interferensi gramatikal pada tulisan mahasiswa sastra

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persaingan di zaman globalisasi seperti sekarang ini semakin ketat yang
menyebabkan meningkatnya kebutuhan komunikasi antar bangsa. Penguasaan bahasa
Inggris yang hingga kini dianggap penting baik di Indonesia maupun di dunia
internasional dirasa tidak cukup untuk menghadapi persaingan tersebut. Hal ini
mendorong banyak orang untuk mempelajari bahasa asing lainnya dengan berbagai
macam tujuan, seperti urusan pekerjaan, studi ke luar negeri, atau hanya sekedar
tertarik dengan budaya asing. Beberapa bahasa asing selain bahasa Inggris yang
diminati saat ini di Indonesia antara lain bahasa Jepang, bahasa Korea, bahasa Jerman
dan salah satunya adalah bahasa Prancis.
Sayangnya, bahasa Prancis masih dianggap kurang familiar bagi orang Indonesia
jika dibandingkan dengan bahasa Inggris. Penggunaan bahasa Inggris dapat dijumpai
dengan mudah di mana-mana, seperti lagu-lagu di radio, film-film di bioskop, sampai
slogan-slogan produk di televisi. Sedangkan penggunaan bahasa Prancis di Indonesia
masih sangat terbatas dan hanya dijumpai di beberapa merk produk serta dilafalkan
dengan cara bahasa Inggris.
Selain itu, para pembelajar bahasa Prancis di Indonesia sering menemui
hambatan dalam mempelajari bahasa Prancis baik secara lisan maupun tertulis.
1
Hambatan-hambatan ini terjadi karena banyaknya perbedaan antara bahasa Prancis
dengan bahasa ibu, yakni bahasa Indonesia, dari segi pelafalan (fonetis) dan
tatabahasanya (gramatikal). Dalam bahasa Prancis, pelafalan dan penulisannya
berbeda, maksudnya apa yang diucapkan berbeda dengan yang dituliskan. Sedangkan
dari segi sistem tatabahasa, bahasa Prancis mengenal perbedaan gender pada nomina
(nom), konjugasi pada verba (verbe), jenis-jenis bentuk kala (temps) yang tidak
dimiliki oleh bahasa Indonesia. Hambatan-hambatan yang terjadi ketika seseorang
mempelajari bahasa asing inilah yang disebut sebagai interferensi.
Valdman (dalam Abdul Hayi 1985:8) merumuskan bahwa interferensi merupakan
hambatan sebagai akibat adanya kebiasaan pemakai bahasa ibu (bahasa pertama)
dalam penguasaan bahasa yang dipelajari (bahasa kedua). Berdasarkan pengertian
interferensi yang dikemukakan oleh Valdman, interferensi dapat dikatakan juga
sebagai hambatan dalam berbahasa. Hambatan tersebut muncul jika dua bahasa atau
lebih digunakan oleh orang yang sama seperti menurut pendapat Suwito.
Suwito (1985:39-40) mengatakan bahwa apabila dua bahasa atau lebih digunakan
secara bergantian oleh penutur yang sama, dapat dikatakan bahwa bahasa tesebut
dalam keadaan saling kontak. Dalam setiap kontak bahasa terjadi proses saling
mempengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebagai akibatnya,
interferensi akan muncul, baik secara lisan maupun tertulis.
Mengingat dua pendapat yang dikemukakan di atas, tidak dapat dihindari bahwa
interferensi dapat terjadi pada mahasiswa sastra Prancis, terutama mahasiswa
2
semester I dan III yang belum lama mempelajari bahasa Prancis. Hal ini dibuktikan
ketika mahasiswa membuat sebuah kalimat, kesalahan-kesalahan pun kerap kali
terjadi, khususnya kesalahan pada bahasa tulis.
Berikut adalah contoh kalimat bahasa Prancis yang terpengaruh oleh bahasa
Indonesia pada tulisan mahasiswa semester I (kalimat 1) dan semester III (kalimat 2) :
(1) Elle vient de Chinois.
„Dia datang dari Tiongkok.‟
(2) Est-ce que tu pourras accompagner moi?
„Apakah kamu bisa menemaniku?‟
Pada kalimat (1) terjadi interferensi gramatikal preposisi sekaligus nomina.
Seperti yang diketahui bahwa nomina dalam bahasa Prancis memiliki perbedaan
gender dan hal tersebut memengaruhi penggunaan preposisi khususnya nama negara.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia sama sekali tidak mengenal gender sehingga
ketika preposisi tersebut diikuti oleh nama negara, tidak terjadi perubahan apa pun.
Kedua, pemilihan nama negara pada kalimat (1) tidak tepat karena chinois menunjuk
adjektiva atau kewarganegaraan (orang Tionghoa), bukan nama negara sehingga
kalimat bahasa Prancis yang benar untuk kalimat (1) adalah :
(1a) Elle vient de la Chine.
„Dia datang dari Tiongkok.‟
Pada kalimat (2) terjadi interferensi grmatikal struktural dan pronomina.
Pemakaian pronomina obyek dalam bahasa Indonesia diletakkan sesudah kata kerja
3
seperti pada kalimat “Apakah kamu bisa menemaniku?”. Hal ini diterapkan langsung
ke dalam bahasa Prancis yang memiliki struktur yang berbeda dalam penggunaan
pronomina obyek langsung seperti pada kalimat (2) di atas. Pemakaian pronomina
obyek langsung diletakkan sebelum kata kerja yang berhubungan langsung
(pronomina di atas berhubungan langsung dengan kata kerja “accompagner”
(menemani) bukan kata kerja “pouvoir” (bisa)). Di samping itu, bahasa Indonesia
juga tidak mengenal perbedaan pronomina obyek langsung dan pronomina tonik
sehingga sering kali membingungkan pembelajar bahasa Prancis. Oleh karena itu,
kalimat bahasa Prancis yang tepat untuk kalimat (2) adalah :
(2a) Est-ce que tu pourras m’accompagner?
„Apakah kamu bisa menemaniku?‟
1.2 Rumusan Masalah
Dapat dikatakan bahwa bahasa Prancis memiliki perbedaan gramatika yang
cukup jauh dengan bahasa Indonesia. Hal tersebut menimbulkan hambatan bagi
mahasiswa sastra Prancis semester I dan III yang belum cukup lama mempelajari
bahasa tersebut sehingga kesalahan-kesalahan pun tidak dapat dihindari, khususnya
kesalahan gramatikal. Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, dapat ditemukan
permasalahan sebagai berikut :
Bentuk-bentuk interferensi gramatikal apa saja yang dilakukan mahasiswa Sastra
Prancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada semester I dan III dalam
membuat kalimat berbahasa Prancis?
4
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memaparkan berbagai macam interferensi
gramatikal dalam kalimat berbahasa Prancis yang ditulis oleh mahasiswa Sastra
Prancis (semester I dan III) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada akibat
terdistraksi oleh bahasa Indonesia. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan para
pembelajar bahasa Prancis dapat lebih memahami gramatika bahasa Prancis dan
meminimalisasi kesalahan-kesalahan.
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian yang bertemakan interferensi sudah pernah dilakukan sebelumnya.
Penelitian yang ditulis oleh Roswita Lumban Tobing yang berjudul “Analisis
Kesalahan Sintaksis Bahasa Prancis oleh Pembelajar Berbahasa Indonesia: sebuah
Studi Kasus” membahas tentang kesalahan-kesalahan sintaksis bahasa Prancis yang
dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Prancis semester V
yang memang memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Penelitian ini bertujuan
memaparkan jenis-jenis kesalahan sintaksis yang sering terjadi serta mendeskripsikan
faktor-faktor penyebab.
Penelitian Prima Gusti Yanti berjudul “Interferensi Bahasa Betawi dalam Bahasa
Indonesia di dalam Surat Kabar Pos Kota” membahas tentang interferensi bahasa
Betawi yang kerap terjadi di dalam surat kabar Pos Kota edisi 3 Mei - 6 Juni 2006.
5
Penelitian ini menghasilkan 37 bentuk interferensi bahasa Betawi ke dalam bahasa
Indonesia termasuk di antaranya morfologi, sintaksis, dan leksikal.
Penelitian Olaosebikan Timothy Ojo Wende yang berjudul “Interference
Linguistique chez les Francissants Anglophones: le Cas du Présent de l‟Indicatif”
membahas tentang interferensi yang dialami oleh orang-orang Nigeria dalam
mempelajari bahasa Prancis. Nigeria merupakan negara yang memiliki bahasa ibu
seperti bahasa Hausa atau disebut juga dengan bahasa Igbo atau Yoruba, juga
menggunakan bahasa Inggris. Kemudian pada tahun 1998, bahasa Prancis menjadi
bahasa resmi sehingga mereka diwajibkan mempelajari bahasa Prancis di
sekolah-sekolah. Namun ternyata dalam berbahasa Prancis baik secara oral maupun
tulisan, mereka terdistraksi oleh bahasa Inggris, khususnya dalam bentuk présent de
l‟indicatif. Kemudian skripsi “Analisis Kontrastif pada Kesalahan Pengungkapan
Tulis Bahasa Prancis Mahasiswa Semester I dan II Program Studi Sastra Prancis
Universitas
Gadjah
Mada”
karya
Adrian
S.
Rasnie
mendeskripsikan
kesalahan-kesalahan tulis mahasiswa sastra Prancis UGM semester I dan II tahun
ajaran 2008/2009 yang menyebabkan ketidakberterimaannya suatu kalimat.
Penelitian yang membahas tentang interferensi dan kesalahan berbahasa memang
sudah pernah dilakukan sebelumnya, khususnya pada mahasiswa Sastra Prancis FIB
UGM. Penelitian ini lebih terfokus pada kesalahan gramatikal yang dilakukan oleh
dua angkatan yang berbeda sehingga dapat terlihat kesalahan-kesalahan gramatikal
apa saja yang dilakukan oleh mahasiswa yang masih baru mempelajari bahasa Prancis
6
dengan mahasiswa yang mempelajari bahasa Prancis dalam kurun waktu yang lebih
lama. Kemudian, penelitian ini mengacu pada buku metode pengajaran bahasa
Prancis, ÉCHO (Girardet dan Pécheur, 2008), sebagai bahan ajar utama yang
digunakan di kelas sehingga dapat terlihat apakah mahasiswa telah menguasai materi
yang diberikan dengan baik.
1.5 Landasan Teori
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai pengertian interferensi secara luas,
jenis-jenis interferensi, sistem tatabahasa Indonesia, dan sistem tatabahasa Prancis.
1.5.1 Pengertian Interferensi
Setiap orang yang mempelajari bahasa asing sering kali menemukan kesulitan
atau hambatan. Beberapa ahli bahasa mengatakan bahwa hambatan-hambatan
tersebut dapat disebut sebagai interferensi dan bersifat merugikan bagi pembelajar
bahasa asing.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Valdman (dalam Abdul Hayi 1985:8)
merumuskan bahwa interferensi merupakan hambatan sebagai akibat adanya
kebiasaan pemakai bahasa ibu (bahasa pertama) dalam penguasaan bahasa yang
dipelajari (bahasa kedua). Hal yang serupa juga dikatakan oleh Chaer dan Agustina
(2004:165) yang mengatakan bahwa interferensi pada tingkat apa pun (fonologi,
morfologi dan sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu
7
dihindari. Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan
rumusan Hartman dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang
disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu
bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan
kosakata.
Telah dijelaskan pada pengertian-pengertian interferensi di atas bahwa
interferensi merupakan hambatan dalam berbahasa. Hambatan tersebut muncul jika
dua bahasa atau lebih digunakan oleh orang yang sama seperti menurut pendapat
Suwito (1985:39-40) yang mengatakan bahwa apabila dua bahasa atau lebih
digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, dapat dikatakan bahwa bahasa
tesebut dalam keadaan saling kontak. Dalam setiap kontak bahasa terjadi proses
saling mempengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebagai akibatnya,
interferensi akan muncul, baik secara lisan maupun tertulis.
Hal yang serupa juga dikatakan oleh Chaer (2004:158) bahwa interferensi
merupakan topik dalam sosiolinguistik yang terjadi sebagai akibat pemakaian dua
bahasa atau lebih secara bergantian oleh seorang dwibahasawan, yaitu penutur yang
mengenal lebih dari satu
bahasa. Penyebab
terjadinya interferensi adalah
kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi oleh
bahasa lain.
Selain itu, Haugen (1968:90) mengatakan bahwa interferensi atau pengaruh
bahasa terjadi akibat kontak bahasa dalam bentuk yang sederhana, yang berupa
8
pengambilan satu unsur dari satu bahasa dan dipergunakan dalam bahasa yang lain.
Dalam kasus ini, mahasiswa sastra Prancis dapat disebut sebagai dwibahasawan
sehingga kontak bahasa tidak dapat dihindari yang dapat memicu terjadinya
interferensi.
1.5.2 Jenis-Jenis Interferensi
Secara luas, interferensi dapat dilihat baik secara lisan maupun tulisan sesuai
yang dikemukakan oleh Suwito (1985:40). Jika diteliti lebih jauh, ternyata
interferensi mempunyai berbagai macam jenis menurut masing-masing ahli. Seperti
yang dikemukakan oleh Ardiana (1940:14) yang mengelompokkan interferensi itu
menjadi lima macam, yaitu :
1. Interferensi kultural dapat tercermin melalui bahasa yang digunakan oleh
dwibahasawan. Dalam tuturan dwibahasawan tersebut muncul unsur-unsur
asing sebagai akibat usaha penutur untuk menyatakan fenomena atau
pengalaman baru.
2. Interferensi semantik adalah interferensi yang terjadi dalam penggunaan
kata yang mempunyai variabel dalam suatu bahasa.
3. Interferensi leksikal harus dibedakan dengan kata pinjaman. Kata pinjaman
atau integrasi telah menyatu dengan bahasa kedua, sedangkan interferensi
belum diterima sebagai bagian dari bahasa kedua. Masuknya unsur leksikal
bahasa pertama atau bahasa asing ke dalam bahasa kedua itu bersifat
9
mengganggu.
4. Interferensi fonologis mencakup intonasi, irama penjedaan, dan artikulasi.
5. Interferensi gramatikal meliputi interferensi morfologis, fraseologis dan
sintaksis.
Sementara itu, Weinreich (via Aslinda dan Leni S, 2007:67) membagi interferensi
ke dalam tiga bagian, yaitu : (a) Interferensi Fonologis, (b) Interferensi Gramatikal,
dan (c) Interferensi Leksikal. Interferensi gramatikal mencakup interferensi
morfologis dan interferensi sintaksis. Berdasarkan pendapat Weinreich di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa ruang lingkup interferensi gramatikal hanya terbatas pada
masalah morfologi dan sintaksis.
1.5.3 Sistem Tatabahasa Indonesia
Menurut tipologi bahasanya, bahasa Indonesia merupakan bahasa aglutinatif atau
bahasa berafiks (Montolalu, 2005:178). Tipe bahasa ini mengenal afiks dan
reduplikasi yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kata, baik kata benda, kata
kerja, serta kata sifat. Hal ini menjadi ciri utama yang membedakan bahasa Indonesia
dengan bahasa Prancis.
(a) Kata Benda
Menurut Chaer (1998:87-88) kata benda dalam bahasa Indonesia dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu (1) kata benda yang jumlahnya dapat dihitung sehingga
10
di depannya dapat diletakkan kata bantu bilangan; (2) kata benda yang jumlahnya
tak terhitung sehingga di depannya harus diletakkan kata keterangan ukuran
satuan; dan (3) kata benda yang menyatakan nama khas yang di dipannya tidak
dapat diletakkan kata bilangan. Secara umum kata benda dapat digunakan
sebagai subjek, objek, atau kata keterangan di dalam kalimat namun kata benda
yang berfungsi sebagai predikat juga tidak dapat dihindari seperti pada kalimatkalimat berikut :
(3) Pacarku seorang perawat.
(4) Dia orang Manado.
Pembentukan kata benda tunggal menjadi jamak dapat dilakukan dengan
proses reduplikasi (Chaer, 1998:288). Misalnya, bentuk jamak dari nomina
“buku” adalah “buku-buku” dengan bentuk pengulangan. Namun, dalam praktek
kehidupan
sehari-hari,
bahasa
Indonesia
tidak
terlalu
memperhatikan
bentuk-bentuk tunggal dan jamak ini sehingga tidak akan berpengaruh terlalu
besar terhadap sistem gramatika jika dibandingkan dengan bahasa Prancis.
Kata Ganti atau pronomina biasa digunakan untuk menghindari terjadinya
pengulangan dalam menyebutkan kata benda yang lazimnya menyatakan orang.
Dilihat dari peranannya sebagai pelaku di dalam kalimat, Chaer (1998:91-92)
mengklasifikasikan kata ganti menjadi tiga macam, yakni (1) kata ganti orang
pertama : “saya”, “aku”, “kami”, “kita”; (2) kata ganti orang kedua : “kamu”,
11
“engkau”, “Anda”, “kalian”; dan (3) kata ganti orang ketiga : “ia”, “dia”, “nya”,
“beliau”, “mereka”, “mendiang”, “almarhum”.
Kata ganti tersebut dapat berfungsi sebagai subyek maupun obyek dalam
struktur kalimat, misalnya :
(5) Aku tidak suka ayam goreng.
(6) Andre pernah menolongku.
Kata ganti “aku” pada kalimat (5) merupakan subyek kalimat. Kata ganti ini
sering disingkat menjadi -ku dalam obyek kalimat seperti contoh kalimat (6).
Selain itu, kata ganti juga dapat menyatakan kepemilikan, seperti "bukuku” dan
“kakaknya”.
(b) Kata Kerja
Chaer (1998:100) mengemukakan dua macam kata kerja berdasarkan
strukturnya, yaitu (1) kata kerja dasar yang belum diberi imbuhan : “pergi”,
“pulang”, “tulis”; (2) kata kerja berimbuhan yang sudah terbentuk oleh imbuhan :
“dibaca”, “tertulis”, “melihat”. Kata kerja dalam bahasa Indonesia tidak
mengenal kala dan konjugasi seperti bahasa Prancis. Pembentukan kalimat
bermakna lampau dapat dilakukan hanya dengan menambahkan kata keterangan
waktu. Kemudian pembentukan kata kerja pasif dapat dilakukan dengan
membubuhkan imbuhan di- pada kata kerja dasar, misalnya "baca" menjadi
12
"dibaca".
(c) Kata Sifat
Pada umumnya kata sifat digunakan untuk menerangkan kata benda, seperti
"meja kecil", "buku besar", dan "gadis cantik". Kata “kecil”, “besar”, dan
“cantik” menerangkan keadaan fisik kata benda tersebut. Penggunaan kata sifat
seperti ini berstruktur "diterangkan-menerangkan" atau DM yang penempatan
kata bendanya mendahului kata sifat. Hampir semua penggunaan kata sifat dalam
bahasa Indonesia berstruktur demikian, kecuali pada penggunaan idiom seperti
"panjang tangan" yang berarti "pencuri", "tebal muka" yang berarti "tidak setuju",
dan "ringan tangan" yang berarti "suka membantu". Kata sifat dalam beberapa
kesempatan dapat berfungsi sebagai predikat, misalnya dalam kalimat (7) di
bawah ini, (Chaer, 1998:103) :
(7) Pacarku tampan.
(8) Anaknya cantik sekali.
(d) Kata Keterangan
Ada beberapa jenis bentuk kata keterangan dalam Indonesia yang dapat
menerangkan kata kerja, kata sifat maupun kata benda seperti pada kalimat :
(9) Aku berlari dengan cepat.
(10) Jalan raya itu kurang baik.
13
(11) Seluruh tubuhku terasa gatal-gatal sehabis mandi.
Kata keterangan pada kalimat (9) berfungsi menerangkan kata kerja "berlari",
sedangkan kata keterangan pada kalimat (10) menerangkan kata sifat "baik".
Kemudian, kata keterangan pada kalimat (11) menyatakan keutuhan sesuatu
sebagai satu keseluruhan pada kata benda. Berhubung bahasa Indonesia tidak
mengenal kala pada kata kerja, penggunaan kata keterangan waktu menjadi
penting untuk menyatakan kalimat memiliki konteks waktu, seperti pada
kalimat :
(12) Aku makan nasi.
(13) Aku makan nasi kemarin.
Pada kalimat (12), belum jelas apakah aksi tersebut dilakukan di waktu
lampau atau tidak, namun akan menjadi jelas ketika ditambah kata katerangan
waktu "kemarin" bahwa aksi tersebut memang dilakukan di waktu lampau (Chaer,
1998:162-181).
(e) Struktur Kalimat Bahasa Indonesia
Dalam mempelajari bahasa asing, memahami struktur kalimat menjadi hal
yang sangat penting untuk menghindari kesalahan gramatikal. Sebelum membuat
kalimat yang lebih kompleks, sangat penting memahami kalimat sederhana yang
unsur-unsurnya hanya berupa kata atau frase sederhana. Menurut strukturnya
14
(adanya subyek, predikat, obyek, dan keterangan) sebuah kalimat sederhana
dalam bahasa Indonesia memiliki pola (Chaer, 1998:330-331) :
(14) Subyek + Predikat
Contoh
: - Ibuku tertawa.
- Ayahku seorang dokter.
- Nenekku cantik.
(15) Subyek + Predikat + Obyek
Contoh
: - Ibu menjahit baju adik.
- Ayah membaca koran pagi.
- Nenekku makan sirih.
(16) Subyek + Predikat + Obyek + Keterangan
Contoh
: - Ibu membelikan baju adik semalam.
- Ayah membaca koran di taman.
- Nenek makan sirih setiap hari.
(17) Subyek + Predikat + Obyek + Obyek
Contoh
: - Ibu membelikan adik baju baru.
- Ayah membukakan saya pintu.
- Nenek membacakan adik cerita lucu.
Menurut jenis kata atau frase yang menjadi unsur subyek (predikat, obyek,
dan keterangan) kalimat sederhana dalam bahasa Indonesia mempunyai pola :
(18) Kata (Frase) Benda + Kata (Frase) Benda
Contoh
: - Ayahku seorang dokter.
- Suaminya orang Batak.
- Pacarnya satpam bank.
(19) Kata (Frase) Benda + Kata (Frase) Sifat
Contoh
: - Ayahku ganteng.
- Suaminya malas sekali.
- Pacarnya tinggi besar.
(20) Kata (Frase) Benda + Kata (Frase) Kerja
Contoh
: - Ibuku sedang masak.
- Ayahku belum mandi.
- Nenek sedang bersolek.
15
(21) Kata (Frase) Benda + Kata (Frase) Kerja + Kata (Frase) Benda
Contoh
: - Ibu menggoreng ikan
: - Ayah sedang membaca komik
- Nenek mengunyah sirih.
1.5.4 Sistem Tatabahasa Prancis
Bahasa Prancis merupakan jenis bahasa fleksi yang mengenal konjugasi dan
deklinasi. Konjuagasi atau adalah alternasi infleksional pada verba, dan deklinasi
adalah alternasi infleksional pada nomina dan pada kelas-kelas kata yang dapat
disebut nominal, pronomina dan ajektiva (Verhaar, 2010:121). Menurut pendapat Le
Moullec dan Novi (2010:6) konjugasi merupakan sistem perubahan bentuk verba
yang berhubungan dengan persona, modus, kala dan diatesis. Hal ini merupakan
perbedaan besar antara bahasa Indonesia dan Prancis.
(a) Kata Kerja
Sebuah kata kerja harus dikonjugasikan terlebih dahulu sebelum membentuk
sebuah kalimat sederhana. Proses konjugasi dapat dilakukan dengan merubah
bentuk kata kerja dasar (infinitif) sesuai dengan kala, persona, dan modusnya.
Selain itu, proses ini juga sangat bergantung pada jenis (beraturan dan tidak
beraturan) dan akhiran kata kerja tersebut. Misalnya konjugasi verba berakhiran
-er berbeda dengan verba berakhiran -ir. Pada kata kerja beraturan ada aturan
untuk mengkonjugasikannya, namun sebaliknya, kata kerja tidak beraturan tidak
memiliki aturan sehingga mau tidak mau pembelajar bahasa Prancis harus
16
menghapalnya di luar kepala.
Selain adanya konjugasi, perbedaan lain antara bahasa Prancis dan bahasa
Indonesia adalah kala. Pembentukan kalimat lampau pada bahasa Indonesia
hanya diberikan keterangan waktu. Dalam bahasa Prancis, hal tersebut tidak
berlaku karena bahasa Prancis mempunyai berbagai jenis kala seperti halnya
bahasa Inggris. Jenis-jenis kala dalam bahasa Prancis adalah sebagai berikut
(Hutagalung, 2004:76-101) :
(22) Présent
Kegunaan : mengungkapkan aksi yang sedang dilakukan atau kebiasaan.
(23) Imparfait
Kegunaan : menyatakan kebiasaan di waktu lampau aksi di waktu
lampau yang dilakukan berulang-ulang; menggambarkan waktu, tempat,
situasi, deskripsi atau keadaan jiwa di waktu lampau; dan pengandaian.
(24) Futur Simple
Kegunaan : menyatakan rencana di masa datang atau membayangkan
sesuatu yang akan terjadi di masa datang; dan menerangkan kejadian
yang mungkin akan terjadi.
(25) Passé Composé
Kegunaan : menceritakan aksi atau kejadian di waktu lampau.
(26) Plus-Que-Parfait
Kegunaan : mengemukakan dua aksi di waktu lampau di mana satu aksi
mendahului aksi yang lain, dan pengandaian yang tidak terealisasi di
masa lampau.
(27) Futur Antérieur
Kegunaan : menggambarkan dua aksi futur di mana satu aksi
mendahului aksi yang lain.
(28) Présent Progressif
Kegunaan : menunjukkan aksi yang sedang dilakukan
(29) Passé Récent
Kegunaan : menggambarkan kejadian yang baru saja berlangsung.
(30) Futur Proche
Kegunaan : menunjukkan maksud atau aksi yang akan segera atau
hampir pasti terjadi.
17
(b) Kata Benda
Kata benda dalam bahasa Prancis dapat dilihat dari segi jenis/gender
(maskula dan femina) dan jumlahnya (tunggal/jamak). Orang yang berjenis
kelamin pria dan hewan jantan termasuk kata benda golongan maskula, begitu
juga sebaliknya dengan orang yang berjenis kelamin wanita dan hewan betina.
Sementara itu, untuk kata benda lainnya bersifat arbitrari (sembarang) dan harus
dihapalkan di luar kepala. Pada kata benda yang menunjuk profesi/pekerjaan,
perubahan dari bentuk maskula ke bentuk femina kerap kali terjadi tergantung
dari jenis kelamin orang tersebut, misalnya “vendeur” (penjual (lk)) menjadi
“vendeuse” (penjual (pr)). Penjamakan kata benda dalam bahasa Prancis dapat
dilakukan dengan penambahan huruf -s dan -x di akhir kata benda, atau dengan
merubah suku kata -al di akhir kata benda dengan suku kata -aux. Namun ada
juga kata benda yang mempunyai bentuk jamak dan tunggal yang sama dan kata
benda jamak tak beraturan (Crocker, 2005:1-5).
Kata ganti atau pronomina dalam bahasa Prancis lebih kompleks
dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Kata ganti dalam bahasa Prancis juga
mengenal jenis/gender dan jumlah. Misalnya pada pronomina subyek (sujet)
digolongkan menjadi : “je” (kata ganti orang pertama tunggal), “tu” (kata ganti
orang kedua tunggal), “il/elle” (kata ganti orang ketiga tunggal), “nous” (kata
ganti orang pertama jamak), “vous” (kata ganti orang kedua jamak), “ils/elles”
18
(kata ganti orang ketiga jamak). Selain itu, kata ganti dalam bahasa Prancis dapat
digolongkan menjadi pronomina subyek (sujet), pronomina obyek langsung,
pronomina obyek tak langsung, pronomina tonik (tonique), pronomina
keterangan tempat (complément de lieu), pronomina tak tentu (les indéfinis), dll
(Hutangalung, 40-63). Penggunaan beberapa pronomina seperti pronomina obyek
langsung dan pronomina obyek tak langsung diletakkan di antara subyek dan
verba dalam kalimat sederhana, seperti kalimat di bawah ini :
(31) Je te donne un livre.
„Saya memberimu sebuah buku‟.
Pemakaian kata sandang juga berpengaruh pada gender dan jumlah sebuah
kata benda. Misalnya dalam pemakaian kata sandang tentu (articles définis), jika
kata benda tersebut maskula tunggal maka memakai “le”, jika kata benda
tersebut femina tunggal maka memakai la dan jika benda tersebut maskula atau
femina jamak, maka kata sandang tentunya adalah “les”. Contohnya : “le livre”
(buku tersebut), “la voiture” (mobil tersebut), “les livres” (buku-buku tersebut),
dan “les voitures” (mobil-mobil tersebut). Demikian juga halnya dengan kata
sandang tak tentu (articles indéfinis), kata sandang partitif (articles partitifs),
kata tunjuk (adjectifs démonstratifs), dan kata kepunyaan (adjectifs possessifs).
Hal seperti ini tidak ditemukan dalam sistem tatabahasa Indonesia (Hutangalung,
31-39).
19
(c) Kata Sifat
Gender dan jumlah nomina tersebut juga dapat mempengaruhi kata sifat.
Misalnya, “le nouveau livre” (buku baru) akan mengalami perubahan pada kata
sifat dan kata benda jika kata benda tersebut berubah menjadi jamak, yaitu “les
nouveaux livres” (buku-buku baru). Dalam bahasa Indonesia yang berubah
hanyalah kata bendanya saja dengan proses pengulangan tetapi kata sifatnya tetap.
Contoh lainnya adalah “le gentil garçon” (laki-laki yang baik hati) dengan “la
gentille fille” (perempuan yang baik hati). Kalimat tersebut sama-sama
menggunakan kata sifat “gentil” (baik hati) tetapi mengalami perubahan karena
adanya pengaruh dari kata bendanya yang memiliki gender yang berbeda.
Perubahan-perubahan seperti inilah disebut penyesuaian.
Hubungan kata sifat dan kata benda dalam bahasa Prancis hampir sama
seperti bahasa Indonesia, berstruktur "diterangkan-menerangkan" atau DM
seperti pada contoh “le livre blanc” (buku putih). Namun, dalam beberapa kasus,
hubungan kata sifat dan kata benda dalam bahasa Prancis dapat berpola
"menerangkan-diterangkan" atau MD seperti pada contoh “le gentil garçon”
(laki-laki yang baik hati) (Crocker, 2005: 23-37).
(e) Kata Keterangan
Kata keterangan dalam bahasa Prancis tidak berbeda jauh dengan bahasa
20
Indonesia yang sama-sama menerangkan kata kerja. Namun ada perbedaan dalam
merubah kata sifat menjadi kata keterangan misalnya dalam bahasa Indonesia
kata sifat "lambat" dapat diubah ke dalam kata keterangan dengan menambahkan
kata "dengan" menjadi "dengan cepat". Dalam bahasa Prancis, perubahan seperti
itu hanya menambahkan -ment pada kata sifat, contohnya “lent” (lambat)
menjadi “lentement” (dengan lambat).
Berbicara mengenai kata keterangan tempat, pasti berhubungan dengan
preposisi baik dalam bahasa Prancis maupun bahasa Indonesia. Namun, preposisi
dalam bahasa Prancis lebih kompleks karena preposisi juga bergantung pada
gender dan jumlah kata benda. Perhatikan contoh kalimat berikut :
(32) Je vais au marché.
„Saya pergi ke pasar.‟
(33) Je vais à la plage.
„Saya pergi ke pantai.‟
(34) Je vais aux États-Unis.
„Saya pergi ke Amerika Serikat.‟
Terlihat jelas bahwa preposisi “à” mengalami perubahan. Hal ini disebabkan
karena kata benda “marché” (pasar) yang berjenis kelamin maskula, kata benda
“plage” (pantai) yang berjenis kelamin femina, dan “États-Unis” (Amerika
Serikat) yang bersifat jamak. Hal serupa juga terjadi pada preposisi-preposisi
lainnya.
21
(f) Struktur Kalimat Bahasa Prancis
Pada dasarnya struktur kalimat bahasa Prancis dan bahasa Indonesia tidak
jauh berbeda. Namun, ada beberapa hal yang membuat struktur kalimat kedua
bahasa ini terlihat berbeda, seperti pada penggunaan kata kerja “être” (dalam
beberapa kasus), penempatan pronomina obyek langsung mau pun tak langsung,
dan bahkan dalam pembentukan kalimat negasi.
Pronomina obyek dalam bahasa Indonesia diletakkan sesudah kata kerja
(Chaer, 1998:91-92). Namun, hal tersebut tidak berlaku dalam bahasa Prancis.
S‟il y a un seul pronom conjoint, il se met devant le verbe (devant l‟auxiliaire
si le verbe est à un temps composé) (Grevisse, 1993:1005).
Grevisse (1993:1005) mengatakan bahwa jika hanya terdapat satu pronomina
yang menyertai, maka posisinya dalam suatu kalimat diletakkan di depan kata
kerja atau di depan kata kerja bantu dalam kala passé composé. Hal ini dapat
dilihat melalui contoh kalimat berikut :
(35) On le voit.
„Kami melihatnya.‟
(36) Nous vous avons donné la raison.
„Kami telah memberikan Anda alasannya.‟
Pronomina obyek langsung "le" diletakkan di depan kata kerja “voir”
(melihat) dan pronomina obyek tak langsung "vous" diletakkan di depan kata
kerja bantu, yaitu “avoir”.
22
Perbedaan lainnya yang dapat ditemukan dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Prancis adalah pembentukan kalimat negasi. Dalam bahasa Indonesia,
pembentukan kalimat negasi dapat dilakukan dengan membubuhkan kata "tidak"
atau "bukan" seperti pada contoh kalimat berikut ini :
(37) Saya tidak mengerti.
(38) Saya bukan seorang dokter.
Pembentukan kalimat negasi dalam bahasa Prancis bisa dikatakan lebih
kompleks dengan membubuhkan “ne...pas” di antara kata kerja maupun kata
kerja bantu (Hutagalung, 2004:9). Hal ini dapat dilihat melalui kalimat berikut :
(39) Vous ne comprenez pas.
„Anda tidak mengerti.‟
(40) Elle n’est pas sortie hier.
„Dia tidak keluar kemarin.‟
Struktur kalimat negasi antara bahasa Prancis dan bahasa Indonesia yang
berbeda ini kerap menimbulkan kesalahan bagi mahasiswa. Selanjutnya, hal yang
perlu diperhatikan untuk menghindari interferensi gramatikal struktural adalah
struktur minimal bahasa Prancis yang berpola SV (sujet + verbe) atau subyek dan
verba. Dengan kata lain, kedua unsur tersebut sangat penting. Jika diperhatikan
sekilas, struktur tersebut tidak jauh berbeda dengan struktur bahasa Indonesia,
namun mahasiswa sering melupakan verba “être” (kurang lebih seperti “to be”
23
dalam bahasa Inggris). Kata kerja ini merupakan salah satu verba terpenting
dalam bahasa Prancis karena penggunaannya yang sangat beragam, seperti
pembentukan kalimat pasif (Crocker, 2005:226), kata kerja bantu untuk beberapa
verba dalam passé composé (Crocker, 2005:153). Penggunaan verba ini sering
terlupakan jika diikuti oleh kata sifat dan kata benda sehingga struktur kalimat
yang dibuat menyerupai struktur kalimat bahasa Indonesia yang memang tidak
mengenal verba ini. Hal ini dapat dilihat melalui contoh kalimat bahasa Indonesia
pada kalimat (3) dan (4) di atas.
Subyek langsung diikuti kata sifat yang dapat berfungsi sebagai predikat
(Chaer, 1998:103) atau diikuti oleh kata benda yang juga berfungsi sebagai
predikat (Chaer, 1998:91-92). Namun, hal demikian tidak berlaku dalam bahasa
Prancis yang memerlukan verba “être” sebagai jembatan kedua kata tersebut,
contohnya :
(41) Je suis malade.
„Saya sakit.‟
(42) Elle est infirmière.
„Dia perawat.‟
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berfokus pada interferensi gramatikal mahasiswa Sastra Prancis
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada semester I (angkatan 2014) dan III
(angkatan 2013). Sampel data yang digunakan adalah tulisan mahasiswa semester I
24
dan III yang dijadikan UTS (Ujian Tengah Semester) mata kuliah Production Écrite
tahun ajaran 2014/2015.
1.7 Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu (1) tahap pengumpulan
data, (2) tahap analisis data, dan (3) tahap penyajian data (Sudaryanto 1999:5-8).
1.7.1 Tahap Pengumpulan Data
Sumber data didapat dari tulisan mahasiswa Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya
semester I dan III tahun ajaran 2014/2015 yang dijadikan UTS Production Écrite.
Metode yang digunakan adalah metode simak. Disebut “metode simak” atau
“penyimakan” karena memang berupa penyimakan: dilakukan dengan menyimak,
yaitu menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto 1999:133). Penulis menyimak
terhadap data-data yang diperoleh dari karya tulis tersebut. Teknik yang digunakan
adalah teknik catat. Penulis akan mencatat kesalahan-kesalahan gramatikal bahasa
Prancis yang terjadi.
1.7.2 Tahap Analisis Data
Metode yang dapat digunakan dalam upaya menemukan kaidah dalam tahap
analisis data ada dua, yaitu metode padan dan metode agih (Sudaryanto 1999:13).
Pada tahap ini, analisis data yang digunakan adalah metode padan. Metode padan,
25
alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang
bersangkutan (Sudaryanto 1999:13). Setelah mencatat kesalahan-kesalahan yang
terjadi,
penulis
akan
mencoba
mengklasifikasikan
jenis-jenisnya,
misalnya
interferensi gramatikal pronomina, interferensi gramatikal verba, kemudian
menganalisisnya.
1.7.3 Tahap Penyajian Data
Berdasarkan macamnya, metode penyajian data ada dua, yaitu yang bersifat
informal dan yang bersifat formal. Metode penyajian informal adalah perumusan
dengan kata-kata biasa; sedangkan penyajian formal adalah perumusan dengan tanda
dan lambang-lambang (Sudaryanto 1999:144-145). Pada tahap ini, metode yang
digunakan
adalah
metode
penyajian
informal
dengan
cara
memaparkan
kesalahan-kesalahan bahasa Prancis yang telah diklasifikasikan beserta analisisnya.
1.8 Sistematika Penyajian
Hasil penelitian ini bersifat tertulis dalam bentuk skripsi yang terdiri dari empat
bab. Bab I, yaitu Pendahuluan mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, ruang lingkup penelitian, metodologi
penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II membahas materi pengajaran bahasa
Prancis yang berisikan materi-materi yang sudah diajarkan kepada mahasiswa
semester I dan III akan menjadi parameter analisis data.
26
Bab III berisikan pemaparan kesalahan-kesalahan bahasa Prancis yang dilakukan
oleh mahasiswa semester I dan III berdasarkan data yang ada. Kemudian, bab IV
berisikan kesimpulan.
27
Download