UNIVERSITAS INDONESIA DISCHARGE PLANNING PADA PASIEN DENGAN NEFROLITIASIS SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TERJADINYA NEFROLITIASIS BERULANG KARYA ILMIAN AKHIR RAGIL APRILIA ASTUTI 0906629593 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI NERS DEPOK JULI 2014 i Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 UNIVERSITAS INDONESIA DISCHARGE PLANNING PADA PASIEN DENGAN NEFROLITIASIS SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TERJADINYA NEFROLITIASIS BERULANG KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar ners keperawatan RAGIL APRILIA ASTUTI 0906629593 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI NERS DEPOK JULI 2014 ii Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Karya ilmiah akhir ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Ragil Aprilia Astuti NPM : 0906629593 Tanda Tangan : ............................... Tanggal : 11 Juli 2014 iii Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 HALAMAN PENGESAHAN Karya Ilmiah Akhir ini diajukan oleh : Nama : Ragil Aprilia Astuti NPM : 0906629593 Program Studi : Profesi Ners Judul Riset : Discharge Planning Nefrolitiasis sebagai Nefrolitiasis Berulang pada Pasien dengan Upaya Pencegahan Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners pada Program Studi Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia DEWAN PENGUJI Pembimbing : Tuti Nuraini, S. Kep., M. Biomed ( ) Penguji : Ns. Yeane Anastasi, S.Kep ) ( Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 11 Juli 2014 iv Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Penulisan karya ilmiah akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan mendapatkan gelar ners. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan karya ilmiah akhir ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: (1) Ibu Tuti Nuraini, S.Kp., M. Biomed selaku dosen pembimbing Fakultas Ilmu Keperawatan UI yang telah memberikan bimbingannya dalam penyusunan karya ilmiah akhir. (2) Ibu Yeane dan Ibu Dewi selaku pembimbing klinik yang telah memberikan bantuan dan bimbingannya selama praktik di RSUPN Dr. Cinto Mangunkusumo Jakarta. (3) Ibu Junaiti Sahar, PhD selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan UI, yang telah memberikan izin bagi pelaksanaan karya ilmiah akhir ini. (4) Para dosen di lingkungan FIK UI yang telah memberikan banyak ilmu kepada saya sehingga dapat menunjang pembuatan karya ilmiah akhir ini. (5) Ibu dan Bapak di rumah. Terima kasih untuk dukungan kalian selama ini. Meski bukan materi yang kalian berikan. Lebih dari itu, kalian mengajari anakmu untuk hidup di kota dengan tetap semangat dan doa yang tiap malam selalu kalian panjatkan meski pada saat itu anakmu sedang lelapnya tertidur. Terima kasih Ibu dan Bapakku tersayang. Semoga sayang-Nya mengalir untukmu. (6) Rahmat Yulianto, S.T., Quality Assurance PT Showa Indonesia Mfc. “Skripsine sampun dugi pundi???” Pertanyaan yang sering Mas sampaikan ke Lia,, hee. Kali ini sudah selesai, Insyaalloh. Terima kasih sudah memberikan waktunya untuk selalu menyemangati. v Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 (7) Kakak-kakakku yang perhatian. Kalau bukan karena kalian yang telah lebih dahulu memberikan teladan untuk adikmu ini, adikmu mungkin kan sering mengeluh dalam menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. (8) Teman-teman satu kelompok: Fatma, Dini, Lulu, Ijah, Bang John, Ka Ari, dan Bu Endang. Terima kasih sekali untuk penyemangatan yang kalian berikan dan masukan-masukan untuk karya ilmiah akhir ini, sehingga kita dapat menyelesaikannya sama-sama. Alhamdulillah ☺ Terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan karya ilmiah akhir ini. Pada akhirnya bantuan-bantuan kalianlah juga yang membuat proses ini menjadi lebih cepat. Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga karya ilmiah akhir ini dapat membawa manfaat baik untuk pelayanan kesehatan, pendidikan, maupun perkembangan ilmu dan penelitian lainnya. Aamiin Depok, 10 Juli 2014 Peneliti vi Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Ragil Aprilia Astuti NPM : 0906629593 Program Studi : Profesi Ners Fakultas : Ilmu Keperawatan Jenis karya : Karya Ilmiah Akhir Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Discharge Planning pada Pasien dengan Nefrolitiasis sebagai Upaya Pencegahan Nefrolitiasis Berulang Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasi tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilih Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 11 Juli 2014 Yang menyatakan Ragil Aprilia Astuti vii Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 ABSTRAK Nama Program Studi Judul Skripsi : Ragil Aprilia Astuti : Profesi Ners : Discharge Planning pada Pasien dengan Nefrolitiasis sebagai Upaya Pencegahan Nefrolitiasis Berulang Batu ginjal merupakan salah satu masalah kesehatan yang terjadi di daerah perkotaan. Pasien yang sudah pernah mengalami batu ginjal memiliki risiko kekambuhan batu ginjal sekitar lima puluh persen pada lima tahun pertama dan tujuh puluh persen pada sepuluh tahun berikutnya. Tingginya angka kekambuhan tersebut dapat dicegah sejak dini yakni melalui discharge planning. Tujuan penulisan ini adalah untuk melakukan analisis evidence based mengenai discharge planning terutama mengenai terapi diet dalam upaya pencegahan batu ginjal berulang. Hasilnyanya pasien memiliki peningkatan kognitif dan juga psikomotor yang baik dalam upaya pencegahan batu ginjal berulang. Rekomendasi kepada pasien dengan batu ginjal untuk memberikan discharge planning sejak pasien dirawat. Kata kunci: batu ginjal, discharge planning, keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan. viii Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 ABSTRACT Name Study Program Title : Ragil Aprilia Astuti : Ners : Discharge planning in the patient with nephrolithiasis for preventing recurrent nephrolithiasis. Nephrolithiasis is one of the problems in urban health nursing. Patient with nephrolithiasis have a risk recurrent nephrolithiasis about fifty percent in five year and seventy percent in ten year. It can be prevent early by using discharge planning. This article has purpose to analysis evidence based about discharge planning to prevent recurrent nephrolithiasis. The result of discharge planning showed that this can increase patient’s cognitive and good pshycomotor for preventing recurrent nephrolithiasis. Recommendation for next writer is using discharge planning take care patient since first day they are in hospital. Keywords: discharge planning, nephrolithiasis, urban health nursing. ix Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan Penelitian 1.3. Manfaat Penelitian ii iii iv v vii viii x xii xiii 1 1 3 4 BAB II. TINJAUAN LITERATUR 2.1. Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan 2.2. Konsep Umum Batu Ginjal 2.2.1. Pengertian Batu Ginjal 2.2.2. Patofisiologi Batu Ginjal 2.2.3. Faktor Risiko Batu Ginjal 2.2.4. Manifestasi Klinis Batu Ginjal 2.2.5. Pemeriksaan Diagnostik Batu Ginjal 2.2.6. Penatalaksanaan Batu Ginjal 2.2.7. Pencegahan Batu Ginjal 2.2.8. Asuhan Keperawatan pada Pasien Batu Ginjal 2.3. Discharge Planning 2.2.1. Pengertian Discharge Planning 2.2.2. Tujuan Discharge Planning 2.2.3. Penatalaksanaan Discharge Planning 5 5 6 6 6 8 11 12 13 14 18 19 19 20 20 BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 3.1. Pengkajian 3.1.1. Identitas Pasien 3.1.2. Anamnesis 3.1.3. Pemeriksaan Penunjang 3.2. Analisis Data 3.3. Rencana Asuhan Keperawatan dan Implemantasi 3.4. Evaluasi Keperawatan 22 22 22 22 27 28 29 33 BAB IV ANALISIS SITUASI 36 4.1. Analisis Masalah Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (PKKMP) 36 4.2. Analisis Kasus 37 x Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 4.3. Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian terkait 4.4. Alternatif Pemecahan Masalah yang Dapat Dilakukan 43 45 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 5.2. Saran 47 47 48 DAFTAR PUSTAKA 49 xi Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Analisis Data Rencana Asuhan Keperawatan Pre-Operatif Rencana Asuhan Keperawatan Post-Operatif Catatan Perkembangan Keperawatan Rencana Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan 1 Rencana Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan 2 28 53 55 61 69 70 xii Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran 1 Rencana Asuhan Keperawatan Pre-Operatif 2 Rencana Asuhan Keperawatan Post-Operatif 3 Catatan Perkembangan Keperawatan 4 Rencana Satuan Acara Pembelajaran 5 Biodata Penulis xiii Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batu saluran kemih termasuk juga batu ginjal merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat perkotaan. Batu saluran kemih termasuk dalam tiga kategori masalah di bidang urologi yang banyak terjadi di Indonesia selain infeksi saluran kemih dan benign prostatic hyperplasia (Bahdarsyam, 2003). Batu ginjal merupakan proses terbentuknya batu yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang mempengaruhi daya larut substansi (Lina, Suharyono, & Rifki, 2007). Batu ginjal terbentuk melalui proses supersaturasi dengan keterlibatan beberapa material seperti kalsium, oksalat, fosfor, asam urat dan lain-lain (Chang & Doug, 2006). Sekitar delapan puluh persen batu ginjal yang terjadi di beberapa negara maupun di Indonesia adalah batu kalsium oksalat (Sudoyo, Bambang, Idrus, Marcellus, & Siti, 2009). Batu ginjal lebih banyak terjadi pada laki-laki, yakni tiga sampai empat kali lebih banyak daripada perempuan (Menon, Resnik, Martin, 2002: Sudoyo dkk., 2009). Hal ini dikarenakan kadar kalsium dan oksalat air kemih sebagai bahan pembentuk batu pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Dalam penelitian Fan (Colorado, 1999) disebutkan keterkaitan hormon sex dalam peningkatan kejadian batu kalsium oksalat. Penelitian ini menyebutkan bahwa androgen akan meningkatkan konsentrasi oksalat plasma dan endapan kristal kalsium plasma, sedangkan estrogen cenderung menurunkan ekskresi oksalat. Batu saluran kemih lebih banyak terjadi pada orang dewasa yakni umur 30 sampai 60 tahun dengan rerata 42,2 tahun. Beberapa faktor resiko yang dapat menimbulkan terbentuknya batu ginjal meliputi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor Intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam individu sendiri seperti herediter/keturunan, umur, Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 2 jenis kelamin. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar individu seperti kondisi geografis daerah, faktor lingkungan, jumlah air minum, diet, lama duduk saat bekerja, olah raga, obesitas, kebiasaan menahan buang air kemih dan konsumsi vitamin C dosis tinggi (Rifki, 2007; Stoler, 2004). Berdasarkan hasil penelitian Lina, Suharyo, & Rifki (2007) didapatkan hasil bahwa orang yang saat bekerja lebih banyak duduk, menahan buang air kecil, minum sedikit (kurang dari 2000 ml per hari), dan diet tinggi protein meningkatkan resiko terjadi batu ginjal Angka kejadian batu ginjal di beberapa negara seperti Amerika Serikat sebesar 0,1 – 0,3 % per tahun; di Eropa Utara 3 – 6 %; di Eropa Selatan sebesar 6 – 9 %; di Jepang 7% dan di Taiwan 9,8 %. Sedangkan di Indonesia masih belum diketahui pasti, diperkirakan kejadian batu ginjal dan batu saluran kemih sebesar 170.000 kasus per tahun (Clas, 1990; Rifki, 2007; Syabani, 2001). Menurut Ikatan Ahli Urologi Indonesis, Di RSCM Jakarta pada tahun 2002 terjadi 847 kasus dan akan meningkat setiap tahunnya (Krisna, 2012). Data dari rekam medis RS Dr. Kariadi diketahui bahwa kasus batu saluran kemih menunjukan peningkatan dari 32,8% dari kasus urologi tahun 2003 menjadi 35,4% pada tahun 2004 dan menjadi 39,1% pada tahun 2005. Berdasarkan wawancara dari petugas rekam medis RSCM didapatkan data bahwa pada tahun 2012 jumlah penderita batu ginjal di RSCM yang menjalani rawat inap sebanyak 209 orang. Angka kekambuhan batu saluran kemih termasuk juga batu ginjal dalam satu tahun sebesar 15 - 17%, empat sampai lima tahun sebesar 50%, dan sepuluh tahun sebesar 75%. (William, 1990 dalam Lina, Suharyo, & Rifki, 2007). Sehingga identifikasi penyebab timbulnya batu yang pertama adalah penting untuk pencegahan kerusakan ginjal lebih lanjut. Hal ini dapat diketahui melalui hasil pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan kandungan batu tersebut. Apabila diketahui penyebab terjadinya batu pada pasien, diharapkan dapat dilakukan pencegahan terhadap kekambuhan kejadian Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 3 serupa di tahun-tahun mendatang, sehingga dapat mengurangi angka mortalitas maupun peningkatan biaya pengobatan. Pencegahan terjadinya batu ginjal dilakukan untuk menurunkan angka kekambuhan terhadap masalah yang serupa. Pencegahan ini dapat diberikan sebagai bagian dari discharge planning pasien. Discharge planning merupakan proses membuat keputusan mengenai kebutuhan pasien selama di rumah sakit yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan pasien itu sendiri (Birjandi & Lisa, 2009). Atau discharge planning diartikan sebagai pelayanan yang diberikan kepada pasien untuk memenuhi kebutuhannya selama dirawat di rumah sakit. Dimana proses ini dimulai sejak pasien masuk rumah sakit sampai pasien akhirnya pulang. Melalui discharge planning, angka kekambuhan pasien dengan masalah batu ginjal atau batu saluran kemih dapat berkurang. 1.2. Tujuan Penulisan a. Tujuan umum Tujuan umum penulisan karya ilmiah akhir ini adalah untuk menggambarkan analisis praktek klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada pasien batu ginjal di ruang rawat bedah gedung A zona B RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. b. Tujuan khusus Tujuan khusus penulisan karya ilmiah akhir ini sebagai berikut: a) Diketahuinya analisis masalah keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan (KKMP). b) Diketahuinya asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah batu ginjal. c) Diketahuinya keterkaitan discharge planning khususnya pendidikan kesehatan mengenai pencegahan batu ginjal pada pasien dengan masalah batu ginjal sebagai bagian mengurangi angka kekambuhan batu ginjal. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 4 c. Manfaat Penulisan Manfaat penulisan karya ilmiah akhir ini antara lain: 1. Pelayanan Keperawatan Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi perawat dalam memaksimalkan proses discharge planning khususnya memberikan pendidikan kesehatan pada pasiennya dengan memaksimalkan peran perawat sebagai pendidik. 2. Pendidikan Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat memperkaya bahan khususnya bidang urologi dan peran mahasiska di bagian tersebut serta diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran mahasiswa di klinik khususnya jika menghadapi pasien dengan masalah batu ginjal. 3. Penulis Selanjutnya Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penulis selanjutnya untuk meningkatkan dan memperdalam penulisannya terkait dengan discharge planning dan keefektifannya dalam mengurangi angka kekambuhan batu ginjal dan batu saluran kemih. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan (KKMP) merupakan satu kesatuan keperawatan yang berfokus pada masalah kesehatan di perkotaan. Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan merupakan suatu proses koordinasi dan integrasi sumber daya keperawatan dengan menerapkan proses keperawatan komunitas, yakni mengutamakan pelayanan promotif dan preventif secara berkesinambungan tanpa mengabaikan perawatan kurafif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu yang ditunjukan kepada individu, keluarga, kelompok serta masyarakat sebagai kesatuan utuh melalui proses keperawatan untuk meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal. Tujuan keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan adalah mencegah masalah kesehatan masyarakat di daerah perkotaan, meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup secara sehat, sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal agar dapat menjalankan fungsi kehidupan sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Tujuan ini dapat tercapai dengan koordinasi baik keperawatan maupun tim kesehatan lainnya. Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan dipandang perlu mengingat kota merupakan tempat yang dinamis dan terus tumbuh. Berbagai permasalahan kesehatan banyak ditemukan di perkotaan. Perawat sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan mempunyai andil bagi tercapainya masyarakat perkotaan yang sehat. Fokusnya adalah kesehatan masyarakat perkotaan dan kesehatan lingkungan meliputi fisik, kimia, dan biologi karena dapat berefek pada kesehatan masyarakat. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 6 2.2. Konsep Umum Penyakit Konsep penyakit batu ginjal yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi: pengertian batu ginjal, patofisiologi batu ginjal, faktor risiko batu ginjal, manifestasi klinis penyakit batu ginjal, penatalaksanaan pasien dengan batu ginjal, dan pencegahan penyakit batu ginjal. 2.1.1 Pengertian Batu Ginjal Batu ginjal atau nefrolitiasis merupakan massa kristal menyerupai batu yang terbentuk di dalam ginjal. Jika massa kristal tersebut terdapat di dalam saluran kemih disebut juga urolitiasis (Chang, John, & Doug, 2010). Batu ginjal merupakan keadaan tidak normal di dalam ginjal dan mengandung komponen kristal serta matriks organik. Lokasi batu ginjal khas di kaliks atau pelvis dan bila akan keluar dapat terhenti di ureter atau di kandung kemih. 2.1.2 Patofisiologi Batu Ginjal Tugas utama ginjal adalah mengekskresikan produk samping metabolisme yang meliputi kalsium, oksalat, dan asam urat. Mineral tersebut dan bahan organik urine lainnya umumnya dieliminasi dari saluran kemih. Jika volume urin sedikit, maka bahan tersebut membuat urine menjadi sangat jenuh hingga terjadi supersaturasi dan terbentuk kristal. Garam pembentuk kristal timbul di sekitar sebuah nukleus yang terus membesar hingga membentuk batu. Ada tidaknya zat inhibitor dalam urine, seperti magnesium, pirofosfat, sitrat, dan substansi lain juga menjadi faktor yang menentukan dalam pembentukan batu (Chang, John, & Doug, 2010). Terdapat bermacam-macam jenis batu ginjal. Sekitar delapan puluh persen pasien batu ginjal merupakan batu kalsium dan kebanyakan terdiri dari kalsium oksalat atau agak jarang kalsium fosfat. Jenis batu lainnya terdiri dari batu sistin, batu asam urat, dan batu struvit. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 7 Batu kalsium oksalat terjadi karena proses multifaktor, kongenital, dan gangguan metabolik sering sebagai faktor penyebab. Dua bentuk batu kalsium oksalat yaitu: 1) Whewellite (Ca Ox Monohidrate), berbentuk padat, warna cokat/ hitam dengan konsentrasi asam oksalat yang tinggi pada air kemih. 2) Kombinasi kalsium dan magnesium menjadi weddllite (Ca Ox Dihidrat): batu berwarna kuning, mudah hancur daripada whewellite. Gangguan metabolisme kalsium (seperti hiperkalsiuria dan hiperkalsemia) dan gangguan metabolisme urat (kadar asam urat >6,4 mg/100 ml) merupakan tanda pembentukan batu kalsium oksalat. Pembentukan kristalisasi dapat dihambat oleh sitrat dan magnesium. Ekskresi rendah sitrat akan meningkatkan pembentukan batu kalsium oksalat (Hessa, Alrecht, Goran, Hans, Jahnen, & Andre, 2002). Batu asam urat terjadi lebih banyak pada pasien laki-laki. Faktor diet tinggi protein dan purin serta minuman beralkohol diindikasikan dapat meningkatkan ekskresi asam urat sehingga pH urine menjadi rendah. Selain itu, melalui penelitian diketahui bahwa sebanyak 20 sampai 40% penderita penyakit Gout akan mengalami batu asam urat (Hessa, Alrecht, Goran, Hans, Jahnen, & Andre, 2002). Batu struvit terbentuk akibat infeksi saluran kemih oleh bakteri yang memproduksi urease (proteus, providential, klebsiella, dan pseudomonas). Infeksi saluran kemih terjadi akibat tingginya konsentrasi ammonium dan pH urine > 7. Pada kondisi tersebut, kelarutan fosfat menurun yang berakibat terjadinya batu struvit. Peningkatan volume air yang diminum oleh penderita batu struvit penting untuk membilas bakteri dan menurunkan supersaturasi fosfat (Sudoyo, Bambang, Idrus, Marcellus, & Siti, 2009). Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 8 Gambar. Patofisiologi pembentukan batu saluran kemih Sumber: Menon, 2002; Stoller, 2004; Kim, 2005 dimodifikasi 2.1.3 Faktor Resiko Batu Ginjal Faktor resiko batu ginjal meliputi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. a. Faktor intrinsik meliputi: herediter, umur, dan jenis kelamin. Salah satu penyebab batu ginjal adalah faktor keturunan misalnya Asidosis tubulus ginjal (ATG). ATG menunjukkan suatu gangguan Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 9 ekskresi H+ dari tubulus ginjal atau kehilangan HCO3 dalam air kemih, akibatnya timbul asidosis metabolik (Menon, Resnick, & Martin, 2002). Pembentukan batu saluran kemih dan substansi pembentuknya juga ditentukan oleh umur dan jenis kelamin (Daudon, Dore, Junger, & Lacour, 2004 dalam Knoll, 2010). Sebagian besar batu saluran kemih terjadi pada pasien yang berusia lanjut antara 31 sampai 45 tahun dan pada pasien laki-laki dengan perbandingan 3 sampai 4:1 (Daudon, Dore, Junger, & Lacour, 2004; Strope, Wolf, & Hollenbeck, 2010; Scales, Curtis, Norris, et al., 2007 dalam Knoll, 2010; Ratu, Badji, & Hardjoeno, 2006) dengan jenis batu lebih predominan kalsium oksalat dan asam urat, sedangkan pada perempuan lebih banyak jenis batu kalsium fosfat (Daudon, Dore, Junger, & Lacour, 2004 dalam Knoll, 2010). Dalam penelitian yang dilakukan Fan (Colorado, 1999), yang meneliti peranan hormon sex kaitannya dengan jenis kelamin dan peningkatan batu kalsium oksalat. Mereka menjelaskan bahwa androgen akan meningkatkan dan estrogen menurunkan ekskresi oksalat, konsentrasi oksalat plasma, dan endapan kristal kalsium plasma. Hal tersebut akhirnya dapat menyimpulkan mengapa BSK cenderung meningkat di pria yang mempunyai batu kalsium oksalat. Dugaan lain yang dapat menjelaskan hal tersebut di lakilaki dibandingkan dengan perempuan adalah perbedaan struktur anatomi saluran kemihnya. Yaitu saluran kemih pria lebih panjang, sehingga lebih banyak kemungkinan substansi pembentuk batu mengendap pada keadaan fisika kimia yang sesuai (Fan, 1999). Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 10 b. Faktor ekstrinsik meliputi: a) Penurunan jumlah urine Masukan cairan sedikit dapat menimbulkan pembentukan batu dengan peningkatan reaktan dan pengurangan aliran urine. b) Jenis cairan yang dimunim Jenis cairan yang diminum dapat memperbaiki masukan cairan yang kurang. Minuman soft drink lebih dari satu liter per minggu menyebabkan pengasaman dengan asam fosfor dapat meningkatkan resiko penyakit batu. Peningkatan sedikit beban asam dapat meningkatkan ekskresi kalsium dan ekskresi asam urat dalam urine serta mengurangi kadar sitrat urine. c) Jumlah cairan yang diminum Insiden batu ginjal berkurang pada pasien yang memiliki kebiasaan minum air putih dalam jumlah banyak (Hughes, 2007). d) Faktor Dit Masukan natrium yang tinggi dapat meningkatkan ekskresi kalsium. Reabsorpsi kalsium secara pasif mengikuti natrium dan air pada tubuluas proksimal dan sepanjang lengkung henle. Penurunan reabsorpasi natrium prokasimal disebabkan oleh volume berlebih menyebabkan pengurangan transportasi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium urine. Masukan protein tinggi khususnya protein hewani umumnya dihubungkan dengan peningkatan insiden penyakit batu. Protein hewani akan menurunkan keasaman (pH) urine esehingga bersifat asam. Selain itu, protein hewani menyebabkan peningkatan kalsium dan asam urat, fosfat dan penurunan ekskresi sitrat. Sebagian besar protein hewani mempunyai proporsi kandungan fosfat 10 – 15 kali dibandingkan kandungan kalsium. Masukan protein dan metabolism purin dan sulfur menghasilkan asam amino dan Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 11 asam urat. Keadaan ini akan memacu pembentukan batu kalsium. Hal ini disebabkan peningkatan ekskresi kalsium dan asam urat dan penurunan ekskresi sitrat. Peningkatan masukan air menurunkan pembentukan batu. Hal ini dikarenakan peningkatan volume urine menyebabkan tingkat kejenuhan kalsium oksalat menurun sehingga mengurangi kemungkinan pembentukan Kristal. 2.1.4 Manifestasi Klinis Batu Ginjal Beberapa manifestaski klinis batu ginjal meliputi: a. Nyeri abdomen Gejala utama batu ginjal adalah nyeri yang bersifat akut dan berubah sesuai dengan ukuran dan lokasi batu. Jika batu berukuran kecil, batu dapat dikeluarkan melalui urine dan tidak menimbulkan gejala apapun. Sedangkan jika ukuran batu besar, maka dapat menimbulkan obstruksi dan trauma. Nyeri yang disebabkan oleh obstruksi parsial atau total aliran urine di dalam pelis ginjal disebut kolik renal. Nyeri biasanya dirasakan menetap di kostovertebral (titik di bagian punggung yang berhubungan dengan iga ke-12 dan tepi lateral muskulus sakrospinalis). Batu ginjal mulai menunjukan gejala pada ukuran 1 mm, sekitar 90% pasien dengan ukuran batu kurang dari 5 mm tidak membutuhkan intervensi guna mengeluarkannya dari sistem urinarius (Coll, Varanelli, & Smith, 2002 dalam Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis, 2013), tetapi sebaliknya sekitar 50% batu yang berukuran 5 sampai 10 mm membutuhan intervensi lebih lanjut (Segura, Preminger, Assimo et al., 1997 dalam Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis, 2013). Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 12 b. Mual, muntah Nyeri kolik renal dapat sangat hebat hingga timbul respon saraf simpatis berupa mual, muntah, kulit pucat, dingin, dan lembab. c. Hematuria Adanya darah dalam urine merupakan salah satu gejala adanya batu ginjal. Tidak semua pasien menunjukan adanya hematuria. Hematuria terjadi akibat adanya pergerakan batu di dalam ginjal atau saluran urinatius sehingga menyebabkan rupture pada dinding ureter. d. Kristaluria, urine yang keluar disertai pasir dan batu. e. Infeksi, batu di dalam saluran kemih menjadi tempat sarangnya mikroorganisme yang tidak dapat dijangkau oleh obat-obatan. Adanya infeksi dimanifestasikan dengan timbulnya demam pada pasien. 2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik Batu Ginjal Pemeriksaan diagnostik batu ginjal digunakan untuk memastikan terjadinya batu ginjal pada pasien, meliputi (Sudoyo, Bambang, Idrus, Marcellus, & Siti, 2009): a. Ultrasonografi (USG) USG dapat menunjukan ukuran, bentuk, dan posisi batu. Pemeriksaan ini diperlukan pada perempuan hamil dan pasien yang alergi kontras radiologi. Melalui USG ini dapat diketahui adanya batu radiolusen dan dilatasi sistem kolektikus. Keterbatasan pemeriksaan ini adalah kesulitan untuk menunjukan batu ureter dan tidak dapat membedakan batu kalsifikasi dan batu radiolusen. b. Pemeriksaan Radiologi (Foto Rontgen Abdomen) Foto abdomen biasa dapat menunjukan ukuran, bentuk, dan posisi membedakan batu kalsifikasi. Densitas tinggi menunjukan kalsium oksalat dan kalsium fosfat. Sedangkan densitas rendah menunjukan struvite, sistin, dan campuran keduanya. Kekurangan pemeriksaan foro sinar tembus abdomen adalah tidak dapat menentukan batu Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 13 radiolusen, batu kecil dan batu yang tertutup bayangan struktur tulang. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan batu dalam ginjal dan batu luar ginjal. c. Urogram Urogram bertujuan untuk menunjukan lokasi batu dalam sistem kolektikus. d. CT Scan Helical dan Kontras e. Pemeriksaan Biokimia Pemeriksaan biokimia darah (meliputi: kalsium, albumin, kreatinin, asam urat, kalsium, bikarbonat, hormone paratiroid) (Turk, Petrik, Sarica, Straub, & Steitz, 2011 dalam Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis, 2013) perlu dilakukan disertai pemeriksaan urin (pemeriksaan volume, kalsium, kreatinin, asam urat, oksalat, sitrat, natrium, fosfat, sulfat, magnesium, pH, berat jenis urine, sedimen air kemih) untuk menentukan hematuria, leukosituria, dan kristaluria. Pemeriksaan kultur kuman penting untuk mengetahui adanya infeksi saluran kemih. Apabila batu keluar, diperlukan pencairan faktor resiko dan mekanisme timbulnya batu. 2.1.6 Penatalaksanaan Batu Ginjal Batu berukuran kecil (5 – 10 mm) dapat keluar tanpa intervensi medis. Akan tetapi jika batu tidak keluar, ada empat pilihan tindakan yang dapat dilakukan. a. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) Merupakan tindakan non-invasif yakni dengan menggunakan gelombang kejut eksternal yang dialirkan melalui tubuh untuk memecah batu. Pemeriksaan sinar X atau ultrasonografi digunaan untuk mendetaksi partikel pecahan batu yang selanjutnya dapat dikeluarkan melalui endoskopi atau dibiarkan keluar sendiri melalui urine. Biasanya syent ureter dipasang sesudah tindakan ESWL Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 14 untuk mencegah obstruksi dan membantu pengeluaran pecahan batu. b. Nefrolitotomi perkutan (percutaneous nephrolithotomy, PCN) Tindakan ini dapat dilakukan jika batu ditemukan berada dalam ginjal. Jarum PCN dimasukkan ke dalam pelvis ginjal, kemudian batu dipecah dengan menggunakan ultrasonografi. Selang nefrostomi kemudian dipasang dan dijahit ke kulit. c. Uteroskopi Uteroskopi dilakukan untuk mengeluarkan batu yang berada dalam ureter. Basket catheter dimasukkan melalui alat uteroskoi untuk mengeluarkan batu dengan atau tanpa menggunakan laser. d. Intervensi pembedahan terbuka e. Farmakologi Analgesik dapat diberikan untuk meredakan nyeri dan memberi kesempatan batu dapat keluar sendiri. Opioid (injeksi morfin sulfat, petidin hidroklorida) atau obat anti-inflamasi nensteroid (misal: ketorolac dan naproxen) dapat diberikan, bergantung pada intensitas nyeri. 2.1.7 Pencegahan Batu Ginjal Berulang Penelitian mengenai pencegahan terjadinya batu ginjal berulang telah dilakukan melalui beberapa penelitian. Dua pencegahan tersebut meliputi terapi diet dan terapi farmakologi ((Turk, Petrik, Sarica, Straub, & Steitz, 2011; Preminger, Tiselius, Assimos, et al., 2007 dalam Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis, 2013). a. Terapi diet untuk mencegah terjadinya batu ginjal berulang Terapi diet ditujukan untuk mengurangi konsentrasi satu atau beberapa pembentukan kristal atau inhibitor pembentuk kristal. Terapi diet tersebut meliputi diet rendah oksalat untuk mengurangi oksalat dalam urine dan mengurangi risiko pembentukan batu kalsium oksalat; diet rendah protein hewani dan rendah purin Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 15 bertujuan untuk mengurangi risiko pembentukan batu asam urat; serta diet normal kalsium untuk mencegah pembentukan batu kalsium oksalat melalui pengikatan oksalat intestinal oleh kalsium (Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis, 2013). Diet dalam kamus gizi pelengkap kesehatan keluarga diartikan sebagai pengaturan pola dan konsumsi makanan serta minuman yang dilarang, dibatasi jumlahnya, domodifikasi, atau diperolehkan dengan jumlah tertentu untuk tujuan terapi penyakit yang diderita, kesehatan, atau penurunan berat badan. Tujuan diet pada pasien dengan batu saluran kemih adalah untuk mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan memperhitungkan sisa fungsi ginjal sehingga tidak memberatkan kerja ginjal; mencegah dan menurunkan kadar asam urat pada pasien dengan kadar asam urat tinggi (diatas 6,4 mg/dl); mempertahankan intake cairan yang mencukupi sehingga mencegah pembentukan pengendapan substansi pembentuk batu; dan mengurangi resiko terjadinya gagal ginjal dengan memperlambat turunnya laju filtrasi glomerulus (Almatsier, 2006). Diet batu saluran kemih dan batu ginjal meliputi: diet rendah purin dan diet rendah protein hewani. Diet rendah purin bertujuan untuk menurunkan kadar asam urat dalam darah. Purin adalah hasil metabolisme protein yang dapat membentuk Kristal asam urat dan dapat menumpuk pada ginjal sehingga menjadi resiko pembentukan batu ginjal. Adapaun diet rendah purin meliputi: a) Energi diberikan sesuai kebutuhan tubuh. Bila berat badan berlebih kebutuhan energi mengikuti pedoman diet energi rendah. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 16 b) Protein 1 – 1,2 g/kg BB atau 10 – 20% dari kebutuhan energi total. Hindari makanan sumber protein yang empunyai kandungan purin >150 mg/100 gram. c) Lemak tidak lebih dari 30%, dengan 10% nya berasal dari protein hewani. d) Karbohidrat: 65 – 75% dari kebutuhan energy total, berupa karbohidrat kompleks. e) Vitamin dan mineral diberikan sesuai dosisi. f) Cairan disesuaikan dengan urin yang dikeluarkan setiap hari. banyak minum untuk membantu pengelaran asam urat sebanyak 2 – 3 liter/hari untuk mencegah terjadinya pengendapan asam urat dalam ginjal. g) Apabila berat badan berlebih, dianjurkan untuk menurunkan berat badan karena akan membantu menurunkan kadar purin dalam darah (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Berikut jenis makanan yang dihindari bagi pasien dengan diet rendahpurin dikarenakan kandungan tinggi purin antara 150 – 800 mg/100 gram bahan makanan, meliputi: hati, ginjal, jantung, limpa, otak, sosis, babat, usus, paru, sarden, kaldu daging, bebek, burung, angsa, emis, dan ragi. Selain makanan, terdapat beberapa minuman yang harus dihindari yakni minuman yang mengandung soda dan alcohol: soft drink, arak, bir. Sedangkan makanan yang diperbolehkan dikonsumsi tetapi dalam jumlah terbatas meliputi: sumber protein hewani dibatasi maksimal 50 gram/hari (daging, ayam, ikan tongkol, tenggiri, bawal, bandeng, kerang, udang), sumber protein nabati maksimal 25 gram/hari (kacang-kacangan, kedelai) dan tempe – tahu maksimal 50 gram/hari, sayuran hijau maksimal 100 gram/hari (bayam, buncis, daun/biji melinjo, kapri, kacang polong, kembang kol, asparagus, kangkung, dan jamur. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 17 Selain diet rendah purin yang sudah dijelaskan sebelumnya, diet rendah protein juga berperan penting bagi pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang salah satunya diakibatkan oleh batu ginjal. Berikut pedoman pelaksanaan diet rendah protein menurut Kementerian Kesehatan RI (2011): a) Bentuk makanan sesuai dengan kondisi pasien. b) Enerti 35 kkal/kg BB ideal. c) Protein 0,6 – 0,75 g/kh BBI, 50% protein hewani dan 5%protein nabati. d) Lemakn 25 – 30% dari energy total, diutamakan lemak tidak jenuh. e) Karbohidrat 60 – 65% dari energi total. f) Kebutuhan cairan sesuai dengan jumlah urine 24 jam + 500 ml. g) Kalium dibatasi jika terjadi hyperkalemia. h) Garam dapur dibatasi bila pasien memiliki hipertensi (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Dalam pelaksanaan diet rendah protein, tidak ada makanan yang dipantang, tetapi hanya dibatasi jumlah sumber protein hewani dan nabati meliputi: daging kambing, ayam, ikan, hati, keju, udang, telur, dan tahu, tempe, oncom, kacang-kacangan. b. Terapi farmakologi untuk mencegah terjadinya batu ginjal berulang Terapi farmakologi yang sudah diterapkan melalui beberapa penelitian meliputi terapi diuretic tiazid dan terapi sitrat Pearle, Roehrborn, Pak, 1999; Escribo, Balaguer, Pagone et al., 2009; Kairatis, 2007; Mattle & Hess, 2007 dalam Minnesota Evidencebased Practice Center, & Minneapolis, 2013) mengurangi terjadinya batu ginjal berulang. Akan tetapi penelitian tersebut menunjukan tidak ada pertimbangan faktor intake cairan dan diet (Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis, 2013). Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 18 2.1.8 Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Batu Ginjal Beberapa pengkajian keperawatan yang perlu dilakukan pada pasien batu ginjal menurut Doenges et al (2000), sebagai berikut: a. Aktivitas / istirahat Pasien dengan batu ginjal biasanya memiliki gejala sebagai berikut: riwayat pekerjaan monoton, aktivitas fisik rendah, lebih banyak duduk, riwayat bekerja pada lingkungan bersuhu tinggi, keterbatasan mobilitas fisik akibat penyakit sistemik lainnya (cedera serebrovaskuler, tirah baring lama). b. Sirkulasi Pada sistem sirkulasi tandanya yaitu adanya peningkatan TD, HR (nyeri, ansietas, gagal ginjal), kulit hangat dan kemerahan atau pucat. c. Eliminasi Gejala yang dirasakan oleh pasien terkait dengan sistem eliminasi yaitu: riwayat ISK kronis, obstruksi sebelumnya, penurunan volume urine, rasa terbakar, dorongan berkemih, diare. Sedangkan tandanya yaitu oliguria, hematuria, piouria, perubahan pola berkemih d. Makanan dan cairan Pasien dengan batu cetak ginjal biasanya mengalami gejala seperti mual/muntah, nyeri tekan abdomen, riwayat diet tinggi purin, kalsium oksalat dan atau fosfat, hidrasi yang tidak adekuat, tidak minum air dengan cukup. Adapun tandanya yaitu distensi abdomen, penurunan / tidak ada bising usus, muntah. e. Nyeri dan kenyamanan Pasien mengalami gelaja Nyeri hebat pada fase akut (nyeri kolik), lokasi nyeri tergantung lokasi batu (batu ginjal menimbulkan nyeri dangkal konstan). Tanda dari pasien batu cetak ginjal yaitu perilaku berhati-hati, perilaku distraksi, nyeri tekan pada area ginjal yang sakit Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 19 f. Keamanan Gejala yang dialami oleh pasien batu cetak ginjal yaitu penggunaan alkohol, demam/menggigil g. Penyuluhan/pembelajaran Pasien dengan batu cetak ginjal memiliki gejala antara lain: riwayat batu saluran kemih dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK kronis, riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya,hiperparatiroidisme, penggunaan antibiotika, antihipertensi, natrium bikarbonat, alopurinul, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium atau vitamin. Masalah keperawatan yang dapat diangkat meliputi: perubahan pola eliminasi, nyeri akut, dan resiko kekurangan cairan kurang dari kebutuhan. 2.3. Discharge Planning 2.3.1 Pengertian Discharge Planning Discharge planning adalah pengembangan perencanaan yang dilakukan untuk pasien dan keluarga sebelum pasien meninggalkan rumah sakit dengan tujuan agar pasien dapat mencapai kesehatan optimal dan mengurangi biaya rumah sakit (Rakhmawati, Fitri, & Tunjung, 2013). Discharge planning adalah suatu proses dimulainya pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang diikuti dengan kesinambungan perawat baik dalam proses penyembuhan maupun dalam mempertahankan derajat kesehatannya sampai pasien merasa siap kembali ke lingkungannya (Kozier, 2004). Proses ini dimuali sejak pasien masuk rumah sakit. Berdasarkan dua pengertian tersebut, maka disimpulkan discharge planning merupakan proses perencanaan bagi pasien dan keluarganya yang berkelanjutan dimulai sejak pasien masuk rumah sakit sampai pasien siap kembali ke lingkungannya dengan tujuan mengoptimalkan Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 20 status kesehatan pasien. Pada pasien dengan batu ginjal, discharge planning bertujuan bukan hanya meningkatkan kesehatan pasien tetapi juga mencegah batu ginjal berulang. 2.3.2 Tujuan Discharge Planning Tujuan dilakukan discharge planning menurut Capernito (1999) adalah untuk mengidentifikasi kebutuhan spesifik guna mempertahankan dan atau mencapai fungsi maksimal setelah pasien pulang. Artinya, melalui discharge planning yang dilakukan di rumah sakit, pasien akan dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya di rumah. Selain itu, discharge planning akan meningkatkan kemajuan pasien, meningkatkan pencapaian kualitas hidup yang lebih baik, mengurangi kunjungan ulang pasien ke rumah sakit (Almborg et al., 2010; Phillips et al., 2004). Discharge planning sudah merupakan bagian dari intervensi keperawatan pasien sejak pasien diterima di rumah sakit. Proses ini dilakukan multidisiplin, meliputi keperawatan, medis, gizi, fisioterapi, dan lain-lain. Melalui discharge planning, informasi tertulis maupun verbal akan disampaikan pada pasien dan keluarganya, sehingga dapat meningkatkan bekal pengetahuan bagi pasien dan keluarga jika mereka pulang. 2.3.3 Pelaksanaan Discharge Planning Pelaksanaan discharge planning menurut Potter & Perry (2004) dimulai dari pengkajian pada saat pasien masuk rumah sakit, yakni pengkajian mengenai kebutuhan pemulangan pasien berdasar riwayat kesehatan pasien, sumber pendukung sosial, sumber finansial, tingkat pendidikan, dan hambatan yang pasien miliki. Pengkajian ini dilakukan pada pasien dan keluarganya. Sebagai persiapan pemulangan pasien, pendidikan kesehatan di rumah disampaikan pada pasien dan keluarganya, seperti penggunaan alat-alat medis di rumah, Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 21 faktor resiko penyakit pasien, komplikasi, dan upaya pencegahan yang dapat dilakukan pasien di rumah. Kolaborasi dengan tim pelayanan kesehatan yang lain diperlukan untuk memaksimalkan proses discharge planning. Penatalaksanaan discharge planning secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, yakni discharge planning sebelum hari pemulangan pasien dan pada hari pemulangan pasien. Pelaksanaan pada saat sebelum hari pemulangan pasien, perawat menginformasikan mengenai sumbersumber pelayanan kesehatan, serta pendidikan kesehatan terkait dengan penyakit yang dialami pasien (meliputi tanda gejala, komplikasi, perawatan, pencegahan, dan kepatuhan pengobatan). Sedangkan pada saat hari pemulangan pasien, maka pasien diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai hal-hal yang belum atau kurang dipahami dan hal-hal yang ingin diketahui lebih lanjut. Evaluasi kegiatan discharge planning dilakukan sesuai dengan pendidikan kesehatan yang sudah didiskusikan bersama pasien dan keluarganya, baik kognitif maupun psikomotornya (Potter & Perry, 2004). Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 22 BAB III TINJAUAN KASUS KELOLAAN 3.1. Pengkajian 3.1.1. Identitas Pasien Nama pasien : Tn. R (43 tahun) Tanggal lahir : 02 November 1970 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Pekerjaan : Pedagang Dx. Medis masuk : hidronefrosis bilateral Tanggal masuk : 26 Mei 2014 3.1.2. Anamnesa 1. Alasan Dirawat di Rumah Sakit Klien datang ke poli RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada 26 Mei 2014 dengan keluhan nyeri pinggang (nyeri tidak menjalar) sejak empat bulan sebelum masuk ke rumah sakit. Klien mengatakan tidak ada riwayat hematuria maupun nyeri saat buang air besar. 2. Riwayat Kesehatan yang Lalu Klien mengatakan sebelumnya tidak pernah dirawat di rumah sakit. Klien juga mengatakan tidak memiliki sakit tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, maupun asma. Klien memiliki riwayat sakit asam urat tetapi tidak mendapat pengobatan apapun. 3. Riwayat Kesehatan Keluarga Klien mengatakan bahwa di keluarganya tidak ada yang pernah menderita sakit ginjal. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 23 4. Keluhan Terakhir Klien mengatakan nyeri di pinggang kanan, bersifat tidak menjalar, skala 3 sampai 4, muncul tidak menentu, kadang 2 sampai 3 kali dalam satu menit selama 5 sampai 10 detik. Klien juga mengatakan tidak ada riwayat hematuria, sakit saat buang air besar, maupun kesulitan buang air besar. 5. Aktivitas / Istirahat Klien adalah seorang kepala rumah tangga dengan pekerjaan sebagai pedagang. Kegiatan berdagang dilakukan setiap hari. Klien mengatakan biasanya tidur siang jarang dilakukan, tidur malam biasanya pukul 22.00 sampai 05.00 WIB. Saat ini, klien biasanya tidur siang satu sampai dua jam, yakni pukul 13.00 sampai 14.00 atau 15.00. Tidur malam pukul 22.00 – 05.00, kadang trbangun pada malam hari. Selama di rumah sakit klien mengatakan tidak ada gangguan tidur. Kondisi ruangan dikeluhkan pasien panas, tetapi klien mengakalinya dengan membawa kipas angina kecil sehingga tidak mengganggu istirahatnya. Klien mengungkapkan meski kadang bangun ketika malam, tetapi dapat tidur kembali dan merasa segar pada pagi harinya. 6. Sirkulasi Klien mengatakan tidak memiliki tekanan darah tinggi maupun masalah jantung lainnya. Tidak ada keluhan demam, edema kaki atau mata kaki, flebitis, maupun kesemutan di ekstremitasnya. Dari hasil pengukuran tekanan darah terukur 120/80 mmHg dengan posisi duduk, nadi radialis 88 kali per menit, kuat, regular, terdengar bunyi jantung 1 dan 2, tidak ada murmur, tidak ada gallop, tidak ada distensi vena jugularis. Ekstremitas teraba hangat dengan suhu aksila 36,6 derajat Celcius, capillary refill time < 2 detik, abnormalitas kuku tidak ada, punggung kuku < 180 derajat Celsius, membrane Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 24 mukosa lembab kemerahan, konjungtiva tidak anemis, sklere tidak ikterik. 7. Integritas Ego Klien mengatakan kadang merasa stress dengan sakit pinggang yang dialaminya sejak empat bulan yang lalu. Klien biasanya mengurangi sakit dengan istirahat serta menjalani pengobatan seperti sekarang ini. Dari segi finansial pengobatan, klien mengatakan tidak terbebani karena pengobatan yang dilakukan menggunakan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Klien hanya menanggung biaya perjalanan ke RSCM yang dipenuhi dengan tabungan usaha berdagangnya. Status klien menikah dan mempunyai dua orang anak. Anak pertama sudah bekerja dan saat ini menemani klien di rumah sakit. Sedangkan anak kedua masih sekolah SMA. Selama di rumah sakit klien terlihat tenang dan kadang bercanda dengan pasien yang lainnya. 8. Eliminasi Pola kebiasaan buang air besar klien satu kali per hari, pada pagi hari. Karakteristik feses berbentuk, padat, kekuing-kuningan, tidak ada rasa sakit selama buang air besar. Klien mengatakan tidak ada keluhan diare maupun konstipasi selama dua minggu terakhir ini. Pola buang air kecil biasanya 4 sampai 7 kali per hari, tidak ada nyeri saat buang air kecil, hematuria, maupun inkontinensia urin. Klien tidak menggunakan diuretik. Karakteristik urin kekuningkuningan. Dari hasil pemeriksaan: abdomen cembung, kandung kemih tidak ada distensi, nyeri tekan tidak ada, neri pinggang sejak empat bulan yang lalu, terdengar bising usus di ke-empat kudaran. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 25 9. Makanan / Cairan Pola kebiasaan makan tiga kali per hari, yakni pukul 07.00, 13.00, dan 19.00. Selama ini tidak ada pantangan makan, tidak ada keluhan mual, muntah, maupun penurunan selera makan akibat nyeri pinggang yang dialami klien. Klien mengatakan berat badan sebelum sakit adalah 86 kg, mengalami penurunan satu kg sejak masuk rumah sakit menjadi 85 kg. Klien mendapatkan diit bebas dari bidang gizi dengan kebutuhan kalori sebesar 1900 kkal. Diit terbagi menjadi tiga kali makan besar dan dua kali makanan ringan. Biasanya makan pagi pukul 06.30, makan siang pukul 12.30, dan makan malam pukul 18.00 WB. Klien terlihat selalu menghabiskan makanan yang disediakan. Dari hasil pemeriksaan, berat badan klien adalah 85 kg dengan tinggi badan 170 cm. Sehingga index massa total (IMT) = 29,41 Bentuk tubuh tegap, turgor kulit elastis, membran mukosa lembab, konjungtiva tidak anemis, sklere tidak ikterik, pembesaran tosil tidak ada, kondisi gusi normal (tidak ada pembengkakan), kondisi gigi lengkap, penampilan lidah merah muda. 10. Higiene Klien mengatakan tidak ada batasan kemampuan dalam menjalankan aktivitas harian. Mobilitas, higiene, toileting, makan, dan berpakaian terlihat mandiri. Tidak ada alat bantu yang digunakan klien. Klien terlihat rapih dan sesuai terhadap jenis pakaian yang digunakan (celana pendek selutut dan kaos), tidak ada bau badan. 11. Neurosensori Dari hasil wawancara, selama di rumah sakit maupun sebelum dirawat di rumah sakit, klien mengatakan tidak ada keluhan ingin pingsan, pusing, sakit kepala, maupun kesemutan pada ekstremitasnya. Klien juga mengungkapkan tidak memiliki riwayat Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 26 stroke atau kejang. Penglihatan normal, tidak menggunakan lensa mata atau kaca mata, pendengaran normal, alat bantu dengat tida ada. Status mental baik, orientasi waktu, tempat dan orang baik. Kesadaran compos mentis, GCS E4 M6 V5, memori saat ini, jangka pendek, dan jangka pajang baik. 12. Nyeri / Ketidaknyamanan Keluhan klien saat ini adalah nyeri pinggang kanan dan kiri yang dirasakan sejak operasi. Skala nyeri 4 sampai 5, meningkat saat beraktivitas. Muncul 3 sampai 4 kali dalam satu menit selama 10 sampai 20 detik. Dari hasil obesrvasi, terlihat pasien memegang area pinggangnya ketika berubah posisi, terlihat mengkerutkan wajahnya saat berpindah posisi. 13. Pernafasan Klien mengungkapkan tidak memiliki riwayat bronkitis, asma, tuberkulosis, maupun pneumonia. Klien tidak memiliki kebiasaan merokok. Dari hasil pemeriksaan: frekuensi nafas 24 kali per menit, kedalaman sedang, nafas cuping hidung tidak ada, ekspansi dada simetris bilateral, tidak ada penggunaan otot bantu nafas, fremitus tidak ada, bunyi nafas vesikuler, tidak ada sianosis. 14. Keamanan Klien data subjektif, klien tidak memiliki alergi obat maupun makanan tertentu. Tidak ada riwayat penyakit hubungan seksual, riwayat transfusi darah, dan riwayat kecelakaan. Integritas kulit terlihat utuh. Tonus otot baik dengan pergerakan aktif. Kekuatan otot klian 5555 5555 5555 5555 Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 27 15. Interaksi Sosial Status perkawinan menikah dan mempunyai dua orang anak. Klien berperan sebagai kepala keluarga. Klien mengatakan baik dengan keluarga maupun dengan tetangganya sering berinteraksi. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi adalah bahasa Indonesia. Meskipun saat ini di rumah sakit, klien tetap berkomunikasi dengan menggunakan telepon genggam. Di ruang perawatan, klien terlihat tidak hanya beromunikasi dengan keluarganya, namun kadang terlihat bercanda dengan pasien yang lain serta juga berkomunikasi dengan tenaga kesehatan. 3.1.3. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 10 Mei 2014 Jenis pemeriksaan Hematologi Elektrolit eGFR Komponen Hemoglobin Hematokrit Eristrosit MCV / VER MCH / HER MCHC / KHER Jumlah leukosit Jumlah trombosit Natrium Kalium Klorida Kreatinin eGFR Asam urat Ureum darah Urinalisa Warna Jernih Sedimen leukosit Sedimen eritrosit Sedimen silinder hyaline Kristal Bakteri Berat Jenis pH Protein Glukosa Keton Hasil 10,4 g/dl 30,4 % 3,58.10^6 /uL 84,9 fL 29,1 pg 34,1 g/dl 6,07.10^3/uL 263.10^3/uL 139 mEq/L 3,56 mEq/L 102,9 mEq/L 2,8 mg/dl 27,0 ml/min/1,75ml2 8,1 mg/dl 74 mg/dl Nilai normal 13 - 17 40 – 50 (4,5 –5,5 ).10^6 80 - 95 27 – 31 32 - 36 (5 – 10).10^3 (150 – 400).10^3 132 – 147 3,3 – 5,4 94 - 111 0,8 – 1,3 (82 – 126) ml/min/1,75ml2 3,4 – 7 < 50 Kuning keruh 5 – 7 /LPB 3 – 4 /LPB 0–1 Kuning Jernih 0–5 0–2 Negative Negative 1.020 6,0 +1 Negative Negative Negative Negative 1,005 – 1,030 4,5 – 8,0 Negative Negative Negative Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 28 Kimia Klinik 2. Darah / Hb Bilirubin Nitrit Leukosit esterase Urobilinogen SGPT Asam Urat Negative Negative Negative Trace 3,2 mol/L 16 U/L 8.6 mg/dl Negative Negative Negative Negative 3,2 – 16 <41 3,4 – 7,0 Pemeriksaan Radiologis (BNO – NP) Kesan : - Batu ureter proksimal kanan 25 x 5 mm - Batu pyelum kiri 35 x 50 mm - Urolithiasis kanan dan nephrolithiasis kiri - Fungsi sekresi dan ekskresi menurun, konsentrasi kontras tipis - Kateter nefrostomi bilateral insitu 3.2. Analisis Data Tabel 3.1 Analisis Data No 1 Data DS: - Klien mengatakan bahwa dirinya belum pernah operasi, merasa sedikit tegang, sudah mendapat penjelasan mengenai operasi yang akan dilakukannya namun merasa kurang jelas. Masalah Keperawatan Ansietas DO: - Klien terlihat pucat, diam, wajah tampak cemas pada H-1 operasi. - Tekanan darah 130/90 mmHg dengan tekanan darah biasanya 120/80 mmHg. 2 DS: - Klien mengatakan merasa nyeri di daerah dekat luka operasi, skala 4 – 5, meningkat saat bergerak, nyeri yang dirasa bersifat menetap dengan durasi timbul 10 – 20 detik, muncul biasanya 3 - 4 kali per menit. Nyeri akut DO: - Terlihat luka post operasi nefrostomi di pinggang kanan dan kiri dengan panjang kurang lebih 25 cm. - Dari hasil rontgen tanggal Mei 2014, terlihat Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 29 kateter nefrostomi bilateral insitu, batu ureter proksimal kanan 25 x 5 mm dan batu pyelum kiri 35 x 30 cm. 3 4. DO: - Pasien terpasangan kateter nefrostomi dan kateter urine. DS: Pasien mengatakan urine keluar begitu saja lewat selang kateter. Pasien mengatakan urine yang keluar banyak. DO: - Klien terpasang kateter nefrostomi bilateral sejak 7 Mei 2014. - Dari hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 10 Mei 2014 didapatkan kreatinin 2,8 mg/dl, eGFR 27 ml/min/1,73 ml2, dan ureum darah 74 mg/dl. - Mukosa bibir tampak kering. DS: Pasien mengatakan bahwa minumnya berkurang setelah operasi sekitar dua botol air mineral ukuran sedang, aktivitasnya juga berkurang. Perubahan eliminasi urin Resiko kekurangan cairan kurang dari kebutuhan. Diagnosa keperawatan berdasarkan analisis data di atas dibagi menjadi diagnose pre-operatif dan pasca-operatif. Diagnose pre-operatif yakni ansietas berhubungan dengan rencana operasi. Sedangkan diagnosa keperawatan pasca operatif sesuai dengan prioritas masalahnya meliputi: 1. Nyeri akut berhubungan dengan insisi luka operasi. 2. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan pemasangan nefrostomi. 3. Resiko kekurangan cairan kurang dari kebutuhan pemasangan nefrostomi. 3.3. Rencana Asuhan Keperawatan dan Implementasi Berikut dijelaskan rencana asuhan keperawatan per masing-masing diagnosis dan implementasinya. 1. Diagnosa Pre-operatif 1: Ansietas berhubungan dengan rencana operasi Tujuan Umum: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan cemas berkurang Tujuan khusus: a. Tekanan darah normal 120/80 mmHg b. Frekuensi pernafasan normal 16 – 24 kali per menit Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 30 c. Frekuensi nadi normal 60 – 100 kali per menit. d. Wajah tampak tenang e. Klien mengungkapkan siap dilakukan operasi dan paham dengan tindakan tersebut. Rencana Intervensi Keperawatan. a. Kaji dan dokumentasikan kecemasan pasien, termasuk reaksi fisik setiap sift. b. Kaji faktor budaya yang menjadi penyebab ansietas. c. Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran dan perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas. d. Gali bersama pasien tentang tehnik yang berhasil dan tidak berhasil menurunkan ansietas di masa lalu. e. Ajarkan tehnik relaksasi untuk mengurangi ansietas dengan tehnik nafas dalam, berfikir positif, dan distraksi. f. Anjurkan pasien untuk melakukan tehnik relaksasi jika merasa cemas. g. Kaji pemahaman pasien mengenai rencana tindakan operasi yang akan dilakukannya. h. Berikan kesempatan kepada pasien untuk menanyakan hal-hal yang belum dipahaminya, jelaskan sesuai dengan kewenangan perawat mengenai rencana tindakan operasi pasien. i. Kolaborasi dengan dokter jika pasien membutuhkan penjelasan mengenai tindakan operasi yang akan dijalankannya (jika penjelasan tersebut bukan merupakan kewenangan perawat). 4. Diagnosa pasca-operatif 1: Nyeri akut berhubungan dengan insisi luka operasi. Tujuan Umum: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam diharapkan nyeri berkurang. Tujuan khusus: a. Penurunan skala nyeri dari 4 – 5 menjadi 1 – 2 b. Penurunan durasi nyeri dari 30 – 40 detik menjadi 5 – 10 detik. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 31 c. Tekanan darah normal 120/80 mmHg. d. Suhu aksila normal 36 – 37 derajat Celcius. e. Frekuensi pernafasan normal 16 – 24 kali permenit. f. Frekuensi nadi normal 60 – 100 kali per menit. g. Pasien mengungkapkan neyri berkurang. h. Pasien mengungkapkan tidak ada gangguan tidur. i. Pasien memperlihatkan tekhnik relaksasi secara efektif. j. Pasien melaporkan selera makan yang baik. Rencana Intervensi Keperawatan. a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi. Karakteristik, awitan, durasi, frekuensi, kualitas, insitas atau keparahan nyeri, dan factor presipitasinya. b. Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan. c. Observasi kondisi luka pascabedah dan balutannya. d. Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur. e. Ajarkan penggunakan tekhnik nonfarmakologis: tekhnik hipnotis, tekhnik relaksasi, distraksi, terapi musik sebelum, setelah, dan jika memungkinkan selama aktivitas yang menimbulkan nyeri. f. Berikan posisi yang nyaman bagi pasien untuk mengurangi nyeri. g. Anjurkan pasien melakukan manajemen nyeri seperti yang sudah dijalaskan. h. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan (misalnya suhu ruangan, pencahayaan, dan kegaduhan). i. Kolaborasi: kelola nyeri pascabedah dengan pemberian analgetik yang terjadwal setiap 4 atau delapan jam. j. Kolaborasi: laporkan kepada dokter jika tindakan meredakan nyeri dengan analgetik tidak berhasil. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 32 2. Diagnosa pasca operatif 2: Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan pemasangan kateter nefrostomi dan kateter urin. Tujuan Umum: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 X 24 jam diharapkan eliminasi urine kembali normal. Tujuan khusus: a. Pasien menunjukan berkemih secara normal b. Pasien mengungkapkan tidak ada obstruksi, hambatan berkemih, atau nyeri saat berkemih. c. Warna urine kuning jernih. d. Nyeri pinggang berkurang atau teratasi (Skala 0), e. Saat dipalpasi tidak ada sisa urin Rencana intervensi keperawatan: a. Awasi pemasukan, pengeluaran, dan karakteristik urine. b. Awasi asupan dan haluaran, karakteristik urine, catat adanya keluaran batu c. Tentukan pola berkemih normal pasiendan perhatikan variasi yang terjadi d. Motivasi pasien meningkatkan pemasukan cairan. e. Observasi perubahan status mental, perilaku atau tingkat kesadaran. f. Pantau hasil pemeriksaan laboratorium (elektrolit, BUN, kreatinin) g. Berikan obat sesuai indikasi : Antibiotika h. Pertahankan patensi kateter tak menetap (uereteral, uretral atau nefrostomi). 3. Diagnosa pasca-opertaif 3: Resiko kekurangan cairan kurang dari kebutuhan berhubungan dengan pemasangan kateter nefrostomi. Tujuan umum: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam diharapkan tidak terjadi kekurangan cairan. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 33 Tujuan khusus: a. Pasien mempertahankan keseimbangan cairan b. Tanda-tanda vital stabil (tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 60 – 100 kali per menit, frekuensi nafas 16 – 24 kali per menit, suhu 36 – 37 derajat Celcius). c. Berat badan dalam rentang normal. d. Membrane mukosa lembab e. Turgor kulit baik f. Capillary refill time < 2 detik. g. Balance cairan positif. Rencana Intervensi Keperawatan: a. Pantau intake dan output. b. Catat adanya muntah atau diare. Perhatikan karakteristik dan frekuensi muntah dan diare. c. Tingkatkan pemasukan cairan sampai 3 – 4 liter dalam toleransi jantung. d. Pantau tanda-tanda vital, membrane mukosa, turgor kulit, pengisian kapiler setiap sift. e. Timbang berat badan setiap hari. f. Awasi kadar elektrolit, hemoglobin dan hematrokrit darah. g. Kolaborasi: pemberian cairan IV line. h. Pantau pemberian cairan IV line sesuai dengan prosedur. Catatan keperawatan berdasarkan masalah secara lengkap dijelaskan dalam lampiran 3. 3.4. Evaluasi Keperawatan Hasil dari tindakan keperawatan yang sudah dilakukan sesuai dengan masalah keperawatan adalah sebagai berikut: 1. Ansietas Pasien masuk ke rumah sakit hari Senin, tanggal 06 Mei 2014 dari poli urologi dengan tujuan dilakukan pengangkatan batu ginjal. Pasien Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 34 mengatakan bahwa tindakan operasi kali ini adalah yang pertama kali, sehingga pasien merasa cemas. Jadual operasi pada Selasa, 07 Mei 2014. Tekanan darah pada saat pasien masuk 120/80 mmHg kemudian pada siang hari tekanan darah meningkat menjadi 130/90 mmHg. Manajemen ansietas diberikan mulai hari Senin, 06 Mei 2014 meliputi teknik distraksi dengan mengobrol bersama keluarga dan pasien lainnya, mendengarkan musik; serta teknik nafas dalam. Melalui latihan tersebut, pasien tampak beberapa kali mempraktikan teknik nafas dalam sampai hari akan dilakukan operasi. Pasien mengatakan masih merasa cemas, tetapi sudah lebih berkurang daripada tidak dilakukan apa-apa. 2. Nyeri akut Hari Selasa, 07 Mei 2014 pasien selesai dilakukan operasi. Pasien mulai merasa nyeri di bagian luka operasi sejak Selasa sore. Pengkajian nyeri dilakukan pada hari Selasa, pasien mengatakan nyeri di area luka post operasi dengan karakteristik: skala 4 – 5, meningkat saat bergerak, nyeri yang dirasa bersifat menetap dengan durasi timbul 10 – 20 detik, muncul biasanya 3 - 4 kali per menit. Manajeman nyeri diberikan pada pasien, yakni melalui latian nafas dalam, distraksi, pemberian posisi nyaman, dan medikasi analgesik. Hari pertama post operasi, pasien mengatakan nyeri berkurang dengan pemberian obat. Hari kedua operasi merasa nyeri berkurang dengan pemberian obat dan posisi yang nyaman. Hari ketiga, mulai merasakan manfaat nafas dalam dan distraksi. Sampai hari ke enam post operasi, nyeri masih ada tetapi berkurang dengan karakteristik: skala nyeri menjadi 1 – 2, timbul 1 – 2 kali per menit selama 5 – 10 menit, pasien mengatakan nyeri masih bisa ditahan tanpa harus menggunakan obat. 3. Perubahan eliminasi urine Pasien merasakan perubahan pada pola buang air kecil sejak dilakukan operasi karena pasien terpasang kateter nefrostomi bilateral dan kateter Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 35 urin. Tujuan dipasang kateter tersebut adalah untuk memperbaiki kondisi ginjal yang melalui pemeriksaan diagostik (radiologi) tampak mengalami dilastasi renal (hidronefrosis). Pasien merasa kurang nyaman dengan pemasangan kateter tersebut. Buang air kecil dilakukan melalui kateter nefrostomi dan kateter urin. Pada post operasi hari pertama sampai ketiga, pasien masih dipasang kateter urin. Kateter urin dilepas pada hari ke tiga setelah sebelumnya pasien diberikan bladder training. Sampai hari keenam post operasi, kateter nefrostomi masih terpasang dan direncanakan bertahan sampai dilakukan operasi kedua yakni pengangkatan batu ginjal. 4. Resiko kekurangan cairan kurang dari kebutuhan. Pemantauan cairan dilakukan melalui perhitungan intake dan output cairan pasien per hari. pemantauan cairan ini dilakukan mulai hari pertama post operasi sampai hari ke enam post operasi. Pada hari pertama post operasi, balance cairan negative kemudian berangsur-angsur menjadi positif 600 ml. Selain tindakan pemantauan cairan, pasien juga diberikan pendidikan kesehatan mengenai intake cairan yang dibutuhkan pasien dan tujuannya. Dari hasil pemeriksaan fisik, pada hari ke enam post operasi tidak tampak tanda-tanda kekurangan cairan serta terjadi balance cairan positif. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 36 BAB IV ANALISIS SITUASI 4.1. Analisis Kasus terkait Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan (KKMP) merupakan suatu proses keperawatan yang menggunakan konsep keperawatan komunitas. Tujuan perawatan masyarakat berfokus pada pelayanan promotif dan preventif, namun tetap memperhatikan komponen kuratif maupun rehabilitatif. Adanya keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan tidak lepas dari semakin banyaknya masalah kesehatan yang timbul di perkotaan. Sebagian besar masalah tersebut timbul akibat interaksi lingkungan dan gaya hidup masyarakat perkotaan (Knoll, 2010). Dengan adanya keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan, maka diharapkan masyarakat yang berada di daerah perkotaan akan memiliki kemampuan hidup sehat sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal. Pada dewasa ini, masalah kesehatan masyarakat perkotaan cenderung meningkat dan semakin banyak. Batu ginjal atau batu saluran kemih merupakan salah satu masalah perkotaan yang banyak terjadi di kota besar di dunia. Data dari berbagai negara menunjukan angka kejadian yang semakin meningkat dengan angka kekambuhan tinggi. Di Indonesia, jumlah kejadian batu ginjal belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian di rumah sakit di Indonesia seperti di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2012, melalui wawancara dengan petugas rekam medis didapatkan jumlah pasien batu ginjal yang menjalani rawat inap sebanyak 209 orang. Di RS Dr. Karyadi, jumlah penderita yang datang ke rumah sakit karena batu saluran kemih meningkat setiap tahunnya, mulai dari 34,8% dari kasus urologi pada tahun 2003, meningkat menjadi 39,1% pada tahun 2005 (Saptahadi & Rifki, 1996). Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 37 Berbagai penelitian sudah mencari faktor penyebab terjadinya batu saluran kemih dan batu ginjal. Herediter dan gaya hidup diyakini sebagai penyebab terjadinya batu saluran kemih dan batu ginjal (Sja’bani, Bakri, & Rahardjo, 2001; Ratu, Badji, & Harjono, 2006 dalam Dewi & Anak, 2007). Faktor gaya hidup seperti diet tinggi protein hewani, konsumsi cairan yang kurang, dan konsumsi soft drink merupakan penyebab semakin tingginya angka kejadian batu ginjal. Melalui keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan, diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan mengenai masalah perkotaan tersebut dan memberikan fokus yang tinggi untuk masalah kesehatan perkotaan lainnya. 4.2. Analisis Kasus Berdasarkan penelitian yang dilakukan baik di negara maju seperti Amerika Serikat dan negara di Eropa, maupun di negara berkembang seperti di Indonesia dan Thailand, kejadian batu ginjal lebih sering terjadi pada lakilaki dibandingkan pada perempuan (Sya’bani, Bakri, & Rahardjo, 2001; Daudon, Dore, Junger, & Lacour, 2004; Ratu, Badji, & Hardjoeno, 2006; Scales, Curtis, Norris, et al., 2007 dalam Knoll, 2010; Strope, Wolf, & Hollenbeck, 2010). Perbandingan kejadian tersebut antara 3 sampai 4 dibanding 1. Hal ini serupa dengan pasien batu ginjal kelolaan yakni Tn. R dengan umur 43 tahun. Fan (1999), menjelaskan peranan hormon sex kaitannya dengan jenis kelamin dan peningkatan batu kalsium oksalat. Fan menjelaskan bahwa androgen akan meningkatkan dan estrogen menurunkan ekskresi oksalat, konsentrasi oksalat plasma, dan endapan kristal kalsium plasma. Hal tersebut akhirnya dapat menyimpulkan mengapa batu saluran kemih cenderung meningkat pada laki-laki yang mempunyai batu kalsium oksalat. Perbedaan struktur anatomi saluran kemih laki-laki dan perempuan juga diyakini dapat menjelaskan lebih tingginya kejadian batu saluran kemih pada laki-laki. Laki-laki memiliki saluran kemih yang lebih panjang dibandingkan dengan perempuan, sehingga kemungkinan pengendapan Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 38 substansi batu lebih besar. Selain itu, laki-laki memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan perempuan, sehingga lebih banyak ekskresi oksalat yang lebih tinggi di urine (Curhan, Willett, Rimm, Speizer, & Stamfer, 1998 dalam Dewi & Anak, 2007) Kejadian batu ginjal selain dipengaruhi oleh jenis kelamin, juga dipengaruhi oleh umur. Seperti halnya yang terjadi pada Tn. R yang didiagnosis mengalami batu ginjal pada umur 43 tahun. Sebagian besar batu saluran kemih terjadi pada pasien yang berusia lanjut antara 31 - 45 tahun (Daudon, Dore, Junger, & Lacour, 2004; Ratu, Badji, & Hardjoeno, 2006; Scales, Curtis, Norris, et al., 2007 dalam Knoll, 2010; Strope, Wolf, & Hollenbeck, 2010) dengan jenis batu lebih predominan kalsium oksalat dan asam urat, sedangkan pada perempuan lebih banyak jenis batu kalsium fosfat (Daudon, Dore, Junger, & Lacour, 2004 dalam Knoll, 2010). Penyebab pasti belum diketahui, namun Kock (1999 dalam Ratu, Badji, & Hardjoeno, 2006) menjelaskan dalam penelitiannya mengenai batu ginjal yang terjadi pada anak-anak lebih rendah daripada orang dewasa. Ia mengemukaan pendapat bahwa peningkatan batu meningkat sesuai umur dan mencapai tingkat maksimal pada usia dewasa. Ginjal berkembang mulai bayi sampai dewasa seiring dengan peningkatan kapasitas konsentrasi ginjal mengakibatkan terjadinya peningkatan kristalisasi di loop of Henle. Nefron pada usia anak kurang berkembang, ditandai oleh memendeknya dan berkurangnya volume tubulus proksimal maupun di lengkung Henle (loop of Henle). Ukuran yang pendek ini membuat berkurangnya kesempatan pembentukan kristal kalsium fosfat. Alasan ini yang menerangkan mengapa insiden pembentukan batu oksalat pada dewasa lebih rendah dibandingkan pada anak-anak. Kandungan yang terdapat dalam batu juga berbeda-beda. Terdapat beberapa jenis kandungan batu yaitu kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat, struvit, dan sistin (Ratu, Badji, & Hardjoeno, 2006). Penentuan komposisi Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 39 batu dilakukan melalui pemeriksaan analisis batu. Batu diambil pada saat dilakukan pembedahan pengangkatan batu atau melalui batu yang keluar bersama aliran urine. Tn. R belum dilakukan pengangkatan batu ginjal dan juga tidak ada batu yang ikut terbawa aliran urin sehingga belum dilakukan pemeriksaan analisis batu untuk menentukan komposisi jenis batu. Akan tetapi, berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yakni biokimia asam urat, Tn. R memiliki asam urat tinggi yakni 8,1 mg/dl (normal 3,4 – 7,0 mg/dl). Pada pemeriksaan yang kedua juga didapatkan nilai asam urat yang masih tinggi yaitu sebesar 8,6 mg/dl. Ratu, Badji, & Hardjoeno (2007) menjelaskan bahwa salah satu kondisi yang meningkatkan pembentukan batu ginjal adalah asam urat dengan jenis batu yang terbentuk adalah batu asam urat. Persentase kejadian batu asam urat dari hasil penelitiannya sebesar 32,4%. Asam urat merupakan produk pemecahan protein yang diekskresi melalui urin. Adanya kandungan asam urat yang tinggi dalam urin menyebabkan faktor predisposisi terjadinya batu asam urat. Pola konsumsi protein dan jenis makanan yang mengandung purin pada pasien perlu dikaji. Tn. R mengatakan sudah memiliki asam urat tinggi sejak satu tahun yang lalu, namun tidak mendapatkan pengobatan apapun. Pola konsumsi protein hewani pada Tn. R juga bisa dikatakan tinggi. Tn. R mengatakan terbiasa dengan makanan daging. Normalnya, kebutuhan protein per hari 600 mg/kg berat badan. Protein hewani akan menurunkan pH urine sehingga menjadi lebih asam. Selain itu, hasil metabolisme protein hewani akan menyebabkan kadar sitrat urine turun, kadar asam urat dalam darah dan urine naik, sehingga menjadi predisposisi terjadinya batu saluran kemih maupun batu ginjal (Parivar, Roger, & Stoller, 2003). Faktor lain yang ikut berperan serta dalam pembentukan batu ginjal pada Tn. R adalah jenis pekerjaan. Tn. R adalah seorang pedagang yang aktivitasnya lebih banyak duduk. Coe & Park (1988) menyebutkan bahwa laki-laki yang Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 40 terlalu banyak duduk atau hanya ditempat tidur saja, maka kalsium tulang akan dilepas ke darah, selanjutnya hiperkalsemia akan memicu timbulnya batu saluran kemih karena adanya supersaturasi elektrolit/kristal dalam urine. Kenaikan konsentrasi bahan pembentuk batu di dalam tubulus renalis akan merubah zona stabil saturasi rendah menjadi zona supersaturasi metastabil dan bila konsentrasinya makin tinggi menjadi zona saturasi tinggi. Dilihat dari manifestasi klinisnya, Tn. R mengatakan merasakan nyeri pinggang kanan dan kiri sejak empat bulan yang lalu. Dari hasil pemeriksaan diagnositik: BNO-NP kemudian diketahui adanya batu ureter proksimal kanan 25 x 5 mm dan batu pyelum kiri 35 x 30 mm. Nyeri pinggang pada penderita batu ginjal dan batu saluran kemih merupakan salah satu gejala yang umum. Hampir dirasakan lebih dari 50% penderita batu saluran kemih (Vidar, Olafur, Gudjon, Kjartansson, & Runolfur, 2012). Hal ini terjadi akibat adanya pergesaran batu yang menyebabkan rupture atau keberadaan batu menekan bagian organ ginjal dan saluran kemih lainnya, sehingga timbul nyeri. Nyeri juga dirasakan berbeda-beda pada masing-masing pasien. Hal ini ditentukan oleh lokasi dan ukuran batu dalam ginjal dan saluran kemih. Batu ginjal mulai menunjukan gejala pada ukuran 1 mm, sekitar 90% pasien dengan ukuran batu kurang dari 5 mm tidak membutuhkan intervensi guna mengeluarkannya dari sistem urinarius (Coll, Varanelli, & Smith, 2002 dalam Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis, 2013), tetapi sebaliknya sekitar 50% batu yang berukuran 5 sampai 10 mm membutuhan intervensi lebih lanjut (Segura, Preminger, Assimo et al., 1997 dalam Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis, 2013). Gejala lain yang juga timbul pada Tn. R adalah ekskresi urine yang semakin sedikit. Padahal Tn. R mengatakan mengkonsumsi air dalam jumlah yang banyak (lebih dari dua liter per hari). Keberadaan batu di ginjal dan saluran Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 41 kemih pada Tn. R menyebabkan obstruksi sebagian aliran urine, sehingga jumlah ekskresi urine menurun. Sebaliknya, urine tertampung dalam ginjal dan saluran kemih, menyebabkan penurunan fungsi sekresi dan ekskresi urin. Hal ini ditandai dengan peningkatan kadar kimia klinik (kreatinin, asam urat, ureum) dan menyebabkan hidronefrosis, sesuai dengan hasil pemeriksaan radiologis tampak dilatasi pelvis akibat adanya hidronefrosis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium: kimia klinik didapatkan peningkatan kadar kreatinin yakni 2,8 mg/dl (normal 0,8 – 1,3 mg/dl), ureum darah sebesar 74 mg/dl (normal < 50 mg/dl), dan asam urat 8,1 mg/dl (3,4 – 7,0 mg/dl). Sedangkan laju filtrasi glomerulus pasien menurun, yakni eGFR 27,0 ml/min/1,73 ml2 (normal 82 – 126 ml/min/1,73 ml2). Dari hasil perhitungan klirent kreatinin didapatkan klirent kreatinin sebesar 40,89%. Berikut perhitungan klirent kreatinin Tn. R. Klirent kreatinin = (140 – Umur) x BB 72 x kadar kreatinin Klirent kreatinin = (140 – 43) x 85 = 40,89 %. 72 x 2,8 Artinya, fungsi ginjal dalam menjalankan fungsinya adalah sebesar 40,89 %. Hal ini mengindikasikan kondisi ginjal yang kurang baik. Gejala seperti hematuria tidak terjadi pada Tn. R. Istilah hematuria menunjukan adanya darah di dalam urine. Hematuria terjadi akibat adanya pergerakan batu di dalam ginjal atau saluran kemih sehingga menyebabkan rupture pada dinding ureter. Atau akibat adanya infeksi saluran kemih. Hematuria juga tidak terjadi pada setiap pasien yang terkena batu ginjal atau batu saluran kemih. Dari penelitian yang dilakukan oleh Vidar, Olafur, Gudjon, Kjartansson, & Runolfur (2012) pada 5948 pasien dengan batu ginjal, gejala hematuria hanya terjadi sebesar 34,1% atau 484 pasien. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 42 Pasien dilakukan pemasangan kateter nefrostomi bilateral pada tanggal 07 Mei 2014. Hal ini dilakukan berdasarkan pemeriksaan radiologis yang menunjukan adanya dilatasi pelvis atau hidronefrosis. Berdasar analisis pemeriksaan klirent kreatinin juga didapatkan penurunan fungsi ginjal. Pemasangan kateter nefrostomi bertujuan memperbaiki kondisi ginjal, sehingga tidak terjadi hidronefrosis lagi. Salah satu komplikasi batu ginjal adalah hidronefrosis dan jika kondisinya tidak segera diperbaiki, maka pasien dapat mengalami kondisi gagal ginjal. Masalah keperawatan yang diangkat pada Tn. R pada hari pertama dirawat di rumah sakit adalah ansietas. Data yang menunjukan masalah ansietas adalah rencana nefrostomi. Pasien mengatakan belum pernah mengalami tindakan operasi sebelumnya, sehingga sedikit merasa cemas. Data nonverbal pada pasien juga menunjukan adanya kecemasan, meski pasien cenderung diam. Intervensi manajemen ansietas diajarkan kepada pasien untuk mengurangi ansietas, serta penjelasan mengenai nefrostomi oleh dokter bedah dan oleh mahasiswa pada beberapa hal yang belum pasien pahami. Masalah keperawatan pada hari pertama pasca operasi adalah nyeri akut. Pasien mengungkapkan nyeri dirasa pada area insisi pemasangan kateter nefrostomi bilateral. Respon nonverbal menunjukan tindakan menjaga area nyeri dengan meminimalisir pergerakan. Manajeman nyeri pada hari pertama pasca operasi lebih efektif manajeman farmakologi. Hal ini pasien utarakan saat dimintai pendapat mengenai cara menurunkan nyeri. Manajemen nyeri nonfarmakologi baru lebih terasa manfaatnya sejak hari ketiga pasca operasi. Pasien dengan pemasangan kateter nefrostomi dan kateter urin, memiliki perubahan eliminasi urin dan resiko kekurangan cairan kurang dari kebutuhan. Pemantauan intake dan output menjadi konsen perawat agar Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 43 dapat memperbaiki kondisi pada pasien. Selain itu, bladder training secara dini pada pasien dilakukan agar fungsi berkemih pasien kembali normal, sehingga Tn. A dapat kembali menjalankan aktivitasnya secara normal. 4.3. Analisis Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terakhir Intervensi keperawatan dilakukan sesuai dengan masalah keperawatan yang dialami oleh Tn. A, meliputi: masalah keperawatan pra-operasi yakni ansietas, dan masalah keperawatan pasca-operasi meliputi: nyeri akut, perubahan eliminasi urin, dan resiko kekurangan cairan kurang dari kebutuhan. Selain itu, masalah yang perlu mendapat perhatian lebih adalah kekambuhan pada pasien yang sudah pernah mengalami batu ginjal. Hal ini berdasarkan data dari beberapa penelitian yang menunjukan bahwa angka kekambuhan batu ginjal atau batu ginjal berulang terjadi sekitar 50% dalam lima tahun terakhir. Prevalensinya meningkat pada sepuluh tahun terakhir menjadi sekitar 70% (Newsan & Petric, 1981; Tietz, 2001; Ratu, Badji, & Hardoeno, 2006). Analisis komposisi batu pada penderita batu ginjal dapat dijadikan dasar bagi pencegahan batu ginjal berulang. Selain itu, faktor risiko terjadinya batu ginjal yang sudah diketahui sebelumnya melalui penelitianpenelitian terdahulu dapat menjadi dasar tindakan pencegahan batu ginjal berulang, sehingga tindakan pencegahan tetap dapat dilakukan tanpa harus menunggu analisis komposisi batunya. Pencegahan batu ginjal berulang pun dapat dilakukan sejak pasien masuk rumah sakit, yakni melalui discharge planning. Discharge planning adalah pengembangan perencanaan yang dilakukan untuk pasien dan keluarga sebelum pasien meninggalkan rumah sakit dengan tujuan agar pasien dapat mencapai kesehatan optimal dan mengurangi biaya rumah sakit (Rakhmawati, Fitri, & Tunjung, 2013). Artinya, melalui proses discharge planning tersebut, maka sejak pasien masuk sampai pasien akan pulang, perawat berkewajiban mengidentifikasi kebutuhan apa saja yang dibutuhkan Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 44 pasien selama dirawat dan mempersiapkan pasien meningkatkan status kesehatannya setelah keluar dari rumah sakit. Potter & Perry (2004) membagi pelaksanaan discharge planning menjadi dua, yakni pada hari pasien dirawat di rumah sakit dan hari pemulangan pasien. Pelaksanaan pada saat sebelum hari pemulangan pasien, perawat menginformasikan mengenai sumber-sumber pelayanan kesehatan, serta pendidikan kesehatan terkait dengan penyakit yang dialami pasien (meliputi tanda gejala, komplikasi, perawatan, pencegahan, dan kepatuhan pengobatan). Sedangkan pada saat hari pemulangan pasien, maka pasien diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai hal-hal yang belum atau kurang dipahami dan hal-hal yang ingin diketahui lebih lanjut. Pendidikan kesehatan sebagai bagian dari discharge planning pada Tn. R dilakukan menjadi dua bagian, yakni pada tanggal 08 Mei dan 09 Mei 2014. Pendidikan kesehatan pertama mengenai penyakit batu ginjal (mulai dari pengertian, tanda dan gejala, faktor risiko, penatalaksanaan) dan pendidikan kesehatan kedua mengenai pencegahan batu ginjal. Alokasi waktu yang dilakukan per masing-masing sesi adalah tiga puluh menit. Pada pendidikan kesehatan pertama, evaluasi kegiatan dilakukan dari segi kognitif mengenai batu ginjal. Sedangkan pada sesi kedua, evaluasi kegiatan dilakukan baik kognitif maupun psikomotor. Potter & Perry (2004) menyampaikan evaluasi kegiatan pendidikan kesehatan dilakukan melalui kognitif dan psikomotor. Fokus pendidikan kesehatan pencegahan batu ginjal yakni terapi diet. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Agency for Healthcare Research and Quality pada kelompok kontrol yang dilakukan terapi diet dan terapi farmakologi (8 terapi diet dan 20 terapi farmakologi) menunjukan bahwa terapi diet berperan menurunkan angka kekambuhan batu ginjal pada pasiennya, yakni pasien yang meningkatkan intake cairan memiliki risiko penimbunan komposit pembentuk batu ginjal berulang yang lebih rendah (RR, 0,45 [95% CI, 0.2 – 0.84], n=1 trial), Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 45 penurunan konsumsi soft drink menurunkan gejala kekambuhan batu ginjal (RR, 0.83 [CI 0.71 – 0.98]). Diet rendah protein hewani, diet normal kasium, dan diet rendah natrium mengurangi komposit pembentuk batu ginjal berulang jika dibandingkan dengan pasien yang menjalani diet rendah kalsium. Akan tetapi, dalam penelitian tersebut tidak ada kelompok kontrol yang memiliki batu ginjal dengan kandungan batu asam urat (Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis, 2013). Analisis pelaksanaan discharge planning dengan materi pendidikan kesehatan mengenai pencegahan batu ginjal berulang dengan fokus terapi diet dilaksanakan dua kali. Evaluasi berdasarkan kegiatan tersebut meliputi: 1) Evaluasi kognitif, pasien menunjukan peningkatan pemahaman mengenai batu ginjal sebelum dilakukan pendidikan kesehatan dan setelah dilakukan pendidikan kesehatan. Pasien mampu menyebutkan pengertian penyakit batu ginjal, tanda dan gejalanya, patofisiologi singkat, komplikasi, penatalaksanaan batu ginjal, dan pencegahan batu ginjal berulang. 2) Secara psikomotor, selama pasien dirawat di rumah sakit, peningkatan konsumsi buah, intake cairan harian pasien lebih dari 2,5 liter per hari, sehingga pascaoperatif pasien tidak mengalami hipertermi. Berbeda halnya dengan pasien batu ginjal lainnya yang tidak dilakukan pendidikan kesehatan mengenai batu ginjal. Sedangkan intervensi lainnya seperti diet rendah purin dan diet rendah protein hewani tidak dapat dilakukan evaluasi langsung, tetapi pasien mengatakan akan mempraktikannya setelah pulang dari rumah sakit. 4.4. Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan Asuhan keperawatan yang dilakukan pada pasien memiliki beberapa kendala. Langkah yang diambil mahasiswa adalah mencari alternatif pemecahan masalah yang bersumber pada perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan, fasilitas pelayanan kesehatan, kolaborasi dengan professional kesehatan lain, dan pelibatan pasien beserta keluarganya. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 46 Masalah kesehatan pada pasien yang masih harus mendapat pengawasan adalah pelaksanaan pencegahan batu ginjal yang sudah mahasiswa ajarkan pada pasien. Pelaksanaan pencegahan dilakukan bersifat terus menerus, tidak hanya pada saat pasien dirawat di rumah sakit. Tindakan yang sudah mahasiswa lakukan pada pasien terkait hal tersebut adalah memberikan pendidikan kesehatan mengenai batu ginjal dan pencegahannya. Tindakan dilanjutkan pada pengawasan kepada pasien dengan dibantu oleh keluarganya, meliputi peningkatan asupan air minum (lebih dari 2 liter per hari), diet rendah purin dan diet rendah protein hewani. Evaluasi pelaksanaan kegiatan bersifat kognitif sesuai dengan materi yang disampaikan, dan beberapa psikomotor yang dievaluasi setelahnya. Terdapat beberapa kekurangan dalam melakukan discharge planning ini, yaitu penulis merasa referensi terkait evidence based practice yang sesuai dengan kasus ini terbatas. Selain itu, karena pencegahan batu ginjal berulang seharusnya ditunjukan pada sikap pasien secara berkelanjutan, tidak ada yang mengawasi pasien untuk tindakan pencegahan berikutnya. Selain itu, penilaian dari segi afektif sulit dilakukan mengingat intervensi yang dilakukan mahasiswa pada pasien terbatas waktu, yakni satu minggu praktik di rumah sakit. Evaluasi pelaksanaan pendidikan kesehatan mengenai diet terapi juga dapat dilakukan dengan pengukuran biokimia darah dan urine serta dilakukan dalam periode penelitian yang lebih lama. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 47 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kesimpulan berdasarkan analisis praktik klinik mahasiswa di ruang bedah gedung A lantai 4 RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo, khususnya pada pasien dengan batu ginjal adalah sebagai berikut: a. Penyakit batu ginjal atau batu saluran kemih merupakan masalah kesehatan masyarakat perkotaan yang insiden kejadiannya lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Angka kekambuhan penyakit batu ginjal cukup tinggi yakni sekitar 50% pada lima tahun terakhir dan sekitar 70% pada sepuluh tahun terakhir. b. Terdapat beberapa jenis batu untuk batu ginjal dan batu saluran kemih. Hal ini didasarkan pada komposisi dasar batu, meliputi batu kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat, struvit, dan sistin. Batu kalsium oksalat merupakan jenis batu yang paling banyak ditemukan. c. Faktor risiko terjadinya batu ginjal melibatkan faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi umur, jenis kelamin, dan herediter. Sedangkan faktor ekstrinsik termasuk gaya hidup dan faktor diet. d. Discharge planning merupakan suatu proses yang dimulai sejak awal pasien masuk rumah sakit sampai akhirnya pasien siap pulang. Proses discharge planning dapat dijadikan media bagi perawat memaksimalkan perannya sebagai edukator dengan memberikan pendidikan kesehatan mengenai pencegahan batu ginjal untuk menurunkan kemungkinan batu ginjal berulang pada pasien. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 48 5.2. Saran Berdasarkan keterbatasan dan pembahasan hasil penulisan ini, maka penulis memberikan beberapa rekomendasi kepada penulis selanjutnya dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien batu ginjal. a. Penulis selanjutnya tetap memberikan intervensi keperawatan sesuai dengan masalah yang ditemukan pada pasien dengan batu ginjal. Discharge planning tetap dapat diberikan mulai dari pasien masuk sampai pasien akan pulang. Penulis dapat membagi sesi pendidikan kesehatan menjadi lebih dari dua sesi, sehingga fokus pencegahan batu ginjal untuk mengurangi risiko batu ginjal berulang dapat lebih optimal. Selain itu, metode evaluasi mengenai pendidikan kesehatan ini perlu diperhatikan agar tidak terfokus pada evaluasi kognitif semata, melainkan evaluasi psikomotor, dan afektif jika memungkinkan. b. Bagi bidang keperawatan, pelaksanaan discharge planning dibeberapa lahan praktik kadang hanya dilakukan pada saat pasien mau pulang. Padahal proses ini seharusnya dimulai sejak pasien dirawat dan dilakukan dengan kolaborasi dengan multidisiplin ilmu. Perawat perlu memaksimalkan peran edukator melalui proses discharge planning sehingga pasien bukan hanya dinyatakan sembuh namun juga dapat meningkatkan kesehatnnya setelah pulang dan tidak kembali ke rumah sakit untuk kasus yang sama. c. Bagi institusi pendidikan, institusi pendidikan dapat memfasilitasi mahasiswanya dalam menyusun materi discharge planning khususnya pasien dengan batu ginjal, agar apa yang disampaikan kepada pasien adalah yang benar-benar pasien butuhkan. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 49 DAFTAR PUSTAKA Almborg, H. A., Ulandar, K., & Thulin, A. (2010). Discharge after strokeimportant factor for health: Realated Quality of Live. Journal of Clinical Nursing, 19, 2196. Birjandi, A., & Lisa, M. B. (2009). Discharge planning handbook for healthcare: Top 10 secet to unlocking a new revenue pipeline. New York: Taylor & Francis Group. Carpenito, L. J. (1999). Nursing diagnosis and collaborative problems. 3rd Edition. Philadelphia: Lippincot. Chang, E., John, D., & Doug, E. (2006). Pathophysiology: Applied to nursing practice (Alih bahasa: Andry Hartono). Jakarta: EGC. Clas, B. (1990). Alkaline citrate in prevention of recurrent calcium oxalate stone. Department of Urology and Clinical Chemistry. Lincoping. Coe, F. L., & Park, J. H. (1988). Nephrolithiasis, phatogenesis and treatment. Year Book Medical Publisher Inc. Chang, E., John, D., & Doug, E. (2010). Pathophysiology: Applied to nursing practice. (Alih bahasa: Andry Hartono). Jakarta: EGC. Coll, D. M., Varanelli, M. J., & Smith, R. C. (2002). Relationship of spontaneous passage of ureteral calculi to stone size and location as revealed by unenhanced helical CT. AJR American Journal Roentgenol. 178(1): 101 - 103. Curhan G, C., Willett, W.C., Rimm, E. B., Speizer, F. E., & Stampfer, M. J. (1998). Body size and risk of the kidney stones. Journal of the American Society of Nephrology, 9: 1645 - 1652. Daudon, M., Dore, J. C., Jungers, P., Lacour, B. (2004). Changes in stone composition according to age and gender of patients: A multivariate epidemiological approach. Urology Research, 32: 241 – 247. Dewi, D. A. P. R., & Anak, A. N. S. (2007). Profil analisis batu saluran kencing di instalasi laboratorium klinik RSUP Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam, 8(3) Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 50 Doenges, M. E., Mary, F. M., Alice, C, G. (2002). Nursing care plans: Guidelines for planning and documenting patient care. 3rd Edition. (Alih bahasa: I Made Kariasa & Ni Made Sumarwati). Jakarta: EGC. Escribano, J., Balaguer, A., Pagone, F., et al. (2009). Pharmacological interventions for preventing complications in idiopathic hypercalciuria. Cochrane Database of Systematic Reviews, (1): CD004754. Fan, J., Chandhoke, S. P., Grampsas. (1999). Role of sex hormones in experimental calcium oxalate nephrolithiasis in the nephron. Journal of the American Society of Nephrology , 10: 376 – 380. Hesse, A., Brandle, E., Wilbert, D., Kohrmann, K. U., Alken, P. (2000). Study on the prevalence and incidence of urolithiasis in Germany comparing the years 1979 vs. 2000. European Urology, 44: 709 – 713. Hughes, P. (2007). Kidney stones epidemiology. Nephrology, 12, S26-S30; doi:10.1111/j.1440-1797.2006.00724.x Kairaitis, L. (2007). Caring for australians with renal I. The CARI guidelines: Kidney stones: prevention of recurrent calcium nephrolithiasis. Nephrology. 12 Suppl 1:S11-20. Kementerian Kesehatan RI (2011). Diet rendah purin. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Subdit Bina Gizi Klinik. ------. (2011). Diet rendah protein. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Subdit Bina Gizi Klinik. Kim, S.C., Coe, F. L., Tinmouth, W., et al. (2005). Stone formation prooption to papier surface coverage by randall's plaque. Journal Urology, 173(1); 117 Kok, J. D., & Schell-Feith, A. E. (1999). Risk factors for crystallization in the nephron. Journal of the American Society of Nephrology, 10: S 364 – 370. Knoll, T. (2010). Epidemiology, pathogenesis, and pathophysiology of urolithiasis. European Urology Supplements 9, doi: 10.1016/j- eursup.2010.11.006 Kozier, B. (2004). Fundamental of nursing: Concept, process, and practice. Volume 6th Edition. New Jersey: Pearson/prentice hall. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 51 Krisna, S. (2012). Mencegah pembentukan batu kalsium di saluran kencing. 7 Juli 2014. http://home.spotdokter.com/199/mencegah-pembentukan-batu-laksiumdi-saluran-kencing/ Lina, N., Suharyo, H., & Rifki, M. (2007). Faktor-faktor risiko batu saluran kemih pada laki-laki: Studi kasus di RS. Dr. Kariadi, RS. Roemani, dan RSI Sultan Agng Semarang. Semarang: FU UNDIP Bagian Bedah. Mattle D., & Hess, B. (2005). Preventive treatment of nephrolithiasis with alkali citrate--a critical review. Urological Research, 33(2): 73 - 79. Menon, M, Resnick, & Martin I. (2002). Urinary lithiasis: Etiologi and endourologi in Chambell's Urology, 8th Ed., Vol 14. Philadelphia : W.B. Saunder Company. Minnesota Evidence-based Practice Center, & Minneapolis. (2013). Reccurent nephrolithiasis in adults: Comparative effectiveness of preventive medical strategies. AHRQ Publication, 12-EHCO49-EF Newsan, J. E., & Petric, J. J. B. (1981). Stones in the urinary tractus in urology and renal medicine, 3rd Ed. London: Churchill Livingstone. Parivar, F., Roger, K. & Stoller, M. (2003) The influence of diet on urinary stone disease. Journal Urology, 169(2): 470 - 474. Pearle, M. S., Roehrborn, C. G., & Pak, C.Y. Metaanalysis of randomized trials for medical prevention of calcium oxalate nephrolithiasis. Journal of Endourology, 13(9): 679 - 685. Phillips, C., Wright, S. M., Singa, R. M., Sheppert, S., & Rubin, H. R. (2004). Comprehensive discharge planning with post discharge support for older patients congestive heath failure: Meta-analysis. NHS. National Institute for Health Research. Potter, P. A., & Perry, A. G. (2004). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses, & praktik. Volume 1 Edisi 4. Jakarta: EGC. Preminger, G. M., Tiselius, H. G., Assimos, D. G., et al. (2007). Guideline for the management of ureteral calculi. Journal of Urology, 178(6): 2418 - 2134. Rakhmawati, N. D., Fitri, H., & Tunjung, W. (2013). Pengaruh discharge planning terhadap berat badan pada BBLR dalam tiga bulan pertama di kota Semarang. Jurnal Keperawatan Anak, 1(2), 127 – 134. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 52 Ratu, G., Badji, A., & Hardoeno. (2006). Profil analisis batu saluran kemih di laboratorium patologi klinik. Indonesai Journal of Clinical Pathoogy and Medical Laboratory, 12(3): 114 - 117 Scales, J. C. D., Curtis, L. H., Norris, R. D., et al. (2007). Changing gender prevalence of stone disease. Journal Urology, 177: 979 – 982. Segura, J. W., Preminger, G. M., Assimos, D. G., et al. (1997) Ureteral stones clinical guidelines panel summary report on the management of ureteral calculi. The American Urological Association. Journal Urology,158(5): 1915 1921. Stoler, M., Maxwell, V. M., Harrison, A. M. & Kane, J. P. (2004). The primary stone event: A new hupotesis involving a vasculer etiology. Journal Urology, 171(5); 1920 - 1924. Strohmaier, W. L. (2000). Socioeconomic aspects of urinary calculi and metaphylaxis of urinary calculi in German. Urologe A, 39: 166 – 170. Strope, S. A., Wolf, J. J. S., Hollenbeck, B. K. (2010). Changes in gender distribution of urinary stone disease. Urology,75: 543 – 546. Sudoyo, A. W., Bambang, S., Idrus, A., Marcellus, S. K., & Siti, S. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing. Sya'bani, M., Bakri ,S., & Rahardjo, P. (2001). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Taylor, E. N, Curhan, G. C. (2006). Body size and 24-hour urine composition. American Journal of Kidney Diseases, 48: 905 – 915. Tietz, W. N. (2001). Renal calculi in textbook of clinical chemistry. Philadelphia: W. B. Saunders Company. Turk, C. K. T., Petrik, A., Sarica, K., Straub, M., & Steitz, C. (2011). Guidelines on urolithiasis. www.uroweb.org/professionalresources/guidelines/. Vidar, O. E., Olafur, S. I., Gudjon, H., Kjartansson, O., & Runolfur, P. (2012). Temperal trends in the incidence of kidney stone disease. Kidney International, 83: 146 - 152. William, D.M. (1999). Clinical and laboratory evaluation of renal stone patiens in endokrinologi and metabolism clinic of North America. Philadelpian: W.B. Saunders. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 53 Lampiran 1. Rencana Asuhan Keperawatan Pre-Operatif Tabel 2. Rencana Asuhan Keperawatan Pre-Operatif ASUHAN KEPERAWATAN PRE OPERATIF Diagnosis Keperawatan Ansietas berhubungan dengan rencana operasi. Tujuan Umum Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan cemas berkurang Tujuan Khusus Tujuan khusus: a. Tekanan darah normal 120/80 mmHg b. Frekuensi pernafasan normal 16 – 24 kali per menit c. Frekuensi nadi normal 60 – 100 kali per menit. d. Wajah tampak tenang e. Klien mengungkapkan siap dilakukan operasi dan paham dengan tindakan tersebut. Intervensi Rasional a. Kaji dan dokumentasikan kecemasan pasien, termasuk reaksi fisik setiap sift. Kecemasan ditujukan baik secara verbal maupun nonverbal. Isyarat nonverbal kadang lebih kuat dibandingkan dengan isyarat verbal. b. Kaji faktor budaya yang menjadi penyebab ansietas. Beberapa budaya pada pasien kadang bertentangan dengan intervensi medis, dll sehingga dapat membuat pasien merasa cemas. c. Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran dan perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas. d. Gali bersama pasien tentang tehnik yang berhasil dan tidak berhasil menurunkan ansietas di masa lalu. Dengan mengungkapkan kecemasan, diharapkan pasien akan merasa lebih lega. e. Ajarkan tehnik relaksasi untuk Tehnik relaksasi bertujuan untuk Koping individu pasien yang terdahulu dapat menurunkan nyeri bagi pasien, karena respon nyeri bersifat subjektif pada pasiennya. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 54 mengurangi ansietas dengan tehnik nafas dalam, berfikir positif, dan distraksi. f. Anjurkan pasien untuk melakukan tehnik relaksasi jika merasa cemas. g. Kaji pemahaman pasien mengenai rencana tindakan operasi yang akan dilakukannya. merelaksasikan otot sehingga dapat mengurangi kecemasan yang dialami pasien. Memotivasi pasien secara terus menerus. Ketidakpahaman pasien mengenai rencana intervensi medis ataupun keperawatan dapat menyebabkan pasien merasa cemas. h. Berikan kesempatan kepada Pasien memiliki hak menanyakan pasien untuk menanyakan halmengenai hal-hal yang berkaitan hal yang belum dipahaminya, dengan rencana intervensinya. jelaskan sesuai dengan kewenangan perawat mengenai rencana tindakan operasi pasien. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 55 Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan Post-Operatif Tabel 3. Rencana Asuhan Keperawatan Post-Operatif ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERATIF Diagnosis Keperawatan Nyeri akut berhubungan dengan insisi luka operasi. Tujuan Umum Tujuan Khusus Setelah dilakukan Tujuan khusus: tindakan a. Penurunan skala keperawatan nyeri dari 4 – 5 selama 4 x 24 jam menjadi 1 – 2 diharapkan nyeri b. Penurunan durasi berkurang. nyeri dari 30 – 40 detik menjadi 5 – 10 detik. c. Tekanan darah normal 120/80 mmHg. d. Suhu aksila normal 36 – 37 derajat Celcius. e. Frekuensi pernafasan normal 16 – 24 kali permenit. f. Frekuensi nadi normal 60 – 100 kali per menit. g. Pasien Intervensi Rasional a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi. Karakteristik, awitan, durasi, frekuensi, kualitas, insitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya. b. Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan. Membantu mengevaluasi tempat obstruksi, kemajuan gerakan kalkulus, dan kondisi post operasi pemasanga nefrostomi. c. Observasi kondisi luka pascabedah dan balutannya. Luka post operasi merupakan sumber nyeri yang dirasakan oleh pasien, sehingga perlu dievaluasi setiap hari untuk menentukan kondisi penyembuhan luka. d. Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur. Nyeri kadang menyebabkan kecemasan pada pasien. Pemberian informasi terkait nyeri membantu pasien mengurangi kecemasan. Beberapa pasien cenderung menunjukan ketidaknyamanan melalui isyarat non verbal. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 56 mengungkapkan e. Ajarkan penggunakan tekhnik neyri berkurang. nonfarmakologis: tekhnik h. Pasien hipnotis, tekhnik relaksasi, mengungkapkan distraksi, terapi musik sebelum, tidak ada gangguan setelah, dan jika memungkinkan tidur. selama aktivitas yang i. Pasien menimbulkan nyeri. memperlihatkan tekhnik relaksasi f. Berikan posisi yang nyaman bagi secara efektif. pasien untuk mengurangi nyeri. j. Pasien melaporkan selera makan yang g. Anjurkan pasien melakukan baik. manajemen nyeri seperti yang sudah dijalaskan. h. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan (misalnya suhu ruangan, pencahayaan, dan kegaduhan). i. Kolaborasi: kelola nyeri pascabedah dengan pemberian analgetik yang terjadwal setiap 4 atau delapan jam. Manajeman nyeri non farmakologis bermanfaat merelaksasikan otot-otot tubuh sehingga mengurangi efek nyeri yang dirasakan oleh pasien. Selain itu juga bertujuan agar pasien tidak terfokus pada nyeri yang dirasakannya. Meningkatkan relaksasi dan mengurangi tegangan otot. Memotivasi pasien agar tidak terlalu berfokus pada nyei yang dirasakan pasien. Beberapa pasien merasa kurang nyaman dengan pencahayaan yang kuat, ataupun nyeri menjadi meningkat jika suasana gaduh. Memberikan lingkungan nyaman akan meningkatkan kenyamanan fisik pasien. Analgetik bertujuan mengurangi nyeri pasien dengan bekerja meredakan aktivitas saraf yang menyebabkan nyeri. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 57 j. Kolaborasi: laporkan kepada dokter jika tindakan meredakan nyeri dengan analgetik tidak berhasil. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan pemasangan kateter nefrostomi dan kateter urin. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 X 24 jam diharapkan eliminasi urine kembali normal. Tujuan khusus: a. Pasien menunjukan berkemih secara normal b. Pasien mengungkapkan tidak ada obstruksi, hambatan berkemih, atau nyeri saat berkemih. c. Warna urine kuning jernih. d. Nyeri pinggang berkurang atau teratasi (Skala 0), Membantu mengevaluasi pemberian analgetik dengan respon pasien, apakah dosisi sudah sesuai dengan pasien atau belum, ataupun apakah ada kondisi lain yang menyebabkan nyeri tetap ada meski dengan pemberian analgetik. a. Awasi pemasukan, pengeluaran, dan karakteristik urine. Memberikan informasi tentang fungsi ginal dan adanya komplikasi. Contoh: infeksi dan perdarahan dapat mengindikasikan peningkatan obstruksi atau iritasi ureter. b. Awasi asupan dan haluaran, karakteristik urine, catat adanya keluaran batu Penemuan batu memungkinkan identifikasi tipe batu dan mempengaruhi pilihan terapi. c. Tentukan pola berkemih normal pasiendan perhatikan variasi yang terjadi Kalkulus dapat menyebabkan eksitabilitas saraf yang menyebabkan sensasi kebutuhan berkemih segera. Biasanya frekuensi dan urgensi meningkat bila kalkulus mendekati pertemuan uretrovesikal. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 58 e. Saat dipalpasi tidak ada sisa urin Resiko kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam diharapkan tidak terjadi kekurangan Tujuan khusus: a. Pasien mempertahankan keseimbangan cairan b. Tanda-tanda vital d. Motivasi pasien meningkatkan pemasukan cairan. Peningkatan hidrasi akan membilas bakteri, darah, dan debris, dan dapat membantu lewatnya batu. e. Observasi perubahan status mental, perilaku atau tingkat kesadaran. Akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada system saraf pusat. f. Pantau hasil pemeriksaan laboratorium (elektrolit, BUN, kreatinin) Peningkatan BUN, kreatinin dan elektrolit mengindikasikan disfungsi ginjal. g. Berikan obat sesuai indikasi : Antibiotika Antibiotik diberikan untuk mencegah adanya infeksi bakteri h. Pertahankan patensi kateter tak menetap (uereteral, uretral atau nefrostomi). Diperlukan untuk membantu aliran urine atau mencegah retensi dan komplikasi. a. Pantau intake dan output. Membandingkan keluaran actual dan yang diantisipasi membantu dalam evaluasi adanya/derajat stasis/kerusakan ginjal. Kerusakan fungsi ginjal dan penurunan haluaran urine dapat Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 59 pemasangan kateter nefrostomi cairan. c. d. e. f. g. stabil (tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 60 – 100 kali per menit, frekuensi nafas 16 – 24 kali per menit, suhu 36 – 37 derajat Celcius). Berat badan dalam rentang normal. Membrane mukosa lembab Turgor kulit baik Capillary refill time < 2 detik. Balance cairan positif. mengakibatkan volume sirkulasi lebih tinggi dengan tanda gejala GGK. b. Catat adanya muntah atau diare. Perhatikan karakteristik dan frekuensi muntah dan diare. Mual/muntah dan diare secara umm berhubungan dengan kolik ginjal karena saraf ganglion seliaka pada kedua ginjal dan lambung. Pencatatan dapat membanu mengesampingkan kejadian abdominal pain lain yang menyebabkan nyeri atau menunjukan kalkuluas. c. Tingkatkan pemasukan cairan Mempertahankan keseimbangan sampai 3 – 4 liter dalam toleransi cairan untuk untuk hemostasis jantung. juga tindakan mencuci yang dapat membilas batu kular. Dehirasi atau ketidakseimbnagan elektrolit dapat terjadi sekunder akibat kehilangan cairan berlebihan. d. Pantau tanda-tanda vital, membrane mukosa, turgor kulit, pengisian kapiler setiap sift. Indikasi hidrasi atau volume sirkulasi dan kebutuhan intervensi. Contoh: penurunan laju filtrasi glomerulus merangsang produksi renin yang bekerja untuk Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 60 meningkatkan tekanan darah dalam upaya meningkatkan aliran darah ginjal. e. Timbang berat badan setiap hari. Peningkatan berat badan cepat mungkin berhubungan dengan adanya retensi. f. Awasi kadar elektrolit, hemoglobin dan hematrokrit darah. g. Kolaborasi: pemberian cairan IV line. h. Pantau pemberian cairan IV line sesuai dengan prosedur. Mengkaji hidrasi dan keefektifan ata kebutuhan intervensi. Memberikan cairan secara cepat bila kondisi pasien kekurangan cairan tubuh. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 61 Lampiran 3. Catatan Perkembangan Keperawatan Tabel 4. Catatan Perkembangan Keperawatan CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN Tanggal Diagnosis Implementasi 06/05/2014 Ansietas berhubungan 1. Mengkaji kecemasan pasien, dengan rencana penyebab kecemasan operasi 2. Mengkaji tingkat pemehaman pasien mengenai rencana tindakan operasi yang akan dijalani 3. Mengkaji kesiapan pasien dalam mempersiapkan diri untuk operasi 4. Mendiskusikan kembali kebiasaan pasien dalam mengurangi ansietas sebelumnya 5. Mengukur tanda-tanda vital 6. Memberikan pendidikan kesehatan perioperative 7. Mengajarkan manajemen ansietas: tehnik distraksi, relaksasi dengan nafas dalam Evaluasi S: - Pasien mengatakan merasa sedikit tegang karena akan operasi; rencana operasi yang akan dilakukan adalah pemasagan selang ke ginjal kiri dan kanan untuk memperbaiki kondisi ginjal; belum pernah dilakukan operai sebelumnya; berdoa supaya operasi berjalan lancer. - Pasien mengatakan akan mencoba melakukan mobilisasi dini pasca operasi. O: - Wajah pasien tampak tegang dan pucat - Tekanan darah awal 120/80 mmHg, tekanan darah sekarang terukur 130/90 mmHg - HR 82 kali per menit, RR 20 kali per menit,Sh 36 derajat Celcius - Klien direncanakan operasi pemasangan kateter nefrostomi bilateral tanggal 07 Mei 2014 siang hari. - Pasien tampak mempraktikan nafas dalam sesui dengan yang diajarkan. A: Ansietas +, masalah belum teratasi. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 62 P: - Ajarkan kembali manajemen ansietas - Temani pasian dan anjurkan pasien ngobrol dengan pasien yang lainnya. 07/05/2014 Ansietas berhubungan 1. Membuat kontrak waktu dengan dengan rencana pasien. operasi 2. Mengajarkan manajemen ansietas dengan tehnik nafas dalam, distraksi, dan mendengarkan music. S: - Pasien mengatakan mencoba bersikap relaks; merasa terbantu setelah mempraktikan manajeman ansietas yang sudah diajarkan; mengatakan sudah siap dengan rencana operasi siang nanti. O; - Pasien tampak mempraktikan nafas dalam pada saat-saat tertentu - Pasien terlihat kadang-kadang berbincang-bincang dengan pasien yang lainnya. A: Ansietas +, berkurang P: - 1. Membuat kontrak waktu dengan pasien. 2. Mengkaji keluhan nyeri pasien: skala, kualitas nyeri, frekuensi, dan durasi nyeri. 3. Mengukur tanda-tanda vital 4. Mengkaji kebiasaan pasien dalam menurunkan nyeri sebelumnya. 5. Membantu memberikan posisi S: - Pasien mengatakan bahwa saat ini terasa nyeri di dekat luka operasi, skala 5, meningkat saat bergerak dan pindah posisi; muncul 3 kali selama 10 – 20 detik. - Pasien mengatakan mengurangi nyeri dengan meminimalisir pergerakan. - Pasien mengatakan dengan obat, neyri menjadi berkurang. Latihan nafas dalam sudah dilakukan tetapi kurang efektif. 08/05/2014 Nyeri akut berhubungan dengan insisi luka operasi. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 63 nyaman bagi pasien (posisi semifowler). 6. Mengkaji kondisi balutan luka H+1 postoperasi. 7. Kolaborasi: pemberian medikasi analgetik tramadol 100 mg pukul 10.00 WIB dan medikasi antibiotic cefoperazone 1 gram pukul 10.00 WIB. O: - Wajah pasien tampak menyeringai saat pindah posisi, - Tekanan darah 120/70 mmHg, HR= 88 kali per menit, RR= 20 kali per menit, Suhu= 37 derajat Celcius. - Balutan luka postoperasi tampak bersih, tidak ada rembesan, tidak ada darah, selang nefrostomi bersih, produksi urin ada warna kuning keruh agak kemerahan. - Setelah diberikan tramadol 100 mg, pasien terlihat tenang dan tidak kesakitan. A: Nyeri akut, masalah belum teratasi. P: - Monitoring keluhan nyeri. - Pantau keadaan luka postoperasi - Ajarkan manajemen nyeri - Persiapan dilakukan pemeriksaan radiologis : BNO-NP 09/05/2014 Nyeri akut berhubungan dengan insisi luka operasi. 1. Membuat kontrak waktu dengan pasien. 2. Mengkaji keluhan nyeri pasien: skala, kaalitas, frekuensi, durasi, 3. Mengukur tanda-tanda vital. 4. Membantu memberikan posisi nyaman (semifowler). 5. Menganjurkan pasien melakukan nafas dalam saat terasa nyeri. 6. Menganjurkan pasien melakukan S: - Pasien mengatakan nyeri masih kuat terasa, skala 4 sampai 5 meningkat saat bergerak; timbul 2 sampai 3 kali dalam satu menit selama 10 sampai 15 detik. - Pasien mengatakan merasa lebih nyeman dengan posisi setengah duduk bersandar pada tempat tidur. - Pasien akan mempraktikan nafas dalam jika nyeri timbul. - Pasien mengatakan tidak ada mual, tidak ada muntah, sudah bisa memiringkan badan ke kanan dan ke kiri, serta sudah bisa duduk dengan dibantu. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 64 mobilisasi dini. 7. Mengkaji kondisi balutan luka post-operasi H+2 8. Menganjurkan pasien melaporkan ke perawat jika terdapat tandatanda infeksi pada luka postoperasi. 9. Menganjurkan pasien menjaga daerah sekitar luka postoperasi. 10. Kolaborasi pemberian analgetik tramadol 100 mg dan antibiotic cefaperazone 1 gram O: - Tekanan darah 120/80 mmHg, HR 100 kali per menit, RR 16 kali per menit, suhu 37 derajat Celcius - Pasien tampak sudah bisa duduk bersandar di tempat tidur. - Tampak wajah yang semakin tenang setelah pemberian tramadol 100 mg. - Kondisi balutan luka kering, bersih, tidak ada rembesan, tidak ada darah, selang nefrostomi bersih dengan produksi berwarna kuning keruh agak kemerahan. A: Nyeri akut, masalah belum teratasi P: - Observasi keluhan nyeri pasien - Pantau kondisi luka postoperasi - Anjurkan pasien melakukan manajeman nyeri. 09/05/2014 Perubahan eliminasi urine pemasangan kateter nefrostomi. 1. Mengkaji pola berkemih pasien postoperasi. 2. Mengkaji adanya retensi urine dan kemampuan mengontrol keinginan berkemih 3. Memantau kelauran produksi urine melalui kateter urine dan kateter nefrostomi. 4. Melatih blader training. S: - Pasien mengatakan setelah operasi dan dipasang selang ke ginjal, urine keluar sendiri dengan jumlah banyak dan berwarna kuning keruh, masih agak kemerahan. - Pasien mengatakan sudah bisa merasakan keinginan berkemih. O: - Terlihat pasien terpasang kateter nefrostomi bilateral dengan produksi urine berwarna kuning keruh agak Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 65 kemerahan, dan kateter urine, produksi ada berwarna kuning keruh. - Pasien sudah dilakukan blader training dan rencana dilepas. A: Perubahan eliminasi urin +, masalah teratasi. P: 09/05/2014 Resiko kekurangan cairan kurang dari kebutuhan berhubungan dengan pemasangan keteter nefrostomi. 1. Menghitung kebutuhan cairan harian pasien. 2. Memantau produksi urine melalui kateter nefrostomi dan kateter urine. 3. Menganjurkan pasien meningkatkan intake cairan lebih dari 2,5 liter per hari. 4. Melibatkan keluarga dalam proses pemantauan urine output dengan mencatatnya. S: - Pasien mengatakan minum air putih banyak, lebih dari 2 liter per hari. - Keluarga mengatakan akan mencatat jumlah urine yang keluar. O: - Kebutuhan harian cairan minimal pasien dengan berat bdan 85 kg. 1500 + (65 x 15) = 2475 per 24 jam. - Pasien terpasang IUFD dengan cairan NaCl 0,9% 500 ml per 8 jam. - Produksi urine output tercatat: nefrostomi kanan 2700 cc, dan nefrostomi kiri 1200 cc. total 3900 cc/24 jam. - Input cairan melalui minum 2 botol air mineral besar (3000 cc) dan melalui infus NaCl 0,9 % 1500/24 jam. Total input 4500 ml/24 jam. - Balance cairan + 600 ml. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 66 A: Resiko kekuranga cairan kurang dari kebutuhan +, masalah belum teratasi. P: - Pantau intake dan output caitan. - Motivasi pasien minum air lebih dari 3 liter per hari. - Hitung balance cairan 10/05/2014 Nyeri akut berhubungan dengan insisi luka operasi. 1. Membuat kontrak waktu dengan pasien. 2. Mengkaji keluhan nyeri pasien: skala, kaalitas, frekuensi, durasi, 3. Mengukur tanda-tanda vital. 4. Membantu memberikan posisi nyaman (semifowler). 5. Menganjurkan pasien melakukan nafas dalam saat terasa nyeri. 6. Mengkaji kondisi balutan luka post-operasi H+3 7. Menganjurkan pasien melaporkan ke perawat jika terdapat tandatanda infeksi pada luka postoperasi. 8. Kolaborasi pemberian antibiotic cefaperazone 1 gram S: - Pasien mengatakan nyeri masih ada tetapi berkurang, skala 2 sampai 3, bisa ditahan, nyeri dirasa ketika bergerak, - Pasien mengatakan sudah bisa berjalan secara mandiri, akan latihan jalan-jalan kecil untuk mempercepat proses penyembuhan luka post operasi. - Tekanan darah 110/80 mmHg, SUhu 36,7 derajat Celcius, HR 88 kali per menit, RR 20 kali per menit. - Tampak luka postoperasi kering (+), kemerahan (-), rembesan (-), darah (-), pus (-), bau (-), balutan sudah diganti dengan balutan kasa kering-kering, panjang luka sekitar 15 cm, produksi urine ada berwarna kuning keruh. A: Nyeri berkurang, masalah teratasi sebagian. P: - Anjurkan manajemen nyeri nonfarmakologi pada saat pasien merasa nyeri. Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 67 10/05/2014 Resiko kekurangan cairan kurang dari kebutuhan berhubungan dengan pemasangan keteter nefrostomi. 1. Menghitung kebutuhan cairan harian pasien. 2. Memantau produksi urine melalui kateter nefrostomi dan kateter urine. 3. Pantau pemberian cairan melalui IUFD. 4. Melakukan pemeriksaan laboratorium. 5. Menganjurkan pasien meningkatkan intake cairan lebih dari 2,5 liter per hari. 6. Melibatkan keluarga dalam proses pemantauan urine output dengan mencatatnya. S: - Pasien mengatakan banyak minum air putih, biasanya 1 botol ukuran besar dan 1 botol ukuran sedang. - Hasil pemeriksaan laboratorum (nilai abnormal): Hb 10,4 gr.dl; Ht 34%, dan eritrosit 3,56. 10^6 /uL Kreatinin 2,8 mg/dl eGFR 27 ml/min/1,73 ml2 asam urat 8,1 mg/dl ureum darah 74 mg/dl. - Total urine output 3700 ml/24 jam - Total intake melalui infus 1000 ml dan masukan cairan oral 2200 ml, total intake 3200 ml/24 jam. - Balance cairan – 500 ml. - Mukosa bibir tampak lembab A: resiko kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan, masalah belum teratasi P: - Pantau intake dan oautput cairan - Hitung balance cairan - Motivasi pasien meningkatkan intake cairan Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 68 Lampiran 4. Rencana Satuan Acara Pembelajaran RENCANA SATUAN ACARA PEMBELAJARAN Pokok Bahasan : Proses penyakit batu ginjal Hari, Tanggal : Rabu, 08 Mei 2014 dan Kamis, 09 Mei 2014 Waktu : 30 menit Tempat : Ruang rawat Lt.4 Gd. A RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta 1. Tujuan Intruksional Umum Setelah mendapatan pendidikan kesehatan, pasien atau keluarga dapat memahami proses penyakitnya. 2. Tujuan Intruksional Khusus Setelah mendapatkan pendidikan kesehatan, pasien atau keluarga mampu: a. Menjelaskan pengertian batu ginjal b. Menyebutkan tanda dan gejala batu ginjal. c. Menyebutkan faktor resiko penyakit batu ginjal. d. Menyebutkan penatalaksanaan penyakit batu ginjal e. Menyebutkan pencegahan penyakit batu ginjal melalui terapi diet f. Menunjukan perilaku pencegahan penyakit batu ginjal selama dirawat (peningkatan asupan cairan harian, tidak mengkonsumsi soft drink, diet tinggi serat, dan diet rendah protein hewani dan purin). 3. Metode Pengajaran Metode pengajaran yang digunakan: ceramah dan diskusi 4. Media yang Digunakan Media yang digunakan: lembar balik dan leaflet 5. Materi pengajaran a. Pengertian penyakit batu ginjal Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 69 b. Faktor risiko penyakit batu ginjal c. Tanda dan gejala penyakit batu ginjal d. Penatalaksanaa penyakit batu ginjal e. Pencegahan penyakit batu ginjal 6. Metode Evaluasi a. Evaluasi kognitif dengan memberikan pertanyaan terbuka mengenai:penfertian batu ginjal, tanda dan gejala batu ginjal, faktor risiko batu ginjal, penatalaksanaan pasien dengan batu ginjal, pencegahan penyakit batu ginjal berulang. b. Evaluasi psikomotor: perawat mengecej jumlah asupan cairan narian pasien selama di ruamah sakit, diet tinggi serat, dan tidak meminum soft drink. 7. Proses Pendidikan Kesehatan Tabel 5. Rencana Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan 1 No Waktu 5 Tahapan Kegiatan Pembukaan Kegiatan Mahasiswa 1. Memberi salam 1. 2. Menjelaskan tujuan 2. dan materi yang akan diberikan 3. Evaluasi awal 3. tentang materi yang akan diberikan 1 2 15 Kegiatan inti 1. Mahasiswa 1. Pasien dan menjelaskan: keluarga 2. Mahasiswa memperhatikan memberikan dan mendengarkan kesempatan bertanya dengan sungguhmengenai hal-hal sungguh. yang sudah 2. Pasien atau dijelaskan atau yang keluarga ingin diketahui menanyakan halpasien dan keluarga hal yang belum tentang proses jelas. penyakit. 3. Pasien dan Pasien Menjawab salam Memperhatikan dan mendengarkan Menjawab Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 70 3. Mahasiswa mendiskusikan pertanyaan pasien bersama-sama 4. Mahasiswa melakukan evaluasi 3 10 Penutup 1. Mahasiswa menyimpulkan isi penyuluhan yang telah disampaikan 2. Mahasiswa mengucapkan terima kasih 3. Mahasiswa membuat kontrak pertemuan selanjutnya 4. Salam Penutup keluarga ikut mendiskusikan pertanyaan pasien bersama-sama. 4. Pasien dan keluarga menjawab mengenai pertanyaan yang diajukan mahasiswa. 1. Pasien dan keluarga memahami isi penyuluhan dan menyamakan persepsi tentang penyakit batu ginjal. 2. Pasien menjawab 3. Pasien merespon dan menentukan pertemuan selanjutnya. 4. Pasien menjawab salam Tabel 5. Rencana Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan 2 No Waktu 1 5 Tahapan Kegiatan Pembukaan 2 15 Kegiatan inti Kegiatan Mahasiswa Pasien 1. Memberi salam 1. Menjawab salam 2. Menjelaskan tujuan 2. Memperhatikan dan materi yang dan akan diberikan mendengarkan 3. Evaluasi awal 3. Menjawab tentang materi yang akan diberikan 1. Mahasiswa menjelaskan: 2. Mahasiswa memberikan kesempatan 1. Pasien dan keluarga memperhatikan dan mendengarkan dengan sungguhUniversitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 71 3 10 Penutup bertanya mengenai sungguh. hal-hal yang sudah 2. Pasien atau dijelaskan atau yang keluarga menanyakan halingin diketahui hal yang belum pasien dan keluarga tentang proses jelas. 3. Pasien dan penyakit. keluarga ikut 3. Mahasiswa mendiskusikan mendiskusikan pertanyaan pasien pertanyaan pasien bersama-sama. bersama-sama 4. Pasien dan 4. Mahasiswa keluarga melakukan evaluasi menjawab mengenai pertanyaan yang diajukan mahasiswa. 1. Pasien dan 1. Mahasiswa keluarga menyimpulkan isi memahami isi penyuluhan yang penyuluhan dan telah disampaikan menyamakan 2. Mahasiswa persepsi tentang mengucapkan terima penyakit batu kasih ginjal. 3. Mahasiswa membuat kontrak pertemuan 2. Pasien selanjutnya menjawab 3. Pasien merespon 4. Salam Penutup dan menentukan pertemuan selanjutnya. 4. Pasien menjawab salam Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014 72 Lampiran 5. Biodata Peneliti BIODATA PENELITI IDENTITAS DIRI Nama : Ragil Aprilia Astuti Nama Panggilan : Lia Tempat, Tanggal Lahir: Kebumen, 04 April 1991 Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Golongan Darah :O Suku : Jawa Kewarganegaraan : Indonesia Bahasa Dikuasai : Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris Nomor Hp : +6285228288834 Alamat Email : [email protected] Alamat Rumah : Jalan Jatijajar KM 5, Desa Rowokele RT 02 RW 02 Nomor 60, Kecamatan Rowokele, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah (54472) Alamat Kosan : Wisma Rarita, Jalan Pinang 1 Nomor 5 RT 02 RW 03, Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kabupaten Depok, Jawa Barat (16000) PENDIDIKAN No Jenjang Pendidikan 1 PT 2 3 4 5 SMA SMP SD TK Nama Sekolahan Periode Fakultas Ilmu Keperawatan Univesitas Indonesia SMA Negeri 1 Rowokele SMP Negeri 1 Rowokele SD Negeri 1 Rowokele TK Tunas Darma 2009 - 2014 2006 – 2009 2003 – 2006 1997 – 2003 1995 – 1997 Universitas Indonesia Discharge planning ..., Ragil Aprilia Astuti, FIK UI, 2014