IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Analisis Ekspresi Gen GFP pada Beberapa Jaringan Menggunakan Metode PCR Hasil PCR dengan cetakan cDNA saat 24 jam dan 1 minggu pasca injeksi (p.i.) menunjukkan bahwa gen GFP terekspresi pada jaringan ginjal, insang, limpa, dan otot yang diperlihatkan dengan keberadaan pita DNA yang sejajar dengan pita DNA kontrol positif (Gambar 1 dan 2). Tingkat ekspresi gen GFP berbeda antara 24 jam dan 1 minggu p.i. Pada 24 jam p.i, gen GFP diekspresikan pada semua jaringan dengan menggunakan heat shock-GFP, keratin-GFP, dan βaktin-GFP, yang ditandai dengan adanya pita DNA produk PCR (Gambar 1A). Ekspresi gen GFP yang lebih tinggi terdapat pada jaringan otot dibandingkan jaringan lainnya untuk perlakuan keratin-GFP dan β-aktin-GFP. Pada 1 minggu p.i, ekspresi gen GFP menurun yang ditandai dengan intensitas/ketebalan pita DNA produk PCR menurun pada beberapa jaringan (Gambar 2A). Ekspresi gen GFP pada perlakuan heat shock-GFP hanya muncul pada jaringan ginjal dan otot. Pada perlakuan keratin-GFP, ekspresi gen GFP hanya terdeteksi pada jaringan insang, ginjal, dan otot. Pada perlakuan β-aktin-GFP, ekspresi gen GFP muncul pada jaringan ginjal, insang, dan otot. Ekspresi GFP yang tinggi terdapat pada jaringan otot perlakuan heat shock-GFP. Berdasarkan kontrol internal, DNA cetakan dalam kondisi baik. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan hasil amplifikasi dengan primer β-aktin (Gambar 1B dan 2B) A B Gambar 1. Ekspresi gen GFP yang dianalisis menggunakan metode PCR pada beberapa jaringan setelah 24 jam injeksi (A) dengan PCR β-aktin sebagai kontrol internal (B). A B Gambar 2. Ekspresi gen GFP yang dianalisis menggunakan metode PCR pada beberapa jaringan setelah 1 minggu injeksi (A) dengan PCR β-aktin sebagai kontrol internal (B). Keterangan: M No. 1,2,3,4 No. 5,6,7,8 No. 9,10,11,12 No. 13 No. 14 = marker = heat shock-GFP (ginjal, insang, limpa, otot) = keratin-GFP (ginjal, insang, limpa, otot) = β-aktin-GFP (ginjal, insang, limpa, otot) = kontrol positif (produk PCR dengan cetakan plasmid DNA) = kontrol negatif (produk PCR tanpa cetakan plasmid DNA) 4.1.2 Analisis Ekspresi Gen Gen GFP pada Beberapa Jaringan Menggunakan Mikroskop Fluoresensi Dengan menggunakan mikroskop fluoresensi, ekspresi gen GFP mulai muncul 8 jam p.i (Gambar 3). Ekspresi GFP terdapat pada jaringan ginjal, insang, limpa, dan otot hasil injeksi dengan ketiga konstruksi yang diuji. Ekspresi gen GFP yang dikendalikan dengan promoter heat shock pada jaringan ginjal lebih tinggi dibandingkan pada jaringan insang, limpa, dan otot. Ekspresi GFP yang dikendalikan oleh promoter keratin lebih tinggi pada jaringan insang, ginjal, dan otot dibandingkan pada jaringan limpa. Sementara itu, ekspresi gen GFP yang dikendalikan oleh promoter β-aktin lebih tinggi pada jaringan ginjal dan otot dibandingkan jaringan insang dan limpa. Gambar 3. Ekspresi gen GFP yang dikontrol oleh promoter heat shock-GFP, keratin-GFP, dan β-aktin-GFP pada beberapa jaringan setelah 8 jam injeksi. Tingkat ekspresi GFP setelah 24 jam injeksi mengalami peningkatan bila dibandingkan setelah 8 jam injeksi (Gambar 4). Ekspresi GFP yang dikendalikan oleh promoter heat shock terlihat pada jaringan insang, ginjal, limpa, dan otot, dimana pendaran lebih terang terang terdapat pada jaringan otot dan insang dibandingkan pada jaringan ginjal dan limpa. Hal ini sejalan dengan pola ekspresi gen GFP menggunakan metode PCR setelah 24 jam injeksi. Pola ekspresi gen GFP yang dikendalikan oleh promoter keratin yang diamati menggunakan menggunakan mikroskop fluoresensi sejalan dengan hasil analisis PCR. Ekspresi GFP terlihat pada jaringan insang, ginjal, limpa, dan otot, dimana pendaran lebih terang terdapat pada jaringan otot. Demikian juga dengan hasil analisis ekspresi gen GFP yang dikendalikan oleh promoter β-aktin sejalan antara hasil analisis menggunakan mikroskop fluoresensi dengan analisis PCR. Gambar 4. Ekspresi gen GFP yang dikontrol oleh promoter heat shock-GFP, keratin-GFP, dan β-aktin-GFP pada beberapa jaringan setelah 24 jam injeksi. Ekspresi GFP mulai melemah ketika 1 minggu p.i (Gambar 5). Ekspresi GFP yang dikendalikan oleh promoter heat shock GFP hanya terdapat pada jaringan otot dan ginjal, dan level ekspresi GFP pada otot lebih tinggi dibandingkan pada ginjal. Hasil ini sejalan dengan apa yang ditunjukkan dengan analisis PCR. Hasil analisis ekspresi gen GFP yang dikendalikan oleh promoter keratin menggunakan mikroskop fluoresensi dan PCR juga sejalan, yaitu ekspresi GFP yang lebih tinggi terdapat pada jaringan limpa dibandingkan pada jaringan otot dan insang. Sementara itu, dengan promoter β-aktin, ekspresi GFP hanya terdapat pada jaringan ginjal, insang, dan otot dengan pendaran lebih rendah dibandingkan dengan kedua promoter yang lain. Pengamatan GFP menggunakan mikroskop fluoresensi dilakukan hingga 2 bulan dan diperoleh hasil bahwa ekspresi pada beberapa jaringan semakin melemah, tetapi masih ditemukan pendaran kurang terang pada jaringan otot pada semua promoter yang diuji (Gambar 6) Gambar 5. Ekspresi gen GFP yang dikontrol oleh promoter heat shock-GFP, keratin-GFP, dan β-aktin-GFP pada beberapa jaringan setelah 1 minggu injeksi. Gambar 6. Ekspresi gen GFP pada yang dikontrol oleh promoter heat shockGFP, keratin-GFP, dan β-aktin-GFP pada beberapa jaringan setelah 2 minggu injeksi. 4.2 Pembahasan Promoter dapat aktif dan mengendalikan ekspresi pada waktu dan tempat yang tepat dengan adanya kerjasama antara elemen-elemen penyusun promoter tersebut. Ekspresi GFP yang terlihat pada jaringan ginjal, insang, limpa, dan otot perlakuan heat shock-GFP, keratin-GFP, dan β-aktin-GFP membuktikan bahwa promoter heat shock yang diisolasi dari ikan rainbow trout maupun promoter keratin yang diisolasi dari ikan flounder Jepang, dan promoter β-aktin yang diisolasi dari ikan medaka dapat aktif di berbagai jaringan pada ikan mas, sehingga ketiga jenis promoter tersebut tidak bersifat spesifik pada suatu jenis ikan tertentu. Dari ketiga promoter diduga bahwa promoter keratin mampu mengendalikan ekspresi gen GFP lebih baik dibandingkan promoter heat shock dan β-aktin. Hal ini dapat dilihat dari tingkat dan lama waktu ekspresi gen GFP pada jaringan ginjal, insang, limpa, dan otot. Perbedaan tingkat ekspresi gen GFP yang terjadi diduga karena elemen cis-regulator keratin dapat berikatan lebih baik atau lebih sesuai dengan elemen trans-regulator ikan mas. Iyengar et al. (1996) menyebutkan bahwa efektivitas suatu promoter dalam mengendalikan gen untuk terekspresi sangat terkait erat dengan kesesuaian antara elemen cis-regulator pada promoter dengan elemen trans-regulator pada inang target. Hal senada juga disebutkan oleh Hackett (1993) bahwa jika elemen cis-regulator suatu promoter cocok dengan elemen trans-regulator, maka umumnya ekspresi gen yang dikendalikan tinggi, sebaliknya apabila tidak atau kurang sesuai maka ekspresi gen yang dikendalikan akan rendah. Dunham (2004) juga menyebutkan bahwa perbedaan tingkat ekspresi dikarenakan promoter yang diintroduksikan bukan berasal dari ikan yang homolog. Promoter yang bukan berasal dari ikan yang homolog memiliki interaksi antara elemen cis-regulator pada promoter dan elemen trans-regulator inang yang berbeda. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa promoter keratin merupakan promoter yang digunakan pada teknologi transgenesis yang terkait dengan sistem imun, karena efektivitasnya yang tinggi pada jaringan kulit (Gong et al., 2002). Pada penelitian ini berdasarkan hasil PCR DNA 1 minggu p.i didapat bahwa secara kuantitatif promoter keratin terekspresi pada 3 jaringan, yaitu insang, limpa, dan otot dengan aktivitas lebih tinggi pada jaringan limpa. Promoter β-aktin juga terekspresi pada 3 jaringan, yaitu ginjal, insang, dan otot. Akan tetapi aktivitasnya lebih rendah. Sedangkan promoter heat shock hanya terekspresi pada 2 jaringan saja, yaitu ginjal dan otot. Sehingga diduga bahwa promoter keratin dimana pada jaringan limpanya mempunyai aktivitas lebih tinggi dibanding yang lain akan bekerja lebih baik dalam mengendalikan gen imunogenik dalam pencegahan infeksi virus KHV pada ikan mas. Adanya ekspresi gen GFP pada jaringan ginjal, insang, dan limpa menunjukkan bahwa plasmid DNA diduga didistribusikan ke berbagai jaringan melalui darah (Gome-Chiarri et al., 1999 dalam Zheng et al., 2006). Ginjal depan dan limpa merupakan organ yang berperan dalam pembentukan sel darah. Organ ini merupakan jaringan limfomyeloid utama (Rijkers, 1981). Menurut Ferguson (1989), ginjal ikan terletak retroperitoneal di bawah tulang vertebrae. Bagian anteriornya berfungsi sebagai organ limfomyeloid, sedangkan bagian posteriornya berfungsi sebagai organ ekskretori. Sedangkan limpa terletak dekat lengkung lambung pada belokan usus, berwarna merah gelap atau hitam, dibalut oleh lapisan tipis jaringan ikat. Pulpa putihnya banyak mengandung limfosit. Pulpa merah limpa banyak mengandung eritrosit dan mengandung melanomakrofag center (MMC) yang juga memainkan peranan yang penting dalam sistem imun ikan (Lamers & De Haas, 1985). Insang adalah salah satu organ target KHV selain ginjal. Dari kajian histopatologi insang ikan yang sakit menunjukkan bahwa terdapat sel-sel inflamasi di insang dan epitel insang mengalami hiperplasia. Sedangkan pada ginjal, tampak jelas bahwa virus ini mengakibatkan inflamasi pada renal tubul ginjal dan mengakibatkan sel-sel yang terinfeksi mengalami pembentukan badan inklusi pada inti selnya. Kemudian berdasarkan kajian dengan menggunakan indirect immunofluorescen microscopy terhadap insang, ginjal, otak dan hati diketahui bahwa virus KHV terakumulasi pada insang dan ginjal (Pikarsky et al. 2004). Otot mengandung lendir/mukus yang merupakan barier pertahanan tubuh yang bersifat fisik dan kimiawi. Patogen harus menembus barikade lendir/mukus. Lendir ini memiliki kemampuan untuk menggumpalkan antigen secara kimiawi. Setelah itu patogen harus mampu menerobos kulit maupun melewati sisik terlebih dahulu untuk ikan yang bersisik. Setelah bagian ini lolos maka patogen harus berhadapan dengan sistem pertahanan non-spesifik lainnya dalam tubuh (Anderson, 1974). Pada penelitian ini, ekspresi gen GFP mulai muncul 8 jam p.i. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Zheng et al. (2006) dimana ekspresi gen GFP muncul 36 jam p.i. Namun demikian, pola ekspresi gen yang dikendalikan oleh ketiga promoter adalah sama, yaitu pada awalnya rendah, meningkat, kemudian menurun hingga tidak terdeteksi lagi. Ekspresi gen GFP yang dikendalikan oleh ketiga promoter muncul hingga 2 bulan (60 hari) p.i. Kim et al. (2000) menyebutkan bahwa aplikasi vaksin DNA yang mengandung sisipan gen glikoprotein dapat menginduksi terbentuknya alpha/beta interferon pada ikan rainbow trout yang diuji tantang setelah 21 atau 70 hari pasca penginjeksian plasmid yang mengandung vaksin DNA. Alpha/beta interferon tersebut yang akan bertindak sebagai mediator untuk menginduksi perlindungan antiviral yang bersifat non-spesifik dan selanjutnya terbentuk pula respons imun yang bersifat spesifik sehingga proteksi yang diberikan akan berlangsung cukup lama karena respons imun yang terbentuk tidak hanya bersifat non spesifik tetapi juga bersifat spesifik, yaitu terhadap gen G (glikoprotein). Proteksi tersebut terjadi secara signifikan empat hari setelah vaksinasi selama 28 hari. Berdasarkan lama waktu munculnya ekspresi gen GFP dapat diduga jika aplikasi vaksin DNA menggunakan salah satu dari ketiga promoter tersebut akan mampu menginduksi respons imun pada ikan. Penggunaan vaksin pada ikan dapat dilakukan dengan berbagai metode, yaitu suntikan (injection), perendaman (immersion), dan melalui pakan (oral). Namun cara yang paling umum dan mudah adalah dengan cara injeksi melalui intraperitonial atau intramuskular. Injeksi intramuskular (IM) sederhana plasmid DNA yang telah dimurnikan dalam buffer netral lebih efisien diterapkan pada ikan daripada hewan tipe lain (Lorenzen et al., 2005). Menurut Ellis (1988) penggunaan vaksin melalui injeksi memiliki kelebihan, yaitu vaksin dapat masuk ke dalam tubuh ikan dengan jumlah yang tepat sehingga efektivitasnya terjamin. Sedangkan kekurangannya adalah tidak efisien digunakan pada ikan yang berukuran kecil dan jumlah yang banyak. Meskipun aplikasi melalui injeksi IM merupakan metode yang dapat dipertimbangkan dalam vaksinasi, akan tetapi pengembangan aplikasi dengan metode yang lain perlu terus dilakukan misalnya melalui perendaman atau melalui pencampuran dengan pakan (edible vaccine) dengan mempertimbangkan keamanan bagi lingkungan. Dari ekspresi gen GFP yang terjadi pada ikan mas, menunjukkan bahwa promoter keratin dapat direkomendasikan sebagai vektor dalam pembuatan vaksin DNA untuk menanggulangi infeksi KHV. Aplikasi vaksin DNA dilakukan dengan cara mengganti gen GFP dengan gen target tertentu misalnya gen imunogenik (glikoprotein). Oleh karena itu perlu diuji lebih lanjut untuk membuktikan hubungan waktu aktivitas promoter dengan waktu infeksi virus.