BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Orientasi Menghukum 1. Definisi

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Orientasi Menghukum
1. Definisi Orientasi Menghukum
Orientasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pandangan yang
mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan. Orientasi menghukum adalah
pandangan yang mendasari, perhatian atau kecenderungan memberikan hukuman
(Setiawan, 2012, p.1)
Ada sebuah prosedur atau berbagai cara dalam menghukum. Prosedur
hukuman adalah suatu prosedur yang umumnya dicadangkan untuk perilaku-perilaku
yang tidak adaptif, seperti perilaku destruktif terhadap diri sendiri maupun
lingkungan, dan perilaku-perilaku negatif lain yang terus-menerus mengganggu
fungsi adaptif seseorang atau orang lain disekitarnya (Solichatun, 2014: 26)
Setelah prosedur hukuman, juga terdapat adanya sebuah konsep atas adanya
peberian
hukuman.
Ada
dua
pemikiran
utama
dalam
konsep
hukuman:
konsekuensialisme dan Retributivisme. Teori konsekuensialis menyatakan hukuman
yang dibenarkan jika ia memiliki efek positif pada lingkungan dengan mengurangi
tindakan kejahatan (misalnya melalui pencegahan, reformasi, rehabilitasi atau
13
14
incapatitation). Teori retributive atau disebut ultitarian membenarkan hukuman
dengan mengacu pada kejahatan yang dilakukan (Schinkel, 2014: 579).
Teori retributif membenarkan hukuman dengan dasar orang yang dihukum
memang layak dihukum atas kesalahan yang sudah terbukti, dan perbuatan yang
secara sadar dilakukan. Sedangkan teori konsekuensialisme atau yang disebut
ultitarian menganggap hukuman dengan prinsip kebermanfaatan, yaitu hukuman yang
mempunyai dampak positif bagi masyarakat. Adapun kelemahan retibutif yaitu tidak
dapat menunjukkan pada masyarakat sosial bahwa setiap hukuman akan membuat
konsekuensi positif pada masyarakat. Dan sebaliknya konsekuensialisme tidak dapat
menunjukkan bahwa pemberian hukuman terhadap pelanggar hukuman merupakan
hal atau balasan yang sebanding dengan kesalahan. Kesimpulannya Teori retributif
lebih mengarah pada pembalasan, sedangkan teori konsekuensialisme lebih
memberikan efek jera pada pelaku pelanggar.
Perkembangan pemahaman mengenai kegunaan penghukuman sebagai
instrumen dalam rangka metode pengubahan tingkah laku terlihat melalui munculnya
paradigma rehabilitatif. Paradigma tersebut melihat bahwa seseorang yang melanggar
atau menyimpang dari aturan yang ada pada dasarnya adalah orang yang rusak, sakit,
kekurangan, bermasalah, atau memiliki ketidakmampuan sehingga melakukan
perilaku tersebut. Oleh karena itu, melalui penghukuman, orang tersebut pada
dasarnya hendak diperbaiki atau disembuhkan dari kekurangannya. Seiring dengan
perkembangan paradigma tersebut, bentuk-bentuk penghukuman pun berkembang,
15
bervariasi, dan konon semakin manusiawi (Meliala, 2004: 91). Adapun pandangan
hukuman yang diberikan pada anak bahwa hukuman sendiri adalah tindakan yang
dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa, dan
dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di
dalam hatinya untuk tidak mengulanginya (Indrakusuma, 1973: 147)
Pemberian hukuman terhadap anak tidaklah semata-mata diberikan diluar
kesadaran, terdapat alasan mengapa hukuman diberikan, alasan tersebut dijelaskan
dengan adanya prinsip hukuman, prinsip hukuman sebagai berikut:
a.
Hukuman diadakan oleh karena adanya pelanggaran, adanya kesalahan yang
diperbuat (punitur, Quia peccatum est)
b.
Hukuman diadakan dengan tujuan agar tidak terjadi pelanggaran (punitur, ne
peccatur) (Indrakusuma, 1973: 147-148)
Dalam prinsip adanya pemberian sebuah hukuman didasarkan pada dua
pandangan, yang pertama bahwa hukuman itu dilakukan setelah adanya sebuah
pelanggaran yang memandang pada segi masa lampau. Sedangkan prinsip kedua
mengacu pada adanya sebuah perbaikan yang mengarah pada orientasi masa depan
atau sebagai pencegahan agar tidak terulang pelanggaran yang sama.
Dari beberapa teori tersebut dapat disimpulkan bahwa orientasi menghukum
adalah pandangan tentang menghukum, perhatian dan kecenderungan menghukum,
pada saat adanya perilaku yang adaptif yang merugikan. Selain menyebabkan
16
kenestapaan, orientasi menghukum berkaitan dengan pencegahan, retribusi,
rehabilitasi, dan keadilan restoratif, yang mana memiliki kegunaan untuk merubah
tingkah laku, mencegah perilaku pelanggaran bahkan menyembuhkan perilaku yang
dianggap bermasalah, rusak, dan sakit.
2.Faktor-faktor Orientasi Menghukum
Adanya sebuah sikap tak lepas dari faktor yang mempengaruhi mengapa
sesuatu hal perlu dilakukan, dari faktor luar ataupun faktor dalam diri seseorang,
berikut terdapat beberapa faktor dalam orientasi menghukum, diantaranya:
a. Sikap sosial
Salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam orientasi menghukum
adalah sikap sosial, sikap sosial muncul dari lingkungan sosial dimana tempat orang
tersebut tinggal, terutama dari pola didik dari lingkungan keluarga sampai pergaulan
di lingkungan tempat tinggal.
Sikap sosial termasuk unsur-unsurnya, yaitu karakter menghukum baik
dibentuk pada anak-anak pada saat mereka mencapai pertengahan sekolah dasar (SD).
Termasuk unsur yang ada di dalamnya, yaitu ototarianisme, yang mana ototarianisme
adalah salah satu faktor yang ada dalam kepribadian menghukum (Rogers, 2004: 50).
Kepribadian menghukum atau kecenderungan sikap seseorang untuk memberikan
hukuman dipengaruhi dengan pola asuh orang tua, terutama dengan pola asuh yang
otoriter.
17
Secara teoritis, hasil menunjukkan bahwa sikap memiliki hubungan yang
lebih kuat yang erat kaitannya dengan perilaku seseorang, tetapi penelitian tidak
mendukung anggapan bahwa sikap yang dihasilkan dari otoritarianisme merupakan
penyebab dari adanya kecenderungan sikap menghukum semata (Kevie, 2013: 1). Hal
ini menunjukkan adanya penekanan pada sikap sosial selain dari pola asuh keluarga.
Lingkungan sosial juga membentuk kecenderungan orang untuk melakukan orientasi
menghukum, terlepas dari pola asuh orang tua.
Sikap sosial adalah hal yang menyebabkan seseorang berperilaku, termasuk
diantaranya adalah otoritas dari orang tua, sikap sosial berupa otoritas atau perlakuan
orang tua yang cenderung mengatur akan memberikan efek perilaku tersendiri pada
anak daripada sikap orang tua yang memberikan hak anak untuk bertindak dan
berpendapat di dalam keluarga. Sikap orang tua terhadap anak dapat dijadikan model
anak untuk berperilaku dan dapat dijadikan alasan seseorang untuk bertindak di masa
dewasanya.
b. Jenis kelamin
Faktor
selanjutnya
yang juga ikut
andil
dalam penyebab adanya
kecenderungan seseorang untuk menghukum, atau sikap seseorang untuk berorientasi
menghukum adalah jenis kelamin. Tidak dapat disangkal bahwa laki-laki dan
perempuan sangatlah memiliki sisi perilaku yang berbeda. Hal yang dapat
menjadikan sikap menghukum antara keduanya juga berbeda.
Pandangan masyarakat mengenai seorang pria yang harus berkompetensi
dengan pria lain untuk mendapatkan pasangan, pria mungkin mengembangkan
18
kecanderungan untuk menyukai kekerasan dan lebih berani mengambil resiko.
Sedangkan wanita lebih mengembangkan kecenderungan untuk menemukan
pasangan jangka panjang yang dapat menunjang keluarga (King, 2010: 182).
Selanjutnya, meskipun ada sebuah kasus dimana di dalam hubungan yang intim pria
kadang-kadang dipukul oleh pasangan wanita, tetapi kekerasan terhadap wanita oleh
pasangan prianya jauh lebih sering terjadi, selain itu pria juga lebih sering
menyebabkan cedera, dan kekerasan terhadap wanita, oleh karena itu pria lah yang
paling banyak berurusan dengan sistem hukum (Constanzo, 2008: 126)
Jenis
kelamin merupakan faktor
yang menyebabkan adanya
sikap
menghukum, dalam penelitian Wals (1984) menunjukkan bahwa pada petugas wanita
lebih tidak dijumpai atau jarang akan pemberian hukuman daripada petugas laki-laki.
Cullen (2002) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa wanita lebih condong
pada sikap merehabilitasi sedangkan laki-laki lebih berorientasi pada sikap
menghukum (Rogers, 2004 : 53)
Dalam konteks lain, wanita lebih punitif, dalam artian lebih melebih-lebihkan
hukuman dibanding pria dengan perbandingan lima banding satu. Ada alasan untuk
itu: wanita selalu mematuhi perintah atau aturan, karena mereka takut pada kejahatan,
lebih mencintai harta, dan belum pernah cukup menderita dalam kerasnya kehidupan,
sehingga tidak mampu bersimpati terhadap penderitaan orang lain (Constanzo, 2008:
203)
Jenis kelamin adalah faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk
berperilaku, karena terdapat perbedaan yang mendasar antara pria dan wanita. Pria
19
cenderung untuk bersaing dan lebih keras, sehingga lebih berorientasi untuk
menghukum dengan pola yang tegas.Sedangkan sebaliknya, wanita lebih mematuhi
perintah yang membawa dampak pada wanita untuk berorientasi lebih pada
merehabilitasi.
c. Profesi.
Lingkungan merupakan faktor eksternal yang sangat mempengaruhi sikap
seseorang, selain dalam bentuk sikap sosial atau pemberian perlakuan timbal balik
atas hal yang dilakukan seseorang, profesi menjadi sangat berpengaruh juga dalam
lingkungan yang dapat membentuk sikap seseorang dalam memperlakukan orang
lain, termasuk di dalamnya sikap untuk menghukum.Beberapa profesi yang
beranekaragam dalam lingkungan menempatkan beberapa sikap yang juga berbeda.
Dari profesi yang paling sering diteliti, yaitu penegak hukum, profesi di
bidang kesehatan, serta perlindungan anak, dalam penelitian yang dilakukan oleh
Furnham dan Allison (1994) menemukan bahwa polisi lebih menghukum dari pada
masyarakat umum. Sedangkan pada “helping professions” memiliki sikap lebih
rendah dalam menghukum dan sikap lebih tinggi dalam rehabilitasi (Rogers, 2004:
54). Karena setiap profesi pekerjaan mempunyai bidang yang berbeda-beda, maka
akan mempengaruhi seseorang untuk berorientasi menghukum, seperti orang yang
berprofesi di bidang kesehatan akan memiliki orientasi yang lebih manusiawi
daripada orang yang berprofesi di bagian keamanan yang akan lebih waspada dan
keras dalam memperlakukan orang lain.
20
d. Religiusitas
Manusia sebagai makhluk yang sangat dinamis, manusia berhubungan dengan
manusia, manusia berhubungan dengan lingkungan, dan manusia yang berhubungan
dengan Sang Pencipta. Terdapat tingkatan seseorang dalam hubungan dengan
Penciptanya dari yang memiliki kepercayaan tinggi sampai memiliki kepercayaan
rendah, dari yang religiusitas tinggi sampai religiusitas rendah. Melalui agama
manusia membentuk jiwa religiusitas yang berbeda-beda, kereligiusitasan tersebut
membentuk sikap yang berbeda pula terhadap manusia yang memperlakukan manusia
dan lingkungannya. Hal ini juga dijadikan faktor seseorang untuk bersikap dan
bertindak.
Bagi mereka yang memiliki keyakinan fundamental pada literal dari
Alkitab akan memiliki keyakinan yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak.
Dimana terdapat banyak variabel situasional yang digunakan untuk mengurangi
kesalahan pribadi dengan jalan orientasi menghukum (memberikan hukuman),
karena perilaku menghukum dianggap sebagai hal yang layak untuk
menyinggung kesalahan pribadi seseorang (Rogers, 2004 : 55)
Orang-orang yang sangat religius dan konservatif lebih menghukum karena
mereka percaya bahwa penjahat lebih pantas untuk disinggung atau dipersalahkan
karena perbuatannya. Sebaliknya, kaum liberal cenderung memiliki sikap lebih
positivistik tentang perilaku kriminal dan mempertimbangkan faktor-faktor
lingkungan sebagai faktor penentu penting dari setiap perilaku sosial, kriminal atau
sebaliknya. Orang-orang yang sangat religius menganggap bahwa orang harus
21
bertanggung jawab atas tindakan mereka, sehingga hukuman dianggap layak
(Wood,2004: 26-27)
Di dalam setiap ajaran agama terdapat perihal tentang ganjaran dan hukuman,
seperti perilaku baik dengan balasan Surga dan perilaku tidak baik dengan balasan
Neraka. Orang yang memiliki jiwa religius yang kental dalam dirinya akan
membenarkan hukuman adalah hal yang pantas diberikan untuk setiap tindakan yang
di anggap salah, sedangkan orang yang cenderung netral akan lebih mengedepankan
dampak hukuman pada lingkungan. Dengan jiwa religi yang kental seseorang akan
lebih berorientasi menghukum untuk alasan pembalasan dan ganti rugi atas kesalahan
yang diperbuat orang lain.
e. Faktor lain
Pria dan wanita memiliki perbedaan pada orientasi emosionalnya. Jadi, ketika
menghadapi stimulus yang sama (misalnya dihadapkan pada seorang pelaku
pelanggaran), antara pria dan wanita dapat merespon secara berbeda. Emosi dapat
sangat mempengaruhi tanggapan masyarakat, emosi dapat memotivasi seseorang
untuk fokus pada perhatian dan tindakan. Misalnya, ketika pelanggaran terjadi,
seseorang mungkin fokus pada pelaku, menjadi marah dan keinginan untuk
menghukum pelaku berkembang lebih tinggi, sedangkan individu lain mungkin fokus
pada korban, dengan menjadi simpatik dan merasa berkeinginan untuk menghibur
mereka (Wood,2004: 21). Emosi yang berbeda terhadap seseorang dapat
mempengaruhi bagaiman seseorang bertindak. Seperti dicontohkan tersebut bahwa
22
ketika seseorang mengetahui pelaku sebagai orang yang merugikan, maka keinginan
menghukum pelaku akan muncul begitu saja dan emosi seperti empati akan muncul
ketika berhadapan dengan korban yang telah melaporkan kesengsaraan dan
kerugiannya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mears (2001) menemukan adanya sikap
menghukum seseorang lebih tinggi terhadap pemuda yang dituduh atas kasus narkoba
dengan pemuda yang dituduh pada kasus kekerasan. Mears menemukan tidak adanya
efek terhadapras, jumlah anggota keluarga, ideologi politik, keadaan rumah tangga,
kepercayaan orang tua terhadap tanggungjawab dari perbuatan anaknya, perbedaan
terhadap kesopanan warga perkotaan dengan pedesaan, atau tempat tinggal yang
memiliki rasio tingkat tinggi dalam kekerasan (Rogers, 2004 : 58)
Menurut Mazzella & Feingold(1994) penilaian harus mengikuti hukum dan
bebas dari prasangka pribadi. Artinya, mereka harus didasarkan pada (hukum)
pembuktian faktor dan bukan pada faktor extralegal atau faktor luar. Menurut hukum,
beratnya hukuman bervariasi dengan tingkat keparahan kejahatan dan dengan
intensionalitas pelaku. Dengan demikian, seseorang yang berada pada tingkat pertama
dihukum yaitu pada kasus pembunuhan,yang mana harus menerima hukuman
maksimum. Namun, penelitian dan prakteknya telah menunjukkan bahwa pemberian
hukuman kadang-kadang dipengaruhi oleh faktor extralegal, seperti hukuman yang
lebih parah yang diberikan kepada kaum minoritas, orang miskin, laki-laki, dan
orang-orang yang tampak kurang menarik (Kevie, 2013: 1)
23
Banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi seseorang untuk sikap
menghukumnnya seperti emosi penghukum, penilaian yang kurang objektif,
tanggapan masyarakat dan faktor lain seperti pembedaan atau anggapan terhadap
beberapa kaum yang dianggap kurang menarik dan miskin.
Selain faktor yang disebutkan, terdapat beberapa variable lain yang erat
kaitanya dengan penyebab seseorang melakukan orientasi menghukum lebih tinggi
atau lebih rendah. Berikut beberapa variabel yang terkait dengan orientasi
menghukum.
1) Usia pelaku
Pada usia 11, 14, 17 adalah masa transisi, usia 11 sebagai awal dimana anak
masuk sekolah menengah, usia 14 menuju masa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
17 sebagai masa pelepasan tenggung jawab orang tua terhadap anak atau masa
menginjak dewasa. Dimana pada masa ini banyak hal yang meningkat dan berubah
dari masa anak-anak, dengan adanya hal ini mereka menerima tanggung jawab yang
lebih dari seseorang yang berorientasi memberikan hukuaman atau treatment. Tapi
tidak bisa diidentifikasi secara langsung, karena adanya faktor lain yang bisa
mempengaruhi penghukuman.
Teori pertumbuhan memandang Pada usia 11, 14, 17 adalah usia yang sangat
penting, dimana usia tersebut adalah usia remaja, dimana seseorang berada pada masa
transisi. Teori tentang pertumbuhan dijadikan alasan untuk memberikan hukuman.
Dengan memberikan norma atau etika pada saat-saat usia itu. Pelaku pelanggaran
24
pada usia tersebut dijadikan patokan sehingga dibedakan dengan pelaku pada usia
tua. Pelaku tidak lagi disebut sebagai tahanan, tapi disebut sebagai anak-anak dan
remaja nakal, penyebutan istilah tersebut dianggap melindungi kebutuhan anak yang
mana pada masa tersebut anak mulai belajar menerima informasi dengan baik dan
memilah mana yang baik dan tidak untuk bekal di masa dewasa, anak juga akan
memilih mana yang dijadikan modelnya. Atas dasar masa pertumbuhan dan
perbedaan usia maka dijadikan pedoman bagaimana pemberian penghukuman yang
tepat untuk usia anak dan remaja tersebut. Dari pemberian perlakuan penghukuman
anak yang lebih rendah, dan pelaku yang lebih tua dengan pemberian hukuman yang
lebih berat (Rogers, 2004 : 63)
Beberapa jenis sikap publik dalam pemberian hukuman dapat dijelaskan dari
perbedaan generasi dan kelas sosial. Para penulis menemukan bahwa pada responden
yang lebih tua memegang sikap yang lebih bersifat menghukum daripada responden
yang lebih muda(Wood, 2004: 18).
Pemberian hukuman dipengaruhi oleh usia pelaku yang melakukan
pelanggaran. Pada beberapa usia tertentu penghukuman diberikan dengan intensitas
yang lebih rendah. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor psikis dan kebutuhan
yang ada pada pelaku, usia remaja menjadi sorotan utama.
2) Demografi (Ras)
Demografi diartikan sebagai lingkungan tempat tinggal secara fisik, artinya
keadaan tempat tinggal seseorang terlepas dari sosialnya. Demografi menjadi sangat
berpengaruh karena cuaca dan keadaan alam yang berbeda dapat membentuk perilaku
25
yang berbeda pula pada masyarakat di lingkungan demografi yang berbeda. Faktor
demografi dapat menjadi menyebab seseorang berkecenderungan menghukum atau
memiliki sikap menghukum.
Meskipun ras belum konsisten dalam dampaknya terhadap treathment dan
orientasi menghukum, ditemukan berbagai aspek yang memungkinkan berpengaruh
terhadap sikap menghukum seseorang. Penelitian lebih jauh terhadap individu dengan
beberapa variabel-variabel demografis yang ada didalam masyarakat, treatment dan
hukuman dilakukan berdasarkan adanya peningkatan pengaruh kontak kelompok
yang menyebabkan perubahan sikap yang sistematis terhadap pelaku kekerasan sex
(Rogers, 2004 : 63)
Setiap ras atau orang yang tinggal pada lingkungan demografis tertentu akan
memiliki ciri perilaku yang berbeda pula, seperti orang yang tinggal di lingkungan
demografi pegunungan akan berbeda perilakunya dengan orang yang hidup di daerah
pesisir. Begitupun juga dengan Ras yang berbeda, ada yang memiliki tradisi lebih
keras dan ada yang memiliki tradisi lebih sopan, sehingga Ras dan Demografis
menjadi salah satu hal yang tidak lepas dari perilaku seseorang.
3). Jenis pelanggaran
Pelanggaran yang dilakukan seseorang berbeda dengan pelanggaran yang
dilakukan orang lainnya, untuk selanjutnya dikelompokkan menjadi jenis
pelanggaran tertentu menurut hukum yang berlaku.Dari jenis pelanggaran yang
dilakukan kemudian menjadikan faktor seseorang untuk menghukum. Kecil
26
kemungkinan seseorang menghukum untuk kasus yang ringan, orang akan cenderung
lebih menghukum saat pelanggaran yang dilakukan cenderung dikategorikan sebagai
pelanggaran beratdan perlakuan hukumannya pun bisa berbeda-beda.
Perilaku publik dalam menghukum pelaku kekerasan sex dianggap lebih keras
daripada menghukum pelaku yang bukan pelanggar kekerasan sex. Sementara itu
masih terdapat perbandingan walaupun sikap menghukum pelanggar kekerasan sex
pada kasus tertentu belum secara sistematis dijalankan. Hal ini memberikan
pandangan bahwa pelaku kekerasan sex dipandang dan diperlakukan berbeda di
Barat. Perbedaan perlakuan tersebut digunakan untuk menunjukkan perbedaan secara
empiris dalam beberapa variable yang menyebabkan dijatuhkannya hukuman. Bentuk
kejahatan atau kekerasan seperti sex dan non-sex dijadikan gambaran untuk
melakukan treatmen dan pemberian hukuman yang lebih tinggi (Rogers, 2004 : 64)
Jenis pelanggaran kejahatan tertentu akan menjadikan penyebab bagaimana
seseorang memberikan penghukuman yang berbeda pula, seperti pelaku kekerasan
sex akan mendapatkan hukuman yang lebih tinggi dari pada pelaku bukan kekerasan
non-sex, meskipun di masyarakat Barat sex adalah hal yang dianggap wajar.
4). Tanggung jawab atribusi
Setiap orang dalam pekerjaan akan mendapatkan hak dan kewajiban. Dimana
kewajiban ini berupa tuntutan atau tanggung jawab yang harus dilakukan, baik secara
sadar atau tidak sadar, tanggung jawab yang diberikan harus dilaksanakan untuk
mendapatkan hasil yang memuaskan dalam sebuah pekerjaan. Tanggung jawab
27
atribusi dijadikan salah satu faktor dalam sikap menghukum. Seseorang akan
melaksankan tugas atas dasar keharusan dan kewajiban untuk bisa bertahan di
lingkungan pekerjaan, adanya perkembangan dan pertimbangan penghukuman yang
sederhana dilakukan dengan tujuan sebagai dasar atau alasan atas pelanggaran yang
dilakukan (Rogers, 2004 : 65)
Tanggung jawab atribusi disini diartikan sebagai hukuman yang diberikan
atau sifat menghukum itu ada karena adanya sebuah tanggung jawab dari beberapa
pihak yang memang diberikan kepada penghukum, misalnya karena sebuah peraturan
atau undang-undang menghendaki bahwa seseorang dipercaya untuk menangani
kasus remaja dengan hukuman yang tertulis, maka seseorang akan secara sadar
maupun tidak sadar melakukan penghukuman atas dasar tanggung jawab semata yang
diberikan kepadanya.
5). Keyakinan Authoritarian
Seperti yang telah disebutkan bahwa lingkungan berperan penting dalam
penyebab tingkah laku seseorang. Pandangan tentang pola asuh keluarga yang
menyebabkan sikap seseorang berbeda satu sama lain, yang terlepas dari faktor
biologis seperti hormon dan gander. Pola asuh dapat menjadi faktor penyebab
seseorang melakukan perbuatan di masa sekarang.
Konstruk Authoritarianismpada psikologi klasiktelah ditemukan menjadi
prediktor dalam adanya sikap seseorang untuk tratment dan sikap menghukum.
Hartlaub (1998) dan Stack (2000) keduanya menemukan bahwa Authoritarianism
28
diprediksi menjadi salah satu faktor penyebab adanya sikap menghukum pada
seseorang. Penelitian lain menemukan bahwa otoritarianisme tidak dapat didukung
dengan memprediksi secara langsung pada pelaku kejahatan, karena terdapat nilai
pada masing-masing subjek yang secara psikologis dapat mempengaruhi seseorang
saat bertindak (Rogers, 2004 : 56)
Keyakinan Authoritariansebagai pengacu internal seseorang dalam
melakukan pelanggaran yang kurang baik.Otoritarianisme telah dikaitkan
dengan sifat menghukumyang mana hal tersebut menyimpang dari normanorma kelompok. Keyakinan otoriter berteori tentang hal-hal yang berkaitan
dengan hubungan antara faktor demografi dan hasil dari hukuman. Hal tersebut
meliputi ras, orientasi pekerjaan, dan umur, yang mana semuanya diasumsikan
untuk mendapatkan bagian dari kemungkinan mereka untuk memprediksi
perilaku menghukum yang dapat di asosiasikan dari Authoritarian mereka
(Rogers, 2004 : 65)
Keyakinan Authoritarian berteorikan tentang hal-hal yang menjadi penyebab
seseorang berperilaku di dalam lingkungan sosialnya.Keyakinan otoriter merupakan
faktor internal dalam diri seseorang yang dijadikan pemicu dalam adanya
penghukuman, yang dihasilkan dari ras, lingkup pekerjaan, dan umur (pengalaman).
Banyak faktor yang menyebabkan adanya orientasi menguhukum, seperti
sikap sosial yang dibentuk karena adanya pengaruh pola asuh (ototarianisme), jenis
kelamin, profesi (polisi lebih menghukum daripada masyarakat biasa), religiusitas,
Authoritarianism, jenis pelanggaran ,prasangka, tanggung jawab atribusi, ras, dan
emosi.
29
3.
Ciri-ciri orientasi menghukum
Selanjutnya tentang sifat menghukum disebut Punitiveness. Punitiveness
ditandai dengan paksaan, moralisme, dan siksaan pada subyek atau perorangan oleh
pihak ketiga dalam hukum. Gagasan punitiveness paling sering dikaitkan dengan
retribusi dan pembalasan. Istilah punitiveness biasanya membawa konotasi yang
berlebihan. Artinya “the persuit of punishment over and above that which is
necessary or appropriate”.Gagasan dari punitiveness menunjukkan penggunaan
sanksi yang tidak proporsional dan konsekuensinya berupa penyimpangan dari
prinsip proporsionalitas (Matthews, 2005: 179). Pada orang yang memiliki orientasi
menghukum tinggi akan cenderung bersifat memaksa serta berpegang teguh pada
moralitas.
Terkait dengan ciri-ciri orientasi menghukum, terdapat beberapa teori yang
mendasari atau menjadi ciri dari menghukum itu sendiri.Berikut beberapa teori
tentang hukuman:
a.
Teori hukuman alam
Hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu
perbuatan. Hukuman harus merupakan sesuatu yang nature menurut hukum alam,
sesuatu akibat logis yang tidak dibuat-buat. Alam akan menghukum atas perilaku
yang dilakukan individu
b.
Teori ganti rugi
Seseorang diminta bertanggung jawab untuk menanggung resiko dari
perbuatannya.misalkan ketika seorang anak mencuri dan merusak barang, maka anak
30
tersebut harus mengganti barang tersebut. Akan tetapi kelemahan dari teori ganti rugi
yaitu tidak adanya nilai didik. Anak akan merasa selesai apabila sudah mengganti
barang yang telah dirusak atau dicuri.
c.
Teori menakut-nakuti
Hukuman diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak tidak melakukan
pelanggaran atau perbuatan yang dilarang. Disini anak diberikan figur atau hal yang
dapat membuat anak takut untuk melakukan pelanggaran, akan tetapi perlu juga
adanya pengawasan dari orang tua atau perlakuan lingkungan yang positif. Karena,
apabila anak tidak melakukan pelanggaran ulang karena faktor ketakutan, maka
apabila figur yang ditakuti tidak ada, maka anak bisa jadi mengulangi peanggaran
yang sama, karena kurangnya kesadaran dari seorang anak tersebut.
d.
Teori balas dendam
Saat seseorang merasa kecewa, seseorang akan berusaha mencari kesempatan
untuk setiap saat akan menghukumnya atau menjatuhkannya. Bisa diambil contoh
misalnya ada seorang polisi yang mempunyai masalah dengan seseorang yang
mencelakakan keluarga atau kerabatnya, maka apabila seseorang terbukti melakukan
kesalahan lain dan polisi tersebut diberikan kesempatan untuk menangani kasus
tersebut, maka akan adanya sifat sentiment terhadap pelaku kejahatan tersebut,
dikarenakan adanya tujuan pembalas dendaman. Menghukum dalam jenis ini sangat
tidak baik untuk mendidik dan memperlakukan anak.
31
e.
Teori memperbaiki
Hukuman yang dapat menyadarkan anak kepada keinsyafan atas kesalahan
yang diperbuatnya. Dan dengan adanya keinsyafan ini anak akan berjanji di dalam
hatinya sendiri ,tidak akan mengulangi kesalahannya (Indrakusuma, 1973: 148-151)
Ada banyak macam tentang pola atau cara untuk menghukum, dari teori yang
menyebutkan tentang hukum alam, teori menakut-nakuti, sampai teori memperbaiki.
Dari beberapa teori tersebut terdapat kelemahan-kelemahan yang mana tidak hanya
pantas digunakan untuk semua jenis pelanggaran. Akan tetapi teori yang paling baik
dibandingkan dengan teori lainnya adalah teori menghukum untuk memperbaiki,
dengan demikian seseorang anak sangatlah kecil kemungkinanya untuk melakukan
pelanggaran karena dia benar-benar sadar untuk tidak melakukan pelanggaran lagi.
Kesemua teori tersebut apabila digunakan dan dipadukan dengan cara dan
dipergunakan pada kasus yang tepat, maka akan sangat membantu anak untuk
memperoleh hak-haknya, walaupun anak sedang dalam proses hukuman.
Dalam pemberian hukuman tidak semata-mata diberikan tanpa adanya tujuan,
maka dari itu terdapat beberapa syarat penting dalam menghukum agar mencapai
tujuan akan pemberian hukuman tersebut, syarat syaratnya sebagai berikut:
a.
Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta kasih sayang
b.
Pemberian hukuman harus didasarkan kepada alasan “keseharusan”. Pemberian
hukuman dilaksanakan jika sudah tidak ada cara yang tepat untuk mendidik anak,
dilakukan dengan cara sebijaksana mungkin
32
c.
Pemeberian hukuman harus menimbulkan kesan pada hati anak, dengan adanya
kesan tersebut, anak akan selalu mengingat pada peristiwa tersebut. Akan tetapi
jangan sampai menimbulkan kesan yang negatif, seperti menimbulkan kesan
putus asa
d.
Pemberian hukuman harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan pada anak
e.
Pada akhirnya pemberian hukuman harus disertai dengan pemberian ampun dan
disertai dengan harapan serta kepercayaan (Indrakusuma, 1973: 155-156)
Setelah membahas tentang beberapa teori tentang menghukum, tata cara
menghukum, berikut akan dijelaskan mengapa menghukum itu dipentingkan, terdapat
keunggulan dalam adanya setiap prosedur hukum.
a.
Menghentikan dengan cepat
Penggunaan hukuman yang efektif dapat mengurangi perilaku menyimpang
secara cepat dan menghindarkan adanya pengulangan perilaku pelanggaran, dimana
efektifitasnya tergantung terhadap jenis dan besarnya intensitas hukuman.
b.
Memudahkan deskriminasi
Hukuman yang bersifat spesifik memudahkan pelanggar membedakan dalam
situasi mana perilakunya harus dihilangkan. Dengan mengkomunikasikan pada
pelanggar tentang kekhususan pada situasi tertentu, diharap bisa mengurangi
kenestapaan dalam proses penghukuman, dan lebih bertujuan untuk kebaikan subjek
yang dihukum.
33
c.
Merupakan pelajaran bagi orang lain
Diperolehnya hukuman akan suatu tindakan, mengajarkan kepada orang lain
untuk tidak melakukan tindakan melanggar tersebut. (Solichatun, 2014 :26-27).
Selain terdapat keuntungan dari prosedur atau diadakannya hukuman, terdapat juga
kelemahan-kelemahan sebagai berikut
a.
Reaksi subjek dapat berbentuk mengundurkan diri
Terdapat beberapa kasus tentang seseorang yang dihukum menjadi putus asa
dan mengundurkan diri, seperti karena dihukum orang tersebut akan memutuskan
untuk menyendiri dan bahkan sampai pada kasusbunuh diri. Dan dengan adanya
pengunduran diri ini akan menyebabkan komunikasi sosial terputus
b.
Reaksi subjek dapat berbentuk agresi
Hukuman seringkali dianggap dan menimbulkan rasa ketidaknyamanan, dan
karena ketidaknyamanan tersebut sering menimbulkan keinginan untuk membalas.
c.
Reaksi subjek dapat tergeneralisasi.
Hukuman akan membuat kapok perilaku-perilaku yang hampir sama
bentuknya, maupun mirip suasananya dengan perilaku yang mendapat hukuman.
Seperti ketika melakukan satu pelanggaran lalu lintas dan mendapatkan hukuman,
maka akan menimbulkan kewaspadaan seseorang untuk tidak melakukan pelanggaran
lalu lintas apapun bentuknya
d.
Reaksi subjek dapat diskriminatif
Diskriminatif adalah kebalikan dari generalisasi. Diskriminatif yang tidak
diinginkan ketika subjek menganggap perilaku harus disupres hanya bila ada figur
34
penghukumnya. Seperti contoh, adanya razia lalu lintas oleh polisi, seorang terkena
tilang karena melakukan pelanggaran lalu lintas, maka orang lain akan melakukan hal
untuk tidak dapat di tilang, akan tetapi tujuan seseorang berkendara dengan benar
karena alasan razia polisi, apabila razia tidak ada, maka terdapat kemungkunan
seseorang untuk melakukan pelanggaran lagi
e.
Tindakan menghukum dijadikan contoh
Tindakan hukuman atau perlakuan hukuman yang tepat kurang bisa dijadikan
contoh orang lain dalam menghukum. Kembali terhadap macam-macam teori
hukuman, hukuman tidak selayaknya pantas untuk semua jenis pelanggaran, harus
ada pertimbangan dan penyesuaian terhadap jenis pelanggaran.
f.
Perilaku terhukum dicontoh
Perilaku yang mendapat hukuman cenderung tidak dicontoh oleh orang lain,
akan tetapi tindakan yang dikenai hukuman cenderung dicontoh karena menjadi pusat
perhatian.
g.
Reaksi subjek terhadap diri sendiri dan lingkungan dapat negatif
Penggunaan hukuman cenderung menimbulakan asosiasi negatif terhadap
aktifitas, penyaji, maupun lingkungan. Seperti contoh ketika terdapat seorang anak
melakukan pelanggaran, maka akan ada timbal balik dari lingkungan yang
menganggap bahwa selain anak yang melakukan pelanggaran, orang tua juga
dipandang tidak baik, penghukum yang dipandang tidak baik oleh anak, serta aktifitas
atau prosedur hukuman yang dapat membuat anak menarik diri dari lingkungan. Dari
35
sini perlu dijelaskan bahwa sebenarnya bukan orangnya yang dihukum, akan tetapi
perilaku yang salahnya yang dihukum
h.
Reaksi lingkungan terhadap penghukum negatif
Orang-orang yang tidak terlibat, kadang kurang memahami dasar atau aturan
hukum yang digunakan pada program hukuman yang mereka lihat pada umumnya
adalah akibat-akibat aversif yang diperoleh terhukum (Solichatun, 2014 :28-29).
Dari beberapa pendapat di atas, terdapat beberapa ciri dari orientasi
menghukum, selain orientasi menghukum banyak yang berkesan memberi
kenestapaan, siksaan, dan moralisme, hukuman juga berciri positif seperti hukuman
sebagai ganti rugi, hukuman bersifat menakut-nakuti, hukuman untuk memperbaiki
diri, timbulnya kesan dan, adanya harapan terhadap orang yang dihukum. Selain itu
terdapat juga kelemahan dari adanya hukuman seperti reaksi subjek yang agresi,
tindakan menghukum dijadikan contoh, perilaku terhukum dicontoh, reaksi subjek
terhadap diri dan lingkungan negative, serta reaksi lingkungan yang negatif.
4.
Tujuan Orientasi Menghukum
Seperti yang telah disinggung pada awal bahwa pemberian hukuman dilihat
dari dua pandangan, selain untuk memberikan balasan, hukuman juga berfungsi
sebagai pencegah agar tidak dilakukan pengulangan pelanggaran. Pada dasarnya
terdapat tujuan dari adanya hukuman, diantaranya: pembalasan, pengakuan status
korban, konfirmasi nilai-nilai sosial, keamanan korban, dan keamanan masyarakat.
Ada beberapa alasan mengapa menghukum diberikan pada perilaku kejahatan
kriminal seperti untuk memberikan pelaku hukuman hanya sebagai pelaksanaan
36
tugas, mendidik pelaku, melindungi masyarakat, atau menghalangi pelanggar yang
berpotensial lainnya (Orth, 2003: 173)
Dilihat dari beberapa pandangan seperti pandangan para filosofis tentang
tujuan menghukum, tujuan menghukum pelaku dimaksudkan untuk menumbuhkan
kesadaran hukum, untuk menstabilkan norma-norma moral perilaku, dan untuk
melestarikan kepercayaan masyarakat umum di dalam peradilan pidana (Orth, 2003:
174).
Menurut Vidmar dan Miller, seseorang dapat membedakan dua keutamaan
dalam motif reaksi hukuman yaitu:motif Retribusi didasarkan pada refleksi moral dan
bertujuan memperoleh keadilan dan konfirmasi dari nilai-nilai sosial yang dilanggar
karena kejahatan. Sedangkan motif kontrol bertujuan mengendalikan perilaku pelaku
atau pihak ketiga (Orth, 2003: 174)
Dalam sudut pandang yang berbeda juga bisa disebutkan tujuan menghukum,
yakni seperti dari segi korban dan dari segi pengamat atau orang ketiga. Dalam
pandangan pengamat atau orang ketiga menghukum dilakukan karena faktor
menjalankan tugas semata, sedangkan menurut pandangan pengamat lain atau korban
bisa jadi menghukum bertujuan sebagai motif balas dendam yang dilakukan korban.
Motif retribusi sesuai dengan tujuan moral dan motif kontrol perilaku sesuai dengan
tujuan instrumental (Orth, 2003: 175)
Jika disimpulkan, terdapat banyak tujuan dari orientasi meghukum
diantaranya, pembalasan, menimbulkan kesadaran hukum, menstabilkan norma,
37
retribusi, kontrol pelaku, rahabilitasi, retribusi, dan pencegahan. Pemberian hukuman
sebagai tanggung jawab atas perbuatan pelanggaran yang dilakukan dan pemberian
hukuman sebagai penyeimbang dan penyelaras yang ada di lingkungan.
5.
Teori yang Berkaitan dengan Orientasi Menghukum
a.
Kepribadian Authoritarian
Beberapa teori yang berhubungan dengan adanya orientasi menghukum,
seperti kepribadian ototarian, agresi serta nilai dan moral. Hal yang pertama dibahas
adalah tentang ototarian, dimana ototarian berasal dari pola asuh orang tua yang
menyebabkan adanya pribadi berkarakter ototarianisme. Penganut ototarianisme yang
cenderung patuh terhadap apa yang dianggap nyata seperti peraturan dan tanggung
jawab.
Authoritarian, kata otoritarian merupakan istilah terjemahan dari kata
authoritarian. Kata Authoritarian sendiri berasal dari kata authority yang
sebenarnya turunan dari kata Latin auctoritas. Kata authority atau auctoritas
berarti “pengaruh“, “kuasa”, “wibawa”, “otoritas”. Dengan otoritas yang
dimilikinya, seseorang dapat mempengaruhi pendapat, pemikiran, gagasan, dan
perilaku orang lain, baik secara perorangan maupun kelompok. Kata lain yang
terkait era dengan otoritas adalah otoritarianisme yang berarti paham atau
pendirian yang berpegang pada otoritas, kekuasaan, kewibawaan. Hal ini
meliputi pula cara hidup dan cara bertindak (Mangunhardjana, 1997: 174).
Secara teoritis, hasil menunjukkan bahwa sikap memiliki hubungan yang erat
terhadap perilaku yang kuat, tetapi mereka tidak mendukung anggapan bahwa sikap
terhadap modal menghukum ini didasarkan pada otoritarianisme (Kevie, 2013: 1)
38
Pola asuh Authotarian adalah cara orang tua mengasuh anak dengan
menetapkan standart perilaku bagi anak, tetapi kurang responsif terhadap hak dan
keinginan anak. Orang tua berusaha membentuk, mengendalikan serta mengevaluasi
tingkah laku anak sesuai dengan standart tingkah laku yang ditetapkan orang tua.
Dalam pola pengasuhan ini orang tua berlaku sangat ketat dan mengontrol anak tetapi
kurang memiliki kedekatan dan komunikasi berpusat pada orang tua. Orang tua
sangat jarang terlibat dalam proses memberi-menerima dengan anaknya. Mereka
mengekang dan memaksa anak untuk bertindak seperti yang mereka inginkan, selain
itu mereka juga selalu menekankan bahwa pendapat orang dewasa paling benar dan
anak harus menerima dengan tidak mempertanyakan kebenaran ataupun memberi
komentar. Pola asuh ini lebih menekankan pada kebutuhan orang tua. Sedangkan
ekspresi diri dan kemandirian anak ditekan atau dihalangi. Orang tua yang
menggunakan pola asuh ini sangat menekankan konformitas dan ketaatan mutlak.
Orang tua juga sering menggunakan hukuman sebagai cara membentuk kepatuhan
anak. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti ini biasanya memiliki
kecenderungan emosi tidak stabil, murung, takut, sedih dan tidak spontan. Selain itu
anak yang dibesarkan dalam keluarga ini, akan lebih pasif, tidak mandiri, kurang
terampil bersosialisasi, penuh dengan konflik, kurang percaya diri dan kurang
memiliki rasa ingin tahu. Jika anak frustasi, maka dia akan cenderung bereaksi
memusuhi teman sebaya. Anak laki-laki yang orang tuanya berpola asuh ini akan
menjadi anak yang mudah marah dan bersikap menentang, sedangkan pada anak
39
perempuan akan menjadi sangat tergantung dan kurang dalam bereksplorasi, serta
menghindari tugas-tugas menantang (Respati: 2006: 129)
Orang dengan kepribadian ototarian memiliki ciri antara lain: mereka
cenderung memiliki nilai-nilai yang konfensional, keyakinan mereka cenderung kaku,
mereka
bersikap
tidak
toleran
terhadap
kelemahan,
mereka
cenderung
mengidentifikasi diri dan patuh pada figur-figur penguasa, mereka bersikap penuh
curiga dan punitif terhadap orang-orang yang melanggar norma-norma dan aturanaturan yang mapan (Constanzo, 2008: 217)
Kepribadian authoritarian, sebagaimana dinyatakan oleh Adorno (Ferdiansah,
2008: 16) terbentuk melalui pemberian hukuman oleh pribadi otoritas, kepada orangorang yang melanggar peraturan. Keteraturan dan kedisiplinan di bangun melalui
proses yang bersifat agresif. Individu-individu tersebut pada akhirnya mengalami
suatu proses belajar (social learning).
Kepribadian authoritarian akan patuh pada penguasa secara berlebihan,
perilaku yang terstruktur, menganggap musuh dan penghukuman terhadap orangorang yang berbeda dan minoritas. Kepribadian otoritarianism juga memilki disiplin
yang tinggi, mempunyai pola pikir yang kaku dan hanya melihat mana yang benar
atau yang salah tanpa mau menerima alasan apapun. Orang yang berkepribadian
authoritarian merupakan orang yang merasa dirinya kurang penting, kurang
berkuasa, dan tunduk pada orang yang berkuasa di atasnya.
40
Penganut otoritarianisme akan berpegang pada kekuasaan sebagai acuan
hidup. Ia akan menggunakan wewenang sebagai dasar berpikir. Ketika berhadapan
dengan orang lain dan menanggapi masalahnya, mereka akan menanyakan
kedudukannya (sebagai apa) dalam lembaga dan organisasi. Dalam membahas
masalah itu, dia tidak akan mempersoalkan hakikat dan kepentingannya, tetapi berhak
ikut campur dan mengurus perkara yang dipersoalkannya. Namun, hal ini hanya
berlaku untuk dirinya.Untuk orang lain, orang otoritarian akan membatasi pekerjaan
seseorang, yaitu agar orang tersebut bekerja menurut prosedur dan aturan yang ada.
Jika orang itu tidak mengerti dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, ia akan
dianggap salah (Mangunhardjana, 1997:174-175)
Dari beberapa ciri yang disebutkan tentang orang yang menganut
ototarianisme, bukan berarti orang tersebut sepenuhnya memiliki semua ciri-ciri
tersebut. Pembenaran tentang ototarianisme dan orang otoritarian bisa dianggap
terkesan berlebihan, tidak ada orang yeng seratus persen mengindikasikan tipe ini,
akan tetapi esensinya ada. Otoritarianisme berporos pada pemahaman tentang
kekuasaan dan penggunaanya, dengan bentuk-bentuk akibat dalam komunikasi dan
gaya hidup yang diciptakannya. Hak ini akan berkembang dan banyak muncul dalam
masyarakat yang formalitas, legalistik, dan konvensionalistas (Mangunhardjana,
1997: 177).
Kebribadian Authoritarian sangat berpengaruh ketika seseorang melakukan
sebuah tindakan, seperti sikap menghukum yang juga dipengaruhi oleh kepribadian
41
ini. Dimana pemegang atau penganut otoritarianisme ini berpegang pada kekuasaan
sebagai acuan hidup. Ada banyak cara seseorang untuk bisa dikatakan sebagai orang
yang otoritarian, seperti seorang pelajar yang harus berbicara tentang belajar di
sekolah saja, para ulama yang berkecimpung hanya dalam dunia ceramah dan agama,
politikus yang hanya berbicara tentang politik dan lain sebagainya. Di mata orang
yang otoritarian, orang yang dianggap benar adalah orang yang berjalan sesuai jalur,
serta bekerja menurut prosedur yang sudah ditentukan. Kepribadian ini muncul dalam
sistem sosial, dimana individu akan sangat patuh terhadap norma dan nilai sosial
yang ada dalam prinsip hidupnya.
b.
Perkembangan Moral dan Nilai
Perkembangan moral (moral development) melibatkan perubahan seiring usia
pada pikiran, perasaan, dan perilaku berdasarkan prinsip dan nilai yang mengarahkan
bagaimana seseorang seharusnya bertindak (King, 2010: 177). Perkembangan moral
akan mengarahkan seseorang untuk bertindak dalam lingkungan tempat dia tinggal,
tanpa menyesuaikan diri dan mengikuti nilai moral yang ada, maka seseorang akan
dianggap keluar dan dianggap salah oleh lingkungan.
Kohlberg (1986) mengajukan tiga tingkat perkembangan moral dengan dua
tahap pada masing-masing tingkatnya:
1). Tingkat satu, Prakonvensional. Tahap dimana tidak ada internalisasi, tahap 1,
individu mengejar keinginan mereka sendiri, namun membiarkan orang lain
42
melakukan hal yang sama, apa yang benar melibatkan pertukaran yang setara.
Tahap 2, anak yang patuh karena orang tua memerintahkan mereka untuk patuh,
orang-orang mendasari keputusan moral mereka karena takut akan hukuman.
2). Tingkat dua, Konvensional. Tahap 3 dimana seseorang individu mematuhi
standart seperti yang dipelajari dari orangtuanya. Individu menghargai
kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai dasar keputusan
moral. Tahap 4 penilaian moral didasari pada pemahaman bahwa ada aturan ,
hukum, keadilan, dan kewajiban moral.
3). Tingkat tiga, Pascakonvensional. Tahap 5 dimana penalaran individu bahwa nilai
hak, dan prinsip berada di atas hukum, seorang individu dapat mengenali langkah
moral alternatif, menggali pilihan-pilihan yang ada dan membangun kode
moralnya sendiri. Tahap 6, seseorang telah mengembangkan keputusan moral
dengan didasarkan pada hak asasi manusia. Ketika dihadapkan pada dilema
antara hukum dan hati nurani, maka hati nurani lebih diikuti (King, 2010: 178)
Terdapat tahap perkembangan moral di dalam manusia sebagai makhluk
sosial, dari tahap pertama yang mana masih adanya ketergantungan penuh tindakan
seseorang karena suatu perintah atau keotoritarian-an. Kedua seseorang telah
mengambil nilai dari peraturan yang ada dan mulai menghargai keputusan orang tua,
dan mulai mengetahui kewajiban moral, hukum, dan keadilan. Yang terakhir dalam
tahap perkembangan moral adalah seseorang yang telah mengetahui tentang nilai dan
43
mulai bernalar, pada tahap ini seseorang akan memutuskan untuk membangun
moralnya sendiri. Mengetahui mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak harus
dilakukan, tanpa terlalu banyak berfikir tentang aturan, dan lebih banyak mengikuti
hati nurani daripada hukum yang ada pada lingkungan tempat dia tinggal.
Nilai mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan, benda, cara untuk
mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu benar (mempunyai nilai
kebenaran), indah (nilai keindahan), dan religius (nilai keTuhanan). Berikut ciri-ciri
nilai sosial:
1). Tercipta dari proses interaksi antar manusia secara intensif dan bukan
perilaku yang dibawa sejak lahir
2). Ditransformasikan melalui proses belajar yang meliputi sosialisasi, akulturasi
dan difusi
3). Berupa ukuran atau peraturan sosial yang turut memenuhi kebutuhankebutuhan sosial
4). Berbeda-beda pada tiap kelompok manusia.
5). Masing-masing nilai memiliki efek yang berbeda-beda bagi tindakan manusia
(Idianto, 2004:109)
Setiap
masyarakat
mengembangkan
mekanisme
sendiri-sendiri
guna
mengontrol perilaku anggota-anggotanya yang melakukan atau yang dianggap
melakukan perilaku yang menyimpang. Khususnya bila penyimpangan tersebut
dianggap intensional, tidak dapat diterima, dan mengakibatkan kerugian serius berupa
timbulnya korban atau biaya dalam arti luas, sehingga munculah konsep
penghukuman (punishment) (Meliala, 2004: 90)
Nilai dan moral adalah hal yang tidak akan lepas dari seseorang ketika dia
berada dalam posisi sebagai makhluk sosial, bukan sebagai individu. Banyak aturan
44
yang dibuat manusia untuk saling bisa menjaga satu-sama lain, dan aturan tersebut
tertuang dalam nilai dan moral. Ketika seseorang ingin hidup sebagai makhluk sosial
yang baik, maka dia harus mentaati nilai, dan dengan demikian akan membuat
seseorang bisa bertahan dalam lingkungan hidupnya, termasuk dalam keluarga,
sekolah sampai lingkungan atau profesi pekerjaanya.
c.
Agresi
Menurut Lorenz, agresi pada dasarnya bukannya reaksi terhadap stimuli luar,
melainkan rangsangan dalam yang sudah “terpasang” yang mencari pelampiasan dan
akan terekspresikan sekalipun dengan rangsangan luar yang sangat kecil. Yang
menjadikannya berbahaya adalah justru spontanitas insting itu sendiri (Fromm, 2001:
9)
Agresi secara harfiah berarti “bergerak (pergi, melangkah) ke depan”,
barasal dari kata aggredi, ad gradi (gradus berarti “langkah” dan ad, “ke
depan”.Aggredi, yang dalam arti kata bahasa Inggris, yang sudah usang, “to
aggress”, adalah kata kerja intransitif. Kata aggress dahulunya telah dimaknai
dengan penyerangan, karena bergerak ke depan dalam peperangan biasanya
merupakan asal dari suatu penyerangan. Kata Agresif yang mengandung makna
harfiah melakukan agresi, dapat didefiinisikan dengan arti bergerak ke depan ke
arah tujuan tanpa perasaan segan, ragu atupun takut (Fromm, 2001: 263)
Frequensi dan integritas agresi menusia ditimbulkan oleh ciri bawaan pada
sifat manusia sering kali memaksa lawan debat mereka, yang teguh berpegang pada
harapan akan dunia yang damai, untuk tidak melebih lebihkan tingkat kedestruktifan
dan kekejaman manusia. Dengan demikian sang lawan seringkali dipaksa untuk
menerima pandangan yang defensif dan terlalu optimis mengenai manusia. Dengan
adanya pembedaan antara agresi defensif dan agresi jahat semestinya pemaksaan
45
seperti itu tidak perlu terjadi.Ini hanya menyiratkan bahwa sisi jahat dari agresi
menusia tidak bersifat bawaan dan, karenanya tidak mustahil untuk dihilangkan.
Namun demikian, perlu juga diakui bahwa agresi jahat merupakan kecenderungan
atau potensi yang ada pada diri manusia yang lebih dari sekedar pola perilaku
terpelajari yang akan hilang bila dihadapkan pada pola-pola baru (Fromm, 2001: 261)
Agresi bukan dibawa dari manusia sejak lahir, agresi sangat dipengaruhi oleh
lingkungan. Maka dari itu agresi pada manusia terutama yang bersifat kejam, bisa
dihilangkan. Beberapa macam agresi sebagai berikut:
1). Agresi semu
Agresi semu adalah tindakan-tindakan yang dapat, namun tidak dimaksutkan
untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
2). Agresi aksidental
Contoh agresi semu yang paling jelas adalah agresi mendadak yang tidak
disengaja, yakni tindakan agresif yang melukai orang lain, namun tidak dimaksutkan
untuk demikian.
3). Agresi permainan
Agresi permainan bertujuan untuk mempraktikkan kemahiran, ia tidak
bertujuan untuk menghancurkan atau melukai, serta tidak pula didorong oleh
kebencian.
46
4). Agresi penegasan diri
Faktor terpenting yang melemahkan agresi penegasan diri adalah suasana
otoriter yang dalam keluarga atau masyarakat yang disitu penegasan diri disamakan
dengan ketidakpatuhan, pemberontakan atau perbuatan dosa. Dalam semua struktur
kekuasaan yang irasional dan aksploratif, penegasan diri, yang dalam hal ini berupa
upaya pencapaian tujuan penguasa oleh nonpenguasa, merupakan dosa besar karena
dapat mengancam legitimasi penguasa, orang yang tunduk kepada bentuk kekuasaan
seperti ini akan terindokrinasi untuk percaya bahwa yang menjadi tujuan penguasa
juga merupaka tujuan baginya, dan bahwa kepatuhan dapat memberi peluang besar
dalam mencapai apa yang menjadi tujuan (Fromm, 2001: 272)
Agresi semu timbul semata-mata bukan karena adanya keinginan untuk
merugikan pihak lain, terdapat maksut tersendiri dari adanya agresi ini. Seperti agresi
penegasan diri, hal ini muncul karena seseorang hidup dalam pola asuh yang otoriter,
agresi ini bertujuan untuk memberontak. Begitu juga dengan beberapa pekerjaan yang
terdapat struktur organisasi didalamnya, terdapat peraturan atasan kepada bawahan,
dan dengan agresi penegasan, seseorang akan patuh terhadap atasan, dengan
kepatuhan yang dijalankannya, maka akan memberikan kesempatan untuk mencapai
tujuan.
5). Agresi defensif
Agresi defensif telah teradaptasi secara biologis karena alasan yang telah
dijelaskan dalam bahasan landasan neurofisiologis agresi. Manusia dikaruniai
47
kemampuan mamperkirakan dan membayangkan, tidak hanya bereaksi terhadap
bahaya dan ancaman yang ada atau yang terbayangkan. Namun juga terhadap bahaya
dan ancaman yang menurut perkiraannya akan terjadi di waktu mendatang. Tidak
hanya itu, manusia juga mampu meramal bahaya sungguhan di masa depan, dia juga
mampu menerima indoktrinasi dari pemimpinnya untuk menganggap sesuatu sebagai
bahaya , meski sebenarnya tidak membahayakan (Fromm, 2001: 273-274)
1). Faktor yang mempengaruhi agresi
a). Faktor-faktor psikologis
Faktor psikologis yang terlibat dalam agresi meliputi respon individu terhadap
situasi dan juga faktor kognitif dan belajar
(1). Keadaan frustasi dan menyakitkan
Hipotesis frustasi-agresi, menyatakan bahwa frustasi selalu mengarah pada
agresi. Para psikolog mengenali bahwa cakupan luas pengalaman menyakitkan
selain frustasi dapat menyebabkan agresi. Mereka meliputi sakit fisik, hinaan
pribadi, dan peristiwa tidak menyenangkan seperti perceraian, berbagai keadaan
menyakitkan termasuk juga lingkungan fisik, termasuk cuaca. (King, 2010: 195)
(2). Faktor-faktor kognitif
Berbagai aspek lingkungan dapat menyiapkan kita untuk berperilaku secara
agresif. Berbagai faktor kognitif menentukan apakah individu berespon secara agresif
48
terhadap situasi yang menyakitkan. Misalnya, jika seseorang mempresepsikan bahwa
tindakan orang lain tidak adil atau sengaja menyakitkan, agresi lebih mungkin terjadi
(King, 2010: 196)
(3). Belajar dan pengamatan
Para pakar teori kognitif sosial meyakini bahwa agresi dipelajari melalui
proses penguatan dan belajar melalui pengamatan. Agresi dapat dipelajari dengan
menyaksikan orang lain melaikukan tindakan agresif (King, 2010: 196)
(4). Harga diri
Baumeister mengajukan gagasan yang proaktif, ia menyatakan bahwa harga
diri yang tinggi, dan bukan harga diri yang rendah, dikaitkan dengan agresi. Harga
diri yang rendah dikaitkan dengan tingkat agresi yang lebih tinggi daripada harga diri
yang tinggi (King, 2010: 197)
Tidaklah lepas kehidupan seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan
faktor luar. Keduanya saling bepegang erat dalam membentuk suatu tindakan.
Dimulai dari faktor luar berupa pengalaman, yang menimbulkan adanya presepsi
dalam sistem kognitif, dan pada akhirnya lahirlah sebuah perilaku baru. Faktor-faktor
psikologis menjadi penyebab dari adanya sikap agresi, dari perasaan yang tidak
diinginkan yang akan menyebabkan frustasi yang akan lari pada agresi. Kemudian
hasil pemikiran dari pengamatan selama masa hidup, serta sebuah harga diri rendah
yang dapat memacu seseorang untuk berlaku agresi
49
b). Faktor-faktor sosio-kultural
Agresi tidak hanya melibatkan faktor biologis dan kognitif, tetapi juga
dikaitkan dengan faktor dunia sosial yang lebih lebar, diantaranya:
(1). Variasi budaya dan budaya kehormatan
Agresi dan kekerasan lebih lazim pada beberpa budaya daripada budaya
lainnya. Penelitian menemukanbahwa beberapa norma budaya mengenai kebanggaan
maskulin dan kehormatan keluarga dapat mendorong perilaku agresif (King, 2010:
198)
(2). Kekerasan media
Siaran berita, acara televisi, siaran olahraga, film, permainan vidio, dan lirik
lagu, penjahat membunuh dan dibunuh, polisi dan detektif menegakkan atau bahkan
melanggar hukum-hukum masyarakat dengan kekerasan, dan lain-lain, banyak para
pakar bersikeras bahwa kekerasan dalam media dapat mendorong agresif dan perilaku
antisosial (King, 2010: 199)
Selain pengaruh internal, pengaruh lingkungan akan sangat berpengaruh
dalam perilaku seseorang. Sebelum seseorang beranggapan atau berpresepsi maka
tidaklah lepas terdapat hal-hal yang memacu untuk beranggapan. Seperti pengaruh
ras, setiap ras memiliki sifat yang berbeda-beda, dari ras yang mengajarkan hidup
keras dan ras yang mengajarkan hidup penuh santun. Disusul dengan media akhirakhir ini, banyak peristiwa kekerasan atau peristiwa tidak baik lainnya yang secara
sadar atau tidak sadar terekam dalam media, dan hal itu akan sangat berpengaruh
50
pada pola perilaku, dengan adanya model media sebagai figur yang menguatkan
perilaku seseorang menjadi agresif dan lainnya.
6.
Kajian Islam Mengenai Orientasi Menghukum
Islam melalui panduan dari Rasulullah SAW banyak memberi gambaran
tentang bagaimana kita boleh bertindak secara tepat dalam permasalah menghukum
anak. Rasul tidak melarang kaedah penggunaan hukuman, akan tetapi bagaimana
hukuman itu sepadan dengan kesalahan dan adanya larangan memukul bagian muka.
Kaedah secara kekerasan akan hanya mengundang rasa dendam dalam hati anak, dan
keadaan itu akan beresiko tinggi untuk menjerumuskan anak ke arah negatif. Islam
tidak pernah menghalang teknik menghukum, tetapi dengan bersyarat, yaitu
dilakukan pada masa bersesuaian.
Seperti sabda Rasul SAW mengenai pemberian hukuman berupa pukulan,
َ‫ب عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَ ّدهِ قَال‬
ٍ ْ‫ع ْمرِو بْنِ شُعَي‬
َ ْ‫عَن‬: ‫قَالَ رَسُوْلُ اهللِ ص‬. ‫ُمرُوْا‬
‫شرِ سِنِيْنَ وَ َف ّرقُوْا‬
ْ َ‫ضرِبُوْهُ ْم عَلَ ْيهَا ِلع‬
ْ ‫الةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَ ا‬
َ َ‫ص‬
ّ ‫صِبْيَا َنكُم بِال‬
ِ‫بَيْ َنهُمْ فِى اْلمَضَاجِع‬. ‫ فى نيل االوطار‬،‫احمد و ابو داود‬
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari datuknya, ia berkata : Rasulullah SAW
bersabda, “Suruhlah anak-anak kecilmu melakukan shalat pada (usia) tujuh
tahun, dan pukullah mereka (bila lalai) atasnya pada (usia) sepuluh tahun, dan
pisahkanlah mereka pada tempat-tempat tidur”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud,
dalam Nailul Authar juz 1, hal. 348]
51
Artinya hukuman (disini dalam bentuk pukulan) tidak semena-mena diberikan
pada setiap hal yang dianggap salah, ada batasan kapan harus menghukum dan kapan
tidak harus menghukum, batasan yang dimaksut adalah usia. Jadi anjuran
menghukum dalam islam harus memperhatikan keadaan dari siapa yang dihukum,
bukan hanya memandang kesalahan apa yang telah diperbuat
Dalam Al-Quran disebutkan pula bahwa, adanya tuntutan untuk berlaku adil
dalam menghukum.
‫الَ َتعْدِلُوْا اِعْدِلُوْا هُوَ َأ ْقرَبُ لِلتََّقْوَى‬
َّ َ‫ج ِرمَ َّنَكُ ْم شَنَآنُ قَوْمٍ على أ‬
ْ َ‫وَال ي‬
“Dan janganlah sekali-kali jenayah sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, kerana adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS: AlMaaidah: 8)
Dalam ayat tersebut sebagi manusia hendaknya berlaku adil, jangan
menggunakan emosi subjektif untuk menilai suatu perbuatan, karena sebuah emosi
subjektif dapat menyebabkan seseorang berlaku tidak adil atau memihak.
Sangatlah penting hukuman dalam ajaran islam, baik hukuman berupa fisik
maupun psikis dan spiritual, dimana ada batasan tertentu tentang bagaimana
pemberian hukuman tersebut terhadap seseorang yang melakukan kesalahan. Akan
tetapi sebaliknya perilaku yang jelek seperti kekerasan, permusuhan, iri, dendam dan
sebagainya, tidak disukai Allah. Di riwayatkan dari Abdullah Ibn ‘Amru, ia berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
52
berperilaku keji”. Kasih sayang pada dasarnya membawa nikmat.Sebab, dengan
kasih sayang, kebencian dapat berubah menjadi kecintaan (Assegaf, 2004: 218).
Islam menganjurkan agar kita berakhlak positif dengan mencontoh perilaku
Nabi SAW, karena dalam diri Beliau terdapat suritauladan yang baik. Dalam konflik,
islampun menganjurkan tindakan preventif dengan cara menghadapi perbuatan buruk
dengan perbuatan baik sedemikian, hingga permusuhan dapat berubah menjadi
persahabatan. Seperti yang tertuang dalam QS: Fushilat: 34
‫وَال تَسْتَوِي الْحَسَ َنةُ وَال السَّيِّ َئةُ ا ْدفَعْ بِالَّتِي ِهيَ أَحْسَنُ َفإِذَا الَّذِي‬
ٌ‫حمِيم‬
َ ٌّ‫بَيْ َنكَ وَبَيْ َنهُ عَدَا َو ٌةكَأ ََّنهُ وَلِي‬
“Dan tidaklah sama perbuatan yang baik dan yang jahat. Tolaklah (kejahatan itu)
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba antara kamu dan dia ada
permusuhan jadikan seolah-olah ia adalah teman yang sangat setia”.(Qs:
Fushilat : 34).
Sikap menghukum adalah salah satu sikap yang tidak lepas dari masa
kehidupan manusia, menghukum juga dianjurkan dalam konteks islam, akan tetapi
jika bisa diselesaikan dengan jalan selain hukum, akan lebih baik lagi. Orientasi
menghukum banyak dipengaruhi oleh faktor luar manusia, lebih tepatnya
Lingkungan, lingkungan sangat berperan penting dalam sikap seseorang, mulai dari
cara manusia bertindak,karena pengaruh dari orang tua, dan bahkan mempengaruhi
53
kepribadian. Dari faktor yang mempengaruhi orientasi mengkukum tersebut
diantaranya adalah Authotarian.
B. Penyidik
Setelah
menjelaskan
tentang
perilaku
menghukum
berupa
bentuk
penghukuman, faktor penyebab seseorang menghukum, dan tujuan menghukum,
maka tidaklah lepas dari siapa yang memberikan hukuman. Dalam penelitian ini,
subjek yang memberikan hukuman secara jelas yaitu penyidik, yang mana penyidik
berasal dari pihak kepolisian sebagai pelaksana sebagian proses peradilan, sebelum
penghukuman lain yang diberikan pihak yang selanjutnya, seperti jaksa dan
pengadilan.
Polisi muncul sebagai pekerjaan yang amat strategis di Negara hukum seperti
Indonesia. Negara hukum menjadi hidup dan memenuhi janjinya kepada rakyat jika
polisi bekerja progresif. Polisi yang harus progresif itu adalah polisi yang harus
berani keluar dari keterkungkungan hukum yang yang dimanifestasikan hanya dalam
bentuk peraturan-peraturan hukum (peraturan perundang-undangan)(Hartono, 2010:
44-45)
Menurut pasal 1 butir 1 KUHAP penyidik adalah pejabat polisi Negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan (Karjadi, M, Soesilo,R,1997: 3)
54
Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan cara yang diatur menurut Undang-Undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam tulisan ini, yang
dimaksud dengan penyidik adalah polisi Negara Republik Indonesia, maka dari itu
dalam tinjauan ini juga akan dibahas mengenai Polisi sebagai penyidik. Polisi adalah
badan pemerintahan yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum
(menangkap orang yeng melanggar Undang-Undang dan sebagainya) (Karjadi, M,
Soesilo,R,1997: 3)
Kepolisian adalah hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dijelaskan fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan dan
ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat. Kepatuhan yang diajarkan kepada anggota polisi dimulai saat
mereka pertama kali mengikuti Akedemi Kepolisian, dan mereka dituntut untuk dapat
mematuhi perintah-perintah dan peraturan-peraturan yang ada, apabila mereka tidak
mampu akan mendapatkan hukuman (Ferdiansyah, 2008: 4)
Selain terdapat penyidik, berdasarkan pasal 10 KUHAP terdapat pula penyidik
pembantu. Penyidik pembantu berdasarkan pasal 10 ayat (1) KUHAP adalah pejabat
kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini
55
disebutkan bahwa syarat kepangkatan diatur dengan peraturan pemerintah, Peraturan
Pemerintah yang dimaksut adalah PP Nomor 3 Tahun 1983 yaitu pada pasal 3 yang
memuat bahwa yang disebut penyidik pembantu adalah pejabat polisi yang
berpangkat sersan dua dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkungan
Kepolisian Negara yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara atas usul komandan
atau pimpinan kesatuan masing-masing (Karjadi, M, Soesilo,R,1997: 20)
Pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik difokuskan sepanjang hal yang
menyangkut persoalan hukum. Titik pangkal pemeriksaan di hadapan penyidik ialah
tersangka. Dari dialah diperoleh keterangan mengenai peristiwa pidana yang sedang
diperikasa. Akan tetapi sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaaan,
terhadapnya harus diperlakukan asa akusatur. Tersangka harus ditempatkan pada
kedudukan manusia yang memiliki harakat martabat. Dia harus dinilai sebagai
subjek, bukan sebagai objek yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan
tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Pemeriksaan
tersebut ditunjukkna kearah kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka.
Tersangka harus dianggap tak bersalah, sesuai dengan prinsip hukum “praduga tak
bersalah”(persumption of innocent) sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap (Harahap,2006 : 134)
1. Tugas dan Wewenang penyidik
Wewenang polisi untuk menyidik meliputi kebijaksanaan polisi (polite belied:
police discrection) sangat sulit dengan membuat pertimbangan tindakan apa yang
56
akan diambil dalam saat yang sama yang sangat singkat pada penanggapan pertama
suatu delik (Hamzah, 2000: 79)
Sesuai dengan pasal 7 ayat (1) KUHAP penyidik polisi Negara Republik
Indonesia mempunyai wewenang antara lain;
a.
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
b.
Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian
c.
Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka
d.
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan
e.
melakukan pemerikasaan dan penyitaan surat, dan sebagainya.
Berikut tugas penyidik anak yang tercantum dalam KUHAP:
a.
Membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan (pasal 8 ayat (1) KUHAP)
b.
Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum (pasal 8 ayat (2) KUHAP)
c.
Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya
suatu peristiwa yang patut diduaga merupakan tindak pidana korupsi wajib
segera melakukan penyidikan yang diperlukan (pasal 106 KUHAP)
d.
Menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut
umum (pasal 8 ayat (3) KUHAP)
e.
Dalam hal penyidik telah mulai melakkan penyidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal tersebut kepada
penuntut umum (pasal 109 ayat (1) KUHAP)
57
f.
Wajib segera menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada penuntut umum,
jika penyidikan dianggap telah selesai (pasal 110 ayat (1) KUHAP)
g.
Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi,
penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan penuntut
umum (pasal 111 ayat (3) KUHAP)
h.
Setelah menerima penyerahan tersangka, penyidik wajib melakukan pemeriksaan
dan tindakan lain dalam rangka penyidikan (pasal 112 ayat (2) KUHAP)
i.
Wajib memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka
(pasal 116 ayat (4) KUHAP)
j.
Wajib mencatat dalam berita acara sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh
tersangka (pasal 117 ayat (2) KUHAP) dan sebagainya.
Sedangkan penyidik pembantu berdasarkan pasal 11 KUHAP dijelaskan
bahwa wewenangnya adalah seperti dengan wewenang penyidik dalam pasal 7
KUHAP di atas, kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan
pelimpahan wewenang dari penyidik, sedangkan untuk tugasnya berdasarkan pasal 12
KUHAP penyidik pembantu mempunyai tugas yaitu membuat berita acara dan
menerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan pemeriksaan
singkat yang dapat langsung diserahkan kepada penuntut umum.
Dalam perkara pelanggaran hukum lingkungan hidup, maka seorang polisi
yang berlabel sebagai penegak hukum harus mampu berpikir jauh kedepan dalam
58
menangani perkara itu, perkara lingkungan hidup pasti terkait dengan manusia yang
hidup disekitar daerah yang menjadi masalah lingkungan hidup (Hartono, 2010: 34)
Polisi sebagai penyidik mempunyai kewajiban mutlak untuk bertindak apabila
ada laporan atau pengaduan dari masyarakat. Mutlak atau yang dapat diartikan
sebagai kewajiban itu tentu ada korelasi dengan argumentasinya sendiri serta resiko
hukuman tersendiri pula (Hartono, 2010: 110)
Pasal 41 Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 menyebutkan Penyidikan
terhadap anak nakal, dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan keputusan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dengan syarat yang ditetapkan sebagai
penyidik adalah:
a. Telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang
dewasa
b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak
Dalam pasal 42 ayat (1), (2), dan (3) UU RI No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak menyebutkan bahwa
a. Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan
b. Dalam melakukan penyidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib meminta
pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan dan apabila perlu juga
dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa,
atau petugas kemasyarakatan lainnya.
59
c. Proses penyidikan terhadap anak nakal wajib dirahasiakan
Polri yang penyidik mempunyai tanggung jawab hukum untuk segera
melakukan tindakan-tindakan hukum yang diperlukan. Polri yang penyidik harus
segera responsif terhadap permasalahan ini. Kehendak itu sebagaimana disampaikan
oleh Satjipto Raharjo, sebagai berikut; “bahwa sebelum menjadi polisi, seorang
anggota kepolisian sebaiknya
menjadi orang sipil terlebih dahulu. Artinya dia
dituntut untuk lebih dahulu menghayati bagaimana kebutuhan, perasaan, pikiran dari
seseorang anggota masyarakat biasa, maka pada saat ia menjadi anggota kepolisian,
ia akan mengerti benar tentang bagaimana seorang warga masyarakat ingin
diperlakukan oleh polisinya.” (Hartono, 2010: 113)
Polisi yang penyidik harus memahami terlebih dahulu kapan polisi yang
penyidik
sekaligus
penyelidik
itu
harus
segera
bertindak
berdasarkan
kewenangannya. Itu menjadi alasan mengapa sifat responsif polisi yang penyidik itu
sangat diperlukan dalam melayani masyarakat terutama pelayanan dalam kebutuhan
berhukum. Apabila di tubuh Polri telah mengalami secara benar tentang apa hakikat
hukum, dan apa hakikat penegakan hukum itu, maka niscaya permasalahan ini
bukannya masalah, atau bukan merupakan bentuk dari penyelewengan hukum positif
itu sendiri, dengan demikian, maka profesionalisme Polri yang penegak hukum akan
semakin baik (Hartono, 2010: 114-115)
Penyidik Polri juga harus mampu menghidupkan kehendak hukum itu ke arah
yang lebih nyata, yaitu hukuman bukan hanya sebagai kumpulan peraturan
60
perundang-undangan, tetapi lebih dari itu diharapkan akan lebih mampu menggali
makna hukum yang sesungguhnya, dengan tujuan bukan hanya melahirkan sebuah
peraturan yang kaku saja. banyak hal yang harus dipenuhi atau dilakukan dalam
proses penyidikan perkara pidana, antara lain
a.
b.
c.
d.
e.
Kecermatan dan ketepatan setiap membuat dokumen yang berkaitan dengan
perkara yang ditangani
Hati-hati dengan teknologi modern
Memahami dengan benar kebutuhan hukum yang harus diterapkan, bukan hanya
sekedar memenuhi kebutuhan peraturan perundang-undangan belaka
Hati-hati setiap membuat berita acara, baik terhadap berita acara karena
tindakannya, maupun karena berita acara pemeriksaan
Objek hukum (tersangka) bukan harus dijadikan sasaran legalitas oprasionalnya
hukum, tetapi tersangka juga mempunyai hak-hak hukum yang harus dihargai
oleh siapapun, jangan sampai seorang tersangka yang hanya karena melakukan
tindakan hukum (melaksanakan hak dan kewajibannya) yang sebenarnya bukan
melawan hukum, tetapi harus dipersalahkan karena berlandaskan hukum yang
pembuatannya juga sarat dengan kepentingan politis, sehingga tidak jarang
seseorang tersangka yang seharusnya hanya berurusan dengan persoalan hukum
yang benar, harus berhadapan dengan sebuah hukum yang diciptakan karena
sebuah kepentingan atau sebuah konspirasi yang berlatar belakang politis
(Hartono, 2010: 118-120)
Polisi sebagai penyidik harus menegakkan hukum, polisi tidak hanya bersifat
penagak hukum, melainkan polisi juga harus menjaga harkat dan hak-hak dari
seseorang yang berhadapan dengan hukum. Penyidik selain juga harus mentaati
tugasnya sebagai penyidik dengan cara pengintrogasian dan serangkain proses
penyidikan lainnya juga harus memperhatikan bahwa yang ditangani juga manusia
yang butuh untuk mendapatkan keadilan. Ketika penyidik hanya ingin mematuhi
hukum berupa undang-undang dan mematuhi peraturan atasan tanpa berpikir bahwa
polisi juga memiliki tanggung jawab preventif maka polisi tersebut adalah polisi yang
61
kurang bekerja secara profesional, polisi yang hanya bekerja dengan latar belakang
politis belaka. Terlebih jika yang ditangani adalah anak-anak yang memiliki hak
istimewa dibandingkan dengan penanganan pelaku dewasa.
C. Anak Nakal
Masyarakat menyebut orang yang melakukan tindakan pidana adalah
narapidana, tahanan, dan orang jahat. Akan tetapi terdapat pengecualian terhadap
anak-anak. Anak disini bukan disebut sebagai orang jahat melainkan disebut anak
nakal.
Menurut hukum, anak nakal adalah siapa saja yang telah melanggar undangundang pidana pada setiap bagian Negara atau yurisdiksi pemerintah pusat. Berikut
pengertian anak menurut undang-undang nomer 3 tahun 1997:
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang
memiliki peran strategis dan mempunyai cirri dan sifat khusus, memerlukan
pembinaan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang
(UUD RI, 1997: 1)
Pengertian anak yang terdapat dalam undang-undang nomer 3 tahun 1997
pasal 1 adalah:
1. Anak adalah dalam orang yang perkara anak nakal telah mencapai umur 8
tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin
2. Anak nakal adalah: a. anak yang melakukan tindak pidana atau, b anak
yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan
3. Anak terlantar adalah: anak yang berdasarkan penetapan pengadilan
ditetapkan sebagai anak terlantar, atas pertimbangan anak tersebut tidak
terpenuhi dengan wajar kebutuhanya, baik secara rohaniyah, jasmaniyah,
62
maupun sosial disebabkan: a. Adanya kesalahan, kelalaian, dan atau
ketidakmampuan orang tua, wali atau orang tua asuhnya atau, b. statusnya
sebagai anak yatim piatu atau tidak ada orang tuanya(UUD RI, 1997: 1)
Pasal 3 Undang-Undang tersebut menyatakan, setiap anak dalam proses
peradilan pidana berhak diantaranya:
1. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai
dengan umurnya
2. Dipisahkan dari orang dewasa
3. Melakukan kegiatan rekreasional
4. Bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya
5. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup
6. Tidak ditangkap, tidak ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
Anak bukanlah miniatur orang dewasa, secara kejiwaan masa anak-anak
adalah periode yang rentan. Pada masa ini anak belum mandiri, belum memiliki
kesadaran penuh, serta kepribadian belum stabil, atau belum terbentuk secara utuh.
Dengan kata lain keadaan psikologi anak masih labil, tidak independen, dan gampang
terpengaruh. Dengan kondisi demikian, perbuatan yang dilakukan oleh anak tidak
sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh anak itu sendiri, karena anak bukan
pelaku murni, melainkan juga dipandang sebagai korban. Anak tidak seharusnya
dihadapkan pada system peradilan jika ada cara yang lebih tidak menekan atau
restriktif untuk menangani perbuatan yang melawan hukum (Dewi, 2011: 2)
63
Anak nakal adalah anak yang melakukan pelanggaran terhadap masyarakat
dan hukum yang ada pada masyarakat, dimana anak yang berusia delapan tahun
sampai dengan delapan belas tahun dan belum pernah menikah. Anak tersebut
memiliki berbagai macam faktor penyebab untuk melakukan kejahatan seperti faktor
ekonomi, stress pada anak, pengalaman atau model, serta sampai pada penyebab sakit
mental. Anak nakal disini diartikan sebagai korban lingkungan keluarga maupun
lingkungan tempat dia bersosialisasi. Sehingga walaupun anak di anggap nakal, anak
masih mempunyai beberapa hak yang harus didapat, dan diperlakukan istimewa oleh
Negara dalam proses peradilan hukumnya.
Download