AKUATIK Pengaruh Umpan Alga (Spirogyra sp.) Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Dasar Di Perairan AKUATIK –- Jurnal Sumberdaya Perairan ISSN 1978Perlang – 1652 Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 Kabupaten Bangka Tengah PENGARUH UMPAN ALGA (Spirogyra sp.) TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU DASAR DI PERAIRAN PERLANG KABUPATEN BANGKA TENGAH Oleh : Linda Sari1), Eva Utami2) and Dwi Rosalina2) 1) Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan FPPB Universitas Bangka Belitung [email protected] 2) Staff Pengajar Manajemen Sumberdaya Perairan FPPB Universitas Bangka Belitung Abstract Fishermen in Perlang are still dominated by a small scale fishermen, traditional technology, restrictive fishing area, and low productivity. Fishermen used bottom trap as an equipment to catch fish and used a bait as one of the most important factors to determine the success of fishing operations. The purpose of research was analyzed the influence of alga bait (Spirogyra sp.) and was known the composition of the bottom trap catches at Perlang off shore in Central Bangka regency. The research have done on April 2015. Experimental fishing method is used in this research. Mann Whitney test results in a unit of weight (kg) obtained u count (139,5) > u tables (98). Based on analysing influence bait, there is no difference or influence from catch efforts. The highest catch in field was catch activities by alga bait (Spirogyra sp.) got largest catch which is 69.25 kg or 525 tail. The largest catch in field was catch effort by alga bait (Spirogyra sp.) got 56.38 kg or 352 tails. Scolopsis vosmeri is a dominated species that caught in every observation. Each yield catch was gotten in the field those was demersal fish that normally live in the coral off shore. Keywords: Demersal fish, Spirogyra sp, Bottom Trap, Catchs. PENDAHULUAN Desa Perlang merupakan salah satu daerah pesisir yang ada di Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Desa Perlang salah satu daerah pesisir yang masih alami dan belum tercemar karena tidak adanya kegiatan penambangan di laut dan sebagian besar masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Desa ini memiliki sumberdaya laut dan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan melalui perikanan tangkapnya. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Perlang khususnya perikanan laut sampai saat ini masih didominasi oleh usaha perikanan rakyat yang umumnya memiliki karakteristik usaha skala kecil. Alat tangkap yang masih sederhana, jangkauan operasi penangkapan yang terbatas di sekitar pantai dan produktivitas yang relatif masih rendah menjadi ciri perikanan di Desa Perlang (BPS Kabupaten Bangka Tengah, 2014). Salah satu alat tangkap yang umum digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan di perairan Perlang adalah alat tangkap bubu dasar. Alat tangkap ini bersifat pasif, yakni menjebak ikan untuk masuk ke dalam perangkap (bubu) sehingga ikan sulit untuk keluar. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan ikan dengan menggunakan bubu seperti; lama perendaman, tingkat kejenuhan perangkap (gear saturation), habitat, desain bubu, dan umpan. (Martasuganda, 2003) Umpan menjadi salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan operasi penangkapan (Miller, 1990 dalam Septyaningsih et al., 2013). Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 Efektivitas umpan yang digunakan juga sangat ditentukan oleh aktivitas ikan dalam mencari makanan. Beragam jenis umpan yang digunakan dalam aktivitas penangkapan ikan, di antaranya adalah umpan alami dan buatan. Salah satu umpan alami yang dapat dijadikan umpan yaitu alga (Spirogyra sp.). Alga jenis ini banyak dijumpai di sungai, rawa-rawa dan saat ini belum dimanfaatkan oleh nelayan sekitar sebagai umpan. Alga ini bisa dimanfaatkan sebagai umpan karena mudah didapatkan, memiliki warna hijau cerah untuk menarik perhatian ikan-ikan yang ada di sekitarnya dan memiliki kandungan proten, karbohidrat dan lemak yang tinggi (Prabowo et al., 2010). Pemanfaatan alga (Spirogyra sp.) sebagai umpan untuk mendapatkan hasil tangkapan bubu dasar yang optimal. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh umpan alga (Spirogyra sp.) terhadap hasil tangkapan bubu dasar dan mengetahui komposisi hasil tangkapan bubu dasar di Perairan Perlang Kabupaten Bangka Tengah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada nelayan tentang penggunaan umpan pada alat tangkap bubu dasar yang efektif untuk hasil tangkapan di Perairan Perlang Kabupaten Bangka Tengah dan diharapkan dapat menjadi acuan atau pedoman untuk penelitian selanjutnya. I. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April 2015 di Desa Perlang Kabupaten Bangka Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. HALAMAN - 37 AKUATIK - Pengaruh Umpan Alga (Spirogyra sp.) Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Dasar Di Perairan Perlang Kabupaten Bangka Tengah Alat dan Bahan. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tangkap bubu dasar dan GPS (Global Positioning System) sebagai alat bantu penentu posisi bubu pada saat dioperasikan. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah alga berfilamen (filamentous algae) yaitu jenis Spirogyra sp. yang dipasang pada masingmasing bubu untuk menarik perhatian ikan (Gambar 1). Gambar 1. Alga (Spirogyra sp.) Metode Pengambilan Data. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode experimental fishing. Eksperimen adalah observasi di bawah kondisi buatan (Artifisial Condition) dimana kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh si peneliti (Natsir, 2003). Pengambilan data menggunakan alat tangkap bubu dasar dengan 2 perlakuan yaitu melakukan kegiatan uji coba penangkapan ikan menggunakan umpan alga Spirogyra sp. dan tanpa menggunakan umpan alga Spirogyra sp. Alat tangkap yang digunakan untuk penelitian ini adalah alat tangkap bubu dasar berbentuk segi lima memanjang dengan panjang 110 cm, lebar 72 cm, tinggi 30 cm dan mesh size 0,75 inci. Bahan bubu terbuat dari kawat galvanis dengan kerangka dari rotan yang terdapat satu mulut bubu (funnel). Ukuran mulut bubu dengan tinggi 30 cm. Alat tangkap ini dilengkapi dengan pemberat dan tali pelampung yang sekaligus berfungsi sebagai tali penarik saat pengambilan sampel serta pelampung yang terbuat dari bahan styrofoam (Gambar 2). Metode Pengoperasian Bubu Penelitian menggunakan bubu dasar yang dioperasikan dengan 2 perlakuan berbeda. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di Perairan Perlang Kabupaten Bangka Tengah. Pengambilan sampel menggunakan bubu dasar yang dioperasikan pada 2 lokasi berbeda dengan titik koordinat yaitu : 1. Lokasi 1 untuk bubu dasar menggunakan umpan alga (Spirogyra sp.) yang terletak di sekitar perairan gusung timur dengan titik koordinat 2° 29' 2.55"S dan 106° 34' 4.34"E. 2. Lokasi 2 untuk bubu dasar tanpa umpan yang terletak di sekitar perairan karang kapal pecah dengan titik koordinat 2°29'18.55"S dan 106°33'38.82"E. Pengoperasian bubu pada penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data sebanyak 4 kali selama empat minggu (4 minggu) menggunakan 18 bubu untuk 2 perlakuan. Bubu berjumlah total 18 disiapkan dengan membagi 2 bagian, setiap bagian merupakan 1 perlakuan sehingga masing-masing perlakuan menggunakan 9 unit bubu menggunakan umpan alga (Spirogyra sp.) dan 9 unit bubu lainnya tanpa menggunakan umpan. Banyaknya bubu dalam setiap perlakuan dinyatakan sebagai banyaknya ulangan yaitu 9 ulangan pada setiap perlakuan (Gambar 3). Teknik Pengoperasian bubu dilakukan dengan sistem tunggal pada masing-masing perlakuan. Operasi pemasangan bubu dilakukan pada pagi hari pukul (08.00-10.00). Pemasangan bubu untuk perlakuan bubu menggunakan umpan dimulai dengan memasang umpan dengan mengikat umpan pada kerangka bagian atas (pengait) di dalam bubu, bagi bubu tanpa menggunakan umpan langsung dilakukan perendaman. Setelah semua selesai maka bubu siap diturunkan pada kedalaman sekitar 5-10 m. Badan bubu diturunkan terlebih dahulu dan dipastikan bubu tidak dalam kondisi terbalik kemudian diakhiri dengan pelepasan pelampung tanda. Penempatan bubu di perairan dilakukan dengan jarak penempatan tiap unit bubu cukup berjauhan yaitu 5 m untuk menghindari saling interaksi antara perlakuan satu dengan yang lainnya. Pengangkatan bubu dilakukan setelah perendaman bubu selama 2 hari pada pukul (08.0012.00). Lokasi peletakan bubu yang akan direndam sesuai dengan kebiasaan nelayan di lokasi penelitian dan dipilih lokasi dasar perairan berkarang. Data yang diperoleh dicatat jumlah hasil tangkapan setiap spesies dan jenis ikan yang tertangkap. Identifikasi ikan berdasarkan Allen (2000). Gambar 2. Sketsa Alat Tangkap Bubu Dasar Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 HALAMAN - 38 AKUATIK - Pengaruh Umpan Alga (Spirogyra sp.) Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Dasar Di Perairan Perlang Kabupaten Bangka Tengah Permukaan Perairan 5m Bubu Gambar 3. Skema Peletakan Bubu Penelitian dilakukan dengan memberikan umpan. Pengumpulan umpan dilakukan dengan menggunakan wadah pastik berlobang. Umpan yang telah didapatkan dimasukkan ke dalam ember. Umpan tersebut selanjutnya diletakkan dalam waring putih agar rangsangan umpan dapat diterima oleh ikan-ikan yang ada disekitar daerah penangkapan. Pemasangan umpan dilakukan dengan mengikat umpan pada bagian pengait umpan (di atas). Umpan yang digunakan sebanyak 500 gram. Kapal/perahu yang digunakan dalam penelitian di perairan Perlang adalah perahu motor tempel. Perahu motor tempel yaitu perahu yang memiliki mesin yang terletak diluar badan perahu dan pemasangannya tidak permanen dalam arti dapat dilepas dan dipasang kembali pada saat kapal atau perahu beroperasi. Kapal/Perahu yang digunakan pada saat penelitian memiliki mesin 3,5 PK, panjang 8 meter, lebar 1,5 meter dan tinggi 1 meter dengan bahan bakar bensin. Bahan kapal/perahu terbuat dari bahan dasar kayu. Pengukuran Parameter Lingkungan 1. Suhu Suhu perairan diukur menggunakan termometer batang. Termometer dimasukkan ke dalam air selama kurang lebih 3 menit, kemudian dilakukan pembacaan nilai suhu pada saat termometer masih di dalam air agar nilai suhu yang terukur tidak dipengaruhi oleh suhu udara (Hutagalung et al., 1997). 2. Salinitas Salinitas diukur dengan menggunakan hand refraktometer, yaitu sampel air laut diteteskan pada alat tersebut, kemudian dilakukan pembacaan skala yang terdapat pada alat teropong yang dilengkapi kaca pembesar di dalamnya. Sebelum air laut diteteskan pada refraktometer, alat ini dikalibrasi dulu dengan aquades (Hutagalung et al., 1997). 3. Kecerahan Kecerahan diukur menggunakan secchi disk. Secchi disk ini dicelupkan ber lahan-lahan ke dalam air kemudian diamati saat secchi disk tidak terlihat warna hitam dan putih dan diukur kedalamannya. Menghitung kecerahan dengan rumus : C= Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 Keterangan : D1 = Kedalaman secchi disk hilang D2 = Kedalaman saat secchi disk tampak lagi. Kecepatan Arus Kecepatan arus perairan diukur dengan menggunakan layang-layang arus yang diikat dengan tali sepanjang beberapa meter (s). Metode pengukuran kecepatan arus dengan cara menghayutkan layang-layang arus tersebut di permukaan perairan hingga tali tertarik lurus (menegang), dan diukur waktu (t) dari awal menghanyutkan hingga tali yang terikat lurus (Hutagalung et al., 1997). Setelah didapat nilai waktu (t), kecepatan arus (V) dihitung dengan persamaan sebagai berikut : 5. Potensial Hidrogen (pH) Potensial Hidrogen (pH) diukur dengan menggunakan pH meter, caranya dengan mencelupkan pH meter ke dalam perairan, kemudian dilakukan pembacaan nilai pH pada pH meter (Hutagalung et al., 1997). 6. Pasang Surut Pengamatan pasang surut dilakukan dengan menggunakan papan berskala (peil schall) dengan selang pembacaan pada rambu ukur setiap 1 jam dalam 24 jam dan dilakukan selama 15 hari. Pengamatan ini bertujuan untuk menghitung kedudukan air tertinggi (high water spring) dan ketinggian rata-rata permukaan (low water spring) sebagai faktor koreksi nilai kedalaman perairan. Pengukuran tinggi pasang surut merujuk dengan ramalan pasang surut tahun 2015 yang diterbitkan oleh Babel Observation Ocean Science and Technology (BOOST) Center Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bangka Belitung. Nilai pasang surut dinyatakan dalam satuan meter. 7. Kedalaman Pengukuran kedalaman laut ada dua cara yaitu dengan menggunakan teknik bandul timah hitam dan teknik gema duga atau echo sounder. Pengukuran kedalaman dalam penelitian ini menggunakan teknik bandul timah hitam. Teknik ini ditempuh dengan menggunakan tali panjang yang ujungnya diikat dengan bandul timah sebagai pemberat. Tali diturunkan hingga bandul menyentuh dasar laut. Selanjutnya panjang tali diukur dan itulah kedalaman air laut. Analisis Data Uji Mann-Whitney ( U-Test). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penggunaan umpan terhadap hasil tangkapan dengan uji Mann-Whitney ( U- Test). Uji ini merupakan uji yang digunakan untuk HALAMAN - 39 AKUATIK - Pengaruh Umpan Alga (Spirogyra sp.) Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Dasar Di Perairan Perlang Kabupaten Bangka Tengah menguji dua sampel independen dengan bentuk data ordinal (peringkat atau urutan). Dua sampel dikatakan independen apabila pemilihan unit untuk kedua sampel tidak saling mempengaruhi atau saling bebas. Tes ini termasuk dalam uji non parametrik. Persyaratan analisis dalam menarik kesimpulan, dirumuskan uji hipotesis sebagai berikut: a) : Tidak terdapat perbedaan atau pengaruh penggunaan umpan alga Spirogyra sp. dan tanpa menggunakan umpan terhadap hasil tangkapan bubu dasar. b) : Terdapat perbedaan atau pengaruh penggunaan umpan alga Spirogyra sp. dan tanpa menggunakan umpan terhadap hasil tangkapan bubu dasar. Rumus statistik uji U Mann Whitney adalah (Supranto, 2009): ( ( Dimana : = Jumlah sampel 1 = Jumlah sampel 2 = Jumlah peringkat yang diberikan pada sampel dengan jumlah = Jumlah peringkat yang diberikan pada sampel dengan jumlah Kriteria pengambilan keputusan : 1) Terima (tolak ) : Bila 2) Tolak ( : Bila Untuk memeriksa apakah nilai U benar maka perlu dilakukan perhitungan sebagai berikut : nilai = 139,5 dan = 98 dengan selang kepercayaan 95 %. Analisis ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan atau pengaruh penggunaan umpan alga (Spirogyra sp.) dan tanpa menggunakan umpan alga (Spirogyra sp.) terhadap hasil tangkapan bubu dasar (Lampiran 7). Analisis uji U Mann-Whitney menunjukkan bahwa hasil tangkapan tertinggi selama penelitian terdapat pada perlakuan menggunakan umpan alga (Spirogyra sp.) sebesar 69,25 kg dan hasil terendah terdapat pada perlakuan bubu tanpa umpan yaitu sebesar 56,38 kg. 2. Komposisi Hasil Tangkapan Bubu Dasar Hasil tangkapan bubu dasar selama penelitian berjumlah 20 (dua puluh) spesies yaitu Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus maculatus), Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus malabaricus), Ikan Kerapu Hitam (Ephinephelus timorensis), Ikan Seminyak (Diagramma pictum), Ikan Garis Singgang (Lutjanus carponotatus), Ikan Kurisi Pasir (Scolopsis vosmeri), Ikan Kakap Mata Kucing (Psammoperca waigiensis), Ikan Dengkis (Siganus canaliculatus), Ikan Beronang Kuning (Siganus doliatus), Ikan Ekor Kuning (Caeseo teres), Ikan Tanda-tanda (Lutjanus russeli), Ikan Biji Nangka (Upeneus sundaicus), Ikan Ketarap (Caerodon schoenleini), Ikan Seriding (Sargocentrum rubrum), Ikan Ketambak (Lethrinus lentjan), Ikan Merah (Lutjanus erytropterus), Ikan Ketambak Pasir (Achanthopagrus latus), Ikan Kepe-kepe (Chelmon rostratus), Ikan Anjang-anjang (Pentapodus setosus) dan Ikan Kunyit (Lutjanus madras). Hasil tangkapan dalam penelitian ini merupakan spesies yang biasa ditangkap menggunakan bubu dasar (Tabel 1). Tabel 1. Komposisi Hasil Tangkapan Berdasarkan Perlakuan No 2. Analisis Deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan dan menguraikan komposisi hasil tangkapan yang didapatkan dari hasil pengambilan sampel. Data yang didapat disaji dalam bentuk gambar (grafik) maupun tabel. II. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil 1. Pengaruh Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Dasar Hasil penelitian pengaruh umpan terhadap hasil tangkapan bubu dasar dengan menggunakan analisis uji U Mann-Whitney menyatakan bahwa bubu dengan umpan alga (Spirogyra sp.) dan bubu tanpa umpan diperoleh dengan Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Hasil Tangkapan (kg/ekor) Perlakuan Jumlah Perlakuan Jumlah Umpan Alga Spirogyra sp. (Ekor) Tanpa Umpan Alga Spirogyra sp. (Ekor) Plectropomus maculatus Kerapu Sunu 1,55 3 2,94 4 Ephinephelus malabaricus Kerapu Macan 1,65 1 0 0 Ephinephelus timorensis Kerapu Hitam 1,5 10 0,97 8 Diagramma pictum Seminyak 10,97 45 11,95 40 Lutjanus carponotatus Garis Singgang 1,08 5 1,73 6 Scolopsis vosmeri Kurisi Pasir 14,25 126 10,27 87 Psammoperca waigiensis Kakap Mata Kucing 2,41 16 2,36 14 Siganus canaliculatus Dengkis 6,76 51 3,39 21 Siganus doliatus Beronang Kuning 1,27 9 0,4 1 Caeseo teres Ekor Kuning 3,06 29 3,95 28 Lutjanus russeli Tanda-tanda 1,89 12 2,19 13 Upeneus sundaicus Biji Nangka 0,64 6 0,76 5 Caerodon schoenleini Ketarap 3,24 16 2,83 13 Sargocentrum rubrum Seriding 0,51 4 0 0 Lethrinus lentjan Ketambak 1,94 17 2,41 20 Lutjanus erytropterus Ikan Merah 0,9 6 0,21 2 Achanthopagrus latus Ketambak Pasir 11,15 126 7,35 65 Chelmon rostratus Kepe-kepe 0,05 1 0 0 Pentapodus setosus Anjang-anjang 3,88 37 2,67 25 Lutjanus madras Ikan Kunyit 0,55 5 0 0 Total 69,25 kg 525 56,38 kg 352 Hasil Tangkapan Nama Lokal Komposisi Hasil Tangkapan Bubu Umpan Alga (Spirogyra sp.) Jumlah hasil tangkapan yang paling banyak pada alat tangkap bubu dasar menggunakan umpan yaitu Ikan Kurisi Pasir (Scolopsis vosmeri), adalah 21%, hasil paling sedikit yaitu Kepe-kepe (Chelmon rostratus) adalah 0,5% (Gambar 4). HALAMAN - 40 AKUATIK - Pengaruh Umpan Alga (Spirogyra sp.) Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Dasar Di Perairan Perlang Kabupaten Bangka Tengah Gambar 4. Hasil Tangkapan Bubu Dasar Umpan Alga (Spirogyra sp.) Komposisi Hasil Tangkapan Bubu Tanpa Umpan Jumlah hasil tangkapan yang paling banyak pada alat tangkap bubu dasar menggunakan perlakuan tanpa umpan adalah Ikan Seminyak (Diagramma pictum) yaitu 21% dan paling sedikit adalah Ikan Merah (Lutjanus erytropterus) yaitu 0,5% (Gambar 5). Gambar 5. Hasil Tangkapan Bubu Dasar Tanpa Umpan Alga (Spirogyra sp.) 3. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan berdasarkan penelitian selama 4 minggu dapat diketahui bahwa nilai suhu minggu pertama berkisar antara 28-29,5o C, nilai salinitas berkisar antara 31­33‰, nilai kecerahan berkisar antara 6,66,75 m, nilai kecepatan arus berkisar antara 0,1-0,2 m/s, nilai pH berkisar antara 7,5-8, nilai pasang surut berkisar antara 1,21-1,41 m dan nilai kedalaman 97-10,3 m. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia pada pengamatan minggu kedua dapat diketahui nilai suhu berkisar antara 29,5-30o C, nilai salinitas berkisar antara 32-34‰, nilai kecerahan berkisar antara 7,9-7,95 m, nilai kecepatan arus berkisar antara 0,13-0,15 m/s, nilai pH berkisar antara 7,57,8, nilai pasang surut berkisar antara 0,56-1,23 m dan kedalaman 9,2-10,3 m. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan pada minggu ketiga didapatkan nilai suhu berkisar antara 29,1-30 oC, nilai salinitas berkisar 32-34 ‰, nilai kecerahan berkisar 7,85-8,4 m, nilai kecepatan arus berkisar 0,11-0,12 m/s, nilai pH Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 berkisar 7,5-8,5, nilai pasang surut berkisar antara 1,18-1,43 m dan kedalaman 9,7-10,8 m. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan pada minggu keempat didapatkan nilai suhu berkisar antara 29,5-30,2 oC, nilai salinitas berkisar antara 32-34 ‰, nilai kecerahan berkisar antara 7,5-8 m, nilai kecepatan arus berkisar antara 0,11-0,12 m/s, nilai pH berkisar antara 7,5-8,5, nilai pasang surut berkisar antara 0,51-1,11 m dan kedalaman 9-10 m. Nilai-nilai diatas dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Parameter Fisika dan Kimia Perairan No 1 2 3 4 5 6 7 Parameter Suhu Salinitas Kecerahan Kecepatan arus pH Pasang surut Kedalaman Satuan °C ‰ m m/s m m Minggu I Perlakuan Minggu II Pelakuan Minggu III Perlakuan Minggu IV Perlakuan 1 2 1 2 1 2 1 2 28-29 28,7-29,5 29-29,5 29-30 29,1-30 29,2-29,7 29,5-30,2 29,5-30 32-33 31-33 32-34 32-33 33-34 32-33 33-34 32 6,6 6,75 7,95 7,9 7,85 8,4 8 7,5 0,1-0,2 0,2-0,21 0,13-0,15 0,11-0,12 0,1-0,11 0,11-0,12 0,11-0,112 0,11-0,12 7,5-8 7,5-8 7,5 7,8 8-8,5 7,5-8 8-8,5 7,5-8 1,21-1,41 1,11-1,13 0,88-1,23 0,56-0,75 1,26-1,43 1,18-1,21 0,78-1,11 0,51-0,66 9,5 10,5 9,2 10,3 9,7 10,8 9 10 *Perlakuan 1 : Umpan alga (Spirogyra sp.) *Perlakuan 2 : Tanpa umpan alga (Spirogyra sp.) Pembahasan 1. Hasil Tangkapan Bubu Dasar Menggunakan Umpan Hasil penelitian bubu dasar menggunakan umpan alga (Spirogyra sp.) sebesar 69,25 kg dan spesies ikan tertangkap sebanyak 20 spesies yaitu Plectropomus maculatus sebanyak 1,55 kg, Ephinephelus malabaricus sebanyak 1,65 kg, Ephinephelus timorensis sebanyak 1,5 kg, Diagramma pictum sebanyak 10,97 kg, Lutjanus carponotatus sebanyak 1,08 kg, Scolopsis vosmeri sebanyak 14,25 kg, Psammoperca waigiensis sebanyak 2,41 kg, Siganus canaliculatus sebanyak 6,76 kg, Siganus doliatus sebanyak 1,27 kg, Caeseo teres sebanyak 3,06 kg, Lutjanus russeli sebanyak 1,89 kg, Upeneus sundaicus sebanyak 0,64 kg, Caerodon schoenleini sebanyak 3,24 kg, Sargocentrum rubrum sebanyak 0,51 kg, Lethrinus lentjan sebanyak 1,94 kg, Lutjanus erytropterus sebanyak 0,9 kg, Achanthopagrus latus sebanyak 11,15 kg, Chelmon rostratus sebanyak 0,05 kg, Pentapodus setosus sebanyak 3,88 kg dan Lutjanus madras sebanyak 0,55 kg. Hasil tangkapan bubu menggunakan umpan alga (Spirogyra sp.) lebih banyak dari bubu tanpa umpan diduga karena warna dari umpan memberi respon terhadap ikan untuk masuk ke dalam perangkap dan ikan tersebut merupakan ikan yang biasa hidup di daerah karang. Hasil penelitian menunjukan tertariknya ikan terhadap umpan disebabkan oleh rangsangan berupa rasa, bau, bentuk, gerakan dan warna. Sehubungan tentang warna, ternyata sebagian besar ikan memiliki kemampuan untuk membedakan warna. Gunarso (1985) dalam Dedi (2012) menyatakan bahwa ikan memberikan respon terhadap lingkungannya melalui indra penciuman dan penglihatan. Indra HALAMAN - 41 AKUATIK - Pengaruh Umpan Alga (Spirogyra sp.) Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Dasar Di Perairan Perlang Kabupaten Bangka Tengah penglihatan pada ikan memegang peranan penting yang memungkinkan terciptanya pola tingkah laku terhadap lingkungannya, termasuk sifat fototaksis. Alga (Spirogyra sp.) yang memiliki kandungan warna hijau klorofil menjadikan ikan tersebut tertarik untuk mendekati umpan. Indra penglihatan ikan mempunyai sifat khas tertentu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti jarak penglihatan, warna yang jelas, kekontrasan, kemampuan membedakan objek yang bergerak, dan lain-lain (Gunarso, 1985 dalam Yudha, 2005). Selain itu faktor yang mempengaruhi banyaknya ikan yang masuk kedalam bubu adalah sifat fisiologis ikan itu sendiri seperti menjadikan bubu sebagai tempat bermain dan berlindung. 2. Hasil Tangkapan Bubu Dasar Tanpa Menggunakan Umpan Hasil tangkapan bubu tanpa umpan sebesar 56,38 kg dan spesies ikan tertangkap sebanyak 16 species yaitu Plectropomus maculatus sebanyak 2,94 kg Ephinephelus timorensis sebanyak 0,94 kg, Diagramma pictum sebanyak 11,95 kg, Lutjanus carponotatus sebanyak 1,73 kg, Scolopsis vosmeri sebanyak 10,27 kg, Psammoperca waigiensis sebanyak 2,36 kg, Siganus canaliculatus sebanyak 3,36 kg, Siganus doliatus sebanyak 0,4 kg, Caeseo teres sebanyak 3,95 kg, Lutjanus russeli sebanyak 2,19 kg, Upeneus sundaicus sebanyak 0,76 kg, Caerodon schoenleini sebanyak 2,83 kg, Lethrinus lentjan sebanyak 2,41 kg, Lutjanus erytropterus sebanyak 0,21 kg, Achanthopagrus latus sebanyak 7,35 kg dan Pentapodus setosus sebanyak 2,67 kg. Hasil tangkapan bubu tanpa umpan lebih rendah dibandingkan menggunakan umpan. Diduga karena tidak adanya asupan makanan di dalam bubu sehingga menyebabkan ikan yang berada disekitar bubu tidak tertarik untuk masuk kedalam bubu. Ikan yang tertangkap diduga mencari tempat berlindung dari arus maupun ikan predator yang lebih besar karena bubu yang dioperasikan tanpa umpan, maka kemungkinan besar ikan masuk ke dalam bubu karena tingkah laku ikan tersebut. Beberapa jenis ikan karang mendekati bubu karena rasa keingintahuan dari ikan tersebut terhadap benda asing atau dikenal dengan sifat tigmotaksis. Selain itu diduga ikan berapa pada bubu karena adanya ikan-ikan kecil yang sedang mencari makan seperti remahan karang yang menempel pada dinding bubu sehingga bisa menarik perhatian ikan-ikan besar atau predator untuk masuk kedalam bubu. Tarsim dan yudha (2005) menyatakan bahwa proses tertangkapnya ikan di awal pengoperasian bubu juga mempengaruhi hasil tangkapan. Jika ikan yang tertangkap oleh bubu diawal setting (pengoperasian) adalah predator, maka ikan-ikan lainnya cenderung tidak memasuki bubu, sedangkan ikan yang tertangkap oleh bubu diawal setting (pengoperasian) adalah non predator maka ikan ini berikutnya dapat menjadi umpan Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 untuk menarik ikan-ikan lainnya termasuk predator. 3. Pengaruh Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Dasar Hasil analisis Mann Whitney menunjukkan bahwa nilai untuk kedua perlakuan lebih besar dari sehingga keputusan yang diambil adalah terima H0 yaitu umpan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hasil tangkapan bubu dasar. Hal ini diduga karena umpan alga (Spirogyra sp.) yang digunakan telah mengalami perubahan warna menjadi warna coklat gelap dan perubahan tekstur dari alga yang lembut menjadi kasar, karena kandungan dari Spirogyra telah hilang akibat terlalu lamanya perendaman di dalam air laut. Perubahan warna dan tekstur tersebut membuat ikan tidak tertarik terhadap umpan Spirogyra karena seperti yang diketahui bahwa ikan herbivora umumnya tertarik terhadap umpan berwarna cerah dengan tekstur alga yang lembut. Perubahanperubahan pada alga tersebut diakibatkan oleh tidak sesuainya salinitas tempat Spirogyra tumbuh dengan salinitas air laut, salinitas air laut lebih tinggi daripada air tawar sehingga Pertumbuhan alga Spirogyra menurun seiring dengan tingginya tingkat salinitas. Menurut Apriliyana et al. (2013) dalam penelitian kelangsungan hidup lumut (Spirogyra sp.) pada kepekaan air laut di tambak garam menyatakan semakin tinggi kadar garam maka suhunya akan semakin tinggi dan sebaliknya dengan suhu semakin tinggi kelangsungan hidup lumut semakin rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Guiry., M. (2008) dalam Hujaya. (2008) menyatakan bahwa setiap sel dari filamen Spirogyra sp. memiliki fitur vakuola sentral yang besar, di mana inti tertahan oleh helai halus sitoplasma. Kloroplas membentuk spiral di sekitar vakuola dan memiliki spesialisasi tubuh yang dikenal sebagai pyrenoids yang menyimpan pati. Dinding sel terdiri dari 2 lapisan, dengan lapisan luar dibentuk dari selulosa sementara dinding bagian dalamnya dibentuk dari pektin, yang bertanggung jawab untuk tekstur licin alga, sehingga apabila Spirogyra hidup pada kondisi habitat yang berbeda dalam waktu yang lebih lama akan menyebabkan perubahan-perubahan pada Spirogyra terutama pada tekstur dan bentuk. Hal ini teksturnya menjadi lebih kasar dan berwarna gelap. Menurut Martasuganda (2003) mengatakan bahwa hasil tangkapan bubu sangat dipengaruhi oleh tekstur, bentuk serta ketahanan umpan di perairan. Umpan yang baik memiliki karakteristik efektif dalam menarik ikan, mudah diperoleh, mudah disimpan dan tahan lama. 4. Komposisi Hasil Tangkapan Bubu Dasar Spesies dominan yang tertangkap berdasarkan komposisi hasil tangkapan selama penelitian adalah Ikan Kurisi Pasir (Scolopsis vosmeri) dengan berat 14,25 kg (21%) pada bubu menggunakan umpan dan 11,95 kg (18%) pada bubu tanpa umpan HALAMAN - 42 AKUATIK - Pengaruh Umpan Alga (Spirogyra sp.) Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Dasar Di Perairan Perlang Kabupaten Bangka Tengah (Gambar 4 dan 5). Dominannya ikan jenis ini diduga karena daerah pemasangan bubu adalah perairan karang berpasir yang menjadi habitatnya sehingga inilah yang menyebabkan jenis ikan tersebut lebih melimpah dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Ikan Kurisi Pasir merupakan family dari Nemipteridae yang memiliki warna terang, ditemukan pada dasar perairan yang berpasir dan patahan-patahan karang (rubble) (Terangi, 2004). Ikan dari famili ini termasuk diurnal dan malam hari beristirahat diantara karang. Diduga malam hari banyak berlindung diterumbu karang berpasir dan tertangkap bubu karena sifat tigmotaksis, ikan langsung berenang disekililing bubu pada saat bubu dipasang. Dominannya hasil tangkapan Ikan Kurisi Pasir baik pada perlakuan bubu dengan umpan maupun tanpa umpan menunjukkan bahwa ikan jenis tersebut tertangkap bukan karena tertarik pada umpan alga Spirogyra sebagai makanan, tetapi lebih dikarenakan faktor kebiasaan ikan yang membuat ikan masuk ke dalam bubu. Ikan umumnya menjadikan bubu sebagai tempat perlindungan atau tempat bermain ikan sehingga dengan sengaja akan tertangkap pada bubu. Selain itu Ikan Kurisi Pasir termasuk ikan karnivora yang memakan invertebrata, ikan kecil, udang, kepiting dan cacing (benthic feeders). Hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan yang tertangkap tidak mengkhususkan diri pada suatu jenis makanan tertentu, pendapat ini sesuai dengan Tabolt (1976) dalam Yudha (2005) yang menyatakan bahwa ikanikan yang hidup di sekitar karang merupakan karnivora yang tidak mengkhususkan makanannya pada suatu sumber makanan tertentu, tetapi sebaliknya bersifat oportunistik dan mengambil apa saja yang berguna baginya. Hal ini sesuai dengan informasi-informasi yang didapatkan dari nelayan setempat bahwa, ikan-ikan karnivora seperti Ikan Kurisi Pasir, Ikan Seminyak, Ikan Ketambak Pasir, Ikan Kerapu, dan Ikan Karnivora lainnya memang merupakan ikan yang selalu tertangkap pada alat tangkap bubu nelayan, meskipun alat tangkap tersebut tidak menggunakan umpan. Selain itu ada dugaan bahwa tertangkapnya ikan karang yang mayoritas adalah karnivora (5070%) oleh bubu disebabkan karena tertarik oleh mangsa ikan-ikan kecil yang berada di dalam bubu yang telah memangsa umpan terlebih dahulu (Mawardi, 2001). Hal ini dibuktikan dengan tertangkapnya Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus malabaricus) predator karnivora dari famili serranidae bersamaan dengan Ikan Seminyak (Diagramma pictum) karnivora dari famili heumaulidae, sudah mati akibat terkena cabikan dari Ikan Kerapu tersebut. Ikan yang didapat paling sedikit adalah Ikan Kepe-kepe (Chelmon rostratus) yaitu 0,05 kg atau 0,5% dari total hasil tangkapan. Ikan omnivora ini memiliki mulut kecil dan giginya digunakan untuk Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 mematuk cacing kecil dan hewan tidak bertulang belakang lainnya dari celah batu karang. Ikan ini disebut sebagai ikan indikator yaitu penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang (Terangi, 2004). Sedikitnya jumlah Chelmon rostratus yang tertangkap diduga ikan ini hanya tertarik oleh bubu karena adanya remahan karang yang menempel pada dinding bubu. Bubu menggunakan umpan tidak terlalu diminati oleh Chelmon rostratus walaupun pemasangan bubu di daerah berkarang. Hal ini karena dipengaruhi oleh efektivitas umpan yang digunakan. Umpan akan berubah seiring lama waktu perendaman bubu. Menurut Fitri (2011) dalam Putri et al. (2013) secara organoleptik umpan yang telah direndam selama 1 jam berbeda dengan umpan yang telah direndam selama 7 jam dilihat dari kenampakan, bau dan kepadatan umpan. Perubahan kenampakan umpan mengakibatkan rangsangan penglihatan pada ikan kurang optimal sehingga berpengaruh terhadap penyebaran warna umpan di perairan. Menurut Lokkeborg (1990) dalam Putri et al. (2013) umpan dapat efektif sampai dengan 24 jam penggunaan. Parameter fisika dan kimia yang telah dilakukan, perairan Perlang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Suhu perairan sangat mendukung untuk kehidupan jenis Ikan Kurisi Pasir (Scolopsis vosmeri) yaitu berkisar 28-30,2°C, dimana suhu yang berkisar antara 27oC - 32oC baik untuk kehidupan organisme perairan (Romimohtarto., 2002). Suhu berperan penting dalam proses metabolisme organisme baik flora maupun fauna. Semakin tinggi suhu, maka metabolisme akan meningkat dan salinitas akan semakin menurun. Kisaran salinitas pada lokasi pengamatan berkisar antara 31-34 ‰. Ikan Kurisi Pasir mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap salinitas 30 – 36 ‰ (Rizka, 2006 dalam Syam, 2011). Salinitas selama penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dan salinitas pada lokasi penelitian cocok untuk kehidupan Ikan Kurisi Pasir. Salinitas merupakan salah satu faktor bagi organisme akuatik yang dapat memodifikasi perubahan fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang berdampak terhadap organisme. Salinitas pada perairan juga merupakan faktor penting dan menjadi faktor pembatas bagi biota dalam suatu perairan. Ikan Kurisi Pasir merupakan ikan yang hidup di dasar lumpur dan substrat berpasir dekat dengan terumbu karang. Nilai kecerahan hasil penelitian diperoleh berkisar antara 6,6 – 8,4 m. Ikan Kurisi Pasir merupakan ikan demersal yang menyukai perairan dengan kecerahan yang tinggi (Ridho et al., 2004). Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep51/MENKLH/2004 nilai kecerahan untuk biota yang hidup di daerah terumbu karang yaitu > 5 m. HALAMAN - 43 AKUATIK - Pengaruh Umpan Alga (Spirogyra sp.) Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Dasar Di Perairan Perlang Kabupaten Bangka Tengah Effendi (2003) menambahkan bahwa kecerahan air tergantung pada warna, keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan kepadatan tersuspensi. Kecepatan arus pada pengamatan berkisar 0,10,21 m/s. Kecepatan arus dapat dibedakan dalam 4 kategori yakni kecepatan arus mulai dari 0-0,25 m/s yang disebut arus lambat, kecepatan arus 0,25-0,50 m/s yang disebut arus sedang, kecepatan arus 50-1 m/s yang disebut arus cepat dan kecepatan arus diatas 1 m/s yang disebut arus sangat cepat (Harahap dalam Ihsan, 2009). Berdasarkan kategori kecepatan arus, maka kecepatan arus selama penelitian digolongkan sebagai arus lambat. Kecepatan arus pada lokasi pengamatan masih sangat cocok untuk kehidupan dan perkembangan Ikan Kurisi Pasir. Menurut (Ridho et al., 2004) mengatakan bahwa Ikan Kurisi Pasir menyukai arus yang lambat untuk mencari makan. Arus juga sangat penting dalam kaitannya dengan kehidupan hewan dan organisme karena arus dapat menyebabkan perubahan suhu dan salinitas serta menyebarkan bahan makanan, membawa dan menyebarkan larva hewan ketempat lain. Kisaran nilai pH yang terukur pada lokasi pengamatan berkisar antara 7,5-8,5. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep-51/MENKLH/2004 untuk pH yaitu 7-8,5 maka nilai pH ini masih memenuhi baku mutu air laut yang diperbolehkan untuk biota laut (MNLH, 2004). Potensial hidrogen (pH) sangat penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe laju kecepatan reaksi beberapa bahan air. Ikan dan makhluk akuatik lainnya hidup pada selang pH antara 7-8,5, dengan diketahui nilai pH maka akan diketahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan biota di perairan. Nilai pasang surut merujuk pada Babel Ocean Science and Technology (BOOST) Center Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi Bangka Belitung yaitu berkisar antara 0,51-1,41 m, keadaan ini menunjukkan perairan mengalami pasang. Kedalaman perairan pada lokasi penelitian rata-rata berkisar antara 9-10,8 m. Menurut Ridho et al., (2004), kedalaman perairan tempat Ikan Kurisi Pasir ditemukan berkisar antara 0–25 m. Kisaran nilai pada lokasi penelitian cocok untuk kehidupan ikan Kurisi Pasir. Menurut Widodo (1980) dalam Budiman (2006) kedalaman suatu perairan merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap penyebaran ikan demersal. Ikan demersal mempunyai aktifitas rendah ruayanya tidak jauh dan gerombolannya tidak terlalu besar. III. SIMPULAN DAN SARAN 4.1. Simpulan Hasil penelitian pengaruh umpan terhadap hasil tangkapan bubu dasar di perairan Perlang Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 Kecamatan Lubuk Besar Kabupaten Bangka Tengah dapat disimpulkan sebagai berikut : 3. Hasil tangkapan bubu dasar menggunakan perlakuan umpan dan tanpa umpan alga Spirogyra sp. ternyata tidak memberikan perbedaan atau pengaruh nyata terhadap hasil tangkapan bubu dasar. Hal ini dapat dilihat dari nilai uji Mann Whitney ( . 4. Komposisi hasil tangkapan bubu dasar menggunakan perlakuan umpan alga Spirogyra sp. dan tanpa umpan sebanyak 20 (dua puluh) spesies ikan yaitu Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus maculatus), Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus malabaricus), Ikan Kerapu Hitam (Ephinephelus timorensis), Ikan Seminyak (Diagramma pictum), Ikan Garis Singgang (Lutjanus carponotatus), Ikan Kurisi Pasir (Scolopsis vosmeri), Ikan Kakap Mata Kucing (Psammoperca waigiensis), Ikan Dengkis (Siganus canaliculatus), Ikan Beronang Kuning (Siganus doliatus), Ikan Ekor Kuning (Caeseo teres), Ikan Tandatanda (Lutjanus russeli), Ikan Biji Nangka (Upeneus sundaicus), Ikan Ketarap (Caerodon schoenleini), Ikan Seriding (Sargocentrum rubrum), Ikan Ketambak (Lethrinus lentjan), Ikan Ikan Merah (Lutjanus erytropterus), Ikan Ketambak Pasir (Achanthopagrus latus), Ikan Kepe-kepe (Chelmon rostratus), Ikan Anjang-anjang (Pentapodus setosus) dan Ikan Kunyit (Lutjanus madras). 4.2. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang jenis alga lain yang efektif digunakan dalam penangkapan bubu dengan memperhatikan lama perendaman umpan, dan kondisi umpan. DAFTAR PUSTAKA Apriliyana M. Triajie H. Dan Effendy M. 2013. Kelangsungan Hidup Lumut (Spirogyra sp.) Pada Berbagai Derajat Kepekaan Air Laut yang Berasal Dari Tambak Garam. Jurnal Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura. Madura Badan Pusat Statistik. 2014. Profil Desa Perlang Kecamatan Lubuk Besar Kabupaten Bangka Tengah 2014. Dedi. 2012. Analisis Penggunaan Umpan pada Alat Tangkap Bubu Dasar di Perairan Bembang Bangka Barat. [Skripsi]. Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi. Universitas Bangka Belitung. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. HALAMAN - 44 AKUATIK - Pengaruh Umpan Alga (Spirogyra sp.) Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Dasar Di Perairan Perlang Kabupaten Bangka Tengah Hujaya S. D. 2008. Isolasi Pigmen Klorofil, Karoten, Dan Xantofil Dari Limbah Alga Di Area Budi Daya Ikan Bojongsoang. [Skripsi]. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung. Bandung. Indonesian Coral Reef Foundation (TERANGI). 2004. Panduan Dasar Untuk Pengenalan Ikan Karang Secara Visual Indonesia. Terangi. Jakarta. Kurniawati, W. 2005. Optimasasi Pengembangan Perikanan Purse Seine di PPN Pemangkat Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. [Tesis]. Program Paskasarjana. Institut Pertanian Bogor. Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tentang Baku Mutu Biota Air Laut. KEP NO-51/MNLH/I/2004. 8 April 2004. Jakarta. Natsir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Prabowo, R. E, Ardli, E. R, Sastranegara, M. H, Lestari, W dan Wijayanti G. 2010. Prosoding Seminar Nasional Biologi Biodiversitas dan Bioteknologi Sumberdaya Akuatik. Fakultas Biologi UNSOED Purwokerto. Putri, R. L. C, Fitri, A. D. P, dan Yulianto, T. 2013. Analisis Perbedaan Jenis Umpan Dan Lama Waktu Perendaman Pada Alat Tangkap Bubu Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan Di Perairan Suradadi Tegal. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Journal of Fisheries Resources Utilization Management and Technology 2(3) : 51-60. Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 Romimohtarto, K dan Juwana, S. 2002. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta. Septiyaningsih, Irnawati, R dan Susanto, A. 2013. Penggunaan Jenis dan Bobot Umpan Yang Berbeda Pada Bubu Lipat Kepiting Bakau. Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan Juni 2(1) : 55-61. Supranto, J. 2009. Statistik Teori dan Aplikasi. Penerbit Erlangga. Jakarta. Syam, A. R dan Muliyanto. 2011. Populasi Ikan Karang dan Biota Penempel Di Sekitar Terumbu Buatan Perairan P. Kotok Kecil Dan P. Harapan, Kepulauan Seribu. Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. Jakarta. Tarsim dan Yudha, I. G. 2005. Pengaruh Perbedaan Warna Media Bubu Karang (Coral Trap) Terhadap Hasil Tangkapan. Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung. Yudha, I.G. 2005. Pengaruh Warna Pemikat Cahaya (Light Attractor) Berkedip terhadap Jenis dan Jumlah Ikan Hasil Tangkapan Bubu Karang (Coral Trap) Di Perairan Pulau Puhawang, Lampung Selatan. Staf pengajar PS Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Lampung. HALAMAN - 45