penguasaan tanah taman nasional baluran oleh transmigrasi lokal

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGUASAAN TANAH TAMAN NASIONAL BALURAN
OLEH TRANSMIGRASI LOKAL (TRANSLOK) TNI
ANGKATAN DARAT DI DESA WONOREJO, KABUPATEN
SITUBONDO
Skripsi
Diajukan untuk Melengkapi
Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
DRAJAD SUJATMIKO
C0507001
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
NAMA
NIM
: DRAJAD SUJATMIKO
: C0507001
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Penguasaan Tanah
Taman Nasional Baluran Oleh Transmigrasi Lokal (Translok) TNI Angkatan
Darat di Desa Wonorejo, Kabupaten Situbondo adalah betul-betul karya sendiri,
bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya
dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar
pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh
dari skripsi tersebut.
Surakarta, 23 Juli 2012
Yang membuat pernyataan
DRAJAD SUJATMIKO
C0507001
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Kepuasan terletak pada usaha, bukan pada hasil. Berusaha dengan keras adalah
kemenangan yang hakiki.
(Mahatma Gandhi)
Orang luar biasa itu sederhana dalam ucapan tetapi hebat dalam tindakan
(Confusius)
Jadilah orang yang bertanggungjawab, sebab dapat membentuk jiwa yang hebat
(Penulis)
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Dengan tulus hati karya ini kupersembahkan
kepada mereka yang banyak berkorban dan
senantiasa berdo’a demi terselenggaranya studi
ini:
1. Bapak dan Ibu tercinta
2. Mas Rinto, dan Mbak Wikan tersayang
3. Adystya Imawahyu
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT atas segala limpahan rahmat, nikmat, hidayah dan kemudahan serta
kesempatan yang tiada terkira, sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan
skripsi ini dengan baik. Salam dan shalawat semoga senantiasa terlimpahkan
kepada Pemimpin Besar Revolusi Dunia, Rasulullah Muhammad SAW, keluarga,
dan sahabat serta para pengikutnya yang senantiasa tegar dan sabar dalam
menegakkan risalah-Nya.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak, baik berupa bimbingan, pengarahan, kesempatan, saran-saran,
motivasi, maupun bantuan materi yang sangat besar artinya bagi penulis. Oleh
karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, ijinkanlah penulis
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa yang telah memberikan perijinan yang diperlukan dalam penulisan
skripsi ini.
2. Dra. Sawitri Pri Prabawati, M. Pd selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah, dan
pembimbing Utama yang telah memberikan masukan serta kemudahankemudahan pada penulisan skripsi ini.
3. Suharyana, M. Pd., selaku ketua penguji yang telah memberikan masukan
serta arahan untuk kesempurnaan skripsi ini.
4. Insiwi Febriary Setiasih, SS, MA., selaku sekretaris penguji yang telah
memberikan masukan untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.
5. Tiwuk Kusuma Hastuti, SS, M. Hum., selaku pembimbing akademik dan
Penguji II yang telah memnberikan saran dan masukan untuk
kesempurnaan skripsi ini.
6. Asti Kurniawati, SS, M. Hum., beserta suami, terima kasih atas bantuan
buku dan keluangan waktu berbincang bersama saya.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Drs.Supariadi.M.Hum, terimakasih atas saran dan masukan untuk
kesempurnaan penulisan skripsi ini.
8. Bapak dan Ibu Dosen Ilmu Sejarah dan seluruh Pegawai Fakultas Sastra
dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
9. Staf Karyawan Perpustakaan Pusat UNS, Fakultas Sastra dan Seni Rupa
UNS, Perpustakaan STPN Yogyakarta, Perpustakaan Kependudukan
UGM, dan Balai Taman Nasional Baluran.
10. Teristimewa untuk orang tua dan keluarga penulis yang tiada hentihentinya memberikan dukungan dan dorongan moril maupun materil
kepada penulis. Dengan doa restu yang sangat mempengaruhi dalam
kehidupan penulis, kiranya Allah SWT membalasnya dengan segala
berkah-Nya.
11. Kedua kakakku yang tersayang, Mas Rinto, Mbak Wikan terima kasih atas
semangatnya.
12. Hermanus, Hasto Sugiarto, dan Seluruh masyarakat translok terimakasih
atas kelonggaran waktunya dalam memberikan data dan informasi bagi
penulisan skripsi ini.
13. Adystya Imawahyu tercinta yang telah memberikan semangat dan selalu
setia menemani penulis dalam suka maupun duka dalam penulisan skripsi
ini.
14. Teman-teman Historia 2007 yang selalu memberikan inpirasi kepada
penulis. Khusus buat Langgeng, Dian, Agung, Dewi, Lita, Eko, dan Hasan
yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan sehingga
skripsi ini terselesaikan.
15. Keluarga Besar Sentraya Bhuana PMPA FSSR UNS, Khususnya angkatan
diksar 21 Herfianto, Andi Pramono, Dwi Ari, Seno Wibowo yang telah
memberikan banyak hal selama ini, pengalaman, wawasan, dan
persaudaraan.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16. Teman-teman Kost agape yang telah banyak membantu selama penulisan
skripsi ini, khususnya Agung Darmawan terima kasih telah menemani
setiap malam.
17. Semua pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu-persatu.
Akhirnya, hanya kepada Allah-lah penulis menyerahkan segalanya, semoga
Allah berkenan memberikan ridho dan ampunannya atas segala kekhilafan. Dan
semoga skripsi sederhana ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Surakarta, 23 Juli 2012
Penulis
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
iii
PERNYATAAN ..............................................................................................
iv
HALAMAN MOTTO ......................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................
vi
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
x
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................
xiii
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................
xvi
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ............................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xviii
ABSTRAK .......................................................................................................
xx
ABSTRACT .....................................................................................................
xxi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Rumusan Masalah .......................................................................
10
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
11
D. Manfaat Penelitian ......................................................................
11
E. Kajian Pustaka ............................................................................
12
F.
Metode Penelitian .......................................................................
16
G. Sistematika Skripsi .....................................................................
21
BAB II GAMBARAN UMUM PEMUKIMAN TRANSMIGRASI LOKAL
TNI AD KODAM V/BRAWIJAYA
A. Kondisi Geografis Pemikiman Transmigrasi Lokal TNI AD
Kodam V/Brawijaya ...................................................................
commit to user
x
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Proses Penempatan Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam
V/Brawijaya ................................................................................
29
1.
Awal Mula Penempatan Translok........................................
29
2.
Dasar Penempatan Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam
V/Brawijaya .........................................................................
39
C. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Transmigrasi Lokal TNI
AD Kodam V/Brawijaya ...........................................................
41
1.
Kondisi Sosial ......................................................................
41
2.
Kondisi Ekonomi .................................................................
47
D. Pengaruh Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam
V/Brawijaya Terhadap Desa Wonorejo ......................................
52
BAB III PROSES SENGKETA LAHAN PEMUKIMAN TRANSMIGRASI
LOKAL TNI AD KODAM V/BRAWIJAYA TAHUN 1976-2006
A. Kondisi Lahan Pemikiman Transmigrasi Lokal TNI AD
Kodam V/Brawijaya Setelah Penempatan ..................................
57
B. Sengketa Tanah Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD
Kodam V/Brawijaya Antara Taman Nasional Baluran dan
Masyarakat Translok Tahun 1976-1987 .....................................
62
C. Usaha Pemerintah dan Militer dalam Menyelesaikan Sengketa
Tanah Tahun 1976-1987 .............................................................
72
BAB IV PERKEMBANGAN SENGKETA TANAH PEMUKIMAN
TRANSMIGRASI LOKAL TNI AD KODAM V/BRAWIJAYA
TAHUN 1988-2006
A. Perkembangan Sengketa Tanah Pemukiman Transmigrasi
Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya Antara Taman Nasional
Baluran dan Masyarakat Translok Tahun 1988-2006 ..................
79
B. Proses Penyelesaian Yang Dilakukan Pemerintah dan Balai
Taman Nasional Baluran Tahun 1988-2006 ................................
commit
to user
1. Upaya Pemerintah
Daerah
Kabupaten Situbondo ...............
xi
87
87
perpustakaan.uns.ac.id
2.
digilib.uns.ac.id
Upaya Balai Taman Nasional Baluran Dalam Proses
Penyelesaian Masalah Sengketa Tanah Translok ...............
99
C. Dampak Sengketa Tanah Pemukiman Transmigrasi TNI AD
Kodam V/Brawijaya Surakarta ....................................................
105
1.
Dampak Sosial .....................................................................
105
2.
Dampak Ekonomi ................................................................
107
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN ...........................................................................
111
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
115
DAFTAR INFORMAN.................................................................................... 121
LAMPIRAN ....................................................................................................
commit to user
xii
123
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISTILAH
Accacia
: Nama Latin dari tumbuhan Akasia.
Alluvial
: Suatu jenis tanah yang kaya akan mineral tetapi
miskin akan bahan organik.
Bersih desa
: Upacara adat yang difungsikan untuk
menghilangkan unsur jahat dalam suatu desa.
Bosh grond
: Tanah dengan status Tanah Negara
Curah
Gunung Baluran
: Sungai-sungai kecil yang mengalir di kaki
Deforestasi
: Penebangan hutan dan konversikan secara
permanen untuk berbagai manfaat lainnya.
Educatie
: Salah satu program dari politik Etis untuk
memajukan pendidikan Hindia Belada.
Emigrasi
: Salah satu program politik Etis, melaksanakan
perpindahan penduduk Hindia Belanda.
Fragmentasi
: pengurangan jumlah luas pertanian tanah karena
pembangunan ataupun peralihan hak.
Hak erpach
: Hak yang paling kuat yang dipunyai seseorang di
atas tanah orang lain.
Hijab
: Sekat pembatas untuk memisahkan laki-laki dan
perempuan.
Irigatie
: Salah satu program politik Etis untuk
membangun sarana pengairan sawah.
Klaim
: Menetapkan atas sesuatu hak.
Kolonisasi
: Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang
memindahkan besar-besaran penduduk pribumi.
Openbaarheid
terbuka.
: Azas pendaftaan tanah yang bersifat umum dan
Onderneming
: Sub atau bagian wilayah perkebunan.
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Petik laut
: Upacara adat para nelayan, dimaksudkan sebagai
rasa syukur atas hasil yang melimpah.
Politik etis
: Politik balas budi Pemerintah Kolonial Belanda
atas tanah jajahannya/Hindia Belanda.
Prospority approach
: Orientasi program transmigrasi dengan
pendekatan dari segi kesejahteraan masyarakat.
Psikososial
: Kondisi psikologis masyarakat.
Purnawirawan
: Anggota TNI/POLRI yang sudah habis masa
jabatannya/pensiun.
Rabicca
kecambah.
: Buah dari tumbuhan akasia yang berupa
Romusha
: Sebutan pribumi yang bekerja paksa untuk tentara
Jepang.
Ruwatan sawah
: Tradisi syukuran yang dilakukan petani
menyambut musim panen.
Sapta marga
: Desa dengan berkepribadian militer yang bersifat
tangguh dan berpendidikan pancasila.
Security approach
: Orientasi program transmigrasi dengan
pendekatan dari segi-segi keamanan.
Spesialiet
: Azas pendaftaan kekhususan dalam pendaftaran
tanah yang meliputi pelaksanaan teknis.
Suppletoir
: Permohonan tata batas hutan Taman Nasional
State base forest management : pengelolaan sumberdaya hutan yang berbasis
pada manajeman Negara.
Water sheet
: Daerah resapan air.
Zonasi
: Pengelolaan Taman Nasional berdasarkan
pembagian wilayah sesuai dengan fungsinya
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR SINGKATAN
ABRI
: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
AD
: Angkatan Darat
BABINTRANSJA
:Badan Pembina Transmigrasi Jawa Timur
BRN
: Transmigrasi Biro rekontruksi Nasional
BTNB
: Balai Taman Nasional Baluran
COB
: Capok Onderneming Bajulmati
CTN
: Transmigrasi Corps Cadangan Nasional
Dan Dim
: Komandan Kodim
DI/TII
: Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
GBHN
: Garis Besar Haluan Negara
G.30.S/PKI
: Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia
HAMKAMNAS
: Pertahanan Keamanan Nasional
HGB
: Hak Guna Bangunan
HGU
: Hak Guna Usaha
KALURJADAM
: Kepala Penyalur Tenaga Kerja Kodam V Brawijaya
Kapoktan
: Kelompok Petani
KK
: Kepala Keluarga
Kodam
: Komando Daerah Militer
Kodim
: Komando Distrik Militer
Korem
: Komando Resort Militer
KUD
: Koprasi Unit Desa
Mendagri
: Menteri Dalam Negeri
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menhut
:Menteri Kehutanan
PANGDAM
: Panglima Daerah Militer
PHPA
: Perlindungan Hutan dan Pengawetan Alam
PKK
: Perempuan Ketahanan Keluarga
PMDN
: Peraturan Menteri dalam Negeri
PNS
: Pegawai Negeri Sipil
PPA
: Perlindungan dan Pengawetan Alam
Prokimad
: Proyek Pemukiman Kembali TNI Angkatan Darat
PT
: Perseroan Terbatas
Repelita
: Rencana Pembangunan Lima Tahun
SEKWIDA
: Sekertaris Wilayah Daerah
SKEP
: Surat Keputusan Panglima Daerah Militer
SPKP
: Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan
TNI
: Tentara Nasional Indonesia
Translok
:Transmigrasi Lokal
Transtannas
: Transmigrasi Ketahanan Nasional
UPT
: Unit Pelayanan Teknis
commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
GAMBAR
Gambar I Peta Wilayah Taman Nasional Baluran .........................................
30
TABEL
Tabel I.
Luas Tanah Bekas COB IV ............................................................
34
Tabel II
Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Wonorejo......................... ..
43
Tabel III. Data Perburuan Liar Dalam Kawasan Taman Nasional Baluran
Tahun 1997-2000 ...........................................................................
53
Tabel IV Data Perkembangan Status Kawasan Taman Nasional Baluran ....
65
Tabel V
81
Data Kerusakan Hutan Akibat Perambahan Tahun 1996-2000 .....
commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I
Surat Kodim 0823 Situbondo kepada Dan Rem 083
Malang Perihal Penyediaan Areal Tanah Untuk
Translok KodamVIII/Brawijaya ................................... 123
LAMPIRAN II
Surat Keputusan Kodam VIII Brawijaya tentang
Ketentuan-ketentuan Penggunaan Tanah Di proyek
TRANSAD Lokal DAM VIII/Brawijaya ..................... 125
LAMPIRAN III
Surat Turunan Bupati TK II Situbondo Kantor Sub
Direktorat Agraria kepada Gubernur TK I Jawa Timur
Perihal Kebutuhan Tanah Untuk Translok AD ............ 127
LAMPIRAN IV
Surat Kodim 0823 Situbondo kepada Bupati TK II
Situbondo Perihal Hasil Survei yang Dilakukan
Kodim 0823 pada Areal Tanah Negara EX COB IV
Seluas 85 Ha ................................................................. 128
LAMPIRAN V
Surat Tindasan Bupati TK II Situbondo kepada
Gubernur TK I Jawa Timur Perihal Penjelasan
Mengenai Luas Tanah Bekas C.O.B IV ....................... 129
LAMPIRAN VI
Surat Menteri Dalam Negeri RI Kepada gubernur
Jawa Timur Perihal Izin Menteri Dalam Negeri
Dalam Pelaksanaan Proyek Translok AD..................... 130
LAMPIRAN VII
Surat Bupati TK II Situbondo Tentang Penjelasan
Mengenai Tanah Translok dan Langkah-langkah yang
Telah Dilakukan dalam Rangka Penyediaan Tanah
Translok ........................................................................ 132
LAMPIRAN VIII
Surat Keputusan Pangdam VIII Brawijaya Tentang
Areal Tanah di Desa Wonorejo, Kec Banyuputih, Kab
Situbondo Dijadikan Pemukiman Translok AD ........... 134
LAMPIRAN IX
Surat Kepala Staf TNI AD kepada Direktur Jenderal
Kehutanan ..................................................................... 135
LAMPIRAN X
Surat Perintah Pangdam VIII Brawijaya tentang
Pemindahan Segera Para Anggota TNI AD Yang
Sudah Terdaftar ............................................................ 138
LAMPIRAN XI
Lampiran Surat Perintah Pangdam VIII Tanggal 18
Oktober 1977 Perihal daftar Nama, Kesatuan dan
commit
to user............................................. 140
Jatah Rumah
serta Sawah
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
LAMPIRAN XII
Peta Bidang Luas Translok Timur dan Barat yang di
Keluarkan BPN Situbondo ........................................... 143
LAMPIRAN XIII
Surat Permohonan Masyarakat Translok dalam
Pembuatan Sertifikat Tanah Tahun 1978 ..................... 145
LAMPIRAN XIV
Gambar Bentuk Rumah Para Purnawirawan Sebelum
Sesudah di Renovasi ..................................................... 146
LAMPIRAN XV
Gambar Areal Persawahan dan Papan Nama
Pemukiman Translok .................................................... 147
LAMPIRAN XVI
Tanda Batas Taman Nasional Baluran Terhadap
Kawasan Pemukiman Translok yang Berupa Papan
Nama dan Patok Batas .................................................. 148
LAMPIRAN XVII
Surat Bupati Situbondo kepada Gubernur Jawa Timur
Perihal Hasil Pembahasan Rapat Penyelesaian Status
Tanah Pemukiman Translok ......................................... 149
LAMPIRAN XVIII Surat Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan
Kabupaten Situbondo tentang Permasalahan Tanah
yang Berkembang di Kabupaten Situbondo ................ 152
LAMPIRAN IX
Surat Bupati Situbondo kepada Menteri Kehutanan,
Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Agraria, dan
Kepala Staf TNI-AD Perihal Penyelesaian Tanah
Lokasi Translok ............................................................ 154
LAMPIRAN XX
Risalah Penggunaan Sebagian Kawasan Suaka
Margasatwa/Taman Nasional Baluran sebagai Lokasi
Proyek Pemukiman Tanslok TNI AD........................... 155
LAMPIRAN XXI
Surat Bupati Situbondo Kepada Menteri Kehutanan
Perihal Penyelesaian Tanah Lokasi Pemukiman
Translok Selama 3 Bulan .............................................. 159
LAMPIRAN XXII
Surat Menteri Kehutanan kepada Bupati Situbondo
Perihal Kebijakan Relokasi Atas Masyarakat Translok 160
LAMPIRAN XXIII Berita Acara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Situbondo Tentang Rapat Kerja
Penyelesaian Sengketa Tanah Pemukiman Translok ... 161
LAMPIRAN XXIV Surat Balai Taman Nasional Baluran kepada Bupati
commitPenyelesaian
to user
Situbondo Perihal
Sengketa Tanah ......... 162
xix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
DRAJAD SUJATMIKO. C0507001.Penguasaan Tanah Taman Nasional Baluran
Oleh Transmigrasi Lokal (Translok) TNI Angkatan Darat di Desa Wonorejo, Kabupaten
Situbondo. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa,
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tujuan penelitian ini adalah mencari jawaban dari permasalahan mengenai
latar belakang terjadinya sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal
(translok) Kodam V/Brawijaya, bentuk sengketa tanah yang terjadi di pemukiman
Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya, dan proses penyelesaian
sengketa tanah di pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya.
Sejalan dengan tujuan penelitian, maka metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode historis yang mencakup empat langkah, yaitu
heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Sumber-suber data yang di
dapat berasal dari studi dokumen yang berupa arsip-arsip, studi pustaka, dan
wawancara.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sengketa tanah yang terjadi di
pemukiman Transmigrasi Lokal disebabkan tanah seluas 57 Ha dklaim oleh
Taman Nasional Baluran masuk ke dalam wilayah konservasi Taman Nasional
Baluran, akibatnya masyarakat translok tidak dapat memperoleh pengakuan Hak
Milik atas tanah tersebut yang berupa sertifikat tanah. Atas klaim tersebut Taman
Nasional Baluran kemudian membangun batas-batas hutannya secara sepihak
tanpa melibatkan Instansi terkait, seperti pembangunan patok-patok batas tanpa
melibatkan Pertanahan Kabupaten Situbondo. Tindakan tersebut menimbulkan
reaksi dari masyarakat translok, masyarakat translok memprotes tindakan Balai
Taman Nasional Baluran (BTNB), hingga menghancurkan patok-patok batas yang
ada.
Sengketa tanah yang terjadi di pemukiman translok mempengaruhi
stabilitas politik di Kabupaten Situbondo, oleh sebab itu Pemerintah Daerah dan
juga Kodam V/Brawijaya langsung terjun untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Kedua instansi tersebut mencoba untuk mencarikan titik temu di antara kedua
belah pihak yang bersengketa, namun proses penyelesaian ini belum mendapatkan
hasil yang memuaskan. Adanya tarik menarik kepentingan akan permasalahan
sengketa tanah ini membuat proses penyelesaian berjalan lambat. Para instansi
pemerintah yang terlibat dalam proses penyelesaian seolah-olah saling
melemparkan tanggung jawab tanpa ada yang bisa memberikan keputusan akan
permasalahan sengketa tanah ini. Akibatnya masyarakat translok hidup dalam
keresahan karena tidak mendapatkan status yang jelas akan tanah yang mereka
huni sejak pertama mereka di tempatkan tahun 1976.
commit to user
xx
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Abstract
DRAJAD SUJATMIKO. C0507001. The Monopoly land of The Baluran National
Park by The Indonesian Army Local Transmigration in Wonorejo, The District of
Situbondo. Thesis: History Department, The Faculty of Letters and Fine Arts,
Sebelas Maret University.
This analysis purposes to find the answers of the causes how the regency
dispute of The Kodam V Brawijaya Local Transmigration happenned, the kind of
regency dispute happenned in the regency of The Indonesian Kodam V Brawijaya
Army Local Transmigration, and the process of regency dispute settlement in the
regency of The Indonesian Kodam V Brawijaya Army.
The method applies on this analysis is a historical method which includes
four steps, those are heuristic, source of criticism, interpretation, and
historiography. The sources of information are taken from the document study
which consists of archives, library study, and interview.
The result of this analysis shows that the district dispute that happenned in
the regency of The Local Transmigration caused by the 57 ha land which was
claimed by The Baluran National Park is the area of The Baluran National Park
Conservation, so that the local transmigration society can not get that residence
Copyright confession which is a land certificate. By that claim, The Baluran
National Park built forest borders by itself without compromising with the legal
institution, for example, the building process of the border stakes without
compromising The Land Institution of The District of Situbondo. That action
caused the reaction from The Local Transmigration society which was a protest
for The Baluran National Park Association by destroying those bolder stakes.
The regency dispute happenned on the national transmigration regency
influences policy stability in The District of Situbondo, so that the Local
Government and the Kodam V Brawijaya took actions to solve those problems.
Those both institutions tried to find solutions between the both disputed sides, but
this process of settlement have not got good results. The individualism for
struggling their own importance makes this process run slowly. The government
institutions included in this process apparently throwing their responsibility
without giving any decision for the regency dispute. It makes the local
transmigration society lives in a fridgety because they don’t get a status for their
land which have been occupied since 1976.
commit to user
xxi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan tanah yang lebih sering dikenal dengan konflik agraria atau
sengketa tanah merupakan sebuah masalah sosial yang sering terjadi di Indonesia,
sejak pendudukan pemerintah Kolonial Balanda sampai sekarang. Dalam
perkembangannya sengketa tanah di Indonesia dibagi menjadi tiga periode
pembahasan, yaitu pada masa prakemerdekaan, pascakemerdekaan, dan pada
masa Orde Baru. Terlebih pada priode pemerintahan Orde Baru, sangat banyak
terjadi kasus sengketa tanah, karena sangat mengdepankan progam pembangunan
dalam segala bidang khususnya dalam bidang ekonomi, sehingga sangat
mengeksploitasi sumber daya tanah.
Sengketa tanah yang terjadi dibanyak negara berkembang, seperti di
Indonesia umumnya banyak di pengaruhi oleh empat ketimpangan dalam
penggunaan tanah, diantaranya; penyalahgunaan penggunaan tanah, peruntukan
tanah yang tidak sesuai, konsepsi akan tanah yang salah, dan produk hukum tanah
yang tidak sesuai lagi. Banyaknya permasalahan tanah yang terjadi di Indonesia
tentu saja sangat berdampak pada petani. Petani yang kehidupannya sangat
tergantung sepenuhnya pada sumberdaya tanah, selalu berada pada posisi yang
lemah, petani cenderungmenjadi pihak yang dirugikan dalam konteks kekuasaan
commit to user
1
2
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
politik yang berlaku pada suatu wktu tertentu.1 Tanah atau sumberdaya lainnya
dalam suatu masyarakat agraris tidak hanya menjadi salah satu faktor produksi,
tetapi juga memiliki arti penting lainnya baik menyangkut aspek sosial maupun
politik.2
Permasalahan tanah yang terjadi pada masa Orde Baru tidak bisa dilepaskan
dari landasan kebijakannya dalam pembangunan. Permasalahan agraria yang
timbul pada masa Orde Baru ditimbulkan oleh kurang tepat atau terarahnya
kebijakan-kebijakan yang menyangkut soal pertanahan. Terdapat beberapa faktor
terjadinya
permasalahan
tanah
diantaranya;
kehutanan,
perkebunan,
pertambangan, industri, pariwisata, dan transmigrasi. Faktor yang terakhir
menarik untuk dikaji lebih lanjut karena transmigrasi yang pada awalnya
diberlakukan untuk mengurangi jumlah penduduk dan pemerataan ekonomi
penduduk Indonesia ternyata justru menimbulkan masalah tanah dalam
pelaksanaannya.3
Program transmigrasi sebenarnya telah dimulai sejak zaman Belanda yaitu
pada awal abad ke -20 atau lebih tepatnya pada tahun 1905, yang dikenal dengan
priode kolonisasi. Program kolonisasi ini merupakan hasil dari adanya kebijakan
politik etis yang dikenal dengan tiga kebijakannya yaitu, educatie, irrigatie, dan
1
Endang Suhendar danYohana Budi Winarni, Petani dan Konflik Agraria,
(Bandung: Akatiga, 1998), hal.3.
2
3
Ibid. hal. 1
Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun, Sepuluh Windu Transmigrasi
di Indonesia 1905-1985, (Jakarta commit
:Universitas
Indonesia /UI- Press, 1985), hal 7to user
8.
perpustakaan.uns.ac.id
3
digilib.uns.ac.id
emigrasi. Pada awalnya program transmigrasi yang dilakukan pemerintah kolonial
hanya untuk mengurangi kepadatan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa yang
dianggap masih kosong. Penduduk Jawa yang sangat padat dipandang sebagai
penyebab meningkatnya petani tunawisma, pengangguran, fragmentasi tanah,
deforestasi.4 Setelah kemerdekaaan program transmigrasi kolonial kembali
dilanjutkan oleh pemerintahan Orde Lama. Keadaan negara yang tidak stabil dari
segi ekonomi dan politik membuat banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah
kemiskinan berusaha untuk mencari daerah penghidupan yang baru sehingga
timbul banyak transmigrasi spontan. Selain itu, banyak dari para pejuang yang
tidak mempuyai tempat tinggal juga melakukan transmigrasi yang disebut
Transmigrasi Corps Cadangan Nasional (CTN) dan juga Transmigrasi Biro
rekontruksi Nasional (BRN).5
Pada masa pemerintahan Orde Baru kebijakan program transmigrasi
semakin ditingkatkan hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya jumlah kepala
keluarga (KK) yang dipindahkan semakin meningkat drastis. Tercatat dalam
Repelita I berhasil dipindahkan 127.689 jiwa. Lalu meningkat pada Repelita II
204.250 dan Repelita III berjumlah 535.000 kk.6 Dan terus meningkat pada
Repelita-repelita berikutnya. Transmigrasi dalam pemerintahan Orde Baru banyak
yang diusahakan dari umum yang pembiayaan serta pelaksanaannya diusahakan
pemerintah dan juga swadana yang diusahakan secara mandiri.
4
Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, op cit, hal, 126.
5
Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun, op cit , hal 19-20.
commit to user
6
Ibid., hal. 76.
perpustakaan.uns.ac.id
4
digilib.uns.ac.id
Pada masa Orde Baru juga dicanangkan kebijakan transmigrasi yang
berorientasi pada ketahanan dan keamanan negara atau yang lebih sering disebut
Transtannas (transmigrasi ketahanan nasional). Tujuan dari transmigrasi tersebut
ialah memperkuat pertahanan dan keamanan nasional, peningkatan taraf hidup
dan untuk penguatan idiologi negara. Dengan lahirnya Orde Baru, maka terjadi
perubahan-perubahan yang mendasar dalam pola penyelenggaraan transmigrasi.
Orientasi transmigrasi lebih diperkuat dengan motivasi ekonomi, sehingga terjadi
pendekatan dari segi-segi kesejahteraan (Prospority approach) dan segi-segi
keamanan (security approach).7
Sejak berakhirnya pemerintahan Orde Lama yang ditandai dengan berhasil
ditumpasnya Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia maka sejak
itu pula paham komunis di Indonesia sudah dilarang pemerintah dan kembali
kepada Pancasila sebagai dasar negara. Banyak cara yang dilakukan pemerintah
Orde Baru untuk menangkal paham komunis beredar kembali di Indonesia. Salah
satunya dengan membuat pemukiman para anggota TNI/ABRI di tengah-tengah
masyarakat terlebih di lingkungan pedesaan. Sejak awal pemerintahan Orde Baru,
militer sangat berperan dalam segala bidang pemerintahan, mulai dari tatanan
birokrasi hingga tatanan sosial masayarakat sehingga militer dapat dengan mudah
membangun pemukiman untuk anggotanya. Banyak Daerah Komando Militer
yang membangun lokasi pemukiman untuk para purnawirawan TNI/ABRI, seperti
Badan Pembinaan Hukum
Nasional.
Seminar Segi-segi Hukum
commit to
user
Pembangunan dan Kependudukan. (Sumatra Barat : Bina Cipta, 1976) hal 21.
7
perpustakaan.uns.ac.id
5
digilib.uns.ac.id
pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya8 di Desa Wonorejo kabupaten
Situbondo. Selain di Desa Wonorejo, terdapat beberapa lokasi pemukiman TNI
yang serupa, seperti di daerah Muncar Banyuwangi, Asem Bagus Situbondo, dan
yang terbesar terdapat di daerah Tulang Bawang Lampung yang terdapat hampir 3
Desa Inti.9 Fungsi dari pemukiman TNI di tengah-tengah masyarakat pedesaan
ialah sebagai penangkal masuk atau lahirnya kembali ideologi komunis di tengahtengah masyarakat Indonesia. Anggota TNI yang di tempatkan diharapkan dapat
menyatu dengan masyarakat desa dan memberikan perubahan ke arah yang lebih
maju.
Pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya merupakan suatu
program Kodam V/Brawijaya yang ingin memberikan tempat tinggal dan lahan
pertanian kepada para anggota TNI AD Kodam V/Brawijaya yang telah habis
masa jabatannya (purnawirawan) dan tidak memiliki tempat tinggal. Bahwa
Pangdam V Brawijaya merasa perlu untuk mengeluarkan kebijakan mengenai
pemberian sejumlah lahan pertanian dan sebuah rumah sederhana sebagai tanda
balas jasa negara terhadap jasa-jasa para purnawirawan TNI AD angkatan 45 yang
telah banyak berkorban untuk bangsa Indonesia khususnya yang berada pada
8
Sesuai Keputusan Kasad Nomor : Kep/4/1985 tanggal 12 Januari 1985,
sebutan Kodam VIII/Brawijaya, diganti menjadi Kodam V Brawijaya. Perubahan
ini disebabkan adanya reorganisasi yang dilakukan TNI-AD, berpedoman pada
prinsip" A Small Effective Unit " sehingga dari 17 Kodam disusun kembali
menjadi 10 Kodam. file:///G:/Downloads/Brawijaya.htm. Diakses pada tanggal 4
Mai 2012 pukul 22.00.
9
Syah Djohan Darwis, Strategi Pemukiman ABRI di Dalam Transtannas
dan Desa Sapta Marga Sebagai Dampak
commit Positif
to userUntuk Mempertahankan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. (Jakarta: PUSLITBANG Depnakertrans), hal. 38
perpustakaan.uns.ac.id
6
digilib.uns.ac.id
jajaran Kodam V Brawijaya. Sejalan dengan program pemerintah Orde Baru,
bahwa pemukiman translok Kodam V/Brawijaya harus mewujutkan pola
pemukiman ketahanan nasional.
Pemukiman translok TNI AD Kodam V/Brawijaya menempati tanah seluas
57 hektar. Jumlah KK yang menempati Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya ini
awalnya berjumlah 65 orang dan bertambah menjadi 68 orang, terdiri dari para
pensiunan Angkatan Darat yang berasal dari kesatuan-kesatuan di bawah jajaran
Kodam V Brawijaya, dengan pangkat tertinggi perwira menengah setingkat
Mayor. Proses pembagian lahan sendiri tidak berdasarkan tingkatan pangkat,
semua mendapatkan jatah yang sama, yaitu berjumlah 7500 m2.. Translok yang
berada di Desa Wonorejo dibagi menjadi dua wilayah yaitu Translok Barat yang
berada di Dusun Jelun dan Translok Timur berada di Dusun Pandean. Translok
barat berjumah 34 KK dan timur berjumlah 34 KK.10
Kehadiran Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya sebenarnya banyak
mempengaruhi tata sosial masyarakat Desa Wonorejo. seperti: birokrasi desa,
kebudayaan masyarakat, cara bercocok tanam dan lain-lain11. Pengaruh positif
terhadap Desa wonorejo tersebut tidak diikuti dengan kejelasan status tanah
masyarakat translok itu sendiri, karena status tanah pemukiman translok TNI AD
Kodam V/Brawijaya tersebut masih bersengketa. Masyarakat translok begitu
ditempatkan langsung dihadapkan dengan realita bahwa tanah tersebut milik dari
Dinas Kehutanan Kabupaten Situbondo.
10
Wawancara dengan Hermanus, pada hari sabtu , tanggal 3 Juni 2012.
commit to user
11
Wawancara dengan Suwarno, pada hari minggu, tanggal 28 Juni 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
7
digilib.uns.ac.id
Proses sengketa lahan pemukiman translok TNI AD Kodam V/Brawijaya
sebenarnya telah ada sejak awal mula penempatan. Tanah yang akan dijadikan
proyek pemukiman telah dklaim oleh Suaka Margasatwa Baluran sebagai instansi
di bawah Dinas Kehutanan Kabupaten Situbondo yang mengurusi hutan Baluran.
Suaka Marga Satwa Baluran telah melayangkan protes terhadap proyek
pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya untuk digagalkan,12 namun
proyek tersebut tetap dijalankan Kodam V/Brawijaya yang mengaggap tanah
tersebut berstatus tanah negara bebas.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Situbondo dan
Kodam V Brawijaya tehadap tanah pemukiman translok, menyebutkan bahwa
awal mula kepemilikan lahan sebelum adanya Translok TNI AD ini adalah bekas
perkebunan Kapuk Bajulmati pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Perkebunan Kapuk Bajulmati dibagi menjadi empat wilayah perkebunan (C.O.B),
antara lain C.O.B I Labuhan Merak, C.O.B II Suaka Marga Satwa Baluran
(sekarang Taman Nasional Baluran), C.O.B III (sekarang PT Baluran Indah), dan
C.O.B IV perluasan Desa Wonorejo (sekarang pemukiman transmigrasi lokal TNI
AD Kodam V/Brawijaya.13 Atas dasar itulah Pangdam V Brawijaya tetap
meneruskan proyek pemukiman yang diperuntukan untuk para purnawirawan TNI
AD Kodam V Brawijaya.
12
Arsip Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan Kabupaten
Situbondo, Permasalahan Tanah Yang Berkembang (strategis) di Kabupaten
Situbondo, 1991, hal.1.(Koleksi Pribadi Hermanus).
13
Arsip Surat Bupati Kepala daerah Tingkat II Situbondo kepada
Gubernur Kepala Daerah tingkat I Jawa Timur up Kepala Direktorat Agraria,
pada tanggal 30 Januari 1976, commit
perihal to
permohonan
tanah untuk translok AD.
user
(koleksi pribadi Hermanus).
perpustakaan.uns.ac.id
8
digilib.uns.ac.id
Pada tanggal 6 Maret 1980 diresmikan Taman Nasional Baluran yang
menggantikan Suaka Marga Satwa Baluran. Kehadiran Taman Nasional Baluran
ternyata menimbulkan masalah baru bagi status lahan pemukiman Translok TNI
AD di Desa Wonorejo. Pihak Taman Nasional Baluran semakin mengukuhkan
tanah pemukiman tersebut masuk ke dalam wilayah konservasi Taman Nasional
Baluran. Hal ini berdasarkan Surat Keputusan Mentri Pertanian dan Agraria
tanggal 15 Mei 1962 Nomor: SK/11/1962, tentang penunjukan Labuhan Merak
sebagai Suaka Margasatwa Baluran dan Berita acara panitia tata batas hutan
tanggal 24 Juni 194014 .
Menurut pengertiannya Taman Nasional adalah suatu kawasan yang cukup
luas, memiliki ekosistem alami atau kawasan spesifik, tidak ada kegiatan
eksploitasi yang disertai suatu menejemen yang bertujuan untuk melestarikan
lingkungan alami secara maksimum tetapi terbuka untuk pengunjung menurut
kondisi-kondisi spesifik.15 Tentu saja didalam taman nasional tidak diperbolehkan
adanya aktifitas manusia terlebih terdapat pemukiman didalamnya.
Persoalan sengketa tanah kehutanan tidak hanya terjadi di Desa Wonorejo
yang melibatkan masyarakat translok dengan Taman Nasional Baluran, tetapi
terjadi juga di banyak wilayah Taman Nasional di Indonesia, seperti di Taman
Nasional Lore Lindu yang terdapat di propinsi Sulawesi Tengah. Haltersebut
14
Arsip Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kabupaten
situbondo, pada tanggal 9 Oktober 1991, perihal permasalahan tanah yang
berkembang (strategis) di Kabupaten Situbondo. (koleksi pribadi Hermanus).
15
Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam Taman Nasionalcommit
Baluran,
Review Rencana Pengelolaan Taman
to user
Nasional Baluran, (Banyuwangi : tidak diterbitkan, 1995), hal 1.
perpustakaan.uns.ac.id
9
digilib.uns.ac.id
dikarnakan pada masa Orde Baru semua sektor pembanguan mengeluarkan
produk UU pertanahannya sendiri sehingga menimbulkan ketimpangan.16
Permasalahan sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD
Kodam V Brawijaya dalam perkembangan mengganggu stabilitas politik yang ada
di Kabupaten Situbondo, karena permasalahan ini melibatkan dua instansi
pemerintah yaitu pihak militer dan juga Departemen Kehutanan. Oleh sebab itu
Pemerintah Daerah Situbondo turun langsung dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut. Pemerintah Daerah dalam hal penyelesaian kasus ini hanya bisa sebagai
fasilitator dan menyerahkan segala keputusannya langsung ketangan Departemen
Kehutanan.
Permasalahan sengketa tanah ini pada akhirnya, tentu saja sangat berdampak
pada masyarakat translok. Mereka selalu dihinggapi keresahan akan status tanah
yang mereka tempati. Beragam dampak konflik telah dialami para warga translok
mulai dari tidak diperhatikannya lingkungan pemukiman translok dari segi
pemberian fasilitas desa, seperti jalan, gorong-gorong dan lain-lain hingga mereka
tidak bisa membuat sertifikat tanah sebagai dasar legitimasi atas tanah mereka.
Beragam upaya telah dilakukan warga untuk mendpatkan pengakuan dari
pemerintah atas status tanah translok ini. Mulai dari mengadukan ke tingkat
kepala Desa Wonorejo, Tingkat Bupati Situbondo, kepada Dan Rem 0823 dan
Kodam V Brawijaya. Pada tanggal 28 Februari 2006 Balai Taman Nasional
Baluran (BTNB) mengirimkan surat kepada Bupati Situbondo yang berisikan
San Afri Awang, 2003, Politik
Kehutanan
commit
to user Masyarakat, Yogyakarta: Kreasi
Wacana Yogyakarta, hal.175.
16
10
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pihak BTNB Baluran menghendaki seluruh warga translok agar tidak dikeluarkan
tetapi dilakukan Tukar Guling lahan dengan pengganti Taman Nasional Baluran.
Namun hal ini belum menemui titik temu mengenai permaslahan sengketa tanah
ini.
Permasalahan ini semakin menarik untuk diteliti karena juga melibatkan
banyak instansi pemerintah dan tarik menarik kepentingan di dalamnya.
Priodesasi dalam penelitian ini mengambil tahun 1976-2006 karena pada tahun
1976 merupakan proses awal penempatan hingga tahun 2006 merupakan tahun
proses penyelesaian sengketa tanah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka rumusan masalah
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang terjadinya sengketa tanah di lokasi pemukiman
Traslok TNI AD di Desa Wonorejo, Kabupaten Situbondo ?
2. Bagaimana bentuk sengketa tanah yang terjadi di pemukiman
Transmigrasi lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya?
3. Bagaimana proses penyelesaian Sengketa Tanah di Pemukiman Translok
TNI AD Kodam V/Brawijaya?
commit to user
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari diadakan penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya sengketa tanah antara warga
Traslok TNI AD Kodam V/Brawijaya dengan pihak Taman Nasional
Baluran di Desa Wonorejo, Kabupaen Situbondo.
2. Untuk mengetahui Bentuk-bentuk sengketa tanah yang terjadi di
pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V Brawijaya Di Desa
Wonorejo, Kabupaten Situbondo.
3. Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa tanah yang terjadi di
pemukiman Traslok TNI AD Kodam V/Brawijaya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain mengetahui kasus
agraria berupa sengketa tanah yang terjadi di pemukiman Transmigrasi Lokal TNI
AD Kodam V/Brawijaya, Di Desa Wonorejo, Kabupaten Situbondo. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi historis dan juga
memberikan informasi tentang pola-pola atau bentuk sengketa tanah yang terjadi
di tanah transmigrasi, khususnya Transmigrasi lokal TNI AD.
commit to user
12
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. Kajian Pustaka
Dalam penelitian ini banyak menggunakan literature dan refrensi untuk
menunjang pokok permasalahan yang dikaji. Selain menggunakan sumber primer
juga banyak menggunakan sumber skunder sebagai sebagai studi pustaka sesuai
dengan tema yang diangkat. Buku yang digunakan merupakan buku yang
berisikan mengenai gambaran umum persoalan sengketa tanah yang ada di
Indonesia tetapi buku-buku ini sangat membantu untuk menyusun skripsi ini.
Adapun buku yang sangat membantu penulis diantaranya:
Buku yang ditulis oleh Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni yang
berjudul Petani dan Konflik Agraria, (1998). Dalam buku ini banyak
menceritakan tetang gambaran hidup kaum petani dan konflik-konflik yang
mereka hadapi. Konflik-konflik tersebut dibagi kedalam tiga periode, yaitu pada
masa pra kemerdekaan (feodal dan kolonial), masa pasca kemerdekaan (19451965), dan pada masa Orde Baru. Pada masa kolonial telah membentuk pola
konflik agraria struktural. Pada masa ini faktor produksi tanah dikuasai oleh
pemerintah kolonial dan pemilik modal, sementara itu, rakyat berada sebagai
buruh upahan dalam sistem produksi kapitalis. Sementara itu, bentuk konflik ini
mengalami perubahan pada priode awal kemerdekaan sampai pertengahan tahun
1965. Bentuk konflik ini tidak lagi struktural-vertikal, tetapi lebih bersifat
horizontal. Bentuk konflik seperti ini sangat dipengaruhi oleh partai politik yang
berkembang saat itu. Pada masa Orde Baru bentuk konflik agraria kembali
bersifat struktural-vertikal. Hal ini berkaitan dengan sistem politik saat itu, yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
13
digilib.uns.ac.id
menempatkan pemerintah dan pemilik modal sebagai penguasa sumber agraria
yang berhadapan dengan rakyat yang berusaha mempertahankan haknya.
Buku karangan Mochammad Tauhid yang berjudul Masalah Agraria :
Sebagai Masalah penghidupan dan Kemakmuran Jilid I dan II yang terbit pada
tahun (1953). Dalam buku ini menjelaskan berbagai bentuk permasalahan tanah
yang terjadi di Indonesia. Buku ini dijadikan acuan yang penting dalam penelitian
ini karena dalam buku ini menjelaskan tentang bentuk-bentuk konflik tanah. Pada
jilid I memaparkan bentuk-bentuk persoalan agraria pada masa pemerintahan
kolonial Belanda, yaitu sebelum tahun 1870. Selain itu, pada jilid I dijelaskan
tentang beberapa hak-hak sewa tanah jangka panjang seperti hak konsesi tanah,
hak eigendom, dan hak erfpach. Pada jilid II membahas permasalahan agraria dari
sejak pendudukan Jepang sampai pada pasca kemerdekaan. Masalah agaria
merupakan permasalahan yang erat hubungannya dengan para petani. Petani
menjadi kaum yang tertindas disetiap permasalahan. Organisasi petani merupakan
wadah bagi mereka untuk menyusun rencana atau bersama-sama memikirkan cara
untuk membebaskan mereka dari penindasan politik, ekonomi, dan sosial.
Sutrisna Lestari, Sengketa Tanah Bekas Perkebunan Tembakau Bandar
Chalippah, Kabupaten deli Serdang Tahun 1947-1960 (2011), skripsi (koleksi
perpustakaan FSSR UNS), secara khusus membahas tentang masalah sengketa
tanah yang terjadi di perkebunan Bandar Chalippah Deli Serdang. Karya ini
memberikan informasi mengenai masalah sengeta tanah antara perkebunan
dengan masyarakat sekitar, pola-pola sengketa yang terjadi, bagaimana bentuk
commit to user
penyelesaiaan masalah sengketa tersebut, hingga dampak yang ditimbulkan akibat
14
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari sengketa tanah tersebut. Bahwa sengketa tanah sudah banyak terjadi justru
sejak lahirnya UUPA sebagai dasar hukum pengaturan tanah di Indonesia. Karya
ini relevan dengan penulisan yang diteliti karna hukum UUPA masih di
berlakukan sejak Orde Baru berkuasa dan berbagai kebijakannya pembangun yang
justru membawa dampak terhadap masyarakat.
Buku hasil karya Sri-Edi swassono dan Masri Singarimbun yang berjudul
Sepuluh Windu Transmigrasi di Indonesia 1905-1985 yang terbit pada tahun
1986. Buku ini memuat 25 karangan yang ditulis oleh berbagai kalangan dalam
bidang transmigrasi. Secara umum buku ini menceritakan perjalanan panjang
transmigrasi yang telah berlangsung selama hampir 80 tahun. Di dalam buku ini
terdapat tiga bagian. Bagian pertama, berisikan karangan-karangan mengenai
aspek historis dan mencakup priode lama maupun baru. Dijelaskan bahwa
trasmigrasi telah berlasung sejak lama, bahkan sejak jaman prasejarah dan mulai
dikembangkan di Nusantara sejak pendudukan Kolonial. Bagian kedua dari buku
ini berisikan karangan-karanga dari buku ini berisikan karangan-karangan yang
bersifat studi kasus, yang menceritakan berbagai masalah transmigrasi dalam
pedesasan-pedesaan di Indonesia bahkan diulas pula bagaimana peranan
transmigrasi dalam stabilitas sosial politik di daerah perbatasan seperti kasus Irian
Jaya dan Kalimantan Timur, sedangkan bagian ketiga memuat karangan-karangan
yang berorientasi pada kebijaksanaan, dalam buku ini yang sangat berhubungan
dengan skripsi ini ialah, bagaimana mengukakan transmigrasi pada masa Orde
Baru dalam berbagai sisi. Mulai dari proses penempatan, kendala dan persoalan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
15
digilib.uns.ac.id
yang dihadapi mulai dari repelita I hingga Repelita IV dan bagaimana
transmigrasi dalam Orde Baru dapat dikatakan sukses atau gagal.
Buku karya San Afri Awang, Politik Kehutanan Masyarakat (2003), yang
membahas tentang perubahan tata kelola kehutanan pada masa Orde Baru serta
berbagai kebijakan yang ada di dalamnya. Buku ini menyajikan berbagai bentuk
pengelolaan hutan yang telah mengalami perubahan seiring masuknya era
kapitalisme pembangunan. Pada masa pemerintahan Orde Baru pendekatan
sumber daya hutan lebih cenderung kepada manajemen hutan berbasis Negara
(State Base Forest Management/ SBFM) pengelolaan hutan menjadi lebih
sentralistik segala kebijakan diputuskan oleh pemerintah pusat dan pemerintah
daerah hanya tinggal menjalankan dan lebih merupakan pelaksana kebijakan.
Akibatnya timbul masalah-masalah di tingkat daerah dan yang paling dominan
ialah mengenai hak-hak masyarakat sekitar hutan yang direbut dengan dalih
pembangunan. Berdasarkan tulisan dari San Afri Awang yang sangat relefan
dengan tulisan ini ialah bagaimana proses munculnya Taman Nasional dan
dampaknya terhadap masyarakat sekitar.
Buku Karangan Syah Djohan Darwis, Strategi Pemukiman ABRI Di Dalam
Transtannas dan Desa Sapta Marga Sebagai Dampak Positif Untuk
Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengkaji mengenai
bentuk trnasmigrasi pertahanan nasional dan desa Sapta Marga. Bahwa setelah
jatuhnya rezim Orde Lama banyak ganguan keamanan dan stabilitas politik
terganggu, faktor penyebabya salah satunya adalah pemberontakan Partai
commit to user
Komunis Indonesia pada tanggal 30 september 1965 atau lebih dikenal dengan
16
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pristiwa G30 S/PKI. Kehadiran Orde Baru ditengah keadaan negara yang tidak
menentu mengeluarkan kebijakan mengenai pertahanan negara dan penguatan
ideologi Pancasila. Salah satunya penempatan anggota ABRI di tengah-tengah
masyarakat Indonesia untuk menangkal ideologi komunis hadir kembali.
F. Metode Penelitian
Suatu penelitian perlu didukung dengan metode yang matang. Peran metode
dalam suatu penelitian sangatlah penting, karena berhasil atau tidaknya tujuan
yang hendak dicapai, tergantung dari metode yang digunakan. Metode yang
digunakan untuk penelitian ini adalah metode penelitian sejarah. Metode
penelitian sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman
maupun peninggalan masa lalu, kemudian dilakukan rekontruksi berdasarkan
data-data yang kemudian diperoleh suatu historiografi atau penulisan sejarah.17
Proses penelitian sejarah meliputi tahap-tahap antara lain Heuristik, Kritik
Sumber, Interpretasi, dan Historiografi:
1. Heuristik
17
Louis Gotfschalk, Mengerti Sejarah
Notosusanto), (Jakarta UI Press, 1985),
commithalto15.
user
(terjemahan
Nugroho
perpustakaan.uns.ac.id
17
digilib.uns.ac.id
Heuristik merupakan sebuah kegiatan mencari sumber-sumber untuk
mendapatkan data atau materi sejarah atau evidensi sejarah.18 Ada
beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu
a. studi dokumen.
Arsip atau dukumen dipilih sebagai langkah untuk mendapatkan sumber
data primer yaitu data-data atau sumber sosial yang mendukung penelitian ini.
Arsip-arsip tersebut berasal dari instansi militer dan pemerintah baik dari pusat
maupun daerah antara lain:
a) Surat Keputusan PangDAM V/Brawijaya dengan nomor surat No
SKEP/76-3/VI/1976 pada tanggal 30-6-1976, tentang Areal Tanah di
Desa Wonorejo Kec Banyu Putih, Kab Situbondo di Jadikan Proyek
Pemukiman (Translok) AD DAM V/Brawijaya.
b) Arsip surat laporan DAN DIM 0823/Situbondo kepada DAN REM
083/Malang dengan nomor surat B-/465/IV/1975 perihal penyediaan
areal tanah untuk translok Kodam V/Brawijaya.
c) Surat Keputusan Pangdam V/Brawijaya dengan nomor surat No SKEP140-3/7115/1975. Berisikan tentang ketentuan-ketentuan penggunaan
tanah di proyek translok AD DAM V/Brawijaya.
d) Surat perintah nomor SPRIN/1308/X/1977, yang dikeluarkan oleh
DAM V/Brawijaya. Berisikan tentang pembagian lahan pemukiman
18
hal 86.
Helius Sjamsuddin, Metodelogi
commit toSejarah,
user (Yogyakarta : Ombak, 2007),
perpustakaan.uns.ac.id
18
digilib.uns.ac.id
dan lading anggota-anggota pensiunan TNI AD, dan penentuan batasbatas lokasi tanslok TNI AD.
e) Surat balasan Bupati Tk II Situbondo Sub Direktorat Agraria kepada
Gubernur TK I Jawa Timur, dengan nomor : Subda/Um/1437/75 pada
tanggal 16 November 1975,
f) Surat Bupati Tk II Situbondo kepada Gubernur Kepala daerah Tk I
Jawa Timur pada tanggal 30 Januari 1976 yang berisikan tentang
konfirmasi luas lahan bekas perkebunan C.O.B IV agar di jadikan
pertimbangan Gubernur Jawa Timur untuk mengambil kebijakan
mengenai penempatan translok TNI AD.
g) Surat Departemen Dalam Negeri kepada Gubernur Tk I Jawa Tiwur
dengan Nomer Surat : Btu. 2/395/2-76.
h) Arsip Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kabupaten
situbondo perihal permasalahan tanah yang berkembang (strategis) di
Kabupaten Situbondo.
i) Surat Menteri Kehutanan Republik Indonesia kepada Bupati Situbondo
dengan nomor surat : 240/Menhut-VII/2002, pada tanggal 20 Februari
2002.
j) Arsip Depertemen Kehutanan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Baluran. Nomor :
S.157/IV-T.17/2/2006. Perihal : penyelesaian Tanah Lokasi Proyek
Pemukiman Translok TNI AD di Situbondo Jawa Timur.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
19
digilib.uns.ac.id
b. Studi Pustaka
Sebagai pendukung sekaligus sebagai sumber teori maka penelitian ini
menggunakan sumber-sumber pustaka berupa buku-buku pengetahuan, artikel
yang diperoleh dari Sumber koleksi Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Bagian Kependudukan UGM,
dan Perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanahan (STPN) Yogyakarta.
c. Wawancara
Metode wawancara adalah metode yang bertujuan mencari kebenaran atau
mencocokan antara data dengan pristiwa yang sebenarnya. Wawancara yaitu
percakapan seseorang dengan orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan
keterangan lisan dari informan.19 Adapun informan tersebuat antara lain : Misiran
(Pegawai Desa Wonorejo), Hermanus (Kepala Lingkungan Translok), Sutrisno
(Kadus Pandean), Hasto Sugiarto (Warga Translok Timur)
2. Kritik Sumber
Kritik sumber yang bertujuan mencari keaslian sumber yang diperoleh
melalui kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern merupakan cara melakukan
verifikasi atau pengujian terhadap aspek luar dari sumber sejarah 20. Arsip-arsip
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan arsip asli. Arsip ini dimiliki atau
disimpan oleh setiap instansi yang bersangkutan seperti : Kodam V/ Brawijaya,
19
Koentjaraningrat , Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta:
Gajah Mada Press, 1983), hal. 16.
commit to user
20
Helius Sjamsuddin., op.cit. , hal. 132.
20
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BPN daerah Situbondo dan juga arsip daerah Jawa Timur. Selain itu, arsip ini juga
telah digandakan dan dimiliki oleh perwakilan dari warga translok sebagai bahan
hukum mereka.
Kritik Intern merupakan pengujian terhadap aspek dalam yaitu isi sumber
yang didapat berupa arsip di cocokan dengan data wawancara. Isi dari arsip-arsip
yang berhasil terkumpul merupakan karya asli ditulis oleh pihak-pihak terkait
dengan peristiwa sengketa tanah di transmigrasi lokal TNI AD di Desa Wonorejo.
3. Interpretasi
Interpretasi yaitu penafsiran terhadap data-data yang diperoleh dan dari data
yang sudah terseleksi. Arsip-arsip yang diperoleh dapat ditafsirkan sebagai
berikut. Pertama merupakan kelompok arsip tahun 1975-1976 merupakan arsip
yang berisikan tentang proses pengajuaan proyek transmigrasi lokal oleh Kodam
V/Brawijaya dan juga proses penyediaannya. Selain itu, pada priode ini mencakup
pula status kepemilikan atas tanah yang akan dijadikan lokasi transmigrasi lokal.
Kedua, arsip tahun 1991 merupakan terangkatnya kasus sengketa tanah
kepermukaan. Ditandai dengan pelaporan sejumlah warga yang tidak bisa
membuat sertifikat tanah akibat dari kasus sengketa tanah. Ketiga, arsip tahun
2000-2006 merupakan arsip yang berisikan tentang proses penyelesaian tanah
lokasi pemukiman translok TNI AD. Proses penyelesaian sendiri melibatkan
beberapa instasi terkait seperti BPN Situbondo, Bupati Tk II Situbondo, Gubernur
Tk I Jawa Timur, Departemen Dalam Negeri, Kodam V/Brawijaya, dan
Departemen Kehutanan.
commit to user
21
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Historiografi
Historiografi merupakan penulisan sejarah dengan merangkaikan fakta-fakta
menjadi satu kisah sejarah. Historiografi ini klimaks dari sebuah metode sejarah.
Di sinilah pemahaman dan interprestasi atau fakta-fakta sejarah mengenai
permasalahan sengketa tanah trasmigrasi lokal TNI AD yang terjadi di Desa
Wonorejo tersebut ditulis dalam bentuk kisah sejarah yang menarik dan masuk
akal. Dalam hal ini historiografi adalah penulisan yang berupa skripsi.
G. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan
gambaran yang menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang
beruntun.
Skripsi ini akan disusun ke dalam lima bab, yang kemudian terbagi lagi
dalam sub-sub bab yaitu :
Bab I berupa pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode
penelitian, teknik analisa data, dan sistematika skripsi.
Bab II membahas tentang gambaran umum Pemukiman Transmigrasi Lokal
TNI AD yang terdiri dari kondisi geografis Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI
AD Kodam V/Brawijaya, Kondisi Sosial Ekonomi masyarakat, Proses
commit to user
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penempatan Translok TNI AD Kodam/Brawijaya, dan Pengaruh Pemukiman
Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya.
Bab
III membahas
mengenai
proses
sengketa lahan pemukiman
Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya yang terdiri dari kondisi lahan
Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya tahun 1976-2006,
sengketa tanah Pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya antara Taman
Nasional Baluran dengan masyarakat translok tahun 1976-1987, Usaha
Pemerintah dan Militer dalam menyelesaikan sengketa tanah tahun 1976-1987,
dan perkembangan sengketa tanah Pemukiman Translok TNI AD Kodam
V/Brawijaya antara Taman Nasional Baluran dan Masyarakat Translok Tahun
1988-2006.
Bab IV membahas perkembangan proses penyelesaian sengketa tanah yang
dilakukan Pemerintah Daerah dan Balai Taman Nasional Baluran Tahun 19982006 dan dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya sengketa.
Bab V Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
GAMBARAN UMUM PEMUKIMAN TRANSMIGRASI
LOKAL TNI AD KODAM V/BRAWIJAYA
A. Kondisi Geografis Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam
V/Brawijaya
Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya memiliki
luas 57 Ha yang terletak di Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten
Situbondo, Provinsi Jawa Timur. Secara administratif wilayah Translok TNI AD
Kodam V/Brawijaya masuk dalam wilayah administrasi Desa Wonorejo artinya
tidak menjadi daerah sendiri atau desa sendiri sehingga secara umum kondisi
geografis pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya sama dengan Desa
Wonorejo. Pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya terletak di sebelah
utara Desa Wonorejo tepatnya terdapat di Dusun Jelun dan Dusun Pandean Desa
Wonorejo. Desa Wonorejo meiliki 4 wilayah Dusun, yaitu Dusun Randu Agung,
Dusun Kendal, Dusun Jelun, dan Dusun Pandean.
Desa Wonorejo terletak di perbatasan antara kabupaten Banyuwangi dan
Kabupaten Situbondo. Jarak dengan ibukota kabupaten adalah 65 km, dengan
ibukota propinsi 250 km dan 32 km Kota Banyuwangi. Waktu tempuh dengan
dengan kendaraan umum ke Kota Situbondo kurang lebih 1 ½ jam, dengan Kota
Surabaya 6 jam, dan 30-45 menit ke Kota Banyuwangi. Oleh karena jarak tempuh
ke Kota Banyuwangi lebih dekat, maka untuk memenuhi kebutuhan bahan-bahan
commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
24
digilib.uns.ac.id
konsumsi dan perekonomian masyarakat Desa Wonorejo dan sekitarnya pergi ke
Banyuwangi.1
Desa Wonorejo merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian 25
meter dari permukaan laut dan mempunyai tekstur tanah yang berwarna abu-abu,
keadaan tekstur tanah yang seperti ini merupakan bentuk tanah aluvial2, tanah
aluvial sangat dipengaruhi oleh aktifitas gunung baluran pada masa purba. Luas
Desa Wonorejo mencapai 414.019, yang banyak diperuntukan untuk pemukiman
dan lahan persawahan. Dengan melihat kondisi geografisnya Desa wonorejo yang
berada di dataran rendah, merupakan daerah yang berudara panas dengan suhu
rata-rata berkisar 38-41 celsius3 sehingga mendapatkan curah hujan yang sedikit,
umumnya curah hujan di Desa Wonorejo umumnya 2000 Mm per tahun sehingga
daerah ini terkesan kering. Dengan melihat kondisi georrafis yang seperti ini desa
Wonorejo lebih cocok dengan pola bercocok tanam tanah kering seperti
tegal/ladang, namun terdapat juga sawah di Desa Wonorejo tapi jumlahnya tak
sebesar ladang umumnya sawah hanya terdapat di sekitar aliran Sungai Bajulmati
yang mempuyai debit air cukup besar. Aliran sungai ini tidak bersumber dari
1
Instrumen Pendataan Profil Desa / Kelurahan, 2004, hal. 9.
2
Suatu jenis tanah yang kaya akan mineral tetapi miskin akan bahan
organik. Dengan demikian, mempuyai kesuburan yang tinggi tetapi kesuburan
fisiknya rendah, karena sebagian besar berpori-pori dan tidak bisa menyimpan air
dengan baik. Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo, Sosiologi Pedesaan Jilid 2,
(Yogyakarta: Gajahmada University University Press, 1992), hlm.139.
3
commit
Instrumen Pendataan Profil
Desato/ user
Kelurahan, op.cit., hal. 2.
perpustakaan.uns.ac.id
25
digilib.uns.ac.id
Gunung Baluran tetapi berasal dari Gunung Blau dan Gunung Ringgih yang
merupakan gugusan Gunung Ijen Besar.4
Desa Wonorejo mempuyai batas wilayah seperti yang diuraikan Selo
Sumarjan yaitu dalam suatu desa biasanya dibatasi oleh batas alam seperti jalan,
sungai, persawahan dan padang rumput.5 Adapun batas-batas Desa Wonorejo,
sebagai berikut :
1.
Sebelah utara berbatasan dengan Taman Nasional Baluran
2.
Sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Bajulmati
3.
Sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali
4.
Sebelah barat dengan Desa Sumber Waru6
Letak desa yang berbatasan langsung dengan Hutan Taman Nasional
Baluran secara tidak langsung juga membawa dampak terhadap pertanian
masyarakat Desa Wonorejo, karena wilayah hutan taman nasional tersebut
menjadi daerah resapan air (water sheet) sebagai pengendali air yang mengalir di
dalam bawah tanah di daerah sekitarnya, karena umumnya pada saat musim
kemarau sungai-sungai kecil (curah) yang bermuara dari gunung baluran akan
kering ketika mengalir beberapa meter di permukaan tetapi akan meresap ke
4
Tim Ekspedisi TN Baluran Sentraya Bhuana, Laporan Ekspedisi Taman
Nasional Baluran, Surakarta:tidak diterbitkan, 2012 (koleksi perpustakaan
Sentraya Bhuana), hal. 25.
5
Selo Sumarjan, Perubahan Sosial Di Yogyakarta. (Yogyakarta : Gajah
Mada University Press, 1986), hal. 85.
6
commit
Instrumen Pendataan Profil
Desato/ user
Kelurahan, op.cit., hal. 1.
perpustakaan.uns.ac.id
26
digilib.uns.ac.id
bawah tanah dan menjadi sungai bawah tanah menuju tepi pantai sebelah timur.7
Dengan melihat kenyataan ini pemerintah pusat memberikan perhatian yang
sangat besar terhadap keberadaan hutan baluran, salah satunya dengan mengubah
status Suaka Margasatwa Baluran menjadi Taman Nasional Baluran.
Pada sekitar tahun 1926 disebelah selatan Hutan Baluran ada sebuah dataran
rendah yang masih berhutan lebat, yang disebut Hutan Wonorejo. Di bagian
pantai hutan tersebut ada sebuah desa yang hanya mempunyai beberapa penduduk
dengan mata pencaharian mencari ikan di laut serta mencari hasil hutan. Desa
tersebut bernama Desa Pandean yang dibabat pada tahun 1926 itu juga oleh
beberapa pendatang dari pulau Madura. Antara lain tokoh-tokohnya : P. Pandri
(yang menjadi kepala desa pertama), P. Darmasi, dan P. Bukarso.
Kemudian, pada tahun 1927 Desa Pandean mulai bertambah ramai dengan
datangnya penghuni-penghuni dari Tanggul, Jember, Ponorogo, Malang, dan
Kediri, sehingga daerahnya meluas sedikit demi sedikit membuka hutan. Melihat
perkembangan Desa Pandean ini semakin meluas pada sekitar pertengahan tahun
1927. Kanjeng Bupati Situbondo Raden Sudibjo Keosoemo berkenan mengganti
nama Pandean menjadi Desa Wonorejo. Sesuai dengan nama hutan di daerah itu
atau boleh juga diartikan : wono berarti hutan, rejo berarti makmur.8
Perkembangan desa Wonorejo yang pesat, membuka lebih banyak akses
terhadap daerah tersebut dan sebagai akibatnya masuknya arus kapitalisme di
7
Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam Taman Nasional Baluran, Review Rencana Pengelolaan Taman
Nasional Baluran, (Banyuwangi: tidak diterbitkan,1995), hal. 5
commit to user
8
Wawancara dengan Sutrisno, tanggal 1 Maret 2011.
perpustakaan.uns.ac.id
27
digilib.uns.ac.id
daerah tersebut, salah satunya perkebunan. Perkebunan di daerah sekitar Desa
Wonorejo telah ada sejak masa kolonial. Dengan hadirnya perkebunan kapuk
Bajulmati, Sebagian Desa Wonorejo merupakan bagian dari perkebunan kapuk
Bajulmati. Perkebunan kapuk Bajulmati kemudian membentuk 4 C.O.B (Capok
Onderneming Bajulmati), antara lain C.O.B I dan II Tanah Negara Parengan,
C.O.B III Batangan dan sekitar hutan perengan, dan C.O.B IV wilayah perluasan
Desa Wonorejo.9 Pembagian wilayah onderneming tersebut dibuat Belanda untuk
memudahkan mengatur lahan perkebunan yang akan ditanami. Setelah berakhir
kontrak, bekas lahan perkebunan kemudian beralih status mulai dari C.O.B I
hingga C.O.B IV. Pada tahun 1940 tanah bekas perkebunan C.O.B I, II dan
sebelah Barat C.O.B III yang telah Habis HGU (Hak Guna Usaha) di masukkan
ke dalam Suaka Margasatwa.10
Sejak penyerangan pasukan Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut
Amerika Serikat pada tahun 1941 yang kemudian dilanjutkan dengan
penyerangan tentara Jepang terhadap basis sekutu di Samudera Pasifik termasuk
di Indonesia, berakhir pula kekuasaan Belanda pada Indonesia. Setelah berhasil
merebut nusantara dari tangan Belanda, kemudian Jepang memperkuat pertahanan
militernya di Indonesia dengan membangun banyak basis-basis pertahanan seperti
benteng, pangkalan udara, kamp tawanan dan lain-lain, seperti halnya di Desa
Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo. Kosentrasi kekuatan
9
Arsip Surat Kodim O823 Situbondo kepada Dan Rem 083 Malang, pada
tanggal 8 April 1975, perihal penyediaan areal tanah untuk translok kodam VIII
Brawijaya. (koleksi pribadi Hermarnus).
to user
Departemen Kehutanancommit
Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam Taman Nasional Baluran, op. cit, hal. 29.
10
perpustakaan.uns.ac.id
28
digilib.uns.ac.id
militer Jepang Di Desa Wonorejo berada di Batangan (sekarang kantor Balai
Taman Nasional Baluran), dipilihnya Batangan sebagai basis pendudukan tentara
Jepang karena posisi Batangan yang strategis karena berada dipinggir Jalan
Pantura Situbondo-Banyuwangi dan berada dekat dengan pantai. Pasukan Jepang
banyak mengerahkan penduduk sekitar (romusha) untuk membangun benteng di
Pantai Pandean, membangun terowongan Bawah tanah di batangan yang tembus
sampai bendungan sungai bajulmati serta membangun kamp tawanan di
Batangan.11 Kamp ini difungsikan sebagai penjara bawah tanah tawanan musuh
Jepang seperti pribumi dan bala tentara Belanda, kamp ini menampung 1000
tahanan. Penduduk dipaksa untuk menanam tumbuhan jarak dan padi sebagai
suplay logistik tentara jepang.12
Daerah Suaka Margasatwa pun tetap dipertahankan keberadaannya oleh
tentara Jepang karena hutannya yang lebat bisa dijadikan daerah pertahanan
tentara Jepang. Setelah Belanda tidak berada di Indonesia bekas lahan perkebunan
kemudian beralih status mulai dari C.O.B I hingga C.O.B IV. Pada tahun 1940
tanah bekas perkebunan C.O.B I, II dan sebelah Barat C.O.B III yang telah Habis
HGU di masukkan ke dalam Suaka Margasatwa.13
Setelah kemerdekaan seluruh wilayah kembali di bawah pemerintahan
Indonesia. Seluruh tanah yang dijadikan jajahan dikembalikan kepada Indonesia
11
Wawancara deangan Sulaisiah tanggal 1 Maret 2011.
12
Data statistik Balai Taman Nasional Baluran, Kegiatan Pembinaan dan
Peningkatan Usaha Konservasi di dalam Dan di Luar Kawasan Hutan Taman
Nasional Baluran, (Banyuwangi :tidak diterbitkan, 2000), hal. 6.
to user
Departemen Kehutanancommit
Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam Taman Nasional Baluran, op. cit, hal. 29.
13
29
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan diubah statusnya menjadi tanah negara termasuk bekas Perkebunan Kapuk
Bajulmati dengan 4 C.O.B nya dan daerah Suaka Margasatwa. Wilayah Suaka
Margasatwapun ditambah wilayah perluasanya dengan memasukan beberapa
wilayah bekas Perkebunan Kapuk Bajulmati diataranya C.O.B I, II dan sebagian
C.O.B III. Sebagian wilayah C.O.B III tetap dijadikan perkebunan kapuk dan
berganti kepemilikan dibawah CV Bajulmati dengan kontrak selama 20 tahun
sampai dengan tahun 1974 dan terus dilanjutkan hingga sekarang dibawah
perkebunan kapuk PT Baluran Indah. Sedangkan C.O.B IV yang dari awal
merupakan perluasan desa pada tahun 1976 dijadikan lokasi proyek pemukiman
Transmigrasi Lokal oleh Kodam V Brawijaya.
B. Proses Penempatan Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/
Brawijaya
1. Awal Mula Penempatan Translok
Awal mula proses penempatan Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya tidak
bisa dilepaskan dari perkebunan kapuk Bajulmati. Setelah berakhirnya masa pakai
(hak erpacht) dari perkebunan kapuk Bajulmati bekas lahan dari C.O.B I hingga
C.O.B IV beralih status. C.O.B I, C.O.B II dan sebagian C.O.B III pada tahun
1940 di masukan ke dalam Suaka Margasatwa Baluran. Sebagian lagi luas C.O.B
III kemudian kembali disewa oleh CV Bajulmati menjadi perkebunan kapuk pada
tahun 1954 dengan jangka waktu kontrak selama 20 tahun. Sedangkan C.O.B IV
yang merupakan perluasan desa wonerejo yang belum sempat ditanami tanaman
perkebunan di kembalikan kepada negara dengan status tanah negara. Hal itu
commit to user
30
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dapat dilihat pada foto di bawah ini, bekas lahan COB I, II, III dimasukkan ke
dalam wilayah Taman Nasional Baluran, sedangkan COB IV berbatasan langsung
dengan COB III.
Gambar 1
Peta Wilayah Taman Nasional Baluran
(Arsip Koleksi Taman Nasional Baluran)
Setelah menjadi tanah negara, bekas lahan C.O.B IV yang pada saat itu
lebih menjadi tanah terlantar dan tidak bertuan maka oleh rakyat dibuka dan
dijadikan lahan persawahandan tegalan atas dasar kebijakan dari oknum PPA14
(Pelindung dan Pengawetan Alam). Tanah terlantar menurut PP no. 36 tahun 1998
merupakan tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak
14
Oknum PPA (Pelindung dan Pengawetan alam) merupakan pegawai
yang betugas dalam kawasan koservasi keidupan liar atau Suaka Margasatwa.
commit
to user
Wawancara dengan Siswanto tanggal
28 Juli
2011.
perpustakaan.uns.ac.id
31
digilib.uns.ac.id
pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi
belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peratuaran perundangundangan yang berlaku.15 Klasifikasi tanah terlantar disini yaitu tanah hak milik,
tanah HGU, tanah HGB, atau hak pakai yang dengan sengaja tidak dipergunakan
oleh pemegang haknya sesuai dengan sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara
dengan baik.16 Masyarakat sekitar bekas lahan C.O.B IV yang merupakan
pendatang dari sekitar desa Wonorejo seperti Pandean, Asem Bagus, Mimbo,
Karang tekok dibebaskan untuk menanam tanaman apa saja. Hasil dari lahan
pertanian ini kemudian dibagi dua oleh oknum PPA.
Pada tahun 1955 oknum PPA mengeluarkan Kebijakaan lainnya terhadap
bekas lahan C.O.B IV ini ialah menyuruh untuk menanam tanaman jati di selasela lahan persawahannya. Hasil dari penanaman jati tersebut menjadi hak pribadi
dari oknum PPA. Penguasaan lahan atas C.O.B IV oleh oknum PPA di karnakan
C.O.B IV merupakan perluasan desa Wonorejo yang sudah tidak lagi berbentuk
hutan akibat dari pembukaan lahan masyarakat pendatang sekitar tahun 1927.
Atas dasar insiatif dari Pangdam V Brawijaya bekas lahan C.O.B IV ini
kemudian ingin dijadikan sebuah pemukiman yang diperuntukan untuk para
anggota TNI AD angkatan 45 khususnya yang ada di jajaran Kodam V/Brawijaya.
Hal ini berdasarkan surat Menhankam/Pangab tentang program induk prasarana
15
Siti Rahma dan Dodi Setiadi, Memahami Hak Atas Tanah dalam
Praktek Advokasi, (Surakarta: Cakra Book, 2005), hal. 278.
commit to user
16
Ibid., hal. 280.
perpustakaan.uns.ac.id
32
digilib.uns.ac.id
penyaluran anggota ABRI17. Selain itu, Pangdam V Brawijaya merasa bahwa
para anggota TNI yang sudah memasuki masa persiapan pensiun maupun yang
sudah pensiun sangat berjasa dalam membantu mempertahankan kemerdekaan RI
dan para anggota TNI AD ini juga tidak memiliki tempat tinggal akibat mobilisasi
anggota TNI AD mengikuti perang disetiap daerah NKRI.
Proses penempatan pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam
V/Brawijaya berjalan cukup lama sekitar 2 tahun yang dimulai pada tahun 1974
hingga 1976.
Proses dimulai ketika pihak Kodam V Brawijaya berinisiatif
membentuk suatu pemukiman terpadu khusus untuk purnawirawan TNI AD,
maka pihak Kodam V Brawijaya lewat Babintransja (Badan Pembina
Transmigrasi Jawa Timur) mengistruksikan kepada Kodim O823 di Situbondo.
Surat dengan nomor B/196-3/III/1975 tertanggal 22 Maret 1975 tersebut berisikan
permintaan Kodam V Brawijaya untuk menyiapkan sebidang tanah berjumlah 100
Ha diperuntukan untuk translok TNI AD dan untuk dapat diselesaikan secepat
mungkin dengan pihak yang berwenang.18
Pihak Kodam V Brawijaya kemudian melihat tanah bekas erfpacht verp
nomor 324 atau tanah bekas C.O.B III yang pada saat itu masih berstatus HGU
CV Bajulmati layak untuk dijadikan lahan pemukiman. Berdasarkan surat
tembusan dari Dan Dim 0823, yang menjelaskan status tanah C.O.B III yang pada
17
Arsip surat perintah Pangdam VIII/Brawijaya Oktober 1977, tentang
pemindahan anggota TNI AD ke dalam transmigrasi lokal. (koleksi Pribadi
Hermanus).
18
Arsip surat Kodam VIII /Brawijaya kepada Korem 083 Malang, pada
commit to areal
user tanah untuk translok kodam VIII
tanggal 22 Maret 1975, perihal penyediaan
Brawijaya. (koleksi Pribadi Hermanus).
perpustakaan.uns.ac.id
33
digilib.uns.ac.id
saat itu masih berstatus HGU CV Bajulmati selain itu, tanah tersebut juga telah
beralih tangan kepada investor lain yaitu perkebunan PT 24 Rejosari Surabaya.
Pihak Kodim menyarankan agar mendapatkan tanah bekas erfpacht verp nomor
323 yang letaknya lebih rendah dan diminta dipinggir jalan yang menuju ke Bekol
(daerah Suaka Margasatwa), lalu menyerahkan permasalahan ini kepada Bupati
kepala daerah TK II Situbondo Sub direktorat agraria.
Ketika proses penyediaan tanah sampai pada tingkat Bupati Situbondo
menghadapi beberapa kendala diantaranya:
a.
Areal tanah yang diminta terlalu besar dan tidak mencukupi jumlah yang
dikehendaki.
b.
Letaknya sangat tidak memungkinkan misalnya karena sulitnya prasarana
jalan, sulitnya air dan sebagainya.
c.
Tanah yang dikehendaki telah diajukan oleh pihak lain.
Akhirnya Bupati Situbondo mengusahakan agar mendapatkan tanah negara
bekas C.O.B IV seluas ± 85 Ha yang terletak di Desa Wonorejo, Kecamatan
Banyu Putih, Daerah Tingkat II Situbondo yang sampai kini dikuasai oleh oknum
PPA tanpa sesuatu hak.19
Dengan proses penempatan pemukiman translok yang lama, pihak Kodam
lalu berinisiatif untuk survei langsung ke lokasi yang telah disarankan oleh Bupati
Tk II Situbondo untuk melihat apakah tanah bekas C.O.B IV layak untuk
19
Arsip surat Bupati Kepala Daerah TK II Situbondo kepada Gubernur
commit
to user
Kepala Daerah TK I Jawa Timur,
pada
tanggal 16 November 1975, Perihal
Kebutuhan Tanah untuk Transmigrasi Lokal AD. (koleksi pribadi Hermanus).
34
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dijadikan pemukiman translok. Hasil dari survey menyatakan bahwa telah
memenuhi syarat untuk translok indikasinya antara lain sebagai berikut:20
a.
Pengairan untuk pertanian baik
b.
Sarana jalan sudah ada dan baik
c.
Dekat dengan perkampungan
d.
Dekat dengan pantai
Luas tanah sebagian bekas C.O.B IV yang diajukan untuk pemukiman
Translok TNI AD Dam V/Brawijaya adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Luas tanah bekas C.O.B IV
PERUNTUKAN
NO
I
LUAS
1
Luas Tanah sebagian Bekas C.O.B IV
terdiri dari
Tanaman Jati
11,88 Ha
2
Tegalan/Sawah
II
Luas tanah negara (bosch grond) dikuasai 18,71 Ha
PPA (merupakan tegal/sawah)
Jumlah I dan II
10.45 Ha
41,04 Ha
Sumber: Surat Bupati TK II Situbondo kepada Gubernur TK I Jawa Timur
Up kepala Direktorat Agraria, nomor Pem.167/II.a/1976, tanggal 30
Januari 1976, perihal permohonan tanah untuk translok AD.
Dari tabel di atas terlihat bahwa luas C.O.B IV yang akan diperuntukan untuk
pemukiman translok terdiri dari luas pertanian dan tegakan tanaman jati yang
sudah digarap masyarakat Desa Wonorejo dengan bagi hasil oleh petugas PPA.
20
Arsip surat Koramil 083 Malang kepada Bupati Kepala Daerah TK II
commit
to userperihal Permohonan Tanah untuk
Situbondo, pada tanggal 16 Januari
1976,
Transmigrasi Lokal AD. (koleksi pribadi Hermanus).
perpustakaan.uns.ac.id
35
digilib.uns.ac.id
Akibat dari desakan pemerintah daerah dan militer maka Departemen
Dalam Negeri lewat suratnya dengan nomor BTU.2/395/2-76 memberikan izin
terhadap rencana penggunaan tanah tersebut (bekas C.O.B IV) sebagai lokasi
translok AD, tetapi dengan catatan agar penyelesaian hak-hak atas tanah kepada
para transmigran diselesaikan menurut peraturan Mentri Dalam Negri No.5/1973
Jo peraturan Mentri Dalam Negri No 6/1972. Selama menunggu proses
penyelesaian hak-hak atas tanahnya, diperbolehkan untuk memulai adanya
perencanaan pendapatan para transmigran lokal tersebut.21
Karena dirasa sangat mendesak dan telah diberikan izin oleh Mendagri,
maka Bupati Situbondo membuat langkah-langkah dan kegiatan dalam rangka
penyediaan areal tanah untuk proyek Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya,
antara lain:
a.
Melaksanakan Survey oleh Sub Direktorat Tata Guna Tanah direktorat
Agraria Propinsi Jawa Timur dari tanggal 1-5 Maret 1976.
b.
Mengadakan pembicaraan antara Bupati Situbondo, Komandan Kodim 0823,
Kepala Sub Direktorat Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi Jawa
Timur, dan Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten Dati II Situbondo.
Pembicaran tersebut mengenai fungsi dari penempatan para anggota TNI AD
terhadap Desa Wonorejo dan proses penyelesaaian status lahan setelah
penempatan sesingkat-singkatnya menurut Intruksi Presiden No. 1 tahun
1976, karena atas tanah yang akan dihuni terdapat sebagian bekas penguasaan
21
Arsip Surat Dep Dalam Negeri RI kepada Gubernur Kepala Daerah TK
commit to
userPerihal Permohonan Tanah untuk
I Jawa Timur, pada tanggal 20 Februari
1976,
Transmigrasi Lokal AD. (koleksi pribadi Hermanus).
perpustakaan.uns.ac.id
36
digilib.uns.ac.id
Suaka Margasatwa (dimana di atasnya tidak ada hutan atau arena kegiatan
Suaka Margasatwa).
c.
Pada tanggal 1 April 1976 Bupati, dan Dim 0823, dan Kepala Sub Direktorat
Agraria kabupaten Dati II Situbondo mengadakan penyuluhan berkisar
rencana pengadaan translok dan status lahan yang mereka garap kepada
petani yang saat itu menggarap bekas lahan C.O.B IV untuk mau pindah di
tempat yang baru (sebagai karyawan PT Gunung Gumitir).
d.
Dengan surat bupati tertanggal 6 April 1976 No.Pem 659/II-a/76 dengan
perentaraan pembantu bupati di Asem Bagus, telah diperintahkan untuk
pengosonggan tanah-tanah tersebut oleh para penggarap dala keadaan baik
dan tidak rusak22.
Setelah dikeluarkannya surat dari Menteri Dalam Negeri dan hasil survey
Bupati Kepala Daerah Tingkat II Situbondo yang menyatakan layak huni akhirnya
semakin menunjukan jalan terang bagi pihak kodam untuk merealisasikan proyek
Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya. Akhirnya, pada tanggal 30
Juni 1976 keluarlah Surat Keputusan Panglima Daerah Militer V Brawijaya
nomor SKIP/76-3/VI/1975 tentang areal tanah di Desa Wonorejo Kecamatan
Bayuputih Kabupaten Situbondo dijadikan proyek pemukiman (translok) AD
Kodam V Brawijaya.23 Proses penempatan setelah turunnya surat keputusan
22
Arsip Surat Bupati Kepala daerah TK II Situbondo Kepala Sub
Direktorat Agraria, tanggal 24 Mei 1975, tentang penjelasan tanah Translok
Angkatan Darat dan Langkah-langkah yang telah dilakukan dalam rangka
penyediaan. (koleksi pribadi Hermanus).
commit to V/Brawijaya,
user
Arsip Surat Keputusan Pangdam
pada tanggal 30-6-1976,
tentang Areal Tanah di Desa Wonorejo Kec Banyu Putih, Kab Situbondo di
23
perpustakaan.uns.ac.id
37
digilib.uns.ac.id
tersebut tidak berlangsung secara serempak. Hal itu dikarnakan ada anggota yang
masih aktif berdinas di kesatuan akhir mereka, baru pada tanggal 28 Desember
1977 seluruh anggota menempati pemukiman translok TNI AD Kodam
V/Brawijaya.
Anggota TNI AD yang akan ditempatkan di Translok TNI AD Kodam
V/Brawijaya juga melalui proses. Anggota TNI AD yang telah memasuki MPP
(masa persiapan pensiun) diberikan penawaran oleh kesatuannya. Penawaran itu
berupa menambah waktu dinas menjadi 5 tahun lagi atau masuk masa persiapan
pensiun selama 5 tahun. Bila memilih masuk masa persiun maka para anggota ini
diberikan pelatihan di sekolah Singosari Malang selama 1 tahun. Sekolah tersebut
berisikan pelatihan mengenai pertanian, perikanan, dan peternakan. Mereka yang
terpilih menempati lahan pemukiman translok berdasarkan pengajuan setiap
anggota.24 Total ada 210 anggota yang mengajukan diri mendapatkan lahan
hunian di translok. Berdasarkan hasil seleksi terpilih 65 Anggota TNI AD Kodam
V Brawijaya yang ditempatkan di Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya.
Anggota TNI AD yang menempati pemukiman translok mempuyai pangkat yang
berbeda tertinggi ialah perwira menengah setingkat Mayor. Sebenarnya untuk
pangkat Mayor ke atas ada penempatan translok khusus yang berada di Jember,
tetapi hal itu berdasarkan pilihan anggota yang ditempatkan.
Jadikan Proyek Pemukiman (Translok) AD DAM V/Brawijaya. (koleksi pribadi
Hermanus).
commit
user
Data diolah berdasarkan
hasiltowawancara
dengan Hermanus, Hasto
Sugiarto dan Sutupo.
24
perpustakaan.uns.ac.id
38
digilib.uns.ac.id
Semua anggota TNI yang akan di tempatkan di lokasi pemukiman translok
Kodam V/Brawijaya tidak dari kesatuan yang sama, mereka berasal dari
Situbondo, Malang, Jember, Kediri dan lain-lain, tetapi hampir separuhnya
berdinas terakhir di Kodim Situbondo, lainnya di Malang dan kediri dll.
Purnawirawan yang menempati pemukiman translok rata-rata merupakan suami
istri yang berprofesi sama sebagai anggota TNI AD, mereka semua pernah
berdinas bersama di Sulawesi pada saat pembebasan DI/TII.25
Setelah ditempatkan, sebanyak 65 KK mendapatkan jatah tanah setiap 1 KK
sejumlah 7500 m2 yang terdiri dari sawah 500 m2, 1500 m2 tanah kering/tegal dan
5500 m2 berupa lahan rumah dan pekarangan. Untuk menentukan posisi tempat
pemukiman maupun sawah para purnawirawan tidak bisa memilihnya sendiri
tetapi berdasarkan undian (kocokan) yang dilakukan oleh Kodim Situbondo.26
Mereka semua ditempatkan dalam 2 wilayah berbeda dalam Desa Wonorejo yaitu
translok barat terdapat di Dusun Jelun dan translok timur di Dusun Pandean yang
masing-masing ditempati 34 KK. Pembagian 2 wilayah translok dalam wilayah
Desa Wonorejo dikarnakan luas tanah yang digunakan untuk pemukiman tidak
mungkin untuk disatukan akibatnya posisi dari pemukiman translok tersebut
memanjang dari barat ke timur Desa Wonorejo. Penempatan kedua wilayah
translok ini dalam satu surat perintah yang sama.
25
Wawancara dengan Hasto sugiarto tanggal 28 Mei 2012.
commit to user
26
Wawancara dengan Sutopo tanggal 28 Juli 2011
39
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Dasar Penempatan Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya
Sejak bergulirnya pemerintahan Orde Baru, dimulai pula pemerintahan
rezim militer. Militer pada saat Orde Baru tidak hanya sebagai alat negara yang
berfungsi untuk mempertahankan negara tetapi juga mulai masuk pada setiap
elemen kenegaraan mulai dari struktur pemerintahan hingga lapisan masyarakat
pedesaan.
Keadaan politik dan keamanan negara yang tidak stabil akibat dari
guncangan pemberontakan PKI, membuat pemerintahan Orde Baru berpandangan
anti terhadap komunis, dan ingin mengembalikan idiologi negara kembali kepada
UUD 45 dan Pancasila. Kehadiran militer di tengah-tengah masyarakat agar dapat
meredam munculnya kembali idiologi-idiologi komunis, oleh karna itu
pemerintah mulai membuat suatu kebijakan dalam tubuh TNI yaitu program
Transtannas (transmigrasi ketahanan nasioanal) dan Desa Sapta Marga.
Program transtannas dan Desa Sapta Marga mulai dicanangkan oleh Menteri
Transmigrasi dan Mentri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia pada
tahun 1975. Program transtanas memiliki fungsi sebagai landasan kebijakan
pemerintah dan strategi penyelenggaraan transmigrasi sebagai suatu sistem
pembangunan terpadu yang berisikan Idiologi, Konstitusi yang terdapat pada
UUD 45, dokumen-dokumen dasar nasional dan kebijaksanaan umum pemerintah
Orde Baru yang tertuang dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara), dan juga
Repelita sebagai suatu landasan oprasional pembangunan pemerintahan Orde
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
40
digilib.uns.ac.id
Baru.27 Secara garis besar Transtanas memiliki fungsi sebagai ketahanan
nasioanal untuk mencegah hadirnya idiologi komunis di tengah-tengah
masyarakat.
Begitu pula yang terjadi dengan proyek pemukiman Transmigrasi Lokal
TNI AD Kodam V/Brawijaya. Penempatan anggota TNI AD di Desa Wonorejo
karena disinyalir di daearah sekitar Desa Wonorejo merupakan basis komunis.
Selain itu, Desa Wonorejo yang berbatasan langsung dengan Selat Bali di sebelah
timur menjadikan tempat ini sebagai tempat pendaratan kapal, sangat rawan akan
adanya penyusup atau tindak kejahatan lainnya, untuk itu fungsi dari pemukiman
translok juga sebagai intelejen atau mata-mata negara terhadap para pelaku
kejahatan yang akan masuk lewat jalur laut. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran
sebuah benteng pengintai dan sebuah kapal perang yang karam pada masa
pendudukan Jepang.28
Sesuai dengan Instruksi Panglima Kodam V Brawijaya bahwa anggota TNI
AD yang ditempatkan di translok selain mengemban tugas HAMKAMNAS
(pertahanan dan keamanan nasional) juga sebagai sarana kreasi pembangunan
bagi para purnawirawan dan menciptakan desa teladan.29 Artinya para
27
Syah Djohan Darwis, Strategi Pemukiman ABRI Di Dalam Transtannas
dan Desa Sapta Marga Sebagai Dampak Positif Untuk Mempertahankan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, (Jakarta: PUSLITBANG Departemen
Transmigrasi, 1986), hal. 27-28 dan 32.
28
29
Wawancara dengan Hermanus tanggal 3 juni 2012.
Arsip Surat Bupati Kepala daerah TK II Situbondo Kepala Sub
Direktorat Agraria, tanggal 26 Mei 1975, Tentang Penjelasan Tanah Translok
commit Yang
to userTelah Dilakukan Dalam Rangka
Angkatan Darat dan Langkah-langkah
Penyediaan. (Arsip koleksi pribadi Hermanus).
41
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
purnawirawan dituntut untuk dapat berkreasi dengan memanfaatkan hasil alam
yang ada dan membantu pemerintah dalam pembangunan daerah dengan
mengutamakan kewaspadaan nasional dalam rangka pembangunan nasional.
Selain itu, para purnawirawan juga dituntut untuk dapat menciptakan desa
Wonorejo ke arah yang lebih maju lagi.
C. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Transmigrasi Lokal TNI AD
Kodam V/Brawijaya.
1.
Kondisi Sosial
Kondisi Sosial masyarakat pemukiman Translok TNI AD Kodam
V/Brawijaya tidak berbeda
jauh dengan kondisi sosial masyarakat desa
Wonorejo. Kondisi sosial di desa Wonorejo sangat dipengaruhi oleh
keanekaragaman masyarakat di Desa Wonorejo. Desa Wonerojo didominasi oleh
masyarakat pendatang hampir 70% penduduk desa Wonorejo merupakan
pendatang yang berasal dari Banyuwangi, Malang, Ponorogo, Kediri dan sisanya
merupakan etnis Madura. Salain itu, faktor lain yang mempengaruhi Kondisi
sosial masyarakat Desa Wonorejo adalah berasal dari agama, pendidikan, dan
nilai budaya yang berlaku.
Penduduk desa Wonorejo berjumlah 6558 orang yang terbagi ke dalam
2024 kk yang terdiri dari 3229 orang laki-laki, 3329 orang perempuan. Secara
umum penduduk desa Wonorejo memeluk berbagai macam agama. Mayoritas
penduduk memeluk agama Islam (5922 orang), Kristen (458 orang), Katholik
commit to user
42
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(174 orang), dan Hindu (4 orang).30 Toleransi kehidupan beragama masyarakat
Desa Wonorejo sangat tinggi, ini dapat dibuktikan dengan kehidupan masyaraka
setempat yang hidup rukun, satu sama lain hidup saling berdampingan, gotong
royong, dan tidak ada perselisihan yang mengatasnamakan agama. Selain itu,
dapat juga dilihat dari letak rumah ibadah masing-masing agama yang saling
berdekatan.
Dalam mendukung kehidupan agama dalam masyarakat dan melancarkan
proses pembangunan dibutuhkan peran pemuka agama. Pemuka agama atau lebih
sering disebut tokoh masyarakat berperan besar dalam membantu pemerintah bagi
pembangunan masyarakat terutama untuk menyiapkan sumberdaya manusia.31
Karena para tokoh masyarakat ini diposisikan sebagai pemimpin non formal
dalam
suatu
struktur
masyarakat
desa.
Pelaksanaan
berbagai
kegiatan
pembangunan seperti penyuluhan pertanian, kesehatan, dan budaya dapat tercapai
dengan melibatkan para pemuka agama.32
Faktor lainnya dalam membentuk suatu struktur sosial masyarakat adalah
tingkat pendidikan. Pendidikan merupakan faktor penentu dalam upaya
menciptakan kualitas manusia. Suatu negara akan berhasil dalam pembangunan
dan tumbuh menjadi negara maju apabila telah berhasil meningkatkan jumlah dan
30
Instrumen Pendataan Profil Desa / Kelurahan., op cit., hal. 26.
31
Hasri Fatoratin Purwanita, “Sengketa Tanah Perkebunan Swalubururoto
Di Desa Karang Rejo, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar Tahun 1960-1977”,
Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah FSSR UNS, (Surakarta: Koleksi Perpustakaan Sastra
dan Seni Rupa,2011), hal. 24.
commit to dan
user Pembangunan Desa Pedesaan,
Murbyanto, Politik Pertanian
(Jakarta : Sinar harapan, 1983), hal. 47.
32
perpustakaan.uns.ac.id
43
digilib.uns.ac.id
mutu pendidikan.33 Penduduk Desa Wonorejo rata-rata memiliki tingkat
pendidikan yang relatif rendah.
Tabel 2
Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Wonorejo
No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah (orang)
A. Lulusan Pendidikan Umum
1. Taman Kanak- kanak
77
2. Sekolah Dasar
2389
3. SLTP/MTs
1862
4. SLTA/MA
1325
5. Akademi/ D1-D3/ Sarjana
86
B. Lulusan Pendidikan Khusus
1. Pondok Pesantren
63
2. Madrasah
128
3. Pendidikan Keagamaan
22
4. Sekolah Luar Biasa
5. Kursus/ keterampilan
8
Sumber: Instrumen Pendataan Profil Desa / Kelurahan Tahun 2004.
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa tingkat pendidikan masyarakat
Desa Wonorejo yang rendah, mayoritas lulusan Sekolah Dasar. Tingkat
pendidikan ini sangat mempengaruhi angkatan kerja dalam wilayah tersebut.
Tingkat pendidikan yang rendah berdampak pada tingkat penguasaan
pengetahuan, keterampilan dan tingkat perekonomian sehingga berpengaruh
terhadap jenis mata pencaharian masyarakat. Keadaan ini membuat mayoritas
masyarakat desa Wonorejo bermatapencaharian sebagai buruh tani. Secara tidak
langsung hal ini sangat berdampak pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan
masyarakat itu sendiri. Arti penting pendidikan dalam upaya peningkatkan
kualitas adalah membentuk golongan elit yang terdiri dari orang-orang terpelajar
yang mampu membentuk tenaga terlatih untuk menyelesaikan pekerjaan dalam
user : Kumpulan Essai, (Surabaya :
Darmansyah dkk, Ilmucommit
SosialtoDasar
Usaha Nasional, 1986), hal. 104
33
perpustakaan.uns.ac.id
44
digilib.uns.ac.id
rangkaian produksi.34 Pendidikan Di Desa Wonorejo juga dipengaruhi oleh
pendidikan Islam hal itu dikarnakan adanya pondok pesantren yang ada di Desa
Wonorejo.
Pada dasarnya kebudayaan Desa Wonorejo tidak berbeda jauh dengan
kebudayaan Jawa pada umumnya. Hal itu disebabkan karena masyarakat yang
menempati Desa Wonorejo mayoritas adalah pendatang yang berasal dari Jawa
dan Madura. Budaya tradisonal yang berkembang di Desa Wonorejo masih sering
dihubungkan dengan tradisi keagamaan akibatnya tercipta budaya-budaya adat
yang berdasarkan agama. Tradisi keagamaan dilakukan sebagai wujud syukur
masyarakat Wonorejo terhadap melimpahnya sumberdaya alam yang diberikan
Tuhan, tradisi ini biasanya disebut dengan slametan. Slametan pada umumnya
dapat digolongkan sesuai dengan pristiwa atau kejadian sehari-hari seperti
perkawinan, kelahiran, kematian, bersih desa, ruwatan sawah, dan lain-lain.35
Sistem budaya ini adalah merupakan bentuk sikap toleransi bangsa Indonesia pada
umumnya terhadap agama.36
Kondisi geografi suatu wilayah juga mempengaruhi unsur kebudayaan suatu
wilayah. Desa Wonorejo yang berbatasan langsung dengan pantai juga memiliki
suatu upacara adat/ Tradisi ini biasa disebut petik laut sebagai persembahan hasil
laut yang melimpah pada Sang Pencipta. Tradisi ini biasa dilangsungkan pada
34
Louis Malasih, Dunia Pedesaan : Pendidikan Dan Perkembangannya,
(Jakarta: Gunung Agung, 1981), hal. 47.
35
Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakatta:
Djambatan, 1979), hal. 340.
to user nasional (LRKN) LIPI, Kapita
Tim Lembaga researchcommit
kebudayaan
selekta manifestasi budaya indonesia, (Bandung: alumni, 1986), hal. 48.
36
45
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bulan Januari- Maret karena waktu ini merupakan bulan-bulan yang baik untuk
melaut karena pada bulan ini bertiup angin dari timur yang membawa banyak ikan
di perairan Selat Bali. Seperti pada umumnya masyarakat tradisonal, tradisi ini
berkembang di masyarakat Wonorejo akibat adanya mitos yang melatarbelakangi
upacara adat ini.
Gambaran makro kondisi sosial di Desa Wonorejo ini, secara sepesifik juga
dapat dilihat pada pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya.
Masyarakat pemukiman translok yang secara umum merupakan masyarakat
pendatang yang berasal dari Situbondo, Malang, Kediri, dan Yogyakarta tentu
saja
menambah
keanekaragaman
karakteristik
di
lingkungan
translok.
Sebagaimana umumnya masyarakat tradisonal lainnya yang berorientasi pada
bidang pertanian, maka sikap gotong royong dan kerukunan di pemukiman
translok masih sangat kuat. Sebab, menurut Y. Boelaars, dalam sistem ekonomi
yang berdasarkan pola petani ladang (maupun persawahan) digambarkan sebagai
suatu hidup dan kerja bersama, yaitu bersama semua yang hadir. 37 Semua yang
hadir ini berarti melibatkan semua masyarakat yang ada, dengan demikian segala
sesuatu kepentingan umum merupakan tanggung jawab setiap anggota
masyarakat, dan sebaliknya bila ada seseorang dari anggota masyarakat itu
memiliki suatu keperluan (nduwe gawe) maka anggota masyarakat yang lain akan
37
Y. Boelaars, Kepribadian Indonesia Modern, Suatu Penelitian
Antropologi Budaya, (Jakarta: PT. Gramedia, 1994), hal. 43.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
46
digilib.uns.ac.id
ikut membantu.38 Koentjaraningrat, dalam bukunya Sejarah Teori Antropologi II,
juga menyatakan bahwa pelaksanaan kehidupan masyarakat membutuhkan etos
kerja kolektif, yang tercermin dalam sikap dan sifat kerjasama seperti: gotong
royong, tolong menolong, rasa senasib dan sepenanggungan dalam suka dan
duka.39 Budaya gotong royong ini dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari
seperti perkawinan, kematian, mendirikan rumah, bercocok tanam, dan
membangun sarana dan prasarana.
Kedekatan emosional di antara masyarakat translok bukan hanya di
karnakan faktor mata pencaharian sebagai petani, tetapi karena masyarakat
translok memiliki persamaan nasib yang sama dan berasal dari kalangan yang
sama yaitu purnawirawan TNI AD. Kerukunan bermasyarakat ini bahkan sampai
kepada keturunannya masih dapat terjaga di tengah berbagai masalah yang
menerpa masyarakat translok. Wujud kerukunan ini tidak hanya diperlihatkan
pada saat upacara-upacara dan juga kerja bakti yang melibatkan anggota
masyarakat translok, tetapi juga membentuk suatu paguyuban (perkumpulan)
masyarakat translok. Seperti layaknya sebuah organisasi, paguyuban ini memiliki
struktur pengurus di antaranya terdapat Ketua Lingkungan translok, Sekertaris,
Bendahara, dan juga Seksi-seksi. Fungsi Kepala Lingkungan adalah sebagai
fasilitator atau penjembatan aspirasi masyarakat translok, meskipun sebenarnya di
Langgeng Budi Utomo “Kesenian Reyog Ponorogo Sebagai Sarana
Agitasi Politik (Kajian Sejarah Politik Kesenian di Kabupaten Ponorogo Tahun
1959-1960)”. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS.
(Surakarta: Koleksi Perpustakaan Sastra dan Seni Rupa,2011), hal. 23.
38
39
Koentjaraningrat, Sejarah
Teori
Antropologi II, (Jakarta: UI Press,
commit
to user
1990), hal. 121.
perpustakaan.uns.ac.id
47
digilib.uns.ac.id
dalam lingkungan translok sudah ada kepala rt 15 dan rt 28, tetapi fungsi Kepala
Lingkungan lebih menyeluruh baik mengatur hubungan antar warga translok
maupun ke arah eksternal wilayah translok seperti instansi-instansi militer
maupun pemerintah. Pemilihan Kepala Lingkungan ini berdasarkan hasil
musyawarah masyarakat translok.
Paguyuban ini juga mengatur dalam penggunaan bangunan dan regulasi
pengantian status pemilikan atas rumah dalam lingkungan translok. Seperti
contohnya, bila keturunan warga translok ini ingin meninggalkan rumah
peninggalan tersebut harus di berikan kepada saudaranya dan tidak boleh dijual
kepada orang lain (orang yang bukan keturunan dari purnawirawan TNI AD) atau
rumah yang sudah roboh pun diminta untuk didirikan kembali oleh pemiliknya
bila hal ini tidak dilakukan maka harap dikembalikan kepada Kepala Lingkungan
dan akan disalurkan kembali ke Kodim Situbondo untuk diberikan kepada
anggota TNI AD yang belum memiliki rumah. Proses ini sudah pernah terjadi
pada tahun 2006 dan rumah itu kembali dibangun tanpa diganti kepemilikannya.
Pembuatan berbagai kebijakan semacam ini bertujuan untuk semakin merekatkan
jalinan silahturahmi antar warga translok.40
2.
Kondisi Ekonomi
Masyarakat Desa Wonorejo sebagian besar bermata pencaharian sebagai
buruh tani dan nelayan, dari total jumlah angkatan kerja masyarakat Desa
Wonorejo yang berjumlah 4773 sebanyak 627 berprofesi sebagai buruh tani dan
40
commit to user
Wawancara dengan Hermanus tanggal 3 Juni 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
48
digilib.uns.ac.id
992 berprofesi sebagai nelayan.41 Mayoritas profesi masyarakat Desa Wonorejo
yang sebagai buruh tani dan nelayan disebabkan karena kondisi geografis yang
mendukung untuk melakukan pekerjaan tersebut. Selain itu, faktor pendidikan
yang relatif rendah turut mempengaruhi mata pencaharian di desa Wonorejo. Hal
itu, mengakibatkan masyarakat desa Wonorejo kurang akan pengetahuan,
keterampilan dan tingkat perekonomian.
Penduduk Desa Wonorejo menurut kelompok tenaga kerja produktif yaitu
kisaran umur 20-26 dan 27-40 pada tahun 2004 lebih banyak dibandingkan usia
non produktif kisaran umur di bawah 20 tahun dan 40 tahun ke atas, sehingga
seharusnya tenaga kerja yang tersedia tentunya cukup banyak untuk bisa
dimanfaatkan. Namun kenyataan yang terjadi banyaknya tenaga kerja produktif di
Desa Wonorejo tidak diimbangi dengan tingkat pendidikan yang tinggi, sehingga
banyak dari masyarakat Desa Wonorejo yang berusia produktif tidak dapat
mendapatkan penghidupan yang layak akibat kurangnya ilmu pengetahuan dan
keterampilan.42 Keadaan yang demikian mengakibatkan untuk mencukupi
kekurangan hidupnya, masyarakat banyak bergantung terhadap potensi hutan
Taman Nasional Baluran.
Letak geografis Desa Wonorejo yang berbatasan langsung dengan Taman
Nasional Baluran semakin memudahkan untuk mengakses langsung potensi hutan
Taman Nasional Baluran. Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai sumber
daya disatu sisi dan masyarkat di sekitar hutan di sisi lain yang mempuyai jalinan
41
Instrumen Pendataan Profil Desa / Kelurahan., op.cit., hal 20.
commit to user
42
Instrumen Pendataan Profil Desa / Kelurahan., op cit., hal 28.
49
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ketergantungan yang tidak dapat dipisahkan sebagaimana yang dijelaskan secara
sekematik oleh Afri Awang terhadap kebutuhan masyarakat.43
Kebutuhan masyarakat
Aliran produksi hasil jasa/hutan
(need of people)
(produktions flow)
Bahwa kebutuhan masyarakat bergantung terhadap aliran produksi hasil
jasa/hutan maupun sebaliknya aliran produksi hasil hutan juga bergantung
Hubungan ketergantungan masyarakat hutan berupa pemanfaatan secara
tradisonal tersebut sebenarnya telah berlangsung lama, sejak manusia menduduki
daerah ini. Kondisi iklimnya yang kering dan kemarau yang panjang membuat
hasil pertanian di daerah ini kurang baik. Foktor-faktor tersebut menjadi penyebab
tergeraknya masyarakat wonorejo untuk masuk ke dalam hutan. Biasanya
masyarakat Wonorejo mengambil hasil hutan yang cukup bernilai tinggi seperti,
buah asam, biji acacia (rabica), kemiri gadung, kayu rencek, pupus gebang dan
hasil hutan lainnya. Bahkan masyarakat sekitar Wonorejo sempat melakukan
perburuan liar terhadap hewan-hewan yang ada di dalam kawasan hutan.44 Hal ini
tentu saja membawa dampak negatif terhadap pelestarian kawasan konservasi.
Taman Nasioanal Baluran yang menjadi daerah konservasi lingkungan
hidup tentu saja membatasi aktifitas manusia di dalamnya. Menurut Restu
Widiashastri fungsinya Taman Nasional adalah:
1.
Kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan.
43
San Afri Awang, Politik Kehutanan Masyarakat, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana Yogyakarta, 2003), hal. 30.
commit
user
Data diolah berdasarkan
hasil towawancara
dengan Sutrisno, Suwarno,
dan Misiran pada tanggal 28 Juni 2012.
44
perpustakaan.uns.ac.id
50
digilib.uns.ac.id
2.
Kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa.
3.
Wahana pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam Hayati dan
ekosistemnya.45
Dengan menjadikan Taman Nasional Baluran sebagai wilayah yang
tersentralistik membuat Kementrian Kehutanan dalam hal ini Balai Taman
Nasional Baluran (BTNB) menaruh perhatian serius terhadap masyarakat sekitar
Taman Nasional Baluran. BTNB menjadikan desa Wonorejo sebagai suatu daerah
penyangga46 kawasan konservasi. Sebagai suatu daerah penyangga, desa
Wonorejo tentunya mendapatkan perhatian khusus daerah penyangga sebagai
penyadaran masyarakat akan pentingnya wilayah Taman Nasional Baluran bahwa
sebenarnya Taman Nasioanal Baluran mempuyai manfaat yang besar bagi
kehidupan mereka serta alternatif usaha bagi pemenuhan kebutuhannya. Berbagai
penyuluhan serta pemberian bantuan berupa modal baik berbentuk barang
maupun uang yang difungsikan sebagai stimultan masyarakat untuk lebih
berkreatifitas dan tidak menggantungkan hidupnya pada Taman Nasional Baluran.
Pemberian bantuan tersebut tidak langsung diserahkan oleh BTNB tetapi lewat
lembaga bentukan dari BTNB yaitu SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutanan
45
Restu Widhastri, Pengaruh Kegiatan Daerah Penyangga Di Desa
Wonorejo Terhadap Pengelolaan Taman Nasional Baluran , Laporan Magang
CPNS Formasi 2005, (Departemen Kehutanan Balai Taman Nasioal Baluran
:tidak diterbitkan, 2006), hal. 4.
46
Daerah Penyangga adalah daerah di luar kawasan suaka alam maupun
maupun kawasan pelestarian alam baik sebagai kawasan hutan lainnya, tanah
commit
to user
negara bebas maupun tanah yang
dibebani
hak yang diperlukan dan mampi
menjaga keutuhan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian. Ibid, hal 7
perpustakaan.uns.ac.id
51
digilib.uns.ac.id
Pedesaan). SPKP difungsikan sebagai “tangan kanan” dari pihak Taman Nasional
terhadap masyarakat Desa Wonorejo.47
Kondisi yang bertolak belakang bila melihat kondisi ekonomi masyarakat
Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya. Masyarakat translok yang seluruhnya
merupakan anggota TNI AD. Setelah pensiun para anggota TNI AD ini kemudian
menggarap lahan persawahan yang merupakan jatah pemberian dari Pangdam V
Brawijaya. Setiap KK memperoleh 7500 m2 di antaranya sawah 5000 m2, tanah
kering/ladang 1500 m2, dan 1000 m2 rumah serta pekarangan. Oleh karna itu,
mayoritas masyarakat translok berprofesi sebagai petani bukan buruh tani. Saat ini
pemukiman translok dihuni oleh keturunan dari para purnawirawan, mayoritas
mata pencaharian mereka sebagai petani, PNS, dan Pegawai Swasta.
Masyarakat translok membuat sebuah lembaga keuangan yang mengatur
simpan pinjam para warga translok. Lembaga ini berbentuk sebuah arisan antar
warga translok. Arisan ini tidak berbeda jauh dengan arisan warga lainnya yang
sistemnya ditentukan berdasarkan hasil dari undian (kocokan), hanya saja arisan
warga translok ini bisa di pergunakan sewaktu-waktu sebagai dana pinjaman
(talangan) apabila ada warga translok yang sedang mengalami musibah. Sehingga
arisan sangat mirip dengan koperasi simpan pinjam.48
Wawasan dan pengetahuan mereka yang luas membuat masyarakat translok
sadar akan bentuk pelestarian hutan. Walaupun pemukiman translok berbatasan
langsung dengan Taman Nasional Bauran mereka tidak sembarangan untuk keluar
47
Wawancara dengan Siswanto tanngal 28 Juli 2011.
commit to user
48
Wawancara dengan Hasto Sugiarto tanggal 28 Mei 2012.
52
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masuk kawasan hutan. Masyarakat translok pun terkadang membantu petugas
Taman Nasional untuk mencegah masuknya penduduk sekitar Wonorejo dari
daerah translok.
D. Pengaruh Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam
V/Brawijaya Terhadap Desa Wonorejo
Sebagai dasar dari penempatan para anggota TNI AD dalam proyek
Transmigrasi Lokal adalah menciptakan desa teladan bagi purnawirawan ABRI
dan membuat rasa aman di dalam desa tersebut, maka pemukiman translok
membawa pengaruh terhadap Desa Wonorejo. pengaruh itu sangat terlihat dalam
berbagai
aspek
keamanan
dan
ketertiban,
sosial
masyarakat,
struktur
pemerintahan desa, dan budaya.
Dalam menciptakan keamanan dan ketertiban, para purnawirawan tersebut
mengajak peran serta masyarakat Desa Wonorejo dalam menjaga daerah tempat
tinggalnya, salah satunya ialah siskamling bersama yang diadakan rutin. Terlebih
lokasi pemukiman translok berbatasan langsung dengan Hutan Taman Nasional
Baluran, sehingga rawan akan tindak kejahatan seperti pencurian dan perburuan
liar.49 Hasil dari kegiatan jaga malam tersebut dapat terlihat berdasarkan data
tingkat pelanggaran perburuan liar yang ada di Taman Nasional Baluran yang
menunjukan tren penurunan sejak kedatangangan para purnawirawan tersebut.
commit to user
49
Wawancara dengan suwarno, pada tanggal 28 Juni 2012.
53
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
No
1
2
3
Tabel 3
Data Perburuan Liar Dalam Kawasan Taman Nasional Baluran tahun
1997s/d 2001
Lokasi
Tahun
Sub Seksi
Wilayah Karang
Tekok
1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001
9
2
7
3
2
Jenis
Yang
Diburu
Banteng,
Kerbau
Liar,
Rusa,
Burung
Merak
Sub Seksi
5
5
4
1
Banteng,
Wilayah Bekol
Rusa,
Kerbau
liar,
Kijang
Sub Seksi
3
2
Bnateng,
Wilayah Pandean
Kerbau
Liar,
Kijang,
Babi
Hutan
Sumber: Data Statistik Balai Taman Nasional Baluran tahun 2000, hal 23.
(koleksi Perpustakaan Balai Taman Nasional Baluran).
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat data perburuan liar di dalam kawasan
Taman Nasional Baluran dari tahun 1997-2001. Dari hasil tersebut menunjukan
tren penurunan dalam tindak pelanggaran perburuan liar, terlebih yang berasal
dari dari Sub Seksi Wilayah Pandean yang merupakan daerah tempat lokasi
pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V Brawijaya.
Di dalam tingkat sosial para purnawirawan membawa perubahan yang
signifikan terhadap Desa Wonorejo. perubahan itu terlihat ketika sebelum
penempatan masyarakat Desa wonorejo masih terpisah-pisah antara kelompok
masyarakat satu dengan lainnya. Kelompok masyarakat yang didominasi dari
suku Madura dan Jawa seolah mengelompokan
commit to user dengan sukunya sendiri-sendiri
54
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seperti contohnya, pertemuan desa yang hanya dihadiri dari kalangan
kelompoknya sendiri. Setelah ada penempatan para purnawirawan ini berbaur
dengan lapisan masyarakat Desa Wonorejo dan mencoba untuk menyatukan
perbedaan yang ada. Penyatuan tersebut dilakukan dengan melakukan kegiatan
bersama seperti peringatan 17 Agustus, peringatan Hari Kebangkitan Nasional,
syukuran, maupun kegiatan sosial lainya. Dengan semangat idiologi Pancasila
sebagai doktrin utama untuk menyatukan berbagai kelompok masyarakat Desa
Wonorejo.50
Dalam
struktur
pemerintahan,
para
purnawirawan
memprakarsai
terbentuknya perangkat desa yang maju seperti adanya kepala seksi yang
menaunggi berbagai bidang dalam pemerintahan desa. Contohnya, Kepala Seksi
Pemerintahan, Kepala Seksi Pembangunan, Kepala Seksi Pemberdayaan
Masyarakat, Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat, Kepala Seksi Umum, Kepala
Seksi Keuangan dan Mudin,51 yang sebelumnya hanya Kepala Desa dan Carik.
Masyarakat translok aktif dalam berbagai kepanitiaan dan organisasi desa
seperti PKK dan karang taruna. Dalam lembaga PKK yang bernama “Eka Bakti
Wonorejo” Ibu-ibu translok aktif dalam kegiatan pemberdayaan perempuan,
pemenuhan gizi balita dalam Posyandu (pos pelayanan
terpadu), hingga
menyusun administrasi pemerintahan desa. Sehingga pada tahun 2006 desa
50
Wawancara dengan Hasto Sugiarto tanggal 28 Mei 2012.
commit to user
51
Instrumen Pendataan Profil Desa / Kelurahan, op.cit., hal 28.
perpustakaan.uns.ac.id
55
digilib.uns.ac.id
Wonorejo juara 3 tata administarasi pemerintahan desa dan PKK tingkat Provinsi
Jawa Timur.52
Para purnawirawan juga membantu masyarakat Desa Wonorejo untuk
membentuk lembaga-lembaga keuangan yang membantu warga seperti KUD yang
bernama KUD Wonorejo, Koprasi Nelayan bernama koprasi MINA Selat Bali.
Koprasi ini berfungsi sebagai penampung berbagai hasil pertanian dan perikanan
untuk kemudian dijual dan hasilnya akan disalurkan kembali kepada masyarakat
lewat SHU (sisa hasil usaha).53
Masyarakat Translok juga membawa perubahan dalam kebudayaan desa.
Mereka meperkenalkan berbagai kebudayaan yang dibawa para purnawirawan
dari desa-desa asal mereka seperti bersih desa, dan tatacara pernikahan.
Umumnya masyarakat Wonorejo khususnya dusun Pandean memakai adat dari
suku Madura, seperti contohnya adat pernikahan yang memakai hijab atau
pembatas antara perempuan dan laki-laki, dan bahasa pengantarnya menggunakan
bahasa madura atau arab sehingga banyak orang (tamu) yang bukan berasal dari
suku Madura tidak mengerti. Setelah ada pemukiman translok, masyarakat
translok yang pada umumnya berasal dari Jawa memakai adat perkawinan dari
Jawa, sehingga lambat laun masyarakat Dusun Pandean meniru tata cara
pernikahan Jawa dan merubah proses pernikahannya, selain itu bahasa yang
digunakan juga lebih ke bahasa Jawa atau Indonesia.54 Masyarakat desa Wonorejo
52
53
Wawancara dengan Hasto Sugiarto tanggal 28 Mei 2012.
Wawancara dengan Suwarno tanggal 28 Juni 2012.
commit to user
54
Wawancara dengan Suwarno tanggal 28 Juni 2012.
56
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
juga memperkenalkan upacara adat bersih desa. Upacara bersih desa merupakan
rasa syukur masyarakat desa Wonorejo terhadap hasil alam yang melimpah dan
diberikannya keberkahan dari Tuhan. Biasanya dilakukan setahun sekali pada
tanggal 1Muharam (tahun baru pada Penanggalan Islam) dengan acara pawai
kesenian seperti Reog Ponorogo, Tari Tayub dan lain-lain.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
PROSES SENGKETA LAHAN
PEMUKIMAN TRANSMIGRASI LOKAL TNI AD KODAM
V/BRAWIJAYA
TAHUN 1976-1987
A. Kondisi lahan Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam
V/Brawijaya Setelah Penempatan
Berdasarkan Surat Keputusan Panglima Daerah Militer V Brawijaya
nomor SKIP/76-3/VI/1975 tanggal 30 Juni 1976, areal tanah di Desa Wonorejo
telah resmi menjadi pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam
V/Brawijaya. Kondisi fisik lahan pemukiman translok setelah penempatan pada
tanggal 28 Desember 1977 sampai tahun 1987, tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Purnawirawan TNI AD yang ditempatkan sudah memperoleh jatah
rumah, sawah dan lahan kering dengan luas yang sama. Rumah yang diberikan
semuanya berbentuk sama, dengan bentuk semi permanen berdinding bambu dan
beratap genteng.
Areal tanah yang diberikan sudah terpetak-petakan dan diberi nomor baik
nomor rumah maupun nomor tegal dan sawah.1 Penomoran areal tanah translok
tersebut berdasarkan peta bidang yang dikeluarkan Bupati Tinggkat II Situbondo
Kepala Sub Direktorat Agraria tahun 1978 berdasarkan undian yang dilakukan
Kodim Situbondo, pembagian lahan tersebut tidak berdasarkan pangkat atau
golongan selama berdinas. Kodim Situbondo merupakan instansi yang ditunjuk
1
Arsip Lampiran Surat Perintah Pangdam VIII, Pada Tanggal 18
commit
to user
Oktober1977, Tentang Pemindahan
Purnawirawan
Pada Proyek Pemukiman
Translok. (Koleksi Pribadi Hermanus).
57
perpustakaan.uns.ac.id
58
digilib.uns.ac.id
langsung oleh Kodam V/Brawijaya sebagai penangungjawab proyek Transmigrasi
Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya.
Para anggota purnawirawan TNI Angkatan Darat yang telah ditempatkan
mulai melakukan aktifitas barunya yaitu bertani. Dalam menggarap lahan
pertaniannya para purnawirawan ini sudah terorganisir dengan baik. Hal itu
terlihat dengan dibentuknya kapoktan (kelompok petani), fungsi dari kapoktan
tersebut sebagai lembaga penampung hasil pertanian dan juga lembaga yang
membantu petani dalam penyediaan bahan tanam seperti bibit dan pupuk. Di
dalam kapoktan terdapat kaproyek (kepala proyek) dan wakaproyek (wakil kepala
proyek). Kaproyek dijabat oleh Kapten Koestedjo anggota TNI AD yang pada
saat itu masih aktif berdinas di Kodim Situbondo tetapi tetap mendapatkan jatah
tanah di translok dan wakaproyek dijabat oleh Kapten H.CH.Arief anggota
Kodam V/Brawijaya yang telah purna tugas dan sudah menetap di pemukiman
translok.2 Fungsi dari kaproyek dan wakaproyek sebagai fasilitator bagi para
petani di lingkungan translok. Mereka berperan sebagai penghubung mengenai
pemenuhan kebutuhan akan bercocock tanam dan pengaturan akan musim tanam
dan penggunaan air. Kapoktan ini nantinya merupakan cikal bakal hadirnya KUD
dan Koprasi nelayan MINA Selat Bali.
Lahan translok yang seluas 57 Ha ternyata tidak seluruhnya diperuntukan
untuk rumah dan lahan pertanian tetapi sebagian dipergunakan untuk jalan, rumah
ibadah, lapangan olahraga seluas 6 Ha. Selain itu, sebagian lahan translok juga
dipinjam Kodim Situbondo. Besarnya lahan yang dipinjam Kodim Situbondo
2
commit to user
Wawancara dengan Hasto Sugiarto, 28 Mei 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
59
digilib.uns.ac.id
sebesar 4,75 Ha. Lahan tersebut kemudian dikelola langsung oleh Kodim
Situbondo dengan ditanami tanaman palawija dengan memberi upah harian
kepada petani penggarap di sekitar Desa Wonorejo. Hasil dari lahan ini digunakan
Kodim Situbondo sebagai kas yang kemudian disalurkan kepada Primkopad.
Alasan dari masyarakat translok untuk meminjamkan sebagian tanah translok
adalah sebagai kompensasi atas berhasilnya Kodim Situbondo melancarkan proses
penempatan translok. Jangka waktu yang diberikan masyarakat translok kepada
Kodim Situbondo untuk meminjam sebagian lahan mereka selama 2 tahun dari
tahun 1978-1980.3
Pada tahun 1980 berdiri Taman Nasional Baluran berdasarkan kongres
Taman Nasional sedunia pada tanggal 6 Maret 1980. Pembentukan Taman
Nasional Baluran membawa pengaruh yang besar terhadap status tanah Translok
TNI AD Kodam V/Brawijaya sebab UU Konservasi mengatakan bahwa Taman
Nasional harus kosong dari hunian manusia. Tanah yang dijadikan lokasi translok
seluas 57 Ha diklaim menjadi bagian dari Taman Nasional Baluran. Sejak
pendirian dari taman nasional tersebut sosial masyarakat translok pun mengalami
perubahan
Kondisi pemukiman translok setelah pendirian Taman Nasional Baluran
tidak mengalami perubahan berarti. Para purnawirawan TNI AD yang telah
berprofesi sebagai petani, masih menggarap lahan sawah dan ladang mereka. Para
purnawirawan tersebut mengupayakan sarana pertanian mereka sendiri seperti
pengadaan pupuk dan bibit tanpa mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah
3
commit to user
Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
60
digilib.uns.ac.id
terlebih Desa Wonorejo. Bahkan masyarakat traslok tidak mendapatkan sarana
irigasi untuk mengairi lahan persawahan mereka. Masyarakat translok
mengupayakan dengan membangun sumur-sumur bor. Baru pada tahun 2006
program irigasi tersebut bisa direalisasikan di translok tetapi aliran airnya tidak
sampai ke pemukiman translok hanya bisa digunakan di gunakan sewaktu hujan.
Alasan dari aparat pemerintahan daerah dan Desa Wonorejo tidak memberikan
bantuan karena tanah tersebut masih bersengketa.4
Bentuk rumah di lingkungan translok pun banyak mengalami perubahan.
Hal tersebut karena meningkatnya kesejahteraan masyarakat translok, penghasilan
masyarakat translok yang tidak hanya dari bercocok tanam tetapi juga dari
tabungan pensiun yang diperoleh para purnawirawan tersebut. Bentuk rumah yang
tadinya berdinding gedek dan tak berteras telah berubah menjadi dinding batu bata
yang disemen dan telah ada penambahan teras rumah, walaupun masih ada yang
mempertahankan bentuk asli rumah translok yang diberi Kodam V Brawijaya
karena perbedaan tingkat ekonomi.5
Berdasarkan hasil pendataan bulan Juni tahun 1995 pemukiman Translok
TNI AD Kodam V/Brawijaya seluas 57 Ha terjadi penambahan jumlah KK yang
tentu saja penambahan jumlah rumah yang tadinya 65 KK menjadi 68 KK. Setiap
kepala keluarga yang baru masuk tersebut juga mendapatkan jatah tanah yang
146.
4
Wawancara dengan Suwarno, pada tanggal 28 Juni 2012.
5
commit
to user
Lihat Lampiran XIV, Bentuk
Rumah
Masyarakat Translok. Halaman
61
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sama yaitu 0,75 Ha. Penambahan 3 KK tersebut berasal dari kesatuan yang sama
yaitu Kodim Situbondo.6
Pada tahun 1990 an tanah translok seluas 6 Ha yang dari awal diperuntukan
untuk fasilitas umum mulai di fungsikan. Dengan dana dari swadaya masyarakat
translok mendirikan dua bangunan ibadah antara lain Mesjid di Translok Barat
dan Mushola di Translok Timur. Dibangun pula Makam Bahagia, Makam
Bahagia
merupakan
pemakaman
yang khusus
diperuntukan
bagi
para
purnawirawan pejuang angkatan 45. Setiap tanggal 17 Agustus masyarakat
translok beserta warga Desa Wonorejo melakukan upacara mengheningkan cipta
di Makam Bahagia untuk mengenang jasa para pahlawan.7
Sekitar tahun 2006 an jumlah masyarakat translok mulai berkurang.
Diketahui jumlah KK pada tahun 2006 berjumlah sekitar 45 KK dari total 68 KK
dan pada tahun-tahun berikutnya terus mengalami pengurangan. Pengurangan
jumlah penduduk pemukiman translok karena para Purnawirawan sebagian sudah
ada yang meninggal dan dimakamkan di taman makam pahlawan Makam
Bahagia. Sebagian yang telah sangat tua terpaksa pindah karena tidak ada yang
merawat mereka, sebab keturunannya pun tidak menetap di sana dan sangat jauh
dari fasilitas tempat kesehatan, untuk itu para Purnawirawan tersebut di bawa ke
rumah anaknya yang berada di luar kota. Rumah-rumah yang telah ditinggalkan
sebagian tetap ditempati sanak saudara ataupun hanya menyuruh masyarakat
6
Arsip Risalah Penggunaan sebagian Kawasan Suaka Margasatwa Taman
Nasional Baluran Sebagai Lokasi Proyek Pemukiman (Transmigrasi Lokal) TNI
Angkatan Darat. Hal. 1 (Sumber Koleksi arsip Taman Nasional Baluran).
commit to user
7
Wawancara dengan Sutopo, pada tanggal 28 Juni 2011.
62
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sekitar untuk merawatnya. Lahan persawahan dan ladang yang ditinggalkannya
pun disewakan oleh keturunanya kepada masyarakat Desa Wonorejo yang tidak
mempuyai lahan pertanian, dengan sistem bagi hasil. Nantinya keturunannya
tersebut secara rutin setiap 1 bulan sekali atau pada saat acara-acara penting
seperti peringatan hari jadi pemukiman translok 28 Oktober selalu datang untuk
mengecek rumah dan lahan pertanian mereka serta menyambung jalinan
silahturahmi antar warga translok.8
B. Sengketa Tanah Pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya
antara Taman Nasional Baluran dan Masyarakat Translok Tahun
1976-1987
Setelah terbentuk menjadi Taman Nasional Baluran pada tanggal 6 Maret
1980, maka terjadi Perubahan tata kelola Hutan Baluran dari Suaka Margasatwa
menjadi Taman Nasional Balauran. Setelah meresmikan diri, Taman Nasional
Baluran beralih pada pengelolaan Instansi yang ada di atasnya, yang sebelumnya
di tangani oleh Dinas Kehutanan Kabupaten tingkat II dan pada tahun 1984
berganti di bawah Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal
Perlindungan
Hutan dan Pelestarian Alam dengan menunjuk Balai Taman Nasional Baluran
sebagai UPT (Unit Pelaksanaan Teknis) yang langsung mengelola Taman
Nasional Baluran. Balai Taman Nasional Baluran merubah segala tata kelola yang
tadinya merupakan hutan produktif di ubah menjadi hutan konservasi.
8
commit to user
Wawancara dengan Hasto Sugiarto, pada tanggal 28 Mei 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
63
digilib.uns.ac.id
Kehadiran Taman Nasional Baluran membawa dampak terhadap status
tanah pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/ Brawijaya di Desa
Wonorejo. Taman Nasional Baluran menganggap bahwa tanah seluas 57 Ha yang
telah ditempati para purnawirawan sejak 1976, diklaim oleh Taman Nasional
Baluran menjadi bagian dari kawasan konservasi. Sebenarnya klaim awal dari
Taman Nasional Baluran adalah tanah translok seluas 35 Ha,9 namun karena
alasan wilayah konservasi maka seluruh wilayah pemukiman Translok TNI AD
Kodam V/Brawijaya seluas 57 Ha masuk ke dalam wilayah Taman Nasional
Baluran. Sebagai suatu kawasan konservasi tentu saja Taman Nasional Baluran
menjaga pelestarian ekosistem yang ada di dalamnya dan membatasi segala
aktifitas manusia terlebih membangun suatu perkampungan.
Dasar hukum Taman Nasional Baluran menetapkan kawasan Translok TNI
AD Kodam V/Brawijaya menjadi kawasan konservasi adalah menurut:
1.
Proses Verbal tata batas suppletoir tanggal 24 Juni 1940 yang disahkan pada
tahun 1941.
2.
Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 15 Mei 1962. Nomor
Sk/11/1962, tentang penunjukan Labuhan Merak sebagai Suaka Margasatwa
Baluran
9
Arsip Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan Kabupaten
Situbondo, Permasalahan Tanah Yang Berkembang (strategis) di Kabupaten
commitHermanus).
to user
Situbondo, 1991, hal.1.(Koleksi Pribadi
perpustakaan.uns.ac.id
3.
64
digilib.uns.ac.id
Peta lampiran Berita Acara tata batas Suaka Margasatwa Baluran tanggal 27
Mei 1980.10
Permasalahan sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD
Kodam V/Brawijaya sebenarnya telah tercium sejak awal mula penempatan para
purnawirawan di pemukiman Translok. Pada awalnya sebelum Taman Nasional
Baluran berdiri, Suaka Margasatwa Baluran telah mengajukan penolakan terhadap
pemukiman translok di Desa Wonorejo dan dilaksanakan pada saat proses
penempatan para purnawiran tahun 1976. Hal itu berdasarkan Surat Kepala Seksi
Perlindungan Dan Pengawetan Alam Jawa Timur Di Banyuwangi tanggal 23
Agustus 1976 Nomor : 736/IV/3/SPPA Jt 11, telah mengajukan keberatannya
terhadap rencana translok AD dan mengharap supaya proyek translok di gagalkan
dengan alasan tanah tersebut termasuk Kawasan Suaka Margasatwa Baluran. 11
Bila dirunut dari sejarah pembentukannya, Taman Nasional Baluran
merupakan perubahan dari Suaka Margasatwa yang terbentuk dari penggabungan
beberapa wilayah yang ada di sekitar hutan Baluran. Proses pristiwa pembentukan
dapat terlihat pada tabel 3 sebagai berikut :
10
Arsip
Risalah
Penggunaan
Sebagian
Kawasan
Suaka
Margasatwa/Taman Nasional Baluran Sebagai Lokasi Proyek Pemukiman
(Transmigrasi Lokal) Tni AD, 2002, hal 1. (Arsip koleksi Balai Taman Nasional
Baluran).
commit
to user (kantor pertanahan Kabupaten
Arsip Badan Pertanahan
Nasional
Situbondo)., op.cit.,hal. 2.
11
65
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4
Data Perkebangan Status Kawasan Taman Nasional Baluran
No
Tahun
Lokasi
Luas
1
1930
Baluran
25.000
Ha
2
1937
555.1 Ha
3
1937
Tanah Negara Sumber
Anyar, Tanah Gunung
Mesigit, Tanah Negara
Rawa Mesigit,
Baluran
4
1940
5
1962
6
1975
7
1975
8
1980
Bitakol, Labuhan Merak,
C.O.B I,II,III, TN
Perengan
Tanah Konsesi Labuhan
Merak
Kawasan Labuhan Merak,
gunung Mesigit
Kawasan Hutan di daerah
Pandean didirikan
prokimad/translok TNI
AD
Kawasan konsesi HGU
PT Gunung Gumitir
25.000
Ha
Bentuk
Penetapan
Ditetapkan
sebagai hutan
lindung
Masuk sebagai
Hutan Lindung
Penetapan
Ditetapkan
sebagai Suaka
Margasatwa
Ditetapkan
sebagai Suaka
Margasatwa
Statbalad 1937 No.
554 Tanggal 25-61937
Di jadikan
tanah HGU PT
Gunung
Gumitir selama
25 tahun
SK Mendagri No
SK/16/RGD/DA/75
293,6 Ha
233 Ha
130 Ha
57 Ha
363 Ha
Diperpendek
Jangka
Waktunya
menjadi 15
tahun (1985)
9
1980
Baluran
25.000
Diumumkan
Pengumuman
Ha
menjadi Taman Menteri Pertanian
Nasional
Baluran pada
tanggal 6 Maret
1980
Sumber : Rencana Pengelolaan Taman Nasional Baluran Buku II Tahun 1995-2020, hal.
29-30. (Koleksi Perpustakaan Balai Taman Nasional Baluran)
Berdasarkan tabel di atas terlihat rentetan pristiwa pembentukan Taman
commit to user
Nasional Baluran yang dimulai pada tahun 1937 yang berstatus hutan lindung.
perpustakaan.uns.ac.id
66
digilib.uns.ac.id
Pada tabel tersebut juga di jelaskan bahwa kawasan pemukiman Translok TNI AD
Kodam V/Brawijaya masuk ke dalam wilayah Suaka Margasatwa Baluran tahun
1975.12
Dasar hukum yang yang dijabarkan Taman Nasional Baluran sebagai dasar
legitimasi kawasan pemukiman translok sebagai bagian dari wilayah Taman
Nasional tidak bisa diterima masyarakat translok. Untuk itu, masyarakat translok
mencoba untuk segera memperoleh hak milik atas tanah pemukiman Translok
TNI AD Kodam V/Brawijaya di Desa Wonorejo, kecamatan Banyuputih,
Kabupaten Situbondo yang berupa bukti sertifikat tanah. Lazimnya untuk
mendapatkan bukti hak milik atas tanah (sertifikat) masyarakat translok harus
menjalani berbagai rangkaian proses pembuatan sertifikat, proses tersebut
diantaranya :
1.
Mengajukan permohonan
2.
Pemeriksaan tanah
3.
Pengeluaran “Surat Keputusan Pemberian Hak Milik
4.
Memberi Batas Tanah
5.
Membayar “Uang Pemasukan”
6.
Mendaftarkan Hak
7.
Membuat Surat Ukur
8.
Membuat Buku Tanah
9.
Menyerahkan Sertifikat
12
commit to user
Lihat gambar 1, halaman 30, Peta Taman Nasional Baluran.
perpustakaan.uns.ac.id
67
digilib.uns.ac.id
Proses pemberian Hak Milik dan hak-hak yang lain, terdapat aturannya dalam dua
peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) yaitu:
1.
PMDN no.3 tahun 1973 tenatang: Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata-cara
Pemberian Hak Atas Tanah;
2.
PMDN no.1 tahun 1977 berjudul : Tata-cara Permohonan dan Penyelesaian
Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaannya serta
Pendaftarannya.13
Secara diam-diam tanpa diketahui Balai Taman Nasional Baluran,
masyarakat translok mencoba untuk melengkapi berkas-berkas dan syarat untuk
dapat mengajukan permohonan hak milik (sertifikat) atas tanah yang mereka
tempati. Seperti contohnya, masyarakat translok mencoba untuk memberikan
batas-batas akan luas tanah pekerangan dan juga sawah mereka sesuai dengan
jatah penempatan tiap-tiap kk. Untuk batas rumah serta pekarangan, masyarakat
translok memberikannya pagar kayu yang bentuknya semi permanen, sedangkan
untuk lahan sawah dan ladang masyarakat translok memberikan batas berupa
gundukan tanah seeprti sawah pada umumnya.14
Permasalahan sengketa tanah ini mulai muncul kepermukaan pada tahun
1978 ketika masyarakat translok mulai mempertayakan haknya atas status tanah
yang mereka tempati sejak 1976. Pada tahun tersebut masyarakat translok
mencoba mengajukan permohonan sertifikat tanah ke kantor Bupati Situbondo
Sub Direktorat Jenderal Agraria (sekarang kantor pertanahan). Permohonan ini
13
Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia,(Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 1994), hal,.244.
commit to user
14
Wawancara dengan Sutopo, Tanggal 28 Juli 2011.
68
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilakukan oleh Ny Marsiah mewakili seluruh masyarakat pemukiman translok,
dengan membawa berkas pengajuan hak milik untuk masing-masing luas tanah di
pemukiman translok antara lain untuk : tanah pertanian/sawah seluas 98,500 m2,
tanah pertanian/sawah seluas 324,000 m2, dan perumahan seluas 65, 000 m2.15
Namun, permohonan Ny Marsiah dkk ditolak karena tanah tersebut milik dari
Kehutanan Tingkat II Kabupaten Situbondo.
Sebenarnya sebelum
penempatan segala fasilitas dan administrasi
kepindahan termasuk sertifikat tanah dijanjikan akan diurus oleh Kodam V
Brawijaya artinya para purnawirawan hanya tinggal menempatinya. Dalam waktu
6 bulan setelah penempatan bukti tanah (sertifikat) tersebut akan segera di
berikan. Namun pada kenyataannya hingga tahun 1978 sertifikat tanah belum juga
diberikan oleh Sub Direktorat Agraria kabupaten Situbondo.16
Sesuai UUPA dan P.P. No. 10/1961, maka pendaftaran tanah untuk bisa di
sertifikat/hak milik menganut azas :
1.
Openbaarheid (azas ke-umum-an atau keterbukaan). Maksudnya ialah agar
diketahui umum dan bebas dapat dilihat umum, mengetahui status, keadaan
hukum, letak, luas, batas-batas, pemegang hak, peralihan hak, serta
pembebanan hak dan sebagainya.
2.
Spesialitet (azas kekhususan). Meliputi pengukuran (surat ukur), pemetaan
(peta tanah), pembukuan hak (buku tanah/sertifikat) dan segi-segi teknis
lainnya. Tujuannya agar kepastian hukum hak atas tanah dapat terjamin.
15
Arsip Badan Pertanahan Nasional (kantor pertanahan Kabupaten
Situbondo)., op.cit., hal. 1.
commit to user
16
Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
3.
69
digilib.uns.ac.id
Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang menurut pasal 19 ayat 2 berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat (setifikat).17
Masyarakat translok merasa telah memiliki syarat-syarat administrasi
pendaftaran tanah dan telah diajukan. Dasar dari masyarakat translok untuk
mempertahankan hak tanahnya di translok adalah bahwa mereka telah mempunyai
peta bidang mengenai luas areal tanah translok seluas 57 Ha yang dikeluarkan
Kantor Bupati Tk II Situbondo Sub Direktorat Agraria. Dalam peta bidang yang
dikeluarkan kantor Direktorat Agraria tahun 1978 untuk Desa Wonorejo terlihat
bahwa wilayah pemukiman translok masuk kedalam Desa Wonorejo. Selain itu,
Penempatan mereka berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan oleh Pangdam
V/Brawijaya pada tanggal 30 Juni 1976 dan juga surat perintah penetapan tanggal
18 Oktober 1977. Dengan dasar penempatan yang telah diketahui oleh Bupati Tk
II Kabupaten Situbondo, Kantor Sub Direktorat Agraria, dan atas persetujuan
Menteri Dalam Negeri dengan nomor surat Btu. 2/395/2-76.
Dasar lainnya bagi masyarakat translok untuk tetap bermukim di wilayah
translok ialah, bahwa sebelum penempatan tanah tersebut merupakan tanah negara
yang berstatus bebas dan lokasi pemukiman ini sudah berbentuk ladang dan
persawahan yang digarap oleh masyarakat sekitar Desa Wonorejo atas persetujuan
dari oknum PPA, artinya sudah tidak berbentuk hutan lagi. Masyarakat translok
menganggap bahwa mereka bukan perambah hutan dan tidak dikatakan pemukim
liar.
commit toTanah
user Dalam Pembangunan, (Jakarta :
Jhon Salindeho, 1987, Masalah
Sinar Grafika , 1987), hal. 173.
17
70
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari segi peruntukannya Menteri Kehutanan dapat menetapkan kawasan
hutan yakni :
1.
Wilayah ”yang berhutan” yang perlu dipertahankan “sebagai hutan tetap”.
2.
Wilayah
”tidak
berhutan”
yang
perlu
“dihutankan
kembali”
dan
dipertahankan sebagai hutan tetap.
Hutan yang berada ”di dalam” kawasan hutan adalah “hutan tetap” dan
hutan yang berada “di luarnya” yang peruntukannya belum ditetapkan adalah
“hutan cadangan”. Sedangkan hutan yang ada “di luar” kawasan hutan dan bukan
cadangan, adalah “hutan lainnya”. Maka pengertiannya adalah bahwa suatu
areal/kawasan hutan tidak selamanya ada hutan diatasnya, yang dimaksudkan
dengan pohon-pohon atau lazimnya disebut tegakan dan atau nabati lainnya.18
Jelas bahwa kawasan translok berada di luar kawasan hutan sejak berakhirnya
kontrak perkebunan kapuk Bajulmati, areal translok sejak dulu merupakan areal
pertanian dan merepakan tegakan yang hanya terdiri dari tanaman jati.
Permasalahan sengketa tanah pemukiman translok terus berkelanjutan
bahkan semakin besar. Perang “urat saraf” antara masyarakat translok dan Balai
Taman Nasional Baluran tidak dapat dihindarkan. Setelah peresmian pada tahun
1980, pada tahun 1982 Balai Taman Nasional Baluran mulai menentukan batasbatas wilayahnya. Penentuan batas-batas wilayah tersebut berdasarkan pemetaan
yang dilakuakan oleh dinas Kehutanan Tk II Kabupaten Situbondo, yang ditandai
dengan adanya patok-patok/tugu batas. Pemasangan patok batas yang dilakukan
Balai Taman Nasional Baluran tersebut tidak sesuai prosedur yang berlaku.
18
commit to user
Ibid., hal. 214.
71
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Alasannya karena pada saat pemasangan patok tidak dilibatkan instansi yang
berwenang masalah pertanahan seperti kantor Sub Agraria Kabupaten Situbondo
ataupun aparatur Desa Wonorejo selaku pemangku wilayah Desa Wonorejo.19
Hal tersebut dikarenakan pada masa Pemerintahan Orde Baru pendekatan
pengelolaan sumberdaya hutan lebih cenderung pada Manajeman Hutan Berbasis
Negara (State Base Forest Management/SBFM). Pada era itu pengelolaan sumber
daya hutan bersifat sentralistik, berbagai kebijakan diputuskan oleh pemerintah
pusat dan pemerintah daerah sebagai representasi pemerintah pusat tinggal
melaksanakan
juklak-juklak
yang
telah
disusun
tanpa
harus
menginterpretasikannya lebih lanjut. Dinas-dinas kehutanan yang ada ditingkat
lokal seperti tingkat II Kabupaten hanya sebagai pelaksana kebijakan pemerintah
pusat.20
Akibat
dari
pemasang
patok
batas
tersebut
menimbulkan
reaksi
ketidakpuasan dari masyarakat translok. Masyarakat translok menayakan hal ini
langsung kepada Balai Taman Nasional Baluran, namun pertemuan ini tidak
menemui jalan terang. Alasan dari Balai Taman Nasional Baluran ialah mereka
hanya menjalankan perintah pusat (Departemen Kehutanan). Akibat belum
terjawabnya masalah ini, menimbulkan reaksi keras dari masyarakat translok.
19
20
Wawancara denagan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012.
San Afri Awang, 2003, Politik Kehutanan Masyarakat, Yogyakarta:
commit to user
Kreasi Wacana Yogyakarta, hal.174.
72
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Masyarakat translok mulai bersikap anarkis dengan menghancurkan secara diamdiam patok-patok batas yang ada.21
Belum dikeluarkannya sertifikat tanah kawasan pemukiman translok
membuat masyarakat translok hidup dengan ketidakpastian mengenai status
hunian mereka. Oleh karna itu, pada tahun 1982 perwakilan masyarakat translok
kembali menanyakan mengenai kejelasan sertifikat tanah pada Gubernut Tk I
Jawa Timur U.p Kepala Direktorat Agraria. Perwakilan masyarakat translok
kembali membawa berkas-berkas pengajuan pendaftaran tanah yang disertai surat
pengantar dari Bupati Situbondo yang berisikan keterangan mengenai status tanah
translok. Namun hasil yang didapat masih sama saja berkas pengajuan tersebut
hanya menumpuk dan tidak terselesaikan.22 Alasan dari Kepala Direktorat Agraria
bahwa tanah pemukiman translok masih milik dinas kehutanan Tk II Kabupaten
Situbondo. Masyarakat translok menayakan alasan dari Dinas Kehutanan Tk II
Situbondo tetapi dinas kehutanan tingkat daerah tidak bisa memutuskan lebih
lanjut karena terganjal kebijakan pusat.
C. Usaha Pemerintah dan Militer Dalam Menyelesaikan Sengketa Tanah
Tahun 1976-1987
Sengketa pertanahan menjadi persoalan yang harus segera dicarikan solusi,
penundaan penyelesaian akan berakibat pada lemahnya proses penegakan hukum
dan kondisi sosial yang semakin tidak menentu. Sengketa tanah kehutanan adalah
21
Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012.
commit to user
22
Wawancara dengan Hasto Sugiarto, pada tanggal 28 Mei 2012.
73
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konflik yang melibatkan dua pihak yang saling mengklaim atas tanah antara
pemangku hak atas hutan dalam kasus ini Taman Nasional Baluran dan
masyarakat sekitar hutan. Berbagai sengketa pertanahan khususnya masalah
sengketa kehutanan dasebabkan oleh sejumlah ketimpangan dan ketidakselarasan.
Ketimpangan itu antara lain struktur kepemilikan tanah, ketimpangan dalam
penggunaan tanah, dan ketimpangan dalam persepsi serta konsepsi mengenai
kepemilikan tanah. Kasus yang dominan muncul di Indonesia ialah mengenai
penentuan Batas Hutan yang bersinggungan dengan pemukiman masyarakat
sekitar hutan.
Proses penyelesaian sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal TNI
AD Kodam V/Brawijaya melibatkan berbagai instansi pemerintah baik tingkat
pusat maupun daerah. Hal ini dikarenakan proyek pemukiman Transmigrasi Lokal
TNI AD Kodam V/Brawijaya merupakan program Pemerintah Orde Baru yang
melibatkan berbagai instansi dan bukan kehendak langsung dari masyarakat
translok.
Pemerintah khususnya pemerintah daerah baik Tk I dan II Dalam
menangani kasus sengketa lahan antara masyarakat translok dan Taman Nasional
Baluran sebenarnya telah bertindak cepat terlebih Kodam V Brawijaya selaku
penggagas dan yang menjalankan proyek translok TNI AD tentu saja
bertanggungjawab terhadap permasalahan masyarakat translok. Langkah-langkah
yang diambil Kodam V Brawijaya dan pemerintah daerah hanya sebatas mediator
dengan instansi-instansi Pemerintah pusat terkait dengan permasalahan ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
74
digilib.uns.ac.id
Pada tahun 1977 Kodam V Brawijaya lewat Ka Lurjadam (Kepala Penyalur
dan Penyedia Lapangan Kerja Kodam V Brawijaya) mensurati Dirjen Kehutanan
di Jakarta. Surat tersebut berisikan penjelasan menegenai status tanah Translok
TNI AD Kodam V/Brawijaya. Dijelaskan bahwa lokasi translok yang terletak di
Desa Wonorejo, merupakan kelanjutan Desa Wonorejo yang berstatus tanah
negara bebas dan telah dihuni sejak tahun 1950 seluas 205 Ha dan lokasi
pemukiman Wonorejo masih jauh dari hutan Suaka Margasatwa Baluran, berjarak
± 6 km. Dijelaskan pula menurut Kodam V Brawijaya bahwa Surat Keputusan
Menteri Pertanian dan Agraria No SK/11/1962 tanggal 16 Mei 1962 yang
menetapkan Labuhan Merak sebagai bagian dari wilayah Suaka Margasatwa
ditambah dengan COB I dan II maka lokasi pemukiman Translok TNI AD Kodam
V/Brawijaya di Desa Wonorejo masih berada sejauh 2 km dari batas hutan Suaka
Margasatwa dengan demikian jelas bahwa pemukiman Translok TNI AD berada
jauh di luar Suaka Margasatwa Baluran.23
Namun tindakan yang dilakukan
Kodam V Brawijaya belum membuahkan hasil dan surat itu tidak ada balasannya
dari Departemen Kehutanan.
Belum ditanggapinya surat yang pertama pada tahun 1977, pada tahun 1985
Kodam V Brawijaya kembali mengirimkan surat kepada Gubernur Jawa Timur.
Surat tersebut juga menerangkan perihal status tanah translok dan dampaknya
bagi masyarakat translok dan mohon diselesaikan oleh Gubernur dalam waktu
yang singkat. Selain itu, diusulkan kepada Gubernur Jawa Timur agar membentuk
23
Arsip Departemen Pertahanan Keamanan Mabes TNI AD, dengan
nomor surat K/1.41/V/1977, Pada Tanggal 12 Mei 1977, Tentang Pemukiman
user
Kodam VIII/Brawijaya di Luar commit
Suaka toMargasatwa
Baluran, hal. 2. (koleksi
Pribadi Hermanus).
perpustakaan.uns.ac.id
75
digilib.uns.ac.id
team pengkaji permasalahan translok yang terdiri dari unsur-unsur Staf Gubernur
dan dinas jawatan yang ada kaitannya dengan masalah sengketa tanah serta
mengikutsertakan Kodam V Brawijaya sebagai penanggung jawab proyek
translok. Unsur-unsur dari Kodam V Brawijaya antara lain, Ka Kodam V
Brawijaya, Ka Lurjadam V Brawijaya, Dan Dim 0823 Situbondo.24
Usulan tersebut ternyata ditanggapi positif oleh Gubernur Jawa Timur.
Gubernur menjanjikan akan segera membentuk tim peneliti dan penyelesaian
status tanah proyek pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya dan juga
akan segera melakukan rapat dengan Bupati Situbondo yang juga ditunjuk sebagai
tim tersebut. Langkah berikutnya yang diambil Bupati Situbondo dalam
mensikapi permasalahan ini ialah mengadakan rapat guna mencari titik temu
permasalahan ini. Rapat tersebut dihadiri oleh Wakil Inspektorat Wilayah, Biro
Bina Pemerintahan, Biro Bina kependudukan dan Lingkungan Hidup pada kantor
Gubernur Kepala Daerah Tk I Jawa Timur, Kalurjadam V/Brawijaya, Pangdam
V/Brawijaya, DanDim 0823 Situbondo, Kepala Kantor Agraria Kab Situbondo,
Sekwilda Kabupaten Situbondo, dan Kepala Sub Balai Perlindungan Hutan dan
Pengawetan Alam Banyuwangi. Namun rapat tersebut belum menghasilkan apaapa, dikarnakan penyelesaian tanah untuk translok AD di Desa Wonorejo di tunda
hingga selesainya pemilihan umum tahun 1987 yang akan datang.25
24
Arsip Surat Kodam V Brawijaya kepada Gubernur Jawa Timur, pada
tanggal 13 April 1985, Perihal Masalah Tanah Prokimad Wonorejo Kec
Banyuputih, Kab Situbondo. Koleksi Pribadi Hermanus).
25
Arsip Surat Bupati Situbondo kepada Perwira ProyekTranslok TNI AD,
Pada tanggal 7 Januari 1986, Perihal Permohonan Hak Milik Atas Tanah Negara,
commit
to userAngkatan Darat, hal 1. (Koleksi
Di Desa Wonorejo, Untuk Lokasi
Translok
Pribadi Hermanus).
76
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Akhirnya pada tanggal 22 November 1987, pembahasan mengenai rapat
yang tertunda akibat pemilu kembali dilanjutkan. Pada rapat lanjutan ini, instansi
yang menghadiri rapat bebeda dengan yang sebelumnya. Rapat lanjutan tersebut
dihadiri oleh: Ketua Bappeda Tingkat II Kabupaten Situbondo, Kasdim 0823
Situbondo, Kepala Kantor Sosial Politik, Kepala Kantor Agraria, Kepala Bagian
Pemerintahan, Kepala Taman Nasional Baluran, Asper Perhutani Asembagus,
Camat Kecamatan Banyuputih, Kepala Desa Sumberanyar, Kepala Desa
Wonorejo.
dalam
rapat
tersebut
dibahas
kemungkinan
adanya
tanah
pengganti/tukar lokasi Prokimad (proyek pemukiman kembali TNI AD) Wonorejo
dengan tanah negara yang terletak di Desa Sumberanyar, Kecamatan Banyuputih
seluas ± 24,7 Ha. Namun masalah tanah negara sebagai penganti tersebut terdapat
perbedaan pendapat antara lain:
1. Menurut data-data yang ada pada Kantor Agraria merupakan tanah negara
bebas.
2. Versi lain menyebutkan bahwa menurut Taman Nasional Baluran sudah
merupakan kawasan Taman Nasional berasal dari kawasan kehutanan konsesi
tahun 1940.
Kemudian mengenai masalah tanah pengganti akan diteliti lebih lanjut baik itu
berasal dari tanah negara yang berada di Kabupaten Situbondo maupun dari tanahtanah lainnya.
Hasil lainnya dari rapat tersebut merumuskan beberapa poin penting sebagai
batu loncatan ke arah penyelesaian kasus sengketa tanah Translok TNI AD
Kodam V/Brawijaya, di antaranya :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
77
digilib.uns.ac.id
1. Semua pihak termasuk Taman Nasional Baluran maupun Perhutani setempat
(wilayah KPH Banyuwangi Utara) menyetujui kelangsungan adanya
Prokimad (Proyek Pemukiman Kembali TNI AD) di Desa Wonorejo,
Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo.
2. Proses penyelesaian penetapan lokasi translok menunggu keputusan pusat
(Mentri Kehutanan), bagi pihak-pihak yang terkait hendaknya mengusulkan
agar keputusan dimaksud dapat segera diterbitkan.
3. Apabila diperlukan penggantian tanah untuk keperluan tukar-menukar,
Pemerintah Daerah Tk II Situbondo selalu mendukung dan mengupayakan
agar tanah pengganti tersebut dapat direalisasikan.
Rapat tersebut juga mengeluarkan rekomendasi untuk Gubernur selaku Kepala
Daerah Tk I Jawa Timur untuk dapat meneruskan penyelesaian kasus ini kepada
Menteri Kehutanan cq. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam agar dapat memberikan persetujuannya terhadap lokasi Translok TNI AD
Kodam V/Brawijaya di Desa Wonorejo, karena dikwatirkan dapat berdampak
yang luas dan semakin lama semakin rumit.26
Setelah rapat tersebut, Kodam V/Brawijaya mengirimkan surat telegram
kepada Kodim Situbondo yang berisi instruksi agar Kodim Situbondo membantu
kelancaran proses penyelesaian status dan sertifikat tanah translok di Desa
Wonorejo dan mengadakan kordinasi lanjutan dengan aparat yang ada kaitannya
26
Arsip Surat Bupati Situbondo kepada Gubernur Jawa Timur Up Asisten
I Sekertaris Wilayah Jawa Timur Selaku ketua tim Peneliti dan Penyelesaian
commit
to user1987, Perihal Penyelesaian Status
Status Tanah Prokimad, tanggal 23
November
dan Sertifikat Tanah Translok TNI AD. (koleksi Pribadi Hermanus).
78
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan permasalahan tersebut.27 Kodam V Brawijaya juga mengistruksikan agar
masyarakat translok menunggu proses penyelesaiaan tanah yang sedang diproses
setidaknya ada penjelasan lebih lanjut dari Gubernur Tk I Jawa Timur. Sebagai
seorang mantan anggota TNI sikap patuh dan taat terhadap perintah atasan masih
tetap terjaga walaupun timbul permasalahan akan status tanah mereka. Status
sebagai seorang pejuang angkatan 45 tidak serta merta membuat hidup mereka
setelah pensiun menjadi nyaman dan tentram, justru malah dihadapkan oleh suatu
permasalahan tanah yang rumit
Penyelesaian
yang berjalah sangat lambat dan terkesan saling melepar
tanggung jawab antar tiap instansi pemerintah dikarnakan pemerintah pusat dan
daerah sangat berhati-hati dalam menyelesaikan kasus ini. Pemerintah daerah
selaku pemangku daerah yang seharusnya dapat dengan mudah menyelesaikan
permasalahan sengketa tanah ini justru menjadi pasif dan hanya sebagai
fasilitator, mereka lebih banyak menyerahkan permasalahan ini kepada
pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan dan Departemen Dalam
Negeri yang berhak menentukan kebijakan. Kasus sengketa ini pun tidak sempat
untuk dipublikasikan, dikarnakan besarnya pengaruh militer diera Orde Baru
turut mempengaruhi arah penyelesaian terhadap kasus sengketa tanah tersebut.
27
Arsip Surat telegram Pangdam V Brawijaya Kepada Dan Rem 083
commitTentang
to user Membantu Proses Penyelesaian
Situbondo, tanggal 22 Oktober 1987,
Masalah Prokimad TNI AD. (Koleksi Pribadi Masyarakat translok).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
PERKEMBANGAN SENGKETA TANAH PEMUKIMAN
TRANSMIGRASI LOKAL TNI AD KODAM V BRAWIJAYA
TAHUN 1988-2006
A. Perkembangan Sengketa Tanah Pemukiman Translok TNI AD
Kodam V/Brawijaya antara Taman Nasional Baluran dan
Masyarakat Translok Tahun 1988-2006
Dalam perkembangannya Taman Nasional Baluran terus memperbarui
pemetaan wilayah konservasi, hal ini dilakukan untuk lebih mempermudah dalam
pengelolaanya Balai Taman Nasional Baluran (BTNB). Pembahuruan wilayah
tersebut sebagai dasar hukum legitimasinya termasuk terhadap kawasan
bersengketa seperti pemukiman translok. Terdapat perubahan peta wilayah yang
dikeluarkan Taman Nasional Baluran antara lain :
1. Peta lampiran Keputusan Menteri Kehutanan nomor : 279/Kpts-VI/1997
tanggal 23 Mei 1997.
2. Peta Hasil Rekontruksi Batas Kawasan Taman Nasional Baluran bulan Juli
1997.
3. Peta lampiran Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan
Konservasi Alam Nomor : 187/Kpts/DJ-VI/1999 tanggal 13 Desember 1999.
Perubahan tata kelola lainnya dapat terlihat dari pembentukan sistem zonasi
pada tanggal 13 Desember 1999 dalam kawasan Baluran. Wilayah Taman
commit to user
79
perpustakaan.uns.ac.id
80
digilib.uns.ac.id
Nasional Baluran yang cukup luas dengan luas 25.000 Ha, untuk itu diperlukan
pembagian-pembagian kawasan menurut jenis dan peruntukannya. Sistem zonasi
tersebut berfungsi sebagai pembeda perlakuaan terhadap kawasan-kawasan
Taman Nasional Baluran. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor : 51/Kpts/DJ-VI/1999 Taman
Nasional Baluran terbagi menjadi 5 kawasan zona antara lain, Zona Inti seluas ±
12.000 Ha, Zona Rimba seluas ± 5637 Ha, Zona Pemanfaatan Intensif seluas ±
800 Ha, Zona Pemanfaatan Khusus seluas ± 5780 Ha, dan Zona Rehabilitasi
seluas ± 783 Ha.1 Berdasarkan pembagian zona tersebut kawasan pemukiman
Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya masuk pada Zona Rimba.
Menurut peruntukannya Zona Rimba merupakan kawasan/zona yang ditujukan
bagi kepentingan konservasi yang masih berbentuk hutan dan secara terbatas
untuk kepentingan rekreasi. Pengasawan di dalam Zona Rimba juga sudah
diperketat, setiap orang untuk masuk ke sana harus dengan pengawalan petugas
Taman Nasional Baluran.2
Dengan melihat realita yang ada, maka kawasan translok dianggap tidak
relevan untuk dikelompokkan ke dalam Zona Rimba. Balai Taman Nasional
Baluran menganggap bahwa kawasan translok telah menjadi kawasan hutan yang
rusak akibat dari perambahan yang dilakukan oleh manusia.
1
Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam Taman Nasional Baluran, Review Rencana Pengelolaan Taman
Nasional Baluran, (Banyuwangi: tidak diterbitkan, 1995), hal. 15.
2
Arsip Risalah Penggunaan sebagian Kawasan Suaka Margasatwa Taman
to user
Nasional Baluran Sebagai Lokasi commit
Proyek Pemukiman
(Transmigrasi Lokal) TNI
Angkatan Darat., Loc.cit.,
perpustakaan.uns.ac.id
No
1
2
3
4
81
digilib.uns.ac.id
Tabel 5
Data Kerusakan Hutan Akibat Perambahan Tahun 1996-2000
Jenis/Gangguan
Lokasi
Frekuensi (Ha)
1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999
Penyerobotan
Tanah
22
22
22,33
22,33
Lahan/Perladangan
Gentong
Liar
Pemukiman Liar
Translok
57
57
57
57
AD/Pandean
Tumpang Tindih
HGU.PT
363
363
363
363
Penggunaan Lahan
Gunung
Gumitir
Pengembalaan Liar
Karang
2200-2500 2200-2500
3450
3450
(Ternak Sapi)
Tekok
Sumber : Data Statistik Balai Taman Nasional Baluran, tahun 2000, halaman 24.
Dari tabel di atas terlihat bahwa beberapa kasus penyalahgunaan tanah
kawasan Taman Nasional Baluran. Dari data tersebut disebutkan pemukiman
translok yang berada di Dusun Pandean, Desa Wonorejo dimasukkan ke dalam
pemukiman liar yang ada di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Baluran.
Taman Nasional menganggap bahwa masyarakat translok telah melakukan
tindakan penyerobotan atas lahan Taman Nasional Baluran dengan membangun
pemukiman. Selain Pemukiman Translok, Taman Nasional Baluran juga
mengalami permasalahan tanah yang di akibatkan tumpang tindih wewenang dan
juga peruntukan terhadap status wilayah konservasi seperti contohnya, Tanah
Gentong (Blok Gentong) yang digunakan sebagai daerah tempat mengembala
hewan ternak seperti sapi dan kerbau milik Marinir AL yang dikelola oleh
masyarakat sekitar Taman Nasional Baluran dengan sistem bagi hasil dengan
Marinir AL. Selain itu permasalahan tanah di dalam Taman Nasional Baluran
disebabkan oleh pengunaan Tanah bekas HGU PT Gunung Gumitir yang setelah
habis kontraknya, lalu dijadikan commit
pemukiman
liar di dalam kawasan konservasi
to user
2000
22,33
57
363
3450
perpustakaan.uns.ac.id
82
digilib.uns.ac.id
oleh bekas karyawan PT Gunung Gumitir.3 Akibat dari penyerobotan beberapa
lahan tersebut, berdapak pada berkurangnya luas wilayah konservasi Taman
Nasional Baluran.
Berdasarkan pembaharuan pemetaan wilayah, Taman Nasional Baluran
kembali memasang patok-patok batas yang baru. Pemasangan patok-patok
tersebut juga tidak berdasarkan prosedur yang ada tanpa melibatkan BPN (Badan
Pertanahan Nasional) selaku instansi pemerintah yang mengurusi masalah
pertanahan dan juga aparatur Desa Wonorejo. pemasangan patok-patok tersebut
justru melibatkan mahasiswa-mahasiswa dari IPB dengan alasan menjalankan
tugas praktek lapangan. Selain tanpa keterlibatan instansi lain pemasangan patok
tersebut juga tidak berdasarkan pemasangan patok yang lama pada tahun 1982
dan patok yang dikeluarkan oleh Kantor Agraria Kabupaten Situbondo, tetapi
pemasangan tersebut telah bergeser sejauh ±1 meter ke dalam pemukiman
translok. Hal tersebut dikarnakan perubahan pemetaan wilayah Taman Nasional
Baluran. Pada proses pemasangan patok pun sempat terjadi kesalahpahaman
antara masyarakat translok dengan petugas taman nasional baluran, karena
pemasangan patok tersebut tidak pada tempat seharusnya seperti pinggir jalan
ataupun pinggir sawah, tetapi pemasangan patok tersebut ada yang ditempatkan
ditengah jalan yang menghubungkan translok barat dengan Desa Wonorejo.
Alasannya karena sesuai dengan berita acara pemasangan tapal batas kehutanan.
Akhirnya dengan musyawarah yang dilakukan antara masyarakat translok dengan
3
commit to user
Wawancara dengan Siswanto, pada tanggal 28 Juli 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
83
digilib.uns.ac.id
BTNB, permasalahan ini dapat diselesaikan dan salah satu patok tersebut bergeser
ke tepi jalan, tetapi tidak merubah patok-patok yang lain.4
Tindakan yang dilakukan BTNB tesebut, menimbulkan reaksi dari
masyarakat translok. Dengan adanya tindakan tersebut semakin memunculkan
rasa memiliki terhadap tanah yang mereka tempati. Buktinya ialah masyarakat
translok melalui kepala lingkungannya juga memasang papan nama Transmigrasi
Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya pada batas luar pemukiman translok dengan
Desa Wonorejo. Alasan dari pemasangan papan nama tersebut ialah sebagai
penanda keberadaan pemukiman translok. Papan nama ini nantinya akan dicabut
masyarakat translok bila kawasan translok telah masuk ke dalam wilayah Desa
Wonorejo secara sah yang artinya telah tersertifikat.5
Pada tahun 2005 terjadi perubahan sistem zonasi yang ada di dalam
kawasan Taman Nasional Baluran. Perubahan tersebut karena adanya tuntutan
perkembangan pengelolaan, dinamika kondisi sosial budaya masyarakat serta
perubahan kondisi fisik dan biotis kawasan menjadikan sistem zonasi yang ada
tidak dapat lagi digunakan sebagai dasar pengelolaan yang efektif. Beberapa
contoh perubahan kondisi fisik dan biotis di lapangan sehingga tidak sesuai lagi
dengan sistem zonasi yang ada meliputi:
1. Adanya pemanfaatan Zona Rimba yang tidak sesuai dengan ketentuan antara
lain: pembangunan Kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional wilayah II
karangtekok, pemanfaatan tanah gentong seluas ± 22 Ha sebagai lahan
4
Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012.
commit to user
5
Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
84
digilib.uns.ac.id
bercocok tanam masyarakat, Pemukiman Translok Angkatan Darat seluas 57
Ha, serta pemanfaatan beberapa blok savana sebagai tempat pengembalaan
ternak oleh masyarakat sekitar kawasan.
2. Adanya kegiatan ritual budaya masyarakat dalam Zona Rimba yang selama
ini belum diakomodir oleh zona yang sesuai dengan peruntukannya.
3. Pengelolaan Zona Pemanfaatan Khusus yang selama ini tidak sesuai dengan
ketentuan akibat adanya konflik kepentingan Perum Perhutani yang
berorientasi produksi dengan Taman Nasional yang berorientasi konservasi.
Akhirnya setelah adanya pengkajian ulang mengenai sistem Zonasi yang
ada maka terjadi perubahan nama dan luas wilayah Zonasi diantaranya : Zona Inti
10.084,63 Ha, Zona Rimba 7.052,61 Ha, Zona Perlindungan Bahari 2.344,79 Ha,
Zona Pemanfaatan 915,70 Ha, Zona Rehabilitasi 3.191,75 Ha, Zona Budaya 4,39
Ha, dan Zona Khusus 5.279,10 Ha. Dalam perubahan sistem Zonasi tersebut
kawasan pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya masuk ke dalam
Zona Rehabilitasi. Zona Rehabilitasi merupakan kawasan konservasi yang hampir
rusak dan maupun yang telah rusak maka perlu untuk diperbaiki atau ditata ulang
(penghijauan kembali).6
Ditetapkannya kawasan pemukiman translok masuk ke dalam kawasan
Zona Rehabilitasi membuat perlunya perlakuan khusus untuk menangani kawasan
tersebut. Penanganan yang dilakukan Balai Taman Nasional memang belum pada
tahap penghijauan kembali areal translok, tetapi upaya tersebut sudah mulai
dilakukan. Salah satunya ialah pemasangan plang nama dan tarif masuk kawasan
to user
Departemen Kehutanan commit
Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam Taman Nasional Baluran., op.cit., hal. 17.
6
perpustakaan.uns.ac.id
85
digilib.uns.ac.id
Taman Nasional Baluran pada batas luar pemukiman translok dengan Desa
Wonorejo yang berbatasan langsung dengan pantai Pandean. Alasan dari Taman
Nasional Baluran sendiri ialah sebagai penanda kawasan Taman Nasional dengan
daerah luar. Selain itu, pembangunan menara pengawas dan kantor Resort
Perengan pada bibir pantai Pandean yang berbatasan dan menghadap langsung ke
arah pemukiman translok. Alasan dari pembangunan ini karena banyak pencurian
Sumber Daya Alam Taman Nasional yang lewat dari Pantai Pandean.7
Tindakan yang dilakukan BTNB tersebut justru membuat konflik yang
terjadi semakin besar. Dengan dalih banyaknya sumberdaya hutan yang hilang di
wilayah yang berbatasan langsung dengan pemukiman translok maka pihak
BTNB dengan leluasa membangun bangunan-bangunan pengawas di lingkungan
pemukiman translok. Keberadaan bangunan pengawas tersebut tidak difungsikan
sebagai mana mestinya, bangunan pengawas tersebut umumnya kosong tanpa ada
petugas Taman Nasional yang berjaga, keterbatasan personil yang ada di lapangan
menjadi alasan Taman Nasional Baluran dalam menyikapi hal tersebut.
Alasan lain mengenai tindakan yang dilakukan Taman Nasional Baluran
terhadap wilayah pemukiman translok ialah karena dasar kebijakan yang diambil
pimpinan Balai Taman Nasional Baluran bersumber pada Departemen Kehutanan
di Jakarta. Pemerintah daerah tidak dapat “menolak” kehendak pusat, karena
dianggap tidak strategis melawan kehendak penguasa Jakarta. Hingga sejak tahun
1990-an pemerintahan Indonesia mulai memuai konflik-konflik yang ada di dalam
7
commit to user
Wawancara Siswanto, pada tanggal 28 Juli 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
86
digilib.uns.ac.id
Taman Nasional yang paling dominan tentang penetapan tata batas Taman
Nasional. 8
Sebenarnya masyarakat translok telah memprotes tindakan Taman Nasional
Baluran yang tidak sesuai prosedur yang ada, karena tanpa melibatkan instansi
terkait pada saat pelaksanaan pembangunan namun protes ini tidak ditanggapi
secara serius. Bentuk protes tersebut bermacam-macam mulai dari tindakan legal
yaitu menayakan langsung kepada pihak Taman Nasional Baluran hingga
tindakan ilegal yaitu memindahkan plang-plang nama Taman Nasional Baluran di
sekitar pemukiman translok keluar dari wilayah pemukiman.9
Kebijakan lain yang diterapkan Balai Taman Nasional Baluran terhadap
kawasan Pemukiman Translok ialah dengan tidak memasukkan kawasan translok
ke dalam daerah penyangga hutan Taman Nasional. Wilayah translok yang secara
geografis berdekatan dengan Taman Nasional Baluran seharusnya dijadikan
daerah penyangga seperti Desa Wonorejo. Taman Nasional Baluran menganggap
bahwa wilayah translok merupakan wilayah konservasi yang seharusnya tidak ada
aktivitas manusia di dalamnya terlebih pemukiman penduduk. Pada tahun 1996
dilaksanakan untuk pertama kali program Pembinaan Daerah Penyangga kepada
masyarakat Desa Wonorejo,10 dengan menyalurkan beberapa hewan ternak untuk
8
San Afri Awang., op. cit., hal.175.
9
Data Diolah dari hasil wawancara Dengan Suwarno, Sutrisno dan
Sulaisah, pada tanggal 28 Mei 2012.
10
Pembinaan daerah penyangga merupakan serangkaian kegiatan dan
upaya yang dilakukan di daerah penyangga guna menciptakan sumber kehidupan
commit
to user pelestarian kawasan hutan agar
yang lebih baik sehinnga mampu
mendukung
penggelolaannya dapat tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan. Restu
87
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dibudidayakan. Program ini terus berjalan setiap dua tahun dengan bantuan yang
beragam jenisnya. Karena tidak dimasukan ke dalam daerah penyangga maka
pemukiman translok tidak mendapatkan bantuan apapun dari Taman Nasional
Baluran. Masyarakat translok menganggap bahwa pemberian bantuan tersebut
merupakan salah satu tindakan provokatif yang dilakukan Taman Nasioanal
Baluran, karena membeda-bedakan seseorang yang meneriman bantuan,
seharusnya Balai Taman Nasional Baluran tidak melihat status kawasannya tetapi
masarakat yang mendiami daerah tersebut.11
B. Proses Penyelesaian Yang Dilakukan Pemerintah dan Balai Taman
Nasional Baluran Tahun 1988-2006
1.
Upaya Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo
Setelah pertemuan antar setiap instansi yang membahas penyelesaian
permasalahan sengketa tanah pemukiman translok tahun 1987, belum ada
tindakan lebih lanjut dalam hal penyelesaian tanah tersebut. Masyarakat translok
masih terus menunggu kepastian akan status tanah mereka yang tidak kunjung
datang. Persoalan tersebut kembali mentah tanpa ada hasil yang memuaskan
untuk kedua belah pihak.
Namun, masyarakat translok yang tidak ingin nasibnya terus terkatungkatung, akhirnya pada tahun 1991 kembali menanyakan status tanah mereka
Widhastri, Pengaruh Kegiatan Daerah Penyangga Di Desa Wonorejo Terhadap
Pengelolaan Taman Nasional Baluran , (Laporan Magang CPNS Formasi 2005),
Departemen Kehutanan Balai Taman Nasioal Baluran, 2006, hal.8.
commit to user
11
Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
88
digilib.uns.ac.id
kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Kantor Pertanahan Kabupaten
Situbondo. Dengan diresmikannya Badan Pertanahan Nasional (sebelumya
bernama Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten Situbondo) Melalui Keppres
26 tahun 1988, maka diharapakan penanganan masalah-masalah pertanahan akan
semakin tegas.12 Gebrakan awal kehadiran BPN Kabupaten Situbondo dalam
menyelesaikan masalah sengketa tanah ini ialah dengan melakukan pendataan
terhadap permasalahan yang terjadi dengan memasukanya dalam permasalahan
tanah yang berkembang (strategis) di Kabupaten Situbondo dan melakukan
pemetaan ranah penyelesaian kasus tersebut.13 Dalam hal memproses pengajuan
sertifikat tanah oleh masyarakat translok, BPN Provinsi Jawa Timur belum bisa
melaksanakannya karena masih terganjal dengan status tanah yang masih di dalam
kawasan Taman Nasional Baluran.
Proses penyelesaian sengketa tanah pemukiman Translok TNI AD Kodam
V/Brawijaya kemudian kembali tertunda akibat adanya peristiwa nasional pada
tanggal 13-15 Mei 1998 yaitu demo besar-besaran yang dilakukan masyarakat dan
mahasiswa menuntut lengsernya Orde Baru, perbaikan hukum dan kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Sejak lengsernya rezim Orde Baru turut mempengaruhi
proses penyelesaian masalah sengketa tanah ini. Peran militer yang berkuasa di
era Orde Baru sangat mendominasi pemerintahan baik pusat maupun daerah,
setelah adanya era reformasi terjadi reorganisasi dalam tubuh militer dan
12
A.P.Parlindungan, “Politik dan Hukum Agraria di Zaman Orde Baru”
dalam Arselan Harahap (ed)., (Jakarta : PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1986).
13
Arsip surat Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan Kabupaten
user
Situbondo, Permasalahan Tanahcommit
Yang toBerkembang
(Strategis) di Kabupaten
Situbondo, hal. 1. (Arsip Koleksi Pribadi Hermanus).
89
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akibatnya
pemerintahan
militer
digantikan
atau
dikembalikan
kepada
pemerintahan sipil.14 Keadaan ini juga berpengaruh terhadap proses penyelesaian
permasalahan sengketa tanah pemukiman translok. Fungsi dan peranan militer
mulai digantikan dengan pemerintahan sipil baik tingkat daerah maupun pusat.
Alsannya karena stigma negatif masyarakat luas terhadap militer pasca runtuhnya
kekuasaan Orde Baru, militer dianggap
banyak memunculkan permasalahan
tanah atau merebut tanah untuk dijadikan kepentingan kesatuannya seperti
perumahan anggota, tempat latihan ataupun diperuntukan sebagai lahan produksi
yang diperuntukan sebagai kas kesatuannya.
Pada tahun 2000 Bupati Situbondo mengirimkan surat kepada Menteri
Kehutanan dan Menteri Dalam Negeri selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional
perihal penyelesaian tanah lokasi Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya. Surat
tersebut berisikan penjelasan mengenai kondisi terkini kawasan pemukiman
translok diantaranya: Luas Tanah, Dasar Penetapan para pemukim (purnawirawan
TNI AD), proses pengajuan terakhir masyarakat translok pada tahun 1978 dan
penjelasan mengenai beberapa kejadian atau peristiwa yang telah dilaksanakan
dalam rangka penyelesaian kasus tanah pemukiman translok, maksud dari Bupati
Situbondo dalam surat tersebut ialah menerangkan kembali bahwa masih ada
14
Syah Djohan Darwis, Stragi Pemukiman ABRI Di Dalam Transtannas
dan Desa Sapta Marga Sebagai Dampak Positif Untuk Mempertahankan Negara
commit
to user PUSLITBANG Departemen
Kesatuan Republik Indonesia,
(Jakarta:
Transmigrasi, 1986), hal. 56.
perpustakaan.uns.ac.id
90
digilib.uns.ac.id
kasus tanah yang terjadi antara pihak kehutanan dengan masyarakat sekitar di
dalam wilayah Kabupaten Situbondo yang harus segera diselesaikan.15
Belum adanya tanggapan atau jawaban terhadap permasalahan sengketa
tanah di pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya dari pihak terkait,
Pada tanggal 12 september 2001 Bupati Situbondo lalu melayangkan kembali
surat yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Inti dari surat
tersebut berisikan sama dengan surat sebelumnya yang dikirimkan pada tahun
2000. Dalam surat ini Bupati Situbondo juga mempertegas instansi terkait
permasalahan ini agar lebih serius dalam memproses penyelesaian kasus sengketa
tanah yang terjadi di pemukiman translok, surat tersebut berisikan apabila dalam
kurun waktu 6 bulan sejak surat ini diterbitkan tidak ada jawaban atau tanggapan,
maka Pemerintah Daerah Situbondo menganggap bahwa instansi tersebut telah
menyetujui adanya pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya di Desa
Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Propinsi Jawa Timur.
Setelah itu, Bupati Situbondo akan memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Situbondo untuk merealisasi penerbitan sertifikat Hak Milik terhadap
permohonan Hak Milik serta status kepemilikan para warga lokasi proyek
pemukiman (Prokimad) Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya.16 Adanya bentuk
15
Arsip Surat Bupati Situbondo Kepada Menteri Kehutanan, Menteri
Dalam Negeri, Perihal Penyelesaian Tanah Lokasi Proyek Pemukiman Translok
AD, pada tanggal 20 Juli 2000, tentang Penyelesaian tanah Lokasi Proyek
Pemukiman Translok TNI-AD. (Koleksi Pribadi Hermanus).
16
Arsip Surat Bupati Situbondo Kepada Menteri Kehutanan dan
Perkebunan , Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, pada tanggal 12 September 2001,
commitProyek
to user Pemukiman Translok TNI-AD.
tentang Penyelesaian tanah Lokasi
(Koleksi Pribadi Hermanus).
91
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
surat tersebut dikarnakan Bupati Situbondo merasa masih memiliki tanggungan
permasalahan tanah yang harus di selesaikan sebelum masa jabatannya habis.
Selain itu, masyarakat wilayah yang bersengketa telah menunggu kepastian
hukum atas tanahnya selama 24 tahun, sehingga menimbulkan keresahan.
Surat tersebut akhirnya mendapatkan tanggapan dari Menteri Kehutanan,
Menteri Kehutanan kemudian mengeluarkan beberapa poin penyelesaian masalah
sengketa tanah di pemukiman translok, di antaranya sebagai berikut:
a. Untuk menyelesaikan pemukiman Translok TNI AD Kodam V Brawijaya di
dalam kawasan hutan Taman Nasional Baluran, diperlukan penelitian
terpadu.
b. Tim penelitian dimaksud pada butir 1 akan segera melakukan kegiatannya
untuk segera melaksanakan kegiatannya untuk melakukan analisis kondisi
ekologi, ekonomi dan sosial Taman Nasional Baluran dengan adanya proyek
pemukiman translok tersebut.
c. Sebelum tim terpadu tersebut menyelesaikan tugasnya kami minta agar
saudara tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada upaya
penerbitan sertifikat Hak Milik atas areal pemukiman Translok TNI AD
Kodam V Brawijaya tersebut.
Tim peneliti tersebut terdiri dari Ketua Tim (Direktur Konservasi Kawasan),
Anggota Tim (Kantor KLH, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Dirjen PHKA, Biro
Hukum dan Organisasi Sekjen Dephut, Badan Litbang Kehutanan, Dinas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
92
digilib.uns.ac.id
Kehutanan Provinsi Jawa Timur, Pemda Kabupaten Situbondo).17 Pembentukan
tim penelitian tersebut berdasarkan UU No 41 Pasal 19. Dalam UU tersebut
disebutkan bahwa :
a. perubahan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan dengan didasarkan pada hasil
penelitian terpadu.
b. Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagai mana dimaksud pada ayat (1)
yang berdampak penting serta cakupannya luas dan serta bernilai strategis,
ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
c. Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan
perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.18
Belum adanya jawaban atas permasalahan sengketa tanah pemukiman
Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya, membuat masyarakat translok
kembali menempuh menanyakan status tanahnya. Penyelesaian yang dilakukan
oleh masyarakat translok lebih bersifat non formal. Penyelesaian dengan jalur non
formal dilakukan dengan adanya musyawarah untuk mencapai mufakat. Pada
tahun 2002 masyarakat translok berinisiatif untuk menemui langsung Bupati
Situbondo tanpa perantara siapapun, dengan meminta surat pengantar dari kepala
17
Arsip surat Menteri Kehutanan Kepada Bupati Situbondo, pada tanggal
20 Februari 2002, tentang Penyelesaian tanah Lokasi Proyek Pemukiman
Translok TNI-AD. (Koleksi Pribadi Hermanus).
18
Wahyudi, Formasi dan Sturuktur Gerakan Sosial Petani (Studi Kasus
commit
to user
Reklaming/Penjarahan Atas Tanah
PTPN
XII (Persero) Kalibakar Malang
Selatan).(Malang : UMM Press, 2005),. Hal,.167.
perpustakaan.uns.ac.id
93
digilib.uns.ac.id
desa, masyarakat translok dapat menemui langsung Bupati Situbondo di Pendopo
Rumah Dinasnya.19
Setelah mendengar aspirasi dari masyarakat translok, pada tanggal 4 Maret
2002 Bupati Situbondo kembali mengeluarkan surat kepada Menteri Kehutanan
yang berkaitan dengan rencana Bupati Situbondo untuk segera merealisasikan
pembuatan sertifikat tanah untuk masyarakat translok dalam kurun waktu 3 bulan
setelah surat ini dikeluarkan. Surat ini dikeluarkan akibat belum ada hasil yang
nyata dari proses penyelesaian yang dilakuakan tim terpadu peneliti bentukan dari
Departemen Kehutanan.20
Setelah adanya otonomi daerah Tingkat II tahun 1999, segala kebijakan
mengenai tata kelola Kabupaten/Kota diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah
Daerah (Bupati/Walikota). Sedangkan peranan pusat hanya sebagai kontrol dan
dasar penentu arah kebijakan daerah dalam menyusun pembangunan nasional.
Dalam hal memutuskan masalah sengketa tanah pemukiman translok Bupati
Situbondo dapat segera menyelesaikan permasalahan ini dengan segera
menerbitkan sertifikat tanah kepada masyarakat translok. Sesuai dengan peraturan
menteri dalam negeri no. 6 tahun 1972 yang mengatur pelimpahan wewenang
pemberian hak atas tanah kepada Gubernur/Bupati/Walikota Kepala Daerah dan
19
20
Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012.
Arsip Surat Bupati Situbondo Kepada Menteri Kehutanan, pada tanggal
4 Maret 2002, tentang Penyelesaian tanah Lokasi Proyek Pemukiman Translok
commit to user
TNI-AD. Koleksi Pribadi Hermanus).
perpustakaan.uns.ac.id
94
digilib.uns.ac.id
Kepala Kecamatan dalam kedudukan dan fungsinya sebagai Wakil Pemerintah.21
Bupati Situbondo dalam hal ini dapat memberi keputusan mengenai permohonan
ijin untuk memproses Hak Milik.22 Namun, dalam permasalahan tanah di
pemukiman Translok Kodam V/Brawijaya, Bupati Situbondo tetap harus terlebih
dahulu berkordinasi dengan Departemen Kehutanan yang secara yuridis sah atas
tanah pemukiman translok.
Dengan adanya surat tersebut munculah keputusan Menteri Kehutanan atas
dasar hasil penelitian dari tim terpadu penyelesaian masalah sengketa tanah
pemukiman translok. Keputusan tersebut tertulis dalam surat balasan Menteri
Kehutanan kepada Bupati Situbondo dengan nomor surat 295/Menhut-VII/2003,
pada tanggal 12 Mei 2003. Surat tersebut berisikan keputusan antara lain :
a. Tuntutan masyarakat untuk pensertifikatan tanah pemukiman di areal
Translok TNI AD di Desa Wonorejo, Kabupaten Situbondo tidak dapat kami
kabulkan mengingat areal pemukiman dan lahan garapan usaha tani di lokasi
Translok TNI AD di dapat dipisahkan dari kesatuan ekosistem kawasan
Taman Nasional Baluran.
b. Keberadaan para pemukim dan aktifitas usaha tani di kawasan secara aspek
legalitas telah menyalahi ketentuan peraturan perundangan yang ada. Untuk
itu para pemukim dan aktifitas taninya secara bertahap hendaknya dihentikan
dan dipindahkan ke lokasi lain.
21
Sudargon Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,
(Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 74
commit to user
22
Ibid., hal. 76.
perpustakaan.uns.ac.id
95
digilib.uns.ac.id
c. Bekas lokasi pemukiman dan lahan garapan taninya secara bertahap akan
direhabilitasi ke fungsi semula sebagai kawasan Taman Nasional Baluran.23
Keputusan ini sebenarnya hampir sama dengan keputusan awal Departemen
Kehutanan dalam hal ini Balai Taman Nasional Baluran yang tidak menghendaki
adanya pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya di Desa Wonorejo
yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Baluran, hanya dalam surat ini
disebutkan bahwa para pemukim (purnawiran) translok beserta aktifitas taninya
akan segera dipindahkan atau direlokasikan ke kawasan lain di luar kawasan
Taman Nasional Baluran.
Setelah surat ini dikeluarkan semestinya sudah ada esekusi atas tanah atau
pencabutan hak atas tanah24. Menurut UU no.20/1961 dan pasal 18, pencabutan
hak atas tanah hanya boleh dilakukan :
a. Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa, negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula dengan kepentingan
pembangunan.
b. Memberi ganti rugi yang layak kepada pemegang hak.
c. Dilakukan menurut cara yang diatur menurut undang-undang.
23
Arsip Surat Menteri Kehutanan RI Kepada Bupati Situbondo, pada
tanggal 12 Mei 2003, tentang Penyelesaian Tanah Lokasi Proyek Pemukiman
Translok TNI AD di Situbondo Jawa Timur. (Arsip Koleksi Pribadi Hermanus).
24
Pencabutan hak menurut UUPA adalah pengambilan tanah
kepunyaansesuatu pihak oleh negara secara paksa yang mengakibatkan hak atas
itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai
commit
to user
dalam memenuhi suatu kewajiban
hukum.
Efendi Perangin, Hukum Agraria di
Indonesia, (Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 1994)., hal. 38.
perpustakaan.uns.ac.id
96
digilib.uns.ac.id
d. Pemindahan hak menurut cara biasa tidak mungkin lagi dilakukan (misalnya
jual beli atau pembebasan hak).
e. Tidak mungkin memperoleh tanah ditempat lain untuk keperluan tersebut.25
Namun pencabutan hak tersebut tidak pernah direalisasikan oleh Dinas
Kehutanan kabupaten Situbondo ataupun Balai Taman Nasional Baluran. Alasan
dari BTNB karena belum turunnya surat keputusan dari pusat dalam hal ini
Departemen Kehutanan Jakarta, selain itu Departemen Kehutanan juga belum
menentukan areal relokasi bagi masyarakat translok.26
Setelah dikeluarkan surat Menteri Kehutanan tersebut tidak ada tindakan
apapun dari Bupati Situbondo, masyarakat translok pun masih menempati lahan
pemukiman translok tanpa adanya status yang jelas. Langkah-langkah
penyelesaian yang dilakukan masyarakat translok pun hanya sebatas musyawarah
di tingkat Balai Desa dengan meminta dukungan lewat apratur Pemerintahan
Desa. Kepala Desa akhirnya merekomendasikan untuk melaporkan permasalahan
tanah ini kepada DPRD tingkat II Situbondo. Akhirnya pada tahun 2005 aspirasi
masyarakat translok ini pun ditindaklanjuti oleh DPRD Kabupaten Situbondo
khususnya komisi A untuk menggelar rapat kerja dengan berbagai instansi terkait
permasalahan di pemukiman translok yang dihadiri oleh: DANDIM Situbondo,
BTN, BTNB, dan bagian hukum dengan warga translok Desa Wonorejo,
Kecamatan Banyuputih. Rapat yang diselenggarakan selama 2 jam tersebut juga
tidak membuahkan hasil. Belum adanya kesepakatan antara masyarakat dengan
25
26
Ibid., hal. 39.
commit to user
Wawancara dengan siswanto, pada tanggal 28 Juli 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
97
digilib.uns.ac.id
instansi terkait khususnya BTNB membuat permasalahan ini akan segera
ditindaklanjuti kembali.27
Setelah rapat tersebut DPRD tingkat II Situbondo membawa permasalahan
tanah pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya ini ke Komisi I DPR
Pusat yang mengurusi berbagai permasalahan tanah di Indonesia. Namun
kenyataannya berkas permasalahan tanah di translok tersebut hanya menumpuk
dan tidak ada tindak lanjut berikutnya.28
Pada tahun yang sama Dirjen Perlindungan Hutan dan pelestarian Alam
(PHKA) Departemen Kehutanan datang ke lokasi pemukiman translok. Setelah
melihat langsung lokasi tersebut, lalu mengadakan pembicaraan dengan
masyarakat translok dengan dihadiri oleh Kepala Desa Wonorejo dan Kepala
Balai Taman Nasional Baluran. Pembicaraan tersebut mengarah kepada
keputusan yaitu Departemen Kehutanan memberikan Hak Pakai kepada
masyarakat translok.29
Hak pakai tersebut (menurut UUPA pasal 41 ayat 1) berarti masyarkat
translok dapat “menggunakan” dan atau “memunggut hasil dari tanah”30 yang
langsung dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang
27
Arsip Berita Acara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Situbondo, pada tanggal 27 April 2005, tentang Rapat kerja Komisi A DPRD
Situbondo dalam pembahasan sengketa tanah Translok TNI AD di Desa
Wonorejo, Jecamatan Banyuputih. (Arsip Koleksi Pribadi Masyarakat Translok).
28
Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012.
29
Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012.
committanah
to userbangunan, sedangkan “memungut
Kata “menggunakan” berarti
hasil “ menunjuk pada tanah pertanian. Effendi Perangin., op.cit., hal. 286.
30
98
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memberi wewenang
dan kewajiban
yang ditentukan dalam
keputusan
pemberiannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnnya, yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan undang-undang agraria.31
Berdasarkan keputusan tersebut masyarakat translok menolaknya dengan alasan
bahwa jika mereka menerima pemberian tersebut, masyarakat translok secara
tidak langsung mengakui tanah yang mereka tempati adaalah milik pihak
kehutanan (BTNB). Selain itu, masyarakat translok menyadari bahwa Hak Pakai
ini merupakan tanah Negara dan apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh Negara
maka mereka harus siap untuk direlokasi.32 Karena berdasarkan ciri-ciri Hak
Pakai dalam tinjauan berbagai pasal UUPA adalah sebagai berikut :
a. Hak pakai tujuan penggunaannya bersifat sementara. Oleh karna itu umur
Hak Pakai diberikan dengan jangka waktu 10 tahun. Seringkali jangka waktu
ini tidak bisa langsung ditentukan karena menunggu keputusan mengenai
permohonan untuk menguasai tanah dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha atau
Hak Guna Bangunan.
b. Dengan didaftarkannya Hak Pakai yang diberikan oleh pemerintah (Peraturan
Menteri Agraria no. 1 tahun 1966), maka hak tersebut menjadi mudah
dipertahankan terhadap gangguan pihak lain.
31
32
Ibid.
commit to user
Wawancara dengan Hasto Sugiarto, pada Tanggal 28 Mei 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
99
digilib.uns.ac.id
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan ketentuan bahwa jika yang empunya
meninggal dunia, hak itu tidak jatuh kepada ahli warisnya, akan tetapi akan
batal dengan sendirinya.
d. Hak Pakai tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.
e. Hak Pakai dapat dialihkan kepada pihak lain, tetapi jika mengenai hak negara
diperlukan izin pejabat yang berwenang.33
Sebenarnya dalam penawaran Dirjen PHKA juga disebutkan bila menerima
Hak Pakai atas tanah pemukiman translok, masyarakat translok dapat
meneruskannya untuk dapat membuat sertifikat. Hal ini dimungkinkan bila tanah
tersebut dalam jangka waktu yang diberikan tidak diambil oleh Negara. Namun,
untuk dapat diteruskan menjadi sertifikat tanah, diperlukan proses yang panjang
dan rumit dalam mengurusnya sehingga masyarakat translok pun menolaknya.
2.
Upaya Balai Taman Nasional Baluran dalam Proses penyelesaian
Masalah Sengketa Tanah Translok
Sebagai pihak yang bersengketa Taman Nasional Baluran juga ikut
membantu dalam memproses penyelesaian kasus sengketa tanah di wilayah
translok. Sebagai salah satu pelopor pendiri Taman Nasional di Indonesia, segala
permasalahan di dalam Taman Nasional Baluran sangat dipantau oleh Negara dan
juga dunia Internasional, terlebih jika dikorelasikan dengan isu dunia yang
mengedepankan isu global warming, salah satunya akibat berkurangnya luas
hutan di dunia. Oleh sebab itu, Taman Nasional Baluran sangat memprioritaskan
33
commit to user
Effendi Perangin., op.cit., hal. 287-288
100
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
permasalahan berkurangnya luas lahan konservasi akibat tumpang tindih dan
penyerobotan lahan.
Langkah kongkrit yang dilakukan Balai Taman Nasional Baluran ialah
merumuskan beberapa alternatif penyelesaian terkait permasalahan sengketa tanah
dengan pemukiman translok. Beberapa alternatif ini nantinya direkomendasikan
kepada Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan sebagai instansi
pembuat kebijakan. Alternatif yang dapat di tempuh adalah sebagai berikut :
a. Pengembalian daerah translok kepada pihak Taman Nasional Baluran tanpa
syarat melalui prosedur hukum. Untuk melaksanakan kebijakan ini terdapat
beberapa pertimbangan, salah satunya akan menimbulkan keresahan serta
gejolak sosial dari masyarakat translok.
b. Pengembalian daerah translok kepada Taman Nasional Baluran setelah
penghuni pertama meninggal dunia. Berdasarkan pengalaman alternatif ini
sulit untuk dilaksanakan, karena penghunian tetap akan diwariskan kepada
keturunannya.
c. Pelepasan daerah translok kepada penghuni dengan penggantian lahan lain
yang masih tergabung dengan Taman Nasional Baluran seluas lahan yang
dilepaskan. Penerapan kebijakan ini terdapat resiko sebagai konsekuensinya,
apabila lahan kompensasi tersebut bukan milik negara, maka pemerintah
harus memberi ganti ruginya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
101
digilib.uns.ac.id
d. Melepaskan kawasan translok kepada penghunitanpa syarat. Dengan
konsekuensi, luas kawasan Taman Nasional Baluran akan berkurang.34
Dari beberapa alternatif kebijakan tersebut, yang sangat relevan untuk dilakukan
ialah melepaskan daerah translok kepada penghuni dan mencarikan daerah
sebagai pengganti daerah yang dilepaskan atau memindahkan para penghuni
(relokasi) ke tempat yang baru sesuai dengan luas tanah yang dilepaskan,
menginggat sudah sangat kompleksnya permasalahan sengketa tanah pemukiman
translok di Desa Wonorejo.
Pada tahun 1999 Kepala Balai Taman Nasional Baluran mengirimkan surat
kepada kepala kantor wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan provinsi
Jawa Timur. Surat tersebut berisikan laporan keadaan kawasan translok pada saat
itu yang sangat sulit untuk mengeluarkan (memindahkan) masyarakat penghuni
translok keluar kawasan. Sebagai alternatif dan pertimbangan dalam membuat
keputusan penyelesaian masalah tersebut dengan cara areal pemukiman translok
seluas 57 Ha dikeluarkan atau dilepas dari kawasan Taman Nasional Baluran dan
diganti dengan areal perkebunan yang berbatasan dengan kawasan Taman
Nasional Baluran (areal PT Cliper Baluran Indah).35
Usulan tersebut belum bisa dinggapi oleh Dirjen PHKA Depatemen
Kehutanan, karena untuk dapat memproses pemindahan masyarakat translok ke
dalam areal perkebunan Kapuk Baluran Indah diperlukan waktu yang lama serta
34
Departemen Kehutanan Direktorat Jendral dan Pelestarian Alam Taman
Nasional Baluran., op.cit., hal. 146.
35
Arsip
Risalah
Penggunaan
Sebagian
Kawasan
Suaka
commit toSebagai
user
Margasatwa/Taman Nasional Baluran
Lokasi Proyek Pemukiman
(Transmigrasi Lokal) TNI-Angkatan Darat., op.cit., hal.2.
perpustakaan.uns.ac.id
102
digilib.uns.ac.id
harus dikordinasikan dengan instansi terkait terlebih oleh Departemen Dalam
Negeri. Karena belum adanya tanggapan maka pihak Balai Taman Nasional pada
tahun 2001 kembali melayangkan surat kepada Dirjen PHKA menyampaikan
langkah-langkah yang telah ditempuh dalam rangka penyelesaian tanah translok
AD dan menyerankan agar diadakan kordinasi ditingkat pusat dan ditindaklanjuti
dengan langkah kongkrit penyelesaian secara terpadu dan berkesinambungan di
lapangan.36
Akhirnya ususlan dari BTNB tersebut diteruskan kepada Bupati Situbondo
pada tahun 2006. Pihak BTNB mungusulkan kepada Bapak Bupati Situbondo
agar masyarakat translok di Desa Wonorejo tidak dikeluarkan dari kawasan Desa
Wonorejo, tetapi diupayakan untuk dilakukan Tukar Guling (ruislag) lahan
dengan Taman Nasional Baluran. Dengan demikian para purnawirawan yang telah
sepuh memperoleh kepastian hukum atas lahan hunian mereka. Selain itu salah
satu kreteria utama lahan yang akan Ditukar Guling adalah bahwa luas lahan
tersebut minimal memiliki luas yang sama dengan luas Translok TNI AD dan
dapat menyatu dengan kawasan Taman Nasional Baluran.37
Usulan ini ternyata juga ditanggapi positif oleh masyarakat translok.
masyarakat translok bersedia bila lahan mereka seluas 57 Ha untuk di Tukar
Guling dengan Taman Nasional Baluran dengan syarat :
36
37
Ibid.
Arsip surat Kepala Balai Taman Nasional Baluran Kepada Bupati
Situbondo, 28 Februari 2006, tentang Penyelesaian Tanah Lokasi Proyek
to user
Pemukiman Translok TNI AD dicommit
Situbondo
Jawa Timur.(Arsip Koleksi Pribadi
Hermanus).
perpustakaan.uns.ac.id
103
digilib.uns.ac.id
a. Lahan pengganti dari lahan yang akan di tempati masyarkat translok luasnya
sama dengan yang di tempati saat ini.
b. Lahan pengganti yang akan ditempati sudah memiliki sarana yang cukup
memadai seperti akses jalan, sarana irigasi dan lain-lain.
c. Besaran uang ganti rugi yang ditawarkan pemerintah sesuai dengan harga
yang diajukan masyarakat translok, minimal sama dengan harga dasar tanah
di pemukiaman translok ± Rp.50,000 per m2. Uang ganti rugi ini nantinya
untuk biaya pembuatan rumah yang baru.
Setelah mengadakan musyawarah antara BTNB dengan masyarakat translok,
melahirkan kesepakatan lahan yang akan digunakan sebagai sarana Tukar Guling
kawasan Translok TNI AD Kodam V/ Brawijaya ialah Perkebunan Kapuk PT
Baluran Indah. Karena menganggap bahwa lahan sebelah utara Perkebunan
Kapuk Baluran Indah yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Baluran
merupakan lahan tidur dan telah memilikai akses jalan.38
Masyarakat translok kemudian meneruskan wacana Tukar Guling ini
dengan langsung memprosesnya di BPN Kabupaten Situbondo. Setelah melihat
status tanah dari Perkebunan Kapuk PT Baluran Indah, maka proses Tukar Guling
ini tidak dapat diproses lebih lanjut, dikarnakan tanah tersebut masih berstatus
HGU PT Baluran Indah hingga 2014 dan yang menentukan kebijakan mengenai
HGU PT Baluran Indah ialah Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Dalam
Negeri. Kepala BPN Kabupaten Situbondo menghawatirkan bahwa tanah ini
nantinya akan menimbulkan masalah baru bagi masyarakat translok. Pihak BTNB
38
commit to user
Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
104
digilib.uns.ac.id
pun tidak bisa berbuat banyak karena keputusan berada di tingkat pemerintah
pusat. 39
Setelah wacana Tukar Guling tersebut beluam ada lagi proses ke arah
penyelesaian kasus sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal TNI Angkatan
Darat Kodam V Brawijaya. Permasalahan ini terus bergulir tanpa ada solusi yang
pasti dari setiap instansi yang terkait. Hanya saja masyarakat translok terus
mengupayakan legalitas status tanah yang mereka tempati dengan cara mencari
dukungan dari masyarakat Desa Wonorejo dan juga terus menanyakan
perkembangan kasus mereka di Instansi Pemerintah Daera Situbondo seperti BPN
Kantor Kabupaten Situbondo, Kecamatan Banyuputih, hingga Bupati Situbondo.40
Namun sayangnya masyarakat translok tidak mendapatkan dukungan dari aparatur
pemerintahan Desa Wonorejo, Kepala Desa Wonorejo dan beberapa jajarannya
tidak memberikan dukungan maupun ijin terhadap legalisasi Pemukiman
Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya. Alasan dari beberpa aparatur
desa tersebut dikarnakan mereka mengakui tanah tersebut adalah milik dari
Taman Nasional Baluran berdasarkan pemetaan yang dikeluarkan BTNB.41
39
40
Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012.
Data diolah dari hasil wawancara masyarakat translok pada Juni 2012.
commit to user
41
Wawancara dengan Hermanus, Pada tanggal 28 Juli 2012.
105
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Dampak Sengketa Tanah Pemukiman Translok TNI AD Kodam V
Brawijaya
1. Dampak Sosial
Permasalahan tumpang tindih tanah di Proyek Pemukiman Transmigrasi
Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya diakibatkan oleh kurang beresnya
pengurusan tanah yang disediakan untuk pemukiman transmigrasi. Dari
perencanaan spesial (tata ruang) ternyata timbul tumpang tindih dengan beberapa
proyek/ kegiatan yang telah menjadi hak instansi lain sebelum masa penyusunan
rencana, yaitu :
1. Areal konsesi hutan/KPH yang telah dikeluarkan izin pengelolaannya.
2. Ladang minyak yang telah diizinkan untuk dieksploitir oleh pertamina
berserta kontraktor-kontraktornya.
3. Perlindungan alam lingkungan hidup, hutan lindung, marga satwa, cagar alam
dan sebagainya dan daerahnya dilarang untuk dieksploitir, seperti pemukiman
transmigrasi.42
Permasalahan sengketa tanah ini membawa efek psikologis bagi
transmigran yang berupa dampak sosial. Dampak sosial dari sengketa tanah
pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya sangat dirasakan
oleh masyarakat translok. Secara de fackto memang masyarakat translok telah
menempati lahan pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD sejak 1976, namun
kondisi psikososial masyarakat translok boleh dibilang terjebak oleh situasi
42
Ashari, Edy Topo, Masalah Kordinasi Perencanaan Transmigrasi
to user
Terpadu dalam Repelita III di commit
Kalimantan
Timur (Suatu Pendekatan Sosial),
(Jakarta:LPPM.FE UI, 1980), hal. 5.
perpustakaan.uns.ac.id
106
digilib.uns.ac.id
ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakberhasilannya menuntaskan gerakan
pengakuan hukum.
Tanah atau sumber daya agraria lainya dalam suatu masyarkat agraris tidak
hanya menjadi faktor produksi tetapi juga memiliki arti penting lainnya baik
menyangkut aspek sosial maupun politik, oleh karna itu masalah tanah tidak
semata-mata merupakan hubungan antara manusia dengan tanah, lebh dari itu,
secara normatif merupakan hubungan manusia dengan manusia. Karena
pentingnya penguasaan tanah bagi seseorang dan sekelompok masyarkat dengan
sendirinya mendorong muncuknya upaya untuk mempertahankan hak-hak dari
setiap intervensi dari pihak luar.43 Untuk itu masyarakat translok sangat
mempertahankan tanah pertanian dan rumah mereka.
Dalam berbagai konflik sengketa tanah yang muncul, petani yang
kehidupannya sangat tergantung sepenuhnya pada sumber daya tanah, selalu
berada dalam posisi yang lemah, seperti halnya masyarakat translok. Masyarakat
translok merasa dijadikan korban dari program pemerintahan Orde Baru. Para
purnawirawan yang notabene merupakan abdi pemerintah, ditugaskan untuk
menempati lahan di Desa Wonorejo sebagai salah satu program menjaga
ketahanan dan keamanan negara dari intervensi luar dan mengembangkan
keahlian mereka untuk membentuk desa yang swadaya. Sepengetahuan
masyarakat translok bahwa mereka hanya tinggal menempati lahan pemukiman
tersebut yang berstatus Tanah Negara bekas tanah Perkebunan Kapuk Bajulmati
to user
Endang Suhendar dancommit
Yohana
Budi Winarni, Petani Dan Konflik
Agraria, (Bandung : Yayasan Akatiga, 1998), hal. 1-2.
43
perpustakaan.uns.ac.id
107
digilib.uns.ac.id
(C.O.B IV), tanpa tahu bahwa sebelumnya tanah tersebut telah diklaim oleh Suaka
Margasatwa Baluran.44
Masyarakat translok yang merupakan purnawirawan TNI AD, semestinya
sudah dapat hidup tentram dan nyaman dengan memiliki rumah dan lahan
persawahan, justru dihadapkan oleh permasalahan sengketa tanah yang telah
terjadi sejak mereka ditempatkan, bahkan hingga diteruskan oleh keturunannya
permasalahan ini tidak kunjung usai. Akhirnya dari hal tersebut di atas, para
purnawirawan atau keturunannya saat ini tidak merasa tenang mengerjakan
tanahnya. Bahkan masyarakat translok merasa tidak tenang untuk hidup di
pemukiman translok, hal itu terlihat dari berkurangnya jumlah KK yang ada d
lingkungan translok. Jumlah KK yang berada di pemukiman translok terus
berkurang yang tadinya berjumlah 68 KK, pada tahun 2006 menjadi 45 KK dan
terus mengalami pengurangan di tahun-tahun berikutnya. Masyarakat translok
yang sudah berumur, terlalu lelah untuk terus menunggu proses penyelesaian yang
tidak kunjung berhasil. Masyarakat translok akhirnya membangun rumah ke Desa
Wonorejo atau ke rumah anak-anaknya sehingga bekas rumah di pemukiman
translok dibiarkan kososng dan terkesan tidak terawat.45
2. Dampak Ekonomi
Dampak akibat sengketa tanah pemukiman translok dari segi ekonomi tidak
terlalu dirasakan masyarakat translok. Masyarakat translok yang merupakan
seorang purnawirawan TNI AD tentunya telah mendapakan penghasilan sendiri
44
Wawancara dengan Sutopo, pada tanggal 28 Juni 2011.
commit to user
45
Wawancara dengan Hasto Sugiarto, pada tanggal 28 Mei 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
108
digilib.uns.ac.id
dari dana pensiun dan juga hasil pertanian dari lahan jatah yang diberikan sewaktu
penempatan. Selama konflik sengketa tanah berlangsung, sebagian masyarakat
translok hanya meninggalkan lokasi pemukiman tetapi lahan pertanian tersebut di
kerjakan oleh masyarakat Desa Wonorejo dengan sistem bagi hasil.
Hanya saja dampak yang dirasakan ialah tersendatnya pembangunan
infrastruktur di pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya
akibat belum jelasnya status tanah di daerah tersebut. Infrasturktur di pemukiman
translok masih tertinggal dengan daerah lain terlebih dengan Desa Wonorejo.
infrasturuktur tersebut di antaranya, seperti pengadaan sarana irigasi pertanian,
pembuatan jalan beraspal, serta sarana umum lainnya. Sarana umum yang ada di
pemukiman translok dibangun berdasarkan dana swadaya masyarakat translok
tanpa ada bantuan dari Pemerintah Daerah terlebih dari Desa Wonorejo, sehingga
dalam pelaksanaannya kurang maksimal, seperti pembangunan jalan yang
menhubungkan Desa Wonorejo dengan Pemukiman translok, sarana Irigasi
persawahan, dan lain-lain.46
Pada tahun 2004 ada suntikan dana dari salah satu partai politik untuk
pembangunan Masjid di Translok Barat dan Mushala di Translok Timur.
Pemberian dana tersebut dilakukan dengan maksud untuk memberi dukungan
kepada salah satu calon legestatif dari daerah Situbondo. Salah satu calon tersebut
juga menjanjikan akan memperjuangkan penyelesaian kasus sengketa tanah yang
terjadi, namun hal itu juga belum direalisasikan.47
46
Wawancara dengan Hasto Sugiarto, pada tanggal 28 Mei 2012.
commit to user
47
Wawancara dengan dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
109
digilib.uns.ac.id
Akibat tersendatnya pembangunan Infrastruktur secara tidak langsung
mempengaruhi aktifitas ekonomi masyarakat translok. Bila musim hujan,
masyarakat translok tidak bisa leluasa berpergian keluar rumah, sebab jalan utama
pemukiman mereka becek dan berlumpur. Selain itu, pada musim kemarau
masyarakat translok kesulitan untuk melakukan aktifitas pertanian karena
kesulitan mendapatkan air dan harus memperolehnya dari sumur bor, untuk itu
masyarakat translok harus menambah alokasi biaya untuk membeli bahan bakar
diesel.48 Sebenarnya telah dibangun sarana irigasi dari Desa Wonorejo pada tahun
2006, alasannya karena sarana irigasi tersebut tidak pernah dialiri air karena jarak
dengan sumber air utama (Sungai Bajulmati) terlalu jauh sehingga hanya cukup
untuk mengaliri sawah di Desa Wonorejo.49
Dampak Ekonomi tidak hanya dirasakan oleh masyarkat trasnlok, tetapi
juga Pemerintah Daerah Tk II Situbondo. Karena menurut UUPA no 5/1960 tanah
yang tidak tercatat dalam Letter C pada Instansi IPEDA, maka tanah tersebut
tidak dikenakan Pajak Hasil Bumi (PBB/Landrente dulu), sehingga mengurangi
pendapatan APBD Kabupaten Situbondo dan oleh pemerintah dan masyarakat
sekitarnya tanah itu dihormati, diindahkan, dan diakui sebagai hak milik
seseorang sesuai hukum adat setempat.50 Sebenarnya masyarakat translok justru
menginginkan untuk dapat dikenakan pajak PBB dari Pemerintah Daerah, karena
48
Data diolah berdasarkan hasil wawancara dengan Hermanus dan Hasto
Sugiarto, pada tanggal 28 Mei 2012.
49
Wawancara dengan Misiran, pada tanggal 28 Juli 2011.
commit
user Pembangunan, (Jakarta : Sinar
Jhon Salindeho, Masalah
TanahtoDalam
Grafika, 1987), hal. 155.
50
perpustakaan.uns.ac.id
110
digilib.uns.ac.id
apabila telah ditarik maka sacara hukum tanah tersebut telah menjadi hak milik
masyarakat translok.51
51
commit to user
Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Persoalan sengketa tanah di Indonesia telah berlangsung sejak lama, dan
mencapai puncaknya pada pemerintahan Orde Baru, yang mengusung program
pembangunan dalam segala bidang. Program pembangunan pemerintahan Orde
Baru sangat mengekploitasi sumber daya tanah, sehingga pada penerapannya
banyak menimbulkan tumpang tindih kekuasaan atas tanah atau sengketa lahan
pada masyarakat adat setempat maupun instansi pemerintah, seperti halnya kasus
sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal (trasnlok) TNI AD Kodam
V/Brawijaya yang berada di Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten
Situbondo, Jawa Timur.
Pemukiman translok terbentuk berdasarkan Inisiatif dari Pangdam V
Brawijaya di atas bekas lahan Perkebunan Kapuk Bajulmati, C.O.B IV. Proses
pembentukan proyek translok sendiri telah berlangsung lama sejak 1974 dan baru
direalisasikan pada tahun 1976. Persoalan sengketa tanah pemukiman translok
berawal ketika pada tahun 1980 kawasan Hutan Baluran menjadi Taman Nasional
Baluran. Taman Nasional Baluran mengklaim kepemilikan atas status tanah
pemukiman translok yang berdasarkan pada:
1.
Proses Verbal tata batas suppletoir tanggal 24 Juni 1940 yang disahkan pada
tahun 1941.
commit to user
111
perpustakaan.uns.ac.id
2.
112
digilib.uns.ac.id
Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 15 Mei 1962. Nomor
Sk/11/1962, tentang penunjukan Labuhan Merak sebagai Suaka Margasatwa
Baluran.
Sebenarnya klaim atas tanah Pemukiman Translok telah dilakukan sejak awal
penempatan para purnawirawan pada pemukiman translok yang dilakukan oleh
Suaka Margasatwa Baluran pada tahun 1976. . Hal itu berdasarkan Surat Kepala
Seksi Perlindungan Dan Pengawetan Alam Jawa Timur Di Banyuwangi tanggal
23 Agustus 1976 Nomor : 736/IV/3/SPPA Jt 11, telah mengajukan keberatannya
terhadap rencana translok AD dan mengharap supaya proyek translok di gagalkan
dengan alasan tanah tersebut termasuk Kawasan Suaka Margasatwa Baluran.
Permasalahan sengketa tanah ini mulai muncul kepermukaan pada tahun
1978 ketika masyarakat translok mulai mempertayakan haknya atas status tanah
yang mereka tempati sejak 1976. Masyarakat translok mencoba mengajukan
permohonan sertifikat tanah ke kantor Bupati Situbondo Sub Direktorat Jenderal
Agraria (sekarang kantor pertanahan). Permohonan ini dilakukan oleh Ny Marsiah
mewakili seluruh masyarakat pemukiman translok, dengan membawa berkas
pengajuan hak milik untuk masing-masing luas tanah di pemukiman translok
artara lain untuk : tanah pertanian/sawah seluas 98,500 m2, tanah pertanian/sawah
seluas 324,000 m2, dan perumahan seluas 65, 000 m2. Namun, pengajuan ini
ditolak karena tanah tersebut masih dimiliki Kehutanan Kabupaten Situbondo.
Dasar bagi masyarakat translok untuk terus mempertahankan haknya atas
tanah pemukiman translok adalah bahwa mereka telah mempuyai peta bidang
mengenai luas areal tanah translok seluas 57 Ha yang dikeluarkan Kantor Bupati
commit to user
113
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tk II Situbondo Sub Direktorat Agraria. Selain itu, Penempatan mereka
berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan oleh Pangdam V/Brawijaya pada
tanggal 30 Juni 1976 dan juga surat perintah penetapan tanggal 18 Oktober 1977.
Dengan dasar penempatan yang telah diketahui oleh Bupati Tk II Kabupaten
Situbondo, Kantor Sub Direktorat Agraria, dan atas persetujuan mentri dalam
negeri dengan nomor surat Btu. 2/395/2-76.
Permasalahan sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD
Kodam V/Brawijaya, mencapai puncaknya ketika Taman Nasional Baluran
memperbaharui pemetaan atas wilayahnya, termasuk di dalamnya pemukiman
translok TNI AD Kodam V/Brawijaya. BTNB memasang patok-patok tanda batas
sebagai legitimasi atas wilayah pemukiman translok. Akibat dari pemasang patokpatok tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat trasnlok, masyarakat trasnlok
bersikap anarkis dengan menghancurkan patok-patok yang ada dan memasang
papan nama Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya
sebagai penanda daerah tersebut milik dari para purnawirawan TNI AD.
Permasalahan
sengketa
tanah
ini
semakin
berkembang
sehingga
mempengaruhi stabilitas politik yang ada di kabupaten Situbondo, oleh karna itu
diambil langkah cepat menyelesaikan permasalahan ini. proses penyelesaian yang
berlangsung melibatkan berbagai instansi yang terkait baik Pusat maupun daerah.
Pemerintah Daerah lewat
Bupati
Situbondo terus
mengupayakan
agar
permasalahan ini segera terselesaikan. Upaya tersebut dilakukan dengan cara
melobby setiap pejabat yang terkait permasalahan ini seperti Menteri Kehutanan
bahkan hingga ke tingkat DPR Pusat. Hal ini dikarnakan para pejabat tingkat
commit to user
114
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pusatlah yang dapat membuat kebijakan mengenai kasus tanah ini. Namun upaya
ini belum bisa membuahkan hasil yang memuaskan. Para pejabat tersebut
terkesan saling melempar tanggung jawab mengenai siapa yang seharusnya
menyelesaikan perasalahan ini.
Pada tahun 2006 Balai Taman Nasional Baluran juga mengupayakan proses
penyelesaian atas kasus sengketa tanah ini. BTNB merekomendasikan kepada
Departemen Kehutanan agar masyarakat translok tidak dikeluarkan dari desa
Wonorejo tetapi dicarikan lahan pengganti yang luasnya sama dengan pemukiman
translok, maka dipilihlah lahan Perkebunan PT Kapuk Baluran Indah yang
menghadap ke utara berbatasan langsung dengan Taman Nasional Baluran.
Ususlan ini juga disetujui oleh masyarakat translok karena letaknya yang strategis
dan telah berbentuk lahan pertanian. Oleh karna itu, masyarakat translok
kemudian meneruskannya ke BPN situbondo, namun usulan ini kembali ditolak
karena kontrak HGU dari PT Kapuk Baluran Indah belum habis.
Konflik yang berkepanjangan sangat berdampak buruk bagi kondisi sosial
ekonomi masyarakat translok. Masyarakat translok menjadi resah karena
ketidakjelasan status tanah yang mereka tempati sejak tahun 1976, akibatnya
penghuni translok yang pada awalnya berjumlah 68 KK mulai berkurang menjadi
45 KK pada tahun 2006. Selain itu dampak konflik lainnya ialah tersendatnya
pembangunan infrastuktur di wilayah pemukiman translok, sehingga sangat
mengganggu aktifitas dari masyarakat translok. Masyarakat translok harus
merogoh kocek yang lebih untuk bisa bertahan di pemukiman translok.
commit to user
Download