Retno SHM (4).pmd - Pusat Perpustakaan dan Penyebaran

advertisement
PERILAKU PETANI SAYURAN DALAM MEMANFAATKAN
TEKNOLOGI INFORMASI
Retno S.H. Mulyandari
Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122
Telp. (0251) 8321746, Faks. (0251) 8326561, 8328592
E-mail: [email protected]
Diajukan: 4 Februari 2011; Diterima: 2 Maret 2011
ABSTRAK
Teknologi informasi merupakan sarana potensial yang dapat
mendukung akses petani terhadap sumber informasi teknologi
produksi maupun pemasaran. Informasi tentang teknologi produksi
dan pemasaran sangat dibutuhkan oleh petani sayuran mengingat
sayuran memiliki sifat mudah rusak dengan fluktuasi harga produk
yang sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis
perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi,
dan (2) menganalisis faktor yang berhubungan dengan perilaku
petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya, responden di kedua
lokasi yaitu Pacet (Jawa Barat) dan Giripurno (Jawa Timur) memiliki
tingkat pengetahuan terhadap pemanfaatan teknologi informasi
yang rendah (skor di bawah 50). Namun, apabila dilihat dari aspek
sikap, rata-rata responden memiliki sikap yang sangat positif dan
dari aspek keterampilan, termasuk dalam kategori sedang. Seluruh
peubah karakteristik individu, yaitu umur, pendidikan formal,
kepemilikan sarana teknologi informasi, lama menggunakan sarana
teknologi informasi, luas penguasaan lahan, tingkat kekosmopolitan, dan keterlibatan dalam kelompok memiliki hubungan
yang nyata dengan aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi
informasi. Umur petani memiliki hubungan negatif dengan seluruh
aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi.
ABSTRACT
The Behavior of Vegetable Farmers Toward the Use of Information
Technology
Information technology is a potential tool to support farmers’ access
to information sources of the vegetable information technology of
production and marketing. Information on production technology
and marketing is needed to support the perishable vegetables with
the product price fluctuations, which is very high. This study aims:
(1) to analyze the behavior of vegetable farmers in utilizing
information technologies to support farming activity, and (2) to
analyze the factors related to the behavior of vegetable farmers in
utilizing information technology. The results indicated that in general,
respondents in both locations, Pacet (West Java) and Giripurno
(East Java) have a low level of knowledge of utilizing information
technology. However the average respondent had a very positive
attitude, whereas skills of the average respondens is categorized as
22
moderate. The entire variables of individual characteristics of age,
formal education, and ownership of the means of information
technology, land tenure, cosmopolitness, and involvement in the group
have a significant relationship with the behavioral aspects in the
utilization of information technology. Age of farmers have a negative
relationship with all aspects of behavior in the utilization of information
technology.
Keywords: Vegetable farmer, information technology, communication networking, media, information networking
PENDAHULUAN
Agribisnis hortikultura, khususnya sayuran saat ini
menghadapi tantangan terbukanya arus informasi yang
mendorong makin berkembangnya desakan produk ekspor
maupun impor dan peningkatan selera konsumen, baik
domestik maupun global. Pada era globalisasi ekonomi
seperti Asean Free Trade Area (AFTA) dan Asia Pacific
Economic Cooperation (APEC), sebagian pasar domestik
Indonesia saat ini telah didominasi oleh produk hortikultura impor dengan kualitas, cara pengemasan, diversifikasi
produk, dan penampilan yang lebih baik serta harga yang
bersaing dengan produk domestik. Pada komoditas
sayuran, pengembangan sayuran dengan benih yang
didatangkan dari luar negeri semakin membuat petani
sayuran dalam negeri bergantung pada ketersediaan benih
impor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
bahwa impor sayuran pada periode Januari-Februari
2011 senilai US$82.641.159. Nilai ini naik 45,99% dari impor pada periode yang sama tahun 2010 sebesar
US$56.607.726 (BPS 2011). Guna menghadapi persaingan global dan sejalan dengan perkembangan iptek,
sistem informasi pertanian yang mampu mendukung
agribisnis hortikultura, khususnya sayuran perlu dikembangkan.
Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011
Salah satu tantangan dalam pengembangan hortikultura, khususnya sayuran adalah kurangnya informasi
tentang kebutuhan sayuran, baik jenis, jumlah maupun
mutu, termasuk harga produk pada masing-masing
provinsi. Hal ini menyebabkan sulitnya mengatur pola
tanam di tingkat petani sehingga pada daerah tertentu
terjadi kelebihan produksi, sedangkan di daerah lain
kekurangan pasokan. Informasi tersebut sangat dibutuhkan mengingat komoditas sayuran memiliki sifat mudah
rusak dan tidak tahan disimpan dengan fluktuasi harga
yang sangat tinggi. Selain itu, pengembangan ekspor
sayuran masih mengalami hambatan, antara lain kurangnya informasi tentang preferensi konsumen (jenis
sayuran, jumlah produk, dan kualitas) pada negara
importir (Tamba 2007).
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
telah memberi kontribusi yang nyata terhadap proses
perkembangan sistem informasi pertanian, khususnya
sebagai media komunikasi inovasi pertanian. Meskipun
teknologi informasi memiliki peran yang sangat penting
dalam mendukung pembangunan pertanian, sampai saat
ini petani di dunia, khususnya di Indonesia, masih belum
diikutsertakan dalam bisnis teknologi informasi dan
komunikasi. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembangunan pertanian membutuhkan
proses pendidikan dan peningkatan kapasitas karena
masih terdapat kesenjangan secara teknis maupun keterampilan dalam bisnis secara elektronis (e-business).
Namun, implementasinya di lapangan masih menghadapi
berbagai kendala dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembangunan pertanian.
Survei yang dilakukan oleh the International
Society for Horticultural Sciences (ISHS) telah mengidentifikasi hambatan-hambatan dalam mengadopsi
teknologi informasi dan komunikasi oleh pelaku komunikasi, khususnya dalam bidang hortikultura di Sri
Lanka. Hambatan-hambatan tersebut meliputi keterbatasan kemampuan, sulitnya akses terhadap pelatihan,
kesadaran akan manfaat teknologi informasi dan komunikasi, waktu, biaya dari teknologi yang digunakan,
integrasi sistem, dan ketersediaan software. Partisipan
dari negara-negara maju menekankan pada hambatan
tidak adanya manfaat ekonomi yang dapat dirasakan,
tidak memahami nilai lebih dari teknologi informasi dan
komunikasi, tidak cukup memiliki waktu untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, dan tidak
mengetahui cara mengambil manfaat dari penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi. Responden dari
negara-negara berkembang menekankan pentingnya
Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011
biaya teknologi informasi dan komunikasi dan kesenjangan infrastruktur teknologi. Hasil kajian dari the
Institute for Agricultural and Fisheries Research
sejalan dengan hasil survei ISHS dan the European
Federation for Information Technology in Agriculture
(EFITA) yang mengindikasikan adanya pergeseran dari
kecakapan secara teknis teknologi informasi dan komunikasi sebagai suatu faktor pembatas menuju pada
kesenjangan pemahaman cara mengambil manfaat dari
pilihan teknologi informasi dan komunikasi (Taragola et
al. 2009).
Meskipun masih terdapat beberapa kendala sehingga pemanfaatan teknologi informasi menjadi sangat
kompleks dan sulit untuk diadopsi, teknologi informasi
sebenarnya dapat menyediakan kesempatan yang lebih
besar untuk mencapai suatu tingkatan tertentu yang
lebih baik bagi petani apabila didukung oleh kompetensi
pelaku komunikasi yang terkait. Keberhasilan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi oleh petani
sayuran di Indonesia untuk memajukan usaha taninya
ditunjukkan oleh beberapa kelompok tani yang telah
memanfaatkan internet untuk mengakses informasi dan
mempromosikan produk dengan menggunakan fasilitas
yang disediakan oleh Community Training and Learning Centre (CTLC) di Pancasari (Bali) dan Pabelan
(Salatiga) yang dibentuk Microsoft bekerja sama dengan
lembaga nirlaba di bawah Program Unlimited Potential.
Petani mengenal teknologi budi daya paprika dalam
rumah kaca melalui internet. Sejak mengirimkan profil
produksi di internet, permintaan terhadap produk pertanian yang diusahakan terus berdatangan. Promosi
melalui internet dapat memutus hubungan petani dengan
tengkulak yang sering memberikan harga jauh di bawah
harga pasar (Sigit et al. 2006). Melalui Unit Pelayanan
Informasi Pertanian tingkat Desa - Program Peningkatan
Pendapatan Petani Melalui Inovasi (UPIPD-P4MI) yang
dilaksanakan Badan Litbang Pertanian, petani di sekitar
lokasi UPIPD sudah memanfaatkan internet untuk mengakses informasi dan mempromosikan hasil pertanian
yang diusahakan (UPIPD Kelayu Selatan 2009).
Sinergi aplikasi teknologi informasi dalam komunikasi inovasi pertanian merupakan salah satu upaya
untuk memperkuat mekanisme komunikasi dalam pengembangan sistem informasi pertanian. Penelitian ini
bertujuan untuk: (1) menganalisis perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk
mendukung usaha tani dan (2) menganalisis faktor yang
berhubungan dengan perilaku petani sayuran dalam
memanfaatkan teknologi informasi.
23
METODE
Penelitian ini mengkombinasikan antara penelitian menerangkan (explanatory research) dan penelitian deskriptif (descriptive research). Penelitian dilaksanakan di
dua kabupaten yang terjangkau atau memiliki akses ke
sistem informasi pertanian berbasis teknologi informasi,
baik secara mandiri maupun melalui program tertentu
yang dikembangkan oleh suatu lembaga. Lokasi penelitian merupakan sentra produksi sayuran di Kabupaten
Cianjur (Jawa Barat) dan Kota Batu (Jawa Timur) yang
keduanya memiliki akses terhadap teknologi informasi.
Wilayah BPP Pacet Kabupaten Cianjur terpilih untuk
mewakili lokasi dengan jangkauan aksesibilitas teknologi
informasi secara mandiri, tanpa ada program khusus untuk
meningkatkan akses masyarakat ke sistem informasi
pertanian atau sumber informasi global, sedangkan
wilayah BPP Bumiaji, Kota Batu khususnya Desa
Giripurno terpilih mewakili lokasi dengan jangkauan
aksesibilitas terhadap teknologi informasi yang didukung
program dari Bank Dunia, yaitu melalui Telecenter Kartini
Mandiri.
Penelitian ini bersifat survei yang dilaksanakan pada
satu populasi, yaitu petani yang menguasai lahan untuk
berusaha tani sayuran dan memiliki akses terhadap
teknologi informasi (minimal telepon rumah). Metode
penarikan contoh didasarkan atas kesesuaian dengan
kondisi ketersediaan data dan perkiraan tingkat homogenitas populasi (Nasution dan Usman 2006; Krzanowski
2007). Berdasarkan rumus Slovin, ditetapkan responden
penelitian sebanyak 200 petani. Data dianalisis secara
kuantitatif menggunakan statistik, yang meliputi analisis
statistik deskriptif, analisis korelasi, dan analisis uji beda
(uji t).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Individu Petani Sayuran
Responden penelitian yang berjumlah 200 petani sayuran
terdiri atas 162 petani dewasa, 16 orang pemuda tani, dan
22 orang yang selain sebagai petani juga merupakan
pedagang pengepul. Dari 200 petani sayuran yang diteliti,
51 orang (25,50%) adalah perempuan atau wanita tani.
Aspek karakteristik individu petani yang dianalisis meliputi umur, pendidikan, kepemilikan sarana teknologi
informasi, lama menggunakan teknologi informasi, luas
penguasaan lahan, tingkat kekosmopolitan, dan tingkat
keterlibatan dalam kelompok. Karakteristik individu petani
24
berdasarkan kategori peubah penelitian dan uji beda
untuk masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 1.
Usia rata-rata petani responden di Jawa Barat (Jabar)
relatif lebih muda dibandingkan dengan usia rata-rata
petani di Jawa Timur (Jatim). Hal ini dibuktikan dengan
hasil uji beda rata-rata usia petani di dua lokasi penelitian yang menunjukkan perbedaan yang nyata antara
usia petani di Jabar dan di Jatim. Di wilayah BPP Pacet
(Jabar), pemuda tani lebih proaktif dalam mengembangkan usaha tani sayuran. Meskipun masih berstatus sebagai mahasiswa, beberapa pemuda tani di Pacet tetap
melakukan kegiatan usaha tani.
Berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah
diikuti, rata-rata petani sayuran di dua lokasi penelitian
memiliki sebaran yang hampir sama, yaitu rata-rata
jumlah tahun pendidikan formal yang pernah diikuti
selama 8 tahun atau setingkat lulus SD dan pernah
masuk sekolah sampai tingkat SMP. Petani yang mampu
akses terhadap teknologi informasi cenderung memiliki
pendidikan relatif tinggi karena sarana teknologi informasi merupakan media komunikasi baru yang membutuhkan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi karena lebih
rumit dibandingkan dengan media komunikasi lainnya.
Responden merupakan petani sayuran yang dapat
mengakses minimal salah satu jenis sarana teknologi
informasi. Karakteristik individu petani yang diukur
adalah jenis sarana teknologi informasi yang dimiliki,
khususnya telepon rumah, telepon genggam, telepon
genggam berinternet, komputer, dan komputer berinternet. Berdasarkan hasil skoring terhadap jumlah
sarana teknologi informasi yang dimiliki, dapat dinyatakan bahwa kepemilikan sarana teknologi informasi
petani sayuran di Pacet maupun Giripurno sebagian
besar berada pada kategori sedang dengan memiliki ratarata 1-2 sarana teknologi informasi. Sarana teknologi
informasi terbanyak yang dimiliki responden adalah
telepon genggam (85%). Secara umum, skor-rata-rata
kepemilikan teknologi informasi adalah 47% untuk petani
di Jabar dan 44% untuk petani di Jatim. Berdasarkan hasil
pengamatan dan wawancara dengan responden, jenis
atau tipe telepon genggam yang dimiliki petani sebagian
besar sudah merupakan media konvergen yang dapat
digunakan untuk mendengarkan radio, mengakses internet, sebagai kamera maupun video, bahkan beberapa
di antaranya dapat digunakan untuk menonton siaran
televisi.
Berdasarkan lamanya petani responden dalam
menggunakan salah satu sarana teknologi informasi,
diketahui bahwa sebagian besar responden baik di Jabar
Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011
Tabel 1.
Jumlah petani sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur berdasarkan kategori peubah karakteristik individu dan hasil uji beda
antarlokasi.
Karakteristik individu
Kategori
Umur (tahun)
Muda
Dewasa
Tua
Pendidikan formal (tahun)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Kepemilikan sarana TI
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Lama menggunakan TI (bulan)
Sangat baru
Baru
Lama
Sangat lama
Luas penguasaan lahan (m2)
Sangat sempit
Sempit
Sedang
Luas
Tingkat kekosmopolitan
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Keterlibatan dalam kelompok
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Rata-rata
Jumlah
Sig
(%)
Jawa Barat
Jawa Timur
(uji t)
< 30
> 30-50
> 50
20,00
63,00
16,50
38,40
42,46
0,036*
SD
SMP
SLTA
> SLTA
58,00
18,00
16,50
7,50
8,02
8,17
0,552
< 25,00
> 25,00-50,00
< 50,00-75,00
> 75,00
22,00
55,00
17,50
5,50
46,63
44,00
0,857
< 45
> 45-90
> 90-135
> 135
57,50
27,50
11,00
4,00
47,48
50,06
0,665
< 2.500
> 2.500-5.000
> 5.000-10.000
> 10.000
58,00
21,00
16,00
5,00
3.178
4.796
0,031*
< 25,00
> 25,00-50,00
> 50,00-75,00
> 75,00
26,50
50,50
17,50
5,50
60,00
57,07
0,559
< 25,00
> 25,00-50,00
> 50,00-75,00
> 75,00
49,00
38,00
10,50
2,50
33,33
28,21
0,001**
Keterangan: **signifikan pada P < 0,01 dan *signifikan pada P < 0,05.
maupun Jatim termasuk dalam kategori rendah, yaitu <
45 bulan. Beberapa petani menyatakan telah mengenal
telepon genggam sejak pertama ada (lebih dari 15 tahun),
yaitu tahun 1995 sebagai sarana komunikasi untuk
memasarkan sayuran yang dihasilkannya. Hal ini menunjukkan bahwa bagi petani maju, sarana teknologi
informasi khususnya telepon genggam memberikan
peluang baru untuk memperlancar kegiatan usaha tani,
khususnya dalam memperluas jangkauan pemasaran dan
mempermudah komunikasi.
Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011
Terkait dengan sarana teknologi informasi komputer, ada pula petani yang menyatakan telah mengenal
komputer sejak masa sekolah, yaitu 25 tahun yang lalu
untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Meskipun telah
mengenal komputer sejak 25 tahun lalu, petani tersebut
baru memanfaatkannya untuk mendukung kegiatan
usaha tani sejak mengenal internet, yaitu tahun 2000.
Lahan yang dikuasai petani merupakan tumpuan
harapan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Lahan
yang dikuasai dan dikelola petani untuk usaha tani
25
sayuran di Jabar maupun di Jatim terdiri atas tiga macam
sumber, yaitu lahan milik sendiri, lahan yang disewa dari
orang lain, dan lahan garapan milik orang lain atau milik
Perhutani. Lahan yang dikuasai petani untuk usaha tani
sayuran rata-rata adalah 3.986 m2 dengan lahan yang
dikuasai paling luas 5 ha (50.000 m2) dan yang paling
sempit 100 m 2. Secara umum, petani sayuran di Jatim
memiliki rata-rata penguasaan lahan yang lebih luas
dibandingkan dengan petani di Jabar. Hal ini tampaknya
berpengaruh terhadap jumlah komoditas yang diusahakan oleh petani di Jatim dibandingkan dengan petani
di Jabar. Petani di Jabar rata-rata mengusahakan tiga
komoditas dengan enam komoditas yang dominan yaitu
wortel, bawang daun, pakcoy, caisin, sawi, dan kol.
Petani di Jatim rata-rata mengusahakan lima komoditas
sayuran dengan komoditas dominan jagung manis, cabai,
sawi, selada air, kailan, dan tomat. Petani di Jatim ada
yang mengusahakan sayuran sampai 50 jenis, termasuk
sayuran eksotis untuk pasokan hotel dan pasar luar
Jawa, seperti paprika, selada, ginseng, basil, kol merah,
daun ketumbar, sukini, dan okra.
Tingkat kekosmopolitan merupakan salah satu
indikator aktivitas petani dalam berhubungan dengan
pihak lain. Tingkat kekosmopolitan juga diartikan sebagai orientasi ke luar sistem sosial dengan hubungan
interpersonal yang lebih luas. Kekosmopolitan dalam
penelitian ini dilihat berdasarkan aktivitas responden
keluar desa, menerima atau menemui tamu dari luar desa
yang memiliki tujuan terkait dengan bidang pertanian,
serta aktivitas petani dalam mencari informasi ke luar
sistem sosialnya melalui berbagai media komunikasi
yang dapat diakses atau tersedia di lingkungannya.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada umumnya (77%) responden memiliki tingkat kekosmopolitan
pada kategori sangat rendah dan rendah dengan skor 050. Petani sayuran yang tingkat kekosmopolitannya
tinggi sebagian besar juga merupakan pedagang pengepul yang sering ke luar desa (ke pasar) untuk berdagang
atau berhubungan dengan pihak lain terkait dengan
profesinya sebagai pedagang pengepul.
Terkait dengan intensitas petani dalam mencari
informasi untuk mendukung kegiatan usaha tani melalui
berbagai media komunikasi (baik media konvensional
maupun media baru berbasis teknologi informasi),
kelompok terbesar (68%) berada pada kategori sangat
rendah dan rendah. Media komunikasi yang paling sering
digunakan petani selain telepon genggam adalah pertemuan kelompok, pertemuan dengan penyuluh, siaran
televisi, siaran radio, dan media cetak.
26
Selain sebagai modal manusia, petani dalam sistem
sosialnya juga merupakan unsur dari modal sosial. Modal sosial merupakan cerminan sejauh mana masyarakat
yang terdiri atas individu-individu yang bersifat unik
mampu mengembangkan hubungan, interaksi, dan transaksi sosial sehingga terwujud struktur sosial. Hal ini
sejalan dengan pengertian dan unsur modal sosial yang
dikemukakan oleh Putnam et al. (1993) yang menyatakan
bahwa unsur organisasi sosial seperti kepercayaan,
norma, dan jaringan (hubungan masyarakat) dapat meningkatkan efisiensi masyarakat melalui kemudahan
bekerja sama.
Modal sosial juga dapat diukur dari besarnya kepercayaan dan timbal-balik dalam suatu masyarakat atau di
antara individu-individu. Hal ini sebagaimana disampaikan lebih lanjut oleh Putnam (2006) bahwa modal sosial
akan menjadikan masyarakat memiliki nilai kolektif dari
semua jaringan sosial dan kecenderungan yang muncul
dari jaringan sosial tersebut untuk melakukan sesuatu
bagi sesama.
Keterlibatan petani dalam kelompok diukur dengan
tiga indikator, yaitu keanggotaan dalam kelompok, keaktifan dalam kelompok, dan sikap terhadap kegiatan
yang dilaksanakan oleh suatu kelompok. Meskipun ratarata skor untuk tingkat keanggotaan dan keaktifan dalam
kelompok sebagian besar dalam kategori rendah dan
sedang, ternyata hal ini berbanding terbalik dengan sikap
positif responden terhadap kegiatan kelompok. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar petani responden
telah menyadari akan pentingnya kegiatan kelompok.
Namun karena adanya pengalaman yang kurang baik
terhadap realisasi kegiatan kelompok, petani cenderung
menjadi apatis terhadap kelompok, sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang responden dari Batu, Jatim.
Faktor Lingkungan untuk Mendukung
Pemanfaatan Teknologi Informasi
Konsekuensi aplikasi teknologi informasi sebagai media
komunikasi inovasi pertanian adalah tersedianya sarana
prasarana pendukung beroperasinya aplikasi teknologi
informasi, baik infrastruktur jaringan komunikasi, sarana
untuk akses sistem informasi berbasis teknologi informasi, dan fasilitasi pelatihan untuk meningkatkan kapasitas SDM dalam memanfaatkan teknologi informasi.
Mengingat karakteristik petani yang masih banyak memanfaatkan media komunikasi konvensional, meskipun
sudah menggunakan teknologi informasi, dalam penelitian
ini ketersediaan media komunikasi konvensional juga
Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011
diperhatikan sebagai media untuk berbagi informasi yang
diperoleh petani melalui aplikasi teknologi informasi
(Tabel 2).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan
media komunikasi konvensional di dua lokasi sudah
cukup memadai dan sangat memadai, baik media komunikasi melalui tatap muka (pertemuan dengan
kelompok tani dan penyuluh), siaran radio, siaran televisi
maupun media cetak. Pelangi Desa, Saung Tani, dan
Dialog Pertanian merupakan acara siaran televisi yang
dominan dilihat oleh petani, sedangkan Radio Komunitas
Edelwis merupakan media komunikasi dan sarana berbagi
informasi pertanian bagi petani di Desa Ciputri, Pacet.
Sebanyak 41% responden menyatakan ketersediaan
media komunikasi konvensional kurang dan sangat
kurang memadai karena responden tersebut sebagian
besar tidak menjadi anggota kelompok atau merasa
apatis dengan media komunikasi yang ada karena
informasi yang diperoleh dan atau kegiatan yang diikuti
tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Media cetak
merupakan media yang paling kurang tersedia dibandingkan dengan media konvensional lainnya. Media
cetak yang dapat diakses oleh responden sebagian besar
berasal dari distributor sarana produksi. Petani di Jabar
merasakan bahwa ketersediaan media konvensional,
terutama pertemuan dengan penyuluh dan kelompok
lebih tinggi dibandingkan dengan di Jatim. Hal ini juga didukung dengan adanya radio komunitas di Desa
Ciputri, Pacet sebagai media komunikasi yang efektif
untuk berbagi informasi/pengetahuan di lingkungan
komunitas dan desa sekitarnya.
Berkaitan dengan fasilitas untuk akses sistem informasi berbasis teknologi informasi, termasuk ketersediaan telecenter dan warnet atau komputer berinternet, 50%
petani menyatakan masih sangat tidak memadai. Hanya
23% petani yang menyatakan fasilitas untuk mendukung
akses sistem informasi berbasis teknologi informasi
sudah sangat memadai. Berdasarkan hasil uji beda,
ketersediaan fasilitas atau sarana untuk akses sistem
informasi berbasis teknologi informasi bagi petani di
Desa Giripurno, Batu, Jatim secara nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan di Desa Ciputri, Pacet, Jabar. Hal
ini sangat dipahami karena di Desa Giripurno terdapat
Telecenter Kartini Mandiri yang memungkinkan petani
Tabel 2. Jumlah petani sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur berdasarkan kategori peubah faktor lingkungan untuk
pemanfaatan teknologi informasi dan hasil uji beda antarlokasi.
Faktor lingkungan
Rata-rata
Jumlah (%)
Ketersediaan media komunikasi
konvensional
Sangat tidak memadai
Kurang memadai
Cukup memadai
Sangat memadai
14,00
27,50
26,50
32,00
Ketersediaan sarana TI
Sangat tidak memadai
Kurang memadai
Memadai
Sangat memadai
50,00
18,00
9,50
22,50
Ketersediaan jaringan komunikasi
Sangat tidak baik
Kurang baik
Baik
Sangat baik
1,00
16,50
25,00
58,00
Keterjangkauan terhadap fasilitasi
pelatihan
Sangat tidak terjangkau
Kurang terjangkau
Terjangkau
Sangat terjangkau
62,50
18,00
8,50
11,00
Sig
Jawa Barat
Jawa Timur
(uji t)
59,80
54,60
0,007**
31,25
47,25
0,001**
76,92
83,42
0,023*
18,67
22,67
0,247
Keterangan: **signifikan pada P < 0,01 dan *signifikan pada P < 0,05.
Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011
27
dapat mengakses informasi melalui internet yang dibangun oleh Bank Dunia.
Ketersediaan dan kondisi infrastruktur jaringan
komunikasi (jaringan internet, jaringan listrik, dan
jaringan telepon) di Jabar maupun di Jatim sudah sangat
memadai. Jaringan telepon di beberapa desa di wilayah
Pacet dan Giripurno sudah tersedia sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai sarana sambungan
jaringan internet. Wilayah yang terjangkau sambungan
telepon rumah sebagian dialihfungsikan sebagai sarana
untuk instalasi jaringan internet. Penyedia jasa (provider) yang banyak tersedia dan digunakan sebagai
jaringan telekomunikasi oleh petani di Pacet adalah yang
berbasis Global System for Mobile Communication
(GSM) yang didominasi oleh dua provider, sedangkan di
Giripurno didominasi dengan jaringan berbasis Code
Division Multiple Access (CDMA). Variasi koneksi jaringan ini sangat dipahami karena penggunaan layanan
jaringan telekomunikasi akan bergantung pada kondisi
infrastruktur jaringan telekomunikasi atau provider yang
paling mudah diakses petani setempat.
Pemanfaatan teknologi informasi, utamanya internet untuk akses dan pengelolaan informasi memerlukan
dukungan media belajar secara terprogram melalui pelatihan dan sosialisasi agar petani dapat memanfaatkan
teknologi informasi yang tersedia dengan optimal.
Namun, mayoritas (81%) responden menyatakan bahwa
fasilitasi pelatihan sangat tidak terjangkau dan kurang
terjangkau. Meskipun telah ada telecenter, pelatihan
pemanfaatan teknologi informasi untuk akses dan
pengelolaan informasi masih belum menjangkau petani
secara luas. Pelatihan yang dilaksanakan di telecenter
Kartini Mandiri, meskipun telah menyentuh petani
sayuran, masih ditargetkan bagi para pelajar dari sekolah
di sekitar Kecamatan Bumiaji, Batu.
Persepsi Petani Terhadap Karakteristik
Teknologi Informasi
Pemanfaatan teknologi informasi merupakan media baru
dalam komunikasi inovasi pertanian. Internet merupakan
salah satu bentuk revolusi terkait dengan pengelolaan
informasi dan berkomunikasi dengan orang lain secara
cepat dan tanpa terkendala ruang dan jarak. Dengan
menggunakan surat elektronik dan layanan pesan singkat
(SMS) dapat dilakukan komunikasi langsung secara cepat
dan berbagi informasi maupun dokumen (Browning et al.
2008).
28
Teknologi informasi, sebagai media baru dalam komunikasi inovasi pertanian memiliki sifat-sifat khusus
yang juga memengaruhi pemanfaatannya di tingkat
petani (Browning dan Sornes 2008). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap kelima
karakteristik teknologi informasi umumnya cukup baik
(Tabel 3).
Sebagian besar (82%) responden menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dalam komunikasi
inovasi pertanian sudah sesuai dan sangat sesuai dengan kebutuhan. Teknologi informasi, utamanya telepon
genggam telah menjadi sarana utama dalam berkomunikasi untuk mendukung kegiatan usaha tani, khususnya
untuk mengelola usaha tani dan pemasaran. Sebagian
besar petani menyatakan bahwa membeli pulsa untuk
operasional telepon genggam sudah menjadi keharusan
sebagaimana kebutuhan pokok.
Pada umumnya (83%) petani sudah mengaplikasikan
sarana teknologi informasi dengan mudah, khususnya
telepon genggam untuk menelepon atau mengirim pesan.
Namun, untuk jenis sarana teknologi informasi dengan
menggunakan komputer dan internet, sebagian besar
petani merasa belum mudah mengaplikasikannya karena
memerlukan pelatihan khusus.
Aplikasi teknologi informasi dalam kegiatan usaha
tani lebih menguntungkan secara ekonomi dibandingkan
dengan sebelum menggunakan teknologi informasi. Hal
ini dikatakan oleh 89% responden. Keuntungan yang
sangat dirasakan petani dengan memanfaatkan teknologi informasi, khususnya telepon genggam adalah
menghemat waktu dan biaya transportasi. Jangkauan
pemasaran hasil pertanian juga menjadi lebih luas hingga
mencapai luar kota, bahkan luar pulau dan luar negeri.
Keuntungan lain yang dirasakan petani adalah dapat
mengakses informasi sesuai dengan kebutuhan melalui
internet. Hal ini berbanding lurus dengan kemudahan
teknologi informasi untuk dilihat hasilnya, di mana
sebagian besar (lebih dari 90%) responden menyatakan
sangat mudah untuk melihat hasilnya.
Hampir seluruh (93%) responden menyatakan
bahwa implementasi teknologi informasi mudah dan
sangat mudah dilihat hasilnya. Hal ini berbanding lurus
dengan keuntungan relatif yang dapat dirasakan dengan
adanya teknologi informasi. Petani yang belum mampu
mengakses teknologi informasi pun sudah dapat melihat
bahwa dengan adanya teknologi informasi, akses informasi menjadi lebih cepat dan dapat memperluas jaringan
pemasaran.
Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011
Tabel 3. Persepsi petani sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur terhadap karakteristik teknologi informasi dan hasil uji beda
antarlokasi.
Karakteristik TI
Jumlah (%)
Kesesuaian TI dengan kebutuhan
Sangat tidak sesuai
Kurang sesuai
Sesuai
Sangat sesuai
3,50
15,00
64,50
17,00
Kemudahan TI untuk diaplikasikan
Sangat sulit
Sulit
Mudah
Sangat mudah
1,50
16,00
65,50
17,00
Keuntungan relatif TI
Sangat tidak menguntungkan
Kurang menguntungkan
Menguntungkan
Sangat menguntungkan
5,50
6,00
69,50
19,00
Kemudahan TI untuk dilihat hasilnya
Sangat sulit
Sulit
Mudah
Sangat mudah
1,00
6,00
67,50
25,50
Kesesuaian TI dengan budaya
Sangat tidak sesuai
Tidak sesuai
Sesuai
Sangat sesuai
2,00
32,50
30,50
35,00
Rata-rata
Jawa Barat
Jawa Timur
Sig
(uji t)
76,92
77,83
0,002**
71,33
73,83
0,000**
79,00
77,83
0,000**
75,83
76,75
0,000**
78,75
82,79
0,032*
.
Keterangan: **signifikan pada P < 0,01 dan *signifikan pada P < 0,05.
Sebagian besar (65%) responden menyatakan bahwa implementasi teknologi informasi, utamanya telepon
genggam sudah sesuai dengan budaya modern saat ini.
Namun 35% menyatakan hal tersebut tidak sesuai dan
sangat tidak sesuai. Responden beralasan bahwa menggunakan teknologi informasi khususnya akses internet
belum membudaya di masyarakat karena selain sulit
diakses juga khawatir terhadap dampak negatif yang
mungkin terjadi terkait dengan penipuan dan pornografi
(cyber crime).
Berdasarkan hasil uji beda diketahui bahwa terdapat
perbedaan yang nyata antara persepsi petani di Jabar
dan di Jatim terhadap karakteristik teknologi informasi,
kecuali pada persepsi petani terhadap keuntungan relatif
pemanfaatan teknologi informasi. Petani di Jatim memiliki
persepsi yang lebih positif terhadap karakteristik teknologi informasi dibandingkan dengan petani di Jabar dalam
hal kesesuaian teknologi informasi dengan kebutuhan,
Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011
kemudahan aplikasi, kemudahan untuk dilihat hasilnya,
dan kesesuaian dengan budaya. Hal ini dapat dipahami
karena di Jatim, responden berdomisili di wilayah jangkauan Telecenter Kartini Mandiri sehingga memiliki
peluang lebih besar terhadap kegiatan sosialisasi pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan
usaha tani.
Perilaku Petani Sayuran dalam Memanfaatkan
Teknologi Informasi
Perilaku umumnya didefinisikan sebagai respons atau
aksi yang dilakukan oleh seseorang atau segala sesuatu
yang dilakukannya. Pengertian perilaku yang sangat
umum menunjukkan tindakan atau respons dari sesuatu
atau sistem apapun dalam hubungannya dengan lingkungan atau situasi komunikasi yang ada. Rogers dan
Shoemaker (1986) menyatakan bahwa perilaku merupakan
29
suatu tindakan nyata yang dapat dilihat atau diamati.
Perilaku tersebut terjadi akibat adanya proses penyampaian pengetahuan suatu stimulus sampai ada penentuan
sikap untuk bertindak atau tidak bertindak, dan hal ini
dapat dilihat dengan menggunakan pancaindera.
ponden memiliki sikap yang sangat positif, sedangkan
dari aspek keterampilan rata-rata termasuk dalam kategori
sedang. Gambaran umum perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi dan rata-rata skor untuk
masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 4.
Perilaku atau tingkah laku adalah kebiasaan bertindak, yang menunjukkan tabiat seseorang yang terdiri
atas pola-pola tingkah laku yang digunakan oleh individu dalam melakukan kegiatan. Lebih jauh dikatakan
bahwa perilaku terjadi karena adanya penyebab tingkah
laku (stimulus), motivasi tingkah laku, dan tujuan tingkah
laku. Terdapat tiga komponen yang memengaruhi perilaku manusia, yaitu komponen afektif, kognitif, dan
konatif. Komponen afektif merupakan aspek emosional.
Komponen kognitif merupakan aspek intelektual, yang
berkaitan dengan apa yang diketahui manusia. Komponen konatif adalah aspek yang berhubungan dengan
kebiasaan dan kemauan bertindak (Rakhmat 2002).
Berdasarkan hasil analisis, rata-rata tingkat pengetahuan dan keterampilan petani sayuran di Jabar dalam
memanfaatkan teknologi informasi lebih tinggi dibandingkan dengan di Jatim. Hal ini dibuktikan pula dengan
adanya perbedaan yang nyata antara tingkat pengetahuan dan keterampilan antara dua lokasi, yaitu petani di
Jabar rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan petani
di Jatim. Keadaan ini berbanding terbalik dengan skor
sikap petani di Jatim dan di Jabar, yaitu petani di Jatim
menunjukkan sikap yang nyata lebih positif dibandingkan dengan petani di Jabar. Berdasarkan analisis lebih
lanjut terhadap hasil wawancara mendalam dan data
kualitatif diketahui bahwa hal ini terjadi karena petani
yang terampil dan memiliki pengetahuan yang lebih
tinggi beberapa di antaranya bersikap ragu-ragu, khususnya terkait dengan pemanfaatan telepon genggam
maupun komputer berinternet. Dengan terbukanya informasi melalui koneksi internet, sebagian petani di Jabar
merasa khawatir maraknya penipuan dan pornografi
sehingga lebih bersikap hati-hati dalam memanfaatkan
teknologi informasi.
Aspek perilaku terhadap pemanfaatan teknologi
informasi yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi
pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani dalam
memanfaatkan teknologi informasi. Pada umumnya,
responden di Pacet (Jabar) dan Giripurno (Jatim) memiliki
tingkat pengetahuan terhadap pemanfaatan teknologi
informasi yang masih rendah, dengan skor di bawah 50.
Namun, apabila dilihat dari aspek sikap, rata-rata res-
Tabel 4. Jumlah petani sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur berdasarkan kategori peubah perilaku dalam memanfaatkan teknologi
informasi dan hasil uji beda antarlokasi.
Perilaku dalam memanfaatkan TI
Jumlah (%)
Pengetahuan terhadap aplikasi TI
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
29,00
42,50
15,00
13,50
Sikap terhadap pemanfaatan TI
Tidak setuju
Ragu-ragu
Setuju
Sangat setuju
0,00
0,00
19,00
81,00
Keterampilan dalam pemanfaatan TI
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
0,00
49,50
29,00
21,50
Rata-rata
Jawa Barat
Jawa Timur
Sig
(uji t)
44,70
33,35
0,001**
85,67
92,08
0,000**
66,00
58,83
0,008**
Keterangan: **signifikan pada P < 0,01 dan *signifikan pada P < 0,05.
30
Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011
Faktor yang Memengaruhi Perilaku Petani
Sayuran dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi
Secara umum, seluruh peubah karakteristik individu, yaitu
umur, pendidikan formal, kepemilikan sarana teknologi
informasi, lama menggunakan sarana teknologi informasi,
luas penguasaan lahan, tingkat kekosmopolitan, dan
keterlibatan dalam kelompok memiliki hubungan yang
nyata dengan aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi
informasi, khususnya pada aspek pengetahuan dan
keterampilan petani di Jatim dalam memanfaatkan teknologi informasi (Tabel 5). Semakin tinggi pendidikan
formal responden dan tingkat kepemilikan sarana teknologi informasi, semakin tinggi pula pengetahuan, sikap,
dan keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi
informasi untuk mendukung kegiatan usaha tani. Namun
umur petani memiliki hubungan negatif dengan seluruh
aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi.
Semakin tua umur petani, cenderung semakin rendah
tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam
memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Batte et al. (1990) dan Warren et al. (2000)
bahwa faktor yang memengaruhi tingkat pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi antara lain adalah
umur, pendidikan, dan luas penguasaan lahan.
Adanya hubungan yang negatif antara umur dan
perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi dapat
dipahami karena aplikasi teknologi informasi memiliki
tingkat kerumitan yang lebih tinggi dan membutuhkan
tingkat kemampuan/pengetahuan yang memadai, setidaknya responden dapat membaca dengan lancar dan
memahami perintah yang ada, sementara responden yang
berusia tua cenderung memiliki tingkat pendidikan yang
rendah. Terdapat satu responden dengan usia tua (59
tahun) yang memiliki perilaku sangat positif dalam
pemanfaatan teknologi informasi. Setelah dianalisis dari
hasil wawancara mendalam, ternyata responden telah
lebih dari 10 tahun mengenal dan menggunakan komputer
berinternet, telepon genggam, dan komputer.
Berbeda dengan di Jatim, luas penguasaan lahan,
tingkat kekosmopolitan, dan keterlibatan dalam kelompok petani di Jabar tidak berhubungan nyata dengan
seluruh aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi
informasi. Dinamika kelompok dan intensitas penyuluhan di Jabar yang lebih tinggi dibandingkan dengan di
Jatim menyebabkan petani memiliki tingkat kekosmopolitan dan keterlibatan dalam kelompok yang lebih
merata sehingga hubungannya dengan perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi menjadi kurang
tampak.
Tingkat kekosmopolitan dan keterlibatan petani di
Jabar dalam suatu kelompok tidak memiliki hubungan
nyata dengan aspek sikap terhadap pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usaha tani. Hal
ini cukup dipahami karena sikap petani di Jabar lebih
cenderung dipengaruhi oleh pengalamannya selama
menggunakan teknologi informasi dan persepsinya
terhadap karakteristik teknologi informasi.
Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 6
menunjukkan bahwa untuk petani di Jabar maupun di
Jatim, keterjangkauan terhadap fasilitasi pelatihan merupakan aspek faktor lingkungan yang memiliki hubungan
positif secara nyata (P < 0,01) terhadap hampir seluruh
aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi,
kecuali untuk aspek sikap bagi petani di Jatim. Hal ini
berarti bahwa semakin tinggi keterjangkauan petani terhadap fasilitasi pelatihan akan meningkatkan pengeta-
Tabel 5. Nilai hubungan antara karakteristik individu dengan perilaku petani sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur dalam memanfaatkan
teknologi informasi.
Karakteristik individu
Umur
Pendidikan formal
Kepemilikan TI
Lama menggunakan TI
Penguasaan lahan
Tingkat kekosmopolitan
Keterlibatan dalam kelompok
Tingkat pengetahuan
terhadap TI
Sikap terhadap
pemanfaatan TI
Keterampilan
menggunakan TI
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Barat
-484**
454**
506**
298**
-0,012
-0,071
0,096
-445
680**
645**
623**
358**
402**
225*
-375**
413**
404**
206*
-0,008
-0,009
-0,149
-242*
332**
385**
0,124
0,127
269**
0,052
-485**
528**
511**
375**
0,088
0,027
0,034
Jawa Timur
-361**
614**
662**
590**
320**
402**
358**
Keterangan: **signifikan pada P < 0,01 dan *signifikan pada P < 0,05.
Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011
31
Tabel 6.
Nilai hubungan antara faktor lingkungan dengan perilaku petani sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur dalam memanfaatkan
teknologi informasi.
Faktor lingkungan
Ketersediaan media konvensional
Ketersediaan sarana TI
Ketersediaan infrastuktur
Keterjangkauan fasilitas pelatihan
Tingkat pengetahuan
terhadap TI
Jawa Barat
Jawa Timur
0,105
0,118
0,102
0,394**
0,043
0,479**
0,328**
0,498**
Sikap terhadap
pemanfaatan TI
Jawa Barat
Jawa Timur
0,151
0,328**
0,098
0,346*
-0,039
0,202*
0,174
0,185
Keterampilan
menggunakan TI
Jawa Barat
Jawa Timur
0,235*
0,245*
0,135
0,551**
0,063
0,456**
0,229*
0,503**
Keterangan: **signifikan pada P < 0,01 dan *signifikan pada P < 0,05.
huan, sikap, dan keterampilan petani dalam memanfaatkan teknologi informasi.
Semakin tinggi ketersediaan sarana teknologi
informasi di lingkungan petani Jabar maupun Jatim akan
mendorong pada semakin tingginya tingkat keterampilan, pengetahuan, dan sikap petani dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung usaha tani,
kecuali pada aspek pengetahuan bagi petani di Jawa
Barat. Tidak adanya hubungan yang nyata antara ketersediaan sarana teknologi informasi dan tingkat pengetahuan petani di Jabar dalam pemanfaatan teknologi
informasi disebabkan oleh proaktifnya petani di wilayah
tersebut. Meskipun sarana teknologi informasi khususnya yang berbasis internet tidak banyak tersedia di
lingkungannya, petani yang sebagian besar masih muda
biasa belajar untuk akses internet ke warung internet atau
ke penyuluh pada saat mengikuti kegiatan kelompok.
Salah satu faktor pendukungnya adalah adanya dorongan
untuk memenuhi kebutuhan akan informasi pasar karena
dekatnya wilayah Pacet dengan pusat kota (Jakarta)
sehingga sarana teknologi informasi sangat diperlukan
untuk akses informasi dan komunikasi. Di samping itu,
kegiatan kelompok dianggap juga sebagai sarana penting untuk berbagi informasi untuk mendukung kegiatan
usaha tani.
Berdasarkan data pada Tabel 6, diketahui bahwa
ketersediaan infrastruktur jaringan komunikasi di Jatim
memiliki hubungan yang nyata positif dengan tingkat
pengetahuan petani terhadap teknologi informasi dan
keterampilan petani. Pada umumnya kondisi infrastruktur
jaringan komunikasi pada kedua lokasi penelitian telah
cukup memadai untuk mengakses sistem informasi
berbasis teknologi informasi, namun ketersediaan
sarananya belum memadai, khususnya di Jabar. Sebaliknya, ketersediaan media komunikasi konvensional hanya
memiliki hubungan nyata positif dengan tingkat kete-
32
rampilan petani di Jabar dalam memanfaatkan teknologi
informasi. Hal ini cukup dipahami karena dinamika
kelompok di tingkat petani di Jabar lebih tinggi dibandingkan dengan di Jatim.
Karakteristik teknologi informasi merupakan aspek
penting yang memiliki pengaruh nyata terhadap aspek
perilaku petani di Jabar maupun di Jatim dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya hubungan positif yang nyata untuk hampir
seluruh aspek persepsi petani terhadap karakteristik
teknologi informasi dengan perilaku petani, baik pengetahuan, sikap, maupun keterampilan dalam memanfaatkan teknologi informasi. Persepsi petani terhadap
kesesuaian teknologi informasi dengan budaya berhubungan positif secara nyata pada P < 0,01 dengan tingkat
pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani di Jatim
dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hubungan
antara karakteristik teknologi informasi dengan perilaku
petani dalam memanfaatkan teknologi informasi disajikan
pada Tabel 7.
Keuntungan relatif merupakan aspek karakteristik
teknologi informasi yang paling tinggi hubungannya
dengan aspek pengetahuan dan keterampilan petani
khususnya di Jatim dalam memanfaatkan teknologi
informasi. Hal ini berarti semakin tinggi petani merasakan
keuntungan dalam memanfaatkan teknologi informasi
untuk mendukung kegiatan usaha tani, semakin tinggi
pula pengetahuan dan tingkat keterampilannya dalam
memanfaatkan teknologi informasi.
KESIMPULAN
Petani di Jabar memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan teknologi informasi yang
Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011
Tabel 7.
Nilai hubungan antara persepsi petani sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur terhadap karakteristik teknologi informasi
dengan perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi.
Karakteristik TI
Ketersediaan TI dengan kebutuhan
Kemudahan untuk dilihat hasilnya
Keuntungan relatif
Kemudahan untuk diaplikasikan
Kesesuaian dengan budaya
Tingkat pengetahuan
terhadap TI
Sikap terhadap
pemanfaatan TI
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Barat
Jawa Timur
0,357**
0,495**
0,285**
0,308**
0,181
0,532**
0,411**
0,651**
0,472**
0,261**
0,295**
0,342**
0,417**
0,493**
0,250*
0,285**
0,212*
0,298**
0,275**
0,114
Keterampilan
menggunakan TI
Jawa Barat
470**
497**
527**
413**
0,283**
Jawa Timur
555**
387**
634**
399**
0,250**
Keterangan: **signifikan pada P < 0,01 dan *signifikan pada P < 0,05.
secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan petani di
Jatim, meskipun tidak didukung oleh program pengembangan akses sistem informasi berbasis teknologi informasi (telecenter). Hal ini karena petani di Jabar
lebih proaktif dalam memanfaatkan teknologi informasi
untuk penetrasi pasar dan pengembangan jaringan
pemasaran karena faktor kedekatan lokasi dengan ibukota Jakarta
Teknologi informasi dimanfaatkan petani sayuran
sebagai sarana komunikasi dan berbagi informasi,
promosi usaha tani, serta untuk akses informasi produksi
dan teknologi pertanian. Namun, secara umum perilaku
petani dalam memanfaatkan teknologi informasi baik di
Jabar maupun di Jatim untuk pengetahuan masih relatif
rendah dan tingkat keterampilannya dalam kategori
sedang. Sikap petani terhadap pemanfaatan teknologi
informasi untuk mendukung kegiatan usaha tani cukup
positif.
Karakteristik individu yang berhubungan nyata
dengan perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan
teknologi informasi adalah umur, pendidikan formal,
kepemilikan sarana teknologi informasi, lama menggunakan sarana teknologi informasi, luas penguasaan
lahan, tingkat kekosmopolitan, dan keterlibatan dalam kelompok. Keterjangkauan terhadap pelatihan dan
ketersediaan sarana teknologi informasi merupakan
aspek faktor lingkungan yang memiliki hubungan positif
secara nyata dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dalam pemanfaatan teknologi informasi.
Faktor persepsi terhadap karakteristik teknologi informasi yang berhubungan nyata dengan perilaku petani
dalam memanfaatkan teknologi informasi adalah keuntungan relatif dan kemudahan untuk dilihat hasilnya.
Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011
DAFTAR PUSTAKA
BPS (Badan Pusat Statistik). 2011. Laporan Bulanan Data Sosial
Ekonomi Edisi 9 Februari 2011. Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
Batte, M.T., E. Jones, and G.D. Schnitkey. 1990. Computer use
by Ohio commercial farmers. Am. J. Agric. Econ. 72: 935945
Browning, L.D. and J.O. Sornes. 2008. Rogers’ Diffusion of
Innovation. p. 47-56. In L.D. Browning, A.S. Saetre, K.K.
Stephens, and J. O. Sornes. Information and Communication
Technology in Action. Linking Theory and Narratives of
Practice. Routledge, New York and London.
Browning, L.D., A.S. Saetre, K.K. Stephens, and J.O. Sornes.
2008. Information and Communication Technology in Action.
Linking Theory and Narratives of Practice. Routledge, New
York and London. 304 pp.
Krzanowski, W.J. 2007. Statistical Principles and Techniques in
Scientific and Social Research. OXFORD University Press.
300 pp.
Putnam, R.D, R. Leonardi, and R.Y. Nanetti. 1993. Making
Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy.
Princeton Univer. Press. Princeton. 258 pp.
Putnam, R.D. 2006. E Pluribus Unum: Diversity and Community
in the Twenty-First Century, Sacn. Pol. Stud. 30(2): 137174.
Rakhmat, J. 2002. Metode Penelitian Komunikasi; dilengkapi
Contoh dan Analisa Statistik. Remaja Rosda Karya, Bandung.
Rogers, E.M. and F.F. Shoemaker. 1986. Communication of
Innovations: A Cross Cultural Approach. Collier MacMill.
Publisher, London. 476 pp.
Sigit, I., M.S. Widodo, dan A. Wibisono. 2006. Laporan Khusus,
Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 3 Agustus 2006.
Tamba, M. 2007. Kebutuhan Informasi Pertanian dan Aksesnya
bagi Petani Sayuran: Pengembangan Model Penyediaan
Informasi Pertanian dalam Pemberdayaan Petani, Kasus di
Provinsi Jawa Barat. Disertasi, Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Taragola, N., Van Lierde, and E. Gelb. 2009. Information and
communication technology (ICT) adoption in horticulture:
Comparison of the EFITA, ISHS, and ILVO questionnaires.
33
UPIPD Kelayu Selatan. 2009. Laporan Telecenter P4MI Kelayu
Selatan Juni 2009. P4MI Lombok Timur, Selong.
Warren, M.F., R.J. Soffe, and M.A.H. Store. 2000. Farmers,
computers and the internet: A study of adoption in
34
contrasting regions of England. Farm Mgmt. 10(11): 665684.
Nasution, M.E. dan H. Usman 2006. Proses Penelitian Kuantitatif.
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011
Download