terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
67
68
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rekomendasi
Pemberian ceftriaxone dilakukan tiap 12 jam/hari. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan
makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 05
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Laki-laki / 20 kg
Masuk Rumah Sakit : 04 Maret 2013 – 08 Maret 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium ( 04 Maret 2013 )
Basofil : 0,01
Neutrofil : 3,29
Hematologi
Hemoglobin : 8,4
Limfosit : 2,80
Leukosit : 19,01
Monosit : 0,56
Eritrosit : 4,79
Eosinofil : 0,04
04
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu
Tubuh
(°C)
38
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Keluhan Pasien
Penatalaksanaan Obat
Oxoryl 1 cth
Terfacef® 1,4 gram i.v
Progesic 0,5 cth
Cortidex ¾ ampul
Rhinos Junior 1 cth
Infus RL
Perjalanan Penyakit : Demam tinggi, nyeri kepala, mual dan batuk sejak 2 hari lalu.
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/160
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 05
-
Panas, pusing,
mual, batuk dan
gatal-gatal
Masih panas
dan batuk, gatalgatal
P
P
√
Si
So
√
√
M
√
√
√
√
Si
√
√
√
√
√
So M
√
√
√
√
√
√
06
Sudah tidak
begitu panas,
masih gatalgatal
P Si So M
√ √ √
√
√ √
√
√
√ √
√
√
07
35,6
-
08
36,1
-
Sudah enakkan
Sudah enakkan
P
√
√
√
P
√
√
√
Si
√
So M
√
√
√
Si
So M
P
Si
So M
√
Assessment
Dosis terfacef® (ceftriaxone) yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 1000 – 2000 mg/hari (Lacy et al., 2006) dan durasi penggunaannya juga sudah tepat yaitu 5
– 7 hari (WHO, 2003) namun interval pemberiannya terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori
DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi
terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat tidak
terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rekomendasi
Pemberian ceftriaxone dilakukan tiap 12 jam/hari. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan
makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
.
No. Kasus : 06
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 8 tahun / Laki-laki / 23 kg
Perjalanan Penyakit : Badan panas naik turun, batuk-pilek, perut sakit, mual-mual dan
Masuk Rumah Sakit : 15 Februari 2013 – 18 Februari 2013
muntah
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (15 Februari 2013 ) Eosinofil: 0,00
Immunoserologi
Basofil : 0,01
S. thypii H : Hematologi
Hemoglobin : 12,1
Neutrofil : 3,52
S. thypii O : Positif 1/320
Leukosit : 16,71
Limfosit : 1,78
Ig G antibodi S. thypii : Eritrosit : 5,81
Monosit : 1,88
Ig M antibodi S. thypii : 15
16
17
18
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
38
37,3
36,2
35,4
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
80
Respiratori (x/menit)
20
Badan panas,
Sudah tidak
Sudah tidak
agak mual,
begitu panas,
Sudah enakkan
Keluhan Pasien
begitu panas
batuk-pilek
masih batuk
P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Ranitidin ½ ampul
√
Infus RL
√
√
√
Papaverin ½ ampul
√
√
Antrain 0,6 cc
√
√
Trifed ½ cth
√
Ondancentron ½ ampul
√
Comtusi 1 cth
√ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √
√
Progesic 1 cth
√ √ √ √
Terfacef® 1,8 gram
√
√
√
√
Cortidex ¾ ampul
√ √ √
√ √
√ √
Cefspan® 1 cth
√
√
√ √
√ √
69
70
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Assessment
Terapi tanpa indikasi: Kombinasi ceftriaxone dan cefixime kurang tepat, karena ditinjau dari bakteri penyebab demam tifoid, yaitu Salmonella thypi, kombinasi
antibiotika umumnya digunakan untuk menangani infeksi berat yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri (polimikroba) dengan memanfaatkan efek sinergisme
yang saling menunjang efektivitasnya satu sama lain, sedangkan pada kasus ini pasien dinyatakan hanya terdiagnosa demam tifoid dan tidak disertai penyakit lain yang
kemungkinan disebabkan oleh kuman atau bakteri lainnya selain Salmonella thypi, sehingga dalam penanganannya cukup diberikan terapi tunggal antibiotika.
Rekomendasi
Menggunakan salah satu jenis antibiotika sebagai terapi tunggal. Pasien disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi
konsumsi jajanan yang kurang bersih atau tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 07
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Laki-laki / 17,9 kg
Masuk Rumah Sakit : 16 Maret 2013 – 21 Maret 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium ( 16 Maret 2013 )
Eosinofil: 0,02
Basofil : 0,01
Hematologi
Hemoglobin : 13,97
Neutrofil : 7,95
Leukosit : 15,56
Limfosit : 2,60
Eritrosit : 6,03
Monosit : 0,88
16
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
38
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Keluhan Pasien
Penatalaksanaan Obat
Cortidex 2/3 ampul
Infus RL
Cefspan® 1 cth
Oxoryl ¾ cth
Vestein
Cefarin® 1000 mg
Lacto-B
Perjalanan Penyakit : Badan panas, batuk-pilek, mencret sudah semingguan
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Badan panas,
kepala pusing
P
Si
So
√
M
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
17
36,3
Sudah tidak
panas, agak
susah makan
P Si So M
√ √
√
√
18
Sudah tidak
panas, sudah
mau makan
P Si So M
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Immunoserologi
S. thypii H : Positif 1/160
S. thypii O : Positif 1/160
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 19
20
36,3
36,4
Sudah lebih
enakkan
P
√
Si
21
35,4
-
Sudah lebih
enakkan
So M
√ √
P
√
Si
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Sudah lebih
enakkan
So M
P
Si
So M
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
71
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Assessment
Penggunaan cefixime sebagai terapi demam tifoid pada pasien sudah tepat karena cefixime merupakan salah satu lini pertama untuk pengobatan demam tifoid selain
kloramfenikol (Shah et al., 2006).
Dosis terlalu rendah: Dosis cefspan® (cefixime) yang diberikan pada pasien terlalu rendah yaitu 200 mg/hari sedangkan pada literatur dosis cefixime yang tepat sesuai
berat badan pasien adalah 268,5 – 358 mg/hari (Lacy et al., 2006). Durasi penggunaan cefixime terlalu singkat yaitu hanya 3 hari, sedangkan pada literatur durasi
penggunaan cefixime yang tepat yaitu 7 – 14 hari (Lacy et al., 2006).
Interval penggunaan cefixime terlalu pendek, yaitu < 12 jam. Pemberian obat dengan interval terlalu pendek dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya akumulasi
didalam tubuh pasien yang mana berbahaya bagi kesehatan pasien tersebut.
Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Namun efek dari dosis terlalu
rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang
oleh dokter.
Rekomendasi
Menaikkan dosis cefspan® (cefixime) menjadi 268,5 – 358 mg/12 jam dan memperpanjang durasi penggunaan cefixime menjadi 7 – 14 hari. Pasien disarankan untuk
menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi konsumsi jajanan yang kurang bersih atau tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 08
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Perempuan / 16 kg
Masuk Rumah Sakit : 08 April 2013 – 12 April 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium ( 08 April 2013 )
Eosinofil: 0,00
Basofil : 0,01
Hematologi
Hemoglobin : 12,70
Neutrofil : 6,41
Leukosit : 9,45
Limfosit : 2,28
Eritrosit : 4,52
Monosit : 0,75
08
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
37,9
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Badan panas
Keluhan Pasien
Penatalaksanaan Obat
Infus RL
Ceftriaxone 1,2 gram i.v
Cortidex 2/3 ampul
Curvit 1 cth
Progesic 1 cth
Perjalanan Penyakit : Badan panas naik turun sejak 3 hari lalu, batuk-pilek, mulai
susah makan kemaren siang.
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
P
√
√
√
Si
So
√
√
√
√
√
M
P
√
√
√
√
√
09
38
-
10
37,4
-
Badan panas
Susah makan
Si
√
√
So M
P
√
√
√
√
√
√
Si
So M
√
√
√
√
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 11
12
36,2
35,8
Sudah mau
Sudah enakkan
makan, enakkan
P Si So M P Si So M
√
√
√
√
P
Si
So M
72
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Comtusy ¾ cth
Colergis 1 cth
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Assessment
Dosis ceftriaxone yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 800 – 1600 mg/hari (Lacy et al., 2006) dan durasi penggunaannya juga sudah tepat yaitu 5 – 7 hari
(WHO, 2003) namun interval pemberiannya terlalu panjang. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak
mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori
DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat interval pemberian antibiotika yang terlalu panjang tersebut tidak terjadi
apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Ceftriaxone diberikan tiap 12 jam/hari. Pasien disarankan menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi konsumsi jajanan yang kurang bersih
atau tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 09
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 11 tahun / Laki-laki / 30 kg
Masuk Rumah Sakit : 12 Februari 2013 – 16 Februari 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium ( 12 Februari 2013 ) Eosinofil: 0,00
Basofil : 0,01
Hematologi
Hemoglobin : 11,9
Neutrofil : 3,79
Leukosit : 14,28
Limfosit : 1,12
Eritrosit : 5,21
Monosit : 0,49
12
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
39,1
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Keluhan Pasien
Penatalaksanaan Obat
Terfacef® 2 gram i.v
Cortidex 1 ampul
Pyrexin ¾ cth
Vosedon 1,5 cth
Cefarox® 100 mg
Infus Ds 5%
Perjalanan Penyakit : Badan panas, sakit perut, agak mual sejak 3 hari lalu
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Panas, pusing,
sakit perut, mual
P
Si
√
√
√
√
So
M
√
√
√
13
37,6
Masih panas,
masih agak
mual
P Si So M
√
√ √
√
√
√ √
√
P
√
√
√
√
14
36,2
-
√
√
Sudah lebih
enakkan
Si
So M
P
Si
√
√
√
√
√
√
√
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/640
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 15
16
36
36,2
-
So M
√
√
√
√
P
Si
So M
P
Si
So M
73
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Assessment
Terapi tanpa indikasi: Kombinasi ceftriaxone dan cefixime kurang tepat, karena ditinjau dari bakteri penyebab demam tifoid, yaitu Salmonella thypi, kombinasi
antibiotika umumnya digunakan untuk menangani infeksi berat yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri (polimikroba) dengan memanfaatkan efek sinergisme
yang saling menunjang efektivitasnya satu sama lain, sedangkan pada kasus ini pasien dinyatakan hanya terdiagnosa demam tifoid dan tidak disertai penyakit lain yang
kemungkinan disebabkan oleh kuman atau bakteri lainnya selain Salmonella thypi, sehingga dalam penanganannya cukup diberikan terapi tunggal antibiotika.
Rekomendasi
Menggunakan salah satu jenis antibiotika sebagai terapi tunggal. Pasien disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi
konsumsi jajanan yang kurang bersih atau tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 10
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 2 tahun / Laki-laki / 12,1 kg
Masuk Rumah Sakit : 21 Februari 2013 – 25 Februari 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium ( 21 Februari 2013 ) Basofil : 0,02
Neutrofil : 7,30
Hematologi
Hemoglobin : 10,8
Limfosit : 4,17
Leukosit : 24,97
Monosit : 1,38
Eritrosit : 4,82
Eosinofil : 0,06
21
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu
Tubuh
(°C)
37,8
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Demam, tidak
Keluhan Pasien
bisa BAB
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Terfacef® 1,4 gram i.v
√
Cortidex ½ ampul
√ √
Opilax 1 cth
√
Relafen 1 cth
√
Imunos 1 cth
√
Sorbitol 1 cth
√
Infus RL
√
Perjalanan Penyakit : Badan panas naik turun sudah seminggu terakhir
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/640
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 22
-
23
-
24
-
25
-
Sudah bisa BAB
Sudah enakkan
Sudah enakkan
Sudah enakkan
P
√
P
√
√
P
√
√
P
√
√
Si
So M
√
√
√
√
√
√
Si
So M
√
√
Si
So M
√
√
√
√
√
√
Si
So M
P
Si
So M
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Assessment
Dosis terlalu tinggi: Dosis terfacef® (ceftriaxone) yang diberikan terlalu tinggi yaitu 1400 mg/hari sedangkan dosis ceftriaxone berdasarkan literatur acuan yang
digunakan untuk pasien dengan berat badan 12,1 kg yaitu 605 – 1210 mg/hari (Lacy et al., 2006).
Dosis terlalu rendah: Interval pemberian ceftriaxone terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam
cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan.
Ditinjau dari keluhan pasien efek dari dosis terlalu tinggi dan dosis terlalu rendah tidak tampak.
Rekomendasi
Menurunkan dosis terfacef® (ceftriaxone) menjadi 605 – 1210 mg/12 jam . Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi,
mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 11
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 5 tahun / Perempuan / 16 kg
Perjalanan Penyakit : Badan panas, batuk, agak pilek, dan agak mual sejak 4 hari lalu
Masuk Rumah Sakit : 20 Februari 2013 – 24 Februari 2013
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium ( 20 Februari 2013 ) Eosinofil : 0,02
Immunoserologi
Basofil
:
0,01
S. thypii H : Hematologi
Hemoglobin : 13,2
Neutrofil : 0,64
S. thypii O : Positif 1/160
Leukosit : 10,30
Limfosit : 3,27
Ig G antibodi S. thypii : Eritrosit : 4,72
Monosit : 0,38
Ig M antibodi S. thypii : 20
21
22
23
24
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
38,3
37
37
35,6
36,1
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Panas, batuk
Masih batuk
Masih batuk
Sudah enakkan
Keluhan Pasien
P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Ceftriaxone 1,2 gram i.v
√
√
√
√
√
Cortidex 2/3 ampul
√
√ √
√ √
√ √ √ √ √
√
Pyrexin 1 cth
√ √ √ √
√ √ √
Comtusy 2/3 cth
√ √ √ √ √
√
√ √ √ √ √ √
√ √
Infus Ds 5%
√
√
√
Assessment
Dosis ceftriaxone yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 800 – 1600 mg/hari (Lacy et al., 2006) dan durasi penggunaannya juga sudah tepat yaitu 5 – 7 hari
(WHO, 2003).
Interval pemberian ceftriaxone terlalu panjang yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak
mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari interval pemberian antibiotika yang terlalu panjang tersebut
tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
74
75
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rekomendasi
Ceftriaxone diberikan dengan interval tiap 12 jam. Pasien disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan
jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 12
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 3 tahun / Perempuan / 14 kg
Masuk Rumah Sakit : 20 Juni 2013 – 24 Juni 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (20 Juni 2013 )
Basofil : 0,00
Neutrofil : 5,95
Hematologi
Hemoglobin : 11,7
Limfosit : 3,92
Leukosit : 10,68
Monosit : 0,73
Eritrosit : 4,12
Eosinofil :0,08
20
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu
Tubuh
(°C)
38
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Badan panas,
Keluhan Pasien
batuk-batuk
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Terfacef® 1,2 gram i.v
√
Pyrexin 1 cth
√ √ √
Comtusy 1 cth
√ √ √
Cortidex ½ ampul
√ √
Ambroxol ½ cth
√ √ √
Curvit 1 cth
√
Infus RL
√
Perjalanan Penyakit : Badan panas sejak seminggu lalu, batuk-batuk
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Ig G antibodi S. thypii : Positif
Ig M antibodi S. thypii : Positif
P
√
√
√
√
√
21
36,8
-
22
-
23
-
24
-
-
-
-
-
Si
So M
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
P
√
√
√
√
√
√
Si
So M
√
√
√
√
√
√
√
√
√
P
√
Si
So M
√
√
P
√
√
√
√
Si
So M
P
Si
So M
76
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan terfacef® (ceftriaxone) terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7
hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone terlalu panjang yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam
cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan
kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau
dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan terfacef® (ceftriaxone) menjadi 5 – 7 hari dengan pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan
dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 13
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 12 tahun / Perempuan / 31 kg
Masuk Rumah Sakit : 22 Februari 2013 – 24 Februari 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (22 Februari 2013)
Basofil : 0,01
Neutrofil : 4,30
Hematologi
Hemoglobin : 12,1
Limfosit : 0,82
Leukosit : 17,50
Monosit : 1,11
Eritrosit : 5,01
Eosinofil : 0,13
22
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
110/80
Suhu Tubuh (°C)
38
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
82
Respiratori (x/menit)
Badan panas
Keluhan Pasien
dan lemas
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Ceftriaxone 1 gram i.v
√
Curcuma 1 tablet
√
Curvit 1 cth
√
√
Kalmetason 1 ampul i.v
√
√
Sistenol 1 tablet
√
√ √
Infus RL
√
Perjalanan Penyakit : Badan panas, lemas, susah makan, pusing
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 23
36,1
Susah tidak
panas, enakkan
P Si So M
√
√
√
√
√
√
√ √
√
√
24
35,8
Sudah lebih
enakkan
P Si So M
√
√
√
P
Si
So M
P
Si
So M
P
Si
So M
77
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Assessment
Dosis terlalu rendah: Dosis ceftriaxone yang digunakan pada pasien terlalu rendah yaitu 1000 mg/hari sedangkan dosis ceftriaxone yang tepat sesuai berat badan
pasien dalam literatur acuan yang digunakan yaitu 1550 – 3100 mg/hari (Lacy et al., 2006). Selain itu durasi penggunaannya juga terlalu singkat yaitu hanya 2 hari
sedangkan pada literatur acuan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu >
12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk
menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs
dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek,
dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis
terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien
yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Menaikkan dosis ceftriaxone menjadi 1550 – 3100 mg/12 jam dan memperpanjang durasi penggunaannya hingga 5 – 7 hari. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola
makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 14
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Laki-laki / 15 kg
Masuk Rumah Sakit : 21 Februari 2013 – 25 Februari 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (21 Februari 2013)
Basofil : 0,02
Neutrofil : 2,31
Hematologi
Hemoglobin : 11,8
Limfosit : 1,60
Leukosit : 23,24
Monosit : 0,41
Eritrosit : 6,00
Eosinofil : 0,00
21
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
38
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Badan panas
Keluhan Pasien
dan batuk-batuk
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Progesic 1 cth
√ √ √
Comtusi 2/3 cth
√ √ √
Pyrexin 1 cth
√
√
Cortidex 2/3 ampul
√ √ √
Ceftriaxone 1,2 gram i.v
√
Perjalanan Penyakit : Badan panas, pusing dan batuk sudah 4 hari
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 22
37,2
Masih batuk
P
√
√
√
Si
√
√
√
So M
√ √
√ √
√
√ √
23
36,5
Batuk sudah
berkurang
P Si So M
√
√ √
√
√ √
√ √ √
√ √
√
√
24
35,8
Tidak ada
keluhan
P Si So M
√ √ √
√ √
√ √ √
√
√
25
36
Tidak ada
keluhan
P Si So M
P
Si
So M
78
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Infus RL
√
√
√
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari
(WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam
cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan
menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga
berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu
panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan
memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 15
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 8 tahun / Perempuan / 20 kg
Masuk Rumah Sakit : 15 Februari 2013 – 18 Februari 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (15 Februari 2013)
Basofil : 0,01
Neutrofil : 4,03
Hematologi
Hemoglobin : 11,8
Limfosit : 2,43
Leukosit : 16,65
Monosit : 0,94
Eritrosit : 5,19
Eosinofil : 0,01
15
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
38
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Badan panas,
Keluhan Pasien
batuk
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Terfacef 2 gram i.v
√
Cortidex ¾ ampul
√
√ √
Comtusi 1 cth
√ √ √
Progesic 1 cth
√ √
√
Infus RL
√
Curvit 1 cth
√
√
Perjalanan Penyakit : Badan panas sejak 3 hari lalu, batuk-batuk dari kemaren sore
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 16
36,2
Masih agak
panas
P Si So M
√
√ √ √
√
√ √
√ √
√
√
√
17
-
18
-
Sudah enakkan
Sudah enakkan
P
√
P
√
√
√
√
Si
So M
√
√
√
√
√
√
√
√
Si
So M
P
Si
So M
P
Si
So M
79
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan terfacef® (ceftriaxone) terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7
hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam
cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan
menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga
berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu
panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan terfacef® menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan
memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 16
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 4 tahun / Laki-laki / 15,7 kg
Masuk Rumah Sakit : 21 Mei 2013 – 24 Mei 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (21 Mei 2013)
Basofil : 0,02
Neutrofil : 9,30
Hematologi
Hemoglobin : 13,0
Limfosit : 6,00
Leukosit : 16,40
Monosit : 0,92
Eritrosit : 4,78
Eosinofil : 0,16
21
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
38,7
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Badan panas,
Keluhan Pasien
susah makan
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Ceftriaxone 1,8 gram i.v
√
Cortidex 2/3 ampul
√ √
√
Progesic 1 cth
√ √
√
Curmunos 1 cth
√
Infus RL
√
Perjalanan Penyakit : Badan panas naik turun sudah sekitar seminggu
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : -
P
√
√
√
√
22
36,7
-
23
35,9
-
24
36,1
-
-
-
Sudah enakkan
Si
So M
P
√
Si
So M
P
√
√
√
√
√
√
√
√
Si
So M
√
√
√
√
√
P
Si
So M
P
Si
So M
80
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Assessment
Dosis terlalu tinggi: Dosis ceftriaxone yang diberikan terlalu tinggi yaitu 1800 mg/hari sedangkan dosis ceftriaxone berdasarkan literatur acuan yang digunakan
untuk pasien dengan berat badan 15,7 kg yaitu 785 – 1570 mg/hari (Lacy et al., 2006).
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan terfacef® (ceftriaxone) juga terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5
– 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone terlalu panjang yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam
cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan
kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau
dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001).
Namun efek dari dosis terlalu tinggi dan durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat serta interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari
keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Menurunkan dosis ceftriaxone menjadi 785 – 1570 mg/12 jam dan memperpanjang durasi penggunaannya sesuai literatur acuan hingga 5 – 7 hari. Pasien disarankan
untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 17
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 3 tahun / Laki-laki / 19,5 kg
Masuk Rumah Sakit : 21 Februari 2013 – 24 Februari 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (21 Februari 2013)
Basofil : 0,02
Neutrofil : 4,88
Hematologi
Hemoglobin : 12,0
Limfosit : 2,63
Leukosit : 13,71
Monosit : 0,47
Eritrosit : 4,80
Eosinofil : 0,02
21
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
39,5
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Badan panas,
Keluhan Pasien
batuk-batuk
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Antrain 0,5 cc
√
√
Progesic ¾ cth
√ √
√
Comtusi ¾ cth
√ √ √ √
Perjalanan Penyakit : Badan panas, batuk-batuk dan mual sejak 5 hari lalu, sudah
minum obat macam-macam tapi tidak sembuh.
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 22
37,8
Masih agak
panas dan batuk
P Si So M
√
√ √ √
√
√ √
23
36,7
Tidak ada
keluhan
P Si So M
24
36,2
Tidak ada
keluhan
P Si So M
√
√
√
√
√
√
P
Si
So M
P
Si
So M
81
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Curmunos 1 cth
Ceftriaxone 1 gram i.v
Cortidex 2/3 ampul
Infus RL
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari
(WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam
cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan
menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga
berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu
panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan
memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 18
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 7 tahun / Perempuan / 19,5 kg
Masuk Rumah Sakit : 20 Mei 2013 – 24 Mei 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (20 Mei 2013)
Basofil : 0,01
Neutrofil : 5,25
Hematologi
Hemoglobin : 11,8
Limfosit : 1,41
Leukosit : 7,34
Monosit : 0,57
Eritrosit : 4,63
Eosinofil : 0,00
20
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
37,8
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Badan panas,
kepala sakit
Keluhan Pasien
sekali
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Terfacef® 1,6 gram i.v
√
Cortidex 2/3 ampul
√
√ √
Perjalanan Penyakit : Badan panas dan pusing sejak 3 hari lalu
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/80
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 21
38
Masih panas,
menangis
kencang
P Si So M
√
√
√
P
√
22
36,5
-
23
-
24
35,8
-
Sudah agak
enakkan
Sudah agak
enakkan
Sudah agak
enakkan
Si
So M
P
√
√
√
Si
√
So M
√
P
√
√
Si
So M
P
Si
So M
82
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Imunos 1 cth
Curvit 1 cth
Progesic 1 cth
Infus Ds 5%
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Assessment
Dosis terfacef® (ceftriaxone) yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 975 – 1950 mg/hari (Lacy et al., 2006) dan durasi penggunaan ceftriaxone juga sudah tepat
sesuai dengan literatur yang digunakan yaitu 5 – 7 hari (WHO, 2003).
Interval pemberian ceftriaxone terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak
mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Interval pemberian yang terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori
DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan
status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Terfacef® (ceftriaxone) diberikan tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan
jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 19
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Perempuan / 17,2 kg
Masuk Rumah Sakit : 19 November 2013 – 22 November 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Lab. (19 November 2013)
Eosinofil : 0,01
Basofil : 0,01
Hematologi
Hemoglobin : 12,6
Neutrofil : 27,64
Leukosit : 14,70
Limfosit : 1,79
Monosit : 0,58
Eritrosit : 4,86
Tanda
Vital
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Keluhan Pasien
Penatalaksanaan Obat
Ceftriaxone 1,8 gram i.v
Comtusi 1 cth
Cortidex 2/3 ampul
19
38,7
114
Panas, batuk
P Si So M
√
√ √
√
√
√ √
Perjalanan Penyakit : Badan panas, batuk-batuk, agak mual sejak semalam
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : Positif 1/160
S. thypii O : Positif 1/320
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : -
20
37
Masih batuk
P Si So M
√
√ √ √ √
√
√
21
36,4
Sudah enakkan
P Si So M
√
√ √
√
√
22
36,5
Sudah enakkan
P Si So M
P
Si
So M
P
Si
So M
83
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pyrexin 1 cth
Infus RL
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Assessment
Dosis terlalu tinggi: Dosis ceftriaxone yang diberikan terlalu tinggi yaitu 1800 mg/hari sedangkan dosis ceftriaxone berdasarkan literatur acuan yang digunakan
untuk pasien dengan berat badan 17,2 kg yaitu 860 – 1720 mg/hari (Lacy et al., 2006).
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 3 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari
(WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam
cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan
menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga
berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu tinggi dan durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat serta interval terlalu panjang
tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Menurunkan dosis ceftriaxone menjadi 860 – 1720 mg/12 jam dan memperpanjang durasi penggunaannya menjadi 5 – 7 hari. Pasien juga disarankan untuk menjaga
pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 20
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 4 tahun / Perempuan / 16 kg
Masuk Rumah Sakit : 19 Mei 2013 – 22 Mei 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (19 Mei 2013)
Eosinofil : 0,01
Basofil : 0,00
Hematologi
Hemoglobin : 10,6
Neutrofil : 4,13
Leukosit : 22,91
Limfosit : 1,44
Eritrosit : 4,06
Monosit : 0,33
19
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
37,8
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
100
Respiratori (x/menit)
24
Badan panas,
pusing, mual,
Keluhan Pasien
menangis kuat
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Oxoryl 1 cth
√ √
√
Progesic 2/3 cth
√ √ √ √
Perjalanan Penyakit : Badan panas dan batuk-pilek. Semalam pasien tiba-tiba mimisan
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
20
36,6
-
21
35,6
-
Masih batuk dan
pilek
Tidak ada
keluhan
P
√
√
Si
√
√
So M
√
√
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/80
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 22
36,1
Tidak ada
keluhan
P
Si
So M
P
Si
√
√
√
√
√
So M
P
Si
So M
P
Si
So M
84
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Ceftriaxone 1,2 gram i.v
Vometa ¾ cth
Kalnex ½ ampul
Cortidex 2/3 ampul
Curvit 1 cth
Infus RL
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari
(WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam
cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan
menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga
berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu
panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan
memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 21
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 8 tahun / Perempuan /20 kg
Masuk Rumah Sakit : 15 September 2013 – 17 September 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Lab. (15 September 2013)
Basofil : 0,02
Neutrofil : 28,26
Hematologi
Hemoglobin : 13,3
Limfosit : 1,79
Leukosit : 31,34
Monosit : 0,67
Eritrosit : 4,74
Eosinofil : 0,00
15
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
110/80
Suhu Tubuh (°C)
38
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Lemas, agak
susah makan,
Keluhan Pasien
panas
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Perjalanan Penyakit : Panas sudah 5 hari, semalam tidak bisa tidur karena batuk-batuk
terus sampai pusing
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/160
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 16
-
17
-
Sudah enakkan
Sudah enakkan
P
P
Si
So M
Si
So M
P
Si
So M
P
Si
So M
P
Si
So M
85
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
√
√
√
Ceftriaxone 1,8 gram i.v
Cortidex 2/3 ampul
Progesic 1 cth
Codipront ¾ cth
Infus RL
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 3 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari
(WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam
cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan
menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga
berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu
panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan
memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 22
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Laki-laki / 17 kg
Masuk Rumah Sakit : 08 April 2013 – 12 April 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (08 April 2013)
Basofil : 0,01
Neutrofil : 6,33
Hematologi
Hemoglobin : 12,7
Limfosit : 2,58
Leukosit : 10,24
Monosit : 1,32
Eritrosit : 4,64
Eosinofil : 0,00
08
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
39,5
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
116
Respiratori (x/menit)
-
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 09
-
Panas, batuk,
mual
Keluhan Pasien
Penatalaksanaan Obat
Progesic 1 cth
Perjalanan Penyakit : Badan panas, batuk, mual sejak 3 hari lalu
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
P
Si
So
√
M
√
Masih agak
panas
P
√
Si
So M
√ √
10
Sudah tidak
panas, agak
enakkan
P Si So M
√ √
√
11
36,1
-
12
-
Sudah enakkan
Sudah enakkan
P
P
√
Si
√
So M
√ √
Si
So M
P
Si
So M
86
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
√
√
Comtusi 1 cth
Antrain 0,4 cc
Ceftriaxone 1,6 gram i.v
Curvit 1 cth
Infus RL
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 3 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari
(WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam
cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan
menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga
berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu
panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan
memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 23
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 9 tahun / Laki-laki / 26 kg
Masuk Rumah Sakit : 01 Desember 2013 – 05 Desember 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Lab. (01 Desember 2013)
Hematologi
Hemoglobin : 12,9
Leukosit : 8,18
Eritrosit : 4,72
Eosinofil : 0,01
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Keluhan Pasien
Penatalaksanaan Obat
Infus RL
Perjalanan Penyakit : Badan panas sejak 4 hari lalu, semalam batuk-batuk dan agak
mual
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Basofil : 0,01
Neutrofil : 5,98
Limfosit : 0,90
Monosit : 1,28
01
39,4
115
Badan panas,
lemas, batuk
P Si So M
√
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/80
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 02
38
Masih panas
P
√
Si
So M
03
Masih panas,
batuk berkurang
P Si So M
04
Tidak ada
keluhan
P Si So M
05
36,2
Sudah enakkan
P
Si
So M
P
Si
So M
87
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Antrain 0,5 cc
Terfacef® 2 gram i.v
Vometrax ½ ampul
Pyrexin 2 cth
Cortidex 2/3 cth
Curmunos 1 cth
Comtusi 1 cth
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Assessment
Dosis terfacef® (ceftriaxone) yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 1300 – 2600 mg/hari (Lacy et al., 2006) dan durasi penggunaannya juga sudah tepat yaitu 5
– 7 hari (WHO, 2003).
Interval pemberian terlalu panjang, hal ini dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk
menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status
pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Terfacef® (ceftriaxone) diberikan tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan
jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 24
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 7 tahun / Laki-laki / 21 kg
Masuk Rumah Sakit : 16 Januari 2013 – 20 Januari 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (16 Januari 2013)
Basofil : 0,02
Neutrofil : 13,79
Hematologi
Hemoglobin : 11,5
Limfosit : 3,08
Leukosit : 24,10
Monosit : 2,24
Eritrosit : 6,02
Eosinofil : 0,06
16
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
110/60
Suhu Tubuh (°C)
39,5
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Panas, batukKeluhan Pasien
batuk
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Ceftriaxone 1,5 gram i.v
√
Cortidex 2/3 ampul
√ √
Perjalanan Penyakit : Badan panas selama seminggu, batuk-batuk
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 17
37,8
Masih agak
batuk
P Si So M
√
√
√ √
18
Sudah tidak
batuk
P Si So M
√
√ √
19
-
20
-
Sudah enakkan
Sudah enakkan
P
√
P
√
Si
So M
Si
So M
P
Si
So M
88
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pyrexin ¾ cth
Oxoryl 2/3 cth
Curmunos 1 cth
Comtusi ¾ cth
Infus RL
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Assessment
Dosis ceftriaxone yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 1050 – 2100 mg/hari (Lacy et al., 2006) dan durasi penggunaannya juga sudah tepat yaitu 5 – 7 hari
(WHO, 2003). Interval pemberian terlalu panjang, yaitu > 12 jam, hal ini dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi
terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat
dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Ceftriaxone diberikan tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang
tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 25
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 3 tahun / Laki-laki / 13 kg
Masuk Rumah Sakit : 25 Januari 2013 – 27 Januari 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (25 Januari 2013)
Eosinofil : 0,01
Basofil : 0,01
Hematologi
Hemoglobin : 11,5
Neutrofil : 3,02
Leukosit : 16,71
Limfosit : 3,18
Eritrosit : 4,81
Monosit : 0,29
25
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
38,8
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Badan panas,
Keluhan Pasien
pusing
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Cortidex 2/3 ampul
√
√
Terfacef® 1,2 gram i.v
√
Progesic ¾ cth
√ √ √
Curvit ½ cth
√
Perjalanan Penyakit : Badan panas naik turun sudah 3 hari
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 26
-
27
36,1
-
Sudah enakkan
Sudah enakkan
P
P
√
√
√
Si
√
So M
√
√
√
√
√
√
Si
√
So M
P
Si
So M
P
Si
So M
P
Si
So M
89
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Infus RL
√
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan terfacef® (ceftriaxone) terlalu singkat, yaitu hanya 3 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7
hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam
cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan
menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga
berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu
panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan terfacef® menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan
memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 26
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 4 tahun / Laki-laki / 20 kg
Masuk Rumah Sakit : 28 Januari 2013 – 01 Februari 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (28 Januari 2013)
Basofil : 0,02
Neutrofil : 3,77
Hematologi
Hemoglobin : 12,5
Limfosit : 2,34
Leukosit : 13,40
Monosit : 1,00
Eritrosit : 3,50
Eosinofil : 0,01
28
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
38,8
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Keluhan Pasien
Penatalaksanaan Obat
Ceftriaxone 1,2 gram i.v
Cortidex 2/3 ampul
Progesic 1 cth
Rhinos Junior ¾ cth
Vometa ¾ cth
Perjalanan Penyakit : Demam tinggi, mual-muntah sudah 2 hari ini.
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320
Ig G antibodi S. thypii : Positif
Ig M antibodi S. thypii : -
Badan panas,
mual sekali
P
√
√
√
Si
√
√
√
√
√
So
M
√
√
√
29
Masih agak
panas, mual
berkurang
P Si So M
√
√
√
√ √ √ √
√
√ √
√
P
√
√
√
30
-
01
35,7
-
02
35,6
-
Sudah tidak
panas
Sudah tidak
panas
Sudah enakkan
Si
√
√
√
So M
√
√
P
√
√
√
Si
So M
√
√
P
Si
So M
P
Si
So M
90
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Infus RL
√
√
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO,
2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan
plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval
terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau
membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko
menginfeksi kembali (Benin, 2001). Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut
tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan terfacef® menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan
memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 27
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Laki-laki / 18,9 kg
Masuk Rumah Sakit : 07 Februari 2013 – 11 Februari 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (07 Februari 2013)
Basofil : 0,02
Neutrofil : 3,25
Hematologi
Hemoglobin : 11,7
Limfosit : 1,78
Leukosit : 17,77
Monosit : 0,35
Eritrosit : 4,85
Eosinofil : 0,00
07
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
110/70
Suhu Tubuh (°C)
38
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
108
Respiratori (x/menit)
23
Pusing, mual,
Keluhan Pasien
dan badan lemas
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Terfacef® 2 gram i.v
√
Antrain 1 cc
√ √
√
Cortidex 2/3 ampul
√
√ √
Curmunos 1 cth
√
Vometa ½ cth
√ √ √
Infus RL
√
Perjalanan Penyakit : Badan panas naik turun, sakit perut, pusing, mual-mual,
semalam muntah 2 kali.
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/80
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 08
37,6
-
09
35,6
-
10
36,1
-
11
36,3
-
-
-
Sudah enakkan
-
P
Si
√
So M
P
√
Si
So M
P
√
Si
So M
P
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Si
So M
P
Si
So M
91
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Assessment
Dosis terlalu tinggi: Dosis terfacef® (ceftriaxone) yang diberikan terlalu tinggi yaitu 2000 mg/hari sedangkan dosis ceftriaxone berdasarkan literatur acuan yang
digunakan untuk pasien dengan berat badan 18,9 kg yaitu 945 – 1890 mg/hari (Lacy et al., 2006). Durasi penggunaan ceftriaxone sudah tepat sesuai dengan literatur
yang digunakan yaitu 5 – 7 hari (WHO, 2003).
Dosis terlalu rendah: Interval pemberian terlalu panjang, yaitu < 12 jam, hal ini dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi
terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu tinggi dan interval pemberian antibiotika yang terlalu panjang tersebut
tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Dosis terfacef® (ceftriaxone) diturunkan menjadi 945 – 1890 mg/12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi,
mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 28
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 6 tahun / Laki-laki / 24 kg
Masuk Rumah Sakit : 16 November 2013 – 18 November 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Lab. (16 November 2013)
Basofil : 0,01
Neutrofil : 4,61
Hematologi
Hemoglobin : 11,6
Limfosit : 2,47
Leukosit : 6,70
Monosit : 1,18
Eritrosit : 4,71
Eosinofil : 0,052
16
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
37,8
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
116
Respiratori (x/menit)
Badan panas,
mual, susah
Keluhan Pasien
makan
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Ceftriaxone 1,7 gram i.v
√
Cortidex 2/3 ampul
√
√
Curvit 1 cth
√
√
Progesic 1 cth
√ √ √ √
Imunos 1 cth
√
Infus RL
√
Perjalanan Penyakit : Demam naik turun selama 4 hari. Sudah minum obat penurun
panas tidak sembuh-sembuh
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : Positif 1/160
S. thypii O : Positif 1/320
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 17
36,5
-
18
35,8
-
Sudah tidak
panas, enakkan
Sudah enakkan
P
√
√
√
Si
So M
P
√
√
√
√
√
√
√
√
Si
So M
P
Si
So M
P
Si
So M
P
Si
So M
92
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 2 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari
(WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam
cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan
menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga
berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001).
Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari
keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan
memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 29
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 3 tahun / Perempuan / 14 kg
Masuk Rumah Sakit : 17 Juni 2013 – 20 Juni 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (17 Juni 2013)
Basofil : 0,01
Neutrofil : 6,81
Hematologi
Hemoglobin : 12,9
Limfosit : 2,07
Leukosit : 18,71
Monosit : 1,47
Eritrosit : 4,33
Eosinofil : 0,00
17
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu
Tubuh
(°C)
38
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Panas, batukKeluhan Pasien
pilek, pusing
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Ceftriaxone 1,2 gram i.v
√
Curmunos 1 cth
√
Curvit 1 cth
√
√
Kalmetason 2/3 ampul
√ √
√
Pyrexin ¾ cth
√ √ √ √
Comtusi ¾ cth
√ √ √ √
Perjalanan Penyakit : Badan panas, batuk-pilek, tenggorokan sakit
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/160
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 18
Sudah tidak
panas
P Si So M
√
√
√ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √ √
19
Tidak ada
keluhan
P Si So M
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
20
35,7
Tidak ada
keluhan
P Si So M
P
Si
So M
P
Si
So M
93
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Infus RL
√
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 3 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari
(WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam
cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan
menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga
berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001).
Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari
keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan
memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 30
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 11 tahun / Perempuan / 26 kg
Masuk Rumah Sakit : 16 Agustus 2013 – 19 Agustus 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (16 Agustus 2013)
Eosinofil: 0,07
Basofil : 0,02
Hematologi
Hemoglobin : 11,8
Neutrofil : 3,77
Leukosit : 9,01
Limfosit : 1,24
Eritrosit : 6,20
Monosit : 0,30
Tanda
Vital
Penatalaksanaan Obat
Terfacef® 2 gram i.v
Infus Ds 5%
Vosedon 1,5 cth
Cortidex ½ ampul
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/320
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : -
16
37,8
-
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Keluhan Pasien
Perjalanan Penyakit : Panas, batuk-pilek, mual-mual
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
Panas, batukbatuk, mual
P
Si
So
√
√
√
√
M
17
Masih agak
panas, sudah
tidak batuk
P Si So M
√
√
√
√
P
√
Si
18
-
19
-
-
Sudah enakkan
So M
P
Si
So M
P
Si
So M
P
Si
So M
94
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Cefspan® 1 cth
Ondancentron ½ ampul
Trifed 1 cth
Progesic 1 cth
Comtusi 1 cth
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Assessment
Terapi tanpa indikasi: Kombinasi ceftriaxone dan cefixime kurang tepat, karena ditinjau dari bakteri penyebab demam tifoid, yaitu Salmonella thypi, kombinasi
antibiotika umumnya digunakan untuk menangani infeksi berat yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri (polimikroba) dengan memanfaatkan efek sinergisme
yang saling menunjang efektivitasnya satu sama lain, sedangkan pada kasus ini pasien dinyatakan hanya terdiagnosa demam tifoid dan tidak disertai penyakit lain yang
kemungkinan disebabkan oleh kuman atau bakteri lainnya selain Salmonella thypi, sehingga dalam penanganannya cukup diberikan terapi tunggal antibiotika.
Rekomendasi
Menggunakan salah satu jenis antibiotika sebagai terapi tunggal. Pasien disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi
konsumsi jajanan yang kurang bersih atau tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 31
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 2 tahun / Perempuan / 13,1 kg
Masuk Rumah Sakit : 11 Maret 2013 – 15 Maret 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (11 Maret 2013)
Eosinofil : 0,04
Basofil : 0,01
Hematologi
Hemoglobin : 10,8
Neutrofil : 4,71
Leukosit : 16,41
Limfosit : 3,88
Eritrosit : 4,63
Monosit : 1,24
11
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
37,8
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
Respiratori (x/menit)
Badan panas
Keluhan Pasien
dan batuk-batuk
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Imunos 1 cth
√
Relafen 1 cth
√ √ √
Opilax 1 cth
Ceftriaxone 1 gram i.v
√
Curvit ½ cth
√
Perjalanan Penyakit : Badan panas dan batuk-batuk sudah seminggu.
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
P
√
√
12
-
13
-
Masih batuk
-
Si
So M
Si
Susah BAB
So M
P
√
-
Si
So M
P
√
√
√
√
√
√
Si
√
√
√
P
√
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/640
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 14
15
36,2
35,8
-
√
√
√
√
√
√
√
So M
P
Si
So M
95
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Progesic ¾ cth
Infus RL
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Assessment
Dosis ceftriaxone yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 655 – 1310 mg/hari (Lacy et al., 2006). Durasi penggunaan ceftriaxone juga sudah tepat sesuai dengan
literatur acuan yaitu 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian terlalu panjang, yaitu > 12 jam, hal ini dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma
tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat interval terlalu panjang tersebut
tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Ceftriaxone diberikan dengan interval tiap 12 jam. Pasien disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan
jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
No. Kasus : 32
Subjektif
Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 4 tahun / Laki-laki / 17,2 kg
Masuk Rumah Sakit : 21 Juli 2013 – 24 Juli 2013
Diagnosa Masuk : Demam tifoid
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium (21 Juli 2013)
Eosinofil : 0,01
Basofil : 0,01
Hematologi
Hemoglobin : 13,8
Neutrofil : 3,76
Leukosit : 14,71
Limfosit : 2,44
Eritrosit : 5,50
Monosit : 1,01
21
Tanggal
Tekanan Darah (mmHg)
Suhu Tubuh (°C)
38,8
Tanda
Vital
Denyut Nadi (x/menit)
115
Respiratori (x/menit)
Panas, mual
Keluhan Pasien
P Si So M
Penatalaksanaan Obat
Infus RL
√
Pyrexin 1 cth
√ √ √ √
Ceftriaxone 1,2 gram i.v
√
Cortidex 2/3 ampul
√ √ √
Progesic 1 cth
√ √ √ √
Curvit 1 cth
√
Curmunos 1 cth
√
Perjalanan Penyakit : Badan panas, mual-muntah sudah 3 hari ini
Status Keluar : Sembuh dan diizinkan
P
√
√
√
√
22
Si So M
23
35,6
Sudah enakkan
P Si So M
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Immunoserologi
S. thypii H : S. thypii O : Positif 1/160
Ig G antibodi S. thypii : Ig M antibodi S. thypii : 24
35,8
Sudah enakkan
P Si So M P Si
√
√
√
So M
P
Si
So M
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Assessment
Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari
(WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam
cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan
interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan
menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga
berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001).
Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari
keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.
Rekomendasi
Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan
memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.
96
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
97
Lampiran 5. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Di Rumah Sakit
Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
98
BIOGRAFI PENULIS
Penulis skripsi dengan judul “Evaluasi Drug Related
Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada Pasien
Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit
Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun
2013” memiliki nama lengkap Andrea Nita Karisa.
Penulis lahir di Wonosobo pada tanggal 17 Juli 1993
dari pasangan Bhe Imam Wiyono dan Yayang Setiati
sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan
formal yang ditempuh penulis dimulai dari TK Pertiwi
Banjarnegara (1997 – 1999), SD Kristen Debora Banjarnegara (1999 – 2005),
SMPN 1 Banjarnegara (2005 – 2008), SMA Bruderan Purwokerto (2008 – 2011),
dan kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di
Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama menjalani
perkuliahan, penulis juga terlibat dalam beberapa aktivitas kepanitiaan dan
organisasi. Penulis pernah menjadi anggota seksi keamanan Pharmacy
Performance and Event Cup (2012), anggota seksi keamanan Hari Bumi
Universitas Sanata Dharma (2013), anggota seksi acara Kampanye Informasi Obat
(2013), serta penulis merupakan ketua Program Kreativitas Mahasiswa (bidang
Pengabdian Masyarakat) SI BOLANG (Strategi Ideal Belajar Obat Herbal Lebih
Menyenangkan Bagi Siswa SD Kanisius Kenalan Kulon Progo Yogyakarta) yang
dinyatakan lolos dikti pada tahun 2014.
Download