BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Institutional Investor
Istilah institutional investor mengacu kepada investor yang dilengkapi
dengan manajemen profesional yang melakukan investasi atas nama pihak lain,
baik sekelompok individu maupun sekelompok organisasi (Brancato, 1997).
Kepemilikan institusioal ini memiliki pengaruh terhadap tata kelola perusahaan
atau corporate governance yang berfungsi untuk mengendalikan konflik agensi
(Jensen dan Meckling, 1976). Muncullnya investor institusional sebagai
pemegang saham ini diawali pada tahun 1980 di Amerika Serikat dengan
menguasai ekuitas berkisar 35% (Clay, Darin G., 2002). Angka ini terus
meningkat dan menjadi yang terbesar dengan kepemilikan saham lebih dari 50%
pada pasar saham Amerika pada tahun 2004 (Chen et al., 2007).
Investor memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan (monitoring)
terhadap manajemen. Investor institusional yang stabil lebih memilih untuk
melakukan monitoring dan mempengaruhi para manajer (Chen et al, 2007).
Dobrzynski (1995), Monks dan Minow (1995) menambahkan bahwa institusi
memiliki orientasi untuk memaksimalkan nilai jangka panjang daripada
menemukan tujuan jangka pendek.
Pemegang saham institusional memiliki keahlian yang lebih dibandingkan
dengan investor individu, terutama pemegang saham institusional mayoritas atau
diatas 5% (Erida, 2011). Keahlian investor institusional adalah mengurangi risiko
bias informasi dengan menekan perusahaan untuk mengungkap informasi dalam
8
9
waktu yang tepat (Elyasiani, Elyas et al, 2010). Dengan demikian, mereka
mendapatkan informasi yang valid tentang perkembangan bisnis perusahaan
investee nya.
Menurut
Faizal (2004),
perusahaan dengan kepemilikan
institusional yang besar mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor
manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien
pemanfaatan aktiva perusahaan yang diharapkan juga dapat bertindak sebagai
pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan
tersebut.
Signifikasi pengaruh institutional ownership sebagai agen pengawas
ditekankan melalui investasi mereka yang besar dalam perusahaan. Apabila
institusional merasa tidak puas atas kinerja manajerial, maka mereka akan
menjual sahamnya ke pasar (Gillan dan Starks, 2003).
Menurut Shleifer dan Vishny dalam Tendi Haruman (2008):
“Jumlah pemegang saham yang besar (large shareholders)
mempunyai arti penting dalam memonitor perilaku manajer dalam
perusahaan. Dengan adanya konsentrasi kepemilikan, maka para
pemegang saham besar seperti kepemilikan institusi akan dapat
memonitor tim manajemen secara lebih efektif dan nantinya dapat
mengingkatkan nilai perusahaan. Tingginya kepemilikan oleh institusi
akan meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan. Pengawasan
yang
tinggi
ini
akan
meminimalisasi
tingkat
penyelewenganpenyelewengan yang dilakukan oleh pihak manajemen
yang akan menurunkan nilai perusahaan. Selain itu, pemilik institusional
akan berusaha melakukan usaha-usaha positif guna meningkatkan nilai
perusahaan miliknya”
Konflik keagenan tidak dapat dihindarkan ketika investor dan manajer
memiliki kepentingan yang berbeda pada perusahaan. Dalam beberapa kasus,
terbukti bahwa manajer cenderung mementingkan keuntungan pribadi dengan
melindungi keuntungan mereka dari risiko perusahaan (Amihud dan Lev, 1981),
10
hanya berfokus pada proyek-proyek menguntungkan dalam jangka pendek
(Stein, 1989) dan melakukan upaya pertahanan (Shleifer dan Vishny, 1989)
sehingga dapat merugikan perusahaan dan pemegang saham.
Teori agensi (agency theory) menjelaskan bahwa manajemen dan
pemegang saham memang memiliki tujuan yang berbeda. Pemegang saham
memiliki tujuan untuk memaksimalkan keuntungan saham dari perusahaannya,
sedangkan manajer ingin memaksimalkan kepemilikan pribadinya. Namun
karena tidak ada pemantauan yang tepat untuk menyejajarkan perbedaan
tersebut, maka manajer dengan leluasa menmanfaatkan kebijakan dan
kekuasaan untuk mengambil alih perusahaan dan merusak kepentingan
pemegang saham atau pemilik (Jensen dan Meckling, 1976).
Dalam banyak kasus, manajer sering melakukan manipulasi.
Manipulasi
data
kinerja
merupakan
suatu
upaya
manajemen
untuk
menggunakan suatu keputusan tertentu untuk mengubah laporan keuangan
dengan tujuan untuk menyesatkan pemegang saham yang ingin mengetahui
kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang
mengandalkan angka akuntansi yang dilaporkannya (Healy dan Wahlen, 1998;
DuCharme et al., 2000). Maka dari itu dibutuhkan struktur kepemilikan yang jelas
dalam perusahaan. Struktur kepemilikan adalah salah satu dari mekanisme
corporate governance yang digunakan secara luas untuk menyelesaikan
masalah perbedaan kepentingan ini (Jensen dan Meckling, 1976; Fama dan
Jensen, 1983).
Dalam melakukan monitoring, investor institusional tidak bekerja sendiri.
Investor menggunakan badan independen berupa komite audit atau komite
manajemen risiko untuk memverifikasi informasi yang diberikan manajemen
11
kepada pihak perusahaan, serta memastikan apakah agent bertindak sesuai
kepentingan principal dengan melaporkan secara akurat semua aktivitas yang
telah ditugaskan kepada manajer (Jensen dan Meckling, 1976). Uraian tersebut
diatas memberi penjelasan bahwa auditor atau komite merupakan pihak yang
dianggap dapat menjembatani kepentingan pihak pemegang saham (principal)
dengan pihak manajer (agent) dalam mengelola keuangan perusahaan termasuk
menilai kelayakan strategi manajemen dalam upaya untuk mengatasi kesulitan
keuangan perusahaan. Dengan adanya kontrol yang ketat, menyebabkan
manajer menggunakan utang pada tingkat rendah untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya financial distress dan risiko kebangkrutan (Crutcley,
1999).
Elyas Elyasiani et al (2010) menemukan fakta bahwa kestabilan
pemegang saham memberikannya kuasa yang lebih besar untuk membuat
monitoring menjadi lebih efektif, mereka memainkan kebijakan yang tepat untuk
mengurangi permasalahan agensi dan risiko informasi daripada investor yang
lain.
Investor
institusional
dengan
saham
yang
stabil
kemungkinan
mempertimbangkan investasi jangka panjang dengan mendorong para manajer
untuk dapat mengindari perilaku menyimpang mereka dan fokus pada kinerja
jangka panjang perusahaan (Stein, 1989).
Dalam
kehadiran
beberapa
institutional
penelitian
investor
sebelumnya
akan
mengemukakan
meningkatkan
kedisiplinan
bahwa
dalam
perusahaan karena mereka bersikap tegas terhadap manajemen. Koh (2003,
2007), Ben Kraiem (2008), Jarboui dan Njah (2010) menemukan bahwa investor
berperan aktif dalam monitoring dan menerapkan kedisiplinan dalam kebijakan
12
manajerial, penelitian yang lain mengemukakan bahwa mereka akan mendorong
manajerial untuk mengadopsi strategi manajemen pendapatan secara agresif
(Cheng dan Reitenga, 2001; Koh, 2003; Lipson, Kedia dan Burns, 2006; Koh,
2007).
2.1.2
Risiko
Risiko merupakan kemungkinan hasil yang diperoleh menyimpang dari
yang diharapkan (Hanafi, Mahmud M., 2009). Risiko ini muncul karena
ketidakpastian. Dan untuk mengukurnya dapat menggunakan deviasi standar.
Deviasi standar merupakan alat statistik yang dapat digunakan untuk mengukur
risiko (Hanafi, Mahmud M., 2009). Ketidakpastian ini dapat tercermin dari
fluktuasi pergerakan yang tinggi, semakin tinggi fluktuasi,maka semakin besar
ketidakpastiannya.
Mahmud M.Hanafi (2009) berpendapat bahwa adanya fluktuasi ini
dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor :
1.
Globalisasi dunia
2.
Liberalisasi dunia
3.
Pemrosesan informasi yang semakin cepat, reaksi investor yang semakin
cepat.
Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
risiko
memiliki
kecenderungan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Risiko ini dapat bersifat
obyektif, artinya bahwa risiko ini didasarkan pada observasi parameter yang
obyektif, misalnya tingkat keuntungan investasi di pasar modal yang diukur
melalui standar deviasi (Hanafi, Mahmud M., 2009).
13
Banyak institusi yang mengutamakan pengembalian nilai yang lebih
tinggi, bahkan mungkin melakukan tindakan yang curang dan menggunakan
aktivitas peminjaman yang berisiko tanpa penanganan risiko yang tepat, yang
menyebabkan terjadinya asimetri informasi yang besar dan membuat sistem
finasial tidak stabil (Morgan, 2002). Kebangkrutan perusahaan dan kecerobohan
dalam sektor keuangan mengilustrasikan bahwa dalam membangun sistem
keuangan masih terdapat risiko sistemik, kelemahan, dan kesalahan karena
corporate governance yang menjadi lemah (Alexander, 2006).
Perusahaan dengan kualitas corporate governance yang buruk tidak
memiliki cukup insentif dan kendali yang dapat meningkatkan nilai pemegang
saham (Diamond dan Rajan, 2009). Graham dan Narasimhan (2004)
menyatakan bahwa perusahaan dengan pemerintahan yang baik kemungkinan
membuat keputusan yang tepat dan mengurangi efek negatif dari krisis.
Pemilihan risiko perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh struktur
kompensasi manajerial, namun juga keuntungan pribadi yang akan didapat,
termasuk cash flow perusahaan yang direncanakan untuk keuntungan diri sendiri
(John et al, 2008) hal ini merupakan salah satu kecurangan yang sering
dilakukan manajer dalam mengelola risiko perusahaan. Mereka menggunakan
kewenangannya untuk memperkaya diri dengan mengesampingkan profit untuk
perusahaan secara menyeluruh.
Berbeda dengan investor institusional, manajer senang bermain aman
dengan mengambil proyek-proyek jangka pendek yang memiliki risiko rendah
namun menguntungkannya secara pribadi, sedangkan investor institusional
memilih proyek berisiko tinggi untuk keuntungan perusahaan untuk jangka
panjang. Fama (1980) mengemukakan bahwa corporate governance yang lemah
14
akan membebaskan manajer untuk mengambil risiko yang lebih rendah. Namun
berbeda dengan penemuan Pornsit Jiraporn et al (2015) bahwa lemahnya
corporate governance berhubungan dengan pengambilan risiko yang lebih tinggi
oleh manajer. Mereka berargumen bahwa manajer akan mengambil lebih banyak
risiko
dengan
ekspektasi
yang
mengarah
pada
kompensasi
yang
menguntungkan untuk mereka. Selain itu manajer menikmati kebebasan dalam
merumuskan kebijakan perusahaan ketika pengelolaan perusahaan menjadi
lemah.
Dengan corporate governance yang lemah, manajer hanya akan sedikit
berkompromi dengan para pemegang saham dalam mengambil keputusan
dengan hasil yang tidak seimbang. Keputusan dapat sangat baik atau sangat
buruk. Paling ekstrim ketika keputusan tersebut merubah kinerja perusahaan dan
memiliki risiko yang terlalu tinggi (Adams et al, 2005).
Maka dari itu dibutuhkan corporate governance yang kuat dalam
perusahaan,
hal
ini
tercermin
dari
kabijakan
manajemen
risiko
(risk
management). Corporate governance yang kuat efektif melindungi pemegang
saham dari pengambilan risiko yang tidak menentu. Sebaliknya, corporate
governance yang lemah membuat manajer mengambil risiko yang berlebihan,
yang seringkali membahayakan perusahaan (Jiraporn, Pornsit et al., 2015).
Dalam teori agensi dijelaskan bahwa sangat kontras ada perbedaan
tujuan antara manajer dan pemegang saham. Tanpa adanya monitoring dari
pemegang saham, manajer memiliki kecenderungan untuk menolak proyek
berisiko tinggi yang menguntungkan seperti yang diinginkan investor (Jensen
dan Meckling, 1976; Subramaniam et al., 2009). Untuk menyeimbangkan
proporsi pengambilan risiko, maka dibutuhkan kebijakan manajemen risiko yang
15
tepat. Kebijakan ini dapat diambil oleh komite manajemen risiko atau komite
audit yang bertanggungjawab untuk melakukan monitoring dan mengantisipasi
kesalahan perusahaan dalam aktivitas yang berkaitan dengan risiko perusahaan.
Komite ini mengurangi pengambilan risiko yang berlebihan dan probabilitas
kegagalan sistem perusahaan yang penting dan berpengaruh pada keuntungan
investor yang terdiversifikasi (Tao, Ngoc Bich dan Hutchinson, Marion, 2013).
Namun tidak menutup kemungkinan kebijakan tersebut secara langsung diambil
oleh direksi (Hutchinson, Marion et al, 2015).
Gordon (2010:4) menjelaskan cara berpikir investor yang terdiversifikasi
terhadap risiko : “Kompetitor dari perusahaan yang gagal mungkin bertindak
lebih baik, supplier terhadap perusahaan yang gagal mungkin berlaku lebih
buruk, namun konsekuensinya tidak memihak. Jika semua perusahaan
mengambil taruhan yang baik, bagaimanapun juga, rata-rata investor
terdifersifikasi akan lebih baik.”
Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya oleh Marion
Hutchinson et al (2015), di mana risiko diukur dengan deviasi standar dari retur
saham harian perusahaan untuk masing-masing tahun fiskal. Ini juga dinyatakan
sebagai deviasi standar dari biaya retur ekuitas perusahaan. Risiko disini meliputi
risiko systematic dan unsystematic (Carr, 1997) dan telah digunakan secara luas.
Mengontrol risiko disini menggunakan net of industry risk (INDADJSTD), yang
menghasilkan ukuran lebih dekat untuk risiko tertentu dari perusahaan
(Hutchinson, Marion et al, 2015).
2.1.3
Manajemen Risiko
Manajemen risiko merupakan seperangkat kebijakan, prosedur yang
lengkap,
yang
dipunyai
organisasi,
untuk
mengelola,
memonitor,
dan
16
mengendalikan eksposur organisasi terhadap risiko (SBC Warburg, 2004).
Proses manajemen risiko organisasi menurut Mahmud Hanafi M (2009) meliputi :

Perencanaan yaitu penetapan tujuan, misi, penetapan target,
penyusunan kebijakan dan prosedur.

Pelaksanaan yaitu identifikasi dan pengukuran risiko.

Pengendalian
yaitu
melakukan
evaluasi,
pelaporan,
dan
komunikasi.

Maksimalisasi nilai perusahaan.
Kebijakan manajemen risiko (management risk) merupakan penerapan
corporate governance dalam perusahaan (Hutchinson, Marion et al, 2015).
Banyak perusahaan memiliki komite manajemen risiko
yang secara khusus
bertugas sebagai unit penasehat perusahaan tentang risiko tertentu dan strategi
penanganan risiko di masa yang akan datang (Walker, 2009) dan hal ini mampu
menggeser biaya monitoring dari investor institusional. Pembangunan komite
manajemen risiko di Indonesia mulai meningkat, khususnya setelah beredarnya
beberapa peraturan yang terkait dengan kewajiban pendirian komite manajemen
risiko (Badriyah, Nurul et al, 2015).
Cai et al (2015) menemukan fakta bahwa perusahaan dengan hubungan
keagenan yang baik, tata kelola yang baik dan kepemilikan yang terkonsentrasi,
pasti mempunyai komite audit untuk mengendalikan risiko perusahaan.
Tujuan utaman manajemen risiko adalah memaksimalkan nilai pemegang
saham (CAS, 2003; COSO, 2004; Beasley et al, 2008; Pagach dan Warr, 2011;
Hoyt dan Liebenberg, 2011). Serangkaian kegagalan perusahaan, skandal
perusahaan, dan penipuan merupakan alasan bagi perusahaan untuk secara
efektif melaksanakan program manajemen risiko. Kegagalan perusahaan
17
disebabkan oleh lemahnya manajemen risiko dan corporate governance (Quon,
Tony K et al, 2012). Corporate governance dan manajemen risiko saling
berpengaruh dan berhubungan. Stabilitas dan perbaikan kinerja perusahaan
secara dependen efektif dipengaruhi kedua komponen tersebut (Sobel dan
Reding, 2004; Manab et al.,2010)
Corporate
governance
dalam
sebuah
perusahaan
menjelaskan
bagaimana praktik manajemen dan proses pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan formasi khusus yang mengatur komite untuk memonitor
proses manajemen risiko (Badriyah, Nurul et al, 2015). Ukuran yang besar dari
komisaris memperbolehkan pembentukan banyak komite termasuk komite
manajemen risiko (Carson, 2002; Chen et al., 2009 dalam Januarti, 2012).
Selanjutnya, keberadaan komisaris akan mendorong pembentukan komite
manajemen risiko karena komisaris independen menemukan komite tersebut
penting untuk membantunya menjalankan tanggungjawabnya.
Perusahaan
dengan
proporsi
komisaris
independen
yang
tinggi
cenderung lebih memperhatikan risiko perusahaan dibandingkan dengan
perusahaan yang memiliki proporsi direktur independen yang rendah (Sullivan,
1997 dalam Husaini et al, 2013).
Ukuran perusahaan dapat dilihat dari total aset. Perusahaan yang besar
memiliki aset dalam jumlah yang besar dan akan memiliki risiko yang lebih besar,
maka dari itu perusahaan yang besar ini lebih memilih untuk membentuk komite
manajemen
risiko
(Mirawati,
2014).
Komite
manajemen
risiko
bertanggungjawab untuk melakukan pemeriksaan, pegawasan dan
ini
menilai
prinsip dan kebijakan, strategi, proses, mengendalikan manajemen risiko,
18
sehingga risiko yang dihadapi perusahaan dapat dikurangi dan bahkan
dihilangkan untuk meningkatkan kinerja perusahaan (Kaplan, 2008)
Ada 3 (tiga) rangking manajemen risiko untuk perusahaan berdasarkan
pihak yang mengambil kebijakan. Rangking tertinggi dengan kebijakan formal
Enterprise Risk Management (ERM) yang mendelegasikan komite terpisah dari
direksi (rangking 2), perusahaan dengan kebijakan ERM formal namun tidak
memisahkan komite/ kebijakan diambil oleh direksi (rangking 1), dan perusahaan
yang tidak memiliki kebijakan ERM formal merupakan rangking terendah (0)
(Hutchinson, Marion et al, 2015).
2.1.4
Kinerja Kuangan
Kinerja perusahaan dapat dinyatakan dengan berbagai cara. Dalam
penelitian ini, kinerja diukur dengan retur dari aset (ROA) (Hutchinson, Marion et
al, 2015). Kinerja (ROAt) dipengaruhi oleh risiko yang diambil atas suatu proyek.
ROAt merupakan sebuah indikasi kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
pendapatan berdasarkan perhitungan akuntansi dalam jumlah yang diperlukan
dari beban aktual dari portofolio aset yang dinyatakan sebagai pelunasan
historical costs (Carter et al, 2010)
Investor institusional berada di bawah tekanan untuk menunjukkan
retur jangka pendek, sebagai keuntungan mereka yang dapat ditinjau setiap
triwulan, atau secara keseluruhan dalam hasil kinerja tahunan (Aguilera et al,
2007; Baysinger et al, 1991; Graves, 1988). Investor ini mendorong investasi
yang menghasilkan profit, seperti merger dan akuisisi, untuk memelihara daya
19
saing jangka pendek daripada mengambil pandangan jangka panjang dalam
keputusan investasinya (Graves, 1988).
Kinerja perusahaan dapat dipengaruhi oleh pemilihan risiko. Risiko
merupakan ukuran dari informasi dan faktor potensial yang berpengaruh
(Hutchinson, Marion et al, 2015). Risiko yang berlebihan membuat perusahaan
mengalami kesulitan dalam memenuhi target sehingga berpotensi memperburuk
kinerja itu sendiri. Bowman (1980) menyatakan bahwa perusahaan yang makmur
akan menghindari investasi dengan risiko yang tinggi karena konsekuensi
kegagalan akan mempengaruhi reputasinya, saat kinerja perusahaan lemah,
mereka justru akan mengejar investasi berisiko dengan harapan bahwa retur
yang tinggi akan membalikkan kinerja yang buruk.
Kinerja menjadi salah satu faktor yang dinilai oleh calon investor untuk
menentukan layak tidaknya perusahaan untuk berinvestasi. Kinerja ini dapat
dijadikan alat untuk memprediksi bagaimana kemampuan perusahaan dalam
mendapatkan profit. Ada dugaan yang menyatakan bahwa pemegang saham
institusional lebih senang dalam mempengaruhi hubungan risiko/ kinerja dan
melakukan voting apabila permintaannya tidak dipenuhi (Johnson et al, 2010).
Callen dan Fang (2013) menambahkan bahwa kepemilikan institusional ini
memiliki motivasi yang sangat besar untuk melakukan pengawasan terhdadap
risiko/ retur pada perusahaan investee nya.
20
2.2
Penelitian Terdahulu
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya yang
dilakukan Marion Hutchinson et al (2015). Penelitian tersebut menggunakan
institutional investor sebagai variabel utama yang mempengaruhi risiko,
manajamene risiko, dan kinerja dalam perusahaan sebagai variabel-variabel
dependen. Dengan sampel perusahaan manufaktur di Australia pada masa krisis
ekonomi global 2006-2008. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa
investor institusional memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ke 3 (tiga)
variabel tersebut.
Dijelaskan bahwa investor institusional ini berpengaruh signifikan dan
berhubungan positif terhadap risiko spesifik perusahaan yang diproksikan
dengan INDADJSTD. Artinya bahwa semakin tinggi proporsi kepemilikan
institusional dalam perusahaan, akan meningkatkan risiko perusahaan karena
investor akan mendorong manajemen untuk mengambil proyek-proyek dengan
risiko yang tinggi dengan harapan akan memperoleh retur atau keuntungan yang
besar.
Investor institusional ini memilih untuk melakukan diversifikasi modal
atau investasi pada sejumlah perusahaan dan membentuk portofolio saham. Hal
ini dilakukan untuk mengurangi risiko kegagalan investasi. Ketika satu
perusahaan investee nya mengalami krisis atau kegagalan dalam bisnis, maka
investor tidak mengalami dampak yang signifikan karena masih mendapatkan
keuntungan saham dari perusahaan-perusahaan lain. Dengan alasan tersebut,
investor institusional berani mengambil proyek-proyek yang berisiko tinggi pada
perusahaan investee nya.
21
Selain itu, ukuran kepemilikan saham institusional yang semakin
besar memiliki potensi untuk mengendalikan kebijakan manajemen risiko.
Investor akan menekan perusahaan untuk melakukan pengawasan terhadap
risiko dan meningkatkan kinerja jangka panjang.dalam penelitiannya, Marion
Hutchinson et al (2015) menunjukkan keahlian investor institusional dalam
mengelola
investasi
dan
perusahaan
investee
nya.
Mereka
mampu
mengumpulkan banyak informasi dan mempengaruhi keputusan manajerial,
serta mampu meningkatkan kinerja perusahaan dalam kondisi krisis.
Investor institusional dengan orientasi peningkatan nilai perusahaan,
akan mendorong kinerja perusahaan untuk menghasilkan profit yang lebih besar.
Mereka secara aktif melakukan monitoring terhadap kinerja dan mengarahkan
manajemen untuk terus meningkatkan kualitas. Hasil penelitian Marion
Hutchinson et al (2015), investor institusional terbukti berpengaruh signifikan
terhadap kinerja perusahaan.
2.3
Perumusan Hipotesis
2.3.1
Kepemilikan Institusional Terhadap Risiko Spesifik Perusahaan
Dalam capital asset pricing model (CAPM) sederhana mempercayai
bahwa tidak ada keuntungan ekonomi terhadap investor terdiversifikasi dari
pengurangan risiko spesifik perusahaan, karena mereka tidak akan menerima
premi risiko pada asetnya. Portofolio yang terdiversifikasi melindungi investor
dari kerugian. Maka pengambilan risiko yang berlebihan atau terlalu tinggi
sebenarnya tidak menjadi masalah untuk investor karena kegagalan satu
perusahaan tidak mempengaruhi portofolio saham investor secara langsung
(Hutchinson, Marion et al, 2015 )
22
Maka dari itu, perusahaan akan mengambil lebih banyak proyek berisiko
tinggi untuk menarik investasi institusional yang lebih besar. Ini menggambarkan
bahwa adanya hubungan positif antara ukuran kepemilikan institusional dan
risiko spesifik perusahaan (Jensen & Meckling, 1976; Pathan, 2009).
H1 : Kepemilikan institusional berhubungan dengan tingkat risiko
perusahaan.
2.3.2
Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Risiko Perusahaan
Berkebalikan dengan prinsip CAPM, dalam teori portofolio modern
menyebutkan bahwa investor akan meminimalisasikan risiko untuk retur yang
diharapkan dengan memilih proporsi serangkaian aset secara hati-hati. Teori ini
menyatakan bahwa semakin besar investor institusional kemungkinan akan
mengurangi risiko spesifik perusahaan karena adanya konsekuensi kegagalan
perusahaan dan mewaspadai pengambilan risiko yang berlebihan (Gordon dan
Muller, 2011).
Investor institusional dengan jumlah kepemilikan saham yang besar
memiliki dorongan langsung untuk mendapatkan informasi yang luas pada
praktik manajemen risiko di perusahaan-perusahaan yang menjadi portofolio
sahamnya dan melakukan respon untuk keluar atau menahan investasi (Ho,
Harper, 2010). Mereka memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak
langsung melalui penjualan sahamnya di perusahaan (Gillan dan Starks, 2003).
Penjualan saham dalam jumlah besar oleh investor dapat menyebabkan
penurunan harga saham yang diinterpretasikan sebagai bad news, sehingga
23
mempengaruhi investor lain untuk menjual saham mereka, selanjutnya
mendorong penurunan harga saham (Baysinger et al, 1991; Parrino et al, 2003).
Marion Hutchinson et al (2015) berpendapat bahwa investor
institusional akan meningkatkan investasinya pada perusahaan yang memiliki
kebijakan manajemen risiko yang komperhensif.
H2 : Ukuran kepemilikan institusional berhubungan positif dengan
kebijakan manajemen risiko perusahaan yang kopmerhensif.
2.3.3
Kepemilikan Institusional Terhadap Kinerja Perusahaan
Pemegang saham institusional dalam sebuah perusahaan akan
mempengaruhi risiko dan kinerja (Johnson et al, 2010). Semakin besar proporsi
saham yang mereka miliki, akan membuat mereka melakukan monitoring secara
aktif pada kinerja perusahaan dan bereaksi terhadap risiko dengan potensi yang
dapat menghambat kinerjanya (Callen dan Fang, 2013).
Kinerja dalam penelitian ini dinyatakan dalam retur aset. Raynor et al
(2010) menemukan bahwa retur yang lebih tinggi membawa risiko yang lebih
rendah,namun sebaliknya, retur yang lebih rendah membawa risiko yang lebih
tinggi.
H3 : ukuran kepemilikan institusional memiliki hubungan positif dengan
kinerja perusahaan.
24
2.4
Kerangka Penelitian
Kerangka pemikiran merupakan alur pemikiran penelitian dalam
menjawab masalah penelitian yang dinyatakan dalam bentuk skema dan
memuat pokok-pokok unsur penelitian tersebut. Kerangka pemikiran ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
NETGEARING
ALLINST
INDADJSTD
LNTA
RISKMGT
NETINTCOV
KETERANGAN :
ALLINST = kepemilikan institusional
INDADJSTD = risiko spesifik perusahaan
NETGEARING = net gearing
NETINTCOV = net of interest coverage
RISKMGT = manajemen risiko
ROAt
ROAt-1
LNMKTCAP
INDY
25
LNTA = logaritma total aset
ROAt = kinerja tahun tertentu
ROAt-1 = kinerja tahun sebelumnya
INDY = dummy industri
LNMKTCAP = logaritma dari capital market
Download