STUDI TENTANG ASAS DAN LANDASAN PENDIDIKAN

advertisement
STUDI TENTANG ASAS DAN LANDASAN PENDIDIKAN PASRAMAN
DI JAMAN MODERN DALAM KERANGKA PENDIDIKAN NASIONAL
I Komang Arcana
Dosen Tetap Jurusan Dharma Acarya Prodi Pendidikan Agama Hindu
STAH Negeri Gde Pudja Mataram
Abstract
This study is directed as the study of the principles and educational foundation of
pasraman education in modern times. The principle and educational foundation is a
truth that is the basis or foundation of thinking, both at the design stage and the
implementation of education. The purpose of the study is to get the problem
formulation of the principle and foundation of education in modern times pasraman
within the framework of national education.
In implementing education that is specific such as pasraman institutions will not
conflict with the principles of Pancasila and the 1945 Constitution, it's just a lot more
emphasis on the education of spiritual education and physical education, material
and spiritual life to reach the purposes in the world and the hereafter.
In the Hindu tradition and culture and educational foundation principle is based on
(1) Kitab Sruti, Smriti, tradisi Sila, Acara, and Atmanastuti as the legal basis for
pursuing life, (2) educational foundation in the concept of lifelong education of Catur
Asrama, (3) foundation philosophy of education to achieve life goals in concept of
Purusa artha, (4) the foundation philosophy of education is based on the nature,
talents and abilities in Catur Warna concept, (5) the concept of philosophical
foundation of education in the concept of Catur Guru, and (6) the foundation
philosophy of spiritual education through sangaskara (samskaras) in Manusa yajnya
ceremony.
Principle that can be added in modern times is education which is based on science
and technology in which students are still loyal to the tradition of pasraman, but they
also must be familiar with computers and a variety of science and other modern
science.
Keywords: Principles and Educational Foundation, Pasraman, Modern Age,
National Education.
A. PENDAHULUAN
Asas dan landasan pendidikan merupakan suatu kebenaran yang menjadi dasar atau
tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Asas dan
landasan pendidikan sangatlah penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap
perkembangan manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Khusus di Indonesia, terdapat beberapa
asas pendidikan yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Dari
asas dan landasan pendidikan itulah merupakan salah satu dasar yang akan dipakai dalam
menentukan tujuan dan sasaran pendidikan.
Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah mencerdaskan potensi-potensi spiritual,
intelektual, dan emosional setiap individu yang pada gilirannya berpengaruh terhadap
masyarakat luas. Hal itu berarti, jika semua individu anggota masyarakat cerdas spiritual,
intelektual, dan emosionalnya, kehidupan masyarakat akan berlangsung menurut nilai-nilai
kultural manusiawi dalam ketentraman, perdamaian, dan keadilan. Fakta bahwa masa pendidikan
berlangsung sepanjang zaman, menurut jenjang-jenjang tertentu secara ‘linier-kausalistis’,
dimulai dari jenjang pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan berlangsung terus-menerus di
berbagai jenis kegiatan dan pekerjaan di dalam kehidupan bermasyarakat. Pendidikan
berlangsung di setiap kegiatan sosial, politik, hukum, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan.
Pendidikan berlangsung bukan di sembarang lingkungan, melainkan hanya di lingkungan
sosial budaya, hal itu berarti pendidikan hanya berlangsung di dalam ruang lingkup kehidupan
manusia, dengan sasaran khas memanusiakan manusia menurut nilai kemanusiaan. Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa jika tanpa disentuh pendidikan, manusia bisa berjiwa ‘setan’.
Kegiatan pendidikan di lingkungan mana pun selalu menjadi kegiatan pembelajaran, bukan
kegiatan pengajaran, itu berarti bahwa pendidikan sebagai sistem kegiatan pembelajaran
bertanggung jawab memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan segala potensi yang ada pada
diri individu peserta didik (Suparlan, 2007:90-91).
Sistem pendidikan adalah suatu strategi atau cara yang akan dipakai untuk melakukan
proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan agar para pelajar tersebut dapat secara aktif
mengembangkan potensi di dalam dirinya yang diperlukan untuk dirinya sendiri dan masyarakat.
Pendidikan Nasional ialah pendidikan bangsa yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang
berakar pada nilai-niai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman (Sunaryo W. 1963).
Sistem Pendidikan Hindu lebih menekankan kepada penyelenggaraan pendidikan
berbasis pendidikan agama Hindu. Hal ini terkait dengan sasaran pendidikan siswa atau
mahasiswa beragama Hindu, para pendidik baik guru atau dosen, tutor, pelatih, dan konselor,
tujuan pendidikan yang hendak dicapai dan cara mencapainya yang akan dituangkan ke dalam
visi dan misi pendidikan agama Hindu, dan alat pendidikan (termasuk faktor aturan
penyelenggaraan dan kebijakan, fasilitas dan media, dan kurikulum pendidikan agama Hindu)
sebagai satu kesatuan yang komprehensif. Sistem pendidikan Hindu, sebagai strategi atau cara
lembaga pendidikan Hindu yang dipakai dalam melakukan proses belajar mengajar untuk
mencapai tujuan agar para pelajar tersebut dapat secara aktif mengembangkan potensi di dalam
dirinya yang diperlukan untuk dirinya sendiri dan masyarakat melalui pembangunan kecerdasan
rasional, emosional, sosial, mental dan spiritual sesuai dengan nilai-nilai agama Hindu.
Implementasi dari sistem pendidikan Hindu dapat dilembagakan dalam sistem pendidikan
Pasraman.
Terkait pada pendidikan keagamaan formal maka pada dasarnya pendidikan
keagamaan Hindu berfungsi menanamkan pada peserta didik dasar keimanan (Sraddha) dan
ketaqwaan (Bhakti) kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berbagai kepentingan dapat
mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk menjadi ahli ilmu agama Hindu.
Pendidikan keagamaan Hindu merupakan pendidikan berbasis masyarakat yang diselenggarakan
dalam bentuk pasraman, pesantian, dan bentuk lain yang sejenis.
Kata pasraman berasal dari kata ashrama sering ditulis dan dibaca ashram yang artinya
tempat berlangsungnya proses belajar mengajar atau pendidikan. Pendidikan Pasraman
menekankan pada disiplin diri, mengembangkan akhlak mulia dan sifat-sifat yang rajin, suka
bekerja keras, pengekangan hawa nafsu dan gemar untuk menolong orang lain. Konsep
Pasraman yang berkembang sekarang diadopsi dari sistim pendidikan Hindu jaman dahulu di
India sebagaimana disuratkan dalam kitab sastra dan hingga kini masih tetap terpelihara, (Error
Hyperlink reference not valid. diunduh 19 peb 2014).
Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis-sistemik selalu bertolak dari sejumlah
landasan serta pengindahan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan dan asas tersebut sangat
penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan
masyarakat bangsa tertentu. Secara Nasional beberapa landasan pendidikan tersebut menurut
hemat penulis adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural, yang sangat memegang peranan
penting dalam menentukan tujuan pendidikan. Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan
mendorong pendidikan untuk menjemput masa depan.
B. Asas dan Landasan Pendidikan Nasional
Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis-sistemik selalu bertolak dari sejumlah
landasan serta pengindahan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan dan asas tersebut sangat
penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan
masyarakat bangsa tertentu. (Error! Hyperlink reference not valid. diunduh 3 mart 2014).
Diantara asas tersebut adalah Asas Tut Wuri Handayani, Asas Belajar Sepanjang Hayat, dan
Asas Kemandirian dalam Belajar. Dalam hal landasan pendidikan mencakup: landasan filosofis,
sosiologis, dan kultural, yang sangat memegang peranan penting dalam menentukan tujuan
pendidikan. Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan untuk
menjemput masa depan.
Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan
berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Khusus di Indonesia,
terdapat beberapa asas pendidikan yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan
pendidikan itu.
Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari sistem among perguruan.
Asas yang dikumandangkan oleh Ki Hajar Dewantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs.
R.M.P. Sostrokartono dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo
dan Ing Madyo Mangun Karso. Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu
kesatuan asas yaitu: Ing Ngarso Sung Tulodo (jika di depan memberi contoh). Ing Madyo
Mangun Karso (jika ditengah-tengah memberi dukungan dan semangat). Tut Wuri Handayani
(jika di belakang memberi dorongan)
Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain
terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Kurikulum yang dapat merancang dan
diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan horisontal.
Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain
terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Kurikulum yang dapat meracang dan
diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan horisontal.
Asas Kemandirian dalam Belajar yang diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar,
sedini mungkin dikembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur
tangan guru, namun guru selalu siap untuk ulur tangan bila diperlukan.
Perwujudan asas
kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama sebagai fasilitator dan
motifator. Salah satu pendekatan yang memberikan peluang dalam melatih kemandirian belajar
peserta didik adalah sistem "Cara Belajar Siwa Aktif".
Landasan filosofis bersumber dari pandangan-pandangan dalam filsafat pendidikan,
menyangkut keyakianan terhadap hakekat manusia, keyakinan tentang sumber nilai, hakekat
pengetahuan, dan tentang kehidupan yang lebih baik dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal
sampai saat ini adalah Idealisme, Realisme, Perenialisme, Esensialisme, Pragmatisme dan
Progresivisme dan Ekstensialisme
Pancasila sebagai Landasan Filosofis Sistem Pendidikan Nasional, tercantum dalam
Pasal 2 UU RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila
dan UUD 1945, sedangkan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4 menegaskan pula
bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan
hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia.
Esensialisme adalah mashab pendidikan yang mengutamakan pelajaran teoretik (liberal
arts) atau bahan ajar esensial. Perenialisme adalah aliran pendidikan yang megutamakan bahan
ajaran konstan (perenial) yakni kebenaran, keindahan, cinta kepada kebaikan universal.
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang memandang segala sesuatu dari nilai kegunaan praktis,
di bidang pendidikan, aliran ini melahirkan progresivisme yang menentang pendidikan
tradisional. Rekonstruksionisme adalah mazhab filsafat pendidikan yang menempatkan
sekolah/lembaga pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat.
Landasan Sosiologis sebagai dasar perkembangan, kebutuhan dan karakteristik
masayarakat. Sosiologi pendidikan merupakan analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola
interaksi sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi
pendidikan meliputi empat bidang: (1) Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat
lain, (2) Hubungan kemanusiaan, (3) Pengaruh sekolah pada perilaku anggotanya, (4) Sekolah
dalam komunitas, yang mempelajari pola interaksi antara sekolah dengan kelompok sosial lain di
dalam komunitasnya.
Pemahaman terhadap peserta didik, utamanya yang berkaitan dengan aspek kejiwaan
merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Dasar atau landasan psikologis berkaitan
dengan prinsip-prinsip belajar dan perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil kajian dan
penemuan psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan. Sebagai
implikasinya pendidik tidak mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik,
sekalipun mereka memiliki kesamaan. Penyusunan kurikulum perlu berhati-hati dalam
menentukan jenjang pengalaman belajar yang akan dijadikan garis-garis besar pengajaran serta
tingkat kerincian bahan belajar yang digariskan. Pemahaman tumbuh kembang manusia sangat
penting sebagai bekal dasar untuk memahami peserta didik dan menemukan keputusan dan atau
tindakan yang tepat dalam membantu proses tumbuh kembang itu secara efektif dan efisien.
Kebutuhan pendidikan yang mendesak cenderung memaksa tenaga pendidik untuk
mengadopsi teknologi dari berbagai bidang teknologi ke dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pendidikan yang berkaitan erat dengan proses penyaluran pengetahuan haruslah mendapat
perhatian yang proporsional dalam bahan ajaran, dengan demikian pendidikan bukan hanya
berperan dalam pewarisan IPTEK tetapi juga ikut menyiapkan manusia yang sadar IPTEK dan
calon pakar IPTEK itu. Selanjutnya pendidikan akan dapat mewujudkan fungsinya dalam
pelestarian dan pengembangan iptek tersebut.
IPTEK merupakan salah satu hasil pemikiran manusia untuk mencapai kehidupan yang
lebih baik, yang dimualai pada permulaan kehidupan manusia. Lembaga pendidikan, utamanya
pendidikan jalur sekolah harus mampu mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan iptek.
Bahan ajar seyogyanya hasil perkembangan iptek mutahir, baik yang berkaitan dengan hasil
perolehan informasi maupun cara memperoleh informasi itu dan manfaatnya bagi masyarakat,
sehingga diketahui bagaimana rumusan asas dan landasan pendidikan Pasraman di jaman
modern dalam kerangka pendidikan Nasional.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji asas dan landasan pendidikan Pasraman di
jaman modern dalam kerangka pendidikan Nasional, dengan rancangan penelitian lapangan
(field research). Rencana penelitian ini secara global dirancang mulai dari persiapan penelitian
hingga analisis data seperti berikut ini:
1. Penelitian membuat desain penelitian bertolak dari formulasi permasalahan yang diajukan
sebagai isu sentral penelitian;
2. Peneliti turun ke lapangan untuk melakukan observasi awal terhadap fenomena yang akan
diungkap sesuai dengan urgesi penelitian ini;
3. Peneliti membuat rancangan instrument yang akan digunakan sebagai wahana koreksi data
dilapangan;
4. Setelah semua instrument lengkap, peneliti turun kelapangan untuk mengkoleksi data sesuai
dengan kebutuhan penelitian;
5. Data yang terkumpul direduksi, diklarifikasi dan diinterpretasikan selama dilapangan sampai
pada tahap penyusunan laporan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi
atau pengamatan berperan serta, wawancara serta pencatatan dokumen sebagai metode
pelengkap. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan selama dan sesudah pengumpulan data
dengan menggunakan analisis data kualitatif model alur yang dikembangkan oleh Miles dan
Huberman (1992 : 18) yang terdiri dari tahap-tahap kegiatan sebagai berikut :
1. Reduksi data, yaitu melakukan proses pemilahan, pemusatan perhatian, pengabstrakan dan
transformasi data kasar yang diperoleh, kemudian dipilah sesuai dengan fokus penelitian.
2. Penyajian data, yaitu disajikan dengan bentuk uraian naratif dan sintesis serta tidak menutup
kemungkinan ada bentuk-bentuk argumentatif yang dikemukakan dalam memberikan
interpretasi.
3. Verifikasi atau menarik kesimpulan, peneliti berusaha mencari makna dari data-data yang
diperoleh dan mencari pola-pola penjelasan, konfigurasi-konfigurasi dari data yang telah
diverifikasi, peneliti mengambil suatu kesimpulan.
D. PEMBAHASAN
Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia secara umum dilandasi terutama oleh Pancasila
dan UUD 1945. Pancasila sebagai Landasan Filosofis Sistem Pendidikan Nasional, tercantum
dalam Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan
pancasila dan UUD 1945, sedangkan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4
menegaskan pula bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indonesia, kepribadian bangsa
Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia. Lebih dipertegas lagi
oleh Sunaryo W (1963) bahwa Pendidikan Nasional adalah pendidikan bangsa yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-niai agama, kebudayaan nasional Indonesia
dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Pendidikan keagamaan tentu saja tidak bertentangan dengan asas dan landasan tersebut di
atas, hanya saja lebih difokuskan kepada nilai-nilai agama yang bertujuan untuk mendapatkan
kesejahteraan
di dunia dan akherat. Pendidikan yang bercorak keagamaan dalam lembaga
pendidikan Hindu salah satunya adalah Pasraman. Di masa depan kita semua berharap mampu
mendudukkan posisi Pasraman sebagai Lembaga Pendidikan Agama Hindu formal dan non
formal dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan Agama Hindu dari tingkat SD,
SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor: 20 tahun 2003 umat Hindu mempunyai peluang untuk menyelenggarakan
pendidikan keagamaan melalui Pasraman. Hal ini tertuang di dalam undang-undang dimaksud
terutama pasal 30 ayat 4 yang menyatakan : Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan
Diniyah, Pesantren, Pasraman, Pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis, selanjutnya diatur
dengan Peraturan Pemerintah, (http://serbaserbihindu.blogspot.in/2012/10, diunduh 19 peb
2014).
Dalam PP telah ditetapkan aturan tentang Pasraman yaitu PP 55 tahun 2007 tentang
pendidikan keagamaan, dalam pasal 38-41 : Pendidikan pasraman diselenggarakan pada jalur
formal anak usia dini, setingkat taman kanak-kanak disebut
Pratama Widya Pasraman,
menyelenggarakan pendidikan dua tingkat yaitu tingkat Pratama Widya Pasraman A (TK.A) dan
tingkat Pratama Widya Pasraman B (TK.B). Pendidikan pasraman pada jalur formal jenjang
pendidikan dasar setingkat sekolah dasar disebut Adi Widya Pasraman. Terdiri atas tingkat I
sampai tingkat VI. Pendidikan pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan dasar setingkat
SMP disebut Madyama Widya Pasraman, terdiri atas 3 tingkat yaitu tingkat VII sampai IX.
Pendidikan pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan menengah setingkat SMA disebut
Utama Widya Pasraman, terdiri atas 3 tingkat yaitu tingkat X sampai tingkat XII. (Kumpulan
Undang Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, Dirjen Pendidikan Depag RI,
2007 : 245-247).
Sistem ashram (Pasraman) menggambarkan hubungan yang akrab antara para guru
(acarya) dengan para siswanya, bagaikan dalam sebuah keluarga, oleh karena itu sistim ini
dikenal pula dengan nama sistim pendidikan gurukula. Beberapa anak didik tinggal di Pasraman
bersama para guru sebagai anggota keluarga, dan para guru bertindak sebagai orang tua siswa
sendiri. Proses pendidikan di Pasraman dari masa lampau itu masih tetap berlangsung sampai
saat ini dikenal pula dengan istilah lainnya yakni Sampradaya atau Parampara, yang di Jawa
dan di Bali dikenal dengan istilah Padepokan atau Aguron-guron.
Tujuan pendidikan agama Hindu di sekolah adalah menumbuh-kembangkan dan
meningkatkan kualitas sradha dan bhakti melalui pemberian, pemupukan, penghayatan, dan
pengamalan ajaran agama”. Rumusan tujuan ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan
menumbuhkembangkan kualitas sradha dan bhakti berarti, kurikulum pendidikan agama Hindu
disusun dan dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa sradha dan bhakti itu merupakan suatu
kualitas dalam bentuk benih sehingga dapat ditumbuh-kembangkan. Penumbuh-kembangannya
dilakukan dengan pemberian, pemupukan, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Hindu.
Ini merupakan cara-cara yang paling mungkin yang dapat dilakukan, walaupun bukan berarti
cara-cara lain sama sekali tertutup. Melainkan cara-cara lain dapat ditempuh sesuai dengan
kebutuhan nyata pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, sebagaimana teridentifikasi oleh
guru-guru pendidikan agama Hindu dalam pengalaman praksisnya.
Sebaliknya, meningkatkan sradha dan bhakti berarti, kurikulum pendidikan agama Hindu
juga disusun dan dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa sradha dan bhakti itu merupakan
suatu kualitas yang berada pada posisi rendah sehingga perlu ditingkatkan. Peningkatannya
dilakukan dengan pemberian, pemupukan, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Hindu.
Jadi, sradha dan bhakti menjadi tumpuan pengembangan kurikulum pendidikan agama Hindu
dan karenanya kedua aspek ini merupakan dimensi ontologis pendidikan agama Hindu.
Selanjutnya, kata pemberian, pemupukan, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Hindu
merupakan cara-cara yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan
meningkatkan sradha dan bhakti. Ini merupakan landasan pendidikan agama Hindu dari dimensi
epistemologis. Dengan kata pemberian yang dimaksudkan adalah proses tranformasi
pengetahuan agama dari guru kepada peserta didik dalam suasana belajar dan proses
pembelajaran. Pilihan metode yang mendekati tepat untuk pembelajaran ini adalah ceramah atau
dharma wacana. Dengan kata pemupukan dimaksudkan adalah memberikan zat penyubur agar
benih dapat tumbuh dan berkembang dengan normal. Pilihan metode pembelajaran yang
mendekati tepat adalah pemberian tugas yang juga dimaksudkan sebagai upaya pengayaan dan
perbaikan. Dengan kata penghayatan dimaksudkan adalah penginternalisasian materi ajar, agar
menjadi pribadi peserta didik yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari (sosial dan
budaya). Metode pembelajaran yang mendekati tepat dapat digunakan perenungan dan
demonstrasi sebagai disiplin tindakan dalam praktik-praktik kehidupan keagamaan. Selain itu,
juga dapat digunakan metode diskusi dan tanya-jawab (dharma tula). Kemudian, dengan kata
pengamalan dimaksudkan adalah sebagai upaya pengembangan diri dalam pengalaman
kehidupan keagamaan. Pengalaman keberagamaan yang memungkinkan peserta didik menjadi
insan-insan Hindu dengan kualitas sradha dan bhakti yang secara nyata dapat didemontrasikan
dalam kehidupan sosial dan budaya. Metode pembelajaran yang mungkin mendekati tepat dapat
digunakan pemberian tugas mandiri dan kerja kelompok dalam pelaksanaan upacara keagamaan
misalnya, kegiatan tirtha-yatra.
Pada tujuan kedua disebutkan bahwa tujuan pendidikan agama Hindu adalah
membangun insan Hindu yang dapat mewujudkan nilai-nilai Moksartham Jagadhita dalam
kehidupannya. Mewujudkan nilai-nilai Moksartham Jagadhita dalam kehidupan merupakan
dimensi aksiologis pendidikan agama Hindu. Dimensi ini lebih menekankan pentingnya
kegunaan nilai-nilai pendidikan agama Hindu dalam praktik kehidupan empiris sehari-hari.
Seperti telah dijelaskan di atas moksartham merupakan dimensi kehidupan berkaitan dengan
hubungan manusia secara vertikal, yakni dengan Tuhan sebagaimana kayakinan sradha dan
bhakti pelayanan yang diajarkan agama Hindu. Sebaliknya, jagadhita merupakan dimensi
kehidupan berkaitan dengan hubungan manusia secara horizontal, yakni hubungan antara
manusia dengan sesama sebagaimana kayakinan sradha dan bakti pelayanan yang diajarkan
agama Hindu (http://sukarma-puseh.blogspot.com/2010/10/penelitian-pendidikan-hindu.html,
diunduh 4 Mart 2014).
Sebagai studi tentang Asas dan landasan pendidikan pasraman untuk mengembangkan
karakter yang mulia, disiplin, dan bertanggung jawab baik kepada orang tua, masyarakat dan
pemerintah, menurut hemat penulis dalam tradisi budaya Hindu didasarkan atas (1) Kitab Sruti,
Smŗti, tradisi Sila, Acara, dan Atmanastuti sebagai landasan hukum dalam meniti hidup, (2)
landasan pendidikan seumur hidup dalam konsepsi pendidikan Catur Asrama, (3) landasan filosofi
pendidikan untuk mencapai tujuan hidup dalam konsep Catur Purusa artha, (4) landasan filosofi
pendidikan berdasarkan sifat, bakat dan kemampuan dalam konsep Catur Warna, (5) landasan
filosofi pendidikan dalam konsep Catur Guru, dan (6) landasan filosofi pendidikan rohani melalui
sangaskara (samskara) dalam upacara Manusa yajnya. Hal ini dapat diterapkan ke dalam visi dan
misi pendidikan berbasis agama Hindu, yang salah satunya adalah sistem pendidikan Pasraman.
1.
Pengembangan Asas dan Landasan Filosofi Pendidikan Pasraman
Pelestarian dan pengembangan kekayaan yang unik di setiap daerah itu melalui upaya
pendidikan sebagai wujud dari kebineka tunggal ika-an masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal
ini haruslah dilaksanakan dalam kerangka pemantapan kesatuan dan persatuan bangsa dan
negara indonesia sebagai sisi ketunggal ika-an. Landasan Kultural mencerminkan pada
kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat
dilestarikan/dikembangkan dengan jalur mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi
penerus dengan jalan pendidikan, baik secara formal maupun informal. Anggota masyarakat
berusaha melakukan perubahan-perubahan yang sesuai dengan perkembangan zaman sehingga
terbentuklah pola tingkah laku, nilai-nilai, dan norma-norma baru sesuai dengan tuntutan
masyarakat. Usaha-usaha menuju pola-pola ini disebut transformasi kebudayaan. Lembaga sosial
yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan adalah lembaga
pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga.
Pendidikan nilai-nilai ajaran agama Hindu yang sistematis dan berkelanjutan perlu
dilaksanakan dan dikembangkan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pengetahuan,
kecerdasan dan nilai keagamaan umat Hindu pada umumnya dan terutama bagi generasi muda
Hindu pada khususnya. Guna mencapai tujuan tersebut dibutuhkan adanya lembaga pendidikan
agama Hindu baik formal maupun non formal sebagai wadah penyelenggara pendidikan nilainilai ajaran agama Hindu. Lembaga-lembaga seperti itulah yang diharapkan dapat berperan
secara aktif dalam upaya pembentukan insan-insan Hindu yang berbudi luhur.
Tujuan utama dari pembelajaran pendidikan Agama Hindu adalah membentuk manusia
berbudi luhur, susila, dan bijaksana, yaitu manusia yang dapat menghayati hakikat dari
kehidupan yang penuh dengan tantangan dan penderitaan, manusia yang benar-benar
mengetahui sebab-musabab sampai terjadinya penderitaan dan yakin bahwa betapapun bentuk
penderitaan itu akan dapat dilenyapkan, karena telah diketahui jalan yang dapat membebaskan
manusia dari penderitaan (Arsada, 2006:2).
Masalah pendidikan mendapat perhatian yang khusus, terutama melalui pendidikan
agama yang nantinya akan dapat membentuk pribadi manusia yang berbudi pekerti yang luhur,
serta dapat mengendalikan arus modernisasi dewasa ini, serta ilmu yang diperolehnya dapatlah
dimanfaatkan sesuai dengan ajaran agama yang telah dipahami. Ilmu pengetahuan yang
diperoleh lewat pendidikan tersebut dapat bermanfaat untuk dirinya sendiri dapat disumbangkan
untuk kemajuan bangsa serta keberadaan negara untuk selanjutnya.
a. Landasan Hukum dalam Kitab Sruti, Smreti, tradisi Sila, Acara, dan Atmanastuti
Di dalam ajaran Agama Hindu, baik kitab suci Weda maupun susastra lainnya dikenal
adanya tiga lingkungan atau pusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat itu. Hal
ini setidaknya dapat dilihat dari pengertian pendidikan Agama Hindu sebagai usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik untuk beriman dan berakhlak mulia dalam mengamalkan
ajaran agama Hindu dari sumber utamanya kitab suci: Sruti, Smerti, SiIa, Acara dan Atmanastuti.
(Kurikulum Pendidikan Agama Hindu untuk SMA, 2004).
b.
Landasan Pendidikan Seumur Hidup dalam Konsepsi Pendidikan Catur Asrama
Tahapan fase pendidikan dalam agama Hindu berdasarkan atas konsepsi ajaran Catur
Asrama. Catur Asrama adalah empat lapangan hidup berdasarkan petunjuk kerohanian, yaitu
Brahmacari Asrama, Grhastha Asrama, Wanaprastha Asrama dan Bhiksuka Asrama. Pengertian
masing-masing Asrama, yaitu Brahmacari Asrama berarti masa menuntut ilmu atau masa
menuntut Dharma sebagai tujuan hidup. Hal itu kini terealisasi sebagai pendidikan dalam
keluarga dan sekolah-sekolah formal maupun informal. Proses pendidikan atau tahapan hidup
yang kedua adalah Grhastha Asrama yaitu masa hidup berumah tangga. Proses pendidikan atau
tahapan hidup yang ketiga adalah Wanaprastha Asrama yaitu suatu masa seseorang mulai
meninggalkan kegiatan keduniawian dengan cara mengasingkan diri. Realitasnya kini adalah
masa purna bhakti atau purna tugas alias pensiun dari tugas sehari-hari untuk memasuki
kehidupan rohani atau spiritual. Tahap atau lapangan hidup yang terakhir adalah Bhiksuka atau
Sanyasin yaitu suatu lapangan hidup pada saat seseorang benar-benar telah dapat melepaskan diri
dari ikatan-ikatan duniawi dan sepenuhnya hidup untuk mengamalkan dan menyebarkan ajaran
Dharma. Kegiatan utamanya yaitu sepenuhnya membulatkan diri untuk terjun sepenuhnya ke
dalam kehidupan rohani.
c.
Landasan filosofi pendidikan dalam mencapai tujuan hidup dalam konsep Catur Purusa artha
Catur purusaartha berarti empat tujuan hidup (jiwa) manusia, yaitu untuk mendapatkan
dharma, artha, kama dan mokhsa. Dharma dapat diartikan melaksanakan ajaran-ajaran kebenaran
sesuai pelaksanaan tradisi maupun yang tertuang dalam kitab dan sruti, smreti, sila, sadacara dan
atmanastuti. Artha merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup secara material. Kama
diartikan sebagai pemenuhan cinta kasih dan kesenangan yang dirasakan melalui pikiran, proses
mental dan indra. Mokhsa berarti pembebasan diri untuk mendapatkan kebahagiaan abadi. Konsep
mokhsa sangat idelis sehingga merupakan keniscayaan dan lebih cenderung sebagai arahan atau
jalan yang sangat sulit dipahami dalam dunia materialis karena konsep ini non materialis tetapi
tetap ada dalam ajaran agama. Konsep ini lebih kepada membangun disiplin mental spiritual
melalui pemahaman hakekat dan kesadaran sejati sebagai manusia dengan pikiran, perkataan dan
perbuatan yang berkesinambungan.
Konsep yang sejalan dengan Catur purusaartha adalah Catur asrama atau fase/tingkatan
dalam kehidupan manusia. Pada masa Brahmacari asrama lebih memprioritaskan mendapatkan
dharma dan artha, pada masa Grhastha asrama lebih memprioritaskan mendapatkan artha dan
kama, pada masa Wanaprastha asrama sudah mengurangi mendapatkan artha dan kama, dan
pada masa Bhiksuka asrama lebih memprioritaskan hanya untuk mendapatkan mokhsa. Masingmasing fase kehidupan ini selalu dilandasi oleh dharma.
Tahapan Brahmacari asrama
-
Tetap berjalan di atas konsep dharma (kebenaran) dengan cara belajar
-
Mengejar ilmu (guna widya) untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik (kualitas
hidup lebih baik)
-
Pada usia yang mencukupi, berhak mendapat pekerjaan dan mendapatkan artha
Tahapan Grhastha asrama
-
Tetap berjalan di atas konsep dharma (kebenaran) dengan cara belajar
-
Mendapatkan dan meningkatkan pekerjaan guna mendapatkan artha
-
Memberikan dan menerima cinta dan kasih, meningkatkan mutu hubungan suami-istri
-
Mengejar dan memberikan ilmu
pengetahuan (guna widya) untuk mendapatkan
penghidupan yang lebih baik (kualitas hidup lebih baik)
Tahapan Wanaprastha asrama
-
Tetap berjalan di atas dharma (kebenaran) dengan cara belajar
-
Mulai melangkah untuk mengurangi hal-hal duniawi, seperti: target mengejar dan
mendapatkan harta, dan kesenangan dan nafsu
-
Mulai melaksanakan disiplin dalam hidup (tingkahing brata), mencegah dan menekan
Sadripu, dan hal-hal mala yang mencemari perkataan, pikiran dan perbuatan
-
Mengejar dan memberikan dan mengamalkan ilmu pengetahuan (tattwa adhyatmika)
untuk menegakkan ajaran dharma, agama
Tahapan Sanyasin asrama
-
Tetap berjalan di atas konsep dharma (kebenaran) dengan cara belajar dan mengamalkan
pengetahuan suci
-
Mengamalkan ilmu pengetahuan (tattwa adhyatmika) untuk menegakkan ajaran dharma,
agama, dan sebagai bagian dari kehidupan
-
Hidup hanya melalui pemberian orang-orang sekitar (keluarga)
-
Penghayatan dan pengamalan bahwa di dunia ini tidak memiliki apa-apa lagi, seperti harta,
orang terkasih, keluarga, anak didik-perguruan, dan anggota masyarakat
-
Mengikhlaskan diri sepenuh hati apabila kematian akan tiba
-
Hidup hanya untuk mencapai pembebasan
Kalau tujuan hidup manusia disebutkan sebagai Catur purusaartha, untuk mendapatkan
dharma, artha, kama, dan moksa, maka Catur asrama adalak konsep hidup untuk mencapai
tujuan hidup. Jadi Catur pusaartha dan Catur asrama ini adalah landasan konsepsional dari
hubungan sosiolaogis antara manusia dengan manusia dengan kelompok manusia dengan
kelompok manusia lainnya mengantarkan manusia mewujudkan masyarakat yang sejahtera fisik
material (jagadhita) dan sejahtera moral spiritual (moksha).
d. Landasan filosofi pendidikan berdasarkan sifat, bakat dan kemampuan dalam konsep
Catur Warna
Dalam Bhagawadgita (XVIII.41) disebutkan sebagai berikut:
Brahmanaksatriyawisam, sudranam ca paramtapa, karmani prawibhaktani, swabhawa
prabhawair gunaih
Artinya :
Tugas-tugas terbagi menurut sifat dan watak kelahirannya sebagai halnya brahmana,
ksatriya, waisya, dan sudra
Brahmanawarna adalah individu yang berkecimpung dalam bidang kerohanian,
guru, pengajar, penasehat rohani. Ksatriyawarna adalah individu yang memiliki keahlian
dalam bidang kepemimpinan, ahli berpolitik, pembela kebenaran, pembela yang lemah,
serta pelindung masyarakat. Waisya adalah individu yang memiliki keahlian di bidang
pertanian dan perdagangan, atau bertugas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Jadi sebagai pemikir dan pelaksana untuk kesejahteraan kehidupan. Sudrawarna adalah
individu yang memiliki keahlian dalam pengabdian, atau pelayanan kepada masyarakat.
Setiap individu tidaklah selalu murni memiliki bakat dan kemampuan, sikap dan watak
pada satu warna saja, melainkan ada kecenderungan warna tertentu yang melebihi dari warnawarna lainnya. Ada kalanya pada saat tertentu dengan situasi yang berubah dan berbeda, seseorang
dapat berusaha atau mengembangkan dirinya dari satu warna kepada warna lainnya sesuai dengan
situasi yang dialami serta lngkungan dan faktor-faktor yang mendukungnya. Warna-warna yang
disandang seseorang bukanlah hanya berasal dari kelahiran dan keturunan tertentu saja melainkan
faktor lingkungan, baik internal maupun eksternal yang dihadapinya.
Dalam epos 'Mahabharata', Arjuna digambarkan sebagai brahmana ketika dia hidup di
hutan dalam pengasingannya serta memberi pelajaran rohani kepada setiap orang yang
dijumpainya. Hal yang sama pula ketika memimpin kerajaan-kerajaan kecil di bawahnya sebagai
penasehat 'raja-raja kecil' di tanah bharatawarsa dalam lindungan kerajaannya. Arjuna ketika
menegakkan keadilan dan membela kebenaran untuk menaklukkan musuh-musuhnya maka dia
menjadi seorang ksatriya. Hal yang sama dia bertindak maju ke medan perang pada saat negerinya
diserang musuh. Ketika kembali dari pengasingan, serta menjabat pangeran kerajaan maka dia
menjadi seorang waisya sekaligus sebagai seorang ksatriya untuk mensejahterakan rakyatnya.
Demikian pula pada lain kesempatan, ketika hidup dalam masa penyamaran dan tinggal di sebuah
kerajaan lainnya, dia melayani orang-orang di tempat itu dengan kemampuan dan keterampilan
yang dimilikinya sebagai orang yang taat mengabdi kepada raja, maka tergolong seorang sudra.
e. Landasan filosofi pendidikan dalam konsep Catur Guru
Catur guru terdiri atas guru rupaka, guru pengajian, guru wisesa, dan guru swadyaya.
Tiga guru yang pertama disebut sebagai Trīkang sinangguhguru. Guru ini merupakan komponen
yang bertugas untuk memberikan pendidikan formal, non formal dan informal.
Trīkang
sinangguh guru yang berarti tiga yang disebut guru. Adapun guru itu yang pertama adalah guru
rupaka, yaitu guru yang berada di lingkungan rumah yaitu bapak dan ibu yang melahirkan. Guru
yang kedua yaitu guru pengajian berasal dari kata adhyaya yang artinya belajar, yaitu guru yang
memberikan pendidikan di sekolah-sekolah formal dan non formal. Guru yang ketiga adalah
guru wisesa yaitu yang berkuasa, seperti pemerintah, pemuka-pemuka agama atau tokoh-tokoh
masyarakat.
Seorang anak belajar keteladanan dari kedua orang tua yang melahirkannya. Berusaha
mematuhi dan memahami anjuran ayah-ibunya yang memiliki pengalaman hidup yang lebih dulu
dan lebih lama. Anak yang berguna dan saleh disebut dengan suputra. Sebagai seorang siswa
maka seorang anak wajib mengikuti anjuran guru pengajarnya,
sebagai anak didik maka
hendaknya selalu menghormatinya dan dapat melaksanakan kewajibannya itu. Anak sebagai
siswa untuk menjadi anak yang mulia hendaknya memahami dan melaksanakan tugas sesuai
dengan kemampuannya dalam ajaran agama mengikuti petunjuk putrasasana. Sebagai warga
negara yang baik, maka seorang anak hendaknya taat hukum, taat kepada aturan pemerintah, dan
yang lebih penting lagi berusaha mengikuti dan mentaati tradisi yang ada di wilayahnya berada.
Komponen Catur guru yang berikutnya adalah Guru swadhyaya, yaitu wajib mentaati
dan mengikuti perintah agama seperti yang tertuang dalam kitab suci dan tradisi luhur.
Swadhyaya memiliki arti sebagai pembelajaran untuk diri sendiri, dan oleh diri sendiri. Aturan
dan ajaran dalam agama Hindu hendaknya mengikuti ajaran dalam kitab Sruti, Smreti, aturan
dalam Sila, Sadacara, dan Atmanastuti. Tuhan dan segala manifestasinya memberikan petunjuk
melalui orang-orang suci untuk menuangkannya ke dalam ajaran-ajaran tersebut.
f. Landasan filosofi pendidikan rohani melalui sangaskara (samskara) dalam upacara
Manusa yajnya.
Pada dasarnya sangaskara yang diberlakukan kepada calon bayi ataupun seorang anak
merupakan tanggung jawab keluarganya. Selain kepada
anak, juga sasaran upacara ini
diperuntukkan kepada ayah dan ibunya. Sangaskara dapat diartikan sebagai pendidikan untuk
membiasakan hidup suci, lembut dan indah. Upacara ini diberikan kepada anak, mulai dari dalam
perut sang ibu dengan upacara Magedong-gedongan, kemudian lahir dan berganti status menjadi
anak-anak, remaja sampai menginjak dewasa dan akhirnya ke jenjang perkawinan. Semua
aktivitas yang dilaksanakan melalui upacara yajna yang disebut pula dengan nama Samskara
atau Sangaskara.
Sangaskara bukanlah sekedar bersifat formalitas ataupun tradisi yang bersifat tradisional,
melainkan memiliki makna bersifat ke luar dan ke dalam. Sifat ke luar itu adalah perbuatanperbuatan religi dengan segala bentuk proses lahiriah yang dialami orang itu. Sifat ke dalam itu
yaitu sifat spiritual
yang bertujuan untuk membentuk jiwa yang sempurna, oleh karena
sangaskara dimaksudkan untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang bertujuan untuk hidup
suci dan mulia. Dapat dikatakan bahwa sangaskara sebagai tujuan pendidikan mempunyai unsur
kebudayaan yang pelaksanaannya dapat dirasakan setelah sangaskara sebagai suatu keharusan.
Pengalaman yang diperoleh dapat secara langsung merupakan pengalaman spiritual dan etika
untuk melakukan perbuatan-perbuatan mulia.
Dalam proses pendidikan agama Hindu, nilai-nilai kesusilaan mendapatkan tempat yang
paling penting dibandingkan dengan nilai-nilai yang lainnya. Dalam kitab Sarasamuccaya
menguraikan tentang pentingnya kesusilaan dalam kehidupan manusia sebagai berikut :
Susila itu adalah yang paling utama pada titisan sebagai manusia. Jika ada
perilaku manusia tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya,
dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaannya ? Sebab sia-sia itu semua, jika
tidak ada penerapan kesusilaan atau budhi pekerti yang luhur
Sarasamuccaya 159-160
Berdasarkan hal tersebut di atas maka tujuan pendidikan agama Hindu tetap berlandaskan
atas pembentukan kepribadian yang luhur dan budhi pekerti yang tinggi. Oleh karena itu akan
tercapai kebahagiaan lahir dan batin. Wujud kebahagiaan lahir adalah terjaminnya kesejahteraan
hidup di dunia ini berupa ketentraman, keamanan serta kedamaian hidup yang dalam agama
Hindu disebut Jagadhita. Kebahagiaan batin adalah bersatunya kembali Atma kepada
sumbernya, yaitu Brahman sehingga manusia mendapatkan kebahagiaan yang abadi.
Secara tradisional praktek upacara keagamaan dalam mengembangkan karakter seorang
anak sejak dalam kandungan sampai dewasa dikenal dengan nama Manusa Yajna atau di India
dikenal dengan nama Sarira Samskara. Upacara tersebut terdiri dari : Garbhadhana,
Sinantonayana, Mapag rare, Namakarana, Nyambutin, Otonan, Mewinten Saraswati, Rajaswala
dan Mepandes (Titib, 2003 : 45-83).
Garbhadhana atau Upacara Magedong-gedongan
di Bali biasanya dilakukan bagi
kandungan yang berumur 6 bulan (210 hari atau 7 bulan Masehi). Adapun tujuan upacara ini
adalah memohon kehadapan Tuhan agar janin yang telah berbentuk bayi ini semakin sempurna.
Simantonayana merupakan upacara menyisir rambut istri menjadi belah dua yaitu belah ke kiri
dan ke kanan yang dilakukan oleh suaminya. Makna upacara ini yaitu untuk menjaga kondisi si
istri tetap stabil, selalu riang gembira dan penuh kebahagiaan. Upacara Mapag Rare (Jatakarma)
ini yaitu untuk menyambut kelahiran bayi, dengan menanam ari-arinya. Upacara Namaskarana,
yaitu memberikan nama kepada bayi. Nama memberikan nilai dan merupakan akar
keberuntungan, dengan nama maka seseorang memperoleh kemasyuran.
Upacara Nyambutin dilaksanakan 3 bulan setelah kelahiran bayi. Menurut kitab Gobhila
Grhyasutra menyebutkan bahwa upacara untuk mengajak anak keluar rumah hendaknya
dilaksanakan pada bulan ke-3 atau ke-4 dari kelahirannya. Upacara Otonan dilakukan saat bayi
berisia enam bulan, yang bertujuan untuk memohon keberhasilan hidup dan diakhiri dengan
pengikatan benang Tatebus dan dilanjutkan dengan pemotongan rambut bayi. Upacara
Upanayana adalah upacara bagi seorang anak yang mulai memasuki masa Brahmacari. Upacara
bertujuan agar seorang anak mulai mendapat pendidikan dari seorang guru sehingga menjadi
manusia yang sejati.
Upacara Rajasawala dilakukan ketika seorang anak menjadi seorang perjaka atau gadis
yang memasuki usia dewasa. Tujuan upacara ini adalah untuk memohon kepada Tuhan agar
perjaka dan sang gadis dapat menjaga kesucian dirinya. Upacara Mepandes atau “potong gigi”
dapat dilakukan bersamaan dengan ketika seorang anak perempuan dan seorang anak laki telah
mulai memasuki remaja. Tujuan upacara Mepandes, memohon kepada Tuhan agar anak-anak
dapat mengendalikan dirinya atau nafsunya dari berbagai godaan.
2. Asas dan Landasan Pendidikan serta Model Pendidikan Pasraman
Pendidikan karakter dimulai dari rumah tangga atau pendidikan pola informal dari
lingkungan keluarga, baik ayah, ibu, kakek, nenek, paman, bibi serta kerabat dan saudara
lainnya.
Sangaskara bukanlah sekedar bersifat formalitas ataupun tradisi yang bersifat
tradisional, melainkan memiliki makna bersifat ke luar dan ke dalam. Sifat ke luar itu adalah
perbuatan-perbuatan religi dengan segala bentuk proses lahiriah yang dialami orang itu. Sifat ke
dalam itu yaitu sifat spiritual yang bertujuan untuk membentuk jiwa yang sempurna, oleh karena
sangaskara dimaksudkan untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang bertujuan untuk hidup
suci dan mulia.
Pada dasarnya sangaskara yang diberlakukan kepada calon bayi ataupun seorang anak
merupakan tanggung jawab keluarganya. Selain kepada
anak, juga sasaran upacara ini
diperuntukkan kepada ayah dan ibunya. Sangaskara dapat diartikan sebagai pendidikan untuk
membiasakan hidup suci, lembut dan indah. Upacara ini diberikan kepada anak, mulai dari dalam
perut sang ibu dengan upacara Magedong-gedongan, kemudian lahir dan berganti status menjadi
anak-anak, remaja sampai menginjak dewasa dan akhirnya ke jenjang perkawinan. Semua
aktivitas yang dilaksanakan melalui upacara yajna yang disebut pula dengan nama Samskara
atau Sangaskara.
Selama anak tumbuh di bawah lindungan keluarga sampai menjelang remaja maupun
sampai menjelang dewasa dapat dikatagorikan sebagai pendidikan informal. Pendidikan formal
baru dilaksanakan setelah anak-anak mulai paham bahwa anak akan menuju kedewasaan dan
kelak akan mandiri di kemudian hari. Pada saat ini seorang anak mengalami tahapan proses
pendidikan di luar rumah sebagai pendidikan formal atau non formal di sebuah lembaga.
Lembaga Pasraman lebih dini mempersiapkan segala sesuatu baik mulai dari visi dan
misi sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dengan berdasarkan kepada
landasan yang berorientasi tradisi budaya Hindu. Apabila asas dan landasan filosofi pendidikan
yang diterapkan kepada pendidikan Pasraman maka konsep ini dituangkan terlebih dahulu ke
dalam visi dan misi yang akan dilaksanakan. Maka, idealnya Pasraman ke depan harus bisa
mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai ke-Hindu-annya.
Di dalam tradisi Weda, (sumber http://ngarayana.web.ugm.ac.id/2009/08/ gurukulasistem-pendidikan-yang-ideal/ diunduh 19 peb 2014), peserta didik dalam sistem Warnasrama
dharma yang didasarkan atas bakat dari masing-masing siswa. Tinjauan ini sesuai dengan
konsep Catur Warna, bahwa bakat siswa dapat diprediksi berdasarkan pada perhitungan jyotisa
kelahirannya dan dari pengamatan sang guru terhadap siswanya. Pendidikan Weda dilakukan
dalam sebuah lembaga yang disebut dengan Pasraman. Tinjauan tersebut yang sesuai dengan
konsep Catur Asrama dan konsep Catur Purusa Artha, bahwa dalam Pasraman para siswa akan
di ajarkan pengetahuan Spiritual (para vidya) dan pengetahuan Material (apara vidya). Kenapa
Weda yang dimaksudkan untuk memahami spiritual juga mengajarkan perihal ilmu material?
Hal itu disebabkan karena manusia sebagai mahluk hidup yang aktif dengan badan material ini
perlu menjaga badan ini dengan ilmu-ilmu material sehingga dengan kondisi badan dan material
yang sehat, seseorang akan dapat menjalani kehidupan spiritual secara optimal.
Ilmu pengetahuan rohani yang disebut para widya juga dikenal dengan istilah brahma
widya. Tinjauan ini sesuai dengan tujuan akhir dari konsep Catur Purusa artha, yaitu tujuan
manusia secara cepat atau perlahan-lahan adalah untuk mencapai kesejahteraan dunia dan
mencapai kebebasan atau kebahagiaan abadi. Para widya menguraikan pengetahuan tentang
Tuhan (Paramatman), Jiwa (Atman), hubungan antara Paramatman dan Atman serta bagaimana
cara menghubungkan Atman dengan Parama atman secara mendetail. Bagian dari para widya
antara lain kitab Bhagawad Gita, Purana, Upanisad dan beberapa kitab-kitab Weda lainnya.
Pengetahuan material apara widya yang dicapai pada masa Brahmacari dan Grehasta
dalam Catur Asrama, meliputi pengetahuan tentang kesenian, kesehatan, pertanian, tata negara,
astronomi, astrologi dan sebagainya. Beberapa kitab Weda yang mengajarkan apara widya
antara lain Wastu Sastra, Krsi Sastra, Dhanur Weda, Ayur Weda, Jyoti Sastra dan Manu Smrti.
Weda pada dasarnya diwahyukan untuk mengetahui, tidak lupa dan selalu ingat akan Tuhan,
Sehingga Apara vidya yang diajarkan oleh orang yang tidak menguasai para vidya atau dengan
kata lain, apara vidya yang diajarkan tanpa para vidya tidak dapat dikatakan sebagai
pengetahuan, tetapi termasuk dalam avidya (kebodohan) oleh karena tujuan utama dari esensi
Weda tidak tercapai.
Sikap siswa yang bhakti kepada guru rupaka dan guru pengajian (tekun dan hormat
kepada orang tua dan guru pengajar) dalam konsep Catur Guru, merupakan sikap total siswa
dalam ketaatan dan kepatuhan dalam menimba ilmu. Guru pengajar (guru pengajian) sebaiknya
selalu menjalin simakrama dengan orang tua murid. Dalam hal ini, guru dapat selalu
mengingatkan dan menganjurkan orang tua murid untuk memberikan perhatian kepada anaknya
terutama dalam pembinaan karakternya. Si anak selalu diberikan keteladanan akan nilai-nilai
kebaikan, taat dan tekun dalam menjalankan latihan-latihan rohani seperti persembahyangan.
Orang tua murid diharapkan selalu memberikan perhatian kepada keluarganya, terutama si anak
berhak mendapatkan pendidikan rohani (niskala) yang dilaksanakan melalui upacara manusa
yajnya (sangaskara), sejak dalam kandungan sampai usia remaja dan dewasa.
Sistem dalam Pasraman tidak mensyaratkan tempat yang modern dan mewah, tetapi
hanya mensyaratkan tempat yang kondusif untuk kenyamanan proses belajar mengajar. Para
siswa diajarkan berdasarkan asas Simple Living, High Thinking, sehingga tidaklah mengherankan
jika gurukula sering kali sengaja di bangun di tempat terpencil dengan gubuk yang sangat
sederhana dan proses belajar-mengajar berlangsung di bawah pohon di alam terbuka. Bahkan
pada jaman dahulu para putra raja dan bangsawan yang biasa dengan kemewahan harus
mengikuti gurukula atau pasraman, di hutan yang terpencil dan dalam kondisi yang sangat
sederhana. Sistem seperti ini sudah mulai dilirik oleh masyarakat modern saat ini, yaitu dengan
munculnya ide “sekolah alam” dimana proses belajar-mengajar tidak dilakukan di kelas, tetapi
dengan proses belajar-mengajar secara langsung di alam terbuka.
Unsur utama dalam gurukula dan pasraman adalah pendidik dan peserta didik. Kedua
unsur ini harus memenuhi kualifikasi-kualifikasi yang diatur dalam Weda. Kualifikasi seorang
Guru/pendidik disebutkan dalam Bhagawad-gitä 18.42:
çamo damas tapah çaucah kñäntir ärjavam eva ca
jïänam vijïänam ästikyah brahma-karma svabhäva-jam
Jadi sang guru harus memiliki kualifikasi;
Sama
Dama
Tapa
- kedamaian
- pengendalian diri
- pertapaan
Saucam Ksanti
Arjawam
Jnanam
Wijnanam
Astikyam
kesucian
- toleransi
- kejujuran
- pengetahuan
- kebijaksanaan
- taat pada prinsip keagamaan
Sedangkan untuk kualifikasi seorang murid dijelaskan dalam Bhagavad-gitä 4.34;
tad viddhi praëipätena paripraçnena sevayä
upadekñyanti te jïänaà jïäninas tattva-darçinaù
Dengan demikian seorang murid harus pratipat (tunduk hati), prasna (bertanya) dan guru
sewa yaitu melakukan pelayanan kepada gurunya. Hanya dengan adanya kualifikasi-kualifikasi
inilah proses belajar-mengajar, hubungan persaudaraan antara anak didik dan pendidik dapat
berlangsung dengan baik dan output-nya pun dipastikan akan mendapatkan alumni yang
berkualitas dan bermoral sehingga benar-benar bermanfaat dalam kehidupan masyarakat.
Jika kita komparasi sistem pendidikan modern dengan sistem pendidikan yang
disyaratkan Weda dalam sistem pendidikan gurukula dan pasraman, maka dapat kita lihat
ketimpangan yang sangat jauh. Dalam kurikulum pendidikan modern sering kali pengetahuan
ketuhanan dan pendidikan moral dikesampingkan. Persyaratan moral tenaga pendidik tidak
terlalu diindahkan dan hanya memandang profesionalitas pendidik dari segi pengetahuan
material/apara vidya-nya saja. Demikian juga dalam proses penerimaan murid hanya melihat
dari faktor kecerdasan calon murid dan malahan seringkali faktor material keluarga calon murid
lebih di prioritaskan. Sehingga tidaklah mengherankan jika lulusan-lulusan dari sistem
pendidikan saat ini sering kali hanya menghasilkan manusia-manusia berpengetahuan material
yang tidak bermoral. Ilmu yang diperolehnya digunakan untuk maksud-maksud jahat, melakukan
teror, memperdaya orang lain dan menyebarkan keangkara-murkaan yang pada akhirnya
berpotensi menghancurkan peradaban manusia. Peserta didik yang memiliki karakter seperti
inilah dalam dunia pendidikan yang sebaiknya harus dihindari pada jaman modern ini.
Mengutip pendapat yang disampaikan Indra Udayana (2004), ada tiga hal yang belum
dikuatkan dalam pengembangan pasraman, yakni :
Pertama, memajukan pasraman. Banyak pasraman yang dikelola secara sederhana. Manajemen
dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh pengasuhnya.
Dalam hal ini, pasraman perlu berbenah diri.
Kedua, bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Hindu agar kreatif-produktif, dengan
tidak melupakan orisinalitas ajaran Hindu. Salah satu contohnya bahwa para siswa masih setia
dengan tradisi keasramannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai
ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.
Ketiga, membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya dapat diwarnai oleh jiwa dan
tradisi Hindu. Di sini, pasraman diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi
yang bersemangat Hindu di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya
menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi. Namun demikian, pasraman akan
tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Hindu yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia
unggul. Prinsip pasraman adalah tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan
mengambil hal-hal baru yang positif. Persoalan-persoalan yang berpautan dengan civic values
akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang pasraman selama ini dan tentunya
dengan perombakan yang efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai
umat manusia.
Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan,
pengembangan pasraman harus terus didorong. Karena pengembangannya tidak terlepas dari
adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah
menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pasraman. pasraman diharap mampu
mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Hindu di tengah hembusan dan
pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk
teknologi.
E. SIMPULAN
Pendidikan Nasional
(di Indonesia) adalah pendidikan bangsa yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia
dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Dalam penyelenggaraan pendidikan yang
bersifat khusus seperti lembaga Pasraman tentulah tidak bertentangan dengan azas tersebut,
hanya saja lebih banyak penekanannya kepada pendidikan rohani dan jasmani, material dan
spiritual untuk mencapai tujuan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam penyelenggaraan pasraman sebaiknya tetapkan dulu asas dan landasan
pendidikannya yang akan dituangkan ke dalam visi dan misi lembaga pasraman. Sebagai studi
tentang Asas dan landasan pendidikan pasraman untuk mengembangkan karakter yang mulia,
disiplin, dan bertanggung jawab baik kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah, dalam
tradisi dan budaya Hindu didasarkan atas
(1) Kitab Sruti, Smŗti, tradisi Sila, Acara, dan
Atmanastuti sebagai landasan hukum dalam meniti hidup, (2) landasan pendidikan seumur hidup
dalam konsepsi pendidikan Catur Asrama, (3) landasan filosofi pendidikan untuk mencapai tujuan
hidup dalam konsep Catur Purusa artha, (4) landasan filosofi pendidikan berdasarkan sifat, bakat
dan kemampuan dalam konsep Catur Warna, (5) landasan filosofi pendidikan dalam konsep Catur
Guru, dan (6) landasan filosofi pendidikan rohani melalui sangaskara (samskara) dalam upacara
Manusa yajnya.
Dalam menuangkan dan merumuskan visi dan misi pendidikan Pasraman hendaknya
dinaungi dan tidak bertentangan dengan asas Pancasila dan UUD 45, demikian pula
diselenggarakan dengan konsep-konsep tradisi dan budaya Hindu yang semuanya sebagai
landasannya. Asas yang dapat ditambahkan pada jaman modern ini adalah pendidikan yang
berwawasan IPTEK dimana para siswa masih setia dengan tradisi keasramannya, tetapi mereka
juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Oka Punia atmaja, I B., 1970. Silakrama. Jakarta. Departemen Agama RI.
Titib, I Made, 2003. Menumbuh-kembangkan Pendidikan Budhi Pekerti pada Anak. Jakarta :
Ganesa Exact.
Wiana, I Ketut, 2002. Makna Upacara Yajna dalam Agama Hindu. Surabaya :
Paramita
Dokumen :
Kumpulan Undang Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, Dirjen Pendidikan
Depag RI, 2007 : 245-247).
Kurikulum Pendidikan Agama Hindu untuk SMA, 2004.
Aryayunedi, I Gusti (http://serbaserbihindu.blogspot.in/2012/10, diunduh 19 peb
2014).
http://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/11/08/landasan-pendidikan-dan-penerapannya/
diunduh 3 mart 2014
(http://sukarma-puseh.blogspot.com/2010/10/penelitian-pendidikan-hindu.html, diunduh 4 Mart
2014).
(http://ngarayana.web.ugm.ac.id/2009/08/gurukula-sistem-pendidikan-yang-ideal/ diunduh 19
peb 2014
Download