View/Open

advertisement
BAB I I
TINJAUAN P U S T A K A
2.1.
Abu Boiler Pabrik Kelapa Sawit
Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit {Crude Palm Oil/
CPO) menjadi salah satu primadona tanaman perkebvman yang menjadi sumber
penghasil devisa non-migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak
kelapa sawit dalam perdagangan
minyak nabati dunia telah mendorong
pemerintah Indonesia untuk meningkatkan perluasan areal perkebunan kelapa
sawit. Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia berjalan sangat pesat.
Pada tahun 1968, luas areal 120.000 ha menjadi 5,16 juta ha pada tahim 2005 dan
pada tahun 2006 diproyeksikan mencapai 6,046 juta ha (anonimous, 2007a).
Setiap satuan massa tandan buah segar mempunyai kandungan minyak
sawit sekitar 21%-massa, tandan kosong sawit (TKS) 21%-massa, cangkang 6%massa, sabut sawit 11%-massa dan Palm kernel cake 3%-massa. Indonesia dalam
menghadapi tahun 2008 memproyeksikan produksi minyak sawit mentah (CPO)
sebesar 15 juta ton. Setiap ton minyak sawit yang dihasilkan akan mengeluarkan
limbah padat sebesar 0,81 ton, berarti untuk mencapai produksi minyak sawit
sebesar 15 juta ton akan didapat 12,5 juta ton limbah padatnya (cangkang dan
sabut). Data ini menunjukkan betapa besar limbah padat industri minyak sawit
yang dibuang kelingkungan dan ini akan meningkat setiap tahuimya sesuai dengan
perkembangan industri minyak sawit (Santoso, 2006).
Pada proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO, dari 1 ton TBS yang
diolah dapat diperoleh CPO sebanyak 140-220 kg. Proses ini membutuhkan
energi sebanyak 20-25 kWh/t dan 0.73 ton steam (uap panas). Proses pengolahan
ini akan menghasiUcan limbah padat, limbah cair dan gas. Limbah cair yang
dihasilkan sebanyak 600-700 kg POME (Pahn Oil M i l l Effluent). Limbah padat
yang dihasilkan adalah serat dan cangkang sebanyak 190 kg dan 230 kg TKKS
segar (kadar air 65%). Selain itu juga dihasilkan limbah emisi gas dari boiler dan
incenerator (Goenadi et al., 2008).
Cangkang dan serat (fibre) dimanfaatkan sebagian besar sebagai bahan
bakar boiler PKS. Dari pembakaran dihasilkan ± 5% abu. Abu boiler PKS
4
merupakan hasil pembakaran cangkang dan serat sawit dalam ketel dengan
temperatur 800-900*^C. Karena abu serat cangkang tidak mengandung nutrisi yang
cukup untuk digunakan sebagai pupuk, maka dibuang di alam terbuka didekat
pabrik. Dengan ukuran kecil dan ringan, abu ini dengan mudah dibawa oleh angin
hingga menyebabkan kabut, yang dapat mengurangi kemampuan pandang dan
menyebabkan kecelakaan lalu lintas, abu ini juga menyebabkan
gangguan
kesehatan (Yoescha, 2007).
Abu dari cangkang dan sabut banyak mengandung silika. Selain itu, abu
sawit tersebut juga mengandung kation anorganik seperti kalium dan natriimi
(Graille dkk, 1985). Spesifikasi dari abu sawit adalah berbentuk halus, seperti
serbuk (powder). Ukuran abu sawit PKS <3mm. Abu sawit berwama abu-abu
hingga hitam (anonimous, 2007b).
Gambar 1 . Abu Boiler PKS
Tabel berikut menyajikan komposisi kimia abu boiler PKS :
Tabel 1. Komposisi Kimia Abu Boiler Pabrik Kelapa Sawit (%)
Komposisi:
Persentase
Chemical analysis
%
Si02
58,02
AI2O3
8,70
FezOa
2,60
CaO
12,65
MgO
4,23
NaiO
0,41
K2O
0,72
H2O
1,97
Sumber: Yoescha, 2007
5
Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 1, abu boiler PKS
mengandung 3 komponen utama S i 0 2 sebanyak 58,02 %, CaO sebanyak 12,65 %
dan AI2O3 sebanyak 8,70 %. Abu boiler PKS merupakan bahan material yang
bersifat pozzoIan,karena abu boiler PKS yang dihasilkan disisa pembakaran ini
mempunyai kandungan silika yang cukup tinggi. Proses pembakaran serat
cangkang menjadi abu juga membantu menghilangkan kandungan kimia organik.
Perlakuan panas terhadap silika dalam serat cangkang berakibat pada perubahan
struktur yang berpengaruh terhadap aktivitas pozzolan abu dan kehalusan butiran
Abu boiler PKS mempunyai berat jenis 2,270 (Edison, 2003).
Berdasarkan
pengamatan
secara visual, abu boiler PKS memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. Bentuk partikel
Bentuk partikel abu boiler PKS tidak beraturan, ada yang memiliki bentuk
butiran bulat panjang, bulat dan persegi.
b. Kehalusan
Ukuran butiran abu boiler PKS berkisar antara 0-0,23 mm.
c. Wama
Abu boiler PKS memiliki wama abu-abu kehitaman.
Dalam aplikasinya abu boiler PKS dimanfaatkan dalam berbagai bidang
antara lain (Pratomo, 2001):
1. Sebagai bahan tambahan pengganti semen dalam desain beton mutu tinggi.
2. Sebagai bahan pengisi/fiUer dalam lapisan perkerasan jalan raya.
3. Sebagai bahan stabilisator pada campuran tanah lempung dan tanah dasar pada
lapisan jalan raya.
4. Sebagai bahan tambahan pengganti semen dalam campuran mortar.
5. Meningkatkan pH tanah.
2.2.
Adsorpsi
Adsorpsi adalah proses penyerapan atau penggumpalan suatu zat pada
bidang batas (interface) diantara dua fasa. Fasa-fasa ini dapat berupa kombinasi
6
antara cairan-cairan, cairan-padatan, gas-cairan dan gas-padatan. Proses adsorpsi
yang umum dilakukan adalah fasa gas-padat dan fasa cair-padat. Komponenkomponen yang terdapat dalam proses adsorpsi adalah adsorbat dan adsorben
(Noll, 1992).
Proses adsorpsi dapat teqadi pada batas permukaan dua fasa, sebagai
contoh (Sukardjo, 1989):
1.
Fasa cair dan fasa padat, misalnya adsorpsi zat wama dalam fasa cair dengan
karbon aktif sebagai adsorben.
2.
Fasa cair dan fasa gas, misalnya adsorpsi pada campuran gas klor dalam air.
3.
Fasa cair dan fasa cair, misalnya adsorpsi deterjen pada permukaan emulsi.
4.
Fasa gas dan fasa padat, misalnya adsorpsi gas C O 2 oleh zeolit alam atau
sintetis.
Fasa yang mengadsorpsi dinamakan adsorben, dan material yang
terakiunulasi pada permukaan adsorben dinamakan adsorbat. Adsorben dapat
berasal dari alam (natural) maupim sintesis (buatan). Adsorben yang banyak
digunakan adalah adsorben padat karena lebih mudah untuk pemiszdiaannya.
Adsorben padat mempunyai struktur kristal yang berbeda-beda antara lain: amorf,
microcrystallin (Heltina, 2007).
Proses absorpsi berbeda dengan adsorpsi. Pada absorpsi terjadi transfer
material dari satu fasa dengan melakukan penetrasi ke fasa sekunder untuk
membentuk larutan. Gabxmgan kedua proses tersebut dinamakan sorpsi. Menumt
kuat lemahnya interaksi antar adsorben dan adsorbat, maka adsorpsi dibagi atas
fisisorpsi dan kemisorpsi (Slejko, 1985).
Perbedaan fisisorpsi dan kemisorpsi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Perbedaan Adsorpsi Fisik dan Adsorpsi Kimia
Adsorpsi fisika
Adsorpsi kimia
Ikatan
Van der waals
Kimia
Panas adsorpsi
5-10 kcal/mol
10-100 kcal/mol
Waktu adsorpsi
Cepat
Agak lama
Regenerasi
Mudah
Sukar
Kesetimbangan
Cepat tercapai
Lebih lama
Temperatur
Rendah
Lebih
7
Adsorpsi senyawa larutan pertama kali diteliti oleh scientist Rusia T.
Lowitz tahun 1781. Ditinjau dari material adsorben maka bentuk interaksi
adsorbat dan adsorben dipengaruhi oleh ukuran pori. Untuk itu bila porositasnya
memiliki diameter kecil, maka adsorpsi dipengaruhi gaya kapilaritas (kondensasi
kapiler) (Amri, 2007).
Peristiwa adsorpsi pada prinsipnya adalah netralisasi gaya tank yang
keluar dari suatu permukaan. Gaya tarik antar molekul pada permukaan dan
dengan yang berada pada bagian dalam suatu material adalah tidak sama. Molekul
pada permukaan cendrung menarik molekul disekitamya, maka molekul pada
permukaan akan terikat lebih kuat satu sama lain, dan dapat menekan molekul
dibawah permukaan, sehingga munculah pengertian tegangan permukaan. Gayagaya yang terlibat pada proses adsorpsi antara lain gaya tarik Van der Walls yang
non polar, pembentukan ion negatif, gaya penukar ion dan pembentukan ikatan
kovalen.
Untuk proses adsorpsi dalam lamtan jumlah zat yang teradsorpsi
tergantung pada beberapa faktor yaitu:
1. Jenis adsorben
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam pemilihan adsorben
adalah
permukaan halus, mempunyai pori-pori, aktif dan mumi serta tidak bereaksi
dengan adsorbat.
2. Jenis adsorbat
Syarat-syaratnya antara lain:
a. Ukuran partikel
Molekul yang terserap haruslah mempunyai ukuran partikel yang kecil
dari diameter rongga adsorben.
b. Jenis kepolaran adsorbat
Umimmya adsorben bersifat ionik dengan polaritas yang tinggi. Jika
diametemya sebanding maka molekul-molekul polar lebih kuat terjerap dari
pada molekul non-polar.
8
c. Jenis ikatan
Senyawa tidak jenuh lebih mudah terjerap dari pada senyawa jenuh.
d. Berat molekul
Senyawa dengan berat molekul yang lebih besar lebih mudah dijerap dari
pada senyawa yang memiliki berat molekul rendah.
3. Temperatur
Pada adsorpsi fisika kenaikan temperatur menyebabkan adsorpsi menurun. Hal
ini disebabkan mobilitas atom-atom suatu zat yang diadsorpsi bertambah
dengan naiknya temperatur. Oleh karena itu zat yang diserap cendrung
meninggalkan zat penyerap. Sedangkan pada adsorpsi kimia, adsorpsi akan
semakin bertambah dengan naiknya temperatur. Kenaikan temperatur juga
dapat menyebabkan pori-pori adsorben akan lebih terbuka karena unsur-unsur
pengotor pada permukaan akan teroksidasi.
4. pH
Adsorpsi antara fasa padat- cair sangat dipengaruhi oleh pH larutan. Adsorpsi
yang dilakukan pada pH sangat tinggi cendrung memberikan hasil yang
kurang sempuma karena pada kondisi basa terbentuknya senyawa oksida dari
unsur-unsur pengotor lebih besar, sehingga akan menutup permukaan
adsorben dan menghalangi proses penyerapan partikel-partikel terlarut oleh
adsorben. Sedangkan pada pH rendah, seringkali terbentuk garam-garam
anorganik yang menyebabkan penyerapan kurang sempuma (Mentel, 1975).
2.2.1. Adsorpsi isoterm
Kurva hubungan jumlah zat yang diadsorpsi dengan tekanan atau
konsentrasi kesetimbangan pada suatu temperatur yang tetap disebut dengan
isoterm adsorpsi. Beberapa persamaan yang digunakan untuk menguraikan
isotherm adsorpsi adalah:
1. Persamaan Freundlich
2. Persamaan Langmuir
3. Persamaan BET (Brunaver, Emmet, dan Teller) (Sukardjo, 1989).
9
2.2.2. Adsorpsi zat terlarut oleh iM padat
Bila ditinjau dari jenis antara fasa yang terlibat pada adsorpsi dapat
berlangsung antara fasa cair - gas, cair - cair, cair - padat dan gas - padat.
Sebagian besar adsorpsi yang terjadi antara fasa cair - padat karena keselektifan
dan adsorpsi jenis ini cukup besar. Adsorpsi yang terjadi pada zat padat
disebabkan adanya gaya tarik menarik atom molekul pada permukaan zat padat.
Adsorpsi zat terlarut dari larutan air, dari 2at padat dapat digambarkan
dengan persamaan empiris dari Freundlich. Bentuk persamaannya yaitu:
X / M = k.Cf*'"
(1)
log ( C o - C f ) - log M = log k + 1/n log C f
(2)
dimana:
X
=Co—Cf
Co
= konsentrasi awal
Cr
= konsentrasi setalah adsorpsi
M
== berat adsorben
K dan n
= konstanta Freudlich
Persamaan ini merupakan persamaan linear, dengan memplotkan log X / M
dan log Cf, dimana k adalah intersept, dan 1/n merupakan slope. Harga k
merupakan indikasi untuk menyatakan kapasitas adsorpsi, sedangkan
1/n
menunjukkan pengaruh kapasitas adsorpsi.
Ada dua bentuk adsorpsi yaitu :
1. Adsorpsi positif, yaitu penyerapan substrat yang tidak diinginkan sehingga
bahan negatif tidak mengandung substrat tertentu.
2. Adsorpsi negatif, yaitu proses penyerapan pelarut dari substrat yang tidak
diinginkan. Dalam hal ini pelarutnya dipisahkan dari substrat yang tidak
diinginkan cara ini jarang dilakukan karena dianggap tidak efektif.
2.3.
Logam Berat
Logam berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan mumi, organik,
dan anorganik. Logam mula-mula diambil dari pertambangan dibawah tanah
(kerak bxmii), yang kemudian dicairkan dan dimumikan dalam pabrik menjadi
logam-logam mumi. Dalam proses pemumian logam, sebagian darinya terbuang
10
kedalam lingkungan. Secara alami siklus perputaran logam adalah, dari kerak
bumi kemudian kelapisan tanah, kemudian ke makhluk hidup (tanaman, hewan
dan manusia), kedalam air, mengendap dan akhimya kembali ke kerak bumi.
Logam dalam kerak bumi dibagi menjadi logam makro dan logam mikro, dimana
logam makro ditemukan lebih dari 1000 mg/kg dan logam mikro jumlahnya
kurang dari 500 mg/kg (Darmono, 2001).
Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang
sama dengan logam-logam lain. Perbedaarmya terletak dari pengaruh yang
dihasilkan bila logam berat ini berikatan dan masuk kedalam tubuh orgamsme
hidup. Istilah logam berat ini sebenamya telah dipergunakan secara luas, terutama
dalam perpustakaan ilmiah, sebagai suatu istilah yang menggambarkan bentuk
dari logam tertentu (Palar, 2004).
Logam berat merupakan unsur kimia yang sangat berpotensi menimbulkan
masalah pencemaran lingkimgan terutama yang berkaitan erat terhadap dampak
kesehatan manusia. Dari 109 unsur kimia yang telah teridentifikasi di muka bumi
terdapat 80 jenis termasuk ke dalam jenis logam berat. Dengan demikian sifat
kimiawi logam berat dapat dikatakan mewakili sebagian besar golongan kimia
anorganik. Logam berat biasanya didefinisikan berdasarkan sifat-sifat fisiknya
dalam keadaan padat dengan menggunakan metoda teknologi yang telah maju.
Sifat-sifat fisika logam berat antara (Darmono, 2001):
1) Memiliki kemampuan pantul cahaya yang tinggi.
2) Memiliki kemampuan hantar listrik yang tinggi.
3) Memiliki kemampuan hantar panas yang baik.
4) Memiliki kekuatan dan ketahanan.
Logam berat dalam keadaan padat juga dapat dibedakan berdasarkan:
struktur kristalnya, sifat pengikat kimianya, serta sifat-sifat magnitnya. Kelarutan
logam berat dalam air dan lemak merupakan suatu proses toksikologi yang amat
penting, karena proses ini adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi
adanya proses biologi dan penyerapan logam berat itu sendiri.
11
Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat terbagi ke dalam dua
jenis yaitu:
1. logam berat esensial dimana keberadaanya dalam jimilah tertentu sangat
dibutuhkan oleh setiap organisme hidup, seperti antara lain, seng (Zn),
tembaga (Cu), besi (Fe), kobalt (Co), mangaan (Mn) dan Iain-lain.
2. logam berat tidak esensial atau beracun, dimana keberadaan dalam
tubuh organisme hidup hingga saat ini masih belum diketahui
manfaatnya
bahkan justru dapat bersifat racun, seperti misalnya;
merkuri (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb), kromium (Cr) dan Iain-lain.
Logam berat esensial biasanya tebentuk sebagai enzim ko-faktor. Walupim
logam berat esensial dibutuhkan oleh setiap organisme hidup, namun dalam
jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun (Anonimous, 2005a).
Karakteristik dari kelompok logam berat adalah sebagai berikut (Palar,
2004):
1.
Memiliki berat jenis (specific gravity) yang besar dari 5 (lima) gr/cm^.
2.
mempunyai nomor atom 22-34 dan 40-50 serta unsur lantanida dan
aktinida.
3.
Mempunyai respon biokimia yang khas (spesifik) pada organisme
hidup.
4.
Berbeda dengan logam biasa, logam berat menimbulkan efek-efek
khusus pada makhluk hidup.
Tabel 3. Toksisitas Beberapa Logam Berat.
Logam berat
Kandungan maksimum dalam air ( ppb )
Arsen /As
10-1000
Timah hitam/Pb
140
Seng/Zn
2010
Tembaga/Cu
280
Kadmium/Cd
120
Nikel/Ni
30
Cobalt/Co
48
Sumber: Casarett and Doull's, 1980
12
Unsur-unsur logam berat dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui
makanan, minuman, pemapasan dan kulit. Logam berat masuk kedalam tubuh
makhluk hidup tidak dapat mengalami biodegradasi dan bertahan lama di dalam
tubuh. Bila makanan tercemar logam berat maka tubuh akan mengeluarkannya
sebagian. Sisanya akan terakvmiulasi pada bagian tubuh tertentu separti ginjal,
hati, kuku, jaringan lemak dan rambut, tetapi yang utama adalah timbulnya
kemsakan sistem jaringan tubuh seperti sistem ekskresi (hati dan ginjal). Ginjal
adalah organ sasaran utama bagi keracunan
logam berat. Kemungkinan
mekanisme keracunan logam berat dalam gmjal disebabkan oleh ukuran partikel
logam berat yang relatif besar. Pada beberapa kasus keracunan akut, logam-logam
berat seperti As, B i , Cd, Pb, dan Hg menyebabkan kegagalan fungsi ginjal.
Beberapa logam memiliki sifat karsinogenik (pembentuk kanker), maupun
teratogenik (salah bentuk organ). Beberapa logam berat dapat menyerang syaraf
sehingga dapat menyebabkan kelainan tingkah laku (Darmono,2001).
2.3.1. Logam timbal (Pb)
Timbal (Pb) mempakan imsur logam berat dengan nomor atom 82.
Lambangnya
diambil
dari bahasa Latin Plumbum
(Vogel,1985) dengan
konfigurasi elektron [Xe] A^* 5d'° 6s^ 6p^. Logam ini berwama abu-abu kebiruan.
Sifat-sifat fisik dari timbal adalah logam ini berbentuk padat, Massa jenis (sekitar
suhu kamar) 11,34 g/cm', Massa jenis cair pada titik lebur 10,66 g/cm', Titik lebiir
600,61 K, Titik didih 2022 K, Kalor peleburan 4,77 kJ/mol, Kalor penguapan
179,5 kJ/mol, Kapasitas kalor (25 °C) 26,650 J/(mol-K) (Anonimous, 2005).
Timbal banyak digunakan untuk berbagai keperluan temtama batrai
kendaraan dan berbagai bahan aditif pada bensin. Hal tersebut dikarenakan, timbal
mempunyai sifat-sifat antara lain (Connel, 1995) :
a. Mempakan logam yang limak sehingga mudah diubah menjadi berbagai
bentuk.
b. Mempunyai titik cair yang rendah sehingga bila digunakan dalam bentuk
cair dibutuhkan teknik yang cukup sederhana.
c. Membentuk alloy dengan logam lainnya sehingga dapat menghasilkan
sifat logam yang berbeda.
13
d. Mempunyai densitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan logam
lainnya, kecuali merkuri dan emas.
e. Mempunyai sifat kimia yang menyebabkan timbal dapat berfimgsi sebagai
lapisan pelindimg, jika kontak dengan udara lembab.
f.
Senyawa etil timbal dipakai sebagai senyawa aditif pada bensin sebagai
zat anti ketuk.
Timbal merupakan logam yang amat beracim yang pada dasamya tidak
dapat dimusnahkan serta tidak terurai menjadi zat lain dan bila terakumulasi
dalam tanah relatif lama. Oleh karena itu, apabila timbal lepas ke lingkimgan
maka akan menjadi ancaman bagi makhluk hidup.
Biasanya tingkat Pb dalam tanah berkisar antara 5 sampai 25 mg/kg,
dalam air tanah dari 1 sampai 60 ng/L dan agak lebih rendah dalam air permukaan
di alam. Kadar di udara dibawah l^ig/m^, tetapi dapat jauh lebih tinggi di tempat
kerja tertentu dan didaerah yang lalu lintasnya padat.
Timbal dalam keseharian biasa dikenal dengan nama Timah Hitam. Dalam
timbal terdiri dari 4 (empat) macam :
1. Timbal 204 diperkirakan beijxmilah sebesar 1,48 % dari seluruh isotop
timbal
2. Timbjil 206 ditemukan dalam jumlah 23,06 %
3. Timbal 207 sebanyak 22,60 % dari semua isotop timbal yang terdapat di
alam
4. Timbal 208 adalah hasil akhir dari peluruhan radioaktif thorium (Th)
Keracunan yang ditimbulkan oleh logam Pb dapat terjadi karena masuknya
persenyawaan logam tersebut kedalam tubuh yang dapat melalui makanan,
mimmian, udara dan perembesan atau penetrasi pada selaput atau lapisan kulit.
Sebagian Pb yang terhirup akan masuk ke dalam pembuluh darah paru-paru.
Tingkat penyerapan itu sangat dipengaruhi oleh ukuran partikel senyawa Pb yang
ada dan volume udara yang mampu dihirup pada saat bemapas. Makin kecil
ukuran partikel debu dan semakin besamya volume udara yang dihirup akan
semakin besar pula konsentrasi Pb yang diserap tubuh. Logam Pb yang masuk ke
paru-paru melalui proses pemapasan akan terserap dan berikatan dengan darah di
14
paru-paru kemudian diedarkan ke seluruh jaringan dan organ tubuh. Lebih dari
90 % logam Pb yang terserap oleh darah berikatan dengan sel-sel darah merah.
Keracunan
yang disebabkan
oleh logam Pb
dalam tubvih dapat
mempengaruhi organ-organ tubuh antara lain sistem saraf, ginjal,
sistem
reproduksi, sistem endokrin dan jantung. Logam Pb dapat menyebabkan
gangguan pada otak, sehingga anak mengalami gangguan kecerdasan dan mental
(Anonimous, 2005b)
Gejala keraciman akut Pb pada anak dimulai dengan hilangnya nafsu
makan (anoreksia), kemudian diikuti dengan rasa sakit perut dan muntah, tidak
berkeinginan
untuk
bermain,
beijalan
sempoyongan,
sulit
berkata-kata,
ensefalopati dan akhimya koma. Pada waktu 1-6 minggu setelah 6 minggu timbul
gejala seperti tersebut diatas (Darmono, 2001).
Daya racun Pb didalam tubuh diantaranya disebabkan oleh penghambatan
enzim oleh ion-ion Pb. Enzim yang diduga dihambat adalah enzim yang
diperlukan untuk pembentukkan hemoglobin. Penghambatan tersebut disebabkan
terbentuknya ikatan yang kuat (ikatan kovalen) antara Pb dengan gmp sulfur yang
terdapat didalam asam-asam amino dari enzim tersebut.
Pb yang tertinggal di dalam tubuh, baik dari udara maupun melalui
makanan/minuman, akan mengumpul temtama didalam skeleton (kerangka)
sebanyak 90-95 %. Tulang berfungsi sebagai tempat penggumpalan Pb karena
sifat-sifat ion Pb yang hampir sama dengan Ca. Pb yang mengvmipul didalam
skeleton kemingkinan dapat diremobilisasi kebagian-bagian tubuh lainnya lama
setelah absorbsi awal. Hal ini dapat terjadi selama pengobatan dengan kortison
pada saat demam, atau karena umur yang sudah tua. Umur Pb secara biologi
didalam tulang manusia diperkirakan sekitar 2-3 tahun.
Karena analisis Pb didalam tulang cukup sulit, maka kandimgan Pb
didalam tubuh ditetapkan dengan menganalisis konsentrasi Pb didalam darah atau
urine. Jumlah minimal Pb didalam darah yang dapat mengakibatkan timbulnya
gejala keracunan biasanya berkisar antara 60 sampai 100 mikrogram per 100 ml
darah untuk orang dewasa. Tabel 4 menunjukkan bahwa konsentrasi Pb didalam
darah dapat dibedakan atas empat kategori, yaitu kategori normal, dapat diterima,
berlebihan dan berbahaya.
15
Tabel 4. Kategori Pencemaran Pb Didalam Darah Orang Dewasa
Kategori
Konsentrasi Pb didalam
Keterangan
darah (^g/100ml)
A (normal)
<40
Populasi
pencemaran
normal
tanpa
Pb
pada
konsentrasi abnormal
B (dapat diterima)
40-80
Absorpsi
meningkat
karena
meningkat karena populasi Pb
pada tingkat abnormal, tetapi
masih belum berbahaya
C (berlebihan)
80-120
Absorpsi
meningkat
karena
polusi Pb yang berlebihan,
sering disertai gejala ringan,
kadang-kadang gejala berat.
D (berbahaya)
> 120
Absorpsi
pada
berbahaya
dengan
tingkat
gejala
ringan dan berat, serta efek
samping yang lama.
2.4.
X-Ray Fiuoresence
XRF (X-ray Fiuoresence) merupakan suatu metoda yang secara luas
digxmakan untuk mengukur komposisi suatu material. XRF juga merupakan emisi
pancaran sinar-X dari suatu material yang tereksitasi karena ditembakkan energi
yang tinggi dari sinar-X atau sinar gamma. Metoda ini kerjanya sangat cepat dan
tidak merusak sampel yang akan dianalisa. Dengan XRF dapat dianalisa unsurunsur apa saja yang membangun suatu material, walaupim imtuk imsur ringan
yang tidak dapat diamati. Kelemahan dari metoda XRF adalah tidak dapat
mengetahui senyawa apa yang dibentuk oleh vmsur-imsur yang terkandung dalam
material yang akan diteliti. Dan tidak dapat menentukan struktur dari atom yang
membentuk material itu.
16
Metoda XRF digunakan secara luas untuk analisa bahan dan analisa kimia,
terutama sekali pada penentuan logam, glass,
keramik, abu dan material
pembangun, dan untuk penelitian pada bidang geokimia, ilmu forensik dan
arkeologi. Dalam produksi industri, XRF digimakan sebagai pengontrol bahan.
Sampel yang dapat dianalisa dengan XRF dalam bentuk powder, larutan,
batangan, lembaran dan partikulat (Christian and O'Reilly, 1978).
2.4.1. Prinsip kerja X R F
Pada XRF apabila siaatu material ditembak oleh sinar-X atau sinar y pada
panjang gelombang yang pendek maka terjadi ionisasi sehingga atom akan
berpindah. Ionisasi akan menyebabkan pelepasan 1 atau lebih elektron dari suatu
atom, dan atom akan berpindah apabila terjadi radiasi oleh energi yang lebih besar
dibandingkan potensial ionisasi. Sinar-X dan sinar y memiliki energi yang cukup
untuk mengusir elektron dari kulit terdalam suatu atom, elektron yang keluar ini
disebut
auger elektron. Perpindahan
elektron ini menyebabkan
struktur
elektroniknya tidak stabil dan elektron pada orbital yang paling tinggi mengisi
kekosongan orbital yang rendah, energi dibebaskan dalam bentuk photon. Energi
ini sama dengan selisih energi dari 2 orbital yang terlibat. Jadi, material yang
beradiasi memiliki energi dengan adanya atom. Flouresensi merupakan suatu
fenomena absorpsi energi radiasi yang tinggi menghasilkan emisi energi radiasi
yang rendah.
Karakteristik sinar-X dilambangkan dengan K, L , M , N yang ditunjukkan
berdasarkan kulit asal. Nama lainnya a, P dan y untuk menandai transisi elektron
dari kulit terluar. Ka merupakan transisi elektron dari kulit L ke kulit K, dan Kp
merupakan transisi elektron dari kulit M ke kulit K, dan sebagainya. Didalam kulit
terdapat banyak orbital yaitu elektron berenergi rendah dan elektron berenergi
tinggi yang dilambangkan dengan a l , a2 atau p i , P2 dan sebagainya, untuk
menunjukkan transisi elektron pada orbital pada kulit yang lebih rendah.
17
Proses analisa X-ray Fiuoresence dapat dilihat pada gambar dibawah ini
(anonimous, 2007c):
1. Elektron pada kulit K akan keluar
dari atom karena tereksitasi oleh
sinar-X yang ditembakkan.
p t ^ ^ ^ r
Incoming
radialion from
x-ray tubs or
radioisotope.
2. Elektron pada kulit L atau M
The K Lines
dkan masuk kedalam untuk mengisi
kekosongan.
Proses
ini
akan
memancarkan
sinar
dan
menghasilkan
kekosongan
pada
kulit L atau M .
3. Penembakkan oleh sinar-X akan
The L Lines
H--
menyebabkan
terjadinya
kekosongan pada kulit L karena
terjadinya
eksitasi
elektron.
Elektron pada kulit M atau N akan
masuk kedalam unutk mengisi
kekosongan.
Proses
ini
memancarkan sinar pada elemen.
18
2.5.
Spektroskopi Serapan Atom
Spektoskopi serapan atom adalah suatu teknik atau analisa kimia bagi
penentuan kadar imsur-imsur logam atau semi logam yang terdapat didalam suatu
larutan baik yang terdapat sebagai penyusun utama maupun pada tingkat kelumit
(Trace Level). Cara analisa dengan metoda ini memberikan kadar unsur logam
dan cuplikan. Analisa dengan menggunakan AAS sangat penting untuk analisa
renik logam karena dapat terdeteksi dengan kepekaan hingga kurang dari 1 ppm,
serta dapat dilakukan dalam campuran dengan unsur-unsur lain tanpa dilakukan
pemisahan (Ismono, 1978).
2.5.1. Prinsip dasar
Metoda AAS berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom pada panjang
gelombang tertentu, tergantung pada sifat vinsumya. Sinar pada panjang
gelombang ini mempimyai cukup energi vmtuk mengubah tingkat energi suatu
atom. Transisi energi suatu unsur bersifat spesifik. Dengan mengabsorbsi energi,
berarti memperoleh lebih banyak energi sehingga atom pada keadaan dasar
(ground state) naik ke tingkat eksitasi (excited state), proses ini dikenal dengan
proses serapan atom (Khopkar, 2002). Elektron yang tereksitasi ini berada dalam
keadaan tidak stabil dan akan kembali kebentuk asalnya dengan melepaskan
energi eksitasinya dalam bentuk radiasi, yang dikenal juga dengan proses emisi.
Perubahan energi elektron tersebut harus ada persesuaian dengan radiasi
yang diserap yaitu sesuai dengan rumus :
E = h.v = h.cfk
Keterangan:
E = Energi (joule atau erg)
h = Tetapan Plank (6,6256 • lO"^'* J detik atau 6,6256 • lO'^'' erg detik)
V = Frekuensi ( Hz )
c = Kecepatan cahaya ( 3
10^ m/s)
Kepekaan analisis AAS cukup tinggi sehingga dapat digunakan untuk
larutan dengan konsentrasi yang sangat kecil. Pelaksanaan analisisnya sederhana
dan analisis suatu logam tertentu dapat dilakukan dalam campuran dengan unsurunsur logam lain tanpa perlu pemisahaan.
19
Atom-atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu sesuai
dengan energi yang dibutuhkan untuk eksitasi elektron ke tingkat yang lebih
tinggi. Penyerapan cahaya ini mengurangi intensitas cahaya yang sebanding
dengan jumlah atom yang berada pada tingkat energi dasar.
Berdasarkan hukum Lambert-Beer maka konsentrasi dari cuplikan dapat
ditentukan dimana nyala api dianggap sebagai medium absorpsi sebagaimana
hahiya pada analisi spektrofotometer yang menggunakan kuvet. Bila sel
mempunyai ketebalan b, dan mengandung atom dengan konsentrasi c, maka
besamya transmitan adalah sebagai berikut:
T = -logI/Io = e-'*"=
Dengan menggunakan bilangan berpangkat sepuluh maka persamaan menjadi:
Log 1/T = abc
-log T = -log lo/I = A = abc
Keterangan:
A
= absorbans
T
= transmitans
a
= absorptivitas
b
= panjang jalan sinar
c
= konsentrasi atom (g/L)
lo
= intensitas radiasi awal
I
= intensitas radiasi setelah melewati sampel
(Day dan Underwood, 1989)
20
2.5.2. Komposisi peralatan spektroskopi serapan atom
i
photomultiplier
Gambar 2. Skema Peralatan Spektrofotometer Serapan Atom
1. Sumber Cahaya.
Sumber cahaya harus dapat memberikan spektum pancaran yang terdiri
dari puncak-puncak yang sempit dan spektrum resonansi yang tajam dari
unsur yang akan dianalisis. Dalam hal ini digunakan lampu katoda berongga
( hollow cathode lamp ). Untuk analisis masing-masing unsur, diperlukan
lampu tertentu sehingga adanya campuran atom dalam cuplikan tidak menjadi
masalah dan tidak perlu dipisahkan, karena masing-masing atom akan
menyerap pada panjang gelombang tertentu. Lampu ini memiliki dua
elektroda dan terbuat dari unsur yang sama dengan unsur yang akan dianalisis
(Khopkar,2002).
2. Sistem serapan dan atomisasi
Proses atomisasi dapat terjadi dengan menggunakan berbagai sumber
nyala atau tanpa nyala. Atomisasi tanpa nyala biasanya menggunakan tungku
grafit, suatu perangkat pemanas listrik. Untuk proses atomisasi dengan nyala
biasanya disertai dengan pemasukan suatu larutan cuplikan berbentuk aerosol
dalam nyala bersamaan dengan bahan bakar dan gas pengoksidasi kedalam
kamar pencampur atau nebulizer kemudian dilewatkan menuju burner atau
pembakaran dimana nyala dihasilkan. Untuk memperoleh suhu nyala ini
diperoleh kombinasi gas-gas pengoksidasi, yaitu hidrogen, udara, N2O, dan
asetilen.
21
Dari berbagai kemungkinan kombinasi gas pengoksidasi yang umimi
digunakan untuk kepentingan proses atomisasi adalah sebagai berikut:
>
Kombinasi udara-asetilen, menghasilkan suhu sekitar 2100-2400 ^C,
paling banyak digunakan dan dapat menganalisis hampir 30 unsur.
>
Kombinasi udara-hidrogen, menghasilkan suhu sekitar 2000-2100 ^C,
nyala ini mengalami gangguan "noise" walaupun sangat rendah.
>
Kombinasi N20-asetilen, menghasilkan suhu sekitar 2600-2800 °C, nyala
ini paling efektif untuk menentukan unsur-unsur yang sulit diuraikan atau
diatomkan.
3. Monokromator
Untuk menghilangkan gangguan sinar kontinyu digunakan monokromator
yang ditempatkan diantara nyala dan detektor. Monokromator dalam AAS
terdiri dari kisi difiraksi atau prisma, yang berfimgsi imtuk memisahkan garis
resonansi dan garis spektra yang berdekatan yang berasal dari sumber sinar.
Ukuran kemampuan monokromator memisahkan garis-garis spektra hingga
0,5 A
dianggap cukup baik. Fungsi lain dari monokromator adalah
mengisolasi garis resonansi yang diukur terhadap garis emisi molekul dan
garis latar belakang lain yang berasal dari nyala. Ada dua jenis sistem
monokromator, yaitu prisma dan grating. Sistem grating lebih menguntungkan
karena jangkauan panjang gelombangnya lebih besar, intensitas cahaya lebih
besar dan dispersi cahaya lurus sesuai dengan panjang gelombang yang
diinginkan.
4. Detektor.
Dalam
AAS,
detektor
yang
paling
banyak
digimakan
adalah
photomultiplier tube (tabung penggandaan), karena mempimyai kepekaan
yang tinggi terhadap sinyal yang lemah. Selain itu garis spektrum dari unsur
yang dianalisis umumnya terletak didaerah U V . Detektor mengubah energi
cahaya menjadi energi listrik. Sinyal listrik yang keluar dari detektor sangat
kecil, sehingga diperlukan amplifier yang dapat memperbesar isyarat yang
keluar dari detektor (Day & Underwood, 1989).
22
Amplifier dan Sistem Pembacaan
Amplifier akan memperkuat isyarat beberapa kali agar dapat dibaca oleh
perekam. Melalui beberapa kali proses rangkaian elektronik tertentu akan
menghzisilkan suatu isyarat output yang beberapa kali lebih besar dari isyarat
input. Peralatan AAS dirancang sedemikian rupa sehingga dapat dilakukan
pembacaan digital dan dihasilkan dalam bentuk rekorder atau chart.
23
Download