2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi

advertisement
2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca
agar lebih kritis dan dapat memahami makna dan tanda yang
disampaikan dalam sebuah iklan
3. Secara akademis, penelitian ini dapat menjadi sumbangsih kepada
Departemen Ilmu Komunikasi Fisip USU, guna memperkaya bahan
rujukan penelitian dan sumber bacaan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Paradigma
Paradigma menurut Guba dan Lincoln, mengajukan tipologi yang
mencakup empat paradigma: positivisme, postpositivisme, Kritikal et al, dan
konstruktivisme. Dikemukakan bahwa setiap paradigma membawa implikasi
metodologi masing-masing (http://www.scribd.com/doc/15252080/ParadigmaKonstruktivisme-Paradigma-Kritikal).
Universitas Sumatera Utara
Paradigma Konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap
paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang
diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa
dilakukan oleh kaum positivis. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari
pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan
perilaku alam karena manusia bertindak sebagai agen yang mengonstruksi dalam
realitas sosial mereka, baik melalui pemberian makna maupun pemahaman
perilaku di kalangan mereka sendiri.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme karena penelitian
yang bersifat kualitatif ini ingin mencari makna yang tersembunyi dibalik iklan
Mie Sedaap rasa Ayam Spesial dan mencari hubungannya dengan citra budaya
Indonesia.
2.2
Uraian Teoritis
2.2 1
Komunikasi
Kata
atau
istilah
komunikasi
(dari
bahasa
Inggris
“communication”),secara etimologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa
Latincommunicatus, dan perkataan ini bersumber pada kata communis Dalam
kata communis ini memiliki makna ‘berbagi’ atau ‘menjadi milik bersama’ yaitu
suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna.
Komunikasi
secara
terminologis
7 merujuk
pada
adanya
proses
penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain.Jadi dalam
pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah manusia. Karena itu
merujuk pada pengertian Ruben dan Steward(1998:16) mengenai komunikasi
manusia yaitu:
Human communication is the process through which individuals –
in relationships, group, organizations and societies—respond to
and create messages to adapt to the environment and one another.
Universitas Sumatera Utara
Bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individuindividu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang
merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama
lain.
Untuk memahami pengertian komunikasi tersebut sehingga dapat
dilancarkan secara efektif dalam Effendy(1994:10) bahwa para peminat
komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold
Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in
Society. Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk untuk menjelaskan
komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What
In Which Channel To Whom With What Effect?
Paradigma
Lasswell
di
atas
menunjukkan
bahwa
komunikasi
meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu,yaitu:
1. Komunikator (siapa yang mengatakan?)
2. Pesan (mengatakan apa?)
3. Media (melalui saluran/ channel/media apa?)
4. Komunikan (kepada siapa?)
5. Efek (dengan dampak/efek apa?).
Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, secara sederhana proses
komunikasi
adalah
pihak
komunikator
membentuk(encode) pesan
dan
menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima yang
menimbulkan efek tertentu
2.2 2 Tujuan Komunikasi
Dalam berkomunikasi, tidak hanya untuk memahami dan mengerti satu
dengan yang lainnya tetapi juga memiliki tujuan dalam berkomunikasi. Pada
umumnya komunikasi mempunyai beberapa tujuan antara lain (Effendy, 1992:8) :
a. Untuk mengubah sikap (to change attitude), yakni memberikan berbagai
informasi kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat akan
Universitas Sumatera Utara
mengubah sikapnya. Misalnya, memberikan informasi mengenai bahaya
narkoba pada masyarakat dan remaja khususnya dengan tujuan agar
masyarakat dan remaja menjadi tahu bahaya narkoba.
b. Untuk mengubah opini (to change the opinion), yakni memberikan
berbagai informasi kepada mayarakat agar masyarakat mau mengubah
pendapat dan persepsinya terhadap tujuan informasi yang disampaikan,
misalnya informasi mengenai pemilu.
c. Untuk mengubah perilaku (to change the behavior), yaitu memberikan
berbagai informasi kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat
akan mengubah perilakunya. Misalnya informasi yang diberikan oleh
Pihak Kepolisian kepada masyarakat pengguna sepeda motor agar selalu
menggunakan helm selama berkendara untuk keselamatan pengguna itu
sendiri.
d. Untuk mengubah masyarakat (to change the society), yaitu memberikan
berbagai informasi kepada masyarakat, yang pada akhirnya bertujuan agar
masyarakat mau mendukung dan ikut serta terhadap tujuan informasi yang
disampaikan
2.2 3
Fungsi Komunikasi
William I. Gorden (dalam Deddy Mulyana, 2005:5-30) mengkategorikan
fungsi komunikasi menjadi empat, yaitu:
1. Sebagai komunikasi sosial
Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan
bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri,
untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari
tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur,
dan memupuk hubungan hubungan orang lain. Melalui komunikasi kita bekerja
Universitas Sumatera Utara
sama dengan anggota masyarakat (keluarga, kelompok belajar, perguruan tinggi,
RT, desa, ..., negara secara keseluruhan) untuk mencapai tujuan bersama.
a. Pembentukan konsep diri. Konsep diri adalah pandangan kita mengenai
diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan
orang lain kepada kita. Melalui komunikasi dengan orang lain kita belajar
bukan saja mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan
siapa kita. Anda mencintai diri anda bila anda telah dicintai; anda berpikir
anda cerdas bila orang-orang sekitar anda menganggap anda cerdas; anda
merasa tampan atau cantik bila orang-orang sekitar anda juga mengatakan
demikian. George Herbert Mead (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1994)
mengistilahkan significant others (orang lain yang sangat penting) untuk
orang-orang disekitar kita yang mempunyai peranan penting dalam
membentuk konsep diri kita. Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang
tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan
kita. Richard Dewey dan W.J. Humber (1966) menamai affective others,
untuk orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan
emosional. Dari merekalah, secara perlahan-lahan kita membentuk konsep
diri kita. Selain itu, terdapat apa yang disebut dengan reference group
(kelompok rujukan) yaitu kelompok yang secara emosional mengikat kita,
dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Dengan melihat
ini, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan
ciri-ciri kelompoknya. Kalau anda memilih kelompok rujukan anda Ikatan
Dokter Indonesia, anda menjadikan norma-norma dalam Ikatan ini sebagai
ukuran perilaku anda. Anda juga meras diri sebagai bagian dari kelompok
ini, lengkap dengan sifat-sifat doketer menurut persepsi anda.
b. Pernyataan eksistensi diri. Orang berkomunikasi untuk menunjukkan
dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau lebih tepat lagi
pernyataan eksistensi diri. Fungsi komunikasi sebagai eksistensi diri
terlihat jelas misalnya pada penanya dalam sebuah seminar. Meskipun
mereka sudah diperingatkan moderator untuk berbicara singkat dan
Universitas Sumatera Utara
langsung ke pokok masalah, penanya atau komentator itu sering berbicara
panjang lebarm mengkuliahi hadirin, dengan argumen-argumen yang
terkadang tidak relevan.
c. Untuk kelangsungan hidup, memupuk hubungan, dan memperoleh
kebahagiaan. Sejak lahir, kita tidak dapat hidup sendiri untuk
mempertahankan hidup. Kita perlu dan harus berkomunikasi dengan orang
lain, untuk memenuhi kebutuhan biologis kita seperti makan dan minum,
dan memnuhi kebutuhan psikologis kita seperti sukses dan kebahagiaan.
Para psikolog berpendapat, kebutuhan utama kita sebagai manusia, dan
untuk menjadi manusia yang sehat secara rohaniah, adalah kebutuhan akan
hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan membina
hubungan yang baik dengan orang lain. Abraham Moslow menyebutkan
bahwa manusia punya lima kebutuhan dasar: kebutuhan fisiologis,
keamanan, kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri.
Kebutuhan yang lebih dasar harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum
kebuthan yang lebih tinggi diupayakan. Kita mungkin sudah mampu
kebuthan fisiologis dan keamanan untuk bertahan hidup. Kini kita ingin
memenuhi kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri.
Kebutuhan ketiga dan keempat khususnya meliputi keinginan untuk
memperoleh rasa lewat rasa memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa
diterima, memberi dan menerima persahabatan. Komunikasi akan sangat
dibutuhkan untuk memperoleh dan memberi informasi yang dibutuhkan,
untuk membujuk atau mempengaruhi orang lain, mempertimbangkan
solusi alternatif atas masalah kemudian mengambil keputusan, dan tujuantujuan sosial serta hiburan.
2. Sebagai komunikasi ekspresif
Komunikasi berfungsi untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita.
Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan-pesan
nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin,
marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun bisa disampaikan
Universitas Sumatera Utara
secara lebih ekpresif lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih
sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Orang dapat menyalurkan
kemarahannya dengan mengumpat, mengepalkan tangan seraya melototkan
matanya, mahasiswa memprotes kebijakan penguasa negara atau penguasa
kampus dengan melakukan demontrasi.
3. Sebagai komunikasi ritual
Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang
tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagarites of
passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan,
siraman, pernikahan, dan lain-lain. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan
kata-kata atau perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus-ritus lain
seperti berdoa (salat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara
bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan
lebaran (Idul Fitri) atau Natal, juga adalah komunikasi ritual. Mereka yang
berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali
komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa. Negara, ideologi, atau
agama mereka.
4. Sebagai komunikasi instrumental
Komunikasi
instrumental
mempunyai
beberapa
tujuan
umum,
yaitu: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap, menggerakkan
tindakan, dan juga menghibur.
Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja kita gunakan untuk menciptakan
dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut.
Studi komunika membuat kita peka terhadap berbagai strategi yang dapat kita
gunakan dalam komunikasi kita untuk bekerja lebih baik dengan orang lain demi
keuntungan bersama.
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi berfungsi sebagi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi
dan pekerjaan, baik tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka panjang. Tujuan
jangka pendek misalnya untuk memperoleh pujian, menumbuhkan kesan yang
baik, memperoleh simpati, empati, keuntungan material, ekonomi, dan politik,
yang
antara
lain
dapat
diraih
dengan
pengelolaan
kesan (impression
management), yakni taktik-taktik verbal dan nonverbal, seperti berbicara sopan,
mengobral janji, mengenakankan pakaian necis, dan sebagainya yang pada
dasarnya untuk menunjukkan kepada orang lain siapa diri kita seperti yang kita
inginkan.
Sementara itu, tujuan jangka panjang dapat diraih lewat keahlian komunikasi,
misalnya keahlian berpidato, berunding, berbahasa asing ataupun keahlian
menulis. Kedua tujuan itu (jangka pendek dan panjang) tentu saja saling berkaitan
dalam arti bahwa pengelolaan kesan itu secara kumulatif dapat digunakan untuk
mencapai tujuan jangka panjang berupa keberhasilan dalam karier, misalnya
untuk memperoleh jabatan, kekuasaan, penghormatan sosial, dan kekayaan.
Berkenaan dengan fungsi komunikasi ini, terdapat beberapa pendapat dari
para ilmuwan yang bila dicermati saling melengkapi. Misal pendapat Onong
Effendy (1994), ia berpendapat fungsi komunikasi adalah menyampaikan
informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Sedangkan Harold D
Lasswell (dalam Nurudin, 2004 dan Effendy, 1994:27) memaparkan fungsi
komunikasi sebagai berikut:
1. Penjajagan/pengawasan lingkungan (surveillance of the information) yakni
penyingkapan
ancaman
dan
kesempatan
yang
mempengaruhi
nilai
masyarakat.
2. Menghubungkan bagian-bagian yang terpisahkan dari masyarakat untuk
menanggapi lingkungannya .
3. Menurunkan warisan sosial dari generasi ke generasi berikutnya.
Universitas Sumatera Utara
2.2 5 Komunikasi Massa
Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia yang lahir
seiring dengan penggunaan alat-alat mekanik yang mampu melipat gandakan
pesan-pesan komunikasi. Dalam catatan sejarah publistik, komunikasi massa
dimulai satu setengah abad abad setelah mesin cetak ditemukan oleh Johan
Gutenberg (Wiryanto, 2004:67). Komunikasi Massa sebagai suatu cara yang
paling banyak digunakan oleh masyarakat pada saat ini, baik secara komersil
ataupun
tidak.
Perkembangan
teknologi
komunikasi
menyebabkan
arus
komunikasi dapat berlangsung sangat cepat bahkan hanya dalam hitungan detik.
Menurut Wiryanto komunikasi massa diadopsi dari istilah bahasa Inggris,
mass comunication, sebagai kependekan dari mass media communication
(komunikasi media massa). Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa
atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass communication diartikan
sebagai salurannya, yaitu media massa sebagai kependekatan dari komunikasi
media massa (Wiryanto, 2004:69).
Secara teori,
pada satu sisi, konsep komunikasi massa mengandung
pengertian sebagai suatu proses dimana institusi media massa memproduksi dan
menyebarkan pesan kepada publik secara luas, namun pada sisi lain, komunikasi
massa merupakan proses dimana pesan tersebut dicari, digunakan, dan
dikomsumsi oleh audience. Fokus kajian dalam komuikasi massa adalah media
massa. Media massa adalah institusi yang menebarkan informasi berupa pesan,
berita, peristiwa (Bungin, 2006:258). Dengan kata lain berdasarkan pengertian
Bungin di atas media massa adalah alat yang menyampaikan informasi secara
cepat dari sumber pesan ke semua orang.
Banyak hal yang tergolong ke dalam media massa. Media massa adalah
alat yang digunakan dalam menyampaikan pesan dari sumber kepada khalayak
(penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat
kabar, majalah, film, radio, dan televisi. Karakteritik media massa ialah (1)
bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak
orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian
informasi; (2) bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima; (3) Meluas
serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki
kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi yang
disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama; (4) memakai
peralatan tekhnis atau mekanis seperti majalah, televisi, surat kabar dll; (5)
bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja
tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa (Cangara, 2006:122).
Josep A. Devito mendefenisikan ada dua pengertian tentang komunikasi
massa yaitu, pertama komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan
kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti
bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua ornag yang membaca atau
semua ornag yang menonton televisi, agaknya ini tidak berati pula bahwa
khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar mendefenisikan. Kedua,
komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar
audio atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis
bila didefenisikan menurut bentuknya (televisi, radio, surat kabar, majalah,film
dan sebagainya) (Nurudin,2007:12). Dengan demikian segala bentuk alat
komunikasi yang dapat menjangkau khalayak bisa digolongkan kedalam alat
komunikasi massa.
2.2 6
Iklan
Otto Kleper, seorang ahli periklanan terkenal merupakan orang yang
berjasa besar dalam mengkaji asal muasal istilah advertising. Dalam bukunya
berjudul Advertising Procedure, dituliskan bahwa istilah advertising berasal dari
bahasa Latin yaitu ad-vere yang berarti mengoperkan pikiran dan gagasan kepada
pihak lain. Jadi pengertian seperti ini sebenarnya tidak ada ubahnya dengan
pengertian komunikasi sebagimana halnya dalam ilmu komunikasi. Kata iklan
didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai (1) berita pesanan
(untuk mendorong atau membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa
yang ditawarkan; (2) pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau
Universitas Sumatera Utara
jasa yang dijual dipasang di dalam media massa seperti surat kabar, televisi, radio
dan lain – lain (KBBI:882). Jadi, berbeda dengan sebuah informasi tantang suatau
benda atau jasa, jadi, iklan mempunyai sifat “mendorong” dan “membujuk” agar
kita mengingat, menyukai, memilih dan kemudian membelinya. Iklan ada suatu
kegiatan menyampaikan berita tetapi berita itu disampaikan atas pesanan pihak
yang ingin agar produk atau jasa yang dijualnya diingat, disukai, dipilih dan
dibeli. Iklan ditujukan kepada khalayak ramai. 27
Batasan iklan dapat dilihat sebagai “salah satu bentuk komunikasi yang
terdiri atas informasi dan gagasan tentang suatu produk yang akan ditujukan pada
khalayak secara serempak agar memperoleh sambutan baik. Iklan berusaha untuk
memberikan informasi, membujuk dan meyakinkan” (Khoemeny, 2002:25).
kegiatan periklanan, sebetulnya sudah dimulai sejak jaman peradaban Yunani
kuno dan Romawi kuno. Pada awalnya, iklan dilakukan dalam bentuk pesan
berantai atau disebut juga the world of mouth. Pesan berantai ini dilakukan untuk
membantu kelancaran jual beli di dalam masyarakat, yang pada waktu itu belum
mengenal huruf dan hanya mengenal sistem barter dalam kegiatan jual belinya.
Setelah manusia mulai menggunakan sarana tulisan sebagai alat penyampaian
pesan, maka kegiatan periklanan mulai menggunakan
tulisan – tulisan atau
gambar yang dipahatkan pada batu, dinding atau papan (Noviani, 2002:2). Sejarah
yang berkembang pada zaman Yunani tersebut akan menjadi tonggak yang akan
mengubah bentuk dunia periklanan dimasa sekarang.
Dari zaman ke zaman perkembangan iklan sejalan dengan perkembangan
masyarakat itu sendiri. Perkembangan masyarakat terus berlangsung, iklan terus
berkembang seirama sejarah peradaban manusia pada suatu masa. Pada awal abad
ke-16 dan ke-17, iklan yang terbanyak tampil adalah iklan yang berhubungan
dengan berlian, kuda serta produk – produk baru seperti buku dan obat – obatan.
Sedangkan Amerika sendiri baru mulai mengenal iklan pada awal abad ke-18.
Iklan yang berkembang pada masa itu ditujukan bagi masyarakat Eropa yang
ditujukan menjual tanah – tanah garapan di Amerika. Salah satu iklan
menyebutkan tersedianya tanah perkebunan seluas 150 ha di daerah Philadelphia
(Kasali,1995:4).
Universitas Sumatera Utara
Periklanan terus berkembang dari tahun ke tahun dalam percaturan
industri dan ekonomi dunia. Dengan sistem pengendalian yang baik iklan telah
menyumbangkan jasa reproduksi komoditas yang besar bagi perkembangan
industri. Kebutuhan periklanan terus meningkat sampai sekitar $85.000.000 per
tahun. Surat kabarlah yang paling banyak menikmati keuntungan peningkatan ini
sampai mencapai setengah dari keuntungan mereka. Seratus tahun kemudian,
pada awal abad ke-19, surat kabar tetap menikmati keadaan ini sehingga iklan
menjadi sistem yang tak terpisahkan dengan semua percaturan bisnis perusahaan.
Dan ketika dunia mengenal televisi pada tahun 1900-an, peran iklan
menjadi lebih popular lagi. Bersamaan dengan itu pula, iklan televisi mulai
mengendalikan dominasi periklanan hingga sampai saat ini (Khomeiny, 2002:29).
Ketika iklan mulai dikenal masyarakat, dia masih berbentuk relief, iklan Koran
atau iklan papan nama. Hal ini disebabkan karena media informasi pada saat itu
masih sangat terbatas, sebagai keterbatasan masyarakat. Demikian pula
perkembangan iklan mengikuti perkembangan media massa pada saat itu.
Karenanya, iklan pertama berupa relief kemudia menjadi iklan koran dan
papan nama, berkembangan lagi menjadi iklan radio dan sekarang iklan
ditayangkan di televisi, internet, disamping iklan – iklan luar yang muncul dan
bertebaran di mana – mana dengan berbagai bentuk.
Untuk mengkaji iklan dengan perspektif semiotika, bisa dilakukan dengan
mangkaji sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri
atas lambang baik vebal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan
29tiruan indeks, terutama dalam iklan radio dan film. Roland Barthes menganalisa
iklan berdasarkan iklan yang dikandungnya berupa :
1. pesan lingustik (semua kata dan kalimat dalam iklan),
2. pesan ikonik yang terkodekan ( konotasi yang muncul dalam foto iklan yang
hanya dapat berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam
masyarakat)
3. pesan ikonik yang tak terkodekan (denotasi dalam foto iklan) pada dasarnya
lambang dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal dan non verbal. Lambang
verbal adalah bahasa yang kita kenal. Lambang non verbal adalah bentuk dan
Universitas Sumatera Utara
warna yang ditampilkan di dalam iklan, dan yang secara tidak khusus meniru rupa
atas bentuk realitas.
Di dalam iklan, tanda – tanda digunakan secara aktif dan dinamis,
sehingga orang tidak lagi membeli produk untuk pemenuhan kebutuhan (need),
melainkan membeli makna – makna simbolik (simbolic meaning), yang
menempatkan Konsumer di dalam struktur komunikasi yang dikonstruksi secara
sosial oleh sistem produksi/konsumsi (produser, marketing, iklan) (Piliang,
2003:287).
Periklanan merupakan salah satu bentuk khusus komunikasi untuk
memenuhi fungsi pemasaran. Iklan adalah bentuk penyajian pesan yang dilakukan
oleh komunikator secara nonpersonal melalui media untuk ditujukan pada
komunikan dengan cara membayar (Rendra, 2005:13). Iklan memberikan
informasi dan membujuk khalayak ramai agar membeli produk-produk yang
ditawarkan. Iklan harus dapat mempengaruhi pemilihan dan 30 keputusan pembeli
(Jefkins, 1997:15). Iklan harus menarik dan diperlukan kreatifitas dalam
pembuatannya. Untuk menghasilkan iklan yang kreatif diperlukan strategi kreatif.
Strategi kreatif dianggap sebagai hasil terjemahan dari berbagai informasi
mengenai produk, pasar, dan konsumen sasaran ke dalam suatu posisi tertentu di
dalam komunikasi yang kemudian dapat dipakai untuk merumuskan iklan.
Pengakajian dalam perspektif semiotika melalui sistem tanda dalam iklan,
iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambing, baik verbal maupun
non-verbal. Dalam memilih sampel iklan agar bisa dianalisis, dapat dipilih
beberapa iklan menarik yang penuh dengan simbol – simbol yang mempunyai
makna tersendiri yang dapat dianalisis. Sebaiknya iklan yang dipilih adalah iklan
dengan orang, objke, latar belakang menarik, naskah yang menarik dan
sebagainya.
Dalam menganalisis iklan, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan,
sebagai berikut:
1. Penanda dan petanda
2. Gambar, indeks, simbol
Universitas Sumatera Utara
3. Fenomena sosiologi : demografi orang di dalam iklan dan orang – orang yang
menjadi sasaran iklan, merefleksikan kelas sosial ekonomi, gaya hidup (life style)
dan sebagainya
4. Sifat daya tarik yang dibuatuntuk menjual produk, melalui naslah dan orang –
orang yang digunakan dalam iklan.
5. Desain dari iklan tersebut, perwajahan yang digunakan, warna dan unsur estetik
lainnya.
6. Publikasi yang ditemukan di dalam iklan dan khalayak yang diharapkan oleh
publikasi tersebut (berger, 2000 : 199)
Iklan
(advertisement),
sebagai
sebuah
objek
semiotika,
mampu
mempunyai perbedaan mendasar dengan desain yang bersifat tiga dimensional,
khususnya desain produk. Iklan, seperti media komunikasi massa pada umumnya,
mempunya fungsi komunikasi langsung (direct communication function),
sementara sebuah desain produk mempunyai fungsi komunikasi yang tidak
langsung (indirect communication function). Oleh sebab itu, di dalam iklan
aspek – aspek komunikasi seperti pesan (message) merupakan unsur utama iklan,
yang di dalam sebuah desain produk hanya merupakan salah satu aspek saja dari
berbagai aspek utama lainnya (fungsi, manusia, produksi). (Piliang, 2003:263)
Setiap proses komunikasi akan terjadi aspek yang ditimbulkan. Efek
tersebut muncul dari tanggapan audiens menerima pesan, efek pesan media massa
terdiri dari efek kognitif, efek afektif dan efek behavioral. Efek kognitif terjadi
apabila ada perubahan pada apa yang dikethui, dipahami atau diekspresika
khalayak. Efek ini terkait dengan pengetahuan, ketrampilan, kepercayaan dan
informasi. Efek afektif terjadi bila perubahan pada khalayak menyangkut pada apa
yang dirasakan, disenangi atau dibenci khalayak. Efek behavioral lebih
mengutamakan pada perilaku khalayak ketika diamati yaitu melalui pola tindakan
atas kegiatan sehari – hari khalayak. Efek yang terjadi di dalam komunikasi
periklanan pada dasarnya lebih mengutamakan terjadinya efek kognitif dengan
tujuan agar khalayak tertarik mengikuti pesan yang disampaikan pihak pengiklan.
Dengan demikian tujuan untuk meningkatkan penjualan akan tercapai (Rakhmat,
1994:219).
Universitas Sumatera Utara
2.2 7 Citra Budaya
Iris Varner dan Linda Beamer, dalam Intercultural Communication in the
Global Workplace, mengartikan bahwa kebudayaan sebagai pandangan yang
koheran tentang sesuatu yang dipelajari, yang dibagi, atau yang dipertukarkan
sekelompok orang. Pandangan itu berisi apa yang mendasari kehidupan, apa yang
menjadi derajat kepentingan, tentang sikap mereka yang tepat terhadap sesuatu,
gambaran suatu perilaku yang harus diterima oleh sesama atau yang berkaitan
dengan orang lain (Liliweri, 2001:8).
Kebudayaan adalah komunikasi simbolis, simbolisme itu adalah
keterampilan kelompok, pengetahuan, sikap, nilai, dan motif. Makna dari simbolsimbol itu dipelajari dan disebarluaskan dalam masyarakat melalui institusi
(Liliweri, 2001:8).
Menurut Levo-Henrikson (1994), kebudayaan itu meliputi semua aspek
kehidupan kita setiap hari, terutama pandangan hidup-apa pun bentuknya-baik itu
mitos maupun sistem nilai dalam masyarakat (Liliweri, 2001:9)
Di dalam konteks komunikasi antar budaya perlu disadari bahwa manusia
selalu berkomunikasi sesamanya melintasi ruang dan waktu (konteks). Konteks
itu acapkali memang ada dalam benak manusia, namun perlu dipahami bahwa
konteks itu merupakan kombinasi yang melibatkan para peserta komunikasi yang
mengisi ‘ruang dan waktu’ komunikasi.
Sebagaimana kita membayangkan sebuah teknologi komunikasi yang
menghasilakan alat-alat transportasi yang digunakan untuk memindahkan manusia
dari suatu ruang dan waktu ke ruang dan waktu yang lain, dari lokal sampai ke
global maka itulah konteks komunikasi antarbudaya. Oleh karena itu, salah satu
kunci untuk menentukan komunikasi antarbudaya yang efektif adalah pengakuan
terhadap faktor-faktor pembeda yang mempengaruhi peserta komunikasi apakah
itu
etnik,
ras,
atau
kelompok
kategori
yang
memiliki
kebudayaan
tersendiri.Kesimpulannya, kita perlu memahami situasi dan kondisi di mana
proses komunikasi antarbudaya itu beroperasi. Dengan kata lain, kita harus
menjawab pertanyaan: In what and what context, contact, interaction, or
communication.
Universitas Sumatera Utara
Ada tiga karakteristik penting dari kebudayaan, yaitu.(1) kebudayaan itu
dapat dipelajari, (2) kebudayaan itu dapat dipertukarkan, dan (3) kebudayaan itu
tumbuh serta berubah (Liliweri, 2001:57).
Kita sebuat kebudayaan itu dapat dipelajari karena interaksi antarmanusia
ditentukan oleh penggunaan simbol, bahasa verbal maupun nonverbal. Tradisi
Budaya, nilai-nilai, kepercayaan, dan standar perilaku semuanya diciptakan oleh
kreasi manusia dan bukan sekedar diwarisi secara instink, melalui proses
pendidikan dengan cara-cara tertentu menurut kebudayaan. Perlu diketahui bahwa
setiap manusia lahir dalam suatu keluarga, kelompok sosial terntentu yang telah
memiliki nilai, kepercayaan, dan standar perilaku yang ditransmisikan melalui
interaksi di antara mereka. Jika kebudayaan itu tak dapat dipelajari maka tak
mungkinlah manusia yang hidup kini dapat menciptakan barang-barang material,
seperti pakaian, makanan, rumah, dan alat-alat rumah tangga baik baik dalam
lingkungan kebudayaan sendiri maupun diketahui oleh lingkungan kebudayaan
orang lain. Hanya melalui sosialisasi maka kita dapat mempelajari nilai, agama,
norma, bahasa, dan kepercayaan yang bersifat abstrak, dan dengan itulah manusia
terus menjalani kehidupan mereka.
Disamping dipelajari, kebudayaan itu juga dipertukarkan. Istilah
pertukaran merujuk pada kebiasaan individu atau kelompok untuk menunjukkan
kualitas kelompok budayanya. Dalam interaksi dan pergaulan antar manusia
setiap orang mewakili kelompoknya lalu menunjukkan kelebihan-kelebihan
budayanya dan membiarkan orang lain mempelajarinya. Proses pertukaran
budaya, terutama budaya material, dilakukan melalui mekanisme ‘belajar budaya’
yang mengakibatkan para ibu yang berasal dari Sunda dan jawa dapat belajar
memasak jagung bose (masakan jagung yang bercampur santan kelapa) dan
sebaliknya para ibu dari Timor dan Flores belajar membuat oncom dan bajigur
dari sunda.
Setiap kebudayaan terus ditumbuhkembangkan oleh para pemilik
kebudayaanya, oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa kebudayaan itu
akumulatif maka yang dimaksudkan adalah dia cendrung tumbuh, berkembang
menjadi luas, dan bertambah. Oleh karena itu, kita menyebut kebudayaan itu
Universitas Sumatera Utara
berubah semakin rinci (kompleks) dan kemudian dikomunikasikan dari satu
generasi ke generasi lain. Tenun ikat dari Ende dan Lio di Flores mula-mula
ditenun dengan benang yang dicelupkan ke dalam nila. Akibat perkembangan
teknologi industri maka lama kelamaan nila mulai ditinggalkan dan para
penennun memakai benang sutera sehingga dapat menghasilkan tenun ikat
berkualtas ekspor.
2.2 8 Semiotika
Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Konsep tanda
ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau
in absentia antara yang ditandai (signified) dan yang menandai (signifier). Tanda
adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau
petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna”
atau “coretan yang bermakna”.Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang
tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi
seseorang berarti sesuatu yang lain. Semiotik mengkaji tanda, penggunaan tanda
dan segala sesuatuyang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat
pengertian semiotik (tanda, pemaknaan,
denotatum dan
interpretan) dapat
diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan ada prasyaratnya dipenuhi, yaitu
ada arti yang diberikan, ada pemaknaan dan ada interpretasi (Cristomy dan
Untung Yuwono, 2004:79).
Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa. Ini berati suatu petanda
tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda. Petanda atau yang
ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan tanda
adalah suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti
dua sisi dari sehelai kertas”. Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang
bahasa yang kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa serta. Iklan
merupakan salah satu dari produk seni rupa yang membutuhkan ide-ide kreatif
dalam pembuatannya. Hal inilah yang akhirnya menjadi pedoman penulis untuk
meneliti serta menganalisis iklan Mie Sedap versi “Ayamku” menggunakan ilmu
semiotika.
Universitas Sumatera Utara
Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita,
maksudnya tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri: dan bergantung
pada pengenalan oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda.
Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan atau perjanjian
yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah
mengerti arti yang telah disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika
seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya:
Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki
perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya
yang berbeda, seperti orang eskimo, Garuda Pancasila akan dianggap sebagai
burung yang biasa saja yang disamakan dengan burung-burung sejenis elang
lainnnya.
Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan
mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula
terbuahkan referensi yaitu hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan
simbolik. Dengan demikian referensi merupakan gambaran hubungan antara tanda
kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang
membuahkan satua pengertian tertentu. Simbol berbeda dengan tanda, simbol
mempunyai arti yang lebih mendalam, simbol merupakan sebuah tanda yang
berdasarkan pada konvensi, peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama.
Simbol baru dapat dipahami seseorang jika seseorang sudah mengerti arti
yang telah disepakati sebelumnya. Burung Dara adalah simbol perdamaian, angka
adalah simbol, kita tidak tahu mengapa bentuk 2 mengacu pada sepasang objek;
hanya karena konvensi atau peraturan dalam kebudayaanlah yang membuatnya
begitu.
2.2 9
Semiologi Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean karena ia
Universitas Sumatera Utara
berpendapat
bahasa
adalah
sebuah
sistem
tanda
yang
mencerminkan
asumsiasumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Salah satu area
penting yang dirambah Roland Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran
pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda tetap
membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang
lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua
(two order significations) yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada
sebelumnya.
Tradisi semiotika pada awal kemunculannya cenderung berhenti sebatas
pada makna-makna denotatif alias semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes,
terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih mendalam, yakni
pada level konotasi. Pada tingkat inilah warisan pemikiran Saussure
dikembangkaln oleh Barthes dengan membongkar praktik pertandaan di tingkat
konotasi tanda. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia
nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi
tertentu.
Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga
mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas
penyempurnaannya terhadap semiologi Saus sure, yang hanya berhenti pada
penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan
membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami
Sumber: Roland Barthes (dalam Storey: 1994: 110) penggunaan gaya bahasa
kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif
(Manneke Budiman, dalam Christomy dan Yuwono, 2004: 255). Bagi Barthes,
semiotika bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan
limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai
‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.
Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator,
terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang
bersangkutan. Beberapa tanda boleh jadi secara berkelompok membentuk sebuah
Universitas Sumatera Utara
konotator tunggal. Dalam iklan televisi, susunan tanda-tanda verbal nonverbal
dapat menutupi pesan yang ditunjukkan. Citra yang terbangun di dalamnya
meninggalkan ‘pesan lain’, yakni sesuatu yang berada di bawah citra kasar alias
penanda konotasinya. Sedangkan untuk petanda konotasi,
karakternya
umum,global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Dapat
dikatakanbahwa ideologi adalah suatu form
penanda-penanda konotasi,
sementaratampilan iklan melalui ungkapan atau gaya verbal, nonverbal dan
visualisasinya merupakan elemen bentuk (form).
Dalam realitas yang termediasi, banyak mitos yang diciptakan media di
sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran
domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat
bahasa yang dalam bahasa Barthes disebut sebagai ‘adibahasa’ atau
dari
konotator-konotator. Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda,
sedangkan mitos adalah muatannya.
Secara
semiotis,
ideologi
merupakan
penggunaan
makna-makna
konotasitersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga.
Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini
menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara
tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini
sebagai denotasi, hal ini mengacu pada anggapan umum, makna jelaslah tentang
tanda. Sebuah foto tentang tanda keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata
“jalan” mendenotasi jalan perkotaan yang membentang di antara bangunan.
Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam
kamus. Sebagai contoh, di dalam kamus, kata melati berati ‘sejenis bunga’.
Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah
kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam ujaran. Makna denotasi
bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda dan pada
intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Harimurti Kridalaksana
(2001:40) dalam Sobur (2003:263) mendefinisikan denotasi (denotations) sebagai
“makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas
(Strinati, 1995: 113). Penanda konotatif menyodorkan makna tambahan, namun
Universitas Sumatera Utara
juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya
(Budiman, dalam Christomy dan Yuwono, 2004: 255). Dibukanya medan
pemaknaan konotatif dalam kajian semiotika memungkinkan “pembaca” iklan
memaknai bahasa metaforik yang maknanya hanya dapat dipahami pada tataran
konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara
termotivasi. Berbeda dengan level denotasi yang tidak menampilkan makna
(petanda)
yang
termotivasi,
level
konotasi
menyediakan
ruang
bagi
berlangsungnya motivasi makna ideologis. pada sesuatu di luar bahasa atau yang
didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif.
Makna denotatif merupakan makna objektif (makna sesungguhnya dari
kata tersebut). Makna denotatif (denotatif meaning) disebut juga dengan beberapa
istilah lain seperti; makna denotasial, makna kognitif, makna konseptual, makna
ideasional, makna referensial atau makna proposional. Disebut makna denotasial,
referensial, konseptual atau ideasional, karena makna itu
kepada suatu
menunjuk (denote)
referen, konsep atau ide tertentu dari referen. Disebut makna
kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus
(dari pihak pembicara) dan respon (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal
yang dapat diserap pancaindra (kesadaran) dan rasio manusia. Disebut makna
proporsional
karena
ia
bertalian
dengan
informasi-informasi
atau
pernyataanpernyataan yang bersifat faktual.
Jika kita mengucapkan sebuah kata yang mendenotasikan suatu hal
tertentu maka itu berati kata tersebut ingin menunjukkan, mengemukakan dan
menunjuk pada hal itu sendiri. Dengan pengertian tersebut kita dapat mengatakan
bahwa kata ayam mendenotasikan atau merupakan sejenis unggas tertentu yang
memiliki ukuran tertentu, berbulu, berkotek dan menghasilkan telur untuk
sarapan. Kamus umum berisikan daftar aturan yang mengaitkan kata-kata dengan
arti denotatifnya, dan kita dapat membaca, menulis dan mengerti berbagai kamus
karena kita sama-sama memakai pengertian yang sama tentang kata-kata yang
terdapat dalam kamus tersebut.
Sedangkan konotasi (connotation, evertone,
evocatory) diartikan sebagai aspek makna atau sekelompok kata yang didasarkan
atas perasaan atau pikiran yang timbul atau yang ditimbulkan pada penulis dan
Universitas Sumatera Utara
pembaca. Misalnya kata amplop, kata amplop bermakna sampul yang berfungsi
tempat mengisi surat yang akan disampaikan kepada orang lain atau kantor,
instansi, jawatan lain. Makna ini adalah makna denotasinya. Tetapi kalimat
“Berilah ia amplop agar urusanmu segera beres,” maka kata amplop dan uang
masih ada hubungan, karena amplop dapat saja diisi uang. Dengan kata lain, kata
amplop mengacu kepada uang, dan lebih khusus lagi uang pelancar, uang pelicin,
uang semir atau uang gosok.
Sementara itu, dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai
untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan
kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda
bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini
terjadi saat makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif.
Konotasi terjadi tatkala interpretetant dipengaruhi sama banyaknya oleh
penafsir dan objek atau tanda. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah
penanda tatanan dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan
tanda konotasi. Foto khayalan tentang jalan yang sama; perbedaan antara
keduanya terkait dengan bentuk, tampilan foto atau dalam penandanya. Barthes
menegaskan bahwa setidaknya pada foto (gambar), perbedaan antara konotasi
dan denotasi menjadi jelas. Denotasi merupakan reproduksi mekanis di atas film
tentang objek yang ditangkap oleh kamera. Konotasi adalah bagian manusiawi
dari proses ini; mencangkup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai (frame),
fokus, sudu pandang kamera, mutu film dan sebagianya. Denotasi adalah apa yang
difoto, sedangkan konotasi adalah bagaimana memfotonya.
Nada suara, cara bicara, musik, mengkonotasi perasaan atau nilai tentang
apa yang kita katakan. Seringkali terjadi bahwa apa yang dikatakan bermakna lain
sekali dari makna yang tersirat dalam rangkaian kata yang dipergunakan. Dalam
hal ini peranan intonasi (nada bicara) dapat mengubah makna sebuah kalimat.
Misalnya, “Anda memang sangat pintar!” atau “Memang Andalah gadis yang
paling cantik di antero dunia!”, yang dimaksudkan dari pernyataan tersebut
sebenarnya dimaksudkan bahwa ia adalah seseorang yang sangat bodoh atau ia
Universitas Sumatera Utara
adalah gadis yang sangat jelek. Intonasi yang berbeda dapat mengubah makna
sebenarnya.
Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran
dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai
tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka
makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih
sedikit (kecil). Jadi, sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata
itu mempunyai “nilai rasa’, baik positif maupun negatif. Jika tidak mempunyai
nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut
berkonotasi negatif (netral) dalam sobur (2003:264).
Ketika kita berbicara tentang denotasi, kita merujuk pada asosiasi primer
yang dimiliki oleh sebuah kata bagi kebanyakan anggota masyarakat linguistik
tertentu, sedangkan konotasi merujuk pada asosiasi sekunder yang dimilki sebuah
kata bagi seseorang atau lebih anggota masyarakat itu. Kadang-kadang konotasi
suatu kata sama bagi hampir setiap orang, namun kadang-kadang hanya berkaitan
dengan pengalaman satu individu saja, atau lebih sering berkaitan dengan
sekelompok kecil individu tertentu.
Barthes menggunakan Konsep connotation-nya untuk menyingkap
maknamakna tersembunyi. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna
konotasional, makna emotif atau makna evaluatif. Konsep ini menetapkan dua
cara pemunculan makna yang bersifat promotif, yakni denotatif dan konotatif.
Pada tingkatan denotatif, tanda-tanda itu mencuat terutama sebagai makna
primer yang “alamiah”. Namun pada tingkat konotatif, tahap sekunder, munculah
makna yang ideologis.
Semiotika (Semiotic) adalah teori tentang pemberian ’tanda’. Secara garis
besar semiotika digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotika
pragmatik (semiotic pragmatic), semiotika sintaktik (semiotic syntactic) dan
semiotika sematik (semiotic sematic).
1. Semiotika Pragmatik (semiotic pragmatic)
Semiotika pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda
oleh yang menerapkannya dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan dalam
Universitas Sumatera Utara
batas perilaku subjek. Dalam arsitektur, semiotika prakmatik merupakan tinjauan
tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam
menggunakan bangunan. Semiotika pragmatik arsitektur berpengaruh terhadap
indra manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan
persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi
oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi
pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan
kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi
pemakainya
2. Semiotika Sintaktik (semiotic syntactic)
Semiotika sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa
memperhatikan ’maknanya’ ataupun hubungannya terhadap perilaku subjek.
Semiotika sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subjek yang
menginterpretasikannya. Dalam arsitektur, semiotika sintaktik merupakan tinjauan
tentang perwujudan arsitektur sebagai panduan dan kombinasi dari berbagai
sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional
dan ke dalam bagianbagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan
dapat diuraikan secara jelas.
3. Semiotika Sematik (semiotic sematic)
Semiotika sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai
dengan ’arti’ yang disampaikan. Dalam arsitektur, semiotika sematik merupakan
tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan.
Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh
perancangnya.
Makna
tersebut
disampaikan
melalui
ekpresi
wujudnya,
wujudtersebut akan dimakanai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh
pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika
makna atau ’arti’ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya
dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang
ingindisampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.
Makna tanda maupun simbol yang ada biasanya bersifat refleks dan datang
dari alam. Tetapi ada juga yang merupakan representasi simbolik dan interpretasi
Universitas Sumatera Utara
manusia berdasarkan budaya atau peraturan yang telah disepakati bersama dalam
masyarakat. Simbol-simbol yang diciptakan dalam masyarakat tertentu disebarkan
melalui komunikasi sehingga simbolsimbol tersebut dimiliki secara luas dan
distandarisasi maknanya. Dalam hal ini, peran menonjol dimainkan oleh tenaga
komunikasi (komunikasi massa). Sebagai contoh, film-film Hollywood yang
booming di abad ini mempengaruhi cara berpakaian, berbicara,life style kita. Kita
seakan-akan menjiplak style kebaratang akibat pengaruh media massa (televisi,
internet maupun bioskop) yang kita lihat.
Sebuah visual atau simbol seringkali dapat memberikan dua makna
bahkan lebih yang bisa saling mendukung atau bahkan saling bertentangan. Untuk
itu seorang perancang harus mengetahui kapan dan bagaimana menggunakan
visual atau simbol tersebut. Contohnya Burung hantu yang dianggap sebagai
binatang yang bijaksana, simbol ilmu pengetahuan dan di daerah manado
mangkuni=kabar baik. Namun di daerah tertentu burung hantu dianggap sebagai
simbol kesialan. Sematik juga sangat melibatkan indra manusia dalam
pembentukkan makna tanda-tanda visual. Suara dapat divisualisasikan dalam
bentuk teks yang sesuai, misalnya bunyi ledakan, suara ribut, suara sunyi, musik
jazz, suara mesin ketik atau menvisualisasikan orang yang sedang tidur dengan
menekankan pada huruf Z yang berurutan. Memvisualisasikan penciuman,
misalnya bau bunga mawar bisa divisualisasikan dengan pengharum ruangan,
parfum dan minyak wangi. visualisasi indra peraba menggambarkan sesuatu yang
memiliki permukaan kasar, lembut, halus, sesuatu yang menonjol kepermukaan
atau tenggelam ke dalam. Dapat diimplementasikan untuk produk-produk bayi
(yang serba lembut), pelembut pakaian atau sabun untuk kulit halus. Sementara
itu indra pengecap untuk menggambarkan rasa manis, pahit, asam dan lainnya.
Misalnya, dapat digambarkan dari buah cherry yang lebih mensugesti rasa manis.
Tanda-tanda
visual
juga
mampu
mengkomunikasikan
bagaimana
gambaran galak, pemarah, bingung, sakit, lemah, melankolis, macho, feminim,
segar, ramai dan sebagainya. Contoh lain, sebuah siluet pohon yang berdaun
jarang, kiri kanannya tandus, seolah pohon tadi berdiri sendiri tanpa teman dapat
menggambarkan suasana yang berkesan sepi dan dalam kesendirian. Sebuah
Universitas Sumatera Utara
misteri identik dengan hitam, gelap dan bersifat teka-teki. Suasana romantis dapat
digambarkan dengan warna pink, sepasang burung, pandangan mata yang penuh
arti, senyuman atau bisa juga disimbolkan dengan cupid (malaikat cilik yang
memegang busur panah).
Sebagai bagian dari desain grafis, desain komunikasi visual adalah ilmu
yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan kreatif, teknik dan media
untuk menyampaikan pesan serta gagasan secara visual, termasuk radio dengan
mengolah elemen desain grafis berupa bentuk gambar, huruf dan warna serta tata
letaknya, sehingga pesan dan gagasan dapat diterima oleh sasarannya. Prinsip
desain
menekankan
pesan
visual
yang
kreatif
(asli,
inovatif
dan
lancar),komunikatif, efisien, dan efektif sekaligus menghasilkan desain yang
indah dan estetis.
Desain pada dasarnya adalah hasil penyusunan pengalaman visual dan
emosional dengan memperhatikan elemen-elemen dan prinsip-prinsip desain yang
dituangkan dalam satu kesatuan komposisi yang mantap. Komposisi berasal dari
kata Latin
Componere
yang artinya penggabungan. Pada dasarnya suatu
komposisi merupakan penggabungan dari banyak bagian menjadi suatu bentuk
yang serasi. Komposisi dianggap sebagai suatu pengorganisasian elemen-elemen
desain dengan mengikuti prinsip-prinsip tertentu secara ketat, meskipun sering
hanya digunakan sebagai arahan saja tetapi mampu mencapai bentuk abstrak,
alamiah, non-objektif, ornamental ataupun struktural.
Layaknya informasi yang disampaikan menggunakan bahasa lisan (suara)
yang dapat disampaikan secara tegas, ceria, keras, lembut, penuh gurauan, formal
dan sebagainya. Dengan menggunakan gaya bahasa dan volume suara yang
sesuai, desain komunikasi visual juga dapat melakukan hal yang serupa. Kita
dapat merasakan sendiri setelah membaca sebuah berita (tulisan), melihat foto
atau ilustrasi, melihat permainan warna dan bentuk dari sebuah karya desain yang
berbentuk publikasi cetak, serta nuansa yang ditimbulkannya. Apakah informasi
itu tegas, formal, bergurau, lembut, anggun, elegan dan sebagainya. Untuk
mewujudkan suatu tampilan visual, ada beberapa unsur perlu diperhatikan. Hal
Universitas Sumatera Utara
tersebut antara lain: garis, bentuk (form), ruang, tekstur, keseimbangan, proposisi,
keserasian,warna, irama, ukuran serta durasi (jika dalam desain visual iklan).
Analisis Mitos Sebagai Analisis Semiotik
Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami
beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas
sosial yang merupakan sebuah “cerminan” yang terbalik (inverted), ia membalik
sesuatu yang (sesungguhnya) bersifat kultural atau historis menjadi sesuatu yang
(seolah-olah) alamiah. Mitos terbagi menjadi dua yaitu mitos primitif dan masa
kini
Dalam kebudayaan kontemporer yang dipenuhi oleh aneka citraan media,
ideologi ibarat spektrum yang melintas batas ruang dan waktu. Bahkan van Zoest
menyatakan bahwa “ideologi dan mitologi di dalam hidup kita sama dengan
kodekode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita” (Sobur, 2003:208).
Setiap penggunaan teks, penanganan bahasa, perilaku semiosis alias
penggunaan tanda umumnya timbul berkat suatu ideologi yang secara sadar atau
tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda. “Membaca” iklan televisi, dengan
demikian tidak ubahnya membongkar praktik ideologis yang bekerja secara
manipulatif di dalam sebuah situasi sosial tertentu.
Terdapat banyak varian pengertian ideologi, yang pada awalnya secara
singkat menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok.
Ideologi bekerja melalui sistem representasi atau kode yang menentukan
bagaimana seseorang menggambarkan dunia atau lingkungannya. Dalam
mengkaji ragam iklan televisi, terdapat cukup banyak sejumlah iklan yang
merekomendasikan makna-makna laten atas pemihakan pesan iklan kepada
sekelompok kelas yang berkuasa. Kelas yang dimaksud bisa bermain dalam
konteks politik (negara versus masyarakat sipil), gender (pemihakan terhadap
dominasi laki-laki versus perempuan) dan sebagainya.
Salah satu kultivasi ideologi dalam iklan televisi berlangsung melalui
representasi mitos. Dalam tayangan iklan, akan terlihat bahwa tanda linguistik,
visual dan jenis tanda lain tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal,
tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Makna
Universitas Sumatera Utara
yang dihasilkan oleh penanda konotasi seringkali menghadirkan mitos. Mitos
bekerja menaturalisasikan segala sesuatu yang ada dalam kehidupan manusia,
sehingga imaji yang muncul terasa biasa saja dan tidak mengandung persoalan.
Pada tingkat ini, mitos sesungguhnya mulai meninggalkan jejak ideologis, karena
belum tentu ”sesuatu” yang tampil alamiah lantas bisa diterima begitu saja tanpa
perlu dipertanyakan kembali derajat kebenarannya.
Oleh sebab itu, mitos tidak berarti menjadi penanda yang sama sekali
netral, melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang
boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Meskipun, tidak bisa
dikatakan juga bahwa kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu
yang salah sehingga ‘mitos’ lantas diperlawankan dengan ‘kebenaran’. Produksi
mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial
budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Melalui mitos, sistem
makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan
mungkin tidak
untuk masa yang lain. Maka kebenaran mitos menjadi sangat
relatif, belum tentu sebuah mitos yang beredar sekarang ini dapat diterima pada
saat yang lain maupun di tempat lain.
Dalam mengkaji mitos di dunia media dan budaya populer, perspektif
semiotika struktural tidak akan pernah menampilkan gagasan-gagasan yang
dikeluarkan oleh pemikir strukturalis Perancis, Roland Barthes. Barthes
merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure.
Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan
bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure terutama ketika ia
menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi jenis lain yang ia sebut
sebagai mitos. Barthes melakukan terobosan penting dalam tradisi semiotika
konvensional yang dahulu pernah berhenti pada kajian tentang bahasa. Semiotika
ala
Barthes memungkinkan kajian semiotika mampu menjangkau wilayah
kebudayaan lain yang terkait dengan popular culture dan media massa. Bahkan
dalam pandangan George Ritzer, Barthes adalah pengembang utama ide-ide
Saussure pada semua area kehidupan sosial.
Universitas Sumatera Utara
Pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi
konotatif yang nantinya menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak
senantiasa menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya
cerita-cerita tradisional, legenda dan sebagainya. Bagi Barthes,
mitos adalah
sebuah cara pemaknaan, dan ia menyatakan mitos secara lebih spesifik sebagai
jenis pewacanaan atau tipe wicara (Barthes, 2004:152; Barthes dalam Storey,
1994:107). Suatu mitos dapat menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan
menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.
Pemikiran Barthes tentang mitos di satu sisi masih melanjutkan
pengandaian Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda
dan petanda. Maka tradisi semiotika pada awal kemunculannya cenderung
berhenti sebatas pada makna-makna denotatif alias semiotika denotasi. Sementara
bagi Barthes, terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih
mendalam,
yakni
pada
level
konotasi.
Konotasi
bagi
Barthes
justru
mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini
mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.
Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga
mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas
penyempurnaannya
terhadap
semiologi
Sausure,
yang
hanya
berhenti
padapenandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan
membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami
penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat
dilakukan pada level denotatif (Manneke Budiman, dalam Christomy dan
Yuwono, 2004: 255). Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami sistem
tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada
dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran
linguistik.
Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator,
terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem
yangbersangkutan. Beberapa tanda boleh jadi secara berkelompok membentuk
Universitas Sumatera Utara
sebuah
konotator tunggal. Dalam iklan televisi, susunan tanda-tanda verbal
nonverbal dapat menutupi pesan yang ditunjukkan. Citra yang terbangun di
dalamnya meninggalkan ‘pesan lain’, yakni sesuatu yang berada di bawah citra
kasar alias penanda konotasinya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya
umum,global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Dapat
dikatakanbahwa
ideologi
adalah
suatu form penanda-penanda konotasi,
sementaratampilan iklan melalui ungkapan atau gaya verbal, nonverbal dan
visualisasinya merupakan elemen bentuk (form) dari konotator atau konotator.
Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos a
dalah muatannya. Secara semiotis, ideologi merupakan penggunaan maknamaknakonotasi tersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga.
Dalam realitas yang termediasi, banyak mitos yang diciptakan media di
sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran
domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat
bahasa
yang
dalam bahasa
Barthes
disebut
sebagai
‘adibahasa’
atau
metalanguage (Strinati, 1995:113). Penanda konotatif menyodorkan makna
tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Dibukanya medan pemaknaan konotatif dalam kajian semiotika
memungkinkan “pembaca” iklan memaknai bahasa metaforik atau majazi yang
maknanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan
antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Berbeda dengan level
denotasi yang tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi, level
konotasi menyediakan ruang bagi berlangsungnya motivasi makna ideologis.
Barthes (dalam John Storey 1994:107), menyatakan bahwa mitos
merupakan sistem komunikasi juga, karena di balik mitos terselip sebuah pesan
dari wilayah lain. Mitos menjadi sebuah modus pertandaan yang dibawa ke dalam
wacana. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan
melalui cara pesan tersebut disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung
dari caranya direpresentasikan. Dalam iklan, pembaca dapat memaknai mitos
inimelalui konotasi yang dimainkan oleh kesan visual, narasi, konflik, tuturan
dans ebagainya. ”Pembaca” yang jeli dapat menemukan adanya asosiasi-asosiasi
Universitas Sumatera Utara
terhadap ‘apa’ dan ‘siapa’ yang sedang dibicarakan sehingga terjadi
pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan
makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya. Barthes
tentang ideologi di balik mitos memungkinkan seorang ”pembaca” atau analis
untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Menurrut Berger,
secara sinkronik, makna tersandung pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di
sana, sehingga penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi
lebih mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi,
atau
semacam
skema
pikir
pelaku
bahasa
dalam
representasi
(http://abunavis.wordpress.com/)..
Sementara secara diakronik analisis Barthes memungkinkan untuk melihat
kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitologis digunakan.
Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa lampau yang sudah jauh dari dunia
pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos kemarin sore yang akan menjadi
“founding prospective history” (Sunardi, 2004:116). Media seringkali berperilaku
seperti itu, mereka merepresentasikan, kalau bukan malah menciptakan mitosmitos baru yang kini hadir di tengah masyarakat. Untuk yang terakhir ini, dapatlah
dikatakan bahwa media melakukan proses mitologisasi. Kehidupa n kita seharihari digambarkan dalam cara yang penuh makna dan dibuat sebuah pemahaman
generik bahwa memang begitulah seharusnya dunia. Iklan televisi yang dijejalkan
ke ruang pandang masyarakat sehari-hari merupakan dunia kecil yang menjadi
ikon dari sebuah raksasa makna: mitos dan ideologi di baliknya.
Secara filosofis, membedah iklan televisi secara semiotis boleh dikatakan
merupakan proses penciptaan karya terjemahan: “pembaca” iklan menciptakan
teks tersendiri di samping teks. Terhadap teks bahasa murni van Zoest (1993: 99)
secara teknis menyajikan permulaan analisis terhadap teks dengan melihat satuan
mikrostruktural dan berlanjut hingga ke tingkat makrostruktural. Pada akhirnya
setiap
teks
akan
menyajikan
suatu
kesatuan
makrostruktural
yang
koherensinyadapat diinterpretasikan secara umum. Dalam konteks pembacaan
terhadap iklan televisi, pemikiran van Zoest tersebut nampaknya dapat diterima
manakala sebuah bangunan iklan dipandang sebagai sebuah kesatuan teks dengan
Universitas Sumatera Utara
analisisnya yang beragam sebagai sebuah argumen. Penelusuran kemungkinan
argumen (itupun tidak mesti tunggal) merupakan kegiatan yang sangat penting
bagi pembaca untuk dapat mengurai –setidaknya– makna luar atau gagasan dari
pelaku representasi.
Dari sudut pandang semiotik-sentris, tujuan utama ”membaca” iklan
televisi adalah menemukan makna terselubung (latent meaning) yang terkait
dengan mitos dan muatan ideologi tertentu. Persoalannya, relativitas kebenaran
makna dalam semiotika menyebabkan sebuah tanda dapat dimaknai beragam.
Setiap tanda, dalam bahasa Barthes, memiliki sifat polisemy alias berpotensi
multitafsir. Hal tersebut disebabkan oleh sifat ambigu dari penanda dan
kemungkinan yang diberikan oleh penanda tersebut untuk diinterpretasikan. Oleh
karenanya, kendati tidak ada prosedur teknis baku dalam kajian semiotika,
seorang ”pembaca”, bukan sekadar penonton tetapi perlu menstrukturkan iklan
secara rapi dan konsisten. Rambu-rambu ini penting mengingat tidak terbatasnya
tanda yang ada di dalamnya dapat menyebabkan seorang pembaca iklan tersesat
dalam rimba tanda, yang menyebabkan proses penafsiran larut dalam problem
unlimited semiosis.
Alternatif lain untuk analisis iklan televisi dapat dilakukan melalui dua
tahap pemaknaan, yakni secara sintagmatik dan paradigmatik. Analisis
sintagmatik melihat teks sebagai sebuah rangkaian dari satuan waktu dan tata
ruang yang membentuknya. Sintagma ibarat suatu rantai, sehingga analisis
sintagmatik berupaya melihat teks sebagai rangkaian peristiwa yang membentuk
sejumlah narratives atau cerita. Dalam sebuah tuturan atau kalimat sederhana
misalnya, makna membentang dari kiri ke kanan pada sebuah jalur linear. Sebuah
sintagma merujuk pada hubungan in presentia antara satu kata dengan tanda-tanda
lain atau suatu satuan gramatikal dengan satuan-satuan lain dalam teks pada
sumbu horisontal. Makna yang dapat dihasilkan dari tingkat analisis ini baru
sampai pada makna luar atau manifest meaning dari teks. Pembacaan sintagmatik
memperlihatkan bagaimana relasi tanda dikomunikasikan melalui struktur tertentu
berdasar kaitan waktu atau berada pada sumbu horisontal. Masing-masing unsur
dalam struktur teks berkedudukan sejajar.
Universitas Sumatera Utara
Untuk melukiskan relasi sintagmatik dalam iklan, dapat diadopsi satu tipe
struktural yang diperkenalkan Barthes yakni anchorage (penambat) beserta tiga
tipe struktural lain yang disajikan, yakni argument, montage, dan narrative.
Ketiga tipe tersebut dapat dilibatkan bersama dan disesuaikan penggunaannya,
khususnya dalam membaca bahasa iklan. Istilah
anchorage awalnya
diperkenalkan oleh Barthes untuk menunjuk penggunaan tanda verbal tertentu
yang mempunyai peran sebagai penunjuk utama makna. Jika pada berita
misalnya, judul berita dapat disebut sebagai anchorage, maka anchorage iklan
menunjuk pesan utama yang dapat disimpulkan sebagai judul iklan. Pada teks
iklan, anchorage mempunyai posisi yang paling berkuasa dalam relasinya dengan
tanda-tanda lain yang muncul sehingga penggunaannya menjadi ‘kata terakhir’.
Terdapat semacam hirarki tanda dalam teks, beberapa tanda lebih berarti
dibandingkan yang lain. Sebagai kesatuan tanda verbal,
anchorage mampu
menciptakan pernyataan yang bersifat otoritatif, sementara tanda-tanda lain hanya
sekadar memberikan dukungan atau keterangan (http://abunavis.wordpress.com/).
Menerapkan analisis sintagmatik dan paradigmatik sekaligus dalam
sebuah telaah semiotis boleh jadi menggiring ”pembaca” pada sebuah wilayah
yang kabur dimana batas-batas sintagma dan paradigma tidak jelas benar. Dengan
perspektif Barthesian, batas-batas tersebut akan semakin jelas manakala analisis
paradigmatik memberatkan penilaian pada sejauh mana berfungsinya tanda-tanda
konotatif dalam teks. Butir ini memegang peranan berharga untuk membantu
produksi asosiasi makna ideologis dari iklan televisi. Konotasi tidak saja memberi
tambahan atas makna dasarnya, lebih dari itu konotasi memberi indikasi akan
motivasi dan sikap ‘sang pengarang’ (kreator iklan) atas representasi
Terdapat iklan yang menyajikan informasi secara dingin dan sekadar berisi
pokok-pokok pesan yang sifatnya persuasif; namun tidak jarang terdapat iklan
yang demikian argumentatif. Iklan yang argumentatif, di samping bernilai
informatif juga mengandung daya pikat tertentu yang mengkonotasikan
serangkaian nilai tersembunyi. Terdapat kepercayaan mendasar yang menjadi titik
tolak presuposisi bagi tiap proses representasi iklan. Apa yang tersimpan di balik
iklan seringkali membentuk imaji tentang dunia sehari-hari yang ideal, sehingga
Universitas Sumatera Utara
seakan-akan memang seperti itulah seharusnya yang terjadi. Kendati demikian
titik tolak tersebut seringkali tetap tersembunyi, kemunculannya tersirat dan tidak
selamanya bergerak teratur di dalam jalinan pesan-pesan iklan. Di balik setiap
pilihan tanda verbal maupun audiovisual (paradigma) yang dirangkai menjadi
sebuah tayangan iklan (sintagma), sadar atau tidak sadar mengikutsertakan
gagasan maupun keyakinan tersembunyi pelaku representasi.
Apabila dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos, ini berarti
bahwa suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang
terpendam dalam makna konotatif tanda. Kepercayaan tersebut boleh jadi
dimunculkan secara sadar oleh pelaku representasi (pengiklan, pembuat iklan
maupun media), namun boleh jadi juga secara tidak sadar muncul begitu saja
sebagai bagian dari keseharian hidup yang alamiah. Dalam konteks ini,
ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran dalam tiap
representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu praktik pertandaan
(iklan televisi) tentu dilakukan secara sadar, namun dibarengi dengan
ketidaksadaran tentang sebuah ”dunia lain” yang sifatnya lebih imaginer.
Sebagaimana halnya mitos, ideologi dalam representasi iklan tidak melulu
berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi; dan kehadirannya pun
tidak mesti terus monoton. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut
menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan
yang ada dalam masyarakat. Maka, menghubungkan pemikiran Barthes dengan
varian teori ideologi menjadi sebuah kerja menarik. Berbeda dengan sains,
kesadaran ideologis dalam term Barthes berada pada tingkat psikis, berupa
imaji yang mengkonstruksi kesadaran yang sifatnya semu. Cara kerja ideologi
ibarat camera obscura yang memutarbalikkan kenyataan sehingga masyarakat
tidak menyadari kondisi susungguhnya yang melingkupi dirinya.
Model Teoritik
Universitas Sumatera Utara
Subjek Penelitian
Iklan Mie Sedaap
- Tanda
- Semiotika
- Komunikasi
Massa
- Citra Budaya
- Iklan
Semiotika Roland
Barthes
Makna
Makna/Mitos dibalik
iklan Mie Sedaap
Sumber : Diimplikasi dari teori yang dipakai
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian
Penelitian kualitatif merupakan nama yang diberikan bagi paradigma
penelitian yang terutama berkepentingan dengan makna dan penafsiran. Penelitian
ini didasarkan pada penafsiran terhadap dunia berdasar pada konsep-konsep yang
umumnya tidak memberikan angka numerik, seperti etnometodologi atau jenis
wawancara tertentu. Metode ini dianggap bersifat interpretatif (Stokes, 2006: 15).
Semiotika adalah salah satu bagian dari bentuk analisis isi kualitatif yang
amat berbeda dengan penelitian isi kuantitatif. Penelitian ini menggunakan
analisis semiotika untuk menganalisis makna yang terkandung dalam suatu teks.
Universitas Sumatera Utara
Download