Bab 5 Penutup 5.1. Kesimpulan Berdasarkan analisa yang penulis sampaikan pada bab 4 tentang praktek nyanyian dan musik gereja di GKMI Pecangaan dalam peribadatan, maka penulis menarik beberapa kesimpulan akhir mengenai peran nyanyian dan musik dalam sebuah ibadah, khususnya yang terjadi di GKMI Pecangaan. Sesuai dengan ide Søren Kierkegaard yang dipinjam oleh David Ray dalam bukunya, ibadah dianalogikan sebagai sebuah pertunjukan yang dinikmati oleh penonton tunggal yaitu Allah sendiri.1 Dengan analogi ini, ibadah disamakan sebagai suatu kegiatan yang dipersiapkan untuk dipentaskan di “panggung” sebagai sajian yang indah bagi penontonnya. Jika David Ray menganalogikan ibadah sebagai tarian rakyat dalam kebudayaan barat, maka penulis berusaha menganalogikan ibadah sebagai kegiatan gotong royong dalam budaya Indonesia. Maksudnya adalah ibadah merupakan aktivitas bersama baik pendeta, musisi gereja, pelayan altar dan anggota jemaat. Seluruh komponen gereja harus merasa berpartisipasi untuk membuat pertunjukan ibadah bagi Allah. Hal ini merupakan kelanjutan dari ide Hoon yang dipinjam oleh James F. White tentang dua peristiwa yang terjadi dalam ibadah, yaitu penyataan dan tanggapan.2 Jika Allah telah menyatakan kasihNya lewat pengorbanan AnakNya yang tunggal Yesus Kristus, maka tugas jemaat adalah menanggapi penyataan kasih Allah itu melalui ibadah kepada Yesus Kristus sendiri. Tugas menanggapi penyataan 1 2 Ray, Gereja yang Hidup, 9. White, Pengantar Ibadah Kristen, 7. Allah itu bukanlah tugas pendeta atau musisi gereja saja, tetapi juga seluruh jemaat, sehingga ini menuntut partisipasi jemaat dalam ibadah lewat pengakuan dosa, pelayanan Firman, pemberian persembahan, bahkan nyanyian. Nyanyian dalam sebuah ibadah tidak selayaknya dianggap remeh, karena tujuan utama jemaat datang dalam ibadah adalah bernyanyi, sedangkan teologi adalah hal yang mengikuti.3 Melalui Mazmur, Kidung Pujian (Himne), Nyanyian Rohani, ataupun Lagu Rohani Kontemporer, jemaat diberi kesempatan untuk mengekspresikan kerinduannya dalam memuji dan menyembah Allah, serta dalam merespon anugerah yang telah diberikan Allah.4 Nyanyian memiliki peran antara lain sebagai doa5, mempersembahkan suara terbaik bagi Tuhan6, mengajarkan dogma Kekristenan dan penginjilan7. Begitu pula Musik Gereja yang ada di dalam sebuah ibadah. Musik Gereja menjadi aspek mampu yang memotivasi atau mendemotivasi jemaat dalam beribadah. Musik menjadi aspek yang membantu umat dalam memuji Dia.8 Pendapat Anton Empu Lembang tentang musik dalam sebuah ibadah memiliki peran penting, antara lain sarana memuji Tuhan, sarana persekutuan, sara pembinaan dan sarana pengajaran.9 Dengan demikian ide tentang peran vertikal dan horisontal dari musik gerejapun dapat terpenuhi.10 Dalam prakteknya, ibadah di GKMI Pecangaan dirasa oleh sebagian jemaat sebagai ibadah yang kurang inspiratif dan membosankan. Hasil wawancara yang ada pada bab 3, menyatakan bahwa jemaat merasakan ibadah yang kurang bermakna dan 3 Ray, Gereja yang Hidup, 146. Listya, Nyanyian Jemaat dan Perkembangannya, 1. 5 White, Pengantar Ibadah Kristen, 102. 6 White, Pengantar Ibadah Kristen, 104. 7 Listya, Nyanyian Jemaat dan Perkembangannya, 5. 8 Boshman, Musik Bangkit Kembali, 19. 9 Lembang, Musik Rock dalam Konteks Ibadah dan Keketatan Teologis, 252-255. 10 Sorge, Mengungkap Segi Pujian dan Penyembahan, 21. 4 menyentuh. Sebagian menyatakan bahwa liturgi yang kurang variatiflah yang menyebabkan ibadah kurang bermakna. Menurut penulis, yang bisa dilakukan oleh gereja terhadap liturgi adalah dengan memainkan urutannya, karena inti dari liturgi yang ada adalah mempersiapkan jemaat untuk meninggalkan dosa (pengakuan dosa) dan menerima hidup baru lewat tuntunan Firman Tuhan (pelayanan Firman), kemudian mengungkapkan rasa syukur atas berkat Tuhan lewat persembahan. Jika jemaat meninginkan liturgi yang bervariatif dan ibadah yang inspiratif, bisa dilakukan dengan mengembangkan liturgi dan urutannya serta ditampilkan dengan gaya dan bahasa yang lebih kontekstual. Menulis menganalisa pembawaan liturgi yang kaku dan menggunakan bahasa teologis tinggi membuat jemaat merasa kurang mengena karena sulit dimengerti. Dalam hal nyanyian, baik Pendeta Jemaat maupun Musisi Gerejawi sepakat bahwa nyanyian berperan sebagai pelengkap sebuah ibadah. Penulis memaknai kata pelengkap ini sebagai bagian yang kurang diutamakan selain pelayanan Firman. Dengan pandangan ini, pada dasarnya merupakan hal yang wajar jika jemaat merasa kurang menjadi partisipan aktif dalam ibadah yang dilaksanakan. Partisipan aktif itu pada akhirnya hanya dipahami sebagai pelayan ibadah, baik pendoa syafaat, pendoa tanggapan atau pengedar kantong kolekte. Yang harus diubah adalah pemikiran tentang peran nyanyian, yaitu nyanyian sangat memungkinkan untuk membuat jemaat merasa berpartisipasi aktif dalam mengadakan sebuah ibadah. Baik Pendeta Jemaat, Musisi, dan Jemaat sendiri belum menyadari sepenuhnya bahwa melalui nyanyian kita mengenal Kristus (peran penginjilan), mengenal pengajaran Kristen (peran pengajaran), dan berdoa. Nyanyian lebih banyak dimaknai sebagai sarana untuk mempersiapkan diri dalam menyambut Firman Tuhan, karena ibadah Kristen berporos pada pelayanan Firman.11 Selain itu belum adanya kesadaran bahwa nyanyian mengantarkan jemaat dalam menjalani tiap unsur liturgi, sehingga liturgi itu menjadi hidup dan bermakna. Mengenai Musik Gereja yang ada, khususnya musik pengiring, memiliki kendala dan kekurangan yang cukup signifikan. Rata-rata musisi yang ada berbekal pengetahuan tentang nyanyian yang minim dan kemampuan bermusik otodidak. Akibatnya tak jarang terjadi kesalahan-kesalahan kecil yang mendemotivasi jemaat dalam bernyanyi. Misalnya kesalahan pemilihan irama dan tempo. Dua hal kecil ini menjadi kunci penting dalam membangkitkan semangat jemaat dalam bernyanyi atau justru sebaliknya. Kekurangan lainnya adalah tidak semua musisi memiliki kemampuan dalam membaca notasi, sehingga tak jarang mengalami kesulitan dalam mengenal himne yang belum pernah dinyanyikan, meskipun bukan merupakan nyanyian baru di dalam PPR 1 atau 2. Musisi muda yang ada cenderung memilih mengiringi nyanyian kontemporer daripada himne, serta lebih memilih untuk belajar memainkan gitar, bass, dan drum daripada synthesizer atau electone. Kendala yang muncul adalah kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkomitmen untuk terlibat dalam pelayanan musik gereja di GKMI Pecangaan. Musisi termuda yang ada saat ini telah berada di bangku universitas, sedangkan pengkaderan musisi baru tidak dilaksanakan. Akibatnya pelayanan musik di GKMI Pecangaan pun diserahkan kepada seorang musisi senior yang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun. Situasi tidak lebih baik juga terjadi ketika jadwal latihan dan jadwal petugas pelayan musik untuk Kebaktian Minggu tidak dijalankan dengan baik. Latihan yang seharusnya dilaksanakan dua kali (Kamis dan Sabtu) hanya 11 Micks, The Joy of Worship, 58. dilaksanakan satu kali, sedangkan tugas pengiring Minggu I dan III pada tim Senior dan II dan IV pada tim Junior pun jarang dijalankan, sehingga pengiring ibadah didominasi oleh permainan tunggal synthesizer. Di balik kekurangan yang ada pada pelayanan musik dan pengetahuan tentang peranan nyanyian di GKMI Pecangaan, ada dua kelebihan lain yang belum tentu ditemukan di gereja-gereja tradisional lainnya. Yang pertama adalah Jemaat GKMI Pecangaan sudah bisa menerima semua jenis nyanyian yang dipilih untuk peribadatan, misalnya Himne dan Lagu Rohani Kontemporer. Yang kedua adalah jemaat menikmati nyanyian yang diiringi dengan berbagai jenis irama, misalnya keroncong, dangdut atau campur sari. Tidak semua gereja bisa menerima dua hal ini dalam ibadah mereka, tetapi GKMI Pecangaan telah menunjukkan keterbukaan pada perkembangan zaman. Meskipun masih terjadi pro dan kontra pada penggunaan band sebagai pengiring ibadah, mayoritas jemaat sudah bisa membuka diri perkembangan musik untuk ibadah. 5.2. Saran 5.2.1. Untuk Gereja Saran berikut ditujukan bagi Gereja pada umumnya dan GKMI Pecangaan dimana penulis melaksanakan penelitian khususnya. Melihat kurangnya pemahaman pelayan altar (Pendeta Jemaat, Liturgos dan Musisi Gereja) tentang nyanyian dan musik yang tepat untuk ibadah, perlu diadakan suatu pelatihan dan pembekalan mengenai dua hal tersebut. Ini berfungsi agar pemilih nyanyian dapat memilih nyanyian dengan tepat dan sesuai dengan liturgi dan tema yang ada. Sedangkan bagi musisi, dengan pengetahuan yang mencukupi, membantu musisi menentukan irama dan tempo yang tepat untuk mengiringi nyanyian tersebut. Untuk mengantisipasi kurangnya musisi yang ada, perlu ada kejelian di pihak gereja untuk melihat anggota jemaat yang berpotensi dan berbakat sebagai pelayan musik dalam ibadah. Tak jarang anggota jemaat yang berpotensi dan berbakat cenderung melayani di gereja lain karena merasa talenta yang ia punya lebih diakomodir di gereja tersebut. Ini berarti bahwa perlunya gereja mengakomodir talenta jemaat dalam bermusik, sehingga diharapkan suatu saat akan turut aktif melayani di bidang musik di gereja sendiri. Tindakan ini dapat diwujudkan dengan memberikan bantuan dana kepada beberapa anak Sekolah Minggu atau remaja berbakat untuk mendapatkan pendidikan musik melalui kursus alat musik tertentu. 5.2.2. Untuk Fakultas Teologi Bagi calon pelayan Gereja yang menempuh pendidikan formal di Fakultas Teologi, khususnya Fakultas Teologi UKSW, sudah mendapatkan bekal musik gereja dalam mata kuliah Musik Gerejawi. Tetapi bagi penulis, ini pun belum dirasa cukup, karena dalam prakteknya, mata kuliah ini hanya mengajarkan bagaimana membaca notasi dan ritme yang benar, dan tidak ada pelajaran tentang bagaimana membawakan sebuah nyanyian dengan tepat. Artinya bahwa mahasiswa teologi perlu mengenal nyanyian demi nyanyian yang bisa digunakan untuk mendukung unsur liturgi dan maupun nyanyian tematis. Saran selanjutnya bagi Fakultas Teologi UKSW adalah dengan membuat suatu mata kuliah pilihan sebagai tindak lanjut dari mata kuliah Musik Gerejawi, misalnya teknik memimpin paduan suara atau mengiringi nyanyian. Mengingat ketika masa PPL VI, tak jarang mahasiswa diminta untuk melatih paduan suara atau menjadi pelayan musik dalam ibadah. Sehingga tidak hanya bekal ilmu teologi yang baik, mahasiswa mampu menjadi pelayan gereja yang juga dilengkapi dengan kemampuan bermusik yang baik pula.