Eosinopenia sebagai Penanda Diagnosis Sepsis

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Eosinopenia sebagai
Penanda Diagnosis Sepsis
Dimas Kusnugroho Bonardo Pardede, Dosmaria Siahaan
Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta, Indonesia
ABSTRACT
Sepsis adalah salah satu penyebab tersering morbiditas dan mortalitas di intensive care unit (ICU) dan merupakan masalah kesehatan besar
dengan insidens yang meningkat. Salah satu tata laksana sepsis yang sangat penting adalah terapi antimikroba. Penegakan diagnosis sepsis
yang kurang cepat dan tepat menyebabkan peningkatan mortalitas atau pemberian antimikroba yang tidak tepat. Untuk membantu
diagnosis sepsis sering digunakan penanda diagnosis seperti C-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin, namun mahal dan lama. Eosinopenia
telah lama diketahui merupakan respons terhadap infeksi. Penelitian menunjukkan kaitan antara hitung eosinofil yang rendah dengan infeksi
bakterial pada pasien kritis di ICU. Eosinopenia dapat digunakan sebagai penanda diagnosis sepsis alternatif khususnya di negara berkembang
seperti Indonesia. Selain itu, eosinopenia dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas pasien sepsis di ICU.
Kata kunci: Eosinofil, eosinopenia, penanda diagnosis, sepsis
ABSTRAK
Sepsis is one of the most common causes of morbidity and mortality in the intensive care unit (ICU) and a major health care problem with
increasing incidence. One of the most crucial steps in sepsis management is antimicrobial therapy. Inaccurate and late diagnosis of sepsis
would lead to increased mortality or inappropriate use of antimicrobial agents. To facilitate early and accurate diagnosis of sepsis, biomarkers
such as c-reactive protein (CRP) and procalcitonin are frequently used, but are expensive and need considerable time. Eosinopenia is already
known as a response to infection. Recent studies have shown that low eosinophil count is associated with bacterial infection in critically ill
patients admitted to ICU. Due to its good reliability, rapid, easy and inexpensive measurement, eosinopenia may be used as an alternative sepsis
biomarker in developing country such as Indonesia. Eosinopenia can also be used as a predictor of mortality for sepsis patients in ICU.
Dimas Kusnugroho Bonardo Pardede, Dosmaria Siahaan. Eosinopenia as Diagnostic Marker for Sepsis.
Key words: Eosinophil, eosinopenia, biomarker, sepsis
PENDAHULUAN
Sepsis merupakan salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitas tersering di
intensive care unit (ICU) sekalipun menggunakan antibiotika dan terapi resusitasi
termutakhir. Diagnosis dan evaluasi sepsis
dipersulit dengan parameter klinis yang
sangat beragam dan tidak spesifik. Padahal
diagnosis dan stratifikasi dini sepsis dan
derajat keparahannya sangat penting untuk
memulai terapi antimikroba agar dapat
menurunkan mortalitas.1-4
Berbagai penanda diagnosis sepsis telah dikembangkan untuk membantu diagnosis.
Penanda diagnosis sepsis yang ideal harus
memiliki spesifisitas dan sensitivitas tinggi,
cepat, mudah dikerjakan dan murah serta
berkorelasi dengan derajat keparahan dan
prognosis. Penelitian menunjukkan bahwa
Alamat korespondensi
pemantauan konsentrasi plasma prokalsitonin berperan penting dalam diagnosis
klinis sepsis karena dapat membedakan
sepsis dari penyebab non-infeksi systemic
inflammatory response syndrome (SIRS). Akan
tetapi pemeriksaan prokalsitonin memerlukan waktu cukup lama sampai diperoleh hasil,
dan di negara berkembang seperti Indonesia
sangat mahal; menjadikannya kurang ideal
untuk diagnosis dini sepsis.2-5
Eosinopenia telah lama diketahui merupakan
salah satu respons inflamasi terhadap infeksi
akut. Beberapa peneliti melakukan penelitian
nilai diagnostiknya dan mengajukannya
sebagai salah satu penanda diagnosis
sepsis. Pemeriksaannya yang cepat, mudah
dan murah dapat menjadi alternatif untuk
diagnosis dini sepsis khususnya di negara
berkembang seperti Indonesia.3,4
SEPSIS
Sepsis didefinisikan sebagai keberadaan
infeksi
disertai
manifestasi
sistemik
infeksi yang dapat berkembang menjadi
sepsis berat dan syok sepsis. Sepsis berat
didefinisikan sebagai sepsis yang disertai
disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan
(hipotensi, peningkatan serum laktat, oliguri)
sedangkan syok sepsis didefinisikan sebagai
hipotensi yang disebabkan sepsis yang
menetap meskipun sudah diberi resusitasi
cairan adekuat.
Sepsis merupakan salah satu penyebab
tersering morbiditas dan mortalitas di ICU.
Sekalipun dengan penggunaan antibiotika
dan terapi resusitasi termutakhir, sepsis tetap
merupakan salah satu penyebab kematian teratas pada pasien penyakit kritis. Sepsis berat
dan syok sepsis adalah masalah kesehatan
email: [email protected]
CDK-221/ vol. 41 no. 10, th. 2014
741
TINJAUAN PUSTAKA
besar yang melibatkan jutaan orang di
seluruh dunia tiap tahunnya, membunuh
satu dari empat orang dengan insiden yang
makin meningkat.1-3
Kriteria diagnostik sepsis menurut American
College of Chest Physician/Society of Critical
Care Medicine adalah SIRS disertai dengan
bukti adanya proses infeksi. SIRS sendiri
didefinisikan sebagai terdapatnya dua atau
lebih kriteria berikut: suhu tubuh >38°C atau
<36°C, laju jantung >90x/menit, laju nafas
>20x/menit atau PaCO2 <32 Torr, dan hitung
leukosit >12000/mm3 atau <4000/mm3, atau
>10% bentuk imatur. Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis yang disertai disfungsi
organ, hipoperfusi atau hipotensi (tekanan
darah sistolik <90 mmHg atau penurunan
≥40 mmHg dari nilai dasar) sedangkan syok
sepsis adalah bagian dari sepsis berat dan
didefinisikan sebagai hipotensi akibat sepsis
yang persisten meski sudah diberi resusitasi
cairan adekuat.1,3
Tata laksana sepsis meliputi: resusitasi awal,
skrining dan diagnosis sepsis, terapi antimikroba, pengendalian sumber infeksi dan
pencegahan infeksi. Terapi antimikroba
sangat penting karena keterlambatan pemberian antibiotika yang efektif menyebabkan
peningkatan bermakna mortalitas. Pada syok
sepsis dan sepsis berat tanpa syok sepsis,
pemberian antimikroba intravena yang
efektif harus dimulai dalam jam pertama
setelah diagnosis ditegakkan. Sebaliknya pada
SIRS dengan kausa non-infeksi, antimiroba
tidak diberikan.1
Meskipun sudah ada kriteria diagnostik yang
jelas, diagnosis sepsis tetap suatu tantangan
karena sering sulit membedakan sepsis
dari SIRS. Penegakan diagnosis sepsis yang
kurang cepat dan tepat menyebabkan
keterlambatan pemberian antimikroba atau
pemberian antimikroba yang tidak pada
tempatnya dan berlebihan. Oleh karena
itu dikembangkanlah penanda diagnosis
untuk membantu diagnosis dan tata laksana
sepsis.2,5,6
PENANDA DIAGNOSIS SEPSIS
Penanda diagnosis didefinisikan sebagai
suatu indikator proses biologis normal,
proses patogenik atau respons farmakologis
terhadap intervensi terapetik.7 Dalam klinis,
istilah penanda diagnosis merujuk kepada
742
suatu pemeriksaan beberapa cairan tubuh
(contoh: darah, urine, cairan serebrospinal
dan sebagainya) yang dapat memberikan
informasi pasien kepada klinisi yang tidak
segera didapatkan melalui pemeriksaan
konvensional. Penanda diagnosis dikelompokkan
menjadi
empat
jenis:
diagnostik, monitoring, statifikasi, pengganti
(surrogate). Penanda diagnosis diagnostik
digunakan untuk menentukan keberadaan
suatu keadaan penyakit atau kondisi klinis
lainnya. Penanda diagnosis monitoring berguna memantau perjalanan penyakit dan
menilai respons terapi. Penanda diagnosis
stratifikasi dapat mengelompokkan suatu
populasi ke dalam kelas/tingkat keparahan
tertentu dengan tujuan menerapkan intervensi terapetik ke kelompok yang akan
mendapatkan manfaat terbesar dengan
risiko terkecil, sedangkan penanda diagnosis
pengganti bermanfaat untuk memprediksi
luaran suatu proses penyakit seperti kematian atau komplikasi tertentu. Penanda
diagnosis yang baik harus memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi.8
Penanda diagnosis sepsis dikembangkan
untuk membantu diagnosis sepsis, menentukan prognosis, panduan terapi
antibiotik, evaluasi respons terapi dan
kesembuhan, stratifikasi risiko dan prediksi
komplikasi disfungsi organ. Penanda
diagnosis sepsis semestinya mencerminkan
biologi sepsis yang dibuktikan dengan perubahan biokimiawi dan ditandai dengan
respons pejamu terhadap infeksi pada tingkat
selular dan subselular. Penanda diagnosis
sepsis yang ideal harus memiliki spesifisitas
dan sensitivitas tinggi, cepat, mudah dikerjakan dan murah serta berkorelasi dengan
derajat keparahan dan prognosis. Saat ini
belum ada penanda diagnosis sepsis yang
ideal.2-5,7
Penanda diagnosis sepsis terutama digunakan untuk mengkonfirmasi atau mengeliminasi kecurigaan adanya infeksi. Hal ini
penting untuk menentukan tata laksana
selanjutnya. Jika terdapat infeksi maka perlu
pemberian antibiotika agresif, sebaliknya
jika tidak didapatkan bukti infeksi dan lebih
disebabkan oleh proses inflamasi maka
penggunaan antibiotika dapat dihindari.8
Terdapat berbagai macam penanda diagnosis
sepsis dan yang paling populer adalah
c-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin yang
merupakan kelompok protein fase akut.2,6
CRP adalah protein fase akut yang dilepaskan hepar setelah onset inflamasi atau
kerusakan jaringan. CRP merupakan penanda
klinis yang sering digunakan untuk menilai
keberadaan infeksi dan sepsis sehingga
sering digunakan sebagai pembanding pada
banyak penelitian. CRP dilaporkan dapat
membedakan infeksi bakteri dan virus, dan
berkorelasi dengan risiko kegagalan organ
dan kematian pasien kritis. Kekurangan CRP
adalah peningkatan kadar plasma yang lebih
lambat dibandingkan prokalsitonin (dapat
mencapai 24 jam), tidak merefleksikan keparahan infeksi secara adekuat, peningkatan
kadar plasma yang menetap hingga beberapa hari meskipun infeksi telah hilang, serta
spesifisitas yang kurang jika dibandingkan
dengan prokalsitonin; kadar CRP juga dapat
meningkat pada infeksi ringan dan berbagai
kondisi inflamasi non-infeksi seperti penyakit
autoimun, gangguan rematik, infark miokard,
tumor ganas dan pembedahan.2,5,7,8
Selain CRP, prokalsitonin adalah penanda
diagnosis sepsis yang paling menjanjikan,
paling banyak digunakan dan diteliti. Prokalsitonin merupakan prohormon kalsitonin
yang dihasilkan sebagai repon terhadap
endotoksin atau mediator yang dilepaskan
akibat infeksi bakteri dan berkorelasi kuat
dengan luas dan derajat keparahan infeksi
bakteri. Penelitian terkini menunjukkan
bahwa pemantauan konsentrasi plasma
prokalsitonin berperan penting dalam
diagnosis klinis sepsis karena dapat membedakan sepsis dari SIRS. Prokalsitonin juga
memiliki potensi untuk membedakan infeksi
virus atau bakteri dan dapat menandakan
adanya superinfeksi bakteri pada pasien
infeksi virus. Selain itu, prokalsitonin juga
berpotensi membantu klinisi untuk membuat keputusan tentang inisiasi dan/atau
durasi terapi antibiotic, konservasi antibiotik/
antibiotic stewardship dan memprediksi
mortalitas. Meski demikian, prokalsitonin
memiliki kekurangan yaitu kadarnya dapat
meningkat secara tidak spesifik pada berbagai
kondisi tanpa infeksi bakteri seperti trauma
berat, pembedahan, pasca syok kardiak,
penyakit graft-versus-host akut, gangguan
ginjal dan sebagainya, nilai diagnostik infeksi
jamur yang rendah, biaya pemeriksaan yang
mahal, waktu pemeriksaan yang cukup lama
(dapat lebih dari 24 jam), belum tersedia
CDK-221/ vol. 41 no. 10, th. 2014
TINJAUAN PUSTAKA
secara luas di seluruh fasilitas kesehatan dan
belum digunakan secara sistematis di rumah
sakit negara berkembang.2-8
EOSINOFIL
Eosinofil adalah lekosit multifungsi yang
berperan dalam berbagai proses inflamasi
seperti infeksi parasit dan penyakit alergi.9
Pertama kali ditemukan oleh Paul Ehrlich
tahun 1879 yang menyadari adanya populasi
lekosit tertentu yang terwarnai eosin. Eosinofil
memiliki ciri khas yaitu granul sferis atau
ovoid yang mengisi seperlima sitoplasmanya. Eosinopoiesis terutama di sumsum
tulang, dapat juga di lien, timus dan kelenjar
gerah bening.10 Eosinofil berdiferensiasi dari
sel induk pluripoten di sumsum tulang
kemudian bermigrasi ke sirkulasi.9 Jumlah
eosinofil di tubuh dikendalikan dengan
ketat. Di darah perifer, jumlah eosinofil normal
berkisar 1-3% dari lekosit dengan batas atas
kisaran normal 350 sel/mm3.3,4,11 Waktu paruh
eosinofil di sirkulasi berkisar 6-12 jam, ada
yang menyebutkan sekitar 18 jam untuk
kemudian bermigrasi ke jaringan.10,12 Eosinofil
terutama berada di jaringan dan tidak kembali
ke sirkulasi.10 Jumlah eosinofil di jaringan
100 kali lipat lebih banyak daripada di dalam
sirkulasi.12 Tempat akumulasi utama eosinofil
antara lain saluran cerna, paru, kulit, dan pada
tikus di uterus saat periode dioestrus atau
saat mendapat terapi estrogen.10 Proliferasi
eosinofil ditentukan oleh tiga sitokin penting
yaitu interleukin 3 (IL-3), interleukin 5
(IL-5), dan granulocyte macrophage colony
stimulating factor (GM-CSF) yang dikode oleh
gen dalam kromosom 5q31. Dari tiga sitokin
tersebut, IL-5 merupakan sitokin yang paling
spesifik untuk pembentukan dan diferensiasi
eosinofil sehingga disebut sebagai faktor
diferensiasi eosinofil.9,10,12
Eosinopenia sebagai penanda diagnosis
sepsis: konfirmasi diagnostik dan
prediktor mortalitas
Penurunan jumlah eosinofil darah atau
eosinopenia sebagai respons terhadap
infeksi bukanlah suatu konsep baru dan
telah lama diketahui.3,13 Berbagai penelitian
menunjukkan hubungan antara infeksi/
inflamasi dengan eosinopenia. Zappert dkk.
pada tahun 1893 pertama kali melaporkan
eosinopenia sebagai respons inflamasi yang
sering terjadi pada infeksi akut.4 Bass dkk.
(1975) melaporkan penurunan jumlah
eosinofil pada inflamasi akut yang kembali
CDK-221/ vol. 41 no. 10, th. 2014
normal setelah penyembuhan dalam
beberapa penelitiannya, dan pada tahun
1980 berhasil menyebabkan eosinopenia
pada kelinci menggunakan faktor kimiotaktik
inflamasi akut.3,13 Penelitian Gil dkk. (2003)
menunjukkan bahwa sindrom inflamasi yang
berhubungan dengan hitung eosinofil <40
sel/mm3 berkaitan dengan infeksi bakterial.
Penelitian Lipkin tentang potensi hitung
eosinofil sebagai prediktor bakteremia juga
menunjukkan korelasi positif antara 75 hasil
kultur darah pasien yang positif dengan
eosinopenia. Pernah juga dilaporkan temuan
hitung eosinofil absolut nol pada infeksi
bakterial akut bayi.3,4,11,12,14
Mekanisme yang mengendalikan eosinopenia pada infeksi/stres akut meliputi mediasi
oleh glukokortikosteroid dan epinefrin
adrenal. Selain itu respons eosinopenia awal
terhadap infeksi akut diinterpretasikan akibat
sekuestrasi cepat eosinofil di sirkulasi perifer,
supresi produksi eosinofil dan supresi migrasi
eosinofil matur dari sumsum tulang. Proses
sekuestrasi eosinofil berhubungan dengan
migrasi eosinofil ke tempat inflamasi akibat
substansi kemotaktik yang dilepaskan saat
inflamasi akut. Substansi kemotaktik utama
yang berperan termasuk C5a dan fragmen
fibrin yang juga terdeteksi di sirkulasi saat
keadaan inflamasi akut.3,4,11,15
Abidi dkk. (2006) melakukan penelitian pada
pasien ICU di Maroko dan melaporkan bahwa
eosinopenia merupakan penanda diagnosis
yang baik untuk membedakan penyebab
infeksi dan noninfeksi pada pasien kritis.
Dalam penelitiannya, eosinopenia memiliki
sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi daripada CRP dalam mendiagnosis sepsis saat
admisi ke ICU. Meski belum ada kesepakatan
nilai cutoff eosinofil yang optimal dan
nilainya dapat berbeda tergantung situasi
klinis, lokasi dan etiologi infeksi, dalam perbandingan antara kelompok terinfeksi dan
tidak terinfeksi, nilai cutoff eosinofil 50 sel/mm3
memberikan sensitivitas 80% dan spesifisitas
91%, sedangkan antara kelompok SIRS dan
terinfeksi, nilai cutoff 40 sel/mm3 memberikan
sensitivitas 80% dan spesifisitas 80%. Performa
diagnostik eosinopenia dalam penelitian ini
dapat disandingkan dengan prokalsitonin
(sensitivitas 84%, spesifisitas 70%) pada
pasien tersangka sepsis dalam penelitian
Gibot dkk.3 Penelitian Shaaban dkk. di Newark
(2008-2009) untuk menguji nilai diagnostik
eosinopenia dibandingkan prokalsitonin dan
CRP menunjukkan bahwa CRP dengan nilai
cutoff 70 mg/L menghasilkan sensitivitas 94%,
spesifisitas 84%, positive predictive value (PPV)
83% dan negative predictive value (NPV) 94%;
prokalsitonin dengan nilai cutoff 1.5 μg/L
menghasilkan sensitivitas 84%, spesifisitas
92%, PPV 90%, NPV 87%; sedangkan hitung
eosinofil pada nilai cutoff 50 sel/mm3 menghasilkan sensitivitas 81%, spesifisitas 65%,
PPV 66% dan NPV 80%. Perbandingan
eosinopenia (<50 sel/mm3) dan prokalsitonin
antara kelompok infeksi dan noninfeksi menunjukkan perbedaan statistik bermakna (uji
Fisher, P= .0239). Tidak terdapat perbedaan
statistik dalam perbandingan antara CRP
dan hitung eosinofil (P= .12) dan antara
CRP dan prokalsitonin (P= .49). Disimpulkan
bahwa eosinopenia merupakan penanda
diagnosis sepsis di ICU yang sangat sensitif
tetapi tidak spesifik dan hitung eosinofil >50
sel/mm3 dapat membantu menyingkirkan
kemungkinan infeksi pada pasien yang
masuk ke ICU.4
Di Indonesia sendiri terdapat penelitian Yefta
dkk. di Bandung yang menguji validitas
eosinopenia sebagai penanda diagnosis
sepsis neonatal bakterialis. Penelitian atas
91 neonatus berusia ≤28 hari yang dicurigai
sepsis menunjukkan rata-rata persentase
eosinofil pada kelompok sepsis 1,16% dan
pada kelompok bukan sepsis 1,65% (p=0,005).
Persentase eosinofil ≤0,78% memberikan
sensitivitas 69,6% (interval kepercayaan (IK)
95%; 55,9-81,2%), spesifisitas 74,3% (IK 95%;
56,7-87,5%), serta akurasi 71,4% sehingga
disimpulkan bahwa eosinopenia dapat digunakan sebagai penanda diagnosis sepsis
bakterialis.12
Selain sebagai penanda diagnosis, eosinopenia juga dapat berguna sebagai penanda
prognosis. Dalam penelitian lainnya, Abidi
dkk. juga melaporkan potensi kegunaan
hitung eosinofil pada saat admisi dan
perawatan 7 hari pertama di ICU sebagai
penanda prognosis mortalitas. Pasien kritis
yang tidak selamat menunjukkan hitung
eosinofil absolut yang signifikan rendah dari
saat admisi sampai hari ke tujuh perawatan
ICU, dan mortalitas 28 hari pasien dengan
eosinopenia lebih tinggi.16 Di Korea, Kim dkk.
melakukan penelitian terhadap 150 pasien
anak yang masuk ke ICU dan menyimpulkan
bahwa meskipun eosinopenia tidak berguna
743
TINJAUAN PUSTAKA
sebagai penanda diagnosis infeksi di pediatric
intensive care unit (PICU) tetapi berguna
sebagai penanda mortalitas. Hitung eosinofil
<15 sel/μL dan persentase eosinofil <0,25%
dapat meningkatkan risiko mortalitas anak di
ICU dan dapat membantu klinisi menentukan
penatalaksanaan yang tepat.15 Jagdeesh dkk.
di India melakukan penelitian nilai prognostik
eosinopenia pada pasien peritonitis perforasi
dan melaporkan bahwa eosinopenia
(hitung eosinofil absolut <45 sel/cmm)
merupakan penanda prognostik mortalitas
pasien peritonitis dengan sensitivitas 92,3%,
spesifisitas 92,5%, PPV 85%, NPV 99% dan area
under receiver operating curve (AUROC) 0,96
yang lebih baik daripada CRP pada nilai cutoff
>7,4 dengan sensitivitas 92,3%, spesifisitas
79%, PPV 41%, NPV 98% dan AUROC 0,93.17
Penelitian Terradas dkk. terhadap 2311
pasien di Spanyol dengan episode pertama
bakteremia komunitas atau nosokomial
menunjukkan bahwa faktor risiko utama
mortalitas adalah eosinopenia <0,0454x103/
μL. Pada pasien yang selamat didapatkan
kecenderungan peningkatan cepat rerata
hitung eosinofil ke nilai normal pada hari
kedua atau ketiga perawatan. Mereka menyimpulkan bahwa hitung eosinofil dapat
digunakan sebagai penanda prognosis pasien
bakteremia.14 Yip dkk. dalam penelitiannya
terhadap 1446 pasien sakit kritis yang dirawat di sebuah ICU di Australia melaporkan
bahwa eosinopenia saat pasien keluar
dari ICU berkaitan dengan meningkatnya
risiko readmisi ke ICU dan mortalitas pasca
perawatan ICU sehingga juga dapat berguna
sebagai prediktor readmisi dan mortalitas
pasca perawatan ICU.18
Kelebihan dan kekurangan
Eosinopenia memiliki sensitivitas dan
spesifisitas lebih rendah jika dibandingkan
prokalsitonin ataupun kultur darah, akan
tetapi eosinopenia merupakan penanda
diagnosis sepsis yang menarik karena
beberapa kelebihan antara lain lebih murah,
lebih mudah, hasil yang dapat diketahui
dalam waktu lebih singkat (≤1 jam) dan tersedia hampir di seluruh fasilitas kesehatan.
Eosinopenia juga memiliki reliabilitas cukup
baik sehingga dapat membantu klinisi
mendiagnosis sepsis lebih dini, memberikan pelayanan yang cepat dan tepat dan
menurunkan morbiditas dan mortalitas
pasien kritis. Selain itu karena pemeriksaan
hitung eosinofil juga dapat membantu
menyingkirkan kemungkinan sepsis, penggunaan antibiotika yang tidak pada tempatnya dapat dihindari dan resistensi antibiotika
dapat dikurangi.4,6,12,15,17
SIMPULAN
Eosinopenia merupakan penanda diagnosis
sepsis yang cukup baik. Pemeriksaannya
yang cepat, murah dan mudah dapat menjadikannya sebagai penanda diagnosis sepsis
alternatif khususnya di negara berkembang
seperti Indonesia.
REFERENCES
1.
Dellinger RP,Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, dkk. Surviving sepsis campaign : International guidelines for management of severe sepsis and septic shock 2012. Crit
Care Med 2013;41(2):580-637.
2.
Pierrakos C, Vincent JL. Sepsis biomarkers : a review. Crit Care 2010; 14: R15.
3.
Abidi K, Khoudri I, Belayachi J, Madani N, Zekraoui A, Zeggwagh AA, dkk. Eosinopenia is a reliable marker of sepsis on admission to medical intensive care units. Crit Care 2008; 12: R59.
4.
Shaaban H, Daniel S, Sison R, Slim J, Perez G. Eosinopenia : Is it a good marker of sepsis in comparison to procalcitonin and c-reactive protein levels for patients admitted to a critical care
5.
Kota SK, Meher LK, Rao ES, Jammula S, Modi KD. Utility of biomarkers in sepsis : mirror reflection of inner truculent devil. Bangladesh J Medical Science 2013;12(1):17-29.
6.
Kibe S, Adams K, Barlow G. Diagnostic and prognostic biomarkers of sepsis in critical care. J Antimicrob Chemother 2011; 66 Suppl 2:ii33-40.
7.
Reinhart K, Bauer M, Riedemann NC, Hartog CS. New approaches to sepsis : molecular diagnostics and biomarkers. Clin Microbiol Rev 2012;25(4):609-34.
8.
Standage SW, Wong HR. Biomarkers for pediatric sepsis and septic shock. Expert Rev Anti Infect Ther 2011;9(1):71-9.
9.
Rothenberg ME, Hogan SP. The eosinophil. Annu Rev Immunol 2006;24:147-74.
unit in an urban hospital?. J Crit Care 2010;25(4):570-5.
10. Giembycz MA, Lindsay MA. Pharmacology of the eosinophil. Pharm Rev 1999;51(2):213-339.
11. Lokhandwala A, Athar S, Turrin NP. Role of absolute eosinopenia as marker of enteric fever : experience from a tertiary care hospital in the United Arab Emirates. Ibnosina J Med BS
2012;4(6):249-53.
12. Yefta EK, Yuniati T, Rahayuningsih SE. Validitas eosinopenia sebagai penanda diagnosis pada sepsis neonatal bakterialis. Maj Kedokt Indon 2009;59(12):601-6.
13. Wibrow BA, Ho KM, Fexman JP, Keil AD, Kohrs DL. Eosinopenia as a diagnostic marker of bloodstream infection in hospitalised paediatric and adult patients : a case control study. Anaesth
Intensive Care 2011;39(2):224-30.
14. Terradas R, Grau S, Blanch J, Riu M, Saballs P, Castells X, dkk. Eosinophil count and neutrophil-lymphocyte count ratio as prognostic markers in patients with bacteremia : a retrospective
cohort study. PloS ONE 2012; 7(8): e42860.
15. Kim YH, Park HB, Kim MJ, Kim HS, Lee HS, Han YK, dkk. Prognostic usefulness of eosinopenia in the pediatric intensive care unit. J Korean Med Sci 2013;28:114-19
16. Abidi K, Belayachi J, Derras Y, Khayari M, Dendane T, Madani N, dkk. Eosinopenia, an early marker of increased mortality in critically ill medical patients. Intensive Care Medicine
2011;37(7):1136-42.
17. Jagdeesh TS, Mishra A, Saxena A, Sharma D. Eosinopenia as a prognostic marker in patients with peritonitis. ISRN Infectious Diseases 2013; 2013, Article ID 540948, 8 p.
18. Yip B, Ho KM. Eosinopenia as a predictor of unexpected readmission and mortality after intensive care unit discharge. Anaesth Intensive Care 2013;41(2):231-41.
744
CDK-221/ vol. 41 no. 10, th. 2014
Download