perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PENGUASAAN TANAH TAMAN NASIONAL BALURAN OLEH TRANSMIGRASI LOKAL (TRANSLOK) TNI ANGKATAN DARAT DI DESA WONOREJO, KABUPATEN SITUBONDO Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh: DRAJAD SUJATMIKO C0507001 FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERNYATAAN NAMA NIM : DRAJAD SUJATMIKO : C0507001 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Penguasaan Tanah Taman Nasional Baluran Oleh Transmigrasi Lokal (Translok) TNI Angkatan Darat di Desa Wonorejo, Kabupaten Situbondo adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut. Surakarta, 23 Juli 2012 Yang membuat pernyataan DRAJAD SUJATMIKO C0507001 commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id MOTTO Kepuasan terletak pada usaha, bukan pada hasil. Berusaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki. (Mahatma Gandhi) Orang luar biasa itu sederhana dalam ucapan tetapi hebat dalam tindakan (Confusius) Jadilah orang yang bertanggungjawab, sebab dapat membentuk jiwa yang hebat (Penulis) commit to user v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERSEMBAHAN Dengan tulus hati karya ini kupersembahkan kepada mereka yang banyak berkorban dan senantiasa berdo’a demi terselenggaranya studi ini: 1. Bapak dan Ibu tercinta 2. Mas Rinto, dan Mbak Wikan tersayang 3. Adystya Imawahyu commit to user vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, nikmat, hidayah dan kemudahan serta kesempatan yang tiada terkira, sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Salam dan shalawat semoga senantiasa terlimpahkan kepada Pemimpin Besar Revolusi Dunia, Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, dan sahabat serta para pengikutnya yang senantiasa tegar dan sabar dalam menegakkan risalah-Nya. Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, baik berupa bimbingan, pengarahan, kesempatan, saran-saran, motivasi, maupun bantuan materi yang sangat besar artinya bagi penulis. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, ijinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan perijinan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. 2. Dra. Sawitri Pri Prabawati, M. Pd selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah, dan pembimbing Utama yang telah memberikan masukan serta kemudahankemudahan pada penulisan skripsi ini. 3. Suharyana, M. Pd., selaku ketua penguji yang telah memberikan masukan serta arahan untuk kesempurnaan skripsi ini. 4. Insiwi Febriary Setiasih, SS, MA., selaku sekretaris penguji yang telah memberikan masukan untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini. 5. Tiwuk Kusuma Hastuti, SS, M. Hum., selaku pembimbing akademik dan Penguji II yang telah memnberikan saran dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini. 6. Asti Kurniawati, SS, M. Hum., beserta suami, terima kasih atas bantuan buku dan keluangan waktu berbincang bersama saya. commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7. Drs.Supariadi.M.Hum, terimakasih atas saran dan masukan untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini. 8. Bapak dan Ibu Dosen Ilmu Sejarah dan seluruh Pegawai Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 9. Staf Karyawan Perpustakaan Pusat UNS, Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan STPN Yogyakarta, Perpustakaan Kependudukan UGM, dan Balai Taman Nasional Baluran. 10. Teristimewa untuk orang tua dan keluarga penulis yang tiada hentihentinya memberikan dukungan dan dorongan moril maupun materil kepada penulis. Dengan doa restu yang sangat mempengaruhi dalam kehidupan penulis, kiranya Allah SWT membalasnya dengan segala berkah-Nya. 11. Kedua kakakku yang tersayang, Mas Rinto, Mbak Wikan terima kasih atas semangatnya. 12. Hermanus, Hasto Sugiarto, dan Seluruh masyarakat translok terimakasih atas kelonggaran waktunya dalam memberikan data dan informasi bagi penulisan skripsi ini. 13. Adystya Imawahyu tercinta yang telah memberikan semangat dan selalu setia menemani penulis dalam suka maupun duka dalam penulisan skripsi ini. 14. Teman-teman Historia 2007 yang selalu memberikan inpirasi kepada penulis. Khusus buat Langgeng, Dian, Agung, Dewi, Lita, Eko, dan Hasan yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan sehingga skripsi ini terselesaikan. 15. Keluarga Besar Sentraya Bhuana PMPA FSSR UNS, Khususnya angkatan diksar 21 Herfianto, Andi Pramono, Dwi Ari, Seno Wibowo yang telah memberikan banyak hal selama ini, pengalaman, wawasan, dan persaudaraan. commit to user viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16. Teman-teman Kost agape yang telah banyak membantu selama penulisan skripsi ini, khususnya Agung Darmawan terima kasih telah menemani setiap malam. 17. Semua pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu-persatu. Akhirnya, hanya kepada Allah-lah penulis menyerahkan segalanya, semoga Allah berkenan memberikan ridho dan ampunannya atas segala kekhilafan. Dan semoga skripsi sederhana ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Surakarta, 23 Juli 2012 Penulis commit to user ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii PERNYATAAN .............................................................................................. iv HALAMAN MOTTO ...................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................... x DAFTAR ISTILAH ........................................................................................ xiii DAFTAR SINGKATAN.................................................................................. xvi DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ............................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xviii ABSTRAK ....................................................................................................... xx ABSTRACT ..................................................................................................... xxi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................... 10 C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 11 D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 11 E. Kajian Pustaka ............................................................................ 12 F. Metode Penelitian ....................................................................... 16 G. Sistematika Skripsi ..................................................................... 21 BAB II GAMBARAN UMUM PEMUKIMAN TRANSMIGRASI LOKAL TNI AD KODAM V/BRAWIJAYA A. Kondisi Geografis Pemikiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya ................................................................... commit to user x 23 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id B. Proses Penempatan Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya ................................................................................ 29 1. Awal Mula Penempatan Translok........................................ 29 2. Dasar Penempatan Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya ......................................................................... 39 C. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya ........................................................... 41 1. Kondisi Sosial ...................................................................... 41 2. Kondisi Ekonomi ................................................................. 47 D. Pengaruh Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya Terhadap Desa Wonorejo ...................................... 52 BAB III PROSES SENGKETA LAHAN PEMUKIMAN TRANSMIGRASI LOKAL TNI AD KODAM V/BRAWIJAYA TAHUN 1976-2006 A. Kondisi Lahan Pemikiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya Setelah Penempatan .................................. 57 B. Sengketa Tanah Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya Antara Taman Nasional Baluran dan Masyarakat Translok Tahun 1976-1987 ..................................... 62 C. Usaha Pemerintah dan Militer dalam Menyelesaikan Sengketa Tanah Tahun 1976-1987 ............................................................. 72 BAB IV PERKEMBANGAN SENGKETA TANAH PEMUKIMAN TRANSMIGRASI LOKAL TNI AD KODAM V/BRAWIJAYA TAHUN 1988-2006 A. Perkembangan Sengketa Tanah Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya Antara Taman Nasional Baluran dan Masyarakat Translok Tahun 1988-2006 .................. 79 B. Proses Penyelesaian Yang Dilakukan Pemerintah dan Balai Taman Nasional Baluran Tahun 1988-2006 ................................ commit to user 1. Upaya Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo ............... xi 87 87 perpustakaan.uns.ac.id 2. digilib.uns.ac.id Upaya Balai Taman Nasional Baluran Dalam Proses Penyelesaian Masalah Sengketa Tanah Translok ............... 99 C. Dampak Sengketa Tanah Pemukiman Transmigrasi TNI AD Kodam V/Brawijaya Surakarta .................................................... 105 1. Dampak Sosial ..................................................................... 105 2. Dampak Ekonomi ................................................................ 107 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ........................................................................... 111 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 115 DAFTAR INFORMAN.................................................................................... 121 LAMPIRAN .................................................................................................... commit to user xii 123 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISTILAH Accacia : Nama Latin dari tumbuhan Akasia. Alluvial : Suatu jenis tanah yang kaya akan mineral tetapi miskin akan bahan organik. Bersih desa : Upacara adat yang difungsikan untuk menghilangkan unsur jahat dalam suatu desa. Bosh grond : Tanah dengan status Tanah Negara Curah Gunung Baluran : Sungai-sungai kecil yang mengalir di kaki Deforestasi : Penebangan hutan dan konversikan secara permanen untuk berbagai manfaat lainnya. Educatie : Salah satu program dari politik Etis untuk memajukan pendidikan Hindia Belada. Emigrasi : Salah satu program politik Etis, melaksanakan perpindahan penduduk Hindia Belanda. Fragmentasi : pengurangan jumlah luas pertanian tanah karena pembangunan ataupun peralihan hak. Hak erpach : Hak yang paling kuat yang dipunyai seseorang di atas tanah orang lain. Hijab : Sekat pembatas untuk memisahkan laki-laki dan perempuan. Irigatie : Salah satu program politik Etis untuk membangun sarana pengairan sawah. Klaim : Menetapkan atas sesuatu hak. Kolonisasi : Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang memindahkan besar-besaran penduduk pribumi. Openbaarheid terbuka. : Azas pendaftaan tanah yang bersifat umum dan Onderneming : Sub atau bagian wilayah perkebunan. commit to user xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Petik laut : Upacara adat para nelayan, dimaksudkan sebagai rasa syukur atas hasil yang melimpah. Politik etis : Politik balas budi Pemerintah Kolonial Belanda atas tanah jajahannya/Hindia Belanda. Prospority approach : Orientasi program transmigrasi dengan pendekatan dari segi kesejahteraan masyarakat. Psikososial : Kondisi psikologis masyarakat. Purnawirawan : Anggota TNI/POLRI yang sudah habis masa jabatannya/pensiun. Rabicca kecambah. : Buah dari tumbuhan akasia yang berupa Romusha : Sebutan pribumi yang bekerja paksa untuk tentara Jepang. Ruwatan sawah : Tradisi syukuran yang dilakukan petani menyambut musim panen. Sapta marga : Desa dengan berkepribadian militer yang bersifat tangguh dan berpendidikan pancasila. Security approach : Orientasi program transmigrasi dengan pendekatan dari segi-segi keamanan. Spesialiet : Azas pendaftaan kekhususan dalam pendaftaran tanah yang meliputi pelaksanaan teknis. Suppletoir : Permohonan tata batas hutan Taman Nasional State base forest management : pengelolaan sumberdaya hutan yang berbasis pada manajeman Negara. Water sheet : Daerah resapan air. Zonasi : Pengelolaan Taman Nasional berdasarkan pembagian wilayah sesuai dengan fungsinya commit to user xiv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR SINGKATAN ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia AD : Angkatan Darat BABINTRANSJA :Badan Pembina Transmigrasi Jawa Timur BRN : Transmigrasi Biro rekontruksi Nasional BTNB : Balai Taman Nasional Baluran COB : Capok Onderneming Bajulmati CTN : Transmigrasi Corps Cadangan Nasional Dan Dim : Komandan Kodim DI/TII : Darul Islam/Tentara Islam Indonesia GBHN : Garis Besar Haluan Negara G.30.S/PKI : Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia HAMKAMNAS : Pertahanan Keamanan Nasional HGB : Hak Guna Bangunan HGU : Hak Guna Usaha KALURJADAM : Kepala Penyalur Tenaga Kerja Kodam V Brawijaya Kapoktan : Kelompok Petani KK : Kepala Keluarga Kodam : Komando Daerah Militer Kodim : Komando Distrik Militer Korem : Komando Resort Militer KUD : Koprasi Unit Desa Mendagri : Menteri Dalam Negeri commit to user xv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Menhut :Menteri Kehutanan PANGDAM : Panglima Daerah Militer PHPA : Perlindungan Hutan dan Pengawetan Alam PKK : Perempuan Ketahanan Keluarga PMDN : Peraturan Menteri dalam Negeri PNS : Pegawai Negeri Sipil PPA : Perlindungan dan Pengawetan Alam Prokimad : Proyek Pemukiman Kembali TNI Angkatan Darat PT : Perseroan Terbatas Repelita : Rencana Pembangunan Lima Tahun SEKWIDA : Sekertaris Wilayah Daerah SKEP : Surat Keputusan Panglima Daerah Militer SPKP : Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan TNI : Tentara Nasional Indonesia Translok :Transmigrasi Lokal Transtannas : Transmigrasi Ketahanan Nasional UPT : Unit Pelayanan Teknis commit to user xvi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR DAN TABEL GAMBAR Gambar I Peta Wilayah Taman Nasional Baluran ......................................... 30 TABEL Tabel I. Luas Tanah Bekas COB IV ............................................................ 34 Tabel II Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Wonorejo......................... .. 43 Tabel III. Data Perburuan Liar Dalam Kawasan Taman Nasional Baluran Tahun 1997-2000 ........................................................................... 53 Tabel IV Data Perkembangan Status Kawasan Taman Nasional Baluran .... 65 Tabel V 81 Data Kerusakan Hutan Akibat Perambahan Tahun 1996-2000 ..... commit to user xvii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN I Surat Kodim 0823 Situbondo kepada Dan Rem 083 Malang Perihal Penyediaan Areal Tanah Untuk Translok KodamVIII/Brawijaya ................................... 123 LAMPIRAN II Surat Keputusan Kodam VIII Brawijaya tentang Ketentuan-ketentuan Penggunaan Tanah Di proyek TRANSAD Lokal DAM VIII/Brawijaya ..................... 125 LAMPIRAN III Surat Turunan Bupati TK II Situbondo Kantor Sub Direktorat Agraria kepada Gubernur TK I Jawa Timur Perihal Kebutuhan Tanah Untuk Translok AD ............ 127 LAMPIRAN IV Surat Kodim 0823 Situbondo kepada Bupati TK II Situbondo Perihal Hasil Survei yang Dilakukan Kodim 0823 pada Areal Tanah Negara EX COB IV Seluas 85 Ha ................................................................. 128 LAMPIRAN V Surat Tindasan Bupati TK II Situbondo kepada Gubernur TK I Jawa Timur Perihal Penjelasan Mengenai Luas Tanah Bekas C.O.B IV ....................... 129 LAMPIRAN VI Surat Menteri Dalam Negeri RI Kepada gubernur Jawa Timur Perihal Izin Menteri Dalam Negeri Dalam Pelaksanaan Proyek Translok AD..................... 130 LAMPIRAN VII Surat Bupati TK II Situbondo Tentang Penjelasan Mengenai Tanah Translok dan Langkah-langkah yang Telah Dilakukan dalam Rangka Penyediaan Tanah Translok ........................................................................ 132 LAMPIRAN VIII Surat Keputusan Pangdam VIII Brawijaya Tentang Areal Tanah di Desa Wonorejo, Kec Banyuputih, Kab Situbondo Dijadikan Pemukiman Translok AD ........... 134 LAMPIRAN IX Surat Kepala Staf TNI AD kepada Direktur Jenderal Kehutanan ..................................................................... 135 LAMPIRAN X Surat Perintah Pangdam VIII Brawijaya tentang Pemindahan Segera Para Anggota TNI AD Yang Sudah Terdaftar ............................................................ 138 LAMPIRAN XI Lampiran Surat Perintah Pangdam VIII Tanggal 18 Oktober 1977 Perihal daftar Nama, Kesatuan dan commit to user............................................. 140 Jatah Rumah serta Sawah xviii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id LAMPIRAN XII Peta Bidang Luas Translok Timur dan Barat yang di Keluarkan BPN Situbondo ........................................... 143 LAMPIRAN XIII Surat Permohonan Masyarakat Translok dalam Pembuatan Sertifikat Tanah Tahun 1978 ..................... 145 LAMPIRAN XIV Gambar Bentuk Rumah Para Purnawirawan Sebelum Sesudah di Renovasi ..................................................... 146 LAMPIRAN XV Gambar Areal Persawahan dan Papan Nama Pemukiman Translok .................................................... 147 LAMPIRAN XVI Tanda Batas Taman Nasional Baluran Terhadap Kawasan Pemukiman Translok yang Berupa Papan Nama dan Patok Batas .................................................. 148 LAMPIRAN XVII Surat Bupati Situbondo kepada Gubernur Jawa Timur Perihal Hasil Pembahasan Rapat Penyelesaian Status Tanah Pemukiman Translok ......................................... 149 LAMPIRAN XVIII Surat Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kabupaten Situbondo tentang Permasalahan Tanah yang Berkembang di Kabupaten Situbondo ................ 152 LAMPIRAN IX Surat Bupati Situbondo kepada Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Agraria, dan Kepala Staf TNI-AD Perihal Penyelesaian Tanah Lokasi Translok ............................................................ 154 LAMPIRAN XX Risalah Penggunaan Sebagian Kawasan Suaka Margasatwa/Taman Nasional Baluran sebagai Lokasi Proyek Pemukiman Tanslok TNI AD........................... 155 LAMPIRAN XXI Surat Bupati Situbondo Kepada Menteri Kehutanan Perihal Penyelesaian Tanah Lokasi Pemukiman Translok Selama 3 Bulan .............................................. 159 LAMPIRAN XXII Surat Menteri Kehutanan kepada Bupati Situbondo Perihal Kebijakan Relokasi Atas Masyarakat Translok 160 LAMPIRAN XXIII Berita Acara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Situbondo Tentang Rapat Kerja Penyelesaian Sengketa Tanah Pemukiman Translok ... 161 LAMPIRAN XXIV Surat Balai Taman Nasional Baluran kepada Bupati commitPenyelesaian to user Situbondo Perihal Sengketa Tanah ......... 162 xix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK DRAJAD SUJATMIKO. C0507001.Penguasaan Tanah Taman Nasional Baluran Oleh Transmigrasi Lokal (Translok) TNI Angkatan Darat di Desa Wonorejo, Kabupaten Situbondo. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan penelitian ini adalah mencari jawaban dari permasalahan mengenai latar belakang terjadinya sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal (translok) Kodam V/Brawijaya, bentuk sengketa tanah yang terjadi di pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya, dan proses penyelesaian sengketa tanah di pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya. Sejalan dengan tujuan penelitian, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis yang mencakup empat langkah, yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Sumber-suber data yang di dapat berasal dari studi dokumen yang berupa arsip-arsip, studi pustaka, dan wawancara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sengketa tanah yang terjadi di pemukiman Transmigrasi Lokal disebabkan tanah seluas 57 Ha dklaim oleh Taman Nasional Baluran masuk ke dalam wilayah konservasi Taman Nasional Baluran, akibatnya masyarakat translok tidak dapat memperoleh pengakuan Hak Milik atas tanah tersebut yang berupa sertifikat tanah. Atas klaim tersebut Taman Nasional Baluran kemudian membangun batas-batas hutannya secara sepihak tanpa melibatkan Instansi terkait, seperti pembangunan patok-patok batas tanpa melibatkan Pertanahan Kabupaten Situbondo. Tindakan tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat translok, masyarakat translok memprotes tindakan Balai Taman Nasional Baluran (BTNB), hingga menghancurkan patok-patok batas yang ada. Sengketa tanah yang terjadi di pemukiman translok mempengaruhi stabilitas politik di Kabupaten Situbondo, oleh sebab itu Pemerintah Daerah dan juga Kodam V/Brawijaya langsung terjun untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kedua instansi tersebut mencoba untuk mencarikan titik temu di antara kedua belah pihak yang bersengketa, namun proses penyelesaian ini belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Adanya tarik menarik kepentingan akan permasalahan sengketa tanah ini membuat proses penyelesaian berjalan lambat. Para instansi pemerintah yang terlibat dalam proses penyelesaian seolah-olah saling melemparkan tanggung jawab tanpa ada yang bisa memberikan keputusan akan permasalahan sengketa tanah ini. Akibatnya masyarakat translok hidup dalam keresahan karena tidak mendapatkan status yang jelas akan tanah yang mereka huni sejak pertama mereka di tempatkan tahun 1976. commit to user xx perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Abstract DRAJAD SUJATMIKO. C0507001. The Monopoly land of The Baluran National Park by The Indonesian Army Local Transmigration in Wonorejo, The District of Situbondo. Thesis: History Department, The Faculty of Letters and Fine Arts, Sebelas Maret University. This analysis purposes to find the answers of the causes how the regency dispute of The Kodam V Brawijaya Local Transmigration happenned, the kind of regency dispute happenned in the regency of The Indonesian Kodam V Brawijaya Army Local Transmigration, and the process of regency dispute settlement in the regency of The Indonesian Kodam V Brawijaya Army. The method applies on this analysis is a historical method which includes four steps, those are heuristic, source of criticism, interpretation, and historiography. The sources of information are taken from the document study which consists of archives, library study, and interview. The result of this analysis shows that the district dispute that happenned in the regency of The Local Transmigration caused by the 57 ha land which was claimed by The Baluran National Park is the area of The Baluran National Park Conservation, so that the local transmigration society can not get that residence Copyright confession which is a land certificate. By that claim, The Baluran National Park built forest borders by itself without compromising with the legal institution, for example, the building process of the border stakes without compromising The Land Institution of The District of Situbondo. That action caused the reaction from The Local Transmigration society which was a protest for The Baluran National Park Association by destroying those bolder stakes. The regency dispute happenned on the national transmigration regency influences policy stability in The District of Situbondo, so that the Local Government and the Kodam V Brawijaya took actions to solve those problems. Those both institutions tried to find solutions between the both disputed sides, but this process of settlement have not got good results. The individualism for struggling their own importance makes this process run slowly. The government institutions included in this process apparently throwing their responsibility without giving any decision for the regency dispute. It makes the local transmigration society lives in a fridgety because they don’t get a status for their land which have been occupied since 1976. commit to user xxi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan tanah yang lebih sering dikenal dengan konflik agraria atau sengketa tanah merupakan sebuah masalah sosial yang sering terjadi di Indonesia, sejak pendudukan pemerintah Kolonial Balanda sampai sekarang. Dalam perkembangannya sengketa tanah di Indonesia dibagi menjadi tiga periode pembahasan, yaitu pada masa prakemerdekaan, pascakemerdekaan, dan pada masa Orde Baru. Terlebih pada priode pemerintahan Orde Baru, sangat banyak terjadi kasus sengketa tanah, karena sangat mengdepankan progam pembangunan dalam segala bidang khususnya dalam bidang ekonomi, sehingga sangat mengeksploitasi sumber daya tanah. Sengketa tanah yang terjadi dibanyak negara berkembang, seperti di Indonesia umumnya banyak di pengaruhi oleh empat ketimpangan dalam penggunaan tanah, diantaranya; penyalahgunaan penggunaan tanah, peruntukan tanah yang tidak sesuai, konsepsi akan tanah yang salah, dan produk hukum tanah yang tidak sesuai lagi. Banyaknya permasalahan tanah yang terjadi di Indonesia tentu saja sangat berdampak pada petani. Petani yang kehidupannya sangat tergantung sepenuhnya pada sumberdaya tanah, selalu berada pada posisi yang lemah, petani cenderungmenjadi pihak yang dirugikan dalam konteks kekuasaan commit to user 1 2 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id politik yang berlaku pada suatu wktu tertentu.1 Tanah atau sumberdaya lainnya dalam suatu masyarakat agraris tidak hanya menjadi salah satu faktor produksi, tetapi juga memiliki arti penting lainnya baik menyangkut aspek sosial maupun politik.2 Permasalahan tanah yang terjadi pada masa Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari landasan kebijakannya dalam pembangunan. Permasalahan agraria yang timbul pada masa Orde Baru ditimbulkan oleh kurang tepat atau terarahnya kebijakan-kebijakan yang menyangkut soal pertanahan. Terdapat beberapa faktor terjadinya permasalahan tanah diantaranya; kehutanan, perkebunan, pertambangan, industri, pariwisata, dan transmigrasi. Faktor yang terakhir menarik untuk dikaji lebih lanjut karena transmigrasi yang pada awalnya diberlakukan untuk mengurangi jumlah penduduk dan pemerataan ekonomi penduduk Indonesia ternyata justru menimbulkan masalah tanah dalam pelaksanaannya.3 Program transmigrasi sebenarnya telah dimulai sejak zaman Belanda yaitu pada awal abad ke -20 atau lebih tepatnya pada tahun 1905, yang dikenal dengan priode kolonisasi. Program kolonisasi ini merupakan hasil dari adanya kebijakan politik etis yang dikenal dengan tiga kebijakannya yaitu, educatie, irrigatie, dan 1 Endang Suhendar danYohana Budi Winarni, Petani dan Konflik Agraria, (Bandung: Akatiga, 1998), hal.3. 2 3 Ibid. hal. 1 Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun, Sepuluh Windu Transmigrasi di Indonesia 1905-1985, (Jakarta commit :Universitas Indonesia /UI- Press, 1985), hal 7to user 8. perpustakaan.uns.ac.id 3 digilib.uns.ac.id emigrasi. Pada awalnya program transmigrasi yang dilakukan pemerintah kolonial hanya untuk mengurangi kepadatan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa yang dianggap masih kosong. Penduduk Jawa yang sangat padat dipandang sebagai penyebab meningkatnya petani tunawisma, pengangguran, fragmentasi tanah, deforestasi.4 Setelah kemerdekaaan program transmigrasi kolonial kembali dilanjutkan oleh pemerintahan Orde Lama. Keadaan negara yang tidak stabil dari segi ekonomi dan politik membuat banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah kemiskinan berusaha untuk mencari daerah penghidupan yang baru sehingga timbul banyak transmigrasi spontan. Selain itu, banyak dari para pejuang yang tidak mempuyai tempat tinggal juga melakukan transmigrasi yang disebut Transmigrasi Corps Cadangan Nasional (CTN) dan juga Transmigrasi Biro rekontruksi Nasional (BRN).5 Pada masa pemerintahan Orde Baru kebijakan program transmigrasi semakin ditingkatkan hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya jumlah kepala keluarga (KK) yang dipindahkan semakin meningkat drastis. Tercatat dalam Repelita I berhasil dipindahkan 127.689 jiwa. Lalu meningkat pada Repelita II 204.250 dan Repelita III berjumlah 535.000 kk.6 Dan terus meningkat pada Repelita-repelita berikutnya. Transmigrasi dalam pemerintahan Orde Baru banyak yang diusahakan dari umum yang pembiayaan serta pelaksanaannya diusahakan pemerintah dan juga swadana yang diusahakan secara mandiri. 4 Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, op cit, hal, 126. 5 Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun, op cit , hal 19-20. commit to user 6 Ibid., hal. 76. perpustakaan.uns.ac.id 4 digilib.uns.ac.id Pada masa Orde Baru juga dicanangkan kebijakan transmigrasi yang berorientasi pada ketahanan dan keamanan negara atau yang lebih sering disebut Transtannas (transmigrasi ketahanan nasional). Tujuan dari transmigrasi tersebut ialah memperkuat pertahanan dan keamanan nasional, peningkatan taraf hidup dan untuk penguatan idiologi negara. Dengan lahirnya Orde Baru, maka terjadi perubahan-perubahan yang mendasar dalam pola penyelenggaraan transmigrasi. Orientasi transmigrasi lebih diperkuat dengan motivasi ekonomi, sehingga terjadi pendekatan dari segi-segi kesejahteraan (Prospority approach) dan segi-segi keamanan (security approach).7 Sejak berakhirnya pemerintahan Orde Lama yang ditandai dengan berhasil ditumpasnya Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia maka sejak itu pula paham komunis di Indonesia sudah dilarang pemerintah dan kembali kepada Pancasila sebagai dasar negara. Banyak cara yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk menangkal paham komunis beredar kembali di Indonesia. Salah satunya dengan membuat pemukiman para anggota TNI/ABRI di tengah-tengah masyarakat terlebih di lingkungan pedesaan. Sejak awal pemerintahan Orde Baru, militer sangat berperan dalam segala bidang pemerintahan, mulai dari tatanan birokrasi hingga tatanan sosial masayarakat sehingga militer dapat dengan mudah membangun pemukiman untuk anggotanya. Banyak Daerah Komando Militer yang membangun lokasi pemukiman untuk para purnawirawan TNI/ABRI, seperti Badan Pembinaan Hukum Nasional. Seminar Segi-segi Hukum commit to user Pembangunan dan Kependudukan. (Sumatra Barat : Bina Cipta, 1976) hal 21. 7 perpustakaan.uns.ac.id 5 digilib.uns.ac.id pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya8 di Desa Wonorejo kabupaten Situbondo. Selain di Desa Wonorejo, terdapat beberapa lokasi pemukiman TNI yang serupa, seperti di daerah Muncar Banyuwangi, Asem Bagus Situbondo, dan yang terbesar terdapat di daerah Tulang Bawang Lampung yang terdapat hampir 3 Desa Inti.9 Fungsi dari pemukiman TNI di tengah-tengah masyarakat pedesaan ialah sebagai penangkal masuk atau lahirnya kembali ideologi komunis di tengahtengah masyarakat Indonesia. Anggota TNI yang di tempatkan diharapkan dapat menyatu dengan masyarakat desa dan memberikan perubahan ke arah yang lebih maju. Pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya merupakan suatu program Kodam V/Brawijaya yang ingin memberikan tempat tinggal dan lahan pertanian kepada para anggota TNI AD Kodam V/Brawijaya yang telah habis masa jabatannya (purnawirawan) dan tidak memiliki tempat tinggal. Bahwa Pangdam V Brawijaya merasa perlu untuk mengeluarkan kebijakan mengenai pemberian sejumlah lahan pertanian dan sebuah rumah sederhana sebagai tanda balas jasa negara terhadap jasa-jasa para purnawirawan TNI AD angkatan 45 yang telah banyak berkorban untuk bangsa Indonesia khususnya yang berada pada 8 Sesuai Keputusan Kasad Nomor : Kep/4/1985 tanggal 12 Januari 1985, sebutan Kodam VIII/Brawijaya, diganti menjadi Kodam V Brawijaya. Perubahan ini disebabkan adanya reorganisasi yang dilakukan TNI-AD, berpedoman pada prinsip" A Small Effective Unit " sehingga dari 17 Kodam disusun kembali menjadi 10 Kodam. file:///G:/Downloads/Brawijaya.htm. Diakses pada tanggal 4 Mai 2012 pukul 22.00. 9 Syah Djohan Darwis, Strategi Pemukiman ABRI di Dalam Transtannas dan Desa Sapta Marga Sebagai Dampak commit Positif to userUntuk Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Jakarta: PUSLITBANG Depnakertrans), hal. 38 perpustakaan.uns.ac.id 6 digilib.uns.ac.id jajaran Kodam V Brawijaya. Sejalan dengan program pemerintah Orde Baru, bahwa pemukiman translok Kodam V/Brawijaya harus mewujutkan pola pemukiman ketahanan nasional. Pemukiman translok TNI AD Kodam V/Brawijaya menempati tanah seluas 57 hektar. Jumlah KK yang menempati Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya ini awalnya berjumlah 65 orang dan bertambah menjadi 68 orang, terdiri dari para pensiunan Angkatan Darat yang berasal dari kesatuan-kesatuan di bawah jajaran Kodam V Brawijaya, dengan pangkat tertinggi perwira menengah setingkat Mayor. Proses pembagian lahan sendiri tidak berdasarkan tingkatan pangkat, semua mendapatkan jatah yang sama, yaitu berjumlah 7500 m2.. Translok yang berada di Desa Wonorejo dibagi menjadi dua wilayah yaitu Translok Barat yang berada di Dusun Jelun dan Translok Timur berada di Dusun Pandean. Translok barat berjumah 34 KK dan timur berjumlah 34 KK.10 Kehadiran Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya sebenarnya banyak mempengaruhi tata sosial masyarakat Desa Wonorejo. seperti: birokrasi desa, kebudayaan masyarakat, cara bercocok tanam dan lain-lain11. Pengaruh positif terhadap Desa wonorejo tersebut tidak diikuti dengan kejelasan status tanah masyarakat translok itu sendiri, karena status tanah pemukiman translok TNI AD Kodam V/Brawijaya tersebut masih bersengketa. Masyarakat translok begitu ditempatkan langsung dihadapkan dengan realita bahwa tanah tersebut milik dari Dinas Kehutanan Kabupaten Situbondo. 10 Wawancara dengan Hermanus, pada hari sabtu , tanggal 3 Juni 2012. commit to user 11 Wawancara dengan Suwarno, pada hari minggu, tanggal 28 Juni 2012. perpustakaan.uns.ac.id 7 digilib.uns.ac.id Proses sengketa lahan pemukiman translok TNI AD Kodam V/Brawijaya sebenarnya telah ada sejak awal mula penempatan. Tanah yang akan dijadikan proyek pemukiman telah dklaim oleh Suaka Margasatwa Baluran sebagai instansi di bawah Dinas Kehutanan Kabupaten Situbondo yang mengurusi hutan Baluran. Suaka Marga Satwa Baluran telah melayangkan protes terhadap proyek pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya untuk digagalkan,12 namun proyek tersebut tetap dijalankan Kodam V/Brawijaya yang mengaggap tanah tersebut berstatus tanah negara bebas. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Situbondo dan Kodam V Brawijaya tehadap tanah pemukiman translok, menyebutkan bahwa awal mula kepemilikan lahan sebelum adanya Translok TNI AD ini adalah bekas perkebunan Kapuk Bajulmati pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perkebunan Kapuk Bajulmati dibagi menjadi empat wilayah perkebunan (C.O.B), antara lain C.O.B I Labuhan Merak, C.O.B II Suaka Marga Satwa Baluran (sekarang Taman Nasional Baluran), C.O.B III (sekarang PT Baluran Indah), dan C.O.B IV perluasan Desa Wonorejo (sekarang pemukiman transmigrasi lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya.13 Atas dasar itulah Pangdam V Brawijaya tetap meneruskan proyek pemukiman yang diperuntukan untuk para purnawirawan TNI AD Kodam V Brawijaya. 12 Arsip Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan Kabupaten Situbondo, Permasalahan Tanah Yang Berkembang (strategis) di Kabupaten Situbondo, 1991, hal.1.(Koleksi Pribadi Hermanus). 13 Arsip Surat Bupati Kepala daerah Tingkat II Situbondo kepada Gubernur Kepala Daerah tingkat I Jawa Timur up Kepala Direktorat Agraria, pada tanggal 30 Januari 1976, commit perihal to permohonan tanah untuk translok AD. user (koleksi pribadi Hermanus). perpustakaan.uns.ac.id 8 digilib.uns.ac.id Pada tanggal 6 Maret 1980 diresmikan Taman Nasional Baluran yang menggantikan Suaka Marga Satwa Baluran. Kehadiran Taman Nasional Baluran ternyata menimbulkan masalah baru bagi status lahan pemukiman Translok TNI AD di Desa Wonorejo. Pihak Taman Nasional Baluran semakin mengukuhkan tanah pemukiman tersebut masuk ke dalam wilayah konservasi Taman Nasional Baluran. Hal ini berdasarkan Surat Keputusan Mentri Pertanian dan Agraria tanggal 15 Mei 1962 Nomor: SK/11/1962, tentang penunjukan Labuhan Merak sebagai Suaka Margasatwa Baluran dan Berita acara panitia tata batas hutan tanggal 24 Juni 194014 . Menurut pengertiannya Taman Nasional adalah suatu kawasan yang cukup luas, memiliki ekosistem alami atau kawasan spesifik, tidak ada kegiatan eksploitasi yang disertai suatu menejemen yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan alami secara maksimum tetapi terbuka untuk pengunjung menurut kondisi-kondisi spesifik.15 Tentu saja didalam taman nasional tidak diperbolehkan adanya aktifitas manusia terlebih terdapat pemukiman didalamnya. Persoalan sengketa tanah kehutanan tidak hanya terjadi di Desa Wonorejo yang melibatkan masyarakat translok dengan Taman Nasional Baluran, tetapi terjadi juga di banyak wilayah Taman Nasional di Indonesia, seperti di Taman Nasional Lore Lindu yang terdapat di propinsi Sulawesi Tengah. Haltersebut 14 Arsip Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kabupaten situbondo, pada tanggal 9 Oktober 1991, perihal permasalahan tanah yang berkembang (strategis) di Kabupaten Situbondo. (koleksi pribadi Hermanus). 15 Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Taman Nasionalcommit Baluran, Review Rencana Pengelolaan Taman to user Nasional Baluran, (Banyuwangi : tidak diterbitkan, 1995), hal 1. perpustakaan.uns.ac.id 9 digilib.uns.ac.id dikarnakan pada masa Orde Baru semua sektor pembanguan mengeluarkan produk UU pertanahannya sendiri sehingga menimbulkan ketimpangan.16 Permasalahan sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V Brawijaya dalam perkembangan mengganggu stabilitas politik yang ada di Kabupaten Situbondo, karena permasalahan ini melibatkan dua instansi pemerintah yaitu pihak militer dan juga Departemen Kehutanan. Oleh sebab itu Pemerintah Daerah Situbondo turun langsung dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Pemerintah Daerah dalam hal penyelesaian kasus ini hanya bisa sebagai fasilitator dan menyerahkan segala keputusannya langsung ketangan Departemen Kehutanan. Permasalahan sengketa tanah ini pada akhirnya, tentu saja sangat berdampak pada masyarakat translok. Mereka selalu dihinggapi keresahan akan status tanah yang mereka tempati. Beragam dampak konflik telah dialami para warga translok mulai dari tidak diperhatikannya lingkungan pemukiman translok dari segi pemberian fasilitas desa, seperti jalan, gorong-gorong dan lain-lain hingga mereka tidak bisa membuat sertifikat tanah sebagai dasar legitimasi atas tanah mereka. Beragam upaya telah dilakukan warga untuk mendpatkan pengakuan dari pemerintah atas status tanah translok ini. Mulai dari mengadukan ke tingkat kepala Desa Wonorejo, Tingkat Bupati Situbondo, kepada Dan Rem 0823 dan Kodam V Brawijaya. Pada tanggal 28 Februari 2006 Balai Taman Nasional Baluran (BTNB) mengirimkan surat kepada Bupati Situbondo yang berisikan San Afri Awang, 2003, Politik Kehutanan commit to user Masyarakat, Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta, hal.175. 16 10 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pihak BTNB Baluran menghendaki seluruh warga translok agar tidak dikeluarkan tetapi dilakukan Tukar Guling lahan dengan pengganti Taman Nasional Baluran. Namun hal ini belum menemui titik temu mengenai permaslahan sengketa tanah ini. Permasalahan ini semakin menarik untuk diteliti karena juga melibatkan banyak instansi pemerintah dan tarik menarik kepentingan di dalamnya. Priodesasi dalam penelitian ini mengambil tahun 1976-2006 karena pada tahun 1976 merupakan proses awal penempatan hingga tahun 2006 merupakan tahun proses penyelesaian sengketa tanah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang terjadinya sengketa tanah di lokasi pemukiman Traslok TNI AD di Desa Wonorejo, Kabupaten Situbondo ? 2. Bagaimana bentuk sengketa tanah yang terjadi di pemukiman Transmigrasi lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya? 3. Bagaimana proses penyelesaian Sengketa Tanah di Pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya? commit to user 11 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id C. Tujuan Penelitian Tujuan dari diadakan penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya sengketa tanah antara warga Traslok TNI AD Kodam V/Brawijaya dengan pihak Taman Nasional Baluran di Desa Wonorejo, Kabupaen Situbondo. 2. Untuk mengetahui Bentuk-bentuk sengketa tanah yang terjadi di pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V Brawijaya Di Desa Wonorejo, Kabupaten Situbondo. 3. Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa tanah yang terjadi di pemukiman Traslok TNI AD Kodam V/Brawijaya. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain mengetahui kasus agraria berupa sengketa tanah yang terjadi di pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya, Di Desa Wonorejo, Kabupaten Situbondo. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi historis dan juga memberikan informasi tentang pola-pola atau bentuk sengketa tanah yang terjadi di tanah transmigrasi, khususnya Transmigrasi lokal TNI AD. commit to user 12 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id E. Kajian Pustaka Dalam penelitian ini banyak menggunakan literature dan refrensi untuk menunjang pokok permasalahan yang dikaji. Selain menggunakan sumber primer juga banyak menggunakan sumber skunder sebagai sebagai studi pustaka sesuai dengan tema yang diangkat. Buku yang digunakan merupakan buku yang berisikan mengenai gambaran umum persoalan sengketa tanah yang ada di Indonesia tetapi buku-buku ini sangat membantu untuk menyusun skripsi ini. Adapun buku yang sangat membantu penulis diantaranya: Buku yang ditulis oleh Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni yang berjudul Petani dan Konflik Agraria, (1998). Dalam buku ini banyak menceritakan tetang gambaran hidup kaum petani dan konflik-konflik yang mereka hadapi. Konflik-konflik tersebut dibagi kedalam tiga periode, yaitu pada masa pra kemerdekaan (feodal dan kolonial), masa pasca kemerdekaan (19451965), dan pada masa Orde Baru. Pada masa kolonial telah membentuk pola konflik agraria struktural. Pada masa ini faktor produksi tanah dikuasai oleh pemerintah kolonial dan pemilik modal, sementara itu, rakyat berada sebagai buruh upahan dalam sistem produksi kapitalis. Sementara itu, bentuk konflik ini mengalami perubahan pada priode awal kemerdekaan sampai pertengahan tahun 1965. Bentuk konflik ini tidak lagi struktural-vertikal, tetapi lebih bersifat horizontal. Bentuk konflik seperti ini sangat dipengaruhi oleh partai politik yang berkembang saat itu. Pada masa Orde Baru bentuk konflik agraria kembali bersifat struktural-vertikal. Hal ini berkaitan dengan sistem politik saat itu, yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id 13 digilib.uns.ac.id menempatkan pemerintah dan pemilik modal sebagai penguasa sumber agraria yang berhadapan dengan rakyat yang berusaha mempertahankan haknya. Buku karangan Mochammad Tauhid yang berjudul Masalah Agraria : Sebagai Masalah penghidupan dan Kemakmuran Jilid I dan II yang terbit pada tahun (1953). Dalam buku ini menjelaskan berbagai bentuk permasalahan tanah yang terjadi di Indonesia. Buku ini dijadikan acuan yang penting dalam penelitian ini karena dalam buku ini menjelaskan tentang bentuk-bentuk konflik tanah. Pada jilid I memaparkan bentuk-bentuk persoalan agraria pada masa pemerintahan kolonial Belanda, yaitu sebelum tahun 1870. Selain itu, pada jilid I dijelaskan tentang beberapa hak-hak sewa tanah jangka panjang seperti hak konsesi tanah, hak eigendom, dan hak erfpach. Pada jilid II membahas permasalahan agraria dari sejak pendudukan Jepang sampai pada pasca kemerdekaan. Masalah agaria merupakan permasalahan yang erat hubungannya dengan para petani. Petani menjadi kaum yang tertindas disetiap permasalahan. Organisasi petani merupakan wadah bagi mereka untuk menyusun rencana atau bersama-sama memikirkan cara untuk membebaskan mereka dari penindasan politik, ekonomi, dan sosial. Sutrisna Lestari, Sengketa Tanah Bekas Perkebunan Tembakau Bandar Chalippah, Kabupaten deli Serdang Tahun 1947-1960 (2011), skripsi (koleksi perpustakaan FSSR UNS), secara khusus membahas tentang masalah sengketa tanah yang terjadi di perkebunan Bandar Chalippah Deli Serdang. Karya ini memberikan informasi mengenai masalah sengeta tanah antara perkebunan dengan masyarakat sekitar, pola-pola sengketa yang terjadi, bagaimana bentuk commit to user penyelesaiaan masalah sengketa tersebut, hingga dampak yang ditimbulkan akibat 14 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dari sengketa tanah tersebut. Bahwa sengketa tanah sudah banyak terjadi justru sejak lahirnya UUPA sebagai dasar hukum pengaturan tanah di Indonesia. Karya ini relevan dengan penulisan yang diteliti karna hukum UUPA masih di berlakukan sejak Orde Baru berkuasa dan berbagai kebijakannya pembangun yang justru membawa dampak terhadap masyarakat. Buku hasil karya Sri-Edi swassono dan Masri Singarimbun yang berjudul Sepuluh Windu Transmigrasi di Indonesia 1905-1985 yang terbit pada tahun 1986. Buku ini memuat 25 karangan yang ditulis oleh berbagai kalangan dalam bidang transmigrasi. Secara umum buku ini menceritakan perjalanan panjang transmigrasi yang telah berlangsung selama hampir 80 tahun. Di dalam buku ini terdapat tiga bagian. Bagian pertama, berisikan karangan-karangan mengenai aspek historis dan mencakup priode lama maupun baru. Dijelaskan bahwa trasmigrasi telah berlasung sejak lama, bahkan sejak jaman prasejarah dan mulai dikembangkan di Nusantara sejak pendudukan Kolonial. Bagian kedua dari buku ini berisikan karangan-karanga dari buku ini berisikan karangan-karangan yang bersifat studi kasus, yang menceritakan berbagai masalah transmigrasi dalam pedesasan-pedesaan di Indonesia bahkan diulas pula bagaimana peranan transmigrasi dalam stabilitas sosial politik di daerah perbatasan seperti kasus Irian Jaya dan Kalimantan Timur, sedangkan bagian ketiga memuat karangan-karangan yang berorientasi pada kebijaksanaan, dalam buku ini yang sangat berhubungan dengan skripsi ini ialah, bagaimana mengukakan transmigrasi pada masa Orde Baru dalam berbagai sisi. Mulai dari proses penempatan, kendala dan persoalan commit to user perpustakaan.uns.ac.id 15 digilib.uns.ac.id yang dihadapi mulai dari repelita I hingga Repelita IV dan bagaimana transmigrasi dalam Orde Baru dapat dikatakan sukses atau gagal. Buku karya San Afri Awang, Politik Kehutanan Masyarakat (2003), yang membahas tentang perubahan tata kelola kehutanan pada masa Orde Baru serta berbagai kebijakan yang ada di dalamnya. Buku ini menyajikan berbagai bentuk pengelolaan hutan yang telah mengalami perubahan seiring masuknya era kapitalisme pembangunan. Pada masa pemerintahan Orde Baru pendekatan sumber daya hutan lebih cenderung kepada manajemen hutan berbasis Negara (State Base Forest Management/ SBFM) pengelolaan hutan menjadi lebih sentralistik segala kebijakan diputuskan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya tinggal menjalankan dan lebih merupakan pelaksana kebijakan. Akibatnya timbul masalah-masalah di tingkat daerah dan yang paling dominan ialah mengenai hak-hak masyarakat sekitar hutan yang direbut dengan dalih pembangunan. Berdasarkan tulisan dari San Afri Awang yang sangat relefan dengan tulisan ini ialah bagaimana proses munculnya Taman Nasional dan dampaknya terhadap masyarakat sekitar. Buku Karangan Syah Djohan Darwis, Strategi Pemukiman ABRI Di Dalam Transtannas dan Desa Sapta Marga Sebagai Dampak Positif Untuk Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengkaji mengenai bentuk trnasmigrasi pertahanan nasional dan desa Sapta Marga. Bahwa setelah jatuhnya rezim Orde Lama banyak ganguan keamanan dan stabilitas politik terganggu, faktor penyebabya salah satunya adalah pemberontakan Partai commit to user Komunis Indonesia pada tanggal 30 september 1965 atau lebih dikenal dengan 16 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pristiwa G30 S/PKI. Kehadiran Orde Baru ditengah keadaan negara yang tidak menentu mengeluarkan kebijakan mengenai pertahanan negara dan penguatan ideologi Pancasila. Salah satunya penempatan anggota ABRI di tengah-tengah masyarakat Indonesia untuk menangkal ideologi komunis hadir kembali. F. Metode Penelitian Suatu penelitian perlu didukung dengan metode yang matang. Peran metode dalam suatu penelitian sangatlah penting, karena berhasil atau tidaknya tujuan yang hendak dicapai, tergantung dari metode yang digunakan. Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman maupun peninggalan masa lalu, kemudian dilakukan rekontruksi berdasarkan data-data yang kemudian diperoleh suatu historiografi atau penulisan sejarah.17 Proses penelitian sejarah meliputi tahap-tahap antara lain Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi, dan Historiografi: 1. Heuristik 17 Louis Gotfschalk, Mengerti Sejarah Notosusanto), (Jakarta UI Press, 1985), commithalto15. user (terjemahan Nugroho perpustakaan.uns.ac.id 17 digilib.uns.ac.id Heuristik merupakan sebuah kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data atau materi sejarah atau evidensi sejarah.18 Ada beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu a. studi dokumen. Arsip atau dukumen dipilih sebagai langkah untuk mendapatkan sumber data primer yaitu data-data atau sumber sosial yang mendukung penelitian ini. Arsip-arsip tersebut berasal dari instansi militer dan pemerintah baik dari pusat maupun daerah antara lain: a) Surat Keputusan PangDAM V/Brawijaya dengan nomor surat No SKEP/76-3/VI/1976 pada tanggal 30-6-1976, tentang Areal Tanah di Desa Wonorejo Kec Banyu Putih, Kab Situbondo di Jadikan Proyek Pemukiman (Translok) AD DAM V/Brawijaya. b) Arsip surat laporan DAN DIM 0823/Situbondo kepada DAN REM 083/Malang dengan nomor surat B-/465/IV/1975 perihal penyediaan areal tanah untuk translok Kodam V/Brawijaya. c) Surat Keputusan Pangdam V/Brawijaya dengan nomor surat No SKEP140-3/7115/1975. Berisikan tentang ketentuan-ketentuan penggunaan tanah di proyek translok AD DAM V/Brawijaya. d) Surat perintah nomor SPRIN/1308/X/1977, yang dikeluarkan oleh DAM V/Brawijaya. Berisikan tentang pembagian lahan pemukiman 18 hal 86. Helius Sjamsuddin, Metodelogi commit toSejarah, user (Yogyakarta : Ombak, 2007), perpustakaan.uns.ac.id 18 digilib.uns.ac.id dan lading anggota-anggota pensiunan TNI AD, dan penentuan batasbatas lokasi tanslok TNI AD. e) Surat balasan Bupati Tk II Situbondo Sub Direktorat Agraria kepada Gubernur TK I Jawa Timur, dengan nomor : Subda/Um/1437/75 pada tanggal 16 November 1975, f) Surat Bupati Tk II Situbondo kepada Gubernur Kepala daerah Tk I Jawa Timur pada tanggal 30 Januari 1976 yang berisikan tentang konfirmasi luas lahan bekas perkebunan C.O.B IV agar di jadikan pertimbangan Gubernur Jawa Timur untuk mengambil kebijakan mengenai penempatan translok TNI AD. g) Surat Departemen Dalam Negeri kepada Gubernur Tk I Jawa Tiwur dengan Nomer Surat : Btu. 2/395/2-76. h) Arsip Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kabupaten situbondo perihal permasalahan tanah yang berkembang (strategis) di Kabupaten Situbondo. i) Surat Menteri Kehutanan Republik Indonesia kepada Bupati Situbondo dengan nomor surat : 240/Menhut-VII/2002, pada tanggal 20 Februari 2002. j) Arsip Depertemen Kehutanan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Baluran. Nomor : S.157/IV-T.17/2/2006. Perihal : penyelesaian Tanah Lokasi Proyek Pemukiman Translok TNI AD di Situbondo Jawa Timur. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 19 digilib.uns.ac.id b. Studi Pustaka Sebagai pendukung sekaligus sebagai sumber teori maka penelitian ini menggunakan sumber-sumber pustaka berupa buku-buku pengetahuan, artikel yang diperoleh dari Sumber koleksi Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Bagian Kependudukan UGM, dan Perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanahan (STPN) Yogyakarta. c. Wawancara Metode wawancara adalah metode yang bertujuan mencari kebenaran atau mencocokan antara data dengan pristiwa yang sebenarnya. Wawancara yaitu percakapan seseorang dengan orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan lisan dari informan.19 Adapun informan tersebuat antara lain : Misiran (Pegawai Desa Wonorejo), Hermanus (Kepala Lingkungan Translok), Sutrisno (Kadus Pandean), Hasto Sugiarto (Warga Translok Timur) 2. Kritik Sumber Kritik sumber yang bertujuan mencari keaslian sumber yang diperoleh melalui kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern merupakan cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek luar dari sumber sejarah 20. Arsip-arsip yang digunakan dalam penelitian ini merupakan arsip asli. Arsip ini dimiliki atau disimpan oleh setiap instansi yang bersangkutan seperti : Kodam V/ Brawijaya, 19 Koentjaraningrat , Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gajah Mada Press, 1983), hal. 16. commit to user 20 Helius Sjamsuddin., op.cit. , hal. 132. 20 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BPN daerah Situbondo dan juga arsip daerah Jawa Timur. Selain itu, arsip ini juga telah digandakan dan dimiliki oleh perwakilan dari warga translok sebagai bahan hukum mereka. Kritik Intern merupakan pengujian terhadap aspek dalam yaitu isi sumber yang didapat berupa arsip di cocokan dengan data wawancara. Isi dari arsip-arsip yang berhasil terkumpul merupakan karya asli ditulis oleh pihak-pihak terkait dengan peristiwa sengketa tanah di transmigrasi lokal TNI AD di Desa Wonorejo. 3. Interpretasi Interpretasi yaitu penafsiran terhadap data-data yang diperoleh dan dari data yang sudah terseleksi. Arsip-arsip yang diperoleh dapat ditafsirkan sebagai berikut. Pertama merupakan kelompok arsip tahun 1975-1976 merupakan arsip yang berisikan tentang proses pengajuaan proyek transmigrasi lokal oleh Kodam V/Brawijaya dan juga proses penyediaannya. Selain itu, pada priode ini mencakup pula status kepemilikan atas tanah yang akan dijadikan lokasi transmigrasi lokal. Kedua, arsip tahun 1991 merupakan terangkatnya kasus sengketa tanah kepermukaan. Ditandai dengan pelaporan sejumlah warga yang tidak bisa membuat sertifikat tanah akibat dari kasus sengketa tanah. Ketiga, arsip tahun 2000-2006 merupakan arsip yang berisikan tentang proses penyelesaian tanah lokasi pemukiman translok TNI AD. Proses penyelesaian sendiri melibatkan beberapa instasi terkait seperti BPN Situbondo, Bupati Tk II Situbondo, Gubernur Tk I Jawa Timur, Departemen Dalam Negeri, Kodam V/Brawijaya, dan Departemen Kehutanan. commit to user 21 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 4. Historiografi Historiografi merupakan penulisan sejarah dengan merangkaikan fakta-fakta menjadi satu kisah sejarah. Historiografi ini klimaks dari sebuah metode sejarah. Di sinilah pemahaman dan interprestasi atau fakta-fakta sejarah mengenai permasalahan sengketa tanah trasmigrasi lokal TNI AD yang terjadi di Desa Wonorejo tersebut ditulis dalam bentuk kisah sejarah yang menarik dan masuk akal. Dalam hal ini historiografi adalah penulisan yang berupa skripsi. G. Sistematika Penulisan Penyusunan skripsi ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan gambaran yang menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang beruntun. Skripsi ini akan disusun ke dalam lima bab, yang kemudian terbagi lagi dalam sub-sub bab yaitu : Bab I berupa pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, teknik analisa data, dan sistematika skripsi. Bab II membahas tentang gambaran umum Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD yang terdiri dari kondisi geografis Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya, Kondisi Sosial Ekonomi masyarakat, Proses commit to user 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Penempatan Translok TNI AD Kodam/Brawijaya, dan Pengaruh Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya. Bab III membahas mengenai proses sengketa lahan pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya yang terdiri dari kondisi lahan Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya tahun 1976-2006, sengketa tanah Pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya antara Taman Nasional Baluran dengan masyarakat translok tahun 1976-1987, Usaha Pemerintah dan Militer dalam menyelesaikan sengketa tanah tahun 1976-1987, dan perkembangan sengketa tanah Pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya antara Taman Nasional Baluran dan Masyarakat Translok Tahun 1988-2006. Bab IV membahas perkembangan proses penyelesaian sengketa tanah yang dilakukan Pemerintah Daerah dan Balai Taman Nasional Baluran Tahun 19982006 dan dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya sengketa. Bab V Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II GAMBARAN UMUM PEMUKIMAN TRANSMIGRASI LOKAL TNI AD KODAM V/BRAWIJAYA A. Kondisi Geografis Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya memiliki luas 57 Ha yang terletak di Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur. Secara administratif wilayah Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya masuk dalam wilayah administrasi Desa Wonorejo artinya tidak menjadi daerah sendiri atau desa sendiri sehingga secara umum kondisi geografis pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya sama dengan Desa Wonorejo. Pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya terletak di sebelah utara Desa Wonorejo tepatnya terdapat di Dusun Jelun dan Dusun Pandean Desa Wonorejo. Desa Wonorejo meiliki 4 wilayah Dusun, yaitu Dusun Randu Agung, Dusun Kendal, Dusun Jelun, dan Dusun Pandean. Desa Wonorejo terletak di perbatasan antara kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Situbondo. Jarak dengan ibukota kabupaten adalah 65 km, dengan ibukota propinsi 250 km dan 32 km Kota Banyuwangi. Waktu tempuh dengan dengan kendaraan umum ke Kota Situbondo kurang lebih 1 ½ jam, dengan Kota Surabaya 6 jam, dan 30-45 menit ke Kota Banyuwangi. Oleh karena jarak tempuh ke Kota Banyuwangi lebih dekat, maka untuk memenuhi kebutuhan bahan-bahan commit to user 23 perpustakaan.uns.ac.id 24 digilib.uns.ac.id konsumsi dan perekonomian masyarakat Desa Wonorejo dan sekitarnya pergi ke Banyuwangi.1 Desa Wonorejo merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian 25 meter dari permukaan laut dan mempunyai tekstur tanah yang berwarna abu-abu, keadaan tekstur tanah yang seperti ini merupakan bentuk tanah aluvial2, tanah aluvial sangat dipengaruhi oleh aktifitas gunung baluran pada masa purba. Luas Desa Wonorejo mencapai 414.019, yang banyak diperuntukan untuk pemukiman dan lahan persawahan. Dengan melihat kondisi geografisnya Desa wonorejo yang berada di dataran rendah, merupakan daerah yang berudara panas dengan suhu rata-rata berkisar 38-41 celsius3 sehingga mendapatkan curah hujan yang sedikit, umumnya curah hujan di Desa Wonorejo umumnya 2000 Mm per tahun sehingga daerah ini terkesan kering. Dengan melihat kondisi georrafis yang seperti ini desa Wonorejo lebih cocok dengan pola bercocok tanam tanah kering seperti tegal/ladang, namun terdapat juga sawah di Desa Wonorejo tapi jumlahnya tak sebesar ladang umumnya sawah hanya terdapat di sekitar aliran Sungai Bajulmati yang mempuyai debit air cukup besar. Aliran sungai ini tidak bersumber dari 1 Instrumen Pendataan Profil Desa / Kelurahan, 2004, hal. 9. 2 Suatu jenis tanah yang kaya akan mineral tetapi miskin akan bahan organik. Dengan demikian, mempuyai kesuburan yang tinggi tetapi kesuburan fisiknya rendah, karena sebagian besar berpori-pori dan tidak bisa menyimpan air dengan baik. Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo, Sosiologi Pedesaan Jilid 2, (Yogyakarta: Gajahmada University University Press, 1992), hlm.139. 3 commit Instrumen Pendataan Profil Desato/ user Kelurahan, op.cit., hal. 2. perpustakaan.uns.ac.id 25 digilib.uns.ac.id Gunung Baluran tetapi berasal dari Gunung Blau dan Gunung Ringgih yang merupakan gugusan Gunung Ijen Besar.4 Desa Wonorejo mempuyai batas wilayah seperti yang diuraikan Selo Sumarjan yaitu dalam suatu desa biasanya dibatasi oleh batas alam seperti jalan, sungai, persawahan dan padang rumput.5 Adapun batas-batas Desa Wonorejo, sebagai berikut : 1. Sebelah utara berbatasan dengan Taman Nasional Baluran 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Bajulmati 3. Sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali 4. Sebelah barat dengan Desa Sumber Waru6 Letak desa yang berbatasan langsung dengan Hutan Taman Nasional Baluran secara tidak langsung juga membawa dampak terhadap pertanian masyarakat Desa Wonorejo, karena wilayah hutan taman nasional tersebut menjadi daerah resapan air (water sheet) sebagai pengendali air yang mengalir di dalam bawah tanah di daerah sekitarnya, karena umumnya pada saat musim kemarau sungai-sungai kecil (curah) yang bermuara dari gunung baluran akan kering ketika mengalir beberapa meter di permukaan tetapi akan meresap ke 4 Tim Ekspedisi TN Baluran Sentraya Bhuana, Laporan Ekspedisi Taman Nasional Baluran, Surakarta:tidak diterbitkan, 2012 (koleksi perpustakaan Sentraya Bhuana), hal. 25. 5 Selo Sumarjan, Perubahan Sosial Di Yogyakarta. (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1986), hal. 85. 6 commit Instrumen Pendataan Profil Desato/ user Kelurahan, op.cit., hal. 1. perpustakaan.uns.ac.id 26 digilib.uns.ac.id bawah tanah dan menjadi sungai bawah tanah menuju tepi pantai sebelah timur.7 Dengan melihat kenyataan ini pemerintah pusat memberikan perhatian yang sangat besar terhadap keberadaan hutan baluran, salah satunya dengan mengubah status Suaka Margasatwa Baluran menjadi Taman Nasional Baluran. Pada sekitar tahun 1926 disebelah selatan Hutan Baluran ada sebuah dataran rendah yang masih berhutan lebat, yang disebut Hutan Wonorejo. Di bagian pantai hutan tersebut ada sebuah desa yang hanya mempunyai beberapa penduduk dengan mata pencaharian mencari ikan di laut serta mencari hasil hutan. Desa tersebut bernama Desa Pandean yang dibabat pada tahun 1926 itu juga oleh beberapa pendatang dari pulau Madura. Antara lain tokoh-tokohnya : P. Pandri (yang menjadi kepala desa pertama), P. Darmasi, dan P. Bukarso. Kemudian, pada tahun 1927 Desa Pandean mulai bertambah ramai dengan datangnya penghuni-penghuni dari Tanggul, Jember, Ponorogo, Malang, dan Kediri, sehingga daerahnya meluas sedikit demi sedikit membuka hutan. Melihat perkembangan Desa Pandean ini semakin meluas pada sekitar pertengahan tahun 1927. Kanjeng Bupati Situbondo Raden Sudibjo Keosoemo berkenan mengganti nama Pandean menjadi Desa Wonorejo. Sesuai dengan nama hutan di daerah itu atau boleh juga diartikan : wono berarti hutan, rejo berarti makmur.8 Perkembangan desa Wonorejo yang pesat, membuka lebih banyak akses terhadap daerah tersebut dan sebagai akibatnya masuknya arus kapitalisme di 7 Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Taman Nasional Baluran, Review Rencana Pengelolaan Taman Nasional Baluran, (Banyuwangi: tidak diterbitkan,1995), hal. 5 commit to user 8 Wawancara dengan Sutrisno, tanggal 1 Maret 2011. perpustakaan.uns.ac.id 27 digilib.uns.ac.id daerah tersebut, salah satunya perkebunan. Perkebunan di daerah sekitar Desa Wonorejo telah ada sejak masa kolonial. Dengan hadirnya perkebunan kapuk Bajulmati, Sebagian Desa Wonorejo merupakan bagian dari perkebunan kapuk Bajulmati. Perkebunan kapuk Bajulmati kemudian membentuk 4 C.O.B (Capok Onderneming Bajulmati), antara lain C.O.B I dan II Tanah Negara Parengan, C.O.B III Batangan dan sekitar hutan perengan, dan C.O.B IV wilayah perluasan Desa Wonorejo.9 Pembagian wilayah onderneming tersebut dibuat Belanda untuk memudahkan mengatur lahan perkebunan yang akan ditanami. Setelah berakhir kontrak, bekas lahan perkebunan kemudian beralih status mulai dari C.O.B I hingga C.O.B IV. Pada tahun 1940 tanah bekas perkebunan C.O.B I, II dan sebelah Barat C.O.B III yang telah Habis HGU (Hak Guna Usaha) di masukkan ke dalam Suaka Margasatwa.10 Sejak penyerangan pasukan Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat pada tahun 1941 yang kemudian dilanjutkan dengan penyerangan tentara Jepang terhadap basis sekutu di Samudera Pasifik termasuk di Indonesia, berakhir pula kekuasaan Belanda pada Indonesia. Setelah berhasil merebut nusantara dari tangan Belanda, kemudian Jepang memperkuat pertahanan militernya di Indonesia dengan membangun banyak basis-basis pertahanan seperti benteng, pangkalan udara, kamp tawanan dan lain-lain, seperti halnya di Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo. Kosentrasi kekuatan 9 Arsip Surat Kodim O823 Situbondo kepada Dan Rem 083 Malang, pada tanggal 8 April 1975, perihal penyediaan areal tanah untuk translok kodam VIII Brawijaya. (koleksi pribadi Hermarnus). to user Departemen Kehutanancommit Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Taman Nasional Baluran, op. cit, hal. 29. 10 perpustakaan.uns.ac.id 28 digilib.uns.ac.id militer Jepang Di Desa Wonorejo berada di Batangan (sekarang kantor Balai Taman Nasional Baluran), dipilihnya Batangan sebagai basis pendudukan tentara Jepang karena posisi Batangan yang strategis karena berada dipinggir Jalan Pantura Situbondo-Banyuwangi dan berada dekat dengan pantai. Pasukan Jepang banyak mengerahkan penduduk sekitar (romusha) untuk membangun benteng di Pantai Pandean, membangun terowongan Bawah tanah di batangan yang tembus sampai bendungan sungai bajulmati serta membangun kamp tawanan di Batangan.11 Kamp ini difungsikan sebagai penjara bawah tanah tawanan musuh Jepang seperti pribumi dan bala tentara Belanda, kamp ini menampung 1000 tahanan. Penduduk dipaksa untuk menanam tumbuhan jarak dan padi sebagai suplay logistik tentara jepang.12 Daerah Suaka Margasatwa pun tetap dipertahankan keberadaannya oleh tentara Jepang karena hutannya yang lebat bisa dijadikan daerah pertahanan tentara Jepang. Setelah Belanda tidak berada di Indonesia bekas lahan perkebunan kemudian beralih status mulai dari C.O.B I hingga C.O.B IV. Pada tahun 1940 tanah bekas perkebunan C.O.B I, II dan sebelah Barat C.O.B III yang telah Habis HGU di masukkan ke dalam Suaka Margasatwa.13 Setelah kemerdekaan seluruh wilayah kembali di bawah pemerintahan Indonesia. Seluruh tanah yang dijadikan jajahan dikembalikan kepada Indonesia 11 Wawancara deangan Sulaisiah tanggal 1 Maret 2011. 12 Data statistik Balai Taman Nasional Baluran, Kegiatan Pembinaan dan Peningkatan Usaha Konservasi di dalam Dan di Luar Kawasan Hutan Taman Nasional Baluran, (Banyuwangi :tidak diterbitkan, 2000), hal. 6. to user Departemen Kehutanancommit Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Taman Nasional Baluran, op. cit, hal. 29. 13 29 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dan diubah statusnya menjadi tanah negara termasuk bekas Perkebunan Kapuk Bajulmati dengan 4 C.O.B nya dan daerah Suaka Margasatwa. Wilayah Suaka Margasatwapun ditambah wilayah perluasanya dengan memasukan beberapa wilayah bekas Perkebunan Kapuk Bajulmati diataranya C.O.B I, II dan sebagian C.O.B III. Sebagian wilayah C.O.B III tetap dijadikan perkebunan kapuk dan berganti kepemilikan dibawah CV Bajulmati dengan kontrak selama 20 tahun sampai dengan tahun 1974 dan terus dilanjutkan hingga sekarang dibawah perkebunan kapuk PT Baluran Indah. Sedangkan C.O.B IV yang dari awal merupakan perluasan desa pada tahun 1976 dijadikan lokasi proyek pemukiman Transmigrasi Lokal oleh Kodam V Brawijaya. B. Proses Penempatan Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/ Brawijaya 1. Awal Mula Penempatan Translok Awal mula proses penempatan Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya tidak bisa dilepaskan dari perkebunan kapuk Bajulmati. Setelah berakhirnya masa pakai (hak erpacht) dari perkebunan kapuk Bajulmati bekas lahan dari C.O.B I hingga C.O.B IV beralih status. C.O.B I, C.O.B II dan sebagian C.O.B III pada tahun 1940 di masukan ke dalam Suaka Margasatwa Baluran. Sebagian lagi luas C.O.B III kemudian kembali disewa oleh CV Bajulmati menjadi perkebunan kapuk pada tahun 1954 dengan jangka waktu kontrak selama 20 tahun. Sedangkan C.O.B IV yang merupakan perluasan desa wonerejo yang belum sempat ditanami tanaman perkebunan di kembalikan kepada negara dengan status tanah negara. Hal itu commit to user 30 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dapat dilihat pada foto di bawah ini, bekas lahan COB I, II, III dimasukkan ke dalam wilayah Taman Nasional Baluran, sedangkan COB IV berbatasan langsung dengan COB III. Gambar 1 Peta Wilayah Taman Nasional Baluran (Arsip Koleksi Taman Nasional Baluran) Setelah menjadi tanah negara, bekas lahan C.O.B IV yang pada saat itu lebih menjadi tanah terlantar dan tidak bertuan maka oleh rakyat dibuka dan dijadikan lahan persawahandan tegalan atas dasar kebijakan dari oknum PPA14 (Pelindung dan Pengawetan Alam). Tanah terlantar menurut PP no. 36 tahun 1998 merupakan tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak 14 Oknum PPA (Pelindung dan Pengawetan alam) merupakan pegawai yang betugas dalam kawasan koservasi keidupan liar atau Suaka Margasatwa. commit to user Wawancara dengan Siswanto tanggal 28 Juli 2011. perpustakaan.uns.ac.id 31 digilib.uns.ac.id pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peratuaran perundangundangan yang berlaku.15 Klasifikasi tanah terlantar disini yaitu tanah hak milik, tanah HGU, tanah HGB, atau hak pakai yang dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.16 Masyarakat sekitar bekas lahan C.O.B IV yang merupakan pendatang dari sekitar desa Wonorejo seperti Pandean, Asem Bagus, Mimbo, Karang tekok dibebaskan untuk menanam tanaman apa saja. Hasil dari lahan pertanian ini kemudian dibagi dua oleh oknum PPA. Pada tahun 1955 oknum PPA mengeluarkan Kebijakaan lainnya terhadap bekas lahan C.O.B IV ini ialah menyuruh untuk menanam tanaman jati di selasela lahan persawahannya. Hasil dari penanaman jati tersebut menjadi hak pribadi dari oknum PPA. Penguasaan lahan atas C.O.B IV oleh oknum PPA di karnakan C.O.B IV merupakan perluasan desa Wonorejo yang sudah tidak lagi berbentuk hutan akibat dari pembukaan lahan masyarakat pendatang sekitar tahun 1927. Atas dasar insiatif dari Pangdam V Brawijaya bekas lahan C.O.B IV ini kemudian ingin dijadikan sebuah pemukiman yang diperuntukan untuk para anggota TNI AD angkatan 45 khususnya yang ada di jajaran Kodam V/Brawijaya. Hal ini berdasarkan surat Menhankam/Pangab tentang program induk prasarana 15 Siti Rahma dan Dodi Setiadi, Memahami Hak Atas Tanah dalam Praktek Advokasi, (Surakarta: Cakra Book, 2005), hal. 278. commit to user 16 Ibid., hal. 280. perpustakaan.uns.ac.id 32 digilib.uns.ac.id penyaluran anggota ABRI17. Selain itu, Pangdam V Brawijaya merasa bahwa para anggota TNI yang sudah memasuki masa persiapan pensiun maupun yang sudah pensiun sangat berjasa dalam membantu mempertahankan kemerdekaan RI dan para anggota TNI AD ini juga tidak memiliki tempat tinggal akibat mobilisasi anggota TNI AD mengikuti perang disetiap daerah NKRI. Proses penempatan pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya berjalan cukup lama sekitar 2 tahun yang dimulai pada tahun 1974 hingga 1976. Proses dimulai ketika pihak Kodam V Brawijaya berinisiatif membentuk suatu pemukiman terpadu khusus untuk purnawirawan TNI AD, maka pihak Kodam V Brawijaya lewat Babintransja (Badan Pembina Transmigrasi Jawa Timur) mengistruksikan kepada Kodim O823 di Situbondo. Surat dengan nomor B/196-3/III/1975 tertanggal 22 Maret 1975 tersebut berisikan permintaan Kodam V Brawijaya untuk menyiapkan sebidang tanah berjumlah 100 Ha diperuntukan untuk translok TNI AD dan untuk dapat diselesaikan secepat mungkin dengan pihak yang berwenang.18 Pihak Kodam V Brawijaya kemudian melihat tanah bekas erfpacht verp nomor 324 atau tanah bekas C.O.B III yang pada saat itu masih berstatus HGU CV Bajulmati layak untuk dijadikan lahan pemukiman. Berdasarkan surat tembusan dari Dan Dim 0823, yang menjelaskan status tanah C.O.B III yang pada 17 Arsip surat perintah Pangdam VIII/Brawijaya Oktober 1977, tentang pemindahan anggota TNI AD ke dalam transmigrasi lokal. (koleksi Pribadi Hermanus). 18 Arsip surat Kodam VIII /Brawijaya kepada Korem 083 Malang, pada commit to areal user tanah untuk translok kodam VIII tanggal 22 Maret 1975, perihal penyediaan Brawijaya. (koleksi Pribadi Hermanus). perpustakaan.uns.ac.id 33 digilib.uns.ac.id saat itu masih berstatus HGU CV Bajulmati selain itu, tanah tersebut juga telah beralih tangan kepada investor lain yaitu perkebunan PT 24 Rejosari Surabaya. Pihak Kodim menyarankan agar mendapatkan tanah bekas erfpacht verp nomor 323 yang letaknya lebih rendah dan diminta dipinggir jalan yang menuju ke Bekol (daerah Suaka Margasatwa), lalu menyerahkan permasalahan ini kepada Bupati kepala daerah TK II Situbondo Sub direktorat agraria. Ketika proses penyediaan tanah sampai pada tingkat Bupati Situbondo menghadapi beberapa kendala diantaranya: a. Areal tanah yang diminta terlalu besar dan tidak mencukupi jumlah yang dikehendaki. b. Letaknya sangat tidak memungkinkan misalnya karena sulitnya prasarana jalan, sulitnya air dan sebagainya. c. Tanah yang dikehendaki telah diajukan oleh pihak lain. Akhirnya Bupati Situbondo mengusahakan agar mendapatkan tanah negara bekas C.O.B IV seluas ± 85 Ha yang terletak di Desa Wonorejo, Kecamatan Banyu Putih, Daerah Tingkat II Situbondo yang sampai kini dikuasai oleh oknum PPA tanpa sesuatu hak.19 Dengan proses penempatan pemukiman translok yang lama, pihak Kodam lalu berinisiatif untuk survei langsung ke lokasi yang telah disarankan oleh Bupati Tk II Situbondo untuk melihat apakah tanah bekas C.O.B IV layak untuk 19 Arsip surat Bupati Kepala Daerah TK II Situbondo kepada Gubernur commit to user Kepala Daerah TK I Jawa Timur, pada tanggal 16 November 1975, Perihal Kebutuhan Tanah untuk Transmigrasi Lokal AD. (koleksi pribadi Hermanus). 34 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dijadikan pemukiman translok. Hasil dari survey menyatakan bahwa telah memenuhi syarat untuk translok indikasinya antara lain sebagai berikut:20 a. Pengairan untuk pertanian baik b. Sarana jalan sudah ada dan baik c. Dekat dengan perkampungan d. Dekat dengan pantai Luas tanah sebagian bekas C.O.B IV yang diajukan untuk pemukiman Translok TNI AD Dam V/Brawijaya adalah sebagai berikut: Tabel 1 Luas tanah bekas C.O.B IV PERUNTUKAN NO I LUAS 1 Luas Tanah sebagian Bekas C.O.B IV terdiri dari Tanaman Jati 11,88 Ha 2 Tegalan/Sawah II Luas tanah negara (bosch grond) dikuasai 18,71 Ha PPA (merupakan tegal/sawah) Jumlah I dan II 10.45 Ha 41,04 Ha Sumber: Surat Bupati TK II Situbondo kepada Gubernur TK I Jawa Timur Up kepala Direktorat Agraria, nomor Pem.167/II.a/1976, tanggal 30 Januari 1976, perihal permohonan tanah untuk translok AD. Dari tabel di atas terlihat bahwa luas C.O.B IV yang akan diperuntukan untuk pemukiman translok terdiri dari luas pertanian dan tegakan tanaman jati yang sudah digarap masyarakat Desa Wonorejo dengan bagi hasil oleh petugas PPA. 20 Arsip surat Koramil 083 Malang kepada Bupati Kepala Daerah TK II commit to userperihal Permohonan Tanah untuk Situbondo, pada tanggal 16 Januari 1976, Transmigrasi Lokal AD. (koleksi pribadi Hermanus). perpustakaan.uns.ac.id 35 digilib.uns.ac.id Akibat dari desakan pemerintah daerah dan militer maka Departemen Dalam Negeri lewat suratnya dengan nomor BTU.2/395/2-76 memberikan izin terhadap rencana penggunaan tanah tersebut (bekas C.O.B IV) sebagai lokasi translok AD, tetapi dengan catatan agar penyelesaian hak-hak atas tanah kepada para transmigran diselesaikan menurut peraturan Mentri Dalam Negri No.5/1973 Jo peraturan Mentri Dalam Negri No 6/1972. Selama menunggu proses penyelesaian hak-hak atas tanahnya, diperbolehkan untuk memulai adanya perencanaan pendapatan para transmigran lokal tersebut.21 Karena dirasa sangat mendesak dan telah diberikan izin oleh Mendagri, maka Bupati Situbondo membuat langkah-langkah dan kegiatan dalam rangka penyediaan areal tanah untuk proyek Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya, antara lain: a. Melaksanakan Survey oleh Sub Direktorat Tata Guna Tanah direktorat Agraria Propinsi Jawa Timur dari tanggal 1-5 Maret 1976. b. Mengadakan pembicaraan antara Bupati Situbondo, Komandan Kodim 0823, Kepala Sub Direktorat Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi Jawa Timur, dan Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten Dati II Situbondo. Pembicaran tersebut mengenai fungsi dari penempatan para anggota TNI AD terhadap Desa Wonorejo dan proses penyelesaaian status lahan setelah penempatan sesingkat-singkatnya menurut Intruksi Presiden No. 1 tahun 1976, karena atas tanah yang akan dihuni terdapat sebagian bekas penguasaan 21 Arsip Surat Dep Dalam Negeri RI kepada Gubernur Kepala Daerah TK commit to userPerihal Permohonan Tanah untuk I Jawa Timur, pada tanggal 20 Februari 1976, Transmigrasi Lokal AD. (koleksi pribadi Hermanus). perpustakaan.uns.ac.id 36 digilib.uns.ac.id Suaka Margasatwa (dimana di atasnya tidak ada hutan atau arena kegiatan Suaka Margasatwa). c. Pada tanggal 1 April 1976 Bupati, dan Dim 0823, dan Kepala Sub Direktorat Agraria kabupaten Dati II Situbondo mengadakan penyuluhan berkisar rencana pengadaan translok dan status lahan yang mereka garap kepada petani yang saat itu menggarap bekas lahan C.O.B IV untuk mau pindah di tempat yang baru (sebagai karyawan PT Gunung Gumitir). d. Dengan surat bupati tertanggal 6 April 1976 No.Pem 659/II-a/76 dengan perentaraan pembantu bupati di Asem Bagus, telah diperintahkan untuk pengosonggan tanah-tanah tersebut oleh para penggarap dala keadaan baik dan tidak rusak22. Setelah dikeluarkannya surat dari Menteri Dalam Negeri dan hasil survey Bupati Kepala Daerah Tingkat II Situbondo yang menyatakan layak huni akhirnya semakin menunjukan jalan terang bagi pihak kodam untuk merealisasikan proyek Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya. Akhirnya, pada tanggal 30 Juni 1976 keluarlah Surat Keputusan Panglima Daerah Militer V Brawijaya nomor SKIP/76-3/VI/1975 tentang areal tanah di Desa Wonorejo Kecamatan Bayuputih Kabupaten Situbondo dijadikan proyek pemukiman (translok) AD Kodam V Brawijaya.23 Proses penempatan setelah turunnya surat keputusan 22 Arsip Surat Bupati Kepala daerah TK II Situbondo Kepala Sub Direktorat Agraria, tanggal 24 Mei 1975, tentang penjelasan tanah Translok Angkatan Darat dan Langkah-langkah yang telah dilakukan dalam rangka penyediaan. (koleksi pribadi Hermanus). commit to V/Brawijaya, user Arsip Surat Keputusan Pangdam pada tanggal 30-6-1976, tentang Areal Tanah di Desa Wonorejo Kec Banyu Putih, Kab Situbondo di 23 perpustakaan.uns.ac.id 37 digilib.uns.ac.id tersebut tidak berlangsung secara serempak. Hal itu dikarnakan ada anggota yang masih aktif berdinas di kesatuan akhir mereka, baru pada tanggal 28 Desember 1977 seluruh anggota menempati pemukiman translok TNI AD Kodam V/Brawijaya. Anggota TNI AD yang akan ditempatkan di Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya juga melalui proses. Anggota TNI AD yang telah memasuki MPP (masa persiapan pensiun) diberikan penawaran oleh kesatuannya. Penawaran itu berupa menambah waktu dinas menjadi 5 tahun lagi atau masuk masa persiapan pensiun selama 5 tahun. Bila memilih masuk masa persiun maka para anggota ini diberikan pelatihan di sekolah Singosari Malang selama 1 tahun. Sekolah tersebut berisikan pelatihan mengenai pertanian, perikanan, dan peternakan. Mereka yang terpilih menempati lahan pemukiman translok berdasarkan pengajuan setiap anggota.24 Total ada 210 anggota yang mengajukan diri mendapatkan lahan hunian di translok. Berdasarkan hasil seleksi terpilih 65 Anggota TNI AD Kodam V Brawijaya yang ditempatkan di Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya. Anggota TNI AD yang menempati pemukiman translok mempuyai pangkat yang berbeda tertinggi ialah perwira menengah setingkat Mayor. Sebenarnya untuk pangkat Mayor ke atas ada penempatan translok khusus yang berada di Jember, tetapi hal itu berdasarkan pilihan anggota yang ditempatkan. Jadikan Proyek Pemukiman (Translok) AD DAM V/Brawijaya. (koleksi pribadi Hermanus). commit user Data diolah berdasarkan hasiltowawancara dengan Hermanus, Hasto Sugiarto dan Sutupo. 24 perpustakaan.uns.ac.id 38 digilib.uns.ac.id Semua anggota TNI yang akan di tempatkan di lokasi pemukiman translok Kodam V/Brawijaya tidak dari kesatuan yang sama, mereka berasal dari Situbondo, Malang, Jember, Kediri dan lain-lain, tetapi hampir separuhnya berdinas terakhir di Kodim Situbondo, lainnya di Malang dan kediri dll. Purnawirawan yang menempati pemukiman translok rata-rata merupakan suami istri yang berprofesi sama sebagai anggota TNI AD, mereka semua pernah berdinas bersama di Sulawesi pada saat pembebasan DI/TII.25 Setelah ditempatkan, sebanyak 65 KK mendapatkan jatah tanah setiap 1 KK sejumlah 7500 m2 yang terdiri dari sawah 500 m2, 1500 m2 tanah kering/tegal dan 5500 m2 berupa lahan rumah dan pekarangan. Untuk menentukan posisi tempat pemukiman maupun sawah para purnawirawan tidak bisa memilihnya sendiri tetapi berdasarkan undian (kocokan) yang dilakukan oleh Kodim Situbondo.26 Mereka semua ditempatkan dalam 2 wilayah berbeda dalam Desa Wonorejo yaitu translok barat terdapat di Dusun Jelun dan translok timur di Dusun Pandean yang masing-masing ditempati 34 KK. Pembagian 2 wilayah translok dalam wilayah Desa Wonorejo dikarnakan luas tanah yang digunakan untuk pemukiman tidak mungkin untuk disatukan akibatnya posisi dari pemukiman translok tersebut memanjang dari barat ke timur Desa Wonorejo. Penempatan kedua wilayah translok ini dalam satu surat perintah yang sama. 25 Wawancara dengan Hasto sugiarto tanggal 28 Mei 2012. commit to user 26 Wawancara dengan Sutopo tanggal 28 Juli 2011 39 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Dasar Penempatan Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya Sejak bergulirnya pemerintahan Orde Baru, dimulai pula pemerintahan rezim militer. Militer pada saat Orde Baru tidak hanya sebagai alat negara yang berfungsi untuk mempertahankan negara tetapi juga mulai masuk pada setiap elemen kenegaraan mulai dari struktur pemerintahan hingga lapisan masyarakat pedesaan. Keadaan politik dan keamanan negara yang tidak stabil akibat dari guncangan pemberontakan PKI, membuat pemerintahan Orde Baru berpandangan anti terhadap komunis, dan ingin mengembalikan idiologi negara kembali kepada UUD 45 dan Pancasila. Kehadiran militer di tengah-tengah masyarakat agar dapat meredam munculnya kembali idiologi-idiologi komunis, oleh karna itu pemerintah mulai membuat suatu kebijakan dalam tubuh TNI yaitu program Transtannas (transmigrasi ketahanan nasioanal) dan Desa Sapta Marga. Program transtannas dan Desa Sapta Marga mulai dicanangkan oleh Menteri Transmigrasi dan Mentri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia pada tahun 1975. Program transtanas memiliki fungsi sebagai landasan kebijakan pemerintah dan strategi penyelenggaraan transmigrasi sebagai suatu sistem pembangunan terpadu yang berisikan Idiologi, Konstitusi yang terdapat pada UUD 45, dokumen-dokumen dasar nasional dan kebijaksanaan umum pemerintah Orde Baru yang tertuang dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara), dan juga Repelita sebagai suatu landasan oprasional pembangunan pemerintahan Orde commit to user perpustakaan.uns.ac.id 40 digilib.uns.ac.id Baru.27 Secara garis besar Transtanas memiliki fungsi sebagai ketahanan nasioanal untuk mencegah hadirnya idiologi komunis di tengah-tengah masyarakat. Begitu pula yang terjadi dengan proyek pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya. Penempatan anggota TNI AD di Desa Wonorejo karena disinyalir di daearah sekitar Desa Wonorejo merupakan basis komunis. Selain itu, Desa Wonorejo yang berbatasan langsung dengan Selat Bali di sebelah timur menjadikan tempat ini sebagai tempat pendaratan kapal, sangat rawan akan adanya penyusup atau tindak kejahatan lainnya, untuk itu fungsi dari pemukiman translok juga sebagai intelejen atau mata-mata negara terhadap para pelaku kejahatan yang akan masuk lewat jalur laut. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran sebuah benteng pengintai dan sebuah kapal perang yang karam pada masa pendudukan Jepang.28 Sesuai dengan Instruksi Panglima Kodam V Brawijaya bahwa anggota TNI AD yang ditempatkan di translok selain mengemban tugas HAMKAMNAS (pertahanan dan keamanan nasional) juga sebagai sarana kreasi pembangunan bagi para purnawirawan dan menciptakan desa teladan.29 Artinya para 27 Syah Djohan Darwis, Strategi Pemukiman ABRI Di Dalam Transtannas dan Desa Sapta Marga Sebagai Dampak Positif Untuk Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Jakarta: PUSLITBANG Departemen Transmigrasi, 1986), hal. 27-28 dan 32. 28 29 Wawancara dengan Hermanus tanggal 3 juni 2012. Arsip Surat Bupati Kepala daerah TK II Situbondo Kepala Sub Direktorat Agraria, tanggal 26 Mei 1975, Tentang Penjelasan Tanah Translok commit Yang to userTelah Dilakukan Dalam Rangka Angkatan Darat dan Langkah-langkah Penyediaan. (Arsip koleksi pribadi Hermanus). 41 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id purnawirawan dituntut untuk dapat berkreasi dengan memanfaatkan hasil alam yang ada dan membantu pemerintah dalam pembangunan daerah dengan mengutamakan kewaspadaan nasional dalam rangka pembangunan nasional. Selain itu, para purnawirawan juga dituntut untuk dapat menciptakan desa Wonorejo ke arah yang lebih maju lagi. C. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya. 1. Kondisi Sosial Kondisi Sosial masyarakat pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya tidak berbeda jauh dengan kondisi sosial masyarakat desa Wonorejo. Kondisi sosial di desa Wonorejo sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman masyarakat di Desa Wonorejo. Desa Wonerojo didominasi oleh masyarakat pendatang hampir 70% penduduk desa Wonorejo merupakan pendatang yang berasal dari Banyuwangi, Malang, Ponorogo, Kediri dan sisanya merupakan etnis Madura. Salain itu, faktor lain yang mempengaruhi Kondisi sosial masyarakat Desa Wonorejo adalah berasal dari agama, pendidikan, dan nilai budaya yang berlaku. Penduduk desa Wonorejo berjumlah 6558 orang yang terbagi ke dalam 2024 kk yang terdiri dari 3229 orang laki-laki, 3329 orang perempuan. Secara umum penduduk desa Wonorejo memeluk berbagai macam agama. Mayoritas penduduk memeluk agama Islam (5922 orang), Kristen (458 orang), Katholik commit to user 42 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (174 orang), dan Hindu (4 orang).30 Toleransi kehidupan beragama masyarakat Desa Wonorejo sangat tinggi, ini dapat dibuktikan dengan kehidupan masyaraka setempat yang hidup rukun, satu sama lain hidup saling berdampingan, gotong royong, dan tidak ada perselisihan yang mengatasnamakan agama. Selain itu, dapat juga dilihat dari letak rumah ibadah masing-masing agama yang saling berdekatan. Dalam mendukung kehidupan agama dalam masyarakat dan melancarkan proses pembangunan dibutuhkan peran pemuka agama. Pemuka agama atau lebih sering disebut tokoh masyarakat berperan besar dalam membantu pemerintah bagi pembangunan masyarakat terutama untuk menyiapkan sumberdaya manusia.31 Karena para tokoh masyarakat ini diposisikan sebagai pemimpin non formal dalam suatu struktur masyarakat desa. Pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan seperti penyuluhan pertanian, kesehatan, dan budaya dapat tercapai dengan melibatkan para pemuka agama.32 Faktor lainnya dalam membentuk suatu struktur sosial masyarakat adalah tingkat pendidikan. Pendidikan merupakan faktor penentu dalam upaya menciptakan kualitas manusia. Suatu negara akan berhasil dalam pembangunan dan tumbuh menjadi negara maju apabila telah berhasil meningkatkan jumlah dan 30 Instrumen Pendataan Profil Desa / Kelurahan., op cit., hal. 26. 31 Hasri Fatoratin Purwanita, “Sengketa Tanah Perkebunan Swalubururoto Di Desa Karang Rejo, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar Tahun 1960-1977”, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah FSSR UNS, (Surakarta: Koleksi Perpustakaan Sastra dan Seni Rupa,2011), hal. 24. commit to dan user Pembangunan Desa Pedesaan, Murbyanto, Politik Pertanian (Jakarta : Sinar harapan, 1983), hal. 47. 32 perpustakaan.uns.ac.id 43 digilib.uns.ac.id mutu pendidikan.33 Penduduk Desa Wonorejo rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah. Tabel 2 Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Wonorejo No. Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) A. Lulusan Pendidikan Umum 1. Taman Kanak- kanak 77 2. Sekolah Dasar 2389 3. SLTP/MTs 1862 4. SLTA/MA 1325 5. Akademi/ D1-D3/ Sarjana 86 B. Lulusan Pendidikan Khusus 1. Pondok Pesantren 63 2. Madrasah 128 3. Pendidikan Keagamaan 22 4. Sekolah Luar Biasa 5. Kursus/ keterampilan 8 Sumber: Instrumen Pendataan Profil Desa / Kelurahan Tahun 2004. Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Wonorejo yang rendah, mayoritas lulusan Sekolah Dasar. Tingkat pendidikan ini sangat mempengaruhi angkatan kerja dalam wilayah tersebut. Tingkat pendidikan yang rendah berdampak pada tingkat penguasaan pengetahuan, keterampilan dan tingkat perekonomian sehingga berpengaruh terhadap jenis mata pencaharian masyarakat. Keadaan ini membuat mayoritas masyarakat desa Wonorejo bermatapencaharian sebagai buruh tani. Secara tidak langsung hal ini sangat berdampak pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Arti penting pendidikan dalam upaya peningkatkan kualitas adalah membentuk golongan elit yang terdiri dari orang-orang terpelajar yang mampu membentuk tenaga terlatih untuk menyelesaikan pekerjaan dalam user : Kumpulan Essai, (Surabaya : Darmansyah dkk, Ilmucommit SosialtoDasar Usaha Nasional, 1986), hal. 104 33 perpustakaan.uns.ac.id 44 digilib.uns.ac.id rangkaian produksi.34 Pendidikan Di Desa Wonorejo juga dipengaruhi oleh pendidikan Islam hal itu dikarnakan adanya pondok pesantren yang ada di Desa Wonorejo. Pada dasarnya kebudayaan Desa Wonorejo tidak berbeda jauh dengan kebudayaan Jawa pada umumnya. Hal itu disebabkan karena masyarakat yang menempati Desa Wonorejo mayoritas adalah pendatang yang berasal dari Jawa dan Madura. Budaya tradisonal yang berkembang di Desa Wonorejo masih sering dihubungkan dengan tradisi keagamaan akibatnya tercipta budaya-budaya adat yang berdasarkan agama. Tradisi keagamaan dilakukan sebagai wujud syukur masyarakat Wonorejo terhadap melimpahnya sumberdaya alam yang diberikan Tuhan, tradisi ini biasanya disebut dengan slametan. Slametan pada umumnya dapat digolongkan sesuai dengan pristiwa atau kejadian sehari-hari seperti perkawinan, kelahiran, kematian, bersih desa, ruwatan sawah, dan lain-lain.35 Sistem budaya ini adalah merupakan bentuk sikap toleransi bangsa Indonesia pada umumnya terhadap agama.36 Kondisi geografi suatu wilayah juga mempengaruhi unsur kebudayaan suatu wilayah. Desa Wonorejo yang berbatasan langsung dengan pantai juga memiliki suatu upacara adat/ Tradisi ini biasa disebut petik laut sebagai persembahan hasil laut yang melimpah pada Sang Pencipta. Tradisi ini biasa dilangsungkan pada 34 Louis Malasih, Dunia Pedesaan : Pendidikan Dan Perkembangannya, (Jakarta: Gunung Agung, 1981), hal. 47. 35 Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakatta: Djambatan, 1979), hal. 340. to user nasional (LRKN) LIPI, Kapita Tim Lembaga researchcommit kebudayaan selekta manifestasi budaya indonesia, (Bandung: alumni, 1986), hal. 48. 36 45 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bulan Januari- Maret karena waktu ini merupakan bulan-bulan yang baik untuk melaut karena pada bulan ini bertiup angin dari timur yang membawa banyak ikan di perairan Selat Bali. Seperti pada umumnya masyarakat tradisonal, tradisi ini berkembang di masyarakat Wonorejo akibat adanya mitos yang melatarbelakangi upacara adat ini. Gambaran makro kondisi sosial di Desa Wonorejo ini, secara sepesifik juga dapat dilihat pada pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya. Masyarakat pemukiman translok yang secara umum merupakan masyarakat pendatang yang berasal dari Situbondo, Malang, Kediri, dan Yogyakarta tentu saja menambah keanekaragaman karakteristik di lingkungan translok. Sebagaimana umumnya masyarakat tradisonal lainnya yang berorientasi pada bidang pertanian, maka sikap gotong royong dan kerukunan di pemukiman translok masih sangat kuat. Sebab, menurut Y. Boelaars, dalam sistem ekonomi yang berdasarkan pola petani ladang (maupun persawahan) digambarkan sebagai suatu hidup dan kerja bersama, yaitu bersama semua yang hadir. 37 Semua yang hadir ini berarti melibatkan semua masyarakat yang ada, dengan demikian segala sesuatu kepentingan umum merupakan tanggung jawab setiap anggota masyarakat, dan sebaliknya bila ada seseorang dari anggota masyarakat itu memiliki suatu keperluan (nduwe gawe) maka anggota masyarakat yang lain akan 37 Y. Boelaars, Kepribadian Indonesia Modern, Suatu Penelitian Antropologi Budaya, (Jakarta: PT. Gramedia, 1994), hal. 43. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 46 digilib.uns.ac.id ikut membantu.38 Koentjaraningrat, dalam bukunya Sejarah Teori Antropologi II, juga menyatakan bahwa pelaksanaan kehidupan masyarakat membutuhkan etos kerja kolektif, yang tercermin dalam sikap dan sifat kerjasama seperti: gotong royong, tolong menolong, rasa senasib dan sepenanggungan dalam suka dan duka.39 Budaya gotong royong ini dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari seperti perkawinan, kematian, mendirikan rumah, bercocok tanam, dan membangun sarana dan prasarana. Kedekatan emosional di antara masyarakat translok bukan hanya di karnakan faktor mata pencaharian sebagai petani, tetapi karena masyarakat translok memiliki persamaan nasib yang sama dan berasal dari kalangan yang sama yaitu purnawirawan TNI AD. Kerukunan bermasyarakat ini bahkan sampai kepada keturunannya masih dapat terjaga di tengah berbagai masalah yang menerpa masyarakat translok. Wujud kerukunan ini tidak hanya diperlihatkan pada saat upacara-upacara dan juga kerja bakti yang melibatkan anggota masyarakat translok, tetapi juga membentuk suatu paguyuban (perkumpulan) masyarakat translok. Seperti layaknya sebuah organisasi, paguyuban ini memiliki struktur pengurus di antaranya terdapat Ketua Lingkungan translok, Sekertaris, Bendahara, dan juga Seksi-seksi. Fungsi Kepala Lingkungan adalah sebagai fasilitator atau penjembatan aspirasi masyarakat translok, meskipun sebenarnya di Langgeng Budi Utomo “Kesenian Reyog Ponorogo Sebagai Sarana Agitasi Politik (Kajian Sejarah Politik Kesenian di Kabupaten Ponorogo Tahun 1959-1960)”. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS. (Surakarta: Koleksi Perpustakaan Sastra dan Seni Rupa,2011), hal. 23. 38 39 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, (Jakarta: UI Press, commit to user 1990), hal. 121. perpustakaan.uns.ac.id 47 digilib.uns.ac.id dalam lingkungan translok sudah ada kepala rt 15 dan rt 28, tetapi fungsi Kepala Lingkungan lebih menyeluruh baik mengatur hubungan antar warga translok maupun ke arah eksternal wilayah translok seperti instansi-instansi militer maupun pemerintah. Pemilihan Kepala Lingkungan ini berdasarkan hasil musyawarah masyarakat translok. Paguyuban ini juga mengatur dalam penggunaan bangunan dan regulasi pengantian status pemilikan atas rumah dalam lingkungan translok. Seperti contohnya, bila keturunan warga translok ini ingin meninggalkan rumah peninggalan tersebut harus di berikan kepada saudaranya dan tidak boleh dijual kepada orang lain (orang yang bukan keturunan dari purnawirawan TNI AD) atau rumah yang sudah roboh pun diminta untuk didirikan kembali oleh pemiliknya bila hal ini tidak dilakukan maka harap dikembalikan kepada Kepala Lingkungan dan akan disalurkan kembali ke Kodim Situbondo untuk diberikan kepada anggota TNI AD yang belum memiliki rumah. Proses ini sudah pernah terjadi pada tahun 2006 dan rumah itu kembali dibangun tanpa diganti kepemilikannya. Pembuatan berbagai kebijakan semacam ini bertujuan untuk semakin merekatkan jalinan silahturahmi antar warga translok.40 2. Kondisi Ekonomi Masyarakat Desa Wonorejo sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh tani dan nelayan, dari total jumlah angkatan kerja masyarakat Desa Wonorejo yang berjumlah 4773 sebanyak 627 berprofesi sebagai buruh tani dan 40 commit to user Wawancara dengan Hermanus tanggal 3 Juni 2012. perpustakaan.uns.ac.id 48 digilib.uns.ac.id 992 berprofesi sebagai nelayan.41 Mayoritas profesi masyarakat Desa Wonorejo yang sebagai buruh tani dan nelayan disebabkan karena kondisi geografis yang mendukung untuk melakukan pekerjaan tersebut. Selain itu, faktor pendidikan yang relatif rendah turut mempengaruhi mata pencaharian di desa Wonorejo. Hal itu, mengakibatkan masyarakat desa Wonorejo kurang akan pengetahuan, keterampilan dan tingkat perekonomian. Penduduk Desa Wonorejo menurut kelompok tenaga kerja produktif yaitu kisaran umur 20-26 dan 27-40 pada tahun 2004 lebih banyak dibandingkan usia non produktif kisaran umur di bawah 20 tahun dan 40 tahun ke atas, sehingga seharusnya tenaga kerja yang tersedia tentunya cukup banyak untuk bisa dimanfaatkan. Namun kenyataan yang terjadi banyaknya tenaga kerja produktif di Desa Wonorejo tidak diimbangi dengan tingkat pendidikan yang tinggi, sehingga banyak dari masyarakat Desa Wonorejo yang berusia produktif tidak dapat mendapatkan penghidupan yang layak akibat kurangnya ilmu pengetahuan dan keterampilan.42 Keadaan yang demikian mengakibatkan untuk mencukupi kekurangan hidupnya, masyarakat banyak bergantung terhadap potensi hutan Taman Nasional Baluran. Letak geografis Desa Wonorejo yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Baluran semakin memudahkan untuk mengakses langsung potensi hutan Taman Nasional Baluran. Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai sumber daya disatu sisi dan masyarkat di sekitar hutan di sisi lain yang mempuyai jalinan 41 Instrumen Pendataan Profil Desa / Kelurahan., op.cit., hal 20. commit to user 42 Instrumen Pendataan Profil Desa / Kelurahan., op cit., hal 28. 49 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id ketergantungan yang tidak dapat dipisahkan sebagaimana yang dijelaskan secara sekematik oleh Afri Awang terhadap kebutuhan masyarakat.43 Kebutuhan masyarakat Aliran produksi hasil jasa/hutan (need of people) (produktions flow) Bahwa kebutuhan masyarakat bergantung terhadap aliran produksi hasil jasa/hutan maupun sebaliknya aliran produksi hasil hutan juga bergantung Hubungan ketergantungan masyarakat hutan berupa pemanfaatan secara tradisonal tersebut sebenarnya telah berlangsung lama, sejak manusia menduduki daerah ini. Kondisi iklimnya yang kering dan kemarau yang panjang membuat hasil pertanian di daerah ini kurang baik. Foktor-faktor tersebut menjadi penyebab tergeraknya masyarakat wonorejo untuk masuk ke dalam hutan. Biasanya masyarakat Wonorejo mengambil hasil hutan yang cukup bernilai tinggi seperti, buah asam, biji acacia (rabica), kemiri gadung, kayu rencek, pupus gebang dan hasil hutan lainnya. Bahkan masyarakat sekitar Wonorejo sempat melakukan perburuan liar terhadap hewan-hewan yang ada di dalam kawasan hutan.44 Hal ini tentu saja membawa dampak negatif terhadap pelestarian kawasan konservasi. Taman Nasioanal Baluran yang menjadi daerah konservasi lingkungan hidup tentu saja membatasi aktifitas manusia di dalamnya. Menurut Restu Widiashastri fungsinya Taman Nasional adalah: 1. Kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan. 43 San Afri Awang, Politik Kehutanan Masyarakat, (Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta, 2003), hal. 30. commit user Data diolah berdasarkan hasil towawancara dengan Sutrisno, Suwarno, dan Misiran pada tanggal 28 Juni 2012. 44 perpustakaan.uns.ac.id 50 digilib.uns.ac.id 2. Kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa. 3. Wahana pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam Hayati dan ekosistemnya.45 Dengan menjadikan Taman Nasional Baluran sebagai wilayah yang tersentralistik membuat Kementrian Kehutanan dalam hal ini Balai Taman Nasional Baluran (BTNB) menaruh perhatian serius terhadap masyarakat sekitar Taman Nasional Baluran. BTNB menjadikan desa Wonorejo sebagai suatu daerah penyangga46 kawasan konservasi. Sebagai suatu daerah penyangga, desa Wonorejo tentunya mendapatkan perhatian khusus daerah penyangga sebagai penyadaran masyarakat akan pentingnya wilayah Taman Nasional Baluran bahwa sebenarnya Taman Nasioanal Baluran mempuyai manfaat yang besar bagi kehidupan mereka serta alternatif usaha bagi pemenuhan kebutuhannya. Berbagai penyuluhan serta pemberian bantuan berupa modal baik berbentuk barang maupun uang yang difungsikan sebagai stimultan masyarakat untuk lebih berkreatifitas dan tidak menggantungkan hidupnya pada Taman Nasional Baluran. Pemberian bantuan tersebut tidak langsung diserahkan oleh BTNB tetapi lewat lembaga bentukan dari BTNB yaitu SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutanan 45 Restu Widhastri, Pengaruh Kegiatan Daerah Penyangga Di Desa Wonorejo Terhadap Pengelolaan Taman Nasional Baluran , Laporan Magang CPNS Formasi 2005, (Departemen Kehutanan Balai Taman Nasioal Baluran :tidak diterbitkan, 2006), hal. 4. 46 Daerah Penyangga adalah daerah di luar kawasan suaka alam maupun maupun kawasan pelestarian alam baik sebagai kawasan hutan lainnya, tanah commit to user negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampi menjaga keutuhan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian. Ibid, hal 7 perpustakaan.uns.ac.id 51 digilib.uns.ac.id Pedesaan). SPKP difungsikan sebagai “tangan kanan” dari pihak Taman Nasional terhadap masyarakat Desa Wonorejo.47 Kondisi yang bertolak belakang bila melihat kondisi ekonomi masyarakat Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya. Masyarakat translok yang seluruhnya merupakan anggota TNI AD. Setelah pensiun para anggota TNI AD ini kemudian menggarap lahan persawahan yang merupakan jatah pemberian dari Pangdam V Brawijaya. Setiap KK memperoleh 7500 m2 di antaranya sawah 5000 m2, tanah kering/ladang 1500 m2, dan 1000 m2 rumah serta pekarangan. Oleh karna itu, mayoritas masyarakat translok berprofesi sebagai petani bukan buruh tani. Saat ini pemukiman translok dihuni oleh keturunan dari para purnawirawan, mayoritas mata pencaharian mereka sebagai petani, PNS, dan Pegawai Swasta. Masyarakat translok membuat sebuah lembaga keuangan yang mengatur simpan pinjam para warga translok. Lembaga ini berbentuk sebuah arisan antar warga translok. Arisan ini tidak berbeda jauh dengan arisan warga lainnya yang sistemnya ditentukan berdasarkan hasil dari undian (kocokan), hanya saja arisan warga translok ini bisa di pergunakan sewaktu-waktu sebagai dana pinjaman (talangan) apabila ada warga translok yang sedang mengalami musibah. Sehingga arisan sangat mirip dengan koperasi simpan pinjam.48 Wawasan dan pengetahuan mereka yang luas membuat masyarakat translok sadar akan bentuk pelestarian hutan. Walaupun pemukiman translok berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bauran mereka tidak sembarangan untuk keluar 47 Wawancara dengan Siswanto tanngal 28 Juli 2011. commit to user 48 Wawancara dengan Hasto Sugiarto tanggal 28 Mei 2012. 52 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id masuk kawasan hutan. Masyarakat translok pun terkadang membantu petugas Taman Nasional untuk mencegah masuknya penduduk sekitar Wonorejo dari daerah translok. D. Pengaruh Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya Terhadap Desa Wonorejo Sebagai dasar dari penempatan para anggota TNI AD dalam proyek Transmigrasi Lokal adalah menciptakan desa teladan bagi purnawirawan ABRI dan membuat rasa aman di dalam desa tersebut, maka pemukiman translok membawa pengaruh terhadap Desa Wonorejo. pengaruh itu sangat terlihat dalam berbagai aspek keamanan dan ketertiban, sosial masyarakat, struktur pemerintahan desa, dan budaya. Dalam menciptakan keamanan dan ketertiban, para purnawirawan tersebut mengajak peran serta masyarakat Desa Wonorejo dalam menjaga daerah tempat tinggalnya, salah satunya ialah siskamling bersama yang diadakan rutin. Terlebih lokasi pemukiman translok berbatasan langsung dengan Hutan Taman Nasional Baluran, sehingga rawan akan tindak kejahatan seperti pencurian dan perburuan liar.49 Hasil dari kegiatan jaga malam tersebut dapat terlihat berdasarkan data tingkat pelanggaran perburuan liar yang ada di Taman Nasional Baluran yang menunjukan tren penurunan sejak kedatangangan para purnawirawan tersebut. commit to user 49 Wawancara dengan suwarno, pada tanggal 28 Juni 2012. 53 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id No 1 2 3 Tabel 3 Data Perburuan Liar Dalam Kawasan Taman Nasional Baluran tahun 1997s/d 2001 Lokasi Tahun Sub Seksi Wilayah Karang Tekok 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 9 2 7 3 2 Jenis Yang Diburu Banteng, Kerbau Liar, Rusa, Burung Merak Sub Seksi 5 5 4 1 Banteng, Wilayah Bekol Rusa, Kerbau liar, Kijang Sub Seksi 3 2 Bnateng, Wilayah Pandean Kerbau Liar, Kijang, Babi Hutan Sumber: Data Statistik Balai Taman Nasional Baluran tahun 2000, hal 23. (koleksi Perpustakaan Balai Taman Nasional Baluran). Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat data perburuan liar di dalam kawasan Taman Nasional Baluran dari tahun 1997-2001. Dari hasil tersebut menunjukan tren penurunan dalam tindak pelanggaran perburuan liar, terlebih yang berasal dari dari Sub Seksi Wilayah Pandean yang merupakan daerah tempat lokasi pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V Brawijaya. Di dalam tingkat sosial para purnawirawan membawa perubahan yang signifikan terhadap Desa Wonorejo. perubahan itu terlihat ketika sebelum penempatan masyarakat Desa wonorejo masih terpisah-pisah antara kelompok masyarakat satu dengan lainnya. Kelompok masyarakat yang didominasi dari suku Madura dan Jawa seolah mengelompokan commit to user dengan sukunya sendiri-sendiri 54 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id seperti contohnya, pertemuan desa yang hanya dihadiri dari kalangan kelompoknya sendiri. Setelah ada penempatan para purnawirawan ini berbaur dengan lapisan masyarakat Desa Wonorejo dan mencoba untuk menyatukan perbedaan yang ada. Penyatuan tersebut dilakukan dengan melakukan kegiatan bersama seperti peringatan 17 Agustus, peringatan Hari Kebangkitan Nasional, syukuran, maupun kegiatan sosial lainya. Dengan semangat idiologi Pancasila sebagai doktrin utama untuk menyatukan berbagai kelompok masyarakat Desa Wonorejo.50 Dalam struktur pemerintahan, para purnawirawan memprakarsai terbentuknya perangkat desa yang maju seperti adanya kepala seksi yang menaunggi berbagai bidang dalam pemerintahan desa. Contohnya, Kepala Seksi Pemerintahan, Kepala Seksi Pembangunan, Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat, Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat, Kepala Seksi Umum, Kepala Seksi Keuangan dan Mudin,51 yang sebelumnya hanya Kepala Desa dan Carik. Masyarakat translok aktif dalam berbagai kepanitiaan dan organisasi desa seperti PKK dan karang taruna. Dalam lembaga PKK yang bernama “Eka Bakti Wonorejo” Ibu-ibu translok aktif dalam kegiatan pemberdayaan perempuan, pemenuhan gizi balita dalam Posyandu (pos pelayanan terpadu), hingga menyusun administrasi pemerintahan desa. Sehingga pada tahun 2006 desa 50 Wawancara dengan Hasto Sugiarto tanggal 28 Mei 2012. commit to user 51 Instrumen Pendataan Profil Desa / Kelurahan, op.cit., hal 28. perpustakaan.uns.ac.id 55 digilib.uns.ac.id Wonorejo juara 3 tata administarasi pemerintahan desa dan PKK tingkat Provinsi Jawa Timur.52 Para purnawirawan juga membantu masyarakat Desa Wonorejo untuk membentuk lembaga-lembaga keuangan yang membantu warga seperti KUD yang bernama KUD Wonorejo, Koprasi Nelayan bernama koprasi MINA Selat Bali. Koprasi ini berfungsi sebagai penampung berbagai hasil pertanian dan perikanan untuk kemudian dijual dan hasilnya akan disalurkan kembali kepada masyarakat lewat SHU (sisa hasil usaha).53 Masyarakat Translok juga membawa perubahan dalam kebudayaan desa. Mereka meperkenalkan berbagai kebudayaan yang dibawa para purnawirawan dari desa-desa asal mereka seperti bersih desa, dan tatacara pernikahan. Umumnya masyarakat Wonorejo khususnya dusun Pandean memakai adat dari suku Madura, seperti contohnya adat pernikahan yang memakai hijab atau pembatas antara perempuan dan laki-laki, dan bahasa pengantarnya menggunakan bahasa madura atau arab sehingga banyak orang (tamu) yang bukan berasal dari suku Madura tidak mengerti. Setelah ada pemukiman translok, masyarakat translok yang pada umumnya berasal dari Jawa memakai adat perkawinan dari Jawa, sehingga lambat laun masyarakat Dusun Pandean meniru tata cara pernikahan Jawa dan merubah proses pernikahannya, selain itu bahasa yang digunakan juga lebih ke bahasa Jawa atau Indonesia.54 Masyarakat desa Wonorejo 52 53 Wawancara dengan Hasto Sugiarto tanggal 28 Mei 2012. Wawancara dengan Suwarno tanggal 28 Juni 2012. commit to user 54 Wawancara dengan Suwarno tanggal 28 Juni 2012. 56 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id juga memperkenalkan upacara adat bersih desa. Upacara bersih desa merupakan rasa syukur masyarakat desa Wonorejo terhadap hasil alam yang melimpah dan diberikannya keberkahan dari Tuhan. Biasanya dilakukan setahun sekali pada tanggal 1Muharam (tahun baru pada Penanggalan Islam) dengan acara pawai kesenian seperti Reog Ponorogo, Tari Tayub dan lain-lain. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III PROSES SENGKETA LAHAN PEMUKIMAN TRANSMIGRASI LOKAL TNI AD KODAM V/BRAWIJAYA TAHUN 1976-1987 A. Kondisi lahan Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya Setelah Penempatan Berdasarkan Surat Keputusan Panglima Daerah Militer V Brawijaya nomor SKIP/76-3/VI/1975 tanggal 30 Juni 1976, areal tanah di Desa Wonorejo telah resmi menjadi pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya. Kondisi fisik lahan pemukiman translok setelah penempatan pada tanggal 28 Desember 1977 sampai tahun 1987, tidak mengalami perubahan yang signifikan. Purnawirawan TNI AD yang ditempatkan sudah memperoleh jatah rumah, sawah dan lahan kering dengan luas yang sama. Rumah yang diberikan semuanya berbentuk sama, dengan bentuk semi permanen berdinding bambu dan beratap genteng. Areal tanah yang diberikan sudah terpetak-petakan dan diberi nomor baik nomor rumah maupun nomor tegal dan sawah.1 Penomoran areal tanah translok tersebut berdasarkan peta bidang yang dikeluarkan Bupati Tinggkat II Situbondo Kepala Sub Direktorat Agraria tahun 1978 berdasarkan undian yang dilakukan Kodim Situbondo, pembagian lahan tersebut tidak berdasarkan pangkat atau golongan selama berdinas. Kodim Situbondo merupakan instansi yang ditunjuk 1 Arsip Lampiran Surat Perintah Pangdam VIII, Pada Tanggal 18 commit to user Oktober1977, Tentang Pemindahan Purnawirawan Pada Proyek Pemukiman Translok. (Koleksi Pribadi Hermanus). 57 perpustakaan.uns.ac.id 58 digilib.uns.ac.id langsung oleh Kodam V/Brawijaya sebagai penangungjawab proyek Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya. Para anggota purnawirawan TNI Angkatan Darat yang telah ditempatkan mulai melakukan aktifitas barunya yaitu bertani. Dalam menggarap lahan pertaniannya para purnawirawan ini sudah terorganisir dengan baik. Hal itu terlihat dengan dibentuknya kapoktan (kelompok petani), fungsi dari kapoktan tersebut sebagai lembaga penampung hasil pertanian dan juga lembaga yang membantu petani dalam penyediaan bahan tanam seperti bibit dan pupuk. Di dalam kapoktan terdapat kaproyek (kepala proyek) dan wakaproyek (wakil kepala proyek). Kaproyek dijabat oleh Kapten Koestedjo anggota TNI AD yang pada saat itu masih aktif berdinas di Kodim Situbondo tetapi tetap mendapatkan jatah tanah di translok dan wakaproyek dijabat oleh Kapten H.CH.Arief anggota Kodam V/Brawijaya yang telah purna tugas dan sudah menetap di pemukiman translok.2 Fungsi dari kaproyek dan wakaproyek sebagai fasilitator bagi para petani di lingkungan translok. Mereka berperan sebagai penghubung mengenai pemenuhan kebutuhan akan bercocock tanam dan pengaturan akan musim tanam dan penggunaan air. Kapoktan ini nantinya merupakan cikal bakal hadirnya KUD dan Koprasi nelayan MINA Selat Bali. Lahan translok yang seluas 57 Ha ternyata tidak seluruhnya diperuntukan untuk rumah dan lahan pertanian tetapi sebagian dipergunakan untuk jalan, rumah ibadah, lapangan olahraga seluas 6 Ha. Selain itu, sebagian lahan translok juga dipinjam Kodim Situbondo. Besarnya lahan yang dipinjam Kodim Situbondo 2 commit to user Wawancara dengan Hasto Sugiarto, 28 Mei 2012. perpustakaan.uns.ac.id 59 digilib.uns.ac.id sebesar 4,75 Ha. Lahan tersebut kemudian dikelola langsung oleh Kodim Situbondo dengan ditanami tanaman palawija dengan memberi upah harian kepada petani penggarap di sekitar Desa Wonorejo. Hasil dari lahan ini digunakan Kodim Situbondo sebagai kas yang kemudian disalurkan kepada Primkopad. Alasan dari masyarakat translok untuk meminjamkan sebagian tanah translok adalah sebagai kompensasi atas berhasilnya Kodim Situbondo melancarkan proses penempatan translok. Jangka waktu yang diberikan masyarakat translok kepada Kodim Situbondo untuk meminjam sebagian lahan mereka selama 2 tahun dari tahun 1978-1980.3 Pada tahun 1980 berdiri Taman Nasional Baluran berdasarkan kongres Taman Nasional sedunia pada tanggal 6 Maret 1980. Pembentukan Taman Nasional Baluran membawa pengaruh yang besar terhadap status tanah Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya sebab UU Konservasi mengatakan bahwa Taman Nasional harus kosong dari hunian manusia. Tanah yang dijadikan lokasi translok seluas 57 Ha diklaim menjadi bagian dari Taman Nasional Baluran. Sejak pendirian dari taman nasional tersebut sosial masyarakat translok pun mengalami perubahan Kondisi pemukiman translok setelah pendirian Taman Nasional Baluran tidak mengalami perubahan berarti. Para purnawirawan TNI AD yang telah berprofesi sebagai petani, masih menggarap lahan sawah dan ladang mereka. Para purnawirawan tersebut mengupayakan sarana pertanian mereka sendiri seperti pengadaan pupuk dan bibit tanpa mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah 3 commit to user Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012. perpustakaan.uns.ac.id 60 digilib.uns.ac.id terlebih Desa Wonorejo. Bahkan masyarakat traslok tidak mendapatkan sarana irigasi untuk mengairi lahan persawahan mereka. Masyarakat translok mengupayakan dengan membangun sumur-sumur bor. Baru pada tahun 2006 program irigasi tersebut bisa direalisasikan di translok tetapi aliran airnya tidak sampai ke pemukiman translok hanya bisa digunakan di gunakan sewaktu hujan. Alasan dari aparat pemerintahan daerah dan Desa Wonorejo tidak memberikan bantuan karena tanah tersebut masih bersengketa.4 Bentuk rumah di lingkungan translok pun banyak mengalami perubahan. Hal tersebut karena meningkatnya kesejahteraan masyarakat translok, penghasilan masyarakat translok yang tidak hanya dari bercocok tanam tetapi juga dari tabungan pensiun yang diperoleh para purnawirawan tersebut. Bentuk rumah yang tadinya berdinding gedek dan tak berteras telah berubah menjadi dinding batu bata yang disemen dan telah ada penambahan teras rumah, walaupun masih ada yang mempertahankan bentuk asli rumah translok yang diberi Kodam V Brawijaya karena perbedaan tingkat ekonomi.5 Berdasarkan hasil pendataan bulan Juni tahun 1995 pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya seluas 57 Ha terjadi penambahan jumlah KK yang tentu saja penambahan jumlah rumah yang tadinya 65 KK menjadi 68 KK. Setiap kepala keluarga yang baru masuk tersebut juga mendapatkan jatah tanah yang 146. 4 Wawancara dengan Suwarno, pada tanggal 28 Juni 2012. 5 commit to user Lihat Lampiran XIV, Bentuk Rumah Masyarakat Translok. Halaman 61 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sama yaitu 0,75 Ha. Penambahan 3 KK tersebut berasal dari kesatuan yang sama yaitu Kodim Situbondo.6 Pada tahun 1990 an tanah translok seluas 6 Ha yang dari awal diperuntukan untuk fasilitas umum mulai di fungsikan. Dengan dana dari swadaya masyarakat translok mendirikan dua bangunan ibadah antara lain Mesjid di Translok Barat dan Mushola di Translok Timur. Dibangun pula Makam Bahagia, Makam Bahagia merupakan pemakaman yang khusus diperuntukan bagi para purnawirawan pejuang angkatan 45. Setiap tanggal 17 Agustus masyarakat translok beserta warga Desa Wonorejo melakukan upacara mengheningkan cipta di Makam Bahagia untuk mengenang jasa para pahlawan.7 Sekitar tahun 2006 an jumlah masyarakat translok mulai berkurang. Diketahui jumlah KK pada tahun 2006 berjumlah sekitar 45 KK dari total 68 KK dan pada tahun-tahun berikutnya terus mengalami pengurangan. Pengurangan jumlah penduduk pemukiman translok karena para Purnawirawan sebagian sudah ada yang meninggal dan dimakamkan di taman makam pahlawan Makam Bahagia. Sebagian yang telah sangat tua terpaksa pindah karena tidak ada yang merawat mereka, sebab keturunannya pun tidak menetap di sana dan sangat jauh dari fasilitas tempat kesehatan, untuk itu para Purnawirawan tersebut di bawa ke rumah anaknya yang berada di luar kota. Rumah-rumah yang telah ditinggalkan sebagian tetap ditempati sanak saudara ataupun hanya menyuruh masyarakat 6 Arsip Risalah Penggunaan sebagian Kawasan Suaka Margasatwa Taman Nasional Baluran Sebagai Lokasi Proyek Pemukiman (Transmigrasi Lokal) TNI Angkatan Darat. Hal. 1 (Sumber Koleksi arsip Taman Nasional Baluran). commit to user 7 Wawancara dengan Sutopo, pada tanggal 28 Juni 2011. 62 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sekitar untuk merawatnya. Lahan persawahan dan ladang yang ditinggalkannya pun disewakan oleh keturunanya kepada masyarakat Desa Wonorejo yang tidak mempuyai lahan pertanian, dengan sistem bagi hasil. Nantinya keturunannya tersebut secara rutin setiap 1 bulan sekali atau pada saat acara-acara penting seperti peringatan hari jadi pemukiman translok 28 Oktober selalu datang untuk mengecek rumah dan lahan pertanian mereka serta menyambung jalinan silahturahmi antar warga translok.8 B. Sengketa Tanah Pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya antara Taman Nasional Baluran dan Masyarakat Translok Tahun 1976-1987 Setelah terbentuk menjadi Taman Nasional Baluran pada tanggal 6 Maret 1980, maka terjadi Perubahan tata kelola Hutan Baluran dari Suaka Margasatwa menjadi Taman Nasional Balauran. Setelah meresmikan diri, Taman Nasional Baluran beralih pada pengelolaan Instansi yang ada di atasnya, yang sebelumnya di tangani oleh Dinas Kehutanan Kabupaten tingkat II dan pada tahun 1984 berganti di bawah Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam dengan menunjuk Balai Taman Nasional Baluran sebagai UPT (Unit Pelaksanaan Teknis) yang langsung mengelola Taman Nasional Baluran. Balai Taman Nasional Baluran merubah segala tata kelola yang tadinya merupakan hutan produktif di ubah menjadi hutan konservasi. 8 commit to user Wawancara dengan Hasto Sugiarto, pada tanggal 28 Mei 2012. perpustakaan.uns.ac.id 63 digilib.uns.ac.id Kehadiran Taman Nasional Baluran membawa dampak terhadap status tanah pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/ Brawijaya di Desa Wonorejo. Taman Nasional Baluran menganggap bahwa tanah seluas 57 Ha yang telah ditempati para purnawirawan sejak 1976, diklaim oleh Taman Nasional Baluran menjadi bagian dari kawasan konservasi. Sebenarnya klaim awal dari Taman Nasional Baluran adalah tanah translok seluas 35 Ha,9 namun karena alasan wilayah konservasi maka seluruh wilayah pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya seluas 57 Ha masuk ke dalam wilayah Taman Nasional Baluran. Sebagai suatu kawasan konservasi tentu saja Taman Nasional Baluran menjaga pelestarian ekosistem yang ada di dalamnya dan membatasi segala aktifitas manusia terlebih membangun suatu perkampungan. Dasar hukum Taman Nasional Baluran menetapkan kawasan Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya menjadi kawasan konservasi adalah menurut: 1. Proses Verbal tata batas suppletoir tanggal 24 Juni 1940 yang disahkan pada tahun 1941. 2. Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 15 Mei 1962. Nomor Sk/11/1962, tentang penunjukan Labuhan Merak sebagai Suaka Margasatwa Baluran 9 Arsip Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan Kabupaten Situbondo, Permasalahan Tanah Yang Berkembang (strategis) di Kabupaten commitHermanus). to user Situbondo, 1991, hal.1.(Koleksi Pribadi perpustakaan.uns.ac.id 3. 64 digilib.uns.ac.id Peta lampiran Berita Acara tata batas Suaka Margasatwa Baluran tanggal 27 Mei 1980.10 Permasalahan sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya sebenarnya telah tercium sejak awal mula penempatan para purnawirawan di pemukiman Translok. Pada awalnya sebelum Taman Nasional Baluran berdiri, Suaka Margasatwa Baluran telah mengajukan penolakan terhadap pemukiman translok di Desa Wonorejo dan dilaksanakan pada saat proses penempatan para purnawiran tahun 1976. Hal itu berdasarkan Surat Kepala Seksi Perlindungan Dan Pengawetan Alam Jawa Timur Di Banyuwangi tanggal 23 Agustus 1976 Nomor : 736/IV/3/SPPA Jt 11, telah mengajukan keberatannya terhadap rencana translok AD dan mengharap supaya proyek translok di gagalkan dengan alasan tanah tersebut termasuk Kawasan Suaka Margasatwa Baluran. 11 Bila dirunut dari sejarah pembentukannya, Taman Nasional Baluran merupakan perubahan dari Suaka Margasatwa yang terbentuk dari penggabungan beberapa wilayah yang ada di sekitar hutan Baluran. Proses pristiwa pembentukan dapat terlihat pada tabel 3 sebagai berikut : 10 Arsip Risalah Penggunaan Sebagian Kawasan Suaka Margasatwa/Taman Nasional Baluran Sebagai Lokasi Proyek Pemukiman (Transmigrasi Lokal) Tni AD, 2002, hal 1. (Arsip koleksi Balai Taman Nasional Baluran). commit to user (kantor pertanahan Kabupaten Arsip Badan Pertanahan Nasional Situbondo)., op.cit.,hal. 2. 11 65 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel 4 Data Perkebangan Status Kawasan Taman Nasional Baluran No Tahun Lokasi Luas 1 1930 Baluran 25.000 Ha 2 1937 555.1 Ha 3 1937 Tanah Negara Sumber Anyar, Tanah Gunung Mesigit, Tanah Negara Rawa Mesigit, Baluran 4 1940 5 1962 6 1975 7 1975 8 1980 Bitakol, Labuhan Merak, C.O.B I,II,III, TN Perengan Tanah Konsesi Labuhan Merak Kawasan Labuhan Merak, gunung Mesigit Kawasan Hutan di daerah Pandean didirikan prokimad/translok TNI AD Kawasan konsesi HGU PT Gunung Gumitir 25.000 Ha Bentuk Penetapan Ditetapkan sebagai hutan lindung Masuk sebagai Hutan Lindung Penetapan Ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa Ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa Statbalad 1937 No. 554 Tanggal 25-61937 Di jadikan tanah HGU PT Gunung Gumitir selama 25 tahun SK Mendagri No SK/16/RGD/DA/75 293,6 Ha 233 Ha 130 Ha 57 Ha 363 Ha Diperpendek Jangka Waktunya menjadi 15 tahun (1985) 9 1980 Baluran 25.000 Diumumkan Pengumuman Ha menjadi Taman Menteri Pertanian Nasional Baluran pada tanggal 6 Maret 1980 Sumber : Rencana Pengelolaan Taman Nasional Baluran Buku II Tahun 1995-2020, hal. 29-30. (Koleksi Perpustakaan Balai Taman Nasional Baluran) Berdasarkan tabel di atas terlihat rentetan pristiwa pembentukan Taman commit to user Nasional Baluran yang dimulai pada tahun 1937 yang berstatus hutan lindung. perpustakaan.uns.ac.id 66 digilib.uns.ac.id Pada tabel tersebut juga di jelaskan bahwa kawasan pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya masuk ke dalam wilayah Suaka Margasatwa Baluran tahun 1975.12 Dasar hukum yang yang dijabarkan Taman Nasional Baluran sebagai dasar legitimasi kawasan pemukiman translok sebagai bagian dari wilayah Taman Nasional tidak bisa diterima masyarakat translok. Untuk itu, masyarakat translok mencoba untuk segera memperoleh hak milik atas tanah pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya di Desa Wonorejo, kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo yang berupa bukti sertifikat tanah. Lazimnya untuk mendapatkan bukti hak milik atas tanah (sertifikat) masyarakat translok harus menjalani berbagai rangkaian proses pembuatan sertifikat, proses tersebut diantaranya : 1. Mengajukan permohonan 2. Pemeriksaan tanah 3. Pengeluaran “Surat Keputusan Pemberian Hak Milik 4. Memberi Batas Tanah 5. Membayar “Uang Pemasukan” 6. Mendaftarkan Hak 7. Membuat Surat Ukur 8. Membuat Buku Tanah 9. Menyerahkan Sertifikat 12 commit to user Lihat gambar 1, halaman 30, Peta Taman Nasional Baluran. perpustakaan.uns.ac.id 67 digilib.uns.ac.id Proses pemberian Hak Milik dan hak-hak yang lain, terdapat aturannya dalam dua peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) yaitu: 1. PMDN no.3 tahun 1973 tenatang: Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata-cara Pemberian Hak Atas Tanah; 2. PMDN no.1 tahun 1977 berjudul : Tata-cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaannya serta Pendaftarannya.13 Secara diam-diam tanpa diketahui Balai Taman Nasional Baluran, masyarakat translok mencoba untuk melengkapi berkas-berkas dan syarat untuk dapat mengajukan permohonan hak milik (sertifikat) atas tanah yang mereka tempati. Seperti contohnya, masyarakat translok mencoba untuk memberikan batas-batas akan luas tanah pekerangan dan juga sawah mereka sesuai dengan jatah penempatan tiap-tiap kk. Untuk batas rumah serta pekarangan, masyarakat translok memberikannya pagar kayu yang bentuknya semi permanen, sedangkan untuk lahan sawah dan ladang masyarakat translok memberikan batas berupa gundukan tanah seeprti sawah pada umumnya.14 Permasalahan sengketa tanah ini mulai muncul kepermukaan pada tahun 1978 ketika masyarakat translok mulai mempertayakan haknya atas status tanah yang mereka tempati sejak 1976. Pada tahun tersebut masyarakat translok mencoba mengajukan permohonan sertifikat tanah ke kantor Bupati Situbondo Sub Direktorat Jenderal Agraria (sekarang kantor pertanahan). Permohonan ini 13 Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia,(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal,.244. commit to user 14 Wawancara dengan Sutopo, Tanggal 28 Juli 2011. 68 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dilakukan oleh Ny Marsiah mewakili seluruh masyarakat pemukiman translok, dengan membawa berkas pengajuan hak milik untuk masing-masing luas tanah di pemukiman translok antara lain untuk : tanah pertanian/sawah seluas 98,500 m2, tanah pertanian/sawah seluas 324,000 m2, dan perumahan seluas 65, 000 m2.15 Namun, permohonan Ny Marsiah dkk ditolak karena tanah tersebut milik dari Kehutanan Tingkat II Kabupaten Situbondo. Sebenarnya sebelum penempatan segala fasilitas dan administrasi kepindahan termasuk sertifikat tanah dijanjikan akan diurus oleh Kodam V Brawijaya artinya para purnawirawan hanya tinggal menempatinya. Dalam waktu 6 bulan setelah penempatan bukti tanah (sertifikat) tersebut akan segera di berikan. Namun pada kenyataannya hingga tahun 1978 sertifikat tanah belum juga diberikan oleh Sub Direktorat Agraria kabupaten Situbondo.16 Sesuai UUPA dan P.P. No. 10/1961, maka pendaftaran tanah untuk bisa di sertifikat/hak milik menganut azas : 1. Openbaarheid (azas ke-umum-an atau keterbukaan). Maksudnya ialah agar diketahui umum dan bebas dapat dilihat umum, mengetahui status, keadaan hukum, letak, luas, batas-batas, pemegang hak, peralihan hak, serta pembebanan hak dan sebagainya. 2. Spesialitet (azas kekhususan). Meliputi pengukuran (surat ukur), pemetaan (peta tanah), pembukuan hak (buku tanah/sertifikat) dan segi-segi teknis lainnya. Tujuannya agar kepastian hukum hak atas tanah dapat terjamin. 15 Arsip Badan Pertanahan Nasional (kantor pertanahan Kabupaten Situbondo)., op.cit., hal. 1. commit to user 16 Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012. perpustakaan.uns.ac.id 3. 69 digilib.uns.ac.id Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang menurut pasal 19 ayat 2 berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (setifikat).17 Masyarakat translok merasa telah memiliki syarat-syarat administrasi pendaftaran tanah dan telah diajukan. Dasar dari masyarakat translok untuk mempertahankan hak tanahnya di translok adalah bahwa mereka telah mempunyai peta bidang mengenai luas areal tanah translok seluas 57 Ha yang dikeluarkan Kantor Bupati Tk II Situbondo Sub Direktorat Agraria. Dalam peta bidang yang dikeluarkan kantor Direktorat Agraria tahun 1978 untuk Desa Wonorejo terlihat bahwa wilayah pemukiman translok masuk kedalam Desa Wonorejo. Selain itu, Penempatan mereka berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan oleh Pangdam V/Brawijaya pada tanggal 30 Juni 1976 dan juga surat perintah penetapan tanggal 18 Oktober 1977. Dengan dasar penempatan yang telah diketahui oleh Bupati Tk II Kabupaten Situbondo, Kantor Sub Direktorat Agraria, dan atas persetujuan Menteri Dalam Negeri dengan nomor surat Btu. 2/395/2-76. Dasar lainnya bagi masyarakat translok untuk tetap bermukim di wilayah translok ialah, bahwa sebelum penempatan tanah tersebut merupakan tanah negara yang berstatus bebas dan lokasi pemukiman ini sudah berbentuk ladang dan persawahan yang digarap oleh masyarakat sekitar Desa Wonorejo atas persetujuan dari oknum PPA, artinya sudah tidak berbentuk hutan lagi. Masyarakat translok menganggap bahwa mereka bukan perambah hutan dan tidak dikatakan pemukim liar. commit toTanah user Dalam Pembangunan, (Jakarta : Jhon Salindeho, 1987, Masalah Sinar Grafika , 1987), hal. 173. 17 70 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dari segi peruntukannya Menteri Kehutanan dapat menetapkan kawasan hutan yakni : 1. Wilayah ”yang berhutan” yang perlu dipertahankan “sebagai hutan tetap”. 2. Wilayah ”tidak berhutan” yang perlu “dihutankan kembali” dan dipertahankan sebagai hutan tetap. Hutan yang berada ”di dalam” kawasan hutan adalah “hutan tetap” dan hutan yang berada “di luarnya” yang peruntukannya belum ditetapkan adalah “hutan cadangan”. Sedangkan hutan yang ada “di luar” kawasan hutan dan bukan cadangan, adalah “hutan lainnya”. Maka pengertiannya adalah bahwa suatu areal/kawasan hutan tidak selamanya ada hutan diatasnya, yang dimaksudkan dengan pohon-pohon atau lazimnya disebut tegakan dan atau nabati lainnya.18 Jelas bahwa kawasan translok berada di luar kawasan hutan sejak berakhirnya kontrak perkebunan kapuk Bajulmati, areal translok sejak dulu merupakan areal pertanian dan merepakan tegakan yang hanya terdiri dari tanaman jati. Permasalahan sengketa tanah pemukiman translok terus berkelanjutan bahkan semakin besar. Perang “urat saraf” antara masyarakat translok dan Balai Taman Nasional Baluran tidak dapat dihindarkan. Setelah peresmian pada tahun 1980, pada tahun 1982 Balai Taman Nasional Baluran mulai menentukan batasbatas wilayahnya. Penentuan batas-batas wilayah tersebut berdasarkan pemetaan yang dilakuakan oleh dinas Kehutanan Tk II Kabupaten Situbondo, yang ditandai dengan adanya patok-patok/tugu batas. Pemasangan patok batas yang dilakukan Balai Taman Nasional Baluran tersebut tidak sesuai prosedur yang berlaku. 18 commit to user Ibid., hal. 214. 71 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Alasannya karena pada saat pemasangan patok tidak dilibatkan instansi yang berwenang masalah pertanahan seperti kantor Sub Agraria Kabupaten Situbondo ataupun aparatur Desa Wonorejo selaku pemangku wilayah Desa Wonorejo.19 Hal tersebut dikarenakan pada masa Pemerintahan Orde Baru pendekatan pengelolaan sumberdaya hutan lebih cenderung pada Manajeman Hutan Berbasis Negara (State Base Forest Management/SBFM). Pada era itu pengelolaan sumber daya hutan bersifat sentralistik, berbagai kebijakan diputuskan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai representasi pemerintah pusat tinggal melaksanakan juklak-juklak yang telah disusun tanpa harus menginterpretasikannya lebih lanjut. Dinas-dinas kehutanan yang ada ditingkat lokal seperti tingkat II Kabupaten hanya sebagai pelaksana kebijakan pemerintah pusat.20 Akibat dari pemasang patok batas tersebut menimbulkan reaksi ketidakpuasan dari masyarakat translok. Masyarakat translok menayakan hal ini langsung kepada Balai Taman Nasional Baluran, namun pertemuan ini tidak menemui jalan terang. Alasan dari Balai Taman Nasional Baluran ialah mereka hanya menjalankan perintah pusat (Departemen Kehutanan). Akibat belum terjawabnya masalah ini, menimbulkan reaksi keras dari masyarakat translok. 19 20 Wawancara denagan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012. San Afri Awang, 2003, Politik Kehutanan Masyarakat, Yogyakarta: commit to user Kreasi Wacana Yogyakarta, hal.174. 72 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Masyarakat translok mulai bersikap anarkis dengan menghancurkan secara diamdiam patok-patok batas yang ada.21 Belum dikeluarkannya sertifikat tanah kawasan pemukiman translok membuat masyarakat translok hidup dengan ketidakpastian mengenai status hunian mereka. Oleh karna itu, pada tahun 1982 perwakilan masyarakat translok kembali menanyakan mengenai kejelasan sertifikat tanah pada Gubernut Tk I Jawa Timur U.p Kepala Direktorat Agraria. Perwakilan masyarakat translok kembali membawa berkas-berkas pengajuan pendaftaran tanah yang disertai surat pengantar dari Bupati Situbondo yang berisikan keterangan mengenai status tanah translok. Namun hasil yang didapat masih sama saja berkas pengajuan tersebut hanya menumpuk dan tidak terselesaikan.22 Alasan dari Kepala Direktorat Agraria bahwa tanah pemukiman translok masih milik dinas kehutanan Tk II Kabupaten Situbondo. Masyarakat translok menayakan alasan dari Dinas Kehutanan Tk II Situbondo tetapi dinas kehutanan tingkat daerah tidak bisa memutuskan lebih lanjut karena terganjal kebijakan pusat. C. Usaha Pemerintah dan Militer Dalam Menyelesaikan Sengketa Tanah Tahun 1976-1987 Sengketa pertanahan menjadi persoalan yang harus segera dicarikan solusi, penundaan penyelesaian akan berakibat pada lemahnya proses penegakan hukum dan kondisi sosial yang semakin tidak menentu. Sengketa tanah kehutanan adalah 21 Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012. commit to user 22 Wawancara dengan Hasto Sugiarto, pada tanggal 28 Mei 2012. 73 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id konflik yang melibatkan dua pihak yang saling mengklaim atas tanah antara pemangku hak atas hutan dalam kasus ini Taman Nasional Baluran dan masyarakat sekitar hutan. Berbagai sengketa pertanahan khususnya masalah sengketa kehutanan dasebabkan oleh sejumlah ketimpangan dan ketidakselarasan. Ketimpangan itu antara lain struktur kepemilikan tanah, ketimpangan dalam penggunaan tanah, dan ketimpangan dalam persepsi serta konsepsi mengenai kepemilikan tanah. Kasus yang dominan muncul di Indonesia ialah mengenai penentuan Batas Hutan yang bersinggungan dengan pemukiman masyarakat sekitar hutan. Proses penyelesaian sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya melibatkan berbagai instansi pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah. Hal ini dikarenakan proyek pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya merupakan program Pemerintah Orde Baru yang melibatkan berbagai instansi dan bukan kehendak langsung dari masyarakat translok. Pemerintah khususnya pemerintah daerah baik Tk I dan II Dalam menangani kasus sengketa lahan antara masyarakat translok dan Taman Nasional Baluran sebenarnya telah bertindak cepat terlebih Kodam V Brawijaya selaku penggagas dan yang menjalankan proyek translok TNI AD tentu saja bertanggungjawab terhadap permasalahan masyarakat translok. Langkah-langkah yang diambil Kodam V Brawijaya dan pemerintah daerah hanya sebatas mediator dengan instansi-instansi Pemerintah pusat terkait dengan permasalahan ini. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 74 digilib.uns.ac.id Pada tahun 1977 Kodam V Brawijaya lewat Ka Lurjadam (Kepala Penyalur dan Penyedia Lapangan Kerja Kodam V Brawijaya) mensurati Dirjen Kehutanan di Jakarta. Surat tersebut berisikan penjelasan menegenai status tanah Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya. Dijelaskan bahwa lokasi translok yang terletak di Desa Wonorejo, merupakan kelanjutan Desa Wonorejo yang berstatus tanah negara bebas dan telah dihuni sejak tahun 1950 seluas 205 Ha dan lokasi pemukiman Wonorejo masih jauh dari hutan Suaka Margasatwa Baluran, berjarak ± 6 km. Dijelaskan pula menurut Kodam V Brawijaya bahwa Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No SK/11/1962 tanggal 16 Mei 1962 yang menetapkan Labuhan Merak sebagai bagian dari wilayah Suaka Margasatwa ditambah dengan COB I dan II maka lokasi pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya di Desa Wonorejo masih berada sejauh 2 km dari batas hutan Suaka Margasatwa dengan demikian jelas bahwa pemukiman Translok TNI AD berada jauh di luar Suaka Margasatwa Baluran.23 Namun tindakan yang dilakukan Kodam V Brawijaya belum membuahkan hasil dan surat itu tidak ada balasannya dari Departemen Kehutanan. Belum ditanggapinya surat yang pertama pada tahun 1977, pada tahun 1985 Kodam V Brawijaya kembali mengirimkan surat kepada Gubernur Jawa Timur. Surat tersebut juga menerangkan perihal status tanah translok dan dampaknya bagi masyarakat translok dan mohon diselesaikan oleh Gubernur dalam waktu yang singkat. Selain itu, diusulkan kepada Gubernur Jawa Timur agar membentuk 23 Arsip Departemen Pertahanan Keamanan Mabes TNI AD, dengan nomor surat K/1.41/V/1977, Pada Tanggal 12 Mei 1977, Tentang Pemukiman user Kodam VIII/Brawijaya di Luar commit Suaka toMargasatwa Baluran, hal. 2. (koleksi Pribadi Hermanus). perpustakaan.uns.ac.id 75 digilib.uns.ac.id team pengkaji permasalahan translok yang terdiri dari unsur-unsur Staf Gubernur dan dinas jawatan yang ada kaitannya dengan masalah sengketa tanah serta mengikutsertakan Kodam V Brawijaya sebagai penanggung jawab proyek translok. Unsur-unsur dari Kodam V Brawijaya antara lain, Ka Kodam V Brawijaya, Ka Lurjadam V Brawijaya, Dan Dim 0823 Situbondo.24 Usulan tersebut ternyata ditanggapi positif oleh Gubernur Jawa Timur. Gubernur menjanjikan akan segera membentuk tim peneliti dan penyelesaian status tanah proyek pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya dan juga akan segera melakukan rapat dengan Bupati Situbondo yang juga ditunjuk sebagai tim tersebut. Langkah berikutnya yang diambil Bupati Situbondo dalam mensikapi permasalahan ini ialah mengadakan rapat guna mencari titik temu permasalahan ini. Rapat tersebut dihadiri oleh Wakil Inspektorat Wilayah, Biro Bina Pemerintahan, Biro Bina kependudukan dan Lingkungan Hidup pada kantor Gubernur Kepala Daerah Tk I Jawa Timur, Kalurjadam V/Brawijaya, Pangdam V/Brawijaya, DanDim 0823 Situbondo, Kepala Kantor Agraria Kab Situbondo, Sekwilda Kabupaten Situbondo, dan Kepala Sub Balai Perlindungan Hutan dan Pengawetan Alam Banyuwangi. Namun rapat tersebut belum menghasilkan apaapa, dikarnakan penyelesaian tanah untuk translok AD di Desa Wonorejo di tunda hingga selesainya pemilihan umum tahun 1987 yang akan datang.25 24 Arsip Surat Kodam V Brawijaya kepada Gubernur Jawa Timur, pada tanggal 13 April 1985, Perihal Masalah Tanah Prokimad Wonorejo Kec Banyuputih, Kab Situbondo. Koleksi Pribadi Hermanus). 25 Arsip Surat Bupati Situbondo kepada Perwira ProyekTranslok TNI AD, Pada tanggal 7 Januari 1986, Perihal Permohonan Hak Milik Atas Tanah Negara, commit to userAngkatan Darat, hal 1. (Koleksi Di Desa Wonorejo, Untuk Lokasi Translok Pribadi Hermanus). 76 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Akhirnya pada tanggal 22 November 1987, pembahasan mengenai rapat yang tertunda akibat pemilu kembali dilanjutkan. Pada rapat lanjutan ini, instansi yang menghadiri rapat bebeda dengan yang sebelumnya. Rapat lanjutan tersebut dihadiri oleh: Ketua Bappeda Tingkat II Kabupaten Situbondo, Kasdim 0823 Situbondo, Kepala Kantor Sosial Politik, Kepala Kantor Agraria, Kepala Bagian Pemerintahan, Kepala Taman Nasional Baluran, Asper Perhutani Asembagus, Camat Kecamatan Banyuputih, Kepala Desa Sumberanyar, Kepala Desa Wonorejo. dalam rapat tersebut dibahas kemungkinan adanya tanah pengganti/tukar lokasi Prokimad (proyek pemukiman kembali TNI AD) Wonorejo dengan tanah negara yang terletak di Desa Sumberanyar, Kecamatan Banyuputih seluas ± 24,7 Ha. Namun masalah tanah negara sebagai penganti tersebut terdapat perbedaan pendapat antara lain: 1. Menurut data-data yang ada pada Kantor Agraria merupakan tanah negara bebas. 2. Versi lain menyebutkan bahwa menurut Taman Nasional Baluran sudah merupakan kawasan Taman Nasional berasal dari kawasan kehutanan konsesi tahun 1940. Kemudian mengenai masalah tanah pengganti akan diteliti lebih lanjut baik itu berasal dari tanah negara yang berada di Kabupaten Situbondo maupun dari tanahtanah lainnya. Hasil lainnya dari rapat tersebut merumuskan beberapa poin penting sebagai batu loncatan ke arah penyelesaian kasus sengketa tanah Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya, di antaranya : commit to user perpustakaan.uns.ac.id 77 digilib.uns.ac.id 1. Semua pihak termasuk Taman Nasional Baluran maupun Perhutani setempat (wilayah KPH Banyuwangi Utara) menyetujui kelangsungan adanya Prokimad (Proyek Pemukiman Kembali TNI AD) di Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo. 2. Proses penyelesaian penetapan lokasi translok menunggu keputusan pusat (Mentri Kehutanan), bagi pihak-pihak yang terkait hendaknya mengusulkan agar keputusan dimaksud dapat segera diterbitkan. 3. Apabila diperlukan penggantian tanah untuk keperluan tukar-menukar, Pemerintah Daerah Tk II Situbondo selalu mendukung dan mengupayakan agar tanah pengganti tersebut dapat direalisasikan. Rapat tersebut juga mengeluarkan rekomendasi untuk Gubernur selaku Kepala Daerah Tk I Jawa Timur untuk dapat meneruskan penyelesaian kasus ini kepada Menteri Kehutanan cq. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam agar dapat memberikan persetujuannya terhadap lokasi Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya di Desa Wonorejo, karena dikwatirkan dapat berdampak yang luas dan semakin lama semakin rumit.26 Setelah rapat tersebut, Kodam V/Brawijaya mengirimkan surat telegram kepada Kodim Situbondo yang berisi instruksi agar Kodim Situbondo membantu kelancaran proses penyelesaian status dan sertifikat tanah translok di Desa Wonorejo dan mengadakan kordinasi lanjutan dengan aparat yang ada kaitannya 26 Arsip Surat Bupati Situbondo kepada Gubernur Jawa Timur Up Asisten I Sekertaris Wilayah Jawa Timur Selaku ketua tim Peneliti dan Penyelesaian commit to user1987, Perihal Penyelesaian Status Status Tanah Prokimad, tanggal 23 November dan Sertifikat Tanah Translok TNI AD. (koleksi Pribadi Hermanus). 78 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dengan permasalahan tersebut.27 Kodam V Brawijaya juga mengistruksikan agar masyarakat translok menunggu proses penyelesaiaan tanah yang sedang diproses setidaknya ada penjelasan lebih lanjut dari Gubernur Tk I Jawa Timur. Sebagai seorang mantan anggota TNI sikap patuh dan taat terhadap perintah atasan masih tetap terjaga walaupun timbul permasalahan akan status tanah mereka. Status sebagai seorang pejuang angkatan 45 tidak serta merta membuat hidup mereka setelah pensiun menjadi nyaman dan tentram, justru malah dihadapkan oleh suatu permasalahan tanah yang rumit Penyelesaian yang berjalah sangat lambat dan terkesan saling melepar tanggung jawab antar tiap instansi pemerintah dikarnakan pemerintah pusat dan daerah sangat berhati-hati dalam menyelesaikan kasus ini. Pemerintah daerah selaku pemangku daerah yang seharusnya dapat dengan mudah menyelesaikan permasalahan sengketa tanah ini justru menjadi pasif dan hanya sebagai fasilitator, mereka lebih banyak menyerahkan permasalahan ini kepada pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan dan Departemen Dalam Negeri yang berhak menentukan kebijakan. Kasus sengketa ini pun tidak sempat untuk dipublikasikan, dikarnakan besarnya pengaruh militer diera Orde Baru turut mempengaruhi arah penyelesaian terhadap kasus sengketa tanah tersebut. 27 Arsip Surat telegram Pangdam V Brawijaya Kepada Dan Rem 083 commitTentang to user Membantu Proses Penyelesaian Situbondo, tanggal 22 Oktober 1987, Masalah Prokimad TNI AD. (Koleksi Pribadi Masyarakat translok). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV PERKEMBANGAN SENGKETA TANAH PEMUKIMAN TRANSMIGRASI LOKAL TNI AD KODAM V BRAWIJAYA TAHUN 1988-2006 A. Perkembangan Sengketa Tanah Pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya antara Taman Nasional Baluran dan Masyarakat Translok Tahun 1988-2006 Dalam perkembangannya Taman Nasional Baluran terus memperbarui pemetaan wilayah konservasi, hal ini dilakukan untuk lebih mempermudah dalam pengelolaanya Balai Taman Nasional Baluran (BTNB). Pembahuruan wilayah tersebut sebagai dasar hukum legitimasinya termasuk terhadap kawasan bersengketa seperti pemukiman translok. Terdapat perubahan peta wilayah yang dikeluarkan Taman Nasional Baluran antara lain : 1. Peta lampiran Keputusan Menteri Kehutanan nomor : 279/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997. 2. Peta Hasil Rekontruksi Batas Kawasan Taman Nasional Baluran bulan Juli 1997. 3. Peta lampiran Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Nomor : 187/Kpts/DJ-VI/1999 tanggal 13 Desember 1999. Perubahan tata kelola lainnya dapat terlihat dari pembentukan sistem zonasi pada tanggal 13 Desember 1999 dalam kawasan Baluran. Wilayah Taman commit to user 79 perpustakaan.uns.ac.id 80 digilib.uns.ac.id Nasional Baluran yang cukup luas dengan luas 25.000 Ha, untuk itu diperlukan pembagian-pembagian kawasan menurut jenis dan peruntukannya. Sistem zonasi tersebut berfungsi sebagai pembeda perlakuaan terhadap kawasan-kawasan Taman Nasional Baluran. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor : 51/Kpts/DJ-VI/1999 Taman Nasional Baluran terbagi menjadi 5 kawasan zona antara lain, Zona Inti seluas ± 12.000 Ha, Zona Rimba seluas ± 5637 Ha, Zona Pemanfaatan Intensif seluas ± 800 Ha, Zona Pemanfaatan Khusus seluas ± 5780 Ha, dan Zona Rehabilitasi seluas ± 783 Ha.1 Berdasarkan pembagian zona tersebut kawasan pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya masuk pada Zona Rimba. Menurut peruntukannya Zona Rimba merupakan kawasan/zona yang ditujukan bagi kepentingan konservasi yang masih berbentuk hutan dan secara terbatas untuk kepentingan rekreasi. Pengasawan di dalam Zona Rimba juga sudah diperketat, setiap orang untuk masuk ke sana harus dengan pengawalan petugas Taman Nasional Baluran.2 Dengan melihat realita yang ada, maka kawasan translok dianggap tidak relevan untuk dikelompokkan ke dalam Zona Rimba. Balai Taman Nasional Baluran menganggap bahwa kawasan translok telah menjadi kawasan hutan yang rusak akibat dari perambahan yang dilakukan oleh manusia. 1 Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Taman Nasional Baluran, Review Rencana Pengelolaan Taman Nasional Baluran, (Banyuwangi: tidak diterbitkan, 1995), hal. 15. 2 Arsip Risalah Penggunaan sebagian Kawasan Suaka Margasatwa Taman to user Nasional Baluran Sebagai Lokasi commit Proyek Pemukiman (Transmigrasi Lokal) TNI Angkatan Darat., Loc.cit., perpustakaan.uns.ac.id No 1 2 3 4 81 digilib.uns.ac.id Tabel 5 Data Kerusakan Hutan Akibat Perambahan Tahun 1996-2000 Jenis/Gangguan Lokasi Frekuensi (Ha) 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999 Penyerobotan Tanah 22 22 22,33 22,33 Lahan/Perladangan Gentong Liar Pemukiman Liar Translok 57 57 57 57 AD/Pandean Tumpang Tindih HGU.PT 363 363 363 363 Penggunaan Lahan Gunung Gumitir Pengembalaan Liar Karang 2200-2500 2200-2500 3450 3450 (Ternak Sapi) Tekok Sumber : Data Statistik Balai Taman Nasional Baluran, tahun 2000, halaman 24. Dari tabel di atas terlihat bahwa beberapa kasus penyalahgunaan tanah kawasan Taman Nasional Baluran. Dari data tersebut disebutkan pemukiman translok yang berada di Dusun Pandean, Desa Wonorejo dimasukkan ke dalam pemukiman liar yang ada di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Baluran. Taman Nasional menganggap bahwa masyarakat translok telah melakukan tindakan penyerobotan atas lahan Taman Nasional Baluran dengan membangun pemukiman. Selain Pemukiman Translok, Taman Nasional Baluran juga mengalami permasalahan tanah yang di akibatkan tumpang tindih wewenang dan juga peruntukan terhadap status wilayah konservasi seperti contohnya, Tanah Gentong (Blok Gentong) yang digunakan sebagai daerah tempat mengembala hewan ternak seperti sapi dan kerbau milik Marinir AL yang dikelola oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Baluran dengan sistem bagi hasil dengan Marinir AL. Selain itu permasalahan tanah di dalam Taman Nasional Baluran disebabkan oleh pengunaan Tanah bekas HGU PT Gunung Gumitir yang setelah habis kontraknya, lalu dijadikan commit pemukiman liar di dalam kawasan konservasi to user 2000 22,33 57 363 3450 perpustakaan.uns.ac.id 82 digilib.uns.ac.id oleh bekas karyawan PT Gunung Gumitir.3 Akibat dari penyerobotan beberapa lahan tersebut, berdapak pada berkurangnya luas wilayah konservasi Taman Nasional Baluran. Berdasarkan pembaharuan pemetaan wilayah, Taman Nasional Baluran kembali memasang patok-patok batas yang baru. Pemasangan patok-patok tersebut juga tidak berdasarkan prosedur yang ada tanpa melibatkan BPN (Badan Pertanahan Nasional) selaku instansi pemerintah yang mengurusi masalah pertanahan dan juga aparatur Desa Wonorejo. pemasangan patok-patok tersebut justru melibatkan mahasiswa-mahasiswa dari IPB dengan alasan menjalankan tugas praktek lapangan. Selain tanpa keterlibatan instansi lain pemasangan patok tersebut juga tidak berdasarkan pemasangan patok yang lama pada tahun 1982 dan patok yang dikeluarkan oleh Kantor Agraria Kabupaten Situbondo, tetapi pemasangan tersebut telah bergeser sejauh ±1 meter ke dalam pemukiman translok. Hal tersebut dikarnakan perubahan pemetaan wilayah Taman Nasional Baluran. Pada proses pemasangan patok pun sempat terjadi kesalahpahaman antara masyarakat translok dengan petugas taman nasional baluran, karena pemasangan patok tersebut tidak pada tempat seharusnya seperti pinggir jalan ataupun pinggir sawah, tetapi pemasangan patok tersebut ada yang ditempatkan ditengah jalan yang menghubungkan translok barat dengan Desa Wonorejo. Alasannya karena sesuai dengan berita acara pemasangan tapal batas kehutanan. Akhirnya dengan musyawarah yang dilakukan antara masyarakat translok dengan 3 commit to user Wawancara dengan Siswanto, pada tanggal 28 Juli 2012. perpustakaan.uns.ac.id 83 digilib.uns.ac.id BTNB, permasalahan ini dapat diselesaikan dan salah satu patok tersebut bergeser ke tepi jalan, tetapi tidak merubah patok-patok yang lain.4 Tindakan yang dilakukan BTNB tesebut, menimbulkan reaksi dari masyarakat translok. Dengan adanya tindakan tersebut semakin memunculkan rasa memiliki terhadap tanah yang mereka tempati. Buktinya ialah masyarakat translok melalui kepala lingkungannya juga memasang papan nama Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya pada batas luar pemukiman translok dengan Desa Wonorejo. Alasan dari pemasangan papan nama tersebut ialah sebagai penanda keberadaan pemukiman translok. Papan nama ini nantinya akan dicabut masyarakat translok bila kawasan translok telah masuk ke dalam wilayah Desa Wonorejo secara sah yang artinya telah tersertifikat.5 Pada tahun 2005 terjadi perubahan sistem zonasi yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Baluran. Perubahan tersebut karena adanya tuntutan perkembangan pengelolaan, dinamika kondisi sosial budaya masyarakat serta perubahan kondisi fisik dan biotis kawasan menjadikan sistem zonasi yang ada tidak dapat lagi digunakan sebagai dasar pengelolaan yang efektif. Beberapa contoh perubahan kondisi fisik dan biotis di lapangan sehingga tidak sesuai lagi dengan sistem zonasi yang ada meliputi: 1. Adanya pemanfaatan Zona Rimba yang tidak sesuai dengan ketentuan antara lain: pembangunan Kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional wilayah II karangtekok, pemanfaatan tanah gentong seluas ± 22 Ha sebagai lahan 4 Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012. commit to user 5 Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012. perpustakaan.uns.ac.id 84 digilib.uns.ac.id bercocok tanam masyarakat, Pemukiman Translok Angkatan Darat seluas 57 Ha, serta pemanfaatan beberapa blok savana sebagai tempat pengembalaan ternak oleh masyarakat sekitar kawasan. 2. Adanya kegiatan ritual budaya masyarakat dalam Zona Rimba yang selama ini belum diakomodir oleh zona yang sesuai dengan peruntukannya. 3. Pengelolaan Zona Pemanfaatan Khusus yang selama ini tidak sesuai dengan ketentuan akibat adanya konflik kepentingan Perum Perhutani yang berorientasi produksi dengan Taman Nasional yang berorientasi konservasi. Akhirnya setelah adanya pengkajian ulang mengenai sistem Zonasi yang ada maka terjadi perubahan nama dan luas wilayah Zonasi diantaranya : Zona Inti 10.084,63 Ha, Zona Rimba 7.052,61 Ha, Zona Perlindungan Bahari 2.344,79 Ha, Zona Pemanfaatan 915,70 Ha, Zona Rehabilitasi 3.191,75 Ha, Zona Budaya 4,39 Ha, dan Zona Khusus 5.279,10 Ha. Dalam perubahan sistem Zonasi tersebut kawasan pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya masuk ke dalam Zona Rehabilitasi. Zona Rehabilitasi merupakan kawasan konservasi yang hampir rusak dan maupun yang telah rusak maka perlu untuk diperbaiki atau ditata ulang (penghijauan kembali).6 Ditetapkannya kawasan pemukiman translok masuk ke dalam kawasan Zona Rehabilitasi membuat perlunya perlakuan khusus untuk menangani kawasan tersebut. Penanganan yang dilakukan Balai Taman Nasional memang belum pada tahap penghijauan kembali areal translok, tetapi upaya tersebut sudah mulai dilakukan. Salah satunya ialah pemasangan plang nama dan tarif masuk kawasan to user Departemen Kehutanan commit Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Taman Nasional Baluran., op.cit., hal. 17. 6 perpustakaan.uns.ac.id 85 digilib.uns.ac.id Taman Nasional Baluran pada batas luar pemukiman translok dengan Desa Wonorejo yang berbatasan langsung dengan pantai Pandean. Alasan dari Taman Nasional Baluran sendiri ialah sebagai penanda kawasan Taman Nasional dengan daerah luar. Selain itu, pembangunan menara pengawas dan kantor Resort Perengan pada bibir pantai Pandean yang berbatasan dan menghadap langsung ke arah pemukiman translok. Alasan dari pembangunan ini karena banyak pencurian Sumber Daya Alam Taman Nasional yang lewat dari Pantai Pandean.7 Tindakan yang dilakukan BTNB tersebut justru membuat konflik yang terjadi semakin besar. Dengan dalih banyaknya sumberdaya hutan yang hilang di wilayah yang berbatasan langsung dengan pemukiman translok maka pihak BTNB dengan leluasa membangun bangunan-bangunan pengawas di lingkungan pemukiman translok. Keberadaan bangunan pengawas tersebut tidak difungsikan sebagai mana mestinya, bangunan pengawas tersebut umumnya kosong tanpa ada petugas Taman Nasional yang berjaga, keterbatasan personil yang ada di lapangan menjadi alasan Taman Nasional Baluran dalam menyikapi hal tersebut. Alasan lain mengenai tindakan yang dilakukan Taman Nasional Baluran terhadap wilayah pemukiman translok ialah karena dasar kebijakan yang diambil pimpinan Balai Taman Nasional Baluran bersumber pada Departemen Kehutanan di Jakarta. Pemerintah daerah tidak dapat “menolak” kehendak pusat, karena dianggap tidak strategis melawan kehendak penguasa Jakarta. Hingga sejak tahun 1990-an pemerintahan Indonesia mulai memuai konflik-konflik yang ada di dalam 7 commit to user Wawancara Siswanto, pada tanggal 28 Juli 2012. perpustakaan.uns.ac.id 86 digilib.uns.ac.id Taman Nasional yang paling dominan tentang penetapan tata batas Taman Nasional. 8 Sebenarnya masyarakat translok telah memprotes tindakan Taman Nasional Baluran yang tidak sesuai prosedur yang ada, karena tanpa melibatkan instansi terkait pada saat pelaksanaan pembangunan namun protes ini tidak ditanggapi secara serius. Bentuk protes tersebut bermacam-macam mulai dari tindakan legal yaitu menayakan langsung kepada pihak Taman Nasional Baluran hingga tindakan ilegal yaitu memindahkan plang-plang nama Taman Nasional Baluran di sekitar pemukiman translok keluar dari wilayah pemukiman.9 Kebijakan lain yang diterapkan Balai Taman Nasional Baluran terhadap kawasan Pemukiman Translok ialah dengan tidak memasukkan kawasan translok ke dalam daerah penyangga hutan Taman Nasional. Wilayah translok yang secara geografis berdekatan dengan Taman Nasional Baluran seharusnya dijadikan daerah penyangga seperti Desa Wonorejo. Taman Nasional Baluran menganggap bahwa wilayah translok merupakan wilayah konservasi yang seharusnya tidak ada aktivitas manusia di dalamnya terlebih pemukiman penduduk. Pada tahun 1996 dilaksanakan untuk pertama kali program Pembinaan Daerah Penyangga kepada masyarakat Desa Wonorejo,10 dengan menyalurkan beberapa hewan ternak untuk 8 San Afri Awang., op. cit., hal.175. 9 Data Diolah dari hasil wawancara Dengan Suwarno, Sutrisno dan Sulaisah, pada tanggal 28 Mei 2012. 10 Pembinaan daerah penyangga merupakan serangkaian kegiatan dan upaya yang dilakukan di daerah penyangga guna menciptakan sumber kehidupan commit to user pelestarian kawasan hutan agar yang lebih baik sehinnga mampu mendukung penggelolaannya dapat tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan. Restu 87 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dibudidayakan. Program ini terus berjalan setiap dua tahun dengan bantuan yang beragam jenisnya. Karena tidak dimasukan ke dalam daerah penyangga maka pemukiman translok tidak mendapatkan bantuan apapun dari Taman Nasional Baluran. Masyarakat translok menganggap bahwa pemberian bantuan tersebut merupakan salah satu tindakan provokatif yang dilakukan Taman Nasioanal Baluran, karena membeda-bedakan seseorang yang meneriman bantuan, seharusnya Balai Taman Nasional Baluran tidak melihat status kawasannya tetapi masarakat yang mendiami daerah tersebut.11 B. Proses Penyelesaian Yang Dilakukan Pemerintah dan Balai Taman Nasional Baluran Tahun 1988-2006 1. Upaya Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo Setelah pertemuan antar setiap instansi yang membahas penyelesaian permasalahan sengketa tanah pemukiman translok tahun 1987, belum ada tindakan lebih lanjut dalam hal penyelesaian tanah tersebut. Masyarakat translok masih terus menunggu kepastian akan status tanah mereka yang tidak kunjung datang. Persoalan tersebut kembali mentah tanpa ada hasil yang memuaskan untuk kedua belah pihak. Namun, masyarakat translok yang tidak ingin nasibnya terus terkatungkatung, akhirnya pada tahun 1991 kembali menanyakan status tanah mereka Widhastri, Pengaruh Kegiatan Daerah Penyangga Di Desa Wonorejo Terhadap Pengelolaan Taman Nasional Baluran , (Laporan Magang CPNS Formasi 2005), Departemen Kehutanan Balai Taman Nasioal Baluran, 2006, hal.8. commit to user 11 Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012. perpustakaan.uns.ac.id 88 digilib.uns.ac.id kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Kantor Pertanahan Kabupaten Situbondo. Dengan diresmikannya Badan Pertanahan Nasional (sebelumya bernama Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten Situbondo) Melalui Keppres 26 tahun 1988, maka diharapakan penanganan masalah-masalah pertanahan akan semakin tegas.12 Gebrakan awal kehadiran BPN Kabupaten Situbondo dalam menyelesaikan masalah sengketa tanah ini ialah dengan melakukan pendataan terhadap permasalahan yang terjadi dengan memasukanya dalam permasalahan tanah yang berkembang (strategis) di Kabupaten Situbondo dan melakukan pemetaan ranah penyelesaian kasus tersebut.13 Dalam hal memproses pengajuan sertifikat tanah oleh masyarakat translok, BPN Provinsi Jawa Timur belum bisa melaksanakannya karena masih terganjal dengan status tanah yang masih di dalam kawasan Taman Nasional Baluran. Proses penyelesaian sengketa tanah pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya kemudian kembali tertunda akibat adanya peristiwa nasional pada tanggal 13-15 Mei 1998 yaitu demo besar-besaran yang dilakukan masyarakat dan mahasiswa menuntut lengsernya Orde Baru, perbaikan hukum dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sejak lengsernya rezim Orde Baru turut mempengaruhi proses penyelesaian masalah sengketa tanah ini. Peran militer yang berkuasa di era Orde Baru sangat mendominasi pemerintahan baik pusat maupun daerah, setelah adanya era reformasi terjadi reorganisasi dalam tubuh militer dan 12 A.P.Parlindungan, “Politik dan Hukum Agraria di Zaman Orde Baru” dalam Arselan Harahap (ed)., (Jakarta : PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1986). 13 Arsip surat Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan Kabupaten user Situbondo, Permasalahan Tanahcommit Yang toBerkembang (Strategis) di Kabupaten Situbondo, hal. 1. (Arsip Koleksi Pribadi Hermanus). 89 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id akibatnya pemerintahan militer digantikan atau dikembalikan kepada pemerintahan sipil.14 Keadaan ini juga berpengaruh terhadap proses penyelesaian permasalahan sengketa tanah pemukiman translok. Fungsi dan peranan militer mulai digantikan dengan pemerintahan sipil baik tingkat daerah maupun pusat. Alsannya karena stigma negatif masyarakat luas terhadap militer pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru, militer dianggap banyak memunculkan permasalahan tanah atau merebut tanah untuk dijadikan kepentingan kesatuannya seperti perumahan anggota, tempat latihan ataupun diperuntukan sebagai lahan produksi yang diperuntukan sebagai kas kesatuannya. Pada tahun 2000 Bupati Situbondo mengirimkan surat kepada Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam Negeri selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional perihal penyelesaian tanah lokasi Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya. Surat tersebut berisikan penjelasan mengenai kondisi terkini kawasan pemukiman translok diantaranya: Luas Tanah, Dasar Penetapan para pemukim (purnawirawan TNI AD), proses pengajuan terakhir masyarakat translok pada tahun 1978 dan penjelasan mengenai beberapa kejadian atau peristiwa yang telah dilaksanakan dalam rangka penyelesaian kasus tanah pemukiman translok, maksud dari Bupati Situbondo dalam surat tersebut ialah menerangkan kembali bahwa masih ada 14 Syah Djohan Darwis, Stragi Pemukiman ABRI Di Dalam Transtannas dan Desa Sapta Marga Sebagai Dampak Positif Untuk Mempertahankan Negara commit to user PUSLITBANG Departemen Kesatuan Republik Indonesia, (Jakarta: Transmigrasi, 1986), hal. 56. perpustakaan.uns.ac.id 90 digilib.uns.ac.id kasus tanah yang terjadi antara pihak kehutanan dengan masyarakat sekitar di dalam wilayah Kabupaten Situbondo yang harus segera diselesaikan.15 Belum adanya tanggapan atau jawaban terhadap permasalahan sengketa tanah di pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya dari pihak terkait, Pada tanggal 12 september 2001 Bupati Situbondo lalu melayangkan kembali surat yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Inti dari surat tersebut berisikan sama dengan surat sebelumnya yang dikirimkan pada tahun 2000. Dalam surat ini Bupati Situbondo juga mempertegas instansi terkait permasalahan ini agar lebih serius dalam memproses penyelesaian kasus sengketa tanah yang terjadi di pemukiman translok, surat tersebut berisikan apabila dalam kurun waktu 6 bulan sejak surat ini diterbitkan tidak ada jawaban atau tanggapan, maka Pemerintah Daerah Situbondo menganggap bahwa instansi tersebut telah menyetujui adanya pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya di Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Propinsi Jawa Timur. Setelah itu, Bupati Situbondo akan memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Situbondo untuk merealisasi penerbitan sertifikat Hak Milik terhadap permohonan Hak Milik serta status kepemilikan para warga lokasi proyek pemukiman (Prokimad) Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya.16 Adanya bentuk 15 Arsip Surat Bupati Situbondo Kepada Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Perihal Penyelesaian Tanah Lokasi Proyek Pemukiman Translok AD, pada tanggal 20 Juli 2000, tentang Penyelesaian tanah Lokasi Proyek Pemukiman Translok TNI-AD. (Koleksi Pribadi Hermanus). 16 Arsip Surat Bupati Situbondo Kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan , Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, pada tanggal 12 September 2001, commitProyek to user Pemukiman Translok TNI-AD. tentang Penyelesaian tanah Lokasi (Koleksi Pribadi Hermanus). 91 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id surat tersebut dikarnakan Bupati Situbondo merasa masih memiliki tanggungan permasalahan tanah yang harus di selesaikan sebelum masa jabatannya habis. Selain itu, masyarakat wilayah yang bersengketa telah menunggu kepastian hukum atas tanahnya selama 24 tahun, sehingga menimbulkan keresahan. Surat tersebut akhirnya mendapatkan tanggapan dari Menteri Kehutanan, Menteri Kehutanan kemudian mengeluarkan beberapa poin penyelesaian masalah sengketa tanah di pemukiman translok, di antaranya sebagai berikut: a. Untuk menyelesaikan pemukiman Translok TNI AD Kodam V Brawijaya di dalam kawasan hutan Taman Nasional Baluran, diperlukan penelitian terpadu. b. Tim penelitian dimaksud pada butir 1 akan segera melakukan kegiatannya untuk segera melaksanakan kegiatannya untuk melakukan analisis kondisi ekologi, ekonomi dan sosial Taman Nasional Baluran dengan adanya proyek pemukiman translok tersebut. c. Sebelum tim terpadu tersebut menyelesaikan tugasnya kami minta agar saudara tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada upaya penerbitan sertifikat Hak Milik atas areal pemukiman Translok TNI AD Kodam V Brawijaya tersebut. Tim peneliti tersebut terdiri dari Ketua Tim (Direktur Konservasi Kawasan), Anggota Tim (Kantor KLH, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Dirjen PHKA, Biro Hukum dan Organisasi Sekjen Dephut, Badan Litbang Kehutanan, Dinas commit to user perpustakaan.uns.ac.id 92 digilib.uns.ac.id Kehutanan Provinsi Jawa Timur, Pemda Kabupaten Situbondo).17 Pembentukan tim penelitian tersebut berdasarkan UU No 41 Pasal 19. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa : a. perubahan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu. b. Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting serta cakupannya luas dan serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. c. Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.18 Belum adanya jawaban atas permasalahan sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya, membuat masyarakat translok kembali menempuh menanyakan status tanahnya. Penyelesaian yang dilakukan oleh masyarakat translok lebih bersifat non formal. Penyelesaian dengan jalur non formal dilakukan dengan adanya musyawarah untuk mencapai mufakat. Pada tahun 2002 masyarakat translok berinisiatif untuk menemui langsung Bupati Situbondo tanpa perantara siapapun, dengan meminta surat pengantar dari kepala 17 Arsip surat Menteri Kehutanan Kepada Bupati Situbondo, pada tanggal 20 Februari 2002, tentang Penyelesaian tanah Lokasi Proyek Pemukiman Translok TNI-AD. (Koleksi Pribadi Hermanus). 18 Wahyudi, Formasi dan Sturuktur Gerakan Sosial Petani (Studi Kasus commit to user Reklaming/Penjarahan Atas Tanah PTPN XII (Persero) Kalibakar Malang Selatan).(Malang : UMM Press, 2005),. Hal,.167. perpustakaan.uns.ac.id 93 digilib.uns.ac.id desa, masyarakat translok dapat menemui langsung Bupati Situbondo di Pendopo Rumah Dinasnya.19 Setelah mendengar aspirasi dari masyarakat translok, pada tanggal 4 Maret 2002 Bupati Situbondo kembali mengeluarkan surat kepada Menteri Kehutanan yang berkaitan dengan rencana Bupati Situbondo untuk segera merealisasikan pembuatan sertifikat tanah untuk masyarakat translok dalam kurun waktu 3 bulan setelah surat ini dikeluarkan. Surat ini dikeluarkan akibat belum ada hasil yang nyata dari proses penyelesaian yang dilakuakan tim terpadu peneliti bentukan dari Departemen Kehutanan.20 Setelah adanya otonomi daerah Tingkat II tahun 1999, segala kebijakan mengenai tata kelola Kabupaten/Kota diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah (Bupati/Walikota). Sedangkan peranan pusat hanya sebagai kontrol dan dasar penentu arah kebijakan daerah dalam menyusun pembangunan nasional. Dalam hal memutuskan masalah sengketa tanah pemukiman translok Bupati Situbondo dapat segera menyelesaikan permasalahan ini dengan segera menerbitkan sertifikat tanah kepada masyarakat translok. Sesuai dengan peraturan menteri dalam negeri no. 6 tahun 1972 yang mengatur pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah kepada Gubernur/Bupati/Walikota Kepala Daerah dan 19 20 Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012. Arsip Surat Bupati Situbondo Kepada Menteri Kehutanan, pada tanggal 4 Maret 2002, tentang Penyelesaian tanah Lokasi Proyek Pemukiman Translok commit to user TNI-AD. Koleksi Pribadi Hermanus). perpustakaan.uns.ac.id 94 digilib.uns.ac.id Kepala Kecamatan dalam kedudukan dan fungsinya sebagai Wakil Pemerintah.21 Bupati Situbondo dalam hal ini dapat memberi keputusan mengenai permohonan ijin untuk memproses Hak Milik.22 Namun, dalam permasalahan tanah di pemukiman Translok Kodam V/Brawijaya, Bupati Situbondo tetap harus terlebih dahulu berkordinasi dengan Departemen Kehutanan yang secara yuridis sah atas tanah pemukiman translok. Dengan adanya surat tersebut munculah keputusan Menteri Kehutanan atas dasar hasil penelitian dari tim terpadu penyelesaian masalah sengketa tanah pemukiman translok. Keputusan tersebut tertulis dalam surat balasan Menteri Kehutanan kepada Bupati Situbondo dengan nomor surat 295/Menhut-VII/2003, pada tanggal 12 Mei 2003. Surat tersebut berisikan keputusan antara lain : a. Tuntutan masyarakat untuk pensertifikatan tanah pemukiman di areal Translok TNI AD di Desa Wonorejo, Kabupaten Situbondo tidak dapat kami kabulkan mengingat areal pemukiman dan lahan garapan usaha tani di lokasi Translok TNI AD di dapat dipisahkan dari kesatuan ekosistem kawasan Taman Nasional Baluran. b. Keberadaan para pemukim dan aktifitas usaha tani di kawasan secara aspek legalitas telah menyalahi ketentuan peraturan perundangan yang ada. Untuk itu para pemukim dan aktifitas taninya secara bertahap hendaknya dihentikan dan dipindahkan ke lokasi lain. 21 Sudargon Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 74 commit to user 22 Ibid., hal. 76. perpustakaan.uns.ac.id 95 digilib.uns.ac.id c. Bekas lokasi pemukiman dan lahan garapan taninya secara bertahap akan direhabilitasi ke fungsi semula sebagai kawasan Taman Nasional Baluran.23 Keputusan ini sebenarnya hampir sama dengan keputusan awal Departemen Kehutanan dalam hal ini Balai Taman Nasional Baluran yang tidak menghendaki adanya pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya di Desa Wonorejo yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Baluran, hanya dalam surat ini disebutkan bahwa para pemukim (purnawiran) translok beserta aktifitas taninya akan segera dipindahkan atau direlokasikan ke kawasan lain di luar kawasan Taman Nasional Baluran. Setelah surat ini dikeluarkan semestinya sudah ada esekusi atas tanah atau pencabutan hak atas tanah24. Menurut UU no.20/1961 dan pasal 18, pencabutan hak atas tanah hanya boleh dilakukan : a. Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa, negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula dengan kepentingan pembangunan. b. Memberi ganti rugi yang layak kepada pemegang hak. c. Dilakukan menurut cara yang diatur menurut undang-undang. 23 Arsip Surat Menteri Kehutanan RI Kepada Bupati Situbondo, pada tanggal 12 Mei 2003, tentang Penyelesaian Tanah Lokasi Proyek Pemukiman Translok TNI AD di Situbondo Jawa Timur. (Arsip Koleksi Pribadi Hermanus). 24 Pencabutan hak menurut UUPA adalah pengambilan tanah kepunyaansesuatu pihak oleh negara secara paksa yang mengakibatkan hak atas itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai commit to user dalam memenuhi suatu kewajiban hukum. Efendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, (Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 1994)., hal. 38. perpustakaan.uns.ac.id 96 digilib.uns.ac.id d. Pemindahan hak menurut cara biasa tidak mungkin lagi dilakukan (misalnya jual beli atau pembebasan hak). e. Tidak mungkin memperoleh tanah ditempat lain untuk keperluan tersebut.25 Namun pencabutan hak tersebut tidak pernah direalisasikan oleh Dinas Kehutanan kabupaten Situbondo ataupun Balai Taman Nasional Baluran. Alasan dari BTNB karena belum turunnya surat keputusan dari pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan Jakarta, selain itu Departemen Kehutanan juga belum menentukan areal relokasi bagi masyarakat translok.26 Setelah dikeluarkan surat Menteri Kehutanan tersebut tidak ada tindakan apapun dari Bupati Situbondo, masyarakat translok pun masih menempati lahan pemukiman translok tanpa adanya status yang jelas. Langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan masyarakat translok pun hanya sebatas musyawarah di tingkat Balai Desa dengan meminta dukungan lewat apratur Pemerintahan Desa. Kepala Desa akhirnya merekomendasikan untuk melaporkan permasalahan tanah ini kepada DPRD tingkat II Situbondo. Akhirnya pada tahun 2005 aspirasi masyarakat translok ini pun ditindaklanjuti oleh DPRD Kabupaten Situbondo khususnya komisi A untuk menggelar rapat kerja dengan berbagai instansi terkait permasalahan di pemukiman translok yang dihadiri oleh: DANDIM Situbondo, BTN, BTNB, dan bagian hukum dengan warga translok Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih. Rapat yang diselenggarakan selama 2 jam tersebut juga tidak membuahkan hasil. Belum adanya kesepakatan antara masyarakat dengan 25 26 Ibid., hal. 39. commit to user Wawancara dengan siswanto, pada tanggal 28 Juli 2012. perpustakaan.uns.ac.id 97 digilib.uns.ac.id instansi terkait khususnya BTNB membuat permasalahan ini akan segera ditindaklanjuti kembali.27 Setelah rapat tersebut DPRD tingkat II Situbondo membawa permasalahan tanah pemukiman Translok TNI AD Kodam V/Brawijaya ini ke Komisi I DPR Pusat yang mengurusi berbagai permasalahan tanah di Indonesia. Namun kenyataannya berkas permasalahan tanah di translok tersebut hanya menumpuk dan tidak ada tindak lanjut berikutnya.28 Pada tahun yang sama Dirjen Perlindungan Hutan dan pelestarian Alam (PHKA) Departemen Kehutanan datang ke lokasi pemukiman translok. Setelah melihat langsung lokasi tersebut, lalu mengadakan pembicaraan dengan masyarakat translok dengan dihadiri oleh Kepala Desa Wonorejo dan Kepala Balai Taman Nasional Baluran. Pembicaraan tersebut mengarah kepada keputusan yaitu Departemen Kehutanan memberikan Hak Pakai kepada masyarakat translok.29 Hak pakai tersebut (menurut UUPA pasal 41 ayat 1) berarti masyarkat translok dapat “menggunakan” dan atau “memunggut hasil dari tanah”30 yang langsung dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang 27 Arsip Berita Acara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Situbondo, pada tanggal 27 April 2005, tentang Rapat kerja Komisi A DPRD Situbondo dalam pembahasan sengketa tanah Translok TNI AD di Desa Wonorejo, Jecamatan Banyuputih. (Arsip Koleksi Pribadi Masyarakat Translok). 28 Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012. 29 Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012. committanah to userbangunan, sedangkan “memungut Kata “menggunakan” berarti hasil “ menunjuk pada tanah pertanian. Effendi Perangin., op.cit., hal. 286. 30 98 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan undang-undang agraria.31 Berdasarkan keputusan tersebut masyarakat translok menolaknya dengan alasan bahwa jika mereka menerima pemberian tersebut, masyarakat translok secara tidak langsung mengakui tanah yang mereka tempati adaalah milik pihak kehutanan (BTNB). Selain itu, masyarakat translok menyadari bahwa Hak Pakai ini merupakan tanah Negara dan apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh Negara maka mereka harus siap untuk direlokasi.32 Karena berdasarkan ciri-ciri Hak Pakai dalam tinjauan berbagai pasal UUPA adalah sebagai berikut : a. Hak pakai tujuan penggunaannya bersifat sementara. Oleh karna itu umur Hak Pakai diberikan dengan jangka waktu 10 tahun. Seringkali jangka waktu ini tidak bisa langsung ditentukan karena menunggu keputusan mengenai permohonan untuk menguasai tanah dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan. b. Dengan didaftarkannya Hak Pakai yang diberikan oleh pemerintah (Peraturan Menteri Agraria no. 1 tahun 1966), maka hak tersebut menjadi mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. 31 32 Ibid. commit to user Wawancara dengan Hasto Sugiarto, pada Tanggal 28 Mei 2012. perpustakaan.uns.ac.id 99 digilib.uns.ac.id c. Hak Pakai dapat diberikan dengan ketentuan bahwa jika yang empunya meninggal dunia, hak itu tidak jatuh kepada ahli warisnya, akan tetapi akan batal dengan sendirinya. d. Hak Pakai tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. e. Hak Pakai dapat dialihkan kepada pihak lain, tetapi jika mengenai hak negara diperlukan izin pejabat yang berwenang.33 Sebenarnya dalam penawaran Dirjen PHKA juga disebutkan bila menerima Hak Pakai atas tanah pemukiman translok, masyarakat translok dapat meneruskannya untuk dapat membuat sertifikat. Hal ini dimungkinkan bila tanah tersebut dalam jangka waktu yang diberikan tidak diambil oleh Negara. Namun, untuk dapat diteruskan menjadi sertifikat tanah, diperlukan proses yang panjang dan rumit dalam mengurusnya sehingga masyarakat translok pun menolaknya. 2. Upaya Balai Taman Nasional Baluran dalam Proses penyelesaian Masalah Sengketa Tanah Translok Sebagai pihak yang bersengketa Taman Nasional Baluran juga ikut membantu dalam memproses penyelesaian kasus sengketa tanah di wilayah translok. Sebagai salah satu pelopor pendiri Taman Nasional di Indonesia, segala permasalahan di dalam Taman Nasional Baluran sangat dipantau oleh Negara dan juga dunia Internasional, terlebih jika dikorelasikan dengan isu dunia yang mengedepankan isu global warming, salah satunya akibat berkurangnya luas hutan di dunia. Oleh sebab itu, Taman Nasional Baluran sangat memprioritaskan 33 commit to user Effendi Perangin., op.cit., hal. 287-288 100 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id permasalahan berkurangnya luas lahan konservasi akibat tumpang tindih dan penyerobotan lahan. Langkah kongkrit yang dilakukan Balai Taman Nasional Baluran ialah merumuskan beberapa alternatif penyelesaian terkait permasalahan sengketa tanah dengan pemukiman translok. Beberapa alternatif ini nantinya direkomendasikan kepada Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan sebagai instansi pembuat kebijakan. Alternatif yang dapat di tempuh adalah sebagai berikut : a. Pengembalian daerah translok kepada pihak Taman Nasional Baluran tanpa syarat melalui prosedur hukum. Untuk melaksanakan kebijakan ini terdapat beberapa pertimbangan, salah satunya akan menimbulkan keresahan serta gejolak sosial dari masyarakat translok. b. Pengembalian daerah translok kepada Taman Nasional Baluran setelah penghuni pertama meninggal dunia. Berdasarkan pengalaman alternatif ini sulit untuk dilaksanakan, karena penghunian tetap akan diwariskan kepada keturunannya. c. Pelepasan daerah translok kepada penghuni dengan penggantian lahan lain yang masih tergabung dengan Taman Nasional Baluran seluas lahan yang dilepaskan. Penerapan kebijakan ini terdapat resiko sebagai konsekuensinya, apabila lahan kompensasi tersebut bukan milik negara, maka pemerintah harus memberi ganti ruginya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 101 digilib.uns.ac.id d. Melepaskan kawasan translok kepada penghunitanpa syarat. Dengan konsekuensi, luas kawasan Taman Nasional Baluran akan berkurang.34 Dari beberapa alternatif kebijakan tersebut, yang sangat relevan untuk dilakukan ialah melepaskan daerah translok kepada penghuni dan mencarikan daerah sebagai pengganti daerah yang dilepaskan atau memindahkan para penghuni (relokasi) ke tempat yang baru sesuai dengan luas tanah yang dilepaskan, menginggat sudah sangat kompleksnya permasalahan sengketa tanah pemukiman translok di Desa Wonorejo. Pada tahun 1999 Kepala Balai Taman Nasional Baluran mengirimkan surat kepada kepala kantor wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan provinsi Jawa Timur. Surat tersebut berisikan laporan keadaan kawasan translok pada saat itu yang sangat sulit untuk mengeluarkan (memindahkan) masyarakat penghuni translok keluar kawasan. Sebagai alternatif dan pertimbangan dalam membuat keputusan penyelesaian masalah tersebut dengan cara areal pemukiman translok seluas 57 Ha dikeluarkan atau dilepas dari kawasan Taman Nasional Baluran dan diganti dengan areal perkebunan yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Baluran (areal PT Cliper Baluran Indah).35 Usulan tersebut belum bisa dinggapi oleh Dirjen PHKA Depatemen Kehutanan, karena untuk dapat memproses pemindahan masyarakat translok ke dalam areal perkebunan Kapuk Baluran Indah diperlukan waktu yang lama serta 34 Departemen Kehutanan Direktorat Jendral dan Pelestarian Alam Taman Nasional Baluran., op.cit., hal. 146. 35 Arsip Risalah Penggunaan Sebagian Kawasan Suaka commit toSebagai user Margasatwa/Taman Nasional Baluran Lokasi Proyek Pemukiman (Transmigrasi Lokal) TNI-Angkatan Darat., op.cit., hal.2. perpustakaan.uns.ac.id 102 digilib.uns.ac.id harus dikordinasikan dengan instansi terkait terlebih oleh Departemen Dalam Negeri. Karena belum adanya tanggapan maka pihak Balai Taman Nasional pada tahun 2001 kembali melayangkan surat kepada Dirjen PHKA menyampaikan langkah-langkah yang telah ditempuh dalam rangka penyelesaian tanah translok AD dan menyerankan agar diadakan kordinasi ditingkat pusat dan ditindaklanjuti dengan langkah kongkrit penyelesaian secara terpadu dan berkesinambungan di lapangan.36 Akhirnya ususlan dari BTNB tersebut diteruskan kepada Bupati Situbondo pada tahun 2006. Pihak BTNB mungusulkan kepada Bapak Bupati Situbondo agar masyarakat translok di Desa Wonorejo tidak dikeluarkan dari kawasan Desa Wonorejo, tetapi diupayakan untuk dilakukan Tukar Guling (ruislag) lahan dengan Taman Nasional Baluran. Dengan demikian para purnawirawan yang telah sepuh memperoleh kepastian hukum atas lahan hunian mereka. Selain itu salah satu kreteria utama lahan yang akan Ditukar Guling adalah bahwa luas lahan tersebut minimal memiliki luas yang sama dengan luas Translok TNI AD dan dapat menyatu dengan kawasan Taman Nasional Baluran.37 Usulan ini ternyata juga ditanggapi positif oleh masyarakat translok. masyarakat translok bersedia bila lahan mereka seluas 57 Ha untuk di Tukar Guling dengan Taman Nasional Baluran dengan syarat : 36 37 Ibid. Arsip surat Kepala Balai Taman Nasional Baluran Kepada Bupati Situbondo, 28 Februari 2006, tentang Penyelesaian Tanah Lokasi Proyek to user Pemukiman Translok TNI AD dicommit Situbondo Jawa Timur.(Arsip Koleksi Pribadi Hermanus). perpustakaan.uns.ac.id 103 digilib.uns.ac.id a. Lahan pengganti dari lahan yang akan di tempati masyarkat translok luasnya sama dengan yang di tempati saat ini. b. Lahan pengganti yang akan ditempati sudah memiliki sarana yang cukup memadai seperti akses jalan, sarana irigasi dan lain-lain. c. Besaran uang ganti rugi yang ditawarkan pemerintah sesuai dengan harga yang diajukan masyarakat translok, minimal sama dengan harga dasar tanah di pemukiaman translok ± Rp.50,000 per m2. Uang ganti rugi ini nantinya untuk biaya pembuatan rumah yang baru. Setelah mengadakan musyawarah antara BTNB dengan masyarakat translok, melahirkan kesepakatan lahan yang akan digunakan sebagai sarana Tukar Guling kawasan Translok TNI AD Kodam V/ Brawijaya ialah Perkebunan Kapuk PT Baluran Indah. Karena menganggap bahwa lahan sebelah utara Perkebunan Kapuk Baluran Indah yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Baluran merupakan lahan tidur dan telah memilikai akses jalan.38 Masyarakat translok kemudian meneruskan wacana Tukar Guling ini dengan langsung memprosesnya di BPN Kabupaten Situbondo. Setelah melihat status tanah dari Perkebunan Kapuk PT Baluran Indah, maka proses Tukar Guling ini tidak dapat diproses lebih lanjut, dikarnakan tanah tersebut masih berstatus HGU PT Baluran Indah hingga 2014 dan yang menentukan kebijakan mengenai HGU PT Baluran Indah ialah Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri. Kepala BPN Kabupaten Situbondo menghawatirkan bahwa tanah ini nantinya akan menimbulkan masalah baru bagi masyarakat translok. Pihak BTNB 38 commit to user Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012. perpustakaan.uns.ac.id 104 digilib.uns.ac.id pun tidak bisa berbuat banyak karena keputusan berada di tingkat pemerintah pusat. 39 Setelah wacana Tukar Guling tersebut beluam ada lagi proses ke arah penyelesaian kasus sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal TNI Angkatan Darat Kodam V Brawijaya. Permasalahan ini terus bergulir tanpa ada solusi yang pasti dari setiap instansi yang terkait. Hanya saja masyarakat translok terus mengupayakan legalitas status tanah yang mereka tempati dengan cara mencari dukungan dari masyarakat Desa Wonorejo dan juga terus menanyakan perkembangan kasus mereka di Instansi Pemerintah Daera Situbondo seperti BPN Kantor Kabupaten Situbondo, Kecamatan Banyuputih, hingga Bupati Situbondo.40 Namun sayangnya masyarakat translok tidak mendapatkan dukungan dari aparatur pemerintahan Desa Wonorejo, Kepala Desa Wonorejo dan beberapa jajarannya tidak memberikan dukungan maupun ijin terhadap legalisasi Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya. Alasan dari beberpa aparatur desa tersebut dikarnakan mereka mengakui tanah tersebut adalah milik dari Taman Nasional Baluran berdasarkan pemetaan yang dikeluarkan BTNB.41 39 40 Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012. Data diolah dari hasil wawancara masyarakat translok pada Juni 2012. commit to user 41 Wawancara dengan Hermanus, Pada tanggal 28 Juli 2012. 105 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id C. Dampak Sengketa Tanah Pemukiman Translok TNI AD Kodam V Brawijaya 1. Dampak Sosial Permasalahan tumpang tindih tanah di Proyek Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya diakibatkan oleh kurang beresnya pengurusan tanah yang disediakan untuk pemukiman transmigrasi. Dari perencanaan spesial (tata ruang) ternyata timbul tumpang tindih dengan beberapa proyek/ kegiatan yang telah menjadi hak instansi lain sebelum masa penyusunan rencana, yaitu : 1. Areal konsesi hutan/KPH yang telah dikeluarkan izin pengelolaannya. 2. Ladang minyak yang telah diizinkan untuk dieksploitir oleh pertamina berserta kontraktor-kontraktornya. 3. Perlindungan alam lingkungan hidup, hutan lindung, marga satwa, cagar alam dan sebagainya dan daerahnya dilarang untuk dieksploitir, seperti pemukiman transmigrasi.42 Permasalahan sengketa tanah ini membawa efek psikologis bagi transmigran yang berupa dampak sosial. Dampak sosial dari sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya sangat dirasakan oleh masyarakat translok. Secara de fackto memang masyarakat translok telah menempati lahan pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD sejak 1976, namun kondisi psikososial masyarakat translok boleh dibilang terjebak oleh situasi 42 Ashari, Edy Topo, Masalah Kordinasi Perencanaan Transmigrasi to user Terpadu dalam Repelita III di commit Kalimantan Timur (Suatu Pendekatan Sosial), (Jakarta:LPPM.FE UI, 1980), hal. 5. perpustakaan.uns.ac.id 106 digilib.uns.ac.id ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakberhasilannya menuntaskan gerakan pengakuan hukum. Tanah atau sumber daya agraria lainya dalam suatu masyarkat agraris tidak hanya menjadi faktor produksi tetapi juga memiliki arti penting lainnya baik menyangkut aspek sosial maupun politik, oleh karna itu masalah tanah tidak semata-mata merupakan hubungan antara manusia dengan tanah, lebh dari itu, secara normatif merupakan hubungan manusia dengan manusia. Karena pentingnya penguasaan tanah bagi seseorang dan sekelompok masyarkat dengan sendirinya mendorong muncuknya upaya untuk mempertahankan hak-hak dari setiap intervensi dari pihak luar.43 Untuk itu masyarakat translok sangat mempertahankan tanah pertanian dan rumah mereka. Dalam berbagai konflik sengketa tanah yang muncul, petani yang kehidupannya sangat tergantung sepenuhnya pada sumber daya tanah, selalu berada dalam posisi yang lemah, seperti halnya masyarakat translok. Masyarakat translok merasa dijadikan korban dari program pemerintahan Orde Baru. Para purnawirawan yang notabene merupakan abdi pemerintah, ditugaskan untuk menempati lahan di Desa Wonorejo sebagai salah satu program menjaga ketahanan dan keamanan negara dari intervensi luar dan mengembangkan keahlian mereka untuk membentuk desa yang swadaya. Sepengetahuan masyarakat translok bahwa mereka hanya tinggal menempati lahan pemukiman tersebut yang berstatus Tanah Negara bekas tanah Perkebunan Kapuk Bajulmati to user Endang Suhendar dancommit Yohana Budi Winarni, Petani Dan Konflik Agraria, (Bandung : Yayasan Akatiga, 1998), hal. 1-2. 43 perpustakaan.uns.ac.id 107 digilib.uns.ac.id (C.O.B IV), tanpa tahu bahwa sebelumnya tanah tersebut telah diklaim oleh Suaka Margasatwa Baluran.44 Masyarakat translok yang merupakan purnawirawan TNI AD, semestinya sudah dapat hidup tentram dan nyaman dengan memiliki rumah dan lahan persawahan, justru dihadapkan oleh permasalahan sengketa tanah yang telah terjadi sejak mereka ditempatkan, bahkan hingga diteruskan oleh keturunannya permasalahan ini tidak kunjung usai. Akhirnya dari hal tersebut di atas, para purnawirawan atau keturunannya saat ini tidak merasa tenang mengerjakan tanahnya. Bahkan masyarakat translok merasa tidak tenang untuk hidup di pemukiman translok, hal itu terlihat dari berkurangnya jumlah KK yang ada d lingkungan translok. Jumlah KK yang berada di pemukiman translok terus berkurang yang tadinya berjumlah 68 KK, pada tahun 2006 menjadi 45 KK dan terus mengalami pengurangan di tahun-tahun berikutnya. Masyarakat translok yang sudah berumur, terlalu lelah untuk terus menunggu proses penyelesaian yang tidak kunjung berhasil. Masyarakat translok akhirnya membangun rumah ke Desa Wonorejo atau ke rumah anak-anaknya sehingga bekas rumah di pemukiman translok dibiarkan kososng dan terkesan tidak terawat.45 2. Dampak Ekonomi Dampak akibat sengketa tanah pemukiman translok dari segi ekonomi tidak terlalu dirasakan masyarakat translok. Masyarakat translok yang merupakan seorang purnawirawan TNI AD tentunya telah mendapakan penghasilan sendiri 44 Wawancara dengan Sutopo, pada tanggal 28 Juni 2011. commit to user 45 Wawancara dengan Hasto Sugiarto, pada tanggal 28 Mei 2012. perpustakaan.uns.ac.id 108 digilib.uns.ac.id dari dana pensiun dan juga hasil pertanian dari lahan jatah yang diberikan sewaktu penempatan. Selama konflik sengketa tanah berlangsung, sebagian masyarakat translok hanya meninggalkan lokasi pemukiman tetapi lahan pertanian tersebut di kerjakan oleh masyarakat Desa Wonorejo dengan sistem bagi hasil. Hanya saja dampak yang dirasakan ialah tersendatnya pembangunan infrastruktur di pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya akibat belum jelasnya status tanah di daerah tersebut. Infrasturktur di pemukiman translok masih tertinggal dengan daerah lain terlebih dengan Desa Wonorejo. infrasturuktur tersebut di antaranya, seperti pengadaan sarana irigasi pertanian, pembuatan jalan beraspal, serta sarana umum lainnya. Sarana umum yang ada di pemukiman translok dibangun berdasarkan dana swadaya masyarakat translok tanpa ada bantuan dari Pemerintah Daerah terlebih dari Desa Wonorejo, sehingga dalam pelaksanaannya kurang maksimal, seperti pembangunan jalan yang menhubungkan Desa Wonorejo dengan Pemukiman translok, sarana Irigasi persawahan, dan lain-lain.46 Pada tahun 2004 ada suntikan dana dari salah satu partai politik untuk pembangunan Masjid di Translok Barat dan Mushala di Translok Timur. Pemberian dana tersebut dilakukan dengan maksud untuk memberi dukungan kepada salah satu calon legestatif dari daerah Situbondo. Salah satu calon tersebut juga menjanjikan akan memperjuangkan penyelesaian kasus sengketa tanah yang terjadi, namun hal itu juga belum direalisasikan.47 46 Wawancara dengan Hasto Sugiarto, pada tanggal 28 Mei 2012. commit to user 47 Wawancara dengan dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012. perpustakaan.uns.ac.id 109 digilib.uns.ac.id Akibat tersendatnya pembangunan Infrastruktur secara tidak langsung mempengaruhi aktifitas ekonomi masyarakat translok. Bila musim hujan, masyarakat translok tidak bisa leluasa berpergian keluar rumah, sebab jalan utama pemukiman mereka becek dan berlumpur. Selain itu, pada musim kemarau masyarakat translok kesulitan untuk melakukan aktifitas pertanian karena kesulitan mendapatkan air dan harus memperolehnya dari sumur bor, untuk itu masyarakat translok harus menambah alokasi biaya untuk membeli bahan bakar diesel.48 Sebenarnya telah dibangun sarana irigasi dari Desa Wonorejo pada tahun 2006, alasannya karena sarana irigasi tersebut tidak pernah dialiri air karena jarak dengan sumber air utama (Sungai Bajulmati) terlalu jauh sehingga hanya cukup untuk mengaliri sawah di Desa Wonorejo.49 Dampak Ekonomi tidak hanya dirasakan oleh masyarkat trasnlok, tetapi juga Pemerintah Daerah Tk II Situbondo. Karena menurut UUPA no 5/1960 tanah yang tidak tercatat dalam Letter C pada Instansi IPEDA, maka tanah tersebut tidak dikenakan Pajak Hasil Bumi (PBB/Landrente dulu), sehingga mengurangi pendapatan APBD Kabupaten Situbondo dan oleh pemerintah dan masyarakat sekitarnya tanah itu dihormati, diindahkan, dan diakui sebagai hak milik seseorang sesuai hukum adat setempat.50 Sebenarnya masyarakat translok justru menginginkan untuk dapat dikenakan pajak PBB dari Pemerintah Daerah, karena 48 Data diolah berdasarkan hasil wawancara dengan Hermanus dan Hasto Sugiarto, pada tanggal 28 Mei 2012. 49 Wawancara dengan Misiran, pada tanggal 28 Juli 2011. commit user Pembangunan, (Jakarta : Sinar Jhon Salindeho, Masalah TanahtoDalam Grafika, 1987), hal. 155. 50 perpustakaan.uns.ac.id 110 digilib.uns.ac.id apabila telah ditarik maka sacara hukum tanah tersebut telah menjadi hak milik masyarakat translok.51 51 commit to user Wawancara dengan Hermanus, pada tanggal 3 Juni 2012. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB V PENUTUP Kesimpulan Persoalan sengketa tanah di Indonesia telah berlangsung sejak lama, dan mencapai puncaknya pada pemerintahan Orde Baru, yang mengusung program pembangunan dalam segala bidang. Program pembangunan pemerintahan Orde Baru sangat mengekploitasi sumber daya tanah, sehingga pada penerapannya banyak menimbulkan tumpang tindih kekuasaan atas tanah atau sengketa lahan pada masyarakat adat setempat maupun instansi pemerintah, seperti halnya kasus sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal (trasnlok) TNI AD Kodam V/Brawijaya yang berada di Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Pemukiman translok terbentuk berdasarkan Inisiatif dari Pangdam V Brawijaya di atas bekas lahan Perkebunan Kapuk Bajulmati, C.O.B IV. Proses pembentukan proyek translok sendiri telah berlangsung lama sejak 1974 dan baru direalisasikan pada tahun 1976. Persoalan sengketa tanah pemukiman translok berawal ketika pada tahun 1980 kawasan Hutan Baluran menjadi Taman Nasional Baluran. Taman Nasional Baluran mengklaim kepemilikan atas status tanah pemukiman translok yang berdasarkan pada: 1. Proses Verbal tata batas suppletoir tanggal 24 Juni 1940 yang disahkan pada tahun 1941. commit to user 111 perpustakaan.uns.ac.id 2. 112 digilib.uns.ac.id Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 15 Mei 1962. Nomor Sk/11/1962, tentang penunjukan Labuhan Merak sebagai Suaka Margasatwa Baluran. Sebenarnya klaim atas tanah Pemukiman Translok telah dilakukan sejak awal penempatan para purnawirawan pada pemukiman translok yang dilakukan oleh Suaka Margasatwa Baluran pada tahun 1976. . Hal itu berdasarkan Surat Kepala Seksi Perlindungan Dan Pengawetan Alam Jawa Timur Di Banyuwangi tanggal 23 Agustus 1976 Nomor : 736/IV/3/SPPA Jt 11, telah mengajukan keberatannya terhadap rencana translok AD dan mengharap supaya proyek translok di gagalkan dengan alasan tanah tersebut termasuk Kawasan Suaka Margasatwa Baluran. Permasalahan sengketa tanah ini mulai muncul kepermukaan pada tahun 1978 ketika masyarakat translok mulai mempertayakan haknya atas status tanah yang mereka tempati sejak 1976. Masyarakat translok mencoba mengajukan permohonan sertifikat tanah ke kantor Bupati Situbondo Sub Direktorat Jenderal Agraria (sekarang kantor pertanahan). Permohonan ini dilakukan oleh Ny Marsiah mewakili seluruh masyarakat pemukiman translok, dengan membawa berkas pengajuan hak milik untuk masing-masing luas tanah di pemukiman translok artara lain untuk : tanah pertanian/sawah seluas 98,500 m2, tanah pertanian/sawah seluas 324,000 m2, dan perumahan seluas 65, 000 m2. Namun, pengajuan ini ditolak karena tanah tersebut masih dimiliki Kehutanan Kabupaten Situbondo. Dasar bagi masyarakat translok untuk terus mempertahankan haknya atas tanah pemukiman translok adalah bahwa mereka telah mempuyai peta bidang mengenai luas areal tanah translok seluas 57 Ha yang dikeluarkan Kantor Bupati commit to user 113 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tk II Situbondo Sub Direktorat Agraria. Selain itu, Penempatan mereka berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan oleh Pangdam V/Brawijaya pada tanggal 30 Juni 1976 dan juga surat perintah penetapan tanggal 18 Oktober 1977. Dengan dasar penempatan yang telah diketahui oleh Bupati Tk II Kabupaten Situbondo, Kantor Sub Direktorat Agraria, dan atas persetujuan mentri dalam negeri dengan nomor surat Btu. 2/395/2-76. Permasalahan sengketa tanah pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya, mencapai puncaknya ketika Taman Nasional Baluran memperbaharui pemetaan atas wilayahnya, termasuk di dalamnya pemukiman translok TNI AD Kodam V/Brawijaya. BTNB memasang patok-patok tanda batas sebagai legitimasi atas wilayah pemukiman translok. Akibat dari pemasang patokpatok tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat trasnlok, masyarakat trasnlok bersikap anarkis dengan menghancurkan patok-patok yang ada dan memasang papan nama Pemukiman Transmigrasi Lokal TNI AD Kodam V/Brawijaya sebagai penanda daerah tersebut milik dari para purnawirawan TNI AD. Permasalahan sengketa tanah ini semakin berkembang sehingga mempengaruhi stabilitas politik yang ada di kabupaten Situbondo, oleh karna itu diambil langkah cepat menyelesaikan permasalahan ini. proses penyelesaian yang berlangsung melibatkan berbagai instansi yang terkait baik Pusat maupun daerah. Pemerintah Daerah lewat Bupati Situbondo terus mengupayakan agar permasalahan ini segera terselesaikan. Upaya tersebut dilakukan dengan cara melobby setiap pejabat yang terkait permasalahan ini seperti Menteri Kehutanan bahkan hingga ke tingkat DPR Pusat. Hal ini dikarnakan para pejabat tingkat commit to user 114 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pusatlah yang dapat membuat kebijakan mengenai kasus tanah ini. Namun upaya ini belum bisa membuahkan hasil yang memuaskan. Para pejabat tersebut terkesan saling melempar tanggung jawab mengenai siapa yang seharusnya menyelesaikan perasalahan ini. Pada tahun 2006 Balai Taman Nasional Baluran juga mengupayakan proses penyelesaian atas kasus sengketa tanah ini. BTNB merekomendasikan kepada Departemen Kehutanan agar masyarakat translok tidak dikeluarkan dari desa Wonorejo tetapi dicarikan lahan pengganti yang luasnya sama dengan pemukiman translok, maka dipilihlah lahan Perkebunan PT Kapuk Baluran Indah yang menghadap ke utara berbatasan langsung dengan Taman Nasional Baluran. Ususlan ini juga disetujui oleh masyarakat translok karena letaknya yang strategis dan telah berbentuk lahan pertanian. Oleh karna itu, masyarakat translok kemudian meneruskannya ke BPN situbondo, namun usulan ini kembali ditolak karena kontrak HGU dari PT Kapuk Baluran Indah belum habis. Konflik yang berkepanjangan sangat berdampak buruk bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat translok. Masyarakat translok menjadi resah karena ketidakjelasan status tanah yang mereka tempati sejak tahun 1976, akibatnya penghuni translok yang pada awalnya berjumlah 68 KK mulai berkurang menjadi 45 KK pada tahun 2006. Selain itu dampak konflik lainnya ialah tersendatnya pembangunan infrastuktur di wilayah pemukiman translok, sehingga sangat mengganggu aktifitas dari masyarakat translok. Masyarakat translok harus merogoh kocek yang lebih untuk bisa bertahan di pemukiman translok. commit to user