Tanggung Jawab Operator Seluler Landlord Terhadap Kerugian

advertisement
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN,
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS MENGENAI
PERTANGGUNGJAWABAN OPERATOR SELULER
SEBAGAI LANDLORD DAN PELANGGAN SEBAGAI
PENYEWA (TENANT)
Dalam BAB ini, Penulis mendeskripsikan mengenai prinsip-prinsip
hukum umum yang memerintah hubungan antara penyewa dan penerima sewa
selajutnya hubungan sewa-menyewa itu Penulis transposisi1 sebagai hubungan
hukum landlord dan tenant. Setelah itu, Penulis mencari atau menganalisis
bagaimana aspek pertanggungjawaban pelaku usaha penyelenggara jasa
telekomunikasi sebagai landlord terhadap pelanggan dalam hal ini sebagai
tenant dalam hubungan hukum sewa-menyewa telekomunikasi yang sudah
ditransposisikan sebagai hubungan hukum landlord and tenant. Seperti telah
dikemukakan di Bab I, Rumusan Masalah Penelitian dan Penulisan Karya Tulis
Ilmiah ini adalah: Bagaimana tanggungjawab hukum operator sellular sebagai
1
Transposisi adalah tren metoda dalam studi perbandingan hukum (comparative laws), ditemuka
suatu penelitian hukum yang tidak dipublikasikan dalam Law Reporting Skotlandia. Mengenai
hal ini lihat catatan kaki No. 34 dalam buku Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D berjudul Kontrak
Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas kristen Satya Wacana Salatiga, hal.,
42.
1
Landlord, atau pihak penyelenggara 2 telekomunikasi, dalam hubungan hukum
dengan pelanggan3 sebagai penyewa (tenant)?.
Rumusan permasalahan itu mengandung konsep ―bagaimana‖. Oleh
sebab itu, soalnya adalahapakah yang dimaksudkan dengan konsep kata tanya
―bagaimana‖,dalam rumusan masalahBagaimana tanggung jawab penyelenggara
atau operator telepon sellular sebagai Landlord itu dapat dijelaskan dengan
mem-break-downrumusan masalah dalam kalimat tanya itu dengan pertanyaanpertanyaan yang lebih rinci yaitu misalnya: (1) dapatkan operator telepon
sellular disebut sebagai pihak (the party to contract) dalam hubungan hukum
sewa-menyewa atau hubungan hukum Landlord and Tenant?; (2) apakah
rasionalisasi atau alasan pembenar yuridis bahwa operator telepon sellular itu
sejatinya adalah pihak Landlord dalam hubungan hukum Landlord and Tenant?:
(3) apabila operator telepon selluar itu adalah pihak (the party to contract) yang
disebut Landlord; maka, apa sajakah kewajiban atau tanggung jawab yang harus
si operator telepon selluar sebagai Landlord itu pikul dalam suatu hubungan
hukum sewa-menyewa telekomunikasi?; (4) kapankah tanggung jawab operator
telepon sellular sebagai pihak Landlord itu dimulai dan kapankah tanggung
2
UU Telekomunikasi, Pasal 1 Ayat (7) mendefinisikan penyelenggara telekomunikasi sebagai
perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah BUMD), Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara.
Pasal tersebut juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi itu
merupakan Landlord atau pemberi sewa telekomunikasi kepada pihak pelanggan (tenant).
3
Seperti sudah dikemukakan dalam catatan kaki No. 44 dalam Bab terdahuli Skripsi ini, UU
Telekomunikasi, Pasal 1 Ayat (7) mendefinisikan penyelenggara telekomunikasi sebagai
perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah BUMD), Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara.
Pasal tersebut juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi itu
merupakan Landlord atau pemberi sewa telekomunikasi kepada pihak pelanggan (tenant).
2
jawab seperti itu berakhir? (5) bagaimanakah cara hukum menyediakan jalan
penyelesaian kepada pihak Tenant untuk meminta pertanggungjawaban si pihak
Landlord manakala si pihak Landlord itu diduga merugikan kepentingan atau
hak-hak si pihak Tenant?; (6) apakah sifat dari pertanggungjawaban pihak
Landlordkepada si pihak Tenant itu? Apakah sifat pertanggungjawaban tersebut
adalah privat ataukah sifat pertanggungjawaban publik yang dituntut dari pihak
Landlord ataukah justru sifat pertanggungjawaban Landlord itu adalah suatu
pertanggungjawaban hybrid –campuran privat-publik— yang merupakan sifasifat ―antara‖ publik dan sifat keperdataan?dan sebagainya. Semua jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan di atas Penulis sebut sebagai jawaban atas pertanyaan
―bagaimana‖ di balik rumusan permasalahan sebagaimana telah Penulis
kemukakan di atas.Tambahan pula, dengan dengan demikian menjelaskan
―bagaimana‖ pertanggungjawaban operator telepon sellular sebagai Landlord
dalam hubungan hukum sewa-menyewa telekomunikasi dengan pihak Tenant
sebagai pihak (the other party to contract) pelanggan jasa telekomunikasi.Sesuai
dengan judul Bab II di atas, maka jawaban-jawaban itu pertama-tama harus
dicari secara konsepsional. Yang Penulis maksudkan sebagai pencarian atau
penyelidikan konsepsional untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagaimana
sebagian besar dirinci di atas itu adalah studi
(research) kepustakaan.
Selanjutnya dalam bagian analisis, dengan memedomani atau menjadikan tolak
ukur jawaban yang melukiskan ―bagaimana‖ pertanggungajwaban pihak
operator telepon sellular yang teoretis hasil temuan di dalam kepustakaan itu
dicari lagi kaedah-kaedah yang sama memanifestasikan diri dalam putusan-
3
putusan pengadilan yang menjadi satuan amatan Skripsi ini. Gambaran atas hasil
pencarian segala sesuatu di balik konsep ―bagaimana‖ dalam rumusan masalah
Bagaimana pertanggungjawaban pihak operator telepon sellular yang ditemukan
dalam putusan-putusan tersebut, Penulis sebut sebagai suatu analisis.Hasil dari
analisis itu kemudian Penulis distilasi atau ambil intisarinya dan dirumuskan
sebagai simpulan-simpulan, bagian yang dibutuhkan sebagai temuan penelitian
Skripsi ini.
2.1. Hubungan Hukum Landlord dan Tenant Sebagai Hubungan Sewa
Menyewa
Di atas telah Penulis dalilkan bahwa pada prinsipnya hubungan hukum
Landlord and Tenant yang merupakan suatu institusi hukum di Inggris, terutama
di Skotlandia itu sejatinya atau pada hakikatnya apabila ditransposisikan adalah
merupakan hubungan hukum yang identik dengan hubungan hukum sewamenyewa sebagaimana diatur dan dikenal dalam KUHPerdata Indonesia.
Hanya saja, ada aspek-aspek tertentu yang unik dalam kedua institusi
hukum yang sejenis dan berlaku di negara-negara yang berbeda itu. Keunikan itu
adalah bahwa sekalipun institusi hukum Landlord and Tenant tersebut berlaku
dalam suatu sistem hukum yang agrarisdan feodal di Inggris dan terutama
Skotlandia, namun, di sana, di kedua negara itu, institusi tersebut berkembang
sehingga dapat juga dipergunakan secara konstruktif pula untuk memahami
kaedah yang sama mengatur hubungan hukum di luar bidang-bidang agraris,
seperti yang dibicarakan Skripsi ini; yaitu dalam bidang telekomunikasi.
4
Studi terhadap satuan amatan4 yang ada juga membuktikan bahwa dalam
Undang-undang Telekomunikasi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik5 di
Indonesia keunikan itu muncul pula.Hanya saja, ketiadaan kepustakaan 6 yang
menjelaskan mengenai hal itu telah menyulitkan Penulis untuk memberikan
pembenaran kepustakaan atau konsepsional dan teoritis mengenai dalil yang
dikemukakan oleh Penulis tersebut. Sekalipun begitu, dalam satuan amatan studi
perbandingan (transposition) Skripsi ini dapat ditemukan bahwa keunikan dalam
hubungan hukum Landlord and Tenant yang berlaku di Inggris dan terutama
Skotlandia tersebut, dimana hubungan hukum itu juga dapat diterapkan dalam
bidang telekomunikasi dan transaksi elektronik juga berlaku di luar bidang
pertanahan yang agraris, dalam hal ini mengatur pula bidang telekomunikasi di
Indonesia. Dalam UU Telekomunikasi dirumuskan bahwa:
―Penyelenggara jasa telekomunikasi dalam menyelenggarakan jasa
telekomunikasi,
menggunakan
dan
atau
menyewa
jaringan
telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi‖ 7 .
Dalam
Penjelasan
UU
Telekomunikasi
juga
diatur
bahwa:―Penyelenggara jasa telekomunikasi dapat menggunakan
4
Mengenai satuan amatan perundang-undangan dari Skripsi ini, lihat Bab I, sub judul:
Metodologi Penelitian, hal. 21-22
5
Sebetulnya, secara eksplisit UU ITE tidak memberi isyarat seperti itu, hanya saja, dengan
berlakunya asas konvergensi antara UU ITE dan UU Telekomunikasi di Indonesia dan juga
kecenderungannya di dalam Literatur Internasional, maka Penulis berpendapat bahwa hubungan
hukum Landlord and Tenant yang ada di dalam kedua bidang yang saling berkaitan erat itu yaitu
Telekomunikasi dan ITE harus ada.
6
Penulis berterima kasih, bahwa ditengah kesulitan untuk memperoleh rujukan kepustakaan
tersebut Bapak Jeferson Kameo telah mengijinkan Thesis Ph.D yang tidak dipublikasikan dalam
bidang ini dijadikan referensi.
7
Lihat UU Telekomunikasi Pasal 9 Ayat (2).
5
jaringan yang dimilikinya dan atau menyewa dari penyelenggara
telekomunikasi lain. Jaringan telekomunikasi yang disewa pada
dasarnya digunakan untuk keperluan sendiri, namun apabila
disewakan kembali kepada pihak lain, maka yang menyewakan
kembali tersebut harus memperoleh izin sebagai penyelenggara
jaringan telekomunikasi‖.
Dalam rumusan Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi tersebut
dapat
ditarik
2
unsur
dari
perjanjian
sewa-menyewa
jaringan
telekomunikasi.Unsur pertama merupakan suatu perjanjian (kontrak) antara
pihak penyewa dan pihak yang menyewakan.Unsur yang kedua adalah
obyek sewa yaitu jaringan telekomunikasi. Pasal 27 Ayat 1 UU
Telekomunikasi jo Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 52 tahun
2000 tentang Penyenggaraan Telekomunikasi juga telah menambahkan
satu unsur dalam perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi yaitu
adanya tariff sewa jaringan dalam hubungan hukum sewa menyewa
tersebut.8
Disamping rumusan ketentuan sebagiamana telah dikemukakan di
atas, tanda-tanda akan dipergunakannya institusi Landlord and Tenant
yang oleh Penulis telah diidentikkan dengan hubungan hukum sewamenyewa itu dalam bidang telekomunikasi juga nampak dalam UU
Telekomunikasi, terutama dalam Pasal 1 Ayat (11). Dalam Pasal itu,
hubungan sewa-menyewa tidak hanya berlaku antara para penyelenggara
jasa telekomunikasi (operator telepon seluler) dan penyelenggara jaringan
8
Lihat Pasal 27 Ayat 1 (1) UU Telekomunikasi joPasal 35 Ayat (1) PP Nomor 52 Tahun 2000
Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
6
telekomunikasi tetapi juga meliputi hubungan hukum antara pengguna jasa
telekomunikasi yang di dalamnya adalah pelangggan sebagai (Tenant)
dengan operator telepon selluler sebagai pemberi sewa yang disebut
dengan Landlord.
Dengan memperhatikan perspektif konsepsional seperti telah Penulis
kemukakan di atas itu maka terjawablah sudah pertanyaan pertama yang sudah
lebih dahulu Penulis rinci dalam kaitannya dengan apa yang ada di balik konsep
―bagaimana‖ di dalam rumusan masalah Skripsi ini sebagaimana dikemukakan
di atas yaitu: dapatkan operator telepon sellular disebut sebagai pihak dalam
hubungan hukum sewa-menyewa atau hubungan hukum Landlord and Tenant?.
Jawabannya adalah dapat. Uraian itu juga dengan demikian menjawab
pertanyaan yang kedua di atas, yaitu: apakah rasionalisasi atau alasan pembenar
yuridis bahwa operator telepon sellular itu sejatinya adalah pihak Landlord
dalam hubungan hukum Landlord and Tenant? Rasionalisasi atau alasan
pembenar yuridis itu adalah Undang-undang Telekomunikasi dan UU ITE yang
berlaku di Indonesia saat ini.
Perlu Penulis tekankan di sini bahwa kedua Undang-undang tersebut (UU
ITE dan UU Telekomunikasi) berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya
karena kedua undang-undang itu harus tunduk kepada asas konvergensi yang
dikenal dan disebutkan secara eksplisit di dalam kedua undang-undang tersebut.
Itu berarti bahwa baik hubungan hukum telekomunikasi antara operator telepon
selluler dengan pelanggannya tunduk kepada ketentuan umum mengenai sewa-
7
menyewa (Landlord and Tenant) dan juga semua ketentuan khusus yang
mengatur mengenai kedua bidang itu di dalam kedua undang-undang tersebut
dan di dalam kaitannya dengan ketentuan-ketentuan lainnya di dalam sistem
hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Unsur dalam hubungan hukum sewa menyewa dalam telekomunikasi
adalah suatu perjanjian (a contract), jaringan telekomunikasi, tarif sewa jaringan,
dan jangka waktu sewa jaringan serta yang tidak kalah penting adalah para pihak
yang mempunyai kecakapan (capacity) dan kekuasaan (power) untuk melakukan
hubungan hukum tersebut.Perjanjian sewa menyewa jaringan telekomunikasi
merupakan
suatu
perjanjian
antara
penyelenggara
telekomunikasi
dan
pelanggan.Dengan adanya perjanjian di antara para pihak tersebut maka terdapat
keharusan
yang melekat pada kedua pihak yang telah mengikatkan
diri.Keharusan
disini
adalah
keharusan
bagi
penyelenggara
jaringan
telekomunikasi untuk memberikan hak atas kenikmatan dari jaringan/jasa
telekomunikasi yang disewakan dan sekaligus keharusan bagi pelanggan untuk
membayar sewa tarif jaringan tersebut sebagai kontra prestasi dalam jangka
waktu yang telah disepakati kedua pihak atau berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku sebagai hukum positif.9
2.1.1. Pengertian Landlord dan Tenant (the Parties to Contract)
Dalam penelitian ini, Penulis hendak mengatakan bahwa hubungan
antara landlord dan tenant adalah juga merupakan hubungan hukum antara
pelaku usaha di satu sisi dengan pihak konsumen di sisi yang lain. Dalam hal ini
9
Caesar,op cit., hal.,38.
8
penyelenggara telekomunikasi berkedudukan selaku pelaku usaha adalah
Landlorddan pelanggan sebagai konsumen adalah pihak Tenant.Dalam kaitan
dengan itu penyelidikan Penulis atas Blacks Law sebagai suatu kepustakaan,
ditemukan penjelasan mengenai pengertian landlord10yaitu who are leases real
property to another dan tenant11one who holds or possesses lands or tenements
by any kind of right or title. Dijelaskan pula mengenai hubungan antara landlord
dan tenant, yaitu:
―The legal relationship between the lessor and lessee of real estate.
The relationship is contractual, created by a lease (or agreement
for lease) for a term of years, from year to year, for life, or at will,
and exists when one person occupies the premises of another with
the lessors permission or consent, subordinated to the lessor’s title
or rights. There must be a landlord’s resersion, a tenant’s estate,
transfer of possession and control of the premises, and (generally)
an express or implied contract”.12
Sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, hubungan hukum sewamenyewa tersebut, secara konstruktif dapat pula ditemukan dalam rumusan
ketentuan Pasal
9 Ayat
(2) UU Telekomunikasi
yang menjelaskan
bahwa:―Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 Ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan
10
Black, Henry Campbell,” Black’s Law Dictionary“, St Paul Minn: West Publishing Co.,1990.
Hal., 878.
11
Ibid.,hal.,1466.
12
Ibid.,hal.,878.
9
jasa dan/atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan
telekomunikasi‖
Selanjutnya, dalam bagian penjelasan Pasal 9 (2) UU tersebut di atas
dikatakan bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi yang memerlukan jaringan
telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang dimilikinya atau menyewa
dari penyelenggara jasa telekomunikasi lainnya.Jaringan telekomunikasi yang
disewa pada dasarnya digunakkan untuk keperluan sendiri, namun apabila
disewakan kembali (sub-lease) kepada pihak lain, maka yang menyewakan
kembali tersebut harus mempunyai ijin sebagai penyelenggara jaringan
telekomunikasi.13 Sedangkan pengertian Pelanggan dalam UU Telekomunikasi
adalah Perseorangan, Badan Hukum, Instansi Pemerintah yang menggunakan
jaringan
telekomunikasi
dan
atau
jasa
telekomunikasi
berdasarkan
kontak.14Dalam pengertian ini, dapat diketahui bahwa hubungan hukum yang
terjadi antara penyelenggara operator dan pelanggan adalah hubungan kontrak,
dalam hal ini kontrak/ perjanjian sewa-menyewa atau ditransposisikan sebagai
hubungan hukum Landlord and Tenant.
13
Lihat Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Telekomunikasi.Dalam hal ini, penulis berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan pihak lainnya diantaranya adalah pihak Pelanggan jasa
telekomunikasi.
14
Lihat Pasal 1 Angka (9) UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
10
2.1.2. Tinjauan Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa
Sebelum memahami pengertian dari perjanjian sewa-menyewa yang
telah Penulis transposisikan sama dengan hubungan hukum Landlord and
Tenant, maka berikut ini apa yang dimaksudkan dengan perjanjian pada
umumnya. Di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
memberikan definisi mengenai perjanjian sebagai berikut: Suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. 15 Kata perbuatan pada perumusan tentang
persetujuan sebagai yang disebutkan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata lebih tepat kalau diganti atau dipahami dengan kata perbuatan
hukum/tindakan hukum mengingat bahwa dalam suatu perjanjian, akibat hukum
yang muncul memang dikehendaki para pihak. 16 Kata perbuatan itu dalam
Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum sama dengan konsep to do, to give, not to
do atau not to give sebagaimana dirumuskan dalam pengertian Kontrak sebagai
nama ilmu hukum berikut ini:
“It is the group of kinds of obligations all concerned with legal
duties undertaken by persons, by promises to, or agreement with,
another, to give or do or refrain from doing something to or for
another, or with legal duties imposed by law to give or do
somenthing to or for another where justice requires it hhough there
15
Lihat Pasal 1313, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
16
J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Cet. 1, Bandung , Citra Aditya
Bakti, 1992, Hal., 7.
11
is no promise” 17 . (Maksudnya, Segenap kewajiban bagi setiap
orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk
memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap
atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap
kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk
memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau
untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak
diperjanjikan sebelumnya18”).
Rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tersebut hendak memperlihatkan bahwa suatu perjanjian
adalah:19Suatu perbuatan;Antara sekurangnya 2 (dua) orang;Perbuatan tersebut
melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut.
Selain yang diberikan oleh Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, beberapa sarjana juga memberikan perumusan mengenai perjanjian.
Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan
atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hukum
pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan para pihak
lain untuk menunaikan prestasi.20 Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian
17
Lihat definisi Konrak oleh Jeferson Kameo Ph.D., dalam Thesis Doktor berjudul: A
Comparative Study of the Indonesian Law of Leases with Reference to Scottish Law of Leases as
a Model for Reform of Its Indonesian Counterparts‖, June 2005, Faculty of Law and Financial
Studies University of Glasgow, Scotland. tidak dipublikasikan.
18
Terjemahan diambil dari buku yang ditulis penulis yang sama, Kontrak Sebagai Nama Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, hal., 2.
19
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cet. 1, Jakart,
Raja Grafindo Persada, 2003, Hal., 7.
20
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet. 1, Alumni, Bandung, 1986, hal.,6.
12
sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak
dimana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal
atau untuk tidak melakukan sesuatu hal. 21 Menurut Abdul Kadir Muhammad,
perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta
kekayaan.
22
Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal.
23
Perjanjian merupakan sumber yang
menimbulkan perikatan.Selain perjanjian, perikatan juga dapat timbul dari
Undang-Undang.Suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak yang mengadakan perjanjian.24 Pada umumnya perikatan
yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam
kehidupan manusia sehari-hari. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber
perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan
dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang.25
Dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat
dikatakan bahwa, Pasal itu mengandung suatu pernyataan bahwa kita
21
22
23
R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bale, Bandung,1989, hal., 9.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, bandung, 1993, hal., 78.
R. Subekti,Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, hal.,1.
24
Ibid.,hal.,4.
25
Lihat Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
13
diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita
sebagaimana mengikatnya Undang-Undang. Prinsip yang terkandung dalam
ketentuan di atas, jelaslah bahwa suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan dan
dapat pula dalam bentuk tulisan.Jika dibuat secara tertulis, hal ini bersifat
sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan di kemudian hari. Pasal
1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan: Suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk
itu. Ada persetujuan-persetujuan dimana untuk setiap salah satu pihak
menimbulkan
suatu
kewajiban
yang
berkelanjutan,
misalnya:
sewa
menyewa. 26 Selain itu, Perjanjian menurut Black’s Law Dictionary adalah:
“Contract : an agreement between two or more persons which creates an
obligation to do or not to do a peculiar thing”.27
Sementara itu dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyebutkan: Semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad
baik, dan hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu
perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.28
Salah satu bentuk dari perjanjian adalah sewa-menyewa.Perjanjian sewamenyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan huur en verhuur. Sedangkan
dalam bahasa Inggris sewa menyewa disebut dengan rent atau hire. Dari
26
R. Setiawan, Op. Cit, hal., 64
27
Black’s Law , Op Cit. hal., 322.
28
R. Subekti, Op. Cit, hal.,41.
14
pengertian leksikal kata sewa dan menyewa tersebut dapat mendekati hakikat
sewa menyewa sebagai suatu hubungan hukum yang termasuk dalam perjanjian
timbal balik. 29 Unsur-unsur sewa menyewa terdiri dari 3 unsur.Petama, sewa
menyewa mengandung suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan (pada
umumnya pihak pemilik barang) dengan pihak penyewa, pihak yang
menggunakan (use) 30 barang.Kedua, pihak yang menyewakan menyerahkan
sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati (volledige
genot).31
Perjanjian sewa menyewa adalah sebagai salah satu bentuk perjanjian
yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan merupakan
perjanjian timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau
berdasarkan kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian
yang sering terjadi dalam kehidupan di masyarakat.32 Perjanjian sewa menyewa
diatur dalam ketentuan Buku Ketiga Bab Ketujuh Pasal 1548 sampai pasal 1600
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.33
29
Caesar Wauran, Op. Cit., hal.,15.
30
Kata use ini sama dengan kata menggunakan yang ada di dalam UU Telekomunikasi, terutama
ketika UU itu berusaha untuk mendefinisikan pihak-pihak yang ada di dalam hubungan hukum
dengan obyek telekomunikasi, misalnya yang terdapat di dalam Pasal 1 Ayat (11). Itulah
sebabnya, menurut pendapat Penulis, dan juga didukung oleh pendapat yang didasarkan atas
pengkajian mendalam oleh beberapa penulis Skripsi terdahulu seperti Caesar Wauran SH.,
penggunaan kata ―use” sebagai inti dari institusi sewa-menyewa atau Landlord and Tenant oleh
UU Telekomunikasi merupakan isyarat eksplisit bahwa hubungan hukum dalam bidang
telekomunikasi maupun ITE itu adalah hubungan hukum sewa-menyewa.
31
Caesar,Op.Cit.,hal., 15.
32
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perjanjian dan Perikatan, Pradya Paramita, Jakarta, 1987,
hal., 53.
33
KUHPerdata.
15
Perjanjian sewa-menyewa pada dasarnya tergolong dalam jenis
perjanjian untuk memberikan/menyerahkan sesuatu yang diatur dalam Buku III
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimaksud dengan sewa-menyewa adalah
suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk
memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu
waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut
terakhir itu disanggupi pembayarannya. 34 Perjanjian sewa-menyewa termasuk
dalam perjanjian bernama.Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensual,
artinya perjanjian ini sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya
kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.Peraturan
tentang sewa-menyewa ini berlaku untuk segala macam sewa-menyewa,
mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak,
yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu,
karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.35
Menurut Subekti perjanjian sewa menyewa adalah:
“Suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan
menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu
tertentu sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar
harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu
yang ditentukan”.36
34
35
36
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 2002, hal.,123.
R. Subekti, Op. Cit, hal., 1.
Ibid., hal.,164.
16
Adapun pengertian perjanjian sewa-menyewa menurut M. Yahya
Harahap adalah sebagai berikut: ―Perjanjian sewa-menyewa adalah persetujuan
antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang
menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada
penyewa untuk dinikmati sepenuhnya‖.37
Asas-asas hukum perjanjian sewa-menyewa tercantum dalam Pasal 1548
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa sewa-menyewa
merupakan suatu perjanjian dimana terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri
yang saling memberi prestasi dan tegen prestasi yaitu pihak yang menyewakan
memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang lain selama
suatu waktu tertentu dan pihak penyewa memberikan tegen prestasi berupa
pembayaran sesuatu harga yang disanggupi dan merupakan kesepakatan antara
kedua belah pihak. Di dalam asas hukum perjanjian sewa menyewa tersebut di
atas terdapat unsur-unsur dari sewa menyewa yang antara lain adalah‖
Merupakan suatu perjanjian;Terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri;Pihak
yang satu memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang lain
selama suatu waktu tertentu dan pihak yang lain membayar pada sesuatu harga
atas kenikmatan yang diperolehnya dari barang tersebut.
2.1.3. Telekomunikasi Sebagai Obyek Hubungan Hukum Landlord and Tenant
Dalam perjanjian sewa menyewa ditemui adanya sesuatu yang menjadi
objek. Pada dasarnya apa yang menjadi objek sewa menyewa adalah apa yang
37
M. Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal.,220.
17
merupakan objek hukum. Jadi objek sewa menyewa adalah merupakan objek
hukum. Yang dimaksud dengan objek hukum (recht subject) adalah: segala
sesuatu yang bermanfaat dan dapat dikuasai oleh subjek hukum serta dapat
dijadikan objek dalam suatu hubungan hukum.38 Demikian pula halnya dengan
yang terjadi dalam perjanjian sewa menyewa ini meliputi segala jenis benda baik
benda bergerak maupun benda tidak bergerak asal tidak dilarang oleh UndangUndang dan ketertiban umum.
Hakikat perjanjian sewa menyewa konvensional terdiri dari 4 unsur,
yaitu: merupakan suatu perjanjian, terdapat kenikmatan suatu barang, harga
sewa dan jangka waktu sewa. Unsur-unsur perjanjian sewa menyewa
konvensional tersebut memiliki kesamaan dengan unsur-unsur sewa menyewa
dalam telekomunikasi yakni merupakan suatu perjanjian, tarif sewa dan jangka
waktu sewa.Dalam perjanjian sewa menyewa telekomunikasi, hak atas
kenikmatan yang diberikan adalah hak atas kenikmatan untuk menikmati
jaringan telekomunikasi.Jaringan telekomunikasi merupakan obyek dari
hubungan hukum sewa menyewa.Sehingga dapat dikategorikan disini bahwa
jaringan telekomunikasi merupakan sebuah unsur esensial dalam hubungan
hukum atau kontrak sewa-menyewa dalam jaringan telekomunikasi landlord dan
tenant.39
38
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty, 1999,
hal.,68.
39
Caesar,Op.Cit., hal 39.
18
2.2. Presumtion of Liability Principle, Hubungan Hukum Landlord dan
Tenant
Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai
dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung
jawab.Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan
dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum.
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus
hukum, yaitu liability dan responsibility.Liability merupakan istilah hukum yang
luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang
pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan
kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan,
biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undangundang.Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu
kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan
meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang
dilaksanakan.Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability
menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat
kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility
menunjuk pada pertanggungjawaban politik.40
Prinsip tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam
hukum perlindungan konsumen. Hal ini dikarenakan konsumen merupakan
40
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.,335337.
19
golongan yang rentan dieksploitasi oleh pelaku usaha, sehingga dalam hal
terdapat kasus-kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati-hatian dalam
menentukan siapa yang bertanggung jawab. Ada beberapa asas dari
perlindungan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen, yaitu:Untuk
mendapatkan keadilan;Untuk mencapai asas manfaat;Untuk mencapai asas
keseimbangan;
Untuk
mendapatkan
keamanan
dan
keselamatan
konsumen;Untuk mendapatkan kepastian hukum.
Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai
dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung
jawab.Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan
dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum. Secara teoritis
pertanggungjawaban yang terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara
pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk
bertanggung jawab dapat dibedakan menjadi:41
Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena
terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang
kurang hati-hati.Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab
yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha
atas kegiatan usahanya.Terkait dengan pertanggungjawaban didalamnya terdapat
prinsip tanggung jawab yang merupakan perihal yang sangat penting dalam
hukum perlindungan konsumen.Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen,
41
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, hal., 101.
20
diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung
jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak
terkait.42
Secara umum, terdapat beberapa prinsip-prinsip tanggung jawab dalam
hukum yang dapat dibedakan sebagai berikut:Kesalahan (liability based on
fault). Prinsip ini mengatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukan.Prinsip ini dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dipegang secara teguh. Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal
sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya
empat unsur pokok yaitu:Adanya perbuatan melanggar hukum; perbuatan
melanggar hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan dengan
kewajiban hukum si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan
dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat
terhadap diri atau benda orang lain. 43 Adanya unsur kesalahan; kesalahan ini
mempunyai tiga unsur yaitu: 44 perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan;
perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya (dalam arti objektif sebagai manusia
normal dapat menduga akibatnya dan dalam arti subjektif: sebagai seorang ahli
dapat menduga akibatnya); dapat dipertanggungjawabkan: debitur dalam
42
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia , PT Grasindo, Jakarta, 2000 , hal., 59.
43
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Press, Jakarta,
2004, hal.,130.
44
Purwahid Patrick, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dariPerjanjian dan
Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, hal,.10-11.
21
keadaan
cakap;
Adanya
kerugian
yang diderita;
Pengertian
menurut
Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang
disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar
norma oleh pihak lain. 45 Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar
dapat dibagi atas dua bagian yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian
yang menimpa harta benda seseorang, sedangkan kerugian harta benda sendiri
dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan yang diharapkan.46
Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.Prinsip ini dapat
diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti
kerugian bagi pihak korban. Artinya tidak jika orang yang tidak bersalah harus
mengganti kerugian yang diderita orang lain. Dan beban pembuktiannya ada
pada pihak yang mengakui mempunyai suatu hak, dalam hal ini adalah
penggugat.
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
sampai ia dapat membuktikan kalau ia tidak bersalah. Beban pembuktian ada
pada si tergugat. Ini dikenal dengan istilah beban pembuktian terbalik. Dalam
prinsip beban pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang
bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, hal ini tentu bertentangan dengan
asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum namun jika
diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas ini cukup relevan karena
yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan (beban pembuktian) ada pada
45
Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih, Universitas
Airlangga, Surabaya, 1985, Hal., 57.
46
Ibid..hal. 60.
22
pelaku usaha.Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya
dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan
demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.Adalah prinsip
tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang
menentukan namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk
dibebaskan dari tanggung jawab misalnya keadaan memaksa/force majeur. Pada
prinsip ini hubungan kausalitas antara pihak yang bertanggung jawab dengan
kesalahannya harus ada.
Strict liability adalah bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan
hukum), yaitu prinsip pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum
yang tidak didasarkan pada kesalahan (sebagaimana pada tort umumnya), tetapi
prinsip ini mewajibkan pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian
yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu.Dengan prinsip tanggung
jawab mutlak ini, maka kewajiban pelaku usaha untuk mengganti kerugian yang
diderita oleh konsumen karena mengonsumsi produk yang cacat merupakan
suatu risiko, yaitu termasuk dalam risiko usaha.Karena itu, pelaku usaha harus
lebih berhati-hati dalam menjaga keselamatan dan keamanan pemakaian produk
terhadap konsumen.
Di Indonesia konsep strict liability (tanggung jawab mutlak, tanggung
jawab risiko) secara implisit dapat ditemukan di dalam pasal 1367 dan Pasal
1368 KUHPerdata.Pasal 1367 KUHPerdata mengatur tentang tanggung jawab
seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di
23
bawah pengawasannya.Sedangkan Pasal 1368 KUHPerdata tentang tanggung
jawab pemilik atau pemakai seekor binatang buas atas kerugian yang
ditimbulkan oleh binatang itu, meskipun binatang itu dalam keadaan tersesat
atau terlepas dari pengawasannya.Keadaan tersesat atau terlepas ini sudah
menjadi faktor penentu tanggung jawab tanpa mempersoalkan apakah ada
perbuatan melepaskan atau menyesatkan binatangnya. Dengan perkataan lain,
pemilik
barang
dan
pemilik
atau
pemakai
binatang
dapat
dituntut
bertanggungjawab.47
Mengenai prinsip Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability),
prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai
klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian
jasa laundry misalnya jika barang kita hilang atau rusak maka ganti kerugian
hanya dibatasi yaitu 10 kali dari biaya pencucia.Prinsip tanggung jawab ini
sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelakuusaha
dan dalam UUPK seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak
menentukan klausul yang merugikan konsumen termasuk membatasi maksimal
tanggung jawabnya, jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.48
47
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumendi Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, hal.,115-119.
48
Ibid.,hal.,98.
24
Sedangkan bentuk-bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam UU No. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain:49Contractual liability,
yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku
usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikannya.
Product liability, yaitu tanggungjawab perdata terhadap produk secara langsung
dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan
produk yang dihasilkan.Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada
perbuatan melawan hukum (tortius liability). Unsur-unsur dalam dalam tortius
liability antara lain adalah unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan,
kerugian, dan hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan
kerugian yang timbul.Profesional liability, yaitu tanggung jawab pelaku usaha
sebagai pemberi jasa atas kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat
memanfaatkan atau menggunakan jasa yang diberikan.Criminal liability, yaitu
pertanggungjawaban pidana dari pelaku usaha sebagai hubungan antara pelaku
usaha dengan negara.
2.2.2.PertanggungjawabanLandlord dan Tenant dalam Telekomunikasi
Seperti yang telah disampaikan bahwa dalam penelitian ini, yang akan
menjadi payung hukum adalah UU Telekomunikasi, UU ITE, UU Perlindungan
Konsumen. Ketiga peraturan ini menganut sistem pertanggungjawaba yang sama
yaitu Praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability). Hal ini
terdapat secara eksplisit dalam masing masing ketentuan peraturan perundang49
Edmon Makarim, Op.Cit, hal.,376-377.
25
undangan. Dalam UU Telekomunikasi, terdapat pada Pasal 15:Atas kesalahan
dan atau kelalaian Penyelenggara Telekomunikasi yang menumbulkan kerugian,
maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada
Penyelenggara
Telekomunikasi;Penyelenggara
Telekomunikasi
wajib
memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), kecuali
Penyelenggara Telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya;Ketentuan mengenai
tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) dan Ayat (2) diatur Peraturan Pemerintah.50
Dalam UU ITE Terdapat dalam Pasal 15 Ayat;Setiap Penyelenggara
Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan
aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik
sebagaimana mestinya.Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab
terhadap
Penyelenggaraan
Sistem
Elektroniknya.Ketentuan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya
keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem
Elektronik.51
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, terdapat dalam Pasal
19 yang mengatakan bahwa:Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat
50
Lihat Pasal 15 UU No.No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
51
Lihat Pasal 15 UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
26
mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.Ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundanganyang berlaku.Pemberian gantirugi dilaksanakan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.Pemberian ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsur kesalahan.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1) dan Ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa
kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.52
2.3. Hasil Penelitian Putusan-Putusan Tanggung Jawab Lanlord and Tenant
Menyusul gambaran studi kepustakaan mengenai pertanggungjawaban
landlord and tenant di atas, berikut di bawah ini gambaran mengenai hasil
penelitian putusan yang menjadi satuan amatan penelitian dan penulisan karya
tulis ilmiah kesarjanaan di bidang ilmu hukum ini.Putusan tersebut yaitu Putusan
MARI 2995, hasil dari suatu pemeriksaan perkara perdata dalam tingkat kasasi
antara Pemohon Kasasi. Uraian atas Putusan MARI 2995 itu dimaksudkan untuk
melihat bagaimana institusi Landlord ad Tenant itu diuji di dalam praktek yaitu
dalam sengketa antara pihak-pihak dalam institusi Landlord and Tenant dalam
bidang Telekomunikasi di Indonesia. Di sub-2.3.,dikemukakan posita sedangkan
dalam sub-judul 2.4.dikemukakan eksepsi yang dilancarkan oleh pihak Landlord
52
Lihat Pasal 19 UUNo.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
27
atas posita yang dibangun oleh si pihak Tenantketika perkara sedang berada di
tingkat sebelum Kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia.
2.3.1. Para Pihak dalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam perkara perdata dimaksud
adalah pihak Tenant, yang dalam hal ini adalah Prof. Dr. Farouk
Muhammadbertempat tinggal di Jl. H. Mursid No. 33, RT.007/RW.004,
Kelurahan Kebagusan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dalam hal ini
memberi kuasa kepadaMuhammad Jusril, SH.,dan kawan-kawan, Para
Advokat dan Para Kandidat Advokat, berkantor di Satori Cakra Optima, Jalan
Ciparahiang No.1, Cidangiang, Kelurahan Tegal Lega, Kecamatan Tengah, Kota
Bogor 16124, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 10 Juli 2012.
Sementara itu pihak lawan yaitu si pihak Landlorddalam hal ini operator
telepon
seluler
yaitu
PT.
TELEKOMUNIKASI
SELLULAR
(TELKOMSEL), berkedudukan di Gedung Wisma Mulia Lantai G, Jl. Gatot
Subroto No. 42 Jakarta 12710, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
MARSELINUS KURNIA RAJASA, S.H., LL.M., dan kawan-kawan, Para
Advokat pada Kantor Hukum ―Rajasa Supriyadi & Hartanto‖, berkantor di
Atrium Setiabudi Lantai 2, Suite 206 B, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62, Jakarta
12920 sebagai Termohon Kasasi dahulu Tergugat/Terbanding.
Dengan tetap pada perspektif hubungan hukum Landlord and Tenant
sebagaimana didalilkan oleh Penulis, maka menurut Mahkamah Agung,si pihak
28
Tenant sebagai Pemohon Kasasi dahulunyaadalah merupakan Penggugat. Si
pihak Tenant sebelumnya menggugat sekarang si Landlord yang adalah
Termohon Kasasi di muka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam gugatan di PN Jakarta Selatan itu pada pokoknya Prof. Dr. Farouk
Muhammad sebagai Tenant mengemukakan dalil-dalil bahwa dia adalah
pelanggan –dalam konteks Skripsi ini telah ditansposisikan sebagai Tenant—
Kartu Halo Pasca Bayar dengan Nomor 0811969697 (disebut Kartu Halo)
terhitung sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu dan si pihak Landlord
adalah pengelola operator selular terbesar di Indonesia –dalam konteks Skripsi
ini telah ditansposisikan sebagai Landlord— yang mengeluarkan produk Kartu
Halo tersebut.
2.3.2. Permasalahan Arrears 53 dalam Hubungan Hukum Landlord and
Tenant
Menurut si pihak Tenant, sejak si Tenant menggunakan Kartu
Halotersebut, si Tenant tidak pernah mempunyai masalah yang berarti mengenai
pembayaran dan selalu membayar tagihan tepat waktu, artinya bahwa si Tenant
adalah pelanggan telekomunikasi yang bertanggungjawab akan kewajibankewajibannya terhadap si pihak Landlord (PT. Telokomsel). Kemudian si
Tenant dikejutkan dengan tagihan bulan September 2009 sebesar tujuh juta tujuh
ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah, sedangkan biasanya
53
Arrears adalah terminologi khusus dalam hubungan hukum Landlord and Tenant di Skotlandia.
Sedangkan pengertian dalam bahasa Inggris Umum mengenai konsepsi itu adalah: ―Debts not
paid at the due date‖. Penulis terjemahkan dengan: ―Hutang yang tidak dibayarkan pada saat
jatuh tempo‖. Lihat pengertian seperti itu dalam J. Burke, Osborn’s Concise Law Dictionary Sixt
Edition, Sweet & Maxwell, London, 1976, hlm., 33.
29
hanya sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah. Pembengkakan biaya tersebut
ternyata kemudian diketahui oleh si Tenant merupakan biaya roaming
internasional di luar negeri, yaitu selama seminggu ketika si Tenant menjalankan
kewajiban agamanya di luar negeri.Terhadap tagihan tersebut, si Tenant telah
menugaskan dua orang stafnya untuk menyampaikan keberatan dan meminta
keringanan pembayaran kepada si pihak Landlord di Kantor Grapari Telkomsel,
Jalan Gatot Subroto. Si Tenant mendalilkan bahwa dia tidak memperoleh
informasi atau tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang besarnya biaya
roaming internasional di luar negeri, tetapi si pihak Landlord melalui petugasnya
hanya menyatakan bahwa pencarian informasi dimaksud menjadi kewajiban si
pihak Tenant sebagai pelanggan. Si Tenant juga mendalilkan bahwa tanggal 21
Oktober 2009 dia dengan penuh kesadaran dan itikad baik bersedia untuk
membayar tagihan –hal ini Penulis transposisikan sebagai tagihan sewa atau rent
dalam hubungan hukum Landlord and Tenant— sebesar tujuh juta tujuh ratus
lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah itu. Menurut aturan pada
Costumer Service si pihak Landlord disepakati keduanya pembayaran tagihan
dapat diangsur maksimal sebanyak tiga kali dalam waktu tiga bulan. Penulis
melihat bahwa ada kesepakatan antara para pihak untuk mengubah ketentuan
perjanjian mereka mengenai arrears54 atau harga sewa atas penggunaan obyek
atau kenikmatan atas sewa (rent) yang terhutang.
Penulis juga berpendapat bahwa ungkapan dalam dalil si Tenant yang
ada di dalam Putusan MARI 2995 itu mengandung substansi hukum, yaitu
54
Arrears adalah harga sewa yang terhutang, istilah yang dipergunakan dalam hubungan hukum
sewa-menyewa di Inggris dalam institusi Landlord and Tenant.
30
bahwa: ―menggunakan Kartu Halo‖, dapat dipersamakan dengan menyewa jasa
telekomunikasi yang dimiliki oleh si pihak Landlord, dalam hal ini PT.
Telkomsel. Kartu Halo itu ―sama dengan‖ dokumen perjanjian elektronik antara
Tenant, si pelanggan dengan si Landlord, dalam hal ini PT. Telkomsel.
Mengenai Kontrak Elektronik itu, dalam UU ITE Psal 1 Angka (7) diartikan
sebagai: ―Perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Dalam
Ayat (5) Psal 1 UU ITE, Sistem Elektronik itu diartikan sebagai serangkaian
perangkat
dan
mengumpulkan,
prosedur
mengolah,
elektronik
yang
menganalisis,
berfungsi
menyimpan,
mempersiapkan,
menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan atau menyebarkan Informasi elektronik.
Sementara itu, Pasal 1 Ayat (1) UU ITE mendefinisikan informasi elektronik
adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data intecchange (EDI),
surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecpy atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yag mampu memahaminya.
Penulis berpendapat bahwa nampaknya Kartu Halo itu berisi informasi
elektronik yang identik dengan telekomunikasi yang manfaatnya (use) atau
kenikmatannya disewa oleh si Tenant. UU Telekomunikasi Pasal 1 Angka (1)
mengartikan telekomunikasi sebagai hal yang mirip sekali dengan informasi
elektronik yang didefinisikan oleh UU ITE. Dalam Pasal 1 Ayat (1) UU
Telekomunikasi itu pembuat Undang-undang mengatakan bahwa telekomunikasi
adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap
31
informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi
melalui sistem kawat, optik, aau sistem elektromagnetik lainnya.
2.3.3. Rent Review dalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant
Membedah Putusan MARI 2995 itu, Penulis memeroleh temuan bahwa
nampaknya hampir dapat Penulis pastikan jikalau ada semacam anggapan,
dalam hubungan hukum Landlord and Tenant antara Prof. Dr. Farouk
Muhammad dengan PT. Telkomsel telah terjadi pembaruan sewa (rent review)
antara si pihak Landlord dan Tenant menurut dalil si pihak Tenant atau kuas
hukumnya, dan kesepakatan itu telah dicapai. Hal itu dapat dilihat dari dalil
bahwa pada tanggal 21 Oktober 2009, si Tenant dengan kesadaran dan itikad
baik melakukan pembayaran atas arrears berupa angsuran sebesar lima juta
rupiah. Menurut pendapat Penulis dengan diterimanya hal ini maka ada
kesepakatan baru mengenai jangka waktu dan harga sewa dalam hubungan
hukum Landlord and Tenant itu. Itu berarti arrears yang tersisa adalah dua juta
tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah. Si pihak
Tenant berdalil bahwa dengan kesadaran dan itikad baik dia memenuhi
kesepakatannya kepada si pihak Landlord, membayar arrearskepada si
Landlord secara mengangsur. Hal itu ditindaklanjuti kembali pada tanggal 20
November 2009 sebagai pembayaran (instalment) kedua, sebesar satu juta lima
ratus ribu rupiah, sisa pembayaran satu juta dua ratus lima puluh ribu tujuh ratus
enam puluh empat rupiah. Menurut si pihak Tenant, setelah pembayaran kedua
tersebut, pihak Landlordbaru memberikan formulir layanan pelanggan atas
namasi Tenantyang diterima pada tanggal 20 November 2009. Menurut dalil si
32
Tenant, saat pembayaran instalmentarrears kedua sebagaimana di atas, intinya
secara tertulis baik si pihak Tenantmaupun si pihak Landlord bersepakat bila si
Tenantdiberikan waktu untuk mencicil kewajibannya tersebut dalam waktu tiga
kali cicilan pembayaran selama 3 bulan tagihan terhitung sejak pembayaran
pertama tanggal 21 Oktober 2009. Dari formulir layanan pelanggan dimaksud
maka dapat diketahui bahwa batas terakhir cicilan yang harus dibayarkan adalah
selambat-lambatnya pada tanggal 21 Desember 2009, atau 3 bulan terhitung
sejak 21 Oktober 2009.
2.3.4. Dugaan Breach of Promisedalam Hubungan Hukum Landlord and
Tenant
Bahwa ternyata formulir layanan pelanggan tertanggal 20 November
2009 yang menjadi Perjanjian dalam hal cicilan pembayaran antara si pihak
Tenant dan si pihak Landlord, menurut hal yang didalilkan si pihak
Tenantdisimpangi oleh si pihak Landlord. Dalam dalil si pihak Tenant, hal itu
(breach of promise) dalam hubungan hukum Landlord and Tenant itu terjadi
karena pada tanggal 14 Desember 2009 (sebelum jatuh tempo pembayaran
cicilan ketiga), Kartu Halo milik Penggugat diblokir tanpa ada penjelasan dan
pemberitahuan terlebih dahulu dari pihak Tergugat, padahal menurutketentuan si
pihak Landlord, bahwa batas akhir pembayaran untuk Kartu Halo Penggugat
jatuh tempo pada setiap tanggal 20 bulan berjalan, bahkan jika sesuai dengan
kesepakatan yang tertuang dalam formulir layanan pelanggan di atas, batas
waktu cicilan pembayaran selama 3 bulan tagihan terhitung sejak pembayaran
33
pertama tanggal 21 Oktober 2009, maka menuut dalil si pihak Tenant, dia masih
mempunyai waktu sampai dengan tanggal 21 Desember 2009.
2.3.5. Dugaan Bad Faithdalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant
Selain dugaan breach of promise sebagaimana telah didalilkan oleh si
pihak Tenant sebagaimana dikemukakan di atas, ada pula dalil lain dari si pihak
Tenant. Dalil tersebut yaitu bahwa menurut si pihak Tenant,jelas perbuatan si
pihak Landlord sebagai pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usaha mereka
telah beritikad tidak baik (bad faith).Menurut si pihak Tenant, yang dimaksud
dengan dugaaan beriktikad tidak baik itu adalah tidak memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur, atau informasi yang cukup khususnya tentang biaya
roaming internasional, tidak konsekuen dan konsisten untuk mematuhi janjinya
kepada Penggugat sebagaimana yang dimaksud di atas, sehingga tindakan itu
sangat nyata-nyata telah merugikan Penggugat. Di sini, ternyata menurut
pengamatan Penulis, breach of contract telah disamakan dengan bad faith,
setidak-tidaknya menurut dalil pihak Tenant, melalui kuasa hukumnya tersebut
di atas.
Menurut dalil si pihak Tenant, atas kejadian tersebut, pada tanggal 16
Desember 2009, dia mengirimkan faksimile kepada si pihak Landlord, atas saran
petugas Costumer Service dari si pihak Landlordmelalui layanan 116 milik si
pihak Landlord apabila si pihak Tenant berkeinginan untuk membuka blokir
tersebut sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh petugas Costumer Service yang
tertuang dalam formulir layanan pelanggan tertanggal 20 November 2009.
34
Namun, menurut dalil si pihak Tenant, permintaan itu tidak ditanggapi sesuai
dengan komitmen. Sebaliknya, si pihak Landlord malah, menurut dalil si pihak
Tenant, justru memaksa dirinya membayar sisa cicilan terakhir terlebih dahulu
kalau blokir Kartu Halo milik si Tenant hendak dibuka.
2.3.6. Dugaan Melawan Hukum dalam Hubungan Hukum Landlord and
Tenant
Selain melakukan breach of contract, bad faith, si pihak Tenant juga
mendalilkan bahwa si pihak Landlord melakukan perbuaan melawan hukum
(PMH), dalam hal ini dapat dikualifikasi telah melakukan perbuatan yang
melanggar hak-hak si pihak Tenant selaku konsumen sebagaimana yang diatur
secara tegas dalam UU Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 4 huruf (a),
(c), (d), dan (g). Dengan perbuaan seperti itu si pihak Tenant juga mendalilkan
bahwa dia kehilangan hak atas kenyamanan, keamanan dalam mengkonsumsi
jasa yang diperdagangkan oleh para Landlord, dia juga tidak mendapat hak
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jasa yang telah
diperjanjikan oleh si pihak Landlord.Si pihak Tenant juga mendalilkan jikalau
dia kehilangan hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa yang
digunakan serta kehilangan hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar
dan jujur. Menurut dalil si pihak Tenant, perbuatan si Landlord itu tidak
memegang komitmen dengan kesepakatan tersebut di atas, jelas telah
menginjak-injak hak si Tenantselaku konsumen yang telah beritikad baik dalam
penyelesaian pembayaran tagihan Kartu Halo Penggugat, dengan dibuktikannya
pembayaran sebagaimana telah diuraikan di atas.
35
Selanjutnya si pihak Tenant juga mendalilkan bahwa kibat perbuatan
semena-mena si pihak Landlord yaitu pemblokiran sepihak Kartu Halo tersebut,
sangat menimbulkan rasa yang tidak nyaman kepada si pihak Tenant. Didalilkan
si pihak Tenant bahwa terlebih-lebih dia adalah termasuk pelanggan corporate
dari Kartu Halo dalam jajaran Perwira Tinggi pada Markas Besar Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, nomor Kartu Halo Penggugat sudah
lama dikenal di kalangan kolega Penggugat sejak saat Penggugat menjadi Guru
Besar sekaligus Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian/Ketua Sekolah
Tinggi Ilmu Kepolisian, dan terlebih lagi nomor Kartu Halo Penggugat pun telah
dikenal oleh khalayak ramai karena kedudukan Penggugat yang pernah menjadi
staff pada Dewan Pertimbangan Presiden. Bahkan saat ini nomor Kartu Halo
Penggugat dikenal lebih luas lagi oleh para kolega, konstituen, serta khalayak
umum karena Penggugat saat ini adalah Anggota dari Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia. Karena kedudukan Penggugat sebagaimana terurai di atas,
maka telah tergambar jelas betapa besar dan betapa penting nomor Kartu Halo
milik Penggugat (0811969697) terhadap kelancaran pengabdian si pihak
Tenantkepada bangsa dan negara ini, sehingga pemblokiran sepihak terhadap
nomor Kartu Halo milik si Tenantyang telah dilakukan oleh si pihak Landlord,
semakin nyata menimbulkan kerugian citra bagi si Tenant. Bahkan, seperti yang
didalilkan si pihak Tenant, hal itu berpotensi menjadi penghambat tugas-tugas
negara yang diemban olehnya sebagai akibat terputusnya saluran komunikasi
karena pemblokiran nomor Kartu Halo secara sepihak itu, juga mengakibatkan
36
kerugian selain terhadap si Tenant juga kerugian negara sebagai terhambatnya
aktivitas si Tenant karena perbuatan sepihak si Landlorddimaksud.
Si pihak Tenant juga mendalilkan bahwa secara nyata, akibat perbuatan
semena-mena si pihak Landlord kepada si Tenant, dengan pemblokiran sepihak
Kartu Halo tersebut, si pihak Tenantsebagai public figure yang mempunyai citra
baik
pada
jaringan–jaringan
perkenalannya
telah
kehilangan
opportunity/kesempatan/peluang untuk mendapatkan penguatan dukungandukungan moril sebagai public figure yang kredibel. Hal ini terjadi karena si
pihak Tenantyang sudah memang sering kali menjadi nara sumber bagi media
baik cetak maupun elektronik, akibat perbuatan si pihak Landlordseperti yang
dimaksud dalam gugatan tesebut, sejak pemblokiran nomor Kartu Halo sepihak
oleh si pihak Landlord, hingga saat ini banyak media baik cetak maupun
elektronik yang tidak dapat menghubungi si pihak Tenant untuk dimintai
pendapatnya akan kasus-kasus atau isu-isu yang sedang hangat dalam
pemberitaan Pers, sehingga, menurut apa yang didalilkan si pihak Tenant, dia itu
kehilangan
peluang
untuk
memperkuat
dukungan
publik
yang
telah
menimbulkan potensi dampak politik akan menurunnya popularitas dan
kredibilitas citra dihadapan umum. Selanjutnya, sejalan dengan itu juga dia telah
kehilangan peluang popularitas di mata para orang-orang penting (VIP/Very
Important Person, para pejabat yang menjabat pada lembaga eksekutif, lembaga
legislatif, maupun lembaga yudikatif) yang selama ini telah mempunyai
hubungan baik dan hubungan yang sangat spesifik dengannya. Lagi-lagi
tindakan sepihak si pihak Landlord telah menimbulkan dampak negatif terhadap
37
citra si pihak Tenant, pada hal justru dia tengah membangun penguatan citra
akan kredibilitas dan popularitasnya juga di hadapan orang-orang penting (VIP).
Si pihak Tenant selanjutnya mendalilkan bahwa lebih parah lagi, sampai saat ini,
sebagai akibat pemblokiran sepihak Kartu Halo itu, sangat susah menghubungi
kolega sejawatnya baik yang berada dan menjabat pada lembaga eksekutif,
lembaga legislatif, maupun lembaga yudikatif, yang sebelumnya tidak pernah
terjadi. Hal ini terjadi karena Penggugat sudah tidak dapat lagi menghubungi
koleganya dimaksud melalui nomor Kartu Halo yang diblokir.Padahal, menurut
dalil si Tenant,hanya nomor Kartu Halo dimaksud lah, yang dikenal oleh kolegakoleganya.
Selanjutnya
didalilkan
bahwa
walaupun
si
Tenant
sudah
memberitahukan koleganya melalui sms akan nomor barunya, akan tetapi karena
si Tenant tetap mengalami kesulitan bahwa koleganya mau membaca atau
menerima pesan dari nomor baru karena merupakan nomor yang tidak dikenal
ataupun yang bukan terdaftar pada koleganya. Begitu juga sebaliknya, keluhan
datang dari kolega si pihak Tenant yang tidak dapat menghubungi si Tenantke
nomor Kartu Halo si pihak Tenant dimaksud.Berdasarkan itulah, kata si Tenant,
semakin jelas akibat perbuatan semena-mena Landlord kepada si pihak Tenant,
dengan pemblokiran sepihak Kartu Halo tersebut. Menurut dalil si pihak Tenant,
ia telah mengalami kerugian immaterial yang sangat besar, bahkan kehilangan
potensi/peluang mempertahankan citra bahkan memperkuat citranya sebagai
seorang public figure yang akan didapatnya jika nomor Kartu Halo Penggugat
tidak diblokir sepihak itu, sehingga perbuatan si pihak Landlordpun telah
menimbulkan image negatif tehadap si pihak Tenant, sehingga timbul perasaan
38
tidak nyaman dan bahkan kerugian immateril yang sangat besar. Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, perbuatan si pihak Landlordyang telah memblokir secara
sepihak Kartu Halo milik Penggugat tanpa ada alasan yang jelas, tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu, serta tanpa dasar hukum yang kuat, maka
Perbuatan si pihak Landlord merupakan wanprestasi/cedera janji terhadap
Penggugat selaku Konsumen sebagaimana yang diisyaratkan oleh UU
Perlindungan Konsumen.
Masih di dalam konteks dalil bahwa si pihak Landlord melakukan
perbuaan melawan hukum, si pihak Tenant mengatakan di dalam gugatannya itu
bahwa selain itu si pihak Landlord selaku penyelenggara telekomunikasi di
Indonesia juga telah melanggar ketentuan seperti yang diisyaratkan Pasal 7 huruf
(a), (b), dan (c) jo. Pasal 26 UU Perlindungan Konsumen jo.Pasal 17 huruf (a).
UU Telekomunikasi;Pasal 7 huruf (a) UU Perlindungan Konsumen, yaitu: si
pihak Landlord harus: beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Pasal
7 huruf (b) UU Perlindungan Konsumen:memberikan informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Pasal 7 huruf (c)
UU Perlindungan Konsumen:memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif dan Pasal 26 UU Perlindungan
Konsumen di mana di dalamnya diatur bahwa:
“pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi
jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang
diperjanjikan.”Pasal 17 huruf a Undang-undang No. 36 Tahun
39
1999
tentang
Telekomunikasi:
“Penyelenggaraan
jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi
wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip:
a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi
semua pengguna.”
2.3.7. PSAdalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant
Menarik pula untuk Penulis gambarkan di sini bahwa dalam studi atas
satuan amatan skripsi ini, terutama dari dalil yang disampaikan oleh si pihak
Tenant, Penulis juga memeroleh temuan bahwa ada suatu penyelesaian sengketa
dalam hubungan Landlord dan Tenant dalam bidang sewa-menyewa
Telekomunikasi ini.
Aspek penyelesaian sengekta alternatif (PSA) yang mengikuti Pasal 15
dari UU Telekomunikasi itu adalah bahwa, seperti didalilkan oleh si pihak
Tenant, akibat perbuatan semena-mena dari si Landlord, maka si pihak
Tenantpada tanggal 8 Maret 2010 telah mengadukan dan menempuh upaya
konsiliasi dalam penyelesaian permasalahan Penggugat dengan Tergugat di
Badan Perlindungan Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta dengan Nomor
Register 012/REG/BPSKDKI/III/2010 tertanggal 12 Maret 2010.
Akan tetapi upaya rekonsialisasi antara si pihak Tenant dengan si pihak
Landlord yang difasilitasi oleh BPSK DKI Jakarta, sebelum masuk ke dalam
pokok materi pembahasan perkara, proses penyelesaian melalui konsiliasi
tersebut telah dinyatakan tidak berhasil, sebelum masuk kepada pokok perkara,
karena BPSK DKI Jakarta menyatakan ganti rugi immaterial seperti yang
40
utamanya dimohonkan oleh Penggugat adalah bukan kompetensi dari BPSK
DKI Jakarta. Hal mana ganti rugi immaterial yang merupakan tuntutan utama
ganti rugi yang diminta oleh si pihak Tenant terhadap pihak Landlord pada
proses rekonsiliasi di BPSK DKI Jakarta adalah berupa permohonan maaf dari si
pihak Landlordkepada si pihak Tenantyang diumumkan melalui beberapa harian
media nasional. Tujuan si pihak Tenant akan permohonan maaf dimaksud adalah
sebagai pembelajaran dan pendidikan bagi para Pelaku Usaha umumnya dan PT.
Telkomsel sebagai Landlordkhususnya dalam menghormati hak-hak Konsumen
(the multitudes of tenants), sehingga dikemudian hari si pihak Tenant berharap
tidak ada lagi korban timbul seperti yang dialami oleh dirinya sendiri, karena
para Pelaku Usaha umumnya dan si pihak Landlord khususnya lebih
memperhatikan hak-hak Konsumen (multitudes). Dalam putusan penyelesaian
itu, BPSK DKI Jakarta juga menyarankan bahwa permohonan ganti rugi
immaterial dapat dimintakan jika penyelesaian perkaranya melalui Pengadilan
Negeri, maka karena dan untuk itu berdasarkan Pasal 45 Ayat (4) UU
Perlindungan Konsumen gugatan Wanprestasi dalam Perlindungan Konsumen
ini diajukan oleh si Tenant.
2.3.8.Kelalaian (Negligence) dalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant
Memperhatikan dalil pihak Tenant selanjutnya, ada aspek kelalaian
Landlord yang muncul dalam gugatan wanprestasi tersebut. Hal itu dapat
digambarkan sebagai berikut; bahwa kewajiban si pihak Tenantterhadap pihak
Landlordatas sisa pembayaran tagihan Kartu Halo telah terselesaikan dibayar
pada tanggal 14 Mei 2010 sebesar tiga juta tiga ratus empat belas ribu empat
41
ratus enam puluh dua rupiah. Menurut pihak Tenant, pemenuhan kewajiban
pihaknya
itu
kepada
Landlord
dilaksanakan
sebelum
diajukan
dan
ditandatanganinya gugatan yang berujung pada Putusan MARI 2995
itu.Pembayaran itu, menurut si pihak Tenant merupakan pelunasan sisa
pembayaran biaya tagihan Kartu Halo si Tenant sebagai pelanggan atas jasa
menggunakan atau menikmati telekomunikasi milik si pihak Landlord. Jumlah
pembayaran seperti dimaksud dalam posita sebesar Rp 3.314.462,00
membuktikan terjadinya peningkatan jumlah tagihan dari sisa tagihan terakhir
yaitu dari sebesar satu juta dua ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh
empat rupiah menjadi tiga juta tiga ratus empat belas ribu empat ratus enam
puluh dua rupiah. Menurut pihak Tenant, maksud dirinya menyelesaikan
kewajiban atas sisa pembayaran tagihan Kartu Halo telah terselesaikan dibayar
oleh Penggugat pada tanggal 14 Mei 2010 sebesar tiga juta tiga ratus empat
belas ribu empat ratus enam puluh dua rupiahsebelum diajukan dan
ditandatanganinya gugatan mengingat si Tenant merasa hak-haknya sebagai
konsumen yang sedang mengajukan keluhan tidak terlindungi dengan
peningkatan jumlah tagihan sisa kewajiban yang diantaranya berupa denda
dan/atau bunga dan/atau tambahan tagihan lainnya. Menurut si pihak Tenant,
seharusnya kelebihan seperti itu tidak terjadi dan tidak dibebankan kepada si
Tenant jika pemblokiran sepihak tidak dilakukan dan/atau apabila si pihak
Landlordsegera menyelesaikan kelalaian dalam pelayanan jasanya tersebut
kepada si pihak Tenant. Hal itu, menurut si Tenant, jelas-jelas menunjukkan jika
si Landlord tidak mempunyai iktikad baik, alias si Landlord mengingkari
42
relevan spirit di balik kelahiran UU Perlindungan Konsumen, payung hukum
bagi terciptanya perlindungan terhadap si Tenant sebagai satu dari the
multitudes, yaitu Konsumen.
2.3.9. Saat Lahirnya Dugaan Wanprestasi Landlord Diungkap si Tenant
Menarik untuk dikemukakan sebagai temuan juga di sini yaitu mengenai
fakta adanya formulir layanan pelanggan atas namasi Tenant yang dia diterima
pada tanggal 20 November 2009. Menurut si pihak Tenant, hal itu adalah bentuk
Perjanjian antara si Tenant dengan si Landlord yang sah dan mengikat secara
hukum. Sekalipun, perlu Penulis sampaikan kritik di sini, bahwa pihak Kuasa
Hukum si Tenant kurang memahami hakikat hubungan hukum apa sejatinya
yang harus dia ungkap dalam dalil pada gugatan sebagaimana dikemukakan di
atas. Menurut kuasa hukum si Tenant, dari fakta hukum dan uraian yang
dikemukakan itu, jelas sikap dan perbuatan si pihak Landlorddapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan wanprestasi yang menimbulkan kerugian
pada
pihak
Tenant,
baik
secara
materiil
maupun
secara
immaterial.Wanprestasi/cedera janji si pihak Landlord itu, menurut si Tenant
dan kuasa hukumnya, jelas telah menimbulkan kerugian-kerugian moril
(immateril) dan/atau materiil terhadap diri si Tenant. Si pihak Tenant kemudian
memerinci apa yang dia sebut sebagai kerugian-kerugian moril (immateril)
dan/atau materiil yang ia derita, yaitu: pertama, akses telekomunikasi Penggugat
dengan Nomor 0811969697 tidak dapat digunakan karena blokir yang dilakukan
Landlord. Pemblokiran itu telah menyebabkan si pihak Tenant, menurut dalilnya
itu, harus mengeluarkan sejumlah uang untuk pembelian Kartu GSM nomor
43
perdana baru beserta pulsanya. Menurut Penulis, pembelian Kartu GSM baru itu
dapat dilihat sebagai dibukanya hubungan hukum Landlord and Tenant yang
baru lagi. Kedua, kerugian si Tenant berupa kekecewaan dan lelah fisik serta
psikis untuk mengurus blokir nomor selularnya.Kerugian ketiga, dirinya
terpaksa harus mengeluarkan tenaga, waktu, pikiran dan biaya untuk
mengajukan gugatan terhadap si pihak Landlordguna mempertahankan dan
menuntut hak-haknya sebagai Tenant sesuai dengan undang-undang yang
berlaku. Kerugian keempat, si Tenant merasa bahwa si pihak Tenant itu telah
menimbulkan harapan, dari menjanjikan kepada si Landlord mau membayar
kewajibannya terhadap si Landlord dengan cara mencicil. Dimana menurut si
Tenant, ditegaskan lagi bahwa dia telah melakukan kewajibannya membayar
cicilan pertama tanggal 21 Oktober 2009. Lalu kemudian untuk meyakinkan si
pihak Tenant,akan keleluasaan si Tenant dalam menyelesaikan kewajiban, maka
si Landlordtelah membuat janji-janjinya akan cicilan dimaksud ke dalam sebuah
tulisan sebagaimana yang tercantum dalam formulir layanan pelanggan yang
pada akhirnya pada tanggal 21 Oktober 2009 ditandatangani oleh Tenant dan
Landlord dimaksud. Akan tetapi, menurut si Tenant, ternyata si Landlordhanya
memberikan janji-janji palsu sehingga si Tenantsebelum jatuh tempo pelunasan
cicilan kewajiban sebagaimana yang dijanjikan oleh Landlord pada tanggal 21
Oktober 2009 jo. tanggal 20 November 2009 tidak dapat lagi menggunakan
nomor kartu halonya. Si Tenant merasa dirugikan karena harapan yang telah
timbul di pihaknya, yaitu jelas-jelas si Tenant sebagai korban atas rangkaian
janji-janji palsu atau kata-kata bohong yang diperbuat oleh si Landlord, sehingga
44
si Tenantmencari keadilan melalui gugatan ini.Kerugian kelima, si Tenantmerasa
harkat martabatnya tercoreng, karena pemblokiran dimaksud menimbulkan
image yang negatif bagi si Tenant. Dalam hal ini harga diri si Tenant telah jatuh
karena perlakuan si Landlord. Menurut si Tenant, semula iayang seharusnya
mendapat perlakuan khusus (privillage) sebagai pelanggan korporat yang berasal
dari kelompok Perwira Tinggi Mabes Polri, akan tetapi faktanya, dia telah
diperlakukan tidak lebih dari pelanggan biasa. Hal ini terbukti karena faktanya,
terhadap penyelesaian permasalahan oleh si Landlord, si Tenant tetap harus
mengurusnya kesana kemari, harus menelepon nomor tertentu milik si Tenant,
dan bahkan harus membayar dulu, agar blokir nomor milik si Tenant yang
dilakukan sepihak oleh Tergugat dapat dibuka. Penulis berpendapat bawha ada
kesan, pemblokiran itu ibarat tidak boleh masuk kamar kontrakan dan harus
tinggal di luar rumah kontrakkan terlebih dahulu. Kerugian keenam,
pemblokiran sepihak oleh Landlord,telah menimbulkan dampak negatif lainnya,
berupa pandangan khalayak ramai yang menilai dengan diblokirnya nomor si
Tenant, si Tenant dianggap ―bersalah‖ dan/atau ―melakukan pelanggaran‖ dan
telah ―dihukum‖ dan/atau ―dikenai sanksi‖ oleh pihak Landlord dengan cara
pemblokiran nomor. Pandangan khalayak ramai telah menganggap si Tenant,
menurut si Tenant, dianggap telah lalai dan/atau tidak mampu melunasi
kewajibannya kepada PT. Telkomsel sebagai Landlord.
45
2.3.10. Remedy yang Hendak Dibangun dalam Hubungan Landlord and
Tenant
Menarik pula dikemukakan di sini bahwa dari satuan amatan yang
sedang dibedah Penulis di sini, terungkap temuan bahwa selain ganti-rugi
pembayaran sejumlah uang, bahwa pihak Tenant hendak membangun suatu
remedy lainnya dalam penyelesaian sengketa yang dikenal di dalam hubungan
hukum Landlord and Tenant di Skotlandia, yaitu interjection atau di Inggris,
Amerika, Australia, New Zealand dikenal dengan injuction. Menyuruh
melakukan sesuatu. Apa yang harus dilakukan itu, menurut pihak Tenant dalam
gugatannya itu adalah bahwa oleh karena kerugian kerugian-kerugian moril
(immateril) yang dialaminya itu sangat sulit dinilai dengan sejumlah uang,
namun dikarenakan si Landlord adalah para pelaku usaha yang melayani
kepentingan umum, agar para pelanggannya (para konsumen) termasuk si
Tenanttidak selalu dikecewakan di kemudian hari oleh sikap dan tindakan yang
tidak profesional serta sewenang-wenang dari si Landlord, dan agar si Landlord
lebih memiliki rasa bertanggungjawab serta lebih-lebih berhati-hati di kemudian
hari dalam melayani para pelanggannya, kiranya cukup beralasan hukum,
menurut dalil si Tenant, agar si Landlord membuat dan memuat suatu
pengumuman pernyataan minta maaf kepada si Tenantselaku pelanggan dan
konsumen di tiga Harian Nasional, yakni Harian Kompas, Harian Tempo dan
Harian Media Indonesia dengan ukuran ½ (setengah) halaman pada bagian
halaman terakhir selama tiga hari berturut-turut dengan redaksi dan isi
pengumuman ditentukan oleh si Tenant. Akan tetapi, si Tenant juga berdalil,
46
bahwa apabila si Landlord tidak berkenan melaksanakan isi keputusan hukum
tentang pengumuman pernyataan minta maaf, setelah tiga puluh hari sejak
keputusan hukum ini dapat dilaksanakan, kiranya sangat beralasan hukum bagi
si Tenant, memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara tersebut agar berkenan menghukum para Landlord untuk membayar
kepada si Tenantuang kompensasi secara tunai sebanyak dua milyar rupiah
dengan memberi hak kepada si Tenant memakai dan menyalurkan uang tersebut
kepada
Lembaga Swadaya
Masyarakat, atau
Lembaga-lembaga
sosial
kemasyarakatan lainnya. Khusus kerugian yang merugikan si Tenant berupa
kehilangan opportunity/peluang/kesempatan untuk menjaga citra bahkan
meningkatkan citra akan popularitas dan kredibilitasnya; Perbuatan si Landlord
juga telah menimbulkan image negatif terhadap si Tenant yang sedang menjaga
dan membangun citra dan reputasinya seperti dimaksud di atas, sebagai kerugian
immateril dimaksud, termasuk dan tidak terbatas juga terhadap perasaan yang
tidak nyaman dalam diri si Tenant, maka si pihak Tenant menuntut ganti rugi
terhadap si pihak Landlord atas kerugian itu senilai satu milyar rupiah. Hal itu
masih ditambah dengan kerugian materiil yang harus dialami si Tenant akibat
wanprestasi/cedera janji yang dilakukan si Landlord seluruhnya berjumlah lima
juta lima ratus ribu rupiahdengan perincian yaitu biaya Tranportasi si Tenant
mengurus aktifasi Kartu Halo pada Grapari Rp 500.000,00;biaya si Tenan tuntuk
membeli Kartu Perdana Baru Rp 1.000.000,00; pembelian Voucher Pulsa Rp
1.000.000,00;dan biaya transportasi ke BPSK Rp 3.000.000,00. Oleh karena itu
si pihak Tenant merasa berhak menuntut agar si Landlord membayar kembali
47
kepada si Tenant seluruh uang yang telah dikeluarkan dalam mempertahankan
hak-hak dan kepentingan hukumnya seluruhnya lima juta lima ratus ribu rupiah
ditambah dengan bunga 1% per bulan sejak gugatan ini didaftarkan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sampai si Landlord secara sempurna
melaksanakan isi keputusan hukum dalam perkara tersebut, serta ditambah
seluruh biaya yang timbul di tingkat banding, di tingkat kasasi serta di tingkat
peninjauan kembali. Menurut dalil si Tenant, apa yang ia tuntut itu berdasarkan
ketentuan Pasal 4 huruf (h), Pasal 7 huruf (f) dan (g), Pasal 19 Ayat (1), (2), (3),
dari UU Perlindungan Konsumen jo Pasal 15 Ayat (1) UU Telekomunikasi jo
Pasal 68 dan 69 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi
No. 52 tahun 2000.Untuk menjamin gugatan, si Tenant juga mohon agar
diletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) atas harta benda kepunyaan para
Landlord, baik yang bergerak dan atau tidak bergerak secukupnya. Selanjutnya,
si Tenant juga berdalil, bahwakarena gugatannya itu adalah berdasarkan buktibukti otentik dan tidak terbantah oleh pihak Landlord, sehingga berdasarkan
ketentuan Pasal 191 RBg., maka menurut si Tenant, dia juga merasa sangat
beralasan hukum bagi memohon agar Pengadilan berkenan menjatuhkan
keputusan hukum yang dapat dijalankan serta merta walaupun ada perlawanan,
banding, kasasi dan atau peninjauan kembali (uitvoerbaar bij voorraad). Pada
intinya si Tenant mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar
memberikan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu yaitu; mengabulkan
seluruh gugatan si Tenantdalam perkara tersebut, menyatakan sah dan berharga
sita penjagaan dan sita jaminan (conservatoir beslag) yang dijalankan dalam
48
perkara dimaksud; menyatakan syah dan mengikat secara hukum formulir
layanan pelanggan atas nama si Tenant yang diterima pada tanggal 20
November 2009, adalah sebagai bentuk Perjanjian antara Tenant dan Landlord55
menyatakan bahwa si Landlord telah cedera janji/wanprestasi atas formulir
layanan pelanggan tertanggal 20 November 2009; menyatakan si Landlord
selaku pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang bertentangan dan
melanggar
UU
Perlindungan
Konsumen.
Menghukum
si
Landlord
mengembalikan kepada si Tenant, atas seluruh uang yang telah dikeluarkan
sebesar lima juta lima ratus ribu rupiah ditambah dengan bunga 1% per bulan
sejak gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sampai si
Landlord secara sempurna melaksanakan isi keputusan hukum dalam perkara
tersebut dan ditambah seluruh biaya yang timbul di tingkat banding, di tingkat
kasasi serta di tingkat peninjauan kembali. Menghukum si Landlordagar
membuat dan memuat pengumuman pernyataan minta maaf kepada si Tenant
sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Adapun isi dan model permohonan maaf yang dituntut si Tenant harus
dilakukan oleh si pihak Landlord adalah berisi judul yaitu: “PENGUMUMAN
PERNYATAAN MINTA MAAF”, dan berisi kata-kata Kami yang
bertandatangan di bawah ini: PT. Telkomsel badan hukum yang berkedudukan
di Indonesia, yang beralamat di Gedung Wisma Mulia Lantai G, Jl. Gatot
55
Konsepsi Tenant dan Landlord ini adalah nomenklatur yang diberikan oleh Penulis sebagai
tanda bahwa hubungan hukum yang seharusnya berlaku dalam Putusan MARI 2995 itu adalah
Landlords and Tenant. Dalam salinan Putusan MARI 2995 itu tidak ada istilah Landlord and
Tenant, sebab dapat Penulis pastikan bahwa kedua belah pihak tidak memahami hakikat
hubungan hukum mereka tersebut.
49
Subroto
No.42
Jakarta
12710;Dengan
ini
secara
tegas
menyatakan/menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada:
Prof. Dr. Farouk Muhammad, Dosen dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah
RI, sehubungan dengan sikap dan perbuatan kami selaku pelaku usaha yang
tidak professional, telah melakukan hal-hal yang merugikan terhadap Prof. Dr.
Farouk Muhammad, selaku pelanggan dan konsumen, karena kami melakukan
kegiatan usaha dengan cara yang tidak sesuai dengan UU Perlindungan
Konsumen dan Peraturan Pemerintah R.I. Untuk itu kami berjanji tidak akan
mengulangi hal-hal tersebut di kemudian hari yang dapat merugikan konsumen.
Si Tenant juga menghedaki agar Pengumuman Permohonan maaf itu diakhiri
dengan pernyataan: ―Demikian pengumuman pernyataan minta maaf kami
sampaikan, agar diketahui oleh masyarakat luas‖, dan ditutup dengan Hormat
Kami,P.T. Telkomsel, kemudian ditandatangani oleh si Landlord, dalam hal ini
Direksi. Si Tenant juga menghendaki agar Pengadilan menghukum si
Landlorduntuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada si Tenant sebesar
sepuluh juta rupiah untuk setiap hari keterlambatan si Landlord dalam
melaksanakan petitum butir 6, 7 dan 8 dalam perkara a quo. Demikian pula si
Tenant menghendaki agar Pengadilan menghukum si Landlordmembayar
kepada si Tenantuang kompensasi secara tunai sebanyak dua milyar rupiah
apabila si Landlordtidak berkenan melaksanakan petitum gugatan Penggugat
pada butir 6, 7 dan 8 setelah tiga puluh hari sejak keputusan hukum ini dapat
dilaksanakan, dengan memberi hak kepada si Tenantuntuk memakai dan
menyalurkan uang tersebut kepada Lembaga Swadaya Masyarakat, atau
50
Lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan lainnya. Si pihak Tenant juga
menuntut Pengadilan agar menghukum si Landlord membayar kepada si
Tenantganti
rugi
immateril
atas
ganti
rugi
akibat
hilangnya
opportunity/peluang/kesempatan untuk menjaga citra bahkan meningkatkan citra
akan popularitas dan kredebilitasnya bagi si Tenant, sebesar dua milyar lima
ratus juta rupiah. Menyatakan keputusan hukum dalam perkara ini dapat
dijalankan serta merta walaupun ada perlawanan, banding, kasasi dan atau
peninjauankembali
(uitvoerbaar
bij
voorraad).Menghukum
si
Landlordmembayar seluruh ongkos yang timbul dalam perkara ini. Atau,
menurut dalil si Tenant, apabila yang terhormat Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan yang mengadili dan memutus perkara a quo berpendapat
lain,ia, si Tenant mohonkan untuk memberikan putusan yang seadiladilnya (ex
aequo et bono).
2.4. Bagaimana Eksespsi Landlord dalam Hubungan Hukum LandlordTenant
Setelah melihat gambaran hubungan hukum Landlord and Tenant yang
terlihat dari posita yang dikemukakan oleh pihak Tenant dalam gugatannya di
atas, berikut, dalam sub-judul 2.4 berikut ini dikemukakan gambaran hubungan
hukum Landlord and Tenant dari sisi apa yang merupakan bantahan pihak
Landlord (eksepsi) sebagaimana dapat dilihat dalam Putusan MARI 2995 yang
menjadi satuan amatan pertama dari penelitian dan penulisan karya tulis
kesarjanaan dalam bidaang hukum ini. Dalam eksepsi tersebut, pihak Landlord
mengemukakan sejumlah dalil. Dalil pertama berkisar pada persoalan pemberian
51
kuasa untuk beracara, dalam hal ini soal Surat Kuasa Khusus pihak Tenantuntuk
mengajukan gugatan dalam perkara a quo yang bagi pihak Landlord tidak
memenuhi syarat sebagai Surat Kuasa Khusus berdasarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 tahun 1994 tanggal 14 Oktober 1994.
Pihak Landlord mendalilkan bahwa secara hukum apabila suatu gugatan
diajukan oleh kuasa hukum yang ditunjuk oleh si Tenant, maka surat kuasa
tersebut haruslah memenuhi ketentuan mengenai Surat Kuasa Khusus.
Ketentuan Surat Kuasa Khusus dalam Hukum Acara Perdata Indonesia diatur
dalam Pasal 123 HIR dan diatur lebih lanjut dalam beberapa SEMA seperti
SEMA No. 2 tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959 tentang Surat Kuasa Khusus;
SEMA No. 5 tahun 1962, tanggal 30 Juli 1962 tentang Surat Kuasa; SEMA No.
01 tahun 1971, tanggal 23
Januari 1971 tentang Surat Kuasa Khusus
sertaSEMA No. 6/1994. Dalam SEMA No. 6/1994 yang menjadi pedoman
sampai saat ini, menurut dalil pihak Landlord, notabene memiliki substansi dan
jiwa yang sama dengan SEMA No. 2/1959 dan SEMA No. 01/1971, dan
sebagaimana disampaikan oleh M. Yahya Harahap, SH., yaitu bahwa surat
kuasa khusus yang sah adalah yang memenuhi syarat secara kumulatif yaitu
menyebut dengan jelas dan spesifik surat kuasa, untuk berperan di pengadilan;
menyebut kompetensi relatif; menyebut identitas dan kedudukan para pihak
(sebagai penggugat dan tergugat) dan menyebut secara ringkas dan konkret
pokok dan objek sengketa yang diperkarakan.56
56
M. Yahya Harahap, SH; Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan; Penerbit Sinar Grafika; Jakarta. Cetakan Ketiga,
Desember 2005, hal., 14 – 15.
52
Menurut pihak Landlord, dalam perkara a quo, pada bagian ―khusus‖
dalam Surat Kuasa Khusus yang diberikan oleh si pihak Tenant atau kuasanya
itu kepada kuasanya, disebutkan:―Bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa
untuk mewakili dan membela kepentingan hukum pemberi kuasa guna
menyusun, menandatangani dan mendaftarkan gugatan perdata melalui PN
Jakarta Selatan sehubungan dengan adanya perbuatan wanprestasi yang
dilakukan oleh PT. Telkomsel terhadap Pemberi Kuasa, berkenaan dengan
pemblokiran sepihak atas Kartu Hallo nomor 0811969697 milik Pemberi Kuasa
yang dilakukan oleh PT. Telkomsel.‖ Kaitan dengan itu, Landlord mendalilkan
bahwa dari uraian bagian ―khusus‖ dalam Surat Kuasa Khusus Penggugat
sebagaimana dikutip itu, terlihat jelas bahwa si pihak Tenant tidak menyebutkan
secara tegas tentang (i) siapa yang akan bertindak sebagai Penggugat dan (ii)
siapa yang berkedudukan sebagai Tergugat, disamping itu, Surat Kuasa Khusus
Penggugat juga tidak menyebutkan secara tegas identitas dari si Landlord karena
sama sekali tidak disebutkan alamat dari pihak yang akan digugat. Atas dasar
itu, menurut pihak Landlord atau kuasa hukumnya, dengan demikian, Surat
Kuasa Khusus si pihak Tenanttidak sesuai dengan ketentuan butir 1 huruf (a)
SEMA No. 6/1994 yang berbunyi sebagai berikut: ―Surat Kuasa harus bersifat
khusus dan menurut Undang-Undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa
Surat Kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya: a.
Dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara (A) sebagai penggugat
dan (B) sebagai tergugat, misalnya dalam perkara waris atau hutang piutang
53
tertentu dan sebagainya‖. Itu sebabnya, menurut si Landlord,karena Surat Kuasa
Khusus si Tenant tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yang
mengatur mengenai syarat dan formulasi surat kuasa khusus, khususnya SEMA
No. 6/1994, maka Surat Kuasa Khusus si Tenant tersebut adalah tidak sah
menurut hukum, oleh karena itu gugatan dalam perkara a quo yang diajukan
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tersebut juga menjadi cacat dan sudah
seharusnya menurut hukum dinyatakan untuk tidak dapat diterima.
Mengenai dalil eksepsi si pihak Landlord yang kedua, Penulis
memeroleh temuan bahwa si pihak Landlord mendasarkan sanggahan kepada si
pihak Tenant di atas, berkisar kepada gugatan si pihak Tenant yang kabur
(Obscuur Libel). Menurut si pihak Landlord; ada obscuur liber di sisi gugatan
pihak Tenant karena uraian jumlah tuntutan ganti kerugian immateriil yang
disampaikan si Tenant di atas dalam Posita Gugatan, tidak sejalan atau tidak
sinkron dengan Petitum Gugatan. Dengan kata lain, menurut si Landlord
gugatan Penggugat, terdapat ketidaksinkronan atau ketidaksesuaian antara Posita
Gugatan dengan Petitum Gugatan terkait uraian jumlah kerugian immaterial
yang dituntutkan oleh Penggugat. Dalam Posita Gugatan, tepatnya pada Posita
butir 32 halaman 9 Gugatan, disebutkan ―… yakni adanya perbuatan pihak
Landlordyang merugikan si Tenant, antara lain si Tenanttelah kehilangan
opportunity/peluang/kesempatan untuk menjaga citra bahkan meningkatkan citra
akan popularitas dan kredibilitasnya. Perbuatan Lanlordjuga telah menimbulkan
image negatif terhadap Tenantyang sedang menjaga dan membangun citra dan
reputasinya seperti dimaksud dalam gugatan, sehingga menimbulkan kerugian
54
immateril dimaksud, termasuk dan tidak terbatas juga terhadap perasaan yang
tidak nyaman dalam diri si Tenant, maka si Tenant menuntut ganti rugi terhadap
si Landlordatas kerugian immateriil sebesar satu milyar rupiah‖. Namun
demikian, menurut pihak Landlord, dalam Petitum Gugatan butir 10 halaman 11,
si Tenant menyatakan:―Menghukum si Landlord membayar kepada si Tenant
ganti
rugi
immateriil
atas
ganti
rugi
akibat
hilangnya
opportunity
peluang/kesempatan untuk menjaga citra bahkan meningkatakan citra akan
popularitas dan kredibilitasnya bagi si Tenant sebesar dua milyar lima ratus juta
rupiah.‖ Dari uraian di atas, kata si Landlord, tampak jelas bahwa terdapat
ketidak-sinkronan atau tidak sejalannya antara Posita dan Petitum dalam gugatan
Penggugat terkait jumlah nilai tuntutan ganti kerugian immateriil, dimana dalam
posita gugatan disebutkan bahwa pada pokoknya terdapat kerugian immateriil
atas hilanggnya opportunity/peluang/kesempatan untuk menjaga citra bahkan
meningkatkan citra akan popularitas dan kredibilitasnya sebesar satu milyar
rupiah namun pada Petitum gugatan, kerugian immaterial tersebut oleh si
Tenantdisebutkan dan dituntutkan untuk dibayar sebesar dua milyar lima ratus
juta rupiah. Ketidaksesuaian atau ketidaksinkronan tersebut telah membuat
gugatan si Tenant, kata si Landlord, menjadi tidak jelas dan kabur karena
besaran ganti kerugian immateriil menjadi tidak pasti. Selain itu, hal tersebut
juga menunjukkan bahwa sebenarnya tuntutan ganti kerugian immateriil tersebut
hanyalah dicari-cari karena si Tenant, menurut si Landlord, sendiripun bahkan
tidak bisa memastikan secara tegas berapa taksiran jumlah kerugian immateriil
tersebut, apakah sebesar satu milyar rupiahataukah sebesar dua milyar lima ratus
55
juta rupiah. Oleh sebab itulah, menurut Landlord,dengan telah terbukti adanya
ketidak-sinkronan atau tidak sejalannya posita dan petitum gugatan, maka secara
hukum gugatan si Tenant mengandung cacat berupa obscuur libel atau kabur
yang oleh karenanya harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk
Verklaard), sebagaimana telah diberikan kaidah oleh Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI No. 67K/Sip/1975 tanggal 13 Mei 1975, yang pada pokoknya
menyatakan bahwa petitum yang tidak sejalan dengan posita adalah
mengandung cacat berupa obscuur libel;Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
No. 1075 K/Sip/1980 tanggal 8 Desember 1982 yang pada intinya Mahkamah
Agung RI memberikan pertimbangan hukum bahwa ―... karena petitum
bertentangan dengan posita gugatan, maka gugatan tidak dapat diterima‖.
2.4. 1. Wanprestasi ataukah PMH dalam Hubungan Hukum LandlordTenant
Eksepsi Landlord selanjutnya adalah bahwa menurut si pihak Landlord,
Gugatan si Tenant itu juga Kabur (Obscuur Libel), karena si Tenant atau kuasa
hukumnya, menurut si Landlord, mencampuradukkan Gugatan Wanprestasi
dengan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Dijelaskan oleh si Landlord
bahwa secara garis besar, terdapat dua jenis gugatan yang dapat diajukan dalam
perkara perdata, yaitu Gugatan Wanprestasi dan Gugatan Perbuatan Melawan
Hukum dimana keduanya masing-masing adalah jenis gugatan yang berbeda,
dimana Gugatan Wanprestasi berkaitan adanya hubungan hukum yang bersumber
dari perjanjian diantara para pihak, sedangkan Gugatan Perbuatan Melawan
Hukum berkaitan dengan adanya perbuatan yang melanggar hukum maupun
56
ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilakukan salah satu pihak yang
menimbulkan suatu kerugian bagi pihak lainnya. Menurut si Landlord, ia
melancarkan eksepsi seperti itu kepada si Tenant, karena dalam gugatan yang
diajukan oleh si Tenantdalam perkara a quo, ternyata si Tenanttelah
mencampuradukkan antara dalil-dalil Gugatan Wanprestasi dan Gugatan
Perbuatan Melawan Hukum. Judul atau titel dari gugatan yang diajukan oleh si
Tenant, kata si Landlord, adalah ―Wanprestasi terhadap Perlindungan
Konsumen‖, selanjutnya dalam posita butir 5 s/d. 12 halaman 2-3 gugatan, si
Tenant mendalilkan bahwa telah terjadi perjanjian antara si Tenant dan si
Landlord mengenai pembayaran tagihan telepon yang dipergunakan si Tenant,
namun menurut si Tenant, si Landlord ingkar janji (quod non) dan kemudian oleh
si Tenant dimohonkan dalam petitum butir 4 halaman 10 yang pada intinya
meminta kepada Majelis Hakim menyatakan bahwa si Landlordtelah cedera
janji/wanprestasi. Menurut anggapan si pihak Landlord, dalam gugatan
wanprestasi, tidak dikenal adanya ―kerugian immateriil‖, dimana ―kerugian
immateriil‖ dikenal dalam suatu gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Ironisnya,
kata si Landlord, dalam Gugatannya, Penggugat menuntut adanya ―kerugian
immateriil‖, dimana hal ini mempertegas kenyataan bahwa sesungguhnya si
Tenanttelah mengajukan gugatan yang obscuur karena tidak jelas apakah gugatan
yang diajukan merupakan gugatan Wanprestasi atau gugatan Perbuatan Melawan
Hukum sehingga gugatan terbukti telah mencampuradukkan gugatan Wanprestasi
dengan Perbuatan Melawan Hukum, eksepsi si pihak Landlord.
57
Selanjutnya, menurut si pihak Landlord, bahwa pencampuradukkan
tersebut semakin nyata dengan adanya fakta bahwa pada bagian lain ternyata si
pihak Tenant juga menyampaikan dalil-dalil adanya pelanggaran peraturan
perundang-undangan yang dilakukan oleh pihak Landlord(quod non), dimana
dalil-dalil tersebut merupakan dalil-dalil untuk suatu Gugatan Perbuatan
Melawan Hukum. Tepatnya pada posita butir 13 halaman 3, serta butir 21
halaman 5 dari gugatan, Tenant mendalilkan bahwa Landlordtelah melanggar
beberapa
ketentuan
dalam
UU
Perlindungan
Konsumen
dan
UU
Telekomunikasi, selanjutnya dalam Petitum butir 5 halaman 10 gugatan,
Tenantjuga meminta kepada Majelis Hakim untuk menyatakan bahwa
Landlordtelah melakukan perbuatan yang melanggar UU No. 8/1999.
Berdasarkan itu, menurut pihak Landlord, telah terbukti bahwa dalam
gugatannya, si Tenant telah mencampuradukkan atau menggabungkan antara
Gugatan Wanprestasi dan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dalam perkara a
quo.
Si
pihak
Landlord
kemudian
mengatakan
bahwa
terkait
pencampuradukkan atau penggabungan antara Gugatan Wanprestasi dan
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud di atas,
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 879 K/Pdt/1997 tanggal 29 Januari
200157 pada pokoknya memberikan kaidah bahwa ―Penggabungan PMH dengan
wanprestasi dalam satu gugatan, melanggar tata tertib beracara karena keduanya
harus diselesaikan tersendiri, konstruksi gugatan seperti itu mengandung
57
Varia Peradilan, Tahun XVIII, No. 208, Januari 2003 hlm., 14.
58
kontradiksi, dan gugatan dikategorikan obscuur libel, sehingga tidak dapat
diterima‖. Dengan demikian, menurut si Landlord, dalam perkara a
quo,siTenanttelah
menggabungkan
atau
mencampuradukkan
Gugatan
Wanprestasi dan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, serta mengacu pada
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 879 K/Pdt/1997, tanggal 29 Januari
2001 sebagaimana tersebut di atas, maka secara hukum Gugatan Penggugat
dalam perkara ini telah mengandung cacat berupa obscuur libel, dan sudah
seharusnya dinyatakan untuk tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard).
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah
menjatuhkan putusan, yaitu putusan No. 557/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel tanggal 17
Maret 2011 yang amarnya sebagai berikut: dalam eksepsi: menolak eksepsi si
Landlord tersebut di atas seluruhnya. Sedangkan dalam Pokok Perkara
Pengadilan
menolak
gugatan
si
Tenant
untuk
seluruhnya.Pengadilan
menghukum si Tenantuntuk membayarkan biaya perkara.Dalam tingkat banding
atas permohonan si Tenant putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan
oleh Pengadilan Tinggi Jakatra dengan putusan No. 18/PDT/2012/PT.DKI
tanggal 29 Maret 2012. Sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada
Penggugat/Pembanding pada tanggal 10 Juli 2012 kemudian terhadapnya oleh si
pihak Tenant dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus
tanggal 10 Juli 2012 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 23
Juli
2012
sebagaimana
ternyata
dari
akte
permohonan
kasasi
No.
557/Pdt.G.2010/ PN.Jkt.Sel yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan permohonan tersebut diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-
59
alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 3
Agustus 2012. Si pihak Landlord telah pada tanggal 30 Agustus 2012 diberitahu
tentang memori kasasi dari si Tenantmengajukan jawaban memori kasasi yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 12
September 2012. Karena permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya
telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka
oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima.
2.5. Dalil-dalil Landlord-Tenant di Mahkamah Agung Republik Indonesia
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) di tingkat Kasasi
mempertimbangkan dalil-dalil Landlord dan Tenant dalam kasus itu.Berikut
dibawah ini dikemukakan pula aspek-aspek dalam hubungan hukum Landlord
dan Tenant tersebut.
Pertama, dalil pihak Tenant, adalah bahwa Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Klas 1A Khusus Jakarta Selatan telah tidak mempertimbangkan Replik
si Tenant yang diserahkan pada tanggal 21 Desember 2010 dimuka
persidangan yang terbuka untuk umum. Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Klas 1A Khusus Jakarta Selatan seolah-olah menganggap Replik itu tidak
pernah ada, padahal menurut Agenda Persidangan pada tanggal 21 Desember
2010, jelas bahwasanya acara Persidangan adalah Replik dari si pihak Tenant
terhadap Jawaban Gugatan pihak Landlord. Seharusnya, menurut si Tenant,
Majelis
Hakim
Pengadilan
Klas
1A
Khusus
Jakarta
Selatan
mempertimbangkan Replik itu, akan tetapi di dalam Putusan No:
60
557/Pdt/G/2010/PN.JKT.Sel tertanggal 17 Maret 2011, Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Klas 1A sama sekali tidak mempertimbangkannya. Itulah
sebabnya,
menurut
si
Tenant,
mengakibatkan
Putusan
tidak
cukup
pertimbangan hukumnya (onvoldoende gemotiveerd) dan Putusan tersebut
harus dibatalkan. Bahwa berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas sangat
jelas, terang dan tidak terbantahkan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas
1A Khusus Jakarta Selatan telah tidak seksama dan rinci menilai segala fakta,
sehingga bertentangan dengan Pasal 178 Ayat (1) HIR j.o. Pasal 53 UU No 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan telah ditegaskan pula dalam:
Putusan MA No. 2461 K/Pdt/1984, bahwa: ―putusan yang dijatuhkan tidak
cukup pertimbangan karena hakim tidak seksama dan rinci menilai segala
fakta yang ditemukan dalam persidangan‖.
2.5. Penolakan Formulir Layanan Pelanggan sebagai bentuk Perjanjian
Hal menarik yang perlu Penulis kemukakan di sini adalah bahwa
apabila hubungan hukum Landlord dan Tenant itu adalah suatu Perjanjian,
maka dalam proses beracara kasus Putusan MARI 2995 itu, si pihak Tenant
mendalilkan bahwa pihak Pengadilan tidak mengakui adanya hubungan hukum
yang tercipta, khususnya yang ditandai oleh Formulir Layanan, yang telah
Penulis singgung di atas.
Si pihak Tenant mendalilkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Klas 1A Khusus Jakarta Selatan, dalam pertimbangan-pertimbangan
hukumnya
telah
mengandung kelalaian-kelalaian,
61
karena
telah
tidak
mempertimbangkan dalil-dalil Gugatan, Replik, bukti-bukti dan fakta-fakta,
sehingga menghasilkan keputusan yang keliru dan tidak benar dalam
memberikan putusannya, yaitu memberikan Putusan menolak formulir layanan
pelanggan sebagai bentuk Perjanjian yang sah dan mengikat secara hukum.
Beberapa argumen yang dibangun oleh si Tenant perlu untuk dipertimbangkan.
Menurut si pihak Tenant, adalah tidak beralasan jika pertimbangan
Judex Facti tingkat pertama pada paragraf 6 halaman 63, paragraf 1 dan 2
halaman 64 menolak dalil si Tenant jika Majelis telah mempertimbangkan
sebelumnya jika awal perjanjian antara si Tenant adalah sebagaimana
bukti58yang diakui si Landlordtelah dibuat dan dilaksanakan oleh si Tenant dan
si Landlordsepuluh tahun yang lalu59. Kaitan dengan itu, menurut si Tenant,
dengan mempertimbangkan bahwa bentuk perjanjian haruslah memenuhi
ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu
sebab yang halal dan juga mempertimbangkan bahwa dengan memperhatikan
bukti P-6 tesebut, ternyata dibuat/ditandatangani oleh si Tenant dan petugas si
pihak
Lamdlordyang
adalah
tidak
mempunyai
kewenangan
untuk
menandatangani suatu perjanjian akan tetapi yang bersangkutan hanya sebagai
pencatat atas suatu keluhan dari pelanggan/si Tenant, tidak ada kata-kata yang
menunjukan adanya kesepakatan diantara si Tenant dan petugas pencatat dari
58
Bukti P-1.
59
Bukti P-6/ T-1 judulnya adalah Formulir Layanan Pelanggan, bukti P-6/ T-1 tersebut adalah
merupakan bentuk layanan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 5 tentang hak dan
kewajiban.
62
si Landlord, materi yang dituliskan pun bukan sesuatu yang pasti akan tetapi
berupa permintaan yang masih digantungkan pada suatu keputusan dari
otoritas yang berwenang, oleh karena itu bukti P-6/T-1 tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai bentuk perjanjian karena tidak memenuhi syarat sahnya
perjanjian sebagaimana Pasal 1320 KUH Perdata, oleh karena itu petitum
angka 3 haruslah ditolak.
Si pihak Tenant juga mendalilkan bahwa adalah pertimbangan yang
tidak beralasan hukum dan tidak berdasarkan fakta jika bukti P-6: Formulir
Layanan Pelanggan tertanggal 20 November 2009 yang ditandatangani oleh
Petugas dari pihak Landlord dan si Tenantadalah bukan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Bukti P-1: Perjanjian Baku tentang Layanan Jasa
Telekomunikasi Selular GSM Telkomsel, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
6.4 Bukti P-1 yang berbunyi :―Kewajiban Pelanggan untuk membayar biayabiaya yang terhutang olehnya akan jatuh tempo pada tanggal sebagaimana
disebutkan dalam surat tagihan atau pemberitahuan yang disampaikan oleh
bagian Costumer Service Telkomsel atau pemberitahuan tertulis yang
disampaikan Telkomsel, mana yang lebih cepat‖. Menurut si Tenant, bukti P-6:
Formulir
Layanan
Pelanggan
tertanggal
20
November
2009
yang
ditandatangani itu adalah bukan sekedar catatan permintaan atau permohonan
dari
dirinya,
lebih
dari
pada
itu,
juga
merupakan
suatu
bentuk
informasi/pemberitahuan tertulis yang sebagaimana juga telah ditegaskan dan
dibenarkan oleh si Landlord dalam Jawaban Gugatan pada halaman 7 angka 4
yang mendalilkan bahwa dalam perkara a quo, Formulir Layanan Pelanggan
63
atas nama Tenant yang diterima pada tanggal 20 November 2009, adalah
sebagai bentuk Perjanjian yang sah dan mengikat secara hukum bagi Tenant
dan Landlord. Pihak tenan juga tidak dapat menerima pertimbangan Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Jakarta Selatan, dalam
pertimbangan hukumnya yang berkenaan dengan dalil-dalil si Tenant yang
menyatakan si Landlordtelah cedera janji/Wanprestasi atas Formulir Layanan
Pelanggan tertanggal 20 November 2009 karena dia telah melakukan
pemblokiran secara sepihak terhadap kartu Halo Tenant pada tanggal 14
Desember 2009, telah menghasilkan keputusan yang keliru dan tidak benar
dalam memberikan Putusannya yang menolak si Landlord telah wanprestasi
tersebut.
Si pihak Tenant menguraikan bahwa pertimbangan Judex Facti tingkat
pertama pada paragraf 3 halaman 64 yang menyatakan: ―Menimbang, bahwa
oleh karena petitum angka 3 ditolak, maka si Tenanttidak dapat mendasarkan
dalilnya (wanprestasi yang dilakukan Tergugat) tersebut pada Formulir
Layanan Pelanggan sebagaimana bukti P-6/T-1‖, Adalah Pertimbangan yang
tidak beralasan hukum dan tidak berdasarkan fakta. Dalam pandangan si
Tenantsebagaimana telah diuraikan pada Keberatan Kedua si Tenant di atas,
Bukti P-6: Formulir Layanan Pelanggan tertanggal 20 November 2009 yang
ditandatangani oleh Petugas si Landlord dan si Tenant adalah suatu bentuk
Pemberitahuan tertulis yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Bukti P-1: Perjanjian Baku tentang Layanan Jasa Telekomunikasi Selular GSM
Telkomsel, sehingga Bukti P-6 adalah suatu bentuk perjanjian yang telah
64
memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Dan oleh karenanya, Tenant dapat mendasarkan dalilnya
(wanprestasi yang dilakukan Landlord).
Menurut si Tenant adalah salah jika hal itu tidak dipertimbangkan oleh
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Jakarta Selatan.Mengapa?
Menurut Si Tenant bahwa si Landlord dan dirinya telah sepakat bahwa tagihan
kartu Halo Pemohon Kasasi/Penggugat bulan September 2009 sebesar tujuh
juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah, dilakukan
secara dicicil sebanyak tiga kali pembayaran dan dalam waktu tigabulan,
sebagaimana dinyatakan dalam Bukti P–6: Formulir Layanan Pelanggan
tertanggal 20 November 2009 yang ditandatangani itu dan yang menyebutkan
bahwa :..ybs. (in casusi Tenant) meminta keringanan Pembayaran sebanyak
tiga kali dalam tiga bulan yang total tagihannya adalah sebesar Rp
7.750.764,00,. Menurut dalil si pihak Tenant, dia sudah melakukan
Pembayaran pertama Rp 5.000.000,00 tanggal 20/11/2009 akan melakukan
pembayaran lagi sebesar Rp 1.500.000,00 dan sisanya akan dibayarkan pada
bulan berikutnya.
Si Tenant juga mendalilkan bahwa terhadap kesepakatan yang
tercantum dalam Bukti P–6: Formulir Layanan Pelanggan tertanggal 20
November 2009 itu, dia sebagai Tenant, dengan kesadaran, iktikad baik dan
bertanggung jawab tetap berupaya untuk memenuhi kewajibannya dengan
melakukan pembayaran pada tanggal 21 Oktober 2009 sebesar lima juta
65
rupiah, kemudian pada tanggal 20 November 2009 sebagai pembayaran cicilan
kedua sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah. Si Tenant juga mendalilkan
bahwadisamping itu, berdasarkan Bukti P-7: Informasi Biaya Penggunaan
Kartu Halo, No. Invoice Number 0080509458 No. Kartu Halo 62811969697
Bulan Tagihan Desember, si Landlord justru telah membuktikan dan
membenarkan dalil-dalil yang dikemukakan si Tenant. Yaitu sisa tagihan bulan
November 2009 yang menjadi kewajibannya sebesar Rp 1.250.764,00 dari
nilai total tagihan sebelumnya sebesar Rp 7.750 764,00;Tagihan bulan berjalan
sebesar Rp 1.306.857,00; si Landlord mengakui dan telah menerima
pembayaran sebesar Rp 3.006.225,00, yaitu pembayaran sisa tagihan sebesar
Rp 1.500.000,00 sebagaimana kesepakatan dalam Bukti P–6: Formulir
Layanan Pelanggan tertanggal 20 November 2009 yang ditandatangani oleh
Petugas si Landlord dan si Tenant, pembayaran untuk pemakaian bulan
berjalan sebesar Rp 1.506.225,00. Pihak Tenant mendalilkan jatuh tempo (due
date) adalah setiap tanggal 20 pada setiap bulannya (tanggal 20 Desember
2009); Isi kesepakatan Bukti P-6: Formulir Layanan Pelanggan tertanggal 20
November 2009 yang ditandatangani itu, masih tetap direalisasikan oleh si
Tenant dengan konsisten melakukan pembayaran baik untuk sisa tunggakan
maupun untuk tagihan bulan berjalan. Namun, menurut si Tenant,dengan
secara melawan hak dan secara sewenang-wenang pada tanggal 14 Desember
2009 pihak Landlord melakukan pemblokiran.
Pihak Tenant terus bersikeras bahwa berdasarkan pertimbangan Judex
Facti Tingkat Pertama pada paragraf 7 halaman 60 yang menyatakan:
66
―Menimbang, bahwa untuk menentukan ada tidaknya wanprestasi, maka perlu
dibuktikan hal-hal sebagai berikut, yaitu: Apakah Tergugat telah lalai
memenuhi perjanjian;Apakah Tergugat tidak memenuhi perjanjian;Apakah
Tergugat terlambat memenuhi perjanjian,‖dari fakta-fakta dan uraian tersebut
di atas, secara logika yuridis dapat disimpulkan bahwa Pemblokiran kartu Halo
milik si Tenant secara sepihak dan melawan hak oleh si Landlord pada tanggal
14 Desember 2009 sebelum batas waktu (jatuh tempo pembayaran) tanggal 20
Desember 2009, telah memenuhi salah satu unsur pembuktian yang
menentukan adanya suatu wanprestasi. Dengan demikian jelas, didalilkan si
Tenant, bahwa dengan diblokirnya kartu Halo Tenantsebelum batas waktu
tanggal 20 Desember 2009, sangat jelas dan nyata bahwa Landlord telah
melakukan Wanprestasi.
Oleh karena itu, menurut si Tenant, Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Kelas 1A Khusus Jakarta Selatan, dalam pertimbangan-pertimbangan
hukumnya yang berkenaan dengan Pemblokiran Kartu Halo Tenant telah
mengandung kesalahan-kesalahan, kekeliruan dan tidak benar dalam
memberikan Pertimbangan-pertimbangan yang telah Memberi Hak Kepada
Landlord untuk melakukan pemblokiran dan pertimbangan pemblokiran
tersebut adalah bukan perbuatan wanprestasi. Hal itu dapat dijelaskan sebagai
berikut, menurut si Tenant, Pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama
pada paragraf 5 halaman 64 dan paragraf 5 halaman 65 yang menyatakan
―Menimbang, bahwa dalam bukti P-1/ T-6 kewajiban si Tenant sebagai
pelanggan kartu Halo adalah membayar biaya penggunaan layanan
67
dasar,layanan tambahan dan layanan administratif kepada si Landlord atau PT.
Telkomselpada waktu dan cara sebagaimana dimaksud Pasal 7, yaitu yang
akan jatuh tempo pada tanggal sebagaimana disebutkan dalam surat tagihan
dan selanjutnya dalam Pasal 8 memberi hak kepada Landlord untuk melakukan
pemblokiran apabila Tenant tidak memenuhi kewajiban pembayaran biaya
yang terhutang.
Oleh karena hal pemblokiran, menurut si Tenant merupakan sesuatu
yang diperjanjikan dan disepakati oleh kedua belah pihak manakala salah satu
pihak lalai dalam melaksanakan kewajibannya, maka perbuatan Tenant yang
telah lalai membayar tagihan pembayaran kartu Halo, telah memberi hak
kepada si Landlord untuk melakukan pemblokiran, oleh karena mana
perbuatan Landlord melakukan pemblokiran bukanlah merupakan perbuatan
wanprestasi dan tidak ada kaitannya dengan formulir layanan Pelanggan
tanggal 20 November 2009, karena mana petitum 4 patut untuk ditolak, adalah
Pertimbangan tidak beralasan hukum, saling bertentangan dan tidak
berdasarkan fakta, demikian dalil si Tenant. Menurut pihak Tenant, hal itu
terjadi karena: Bahwa berdasarkan Bukti P-7: Informasi Biaya Penggunaan
Kartu Halo, No. Invoice Number 0080509458 No. Kartu Halo 62811969697
Bulan Tagihan Desember, tanggal jatuh tempo pembayaran adalah pada
tanggal 20 Desember 2009 serta Pemblokiran kartu Halo secara sepihak dan
melawan hak oleh Landlord tersebut, telah memenuhi salah satu unsur
pembuktian yang menentukan adanya suatu wanprestasi, sebagaimana telah
uraikan pada Keberatan Tenant di atas.
68
Dalam pandangan pihak Tenant, dengan demikian jelas bahwa
Pertimbangan Judex Facti Tingkat Pertama yang telah memberikan hak kepada
Lanlord untuk melakukan pemblokiran pada tanggal 14 Desember 2009 dan
pemblokiran tersebut bukanlah merupakan suatu wanprestasi, adalah
Pertimbangan yang tidak beralasan hukum, oleh karena itu Putusan Tingkat
Tinggi tesebut haruslah dibatalkan. Pihak Tenant juga mendalilkan bahwa
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Jakarta Selatan, dalam
pertimbangan-pertimbangan hukumnya yang berkenaan dengan Perbuatan
Landlordselaku pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang bertentangan
dan melanggar UU Perlindungan Konsumen, telah mengandung kesalahankesalahan, kekeliruan dan tidak benar dalam memberikan PertimbanganPertimbangan bahwa tidak ada perbuatan Landlord yang melanggar UU
Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut:
Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama pada
paragraf 5 halaman 65 yang menyatakan:―Menimbang, bahwa oleh karena
pemblokiran yang dilakukan oleh Landlord atas kartu Halo milik Penggugat
No. 0811969697 adalah merupakan konsekuensi dari pelaksanaan/isi
perjanjinan yang disepakati oleh Tenant dan Landlord, maka artinya
Landlordtelah melaksanakan perjanjian dengan benar sesuai yang sudah
disepakati bersama, maka oleh karena itu tidak ada perbuatan yang dilanggar
dari UU Perlindungan Konsumen, karena itu petitum ke 5 patut untuk ditolak‖,
menurut si Tenant, adalah suatu Pertimbangan Hakim yang tidak beralasan
hukum dan tidak berdasarkan fakta. Hal seperti itu terjadi, karea menurut si
69
Tenant, sebagaimana uraian Keberatan Ketiga dan Keberatan Keempat si
Tenant di atas, bahwa dengan diblokirnya kartu Halo oleh Landlord sebelum
batas waktu tanggal 20 Desember 2009, sangat jelas dan nyata bahwa
Landlord telah melakukan Wanprestasi. Namun demikian, Tenant masih
beritikad baik untuk melunasi seluruh sisa tagihan terakhir sebesar tiga juta
tiga ratus empat belas ribu empat ratus enam puluh dua rupiah sebagaimana
Bukti P-9: Bukti Pembayaran yang dilakukan oleh Tenant sebesar Rp
3.314.462,00 tertanggal 14 Mei 2010 dengan Nomor Bukti Bayar:
30600140520100118981974. Sehingga menyebabkan Tenant selaku konsumen
telah kehilangan hak atas kenyamanan dalam memanfaatkan produk jasa kartu
Halo dan Hak Tenant tersebut adalah hak yang dijamin oleh hukum yang
ditulis dalam UU Perlindungan Konsumen.Pasal 7 huruf (a) UU Perlindungan
Konsumen: ―beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya‖;Pasal 7
huruf (b) UU Perlindungan Konsumen: ―memberikan informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”. Pasal 7 huruf
(c) UU Perlindungan Konsumen: ―memperlakukan atau melayani konsumen
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.‖Pasal 26 UU yang sama juga
di dalamnya dinyaakan:―pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib
memenuhi jaminan dan/ atau garansi yang disepakati dan/ atau yang
diperjanjikan.‖ Sementara itu, berkaitan dengan hal tersebut si Tenant juga
membangun argumen bahwa Pasal 17 huruf (a) UU Telekomunikasi:
―penyelenggaraan
telekomunikasi
70
dan/
atau
penyelenggaraan
jasa
telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan
prinsip perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya baik bagi
semua pengguna.‖
Si pihak Tenant juga mendalilkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Klas 1A Khusus Jakarta Selatan, dalam pertimbangan-pertimbangan
hukumnya yang berkenaan dengan Pengembalian atas uang yang dikeluarkan
oleh si Tenant, telah mengandung kesalahan-kesalahan, kekeliruan dan tidak
benar dalam memberikan Pertimbangan-Pertimbangan. Dalam pandangan si
Tenant, kekeliruan seperti itu terjadi karena uang yang sudah dikeluarkan si
Tenant tersebut, sudah menjadi kewajiban hukum dari si Tenant sendiri yang
tidak dapat dibebankan kepada orang lain, sebagaimana dikemukakan sebagai
berikut: bahwa pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama pada
paragraf 1 halaman 66 yang menyatakan: ―Menimbang, bahwa terhadap
tuntutan si Tenant agar Landlord mengembalikan biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh si Tenantsehubungan pengurusan perkara dimaksud
sebagaimana bukti P-10, P-11, P-12, P-14a, P-14b, P-14c dan bukti pendukung
pengeluaran uang Penggugat berupa P-13a, P-13b, P-13c dan P-13d sebesar Rp
5.500.000,00, oleh karena biaya-biaya tersebut dikeluarkan adalah untuk
mewakili kepentingan si Tenant secara pribadi dalam memperlancar
pekerjaannya, maka adalah menjadi kewajiban hukum dari si Tenant sendiri
yang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, karena itu Petitum ke 6 patut
untuk ditolak‖, adalah Pertimbangan tidak beralasan hukum dan tidak
berdasarkan fakta, setidak-tidaknya menurut si Tenant karena: dengan
71
diblokirnya kartu Halo oleh Landlord sebelum batas waktu tanggal 20
Desember 2009, sangat jelas dan nyata bahwa Landlord telah melakukan
wanprestasi yang mengakibatkan Kerugian Materil yang dialami oleh Tenant
sebagaimana Bukti P-10, P-11, P-12, P-14a, P-14b, P-14c dan Bukti
Pendukung pengeluaran uang Tenant berupa Bukti P-13a, P-13b, P-13c dan P13d sebesar lima juta lima ratus ribu rupiah. Bahwa selain kerugian-kerugian
diatas, si Tenant juga telah kehilangan opportunity/peluang/kesempatan untuk
menjaga citra dan kredibilitasnya. Perbuatan Landlord, menurut Tenant, juga
telah menimbulkan citra negatif terhadap Tenantyang sedang menjaga dan
membangun citra serta reputasinya. Dan oleh karenanya, menimbulkan
kerugian Immateril termasuk namun tidak terbatas, terhadap perasaan yang
tidak nyaman dalam diri Tenant, maka si Tenant menuntut ganti rugi terhadap
Landlord atas kerugian immaterial tersebut sebesar satu miliar rupiah.
2.6. Pertimbangan Mahkamah Agung Mengenai Hubungan LandlordTenant
Terhadap alasan-alasan tersebut di atas Mahkamah Agung berpendapat
bahwa alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh pihak Tenant tidak dapat
dibenarkan.Tidak dibenarkannya alasan-alasan yang dikemukakan oleh si
pihak Tenant sebagaimana telah dikemukakan secara terperinci di atas
menyebabkan Mahkamah Agung berkesimpulan bahwa Judex Facti tidak salah
menerapkan hukum. Menurut Mahkamah Agung, pertimbangan Judex Facti
sudah tepat dan benar.
72
Mahkamah agung yang sidangnya untuk kasus tersebut waktu itu
dipimpin oleh Dr. H. Ahamad Kamil, SH., M.Humpada tanggal 29 Maret
2013 mempertimbangkan pula alasan yang menyebabkan kesipulan bahwa apa
yang dikemukakan oleh pihak Tenant tidak dapat membuktikan dalil
gugatannya. Alasan yuridis yang dikemukakan Mahkamah Agung adalah
bahwa gugatan Penggugat tidak memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.
Pihak Tenant, menurut Mahkamah Agung, tidak dapat mendasarkan dalilnya
bahwa menurut pendapa si Tenant, si pihak Landlord tersebut telah
wanprestasi.
Dalam pandangan Mahkamah Agung, dalil wanprestasi yang dilakukan
oleh si pihak Landlord itu bahwa ada formulir layanan Pelanggan sebagaimana
bukti P6/T1 tidaklah cukup. Menurut Mahkamah Agung, dalil si pihak Tenant
yang mengatakan bahwa adanya wanprestasi: (1) karena bukti P6/T1 tersebut
adalah merupakan perjanjian yang sudah disepakati oleh dirinya dengan si
pihak Landlord; (2) dengan adanya kelalaian si pihak Landlord; dan (3)
kenyataan bahwa lalainya si pihak Tenant membayar tagihan telah memberi
Hak kepada pihak Landlord untuk memblokir Kartu Halo milik Penggugat
tidak benar. Menurut Mahkamah Agung alasan si pihak Tenant seharusnya
adalah alasan mengenai adanya kesalahan penerapan hukum, adanya
pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi
syaratsyarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila
Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana
73
yang dimaksud dalam Pasal 30 UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan UU No. 3 tahun 2009. Itulah sebabnya Mahkamah Agung
berpendapat bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa
putusan Judex Facti dalam perkara itu tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh si pihak
Tenant, yaitu Prof. Dr. Farouk Muhammad harus ditolak.
2.7. Analisis Bagaimana Penyelenggara
60
Telekomunikasi sebagai
Landlord
Setelah pemaparan tentang temuan Penelitian atas Putusan MARI 2995
sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, maka berikut di bawah ini
analisis terhadap isi Putusan MARI 2995 itu dalam rangka melihat dan
menjustidikasi adanya pola hubungan hukum Landlord and Tenant di dalam
Putusan sebagai satuan amatan tersebut. Lebih khusus lagi, analisis yang
dikemukakan berikut di bawah ini berkisar kepada menjawab permasalahan
yang sudah dirumuskan di dalam Bab I Skripsi ini, yaitu: Bagaimana
tanggungjawab
hukum
operator
sellular
sebagai
Landlord,
pihak
penyelenggara 61 telekomunikasi dalam hubungan hukum dengan pelanggan
sebagai penyewa (tenant)?
60
UU Telekomunikasi, Pasal 1 Ayat (7) mendefinisikan penyelenggara telekomunikasi sebagai
perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah BUMD), Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara.
Pasal tersebut juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi itu
merupakan Landlord atau pemberi sewa telekomunikasi kepada pihak pelanggan (tenant).
61
UU Telekomunikasi, Pasal 1 Ayat (7) mendefinisikan penyelenggara telekomunikasi sebagai
perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah BUMD), Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara.
74
Pada dasarnya setiap kegiatan atau aktivitas manusia dapat diatur oleh
hukum. Hukum dipersempit pengertiannya menjadi peraturan perundangundangan yang dibuat oleh negara. Dalam kaitannya dengan teknologi
komunikasi, peran hukum adalah untuk melindungi pihak-pihak yang lemah
terhadap eksploitasi dari pihak yang kuat, disamping itu hukum dapat pula
mencegah dampak negatif dari ditemukannya suatu teknologi baru. Pada
dasarnya setiap kegiatan atau aktivitas manusia dapat diatur oleh hukum.
Hukum dipersempit pengertiannya menjadi peraturan perundang-undangan
yang dibuat oleh negara. Dalam kaitannya dengan teknologi komunikasi, peran
hukum adalah untuk melindungi pihak-pihak yang lemah terhadap eksploitasi
dari pihak yang kuat, disamping itu hukum dapat pula mencegah dampak
negatif dari ditemukannya suatu teknologi baru.
Prinsip ini secara eksplisit telah di atur dalam UU Telekomunikasi, UU
ITE maupun UU Perlindungan Konsumen seperti yang telah penulis jelaskan
pada BAB terdahulu. Prinsip ini mengatakan bahwa pelaku usaha selalu
dianggap bertanggungjawab terhadap kerugian yang timbul kecuali pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kerugian yang terjadi bukan disebabkan oleh
kelalaiannya
dan
merupakan
kelalaian/kesalahan
dari
konsumennya.
Pengaturan menyangkut tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen
tertuang dalam Pasal 19 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen mengamanatkan
bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
Pasal tersebut juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi itu
merupakan Landlord atau pemberi sewa telekomunikasi kepada pihak pelanggan (tenant).
75
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Pasal tersebut merupakan
landasan hukum terkait tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen yang
telah dirugikan.
Berdasarkan Pasal tersebut maka pelanggan seluler berhak untuk
mendapatkan ganti rugi dari operator seluler atas kerugian yang dialaminya.
Selanjutnya Pasal 15 Ayat (1) UU Telekomunikasi mengamanatkan bahwa atas
kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara komunikasi yang menimbulkan
kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti
rugi kepada penyelenggara komunikasi.
62
Berdasarkan pasal tersebut,
konsumen yang dalam hal ini pelanggan seluler berhak untuk mengajukan
ganti rugi karena kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan oleh operator seluler sehingga mengakibatkan bocornya data
pelanggan. Adanya unsur kesalahan atau kelalaian dan kerugian yang diderita
oleh pelanggan seluler yang dilakukan oleh operator seluler, maka dapat
dianggap perbuatan yang dilakukan oleh operator seluler adalah perbuatan
melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1365 BW.
Selanjutnya
penyelenggara
dalam
UU
telekomunikasi
Telekomunikasi
wajib
mengamanatkan
memberikan
ganti
rugi
bahwa
kecuali
penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.63 Berdasarkan Pasal
62
Pasal 15 Ayat (1) UU Telekomunikasi.
63
Lihat Pasal 15 Ayat (2) UU Telekomunikasi.
76
tersebut, operator seluler wajib memberikan ganti rugi kepada pelanggan
seluler yang menuntut ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang telah
mengakibatkan kerugian.
Ada beberapa kemungkinan penuntutan yang didasarkan pada Pasal 1365
BW, yaitu: 64 ganti rugi atas kerugian dalam bentuk uang; ganti rugi atas
kerugian dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadaan semula;
pernyataan bahwa perbuatan adalah melawan hukum;Larangan dilakukannya
perbuatan tertentu; Meniadakan suatu yang diadakan secara melawan hukum;
pengumuman keputusan dari sistem yang telah diperbaiki.
Menurut pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, setiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain
selaku konsumen, mewajibkan orang yang karena salah menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melanggar hukum dalam tanggung
jawab pelaku usaha yang merugikan konsumen dapat diartikan juga sebagai
perbuatan yang melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban
pelaku usaha, bertentangan dengan kesusilaan dan tidak sesuai dengan
kepantasaan dalam masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain
(konsumen). Untuk dapat menuntut ganti kerugian atas produk yang
merugikan konsumen dalam dasar perbuatan melanggar hukum maka harus
dipenuhi beberapa syarat, seperti adanya suatu perbuatan melawan hukum,
adanya kesalahan, adanya kerugian, dan adanya hubungan kausal antara
kerugian dan kesalahan. Dari ajaran di atas, perbuatan melanggar hukum
64
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cet.2, Pradnya Pramitha, Jakarta,
1982, hal.,102.
77
mempunyai pengertian yaitu berbuat (aktif) atau tidak berbuat (pasif) sehingga
bertentangan dengan hukum dalam arti luas. Menurut teori kesalahan,
kewajiban timbul dikarenakan adanya kesalahan. Kesalahan selalu ada
meskipun dalam ketentuan unsur tidak ada, namun harus dipersangkakan ada.
Untuk dapat ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum, maka
unsur kesalahan ini harus dapat dibuktikan. Kesalahan di sini umumnya
diartikan secara luas, yang meliputi kesengajaan (opzet) dan kekuranghatihatian atau kelalaian (negligence).
Ukuran yang dipergunakan dalam hal ini adalah perbuatan dari seseorang
yang dalam keadaan normal. Kesalahan yang dimaksud dalam kaitan dengan
perbuatan melanggar hukum ini adalah kesalahan, baik berupa kesengajaan
maupun kekuranghati-hatian (kelalaian). Kesengajaan ini menunjukkan adanya
maksud dari pelaku usaha untuk menimbulkan akibat tertentu.
65
Kelalaian
(negligence) oleh pelaku usaha merupakan suatu perilaku yang tidak sesuai
dengan standar kelakuan yang ditetapkan dalam undang-undang demi
perlindungan anggota masyarakat terhadap resiko yang tidak rasional. Yang
dimaksudkan disini adalah adanya perbuatan kurang cermat dan kurang hatihati yang semestinya seorang penjual atau pelaku usaha mempunyai kewajiban
memelihara kepentingan orang lain (duty of care). Unsur utama dalam
neglience ini adalah adanya kewajiban memelihara kepentingan orang yang
dilanggar pelaku usaha atas produknya. Kewajiban ini mensyaratkan bahwa
65
Janus Sidabalok ,Op., Cit, hal., 105.
78
pelaku usaha harus hati-hati dalam menjaga kepentingan orang lain sebagai
konsumen.
2.7.1. Soal Keterbukaan Informasi (Representation) Landlord
Berbicara mengenai keterbukaan informasi, hal tersebut merupakan
kewajiban yang harus dilakukan oleh oleh pelaku usaha dan sebaliknya
merupakan hak yang diterima oleh konsumen. Mengenai hal tersebut, sudah
diatur secara jelas dalam UU Perlindungan Konsumen. Kewajiban pelaku usaha
salah satunya adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. 66 Sedangkan salah satu hak dari
konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.67Hal tersebut terlihat dalam rumusan
dalam putusan ‖bahwa kemudian Penggugat dikejutkan dengan tagihan bulan
September 2009 sebesar Rp 7.750.764,00 (tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu
tujuh ratus enam puluh empat rupiah), sedangkan biasanya hanya sebesar Rp
1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah), pembengkakan biaya tersebut
ternyata kemudian diketahui oleh Penggugat dikarenakan biaya roaming
internasional di luar negeri, yaitu selama seminggu ketika Penggugat
menjalankan ibadah umrah di Mekkah; Bahwa terhadap tagihan tersebut,
Penggugat telah menugaskan 2 (dua) orang staf dari kantor Penggugat untuk
66
Lihat Pasal 7 huruf (b) UU No. 8 tahun 1999 tntang Perlindungan Konsumen.
67
Lihat Pasal 4 huruf (c) UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
79
menyampaikan keberatan Penggugat dan meminta keringanan pembayaran
kepada Tergugat di Kantor Grapari Telkomsel, Jalan Gatot Subroto. Dalam hal
ini, Penggugat tidak memperoleh informasi atau tidak mendapatkan informasi
yang cukup tentang besarnya biaya roaming internasional di luar negeri, tetapi
Tergugat melalui petugasnya hanya menyatakan bahwa pencarian informasi
dimaksud menjadi kewajiban pelanggan (dalam hal ini menjadi kewajiban
Penggugat)‖68 Tentu saja hal tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku yang sudah secara jelas mengatakan bahwa
merupakan kewajiban bagi penyelenggara telekomunikasi dalam memberikan
informasi yang jelas dan benar kepada pelanggannya. Dalam hal ini, penulis
melihat bahwa dalam putusan tersebut, belum memperhatikan secara benar
aturan hukum yang ada dalam hal mempertimbangkan hak-hak dari pelanggan
yang mana ketika hak tersebut tidak dipenuhi sehingga pelanggan mengalami
kerugian. Prinsip prinsip hukum yang seharusnya diperhatikan oleh hakim dalam
mengambil keputusan merupakan hal yang
Menurut
Penulis,
Pertanggungjawaban
landlord
maupun
tenant
merupakan pertanggungjawaban berdasarkan pada prinsip praduga untuk selalu
bertanggungjawab (Presumtion Of Liability Principle) hal tersebut dikarenakan
aturan hukum yang berlaku dalam UU Telekomunikasi, UU ITE maupun UU
perlindungan konsumen mamberikan posisi pelaku usaha sebagai pihak yang
memiliki beban pembuktian jika terdapat kerugian sehingga pelaku usaha yang
68
Putusan Mahkamah Agung
80
selalu dianggap bertanggungjawab, kecuali pelaku usaha dapat membuktikan
bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaiannya.
Dalam Putusan MARI 2995 terdapat pertanggungjawaban landlord
merupakan pertanggungjawaban berdasarkan pada prinsip praduga untuk selalu
bertanggungjawab.Hal tersebut sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Yang terlihat dalam bunyi rumusan: Bahwa pertimbangan Judex Facti
tingkat pertama pada paragraf 6 halaman 63, paragraf 1 dan 2 halaman 64 yang
menyatakan:―Menimbang, bahwa Majelis telah mempertimbangkan sebelumnya
jika awal perjanjian antara Penggugat adalah sebagaimana bukti P-1 yang diakui
Penggugat telah dibuat dan dilaksanakan oleh Penggugat dan Tergugat sepuluh
tahun yang lalu, bukti P-6/ T-1 judulnya adalah Formulir Layanan Pelanggan,
bukti P-6/ T-1 tersebut adalah merupakan bentuk layanan administratif
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 tentang hak dan kewajiban‖; ―Menimbang,
bahwa bentuk perjanjian haruslah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk
membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal‖;
―Menimbang, bahwa dengan memperhatikan bukti P-6 tesebut, ternyata dibuat/
ditandatangani oleh Pengugat dan petugas Tergugat yang adalah tidak
mempunyai kewenangan untuk menandatangani suatu perjanjian akan tetapi
yang bersangkutan
hanya
sebagai
pencatat
atas
suatu
keluhan
dari
pelanggan/Pengugat, tidak ada kata-kata yang menunjukan adanya kesepakatan
diantara Penggugat dan petugas pencatat dari Tergugat, materi yang dituliskan
pun bukan sesuatu yang pasti akan tetapi berupa permintaan yang masih
81
digantungkan pada suatu keputusan dari otoritas yang berwenang, oleh karena
itu bukti P-6/T-1 tersebut tidak dapat dikatakan sebagai bentuk perjanjian karena
tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata, oleh karena itu petitum angka 3 haruslah ditolak‖. 69 Dalam
pertimbangan ini, Penulis melihat ada permasalahan hukum berkaitan dengan
perjanjian sewa menyewa yang dilakukan oleh kedua pihak yang kemudian
tidak diakui oleh tergugat bahwa terdapat hubungan hukum sewa menyewa
padahal seharusnya secara hukum perjanjian tersebut tentu harus ada. Seperti
yang telah penulis kemukakan diatas bahwa hubungan hukum antara kedua
pihak adalah hubungan hukum sewa menyewa.Dalam UU Telekomunikasi
sudah mengatur mengenai hal tersebut yang mengatakan bahwa penyelengara
jasa telekomunikasi menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan
atau
menyewa
jaringan
telekomunikasi
milik
penyelenggara
jaringan
telekomunikasi. 70 Dalam rumusan pasal tersebut sudah jelas bahwa hubungan
sewa menyewa itu ada dan tidak dapat disimpangi bahkan haruslah menjadi
pertimbangan hakim dalam memberikan putusannya agar sesuai dengan prinsipprinsip hukum yang ada.
Sehingga setelah melihat pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, Penulis menyimpulkan bahwa dalam putusan tersebut hakim telah
berusaha untuk mendekatkan putusannya pada prinsip hukum, baik yang dituntut
69
Putusan Mahkamah Agung.
70
Lihat Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi
82
oleh KUHPerdata, UU Telekomunikasi, UU ITE maupun UU Perlindungan
Konsumen.
83
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Sesuai dengan analisis yang terdapat dalam BAB terdahulu, inti dari
penelitian
ini
adalah
dalam
Penulis
melihat
bahwa
penyelenggara
telekomunikasi dalam hal ini operator seluler dengan pelanggan mempunyai
hubungan yang sama dengan prinsip hubungan landlord dan tenant. Bahwa
Penulis melihat bahwa prinsip-prinsip hukum hubungan landlord dan tenant
hidup dalam putusan MARI 2995 tersebut. Yang dimaksud adalah posisi
pelanggan, dalam hal adalah sebagai tenant dan posisi penyelenggara operator
adalah sebagai landlord. Hubungan hukum tersebut secara eksplisit ditemukan
dalam UU telekomunikasi.Sehingga rasionalitas atau alasan pembenar
yuridisnya adalah UU Telekomunikasi tersebut.Dalam hubungan hukum
tersebut, baik hak maupun kewajiban masing-masing pihak telah diatur secara
jelas dalam ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
3.2.Saran
Yang menjadi cacatan dalam analisis putusan ini, hakim dalam
putusannya, hakim kurang mengerti mengenai prinsip-prinsip hukum yang
mengatur tentang sewa-menyewa. Dalam hal ini sewa-menyewa
dalam
penyelenggaraan telekomunikasi antara landlord dan tenant. Sehingga pihak
tenant yang sudah dirugikan akibat tindakan landlord, tidak mendapatkan
84
apayang seharusnya menjadi hak-haknya yang pada dasarnya hak tersebut secara
jelas sudah diatur dan dijamin dalam peraturan perundangan yang berlaku
Penegak hukum, dalam hal ini adalah hakim dalam memberikan
pertimbangan terhadap putusan pada kasus-kasus berikutnya agar lebih
memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku agar putusan tersebut tepat
dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Karena persoalan tersebut
sangat bekaitan dengan kepentingan hukum yang diharus dijamin, baik itu
kepentingan pihak landlord maupun kepentingan pihaktenant. Sehingga
seharusnya kembali dengan cermat memperhatikan prinsip hukum yang berlaku,
dalamhal ini baik yang diinginkan oleh KUHPerdata, UU Telekomunikasi, UU
Informasi dan Transaksi Elektronik maupun UU Perlindungan Konsumen yang
merupakan dasar hukum yang berlaku.
85
Download