BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS MENGENAI PERTANGGUNGJAWABAN OPERATOR SELULER SEBAGAI LANDLORD DAN PELANGGAN SEBAGAI PENYEWA (TENANT) Dalam BAB ini, Penulis mendeskripsikan mengenai prinsip-prinsip hukum umum yang memerintah hubungan antara penyewa dan penerima sewa selajutnya hubungan sewa-menyewa itu Penulis transposisi1 sebagai hubungan hukum landlord dan tenant. Setelah itu, Penulis mencari atau menganalisis bagaimana aspek pertanggungjawaban pelaku usaha penyelenggara jasa telekomunikasi sebagai landlord terhadap pelanggan dalam hal ini sebagai tenant dalam hubungan hukum sewa-menyewa telekomunikasi yang sudah ditransposisikan sebagai hubungan hukum landlord and tenant. Seperti telah dikemukakan di Bab I, Rumusan Masalah Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah: Bagaimana tanggungjawab hukum operator sellular sebagai 1 Transposisi adalah tren metoda dalam studi perbandingan hukum (comparative laws), ditemuka suatu penelitian hukum yang tidak dipublikasikan dalam Law Reporting Skotlandia. Mengenai hal ini lihat catatan kaki No. 34 dalam buku Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D berjudul Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas kristen Satya Wacana Salatiga, hal., 42. 1 Landlord, atau pihak penyelenggara 2 telekomunikasi, dalam hubungan hukum dengan pelanggan3 sebagai penyewa (tenant)?. Rumusan permasalahan itu mengandung konsep ―bagaimana‖. Oleh sebab itu, soalnya adalahapakah yang dimaksudkan dengan konsep kata tanya ―bagaimana‖,dalam rumusan masalahBagaimana tanggung jawab penyelenggara atau operator telepon sellular sebagai Landlord itu dapat dijelaskan dengan mem-break-downrumusan masalah dalam kalimat tanya itu dengan pertanyaanpertanyaan yang lebih rinci yaitu misalnya: (1) dapatkan operator telepon sellular disebut sebagai pihak (the party to contract) dalam hubungan hukum sewa-menyewa atau hubungan hukum Landlord and Tenant?; (2) apakah rasionalisasi atau alasan pembenar yuridis bahwa operator telepon sellular itu sejatinya adalah pihak Landlord dalam hubungan hukum Landlord and Tenant?: (3) apabila operator telepon selluar itu adalah pihak (the party to contract) yang disebut Landlord; maka, apa sajakah kewajiban atau tanggung jawab yang harus si operator telepon selluar sebagai Landlord itu pikul dalam suatu hubungan hukum sewa-menyewa telekomunikasi?; (4) kapankah tanggung jawab operator telepon sellular sebagai pihak Landlord itu dimulai dan kapankah tanggung 2 UU Telekomunikasi, Pasal 1 Ayat (7) mendefinisikan penyelenggara telekomunikasi sebagai perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara. Pasal tersebut juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi itu merupakan Landlord atau pemberi sewa telekomunikasi kepada pihak pelanggan (tenant). 3 Seperti sudah dikemukakan dalam catatan kaki No. 44 dalam Bab terdahuli Skripsi ini, UU Telekomunikasi, Pasal 1 Ayat (7) mendefinisikan penyelenggara telekomunikasi sebagai perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara. Pasal tersebut juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi itu merupakan Landlord atau pemberi sewa telekomunikasi kepada pihak pelanggan (tenant). 2 jawab seperti itu berakhir? (5) bagaimanakah cara hukum menyediakan jalan penyelesaian kepada pihak Tenant untuk meminta pertanggungjawaban si pihak Landlord manakala si pihak Landlord itu diduga merugikan kepentingan atau hak-hak si pihak Tenant?; (6) apakah sifat dari pertanggungjawaban pihak Landlordkepada si pihak Tenant itu? Apakah sifat pertanggungjawaban tersebut adalah privat ataukah sifat pertanggungjawaban publik yang dituntut dari pihak Landlord ataukah justru sifat pertanggungjawaban Landlord itu adalah suatu pertanggungjawaban hybrid –campuran privat-publik— yang merupakan sifasifat ―antara‖ publik dan sifat keperdataan?dan sebagainya. Semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas Penulis sebut sebagai jawaban atas pertanyaan ―bagaimana‖ di balik rumusan permasalahan sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas.Tambahan pula, dengan dengan demikian menjelaskan ―bagaimana‖ pertanggungjawaban operator telepon sellular sebagai Landlord dalam hubungan hukum sewa-menyewa telekomunikasi dengan pihak Tenant sebagai pihak (the other party to contract) pelanggan jasa telekomunikasi.Sesuai dengan judul Bab II di atas, maka jawaban-jawaban itu pertama-tama harus dicari secara konsepsional. Yang Penulis maksudkan sebagai pencarian atau penyelidikan konsepsional untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagaimana sebagian besar dirinci di atas itu adalah studi (research) kepustakaan. Selanjutnya dalam bagian analisis, dengan memedomani atau menjadikan tolak ukur jawaban yang melukiskan ―bagaimana‖ pertanggungajwaban pihak operator telepon sellular yang teoretis hasil temuan di dalam kepustakaan itu dicari lagi kaedah-kaedah yang sama memanifestasikan diri dalam putusan- 3 putusan pengadilan yang menjadi satuan amatan Skripsi ini. Gambaran atas hasil pencarian segala sesuatu di balik konsep ―bagaimana‖ dalam rumusan masalah Bagaimana pertanggungjawaban pihak operator telepon sellular yang ditemukan dalam putusan-putusan tersebut, Penulis sebut sebagai suatu analisis.Hasil dari analisis itu kemudian Penulis distilasi atau ambil intisarinya dan dirumuskan sebagai simpulan-simpulan, bagian yang dibutuhkan sebagai temuan penelitian Skripsi ini. 2.1. Hubungan Hukum Landlord dan Tenant Sebagai Hubungan Sewa Menyewa Di atas telah Penulis dalilkan bahwa pada prinsipnya hubungan hukum Landlord and Tenant yang merupakan suatu institusi hukum di Inggris, terutama di Skotlandia itu sejatinya atau pada hakikatnya apabila ditransposisikan adalah merupakan hubungan hukum yang identik dengan hubungan hukum sewamenyewa sebagaimana diatur dan dikenal dalam KUHPerdata Indonesia. Hanya saja, ada aspek-aspek tertentu yang unik dalam kedua institusi hukum yang sejenis dan berlaku di negara-negara yang berbeda itu. Keunikan itu adalah bahwa sekalipun institusi hukum Landlord and Tenant tersebut berlaku dalam suatu sistem hukum yang agrarisdan feodal di Inggris dan terutama Skotlandia, namun, di sana, di kedua negara itu, institusi tersebut berkembang sehingga dapat juga dipergunakan secara konstruktif pula untuk memahami kaedah yang sama mengatur hubungan hukum di luar bidang-bidang agraris, seperti yang dibicarakan Skripsi ini; yaitu dalam bidang telekomunikasi. 4 Studi terhadap satuan amatan4 yang ada juga membuktikan bahwa dalam Undang-undang Telekomunikasi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik5 di Indonesia keunikan itu muncul pula.Hanya saja, ketiadaan kepustakaan 6 yang menjelaskan mengenai hal itu telah menyulitkan Penulis untuk memberikan pembenaran kepustakaan atau konsepsional dan teoritis mengenai dalil yang dikemukakan oleh Penulis tersebut. Sekalipun begitu, dalam satuan amatan studi perbandingan (transposition) Skripsi ini dapat ditemukan bahwa keunikan dalam hubungan hukum Landlord and Tenant yang berlaku di Inggris dan terutama Skotlandia tersebut, dimana hubungan hukum itu juga dapat diterapkan dalam bidang telekomunikasi dan transaksi elektronik juga berlaku di luar bidang pertanahan yang agraris, dalam hal ini mengatur pula bidang telekomunikasi di Indonesia. Dalam UU Telekomunikasi dirumuskan bahwa: ―Penyelenggara jasa telekomunikasi dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi‖ 7 . Dalam Penjelasan UU Telekomunikasi juga diatur bahwa:―Penyelenggara jasa telekomunikasi dapat menggunakan 4 Mengenai satuan amatan perundang-undangan dari Skripsi ini, lihat Bab I, sub judul: Metodologi Penelitian, hal. 21-22 5 Sebetulnya, secara eksplisit UU ITE tidak memberi isyarat seperti itu, hanya saja, dengan berlakunya asas konvergensi antara UU ITE dan UU Telekomunikasi di Indonesia dan juga kecenderungannya di dalam Literatur Internasional, maka Penulis berpendapat bahwa hubungan hukum Landlord and Tenant yang ada di dalam kedua bidang yang saling berkaitan erat itu yaitu Telekomunikasi dan ITE harus ada. 6 Penulis berterima kasih, bahwa ditengah kesulitan untuk memperoleh rujukan kepustakaan tersebut Bapak Jeferson Kameo telah mengijinkan Thesis Ph.D yang tidak dipublikasikan dalam bidang ini dijadikan referensi. 7 Lihat UU Telekomunikasi Pasal 9 Ayat (2). 5 jaringan yang dimilikinya dan atau menyewa dari penyelenggara telekomunikasi lain. Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya digunakan untuk keperluan sendiri, namun apabila disewakan kembali kepada pihak lain, maka yang menyewakan kembali tersebut harus memperoleh izin sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi‖. Dalam rumusan Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi tersebut dapat ditarik 2 unsur dari perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi.Unsur pertama merupakan suatu perjanjian (kontrak) antara pihak penyewa dan pihak yang menyewakan.Unsur yang kedua adalah obyek sewa yaitu jaringan telekomunikasi. Pasal 27 Ayat 1 UU Telekomunikasi jo Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 52 tahun 2000 tentang Penyenggaraan Telekomunikasi juga telah menambahkan satu unsur dalam perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi yaitu adanya tariff sewa jaringan dalam hubungan hukum sewa menyewa tersebut.8 Disamping rumusan ketentuan sebagiamana telah dikemukakan di atas, tanda-tanda akan dipergunakannya institusi Landlord and Tenant yang oleh Penulis telah diidentikkan dengan hubungan hukum sewamenyewa itu dalam bidang telekomunikasi juga nampak dalam UU Telekomunikasi, terutama dalam Pasal 1 Ayat (11). Dalam Pasal itu, hubungan sewa-menyewa tidak hanya berlaku antara para penyelenggara jasa telekomunikasi (operator telepon seluler) dan penyelenggara jaringan 8 Lihat Pasal 27 Ayat 1 (1) UU Telekomunikasi joPasal 35 Ayat (1) PP Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. 6 telekomunikasi tetapi juga meliputi hubungan hukum antara pengguna jasa telekomunikasi yang di dalamnya adalah pelangggan sebagai (Tenant) dengan operator telepon selluler sebagai pemberi sewa yang disebut dengan Landlord. Dengan memperhatikan perspektif konsepsional seperti telah Penulis kemukakan di atas itu maka terjawablah sudah pertanyaan pertama yang sudah lebih dahulu Penulis rinci dalam kaitannya dengan apa yang ada di balik konsep ―bagaimana‖ di dalam rumusan masalah Skripsi ini sebagaimana dikemukakan di atas yaitu: dapatkan operator telepon sellular disebut sebagai pihak dalam hubungan hukum sewa-menyewa atau hubungan hukum Landlord and Tenant?. Jawabannya adalah dapat. Uraian itu juga dengan demikian menjawab pertanyaan yang kedua di atas, yaitu: apakah rasionalisasi atau alasan pembenar yuridis bahwa operator telepon sellular itu sejatinya adalah pihak Landlord dalam hubungan hukum Landlord and Tenant? Rasionalisasi atau alasan pembenar yuridis itu adalah Undang-undang Telekomunikasi dan UU ITE yang berlaku di Indonesia saat ini. Perlu Penulis tekankan di sini bahwa kedua Undang-undang tersebut (UU ITE dan UU Telekomunikasi) berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya karena kedua undang-undang itu harus tunduk kepada asas konvergensi yang dikenal dan disebutkan secara eksplisit di dalam kedua undang-undang tersebut. Itu berarti bahwa baik hubungan hukum telekomunikasi antara operator telepon selluler dengan pelanggannya tunduk kepada ketentuan umum mengenai sewa- 7 menyewa (Landlord and Tenant) dan juga semua ketentuan khusus yang mengatur mengenai kedua bidang itu di dalam kedua undang-undang tersebut dan di dalam kaitannya dengan ketentuan-ketentuan lainnya di dalam sistem hukum positif yang berlaku di Indonesia. Unsur dalam hubungan hukum sewa menyewa dalam telekomunikasi adalah suatu perjanjian (a contract), jaringan telekomunikasi, tarif sewa jaringan, dan jangka waktu sewa jaringan serta yang tidak kalah penting adalah para pihak yang mempunyai kecakapan (capacity) dan kekuasaan (power) untuk melakukan hubungan hukum tersebut.Perjanjian sewa menyewa jaringan telekomunikasi merupakan suatu perjanjian antara penyelenggara telekomunikasi dan pelanggan.Dengan adanya perjanjian di antara para pihak tersebut maka terdapat keharusan yang melekat pada kedua pihak yang telah mengikatkan diri.Keharusan disini adalah keharusan bagi penyelenggara jaringan telekomunikasi untuk memberikan hak atas kenikmatan dari jaringan/jasa telekomunikasi yang disewakan dan sekaligus keharusan bagi pelanggan untuk membayar sewa tarif jaringan tersebut sebagai kontra prestasi dalam jangka waktu yang telah disepakati kedua pihak atau berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku sebagai hukum positif.9 2.1.1. Pengertian Landlord dan Tenant (the Parties to Contract) Dalam penelitian ini, Penulis hendak mengatakan bahwa hubungan antara landlord dan tenant adalah juga merupakan hubungan hukum antara pelaku usaha di satu sisi dengan pihak konsumen di sisi yang lain. Dalam hal ini 9 Caesar,op cit., hal.,38. 8 penyelenggara telekomunikasi berkedudukan selaku pelaku usaha adalah Landlorddan pelanggan sebagai konsumen adalah pihak Tenant.Dalam kaitan dengan itu penyelidikan Penulis atas Blacks Law sebagai suatu kepustakaan, ditemukan penjelasan mengenai pengertian landlord10yaitu who are leases real property to another dan tenant11one who holds or possesses lands or tenements by any kind of right or title. Dijelaskan pula mengenai hubungan antara landlord dan tenant, yaitu: ―The legal relationship between the lessor and lessee of real estate. The relationship is contractual, created by a lease (or agreement for lease) for a term of years, from year to year, for life, or at will, and exists when one person occupies the premises of another with the lessors permission or consent, subordinated to the lessor’s title or rights. There must be a landlord’s resersion, a tenant’s estate, transfer of possession and control of the premises, and (generally) an express or implied contract”.12 Sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, hubungan hukum sewamenyewa tersebut, secara konstruktif dapat pula ditemukan dalam rumusan ketentuan Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi yang menjelaskan bahwa:―Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan 10 Black, Henry Campbell,” Black’s Law Dictionary“, St Paul Minn: West Publishing Co.,1990. Hal., 878. 11 Ibid.,hal.,1466. 12 Ibid.,hal.,878. 9 jasa dan/atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi‖ Selanjutnya, dalam bagian penjelasan Pasal 9 (2) UU tersebut di atas dikatakan bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi yang memerlukan jaringan telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang dimilikinya atau menyewa dari penyelenggara jasa telekomunikasi lainnya.Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya digunakkan untuk keperluan sendiri, namun apabila disewakan kembali (sub-lease) kepada pihak lain, maka yang menyewakan kembali tersebut harus mempunyai ijin sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi.13 Sedangkan pengertian Pelanggan dalam UU Telekomunikasi adalah Perseorangan, Badan Hukum, Instansi Pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontak.14Dalam pengertian ini, dapat diketahui bahwa hubungan hukum yang terjadi antara penyelenggara operator dan pelanggan adalah hubungan kontrak, dalam hal ini kontrak/ perjanjian sewa-menyewa atau ditransposisikan sebagai hubungan hukum Landlord and Tenant. 13 Lihat Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Telekomunikasi.Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pihak lainnya diantaranya adalah pihak Pelanggan jasa telekomunikasi. 14 Lihat Pasal 1 Angka (9) UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. 10 2.1.2. Tinjauan Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa Sebelum memahami pengertian dari perjanjian sewa-menyewa yang telah Penulis transposisikan sama dengan hubungan hukum Landlord and Tenant, maka berikut ini apa yang dimaksudkan dengan perjanjian pada umumnya. Di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan definisi mengenai perjanjian sebagai berikut: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 15 Kata perbuatan pada perumusan tentang persetujuan sebagai yang disebutkan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lebih tepat kalau diganti atau dipahami dengan kata perbuatan hukum/tindakan hukum mengingat bahwa dalam suatu perjanjian, akibat hukum yang muncul memang dikehendaki para pihak. 16 Kata perbuatan itu dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum sama dengan konsep to do, to give, not to do atau not to give sebagaimana dirumuskan dalam pengertian Kontrak sebagai nama ilmu hukum berikut ini: “It is the group of kinds of obligations all concerned with legal duties undertaken by persons, by promises to, or agreement with, another, to give or do or refrain from doing something to or for another, or with legal duties imposed by law to give or do somenthing to or for another where justice requires it hhough there 15 Lihat Pasal 1313, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 16 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Cet. 1, Bandung , Citra Aditya Bakti, 1992, Hal., 7. 11 is no promise” 17 . (Maksudnya, Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya18”). Rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut hendak memperlihatkan bahwa suatu perjanjian adalah:19Suatu perbuatan;Antara sekurangnya 2 (dua) orang;Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut. Selain yang diberikan oleh Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, beberapa sarjana juga memberikan perumusan mengenai perjanjian. Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hukum pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan para pihak lain untuk menunaikan prestasi.20 Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian 17 Lihat definisi Konrak oleh Jeferson Kameo Ph.D., dalam Thesis Doktor berjudul: A Comparative Study of the Indonesian Law of Leases with Reference to Scottish Law of Leases as a Model for Reform of Its Indonesian Counterparts‖, June 2005, Faculty of Law and Financial Studies University of Glasgow, Scotland. tidak dipublikasikan. 18 Terjemahan diambil dari buku yang ditulis penulis yang sama, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, hal., 2. 19 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cet. 1, Jakart, Raja Grafindo Persada, 2003, Hal., 7. 20 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet. 1, Alumni, Bandung, 1986, hal.,6. 12 sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak dimana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal. 21 Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 22 Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 23 Perjanjian merupakan sumber yang menimbulkan perikatan.Selain perjanjian, perikatan juga dapat timbul dari Undang-Undang.Suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak yang mengadakan perjanjian.24 Pada umumnya perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang.25 Dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dikatakan bahwa, Pasal itu mengandung suatu pernyataan bahwa kita 21 22 23 R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bale, Bandung,1989, hal., 9. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, bandung, 1993, hal., 78. R. Subekti,Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, hal.,1. 24 Ibid.,hal.,4. 25 Lihat Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). 13 diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya Undang-Undang. Prinsip yang terkandung dalam ketentuan di atas, jelaslah bahwa suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan dan dapat pula dalam bentuk tulisan.Jika dibuat secara tertulis, hal ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan di kemudian hari. Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan: Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu. Ada persetujuan-persetujuan dimana untuk setiap salah satu pihak menimbulkan suatu kewajiban yang berkelanjutan, misalnya: sewa menyewa. 26 Selain itu, Perjanjian menurut Black’s Law Dictionary adalah: “Contract : an agreement between two or more persons which creates an obligation to do or not to do a peculiar thing”.27 Sementara itu dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan: Semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik, dan hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.28 Salah satu bentuk dari perjanjian adalah sewa-menyewa.Perjanjian sewamenyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan huur en verhuur. Sedangkan dalam bahasa Inggris sewa menyewa disebut dengan rent atau hire. Dari 26 R. Setiawan, Op. Cit, hal., 64 27 Black’s Law , Op Cit. hal., 322. 28 R. Subekti, Op. Cit, hal.,41. 14 pengertian leksikal kata sewa dan menyewa tersebut dapat mendekati hakikat sewa menyewa sebagai suatu hubungan hukum yang termasuk dalam perjanjian timbal balik. 29 Unsur-unsur sewa menyewa terdiri dari 3 unsur.Petama, sewa menyewa mengandung suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan (pada umumnya pihak pemilik barang) dengan pihak penyewa, pihak yang menggunakan (use) 30 barang.Kedua, pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati (volledige genot).31 Perjanjian sewa menyewa adalah sebagai salah satu bentuk perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan merupakan perjanjian timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau berdasarkan kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian yang sering terjadi dalam kehidupan di masyarakat.32 Perjanjian sewa menyewa diatur dalam ketentuan Buku Ketiga Bab Ketujuh Pasal 1548 sampai pasal 1600 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.33 29 Caesar Wauran, Op. Cit., hal.,15. 30 Kata use ini sama dengan kata menggunakan yang ada di dalam UU Telekomunikasi, terutama ketika UU itu berusaha untuk mendefinisikan pihak-pihak yang ada di dalam hubungan hukum dengan obyek telekomunikasi, misalnya yang terdapat di dalam Pasal 1 Ayat (11). Itulah sebabnya, menurut pendapat Penulis, dan juga didukung oleh pendapat yang didasarkan atas pengkajian mendalam oleh beberapa penulis Skripsi terdahulu seperti Caesar Wauran SH., penggunaan kata ―use” sebagai inti dari institusi sewa-menyewa atau Landlord and Tenant oleh UU Telekomunikasi merupakan isyarat eksplisit bahwa hubungan hukum dalam bidang telekomunikasi maupun ITE itu adalah hubungan hukum sewa-menyewa. 31 Caesar,Op.Cit.,hal., 15. 32 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perjanjian dan Perikatan, Pradya Paramita, Jakarta, 1987, hal., 53. 33 KUHPerdata. 15 Perjanjian sewa-menyewa pada dasarnya tergolong dalam jenis perjanjian untuk memberikan/menyerahkan sesuatu yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimaksud dengan sewa-menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. 34 Perjanjian sewa-menyewa termasuk dalam perjanjian bernama.Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensual, artinya perjanjian ini sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.Peraturan tentang sewa-menyewa ini berlaku untuk segala macam sewa-menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.35 Menurut Subekti perjanjian sewa menyewa adalah: “Suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan”.36 34 35 36 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 2002, hal.,123. R. Subekti, Op. Cit, hal., 1. Ibid., hal.,164. 16 Adapun pengertian perjanjian sewa-menyewa menurut M. Yahya Harahap adalah sebagai berikut: ―Perjanjian sewa-menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya‖.37 Asas-asas hukum perjanjian sewa-menyewa tercantum dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian dimana terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri yang saling memberi prestasi dan tegen prestasi yaitu pihak yang menyewakan memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang lain selama suatu waktu tertentu dan pihak penyewa memberikan tegen prestasi berupa pembayaran sesuatu harga yang disanggupi dan merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak. Di dalam asas hukum perjanjian sewa menyewa tersebut di atas terdapat unsur-unsur dari sewa menyewa yang antara lain adalah‖ Merupakan suatu perjanjian;Terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri;Pihak yang satu memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang lain selama suatu waktu tertentu dan pihak yang lain membayar pada sesuatu harga atas kenikmatan yang diperolehnya dari barang tersebut. 2.1.3. Telekomunikasi Sebagai Obyek Hubungan Hukum Landlord and Tenant Dalam perjanjian sewa menyewa ditemui adanya sesuatu yang menjadi objek. Pada dasarnya apa yang menjadi objek sewa menyewa adalah apa yang 37 M. Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal.,220. 17 merupakan objek hukum. Jadi objek sewa menyewa adalah merupakan objek hukum. Yang dimaksud dengan objek hukum (recht subject) adalah: segala sesuatu yang bermanfaat dan dapat dikuasai oleh subjek hukum serta dapat dijadikan objek dalam suatu hubungan hukum.38 Demikian pula halnya dengan yang terjadi dalam perjanjian sewa menyewa ini meliputi segala jenis benda baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak asal tidak dilarang oleh UndangUndang dan ketertiban umum. Hakikat perjanjian sewa menyewa konvensional terdiri dari 4 unsur, yaitu: merupakan suatu perjanjian, terdapat kenikmatan suatu barang, harga sewa dan jangka waktu sewa. Unsur-unsur perjanjian sewa menyewa konvensional tersebut memiliki kesamaan dengan unsur-unsur sewa menyewa dalam telekomunikasi yakni merupakan suatu perjanjian, tarif sewa dan jangka waktu sewa.Dalam perjanjian sewa menyewa telekomunikasi, hak atas kenikmatan yang diberikan adalah hak atas kenikmatan untuk menikmati jaringan telekomunikasi.Jaringan telekomunikasi merupakan obyek dari hubungan hukum sewa menyewa.Sehingga dapat dikategorikan disini bahwa jaringan telekomunikasi merupakan sebuah unsur esensial dalam hubungan hukum atau kontrak sewa-menyewa dalam jaringan telekomunikasi landlord dan tenant.39 38 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty, 1999, hal.,68. 39 Caesar,Op.Cit., hal 39. 18 2.2. Presumtion of Liability Principle, Hubungan Hukum Landlord dan Tenant Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab.Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum. Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility.Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undangundang.Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan.Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.40 Prinsip tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Hal ini dikarenakan konsumen merupakan 40 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.,335337. 19 golongan yang rentan dieksploitasi oleh pelaku usaha, sehingga dalam hal terdapat kasus-kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab. Ada beberapa asas dari perlindungan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen, yaitu:Untuk mendapatkan keadilan;Untuk mencapai asas manfaat;Untuk mencapai asas keseimbangan; Untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan konsumen;Untuk mendapatkan kepastian hukum. Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab.Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum. Secara teoritis pertanggungjawaban yang terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab dapat dibedakan menjadi:41 Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya.Terkait dengan pertanggungjawaban didalamnya terdapat prinsip tanggung jawab yang merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen.Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, 41 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal., 101. 20 diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.42 Secara umum, terdapat beberapa prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum yang dapat dibedakan sebagai berikut:Kesalahan (liability based on fault). Prinsip ini mengatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukan.Prinsip ini dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dipegang secara teguh. Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok yaitu:Adanya perbuatan melanggar hukum; perbuatan melanggar hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain. 43 Adanya unsur kesalahan; kesalahan ini mempunyai tiga unsur yaitu: 44 perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan; perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya (dalam arti objektif sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya dan dalam arti subjektif: sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya); dapat dipertanggungjawabkan: debitur dalam 42 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia , PT Grasindo, Jakarta, 2000 , hal., 59. 43 Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Press, Jakarta, 2004, hal.,130. 44 Purwahid Patrick, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dariPerjanjian dan Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, hal,.10-11. 21 keadaan cakap; Adanya kerugian yang diderita; Pengertian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain. 45 Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda seseorang, sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan yang diharapkan.46 Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.Prinsip ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Artinya tidak jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Dan beban pembuktiannya ada pada pihak yang mengakui mempunyai suatu hak, dalam hal ini adalah penggugat. Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan kalau ia tidak bersalah. Beban pembuktian ada pada si tergugat. Ini dikenal dengan istilah beban pembuktian terbalik. Dalam prinsip beban pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas ini cukup relevan karena yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan (beban pembuktian) ada pada 45 Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih, Universitas Airlangga, Surabaya, 1985, Hal., 57. 46 Ibid..hal. 60. 22 pelaku usaha.Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.Adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab misalnya keadaan memaksa/force majeur. Pada prinsip ini hubungan kausalitas antara pihak yang bertanggung jawab dengan kesalahannya harus ada. Strict liability adalah bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada kesalahan (sebagaimana pada tort umumnya), tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu.Dengan prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka kewajiban pelaku usaha untuk mengganti kerugian yang diderita oleh konsumen karena mengonsumsi produk yang cacat merupakan suatu risiko, yaitu termasuk dalam risiko usaha.Karena itu, pelaku usaha harus lebih berhati-hati dalam menjaga keselamatan dan keamanan pemakaian produk terhadap konsumen. Di Indonesia konsep strict liability (tanggung jawab mutlak, tanggung jawab risiko) secara implisit dapat ditemukan di dalam pasal 1367 dan Pasal 1368 KUHPerdata.Pasal 1367 KUHPerdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di 23 bawah pengawasannya.Sedangkan Pasal 1368 KUHPerdata tentang tanggung jawab pemilik atau pemakai seekor binatang buas atas kerugian yang ditimbulkan oleh binatang itu, meskipun binatang itu dalam keadaan tersesat atau terlepas dari pengawasannya.Keadaan tersesat atau terlepas ini sudah menjadi faktor penentu tanggung jawab tanpa mempersoalkan apakah ada perbuatan melepaskan atau menyesatkan binatangnya. Dengan perkataan lain, pemilik barang dan pemilik atau pemakai binatang dapat dituntut bertanggungjawab.47 Mengenai prinsip Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability), prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian jasa laundry misalnya jika barang kita hilang atau rusak maka ganti kerugian hanya dibatasi yaitu 10 kali dari biaya pencucia.Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelakuusaha dan dalam UUPK seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya, jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.48 47 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumendi Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal.,115-119. 48 Ibid.,hal.,98. 24 Sedangkan bentuk-bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain:49Contractual liability, yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikannya. Product liability, yaitu tanggungjawab perdata terhadap produk secara langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan.Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada perbuatan melawan hukum (tortius liability). Unsur-unsur dalam dalam tortius liability antara lain adalah unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian, dan hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang timbul.Profesional liability, yaitu tanggung jawab pelaku usaha sebagai pemberi jasa atas kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat memanfaatkan atau menggunakan jasa yang diberikan.Criminal liability, yaitu pertanggungjawaban pidana dari pelaku usaha sebagai hubungan antara pelaku usaha dengan negara. 2.2.2.PertanggungjawabanLandlord dan Tenant dalam Telekomunikasi Seperti yang telah disampaikan bahwa dalam penelitian ini, yang akan menjadi payung hukum adalah UU Telekomunikasi, UU ITE, UU Perlindungan Konsumen. Ketiga peraturan ini menganut sistem pertanggungjawaba yang sama yaitu Praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability). Hal ini terdapat secara eksplisit dalam masing masing ketentuan peraturan perundang49 Edmon Makarim, Op.Cit, hal.,376-377. 25 undangan. Dalam UU Telekomunikasi, terdapat pada Pasal 15:Atas kesalahan dan atau kelalaian Penyelenggara Telekomunikasi yang menumbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Penyelenggara Telekomunikasi;Penyelenggara Telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), kecuali Penyelenggara Telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya;Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) diatur Peraturan Pemerintah.50 Dalam UU ITE Terdapat dalam Pasal 15 Ayat;Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.51 Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, terdapat dalam Pasal 19 yang mengatakan bahwa:Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat 50 Lihat Pasal 15 UU No.No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. 51 Lihat Pasal 15 UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 26 mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundanganyang berlaku.Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.52 2.3. Hasil Penelitian Putusan-Putusan Tanggung Jawab Lanlord and Tenant Menyusul gambaran studi kepustakaan mengenai pertanggungjawaban landlord and tenant di atas, berikut di bawah ini gambaran mengenai hasil penelitian putusan yang menjadi satuan amatan penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah kesarjanaan di bidang ilmu hukum ini.Putusan tersebut yaitu Putusan MARI 2995, hasil dari suatu pemeriksaan perkara perdata dalam tingkat kasasi antara Pemohon Kasasi. Uraian atas Putusan MARI 2995 itu dimaksudkan untuk melihat bagaimana institusi Landlord ad Tenant itu diuji di dalam praktek yaitu dalam sengketa antara pihak-pihak dalam institusi Landlord and Tenant dalam bidang Telekomunikasi di Indonesia. Di sub-2.3.,dikemukakan posita sedangkan dalam sub-judul 2.4.dikemukakan eksepsi yang dilancarkan oleh pihak Landlord 52 Lihat Pasal 19 UUNo.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 27 atas posita yang dibangun oleh si pihak Tenantketika perkara sedang berada di tingkat sebelum Kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2.3.1. Para Pihak dalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam perkara perdata dimaksud adalah pihak Tenant, yang dalam hal ini adalah Prof. Dr. Farouk Muhammadbertempat tinggal di Jl. H. Mursid No. 33, RT.007/RW.004, Kelurahan Kebagusan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dalam hal ini memberi kuasa kepadaMuhammad Jusril, SH.,dan kawan-kawan, Para Advokat dan Para Kandidat Advokat, berkantor di Satori Cakra Optima, Jalan Ciparahiang No.1, Cidangiang, Kelurahan Tegal Lega, Kecamatan Tengah, Kota Bogor 16124, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 10 Juli 2012. Sementara itu pihak lawan yaitu si pihak Landlorddalam hal ini operator telepon seluler yaitu PT. TELEKOMUNIKASI SELLULAR (TELKOMSEL), berkedudukan di Gedung Wisma Mulia Lantai G, Jl. Gatot Subroto No. 42 Jakarta 12710, dalam hal ini memberi kuasa kepada: MARSELINUS KURNIA RAJASA, S.H., LL.M., dan kawan-kawan, Para Advokat pada Kantor Hukum ―Rajasa Supriyadi & Hartanto‖, berkantor di Atrium Setiabudi Lantai 2, Suite 206 B, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62, Jakarta 12920 sebagai Termohon Kasasi dahulu Tergugat/Terbanding. Dengan tetap pada perspektif hubungan hukum Landlord and Tenant sebagaimana didalilkan oleh Penulis, maka menurut Mahkamah Agung,si pihak 28 Tenant sebagai Pemohon Kasasi dahulunyaadalah merupakan Penggugat. Si pihak Tenant sebelumnya menggugat sekarang si Landlord yang adalah Termohon Kasasi di muka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam gugatan di PN Jakarta Selatan itu pada pokoknya Prof. Dr. Farouk Muhammad sebagai Tenant mengemukakan dalil-dalil bahwa dia adalah pelanggan –dalam konteks Skripsi ini telah ditansposisikan sebagai Tenant— Kartu Halo Pasca Bayar dengan Nomor 0811969697 (disebut Kartu Halo) terhitung sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu dan si pihak Landlord adalah pengelola operator selular terbesar di Indonesia –dalam konteks Skripsi ini telah ditansposisikan sebagai Landlord— yang mengeluarkan produk Kartu Halo tersebut. 2.3.2. Permasalahan Arrears 53 dalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant Menurut si pihak Tenant, sejak si Tenant menggunakan Kartu Halotersebut, si Tenant tidak pernah mempunyai masalah yang berarti mengenai pembayaran dan selalu membayar tagihan tepat waktu, artinya bahwa si Tenant adalah pelanggan telekomunikasi yang bertanggungjawab akan kewajibankewajibannya terhadap si pihak Landlord (PT. Telokomsel). Kemudian si Tenant dikejutkan dengan tagihan bulan September 2009 sebesar tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah, sedangkan biasanya 53 Arrears adalah terminologi khusus dalam hubungan hukum Landlord and Tenant di Skotlandia. Sedangkan pengertian dalam bahasa Inggris Umum mengenai konsepsi itu adalah: ―Debts not paid at the due date‖. Penulis terjemahkan dengan: ―Hutang yang tidak dibayarkan pada saat jatuh tempo‖. Lihat pengertian seperti itu dalam J. Burke, Osborn’s Concise Law Dictionary Sixt Edition, Sweet & Maxwell, London, 1976, hlm., 33. 29 hanya sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah. Pembengkakan biaya tersebut ternyata kemudian diketahui oleh si Tenant merupakan biaya roaming internasional di luar negeri, yaitu selama seminggu ketika si Tenant menjalankan kewajiban agamanya di luar negeri.Terhadap tagihan tersebut, si Tenant telah menugaskan dua orang stafnya untuk menyampaikan keberatan dan meminta keringanan pembayaran kepada si pihak Landlord di Kantor Grapari Telkomsel, Jalan Gatot Subroto. Si Tenant mendalilkan bahwa dia tidak memperoleh informasi atau tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang besarnya biaya roaming internasional di luar negeri, tetapi si pihak Landlord melalui petugasnya hanya menyatakan bahwa pencarian informasi dimaksud menjadi kewajiban si pihak Tenant sebagai pelanggan. Si Tenant juga mendalilkan bahwa tanggal 21 Oktober 2009 dia dengan penuh kesadaran dan itikad baik bersedia untuk membayar tagihan –hal ini Penulis transposisikan sebagai tagihan sewa atau rent dalam hubungan hukum Landlord and Tenant— sebesar tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah itu. Menurut aturan pada Costumer Service si pihak Landlord disepakati keduanya pembayaran tagihan dapat diangsur maksimal sebanyak tiga kali dalam waktu tiga bulan. Penulis melihat bahwa ada kesepakatan antara para pihak untuk mengubah ketentuan perjanjian mereka mengenai arrears54 atau harga sewa atas penggunaan obyek atau kenikmatan atas sewa (rent) yang terhutang. Penulis juga berpendapat bahwa ungkapan dalam dalil si Tenant yang ada di dalam Putusan MARI 2995 itu mengandung substansi hukum, yaitu 54 Arrears adalah harga sewa yang terhutang, istilah yang dipergunakan dalam hubungan hukum sewa-menyewa di Inggris dalam institusi Landlord and Tenant. 30 bahwa: ―menggunakan Kartu Halo‖, dapat dipersamakan dengan menyewa jasa telekomunikasi yang dimiliki oleh si pihak Landlord, dalam hal ini PT. Telkomsel. Kartu Halo itu ―sama dengan‖ dokumen perjanjian elektronik antara Tenant, si pelanggan dengan si Landlord, dalam hal ini PT. Telkomsel. Mengenai Kontrak Elektronik itu, dalam UU ITE Psal 1 Angka (7) diartikan sebagai: ―Perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Dalam Ayat (5) Psal 1 UU ITE, Sistem Elektronik itu diartikan sebagai serangkaian perangkat dan mengumpulkan, prosedur mengolah, elektronik yang menganalisis, berfungsi menyimpan, mempersiapkan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan atau menyebarkan Informasi elektronik. Sementara itu, Pasal 1 Ayat (1) UU ITE mendefinisikan informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data intecchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecpy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yag mampu memahaminya. Penulis berpendapat bahwa nampaknya Kartu Halo itu berisi informasi elektronik yang identik dengan telekomunikasi yang manfaatnya (use) atau kenikmatannya disewa oleh si Tenant. UU Telekomunikasi Pasal 1 Angka (1) mengartikan telekomunikasi sebagai hal yang mirip sekali dengan informasi elektronik yang didefinisikan oleh UU ITE. Dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Telekomunikasi itu pembuat Undang-undang mengatakan bahwa telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap 31 informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, aau sistem elektromagnetik lainnya. 2.3.3. Rent Review dalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant Membedah Putusan MARI 2995 itu, Penulis memeroleh temuan bahwa nampaknya hampir dapat Penulis pastikan jikalau ada semacam anggapan, dalam hubungan hukum Landlord and Tenant antara Prof. Dr. Farouk Muhammad dengan PT. Telkomsel telah terjadi pembaruan sewa (rent review) antara si pihak Landlord dan Tenant menurut dalil si pihak Tenant atau kuas hukumnya, dan kesepakatan itu telah dicapai. Hal itu dapat dilihat dari dalil bahwa pada tanggal 21 Oktober 2009, si Tenant dengan kesadaran dan itikad baik melakukan pembayaran atas arrears berupa angsuran sebesar lima juta rupiah. Menurut pendapat Penulis dengan diterimanya hal ini maka ada kesepakatan baru mengenai jangka waktu dan harga sewa dalam hubungan hukum Landlord and Tenant itu. Itu berarti arrears yang tersisa adalah dua juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah. Si pihak Tenant berdalil bahwa dengan kesadaran dan itikad baik dia memenuhi kesepakatannya kepada si pihak Landlord, membayar arrearskepada si Landlord secara mengangsur. Hal itu ditindaklanjuti kembali pada tanggal 20 November 2009 sebagai pembayaran (instalment) kedua, sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah, sisa pembayaran satu juta dua ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah. Menurut si pihak Tenant, setelah pembayaran kedua tersebut, pihak Landlordbaru memberikan formulir layanan pelanggan atas namasi Tenantyang diterima pada tanggal 20 November 2009. Menurut dalil si 32 Tenant, saat pembayaran instalmentarrears kedua sebagaimana di atas, intinya secara tertulis baik si pihak Tenantmaupun si pihak Landlord bersepakat bila si Tenantdiberikan waktu untuk mencicil kewajibannya tersebut dalam waktu tiga kali cicilan pembayaran selama 3 bulan tagihan terhitung sejak pembayaran pertama tanggal 21 Oktober 2009. Dari formulir layanan pelanggan dimaksud maka dapat diketahui bahwa batas terakhir cicilan yang harus dibayarkan adalah selambat-lambatnya pada tanggal 21 Desember 2009, atau 3 bulan terhitung sejak 21 Oktober 2009. 2.3.4. Dugaan Breach of Promisedalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant Bahwa ternyata formulir layanan pelanggan tertanggal 20 November 2009 yang menjadi Perjanjian dalam hal cicilan pembayaran antara si pihak Tenant dan si pihak Landlord, menurut hal yang didalilkan si pihak Tenantdisimpangi oleh si pihak Landlord. Dalam dalil si pihak Tenant, hal itu (breach of promise) dalam hubungan hukum Landlord and Tenant itu terjadi karena pada tanggal 14 Desember 2009 (sebelum jatuh tempo pembayaran cicilan ketiga), Kartu Halo milik Penggugat diblokir tanpa ada penjelasan dan pemberitahuan terlebih dahulu dari pihak Tergugat, padahal menurutketentuan si pihak Landlord, bahwa batas akhir pembayaran untuk Kartu Halo Penggugat jatuh tempo pada setiap tanggal 20 bulan berjalan, bahkan jika sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam formulir layanan pelanggan di atas, batas waktu cicilan pembayaran selama 3 bulan tagihan terhitung sejak pembayaran 33 pertama tanggal 21 Oktober 2009, maka menuut dalil si pihak Tenant, dia masih mempunyai waktu sampai dengan tanggal 21 Desember 2009. 2.3.5. Dugaan Bad Faithdalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant Selain dugaan breach of promise sebagaimana telah didalilkan oleh si pihak Tenant sebagaimana dikemukakan di atas, ada pula dalil lain dari si pihak Tenant. Dalil tersebut yaitu bahwa menurut si pihak Tenant,jelas perbuatan si pihak Landlord sebagai pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usaha mereka telah beritikad tidak baik (bad faith).Menurut si pihak Tenant, yang dimaksud dengan dugaaan beriktikad tidak baik itu adalah tidak memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur, atau informasi yang cukup khususnya tentang biaya roaming internasional, tidak konsekuen dan konsisten untuk mematuhi janjinya kepada Penggugat sebagaimana yang dimaksud di atas, sehingga tindakan itu sangat nyata-nyata telah merugikan Penggugat. Di sini, ternyata menurut pengamatan Penulis, breach of contract telah disamakan dengan bad faith, setidak-tidaknya menurut dalil pihak Tenant, melalui kuasa hukumnya tersebut di atas. Menurut dalil si pihak Tenant, atas kejadian tersebut, pada tanggal 16 Desember 2009, dia mengirimkan faksimile kepada si pihak Landlord, atas saran petugas Costumer Service dari si pihak Landlordmelalui layanan 116 milik si pihak Landlord apabila si pihak Tenant berkeinginan untuk membuka blokir tersebut sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh petugas Costumer Service yang tertuang dalam formulir layanan pelanggan tertanggal 20 November 2009. 34 Namun, menurut dalil si pihak Tenant, permintaan itu tidak ditanggapi sesuai dengan komitmen. Sebaliknya, si pihak Landlord malah, menurut dalil si pihak Tenant, justru memaksa dirinya membayar sisa cicilan terakhir terlebih dahulu kalau blokir Kartu Halo milik si Tenant hendak dibuka. 2.3.6. Dugaan Melawan Hukum dalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant Selain melakukan breach of contract, bad faith, si pihak Tenant juga mendalilkan bahwa si pihak Landlord melakukan perbuaan melawan hukum (PMH), dalam hal ini dapat dikualifikasi telah melakukan perbuatan yang melanggar hak-hak si pihak Tenant selaku konsumen sebagaimana yang diatur secara tegas dalam UU Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 4 huruf (a), (c), (d), dan (g). Dengan perbuaan seperti itu si pihak Tenant juga mendalilkan bahwa dia kehilangan hak atas kenyamanan, keamanan dalam mengkonsumsi jasa yang diperdagangkan oleh para Landlord, dia juga tidak mendapat hak informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jasa yang telah diperjanjikan oleh si pihak Landlord.Si pihak Tenant juga mendalilkan jikalau dia kehilangan hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa yang digunakan serta kehilangan hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur. Menurut dalil si pihak Tenant, perbuatan si Landlord itu tidak memegang komitmen dengan kesepakatan tersebut di atas, jelas telah menginjak-injak hak si Tenantselaku konsumen yang telah beritikad baik dalam penyelesaian pembayaran tagihan Kartu Halo Penggugat, dengan dibuktikannya pembayaran sebagaimana telah diuraikan di atas. 35 Selanjutnya si pihak Tenant juga mendalilkan bahwa kibat perbuatan semena-mena si pihak Landlord yaitu pemblokiran sepihak Kartu Halo tersebut, sangat menimbulkan rasa yang tidak nyaman kepada si pihak Tenant. Didalilkan si pihak Tenant bahwa terlebih-lebih dia adalah termasuk pelanggan corporate dari Kartu Halo dalam jajaran Perwira Tinggi pada Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, nomor Kartu Halo Penggugat sudah lama dikenal di kalangan kolega Penggugat sejak saat Penggugat menjadi Guru Besar sekaligus Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian/Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, dan terlebih lagi nomor Kartu Halo Penggugat pun telah dikenal oleh khalayak ramai karena kedudukan Penggugat yang pernah menjadi staff pada Dewan Pertimbangan Presiden. Bahkan saat ini nomor Kartu Halo Penggugat dikenal lebih luas lagi oleh para kolega, konstituen, serta khalayak umum karena Penggugat saat ini adalah Anggota dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Karena kedudukan Penggugat sebagaimana terurai di atas, maka telah tergambar jelas betapa besar dan betapa penting nomor Kartu Halo milik Penggugat (0811969697) terhadap kelancaran pengabdian si pihak Tenantkepada bangsa dan negara ini, sehingga pemblokiran sepihak terhadap nomor Kartu Halo milik si Tenantyang telah dilakukan oleh si pihak Landlord, semakin nyata menimbulkan kerugian citra bagi si Tenant. Bahkan, seperti yang didalilkan si pihak Tenant, hal itu berpotensi menjadi penghambat tugas-tugas negara yang diemban olehnya sebagai akibat terputusnya saluran komunikasi karena pemblokiran nomor Kartu Halo secara sepihak itu, juga mengakibatkan 36 kerugian selain terhadap si Tenant juga kerugian negara sebagai terhambatnya aktivitas si Tenant karena perbuatan sepihak si Landlorddimaksud. Si pihak Tenant juga mendalilkan bahwa secara nyata, akibat perbuatan semena-mena si pihak Landlord kepada si Tenant, dengan pemblokiran sepihak Kartu Halo tersebut, si pihak Tenantsebagai public figure yang mempunyai citra baik pada jaringan–jaringan perkenalannya telah kehilangan opportunity/kesempatan/peluang untuk mendapatkan penguatan dukungandukungan moril sebagai public figure yang kredibel. Hal ini terjadi karena si pihak Tenantyang sudah memang sering kali menjadi nara sumber bagi media baik cetak maupun elektronik, akibat perbuatan si pihak Landlordseperti yang dimaksud dalam gugatan tesebut, sejak pemblokiran nomor Kartu Halo sepihak oleh si pihak Landlord, hingga saat ini banyak media baik cetak maupun elektronik yang tidak dapat menghubungi si pihak Tenant untuk dimintai pendapatnya akan kasus-kasus atau isu-isu yang sedang hangat dalam pemberitaan Pers, sehingga, menurut apa yang didalilkan si pihak Tenant, dia itu kehilangan peluang untuk memperkuat dukungan publik yang telah menimbulkan potensi dampak politik akan menurunnya popularitas dan kredibilitas citra dihadapan umum. Selanjutnya, sejalan dengan itu juga dia telah kehilangan peluang popularitas di mata para orang-orang penting (VIP/Very Important Person, para pejabat yang menjabat pada lembaga eksekutif, lembaga legislatif, maupun lembaga yudikatif) yang selama ini telah mempunyai hubungan baik dan hubungan yang sangat spesifik dengannya. Lagi-lagi tindakan sepihak si pihak Landlord telah menimbulkan dampak negatif terhadap 37 citra si pihak Tenant, pada hal justru dia tengah membangun penguatan citra akan kredibilitas dan popularitasnya juga di hadapan orang-orang penting (VIP). Si pihak Tenant selanjutnya mendalilkan bahwa lebih parah lagi, sampai saat ini, sebagai akibat pemblokiran sepihak Kartu Halo itu, sangat susah menghubungi kolega sejawatnya baik yang berada dan menjabat pada lembaga eksekutif, lembaga legislatif, maupun lembaga yudikatif, yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Hal ini terjadi karena Penggugat sudah tidak dapat lagi menghubungi koleganya dimaksud melalui nomor Kartu Halo yang diblokir.Padahal, menurut dalil si Tenant,hanya nomor Kartu Halo dimaksud lah, yang dikenal oleh kolegakoleganya. Selanjutnya didalilkan bahwa walaupun si Tenant sudah memberitahukan koleganya melalui sms akan nomor barunya, akan tetapi karena si Tenant tetap mengalami kesulitan bahwa koleganya mau membaca atau menerima pesan dari nomor baru karena merupakan nomor yang tidak dikenal ataupun yang bukan terdaftar pada koleganya. Begitu juga sebaliknya, keluhan datang dari kolega si pihak Tenant yang tidak dapat menghubungi si Tenantke nomor Kartu Halo si pihak Tenant dimaksud.Berdasarkan itulah, kata si Tenant, semakin jelas akibat perbuatan semena-mena Landlord kepada si pihak Tenant, dengan pemblokiran sepihak Kartu Halo tersebut. Menurut dalil si pihak Tenant, ia telah mengalami kerugian immaterial yang sangat besar, bahkan kehilangan potensi/peluang mempertahankan citra bahkan memperkuat citranya sebagai seorang public figure yang akan didapatnya jika nomor Kartu Halo Penggugat tidak diblokir sepihak itu, sehingga perbuatan si pihak Landlordpun telah menimbulkan image negatif tehadap si pihak Tenant, sehingga timbul perasaan 38 tidak nyaman dan bahkan kerugian immateril yang sangat besar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, perbuatan si pihak Landlordyang telah memblokir secara sepihak Kartu Halo milik Penggugat tanpa ada alasan yang jelas, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, serta tanpa dasar hukum yang kuat, maka Perbuatan si pihak Landlord merupakan wanprestasi/cedera janji terhadap Penggugat selaku Konsumen sebagaimana yang diisyaratkan oleh UU Perlindungan Konsumen. Masih di dalam konteks dalil bahwa si pihak Landlord melakukan perbuaan melawan hukum, si pihak Tenant mengatakan di dalam gugatannya itu bahwa selain itu si pihak Landlord selaku penyelenggara telekomunikasi di Indonesia juga telah melanggar ketentuan seperti yang diisyaratkan Pasal 7 huruf (a), (b), dan (c) jo. Pasal 26 UU Perlindungan Konsumen jo.Pasal 17 huruf (a). UU Telekomunikasi;Pasal 7 huruf (a) UU Perlindungan Konsumen, yaitu: si pihak Landlord harus: beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Pasal 7 huruf (b) UU Perlindungan Konsumen:memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Pasal 7 huruf (c) UU Perlindungan Konsumen:memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif dan Pasal 26 UU Perlindungan Konsumen di mana di dalamnya diatur bahwa: “pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.”Pasal 17 huruf a Undang-undang No. 36 Tahun 39 1999 tentang Telekomunikasi: “Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip: a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna.” 2.3.7. PSAdalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant Menarik pula untuk Penulis gambarkan di sini bahwa dalam studi atas satuan amatan skripsi ini, terutama dari dalil yang disampaikan oleh si pihak Tenant, Penulis juga memeroleh temuan bahwa ada suatu penyelesaian sengketa dalam hubungan Landlord dan Tenant dalam bidang sewa-menyewa Telekomunikasi ini. Aspek penyelesaian sengekta alternatif (PSA) yang mengikuti Pasal 15 dari UU Telekomunikasi itu adalah bahwa, seperti didalilkan oleh si pihak Tenant, akibat perbuatan semena-mena dari si Landlord, maka si pihak Tenantpada tanggal 8 Maret 2010 telah mengadukan dan menempuh upaya konsiliasi dalam penyelesaian permasalahan Penggugat dengan Tergugat di Badan Perlindungan Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta dengan Nomor Register 012/REG/BPSKDKI/III/2010 tertanggal 12 Maret 2010. Akan tetapi upaya rekonsialisasi antara si pihak Tenant dengan si pihak Landlord yang difasilitasi oleh BPSK DKI Jakarta, sebelum masuk ke dalam pokok materi pembahasan perkara, proses penyelesaian melalui konsiliasi tersebut telah dinyatakan tidak berhasil, sebelum masuk kepada pokok perkara, karena BPSK DKI Jakarta menyatakan ganti rugi immaterial seperti yang 40 utamanya dimohonkan oleh Penggugat adalah bukan kompetensi dari BPSK DKI Jakarta. Hal mana ganti rugi immaterial yang merupakan tuntutan utama ganti rugi yang diminta oleh si pihak Tenant terhadap pihak Landlord pada proses rekonsiliasi di BPSK DKI Jakarta adalah berupa permohonan maaf dari si pihak Landlordkepada si pihak Tenantyang diumumkan melalui beberapa harian media nasional. Tujuan si pihak Tenant akan permohonan maaf dimaksud adalah sebagai pembelajaran dan pendidikan bagi para Pelaku Usaha umumnya dan PT. Telkomsel sebagai Landlordkhususnya dalam menghormati hak-hak Konsumen (the multitudes of tenants), sehingga dikemudian hari si pihak Tenant berharap tidak ada lagi korban timbul seperti yang dialami oleh dirinya sendiri, karena para Pelaku Usaha umumnya dan si pihak Landlord khususnya lebih memperhatikan hak-hak Konsumen (multitudes). Dalam putusan penyelesaian itu, BPSK DKI Jakarta juga menyarankan bahwa permohonan ganti rugi immaterial dapat dimintakan jika penyelesaian perkaranya melalui Pengadilan Negeri, maka karena dan untuk itu berdasarkan Pasal 45 Ayat (4) UU Perlindungan Konsumen gugatan Wanprestasi dalam Perlindungan Konsumen ini diajukan oleh si Tenant. 2.3.8.Kelalaian (Negligence) dalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant Memperhatikan dalil pihak Tenant selanjutnya, ada aspek kelalaian Landlord yang muncul dalam gugatan wanprestasi tersebut. Hal itu dapat digambarkan sebagai berikut; bahwa kewajiban si pihak Tenantterhadap pihak Landlordatas sisa pembayaran tagihan Kartu Halo telah terselesaikan dibayar pada tanggal 14 Mei 2010 sebesar tiga juta tiga ratus empat belas ribu empat 41 ratus enam puluh dua rupiah. Menurut pihak Tenant, pemenuhan kewajiban pihaknya itu kepada Landlord dilaksanakan sebelum diajukan dan ditandatanganinya gugatan yang berujung pada Putusan MARI 2995 itu.Pembayaran itu, menurut si pihak Tenant merupakan pelunasan sisa pembayaran biaya tagihan Kartu Halo si Tenant sebagai pelanggan atas jasa menggunakan atau menikmati telekomunikasi milik si pihak Landlord. Jumlah pembayaran seperti dimaksud dalam posita sebesar Rp 3.314.462,00 membuktikan terjadinya peningkatan jumlah tagihan dari sisa tagihan terakhir yaitu dari sebesar satu juta dua ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah menjadi tiga juta tiga ratus empat belas ribu empat ratus enam puluh dua rupiah. Menurut pihak Tenant, maksud dirinya menyelesaikan kewajiban atas sisa pembayaran tagihan Kartu Halo telah terselesaikan dibayar oleh Penggugat pada tanggal 14 Mei 2010 sebesar tiga juta tiga ratus empat belas ribu empat ratus enam puluh dua rupiahsebelum diajukan dan ditandatanganinya gugatan mengingat si Tenant merasa hak-haknya sebagai konsumen yang sedang mengajukan keluhan tidak terlindungi dengan peningkatan jumlah tagihan sisa kewajiban yang diantaranya berupa denda dan/atau bunga dan/atau tambahan tagihan lainnya. Menurut si pihak Tenant, seharusnya kelebihan seperti itu tidak terjadi dan tidak dibebankan kepada si Tenant jika pemblokiran sepihak tidak dilakukan dan/atau apabila si pihak Landlordsegera menyelesaikan kelalaian dalam pelayanan jasanya tersebut kepada si pihak Tenant. Hal itu, menurut si Tenant, jelas-jelas menunjukkan jika si Landlord tidak mempunyai iktikad baik, alias si Landlord mengingkari 42 relevan spirit di balik kelahiran UU Perlindungan Konsumen, payung hukum bagi terciptanya perlindungan terhadap si Tenant sebagai satu dari the multitudes, yaitu Konsumen. 2.3.9. Saat Lahirnya Dugaan Wanprestasi Landlord Diungkap si Tenant Menarik untuk dikemukakan sebagai temuan juga di sini yaitu mengenai fakta adanya formulir layanan pelanggan atas namasi Tenant yang dia diterima pada tanggal 20 November 2009. Menurut si pihak Tenant, hal itu adalah bentuk Perjanjian antara si Tenant dengan si Landlord yang sah dan mengikat secara hukum. Sekalipun, perlu Penulis sampaikan kritik di sini, bahwa pihak Kuasa Hukum si Tenant kurang memahami hakikat hubungan hukum apa sejatinya yang harus dia ungkap dalam dalil pada gugatan sebagaimana dikemukakan di atas. Menurut kuasa hukum si Tenant, dari fakta hukum dan uraian yang dikemukakan itu, jelas sikap dan perbuatan si pihak Landlorddapat dikualifikasikan sebagai perbuatan wanprestasi yang menimbulkan kerugian pada pihak Tenant, baik secara materiil maupun secara immaterial.Wanprestasi/cedera janji si pihak Landlord itu, menurut si Tenant dan kuasa hukumnya, jelas telah menimbulkan kerugian-kerugian moril (immateril) dan/atau materiil terhadap diri si Tenant. Si pihak Tenant kemudian memerinci apa yang dia sebut sebagai kerugian-kerugian moril (immateril) dan/atau materiil yang ia derita, yaitu: pertama, akses telekomunikasi Penggugat dengan Nomor 0811969697 tidak dapat digunakan karena blokir yang dilakukan Landlord. Pemblokiran itu telah menyebabkan si pihak Tenant, menurut dalilnya itu, harus mengeluarkan sejumlah uang untuk pembelian Kartu GSM nomor 43 perdana baru beserta pulsanya. Menurut Penulis, pembelian Kartu GSM baru itu dapat dilihat sebagai dibukanya hubungan hukum Landlord and Tenant yang baru lagi. Kedua, kerugian si Tenant berupa kekecewaan dan lelah fisik serta psikis untuk mengurus blokir nomor selularnya.Kerugian ketiga, dirinya terpaksa harus mengeluarkan tenaga, waktu, pikiran dan biaya untuk mengajukan gugatan terhadap si pihak Landlordguna mempertahankan dan menuntut hak-haknya sebagai Tenant sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Kerugian keempat, si Tenant merasa bahwa si pihak Tenant itu telah menimbulkan harapan, dari menjanjikan kepada si Landlord mau membayar kewajibannya terhadap si Landlord dengan cara mencicil. Dimana menurut si Tenant, ditegaskan lagi bahwa dia telah melakukan kewajibannya membayar cicilan pertama tanggal 21 Oktober 2009. Lalu kemudian untuk meyakinkan si pihak Tenant,akan keleluasaan si Tenant dalam menyelesaikan kewajiban, maka si Landlordtelah membuat janji-janjinya akan cicilan dimaksud ke dalam sebuah tulisan sebagaimana yang tercantum dalam formulir layanan pelanggan yang pada akhirnya pada tanggal 21 Oktober 2009 ditandatangani oleh Tenant dan Landlord dimaksud. Akan tetapi, menurut si Tenant, ternyata si Landlordhanya memberikan janji-janji palsu sehingga si Tenantsebelum jatuh tempo pelunasan cicilan kewajiban sebagaimana yang dijanjikan oleh Landlord pada tanggal 21 Oktober 2009 jo. tanggal 20 November 2009 tidak dapat lagi menggunakan nomor kartu halonya. Si Tenant merasa dirugikan karena harapan yang telah timbul di pihaknya, yaitu jelas-jelas si Tenant sebagai korban atas rangkaian janji-janji palsu atau kata-kata bohong yang diperbuat oleh si Landlord, sehingga 44 si Tenantmencari keadilan melalui gugatan ini.Kerugian kelima, si Tenantmerasa harkat martabatnya tercoreng, karena pemblokiran dimaksud menimbulkan image yang negatif bagi si Tenant. Dalam hal ini harga diri si Tenant telah jatuh karena perlakuan si Landlord. Menurut si Tenant, semula iayang seharusnya mendapat perlakuan khusus (privillage) sebagai pelanggan korporat yang berasal dari kelompok Perwira Tinggi Mabes Polri, akan tetapi faktanya, dia telah diperlakukan tidak lebih dari pelanggan biasa. Hal ini terbukti karena faktanya, terhadap penyelesaian permasalahan oleh si Landlord, si Tenant tetap harus mengurusnya kesana kemari, harus menelepon nomor tertentu milik si Tenant, dan bahkan harus membayar dulu, agar blokir nomor milik si Tenant yang dilakukan sepihak oleh Tergugat dapat dibuka. Penulis berpendapat bawha ada kesan, pemblokiran itu ibarat tidak boleh masuk kamar kontrakan dan harus tinggal di luar rumah kontrakkan terlebih dahulu. Kerugian keenam, pemblokiran sepihak oleh Landlord,telah menimbulkan dampak negatif lainnya, berupa pandangan khalayak ramai yang menilai dengan diblokirnya nomor si Tenant, si Tenant dianggap ―bersalah‖ dan/atau ―melakukan pelanggaran‖ dan telah ―dihukum‖ dan/atau ―dikenai sanksi‖ oleh pihak Landlord dengan cara pemblokiran nomor. Pandangan khalayak ramai telah menganggap si Tenant, menurut si Tenant, dianggap telah lalai dan/atau tidak mampu melunasi kewajibannya kepada PT. Telkomsel sebagai Landlord. 45 2.3.10. Remedy yang Hendak Dibangun dalam Hubungan Landlord and Tenant Menarik pula dikemukakan di sini bahwa dari satuan amatan yang sedang dibedah Penulis di sini, terungkap temuan bahwa selain ganti-rugi pembayaran sejumlah uang, bahwa pihak Tenant hendak membangun suatu remedy lainnya dalam penyelesaian sengketa yang dikenal di dalam hubungan hukum Landlord and Tenant di Skotlandia, yaitu interjection atau di Inggris, Amerika, Australia, New Zealand dikenal dengan injuction. Menyuruh melakukan sesuatu. Apa yang harus dilakukan itu, menurut pihak Tenant dalam gugatannya itu adalah bahwa oleh karena kerugian kerugian-kerugian moril (immateril) yang dialaminya itu sangat sulit dinilai dengan sejumlah uang, namun dikarenakan si Landlord adalah para pelaku usaha yang melayani kepentingan umum, agar para pelanggannya (para konsumen) termasuk si Tenanttidak selalu dikecewakan di kemudian hari oleh sikap dan tindakan yang tidak profesional serta sewenang-wenang dari si Landlord, dan agar si Landlord lebih memiliki rasa bertanggungjawab serta lebih-lebih berhati-hati di kemudian hari dalam melayani para pelanggannya, kiranya cukup beralasan hukum, menurut dalil si Tenant, agar si Landlord membuat dan memuat suatu pengumuman pernyataan minta maaf kepada si Tenantselaku pelanggan dan konsumen di tiga Harian Nasional, yakni Harian Kompas, Harian Tempo dan Harian Media Indonesia dengan ukuran ½ (setengah) halaman pada bagian halaman terakhir selama tiga hari berturut-turut dengan redaksi dan isi pengumuman ditentukan oleh si Tenant. Akan tetapi, si Tenant juga berdalil, 46 bahwa apabila si Landlord tidak berkenan melaksanakan isi keputusan hukum tentang pengumuman pernyataan minta maaf, setelah tiga puluh hari sejak keputusan hukum ini dapat dilaksanakan, kiranya sangat beralasan hukum bagi si Tenant, memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut agar berkenan menghukum para Landlord untuk membayar kepada si Tenantuang kompensasi secara tunai sebanyak dua milyar rupiah dengan memberi hak kepada si Tenant memakai dan menyalurkan uang tersebut kepada Lembaga Swadaya Masyarakat, atau Lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan lainnya. Khusus kerugian yang merugikan si Tenant berupa kehilangan opportunity/peluang/kesempatan untuk menjaga citra bahkan meningkatkan citra akan popularitas dan kredibilitasnya; Perbuatan si Landlord juga telah menimbulkan image negatif terhadap si Tenant yang sedang menjaga dan membangun citra dan reputasinya seperti dimaksud di atas, sebagai kerugian immateril dimaksud, termasuk dan tidak terbatas juga terhadap perasaan yang tidak nyaman dalam diri si Tenant, maka si pihak Tenant menuntut ganti rugi terhadap si pihak Landlord atas kerugian itu senilai satu milyar rupiah. Hal itu masih ditambah dengan kerugian materiil yang harus dialami si Tenant akibat wanprestasi/cedera janji yang dilakukan si Landlord seluruhnya berjumlah lima juta lima ratus ribu rupiahdengan perincian yaitu biaya Tranportasi si Tenant mengurus aktifasi Kartu Halo pada Grapari Rp 500.000,00;biaya si Tenan tuntuk membeli Kartu Perdana Baru Rp 1.000.000,00; pembelian Voucher Pulsa Rp 1.000.000,00;dan biaya transportasi ke BPSK Rp 3.000.000,00. Oleh karena itu si pihak Tenant merasa berhak menuntut agar si Landlord membayar kembali 47 kepada si Tenant seluruh uang yang telah dikeluarkan dalam mempertahankan hak-hak dan kepentingan hukumnya seluruhnya lima juta lima ratus ribu rupiah ditambah dengan bunga 1% per bulan sejak gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sampai si Landlord secara sempurna melaksanakan isi keputusan hukum dalam perkara tersebut, serta ditambah seluruh biaya yang timbul di tingkat banding, di tingkat kasasi serta di tingkat peninjauan kembali. Menurut dalil si Tenant, apa yang ia tuntut itu berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf (h), Pasal 7 huruf (f) dan (g), Pasal 19 Ayat (1), (2), (3), dari UU Perlindungan Konsumen jo Pasal 15 Ayat (1) UU Telekomunikasi jo Pasal 68 dan 69 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi No. 52 tahun 2000.Untuk menjamin gugatan, si Tenant juga mohon agar diletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) atas harta benda kepunyaan para Landlord, baik yang bergerak dan atau tidak bergerak secukupnya. Selanjutnya, si Tenant juga berdalil, bahwakarena gugatannya itu adalah berdasarkan buktibukti otentik dan tidak terbantah oleh pihak Landlord, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 191 RBg., maka menurut si Tenant, dia juga merasa sangat beralasan hukum bagi memohon agar Pengadilan berkenan menjatuhkan keputusan hukum yang dapat dijalankan serta merta walaupun ada perlawanan, banding, kasasi dan atau peninjauan kembali (uitvoerbaar bij voorraad). Pada intinya si Tenant mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar memberikan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu yaitu; mengabulkan seluruh gugatan si Tenantdalam perkara tersebut, menyatakan sah dan berharga sita penjagaan dan sita jaminan (conservatoir beslag) yang dijalankan dalam 48 perkara dimaksud; menyatakan syah dan mengikat secara hukum formulir layanan pelanggan atas nama si Tenant yang diterima pada tanggal 20 November 2009, adalah sebagai bentuk Perjanjian antara Tenant dan Landlord55 menyatakan bahwa si Landlord telah cedera janji/wanprestasi atas formulir layanan pelanggan tertanggal 20 November 2009; menyatakan si Landlord selaku pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang bertentangan dan melanggar UU Perlindungan Konsumen. Menghukum si Landlord mengembalikan kepada si Tenant, atas seluruh uang yang telah dikeluarkan sebesar lima juta lima ratus ribu rupiah ditambah dengan bunga 1% per bulan sejak gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sampai si Landlord secara sempurna melaksanakan isi keputusan hukum dalam perkara tersebut dan ditambah seluruh biaya yang timbul di tingkat banding, di tingkat kasasi serta di tingkat peninjauan kembali. Menghukum si Landlordagar membuat dan memuat pengumuman pernyataan minta maaf kepada si Tenant sebagaimana telah dikemukakan di atas. Adapun isi dan model permohonan maaf yang dituntut si Tenant harus dilakukan oleh si pihak Landlord adalah berisi judul yaitu: “PENGUMUMAN PERNYATAAN MINTA MAAF”, dan berisi kata-kata Kami yang bertandatangan di bawah ini: PT. Telkomsel badan hukum yang berkedudukan di Indonesia, yang beralamat di Gedung Wisma Mulia Lantai G, Jl. Gatot 55 Konsepsi Tenant dan Landlord ini adalah nomenklatur yang diberikan oleh Penulis sebagai tanda bahwa hubungan hukum yang seharusnya berlaku dalam Putusan MARI 2995 itu adalah Landlords and Tenant. Dalam salinan Putusan MARI 2995 itu tidak ada istilah Landlord and Tenant, sebab dapat Penulis pastikan bahwa kedua belah pihak tidak memahami hakikat hubungan hukum mereka tersebut. 49 Subroto No.42 Jakarta 12710;Dengan ini secara tegas menyatakan/menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada: Prof. Dr. Farouk Muhammad, Dosen dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI, sehubungan dengan sikap dan perbuatan kami selaku pelaku usaha yang tidak professional, telah melakukan hal-hal yang merugikan terhadap Prof. Dr. Farouk Muhammad, selaku pelanggan dan konsumen, karena kami melakukan kegiatan usaha dengan cara yang tidak sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah R.I. Untuk itu kami berjanji tidak akan mengulangi hal-hal tersebut di kemudian hari yang dapat merugikan konsumen. Si Tenant juga menghedaki agar Pengumuman Permohonan maaf itu diakhiri dengan pernyataan: ―Demikian pengumuman pernyataan minta maaf kami sampaikan, agar diketahui oleh masyarakat luas‖, dan ditutup dengan Hormat Kami,P.T. Telkomsel, kemudian ditandatangani oleh si Landlord, dalam hal ini Direksi. Si Tenant juga menghendaki agar Pengadilan menghukum si Landlorduntuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada si Tenant sebesar sepuluh juta rupiah untuk setiap hari keterlambatan si Landlord dalam melaksanakan petitum butir 6, 7 dan 8 dalam perkara a quo. Demikian pula si Tenant menghendaki agar Pengadilan menghukum si Landlordmembayar kepada si Tenantuang kompensasi secara tunai sebanyak dua milyar rupiah apabila si Landlordtidak berkenan melaksanakan petitum gugatan Penggugat pada butir 6, 7 dan 8 setelah tiga puluh hari sejak keputusan hukum ini dapat dilaksanakan, dengan memberi hak kepada si Tenantuntuk memakai dan menyalurkan uang tersebut kepada Lembaga Swadaya Masyarakat, atau 50 Lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan lainnya. Si pihak Tenant juga menuntut Pengadilan agar menghukum si Landlord membayar kepada si Tenantganti rugi immateril atas ganti rugi akibat hilangnya opportunity/peluang/kesempatan untuk menjaga citra bahkan meningkatkan citra akan popularitas dan kredebilitasnya bagi si Tenant, sebesar dua milyar lima ratus juta rupiah. Menyatakan keputusan hukum dalam perkara ini dapat dijalankan serta merta walaupun ada perlawanan, banding, kasasi dan atau peninjauankembali (uitvoerbaar bij voorraad).Menghukum si Landlordmembayar seluruh ongkos yang timbul dalam perkara ini. Atau, menurut dalil si Tenant, apabila yang terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili dan memutus perkara a quo berpendapat lain,ia, si Tenant mohonkan untuk memberikan putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono). 2.4. Bagaimana Eksespsi Landlord dalam Hubungan Hukum LandlordTenant Setelah melihat gambaran hubungan hukum Landlord and Tenant yang terlihat dari posita yang dikemukakan oleh pihak Tenant dalam gugatannya di atas, berikut, dalam sub-judul 2.4 berikut ini dikemukakan gambaran hubungan hukum Landlord and Tenant dari sisi apa yang merupakan bantahan pihak Landlord (eksepsi) sebagaimana dapat dilihat dalam Putusan MARI 2995 yang menjadi satuan amatan pertama dari penelitian dan penulisan karya tulis kesarjanaan dalam bidaang hukum ini. Dalam eksepsi tersebut, pihak Landlord mengemukakan sejumlah dalil. Dalil pertama berkisar pada persoalan pemberian 51 kuasa untuk beracara, dalam hal ini soal Surat Kuasa Khusus pihak Tenantuntuk mengajukan gugatan dalam perkara a quo yang bagi pihak Landlord tidak memenuhi syarat sebagai Surat Kuasa Khusus berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 tahun 1994 tanggal 14 Oktober 1994. Pihak Landlord mendalilkan bahwa secara hukum apabila suatu gugatan diajukan oleh kuasa hukum yang ditunjuk oleh si Tenant, maka surat kuasa tersebut haruslah memenuhi ketentuan mengenai Surat Kuasa Khusus. Ketentuan Surat Kuasa Khusus dalam Hukum Acara Perdata Indonesia diatur dalam Pasal 123 HIR dan diatur lebih lanjut dalam beberapa SEMA seperti SEMA No. 2 tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959 tentang Surat Kuasa Khusus; SEMA No. 5 tahun 1962, tanggal 30 Juli 1962 tentang Surat Kuasa; SEMA No. 01 tahun 1971, tanggal 23 Januari 1971 tentang Surat Kuasa Khusus sertaSEMA No. 6/1994. Dalam SEMA No. 6/1994 yang menjadi pedoman sampai saat ini, menurut dalil pihak Landlord, notabene memiliki substansi dan jiwa yang sama dengan SEMA No. 2/1959 dan SEMA No. 01/1971, dan sebagaimana disampaikan oleh M. Yahya Harahap, SH., yaitu bahwa surat kuasa khusus yang sah adalah yang memenuhi syarat secara kumulatif yaitu menyebut dengan jelas dan spesifik surat kuasa, untuk berperan di pengadilan; menyebut kompetensi relatif; menyebut identitas dan kedudukan para pihak (sebagai penggugat dan tergugat) dan menyebut secara ringkas dan konkret pokok dan objek sengketa yang diperkarakan.56 56 M. Yahya Harahap, SH; Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan; Penerbit Sinar Grafika; Jakarta. Cetakan Ketiga, Desember 2005, hal., 14 – 15. 52 Menurut pihak Landlord, dalam perkara a quo, pada bagian ―khusus‖ dalam Surat Kuasa Khusus yang diberikan oleh si pihak Tenant atau kuasanya itu kepada kuasanya, disebutkan:―Bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa untuk mewakili dan membela kepentingan hukum pemberi kuasa guna menyusun, menandatangani dan mendaftarkan gugatan perdata melalui PN Jakarta Selatan sehubungan dengan adanya perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Telkomsel terhadap Pemberi Kuasa, berkenaan dengan pemblokiran sepihak atas Kartu Hallo nomor 0811969697 milik Pemberi Kuasa yang dilakukan oleh PT. Telkomsel.‖ Kaitan dengan itu, Landlord mendalilkan bahwa dari uraian bagian ―khusus‖ dalam Surat Kuasa Khusus Penggugat sebagaimana dikutip itu, terlihat jelas bahwa si pihak Tenant tidak menyebutkan secara tegas tentang (i) siapa yang akan bertindak sebagai Penggugat dan (ii) siapa yang berkedudukan sebagai Tergugat, disamping itu, Surat Kuasa Khusus Penggugat juga tidak menyebutkan secara tegas identitas dari si Landlord karena sama sekali tidak disebutkan alamat dari pihak yang akan digugat. Atas dasar itu, menurut pihak Landlord atau kuasa hukumnya, dengan demikian, Surat Kuasa Khusus si pihak Tenanttidak sesuai dengan ketentuan butir 1 huruf (a) SEMA No. 6/1994 yang berbunyi sebagai berikut: ―Surat Kuasa harus bersifat khusus dan menurut Undang-Undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa Surat Kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya: a. Dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara (A) sebagai penggugat dan (B) sebagai tergugat, misalnya dalam perkara waris atau hutang piutang 53 tertentu dan sebagainya‖. Itu sebabnya, menurut si Landlord,karena Surat Kuasa Khusus si Tenant tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yang mengatur mengenai syarat dan formulasi surat kuasa khusus, khususnya SEMA No. 6/1994, maka Surat Kuasa Khusus si Tenant tersebut adalah tidak sah menurut hukum, oleh karena itu gugatan dalam perkara a quo yang diajukan berdasarkan Surat Kuasa Khusus tersebut juga menjadi cacat dan sudah seharusnya menurut hukum dinyatakan untuk tidak dapat diterima. Mengenai dalil eksepsi si pihak Landlord yang kedua, Penulis memeroleh temuan bahwa si pihak Landlord mendasarkan sanggahan kepada si pihak Tenant di atas, berkisar kepada gugatan si pihak Tenant yang kabur (Obscuur Libel). Menurut si pihak Landlord; ada obscuur liber di sisi gugatan pihak Tenant karena uraian jumlah tuntutan ganti kerugian immateriil yang disampaikan si Tenant di atas dalam Posita Gugatan, tidak sejalan atau tidak sinkron dengan Petitum Gugatan. Dengan kata lain, menurut si Landlord gugatan Penggugat, terdapat ketidaksinkronan atau ketidaksesuaian antara Posita Gugatan dengan Petitum Gugatan terkait uraian jumlah kerugian immaterial yang dituntutkan oleh Penggugat. Dalam Posita Gugatan, tepatnya pada Posita butir 32 halaman 9 Gugatan, disebutkan ―… yakni adanya perbuatan pihak Landlordyang merugikan si Tenant, antara lain si Tenanttelah kehilangan opportunity/peluang/kesempatan untuk menjaga citra bahkan meningkatkan citra akan popularitas dan kredibilitasnya. Perbuatan Lanlordjuga telah menimbulkan image negatif terhadap Tenantyang sedang menjaga dan membangun citra dan reputasinya seperti dimaksud dalam gugatan, sehingga menimbulkan kerugian 54 immateril dimaksud, termasuk dan tidak terbatas juga terhadap perasaan yang tidak nyaman dalam diri si Tenant, maka si Tenant menuntut ganti rugi terhadap si Landlordatas kerugian immateriil sebesar satu milyar rupiah‖. Namun demikian, menurut pihak Landlord, dalam Petitum Gugatan butir 10 halaman 11, si Tenant menyatakan:―Menghukum si Landlord membayar kepada si Tenant ganti rugi immateriil atas ganti rugi akibat hilangnya opportunity peluang/kesempatan untuk menjaga citra bahkan meningkatakan citra akan popularitas dan kredibilitasnya bagi si Tenant sebesar dua milyar lima ratus juta rupiah.‖ Dari uraian di atas, kata si Landlord, tampak jelas bahwa terdapat ketidak-sinkronan atau tidak sejalannya antara Posita dan Petitum dalam gugatan Penggugat terkait jumlah nilai tuntutan ganti kerugian immateriil, dimana dalam posita gugatan disebutkan bahwa pada pokoknya terdapat kerugian immateriil atas hilanggnya opportunity/peluang/kesempatan untuk menjaga citra bahkan meningkatkan citra akan popularitas dan kredibilitasnya sebesar satu milyar rupiah namun pada Petitum gugatan, kerugian immaterial tersebut oleh si Tenantdisebutkan dan dituntutkan untuk dibayar sebesar dua milyar lima ratus juta rupiah. Ketidaksesuaian atau ketidaksinkronan tersebut telah membuat gugatan si Tenant, kata si Landlord, menjadi tidak jelas dan kabur karena besaran ganti kerugian immateriil menjadi tidak pasti. Selain itu, hal tersebut juga menunjukkan bahwa sebenarnya tuntutan ganti kerugian immateriil tersebut hanyalah dicari-cari karena si Tenant, menurut si Landlord, sendiripun bahkan tidak bisa memastikan secara tegas berapa taksiran jumlah kerugian immateriil tersebut, apakah sebesar satu milyar rupiahataukah sebesar dua milyar lima ratus 55 juta rupiah. Oleh sebab itulah, menurut Landlord,dengan telah terbukti adanya ketidak-sinkronan atau tidak sejalannya posita dan petitum gugatan, maka secara hukum gugatan si Tenant mengandung cacat berupa obscuur libel atau kabur yang oleh karenanya harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard), sebagaimana telah diberikan kaidah oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 67K/Sip/1975 tanggal 13 Mei 1975, yang pada pokoknya menyatakan bahwa petitum yang tidak sejalan dengan posita adalah mengandung cacat berupa obscuur libel;Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1075 K/Sip/1980 tanggal 8 Desember 1982 yang pada intinya Mahkamah Agung RI memberikan pertimbangan hukum bahwa ―... karena petitum bertentangan dengan posita gugatan, maka gugatan tidak dapat diterima‖. 2.4. 1. Wanprestasi ataukah PMH dalam Hubungan Hukum LandlordTenant Eksepsi Landlord selanjutnya adalah bahwa menurut si pihak Landlord, Gugatan si Tenant itu juga Kabur (Obscuur Libel), karena si Tenant atau kuasa hukumnya, menurut si Landlord, mencampuradukkan Gugatan Wanprestasi dengan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Dijelaskan oleh si Landlord bahwa secara garis besar, terdapat dua jenis gugatan yang dapat diajukan dalam perkara perdata, yaitu Gugatan Wanprestasi dan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dimana keduanya masing-masing adalah jenis gugatan yang berbeda, dimana Gugatan Wanprestasi berkaitan adanya hubungan hukum yang bersumber dari perjanjian diantara para pihak, sedangkan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum berkaitan dengan adanya perbuatan yang melanggar hukum maupun 56 ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilakukan salah satu pihak yang menimbulkan suatu kerugian bagi pihak lainnya. Menurut si Landlord, ia melancarkan eksepsi seperti itu kepada si Tenant, karena dalam gugatan yang diajukan oleh si Tenantdalam perkara a quo, ternyata si Tenanttelah mencampuradukkan antara dalil-dalil Gugatan Wanprestasi dan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Judul atau titel dari gugatan yang diajukan oleh si Tenant, kata si Landlord, adalah ―Wanprestasi terhadap Perlindungan Konsumen‖, selanjutnya dalam posita butir 5 s/d. 12 halaman 2-3 gugatan, si Tenant mendalilkan bahwa telah terjadi perjanjian antara si Tenant dan si Landlord mengenai pembayaran tagihan telepon yang dipergunakan si Tenant, namun menurut si Tenant, si Landlord ingkar janji (quod non) dan kemudian oleh si Tenant dimohonkan dalam petitum butir 4 halaman 10 yang pada intinya meminta kepada Majelis Hakim menyatakan bahwa si Landlordtelah cedera janji/wanprestasi. Menurut anggapan si pihak Landlord, dalam gugatan wanprestasi, tidak dikenal adanya ―kerugian immateriil‖, dimana ―kerugian immateriil‖ dikenal dalam suatu gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Ironisnya, kata si Landlord, dalam Gugatannya, Penggugat menuntut adanya ―kerugian immateriil‖, dimana hal ini mempertegas kenyataan bahwa sesungguhnya si Tenanttelah mengajukan gugatan yang obscuur karena tidak jelas apakah gugatan yang diajukan merupakan gugatan Wanprestasi atau gugatan Perbuatan Melawan Hukum sehingga gugatan terbukti telah mencampuradukkan gugatan Wanprestasi dengan Perbuatan Melawan Hukum, eksepsi si pihak Landlord. 57 Selanjutnya, menurut si pihak Landlord, bahwa pencampuradukkan tersebut semakin nyata dengan adanya fakta bahwa pada bagian lain ternyata si pihak Tenant juga menyampaikan dalil-dalil adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh pihak Landlord(quod non), dimana dalil-dalil tersebut merupakan dalil-dalil untuk suatu Gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Tepatnya pada posita butir 13 halaman 3, serta butir 21 halaman 5 dari gugatan, Tenant mendalilkan bahwa Landlordtelah melanggar beberapa ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Telekomunikasi, selanjutnya dalam Petitum butir 5 halaman 10 gugatan, Tenantjuga meminta kepada Majelis Hakim untuk menyatakan bahwa Landlordtelah melakukan perbuatan yang melanggar UU No. 8/1999. Berdasarkan itu, menurut pihak Landlord, telah terbukti bahwa dalam gugatannya, si Tenant telah mencampuradukkan atau menggabungkan antara Gugatan Wanprestasi dan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dalam perkara a quo. Si pihak Landlord kemudian mengatakan bahwa terkait pencampuradukkan atau penggabungan antara Gugatan Wanprestasi dan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud di atas, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 879 K/Pdt/1997 tanggal 29 Januari 200157 pada pokoknya memberikan kaidah bahwa ―Penggabungan PMH dengan wanprestasi dalam satu gugatan, melanggar tata tertib beracara karena keduanya harus diselesaikan tersendiri, konstruksi gugatan seperti itu mengandung 57 Varia Peradilan, Tahun XVIII, No. 208, Januari 2003 hlm., 14. 58 kontradiksi, dan gugatan dikategorikan obscuur libel, sehingga tidak dapat diterima‖. Dengan demikian, menurut si Landlord, dalam perkara a quo,siTenanttelah menggabungkan atau mencampuradukkan Gugatan Wanprestasi dan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, serta mengacu pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 879 K/Pdt/1997, tanggal 29 Januari 2001 sebagaimana tersebut di atas, maka secara hukum Gugatan Penggugat dalam perkara ini telah mengandung cacat berupa obscuur libel, dan sudah seharusnya dinyatakan untuk tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard). Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan putusan, yaitu putusan No. 557/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel tanggal 17 Maret 2011 yang amarnya sebagai berikut: dalam eksepsi: menolak eksepsi si Landlord tersebut di atas seluruhnya. Sedangkan dalam Pokok Perkara Pengadilan menolak gugatan si Tenant untuk seluruhnya.Pengadilan menghukum si Tenantuntuk membayarkan biaya perkara.Dalam tingkat banding atas permohonan si Tenant putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakatra dengan putusan No. 18/PDT/2012/PT.DKI tanggal 29 Maret 2012. Sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada Penggugat/Pembanding pada tanggal 10 Juli 2012 kemudian terhadapnya oleh si pihak Tenant dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 10 Juli 2012 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 23 Juli 2012 sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No. 557/Pdt.G.2010/ PN.Jkt.Sel yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan permohonan tersebut diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan- 59 alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 3 Agustus 2012. Si pihak Landlord telah pada tanggal 30 Agustus 2012 diberitahu tentang memori kasasi dari si Tenantmengajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 12 September 2012. Karena permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima. 2.5. Dalil-dalil Landlord-Tenant di Mahkamah Agung Republik Indonesia Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) di tingkat Kasasi mempertimbangkan dalil-dalil Landlord dan Tenant dalam kasus itu.Berikut dibawah ini dikemukakan pula aspek-aspek dalam hubungan hukum Landlord dan Tenant tersebut. Pertama, dalil pihak Tenant, adalah bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Jakarta Selatan telah tidak mempertimbangkan Replik si Tenant yang diserahkan pada tanggal 21 Desember 2010 dimuka persidangan yang terbuka untuk umum. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Jakarta Selatan seolah-olah menganggap Replik itu tidak pernah ada, padahal menurut Agenda Persidangan pada tanggal 21 Desember 2010, jelas bahwasanya acara Persidangan adalah Replik dari si pihak Tenant terhadap Jawaban Gugatan pihak Landlord. Seharusnya, menurut si Tenant, Majelis Hakim Pengadilan Klas 1A Khusus Jakarta Selatan mempertimbangkan Replik itu, akan tetapi di dalam Putusan No: 60 557/Pdt/G/2010/PN.JKT.Sel tertanggal 17 Maret 2011, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A sama sekali tidak mempertimbangkannya. Itulah sebabnya, menurut si Tenant, mengakibatkan Putusan tidak cukup pertimbangan hukumnya (onvoldoende gemotiveerd) dan Putusan tersebut harus dibatalkan. Bahwa berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas sangat jelas, terang dan tidak terbantahkan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Jakarta Selatan telah tidak seksama dan rinci menilai segala fakta, sehingga bertentangan dengan Pasal 178 Ayat (1) HIR j.o. Pasal 53 UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan telah ditegaskan pula dalam: Putusan MA No. 2461 K/Pdt/1984, bahwa: ―putusan yang dijatuhkan tidak cukup pertimbangan karena hakim tidak seksama dan rinci menilai segala fakta yang ditemukan dalam persidangan‖. 2.5. Penolakan Formulir Layanan Pelanggan sebagai bentuk Perjanjian Hal menarik yang perlu Penulis kemukakan di sini adalah bahwa apabila hubungan hukum Landlord dan Tenant itu adalah suatu Perjanjian, maka dalam proses beracara kasus Putusan MARI 2995 itu, si pihak Tenant mendalilkan bahwa pihak Pengadilan tidak mengakui adanya hubungan hukum yang tercipta, khususnya yang ditandai oleh Formulir Layanan, yang telah Penulis singgung di atas. Si pihak Tenant mendalilkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Jakarta Selatan, dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah mengandung kelalaian-kelalaian, 61 karena telah tidak mempertimbangkan dalil-dalil Gugatan, Replik, bukti-bukti dan fakta-fakta, sehingga menghasilkan keputusan yang keliru dan tidak benar dalam memberikan putusannya, yaitu memberikan Putusan menolak formulir layanan pelanggan sebagai bentuk Perjanjian yang sah dan mengikat secara hukum. Beberapa argumen yang dibangun oleh si Tenant perlu untuk dipertimbangkan. Menurut si pihak Tenant, adalah tidak beralasan jika pertimbangan Judex Facti tingkat pertama pada paragraf 6 halaman 63, paragraf 1 dan 2 halaman 64 menolak dalil si Tenant jika Majelis telah mempertimbangkan sebelumnya jika awal perjanjian antara si Tenant adalah sebagaimana bukti58yang diakui si Landlordtelah dibuat dan dilaksanakan oleh si Tenant dan si Landlordsepuluh tahun yang lalu59. Kaitan dengan itu, menurut si Tenant, dengan mempertimbangkan bahwa bentuk perjanjian haruslah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal dan juga mempertimbangkan bahwa dengan memperhatikan bukti P-6 tesebut, ternyata dibuat/ditandatangani oleh si Tenant dan petugas si pihak Lamdlordyang adalah tidak mempunyai kewenangan untuk menandatangani suatu perjanjian akan tetapi yang bersangkutan hanya sebagai pencatat atas suatu keluhan dari pelanggan/si Tenant, tidak ada kata-kata yang menunjukan adanya kesepakatan diantara si Tenant dan petugas pencatat dari 58 Bukti P-1. 59 Bukti P-6/ T-1 judulnya adalah Formulir Layanan Pelanggan, bukti P-6/ T-1 tersebut adalah merupakan bentuk layanan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 5 tentang hak dan kewajiban. 62 si Landlord, materi yang dituliskan pun bukan sesuatu yang pasti akan tetapi berupa permintaan yang masih digantungkan pada suatu keputusan dari otoritas yang berwenang, oleh karena itu bukti P-6/T-1 tersebut tidak dapat dikatakan sebagai bentuk perjanjian karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 KUH Perdata, oleh karena itu petitum angka 3 haruslah ditolak. Si pihak Tenant juga mendalilkan bahwa adalah pertimbangan yang tidak beralasan hukum dan tidak berdasarkan fakta jika bukti P-6: Formulir Layanan Pelanggan tertanggal 20 November 2009 yang ditandatangani oleh Petugas dari pihak Landlord dan si Tenantadalah bukan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Bukti P-1: Perjanjian Baku tentang Layanan Jasa Telekomunikasi Selular GSM Telkomsel, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6.4 Bukti P-1 yang berbunyi :―Kewajiban Pelanggan untuk membayar biayabiaya yang terhutang olehnya akan jatuh tempo pada tanggal sebagaimana disebutkan dalam surat tagihan atau pemberitahuan yang disampaikan oleh bagian Costumer Service Telkomsel atau pemberitahuan tertulis yang disampaikan Telkomsel, mana yang lebih cepat‖. Menurut si Tenant, bukti P-6: Formulir Layanan Pelanggan tertanggal 20 November 2009 yang ditandatangani itu adalah bukan sekedar catatan permintaan atau permohonan dari dirinya, lebih dari pada itu, juga merupakan suatu bentuk informasi/pemberitahuan tertulis yang sebagaimana juga telah ditegaskan dan dibenarkan oleh si Landlord dalam Jawaban Gugatan pada halaman 7 angka 4 yang mendalilkan bahwa dalam perkara a quo, Formulir Layanan Pelanggan 63 atas nama Tenant yang diterima pada tanggal 20 November 2009, adalah sebagai bentuk Perjanjian yang sah dan mengikat secara hukum bagi Tenant dan Landlord. Pihak tenan juga tidak dapat menerima pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Jakarta Selatan, dalam pertimbangan hukumnya yang berkenaan dengan dalil-dalil si Tenant yang menyatakan si Landlordtelah cedera janji/Wanprestasi atas Formulir Layanan Pelanggan tertanggal 20 November 2009 karena dia telah melakukan pemblokiran secara sepihak terhadap kartu Halo Tenant pada tanggal 14 Desember 2009, telah menghasilkan keputusan yang keliru dan tidak benar dalam memberikan Putusannya yang menolak si Landlord telah wanprestasi tersebut. Si pihak Tenant menguraikan bahwa pertimbangan Judex Facti tingkat pertama pada paragraf 3 halaman 64 yang menyatakan: ―Menimbang, bahwa oleh karena petitum angka 3 ditolak, maka si Tenanttidak dapat mendasarkan dalilnya (wanprestasi yang dilakukan Tergugat) tersebut pada Formulir Layanan Pelanggan sebagaimana bukti P-6/T-1‖, Adalah Pertimbangan yang tidak beralasan hukum dan tidak berdasarkan fakta. Dalam pandangan si Tenantsebagaimana telah diuraikan pada Keberatan Kedua si Tenant di atas, Bukti P-6: Formulir Layanan Pelanggan tertanggal 20 November 2009 yang ditandatangani oleh Petugas si Landlord dan si Tenant adalah suatu bentuk Pemberitahuan tertulis yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Bukti P-1: Perjanjian Baku tentang Layanan Jasa Telekomunikasi Selular GSM Telkomsel, sehingga Bukti P-6 adalah suatu bentuk perjanjian yang telah 64 memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dan oleh karenanya, Tenant dapat mendasarkan dalilnya (wanprestasi yang dilakukan Landlord). Menurut si Tenant adalah salah jika hal itu tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Jakarta Selatan.Mengapa? Menurut Si Tenant bahwa si Landlord dan dirinya telah sepakat bahwa tagihan kartu Halo Pemohon Kasasi/Penggugat bulan September 2009 sebesar tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah, dilakukan secara dicicil sebanyak tiga kali pembayaran dan dalam waktu tigabulan, sebagaimana dinyatakan dalam Bukti P–6: Formulir Layanan Pelanggan tertanggal 20 November 2009 yang ditandatangani itu dan yang menyebutkan bahwa :..ybs. (in casusi Tenant) meminta keringanan Pembayaran sebanyak tiga kali dalam tiga bulan yang total tagihannya adalah sebesar Rp 7.750.764,00,. Menurut dalil si pihak Tenant, dia sudah melakukan Pembayaran pertama Rp 5.000.000,00 tanggal 20/11/2009 akan melakukan pembayaran lagi sebesar Rp 1.500.000,00 dan sisanya akan dibayarkan pada bulan berikutnya. Si Tenant juga mendalilkan bahwa terhadap kesepakatan yang tercantum dalam Bukti P–6: Formulir Layanan Pelanggan tertanggal 20 November 2009 itu, dia sebagai Tenant, dengan kesadaran, iktikad baik dan bertanggung jawab tetap berupaya untuk memenuhi kewajibannya dengan melakukan pembayaran pada tanggal 21 Oktober 2009 sebesar lima juta 65 rupiah, kemudian pada tanggal 20 November 2009 sebagai pembayaran cicilan kedua sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah. Si Tenant juga mendalilkan bahwadisamping itu, berdasarkan Bukti P-7: Informasi Biaya Penggunaan Kartu Halo, No. Invoice Number 0080509458 No. Kartu Halo 62811969697 Bulan Tagihan Desember, si Landlord justru telah membuktikan dan membenarkan dalil-dalil yang dikemukakan si Tenant. Yaitu sisa tagihan bulan November 2009 yang menjadi kewajibannya sebesar Rp 1.250.764,00 dari nilai total tagihan sebelumnya sebesar Rp 7.750 764,00;Tagihan bulan berjalan sebesar Rp 1.306.857,00; si Landlord mengakui dan telah menerima pembayaran sebesar Rp 3.006.225,00, yaitu pembayaran sisa tagihan sebesar Rp 1.500.000,00 sebagaimana kesepakatan dalam Bukti P–6: Formulir Layanan Pelanggan tertanggal 20 November 2009 yang ditandatangani oleh Petugas si Landlord dan si Tenant, pembayaran untuk pemakaian bulan berjalan sebesar Rp 1.506.225,00. Pihak Tenant mendalilkan jatuh tempo (due date) adalah setiap tanggal 20 pada setiap bulannya (tanggal 20 Desember 2009); Isi kesepakatan Bukti P-6: Formulir Layanan Pelanggan tertanggal 20 November 2009 yang ditandatangani itu, masih tetap direalisasikan oleh si Tenant dengan konsisten melakukan pembayaran baik untuk sisa tunggakan maupun untuk tagihan bulan berjalan. Namun, menurut si Tenant,dengan secara melawan hak dan secara sewenang-wenang pada tanggal 14 Desember 2009 pihak Landlord melakukan pemblokiran. Pihak Tenant terus bersikeras bahwa berdasarkan pertimbangan Judex Facti Tingkat Pertama pada paragraf 7 halaman 60 yang menyatakan: 66 ―Menimbang, bahwa untuk menentukan ada tidaknya wanprestasi, maka perlu dibuktikan hal-hal sebagai berikut, yaitu: Apakah Tergugat telah lalai memenuhi perjanjian;Apakah Tergugat tidak memenuhi perjanjian;Apakah Tergugat terlambat memenuhi perjanjian,‖dari fakta-fakta dan uraian tersebut di atas, secara logika yuridis dapat disimpulkan bahwa Pemblokiran kartu Halo milik si Tenant secara sepihak dan melawan hak oleh si Landlord pada tanggal 14 Desember 2009 sebelum batas waktu (jatuh tempo pembayaran) tanggal 20 Desember 2009, telah memenuhi salah satu unsur pembuktian yang menentukan adanya suatu wanprestasi. Dengan demikian jelas, didalilkan si Tenant, bahwa dengan diblokirnya kartu Halo Tenantsebelum batas waktu tanggal 20 Desember 2009, sangat jelas dan nyata bahwa Landlord telah melakukan Wanprestasi. Oleh karena itu, menurut si Tenant, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Jakarta Selatan, dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya yang berkenaan dengan Pemblokiran Kartu Halo Tenant telah mengandung kesalahan-kesalahan, kekeliruan dan tidak benar dalam memberikan Pertimbangan-pertimbangan yang telah Memberi Hak Kepada Landlord untuk melakukan pemblokiran dan pertimbangan pemblokiran tersebut adalah bukan perbuatan wanprestasi. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut, menurut si Tenant, Pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama pada paragraf 5 halaman 64 dan paragraf 5 halaman 65 yang menyatakan ―Menimbang, bahwa dalam bukti P-1/ T-6 kewajiban si Tenant sebagai pelanggan kartu Halo adalah membayar biaya penggunaan layanan 67 dasar,layanan tambahan dan layanan administratif kepada si Landlord atau PT. Telkomselpada waktu dan cara sebagaimana dimaksud Pasal 7, yaitu yang akan jatuh tempo pada tanggal sebagaimana disebutkan dalam surat tagihan dan selanjutnya dalam Pasal 8 memberi hak kepada Landlord untuk melakukan pemblokiran apabila Tenant tidak memenuhi kewajiban pembayaran biaya yang terhutang. Oleh karena hal pemblokiran, menurut si Tenant merupakan sesuatu yang diperjanjikan dan disepakati oleh kedua belah pihak manakala salah satu pihak lalai dalam melaksanakan kewajibannya, maka perbuatan Tenant yang telah lalai membayar tagihan pembayaran kartu Halo, telah memberi hak kepada si Landlord untuk melakukan pemblokiran, oleh karena mana perbuatan Landlord melakukan pemblokiran bukanlah merupakan perbuatan wanprestasi dan tidak ada kaitannya dengan formulir layanan Pelanggan tanggal 20 November 2009, karena mana petitum 4 patut untuk ditolak, adalah Pertimbangan tidak beralasan hukum, saling bertentangan dan tidak berdasarkan fakta, demikian dalil si Tenant. Menurut pihak Tenant, hal itu terjadi karena: Bahwa berdasarkan Bukti P-7: Informasi Biaya Penggunaan Kartu Halo, No. Invoice Number 0080509458 No. Kartu Halo 62811969697 Bulan Tagihan Desember, tanggal jatuh tempo pembayaran adalah pada tanggal 20 Desember 2009 serta Pemblokiran kartu Halo secara sepihak dan melawan hak oleh Landlord tersebut, telah memenuhi salah satu unsur pembuktian yang menentukan adanya suatu wanprestasi, sebagaimana telah uraikan pada Keberatan Tenant di atas. 68 Dalam pandangan pihak Tenant, dengan demikian jelas bahwa Pertimbangan Judex Facti Tingkat Pertama yang telah memberikan hak kepada Lanlord untuk melakukan pemblokiran pada tanggal 14 Desember 2009 dan pemblokiran tersebut bukanlah merupakan suatu wanprestasi, adalah Pertimbangan yang tidak beralasan hukum, oleh karena itu Putusan Tingkat Tinggi tesebut haruslah dibatalkan. Pihak Tenant juga mendalilkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Jakarta Selatan, dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya yang berkenaan dengan Perbuatan Landlordselaku pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang bertentangan dan melanggar UU Perlindungan Konsumen, telah mengandung kesalahankesalahan, kekeliruan dan tidak benar dalam memberikan PertimbanganPertimbangan bahwa tidak ada perbuatan Landlord yang melanggar UU Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut: Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama pada paragraf 5 halaman 65 yang menyatakan:―Menimbang, bahwa oleh karena pemblokiran yang dilakukan oleh Landlord atas kartu Halo milik Penggugat No. 0811969697 adalah merupakan konsekuensi dari pelaksanaan/isi perjanjinan yang disepakati oleh Tenant dan Landlord, maka artinya Landlordtelah melaksanakan perjanjian dengan benar sesuai yang sudah disepakati bersama, maka oleh karena itu tidak ada perbuatan yang dilanggar dari UU Perlindungan Konsumen, karena itu petitum ke 5 patut untuk ditolak‖, menurut si Tenant, adalah suatu Pertimbangan Hakim yang tidak beralasan hukum dan tidak berdasarkan fakta. Hal seperti itu terjadi, karea menurut si 69 Tenant, sebagaimana uraian Keberatan Ketiga dan Keberatan Keempat si Tenant di atas, bahwa dengan diblokirnya kartu Halo oleh Landlord sebelum batas waktu tanggal 20 Desember 2009, sangat jelas dan nyata bahwa Landlord telah melakukan Wanprestasi. Namun demikian, Tenant masih beritikad baik untuk melunasi seluruh sisa tagihan terakhir sebesar tiga juta tiga ratus empat belas ribu empat ratus enam puluh dua rupiah sebagaimana Bukti P-9: Bukti Pembayaran yang dilakukan oleh Tenant sebesar Rp 3.314.462,00 tertanggal 14 Mei 2010 dengan Nomor Bukti Bayar: 30600140520100118981974. Sehingga menyebabkan Tenant selaku konsumen telah kehilangan hak atas kenyamanan dalam memanfaatkan produk jasa kartu Halo dan Hak Tenant tersebut adalah hak yang dijamin oleh hukum yang ditulis dalam UU Perlindungan Konsumen.Pasal 7 huruf (a) UU Perlindungan Konsumen: ―beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya‖;Pasal 7 huruf (b) UU Perlindungan Konsumen: ―memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”. Pasal 7 huruf (c) UU Perlindungan Konsumen: ―memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.‖Pasal 26 UU yang sama juga di dalamnya dinyaakan:―pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/ atau garansi yang disepakati dan/ atau yang diperjanjikan.‖ Sementara itu, berkaitan dengan hal tersebut si Tenant juga membangun argumen bahwa Pasal 17 huruf (a) UU Telekomunikasi: ―penyelenggaraan telekomunikasi 70 dan/ atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya baik bagi semua pengguna.‖ Si pihak Tenant juga mendalilkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Jakarta Selatan, dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya yang berkenaan dengan Pengembalian atas uang yang dikeluarkan oleh si Tenant, telah mengandung kesalahan-kesalahan, kekeliruan dan tidak benar dalam memberikan Pertimbangan-Pertimbangan. Dalam pandangan si Tenant, kekeliruan seperti itu terjadi karena uang yang sudah dikeluarkan si Tenant tersebut, sudah menjadi kewajiban hukum dari si Tenant sendiri yang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut: bahwa pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama pada paragraf 1 halaman 66 yang menyatakan: ―Menimbang, bahwa terhadap tuntutan si Tenant agar Landlord mengembalikan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh si Tenantsehubungan pengurusan perkara dimaksud sebagaimana bukti P-10, P-11, P-12, P-14a, P-14b, P-14c dan bukti pendukung pengeluaran uang Penggugat berupa P-13a, P-13b, P-13c dan P-13d sebesar Rp 5.500.000,00, oleh karena biaya-biaya tersebut dikeluarkan adalah untuk mewakili kepentingan si Tenant secara pribadi dalam memperlancar pekerjaannya, maka adalah menjadi kewajiban hukum dari si Tenant sendiri yang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, karena itu Petitum ke 6 patut untuk ditolak‖, adalah Pertimbangan tidak beralasan hukum dan tidak berdasarkan fakta, setidak-tidaknya menurut si Tenant karena: dengan 71 diblokirnya kartu Halo oleh Landlord sebelum batas waktu tanggal 20 Desember 2009, sangat jelas dan nyata bahwa Landlord telah melakukan wanprestasi yang mengakibatkan Kerugian Materil yang dialami oleh Tenant sebagaimana Bukti P-10, P-11, P-12, P-14a, P-14b, P-14c dan Bukti Pendukung pengeluaran uang Tenant berupa Bukti P-13a, P-13b, P-13c dan P13d sebesar lima juta lima ratus ribu rupiah. Bahwa selain kerugian-kerugian diatas, si Tenant juga telah kehilangan opportunity/peluang/kesempatan untuk menjaga citra dan kredibilitasnya. Perbuatan Landlord, menurut Tenant, juga telah menimbulkan citra negatif terhadap Tenantyang sedang menjaga dan membangun citra serta reputasinya. Dan oleh karenanya, menimbulkan kerugian Immateril termasuk namun tidak terbatas, terhadap perasaan yang tidak nyaman dalam diri Tenant, maka si Tenant menuntut ganti rugi terhadap Landlord atas kerugian immaterial tersebut sebesar satu miliar rupiah. 2.6. Pertimbangan Mahkamah Agung Mengenai Hubungan LandlordTenant Terhadap alasan-alasan tersebut di atas Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh pihak Tenant tidak dapat dibenarkan.Tidak dibenarkannya alasan-alasan yang dikemukakan oleh si pihak Tenant sebagaimana telah dikemukakan secara terperinci di atas menyebabkan Mahkamah Agung berkesimpulan bahwa Judex Facti tidak salah menerapkan hukum. Menurut Mahkamah Agung, pertimbangan Judex Facti sudah tepat dan benar. 72 Mahkamah agung yang sidangnya untuk kasus tersebut waktu itu dipimpin oleh Dr. H. Ahamad Kamil, SH., M.Humpada tanggal 29 Maret 2013 mempertimbangkan pula alasan yang menyebabkan kesipulan bahwa apa yang dikemukakan oleh pihak Tenant tidak dapat membuktikan dalil gugatannya. Alasan yuridis yang dikemukakan Mahkamah Agung adalah bahwa gugatan Penggugat tidak memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Pihak Tenant, menurut Mahkamah Agung, tidak dapat mendasarkan dalilnya bahwa menurut pendapa si Tenant, si pihak Landlord tersebut telah wanprestasi. Dalam pandangan Mahkamah Agung, dalil wanprestasi yang dilakukan oleh si pihak Landlord itu bahwa ada formulir layanan Pelanggan sebagaimana bukti P6/T1 tidaklah cukup. Menurut Mahkamah Agung, dalil si pihak Tenant yang mengatakan bahwa adanya wanprestasi: (1) karena bukti P6/T1 tersebut adalah merupakan perjanjian yang sudah disepakati oleh dirinya dengan si pihak Landlord; (2) dengan adanya kelalaian si pihak Landlord; dan (3) kenyataan bahwa lalainya si pihak Tenant membayar tagihan telah memberi Hak kepada pihak Landlord untuk memblokir Kartu Halo milik Penggugat tidak benar. Menurut Mahkamah Agung alasan si pihak Tenant seharusnya adalah alasan mengenai adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syaratsyarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana 73 yang dimaksud dalam Pasal 30 UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU No. 3 tahun 2009. Itulah sebabnya Mahkamah Agung berpendapat bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara itu tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh si pihak Tenant, yaitu Prof. Dr. Farouk Muhammad harus ditolak. 2.7. Analisis Bagaimana Penyelenggara 60 Telekomunikasi sebagai Landlord Setelah pemaparan tentang temuan Penelitian atas Putusan MARI 2995 sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, maka berikut di bawah ini analisis terhadap isi Putusan MARI 2995 itu dalam rangka melihat dan menjustidikasi adanya pola hubungan hukum Landlord and Tenant di dalam Putusan sebagai satuan amatan tersebut. Lebih khusus lagi, analisis yang dikemukakan berikut di bawah ini berkisar kepada menjawab permasalahan yang sudah dirumuskan di dalam Bab I Skripsi ini, yaitu: Bagaimana tanggungjawab hukum operator sellular sebagai Landlord, pihak penyelenggara 61 telekomunikasi dalam hubungan hukum dengan pelanggan sebagai penyewa (tenant)? 60 UU Telekomunikasi, Pasal 1 Ayat (7) mendefinisikan penyelenggara telekomunikasi sebagai perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara. Pasal tersebut juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi itu merupakan Landlord atau pemberi sewa telekomunikasi kepada pihak pelanggan (tenant). 61 UU Telekomunikasi, Pasal 1 Ayat (7) mendefinisikan penyelenggara telekomunikasi sebagai perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara. 74 Pada dasarnya setiap kegiatan atau aktivitas manusia dapat diatur oleh hukum. Hukum dipersempit pengertiannya menjadi peraturan perundangundangan yang dibuat oleh negara. Dalam kaitannya dengan teknologi komunikasi, peran hukum adalah untuk melindungi pihak-pihak yang lemah terhadap eksploitasi dari pihak yang kuat, disamping itu hukum dapat pula mencegah dampak negatif dari ditemukannya suatu teknologi baru. Pada dasarnya setiap kegiatan atau aktivitas manusia dapat diatur oleh hukum. Hukum dipersempit pengertiannya menjadi peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara. Dalam kaitannya dengan teknologi komunikasi, peran hukum adalah untuk melindungi pihak-pihak yang lemah terhadap eksploitasi dari pihak yang kuat, disamping itu hukum dapat pula mencegah dampak negatif dari ditemukannya suatu teknologi baru. Prinsip ini secara eksplisit telah di atur dalam UU Telekomunikasi, UU ITE maupun UU Perlindungan Konsumen seperti yang telah penulis jelaskan pada BAB terdahulu. Prinsip ini mengatakan bahwa pelaku usaha selalu dianggap bertanggungjawab terhadap kerugian yang timbul kecuali pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kerugian yang terjadi bukan disebabkan oleh kelalaiannya dan merupakan kelalaian/kesalahan dari konsumennya. Pengaturan menyangkut tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen tertuang dalam Pasal 19 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen mengamanatkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, Pasal tersebut juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi itu merupakan Landlord atau pemberi sewa telekomunikasi kepada pihak pelanggan (tenant). 75 pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Pasal tersebut merupakan landasan hukum terkait tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen yang telah dirugikan. Berdasarkan Pasal tersebut maka pelanggan seluler berhak untuk mendapatkan ganti rugi dari operator seluler atas kerugian yang dialaminya. Selanjutnya Pasal 15 Ayat (1) UU Telekomunikasi mengamanatkan bahwa atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara komunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara komunikasi. 62 Berdasarkan pasal tersebut, konsumen yang dalam hal ini pelanggan seluler berhak untuk mengajukan ganti rugi karena kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh operator seluler sehingga mengakibatkan bocornya data pelanggan. Adanya unsur kesalahan atau kelalaian dan kerugian yang diderita oleh pelanggan seluler yang dilakukan oleh operator seluler, maka dapat dianggap perbuatan yang dilakukan oleh operator seluler adalah perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1365 BW. Selanjutnya penyelenggara dalam UU telekomunikasi Telekomunikasi wajib mengamanatkan memberikan ganti rugi bahwa kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.63 Berdasarkan Pasal 62 Pasal 15 Ayat (1) UU Telekomunikasi. 63 Lihat Pasal 15 Ayat (2) UU Telekomunikasi. 76 tersebut, operator seluler wajib memberikan ganti rugi kepada pelanggan seluler yang menuntut ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang telah mengakibatkan kerugian. Ada beberapa kemungkinan penuntutan yang didasarkan pada Pasal 1365 BW, yaitu: 64 ganti rugi atas kerugian dalam bentuk uang; ganti rugi atas kerugian dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadaan semula; pernyataan bahwa perbuatan adalah melawan hukum;Larangan dilakukannya perbuatan tertentu; Meniadakan suatu yang diadakan secara melawan hukum; pengumuman keputusan dari sistem yang telah diperbaiki. Menurut pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain selaku konsumen, mewajibkan orang yang karena salah menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melanggar hukum dalam tanggung jawab pelaku usaha yang merugikan konsumen dapat diartikan juga sebagai perbuatan yang melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban pelaku usaha, bertentangan dengan kesusilaan dan tidak sesuai dengan kepantasaan dalam masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain (konsumen). Untuk dapat menuntut ganti kerugian atas produk yang merugikan konsumen dalam dasar perbuatan melanggar hukum maka harus dipenuhi beberapa syarat, seperti adanya suatu perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan, adanya kerugian, dan adanya hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan. Dari ajaran di atas, perbuatan melanggar hukum 64 M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cet.2, Pradnya Pramitha, Jakarta, 1982, hal.,102. 77 mempunyai pengertian yaitu berbuat (aktif) atau tidak berbuat (pasif) sehingga bertentangan dengan hukum dalam arti luas. Menurut teori kesalahan, kewajiban timbul dikarenakan adanya kesalahan. Kesalahan selalu ada meskipun dalam ketentuan unsur tidak ada, namun harus dipersangkakan ada. Untuk dapat ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum, maka unsur kesalahan ini harus dapat dibuktikan. Kesalahan di sini umumnya diartikan secara luas, yang meliputi kesengajaan (opzet) dan kekuranghatihatian atau kelalaian (negligence). Ukuran yang dipergunakan dalam hal ini adalah perbuatan dari seseorang yang dalam keadaan normal. Kesalahan yang dimaksud dalam kaitan dengan perbuatan melanggar hukum ini adalah kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun kekuranghati-hatian (kelalaian). Kesengajaan ini menunjukkan adanya maksud dari pelaku usaha untuk menimbulkan akibat tertentu. 65 Kelalaian (negligence) oleh pelaku usaha merupakan suatu perilaku yang tidak sesuai dengan standar kelakuan yang ditetapkan dalam undang-undang demi perlindungan anggota masyarakat terhadap resiko yang tidak rasional. Yang dimaksudkan disini adalah adanya perbuatan kurang cermat dan kurang hatihati yang semestinya seorang penjual atau pelaku usaha mempunyai kewajiban memelihara kepentingan orang lain (duty of care). Unsur utama dalam neglience ini adalah adanya kewajiban memelihara kepentingan orang yang dilanggar pelaku usaha atas produknya. Kewajiban ini mensyaratkan bahwa 65 Janus Sidabalok ,Op., Cit, hal., 105. 78 pelaku usaha harus hati-hati dalam menjaga kepentingan orang lain sebagai konsumen. 2.7.1. Soal Keterbukaan Informasi (Representation) Landlord Berbicara mengenai keterbukaan informasi, hal tersebut merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh oleh pelaku usaha dan sebaliknya merupakan hak yang diterima oleh konsumen. Mengenai hal tersebut, sudah diatur secara jelas dalam UU Perlindungan Konsumen. Kewajiban pelaku usaha salah satunya adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. 66 Sedangkan salah satu hak dari konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.67Hal tersebut terlihat dalam rumusan dalam putusan ‖bahwa kemudian Penggugat dikejutkan dengan tagihan bulan September 2009 sebesar Rp 7.750.764,00 (tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah), sedangkan biasanya hanya sebesar Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah), pembengkakan biaya tersebut ternyata kemudian diketahui oleh Penggugat dikarenakan biaya roaming internasional di luar negeri, yaitu selama seminggu ketika Penggugat menjalankan ibadah umrah di Mekkah; Bahwa terhadap tagihan tersebut, Penggugat telah menugaskan 2 (dua) orang staf dari kantor Penggugat untuk 66 Lihat Pasal 7 huruf (b) UU No. 8 tahun 1999 tntang Perlindungan Konsumen. 67 Lihat Pasal 4 huruf (c) UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 79 menyampaikan keberatan Penggugat dan meminta keringanan pembayaran kepada Tergugat di Kantor Grapari Telkomsel, Jalan Gatot Subroto. Dalam hal ini, Penggugat tidak memperoleh informasi atau tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang besarnya biaya roaming internasional di luar negeri, tetapi Tergugat melalui petugasnya hanya menyatakan bahwa pencarian informasi dimaksud menjadi kewajiban pelanggan (dalam hal ini menjadi kewajiban Penggugat)‖68 Tentu saja hal tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku yang sudah secara jelas mengatakan bahwa merupakan kewajiban bagi penyelenggara telekomunikasi dalam memberikan informasi yang jelas dan benar kepada pelanggannya. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa dalam putusan tersebut, belum memperhatikan secara benar aturan hukum yang ada dalam hal mempertimbangkan hak-hak dari pelanggan yang mana ketika hak tersebut tidak dipenuhi sehingga pelanggan mengalami kerugian. Prinsip prinsip hukum yang seharusnya diperhatikan oleh hakim dalam mengambil keputusan merupakan hal yang Menurut Penulis, Pertanggungjawaban landlord maupun tenant merupakan pertanggungjawaban berdasarkan pada prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (Presumtion Of Liability Principle) hal tersebut dikarenakan aturan hukum yang berlaku dalam UU Telekomunikasi, UU ITE maupun UU perlindungan konsumen mamberikan posisi pelaku usaha sebagai pihak yang memiliki beban pembuktian jika terdapat kerugian sehingga pelaku usaha yang 68 Putusan Mahkamah Agung 80 selalu dianggap bertanggungjawab, kecuali pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaiannya. Dalam Putusan MARI 2995 terdapat pertanggungjawaban landlord merupakan pertanggungjawaban berdasarkan pada prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab.Hal tersebut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Yang terlihat dalam bunyi rumusan: Bahwa pertimbangan Judex Facti tingkat pertama pada paragraf 6 halaman 63, paragraf 1 dan 2 halaman 64 yang menyatakan:―Menimbang, bahwa Majelis telah mempertimbangkan sebelumnya jika awal perjanjian antara Penggugat adalah sebagaimana bukti P-1 yang diakui Penggugat telah dibuat dan dilaksanakan oleh Penggugat dan Tergugat sepuluh tahun yang lalu, bukti P-6/ T-1 judulnya adalah Formulir Layanan Pelanggan, bukti P-6/ T-1 tersebut adalah merupakan bentuk layanan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 5 tentang hak dan kewajiban‖; ―Menimbang, bahwa bentuk perjanjian haruslah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal‖; ―Menimbang, bahwa dengan memperhatikan bukti P-6 tesebut, ternyata dibuat/ ditandatangani oleh Pengugat dan petugas Tergugat yang adalah tidak mempunyai kewenangan untuk menandatangani suatu perjanjian akan tetapi yang bersangkutan hanya sebagai pencatat atas suatu keluhan dari pelanggan/Pengugat, tidak ada kata-kata yang menunjukan adanya kesepakatan diantara Penggugat dan petugas pencatat dari Tergugat, materi yang dituliskan pun bukan sesuatu yang pasti akan tetapi berupa permintaan yang masih 81 digantungkan pada suatu keputusan dari otoritas yang berwenang, oleh karena itu bukti P-6/T-1 tersebut tidak dapat dikatakan sebagai bentuk perjanjian karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, oleh karena itu petitum angka 3 haruslah ditolak‖. 69 Dalam pertimbangan ini, Penulis melihat ada permasalahan hukum berkaitan dengan perjanjian sewa menyewa yang dilakukan oleh kedua pihak yang kemudian tidak diakui oleh tergugat bahwa terdapat hubungan hukum sewa menyewa padahal seharusnya secara hukum perjanjian tersebut tentu harus ada. Seperti yang telah penulis kemukakan diatas bahwa hubungan hukum antara kedua pihak adalah hubungan hukum sewa menyewa.Dalam UU Telekomunikasi sudah mengatur mengenai hal tersebut yang mengatakan bahwa penyelengara jasa telekomunikasi menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi. 70 Dalam rumusan pasal tersebut sudah jelas bahwa hubungan sewa menyewa itu ada dan tidak dapat disimpangi bahkan haruslah menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusannya agar sesuai dengan prinsipprinsip hukum yang ada. Sehingga setelah melihat pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Penulis menyimpulkan bahwa dalam putusan tersebut hakim telah berusaha untuk mendekatkan putusannya pada prinsip hukum, baik yang dituntut 69 Putusan Mahkamah Agung. 70 Lihat Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi 82 oleh KUHPerdata, UU Telekomunikasi, UU ITE maupun UU Perlindungan Konsumen. 83 BAB III PENUTUP 3.1.Kesimpulan Sesuai dengan analisis yang terdapat dalam BAB terdahulu, inti dari penelitian ini adalah dalam Penulis melihat bahwa penyelenggara telekomunikasi dalam hal ini operator seluler dengan pelanggan mempunyai hubungan yang sama dengan prinsip hubungan landlord dan tenant. Bahwa Penulis melihat bahwa prinsip-prinsip hukum hubungan landlord dan tenant hidup dalam putusan MARI 2995 tersebut. Yang dimaksud adalah posisi pelanggan, dalam hal adalah sebagai tenant dan posisi penyelenggara operator adalah sebagai landlord. Hubungan hukum tersebut secara eksplisit ditemukan dalam UU telekomunikasi.Sehingga rasionalitas atau alasan pembenar yuridisnya adalah UU Telekomunikasi tersebut.Dalam hubungan hukum tersebut, baik hak maupun kewajiban masing-masing pihak telah diatur secara jelas dalam ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. 3.2.Saran Yang menjadi cacatan dalam analisis putusan ini, hakim dalam putusannya, hakim kurang mengerti mengenai prinsip-prinsip hukum yang mengatur tentang sewa-menyewa. Dalam hal ini sewa-menyewa dalam penyelenggaraan telekomunikasi antara landlord dan tenant. Sehingga pihak tenant yang sudah dirugikan akibat tindakan landlord, tidak mendapatkan 84 apayang seharusnya menjadi hak-haknya yang pada dasarnya hak tersebut secara jelas sudah diatur dan dijamin dalam peraturan perundangan yang berlaku Penegak hukum, dalam hal ini adalah hakim dalam memberikan pertimbangan terhadap putusan pada kasus-kasus berikutnya agar lebih memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku agar putusan tersebut tepat dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Karena persoalan tersebut sangat bekaitan dengan kepentingan hukum yang diharus dijamin, baik itu kepentingan pihak landlord maupun kepentingan pihaktenant. Sehingga seharusnya kembali dengan cermat memperhatikan prinsip hukum yang berlaku, dalamhal ini baik yang diinginkan oleh KUHPerdata, UU Telekomunikasi, UU Informasi dan Transaksi Elektronik maupun UU Perlindungan Konsumen yang merupakan dasar hukum yang berlaku. 85