2 I 1 SKL Sajian Kasus Longitudinal Henny Adriani Puspitasari Jumat, 05 Juni 2014 HAP 2010076 Kepada Yth _____________________ Pengamatan Jangka Panjang Anak Perempuan dengan Diabetes Melitus Tipe-1 yang Memasuki Masa Pubertas D iabetes melitus (DM) tipe-1 merupakan penyakit kronik yang belum dapat disembuhkan hingga saat ini. Penyakit ini merupakan penyakit sistemik yang ditandai oleh hiperglikemia kronik akibat berkurang atau terhentinya produksi insulin karena terjadinya kerusakan sel beta pankreas akibat proses autoimun ataupun idiopatik.1 Kelangsungan hidup anak DM tipe-1 bergantung penuh pada pemberian insulin eksogen dan kontrol metabolik. Kemajuan pesat teknologi dunia kedokteran dan munculnya regimen terapi modern pada beberapa dekade terakhir telah berhasil meningkatkan kualitas perawatan terhadap pasien diabetes di seluruh dunia.2 Anak dengan penyakit kronis memiliki angka harapan hidup yang lebih baik.3 Insidens DM tipe I di Indonesia belum diketahui pasti namun diperkirakan mencapai 0,3 per 100.000 penduduk per tahun.4 Data Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi anak dan remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Pusat pada tahun 2009 hingga 2014 dari 191 pasien DM tipe-1 di RS Cipto Mangunkusumo dengan proporsi perempuan lebih banyak (55%) dari pada laki-laki. Masa remaja merupakan bagian penting dari masa pertumbuhan anak yaitu peralihan menuju masa dewasa muda. Pada periode ini terjadi perubahan besar secara fisik dan psikologis anak. Remaja dengan DM memiliki beban tambahan dalam tata laksana diabetes. Kontrol glikemik biasanya memburuk akibat perubahan hormonal dan ketidakpatuhan terhadap regimen terapi.5 Diabetes melitus akan berkontribusi terhadap munculnya gangguan tumbuh kembang anak, gangguan hubungan antara orangtua-anak, kesulitan dalam performa akademis serta berdampak negatif terhadap kualitas hidup.3 Keluarga dan teman memiliki peran penting dalam usaha pencapaian kontrol metabolik yang baik dan pemberian dukungan emosional. Selain itu, petugas kesehatan juga berperan terutama dalam hal diagnosis dini, terapi dan pemantauan pada pasien DM. Pemantauan jangka panjang remaja DM tipe-1 tahap kedua ini 1 adalah untuk: (1) memantau tumbuh kembang pasien dan menyiapkan pasien menuju masa pubertas, (2) mencapai kontrol metabolik yang baik tanpa menimbulkan hipoglikemia, (3) memantau dan menangani secara optimal komplikasi yang mungkin timbul terutama dalam kaitannya dengan pubertas, (3) mengidentifikasi dan mengupayakan pemecahan masalah yang dihadapi keluarga dalam tata laksana pasien. DATA AWAL (Juli 2009) Seorang anak perempuan, JS, berusia 6 tahun, nomor rekam medis 3334769, datang pertama kali ke RSCM karena tidak sadar dan sesak. Keluhan sering merasa haus dan sering minum dirasakan oleh pasien sejak 1 tahun sebelumnya. Keluhan ini disertai dengan buang air kecil (BAK) yang semakin sering disertai mengompol. Pasien sering merasa lapar dan makan lebih banyak, namun berat badan tidak bertambah. Tiga bulan terakhir, orangtua merasa pasien tampak semakin kurus. Pada hari masuk rumah sakit pasien merasa sakit perut, lemas dan pusing sehingga orang tua membawa ke RS P. Pasien tidak sadar dan terlihat sesak. Saat itu baru diketahui bahwa kadar gula darah sewaktu (GDS) pasien sangat tinggi sehingga pasien langsung dirujuk ke RSCM untuk penanganan lebih lanjut. Pada pemeriksaan fisis awal, pasien tampak apatis, sesak tanpa sianosis. Laju nadi 110 kali per menit, teratur, isi cukup, laju napas 40 kali per menit, teratur dan dalam, disertai retraksi epigastrium tanpa napas cuping hidung, dan napas berbau keton. Suhu aksila 36,8˚C. Berat badan (BB) pasien saat datang 14 kg (<P3 kurva CDC-NCHS 2000) dan tinggi badan (TB) 105 cm (<P3 kurva CDC-NCHS 2000), secara klinis kesan gizi kurang. Pemeriksaan fisis didapatkan nyeri tekan epigastrium sedangkan pemeriksaan lain tidak didapatkan fokus infeksi. Hasil pemeriksaan darah di laboratorium menunjukkan hiperglikemi (GDS 413 mg/dL), leukositosis (25.600/uL), keton darah positif, kadar elektrolit dalam batas normal, dan analisis gas darah (AGD) didapatkan kesan asidosis metabolik dengan pH 7,133 dan kadar HCO3 7,7 mmol/L. Hasil urinalisis menunjukkan berat jenis 1,020, glukosuria (+3), dan ketonuria (+3).Pasien didiagnosis ketoasidosis diabetik (KAD) sedang dengan dehidrasi ringan. Pasien segera mendapatkan infus NaCl 0,9% sesuai dehidrasi ringan, terapi insulin reguler diberikan 1 jam kemudian, pemberian kalium sebesar 40 mEq per liter cairan hidrasi setelah pasien BAK, serta dilakukan edukasi terhadap orangtua. Kondisi klinis pasien membaik dalam 24 jam, pasien sudah tidak mengalami nyeri perut maupun pernapasan Kussmaul. Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil GDS 129 mg/dL dan tidak menunjukkan asidosis metabolik. Pada pemantauan selanjutnya didapatkan kadar 2 kolesterol total 372 mg/dL, trigliserida 152 mg/dL, high-density lipoprotein (HDL) 54 mg/dL, low-density lipoprotein (LDL) 287,6 mg/dL, dan glycosylated hemoglobin (HbA1c) 14,7% dan kadar c-peptide menurun. Pasien diberikan asupan nutrisi total 1600 kkal (pagi 400 kkal, siang 400 kkal, malam 425 kkal dengan 3 kali cemilan senilai 125 kkal/kali) dan insulin reguler 3 kali sehari yang diberikan setengah jam sebelum makan, serta kolestiramin 2 x 2 g per oral. Pasien dirawat selama 15 hari, mendapat terapi insulin lanjutan berupa insulin kombinasi (kerja menengah dan kerja cepat) yaitu Novomix® 30 (30% insulin Aspart, 70% insulin Aspart Protamine) subkutan (SK) dengan dosis awal 12 IU di pagi hari dan 6 IU di sore hari. Pemantauan jangka panjang pertama dimulai pada saat anak berusia 6 tahun 1 bulan hingga 8 tahun 1 bulan. Permasalahan yang dihadapi adalah keterlambatan diagnosis DM pada pasien, pemahaman kondisi penyakit pasien oleh orangtua, pemahaman orangtua mengenai tata laksana dan morbiditas DM tipe-1 terhadap organ lain, kontrol metabolik yang belum tercapai, gizi kurang, perawakan pendek dan imunisasi belum lengkap. Permasalahan nonmedis yang dihadapi adalah potensi masalah emosi dan perkembangan pada pasien akibat penyakitnya dan berbagai prosedur medis yang dijalani, kekhawatiran orang tua akan masa depan pasien, potensi kesalahpahaman lingkungan akan penyakit pasien serta keterbatasan finansial. Saat pemantauan jangka panjang pertama, pasien dapat kontrol secara rutin, kontrol metabolik optimal yang dimonitor dari kadar HbA1c pasien (penurunan dari 14,7% hingga 5,7%) dengan regimen terapi insulin split-mix dan tidak pernah mengalami KAD berulang. Terapi insulin Novomix® 30 SKdilanjutkan dengan dosis 21 IU di pagi hari dan 13 IU di sore hari serta koreksi insulin 1:50 setiap kenaikan GDS lebih dari 200 mg/dL menggunakan Novorapid® (insulin kerja cepat).Pasien mengalami perbaikan status gizi menjadi gizi baik. Perawakan pendek yang dialami pasien merupakan perawakan pendek familial karena didapatkan rentang tinggi dalam tinggi potensi genetik dan hasil pemeriksaan bone age sesuai dengan rentang usia. Imunisasi yang telah dilengkapi adalah imunisasi MMR dan Td, sedangkan imunisasi yang belum dilakukan adalah hepatitis A, influenza dan human papilloma virus (HPV). Pengamatan perkembangan psikososial dilakukan dengan menggunakan instrumen pediatric symptom checklist (PSC) 35 dan child depression inventory (CDI) didapatkan hasil normal pada awal dan akhir pengamatan. Skor kualitas hidup pasien berdasarkan penilaian PedsQL 3 mengalami peningkatan dibandingkan pada awal pengamatan. Pasien memiliki nilai intelligence quotient (IQ) 101 denganprestasi akademik sesuai rata-rata di sekolah.Masalah di sekolah telah diatasi dengan memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi pasien dan waktu yang diperlukan oleh pasien untuk makan di luar jam istirahat. Pasien dan keluarga telah dilibatkan dalam kegiatan seminar komunitas pengidap diabetes yaitu Ikatan Keluarga dengan Diabetes Anak dan Remaja (IKADAR). Masalah finansial pasien dapat diatasi dengan adanya Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) dan donatur yang memberikan modal kerja bagi ayah pasien. Terapi insulin direncanakan untuk berganti ke regimen basal-bolus dan pasien akan memasuki usia pubertas yang diperkirakan dapat mengganggu kontrol metabolik pada pasien DM tipe-1. Pada awal pengamatan jangka panjang kedua (Juli 2011-Mei 2014), pasien berusia berusia 8 tahun 1 bulan, dengan berat badan (BB) 24 kg (P25-50 kurva CDC-NCHS 2000), tinggi badan (TB) 118 cm (<P3 kurva CDC-NCHS 2000). Status antropometris BB/U 92,3%; TB/U 92,9%; BB/TB 109%, IMT 17,2 kg/m2 (P75-85 kurva CDC-NCHS 2000). Klinis sesuai gizi cukup dan status pubertas A1M1P1. Keluhan hipoglikemia setiap bulan berkurang tetapi masih didapatkan banyak periode hiperglikemia. Tidak ada keluhan poliuria, polifagi, polidipsi dan keluhan gatal di kulit. Pada pemeriksaan fisis, tidak didapatkan lipodistrofi. Pasien mendapat terapi insulin regimen split-mix dengan menggunakan Novomix® 21 unit pagi dan 13 unit sore.Rencana pemantauan adalah pemantauan kontrol metabolik, komplikasi akut maupun kronikDM dan pemantauan tumbuh kembang serta kualitas hidup anak khususnya saat memasuki masa pubertas. FAKTOR GENETIK/HEREDOKONSTITUTIONAL Pasien adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara dengan riwayat kehamilan dan persalinan normal. Morbiditas ibu selama hamil tidak ada. Riwayat perkembangan normal. Saat ini pasien duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar dengan prestasi rata-rata. Tinggi badan ayah adalah 156 cm dan ibu 148 cm, sehingga tinggi potensi genetik pasien adalah 137 cm (<P3 CDC-NCHS 2000) sampai 154 cm (P3-10 CDC-NCHS 2000), dan mid-parental height 145,5 cm (<P3 CDC-NCHS 2000). Pasien berada dalam rentang tinggi potensi genetik. Ibu mengalami menarke pada usia 14 tahun. Pasien belum pernah sakit berat sebelumnya. Terdapat riwayat alergi pada ibu berupa alergi udara dingin dan tidak ada riwayat penyakit diabetes dalam keluarga. 4 FAKTOR LINGKUNGAN & PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR Ekosistem mikro Ibu saat ini berusia 34 tahun, beragama Islam, suku Batak, lulusan SLTA, dan merupakan seorang ibu rumah tangga. Ibu adalah seorang yang religius, ramah, penyayang, dan sangat perhatian terhadap anaknya. Ibu menerapkan pola asuh yang protektif karena sangat khawatir akan kondisi kesehatan anak perempuannya, namun tidak otoriter. Ibu juga bersifat permisif dan berusaha melayani semua kebutuhan anak di rumah. Ekosistem mini Ayah berusia 44 tahun, beragama Islam, suku Betawi, lulusan SLTA, seorang wiraswasta dengan penghasilan tidak tetap, sekitar Rp. 1.000.000,- per bulan. Ayah bersifat penyayang, tegas, dan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ayah menerapkan pola pengasuhan otoriter. Kakak pasien meninggal dunia saat pasien berusia 4 tahun karena kejang. Adik pasien yang pertama berusia 3 tahun 4 bulan, sehat, klinis dan antropometri sesuai gizi baik, imunisasi dasar lengkap sesuai usia, tumbuh kembang normal dan memiliki hubungan yang baik dengan pasien. Adik pasien yang kedua berusia 8 bulan, sehat, klinis dan antropometri sesuai gizi baik, imunisasi dasar lengkap sesuai usia, tumbuh kembang normal dan memiliki hubungan yang baik dengan pasien. Ekosistem meso Pasien tinggal bersama orangtua dan adik di pemukiman padat di daerah Klender. Mereka mengontrak sebuah kamar kost berukuran 3 x 4 m2 dengan ventilasi dan cahaya yang kurang memadai. Fasilitas 2 kamar mandi dan 1 dapur digunakan bersama-sama dengan 14 keluarga lain. Sumber air berasal dari sumur pompa, sedangkan listrik dari PLN. Hubungan antar tetangga terkesan baik. Fasilitas umum seperti tempat ibadah, pelayanan kesehatan, dan sekolah berjarak sekitar 200-500 m dari rumah pasien. Pasien harus menempuh perjalanan selama 2 jam dengan kendaraan umum untuk menuju RSCM. Ekosistem makro Biaya pengobatan pasien ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional tetapi strip GDS dan biaya kontrol ke RSCM tiap bulan merupakan beban keluarga, selain makin tingginya biaya hidup sehari-hari. 5 Pemenuhan kebutuhan dasar Fisis Biomedis (Asuh) Pasien diasuh oleh kedua orangtua sejak kecil. Pasien telah mendapat imunisasi BCG, hepatitis B 3 kali, DPT 3 kali, polio oral 4 kali, campak, MMR dan imunisasi penguat Td. Imunisasi lainnya belum diberikan. Pasien mendapat ASI sampai berusia dua tahun dan mulai mendapat makanan pendamping ASI sejak usia 4 bulan. Ibu sangat memperhatikan pola makan pasien, termasuk memberikan kudapan di luar jam makan. Emosi atau Kasih Sayang (Asih) Hubungan antaranggota keluarga cukup harmonis. Kedua orangtua tampak saling menyayangi, menghargai, dan memiliki perhatian yang cukup besar. Orangtua berusaha mencukupi kebutuhan pakaian dan kesehatan pasien secara layak, meskipun dengan keterbatasan dana yang ada. Hubungan kekerabatan dengan keluarga besar dari kedua belah pihak dan tetangga baik. Stimulasi Mental (Asah) Ibu merupakan sumber utama pemberi stimulasi mental dengan membaca dan belajar bersama, yang juga melibatkan adik pasien. Pendidikan formal pasien dipenuhi oleh ibu melalui pendidikan anak usia dini (PAUD), taman kanak-kanak, dan sekolah dasar. Ibu membantu pasien belajar di rumah dengan belajar bersama tiap malam hari sekolah selama 2 jam. Pasien belajar bersama dengan teman sekolah 2 kali dalam seminggu. Ibu pasien berusaha menghubungi guru sekolah untuk menanyakan tugas sekolah apabila pasien tidak masuk sekolah. MASALAH YANG DIHADAPI Masalah medis 1. Pemilihan regimen terapi insulin untuk mencapai kontrol metabolik optimal. 2. Pengaruh pubertas terhadap kontrol metabolik. 3. Diabetes melitus tipe I dan komplikasi yang diakibatkannya. 4. Kontrol metabolik yang belum tercapai. 5. Pertumbuhan dan perkembangan pada anak DM. 6. Imunisasi belum lengkap. 6 Masalah nonmedis 1. Potensi masalah emosi, psikososial, dan akademik pasien akibat penyakit dan prosedur medis yang harus dijalani. 2. Ketidakpahaman pasien akan penyakit dan tata laksana yang diberikan. 3. Kemandirian pasien dalam tata laksana penyakitnya. 4. Sikap remaja yang cenderung memberontak dan sulit diatur. 5. Keterbatasan finansial. UPAYA PEMECAHAN MASALAH Masalah medis 1. Melakukan pemantauan kadar GDS harian dan HbA1c secara rutin untuk menilai kontrol metabolik pasien sebagai pertimbangan pemilihan regimen terapi insulin. 2. Melakukan penyesuaian dosis insulin dan memberikan edukasi kepada orangtua mengenai perubahan di masa pubertas yang dapat berpengaruh terhadapkontrol metabolik. 3. Melakukan pemantauan terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi kronis dengan melakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai dan melakukan konsultasi ke departemen terkait komplikasi akibat DM. 4. Melakukan edukasi berkelanjutan mengenai tata laksana DM. 5. Melakukan pemantauan berkala tumbuh kembang pasien melalui pengukuran antropometris dan pemantauan status pubertas. 6. Melengkapi imunisasi sesuai jadwal. Masalah nonmedis 1. Melakukan deteksi masalah psikososial dengan pemeriksaan kuesioner kekuatan dan kesulitan serta deteksi gangguan kualitas hidup dengan pemeriksaan Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL). 2. Memberikan edukasi yang kepada pasienmengenai penyakit dan terapi DM sesuai taraf pemahaman pasien. 3. Mengikutsertakan pasien pada perkumpulan keluarga dengan penyakit metabolik dan kegiatan pertemuan orangtua dengan penyakit serupa (parents support group). 4. Melakukan konsultasi ke Departemen Psikiatri untuk membantu menangani masalah psikososial dan perbaikan kualitas hidup pasien. 7 5. Membantu keluarga pasien mendapatkan jaminan kesehatan untuk berobat dan mendapatkan donasi untuk penyediaan strip gula darah. HASIL PENGAMATAN Masalah medis Pada pengamatan jangka panjang kedua, keluhan DM berupa polifagi, poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan tidak lagi didapatkan seiring dengan kontrol metabolik yang baik.Untuk mengelola DM tipe-1 secara intensif dilakukan pemberian insulin, pengaturan makan, dan edukasi, yang didukung oleh pemantauan mandiri. Pemberian insulin pada awal pengamatan menggunakan regimen split-mix. Pasien mendapatkan Novomix® dengan dosis total 1,6 unit/kg/hari yang terdiri dari 27 IU pada pagi hari dan 16 IU pada sore hari. Pada semester kedua pengamatan, pasien memiliki kontrol metabolik yang baik dan untuk mengoptimalkan tata laksana DM dilakukan penggantian regimen terapi basal-bolus. Insulin basal menyediakan kebutuhan insulin pada saat puasa dan insulin bolus menyediakan kebutuhan insulin yang meningkat setelah waktu makan atau untuk koreksi hiperglikemia. Insulin kerja panjang seperti detemir atau glargine diberikan sebagai insulin basal sedangkan insulin kerja cepat diberikan sebagai insulin bolus.6 Perhitungan dosis awal untuk regimen adalah sebagai berikut: kebutuhan insulin total 43 IU (1,6 iu/kg/hari), kebutuhan insulin untuk regimen basal-bolus diperhitungkan 75% dari kebutuhan insulin total yaitu 32 IU (16 IU kebutuhan basal, 16 IU kebutuhan bolus). Faktor koreksi dihitung dari rumus 1800 dibagi dosis total insulin yaitu 50 sehingga dilakukan koreksi 1 IU setiap kenaikan GDS 50 mg/dL. Untuk menghitung dosis insulin bolus, ditentukan terlebih dahulu kebutuhan kalori harian sesuai BB ideal yaitu 1500 kkal. Jumlah total karbohidrat harian adalah 187,5 gram yang didapatkan dari 50% total kalori dibagi 4. Kemudian dihitung rasio insulin-karbohidrat dengan membagi total karbohidrat dengan dosis total insulin bolus sehingga didapatkan 1:12. Waktu makan dibagi menjadi makan utama yaitu makan pagi dengan makan siang dengan proporsi 25% total karbohidrat harian, makan malam sebanyak 20% serta kudapan sebanyak 10%.Berdasarkan persentase kebutuhan karbohidrat setiap waktu makan maka insulin bolus yang diberikan sebelum makan pagi dan siang adalah 6 IU, makan malam 4 IU dan kudapan 2 IU. Jenis insulin yang dipakai adalah detemir untuk insulin basal dan novorapid® untuk insulin bolus. Pasien dirawat selama 5 hari untuk pemantauan GDS dan edukasi orangtua mengenai cara penghitungan karbohidrat dan bahan makanan penukar. 8 Selama menggunakan regimen basal-bolus, kontrol metabolik pasien menunjukkan hasil yang baik sehingga ketika bulan Ramadhan pasien diperbolehkan mencoba menjalankan ibadah puasa.Pada saat puasa pada dasarnya pasien tetap mendapatkan insulin basal dan bolus seperti hari biasa, hanya ada pergeseran waktu makan. Waktu makan dibagi menjadi 2 makan utama yaitu saat berbuka dan sahur serta kudapan. Saat berbuka puasa diberikan 50% total karbohidrat (90 gram), saat sahur diberikan 40% (75 gram) dan kudapan sebanyak 10% (20 gram). Untuk itu, insulin bolus diberikan 7 IU saat buka puasa, 6 IU saat sahur dan 1 IU saat kudapaan setelah tarawih.Insulin basal yang diberikan sebesar 80% dari insulin basal yang biasa diberikan yaitu 13 iu. Pemantauan GDS perlu dilakukan sebanyak 7 kali, salah satunya dilakukan di siang hari dan pasien diminta membatalkan puasa bila terdapat hipoglikemia.Pasien dapat menjalani puasa selama 3 minggu dan hanya mengalami 2 kali hipoglikemia selama puasa. Kontrol metabolik pasien dilakukan dengan melakukan pemantauan GDS harian sebanyak 7 kali pada awal pemberian terapi insulin basal-bolus yang kemudian menjadi 3-5 kali perhari. Pada semester kelima pengamatan kadar HbA1c pasien mengalami peningkatan bermakna menjadi 9,6%. Pasien menjadi lebih sulit menepati aturan makan, sering makan kudapan di luar waktunya dan memilih kudapan yang tidak memiliki keterangan nutrisi pada kemasannya sehingga sulit dihitung jumlah karbohidratnya. Pada saat ini memasuki masa pubertas dan pada masa pubertas terdapat perubahan hormonal yang dapat menyebabkan insensitivitas terhadap insulin. Untuk mempertahankan kontrol gula darah yang baik diperlukan peningkatan dosis insulin. Dosis insulin total yang diberikan ditingkatkan menjadi 48 IU dan rasio insulin-karbohidrat disesuaikan menjadi 1:9. Edukasi mengenai pengaruh pubertas terhadap kontrol metabolik diberikan kepada pasien dan keluarga. Pada akhir pengamatan, kontrol metabolik mengalami perbaikan yang ditunjukkan dengan menurunnya kadar HbA1C. (Tabel 1). Tabel 1. Pemantauan HbA1c Bulan HbA1c (%) Bulan HbA1c (%) Agustus 2011 7,0 November 2011 7,8 Februari 2012 7,4 Mei 2012 8,3 Agustus 2012 7,7 November 2012 7,4 Februari 2013 7,3 Mei 2013 8,0 Agustus 2013 7,6 November 2013 9,6 Februari 2014 9,0 Mei 2014 7,0 Nilai normal HbA1c <7,5% 9 Kadar HbA1c yang lebih rendah dapat menurunkan risiko terjadinya komplikasi jangka panjang. Tanda-tanda komplikasi jangka panjang seperti neuropati dan gangguan penglihatan tidak ditemukan pada pasien. Pemeriksaan funduskopi tidak ditemukan retinopati dan pemeriksaan ureum, kreatinin sera mikroalbuminuria menunjukkan hasil normal (1,6 mg/24 jam). Pemantauan profil lipid pasien dan fungsi tiroid menunjukkan hasil normal. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan pasien dilakukan secara teratur setiap bulan. Pada awal pengamatan (Juli 2011) BB pasien 24 kg (P25-50 kurva CDC-NCHS 2000) dengan tinggi badan 118 cm (<P3 kurva CDC-NCHS 2000), secara klinis status gizi sesuai dengan gizi cukup, perawakan pendek. Edukasi dan pemberian diet dengan jumlah kalori yang sesuai, penyuntikan insulin yang teratur, dan kontrol metabolik yang baik memberikan hasil tercapainya BB ideal. Tinggi badan pasien tetap berada di bawah P3 kemudian mengalami percepatan pertumbuhan hingga mencapai TB 132 cm (P3-10 kurva CDC-NCHS 2000) saat usia 11 tahun. Kecepatan pertumbuhan pasien 6,4 cm/tahun dan pasien telah menunjukkan breast-budding. Pada akhir pengamatan, pasien memiliki status gizi baik (Lampiran 1 dan 2) dan mencapai status pubertas A1M2P1 (Tanner’s stage). Masalah lain yang ditemukan pada pasien adalah pasien sering mengompol dan buang air besar di celana dengan frekuensi 2 sampai 3 kali per minggu tanpa disertai keluhan gejala DM lainnya. Kadar gula darah saat itu terkontrol,kadar HbA1c 9,6%, hasil urinalisis lengkap dan mikroalbumin urin sewaktu dalam batas normal. Hasil pemeriksaan yang ada dapat menyingkirkan infeksi saluran kemih dan nefropati. Setelah dieksplorasi lebih lanjut ternyata pasien dapat merasakan akan buang air kecil dan buang air besar tetapi enggan pergi ke kamar mandi karena kamar mandi yang dipakai adalah kamar mandi bersama dan bau. Pasien diedukasi dan diminta untuk membuat catatan harian berdasarkan hasil konsultasi ke departemen psikiatri. Kebiasaan tersebut berhasil dikurangi frekuensinya menjadi 1 kali per minggu. Pasien juga belum melakukan imunisasi ulang Td sehingga dilakukan imunisasi ulang pada akhir pengamatan. Masalah Non medis Kesulitan beradaptasi pada masa pubertas seringkali dialami oleh anak normal. Pada pasien DM kemampuan adaptasi tersebut akan menjadi lebih sulit karena adanya terapi insulin, pengaturan makan dan pemeriksaan GDS harian. Kesulitan yang dialami pada masa pubertas berpotensi menimbulkan masalah psikososial, gangguan perilaku, gangguan akademik dan dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Untuk mendeteksi secara dini kelainan psikososial 10 maka digunakan instrumen PSC-35 serta kuesioner kekuatan dan kesulitan pada awal dan akhir pengamatan (Lampiran 3 dan 4). Total skor PSC-35 dalam pengamatan semester keempat menunjukkan skor 24 yang berarti pada pasien didapatkan gangguan internalisasi dan eksternalisasi (batas skor 28). Kuesioner kekuatan dan kesulitan yang diisi sendiri oleh anak menunjukkan adanya gangguan emosional, conduct dan hubungan dengan teman sebaya serta kurangnya perilaku prososial. Prestasi akademik pasien selama pengamatan sesuai dengan rata-rata kelas (Lampiran 5) dan pasien tidak pernah tinggal kelas. Pasien tidak mengalami kesulitan yang berarti dalam pelajaran dan aktif dalam ekstrakurikuler seni tari serta pramuka. Keluhan guru muncul pada semester keempat pengamatan karena angka absensi pasien meningkat dan pasien sering tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Pada awal berlakunya JKN, sistem rujukan mengharuskan pasien datang terlebih dahulu ke RS Budi Asih sebelum ke RSCM. Hal ini menyebabkan pasien harus absen dari sekolah minimal 2 hari dalam sebulan. Penilaian kualitas hidup dilakukan dengan instrumen PedsQL (pediatric quality of life inventory) laporan anak dan laporan orangtua yang menilai gangguan fungsi fisis, emosi, sosial dan sekolah. Pada awal pengamatan, total skor yang diperoleh PedsQL laporan anak dan orangtua pada awal pengamatan cukup baik, yaitu 78 dan 70 dibandingkan skor maksimal 100. Penyakit yang berlangsung kronis dan usia pasien yang memasuki masa pubertas ternyata menjadi masalah bagi pasien dan orangtua. Hal ini tampak dari total skor PedsQL laporan pasien dan orangtua yang sempat menurun pada saat pasien memasuki pubertas dan kembali normal pada akhir pengamatan (Tabel 2). Tabel 2. Hasil penilaian PedsQL Fungsi fisik emosi sosial sekolah Total Awal pengamatan Anak Orangtua 100 84 70 70 80 94 62 32 78 70 Masuk masa pubertas Anak Orangtua 56,25 68,75 25 50 68,75 112,5 35 35 46,25 66,56 Akhir pengamatan Anak Orangtua 81,25 93,75 70 70 118,75 100 65 45 83,75 77,18 Edukasi mengenai DM lebih difokuskan kepada pasien karena pasien sudah memiliki taraf pemahaman yang lebih baik. Edukasi dilakukan setiap pasien datang kontrol untuk memberikan pemahaman terhadap penyakit pasien, tata laksana pemberian insulin yang cukup rumit dan pentingnya kepatuhan terhadap diet. Pasien sudah mengetahui tentang 11 penyakit dan tata laksana DM tetapi belum mampu memahami. Orangtua diminta untuk memberikan dukungan dan motivasi agar ada pasien dapat lebih mandiri terutama dalam hal penyuntikan insulin dan pemantauan GDS.Pasien dan orangtua juga dilibatkan dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Penyandang Diabetes Anak dan Remaja (IKADAR). Kelompok pendukung tersebut dapat menempatkan pasien dan orangtua dalam lingkungan dengan karakteristik masalah yang sama sehingga lebih mudah untuk mengungkapkan masalah, memperoleh dukungan yang sesuai dan mengembalikan kepercayaan diri pasien dan keluarga. Pada awal pengamatan, biaya pengobatan pasien ditanggung oleh jamkesmas kemudian pada semester keempat pengamatan terdapat perubahan peraturan kesehatan sehingga jamkesmas digantikan oleh JKN. Biaya yang ditanggung oleh JKN adalah biaya konsultasi, pemeriksaan laboratorium dan obat-obatan. Biaya lain seperti strip GDS untuk pemantauan harian masih didapatkan dari donatur karena keterbatasan keuangan keluarga pasien. DISKUSI Diabetes melitus tipe-1 merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Hiperglikemia kronik ini disebabkan oleh kerusakan sel ß pankreas akibat proses autoimun atau idiopatik sehingga produksi insulin berkurang atau berhenti.7 Insidens tertinggi DM tipe I dilaporkan pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun serta tidak didapatkan variasi isidens berdasarkan jenis kelamin.8 Diagnosis dapat ditegakkan dengan ditemukannya gejala klasik DM yaitu polidipsia, poliuria, polifagia dan penurunan berat badan yang terjadi 1-2 minggu sebelum munculnya gejala. Diagnosis dikonfirmasi bila terdapat gejala tersebut disertai peningkatan kadar gula darah yang bermakna.Namun, seringkali pasien justru ditemukan dalam kondisi KAD pada awal terdiagnosis sebagaimana yang dialami oleh pasien saat berusia 6 tahun. Ketoasidosis diabetik yang merupakan komplikasi serius dari DM dapat ditemukan pada 15-67% pasien saat awal terdiagnosis.9 Studi populasi di AS menunjukkan prevalens KAD saat diagnosis sebesar 25,5% sedangkan di RSCM sendiri didapatkan 43% kejadian KAD dalam 5 tahun terakhir.9,10Akumulasi benda keton pada KAD menyebabkan asidemia, ileus, terjadinya diuresis osmotik, dehidrasi bahkan syok hipovolemik.7,8 Penanganan yang optimal terhadap KAD sangat penting untuk mencegah mortalitas dan morbiditasyang terkait dengan edem serebri pada saat diagnosis. Ketoasidosis diabetik pada pasien dapat ditangani dalam waktu 24 jam dan penanganan 12 diberikan secara optimal sehingga tidak didapatkan edema serebri maupun morbiditas yang terkait. Tujuan tata laksana DM adalah mencapai tumbuh kembang optimal, perkembangan emosi optimal, kontrol metabolik yang baik, angka absensi yang rendah, pasien tidak memanipulasi penyakit dan mampu mengelola penyakit secara mandiri.Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan lima pilar tata laksana DM yaitu pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga, edukasi dan pemantauan mandiri.8 Pemberian insulinbertujuan menjamin ketersediaan insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan insulin basal maupun koreksi dengan kadar yang lebih tinggi (bolus) akibat efek glikemik makanan. Regimen split-mix menggunakan kombinasi insulin kerja cepat/pendek dengan menengah yang disuntikkan 1-3 kali per hari. Pemakaian regimen split-mix membutuhkan kepatuhan yang ketat terhadap diet. Pasien menggunakan insulin kombinasi yang disuntikkan dua kali sehari dan koreksi kadar GDS dilakukan dengan pemberian insulin kerja cepat. Kontrol metabolik dapat dicapai dengan baik pada pasien menggunakan regimen ini tetapi untuk mencapai kadar metabolik yang lebih optimal dan pemberian insulin yang lebih fisiologis maka dilakukan penggantian regimen menjadi basal-bolus. Regimen basal-bolus menggunakan insulin kerja cepat/pendek sebelum makan utama dan insulin basal yang diberikan sekali (pagi atau malam hari). Komponen basal biasanya diberikan 40-60% dari kebutuhan total insulin dan sisanya dibagi menjadi komponen bolus. Penyesuaian dosis insulin untuk regmen basal-bolus tergantung dari hasil monitor GDS, pola GDS harian dan kadar karbohidrat yang dikonsumsi. Pasien berhasil berpindah ke regimen insulin basal-bolus pada semester ketiga pengamatan. Insulin yang digunakan adalah insulin basal analogyaitu detemir pada malam hari dan insulin kerja cepat yaitu insulin aspart yang disuntikkan sebelum makan utama. Dosis insulin basal diberikan 75% dari kebutuhan total insulin. Penurunan ambilan glukosa yang distimulasi insulin pada remaja sehat dibandingkan dengan anak pra-pubertas didemonstrasikan pertama kali pada tahun 1980-an dan efek ini tampak lebih menonjol pada anak DM tipe-1.Petugas kesehatan harus memperhatikan insensitivitas terhadap insulin pada masa pubertas dan meningkatkan dosis insulin untuk mempertahankan kontrol gula darah yang baik. Penyebab insensitivitas insulin selama pubertas adalah perubahan hormonal besar akibat peningkatan sekresi growth hormone (GH) dan peningkatan hormon seks steroid. Kedua hormon tersebut dibutuhkan untuk perkembangan tanda seks 13 sekunder, kenaikan tinggi badan dan perubahan komposisi tubuh. Secara biokimiawi, peningkatan GH selama pubertas akan meningkatkan pemecahan lemak di dalam sel lipid (lipolisis) dan meningkatkan aliran asam lemak bebas. Asam lemak bebas akan berkompetisi dengan glukosa pada proses oksidasi glukosa sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa dan insensitivitas terhadap insulin. Selain perubahan secara fisiologi, terjadi perubahan bermakna secara psikososial pada masa pubertas. Kepatuhan terhadap regimen terapi insulin, monitor GDS dan diet menjadi hal yang berpengaruh terhadap kontrol metabolik.11Peningkatan kadar HbA1c pada semester keempat pengamatan dpat disebabkan oleh perubahan hormonal maupun kepatuhan terhadap pengaturan makan yang berkurang. Setelah dilakukan penyesuaian dosis insulin dan edukasi untuk mematuhi diet, kadar HbA1c berangsur-angsur normal. Selain pada masa remaja, penyesuaian dosis insulin juga perlu dilakukan pada saat sakit, saat puasa dan tindakan pembedahan. Sebuah studi literatur menyatakan bahwa terdapat tiga cara penyesuaian dosis insulin saat puasa yaitu memberikan 70% dosis insulin pra-puasa yang dibagi menjadi 60% insulin glargin di malam hari dan 40% insulin kerja pendek yang diberikan 2 dosis (saat sahur dan saat berbuka). Alternatif lain adalah memberikan 85% dosis insulin pra-puasa yang dibagi menjadi 70% ultralente dan 30% insulin reguler, keduanya diberikan 2 dosis (saat sahur dan saat berbuka). Pilihan lain adalah memberikan 100% dosis insulin pagi dengan insulin premix 70/30 dan 50% dosis insulin malam hari saat sahur.12 Namun sebagian besar literatur menyebutkan bahwa penyesuaian dosis insulin pada pasien puasa bersifat individual.13 Pemantauan GDS ketat dan pengaturan makanan seperti memilih karbohidrat kompleks pada saat sahur serta menghindari makanan berkarbohidrat tinggi pada saat berbuka diperlukan untuk mencegah hipoglikemia atau hiperglikemia pada saat puasa.13,14 Puasa harus segera dihentikan bila kadar GDS kurang dari 80 mg/dL. Kontraindikasi puasa pada pasien DM tipe-1 adalah kontrol metabolik yang buruk, mengalami KAD 3 bulan sebelum bulan Ramadhan, memilikikondisi komorbid (unstable angina, hipertensi tidak terkontrol, infeksi, gangguan ginjal, komplikasi makrovaskular lain), pasien yang tidak patuh trhadap terapi dan diet, pasien dengan aktivitas fisik yang berat, wanita hamil dan usia lanjut.12 Pasien telah berhasil menjalani puasa dengan penyesuaian dosis individual. Insulin basal diberikan 80% dosis insulin basal pra-puasa, insulin bolus diberikan 100% dosis pra-puasa yang dibagi sebanyak 4 kali waktu makan. Salah satu parameter kontrol metabolik yang penting pada DM tipe-1 adalah kadar HbA1c. Kadar HbA1c menggambarkan rerata glukosa darah dalam 2-3 bulan terakhir. Pemeriksaan ini 14 merupakan baku emas evaluasi kontrol metabolik pasien DM.8 Target HbA1c bervariasi sesuai usia yaitu 7,5-8,5% untuk anak < 6 tahun, < 8% untuk anak 6-12 tahun, < 7,5% untuk anak 13-19 tahun.15 Penyesuaian dosis insulin tidak selalu memberikan hasil kontrol metabolik yang diharapkan karena belum ada regimen insulin yang sepenuhnya menyamai kerja alami insulin tubuh.8 Rerata kadar HbA1c yang didapatkan di Indonesia pada studi tahun 2006 adalah 10,6±2,7%.16 Selama pemantauan pasien memiliki kadar Hba1c yang berkisar antara 7,0% hingga 9,6%. Kadar HbA1c pada pasien, walaupun belum berhasil mencapai kadar HbA1c yang diharapkan tetapi berada di bawah kadar rerata pasien DM tipe-1 di Indonesia. Lonjakan kadar HbA1c dapat disebabkan karena insensitivitas insulin pada masa pubertas yang kemudian mengalami perbaikan setelah dilakukan intervensi penyesuaian dosis insulin. Pengaturan makan pada anak DM bertujuan untuk mencapai kontrol metabolik yang baik tanpa mengabaikan kalori yang dibutuhkan.8 Pengaturan makan yang optimal terdiri dari 3 kali pemberian makanan utama dan 3 kali pemberian makanan kecil. Kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan perhitungan untuk mencapai berat badan ideal. American Diabetes Association (ADA) tahun 2005 merekomendasikan penggunaan indeks glikemik dalam intervensi diet selainpenghitungan jumlah total karbohidrat. Indeks glikemik adalah respons glukosa darah tubuh terhadap makanan dibandingkan dengan respons glukosa darah tubuh terhadap glukosa murni. Makanan dengan indeks glikemik rendah (kurang dari 55) dapat memperbaiki kontrol metabolik. Pemberian nutrisi dengan indeks glikemik rendah selama 336 bulan dapat menurunkan HbA1c hingga 19% dan IMT hingga 8%.17 Makanan dengan indeks glikemik rendah di antaranya adalah buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, gandum dan produk susu.14 Pada kasus ini, pasien dan orangtua mendapat edukasi mengenai penghitungan jumlah karbohidrat total dan penyediaan kalori yang dibutuhkan, serta penentuan bahan makanan penukar. Edukasi mengenai indeks glikemik masih perlu ditingkatkan karena selama pemantauan dilakukan yang menjadi fokus utama adalah pada penghitungan jumlah karbohidrat total. Olahraga pada anak DM dapat membantu mempertahankan berat badan ideal, meningkatkan sensitivitas insulin, menurunkan kadar glukosa darah, dan menimbulkan perasaan sehat.8Olahraga pada anak DM membutuhkan perhatian khusus untuk mencegah hipoglikemia. Konsultasi dengan dokter perlu dilakukan sebelum penderita DM tipe 1 memutuskan untuk berolahraga teratur, terutama olahraga dengan intensitas sedang-berat. Pemantauan GDS yang lebih ketat serta penyesuaian intensitas dan lama olahraga perlu 15 dilakukan sebelum dan selama berolahraga.8 Pada kasus ini, pasien cukup aktif terlibat dalam kegiatan olahraga yaitu bersepeda dan renang. Salah satu sasaran penting pengelolaan DM Tipe-1 adalah agar anak terhindar dari komplikasi penyakit.Komplikasi DM tipe-1 dapat berupa komplikasi akut maupun kronik. Komplikasi kronik terjadi akibat perubahan-perubahan mikrovaskuler (retinopati, nefropati, neuropati) dan makrovaskuler.8 Risiko timbulnya komplikasi sangat bervariasi, tergantung pada durasi penyakit, kontrol gula darah, hipertensi yang berhubungan dengan risiko mikrovaskuler serta kelainan profil lipid dan albuminuria yang merupakan risiko kuat untuk komplikasi makrovaskuler.18Pemeriksaan komplikasi mata (funduskopi/oftalmoskopi) dan ginjal (ureum, kreatinin, mikroalbuminuria) setiap tahun serta skrining kelainan makrovaskular (profil lipid) setiap 5 tahun sebagaimana dianjurkan oleh International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes(ISPAD).19,20 Pemeriksaan fungsi tiroid disarankan untuk dilakukan setiap dua tahun. Pasien telah menjalani pemeriksaan komplikasi kronis terkait DM dan tidak ditemukan adanya kelainan. Pertumbuhan merupakan salah satu parameter kesehatan yang penting pada anak. Gangguan pertumbuhan seringkali ditemukan pada pasien DM tipe-1. Gangguan tersebut dihubungkan dengan kontrol metabolik yang buruk dan durasi penyakit sejak terdiagnosis. Studi Oxford menunjukkan kehilangan tinggi badan sebesar 0,06 SDS setiap tahun sejak diagnosis hingga onset pubertas. Gangguan pertumbuhan berhubungan dengan penurunan kadar insulin growth factor-1 (IGF-1) yang bersirkulasi dan peningkatan kadar IGFBP-1 (inhibitor bioaktivitas IGF) akibat kadar insulin portal yang rendah pada anak. Insulin portal yang memproduksi insulin yang cukup untuk pembentukan IGF-1, supresi IGFBP-1 dan insulin yang dibutuhkan agar reseptor GH berfungsi normal.21 Studi kasus-kontrol di India melaporkan bahwa anak DM lebih rendah secara bermakna dibandingkan anak normal. Pasien DM yang mendapat terapi insulin basal-bolus lebih tinggi dibandingkan yang mendapatkan terapi split-mix walaupun tidak bermakna secara statistik (height-age Z-score/HAZ -1,0±1,0 vs -1,3±1,3).22 Studi pada anak DM tipe-1 di Sudan menunjukkan keterlambatan pematangan seksual pada anakperempuan dan lelaki. Anak perempuan mengalami menarche pada usia rerata 15,1 tahun, lebih lambat daripada anak normal (13,3 tahun). Anak lelaki dengan DM tipe-1 mencapai stadium Tanner-5 pada usia 17,2 tahun sedangkan anak normal pada usia 15 tahun.2 Pemantauan pertumbuhan pasien dilakukan secara rutin setiap kali kunjungan ke Poliklinik Endokrinologi IKA. Pasien menunjukkan kenaikan berat badan yang baik sehingga 16 pada akhir pemantauan. Pada awal pemnatauan, tinggi badan berada di bawah P3 kurva CDCNCHS 2000 tetapi saat memasuki masa pubertas tinggi badan berada di antara P3-10 kurva CDC-NCHS. Status pubertas pasien saat ini adalah A1M2P1 dan BMI menunjukkan berat badan ideal. Pasien diharapkan dapat mencapai tinggi akhir sesuai tinggi potensi genetiknya dan mengalami menarke sesuai dengan anak normal. Fase remaja merupakan fase transisi dari masa anak ke masa dewasa yang ditandai oleh percepatan pertumbuhan dan perkembangan psikososial anak.23 Remaja dengan DM memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami masalah psikiatri (10-20%), kelainan pola makan (830%) dan penyalahgunaan substansi (25-50%). Masalah tersebut akan memperburuk kontrol metabolik pasien di samping adanya perubahan hormonal. Masalah psikiatri dan perilaku pada remaja dikategorikan menjadi gangguan internalisasi (seperti depresi dan ansietas) atau eksternalisasi (seperti impulsivitas, hiperaktivitas, agresi). Skrining psikologis rutin diperlukan untuk deteksi dini kelainan psikiatri dan perilaku. Remaja dengan KAD berulang, memiliki masalah terkait diabetes dengan orangtua atau memiliki konflik dengan orangtua berisiko mengalami gangguan psikososial yang lebih tinggi.5Hasil pemeriksaan dengan kuesioner kekuatan dan kesulitan menunjukkan adanya masalah emosional, conduct dan hubungan dengan teman sebaya. Kerjasama dengan Departemen Psikiatri dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut sehingga hasil pemeriksaan ulang setelah 2 bulan dilakukan terapi perilaku menunjukkan hasil yang normal. Kualitas hidup pada anak DM tipe-1 dapat dinilai dengan menggunakan PedsQL modul generik yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan divalidasi. Beberapa studi melaporkan bahwa kualitas hidup anak dan remaja dengan DM tipe-1 lebih rendah daripada anak normal (Tabel 3).24 Suatu studi di Yunani menunjukkan adanya skor penilaian fungsi fisik, sekolah dan emosional yang lebih rendah pada anak DM tipe-1 dibandingkan anak normal.Sedangkan laporan penilaian orangtua menunjukkan skor fungsi sekolah yang rendah.24 Pada saat memasuki masa pubertas, laporan anak menunjukkan fungsi fisik, sekolah dan emosional yang rendah. Hal ini dapat terjadi karena rasa nyeri dan rumitnya regimen terapi yang harus dijalani oleh seorang pasien DM remaja. Pemberian edukasi terhadap pasien dan keluarga serta konsultasi ke Departemen Psikiatri ternyata dapat membuat pasien merasa lebih baik sehingga pada akhir pengamatan kualitas hidup dinilai baik. 17 Tabel 3. Penilaian PedsQL generik pada anak DM tipe-124 Anak dengan DM tipe-1 Fungsi fisik Anak Rerata (SD) 79,61 (13,85) Orangtua Rerata (SD) 75,57 (16,99) Fungsi emosi 70,66 (16,17) 61,84 (16,79) Fungsi sosial 81,88 (15,04) 77,58 (17,38) Fungsi sekolah Total 72,58 (12,45) 76,63 (10,99) 68,98 (15,66) 71,59 (13,03) Dampak DM tipe-1 terhadap perkembangan otak merupakan hal yang kontroversial. Hal yang dianggap sebagai faktor risiko gangguan fungsi kognitif diantaranya adalah awitan usia muda (usia 4-7 tahun), hipoglikemia berat dan kejadian KAD. Studi terhadap remaja dengan DM menunjukkan full scale IQ pada anak DM tidak berbeda bermakna dibanding anak normal (100,7±2,0 vs 102,5±1,4) begitu pula dengan kemampuan memori, verbal, kecepatan analisis dan analisis persepsi (perceptual reasoning).25 Studi lain yang mempelajari hubungan disfungsi memori dengan KAD menunjukkan bahwa pasien DM dengan riwayat KAD memiliki memori yang lebih rendah dalam uji warna dan spasial dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat KAD (0,34±0,13 vs 0,44±0,11 pada uji warna; 0,57±0,15 vs0,65±0,18 pada uji spasial).26 Full scale IQ pada pasien adalah menunjukkan hasil sesuai rata-rata dengan skor 106 sedangkan pemeriksaan memori tidak dilakukan pada pasien. Prestasi akademik yang didapatkan oleh pasien di sekolah sesuai rata-rata dan tidak pernah tinggal kelas. Mortalitas secara keseluruhan pada pasien DM tipe-1 pada studi di Oxford adalah 3,6% pada durasi 20 tahun sejak terdiagnosis (IK 95% 1,0-9,0); namun hasil ini memiliki interval kepercayaan yan lebar sehingga hasilnya harus diinterpretasi secara hati-hati. Prevalens terjadinya komplikasi serius meningkat dari 3% saat pertama kali didiagnosis menjadi 37% setelah 20 tahun follow-up. Didapatkan pula gangguan psikiatri sebanyak 25% dari subjek. Risiko berulangnya KAD pada anak yang telah didiagnosis DM tipe-1 adalah 1-10%. Risiko ini meningkat pada anak dengan kontrol metabolik yang buruk atau memiliki riwayat KAD sebelumnya, anak perempuan peripubertal dan remaja, anak dengan gangguan psikiatri seperti gangguan pola makan, anak yang memiliki lingkungan keluarga tidak stabil, anak yang memiliki keterbatasan terhadap pelayanan medis, anak yang mengalami ganggua 18 penyediaan insulin pada pemakaian terapi insulin pompa. Dengan demikian prognosis pada pasien adalah quo ad vitam bonam, quo ad functionam dubia dan quo ad sanactionam dubia. SIMPULAN Penanganan jangka panjang kedua selama 2 tahun 10 bulan telah dilakukan terhadap seorang anak perempuan penderita DM tipe-1 yang memasuki masa pubertas. Masalah yang ditemukan pada pengamatan adalah pemilihan regimen terapi, kontrol metabolik yang memburuk akibat pubertas, ancaman komplikasi DM tipe-1, potensi gangguan pertumbuhan dan perkembangan serta masalah psikososial akibat DM tipe-1. dan penurunan kualitas hidup. Pasien telah didiagnosis DM tipe-1 sejak 5 tahun yang lalu dan mendapatkan terapi insulin split-mix. Usaha untuk mendapatkan kontrol metabolik yang optimal dilakukan dengan memperhatikan lima pilar yang terdiri dari pemberian insulin, pengaturan makan, nutrisi, edukasi dan pemantauan. Pemberian insulin pada periode ini telah diubah menjadi regimen basal-bolus sehingga lebih mendekati fisiologi insulin tubuh. Kontrol metabolik yang baik berhasil dicapai oleh pasien dan tidak didapatkan komplikasi akut maupun kronik. Hingga akhir pemantauan, pasien memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Pemantauan jangka panjang lanjutan masih perlu dilakukan karena pasien masih dapat mengalami gangguan medis dan psikososial serta terjadinya KAD berulang saat memasuki masa dewasa muda. 19 Daftar Pustaka 1. Alemzadeh R, Wyatt D. Diabetes mellitus in children. Dalam: Kliegman R BRJHSB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007. h.2404-25. 2. Elamin A, Hussein O, Tuvemo T. Growth, puberty, and final height in children with Type 1 diabetes. J Diabetes Complications. 2006;20:252-6. 3. Rusmil K. Kualitas hidup remaja dengan kondisi penyakit kronis. Dalam: Amalia P, Oswari H, Hartanto F, Kadim M, penyunting. The 2nd adolesccent health national symposia: current chalanges in management.Jakarta: Balai Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. h.97-107. 4. Pulungan A. DM tipe I pada anak di Indonesia: where are we? 2010 Nov 7; 2010. 5. Kakleas K, Kandyla B, Karayianni C, Karavanaki K. Psychosocial problems in adolescents with type-1 diabetes melitus. Diabetes Metab. 2009;35:339-50. 6. Cooke DW, Plotnick L. Type 1 Diabetes Mellitus in Pediatrics. Pediatr Rev. 2008;29:374-85. 7. Craig ME, Hattersley A, Donaghue KC. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children and adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10:3-12. 8. UKK Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus nasional pengelolaan diabetes melitus tipe-1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. 9. Rewers A, Klingensmith G, Davis C, Pettiti DB, Pihoker C, Rodriguez B, et al. Presence of Diabetic Ketoacidosis at Diagnosis of Diabetes Mellitus in Youth: The Search for Diabetes in Youth Study. Pediatrics. 2008;121:e1258-66. 10. Nagrani D, Pulungan AB. Clinical profiles of patients with history of diabetic ketoacidosis at Cipto Mangunkusumo General Hospital. 2014.(Unpublished Work) 11. Tfayii H, Arslanian S. The challenge of adolescence: hormonal changes and sensitivity to insulin. Diabetes Voice. 2007;52:28-30. 12. Kobeissy A, Zantout MS, Azar ST. Suggested insulin regimens for patients with type 1 diabetes mellitus who wish to fast during month of Ramadhan. Clin Ther. 2008;30:1408-15. 13. Azad K, Mohsin F, Zargar AH, Zabeen B, Ahmad J, Raza A, et al. Fasting guidelines for diabetic children and adolescents. Indian J Endocrinol Metab. 2012;16:516-18. 14. Kirpitch AR, Marynuk MD. The 3R's of glycemic index: recommendations, research and the real world. Clinical Diabetes. 2011;29:155-9. 15. Cooke DW, Pulungan A. Type 1 diabetes mellitus in pediatrics. Pediatr Rev. 2008;29:374-84. 20 16. Craig ME, Jones TW, Slink M, Ping YJ. Diabetes care, glycemic control, and complications in children with type 1 diabetes from Asia and the Western Pacific Region. J Diabetes Complications. 2007;21:280-7. 17. Buroni J, Longo PJ. Low-glycemic index carbohydrates: an effective behavioral change for glycemic control and weight management in patients with type 1 and 2 diabetes. Diabetes Educ. 2006;32:78-88. 18. Marshall SM, Flyvbjerg A. Prevention and early detection of vascular complications of diabetes. BMJ. 2006;333:475-80. 19. Donaghue KC, Chiarelli F, Trotta D, Allgrove J, Jorgensen KD. Microvascular and macrovascular complications associated with diabetes in children and adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10:195-203. 20. Daneman D. Early diabetes-related complications in adolescents. Horm Res. 2005;63:75-85. 21. Dunger D, Ahmed L, Ong K. Growth and body composition in type-1 diabetes mellitus. Horm Res. 2002;58:66-71. 22. Khadilkar VV, Parhasarathy LS, Mallade BB, Khadilkar AV, Chiplonkar SA BAB. Growth status of children and adolescents with type-1 diabetes mellitus. Indian J Endocrinol Metab. 2013;17:1057-60. 23. Pardede N. Masa Remaja. Dalam: Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh IG N G, editors. Tumbuh kembang anak dan remaja. Edisi ke-1. Jakarta: Sagung Seto; 2002. 138-169. 24. Kalyva E, Malakonaki E, Eiser C, Mamoulakis D. Health-related quality of life (HRQoL) of children with type 1 diabetes mellitus (T1DM): self and parental perceptions. Pediatric Diabetes. 2011;12:34-40. 25. Ly TT, Anderson M, McNamara KA, Davis EA, Jones TW. Neurocognitive Outcomes in Young Adults with Early-Onset Type 1 Diabetes. Diabetes Care. 2011;34:2192-7. 26. Ghetti S, Lee JK, Sims CE, DeMaster DM, Glaser NS. Diabetic Ketoacidosis and Memory Dysfunction in Children with Type 1 Diabetes. J Pediatr. 2010;156:14. 21 22