Regionalisme dan Dampaknya dalam Pemilihan Presiden di Korea

advertisement
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011
ISSN: 0216-9290
Jeanie Annisa
Regionalisme dan Dampaknya dalam Pemilihan Presiden di Korea Selatan
Regionalisme dan Dampaknya dalam
Pemilihan Presiden di Korea Selatan
JEANIE ANNISSA
Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Budi
Luhur, Jl. Raya Ciledug, Petukangan Utara, Jakarta Selatan, 12260, Telepon: 021-5853753,
Fax: 021-7371164, Email: [email protected]
Diterima tanggal 2 Mei 2011/Disetujui tanggal 28 Mei 2011
The issue of regionalism became one of the important issues during 1992. The main issue is the
economic improvement. Industry in South Korea is located in the Kyongsang are experiencing
rapid economic improvement. Contrast with Cholla as an agricultural region. Social inequalities also become an important issue raised during the Presidential Election and elites use the
local history to control society. This paper discusses the regionalism and the impact in presidential election in South Korea. The paper indicates the regionalism under the authoritarian
military system and how the regionalism can create the political cleavage in the regional and
appear to contribute in the election party. Creating the Regionalism issues influence the correlation between economic growth and political growth. In this point, economic growth influence
by democratic transition without sentiment regional. Good levels of literacy in South Korea
contribute to the formation of the social system with a better political culture.
Keywords: Regionalism, election, regime.
Pendahuluan
Setelah terlepasnya Korea Selatan di bawah
kepemimpinan militer, regionalisme menjadi
isu yang berkembang dalam proses demokrasi di Korea Selatan. Persoalan regionalisme digunakan sebagai pembentuk kantongkantong politik untuk dikelola menjadi
sebuah kelompok yang diberdayakan dalam
proses pemilihan umum. Dalam hal ini,
kebijakan pada masa sistem otoritarianisme
militer Korea di awal 1990an memberikan
kontribusi penting bagi sektor sosial maupun
sektor pemerintahan. Kondisi ini timbul
sebagai upaya untuk menggagalkan diskriminasi regional. Struktur material, hubungan
kekuasaan dan formasi institusional memberikan kontribusi terhadap tantangan regionalisme di Korea Seatan.
Tantangan regionalisme adalah kemampuan
elite melakukan monopoli koalisi kelompok
politik konservatif dan juga menguasai bebe-
rapa surat kabar di daerah. Di sisi lain, pengaruh civil society dan kelompok organisasi
juga memberikan kontribusi untuk mengubah
proses pemilihan institusional dalam praktek
konsolidasi demokrasi. Sehubungan dengan
itu, pemikir politik Robert A. Dahl juga
menggambarkan bahwa sistem politik korea
telah menunjukan arti besar bagi kebebasan
berekspresi dan berorganisasi yang ditunjukkan ketika penyelenggaraan pemilihan umum
berlangsung.
“Korea decisively makes the ranking of “score 1”
which denotes the political system in which meaningful fair election are held, there is full freedom for political organization and expression, and there is some
preferential presentation of official views in media.” 1
1
Kim Sun Yuk, “Civil Society and Local Democracy“[Jurnal online], Korea Journal (Winter
2006), hal. 63, tersedia di: https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:Fp99HYWtwLAJ:ww
w.ekoreajournal.net/upload/pdf/PDF4644+%22K
orea+decisively+makes+the+ranking+of+%22&
71
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011
ISSN: 0216-9290
Jeanie Annisa
Regionalisme dan Dampaknya dalam Pemilihan Presiden di Korea Selatan
Pengertian pemikiran Robert Dahl juga menunjukan bahwa Korea harus menetapkan
syarat prosedural dan institusional seperti
kebebasan dalam eleksi, kebebasan sipil dan
kebebasan media. Dengan demikian, negara
dapat terbentuk secara demokratis. Interpretasi regionalisme di Korea adalah sebagai salah satu karakteristik rezim militer otoritarianisme di tahun 1970 dan 1980. Sedangkan
setelah tahun 1990, dominasi regionalisme
di Korea Selatan memiliki 2 interpretasi. Interpretasi pertama, adalah premis mengenai
adanya manipulasi ideologi dari kelompok
the rulling class. Kedua, regionalisme dipakai sebagai pengelolaan wilayah territorial.2
Aspek teritorial di Korea Selatan selalu
berdampak dengan pertumbuhan ekonomi
selama kurang dari 4 dekade.3 Kemudian,
pertumbuhan ekonomi menjadi program politik utama dalam masa pemilihan presiden.
1961, Park Chung Hee memimpin Dewan
Militer. Hal ini sebagai upaya perubahan
struktural di Korea Selatan. Tetapi, perubahan-perubahan struktural ini menunjukan
semakin tajamnya kondisi sentimen kedaerahan dan pertentangan daerah. Park Chung
Hee memperkenalkan dirinya sebagai putera
daerah Kyongsang dan mengajak masyarakat
Kyongsang untuk menduduki posisi-posisi
kunci dalam pemerintahannya. Kyongsang
pun menikmati hasil Pemilihan Presiden.
Anggota Majelis Nasional lebih dari 65
persen berasal dari wilayah Kyongsang.
Dalam hal ini, dominasi daerah Kyongsang
di dalam arena politik menciptakan kesenjangan antara daerah Kyongsang dan daerah
lainnya khususnya wilayah Cholla. Dominasi
ini tidak menguntungkan dan mengasingkan
rakyat di wilayah Cholla.
Pendekatan dan Metode
Kebijakan politik Park Chung Hee diperlihatkan dalam pola perekrutan pejabat birokrat
tingkat tinggi, yang kemudian menghasilkan
faktor paling penting dalam memperkuat
ketegangan-ketegangan antar daerah. Elite
pemerintahan yang baru itu mengenalkan
pola yang berbeda yang berkenaan dengan
pembangunan ekonomi dengan memusatkan
sumber-sumber bagi pembangunan, terutama
infrastruktur industri, di propinsi-provinsi
bagian tenggara.4 Terlihat juga bahwa, di
samping pemberian imbalan-imbalan politik,
penduduk Kyongsang pun menikmati imbalan ekonomi yang diperkenalkan pada
daerah ini. Kebijakan-kebijakan yang ada
menguntungkan daerah tersebut, dan akhirnya mendorong tumbuhnya basis industri
pabrik dan industri pokok.
Studi ini dilakukan dengan pendekatan perilaku politik. Fokusnya pada perilaku pemilih
dalam pemilu dan perilaku kekuasaan dalam
menguatkan pengaruh politik. Pengumpulan
data dilakukan dengan cara studi pustaka dan
dokumen. Analisis dilakukan dengan metode
analisis deskriptif.
Perkembangan Regionalisme di Korea Selatan
Peranan regionalisme di Korea Selatan sebenarnya mulai jelas terlihat di masa pemerintahan militer Park Chung Hee. Setelah Park
Chung Hee mengambil alih kekuasaan dari
kepemimpinan Chang Myon pada tahun
hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESinzYoPKb
rliZuTq6-YJh145Ov6d21n1zFZxw6oerfn1n5xP59_chkeJid_xGwCxFLic1m8LyiTLXLziDl2jI2U3DcfqCwGbkPEQlHPuPyYo5f8_LO2VKxmFYlqC7BG425koQNm&sig=AHIEtbR3zwMlhXJUViVtvLQ2kqGixuR4Tw; diunduh 7 April 2011.
2
Lihat Kang Myung Goo, “Decentralization and
the Structuring of Regionalism in Korea: Condition and Posibilities”, Journal Korea (Summer
2003).
3
Dibawah rezim militer, pengembangan regionalisme di wilayah Honam dan Yeongnam berdampak sebagai sumber terjadinya konflik. Lihat Kim
Yong Hak, “Elliteu chungwon-e isseoseoui jiyeok
gyeokcha: Regional Disparities in Elite Recruitment”, In Hanguk-ui jiyeokjuui-wajiyeok galdeung: Regionalism and Regional Conflicts in
Korea, (Seoul: Seongwonsa, 1990).
72
Sebaliknya, konsentrasi perkembangan ekonomi di daerah Kyongsang jauh lebih ber4
Menurut Yea, SW, struktur elite politik dan
ekonomi memainkan peranan penting dalam
menciptakan dan memelihara jaringan-jaringan
yang berbasis daerah. Khususnya selama proses
akumulasi yang cepat pada tahun 1960-an dan
1970-an, golongan-olongan politik dari wilayah
tenggara (wilayah kyongsang) merebut dan mengontrol pemerintahan pusat dan memanipulasi
hasil-hasil pembangunan. Dalam tulisan Widyonugrahanto, Demokratisasi Di Korea Selatan Tahun 1987-1998: Sentimen Kedaerahan Dalam
Jalan Menuju Konsolidasi Demokrasi Korea Selatan, Gadjah Mada Press, Jogjakarta, 1999, Hal.
52-53.
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011
ISSN: 0216-9290
Jeanie Annisa
Regionalisme dan Dampaknya dalam Pemilihan Presiden di Korea Selatan
kembang daripada daerah Cholla yang merupakan daerah dengan karakteristik agraria.
Kemudian faktor selanjutnya adalah perbedaan-perbedaan sosial antara dua daerah
tersebut yang memperlihatkan bahwa penduduk Kyongsang memperoleh lebih banyak
penghasilan dan memiliki standar hidup yang
lebih tinggi daripada penduduk di daerah
Cholla karena berkembanganya industri yang
dengan sendirinya membutuhkan banyak
tenaga kerja.
Di Korea Selatan, isu kedaerahan merupakan
hal yang unik dalam kehidupan berbangsa
yang ditimbulkan dari latar belakang masalah
rasial, historis, bahasa dan budaya homogen.5
Munculnya isu kedaerahan kemudian dianggap secara langsung dimunculkan oleh elite
yang berkuasa untuk meningkatkan dukungan di basis-basis daerah tertentu atau sebagai
alat untuk membuat diskriminasi politik dan
pemisahan sosial. Park Chung Hee kemudian
dianggap sebagai orang yang bertanggung
jawab atas berkembangnya sentimen-sentimen kedaerahan. Alasan Park Chung Hee
membuat kebijakan demikian dapat ditelusuri
kembali pada ambisi pribadi Park Chung Hee
untuk menduduki jabatan sebagai Presiden.
Park Chung Hee mengakui bahwa, melaksanakan ambisinya bukanlah suatu hal yang
mudah karena tidak berkembangnya isu-isu
ideologis yang dia andalkan untuk meningkatkan popularitasnya di kalangan masyarakat Korea Selatan. Suasana politik Korea
Selatan setelah militer berkuasa melalui
kudetanya sangat berbeda dengan situasi
pada dua rezim sebelumnya. Chang Myon
berkuasa setelah dia dan partai NDP-nya
berhasil mengeksploitasi konfrontasi ideologi
antara demokrasi dan kediktaktoran yang
diciptakan Sygman Rhee. Sygman Rhee tetap
dalam kekuasaan selama 12 tahun dengan
mempertajam konfrontasi ideologi antara
liberalisme dan komunisme dari Korea Utara.
Identifikasi Park Chung Hee dengan daerah
asalnya, tampak menjanjikan untuk meningkatkan pengumpulan suara pada Pemilihan
Presiden, karena itu dia memperkuat isu
mengenai sentimen kedaerahan di kalangan
penduduk Kyongsang untuk lebih menarik
5
simpati sehingga mereka mendukungnya
melalui pemberian suara.
Sentimen kedaerahan tersebut merupakan
pilihan yang tersisa karena tidak adanya isuisu strategis yang penting. Untuk mempertahankan dukungan penduduk Kyongsang pada
tahun berikutnya, maka Park Chung Hee perlu mengadakan perbaikan riil dalam kehidupan di masyarakat Kyongsang. Penduduk
Kyongsang banyak diuntungkan dalam masa
pemerintahan Park Chung Hee. Hal ini ditunjukkan dengan pemberian kesempatan untuk
terpilihnya Anggota Majelis dan pemegang
jabatan pokok. Harapan ini sebagai imbalan
mereka jika menyokong Park Chung Hee dan
partainya. Kenyataannya, keberlangsungan
pemerintahan Park Chung Hee selama hampir dua dekade disebabkan oleh kuatnya
dukungan penduduk Kyongsang. Selanjutnya
Park Chung Hee mendirikan jaringan-jaringan yang berbasis daerah di Kyongsang
dalam bentuk golongan-golongan elite pemerintah, serta memelihara struktur kekuasaan
yang ada dengan kondisi Park Chung Hee
tetap berada di atasnya.
Penduduk Cholla terasing ketika mereka tidak diuntungkan dengan imbalan-imbalan
politik, sementara posisi-posisi di Kyongsang
berkembang pesat menjadi pusat-pusat industri, propinsi-provinsi di daerah Cholla tetap agraris. Perubahan-perubahan struktural
sejak tahun 1961 itu memperkuat ketegangan-ketegangan antar daerah. Sentimen kedaerahan yang kuat tampak berurat akar di
dalam iklim politik Korea sejak itu. Menyusul runtuhnya pemerintahan Park Chung Hee,
rakyat di Kwangju pada tanggal 18 Mei 1980
memperlihatkan indikasi yang kuat terhadap
tingkat sentimen kedaerahan di kalangan
rakyat Cholla mengenai oposisi mereka atas
berkembangnya pemerintahan militer baru
yang menunjukan elite tingkat atas dari daerah Kyongsang. Pergolakan tersebut dimulai
dengan demonstrasi-demonstrasi tanpa kekerasan oleh para mahasiswa dari universitas
Chonam dan universitas Choson di wilayah
Kwangju. Aksi ini sebagai bentuk protes untuk melawan pemerintah tentang dekrit keadaan perang Nomor 10 pada tanggal 17 Mei
1980.
Ibid., hal. 6-7.
73
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011
ISSN: 0216-9290
Jeanie Annisa
Regionalisme dan Dampaknya dalam Pemilihan Presiden di Korea Selatan
Para pelajar tersebut meminta penghentian
segera keadaan perang, implementasi atas reformasi demokrasi dan pembebasan pahlawan lokal yang ditahan, yaitu Kim Dae Jung.
Namun, ribuan orang di Kwangju bergabung
dengan demonstran tersebut ketika polisi verusaha membubarkan mereka dengan paksa.
Mereka merepotkan polisi yang telah verusaha membubarkan kerumunan tersebut.
Kesatuan pasukan khusus yang telah terlatih
dengan pertempuran brutal di perbatasan Korea Utara, dikirim ke kota tersebut setelah
polisi gagal menguasai kerumunan.
Bentrokan-bentrokan serius timbul antara
demonstran dengan pasukan khusus ini. Pada
tanggal 21 Mei 1980, pasukan khusus ini
ditarik kembali ke luar kota dan meninggalkan Kwangju di bawah kontrol para demonstran. Para demonstran itu kemudian mendirikan pos komando mahasiswa di gedung
pemerintah daerah dan membangun kekuatan
dengan senjata-senjata yang direbutnya. Pada
tanggal 27 Mei 1980, sekitar 17000 pasukan
tentara, dipelopori oleh tank-tank, menyerang
para demonstran tersebut. Pasukan tersebut
akhirnya menguasai kota dan mengakhiri
konfrontasi sembilan hari yang berdarah
tersebut di Kwangju. Pergolakan sipil dipercayai meninggalkan sentimen kedaerahan
antara provinsi Kyongsang dan Cholla. Pengerahan kekuatan militer oleh Chun Doo
Hwan dalam memberantas demonstran-demostran di Kwangju semakin memperkuat
sentimen kedaerahan diantara penduduk
Cholla dan Kyongsang. Selanjutnya, selama
Kepresidenan Chun Doo Hwan, daerah
Kyongsang lebih suka merekrut orang-orang
Kyongsang untuk posisi utama di pemerintahannya daripada orang-orang Cholla.
Persekutuan-persekutuan kedaerahan yang
diciptakan rezim Park Chung Hee dan Chun
Doo Hwan sangat kuat, mendorong sentimen
kedaerahan dalam pemungutan suara pada
pemilu-pemilu yang diadakan di bawah
pemerintahan demokrasi yang baru sejak
1987. Terlihat jelas, bahwa sifat pemungutan
suara telah memperbesar keberlangsungan
politik yang berpusat pada elite-elite tertentu
di dalam situasi politik Korea Selatan sejak
itu.
74
Isu Regionalisme dalam Pemilu 1992
Sejalan dengan itu, di masa Pemilihan Presiden Korea Selatan tahun 1992, isu pergulatan
daerah masih diwarnai oleh faktor ketidakmerataan ekonomi yang memunculkan kesenjangan sosial diantara daerah-daerah di
Korea Selatan seperti wilayah Kyongsang
dengan wilyah Cholla. Berbeda situasinya
dengan Park Chung Hee yang memunculkan
problem isu kedaerahan akibat sulitnya
mengangkat isu ideologis untuk menarik dukungan masa, maka di masa Kim Young Sam
isu daerah dianggap memiliki pengaruh terhadap nilai-nilai pembangunan ekonomi
yang menjadi isu sentral masalah domestik.
Pembahasan regional selama perkembangan
sejarahnya dianggap sebagai sebuah sumber
landasan mayoritas dalam mempelajari perilaku pemilih dalam pemerintahan negara
Korea. Kim Dae Jung pernah memperoleh
mayoritas suara di Provinsi Cholla sebanyak
87% di tahun 1987, 89% di tahun 1992, dan
93% di tahun 1997. Di sisi lain Kim Young
Sam di Provinsi Cholla memperoleh suara
3% di tahun 1987, 5% di tahun 1992, dan
12% di tahun 1997 dan mendapat 69% di
Provinsi Kyongsang. Selain itu juga berdasarkan polling data dari Lembaga Penelitian
Research and Research,6 mengindikasikan
jika adanya kemampuan aktor dalam mengelola “afiliasi regional” dapat menjadi
sebuah ramalan politik terbaik bahwa seseorang dapat terpilih. Seperti halnya Kim Jong
Pil, yang merupakan putra daerah Provinsi
Chungchongyang, Kim Dae Jung dari
Chollanam-do dan Kim Young Sam yang
berasal dari wilayah Kyongsang. TaeguKyongbuk (TK) merupakan blok distrik
Pusan-Kyongnam (PK) sedangkan SeoulKyonggi (SK) juga memiliki pemilih yang
cenderung berdasarkan wilayah.7
6
David C. Kang, “Regional Politics and Democratic Consolidation”, dalam Samuel S. Kim
(ed.), Korea’s Democratization, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2003). hal. 165.
7
Byung Kook Kim, Jiyokjuuiwa Jongchi Gaehyuk: Regionalisme and Political Reform, (Seoul:
Nanam, 1996), hal. 40-57.
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011
ISSN: 0216-9290
Jeanie Annisa
Regionalisme dan Dampaknya dalam Pemilihan Presiden di Korea Selatan
Dalam penjelasan munculnya regionalisme,8
para analis memfokuskan diri pada tiga
faktor utama, yakni: sejarah kesenjangan
pembangunan yang kontras antara Cholla
dan Kyongsang, ketidakjelasan rekruitmen
elite, dan manipulasi sentimen daerah oleh
elite politik yang disebabkan oleh banyak
kasus termasuk insiden Kwangju tahun 1980
di Kwangju yang juga menyudutkan salah
satu elite yakni Kim Dae Jung.
Masalah regional ini juga sebelumnya, memiliki akar masalah yang panjang jika dirunut berdasarkan budaya negara Korea. Di
masa lalu sebelum terbentuknya sebuah negara Korea yang dikenal saat ini terdapat 3
periode kerajaan yang menguasai wilayah
Korea, yakni Kerajaan Gorguyo, Kerjaaan
Silla (Sekarang Provinsi Kyongsang atau
Yongnam), Kerajaan Baekche (Sekarang
Provinsi Cholla atau Honam) yang secara
konsisten berperang satu sama lain.
Di abad ketujuh Kerajaan Silla bergabung
dengan China untuk menyerang Kerajaan
Baekche dan bersatu untuk memasuki Korea.
Di abad selanjutnya, poros ekonomi sumber
daya alam berpindah tempat dari Seoul ke
Pusan sebagai pusat ekonomi. Pusan (Provinsi Kyongsang) yang sangat dekat dengan
pelabuhan Jepang yang memiliki fasilitas
perdagangan internasional begitupun dengan
Seoul yang merupakan ibukota negara Korea
yang juga dekat dengan China. Setelah
merdeka dari Jepang, pemerintah militer
menempatkan tempat industri di wilayah
selatan untuk melindungi invasi Korea Utara
sedangkan Provinsi Cholla dalam kurun 50
tahun terakhir tetap memperluas pembangunan ekonominya dalam pengelolaan di bidang
agraria khususnya setelah wilayahnya terbagi
dua.9
Dalam catatan kajian tentang regionalisme
Korea ini, juga tercatat bahwa proporsi
politik dan bisnis elite cenderung lebih tinggi
di Provinsi Kyongsang sedangkan proporsi
terendah ada di wilayah Cholla. Selama
pemerintahan Syngman Rhee, populasi
Korea selatan banyak bertempat tinggal di
wilayah Provinsi Cholla (Honam) dan kurang
dari 6 persen para elite berasal dari sana.
Trend regional ini kembali dimunculkan
ketika pemerintahan berada di bawah era
Park Chung Hee tahun 1961-1979. Park yang
berasal dari wilayah Tenggara Kyongsang
(Yongnam), membawanya menjadi seorang
lelaki yang memiliki posisi kekuasaan dan
mengarahkan pembangunan ekonomi yang
lebih condong dan terpusat hanya di PusanSeoul. Dimulai dari rejim Park Chung Hee
hingga rejim Kim Young Sam, para elite
tidak pernah melakukan banyak kompromi
kebijakan dengan Provinsi Cholla kecuali
hanya 15 persen atau seperempat bagian dari
keseluruhan kebijakan yang dilakukan.10
Berdasarkan sejarahnya, wilayah Cholla memang telah difokuskan dibidang agrikultur
dan Kyongsang di bidang perindustrian tetapi
memang sudah seharusnya pemimpin bisa
berasal dari wilayah mana saja tetapi kita
juga tidak bisa mengelakan kenyataan bahwa
ekonomi dan politik rasional yang hanya
menekankan pembangunan terpusat di Seoul
dan Pusan. Sebagaimana Seoul merupakan
Ibukota negara Korea Selatan dan Pusan
sebagai pelabuhan utama yang menaruh
akses penting dalam jalur perdagangan
dengan Jepang.11
Mungkin juga, kebanyakan insiden dramatik
membantu menyulut semangat kedaerahan,
seperti insiden Kwangju di tahun 1980 ketika
militer melakukan penyerangan terhadap
demonstran pergerakan di Ibukota Provinsi
Cholla. Chun Doo Hwan seorang militer
yang berasal dari wilayah Kyongsang mengambil alih barisan terdepan dalam DMZ
(Demiliterized zone) di perbatasan Korea
Utara, Ibukota Provinsi Cholla, Kwangju.
Dalam insiden Kwangju tersebut tidak
kurang dari 200 orang terbunuh. Disanalah
dimunculkan opini bahwa Chun sengaja memilih wilayah Kwangju untuk menunjukan
kekuatannya dan saat itupula aksinya mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah
Amerika Serikat dan akibatnya wilayah
Cholla mengalami pertumbuhan ekonomi
8
Jeong-Ho Roh, “Crafting And Consolidating
Constitutional Democracy In Korea”, dalam David, C. Kang, loc.cit.
9
Ibid., hal. 166.
10
11
Loc.cit.
Loc.cit.
75
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011
ISSN: 0216-9290
Jeanie Annisa
Regionalisme dan Dampaknya dalam Pemilihan Presiden di Korea Selatan
dan politik yang berjalan dengan lambat daripada di wilayah Kyongsang.12
Sebenarnya ada beberapa alasan teoritis yang
digunakan di tahun 1987 yang sangat berguna untuk latihan menganalisa hasil data pemilihan. Pertama, jika hasil Pemilu telah
selesai sepenuhnya lalu di random maka kita
sama sekali tidak memiliki informasi mengenai apa saja yang lebih disukai para pemilih,
tetapi selama data pemilih tidak sepenuhnya
dirandom maka kita dapat mengetahui
informasi tentang data jumlah semua pemilih
sehingga partai incumbent dapat mengambil
keuntungan untuk mengatur arah strategi
mereka. Kedua, usaha untuk mewujudkan
Pemilu yang adil bagi politisi pemerintah
ataupun oposisi dalam putaran akhir Pemilihan yang nantinya akan membuktikan bahwa
Pemilu dilaksanakan secara serius dan terkonsentrasi.
Namun, kurangnya pemahaman substantif
masyarakat Korea terhadap nilai demokrasi
tampak menonjol ketika masyarakat Korea
harus memilih dalam Pemilu. Masyarakat
Korea masih melihat identifikasi personalitas
sebagai alasan utama untuk menentukan
pilihan mereka. Pola-pola tersebut khususnya
terlihat di daerah-daerah tertentu dimana
mereka mendukung Kandidat Lokal ataupun
putra daerah yang mencalonkan diri.
Bertahannya pola regionalisme dalam Pemilu
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
bertahannya pola pengelompokan lama.13
Sikap kedaerahan hanya ditolak oleh para
pemilih terdidik, namun kenyataan faktor ini
tetap menjadi penentu penting dalam
Pemilihan-Pemilihan yang diselenggarakan
dari tahun 1960an hingga tahun 2000an.
Y.P. Hermawan juga menegaskan dalam
tulisannya tentang Klientisme Di Korea Selatan14 bahwa peran elite sangat besar dalam
mempengaruhi pilihan politiknya ketika
proses Pemilihan berlangsung. Para pendukung (client) akan tetap setia mengikuti arah
12
Bruce Cumings, Korea Place in The Sun, (New
York: W.W Norton, 1997), hal. 377-390.
13
Lihat YP. Hermanan, Democratization in South
Korea (1987-1996): The Persistence Of personalism-Centered Party Politics, (Thesis Master, Monash University, 1997).
14
Ibid.
76
politik dan kebijakan para elite yang didukungnya. Dengan demikian, elite mampu
memanfaatkan sifat kedaerah itu untuk meningkatkan jumlah suara. Kondisi ini semakin memperdalam karakter regionalistik dalam voting di Pemilihan-Pemilihan yang diselenggarakan pada periode tersebut. Berikut
ini akan digambarkan Tabel 4, yang menunjukkan kuatnya faktor kedaerahan dan personalitas elite pada periode 1987-1992. Hal ini
juga menunjukan pengaruh adanya korelasi
antara mayoritas jumlah suara legislatif dari
suatu partai terhadap kemenangan Kandidat
Presiden dalam Pemilihan selanjutnya.
Realitanya, Isu kedaerahan sudah sejak lama
menjadi isu penting yang dimunculkan dalam
setiap kali proses eleksi baik di tingkat lokal
maupun nasional. Pesona putera daerah masih memberikan pengaruh penting untuk
mendapatkan dukungan suara. Sentimen
daerah seringkali dikaitkan dengan persoalan
isu ekonomi. Di Korea Selatan isu sentimen
daerah seringkali menimbulkan kesenjangan
ekonomi di beberapa wilayah. Seperti yang
terjadi di daerah Kyongsang yang merupakan
wilayah industri jauh lebih maju daripada
daerah Cholla dengan karakteristik agraria.
Kondisi ini hingga tahun 1992, dilatar
belakangi oleh keberadaan Presiden Korea
Selatan yang selalu berasal dari wilayah
Kyongsang, sehingga perbaikan ekonomi
Kyongsang jauh lebih maju dari provinsi
Cholla. Hal ini dibuktikan ketika masa Park
Chung Hee masyarakat Kyongsang banyak
menguasai pemerintahan, dan ketika di
Pemilu 1992, Kim Young sam melakukan
pertemuan rahasia dengan Pemimpin Daerah
di wilayah Kyongsang yang kemudian
diketahui oleh lawan politiknya Kim Dae
Jung dalam upaya melakukan perjanjian
kemajuan bagi Kyongsang.
Dengan kata lain, isu kedaerahan akan
mempengaruhi isu ekonomi dan situasi ini
dimanfaatkan untuk menjadi strategi Kim
Young Sam mendapatkan dukungan para
konglomerat dan juga mengelola pemanfaatkan serikat buruh dan pekerja dalam meningkatkan jumlah suara ketika Pemilihan Presiden berlangsung. Kondisi ini dikarenakan
wilayah Kyongsang merupakan wilayah
dengan karakteristik industri. Dengan demikian, para Chaebol akan memanfaatkan
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011
ISSN: 0216-9290
Jeanie Annisa
Regionalisme dan Dampaknya dalam Pemilihan Presiden di Korea Selatan
dukungan mereka bagi kepentingan bisnis,
sedangkan para buruh bisa menekan pemerintah yang terpilih untuk memberikan jaminan kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan melalui pembentukan Undang-Undang.
Kondisi ini dikarenakan keadaan ekonomi
Korea Selatan telah mengalami perubahan
sebagai akibat keberhasilan pemerintah
militer dalam melakukan pembangunan ekonomi dan kemudian memunculkan berbagai
kelompok kepentingan yang memiliki tingkat
ekonomi sejahtera dan political awareness
yang tinggi terhadap persoalan kehidupan
politik negara. Kesadaran politik itu ditunjukkan dengan kepeduliannya terhadap perkembangan politik dalam negeri melalui
dukungan terhadap elite pro demokrasi untuk
menciptakan kehidupan politik yang demokratis.
Tabel 1
Hubungan Jenis Daerah Pemilihan dengan
Pilihan Pemilih
Jenis
Daerah
Kim
Young
Sam
Kim
Dae
Jung
Chung
Ju
Yung
Lainnya
Tidak
Jawab
Total
Metropolitan
48,6%
25,5%
11,1%
11,3%
3,5%
100%
Cities
45,4%
34,1%
10,6%
8,3%
1,7%
100%
Rural Urban
51,9%
31,1%
8,1%
6,7%
2,2%
100%
masyarakat. Perindustrian Korea Selatan
yang terletak di wilayah Kyongsang sedang
mengalami peningkatan perkembangan ekonomi yang besar. Terbalik dengan wilayah
Cholla yang lebih bersifat agraris. Kesenjangan sosial juga menjadi isu penting yang
dimunculkan selama proses Pemilihan Presiden berlangsung, meskipun tidak dapat dibantah bahwa pemerintahan Kim Young Sam
lebih banyak melakukan lobi-lobi politik dengan pejabat pemerintahan lokal di wilayah
Kyongsang daripada kandidat Presiden lainnya. Oleh karena itu isu ini akhirnya mempengaruhi dukungan politik yang diberikan
oleh kelompok konglomerasi Korea terhadap
Pemerintahan Kim Young Sam di tahun
1992. Kajian isu regional ini memperlihatkan
bahwa tokoh elite memanfaatkan kondisi
sejarah lokal untuk mengendalikan masyarakat dalam pembentukan konsolidasi demokrasi khususnya di tahun 1990an. Melalui
pemanfaatan nilai-nilai patronklien dan isu
domestik yang berkembang, maka situasi
politik telah membentuk kantong-kantong
politik untuk memperjuangkan hak ekonomi
dan politik melalui pemilihan umum. Hal ini
merupakan dampak dari terciptanya tatanan
pendidikan masyarakat yang sadar politik
terutama karena didukung oleh tingkat melek
huruf semakin baik di Korea Selatan.
15
Sumber: Lee NamYoung, (1993), hal.31.
Daftar Pustaka
Selain itu, Y.P. Hermawan juga menegaskan
dalam tulisannya tentang Klientisme di Korea Selatan bahwa peran elite sangat besar
dalam mempengaruhi pilihan politiknya ketika proses Pemilihan berlangsung. Para pendukung (client) akan tetap setia mengikuti
arah politik dan kebijakan para elite. Dengan
demikian, elite mampu memanfaatkan sifat
kedaerah itu untuk meningkatkan jumlah suara. Kondisi ini semakin memperdalam karakter regionalistik dalam voting di pemilihan-pemilihan yang diselenggarakan pada
periode tersebut.
Penutup
Isu kedaerahan menjadi salah satu isu yang
berhembus selama tahun 1992. Isu ini juga
dilatarbelakangi masalah perbaikan ekonomi
15
Lee NamYoung, “The Voter’s Choice: The
14th Presidential Election Of Korea”, Korean
Journal Vol.33, No.1 (1993), hal.31.
Cumings, Bruce. 1997. Korea Place in The Sun.
New York: W.W Norton.
Hermanan, YP..1997. Democratization in South
Korea (1987-1996): The Persistence Of personalism-Centered Party Politics. Thesis
Master, Monash University.
Hak, Kim Yong. 1990. Elliteu chungwon-e isseoseoui jiyeok gyeokcha: Regional Disparities
in Elite Recruitment. In Hanguk-ui jiyeokjuui-wajiyeok galdeung: Regionalism and
Regional Conflicts in Korea. Seoul: Seongwonsa
Goo, Kang Myung. 2003. Decentralization and
the Structuring of Regionalism in Korea:
Condition and Posibilities. Journal Korea
(Summer).
Kim, Samuel S. (ed.). 2003. Korea’s Democratization. Cambridge: Cambridge University
Press.
Widyonugrahanto. 1999. Demokratisasi Di Korea
Selatan Tahun 1987-1998: Sentimen Kedaerahan Dalam Jalan Menuju Konsolidasi
Demokrasi Korea Selatan. Jogjakarta: Gadjah Mada Press.
77
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011
ISSN: 0216-9290
Jeanie Annisa
Regionalisme dan Dampaknya dalam Pemilihan Presiden di Korea Selatan
Young, Lee Nam. 1993. The Voter’s Choice: The
14th Presidential Election Of Korea, Korean
Journal, Vol.33, No.1.
Yuk, Kim Sun. 2006. Civil Society and Local
Democracy [Jurnal online], Korea Journal
(Winter), tersedia di: https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:Fp99HYWtwLAJ:www.ekoreajournal.net/upload/pdf/PDF4644+%22Korea+decisively+makes+the+ran-
78
king+of+%22&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESinzYoPKbrliZuTq6-YJh145Ov6d21n1zFZxw6oerfn1n5xP59_chkeJid_xGwCxFLic1m8LyiTLXLziDl2jI2U3DcfqCwGbkPE
QlHPPyYo5f8_LO2VKxmFYlqC7BG425koQ
Nm&sig=AHIEtbR3zwMlhXJUViVtvLQ2kqG
ixuR4Tw; diunduh 7 April 2011.
Download