1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan fisika merupakan yang universal dalam kehidupan manusia. Bagaimana sederhananya peradaban suat masyarakat, didalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan kualitas manusia seutuhnya adalah misi pendidikan. Yang menjadi tanggung jawab professional setiap guru (Lasulo, 2005). Dalam hal ini, dapat dilihat pula pada undang-undang no 20, Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang tersurat jelas bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidiakan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan lokal, nasional dalam global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terancam., terarah dan berkesinambungan. Selama bertahun-tahun telah banyak diteliti dan di ciptakan bermacammacam pendekatan belajar. Lagi-lagi fenomena yang terjadi sekarang pengalaman diantara pengajar dalam proses pembelajaran menunjukan bahwa, misalnya banyak sekolah yang model pembelajaran yang mengkondinisikan siswa disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang kurang perlu seperti mencatat bahan pelajaran yang sudah ada di dalam buku, menceritakan hal-halyang tidak perlu, dan sebagainya. Untuk mengatasi berbagai problematika dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu diperlukan model-model mengajar yang di anggap dapat mengatasi kualitas belajar peserta didik (Sagala,2006:40). 2 Menurut Gagne (Muliasa, 2005:15), teorinya berpendapat bahwa skalu seorang peserta didik di hadapkan pada suatu masalah, maka pada akhirnya mereka bukan hanya memecahkan masalah tapi juga belajar sesuatu yang baru. Implementasi dariteori Gagne ini dikehendakinya susunan kelas berbentuk pembelajaran dengan model pengajaran berdasarkan masalah. Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pengajaran di mana guru menyajikan suatu masalah yang autentik dan bermakna kepada siswa dan dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan dan inkuyri. Fisika adalah cabang sains yang diajarkan, ditingkatkan pendidikan dasar dan menengah, yang merupakan mata pelajaran yang kurang diminati siswa, serta memiliki tingkat kesukaran yanag cukup tinggi. Guru memepunyai tanggung jawab untuk dapat mengubah suasana kelas, sehingga siswa dapat lebih aktif dan antusias dalam mengiuti proses belajar megajar fisika di sekolah. Oleh karena itu dalam proses belajar mengajar di situlah diperlukan pembelajaran yang menyenangkan (humanis) dan berpesat pada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide yang dimiliknya agar proses pembelajaran efektif. Menurut Wenno (2008:84) siswa akan lebih termotivasi untuk belajar jika pengajaran tidak hanya sekedar mengutamakan pada kecerdasan pada inteligensinya, tetapi juga pada gaya mengajar guru yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Menurut Rustaman (2003:17), berpendapat bahwa proses belajar mengajar adalah proses yang mengandung kegiatan interaksi antara guru dan siswa yang terjadi dalam proses belajar mengajar. Dalam rangka mengarahkan 3 serta membimbing peserta didik untuk belajar fisika secara intensif untuk ketrampilan seorang guru mengelola belajar mengajar sangat diharapakan. Demi terlaksananya pembelajaran yang diharapkan, hasil belajar akan optimal apa bila Guru mampu mengelola interaksi belajar mengajar. Pendapat Bruner (Triyanto, 2009:57), bahwa berusaha sendiri untuk mencapai pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Suatu konsekuensi logis, Karena dengan berusaha untuk mencari pemecahan masalah secara mandiri akan memberikan suatu pengalaman kongkrit, dengan pengalaman tersebut dapat digunakan pula pemecahan masalah-masalah serupa, karena pengalaman itu memberikan pengalaman tersendiri bagipeserta didik. Permasalahan yang muncul dalam proses belajar mengajar diantaranya adalah : (1) Tingkat penguasaan materi yang rendah, (2) Peserta didik lebih mengutamakan bermain daripada belajar fisika dan (3) Ketika Guru memberikan pertanyaan peserta didik kurang memahami denganapa yang telah disampaikan oleh guru. Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar khususnya dalam proses pendidikan pada siswa di SMP Negeri 3 Salahutu. Fungsi guru sebagai (penyampai ilmu pengetahua ) masih cenderung untuk menonjol. Upaya-upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan pun di laksanakan. Namun meskipun demikian, peningkatan prestasi belajar siswa masih belum optimal. Faktor yang mempengaruhi rendahnya hasil belajar siswa adalah munculnya masalah dalam proses belajar mengajar disekolah-sekolah pada semua jenjang pendidikan. Masalah ini pada umumnya berkaitan dengan penerapan strategi atau cara 4 mengajar guru yang masih belum memberikan kontribusi yang memadai terhadap peningkatan hasil belajar siswa. Tingginya kualitas pendidikan siswa yang dihasilkan dari setiap sekolah merupakan tanggung jawab berbagai pihak, termasuk didalamnya orang yang memegang peran sebagai tenaga edukasi. Sekolah SMP Negeri 3 Salahutu merupakan salah satu sekolah yang memiliki tenaga mengajar dan juga memiliki fasilitas belajar seperti laboratoriu smyang nantinya diharapkan dapat menghasilkan siswa-siswa yang berkualitas. Namun berdasarkan hasil observasi, ditemukan keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar khususnya fisika sangatlah kurang. Pada proses belajar mengajar cenderung berpusat pada guru sehingga siswa menjadi lebih pasif. Dalam hal ini siswa tidak dibelajarkan dengan strategi belajar yang dapat memahami bagaimana belajar, berfikir dan memotivasi diri sendiri. Dengan demikian, timbul pula permasalahan dalam pencapaian hasil belajar siswa. Permasalahan yang dimaksud adalah masih ada siswa yang memperoleh nilai hasil belajar yang cukup rendah. Standar ketuntasan minimal yang ditentukan oleh pihak sekolah adalah 71. Namun kenyataannya, dari hasil observasi dan wawancara yang diperoleh hanya sekitar 9 siswa yang di kategorikan baik dan tidak ada siswa yang di kategori sangat baik. Sedangkan setelah menggunakan model pembelajaran berbasis masalah rata-rata nilai dapat meningkat menjadi 86. 5 Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis termotivasi untuk mengadakan suatu penelitian dengan judul: “Penggunaan model pembelajaran berbasis masalah dalam meningkatkan hasil belajar fisika konsep kalor pada siswa kelas VII SMP Negeri 3 Salahutu B. Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang diatas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah: apakah dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan hasil belajar fisika konsep kalor pada siswa kelas VII SMP Negeri 3 Salahutu? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui penggunaan model pembelajaran berbasis masalah dalam meningkatkan hasil belajar fisika konsep kalor pada siswa kelas VII SMP Negeri 3 Salahutu. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berarti sebagi berikut: 1. Sebagai bahan informasi bagi sekolah dalam memilih model pembelajaran yang baik untuk proses pembelajaran. 2. Dengan dilaksanakan penelitian ini,diharapkan dapat memberi masukan bagi guru mata pelajaran fisika dalam menentukan model pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan hasil belajar siswa. 6 3. Dapat menambah pengetahuan bagi peneliti yang nantinya akan menjadi pengajar. Selain itu, juga sebagai latihan bagi penulis dalam usaha menyatakan serta menyusun sebuah pemikiran secara tertulis dan sistematis dalam bentuk karya ilmiah. E. Penjelasan Istilah 1. Model Penbelajaran Berbasis Masalah Model Pembelajar Berbasis Masalah (PBM) adalah suatu pendekatan yang objektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini memebantu siswa untuk memperoleh informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dua sosial dan sekitarnya, (Rustaman, Triyanto, 2009:7) 2. Hasil Belajar Hasi belajar adalah perubahan perubahan yaang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya (Winkel, 1996:244) 3. Kalor Kalor adalah energ panas yang dapat berpindah dari benda yang suhunya lebih tinggi ke benda yang suhunya lebih rendah. Kalor berhenti ketika suhu benda kedua sudah sama. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Belajar Dalam proses belajar mengajar di perlukan situasi yang kondusif bagi siswa agar tujuan belajar yang optimal dapat terwujud. Situasi yang mendukung akan sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Dalam menciptakan suasana yang kondusif dengan caramembina, membimbing, dan memberikan motivasi kearah yang dicita-citakan agar dalam proses belajar mengajar menjadi interaksi yang benar. Menurut Bahri Jamarah (2000, 21) interaksi belajar mengajar yaitu sebuah proses interaksi yang menghimpun sejumlah nilai (norma) yang merupakan substansi sebagai medium antara guru dan anak didik dalam rangka mencapai tujuan. Dalam interaksi ada dua jenis kegiatan yakni kegiatan guru di satu pihak dan kegiatan siswa dipihak lain. Guru mengajar dengan gayanya sendiri dan anak didik belajar dengan gayanya sendiri. Guru tidak hanya belajar, tetapi juga belajar memahami suasana fsikologis anak didik dan kondisi kelas. Dalam mengajar, guru perlu mengetahui gaya-gaya belajar anak didik. Kerelevansian gaya-gaya mengajar guru dengan gaya-gaya belajar anak didikakan memudahkan guru menciptakan interaksi yang kondusif. Dalam interaksi guru harus berusaha agar anak didik kreatif secara optimal. Dalam interaksi, tentu saja antara siswa yang dengan yang lain akan berbeda dalam pembelajaran. Istilah lnteraksi berpangkal pada konsep komunikasi yang berarti menjadi milik bersama atau pemberitahuan tentang pengetahuan 8 fikiran-fikiran pengetahuan dan nilai, (Sadirman, 2003:43). Merinci interaksi belajar mengajar sebagai berikut: 1. Belajar mengajar memiliki tujuan yakni untuk membantu anak dalam interaksi pengembangan tertentu. 2. Interaksi belajar proses yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan 3. Interaksi belajar mengajar di tandai dengan suatu pengarapan materi yang khusus 4. Ditandai dengan aktifitas siswa 5. Interaksi belajar mengajar guru berperan sebagai pembimbing 6. Dalam interaksi belajar mengajar membutuhkan disiplin Secara garis besar guru mengajar melalui tiga tahap atau prosedur yaitu tahap sebelum pengajaran, tahap pembelajaran dan tahap setelah pengajaran. Masing-masing terdiri dari seperangkat kegiatan yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh guru (Hasibuan, 1988:31). B. Hasil Belajar Belajar dimaksudkan untuk meningkatkan perubahan perilaku yaitu perubahan dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Perubahan-perubahan dalam aspek itu menjadi hasil dari proses belajar. Perubahan perilaku hasil belajar itu merupakan perubahan perilaku yang relevan dengan tujuan pengajaran. Oleh karenanya, hasil belajar dapat berupa perubahan dalam kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik, tergantung dari tujua pengajarannya. 9 Hasil belajar dapat dijelaskan dengan emmahami dua kata yang membentuknya yaitu “hasil dan belajar”. Pengertian hasil menunjukkan pada suatu. Perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan perubahan input secara fungsional. Hasil produksi adalah Perolehan yang didapatkan karena adanya kegiatan mengubah bahan barang. Hal yang sam berlaku untuk memberikan batasan bagi hasil penjualan, hasil panen termasuk hasil belajar. Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya (Winkel, 1996: 244). Perubahan perilaku akibat kegiatan belajar mengakibatkan siswa memiliki penguasaan terhadap materi pengajaran yang disampaikan dalam kegiatan belajar mengajar utuk mencapai tujuan pengajaran. C. Motivasi Belajar Dalam tahap ini diperlukan guru untuk membawa siswa pada persiapan mental untuk menerima pelajaran setiap guru harus mampu merencanakan selama proses belajar mengajar berlangsung agar siswa dapat menguasai pelajaran yang diterima dan berada dalam kegiatan yang tidak membosankan (Roestya, 1994:17). Menurut (Sadirman, 2003:44) membuka pelajaran adalah kegiatan yang di lakukan oleh guru untuk menciptakan siap mental dan menimbulkan perhatian agar terpusat pada hal-hal yang akan dipelajari. Dalam membuka pelajaran ada beberapa komponen ketrampilan yang harus dimiliki siswa, komponen-komponen itu adalah sebagai berikut: 10 1. Menarik perhatian siswa yang dilihat dari gaya mengajar guru, menggunakan media mengajar dan pola interaksi yang berpariasi 2. Menimbulkan motivasi, yang dapatdilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan kehangatan dan keantusiasan, dengan menimbulkan rasaingin tahu, menggunakan ide yang bertentangan. 3. Memberi acuan dengan cara: mengemukakan tujuan dan batasan-batasan tugas, menyerahkan langkah-langkah yang akan dilakukan, mengajukan pertanyaan. 4. Membuat kaitan dengan cara: guru membandingkan atau mempertanyakan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah diketahui siswa. D. Proses Belajar Mengajar Pengertian belajar mengajar adalah interaksi atau hubungan timbal balik antara siswa-siswa dalam proses pembelajaran. Interaksi adalah hubungan timbale balik yang saling mempengaruhi dalam situasi tertentu. Setiap manusia dalam berbagai bentuk, berhubungan dan dalam jenis situasi akan terjadi sebuah interaksi yang akan memungkinkan manusia untuk hidup bersama dan saling komunikasi di antara berbagai jenis, situasi itu terdapat satu jenis interaksi yakni situasi pedidikan, interaksi dalam pendidikan seperti yang terjadi dalam ruang kelas adalah antara pengajar dan peserta didik, (Surachman, 1987: 73) menegaskan bahwa pengajaran tidak dapat dilakukan di ruang hampa. Tanpa tujuan, tanpa peserta didik, kita dapat memahami dasar-dasar interaksi pendidikan yaitu: 11 1. Ada tujuan yang hendak dicapai 2. Ada bahan yang menjadi isi interaksi 3. Ada pelajaran yang aktif 4. Ada guru yang melaksanakan 5. Ada metode tertentu yang mencapai tujuan 6. Ada situasi yang subur memungkinkan proses interaksi berlangsung dengan baik 7. Ada penilaian terhadap interaksi itu. Agar memperoleh hasil yang lebih baik, maka dalam melakukan proses belajar bagi guru tersebut mengetahui dan memahami prinsip-prinsip mengajar yang harus dilakukan dan direalisasikan dalam pembelajaran atau pun prinsipprinsip tersebut adalah: a. Apresepsi Apresepsi adalah bertolak dari mental status atas kesan adapun sensasi. Menurut Lueke siswa bagaikan kertasputih dalam menaati kesan-kesan pengidaraan. Pengalaman-pengalaman merupakan intergasi dari unsur-unsur. 1. Kesan-kesan terdahulu 2. Bayangkan atau tanggapan terdahulu atau terosilasi 3. Senang atau tidak senang b. Motivasi Motivasi adalah dorongan yang timbul karena tingkah laku dan manusia dalam proses belajar mengajar, aspek motivasi sangat penting adalah: 12 1. Motivasi memberikan semangat terhadap peserta didik dalam kegiatan belajarnya 2. Motivasi perbuatan merupakan pemilihan dari kegiatan 3. Motivasi-motivasi pada tingkah laku c. Aktifitas Dalam proses belajar mengajar keaktifan peserta didik sangat penting dan perlu diperlihatkan oleh guru sehingga proses belajar mengajar yang ditempuh benar-benar memperoleh hasil yang optimal. Secara umum prinsip belajar mengajar meliputi: 1. Belajar mengajar meliputi esensinya mempunyai tujuan belajar mengajar, mempunyai makna dalam arti siswa memperlihatkan makna 2. Proses belajar mengajar ialah suatu yang bersifat eksploratif dan buku merupakan pengalaman rutin 3. Hasil belajar mengajar yang mencapai selalu memunculkan pengalaman atau perhatian yang menimbulkan reaksi atau jawaban yang tetap (Surachman). E. Kegiatan Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Guru dipandang sebagai salah satu komponen penentu keberhasilan proses belajar mengajar, asumsi itu bertolak dari anggapan bahwa: Bertanggung jawab atas tercapainya proses belajar peserta didik: 1. Memiliki kemampuan professional sebagai pendidik 2. Mempunyai kode etik keguruan 3. Berperan sebagai sumber belajar (Subandyah, 1993:15). 13 Rostyah (Budi Harsini, 1997:20) fungsi dan peranan guru sebagai mana yang telah dipaparkan di atas, pada dasarnya juga sesuai dengan keaktifan guru dalam interaksi belajar mengajar sebagai: a. Guru sebagai motivator Hal-hal yang perlu diperhatikan sewaktu guru berusaha menumpukkan motivasi siswa dalam interaksi belajar mengajar adalah sebagai berikut: 1. Bersikap terbuka dalam arti guru harus melakukan kegiatan yang mampuh mendorong kemampuan siswa untuk mengungkapkan pendapatnya, menerima siswa dengan segala kekurangan dan kelebihannya, mau menanggapi pendapat siswa secara positif, dalam batas tertentu berusaha memahami kemungkinan pendapatnya. 2. Masalah pribadi dari siswa, dan menunjukan sikap ramah, serta penuh pengertian kepada siswa. Sehubungan denganpenggunaan metode atau teknik, guru menggunakan metode secara variatif dan memberikan peluang terciptanya interaksi belajar mengajar yang menumpukkan gairah belajar dan keterlibatan siswa secara aktif. Untuk itu dalam interaksi belajar mengajar di kelas guru seyogyanya: 1. Mengawali kegiatan pengajaran dengan menjelaskan tujuan dan hasil yang diharapkan dari kegiatan pebahasan topik yang akan dilaksanakan 2. Menampilkan salah satu kasus kongkrit yang berkaitan dengan masalah yang akan di bahas 3. Guru memanfaatkan sebagai masalah media untuk lebih mengefesienkan penggunaan waktu dalam diskusi kelas. 14 b. Guru sebagai vasilitator Sehubungandengan tugas guru sebagai vasilitator dalam kegiatan belajar mengajar, guruharus dapat mengidentifikasi sejumlah sarana dan media yang tersedia dan diupayakan pemanfaatannya sesuai dengan tujuan sertasituasi belajar mengajar yang diciptakan.Hal ini diharapkan agar interaksi belajar mengajar berlangsung secara aktif, resvonsif, kooperatif, lentur dan tepat sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. c. Guru sebagai organisator Guru sebagai organisator pada dasarnya kewajiban memahami sejumlah komponen pendukung dari sejumlah unsur yang membentuk kegiatan yang akan dikelolahnya, yakni interaksi belajar mengajar berkaitan dengan hal tersebut kegiatan seorang guru guru dalam fungsinya sebagai organisator adalah: 1. Menyusun rangkaian kegiatanyang berkaitan dengan interaksi belajar mengajar itu sendiri, misalnya dalam model satuan pembelajaran. 2. Menciptakan interaksi komunikasi antara siswa serta mengarahkan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan 3. Menciptakan hubungan yang selaras dari setiap komponen yang mendukung terciptanya interaksi belajar mengajar itu sendiri d. Guru sebagai evalupaluator Kegiatan seorang guru sejalan dengan perannya sebagai evaluator dalam proses belajar mengajar yaitu untuk menilai sejauh mana pelaksanaan program dan hasil yang di peroleh setelah kegiatan belajar mengajar 15 F. Pengelola Kelas Dalam Proses Belajara Mengajar Di dalam kegiatan belajar mengajar, kelas merupakan tempat yang mepunyai sifat atau ciri khusus yang berbeda dengan tempat yang lain karena diperlukan kegiatan khusus yang memerlukan energy dan kinerja dan otak disamping itu juga memerlukan adanya konsentrasi yang tinggi dan perhatian kita. Pengelola kelas ditunjukan kepada kegiatan-kegiatan yang menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar mengajar (Ahmad dan Rohani 1991:16) Pengelola siswa adalah pengaturan siswa dikelas oleh guru yang sedang mengajar sehingga siswa dapat pelayanan sesuai dengan kebutuhanya, karena di dalam kelas guru menentukan suasana kelas (Arikunto, 1992:73), sebagai contoh, walaupun seperti apa saja guru, kalau siswa tidak member resfon positif, suasana kelas tidak akan hidup, sedang demikian dituntut kreaktitas guru secara terusmenerus selama proses terjadinya kegiatan belajar mengajar. G. Kegiatan Siswa Dalam Proses Belajar Mengajar Proses belajar mengajar yang dilaksanakan didalam kelas seharusnya searah efektif dalam hal ini keterlibatan siswa secara aktif sangatalah perlukan, Halini sesuai dengan pendapat Maslaw dan (Mulyasa,2004:13) bahwa untuk menciptakan pembelajaran yang efektif ditandai oleh berlangsung sifatnya yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik secara aktif. Proses peserta didik adalah pusat dari sejumlah kegiatan belajar mengajar olehnya itu peserta didik harus dilibatakan dalam hal-hal berikut: 16 1. Tanya jawab yang terarah, di belakang untuk bertanya dan mencari problem solving 2. Peserta didik harus di dorong untuk menafsirkan informasi sampai informasi itu dapat di terima dengan akal sehat 3. Peserta didik memerlukan pertukaran fikiran, diskusi dan perdebatan dalam rangka mencapai pengertian fikiran yang sama atas materi pengajaran. Untuk melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar dikelas, guru perlu menciptakan strategi yang tepat guna sedemikian rupa sehingga pserta didik mempunyai motifasi yang tinggi untuk belajar. Metode penyimpanan materi perlu diperhatikan sehingga kesesuaian pelajaran dengan bahan pengajaran dapat pengajaran dapat menunjang tujuan proses belajar mengajar itu sendiri (Suryo Subroto, 1997:71): H. Pengajaran Berbasis Masalah Pembelajarana berbasis masalah yang berasal dari bahasa inggris problembased learning adalah suatu pembelajaran yang dimulai dengan menyelesaikan suatu masalah, tetapi untukmenyelesaikan masalah.Itu Mahasiswa (siswa) memerlukan pengetahuan baru untuk dapat menyelesaikan. Awal pembelajaran berbasi smasalah dikembangkan sekitar 25 tahun yang lalu dalam dunia pendidikan kedokteran, dan sekarang telah dipakai pada semua tingkatan pendidikan, dalam sekolah propesional berkala luas, maupun Universitas.Pembelajaran berbasisi masalah melibatkan Mahasiswa dalam proses pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada siswa, yang 17 mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan belajar mandiri yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan karier, dalam lingkungan yang bertambah kompleks sekarang ini. Pembelajaran berbasis masalah juga mendukung siswa untuk memperoleh struktur pengatahuan yang terintergrasi dalam masalah dunia nyata, masalah yang akan dihadapi siswa dalam dunia kerja atau profesikomonitas dan kehidupan pribadi. Pembelajaran berbasis masalah dapat pula dimulai dengan melakukan kerja kelompok antara siswa.Siswa menyelidiki sendiri, menemukan masalah, kemudian menyelesaikan masalahnya. Dibawah petunjuk fasilitator (guru) Menurut Stefien (1997), pembelajaran berbasis masalah juga dapat mengolah proses belajar mengajar tradisonal dimana sebuah proses yang memberikan topic demi bagian pengatahuan untuk membantu siswa samapai ia menjadi professional dalam bidang tertentu. Pendekatan pembelajaran tradisional seperti ini kurang efektif, mengingat perkembangan pengetahuan semakin banyak dan semakin kompleks sehingga sukar untuk memilih materi mana yang harus diberikan kepada siswa. Pembelajaran berbasis masalah menyarankan kepada siswa untuk mencari atau menentukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan. Pembelajaran berbasis masalah memberikan tantangan kepada siswa untuk belajar sendiri. Hal ini, siswa diajak untuk membentuk suatu pengetahuan dengan sedikit bimbingan atau arahanguru sementara pada pembelajaran tradisional, siswa lebih diperlukan sebagai penerima pengetahuan yang diberikan secara struktur oleh seorang guru. 18 Untuk mencapai hasil belajar secara optimal, pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah perlu dirancang dengan baik mulai dengan penyiapan masalah yang sesuai dengan kurikulum yang akan dikembangkan dikelas, memunculkan masalah dari siswa perlatan yang mungkin di perlukan dan penilaian yang digunakan. Pengajaran yang menerapkan pendekatan ini harus mengembangkan diri melalui pengelola dikelasnya melalui pendidikan pelatihan atau pendidikan formal yang berkelanjutan. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah membuat siswa bertanggung jawab pada pembelajaran mereka melalui penyelesaian masalah dan melakukan kegiatan inkuiri dalam rangka mengembangkan proses penelaran, pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah lebih menempatkan guru sebagai vasilitator daripada sebagai sumber (Suchaini ,2008:11) Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli pembelajaran telah menyarangkan penggunaan paradigm pembelajaran konstrukvistik untuk kegiatan belajar mengajar dikelas. Dengan perubahan peradigma belajar tersebut terjadi perubahan pusat (fokus) pembelajaran dari belajar berpusat pada guru kepada belajar berpusat kepada siswa. Dengan kata lain, ketika mengajar di kelas guru hanya berupaya menciptakan kondisi lingkungan belajar yang dapat mempelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau memberi. Pengajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang berfikir tingkat tinggi dalam situasi berorentasi masalah, termasuk didalamnya belajar bagaiman belajar. 19 Menurut Ibrahim dan Nur (2000:2) pengajaran berbasis masalah dikenal dengan nama lain seperti Projed-Based Teaching (Pembelajaran proyek), Experince-Based Education (Pendidikan berdasarkan pengalaman), Authentic Learning (pembelajaran autentik), dan Anchored Instruction (pembelajaran berakar pada kehidupan nyata)’’ Peran guru dalam pengajaran berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyeledikan dan dialog. Pengajaran berbasis masalah tidak dapat dilaksanakan tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka.Secara garis besar pengajaran berbasis masalah terdiri dari menyajiakn kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuyri. I. Ciri-ciri Pengajaran Berbasis Masalah Berbagai pengembangan pengajaran berbasis masalah telah mencoba menunjukan ciri-ciri pengajaran berbasis masalah sebagai berikut: 1. Pengajuan pertanyaan atau masalah Pengajaran berbasis masalah bukan hanya mengorganisasikan prinsisp-prisip atau ketrampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang keduaduanya secara social penting dan secara pribadi bermakan untuk siswa 2. Berfokus pada keterkaitan antara disiplin Meskipun pengajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA/Fisika), masalah yang akan diselidiki telah dipilih yang benar- 20 benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran 3. Penyeledikan autentik Pengajaran berbasis masalah mengharuskan siswa malakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mengidentifikasi masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen, dan merumuskan kesimpulan. Sudah barang tentu, metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah yang sedang dipelajari. 4. Menghasilakn produk/ karya dan memamerkanya Pengajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan,produk itu merupakan transkip debat,laporan, modelfisik, video atau program computer (Ibrahim dan Nur 2000: 5-7) J. Tujuan Pembelajaran dan Hasil Belajar Pengajaran berbasis maslah dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pengajaran berbasis masalah dikembangkan terutama untuk membantu siswa mengembagkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah, dan ketrampilan intelektual: belajar tentang berbagai peran orang dewasa melalui kelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau stimulasi dan menjadi pembelajaran yang otonom dan mandiri. Uraian rinci 21 terhadap ketiga tujuan itu dijelaskan lebih jauh oleh Ibrahim dan Nur (2000:7-12) berikut ini : Keterampilan berfikir dan keterampilan pemecahan masalah : 1. Berfikir adalah proses yang melibatkan operasi mental seperti induksi, deduksi, klafikasi dan penalaran. 2. Berfikir adalah proses secara simbolik menyatakan (melalui bahasa) objek nyata dan kejadian-kejadiandan penggunaan pernyataan simbolik itu untuk menemukan prinsip-prinsip esensial tentang objek dan kejadian itu. Peryataan simbolik (abstrak) seperti itu biasanya bebeda dengan tingkat kongret dari fakta dan kasus khusus. 3. Berfikir adalah kemampuan untuk menganalisis, mengkritik dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang seksama. Tentang berfiir tingkat tinggi, Resnick (1987) memberikan penjelasan sebagai berikut: 1. Berfikir tingkat tinggi adalah non algoritnik, yaitu alur tindakan yang tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya. 2. Berfikir tingkat tinggi cenderung kompleks keseluruhan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang. 3. Berfikir tingkat tinggi sering kali menghasilkan banyak solusi masing-masing dengan keuntungan dan kerugian. 4. Berfikir tingkat tinggi melibatkan pertimbangan dan interprestasi 22 5. Berfikir tingkat tinggi melibatkan penerapan banyak kriteria yang kadangkadang bertentangan satu dengan yang lain. 6. Berfikir tingkat tinggi seringkali melibatkan ketidak pastian, segala sesuatu berkaitan dengan tugas tidak selamanya di ketahui. 7. Berfikir tingkat tinggi pengaturan diri tentang proses berfikir, kita tidak mengakui sebagai berfikir tingkat tinggi pada seseorang jika ada orang lain membantunya pada setiap tahap. 8. Berfikir tingkat tinggi melibatkan pencarian makna, menemukan struktur pada keadaan yang tampaknya tidak teratur. 9. Berfikir tingkat tinggi adalah kerja keras, ada penyerahan kerja mental besarbesaran saat melakukan berbagai jenis elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan. K. Tahap Pengajaran Berbasis Masalah Pengajaran berbasis masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Tabel 2.1. Tahapan model pembelajaran pengajaran berbasis masalah Tahap Tingkah laku guru Tahap 1 : Orentasi siswa kepada masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar terlibat pada aktifitas pemecahan masalah yang dipilihnya Tahap 2 : Mengorganisasikan untuk belajar Guru membantu siswa mengidentifikasikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah Tersebut 23 Tahap 3 : Membimbing penyelidikan individual dan kelompok Tahap 4. : Mengembangkan dan menyajikan hasil kerja Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalahnya Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai, seperti laporan, video dan model serta membantu mereka berbagai tugas dengan temanya. Tahap 5 : Guru mambantu siswa melakukan refleksi atau Menganalisis dan evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan prosesmengevaluasi proses proses yang mereka lakukan. pemecahan masalah Sumber : Ibrahim (Trianto, 2009:55) L. Ruang Lingkup Materi 1. Pengertian kalor Kalor adalah energi panas yang dapat berpindah dari benda yang suhunya lebih tinggi ke benda yang suhunya lebih rendah. Kalor berhenti ketika suhu benda kedua sudah sama. 1) Kalor dapat mengubah suhu zat Ketika sebuah benda di beri kalor, maka suhunya akan bertambah. Sebaliknya, apabilah suatu benda melepaskan kalor atau di dinginkan maka suhunya akan turun. Semakin besar kalor yang di berikan maka semakin besar pula pertambahan suhunya.Jadi, kalor (Q) sebanding dengan perubahan suhu (∆t). Semakin besar massa benda, semakin besar pula kalor yang di butuhkan untuk menaikan suhu benda tersebut. Jadi, kalor (Q) sebanding dengan massa benda (m). untuk jenis benda yang berbeda tetapi massanya sama, ternyata kalor 24 yang di butuhkan untuk menaikan suhu yang sama juga berbeda. Artinya kalor yang diberikan sama dengan jenis bendanya: Rumus: Q= m.C. ∆t Dimana: Q = kalor yang di butuhkan (joule atau kalori) M = massa benda (kg) C = kalor jenis zat (J/kg0c) ∆t = kenaikan suhu (0c). 2) Menghitung suhu kalor karena perubahan suhu. Banyaknya kalor yang diperlukan untuk menaikan suhu suatu benda sebesar 1 kelvin di sebut dengan kapasitas kalor. Kapasitas kalor di lambangkan dengan C dan di rumuskan : C 𝑄 = ∆𝑡 Dimana : C = kapasitas kalor (J/kg) Q = banyaknya kalor (J) ∆t = kenaikan suhu (0c) Hubungan antara kapasitas kalor (C) dengan kalor jenis (c) adalah C = m.c Dimana : C = kapasitas kalor (J/0c) m = massa benda (m) 25 c = kalor jenis zat (J/kg0c) Alat untuk menentukan kalor jenis suatu zat adalah calorimeter. Calorimeter terdiri dari sebuah bejana tembaga tipis yang di masukan kedalam bejana tembaga yang lebih besar. Pada dasarnya diberi ganjaran beberapa gabus, pengukuran kalor jenis calori meter didasarkan pada asas Black, yaitu kalor yang diterima sama dengan kalor yang di berikan. 3) Kalor dapat mengubah wujud zat Kalor yang di serap atau yang di lepaskan suatu zat tidak selalu menyebabkan perubahan suhu, namun juga dapat menyebabkan perubahan wujud zat. Skema perubahan wujud zat digambarkan sebagai berikut: Gambar : 2.1. perubahan wujud zat Gas 5 4 3 4 2 Padat Cair 1 Keterangan Perubahan wujud zat yang memerlukan kalor : melebur (2), menguap (3), menyublin (5).Perubahan wujud zat yang melepaskan kalor : membeku (1), mengembun (4), dan mengkristal (6). a. Melebur mencair dan membeku Melebur adalah perubahan wujud zat dari padat ke cair, sebaliknya, membeku adalah perubahan dari wujud cair ke padat. Melebur memerlukan kalor, 26 sedangkan membeku melepaskan kalor.kalor lebur dan kalor beku di rumuskan sebagai berikut : Q = m.L Q = Kalor yang di perlukan atau di lepaskan (J) m = massa zat (m) L = kalor lebur atau kalor beku zat (J/kg) Dengan : b. Menguap dan mengembun Menguap adalah perubahan wujud zat dari cair menjadi gas. Sebaliknya, mengembun adalah perubahan wujud zat dari gas menjadi cair. Menguap memerlukan kalor, sedangkan mengembun melepaskan kalor. Penguapan zat cair dapat di percepat dengan cara berikut ini : 1. Memperluas permukaan zat cair 2. Menaikan suhu zat cair dengan pemanasan 3. Meniupkan udara di atas permukaan zat cair. 4. Mengurangi tekanan di atas permukaan zat cair Besarnya kalor uap sama dengan kalor embun Q= m.U Dengan ; Q = kalor diperlukan atau di lepaskan (J) m = massa zat (m) U = kalor uap atau kalor embun (J/kg) Mendidih tidak sama dengan menguap pada peristiwa menguap, penguapan hanya terjadi di bagian permukaan. Sedangkan pada peristiwa 27 mendidih, penguapan terjadi di seluruh bagian zat cair. Zat cair mendidih jika di tekanan uap jenuh pada titik didihnya sama dengan tekan di atas permukaan zat cair. Titik didih normal zat cair merupakan suhu dimana zat cair mendidih pada tekanan 76 cm Hg. c. Menyublin dan mengkristal Menyumblim adalah perubahan wujud zat dari padat ke gas. Sedangkan mengkristal adalah perubahan dari wujud zat gas menjadi padat. Zat padat memerlukan kalor untuk berubah wujud menjadi gas, sedangkan gas melepaskan kalor ketika berubah wujud menjadi padat. Perubahan wujud zat terkadang tidak hanya meliputi satu fase, tetapi terdiri atas beberapa fase. Contoh: es batu di panaskan akan berubah wujud menjadi air. Bilka di panaskan terus menerus maka air akan mendidih, menguap dan berubah wujud menjadi uap air. Untuk menghitung jumlah kalor yang di perlukan atau dilepaskan pada peristiwa ini, dapat digunakan rumus: Qt =Q1+ Q2 + …….., dst. Dimana : Qt = kalor total (J) Q1 + Q2+……dst= kalor pada setiap fase (J) (KTSP standar isi 2006) 2. Perpindahan Kalor kalor dapat berpidah dari satu benda dari satu ke benda yang lain. Perpindahan kalor dapat terjadi melalui 3 macam cara yaitu : 28 1. Perpindahan kalor secara konduksi Ketika sebuah sendok perak di letakan kedalam semangkok sup, ujung yang kita pegang akan segera menjadi panas juga. Konduksi kalor pada materi dapat digambarkan sebagai hasil tumbukan molekul-molekul.Semntara satu ujung benda di panaskan, molekul-molekul di tempat itu bergerak lebih cepat.Sementara bertumbukan dengan tetangga mereka yang lebih lambat, mereka mentrasfer dari sebagian energi ke molekul-molekul lain sepanjang benda tersebut. Dengan demikian energi gerak ternal di transfer oleh tumbukan, molekul sepanjang benda. Pada logam menurut teori modern, tumbukan antara elektron-elektron bebas di dalam logam, dan dengan atom logam tersebut terutama mengakibatkan untuk terjadinya konduksi. 2. Perpindahan kalor secara konveksi Zat cair dan gas umumnya bukan merupakan penghantar kalor yang sangat baik, namun dapat mentrasfer kalor cukup cepat dengan konveksi. Konveksi adalah proses di mana kalor ditransfer dengan pergerakan molekul dari suatu tempat ke tempat yang lain. Sementara konduksi melibatkan molekul (dan/atau elektronik) yang hanya bergerak dalam jarak yang kecildan bertumbukan, konveksi melibatkan pergerakan molekul-molekul dengan jarak yang besar. Tungku dengan udara yang di paksa, di mana udara dipanaskan dan kemudian ditiup oleh kipas angin ruangan, merupakan satu konveksi yang di panaskan konveksi alami juga terjadi. Contoh : misalnya udara di atas radiator (atau pemanas jenis lainnya) memuai pada saat dipanaskan, dan kerapatannya akan berkurang, karena 29 kerapatan akan menurun, udara tersebut naik. Angin merupakan konveksi yang lain, dan cuaca pada umumnya merupakan hasil dari arus udara yang konveksif. 3. Perpindahan kalor secara radiasi Konveksi dan konduksi memerlukan adanya materi sebagai medium untuk membawah kalor dari daerah yang lebih dingin. Tetapi jenis ketiga dari transfer kalor terjadi tanpa medium apapun. Semua kehidupn di dunia ini bergantung pada transfer energi dari mata hari, dan energi ini ditransfer ke bumi melalui ruang yang hampa. Bentuk transfer energi ini di dalam kalor karena temperatur matahari jauh lebih besar dari bumi dan dinamakan radiasi. Kehangatan yang kita terima dipanaskan oleh api naik sebagai akibat dari konveksi ke atas cerobong asap dan tidak mencapai kita. 30 BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah tipe penelitian deskritif yaitu uraian atau gambaran, bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan suatu gejala, fakta, peristiwa dan kejadian yang terjadi pada saat penelitian dilaksanakan hasi penelitian ini akan menggambarkan dengan jelas tentang hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 3 Salahutu denagn menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah. B. Tempat dan Waktu penelitian 1. Tempat penelitian Lokasi dalam penelitian ini adalah SMP Negeri 3 Salahutu 2. Waktu penelitian Waktu penelitian adalah kurang lebih 2 minggu yaitu dari 7 Februari sampai dengan 14 Februari 2013 C. Populasi Dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIISMP Negeri 3 Salahutu yang berjumlah 123 orang sesuai yang tersebar di 7 kelas. 2. Sampel Sampel adalah bagian kecil yang mewakili populasi. Dalam penelitian ini sampel diambil secara acak (Random Sampling). Unit analis dalam anilisis 31 ini adalah unit alasisis kelas, di mana kelas yang terpilih dengan jumlah siswanya yang dianggap sebagai sampel. Jadi kelas yang diambil sebagai sampel yaitu VII3 dengan jumlah siswa 20 orang. D. Variabel penelitian Variabel penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu mencapai hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. E. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini : 1. Soal tes akhir sebanyal 15 butir soal, di mana terdiri dari pilihan ganda yang berjumlah 10 butir soal dan essay yang berjumlah 5 butir soal. 2. Lembar Kerja Siswa (LKS) yang digunakan untuk membantu penulis dalam mengevaluasi soal-soal yang berhubungan dengan penguasaan materi atau aspek kognitif. 3. Lembar observasi dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung, dengan menggunakan lembar observasi untuk menilai aspek afektif dan psikomotor. F. Teknik Pengumpulan Data 1. Tes formatif :digunakan untuk memeperoleh daa akhir menggunakan lembar soal tes yang dilakukan setelah proses keiatan belajar mengajar (KBM) soal pada tes. Tes formatif bebentuk pilihan ganda dan essay. Siswa mengerjakan soal tersebut, hasil tes dikummpulkan, dikoreksi dan diberikan skor sesuai dengan yang telah ditentukan. 32 2. LKS digunakan untuk merekam kemempuan siswa atau aspek kognitif selama proses pembelajaran berlangsung. 3. Lembar Observasi dilakukan selama kegiatan belajar mengajar berlangsung, untuk memperoleh data aspek afektif dan psikomotor. G. Teknik Analisis Data Data yang telah dikumpulkan pada setiap observasi dari pelaksanaan penelitian ini adalah : 1. Secara deskritif yang pada dasarnya untuk mengetahui hasil belajar siswa aspek kognitif, afektif dan psikomootor yang patuhkan pada pedomann penialain acuan (PPA). Untuk menentukan hasil yang diperoleh siswa untuk setiap tes dipaeroleh dengan menggunakan rumus: Skor pencapaian = 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 x 100 2. Untuk melihat tingkat penguasaan siswa terhadap standar kompetensi dari sejumlah aspek yang dinilai dalam proses pembelajaran maupun ada tes formatif dapat dikategorikan mengacu pada tabel 3.1. Tabel 3.1. Kualifikasi dan tingkat penguasaan kognitif Tingkat Penguasaan Kompetensi Kualifikasi 86 – 100 Sangat baik 71 -85 Baik 60 – 70 Cukup <60 Gagal Sumber : Adaptasi dari KKM SMP Negeri 3 Salahutu, tahun 2012 33 3. Hasil Observvasi Penilaian selama PBM dihitung dengan cara: 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛 Skor pencapaian = 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 x 100 Tabel 3.2. Kualifikasi tingkat penguasaan psikomotor siswa Interval Klasifikasi 86 – 100 Sangat trampil 71 – 85 Trampil 60 – 70 Kurang terampil < 60 Tidak terampil Sumber : Arikunto, 1997 :57 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛 Skor pencapaian = 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 x 100 (Arikunto 1997: 264) 34 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Pelaksanaan Penelitians Dalam pelaksanaan penelitian, penelitian terlebih dahulu melakukan observasi ke sekolah yang merupakan tempat penelitian. Peneliti melakukan konsultasi dengan pihak sekolah sebagai pimpinan lembaga dan guru bidang studi fisika. Hal ini dilakukan untuk mengetahui jadwal pelajaran dan program sekolah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian serta memperoleh informasi tentang kemampuan hasil belajar siswa. Setelah proses observasi selanjutnya peneliti melakukan penentuan kelas sebagai sampel yang dilakukan secara acak, yang mana kelas VII5 SMP Negeri 3 Salahutu yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti mengambil konsep kalor sebagai materi penelitian, dalam kegiatan belajar mengajar peneliti menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Pada akhir dari proses proses belajar mengajar pada konsep kalor, peneliti melakukan tes formatif. 4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Deskripsi hasil sebelum menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Berdasarkan data hasil belajar siswa sebelum menggunakan model pembelajaran berbasis masalah terlihat secara klasikal rata-rata persentase tingkat penguasaan siswa terhadap materi, dengan nilai tertinggi 81, nilai terendah 50, dengan nilai rata-rata kelas 66,5. 35 Berikut ini ditemukan data yang di ambil dari sekolah SMP Negeri 3 Salahutu kelas VII5, yang di ajarkan sebelum menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Table 4.1. Distribusi frekuensi dan persentase menggunakan model pembelajaran berbasis masalah No Tingkat Frekuensi Penguasaan penilaian Persenta sebelum Klasifikasi se (%) 1. 86 – 100 - - Sangat baik 2. 71 – 85 9 45 Baik 3. 60 – 70 5 25 Cukup 4. <60 6 30 Gagal 20 100 Jumlah Berdasarkan table 4.1. dapat diketahui bahwa sebelum menggunakan model pembelajaran berbasis masalah terdapat 9 siswa (45%) dengan klasifikasi baik, terdapat 5 siswa (25%) dengan klasifikasi cukup, dan terdapat 6 siswa (30%) dengan klasifikasi gagal, serta tidak ada siswa yang berada pada kategori yang diklasifikasikan sangat baik. 36 Grafik rata-rata nilai sebelum menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Grafik 4.1 data dari guru 90 80 70 nilai 60 50 40 30 20 10 nilai awal nilai rata rata inisial siswa Z.A.F.U Y.Y.L Y.A.M T.P.U R.N Q.A.L N.T N.A.T M.T M.O L.D L.H.M J.P I.T I.S H.M A.R.B E.H.M A.T A.A.T 0 kriteria tuntas Berikut ini ditemukan hasil deskritif siswa kelas VII5 SMP Negeri 3 Salahutu yang di ajarkan dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah untuk mencapai hasil belajar fisika pada materi kalor. Data yang dikumpulkan melalui hasil pengamatan kemampuan psikomotor dan afektif siswa dapat dianalisis sebagai berikut : 4.2.2. Deskripsi Hasil saat Proses Pembelajaran Siswa 1. Deskripsi Hasil Pengamatan Afektif Siswa Pada Materi Kalor Berikut hasil rata-rata pengamatan afektif pada materi kalor dengan memberikan model pembelajaran berbasis masalah ditunjukan pada tabel 4.2 37 Tabel 4.2. Distribusi frekuensi dan persentase penilaian afektif siswa dengan memberikan model pembelajaran berbasis masalah pada materi kalor No Tingkat penguasaan Frekuensi Presentase (%) Klasifikasi 1. 86 -100 7 35 Sangat baik 2. 71 – 85 8 40 Baik 3. 60 - 70 5 25 Cukup 4. <60 - - Gagal 20 100 Jumlah Berdasarkan tabel pengamatan afektif pada saat proses pembelaajaran berlangsung, terdapat 7 siswa (35%) dengan interval diklasifikasikan sangat baik, terdapat 8 siswa (40%) dengan interval diklasifikasikan baik, terdapat 5 siswa (25%) dengan interval diklasifikasikan cukup, serta tidak ada siswa dengans interval diklasifikasikan gagal. Grafik sebelum menggunakan model pembelajaran berbasis masalah pada materikalor 2. Desrkipsi Hasil Pengamatan Psikomotor Siswa Pada Materi Kalor Derkripsi hasil rata-rata pengamatan psikomotor pada materi kalor dengan memberikan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah ditunjukan pada tabel 4.3 38 Tabel 4.3. Distribusi frekuensi dan presentase penelitian psikomotor siswa dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah pada materi kalor No Tingkat prekuensi Frekuensi Presentase ( % ) Klasifikasi 1. 2. 3. 4. 86 – 100 71 – 85 60 – 70 <60 11 9 55 45 - Sangat baik Baik Cukup Gagal 20 100 Jumlah Berdasarkan tabel pengamatan psikomotor saat proses pembelajaran terdapat 11 siswa (55%) dengan interval diklasifikasikan sanfat baik, terdapat 9 siswa (45%) dengan interval diklasifikasikan baik dan tidak ada siswa yang berada dalam interval cukup ataupun gagal. Data yang ditunjukan pada tabel 4.2 dan tabel 4.3, dapat menghasilkan gambar grafik sebagai berikut : Grafik 4.2. hasil Pengamatan Afektif dan Psikomotor Ratasangat Rata baik baik 12 Freuensi 10 8 6 4 2 0 psikomotor cukup gagal 86-100 71 - 85 60 - 70 Tingkat Penguasaan < 60 afektif2 39 3. Deskripsi Hasil Kerja Individu Pada Lembar LKS Tabel 4.4s. Data hasil kerja lks individu saat proses pembelajaran yang diberikan dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah No Tingkat penguasaan Frekuensi Presentase ( % ) Klasifikasi 1. 86 – 100 7 35 Sangat baik 2. 71 – 85 9 45 Baik 3. 60 – 70 4 20 Cukup 4. <60 - - Gagal 20 100 Jumlah Dari tabel 4.4 data hasil kerja pada LKS maka didapatkan grafik 4.3. LKS Rata-rata Inisial Siswa Z.A.P.U Y.Y.L Y.A.M R.N Kriteria Tuntas T.P.U Q.A.L N.T N.A.T M.T M.D L.H.M L.D J.P I.T I.S H.T E.S.H.M A.R.B A.T 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 A.A.T Nilai Grafik 4.3 Nilai Siswa 40 Pada tabel 4.4 dan grafik 4.3 diatas menunjukan bahwa nilai LKS yang dikerjakan oleh siswa secara individu terdapat 7 siswa (35%) dengan klasifikasi sangat baik, terdapat 9 siswa (45%) dengan klasifikasi baik, dan terdapat 4 siswa (20%) dengan klasifikasi cukup, serta tidak ada siswa yang berada pada klasifikasi gagal. Dari data hasil LKS yang ditunjukan pada tabel 4.4 dan grafik 4.3 menunjukan bahwa skor yang paling tinggi adalah 95 sedangkan rendah adalah 65 sehingga didapatkan skor rata-rata dari keseluruhan siswa yang berjumlah 20 siswa adalah 8. 4.2.3. deskripsi tingkat penguasaan siswa hasil test akhir (post test) Tes formatif adalah tes hasil belajar yang bertujuan untuk mengetahui sudah sejauh manakah siswa memahami pelajaran setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Tes formatif dapat dilaksanakan ditengah-tengah perjalanan program pembelajaran yang dilaksanakan pada setiap kali satuan pelajaran atau sub pokok bahasan berakhir (Arikunto, 2010 : 53). Berikut ditunjukan hasil tes formatif siswa pada materi kalor. 41 Tabel 4.5. Distribusi frekuensi dan presentase hasil tes kemampuan akhir siswa pada materi kalor setelah diterapkannya model pembelajaran berbasis masalah dalam meningkatkan hasil belajar fisika. No Tingkat penguasaan frekuensi Persentase ( % ) Klasifikasi 1. 86 – 100 7 35 Sangat baik 2. 71 – 80 13 65 Baik 3. 60 – 70 - - cukup 4. <60 - - gagal 20 100 Jumlah Berdasarkan tabel 4.5, dapat diketahui bahwa terdapat 7 siswa (35%) dengan klasifikasi sangat baik, terdapat 13 siswa (65%) dengan klasifikasi baik, serta tidak ada siswa yang berada pada kategori yang diklasifikasikan cukup dan gagal. Grafik 4.4. Profil Hasil Tes Akhir Siswa 120 100 60 Tes Akhir 40 Rata-rata Kriteria Tuntas 20 0 A.A.T A.T A.R.B E.S.H.M H.T I.S I.T J.P L.D L.H.M M.O M.T N.A.T N.T Q.A.L R.N T.P.U Y.A.M Y.Y.L Z.A.F.U Nilai 80 Inisial Siswa 42 4.3. Pembahasan 4.3.1. Hasil penelitian proses belejar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah Berdasarkan data hasil penelitian di atas menunjukan bahwa penggunaan model pembelajaran berbasis masalah dalam pebelajaran fisika di sekolah dapat memberikan kontribusi positif terhadap hasil belajar fisika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Salahutu. Hal ini di dukung dengan pendapat Ratuman (Triyanto, 2009 : 47) bahwa pengajaran berbasis masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memperoleh informasi yang sudah ada dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pada pertemuan pertama peneliti melakukan observasi dengan guru mata pelajaran fisika, data awal hasil belajar siswa sebelum menggunakan model pembelajaran berbasis masalah, yang diperoleh dari guru terlihat secara klasikal rata-rata presentase tingkat penguasaan pada materi dengan nilai tertinggi 81, dan nilai terendah 50, sedangkan nilai rata-rata yang diperoleh adalah 66,5. Hal ini memberikan gambaran bahwa siswa belum mampu menguasai dan memahami materi yang diajarkan. Setelah itu melakukan penilaian dengan menggunakan lembar pengamatan yang dinilai adalah afektif dan psikomotor, dimana hasil rata-rata lembar pengamatan afektif terdapat 6 siswa dengan klasifikasi nilai sangat baik dengan presentase nilai (30%), 8 siswa dengan dengan klasifikasi nilai 43 cukup dengan presentase nilai (20%), dan 2 siswa dengan klasifikasi nilai gagal dengan presentase (10%), sedangkan haisl rata-rata lembar pengamatan psikomotor terdapat 11 siswa dengan klasifikasi nilai sangan baik dengan presentase (55%), 9 siswa dengan klasifikasi nilai baik dengan presentase (45%), dan dilihat dari hasil kerja (LKS) yang dikerjakan oleh siswa, berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.3 dapat kita ketahui bahwa dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dapat menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menumbuhkan skeberanian siswa untuk mengeluarkan pendapat sehingga siswa menjadi aktif dalam proses pembelajaran. Karena dengan adanya masalah-masalah yang sering terjadi dalam proses belajar mengajar, sehingga perhatian siswa terhadap proses pembelajaran fisika semakin meningkat keaktifan siswa dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa menjadi lebih memahami materi pelajaran yang berdampak pada peningkatan hasil belajar siswa. Hal tersebut ditunjukan berdasarkan nilai yang baik yang diperoleh siswa pada lembar pengamatan afektif dan psikomotor. Sebelum LKS dikerjakan terlebih dahulu siswa disuruh untuk membaca informasi tentang konsep kalor. Dari hasil pada rata-rata lembar kerja siswa, nilai tertinggi diperoleh 7 siswa dengan presentase nilai sebesar (35%) dengan klasifikasi sangat baik, 9 siswa dengan presentase nilai sebesar (45%) dengan klasifikasi baik, dan 4 siswa dengan presentase nilai sebesar (20%) dengan klasifikasi cukup, dan tidak ada siswa yang berada pada klasifikasi gagal. 44 4.3.2 Hasil Belajar Siswa Pada Tes Formatif (post tes) Setelah proses belajar mengajar (PBM) berlangsung selanjutnya dilakukan tes akhir (post tes) sebagai tes formatif. Data hasil tes akhir didapatkan dengan menggunakan analisis data pos tes. Hal ini dilakukan untuk melihat peningkatan kemampuan siswa setelah proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Dari hasil tes akhir pada tabel 4.5 di tunjukan bahwa terdapat 7 siswa (35%) dengan interval diklasifikasikan sangat baik, terdapat 13 siswa (65%) dengan interval diklasifikasikan baik. Berdasarkan data hasil belajar siswa sebelum menggunakan model pembelajaran berbasis masalah terlihat ssecara klasikal rata-rata presentase tingkat penguasaan pada materi dengan nilai tertinggi yaitu 81, dan nilai terendah 50, sedangkan rata-rata nilai kelas VII5 adalah 66,5. Hal ini memberikan gambaran bahwa siswa belum mampu menguasai dan memahami materi yang diajarkan. a. Penilaian selama proses pembelajaran dengan menggunakan model pebelajaran berbasis masalah 1. Asfek Kognitif Skor pencapaian pada aspek kognitif (lampiran) yang diperoleh dari soal yang diberikan berdasarkan banyaknya 20 siswa (100%) dinyatakan berhasil walaupun dengan kategori yang berbeda-beda. Keberhasilan siswa menggambarkan proses pengembangan pemahaman 45 siswa akan memahami materi kalor. Secara individual siswa memahami materi melalui telaah fakta-fakta sosial yang dimilikinya maupun temantemannya dalam proses pembelajaran . sehingga menyebabkan pengalaman dan pengetahuan tentang materi kalor yang masi rendah atau sebaliknya. 2. Aspek Afektif Hasil penelitian pada aspek afektif dapa digambarkan bahwa siswa dalam hal ini yang berhubungan dengan penilain sikap siswa selama proses belajar dengan penerapan pendekatan kontekstual. Pada table terlihat bahwa sebanyak 20 siswa (100%) mampuh menggambarkan sikapnya selama proses pembelajaran walaupun pada awalnya masi ada beberapa siswa yang belum merespon aspek-aspek yang dinilai dengan sangat baik dikarenakan pribadi siswa yang terkesan malu-malu dan tidak berani dan tidak berani mengungkapkan argument-argumen yang diketahuinya. 3. Aspek Psikomoto Pada aspek psikomotor terlihat juga kegiatan siswa dimana pada saat proses belajar mengajar siswa merasa lebih mudah mengembangkan dugaan atau prediksinya kepada guru maupun temannya. Mengembangkan ketrampilan dalam berbicara, mengembangkan kemampuan tanpa rasa takut dan tertekan, sehingga dalam pembelajaran ini siswa merasa benar berpartisipasi dalam suatu jawaban atau suatu kesimpulan. Pada aspek psikomoto siswa selama proses belajar dengan model pembelajaran 46 berbasis masalah terlihat bahwa 20 siswa (100%) mampu mengembangkan ketrampilan selama proses belajar, walaupun dengan kategori yang berbeda-beda dapat dilihat pada (lampiran 18). Hal ini dapat dikatakan bahwa secara individu siswa sudah mampu menguasai indicator-indikator pembelajaran. 4. Tes Formatif Penilaian hasil belajar yang bertujuan untuk mengetahui sejauh manakah siswa memahami pelajaran setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Pada tabel 4.5 memuat tentang tes formatif yang berhubungan dengan tingkat penguasaan siswa pada materi kalor yaitu terlihat bahwa 20 siswa (100%) berhasil atau dikatakan tuntas walaupun dengan kategori yang berbeda-beda. Jadi setelah menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi kalor, dimana nilai tertinggi 100 nilai terendah 75 dan nilai rata-rata siswa meningkat menjadi 86s (lampiran 9). Dilihat dari hasil analisis data post test dapat disimpulkan bahwa perolehan data setelah diterapkan model pembelajaran berbasis masalah dapat dikatakan baik dan indikator pembelajaran dapat dikatakan tuntas. Karena hasil belajar fisika bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan kerja keras guru dalam pengelolaan kelas, apalagi dengan kemampuan siswa yang masih terbatas, baik dalam pengetahuan fisika maupun dalam hal perkembangan cara berfikir siswa. Namun, membelajarkan siswa untuk berani mengungkapkan ide, pemikiran, dan 47 kreatifitas belajar siswa khususnya mata pelajaran fisika adalah hal yang paling penting. b. keterkaitan antara afektif, psikomotor dan kognitif pada aspek afektif terdapat 7 siswa dengan kategri sangat baik, 8 siswa dengan kategori baik, 5 siswa kategori cukup, pada aspek psikomotor terdapat 11 siswa kategori sangat baik, 9 siswa kategori baik, sedangkan pada aspek kognitif terdapat 7 orang siswa kategori sangat baik, 9 siswa kategori baik dan 4 siswa cukup. dari data-data tersebut terlihat jelas bahwa dari aspek afektif ke aspek psikomtor, dapat meningkatkan pemahaman siswa pada materi kalor, sedangkan pada asfek kognitif atau pada LKS pemahaman siswa terhadap materi kalor belum dikatakan tuntas, karena masi ada siswa yang belum memahami materi kalor. Penggunaan model pebelajaran berbasis masalah dalam pelajaran fisika tidak hanya meningkatkan hasil belajar siswa tetapi juga mengembangkan ketrampilan sosial siswas selama proses pembelajaran. Hal ini di dukung oleh pendapat Bruner (Trianto, 2009 : 50), bahwa berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Suatu konsekuensi yang logis, karena dengan berusaha mencari pemecahan masalah secara mandiri akan memberikan suatu pengalaman kongret, dengan pengalaman tersebut dapat digunakan pula memecahkan masalah-masalah serupa, karena pengalaman itu memberikan makna tersendiri bagi peserta didik. 48 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada bab IV, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dalam meningkatkan hasil belajar fisika siswa pada materi kalor. Hal ini dilihat pada (1). Terjadinya peningkatan hasil belajar fisika siswa yang dibuktikan dengan yaitu dari data awal nilai rata-rata 66,5 meningkat menjadi 86 diperoleh dari data hasil akhir (tes formatik). (2). Terjadinya perubahan tingkah laku siswa kearah yang positif pada saat proses belajar mengajar dibuktikan dengan meningkatkan keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar. 5.2. SARAN Sesuai dengan hasil-hasil yangs diperoleh dalam penelitian, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. saat melakukan pengerjaan LKS dilakukan secara individu untuk mengetahui sejauh mana siswa memahami materi kalor 2. setelah menggunakan model pembelajaran berbasis masalah, yaitu berkurangnya aktifitas siswa yang tidak berhubungan dengan pembelajaran fisika dan meningkatnya keaktifan siswa dalam mengerjakan dan menyiapkan tugas. 3. Sebaiknya guru menerapkan modesl pembelajaran berbasis masalah dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah agar siswa lebih mudah 49 mengerti dan menganggap bahwa pelajaran fisika bukan pelajaran yang membosankan serta untuk meningkatkan hasil belar siswa 4. guru dan peneliti selanjutnya yang mengunakan model pembelajaran ini diharapkan dapat lebih mengembangkan model pembelajaran ini dengan menggunakan sebagai metode dan media yang relevan serta lebih mengorientasikan siswa pada masalah yang dekat dengan kehisdupan sehari hari siswa 50 DAFTAR PUSTAKA Ahmad, A. dan Rohani, A. 1991.Pengelolaanpengajaran. Rineka cipta.: Jakarta. Anonim, 2004.Materi pelatihan terintegrasi,Depdiknas Arikunto, S. 1992. Pengelolaan kelas dan siswa Rajawali. Jakarta Denver RMC Roseach Copaporation. Fkipunla. Net Generated:5 Oktober, 2009, 03:33. Ibrahim.M, dan Mohammad, N. 2000.Pengajaran berdasarkan masalah. Kretf,N. 2000.Kriteria authentik project-basedlearning. Kanginan, Marten. 2006. IPA Fisika untuk SMP kelas VII. Erlangga, Jakarta Mulyasa, M. 2004. Kurikulum berbasis kompetensi. Remaja Rosda Karya Bandung. Sadirman, 2003.Interaksi belajarmengajar.Jakarta :CV Raja Wali, Sagala, 2006.Konsepdanmaknapembelajaran, Bandung,AlfaBetta. Surachmad, W. 1987.Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Bandung:Tarsito. Suprijono. A. 2009. Cooperatif Learning, Teori dan Apikasi PAIKEM. Yogyakarta : Pustaka Belajar Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Profesif: Konsep Landasan Dan Inplementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta:Kencana. UNISA, University pressPusat pascasarjana Surabaya sains danmatematika sekolah, program Wenno, I.H. 2008.Strategi Belajar Mengajar Sains Berbasis Kontekstual. Jogjakarta. Inti Media.