universitas indonesia discharge planning pada pasien dengan

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
DISCHARGE PLANNING PADA PASIEN
DENGAN NEFROLITIASIS SEBAGAI UPAYA
PENCEGAHAN TERJADINYA NEFROLITIASIS BERULANG
KARYA ILMIAN AKHIR
RAGIL APRILIA ASTUTI
0906629593
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI NERS
DEPOK
JULI 2014
i
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
DISCHARGE PLANNING PADA PASIEN
DENGAN NEFROLITIASIS SEBAGAI UPAYA
PENCEGAHAN TERJADINYA NEFROLITIASIS BERULANG
KARYA ILMIAH AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar ners keperawatan
RAGIL APRILIA ASTUTI
0906629593
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI NERS
DEPOK
JULI 2014
ii
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya ilmiah akhir ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Ragil Aprilia Astuti
NPM
: 0906629593
Tanda Tangan
: ...............................
Tanggal
: 11 Juli 2014
iii
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Ilmiah Akhir ini diajukan oleh :
Nama
: Ragil Aprilia Astuti
NPM
: 0906629593
Program Studi
: Profesi Ners
Judul Riset
: Discharge Planning
Nefrolitiasis
sebagai
Nefrolitiasis Berulang
pada Pasien dengan
Upaya
Pencegahan
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners
pada Program Studi Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas
Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
: Tuti Nuraini, S. Kep., M. Biomed (
)
Penguji
: Ns. Yeane Anastasi, S.Kep
)
(
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal
: 11 Juli 2014
iv
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Penulisan karya
ilmiah akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan mendapatkan
gelar ners. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan karya ilmiah akhir ini,
sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Oleh karena
itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
(1)
Ibu Tuti Nuraini, S.Kp., M. Biomed selaku dosen pembimbing Fakultas
Ilmu Keperawatan UI yang telah memberikan bimbingannya dalam
penyusunan karya ilmiah akhir.
(2)
Ibu Yeane dan Ibu Dewi selaku pembimbing klinik yang telah
memberikan bantuan dan bimbingannya selama praktik di RSUPN Dr.
Cinto Mangunkusumo Jakarta.
(3)
Ibu Junaiti Sahar, PhD selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan UI,
yang telah memberikan izin bagi pelaksanaan karya ilmiah akhir ini.
(4)
Para dosen di lingkungan FIK UI yang telah memberikan banyak ilmu
kepada saya sehingga dapat menunjang pembuatan karya ilmiah akhir
ini.
(5)
Ibu dan Bapak di rumah. Terima kasih untuk dukungan kalian selama
ini. Meski bukan materi yang kalian berikan. Lebih dari itu, kalian
mengajari anakmu untuk hidup di kota dengan tetap semangat dan doa
yang tiap malam selalu kalian panjatkan meski pada saat itu anakmu
sedang lelapnya tertidur. Terima kasih Ibu dan Bapakku tersayang.
Semoga sayang-Nya mengalir untukmu.
(6)
Rahmat Yulianto, S.T., Quality Assurance PT Showa Indonesia Mfc.
“Skripsine sampun dugi pundi???” Pertanyaan yang sering Mas
sampaikan ke Lia,, hee. Kali ini sudah selesai, Insyaalloh. Terima kasih
sudah memberikan waktunya untuk selalu menyemangati.
v
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
(7)
Kakak-kakakku yang perhatian. Kalau bukan karena kalian yang telah
lebih dahulu memberikan teladan untuk adikmu ini, adikmu mungkin
kan sering mengeluh dalam menyelesaikan karya ilmiah akhir ini.
(8)
Teman-teman satu kelompok: Fatma, Dini, Lulu, Ijah, Bang John, Ka
Ari, dan Bu Endang. Terima kasih sekali untuk penyemangatan yang
kalian berikan dan masukan-masukan untuk karya ilmiah akhir ini,
sehingga kita dapat menyelesaikannya sama-sama. Alhamdulillah ☺
Terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan
karya ilmiah akhir ini. Pada akhirnya bantuan-bantuan kalianlah juga yang
membuat proses ini menjadi lebih cepat.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga karya ilmiah akhir ini dapat
membawa manfaat baik untuk pelayanan kesehatan, pendidikan, maupun
perkembangan ilmu dan penelitian lainnya. Aamiin
Depok, 10 Juli 2014
Peneliti
vi
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama
: Ragil Aprilia Astuti
NPM
: 0906629593
Program Studi : Profesi Ners
Fakultas
: Ilmu Keperawatan
Jenis karya
: Karya Ilmiah Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Discharge Planning pada Pasien dengan Nefrolitiasis sebagai Upaya
Pencegahan Nefrolitiasis Berulang
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasi tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilih Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 11 Juli 2014
Yang menyatakan
Ragil Aprilia Astuti
vii
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
ABSTRAK
Nama
Program Studi
Judul Skripsi
: Ragil Aprilia Astuti
: Profesi Ners
: Discharge Planning pada Pasien dengan Nefrolitiasis sebagai
Upaya Pencegahan Nefrolitiasis Berulang
Batu ginjal merupakan salah satu masalah kesehatan yang terjadi di daerah
perkotaan. Pasien yang sudah pernah mengalami batu ginjal memiliki risiko
kekambuhan batu ginjal sekitar lima puluh persen pada lima tahun pertama dan
tujuh puluh persen pada sepuluh tahun berikutnya. Tingginya angka kekambuhan
tersebut dapat dicegah sejak dini yakni melalui discharge planning. Tujuan
penulisan ini adalah untuk melakukan analisis evidence based mengenai
discharge planning terutama mengenai terapi diet dalam upaya pencegahan batu
ginjal berulang. Hasilnyanya pasien memiliki peningkatan kognitif dan juga
psikomotor yang baik dalam upaya pencegahan batu ginjal berulang.
Rekomendasi kepada pasien dengan batu ginjal untuk memberikan discharge
planning sejak pasien dirawat.
Kata kunci: batu ginjal, discharge planning, keperawatan kesehatan masyarakat
perkotaan.
viii
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
ABSTRACT
Name
Study Program
Title
: Ragil Aprilia Astuti
: Ners
: Discharge planning in the patient with nephrolithiasis for
preventing recurrent nephrolithiasis.
Nephrolithiasis is one of the problems in urban health nursing. Patient with
nephrolithiasis have a risk recurrent nephrolithiasis about fifty percent in five year
and seventy percent in ten year. It can be prevent early by using discharge
planning. This article has purpose to analysis evidence based about discharge
planning to prevent recurrent nephrolithiasis. The result of discharge planning
showed that this can increase patient’s cognitive and good pshycomotor for
preventing recurrent nephrolithiasis. Recommendation for next writer is using
discharge planning take care patient since first day they are in hospital.
Keywords: discharge planning, nephrolithiasis, urban health nursing.
ix
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
ABSTRAK
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan Penelitian
1.3. Manfaat Penelitian
ii
iii
iv
v
vii
viii
x
xii
xiii
1
1
3
4
BAB II. TINJAUAN LITERATUR
2.1. Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
2.2. Konsep Umum Batu Ginjal
2.2.1. Pengertian Batu Ginjal
2.2.2. Patofisiologi Batu Ginjal
2.2.3. Faktor Risiko Batu Ginjal
2.2.4. Manifestasi Klinis Batu Ginjal
2.2.5. Pemeriksaan Diagnostik Batu Ginjal
2.2.6. Penatalaksanaan Batu Ginjal
2.2.7. Pencegahan Batu Ginjal
2.2.8. Asuhan Keperawatan pada Pasien Batu Ginjal
2.3. Discharge Planning
2.2.1. Pengertian Discharge Planning
2.2.2. Tujuan Discharge Planning
2.2.3. Penatalaksanaan Discharge Planning
5
5
6
6
6
8
11
12
13
14
18
19
19
20
20
BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
3.1. Pengkajian
3.1.1. Identitas Pasien
3.1.2. Anamnesis
3.1.3. Pemeriksaan Penunjang
3.2. Analisis Data
3.3. Rencana Asuhan Keperawatan dan Implemantasi
3.4. Evaluasi Keperawatan
22
22
22
22
27
28
29
33
BAB IV ANALISIS SITUASI
36
4.1. Analisis Masalah Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
(PKKMP)
36
4.2. Analisis Kasus
37
x
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
4.3. Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan
Penelitian terkait
4.4. Alternatif Pemecahan Masalah yang Dapat Dilakukan
43
45
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
47
47
48
DAFTAR PUSTAKA
49
xi
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Analisis Data
Rencana Asuhan Keperawatan Pre-Operatif
Rencana Asuhan Keperawatan Post-Operatif
Catatan Perkembangan Keperawatan
Rencana Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan 1
Rencana Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan 2
28
53
55
61
69
70
xii
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
1 Rencana Asuhan Keperawatan Pre-Operatif
2 Rencana Asuhan Keperawatan Post-Operatif
3 Catatan Perkembangan Keperawatan
4 Rencana Satuan Acara Pembelajaran
5 Biodata Penulis
xiii
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Batu saluran kemih termasuk juga batu ginjal merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat perkotaan. Batu saluran kemih termasuk dalam tiga
kategori masalah di bidang urologi yang banyak terjadi di Indonesia selain
infeksi saluran kemih dan benign prostatic hyperplasia (Bahdarsyam, 2003).
Batu ginjal merupakan proses terbentuknya batu yang disebabkan oleh
pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih yang jumlahnya
berlebihan atau karena faktor lain yang mempengaruhi daya larut substansi
(Lina, Suharyono, & Rifki, 2007). Batu ginjal terbentuk melalui proses
supersaturasi dengan keterlibatan beberapa material seperti kalsium, oksalat,
fosfor, asam urat dan lain-lain (Chang & Doug, 2006). Sekitar delapan puluh
persen batu ginjal yang terjadi di beberapa negara maupun di Indonesia
adalah batu kalsium oksalat (Sudoyo, Bambang, Idrus, Marcellus, & Siti,
2009).
Batu ginjal lebih banyak terjadi pada laki-laki, yakni tiga sampai empat kali
lebih banyak daripada perempuan (Menon, Resnik, Martin, 2002: Sudoyo
dkk., 2009). Hal ini dikarenakan kadar kalsium dan oksalat air kemih sebagai
bahan pembentuk batu pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Dalam penelitian Fan (Colorado, 1999) disebutkan keterkaitan hormon sex
dalam peningkatan kejadian batu kalsium oksalat. Penelitian ini menyebutkan
bahwa androgen akan meningkatkan konsentrasi oksalat plasma dan endapan
kristal kalsium plasma, sedangkan estrogen cenderung menurunkan ekskresi
oksalat. Batu saluran kemih lebih banyak terjadi pada orang dewasa yakni
umur 30 sampai 60 tahun dengan rerata 42,2 tahun.
Beberapa faktor resiko yang dapat menimbulkan terbentuknya batu ginjal
meliputi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor Intrinsik adalah faktor
yang berasal dari dalam individu sendiri seperti herediter/keturunan, umur,
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
2
jenis kelamin. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar individu
seperti kondisi geografis daerah, faktor lingkungan, jumlah air minum, diet,
lama duduk saat bekerja, olah raga, obesitas, kebiasaan menahan buang air
kemih dan konsumsi vitamin C dosis tinggi (Rifki, 2007; Stoler, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian Lina, Suharyo, & Rifki (2007) didapatkan hasil
bahwa orang yang saat bekerja lebih banyak duduk, menahan buang air kecil,
minum sedikit (kurang dari 2000 ml per hari), dan diet tinggi protein
meningkatkan resiko terjadi batu ginjal
Angka kejadian batu ginjal di beberapa negara seperti Amerika Serikat
sebesar 0,1 – 0,3 % per tahun; di Eropa Utara 3 – 6 %; di Eropa Selatan
sebesar 6 – 9 %; di Jepang 7% dan di Taiwan 9,8 %. Sedangkan di Indonesia
masih belum diketahui pasti, diperkirakan kejadian batu ginjal dan batu
saluran kemih sebesar 170.000 kasus per tahun (Clas, 1990; Rifki, 2007;
Syabani, 2001). Menurut Ikatan Ahli Urologi Indonesis, Di RSCM Jakarta
pada tahun 2002 terjadi 847 kasus dan akan meningkat setiap tahunnya
(Krisna, 2012). Data dari rekam medis RS Dr. Kariadi diketahui bahwa kasus
batu saluran kemih menunjukan peningkatan dari 32,8% dari kasus urologi
tahun 2003 menjadi 35,4% pada tahun 2004 dan menjadi 39,1% pada tahun
2005. Berdasarkan wawancara dari petugas rekam medis RSCM didapatkan
data bahwa pada tahun 2012 jumlah penderita batu ginjal di RSCM yang
menjalani rawat inap sebanyak 209 orang.
Angka kekambuhan batu saluran kemih termasuk juga batu ginjal dalam satu
tahun sebesar 15 - 17%, empat sampai lima tahun sebesar 50%, dan sepuluh
tahun sebesar 75%. (William, 1990 dalam Lina, Suharyo, & Rifki, 2007).
Sehingga identifikasi penyebab timbulnya batu yang pertama adalah penting
untuk pencegahan kerusakan ginjal lebih lanjut. Hal ini dapat diketahui
melalui hasil pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan kandungan
batu tersebut. Apabila diketahui penyebab terjadinya batu pada pasien,
diharapkan dapat dilakukan pencegahan terhadap kekambuhan kejadian
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
3
serupa di tahun-tahun mendatang, sehingga dapat mengurangi angka
mortalitas maupun peningkatan biaya pengobatan.
Pencegahan terjadinya batu ginjal dilakukan untuk menurunkan angka
kekambuhan terhadap masalah yang serupa. Pencegahan ini dapat diberikan
sebagai bagian dari discharge planning pasien. Discharge planning
merupakan proses membuat keputusan mengenai kebutuhan pasien selama di
rumah sakit yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan pasien itu sendiri
(Birjandi & Lisa, 2009). Atau discharge planning diartikan sebagai
pelayanan yang diberikan kepada pasien untuk memenuhi kebutuhannya
selama dirawat di rumah sakit. Dimana proses ini dimulai sejak pasien masuk
rumah sakit sampai pasien akhirnya pulang. Melalui discharge planning,
angka kekambuhan pasien dengan masalah batu ginjal atau batu saluran
kemih dapat berkurang.
1.2. Tujuan Penulisan
a. Tujuan umum
Tujuan umum penulisan karya ilmiah akhir ini adalah untuk
menggambarkan
analisis
praktek
klinik
keperawatan
kesehatan
masyarakat perkotaan pada pasien batu ginjal di ruang rawat bedah
gedung A zona B RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
b. Tujuan khusus
Tujuan khusus penulisan karya ilmiah akhir ini sebagai berikut:
a) Diketahuinya analisis masalah keperawatan kesehatan masyarakat
perkotaan (KKMP).
b) Diketahuinya asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah batu
ginjal.
c) Diketahuinya keterkaitan discharge planning khususnya pendidikan
kesehatan mengenai pencegahan batu ginjal pada pasien dengan
masalah batu ginjal sebagai bagian mengurangi angka kekambuhan
batu ginjal.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
4
c.
Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan karya ilmiah akhir ini antara lain:
1. Pelayanan Keperawatan
Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi perawat dalam memaksimalkan proses discharge
planning khususnya memberikan pendidikan kesehatan pada pasiennya
dengan memaksimalkan peran perawat sebagai pendidik.
2. Pendidikan
Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat memperkaya
bahan khususnya bidang urologi dan peran mahasiska di bagian tersebut
serta diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran mahasiswa di
klinik khususnya jika menghadapi pasien dengan masalah batu ginjal.
3. Penulis Selanjutnya
Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat menjadi referensi
bagi penulis selanjutnya untuk meningkatkan dan memperdalam
penulisannya terkait dengan discharge planning dan keefektifannya dalam
mengurangi angka kekambuhan batu ginjal dan batu saluran kemih.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP)
Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan (KKMP) merupakan satu
kesatuan keperawatan yang berfokus pada masalah kesehatan di perkotaan.
Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan merupakan suatu proses
koordinasi dan integrasi sumber daya keperawatan dengan menerapkan
proses keperawatan komunitas, yakni mengutamakan pelayanan promotif
dan preventif secara berkesinambungan tanpa mengabaikan perawatan
kurafif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu yang ditunjukan
kepada individu, keluarga, kelompok serta masyarakat sebagai kesatuan utuh
melalui proses keperawatan untuk meningkatkan fungsi kehidupan manusia
secara optimal.
Tujuan keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan adalah mencegah
masalah kesehatan masyarakat di daerah perkotaan, meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk hidup secara sehat, sehingga tercapai derajat
kesehatan yang optimal agar dapat menjalankan fungsi kehidupan sesuai
dengan kapasitas yang mereka miliki. Tujuan ini dapat tercapai dengan
koordinasi baik keperawatan maupun tim kesehatan lainnya.
Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan dipandang perlu mengingat
kota merupakan tempat yang dinamis dan terus tumbuh. Berbagai
permasalahan kesehatan banyak ditemukan di perkotaan. Perawat sebagai
bagian dari tim pelayanan kesehatan mempunyai andil bagi tercapainya
masyarakat perkotaan yang sehat. Fokusnya adalah kesehatan masyarakat
perkotaan dan kesehatan lingkungan meliputi fisik, kimia, dan biologi
karena dapat berefek pada kesehatan masyarakat.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
6
2.2. Konsep Umum Penyakit
Konsep penyakit batu ginjal yang akan dibahas dalam penelitian ini
meliputi: pengertian batu ginjal, patofisiologi batu ginjal, faktor risiko batu
ginjal, manifestasi klinis penyakit batu ginjal, penatalaksanaan pasien
dengan batu ginjal, dan pencegahan penyakit batu ginjal.
2.1.1 Pengertian Batu Ginjal
Batu ginjal atau nefrolitiasis merupakan massa kristal menyerupai batu
yang terbentuk di dalam ginjal. Jika massa kristal tersebut terdapat di
dalam saluran kemih disebut juga urolitiasis (Chang, John, & Doug,
2010). Batu ginjal merupakan keadaan tidak normal di dalam ginjal
dan mengandung komponen kristal serta matriks organik. Lokasi batu
ginjal khas di kaliks atau pelvis dan bila akan keluar dapat terhenti di
ureter atau di kandung kemih.
2.1.2 Patofisiologi Batu Ginjal
Tugas utama ginjal adalah mengekskresikan produk samping
metabolisme yang meliputi kalsium, oksalat, dan asam urat. Mineral
tersebut dan bahan organik urine lainnya umumnya dieliminasi dari
saluran kemih. Jika volume urin sedikit, maka bahan tersebut membuat
urine menjadi sangat jenuh hingga terjadi supersaturasi dan terbentuk
kristal. Garam pembentuk kristal timbul di sekitar sebuah nukleus yang
terus membesar hingga membentuk batu. Ada tidaknya zat inhibitor
dalam urine, seperti magnesium, pirofosfat, sitrat, dan substansi lain
juga menjadi faktor yang menentukan dalam pembentukan batu
(Chang, John, & Doug, 2010).
Terdapat bermacam-macam jenis batu ginjal. Sekitar delapan puluh
persen pasien batu ginjal merupakan batu kalsium dan kebanyakan
terdiri dari kalsium oksalat atau agak jarang kalsium fosfat. Jenis batu
lainnya terdiri dari batu sistin, batu asam urat, dan batu struvit.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
7
Batu kalsium oksalat terjadi karena proses multifaktor, kongenital, dan
gangguan metabolik sering sebagai faktor penyebab. Dua bentuk batu
kalsium oksalat yaitu: 1) Whewellite (Ca Ox Monohidrate), berbentuk
padat, warna cokat/ hitam dengan konsentrasi asam oksalat yang tinggi
pada air kemih. 2) Kombinasi kalsium dan magnesium menjadi
weddllite (Ca Ox Dihidrat): batu berwarna kuning, mudah hancur
daripada
whewellite.
Gangguan
metabolisme
kalsium
(seperti
hiperkalsiuria dan hiperkalsemia) dan gangguan metabolisme urat
(kadar asam urat >6,4 mg/100 ml) merupakan tanda pembentukan batu
kalsium oksalat. Pembentukan kristalisasi dapat dihambat oleh sitrat
dan
magnesium.
Ekskresi
rendah
sitrat
akan
meningkatkan
pembentukan batu kalsium oksalat (Hessa, Alrecht, Goran, Hans,
Jahnen, & Andre, 2002).
Batu asam urat terjadi lebih banyak pada pasien laki-laki. Faktor diet
tinggi protein dan purin serta minuman beralkohol diindikasikan dapat
meningkatkan ekskresi asam urat sehingga pH urine menjadi rendah.
Selain itu, melalui penelitian diketahui bahwa sebanyak 20 sampai
40% penderita penyakit Gout akan mengalami batu asam urat (Hessa,
Alrecht, Goran, Hans, Jahnen, & Andre, 2002).
Batu struvit terbentuk akibat infeksi saluran kemih oleh bakteri yang
memproduksi
urease
(proteus,
providential,
klebsiella,
dan
pseudomonas). Infeksi saluran kemih terjadi akibat tingginya
konsentrasi ammonium dan pH urine > 7. Pada kondisi tersebut,
kelarutan fosfat menurun yang berakibat terjadinya batu struvit.
Peningkatan volume air yang diminum oleh penderita batu struvit
penting untuk membilas bakteri dan menurunkan supersaturasi fosfat
(Sudoyo, Bambang, Idrus, Marcellus, & Siti, 2009).
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
8
Gambar. Patofisiologi pembentukan batu saluran kemih
Sumber: Menon, 2002; Stoller, 2004; Kim, 2005 dimodifikasi
2.1.3 Faktor Resiko Batu Ginjal
Faktor resiko batu ginjal meliputi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
a. Faktor intrinsik meliputi: herediter, umur, dan jenis kelamin.
Salah satu penyebab batu ginjal adalah faktor keturunan misalnya
Asidosis tubulus ginjal (ATG). ATG menunjukkan suatu gangguan
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
9
ekskresi H+ dari tubulus ginjal atau kehilangan HCO3 dalam air
kemih, akibatnya timbul asidosis metabolik (Menon, Resnick, &
Martin, 2002).
Pembentukan batu saluran kemih dan substansi pembentuknya juga
ditentukan oleh umur dan jenis kelamin (Daudon, Dore, Junger, &
Lacour, 2004 dalam Knoll, 2010). Sebagian besar batu saluran
kemih terjadi pada pasien yang berusia lanjut antara 31 sampai 45
tahun dan pada pasien laki-laki dengan perbandingan 3 sampai 4:1
(Daudon, Dore, Junger, & Lacour, 2004; Strope, Wolf, &
Hollenbeck, 2010; Scales, Curtis, Norris, et al., 2007 dalam Knoll,
2010; Ratu, Badji, & Hardjoeno, 2006) dengan jenis batu lebih
predominan kalsium oksalat dan asam urat, sedangkan pada
perempuan lebih banyak jenis batu kalsium fosfat (Daudon, Dore,
Junger, & Lacour, 2004 dalam Knoll, 2010).
Dalam penelitian yang dilakukan Fan (Colorado, 1999), yang
meneliti peranan hormon sex kaitannya dengan jenis kelamin dan
peningkatan batu kalsium oksalat. Mereka menjelaskan bahwa
androgen akan meningkatkan dan estrogen menurunkan ekskresi
oksalat, konsentrasi oksalat plasma, dan endapan kristal kalsium
plasma. Hal tersebut akhirnya dapat menyimpulkan mengapa BSK
cenderung meningkat di pria yang mempunyai batu kalsium
oksalat. Dugaan lain yang dapat menjelaskan hal tersebut di lakilaki dibandingkan dengan perempuan adalah perbedaan struktur
anatomi saluran kemihnya. Yaitu saluran kemih pria lebih panjang,
sehingga lebih banyak kemungkinan substansi pembentuk batu
mengendap pada keadaan fisika kimia yang sesuai (Fan, 1999).
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
10
b. Faktor ekstrinsik meliputi:
a) Penurunan jumlah urine
Masukan cairan sedikit dapat menimbulkan pembentukan batu
dengan peningkatan reaktan dan pengurangan aliran urine.
b) Jenis cairan yang dimunim
Jenis cairan yang diminum dapat memperbaiki masukan cairan
yang kurang. Minuman soft drink lebih dari satu liter per
minggu menyebabkan pengasaman dengan asam fosfor dapat
meningkatkan resiko penyakit batu. Peningkatan sedikit beban
asam dapat meningkatkan ekskresi kalsium dan ekskresi asam
urat dalam urine serta mengurangi kadar sitrat urine.
c) Jumlah cairan yang diminum
Insiden batu ginjal berkurang pada pasien yang memiliki
kebiasaan minum air putih dalam jumlah banyak (Hughes,
2007).
d) Faktor Dit
Masukan natrium yang tinggi dapat meningkatkan ekskresi
kalsium. Reabsorpsi kalsium secara pasif mengikuti natrium
dan air pada tubuluas proksimal dan sepanjang lengkung henle.
Penurunan reabsorpasi natrium prokasimal disebabkan oleh
volume berlebih menyebabkan pengurangan transportasi
kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium urine.
Masukan protein tinggi khususnya protein hewani umumnya
dihubungkan dengan peningkatan insiden penyakit batu.
Protein hewani akan menurunkan keasaman (pH) urine
esehingga
bersifat
asam.
Selain
itu,
protein
hewani
menyebabkan peningkatan kalsium dan asam urat, fosfat dan
penurunan ekskresi sitrat. Sebagian besar protein hewani
mempunyai proporsi kandungan fosfat 10 – 15 kali
dibandingkan kandungan kalsium. Masukan protein dan
metabolism purin dan sulfur menghasilkan asam amino dan
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
11
asam urat. Keadaan ini akan memacu pembentukan batu
kalsium. Hal ini disebabkan peningkatan ekskresi kalsium dan
asam urat dan penurunan ekskresi sitrat.
Peningkatan masukan air menurunkan pembentukan batu. Hal
ini dikarenakan peningkatan volume urine menyebabkan
tingkat
kejenuhan
kalsium
oksalat
menurun
sehingga
mengurangi kemungkinan pembentukan Kristal.
2.1.4 Manifestasi Klinis Batu Ginjal
Beberapa manifestaski klinis batu ginjal meliputi:
a. Nyeri abdomen
Gejala utama batu ginjal adalah nyeri yang bersifat akut dan
berubah sesuai dengan ukuran dan lokasi batu. Jika batu berukuran
kecil, batu dapat dikeluarkan melalui urine dan tidak menimbulkan
gejala apapun. Sedangkan jika ukuran batu besar, maka dapat
menimbulkan obstruksi dan trauma. Nyeri yang disebabkan oleh
obstruksi parsial atau total aliran urine di dalam pelis ginjal disebut
kolik renal. Nyeri biasanya dirasakan menetap di kostovertebral
(titik di bagian punggung yang berhubungan dengan iga ke-12 dan
tepi lateral muskulus sakrospinalis).
Batu ginjal mulai menunjukan gejala pada ukuran 1 mm, sekitar
90% pasien dengan ukuran batu kurang dari 5 mm tidak
membutuhkan intervensi guna mengeluarkannya dari sistem
urinarius (Coll, Varanelli, & Smith, 2002 dalam Minnesota
Evidence-based Practice Center, & Minneapolis, 2013), tetapi
sebaliknya sekitar 50% batu yang berukuran 5 sampai 10 mm
membutuhan intervensi lebih lanjut (Segura, Preminger, Assimo et
al., 1997 dalam Minnesota Evidence-based Practice Center, &
Minneapolis, 2013).
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
12
b. Mual, muntah
Nyeri kolik renal dapat sangat hebat hingga timbul respon saraf
simpatis berupa mual, muntah, kulit pucat, dingin, dan lembab.
c. Hematuria
Adanya darah dalam urine merupakan salah satu gejala adanya
batu ginjal. Tidak semua pasien menunjukan adanya hematuria.
Hematuria terjadi akibat adanya pergerakan batu di dalam ginjal
atau saluran urinatius sehingga menyebabkan rupture pada dinding
ureter.
d. Kristaluria, urine yang keluar disertai pasir dan batu.
e. Infeksi, batu di dalam saluran kemih menjadi tempat sarangnya
mikroorganisme yang tidak dapat dijangkau oleh obat-obatan.
Adanya infeksi dimanifestasikan dengan timbulnya demam pada
pasien.
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik Batu Ginjal
Pemeriksaan diagnostik batu ginjal digunakan untuk memastikan
terjadinya batu ginjal pada pasien, meliputi (Sudoyo, Bambang, Idrus,
Marcellus, & Siti, 2009):
a. Ultrasonografi (USG)
USG dapat menunjukan ukuran, bentuk, dan posisi batu.
Pemeriksaan ini diperlukan pada perempuan hamil dan pasien yang
alergi kontras radiologi. Melalui USG ini dapat diketahui adanya
batu radiolusen dan dilatasi sistem kolektikus. Keterbatasan
pemeriksaan ini adalah kesulitan untuk menunjukan batu ureter dan
tidak dapat membedakan batu kalsifikasi dan batu radiolusen.
b. Pemeriksaan Radiologi (Foto Rontgen Abdomen)
Foto abdomen biasa dapat menunjukan ukuran, bentuk, dan posisi
membedakan batu kalsifikasi. Densitas tinggi menunjukan kalsium
oksalat dan kalsium fosfat. Sedangkan densitas rendah menunjukan
struvite, sistin, dan campuran keduanya. Kekurangan pemeriksaan
foro sinar tembus abdomen adalah tidak dapat menentukan batu
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
13
radiolusen, batu kecil dan batu yang tertutup bayangan struktur
tulang. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan batu dalam ginjal
dan batu luar ginjal.
c. Urogram
Urogram bertujuan untuk menunjukan lokasi batu dalam sistem
kolektikus.
d. CT Scan Helical dan Kontras
e. Pemeriksaan Biokimia
Pemeriksaan biokimia darah (meliputi: kalsium, albumin, kreatinin,
asam urat, kalsium, bikarbonat, hormone paratiroid) (Turk, Petrik,
Sarica, Straub, & Steitz, 2011 dalam Minnesota Evidence-based
Practice Center, & Minneapolis, 2013) perlu dilakukan disertai
pemeriksaan urin (pemeriksaan volume, kalsium, kreatinin, asam
urat, oksalat, sitrat, natrium, fosfat, sulfat, magnesium, pH, berat
jenis urine, sedimen air kemih) untuk menentukan hematuria,
leukosituria, dan kristaluria. Pemeriksaan kultur kuman penting
untuk mengetahui adanya infeksi saluran kemih. Apabila batu
keluar, diperlukan pencairan faktor resiko dan mekanisme
timbulnya batu.
2.1.6 Penatalaksanaan Batu Ginjal
Batu berukuran kecil (5 – 10 mm) dapat keluar tanpa intervensi medis.
Akan tetapi jika batu tidak keluar, ada empat pilihan tindakan yang
dapat dilakukan.
a. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Merupakan tindakan non-invasif yakni dengan menggunakan
gelombang kejut eksternal yang dialirkan melalui tubuh untuk
memecah batu. Pemeriksaan sinar X atau ultrasonografi digunaan
untuk mendetaksi partikel pecahan batu yang selanjutnya dapat
dikeluarkan melalui endoskopi atau dibiarkan keluar sendiri melalui
urine. Biasanya syent ureter dipasang sesudah tindakan ESWL
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
14
untuk mencegah obstruksi dan membantu pengeluaran pecahan
batu.
b. Nefrolitotomi perkutan (percutaneous nephrolithotomy, PCN)
Tindakan ini dapat dilakukan jika batu ditemukan berada dalam
ginjal. Jarum PCN dimasukkan ke dalam pelvis ginjal, kemudian
batu
dipecah
dengan
menggunakan
ultrasonografi.
Selang
nefrostomi kemudian dipasang dan dijahit ke kulit.
c. Uteroskopi
Uteroskopi dilakukan untuk mengeluarkan batu yang berada dalam
ureter. Basket catheter dimasukkan melalui alat uteroskoi untuk
mengeluarkan batu dengan atau tanpa menggunakan laser.
d. Intervensi pembedahan terbuka
e. Farmakologi
Analgesik dapat diberikan untuk meredakan nyeri dan memberi
kesempatan batu dapat keluar sendiri. Opioid (injeksi morfin sulfat,
petidin hidroklorida) atau obat anti-inflamasi nensteroid (misal:
ketorolac dan naproxen) dapat diberikan, bergantung pada intensitas
nyeri.
2.1.7 Pencegahan Batu Ginjal Berulang
Penelitian mengenai pencegahan terjadinya batu ginjal berulang telah
dilakukan melalui beberapa penelitian. Dua pencegahan tersebut
meliputi terapi diet dan terapi farmakologi ((Turk, Petrik, Sarica,
Straub, & Steitz, 2011; Preminger, Tiselius, Assimos, et al., 2007
dalam Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis,
2013).
a. Terapi diet untuk mencegah terjadinya batu ginjal berulang
Terapi diet ditujukan untuk mengurangi konsentrasi satu atau
beberapa pembentukan kristal atau inhibitor pembentuk kristal.
Terapi diet tersebut meliputi diet rendah oksalat untuk mengurangi
oksalat dalam urine dan mengurangi risiko pembentukan batu
kalsium oksalat; diet rendah protein hewani dan rendah purin
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
15
bertujuan untuk mengurangi risiko pembentukan batu asam urat;
serta diet normal kalsium untuk mencegah pembentukan batu
kalsium oksalat melalui pengikatan oksalat intestinal oleh kalsium
(Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis,
2013).
Diet dalam kamus gizi pelengkap kesehatan keluarga diartikan
sebagai pengaturan pola dan konsumsi makanan serta minuman
yang dilarang, dibatasi jumlahnya, domodifikasi, atau diperolehkan
dengan jumlah tertentu untuk tujuan terapi penyakit yang diderita,
kesehatan, atau penurunan berat badan. Tujuan diet pada pasien
dengan batu saluran kemih adalah untuk mencapai dan
mempertahankan status gizi optimal dengan memperhitungkan sisa
fungsi ginjal sehingga tidak memberatkan kerja ginjal; mencegah
dan menurunkan kadar asam urat pada pasien dengan kadar asam
urat tinggi (diatas 6,4 mg/dl); mempertahankan intake cairan yang
mencukupi
sehingga
mencegah
pembentukan
pengendapan
substansi pembentuk batu; dan mengurangi resiko terjadinya gagal
ginjal dengan memperlambat turunnya laju filtrasi glomerulus
(Almatsier, 2006).
Diet batu saluran kemih dan batu ginjal meliputi: diet rendah purin
dan diet rendah protein hewani. Diet rendah purin bertujuan untuk
menurunkan kadar asam urat dalam darah. Purin adalah hasil
metabolisme protein yang dapat membentuk Kristal asam urat dan
dapat
menumpuk
pada
ginjal
sehingga
menjadi
resiko
pembentukan batu ginjal. Adapaun diet rendah purin meliputi:
a) Energi diberikan sesuai kebutuhan tubuh. Bila berat badan
berlebih kebutuhan energi mengikuti pedoman diet energi
rendah.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
16
b) Protein 1 – 1,2 g/kg BB atau 10 – 20% dari kebutuhan energi
total. Hindari makanan sumber protein yang empunyai
kandungan purin >150 mg/100 gram.
c) Lemak tidak lebih dari 30%, dengan 10% nya berasal dari
protein hewani.
d) Karbohidrat: 65 – 75% dari kebutuhan energy total, berupa
karbohidrat kompleks.
e) Vitamin dan mineral diberikan sesuai dosisi.
f) Cairan disesuaikan dengan urin yang dikeluarkan setiap hari.
banyak minum untuk membantu pengelaran asam urat
sebanyak 2 – 3 liter/hari untuk mencegah terjadinya
pengendapan asam urat dalam ginjal.
g) Apabila berat badan berlebih, dianjurkan untuk menurunkan
berat badan karena akan membantu menurunkan kadar purin
dalam darah (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Berikut jenis makanan yang dihindari bagi pasien dengan diet
rendahpurin dikarenakan kandungan tinggi purin antara 150 – 800
mg/100 gram bahan makanan, meliputi: hati, ginjal, jantung, limpa,
otak, sosis, babat, usus, paru, sarden, kaldu daging, bebek, burung,
angsa, emis, dan ragi. Selain makanan, terdapat beberapa minuman
yang harus dihindari yakni minuman yang mengandung soda dan
alcohol: soft drink, arak, bir. Sedangkan makanan yang
diperbolehkan dikonsumsi tetapi dalam jumlah terbatas meliputi:
sumber protein hewani dibatasi maksimal 50 gram/hari (daging,
ayam, ikan tongkol, tenggiri, bawal, bandeng, kerang, udang),
sumber protein nabati maksimal 25 gram/hari (kacang-kacangan,
kedelai) dan tempe – tahu maksimal 50 gram/hari, sayuran hijau
maksimal 100 gram/hari (bayam, buncis, daun/biji melinjo, kapri,
kacang polong, kembang kol, asparagus, kangkung, dan jamur.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
17
Selain diet rendah purin yang sudah dijelaskan sebelumnya, diet
rendah protein juga berperan penting bagi pasien dengan
penurunan fungsi ginjal yang salah satunya diakibatkan oleh batu
ginjal. Berikut pedoman pelaksanaan diet rendah protein menurut
Kementerian Kesehatan RI (2011):
a) Bentuk makanan sesuai dengan kondisi pasien.
b) Enerti 35 kkal/kg BB ideal.
c) Protein 0,6 – 0,75 g/kh BBI, 50% protein hewani dan 5%protein nabati.
d) Lemakn 25 – 30% dari energy total, diutamakan lemak tidak
jenuh.
e) Karbohidrat 60 – 65% dari energi total.
f) Kebutuhan cairan sesuai dengan jumlah urine 24 jam + 500 ml.
g) Kalium dibatasi jika terjadi hyperkalemia.
h) Garam dapur dibatasi bila pasien memiliki hipertensi
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Dalam pelaksanaan diet rendah protein, tidak ada makanan yang
dipantang, tetapi hanya dibatasi jumlah sumber protein hewani dan
nabati meliputi: daging kambing, ayam, ikan, hati, keju, udang,
telur, dan tahu, tempe, oncom, kacang-kacangan.
b. Terapi farmakologi untuk mencegah terjadinya batu ginjal berulang
Terapi farmakologi yang sudah diterapkan melalui beberapa
penelitian meliputi terapi diuretic tiazid dan terapi sitrat Pearle,
Roehrborn, Pak, 1999; Escribo, Balaguer, Pagone et al., 2009;
Kairatis, 2007; Mattle & Hess, 2007 dalam Minnesota Evidencebased Practice Center, & Minneapolis, 2013) mengurangi
terjadinya batu ginjal berulang. Akan tetapi penelitian tersebut
menunjukan tidak ada pertimbangan faktor intake cairan dan diet
(Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis,
2013).
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
18
2.1.8 Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Batu Ginjal
Beberapa pengkajian keperawatan yang perlu dilakukan pada pasien
batu ginjal menurut Doenges et al (2000), sebagai berikut:
a. Aktivitas / istirahat
Pasien dengan batu ginjal biasanya memiliki gejala sebagai
berikut: riwayat pekerjaan monoton, aktivitas fisik rendah, lebih
banyak duduk, riwayat bekerja pada lingkungan bersuhu tinggi,
keterbatasan mobilitas fisik akibat penyakit sistemik lainnya
(cedera serebrovaskuler, tirah baring lama).
b. Sirkulasi
Pada sistem sirkulasi tandanya yaitu adanya peningkatan TD, HR
(nyeri, ansietas, gagal ginjal), kulit hangat dan kemerahan atau
pucat.
c. Eliminasi
Gejala yang dirasakan oleh pasien terkait dengan sistem eliminasi
yaitu: riwayat ISK kronis, obstruksi sebelumnya, penurunan
volume urine, rasa terbakar, dorongan berkemih, diare. Sedangkan
tandanya yaitu oliguria, hematuria, piouria, perubahan pola
berkemih
d. Makanan dan cairan
Pasien dengan batu cetak ginjal biasanya mengalami gejala seperti
mual/muntah, nyeri tekan abdomen, riwayat diet tinggi purin,
kalsium oksalat dan atau fosfat, hidrasi yang tidak adekuat, tidak
minum air dengan cukup. Adapun tandanya yaitu distensi
abdomen, penurunan / tidak ada bising usus, muntah.
e. Nyeri dan kenyamanan
Pasien mengalami gelaja Nyeri hebat pada fase akut (nyeri kolik),
lokasi nyeri tergantung lokasi batu (batu ginjal menimbulkan nyeri
dangkal konstan). Tanda dari pasien batu cetak ginjal yaitu
perilaku berhati-hati, perilaku distraksi, nyeri tekan pada area
ginjal yang sakit
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
19
f. Keamanan
Gejala yang dialami oleh pasien batu cetak ginjal yaitu penggunaan
alkohol, demam/menggigil
g. Penyuluhan/pembelajaran
Pasien dengan batu cetak ginjal memiliki gejala antara lain: riwayat
batu saluran kemih dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi,
gout, ISK kronis, riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen
sebelumnya,hiperparatiroidisme,
penggunaan
antibiotika,
antihipertensi, natrium bikarbonat, alopurinul, fosfat, tiazid,
pemasukan berlebihan kalsium atau vitamin.
Masalah keperawatan yang dapat diangkat meliputi: perubahan pola
eliminasi, nyeri akut, dan resiko kekurangan cairan kurang dari
kebutuhan.
2.3. Discharge Planning
2.3.1 Pengertian Discharge Planning
Discharge
planning
adalah
pengembangan
perencanaan
yang
dilakukan untuk pasien dan keluarga sebelum pasien meninggalkan
rumah sakit dengan tujuan agar pasien dapat mencapai kesehatan
optimal dan mengurangi biaya rumah sakit (Rakhmawati, Fitri, &
Tunjung, 2013). Discharge planning adalah suatu proses dimulainya
pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang diikuti dengan
kesinambungan perawat baik dalam proses penyembuhan maupun
dalam mempertahankan derajat kesehatannya sampai pasien merasa
siap kembali ke lingkungannya (Kozier, 2004). Proses ini dimuali
sejak pasien masuk rumah sakit.
Berdasarkan dua pengertian tersebut, maka disimpulkan discharge
planning merupakan proses perencanaan bagi pasien dan keluarganya
yang berkelanjutan dimulai sejak pasien masuk rumah sakit sampai
pasien siap kembali ke lingkungannya dengan tujuan mengoptimalkan
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
20
status kesehatan pasien. Pada pasien dengan batu ginjal, discharge
planning bertujuan bukan hanya meningkatkan kesehatan pasien tetapi
juga mencegah batu ginjal berulang.
2.3.2 Tujuan Discharge Planning
Tujuan dilakukan discharge planning menurut Capernito (1999) adalah
untuk mengidentifikasi kebutuhan spesifik guna mempertahankan dan
atau mencapai fungsi maksimal setelah pasien pulang. Artinya, melalui
discharge planning yang dilakukan di rumah sakit, pasien akan dapat
mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya di rumah. Selain itu,
discharge
planning
akan
meningkatkan
kemajuan
pasien,
meningkatkan pencapaian kualitas hidup yang lebih baik, mengurangi
kunjungan ulang pasien ke rumah sakit (Almborg et al., 2010; Phillips
et al., 2004).
Discharge planning sudah merupakan bagian dari intervensi
keperawatan pasien sejak pasien diterima di rumah sakit. Proses ini
dilakukan multidisiplin, meliputi keperawatan, medis, gizi, fisioterapi,
dan lain-lain. Melalui discharge planning, informasi tertulis maupun
verbal akan disampaikan pada pasien dan keluarganya, sehingga dapat
meningkatkan bekal pengetahuan bagi pasien dan keluarga jika mereka
pulang.
2.3.3 Pelaksanaan Discharge Planning
Pelaksanaan discharge planning menurut Potter & Perry (2004)
dimulai dari pengkajian pada saat pasien masuk rumah sakit, yakni
pengkajian mengenai kebutuhan pemulangan pasien berdasar riwayat
kesehatan pasien, sumber pendukung sosial, sumber finansial, tingkat
pendidikan, dan hambatan yang pasien miliki. Pengkajian ini
dilakukan
pada
pasien
dan
keluarganya.
Sebagai
persiapan
pemulangan pasien, pendidikan kesehatan di rumah disampaikan pada
pasien dan keluarganya, seperti penggunaan alat-alat medis di rumah,
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
21
faktor resiko penyakit pasien, komplikasi, dan upaya pencegahan yang
dapat dilakukan pasien di rumah. Kolaborasi dengan tim pelayanan
kesehatan yang lain diperlukan untuk memaksimalkan proses
discharge planning.
Penatalaksanaan discharge planning secara garis besar dibagi menjadi
dua bagian, yakni discharge planning sebelum hari pemulangan pasien
dan pada hari pemulangan pasien. Pelaksanaan pada saat sebelum hari
pemulangan pasien, perawat menginformasikan mengenai sumbersumber pelayanan kesehatan, serta pendidikan kesehatan terkait
dengan penyakit yang dialami pasien (meliputi tanda gejala,
komplikasi, perawatan, pencegahan, dan kepatuhan pengobatan).
Sedangkan pada saat hari pemulangan pasien, maka pasien diberikan
kesempatan untuk bertanya mengenai hal-hal yang belum atau kurang
dipahami dan hal-hal yang ingin diketahui lebih lanjut. Evaluasi
kegiatan discharge planning dilakukan sesuai dengan pendidikan
kesehatan yang sudah didiskusikan bersama pasien dan keluarganya,
baik kognitif maupun psikomotornya (Potter & Perry, 2004).
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
22
BAB III
TINJAUAN KASUS KELOLAAN
3.1. Pengkajian
3.1.1. Identitas Pasien
Nama pasien
: Tn. R (43 tahun)
Tanggal lahir
: 02 November 1970
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pedagang
Dx. Medis masuk : hidronefrosis bilateral
Tanggal masuk
: 26 Mei 2014
3.1.2. Anamnesa
1.
Alasan Dirawat di Rumah Sakit
Klien datang ke poli RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada 26 Mei
2014 dengan keluhan nyeri pinggang (nyeri tidak menjalar) sejak
empat bulan sebelum masuk ke rumah sakit. Klien mengatakan tidak
ada riwayat hematuria maupun nyeri saat buang air besar.
2.
Riwayat Kesehatan yang Lalu
Klien mengatakan sebelumnya tidak pernah dirawat di rumah sakit.
Klien juga mengatakan tidak memiliki sakit tekanan darah tinggi,
diabetes mellitus, maupun asma. Klien memiliki riwayat sakit asam
urat tetapi tidak mendapat pengobatan apapun.
3.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien mengatakan bahwa di keluarganya tidak ada yang pernah
menderita sakit ginjal.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
23
4.
Keluhan Terakhir
Klien mengatakan nyeri di pinggang kanan, bersifat tidak menjalar,
skala 3 sampai 4, muncul tidak menentu, kadang 2 sampai 3 kali
dalam satu menit selama 5 sampai 10 detik. Klien juga mengatakan
tidak ada riwayat hematuria, sakit saat buang air besar, maupun
kesulitan buang air besar.
5.
Aktivitas / Istirahat
Klien adalah seorang kepala rumah tangga dengan pekerjaan sebagai
pedagang. Kegiatan berdagang dilakukan setiap hari. Klien
mengatakan biasanya tidur siang jarang dilakukan, tidur malam
biasanya pukul 22.00 sampai 05.00 WIB. Saat ini, klien biasanya
tidur siang satu sampai dua jam, yakni pukul 13.00 sampai 14.00
atau 15.00. Tidur malam pukul 22.00 – 05.00, kadang trbangun pada
malam hari. Selama di rumah sakit klien mengatakan tidak ada
gangguan tidur. Kondisi ruangan dikeluhkan pasien panas, tetapi
klien mengakalinya dengan membawa kipas angina kecil sehingga
tidak mengganggu istirahatnya. Klien mengungkapkan meski kadang
bangun ketika malam, tetapi dapat tidur kembali dan merasa segar
pada pagi harinya.
6.
Sirkulasi
Klien mengatakan tidak memiliki tekanan darah tinggi maupun
masalah jantung lainnya. Tidak ada keluhan demam, edema kaki atau
mata kaki, flebitis, maupun kesemutan di ekstremitasnya.
Dari hasil pengukuran tekanan darah terukur 120/80 mmHg dengan
posisi duduk, nadi radialis 88 kali per menit, kuat, regular, terdengar
bunyi jantung 1 dan 2, tidak ada murmur, tidak ada gallop, tidak ada
distensi vena jugularis. Ekstremitas teraba hangat dengan suhu aksila
36,6 derajat Celcius, capillary refill time < 2 detik, abnormalitas
kuku tidak ada, punggung kuku < 180 derajat Celsius, membrane
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
24
mukosa lembab kemerahan, konjungtiva tidak anemis, sklere tidak
ikterik.
7.
Integritas Ego
Klien mengatakan kadang merasa stress dengan sakit pinggang yang
dialaminya sejak empat bulan yang lalu. Klien biasanya mengurangi
sakit dengan istirahat serta menjalani pengobatan seperti sekarang
ini. Dari segi finansial pengobatan, klien mengatakan tidak terbebani
karena pengobatan yang dilakukan menggunakan JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional). Klien hanya menanggung biaya perjalanan ke
RSCM yang dipenuhi dengan tabungan usaha berdagangnya.
Status klien menikah dan mempunyai dua orang anak. Anak pertama
sudah bekerja dan saat ini menemani klien di rumah sakit.
Sedangkan anak kedua masih sekolah SMA. Selama di rumah sakit
klien terlihat tenang dan kadang bercanda dengan pasien yang
lainnya.
8.
Eliminasi
Pola kebiasaan buang air besar klien satu kali per hari, pada pagi
hari. Karakteristik feses berbentuk, padat, kekuing-kuningan, tidak
ada rasa sakit selama buang air besar. Klien mengatakan tidak ada
keluhan diare maupun konstipasi selama dua minggu terakhir ini.
Pola buang air kecil biasanya 4 sampai 7 kali per hari, tidak ada
nyeri saat buang air kecil, hematuria, maupun inkontinensia urin.
Klien tidak menggunakan diuretik. Karakteristik urin kekuningkuningan.
Dari hasil pemeriksaan: abdomen cembung, kandung kemih tidak
ada distensi, nyeri tekan tidak ada, neri pinggang sejak empat bulan
yang lalu, terdengar bising usus di ke-empat kudaran.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
25
9.
Makanan / Cairan
Pola kebiasaan makan tiga kali per hari, yakni pukul 07.00, 13.00,
dan 19.00. Selama ini tidak ada pantangan makan, tidak ada keluhan
mual, muntah, maupun penurunan selera makan akibat nyeri
pinggang yang dialami klien. Klien mengatakan berat badan sebelum
sakit adalah 86 kg, mengalami penurunan satu kg sejak masuk rumah
sakit menjadi 85 kg.
Klien mendapatkan diit bebas dari bidang gizi dengan kebutuhan
kalori sebesar 1900 kkal. Diit terbagi menjadi tiga kali makan besar
dan dua kali makanan ringan. Biasanya makan pagi pukul 06.30,
makan siang pukul 12.30, dan makan malam pukul 18.00 WB. Klien
terlihat selalu menghabiskan makanan yang disediakan.
Dari hasil pemeriksaan, berat badan klien adalah 85 kg dengan tinggi
badan 170 cm. Sehingga index massa total (IMT) = 29,41
Bentuk tubuh tegap, turgor kulit elastis, membran mukosa lembab,
konjungtiva tidak anemis, sklere tidak ikterik, pembesaran tosil tidak
ada, kondisi gusi normal (tidak ada pembengkakan), kondisi gigi
lengkap, penampilan lidah merah muda.
10. Higiene
Klien
mengatakan
tidak
ada
batasan
kemampuan
dalam
menjalankan aktivitas harian. Mobilitas, higiene, toileting, makan,
dan berpakaian terlihat mandiri. Tidak ada alat bantu yang digunakan
klien. Klien terlihat rapih dan sesuai terhadap jenis pakaian yang
digunakan (celana pendek selutut dan kaos), tidak ada bau badan.
11. Neurosensori
Dari hasil wawancara, selama di rumah sakit maupun sebelum
dirawat di rumah sakit, klien mengatakan tidak ada keluhan ingin
pingsan,
pusing,
sakit
kepala,
maupun
kesemutan
pada
ekstremitasnya. Klien juga mengungkapkan tidak memiliki riwayat
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
26
stroke atau kejang. Penglihatan normal, tidak menggunakan lensa
mata atau kaca mata, pendengaran normal, alat bantu dengat tida ada.
Status mental baik, orientasi waktu, tempat dan orang baik.
Kesadaran compos mentis, GCS E4 M6 V5, memori saat ini, jangka
pendek, dan jangka pajang baik.
12. Nyeri / Ketidaknyamanan
Keluhan klien saat ini adalah nyeri pinggang kanan dan kiri yang
dirasakan sejak operasi. Skala nyeri 4 sampai 5, meningkat saat
beraktivitas. Muncul 3 sampai 4 kali dalam satu menit selama 10
sampai 20 detik.
Dari hasil obesrvasi, terlihat pasien memegang area pinggangnya
ketika berubah posisi, terlihat mengkerutkan wajahnya saat
berpindah posisi.
13. Pernafasan
Klien mengungkapkan tidak memiliki riwayat bronkitis, asma,
tuberkulosis, maupun pneumonia. Klien tidak memiliki kebiasaan
merokok. Dari hasil pemeriksaan: frekuensi nafas 24 kali per menit,
kedalaman sedang, nafas cuping hidung tidak ada, ekspansi dada
simetris bilateral, tidak ada penggunaan otot bantu nafas, fremitus
tidak ada, bunyi nafas vesikuler, tidak ada sianosis.
14. Keamanan
Klien data subjektif, klien tidak memiliki alergi obat maupun
makanan tertentu. Tidak ada riwayat penyakit hubungan seksual,
riwayat transfusi darah, dan riwayat kecelakaan. Integritas kulit
terlihat utuh. Tonus otot baik dengan pergerakan aktif.
Kekuatan otot klian 5555 5555
5555 5555
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
27
15. Interaksi Sosial
Status perkawinan menikah dan mempunyai dua orang anak. Klien
berperan sebagai kepala keluarga. Klien mengatakan baik dengan
keluarga maupun dengan tetangganya sering berinteraksi. Bahasa
yang digunakan untuk berkomunikasi adalah bahasa Indonesia.
Meskipun saat ini di rumah sakit, klien tetap berkomunikasi dengan
menggunakan telepon genggam.
Di ruang perawatan, klien terlihat tidak hanya beromunikasi dengan
keluarganya, namun kadang terlihat bercanda dengan pasien yang
lain serta juga berkomunikasi dengan tenaga kesehatan.
3.1.3. Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 10 Mei 2014
Jenis pemeriksaan
Hematologi
Elektrolit
eGFR
Komponen
Hemoglobin
Hematokrit
Eristrosit
MCV / VER
MCH / HER
MCHC / KHER
Jumlah leukosit
Jumlah trombosit
Natrium
Kalium
Klorida
Kreatinin
eGFR
Asam urat
Ureum darah
Urinalisa
Warna
Jernih
Sedimen leukosit
Sedimen eritrosit
Sedimen silinder
hyaline
Kristal
Bakteri
Berat Jenis
pH
Protein
Glukosa
Keton
Hasil
10,4 g/dl
30,4 %
3,58.10^6 /uL
84,9 fL
29,1 pg
34,1 g/dl
6,07.10^3/uL
263.10^3/uL
139 mEq/L
3,56 mEq/L
102,9 mEq/L
2,8 mg/dl
27,0
ml/min/1,75ml2
8,1 mg/dl
74 mg/dl
Nilai normal
13 - 17
40 – 50
(4,5 –5,5 ).10^6
80 - 95
27 – 31
32 - 36
(5 – 10).10^3
(150 – 400).10^3
132 – 147
3,3 – 5,4
94 - 111
0,8 – 1,3
(82 – 126)
ml/min/1,75ml2
3,4 – 7
< 50
Kuning
keruh
5 – 7 /LPB
3 – 4 /LPB
0–1
Kuning
Jernih
0–5
0–2
Negative
Negative
1.020
6,0
+1
Negative
Negative
Negative
Negative
1,005 – 1,030
4,5 – 8,0
Negative
Negative
Negative
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
28
Kimia Klinik
2.
Darah / Hb
Bilirubin
Nitrit
Leukosit esterase
Urobilinogen
SGPT
Asam Urat
Negative
Negative
Negative
Trace
3,2 mol/L
16 U/L
8.6 mg/dl
Negative
Negative
Negative
Negative
3,2 – 16
<41
3,4 – 7,0
Pemeriksaan Radiologis (BNO – NP)
Kesan :
- Batu ureter proksimal kanan 25 x 5 mm
- Batu pyelum kiri 35 x 50 mm
- Urolithiasis kanan dan nephrolithiasis kiri
- Fungsi sekresi dan ekskresi menurun, konsentrasi kontras tipis
- Kateter nefrostomi bilateral insitu
3.2. Analisis Data
Tabel 3.1 Analisis Data
No
1
Data
DS:
- Klien mengatakan bahwa dirinya belum pernah
operasi, merasa sedikit tegang, sudah mendapat
penjelasan mengenai operasi yang akan
dilakukannya namun merasa kurang jelas.
Masalah Keperawatan
Ansietas
DO:
- Klien terlihat pucat, diam, wajah tampak cemas
pada H-1 operasi.
- Tekanan darah 130/90 mmHg dengan tekanan
darah biasanya 120/80 mmHg.
2
DS:
- Klien mengatakan merasa nyeri di daerah dekat
luka operasi, skala 4 – 5, meningkat saat
bergerak, nyeri yang dirasa bersifat menetap
dengan durasi timbul 10 – 20 detik, muncul
biasanya 3 - 4 kali per menit.
Nyeri akut
DO:
- Terlihat luka post
operasi nefrostomi di
pinggang kanan dan kiri dengan panjang kurang
lebih 25 cm.
- Dari hasil rontgen tanggal Mei 2014, terlihat
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
29
kateter nefrostomi bilateral insitu, batu ureter
proksimal kanan 25 x 5 mm dan batu pyelum
kiri 35 x 30 cm.
3
4.
DO:
- Pasien terpasangan kateter nefrostomi dan
kateter urine.
DS:
Pasien mengatakan urine keluar begitu saja lewat
selang kateter. Pasien mengatakan urine yang keluar
banyak.
DO:
- Klien terpasang kateter nefrostomi bilateral
sejak 7 Mei 2014.
- Dari hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 10
Mei 2014 didapatkan kreatinin 2,8 mg/dl, eGFR
27 ml/min/1,73 ml2, dan ureum darah 74 mg/dl.
- Mukosa bibir tampak kering.
DS:
Pasien mengatakan bahwa minumnya berkurang
setelah operasi sekitar dua botol air mineral ukuran
sedang, aktivitasnya juga berkurang.
Perubahan eliminasi urin
Resiko kekurangan cairan
kurang dari kebutuhan.
Diagnosa keperawatan berdasarkan analisis data di atas dibagi menjadi
diagnose pre-operatif dan pasca-operatif. Diagnose pre-operatif yakni
ansietas berhubungan dengan rencana operasi. Sedangkan diagnosa
keperawatan pasca operatif sesuai dengan prioritas masalahnya meliputi:
1. Nyeri akut berhubungan dengan insisi luka operasi.
2. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan pemasangan nefrostomi.
3. Resiko kekurangan cairan kurang dari kebutuhan pemasangan nefrostomi.
3.3. Rencana Asuhan Keperawatan dan Implementasi
Berikut dijelaskan rencana asuhan keperawatan per masing-masing diagnosis
dan implementasinya.
1. Diagnosa Pre-operatif 1: Ansietas berhubungan dengan rencana operasi
Tujuan Umum: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam
diharapkan cemas berkurang
Tujuan khusus:
a. Tekanan darah normal 120/80 mmHg
b. Frekuensi pernafasan normal 16 – 24 kali per menit
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
30
c. Frekuensi nadi normal 60 – 100 kali per menit.
d. Wajah tampak tenang
e. Klien mengungkapkan siap dilakukan operasi dan paham dengan
tindakan tersebut.
Rencana Intervensi Keperawatan.
a. Kaji dan dokumentasikan kecemasan pasien, termasuk reaksi fisik
setiap sift.
b. Kaji faktor budaya yang menjadi penyebab ansietas.
c. Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal
pikiran dan perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas.
d. Gali bersama pasien tentang tehnik yang berhasil dan tidak berhasil
menurunkan ansietas di masa lalu.
e. Ajarkan tehnik relaksasi untuk mengurangi ansietas dengan tehnik
nafas dalam, berfikir positif, dan distraksi.
f. Anjurkan pasien untuk melakukan tehnik relaksasi jika merasa cemas.
g. Kaji pemahaman pasien mengenai rencana tindakan operasi yang akan
dilakukannya.
h. Berikan kesempatan kepada pasien untuk menanyakan hal-hal yang
belum dipahaminya, jelaskan sesuai dengan kewenangan perawat
mengenai rencana tindakan operasi pasien.
i. Kolaborasi dengan dokter jika pasien membutuhkan penjelasan
mengenai tindakan operasi yang akan dijalankannya (jika penjelasan
tersebut bukan merupakan kewenangan perawat).
4. Diagnosa pasca-operatif 1: Nyeri akut berhubungan dengan insisi luka
operasi.
Tujuan Umum: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam
diharapkan nyeri berkurang.
Tujuan khusus:
a. Penurunan skala nyeri dari 4 – 5 menjadi 1 – 2
b. Penurunan durasi nyeri dari 30 – 40 detik menjadi 5 – 10 detik.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
31
c. Tekanan darah normal 120/80 mmHg.
d. Suhu aksila normal 36 – 37 derajat Celcius.
e. Frekuensi pernafasan normal 16 – 24 kali permenit.
f. Frekuensi nadi normal 60 – 100 kali per menit.
g. Pasien mengungkapkan neyri berkurang.
h. Pasien mengungkapkan tidak ada gangguan tidur.
i. Pasien memperlihatkan tekhnik relaksasi secara efektif.
j. Pasien melaporkan selera makan yang baik.
Rencana Intervensi Keperawatan.
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi.
Karakteristik, awitan, durasi, frekuensi, kualitas, insitas atau keparahan
nyeri, dan factor presipitasinya.
b. Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan.
c. Observasi kondisi luka pascabedah dan balutannya.
d. Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama
akan berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur.
e. Ajarkan penggunakan tekhnik nonfarmakologis: tekhnik hipnotis,
tekhnik relaksasi, distraksi, terapi musik sebelum, setelah, dan jika
memungkinkan selama aktivitas yang menimbulkan nyeri.
f. Berikan posisi yang nyaman bagi pasien untuk mengurangi nyeri.
g. Anjurkan pasien melakukan manajemen nyeri seperti yang sudah
dijalaskan.
h. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien
terhadap ketidaknyamanan (misalnya suhu ruangan, pencahayaan, dan
kegaduhan).
i. Kolaborasi: kelola nyeri pascabedah dengan pemberian analgetik yang
terjadwal setiap 4 atau delapan jam.
j. Kolaborasi: laporkan kepada dokter jika tindakan meredakan nyeri
dengan analgetik tidak berhasil.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
32
2. Diagnosa pasca operatif 2: Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan
pemasangan kateter nefrostomi dan kateter urin.
Tujuan Umum: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 X 24
jam diharapkan eliminasi urine kembali normal.
Tujuan khusus:
a. Pasien menunjukan berkemih secara normal
b. Pasien mengungkapkan tidak ada obstruksi, hambatan berkemih, atau
nyeri saat berkemih.
c. Warna urine kuning jernih.
d. Nyeri pinggang berkurang atau teratasi (Skala 0),
e. Saat dipalpasi tidak ada sisa urin
Rencana intervensi keperawatan:
a. Awasi pemasukan, pengeluaran, dan karakteristik urine.
b. Awasi asupan dan haluaran, karakteristik urine, catat adanya keluaran
batu
c. Tentukan pola berkemih normal pasiendan perhatikan variasi yang
terjadi
d. Motivasi pasien meningkatkan pemasukan cairan.
e. Observasi perubahan status mental, perilaku atau tingkat kesadaran.
f. Pantau hasil pemeriksaan laboratorium (elektrolit, BUN, kreatinin)
g. Berikan obat sesuai indikasi : Antibiotika
h. Pertahankan patensi kateter tak menetap (uereteral, uretral atau
nefrostomi).
3. Diagnosa pasca-opertaif 3: Resiko kekurangan cairan kurang dari
kebutuhan berhubungan dengan pemasangan kateter nefrostomi.
Tujuan umum: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam
diharapkan tidak terjadi kekurangan cairan.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
33
Tujuan khusus:
a. Pasien mempertahankan keseimbangan cairan
b. Tanda-tanda vital stabil (tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi
60 – 100 kali per menit, frekuensi nafas 16 – 24 kali per menit, suhu 36
– 37 derajat Celcius).
c. Berat badan dalam rentang normal.
d. Membrane mukosa lembab
e. Turgor kulit baik
f. Capillary refill time < 2 detik.
g. Balance cairan positif.
Rencana Intervensi Keperawatan:
a. Pantau intake dan output.
b. Catat adanya muntah atau diare. Perhatikan karakteristik dan frekuensi
muntah dan diare.
c. Tingkatkan pemasukan cairan sampai 3 – 4 liter dalam toleransi
jantung.
d. Pantau tanda-tanda vital, membrane mukosa, turgor kulit, pengisian
kapiler setiap sift.
e. Timbang berat badan setiap hari.
f. Awasi kadar elektrolit, hemoglobin dan hematrokrit darah.
g. Kolaborasi: pemberian cairan IV line.
h. Pantau pemberian cairan IV line sesuai dengan prosedur.
Catatan keperawatan berdasarkan masalah secara lengkap dijelaskan
dalam lampiran 3.
3.4. Evaluasi Keperawatan
Hasil dari tindakan keperawatan yang sudah dilakukan sesuai dengan
masalah keperawatan adalah sebagai berikut:
1. Ansietas
Pasien masuk ke rumah sakit hari Senin, tanggal 06 Mei 2014 dari poli
urologi dengan tujuan dilakukan pengangkatan batu ginjal. Pasien
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
34
mengatakan bahwa tindakan operasi kali ini adalah yang pertama kali,
sehingga pasien merasa cemas. Jadual operasi pada Selasa, 07 Mei 2014.
Tekanan darah pada saat pasien masuk 120/80 mmHg kemudian pada
siang hari tekanan darah meningkat menjadi 130/90 mmHg. Manajemen
ansietas diberikan mulai hari Senin, 06 Mei 2014 meliputi teknik distraksi
dengan mengobrol bersama keluarga dan pasien lainnya, mendengarkan
musik; serta teknik nafas dalam. Melalui latihan tersebut, pasien tampak
beberapa kali mempraktikan teknik nafas dalam sampai hari akan
dilakukan operasi. Pasien mengatakan masih merasa cemas, tetapi sudah
lebih berkurang daripada tidak dilakukan apa-apa.
2. Nyeri akut
Hari Selasa, 07 Mei 2014 pasien selesai dilakukan operasi. Pasien mulai
merasa nyeri di bagian luka operasi sejak Selasa sore. Pengkajian nyeri
dilakukan pada hari Selasa, pasien mengatakan nyeri di area luka post
operasi dengan karakteristik: skala 4 – 5, meningkat saat bergerak, nyeri
yang dirasa bersifat menetap dengan durasi timbul 10 – 20 detik, muncul
biasanya 3 - 4 kali per menit.
Manajeman nyeri diberikan pada pasien, yakni melalui latian nafas dalam,
distraksi, pemberian posisi nyaman, dan medikasi analgesik. Hari pertama
post operasi, pasien mengatakan nyeri berkurang dengan pemberian obat.
Hari kedua operasi merasa nyeri berkurang dengan pemberian obat dan
posisi yang nyaman. Hari ketiga, mulai merasakan manfaat nafas dalam
dan distraksi. Sampai hari ke enam post operasi, nyeri masih ada tetapi
berkurang dengan karakteristik: skala nyeri menjadi 1 – 2, timbul 1 – 2
kali per menit selama 5 – 10 menit, pasien mengatakan nyeri masih bisa
ditahan tanpa harus menggunakan obat.
3. Perubahan eliminasi urine
Pasien merasakan perubahan pada pola buang air kecil sejak dilakukan
operasi karena pasien terpasang kateter nefrostomi bilateral dan kateter
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
35
urin. Tujuan dipasang kateter tersebut adalah untuk memperbaiki kondisi
ginjal yang melalui pemeriksaan diagostik (radiologi) tampak mengalami
dilastasi renal (hidronefrosis). Pasien merasa kurang nyaman dengan
pemasangan kateter tersebut. Buang air kecil dilakukan melalui kateter
nefrostomi dan kateter urin. Pada post operasi hari pertama sampai ketiga,
pasien masih dipasang kateter urin. Kateter urin dilepas pada hari ke tiga
setelah sebelumnya pasien diberikan bladder training. Sampai hari keenam post operasi, kateter nefrostomi masih terpasang dan direncanakan
bertahan sampai dilakukan operasi kedua yakni pengangkatan batu ginjal.
4. Resiko kekurangan cairan kurang dari kebutuhan.
Pemantauan cairan dilakukan melalui perhitungan intake dan output cairan
pasien per hari. pemantauan cairan ini dilakukan mulai hari pertama post
operasi sampai hari ke enam post operasi. Pada hari pertama post operasi,
balance cairan negative kemudian berangsur-angsur menjadi positif 600
ml. Selain tindakan pemantauan cairan, pasien juga diberikan pendidikan
kesehatan mengenai intake cairan yang dibutuhkan pasien dan tujuannya.
Dari hasil pemeriksaan fisik, pada hari ke enam post operasi tidak tampak
tanda-tanda kekurangan cairan serta terjadi balance cairan positif.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
36
BAB IV
ANALISIS SITUASI
4.1. Analisis Kasus terkait Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
(KKMP)
Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan (KKMP) merupakan suatu
proses keperawatan yang menggunakan konsep keperawatan komunitas.
Tujuan perawatan masyarakat berfokus pada pelayanan promotif dan
preventif, namun tetap
memperhatikan komponen kuratif
maupun
rehabilitatif. Adanya keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan tidak
lepas dari semakin banyaknya masalah kesehatan yang timbul di perkotaan.
Sebagian besar masalah tersebut timbul akibat interaksi lingkungan dan gaya
hidup masyarakat perkotaan (Knoll, 2010). Dengan adanya keperawatan
kesehatan masyarakat perkotaan, maka diharapkan masyarakat yang berada
di daerah perkotaan akan memiliki kemampuan hidup sehat sehingga
tercapai derajat kesehatan yang optimal.
Pada dewasa ini, masalah kesehatan masyarakat perkotaan cenderung
meningkat dan semakin banyak. Batu ginjal atau batu saluran kemih
merupakan salah satu masalah perkotaan yang banyak terjadi di kota besar
di dunia. Data dari berbagai negara menunjukan angka kejadian yang
semakin meningkat dengan angka kekambuhan tinggi. Di Indonesia, jumlah
kejadian batu ginjal belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian di
rumah sakit di Indonesia seperti di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tahun
2012, melalui wawancara dengan petugas rekam medis didapatkan jumlah
pasien batu ginjal yang menjalani rawat inap sebanyak 209 orang. Di RS Dr.
Karyadi, jumlah penderita yang datang ke rumah sakit karena batu saluran
kemih meningkat setiap tahunnya, mulai dari 34,8% dari kasus urologi pada
tahun 2003, meningkat menjadi 39,1% pada tahun 2005 (Saptahadi & Rifki,
1996).
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
37
Berbagai penelitian sudah mencari faktor penyebab terjadinya batu saluran
kemih dan batu ginjal. Herediter dan gaya hidup diyakini sebagai penyebab
terjadinya batu saluran kemih dan batu ginjal (Sja’bani, Bakri, & Rahardjo,
2001; Ratu, Badji, & Harjono, 2006 dalam Dewi & Anak, 2007). Faktor
gaya hidup seperti diet tinggi protein hewani, konsumsi cairan yang kurang,
dan konsumsi soft drink merupakan penyebab semakin tingginya angka
kejadian batu ginjal. Melalui keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan,
diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan mengenai
masalah perkotaan tersebut dan memberikan fokus yang tinggi untuk
masalah kesehatan perkotaan lainnya.
4.2. Analisis Kasus
Berdasarkan penelitian yang dilakukan baik di negara maju seperti Amerika
Serikat dan negara di Eropa, maupun di negara berkembang seperti di
Indonesia dan Thailand, kejadian batu ginjal lebih sering terjadi pada lakilaki dibandingkan pada perempuan (Sya’bani, Bakri, & Rahardjo, 2001;
Daudon, Dore, Junger, & Lacour, 2004; Ratu, Badji, & Hardjoeno, 2006;
Scales, Curtis, Norris, et al., 2007 dalam Knoll, 2010; Strope, Wolf, &
Hollenbeck, 2010). Perbandingan kejadian tersebut antara 3 sampai 4
dibanding 1. Hal ini serupa dengan pasien batu ginjal kelolaan yakni Tn. R
dengan umur 43 tahun.
Fan (1999), menjelaskan peranan hormon sex kaitannya dengan jenis
kelamin dan peningkatan batu kalsium oksalat. Fan menjelaskan bahwa
androgen akan meningkatkan dan estrogen menurunkan ekskresi oksalat,
konsentrasi oksalat plasma, dan endapan kristal kalsium plasma. Hal
tersebut akhirnya dapat menyimpulkan mengapa batu saluran kemih
cenderung meningkat pada laki-laki yang mempunyai batu kalsium oksalat.
Perbedaan struktur anatomi saluran kemih laki-laki dan perempuan juga
diyakini dapat menjelaskan lebih tingginya kejadian batu saluran kemih
pada laki-laki. Laki-laki memiliki saluran kemih yang lebih panjang
dibandingkan dengan perempuan, sehingga kemungkinan pengendapan
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
38
substansi batu lebih besar. Selain itu, laki-laki memiliki ukuran tubuh yang
lebih besar dibandingkan perempuan, sehingga lebih banyak ekskresi oksalat
yang lebih tinggi di urine (Curhan, Willett, Rimm, Speizer, & Stamfer, 1998
dalam Dewi & Anak, 2007)
Kejadian batu ginjal selain dipengaruhi oleh jenis kelamin, juga dipengaruhi
oleh umur. Seperti halnya yang terjadi pada Tn. R yang didiagnosis
mengalami batu ginjal pada umur 43 tahun. Sebagian besar batu saluran
kemih terjadi pada pasien yang berusia lanjut antara 31 - 45 tahun (Daudon,
Dore, Junger, & Lacour, 2004; Ratu, Badji, & Hardjoeno, 2006; Scales,
Curtis, Norris, et al., 2007 dalam Knoll, 2010; Strope, Wolf, & Hollenbeck,
2010) dengan jenis batu lebih predominan kalsium oksalat dan asam urat,
sedangkan pada perempuan lebih banyak jenis batu kalsium fosfat (Daudon,
Dore, Junger, & Lacour, 2004 dalam Knoll, 2010).
Penyebab pasti belum diketahui, namun Kock (1999 dalam Ratu, Badji, &
Hardjoeno, 2006) menjelaskan dalam penelitiannya mengenai batu ginjal
yang terjadi pada anak-anak lebih rendah daripada orang dewasa. Ia
mengemukaan pendapat bahwa peningkatan batu meningkat sesuai umur
dan mencapai tingkat maksimal pada usia dewasa. Ginjal berkembang mulai
bayi sampai dewasa seiring dengan peningkatan kapasitas konsentrasi ginjal
mengakibatkan terjadinya peningkatan kristalisasi di loop of Henle. Nefron
pada usia anak kurang berkembang, ditandai oleh memendeknya dan
berkurangnya volume tubulus proksimal maupun di lengkung Henle (loop of
Henle). Ukuran yang pendek ini membuat berkurangnya kesempatan
pembentukan kristal kalsium fosfat. Alasan ini yang menerangkan mengapa
insiden pembentukan batu oksalat pada dewasa lebih rendah dibandingkan
pada anak-anak.
Kandungan yang terdapat dalam batu juga berbeda-beda. Terdapat beberapa
jenis kandungan batu yaitu kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat,
struvit, dan sistin (Ratu, Badji, & Hardjoeno, 2006). Penentuan komposisi
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
39
batu dilakukan melalui pemeriksaan analisis batu. Batu diambil pada saat
dilakukan pembedahan pengangkatan batu atau melalui batu yang keluar
bersama aliran urine. Tn. R belum dilakukan pengangkatan batu ginjal dan
juga tidak ada batu yang ikut terbawa aliran urin sehingga belum dilakukan
pemeriksaan analisis batu untuk menentukan komposisi jenis batu. Akan
tetapi, berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yakni biokimia asam
urat, Tn. R memiliki asam urat tinggi yakni 8,1 mg/dl (normal 3,4 – 7,0
mg/dl). Pada pemeriksaan yang kedua juga didapatkan nilai asam urat yang
masih tinggi yaitu sebesar 8,6 mg/dl.
Ratu, Badji, & Hardjoeno (2007) menjelaskan bahwa salah satu kondisi
yang meningkatkan pembentukan batu ginjal adalah asam urat dengan jenis
batu yang terbentuk adalah batu asam urat. Persentase kejadian batu asam
urat dari hasil penelitiannya sebesar 32,4%. Asam urat merupakan produk
pemecahan protein yang diekskresi melalui urin. Adanya kandungan asam
urat yang tinggi dalam urin menyebabkan faktor predisposisi terjadinya batu
asam urat. Pola konsumsi protein dan jenis makanan yang mengandung
purin pada pasien perlu dikaji.
Tn. R mengatakan sudah memiliki asam urat tinggi sejak satu tahun yang
lalu, namun tidak mendapatkan pengobatan apapun. Pola konsumsi protein
hewani pada Tn. R juga bisa dikatakan tinggi. Tn. R mengatakan terbiasa
dengan makanan daging. Normalnya, kebutuhan protein per hari 600 mg/kg
berat badan. Protein hewani akan menurunkan pH urine sehingga menjadi
lebih asam. Selain itu, hasil metabolisme protein hewani akan menyebabkan
kadar sitrat urine turun, kadar asam urat dalam darah dan urine naik,
sehingga menjadi predisposisi terjadinya batu saluran kemih maupun batu
ginjal (Parivar, Roger, & Stoller, 2003).
Faktor lain yang ikut berperan serta dalam pembentukan batu ginjal pada Tn.
R adalah jenis pekerjaan. Tn. R adalah seorang pedagang yang aktivitasnya
lebih banyak duduk. Coe & Park (1988) menyebutkan bahwa laki-laki yang
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
40
terlalu banyak duduk atau hanya ditempat tidur saja, maka kalsium tulang
akan dilepas ke darah, selanjutnya hiperkalsemia akan memicu timbulnya
batu saluran kemih karena adanya supersaturasi elektrolit/kristal dalam
urine. Kenaikan konsentrasi bahan pembentuk batu di dalam tubulus renalis
akan merubah zona stabil saturasi rendah menjadi zona supersaturasi
metastabil dan bila konsentrasinya makin tinggi menjadi zona saturasi
tinggi.
Dilihat dari manifestasi klinisnya, Tn. R mengatakan merasakan nyeri
pinggang kanan dan kiri sejak empat bulan yang lalu. Dari hasil pemeriksaan
diagnositik: BNO-NP kemudian diketahui adanya batu ureter proksimal
kanan 25 x 5 mm dan batu pyelum kiri 35 x 30 mm. Nyeri pinggang pada
penderita batu ginjal dan batu saluran kemih merupakan salah satu gejala
yang umum. Hampir dirasakan lebih dari 50% penderita batu saluran kemih
(Vidar, Olafur, Gudjon, Kjartansson, & Runolfur, 2012). Hal ini terjadi
akibat adanya pergesaran batu yang menyebabkan rupture atau keberadaan
batu menekan bagian organ ginjal dan saluran kemih lainnya, sehingga
timbul nyeri.
Nyeri juga dirasakan berbeda-beda pada masing-masing pasien. Hal ini
ditentukan oleh lokasi dan ukuran batu dalam ginjal dan saluran kemih. Batu
ginjal mulai menunjukan gejala pada ukuran 1 mm, sekitar 90% pasien
dengan ukuran batu kurang dari 5 mm tidak membutuhkan intervensi guna
mengeluarkannya dari sistem urinarius (Coll, Varanelli, & Smith, 2002
dalam Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis, 2013),
tetapi sebaliknya sekitar 50% batu yang berukuran 5 sampai 10 mm
membutuhan intervensi lebih lanjut (Segura, Preminger, Assimo et al., 1997
dalam Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis, 2013).
Gejala lain yang juga timbul pada Tn. R adalah ekskresi urine yang semakin
sedikit. Padahal Tn. R mengatakan mengkonsumsi air dalam jumlah yang
banyak (lebih dari dua liter per hari). Keberadaan batu di ginjal dan saluran
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
41
kemih pada Tn. R menyebabkan obstruksi sebagian aliran urine, sehingga
jumlah ekskresi urine menurun. Sebaliknya, urine tertampung dalam ginjal
dan saluran kemih, menyebabkan penurunan fungsi sekresi dan ekskresi
urin. Hal ini ditandai dengan peningkatan kadar kimia klinik (kreatinin,
asam urat, ureum) dan menyebabkan hidronefrosis, sesuai dengan hasil
pemeriksaan radiologis tampak dilatasi pelvis akibat adanya hidronefrosis.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium: kimia klinik didapatkan peningkatan
kadar kreatinin yakni 2,8 mg/dl (normal 0,8 – 1,3 mg/dl), ureum darah
sebesar 74 mg/dl (normal < 50 mg/dl), dan asam urat 8,1 mg/dl (3,4 – 7,0
mg/dl). Sedangkan laju filtrasi glomerulus pasien menurun, yakni eGFR
27,0 ml/min/1,73 ml2 (normal 82 – 126 ml/min/1,73 ml2). Dari hasil
perhitungan klirent kreatinin didapatkan klirent kreatinin sebesar 40,89%.
Berikut perhitungan klirent kreatinin Tn. R.
Klirent kreatinin = (140 – Umur) x BB
72 x kadar kreatinin
Klirent kreatinin = (140 – 43) x 85
= 40,89 %.
72 x 2,8
Artinya, fungsi ginjal dalam menjalankan fungsinya adalah sebesar 40,89 %.
Hal ini mengindikasikan kondisi ginjal yang kurang baik.
Gejala seperti hematuria tidak terjadi pada Tn. R. Istilah hematuria
menunjukan adanya darah di dalam urine. Hematuria terjadi akibat adanya
pergerakan batu di dalam ginjal atau saluran kemih sehingga menyebabkan
rupture pada dinding ureter. Atau akibat adanya infeksi saluran kemih.
Hematuria juga tidak terjadi pada setiap pasien yang terkena batu ginjal atau
batu saluran kemih. Dari penelitian yang dilakukan oleh Vidar, Olafur,
Gudjon, Kjartansson, & Runolfur (2012) pada 5948 pasien dengan batu
ginjal, gejala hematuria hanya terjadi sebesar 34,1% atau 484 pasien.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
42
Pasien dilakukan pemasangan kateter nefrostomi bilateral pada tanggal 07
Mei 2014. Hal ini dilakukan berdasarkan pemeriksaan radiologis yang
menunjukan adanya dilatasi pelvis atau hidronefrosis. Berdasar analisis
pemeriksaan klirent kreatinin juga didapatkan penurunan fungsi ginjal.
Pemasangan kateter nefrostomi bertujuan memperbaiki kondisi ginjal,
sehingga tidak terjadi hidronefrosis lagi. Salah satu komplikasi batu ginjal
adalah hidronefrosis dan jika kondisinya tidak segera diperbaiki, maka
pasien dapat mengalami kondisi gagal ginjal.
Masalah keperawatan yang diangkat pada Tn. R pada hari pertama dirawat
di rumah sakit adalah ansietas. Data yang menunjukan masalah ansietas
adalah rencana nefrostomi. Pasien mengatakan belum pernah mengalami
tindakan operasi sebelumnya, sehingga sedikit merasa cemas. Data
nonverbal pada pasien juga menunjukan adanya kecemasan, meski pasien
cenderung diam. Intervensi manajemen ansietas diajarkan kepada pasien
untuk mengurangi ansietas, serta penjelasan mengenai nefrostomi oleh
dokter bedah dan oleh mahasiswa pada beberapa hal yang belum pasien
pahami.
Masalah keperawatan pada hari pertama pasca operasi adalah nyeri akut.
Pasien mengungkapkan nyeri dirasa pada area insisi pemasangan kateter
nefrostomi bilateral. Respon nonverbal menunjukan tindakan menjaga area
nyeri dengan meminimalisir pergerakan. Manajeman nyeri pada hari
pertama pasca operasi lebih efektif manajeman farmakologi. Hal ini pasien
utarakan saat dimintai pendapat mengenai cara menurunkan nyeri.
Manajemen nyeri nonfarmakologi baru lebih terasa manfaatnya sejak hari
ketiga pasca operasi.
Pasien dengan pemasangan kateter nefrostomi dan kateter urin, memiliki
perubahan eliminasi urin dan resiko kekurangan cairan kurang dari
kebutuhan. Pemantauan intake dan output menjadi konsen perawat agar
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
43
dapat memperbaiki kondisi pada pasien. Selain itu, bladder training secara
dini pada pasien dilakukan agar fungsi berkemih pasien kembali normal,
sehingga Tn. A dapat kembali menjalankan aktivitasnya secara normal.
4.3. Analisis Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terakhir
Intervensi keperawatan dilakukan sesuai dengan masalah keperawatan yang
dialami oleh Tn. A, meliputi: masalah keperawatan pra-operasi yakni
ansietas, dan masalah keperawatan pasca-operasi meliputi: nyeri akut,
perubahan eliminasi urin, dan resiko kekurangan cairan kurang dari
kebutuhan.
Selain itu, masalah yang perlu mendapat perhatian lebih adalah kekambuhan
pada pasien yang sudah pernah mengalami batu ginjal. Hal ini berdasarkan
data dari beberapa penelitian yang menunjukan bahwa angka kekambuhan
batu ginjal atau batu ginjal berulang terjadi sekitar 50% dalam lima tahun
terakhir. Prevalensinya meningkat pada sepuluh tahun terakhir menjadi
sekitar 70% (Newsan & Petric, 1981; Tietz, 2001; Ratu, Badji, & Hardoeno,
2006). Analisis komposisi batu pada penderita batu ginjal dapat dijadikan
dasar bagi pencegahan batu ginjal berulang. Selain itu, faktor risiko
terjadinya batu ginjal yang sudah diketahui sebelumnya melalui penelitianpenelitian terdahulu dapat menjadi dasar tindakan pencegahan batu ginjal
berulang, sehingga tindakan pencegahan tetap dapat dilakukan tanpa harus
menunggu analisis komposisi batunya.
Pencegahan batu ginjal berulang pun dapat dilakukan sejak pasien masuk
rumah sakit, yakni melalui discharge planning. Discharge planning adalah
pengembangan perencanaan yang dilakukan untuk pasien dan keluarga
sebelum pasien meninggalkan rumah sakit dengan tujuan agar pasien dapat
mencapai
kesehatan
optimal
dan
mengurangi
biaya
rumah
sakit
(Rakhmawati, Fitri, & Tunjung, 2013). Artinya, melalui proses discharge
planning tersebut, maka sejak pasien masuk sampai pasien akan pulang,
perawat berkewajiban mengidentifikasi kebutuhan apa saja yang dibutuhkan
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
44
pasien selama dirawat dan mempersiapkan pasien meningkatkan status
kesehatannya setelah keluar dari rumah sakit.
Potter & Perry (2004) membagi pelaksanaan discharge planning menjadi
dua, yakni pada hari pasien dirawat di rumah sakit dan hari pemulangan
pasien. Pelaksanaan pada saat sebelum hari pemulangan pasien, perawat
menginformasikan mengenai sumber-sumber pelayanan kesehatan, serta
pendidikan kesehatan terkait dengan penyakit yang dialami pasien (meliputi
tanda
gejala,
komplikasi,
perawatan,
pencegahan,
dan
kepatuhan
pengobatan). Sedangkan pada saat hari pemulangan pasien, maka pasien
diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai hal-hal yang belum atau
kurang dipahami dan hal-hal yang ingin diketahui lebih lanjut.
Pendidikan kesehatan sebagai bagian dari discharge planning pada Tn. R
dilakukan menjadi dua bagian, yakni pada tanggal 08 Mei dan 09 Mei 2014.
Pendidikan kesehatan pertama mengenai penyakit batu ginjal (mulai dari
pengertian, tanda dan gejala, faktor risiko, penatalaksanaan) dan pendidikan
kesehatan kedua mengenai pencegahan batu ginjal. Alokasi waktu yang
dilakukan per masing-masing sesi adalah tiga puluh menit.
Pada pendidikan kesehatan pertama, evaluasi kegiatan dilakukan dari segi
kognitif mengenai batu ginjal. Sedangkan pada sesi kedua, evaluasi kegiatan
dilakukan baik kognitif maupun psikomotor. Potter & Perry (2004)
menyampaikan evaluasi kegiatan pendidikan kesehatan dilakukan melalui
kognitif dan psikomotor. Fokus pendidikan kesehatan pencegahan batu
ginjal yakni terapi diet. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Agency for Healthcare Research and Quality pada kelompok kontrol yang
dilakukan terapi diet dan terapi farmakologi (8 terapi diet dan 20 terapi
farmakologi) menunjukan bahwa terapi diet berperan menurunkan angka
kekambuhan batu ginjal pada pasiennya, yakni pasien yang meningkatkan
intake cairan memiliki risiko penimbunan komposit pembentuk batu ginjal
berulang yang lebih rendah (RR, 0,45 [95% CI, 0.2 – 0.84], n=1 trial),
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
45
penurunan konsumsi soft drink menurunkan gejala kekambuhan batu ginjal
(RR, 0.83 [CI 0.71 – 0.98]). Diet rendah protein hewani, diet normal kasium,
dan diet rendah natrium mengurangi komposit pembentuk batu ginjal
berulang jika dibandingkan dengan pasien yang menjalani diet rendah
kalsium. Akan tetapi, dalam penelitian tersebut tidak ada kelompok kontrol
yang memiliki batu ginjal dengan kandungan batu asam urat (Minnesota
Evidence-based Practice Center, & Minneapolis, 2013).
Analisis pelaksanaan discharge planning dengan materi pendidikan
kesehatan mengenai pencegahan batu ginjal berulang dengan fokus terapi
diet dilaksanakan dua kali. Evaluasi berdasarkan kegiatan tersebut meliputi:
1) Evaluasi kognitif, pasien menunjukan peningkatan pemahaman mengenai
batu ginjal sebelum dilakukan pendidikan kesehatan dan setelah dilakukan
pendidikan kesehatan. Pasien mampu menyebutkan pengertian penyakit batu
ginjal,
tanda
dan
gejalanya,
patofisiologi
singkat,
komplikasi,
penatalaksanaan batu ginjal, dan pencegahan batu ginjal berulang. 2) Secara
psikomotor, selama pasien dirawat di rumah sakit, peningkatan konsumsi
buah, intake cairan harian pasien lebih dari 2,5 liter per hari, sehingga pascaoperatif pasien tidak mengalami hipertermi. Berbeda halnya dengan pasien
batu ginjal lainnya yang tidak dilakukan pendidikan kesehatan mengenai
batu ginjal. Sedangkan intervensi lainnya seperti diet rendah purin dan diet
rendah protein hewani tidak dapat dilakukan evaluasi langsung, tetapi pasien
mengatakan akan mempraktikannya setelah pulang dari rumah sakit.
4.4. Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan
Asuhan keperawatan yang dilakukan pada pasien memiliki beberapa
kendala. Langkah yang diambil mahasiswa adalah mencari alternatif
pemecahan masalah yang bersumber pada perawat sebagai pemberi asuhan
keperawatan, fasilitas pelayanan kesehatan, kolaborasi dengan professional
kesehatan lain, dan pelibatan pasien beserta keluarganya.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
46
Masalah kesehatan pada pasien yang masih harus mendapat pengawasan
adalah pelaksanaan pencegahan batu ginjal yang sudah mahasiswa ajarkan
pada pasien. Pelaksanaan pencegahan dilakukan bersifat terus menerus,
tidak hanya pada saat pasien dirawat di rumah sakit. Tindakan yang sudah
mahasiswa lakukan pada pasien terkait hal tersebut adalah memberikan
pendidikan kesehatan mengenai batu ginjal dan pencegahannya. Tindakan
dilanjutkan pada pengawasan kepada pasien dengan dibantu oleh
keluarganya, meliputi peningkatan asupan air minum (lebih dari 2 liter per
hari), diet rendah purin dan diet rendah protein hewani. Evaluasi
pelaksanaan kegiatan bersifat kognitif sesuai dengan materi yang
disampaikan, dan beberapa psikomotor yang dievaluasi setelahnya.
Terdapat beberapa kekurangan dalam melakukan discharge planning ini,
yaitu penulis merasa referensi terkait evidence based practice yang sesuai
dengan kasus ini terbatas. Selain itu, karena pencegahan batu ginjal berulang
seharusnya ditunjukan pada sikap pasien secara berkelanjutan, tidak ada
yang mengawasi pasien untuk tindakan pencegahan berikutnya. Selain itu,
penilaian dari segi afektif sulit dilakukan mengingat intervensi yang
dilakukan mahasiswa pada pasien terbatas waktu, yakni satu minggu praktik
di rumah sakit. Evaluasi pelaksanaan pendidikan kesehatan mengenai diet
terapi juga dapat dilakukan dengan pengukuran biokimia darah dan urine
serta dilakukan dalam periode penelitian yang lebih lama.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
47
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan berdasarkan analisis praktik klinik mahasiswa di ruang bedah
gedung A lantai 4 RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo, khususnya pada pasien
dengan batu ginjal adalah sebagai berikut:
a. Penyakit batu ginjal atau batu saluran kemih merupakan masalah
kesehatan masyarakat perkotaan yang insiden kejadiannya lebih banyak
terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Angka kekambuhan
penyakit batu ginjal cukup tinggi yakni sekitar 50% pada lima tahun
terakhir dan sekitar 70% pada sepuluh tahun terakhir.
b. Terdapat beberapa jenis batu untuk batu ginjal dan batu saluran kemih.
Hal ini didasarkan pada komposisi dasar batu, meliputi batu kalsium
oksalat, kalsium fosfat, asam urat, struvit, dan sistin. Batu kalsium
oksalat merupakan jenis batu yang paling banyak ditemukan.
c. Faktor risiko terjadinya batu ginjal melibatkan faktor intrinsik dan
ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi umur, jenis kelamin, dan herediter.
Sedangkan faktor ekstrinsik termasuk gaya hidup dan faktor diet.
d. Discharge planning merupakan suatu proses yang dimulai sejak awal
pasien masuk rumah sakit sampai akhirnya pasien siap pulang. Proses
discharge planning dapat dijadikan media bagi perawat memaksimalkan
perannya sebagai edukator dengan memberikan pendidikan kesehatan
mengenai pencegahan batu ginjal untuk menurunkan kemungkinan batu
ginjal berulang pada pasien.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
48
5.2. Saran
Berdasarkan keterbatasan dan pembahasan hasil penulisan ini, maka penulis
memberikan beberapa rekomendasi kepada penulis selanjutnya dalam
melakukan asuhan keperawatan pada pasien batu ginjal.
a. Penulis selanjutnya tetap memberikan intervensi keperawatan sesuai
dengan masalah yang ditemukan pada pasien dengan batu ginjal.
Discharge planning tetap dapat diberikan mulai dari pasien masuk
sampai pasien akan pulang. Penulis dapat membagi sesi pendidikan
kesehatan menjadi lebih dari dua sesi, sehingga fokus pencegahan batu
ginjal untuk mengurangi risiko batu ginjal berulang dapat lebih optimal.
Selain itu, metode evaluasi mengenai pendidikan kesehatan ini perlu
diperhatikan agar tidak terfokus pada evaluasi kognitif semata,
melainkan evaluasi psikomotor, dan afektif jika memungkinkan.
b. Bagi bidang keperawatan, pelaksanaan discharge planning dibeberapa
lahan praktik kadang hanya dilakukan pada saat pasien mau pulang.
Padahal proses ini seharusnya dimulai sejak pasien dirawat dan
dilakukan dengan kolaborasi dengan multidisiplin ilmu. Perawat perlu
memaksimalkan peran edukator melalui proses discharge planning
sehingga pasien bukan hanya dinyatakan sembuh namun juga dapat
meningkatkan kesehatnnya setelah pulang dan tidak kembali ke rumah
sakit untuk kasus yang sama.
c. Bagi institusi pendidikan, institusi pendidikan dapat memfasilitasi
mahasiswanya dalam menyusun materi discharge planning khususnya
pasien dengan batu ginjal, agar apa yang disampaikan kepada pasien
adalah yang benar-benar pasien butuhkan.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
49
DAFTAR PUSTAKA
Almborg, H. A., Ulandar, K., & Thulin, A. (2010). Discharge after strokeimportant factor for health: Realated Quality of Live. Journal of Clinical
Nursing, 19, 2196.
Birjandi, A., & Lisa, M. B. (2009). Discharge planning handbook for healthcare:
Top 10 secet to unlocking a new revenue pipeline. New York: Taylor &
Francis Group.
Carpenito, L. J. (1999). Nursing diagnosis and collaborative problems. 3rd
Edition. Philadelphia: Lippincot.
Chang, E., John, D., & Doug, E. (2006). Pathophysiology: Applied to nursing
practice (Alih bahasa: Andry Hartono). Jakarta: EGC.
Clas, B. (1990). Alkaline citrate in prevention of recurrent calcium oxalate stone.
Department of Urology and Clinical Chemistry. Lincoping.
Coe, F. L., & Park, J. H. (1988). Nephrolithiasis, phatogenesis and treatment.
Year Book Medical Publisher Inc.
Chang, E., John, D., & Doug, E. (2010). Pathophysiology: Applied to nursing
practice. (Alih bahasa: Andry Hartono). Jakarta: EGC.
Coll, D. M., Varanelli, M. J., & Smith, R. C. (2002). Relationship of spontaneous
passage of ureteral calculi to stone size and location as revealed by
unenhanced helical CT. AJR American Journal Roentgenol. 178(1): 101 - 103.
Curhan G, C., Willett, W.C., Rimm, E. B., Speizer, F. E., & Stampfer, M. J.
(1998). Body size and risk of the kidney stones. Journal of the American
Society of Nephrology, 9: 1645 - 1652.
Daudon, M., Dore, J. C., Jungers, P., Lacour, B. (2004).
Changes in stone
composition according to age and gender of patients: A multivariate
epidemiological approach. Urology Research, 32: 241 – 247.
Dewi, D. A. P. R., & Anak, A. N. S. (2007). Profil analisis batu saluran kencing di
instalasi laboratorium klinik RSUP Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit
Dalam, 8(3)
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
50
Doenges, M. E., Mary, F. M., Alice, C, G. (2002). Nursing care plans: Guidelines
for planning and documenting patient care. 3rd Edition. (Alih bahasa: I Made
Kariasa & Ni Made Sumarwati). Jakarta: EGC.
Escribano, J., Balaguer, A., Pagone, F., et al. (2009). Pharmacological
interventions for preventing complications in idiopathic hypercalciuria.
Cochrane Database of Systematic Reviews, (1): CD004754.
Fan, J., Chandhoke, S. P., Grampsas. (1999). Role of sex hormones in
experimental calcium oxalate nephrolithiasis in the nephron. Journal of the
American Society of Nephrology , 10: 376 – 380.
Hesse, A., Brandle, E., Wilbert, D., Kohrmann, K. U., Alken, P. (2000). Study on
the prevalence and incidence of urolithiasis in Germany comparing the years
1979 vs. 2000. European Urology, 44: 709 – 713.
Hughes, P. (2007). Kidney stones epidemiology. Nephrology, 12, S26-S30;
doi:10.1111/j.1440-1797.2006.00724.x
Kairaitis, L. (2007). Caring for australians with renal I. The CARI guidelines:
Kidney stones: prevention of recurrent calcium nephrolithiasis. Nephrology.
12 Suppl 1:S11-20.
Kementerian Kesehatan RI (2011). Diet rendah purin. Jakarta: Direktorat Bina
Gizi Subdit Bina Gizi Klinik.
------. (2011). Diet rendah protein. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Subdit Bina Gizi
Klinik.
Kim, S.C., Coe, F. L., Tinmouth, W., et al. (2005). Stone formation prooption to
papier surface coverage by randall's plaque. Journal Urology, 173(1); 117
Kok, J. D., & Schell-Feith, A. E. (1999). Risk factors for crystallization in the
nephron. Journal of the American Society of Nephrology, 10: S 364 – 370.
Knoll, T. (2010). Epidemiology, pathogenesis, and pathophysiology of
urolithiasis.
European
Urology
Supplements
9,
doi:
10.1016/j-
eursup.2010.11.006
Kozier, B. (2004). Fundamental of nursing: Concept, process, and practice.
Volume 6th Edition. New Jersey: Pearson/prentice hall.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
51
Krisna, S. (2012). Mencegah pembentukan batu kalsium di saluran kencing. 7 Juli
2014. http://home.spotdokter.com/199/mencegah-pembentukan-batu-laksiumdi-saluran-kencing/
Lina, N., Suharyo, H., & Rifki, M. (2007). Faktor-faktor risiko batu saluran
kemih pada laki-laki: Studi kasus di RS. Dr. Kariadi, RS. Roemani, dan RSI
Sultan Agng Semarang. Semarang: FU UNDIP Bagian Bedah.
Mattle D., & Hess, B. (2005). Preventive treatment of nephrolithiasis with alkali
citrate--a critical review. Urological Research, 33(2): 73 - 79.
Menon, M, Resnick, & Martin I. (2002). Urinary lithiasis: Etiologi and
endourologi in Chambell's Urology, 8th Ed., Vol 14. Philadelphia : W.B.
Saunder Company.
Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis. (2013). Reccurent
nephrolithiasis in adults: Comparative effectiveness of preventive medical
strategies. AHRQ Publication, 12-EHCO49-EF
Newsan, J. E., & Petric, J. J. B. (1981). Stones in the urinary tractus in urology
and renal medicine, 3rd Ed. London: Churchill Livingstone.
Parivar, F., Roger, K. & Stoller, M. (2003) The influence of diet on urinary stone
disease. Journal Urology, 169(2): 470 - 474.
Pearle, M. S., Roehrborn, C. G., & Pak, C.Y. Metaanalysis of randomized trials
for medical prevention of calcium oxalate nephrolithiasis. Journal of
Endourology, 13(9): 679 - 685.
Phillips, C., Wright, S. M., Singa, R. M., Sheppert, S., & Rubin, H. R. (2004).
Comprehensive discharge planning with post discharge support for older
patients congestive heath failure: Meta-analysis. NHS. National Institute for
Health Research.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2004). Buku ajar fundamental keperawatan:
Konsep, proses, & praktik. Volume 1 Edisi 4. Jakarta: EGC.
Preminger, G. M., Tiselius, H. G., Assimos, D. G., et al. (2007). Guideline for the
management of ureteral calculi. Journal of Urology, 178(6): 2418 - 2134.
Rakhmawati, N. D., Fitri, H., & Tunjung, W. (2013). Pengaruh discharge planning
terhadap berat badan pada BBLR dalam tiga bulan pertama di kota Semarang.
Jurnal Keperawatan Anak, 1(2), 127 – 134.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
52
Ratu, G., Badji, A., & Hardoeno. (2006). Profil analisis batu saluran kemih di
laboratorium patologi klinik. Indonesai Journal of Clinical Pathoogy and
Medical Laboratory, 12(3): 114 - 117
Scales, J. C. D., Curtis, L. H., Norris, R. D., et al. (2007). Changing gender
prevalence of stone disease. Journal Urology, 177: 979 – 982.
Segura, J. W., Preminger, G. M., Assimos, D. G., et al. (1997) Ureteral stones
clinical guidelines panel summary report on the management of ureteral
calculi. The American Urological Association. Journal Urology,158(5): 1915 1921.
Stoler, M., Maxwell, V. M., Harrison, A. M. & Kane, J. P. (2004). The primary
stone event: A new hupotesis involving a vasculer etiology. Journal Urology,
171(5); 1920 - 1924.
Strohmaier, W. L. (2000). Socioeconomic aspects of urinary calculi and
metaphylaxis of urinary calculi in German. Urologe A, 39: 166 – 170.
Strope, S. A., Wolf, J. J. S., Hollenbeck, B. K. (2010). Changes in gender
distribution of urinary stone disease. Urology,75: 543 – 546.
Sudoyo, A. W., Bambang, S., Idrus, A., Marcellus, S. K., & Siti, S. (2009). Buku
ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing.
Sya'bani, M., Bakri ,S., & Rahardjo, P. (2001). Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid II Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Taylor, E. N, Curhan, G. C. (2006). Body size and 24-hour urine composition.
American Journal of Kidney Diseases, 48: 905 – 915.
Tietz, W. N. (2001). Renal calculi in textbook of clinical chemistry. Philadelphia:
W. B. Saunders Company.
Turk, C. K. T., Petrik, A., Sarica, K., Straub, M., & Steitz, C. (2011). Guidelines
on urolithiasis. www.uroweb.org/professionalresources/guidelines/.
Vidar, O. E., Olafur, S. I., Gudjon, H., Kjartansson, O., & Runolfur, P. (2012).
Temperal trends in the incidence of kidney stone disease. Kidney
International, 83: 146 - 152.
William, D.M. (1999). Clinical and laboratory evaluation of renal stone patiens
in endokrinologi and metabolism clinic of North America. Philadelpian: W.B.
Saunders.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
53
Lampiran 1. Rencana Asuhan Keperawatan Pre-Operatif
Tabel 2. Rencana Asuhan Keperawatan Pre-Operatif
ASUHAN KEPERAWATAN PRE OPERATIF
Diagnosis
Keperawatan
Ansietas
berhubungan
dengan rencana
operasi.
Tujuan Umum
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 1 x 24 jam
diharapkan cemas
berkurang
Tujuan Khusus
Tujuan khusus:
a. Tekanan darah
normal 120/80
mmHg
b. Frekuensi
pernafasan normal
16 – 24 kali per
menit
c. Frekuensi nadi
normal 60 – 100
kali per menit.
d. Wajah tampak
tenang
e. Klien
mengungkapkan
siap dilakukan
operasi dan paham
dengan tindakan
tersebut.
Intervensi
Rasional
a. Kaji dan dokumentasikan
kecemasan pasien, termasuk
reaksi fisik setiap sift.
Kecemasan ditujukan baik secara
verbal maupun nonverbal. Isyarat
nonverbal kadang lebih kuat
dibandingkan dengan isyarat
verbal.
b. Kaji faktor budaya yang
menjadi penyebab ansietas.
Beberapa budaya pada pasien
kadang bertentangan dengan
intervensi medis, dll sehingga
dapat membuat pasien merasa
cemas.
c. Beri dorongan kepada pasien
untuk mengungkapkan secara
verbal pikiran dan perasaan
untuk mengeksternalisasikan
ansietas.
d. Gali bersama pasien tentang
tehnik yang berhasil dan tidak
berhasil menurunkan ansietas di
masa lalu.
Dengan mengungkapkan
kecemasan, diharapkan pasien
akan merasa lebih lega.
e. Ajarkan tehnik relaksasi untuk
Tehnik relaksasi bertujuan untuk
Koping individu pasien yang
terdahulu dapat menurunkan nyeri
bagi pasien, karena respon nyeri
bersifat subjektif pada pasiennya.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
54
mengurangi ansietas dengan
tehnik nafas dalam, berfikir
positif, dan distraksi.
f. Anjurkan pasien untuk
melakukan tehnik relaksasi jika
merasa cemas.
g. Kaji pemahaman pasien
mengenai rencana tindakan
operasi yang akan
dilakukannya.
merelaksasikan otot sehingga
dapat mengurangi kecemasan
yang dialami pasien.
Memotivasi pasien secara terus
menerus.
Ketidakpahaman pasien mengenai
rencana intervensi medis ataupun
keperawatan dapat menyebabkan
pasien merasa cemas.
h. Berikan kesempatan kepada
Pasien memiliki hak menanyakan
pasien untuk menanyakan halmengenai hal-hal yang berkaitan
hal yang belum dipahaminya,
dengan rencana intervensinya.
jelaskan sesuai dengan
kewenangan perawat mengenai
rencana tindakan operasi pasien.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
55
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan Post-Operatif
Tabel 3. Rencana Asuhan Keperawatan Post-Operatif
ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERATIF
Diagnosis
Keperawatan
Nyeri akut
berhubungan
dengan insisi
luka operasi.
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
Setelah dilakukan Tujuan khusus:
tindakan
a. Penurunan skala
keperawatan
nyeri dari 4 – 5
selama 4 x 24 jam
menjadi 1 – 2
diharapkan nyeri b. Penurunan durasi
berkurang.
nyeri dari 30 – 40
detik menjadi 5 –
10 detik.
c. Tekanan darah
normal 120/80
mmHg.
d. Suhu aksila normal
36 – 37 derajat
Celcius.
e. Frekuensi
pernafasan normal
16 – 24 kali
permenit.
f. Frekuensi nadi
normal 60 – 100
kali per menit.
g. Pasien
Intervensi
Rasional
a. Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif meliputi lokasi.
Karakteristik, awitan, durasi,
frekuensi, kualitas, insitas atau
keparahan nyeri, dan faktor
presipitasinya.
b. Observasi isyarat nonverbal
ketidaknyamanan.
Membantu mengevaluasi tempat
obstruksi, kemajuan gerakan
kalkulus, dan kondisi post operasi
pemasanga nefrostomi.
c. Observasi kondisi luka
pascabedah dan balutannya.
Luka post operasi merupakan
sumber nyeri yang dirasakan oleh
pasien, sehingga perlu dievaluasi
setiap hari untuk menentukan
kondisi penyembuhan luka.
d. Berikan informasi tentang nyeri,
seperti penyebab nyeri, berapa
lama akan berlangsung, dan
antisipasi ketidaknyamanan
akibat prosedur.
Nyeri kadang menyebabkan
kecemasan pada pasien.
Pemberian informasi terkait nyeri
membantu pasien mengurangi
kecemasan.
Beberapa pasien cenderung
menunjukan ketidaknyamanan
melalui isyarat non verbal.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
56
mengungkapkan
e. Ajarkan penggunakan tekhnik
neyri berkurang.
nonfarmakologis: tekhnik
h. Pasien
hipnotis, tekhnik relaksasi,
mengungkapkan
distraksi, terapi musik sebelum,
tidak ada gangguan
setelah, dan jika memungkinkan
tidur.
selama aktivitas yang
i. Pasien
menimbulkan nyeri.
memperlihatkan
tekhnik relaksasi
f. Berikan posisi yang nyaman bagi
secara efektif.
pasien untuk mengurangi nyeri.
j. Pasien melaporkan
selera makan yang
g. Anjurkan pasien melakukan
baik.
manajemen nyeri seperti yang
sudah dijalaskan.
h. Kendalikan faktor lingkungan
yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap
ketidaknyamanan (misalnya suhu
ruangan, pencahayaan, dan
kegaduhan).
i. Kolaborasi: kelola nyeri
pascabedah dengan pemberian
analgetik yang terjadwal setiap 4
atau delapan jam.
Manajeman nyeri non
farmakologis bermanfaat
merelaksasikan otot-otot tubuh
sehingga mengurangi efek nyeri
yang dirasakan oleh pasien. Selain
itu juga bertujuan agar pasien
tidak terfokus pada nyeri yang
dirasakannya.
Meningkatkan relaksasi dan
mengurangi tegangan otot.
Memotivasi pasien agar tidak
terlalu berfokus pada nyei yang
dirasakan pasien.
Beberapa pasien merasa kurang
nyaman dengan pencahayaan
yang kuat, ataupun nyeri menjadi
meningkat jika suasana gaduh.
Memberikan lingkungan nyaman
akan meningkatkan kenyamanan
fisik pasien.
Analgetik bertujuan mengurangi
nyeri pasien dengan bekerja
meredakan aktivitas saraf yang
menyebabkan nyeri.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
57
j. Kolaborasi: laporkan kepada
dokter jika tindakan meredakan
nyeri dengan analgetik tidak
berhasil.
Perubahan
eliminasi urin
berhubungan
dengan
pemasangan
kateter
nefrostomi dan
kateter urin.
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 4 X 24 jam
diharapkan
eliminasi urine
kembali normal.
Tujuan khusus:
a. Pasien
menunjukan
berkemih secara
normal
b. Pasien
mengungkapkan
tidak ada
obstruksi,
hambatan
berkemih, atau
nyeri saat
berkemih.
c. Warna urine
kuning jernih.
d. Nyeri pinggang
berkurang atau
teratasi (Skala 0),
Membantu mengevaluasi
pemberian analgetik dengan
respon pasien, apakah dosisi
sudah sesuai dengan pasien atau
belum, ataupun apakah ada
kondisi lain yang menyebabkan
nyeri tetap ada meski dengan
pemberian analgetik.
a. Awasi pemasukan, pengeluaran,
dan karakteristik urine.
Memberikan informasi tentang
fungsi ginal dan adanya
komplikasi. Contoh: infeksi dan
perdarahan dapat
mengindikasikan peningkatan
obstruksi atau iritasi ureter.
b. Awasi asupan dan haluaran,
karakteristik urine, catat adanya
keluaran batu
Penemuan batu memungkinkan
identifikasi tipe batu dan
mempengaruhi pilihan terapi.
c. Tentukan pola berkemih normal
pasiendan perhatikan variasi
yang terjadi
Kalkulus dapat menyebabkan
eksitabilitas saraf yang
menyebabkan sensasi kebutuhan
berkemih segera. Biasanya
frekuensi dan urgensi meningkat
bila kalkulus mendekati
pertemuan uretrovesikal.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
58
e. Saat dipalpasi
tidak ada sisa urin
Resiko
kekurangan
nutrisi kurang
dari kebutuhan
berhubungan
dengan
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3 X 24 jam
diharapkan tidak
terjadi kekurangan
Tujuan khusus:
a. Pasien
mempertahankan
keseimbangan
cairan
b. Tanda-tanda vital
d. Motivasi pasien meningkatkan
pemasukan cairan.
Peningkatan hidrasi akan
membilas bakteri, darah, dan
debris, dan dapat membantu
lewatnya batu.
e. Observasi perubahan status
mental, perilaku atau tingkat
kesadaran.
Akumulasi sisa uremik dan
ketidakseimbangan elektrolit
dapat menjadi toksik pada system
saraf pusat.
f. Pantau hasil pemeriksaan
laboratorium (elektrolit, BUN,
kreatinin)
Peningkatan BUN, kreatinin dan
elektrolit mengindikasikan
disfungsi ginjal.
g. Berikan obat sesuai indikasi :
Antibiotika
Antibiotik diberikan untuk
mencegah adanya infeksi bakteri
h. Pertahankan patensi kateter tak
menetap (uereteral, uretral atau
nefrostomi).
Diperlukan untuk membantu
aliran urine atau mencegah retensi
dan komplikasi.
a. Pantau intake dan output.
Membandingkan keluaran actual
dan yang diantisipasi membantu
dalam evaluasi adanya/derajat
stasis/kerusakan ginjal.
Kerusakan fungsi ginjal dan
penurunan haluaran urine dapat
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
59
pemasangan
kateter
nefrostomi
cairan.
c.
d.
e.
f.
g.
stabil (tekanan
darah 120/80
mmHg, frekuensi
nadi 60 – 100 kali
per menit, frekuensi
nafas 16 – 24 kali
per menit, suhu 36
– 37 derajat
Celcius).
Berat badan dalam
rentang normal.
Membrane mukosa
lembab
Turgor kulit baik
Capillary refill time
< 2 detik.
Balance cairan
positif.
mengakibatkan volume sirkulasi
lebih tinggi dengan tanda gejala
GGK.
b. Catat adanya muntah atau diare.
Perhatikan karakteristik dan
frekuensi muntah dan diare.
Mual/muntah dan diare secara
umm berhubungan dengan kolik
ginjal karena saraf ganglion
seliaka pada kedua ginjal dan
lambung. Pencatatan dapat
membanu mengesampingkan
kejadian abdominal pain lain yang
menyebabkan nyeri atau
menunjukan kalkuluas.
c. Tingkatkan pemasukan cairan
Mempertahankan keseimbangan
sampai 3 – 4 liter dalam toleransi cairan untuk untuk hemostasis
jantung.
juga tindakan mencuci yang dapat
membilas batu kular. Dehirasi
atau ketidakseimbnagan elektrolit
dapat terjadi sekunder akibat
kehilangan cairan berlebihan.
d. Pantau tanda-tanda vital,
membrane mukosa, turgor kulit,
pengisian kapiler setiap sift.
Indikasi hidrasi atau volume
sirkulasi dan kebutuhan
intervensi.
Contoh: penurunan laju filtrasi
glomerulus merangsang produksi
renin yang bekerja untuk
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
60
meningkatkan tekanan darah
dalam upaya meningkatkan aliran
darah ginjal.
e. Timbang berat badan setiap hari.
Peningkatan berat badan cepat
mungkin berhubungan dengan
adanya retensi.
f. Awasi kadar elektrolit,
hemoglobin dan hematrokrit
darah.
g. Kolaborasi: pemberian cairan IV
line.
h. Pantau pemberian cairan IV line
sesuai dengan prosedur.
Mengkaji hidrasi dan keefektifan
ata kebutuhan intervensi.
Memberikan cairan secara cepat
bila kondisi pasien kekurangan
cairan tubuh.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
61
Lampiran 3. Catatan Perkembangan Keperawatan
Tabel 4. Catatan Perkembangan Keperawatan
CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN
Tanggal
Diagnosis
Implementasi
06/05/2014 Ansietas berhubungan 1. Mengkaji kecemasan pasien,
dengan rencana
penyebab kecemasan
operasi
2. Mengkaji tingkat pemehaman
pasien mengenai rencana tindakan
operasi yang akan dijalani
3. Mengkaji kesiapan pasien dalam
mempersiapkan diri untuk operasi
4. Mendiskusikan kembali kebiasaan
pasien dalam mengurangi ansietas
sebelumnya
5. Mengukur tanda-tanda vital
6. Memberikan pendidikan kesehatan
perioperative
7. Mengajarkan manajemen ansietas:
tehnik distraksi, relaksasi dengan
nafas dalam
Evaluasi
S:
- Pasien mengatakan merasa sedikit tegang karena akan
operasi; rencana operasi yang akan dilakukan adalah
pemasagan selang ke ginjal kiri dan kanan untuk
memperbaiki kondisi ginjal; belum pernah dilakukan
operai sebelumnya; berdoa supaya operasi berjalan lancer.
- Pasien mengatakan akan mencoba melakukan mobilisasi
dini pasca operasi.
O:
- Wajah pasien tampak tegang dan pucat
- Tekanan darah awal 120/80 mmHg, tekanan darah
sekarang terukur 130/90 mmHg
- HR 82 kali per menit, RR 20 kali per menit,Sh 36 derajat
Celcius
- Klien direncanakan operasi pemasangan kateter
nefrostomi bilateral tanggal 07 Mei 2014 siang hari.
- Pasien tampak mempraktikan nafas dalam sesui dengan
yang diajarkan.
A: Ansietas +, masalah belum teratasi.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
62
P:
- Ajarkan kembali manajemen ansietas
- Temani pasian dan anjurkan pasien ngobrol dengan pasien
yang lainnya.
07/05/2014 Ansietas berhubungan 1. Membuat kontrak waktu dengan
dengan rencana
pasien.
operasi
2. Mengajarkan manajemen ansietas
dengan tehnik nafas dalam,
distraksi, dan mendengarkan
music.
S:
- Pasien mengatakan mencoba bersikap relaks; merasa
terbantu setelah mempraktikan manajeman ansietas yang
sudah diajarkan; mengatakan sudah siap dengan rencana
operasi siang nanti.
O;
- Pasien tampak mempraktikan nafas dalam pada saat-saat
tertentu
- Pasien terlihat kadang-kadang berbincang-bincang dengan
pasien yang lainnya.
A: Ansietas +, berkurang
P: -
1. Membuat kontrak waktu dengan
pasien.
2. Mengkaji keluhan nyeri pasien:
skala, kualitas nyeri, frekuensi,
dan durasi nyeri.
3. Mengukur tanda-tanda vital
4. Mengkaji kebiasaan pasien dalam
menurunkan nyeri sebelumnya.
5. Membantu memberikan posisi
S:
- Pasien mengatakan bahwa saat ini terasa nyeri di dekat
luka operasi, skala 5, meningkat saat bergerak dan pindah
posisi; muncul 3 kali selama 10 – 20 detik.
- Pasien mengatakan mengurangi nyeri dengan
meminimalisir pergerakan.
- Pasien mengatakan dengan obat, neyri menjadi berkurang.
Latihan nafas dalam sudah dilakukan tetapi kurang efektif.
08/05/2014 Nyeri akut
berhubungan dengan
insisi luka operasi.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
63
nyaman bagi pasien (posisi
semifowler).
6. Mengkaji kondisi balutan luka
H+1 postoperasi.
7. Kolaborasi: pemberian medikasi
analgetik tramadol 100 mg pukul
10.00 WIB dan medikasi
antibiotic cefoperazone 1 gram
pukul 10.00 WIB.
O:
- Wajah pasien tampak menyeringai saat pindah posisi,
- Tekanan darah 120/70 mmHg, HR= 88 kali per menit,
RR= 20 kali per menit, Suhu= 37 derajat Celcius.
- Balutan luka postoperasi tampak bersih, tidak ada
rembesan, tidak ada darah, selang nefrostomi bersih,
produksi urin ada warna kuning keruh agak kemerahan.
- Setelah diberikan tramadol 100 mg, pasien terlihat tenang
dan tidak kesakitan.
A: Nyeri akut, masalah belum teratasi.
P:
- Monitoring keluhan nyeri.
- Pantau keadaan luka postoperasi
- Ajarkan manajemen nyeri
- Persiapan dilakukan pemeriksaan radiologis : BNO-NP
09/05/2014 Nyeri akut
berhubungan dengan
insisi luka operasi.
1. Membuat kontrak waktu dengan
pasien.
2. Mengkaji keluhan nyeri pasien:
skala, kaalitas, frekuensi, durasi,
3. Mengukur tanda-tanda vital.
4. Membantu memberikan posisi
nyaman (semifowler).
5. Menganjurkan pasien melakukan
nafas dalam saat terasa nyeri.
6. Menganjurkan pasien melakukan
S:
- Pasien mengatakan nyeri masih kuat terasa, skala 4 sampai
5 meningkat saat bergerak; timbul 2 sampai 3 kali dalam
satu menit selama 10 sampai 15 detik.
- Pasien mengatakan merasa lebih nyeman dengan posisi
setengah duduk bersandar pada tempat tidur.
- Pasien akan mempraktikan nafas dalam jika nyeri timbul.
- Pasien mengatakan tidak ada mual, tidak ada muntah,
sudah bisa memiringkan badan ke kanan dan ke kiri, serta
sudah bisa duduk dengan dibantu.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
64
mobilisasi dini.
7. Mengkaji kondisi balutan luka
post-operasi H+2
8. Menganjurkan pasien melaporkan
ke perawat jika terdapat tandatanda infeksi pada luka
postoperasi.
9. Menganjurkan pasien menjaga
daerah sekitar luka postoperasi.
10. Kolaborasi pemberian analgetik
tramadol 100 mg dan antibiotic
cefaperazone 1 gram
O:
- Tekanan darah 120/80 mmHg, HR 100 kali per menit, RR
16 kali per menit, suhu 37 derajat Celcius
- Pasien tampak sudah bisa duduk bersandar di tempat tidur.
- Tampak wajah yang semakin tenang setelah pemberian
tramadol 100 mg.
- Kondisi balutan luka kering, bersih, tidak ada rembesan,
tidak ada darah, selang nefrostomi bersih dengan produksi
berwarna kuning keruh agak kemerahan.
A: Nyeri akut, masalah belum teratasi
P:
- Observasi keluhan nyeri pasien
- Pantau kondisi luka postoperasi
- Anjurkan pasien melakukan manajeman nyeri.
09/05/2014 Perubahan eliminasi
urine pemasangan
kateter nefrostomi.
1. Mengkaji pola berkemih pasien
postoperasi.
2. Mengkaji adanya retensi urine dan
kemampuan mengontrol keinginan
berkemih
3. Memantau kelauran produksi
urine melalui kateter urine dan
kateter nefrostomi.
4. Melatih blader training.
S:
- Pasien mengatakan setelah operasi dan dipasang selang ke
ginjal, urine keluar sendiri dengan jumlah banyak dan
berwarna kuning keruh, masih agak kemerahan.
- Pasien mengatakan sudah bisa merasakan keinginan
berkemih.
O:
- Terlihat pasien terpasang kateter nefrostomi bilateral
dengan produksi urine berwarna kuning keruh agak
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
65
kemerahan, dan kateter urine, produksi ada berwarna
kuning keruh.
- Pasien sudah dilakukan blader training dan rencana
dilepas.
A:
Perubahan eliminasi urin +, masalah teratasi.
P:
09/05/2014 Resiko kekurangan
cairan kurang dari
kebutuhan
berhubungan dengan
pemasangan keteter
nefrostomi.
1. Menghitung kebutuhan cairan
harian pasien.
2. Memantau produksi urine melalui
kateter nefrostomi dan kateter
urine.
3. Menganjurkan pasien
meningkatkan intake cairan lebih
dari 2,5 liter per hari.
4. Melibatkan keluarga dalam
proses pemantauan urine output
dengan mencatatnya.
S:
- Pasien mengatakan minum air putih banyak, lebih dari 2
liter per hari.
- Keluarga mengatakan akan mencatat jumlah urine yang
keluar.
O:
- Kebutuhan harian cairan minimal pasien dengan berat
bdan 85 kg.
1500 + (65 x 15) = 2475 per 24 jam.
- Pasien terpasang IUFD dengan cairan NaCl 0,9% 500 ml
per 8 jam.
- Produksi urine output tercatat: nefrostomi kanan 2700 cc,
dan nefrostomi kiri 1200 cc. total 3900 cc/24 jam.
- Input cairan melalui minum 2 botol air mineral besar
(3000 cc) dan melalui infus NaCl 0,9 % 1500/24 jam.
Total input 4500 ml/24 jam.
- Balance cairan + 600 ml.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
66
A: Resiko kekuranga cairan kurang dari kebutuhan +,
masalah belum teratasi.
P:
- Pantau intake dan output caitan.
- Motivasi pasien minum air lebih dari 3 liter per hari.
- Hitung balance cairan
10/05/2014 Nyeri akut
berhubungan dengan
insisi luka operasi.
1. Membuat kontrak waktu dengan
pasien.
2. Mengkaji keluhan nyeri pasien:
skala, kaalitas, frekuensi, durasi,
3. Mengukur tanda-tanda vital.
4. Membantu memberikan posisi
nyaman (semifowler).
5. Menganjurkan pasien melakukan
nafas dalam saat terasa nyeri.
6. Mengkaji kondisi balutan luka
post-operasi H+3
7. Menganjurkan pasien melaporkan
ke perawat jika terdapat tandatanda infeksi pada luka
postoperasi.
8. Kolaborasi pemberian antibiotic
cefaperazone 1 gram
S:
- Pasien mengatakan nyeri masih ada tetapi berkurang, skala
2 sampai 3, bisa ditahan, nyeri dirasa ketika bergerak,
- Pasien mengatakan sudah bisa berjalan secara mandiri,
akan latihan jalan-jalan kecil untuk mempercepat proses
penyembuhan luka post operasi.
- Tekanan darah 110/80 mmHg, SUhu 36,7 derajat Celcius,
HR 88 kali per menit, RR 20 kali per menit.
- Tampak luka postoperasi kering (+), kemerahan (-),
rembesan (-), darah (-), pus (-), bau (-), balutan sudah
diganti dengan balutan kasa kering-kering, panjang luka
sekitar 15 cm, produksi urine ada berwarna kuning keruh.
A: Nyeri berkurang, masalah teratasi sebagian.
P:
- Anjurkan manajemen nyeri nonfarmakologi pada saat
pasien merasa nyeri.
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
67
10/05/2014 Resiko kekurangan
cairan kurang dari
kebutuhan
berhubungan dengan
pemasangan keteter
nefrostomi.
1. Menghitung kebutuhan cairan
harian pasien.
2. Memantau produksi urine melalui
kateter nefrostomi dan kateter
urine.
3. Pantau pemberian cairan melalui
IUFD.
4. Melakukan pemeriksaan
laboratorium.
5. Menganjurkan pasien
meningkatkan intake cairan lebih
dari 2,5 liter per hari.
6. Melibatkan keluarga dalam proses
pemantauan urine output dengan
mencatatnya.
S:
- Pasien mengatakan banyak minum air putih, biasanya 1
botol ukuran besar dan 1 botol ukuran sedang.
- Hasil pemeriksaan laboratorum (nilai abnormal): Hb 10,4
gr.dl; Ht 34%, dan eritrosit 3,56. 10^6 /uL
Kreatinin 2,8 mg/dl
eGFR 27 ml/min/1,73 ml2
asam urat 8,1 mg/dl
ureum darah 74 mg/dl.
- Total urine output 3700 ml/24 jam
- Total intake melalui infus 1000 ml dan masukan cairan
oral 2200 ml, total intake 3200 ml/24 jam.
- Balance cairan – 500 ml.
- Mukosa bibir tampak lembab
A: resiko kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan, masalah
belum teratasi
P:
- Pantau intake dan oautput cairan
- Hitung balance cairan
- Motivasi pasien meningkatkan intake cairan
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
68
Lampiran 4. Rencana Satuan Acara Pembelajaran
RENCANA SATUAN ACARA PEMBELAJARAN
Pokok Bahasan
: Proses penyakit batu ginjal
Hari, Tanggal
: Rabu, 08 Mei 2014 dan Kamis, 09 Mei 2014
Waktu
: 30 menit
Tempat
: Ruang rawat Lt.4 Gd. A RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
1. Tujuan Intruksional Umum
Setelah mendapatan pendidikan kesehatan, pasien atau keluarga dapat
memahami proses penyakitnya.
2. Tujuan Intruksional Khusus
Setelah mendapatkan pendidikan kesehatan, pasien atau keluarga mampu:
a. Menjelaskan pengertian batu ginjal
b. Menyebutkan tanda dan gejala batu ginjal.
c. Menyebutkan faktor resiko penyakit batu ginjal.
d. Menyebutkan penatalaksanaan penyakit batu ginjal
e. Menyebutkan pencegahan penyakit batu ginjal melalui terapi diet
f. Menunjukan perilaku pencegahan penyakit batu ginjal selama dirawat
(peningkatan asupan cairan harian, tidak mengkonsumsi soft drink, diet
tinggi serat, dan diet rendah protein hewani dan purin).
3. Metode Pengajaran
Metode pengajaran yang digunakan: ceramah dan diskusi
4. Media yang Digunakan
Media yang digunakan: lembar balik dan leaflet
5. Materi pengajaran
a. Pengertian penyakit batu ginjal
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
69
b. Faktor risiko penyakit batu ginjal
c. Tanda dan gejala penyakit batu ginjal
d. Penatalaksanaa penyakit batu ginjal
e. Pencegahan penyakit batu ginjal
6. Metode Evaluasi
a. Evaluasi kognitif dengan memberikan pertanyaan terbuka
mengenai:penfertian batu ginjal, tanda dan gejala batu ginjal, faktor risiko
batu ginjal, penatalaksanaan pasien dengan batu ginjal, pencegahan
penyakit batu ginjal berulang.
b. Evaluasi psikomotor: perawat mengecej jumlah asupan cairan narian
pasien selama di ruamah sakit, diet tinggi serat, dan tidak meminum soft
drink.
7. Proses Pendidikan Kesehatan
Tabel 5. Rencana Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan 1
No
Waktu
5
Tahapan
Kegiatan
Pembukaan
Kegiatan
Mahasiswa
1. Memberi salam
1.
2. Menjelaskan tujuan 2.
dan materi yang
akan diberikan
3. Evaluasi awal
3.
tentang materi yang
akan diberikan
1
2
15
Kegiatan inti
1. Mahasiswa
1. Pasien dan
menjelaskan:
keluarga
2. Mahasiswa
memperhatikan
memberikan
dan mendengarkan
kesempatan bertanya
dengan sungguhmengenai hal-hal
sungguh.
yang sudah
2. Pasien atau
dijelaskan atau yang
keluarga
ingin diketahui
menanyakan halpasien dan keluarga
hal yang belum
tentang proses
jelas.
penyakit.
3. Pasien dan
Pasien
Menjawab salam
Memperhatikan
dan
mendengarkan
Menjawab
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
70
3. Mahasiswa
mendiskusikan
pertanyaan pasien
bersama-sama
4. Mahasiswa
melakukan evaluasi
3
10
Penutup
1. Mahasiswa
menyimpulkan isi
penyuluhan yang
telah disampaikan
2. Mahasiswa
mengucapkan terima
kasih
3. Mahasiswa membuat
kontrak pertemuan
selanjutnya
4. Salam Penutup
keluarga ikut
mendiskusikan
pertanyaan pasien
bersama-sama.
4. Pasien dan
keluarga
menjawab
mengenai
pertanyaan yang
diajukan
mahasiswa.
1. Pasien dan
keluarga
memahami isi
penyuluhan dan
menyamakan
persepsi tentang
penyakit batu
ginjal.
2. Pasien
menjawab
3. Pasien merespon
dan menentukan
pertemuan
selanjutnya.
4. Pasien
menjawab salam
Tabel 5. Rencana Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan 2
No
Waktu
1
5
Tahapan
Kegiatan
Pembukaan
2
15
Kegiatan inti
Kegiatan
Mahasiswa
Pasien
1. Memberi salam
1. Menjawab salam
2. Menjelaskan tujuan 2. Memperhatikan
dan materi yang
dan
akan diberikan
mendengarkan
3. Evaluasi awal
3. Menjawab
tentang materi yang
akan diberikan
1. Mahasiswa
menjelaskan:
2. Mahasiswa
memberikan
kesempatan
1. Pasien dan
keluarga
memperhatikan
dan mendengarkan
dengan sungguhUniversitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
71
3
10
Penutup
bertanya mengenai
sungguh.
hal-hal yang sudah 2. Pasien atau
dijelaskan atau yang
keluarga
menanyakan halingin diketahui
hal yang belum
pasien dan keluarga
tentang proses
jelas.
3. Pasien dan
penyakit.
keluarga ikut
3. Mahasiswa
mendiskusikan
mendiskusikan
pertanyaan pasien
pertanyaan pasien
bersama-sama.
bersama-sama
4. Pasien dan
4. Mahasiswa
keluarga
melakukan evaluasi
menjawab
mengenai
pertanyaan yang
diajukan
mahasiswa.
1. Pasien dan
1. Mahasiswa
keluarga
menyimpulkan isi
memahami isi
penyuluhan yang
penyuluhan dan
telah disampaikan
menyamakan
2. Mahasiswa
persepsi tentang
mengucapkan terima
penyakit batu
kasih
ginjal.
3. Mahasiswa membuat
kontrak pertemuan
2. Pasien
selanjutnya
menjawab
3. Pasien merespon
4. Salam Penutup
dan menentukan
pertemuan
selanjutnya.
4. Pasien
menjawab salam
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
72
Lampiran 5. Biodata Peneliti
BIODATA PENELITI
IDENTITAS DIRI
Nama
: Ragil Aprilia Astuti
Nama Panggilan
: Lia
Tempat, Tanggal Lahir: Kebumen, 04 April 1991
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Golongan Darah
:O
Suku
: Jawa
Kewarganegaraan
: Indonesia
Bahasa Dikuasai
: Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
Nomor Hp
: +6285228288834
Alamat Email
: [email protected]
Alamat Rumah
: Jalan Jatijajar KM 5, Desa Rowokele RT 02 RW 02
Nomor 60, Kecamatan Rowokele, Kabupaten Kebumen,
Jawa Tengah (54472)
Alamat Kosan
: Wisma Rarita, Jalan Pinang 1 Nomor 5 RT 02 RW 03,
Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kabupaten
Depok, Jawa Barat (16000)
PENDIDIKAN
No Jenjang
Pendidikan
1
PT
2
3
4
5
SMA
SMP
SD
TK
Nama Sekolahan
Periode
Fakultas Ilmu Keperawatan
Univesitas Indonesia
SMA Negeri 1 Rowokele
SMP Negeri 1 Rowokele
SD Negeri 1 Rowokele
TK Tunas Darma
2009 - 2014
2006 – 2009
2003 – 2006
1997 – 2003
1995 – 1997
Universitas Indonesia
Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014
Download