BAB II TINJAUAN TEORI 2.1. Konsep Pertukaran Sosial Peter M. Blau mengembangkan teori pertukaran sosial dengan memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas yang beradasar pada analisis terhadap hubungan-hubungan antar individu. Oleh karena itu, jika Homans bertolak dari petukaran sosial berskala micro atau hubungan antar individu, maka Blau lebih tertarik pada skala macro atau hubungan pada struktur sosial yang kompleks seperti kelompok, organisasi atau negara. Artinya Blau ingin menegaskan bahwa setiap proses pertukaran tidak hanya berakhir pada hubungan-hubungan individu, tetapi akan berlanjut dalam skala yang lebih besar (struktur yang kompleks) dan melampaui hubungan-hubungan individu.1 Istilah “struktur mikro” digunakan untuk mengacu pada keterkaitan antar individu di dalam kelompok, sedangkan “struktur mikro” digunakan untuk menjelaskan keterkaitan antar kelompok di dalam kelompok kolektif yang besar atau kelompok kolektif besar pada kelompok lain yang lebih besar lagi. Oleh karena itu, elemen dari struktur makro bisa berupa struktur mikro atau struktur makro itu sendiri.2 Salah satu karakteristik yang membedakan struktur makro dengan struktur mikro yaitu bahwa proses sosial pada struktur makro ditengahi oleh nilai-nilai yang berlaku. Kriteria pembeda lain yaitu bahwa struktur makro terbentuk dari kesalingterkaitan struktur 1 George Ritzer dan Goodman J. Douglas. Teori Sosiologi Modern, McGraw-Hill. DiIndonesiakan oleh Alimandan, (Jakarta: Prenada Media, 2004), 458-462. 2 Peter M. Blau Exchange and Power in Social Life, (New York: John Wiley and Sons, 1964), 283 10 sosial, dimana unsur pokok dari struktur mikro, yaitu kesalingterkaitan individu pada kontak sosial secara langsung.3 Dinamika struktur makro bergantung pada berbagai macam kesalingtergantungan antar dorongan sosial baik di dalam maupun di antara sub strukturnya. Jenis sub struktur pada sebuah komunitas dapat dibedakan sebagai berikut : Pertama, sebuah komunitas dengan populasi yang dapat dibagi menjadi golongan atau ketegori sosial sebagai dasar dari semua perlengkapan sosial, yang mengatur hubungan antar manusia dan orientasi mereka satu sama lain. kedua, komunitas dalam kolektifitas terorganisir pada wilayah tertentu, yang memiliki pemerintahan dan batas geografis yang menghindarkan mereka dari ketumpang-tindihan pada setiap komunitas, termasuk bagian kecil hingga besar dari organisasi teritorial. ketiga, kolektifitas terorganisir merupakan asosiasi orang-orang dengan organisasi sosial tersendiri, yang bisa saja terbentang dari kelompok kecil pertemanan informal hingga organisasi birokratis formal yang besar. keempat, sistem sosial yang abstrak tidak hanya terdiri dari hubungan sosial pada kebersamaan yang spesifik tetapi juga pada prinsip analitis organisasi, seperti misalnya ekonomi atau lembaga politik dari sebuah komunitas.4 Bertolak dari empat faktor perbedaan sub struktur dalam komunitas tersebut maka Blau mendefenisikan komunitas sebagai keseluruhan yang dikoordinir dengan fitur khusus tertentu, khususnya daerah teritorial dan batas geografis yang tidak saling tumpang tindih dengan komunitas lain.5 Meskipun proses-proses umum dari attraction (tindakan); competition (persaingan); integration (integrasi); dan oposisi merupakan bukti dari pertukaran yang terjadi di antara macrostructure, namun Blau melihat beberapa perbedaan fundamental antara pertukaran dan aspek-aspek makrostruktur, diantaranya: 1) Dalam pertukaran yang kompleks antara macrostructure, makna “shared value” (nilai-nilai bersama) meningkat melalui beberapa nilai pertukaran tidak langsung di antara macrostructure yang termediasi. 3 Ibid, 331 Ibid, 285 5 Ibid, 285 4 11 2) Jaringan pertukaran di antara macrostructure dilembagakan. Meskipun pertukaran yang terjadi secara spontan adalah sebuah ciri yang selalu ada dalam kehidupan sosial, biasanya terbentuk persetujuan secara historis yang membatasi proses-proses pertukaran dasar dari attraction, competition, differentiation, integration atau bahkan pertentangan antara unit-unit kolektif. 3) Macrostructures itu sendiri adalah produk yang melebihi sekedar proses pertukaran dasar, sehingga analisis Macrostructures memerlukan analisis yang lebih dari satu level organisasi sosial.6 2.2. Dari Pertukaran Individu ke Pertukaran Kelompok. Dengan mengutip Simmel, Blau mengatakan : “interaksi sosial berhubungan dengan berbagai macam bentuk dan dapat berkembang berbagai macam keinginan individu sehingga mendorong mereka untuk mengembangkan unit sosial mereka dimana mereka dapat menyadari keinginan seperti: sensual atau ideal, awet atau sementara, sadar atau tidak sadar, secara kebetulan mendorong atau secara telelogis mengajak.“7 Interkasi sosial terjadi dan dapat dilihat atau diamati dalam ruang sosial dan waktu, ketika terjadi kontak sosial antara individu dalam kelompok atau dalam suatu komunitas. Karena itu, ruang sosial dan waktu menjadi sarana dalam mengamati dan melihat proses interaksi sosial, sedangkan tindakan atau aksi dari individu, memberi makna dari hubungan sosial tersebut. Dengan demikian tindakan atau aksi dapat dimaknai sebagai keadaan sosial dalam tingkat lanjut, sebagaimana bayangan dari arti 6 Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory, sixth edition, (Belmont California United States: Wadsworth Publishing Company, 1997), 277 7 Peter M. Blau, Exchange and Power . . . , 12 12 subyektifitas yang berhubungan dengan keadaan tersebut oleh tindakan atau aksi individu (atau beberapa individu), yang membutuhkan sikap individu lain, atau dengan kata lain, aksi berhubungan dengan penyebabnya.8 Tindakan atau aksi sosial antar individu atau beberapa individu dalam kelompok tentu di dilatari oleh dua hal mendasar yakni: adanya nilai-nilai sosial bersama yang membentuk struktur sosial yang kompleks, dan ketertarikan sosial yang memberikan perbedaan status dalam struktur sosial. Dalam perspektif pertukaran sosial, interaksi tersebut dilatar belakangi oleh ketertarikan antara individu yang kemudian menghasilkan cost dan reward. Kekuatan dari ketertarikan sosial menyebabkan pertukaran sosial. Proses ketertarikan tersebut yang mendasari perkembangan integrasi sosial dalam kelompok. Semakin besar ketertarikan individu terhadap individu lain dan terhadap kelompok diakibatkan ketertarikan intrinsik mereka terhadap hubungan tersebut memunculkan identifikasi yang sama, maka semakin padu pula kelompok itu.9 Ketertarikan seseorang anggota baru terhadap sebuah kelompok dikarenakan adanya kesadaran diri yang bersangkutan atau keinginan diri akan penerimaan sosial tertentu. Oleh karena setiap individu dibimbing oleh keinginan dan kesadaran akan penerimaan, maka interaksi memunculkan proses kompetitif, dan diferensiasi sosial yang berkembang dalam persaingan. Proses kompetitif dan diferensiasi ini meningkatkan kebutuhan akan ikatan sosial yang suportif. Identifikasi anggota terhadap kelompoknya melengkapi ketertarikan yang merupakan dasar solidaritas sosial. Namun melalui hubungan itu akan muncul diskriminasi dan generalisasi baik terhadap individu maupun terhadap kelompok. Oleh karean itu menurut Blau dua hal yang akan muncul adalah : 8 9 Ibid, 13 Ibid, 80 13 Pertama, diskriminasi berada diantara individu yang menarik dan orangorang yang tidak menarik, generalisasi berasal dari pengalaman yang menyenangkan hingga harapan dimana pengalaman lain yang berhubungan dengan dia akan memuaskan juga, dan ini merupakan kedekatan intrinsik baginya. Kedua, diskriminasi berada pada orang dan obyek atau aktivitas yang menyenangkan, generalisasi dikarenakan obyek mirip dengan orang lain yang juga akan memberikan kepuasan dan kemauan ekstrinsik pada keuntungan yang didapat dari sumber manapun.10 Hal ini kemudian pula memunculkan empat faktor penting dalam struktur sosial yaitu, integrasi, diferensiasi, organisasi, dan oposisi. Integrasi dan diferensiasi muncul dalam pertukaran sosial tanpa adanya desain yang eksplisit, sementara organisasi dan oposisi merupakan hasil usaha terorganisir yang difokuskan pada sasaran dan idelisme kolektif.11 Pertukaran secara tidak langsung merupakan karakteristik dari struktur kompleks pada komunitas luas secara umum. Karena kontak langsung antara sebagian besar anggota pada komunitas yang luas tidaklah mungkin, namun keterkaitan diantara mereka mempersatukan mereka pada sebuah struktur sosial, melalui nilai-nilai sosial sebagai media yang memediasi hubungan dan transaksi yang tidak langsung.12 Nilainilai tersebut kemudian yang memunculkan solidaritas dan integrasi sosial dalam struktur sosial maupun pada sub struktur sosial. Ketika nilai-nilai tertentu tidak dilembagakan dalam sebuah sistem sosial, hubungan pertukaran tidak akan dipertimbangkan untuk hubungan timbal balik oleh mereka yang telah menginternalisasi nilai-nilai ini. Bagi mereka yang telah menginternalisasi nilai-nilai yang tidak dilembagakan, mungkin saja ada 10 persepsi Ibid, 35 Integrasi dan oposisi berada pada nilai-nilai partikularistik yang menyatukan kelompok dalam dan membaginya dari kelompok luar. Diferensiasi dan legitimasi dikendalikan oleh standard universalistik yang menspesifikasi pencapaian dan kualitas yang secara umum dinilai dalam kolektivitas dibawah pertimbangan dan yang memberikan status superior pada mereka yang menunjukannya. Dua dari empat sisi struktur sosial ini dapat dicapai secara langsung dari analisa pertukaran. Ibid, 327 12 Ibid, 330 11 14 bahwa pertukaran yang adil telah dilanggar. Kesadaran ini akan membimbing mereka untuk menetapkan prinsip-prinsip atau nilai-nilai keadilan dalam kelompok, konsensus ini pada akhirnya melahirkan sanksi negatif terhadap mereka yang melanggar normanorma pertukaran yang adil.13 2.3. Memahami Pertukaran Sosial dalam Struktur Kekuasaan Weber mendefenisikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain sekalipun ada perlawanan.14 Weber membedakan pula dua tipe kekuasaan yaitu: dominasi atas orang yang bergantung pada kemampuan untuk mempengaruhi kepentingan mereka, dan dominasi yang bergantung pada otortitas, yakni kekuasaan untuk memerintah dan tugas untuk patuh.15 Singkatnya, suatu kekuasaan yang stabil membutuhkan legitimasi. Namun perbedaan dalam kekuasaan akan menciptakan potensi konflik. Potensi ini sering ditangguhkan oleh serangkaian kekuatan untuk menunjukkan perubahan otoritas kekuasaan, di mana bawahan menerima legitimasi pemimpin sebagai tuntutan ketaatan. Ada empat hal yang kemungkinan terjadi jika pertukaran tak seimbang dalam satu kelompok di dalam asosiasi antara lain: pertama, orang dapat memaksa orang lain untuk menolongnya; kedua, mereka mencari sumber yang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka; ketiga, mereka dapat bertahan hidup terus tanpa memperoleh apa yang mereka butuhkan; dan keempat, mereka dapat takluk kepada orang-orang yang memberikan bantuan kepada mereka.16 Hal ini kemudian akan menimbulkan kekuasaan atas yang kuat dan lemah, atau dalam suatu struktur sosial disebut pimpinan dan 13 Ibid, 330 Denis Wrong (Ed), Max Weber Sebuah Khazanah,( Yogyakarta: Ikon Tarelita, 2003). Judul asli adalah : Max Weber – Makers of Modern Social Science. (New Jersey: Pretince-Hall, Inc. Englewood Cliffs, 1970), 229. 15 Ibid, 229-230 16 Bernard Raho, Teori sosiologi Modern, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 177 14 15 bawahan. Karena itu Blau mengatakan bahwa “jika salah satu dari empat kondisi tersebut tidak tersedia bagi mereka, maka para individu yang ingin mendapatkan keuntungan namun tidak memiliki pilihan lain harus tunduk kepada kekuasaannya sebagai pendorong bagi orang tersebut untuk menyediakan keuntungan ini”. 17 Salah satu faktor yang dianggap penting dalam melegitimasi kekuasaan adalah kepemimpinan yang memiliki otoritas atau kewenangan. Namun otoritas soerang pemimpin ditentukan pula oleh kepatuhan dari mereka yang dipimpin. Kepatuhan bisa dipaksakan melalui kekuasaan yang cukup, tetapi persetujuan yang berhubungan dengan seberapa besar kekuasaan tidak bisa dipaksakan. Sebab hal tersebut akan menyebabkan adanya perlawanan, agresi dan oposisi yang mungkin memicu jatuhnya kepemimpinan seseorang,18 sebaliknya, persetujuan kolektif akan melegitimasi kepemimpinan. Oleh karena itu menurut Blau, Hubungan yang stabil tergantung pada kekuasaan terhadap orang lain serta pengakuan yang sah mengenai kekuasaan tersebut. Dilema akan kepemimpinan disebabkan oleh pencapaian atas kekuasaan dan pencapaian pengakuan sosial yang akan berakibat pada tidak seimbangnya permintaan pada seseorang.19 Kemampuan untuk memberikan sesuatu yang menguntungkan kepada bawahan adalah hal yang paling penting untuk menjaga kestabilan suatu kekuasaan. Semakin sedikit hal yang diharapkan untuk dicapai oleh seorang pemimpin dengan kekuasaan yang dimilikinya, maka semakin sedikit kekuasaan yang akan cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan semakin sedikit tuntutan yang akan dia buat pada hal yang 17 Peter M. Blau, Exchange and Power . . . , 322 .Ibid, 201-202 19 Ibid, 203 18 16 berhubungan dengan kekuasaannya.20 Pada sisi lain, ketika seseorang yang berada pada posisi subordinat dan agar tidak tergantung pada orang lain, maka strategi menolak dan menerima pelayanan atau pemberian dari orang lain akan digunakan sebagai bagian dari strategi penolakan diri atas potensi penguasaan orang lain, atau melakukan pelayanan yang seimbang kepada orang yang sama posisinya sebagai potensi investasi kuasa.21 2.4. Nilai dan Norma Menurut Blau Dalam kehidupan masyarakat, nilai dan norma merupakan dasar yang “menggerakan” perilaku individu maupun perilaku sosial. Dengan demikian, nilai dan norma juga berfungsi sebagai dasar pertukaran sosial dalam ruang lingkup yang melebihi batas kontak sosial secara langsung. Dengan kata lain, nilai dan norma memediasi transaksi sosial langsung maupun tidak langsung dalam ruang sosial mikro dan makro. Sebab kalau norma menjadi alat pertukaran antara individu dan masyarakat maka nilai menjadi alat pertukaran antara kelompok dan kelompok atau antara kolektivitas dengan kolektivitas.22 Menurut Blau, nilai-nilai dan norma-norma menjadi kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan dilestarikan dari generasi ke generasi, sekalipun terdapat perubahan atau modifikasi. Sebab baginya nilai dan norma tersebut membentuk kehidupan sosial (social life) dalam masyarakat dan pola-pola sosial (social patterns) yang terjadi pada kelompok tertentu. Nilai sosial ialah penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang terbukti mempunyai daya guna fungsional bagi 20 Ibid, 204 Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik dan Moderen. Jilid I & II. di-Indoenisa-kan oleh Robert M.Z Lawang. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990), 83-84 22 Bernard Raho, Teori . . . , 180 21 17 perkembangan hidup bersama.23 Menurut Hendropuspito, tolak ukur yang digunakan untuk memberi penghargaan adalah daya guna fungsional yang dialami atau dirasakan secara faktual oleh masyarakat. Orang, barang atau apapun itu harus berfungsi dengan baik dalam sistem dan sturktur masyarakat tertentu, sebab jika daya guna fungsional itu tidak fungsional dalam sistem dan struktur masyarakat, maka pengharagaan terhadapnya akan mempengaruhi penilaian masyarakat. Dalam kehidupan sosial, standar normatif merupakan hal yang sangat penting dalam membatasi tindakan yang menyimpang. Tanpa norma-norma sosial yang melarang kekerasan dan penipuan, pertukaran sosial dapat terancam dan pertukaran sosial tidak bisa berfungsi sebagai mekanisme pengaturan diri sendiri (Self-regulating mechanism) dalam batas norma-norma. Pada sisi lain, kekuasaan dan sumber daya manusia merupakan hasil keunggulan kompetitif yang diperoleh dalam pertukaran sosial memungkinkan untuk mengeksploitasi orang lain. Menurut Rapoport (1960: 173) yang dikutip oleh Blau mengatakan bahwa: Manifestasi paling dramatis tentang perlunya norma sosial ditemukan dalam berbagai situasi sosial dimana kepentingan semua pihak, tidak hanya sebagian, perlu dilindungi dengan norma sosial karena pengejaran kepentingan pribadi tanpa batasan-batasan normatif dapat mengalahkan kepentingan pribadi dari semua pihak yang terlibat.24 Berdasarkan penjelasan di atas, maka norma sosial dibutuhkan untuk melarang tindakan seorang individu yang memperoleh keuntungan dengan mengorbankan kepentingan kelompok. Dengan kata lain, jika terjadi pelanggaran terhadap standar moral maka yang terjadi adalah kepentingan individu lebih menonjol dari kepentingan 23 Objek yang mendapat nilai meliputi orang-orang, barang-barang, hal ihwal yang bersifat ideologi atau pendangan hidup maupun berupa ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta semua cabangnya. Masing-masing secara sendiri dan secara kategorial diberi penghargaan, dan oleh karena itu mendapat nilai sosial. D. Hendropuspito OC, Sosiologi Sistematik, (Jogjakarta: Kanisius, 1989), 203 24 Peter M. Blau, Exchange and Power . . . , 256 18 kelompok. Hal ini telah merubah reward dan cost sebagai suatu pilihan atau alternatif dalam perilaku sosial. Sehingga dibutuhkan norma yang dapat berfungsi sebagai dasar pemberian sanksi bagi yang bersangkutan, baik sanksi sosial maupun sanksi hukum. Blau meyakini bahwa “interpersonal attraction” (tindakan interpersonal) dari pertukaran dasar yang terjadi di antara individu dapat digantikan oleh “shared value” (nilai-nilai bersama) pada tingkat makro. Nilai-nilai ini dapat dikonseptualisasikan sebagai “media of social transactions” (media transaksi-transaksi sosial) yang menyediakan standar baku untuk menuntun pertukaran tidak langsung yang kompleks antara struktur sosial dengan anggotanya.25 Dalam memediasi pertukaran tidak langsung antara kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi, “shared value” menyediakan standar untuk pengukuran (a) expected reward/reward yang diharapkan, (b) reciprocity/timbal balik, dan (c) fair exchange/pertukaran yang adil.26 Standar keadilan dalam pertukaran sosial dan norma-norma sosial lainnya bersandar pada legitimasi persetujuan bersama atau konsensus, seperti menetapkan tujuan oposisi dan nilai-nilai sosial lainnya yang menegaskan kelompok sasaran dan individu berusaha untuk mencapainya. Umumnya nilai dan norma yang disepakati berperan sebagai media kehidupan sosial dan sebagai perantara penghubung untuk transaksi-transaksi sosial.27 Dengan demikian menurut Blau, nilai dan norma sosial tersebut memungkinan terjadinya pertukaran sosial tidak langsung, mengatur prosesproses integrasi sosial dan diferensiasi dalam struktur sosial yang kompleks serta perkembangan organisasi sosial dan reorganisasi di dalamnya. 25 Jonathan H. Turner, The Structure . . . , 277-278 Ibid. 27 Peter M. Blau, Exchange and Power . . . , 254 26 19 2.5. Nilai sebagai Media Transaksi Sosial Dalam rangka memahami fungsi dan peran nilai dalam pertukaran sosial, Blau bertolak dari proposisi nilai menurut Homans. Proposisi nilai menurut Homans yang dikutip Bernard Raho adalah: semakin tinggi nilai tindakan seseorang, maka semakin besar kemungkinan orang itu melakukan tindakan yang sama.28 Itu berarti dapat dismpulkan bahwa secara umum nilai dapat dipahami sebagai media pertukaran sosial yang memperluas tujuan interaksi sosial dan struktur hubungan sosial dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai sosial yang disepakati (konsensus nilai) berperan sebagai dasar untuk memperluas cakupan pertukaran sosial serta melampaui pertukaran sosial secara langsung dan untuk memelihara struktur sosial melebihi waktu hidup manusia. Nilai standar dapat dianggap media kehidupan sosial dalam dua pengertian: konteks nilai adalah medium/perantara yang menciptakan bentuk hubungan sosial, dan nilai-nilai bersama adalah hubungan perantara asosiasi sosial dan pertukaran dalam skala yang luas. Dalam hal ini, misalnya prektek Lahatol dalam kehidupan masyarakat Haria di Maluku. Lahatol merupakan konsensus nilai yang mengatur hubungan kekeluargaan atau kekerabatan (matarumah dan soa) masyarakat Haria. Walaupun sistem nilai ini dipraktekan pada level matarumah dan (mungkin) soa, namun implikasi dari praktek lahatol dalam wujud pertukaran tersebut sampai pada mempertahankan dan meningkatkan kohesi sosial atau harmoni dan solidaritas masyarakat negeri Haria. Dalam kaitan dengan nilai-nilai sosial, maka menurut Blau, ada empat nilai dasar yang sangat mempengaruhi pertukaran sosial, yakni: nilai partikularistik, nilai universal, nilai legitimasi dan nilai oposisi. Nilai-nilai partikularistik dikatakanya 28 Bernard Raho, Teori . . . , 174 20 sebagai media solidaritas; nilai-nilai universal sebagai media pertukaran dan diferensiasi; nilai-nilai legitimasi sebagai media organisasi; sedangkan cita-cita nilai oposisi sebagai media reorganisasi.29 Untuk itu, keempat nilai ini akan coba diuraikan di bawah ini. 2.5.1. Nilai Partikularistik Blau mengatakan bahwa nilai partikularistik adalah atribut karakteristik yang membedakan kelompok dan sekaligus menyatukan anggota dari setiap solidaritas sosial yang diciptakan untuk memisahkan batas antara kelompok.30 Sebab menurutnya, selain dapat menyatukan anggota kelompok dalam solidaritas sosial, nilai partikularistik mampu mengintegrasikan kelompok masyarakat melampaui hubungan-hubungan personal. Nilai partikularistik menjadi simbol untuk dapat membedakan keanggotaan kelompok di dalam (in group) dan mereka yang tidak berada dalam kelompok lain (out group). Dengan demikian, nilai partikluaristik membuka ruang untuk pertukaran langsung yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat. 2.5.2. Nilai Universal Nilai-nilai universal adalah media pertukaran sosial dan diferensiasi yang memperluas jangkauan transaksi pertukaran dan struktur status di luar batas-batas interaksi sosial langsung. Sistem pertukaran yang paling kuno adalah barter. Pertukaran yang sederhana ini tidak saja dikenal sebagai pertukaran ekonomi, tetapi juga pertukaran sosial. Blau mengatakan bahwa, dalam barter, orang juga melakukan pertukaran jasa. Bahkan menurutnya, barter tidak saja terbatas pada pertukaran jasa 29 30 Peter M. Blau, Exchange and Power . . . , 264 Ibid, 268 21 atau tenaga kerja, tetapi juga pertukaran objek dimiliki dan yang dihasilkan oleh orang ketiga untuk jasa yang lain.31 2.5.3. Nilai Legitimasi Nilai legitimasi sangat memperluas rentang pengendalian kekuasaan, baik langsung maupun tidak langsung. Nilai ini menyebabkan kekuasaan pemerintah untuk mengatur administrasi independen dari pengaruh pribadi atau kewajiban anggotanya dapat tercipta.32 Sebab Secara lebih luas kekuasaan dapat didefinisikan sebagai segala macam pengaruh antar individu atau sekelompok orang, termasuk percobaan dalam pertukaran, dimana seseorang membujuk seseorang yang lain untuk mengikuti keinginannya dan memberi penghargaan bagi mereka yang telah mengikutinya. Namun, sering kali ”kesepakatan normatif” seperti itu menjadi terhambat, oleh karena itu pelaku dalam suatu pertukaran harus mensosialisasikan suatu tata nilai-nilai yang umum di mana tidak hanya menyatakan apa yang adil dalam situasi pertukaran tertentu, tetapi pertukaran ini juga harus dilembagakan menjadi norma untuk pemimpin dan bawahan.33 Kemudian menurut Blau, legitimasi tidak hanya toleran, tetapi merupakan konfirmasi dan kemajuan yang aktif terhadap pola-pola sosial melalui nilai-nilai bersama, apakah sudah ada sebelumnya atau yang muncul pada suatu kolektivitas dalam proses interaksi sosial. Dalam konteks lahatol, legitimasi itu tampak diabsahkan sebagai perekat solidaritas sosial. 2.5.4. Cita-cita Oposisi Cita-cita Oposisi merupakan media reorganisasi sosial, karena cita-cita tersebut melegitimasi para pemimpin gerakan oposisi mengatur kekuatan mereka dan dengan 31 Ibid. Ibid, 268 33 Jonathan H. Turner, The Structure . . . , 274 32 22 demikian menghasilkan kekuatan countervailing terhadap kekuasaan yang mapan dan lembaga yang ada di masyarakat.34 Kecendurungan-kecendrungan sistem pertukaran yg kompleks untuk menghasilkan oposisi dapat dijelaskan oleh prinsip dasar pertukaran. Ketika nilai-nilai mediasi tertentu tidak dilembagakan dalam sebuah sistem sosial, hubungan pertukaran tidak akan dipertimbangkan untuk hubungan timbal balik oleh mereka yang telah menginternalisasi nilai-nilai ini. Bagi mereka yang telah menginternalisasi nilai-nilai yang tidak dilembagakan, mungkin saja ada persepsi bahwa pertukaran yang adil telah dilanggar membimbing mereka, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, untuk mencoba mengatur sanksi negatif terhadap mereka yang melanggar norma-norma pertukaran adil.35 Oleh karena itu, menurut Blau, perubahan revolusioner atau reformasi fundamental dapat terjadi dalam masyarakat hanya jika manusia terinspirasi oleh cita-cita radikal demi keinginan untuk mengorbankan kesejahteraan materi mereka. Sebab bagi Blau, Ideologi oposisi, pada akhirnya, menjadi satu titik penyatuan, satu simbol identitas kelompok, dan satu basis baru solidaritas sosial.36 Berdasarkan penjelasan di atas, maka guna menjawab tujuan penelitian ini, tiga konsep utama dari teori pertukaran, yakni: expected reward, reciprocity, dan fair exchange digunakan sebagai alat analisis hasil penelitian. Dengan kata lain, ketiga konsep ini tidak untuk “diukur” prakteknya oleh masyarakat Haria, namun praktek Lahatol dalam masyarakat Haria sebagai sebuah nilai yang memiliki makna setempat yang mengatur pola hidup (kekeluargaan) mereka akan dianalisis lebih dalam dengan 34 Peter M. Blau, Exchange and Power . . . , 271 Ibid, 271 36 Ibid, 233 35 23 menggunakan konsep ini, jadi ketiga konsep tersebut hanya digunakan sebagai “kaca mata” yang mengarahkan analisis praktek hidup masyarakat Haria lewat Lahatol. 24