POLICY PAPER Menuju Tata Kelola Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (Pembelajaran dari Program USAID-KINERJA) Latar Belakang Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia meningkat dari 228 per 100.000 kelahiran hidup (KH) pada tahun 2007 (Kemenkes, 20131) menjadi 359 per 100.000 KH pada tahun 2012 (SDKI, 20122). Indonesia memimpin urutan tertinggi AKI di Asia Tenggara. Padahal, Pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah banyak menerbitkan program dan kebijakan penurunan AKI dalam pencapaian Millennium Development Goals (MDGs). Beberapa program dan kebijakan meliputi program bidan desa, pos kesehatan desa, pelayanan ante natal care (ANC) terpadu, buku KIA, pelatihan asuhan persalinan normal (APN), puskesmas Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) dan rumah sakit (RS) Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK), Gerakan Sayang Ibu (GSI), desa siaga, Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), dan Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan AKI (RANPP AKI). Kematian ibu disebabkan oleh faktor langsung (kehamilan dan persalinan) dan tidak langsung (penyakit dan kondisi lainnya). Perdarahan, hipertensi dalam kehamilan, dan infeksi mendominasi penyebab langsung kematian ibu. Penyebab tidak langsung kematian ibu meliputi penyakit Jantung, Tuberkulosis, Malaria, dan lainnya dan penyebab tidak langsung menjadi penyumbang 22% untuk AKI3. Sekitar 15% ibu hamil dan bersalin memiliki kemungkinan mengalami komplikasi4. Sebagian besar komplikasi kebidanan dapat dicegah bila keluarga dan tenaga kesehatan cepat memahami 3 hal5. Pertama, komplikasi tidak dapat diprediksi sehingga setiap ibu hamil diperlakukan sebagai potensi komplikasi. Kedua, setiap ibu hamil terutama yang berisiko dan komplikasi dapat akses dengan mudah ke fasilitas kesehatan yang adekuat dalam menangani komplikasi. Ketiga, komplikasi lebih banyak terjadi pada masa persalinan dan 24 jam paska persalinan sehingga waktu yang singkat ini harus cepat mendapat penanganan yang adekuat. Sayang, tiga hal tersebut sering mengalami 3 terlambat6. Pertama, terlambat mengambil keputusan baik karena faktor keluarga, masyarakat maupun faktor tenaga kesehatan. Kedua, terlambat 1 Direktorat Bina Kesehatan Ibu , Ditjen Binan Gizi dan KIA, Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu, Kementerian Kesehatan ,Jakarta, 2013 2 Indonesia Statistic (BPS), National Population and Family Planning Board (BKKBN), Ministry of Health (Kemenkes), and ICF International : Indonesia Demographic and Health Survey 2012, Jakarta, Indonesia: BPS, BKKBN, Kemenkes, and ICF International 2013 3 Ibid 1 4 Bappenas, Perhitungan Pembiayaan dalam Pencapaian Millennium Development Goals, Jakarta, 2009. 5 Ibid 1 6 Ibid 1 1 / 16 mencapai rumah sakit karena kesulitan geografis dan transportasi. Ketiga, terlambat mendapat pelayanan yang adekuat dari RS rujukan baik aspek administrasi, ketersediaan (tenaga spesialis, alat, darah) maupun kompetensi tenaga yang tersedia. Oleh karena itu, komplikasi pada ibu hamil baru ditangani dengan baik oleh petugas kesehatan di Indonesia sekitar 30% kasus.7 Oleh karena itu, Kemenkes mencanangkan Program P4K pada tahun 20098. Kondisi ini juga mendorong Kemenkes untuk menerbitkan kebijakan RANPP AKI. Disamping itu, Donor internasional telah banyak memberi bantuan tehnis dalam upaya penurunan AKI di Indonesia. Salah satunya adalah program USAID KINERJA. Intervensi program kesehatan USAID KINERJA sudah berjalan 4 tahun pada 23 Kabupaten Kota di 5 provinsi yaitu Aceh, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Papua. Banyak daerah telah menghasilkan praktik-praktik yang inovasi sehingga dapat menjadi pengalaman dan pembelajaran semua pemangku kepentingan dalam penurunan AKI. Tingginya AKI Indonesia menunjukkan Indonesi perlu menguatkan kembali kebijakan-kebijakan yang ada. Salah satu kebijakan itu adalah kebijakan operasional P4K berdasarkan praktik-praktik baik yang dilakukan oleh USAID KINERJA. Program P4K masih sangat relevan sebagai strategi penurunan AKI karena program P4K telah menjadi salah satu program dari 7 program utama RANPP AKI. Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) Berdasarkan RAN PP AKI, strategi penurunan AKI yaitu peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu, peningkatan peran pemerintah dan swasta dalam menyediakan sumberdaya, dan pemberdayaan keluarga dan masyarakat. Dari strategi tersebut dipilih 7 program utama yaitu 1) penjaminan kompetensi bidan, 2) penjaminan faskes yang mampu memberi pertolongan persalinan; 3) RS kabupaten/kota mampu PONEK; 4) terjaminnya rujukan pada kasus komplikasi, 5) dukungan pemda terhdap regulasi; 6) Kemitraan lintas sektor dan masyarakat, 7) meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan P4K. Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) yang dicanangkan pemerintah bertujuan memantau kehamilan menuju persalinan yang aman dan selamat pada tingkat pelayanan dasar dengan sasarannya adalah seluruh ibu hamil. Indikator P4K adalah dengan pemasangan stiker P4K yang mencantumkan penolong persalinan, tempat persalinan, pendamping persalinan, transportasi, dan calon donor darah. Output dari program ini adalah9 1) semua ibu hamil terdata dan rumah tertempel stiker, 2) pelayanan ANC sesuai standar, 3) pelayanan persalinan sesuai standar, 4)pelayanan nifas sesuai standar, 5) ibu dan keluarga punya rencana persalinan termasuk KB, 6) keluarga menyiapkan biaya persalinan, 7) terlibat masyarakat seperti forum peduli KIA/pokja posyandu, 8) pelayanan konstrasepsi, dan 9) kerjasama antara bidan, tenaga puskesmas pembantu, forum peduli KIA, dukun bayi dan pendamping persalinan. 7 Rohayati, Kasus Komplikasi Ibu Hamil ditangani Tenaga Kesehatan, www.pdpersi.co.id, 2007 Indah Retnowati & Asih Dwi Astuti, Hubungan Penerapan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) oleh Ibu Hamil dengan Upaya Pencegahan Komplikasi Kehamilan di Puskesmas Sidorejo Kidul Salatiga, Jurnal Kebidanan. Vol.II. No.02, Desember 2010. 9 Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Pedoman Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi, Departemen Kesehatan, Jakarta, 2009. 8 2 / 16 Intinya P4K adalah ibu hamil, keluarga dan masyarakat memahami dan siaga terhadap ibu hamil dan persalinan yang berisiko dan komplikasi. Berdasarkan pengalaman USAID KINERJA di daerah binaan mendapatkan beberapa hal yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan P4K dan penurunan AKI, yaitu sebagai berikut 10,11: 1. Lemahnya Perencanaan dan penganggaran BOK untuk menguatkan program P4K sehingga kegiatan implementasi dan monitoring masih belum menyentuh aspek-aspek mendukung P4K. 2. Kurangnya pemahaman ibu hamil atau masyarakat tentang kehamilan dan pencegahan komplikasi12. Bidan sangat sedikit memberikan waktu untuk peningkatan informasi (temu wicara) termasuk informasi yang berkaitan dengan risiko dan komplikasi, dan ASI. 3. Rendahnya kualitas (ANC) menyebabkan kurang terdeteksi risiko tinggi pada masa kehamilan sehingga memudahkan ibu dan janin mengalami komplikasi13. Pelayanan ANC antar bidan dalam satu puskesmas dan antar puskesmas dapat berbeda. Tidak semua bidan dapat memberikan pelayanan yang memenuhi standar 7T meskipun mereka bekerja pada satu puskesmas. Banyak puskesmas tidak memiliki Standar Operational Procedure (SOP) pemeriksaan ANC, intra natal care (INC), dan post natal care (PNC). Puskesmas yang memiliki SOP tetapi tidak diterapkan dengan baik karena lemahnya kontrol dari seluruh pihak. SOP yang ada juga tidak dikomunikasikan/dipubilkasikan kepada ibu dan keluarganya atau yang disebut SOP layanan (non tehnis). SOP layanan sebenarnya informasi jenis layanan yang semestinya mereka dapatkan dalam pelayanan ANC, INC dan PNC termasuk Inisiasi Menyusu Dini (IMD). 4. Banyak ibu hamil memeriksa kehamilannya tanpa didampingi oleh suami sehingga bidan dan tenaga kesehatan lainnya mengalami kesulitan dalam menyampaikan informasiinformasi penting kepada pengambil keputusan dalam keluarga. 5. Banyak Bidan desa tidak menetap di desa sehingga ibu yang membutuhkan pelayanan persalinan terpaksa ditolong oleh dukun. Meskipun ketidakberadaan bidan di desa 24 jam dapat disebabkan oleh ketidaktersediaan sarana (tempat pelayanan) yang memadai, pengawasan dan perilaku bidan itu sendiri. 6. Kemitraan bidan dan dukun belum berjalan dengan baik karena perjanjian kemitraan yang tidak menarik dukun (insentif), monitoring yang lemah, dan masyarakat lebih mempercayai dukun dan lebih murah. 7. Lemahnya kepala dan bidan koordinator puskesmas dalam mengelola (manajemen) program P4K. Kepala puskesmas kurang melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan P4K. Semuanya diserahkan kepada bidan koordinator. Banyak puskesmas tidak memahami monitoring dan evaluasi serta instrumen dalam melakukan monitoring terutama yang bersifat cek langsung (spot check). Bahkan, monitoring melalui laporan tertulis dan data juga masih rendah dalam menganalisisnya.Kepala puskesmas tidak memiliki instrumen untuk mengenal dengan cepat hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan program. . 8. Rendahnya keterlibatan aktif lintas sektor seperti kantor urusan agama, pendidikan, dan camat untuk menjadi duta atau agen atau penyampai pesan-pesan kesehatan dalam kegiatan P4K. 9. Keterlibatan masyarakat melalui forum atau kelompok lain belum dikelola dengan baik oleh puskesmas. Pertama, pembentukan forum lebih utama untuk menggugurkan kewajiban 10 USAID-KINERJA, Dokumen Distrik Konsultasi Kesehatan pada 19 Kabupaten/Kota Mitra, 2011 USAID-KINERJA, Dokumen Trip Monitoring Implementasi Program KINERJA, 2013 & 2014 12 Guntur, Keperawatan, Kebidanan Dan Kesehatan Masyarakat. http://www.creasoft.wordpress.com. 2008 13 . Ibid 8 11 3 / 16 sehingga proses rekrutmen dan seleksi anggota masih lemah yang menyebabkan forum kurang aktif. Kedua, Puskesmas sangat jarang mengadakan pertemuan koordinasi rutin dengan forum/kelompok tersebut. Sehingga forum/kelom yang ada terjadi demotivasi. Sangat jarang puskesmas yang mengalokasikan BOK untuk kegiatan ini. Akhirnya, banyak forum mati suri. Ketiga, Para anggota forum/kelompok tidak mendapat latihan dalam melakukan peran dan tugasnya. Keempat, fungsi dari forum lebih banyak sebagai follower puskesmas dan belum dikembangkan sebagai forum/kelompok yang memantau implementasi program sehingga puskesmas mendapatkan informasi yang tepat terhadap kondisi yang terjadi antara pelaksanaan dan harapan. 10. Kegiatan promosi yang dilakukan oleh puskesmas kurang begitu efektif karena lemah dari sisi mengemas pesan, pembawa pesan, media, frekuensi, waktu yang tepat, dan monitoring dan evaluasi efektifitasnya. Sehingga banyak informasi yang disampaikan kurang mendapat perhatian ibu dan masyarakat lainnya. Pendekatan USAID KINERJA Program USAID KINERJA bertujuan membantu pemerintah daerah meningkatkan layanan publik di daerah mitra melalui penguatan tata kelola (governance) pada sisi suplai (fasilitas pemerintah) dan sisi demand (pengguna dan masyarakat). Kondisi pelayanan publik terutama fasilitas pemerintah terkesan kurang mendengar keluhan masyarakat, prosedur berbelit, tidak ramah, petugas yang harus dihormati, kurang jelas/transparan waktu dan biaya pelayanan, dan lainnya. Perilaku pelayanan publik seperti ini disebabkan pegawai fasilitas publik tidak memiliki konsekuensi ekonomi, hukum, dan kinerja (performance) jika mereka tidak memberikan pelayanan yang memuaskan pengguna. Bahkan, semakin sedikit masyarakat menggunakan fasilitas publik maka pegawai semakin menguntungkan karena mereka tidak perlu banyak kerja tetapi gaji tetap mereka terima. Penduduk miskin yang hanya dapat mengakses fasilitas pemerintah maka apapun bentuk pelayanan yang diberikan mereka tidak dapat banyak mengeluh karena mereka tidak ada pilihan. Dengan terbitnya Undang-Undang no 25 tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Publik dan beberapa Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), USAID KINERJA mendorong perubahan paradigma pelayanan publik yang bertatakelola lebih partisipatif, terbuka (tranparan), cepat tanggap (responsif), akuntabel, dan lainnya. Program kesehatan Persalinan Aman USAID-KINERJA menjadi pilot dalam penerapan tatakelola pada sektor kesehatan di tingkat unit pemberi layanan (dinas kesehatan dan puskesmas) dan sisi demand (penerima layanan/ibu hamil dan masyarakat). Program Persalinan Aman mengacu pada empat strategi Making Pregnancy Safer (MPS) yang telah dicanangkan oleh Kemkes pada tahun 2000. Strategi peningkatan akses dipilih intervensi/kegiatan peningkatan kualitas pelayanan KIA melalui penerapan SOP. Strategi kemitraan dan pemberdayaan masyarakat dipilih intervensi Kemitraan Bidan dan Dukun (KBD) dan penguatan multi stakeholders forum (MSF) yang terdiri dari organisasi massa sipil serta kelompok-kelompok peduli ibu dan anak. Strategi peningkatan sistem informasi dipilih intervensi revitalisasi Kantung Persalinan (KP) dalam memantau ibu hamil, bersalin, dan ASI. Strategi terakhir adalah peningkatan pembiayaan dengan memilih upaya promosi kesehatan yang lebih partisipatif dan inovatif dan perencanaan puskesmas yang lebih memihak persalinan aman. Pendekatan USAID KINERJA memperkuat dua sisi agar ada keseimbangan dalam pelayanan tersebut. Penguatan tatakelola pada sisi puskesmas meliputi penguatan manajemen organisasi, manajemen program, dan manajemen layanan. Penguatan manajemen organisasi melalui 4 / 16 penguatan perencanaan tingkat puskesmas yang lebih partisipatif dan tranparan. Peguatan manajemen program melalui peningkatan intervensi KBD, KP, dan promosi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang lebih partisipatif, tranparan, akuntabel, dan responsif. Manajemen layanan menguatkan tata kelola SOP, Pengelolaan pengaduan, dan janji perbaikan layanan. Sementara penguatan sisi demand terutama pengguna layanan bertujuan agar mereka mampu menyuarakan hak-haknya dan memantau kualitas pelayanan. Bentuk intervensinya adalah penguatan forum pemangku kepentingan atau MSF terutama dari pihak non pemerintah seperti survey keluhan, monitoring dan advokasi. Dorongan dari masyarakat melalui jurnalisme warga terhadap pelayanan yang lebih berkualitas dan pelayanan yang sesuai dengan hak-hak masyarakat. Penguatan dua sisi tersebut didampingi oleh organisasi mitra pelaksana (OMP). USAID KINERJA memberikan hibah melalui proses seleksi yang tranparan dan akuntabel. OMP ini umumnya berasal dari daerah setempat. USAID KINERJA melakukan penguatan OMP dan quality assurance terhadap pendampingan yang dilakukan oleh OMP. Inovasi Intervensi USAID KINERJA Intervensi USAID KINERJA merupakan intervensi pada kegiatan/program yang sudah ada di tingkat unit layanan (puskesmas). Intervensi USAID KINERJA dapat diumpamakan sebagai penambah tenaga (booster) pada program yang ada agar program tersebut dapat mempercepat pencapaian target program. Booster (pendorong) yang diintervensi KINERJA umumnya dengan menambah unsur-unsur tatakelola seperti partisipasi, tranparansi, akuntabel dan responsif. USAID-KINERJA tidak memberi bantuan tehnis ke aspek tehnis medis pelayanan seperti pelatihan melakukan ANC atau APN dan lain-lain. USAID KINERJA memiliki 19 Kabupaten/Kota mitra dalam tatakelola kesehatan pada provinsi mitra yaitu Aceh: Banda Aceh, Bener Meriah, Singkil, Aceh Tenggara, dan Simeulue; Kalimantan Barat: Singkawang, sambas, Bengkayang, Sekadau, Melawi; Jawa Timur: Kota Probolinggo, Kabupaten Probolinggo, Tulungagung, Jember, Bondowoso; dan Sulawesi Selatan: Kota Makassar, Bulukumba, Luwu dan Luwu Utara. Intervensi di Papua belum dapat disampaikan karena intervensi Papua merupakan intervensi perluasan yang strateginya relatif berbeda dibandingkan luar Papua. 1. Peraturan Bupati/walikota tentang Persalinan Aman, dan Air Susu Ibu Pada saat konsultasi kabupaten/kota, semua daerah mengusulkan adanya suatu kebijakan agar bantuan USAID KINERJA mendapat dukungan anggaran dan dasar pelaksanaannya oleh dinas kesehatan. USAID KINERJA mengembangkan suatu peraturan bupati/walikota karena peraturan bupati lebih cepat. Pengembangan kebijakan ini dirancang lebih partisipatif dengan melibatkan 5 / 16 masyarakat, dinas kesehatan, dan dinas terkait lainnya sejak identifikasi masalah, drafting kebijakan, advokasi, sampai penandatanganan. Pengembangan ini butuh waktu rata-rata 6 bulan. Kebijakan ini sudah ditandatangani oleh bupati/walikota pada 18 Kabupaten/Kota memiliki peraturan bupati/walikota tentang Persalinan Aman, Inisiasi Menyusu Dini dan Air Susu Ibu Eksklusif. 2. Standar Operasional Prosedur (SOP) Intervensi SOP merupakan intervensi dari sisi perbaikan tatakelola dalam manajemen layanan puskesmas. USAID KINERJA membantu pengembangan SOP tehnis dan SOP non Tehnis (layanan). Yang dimaksud SOP tehnis adalah SOP yang menggambarkan langkah-langkah dalam pemeriksaan ANC, INC, dan PNC. Bagi puskesmas yang sudah memiliki SOP maka USAID KINERJA memfasilitasi SOP layanan. SOP tehnis ini meningkatkan akuntabilitas pelayanan yang lebih berkualitas. SOP Layanan merupakan ringkasan umum dari SOP Tehnis yang dipulbikasikan (tranparansi) kepadapengguna untuk hak-haknya dalam pelayanan tersebut. Misal, Setiap pemriksaan kehamilan mendapatkan 7T atau 10T maka yang dipublikasikan adalah hak-hak dalam T tersebut seperti timbng berat badan, tekanan darah dan lainnya sesuai dengan usia kehamilan. Publikasi ini akan mendorong ibu hamil untuk menanyakan hak-haknya serta memastikan kepada bidan pelayanan yang semestinya diberikan. Secara tidak langsung mendorong bidan memberikan pelayanan sesuai dengan SOP. Selain itu, SOP non tehnis (layanan) memberitahukan juga kepada masyarakat pengguna layanan tentang persayaratan (membawa buku KIA dan Kartu kontrol), lamanya pemberian layanan (minimum 1 ibu ANC butuh waktu 20 menit), waktu pemberian layanan (setiap hari jam 8.00 – 12.00), pemberi layanan (bidan A pada hari senin, B pada hari Selasa dan seterusnya), dan biaya layanan (gratis pada JKN dan lain-lain). Semua puskesmas (61) puskesmas mitra (61 puskesmas) dan 120 puskesmas replikasi sudah menerapkan SOP Layanan. Selain itu, mekanisme kontrol penerapan SOP dilakukan dengan kartu kontrol. Ibu hamil mendapatkan kartu kontrol dari petugas puskesmas yang mencantumkan jenis pelayanan ANC sesuai 3 masa kehamilan yang dibagi dalam K1, K2 dan K3-K4. Pada setiap K1 diberikan kolom tiap pelayanan yang harus ditandatangani oleh petugas yang memberi pelayanan. Setelah mendapatkan pelayanan, ibu bersama suami memberikan komentar terhadap hasil pelayanan tersebut. Mereka boleh memberikan pengaduan, apresiasi, dan saran lainnya. Kemudian sebagian dari kartu itu dipotong dan dimasukkan isian saran/pengaduan/dan lainnya ke dalam kotak pengaduan/apresiasi. Kotak ini akan dibuka setiap bulan dan disampaikan kepada MSF. Bagian yang tidak dimasukkan dalam kotak saran dapat dibawa pulang dan ibu dan keluarganya dapat membaca informasi yang berkaitan dengan kehamilannya. Contoh SOP ANC dan kartu kontrol yang terbukti baik dan berdampak bisa ditemukan di beberapa Kabupaten di Kalimantan Barat, seperti di Kab. Bengkayang. 3. Kemitraan Bidan dan Dukun 6 / 16 Program Kemitraan Bidan dan Dukun (KBD) merupakan program yang sudah cukup lama tetapi program ini belum berjalan dengan baik. Hasil temuan USAID KINERJA mendapatkan beberapa kelemahan dalam kemitraan tersebut. Proses pembuatan kesepakatan kemitraan sangat top down dari Dinas, kurang mengakomodasikan sisi dukun, kurang penghargaan/insentif, kurang terlibat masyarakat sejak proses pembuatan kesepakatan samapi monitoring, dan lemahnya monitoring dari puskesmas. Berdasarkan kelemahan di atas, USAID KINERJA menguatkan proses dan aspek lainnya dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menggalang persamaan persepsi antara puskesmas dengan camat, kepala desa yang memiliki dukun aktif, Multi stakholder Forum (MSF), dan tokoh masyarakat. Tujuan utama adalah kepala desa mengalokasikan dana desa untuk dukun yang bermitra di desanya dan dukungan lain seperti pengawasan. b. Lokakarya tigapihak yaitu dukun, bidan dan MSF. Setiap pihak membahas harapan masingmasing dan diplenokan. Output disini adala adanya draft kesepakatan yang terdiri dari mekanisme rujukan ibu hamil dan bersalin dari dukun ke bidan, mekanisme pembagian biaya persalinan dan insentif lain, mekanisem pengaduan, dan akuntabilitas dari setiap kegiatan kemitraan antara dukun dan bidan serta hak dan kewajiban lainnya dari dua belah pihak. Hampir semua daerah memberikan insentif kepada dukun berkisar 50-100 ribu rupiah setiap rujukan persalinan. Sedangkan di Singkil, kepala desa mengalokasikan dana desa sebesar 50 ribu rupiah per bulan kepada dukun yang bermitra. Kabupaten Kuburaya Kalimantan Barat (daerah replikasi KBD) sedang membuat Perda KBD karena Bupati sudah menyetujui memberikan insentif dukun 250 ribu rupiah per bulan bagi dukun yang bermitra. c. Setelah draft disepakati, tahap selanjutnya dijadwalkan penandantanganan kemitraan (MoU). Penandatanganan ini disaksikan oleh berbagai pihak terutama oleh pejabat kecamatan. Bahkan ada yang disaksikan oleh Bupati seperi di Sambas. d. Sosialisasi kepada seluruh masyarakat terhadap perubahan peran dukun. e. Monitoring dan evaluasi setiap 3 bulan dengan melibatkan dukun, bidan, MSF dan ibu-ibu yang pernah ditolong oleh bidan yang bermitra. Dampak dari KBD ini mampu meningkatkan K4 dan persalinan nakes pada daerah yang mengembangkan KBD. Kunci kesuksesan KBD adalah bidan yang menetap di desa terutama di daerah terpencil, tingkat kompetensi bidan di desa, dan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan bidan yang masih muda dan kurang pengalaman. Kebijakan bidan menetap di desa tidak harus diwajibkan setiap hari tetapi sesuai dengan kondisi ibu yang akan melahirkan seperti dijelaskan pada kantung persalinan. Tingkat kompetensi bidan yang masih rendah tidak perlu dilakukan pelatihan APN karena secara teori mereka sudah cukup tetapi yang rendah adalah kompetensi dalam persalinan. Bidan yang merasa kompetensinya rendah maka bidan tersebut dimagangkan oleh Dinas Kesehatan di rumah sakit daerah (Kabupaten Luwu dan Simeulue), klinik bersalin, atau pola senior membina junior 7 / 16 (Simeulue) sampai mencapai jumlah kasus tertentu sehingga mereka dianggap sudah kompeten. Dampak dari pemagangan ini terutama di RS, masyarakat desa makin percaya bahwa bidan tersebut sudah ditambahkan pengetahuan dan keahliannya di RS sebagaimana terjadi di Luwu. Contoh kemitraan bidan dan dukun yang sudah berdampak besar kepada peningkatan persalinan ditolong tenaga kesehatan bisa ditemukan di Kab. Aceh Singkil di Provinsi Aceh, dan di Kab. Luwu dan Luwu Utara di Provinisi Sulawesi Selatan. 4. Kantung Persalinan Mampu membuat dan melaksanakan kantung persalinan sebagai wujud akuntabilitas dan responsiveness dalam menangani ANC dan persalinan. Kantung persalinan merupakan suatu alat monitoring program persalinan aman oleh Puskesmas dimana ringkasan informasi kondisi ibu hamil ditulis singkat pada satu kartu dan kartu itu disimpan dalam kantung sesuai dengan taksiran persalinan. Dengan demikian, ibu hamil akan punya informasi yang lengkap berkaitan dengan kehamilannya dari waktu ke waktu, terutama tentang tanda bahaya kehamilan yang dapat mengancam keselamatan ibu dan janin. Keberadaan kantung persalinan ini dapat mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi yang terjadi pada ibu menjelang dan saat persalinan, karena ibu hamil dan bidan dapat melakukan tindakan dan menyusun rencana persalinan yang aman sesuai dengan kondisi ibu. Temuan dan intervensi di beberapa derah tentang kondisi kantung persalinan itu adalah sebagai berikut: 1. Kantung persalinan belum menjadi sumber monitoring. Kantung tersebut belum dapat menggambarkan daerah kerja Puskesmas dan kondisi ibu hamil menurut desa. Demikian juga belum bisa menginformasikan tingkat risiko ibu hamil menurut desa. Alasan yang banyak dikemukaan adalah puskesmas sudah memiliki Kohort ibu, PWS KIA dan buku KIA sehingga kantung itu dirasakan tidak bermanfaat. Namun, ketika dimintakan data kepada bidan koordinator tentang berapa orang pada pada bulan X akan bersalin, dimana, tanggal berapa, tingkat risiko maka Bidan Koordinator kewalahan menjawab dan menyajikan datanya. Pada masa sekarang, Data ini dapat diolah lebih cepat dengan menggunakan komputer. Berhubung puskemsas belum mengembangkan sistem monitoing dengan elektronik maka kantung persalinan masih relevan sebagai DASHBOARD atau shortcut informasi ibu hamil dalam mencegah dan perencanaan komplikasi di wilayah kerja puskesmas. USAID KINERJA merevitalisasi kantung persalinan sehingga kantung dapat menunjukkan secara ringkas kondisi ibu yang hamil, tingkat risiko, dukun, donor darah, dan lainnya sesuai dengan P4K menurut desa dalam wilayah kerja puskesmas. Puskesmas disarankan membuat peta wilayah kerja Puskesmas. Peta itu ditempel di atas kantung persalinan agar seluruh informasi itu bisa informatif. 2. Kantung hanya berisi ibu yang berkunjung ke Puskesmas saja. Sementara informasi ibu yang berkunjung di bidan desa/polindes/pustu dan lainnya tidak terinformasikan ke puskesmas sehingga puskesmas tidak mangetahui dengan cepat kondisi ibu hamil di wilayh kerjanya. USAID KINERJA mendampingi puskesmas untuk mengisi kantung dari seluruh ibu hamil yang ada di wilayah kerjanya. Bidan di desa membuat dua kartu ibu yang akan diisi dalam kantung 8 / 16 persalinan di poskesdes dan Puskesmas. Setiap ibu yang telah memeriksa dirinya ke Puskesmas maka informasi ibu diteruskan kepada bidan di desa dalam pertemuan bulanan agar tidak terjadi perhitungan ganda ANC. 3. Isi kantung (kartu dalam kantung) sering tidak rutin diisi oleh bidan koordinator. Alasannya adalah kurang waktu untuk membuatnya dan kantung yang telah diisi juga tidak pernah menjadi perhatian dari kepala Puskesmas. Akhirnya, bidan koordinator sering membiarkan kantung persalinan kosong dan menjadi pajangan saja. USAID KINERJA mendampingi kepala puskesmas dan bidan koordinator untuk terus mengisinya dan didorong oleh MSF agar infromasi ringkas tentang ibu hamil dan bersalin dapat dipantau dengan baik. Setelah memahami tujuan tersebut, puskesmas sudah mengisinya dengan rutin. 4. Kantung tidak pernah dianalisis. Kantung tersebut hanya menjadi pajangan di ruang KIA puskesmas. USAID KINERJA membantu bidan koordinator dan kepala Puskesmas untuk menganalisis informasinya setiap bulan. Informasi ini disampaikan dalam pertemuan internal Puskesmas dengan program terkait dan bidan di desa. Informasi yang diperlukan dalam analisi kantung adalah: a. Ibu hamil yang akan bersalin berada di desa mana saja. Bidan desa yang bertugas di desa tersebut diwajibkan berada di desa 2 minggu sebelum tanggal persalinan sampai ibu bersalin. Jika bidan desa ingin mengambil cuti maka cutinya sebelum tanggal tersebut. Jika dalam kondisi mendesak dan bidan desa terpaksa tidak bisa berada di desa dalam waktu + 2 minggu dari hari taksiran melahirkan, maka bidan koordinator akan memberi tanggung jawab pematauan dan pertolongan persalinan kepada bidan di desa lain yang terdekat. b. Jumlah ibu yang akan bersalin dalam bulan tersebut dengan berbagai tingkat risiko. Risko yang ada dapat dipantau oleh bidan desa bagaimana persiapan dari keluarga. Kepala puskesmas dapat memantau tingkat persiapan dari stiker P4K. c. Dari jumlah ibu hamil yang ada, berapa ibu hamil yang belum melakukan pemeriksaan sesuai dengan umur kehamilan. Kepala puskesmas dan bidan koordinator dapat mendorong bidan desa dan masyarakat untuk melakukan pemeriksaan kehamilan. d. Bidan di desa harus mendapatkan kepastian ibu memilih tempat persalinan. Apakah bersalin di rumahnya sekaran atau di rumah orang tuanya di desa lain dalam satu kecamatan atau desa lain luar kecamatan atau luar kabupaten. Informasi ini dapat digunakan untuk mendapatkan kemungkinan hilangnya K4 atau jumlah persalinan. Informasi ini dapat dikoordinasikan dengan puskesmas lain terutama dalam satu kabupaten. Hal ini dilakukan di Simeulue dan Aceh Tenggara sebagai pengembangan komunikasi antar bidan dan puskesmas. e. Dukun yang berada di desa tersebut sudah mulai diberitahukan agar siap-siap mendorong ibu dan keluarga untuk persiapan persalinan termasuk persiapan kendaraan untuk rujukan. Dukun juga dipantau agar tidak melakukan bantuan persalinan. 5. Kondisi ibu hamil di wilayah kerja puskesmas jarang diinformasikan secara bulanan kepada pemangku kepentingan di kecamatan dan desa. 9 / 16 USAID KINERJA mendampingi puskesmas untuk menyampaikan kondisi ini secara ruitin (bulanan) kepada MSF dan kepala desa. Puskesmas menyampaikan informasi dalam kalimat atau kata yang mudah dimengerti oleh orang awam dengan menghindari penggunaan singkatan dan istilah program atau medis. Informasi yang perlu disampaikan pada forum ini adalah: a. Kesiapan desa terhadap ibu yang membutuhkan bantuan ketika ibu terjadi komplikasi selama kehamilan dan persalinan terutama kesiapan tranportasi, donor, dan orangorang penting yang perlu dihubungi pada saat genting itu. Kabupaten Aceh Singkil membuat kartu emergensi yaitu kartu yang berisi no telpon bidan desa, kepala puskesmas dan kepala dinas kesehatan. b. Puskesmas dapat menyampaikan atau mendapat informasi ibu yang datang bersalin dari luar daerah agar ibu tersebut mendapat pelayanan yang adekuat dan datanya dapat disampaikan ke puskesmas dimana ibu itu berasal. c. Meminta pengawasan agar dukun yang sudah bermitra untuk tidak menolong persalinan dan dukun yang belum bermitra untuk didorong agar bermitra. Kantung persalinan sesungguhnya sangat bermanfaat bagi manajemen program persalinan aman yang lebih responsif yaitu : 1. Mengetahui status kehamilan ibu dan tingkat risiko; 2. Mengetahui taksiran persalinan; 3. Mengetahui penolong serta pendamping persalinan; 4. Mengetahui tempat persalinan; 5. Mengetahui apa yang mesti dipersiapkan oleh keluarga dan tenaga kesehatan; 6. Monitoring keberadaan bidan di desa pada saat yang tepat. 7. Mempercepat berfungsinya desa siaga; 8. Meningkatnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan terampil; 9. Termonitor kepatuhan kemitraan bidan dan dukun; 10. Dapat ditanganinya kejadian komplikasi secara dini; 11. Terpantaunya kesakitan dan kematian ibu dan bayi. Semua puskesmas mitra USAID KINERJA di Kalimantan Barat menambahkan lagi dengan kantung IMD, Kantung ASI Eksklusif dan Kantung BGM. Mereka dapat memonitor jumlah ibu yang melahirkan terlah dilakukan IMD, dan ASI Eksklusif serta anak yang kurang gizi. Proses monitoringnya sama sehingga kepala puskesmas dan bidan koordinator sebagai manajer program KIA mendapatkan mengikuti perkembangan ibu hamil sampai anak usia 2 tahun. Contoh kantong persalinan yang baik dan efektif bisa ditemukan di seluruh Kalimantan Barat, seperti di Kota Singkawang dan Kab. Bengkayang. 5. Pengelolaan pengaduan Sebagai upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam peningkatan pelayanan publik, sesuai Permenpan 13/2009, masyarakat mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan berbagai saran, masukan dan juga pengaduan terkait dengan pelayanan yang diterimanya dari penyedia layanan. Puskesmas berkewajiban memberikan ruang masyarakat berpartisipasi dan merespon berbagai pengaduan, saran dan masukan dari masyarakat. Kemudian, bersama-sama menyusun suatu kesepakatan sebagai upaya peningkatan pelayanan yang disepakati bersama, baik dalam bentuk Janji Perbaikan layanan sesuai dengan kapasitas puskesmas. 10 / 16 USAID KINERJA mendampingi MSF dan Puskesmas melakukan lokakarya pengaduan, survey pengaduan, analisis, janji perbaiakan layanan dan monitoring dan evaluasi pemenuhan janji perbaikan layanan. Banyak hal yang berkaitan dengan persalinan aman dikeluhkan oleh masyarakat seperti bidan tidak tinggal di desa, bidan tidak memberikan informasi dengan cukup, bidan tidak ramah dan sebagainya. Puskesmas menyikapi ini dengan membuat janji sesuai dengan kemampuan puskesmas memenuhi janji tersebut yang dimonitoring secara berkala oleh MSF. Seluruh puskesmas mitra KINERJA sudah melakukan janji perbaikan layanan dan umumnya sudah dapat memenuhi janjinya. Mekanisme pengaduan masyarakat tidak hanya diperoleh melalui Survey Pengaduan Masyarakat, tapi juga ada beberapa pendekatan lainnya seperti lewat Kotak Pengaduan atau Kotak Keluhan, SMS gate way, Hotline – telephone dan sebagainya. Untuk menjamin bahwa masyarakat mau memberikan keluhan/pengaduannya maka penting bagi unit layanan kesehatan (puskesmas) mengembangkan mekanisme Pengelolaan Pengaduan. Masyarakat perlu terinformasi tentang adanya layanan pengaduan dan SOP pengaduan yang disediakan oleh unit layanan kesehatan/puskesmas untuk digunakan oleh masyarakat. Dalam mengembangkan mekanisme penanganan pengaduan, unit layanan kesehatan perlu melibatkan tim yang terdiri dari staf puskesmas, perwakilan MSF atau Komite Kesehatan Kecamatan/ Badan Pertimbangan Kesehatan atau perwakilan PKK, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, kader kesehatan dan pemerhati kesehatan lainnya di wilayah Puskesmas. Keterlibatan perwakilan masyarakat ini penting sebagai bentuk ‘pengawasan publik’ terhadap Pengelolaan Pengaduan oleh unit layanan, serta untuk menjamin bahwa pengaduan dari masyarakat memang ditanggapi secara serius oleh pemberi layanan/puskesmas. Mekanisme pengelolaan pengaduan yang berfungsi baik dan bermanfaat bisa ditemukan di Kab. Melawi, Sekadau dan Bengkayang di Kalimantan Barat, dan di Kota Makassar dan Kab. Luwu Utara di Sulawesi Selatan. 6. Strategi Promosi Kesehatan Tujuan utama dari promosi kesehatan adalah meningkatan pemahaman masyarakat terhadap persalinan aman sehingga masyarakat terutama ibu mengetahui hak-haknya dan kewajibannya dalam pelayanan kehamilan, persalinan, nifas, ASI, dan aspek budaya yang kurang menguntungkan kesehatan masyarakat. Kegiatan promosi sering diterjemahkan oleh puskesmas dan dinas kesehatan kabupaten/kota sering dilakukan dengan pendekatan yang generic. Selain itu, promosi kesehatan selama ini hanya dilakukan oleh petugas kesehatan. Padahal, petugas kesehatan itu sendiri belum tentu memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan tidak dapat hadir dalam setiap kegiatan sosial masyarakat.. Sementara masyarakat (LSM, ulama, media, dan lainnya) dan lintas sector (Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama di daerah) memiliki potensi yang besar untuk mempengaruhi masyarakat terhadap perilaku atau persepsi yang kurang mendukung kesehatan pribadi dan masyarakat. USAID KINERJA membantu puskesmas dan dinas kesehatan merancang strategi promosi yang lebih inovatif dengan beberapa kriteria: 1. Anchor, cari momen yang mudah orang ingat. Misal, acara nikah (hari penting bagi pasangan), 2. Massa or massive, yaitu menciptakan gerakan banyak massa yang terlibat. Misal, festival atau gelar seni, face book, dan social media lainnya 11 / 16 3. Penyampai yang menarik dan menjadi anutan masyarakat, misal Ulama, pejabat daerah dan public figure lainnya. 4. Terus menerus (repetitive), promosi yang dapat dilihat, didengar dan dibaca setiap hari atau momen oleh masyarakat. Misal, Baliho yang komunikatif pada tempat-tempat strategis. 5. Singkat, padat, dan mudah diingat, yaitu suatu pesan (tulisan dan atau gambar) yang mudah dipahami dalam konsep awam tetapi gambar dan kalimat itu menjadi khas. Jika orang mengulang kalimat itu sudah menunjukkan kekhasan isu itu. Strategi promosi dapat dipilih dua pendekatan utama. Pertama promosi untuk tujuan informasi umum tetapi cakupannya luas dan khusus atau lebih detil tetapi cakupannya kecil. Strategi promosi umum biasanya pesan-pesan yang disampikan hanya sebagai informasi apa dan seperti apa mereka harus melakukan. Sedangkan indormasi khusus adalah lebih r Beberapa contoh strategi promosi umum yang melibatkan para pihak: 1. Tokoh agama, kuliah tujuh menit dimana ustad menyampaikan pesan-pesan persalinan aman dan ASI dalam ceramahnya di Kabupaten Bondowoso. 2. Perias pengantin, penjual jamu dan pedagang pasar, tukan ojek, dan para perias pengantin menjadi penyampai pesan-pesan kepada konsumennya terutama kepada ibu-ibu dan pasangan suami istri seperti di Kabupaten Probolinggo. 3. Pejabat daerah menjadi duta ASI dan duta Persalinan Aman seperti di Kabupaten Probolinggo dan Bondowoso. 4. Pembentukan kelompok masyarakat dengan nama Bapak Peduli ASI di Kota Makassar untuk melakukan advokasi dan mendukung ibu menyusui. 5. Kantor Urusan Agama menjadi mitra dalam peningkatan pemahaman calon pengantin terhadap informasi persalinan aman dan ASI seperti di Bener Meriah dan Sambas. 6. Pemasangan banner, spanduk, baliho dan laiinya dalam bahasa daerah yang ditempatkan pada area yang strategis. Hampir seluruh daerah menerapkan strategi ini. Beberapa contoh strategi promosi yang lebih detil tetapi cakupan sasarannya terbatas/individual adalah 1. 2. 3. 4. Konseling ketika ANC Talkshow dengan radio yang membahas satu isu secara mendalam. Kelas ibu hamil Leaflet dan buku saku Contoh program promosi kesehatan yang inovatif dan menarik bisa ditemukan di Kab. Probolinggo di Jawa Timur, Kab. Bener Meriah di Aceh, dan di Kota Makassar di Sulawesi Selatan. 7. Perencanaan Tingkat Puskesmas Seluruh intervensi di atas tidak akan berjalan dengan baik jika puskesmas tidak mencantumkan semua itu dalam perencanaan dan penganggaran puskesmas. Penganggaran yang sudah pasti diterima oleh puskesmas adalah Biaya Operasional Kesehatan (BOK). Banyak puskesmas melakukan perencanaan berdasarkan template yang diberikan oleh dinas kesehatan. Sehingga puskesmas tidak memiliki suatu kegiatan yang komprehensif terhadap suatu tujuan tertentu. USAID KINERJA mendorong puskesmas untuk melakukan perencanaan dan penganggaran yang melibatkan MSF dan fokus pada persalinan aman dan ASI. Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP) 12 / 16 sebagai fungsi manajemen pertama di Puskesmas memegang peranan yang sangat strategis bagi keberhasilan program kesehatan. PTP yang baik akan memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan petunjuk untuk menyelenggarakan upaya kesehatan secara efektif dan efisien 2. Memudahkan pengawasan dan pertanggungjawaban 3. Dapat diketahui hambatan, dukungan dan potensi yang ada dalam pelaksanaan program sehingga pelaksanaannya lebih mudah. Puskesmas dilatih dalam melakukan analisis situasi, penyusunan rencana usulan kegiatan, rencana pelaksanaan kegiatan, dan pengintegrasian perencanaan BOK. Semua kegiatan ini dilakukan dengan lebih partisipatid yaitu melibatkan unsur masyarakat, terutama pada fase assessment dan penyusunan alternatif kegiatan, agar rencana kegiatan yang dihasilkan lebih komprehensif dan sesuai dengan permasalahan lokal. Pelibatan unsur masyarakat dapat diwakili oleh MSF pada saat mini lokakarya berkala yang diselenggarakan oleh puskesmas. Demikian juga pada saat pelaksanaannya, masyarakat diharapkan dapat ikut memantau pelaksanaan kegiatan, terutama menyangkut alokasi dan realisasi penggunaan dana. Beberapa daerah sudah mempublikasikan rencana ini kepada masyarakat di dinding informasi puskesmas seperti Bener Meriah, Singkil. Simeulue, dan Aceh Tenggara. 8. Multistakeholders Forum (MSF) dan Jurnalisme Warga Multistakeholders forum (MSF) merupakan suatu forum yang mewakili masyarakat dan pemerintah dalam pengawasan, mediasi dan advokasi. Forum ini menjadi sangat efektif dalam meningkatkan pelayanan kesehatan di daerah. MSF menjadi bagian dari bentuk tatakelola dari sisi demand dimana secara reguler mengadakan pertemuan dan monitoring dari setiap pelayanan yang telah dijanjikan kepada masyarakat di tingkat kabupaten dan kecamatan/unit layanan. USAID KINERJA membantu daerah mengembangkan forum bagi daerah/puskesmas yang belum terbentuk forum dan merevitalisasi forum atau dewan atau badan pada daerah dan puskesmas yang sudah terbentuk. MSF bersama puskesmas mengadakan survey keluhan dan janji perbaikan layanan serta dorongan perbaikan pelayanan umumnya. Forum ini juga banyak berperan melakukan advokasi kepada pemerintah daerah seperti peningkatan puskesmas non rawatan menjadi rawatan di Aceh Tenggara, dan lainnya. Warga yang memiliki kemampuan dana hobi menulis dilatih dalam jurnalis agar mereka dapat menyuarakan dan menginformasikan hal-hal dalam pelayanan kesehatan publik terutama dalam bidang kesehatan ibu dan anak. Jurnalisme warga ini bertujuan mempercepat pemahaman masyarakat terhadap hak-haknya dan pemenuhan hak tersebut oleh pemerintah. Mereka menulis dan mengirimkan tulisannya kepada media mainstream, media sosial dan lainnya. Banyak hasil tulisan jurnalisme warga menjadi rujukan pemerintah daerah dalam perbaikan kebijakan program/pelayanan. Semua daerah USAID KINERJA memiliki jurnalisme warga yang telah dilatih dan menulis berbagai topik kesehatan ibu dan anak. Rekomendasi Berhubung intervensi USAID KINERJA rata-rata 3 puskesmas per kabupaten/kota maka dampak terhadap penurunan AKI pada tingkat kabupaten/kota belum dapat dilihat pengaruhnya. Namun 13 / 16 peningkatan cakupan-cakpan indikator yang sesuai dengan SPM sebagai proksi AKI dapat dilihat sebagaimana ditampilkan pada lampiran 1. Berdasarkan itu, USAID KINERJA merekomendasikan beberapa intervensi praktik baik di atas dapat menjadi kebijakan Kementerian Kesehatan dalam penguatan P4K. Kerangka konsep di bawah ini dapat menjelaskan secara ringkas tentang hubungan intervensi-intervensi USAID KINERJA dalam penguatan P4K dapat dilihat pada skema di bawah ini. Berdasarkan pengalaman USAID KINERJA dalam program Persalinan Aman, berikut ini beberapa rekomendasi dalam Penguatan P4K yaitu: I. Penguatan sisi suplai: 1. Penguatan Dinas Kesehatan dalam peningkatan tata kelola P4K, monitoring dan evaluasi. Dinas Kesehatan sebagai penanggung jawab utama pelayanan kesehatan dan penurunan kematian ibu maka dinas kesehatan harus memiliki kebijakan dan fokus penganggaran dalam upaya penurunan kematian ibu dari sektor non tehnis. Bentuk penguatan dinas kesehatan berupa pelatihan terhadap intervensi-intervensi yang menjadi penguatan P4K seperti tatakelola puskesmas, tatakelola program dan tatakelola layanan. Dinas kesehatan mampu melakukan pendampingan atau memahami intervensi ketika pelaksananya pihak ke tiga. Gambar Hubungan Suplai dan Demand pada Penguatan P4K Dinas kesehatan harus mampu melakukan monitoring dan evaluasi setiap intervensi. Dinas kesehatan perlu mendapatkan pelatihan monev. Pada pelatihan ini, dinas kesehatan menyusun instrumen untuk kegiatan monitoring dan evaluasi. Dinas kesehatan mengembangkan forum para pihak sebagai cikal bakal Badan Pertimbangan Kesehatan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Forum ini menjadi mitra dinas kesehatan dalam melakukan pengawasan dan advokasi. Setelah forum ini terbentuk, dinas kesehatan dapat menginisiasi peraturan 14 / 16 bupati/walikota yang berhubungan dengan P4K. Subtansi yang diatur meliputi jenis intervensi, peran forum berbagai pihak, dan sumber daya yang dibutuhkan. Tahap selanjutnya, dinas kesehatan mengalokasikan anggaran untuk program P4K dengan lebih spesifik sesuai dengan intervensi. Apabila pihak ketiga yang akan menyelenggarakan maka dana yang dibutuhkan per kabupaten untuk melaksanaka semua intervensi termasuk pembuatan peraturan bupati/walikota adalah Rp. 50-75 juta per puskesmas kecuali pengembangan peraturan bupati dan MSF kabupaten. 2. Penguatan tatakelola penyedia layanan/puskesmas Penguatan tatakeloa penyedia layanan/puskesmas merupakan kunci penting dalam penguatan P4K. Puskesmas merupakan kunci manajemen dalam pelayanan P4K dimana selama ini puskesmas kurang mendapatkan perhatian dalam hal manajemen organisasi, manajemen program dan manajemen layanan. Banyak kepala puskesmas kurang mendapatkan pelatihan yang memadai terhadap 3 manajemen ini dengan baik. Bahkan banyak puskesmas diisi oleh tenaga kesehatan yang kurang kompeten karena puskesmas menjadi unit struktural. Banyak dokter yang memiliki pengetahuan manajemen memadai tidak menjadi kepala puskesmas karena tidak memenuhi syarat struktural. Kepala puskesmas disarankan minimal pendidikan SKM dan sangat baik adalah master kesehatan masyarakat. Penguatan manajemen puskesmas di atas dapat menjawab hambatan dalam implementasi P4K. Penguatan manajemen puskesmas yang telah dilakukan oleh USAID KINERJA dapat menjadi solusi dari kondisi hambatan pada implementasi P4K sebagaimana disampaikan di atas. a. Penguatan manajemen organisasi puskesmas dalam perencanaan dan penganggaran yang partisipatif dan tranparan untuk merencanakan seluruh kegiatan yang berhubungan dengan P4K dan lainnya. Penguatan puskesmas dalam melakukan perencanaan dan penganggaran merupakan titik awal sebuah program dalam pelaksanaannya. Banyak program tidak memiliki rencana dan anggaran secara sistematis. Puskesmas lebih banyak bekerja bussiness as usual. Keterlibatan masyarakat (MSF) dalam perencanaan dan penganggaran memiliki dua keuntungan. Pertama, masyarakat dapat memberikan masukan terhadap kebutuhan ril dan strategi yang bisa ditempuh sehingga perencanaan menjadi milik bersama sehingga masyarakat mendukung setiap kegiatan. Kedua, keterbatasan puskesmas dalam mebiaayai kegiatan dapat digali dari masyarakat karena masyarakat memahami keterbatasan tersebut. Setiap perencanaan tersebut ditranparansikan akan mendorong puskesmas memenuhi sebagaimana mereka sampaikan. b. Penguatan manajemen program untuk dapat mengendalikan P4K melalui intervensi KBD, KP, dan promosi kesehatan yang lebih partisipatif, tranparan dan responsif. Puskesmas dilatih dan didampingi dalam melakukan program KBD. KBD yang sudah terbentuk perlu dilakukan kajian ulang sehingga perlu dikuatkan aspek mana saja sebagaimana inovasi USAID KINERJA. Hal yang sama dalam penguatan KP sebagai bentuk monitoring puskesmas terhadap kondisi ibuhamil di wilayah kerjanya agar lebih responsif terhadap komplikasi. Promosi kesehatan sebagai informasi dari hak dan kewajiban ibu hamil dan masyarakat agar dapat diselenggarakan dengan lebih partisipatif dan inovatif. c. Penguatan manajemen layanan yang lebih akuntabel dan responsif. 15 / 16 Puskesmas ditingkatkan kemampuannya dalam implementasi SOP dan pengelolaan keluhan yang lebih efektif. Puskesmas membuat SOP tehnis dan Informasi ini sangat berguna bagi pengguna layanan sehingga pengguna sendiri dapat mengontrol pelayanan yang mereka terima sudah sesuai dengan yang diinformasikan. Pada sisi lain, petugas pemberi layanan juga akan II. Penguatan sisi demand 1. Pembentukan MSF atau revitalisasi forum/dewan/badan yang ada. Peran serta masyarakat (partisipasi) masyarakat saat ini dalam bidang kesehatan lebih dominan sifatnya follower (pengikut) dari kegiatan puskesmas. Masyarakat kurang dibuka ruang berpartisipasi aktif sepreti turut merencanakan dan mengawasi dari pelaksanaan pelayanan yang menjadi kewajiban pemerintah/puskesmas. MSF ini sangat relevan dengan UU Kesehatan yang menyebutkan tentang Badan Pertimbangan Kesehatan. Yang paling krusial dalam pengembangan MSF adalah proses rekrutmen anggota agar anggota bisa aktif tanpa dikoordinasikan oleh pemerintah. Selain itu, puskesmas membuka ruang pertemuan rutin dengan MSF termasuk kepala desa untuk mendiskusikan perkembangan P4K menurut informasi Kantung Persalinan. Disinilah implementasi dari Gerakan Sayang Ibu lebih dioptimalkan. Puskesmas perlu menganggarkan biaya untuk pertemuan ini terutama paket meeting (snack) dan pengganti tranportasi bagi kepala desa yang tinggal jauh. 2. Jurnalisme Warga, Pemerintah masih merasa risih terhadap suara-suara sumbang yang disampaikan oleh masyarakat/LSM dan lainnya. Namun, jurnalisme warga berbeda dari sisi cara penyampaian pesannya. Mereka lebih faktual berdasarkan data sehingga tidak terkesan mengkritik tetapi menyampaikan informasi untuk perbaikan pelayanan/program pada masa mendatang. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melatih mereka dan memberi ruang mereka untuk menyampaikan hasil tulisannya. Pemerintah dapat menjadikan tulisan itu sebagai alat monitoring pelayanan kesehatan yang ada. 16 / 16