BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Rumah sakit merupakan suatu tempat bagi orang untuk mendapatkan
upaya penyembuhan atas penyakitnya. Di sisi lain rumah sakit juga merupakan
tempat yang berisiko dan dapat menimbulkan kejadian yang tidak diinginkan bagi
pasien, keluarga, dan staf rumah sakit. Kejadian tersebut adalah infeksi
nosokomial dan medical error. Diperkirakan biaya yang dipergunakan untuk
penanganan infeksi nosokomial mencapai $5 milyar dan untuk kejadian medical
error sekitar $17–29 milyard. Situasi kerja di rumah sakit juga menyebabkan
tingkat frustasi yang tinggi bagi staf sehingga menurut catatan Joint Commission
tahun 2002 bahwa tingkat turn over perawat di United State of America (USA)
sekitar 20% (Ulrich et al., 2008).
Pengetahuan tentang Evidence Based Design (EBD) pada fasilitas
pelayanan kesehatan telah berkembang dengan cepat. Bukti menunjukkan bahwa
desain fisik yang di desain dengan mengikuti EBD akan menciptakan rumah sakit
yang aman dan proses penyembuhan
pasien akan lebih baik serta akan
menjadikan tempat kerja yang lebih baik bagi staf (Ulrich et al., 2008). Banyak
penelitian yang berkaitan dengan fasilitas pelayanan kesehatan. Seperti yang
ditulis oleh Marberry dalam buku Evidence-Based Design for healthcare facilities
bahwa lebih dari 1.000 studi penelitian telah menunjukkan desain fasilitas
kesehatan dapat meningkatkan perawatan pasien dan hasil medis serta dapat
mengurangi kesalahan medis dan limbah (Marberry, 2007).
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa pengaturan desain fasilitas
lingkungan rumah sakit dapat mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Fasilitas
rumah sakit harus di desain agar bisa mereduksi infeksi yang disebabkan oleh
airborne pathogen dan waterborne pathogen. Pengetahuan tentang sumber, alur
lingkungan, dan transmisi infeksi harus diketahui. Suatu ruang dan fasilitas harus
1
di desain khusus untuk mencegah penyebaran infeksi seperti Tuberkulosis dan
Aspergillosis serta Legionellosis (Noskin et al., 2001). Sebagai contoh desain dan
penempatan wastafel perlu diperhitungkan karena hal ini berpengaruh pada
kejadian infeksi. Letak wastafel harus di dalam kamar pasien supaya petugas
mudah cuci tangan dan pasien juga dapat melihat bahwa petugas melakukan hal
itu. Seperti yang dilaporkan oleh Branswell (2008) dalam buku EBD facility
healthcare, memberikan contoh mengapa penempatan wastafel penting. Antara
Desember 2004 dan Maret 2006, tujuh belas pasien imunosupresif meninggal di
Toronto General Rumah Sakit. Semua kematian dikaitkan dengan desain dan
penempatan
tempat
wastafel,
yang
menyebabkan
wabah
Pseudomonas
aeruginosa. Desain wastafel tidak boleh dangkal sehingga percikan air akibat
tekanan kran saat dibuka bisa mengenai pasien dan lingkungan sekitar. Jarak
wastafel sedikitnya 10 kaki (1 kaki = 30,48 cm, 10 kaki ≈ 3 meter) dari tempat
tidur pasien (posisi kepala). Penempatan kamar mandi pasien juga perlu jadi
perhatian. Kamar mandi pasien harus ditempatkan di dalam ruang pasien. Lokasi
penempatannya tidak boleh pada posisi dinding yang sama dengan posisi kepala
pasien tetapi pada posisi kaki pasien. Posisi kamar mandi tidak menghalangi
pandangan dari luar sehingga perawat bisa mengawasi pasien dari workstation dan
pasien juga dapat melihat posisi kamar mandi. Pintu kamar pasien dan pintu
kamar mandi penempatannya jangan sampai terganggu. Pegangan tangan perlu
dipasang dalam kamar pasien agar pasien tidak jatuh ketika ke kamar mandi.
Selain itu desain kamar mandi harus memiliki penerangan yang cukup, jalan akses
ke kamar mandi bebas tidak ada halangan dan produk lantai anti-slip (tidak licin).
Selain itu juga lokasi workstation perawat juga harus dekat dengan pasien
sehingga mampu mengobservasi semua kegiatan pasien. Penggunaan singlepatient room juga telah membuktikan sebagai upaya untuk mereduksi berbagai
jalur sebagai transmisi infeksi (Ulrich et al., 2008).
Penerapan EBD pada fasilitas rumah sakit juga dapat mengurangi kejadian
medical error. Faktor-faktor lingkungan yang berhubungan dengan terjadinya
medical error di antaranya adalah kebisingan, pencahayaan, ketajaman
beradaptasi, dan single-patient room. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
2
beberapa error penulisan resep meningkat ketika ada interupsi atau gangguan oleh
karena kebisingan dalam lingkungan kerja, misal adanya suara panggilan telepon.
Pencahayaan yang kurang dapat mempengaruhi kerja staf dan memicu timbulnya
medical error. Hasil penelitian di sebuah unit apotek menunjukkan bahwa tingkat
kesalahan dispensing obat secara signifikan rendah (2,6%) pada tingkat
pencahayaan 1.500 lux, dibandingkan untuk tingkat kesalahan sebesar 3,8% pada
450 lux. Penggunaan single-patient room dapat mengurangi sumber medical error
berupa diskontinuitas komunikasi antara pasien dan staf (Ulrich et al., 2008).
Penerapan EBD pada fasilitas rumah sakit akan menurunkan kejadian
jatuh dan cidera di rumah sakit. Penelitian yang dilakukan oleh Jane Thompson
dan Tamara Wiens, 9 Januari 2009, terkait kejadian cidera pada pasien yang
berhubungan dengan fasilitas gedung rumah sakit di York General Health Care
Services, Nebraska. Pemasangan instalasi lift berkaitan dengan cidera pada pasien.
Setelah dilakukan perbaikan dengan pemasangan instalasi ceiling baru pada lift
pasien, kejadian cidera tersebut berkurang. Sebelumnya dari 45 lift dengan biaya
pembuatannya $360.000, selama periode 33 bulan pada setiap sepuluh lift
terdapat rata rata kejadian 0,31 cidera per bulan dengan biaya rata-rata adalah
$10.190 per cedera (Mccullough, 2010).
Meningkatkan outcome pelayanan pasien dapat melalui pengelolaan desain
lingkungan. Sebuah penelitian case control pada pasien nyeri di rumah sakit
menyimpulkan bahwa dengan memanfaatkan alam (nature view), cahaya, dan
faktor lingkungan lain dapat meningkatkan kontrol nyeri. Taman yang hijau bisa
menurunkan stres pasien. Efek pencahayaan sunlight dan view nature juga dapat
menurunkan depresi pada pasien (Malenbaum et al., 2009). Saint Alphonsus
Regional Medical Center di Boise-Idaho, melakukan penelitian untuk menentukan
cara-cara mengurangi kebisingan pada unit perawatan pasien. Data yang
dilaporkan setelah renovasi gedung menunjukkan tingkat desibel per kamar pasien
menjadi berkurang lebih dari 51,7dB, yang memberikan kontribusi terhadap
peningkatan kualitas tidur pasien dari skala 4,9 menjadi 7,3 (pada skala dari 0
sampai 10) (Kroll 2005). Penggunaan partisi di emergency room dan singlepatient room dapat meningkatkan komunikasi dan privacy pasien dengan anggota
3
keluarga dan staf rumah sakit sehingga membantu proses penyembuhan,
menurunkan lama rawat inap di rumah sakit sehingga meningkatkan kepuasan
pasien (Ulrich et al, 2008).
Dengan menerapkan EBD, hal ini bisa membawa pengaruh pada strategi
cost efektif rumah sakit, karena dengan penerapan EBD pada bangunan fisik
rumah sakit akan didapatkan beberapa keuntungan yaitu meningkatkan
keselamatan pasien. Dengan memperhatikan EBD maka fasilitas yang berpotensi
berisiko pada pasien akan segera direduksi, misal pemasangan pintu kamar mandi
yang lebih lebar sehingga bagi pasien yang membutuhkan bantuan ke kamar
mandi maka pengasuh/perawat akan lebih leluasa membantu sehingga potensi
jatuh bisa berkurang. EBD juga meningkatkan hasil perawatan terhadap pasien,
misal adanya pemasangan jendela yang menghadap ke view luar bangunan (access
to nature), maka akan timbul rasa yang menyenangkan sehingga pasien memiliki
waktu pemulihan lebih pendek dan lebih sedikit komplikasinya (Saint Alphonsus,
2010).
Pengelolaan desain lingkungan kerja yang baik juga bisa meningkatkan
outcome kinerja staf serta mengurangi cidera pada staf. Staf di rumah sakit
mengalami risiko kecelakaan yang tinggi baik tertular infeksi maupun cidera
terutama gangguan musculoskeletal. Menurut American Nurses Association,
diperkirakan bahwa 38% lebih dari semua perawat di Amerika Serikat menderita
cedera punggung, 52% mengeluh mengalami chronic back pain (American Nurses
Association, 2004).
Beberapa studi menunjukkan bahwa faktor lingkungan
mempengaruhi stres para perawat yang ditunjang oleh aktivitas kerja yang tinggi.
Tingkat stres ini berkontribusi terhadap kelelahan dan menimbulkan niatan untuk
meninggalkan pekerjaan. Sehingga lingkungan kerja harus di desain untuk
meningkatkan efektifitas kinerja staf. Desain dan tata letak suatu ruang dibuat
untuk memudahkan staf rumah sakit bekerja secara efisien. Menempatkan ruang
kerja perawat secara terdesentralisasi akan membuat lingkungan kerja yang
ergonomis bagi staf untuk bekerja dan akan menurunkan kejadian cidera pada staf
(Patti Cochrane, 2012).
4
Pada sebuah penelitian yang dilakukan Hendrich (2006) disimpulkan ada
korelasi antara lingkungan kerja perawat dan kepuasan. Kepuasan perawat, pada
gilirannya, berdampak langsung pada hasil pasien. Di rumah sakit di mana
perawatnya mengalami kepuasan kerja yang tinggi, kualitas hasil perawatan
pasien dan skor kepuasan pasien juga tinggi (Saint Alphonsus, 2010). Sehingga
dengan meningkatnya kepuasan pasien, keluarga, dan staf, maka akan
meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja staf. Hal ini dapat meminimalkan
kesalahan, yang akhirnya berdampak pada efisiensi biaya (Mccullough, 2010).
Mengingat pentingnya pengaruh penerapan EBD pada outcome pasien dan
staf, maka manajemen fasilitas sangat diperhatikan dalam persyaratan perijinan
dan akreditasi rumah sakit. Maka seharusnya fasilitas rumah sakit dibuat dan
dikelola dengan mempertimbangkan EBD. Karena dengan desain fasilitas dan
pelayanan yang mengutamakan keselamatan dan kepentingan pasien dan keluarga
merupakan salah satu indikator mutu pelayanan rumah sakit.
Rumah sakit dalam mengelola perbaikan mutu harus ada suatu standar
intrumen penilaian sebagai pengontrolnya dan penilaiannya harus dilakukan oleh
suatu lembaga yang independen. Banyak instrumen penilaian untuk meningkatkan
mutu rumah sakit, di antaranya Akreditasi Rumah Sakit, International
Organization for Standardization untuk rumah sakit (ISO 9001-2008), Tim Jaga
Mutu/Quality Control Cycle (QCC), Total Quality Management (TQM), SixSigma, Quality Award, dan lain-lain (Jovanoviæ 2005). Sesuai Undang-Undang
(UU) No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 40 ayat 1 bahwa dalam
upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit wajib dilakukan akreditasi secara
berkala minimal tiga tahun sekali. Sehingga ini berarti bahwa akreditasi
merupakan suatu hal yang wajib bagi rumah sakit. Karena pada UU No.44 Tahun
2009 Pasal 25 tersebut, yang dijelaskan secara teknis oleh Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) No. 147 Tahun 2010 tentang Perizinan Rumah Sakit pada
Pasal 10 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap rumah sakit yang telah mendapatkan
izin operasional harus diregistrasi dan diakreditasi. Dalam regulasi ini jelas
mensyaratkan bahwa perpanjangan/pengeluaran ijin operasional rumah sakit harus
terakreditasi.
5
Akreditasi di Indonesia telah berkembang mengikuti tantangan rumah
sakit di masa mendatang, di mana pelayanan kesehatan melampaui batas negara
(globalisasi), teknologi kesehatan makin maju, penawaran pelayanan kesehatan
baru oleh para pesaing, tingkat pendidikan, dan ekonomi masyarakat semakin
tinggi (di mana pasar sangat tergantung pada keinginan pasar/customer oriented),
kompetensi dari rumah sakit luar negeri (yang memberikan kemudahan akses,
keterbukaan informasi, keramahtamahan, harga bersaing), dan lain-lain. Sehingga
akreditasi di Indonesia dikembangkan dengan mengikuti standar instrumen
internasional. Sesuai pada Pasal 10 ayat 2 bahwa ketentuan tentang sistem
akreditasi rumah sakit di Indonesia ditentukan oleh Menteri Kesehatan, sehingga
keluarlah Keputusan Dirjen Bina Upaya Kesehatan No. HK.02.04/I/2790/11
tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit. Dalam hal ini, Kementerian Kesehatan
memilih akreditasi dengan Sistem Joint Commission International (JCI) karena
lembaga akreditasi tersebut merupakan badan yang pertama kali terakreditasi oleh
Internasional Standart Quality (ISQua) selaku penilai lembaga akreditasi.
Akreditasi JCI KARS Versi 2012 ini berlaku per 1 Januari 2012. Dengan adanya
kebijakan baru tersebut maka semua rumah sakit di Indonesia harus
mengaplikasikan standar JCI KARS Versi 2012 untuk sertifikasi akreditasi rumah
sakitnya.
Salah satu standar dalam akreditasi JCI adalah tentang Manajemen
Fasilitas dan Keselamatan (MFK). Standar ini sangat penting diperhatikan oleh
rumah sakit. Sebab salah satu faktor yang mendukung pelaksanaan patient safety
adalah terkait bagaimana fasilitas dibuat dan dikelola sedemikian rupa yang bisa
menjamin kondisi keselamatan, keamanan, dan kenyamanan pasien. Keselamatan
(safety) di sini maksudnya adalah suatu keadaan di mana gedung, halaman, dan
peralatan rumah sakit tidak menimbulkan bahaya atau risiko bagi pasien, staf, dan
pengunjung. Sedangkan keamanan (security) adalah mengacu pada perlindungan
fasilitas dan penghuninya dari ancaman luar, yaitu perlindungan dari kehilangan,
pengrusakan dan kerusakan atau akses, serta penggunaan oleh pihak yang tidak
berwenang (JCI, 2010). Ketika keselamatan dan keamanan terjamin maka rasa
nyaman akan dirasakan oleh pasien, staf rumah sakit, dan keluarga/pengunjung.
6
Untuk bisa mengaplikasikan standar MFK dibutuhkan pengetahuan dan
juga best practice bagaimana suatu fasilitas tersebut dikelola sehingga maksud
dan tujuan setiap elemen penilaian bisa terpenuhi. Tidak hanya mempersiapkan
dokumen administrasinya saja tetapi juga pemenuhan fasilitas fisik dan
penerapannya dalam lapangan. Karena pada akreditasi JCI instrumen penilaiannya
lebih berfokus pada pasien, kuat pada proses output dan terutama outcome, serta
kuat pada implementasinya karena melibatkan seluruh petugas. Metode penilaian
elemen-elemen
penilaiannya
dimulai
dari
telusur
ke
pasien
dan
keluarga/pengunjung serta petugas dengan cara wawancara, kemudian dilakukan
observasi dan selanjutnya dilihat dokumentasinya. Sehingga pemenuhan setiap
elemen
penilaian
manajemen
fasilitas
merupakan
suatu
kondisi
yang
dilakukan/diterapkan sebenarnya di lapangan yang dihubungkan dengan fungsi
ruang dan perilaku staf dalam pelayanan, bukan hanya sebatas dokumen saja.
Deskripsi Manajemen Fasilitas di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Dr. R.
Sosodoro Djatikoesoemo Kabupaten Bojonegoro
RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo adalah rumah sakit milik
Pemerintah Daerah Kabupaten Bojonegoro dengan status kelas B Non
Pendidikan. Telah terakreditasi tingkat lanjut enam belas pelayanan oleh KARS
pada 20 Desember 2011, yang sertifikasinya berlaku s.d 3 Januari 2015.
Sedangkan masa ijin operasional rumah sakit berakhir pada 30 April 2013.
Sehingga sebelum tahun 2015 RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo harus sudah
melaksanakan sertifikasi Akreditasi JCI KARS Versi 2012.
Gambaran umum kinerja pelayanan di RSUD Dr. R. Sosodoro
Djatikoesoemo saat ini sering terjadi overload pasien. Hal ini dibuktikan dari data
Bed Occupancy Ratio (BOR) tahun 2012 adalah 92,93% (nilai efisien adalah 65%
– 85%) dengan jumlah 215 tempat tidur, sehingga pada Januari 2013 dilakukan
penambahan jumlah tempat tidur hingga saat ini berjumlah 297 tempat tidur.
Average Length of Stay (ALOS) adalah 4,71 hari (nilai ideal 6-9 hari). Turn of
Interval (TOI) adalah 0,41 hari (nilai ideal 1-3 hari). Bed Turn Over (BTO) dalam
7
setahun adalah 69,43 kali (idealnya 40 -50 kali). Net Date Rate (NDR) masih
tinggi yaitu 36,1‰ (nilai standar nasional ≤ 24‰). Gross Date Rate (GDR) juga
masih tinggi yaitu 71,2‰ (nilai standar nasional ≤ 45‰).
Dari data umum kinerja pelayanan maka masalah overload berdampak
pada outcome pelayanan. Sehingga pada tahun 2013 rumah sakit berencana untuk
melakukan relokasi pada gedung baru. Pengetahuan dan penerapan manajemen
fasilitas dan keselamatan bagi RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo saat ini
merupakan suatu kondisi yang sangat mendesak untuk dilakukan suatu kajian.
Dari hasil kajian sementara menyimpulkan bahwa gedung baru yang disediakan
untuk ditempati tersebut desain beberapa ruangnya masih kurang mendukung
penerapan standar manajemen fasilitas dan keselamatan. Banyak ruang yang di
desain tidak menyesuaikan peruntukan dalam pelayanan, baik dari sisi fungsi dan
juga perilaku dalam pelayanan. Sehingga untuk bisa menjalankan pelayanan yang
menjamin pasien safety harus dilakukan perbaikan fasilitas.
Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu unit pelayanan yang
terpenting di rumah sakit, yang direncanakan akan dilakukan relokasi pada tahap
pertama. Sebagaimana definisi rumah sakit menurut undang-undang bahwa
dikatakan rumah sakit jika melakukan pelayanan paripurna rawat inap, rawat
jalan, dan IGD. Unit ini harus mampu menjamin efektifitas dan efisiensi
pelayanan gawat darurat dalam waktu 24 jam secara terus-menerus. Pelayanan
IGD merupakan area yang paling sensitif dalam pelayanan kesehatan.
Sensitifitasnya ini disebabkan oleh kombinasi dari faktor urgency dan crowding.
Pelayanan urgency berasal dari distress fisik dan psikologi, yang muncul pada
situasi emergency di mana terjadinya secara mendadak, tidak disangka-sangka,
sangat menderita dan sangat mengancam (Ramesh, 2011). Sehingga manajemen
fasilitas IGD harus dibangun dan dikelola untuk bisa memenuhi fungsi pelayanan
tersebut.
Situasi pelayanan di IGD RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo saat ini
sering terjadi overload pasien. Jumlah kunjungan tahun 2012 adalah 13.819
pasien atau rata-rata 38 pasien/hari. Dengan kapasitas ruang cukup untuk delapan
tempat tidur tindakan (examination table). Banyak pasien menumpuk di IGD
8
dengan berbagai kondisi kegawatdaruratan, sehingga pasien merasakan sakit yang
diderita juga ketidaknyamanan fasilitas. Ruangan yang sempit dan padat, rasa
cemas dan sakit pada pasien, rasa panik bercampur sedih/berduka keluarga, rasa
marah karena merasa tidak cepat pelayanannya, serta kegaduhan dan suara
erangan kesakitan dari pasien lain sehingga komplain pasien/keluarga banyak
terjadi di IGD. Situasi yang gawat dan harus cepat melakukan tindakan juga
membuat stres bagi perawat, menimbulkan rasa panik dan potensi kejadian
medical error pada pasien serta kecelakaan kerja bagi staf. Hasil pelaksanaan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) IGD tahun 2012 ada satu standar indikator
yang belum tercapai yaitu kematian pasien ≤ 24 jam setelah pasien datang.
Standarnya ≤ 2‰ tetapi pencapaian rumah sakit masih tinggi yaitu 9,3‰.
Gambar 1 : Situasi dan kondisi overload pelayanan di IGD.
Kondisi overload pasien di IGD RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo
ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang pertama yaitu meningkatnya
jumlah pasien yang membutuhkan pelayanan gawat darurat, baik gawat darurat
9
bedah maupun non bedah, yang tidak diimbangi dengan perluasan fasilitas yang
ada. Meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas semakin menambah kondisi
crowding di IGD. Dari data sepuluh besar penyakit di IGD tahun 2012, tiga besar
penyakit teratas di antaranya akibat kecelakaan, yaitu ruptur tendon/trauma
vulnus/ contosio musculair (34,9%), patah tulang (21,2%), cederakepala (13,6%),
dan sisanya adalah kasus kegawatan lain. Faktor yang kedua yaitu ruang hunian
yang ada di instalasi rawat inap dan rawat intensif sering penuh sehingga pasien di
IGD yang sudah stabil
tidak bisa ditransfer ke belakang. Faktor lain yang
mendukung kondisi crowding di IGD adalah bila ada bencana keracunan gas.
Sebagaimana diketahui bahwa Kabupaten Bojonegoro pada lima tahun terakhir ini
adalah daerah yang telah dilakukan eksplorasi minyak sehingga salah satu dampak
yang beberapa kali muncul adalah adanya kebocoran gas. Pada tahun 2011 terjadi
tiga kasus kebocoran gas dengan jumlah pasien yang dirujuk ke rumah sakit
sebanyak 143 pasien. Tahun 2012 terjadi dua kasus kebocoran gas dengan jumlah
yang dirujuk adalah 56 pasien. Karena kebanyakan lokasi eksplorasi minyak
berdekatan dengan pemukiman penduduk sehingga menimbulkan banyak korban
keracunan gas.
Banyaknya pasien di IGD ini karena RSUD Dr. R. Sosodoro
Djatikoesoemo adalah rumah sakit rujukan pratama di Kabupaten Bojonegoro,
sehingga kondisi gawat darurat yang tidak bisa ditangani oleh rumah sakit
sekitarnya harus dirujuk ke RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo. Hal yang
sering terjadi adalah kondisi pasien yang sudah kritis baru dirujuk sehingga
manajemen fasilitas dan prosedur pelayanan life support menjadi hal mendasar
yang harus dipenuhi. Untuk kebutuhan ini telah berusaha diupayakan tetapi karena
lahan perluasan tidak ada. Luas gedung IGD masih sangat kurang. Luas gedung
IGD saat ini adalah 471,2 m2 , tetapi area ini harus berbagi dengan poli orthopedi
dan Unit Transfusi Darah (UTD) Palang Merah Indonesia (PMI) sehingga luasan
IGD tinggal separuhnya yaitu ± 236 m2. Sehingga kebutuhan ruang-ruang untuk
pelayanan di IGD beserta peralatannya belum mampu memenuhi standar
pelayanan. Karena saat ini belum semua fasilitas tersebut terpenuhi sesuai standar
dan kebutuhanan. Tidak ada Ruang Triase,
Ruang Observasi, Ruang Bedah
10
Minor, Area Scrub Up, Ruang Farmasi, Ruang Linen, Ruang Penyimpanan
Peralatan, Ruang Utilitas Kotor, Ruang Kepala IGD, Ruang Sterilisasi, Area
Persiapan Bencana Massal, Ruang Dekontaminasi. Tidak ada pemisahan zona
bersih dan zona kotor, tidak ada hospital plint, tidak semua jalur pasien dalam
IGD mudah diakses untuk kursi roda dan brancard. Layanan penunjang
diagnostik yang dekat adalah ruang radiologi sedangkan laboratorium masih
relatif jauh, harusnya kedua ruang ini mudah dan cepat diakses dari ruang IGD.
Ruang bank darah tersedia dekat dengan ruang IGD tetapi depo obat belum ada di
IGD. Ruang untuk keluarga menunggu juga masih kurang luas sehingga banyak
penunggu berjubel di depan ruang tindakan yang bisa mengganggu pelayanan.
Sehingga untuk bisa memenuhi pelayanan IGD yang optimal diperlukan fasilitas
yang bisa mengakomodasi semua kebutuhan pelayanan gawat darurat tersebut.
Bangunan gedung IGD RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo yang baru
ini direncanakan adalah IGD terpadu, yaitu sesuai dengan pedoman teknis sarana
dan prasarana dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa ruang lingkup
pelayanan IGD meliputi true emergency, cito operasi, emergency High Care Unit
(HCU), cito laborat, cito radiodiagnostik, cito darah, cito farmasi, dan juga cito
pelayanan kebidanan. Sehingga pada gedung baru nanti desain ruangnya adalah
meliputi semua pelayanan tersebut, sebagaimana dalam gambar 2.
Pada kajian sekilas tentang gedung ini mulai dari pintu masuk lalu ke
ruang proses pelayanan sampai dengan discharge dari pelayanan gawat darurat
banyak yang tidak sesuai. Akses masuk IGD di desain kurang luas sehingga tidak
mendukung suatu tindakan yang membutuhkan kecepatan waktu untuk
mengaksesnya, pintu masuk hanya berukuran < 120 cm, jalan menuju pintu
masuk menanjak dan ada perbedaan ketinggian lantai sehingga potensi slip/jatuh.
Ruang triase yaitu ruang untuk memilah kondisi pasien antara yang true
dan false emergency berada di sebelah dalam. Padahal fasilitas ini adalah hal
pertama yang dilakukan begitu pasien masuk untuk menentukan tindakan
selanjutnya, maka seharusnya ruang ini tepat berada dekat dengan pintu masuk.
Ruang resusitasi aksesnya dengan ruang triase terlalu banyak sekat pintu sehingga
terkesan tidak bisa cepat menjangkaunya. Seharusnya ruang resusitasi dengan
11
triase langsung mudah diakses. Dimensi setiap ruang kurang luas sehingga
petugas tidak bisa leluasa dalam memberikan pelayanan, misal ruang resusitasi
hanya berukuran 4,5 m X 4,5 m = 20,25 m2 sedangkan standarnya 36 m2, padahal
ruangan ini dilihat dari fungsinya akan banyak dipenuhi dengan peralatan medis.
Selain itu juga ruang operasi hanya berukuran 6 m x 4 m. Kalau dilihat dari
Permenkes RI Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Ruang Operasi Rumah Sakit,
maka luasan minimal untuk operasi minor saja adalah 6 m x 6 m x tinggi 3 m.
Gambar 2: Akses masuk ke IGD tampak dari
luar
Gambar 3: Akses masuk ke IGD
tampak dari dalam
Gambar 4 : Desain Ruang bersekat-sekat, tidak open plan
Bila dilihat secara keseluruhan layout ruang di IGD sifatnya tidak open
plan, yaitu tidak terbuka secara luas. Sehingga area yang dapat digunakan bila ada
12
kasus kegawatdaruratan penanganan korban bencana massal (Mass Disaster
Cassualities Preparedness Area) tidak ada atau tidak bisa memenuhi untuk fungsi
fasilitas tersebut. Ruangan di desain terlalu banyak sekat dan pintu, pandangan
petugas tidak bisa bebas, ruang perawat jauh dari ruang observasi pasien sehingga
kerja tidak efisien. Lebar koridor antara satu ruang dengan ruang yang lain sempit,
semisal koridor ruang bersalin dengan ruang operasi emergency hanya 200 cm,
seharusnya minimal 240 cm, sehingga brancard atau hospital bed bisa leluasa
bergerak dan berbelok. Pintu keluar pasien dari IGD baik discharge maupun
transfering ke unit perawatan lain tidak tersedia jalur khusus, pasien harus
melewati unit lain untuk bisa keluar, misal dari layout tersebut untuk pasien dari
surgical room akan ditransfer ke unit rawat inap, maka harus melewati tiga pintu
yaitu pintu menuju ruang X- Ray, pintu menuju ke laboratorium, dan terakhir
pintu koridor keluar IGD. Hal ini selain tidak efisien dalam bekerja juga bisa
berpotensi memicu infeksi nosokomial.
Dari gambaran sekilas tentang situasi fasilitas di gedung IGD sudah dapat
diperkirakan bahwa gedung tersebut perlu dilakukan renovasi sehingga fungsi
fasilitas dan prilaku petugas dalam pelayanan dapat menjamin keselamatan dan
keamanan semua penghuni rumah sakit. Untuk melakukan renovasi tersebut
dibutuhkan banyak sumber daya baik biaya, tenaga, dan juga waktu. Rencana
renovasi yang akan dilakukan ini harus mengacu pada standar MFK sebab ke
depannya saat penilaian JCI diharapkan tidak ada kendala. Untuk itu perlu adanya
suatu kajian review fasilitas fisik pada gedung baru tersebut, sehingga sebelum
gedung tersebut difungsikan sudah dilakukan renovasi sesuai standar MFK.
Dari gambaran fisik gedung IGD tersebut maka perlu dilakukan perbaikan
layout desain ruangnya agar pelayanan dapat berfungsi secara safety, aman, dan
efisien. Dibutuhkan suatu pengalaman bentuk best practice tentang desain IGD
yang memenuhi standar MFK. Sehingga untuk memudahkan penerjemahan dan
implementasinya perlu dilakukan benchmaking ke rumah sakit yang sudah lulus
akreditasi JCI, baik penilaian oleh tim JCI Internasional maupun oleh tim JCI
Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Benchmarking adalah suatu proses yang
berkesinambungan untuk mengukur dan membandingkan produk, pelayanan, dan
13
praktik terhadap pesaing yang tangguh atau organisasi lain yang dikenal sebagai
leader (Kearn, Xerox) (Kay et al.,. 2007). Dengan melakukan benchmarking salah
satu manfaatnya yaitu akan memperpendek siklus perbaikan proses best practice
dengan percepatan pembelajaran. Kemudian hasil tersebut dibandingkan dengan
fasilitas yang ada di tempat RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo untuk
dilakukan perbandingan. Dari hasil perbandingan tersebut maka dapat dikaji
bagaimana posisi kesiapan RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo untuk
memenuhi standar MFK pada fasilitas IGD. Dengan mengetahui standar yang
seharusnya dipenuhi maka dapat disusun plan of action rehabilitasi fasilitas IGD
RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo.
B. Perumusan Masalah
Dari gambaran sekilas tentang situasi fasilitas di gedung IGD bila
dikaitkan dengan best practice EBD, maka gedung tersebut perlu dilakukan
renovasi sehingga fungsi fasilitas dan perilaku petugas dalam pelayanan dapat
menjamin keselamatan dan keamanan semua penghuni rumah sakit. Untuk
melakukan renovasi tersebut dibutuhkan banyak sumber daya baik biaya, tenaga,
dan juga waktu. Rencana renovasi yang akan dilakukan ini harus mengacu pada
standar MFK sebab ke depannya saat penilaian JCI diharapkan tidak ada kendala.
Untuk itu perlu adanya suatu kajian review fasilitas fisik pada gedung baru
tersebut, sehingga sebelum gedung tersebut difungsikan sudah dilakukan renovasi
sesuai standar MFK. Dari permasalahan tersebut maka rumusan masalahnya
adalah bagaimana strategi RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo untuk
memenuhi standar MFK IGD?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum:
Menyusun rancang bangun perbaikan fasilitas IGD rumah sakit.
14
2. Tujuan khusus:
a.
Melakukan kajian pelaksanaan implementasi standar MFK melalui
benchmarking di RS yang sudah terakreditasi oleh JCI (baik oleh Tim JCI
maupun oleh Tim KARS).
b.
Melakukan evaluasi desain fasilitas fisik di IGD RSUD Dr. R. Sosodoro
Djatikoesoemo.
c.
Menyusun plan of action (POA) untuk perbaikan fasilitas di RSUD
Dr.
R. Sosodoro Djatikoesoemo.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Memberikan kemudahan pelaksanaan kerja tim MFK di RSUD Dr. R.
Sosodoro Djatikoesoemo dengan tersusunnya pedoman teknis implementasi
standar MFK dan desain fasilitas fisik gedung IGD.
2. Memberikan arah dan tahapan pelaksanaan perbaikan/renovasi fisik fasilitas
RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo yang sesuai standar MFK.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang terkait dengan kegiatan akreditasi rumah sakit yang pernah
dilakukan sebelumnya di antaranya adalah:
1. Bridget Ann Sweeney (2008). The Ecology Of The Patient Experience:
Physical Environments, Patient-Staff Interactions, Staff Behaviour, And
Quality Of Care. Penelitian dilakukan di Weill Greenberg Center
Dermatology pada Cornell University, New York. Tujuan penelitian ini untuk
memahami persepsi pasien, perubahan perilaku staf, dan interaksi antara
pasien-staf pada lingkungan kerja yang diubah lebih menarik, yang
dihubungkan dengan peningkatan kualitas pelayanan. Hasil penelitian
15
menunjukkan persepsi yang positif dari pasien dan staf terhadap perubahan
interaksi keduanya yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik. Desain fasilitas
kesehatan dapat mempengaruhi persepsi pasien dan staf terhadap kualitas dan
kepuasan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi unsurunsur desain tertentu yang meningkatkan persepsi pasien dan karyawan
kualitas, serta kepuasan. Persamaan dengan penelitian tersebut adalah
melakukan perubahan fisik gedung fasilitas pelayanan. Perbedaannya, melihat
persepsi pasien dan staf terhadap peningkatan kualitas pelayanan yang
dikaitkan dengan lingkungan fisik.
16
Download