Hukum Nyanyi dan Musik-edited

advertisement
HUKUM MENYANYI DAN MUSIK
DALAM FIQIH ISLAM*
Oleh : Muhammad Shiddiq Al- Jawi**
1. Pendahuluan
Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda
Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka
berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental
bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka
cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di
tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda
Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang
sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem
kehidupan kita telah menganut paham sekulerisme yang sangat bertentangan dengan Islam.
Muhammad Quthb mengatakan sekulerisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad
diin, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam
bahasa yang lebih tajam, sekulerisme menurut Taqiyuddin An-Nabhani adalah memisahkan
agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (An-Nabhani, 2001:25).
Dengan demikian, sekulerisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama
dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya,
termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem
kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam,
yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana
dicontohkan Rasulullah SAW dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal
terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat
penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita
mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat
apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap
wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan,
seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup
kampus kita atau lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam
pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah
ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi
juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam
perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada
pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain
musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.
2. Definisi Seni
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan
meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta
(fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia
disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia,
yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap
oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan
perantaraan gerak (seni tari, drama) (Al-Baghdadi, 1991 : 13).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat
musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain
cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran
musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa
vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah
dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang
1
seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan
oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan
dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dll) atau dengan alat-alat musik majemuk
seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya. (Al-Baghdadi, 1991 : 13-14). Inilah
sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.
3.Tinjauan Fiqih Islam
Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan
hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan
menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi
dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih
beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum
fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu :
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina`).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian (sama’ al-ghina`).
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidahkaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak
tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan
hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah
khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Al-Jaziri,
1999 : 41-42; Asy-Syuwaiki, t.t. : 96; Al-Baghdadi, 1991 : 21-25; Omar, 1984 : 3). Karena
itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian
fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang
berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.
3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (Al -Ghina`/At-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina`/at-taghanni).
Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing
mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan
oleh Al-Ustadz Muhammad Al-Marzuq Bin Abdul Mu’min Al-Fallaty mengemukakan dalam
kitabnya Saiful Qathi’i lin- Niza’ bab “Fi Bayani Tahrimi Al-Ghina` wa Tahrim Istima’ Lahu”
(Musik. www.ashifnet.tripod.com), juga oleh Ustadz Abdurrahman Al-Baghdadi dalam
bukunya Seni dalam Pandangan Isla m (1991 : 27-38), dan Muhammad Asy-Syuwaiki
dalam Al- Khalash wa Ikhtilaf An- Nas (t.t. : 97-101) :
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian :
a. Berdasarkan firman Allah dalam QS. Luqman : 6, artinya ”Dan di antara manusia ada
orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” 1
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu,
di antaranya Al-Hasan, Al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah QS An-Najm : 59-61,
dan QS Al-Isra` : 64 (Al-Jazairi, 1992 : 20-22).
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya akan ada
di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik
(al-ma`azif).” 2
1
2
QS. 31: 6.
HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590.
2
c. Hadits Aisyah RA Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya Allah mengharamkan
nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengarkannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. 3
d. Hadits dari Ibnu Mas’ud RA, Rasulullah SAW bersabda: ”Nyanyian itu bisa menimbulkan
nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” 4
e. Hadits dari Abu Umamah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang bernyanyi, maka
Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan
memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” 5
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf RA bahwa Rasulullah SAW bersabda;
“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara
nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2.
Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan
merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian :
a. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah: 87; artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan
janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
melampaui batas.”
b. Hadits dari Nafi’ RA, katanya: “Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar RA. Dalam
perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan
telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu ?”
sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah
yang dilakukan Rasulullah SAW.” 6
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra ber-kata; “Nabi SAW mendatangi pesta perkawinanku, lalu
beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang
hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang
yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata;
“Di antara kita ada Nabi SAW yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka
Nabi SAW bersabda : “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan)
tadi.” 7
d. Dari Aisyah RA; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba
Rasulullah SAW bersabda; “Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar
itu suka pada permainan.” 8
e. Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang
melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan
berkata; “Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia
daripadamu (yaitu Rasulullah SAW)” 9
3
HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih.
Hadits Mauquf. Riwayat Ibnu Abi Dunya dan Al-Baihaqi.
5
HR. Ibnu Abid Dunya.
6
HR. Ibnu Abid Dunya dan Al-Baihaqy.
7
HR. Al-Bukhari, dalam Fathul Bari III:113 dari Aisyah RA.
8
HR. Al-Bukhari.
9
HR. Muslim II:485.
4
3
C. Pandangan Penulis
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak
adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat
kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara
bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam Asy-Syafi mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi SAW ada dua hadits
shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan
yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus
sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah
penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum),
meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Asy-Syaukani, t.t. : 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka
sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan
menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan
dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada
melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal
ini Syaikh Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih :
Al-‘amal bi ad-dalilaini --walaw min wajhin-- awlaa min ihmali ahadihima
“Mengamalkan dua dalil –walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada
meninggalkan salah satunya.” (Abdullah, 1995 : 390)
Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan,
bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan :
Al-ashlu fi ad-dalil al- i’mal laa al- ihmal
“Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (An-Nabhani,
1994 : 239)
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai
berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang
dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu
bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’,
seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan
menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan,
menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (AlBaghdadi, 1991 : 63-64; Asy-Syuwaiki, t.t. : 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang
dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian,
yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan
(qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yaa`), misalnya disertai khamr, zina, penampakan
aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’,
misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekulerisme,
liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang
menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau
kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong
orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan
keindahan alam semesta, dan semisalnya (Al-Baghdadi, 1991 : 64-65; Syuwaiki, t.t. : 103).
4
3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian
a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ Al- Ghina`)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian.
Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina`) dengan
mendengar lagu (sama’ al-ghina`). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-`aal
(perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm
asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘aal jibiliyah, yang
hukum asalnya mubah. Af-‘aal jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang
muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki,
menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya.
Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘aal jibiliyyah ini hukum asalnya adalah
mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan :
Al-ashlu fi al-af’aal al- jibiliyah al- ibahah
“Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Asy Syuwaiki, t.t. : 96).
Maka dari itu, melihat –sebagai perbuatan jibiliyyah—hukum asalnya adalah boleh
(ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil,
mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk
membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada
dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada
saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah,
sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara
gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya
nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu
aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi
munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang
mengatakan,”Saya akan membunuh si Fulan !” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan
kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja
kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita
diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah
mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang
hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita
tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi SAW
bersabda :
“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan
tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika
tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemahlemah iman. “ (HR. Imam Muslim, An-Nasa`i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah ).
b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ Al- Ghina`)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama` al-ghina`). Ada
hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina`). Dalam
bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif
(istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina`) adalah sekedar mendengar, tanpa ada
interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li alghina`, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi
dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di
sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Asy-Syuwaiki, t.t. : 104). Jadi
5
kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengarmenghadiri nyanyian (istima’ al-ghina`) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi
yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran,
maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina`) dan
nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada
ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah
haram (Asy-Syuwaiki, t.t. : 104). Allah SWT berfirman (artinya) :
“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan
yang lainnya.” (QS An-Nisaa` : 140)
“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi
peringatan.” (QS Al-An’aam : 68).
3.3. Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan
sebagainya ? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang
dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau
rebana. Sabda Nabi SAW :
“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” (HR. Ibnu Majah) (AlJazairi, 1992 : 52; Omar, 1983 : 24)
Adapun selain alat musik ad-duff/al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada
yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung
kepada pendapat Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin Al-Albani haditshadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya,
seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu
Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam An-Nawawi dalam A l- Irsyad, Ibnu
Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, As-Sakhawy
dalam Fathul Mugits, Ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Ibnu
Taimiyah dan Ibnul Qayim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Al-Albani dalam kitabnya
Dha’if Al-Adab Al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al- Muhalla bahwa
hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’. 10
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al- Muhalla, Juz VI, hal. 59 mengatakan :
“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita
perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka
telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Al-Baghdadi, 1991 : 57)
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum
dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat
musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada
hukum asalnya, yaitu mubah.
3.4. Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal)
secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya,
hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah
tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami,
atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
10
Nashiruddin Al-Albani, Dla’if Al-Adab Al-Mufrad, 1994 : 14-16.
6
Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah
mubah. (Al-Baghdadi, 1991 : 74).
b. Mendengarkan Musik di Radio, TV, dan Semisalnya
Menurut Al-Baghdadi (1991 : 74-76) dan Asy-Syuwaiki (t.t. : 107-108) hukum
mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum
mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum
asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada
dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yaa`) –dalam
hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya-- yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum
asal pemanfaatan benda menyebutkan :
Al-ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim
“Hukum asal benda-benda, adalah boleh,
mengharamkannya.” (Al-Baghdadi, 1991 : 76)
selama
tidak
terdapat
dalil
yang
Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram,
bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan
dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan :
Al-wasilah ila al-haram haram
“Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (An-Nabhani,
1963 : 86)
4. Pedoman Umum Nyanyian dan Musik Islami
Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman
umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan
operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami
wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas.
Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh
sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami) :
1.
2.
3.
4.
Musisi/Penyanyi.
Instrumen (alat musik).
Sya’ir dalam bait lagu.
Waktu dan Tempat.
Berikut sekilas uraiannya :
1). Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr/ma’ruf) dan menghapus
kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah,
mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan
bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang
bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam
berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan
sejenisnya.
c)
Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian
ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai
7
pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian
dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka
di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah :
a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya
seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa
dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si
pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi :
a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi
munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
a)
c)
d)
e)
f)
Tidak berisi :
Amar munkar (mengajak pacaran, dsb) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
Mencela Allah, Rasul-Nya, Al-Qur`an.
Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dsb).
Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4). Waktu dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya,
kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).
5. Penutup
Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi
dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan
sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan
dan koreksi.
Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah.
Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum
menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.
Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi –walau pun cuma secuil—dalam
upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan
untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu
masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullahi. Amin. [ ]
Wallahu A’lam Bis-Shawab.
8
DAFTAR BACAAN
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq).
Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Juz I. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani
Press).
Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa AlGhina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz II. Qism AlMu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul
Fikr).
Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah AlQudsiyah Al-Islamiyyah).
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Cetakan II.
(Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
----------. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).
----------. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).
----------.2001. Nizham Al-Islam. (t.t.p. : t.p.).
Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya : Syirkah Bungkul
Indah).
Bulletin An-Nur. Hukum Musik dan Lagu. www.alsofwah.or.id
Bulletin Istinbat. Mendengarkan Musik, Haram ? www.sidogiri.com
Fatwa Pusat Konsultasi Syariah. Lagu dan Musik. www.syariahonline.com
Kusuma, Juanda. 2001. Tentang Musik. www.pesantrenvirtual.com
“Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik. www.ashifnet.tripod.com
Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan
II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).
Santoso, Iman. Hukum Nyanyian dan Musik. www.ummigroup.co.id
Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh AlAdillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich.
Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).
------*Disampaikan dalam Diskusi Panel bertema “Format Seni Islami Antara Realita dan Idealita”, diselenggarakan oleh
Divisi Seni dan Divisi Kajian HMJ Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta-SEM Institute, Yogyakarta, di Ruang I
Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta-SEM Institute, Yogyakarta, pada hari Sabtu, 26 Oktober 2002.
**Staf Pengajar Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta-SEM Institute, Yogyakarta; Peneliti Shariah Economic and
Management (SEM) Institute, Jakarta; sedang mengikuti program pascasarjana (S-2) di Magister Studi Islam,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
9
Download