51 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 PERSEPSI GURU, KEPALA SEKOLAH, DAN WALI MURID TENTANG IMPLEMENTASI PENDIDIKAN SEKSUALITAS (Yahya Edi Ruswandi dan Sigit Purnama) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ABSTRACT YAHYA EDI RUSWANDI. Perceptions of Teachers, Principals, and Student Guardians on Implementation of Sexuality Education at Bugel Bagelen Purworejo State Elementary School. Thesis. Master Program Faculty of Science Tarbiyah and Teacher Training State University of Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017. The background of this research is the existence of sexual harassment case in Bugel Village, Bagelen Subdistrict, Purworejo District. The case is done by a person who works as uztad, against two children under age. Both victims are girls who are still attending primary school level. The first parent of the victim, in that case chooses to report to the authorities. However, different from the first case, the second victim's parents chose not to report the case to their child. Therefore, it is interesting to examine how the implementation and perception of teachers, principals, and parents of the implementation of sexuality education in primary schools. The purpose of the researcher is (1) To know the process of teacher, principal, and guardian in implementing sexuality education. (2) To know the perceptions of teachers, principals, and parents on the implementation of sexuality education. The approach used in this study is a qualitative approach, with a phenomenological research strategy, which examines directly to the field where the warmest phenomena are happening. The data collection methods used are observation, documentation, and interviews. Results: (1) Perceptions of teachers, principals, and parents on the implementation of sexuality education in schools, a) Informants approved the implementation of sexuality education. Because sexuality education is very important to be given in order to avoid sexual violence, b) Informants believe sexuality education can give children understanding about their body condition, understanding of the opposite sex, and understanding to avoid sexual violence and sexual deviation. (2) Implementation of sexuality education at Bugel Bagelen State Elementary School, a) To give understanding that human beings are different from physical aspect and teach difference between men and women, b) guide the development of students physically, mentally and spiritually, c) Inculcating moral norms, d) Teaching headscarf for women early on, teaching how to speak, and having noble character, e) Providing knowledge about menstruation and wet dreams, f) Providing social education and planting religious values. Keywords : Perception, Implementation, and Sexuality Education. 52 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 ABSTRAK YAHYA EDI RUSWANDI. Persepsi Guru, Kepala Sekolah, dan Wali Murid Tentang Implementasi Pendidikan Seksualitas di SD Negeri Bugel Bagelen Purworejo. Tesis. Program Magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017. Latar belakang penelitian ini adalah adanya kasus pelecehan seksual di Desa Bugel Kecamatan Bagelen Kabupaten Purworejo. Kasus tersebut dilakukan oleh oknum yang berprofesi sebagai uztad, terhadap dua anak usia dibawah umur. Kedua korban adalah siswi yang masih bersekolah pada tingkat sekolah dasar. Orang tua korban yang pertama, dalam kasus tersebut memilih untuk melaporkan pada pihak yang berwajib. Akan tetapi, berbeda dari kasus pertama, orang tua korban yang kedua memilih untuk tidak melaporkan kasus yang menimpa anaknya. Sebab itu, menarik untuk diteliti bagaimana implementasi dan persepsi dari para guru, kepala sekolah, dan wali murid terhadap penerapan pendidikan seksualitas di sekolah dasar. Tujuan peneliti adalah (1) Untuk mengetahui proses guru, kepala sekolah, dan wali murid dalam mengimplementasikan pendidikan seksualitas. (2) Untuk mengetahui persepsi guru, kepala sekolah, dan wali murid mengenai implementasi pendidikan seksualitas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dengan strategi penelitian fenomenologi, yaitu meneliti secara langsung ke lapangan tempat fenomena-fenomena terhangat yang sedang terjadi. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi, dokumentasi, dan wawancara. Hasil penelitian: (1) Persepsi guru, kepala sekolah, dan wali murid tentang implementasi pendidikan seksualitas di sekolah, a) Informan menyetujui diterapkannya pendidikan seksualitas. Karena pendidikan seksualitas sangat penting untuk diberikan agar terhindar dari kekerasan seksusal, b) Informan meyakini pendidikan seksualitas dapat memberikan pemahaman anak tentang kondisi tubuhnya, pemahaman akan lawan jenisnya, dan pemahaman untuk menghindarkan diri dari kekerasan seksual maupun penyimpangan seksual. (2) Implementasi pendidikan seksualitas di SD Negeri Bugel Bagelen, a) Memberikan pengertian bahwa manusia berbeda-beda dari segi fisik serta mengajarkan perbedaan antara laki-laki dan wanita, b) Membimbing perkembangan peserta didik secara fisik, mental, dan spiritual, c) Menanamkan norma-norma susila, d) Mengajarkan berjilbab untuk perempuan sejak dini, mengajarkan cara bertutur kata, dan berakhlak mulia, e) Memberikan pengetahuan tentang menstruasi dan mimpi basah, f) Memberikan pendidikan sosial dan penanaman nilai-nilai keagamaan. Kata Kunci : Persepsi, Implementasi, dan Pendidikan Seksualitas. 53 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 A. Pendahuluan Persepsi orang tua dan masyarakat cenderung mengabaikan kebutuhan untuk mendidik anak tentang seksualitas dengan cara yang benar.1 Munculnya perilaku seks bebas dikalangan remaja tidak terlepas dari berkembang pesatnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) akibat arus globalisasi dan westernisasi. Semakin majunya IPTEK, semakin mudah pula seseorang, tidak terkecuali remaja, dalam mengakses informasi, salah satunya adalah informasi mengenai seks. Akibatnya banyak remaja yang menjadi pelaku seks menyimpang, hubungan seks pra-nikah, maupun kejahatankejahatan seksual yang dilakukan oleh sesama remaja. Hal ini dikarenakan minimnya pemahaman mengenai seks yang benar dan kurangnya pendidikan moral, sehingga mereka mudah terbawa arus globalisasi. Permasalahan seksual masih dianggap tabu dikalangan masyarakat, dibicarakan di depan anak-anak, apalagi untuk mengajarkannya kepada anak-anak. Selain itu, anak-anak sekarang kritis dari segi pertanyaan dan tingkah laku. Itu semua karena pada masa ini, anak-anak memiliki rasa keingintahuan yang besar. Pendidikan seksualitas yang tidak diberikan di usia dini mengakibatkan tingginya kekerasan seksual maupun pelecehan seksual pada anak yang dilakukan orang-orang terdekat termasuk keluarga. Fenomena ini menunjukkan pentingnya pemahaman akan pendidikan seksual pada anak usia dini atau usia sekolah dasar. Anak usia remaja mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun psikis. Hal ini berakibat terjadinya peningkatan perhatian remaja terhadap kehidupan seksual selama periode pubertas. Secara fisik, kematangan organ-organ seksual, dan perubahan-perubahan hormonal mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual dalam diri remaja. Dorongan seksual ini sangat tinggi bahkan lebih tinggi dari dorongan seksual orang dewasa. Sebagai anak muda yang belum memiliki pengalaman tentang seksual, hasrat yang kuat ini menimbulkan ketegangan fisik dan psikis.2 Remaja saat ini dalam melepaskan ketegangan seksual tersebut, mencoba mengekspresikan dorongan seksualnya dalam berbagai bentuk tingkah laku seksual, mulai dari melakukan aktivitas berpacaran, berkencan, bercumbu, sampai dengan melakukuan kontak seksual. Dari sekian banyak tingkah laku seksual yang dilakukan remaja, salah satunya yang paling umum adalah masturbasi. Sejumlah data penelitian 1 2 Sri Esti Wuryani D, Pendidikan Seks Keluarga, (Jakarta: PT Macana Jaya Cemerlang, 2008), hlm. 1. Samsunuwiyata Mar’at, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 222. 54 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 menunjukan bahwa remaja mempunyai angka terbesar dalam melakukan aktivitas hubungan seksual. Fenomena ini jelas sangat mengkhawatirkan orang tua dan masyarakat. Meskipun seksualitas merupakan bagian normal dari perkembangan, namun perilaku seksual tersebut disertai resiko-resiko yang tidak hanya ditanggung oleh remaja itu sendiri, melainkan juag oleh orang tua dan masyarakat.3 Pendidikan seksualitas dapat diartikan dalam artian yang luas. Berbicara mengenai seks, maka yang terbersit dalam benak sebagian besar orang adalah hubungan seks/senggama. Padahal, seks artinya jenis kelamin yang membedakan pria dan wanita secara biologis. Kebanyakan orang menganggap tabu jika membicarakan tentang pendidikan seksualitas. Pendidikan seksualitas dianggap akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar masyarakat masih berpandangan stereotype dengan pendidikan seksualitas, seolah-olah sebagai suatu hal yang vulgar. Padahal, pendidikan seksualitas sangat penting untuk dikenalkan sedini mungkin, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan seksual. Cara penyampaian tentang pendidikan seksualitas juga harus disesuaikan dengan usia, jangan sampai mengecohkan pikiran mereka. Oleh karena itu, haruslah pandai-pandai dalam penyampaian mengenai pendidikan seksualitas. Hal tersebut dilakukan supaya mereka mudah dalam menerima dan memahami apa yang mereka pelajari. Sebelum mengajarkan mengenai pendidikan seksualitas kepada anak, seyogyanya terlebih dahulu mengetahui dan memahami tentang pendidikan seksualitas itu sendiri. Pendidikan seksualitas merupakan topik yang sangat menarik, terutama bagi kaum remaja dan dewasa. Sebenarnya, bukan hanya remaja dan dewasa yang perlu diberi pengetahuan mengenai pendidikan seksualitas, pendidikan seksualitas perlu diberikan sedini mungkin, bahkan sejak usia anak-anak. Kini marak terjadi kasuskasus pelecehan seksual pada anak dibawah umur, dunia prostitusi, seks bebas di kalangan remaja maupun dewasa, bahkan di kalangan anak-anak dibawah umur. Karena itu, pendidikan seksualitas sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan generasi muda supaya tetap waspada dan berada di jalan yang benar, bertindak sesuai nilai moral, agama, dan budaya yang berlaku. Sebagai penguat latar belakang masalah, penulis mencantumkan kasus pelecehan seksual yang terjadi beberapa tahun kebelakang. Kiranya masih relevan 3 Ibid., hlm. 223-224. 55 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 sebagai acuan penelitian ini, diantaranya adalah kasus pelecehan seksual seorang guru mengaji terhadap muridnya. Boneto (65) guru mengaji disalah satu desa di Kecamatan Bagelen dijatuhi vonis empat tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Purworejo. Kakek dengan beberapa cucu itu terbukti melakukan perbuatan cabul atas korbannya sebut saja Kuncup (10), muridnya mengaji yang masih tetangganya sendiri. Majelis yang diketuai Endi Nurindra Putra SH memutuskan terpidana membayar denda Rp. 60 juta subsider kurungan selama tiga bulan. "Kami menilai putusan itu yang paling adil untuk terpidana, silahkan pikir-pikir untuk menerima atau mengajukan banding," kata Endi.4 Menurutnya, hal yang memberatkan terdakwa adalah adanya unsur ancaman kekerasan dan bujuk rayu terhadap korban untuk berbuat cabul. Korban merupakan anak di bawah umur, dan perbuatan yang dilakukan terpidana membuat psikis Kuncup terganggu.5 Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa selama 10 tahun penjara. Jaksa menilai terdakwa melanggar Pasal 82 Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman minimal 3 tahun, maksimal 15 tahun penjara.6 Sementara itu, ayah korban, Yoyo (43) menilai, putusan itu tidak adil dan tidak setimpal dengan perbuatan terpidana. Tindak pencabulan itu menyebabkan Kuncup mengalami trauma dan minder jika bertemu orang lain. Masa depan anak saya bagaimana? pelaku cabul hanya dihukum empat tahun, itu sangat tidak adil dan seharusnya diputus lebih berat lagi tegasnya. Yoyo menceritakan, Boneto melakukan tindakan bejat itu sebanyak empat kali. Terpidana dengan sengaja menyentuh alat vital korban menggunakan jari disela pengajian yang diasuhnya sepanjang Januari-Juni 2012. "Pengakuan anak saya, terpidana melakukan sebanyak empat kali. Setelah ketahuan, ada ajakan damai, namun saya tolak dan melapor polisi pada Juli 2012," terangnya.7 Setelah ditelisik lebih jauh dalam proses prapenelitian yang ambil antara tanggal 7 dan 8 Januarai 2017, diketahui di dusun Sembir desa Bugel Kecamatan Bagelen,ditemukan tidak hanya satu korban yang menjadi korban bejat sang guru 4 Kedaulatan Rakyat, Empat Tahun Bui Bagi Guru Ngaji http://krjogja.com/read/158206/page/tentang_kami, diakses pada tanggal 4 Januari 2017. 5 Ibid., 6 Ibid., 7 Ibid., Cabul, dalam 56 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 mengaji tersebut. Dipaparkan oleh tetangga sekaligus kerabat dari sang korban bernama Santi. Bahwasanya perilaku bejat sang guru mengaji tidak hanya dilakukan terhadap kemenakannya. Melainkan terdapat korban lain sebut saja “Mawar” (13).8 Mawar merupakan kawan Kuncup dalam satu majelis mengaji pada setiap sore hari. Mawar adalah tentangga rumah Kuncup yang kala itu juga menjadi korban bejat guru mengaji. Mawar menjadi korban bejat sang guru sama sepertihalnya Kuncup, dimana sang guru memberikan tekanan dan ancaman jika tidak mau menuruti kemauan sang guru. Namun, berbeda halnya dengan kasus Kuncup, keluarga dari Mawar memilih untuk tidak melaporkan kasus yang menimpa anaknya. Peranan orangtua disini sangat berpengaruh terhadap perkembangan seksualitas, psikologi, sosial, dan pendidikan seorang anak. Dimana saat orang tua mampu memenuhi semua aspek-aspek tersebut. Dirasa tidak akan sampai menimbulkan suatu situasi yang tidak mengenakan seperti kasus pelecehan seksual tersebut. Akan tetapi, peran orangtua juga tidak bisa semata-mata dijadikan kambing hitam atas kejadian memalukan tersebut. Perlunnya peran masyarakat dalam mengawasi setiap tingkah laku warga masyarakat yang kurang baik, merupakan suatu bentuk pencegahan yang seharusnya disadari dan dilakukan bersama sebagai langkah preventif. Penerapan pendidikan sekualitas di SD Negeri Bugel tidak hanya sebatas materi pembelajaran PAI dalam setiap pertemuan tatap muka dengan guru agama. Untuk lebih menanamkan nilai-nilai Islami, di SD Negeri Bugel diadakan kegiatan ekstrakulikuler anak beriman dan berkepribadian untuk kelas 4, 5, dan 6 yang dilaksanakan setiap hari senin dan kamis disetiap minggunya. Berdasarkan pada tingkat pendidikan orang tua, keanekaragaman pandangan terhadap pendidikan seksualitas, dan kebutuan anak/peserta didik akan pedidikan seksualitas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengimplementasian pendidikan seksualitas usia sekolah dasar, serta bagaimana persepsi dari para guru, kepala sekolah, dan wali murid terkait penerapan pendidikan seksualitas usia sekolah dasar. Diharapkan nantinya dengan penelitian ini akan meminimalisir kekerasan seksual maupun pelecehan seksual yang dialami anak-anak, memberikan pengetahuan baru tentang pendidikan seksualitas, dan memberikan pencerahan serta pemahaman akan pentingnya penidikakan seksualitas. 8 Hasil wawancara prapenelitian dengan warga di Desa Bugel, diambil pada hari Sabtu tanggal 7 Januarai 2017. 57 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 B. Fokus Kajian 1. Bagaimanakah persepsi guru, kepala sekolah, dan wali murid mengenai implementasi pendidikan seksualitas usia sekolah dasar? 2. Bagaimanakah implementasi pendidikan seksualitas yang dilakukan oleh guru, kepala sekolah, dan wali murid terhadap peserta didik? 3. Mengapa pendidikan seksualitas perlu diterapkan pada sekolah dasar? C. Kajian Pustaka Penelitian-penelitian terkait pendidikan seksualitas sudah cukup banyak diterbitkan di Indonesia. Akan tetapi peneliti belum menemukan peneliitian yang lebih spesifik mengenai persepsi guru, kepala sekolah, dan wali murid terkait penerapan pendidikan seksualitas usia sekolah dasar. Peneltian yang dilakukan oleh peneliti ini nantinya akan merujuk pada persepsi para guru, kepala sekolah, dan wali murid mengenai penerapan pendidikan seksualitas di sekolah dasar. Berdasarkan tema penelitian, penulis mengambil beberapa tulisan yang didasarkan pada jurnal-jurnal ilmiah. Pertama, hasil penelitian yang dilakukan oleh Regina Lichteria Panjaitan, Dadan Djuanda, dan Nurdinah Hanifah, menyatakan bahwa dalam hasil penelitian terdapat persepsi guru mengenai pendidikan seks yang dianggap sebagai sesuatu hal yang tabu. Terdapat enam orang guru menyatakan bahwa pendidikan seks merupakan hal yang tabu dengan alasan di masyarakat pendidikan seks masih sangat sensitif, dan menganggap sebagian anak masih polos.9 Kedua, hasil penelitaian yang dilakukan oleh Soewadi, menyatakan ada hubungan antara usia dengan persepsi tentang pentingnya pendidikan seksremaja. Para lansia menyatakan bahwa pendidikan seks bagi remaja tidak penting. Hal ini ditunjukkan dengan para lansia masih menganggap tabu untuk membicarakan seksualitas pada remaja. Meskipun kecil proporsinya, sebagian responden setuju bahwa keperawanan tidak penting sebelum perkawinan. Hasil ini menunjukkan bahwa, betapapun kecil responden yang setuju telah menunjukkan adanya pergeseran norma agama dan sosial terkait keperawanan.10 Ketiga, hasil penelitian yang dilakukan oleh Siti Malikah Towaf, menyatakan bahwa pendidikan seksualitas dan pendidikan reproduksi yang ada di pesantren jauh 9 Regina Lichteria Panjaitan, dkk, ”Persepsi Guru Mengenai Sex Education di Sekolah Dasar Kelas VI”, Jurnal Mimbar Sekolah Dasar, Vol. 2, No. 2, 2015. 10 Soewadi, “Beda Persepsi antara Lansia dan Remaja Tentang Pentingnya Pendidikan Seks Bagi Remaja”, Jurnal Berkala Ilmu Kedokteran, Vol. 31, No. 1, 1999. 58 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 lebih normatif dari fiqh, ibadah, dan akhlak. Santri di pesantren adalah kelompok yang paling membutuhkan pendidikan seksualitas dan reproduksi. Berdasarkan pengamatan terhadap kehidupan sehari-hari santri dan kondisi pesantren, kelompok yang paling membutuhkan adalah santri dari pesantren salaf di daerah pedesaan yang dikarenakan tidak banyak program tambahan.Beberapa dari santri tidak pernah mendapatkan program tambahan dari mana saja yang berkaitan dengan pendidikan seksualitas dan reproduksi. Terobosan yang mampu memberikan solusi terkait masalah pendidikan seksual di pesantren yaitu, kerjasama antara pesantren dengan instansi-instansi sosial dan pemerintah dalam mengadakan paket program pendidikan seksualitas dan reproduksi. Misalnya, pihak pesantren membuka diri dan mencari dukungan dari para sponsor untuk mengadakan kelas tambahan terkait pendidikan seksualitas.11 Perbedaan-perbedaan penelitan diatas. Pertama, penelitian tersebut mengeksplorasi data-data yang diperoleh dari guru dan siswa dengan menggunakan metode deskriptif. Data yang terkumpul dari guru dan siswa kemudian dianalisis untuk memperoleh jawaban presepsi guru tentang pentingnya pendidikan seksualitas pada usia sekolah dasar kelas VI. Subjek penelitian tersebut adalah para guru dan siswa kelas VI. Instrumen yang digunakan dalam penelitian tersebut menggunakan angket dan wawancara. Kedua, penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui persepsi-persepsi antara lansia dengan remaja, adakah perbedaan yang signifikan diatara dua subjek tersebut, serta mengetahui adakah kaitan antara usia tua dan usia remaja dalam pandangan terkait pendidikan seksual. Subjek penelitian tersebut adalah para lansia dan remaja usia awal masuk perkuliahan. Metode penelitan menggunakan kuesioner terstruktur dengan desain studi survei cross-sectional dan analisis data chi-kuadrat. Ketiga, penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui kebutuhan mendesak terkait pendidikan seksual dan masalah gender yang merupakan paket pendidikan yang seharusnya diberikan pada santri di pondok pesantren. Subjek penelitian tersebut adalah para kyai, uztad, uztadzah, dan para santri. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Intrumen yang digunakan adalah angket dan wawancara. 11 Siti Malikah Towaf, “A Sexuality and Reproductive Educational Package Development With Gender Perspective and Religious Approach for Youngsters in Pesantren”, Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 14, No. 3, 2007. 59 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 Perbedaan penelitian ini dari ketiga penelitian diatas. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan menggunakan strategi penelitian fenomenologi yaitu jenis strategi penelitian dengan berusaha memahami subjek dari sudut pandang subjek itu sendiri. Sumber data dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dokumentasi, dan triangulasi data. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu menggambarkan data dengan kalimat untuk memperoleh keterangan yang jelas dan terperinci. Teknik analisis data diperoleh dengan cara merefleksikan hasil observasi data dalam penelitian. Dari penjabaran tersebut, dapat dikatakan penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan pennelitian yang terdahulu yaitu terletak pada arah penelitian. Arah penelitian ini difokuskan pada penelitian yang bertujuan meneliti subjek penelitian yang lebih luas. Tidak hanya sebatas meneliti persepsi guru dengan kepala sekolah dan wali murid, namun juga meneliti bagaimana penerapan yang dilakukan guru dan wali murid. Penelitian ini akan mengobservasi lingkungan sekolah, dan proses penyampaian pembelajaran didalam kelas. Dokumentasi yang diambil berupa foto saat proses pembelajaran berlangsungdan poster-poster terkait tata tertib serta tulisan-tulisan yang membangun pembiasan perilaku peserta didik, semisal poster/tulisan terkait tata cara kebersihan, poster sopan santun, dan menjaga lingkungan hidup. Wawancara akan dilakukan dengan pendekatan yang humanis dan tidak menyudutkan. Penelitian ini akan menguak seberapa penting pendidikan seksual usia sekolah dasar dari subjek yang diteliti, bagaimana pengimplementasiannya, dan penelitian ini ditujukan untuk menambah khazanah penelitian terkait pendidikan seksualitas. D. Kerangka Teoritik 1. Pengertian Persepsi Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya. Persepsi mengandung pengertian yang sangat luas, menyangkut intern dan ekstern. Berbagai ahli telah memberikan definisi yang beragam tentang persepsi, walaupun pada prinsipnya mengandung makna yang sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan langsung dari proses mengetahui sesuatu melalui panca inderanya. 60 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 Persepsi berkaitan dengan masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia. Melalui persepsi, manusia menyatukan hubungan melalui alat indera dengan lingkungannya. Persepsi seseorang berupa persepsi positif maupun persepsi negatif akan mempengaruhi tindakan yang tampak dari orang tersebut.12 Pendapat lain mengenai persepsi menurut Bimo Walgito. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya. Setiap individu akan memperoleh hasil pengamatan atau persepsi yang berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh cara pandang seseorang terhadap objek yang diamatinya seperti, pengalaman, wawasan, kebutuhan, kesenangan atau hobi, dan kebiasaan atau pola hidup sehari-hari.13 Setiap orang dalam memandang suatu permasalahan mempunyai persepsi yang berbeda-beda. Persepsi seseorang berkaitan dengan pengalaman, kemampuan, dan daya persepsi yang diterimanya. Persepsi merupakan bagian dari konsep diri manusia. Persepsi tidak akan lepas dari peristiwa, objek, dan lingkungan disekitarnya. Melalui persepsilah manusia memandang dunianya. Persepsi seringkali dinamakan dengan pendapat, sikap, dan penilaian. Persepsi diartikan sebagai suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu proses yang berujung ke pusat susunan syaraf yaitu otak hingga individu tersebut mengalami persepsi. Persepsi digunakan oleh individu untuk memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti. Persepsi adalah proses internal yang dilakukan untuk memilih, mengevaluasi, dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Persepsi tidak hanya bergantung kepada rangsangan fisik tetapi juga pada rangsangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan keadaan individu yang bersangkutan. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi a. Faktor internal : perasaan, sikap, kepribadian individu, prasangka, keinginan atau harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai, kebutuhan minat, dan motivasi. 12 Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), hlm. 13 Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), hlm. 53. 102. 61 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 b. Faktor eksternal : latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan, intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru, serta familiar atau ketidakasingan suatu objek. c. Ciri kepribadian : kepribadian akan mempengaruhi persepsi, misalnya dua orang yang bekerja di perusahaan yang sama akan menganggap/mempersepsi atasannya dengan persepsi yang berbeda. Bagi orang yang penakut dan pemalu, atasan itu dianggapnya tokoh yang menakutkan dan perlu dijauhi. Sebaliknya bagi orang yang pemberani dan yang selalu percaya diri akan menganggapnya seorang tokoh yang bisa diajak bergaul seperti orang biasa lainnya.14 d. Objek yang dipersepsi : objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. e. Perhatian : untuk menyadari atau dalam mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah utama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sekumpulan objek.15 3. Fungsi Persepsi a. Daya ingat : beberapa tanda visual seperti simbol, warna, dan bentuk yang diterapkan dalam penyampaian materi ajar mempermudah daya ingat seseorang mengenai materi tersebut. Dengan memiliki kekhususan yaitu memanfaatkan tanda-tanda visual, maka materi ajar menjadi lebih mudah dicerna dan mengendap dalam pikiran seseorang.16 b. Pembentukan konsep : persepsi dapat dikembangkan tidak hanya melalui tanda visual, tetapi dapat pula dibentuk melalui pengaturan kedalaman materi, spasi, pengaturan laju belajar, dan pengamatan. Kedalaman materi dapat diatur dengan cara memberikan contoh, respon terhadap jawaban yang salah, latihan, 14 Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 49-51. Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum…., hlm. 40. 16 Dewi Salma Prawiradilga dan Eveline Siregar, Mozaik Teknologi Pendidikan, (Yogyakarta: Kencana, 2007), hlm. 134. 15 62 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 ringkasan, atau model penerapan, hal-hal tersebut merupakan cara-cara untuk membentuk konsep. c. Pembentukan sikap : interaksi antara pengajar sebagai narasumber dan pembelajar merupakan kunci dari pembinaan sikap. Pengajar atau guru sebagai komunikator berperan besar terhadap seseorang. Dalam persepsi, baik pengajar maupun pembelajar memiliki persepsi masing-masing. Pengajar dapat membina sikap pembelajar jika ia berusaha untuk menjadi panutan (role model) bagi peserta didik. Makin akrab hubungan tersebut, maka semakin mudah bagi pengajar untuk mempengaruhi pembelajar. Dengan segala kemampuan inderanya, maka siswa berusaha untuk mempersepsikan segala gerak- gerik dan sikap pengajar.17 4. Pengertian Implementasi Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaan sudah dianggap sempurna. Implementasi bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tapi suatu kegiatan yang terencana untuk mencapai tujuan kegiatan. Implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan, untuk mencapainya memerlukan jaringan pelaksana birokrasi yang efektif. Implementasi merupakan suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam bentuk tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan, nilai, maupun sikap. Implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaan sudah dianggap selesai. Implementasi juga bisa berarti pelaksanaan yang berasal dari kata bahasa Inggris Implement yang berarti melaksanakan.18 5. Teori Implementasi dalam Pendidikan a. Tahap transformasi nilai Tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan pendidik dalam menginformasikan nilai-nilai yang baik dan kurang baik. Pada tahap ini terjadi komunikasi verbal. 17 18 hlm. 56. Ibid., hlm. 135. E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), 63 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 b. Tahap transaksi nilai Tahap transaksi ialah tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah (timbal-balik). Dalam tahap ini sangat penting menanamkan keyakinan, pengetahuan, sikap, dan pengalaman beragama yang menjadi dasar proses internalisasi c. Tahap transinternalisasi nilai. Tahap transinternalisasi ini lebih mendalam dari tahap transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi juga komunikasi mental dan komunikasi kepribadian.19 Proses pembelajaran itu sendiri menurut Jerome S Burner mempunyai tiga episode/tahap, yaitu: a. Tahap informasi (tahap penerimaan informasi) Peserta didik belajar memperoleh beberapa keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. Informasi ini ada baru, ada yang memperluas, dan menambah pengetahuan yang sebelumnya. b. Tahap transformasi (tahap pengubahan materi) Pada tahap ini, informasi yang telah diterima dianalisis, diubah atau ditransformasikan menjadi bentuk abstrak dan konseptual supaya kelak dapat dimanfaatkan dalam hal-hal yang lebih luas. c. Tahap evaluasi (tahap penilaian materi) Siswa menilai sendiri sampai sejauh mana informasi yang telah ditransformasikan dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau memecahkan masalah yang dihadapi.20 Menurut Mc Guire proses perubahan sikap dari tidak menerima menjadi menerima berlangsung melalui tiga tahap yaitu, pertama, adanya perhatian. Pendidikan harus dapat menarik perhatian peserta didik. Untuk menopang hal tersebut, guru harus merencanakan materi. Kedua, adanya pemahaman, guru harus bisa memberikan pemahaman tentang materi yang diberikannya dan lebih mudah jika dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Ketiga, adanya penerimaan, penerimaan siswa terhadap materi pendidikan yang diberikan. Penerimaan ini bisa tergantung dengan, kebutuhan dan nilai bagi kehidupan peserta didik. 19 20 Muhaimin, Strategi Belajar Mengajar, (Surabaya: Citra Media, 2006), hlm. 153. Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 98-99. 64 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 6. Pengertian Pendidikan Seksualitas Proses pendidikan berlangsung dalam suatu lingkungan. Lingkungan ini mencakup lingkungan fisik, sosial, dan intelektual.21 Proses pendidikan tidak cukup hanya dengan menanamkan kebutuhan intelektual, tetapi juga memerlukan nilai-nilai sosial dan moralitas. Dengan kata lain, proses pendidikan tidak cukup dengan membentuk kecerdasan intelektual peserta didik, tetapi juga harus dapat membentuk sikap moral yang baik pada peseta didik. Pengertian pendidikan secara umum adalah suatu proses penyiapan generasi muda secara komprehensif untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya.22 Adapun seksualitas menurut Marzuki Umar Sa’abah mencakup dua makna: a. Arti sempit : berarti meliputi alat kelamin, cirri-ciri badaniah yang membedakan laki-laki dan perempuan.23 b. Arti luas : mempunyai makna adanya tingkah laku, perbedaan atribut, perbedaan peranan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Sri Esti Wuryani, pendidikan seksualitas adalah pendidikan tingkah laku yang berhubungan dengan masalah-masalah seks.24 Pendidikan seks juga dapat diartikan sebagai semua cara pendidikan yang dapat membantu anak muda untuk menghadapi persoalan hidup yang berpusat pada naluri seks, yang kadang-kadang timbul dalam bentuk tertentu. Menurut Syekh Abdul Nasihih Ulwan dikutip oleh Yusuf Madani. Pendidikan seksualitas (seks) adalah pengajaran, penyadaran, dan penerangan kepada anak sejak ia memikirkan masalah-masalah seksual, hasrat, dan pernikahan.25 7. Tujuan Pendidikan Seksualitas Pendidikan seksualitas sebagai aktivitas, memiliki arah dan tujuan yang sudah direncanakan agar mampu tercapai dengan baik.26Arah dan tujuan tersebut 21 Nana, Sy. Sukamadinata dan Erlainy Syaodih, Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi, (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), hlm. 3. 22 Azyumardi Azra, Pendidikan Seks, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004), hlm. 3. 23 Marzuki Umar Sa’abah, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, (Yogyakarta: UII Press,2001), hlm. 245. 24 Sri Esti Wuryani D, Pendidikan Seks Keluarga, (Jakarta: PT Macana Jaya Cemerlang, 2008), hlm. 5. 25 Yusuf Madani, Pendidikan Seks Anak dalam Islam: Panduan Bagi Orang Tua, Ulama, Guru, Dan Kalangan Lainnya, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hlm. 91. 26 Moh. Rosyid, Pendidikan Seks: Mengubah Seks Abnormal…., hlm. 84. 65 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 dimaksudkan sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan seksualitas. Berikut ini adalah beberapa tujuan pendidikan seksualitas: a. Memberikan pemahaman dengan benar tentang materi pendidikan seksual diantaranya memahami organ reproduksi, identifikasi dewasa/baligh, kesehatan seksual, penyimpangan seks, kehamilan, persalinan, nifas, bersuci, dan perkawinan. b. Menepis pandangan miring khalayak umum tentang pendidikan seksualitas yang dianggap tabu, tidak Islami, seronok, non-etis, dan sebagainya. c. Mampu mengantisipasi dampak buruk akibat penyimpangan seksual. d. Menghasilkan generasi yang sehat.27 Tujuan pendidikan seksualitas menurut Voss seperti yang dikutip oleh Sri Esti Wuryani adalah: a. Memberikan informasi yang tepat, mengurangi mitos, dan konsepsi yang keliru mengenai seks. b. Menunjukan sikap toleransi dan membantu seseorang agar menerima orang lain dengan pandanggan serta tingkah laku yang berbeda. c. Membantu memecahkan masalah sosial, seperti hubungan seks sebelum nikah, hamil di luar nikah atau kehamilan yang tidak dikehendaki, penularan penyakit seksual, aborsi, dan keluarga berencana. d. Menciptakan komunikasi yang terbuka dan memudahkan hubungan antara orang-orang yang berjenis kelamin berbeda.28 Menurut Kir Kendel sebagaimana dikutip oleh Sarlito Wirawan Sarwono, tujuan pendidikan seksualitas adalah: a. Membentuk pengertian tentang perbedaan seks antara pria dan wanita dalam keluarga, pekerjaan, dan seluruh kehidupan, yang selalu berubah dan berbeda dalam setiap masyarakat serta kebudayaan. b. Membentuk pengertian tentang peranan seks didalam kehidupan manusia dan keluarga, hubungan antara seks dengan cinta, peranan seks dalam perkawinan dan sebagainya. c. Membentuk generasi muda yang mampu mengekang diri tanpa mengumbar nafsu seksual dan perilaku amoral. 27 28 Ibid., hlm. 85. Ibid., hlm. 5-6. 66 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 d. Membantu mengembangkan kepribadian sehingga mampu mengambil keputusan yang bertanggung jawab. Misalnya, memilih jodoh, hidup berkeluarga atau tidak, perceraiaan, kesusilaan dalam seks, dan sebagainya.29 8. Materi Pendidikan Seksualitas Materi pendidikan seksualitas yang diberikan kepada peserta didik dapat mencakup antara lain penciptaan manusia (proses terjadinya pembuahan), perkembangan laki-laki dan perempuan secara fisik maupun psikis, perilaku seksual, serta kesehatan seksual. Sedangkan informasi yang diberikan dapat mencakup masalah, reproduksi, proses kelahiran, program keluarga berencana, perilaku seksual menyimpang, dan kejahatan seks atau perlindungan hukum yang memang sebaiknya diketahui oleh peserta didik.30 Materi pembahasan mengenai seksualitas sangat banyak, dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Menurut Ayyub Syafrudin, materi pendidikan seksualitas yang dapat ditawarkan adalah: a. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan b. Mengenalkan mahramnya c. Mendidik agar selalu menjaga pandangan mata d. Mendidik agar tidak melakukan ikhtilam e. Mendidik agar tidak melakukan khalwat f. Mendidik agar tidak melakukan jabat tangan atau bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahramnya g. Mendidik etika berhias h. Mendidik cara berpakaian Islami i. Memisahkan tempat tidur j. Mengenalkan waktu-waktu berkunjung dan tata tertibnya k. Mendidik agar menjaga kelaminnya l. Khitan m. Khitlam n. Haid.31 29 Sarlito Wirawan Sarwono, Seksualitas dan Fertilitas Remaja,(Jakarta: CV rajawali, 1988), hlm. 118. Ibid., hlm. 22. 31 Ayub Syafrudin, Islam dan Pendidikan Seks Anak,(Solo:Pustaka Mantiq, 1994),hlm. 59-60. 30 67 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 Sedangkan materi pendidikan seksualitas menurut Abdullah Nasih Ulwan adalah dengan mengklasifikasikan usia anak antara lain: a. Usia 7-10 tahun, diajari sopan santun masuk rumah dan sopan santun memandang. b. Usia 10-14 tahun, dijauhkan dari hal-hal yang membangkitkan libido. c. Usia 14-16 tahun, anak diajari etika bergaul dengan lawan jenis. d. Setelah melewati usia remaja, anak diajari menahan diri apabila tidak mampu kawin (menikah).32 9. Nilai Pendidikan Seksualitas Pendidikan seksualitas seperti halnya pelajaran-pelajaran lain, berhubungan dengan transmisi informasi, mencari kontribusi pada perkembangan kemandirian, dan mencari cara mensosialisasikan kelebihan diri dalam masyarakat luas. Nilai pendidikan seksualitas berkaitan dengan hubungan manusia yang meliputi dimensi moral, kehidupan intim seseorang yang memberikan kontribusi bagi perkembangan, dan daya harmoni atau pemenuhan kebutuhan.33 Nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan seksualitas sangat luas. Karena di dalamnya akan menyangkut moralitas sosial yang menjadi tolok ukur sebuah kecakapan dalam masyarakat. Pedidikan seksualitas menjadi sebuah formulasi atau jawaban untuk memerangi berbagai macam persoalan penyimpangan seksual yang terjadi belakangan ini. Qur’an Surat An-Nur ayat 58-59, Allah SWT menjelaskan dasar-dasar pendidikan bagi keluarga yang mencakup adab anak kecil yang meminta izin ketika mereka hendak masuk ke dalam kamar orang tuanya. Pertama, tidak boleh masuk kamar orang tuanya sebelum masuk waktu shalat subuh. Karena saat itu orang tua masih terlelap tidur. Kedua, ketika orang tua menanggalkan pakaianya tengah hari atau sesudah shalat dzuhur. Ketiga, sesudah shalat isya’, waktu-waktu tersebut dilarang anak menerobos kamar orang tua karena dikhawatirkan mereka sedang bercampur.34 Pendidikan seksualitas Islami dibangun di atas asas Islam. Tidak hanya agar pendidikan seksualitas mampu menjaga manusia dari penyakit dan gangguan seksual saja, tapi lebih untuk menjaga moral umat dan membetuk umat yang 32 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Seks, (Bandung:Remaja Rosdakarya,1996),hlm. 1. Michael Reiss dan J Mark Heistead, Sex Education:Nilai dalam Pendidikan Seks Bagi Remaja, (Yogyakarta: Alenia Press, 2004), hlm. 3. 34 Heri Jauhari Mochtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 18. 33 68 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 berakhlak mulia. Pendidikan seksualitas juga mengandung nilai-nilai lain, seperti nilai sosial, budaya, dan kesehatan. 10. Lingkungan Pendidikan Seksualitas Pendidikan seksualitas atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Hal ini penting untuk mencegah penyimpangan seksual di kalangan remaja. Anak-anak tumbuh menjadi remaja dan mereka belum paham dengan seksualitas, sehingga dari ketidakfahaman tersebut para remaja merasa tidak bertanggung jawab dengan kesehatan anatomi reproduksinya. Lingkup pendidikan seksualitas sebagai berikut: a. Pendidikan seksualitas di lingkungan keluarga Penyampaian materi pendidikan seksualitas idealnya diberikan pertama kali oleh orang tua. Sayangnya di Indonesia tidak semua orang tua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual, sehingga anak seringkali mencari tau dengan caranya sendiri yang salah. Anak-anak sebagai calon generasi bangsa sudah sepatutnya mendapat pendidikan seksualitas yang tepat dan jelas. Terbangunya image bahwa seks identik dengan mesum dan norak merupakan kendala awal terhadap keberlangsungan pendidikan seksualitas, terutama pada masyarakat dengan SDM menengah ke bawah. Seks menjadi sebuah pemikiran yang tabu dan harus dihindari untuk dibahas.35 Keluarga dalam arti luas adalah semua pihak yang mempunyai hubungan darah atau keturunan yang bisa diperbandingkan dengan klan atau marga. Keluarga sebagai suatu sub-sistem sosial memerlukan adanya perhatian khusus terhadap pendekatan yang akan digunakan untuk mempelajarinya. Keluarga sebagaimana yang diketahui mempunyai tugas khusus yang dibebankan kepadanya, yaitu menanamkan dasar pengetahuan tentang seks yang benar pada anak-anak.36 Keluarga sebagai salah satu media sosialisasi mempunyai peran yang sangat urgen. Bahkan dalam Islam juga mencotohkan pendidikan seksualitas yang Islami dalam keluarga, seperti memisahkan tempat tidur anak dari orang 35 36 Nurul Chomaria, Pendidikan Seks Untuk Anak, (Solo: Aqwam, 2012), hlm. 13. Ibid., hlm. 14. 69 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 tua, memisahkan kamar tidur anak laki-laki dengan anak perempuan, mengenalkan dan menjelaskan alat kelamin anak, kewajiban menutup aurat bagi laki-laki maupun perempuan, menjelaskan batasan-batasan antara lakilaki dan perempuan menurut Islam dsb.37 Orang tua tidak seharusnya menganggap tabu terhadap pendidikan seksualitas. Namun yang harus dipahami oleh orang tua dalam memberikan pendidikan seksuaitas pada anaknya harus sesuai dengan umur, kemampuan berfikir, dan psikis anak. Beberapa tingkatan umur yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) Pendidikan seksualitas pada usia balita (0-5 tahun) Pendidikan seksualitas dalam fikih untuk usia balita tidak jauh dengan pendidikan lainnya, seperti aqidah dan akhlak. Pendidikan seksualitas pada balita merupakan sebuah proses pendidikan tentang masalah-masalah seks yang harus diketahui oleh anak sejak dini.38 Pada saat ini, yang diperlukan oleh anak adalah penanaman dan penguatan nilainilai agama. Masalah seksual yang diajarkan kepada anak pada usia ini sebatas pengenalan dan penguatan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan. Sehingga kelak saat dia dewasa, menjadi sadar dan mampu bertanggung jawab atas dirinya. Jenjang usia ini anak mulai mengembangkan diri untuk lebih mengetahui terhadap identitas dirinya dan lingkungannya. Kemudian setelah bertambah umur, sang anak akan lebih banyak bertanya tentang sesuatu yang ingin ia ketahui. Hal itu terwujud saat anak mulai dibiasakan memakai kerudung atau rok, agar setelah dewasa mampu terbiasa berpakaian yang menutup aurat. 2) Pendidikan seksualitas pada usia tamyiz (6-10 tahun) Usia tamyiz adalah masa yang sangat penting untuk mempersiapkan dan membiasakan anak menerima tugas-tugasnya. Usia ini, anak diajarkan untuk mulai mengetahui perbedaan yang ada antara laki-laki dan perempuan. Anak mulai diberi pemahaman tentang menstruasi dan mimpi basah. Sebelum menstruasi terjadi, pemberitahuan 37 38 Heri Jauhari Mochtar, Fikih Pendidikan...., hlm. 19. Nurul Chomaria, Pendidikan Seks untuk Anak, (Solo: Aqwam, 2012), hlm. 16. 70 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 lebih awal merupakan langkah preventif dan akan memberi efek positif pada anak.39 Perumus hukum Islam dan para ilmuwan sepakat tentang pentingnya mendidik anak tamyiz sebelum baligh, dengan memberikan dasar-dasar pengetahuan seksual beserta hukum fikihnya. Contohnya, orang tua sudah mulai memberikan pengetahuan tentang tanda-tanda baligh supaya anak-anak ketika kelak mengalaminya mampu menganggap semua itu sebagai hal yang wajar dan qodrati. 3) Pendidikan seksualitas pada usia remaja (10-20 tahun) Usia remaja merupakan masa peralihan atau transisi dari anak menuju masa dewasa. Karena itu, tidak ada alasan bagi orang tua untuk tidak mendiskusikan masalah seks kepada anaknya yang telah menginjak dewasa. Pada masa ini akan terjadi perkembangan fisik dan mental pada anak laki-laki maupun perempuan. Sehingga pendidikan seksualitas akan sangat penting untuk diajarkan.40 Pemerhati masalah remaja berpendapat bahwa penyebaran seks bebas salah satunya disebabkan karena minimnya pengetahuan remaja tentang seksualitas. Karena itu, perlu bagi remaja muslim untuk mengetahui permasalahan seputar seks secara benar dan penuh tanggung jawab sesuai dengan pandangan Agama. Konteks pendidikan seksualitas pada usia remaja tidak lagi seputar identifikasi laki-laki dan perempuan atau identifikasi baligh saja, namun lebih luas lagi, bahkan sampai pada masalah moral. Contohnya mulai memberikan pengetahuan tentang bahaya pergaulan bebas dan hubungan seks tanpa ikatan pernikahan yang sah. b. Pendidikan Seksualitas di Sekolah Sekolah menjadi sebuah tempat atau lingkungan formal untuk belajar. Sekolah menjadi salah satu komponen yang sangat urgen. Sekolah menjadi salah satu lingkungan tempat untuk mentransformasikan nilai dan pengetahuan. Maka keberadaan sekolah menjadi sebuah keharusan. Namun tidak hanya berdiri saja, tetapi sekolah harus mampu menciptakan generasi yang cerdas dan bermoral. 39 Yusuf Madani, Pendidikan Seks untuk Anaka dalam Islam: Panduan Bagi Orang Tua, Ulama, Guru, dan Kalangan Lainnya, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hlm. 66. 40 Istanti Surviani, Membimbing Anak Memahami Masalah Seks: Panduan Praktis untuk Orang Tua, (Bandung: Pustaka Ulumuddin, 2004), hlm. 20. 71 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 Pendidikan seksualitas sebagai salah satu alternatif dalam menanggulangi degradasi moral harusnya menjadi perhatian. Pendidikan seksualitas seharusnya tidak hanya menjadi wacana, namun secara substantif harus mampu diterapkan di dunia pendidikan, terutama pendidikan formal. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mempunyai peranan penting dalam pendidikan, karena pengaruhnya besar pada peserta didik. Sekolah mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan untuk pembentukan pribadi anak. Sebagai contoh, pendidikan seksualitas sudah diterapkan di Malaysia. Adapun materi yang diajarkan meliputi; pubertas, identitas dan orientasi seks, jati diri, keluarga dan pernikahan, kekerasan dan pelecehan seksual, HIV dan Aids, mansturbasi, alat kontrasepsi dan seks dalam konteks agama, serta hukum dan budaya.41 Contoh diatas menandakan bahwa pendidikan seksualitas menjadi sebuah elemen yang sangat penting dalam pendidikan, terutama di sekolah. Namun di Indonesia, pendidikan seksualitas belum masuk dalam sebuah kurikulum tersendiri. Hanya sifatnya terintegrasi dalam mata pelajaran, seperti dalam mata pelajaran pendidikan jasmani, rohani, dan kesehatan, serta mata pelajaran PAI atau fikih di madrasah. Pada mata pelajaran penjaskes terdapat materi tentang kesehatan reproduksi seperti HIV/Aids dan penyakit-penyakit kelamin, dalam PAI atau fikih terdapat materi haid, nifas, pernikahan, dan lainnya. 11. Perlunya Implementasi Pendidikan Seksualitas pada Sekolah Dasar Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat beberapa dekade ini, memberikan dampak yang beragam bagi masyarakat. Segala sesuatu dapat diakses dengan amat mudah dan cepat. Beragam informasi dengan berbagai bentuk dapat dicari dengan bebas dan tanpa filter yang menjamin. Dampak yang paling terasa dan nampak adalah bergesernya tugas perkembangan psikis anak dan remaja pada saat ini. Tugas perkembangan psikis mereka seakanakan mendapat stimulus yang begitu kuat, sehingga terjadi perkembangan psikis yang prematur, belum siap namun sudah dipaksa menerima berbagai produk globalisasi yang tersedia bebas di berbagai media. 41 hlm. 213. Moh. Rasyid, Pendidikan Seks: Mengubah Seks Abnormal Menuju Seks yang Lebih Bermoral….., 72 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 Menurut M. Roqib, penerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian rupa akan menciptakan manusia mesin dalam masyarakat modern. Manusia mesin yang dimaksud adalah manusia yang berkembang hanya berdasarkan Stimulus dan Respon, sebagaimana telah dicetuskan oleh ahli-ahli psikologi behaviorisme. Stimulus yang begitu mendera pada anak bahkan orang dewasa sekalipun di era globalisasi saat ini, siap tidak siap mereka harus memberikan respon terhadap stimulus-stimulus tersebut. Akibatnya dapat terbentuk budaya, sikap, dan perilaku yang cenderung tidak berbudaya.42 Bentuk keprematuran yang saat ini mudah terlihat adalah banyaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak, dengan beberapa kasus yang pelakunya adalah berasal dari anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa yang dinggap dekat. Kuatnya dorongan untuk merespon bahkan mampu merapuhkan benteng nilai dan norma yang telah dibentuk oleh keluarga dan masyarakat. Pondasi dan batasan yang dibentuk oleh lingkungan keluarga dan masyarakat-pun seolah-olah tak nampak oleh kalangan masyarakat mesin yang tidak berbudaya. Mengapa sampai terbentuk masyarakat mesin tersebut. Apakah mereka tidak pernah didik tentang nilai, moral, norma, dan karakter. Ataukah ada celah lain yang memang belum diperhatikan oleh para orangtua, guru, ustadz, dan alim ulama. Menurut M. Roqib, selain budaya masyarakat mesin yang berpola dengan sangat jenius terhadap perilaku manusia, pendidikan seks perlu diberikan sejak dini terkait dengan perkembangan psikis manusia itu sendiri. Pendidikan seks bisa jadi adalah salah satu celah yang terabaikan selama ini, yang menyebabkan prematurnya respon yang dihasilkan oleh masyarkat. Pertimbangan lain, pendidikan seks diberikan lebih awal disebabkan karakter dasar manusia dibentuk pada masa kanak-kanak. Ahli psikoanalisa telah membuktikan tentang pengaruh yang baik atau tidak baik pada tahun-tahun pertama terhadap pertumbuhan karakter dasar anak. Pendidikan yang salah dapat mempengaruhi perkembangan, dan berbagai bentuk penyimpangan seksual pada masa-masa berikutnya.43 42 M. Roqib, “Pendidikan Seks pada Anak Usia Dini”, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, Vol. 13, No. 2, 2008. 43 Ibid., 73 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 Posisi anak dalam keluarga yang amat penting tersebut membuat sejumlah tokoh membuat risalah, pesan khusus buat anak. Lukman al-Hakim melalui pesan edukatifnya diabadikan dalam Al-Qur’an dan menjadi rujukan bagi pembacanya. Imam Ghazali juga membuat risalah kecil, Ayyuha Al Walad, untuk anak-anak agar memiliki perhatian yang tinggi terhadap ilmu, moral, kerja positif, jiwa, dan spiritual. Jika anak adalah amanah maka mendidiknya dalam arti yang seluasluasnya juga amanah yang harus dilaksanakan oleh orangtua dan guru, termasuk pendidikan seks pada anak usia sekolah dasar. E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitain Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian lapangan atau field research. Penelitian lapangan dapat disebut pula penelitian kualitatif. Senada dengan hal tersebut, Lexy J. Moleong menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami apa yang dialami oleh subjek penelitian dengan cara mendeskripsikan dalam bentuk kata-kata. 2. Strategi Penelitian Strategi dapat didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek. Penelitian ini dilakukan untuk memahami makna peristiwa serta interaksi dalam situasi tertentu. Strategi fenomenologi (phenomenological approach) yang oleh Weber disebut verstehen yaitu strategi dengan berusaha memahami subjek dari sudut pandang subjek itu sendiri, dengan membuat tafsiran melalui skema konseptual sehingga ditemukan fakta dan penyebabnya. Strategi fenomenologi dalam penelitian ini dapat diterapkan dengan cara mengamati fenomena-fenomena subjek yang diamati melalui tindakan dan pemikirannya, guna memahami makna yang disusun oleh subjek disekitar kejadian sehari-hari. 3. Sumber Data a. Sumber data primer dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik pengambilan sampel yang berdasarkan asas tujuan untuk mengetahui persepsi dan pengimplementasian pendidikan seksualitas di sekolah dasar. Sumber pengambilan data yang peneliti lakukan ditujukan pada SD Negeri Bugel Bagelen. Untuk itu, peneliti melakukan wawancara yang dimulai dari kepala sekolah, guru agama, guru mapel, guru kelas, dan wali murid, dengan rincian: 74 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 1 kepala sekolah, 1 guru agama, 1 guru mata pelajaran penjasorkes, 2 guru kelas yakni wali kelas 5 dan 6, serta 4 wali murid. b. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah informasi yang dikumpulkan dari pihak lain, dalam hal ini bisa dalam bentuk karya ilmiah, buku-buku, RPP, artikel, internet, koran, tabloid, majalah, dan jurnal, yang relevan dalam penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Metode observasi adalah cara untuk memperoleh data-data dengan cara mengamati secara langsung sehingga dapat mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, kebiasaan, dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek.44 Dalam penelitian ini, hasil observasi yang akan diperoleh, seperti foto saat proses pembelajaran, foto penerapan pendidikan seksualitas, dan banner/poster-poster terkait penerapan pendidikan seksualitas usia sekolah dasar yang ada di SD Negeri Bugel Bagelen. b. Wawancara Wawancara dalam penelitian ini menggunakan in-depth interview atau wawancara mendalam kepada subjek penelitian. Dalam metode wawancara ini, peneliti menggunakannya untuk melakukan wawancara kepada kepala sekolah, guru, dan wali murid untuk mendapat informasi mengenai proses pembelajaran yang didalamnya termasuk materi, metode, faktor pendukung serta penghambat implementasi pendidikan seksualitas usia sekolah dasar, dan lain-lain. c. Dokumentasi Metode atau teknik ini adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip, termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil/hukum-hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penyelidikan, seperti data-data yang sudah ada dalam sekolah.45 Dalam metode ini, peneliti menggunakan metode dokumentasi untuk kepentingan perolehan data. Adapun hasil dari proses dokumentasi di 44 Ronny Kountor, Metode Penelitian untuk Penulisan Tesis dan Disertasi, (Jakarta: PPM, 2003), hlm. 53. 45 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 141. 75 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 SD Negeri Bugel Bagelen berupa foto-foto dalam proses pemebelajaran, RPP, dan poster-poster terkait pendidikan seksualitas yang dapat dilihat pada halaman lampiran-lampiran. d. Triangulasi Data Trianggulasi data dilakukan dengan cara membandingkan dan crosscheck berbagai macam data yang telah diperoleh baik data dari observasi, wawancara, maupun dokumentasi, sehingga didapat data yang valid dan mempermudah peneliti dalam menganalisis data. Triangulasi data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi observasi langsung dilapangan. Mekanisme pelaksanaan triangulasi tersebut dengan cara melakukan observasi terlebih dahulu terhadap proses pembelajaran di sekolah. Kemudian dilanjutkan dokumentasi dan wawancara mendalam pada kepala sekolah, guru, dan wali murid. Setelah diperoleh data berupa hasil pengamatan dikelas dan wawancara dengan informan. Selanjutnya akan dilaksanakan pengembangan terhadap hasil penelitian, yaitu membandingkan dari setiap jawaban para responden. Kemudian ditarik kesimpulan berupa pendeskripsian data penelitian. 5. Analisis Data Analisis data dilakukan untuk menguji hipotesis dari penelitian dan dari hasil analisis ditarik kesimpulan. Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu menggambarkan data dengan kalimat untuk memperoleh keterangan yang jelas dan terperinci. Teknik analisis data ini diperoleh dengan cara merefleksi hasil observasi data dalam penelitian, berupa hasil observasi, catatan lapangan, wawancara, dan dokumentasi. Adapun langkah-langkah dan teknik analisis data, secara umum peneliti mengadopsi Radjasa Mu’tasim, yaitu pertama, data dikumpulkan berdasarkan kerangka berpikir. Kedua, data diseleksi untuk menemukan data yang relevan dengan fokus masalah penelitian, Ketiga, data disusun secara sistematis supaya mudah dipahami oleh pembaca. Keempat, data diberi penjelasan (interpretasi) sesuai dengan konteks, yaitu dimaknai dengan tafsiran yang mengarah kepada tujuan penelitian. Kemudian untuk mendapatkan interpretasi dan kesimpulan yang proposional, diadakan cross-check (trianggulasi) antara data yang didapat melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Kemudian data-data 76 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 tersebut di susun secara sistematis dan diberikan penginterpretasian. Dengan proses terakhir ditarik kesimpulan secara menyeluruh.46 F. Hasil Penelitian 1. Persepsi Tentang Implementasi Pendidikan Seksualitas di SD Negeri Bugel Bagelen Proses wawancara langsung terhadap guru, kepala sekolah, dan wali murid dalam kaitannya dengan penerapan pendidikan seksualitas, dapat dijumpai persepsi atau pendapat yang sangatlah beragam. Hal ini dipengaruhi karena pendidikan seksualitas dapat dipahami dalam berbagai sudut, dalam arti kajian tentang pendidikan seksualitas memiliki arti yang multi tafsir. Wawancara yang peneliti lakukan terhadap responden, dapat di persempit makna pentingnya pendidikan seksualitas untuk usia sekolah dasar menurut para responden. Semisal dalam kasus pelecehan seksual, anak-anak tidak mendapat pendidikan seksual sejak dini, sementara orang yang mengincar anak ada di sekelilingnya. Ketika terjadi pelecehan seksual, anak yang tidak tahu, menganggap hal itu bukan masalah. Hal tersebut menunjukkan adanya pendapat bahwa perlu diadakannya pendidikan seksualitas sejak dini. Persepsi-persepsi yang terhimpun merupakan bentuk ekspresi dari para informan dalam menyikapi fenomena kekerasan seksual maupun pelecehan seksual yang belakangan ini marak terjadi. Proses terjadinya bermacam-macam persepsi dari para responden tersebut dikarenakan perbedaan tingkat pendidikan, wawasan, perbedaan latar belakang pendidikan, dan keadaan psikis. Selain itu, perbedaan pendapat tersebut juga dilatar belakangi upaya pencegahan agar pelecehan seksual yang pernah terjadi tidak terulang kembali. Pendidikan yang bermuara pada kebaikan pastinya akan mendapatkan prosentase persetujuan yang tinggi. Begitu pula dengan pendidikan seksualitas yang bertujuan memberikan pemahaman seksualitas sebagai bagian dari kehidupan yang syarat akan esensi dan norma-norma. Sejalan dengan hal tersebut, para informan yang menjadi subjek penelitian, mayoritas memberikan pendapat bahwa mereka setuju diterapkannya pendidikan seksualitas semenjak usia sekolah dasar. 46 Radjasa Mu’tasim, Metode Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner, Cet. Ke-1 (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 219-223. 77 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 2. Implementasi Pendidikan Seksualitas di SD Negeri Bugel Bagelen Wawancara dan observasi yang telah dilakukan dengan informan, memberikan gambaran secara garis besar bahwa metode yang dipergunakan keluarga maupun sekolah dalam menerapkan pendidikan seksualitas adalah metode nasehat, teladan, dan metode ceramah. Adapun pendekatan yang digunakan dalam mensukseskan metode tersebut adalah dengan pendekatan reward dan punishment (ganjaran dan hukuman), serta pendekatan kontekstual, yaitu menjelaskan pesan yang terkandung dari media yang dilihat dan didengarkan. Metode yang digunakan dalam pendidikan seksualitas di SD Negeri Bugel Bagelen lebih cenderung mengarah pada metode keteladanan. Karena metode keteladan merupakan metode yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk moral, spiritual, dan sosial peserta didik. Keteladanan terdapat dua macam, yaitu: (1) sengaja berbuat secara sadar untuk ditiru peserta didik; dan (2) berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang akan ditanamkan pada anak sehingga tapa sengaja menjadi teladan bagi peserta didik. SD Negeri Bugel Bagelen juga menerapkan metode pembiasaan untuk memberikan mental tanggung jawab, baik pada diri peserta didik maupun pada keluarga, dan lingkungan masyarakat. Pembiasaan adalah upaya praktis dalam pembinaan dan pembentukkan peribadi peserta didik. Hasil pembiasaan yang dilakukan oleh guru dan orangtua adalah terciptanya suatu kebiasaan bagi peserta didik. Dalam kehidupan sehari-hari, pembiasaan merupakan hal sangat penting. Misalnya pembiasaan dalam melakukan pekerjaan di rumah dengan tanggung jawab yang jelas dan konsekuensi resiko yang harus ditanggung bila dilewatkan, pembiasaan masuk dan keluar rumah dengan ijin, pembatasan jam, pembiasaan menonton acara televisi dan menambah wawasan, bahkan pembiasaan dalam hal ritual ibadah. 3. Mengapa Pendidikan Seksualitas perlu diterapkan pada Sekolah Dasar Proses penerapan/menyampaikan pendidikan seksualitas pada anak tidak bisa secara instan namun memerlukan waktu yang lama dan berkesinambungan. Orang tua maupun guru di sekolah harus sabar dalam memerankan tugas ini, sehingga anak dapat mengerti dan memahami apa yang disampaikan padanya. Dengan bahasa yang mudah dipahami dan dengan pendekatan pribadi, orang tua maupun guru dapat menyampaikan hal-hal prinsip berkaitan dengan seks yang 78 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 harus diketahui anak. Disinilah kepiawaian orang tua dan guru dalam melaksanakan pendidikan seks pada anaknya dalam keluarga dan sekolah. Keluarga sebagai unit terkecil dan pertama, maka harus dapat memenuhi kebutuhan anaknya termasuk dalam hal pendidikan seksualitas. Karena itu, paradigma yang menyatakan bahwa pendidikan seksualitas pada anak usia dini merupakan suatu hal yang tabu hendaknya segera dihapus dalam pikiran setiap orang tua. Dengan demikian orang tua akan dapat melaksanakan tugas ini dengan baik dan benar tanpa terbebani. Berdasrkan pada hasil wawancara terhadap para informan, mereka beranggapan bahwa pendidikan seksualitas harus diberikan lebih awal yang disebabkan karakter dasar manusia dibentuk pada masa kanak-kanak. Selain itu, pendidikan seksualitas yang tidak benar memiliki pengaruh yang baik atau tidak baik pada tahun-tahun pertama terhadap pertumbuhan karakter dasar anak. Pendidikan seksualitas yang salah dapat mempengaruhi perkembangan dalam berbagai bentuk penyimpangan seksual pada masa-masa berikutnya. Pendidikan seksualitas pada anak usia dini dimungkinkan dapat meluruskan pemahaman dan perilaku seks anak-anak sehingga bisa lebih positif. Persepi-persepsi yang terhimpun dari para informan merupakan bentuk apresiasi sekaligus dukungan diterapkannya pendidikan seksualitas, baik dilingkungan keluarga maupun sekolah. Karena menurut para informan, pendidikan seksualitas dapat mempengaruhi anak untuk berbuat kebaikan dan menghindarkan dari tindak kejahatan yang dapat dilakukan orang tak dikenal maupun teman sebaya. Selain itu sebagai sarana proteksi diri bagi para peserta didik ketika tidak dalam pengawasan orang tua mapun bapak ibu guru dimanapun ia berada. G. Penutup Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Penyusun menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kata sempurna, meskipun telah dilaksanakan dengan semaksimal mungkin. Karena itu penyusun mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan saran-saran konstruktifnya. Semoga tesis ini dapat mendatangkan manfaat bagi penyusun dan para pembaca pada umumnya. 79 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi, Pendidikan Seks, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004. Chomaria, Nurul, Pendidikan Seks Untuk Anak, Solo: Aqwam, 2012. Hasil wawancara prapenelitian dengan warga di Desa Bugel, diambil pada hari Sabtu tanggal 7 Januarai 2017. Kountor, Ronny, Metode Penelitian untuk Penulisan Tesis dan Disertasi, Jakarta: PPM, 2003. Madani, Yusuf, Pendidikan Seks Anak dalam Islam: Panduan untuk Orang Tua, Guru, Ulama, dan Kalangan lainnya, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003. Mar’at, Samsunuwiyata, Psikologi Perkembangan, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2008. Mochtar, Heri Jauhari, Fikih Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008. Mu’tasim, Radjasa, Metode Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner, Cet. Ke-1, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006. Muhaimin, Strategi Belajar Mengajar, Surabaya: Citra Media, 2006. Mulyasa, E, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2013. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007. Panjaitan, Regina Lichteriadkk, ”Persepsi Guru Mengenai Sex Education di Sekolah Dasar Kelas VI”, Jurnal Mimbar Sekolah Dasar, Vol. 2, No. 2, 2015. Prawiradilga, Dewi Salma dan Yogyakarta: Kencana, 2007. Eveline Siregar, Mozaik Teknologi Pendidikan, Rakyat, Kedaulatan, Empat Tahun Bui bagi Guru Ngaji Cabul, dalam http://krjogja.com/read/158206/page/tentang_kami, diakses pada tanggal 4 Januari 2017. Reiss, Michael dan J Mark Heistead, Sex Education: Nilai dalam Pendidikan Seks Bagi Remaja, Yogyakarta: Alenia Press, 2004. Roqib, M, “Pendidikan Seks pada Anak Usia Dini”, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, Vol. 13, No. 2, 2008. Rosyid, Moh, Pendidikan Seks: Mengubah Seks Abnormal Menuju Seks yang Lebih Bermoral, Semarang: Syiar Media, 2007. 80 Dinamika : Vol. II, No. 2, Juli - Desember 2017 Sa’abah, Marzuki Umar, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001. Sarwono, Sarlito Wirawan, Seksualitas dan Fertilitas Remaja, Jakarta: CV Rajawali, 1988. Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995. Soewadi, “Beda Persepsi Antara Lansia dan Remaja Tentang Pentingnya Pendidikan Seks Bagi Remaja”, Jurnal Berkala Ilmu Kedokteran, Vol. 31, No. 1, 1999. Sukamadinata, Nana Sy. dan Erlainy Syaodih, Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi, Bandung: PT Refika Aditama, 2012. Surviani, Istanti, Membimbing Anak Memahami Masalah Seks: Panduan Praktis untuk Orang Tua, Bandung: Pustaka Ulumuddin, 2004. Syafrudin, Ayub, Islam dan Pendidikan Seks Anak,Solo: Pustaka Mantiq,1994. Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Towaf, Siti Malikah, “A Sexuality and Reproductive Educational Package Development With Gender Perspective and Religious Approach for Youngsters in Pesantren”, Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 14, No. 3, 2007. Ulwan, Abdullah Nasih, Pendidikan Seks, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996. Walgito, Bimo, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta: Andi Offset, 2004. Wuryani, Sri Esti, Pendidikan Seks Keluarga, Jakarta: PT Macana Jaya Cemerlang, 2008.