BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian 1. Permasalahan Penelitian Pada tahun 1925 muncul sebuah gerakan filsafat baru yang dipelopori oleh seorang filsuf sekaligus pula seorang fisikawan terkenal, yakni Moritz Schlik (Ayer, 1987: 121). Gerakan filsafat baru ini memiliki pusat di Wina, Austria. Gerakan ini belakangan hari dikenal dengan nama Lingkungan Wina (Vienna Circle/ Der Wiener Kreis). Lingkungan Wina Schlick sendiri sebenarnya lebih suka bila dinamai dengan Empirisme Konsisten/ Empirisme Logis (Lacey, 1996: 262), namun karena nama ini telah dipergunakan untuk aliran filsafat yang berkembang di Amerika, Inggris, dan Skandinavia, maka dipergunakanlah nama Neo-Positivisme atau Positivisme Logis (Kaelan, 2006: 50). Banyak ahli dari pelbagai bidang yang pada setiap minggunya diundang untuk melakukan diskusi. Terdapat ahli-ahli matematika seperti Kurt Goedel, Hans Hahn, Karl Menger, Rudolf Carnap, Philipp Frank, ahli fisika Otto Neurath, sosiolog Victor Kraft, dan para filsuf seperti Herbert Feigl dan Friedrich Waismann (Ayer, 1956b: 70; Bertens, 2002: 182-183). Lingkungan Wina sangat dipengaruhi oleh pemikiran Wittgenstein periode pertama dengan bukunya Tractatus Logico-Philosophicus. Pengaruh ini terlihat jelas dari slogan Lingkungan Wina bahwa ‘makna dari sebuah proposisi adalah metode verifikasinya’ (the meaning of statement is the way in which it is verified) 1 2 (Van Peursen, 1969: 47). Pengaruh pemikiran Wittgenstein terhadap Lingkungan Wina bersifat tidak langsung karena Wittgenstein sendiri tidak pernah secara langsung ikut menghadiri diskusi-diskusi yang berlangsung di Lingkungan Wina. Pikiran-pikiran Wittgenstein tersalurkan lewat Schlick dan Waismann yang kerapkali bertemu dengannya dalam berbagai kesempatan (Bertens, 2002: 183). Para anggota Lingkungan Wina sangat dipengaruhi oleh logika, matematika dan ilmu alam yang bersifat positif dan empiris, sehingga kemudian dapat dipastikan bahwa analisis logis mereka tentang proposisi-proposisi ilmiah ataupun proposisi filsafat sangat ditentukan oleh metode ilmu positif dan empiris (Kaelan, 2002: 124-125). Para anggota Lingkungan Wina menjelaskan bahwa suatu proposisi akan bermakna bila secara prinsip dapat diverifikasi, memverifikasi berarti menguji atau membuktikan secara empiris. Mereka kemudian memilah proposisi menjadi dua bentuk, yakni proposisi formal dan proposisi empiris. Proposisi formal validitasnya bergantung kepada suatu sistem simbol. Contohnya, logika dan matematika, sementara proposisi empiris adalah suatu pernyataan yang didasarkan pada pengamatan aktual dari mana secara logis proposisi dapat dihasilkan (Ayer, 1990: 18). Prinsip verifikasi yang diusung oleh Lingkungan Wina di atas menghadapi masalah. Para penganut Lingkungan Wina kesulitan untuk menemukan rumusan yang memadai bagi prinsip verifikasi dimaksud. Kesulitan ini terjadi karena mereka hanya mendasarkan prinsip verifikasinya kepada pengalaman empiris secara langsung. 3 Berlainan dengan para anggota Lingkungan Wina yang hanya mengakui verifikasi empiris secara langsung karena mereka menganggap prinsip verifikasi sebagai sebuah teori mengenai makna, maka Ayer sebagai tokoh Positivisme Logis yang belakangan memandang prinsip verifikasi sebagai sebuah kriteria mengenai makna (Padinjarekutt, 1974: 2). Ayer berusaha untuk meneruskan usaha Lingkungan Wina dalam menemukan rumusan yang tepat bagi prinsip verifikasi dan berusaha pula untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Ayer merumuskan prinsip verifikasi sebagai berikut: …We say that a sentence is factually significant to any given person, if, and only if, he knows how to verify the proposition which it purports to express __ that is, if he knows what observations would lead him, under certain conditions, to accept the proposition as being true, or reject it as being false. If, on other hand, the putative proposition is of such a character, that the assumption of its truth, or falsehood, is consistent with any assumption whatsoever concerning tha nature of his future experience, then, as far as he is concerned, it is, if not a tautology, a mere pseudo-proposition. The sentence expressing it may be emotionally significant to him; but it is not literally significant… (Ayer, 1954: 35). Kutipan di atas menggambarkan secara jelas bahwa pada dasarnya prinsip verifikasi adalah dimaksudkan untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu proposisi dan bukannya untuk menentukan kriteria kebenarannya, karena suatu proposisi yang bermakna dapat benar dan dapat pula salah. Ayer, dalam usahanya untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi Lingkungan Wina dan usahanya untuk memberikan batasan-batasan dalam prinsip verifikasi, karena boleh jadi suatu proposisi sebenarnya dapat diverifikasi secara empiris, namun tidak secara langsung melainkan secara prinsip saja, menetapkan bahwa 4 semua proposisi dapat diverifikasi dengan dua arti, yaitu dapat diverifikasi secara ketat (strong) dan secara longgar (weak) (1954: 36-37). Suatu proposisi atau apa yang dimaksud oleh suatu kalimat (Ayer, 1955: 97), dapat diverifikasi dalam pengertian ketat bila proposisi-proposisi tersebut berkaitan langsung dengan pengalaman. Sementara itu, proposisi-proposisi juga dapat diverifikasi dalam pengertian longgar bila terhadap proposisi-proposisi dimaksud dimungkinkan bagi pengalaman untuk mewujudkannya (Ayer, 1954: 36-37). Menurut Ayer, apabila pemilahan ini tidak dilakukan, maka semua proposisi tentang masa lampau akan menjadi tidak bermakna. Agar suatu proposisi menjadi bermakna, maka tidak perlu proposisi tersebut dapat diverifikasi secara faktual, sudah cukup kalau verifikasi itu mungkin dilakukan secara prinsip saja. Suatu proposisi mungkin tidak pernah dapat diverifikasi, namun proposisi dimaksud adalah benar dengan alasan seseorang tahu apa yang harus dilakukan untuk memverifikasinya, meskipun mungkin tidak mampu untuk melaksanakannya (Bertens, 2002: 37). Dalam buku yang sangat populer Language, Truth and Logic, dijelaskan beberapa catatan mengenai prinsip verifikasi. Pertama, prinsip verifikasi tidaklah ditujukan untuk menentukan kebenaran suatu ucapan, tapi maknanyalah yang dicari. Suatu proposisi yang bermakna dapat benar atau salah. Kedua, hanya proposisi yang menyangkut realitas empiris yang bermakna. Dengan demikian, suatu proposisi yang bermakna adalah proposisi yang dilakukan berdasarkan pengamatan, atau setidak-tidaknya memiliki hubungan dengan pengamatan. 5 Ketiga, selain proposisi yang berdasarkan data empiris, hanya proposisi yang matematis dan logis yang bermakna. Kadang-kadang proposisi-proposisi jenis ini tidak dapat diverifikasi secara empiris, karena kesemuanya bergantung pada simbol-simbol yang dipergunakan. Proposisi-proposisi jenis ini dikenal dengan tautologi. Keempat, tidak perlu bahwa suatu proposisi dapat diverifikasi secara langsung, tapi cukup kalau verifikasinya dapat dilakukan secara tidak langsung, misalnya melalui kesaksian orang yang dapat dipercaya (Bertens, 2002: 36-37). Prinsip verifikasi yang diangkat Ayer mempunyai implikasi yang tidak kecil. Siapapun yang menerima prinsip ini harus pula menerima bahwa semua proposisi bahasa teologi, etika, estetika, aksiologi, ontologi, filsafat manusia pada hakikatnya adalah omong kosong belaka atau tidak bermakna (Kaelan, 2002: 126, 141; 2006: 62). Apabila orang berbicara tentang metafisika baik yang membenarkan proposisi metafisik maupun yang menegasikan proposisi yang sama pada hakikatnya adalah sia-sia karena tidak ada kemungkinan untuk melakukan verifikasi. 2. Perumusan Masalah Penelitian Objek material dalam penelitian berjudul Konsep Makna dalam Positivisme Logis Alfred Jules Ayer: Implikasinya terhadap Perkembangan Filsafat dan Ilmu ini adalah sebuah karya filsafat yakni konsep makna dalam Positivisme Logis Ayer, sementara objek formalnya adalah filsafat analitik. Penting juga untuk dikemukakan di sini bahwa tujuan akhir penelitian ini adalah untuk menemukan, mendeskripsikan dan merefleksikan implikasi konsep makna dalam Positivisme Logis Ayer terhadap filsafat dan ilmu. 6 Bertolak dari objek material, objek formal, dan tujuan akhir di atas, maka pokok permasalahan dalam tulisan ini dapat dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan berikut: a. Bagaimana filsafat Alfred Jules Ayer? b. Bagaimana jabaran konsep makna dalam Positivisme Logis Alfred Jules Ayer? c. Bagaimana implikasi konsep makna dalam Positivisme Logis Alfred Jules Ayer terhadap filsafat dan ilmu? d. Bagaimana kelemahan dan kekuatan konsep makna dalam Positivisme Logis Alfred Jules Ayer? 3. Keaslian Penelitian Sebatas kemampuan untuk menemukan dan menelusuri pelbagai literatur atau hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka belum ditemukan adanya literatur atau hasil penelitian yang secara khusus mengkaji karya filsafat berupa konsep makna dalam Positivisme Logis Alfred Jules Ayer sebagai objek materialnya dan filsafat analitik sebagai objek formalnya, terlebih lagi bila kemudian melihat implikasinya terhadap perkembangan filsafat dan ilmu. Skripsi Sindung Tjahyadi berjudul Teori Persepsi Alfred Jules Ayer secara khusus mengkaji pemikiran Ayer, namun fokus utamanya lebih tertuju kepada teori persepsi Ayer. Objek material yang dipergunakan adalah teori persepsi Ayer, sementara objek formalnya adalah fenomenalisme modern. M. Sukron Samsul Hadi dalam skripsi berjudul Tinjauan Analitik terhadap Konsepsi Alfred Jules Ayer tentang Prinsip Verifikasi tahun 1991 juga mengkaji 7 pemikiran Ayer. Akan tetapi, seperti diakui sendiri oleh penulisnya bahwa skripsi ini adalah sebuah usaha untuk mencermati bahasa dengan studi filosofis. Dengan kata lain, objek materialnya adalah bahasa dan objek formalnya analisis filosofis. Tambahan lagi skripsi ini tidak sampai berusaha untuk mengkaji implikasi Positivisme Logis Ayer terhadap perkembangan filsafat dan ilmu. Disertasi Joanne Padinjarekutt tahun 1974 di Facultate Philosophica Pontificiae Universitatis Gregorianae yang berjudul The Principle of Verification: A Historical Study in Logical Positivism menjadikan prinsip verifikasi sebagai objek material, namun objek formalnya adalah sejarah filsafat. Penjelasan tentang hal ini diakui sendiri oleh Padinjarekutt bahwa disertasinya adalah sebuah usaha untuk menyelidiki asal usul dan perkembangan prinsip verifikasi dalam sejarah filsafat. Felik M. Bak tahun 1970 di Academia Alfonsiana, Institum Theologiae Moralis, Pontificia Universitas Lateranensis menulis disertasi berjudul Alfred Jules Ayer‟s Criterion of Veriability mengangkat pemikiran Ayer tentang kriteria veriabilitas sebagai objek material. Menurut pengakuan Bak sendiri meskipun di bagian awal disertasi ini kelihatan mempergunakan objek formal filosofis, namun di bagian akhir dan secara keseluruhan objek formal yang dipergunakan adalah teologi. Penelitian Rizal Mustansyir tahun 1989 berjudul Kelemahan Penerapan Prinsip Verifikasi Positivisme Logis. Di dalamnya ditemukan bahasan tentang pemikiran prinsip verifikasi Ayer, namun hanya sebagai salah satu bagian dari penjelasan tentang prinsip verifikasi Positivisme Logis secara umum. 8 Abbas Hamami Mintaredja dalam buku berjudul Teori-teori Epistemologi Common Sense (2003) memaparkan pemikiran Ayer, namun hanya secara ringkas dan dengan objek formal epistemologi. Beberapa buku Kaelan, seperti Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya (2002); Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya terhadap Ilmu Pengetahuan (2006); Filsafat Bahasa, Semiotika dan Hermeneutika (2009) juga menjadikan pemikiran Ayer sebagai objek material, namun pemikiran dimaksud hanyalah salah satu bagian dari filsafat analitik secara keseluruhan. Setelah melakukan studi eksploratif atas pelbagai karya yang telah ada, baik dari sisi objek material, objek formal, maupun pengaruhnyanya maka dapat dikatakan bahwa karya berjudul Konsep Makna dalam Positivisme Logis Alfred Jules Ayer: Implikasinya terhadap Perkembangan Filsafat dan Ilmu ini merupakan tulisan pertama dengan karya filsafat berupa konsep makna dalam Positivisme Logis Ayer sebagai objek materialnya dan filsafat analitik sebagai objek formalnya. Diharapkan melalui penelitian ini akan dapat ditemukan sesuatu yang baru dan berbeda dari penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya. 4. Manfaat Penelitian Manfaat sebuah penelitian dapat dipilah menjadi dua macam manfaat, yakni manfaat secara teoritis-normatif dan manfaat secara praktis-pragmatis (Kaelan, 2005: 235). Penelitian tentang konsep makna dalam Positivisme Logis Ayer ini juga demikian, namun dalam penjabarannya tidak secara kaku hanya dalam dua manfaat dimaksud. 9 Manfaat dalam penelitian ini dapat diuraikan ke dalam beberapa poin berikut: a. Manfaat bagi bidang ilmu; secara teoritis-normatif, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya wacana makna dalam Positivisme Logis. Penelitian ini tidak hanya akan mengulas makna dalam Positivisme Logis Ayer semata, namun juga Positivisme Logis Lingkungan Wina. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk menjelaskan adanya implikasi konsep makna dalam Positivisme Logis Ayer terhadap perkembangan filsafat dan ilmu. Lebih jauh, secara praktis-pragmatis, manfaat tadi akan melahirkan sikap kreatif dalam dunia ilmu yakni dengan penggunaan ilmu yang telah dikembangkan. b. Manfaat bagi bidang penelitian; penelitian ini, secara teoritis-normatif, bermanfaat untuk memperkaya metodologi penelitian dengan ilmu yang telah dikembangkan. Dengan pengayaan ini, maka secara praktis-pragmatis, ilmu tadi akan mempermudah para peneliti dalam melakukan penelitiannya. c. Manfaat bagi masyarakat; penelitian ini tidak saja bermanfaat secara teoritisnormatif dengan tersedianya pelbagai karya berupa ilmu, namun juga secara praktis-pragmatis dan secara langsung dapat menikmati hasil dari penggunaan ilmu yang telah dikembangkan dimaksud berupa penerapannya dalam pelbagai disiplin ilmu. B. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini terkait erat dengan usaha untuk menjawab pelbagai pertanyaan dalam pokok permasalah penelitian. Oleh karenanya, poin- 10 poinnya pun mengikut kepada pelbagai pertanyaan tersebut. Tujuan-tujuan penelitian dimaksud dapat dirumuskan ke dalam beberapa perkara berikut: 1. Menemukan dan mendeskripsikan filsafat Alfred Jules Ayer. Paparan berkisar tentang latar belakang filsafat Ayer baik riwayat hidup dan karya-karya, periodesasi perkembangan filsafatnya, maupun aliran atau pemikiran para filsuf yang mempengaruhinya. 2. Menemukan dan mendeskripsikan jabaran konsep makna dalam Positivisme Logis Alfred Jules Ayer di antaranya mengenai benih awal prinsip verifikasi Ayer, proposisi empiris dan proposisi analitik Ayer, prinsip verifikasi Ayer sebagai kriteria makna, rumusan prinsip verifikasi Ayer baik yang ketat maupun yang longgar. 3. Menemukan dan mendeskripsikan implikasi konsep makna dalam Positivisme Logis Alfred Jules Ayer terhadap perkembangan filsafat dan ilmu. Implikasi dimaksud adalah terhadap metafisika, etika, agama, unifikasi ilmu, dan metode ilmiah. 4. Menemukan, mendeskripsikan dan merefleksikan kekurangan atau kelemahan konsep makna dalam Positivisme Logis Alfred Jules Ayer, serta kelebihan atau kekuatannya. C. Tinjauan Pustaka Positivisme Logis atau Neo-Positivisme seringkali juga dikenal dengan nama Empirisme Logis dan Empirisme Ilmiah (Jorgensen, 1951: 6). Positivisme Logis berusaha untuk melanjutkan pelbagai kerja yang pernah dilakukan oleh 11 Russell dan Moore terutama berkaitan erat dengan kritik terhadap Idealisme (Warnock, 1969: 34). Positivisme Logis digerakkan oleh para tokoh dari Lingkungan Wina, maka tidak mengherankan bila Sluga (1996: 14) pernah menyebutkan bahwa Lingkungan Wina merupakan kumpulan para filsuf dan ilmuwan yang berpikiran positif. Lingkungan Wina berpusat di Wina, Austria. Kemunculannya digagas oleh seorang filsuf sekaligus ahli fisika, Schlik, tahun 1925 (Ayer, 1987: 121). Dia lebih suka bila Lingkungan Wina ini dinamai dengan Empirisme Konsisten atau Empirisme Logis (Lacey, 1996: 262), namun karena nama ini telah biasa dipakai untuk nama aliran filsafat yang berkembang di Amerika, Inggris dan Skandinavia, maka disepakatilah untuk mempergunakan nama Neo-Positivisme atau Positivisme Logis (Kaelan, 2006: 50). Schlik mengundang banyak ahli dari pelbagai bidang dan setiap minggunya mereka melakukan diskusi mengenai masalah-masalah filosofis yang menyangkut ilmu. Di antara para ahli ini terdapat ahli-ahli matematika seperti Goedel, Hahn, Menger, Carnap, Frank, ahli fisika Neurath, sosiolog Kraft, dan para filsuf seperti Feigl dan Waismann (Ayer, 1956b: 70; Bertens, 2002: 182-183). Tidak seorang pun dari banyak ahli ini yang merupakan seorang ‘filsuf asli’ atau ’filsuf profesional’ (Williams, 2006: 1). Pandangan ini mungkin benar bila filsafat masih dipandang secara sempit dalam pengertian filsafat tradisional yang abstrak dan belum merambah ke wilayahnya yang lain, yakni ke wilayah subjek jenis kedua (a second-order subject) ketika filsafat merupakan bicara tentang bicara. 12 Perkembangan Lingkungan Wina mendapatkan pengaruh dari tiga arah. Pertama, pengaruh dari Empirisme dan Positivisme terutama dari Hume, Mill dan Mach. Kedua, pengaruh dari metodologi ilmu empiris yang dikembangkan oleh para ilmuwan sejak abad kesembilan belas, seperti dari Helmholtz, Mach, Poincare, Duhem, Boltzmann dan Einstein. Ketiga, pengaruh dari perkembangan logika simbolik dan analisis logis yang dikembangkan terutama sekali oleh Frege, Whitehead, Russell dan Wittgenstein (Verhaak dan Imam, 1989: 154). Pengaruh Wittgenstein, sebagai contoh, sangat terasa bila dirujuk kepada buku Tractatus Logico-Philosophicus. Pengaruh ini dapat dilihat ketika para filsuf dari Lingkungan Wina mengaklamasikan sebuah slogan tentang prinsip verifikasi bahwa ‘makna dari sebuah proposisi adalah metode verifikasinya’ (the meaning of statement is the way in which it is verified). Sebuah slogan yang jelas dipengaruhi oleh pandangan Wittgenstein (Van Peursen, 1969: 47). Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Wittgenstein memiliki pengaruh yang besar terhadap formulasi prinsip verifikasi. Lantaran itulah Padinjarekutt (1974: 1-2) sampai berani menyimpulkan bahwa baik Wittgenstein maupun Lingkungan Wina merupakan pihak-pihak yang menjadi tokoh bagi munculnya prinsip verifikasi. Meskipun Wittgenstein memiliki pengaruh yang sangat jelas terhadap Lingkungan Wina, namun pengaruh ini tidak bersifat langsung karena Wittgenstein sendiri tidak pernah menghadiri diskusi-diskusi Lingkungan Wina secara langsung. Pikiran-pikiran Wittgenstein tersalurkan lewat Schlick dan Waismann yang sering kali bertemu dengannya dalam pelbagai kesempatan 13 (Bertens, 2002: 183). Schlick, misalnya, adalah seorang pengagum buku Tractatus Logico-Philosophicus Wittgenstein. Schlick sendiri yang kemudian memperkenalkan buku tersebut ke dalam Lingkungan Wina dan menetapkannya sebagai doktrin dalam pengembangan ilmu (Ayer, 1985: 8). Pemikiran para anggota Lingkungan Wina sangat dipengaruhi oleh logika, matematika dan ilmu alam yang bersifat positif dan empiris, sehingga kemudian dapat dipastikan bahwa analisis logis tentang proposisi-proposisi ilmiah atau pun proposisi-proposisi filsafat sangat ditentukan oleh metode ilmu positif dan empiris tadi termasuk prinsip verifikasi tentunya (Kaelan, 2002: 124-125). Lingkungan Wina memilah proposisi menjadi dua bentuk, yakni proposisi formal dan proposisi empiris. Proposisi formal validitasnya bergantung kepada suatu sistem simbol. Contohnya, logika dan matematika. Sementara proposisi empiris adalah suatu pernyataan yang didasarkan kepada pengamatan aktual dari mana secara logis proposisi dapat dihasilkan (Ayer, 1990: 18). Dalam pandangan Lingkungan Wina, suatu proposisi akan menjadi bermakna ketika secara prinsip proposisi tersebut dapat diverifikasi, memverifikasi berarti menguji atau membuktikan secara empiris. Setiap ilmu dan filsafat senantiasa memiliki suatu proposisi, baik berupa aksioma, teori maupun dalil. Proposisi ini baru akan dipandang bermakna bila secara prinsip dapat diverifikasi. Oleh karena itu, arti suatu proposisi adalah sama dengan metode verifikasinya yang didasarkan kepada pengalaman empiris (Beerling, 1966: 108). Prinsip verifikasi yang diusung oleh Lingkungan Wina di atas menghadapi masalah. Para penganut Lingkungan Wina kesulitan untuk menemukan rumusan 14 yang memadai bagi prinsip verifikasi dimaksud. Kesulitan ini terjadi karena mereka hanya mendasarkan prinsip verifikasi kepada pengalaman empiris langsung. Contoh tentang hal di atas dapat ditemukan pada pemikiran Schlick tentang prinsip verifikasi. Schlick, dalam buku General Theory of Knowledge, mempertahankan bahwa setiap proposisi ilmiah harus dapat diverifikasi empiris secara langsung dalam artian bahwa proposisi dimaksud harus terkait dengan fakta empiris (Ayer, 1987: 122). Baginya, verifikasi harus dilakukan dengan pengamatan empiris secara langsung, karena hanya proposisi yang dapat diverifikasi secara langsung dari objek yang dapat diamati yang mengandung makna (Kaelan, 2002: 126). Berbeda dengan Schlick dan para penganut Lingkungan Wina lainnya yang hanya mengakui verifikasi empiris langsung karena mereka menganggap prinsip verifikasi sebagai sebuah teori mengenai makna (a theory of meaning), maka Ayer memandang prinsip verifikasi sebagai sebuah kriteria mengenai makna (a criterion of meaning) (Padinjarekutt, 1974: 2), sehingga tidak hanya proposisi yang dapat diverifikasi secara empiris langsung saja yang bermakna, tapi juga proposisi-proposisi lainnya yang dapat diverifikasi secara tidak langsung atau secara prinsip saja. Ayer (1954: 36-37) menetapkan bahwa semua proposisi dapat diverifikasi empiris dengan dua pengertian, yaitu dapat diverifikasi empiris secara ketat (strong) dan dapat diverifikasi empiris secara secara longgar (weak). Suatu proposisi dapat diverifikasi empiris dalam artian ketat bila proposisi-proposisi tersebut berkaitan langsung dengan pengalaman. Sementara itu, proposisi- 15 proposisi juga dapat diverifikasi empiris dalam artian longgar bila terhadap proposisi-proposisi dimaksud dimungkinkan bagi pengalaman untuk mewujudkannya. Pemilahan atas dua bentuk verifikasi empiris ini merupakan usaha Ayer untuk memberikan batasan-batasan dalam prinsip verifikasi, karena boleh jadi suatu proposisi sebenarnya dapat diverifikasi secara empiris, namun tidak secara langsung melainkan secara prinsip saja. Apabila pemilahan ini tidak dilakukan, maka menurut Ayer semua proposisi tentang masa lalu menjadi tidak bermakna. Agar suatu proposisi menjadi bermakna, maka tidak perlu proposisi itu dapat diverifikasi secara faktual, sudah cukup kalau verifikasi itu mungkin secara prinsip saja. Selain itu, suatu proposisi mungkin tidak pernah dapat diverifikasi, namun proposisi dimaksud bermakna dengan alasan seseorang tahu apa yang harus dilakukan untuk memverifikasinya, meskipun mungkin tidak mampu untuk melaksanakannya (Bertens, 2002: 37). Proposisi ‘di luar hujan turun’, misalnya, dapat diketahui bahwa pengamatan empiris secara langsung dapat menerima atau menolaknya. Akan tetapi, sebenarnya tidak perlu diadakan verifikasi terhadap proposisi ini atau bahkan tidak perlu mampu untuk melakukan verifikasi atasnya, karena cukup secara prinsip diketahui verifikasi seperti apa yang harus dilakukan (Kattsoff, 2004: 117). Dalam buku yang sangat populer Language, Truth and Logic, Ayer menjelaskan beberapa catatan mengenai prinsip verifikasi. Pertama, prinsip verifikasi tidak ditujukan untuk menentukan kebenaran suatu ucapan, tapi 16 maknanya yang dicari. Suatu proposisi yang bermakna dapat benar atau salah. Kedua, hanya proposisi yang menyangkut realitas empiris yang bermakna. Dengan demikian, suatu proposisi yang bermakna adalah proposisi yang dilakukan berdasarkan pengamatan, atau setidak-tidaknya memiliki hubungan dengan pengamatan. Ketiga, selain proposisi yang berdasarkan data empiris, hanya proposisi yang matematis dan logis yang bermakna. Kadang-kadang proposisi-proposisi jenis ini tidak dapat diverifikasi secara empiris, karena kesemuanya bergantung pada simbol-simbol yang dipergunakan. Proposisiproposisi jenis ini dikenal dengan tautologi. Keempat, tidak perlu bahwa suatu proposisi dapat diverifikasi secara langsung, tapi cukup kalau verifikasinya dapat dilakukan secara tidak langsung, misalnya melalui kesaksian orang yang dapat dipercaya (Bertens, 2002: 36-37). Prinsip verifikasi yang diangkat Ayer mempunyai konsekuensi yang tidak kecil. Siapa pun yang menerima prinsip ini harus pula menerima bahwa proposisiproposisi metafisik menjadi tidak bermakna karena tidak dapat diverifikasi secara empiris. Bahkan Ayer cenderung lebih radikal dibandingkan dengan para filsuf Lingkungan Wina lainnya karena baginya semua proposisi bahasa teologi, etika, estetika, aksiologi, ontologi, filsafat manusia pada hakikatnya adalah omong kosong belaka atau tidak bermakna (Kaelan, 2002: 126, 141; 2006: 62). Apabila orang berbicara tentang metafisika, baik yang membenarkan proposisi metafisik maupun yang menegasikan proposisi yang sama pada hakikatnya adalah sia-sia karena tidak ada kemungkinan untuk melakukan verifikasi. 17 Paparan di atas membawa kepada pemahaman bahwa konsep makna dalam Positivisme Logis Ayer merupakan sesuatu yang menarik dan penting untuk diteliti lebih jauh. Ayer dengan prinsip verifikasi longgarnya mampu mengatasi kesulitan Lingkungan Wina dalam merumuskan prinsip verifikasi. Ia juga ikut serta memopulerkan prinsip verifikasi dimaksud di Inggris. Selain itu, prinsip verifikasi Ayer juga memiliki implikasi terhadap ilmu. Adanya implikasi konsep makna dalam Positivisme Logis Ayer terhadap ilmu berangkat dari asumsi bahwa ketika Ayer mengakui adanya batas-batas yang berlaku untuk prinsip-prinsip verifikasi, yakni: (1) tidak perlu bahwa suatu ucapan dapat diverikasi secara langsung, tapi cukuplah kalau verifikasinya dapat dilakukan secara tidak langsung, misalnya, melalui kesaksian orang yang dapat dipercaya; (2) supaya suatu ucapan bermakna, tidak perlu ucapan itu dapat diverifikasi secara faktual, sudah cukuplah kalau verifikasi itu mungkin secara prinsipial saja; (3) tidak perlu juga suatu ucapan dapat diverifikasi secara lengkap, cukuplah jika ucapan itu dapat diverifikasi untuk sebagian saja (Bertens, 2002: 37), maka batas-batas ini menjadikan pelbagai disiplin ilmu seperti ilmu sejarah, ilmu astronomi, dan ilmu fisika bermakna dalam pandangan Ayer. Sesuatu yang sebelumnya sempat menimbulkan perdebatan di antara para anggota Lingkungan Wina ketika Schlick hanya meletakkan prinsip verifikasi pada peristiwa yang dapat dialami secara langsung. 18 D. Landasan Teori Devitt dan Sterelny dalam buku Language & Reality: An Intoduction to the Philosophy of Language mencatat bahwa para filsuf pengusung filsafat analitik menaruh perhatian kepada bahasa. Jadi dalam hal ini filsuf tidak lagi menaruh perhatian kepada moral, namun kepada bahasa moral. Atau tidak lagi menaruh perhatian kepada ilmu, tapi kepada bahasa ilmu. “According to this movement, briefly, philosophers should be concerned simply with language. It is characteristic of the movement, therefore, to be concerned not with moral, but with the language of morals; not with science, but with the language of science; and so on…” (Devitt dan Sterelny, 1989: 229-230). Charlesworth dalam buku Philosophy and Linguistic Analysis memaparkan keyakinan para filsuf analitik dalam kutipan berikut: …the task of philosophy to be not that of making statements of a special kind, but of „dissolving‟ the problems or „puzzles‟ which arise through missunderstanding of „the logis of our language‟” (Charlesworth, 1959: 12). Alston dalam buku Philosophy of Language berusaha untuk menjelaskan keterkaitan antara filsafat dengan bahasa. Bagi Alston (1964: 5) bahasa merupakan laboratorium filsafat yang dipergunakan untuk menguji dan menjelaskan konsep-konsep dan problema-problema filosofis bahkan untuk menentukan kebenarannya. Russell juga pernah menjelaskan bahwa tugas filsafat adalah untuk menganalisis fakta. Filsafat harus melukiskan jenis-jenis fakta yang ada, seperti zoologi yang bertugas untuk menentukan jenis-jenis hewan. Fakta sendiri merupakan ciri-ciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda, sehingga tidak dapat bersifat benar atau salah, karena yang dapat bersifat benar atau salah 19 adalah proposisi-proposisi yang mengungkapkan fakta (Bertens, 2002: 29). Bagi Russell, proposisi adalah simbol bukan fakta. Oleh karenanya, apabila seseorang menginventarisir dunia, maka proposisi tidak akan ditemukan di dalamnya (Passmore, 1972: 234). Wittgenstein dalam buku Tractatus Logico-Philosophicus pernah mengungkapkan bahwa: The proposition is a picture of reality. The poposition is a model of the reality as we think it is [4.01]. (Wittgenstein, 1951: 63). Wittgenstein kemudian mengungkapkan lagi dengan beberapa kalimat berikut: The proposition is a picture of reality, for I know the state of affairs presented by it, if I understand the proposition. And I understand the proposition, without its sense having been explained to me [4.021] (Wittgenstein, 1951: 67) Wittgenstein mengungkapkan bahwa realitas dunia terumuskan dalam proposisi- proposisi, maka terdapat suatu kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan struktur realitas dunia. Dan karena proposisi-proposisi terungkap melalui bahasa, maka bahasa pada hakikatnya adalah suatu gambaran tentang dunia (Kaelan, 2006: 43). Pandangan Wittgenstein inilah yang lebih jauh kemudian dikenal dengan teori gambar (picture theory). E. Metode Penelitian 1. Materi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Oleh karenanya, dalam penelitian ini dibutuhkan pelbagai karya kepustakaan yang dipergunakan sebagai 20 materi penelitian. Karya-karya kepustakaan dimaksud terdiri atas karya-karya yang merupakan hasil tulisan Ayer, karya-karya yang membahas tentang sosok Ayer atau pemikirannya, karya-karya yang berkenaan dengan masalah makna dalam Positivisme Logis, dan karya-karya yang berkaitan dengan ilmu. a. Karya-karya yang merupakan hasil karya Ayer. Karya-karya Ayer yang dipakai sebagai materi penelitian ini di antaranya: 1) Language, Truth and Logic. 2) The Foundations of Empirical Knowledge. 3) The Problem of Knowledge. 4) Philosophy and Language. 5) Philosophical Essays b. Karya-karya yang membahas tentang sosok Ayer atau pemikirannya. Karya-karya yang membahas sosok Ayer atau pemikirannya yang dipakai sebagai materi penelitian di antaranya: 1) Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman karya K. Bertens. 2) Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya karya Kaelan. 3) Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya terhadap Ilmu Pengetahuan karya Kaelan. 4) 20 Karya Filsafat Terbesar karya James Garvey. 5) The Encyclopedia of Philosophy Volume 1 karya Paul Edwards (Editor in chief). 21 c. Karya-karya yang berkenaan dengan masalah Positivisme Logis. Karya-karya yang berkenaan dengan masalah Posivisme Logis yang dipakai sebagai materi penelitian di antaranya: 1) Alfred Jules Ayer‟s Criterion of Veriability karya Felik M. Bak. 2) The Principle of Verification: A Historical Study in Logical Positivism karya Joanne Padinjarekutt. 3) Philosophy and Linguistic Analysis karya Maxwell John Charlesworth. 4) Language & Reality: An Intoduction to the Philosophy of Language karya Michael Devitt dan Kim Sterelny. 5) A. J. Ayer Memorial Essays karya A. Phillips Griffiths (ed.). d. Karya-karya yang berkaitan dengan ilmu. Karya-karya yang berkaitan dengan masalah ilmu yang dipakai sebagai materi penelitian di antaranya: 1) Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis Atas Cara Kerja Ilmiah karya Irmayanti M. Budianto. 2) Filsafat Ilmu Pengetahuan karya C. Verhaak dan R. Haryono Imam. 3) Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu karya C. A. Van Peursen. 4) Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer karya Jujun S. Suriasumantri. 5) Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: dari David Hume sampai Thomas Kuhn karyo Donny Gahral Adian. 22 2. Cara/Alat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan objek material karya filsafat berupa konsep makna dalam Positivisme Logis Ayer. Oleh karena itu, pengumpulan data dilakukan dengan pengkartuan, yakni membaca pada tingkat simbolik dan semantik kemudian menyimpan data dengan parafrase pada kartu-kartu data dengan kode tertentu. Penelitian dilakukan dengan cara peneliti langsung melakukan pengumpulan data dari sumber data yang ada sekaligus melakukan analisis data. 3. Jalan Penelitian a. Tahap pengumpulan data penelitian Pengumpulan data penelitian terdiri atas tiga tahap yakni persiapan pengumpulan data penelitian, pelaksanaan pengumpulan data penelitian, dan pengorganisasian dan pengolahan data penelitian. 1) Persiapan pengumpulan data penelitian Tahap persiapan pengumpulan data penelitian terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut: a) Penentuan dan pengenalan lokasi pengumpulan data, seperti perpustakaan, toko buku, koleksi pribadi, atau warung internet. b) Penentuan dan penyiapan instrumen pengumpulan data, seperti foto copy dan kartu data. c) Penentuan klasifikasi sumber data yang relevan sesuai ciri dan kategori, misalnya klasifikasi ke dalam data primer dan data sekunder. 23 2) Pelaksanaan pengumpulan data penelitian Tahap pengumpulan data penelitian terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut: a) Pembacaan pada tingkat simbolik. Pembacaan dilakukan untuk menangkap sinopsis dari isi buku, bab yang menyusunnya, sub bab sampai pada bagianbagian terkecil dalam buku. b) Pembacaan pada tingkat semantik. Pembacaan dilakukan dengan lebih terinci, terurai dan menangkap esensi buku sebagai sumber data. Pembacaan juga disertai dengan analisis. Pembacaan juga terlebih dahulu ditujukan kepada sumber primer lalu dilanjutkan pembacaan sumber sekunder. c) Pencatatan pada kartu data. Pencatatan didasarkan kepada analisis, sehingga diketahui mana data yang hanya diambil intisarinya, dan mana pula yang harus diambil secara utuh. Pencatatan dapat dilakukan secara quotasi, parafrase, sinoptik atau precis. d) Pengkodean pada kartu data. Pengkodean ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penumpukan dan pencampuradukan catatan. Pengkodean disesuaikan dengan masalah penelitian, misalnya sumber proposisi ditulis SP pada sudut kiri kartu. Pengkodean tidak hanya ditujukan pada data tapi juga sumber kepustakaan. 3). Pengorganisasian dan pengolahan data penelitian Setelah data terkumpul maka dilakukan pengorganisasian dan pengolahan data yang terdiri atas empat alur yakni reduksi data, klasifikasi data, penyajian 24 data, dan penafsiran data (Kaelan, 2005: 68). Alur-alur ini berlangsung secara bersamaan (Miles dan Huberman, 1992: 16-21). a) Reduksi data penelitian Semua data yang telah dikumpulkan kemudian disederhanakan, dirangkum dan dipilih hal-hal pokok yang difokuskan pada hal-hal yang penting, baik data tentang makna dalam Positivisme Logis atau ilmu. Alur reduksi data ini nantinya akan memberikan kemudahan kepada peneliti untuk melihat gambaran tentang hasil penelitian, dan sekaligus mempermudah peneliti untuk mencari data kembali bila dirasakan data yang tersedia belum memadai. b) Klasifikasi data penelitian Setelah dilakukan reduksi data, maka dilanjutkan dengan klasifikasi data yakni dengan mengelompokkan data berdasarkan ciri khas masing-masing sesuai dengan objek formal penelitian. Contohnya, data mana saja yang berkaitan dengan Positivisme Logis. c) Penyajian data penelitian Penyajian data dijalankan dengan menyusun data yang telah diklasifikasi sesuai objek formal dan tujuan penelitian. Dengan begini, maka masalah yang makna data yang terdiri atas berbagai konteks dapat dikuasai. d) Penafsiran data Data penelitian yang tersedia, yang sedari awal telah dimulai dipahami, dicari keteraturannya, dicari pola-polanya, dicari alur kausalitasnya, dan sebagainya. 25 b. Tahap analisis data penelitian 1) Analisis pada waktu pengumpulan data penelitian Objek material penelitian ini adalah karya filsafat berupa konsep makana dalam Positivisme Logis Ayer. Oleh karenanya, sumber data penelitiannya berupa buku-buku kepustakaan filsafat. Konsekuensinya dalam pengumpulan data penelitian dipergunakan metode deskriptif. Selanjutnya mengingat data penelitian yang dikumpulkan adalah data verbal deskriptif dalam bentuk uraian kalimat yang panjang, maka metode analisis data yang dipergunakan adalah metode verstehen dan metode interpretasi untuk menangkap esensi makna dalam Positivisme Logis Ayer yang terumuskan dalam rumusan verbal kebahasaan. Selain itu, dipergunakan juga metode analitika bahasa berupa analisis terhadap analysandum dan analysans yang terkandung dalam data verbal kebahasaan konsep makna dalam Positivisme Logis Ayer serta metode historis menyangkut perkembangan pemikiran Ayer dan latar belakangnya. Analisis data ini merupakan analisis awal karena analisis data secara keseluruhan baru dilakukan setelah proses pengumpulan data. 2) Analisis setelah pengumpulan data penelitian Unsur-unsur metode yang relevan dalam analisis data ini adalah sebagai berikut. a) Metode historis Metode historis dipergunakan dalam penelitian ini karena objek material penelitian yang ingin dicermati adalah konsep makna dalam Positivisme Logis Ayer yang telah berlangsung di masa silam. Metode ini terperikan dalam dua 26 bentuk metode lainnya, yakni metode deskriptif historis dan metode rekonstruksi biografis. Metode deskriptif historis dipergunakan untuk melukiskan, menjelaskan dan menerangkan peta sejarah, yakni terkait tentang apa, siapa, kapan, bagaimana, dan di mana peristiwa sejarah terjadi. Dalam penelitian ini, metode deskriptif historis, misalnya, dipergunakan untuk menerangkan aliran filsafat/pemikiran filsuf mana saja yang telah mempengaruhi perkembangan pemikiran Ayer. Metode rekonstruksi biografis dipakai dalam rangka untuk memahami dan mendalami kepribadian seseorang yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian ini seseorang dimaksud adalah Ayer. Dengan metode ini, misalnya, akan didalami proses pendidikan Ayer. b) Metode verstehen Metode verstehen dipergunakan untuk memahami data sesuai dengan kategori dan karakteristik masing-masing. Oleh karena dalam penelitian ini data yang terkumpul merupakan data verbal, maka metode ini dipergunakan dalam tahap pemahaman simbolik. Peneliti memahami bagian atau unsur makna yang dikumpulkan dalam penelitian. Dalam penelitian ini, misalnya, akan diinventarisasi tulisan-tulisan yang berkenaan dengan Positivisme Logis. Kemudian berusaha untuk dipahami data kebahasaannya agar diperoleh makna yang dikandung di dalamnya. c) Metode interpretasi Metode interpretasi dipakai untuk menunjukkan arti, mengungkapkan, dan mengatakan esensi pemikiran secara objektif. Apabila sumber data verbal dalam 27 bentuk bahasa asing, maka proses analisis interpretasi dilakukan dengan menerjemahkan, yakni dengan mengalihkan makna dari bahasa asing ke bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini, misalnya, oleh karena karya-karya Ayer dituliskan dalam bahasa Inggris, maka akan dialihmaknakan ke dalam bahasa Indonesia. d) Metode analitika bahasa Metode analitika bahasa dipakai untuk menganalisis konsep pemikiran yang sifatnya terminologis, yang maknanya kurang jelas, agar menjadi semakin jelas. Analisis bertolak dari analysandum (pangkal urai) dan diuraikan menjadi analysans (penguraian). Contohnya dalam penelitian ini adalah analisis terhadap terminologi Positivisme Logis Ayer. e) Metode hermeneutika Metode hermeneutika dipergunakan untuk menangkap makna esensial yang sesuai dengan konteksnya. Setelah data dikumpulkan, maka peneliti melakukan interpretasi terhadap data, sehingga esensi data dapat ditangkap dan dipahami sesuai konteksnya. Dalam penelitian ini prinsip verifikasi akan dipahami sesuai dengan konteksnya di masa Ayer, atau dialihkan sesuai dengan konteks masa kini. f) Metode komparatif Metode komparatif di sini tidak dalam artian metode komparatif dalam penelitian komparatif yang berusaha menemukan asas komparatif pada suatu sistem filsafat. Metode komparatif di sini dipergunakan sekadar untuk melihat komparasi dalam arti sederhana, seperti komparasi antara Positivime Logis Ayer dengan Positivisme Logis Lingkungan Wina. 28 g) Metode induktif Metode induktif dilakukan dilakukan dengan menyimpulkan berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan dianalisis. Oleh karenanya, penyimpulan dilakukan dengan induktif-a posteriori. Akan tetapi, penyimpulan ini bukan untuk merumuskan generalisasi, namun untuk mewujudkan suatu konstruksi teoritis, dengan melalui pengetahuan intuitif, untuk menemukan suatu kejelasan konstruksi logis. h) Metode heuristika Metode heuristika dipergunakan untuk menemukan dan mengembangkan suatu jalan baru, baik berupa suatu pemikiran baru setelah melakukan penyimpulan, kritik teoritis, atau menemukan suatu metode baru. c. Tahap penyajian hasil penelitian Sebagai tahapan terakhir dari penelitian adalah penyajian hasil dalam bentuk disertasi. Penyajian hasil penelitian dilakukan dengan cara menuliskan hasil-hasil penelitian secara sistematis dan utuh.