e:\warta vol 24(review)\review

advertisement
Review Penelitian Kopi dan Kakao 2008, 24(1), 34—52
Pujiyanto
PEMANFAATAN MIKORIZA DAN BAKTERI UNTUK
MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN
DI INDONESIA
Use of Mycorrhiza and Bacteria to Support Sustainable Agriculture
in Indonesia
Pujiyanto
Peneliti Tanah dan Air
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia
Jl. PB. Sudirman No. 90 Jember
Ringkasan
Meningkatnya kesadaran manusia terhadap terjadinya kerusakan lahan dan
lingkungan hidup yang disebabkan oleh aktivitas pertanian telah mendorong timbulnya
paradigma baru dalam sistem pertanian yang merupakan koreksi terhadap paradigma
sebelumnya. Dalam paradigma sebelumnya, pertanian dipandang efisien apabila
dapat memberikan produksi yang setinggi-tingginya dengan tingkat keuntungan
yang maksimum. Oleh karena itu dilakukan intensifikasi pertanian, yang berarti
memberikan input luar, yang umumnya merupakan sumberdaya tak terbarukan,
dalam volume sangat besar. Hal ini menyebabkan pengurasan potensi lahan dan
lingkungan abiotik maupun biotik melebihi kemampuan ekosistem tersebut untuk
memulihkannya. Akibatnya adalah terjadi degradasi lingkungan yang sangat mencemaskan,
dengan demikian keberlanjutan sistem pertanian tersebut tidak akan dapat berlangsung.
Salah satu contoh adalah penggunaan pupuk organik (jamur mikoriza dan bakteri) untuk
menggantikan sebagian atau seluruh fungsi pupuk buatan agar lebih menjamin keberlanjutan
sistem pertanian, utamanya pertanian di Indonesia yang memiliki ekosistem tropika basah
dan rawan terhadap degradasi.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa mikroorganisme, seperti jamur
mikoriza dan bakteri dapat digunakan secara efektif dalam mengurangi penggunaan pupuk
buatan. Substitusi fungsi pupuk buatan baik sebagian atau secara keseluruhan akan
mengurangi biaya produksi dan mengurangi degradasi lingkungan, sehingga keberlanjutan
sistem pertanian akan lebih terjamin. Jamur mikoriza, baik yang tergolong dalam
endomikoriza maupun ektomikoriza mampu menggantikan fungsi pupuk buatan atau paling tidak mengurangi volume penggunaannya. Meskipun terdapat beberapa spesies bakteri
yang merugikan tanaman, yaitu menjadi penyebab penyakit, atau pesaing unsur hara dan
air; cukup banyak spesies bakteri yang bermanfaat bagi tanaman, antara lain bakteri
penambat N, pelarut P, penghasil faktor tumbuh (PGPR) dan bakteri pelapuk bahan organik.
Pemanfaatan secara optimal jamur mikoriza dan bakteri yang bermanfaat tersebut
memerlukan pemahaman komprehensif tentang ekologinya, khususnya ekologi pada rizosfer,
dimana terjadi interaksi antara tanaman dengan mikrorganisme tersebut. Pada rizosfer
interaksi antar organisme dengan organisme lain maupun dengan faktor-faktor
34
Pemanfaatan mikoriza dan bakteri untuk mendukung pertanian bekelanjuan di indonesia
abiotik lebih intensif dibandingkan dengan pada media tanahnya (bulk soil). Secara
umum jamur mikoriza berinteraksi positif dan bekerja secara sinergis dengan bakteri
penambat N, bakteri pelarut P, maupun dengan bakteri penghasil PGPR sehingga
koinokulasi jamur mikoriza dengan ketiga kelompok bakteri tersebut lebih meningkatkan
pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan inokulasi tunggal, meskipun beberapa
kekecualian dari generalisasi tersebut ditemukan. Peningkatan pertumbuhan tanaman
tersebut umumnya dikaitkan dengan penyediaan unsur hara (khususnya N dan P)
yang lebih baik pada perlakuan koinokulasi, selain adanya aspek resistesi terhadap
penyakit/hama.
Summary
Increasing awareness on the continuing land degradation and their environment due to agricultural activities, lead to the new paradigm on agricultural
sustainability. The former paradigm was emphasized on maximum yield and profit,
ignoring their effect on land and environment qualities. Implementation of the former
paradigm was focused on agricultural intensification through application of
unrenewable resourches, such as: inorganic fertilizers and pesticides at great amount.
Excess application of inorganic fertilizers leading to environmental degradation on
site and off site. The actions brougt about degradation of land qualities, such as:
deminishing soil nutrients, and reduce diversity, activities and population of soil
organisms. The degradation went on for several years exceeded their resilience of
the land and environment. In the new paradigm of sustainable agriculture, natural
resourches were well managed according to their capability with minimum input
of unrenewable resources to meet human needs. This paper is a review of microorganisms use to reduce or replace entirely the need of inorganic fertilizers application to guarantie agricultural sustainability.
Research findings showed that several type of microorganisms, such as:
fungi, mycorrhiza, and bacteria could be applied effectively to reduce or substitute
inorganic fertilizers, leading to reduction of production cost, eliminate negative
side effect to environment and support sustainability. Mycorrhiza may reduce application of inorganic P and K. Several type of bacterias are usefull to fix nitrogen,
solubilize soil phosphate, and produce hormones to enhance plant growth. Optimum use of the microorganisms needs comprehensive understanding on their ecology to make sure that the microorganisms performed well, especially the ecology
of rizosfeer, on which the microorganisms in direct contact with plants. In the
rizosfeer zone, interaction among the microorganisms and the abiotic factors much
more intense than in bulk soil. Research findings on several plant showed that
single inoculation of mycorrhiza or bacteria have good result. On several plants,
co-inoculation with several type of microorganisms indicated better result than
single inoculation.
Key words: Sustainable agriculture, mycorrhiza, N-fixing bacteria, co-inoculation, solubilizing bacteria, plant growthpromoting rhizobacteria.
35
Pujiyanto
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan bagian dari
ekosistem tropika basah yang tergolong
sangat rentan terhadap degradasi jika
pengelolaanya tidak tepat. Ekosistem tropika
basah meliputi areal sekitar 1,5 milyar hektar
lahan dengan populasi manusia sekitar 2
milyar, yang tersebar di 60 negara. Dua
puluh lima persen areal tersebut terdapat di
Asia. Curah hujan berkisar antara 1500–
6000 mm/tahun dengan suhu lebih dari 18OC
sepanjang tahun. Jenis tanah yang dominan
adalah Ultisol dan Oksisol yang tergolong
tanah-tanah tua, terlapuk lanjut dan mempunyai tingkat kesuburan rendah (Lal, 1995).
Intensifikasi pertanian pada ekosistem
tropika basah adalah perubahan pola penggunaan lahan pada ekosistem tersebut yang
ditandai oleh meningkatnya penggunaan
sumberdaya lahan untuk produksi pertanian,
dari penggunaan lahan secara terputus oleh
periode puso menjadi penggunaan lahan
secara terus menerus (Giller; Beare; Lavelle;
Izac & Swift, 1997). Intensifikasi juga
ditandai oleh penggunaan pupuk dan pestisida
yang terus meningkat serta penggunaan
varietas unggul yang menguras lebih banyak
unsur hara dari dalam tanah. Intensifikasi
pertanian membawa dampak yang sangat
signifikan terhadap penyediaan makanan
maupun serat untuk kebutuhan manusia,
sehingga peningkatan jumlah penduduk yang
terus berlangsung hingga saat ini masih dapat
dicukupi kebutuhan sandang maupun
makannya. Keberhasilan intensifikasi pertanian tersebut juga membawa dampak
negatif berupa pengurasan unsur hara tanah
karena terangkut oleh hasil panen. Selama
ini pengurasan unsur hara biasanya
dikompensasi dengan pemberian pupuk
buatan untuk mendukung produksi yang
tinggi dan menahan laju degradasi tanah,
sehingga secara nasional volume penggunaan
pupuk buatan terus meningkat dari tahun ke
tahun. Dibutuhkan energi sangat besar untuk
memproduksi pupuk buatan (khususnya
pupuk N), yang umumnya kebutuhan energy tersebut diperoleh dari minyak bumi
yang tergolong sumberdaya tak terbarukan
(nonrenewable resources). Penggunaan
pupuk buatan serta input luar lainnya secara
besar-besaran menyebabkan dampak negatif
berupa kerusakan sumberdaya yang tidak
dapat diperbarui, dan menyebabkan polusi
sumber-sumber air yang berarti penurunan
kualitas lingkungan. Dalam rangka menekan
dampak-dampak negatif tersebut, dewasa ini
berkembang konsep pertanian berkelanjutan,
yaitu pengelolaan sumberdaya yang berhasil
untuk usaha pertanian guna memenuhi
kebutuhan manusia yang terus berubah
sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan
sumberdaya alam. Pertanian berkelanjutan
mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Mantap secara ekologi, yang berarti
kualitas sumberdaya alam dipertahankan
dan kemampuan agroekosistem secara
keseluruhan, dari manusia, tanaman dan
hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Kedua hal ini akan dipenuhi
jika tanah dikelola dengan baik dan
kesehatan tanaman maupun masyarakat
dipertahankan melalui proses biologis
(regulasi sendiri). Sumberdaya lokal
dipergunakan sedemikian rupa sehingga
kehilangan unsur hara, biomassa, dan
energi bisa ditekan sserendah mungkin
serta mampu mencegah pencemaran.
36
Pemanfaatan mikoriza dan bakteri untuk mendukung pertanian bekelanjuan di indonesia
Tekanannya adalah pada optimasi
penggunaan sumberdaya yang dapat
diperbarui.
b. Bisa berlanjut secara ekonomi, yang
berarti bahwa petani dapat menghasilkan
segala sesuatu untuk pemenuhan kebutuhan dan/atau pendapatan sendiri,
serta mendapatkan penghasilan yang
mencukupi untuk mengembalikan tenaga
dan biaya ang dikeluarkan. Keberlanjutan
ekonomi ini bisa diukur bukan hanya
dalam hal produk usaha tani yang langsung
namun juga dalam hal fungsi seperti
melestarikan sumberdaya alam dan
meminimalkan resiko.
c. Adil, yang berarti sumberdaya dan
kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa
sehingga kebutuhan dasar semua anggota
masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka
dalam penggunaan lahan maupun modal
yang memadai, bantuan teknis dan
peluang pemasaran terjamin. Semua
orang memiliki kesempatan untuk
berperan serta dalam pengambilan
keputusan, baik di lapangan maupun di
dalam masyarakat. Ketidakadilan dapat
menyebabkan kerusuhan sosial dapat
mengancam sistem sosial secara keseluruhan, termasuk sistem pertaniannya.
d. Manusiawi, yang berarti bahwa semua
bentuk kehidupan (tanaman, hewan, dan
manusia) dihargai. Martabat dasar semua
makluk hidup dihormati dan hubungan
serta institusi menggabungkan nilai
kemanusiaan yang bersifat mendasar,
seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri,
kerjasama dan rasa sayang. Integritas
budaya dan spiritualitas masyarakat dijaga
dan dipelihara.
37
e. Luwes, yang berarti masyarakat pedesaan
mampu menyesuaikan dengan perubahan
kondisi usaha tani yang berlangsung terus,
misalnya pertambahan penduduk,
kebijakan, permintaan pasar dan lain-lain.
Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan teknologi yang baru dan sesuai,
namun inovasi dalam arti sosial budaya
(Reijntjes, Haverkort and Waters-Bayers,
1992).
Mengacu pada konsep sistem pertanian
berkelanjutan tersebut, tulisan ini dimaksudkan untuk mengulas perkembangan hasilhasil penelitian dan pengembangan terbaru
dalam pemanfaatan mikroorganisme berguna
untuk menekan degradasi lingkungan
sehingga keberlanjutan usaha tani dapat
dijamin. Pemanfaatan mikroorganisme
secara optimal diharapkan dapat mengeliminasi atau setidaknya mengurangi
penggunaan masukan tak terbarukan dalam
sistem pertanian di Indonesia.
EK OLOG I MI KORI ZA
Mikoriza adalah merupakan asosiasi
simbiotik antara akar tanaman dengan jamur.
Secara umum mikoriza di daerah tropika
tergolong ke dalam dua tipe yaitu
ektomikoriza (ECM) dan endomikoriza/
arbuscular mycorrhiza (AM). Jamur
ektomikoriza pada umumnya tergolong ke
dalam kelompok Ascomysetes dan Basidiomycetes. Asosiasi simbiotik antara akar
tanaman dengan jamur mikoriza tersebut
menyebabkan terbentuknya luas serapan
yang lebih besar dan lebih mampu memasuki
ruang pori yang lebih kecil sehingga
meningkatkan kemampuan tanaman untuk
Pujiyanto
menyerap unsur hara, utamanya unsur hara
yang relatif tidak mobil seperti P, Cu, dan
Zn. Selain itu, juga menyebabkan tanaman
lebih toleran terhadap keracunan logam,
serangan penyakit khususnya patogen akar,
kekeringan, suhu tanah yang tinggi, kondisi
pH yang tidak sesuai serta cekaman pada saat
pemindahan tanaman (Munyanziza, Kehri,
and Bagyaraj, 1997). Ektomikoriza di daeah
tropika dicirikan oleh keragaman spesies
yang sangat tinggi. Di Asia Tenggara,
keragaman ektomikoriza yang sangat tinggi
umumnya ditemukan pada Dipterocarpaceae
(Smits cit Munyanziza et al., 1997).
Sedangkan AM terdapat pada sebagian besar
hutan tropika, tanaman tahunan dan rumputan serta pada hampir semua tanaman
pertanian. Peningkatan pertumbuhan
tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza
terutama melalui peningkatan serapan P,
di samping melalui mekanisme lainnya
(Howeler et al. cit Munyanziza et al., 1997).
Endomikoriza pada umumnya termasuk
ke dalam ordo Glomales (Zygomycetes),
yang terbagi ke dalam subordo Glominae
dan Gigasporinae. Di dalam membandingkan antar kedua kelompok tersebut lebih
bermanfaat apabila dilakukan pembandingan
efektivitas antarisolat murni daripada
pembandingan klasifikasinya (Morton cit
Jarstfer & Sylvia, 1993). Asosiasi simbiotik
antara jamur AM dengan tanaman inang
meyebabkan perubahan morfologi akar yang
berbeda dibandingkan dengan asosiasi
antara akar dengan ECM. Akar yang tak
berpigmen jika dikolonisasi AM akan
menjadi kuning karena adanya senescence
arbuskel. Hasil-hasil penelitian pada
berbagai jenis tanaman menunjukkan bahwa
inokulasi mikoriza mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman (akar maupun tajuk)
dan produksi tanaman, mengurangi infeksi
penyakit serta meningkatkan serapan
beberapa jenis hara, serta ketahanan
terhadap cekaman kekeringan (Ahmed et
al., 2000; Vidal et al., 2001; Zachee et al.,
2008; Kung’u et al., 2008)
Kondisi lingkungan tanah yang cocok
untuk perkecambahan biji juga cocok untuk
perkecambahan spora AM. Demikian pula
kondisi edafik yang dapat mendorong
pertumbuhan akar juga sesuai untuk
perkembangan hifa. Pertumbuhan hifa tidak
dipengaruhi oleh kadar P dalam larutan,
namun dipengaruhi oleh kadar P dalam
jaringan tanaman inang, eksudat akar dan
CO2 (Becard and Piche cit Jarstfer and
Sylvia, 1993). Jamur AM mempenetrasi epidermis akar melalui tekanan mekanis dan
aktivitas enzim, yang selanjutnya tumbuh
menuju korteks. Pertumbuhan hifa secara
eksternal terjadi jika hifa internal tumbuh dari
korteks melalui epidermis. Pertumbuhan hifa
secara eksternal tersebut terus berlangsung
sampai tidak memungkinkan terjadinya
pertumbuhan lagi. Bagi jamur mikoriza, hifa
eksternal berfungsi mendukung struktur
reproduksi serta untuk transportasi karbon
dan hara lainnya ke dalam spora, selain
fungsinya untuk menyerap unsur hara dari
dalam tanah untuk digunakan oleh tanaman.
Di dalam jaringan akar, mikoriza
membentuk arbuskel yang berfungsi sebagai
tempat pertukaran antara jamur mikoriza
dengan akar tanaman inang. Selain itu,
beberapa AM juga dapat membentuk vesikel
yang terbentuk melalui penggelembungan hifa
terminal. Pertumbuhan hifa, pembentukan
38
Pemanfaatan mikoriza dan bakteri untuk mendukung pertanian bekelanjuan di indonesia
dan senescence arbuskel serta pembentukan
vesikel berhubungan langsung dengan
pertumbuhan akar (Buwalda et al. cit Jarstfer
and Sylvia, 1993). Proporsi akar yang
dikolonisasi oleh jamur mikoriza dipengaruhi
oleh interaksi antara kondisi fisiologis akar
pada saat jamur AM menginfeksi dengan
dinamika pertumbuhan akar setelah
dikolonisasi. Peningkatan pertumbuhan akar
yang disebabkan oleh lebih tersedianya unsur
hara tidak menyebabkan penurunan panjang
akar yang dikolonisasi, tetapi jarak waktu
antara pertumbuhan akar dengan kolonisasi
dapat menyebabkan penurunan persentase
kolonisasi.
Ektomikoriza meliputi asosiasi yang
sangat beragam dan melibatkan banyak
spesies jamur. Jamur ECM pada umumnya
tergolong ke dalam kelompok Ascomycetes
dan Basidiomycetes (Trappe cit O’Dell,
Castellano, and Trappe, 1993). Jamur ECM
mudah dikenali tanpa melalui pewarnaan.
Hifa ECM tumbuh di sekitar dan diantara
epidermis dan korteks yang disebut dengan
Hartig net yang tidak merusak akar.
Jamur EM menunjukkan bermacammacam derajad spesifitas terhadap tanaman
inang. Banyak yang dapat berasosiasi dengan
bermacam-macam inang dan sebagian
lainnya hanya dapat berasosiasi dengan inang
yang spesifik. Adanya ECM menyebabkan
tanaman inang mampu melakukan transpirasi pada potensial air yang lebih rendah
sehingga fotosintesis dapat berlangsung lebih
efisien. Transpirasi dikendalikan oleh
kebutuhan evaporasi (evaporative demand),
pembukaan stomata dan potensial air. Fungi
tidak dapat mempengaruhi kebutuhan
evaporasi, tetapi dapat mempengaruhi
39
pembukaan stomata. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya aliran karbon ke akar yang
bermikoriza akan menunda kejenuhan CO2
di dalam mesofil, sehingga menunda
penutupan stomata. Selain itu, hifa jamur
mikoriza memiliki akses yang lebih baik
dengan meningkatnya volume tanah yang
dapat dieksploitasi serta lebih tingginya
kemampuan hifa untuk memasuki pori yang
lebih kecil. Dengan demikian absorbsi air
dapat terjadi di luar zona perakaran
(Dosskey at al. cit O’Dell et al., 1993). Selain
meningkatkan serapan air, ECM juga
memperkuat serapan unsur hara, utamanya
yang tidak mobil, sedangkan serapan logamlogam beracun dikurangi (Schramm cit
O’Dell et al., 1993). Jamur mikoriza juga
meningkatkan ketersediaan N dari sumber
organik bagi tanaman (Abuzinadah dan Read
cit O’Dell et al., 1993) serta mensuplai
tanaman inang dengan senyawa pendorong
pertumbuhan, seperti vitamin. Pemahaman
tentang interaksi antara mikroorganisme akan
sangat terbantu oleh pemahaman tentang
ekologinya, karena selain interaksi antar
mikroorganisma, juga terjadi interaksi dengan
lingkungannya. Seperti telah disinggung di
atas, mikoriza yang penting di daerah tropik
adalah AM (endomikoriza) dan ektomikoriza (ECM).
EK OLOG I
B AKTE RI
Bakteri merupakan mikroorganisme
yang dapat bermanfaat bagi tanaman, antara
lain melalui penyediaan unsur hara N dengan
cara menambatnya dari udara (kelompok
rhizobia), penyediaan unsur hara P melalui
pelarutan unsur P dari bentuk yang tidak
Pujiyanto
tersedia bagi tanaman menjadi bentuk yang
tersedia, antara lain melarutkan Al-P, Fe-P,
Ca-P dan mineralisasi P dalam bahan organik
(fitat). Chiara et al. (2008) menunjukkan
adanya pengaruh positif bakteri endofitik
terhadap pertumbuhan tanaman tembakau.
Penelitian lainnya menunjukkan adanya
pengaruh positif inokulasi bakteri berguna
dalam meningkatkan pertumbuhan berbagai
jenis tanaman, mencegah toksisitas tanaman
terhadap logam Pb dan Zn karena adanya
penurunan ketersediaan kedua jenis logam
yang meracun tersebut (Swedrzynska and
Sawicka.,2001; Estefanous and Sawan.,
2003; Wu et al., 2005; Bildirici and Yilmaz.,
2005; Bashan et al., 2008; Anjum, et al.,
2007). Selain itu, bakteri juga dapat
menghasilkan faktor tumbuh yang berpengaruh positif terhadap tanaman. Namun
demikian, beberapa jenis bakteri dapat
merugikan tanaman antara lain bakteri
penyebab penyakit, dan bakteri pesaing yang
mengimobilisasi unsur hara dan pesaing
dalam penyerapan air.
Dalam kondisi tanpa tanaman inang,
rhizobia (Rhizobium dan Bradyrhizobium)
sama dengan bakteri lainnya yang ada di
dalam tanah. Dalam keadaan hidup bebas,
rhizobia dihadapkan pada kondisi fisik,
kimia, dan biologi yang terjadi di dalam tanah,
serta harus berkompetisi dengan organisme
lainnya untuk memperoleh sumber energi,
hara dan kebutuhan hidup lainnya. Bakteri
di dalam tanah harus mampu hidup,
berkembang dan berkompetisi agar tetap
dapat bertahan. Lingkungan mikro tanah
dimana bakteri harus hidup tersebut
mempunyai karakteristik pH, Eh, suhu,
komposisi atmosfir, maupun ketersediaan air
yang sangat beragam dan dinamis serta
berbeda antara kondisi pada rizosfer dengan
bulk soil (Kilham, 1999; Metting, 1993;
Bolton et al., 1993). Jika bertemu dengan
akar dari tanaman inang yang reseptif,
rhizobia memperoleh kelebihan, karena
mempunyai kemampuan untuk menginfeksi
dan memasuki akar, dan selanjutnya
bekerjasama dalam pembentukan bintil agar
dapat berfungsi menambat N. Hasil
penelitian Bilen, Ataglu dan Kiziloglu
(2002) menunjukkan adanya peningkatan
serapan hara N-nitrat dan N-total dalam akar
dan daun serta peningkatan bobot kering
tanaman. Pemahaman tentang faktor ekologi
yang mengendalikan tanggapan terhadap
inokulasi legum akan menuntun untuk
melakukan seleksi terhadap produk baru, dan
pada saat yang sama memperbaiki model
kuantitatif untuk menduga manfaat dan biaya
inokulasi pada kondisi lingkungan yang
berbeda-beda (Keyser, Somasegaran and
Bohlool, 1993).
Kondisi lingkungan yang dapat
menimbulkan masalah bagi rhizobia adalah
tanah marginal dengan curah hujan rendah,
suhu ekstrim, tanah masam dengan status
hara rendah, dan tanah yang rendah
kemampuan retensi airnya. Rhizobia
memiliki variasi toleransi terhadap faktorfaktor utama tersebut, sehingga seleksi untuk
memperoleh strain yang terbaik perlu
didorong. Keyzer dengan kelompok kerjanya
telah berhasil memperoleh strain yang toleran
kemasaman maupun aluminium serta
mampu membentuk bintil lebih banyak
dibandingkan dengan strain yang peka.
Pengaruh faktor abiotik yang spesifik, seperti
kadar bahan organik dan liat, pH dan
40
Pemanfaatan mikoriza dan bakteri untuk mendukung pertanian bekelanjuan di indonesia
kejenuhan basa jauh kurang penting dibandingkan dengan pengaruh interaktifnya.
Dari hasil penelitian di banyak tempat yang
telah dilaporkan oleh banyak peneliti,
diketahui bahwa rhizobia eksotik jika
diaplikasikan pada tanah tidak steril, ukuran
dan populasinya sering menurun secara tajam
(Keyser et al., 1993).
Bakteri penambat N mempunyai andil
yang sangat besar terhadap penyediaan unsur
hara N bagi tanaman. Secara global fiksasi
N yang dilakukan oleh legum merupakan
sumber utama N yang ada di biosfer,
meskipun perkiraan tentang jumlah aktualnya
sangat beragam. Di daerah tropik, legum
merupakan bagian integral dari ekosistem
hutan, padang rumput dan pertanian. Untuk
memecahkan masalah kemiskinan, mengimbangi pertumbuhan populasi penduduk dan
memperbaiki standar hidup, maka petani di
daerah tropik harus meningkatkan produksinya tanpa meningkatkan masukan. Sistem
pertanian dengan masukan tinggi seperti di
negara maju kiranya kurang sesuai untuk
daerah tropika. Proses biologi mampu
meningkatkan produktivitas, mengurangi
kehilangan tanah, dan memperbaiki kondisi
edafik yang buruk. Pertimbangan penting
dalam optimasi fiksasi N melalui simbiosis
legum dengan rhizobia adalah tanggapan dari
simbion mikro tersebut dan bintil terhadap
dinamika lingkungan di dalam tanah.
Pemahaman yang baik tentang ekologi
rhizobia adalah krusial untuk memperoleh
keberhasilan inokulasi (Keyser, et al., 1993).
Meskipun penambatan N secara biologi
bukan monopoli bakteri, namun peranan
bakteri adalah sangat besar, utamanya yang
berasosiasi dengan legum, meskipun peranan
41
Frankia, Cyanobacteria, dan penambat N
yang hidup bebas dapat menambat N dalam
jumlah banyak pada kondisi spesifik. Oleh
karena itu, studi tentang bakteri penambat
N utamanya, yang bersimbiosis dengan
legum telah banyak dilakukan. Bakteri
penambat N yang berasosiasi dengan legum
mempunyai kapasitas produksi N yang lebih
tinggi dibandingkan lainnya. Seperti halnya
mikroorganisme lain, bakteri penambat N
dipengaruhi oleh kondisi fisik, kimia dan
biologi dari lingkungan, dan harus berkompetisi dengan mikroorganisme lainnya
untuk memperoleh faktor tumbuh yang
terbatas. Bakteri yang berasosiasi simbiotik
dengan tanaman legum, pembentukan
bintilnya bersifat spesifik. Melalui asosiasi
simbiotik tersebut bakteri memperoleh
sumber energi dan tempat tumbuh yang lebih
baik, sedangkan tanaman akan memperoleh
unsur hara N dan faktor tumbuh, sehingga
keduanya memperoleh manfaat dari asosiasi
tersebut (Kahindi, Woomer, George,
Moreira, Karanja & Giller, 1997). Rhizobium dan Bradyrrhizobium japonicum
mempunyai toleransi yang rendah terhadap
cekaman yang disebabkan oleh pH rendah
pada tanah yang pelapukannya lanjut, tetapi
beradaptasi cukup baik pada kondisi semiarid (Woomer cit Kahindi et al., 1997).
Selain bakteri penambat N, terdapat
beberapa macam bakteri pelarut fosfat yang
mempunyai peranan sangat besar pula dalam
membantu penyediaan unsur hara bagi
tanaman. Bakteri pelarut fosfat mampu
merubah bentuk-bentuk fosfat yang tidak
tersedia bagi tanaman menjadi bentuk
terlarut sehingga tersedia bagi tanaman,
antara lain melarutkan fosfat yang terikat oleh
Pujiyanto
aluminium, besi maupun kalsium serta
mampu memineralisasi fosfat organik,
misalnya fitat. Bakteri pelarut fosfat tersebut
antara lain adalah Azospirillum spp., Bacillus spp., Pseudomonas spp., Enterobacter
spp. (Toro, Azcon and Herrera, 1996).
Mengingat keberadaan bakteri pelarut fosfat
tersebut di dalam tanah dipengaruhi oleh
kondisi biologi, fisik maupun kimia tanah,
maka beberapa penelitian telah dilakukan
untuk mengetahui pengaruh interaksi antara
bakteri pelarut fosfat tersebut dengan
mikoriza.
Terdapat jenis bakteri lainnya yang juga
bermanfaat bagi tanaman, yaitu bakteri
penghasil faktor tumbuh atau plant growthpromoting rhizobacteria (PGPR) yang dapat
menghasilkan senyawa pendorong pertumbuhan antara lain biotin, tiamin, niacin,
pantotenat, kaolin, inositol, piridoksin,
p-amino benzoic acid, n-methyl nicotinic
acid (Bolton, Fredrickson and Elliot, 1993),
Giberelic acid (GA), sitokinin dan Indole
Asetic Acid (IAA) (Azcon, 1993). Bakteri
penghasil faktor tumbuh antara lain adalah
Pseudomonas cepacia, P. aeruginosa,
P. fluorescens, dan P. putida (Germida &
Walley, 1996). Interaksi akar dengan rhizobia terjadi pada tingkat gen, yaitu melalui
pemberian sinyal untuk mengaktifkan gen
yang bertanggung jawab pada simbiosis
yang terjadi pada tahap awal infeksi.
Sayangnya pengetahuan tentang faktor
lingkungan yang mempengaruhi tahap
infeksi tersebut masih sangat sedikit. Proses
infeksi barangkali merupakan tahap yang
paling peka cekaman lingkungan, utamanya
cekaman kemasaman dan salinitas. Telah
banyak peneliti yang menunjukkan adanya
kompetisi antarrhizobia dalam mengokupansi akar dan membentuk bintil. Setelah
legum dinfeksi oleh suatu strain rhizobia
maka infeksi berikutnya akan sangat rendah,
bahkan jika dipakai strain yang sama juga
akan terjadi penurunan yang tajam dari
infeksi kedua tersebut (Keyser et al., 1993).
PE MANF AATA N MI KORI ZA
DEN GAN BAKT ERI SECA RA
BERSAMA
Dalam rangka pemanfaatan mikroorganisme untuk membantu peningkatan
pertumbuhan dan produksi tanaman, telah
banyak dilakukan studi inokulasi ganda
antara dua kelompok organisme yaitu
mikoriza dan bakteri penambat N, bakteri
pelarut fosfat dan bakteri penghasil faktor
tumbuh, baik yang dilakukan secara in vitro,
dalam tanah steril, ataupun di lapangan.
Pengaruh interaksi tersebut perlu dipertimbangkan karena asosiasi antara tanaman,
mikoriza dan bakteri, tidak hanya berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman, tetapi juga berpengaruh
terhadap fisiologi ketiga organisme tersebut.
Hasil penelitian Gerhardson, Alstrom and
Ramert (2008) menunjukkan bahwa inokulasi ganda bakteri dan jamur pada akar
tanaman dapat memberikan respon yang
positif, negatif atau netral. Oleh karena itu
untuk memperoleh manfaat yang maksimum
pada pertumbuhan tanaman dari kedua
organisme yang diinokulasikan tersebut,
pemahaman interaksi antar keduanya,
terutama pada kondisi tanah tidak steril,
sangat diperlukan. Mengingat interaksi
antarorganisme tersebut sangat spesifik,
42
Pemanfaatan mikoriza dan bakteri untuk mendukung pertanian bekelanjuan di indonesia
tergantung spesies/strain bakteri, spesies/
strain jamur mikoriza, spesies/kultivar
tanaman dan lingkungan, maka pemahaman
interaksi yang sangat spesifik tersebut dapat
menjadi kunci keberhasilan pemanfaatan
mikoriza dan bakteri secara bersamaan.
Dalam bab ini disajikan interaksi antara
mikoriza dengan bakteri penambat N, bakteri
pelarut fosfat dan bakteri penghasil faktor
tumbuh.
Inokulasi Jamur Mikoriza dengan
Bakteri Penambat N
Penelitian lapangan inokulasi G.
mosseae pada tanaman kedelai telah
dilakukan oleh Ganry, Diem & Dommergues
(1982). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
inokulasi G. mosseae menyebakan berkurangnya serapan N asal pupuk oleh
tanaman kedelai. Penurunan serapan N asal
pupuk tersebut terjadi karena meningkatnya
serapan N asal bakteri. Fenomena tersebut
menunjukkan adanya sinergi oleh mikoriza
dalam fiksasi N dari udara. Dari analisis
jaringan tanaman juga tampak adanya
peningkatan unsur N dan P sebagai akibat
inokulasi jamur VAM tersebut. Peningkatan
serapan hara tersebut selanjutnya berpengaruh terhadap peningkatan indeks
panen tanaman kedelai.
Adanya interaksi antara jamur AM (G.
mosseae) dengan bakteri penambat N
(Rhizobium) pada tanaman alfalfa
(Medicago sativa) dilaporkan oleh Azcon
and Al-Atrash (1997). Bobot kering alfalfa
dan toleransinya terhadap salinitas tanah
meningkat jika diinokulasi G. mosseae. Selain
itu adanya mikoriza juga menyebabkan
43
meningkatnya pembentukan bintil oleh
Rhizobium. Pada salinitas rendah maupun
tinggi, pembentukan bintil pada tanaman
yang diinokulasi jamur mikoriza lebih tinggi
daripada yang tidak diinokulasi jamur
mikoriza. Hal ini terjadi karena adanya
perlindungan secara fisiologis oleh mikoriza
terhadap bakteri penambat N tersebut,
sehingga bakteri lebih tahan terhadap
salinitas yang lebih tinggi. Mekanisme
perlindungan tersebut terjadi melaui
akumulasi solute atau melalui pengaturan laju
fotosintesis. Pada salinitas lebih tinggi,
fiksasi N oleh bakteri tidak dapat
berlangsung dengan kapasitas penuh, namun
demikian tanaman masih mampu memenuhi
kebutuhan unsur N tersebut melalui
penyerapan yang lebih besar dari larutan
tanah karena adanya hifa eksternal dari
mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa
tanaman bermikoriza lebih mampu memanfaatkan unsur hara yang tersedia di dalam
tanah dibandingkan dengan tanaman tidak
bermikoriza.
Kajian simbiosis segitiga (tripartite)
antara jamur mikoriza (Glomus mosseae,
G. fasciculatum, G. macrocarpum,
Gigaspora gilmorei, G. margarita,
Scutellospora calospora dan Endogone
duseii) dengan bakteri penambat N
(Bradyrhizobium sp. (vigna) strain S 24)
dan tanaman Vigna radiata dilaporkan oleh
Saxena, Rathi and Tilak (1997). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Bradyrhizobium sp. (vigna) strain S 24
berinteraksi berbeda-beda terhadap setiap
spesies mikoriza dan menyebabkan terjadinya variabilitas dalam pembentukan bintil.
Hal ini menunjukkan adanya spesifitas antar
Pujiyanto
organisme yang berinteraksi tersebut.
Bradyrhizobium sp. (vigna) strain S 24 jika
berpasangan dengan Glomus mosseae,
G. fasciculatum dan S. calospora adalah
kompatibel dan sinergis dan berdampak
positif terhadap tanaman, sedangkan jika
berpasangan dengan E. duseii tidak
kompatibel dan berdampak negatif terhadap
tanaman. Pengaruh kedua mikroorganisme
tersebut terhadap pertumbuhan tanaman
adalah bersifat tidak langsung. Hubungan
langsung antara mikroorganisme dengan
tanaman adalah berupa meningkatnya
pembentukan bintil, meningkatnya infeksi,
serta meningkatnya kolonisasi jamur
mikoriza pada akar. Okupasi bintil dan
kolonisasi akar yang maksimum dicapai pada
pasangan Bradyrhizobium dengan Glomus
mosseae, G. fasciculatum dan S. calospora.
Aktivitas jamur mikoriza dan bakteri saling
terpengaruh satu sama lainnya. Jamur
mikoriza yang mengkolonisasi akar merubah
fisiologi tanaman dan mampu merubah pola
eksudasinya. Eksudat yang dilepaskan
tanaman mengandung sinyal pembentukan
bintil, sehingga strain rhizobia yang cepat dan
memberi tanggapan terhadap sinyal tersebut
akan mendominasi dan menjadi strain yang
paling kompetitif. Bethlenfalvay, Andrade &
Azcon-Aguilar (1997) juga menunjukkan
bahwa interaksi antara jamur mikoriza
dengan bakteri dipengaruhi oleh adanya
mikroorganisme lain. Pertumbuhan tanaman
meningkat dengan adanya G. mosseae. Jika
tanaman bermikoriza tersebut diinokulasi
bakteri Bacillus sp. maka pertumbuhan
tanaman akan lebih terhambat dan kolonisasi
jamur mikoriza pada akar tertekan. Bacillus sp. tersebut juga menekan pembentukan
bintil oleh bakteri penambat N (Rhizobium).
Rahman and Parsons (1997) melaporkan hasil penelitian inokulasi jamur
mikoriza Glomus mosseae dan bekteri
Azorhizobium caulinodans pada tanaman
Sesbania rostrata. Kesimpulan hasil
penelitian tersebut adalah koiinokulasi jamur
mikoriza bersama dengan bakteri tersebut
nyata menyebabkan pertumbuhan tanaman
yang lebih baik dibandingkan dengan
inokulasi jamur mikoriza saja atau bakteri
saja. Hal ini menunjukkan adanya sinergi
antara jamur mikoriza dengan bakteri
penambat N dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman inang. Serapan unsur
hara N, P, dan K, yang dicerminkan oleh
kadar hara tersebut dalam tanaman, nyata
lebih tinggi pada perlakuan koinokulasi
dibandingkan dengan inokulasi tunggal.
Infeksi jamur mikoriza pada akar diperkuat
dengan adanya bakteri penambat N yang
diinokulasikan. Bethlenvalvay, Cantrel,
Mihara & Schreiner (1999) menyatakan
bahwa pertumbuhan hifa dan kolonisasi
akar oleh jamur mikoriza meningkat jika
tanaman kedelai diinokulasi dengan bakteri
penambat N, Bradyrhizobium japonicum.
Inokulasi Jamur Mikoriza dengan
Bakteri Pelarut Fosfat
Interaksi antara dua spesies jamur
mikoriza Glomus mosseae dan G. fasciculatum dengan bakteri pelarut fosfat
Azospirillum spp., Pseodomonas spp., Bacillus spp., dan Enterobacter spp. pada
tanaman legum Pueraria phaseolides telah
diteliti oleh Toro et al, (1996) dan Toro
et al. (1997). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa secara umum simbiosis
antara tanaman, mikoriza dan bakteri pelarut
44
Pemanfaatan mikoriza dan bakteri untuk mendukung pertanian bekelanjuan di indonesia
fosfat tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan dan serapan nutrisi tanaman.
Kondisi tanaman yang lebih baik tersebut
terjadi karena bakteri yang diinokulasikan
mampu melarutkan fosfat dari bentuk terikat
sehingga tidak tersedia bagi tanaman menjadi
bentuk terlarut yang tersedia bagi tanaman
diikuti oleh serapan yang lebih intensif
karena adanya mikoriza. Selain itu, interaksi
segi tiga yang positif tersebut terjadi karena
adanya pengaruh fisiologis yang berkaitan
dengan asimilasi karbon. Pelarutan fosfat
oleh bakteri pelarut fosfat berlangsung
karena bakteri pelarut fosfat melepaskan
senyawa organik (asam-asam organik) yang
mampu membuat kation-kation pengikat P
menjadi tidak aktif karena berikatan dengan
senyawa organik yang dilepaskan oleh
bakteri. Sifat asam organik tersebut lebih
penting dibandingkan jumlahnya. Efektivitas
asam-asam organik tersebut tergantung pada
kondisi lingkungan mikro di dalam tanah.
Jika tanah tempat tumbuh tanaman tersebut
mempunyai kation-kation yang sangat
banyak dan mempunyai kemampuan fiksasi
P sangat besar, maka inokulasi bakteri pelarut
fosfat tidak akan bermanfaat.
Jamur mikoriza yang diinokulasikan
mampu merubah fisiologi tanaman, sehingga
eksudat tanaman bermikoriza akan berbeda
dengan tanaman yang tidak bermikoriza.
Spesies jamur mikoriza yang berbeda juga
akan memberikan pengaruh yang berbeda
terhadap tanaman. Seperti halnya pada
interaksi antara jamur mikoriza dengan
bakteri penambat N, interaksi antara jamur
mikoriza dengan bakteri pelarut fosfat juga
bersifat spesifik, tergantung pada spesies/
strain jamur mikoriza, spesies/strain bakteri,
45
dan spesies/kultivar tanamannya. Azospirillum sp. 1, Bacillus sp. 1 dan Enterobacter
sp. 1 maupun sp. 2 berinteraksi positif
dengan G. mosseae, sedangkan jika dengan
G. fasciculatum interaksinya negatif.
Pseudomonas sp. 1 jika berpasangan dengan
G. fasciculatum akan berinteraksi positif,
sebaliknya jika berpasangan dengan G.
mosseae interaksinya netral (tidak berinteraksi).
Selain dapat berinteraksi positif dengan
mikoriza, bakteri pelarut P juga mampu
berinbteraksi positif dengan bakteri pelarut
K. Koinokulasi kedua jenis bakteri tersebut
mampu meningkatkan serapan kedua jenis
unsur hara tersebut maupun pertumbuhan
tanaman indikatornya (Han, Supanjani &
Lee., 2006).
Inokulasi Jamur Mikoriza dengan
Bakteri Penghasil Faktor Tumbuh
Beberapa spesies bakteri yang berada
di dalam tanah dapat meghasilkan faktor
tumbuh yang mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Kelompok bakteri
ini disebut plant growth-promoting
rhizobacteria atau disingkat PGPR
(Kloepper, 1993). Interaksi antara PGPR
Pseudomonas putida dengan jamur VAM
Glomus fasciculatum pada tanaman clover
telah diteliti oleh Meyer and Linderman
(1986). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa inokulasi P. putida atau jamur VAM
dapat meningkatkan pertumbuhan tajuk
tanaman clover dibandingkan kontrol tanpa
inokulasi setelah tanaman berumur 12
minggu. Namun demikian peningkatan bobot
kering akar hanya nyata pada perlakuan
Pujiyanto
inokulasi bersama P. putida dengan jamur
VAM. Bobot kering tajuk yang diinokulasi
P. putida dengan jamur VAM nyata lebih
baik dibandingkan dengan yang diinokulasi
P. putida saja atau jamur VAM saja.
Pembentukan bintil juga meningkat dengan
inokulasi P. putida saja atau jamur VAM
saja, namun peningkatannya menjadi lebih
besar lagi jika dilakukan koinokulasi dengan
keduanya. Inokulasi P. putida dapat meningkatkan kolonisasi jamur VAM dari 7%
menjadi 23% pada tanaman umur 6 minggu,
namun ketika tanaman telah berumur 12
minggu, kolonisasinya sama dengan tanaman
yang tidak diinokulasi P. putida. Populasi
P. putida pada rizosfer tidak berbeda antara
tanaman yang diinokulasi jamur VAM
maupun yang tidak diinokulasi dengan jamur
tersebut. Konsentrasi Fe, Cu, Al, Zn, Co
dan Ni nyata lebih besar pada tanaman yang
diinokulasi P. putida bersama dengan jamur
VAM dibandingkan yang diinokulasi P.
putida saja atau jamur VAM saja. Hasil
penelitian ini menunjukkan adanya interaksi
positif antara P. putida, jamur VAM dan
tanaman. Keunggulan koinokulasi P. putida
dan jamur VAM terjadi karena: (a) infeksi
jamur VAM lebih cepat terjadi karena
adanya P. putida, sehingga manfaatnya
simbiosis tersebut lebih cepat diperoleh
tanaman, (b) meningkatnya serapan unsur
hara yang dilakukan oleh mikoriza terjadi
karena P. putida mampu melarutkan
beberapa unsur hara, (c) adanya kontribusi
kedua organisme tersebut terhadap pembentukan dan aktivitas pembentukan bintil.
Germida and walley (1996) telah
melakukan penelitian inokulasi PGPR
Pseudomonas cepacia, P. aeruginosa, P.
fluorescens dan P. putida pada tanaman
gandum yang bermikoriza dan mengevaluasi
hasil interaksinya. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa indeks panen gandum
dapat naik atau turun tergantung spesies
PGPR yang diinokulasikan. Hal ini disebabkan oleh adanya spesifitas yang tinggi
antara tanaman dengan genotipe bakteri
dalam kaitan kemampuannya untuk mendorong pertumbuhan. Kolonisasi akar oleh
jamur mikoriza nyata dipengaruhi oleh
inokulasi PGPR. Secara umum, sebagian
besar PGPR yang diuji menurunkan
kolonisasi akar oleh jamur mikoriza pada
lokasi penelitian di Aberdeen, sedangkan di
lokasi Hagen PGPR yang diuji umumya
meningkatkan kolonisasi akar. Hal ini
menunjukkan adanya pengaruh kuat dari
lingkungan terhadap interaksi tersebut.
Pengaruh ekstrak PGPR terhadap jamur
mikoriza pada tanaman Hedysarum
coronarium dilaporkan oleh Azcon (1993).
Ekstrak PGPR yang mengandung GA,
sitokinin dan IAA ternyata mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman, baik
yang bermikoriza maupun yang tidak
bermikoriza. Inokolasi jamur mikoriza Glomus mosseae nyata meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan kontrol,
namun peningkatan pertumbuhan tanaman
tersebut akan lebih tinggi lagi apabila ditambah dengan perlakuan ekstrak PGPR.
Selain berinteraksi dengan ketiga
kelompok bakteri yang bermanfaat bagi
tanaman tersebut, mikoriza yang berasosiasi
dengan tanaman juga berinteraksi dengan
bakteri pelapuk bahan organik, bakteri
penyebab penyakit dan kelompok bakteri
lainnya. Namun karena keterbatasan pustaka
pendukung, maka interaksi dengan ketiga
46
Pemanfaatan mikoriza dan bakteri untuk mendukung pertanian bekelanjuan di indonesia
kelompok bakteri yang disebut terakhir
tersebut tidak disajikan dalam ulasan ini.
Faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi keberhasilan inokulasi
Sebagai bagian dari penghuni tanah,
aktivitas kehidupan mikoriza maupun bakteri
yang ada di dalam tanah sangat dipengaruhi
oleh lingkungan mikro tanah, termasuk di
dalamnya adalah interaksi antara kedua
mikroorganisme tersebut. Lingkungan mikro
tanah adalah kondisi fisik dan kimia dimana
sel, populasi dan komunitas berada pada
waktu tertentu. Lingkungan mikro tanah
meliputi koloid tanah, kondisi diffuse double
layer (DDL), ketersediaan air, suhu, sinar,
pH, Eh, kondisi fisik dan kimia larutan tanah,
serta atmosfer tanah. Bakteri dan jamur
mikoriza yang mempengaruhi pertumbuhan
tanaman berada pada rizosfer yang kondisinya berbeda dengan bulk soil. Kondisi
lingkungan mikro sangat heterogen dan
dinamik, terutama disebabkan oleh dinamika
air dan udara di dalam tanah yang dapat
berubah secara cepat, serta adanya aktivitas
organisme itu sendiri (Metting, 1993).
Faktor lingkungan yang paling banyak
diteliti adalah status hara tanah karena
pengaruh pemberian pupuk yang bervariasi,
baik jenis maupun dosisnya. Secara umum
terdapat korelasi negatif antara pemberian
pupuk N dengan fiksasi N oleh bakteri
penambat N dan korelasi negatif antara
pemberian pupuk P dengan kolonisasi akar
oleh jamur mikoriza. Dengan demikian,
pemberian pupuk N maupun P cenderung
mengurangi interaksi antara jamur mikoriza
dengan bakteri ditinjau dari responnya oleh
47
tanaman. Pemberian pupuk N cenderung
menyebabkan penurunan proporsi N asal
fiksasi bakteri yang dimanfaatkan oleh
tanaman. Jika kadar unsur hara N maupun
P di dalam tanah sudah cukup tinggi karena
pemberian pupuk, maka tanaman akan lebih
banyak memanfaatkan unsur hara asal pupuk
tersebut (Ganry et al.,1982; Toro, et al.,
1996).
Selain faktor-faktor abiotik tersebut,
interaksi antara jamur mikoriza dengan
bakteri juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
biotik, seperti kesesuaian antara mikroorganisme yang diinokulasikan dengan
tanaman inangnya (Ocampo, 1986; Fontenla, Garcia-Romera & Ocampo, 1999;
Schreiner & Betlenfalvay, 1996; Bethlenfalvay, Cantrel, Mihara and Schreiner, 1999),
adanya jamur lain (MCAlliester, GarciaRomera, Godeas and Ocampo, 1994; Meyer
and Kinderman, 1986b, Calver, Barea, and
Pera, 1992; Chu-Chou, Guo, An, Hendrix,
Ferris, Siegel, Dougherty and Burrus, 1992),
adanya fauna pemangsa hifa mikoriza
(Klironomos & Moutoglis, 1999), sistem
budidaya, seperti pola tanam, pengolahan
tanah, dan pengapuan (Hammel, Dalpe,
Lapierre, Simard & Smith, 1996; Harikumar
& Bagyaraj, 1996).
KESIM PU LAN
Hasil-hasil penelitian tersebut diatas
menunjukkan bahwa beberapa mikroorganisme (jamur mikoriza dan bakteri)
dapat digunakan secara efektif dalam
mengurangi penggunaan pupuk buatan
yang merupakan sumberdaya alam tak
terbarukan. Penggunaan pupuk buatan,
Pujiyanto
apalagi jika dilakukan secara tidak
bijaksana, dapat menyebabkan degradasi
lingkungan, baik pada lokasi yang diberi
pupuk (on site) maupun di lokasi lain/tempat
akumulasi (off site). Substitusi fungsi pupuk
buatan baik sebagian atau secara
keseluruhan akan mengurangi biaya
produksi dan mengurangi degradasi
lingkungan, sehingga keberlanjutan sistem
pertanian akan lebih terjamin, utamanya
pada ekosistem tropika basah di Indonesia
yang sangat rentan terhadap ketidaktepatan
pengelolaan.
Jamur mikoriza, baik yang terolong
dalam endomikoriza maupun ektomikoriza
mampu menggantikan fungsi pupuk buatan
atau paling tidak mengurangi volume
penggunaannya. Meskipun terdapat beberapa
spesies bakteri yang merugikan tanaman,
yaitu menjadi penyebab penyakit, atau
pesaing unsur hara dan air; cukup banyak
spesies bakteri yang bermanfaat bagi
tanaman, antara lain bakteri penambat N,
pelarut P, penghasil faktor tumbuh dan
bakteri pelapuk bahan organik. Pemanfaatan
secara optimal jamur mikoriza dan bakteri
yang bermanfaat tersebut memerlukan
pemahaman komprehensif tentang ekologinya, khususnya ekologi pada rizosfer, dimana
terjadi interaksi antara tanaman dengan
mikrorganisme tersebut. Pada rizosfer
interaksi antarorganisme dengan organisme
lain maupun dengan faktor-faktor abiotik
lebih intensif dibandingkan dengan bulk soil.
Interaksi antara jamur mikoriza dengan
organisme lain yang sudah banyak diteliti
umumnya melibatkan jamur endomikoriza,
sedangkan pada jamur ektomikoriza relatif
masih belum banyak hasil penelitian yang
dipublikasikan. Secara umum jamur AM
berinteraksi positif dan bekerja secara
sinergis dengan bakteri penambat N, bakteri
pelarut P, maupun dengan PGPR sehingga
koinokulasi jamur AM dengan ketiga
kelompok bakteri tersebut lebih meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan
dengan inokulasi tunggal, meskipun beberapa
kekecualian dari generalisasi tersebut ditemukan. Peningkatan pertumbuhan tanaman tersebut umumnya dikaitkan dengan
penyediaan unsur hara (khususnya N dan
P) yang lebih baik pada perlakuan koinokulasi, sedangkan aspek resistesi terhadap
penyakit/hama sangat jarang dibahas.
D AFTAR PUSTAK A
Ahmed, F.A.; S. O. Yagoub & E. A. E. Elsheikh1
(2000). Effects of mycorrhizal inoculation and phosphorus application on
the nodulation, mycorrhizal infection
and yield components of faba bean
grown under two different watering
regimes. Khartoum Journal of Agricultural Sciences, 1,13—151.
Anjum, M.A.; M. R. Sajjad; N. Akh.r.; M.A.
Qureshi; A. Iqbal; A. R. Jami & M.
Hasan (2007). Response of cotton to
plant growth promoting Rhizobacteria
(pgpr) inoculation under Different levels of nitrogen. J. Agric. Res., 45,
135—143.
Azcon, R. (1993). Growth and nutrition of nodulated mycorrhizal and non-mycorrhizal
Hedysarum coronarium as a result of
treatment with fractions from a plant
growth-promoting rhizobacteria. Soil.
Biol. Biochem., 25, 1037–1042.
Azcon, R. & F. El-Atrash (1997). Influence of
arbuscular mycorrhizae and phospho-
48
Pemanfaatan mikoriza dan bakteri untuk mendukung pertanian bekelanjuan di indonesia
rus fertillization on growth, nodulation and N2 fixation (15N) in Medicago
sativa at four salinity levels. Biol.
Fertil. Soils., 24, 81 – 86.
International Conference On Sustainable Land Use And Management.
Çanakkale. http://www.toprak.org.tr/
bildirican.htm
Bashan, Y.; M. Moreno; M.E. Puente; G.
Holguin; P. Vazquez; E. Troyo & B. R.
Glick. Inoculation of marine plants
with marine plant growth-promoting
Bacteria and halotolerant azospirillum
- a novel Approach of employing pgpbs
for environmental use and Seawater
agriculture. http://www.bashanfoundation. org/ gmaw eb/pdfs/ inoculation.pdf
Calvet, C.; J.M. Barea & J. Pera (1992). In vitro
interactions between vesicular-arbuscular mycorrhizal fungus Glomus
mosseae and saprophytic fungi isolated from organic substrates. Soil.
Biol. Biochem., 24, 775–780.
Bethlenfalvay, G.J; G. Andrade & C. AzconAguilar (1997). Plant and soil responses to mycorrhizal fungi and
rhizobacteria in nodulated or nitratefertillized peas (Pisum sativum L.).
Biol. Fertil. Soils., 24, 164–168.
Bethlenfalvay, G.J.; I.C. Cantrel; K.L. Mihara
& R.P. Schreiner (1999). Relationships between soil aggregation and mycorrhizae as influenced by soil biota
and nitrogen nutrition. Biol. Fertil.
Soils., 28, 356–363.
Bildirici, N. & N. Yilmaz (2005). The effect of
nitrogen and phosphorus doses and
bacteria inoculation (Rhizobium
phaseoli) on the yield and yield components of field beans (Phaseolus vulgaris L.). Journal of Agronomy, 4,
207–215.
Bolton, Jr. H., J.K. Fredrickson and L.F. Elliot.
1993. Microbial ecology of the
rizosfeer. p. 27 – 64. In: F.B. Metting
Jr. (eds). Soil Microbial Ecology.
Application in Agriculural and Environmental Management. Marcel
Decker Inc. New York – Basel –
Hongkong.
Bilen, S.; N. Ataglu & F. T. Kiziloglu (2002).
49
Chiara, M.; T. Safiyh; V.D.L. Daniel; M.
Alessio; G. Francesca; G. Christina; B.
Tanja; B. Jana; W. Nele & V. Jaco
(2008). Endophytic Bacteria From
Seeds Of Nicotiana Tabacum Can Reduce Cadmium Phytotoxicity. Int.
Journal of Phytoremediation, 11,
251–267.
Chu-Chou, M.; B. Guo, Z.Q. An; J.W. Hendrix,
R.S. Ferris; M.R. Siegel; C.T.
Dougherty & P.B. Burrus (1992). Suppression of mycorrhizal fungi in fescue by the Acremonium coenophialum
endophyte. Soil. Biol. Biochem., 24,
633–637.
Estefanous, A.N. & O.M. Sawan (2003). Effect
of inoculation with phosphate-bacteria,
sawdust compost and nitrogen sources
on okra yield and some properties of
calcareous soil. Acta Hort.(ISHS) 608,
85–94.
Fontenla, S.; Garcia-Romera; I. & J.A. Ocampo.
(1999). Negative influenced of nonhost plants on the colonization of
Pisum sativum by the arbuscular mycorrhizal fungus Glomus mosseae.
Soil. Biol. Biochem., 31, 1591–1597.
Ganry, F.; H.G. Diem & Y.R. Dommergues.
(1982). Effect of inoculation with Glomus mosseae on nitrogen fixation by
field grown soybeans. Plant and Soil,
68, 321–329.
Pujiyanto
Gerhardson, B.; S. Alstrom & B. Ramert
(2008). Plant Reactions to Inoculation
of Roots with Fungi and Bacteria.
Journal of Phytopathology, 114,
108–117.
Giller, K.E.; M.H. Beare; P. Lavelle; A.M.N.
Izac & M.J. Swift (1997). Agricultural
intensification, soil biodiversity and
agroecosystem fuction. Applied soil
Ecology, 6, 3–16.
Gremida, J.J. & F.L. Walley (1996). Plant
growth-promoting rhizobacteria alter
rooting patterns and arbuscular mycorrhizal fungi colonization of fieldgrown spring wheat. Biol. Fertil. Soils.
23, 113–120.
Hammel, C.; Y. Dalpe; C. Lapierre; R.R. Simard
& D. Smith (1996). Endomycorrhizae
in newly cultivated acidic meadow : Effects of three years of barley cropping,
tillage, lime, and phosphorus on root
colonization and soil infectivity. Biol.
Fertil. Soils., 21, 160–165.
Han, H.S.; Supanjani.; K.D. Lee (2006). Effect
of co-inoculation with phosphate and
potassium solubilizing bacteria on mineral uptake and growth of pepper and
cucumber. Plant Soil Environ. 52,
130–136.
Harikumar, K. M. & D. J. Bagyaraj (1996).
Persintence of introduced Glomus
mosseae intraradices in the field as influenced by repeated inoculation and
cropping system. Biol. Fertil. Soils.
21, 184–188.
Jarstfer, A.G. & D.M. Sylvia (1993). Inoculum
production and inoculation strategies
for vesicular-arbuscular mycorrhiza
fungi. p. 349–378. In: F.B. Metting Jr.
(eds). Soil Miccrobial Ecology. Application in Agriculural and Environmental Management. Marcel Decker
Inc. New York – Basel – Hongkong.
Kahindi, J.H.P.; P. Woomer; T. George,
F.M.D.S. Moreira; N.K. Karanja &
K.E. Giller (1997). Agricultural intensification, soil biodiversity and agroecosystem fuction in the tropics: the
role of nitrogen-fixing bacteria. Applied soil Ecology, 6, 55–76.
Keyser, H.H.; P. Somasegaran & B.B. Bohlool.
(1993). Rhizobial ecology and technology. p. 205–224. In: F.B. Metting
Jr. (eds). Soil Miccrobial Ecology. Application in Agriculural and Environmental Management. Marcel Decker
Inc. New York – Basel – Hongkong.
Kloepper, J.W. (1993). Plant growth promoting rhizobacteria as biological control
agents. p. 225 – 274. In: F.B. Metting
Jr. (eds). Soil Miccrobial Ecology.
Application in Agriculural and Environmental Management. Marcel
Decker Inc. New York – Basel –
Hongkong.
Kilham, K. (1999). Soil Ecology. Cambridge
University Press, Cambridge, UK,
242 p.
Klironomos, J.N. & P. Moutogli (1999). Colonization of nonmycorrhizal plants by
mycorrhizal neighbours as influenced
by the collembolon, Falsomia candida. Biol. Fertil. Soils, 29, 277–281.
Kung’u, J.B.; R. D. Lasco; L. U. D. Cruz,; R. E.
D. Cruz & T. Husain. Effect of vesicular arbuscular mycorrhiza (VAM) fungi
inoculation on coppicing ability and
drought resistance of Senna spectabili. Pak. J. Bot., 40,2217–2224.
Lal, R. & F.J. Pierce (1991). Soil Management
for Sustainability. Soil. Sci. Soc.
Amer. p. 187.
Lal, R. (1995). Sustainable Management of
Soil Resources in the Humid Tropics.
United Nation University Press. Tokyo-
50
Pemanfaatan mikoriza dan bakteri untuk mendukung pertanian bekelanjuan di indonesia
New York-Paris, p. 146.
MCAllister, C.B; I. Garcia-Romera; A.
Godeas & J. Ocampo (1994). Interactions between Trichoderma
koningii, Fusa-rium solani and Glomus mosseae: effects on plant
growth, arbuscular mycorrhizas and
the saprophyte inoculants. Soil. Biol.
Biochem., 26, 1363–1367.
Metting, Jr. F.B. (1993). Structure and
physiologycal ecology of soil microbial communities. p. 3 – 26. In : F.B.
Metting Jr. (eds). Soil Miccrobial
Ecology. Application in Agriculural
and Environmental Management.
Marcel Decker Inc. New York – Basel
– Hongkong.
Munyanziza, E.; H.K. Kehri & D.J. Bagyaraj
(1997). Agricultural intensification,
soil biodiversity and agroecosystem
fuction in the tropics : the role of
mycorrhiza in crops and trees. Applied
Soil Ecology, 6, 77–86.
Meyer, J.R. & R.G. Linderman (1 986a). Response of subterranean clover to dual
inoculation with vesicular-arbuscular
mycorrhizal fungi and a plant growtpromoting bacterium, Pseoudomonas
putida. Soil. Biol. Biochem, 18, 185–
190.
Meyer, J.R. & R.G. Linderman (1986b). Selective influence on populations of rhizosphere and rhizoplane bacteria and actinomycetes by mycorrhizas formed
by Glomus fasciculatum. Soil. Biol.
Biochem., 18, 191–196.
Ocampo, J.A. (1986). Vesicular-arbuscular mycorrhizal infection of host and non-host
plants: effect on the growth responses
of the plants and competition between
them. Soil. Biol. Biochem., 18, 607–
610.
51
O’Dell, T.E.; M.A. Castellano & J.M. Trappe
(1993). Biology and application of
ectomycorrhizal fungi. p. 379–416. In:
F.B. Metting Jr. (eds). Soil Miccrobial
Ecology. Application in Agriculural
and Environmental Management.
Marcel Decker Inc. New York –
Basel – Hongkong.
Rahman, M.K. & J.W. Parsons (1997). Effects of inoculation with Glomus
mosseae, Azhorhizobium caulinodans
and rock phosphate on the growth of
and nitrogen and phosphorus accumulation in Sesbania Rostrata. Biol.
Fertil. Soils., 25, 47–52.
Reijntjes, C.; B. Haverkort & A. WaterBayer (1992). Pertanian Masa Depan.
Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah.
(Terjemahan). Kanisius, Jakarta, 270
hal.
Saxena, A.K.; S.K. Rathi & K.V.B.R Tilak
(1997). Differential effect of various
endomycorrhizal fungi on nodulating
ability of green gram by Brady-rhizobium sp. (vigna) strain S24. Biol.
Fertil. Soils., 24, 175–178.
Schreiner, R.P. & G.J. Bethlenfalvay (1996).
Mycorrhizae, biocides, and biocontrol.
4. Response of a mixed culture of
arbuscular mycorrhizal fungi and host
plant to three fungicides. Biol. Fertil.
Soils., 23,189–195.
Swedrzynska, D. & A. Sawicka (2001). Effect
of Inoculation on Population Numbers
of Azospirillum Bacteria under Winter Wheat,Oat and Maize. Polish Journal of Environmental Studies, 10, 21–
25.
Toro, M.; R. Azcon & R. Harrera (1996).
Effects on yield and nutrition of mycorrhizal nodulated Pueraria pheseo-
Pujiyanto
loides exerted by P-solubilizing
rhizobacteria. Biol. Fertil. Soils. 21,
23–29.
Toro, M.; R. Azco & J. Barea (1997). Improvement of arbuscular mycorrhiza
development by inoculation of soil
with phosphate-solubilizing rhizobacteria to improve rock phosphate
bioavailability (32p) and nutrient
cycling. Applied and Environmental
Microbiology, 63.
Vidal, M.T.; C. Azcon-Aguilar; J.M. Barea
& F. Pliego-Aifaro. 1992. Mycorrhizal inoculation enhances growth
and development of micropropagated
plants of Avocado. Hort. Science,
27, 785–787.
Wu, S.C.; K.C. Cheung; Y.M. Luo & M.H.
Wong (2005). Effects of inoculation
of plant growth-promoting rhizobacteria on metal uptake by Brassica
junc ea .d oi:10. 1016/ j. envpol.
2005.06.023
Zachee. A.; N. Bekolo; Bime; N. Dooh; M.
Yalen & N. Godswill (2008). Effect
of mycorrhizal inoculum and urea fertilizer on diseases development and
yield of groundnut crops (Arachis
hypogaea L.). African Journal of Biotechnology, 7, 2823–2827.
**********
52
Download