BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Orientasi Menghukum 1. Definisi Orientasi Menghukum Orientasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan. Orientasi menghukum adalah pandangan yang mendasari, perhatian atau kecenderungan memberikan hukuman (Setiawan, 2012, p.1) Ada sebuah prosedur atau berbagai cara dalam menghukum. Prosedur hukuman adalah suatu prosedur yang umumnya dicadangkan untuk perilaku-perilaku yang tidak adaptif, seperti perilaku destruktif terhadap diri sendiri maupun lingkungan, dan perilaku-perilaku negatif lain yang terus-menerus mengganggu fungsi adaptif seseorang atau orang lain disekitarnya (Solichatun, 2014: 26) Setelah prosedur hukuman, juga terdapat adanya sebuah konsep atas adanya peberian hukuman. Ada dua pemikiran utama dalam konsep hukuman: konsekuensialisme dan Retributivisme. Teori konsekuensialis menyatakan hukuman yang dibenarkan jika ia memiliki efek positif pada lingkungan dengan mengurangi tindakan kejahatan (misalnya melalui pencegahan, reformasi, rehabilitasi atau 13 14 incapatitation). Teori retributive atau disebut ultitarian membenarkan hukuman dengan mengacu pada kejahatan yang dilakukan (Schinkel, 2014: 579). Teori retributif membenarkan hukuman dengan dasar orang yang dihukum memang layak dihukum atas kesalahan yang sudah terbukti, dan perbuatan yang secara sadar dilakukan. Sedangkan teori konsekuensialisme atau yang disebut ultitarian menganggap hukuman dengan prinsip kebermanfaatan, yaitu hukuman yang mempunyai dampak positif bagi masyarakat. Adapun kelemahan retibutif yaitu tidak dapat menunjukkan pada masyarakat sosial bahwa setiap hukuman akan membuat konsekuensi positif pada masyarakat. Dan sebaliknya konsekuensialisme tidak dapat menunjukkan bahwa pemberian hukuman terhadap pelanggar hukuman merupakan hal atau balasan yang sebanding dengan kesalahan. Kesimpulannya Teori retributif lebih mengarah pada pembalasan, sedangkan teori konsekuensialisme lebih memberikan efek jera pada pelaku pelanggar. Perkembangan pemahaman mengenai kegunaan penghukuman sebagai instrumen dalam rangka metode pengubahan tingkah laku terlihat melalui munculnya paradigma rehabilitatif. Paradigma tersebut melihat bahwa seseorang yang melanggar atau menyimpang dari aturan yang ada pada dasarnya adalah orang yang rusak, sakit, kekurangan, bermasalah, atau memiliki ketidakmampuan sehingga melakukan perilaku tersebut. Oleh karena itu, melalui penghukuman, orang tersebut pada dasarnya hendak diperbaiki atau disembuhkan dari kekurangannya. Seiring dengan perkembangan paradigma tersebut, bentuk-bentuk penghukuman pun berkembang, 15 bervariasi, dan konon semakin manusiawi (Meliala, 2004: 91). Adapun pandangan hukuman yang diberikan pada anak bahwa hukuman sendiri adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya (Indrakusuma, 1973: 147) Pemberian hukuman terhadap anak tidaklah semata-mata diberikan diluar kesadaran, terdapat alasan mengapa hukuman diberikan, alasan tersebut dijelaskan dengan adanya prinsip hukuman, prinsip hukuman sebagai berikut: a. Hukuman diadakan oleh karena adanya pelanggaran, adanya kesalahan yang diperbuat (punitur, Quia peccatum est) b. Hukuman diadakan dengan tujuan agar tidak terjadi pelanggaran (punitur, ne peccatur) (Indrakusuma, 1973: 147-148) Dalam prinsip adanya pemberian sebuah hukuman didasarkan pada dua pandangan, yang pertama bahwa hukuman itu dilakukan setelah adanya sebuah pelanggaran yang memandang pada segi masa lampau. Sedangkan prinsip kedua mengacu pada adanya sebuah perbaikan yang mengarah pada orientasi masa depan atau sebagai pencegahan agar tidak terulang pelanggaran yang sama. Dari beberapa teori tersebut dapat disimpulkan bahwa orientasi menghukum adalah pandangan tentang menghukum, perhatian dan kecenderungan menghukum, pada saat adanya perilaku yang adaptif yang merugikan. Selain menyebabkan 16 kenestapaan, orientasi menghukum berkaitan dengan pencegahan, retribusi, rehabilitasi, dan keadilan restoratif, yang mana memiliki kegunaan untuk merubah tingkah laku, mencegah perilaku pelanggaran bahkan menyembuhkan perilaku yang dianggap bermasalah, rusak, dan sakit. 2.Faktor-faktor Orientasi Menghukum Adanya sebuah sikap tak lepas dari faktor yang mempengaruhi mengapa sesuatu hal perlu dilakukan, dari faktor luar ataupun faktor dalam diri seseorang, berikut terdapat beberapa faktor dalam orientasi menghukum, diantaranya: a. Sikap sosial Salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam orientasi menghukum adalah sikap sosial, sikap sosial muncul dari lingkungan sosial dimana tempat orang tersebut tinggal, terutama dari pola didik dari lingkungan keluarga sampai pergaulan di lingkungan tempat tinggal. Sikap sosial termasuk unsur-unsurnya, yaitu karakter menghukum baik dibentuk pada anak-anak pada saat mereka mencapai pertengahan sekolah dasar (SD). Termasuk unsur yang ada di dalamnya, yaitu ototarianisme, yang mana ototarianisme adalah salah satu faktor yang ada dalam kepribadian menghukum (Rogers, 2004: 50). Kepribadian menghukum atau kecenderungan sikap seseorang untuk memberikan hukuman dipengaruhi dengan pola asuh orang tua, terutama dengan pola asuh yang otoriter. 17 Secara teoritis, hasil menunjukkan bahwa sikap memiliki hubungan yang lebih kuat yang erat kaitannya dengan perilaku seseorang, tetapi penelitian tidak mendukung anggapan bahwa sikap yang dihasilkan dari otoritarianisme merupakan penyebab dari adanya kecenderungan sikap menghukum semata (Kevie, 2013: 1). Hal ini menunjukkan adanya penekanan pada sikap sosial selain dari pola asuh keluarga. Lingkungan sosial juga membentuk kecenderungan orang untuk melakukan orientasi menghukum, terlepas dari pola asuh orang tua. Sikap sosial adalah hal yang menyebabkan seseorang berperilaku, termasuk diantaranya adalah otoritas dari orang tua, sikap sosial berupa otoritas atau perlakuan orang tua yang cenderung mengatur akan memberikan efek perilaku tersendiri pada anak daripada sikap orang tua yang memberikan hak anak untuk bertindak dan berpendapat di dalam keluarga. Sikap orang tua terhadap anak dapat dijadikan model anak untuk berperilaku dan dapat dijadikan alasan seseorang untuk bertindak di masa dewasanya. b. Jenis kelamin Faktor selanjutnya yang juga ikut andil dalam penyebab adanya kecenderungan seseorang untuk menghukum, atau sikap seseorang untuk berorientasi menghukum adalah jenis kelamin. Tidak dapat disangkal bahwa laki-laki dan perempuan sangatlah memiliki sisi perilaku yang berbeda. Hal yang dapat menjadikan sikap menghukum antara keduanya juga berbeda. Pandangan masyarakat mengenai seorang pria yang harus berkompetensi dengan pria lain untuk mendapatkan pasangan, pria mungkin mengembangkan 18 kecanderungan untuk menyukai kekerasan dan lebih berani mengambil resiko. Sedangkan wanita lebih mengembangkan kecenderungan untuk menemukan pasangan jangka panjang yang dapat menunjang keluarga (King, 2010: 182). Selanjutnya, meskipun ada sebuah kasus dimana di dalam hubungan yang intim pria kadang-kadang dipukul oleh pasangan wanita, tetapi kekerasan terhadap wanita oleh pasangan prianya jauh lebih sering terjadi, selain itu pria juga lebih sering menyebabkan cedera, dan kekerasan terhadap wanita, oleh karena itu pria lah yang paling banyak berurusan dengan sistem hukum (Constanzo, 2008: 126) Jenis kelamin merupakan faktor yang menyebabkan adanya sikap menghukum, dalam penelitian Wals (1984) menunjukkan bahwa pada petugas wanita lebih tidak dijumpai atau jarang akan pemberian hukuman daripada petugas laki-laki. Cullen (2002) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa wanita lebih condong pada sikap merehabilitasi sedangkan laki-laki lebih berorientasi pada sikap menghukum (Rogers, 2004 : 53) Dalam konteks lain, wanita lebih punitif, dalam artian lebih melebih-lebihkan hukuman dibanding pria dengan perbandingan lima banding satu. Ada alasan untuk itu: wanita selalu mematuhi perintah atau aturan, karena mereka takut pada kejahatan, lebih mencintai harta, dan belum pernah cukup menderita dalam kerasnya kehidupan, sehingga tidak mampu bersimpati terhadap penderitaan orang lain (Constanzo, 2008: 203) Jenis kelamin adalah faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku, karena terdapat perbedaan yang mendasar antara pria dan wanita. Pria 19 cenderung untuk bersaing dan lebih keras, sehingga lebih berorientasi untuk menghukum dengan pola yang tegas.Sedangkan sebaliknya, wanita lebih mematuhi perintah yang membawa dampak pada wanita untuk berorientasi lebih pada merehabilitasi. c. Profesi. Lingkungan merupakan faktor eksternal yang sangat mempengaruhi sikap seseorang, selain dalam bentuk sikap sosial atau pemberian perlakuan timbal balik atas hal yang dilakukan seseorang, profesi menjadi sangat berpengaruh juga dalam lingkungan yang dapat membentuk sikap seseorang dalam memperlakukan orang lain, termasuk di dalamnya sikap untuk menghukum.Beberapa profesi yang beranekaragam dalam lingkungan menempatkan beberapa sikap yang juga berbeda. Dari profesi yang paling sering diteliti, yaitu penegak hukum, profesi di bidang kesehatan, serta perlindungan anak, dalam penelitian yang dilakukan oleh Furnham dan Allison (1994) menemukan bahwa polisi lebih menghukum dari pada masyarakat umum. Sedangkan pada “helping professions” memiliki sikap lebih rendah dalam menghukum dan sikap lebih tinggi dalam rehabilitasi (Rogers, 2004: 54). Karena setiap profesi pekerjaan mempunyai bidang yang berbeda-beda, maka akan mempengaruhi seseorang untuk berorientasi menghukum, seperti orang yang berprofesi di bidang kesehatan akan memiliki orientasi yang lebih manusiawi daripada orang yang berprofesi di bagian keamanan yang akan lebih waspada dan keras dalam memperlakukan orang lain. 20 d. Religiusitas Manusia sebagai makhluk yang sangat dinamis, manusia berhubungan dengan manusia, manusia berhubungan dengan lingkungan, dan manusia yang berhubungan dengan Sang Pencipta. Terdapat tingkatan seseorang dalam hubungan dengan Penciptanya dari yang memiliki kepercayaan tinggi sampai memiliki kepercayaan rendah, dari yang religiusitas tinggi sampai religiusitas rendah. Melalui agama manusia membentuk jiwa religiusitas yang berbeda-beda, kereligiusitasan tersebut membentuk sikap yang berbeda pula terhadap manusia yang memperlakukan manusia dan lingkungannya. Hal ini juga dijadikan faktor seseorang untuk bersikap dan bertindak. Bagi mereka yang memiliki keyakinan fundamental pada literal dari Alkitab akan memiliki keyakinan yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak. Dimana terdapat banyak variabel situasional yang digunakan untuk mengurangi kesalahan pribadi dengan jalan orientasi menghukum (memberikan hukuman), karena perilaku menghukum dianggap sebagai hal yang layak untuk menyinggung kesalahan pribadi seseorang (Rogers, 2004 : 55) Orang-orang yang sangat religius dan konservatif lebih menghukum karena mereka percaya bahwa penjahat lebih pantas untuk disinggung atau dipersalahkan karena perbuatannya. Sebaliknya, kaum liberal cenderung memiliki sikap lebih positivistik tentang perilaku kriminal dan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan sebagai faktor penentu penting dari setiap perilaku sosial, kriminal atau sebaliknya. Orang-orang yang sangat religius menganggap bahwa orang harus 21 bertanggung jawab atas tindakan mereka, sehingga hukuman dianggap layak (Wood,2004: 26-27) Di dalam setiap ajaran agama terdapat perihal tentang ganjaran dan hukuman, seperti perilaku baik dengan balasan Surga dan perilaku tidak baik dengan balasan Neraka. Orang yang memiliki jiwa religius yang kental dalam dirinya akan membenarkan hukuman adalah hal yang pantas diberikan untuk setiap tindakan yang di anggap salah, sedangkan orang yang cenderung netral akan lebih mengedepankan dampak hukuman pada lingkungan. Dengan jiwa religi yang kental seseorang akan lebih berorientasi menghukum untuk alasan pembalasan dan ganti rugi atas kesalahan yang diperbuat orang lain. e. Faktor lain Pria dan wanita memiliki perbedaan pada orientasi emosionalnya. Jadi, ketika menghadapi stimulus yang sama (misalnya dihadapkan pada seorang pelaku pelanggaran), antara pria dan wanita dapat merespon secara berbeda. Emosi dapat sangat mempengaruhi tanggapan masyarakat, emosi dapat memotivasi seseorang untuk fokus pada perhatian dan tindakan. Misalnya, ketika pelanggaran terjadi, seseorang mungkin fokus pada pelaku, menjadi marah dan keinginan untuk menghukum pelaku berkembang lebih tinggi, sedangkan individu lain mungkin fokus pada korban, dengan menjadi simpatik dan merasa berkeinginan untuk menghibur mereka (Wood,2004: 21). Emosi yang berbeda terhadap seseorang dapat mempengaruhi bagaiman seseorang bertindak. Seperti dicontohkan tersebut bahwa 22 ketika seseorang mengetahui pelaku sebagai orang yang merugikan, maka keinginan menghukum pelaku akan muncul begitu saja dan emosi seperti empati akan muncul ketika berhadapan dengan korban yang telah melaporkan kesengsaraan dan kerugiannya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mears (2001) menemukan adanya sikap menghukum seseorang lebih tinggi terhadap pemuda yang dituduh atas kasus narkoba dengan pemuda yang dituduh pada kasus kekerasan. Mears menemukan tidak adanya efek terhadapras, jumlah anggota keluarga, ideologi politik, keadaan rumah tangga, kepercayaan orang tua terhadap tanggungjawab dari perbuatan anaknya, perbedaan terhadap kesopanan warga perkotaan dengan pedesaan, atau tempat tinggal yang memiliki rasio tingkat tinggi dalam kekerasan (Rogers, 2004 : 58) Menurut Mazzella & Feingold(1994) penilaian harus mengikuti hukum dan bebas dari prasangka pribadi. Artinya, mereka harus didasarkan pada (hukum) pembuktian faktor dan bukan pada faktor extralegal atau faktor luar. Menurut hukum, beratnya hukuman bervariasi dengan tingkat keparahan kejahatan dan dengan intensionalitas pelaku. Dengan demikian, seseorang yang berada pada tingkat pertama dihukum yaitu pada kasus pembunuhan,yang mana harus menerima hukuman maksimum. Namun, penelitian dan prakteknya telah menunjukkan bahwa pemberian hukuman kadang-kadang dipengaruhi oleh faktor extralegal, seperti hukuman yang lebih parah yang diberikan kepada kaum minoritas, orang miskin, laki-laki, dan orang-orang yang tampak kurang menarik (Kevie, 2013: 1) 23 Banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi seseorang untuk sikap menghukumnnya seperti emosi penghukum, penilaian yang kurang objektif, tanggapan masyarakat dan faktor lain seperti pembedaan atau anggapan terhadap beberapa kaum yang dianggap kurang menarik dan miskin. Selain faktor yang disebutkan, terdapat beberapa variable lain yang erat kaitanya dengan penyebab seseorang melakukan orientasi menghukum lebih tinggi atau lebih rendah. Berikut beberapa variabel yang terkait dengan orientasi menghukum. 1) Usia pelaku Pada usia 11, 14, 17 adalah masa transisi, usia 11 sebagai awal dimana anak masuk sekolah menengah, usia 14 menuju masa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan 17 sebagai masa pelepasan tenggung jawab orang tua terhadap anak atau masa menginjak dewasa. Dimana pada masa ini banyak hal yang meningkat dan berubah dari masa anak-anak, dengan adanya hal ini mereka menerima tanggung jawab yang lebih dari seseorang yang berorientasi memberikan hukuaman atau treatment. Tapi tidak bisa diidentifikasi secara langsung, karena adanya faktor lain yang bisa mempengaruhi penghukuman. Teori pertumbuhan memandang Pada usia 11, 14, 17 adalah usia yang sangat penting, dimana usia tersebut adalah usia remaja, dimana seseorang berada pada masa transisi. Teori tentang pertumbuhan dijadikan alasan untuk memberikan hukuman. Dengan memberikan norma atau etika pada saat-saat usia itu. Pelaku pelanggaran 24 pada usia tersebut dijadikan patokan sehingga dibedakan dengan pelaku pada usia tua. Pelaku tidak lagi disebut sebagai tahanan, tapi disebut sebagai anak-anak dan remaja nakal, penyebutan istilah tersebut dianggap melindungi kebutuhan anak yang mana pada masa tersebut anak mulai belajar menerima informasi dengan baik dan memilah mana yang baik dan tidak untuk bekal di masa dewasa, anak juga akan memilih mana yang dijadikan modelnya. Atas dasar masa pertumbuhan dan perbedaan usia maka dijadikan pedoman bagaimana pemberian penghukuman yang tepat untuk usia anak dan remaja tersebut. Dari pemberian perlakuan penghukuman anak yang lebih rendah, dan pelaku yang lebih tua dengan pemberian hukuman yang lebih berat (Rogers, 2004 : 63) Beberapa jenis sikap publik dalam pemberian hukuman dapat dijelaskan dari perbedaan generasi dan kelas sosial. Para penulis menemukan bahwa pada responden yang lebih tua memegang sikap yang lebih bersifat menghukum daripada responden yang lebih muda(Wood, 2004: 18). Pemberian hukuman dipengaruhi oleh usia pelaku yang melakukan pelanggaran. Pada beberapa usia tertentu penghukuman diberikan dengan intensitas yang lebih rendah. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor psikis dan kebutuhan yang ada pada pelaku, usia remaja menjadi sorotan utama. 2) Demografi (Ras) Demografi diartikan sebagai lingkungan tempat tinggal secara fisik, artinya keadaan tempat tinggal seseorang terlepas dari sosialnya. Demografi menjadi sangat berpengaruh karena cuaca dan keadaan alam yang berbeda dapat membentuk perilaku 25 yang berbeda pula pada masyarakat di lingkungan demografi yang berbeda. Faktor demografi dapat menjadi menyebab seseorang berkecenderungan menghukum atau memiliki sikap menghukum. Meskipun ras belum konsisten dalam dampaknya terhadap treathment dan orientasi menghukum, ditemukan berbagai aspek yang memungkinkan berpengaruh terhadap sikap menghukum seseorang. Penelitian lebih jauh terhadap individu dengan beberapa variabel-variabel demografis yang ada didalam masyarakat, treatment dan hukuman dilakukan berdasarkan adanya peningkatan pengaruh kontak kelompok yang menyebabkan perubahan sikap yang sistematis terhadap pelaku kekerasan sex (Rogers, 2004 : 63) Setiap ras atau orang yang tinggal pada lingkungan demografis tertentu akan memiliki ciri perilaku yang berbeda pula, seperti orang yang tinggal di lingkungan demografi pegunungan akan berbeda perilakunya dengan orang yang hidup di daerah pesisir. Begitupun juga dengan Ras yang berbeda, ada yang memiliki tradisi lebih keras dan ada yang memiliki tradisi lebih sopan, sehingga Ras dan Demografis menjadi salah satu hal yang tidak lepas dari perilaku seseorang. 3). Jenis pelanggaran Pelanggaran yang dilakukan seseorang berbeda dengan pelanggaran yang dilakukan orang lainnya, untuk selanjutnya dikelompokkan menjadi jenis pelanggaran tertentu menurut hukum yang berlaku.Dari jenis pelanggaran yang dilakukan kemudian menjadikan faktor seseorang untuk menghukum. Kecil 26 kemungkinan seseorang menghukum untuk kasus yang ringan, orang akan cenderung lebih menghukum saat pelanggaran yang dilakukan cenderung dikategorikan sebagai pelanggaran beratdan perlakuan hukumannya pun bisa berbeda-beda. Perilaku publik dalam menghukum pelaku kekerasan sex dianggap lebih keras daripada menghukum pelaku yang bukan pelanggar kekerasan sex. Sementara itu masih terdapat perbandingan walaupun sikap menghukum pelanggar kekerasan sex pada kasus tertentu belum secara sistematis dijalankan. Hal ini memberikan pandangan bahwa pelaku kekerasan sex dipandang dan diperlakukan berbeda di Barat. Perbedaan perlakuan tersebut digunakan untuk menunjukkan perbedaan secara empiris dalam beberapa variable yang menyebabkan dijatuhkannya hukuman. Bentuk kejahatan atau kekerasan seperti sex dan non-sex dijadikan gambaran untuk melakukan treatmen dan pemberian hukuman yang lebih tinggi (Rogers, 2004 : 64) Jenis pelanggaran kejahatan tertentu akan menjadikan penyebab bagaimana seseorang memberikan penghukuman yang berbeda pula, seperti pelaku kekerasan sex akan mendapatkan hukuman yang lebih tinggi dari pada pelaku bukan kekerasan non-sex, meskipun di masyarakat Barat sex adalah hal yang dianggap wajar. 4). Tanggung jawab atribusi Setiap orang dalam pekerjaan akan mendapatkan hak dan kewajiban. Dimana kewajiban ini berupa tuntutan atau tanggung jawab yang harus dilakukan, baik secara sadar atau tidak sadar, tanggung jawab yang diberikan harus dilaksanakan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam sebuah pekerjaan. Tanggung jawab 27 atribusi dijadikan salah satu faktor dalam sikap menghukum. Seseorang akan melaksankan tugas atas dasar keharusan dan kewajiban untuk bisa bertahan di lingkungan pekerjaan, adanya perkembangan dan pertimbangan penghukuman yang sederhana dilakukan dengan tujuan sebagai dasar atau alasan atas pelanggaran yang dilakukan (Rogers, 2004 : 65) Tanggung jawab atribusi disini diartikan sebagai hukuman yang diberikan atau sifat menghukum itu ada karena adanya sebuah tanggung jawab dari beberapa pihak yang memang diberikan kepada penghukum, misalnya karena sebuah peraturan atau undang-undang menghendaki bahwa seseorang dipercaya untuk menangani kasus remaja dengan hukuman yang tertulis, maka seseorang akan secara sadar maupun tidak sadar melakukan penghukuman atas dasar tanggung jawab semata yang diberikan kepadanya. 5). Keyakinan Authoritarian Seperti yang telah disebutkan bahwa lingkungan berperan penting dalam penyebab tingkah laku seseorang. Pandangan tentang pola asuh keluarga yang menyebabkan sikap seseorang berbeda satu sama lain, yang terlepas dari faktor biologis seperti hormon dan gander. Pola asuh dapat menjadi faktor penyebab seseorang melakukan perbuatan di masa sekarang. Konstruk Authoritarianismpada psikologi klasiktelah ditemukan menjadi prediktor dalam adanya sikap seseorang untuk tratment dan sikap menghukum. Hartlaub (1998) dan Stack (2000) keduanya menemukan bahwa Authoritarianism 28 diprediksi menjadi salah satu faktor penyebab adanya sikap menghukum pada seseorang. Penelitian lain menemukan bahwa otoritarianisme tidak dapat didukung dengan memprediksi secara langsung pada pelaku kejahatan, karena terdapat nilai pada masing-masing subjek yang secara psikologis dapat mempengaruhi seseorang saat bertindak (Rogers, 2004 : 56) Keyakinan Authoritariansebagai pengacu internal seseorang dalam melakukan pelanggaran yang kurang baik.Otoritarianisme telah dikaitkan dengan sifat menghukumyang mana hal tersebut menyimpang dari normanorma kelompok. Keyakinan otoriter berteori tentang hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara faktor demografi dan hasil dari hukuman. Hal tersebut meliputi ras, orientasi pekerjaan, dan umur, yang mana semuanya diasumsikan untuk mendapatkan bagian dari kemungkinan mereka untuk memprediksi perilaku menghukum yang dapat di asosiasikan dari Authoritarian mereka (Rogers, 2004 : 65) Keyakinan Authoritarian berteorikan tentang hal-hal yang menjadi penyebab seseorang berperilaku di dalam lingkungan sosialnya.Keyakinan otoriter merupakan faktor internal dalam diri seseorang yang dijadikan pemicu dalam adanya penghukuman, yang dihasilkan dari ras, lingkup pekerjaan, dan umur (pengalaman). Banyak faktor yang menyebabkan adanya orientasi menguhukum, seperti sikap sosial yang dibentuk karena adanya pengaruh pola asuh (ototarianisme), jenis kelamin, profesi (polisi lebih menghukum daripada masyarakat biasa), religiusitas, Authoritarianism, jenis pelanggaran ,prasangka, tanggung jawab atribusi, ras, dan emosi. 29 3. Ciri-ciri orientasi menghukum Selanjutnya tentang sifat menghukum disebut Punitiveness. Punitiveness ditandai dengan paksaan, moralisme, dan siksaan pada subyek atau perorangan oleh pihak ketiga dalam hukum. Gagasan punitiveness paling sering dikaitkan dengan retribusi dan pembalasan. Istilah punitiveness biasanya membawa konotasi yang berlebihan. Artinya “the persuit of punishment over and above that which is necessary or appropriate”.Gagasan dari punitiveness menunjukkan penggunaan sanksi yang tidak proporsional dan konsekuensinya berupa penyimpangan dari prinsip proporsionalitas (Matthews, 2005: 179). Pada orang yang memiliki orientasi menghukum tinggi akan cenderung bersifat memaksa serta berpegang teguh pada moralitas. Terkait dengan ciri-ciri orientasi menghukum, terdapat beberapa teori yang mendasari atau menjadi ciri dari menghukum itu sendiri.Berikut beberapa teori tentang hukuman: a. Teori hukuman alam Hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu perbuatan. Hukuman harus merupakan sesuatu yang nature menurut hukum alam, sesuatu akibat logis yang tidak dibuat-buat. Alam akan menghukum atas perilaku yang dilakukan individu b. Teori ganti rugi Seseorang diminta bertanggung jawab untuk menanggung resiko dari perbuatannya.misalkan ketika seorang anak mencuri dan merusak barang, maka anak 30 tersebut harus mengganti barang tersebut. Akan tetapi kelemahan dari teori ganti rugi yaitu tidak adanya nilai didik. Anak akan merasa selesai apabila sudah mengganti barang yang telah dirusak atau dicuri. c. Teori menakut-nakuti Hukuman diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang. Disini anak diberikan figur atau hal yang dapat membuat anak takut untuk melakukan pelanggaran, akan tetapi perlu juga adanya pengawasan dari orang tua atau perlakuan lingkungan yang positif. Karena, apabila anak tidak melakukan pelanggaran ulang karena faktor ketakutan, maka apabila figur yang ditakuti tidak ada, maka anak bisa jadi mengulangi peanggaran yang sama, karena kurangnya kesadaran dari seorang anak tersebut. d. Teori balas dendam Saat seseorang merasa kecewa, seseorang akan berusaha mencari kesempatan untuk setiap saat akan menghukumnya atau menjatuhkannya. Bisa diambil contoh misalnya ada seorang polisi yang mempunyai masalah dengan seseorang yang mencelakakan keluarga atau kerabatnya, maka apabila seseorang terbukti melakukan kesalahan lain dan polisi tersebut diberikan kesempatan untuk menangani kasus tersebut, maka akan adanya sifat sentiment terhadap pelaku kejahatan tersebut, dikarenakan adanya tujuan pembalas dendaman. Menghukum dalam jenis ini sangat tidak baik untuk mendidik dan memperlakukan anak. 31 e. Teori memperbaiki Hukuman yang dapat menyadarkan anak kepada keinsyafan atas kesalahan yang diperbuatnya. Dan dengan adanya keinsyafan ini anak akan berjanji di dalam hatinya sendiri ,tidak akan mengulangi kesalahannya (Indrakusuma, 1973: 148-151) Ada banyak macam tentang pola atau cara untuk menghukum, dari teori yang menyebutkan tentang hukum alam, teori menakut-nakuti, sampai teori memperbaiki. Dari beberapa teori tersebut terdapat kelemahan-kelemahan yang mana tidak hanya pantas digunakan untuk semua jenis pelanggaran. Akan tetapi teori yang paling baik dibandingkan dengan teori lainnya adalah teori menghukum untuk memperbaiki, dengan demikian seseorang anak sangatlah kecil kemungkinanya untuk melakukan pelanggaran karena dia benar-benar sadar untuk tidak melakukan pelanggaran lagi. Kesemua teori tersebut apabila digunakan dan dipadukan dengan cara dan dipergunakan pada kasus yang tepat, maka akan sangat membantu anak untuk memperoleh hak-haknya, walaupun anak sedang dalam proses hukuman. Dalam pemberian hukuman tidak semata-mata diberikan tanpa adanya tujuan, maka dari itu terdapat beberapa syarat penting dalam menghukum agar mencapai tujuan akan pemberian hukuman tersebut, syarat syaratnya sebagai berikut: a. Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta kasih sayang b. Pemberian hukuman harus didasarkan kepada alasan “keseharusan”. Pemberian hukuman dilaksanakan jika sudah tidak ada cara yang tepat untuk mendidik anak, dilakukan dengan cara sebijaksana mungkin 32 c. Pemeberian hukuman harus menimbulkan kesan pada hati anak, dengan adanya kesan tersebut, anak akan selalu mengingat pada peristiwa tersebut. Akan tetapi jangan sampai menimbulkan kesan yang negatif, seperti menimbulkan kesan putus asa d. Pemberian hukuman harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan pada anak e. Pada akhirnya pemberian hukuman harus disertai dengan pemberian ampun dan disertai dengan harapan serta kepercayaan (Indrakusuma, 1973: 155-156) Setelah membahas tentang beberapa teori tentang menghukum, tata cara menghukum, berikut akan dijelaskan mengapa menghukum itu dipentingkan, terdapat keunggulan dalam adanya setiap prosedur hukum. a. Menghentikan dengan cepat Penggunaan hukuman yang efektif dapat mengurangi perilaku menyimpang secara cepat dan menghindarkan adanya pengulangan perilaku pelanggaran, dimana efektifitasnya tergantung terhadap jenis dan besarnya intensitas hukuman. b. Memudahkan deskriminasi Hukuman yang bersifat spesifik memudahkan pelanggar membedakan dalam situasi mana perilakunya harus dihilangkan. Dengan mengkomunikasikan pada pelanggar tentang kekhususan pada situasi tertentu, diharap bisa mengurangi kenestapaan dalam proses penghukuman, dan lebih bertujuan untuk kebaikan subjek yang dihukum. 33 c. Merupakan pelajaran bagi orang lain Diperolehnya hukuman akan suatu tindakan, mengajarkan kepada orang lain untuk tidak melakukan tindakan melanggar tersebut. (Solichatun, 2014 :26-27). Selain terdapat keuntungan dari prosedur atau diadakannya hukuman, terdapat juga kelemahan-kelemahan sebagai berikut a. Reaksi subjek dapat berbentuk mengundurkan diri Terdapat beberapa kasus tentang seseorang yang dihukum menjadi putus asa dan mengundurkan diri, seperti karena dihukum orang tersebut akan memutuskan untuk menyendiri dan bahkan sampai pada kasusbunuh diri. Dan dengan adanya pengunduran diri ini akan menyebabkan komunikasi sosial terputus b. Reaksi subjek dapat berbentuk agresi Hukuman seringkali dianggap dan menimbulkan rasa ketidaknyamanan, dan karena ketidaknyamanan tersebut sering menimbulkan keinginan untuk membalas. c. Reaksi subjek dapat tergeneralisasi. Hukuman akan membuat kapok perilaku-perilaku yang hampir sama bentuknya, maupun mirip suasananya dengan perilaku yang mendapat hukuman. Seperti ketika melakukan satu pelanggaran lalu lintas dan mendapatkan hukuman, maka akan menimbulkan kewaspadaan seseorang untuk tidak melakukan pelanggaran lalu lintas apapun bentuknya d. Reaksi subjek dapat diskriminatif Diskriminatif adalah kebalikan dari generalisasi. Diskriminatif yang tidak diinginkan ketika subjek menganggap perilaku harus disupres hanya bila ada figur 34 penghukumnya. Seperti contoh, adanya razia lalu lintas oleh polisi, seorang terkena tilang karena melakukan pelanggaran lalu lintas, maka orang lain akan melakukan hal untuk tidak dapat di tilang, akan tetapi tujuan seseorang berkendara dengan benar karena alasan razia polisi, apabila razia tidak ada, maka terdapat kemungkunan seseorang untuk melakukan pelanggaran lagi e. Tindakan menghukum dijadikan contoh Tindakan hukuman atau perlakuan hukuman yang tepat kurang bisa dijadikan contoh orang lain dalam menghukum. Kembali terhadap macam-macam teori hukuman, hukuman tidak selayaknya pantas untuk semua jenis pelanggaran, harus ada pertimbangan dan penyesuaian terhadap jenis pelanggaran. f. Perilaku terhukum dicontoh Perilaku yang mendapat hukuman cenderung tidak dicontoh oleh orang lain, akan tetapi tindakan yang dikenai hukuman cenderung dicontoh karena menjadi pusat perhatian. g. Reaksi subjek terhadap diri sendiri dan lingkungan dapat negatif Penggunaan hukuman cenderung menimbulakan asosiasi negatif terhadap aktifitas, penyaji, maupun lingkungan. Seperti contoh ketika terdapat seorang anak melakukan pelanggaran, maka akan ada timbal balik dari lingkungan yang menganggap bahwa selain anak yang melakukan pelanggaran, orang tua juga dipandang tidak baik, penghukum yang dipandang tidak baik oleh anak, serta aktifitas atau prosedur hukuman yang dapat membuat anak menarik diri dari lingkungan. Dari 35 sini perlu dijelaskan bahwa sebenarnya bukan orangnya yang dihukum, akan tetapi perilaku yang salahnya yang dihukum h. Reaksi lingkungan terhadap penghukum negatif Orang-orang yang tidak terlibat, kadang kurang memahami dasar atau aturan hukum yang digunakan pada program hukuman yang mereka lihat pada umumnya adalah akibat-akibat aversif yang diperoleh terhukum (Solichatun, 2014 :28-29). Dari beberapa pendapat di atas, terdapat beberapa ciri dari orientasi menghukum, selain orientasi menghukum banyak yang berkesan memberi kenestapaan, siksaan, dan moralisme, hukuman juga berciri positif seperti hukuman sebagai ganti rugi, hukuman bersifat menakut-nakuti, hukuman untuk memperbaiki diri, timbulnya kesan dan, adanya harapan terhadap orang yang dihukum. Selain itu terdapat juga kelemahan dari adanya hukuman seperti reaksi subjek yang agresi, tindakan menghukum dijadikan contoh, perilaku terhukum dicontoh, reaksi subjek terhadap diri dan lingkungan negative, serta reaksi lingkungan yang negatif. 4. Tujuan Orientasi Menghukum Seperti yang telah disinggung pada awal bahwa pemberian hukuman dilihat dari dua pandangan, selain untuk memberikan balasan, hukuman juga berfungsi sebagai pencegah agar tidak dilakukan pengulangan pelanggaran. Pada dasarnya terdapat tujuan dari adanya hukuman, diantaranya: pembalasan, pengakuan status korban, konfirmasi nilai-nilai sosial, keamanan korban, dan keamanan masyarakat. Ada beberapa alasan mengapa menghukum diberikan pada perilaku kejahatan kriminal seperti untuk memberikan pelaku hukuman hanya sebagai pelaksanaan 36 tugas, mendidik pelaku, melindungi masyarakat, atau menghalangi pelanggar yang berpotensial lainnya (Orth, 2003: 173) Dilihat dari beberapa pandangan seperti pandangan para filosofis tentang tujuan menghukum, tujuan menghukum pelaku dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran hukum, untuk menstabilkan norma-norma moral perilaku, dan untuk melestarikan kepercayaan masyarakat umum di dalam peradilan pidana (Orth, 2003: 174). Menurut Vidmar dan Miller, seseorang dapat membedakan dua keutamaan dalam motif reaksi hukuman yaitu:motif Retribusi didasarkan pada refleksi moral dan bertujuan memperoleh keadilan dan konfirmasi dari nilai-nilai sosial yang dilanggar karena kejahatan. Sedangkan motif kontrol bertujuan mengendalikan perilaku pelaku atau pihak ketiga (Orth, 2003: 174) Dalam sudut pandang yang berbeda juga bisa disebutkan tujuan menghukum, yakni seperti dari segi korban dan dari segi pengamat atau orang ketiga. Dalam pandangan pengamat atau orang ketiga menghukum dilakukan karena faktor menjalankan tugas semata, sedangkan menurut pandangan pengamat lain atau korban bisa jadi menghukum bertujuan sebagai motif balas dendam yang dilakukan korban. Motif retribusi sesuai dengan tujuan moral dan motif kontrol perilaku sesuai dengan tujuan instrumental (Orth, 2003: 175) Jika disimpulkan, terdapat banyak tujuan dari orientasi meghukum diantaranya, pembalasan, menimbulkan kesadaran hukum, menstabilkan norma, 37 retribusi, kontrol pelaku, rahabilitasi, retribusi, dan pencegahan. Pemberian hukuman sebagai tanggung jawab atas perbuatan pelanggaran yang dilakukan dan pemberian hukuman sebagai penyeimbang dan penyelaras yang ada di lingkungan. 5. Teori yang Berkaitan dengan Orientasi Menghukum a. Kepribadian Authoritarian Beberapa teori yang berhubungan dengan adanya orientasi menghukum, seperti kepribadian ototarian, agresi serta nilai dan moral. Hal yang pertama dibahas adalah tentang ototarian, dimana ototarian berasal dari pola asuh orang tua yang menyebabkan adanya pribadi berkarakter ototarianisme. Penganut ototarianisme yang cenderung patuh terhadap apa yang dianggap nyata seperti peraturan dan tanggung jawab. Authoritarian, kata otoritarian merupakan istilah terjemahan dari kata authoritarian. Kata Authoritarian sendiri berasal dari kata authority yang sebenarnya turunan dari kata Latin auctoritas. Kata authority atau auctoritas berarti “pengaruh“, “kuasa”, “wibawa”, “otoritas”. Dengan otoritas yang dimilikinya, seseorang dapat mempengaruhi pendapat, pemikiran, gagasan, dan perilaku orang lain, baik secara perorangan maupun kelompok. Kata lain yang terkait era dengan otoritas adalah otoritarianisme yang berarti paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas, kekuasaan, kewibawaan. Hal ini meliputi pula cara hidup dan cara bertindak (Mangunhardjana, 1997: 174). Secara teoritis, hasil menunjukkan bahwa sikap memiliki hubungan yang erat terhadap perilaku yang kuat, tetapi mereka tidak mendukung anggapan bahwa sikap terhadap modal menghukum ini didasarkan pada otoritarianisme (Kevie, 2013: 1) 38 Pola asuh Authotarian adalah cara orang tua mengasuh anak dengan menetapkan standart perilaku bagi anak, tetapi kurang responsif terhadap hak dan keinginan anak. Orang tua berusaha membentuk, mengendalikan serta mengevaluasi tingkah laku anak sesuai dengan standart tingkah laku yang ditetapkan orang tua. Dalam pola pengasuhan ini orang tua berlaku sangat ketat dan mengontrol anak tetapi kurang memiliki kedekatan dan komunikasi berpusat pada orang tua. Orang tua sangat jarang terlibat dalam proses memberi-menerima dengan anaknya. Mereka mengekang dan memaksa anak untuk bertindak seperti yang mereka inginkan, selain itu mereka juga selalu menekankan bahwa pendapat orang dewasa paling benar dan anak harus menerima dengan tidak mempertanyakan kebenaran ataupun memberi komentar. Pola asuh ini lebih menekankan pada kebutuhan orang tua. Sedangkan ekspresi diri dan kemandirian anak ditekan atau dihalangi. Orang tua yang menggunakan pola asuh ini sangat menekankan konformitas dan ketaatan mutlak. Orang tua juga sering menggunakan hukuman sebagai cara membentuk kepatuhan anak. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti ini biasanya memiliki kecenderungan emosi tidak stabil, murung, takut, sedih dan tidak spontan. Selain itu anak yang dibesarkan dalam keluarga ini, akan lebih pasif, tidak mandiri, kurang terampil bersosialisasi, penuh dengan konflik, kurang percaya diri dan kurang memiliki rasa ingin tahu. Jika anak frustasi, maka dia akan cenderung bereaksi memusuhi teman sebaya. Anak laki-laki yang orang tuanya berpola asuh ini akan menjadi anak yang mudah marah dan bersikap menentang, sedangkan pada anak 39 perempuan akan menjadi sangat tergantung dan kurang dalam bereksplorasi, serta menghindari tugas-tugas menantang (Respati: 2006: 129) Orang dengan kepribadian ototarian memiliki ciri antara lain: mereka cenderung memiliki nilai-nilai yang konfensional, keyakinan mereka cenderung kaku, mereka bersikap tidak toleran terhadap kelemahan, mereka cenderung mengidentifikasi diri dan patuh pada figur-figur penguasa, mereka bersikap penuh curiga dan punitif terhadap orang-orang yang melanggar norma-norma dan aturanaturan yang mapan (Constanzo, 2008: 217) Kepribadian authoritarian, sebagaimana dinyatakan oleh Adorno (Ferdiansah, 2008: 16) terbentuk melalui pemberian hukuman oleh pribadi otoritas, kepada orangorang yang melanggar peraturan. Keteraturan dan kedisiplinan di bangun melalui proses yang bersifat agresif. Individu-individu tersebut pada akhirnya mengalami suatu proses belajar (social learning). Kepribadian authoritarian akan patuh pada penguasa secara berlebihan, perilaku yang terstruktur, menganggap musuh dan penghukuman terhadap orangorang yang berbeda dan minoritas. Kepribadian otoritarianism juga memilki disiplin yang tinggi, mempunyai pola pikir yang kaku dan hanya melihat mana yang benar atau yang salah tanpa mau menerima alasan apapun. Orang yang berkepribadian authoritarian merupakan orang yang merasa dirinya kurang penting, kurang berkuasa, dan tunduk pada orang yang berkuasa di atasnya. 40 Penganut otoritarianisme akan berpegang pada kekuasaan sebagai acuan hidup. Ia akan menggunakan wewenang sebagai dasar berpikir. Ketika berhadapan dengan orang lain dan menanggapi masalahnya, mereka akan menanyakan kedudukannya (sebagai apa) dalam lembaga dan organisasi. Dalam membahas masalah itu, dia tidak akan mempersoalkan hakikat dan kepentingannya, tetapi berhak ikut campur dan mengurus perkara yang dipersoalkannya. Namun, hal ini hanya berlaku untuk dirinya.Untuk orang lain, orang otoritarian akan membatasi pekerjaan seseorang, yaitu agar orang tersebut bekerja menurut prosedur dan aturan yang ada. Jika orang itu tidak mengerti dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, ia akan dianggap salah (Mangunhardjana, 1997:174-175) Dari beberapa ciri yang disebutkan tentang orang yang menganut ototarianisme, bukan berarti orang tersebut sepenuhnya memiliki semua ciri-ciri tersebut. Pembenaran tentang ototarianisme dan orang otoritarian bisa dianggap terkesan berlebihan, tidak ada orang yeng seratus persen mengindikasikan tipe ini, akan tetapi esensinya ada. Otoritarianisme berporos pada pemahaman tentang kekuasaan dan penggunaanya, dengan bentuk-bentuk akibat dalam komunikasi dan gaya hidup yang diciptakannya. Hak ini akan berkembang dan banyak muncul dalam masyarakat yang formalitas, legalistik, dan konvensionalistas (Mangunhardjana, 1997: 177). Kebribadian Authoritarian sangat berpengaruh ketika seseorang melakukan sebuah tindakan, seperti sikap menghukum yang juga dipengaruhi oleh kepribadian 41 ini. Dimana pemegang atau penganut otoritarianisme ini berpegang pada kekuasaan sebagai acuan hidup. Ada banyak cara seseorang untuk bisa dikatakan sebagai orang yang otoritarian, seperti seorang pelajar yang harus berbicara tentang belajar di sekolah saja, para ulama yang berkecimpung hanya dalam dunia ceramah dan agama, politikus yang hanya berbicara tentang politik dan lain sebagainya. Di mata orang yang otoritarian, orang yang dianggap benar adalah orang yang berjalan sesuai jalur, serta bekerja menurut prosedur yang sudah ditentukan. Kepribadian ini muncul dalam sistem sosial, dimana individu akan sangat patuh terhadap norma dan nilai sosial yang ada dalam prinsip hidupnya. b. Perkembangan Moral dan Nilai Perkembangan moral (moral development) melibatkan perubahan seiring usia pada pikiran, perasaan, dan perilaku berdasarkan prinsip dan nilai yang mengarahkan bagaimana seseorang seharusnya bertindak (King, 2010: 177). Perkembangan moral akan mengarahkan seseorang untuk bertindak dalam lingkungan tempat dia tinggal, tanpa menyesuaikan diri dan mengikuti nilai moral yang ada, maka seseorang akan dianggap keluar dan dianggap salah oleh lingkungan. Kohlberg (1986) mengajukan tiga tingkat perkembangan moral dengan dua tahap pada masing-masing tingkatnya: 1). Tingkat satu, Prakonvensional. Tahap dimana tidak ada internalisasi, tahap 1, individu mengejar keinginan mereka sendiri, namun membiarkan orang lain 42 melakukan hal yang sama, apa yang benar melibatkan pertukaran yang setara. Tahap 2, anak yang patuh karena orang tua memerintahkan mereka untuk patuh, orang-orang mendasari keputusan moral mereka karena takut akan hukuman. 2). Tingkat dua, Konvensional. Tahap 3 dimana seseorang individu mematuhi standart seperti yang dipelajari dari orangtuanya. Individu menghargai kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai dasar keputusan moral. Tahap 4 penilaian moral didasari pada pemahaman bahwa ada aturan , hukum, keadilan, dan kewajiban moral. 3). Tingkat tiga, Pascakonvensional. Tahap 5 dimana penalaran individu bahwa nilai hak, dan prinsip berada di atas hukum, seorang individu dapat mengenali langkah moral alternatif, menggali pilihan-pilihan yang ada dan membangun kode moralnya sendiri. Tahap 6, seseorang telah mengembangkan keputusan moral dengan didasarkan pada hak asasi manusia. Ketika dihadapkan pada dilema antara hukum dan hati nurani, maka hati nurani lebih diikuti (King, 2010: 178) Terdapat tahap perkembangan moral di dalam manusia sebagai makhluk sosial, dari tahap pertama yang mana masih adanya ketergantungan penuh tindakan seseorang karena suatu perintah atau keotoritarian-an. Kedua seseorang telah mengambil nilai dari peraturan yang ada dan mulai menghargai keputusan orang tua, dan mulai mengetahui kewajiban moral, hukum, dan keadilan. Yang terakhir dalam tahap perkembangan moral adalah seseorang yang telah mengetahui tentang nilai dan 43 mulai bernalar, pada tahap ini seseorang akan memutuskan untuk membangun moralnya sendiri. Mengetahui mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak harus dilakukan, tanpa terlalu banyak berfikir tentang aturan, dan lebih banyak mengikuti hati nurani daripada hukum yang ada pada lingkungan tempat dia tinggal. Nilai mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan, benda, cara untuk mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu benar (mempunyai nilai kebenaran), indah (nilai keindahan), dan religius (nilai keTuhanan). Berikut ciri-ciri nilai sosial: 1). Tercipta dari proses interaksi antar manusia secara intensif dan bukan perilaku yang dibawa sejak lahir 2). Ditransformasikan melalui proses belajar yang meliputi sosialisasi, akulturasi dan difusi 3). Berupa ukuran atau peraturan sosial yang turut memenuhi kebutuhankebutuhan sosial 4). Berbeda-beda pada tiap kelompok manusia. 5). Masing-masing nilai memiliki efek yang berbeda-beda bagi tindakan manusia (Idianto, 2004:109) Setiap masyarakat mengembangkan mekanisme sendiri-sendiri guna mengontrol perilaku anggota-anggotanya yang melakukan atau yang dianggap melakukan perilaku yang menyimpang. Khususnya bila penyimpangan tersebut dianggap intensional, tidak dapat diterima, dan mengakibatkan kerugian serius berupa timbulnya korban atau biaya dalam arti luas, sehingga munculah konsep penghukuman (punishment) (Meliala, 2004: 90) Nilai dan moral adalah hal yang tidak akan lepas dari seseorang ketika dia berada dalam posisi sebagai makhluk sosial, bukan sebagai individu. Banyak aturan 44 yang dibuat manusia untuk saling bisa menjaga satu-sama lain, dan aturan tersebut tertuang dalam nilai dan moral. Ketika seseorang ingin hidup sebagai makhluk sosial yang baik, maka dia harus mentaati nilai, dan dengan demikian akan membuat seseorang bisa bertahan dalam lingkungan hidupnya, termasuk dalam keluarga, sekolah sampai lingkungan atau profesi pekerjaanya. c. Agresi Menurut Lorenz, agresi pada dasarnya bukannya reaksi terhadap stimuli luar, melainkan rangsangan dalam yang sudah “terpasang” yang mencari pelampiasan dan akan terekspresikan sekalipun dengan rangsangan luar yang sangat kecil. Yang menjadikannya berbahaya adalah justru spontanitas insting itu sendiri (Fromm, 2001: 9) Agresi secara harfiah berarti “bergerak (pergi, melangkah) ke depan”, barasal dari kata aggredi, ad gradi (gradus berarti “langkah” dan ad, “ke depan”.Aggredi, yang dalam arti kata bahasa Inggris, yang sudah usang, “to aggress”, adalah kata kerja intransitif. Kata aggress dahulunya telah dimaknai dengan penyerangan, karena bergerak ke depan dalam peperangan biasanya merupakan asal dari suatu penyerangan. Kata Agresif yang mengandung makna harfiah melakukan agresi, dapat didefiinisikan dengan arti bergerak ke depan ke arah tujuan tanpa perasaan segan, ragu atupun takut (Fromm, 2001: 263) Frequensi dan integritas agresi menusia ditimbulkan oleh ciri bawaan pada sifat manusia sering kali memaksa lawan debat mereka, yang teguh berpegang pada harapan akan dunia yang damai, untuk tidak melebih lebihkan tingkat kedestruktifan dan kekejaman manusia. Dengan demikian sang lawan seringkali dipaksa untuk menerima pandangan yang defensif dan terlalu optimis mengenai manusia. Dengan adanya pembedaan antara agresi defensif dan agresi jahat semestinya pemaksaan 45 seperti itu tidak perlu terjadi.Ini hanya menyiratkan bahwa sisi jahat dari agresi menusia tidak bersifat bawaan dan, karenanya tidak mustahil untuk dihilangkan. Namun demikian, perlu juga diakui bahwa agresi jahat merupakan kecenderungan atau potensi yang ada pada diri manusia yang lebih dari sekedar pola perilaku terpelajari yang akan hilang bila dihadapkan pada pola-pola baru (Fromm, 2001: 261) Agresi bukan dibawa dari manusia sejak lahir, agresi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Maka dari itu agresi pada manusia terutama yang bersifat kejam, bisa dihilangkan. Beberapa macam agresi sebagai berikut: 1). Agresi semu Agresi semu adalah tindakan-tindakan yang dapat, namun tidak dimaksutkan untuk menimbulkan kerugian pihak lain. 2). Agresi aksidental Contoh agresi semu yang paling jelas adalah agresi mendadak yang tidak disengaja, yakni tindakan agresif yang melukai orang lain, namun tidak dimaksutkan untuk demikian. 3). Agresi permainan Agresi permainan bertujuan untuk mempraktikkan kemahiran, ia tidak bertujuan untuk menghancurkan atau melukai, serta tidak pula didorong oleh kebencian. 46 4). Agresi penegasan diri Faktor terpenting yang melemahkan agresi penegasan diri adalah suasana otoriter yang dalam keluarga atau masyarakat yang disitu penegasan diri disamakan dengan ketidakpatuhan, pemberontakan atau perbuatan dosa. Dalam semua struktur kekuasaan yang irasional dan aksploratif, penegasan diri, yang dalam hal ini berupa upaya pencapaian tujuan penguasa oleh nonpenguasa, merupakan dosa besar karena dapat mengancam legitimasi penguasa, orang yang tunduk kepada bentuk kekuasaan seperti ini akan terindokrinasi untuk percaya bahwa yang menjadi tujuan penguasa juga merupaka tujuan baginya, dan bahwa kepatuhan dapat memberi peluang besar dalam mencapai apa yang menjadi tujuan (Fromm, 2001: 272) Agresi semu timbul semata-mata bukan karena adanya keinginan untuk merugikan pihak lain, terdapat maksut tersendiri dari adanya agresi ini. Seperti agresi penegasan diri, hal ini muncul karena seseorang hidup dalam pola asuh yang otoriter, agresi ini bertujuan untuk memberontak. Begitu juga dengan beberapa pekerjaan yang terdapat struktur organisasi didalamnya, terdapat peraturan atasan kepada bawahan, dan dengan agresi penegasan, seseorang akan patuh terhadap atasan, dengan kepatuhan yang dijalankannya, maka akan memberikan kesempatan untuk mencapai tujuan. 5). Agresi defensif Agresi defensif telah teradaptasi secara biologis karena alasan yang telah dijelaskan dalam bahasan landasan neurofisiologis agresi. Manusia dikaruniai 47 kemampuan mamperkirakan dan membayangkan, tidak hanya bereaksi terhadap bahaya dan ancaman yang ada atau yang terbayangkan. Namun juga terhadap bahaya dan ancaman yang menurut perkiraannya akan terjadi di waktu mendatang. Tidak hanya itu, manusia juga mampu meramal bahaya sungguhan di masa depan, dia juga mampu menerima indoktrinasi dari pemimpinnya untuk menganggap sesuatu sebagai bahaya , meski sebenarnya tidak membahayakan (Fromm, 2001: 273-274) 1). Faktor yang mempengaruhi agresi a). Faktor-faktor psikologis Faktor psikologis yang terlibat dalam agresi meliputi respon individu terhadap situasi dan juga faktor kognitif dan belajar (1). Keadaan frustasi dan menyakitkan Hipotesis frustasi-agresi, menyatakan bahwa frustasi selalu mengarah pada agresi. Para psikolog mengenali bahwa cakupan luas pengalaman menyakitkan selain frustasi dapat menyebabkan agresi. Mereka meliputi sakit fisik, hinaan pribadi, dan peristiwa tidak menyenangkan seperti perceraian, berbagai keadaan menyakitkan termasuk juga lingkungan fisik, termasuk cuaca. (King, 2010: 195) (2). Faktor-faktor kognitif Berbagai aspek lingkungan dapat menyiapkan kita untuk berperilaku secara agresif. Berbagai faktor kognitif menentukan apakah individu berespon secara agresif 48 terhadap situasi yang menyakitkan. Misalnya, jika seseorang mempresepsikan bahwa tindakan orang lain tidak adil atau sengaja menyakitkan, agresi lebih mungkin terjadi (King, 2010: 196) (3). Belajar dan pengamatan Para pakar teori kognitif sosial meyakini bahwa agresi dipelajari melalui proses penguatan dan belajar melalui pengamatan. Agresi dapat dipelajari dengan menyaksikan orang lain melaikukan tindakan agresif (King, 2010: 196) (4). Harga diri Baumeister mengajukan gagasan yang proaktif, ia menyatakan bahwa harga diri yang tinggi, dan bukan harga diri yang rendah, dikaitkan dengan agresi. Harga diri yang rendah dikaitkan dengan tingkat agresi yang lebih tinggi daripada harga diri yang tinggi (King, 2010: 197) Tidaklah lepas kehidupan seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor luar. Keduanya saling bepegang erat dalam membentuk suatu tindakan. Dimulai dari faktor luar berupa pengalaman, yang menimbulkan adanya presepsi dalam sistem kognitif, dan pada akhirnya lahirlah sebuah perilaku baru. Faktor-faktor psikologis menjadi penyebab dari adanya sikap agresi, dari perasaan yang tidak diinginkan yang akan menyebabkan frustasi yang akan lari pada agresi. Kemudian hasil pemikiran dari pengamatan selama masa hidup, serta sebuah harga diri rendah yang dapat memacu seseorang untuk berlaku agresi 49 b). Faktor-faktor sosio-kultural Agresi tidak hanya melibatkan faktor biologis dan kognitif, tetapi juga dikaitkan dengan faktor dunia sosial yang lebih lebar, diantaranya: (1). Variasi budaya dan budaya kehormatan Agresi dan kekerasan lebih lazim pada beberpa budaya daripada budaya lainnya. Penelitian menemukanbahwa beberapa norma budaya mengenai kebanggaan maskulin dan kehormatan keluarga dapat mendorong perilaku agresif (King, 2010: 198) (2). Kekerasan media Siaran berita, acara televisi, siaran olahraga, film, permainan vidio, dan lirik lagu, penjahat membunuh dan dibunuh, polisi dan detektif menegakkan atau bahkan melanggar hukum-hukum masyarakat dengan kekerasan, dan lain-lain, banyak para pakar bersikeras bahwa kekerasan dalam media dapat mendorong agresif dan perilaku antisosial (King, 2010: 199) Selain pengaruh internal, pengaruh lingkungan akan sangat berpengaruh dalam perilaku seseorang. Sebelum seseorang beranggapan atau berpresepsi maka tidaklah lepas terdapat hal-hal yang memacu untuk beranggapan. Seperti pengaruh ras, setiap ras memiliki sifat yang berbeda-beda, dari ras yang mengajarkan hidup keras dan ras yang mengajarkan hidup penuh santun. Disusul dengan media akhirakhir ini, banyak peristiwa kekerasan atau peristiwa tidak baik lainnya yang secara sadar atau tidak sadar terekam dalam media, dan hal itu akan sangat berpengaruh 50 pada pola perilaku, dengan adanya model media sebagai figur yang menguatkan perilaku seseorang menjadi agresif dan lainnya. 6. Kajian Islam Mengenai Orientasi Menghukum Islam melalui panduan dari Rasulullah SAW banyak memberi gambaran tentang bagaimana kita boleh bertindak secara tepat dalam permasalah menghukum anak. Rasul tidak melarang kaedah penggunaan hukuman, akan tetapi bagaimana hukuman itu sepadan dengan kesalahan dan adanya larangan memukul bagian muka. Kaedah secara kekerasan akan hanya mengundang rasa dendam dalam hati anak, dan keadaan itu akan beresiko tinggi untuk menjerumuskan anak ke arah negatif. Islam tidak pernah menghalang teknik menghukum, tetapi dengan bersyarat, yaitu dilakukan pada masa bersesuaian. Seperti sabda Rasul SAW mengenai pemberian hukuman berupa pukulan, َب عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَ ّدهِ قَال ٍ ْع ْمرِو بْنِ شُعَي َ ْعَن: قَالَ رَسُوْلُ اهللِ ص. ُمرُوْا شرِ سِنِيْنَ وَ َف ّرقُوْا ْ َضرِبُوْهُ ْم عَلَ ْيهَا ِلع ْ الةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَ ا َ َص ّ صِبْيَا َنكُم بِال ِبَيْ َنهُمْ فِى اْلمَضَاجِع. فى نيل االوطار،احمد و ابو داود Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari datuknya, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Suruhlah anak-anak kecilmu melakukan shalat pada (usia) tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila lalai) atasnya pada (usia) sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka pada tempat-tempat tidur”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 348] 51 Artinya hukuman (disini dalam bentuk pukulan) tidak semena-mena diberikan pada setiap hal yang dianggap salah, ada batasan kapan harus menghukum dan kapan tidak harus menghukum, batasan yang dimaksut adalah usia. Jadi anjuran menghukum dalam islam harus memperhatikan keadaan dari siapa yang dihukum, bukan hanya memandang kesalahan apa yang telah diperbuat Dalam Al-Quran disebutkan pula bahwa, adanya tuntutan untuk berlaku adil dalam menghukum. الَ َتعْدِلُوْا اِعْدِلُوْا هُوَ َأ ْقرَبُ لِلتََّقْوَى َّ َج ِرمَ َّنَكُ ْم شَنَآنُ قَوْمٍ على أ ْ َوَال ي “Dan janganlah sekali-kali jenayah sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, kerana adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS: AlMaaidah: 8) Dalam ayat tersebut sebagi manusia hendaknya berlaku adil, jangan menggunakan emosi subjektif untuk menilai suatu perbuatan, karena sebuah emosi subjektif dapat menyebabkan seseorang berlaku tidak adil atau memihak. Sangatlah penting hukuman dalam ajaran islam, baik hukuman berupa fisik maupun psikis dan spiritual, dimana ada batasan tertentu tentang bagaimana pemberian hukuman tersebut terhadap seseorang yang melakukan kesalahan. Akan tetapi sebaliknya perilaku yang jelek seperti kekerasan, permusuhan, iri, dendam dan sebagainya, tidak disukai Allah. Di riwayatkan dari Abdullah Ibn ‘Amru, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang 52 berperilaku keji”. Kasih sayang pada dasarnya membawa nikmat.Sebab, dengan kasih sayang, kebencian dapat berubah menjadi kecintaan (Assegaf, 2004: 218). Islam menganjurkan agar kita berakhlak positif dengan mencontoh perilaku Nabi SAW, karena dalam diri Beliau terdapat suritauladan yang baik. Dalam konflik, islampun menganjurkan tindakan preventif dengan cara menghadapi perbuatan buruk dengan perbuatan baik sedemikian, hingga permusuhan dapat berubah menjadi persahabatan. Seperti yang tertuang dalam QS: Fushilat: 34 وَال تَسْتَوِي الْحَسَ َنةُ وَال السَّيِّ َئةُ ا ْدفَعْ بِالَّتِي ِهيَ أَحْسَنُ َفإِذَا الَّذِي ٌحمِيم َ ٌّبَيْ َنكَ وَبَيْ َنهُ عَدَا َو ٌةكَأ ََّنهُ وَلِي “Dan tidaklah sama perbuatan yang baik dan yang jahat. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba antara kamu dan dia ada permusuhan jadikan seolah-olah ia adalah teman yang sangat setia”.(Qs: Fushilat : 34). Sikap menghukum adalah salah satu sikap yang tidak lepas dari masa kehidupan manusia, menghukum juga dianjurkan dalam konteks islam, akan tetapi jika bisa diselesaikan dengan jalan selain hukum, akan lebih baik lagi. Orientasi menghukum banyak dipengaruhi oleh faktor luar manusia, lebih tepatnya Lingkungan, lingkungan sangat berperan penting dalam sikap seseorang, mulai dari cara manusia bertindak,karena pengaruh dari orang tua, dan bahkan mempengaruhi 53 kepribadian. Dari faktor yang mempengaruhi orientasi mengkukum tersebut diantaranya adalah Authotarian. B. Penyidik Setelah menjelaskan tentang perilaku menghukum berupa bentuk penghukuman, faktor penyebab seseorang menghukum, dan tujuan menghukum, maka tidaklah lepas dari siapa yang memberikan hukuman. Dalam penelitian ini, subjek yang memberikan hukuman secara jelas yaitu penyidik, yang mana penyidik berasal dari pihak kepolisian sebagai pelaksana sebagian proses peradilan, sebelum penghukuman lain yang diberikan pihak yang selanjutnya, seperti jaksa dan pengadilan. Polisi muncul sebagai pekerjaan yang amat strategis di Negara hukum seperti Indonesia. Negara hukum menjadi hidup dan memenuhi janjinya kepada rakyat jika polisi bekerja progresif. Polisi yang harus progresif itu adalah polisi yang harus berani keluar dari keterkungkungan hukum yang yang dimanifestasikan hanya dalam bentuk peraturan-peraturan hukum (peraturan perundang-undangan)(Hartono, 2010: 44-45) Menurut pasal 1 butir 1 KUHAP penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan (Karjadi, M, Soesilo,R,1997: 3) 54 Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan cara yang diatur menurut Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan penyidik adalah polisi Negara Republik Indonesia, maka dari itu dalam tinjauan ini juga akan dibahas mengenai Polisi sebagai penyidik. Polisi adalah badan pemerintahan yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yeng melanggar Undang-Undang dan sebagainya) (Karjadi, M, Soesilo,R,1997: 3) Kepolisian adalah hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dijelaskan fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Kepatuhan yang diajarkan kepada anggota polisi dimulai saat mereka pertama kali mengikuti Akedemi Kepolisian, dan mereka dituntut untuk dapat mematuhi perintah-perintah dan peraturan-peraturan yang ada, apabila mereka tidak mampu akan mendapatkan hukuman (Ferdiansyah, 2008: 4) Selain terdapat penyidik, berdasarkan pasal 10 KUHAP terdapat pula penyidik pembantu. Penyidik pembantu berdasarkan pasal 10 ayat (1) KUHAP adalah pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini 55 disebutkan bahwa syarat kepangkatan diatur dengan peraturan pemerintah, Peraturan Pemerintah yang dimaksut adalah PP Nomor 3 Tahun 1983 yaitu pada pasal 3 yang memuat bahwa yang disebut penyidik pembantu adalah pejabat polisi yang berpangkat sersan dua dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing (Karjadi, M, Soesilo,R,1997: 20) Pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik difokuskan sepanjang hal yang menyangkut persoalan hukum. Titik pangkal pemeriksaan di hadapan penyidik ialah tersangka. Dari dialah diperoleh keterangan mengenai peristiwa pidana yang sedang diperikasa. Akan tetapi sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaaan, terhadapnya harus diperlakukan asa akusatur. Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harakat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan sebagai objek yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Pemeriksaan tersebut ditunjukkna kearah kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka. Tersangka harus dianggap tak bersalah, sesuai dengan prinsip hukum “praduga tak bersalah”(persumption of innocent) sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Harahap,2006 : 134) 1. Tugas dan Wewenang penyidik Wewenang polisi untuk menyidik meliputi kebijaksanaan polisi (polite belied: police discrection) sangat sulit dengan membuat pertimbangan tindakan apa yang 56 akan diambil dalam saat yang sama yang sangat singkat pada penanggapan pertama suatu delik (Hamzah, 2000: 79) Sesuai dengan pasal 7 ayat (1) KUHAP penyidik polisi Negara Republik Indonesia mempunyai wewenang antara lain; a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan e. melakukan pemerikasaan dan penyitaan surat, dan sebagainya. Berikut tugas penyidik anak yang tercantum dalam KUHAP: a. Membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan (pasal 8 ayat (1) KUHAP) b. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum (pasal 8 ayat (2) KUHAP) c. Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduaga merupakan tindak pidana korupsi wajib segera melakukan penyidikan yang diperlukan (pasal 106 KUHAP) d. Menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (pasal 8 ayat (3) KUHAP) e. Dalam hal penyidik telah mulai melakkan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum (pasal 109 ayat (1) KUHAP) 57 f. Wajib segera menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada penuntut umum, jika penyidikan dianggap telah selesai (pasal 110 ayat (1) KUHAP) g. Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan penuntut umum (pasal 111 ayat (3) KUHAP) h. Setelah menerima penyerahan tersangka, penyidik wajib melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan (pasal 112 ayat (2) KUHAP) i. Wajib memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka (pasal 116 ayat (4) KUHAP) j. Wajib mencatat dalam berita acara sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka (pasal 117 ayat (2) KUHAP) dan sebagainya. Sedangkan penyidik pembantu berdasarkan pasal 11 KUHAP dijelaskan bahwa wewenangnya adalah seperti dengan wewenang penyidik dalam pasal 7 KUHAP di atas, kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik, sedangkan untuk tugasnya berdasarkan pasal 12 KUHAP penyidik pembantu mempunyai tugas yaitu membuat berita acara dan menerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada penuntut umum. Dalam perkara pelanggaran hukum lingkungan hidup, maka seorang polisi yang berlabel sebagai penegak hukum harus mampu berpikir jauh kedepan dalam 58 menangani perkara itu, perkara lingkungan hidup pasti terkait dengan manusia yang hidup disekitar daerah yang menjadi masalah lingkungan hidup (Hartono, 2010: 34) Polisi sebagai penyidik mempunyai kewajiban mutlak untuk bertindak apabila ada laporan atau pengaduan dari masyarakat. Mutlak atau yang dapat diartikan sebagai kewajiban itu tentu ada korelasi dengan argumentasinya sendiri serta resiko hukuman tersendiri pula (Hartono, 2010: 110) Pasal 41 Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 menyebutkan Penyidikan terhadap anak nakal, dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dengan syarat yang ditetapkan sebagai penyidik adalah: a. Telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak Dalam pasal 42 ayat (1), (2), dan (3) UU RI No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa a. Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan b. Dalam melakukan penyidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, atau petugas kemasyarakatan lainnya. 59 c. Proses penyidikan terhadap anak nakal wajib dirahasiakan Polri yang penyidik mempunyai tanggung jawab hukum untuk segera melakukan tindakan-tindakan hukum yang diperlukan. Polri yang penyidik harus segera responsif terhadap permasalahan ini. Kehendak itu sebagaimana disampaikan oleh Satjipto Raharjo, sebagai berikut; “bahwa sebelum menjadi polisi, seorang anggota kepolisian sebaiknya menjadi orang sipil terlebih dahulu. Artinya dia dituntut untuk lebih dahulu menghayati bagaimana kebutuhan, perasaan, pikiran dari seseorang anggota masyarakat biasa, maka pada saat ia menjadi anggota kepolisian, ia akan mengerti benar tentang bagaimana seorang warga masyarakat ingin diperlakukan oleh polisinya.” (Hartono, 2010: 113) Polisi yang penyidik harus memahami terlebih dahulu kapan polisi yang penyidik sekaligus penyelidik itu harus segera bertindak berdasarkan kewenangannya. Itu menjadi alasan mengapa sifat responsif polisi yang penyidik itu sangat diperlukan dalam melayani masyarakat terutama pelayanan dalam kebutuhan berhukum. Apabila di tubuh Polri telah mengalami secara benar tentang apa hakikat hukum, dan apa hakikat penegakan hukum itu, maka niscaya permasalahan ini bukannya masalah, atau bukan merupakan bentuk dari penyelewengan hukum positif itu sendiri, dengan demikian, maka profesionalisme Polri yang penegak hukum akan semakin baik (Hartono, 2010: 114-115) Penyidik Polri juga harus mampu menghidupkan kehendak hukum itu ke arah yang lebih nyata, yaitu hukuman bukan hanya sebagai kumpulan peraturan 60 perundang-undangan, tetapi lebih dari itu diharapkan akan lebih mampu menggali makna hukum yang sesungguhnya, dengan tujuan bukan hanya melahirkan sebuah peraturan yang kaku saja. banyak hal yang harus dipenuhi atau dilakukan dalam proses penyidikan perkara pidana, antara lain a. b. c. d. e. Kecermatan dan ketepatan setiap membuat dokumen yang berkaitan dengan perkara yang ditangani Hati-hati dengan teknologi modern Memahami dengan benar kebutuhan hukum yang harus diterapkan, bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan peraturan perundang-undangan belaka Hati-hati setiap membuat berita acara, baik terhadap berita acara karena tindakannya, maupun karena berita acara pemeriksaan Objek hukum (tersangka) bukan harus dijadikan sasaran legalitas oprasionalnya hukum, tetapi tersangka juga mempunyai hak-hak hukum yang harus dihargai oleh siapapun, jangan sampai seorang tersangka yang hanya karena melakukan tindakan hukum (melaksanakan hak dan kewajibannya) yang sebenarnya bukan melawan hukum, tetapi harus dipersalahkan karena berlandaskan hukum yang pembuatannya juga sarat dengan kepentingan politis, sehingga tidak jarang seseorang tersangka yang seharusnya hanya berurusan dengan persoalan hukum yang benar, harus berhadapan dengan sebuah hukum yang diciptakan karena sebuah kepentingan atau sebuah konspirasi yang berlatar belakang politis (Hartono, 2010: 118-120) Polisi sebagai penyidik harus menegakkan hukum, polisi tidak hanya bersifat penagak hukum, melainkan polisi juga harus menjaga harkat dan hak-hak dari seseorang yang berhadapan dengan hukum. Penyidik selain juga harus mentaati tugasnya sebagai penyidik dengan cara pengintrogasian dan serangkain proses penyidikan lainnya juga harus memperhatikan bahwa yang ditangani juga manusia yang butuh untuk mendapatkan keadilan. Ketika penyidik hanya ingin mematuhi hukum berupa undang-undang dan mematuhi peraturan atasan tanpa berpikir bahwa polisi juga memiliki tanggung jawab preventif maka polisi tersebut adalah polisi yang 61 kurang bekerja secara profesional, polisi yang hanya bekerja dengan latar belakang politis belaka. Terlebih jika yang ditangani adalah anak-anak yang memiliki hak istimewa dibandingkan dengan penanganan pelaku dewasa. C. Anak Nakal Masyarakat menyebut orang yang melakukan tindakan pidana adalah narapidana, tahanan, dan orang jahat. Akan tetapi terdapat pengecualian terhadap anak-anak. Anak disini bukan disebut sebagai orang jahat melainkan disebut anak nakal. Menurut hukum, anak nakal adalah siapa saja yang telah melanggar undangundang pidana pada setiap bagian Negara atau yurisdiksi pemerintah pusat. Berikut pengertian anak menurut undang-undang nomer 3 tahun 1997: Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai cirri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang (UUD RI, 1997: 1) Pengertian anak yang terdapat dalam undang-undang nomer 3 tahun 1997 pasal 1 adalah: 1. Anak adalah dalam orang yang perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin 2. Anak nakal adalah: a. anak yang melakukan tindak pidana atau, b anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan 3. Anak terlantar adalah: anak yang berdasarkan penetapan pengadilan ditetapkan sebagai anak terlantar, atas pertimbangan anak tersebut tidak terpenuhi dengan wajar kebutuhanya, baik secara rohaniyah, jasmaniyah, 62 maupun sosial disebabkan: a. Adanya kesalahan, kelalaian, dan atau ketidakmampuan orang tua, wali atau orang tua asuhnya atau, b. statusnya sebagai anak yatim piatu atau tidak ada orang tuanya(UUD RI, 1997: 1) Pasal 3 Undang-Undang tersebut menyatakan, setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak diantaranya: 1. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya 2. Dipisahkan dari orang dewasa 3. Melakukan kegiatan rekreasional 4. Bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya 5. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup 6. Tidak ditangkap, tidak ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat. Anak bukanlah miniatur orang dewasa, secara kejiwaan masa anak-anak adalah periode yang rentan. Pada masa ini anak belum mandiri, belum memiliki kesadaran penuh, serta kepribadian belum stabil, atau belum terbentuk secara utuh. Dengan kata lain keadaan psikologi anak masih labil, tidak independen, dan gampang terpengaruh. Dengan kondisi demikian, perbuatan yang dilakukan oleh anak tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh anak itu sendiri, karena anak bukan pelaku murni, melainkan juga dipandang sebagai korban. Anak tidak seharusnya dihadapkan pada system peradilan jika ada cara yang lebih tidak menekan atau restriktif untuk menangani perbuatan yang melawan hukum (Dewi, 2011: 2) 63 Anak nakal adalah anak yang melakukan pelanggaran terhadap masyarakat dan hukum yang ada pada masyarakat, dimana anak yang berusia delapan tahun sampai dengan delapan belas tahun dan belum pernah menikah. Anak tersebut memiliki berbagai macam faktor penyebab untuk melakukan kejahatan seperti faktor ekonomi, stress pada anak, pengalaman atau model, serta sampai pada penyebab sakit mental. Anak nakal disini diartikan sebagai korban lingkungan keluarga maupun lingkungan tempat dia bersosialisasi. Sehingga walaupun anak di anggap nakal, anak masih mempunyai beberapa hak yang harus didapat, dan diperlakukan istimewa oleh Negara dalam proses peradilan hukumnya.