BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Institutional Investor Istilah institutional investor mengacu kepada investor yang dilengkapi dengan manajemen profesional yang melakukan investasi atas nama pihak lain, baik sekelompok individu maupun sekelompok organisasi (Brancato, 1997). Kepemilikan institusioal ini memiliki pengaruh terhadap tata kelola perusahaan atau corporate governance yang berfungsi untuk mengendalikan konflik agensi (Jensen dan Meckling, 1976). Muncullnya investor institusional sebagai pemegang saham ini diawali pada tahun 1980 di Amerika Serikat dengan menguasai ekuitas berkisar 35% (Clay, Darin G., 2002). Angka ini terus meningkat dan menjadi yang terbesar dengan kepemilikan saham lebih dari 50% pada pasar saham Amerika pada tahun 2004 (Chen et al., 2007). Investor memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan (monitoring) terhadap manajemen. Investor institusional yang stabil lebih memilih untuk melakukan monitoring dan mempengaruhi para manajer (Chen et al, 2007). Dobrzynski (1995), Monks dan Minow (1995) menambahkan bahwa institusi memiliki orientasi untuk memaksimalkan nilai jangka panjang daripada menemukan tujuan jangka pendek. Pemegang saham institusional memiliki keahlian yang lebih dibandingkan dengan investor individu, terutama pemegang saham institusional mayoritas atau diatas 5% (Erida, 2011). Keahlian investor institusional adalah mengurangi risiko bias informasi dengan menekan perusahaan untuk mengungkap informasi dalam 8 9 waktu yang tepat (Elyasiani, Elyas et al, 2010). Dengan demikian, mereka mendapatkan informasi yang valid tentang perkembangan bisnis perusahaan investee nya. Menurut Faizal (2004), perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan yang diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan tersebut. Signifikasi pengaruh institutional ownership sebagai agen pengawas ditekankan melalui investasi mereka yang besar dalam perusahaan. Apabila institusional merasa tidak puas atas kinerja manajerial, maka mereka akan menjual sahamnya ke pasar (Gillan dan Starks, 2003). Menurut Shleifer dan Vishny dalam Tendi Haruman (2008): “Jumlah pemegang saham yang besar (large shareholders) mempunyai arti penting dalam memonitor perilaku manajer dalam perusahaan. Dengan adanya konsentrasi kepemilikan, maka para pemegang saham besar seperti kepemilikan institusi akan dapat memonitor tim manajemen secara lebih efektif dan nantinya dapat mengingkatkan nilai perusahaan. Tingginya kepemilikan oleh institusi akan meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan. Pengawasan yang tinggi ini akan meminimalisasi tingkat penyelewenganpenyelewengan yang dilakukan oleh pihak manajemen yang akan menurunkan nilai perusahaan. Selain itu, pemilik institusional akan berusaha melakukan usaha-usaha positif guna meningkatkan nilai perusahaan miliknya” Konflik keagenan tidak dapat dihindarkan ketika investor dan manajer memiliki kepentingan yang berbeda pada perusahaan. Dalam beberapa kasus, terbukti bahwa manajer cenderung mementingkan keuntungan pribadi dengan melindungi keuntungan mereka dari risiko perusahaan (Amihud dan Lev, 1981), 10 hanya berfokus pada proyek-proyek menguntungkan dalam jangka pendek (Stein, 1989) dan melakukan upaya pertahanan (Shleifer dan Vishny, 1989) sehingga dapat merugikan perusahaan dan pemegang saham. Teori agensi (agency theory) menjelaskan bahwa manajemen dan pemegang saham memang memiliki tujuan yang berbeda. Pemegang saham memiliki tujuan untuk memaksimalkan keuntungan saham dari perusahaannya, sedangkan manajer ingin memaksimalkan kepemilikan pribadinya. Namun karena tidak ada pemantauan yang tepat untuk menyejajarkan perbedaan tersebut, maka manajer dengan leluasa menmanfaatkan kebijakan dan kekuasaan untuk mengambil alih perusahaan dan merusak kepentingan pemegang saham atau pemilik (Jensen dan Meckling, 1976). Dalam banyak kasus, manajer sering melakukan manipulasi. Manipulasi data kinerja merupakan suatu upaya manajemen untuk menggunakan suatu keputusan tertentu untuk mengubah laporan keuangan dengan tujuan untuk menyesatkan pemegang saham yang ingin mengetahui kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka akuntansi yang dilaporkannya (Healy dan Wahlen, 1998; DuCharme et al., 2000). Maka dari itu dibutuhkan struktur kepemilikan yang jelas dalam perusahaan. Struktur kepemilikan adalah salah satu dari mekanisme corporate governance yang digunakan secara luas untuk menyelesaikan masalah perbedaan kepentingan ini (Jensen dan Meckling, 1976; Fama dan Jensen, 1983). Dalam melakukan monitoring, investor institusional tidak bekerja sendiri. Investor menggunakan badan independen berupa komite audit atau komite manajemen risiko untuk memverifikasi informasi yang diberikan manajemen 11 kepada pihak perusahaan, serta memastikan apakah agent bertindak sesuai kepentingan principal dengan melaporkan secara akurat semua aktivitas yang telah ditugaskan kepada manajer (Jensen dan Meckling, 1976). Uraian tersebut diatas memberi penjelasan bahwa auditor atau komite merupakan pihak yang dianggap dapat menjembatani kepentingan pihak pemegang saham (principal) dengan pihak manajer (agent) dalam mengelola keuangan perusahaan termasuk menilai kelayakan strategi manajemen dalam upaya untuk mengatasi kesulitan keuangan perusahaan. Dengan adanya kontrol yang ketat, menyebabkan manajer menggunakan utang pada tingkat rendah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya financial distress dan risiko kebangkrutan (Crutcley, 1999). Elyas Elyasiani et al (2010) menemukan fakta bahwa kestabilan pemegang saham memberikannya kuasa yang lebih besar untuk membuat monitoring menjadi lebih efektif, mereka memainkan kebijakan yang tepat untuk mengurangi permasalahan agensi dan risiko informasi daripada investor yang lain. Investor institusional dengan saham yang stabil kemungkinan mempertimbangkan investasi jangka panjang dengan mendorong para manajer untuk dapat mengindari perilaku menyimpang mereka dan fokus pada kinerja jangka panjang perusahaan (Stein, 1989). Dalam kehadiran beberapa institutional penelitian investor sebelumnya akan mengemukakan meningkatkan kedisiplinan bahwa dalam perusahaan karena mereka bersikap tegas terhadap manajemen. Koh (2003, 2007), Ben Kraiem (2008), Jarboui dan Njah (2010) menemukan bahwa investor berperan aktif dalam monitoring dan menerapkan kedisiplinan dalam kebijakan 12 manajerial, penelitian yang lain mengemukakan bahwa mereka akan mendorong manajerial untuk mengadopsi strategi manajemen pendapatan secara agresif (Cheng dan Reitenga, 2001; Koh, 2003; Lipson, Kedia dan Burns, 2006; Koh, 2007). 2.1.2 Risiko Risiko merupakan kemungkinan hasil yang diperoleh menyimpang dari yang diharapkan (Hanafi, Mahmud M., 2009). Risiko ini muncul karena ketidakpastian. Dan untuk mengukurnya dapat menggunakan deviasi standar. Deviasi standar merupakan alat statistik yang dapat digunakan untuk mengukur risiko (Hanafi, Mahmud M., 2009). Ketidakpastian ini dapat tercermin dari fluktuasi pergerakan yang tinggi, semakin tinggi fluktuasi,maka semakin besar ketidakpastiannya. Mahmud M.Hanafi (2009) berpendapat bahwa adanya fluktuasi ini dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor : 1. Globalisasi dunia 2. Liberalisasi dunia 3. Pemrosesan informasi yang semakin cepat, reaksi investor yang semakin cepat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa risiko memiliki kecenderungan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Risiko ini dapat bersifat obyektif, artinya bahwa risiko ini didasarkan pada observasi parameter yang obyektif, misalnya tingkat keuntungan investasi di pasar modal yang diukur melalui standar deviasi (Hanafi, Mahmud M., 2009). 13 Banyak institusi yang mengutamakan pengembalian nilai yang lebih tinggi, bahkan mungkin melakukan tindakan yang curang dan menggunakan aktivitas peminjaman yang berisiko tanpa penanganan risiko yang tepat, yang menyebabkan terjadinya asimetri informasi yang besar dan membuat sistem finasial tidak stabil (Morgan, 2002). Kebangkrutan perusahaan dan kecerobohan dalam sektor keuangan mengilustrasikan bahwa dalam membangun sistem keuangan masih terdapat risiko sistemik, kelemahan, dan kesalahan karena corporate governance yang menjadi lemah (Alexander, 2006). Perusahaan dengan kualitas corporate governance yang buruk tidak memiliki cukup insentif dan kendali yang dapat meningkatkan nilai pemegang saham (Diamond dan Rajan, 2009). Graham dan Narasimhan (2004) menyatakan bahwa perusahaan dengan pemerintahan yang baik kemungkinan membuat keputusan yang tepat dan mengurangi efek negatif dari krisis. Pemilihan risiko perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh struktur kompensasi manajerial, namun juga keuntungan pribadi yang akan didapat, termasuk cash flow perusahaan yang direncanakan untuk keuntungan diri sendiri (John et al, 2008) hal ini merupakan salah satu kecurangan yang sering dilakukan manajer dalam mengelola risiko perusahaan. Mereka menggunakan kewenangannya untuk memperkaya diri dengan mengesampingkan profit untuk perusahaan secara menyeluruh. Berbeda dengan investor institusional, manajer senang bermain aman dengan mengambil proyek-proyek jangka pendek yang memiliki risiko rendah namun menguntungkannya secara pribadi, sedangkan investor institusional memilih proyek berisiko tinggi untuk keuntungan perusahaan untuk jangka panjang. Fama (1980) mengemukakan bahwa corporate governance yang lemah 14 akan membebaskan manajer untuk mengambil risiko yang lebih rendah. Namun berbeda dengan penemuan Pornsit Jiraporn et al (2015) bahwa lemahnya corporate governance berhubungan dengan pengambilan risiko yang lebih tinggi oleh manajer. Mereka berargumen bahwa manajer akan mengambil lebih banyak risiko dengan ekspektasi yang mengarah pada kompensasi yang menguntungkan untuk mereka. Selain itu manajer menikmati kebebasan dalam merumuskan kebijakan perusahaan ketika pengelolaan perusahaan menjadi lemah. Dengan corporate governance yang lemah, manajer hanya akan sedikit berkompromi dengan para pemegang saham dalam mengambil keputusan dengan hasil yang tidak seimbang. Keputusan dapat sangat baik atau sangat buruk. Paling ekstrim ketika keputusan tersebut merubah kinerja perusahaan dan memiliki risiko yang terlalu tinggi (Adams et al, 2005). Maka dari itu dibutuhkan corporate governance yang kuat dalam perusahaan, hal ini tercermin dari kabijakan manajemen risiko (risk management). Corporate governance yang kuat efektif melindungi pemegang saham dari pengambilan risiko yang tidak menentu. Sebaliknya, corporate governance yang lemah membuat manajer mengambil risiko yang berlebihan, yang seringkali membahayakan perusahaan (Jiraporn, Pornsit et al., 2015). Dalam teori agensi dijelaskan bahwa sangat kontras ada perbedaan tujuan antara manajer dan pemegang saham. Tanpa adanya monitoring dari pemegang saham, manajer memiliki kecenderungan untuk menolak proyek berisiko tinggi yang menguntungkan seperti yang diinginkan investor (Jensen dan Meckling, 1976; Subramaniam et al., 2009). Untuk menyeimbangkan proporsi pengambilan risiko, maka dibutuhkan kebijakan manajemen risiko yang 15 tepat. Kebijakan ini dapat diambil oleh komite manajemen risiko atau komite audit yang bertanggungjawab untuk melakukan monitoring dan mengantisipasi kesalahan perusahaan dalam aktivitas yang berkaitan dengan risiko perusahaan. Komite ini mengurangi pengambilan risiko yang berlebihan dan probabilitas kegagalan sistem perusahaan yang penting dan berpengaruh pada keuntungan investor yang terdiversifikasi (Tao, Ngoc Bich dan Hutchinson, Marion, 2013). Namun tidak menutup kemungkinan kebijakan tersebut secara langsung diambil oleh direksi (Hutchinson, Marion et al, 2015). Gordon (2010:4) menjelaskan cara berpikir investor yang terdiversifikasi terhadap risiko : “Kompetitor dari perusahaan yang gagal mungkin bertindak lebih baik, supplier terhadap perusahaan yang gagal mungkin berlaku lebih buruk, namun konsekuensinya tidak memihak. Jika semua perusahaan mengambil taruhan yang baik, bagaimanapun juga, rata-rata investor terdifersifikasi akan lebih baik.” Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya oleh Marion Hutchinson et al (2015), di mana risiko diukur dengan deviasi standar dari retur saham harian perusahaan untuk masing-masing tahun fiskal. Ini juga dinyatakan sebagai deviasi standar dari biaya retur ekuitas perusahaan. Risiko disini meliputi risiko systematic dan unsystematic (Carr, 1997) dan telah digunakan secara luas. Mengontrol risiko disini menggunakan net of industry risk (INDADJSTD), yang menghasilkan ukuran lebih dekat untuk risiko tertentu dari perusahaan (Hutchinson, Marion et al, 2015). 2.1.3 Manajemen Risiko Manajemen risiko merupakan seperangkat kebijakan, prosedur yang lengkap, yang dipunyai organisasi, untuk mengelola, memonitor, dan 16 mengendalikan eksposur organisasi terhadap risiko (SBC Warburg, 2004). Proses manajemen risiko organisasi menurut Mahmud Hanafi M (2009) meliputi : Perencanaan yaitu penetapan tujuan, misi, penetapan target, penyusunan kebijakan dan prosedur. Pelaksanaan yaitu identifikasi dan pengukuran risiko. Pengendalian yaitu melakukan evaluasi, pelaporan, dan komunikasi. Maksimalisasi nilai perusahaan. Kebijakan manajemen risiko (management risk) merupakan penerapan corporate governance dalam perusahaan (Hutchinson, Marion et al, 2015). Banyak perusahaan memiliki komite manajemen risiko yang secara khusus bertugas sebagai unit penasehat perusahaan tentang risiko tertentu dan strategi penanganan risiko di masa yang akan datang (Walker, 2009) dan hal ini mampu menggeser biaya monitoring dari investor institusional. Pembangunan komite manajemen risiko di Indonesia mulai meningkat, khususnya setelah beredarnya beberapa peraturan yang terkait dengan kewajiban pendirian komite manajemen risiko (Badriyah, Nurul et al, 2015). Cai et al (2015) menemukan fakta bahwa perusahaan dengan hubungan keagenan yang baik, tata kelola yang baik dan kepemilikan yang terkonsentrasi, pasti mempunyai komite audit untuk mengendalikan risiko perusahaan. Tujuan utaman manajemen risiko adalah memaksimalkan nilai pemegang saham (CAS, 2003; COSO, 2004; Beasley et al, 2008; Pagach dan Warr, 2011; Hoyt dan Liebenberg, 2011). Serangkaian kegagalan perusahaan, skandal perusahaan, dan penipuan merupakan alasan bagi perusahaan untuk secara efektif melaksanakan program manajemen risiko. Kegagalan perusahaan 17 disebabkan oleh lemahnya manajemen risiko dan corporate governance (Quon, Tony K et al, 2012). Corporate governance dan manajemen risiko saling berpengaruh dan berhubungan. Stabilitas dan perbaikan kinerja perusahaan secara dependen efektif dipengaruhi kedua komponen tersebut (Sobel dan Reding, 2004; Manab et al.,2010) Corporate governance dalam sebuah perusahaan menjelaskan bagaimana praktik manajemen dan proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan formasi khusus yang mengatur komite untuk memonitor proses manajemen risiko (Badriyah, Nurul et al, 2015). Ukuran yang besar dari komisaris memperbolehkan pembentukan banyak komite termasuk komite manajemen risiko (Carson, 2002; Chen et al., 2009 dalam Januarti, 2012). Selanjutnya, keberadaan komisaris akan mendorong pembentukan komite manajemen risiko karena komisaris independen menemukan komite tersebut penting untuk membantunya menjalankan tanggungjawabnya. Perusahaan dengan proporsi komisaris independen yang tinggi cenderung lebih memperhatikan risiko perusahaan dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki proporsi direktur independen yang rendah (Sullivan, 1997 dalam Husaini et al, 2013). Ukuran perusahaan dapat dilihat dari total aset. Perusahaan yang besar memiliki aset dalam jumlah yang besar dan akan memiliki risiko yang lebih besar, maka dari itu perusahaan yang besar ini lebih memilih untuk membentuk komite manajemen risiko (Mirawati, 2014). Komite manajemen risiko bertanggungjawab untuk melakukan pemeriksaan, pegawasan dan ini menilai prinsip dan kebijakan, strategi, proses, mengendalikan manajemen risiko, 18 sehingga risiko yang dihadapi perusahaan dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan untuk meningkatkan kinerja perusahaan (Kaplan, 2008) Ada 3 (tiga) rangking manajemen risiko untuk perusahaan berdasarkan pihak yang mengambil kebijakan. Rangking tertinggi dengan kebijakan formal Enterprise Risk Management (ERM) yang mendelegasikan komite terpisah dari direksi (rangking 2), perusahaan dengan kebijakan ERM formal namun tidak memisahkan komite/ kebijakan diambil oleh direksi (rangking 1), dan perusahaan yang tidak memiliki kebijakan ERM formal merupakan rangking terendah (0) (Hutchinson, Marion et al, 2015). 2.1.4 Kinerja Kuangan Kinerja perusahaan dapat dinyatakan dengan berbagai cara. Dalam penelitian ini, kinerja diukur dengan retur dari aset (ROA) (Hutchinson, Marion et al, 2015). Kinerja (ROAt) dipengaruhi oleh risiko yang diambil atas suatu proyek. ROAt merupakan sebuah indikasi kemampuan perusahaan untuk menghasilkan pendapatan berdasarkan perhitungan akuntansi dalam jumlah yang diperlukan dari beban aktual dari portofolio aset yang dinyatakan sebagai pelunasan historical costs (Carter et al, 2010) Investor institusional berada di bawah tekanan untuk menunjukkan retur jangka pendek, sebagai keuntungan mereka yang dapat ditinjau setiap triwulan, atau secara keseluruhan dalam hasil kinerja tahunan (Aguilera et al, 2007; Baysinger et al, 1991; Graves, 1988). Investor ini mendorong investasi yang menghasilkan profit, seperti merger dan akuisisi, untuk memelihara daya 19 saing jangka pendek daripada mengambil pandangan jangka panjang dalam keputusan investasinya (Graves, 1988). Kinerja perusahaan dapat dipengaruhi oleh pemilihan risiko. Risiko merupakan ukuran dari informasi dan faktor potensial yang berpengaruh (Hutchinson, Marion et al, 2015). Risiko yang berlebihan membuat perusahaan mengalami kesulitan dalam memenuhi target sehingga berpotensi memperburuk kinerja itu sendiri. Bowman (1980) menyatakan bahwa perusahaan yang makmur akan menghindari investasi dengan risiko yang tinggi karena konsekuensi kegagalan akan mempengaruhi reputasinya, saat kinerja perusahaan lemah, mereka justru akan mengejar investasi berisiko dengan harapan bahwa retur yang tinggi akan membalikkan kinerja yang buruk. Kinerja menjadi salah satu faktor yang dinilai oleh calon investor untuk menentukan layak tidaknya perusahaan untuk berinvestasi. Kinerja ini dapat dijadikan alat untuk memprediksi bagaimana kemampuan perusahaan dalam mendapatkan profit. Ada dugaan yang menyatakan bahwa pemegang saham institusional lebih senang dalam mempengaruhi hubungan risiko/ kinerja dan melakukan voting apabila permintaannya tidak dipenuhi (Johnson et al, 2010). Callen dan Fang (2013) menambahkan bahwa kepemilikan institusional ini memiliki motivasi yang sangat besar untuk melakukan pengawasan terhdadap risiko/ retur pada perusahaan investee nya. 20 2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan Marion Hutchinson et al (2015). Penelitian tersebut menggunakan institutional investor sebagai variabel utama yang mempengaruhi risiko, manajamene risiko, dan kinerja dalam perusahaan sebagai variabel-variabel dependen. Dengan sampel perusahaan manufaktur di Australia pada masa krisis ekonomi global 2006-2008. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa investor institusional memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ke 3 (tiga) variabel tersebut. Dijelaskan bahwa investor institusional ini berpengaruh signifikan dan berhubungan positif terhadap risiko spesifik perusahaan yang diproksikan dengan INDADJSTD. Artinya bahwa semakin tinggi proporsi kepemilikan institusional dalam perusahaan, akan meningkatkan risiko perusahaan karena investor akan mendorong manajemen untuk mengambil proyek-proyek dengan risiko yang tinggi dengan harapan akan memperoleh retur atau keuntungan yang besar. Investor institusional ini memilih untuk melakukan diversifikasi modal atau investasi pada sejumlah perusahaan dan membentuk portofolio saham. Hal ini dilakukan untuk mengurangi risiko kegagalan investasi. Ketika satu perusahaan investee nya mengalami krisis atau kegagalan dalam bisnis, maka investor tidak mengalami dampak yang signifikan karena masih mendapatkan keuntungan saham dari perusahaan-perusahaan lain. Dengan alasan tersebut, investor institusional berani mengambil proyek-proyek yang berisiko tinggi pada perusahaan investee nya. 21 Selain itu, ukuran kepemilikan saham institusional yang semakin besar memiliki potensi untuk mengendalikan kebijakan manajemen risiko. Investor akan menekan perusahaan untuk melakukan pengawasan terhadap risiko dan meningkatkan kinerja jangka panjang.dalam penelitiannya, Marion Hutchinson et al (2015) menunjukkan keahlian investor institusional dalam mengelola investasi dan perusahaan investee nya. Mereka mampu mengumpulkan banyak informasi dan mempengaruhi keputusan manajerial, serta mampu meningkatkan kinerja perusahaan dalam kondisi krisis. Investor institusional dengan orientasi peningkatan nilai perusahaan, akan mendorong kinerja perusahaan untuk menghasilkan profit yang lebih besar. Mereka secara aktif melakukan monitoring terhadap kinerja dan mengarahkan manajemen untuk terus meningkatkan kualitas. Hasil penelitian Marion Hutchinson et al (2015), investor institusional terbukti berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan. 2.3 Perumusan Hipotesis 2.3.1 Kepemilikan Institusional Terhadap Risiko Spesifik Perusahaan Dalam capital asset pricing model (CAPM) sederhana mempercayai bahwa tidak ada keuntungan ekonomi terhadap investor terdiversifikasi dari pengurangan risiko spesifik perusahaan, karena mereka tidak akan menerima premi risiko pada asetnya. Portofolio yang terdiversifikasi melindungi investor dari kerugian. Maka pengambilan risiko yang berlebihan atau terlalu tinggi sebenarnya tidak menjadi masalah untuk investor karena kegagalan satu perusahaan tidak mempengaruhi portofolio saham investor secara langsung (Hutchinson, Marion et al, 2015 ) 22 Maka dari itu, perusahaan akan mengambil lebih banyak proyek berisiko tinggi untuk menarik investasi institusional yang lebih besar. Ini menggambarkan bahwa adanya hubungan positif antara ukuran kepemilikan institusional dan risiko spesifik perusahaan (Jensen & Meckling, 1976; Pathan, 2009). H1 : Kepemilikan institusional berhubungan dengan tingkat risiko perusahaan. 2.3.2 Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Risiko Perusahaan Berkebalikan dengan prinsip CAPM, dalam teori portofolio modern menyebutkan bahwa investor akan meminimalisasikan risiko untuk retur yang diharapkan dengan memilih proporsi serangkaian aset secara hati-hati. Teori ini menyatakan bahwa semakin besar investor institusional kemungkinan akan mengurangi risiko spesifik perusahaan karena adanya konsekuensi kegagalan perusahaan dan mewaspadai pengambilan risiko yang berlebihan (Gordon dan Muller, 2011). Investor institusional dengan jumlah kepemilikan saham yang besar memiliki dorongan langsung untuk mendapatkan informasi yang luas pada praktik manajemen risiko di perusahaan-perusahaan yang menjadi portofolio sahamnya dan melakukan respon untuk keluar atau menahan investasi (Ho, Harper, 2010). Mereka memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung melalui penjualan sahamnya di perusahaan (Gillan dan Starks, 2003). Penjualan saham dalam jumlah besar oleh investor dapat menyebabkan penurunan harga saham yang diinterpretasikan sebagai bad news, sehingga 23 mempengaruhi investor lain untuk menjual saham mereka, selanjutnya mendorong penurunan harga saham (Baysinger et al, 1991; Parrino et al, 2003). Marion Hutchinson et al (2015) berpendapat bahwa investor institusional akan meningkatkan investasinya pada perusahaan yang memiliki kebijakan manajemen risiko yang komperhensif. H2 : Ukuran kepemilikan institusional berhubungan positif dengan kebijakan manajemen risiko perusahaan yang kopmerhensif. 2.3.3 Kepemilikan Institusional Terhadap Kinerja Perusahaan Pemegang saham institusional dalam sebuah perusahaan akan mempengaruhi risiko dan kinerja (Johnson et al, 2010). Semakin besar proporsi saham yang mereka miliki, akan membuat mereka melakukan monitoring secara aktif pada kinerja perusahaan dan bereaksi terhadap risiko dengan potensi yang dapat menghambat kinerjanya (Callen dan Fang, 2013). Kinerja dalam penelitian ini dinyatakan dalam retur aset. Raynor et al (2010) menemukan bahwa retur yang lebih tinggi membawa risiko yang lebih rendah,namun sebaliknya, retur yang lebih rendah membawa risiko yang lebih tinggi. H3 : ukuran kepemilikan institusional memiliki hubungan positif dengan kinerja perusahaan. 24 2.4 Kerangka Penelitian Kerangka pemikiran merupakan alur pemikiran penelitian dalam menjawab masalah penelitian yang dinyatakan dalam bentuk skema dan memuat pokok-pokok unsur penelitian tersebut. Kerangka pemikiran ini dapat digambarkan sebagai berikut: NETGEARING ALLINST INDADJSTD LNTA RISKMGT NETINTCOV KETERANGAN : ALLINST = kepemilikan institusional INDADJSTD = risiko spesifik perusahaan NETGEARING = net gearing NETINTCOV = net of interest coverage RISKMGT = manajemen risiko ROAt ROAt-1 LNMKTCAP INDY 25 LNTA = logaritma total aset ROAt = kinerja tahun tertentu ROAt-1 = kinerja tahun sebelumnya INDY = dummy industri LNMKTCAP = logaritma dari capital market