SINTESIS HASIL LITBANG 2010-2014 RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email : [email protected] web : www.puskonser.or.id RINGKASAN EKSEKUTIF SINTESIS RPI 15 PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI KOORDINATOR: PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN BOGOR 2014 RINGKASAN Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 Tahun 2004). Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut juga dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan terlarut dan terangkut lainnya. Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu (pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah siklus/daur hidrologi. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya. Pengelolaan lahan dan air adalah vital dalam sistem pengelolaan DAS. Adanya peningkatan jumlah penduduk maka akan meningkatkan kebutuhan akan sandang, pangan dan papan serta energi. Akibatnya akan terjadi peningkatan pengurangan areal hutan untuk keperluan lain. Peningkatan intensitas perubahan alih fungsi hutan ini akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS seperti menurunnya resapan air ke dalam tanah, meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, meningkatnya aliran permukaan, banjir dan kekeringan. Pengelolaan lahan dan air merupakan suatu kegiatan yang menjaga fungsi daya dukung lahan dan air bagi kehidupan flora ,fauna dan manusia. Pengelolaan lahan dan air dilakukan antara lain dengan senantiasa menjaga penggunaan lahan dan air yang disesuaikan atau tidak melebihi daya dukungnya agar sistem lahan dan air tidak rusak dan jasa sistem tersebut optimal dan terus menerus (sustainable) bagi kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, untuk memperbaiki lahan-lahan yang terdegradasi terutama di daerah hulu, dapat dilakukan dengan merehabilitasi lahan-lahan tersebut, agar kualitas lingkungan di daerah hilir dapat menjadi lebih baik. Untuk itu diperlukan pengelolaan sumberdaya lahan dan air di dalam DAS dari hulu sampai ke hilir yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Kata kunci: pengelolaan sumberdaya lahan dan air, pengelolaan DAS, rehabilitasi, konservasi tanah dan air i KATA PENGANTAR Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK. 23/VIII-SET/2009 tentang Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun 2010-2014, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) mengemban tanggung jawab pelaksanaan 7 (tujuh) Rencana Penelitian Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI sebagai komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI komponen dari Program Litbang Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang Pengelolaan DAS. Setiap RPI dielaborasi ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk menjawab tujuan (ultimate objectives), sasaran (specific objectives) dan luaran (outputs) RPI yang telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya untuk menghasilkan informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh. Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun 2010-2014 (Revisi) adalah Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS. Sampai akhir 2014, RPI tersebut telah menyelesaikan 92 kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan menyediakan informasi dan teknologi tepat guna, untuk menunjang kelestarian pengelolaan sumberdaya lahan dan air, khususnya yang terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi sehingga dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora, fauna dan secara keseluruhan sebagai penyangga kehidupan dengan sasaran meliputi teknik pengelolaan sumberdaya lahan dan air wilayah daratan, gambut dan pantai. Kegiatan penelitian telah dilaksanakan oleh Puskonser, BBPD Samarinda, BPK Aek Nauli, BPTKPDAS Solo, BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output dari kegiatan penelitian tersebut perlu disintesis untuk melihat capaian kinerja RPI yang sesuai dengan tujuan dan sasaran RPI sampai akhir tahun 2014. Dalam buku sintesis disajikan hasil-hasil penelitian penting di bidang pengelolaan sumber daya lahan dan air pendukung pengelolaan DAS berdasarkan out put yang sudah direncanakan dalam RPI. Hal ini perlu dilakukan mengingat kegiatan penelitian RPI ini spektrumnya sangat luas dan variatif. Sebagaimana ditetapkan dalam Renstra Kementerian Kehutanan 2010-2014, RPI ini lebih difokuskan untuk menghasilkan teknik reklamasi lahan bekas tambang, maka sintesis ini lebih banyak menyajikan informasi ilmiah dan teknik reklamasi lahan bekas tambang emas, teknik reklamasi lahan bekas tambang batubara dan timah. Dengan demikian pada akhir 2014 telah terpenuhi Indikator Kinerja Kegiatan berupa tersedianya teknik reklamasi lahan bekas tambang. Sintesis akhir RPI Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS tahun 2014 yang berkualitas dan dapat mendorong terwujudnya pengelolaan sumber daya lahan dan air pendukung pengelolaan DAS yang berkelanjutan, khususnya reklamasi lahan bekas tambang. Dari sintesis ini, kita dapat melihat berbagai output dalam bentuk penggunaan peta perwilayahan sebaran jenis untuk kepentingan rehabilitasi hutan dan lahan, modeling optimalisasi lahan di DAS bagian hulu dan demplot-demplot penanaman jenis lokal dan cepat tumbuh pada areal tambang timah, emas dan lahan kritis lainnya sekitar DAS. Koordinator RPI beserta tim penelitinya juga memperkaya sintesis antara ini dengan pool of knowledge yang ada. Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS beserta tim penelitinya yang telah menunaikan tugasnya dengan baik menyusun sintesis ini. Semoga sintesis ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan menjadi baseline penyusunan rencana pengelolaan dalam bidang pengelolaan sumber daya lahan dan air pendukung pengelolaan DAS secara berkelanjutan. Kepala Pusat, Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP. 19571221 198203 1 002 DAFTAR ISI RINGKASAN ....................................................................................................... i DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ................................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................vii I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1 1.2. Tujuan ........................................................................................................... 3 II. PERMASALAHAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN 4 AIR ....................................................................................................................... III. UPAYA PENELITIAN DALAM MENJAWAB PERMASALAHAN .................. 5 3.1. Upaya Penelitian yang Telah Dilakukan ......................................................... 5 3.2. Capaian Hasil Penelitian ................................................................................. 5 IV. PENGEMBANGAN HASIL PENELITIAN DALAM MENDUKUNG 7 PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR ...................................... 4.1. Relevansi hasil penelitian dengan kebijakan yang telah dibuat ........................ 7 4.2. Pemanfaatan hasil penelitian untuk pengguna ................................................. 8 4.3. Pengembangan hasil penelitian ke aplikasi lapangan skala luas ................................. 8 V. PENUTUP ............................................................................................................ 12 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 13 LAMPIRAN ..................................................................................................................... 14 iii DAFTAR TABEL Tabel Hal. 1. Demplot Penelitian dalam RPI 15 .......................................................................... 6 v DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Hal. 1. Daftar Sintesa/Buku .............................................................................................. 14 vii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 Tahun 2004). Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut juga dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan terlarut dan terangkut lainnya (Wardoyo, 2007). Suatu DAS terdiri atas dua bagian utama yaitu daerah tadahan (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan daerah kepala sungai, dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadahan. Daerah penyaluran air dapat dibagi dua yaitu daerah tengah dan daerah hilir (Notohadiprawiro, 1981). Dari definisi DAS tersebut maka wilayah DAS meliputi wilayah pegunungan sampai dengan pantai. Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu (pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah siklus/daur hidrologi (Wardoyo, 2007). Oleh karena, itu perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya. Daerah Aliran Sungai dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stok dengan ragam kepemilikan (private, common, state property) dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa,baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan atau kelompok masyarakat (Kartodihardjo et al., 2004). Dengan demikian, DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem, dimana dalam suatu DAS terdapat berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lainnya. Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan yang holistik dan terpadu terhadap suatu DAS. Komponen sumber daya alam yang terdapat dalam DAS antara lain hutan, lahan dan air serta jasa-jasa lingkungan. Pengelolaan lahan dan air adalah vital dalam sistem pengelolaan DAS. Oleh karena itu, lahan dan air merupakan komponen pokok yang menunjang kehidupan yang berada di dalam sistem DAS tersebut. Kehidupan dalam sistem DAS yang terdiri dari flora, fauna dan manusia sangat tergantung pada jasa tanah dan air dalam sistem penunjang kehidupan. Oleh karena itu tanah,air dan kehidupan tidak pernah dapat dipisah-pisahkan. Kehidupan dapat membentuk komunitas flora dan fauna (hutan, tanah, lahan pertanian, dan sebagainya) dan masyarakat manusia (desa, kota) dengan berbagai perangkatnya yang berada di dalam sistem DAS. Komunitas flora dan fauna serta masyarakat manusia senantiasa bergantung kehidupannya pada tanah dan air dalam sistem lahan. Oleh karena itu, pengelolaan DAS tidak pernah dapat dipisahkan dengan pengelolaan lahan dan air. Sintesis 2010-2014 |1 Karena DAS meliputi wilayah dari pegunungan sampai dengan pantai, maka DAS meliputi wilayah daratan, pantai dan pegunungan. Agar sistem DAS dapat berfungsi secara lestari maka pengelolaan DAS harus ditunjang sepenuhnya oleh pengelolaan lahan dan air yang senantiasa mempertimbangkan daya dukungnya. Adanya peningkatan jumlah penduduk maka akan meningkatkan kebutuhan akan sandang, pangan, papan dan energi. Akibatnya akan terjadi peningkatan pengurangan areal hutan untuk pemenuhan kebutuhan di luar sektor kehutanan. Peningkatan intensitas perubahan alih fungsi hutan ini akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS seperti menurunnya resapan air ke dalam tanah, meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, meningkatnya aliran permukaan, banjir dan kekeringan. Pembukaan tajuk hutan tropika basah seperti di Indonesia menyebabkan erosi tanah yang akhirnya dapat menurunkan kualitas tanah baik sifat fisik maupun kimianya. Akibat erosi ini adalah meluasnya lahan terdegradasi. Total lahan terdegradasi di Indonesia tercatat seluas 100,5 juta ha yang terdiri dari 59 juta ha (di dalam kawasan hutan) dan 41,5 juta ha (di luar kawasan hutan) (Departemen Kehutanan, 2008). Lahan terdegradasi ini tersebar di berbagai tipe dan fungsi hutan. Semakin luas lahan terdegradasi, semakin menyebabkan siklus air terganggu. Penyebab meluasnya lahan terdegradasi, antara lain adalah: penebangan liar, penyerobotan lahan hutan, kebakaran hutan, penambangan liar dan kebakaran hutan. Akibatnya adalah hutan menjadi terdeforestasi. Laju deforestasi di Indonesia dari tahun 1982-1990 diperkirakan sebesar 1,6-2 juta ha/th (Anonymous, 2000). Kemudian periode tahun 1997-2000 menjadi 3,8 juta ha (Departemen Kehutanan, 2003). Sedangkan data terakhir menunjukkan bahwa dari tahun 2000-2005, laju deforestasi untuk tujuh pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tercatat rata-rata 1,09 juta ha/th (Departemen Kehutanan, 2008). Salah satu upaya untuk menghadapi degradasi hutan dan lahan terutama di daerah hulu adalah dengan merehabilitasi lahan-lahan tersebut, agar kualitas lingkungan di daerah hilir dapat menjadi lebih baik. Untuk itu diperlukan pengelolaan sumberdaya lahan dan air di dalam DAS dari hulu sampai ke hilir yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Pentingnya posisi pengelolaan sumberdaya lahan dan air sebagai unit perencanaan yang utuh memiliki tujuan untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air dalam sistem DAS. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu yang didukung oleh pengelolaan sumberdaya lahan dan air dari hulu sampai hilir. Sintesis 2010-2014 |2 Pengelolaan lahan dan air merupakan suatu kegiatan yang menjaga fungsi daya dukung lahan dan air bagi kehidupan flora,fauna dan manusia. Pengelolaan lahan dan air dilakukan antara lain dengan senantiasa menjaga penggunaan lahan dan air yang disesuaikan atau tidak melebihi daya dukungnya agar sistem lahan dan air tidak rusak dan jasa sistem tersebut optimal dan terus menerus (sustainable) bagi kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan lahan dan air bertujuan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya lahan secara optimal, mendapatkan hasil maksimal dan mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan dan air itu sendiri. Sebenarnya pengelolaan lahan dan air melalui kegiatan rehabilitasi telah banyak dilakukan, namun keberhasilannya masih rendah. Di sisi lain, kemampuan pemerintah untuk merehabilitasi hutan/lahan terdegradasi hanya berkisar 1-2 juta ha per tahun, itu pun kalau semuanya dinilai berhasil untuk dapat menutupi lahan yang terbuka (Rustam, 2003 dalam Darwo, 2007). Rendahnya tingkat keberhasilan pengelolaan lahan antara lain adalah kurangnya informasi mengenai teknologi untuk merehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Disamping itu, sebagian besar masyarakat setempat yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut hanya sebagai kerja upahan dan tidak diajak berperan aktif dalam analisis masalah dan pengambilan keputusan. Agar rehabilitasi hutan dan lahan dapat berhasil dengan baik, juga diperlukan upaya yang seksama dalam menerapkan teknik konservasi tanah dan air, serta pemilihan jenis pohon yang sesuai/dapat beradaptasi dengan lingkungan yang kurang menguntungkan serta perbaikan kondisi fisik dan kimia tanah sebelum revegetasi. Jika hal ini dapat dilakukan, maka diharapkan pengelolaan sumberdaya lahan dan air dapat menunjang pengelolaan DAS sehingga DAS dapat berfungsi secara lestari. 1.2. Tujuan Sehubungan dengan latarbelakang tersebut di atas, maka Rencana Penelitian Integratif mengenai ”Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan Daerah Aliran Sungai” bertujuan untuk menyediakan informasi dan teknologi tepat guna, untuk menunjang kelestarian pengelolaan sumberdaya lahan dan air, khususnya yang terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi ,agar sumberdaya lahan dan air yang terdegradasi dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora,fauna dan secara keseluruhan sebagai penyangga kehidupan, termasuk di dalamnya dapat meningkatkan perekonomian rakyat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dari mulai perencanaan, kegiatan pelaksanaan dan pengelolaan pasca rehabilitasi lahan. Sintesis 2010-2014 |3 II. PERMASALAHAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR Masalah yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air adalah rendahnya produktivitas lahan kawasan hutan dan adanya kemiskinan karena kelebihan tenaga kerja di subsistem sosial. Atas dasar tersebut maka perlu peningkatan produktivitas kawasan hutan, baik ditinjau dari aspek hasil hutan kayu maupun non kayu, maupun untuk menjaga kelestarian dan perlindungan sumberdaya alam serta lingkungan hidup. Di lain pihak kemampuan daya dukung lahan relatif rendah, sehingga jika pemanfaatan lahan melebihi kapasitas produksinya,maka yang terjadi adalah lahanlahan terdegradasi. Lahan terdegradasi banyak dijumpai baik pada wilayah darat, gambut maupun pantai. Pada wilayah darat, lahan terdegradasi ini sebagian besar akibat adanya kegiatan-kegiatan: penambangan yang tidak mengikuti aturan yang ada, penebangan hutan secara illegal, perambahan kawasan hutan, bencana alam, dan sebagainya. Sedangkan pada wilayah gambut degradasi lahan umumnya karena adanya penebangan jenis-jenis kayu komersial yang melebihi kapasitas produksinya, kebakaran hutan, kemampuan/daya dukung yang rendah dan spesifik terhadap tumbuhan, dan sebagainya. Di wilayah pantai, degradasi lahan selain karena adanya pemanfaatan wilayah pantai untuk bangunan dan tambak ikan/udang, juga disebabkan karena adanya penebangan jenis-jenis kayu komersial. Meningkatnya lahan terdegradasi ini menyebabkan fungsi hutan baik sebagai penghasil kayu/bukan kayu dan pengatur siklus hidroorologi menjadi menurun. Untuk itu perlu dicari upaya-upaya memperbaiki lahan yang terdegradasi. Salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi lahan-lahan terdegradasi adalah dengan merehabilitasi lahan tersebut, melalui berbagai pendekatan. Salah satu caranya adalah mengkombinasikan teknik-teknik rehabilitasi lahan dan pengelolaan tanah dan air yang sesuai dengan kondisi lahan dan merangsang partisipasi aktif (peran serta) masyarakat di sekitar kawasan hutan. Agar masyarakat yakin bahwa kegiatan tersebut memberi manfaat terhadap mereka,maka kegiatannya dapat dilakukan dengan partisipasi aktif masyarakat sejak perencanaan sampai pelaksanaan dan monitoringnya. Demonstrasi plot (demplot) perlu dibuat sebagai sarana untuk mempermudah meyakinkan masyarakat. Sintesis 2010-2014 |4 III. UPAYA PENELITIAN DALAM MENJAWAB PERMASALAHAN 3.1. Upaya Penelitian yang Telah Dilakukan Untuk menjawab permasalahan degradasi sumberdaya lahan dan air untuk mendukung pengelolaan DAS diperlukan beberapa upaya antara lain melalui penelitian yang dapat menjawab permasalahan tersebut. Dalam rangka mendapatkan informasi “Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air untuk Mendukung Pengelolaan DAS”, maka penelitian dikelompokkan kedalam 3 (tiga) kelompok yaitu: - Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan; - Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut; dan - Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai. Beberapa penelitian yang terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan meliputi: Kesesuaian Jenis Pohon untuk Rehabilitasi Lahan pada Unit DAS; Teknologi Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang (emas, batubara, timah); Model Rehabilitasi Lahan Partisipatif (termasuk penerapan mikrohidro dan agroforestry); Teknik Mitigasi Tanah Longsor; dan Tataguna Lahan untuk Optimalisasi Tataair Sedangkan untuk Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut penelitian yang mendukung adalah Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut, khususnya yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian. Penelitian yang terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai antara lain penelitian tentang pengelolaan lahan pantai baik itu pantai berpasir maupun pantai berlumpur, khususnya mengenai pengelolaan wilayah pantai yang dikaitkan dengan kerusakan lingkungan sekitar pantai serta upaya rehabilitasi pantaipantai yang terdegradasi dengan menerapkan beberapa teknologi. 3.2. Capaian Hasil Penelitian Hasil penelitian yang diperoleh kemudian disusun dalam bentuk sintesis untuk memudahkan para pengguna dan juga untuk mencari gaps antara kebijakankebijakan pemerintah terkait dengan pengelolaan sumberdaya lahan dan air dengan kegiatan-kegiatan penelitian yang telah dilakukan yang menunjang kebijakankebijakan tersebut. Karena Daerah Aliran Sungai meliputi wilayah pantai sampai dengan pegunungan, maka hasil penelitian dikelompokkan dalam tiga (3) kelompok, yaitu: Sintesis 2010-2014 |5 a. Wilayah Daratan, yang meliputi: - Pengelolaan lahan bekas tambang (emas, timah, batubara) - Sebaran Spasial Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon untuk Mendukung Keberhasilan Rehabilatasi Hutan dan Lahan dalam Unit DAS di Jawa - Pola Penggunaan Lahan dalam Mendukung Kelestarian Tataair - Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air (mikrohidro, agroforestry) - Pengelolaan lahan daerah rawan longsor b. Wilayah Gambut - Pengelolaan lahan gambut untuk usaha pertanian c. Wilayah Pantai - Pengelolaan lahan pantai berpasir Dalam pembuatan sintesis hasil terdapat beberapa kegiatan yang belum bisa dibuat sintesisnya karena penelitian masih belum memberikan hasil yang utuh, sehingga hasil-hasil penelitian ini disajikan dalam kumpulan judul-judul penunjang. Masing-masing capaian tersebut disajikan dalam Lampiran (Buku I,II,III,IV,V,VI, dan VII). Selain hasil sintesa tersebut di atas, penelitian-penelitian yang ada dalam lingkup Rencana Penelitian Integratif ini juga menghasilkan demplot di beberapa daerah, seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Demplot Penelitian dalam RPI 15 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Demplot kegiatan Teknik Reklamasi Lahan Bekas Tambang Timah Teknik Reklamasi Lahan Bekas Tambang Emas Teknik Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara Teknik Rehabilitasi Lahan dengan Jenis Lokal Teknik Rehabilitasi Lahan dengan Pola Tanam Agroforestry Model Perancangan RLKT Partisipatif Teknik Rehabilitasi Lahan Terdegradasi di Gunung Botak Pola Pemanfaatan Lahan dengan Sistem Agroforestry di Pertanaman Kelapa Sintesis 2010-2014 |6 Luas 2 ha 2 ha Lokasi Koba, Bangka Tengah Pongkor, Jawa Barat 4 ha Kalimantan Timur 2 ha 2 ha Gunung Muria , Jawa Tengah NTT 2 ha 2 ha Sulawesi Selatan Papua 2 ha Manado IV. PENGEMBANGAN HASIL PENELITIAN DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR 4.1. Relevansi hasil penelitian dengan kebijakan yang telah dibuat Hasil-hasil penelitian sangat mendukung kebijakan yang telah dibuat seperti: Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan, antara lain: A. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan no. 146/1999 tentang Pedoman reklamasi bekas tambang dalam kawasan hutan. B. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman penilaian keberhasilan reklamasi hutan. . C. Peraturan Pemerintah RI no: 78/2010 tentang Reklamasi pasca tambang D. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.39/Menhut-II/2010 tentang Pola umum, kriteria, dan standar rehabilitasi dan reklamasi hutan E. Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 2,3 dan 18 terkait dengan pengelolaan air F. Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai antara lain: A. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/Men/2002 tentang pedoman umum perencanaan pengelolaan pesisir terpadu, B. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:P.35/Menhut-II/2012 (PP No.35/Tahun 2010) tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No.32/Menhut II/ 2009 tentang tatacara penyusunan Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS) pada ekosistem mangrove dan sempadan pantai (seperti yang tercantum dalam Lampiran II PP No.35/Tahun 2010) C. UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU no.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil D. Peraturan Pemerintah RI No 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut antara lain: A. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup B. Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang Pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa C. Peraturan Pemerintah RI No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan Sintesis 2010-2014 |7 D. Peraturan Menteri Pertanian No.14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit E. Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK.3706/Menhut-VII/IPSDH/2014 tentang Penetapan peta indikatif penundaan izin baru pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan lain (Revisi VI) F. Peraturan Pemerintah RI No. 24 tahun 2010 tentang Penggunaan kawasan hutan yang dirubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 61 tahun 2012 4.2. Pemanfaatan hasil penelitian untuk pengguna Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dan dibuat sintesanya sangat bermanfaat bagi pengguna antara lain: informasi dan teknologi tepat guna, untuk menunjang kelestarian pengelolaan sumberdaya lahan dan air, khususnya yang terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi. Diharapkan informasi dan teknologi yang diperoleh dapat dipakai dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air guna mendukung pengelolaan DAS sehingga fungsi DAS menjadi lestari. Informasi tersebut antara lain: - teknik rehabilitasi lahan bekas tambang (emas,timah, batubara); informasi mengenai kesesuaian jenis pohon dalam unit DAS; modelling tataguna lahan yang memberikan tataair optimal; pengembangan model2 RLKTA di lahan-lahan terdegradasi dengan pendekatan partisipatif; teknik mitigasi longsor; dan pengelolaan sumberdaya lahan dan air wilayah gambut dan pantai. Hasil-hasil penelitian tersebut diharapkan dapat dipakai oleh pengguna dalam rangka pengelolaan sumberdaya lahan dan air dalam suatu DAS khususnya di lahanlahan terdegradasi. 4.3. Pengembangan hasil penelitian ke aplikasi lapangan skala luas Dengan diperolehnya beberapa informasi dan teknologi dari kegiatan-kegiatan penelitian dalam Rencana Penelitian Integratif ini, maka diharapkan pengguna dapat memanfaatkan hasil-hasil penelitian yang telah diperoleh. Pemanfaatan hasil penelitian ini dapat dilakukan dengan mengembangkan teknologi yang diperoleh tersebut dalam skala yang lebih luas. 1.Pengembangan Teknologi Reklamasi Lahan Bekas Tambang a. Emas Pemanfaatkan lumpur tailing dilakukan dengan memanipulasi sifat kimia lumpur tailing yang bersifat racun dengan sistem chelate melalui penambahan bahan organik. Caranya sangat sederhana, mudah diterapkan dan tidak memerlukan Sintesis 2010-2014 |8 input biaya yang tinggi jika tersedia limbah tailing dan pupuk kandang/bahan organik yang cukup. Informasi mengenai pemanfaatan lumpur tailing dapat dikembangkan oleh perusahaan sebagai filler dalam campuran media semai maupun media tanam. Pemanfaatan lumpur tailing ini dapat mengurangi penggunaan top soil. Pengetahuan mengenai jenis-jenis yang bertahan hidup dan mampu menyerap unsur-unsur beracun seperti: Pb,Cu,Mn, Fe dan sebagainya sangat membantu dalam upaya rehabilitasi daerah yang terdegradasi di sekitar penambangan emas tersebut. Jenis-jenis tersebut antara lain manglid (Michelia montana), suren (Toona sureni) dan sonokeling (Dalbergia latifolia) dapat dikembangkan dalam skala yang lebih luas dengan memanfaatkan media tersebut. b. Timah Permasalahan di lahan bekas tambang timah antara lain adalah adanya banyaknya hamparan tailing kuarsa dan hamparan campuran bahan overburden. Tailing kuarsa merupakan sisa-sisa pemrosesan pemisahan bijih timah dengan bahanbahan lainnya dan tersisa bahan/limbah berupa kuarsa. Sedangkan bahan campuran overburden merupakan campuran bahan-bahan/material di atas bijih timah. Ke dua hamparan ini tingkat kesuburannya sangat rendah, karena partikel liat dan bahan organik rendah sehingga buffer capacity terhadap unsur-unsur hara rendah. Oleh karena itu pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden sebagai filler/pengisi media semai dan media tanam dengan menambah bahan ameliorant berupa top soil dan bahan organik akan sangat membantu dalam mengatasi masalah tersebut. Pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden oleh pengguna akan mengurangi penggunaan top soil, baik untuk penyediaan bibit maupun dalam upaya mereklamasi lahan bekas tambang timah di kedua hamparan tersebut. Jenis-jenis tumbuhan yang cocok untuk kedua hamparan tersebut yaitu: Eucalyptus urophylla, Eugenia garcinaefolia, Enterolobium cyclocarpum dapat dikembangkan dalam skala yang lebih luas di kedua hamparan tersebut dengan memanfaatkan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden sebagai media semai dan media tanam. c. Batubara Permasalahan pada lahan bekas tambang batubara adalah kesuburan tanah rendah dan beberapa tempat yang mengandung batuan pirit dan batuan pirit ini terekspose maka akan terjadi oksidasi dan akan muncul fenomena air asam tambang. Oleh karena itu hanya beberapa jenis tanaman yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah ini. Hasil penelitian mengenai pemanfaatan arang kelapa sawit, kompos, dan asam humat yang dapat dipakai sebagai bahan ameliorant baik di persemaian maupun di Sintesis 2010-2014 |9 lapangan dapat dikembangkan dalam skala yang lebih luas. Demikian juga informas mengenai jenis-jenis tanaman yang cocok di lahan bekas tambang batu bara seperti: jenis-jenis pioner seperti: (waru gunung (Hibiscus sp.), gmelina (Gmelina arborea) ,trembesi (Samanea saman) ,johar (Cassia siamea), dan sengon (Paraserianthes falcataria) dapat dipakai pada awal rehabilitasi dan jika telah tercipta iklim mikro yang baik (sekitar 4 tahun) dapat dikembangkan jenis-jenis Dipterocarpa seperti: Shorea artinervosa, S. agamii, S. balangeran, Parashorea smythiesii dan Cotylelobium burkii. Jenis-jenis Dipterocarpa lain yang dapat dikembangkan antara lain Drybalanops lanceolata, Shorea macrophylla dan Shorea smithiana. Jenis lokal lainnya yang dapat dikembangkan di lahan bekas tambang batubara antara lain: mahang (Macaranga sp.),pulai (Alstonia scholaris), laban (Vitex pinnata), nyawai (Ficus variegate), puspa (Schima wallichii), Ficus sp., medang (Litsea sp.), dao (Dracontomelon dao), salam (Syzygium sp.) dan terap (Artocarpus dadah). 2.Pengembangan dan pemanfaatan peta kesesuaian jenis pohon untuk rehabilitasi hutan dan lahan dalam unit DAS Peta mengenai kesesuaian jenis pohon untuk rehabilitasi hutan dan lahan dalam unit DAS sangat membantu dalam pemilihan jenis-jenis pohon yang akan dikembangkan dalam suatu wilayah. Informasi ini diharapkan dapat membantu upaya rehabilitasi hutan dan lahan terutama di DAS yang termasuk dalam kategori kritis. 3.Pola Pengelolaan Tataguna Lahan dalam Mendukung Optimalisasi Tataair Informasi mengenai pola pengelolaan tata guna lahan dalam mendukung optimalisasi tata air sangat ditentukan oleh dinamika/perubahan dinamis terkait pertumbuhan penduduk, perubahan sosial ekonomi budaya dan perkembangan teknologi. Informasi ini dapat dikembangkan terutama dalam pengelolaan DAS dari hulu sampai dengan hilir dengan tetap memperhatikan faktor ekologi sebagai faktor utama. Disamping itu informasi pemilihan jenis tegakan hutan tanaman yang tepat untuk mendukung rehabilitasi hutan dan lahan dalam wilayah DAS yang bersangkutan dapat dikembangkan agar tidak terjadi kekeringan. 4.Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut Lahan gambut merupakan lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-org >18%) (USDA, 2010). Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi jenuh air. Oleh karena itu lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus, 2012). Lahan gambut merupakan salah satu lahan yang dianggap marginal dan sampai dengan saat ini dijadikan tumpuan bagi perluasan lahan pertanian (Agus et al., 2012) maupun perkebunan. Oleh karena itu lahan gambut banyak yang mengalami Sintesis 2010-2014 | 10 degradasi sehingga upaya pengelolaannya sangat diperlukan. Permasalahan lain yang sering muncul adalah adanya kebakaran hutan dan juga hilangnya fungsi gambut sebagai penyimpan air saat musim kemarau. Pengalaman pengelolaan oleh masyarakat berupa pengaturan drainase dengan pembuatan saluran mikro, memperbaiki sistem drainase yang telah ada seperti pembuatan kanal bloking diharapkan dapat meningkatkan fungsi hidrologis gambut. Pengembangan teknologi berdasarkan pengalaman masyarakat tersebut dapat dilakukan di lahan sekitarnya, sehingga kelestarian gambut dapat terjaga. 5.Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai Berpasir Lahan pantai berpasir merupakan salah satu sumber daya lahan yang potensial untuk dikembangkan baik untuk produksi pangan maupun sebagai area untuk agroecoturisme. Namun demikian pengembangan lahan ini perlu mendapat perhatian khusus, karena kesuburan tanah pada lahan ini relatif rendah sehingga perlu input teknologi untuk meningkatkan produktivitasnya. Pengembangan teknologi yang diperoleh dapat dilakukan di daerah lain dengan melibatkan masyarakat dengan aturan-aturan yang mendukung. Sintesis 2010-2014 | 11 V. PENUTUP Daerah Aliran Sungai meliputi wilayah pantai sampai dengan pegunungan. Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut juga dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan terlarut dan terangkut lainnya. Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu (pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah siklus/daur hidrologi. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya. Penggunaan lahan yang melebihi kapasitas produksi suatu lahan dalam DAS akan mengakibatkan munculnya lahan terdegradasi. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan lahan yang baik agar lahan terdegradasi dapat diperbaiki. Teknologi yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pengguna sehingga pengelolaan DAS dapat berjalan dengan baik. Sintesis 2010-2014 | 12 DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2000. Combating Land Degradation in Indonesia. National Report on the Implementation of United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD). For submission at the fourth session of Conference of the Parties. Bonn, Germany. Darwo. 2007. Strategi Peningkatan Program Gerhan. (Studi Kasus Gerhan di Sekitar Daerah Tangkapan Air Danau Toba).Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan. Padang, 20 September 2006. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. p.249-258. Departemen Kehutanan. 2003. Kebijakan Penyusunan Masterplan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan dan JICA. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2008. Kehutanan. Jakarta. 204 p. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kartodihardjo, H., K.Murtilaksono., dan U.Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Konsep dan Pengantar Analisa Kebijakan). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Notohadiprawiro, T. 1981. Pengelolaan DAS dan Program Penghijauan. Jurusan Ilmu Tanah, Faperta, Universitas Gadjah Mada. 35 p. UU No.7 Tahun 2004. Tentang Sumberddaya Air. Wardoyo, W. 2007. Perlunya Penyamaan Persepsi dan Peningkatan Komitmen dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Keynote Speech pada Lokakarya Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan Infrastuktur Data., F-MIPA – IPB dan CIFOR, 5 September 2007. Sintesis 2010-2014 | 13 LAMPIRAN 1. Daftar Sintesa/Buku Sintesa/ BUKU I II III IV V VI Judul Reklamasi Tambang Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon Pada Unit DAS di Jawa Modelling Tataguna Lahan untuk Optimalisasi Tataair Pengelolaan Lahan Gambut untuk Usaha Pertanian Pengelolaan Lahan Pantai Berpasir Kegiatan Penunjang - Pengelolaan Lahan Pantai Berlumpur - Teknologi Hydroseeding - Metode Penyediaan Bibit dengan Sistem Karpet Sabut Kelapa - Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Lahan di DAS Mahakam - Rehabilitasi lahan dengan jenis lokal di Gunung Muria, Jawa Tengah - Teknik Rehabilitasi Lahan Kritis Secara Partisipatif - Integrasi Kesesuaian Lahan dengan Tabel Volume - Teknik Mitigasi Tanah Longsor Sintesis 2010-2014 | 14 BUKU I PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (ASPEK: REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG) PENYUSUN: PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc. DR. I WAYAN SUSI DHARMAWAN, M.Si. BUDI HADI NARENDRA, S.Hut, M.Sc. SEPTI ASIH WIDURI, S.Si. BURHANUDIN ADMAN, S.Hut, M.Sc. NILAMSARI, S.Hut. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN BOGOR 2014 SUSUNAN TIM PENELITI Koordinator Tim Pelaksana : Prof. Dr. Ir.Pratiwi, M.Sc. : Dr. I Wayan Susi Dharmawan, M.Si. Budi Hadi Narendra, S.Hut, M.Sc. Septiasih Widuri, S.Si. Burhannudin, S.Hut, M.Si. Nilam Sari, S.Hut. DAFTAR ISI Hal. DAFTAR ISI ........................................................................................................ i DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii I. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 1 1.2. Tujuan ............................................................................................................ 2 1.3. Luaran ............................................................................................................ 2 II. KEBIJAKAN REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DI 3 KEMENTERIAN KEHUTANAN .......................................................................... 2.1. Identifikasi regulasi yang ada ........................................................................... 3 2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ................................ 4 2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan .................................................... 5 III. REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DAN PEMULIHANNYA 7 UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN .......................................................... 3.1. Bekas Tambang Emas ...................................................................................... 7 3.2. Bekas Tambang Timah .................................................................................... 10 3.3. Bekas Tambang Batubara ................................................................................ 15 IV. PENUTUP ............................................................................................................. 20 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 21 i ii DAFTAR GAMBAR Gambar Hal. 1. Lumpur tailing tambang emas, Pongkor – Jawa Barat ............................................ 7 2. Pemanfaatan lumpur tailing sebagai media semai dan media tanam tanaman manglid (Michelia montana) .................................................................... 10 3. Hamparan tailing kuarsa dan hamparan campuran bahan overburden .................... 10 4. Percobaan pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden di persemaian ............................................................................................................ 12 5. Tanaman sengon buto dan ubak di hamparan tailing kuarsa (umur 5 bulan) ........... 13 6. E.urophylla umur 5 bulan dan umur 15 bulan di hamparan overburden ................. 14 7. Perlakuan mikoriza pada beberapa jenis bibit tanaman .......................................... 15 8. Tanah dan batuan disposal yang ditemukan di lahan bekas tambang batubara ................................................................................................................ 16 9. Pemanfaatan kompos dan asam humat di persemaian Pentace sp ........................... 17 10. Pemanfaatan kelapa sawit untuk media tanam di lapangan ..................................... 17 11. Tanaman waru gunung (Hibiscus sp.) sebagai tanaman pioneer di lahan bekas tambang batubara ......................................................................................... 18 12. Jenis-jenis Dipterocarpaceae yang dapat tumbuh bagus dengan intensitas cahaya .................................................................................................... 19 iii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 Tahun 2004). Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut juga dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan terlarut dan terangkut lainnya (Wardoyo, 2007). Suatu DAS terdiri atas dua bagian utama yaitu daerah tadahan (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan daerah kepala sungai, dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadahan. Daerah penyaluran air dapat dibagi dua yaitu daerah tengah dan daerah hilir (Notohadiprawiro, 1981). Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu (pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah siklus/daur hidrologi (Wardoyo, 2007). Oleh karena, itu perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya. Salah satu perubahan penggunaan lahan adalah adanya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi areal penambangan. Areal penambangan tersebut antara lain adalah areal-areal yang diambil tambangnya seperti emas, timah dan batubara yang banyak terjadi di Indonesia. Adanya perubahan penggunaan lahan hutan ini seringkali mengakibatkan lahan menjadi terdegradasi. Degradasi lahan adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi kegunaan lahan untuk mendukung kehidupan. Adanya degradasi lahan menyebabkan menurunnya fungsi ekosistem lahan tersebut, dan akan berdampak baik bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya. Dampak tersebut antara lain: penurunan produktivitas sehingga menyebabkan berkurangnya produksi bahan baku pangan, sandang dan papan. Disamping itu hal yang sangat penting adalah hilangnya keanekaragaman hayati karena rusaknya habitat dan ekosistem lainnya. Selain itu degradasi lahan akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang bergantung pada lahan sebagai sumber penghidupannya sehingga angka kemiskinan akan meningkat (Barrow, 1991). Dengan demikian degradasi lahan merupakan proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap (Dariah et al., 2009). Di sisi lain dengan adanya lahan terdegradasi di dalam DAS ini maka akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS seperti menurunnya resapan air ke dalam tanah, meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, meningkatnya aliran permukaan, banjir dan kekeringan. Oleh karena itu diperlukan beberapa upaya untuk mengatasi degradasi lahan, agar kualitas lahan menjadi lebih baik. Sintesis 2010-2014 |1 Salah satu upaya adalah dengan mereklamasi lahan-lahan bekas tambang tersebut, dengan menerapkan teknologi yang ada. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.04/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi, reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai peruntukannya. Lingkup kegiatan reklamasi menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.18 tahun 2008 meliputi: penatagunaan lahan, revegetasi, pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, dan pekerjaan sipil (Permen ESDM No. 18 tahun 2008). Agar reklamasi lahan bekas tambang dapat berhasil dengan baik, juga diperlukan upaya yang seksama dalam menerapkan teknik konservasi tanah dan air, serta pemilihan jenis pohon yang sesuai/dapat beradaptasi dengan lingkungan yang kurang menguntungkan serta perbaikan kondisi fisik dan kimia tanah sebelum revegetasi. Jika hal ini dapat dilakukan, maka diharapkan pengelolaan lahan bekas tambang dapat menunjang pengelolaan DAS sehingga DAS dapat berfungsi secara lestari. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan informasi mengenai teknologi reklamasi lahan bekas tambang termasuk informasi mengenai kebijakan yang berkaitan dengan reklamasi tambang dan beberapa langkah yang diperlukan agar lahan bekas tambang dapat berfungsi seperti semula. Oleh karena itu maka pengelolaan lahan bekas tambang harus ditunjang sepenuhnya oleh beberapa teknologi dan aturan-aturan yang mendukung. 1.2. Tujuan Tujuan penulisan sintesa yang terkait dengan reklamasi lahan bekas tambang adalah menyediakan informasi dan teknologi tepat guna yang didasarkan pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menunjang keberhasilan reklamasi lahan bekas tambang agar lahan bekas tambang yang terdegradasi dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora, fauna dan secara keseluruhan sebagai penyangga kehidupan, termasuk di dalamnya dapat meningkatkan perekonomian rakyat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dari mulai perencanaan, kegiatan pelaksanaan dan pengelolaan pasca rehabilitasi lahan bekas tambang. Sehubungan dengan tujuan tersebut di atas, maka untuk tahun 2010-2014, teknologi yang disusun difokuskan pada tiga jenis lahan bekas tambang yaitu: emas, timah dan batubara. 1.3. Luaran Luaran kegiatan ini adalah informasi dan teknologi tepat guna, untuk menunjang reklamasi lahan bekas tambang, khususnya tambang emas,timah dan batubara serta beberapa informasi kebijakan reklamasi lahan bekas tambang. Sintesis 2010-2014 |2 II. KEBIJAKAN REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DI KEMENTERIAN KEHUTANAN Sehubungan dengan kebijakan reklamasi lahan bekas tambang di Kementerian Kehutanan, beberapa regulasi telah disusun. Namun demikian implementasi di lapangan agaknya belum sepenuhnya dilaksanakan. 2.1. Identifikasi regulasi yang ada Kementerian Kehutanan telah mengambil kebijakan reklamasi lahan bekas tambang melalui berbagai Keputusan Menteri Kehutanan. Keputusan tersebut antara lain: A. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan no. 146/1999 tentang pedoman reklamasi bekas tambang dalam kawasan hutan. Keputusan ini berisi tentang kewajiban perusahaan untuk membuat perencanaan reklamasi dan melaksanakan reklamasi kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi dalam jangka waktu tertentu dan menyampaikan laporan kemajuannya secara berkala. B. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman penilaian keberhasilan reklamasi hutan. Peraturan ini berisi tentang kriteria keberhasilan reklamasi hutan yang meliputi aspek penataan lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, serta revegetasi atau penanaman pohon. Selain itu juga berisi tentang prosedur penilaian dan pihak-pihak yang terkait serta tata cara pelaporan hasilnya. C. Peraturan Pemerintah RI no: 78/2010 tentang Reklamasi pasca tambang yang mengatur rencana reklamasi dan rencana pasca tambang baik pada tahap eksplorasi dan tahap produksi. Diatur juga tentang jaminan reklamasi dan pasca tambang serta sanksi administratif yang dapat dikenakan. D. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.39/Menhut-II/2010 tentang Pola umum, kriteria, dan standar rehabilitasi dan reklamasi hutan yang mengatur prinsipprinsip dasar bagi penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan serta reklamasi hutan, meliputi : 1. Sistem penganggaran yang berkesinambungan (multi years); 2. Kejelasan kewenangan; 3. Pemahaman sistem tenurial; 4. Andil biaya (cost sharing); 5. Penerapan sistem insentif; 6. Pemberdayaan masyarakat dan kapasitas kelembagaan; 7. Pendekatan partisipatif; dan 8. Transparansi dan akuntabilitas. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan serta reklamasi hutan tersebut dilaksanakan dengan pendekatan aspek politik, sosial, ekonomi, ekosistem, dan Sintesis 2010-2014 |3 kelembagaan organisasi. Dalam melaksanakan reklamasi, harus menggunakan kriteria dan standar antara lain: a. Karakteristik lokasi kegiatan; b. Jenis kegiatan; c. Penataan lahan; d. Pengendalian erosi dan limbah; e. Revegetasi; dan f. Pengembangan sosial ekonomi. E.Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.04/Menhut-II/2011 tentang Pedoman reklamasi hutan yang berisi acuan lebih detail bagi pelaksana dalam melakukan kegiatan reklamasi hutan pada areal bekas penggunaan kawasan hutan. Hal-hal yang diatur dalam peraturan ini meliputi: a. Inventarisasi lokasi; b. Penetapan lokasi; c. Perencanaan; d. Pelaksanaan; e. Kelembagaan; f. Pemantauan dan pembinaan teknis, g. Mekanisme pelaporan pelaksanaan reklamasi hutan; dan h. Sanksi. 2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi Sesuai dengan yang diamanatkan dalam peraturan perundangan, kegiatan reklamasi yang baik harus diawali dengan penyusunan rencana reklamasi. Untuk menunjang perencanaan reklamasi tersebut, diperlukan kegiatan penelitian guna menentukan: a. Teknik pengendalian erosi dan sedimentasi yang tepat (pengaturan bentuk lahan, jenis bangunan konservasi, jenis cover crop). Kegiatan reklamasi merupakan kegiatan pasca tambang untuk mencapai kondisi mendekati saat sebelum ditambang atau menjadi lahan yang produktif. Kegiatan reklamasi ini diawali dengan pekerjaan sipil teknis untuk membenahi bentang lahan seperti perataan, pengembalian top soil, pengaturan drainase agar lahan mudah dikelola dan menerapkan teknik konservasi tanah untuk pengendalian erosi, longsor, dan sedimentasi. Pemilihan teknik yang digunakan tergantung pada kondisi setempat seperti cekdam, dam penahan, pengendali jurang, saluran pembuangan air, bangunan terjunan air, dan penanaman cover crop. Pemilihan jenis dan jumlah bangunan yang tepat akan memberi manfaat optimal dalam konservasi tanah. b. Jenis tanaman dan pola tanam yang sesuai untuk revegetasi meliputi jenis tanaman perintis, jenis tanaman cepat tumbuh, jenis tanaman lokal Pemilihan jenis tanaman didasarkan pada kondisi biofisik lahan, persyaratan tumbuh tanaman, fungsi dan peruntukan kawasan. Untuk tahap awal, perlu Sintesis 2010-2014 |4 dilakukan analisis jenis tanaman pionir dan jenis cepat tumbuh yang sesuai, selanjutnya dapat digunakan tanaman unggulan lokal, tanaman eksotik, atau tanaman serbaguna atau multi purpose trees species (MPTS) tergantung fungsi dan peruntukan kawasan. c. Teknik pengelolaan top soil dan perbaikan media tanam (jenis bahan dan komposisinya). Untuk mencapai persentase hidup dan kesehatan/pertumbuhan tanaman yang baik, perlu diperhatikan kondisi fisik, kimia, dan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman melalui pengelolaan top soil dan perlakuan media tanam. Mengingat bervariasinya kondisi lahan pasca penambangan, perlu di lakukan penelitian formulasi yang sesuai untuk setiap jenis tambang. 2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan Sebenarnya berbagai peraturan dan kebijakan reklamasi telah disusun oleh Kementerian Kehutanan, namun dalam pelaksanaannya masih banyak permasalahan yang ditemukan di lapangan seperti: a. Tambang timah: a.1. Beberapa hasil penelitian telah menghasilkan teknologi reklamasi terutama dalam pembenahan media tanam pada lahan bekas tambang timah. Namun lahan bekas tambang timah yang telah berhasil direklamasi seringkali mengalami kerusakan akibat adanya penambangan illegal/PETI yang dilakukan oleh masyarakat pada lokasi reklamasi, karena masih adanya potensi timah di lahan tersebut. Diperlukan strategi penanganan/peraturan perundangan yang mencegah terjadinya hal demikian. a.2. Adanya tailing kuarsa dan bahan campuran overburden yang di hamparkan di lapangan masih belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal kedua bahan ini dapat dimanfaatkan sebagai campuran media persemaian dan penanaman, sehingga dapat mengurangi penggunaan top soil. b. Tambang emas: Kegiatan penelitian telah menghasilkan formulasi pemanfaatan tailing tambang emas sebagai media tanam, namun volume tailing yang dihasilkan melebihi pemanfaatannya sebagai media pengisi lubang tanam maupun media semai sehingga daya tampung dam tailing seringkali tidak memadai. Diperlukan skala pemanfaatan yang lebih besar dan jenis pemanfaatan lainnya agar dapat mengimbangi timbunan tailing. c. Tambang batubara c.1.Teknologi reklamasi pada lahan bekas tambang batubara perlu terus dikembangkan terutama dalam pencegahan dan penanganan air asam tambang (AAT). Penanganan yang dilakukan masih dirasa kurang efektif dan memerlukan biaya tinggi. Penelitian untuk menghasilkan teknologi Sintesis 2010-2014 |5 pemanfaatan air asam tambang, diharapkan dapat mengubah limbah pertambangan ini menjadi sesuatu yang bernilai guna dan mendatangkan keuntungan finansial bagi perusahaan. c.2. Pengembangan model agroforestri dalam reklamasi tambang batubara dapat dijadikan alternatif model reklamasi yang efektif dan efisien. Sintesis 2010-2014 |6 III. REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DAN PEMULIHANNYA UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN 3.1. Bekas tambang emas Permasalahan utama dalam tambang emas adalah hasil pemisahan bijih emas dengan bahan-bahan lainnya menghasilkan lumpur yang memiliki kandungan logam berat cukup tinggi dan beracun seperti: Pb,Cu,Zn dan Fe. Limbah ini ditampung di dalam dam yang cukup luas yang disebut sebagai tailing dam. Persoalan lain yang muncul adalah adanya beberapa tanah longsor di sekitar dam yang dikhawatirkan akan menambah sedimentasi di dalam dam tersebut. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengurangi lumpur tailing tersebut dan merehabilitasi daerah-daerah yang longsor di sekitar dam. Penambangan merupakan salah satu contoh kegiatan yang dapat menyebabkan kerusakan tanah dan tumbuhan secara ekstrem. Pemadatan tanah, penurunan unsur hara, toksisitas lahan dan kemasaman lahan merupakan fenomena umum yang terjadi pada tanah di tambang emas. Untuk mengatasi kerusakan akibat penambangan diperlukan strategi pengelolaan lahan dengan cara mencari teknik atau pemilihan jenis yang tahan hidup pada daerah tersebut, mencari sumber mikroba yang mampu mengembalikan kesuburan tanah dan bahan organik yang mampu memperkaya kandungan unsur hara pada lahan tersebut. A. Pemanfaatan limbah/tailing sebagai pengisi media tanam Limbah padat dalam bentuk lumpur tailing merupakan salah satu limbah yang muncul pada proses penambangan emas (Gambar 1). Oleh karena tingginya kandungan beberapa logam seperti Pb, Cu, Mn, dan Fe serta jumlah massa yang sangat besar yang diendapkan di kolam atau dam, maka lumpur tailing berpotensi menjadi polutan jika tidak dikelola secara benar. Gambar 1. Lumpur tailing tambang emas, Pongkor – Jawa Barat (Foto: Siregar dan Dharmawan) Sintesis 2010-2014 |7 Manipulasi sifat kimia lumpur tailing dengan menekan aktivitas ion-ion logam pada larutan tanah sehingga daya racunnya tertekan dapat merubah bahan ini menjadi tanah yang tidak beracun. Salah satu teknik yang dapat diandalkan dalam meredam aktivitas ion-ion logam dalam larutan tanah adalah melalui mekanisme atau proses kelat (chelate) dimana gugus fungsional bahan organik bereaksi dengan ion-ion logam tersebut. Beberapa penelitian telah dilakukan di PT. Antam untuk memformulasikan teknik manipulasi sifat kimia lumpur tailing yang bersifat racun dengan memanfaatkan pupuk kandang dan arang untuk dijadikan media tanaman dalam rangka memperbaiki sifat kimia dan fisik kesuburan media tanam. Penambangan emas di PT. Antam, Pongkor menghasilkan limbah tailing dengan kandungan Pb yang tinggi sebesar 110 ppm. Tingginya Pb tersebut karena PT. Antam menggunakan sianida (CN) dalam memisahkan emas dan tanah tambang. Unsur sianida tersebut dapat meningkatkan mobilitas ion logam Pb dalam media tailing. Tingginya kandungan Pb dalam tailing juga dapat dilihat di lokasi lain yaitu di penambangan emas Ma On Shan, Hongkong dengan kandungan Pb sebesar 151 ppm (Wong et. al., 1977) dan penambangan emas di Barraba, New South Wales, Australia dengan kandungan Pb sebesar 100 ppm (Meyer, 1980). Menurut Balkema (1997), tailing merupakan komposit mineral-mineral / logam-logam berat yang berasal dari kegiatan penambangan, memiliki tekstur berpasir dan tidak bernilai ekonomis. Namun demikian sebenarnya lumpur tailing sebagai hasil limbah pengolahan emas dapat dijadikan sebagai filler/pengisi media tanam (Gambar 2). Lumpur tailing tersebut harus dicampur dengan pupuk kandang atau bahan organik lainnya untuk menekan kandungan logam berat Pb, Cu, Mn dan Fe. Komposisi terbaik media tailing dengan bahan organik sebesar 1:1 (v/v) (Siregar dan Dharmawan, 2010). Selanjutnya Widianto (1996) menambahkan bahwa pemanfaatan tailing sebagai media dengan menambahkan bahan organik, dan penggunaan cendawan endomikorhiza ke dalam media tailing dapat mengurangi kelarutan Pb. Pupuk organik merupakan bahan organik yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah sehingga tanah menjadi remah, mengurangi kelarutan ion-ion logam berat dalam tanah dan merangsang hidupnya mikroba-mikroba dalam tanah sehingga tanah menjadi lebih subur. Dengan adanya penambahan pupuk organik yang mengandung berbagai macam mineral, vitamin, enzim, asam-asam organik seperti asam humat dan sumber nutrisi lainnya, dapat merangsang hidupnya mikroba tanah seperti mikorhiza maupun mikroba lainnya, mengikat ion-ion logam berat (sebagai chelating agent), meningkatkan agregasi tanah dan memperbaiki struktur tanah (Russo, 1994 ; Turk, 1995). Pemanfaatan tailing sebagai media pertumbuhan tanaman Paraserianthes falcataria telah dilakukan juga dengan cara penambahan pupuk organik dan penggunaan cendawan endomikorhiza kedalam media tailing. Hasil pemanfaatan ini menunjukkan bahwa komposisi media (tailing : pupuk organik kascing, rasio 1:1, v/v) memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan tinggi, pertumbuhan diameter Sintesis 2010-2014 |8 dan berat kering total masing-masing sebesar 15.7 cm, 0.5 cm dan 9.2 gr (Dharmawan, 2007). Penggunaan lumpur tailing sebagai filler media tanam dapat mengurangi tekanan terhadap penggunaan topsoil untuk rehabilitasi lahan kritis baik itu lahan kritis bekas penambangan maupun lahan kritis akibat gangguan lainnya. B. Uji kesesuaian jenis-jenis pohon untuk rehabilitasi lahan bekas longsoran di sekitar tailing dam tambang emas Di sekitar tailing dam umumnya terdapat beberapa lahan terdegradasi antara lain akibat longsoran. Jika hal ini dibiarkan, maka tanah akan tergerus dan mengakibatkan sedimen hasil erosi tanah tersebut masuk ke dalam tailing dam. Dikhawatirkan jika hal ini dibiarkan maka akan menimbulkan jebolnya dam. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu upaya rehabilitasi. Upaya rehabilitasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan tailing lumpur sebagai filler /pengisi media tanam. Komposisi media yang telah ditemukan seperti yang tersebut di atas dapat diterapkan dalam rehabilitasi lahan terdegradasi dengan beberapa tahapan. Tahapan rehabilitasi tambang emas sangat sederhana, mudah diterapkan dan tidak memerlukan input biaya yang tinggi jika tersedia limbah tailing dan pupuk kandang/bahan organik yang cukup. Tahapannya sebagai berikut (Siregar dan Dharmawan, 2010): 1) Pembuatan lubang tanaman dalam bentuk pot dengan ukuran 50cmx50cmx50cm ; 2) Pengisian media lumpur tailing dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 :1 ; 3) Lubang tanam dibiarkan seminggu agar media dapat beradaptasi ; 4) Penanaman semai tanaman dengan tinggi 50 cm dengan jarak tanam 3mx2m ; dan 5) Pemeliharaan tanaman seperti pembersihan gulma dan pemupukan dasar NPK tiap 3 bulan. Pemilihan jenis harus menggunakan spesies lokal yang telah cocok dengan kondisi iklim dan geografis setempat. Jenis manglid (Michelia montana) memiliki pertumbuhan yang bagus dengan menggunakan media tailing : pupuk kandang (1:1, v/v). Selain itu, jenis tanaman tersebut merupakan jenis lokal yang adaptif dengan kondisi setempat. Jenis tanaman lain seperti: suren (Toona sureni) dan sonokeling (Dalbergia latifolia) juga memberikan pertumbuhan cukup bagus dan mampu menyerap logam berat Cu dan Pb secara optimal. Sintesis 2010-2014 |9 Gambar 2. Pemanfaatan lumpur tailing sebagai media semai (kiri) dan media tanam (kanan) tanaman manglid (Michelia montana)(Foto: Siregar dan Dharmawan) 3.2. Bekas tambang timah Sistem pertambangan di Indonesia umumnya menerapkan teknik penambangan permukaan (surface mining), seperti yang dilakukan di pertambangan timah. Akibatnya adalah terjadi perubahan lanskap dan permukaan tanah, hilangnya lapisan atas tanah serta berubahnya habitat flora dan fauna. Perubahan ini menyebabkan sistem hidrologi dan kestabilan landskap berubah. Apabila lahan bekas tambang ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan permasalahan lingkungan baik di dalam areal pertambangan (on site) maupun di luar areal penambangan (off site). Hal ini dapat diamati pada kegiatan pertambangan timah di Bangka (Djakamihardja dan Noviardi, 2009; Herlina, 2004; Rahmawaty, 2002; Yani, 2005). Bekas penambangan ini meninggalkan lahan-lahan berupa hamparan tailing pasir kuarsa dan campuran bahan-bahan overburden (Gambar 3). Hamparan tailing kuarsa Hamparan overburden Gambar 3. Hamparan tailing kuarsa (kiri) dan hamparan campuran bahan overburden (kanan)(Foto: Pratiwi) Tailing kuarsa merupakan hasil dari pemisahan bijih timah dengan bahan-bahan lainnya. Permasalahan yang muncul adalah kualitas hamparan tailing kuarsa memiliki pH rendah (4-5), kandungan mikroba dan unsur hara juga rendah sehingga tingkat kesuburannya rendah. Rendahnya tingkat kesuburan ini karena tailing kuarsa mengandung lebih dari 95 % pasir kuarsa, sedangkan partikel liat serta bahan organiknya sangat rendah. Karena partikel liat dan bahan organik sangat rendah, Sintesis 2010-2014 | 10 maka kapasitas sangga (buffer capacity) tailing ini menjadi sangat rendah (Pratiwi et al., 2012). Oleh karena itu untuk memperbaiki kesuburan tanah ini perlu dilakukan penambahan bahan liat dan bahan organik sebagai bahan pembenah (ameliorant) dan bahan lain sebagai bahan pupuk seperti kapur. Disamping itu bahan campuran overburden yang dihamparkan di beberapa area juga menunjukkan tingkat kesuburan tanahnya yang rendah. Bahan campuran overburden ini mempunyai pH 3,5 karena overburden mengandung bahan sulfidic (mineral pirit/calco pirit) yang mengandung besi dan sulfida dalam kondisi reduksi. Pada saat bahan ini menjadi kering (berkurang kadar airnya), bahan sulfidic mengalami oksidasi yang melarutkan Fe+2 dan S2-. Ion-ion ini teroksidasi dan terhidrolisis dan menghasilkan ion H+ dalam jumlah banyak (Pratiwi, 2012). Oleh karena itu overburden ini mempunyai pH rendah dan diperlukan bahan ameliorant untuk memperbaiki kesuburannya. A. Pemanfaatan tailing kuarsa dan campuran bahan overburden sebagai media tanam untuk perbaikan kualitas tanah bekas tambang timah Tailing kuarsa dan bahan campuran overburden dapat dimanfaatkan untuk media tanam dalam rangka perbaikan kualitas tanah bekas tambang timah dengan menambahkan bahan organik, top soil, kapur, dan pupuk NPK. Hasil penelitian Pratiwi et al., 2011 dan Pratiwi et al., 2012, menunjukkan bahwa media tanam dengan komposisi: 1. Kombinasi 20% bahan organik + 20% top soil+ + 5% kapur + 1% NPK + 54% tailing kuarsa, memberikan pertumbuhan yang bagus untuk tanaman Eucalyptus urophylla, uba (Eugenia garcinaefolia), sengon buto (Enterolobium cyclocarpum) dan trembesi (Samanea saman). 2. Kombinasi 20% bahan organik + 20% top soil + 10% kapur + 1% NPK + 49 % bahan campuran overburden memberikan pertumbuhan yang bagus untuk tanaman E. urophylla, uba (Eugenia garcinaefolia), dan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum) Bahan organik dapat meningkatkan kesuburan baik fisik, kimia maupun biologi tanah. Dengan penambahan bahan organik di dalam media tersebut, maka struktur tanah menjadi lebih baik, daya simpan air meningkat, dan juga meningkatnya KTK tanah (Soepardi, 1983; Hardjowigeno, 1992). Dengan meningkatnya KTK tanah maka daya sangga (buffer capacity) terhadap unsur-unsur hara meningkat. Disamping itu diversitas mikroorganisme di dalam tanah juga meningkat, sehingga dapat membantu proses pelapukan bahan organik di dalam media tersebut. Di samping itu pemberian top soil dalam media sangat bermanfaat, karena di dalam top soil kandungan unsur-unsur haranya relatif masih tinggi dibandingkan dengan lapisan tanah di bawahnya. Dengan demikian pemberian bahan organik (kompos) dan top soil dapat meningkatkan kesuburan tanah, sehingga pertumbuhan tanaman akan menjadi lebih bagus (Gambar 4). Sintesis 2010-2014 | 11 Gambar 4. Percobaan pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden di persemaian (Foto: Pratiwi) Pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden untuk media persemaian, dapat mengurangi pemakaian top soil. Hasil komposisi media tersebut dapat diterapkan di lapangan khususnya di hamparan tailing kuarsa dan hamparan bahan campuran overburden. B. Uji kesesuaian jenis-jenis pohon untuk reklamasi lahan bekas tambang timah Komposisi media tailing kuarsa maupun bahan campuran overburden seperti tersebut di atas dapat diterapkan di lapangan, yaitu untuk media tailing kuarsa diterapkan di hamparan tailing kuarsa dan untuk komposisi media campuran bahan overburden diterapkan di hamparan overburden (Pratiwi et al., 2011 dan Pratiwi et al,, 2012) . 1. 2. Tahapan penerapan di hamparan tailing kuarsa adalah sebagai berikut: Pembuatan lubang tanaman dalam bentuk pot dengan ukuran 50cmx50cmx50cm ; Pengisian lubang tanam dengan media campuran antara top soil dan bahan organik masing-masing dengan perbandingan 20 %, kapur 5%, NPK 1% dan 54% tailing kuarsa; Sintesis 2010-2014 | 12 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 5. Lubang tanam dibiarkan seminggu agar media dapat beradaptasi ; Penanaman semai tanaman dengan tinggi 50 cm dengan jarak tanam 3mx2m ; dan Pemeliharaan tanaman seperti pembersihan gulma dan pemupukan dasar NPK tiap 3 bulan. Pada hamparan tailing kuarsa sampai tanaman berumur 18 bulan, jenis-jenis yang menunjukkan pertumbuhan cukup bagus adalah trembesi (Samanea saman), uba (Eugenia garcinaefolia) dan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum)(Gambar 5). Tahapan penerapan di hamparan overburden adalah sebagai berikut: Pembuatan lubang tanaman dalam bentuk pot dengan ukuran 50cmx50cmx50cm ; Pengisian lubang tanam dengan media campuran antara top soil dan bahan organik masing-masing dengan perbandingan 20 %, kapur 10%, NPK 1% dan 49% tailing kuarsa; Lubang tanam dibiarkan seminggu agar media dapat beradaptasi ; Penanaman semai tanaman dengan tinggi 50 cm dengan jarak tanam 3mx2m ; dan Pemeliharaan tanaman seperti pembersihan gulma dan pemupukan dasar NPK tiap 3 bulan. Pada hamparan overburden sampai tanaman berumur 18 bulan, jenis-jenis yang menunjukkan pertumbuhan cukup bagus adalah E. urophylla , uba (Eugenia garcinaefolia) dan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum) (Gambar 6). Gambar 5. Tanaman sengon buto (kiri) dan ubak (kanan) di hamparan tailing kuarsa (umur 5 bulan) Sintesis 2010-2014 | 13 Gambar 6. E.urophylla umur 5 bulan (kiri) dan umur 15 bulan (kanan) di hamparan overburden C. Pemanfaatan mikoriza dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman Kendala utama yang dihadapi dalam kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang secara umum adalah rendahnya unsur hara, toksisitas aluminium, fiksasi P yang tinggi, pH sangat asam, dan rendahnya bahan organik (Santoso et al, 2006). Unsur Phosphat merupakan salah satu unsur esensial disamping N yang diperlukan dalam fotosintesis dan perkembangan akar. Salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi penyerapan unsur P tersebut adalah dengan menggunakan mikoriza dalam penyediaan bibitnya. Mikoriza ini berperan dalam penyerapan unsur Phosphor yang tidak dapat diserap oleh tanaman karena diikat oleh Fe dan Al, melalui bantuan enzim alkalin fosfat yang dihasilkan oleh Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian mikoriza memberikan pertumbuhan yang lebih bagus dibandingkan tanpa mikoriza terhadap lima jenis tanaman di persemaian yaitu: ekaliptus (Eucalyptus urophylla), jabon (Anthocephalus cadamba), trembesi (Samanea saman), uba (Eugenia garcinaefolia) dan sengon (Paraserianthes falcataria). Sedangkan hasil uji kompatibiliti menunjukkan jenis mikoriza Glomus sp. memberikan pertumbuhan relatif bagus dibandingkan tanpa perlakuan dan maupun dengan mikoriza Gigaspora sp. pada tanaman jabon (Anthocephalus cadamba) dan balsa (Ochroma bicolor) (Gambar 7). Sintesis 2010-2014 | 14 Dengan mikoriza Dengan mikoriza Tanpa mikoriza Tanpa mikoriza Gambar 7. Perlakuan mikoriza pada beberapa jenis bibit tanaman 3.3. Bekas tambang batubara Teknik penambangan batubara dilakukan dengan teknik penambangan terbuka (open pit mining) (Darmawan dan Irawan, 2009; Subandrio et al., 2009). Dengan sistem ini maka terjadi pengupasan bagian yang ada di atas bahan tambang, dan menghasilkan bahan-bahan bukan batubara dalam jumlah besar dan ditimbun di tempat lain yang disebut sebagai overburden. Bahan-bahan tersebut terdiri dari campuran tanah dan bahan induk tanah seperti batuliat (claystone), batu lanau (siltstone), batu pasir (sandstone) atau tufa volkan, yang memiliki sifat fisik dan kimia jelek, dan seringkali mengandung nsur-unsur beracun (Balai Penelitian Tanah, 2006) (Gambar 8). Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka akan mengakibatkan degradasi lingkungan. Sintesis 2010-2014 | 15 Tanah bekas tambang Batuan disposal (Foto: Adman, 2010) (Foto: Adman, 2010) Batuan disposal Hamparan overburden (Foto: Pratiwi, 2009) (Foto: Pratiwi, 2009) Gambar 8. Tanah dan batuan disposal yang ditemukan di lahan bekas tambang batubara Persoalan lain yang muncul di lahan bekas tambang batubara khususnya di daerah dengan overburden mengandung batuan pirit adalah adanya fenomena air asam tambang (AMD-Acid Mined Drainage). Jika pirit ini teroksidasi, akan menghasilkan Fe+3 dan SO4-2. SO4-2 ini bersifat masam dan mengakibatkan pH menjadi sekitar 3. Akibatnya tanah menjadi masam (pH sekitar 3), dan kelarutan unsur-unsur logam meningkat (Al, Fe, Mn, dan sebagainya). Kondisi ini akan beracun bagi tumbuhan. Dengan demikian secara umum permasalahan areal bekas tambang batubara adalah bahwa produktivitas lahan sangat rendah, karena aktivitas penambangan tidak mengikuti susunan tanah seperti semula dan juga di beberapa tempat muncul adanya air asam tambang. Upaya rehabilitasi dapat dilakukan sepanjang kesuburan tanah dari lahan bekas tambang tersebut mendukung pertumbuhan tanaman. Manipulasi sifat fisik, kimia dan biologi tanah sangat diperlukan. Sintesis 2010-2014 | 16 A. Peningkatan kualitas tanah bekas tambang batubara Kualitas tanah bekas tambang batubara dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan kompos dan asam humat (di persemaian) dan arang kelapa sawit (di lapangan). Pemanfaatan kompos dan asam humat di persemaian dilakukan dengan mencampurkan kompos dan tanah bekas tambang dengan perbandingan 1:2 dan pemberian asam humat 100 ml per polibag (ukuran diameter 5 cm dan tinggi 10 cm) yang menghasilkan pertumbuhan bagus terhadap tanaman Pentace sp. (Widuri, 2011) (Gambar 9). Kontrol Kompos + A.Humat Gambar 9.Pemanfaatan kompos dan asam humat di persemaian Pentace sp. (Widuri, 2011) Pemanfaatan arang aktif kelapa sawit pada lubang tanam dilakukan dengan menambahkan arang kelapa sawit sebanyak 1 sampai 3,5 liter per lubang tanam berukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm. Dengan dosis ini, tanaman Ficus variegata menghasilkan pertambahan tinggi, pertambahan diameter, dan kemampuan hidup tanaman yang lebih baik dibanding kontrol/tanpa pemberian arang hayati kelapa sawit (Widuri, 2011) (Gambar 10). Gambar 10. Pemanfaatan kelapa sawit untuk media tanam di lapangan (Foto: Widuri, 2011) Sintesis 2010-2014 | 17 B. Pemilihan jenis tanaman untuk rehabilitasi lahan bekas tambang batubara Dalam pemilihan jenis tanaman untuk rehabilitasi lahan bekas tambang batubara (di PT. Kitadin), pada fase awal seyogyanya menggunakan jenis pioner seperti: waru gunung (Hibiscus sp.), gmelina (Gmelina arborea), trembesi (Samania saman), johar (Cassia sp.) dan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum) (Iriansyah et al., 2008) (Gambar 11). Setelah tanaman pelindung ini bertajuk cukup rindang, yaitu setelah tanaman berumur sekitar 4 tahun, dimana iklim mikro telah mengalami perbaikan, maka dapat dilakukan penanaman jenis-jenis Dipterocarpa seperti: Shorea artinervosa, S. agamii, S. balangeran, Parashorea smythiesii dan Cotylelobium burkii (Sari et al.,2011). Selanjutnya Sari (2014) menyatakan bahwa jenis-jenis Dipterocarpaceae lain yang dapat tumbuh bagus di lahan bekas tambang batubara dengan intensitas cahaya 95 % berturut-turut adalah Dryobalanops lanceolata, Shorea macrophylla dan S.smithiana (Gambar 12). Di PT. Jembayan Muarabara (Adman et al., 2011) jenis-jenis mahang (Macaranga sp.), pulai (Alstonia sp.), laban (Vitex pinnata), nyawai (Ficus variegata), puspa (Schima wallichi), Ficus sp., medang (Litsea sp.), dao/sengkuang (Dracontomelon dao), dan salam (Syzygium sp.) yang ditanam di lahan bekas tambang batubara dapat tumbuh dengan kemampuan hidup di atas 80%. Sedangkan terap (Arthocarpus dadah) dapat tumbuh dengan kemampuan hidup diatas 75 %. Jenis-jenis tersebut dapat direkomendasikan sebagai jenis lokal yang dapat dikembangkan dalam rehabilitasi bekas tambang batubara. Selanjutnya disarankan bahwa masalah pemadatan tanah perlu diatasi dengan penambahan bahan organik tanah (pupuk kandang maupun mulsa) secara teratur untuk melindungi tanaman dari kekeringan. Gambar 11. Tanaman waru gunung (Hibiscus sp.) sebagai tanaman pioneer di lahan bekas tambang batubara (Foto: Maming Iriansyah dan Amiril Saridan) Sintesis 2010-2014 | 18 A B C D Gambar 12. Jenis-jenis Dipterocarpaceae yang tumbuh bagus dengan intensitas cahaya 95% (A= Shorea macrophylla; B,D=Dryobalanops lanceolata; C=Shorea smithiana) (Sumber: Sari, 2014) Dari hasil yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa: 1. Pengembangan tanaman waru gunung, gmelina, trembesi, johar, sengon buto, terap, johar, nyatoh, mahang, pulai, nyawai, dao, medang, salam, Ficus sp., puspa, dan laban sebagai tanaman pelindung sangat bermanfaat untuk mereklamasi lahan bekas tambang batubara. Jika tanaman ini telah berkembang, maka iklim mikro menjadi lebih baik, sehingga dapat menunjang pertumbuhan jenis-jenis lain yang akan dikembangkan (Iriansyah et al., 2008; Adman, 2010). Jenis-jenis lain yang bisa dikembangkan antara lain jenis-jenis Dipterocarpaceae (Sari et al., 2011). 2. Masalah pemadatan tanah perlu diatasi dengan penambahan bahan organik tanah (pupuk kandang maupun mulsa) secara teratur untuk melindungi tanaman dari kekeringan. 3. Perusahaan penambangan dalam melakukan praktek penambangan seharusnya mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam Pedoman Reklamasi Lahan Bekas Tambang. Penimbunan lahan bekas tambang harus mengikuti susunan tanah semula. Operator perlu dilatih mengenal tanah lapisan atas (top soil), lapisan bawah (sub soil) dan lapisan bahan induk. Selama ini tanah hasil pengupasan (disposal) dicampur dengan bahan induk tanah yang berupa batuan, sehingga terjadi pemadatan tanah. Sintesis 2010-2014 | 19 IV. PENUTUP Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lain seperti untuk pertambangan, seringkali menyebabkan berbagai masalah seperti: perubahan lanskap, permukaan tanah, hilangnya lapisan atas tanah serta berubahnya habitat flora dan fauna. Perubahan ini menyebabkan sistem hidrologi dan kestabilan landskap berubah. Apabila lahan bekas tambang ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan permasalahan lingkungan baik di dalam areal pertambangan (on site) maupun di luar areal penambangan (off site). Upaya reklamasi lahan bekas tambang timah perlu dilakukan dengan memanfaatkan teknologi yang telah tersedia. Agar kegiatan reklamasi lahan bekas tambang dilakukan oleh perusahaan tambang, maka perlu dibuat aturan yang mengatur kegiatan tersebut. Beberapa aturan yang telah ada seringkali tidak diterapkan oleh perusahaan tambang sehingga hasil rehabilitasi masih jauh dari yang diharapkan. Sintesis 2010-2014 | 20 DAFTAR PUSTAKA Adman, B., A.W. Nugroho, Mujianto. 2010.Pemanfaatan jenis-jenis lokal untuk rehabilitasi lahan bekas tambang batubara di Kalimantan Timur. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Balai Penelitian Tanah, 2006. Bisakah lahan bekas tambang batubara untuk pengembangan pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol.28.No.2.2006. Barrow, C. J. 1991. Land degradation: Development and breakdown of terrestrial environments. New York: Cambridge University Press. Darmawan, A., dan M. A. Irawan. 2009. Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara PT Berau Coal, Kaltim. Prosiding Workshop IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batubara. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Dariah, A., A.Rachman dan U.Kurnia. 2009. Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/buku/ lahankering/berlereng1.pdf. Diakses tanggal 5 Agustus 2012. Djakamihardja, A.S., dan R.Noviardi. 2009. Rehabilitasi Lahan Paska Tambang Timah di Kabupaten Bangka Barat: Alternatif Pemanfaatan Sampah Organik. http://dspace.1pk.lipi.go.id/space/handle/123456789/450. Diakses tanggal 30 Januari 2010. Dharmawan, I. W. S. 2007. Application of Endomycorrhizal Fungi and Organic Matter in Tailing Media to Increase Paraserianthes falcataria Seedling Growth. Journal of Widya Riset LIPI. Dharmawan, I. W. S. dan Siregar, C. A. 2010. Uji coba jenis-jenis Dalbergia latifolia, Maesopsis eminii, Podocarpus imbricatus dan Toona sureni pada areal bekas penambangan emas. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Badan Litbang Kehutanan. Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Divisi Buku Perguruan Tinggi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 360 halaman. Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 233 halaman. Herlina. 2004. Melongok Aktivitas Pertambangan Batu Bara Di Tabalong, Reklamasi 100 Persen Mustahil. Banjarmasin Post: 24 Maret 2004, Banjarmasin. Sintesis 2010-2014 | 21 Meyer, D.R. 1980. Nutritional problems associated with the establishment of vegetation on tailings from an asbestos mine. Mellanby, K. (Editor). Environmental Pollution Vol. 23 No. 1. Applied Science Publishers Ltd. London. Notohadiprawiro, T. 1981. Pengelolaan DAS dan Program Penghijauan. Jurusan Ilmu Tanah, Faperta, Universitas Gadjah Mada. 35 p. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. No. 18/2008 mengenai reklamasi tambang dan penutupan tambang. Pratiwi, E.Santoso, dan M.Turjaman. 2011. Teknik Rehabilitas Lahan Bekas Tambang Timah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Konservas dan Rehabilitasi. Bogor. Pratiwi, E.Santoso., dan M.Turjaman. 2012. Penentuan dosis bahan ameliorant untuk perbaikan tanah dari tailing pasir kuarsa sebagai media tumbuh tanaman. Jurnal Hutan dan Konservasi Alam, in press. Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Russo, R. O. 1994. Effects of a new humic-algal-vitamin biostimulant (Roots TM) on vegetative growth of coffee seedlings. Dissertation abstract. Yale University, School of Forestry and Environmental Studies. New Haven, Connecticut. Santoso, E., M.Turjaman dan R.S.B.Irianto. 2006. Aplikas mikoriza untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Sari, N., R.Handayani., S.Soegiharto., dan R.Felani. 2011. Teknologi Rehabilitasi dan Restorasi Lahan Bekas Tambang Batubara. Laporan Tahunan. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Sari, N. 2014. Teknologi Rehabilitasi dan Restorasi Lahan Bekas Tambang Batubara. Sintesis Hasil Penelitian. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Subandrio, A., Sukarman dan R. T. Tambunan. Pelaksanaan Reklamasi di PT Adaro Indonesia. Prosiding Workshop IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batubara. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. UU No.7 Tahun 2004. Tentang Sumberdaya Air. Sintesis 2010-2014 | 22 Wardoyo, W. 2007. Perlunya Penyamaan Persepsi dan Peningkatan Komitmen dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Keynote Speech pada Lokakarya Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan Infrastuktur Data., F-MIPA – IPB dan CIFOR, 5 September 2007. Widianto, R. 1996. Membuat stek, cangkok dan okulasi. P. T. Penebar Swadaya. Jakarta. Wong, M. H. and F. Y. Tam. 1977. Soil and vegetation contamination by iron-ore tailings. Mellanby, K. (Editor). Environmental Pollution Vol. 14 No. 1. Applied Science Publishers Ltd. London. Yani, M. 2005. Reklamasi lahan bekas tambang dengan penanaman jarak pagar. Seminar Nasional Pengembangan JarakPagar (Jatropha curcas Linn) Untuk Biodiesel dan Minyak Bakar, Bogor, 22 Desember 2005. Institut Pertanian Bogor. Sintesis 2010-2014 | 23 BUKU II PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (ASPEK: KESESUAIAN TEMPAT TUMBUH JENIS-JENIS POHON PADA UNIT DAS) PENYUSUN: PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc. BUDI HADI NARENDRA, S.Hut, M.Sc. DR. I WAYAN SUSI DHARMAWAN, M.Si. MANJELA EKO HARTOYO, G.S.Si PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN BOGOR 2014 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ......................................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ v I. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1 1.2. Tujuan ........................................................................................................... 1 1.3. Luaran ........................................................................................................... 1 II. KEBIJAKAN PENENTUAN JENIS POHON DALAM 2 REHABILITASI LAHAN ..................................................................................... 2.1. Identifikasi regulasi yang ada .......................................................................... 2 2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ............................... 2 2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan ................................................... 3 III. KESESUAIAN JENIS POHON PADA UNIT DAS .............................................. 4 3.1. DAS di Jawa Tengah ...................................................................................... 5 3.2. DAS di Jawa Timur ........................................................................................ 8 3.3. DAS di Jawa Barat ......................................................................................... 14 IV. PENUTUP ............................................................................................................ 19 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 20 i DAFTAR TABEL Tabel Hal. 1. Kodefikasi jenis pohon untuk analisis kesesuaian tempat tumbuh .......................... 8 2. Kode kesesuaian tempat tumbuh di DAS Citanduy ................................................ 15 iii DAFTAR GAMBAR Gambar Hal. 1. Diagram alir analisis kesesuaian jenis tanaman ...................................................... 4 2. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Bodri ............................... 5 3. Legenda Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Bodri ................. 5 4. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Juwana ............................ 6 5. Legenda Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Juwana ............. 6 6. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Comal ............................. 7 7. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Balong ............................. 7 8. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Lesti ................................ 10 9. Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Marmoyo ............................ 11 10. Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Konto .................................. 12 11. Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Widas ................................. 13 12. Peta kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Citanduy ...................... 14 v I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya penggunaan lahan dalam DAS yang melebihi daya dukungnya seringkali menimbulkan berbagai masalah, seperti munculnya lahan-lahan kritis dalam DAS tersebut. Upaya rehabilitasi lahan kritis sudah banyak dilakukan di Indonesia namun hasilnya belum optimal, seperti pada pelaksanaan tahun 2003 yang menunjukkan persentase keberhasilan tanaman secara nasional berdasarkan penilaian lembaga penilai independen (LPI) sebesar 59,58% (Departemen Kehutanan, 2007). Banyak faktor yang menyebabkan kegagalan rehabilitasi lahan kritis, salah satunya disebabkan oleh karakteristik tanaman yang tidak sesuai dengan kondisi lahan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemilihan jenis pohon sebelum melakukan rehabilitasi di daerah tersebut. Keputusan untuk menentukan suatu jenis yang akan dikembangkan tergantung pada tiga prinsip utama, yaitu : tujuan penanaman, kemampuan jenis yang akan dikembangkan dan persyaratan tempat tumbuhnya. Menurut Pratiwi (2003), rehabilitasi lahan dapat diawali dengan penutupan lahan dengan tanaman yang disesuaikan dengan kondisi lokal areal tersebut dan tujuan penanamannya. Tujuan penanaman ada berbagai macam, seperti : 1) untuk konservasi tanah, air dan lingkungan secara umum, 2) sebagai penghasil kayu dan non kayu atau produk lain dan 3) berkaitan dengan fungsi sosial untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dengan demikian tahapan penting dalam awal rehabilitasi lahan adalah pemilihan jenis tumbuhan yang akan dikembangkan, dimana hal ini akan sangat menentukan sistem silvikultur yang akan diterapkan dan juga penggunaan serta pengelolaan tanaman tersebut. 1.2. Tujuan Tujuan penelitian ini untuk memperoleh data dan informasi tentang jenis-jenis pohon yang sesuai pada lahan-lahan kritis pada Suatu DAS yang dituangkan dalam peta kesesuaian tempat tumbuh jenis pohon dengan pendekatan berdasarkan kondisi fisik lahan kritis tersebut. 1.3. Luaran Luaran penelitian ini berupa peta kesesuaian jenis pohon yang dapat dijadikan pertimbangan dalam penentuan jenis yang akan dipilih pada kegiatan rehabilitasi lahan kritis dalam suatu DAS Sintesis 2010-2014 |1 II. KEBIJAKAN PENENTUAN JENIS POHON DALAM REHABILITASI LAHAN 2.1. Identifikasi regulasi yang ada Peraturan Pemerintah RI No.76 TAHUN 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan Dalam peraturan ini, untuk menyelenggarakan rehabilitasi dan reklamasi hutan perlu ditetapkan pola umum, kriteria, dan standar rehabilitasi dan reklamasi hutan. Salah satu aspek dalam kriteria dan standar rehabilitasi hutan adalah aspek teknologi meliputi penerapan teknologi yang ditentukan oleh kesesuaian lahan atau tapak setempat, tingkat partisipasi masyarakat, dan penyediaan input yang cukup. Pengaturan kesesuaian jenis tanaman yang dipilih hanya bersifat umum misalnya dalan rehabilitasi hutan pada hutan konservasi harus memilih jenis tumbuhan asli setempat dan sesuai keadaan habitat setempat. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dalam peraturan ini telah disebutkan bahwa pemilihan jenis tanaman untuk rehabilitasi harus sesuai dengan rancangan yang telah disusun dan didasarkan pada minat masyarakat, kesesuaian agroklimat serta permintaan pasar. Namun kesesuaian ini lebih banyak menekankan pada kesesuaian peran pohon yang dipilih seperti memiliki daur panjang, perakaran dalam, evapotranspirasi rendah, atau sesuai sebagai penghasil kayu/getah/ kulit/buah. Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor P. 32/MENHUT-II/2009 tentang Tata cara penyusunan rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan daerah aliran sungai (RTkRHL-DAS) Dalam keputusan ini, langkah-langkah yang diperlukan dalam Penyusunan RTkRHL-DAS antara lain pengumpulan dan penyusunan data dan pemetaan termasuk di dalamnya memetakan kesesuaian jenis tanaman (Zonasi tanaman). 2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi Beberapa regulasi telah menyebutkan pentingnya pemilihan jenis tanaman yang sesuai untuk kegiatan rehabilitasi. Namun demikian pedoman pemilihan kesesuaian jenis tanaman belum tersedia sehingga melalui hasil penelitian ini dapat dikembangkan suatu pedoman pemilihan jenis tanaman yang akan memudahkan pihak pengambil keputusan dalam merencanakan jenis tanaman rehabilitasi sesuai kondisi lahannya. Melalui penentuan jenis yang tepat, keberhasilan kegiatan rehabilitasi yang antara lain ditunjukkan oleh kemampuan hidup tanaman akan meningkat. Penelitian metode kesesuaian jenis tanaman ini masih harus terus dikembangkan mengingat hanya sebagian kecil jenis tanaman hutan yang telah diketahui persyaratan Sintesis 2010-2014 |2 tumbuhnya. Dengan mengetahui persyaratan tumbuh untuk tiap jenis tanaman hutan, akan memudahkan dalam analisis kesesuaian dan hasilnya akan lebih akurat. 2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan Permasalahan yang masih sering dijumpai di lapangan adalah pemilihan jenis yang digunakan dalam kegiatan rehabilitasi meskipun telah sesuai dengan kondisi lahan, namun belum tentu membawa keberhasilan kegiatan rehabilitasi tersebut. Hal ini antara lain dikarenakan jenis tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau tidak dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Faktor lain adalah ketersediaan benih atau bibit yang berkualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu penentuan kesesuaian jenis hendaknya diikuti oleh sosialisasi atau survey tentang kondisi masyarakat, dan didukung oleh penyediaan bibit berkualitas. Sintesis 2010-2014 |3 III. PETA KESESUAIAN JENIS POHON PADA UNIT DAS Peta kesesuaian jenis pohon dihasilkan dari analisis spasial yang dilakukan dengan teknik matching antara persyaratan tumbuh tiap jenis pohon dengan data karakteristik tanah, curah hujan dan ketinggian tempat. Diagram alir metode penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Syarat tumbuh tanaman Parameter tanah Peta sistem lahan Parameter elevasi Digital elevation model Parameter curah hujan Survey lahan Analisis tanah Pengolahan data (input dan matching) Karakteristik tanah Curah hujan tahunan Klasifikasi Interpolasi Klasifikasi Kesesuaian jenis tanaman berdasarkan karakteristik tanah Peta tingkat kekritisan lahan Kesesuaian jenis tanaman berdasarkan curah hujan Kesesuaian jenis tanaman berdasarkan elevasi Overlay Peta batas administrasi kecamatan Kesesuaian jenis tanaman pada tiap tingkat kekritisan lahan di tiap kecamatan Gambar 1. Diagram alir analisis kesesuaian jenis tanaman Dalam kajian ini peta yang dihasilkan adalah Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh untuk Jenis-jenis Pohon di DAS Kritis. Penuangan informasi ke dalam peta dilakukan berdasarkan pada persyaratan tempat tumbuh bagi suatu jenis pohon berdasarkan topografi, jenis tanah dan tipe iklim (curah hujan). Sintesis 2010-2014 |4 3.1. DAS di Jawa Tengah Penentuan kesesuaian jenis pohon di Jawa Tengah dilakukan pada DAS-DAS utama yang tingkat kekritisannya tinggi, yaitu DAS Bodri, Juwana, Comal, dan Balong. Hasil analisisnya masing-masing disajikan pada peta beserta legendanya. Gambar 2. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Bodri Gambar 3. Legenda Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Bodri Sintesis 2010-2014 |5 Gambar 4. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Juwana Gambar 5. Legenda Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Juwana Sintesis 2010-2014 |6 Gambar 6. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Comal Gambar 7. Kesesuaian tempat tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Balong Sintesis 2010-2014 |7 3.2. DAS di Jawa Timur Berbeda dengan di Jawa Tengah, analisis kesesuaian di Jawa Timur dilakukan pada satu DAS Besar yaitu DAS Brantas. DAS ini memiliki 15 Sub DAS dan fokus kajian dilakukan pada sub DAS yang dikategorikan kritis dan sangat kritis yaitu Sub DAS Lesti, Marmoyo, Konto, dan Widas. Keempat Sub DAS ini yang merupakan daerah kritis di DAS Brantas mengalirkan airnya ke sungai utama yaitu Sungai Brantas. Jenis pohon yang dianalisis mencapai 60 jenis sehingga diperlukan pengkodean tiap jenis vegetasi guna memudahkan proses querying. Kode untuk tiap jenis vegetasi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kodefikasi jenis pohon untuk analisis kesesuaian tempat tumbuh No 1 Kode A1 2 A2 3 A3 4 B1 5 B2 6 B3 7 B4 8 B5 9 B6 10 C1 11 C2 12 C3 13 D1 14 D2 15 F1 16 G1 17 J1 Sintesis 2010-2014 Nama jenis Alpukat (Persea Americana) Aren (Arenga pinnata) Asam (Tamarindus indica) Balsa (Ochroma bicolor) Bambu (Bambusa bambos) Bayur (Pterospermum javanicum) Benuang laki (Duabanga moluccana) Bungur (Lagerstroemia speciosa) Benuang bini (Octomeles sumatrana) Cemara gunung (Casuarina junghuniana) Cengkeh (Eugenia aromatic) Cermai (Phyllanthus acidus) Dadap (Erythrina variegata) Durian (Durio zibenthinus) Flamboyan (Delonix regia) Gamal (Gliricidia sepium) Jabon (Anthocephalus chinensis) |8 No 31 Kode K11 32 L1 33 L2 34 L3 35 M1 36 M2 37 M3 38 M4 39 M5 40 M6 41 N1 42 N2 43 N3 44 P1 45 P2 46 P3 47 P4 Nama jenis Kiacret (Spathodea campanulata) Lamtoro (Leucaena leucocephala) Lamtoro merah (Acacia vilosa) Lengkeng (Dimocarpus longan) Mahoni (Swietenia macrophylla) Mangga (Mangifera indica) Medang (Litsea firma Hook) Melur (Podocarpus sp.) Merbau (Intsia palembanica) Mindi (Melia azedarach) Nangka (Artocarpus heterophyllus) Nyatoh (Palaquium sp.) Nyawai (Ficus variegata) Pasang (Lithocarpus sp.) Pinus (Pinus merkusii ) Pulai (Alstonia scholaris) Pasang2 (Quercus sp.) No 18 Kode J2 19 J3 20 J4 21 K1 22 K2 23 K3 24 K4 25 K5 26 K6 27 K7 28 K8 29 K9 30 K10 Nama jenis Jati (Tectona grandis) Jati putih (Gmelina arborea) Johar (Cassia siamea) Kaliandra (Callyandra calothyrsus) Kapuk randu (Ceiba petandra) Kayu manis (Cinnamomum burmanii) Kecapi (Sandoricum koetjape) Kemiri (Aleurites moluccana) Kenari (Canarium vulgare) Keruing (Dipterocarpus hasseltii) Kesambi (Schleicera oleosa) Ketapang (Terminalia catappa) Khaya (Khaya anthotheca) No 48 Kode S1 49 S2 50 S3 51 S4 52 S5 53 S6 54 S7 55 T1 56 T2 57 T3 58 T4 59 W1 60 W2 Nama jenis Secang (Caesalpinia sappan) Sengon (Paraserianthes falcataria) Sengon buto (Enterolobium cyclocarpum) Sindur (Sindora javanica) Sonokeling (Dalbergia latifolia) Sukun (Artocarpus altilis) Suren (Toona sureni) Terap (Artocarpus elasticus) Tekik (Albizia lebbeck) Terentang (Campnosperma coriaceum) Trembesi (Samanea saman) Waru (Hibiscus tiliaceus) Waru gunung (Hibiscus similis) Sintesis 2010-2014 |9 Gambar 8. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Lesti Sintesis 2010-2014 | 10 Gambar 9. Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Marmoyo Sintesis 2010-2014 | 11 Gambar 10. Kesesuaian tempat tumbuh jJenis-jenis pohon di DAS Konto Sintesis 2010-2014 | 12 Gambar 11. Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Widas Sintesis 2010-2014 | 13 3.3. DAS di Jawa Barat Analisis kesesuaian jenis pohon di Jawa Barat dilakukan pada unit DAS yang merupakan DAS prioritas untuk direhabilitasi. Hasil analisis menghasilkan unitunit lahan yang memiliki beragam kombinasi jenis tanaman yang sesuai. Ada unit lahan yang hanya sesuai untuk satu atau dua jenis pohon, namun ada juga unit lahan yang sesuai untuk 36 jenis pohon. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi lahan yang terdiri faktor tanah, curah hujan, dan ketinggian tempatnya. Jika pada suatu unit lahan ketiga faktor tersebut berada pada kisaran yang baik bagi tanaman maka akan lebih banyak jenis tanaman yang sesuai untuk tumbuh di unit lahan tersebut. Sebaliknya pada kondisi-kondisi yang ekstrim, jenis tanaman yang sesuai akan terbatas. Gambar 12. Peta kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Citanduy Sintesis 2010-2014 | 14 Peta tersebut berisi kode-kode unit lahan dimana tiap kode kesesuaian berisi informasi kombinasi jenis-jenis pohon yang sesuai. Tiap jenis pohon dilambangkan dengan kode sesuai pada Tabel 1. Informasi luasan tiap unit lahan dan jenis pohon yang sesuai dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kode kesesuaian tempat tumbuh di DAS Citanduy Kode Kesesuaian 1 2 3 4 5 7 8 9 10 14 15 16 17 22 23 25 26 27 28 29 Luas ( Ha) Kode Jenis Pohon B1 B2 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M1M3 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S1 S2 T1 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S2 T1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K3 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S1 S2 T1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S2 T1 B1 B2 B3 C1C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M1M3 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3 A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S2 T1 A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2 S5 S6 T1 T3 A1 B1 B2 F1G1J1 J3 K1 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2 S5 T1T3 A1 B1 B2 F1G1J1 J3 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S2 T1 A1 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K2K11 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3 A1 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K5 K7 K8 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3 A1 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K5 K8 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3 A1 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K8 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3 A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3 A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3 A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 511.43 11,101.46 12.00 2.45 147.99 2.07 1.28 7.26 375.70 10,067.54 6.08 1,219.01 3,296.41 26.10 1.39 409.93 459.66 11,976.61 11,127.46 Sintesis 2010-2014 5.96 | 15 Kode Kesesuaian 30 33 34 35 37 38 39 40 41 42 43 44 45 47 48 49 50 52 53 54 55 56 57 Kode Jenis Pohon N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3 A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K7 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3 A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S2 T1 A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S1 S2 T1 A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S2 T1 A1 B1 B2 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K5 K8 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3 A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K1 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2 S5 S6 T1 T3 A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K1 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3 A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3 A1 B2 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K6 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 A1 B2 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K6 K7 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 A1 B2 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 A1 B2 G1 J1 J2 J3 K2K11 K5 K6 K7 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K3 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K5 K8 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K8 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K8 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K8 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 Sintesis 2010-2014 | 16 Luas ( Ha) 5,416.92 3,552.49 5,688.06 463.72 1.35 4,081.62 43.59 4,809.44 4,008.71 1,894.18 2,818.15 111.77 141.65 58.39 12.67 118.80 1,278.33 10,006.07 11,929.62 51,397.42 1,801.97 1,320.76 7,229.12 Kode Kesesuaian 59 61 62 63 64 65 66 67 68 71 72 73 74 75 76 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 92 Luas ( Ha) Kode Jenis Pohon B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 F1 G1 J1 K2 K3 K6 K7 K10 M4 M5 N1 N2 N3 B1 B2 B3 F1 G1 J1 K2 K3 K6 K7 K10 M5 N1 N2 N3 B1 B2 B3 F1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 B3 F1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K7 K9 K10 K11 M5 N1 N2 N3 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K7 K9 K10 K11 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K7 K10 M1 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M1 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M1 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P2P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3 B1 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3 B1 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P2 P3 S1 S2S3S5 S7 S6 T1 T3 B1 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M1 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K1 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B3 F1 G1 J1 J3 J4 K2 K1 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 B1 B3 F1 G1 J1 J3 J4 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 B2 F1 G1 K1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N3 P1 S2 S5 T1 108.79 22.24 18.20 14,091.51 4,696.07 595.85 3,000.93 36.98 916.70 6,811.80 832.83 3,850.62 7.41 4,056.05 1,115.86 8,092.92 2,581.83 1,846.70 974.69 335.46 36.24 366.96 607.48 20,798.37 931.48 74.82 2,271.19 503.22 Sintesis 2010-2014| 17 Kode Kesesuaian 93 94 95 96 97 98 99 100 101 103 104 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 118 121 124 125 126 127 128 129 131 132 134 135 136 137 139 140 142 146 147 148 Kode Jenis Pohon B2 F1 G1 K1 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 S2 S5 T1 T3 B2 F1 G1 K1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N2 N3 P1 S2 S5 T1 T3 B2 F1 G1 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 S2 T1 B2 F1 G1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N2 N3 P1 S2 T1 B2 F1 G1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N3 P1 S2 T1 B2 F1 K2 M1 M4 M5 P1 S2 T1 B2 F1 K2 M1 M4 M5 P1 T1 B2 F1 M1 M4 M5 P1 T1 B2 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 B2 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K7 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 B2 M1 M4 M5 P1 B3 F1 G1 K2 K1 K10 M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 B3 F1 G1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N2 N3 P1 B3 F1 G1 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 B3 F1 G1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N3 P1 B3 F1 K2 M1 M4 M5 P1 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K5 K6 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K6 K10 M1 M5 N1 N3 P1 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K6 K7 K10 M1 M5 N1 N3 P1 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K6 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K6 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 C1 G1 M1 C1C2 G1 M1 C2 G1 C2 G1 M1 G1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M5 N1 N3 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M5 N1 N3 P1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K9 K10 K11 M5 N1 N3 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K9 K10 K11 M5 N1 N3 P1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K7 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P3 S2 S5 S6 T1 G1 M1 J1 J2 J3 K5 K6 K9 M5 N1 N3 J1 J2 J3 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P3 S2 S5 S6 T1 M1 M4 M5 P1 Sintesis 2010-2014 | 18 Luas ( Ha) 1,950.98 719.20 4,800.49 1,606.94 2,358.14 757.44 959.57 324.51 2,510.71 57.52 93.31 6.64 501.71 1,886.97 245.12 4.25 74.30 173.15 116.73 1,155.70 5.83 26.01 370.81 701.57 10,236.58 214.57 1,277.19 1,660.22 7,518.09 20,562.34 1,234.34 8,164.74 1,302.14 4,833.12 4,494.89 746.80 83.71 93.82 15,521.79 1.02 2.38 1.56 IV. PENUTUP Peta hasil analisis kesesuaian tempat tumbuh dapat disajikan secara utuh untuk satu DAS maupun secara terpisah untuk tiap sub DAS sesuai dengan kebutuhan atau prioritas penanganan lahan kritis dalam suatu DAS. Peta kesesuaian ini diharapkan dapat memberi arahan kepada pengelola hutan di lapangan. Dengan demikian pemanfaatan sumber daya alam dalam DAS tersebut dapat dilaksanakan secara optimal. Setiap jenis pohon, mempunyai persyaratan tempat tumbuh yang spesifik, dan hal tersebut dicerminkan dari kondisi lingkungan dimana jenis pohon tersebut berada. Oleh karena itu pengetahuan dan informasi mengenai kesesuaian tempat tumbuh bagi jenisjenis pohon yang akan dikembangkan sangat berarti dalam pengembangan jenis-jenis pohon tersebut, terutama dalam menunjang program rehabilitasi hutan dan lahan. Jika informasi ini telah diketahui, maka keberhasilan program rehabilitasi hutan dan lahan secara teknis diharapkan dapat berhasil. Sintesis 2010-2014| 19 DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan. (2007). Resume data informasi rehabilitasi hutan dan lahan Tahun 2007. Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Departemen Kehutanan. http://www.dephut.go.id/uploads/files/Resume %20Data%20Informasi%20RHL_2007.pdf. Diakses 28 April 2014. Direktorat Jenderal Planologi. (2010). Data spasial DAS. Kementerian Kehutanan, Jakarta. Pratiwi. (2003). Rehabilitasi lahan dan hutan dengan pendekatan partisipatif. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Vol.4. No.2, 2003,99-109. PROSEA. 1994. (1) Timber trees: Major commercial timbers. I. Soerianegara and R.H.M.J. Lemmens (Eds.). Plant resources of South-East Asia No 5 (1). PROSEA. 1994. (2) Timber trees: Minor commercial timbers. I. Soerianegara and R.H.M.J. Lemmens (Eds.). Plant resources of South-East Asia No 5 (1). PROSEA. 1994. (3) Timber trees: Lesser-known timbers. I. Soerianegara and R.H.M.J. Lemmens (Eds.). Plant resources of South-East Asia No 5 (1). Sintesis 2010-2014 | 20 BUKU III PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (ASPEK: MODELLING TATA GUNA LAHAN UNTUK OPTIMALISASI TATA AIR) PENYUSUN: DR. I WAYAN SUSI DHARMAWAN, M.Si. PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc. DRS. UGRO HARI MURTIONO, M.Si. DR. AGUNG BUDI SUPANGAT, M.Si. IR. PURWANTO BUDI SANTOSO, M.Si. DRS. RAHARDYAN ADI, M.Si. IR. LA ODE ASIR, M.Si. BUDI HADI NARENDRA, S.Hut, M.Sc. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN BOGOR 2014 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ......................................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................. iii I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1 1.2. Tujuan dan Sasaran ....................................................................................... 2 1.3. Luaran ........................................................................................................... 2 II. KEBIJAKAN TERKAIT TATA AIR ................................................................... 4 2.1. Identifikasi regulasi yang ada ......................................................................... 4 2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ............................... 5 2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan .................................................. 6 III. TATA GUNA LAHAN DAN PEMILIHAN JENIS DALAM 10 MENDUKUNG OPTIMALISASI FUNGSI TATA AIR ....................................... 3.1. Tata Guna Lahan Dalam Mendukung Optimalisasi Tata Air .......................... 10 3.2. Pemilihan Jenis Dalam Mendukung Optimalisasi Tata Air ............................. 15 IV. PENUTUP ............................................................................................................ 22 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23 i DAFTAR TABEL Tabel Hal. 1. Proporsi Grid berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Model Baseline di 10 DAS Cisadane bagian hulu ............................................................................... 2. Perubahan Persentase Penutupan Lahan di DAS Cisadane bagian hulu ............. 10 3. Rekapitulasi Output Simulasi Skenario Model Sub DAS Cisadane Hulu ........... 11 4. Proporsi Grid berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Model Baseline di 11 DAS Cisadane bagian tengah ............................................................................ 5. Perubahan Persentase Penutupan Lahan di DAS Cisadane bagian tengah 12 .......................................................................................................................... 6. Rekapitulasi Output Simulasi Skenario Model Sub DAS Cisadane 12 Bagian Tengah .................................................................................................. 7. Analisis Sensitivitas Model di DAS Cisadane bagian tengah ............................. 13 8. Limpasan Permukaan (m3/ha) dan Erosi pada masing-masing plot 13 penelitian pada setiap kemiringan lereng ........................................................... 9. Lolosan tajuk (througfall), aliran batang (stemflow) dan intersepsi hujan 17 pada masing-masing umur tanaman E. pellita di Riau ....................................... 10. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman kayu putih terhadap 22 erosi dan neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten 18 Gunung Kidul, DIY .......................................................................................... 11. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman sengon terhadap erosi dan neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Wonosobo, 18 Jawa Tengah ..................................................................................................... 12. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman akasia terhadap erosi dan neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Wonogiri, 18 Jawa Tengah ..................................................................................................... 13. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman mahoni terhadap erosi dan neraca 19 air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur ............................................................................................................... 14. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman nyamplung terhadap erosi dan neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten 19 Karanganyar, Jawa Tengah ............................................................................... 15. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman eukaliptus terhadap erosi dan 19 neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 ............................................ iii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Berbagai jenis pola penggunaan lahan secara langsung berpengaruh terhadap karakteristik tanah dan tata air pada suatu bentang lahan tertentu (specific landscape). Pada saat ini banyak dilakukan revisi tata ruang yang mengakibatkan berubahnya tata guna lahan tidak sesuai dengan kemampuan lahan itu sendiri, akibatnya kualitas tanah dan tata air menjadi turun. Selain itu, dampak dari adanya perubahan iklim adalah terjadinya amplitudo debit air pada musim kering dan musim penghujan yang sangat besar. Meskipun sampai saat ini belum diketahui secara pasti apakah disebabkan oleh perubahan iklim atau tidak. Banyak kajian dan studi yang menyatakan bahwa adanya pola penggunaan lahan yang berbeda menyebabkan perubahan pola tata air. Untuk itu, diperlukan suatu penelitian dan analisis mendalam tentang seberapa besar pengaruh perubahan lahan memberikan tata air yang optimal. Perubahan tata guna lahan akan mempengaruhi kelestarian DAS sehingga terjadi perubahan terhadap keseimbangan tata air pada suatu unit lahan dengan mempertimbangkan tingkat debit dan sedimentasi (Asdak, 2005). Untuk mengurangi terjadinya erosi, sedimentasi dan banjir, optimasi pengelolaan lahan merupakan hal yang sangat penting dalam prinsip konservasi yang diaplikasikan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan berkelanjutan. Pengelolaan DAS adalah suatu usaha untuk mengatur sumberdaya alam utama yaitu tanah dan air. Suatu pengelolaan DAS yang baik untuk penggunaan tanah dan air seharusnya memperhitungkan prinsip konservasi untuk mencapai hasil yang optimum. Pengelolaan DAS yang tidak tepat akan mengakibatkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Tata guna lahan termasuk jenis dan kerapatan tanaman merupakan komponen utama yang mempengaruhi kapasitas tanah untuk menyerap air (Budi Indra, 1999). Kerapatan tanaman adalah hal yang lebih penting dibandingkan jenis tanaman, dimana telah terbukti dengan menurunnya laju dan kapasitas infiltrasi pada unit lahan yang mempunyai kerapatan vegetasi rendah (Budi Indra, 1999). Proses hidrologi menggambarkan suatu rantai fenomena alam yang menghubungkan erosi, sedimentasi dan limpasan. Bagian dari siklus hidrologi yang disebut hujan, kondisi tanah dan vegetasi mempunyai peranan penting dalam proses erosi, sedimentasi dan limpasan. Erosi adalah peristiwa pindahnya tanah dari suatu tempat ke tempat lain dengan media alam (Budi Indra, 1999; Arsyad, 2000). Menurut Frevert et al. (1963), erosi tanah didefinisikan sebagai kehilangan tanah lebih cepat dari proses erosi geologi. Menurut Baver et all. (1972) terjadinya erosi tanah tergantung dari beberapa faktor yaitu karakteristik hujan, kemiringan lereng, tanaman penutup dan kemampuan tanah untuk menyerap dan melepas air ke dalam Sintesis 2010-2014| 1 lapisan tanah dangkal. Dampak dari erosi tanah dapat diklasifikasikan dalam dua kategori : 1) menurunnya produktifitas lahan seiring dengan kehilangan lapisan tanah bagian atas yang subur, dan 2) terjadi sedimentasi di sungai yang menyebabkan kerusakan saluran dan berkurangnya kapasitas tampungan. Kajian terkait erosi, limpasan permukaan dan evapotranspirasi dikaitkan dengan neraca air sangatlah penting dilakukan untuk memperoleh hasil yang komprehensif. Informasi ilmiah yang berkaitan dengan pengaruh beberapa jenis tegakan terhadap hasil air (water yield) suatu kawasan belum merupakan faktor pendukung dalam penentuan jenis tegakan hutan (pemilihan spesies) yang akan ditanam di kawasan yang akan direboisasi. Lebih detil lagi, informasi tentang nilai evapotranspirasi dan hasil air dari berbagai jenis tegakan hutan yang merupakan jenis tanaman prioritas belum semuanya tersaji, baik pada tingkat tapak (site) maupun lingkungan ekologinya. Aspek ekologis yang dimaksud adalah pengaruh dari jenis tegakan tertentu terhadap tata air dalam suatu kawasan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan air yang diperlukan oleh jenis tanaman tertentu untuk pertumbuhannya. Kajian terkait tata air dan neraca air secara komprehensif sangat bermanfaat bagi penentu kebijakan, khususnya dibidang kehutanan, yaitu dalam rangka menunjang program pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management) serta penyediaan kebutuhan air bagi masyarakat sekitar lokasi/kawasan pengembangan jenis tanaman tertentu. 1.2. Tujuan dan sasaran Tujuan penulisan sintesa yang terkait dengan aspek tata air adalah: a) Mengetahui pola-pola pengelolaan lahan yang dapat memberikan tata air optimal. b) Mengetahui pengaruh beberapa jenis tegakan tanaman (kayu putih, eukaliptus, akasia, sengon, mahoni dan nyamplung) terhadap hasil air (water yield) Sasaran penulisan sintesa ini adalah : a) Tersedianya informasi pola-pola pengelolaan lahan yang dapat memberikan tata air optimal terhadap para pihak pengelola lahan hutan, agroforestry, pertanian dan perkebunan. b) Tersedianya data erosi, limpasan, evapotranspirasi dan neraca air pada suatu areal yang ditanami jenis-jenis kayu putih, eukaliptus, akasia, sengon, mahoni dan nyamplung. 1.3. Luaran Luaran kegiatan ini adalah : a) Pembangunan model pola tata guna lahan terhadap tata air yang optimal pada DAS Cisadane. Sintesis 2010-2014 | 2 b) Data dan informasi erosi, limpasan, evapotranspirasi dan neraca air pada suatu areal yang ditanami jenis-jenis kayu putih, eukaliptus, akasia, sengon, mahoni dan nyamplung. Sintesis 2010-2014 |3 II. KEBIJAKAN TERKAIT TATA AIR Pengelolaan lahan dan pemilihan jenis tegakan dalam suatu kawasan tidak terlepas dari konsep pengelolaan DAS terpadu semua sektor dari hulu ke hilir. Berbagai peraturan/regulasi telah dibuat terkait proses perencanaan, pelaksanaan dan monitoring-evaluasi pengelolaan DAS. Kelestarian hutan dapat meningkatkan daya dukung DAS yang memberikan manfaat selain kedalam kawasan hutan (hulu) juga kepada kawasan diluar hutan (hilir) yang meliputi: pemasok air, pengendali banjir, pengendali erosi tanah, pengurangan sedimentasi waduk/sungai/saluran air/bangunan air vital lainnya. Kementerian Kehutanan telah menargetkan pembangunan hutan tanaman seluas 5 juta ha sampai dengan tahun 2010. Untuk menjawab target tersebut perlu didukung dengan upaya-upaya penelitian melalui input teknologi yang tepat dalam pemilihan jenis tanaman (Murtiono et al., 2012). Hal ini didasarkan pada munculnya perdebatan di kalangan masyarakat bahwa pemilihan jenis tanaman cepat tumbuh pada program pembangunan hutan tanaman bisa berpengaruh negatif terhadap fungsi hidrologi/tata air di Daerah Aliran Sungai (DAS). 2.1. Identifikasi regulasi yang ada Beberapa kebijakan terkait pola pengelolaan lahan dan kelestarian tata air antara lain: a. Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan pasal 2 menyebutkan bahwa pemanfaatan sumber daya alam diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Demikian juga sumber daya hutan yang merupakan modal pembangunan nasional bagi kehidupan dan penghidupan bangsa, pengelolaannya diselenggarakan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. b. Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan pasal 3 menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan melalui: a) menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b) meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS). c. Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan pasal 18 menyebutkan bahwa untuk menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran proporsional maka pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luasan kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau minimal 30% dengan sebaran proporsional. Konsekuensi pasal ini sebenarnya mengarah kepada persentase luasan DAS ditentukan oleh kondisi iklim (curah Sintesis 2010-2014 | 4 hujan), geologi, bentuk lahan, topografi, tanah dan sosial ekonomi masyarakat sekitar. d. Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang salah satunya mengatur pentingnya meningkatkan pasokan air melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Pengelolaan tata air dalam suatu areal DAS sangat tergantung dari koordinasi dan sinkronisasi semua pihak sehingga pemahaman bersama tentang pengelolaan DAS sebagai One Watershed One Management dapat lebih meningkat dan tepat sasaran. 2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi Untuk menjawab amanat dari peraturan/regulasi tersebut, dari sisi ilmiah diperlukan kegiatan-kegiatan penelitian terkait tata air sebagai berikut: a. Pola penggunaan lahan yang memberikan tata air optimal pada tingkat DAS dari bagian hulu, tengah dan hilir Perubahan tata guna lahan akan mempengaruhi kelestarian DAS sehingga terjadi perubahan terhadap keseimbangan tata air pada suatu unit lahan dengan mempertimbangkan tingkat debit dan sedimentasi (Asdak, 2005)). Untuk mengurangi terjadinya erosi, sedimentasi dan banjir, optimasi pengelolaan lahan merupakan hal yang sangat penting dalam prinsip konservasi yang diaplikasikan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan berkelanjutan. Pengelolaan DAS adalah suatu usaha untuk mengatur sumberdaya alam utama yaitu tanah dan air. Suatu pengelolaan DAS yang baik untuk penggunaan tanah dan air seharusnya memperhitungkan prinsip konservasi untuk mencapai hasil yang optimum. Pengelolaan DAS yang tidak tepat akan mengakibatkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Berbagai model skenario pola penggunaan lahan yang memberikan tata air optimal perlu diuji coba dan divalidasi di lapangan untuk mendapatkan hasil yang reliable dan valid. Hal ini sesuai dengan sasaran pengelolaan DAS menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 yaitu untuk menciptakan kondisi hidrologis yang optimal disertai dengan peningkatan produktivitas lahan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. b. Kajian erosi dan evapotranspirasi dari berbagai jenis vegetasi sebagai dasar pemodelan tata air Penelitian ini sangat penting dilakukan untuk menjawab UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terutama aspek peningkatan pasokan air melalui rehabilitasi hutan dan lahan. Dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan diperlukan pemilihan jenis tanaman untuk mendukung tata air yang optimal. Aspek ekologis yang dimaksud adalah pengaruh dari jenis tegakan tertentu terhadap tata air dalam Sintesis 2010-2014 |5 suatu kawasan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan air yang diperlukan oleh jenis tanaman tertentu untuk pertumbuhannya. Kajian terkait tata air dan neraca air secara komprehensif sangat bermanfaat bagi penentu kebijakan, khususnya dibidang kehutanan, yaitu dalam rangka menunjang program pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management) serta penyediaan kebutuhan air bagi masyarakat sekitar lokasi/kawasan pengembangan jenis tanaman tertentu. 2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS. Pengelolaan DAS pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau optimalisasi penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta praktek lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator kunci (ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran sungai pada titik pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu DAS adalah adanya keterkaitan biofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur hidrologi. Implementasi pengelolaan DAS sebagai one watershed one management masih jauh dari harapan. Pola koordinasi dan keterpaduan pengelolaan DAS dari hulu sampai dengan hilir masih banyak menemui kendala dan konflik kepentingan antar pihak. Untuk itu diperlukan kesadaran dan pemahaman bersama antar semua pihak dalam merancang pola tata guna lahan yang dapat memberikan tata air optimal di wilayah hulu sampai dengan hilir. Faktor lain yang menyebabkan pengelolaan DAS belum berhasil dengan baik adalah kurangnya keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk dalam hal pembiayaannya. Hal ini karena banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS seperti Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Bakosurtanal dan Kementerian Lingkungan Hidup, perusahaan swasta dan masyarakat. Permasalahan serta tantangan dalam pengelolaan DAS kedepan terkait pola tata guna lahan dan pemilihan jenis tanaman untuk meningkatkan pasokan air dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan meliputi: 1. Degradasi hutan dan lahan Luas kawasan hutan pada tahun 2007 adalah sekitar 133,695 juta hektare (Badan Planologi Kehutanan, tahun 2007) dan jumlah penduduk Indonesia lebih dari 220 juta. Degradasi hutan dan lahan semakin meluas sebagai akibat penambahan jumlah penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang, pangan, papan dan energi. Sintesis 2010-2014 | 6 Pengurangan areal hutan untuk pertanian dan konversi lahan pertanian untuk bangunan akan menurunkan resapan air hujan dan meningkatkan aliran air permukaan sehingga frekuensi bencana banjir dan tanah longsor semakin tinggi. Degradasi hutan dan lahan terutama di hulu DAS harus bisa direhabilitasi dengan adanya pengelolaan DAS yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak yang ada pada DAS dengan memperhitungkan biofisik dan semua aspek sosial ekonomi. Degradasi hutan dan lahan selama kurun waktu 2000-2005 sangat memprihatinkan yaitu rata-rata 1,089 juta hektar per tahun. Degradasi di lahan pertanian terus terjadi akibat erosi tanah yang tinggi sehingga memicu semakin luasnya lahan kritis dan meningkatnya sedimentasi pada waduk-waduk yang akan berdampak pada berkurangnya daya tampung dan pasokan air untuk irigasi serta Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Apabila tidak dilakukan upaya-upaya untuk mencegah degradasi hutan dan lahan serta upaya untuk memulihkannya, maka DAS akan semakin menurun kualitasnya. Karena itu pengelolaan DAS di masa yang akan datang harus mampu mengkonservasi, merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas hutan dan lahan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk terhadap barang dan jasa lingkungan yang semakin meningkat. 2. Ketahanan pangan, energi dan air Keberhasilan Pengelolaan DAS berdampak terhadap ketahanan pangan di masa mendatang. Saat ini luas areal irigasi tanaman padi di Indonesia berjumlah ± 7,2 juta hektar dan sebagian besar ada pada hilir DAS, banyak areal pertanian yang subur dikonversi menjadi bangunan atau infrastuktur yang mengurangi lahan pangan produktif dan menurunkan fungsi hidrologis DAS. Terjadinya banjir akibat pengelolaan DAS yang tidak optimal akan menyebabkan daya tampung waduk irigasi berkurang karena sedimentasi, dan pada musim hujan cenderung banjir sehingga areal-areal irigasi pada hilir DAS akan tergenang yang pada gilirannya menurunkan produksi beras nasional. Disamping itu kekeringan pada musim kemarau menyebabkan areal irigasi yang dapat dialiri berkurang sehingga produksi padi berkurang. Dengan semakin mahalnya energi minyak bumi, maka diperlukan energi alternatif berupa energi yang bisa diperbaharui seperti kayu bakar, bio-disel, pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Dengan bertambahnya penduduk dan berkembangnya kegiatan ekonomi, maka kebutuhan air untuk berbagai kepentingan seperti air baku, pertanian, perindustrian dan PLTA akan semakin besar. Karena itu pengelolaan DAS dimasa yang akan datang seharusnya bisa mendukung ketersediaan pangan, air dan energi alternatif tersebut baik melalui manajemen kawasan lindung maupun kawasan budidaya. 3. Kesadaran dan kemampuan para pihak Pengelolaan DAS melibatkan banyak pihak mulai unsur pemerintahan, swasta, dan masyarakat. Ada indikasi bahwa kesadaran dan kemampuan para pihak dalam melestarikan ekosistem DAS masih rendah, misalya masih banyak lahan yang Sintesis 2010-2014 |7 seharusnya berupa kawasan lindung atau resapan air masih digunakan untuk fungsi budidaya yang diolah secara intensif atau dibangun untuk pemukiman baik secara legal maupun illegal, sehingga meningkatkan resiko erosi, longsor dan banjir. Dalam aliran sungai sendiri sering dijumpai sampah dan limbah dari berbagai sumber yang menyebabkan pendangkalan, penyumbatan, dan pencemaran air sungai sehingga kualitas air dan palung sungai menjadi rusak yang pada akhirnya merugikan lingkungan dan kehidupan masyarakat. Rendahnya kesadaran, kemampuan dan partisipasi para pihak dalam pengelolaan DAS menjadi tantangan bagi para pengelola DAS dan unsur lain yang terkait dengan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat secara luas. 4. Otonomi daerah Era otonomi pemerintahan daerah bisa membuat masalah pengelolaan DAS semakin kompleks karena tidak semua pemerintah daerah memahami konsep pengelolaan DAS yang berbasis ekosistem dan lintas batas administrasi. Sikap mementingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga akan menyebabkan konsep pengelolaan DAS terpadu yang mementingkan pelestarian ekosistem akan terabaikan karena penggunaan sumberdaya alam DAS yang tidak proporsional dan rasional. Dengan demikian mendesak dibentuk Forum Pengelolaan DAS yang menjadi forum kosultasi antar pihak untuk melakukan sinergitas dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Keterlibatan secara aktif para pihak (stakeholders) akan membangun rasa memiliki, memanfaatkan secara arif, dan memelihara sumberdaya secara bersamasama. 5. Kebijakan nasional Pengelolaan DAS yang melibatkan banyak pihak dan lintas wilayah administrasi dapat menyebabkan konflik kepentingan antar para pihak yang terlibat dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan jasa lingkungan DAS. Hal ini memerlukan regulasi dan kebijakan pada berbagai tingkat baik pada tingkat nasional, propinsi maupun tingkat kabupaten/kota bahkan kadang-kadang sampai tingkat desa. Karena upaya penanganan permasalahan DAS memerlukan sumberdaya yang banyak dan waktu yang panjang maka pengelolaan DAS harus dimasukkan sebagai salah satu program nasional, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJP dan RPJM). Dengan demikian program pengelolaan DAS tersebut menjadi arus utama dalam kegiatan dan alokasi penganggaran di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota. 6. Isu lingkungan global Peningkatan kegiatan pembangunan ekonomi global selama ini telah menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sehingga terjadi pemanasan global yang membawa dampak negatif terhadap ekosistem dan kehidupan manusia. Kegiatan ekonomi yang pesat juga menyebabkan terjadinya degradasi lahan dan penurunan keanekaragaman hayati di banyak tempat di Indonesia. Dengan Sintesis 2010-2014 | 8 meningkatnya kejadian bencana yang terkait iklim seperti banjir, longsor dan kekeringan maka pengelolaan DAS menjadi sangat penting sebagai upaya Adaptasi menghadapi perubahan iklim tersebut. Selain itu pengelolaan DAS juga merupakan upaya Mitigasi perubahan iklim dan isu global lainnya seperti konservasi hutan dan vegetasi permanen lainnya, upaya rehabilitasi hutan dan lahan, penggunaan teknologi pertanian tepat guna dan ramah lingkungan. Sintesis 2010-2014 |9 III. TATA GUNA LAHAN DAN PEMILIHAN JENIS DALAM MENDUKUNG OPTIMALISASI FUNGSI TATA AIR 3.1. Tata guna lahan dalam mendukung optimalisasi tata air A. Studi penelitian di DAS Cisadane (Jawa Barat) A.1. DAS Cisadane bagian hulu Kondisi DAS Cisadane Bagian Hulu (Sub DAS Cisadane Hulu dan Cipeucang) sudah sangat kritis. Hal ini terlihat dari persentase penutupan lahannya yang didominasi oleh ladang, perkebunan dan semak belukar (Tabel 1). Kondisi ini meningkatkan limpasan dan besarnya erosi yang terjadi pada Sub DAS Cisadane Hulu dan Cipeucang. Model pemanfaatan lahan untuk hutan (30%), kebun rakyat (30%), sawah (30%) dan pemukiman (10%) memberikan tata air yang optimal di DAS Cisadane Bagian Hulu yang terindikasi dari penurunan erosi dan sedimentasi. Hal ini menjadi temuan signifikan dalam upaya meningkatkan kegiatan rehabilitasi di daerah Sub DAS Cisadane Hulu dan Cipeucang. Tabel 1. Proporsi Grid berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Model Baseline No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Jenis Penutupan Lahan Hutan Kebun Ladang Pemukiman Sawah Semak Persentase (%) 5,73 27,44 46,43 2,71 2,31 15,38 Perubahan luasan/persentase penggunaan lahan disajikan pada Tabel 2. Rekapitulasi output simulasi skenario model Sub DAS Cisadane Hulu ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 2. Perubahan Persentase Penutupan Lahan No Simulasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Baseline Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario 6 Skenario 7 Hutan Kebun 5,73 30,00 45,00 45,00 45,00 30,00 30,00 30,00 27,44 30,00 25,00 0,00 25,00 30,00 0,00 30,00 Persentase Penutupan Lahan (%) PemuLadang Sawah Semak Kampung kiman 46,43 2,71 2,31 15,38 0,00 30,00 3,00 7,00 0,00 0,00 25,00 5,00 0,00 0,00 0,00 25,00 0,00 25,00 0,00 5,00 25,00 0,00 0,00 0,00 5,00 30,00 10,00 0,00 0,00 0,00 30,00 0,00 0,00 30,00 10,00 0,00 0,00 0,00 30,00 10,00 Sintesis 2010-2014 | 10 Tabel 3. Rekapitulasi Output Simulasi Skenario Model Sub DAS Cisadane Hulu No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Simulasi Baseline Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario 6 Skenario 7 Output Model Limpasan Erosi (mm) (kg/Ha) 2,812 4770 2,633 3161 2,735 2330 3,196 3570 2,135 3073 2,449 3000 2,977 2037 2,451 1889 Persentase % Limpasan % Erosi 0 6,366 2,738 -13,656 24,075 12,909 -5,868 12,838 0 33,732 51,153 25,157 35,577 37,107 57,296 60,398 Keterangan : tanda negatif (-) pada tabel, menandakan bahwa terdapat sejumlah kenaikan pada output model bila dibandingkan dengan baselinenya. Persentase limpasan merupakan perbandingan jumlah limpasan dengan jumlah curah hujan. Pada dasarnya, penggunaan lahan yang optimal untuk mengurangi limpasan dan erosi adalah penggunaan lahan yang memungkinkan air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah, dan menjaga permukaan tanah tidak mengalami pembongkaran. A.2. DAS Cisadane bagian tengah Kondisi Sub DAS Cisadane Bagian Tengah sudah sangat kritis. Hal ini terlihat dari persentase penutupan lahannya yang mayoritas terdiri dari kebun dan pemukiman penduduk (Tabel 4). Luasnya permukaan tanah yang tidak tertutup dan sering diolah meningkatkan limpasan dan erosi yang terjadi. Tabel 4. Proporsi Grid berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Model Baseline No. 1. 2. 4. 5. Jenis Penutupan Lahan Agroforestri Kebun Pemukiman Hutan Tanaman Persentase (%) 13,3 48,3 22,7 16 Perubahan luasan/persentase penggunaan lahan disajikan pada Tabel 5. Rekapitulasi output simulasi skenario model Sub DAS Cisadane Bagian ditampilkan pada Tabel 6. Sintesis 2010-2014 | 11 Tabel 5. Perubahan Persentase Penutupan Lahan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Skenario Baseline I II III IV V VI VII VIII Agroforestry 13,3 15 30 30 30 30 20 15 Persentase Penutupan Lahan (%) Hutan Kebun Pemukiman Tanaman 48,3 22,7 16 30 40 15 15 55 15 40 30 40 30 40 30 40 30 30 30 20 30 30 25 Belukar 15 - Tabel 6. Rekapitulasi Output Simulasi Skenario Model Sub DAS Cisadane Bagian Tengah Output Model Persentasi Limpasan Erosi % Limpasan % Erosi (mm) (kg/Ha) 1. Baseline 17,888 1289 32,95 0 2. Skenario 1 18,047 1267 33,26 -1,70 3. Skenario 2 18,286 1749 33,7 35,68 4. Skenario 3 19,561 1576 36,0 -1,00 5. Skenario 4 18,148 1779 33,4 38,01 6. Skenario 5 17,935 1700 33,0 31,88 7. Skenario 6 17,945 969 33,1 -24,82 8. Skenario 7 18,044 1213 33,26 -5,97 9. Skenario 8 17,970 1181 33,12 -8,38 Ket : * tanda negatif (-) didepan nilai erosi menandakan persen penambahan dibandingkan dengan baseline. Persentase limpasan merupakan perbandingan jumlah limpasan dengan jumlah curah hujan. No. Simulasi Untuk mendukung Jabar Green Province maka Pemda Jabar membuat aturan diperlukan minimal 45% KL (Kawasan Lindung) yang terdiri dari Kawasan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung sesuai dengan SK Menteri Kehutanan. Berdasarkan analisis diprediksi pada tahun 2025 kebutuhan air di Jawa Barat adalah 28.179,26 juta m3/th, sementara itu pada tahun 2025 ketersediaan air sungai hanya mencapai 14.150,2 juta m3/th (hanya dapat memenuhi 50 % dari kebutuhan). Kondisi tersebut diperparah lagi dengan jumlah 22 DAS (total 41 DAS) di Jawa Barat adalah sangat kritis, kualitas air sungai di 7 DAS utama dengan nilai COD dan BOD yang melebihi ambang batas serta perubahan tutupan lahan Jawa Barat 1994-2005 banyak yang tidak sesuai dengan peruntukannya sehingga semakin menurunkan daya dukung lahan pada unit DAS (Sudarna, 2012). Kebijakan luasan Kawasan Lindung seluas 45% di Jawa Barat diperlukan untuk: mengembalikan fungsi hidroorologis, Sintesis 2010-2014 | 12 diorientasikan kepada kemampuan daya tampung wilayah, pertimbangan penurunan daya dukung lingkungan, menjaga kestabilan tanah dan erosi, kemampuan daya dukung sumber daya alam yang tersedia dan menjaga keseimbangan ekosistem antar wilayah berbasis DAS. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane sebagai salah satu DAS sangat kritis di Jawa Barat memiliki posisi strategis untuk mendukung pemenuhan kebutuhan air di wilayah Bogor, Tangerang dan Depok. Model penggunaan lahan 30% untuk agroforestri, 30% untuk hutan tanaman dan 40% untuk pemukiman merupakan model yang ideal untuk diterapkan di wilayah DAS Cisadane Bagian Tengah karena memberikan tingkat limpasan dan erosi yang paling kecil. Dengan menggunakan model penggunaan lahan tersebut diharapkan produktivitas air akan semakin meningkat pada wilayah DAS Cisadane Bagian Tengah sehingga kelestarian air tetap terjamin untuk memenuhi konsumsi air bagi warga sekitar DAS Cisadane Bagian Tengah. A.3. Analisis sensitivitas model perubahan lahan dari hulu sampai hilir Perubahan penutupan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu dan Cipeucang serta DAS Cisadane bagian tengah semestinya menjadi perhatian serius para pemangku kepentingan terutama Pemerintah Daerah setempat dalam mengatur penggunaan lahan yang dapat meningkatkan daya dukung Sub DAS Cisadane Hulu dan Cipeucang, serta DAS Cisadane bagian tengah. Upaya pengaturan penggunaan lahan untuk meningkatkan daya dukung DAS telah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan minimal 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Regulasi ini mengamanahkan bahwa tataguna hutan harus mengusahakan keberadaan dan keamanan kawasan hutan disetiap DAS minimal 30 % dari luas DAS. Upaya pengelolaan hutan yang didasarkan pada Undang-Undang Kehutanan tersebut mempersyaratkan bahwa untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari perlu dibuat perencanaan hutan dengan melalui perencanaan tataguna hutan berdasarkan peruntukan fungsinya dimana dalam pelaksanaannya mempertimbangkan DAS sebagai unit analisis ekosistem (Rachman, 2010). Peningkatan persentase penutupan lahan hutan menjadi 30% dan 45% diharapkan dapat meningkatkan fungsi hidrologi Sub DAS Cisadane Hulu dan Cipeucang yang terlihat dari menurunnya limpasan dan erosi yang terjadi. Sementara itu, peningkatan areal hutan menjadi 25% sampai dengan 30% di DAS Cisadane bagian tengah dapat meningkatkan fungsi hidrologis yang terlihat dari menurunnya nilai limpasan dan erosi yang terjadi. Hasil analisis fleksibilitas model terhadap perubahan lahan menunjukkan bahwa lahan hutan dan kebun rakyat merupakan dua bentuk penggunaan lahan yang peruntukannya harus diprioritaskan dan dipertahankan keberadaannya. Semakin kecil nilai S maka semakin memperlihatkan Sintesis 2010-2014 | 13 semakin besarnya pengaruh parameter tersebut terhadap hasil ouput. Parameter penutupan lahan mempunyai nilai S yang lebih kecil dibanding yang lainnnya yang menunjukkan bahwa pengaruh parameter pengelolaan lebih berpengaruh terhadap parameter sifat tanah (Tabel 7). Tabel 7. Analisis Sensitivitas Model di DAS Cisadane bagian tengah No. Variabel 1. Limpasan 2. Erosi Parameter Input Tanah Tata Guna Lahan Tanah Tata Guna Lahan Output Limpasan 12,34 12,44 704 831 Erosi 13,76 13,33 959 837 S 0,10 0,07 0,30 0,07 Pertimbangan aspek ekonomi dalam pengelolaan sumber daya lahan di DAS Cisadane bagian tengah tetap perlu memperhatikan keseimbangan fungsi ekologis terutama fungsi hidrologis DAS yang memberikan jaminan tata air yang masih berfungsi secara optimal. B. Studi penelitian di Sub DAS Limboto dan Sub DAS Tondano bagian hulu (Sulawesi Utara) B.1. Sub DAS Limboto Hasil analisis data pengamatan tinggi kadar sedimentasi terjebak dalam rorak yang dipasang pada plot kontrol, menunjukkan bahwa besaran erosi rata-rata sebesar 16,54 ton/ha/tahun dengan curah hujan 1.095 mm/th, atau ekivalen dengan 1,2 mm lapisan tanah. Besarnya erosi menurun jika dibandingkan pada tahun 2008 yaitu sebesar 21,15 ton/ha/tahun dengan curah hujan sebesar 2.766 mm/tahun. Hal ini kemungkinan tanaman ujicoba telah memberikan pengaruh terhadap sistem tata air di lokasi kegiatan, dan secara visual telah muncul beberapa mata air di daerah bagian bawah, namun untuk lebih memastikannya hal ini diperlukan penelitian lebih lanjut. B.2. Sub DAS Tondano Berdasarkan analisis data, besarnya limpasan yang terukur selama penelitian pada masing-masing plot penelitian pada setiap kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini: Tabel 8. Limpasan Permukaan (m3/ha) dan Erosi pada masing-masing plot penelitian pada setiap kemiringan lereng Perlakuan CH (mm) P0 P1 P2 1.067 1.067 1.067 BI Limp.Perm (m3/ha) 248,571 268,753 234,145 Erosi (ton/ha) 0,1048 0,1231 0,1056 B II B III Limp.Perm Erosi Limp.Perm Erosi (m3/ha) (ton/ha) (m3/ha) (ton/ha) 403,546 0,1124 548,434 0,1564 334,750 0,1386 424,167 0,1452 221,545 0,1021 412,856 0,1234 Sintesis 2010-2014 | 14 Keterangan perlakuan: P0 : Bedengan + bunga kol + jagung (kontrol/sesuai petani setempat) P1 : Bedengan + mulsa vertikal + bunga kol + jagung P2 : Bedengan + mahoni + cempaka + mulsa vertikal + bunga kol + jagung B I : Kemiringan lereng 22 % sebagai wakil kemiringan lereng 15 - 30 % B II : Kemiringan lereng 33 % sebagai wakil kemiringan lereng 30 - 45 % B III : Kemiringan lereng 46 % sebagai wakil kemiringan lereng > 45 % Berdasarkan Tabel 8 rata-rata limpasan pada masing-masing perlakuan yang dicobakan (P0, P1 dan P2) tertinggi terjadi pada P0 yaitu 548,434 m3/ha. Sedangkan limpasan terendah terjadi pada P2 sebesar 233,559 m3/ha. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa limpasan permukaan paling kecil terjadi pada P2 dibandingkan dengan dua perlakuan lainnya. Hal ini berarti bahwa perlakuan yang dicobakan memberikan hasil yang baik dalam menekan limpasan permukaan (run off) dalam meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah. Hal ini diperkirakan adanya aplikasi mulsa dan perkembangan dari akar tanaman tahunan yang ditanam di lokasi uji coba, sehingga jumlah curah hujan yang turun lebih banyak menjadi air infiltrasi. Dari hasil analisis, rata-rata erosi pada masing-masing perlakuan yang dicobakan (P0 P1 dan P2) tertinggi terjadi pada perlakuan teknik konservasi tanah berupa bedengan yaitu 0,1723 ton/ha. Sedangkan perlakuan teknik konservasi tanah bedengan yang di kombinasi mulsa vertikal dan penanaman tanaman bunga kol, jagung, cempaka dan mahoni menghasilkan erosi terendah sebesar 0,083 ton/ha. 3.2. Pemilihan jenis dalam mendukung optimalisasi tata air A. Kajian erosi dan neraca air pada berbagai jenis vegetasi sebagai basis pemodelan tata air Beberapa jenis tegakan hutan tanaman yang diujicoba dalam penelitian ini adalah akasia, sengon, mahoni, kayu putih, nyamplung dan eukaliptus. Jenis-jenis tersebut memiliki karakteristik vegetasi dan berpengaruh spesifik terhadap nilai erosi, limpasan permukaan, evapotranspirasi dan neraca air dalam suatu kawasan. A.1. Karakteristik vegetasi Keberadaan vegetasi pada suatu wilayah akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas antara lain dengan pengaturan keseimbangan karbon dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologis tanah, pengaturan tata air kawasan, pengendalian erosi, dan sebagainya. Berkaitan dengan fungsi pengaturan tata air dan pengendalian erosi, setiap tipe vegetasi menunjukkan pengaruh yang berbeda karena struktur dan komposisinya bervariasi. Pada umumnya peran tanaman dinilai positif terhadap kelestarian sumber daya air kawasan baik kualitas maupun kuantitasnya. Beberapa informasi menunjukkan bahwa kelestarian sumber daya air tergantung dari kondisi hutan pada kawasan tersebut. Pada saat hutan ditebang hasil air pada awalnya akan meningkat Sintesis 2010-2014 | 15 karena berkurangnya evapotranspirasi, namun lama kelamaan hasil air tersebut akan berkurang karena jumlah air yang tersimpan di dalam tanah juga berkurang. Hal ini disebabkan karena air hujan yang jatuh pada areal hutan yang telah terbuka, sebagian besar langsung menjadi aliran permukaan. Seyhan (1990) mengemukakan bahwa penggunaan vegetasi penutup hutan akan dapat memperbaiki fluktuasi aliran air. Banyaknya air hujan yang tidak langsung dapat mencapai permukaan tanah tergantung pada karakteristik tanaman penutup yang meliputi bentuk dan ukuran daun, bentuk dan kerapatan tajuk, kekasaran kulit batang dan kelurusan batang pohon (Pramono, 2006 dalam Purwanto dan Rahardyan, 2011). Air yang dapat mencapai permukaan tanah sebagian meresap ke dalam tanah dan sebagian akan mengisi ledok ledok permukaan tanah (depression storage), dan sisanya akan mengalir sebagai limpasan (runoff). Banyaknya air yang meresap ke dalam tanah tergantung pada sifat sifat fisik tanah terutama tekstur dan stuktur tanah, keadaan topografi permukaan dan keadaan relief mikro permukaan tanah. A.1.1. Tanaman sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Tanaman sengon memiliki peran yang sangat penting dalam mengatur tata air atau neraca air dalam suatu areal hutan. Tanaman sengon memiliki tajuk berbentuk seperti payung namun porous (lolos cahaya/angin/air) yang sangat baik untuk pertumbuhan tanaman bawah karena bentuk tajuk tersebut masih memberi ruang bagi jenis-jenis tumbuhan lain yang berada di bawahnya untuk bisa tumbuh, terlebih ditunjang dengan peran tanaman sengon tersebut yang juga sebagai peningkat kesuburan tanah. Penelitian hutan tanaman sengon umur 5-6 tahun di UbrugJatiluhur (Nambiar and Brown, 1997 dalam Sukresno et al., 2010) menunjukkan bahwa besarnya air hujan yang jatuh yang diintersepsi oleh tajuk tanaman sengon sebesar 18% atau air hujan yang lolos dari tajuk (throughfall) sebesar 82%. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa pada hutan tanaman sengon umur 8 tahun (lebih tua) memiliki air yang diintersepsi sebesar 23% atau yang menjadi throughfall sebesar 77% (Nambiar and Brown, 1997 dalam Sukresno et al., 2010). Dengan fakta tersebut mengindikasikan bahwa semakin besar umur tanaman sengon, air lolos atau throughfall semakin kecil sehingga selanjutnya dapat memperkecil air limpasan permukaan. Tanaman sengon memiliki perkembangan akar yang banyak ke arah horizontal sehingga memungkinkan terjadinya persaingan untuk memperoleh air antar tanaman sengon dengan tanaman semusim yang dibudidayakan jika ketersediaan air yang ada terbatas jumlahnya. A.1.2. Tanaman akasia (Acacia mangium) Salah satu komponen penting tanaman akasia terkait pengaturan tata air adalah dihasilkannya serasah daun akasia dilantai hutan. Lapisan serasah pada lantai hutan mampu mencegah jatuhnya air hujan langsung sebelum mencapai permukaan tanah. Serasah dapat menghindari titik air hujan jatuh langsung ke permukaan tanah dan Sintesis 2010-2014 | 16 mampu mengurangi aliran permukaan serta dapat meningkatkan infiltrasi ke dalam tanah (Sukresno et al., 2010). A.1.3. Tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Tanaman nyamplung mudah dibudidayakan, tumbuh baik pada ketinggian 0-800 meter dpl seperti di hutan, pegunungan dan rawa-rawa, curah hujan antara 1000-5000 mm per tahun, pH tanah 4,0-7,4, tahan pada tanah tandus, daerah pantai yang kering dan berpasir atau digenangi air laut. A.1.4. Tanaman mahoni (Swietenia macrophylla) Mahoni dapat tumbuh dengan subur di pasir payau dekat dengan pantai dan menyukai tempat yang cukup sinar matahari langsung. Tanaman ini termasuk jenis tanaman yang mampu bertahan hidup di tanah gersang sekalipun. Walaupun tidak disirami selama berbulan-bulan, mahoni masih mampu untuk bertahan hidup. Syarat lokasi untuk budidaya mahoni diantaranya adalah ketinggian lahan maksimum 1.500 meter dpl, curah hujan 1.524-5.085 mm/tahun, dan suhu udara 11-36OC. A.1.5. Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi) Keistimewaan tanaman kayu putih adalah mampu bertahan hidup di tempat yang kering, di tanah yang berair, atau di daerah yang banyak memperoleh guncangan angin atau sentuhan air laut. Tanaman ini tumbuh liar di daerah berhawa panas. Tanaman kayu putih tidak memerlukan syarat tumbuh yang spesifik. Pohon kayu putih dapat mencapai ketinggian 45 kaki. Dari ketinggian antara 5 - 450 m di atas permukaan laut, terbukti bahwa tanaman yang satu ini memiliki toleransi yang cukup baik untuk berkembang. A.1.6. Tanaman eukaliptus (Eucalyptus pellita) Tanaman eukaliptus yang memiliki karakteristik tajuk mengerucut dan daun yang rapat menghasilkan aliran air throughfall, stemflow dan intersepsi sebagaimana Tabel 9 berikut ini: Tabel 9. Lolosan tajuk (througfall), aliran batang (stemflow) dan intersepsi hujan pada masing-masing umur tanaman E. pellita di Riau (Supangat, 2012) Umur tanaman 2 th 3 th 4 th 5 th 6 th Curah Hujan (mm) 1054 1008 797 824 765 n 45 40 43 46 44 Tf (throughfall) (mm) / (%) 847,4 (80,4) 783,6 (77,7) 633,9 (79,5) 684,6 (83,1) 634,6 (83,0) Sf (stemflow) (mm) / (%) 39,3 (3,7) 36,1 (3,6) 32,5 (4,1) 32,5 (3,9) 28,3 (3,7) I (intersepsi) (mm) / (%) 167,4 (15,9) 188,3 (18,7) 130,6 (16,4) 106,9 (13,0) 102,1 (13,3) Sintesis 2010-2014 | 17 A.2. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman terhadap erosi dan neraca air Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman kayu putih, sengon, akasia, mahoni, nyamplung dan eukaliptus terhadap erosi dan neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 disajikan pada Tabel 10, Tabel 11, Tabel 12, Tabel 13, Tabel 14 dan Tabel 15 sebagai berikut: Tabel 10. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman kayu putih terhadap erosi dan neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Gunung Kidul, DIY No Parameter 1. 2. Curah Hujan (mm) Evapotranspirasi (mm) Hasil Air (mm) Koefisien aliran 3. 4. Tahun 2009 2010 1982 - 2006 895 2007 1667 2008 775 505 798 370 554 501 0,56 650 0,39 418 0,54 971 0,49 9264 Rata -rata 1544 787 3646 608 979 0,50 4193 2,82 699 0,47 2011 1976 2012 1969 - 632 - 674 0,34 Jmlh Keterangan : Curah hujan th 2006 : mulai bulan April – Desember 2006 Tabel 11. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman sengon terhadap erosi dan neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah No 1. 2. 3. 4. 5. Parameter 2006 2007 Curah Hujan (mm) Evapotranspirasi (mm) Erosi (kg/ha) Hasil Air (mm) Koefisien aliran 2008 1254 467 Tahun 2009 2010 3292 938 18,47 28,64 448 1267 0,36 0,38 2011 3474 RataJmlh rata 2012 2487 10507 2627 - 764 708 2877 - 37,96 1546 0,44 1454 0,58 85,07 28,35 4750 1179 1,76 0,44 719 Keterangan : Erosi th 2012 : dalam proses penyelesaian Tabel 12. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman akasia terhadap erosi dan neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah No 1. Parameter Curah Hujan (mm) Evapotranspirasi 2. (mm) 3. Erosi (kg/ha) 4. Hasil Air (mm) 5. Koefisien Aliran 2006 2007 Tahun 2008 2009 2010 1994 1455 - 2011 1663 2012 2045 503 - 470 596 - 3,204 691 0,41 321 20,05 12,56 697 438 0,35 0,30 7157 Ratarata 1789 1890 472 Jmlh 35,814 11,93 894 2720 680 0,44 1,5 0,37 Keterangan : Erosi th 2012 : dalam proses penyelesaian Sintesis 2010-2014 | 18 Tabel 13. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman mahoni terhadap erosi dan neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur No 1. 2. 3. 4. 5. Parameter 2006 2007 Curah Hujan (mm) Evapotranspirasi (mm) Erosi (kg/ha) Hasil Air (mm) Koefisien Aliran Tahun 2008 2009 2010 1218 2051 - 2011 2142 2012 1665 406 - 573 - 26,74 792 0,37 774 21,56 24,12 437 948 0,36 0,46 7076 Ratarata 1769 531 2284 571 393 0,59 72,42 24,14 2570 642 1,78 0,44 Jmlh Keterangan : Erosi th 2012 : dalam proses penyelesaian Tabel 14. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman nyamplung terhadap erosi dan neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah No 1. 2. 3. Parameter 2006 2007 Curah Hujan (mm) Evapotranspirasi (mm) Erosi (kg/ha) 2008 2686 859 Tahun 2009 2010 1192 572 27,84 18,72 2011 1955 2012 1983 - 542 442 - 15,98 - 7816 Ratarata 1954 2415 604 Jmlh 62,54 20,84 Keterangan : Erosi th 2012 :- dalam proses penyelesaian, - tidak ada SPAS – data hasil air dan koefisien tidak ada . Tabel 15. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman eukaliptus terhadap erosi dan neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 Parameter Neraca Air Umur tanaman (th) Curah hujan, P (mm) Limpasan, Q (mm) Evapotranspirasi, ET (mm) % ET terhadap Hujan 2008 2 2.813 1.467,6 1.345,4 47,8 Tahun 2009 2010 3 4 2.679 2.783 1.245,9 948,7 1.433,1 1.834,3 53,5 65,9 2011 5 1.663 474,6 1.188,4 71,5 2012 2.219 1.134,1 1.084,9 48, 9 Jenis tanaman eukaliptus menghasilkan nilai evapotranspirasi paling tinggi yaitu berkisar antara 1.084,9 mm sampai dengan 1.834,3 mm. Penanaman eukaliptus harus hati-hati dengan mempertimbangkan ketersediaan air di dalam tanah untuk mencegah kekurangan air. Eukaliptus hendaknya ditanam pada areal/wilayah yang memiliki tingkat ketersediaan airnya tinggi untuk mengimbangi tingginya evapotranspirasi. Tanaman akasia menghasilkan nilai rata-rata erosi paling kecil yaitu 11,93 kg/ha. Hal ini disebabkan oleh timbunan serasah daun akasia yang cukup tebal di lantai hutan sehingga dapat mengurangi aliran limpasan dan material tanah Sintesis 2010-2014 | 19 yang terbawa oleh air. Rata-rata hasil air paling tinggi ditunjukkan pada jenis tanaman sengon sebesar 1.179 mm. Dengan demikian, tanaman sengon ini dapat ditanam pada lahan-lahan kritis untuk meningkatkan pasokan air kedalam tanah. B. Kajian dampak penanaman jenis kayu pertukangan terhadap tata air Dalam proses hidrologi, tidak semua masukan yang berupa curah hujan akan langsung menjadi luaran berupa limpasan (runoff). Curah hujan yang turun pada suatu kawasan akan melalui eberapa proses sebelum akhirnya menjadi limpasan (runoff). Dalam proses hidrologi pada suatu kawasan tersebut, tidak semua masukan yang berupa curah hujan akan langsung menjadi luaran berupa limpasan (runoff). Hal ini disebabkan karena air hujan akan mengalami proses kehilangan air yang disebabkan karena beberapa hal yaitu evaporasi, transpirasi, gabungan antara evaporasi dan transpirasi atau yang sering disebut dengan evapotranspirasi dan kebocoran pada sistem airtanah. Disamping itu dalam sistem siklus hidrologi terdapat sebagian air yang tertahan sementara di dalam tanah dan baru akan dikeluarkan/ dilepaskan ke sistem sungai pada suatu waktu/rentang waktu tertentu. Besaran waktu atau rentang waktu dilepaskannya air dari dalam tanah tergantung dari banyak hal, antara lain jenis tanahnya, tekstur tanahnya, jenis batuan (kondisi geologi) dan sebagainya. Dengan demikian pada umumnya dalam sistem siklus hidrologi besarnya luaran akan selalu lebih kecil dari masukannya. Namun demikian dalam kasus tertentu dimungkinkan volume luaran justru lebih besar dari masukannya, hal ini mungkin saja terjadi pada wilayah-wilayah dengan kondisi geologi tertentu. Kegiatan kajian dampak penanaman jenis kayu pertukangan terhadap tata air difokuskan pada areal ujicoba SILIN (Silvikultur Intensif) pada 2 plot dengan karakteristik plot sebagai berikut: Plot 1: Kemiringan 24,43o, tumbuhan bawah kurang, serasah tebal, penutupan tajuk 16,7% (8-74 %), tinggi tanaman 3,9 m, diameter tanaman 3,4 cm dan lebar tajuk 2,2 m. Plot 2: Kemiringan 19,28o, tumbuhan bawah alang-alang, serasah kurang, penutupan tajuk 6 % (1-12%), tinggi tanaman 2,5 m, diameter tanaman 1,6 cm dan lebar tajuk 1,6 m. Hasil kajian pada kedua plot tersebut menunjukkan bahwa (Purwanto dan Rahardyan, 2011): Erosi lahan pada plot 1 (vegetasi tanaman bawah tidak ada, seresah tebal) = 0,0804 Kg/ha/16 hari pengamatan sedangkan pada plot 2 (vegetasi tanaman bawah alang-alang, tidak ada seresah) = 0,0226 kg/ha/16 hari pengamatan. Sedangkan limpasan permukaan pada plot 1 = 37,10 m3/ha/16 hari pengamatan sedangkan pada plot 2 limpasan permukaannya = 21,74 m3/ha/16 hari pengamatan. Sintesis 2010-2014 | 20 Aliran batang pada Pohon A = 0,0069 mm/16 hari pengamatan, Pohon B = 0,0121 mm/ 16 hari pengamatan, dan Pohon C = 0,0076 mm/16 hari pengamatan. Sedangkan besarnya air lolos pada Pohon A = 16,9 mm/16 hari pengamatan, Pohon B = 24,54 mm/16 hari pengamatan, dan Pohon C = 28,10 mm/16 hari pengamatan Curah Hujan di lokasi penelitian = 14,8 mm/16 hari pengamatan Debit aliran sungai Jupoi = 79,63 ltr/detik selama 16 hari pengamatan Sintesis 2010-2014 | 21 IV. PENUTUP Pola pengelolaan tata guna lahan dalam mendukung optimalisasi tata air sangat ditentukan oleh dinamika/perubahan dinamis terkait pertumbuhan penduduk, perubahan sosial ekonomi budaya dan perkembangan teknologi. Konsep pengelolaan DAS dari hulu sampai dengan hilir perlu memperhatikan prioritas sensitivitas penggunaan lahan yang berbeda-beda dari tingkat hulu, tengah dan hilir dengan tetap memperhatikan faktor ekologi sebagai faktor utama. Pemilihan jenis tegakan hutan tanaman yang tepat untuk mendukung rehabilitasi hutan dan lahan dalam wilayah DAS sangatlah penting dalam menjaga pasokan air didalam tanah agar tidak terjadi kekeringan. Untuk itu kriteria jenis yang dipilih adalah evapotranspirasi rendah, hasil air tinggi, erosi rendah dan aliran limpasan rendah. Sintesis 2010-2014 | 22 DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 2000. Konservasi tanah dan air. IPB Press. Asdak, C. 2005. Hidrologi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Badan Planologi Kehutanan. 2007. Statistik kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Baver, L.D. 1972. Soil Physics. John Wiley and Son Inc. New York. Charles E. Tuttle Company. Modern Asia Edition. Third Edition. Frevert, R.K, G.O. Schwab, T.W. Edminster, and K.K. Barness. 1963. Soil and Water Conservation Engineering (Third Edition) John Wiley and Son Inc. New York. Murtiono, U.H., Supangat, A.B., Sulasmiko, E. dan Budiono, A. 2012. Kajian erosi dan neraca air pada berbagai jenis vegetasi sebagai basis pemodelan tata air. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Surakarta. Purwanto, B.S. dan Rahardyan, A. 2011. Kajian dampak penanaman jenis kayu pertukangan terhadap tata air. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Kalimantan Selatan. Rachman, S. 2010. Kebijakan dan Upaya Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dari Sektor Kehutanan. Bunga Rampai II Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia. Jakarta. Setiawan, Budi Indra. 1999. Land Use Planning For Cigulung Maribaya Sub Watershed Using ANSWERS Model. Proceeding of International Workshop on Sustainable Resource Management for Cidanau Watershed. RUBRDUT/IPB. Bogor. Seyhan, E., 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Sudarna, A. 2012. Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Puncak Dalam Perspektif Kebijakan Tata Ruang Provinsi Jawa Barat . Bahan presentasi disampaikan pada Acara Diskusi Kelompok Terbatas Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Puncak, Oktober 2012. Bogor. Supangat, A.B. 2012. Neraca air hutan tanaman Eucalyptus pellita di Riau. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kuok. Riau. Sukresno, Murtiono, U.H., Miardini, A., Sulasmiko, E., Sumardi dan Sugianto, A. 2010. Penelitian dampak hutan tanaman terhadap erosi, evapotranspirasi dan hidrologi. Balai Penelitian Kehutanan Solo. Sintesis 2010-2014 | 23 BUKU IV PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI ASPEK : EVALUASI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT UNTUK USAHA TANI DI KALIMANTAN TENGAH PENYUSUN: BUDI HADI NARENDRA, S.Hut, M.Si, M.Sc. Dr. I WAYAN SUSI DHARMAWAN, S.Hut, M.Si PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN BOGOR 2014 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ......................................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1 1.2. Tujuan dan Sasaran ....................................................................................... 2 1.3. Luaran ........................................................................................................... 2 II. KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT .......................................... 3 2.1. Identifikasi regulasi yang ada ......................................................................... 3 2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ............................... 4 2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan .................................................. 4 III. EVALUASI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT UNTUK USAHA 5 TANI .................................................................................................................... 3.1. Karakteristik Lahan Gambut Kalampangan .................................................... 5 3.2. Usaha tani masyarakat di lahan gambut .......................................................... 7 3.3. Kearifan lokal pengelolaan lahan gambut ....................................................... 8 IV. PENUTUP ............................................................................................................ 10 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 11 i DAFTAR GAMBAR Gambar Hal. 1. Contoh tanah yang diambil dengan bor gambut (kiri) dan ring sampel 5 (kanan) ................................................................................................................. 2. Beberapa komoditas pada pertanian intensif .......................................................... 8 3. Saluran drainase mikro (kiri) dan saluran drainase utama (kanan) ......................... 10 iii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh adanya akumulasi bahan organik yang berlangsung dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik yang terdapat di lantai hutan lahan basah. Indonesia merupakan negara dengan kawasan gambut tropika terluas di dunia, yaitu antara 13.5 – 26.5 juta ha, maka 50% gambut tropika dunia yang luasnya sekitar 40 juta ha berada di Indonesia (Najiyati dkk., 2005). Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam tata air suatu DAS karena mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Kerusakan ekosistem gambut berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekelilingnya (ex situ). Kejadian banjir di hilir DAS, kebakaran, hilangnya plasma nutfah merupakan beberapa dampak dari rusaknya ekosistem gambut (Indriastuti, 2010). Pemanfaatan lahan gambut dengan cara mempertahankannya sebagai habitat ratusan species tanaman hutan, merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat. Disamping kawasan gambut tetap mampu menyumbangkan fungsi ekonomi bagi manusia di sekitarnya (produk kayu dan non kayu) secara berkelanjutan, fungsi ekologi hutan rawa gambut sebagai pengendali suhu, kelembaban udara dan tata air kawasan akan tetap berlangsung sebagai konsekuensi dari ekosistemnya tidak berubah. Pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang bukan dari jenis endemik tergolong sangat rawan, terutama jika dilaksanakan pada gambut tebal di daerah pedalaman karena mengharuskan adanya upaya menyesuaikan kondisi air lahan atau mengeringkan lahan dengan cara membuat saluran drainase atau kanal (Limin, 2006). Pengelolaan yang terlanjur salah pada areal ini, seperti adanya penebangan baik legal maupun illegal, adanya pembukaan kanal/parit yang berlebihan, pola penguasaan kanal/parit, dan terjadinya kebakaran menyebabkan turunnya fungsi penting areal ini yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan masyarakat sekitar. Berbagai upaya rehabilitasi kerusakan lahan gambut telah banyak dilakukan, namun tidak semuanya dapat berhasil. Menurut Barkah (2009), pelaksanaan rehabilitasi perlu memperhatikan aspek tata guna lahan, aspek sosial ekonomi masyarakat, aspek biofisik areal, dan aspek pengelolaan areal. Aspek fisik areal yang harus dikuasai sebagai salah satu kunci keberhasilan rehabilitasi antara lain meliputi tipe tutupan, penyebab degradasi, klasifikasi dan luasan areal degradasi, kondisi tata air dan genangan, kemampuan regenerasi alam, karakteristik gambut, dan kesesuaian lahan serta jenis tanaman yang akan digunakan, termasuk juga faktor ancaman terhadap kelestarian hutan. Sintesis 2010-2014 |1 1.2. Tujuan dan sasaran Sintesis ini bertujuan menyajikan hasil kajian pengaruh pola pemanfaatan usaha tani lahan gambut terhadap kondisi tanah dan tata air. Sasarannya adalah model pengelolaan lahan gambut yang optimal pada berbagai kondisi lapisan gambut dan tata airnya. 1.3. Luaran Paket data dan informasi teknik pengelolaan lahan gambut untuk usaha tani yang sesuai dengan kondisi lapisan gambut dan tata airnya. Sintesis 2010-2014 |2 II. KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT Sehubungan dengan kebijakan di Kementerian Kehutanan mengenai pengelolaan gambut, beberapa regulasi telah disusun. Namun demikian implementasi di lapangan agaknya belum sepenuhnya dilaksanakan. 2.1. Identifikasi regulasi yang ada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam UU ini ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim yang di dalamnya termasuk kriteria baku kerusakan gambut. Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang Pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa Peraturan Pemerintah ini antara lain mengatur kriteria baku kerusakan tanah di lahan basah (gambut) dengan merinci parameter yang digunakan, ambang kritisnya, metode pengukuran, dan peralatan yang digunakan. Peraturan Pemerintah RI No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan Peraturan Pemerintah ini mengatur upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan serta pengawasan terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan termasuk di dalamnya yang terjadi pada lahan gambut. Peraturan Menteri Pertanian No.14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit Pedoman ini mengatur pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit sebagai upaya mewujudkan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan dengan tetap memerhatikan kelestarian fungsi lingkungan, dengan tujuan mengembangkan, memelihara kelestarian fungsi lahan gambut, dan meningkatkan produksi dan pendapatan produsen kelapa sawit. Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK.3706/Menhut-VII/IPSDH/2014 tentang Penetapan peta indikatif penundaan izin baru pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan lain (Revisi VI) Keputusan ini mengatur tentang penggunaan kawasan hutan yang di dalamnya juga terdapat lahan gambut Sintesis 2010-2014 |3 Peraturan Pemerintah RI No. 24 tahun 2010 tentang Penggunaan kawasan hutan yang dirubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 61 tahun 2012 Peraturan ini mengatur penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan Undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut. Undangundang ini mengatur aspek teknis kriteria dan indikator dalam melakukan pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut secara lestari dan berkelanjutan. 2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi Untuk mendukung kelestarian pemanfaatan lahan gambut, kebijakan yang diambil perlu didukung oleh hasil penelitian yang akurat. Beberapa aspek teknis pengelolaan gambut dapat diformulasikan secara nasional namun aspek lainnya akan bersifat spesifik tergantung kondisi lokasi lahan gambut. Penetapan aspek teknis yang masih perlu mendapat dukungan data hasil penelitian antara lain: - Karakteristik gambut yang sesuai untuk budidaya tanaman - Tinggi muka air optimal untuk kelestarian produksi tiap jenis tanaman yang diusahakan dan kelestarian fungsi ekosistem gambut - Batasan kedalaman drainase lahan gambut untuk kegiatan budidaya yang tetap memberikan tata air optimal, baik itu untuk tanaman perkebunan, pertanian maupun hutan tanaman industri - Metode penyiapan lahan yang sesuai - Pengaruh pola pemanfaatan lahan gambut terhadap karakteristik gambut dan fungsi tata air 2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan Permasalahan yang masih sering dijumpai di lapangan adalah tidak terkendalinya kejadian kebakaran hutan dan hilangnya fungsi gambut sebagai penyimpan air di saat musim kemarau. Hal tersebut masih terjadi meskipun telah ada pengaturan tinggi muka air melalui pembuatan pintu-pintu air namun kenyataannya saat musim kemarau tinggi muka air di gambut sangat jauh dari permukaan bahkan berada di bawah lapisan gambut. Hal ini mengakibatkan terjadinya kerusakan pada karakteristik gambut dan sangat rentan terhadap kebakaran. Sintesis 2010-2014 |4 III. EVALUASI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT UNTUK USAHA TANI 3.1. Karakteristik Lahan Gambut Kalampangan Lahan gambut ini terletak diantara dua sungai yaitu Sungai Kahayan dan Sungai Sebangau. Bentuk lahannya berupa dataran alluvial dari endapan bahan-bahan alluvial berupa liat, bahan organik, atau pasir dari sungai. Ketebalan gambut dapat mencapai 12 m dengan lapisan di bawah gambut didominasi pasir kuarsa. Gambut di Kalampangan termasuk tipe ombrogen oligotropik yang dicirikan oleh reaksi tanah yang masam sampai sangat masam, kapasitas tukar kation yang tinggi dan rendahnya unsur hara tersedia bagi tanaman. Tanah gambut ini diklasifikasikan ke dalam tropohemist dengan bahan induk didominasi sisa-sisa vegetasi berupa kayu (Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986). Analisis gambut di tiap titik pengamatan menunjukkan gambut di Kalampangan termasuk gambut kategori dalam (200 – 300 cm) atau sangat dalam (> 300 cm) sehingga sangat sulit memanfaatkannya sebagai lahan pertanian tanpa adanya saluran drainase. Analisis contoh gambut yang dilakukan dengan bor gambut seperti tampak di Gambar 2 pada kedalaman berjenjang tiap 50 cm menunjukkan berbagai variasi warna gambut yang dijumpai mulai dari 2.5Y 2/1 (hitam) hingga 10YR 5/6 (coklat kekuningan). Pada lahan-lahan pertanian, warna gambut yang lebih gelap umumnya dijumpai pada lapisan permukaan, sedangkan pada tutupan hutan, warna gelap dapat dijumpai secara bervariasi di lapisan atas, tengah, atau bawah. Gambar 1. Contoh tanah yang diambil dengan bor gambut (kiri) dan ring sampel (kanan) Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut digolongkan menjadi gambut fibrik, hemik, dan saprik berturut-turut mulai dari tingkat kematangan rendah hingga tinggi (Agus et.al., 2012). Pada lahan gambut pembanding yang berupa tutupan hutan, masih dijumpai gambut fibrik (gambut mentah) yaitu pada lapisan 0-50 cm, selebihnya didominasi jenis hemik. Pada lahan pertanian, lapisan 50 cm pertama hingga kedua didominasi jenis saprik, selebihnya adalah jenis hemik kecuali pada lokasi ketiga dan keenam, lapisan gambut terakhir meripakan jenis saprik. Sintesis 2010-2014 |5 Analisis karakteristik kimia terhadap gambut di tiga macam penutupan lahan telah dilakukan dan hasil analisis laboratorium menunjukkan pH gambut baik di lokasi pertanian intensif, non intensif, maupun di hutan adalah sangat masam (< 4,5). Adanya proses oksidasi dan penambahan bahan-bahan yang digunakan sebagai input dalam pengolahan tanah hanya mampu sedikit meningkatkan pH tanah. Di lokasi pertanian intensif, rata-rata pH yang diperoleh adalah 3,6 sedangkan pH pada lapisan permukaan terukur sebesar 3,7. Nilai pH ini sesuai dengan ph pada hasil penelitian Halim (1987) yang menunjukkan ph tanah gambut di lokasi pertanian ini berkisar 3,25 sampai 3,60. pH gambut berkaitan erat dengan keberadaan asam-asam organik yaitu asam humat dan asam fulvat (Miller dan Donahue, 1990). Pada pengamatan di lapangan, hingga dasar lapisan gambut tidak ditemukan adanya lapisan pirit. Semakin tebal lapisan gambut, kandungan Ca, Mg, dan K menurun dan reaksi tanah menjadi semakin masam. Kandungan basa-basa yang rendah disertai KTK yang tinggi menyebabkan ketersediaan basa-basa menjadi rendah. Tingginya KTK di gambut sebagian besar ditentukan oleh vegetasi penyusun gambut yang didominasi kayu-kayuan dimana kandungan ligninnya dalam proses dekomposisinya akan menghasilkan asam-asam fenolat (Stevenson, 1994). Analisis karakteristik fisik terhadap contoh terusik menunjukkan beberapa variabel pada lahan pertanian menunjukkan besaran yang berbeda nyata terhadap kontrol (tutupan hutan). Pengolahan lahan gambut menjadi lahan pertanian secara nyata telah meningkatkan bobot basah, bobot kering, bulk density, serta menurunkan kandungan airnya. Pengeringan gambut pada lahan pertanian melalui drainase dan adanya penambahan abu dan tanah mineral telah meningkatkan kepadatan (bulk density) gambut. Perubahan kepadatan gambut ini berpengaruh terhadap kemampuan gambut dalam menyerap dan memegang/menyimpan air (water holding capacity). Dari selisih total gambut basah dengan total gambut kering dapat dihitung kemampuan gambut memegang air. Gambut pada lahan pertanian dapat menyerap air hingga delapan kali bobot keringnya sedangkan gambut dengan tutupan hutan mampu hingga sembilan kali. Karakteristik fisik tanah pada lapisan permukaan dilakukan dengan menganalisis contoh tanah tak terusik yang diambil dengan ring sample menunjukkan pengolahan gambut pada pertanian intensif secara nyata meningkatkan variabel bulk density dan particle density serta menurunkan pori drainase cepat dan permeabilitas. Selain peningkatan bulk density dan penurunan pori drainase, aktifitas di lahan pertanian juga dapat mengakibatkan pemadatan gambut (Mustamo, et.al., 2013). Perubahanperubahan pada bagian lapisan permukaan gambut ini menyebabkan perubahan serapan gambut terhadap air sehingga dalam skala yang luas akan mempengaruhi tata air melalui penurunan simpanan air tanah dan meningkatkan limpasan permukaan dan debit sungai. Hasil analisis ini sejalan dengan hasil penelitian hidrologi gambut di DAS Sebangau, Palangkaraya (Delinom, et.al., 2003) yang menunjukkan bahwa lahan gambut yang digunakan untuk pertanian intensif, secara nyata mengakibtkan Sintesis 2010-2014 |6 turunnya laju infiltrasi. Sedangkan penggunaannya untuk kegiatan pertambangan telah mengakibatkan lapisan gambut menjadi hampir kedap air. Gambut yang didrainase secara berlebihan ditambah dengan terbakarnya lapisan permukaannya mengakibatkan turunnya kemampuan gambut dalam menyimpan air sehingga menimbulkan respon hidrologi yang komplek. Efeknya dapat dilihat dengan meningkatnya limpasan permukaan yang akan disertai peningkatan erosi, peningkatan debit puncak aliran dasar pada sungai. Dampak lainnya adalah terjadinya subsidensi akibat pemampatan/pengkerutan gambut dan oksidasi gambut di atas muka air tanah (Price, et.al.,2003). Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut diberi drainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut diberi drainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm/tahun tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase (Agus et.al., 2012). Penurunan fungsi hidrologis gambut juga ditunjukkan oleh menurunnya konduktivitas hidrolik (hydraulic conductivity) gambut hasil pengukuran di lapangan hingga 280 kali lipat. Penurunan ini berbanding terbalik dengan peningkatan kepadatan tanah (bulk density) yang akibatnya akan memperlambat pergerakan air dalam gambut baik secara vertikal maupun horisontal sehingga akan mempengaruhi neraca air daerah gambut (Sarkkola et.al., 2010). Namun demikian seberapa besar penurunan fungsi gambut terdrainase dalam neraca air suatu DAS masih sulit ditentukan secara pasti mengingat penetapan volume (ketebalan gambut) tidak bisa dibatasi berdasarkan topografi permukaan bumi (Whitfield et.al., 2009). 3.2. Usaha tani masyarakat di lahan gambut Di Kalampangan, lahan pertanian gambut dibuka tahun 1979 sebagai bagian program transmigrasi sebanyak 500 kepala keluarga. Sepuluh tahun pertama merupakan masa-masa tersulit bagi para transmigran dalam mengolah lahannya. Sebagian transmigran, di daerah asalnya merupakan petani namun dengan kondisi lahan yang jauh berbeda dengan lahan gambut. Di lahan gambut tersebut awalnya mereka berusaha menanam padi namun selalu gagal dan mulai beralih ke tanaman sayuran atau hortikultura dan mencapai keberhasilan hingga saat ini. Pada lahan pertanian intensif petani menggunakan lahannya sepanjang tahun hingga empat kali penanaman. Jenis tanaman yang dibudidayakan antara lain bayam, kangkung, sawi, salad, mentimun, kacang panjang, jagung, cabe, tomat, bawang merah, nenas, jambu, dan belimbing. Pada musim kemarau tanaman disiram dari air yang berasal dari sumur bor. Lahan pertanian non intensif merupakan lahan pertanian yang ditanami hanya sekali setahun, atau lahan yang vakum pengolahan selama beberapa tahun namun masih tetap akan digunakan sebagai bidang olah tanaman pertanian. Sintesis 2010-2014 |7 Gambar 2. Beberapa komoditas pada pertanian intensif Panen tanaman biasanya dilakukan tiap kapling tanaman berukuran 20 x 30 m atau dilakukan tiap jalur/bedeng tanam dimana satu kapling terdiri dari 30 jalur tanam. Harga komoditas yang dipanen tergantung harga di pasar yang ditentukan oleh kelimpahan produk serupa di pasaran. Jagung dapat menghasilkan panenan seharga 25 juta/ha, cabe 50 juta/ha, seledri 600 ribu/jalur, sawi 300 ribu/jalur, terong 200 ribu/jalur. 3.3. Kearifan lokal pengelolaan gambut Kendala yang dihadapi petani di lahan gambut umumnya berupa kemampuan hidup tanaman yang rendah akibat rendahnya unsur hara dan adanya asam-asam organik dari gambut. Selain itu secara fisik mereka terkendala dengan banyaknya tunggak pohon yang masih menutupi permukaan lahan dan sifat fisik gambut terdrainase yang cenderung kekurangan air saat kemarau. Untuk mengatasi hal ini petani di Kalampangan mengumpulkan sisa-sisa kayu atau tunggak yang masih tersisa di lahan. Kayu-kayu tersebut dikumpulkan bersama sisa-sisa tanaman dan gulma selanjutnya dibakar untuk mendapatkan abu sebagai input sebelum penanaman. Abu adalah masukan yang paling utama untuk memperbaiki pH, kesuburan dan menekan pengaruh racun dari gambut dan jumlah yang diperlukan sebagai amandemen sangat besar maka diperlukan tehnologi yang efisien dalam membuat Sintesis 2010-2014 |8 dan memanfaatkan abu bakar atau mencari alternatif penggantinya. Abu sebagai salah satu input utama diperoleh dengan melalui pembakaran terkendali yang biasanya dilakukan di atas lapisan tanah mineral sebagai alasnya. Hal ini dilakukan untuk mencegah merambatnya api kearah samping atau bawah. Kebutuhan abu untuk tiap kali tanam berbeda untuk tiap jenis tanaman seperti pada jagung 16 ton/ha, seledri 117 ton/ha, bayam 93 ton/ha, sawi 18 ton/ha, dan kangkung 43 ton/ha (Jentha, 2003). Selain input abu, mereka biasa menambahkan kapur, pupuk kandang, tanah mineral, atau pupuk kimia berupa urea, TSP, dan KCl. Dalam setahun kapur dapat ditambahkan sebanyak 0,5 ton/ha sedangkan pupuk kandang dari kotoran sapi sebanyak 2,5 ton/ha. Urea diaplikasikan langsung pada tanaman dengan dosis hingga 200 gram per tanaman tergantung jenis tanamannya sedangkan pupuk P dan K diaplikasikan dengan menyemprotkan pada daun. Pengolahan tanah dilakukan dengan pencangkulan hingga lapisan 30 cm. Hasil analisis statistik menunjukkan pengelolaan lahan yang intensif telah secara nyata memperbaiki kondisi gambut dengan mengingkatnya unsur P tersedia, K tersedia, Ca, dan K. Beberapa unsur lain juga mengalami perubahan namun tidak nyata perbedaannya terhadap kontrol (tutupan hutan). Penambahan abu tanaman secara nyata dapat meningkatkan ketersediaan P. Meningkatnya kandungan basabasa dapat ditukar pada lahan pertanian juga dipengaruhi oleh pemupukan dan pemberian abu (Lubis et.al., 1993). Pembakaran untuk menghasilkan abu memiliki risiko terbakarnya lahan gambut disekitarnya dan adanya kabut asap. Alternatif dari penggunaan abu telah diformulasikannya Pupuk Khusus Lahan Gambut (PUGAS) sebagai penyubur tanah sebelum diolah yakni campuran abu vulkanik dan pupuk KCL (Kalium Clorida) dan Urea oleh peneliti BPPT. Selain itu, Balai Penelitian Tanah juga mengeluarkan produk PUGAM-A dari yaitu pupuk slow release berbentuk granul yang berperan untuk mensuplai hara tanaman, juga berfungsi sebagai amelioran untuk mengurangi pengaruh buruk asam organik beracun, mengurangi pencucian hara P dan efektif menekan menekan emisi CO2. Pugam efektif mengurangi pencucian P karena memiliki sifat slow release dan membentuk tapak jerapan positif pada gambut sehingga mampu menahan pencucian P. Dalam pengaturan tata air, petani setempat menjaga kedalaman muka air tanah pada kisaran 25 – 40 cm. Selain adanya saluran drainase utama berukuran besar dengan lebar hingga 3 meter, petani juga membuat saluran drainase mikro selebar 30-50 cm seperti pada Gambar 3. Sintesis 2010-2014 |9 Gambar 3. Saluran drainase mikro (kiri) dan saluran drainase utama (kanan) Drainase mikro dibuat sekeliling petak lahan dilengkapi dengan penutup saluran dengan tujuan menjaga muka air tanah dan mengumpulkan/mengendapkan partikel tanah yang terangkut aliran permukaan. Sintesis 2010-2014 | 10 IV. PENUTUP Lahan gambut di Kalampangan yang diolah sebagai lahan pertanian merupakan gambut pedalaman dengan ketebalan lebih dari 3 m dan dominansi gambut saprik pada lapisan permukaan. Pengolahannya dilakukan dengan mengatur drainase melalui pembuatan saluran mikro, penambahan input abu, pupuk, dan tanah mineral. Adanya perubahan tutupan lahan dari hutan ke pertanian selain menghentikan suplai bahan organik dari suatu tutupan hutan, juga akan mempengaruhi komponen evapotranspirasi dalam neraca air. Saat musim kemarau muka air tanah akan jauh dari permukaan lahan sehingga tanaman akan kekeringan dan mengakibatkan daerah ini rentan bahaya kebakaran. Pengelolaan lahan yang intensif secara nyata memperbaiki kesuburan gambut dengan mengingkatnya pH, unsur P tersedia, K tersedia, dan unsur lainnya, sebaliknya pengolahan tersebut secara nyata telah menurunkan fungsi hidrologis gambut seperti ditunjukkan dengan meningkatkan bobot basah, bobot kering, bulk density, menurunkan kandungan airnya dan konduktivitas hidrolik. Upaya perbaikan kondisi lahan gambut kritis akibat praktek drainase yang berlebihan atau akibat konversi tutupan lahan dapat dilakukan antara lain dengan memperbaiki sistem drainase yang telah ada seperti pembuatan kanal bloking. Pemanfaatan lahan yang akan difokuskan pada penggunaannya sebagai lahan usaha tani hendaknya tetap mempertahankan sebagian tutupan lahannya sebagai vegetasi hutan seperti penerapan teknologi agroforestri. Pada tahap awal, jenis pohon yang dipilih hendaknya yang mudah beradaptasi dengan kondisi aktual gambut seperti jenis-jenis pioneer atau jenis lokal (indigenuos tree species) yang tetap memperhatikan aspek pemanfaatan atau nilai ekonominya. Penerapan teknologi ini diharapkan dapat mengakomodir kepentingan ekonomi petani lokal dengan tetap menjaga kelestarian lahan gambut. Sintesis 2010-2014 | 11 DAFTAR PUSTAKA Agus, F, IGM Subiksa, dan Wahyunto. 2012. Pengelolaan lahan gambut dalam Membangun kembali Aceh: Belajar dari hasil penelitian dan program rehabilitasi Aceh pasca Tsunami. Kumpulan Hasil Penelitian, Pembelajaran dan Rekomendasi untuk Kemajuan dan Rehabilitasi di Aceh Barat dan Sekitarnya. Janudianto, Mulyoutami E, Moeis L, Juita R, Pribadi ARA, and Roshetko JM (eds.). World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office, Bogor. Barkah, B.S. 2009. Panduan Teknis Penutupan Kanal (Canal Blocking) dan pengelolaannya bersama masyarakat di areal Hutan Rawa Gambut MRPP Kabupaten Musi Banyuasin. SOP No. 03. PSF Rehabilitation. Rev 0. MRPPGTZ. Palembang - Sumatera Selatan Foth, H.D.1994. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Terjemahan: Adisoemarto, Soenartono. Erlangga. Jakarta. Halim, A. 1987. Pengaruh pencampuran tanah mineral dan basa dengan tanah gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya tanaman kedelai. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian: suatu peluang dan tantangan. Orasi ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi tanah dan pedogenesis. Akademika presindo. Jakarta. Indriastuti. 2010. Optimalisasi pengelolaan lahan dalam upaya menekan pemanasan global mendukung pendidikan berbasis pembangunan berkelanjutan. Makalah Semiloka Nasional. Medan, 12-13 Pebruari 2010. Jentha. 2003. Pemanfaatan Abu sebagai Pupuk oleh Petani di Kalampangan. Laporan Ketrampilan Profesi. Fakultas Pertanian. Universitas Palangka Raya Limin, S.H. 2006. Pemanfaatan lahan gambut dan permasalahannya. Masukan singkat dalam workshop gambut. Jakarta, 22 November 2006. Lubis, A.M., Z.Abidin, dan A.Wahid. 1993. Pengaruh abu tanam-tanaman terhadap padi sawah di tanah gambut. Prosiding Seminar Gambut II. Himpunan Gambut Indonesia – BPPT. 14 – 15 Januari 1993. Jakarta. Miller, M.H. dan R.L. Donahue. 1990. Soils. An introduction to soils and plant growth. Prenticenhall Englewood cliffs. New Jersey. Mustamo, P., M.Hyvarinen, A.Ronkanen, and B.Klove. 2013. Peat hydraulic conductivity in different landuses. Geophysical Research Abstracts. Vol.15 EGU2013-4219. Sintesis 2010-2014 | 12 Najiyati, S., L.Muslihat dan I N.N.Suryadiputra. 2005. Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor Price, J.S., A.L.Heathwaite dan A.J.baird. 2003. Hydrological processes in abandoned and restored peatland: An overview of management approaches. Wetlands Ecology and Management 11:65-83. Puja, I.N. 2008. Penuntun praktikum fisika tanah. Jurusan Tanah, Fak Pertanian Universitas Udayana. Denpasar. Stevenson, F.J. 1994. Humus chemistry. Genesis, composition, and reaction. John wiley and sons inc. New York. Tim Fakultas Pertanian IPB. 1986. Gambut pedalaman untuk lahan pertanian. Dinas pertanian tanaman pangan Propinsi Dati I Kalimantan Tengah – Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Whitfield, P.H., A.S.Hilaire, and G.Kamp. 2009. Improving hydrological prediction in peatlands. Canadian Water Resources Journal 34(4):467-478. Sintesis 2010-2014 | 13 BUKU V PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (ASPEK:PENGELOLAAN LAHAN PANTAI BERPASIR) PENYUSUN: IR. BENNY HARYADI, M.Sc. PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN BOGOR 2014 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ......................................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii DAFTAR TABEL ................................................................................................. v I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1 1.2.Tujuan ............................................................................................................. 2 1.3.Luaran ............................................................................................................. 2 II KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PANTAI (PESISIR) ............................ 3 2.1. Identifikasi regulasi yang ada ......................................................................... 3 2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ............................... 4 2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan .................................................. 4 III. PENGELOLAAN LAHAN PANTAI BERPASIR DAN 6 PEMULIHANNYA UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN ......................... 3.1. Pengembangan tanaman cemara laut (Casuarina equisetifolia) sebagai 6 tanggul angin ................................................................................................ 3.2. Rehabilitasi Lahan Pantai Berpasir ................................................................. 7 3.3. Pengembangan Agroecotourism di Lahan Pantai Berpasir .............................. 9 IV. PENUTUP ............................................................................................................ 11 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 12 i DAFTAR TABEL Tabel Hal. 1. Kebutuhan untuk pengembangan tanaman cemara laut dan tanaman 8 semusim ................................................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR Gambar Hal. 1. Tanaman hortikultura yang ditanam di belakang tanaman tanggul angin ............... 10 2. Cemara laut hasil cangkok (A) dan cemara laut hasil dari bibit (B) ........................ 10 v I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Bloom, 1979 kondisi pantai di Indonesia berdasarkan bentuk lahan (landform) terdiri dari pantai berlumpur (muddy shores), pantai berpasir (sandy shores), dan pantai berbatu karang atau andesit. Selanjutnya Harjadi et al., 2010 menyatakan bahwa khusus untuk pulau Jawa di daerah utara didominasi pantai berlumpur sehingga di daerah utara ada intrusi air asin dari laut masuk pesisir, sebaliknya untuk pantai pasir Selatan Jawa didominasi formasi batuan kapur sehingga air di pesisir kondisinya tawar. Berdasarkan Keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan No 10 th 2002, pantai berpasir adalah pantai yang material penyusunnya terdiri dari pasir bercampur batu, yang umumnya berasal dari daratan dibawa oleh aliran sungai ataupun yang berasal dari hulu daratan. Material yang menyusun pantai ini dapat juga berasal dari berbagai jenis biota laut seperti terumbu karang yang ada di daerah pantai itu sendiri. Permasalahan lahan pantai di Indonesia meliputi pengurangan garis pantai akibat abrasi, degradasi lahan akibat erosi angin, pendangkalan muara dan sedimentasi, dan kerusakan lingkungan. Harjadi (2012) menyatakan bahwa kerusakan pantai meliputi: erosi, abrasi, pendangkalan muara dan sedimentasi, kerusakan lingkungan (pemukiman, pencemaran air laut, kerusakan terumbu karang, kerusakan hutan mangrove, bangunan). Dengan permasalahan diatas akibatnya adalah lahan pantai menjadi terdegradasi. Degradasi lahan adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi kegunaan lahan untuk mendukung kehidupan. Adanya degradasi lahan menyebabkan menurunnya fungsi ekosistem lahan tersebut, dan akan berdampak baik bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya. Selain itu degradasi lahan akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang bergantung pada lahan sebagai sumber penghidupannya sehingga produktivitas lahan menurun dan angka kemiskinan akan meningkat (Barrow, 1994). Permasalahan lahan terdegradasi ini juga terjadi di lahan pantai berpasir. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan lahan pantai berpasir agar fungsi lahan ini menjadi optimal dan lestari. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan informasi mengenai pengelolaan lahan pantai berpasir termasuk informasi mengenai kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan lahan pantai berpasir dan beberapa langkah yang diperlukan agar lahan pantai berpasir dapat berfungsi kembali seperti semula. Oleh karena itu maka pengelolaan lahan pantai berpasir harus ditunjang sepenuhnya oleh beberapa teknologi dan aturan-aturan yang mendukung. Sintesis 2010-2014 |1 1.2. Tujuan Tujuan penulisan sintesa yang terkait dengan pengelolaan lahan pantai berpasir adalah menyediakan informasi dan teknologi tepat guna untuk pengelolaan lahan pantai berpasir yang didasarkan pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Diharapkan informasi hasil penelitian yang telah dilakukan dapat menunjang pengelolaan lahan pantai berpasir, sehingga lahan pantai berpasir yang terdegradasi dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora, fauna dan secara keseluruhan sebagai penyangga kehidupan, termasuk di dalamnya dapat meningkatkan perekonomian rakyat. Sehubungan dengan tujuan tersebut di atas, maka sintesa hasil penelitian ini disusun didasarkan pada penelitian-penelitian mengenai pengelolaan lahan pantai berpasir yang difokuskan pada lahan pantai berpasir di daerah Jawa. 1.3. Luaran Luaran kegiatan ini adalah informasi pengelolaan lahan pantai berpasir, khususnya di daerah Jawa. Sintesis 2010-2014 |2 II. KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PANTAI (PESISIR) Sehubungan dengan kebijakan pengelolaan lahan pantai berpasir beberapa regulasi telah disusun. Namun demikian implementasi di lapangan agaknya belum sepenuhnya dilaksanakan. 2.1. Identifikasi regulasi yang ada 1. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/Men/2002 tentang pedoman umum perencanaan pengelolaan pesisir terpadu, bahwa hendaknya pemanfaatan lahan pantai berpasir dilakukan secara baik dan benar sehingga dapat berfungsi ganda, yaitu untuk mengendalikan erosi (angin) dan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat melalui usaha budidaya tanaman semusim yang sesuai dan bernilai ekonomis. 2. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:P.35/Menhut-II/2012 (PP No.35/Tahun 2010) tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No.32/Menhut II/ 2009 tentang tatacara penyusunan Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS) pada ekosistem mangrove dan sempadan pantai (seperti yang tercantum dalam Lampiran II PP No.35/Tahun 2010): bahwa sasaran lokasi penyusunan RTk RHL DAS untuk mangrove dan sempadan pantai dalam kawasan hutan adalah ekosistem mangrove dan/atau sempadan pantai yang kritis (telah rusak dan/atau rusak berat, pada hutan lindung , pada hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional dan hutan produksi yang tidak dibebani hak dan tidak dicadangkan /diproses perizinan untuk pembangunan hutan tanaman (HTI/HTR). Sedangkan sasaran di luar kawasan hutan adalah ekosistem mangrove dan/atau sempadan pantai yang kritis. 3. UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya; menyatakan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. 4. UU no.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-Pulau Kecil: menyebutkan antara lain bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan. 5. Peraturan Pemerintah RI No 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah. PP ini menyatakan bahwa lahan di kawasan pantai yang tidak dibebani hak milik, dikuasai oleh negara dan digunakan sesuai peruntukan/fungsinya untuk kemakmuran rakyat. Peralihan status lahan dari lahan negara menjadi lahan yang dilekatkan hak yang bukan tanah negara ditempuh dengan proses pelepasan atau pembebasan hak sebagaimana diatur dalam UU Pokok Agraria. Sintesis 2010-2014| 3 2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi Sesuai dengan yang diamanatkan dalam peraturan perundangan, kegiatan pengelolaan lahan pantai berpasir yang baik harus diawali dengan penyusunan rencana pengelolaannya. Untuk menunjang perencanaan pengelolaan tersebut, diperlukan kegiatan penelitian guna menentukan: a. Jenis-jenis yang dapat dikembangkan pada lahan pantai berpasir, untuk rehabilitasi lahan-lahan pantai berpasir yang terdegradasi. Kondisi fisik lahan pantai berpasir termasuk marginal sehingga tidak sesuai untuk usaha budidaya tanaman tertentu .Hal ini disebabkan oleh perbedaan suhu yang ekstrim pada siang dan malam hari, udara yang sangat kering, kencangnya hembusan angin, kandungan unsur hara rendah dan uap air yang mengandung garam sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman.Oleh karena itu diperlukan informasi mengenai jenis-jenis tanaman budidaya yang sesuai dan perbaikan sifat fisik kimia tanahnya. b. Lahan pantai berpasir merupakan ekosistem yang unik sehingga perlu didorong untuk meningkatkan kawasan lahan pantai berpasir melalui pengembangan agroecotourism. Dalam pengembangannya perlu melibatkan masyarakat serta para tokoh agama dan tokoh masyarakat. c. Adanya kegiatan penambangan pasir besi, clay vertisol atau bentonit diperlukan upaya reklamasi lahan bekas penambangan tersebut. Untuk itu diperlukan informasi jenis-jenis tanaman yang cocok untuk reklamasi. d. Lahan pantai berpasir merupakan lahan marjinal yang sangat rendah tingkat kesuburannya, untuk itu perlu diketahui cara meningkatkan kesuburan lahan tersebut. e. Peran masyarakat dalam memaksimalkan fungsi lahan pantai berpasir dengan mengoptimalkan produktivitas lahan dan menurunkan degradasi lahan sangat diperlukan. Oleh karena itu perlu keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap kegiatan tersebut. 2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan Sebenarnya berbagai peraturan dan kebijakan terkait dengan pengelolan lahan pantai telah disusun oleh Kementerian Kehutanan dan Kementerian lain, namun dalam pelaksanaannya masih banyak permasalahan yang ditemukan di lapangan. Beberapa permasalahan tersebut antara lain: a. Rehabilitasi lahan pantai berpasir Beberapa hasil penelitian telah menghasilkan teknologi rehabilitasi lahan pantai berpasir terutama dalam hal peningkatan produktivitas lahan tersebut. Namun demikian masih banyak ditemukan lahan pantai berpasir yang terdegradasi akibat ditelantarkan dan ditambang pasir besinya. Oleh karena itu diperlukan strategi Sintesis 2010-2014 |4 penanganan/peraturan perundangan yang mendorong kegiatan rehabilitasi lahan pantai berpasir. b. Pengembangan tanaman tanggul angin Secara umum lahan pantai berpasir memiliki kesuburan yang sangat rendah dan tidak sesuai untuk budidaya tanaman. Hal ini disebabkan selain oleh rendahnya bahan organik, kandungan liat dan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman juga karena perbedaan suhu yang ekstrim pada siang dan malam hari, udara yang sangat kering, kencangnya hembusan angin. Kandungan unsur hara yang rendah dan uap air yang mengandung garam-garaman sangat mengganggu pertumbuhan tanaman (Harjadi dan Miardini,2010). Oleh karena itu perlu dikembangkan jenis tanaman khas pantai yang dapat menjadi tanaman penahan angin. c. Ketersediaan air tanah sangat terbatas di lahan pantai berpasir karena suhu yang ekstrim sehingga evapotranspirasi tinggi. Walaupun musim hujan namun pada pagi hari tanaman harus disiram karena jika tidak disiram tanaman akan mati. Hal ini disebabkan adanya suhu tinggi dari atas permukaan tanah yang masuk ke dalam tanah melalui pori-pori tanah akan menyebabkan akar tanaman terbakar sehingga mematikan tanaman. Oleh karena itu diperlukan sumur renteng untuk mensuply air agar air menjadi berlebih sehingga uap air yang ada di sekitar perakaran segera turun. Jika uap air turun maka suhu di daerah perakaran menjadi normal kembali. Pembangunan sumur renteng perlu dilakukan untuk menjaga ketersediaan air di lahan pantai berpasir yang ditanami tanaman baik pohon maupun tanaman semusim (Haryadi dan Miardini, 2010).. d. Persepsi masyarakat tentang pantai berpasir bahwa selama ini beranggapan lahan pantai berpasir tidak produktif. Untuk meyakinkan masyarakat tidak mudah sehingga perlu studi banding dengan melihat fakta di lapangan. Disamping itu perlu pendampingan kelompok tani melalui pertemuan rutin minimal sebulan sekali dan keterlibatan masyarakat pada saat penanaman. Dengan demikian perlu upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar terlibat dalam pengelolaan lahan pantai berpasir. Sintesis 2010-2014| 5 III. PENGELOLAAN LAHAN PANTAI BERPASIR DAN PEMULIHANNYA UNTUK LINGKUNGAN 3.1. Pengembangan tanaman cemara laut (Casuarina equisetifolia) tanggul angin sebagai Lahan pantai berpasir memiliki kesuburan tanah yang rendah karena selain kandungan bahan organik,liat dan unsur hara yang rendah, juga kondisi fisik lahan pantai berpasir seperti suhu kurang mendukung pertumbuhan tanaman. Menurut Harjadi dan Miardini (2010), perbedaan suhu yang ekstrim pada siang dan malam hari, udara yang sangat kering,kencangnya hembusan angin, kandungan unsur hara yang rendah dan uap air yang mengandung garam akan sangat mengganggu pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu pengembangan jenis-jenis pohon yang dapat tumbuh di daerah ini perlu dilakukan. Salah satu jenis tanaman yang dapat dikembangkan di daerah ini selain untuk meningkatkan kesuburan lahan pantai berpasir, juga dapat berfungsi sebagai tanggul angin adalah cemara laut atau cemara udang. Pengalihan cemara laut dari nama sebenarnya cemara udang merupakan strategi keamanan agar tanaman tidak dicuri oleh masyarakat yang tahu bahwa cemara udang berfungsi sebagai tanaman hias. Cemara laut merupakan jenis tanaman khas pantai yang potensial untuk rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) pantai berpasir. Jenis ini mampu menahan angin laut dan uap air. Dengan teknik rehabilitasi menggunakan cemara laut, lahan pantai berpasir yang semula gersang, kering, tandus dan tidak dimanfaatkan, dapat meningkat produktivitasnya sehingga mendatangkan keuntungan bagi masyarakat. Penanaman tanaman cemara laut adalah salah satu teknik konservasi tanah secara vegetatif dan bersifat permanen. Teknik ini berhasil diterapkan di Kebumen, JawaTengah dengan partisipasi aktif Kelompok Tani Pasir Makmur mulai dari perencanaan,pelaksanaan, pemeliharaan dan evaluasi (Haryadi dan Octavia, 2008). Tanaman cemara laut yang dikembangkan berasal dari perbanyakan generatif. Bibit dari perbanyakan generatif menghasilkan penampilan cemara laut dewasa yang lebih kokoh dan tajuk yang indah dibandingkan bibit dari cangkok. Bibit cemara laut yang dipakai adalah bibit yang berasal dari induk yang sehat, dengan kriteria memiliki batang coklat, daun hijau gelap dan ukuran diameter batang ½ cm atau keliling batang sekitar 2 cm dengan umur bibit sekitar 6 bulan sampai satu tahun. Adanya cemara laut dapat meningkatkan infiltrasi karena dapat meningkatkan granulasi dan infiltrasi tanah, memperbaiki unsur hara, dan mempertahankan kadar air tanah di bawah tegakan. Perbaikan kondisi tanah dan iklim mikro tersebut menyebabkan lahan pantai berpasir pada zona setelah tegakan cemara laut dapat digunakan untuk budidaya tanaman semusim dan hortikultura. Sintesis 2010-2014 |6 Disamping itu tegakan cemara laut yang rimbun dapat menciptakan suasana yang sejuk sehingga dapat menambah daya tarik untuk wisata pantai. Menurut Harjadi et al, 2009 tercatat selama 4 tahun telah terjadi peningkatan kunjungan sebesar 21%. Hal tersebut terjadi karena setelah umur 4 tahun, tanaman cemara laut dapat berfungsi sebagai tanaman peneduh sinar matahari bagi wisatawan yang mengunjungi pantai tersebut. Dalam aplikasinya, penanaman cemara laut dapat dilakukan dengan sistem strip cropping, yaitu melakukan penanaman secara baris (larikan). Penanaman berbaris tegak lurus terhadap arah aliran air atau arah angin dengan jarak 5 x 5 m setiap jalurnya. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam pengembangan tanaman ini agar upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air pada lahan pantai berpasir dapat berhasil. 3.2. Rehabilitasi lahan pantai berpasir Upaya rehabilitasi lahan pantai berpasir dilakukan untuk mengendalikan erosi angin, memperbaiki iklim mikro dan meningkatkan produktivitas lahan. Untuk melakukan rehabilitasi lahan pantai berpasir, tanaman yang ditanam pertama kali adalah tanaman yang dapat mengendalikan erosi angin agar tanaman yang ada di belakangnya dapat tumbuh dengan baik. Berdasarkan uji coba yang telah dilakukan oleh Haryadi dan Octavia (2008), pada lahan pantai berpasir di Desa Karanggadung, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen tanaman yang tepat sebagai tanggul angin permanen adalah cemara laut (Casuarina equisetifolia). Cemara laut (Casuarina equisetifolia) sebagai tanaman tanggul angin permanen dapat ditanam di tepian pantai dari jarak air pasang 50 m sepanjang 750 m searah garis pantai dengan lebar 25 m. Tanaman tersebut berfungsi sebagai tanaman penghijauan untuk melindungi tanaman budidaya yang ditanam di antara jalur tanaman tanggul dari pengaruh erosi pasir, tiupan angin dan kadar garam. Metode tanam tanaman tanggul tersebut dilakukan dengan jarak tanam 5 m x 5 m setiap jalurnya, dengan model “nguntu walang“ (‘gigi belalang’) dengan 5 jalur tanam . Penanaman cemara laut sebaiknya sore hari (jam 15.00- 18.00), agar tidak terjadi layu akibat pengeringan mendadak setelah ditanam (Harjadi et al., 2009). . Penanaman cemara laut paling cocok ditanam pada bulan Januari dan September dimana suhu udara pada siang hari turun paling rendah mencapai 24 oC. Pada kedua bulan tersebut juga ditunjang kondisi kecepatan angin tertinggi yang menyebabkan suhu menurun yaitu pada bulan Januari 21 m/det dan bulan September 14 m/det. Musim penghujan juga merupakan faktor pendukung penanaman dilakukan pada kedua bulan tersebut yaitu bulan-bulan setelah penanaman curah hujan mengalami peningkatan. Pada bulan Januari maka curah hujan akan mulai meningkat di bulan Februari yang seblumnya pada saat awal tanaman stres kekurangan air. Begitu juga pada bulan September akan diikuti bulan-bulan berikutnya dengan curah hujan yang semakin meningkat sampai bulan Desember (Harjadi et al., 2009). Kebutuhan air Sintesis 2010-2014| 7 musim kemarau dan musim penghujan berbeda dengan cara menghitung dari ukuran gembor 5 liter dan diulang 3 kali setiap pagi dan sore, jadi kebutuhan air untuk tanaman per 14 m2 adalah 5 dm3x 2 x 2 = 20 dm3 atau 30 liter atau setebal = 20/100 m3 : 14 m2 = 0,0014 m = 1,4 mm (Harjadi et al., 2009). Secara garis besar, kebutuhan tanaman cemara laut dan tanaman semusim untuk pertumbuhannya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan untuk pengembangan tanaman cemara laut dan tanaman semusim No 1 Kebutuhan Cemara laut - Air /tanaman (disiram pagi dan sore) - Jarak tanam - Bulan penanaman - Waktu penanaman - Kecepatan angin - Mikoriza - Biomassa/Serasah - Bahan organik/lobang tanam - Pupuk kimia komposit 2. Tanaman semusim - Ameliorant/tanah liat - Pupuk kimia ZA,Urea,KCl, TSP Sumber: Beny et al., 2009 Keterangan 30 liter 5x5 m Januari dan September Sore hari (15.00-18.00) 14-21 m/detik 1 ember tanah di perakaran 1 ember (1 kg) 3 kg 200 kg/ha (1/2kg/tanaman) 20 ton/ha unt MT I 200 kg/ha Ketersediaan air dalam rehabilitasi lahan pantai berpasir sangat menentukan keberhasilan tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Mengingat kondisi iklim yang ekstrim panas, curah hujan yang rendah, kondisi tanah yang kurang subur dan ketersediaan air rendah perlu dilakukan upaya penyediaan air yang cukup bagi tanaman. Adapun penyediaan air dengan sarana pengairan menggunakan bak tampung dari besi beton yang dipasang secara berentengan. Sumur renteng tersebut dipakai untuk persediaan cadangan air tawar sepanjang waktu, khususnya pada masa pertumbuhan tanaman yang diperlukan penyiraman air tawar rutin sehari dua kali pagi dan sore. Tanaman budidaya yang bisa dikembangkan di lahan pantai berpasir adalah bawang merah, cabe merah, jagung, pepaya California dan semangka dengan beberapa kombinasi. Tanaman budidaya ini ditanam di antara jalur tanaman tanggul angin. Adapun kebutuhan bibit per hektar dari masing-masing tanaman budidaya tersebut, yaitu: a) Bawang merah sebanyak 200 kg, b) Cabe merah keriting sebanyak 50 pak (5 kg), dan c) benih jagung 20 kg. Dosis ameliorat pupuk kandang untuk meningkatkan produktivitas tanamantanaman budidaya tersebut sebanyak 20 t/ha untuk MT I, untuk dosis pupuk kimia per hektar seperti ZA, urea, KCl, dan TSP masing-masing sebanyak 200 kg. Sintesis 2010-2014 |8 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mengingat lahan pantai berpasir memiliki kesuburan tanah yang rendah, kondisi lingkungan terutama temperatur yang ekstrim dan kecepatan angin yang cukup tinggi maka perlu dicari solusi pemecahannya untuk meningkatkan produktivitas lahan pantai berpasir tersebut. Peningkatan produktivitas tersebut dapat dilakukan dengan pemberian perlakuan penambahan bahan ameliorant seperti: pupuk kandang, top soil, NPK, TSP, Urea, ZA, KCl. Untuk membantu penyerapan bahan nutrisi dalam tanah, maka diperlukan bibit yang bermikoriza atau dengan cara mengambil tanah sekitar perakaran tanaman yang sudah ada di pantai, misalnya pada tanaman pandan berduri atau pada tanah sekitar tanaman gamal. Pupuk kandang yang merupakan pupuk organik biasa digunakan dalam pertanian sangat berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah dengan peningkatan ketersediaan unsur hara, seperti nitrogen yang ditangkap bakteri dalam tanah. Disamping itu dengan adanya pupuk kandang maka organisme yang lebih tinggi dapat hidup dari jamur dan bakteri dalam rantai kehidupan yang membantu jaring makanan tanah. Top soil sangat diperlukan karena top soil mengandung liat yang cukup tinggi sehingga akan meninggatkan buffer capacity (kemampuan menyangga) unsur hara tinggi sehingga hara akan tersedia dalam tanah tersebut. Pupuk kimia sangat diperlukan terutama untuk ketersediaan hara-hara seperti: N,P,K. Selain kebutuhan tersebut di atas, kebutuhan air juga sangat diperlukan dalam rehabilitasi lahan pantai berpasir. Pemberian air pada lahan pantai berpasir harus dilakukan setiap saat karena sebagai perawatan tanaman di pantai berpasir yang sangat berperanan adalah ketersediaan air yang cukup. Tanaman yang ditanam di pantai berpasir butuh penyiraman rutin sehari 2 kali pagi dan sore. Penyiraman harus segera dilakukan sehabis turun hujan, sebab kalau tidak dilakukan penyiraman sehabis hujan maka panas dari bawah tanah akan naik ke atas permukaan dan menyebabkan akar terbakar dan daun-daun menjadi layu. Ketersediaan air dapat dilakukan melalui pembangunan sumur berenteng. Karena di lahan pantai berpasir tingkat evapotransirasi tinggi, maka perlu dijaga kelembabannya. Salah satu caranya adalah dengan pemberian mulsa. Mulsa yang berasal dari biomasa serasah daun-daun yang berguguran untuk menjaga kelembaban tanah dan mengurangi evaporasi tanah, sehingga kondisi tanah berpasir tetap lembab mengandung air. Pemberian mulsa ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim mikro yang nyaman dan sejuk bagi pertumbuhan tanaman. 3.3. Pengembangan agroecotourism di lahan pantai berpasir Pengembangan agroecotourism di lahan pantai berpasir mempunyai prospek yang cukup menjanjikan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Harjadi dan Octavia (2008) di desa petanahan kebumen menunjukkan bahwa dengan potensi alamnya yang unik yaitu adanya sand dune (bukit pasir), yang terbentuk dari akumulasi pasir yang terbawa oleh angin, daerah ini memiliki prospek yang cukup bagus untuk Sintesis 2010-2014| 9 agroecotourism. Keindahan bukit ini tidak hanya bentuknya tetapi juga tekstur permukaan yang unik akibat hembusan angin. Pengembangan tanaman tanggul angin yaitu tanaman Casuarina equisetifolia di lahan yang akan dijadikan obyek wisata sangat diperlukan. Tanaman ini berfungsi sebagai filter terhadap percikan air garam, mengurangi kecepatan angin dan memberikan dampak yang nyata dalam perbaikan iklim mikro daerah setempat. Di belakang tanaman tanggul angin ini dapat ditanam beberapa tanaman hortikultura seperti cabe, semangka, jagung, dan tanaman-tanaman lain (Gambar 1 dan 2). Sebenarnya lahan ini sangat marginal namun dengan pengolahan tanah yang relatif intensif, ternyata dapat meningkatkan produktivitas lahannya. Perbaikan kondisi biofisik lahan dilakukan dengan cara penambahan ameliorant, pupuk kandang dan kompos yang pada akhirnya dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah (Tabel 1). Gambar 1.Tanaman hortikultura yang ditanam di belakang tanaman tanggul angin (Harjadi et al., 2009) A B Gambar 2. Cemara laut hasil cangkok (A) dan cemara laut hasil dari bibit (B) (Foto: Harjadi et al., 2009) Sintesis 2010-2014 | 10 DAFTAR PUSTAKA Bloom, A. L. 1979. Geomorphology: A Systematic Analysis of Late Cenozoic Landforms. Prentice-Hall of India, ND 110001. Barrow, C.J.1994..Land Degradation. Cambridge University Press. (2nd edition).316 p. Harjadi, B. dan A.Miardini. 2009. Cemara laut, mengubah pantai berpasir yang marginal menjadi potensial. Leaflet. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS (BPTKPDAS) Solo. Harjadi, B., dan A. Miardini. 2010. Penanaman Cemara Laut (Casuarina equisetifolia LINN) Sebagai Upaya Pencegahan Abrasi di Pantai Berpasir Harjadi, B., Purwanto., A.Miardini., Gunawan., Siswo., dan A.Budiono. 2009. Pengembangan agroekosistem pada lahan pantai berpasir. Balai Penelitian Kehutanan Solo. Surakarta. Harjadi, B., dan Octavia, D., 2008. Penerapan teknik konservasi tanah di pantai berpasir untuk agrowisata. Info Hutan Vol. V, No. 2, Tahun 2208. Dephut., Balitbanghut, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA). Bogor. PP. No.10/Tahun 2002. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.10/Men/2002 Tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu. Jakarta 9 April 2009. PP. No 16/Tahun 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004, Tentang Penatagunaan Tanah. PP. No. 35/Tahun 2010. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 35/Menhut-Ii/2010, Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-Ii/2009 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS). UU. No. 27/Tahun 2007. Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Andi Mattalatta). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84. Sintesis 2010-2014 | 12 BUKU VI PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (PENELITIAN PENUNJANG) DAFTAR ISI JUDUL / PENULIS Hal. 1. INTEGRASI KESESUAIAN LAHAN DAN TABEL VOLUME TANAMAN JENIS ANDALAN SETEMPAT / DR. TYAS MUTIARA BASUKI ..................................................................................... 1 2. REHABILITASI LAHAN TERDEGRADASI DENGAN JENIS LOKAL / GUNARDJO TJAKRAWARSA .................................................. 7 3. TEKNIK REHABILITASI LAHAN KRITIS SECARA PARTISIPATIF / Ir. NINING WAHYUNINGRUM, M.Sc .........................33 4. SISTEM MITIGASI TANAH LONGSOR DALAM PENGELOLAAN DAS / BENY HARJADI .................................................55 5. PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR PENDUKUNG / DEWI ALIMAH, S. Hut., RUSMANA, S. Hut., Drs. RAHARDYAN NUGRAHA ADI .........................................................63 6. KAJIAN DAMPAK PENANAMAN JENIS PENGHASIL KAYU TERHADAP TATA AIR / Drs. RAHARDYAN NUGROHO ADI, DIAN CAHYO BUWONO ...........................................................................69 7. TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT / BINA SWASTA SITEPU, S.Hut .............................................................................77 8. KAJIAN KELAYAKAN TEKNIK AERIAL SEEDING (FORMULASI BAHAN PERLAKUAN BENIH UNTUK TEKNIK AERIAL SEEDING) / Ir. HERMIN TIKUPADANG, MP ...........................85 9. PENDEKATAN PARTISIPATIF DALAM PENGEMBANGAN MODEL RKTA PADA DAS MIKRO JENEBERNG DAN SADDANG / Ir. M. KUDENG SALLATA, M.Sc ........................................93 10. Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Wilayah DAS Mahakam (2011) Strategi Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Wilayah DAS Mahakam (2012) Pembangunan Model Kemitraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di KHDTK Samboja (2013-2014) / FAIQOTUL FALAH, 103 S.Hut, M.Si .................................................................................................... JUDUL PENELITIAN : INTEGRASI KESESUAIAN LAHAN DAN TABEL VOLUME TANAMAN JENIS ANDALAN SETEMPAT PELAKSANA : DR. TYAS MUTIARA BASUKI INSTANSI : BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan pembangunan hutan dalam rangka rehabilitasi maupun penghijauan lahan sering terkendala dengan adanya keengganan masyarakat pemilik lahan untuk berpartisipasi. Hal tersebut disebabkan oleh penanaman dengan tanaman kayu-kayuan menurut mereka belum dapat memberikan hasil yang pasti. Kepastian hasil ini merupakan masalah klasik dari kegiatan pembangunan hutan karena jangka waktu pemungutan hasilnya yang relatif lebih lama dibandingkan dengan tanaman pertanian. Ketidak pastian hasil ini salah satunya berkaitan dengan adanya kegagalan yang diakibatkan oleh ketidaksesuaian jenis tanaman yang dikembangkan dengan kondisi setempat, maupun ketidak pastian berapa hasil kayu yang bisa dipungut. Pada umumnya masyarakat menginginkan hasil yang pasti, yang dapat memberi manfaat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seorang petani pemilik lahan, dihadapkan pada masalah tentang pemilihan jenis tanaman yang dibudidayakan sekaligus prediksi pendapatan yang dapat diperoleh dari usaha tersebut. Hasil penelitian Nathan (2009) menunjukkan bahwa jenis Gmelina arborea dan Paraserienthes falcataria sangat baik pertumbuhannya pada seri tanah berpasir yang porus dengan kelembaban tanah dan kapasitas tukar kation tingkat sedang. Dilain pihak, Manson et al. (2013) mendapatkan bahwa Eucalyptus grandis dan Eucalyptus pellita memberikan respon pertumbuhan yang kuat terhadap variasi rata-rata hari hujan tiap bulan. Untuk mengetahui variabel atau parameter mana yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, Martin et al. (2010) menggunakan stepwise analysis dalam penelitiannya. Berdasarkan analisis regresi tersebut diperoleh bahwa indikator kualitas lahan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tergantung speciesnya. namun demikian posisi tegakan di dalam suatu lereng dan sifat-sifat tanah berpengaruh kuat terhadap enam jenis tegakan yang diteliti B. Tujuan Tujuan penelitian adalah mengintegrasikan konsep kesesuaian lahan sebagai pengganti bonita dengan tabel tegakan. II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT JUDUL PENELITIAN A. Identifikasi Regulasi yang Ada Upaya rehabilitasi dan reklamasi hutan telah ditetapkan dengan PP. 76 Tahun 2008. Dalam Pasal 4 tentang pola umum rehabilitasi dan reklamasi hutan disebutkan bahwa Sintesis 2010-2014 | 1 penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan harus memperhatikan ekosistem setempat. Dalam penjelasan PP tersebut diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “aspek ekosistem”, adalah bahwa dalam rangka pengelolaan DAS harus memperhatikan daya dukung lahan (land capability) dan kesesuaian lahan (land suitability) serta memperhatikan keanekaragaman jenis dan tingkat kerentanan terhadap hama penyakit. Selanjutnya dalam buku Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai RTkRHL-DAS (Peraturan Menetri Kehutanan RI No. P.32/Menhut-II/2010) disebutkan bahwa dalam rangka rehabilitasi lahan kritis dan peningkatan produktivitas lahan perlu didukung dengan analisis kemampuan dan kesesuaian penggunaan lahan serta memetakan kesesuaian jenis tanaman. B. Analisis Kebutuhan Penelitian Pemilihan jenis tanaman dapat menggunakan informasi yang berkaitan dengan kesesuaian lahan jenis-jenis tanaman tertentu seperti yang terdapat dalam buku Pedoman Teknis Klasifikasi Kemampuan Penggunaan dan Kesesuaian Lahan (Wahyuningrum et al, 2003). Dari informasi tersebut diperoleh alternatif jenis-jenis yang dapat dikembangkan di suatu lokasi dengan kondisi biofisik lahan tertentu. Namun demikian belum dapat diprediksi berapa hasilnya (volume) pada jangka waktu tertentu pada kondisi lahan tertentu. Untuk memprediksi volume tegakan, dapat memanfaatkan tabel volume suatu jenis tanaman seperti pada buku Tabel Tegakan Sepuluh Jenis Kayu Industri (Herbagung, 2010; Puslitbang Hutan, 1993). Pada buku ini dapat diperoleh informasi tabel prediksi pertumbuhan suatu jenis tanaman pada kelas bonita tertentu pada periode umur tanaman. Namun demikian kelas bonita disini tidak menjelaskan dengan rinci kondisi biofisik lahannya. Dalam aplikasi di lapangan tabel ini akan sulit diterapkan, karena indikator bonita ditentukan oleh peninggi tanaman, dengan demikian akan mustahil digunakan pada lokasi lahan yang masih kosong tanpa tegakan. Berdasarkan kelebihan dan kekurangan masing-masing metode tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan pengintegrasian antara metode kesesuaian lahan dan metode kelas bonita. Dalam pengintegrasian ini dianalisis pertumbuhan tegakan pada berbagai kondisi biofisik yang berbeda, terutama sifat-sifat tanah, kondisi lahan secara umum (lereng, fisiografi, dsb), dan kondisi iklim. III. SINTESIS HASIL PENELITIAN A. Metode Penelitian Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan pada tahun 2013-2017. Lokasi. Kesesuaian lahan untuk tanaman Mahoni dilaksanakan di KPH Gundih, Kabupaten Grobogan (DAS Tuntang) dan BKPH Candiroto, KPH Kedu Utara, Kabupaten Temanggung (DAS Serayu). Untuk jenis sengon penelitian dilakukan di KPH Kedu Selatan, Kabupaten Wonosobo (DAS Serayu). Tegakan mahoni yang diteliti di BKPH Gundih umur 13 sd 43 tahun, sedangkan di BKPH Candiroto umur 3 sd 61 tahun. Tanaman sengon yang diteliti umur 1 s/d 11 tahun. Sintesis 2010-2014 | 2 Rancangan Penelitian. Rancangan peneltian yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Penentuan jenis-jenis andalan setempat yang banyak diusahakan dan menguntungkan. b. Identifikasi penyebaran jenis-jenis yang diteliti pada berbagai kondisi biofisik yang berbeda. c. Penentuan lokasi prioritas yang diteliti. Pada prinsipnya kegiatan evaluasi menentukan kelas kesesuaian lahan untuk jenis tertentu merupakan kegiatan survei dan interpretasi dari kondisi iklim, lahan, tegakan dan informasi lain yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman (Wahyuningrum, 2008). Kegiatan penelitian dilakukan dengan metode survei dengan pembuatan petak ukur. Survei dilakukan dengan membuat petak ukur yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan pada lahan yang sudah ditumbuhi tanaman dan diketahui umurnya. Dalam petak ukur tersebut dideskripsikan parameter lahan dan diukur parameter tegakan. Kelas kesesuaian lahan dinilai berdasarkan metode yang ada pada buku pedoman penilaian kelas kesesuaian lahan oleh Lembaga Penelitian Tanah (CSR/FAO, 1983) dan disesuaikan dengan pedoman yang dibuat Wahyuningrum et al. (2003). A. Hasil Penelitian Hasil penelitian yang disampaikan saat ini merupakan hasil sementara karena penelitian baru mulai dilaksanakan pada tahun 2013. 1. Tanaman Mahoni Untuk mendapatkan variasi tempat tumbuh tanaman mahoni maka data dari BKPH Candiroto dan dari BKPH Gundih diintegrasikan untuk membangun persamaan regresi. Lokasi di BKPH candiroto mempunyai ketinggian 250 hingga 830 m dpl dan solum tanah dalam (>120 cm), sedangkan di BKPH Gundih ketinggian tempat hanya berkisar antara 90 s/d 135 m dpl, dengan solum tanah yang dangkal mayoritas 20 s/d 30 cm. Hasil analisis hubungan antara pertumbuhan tegakan dengan kondisi lahan tanpa menyertakan informasi kondisi lereng dan iklim diperoleh kelas sesuai, sesuai marjinal, dan tidak sesuai. Tiga kelas kesesuaian juga diperoleh pada waktu variabel lereng diintegrasikan dalam analisis. Selain kedua analisis di atas juga dilakukan analisis tegakan dengan menyertakan variabel iklim tanpa mengikutkan lereng. Hasil yang diperoleh hanya kelas sesuai marjinal dan tidak sesuai. Demikian juga pada waktu variabel lereng dan iklim digunakan dalam analisis, hanya dua kelas kesesuaian yang diperoleh. Konsistensi hasil, yakni pertumbuhan tertinggi dicapai pada kelas sesuai, diikuti sesuai marjinal, dan tidak sesuai jika variabel kedalaman tanah, lereng, dan iklim diikut-sertakan atau variabel kedalaman tanah dan iklim diikutkan dalam analisis. Dalam hal ini kemungkinan karena variabel lereng yang diukur adalah lereng makro, dan secara umum terlihat adanya terasering sehingga bidang olah yang ditanamai mahoni sesungguhnya tidak begitu miring dan tidak berpengaruh secara nyata pada pertumbuhan tanaman mahoni. Kondisi lahan di KPH Gundih pada petak-petak ukur yang dijadikan penelitian menunjukkan ketidak sesuaian untuk tanaman mahoni, terutama karena solum tanahnya yang dangkal. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tegakan tersebut dapat tumbuh dengan cukup baik sampai umur yang cukup tua, dalam penelitian ini 43 tahun. Jika dibandingkan dengan tabel tegakan yang disusun oleh Pusat Litbang Hutan dalam Sintesis 2010-2014 | 3 Herbagung (2010), terlihat bahwa pertumbuhan yang ada di KPH Gundih yang secara teoritis berdasarkan kriteria yang digunakan tergolong sesuai marginal dan tidak sesuai pada beberapa plot yang diukur mempunyai pertumbuhan diameter yang menyerupai diameter tegakan pada bonita II untuk pertumbuhan diameternya, namun pada pertambahan tinggi hanya menyerupai sampai dengan umur kurang dari 20 tahun. 40 a b 60 Tinggi total (m) Diameter (cm) 80 40 Bonita I 20 Bonita II 30 20 Bonita I 10 Bonita II Sesuai Marginal Sesuai Marginal 0 0 0 20 40 Umur (tahun) Gambar 1. 60 80 0 40 Umur (tahun) 60 80 Hubungan diameter (a) dan tinggi total (b) dengan umur tegakan mahoni pada kelas lahan sesuai marginal, serta perbandingannya dengan tabel bonita. 80 40 a 60 Tinggi total (m) Diameter (cm) 20 40 Bonita I 20 Bonita II Tidak Sesuai 0 0 20 Gambar 2. 40 Umur (tahun) 60 80 b 30 20 Bonita I 10 Bonita II Tidak Sesuai 0 0 20 40 Umur (tahun) 60 80 Hubungan diameter (a) dan tinggi total (b) dengan umur tegakan mahoni pada kelas lahan tidak sesuai, serta perbandingannya dengan tabel bonita. Hasil analisis kesesuaian lahan dengan data sekunder untuk DAS Tuntang menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil arealnya yang sesuai untuk tanaman mahoni. Pembatas utama yang sering dijumpai adalah kombinasi antara drainase dan kemasaman tanah, pembatas berikutnya adalah kedalaman tanah. Oleh karena kenyataan di lapangan tanaman mahoni tetap dapat tumbuh pada lahan-lahan yang tergolong marginal dengan solum yang dangkal, maka kriteria kelas kesesuaian lahan untuk tanaman mahoni perlu dikaji ulang. 2. Tanaman Sengon Karakteristik lahan yang merupakan hambatan utama untuk pengembangan tanaman sengon pada lokasi penelitian Wonosobo adalah lereng makro. Berdasarkan kriteria yang digunakan, di lokasi penelitian dijumpai tiga kelas kesesuaian, yaitu sesuai, sesuai marjinal, dan tidak sesuai. Oleh karena faktor iklim dan sifat-sifat tanah bukan merupakan suatu Sintesis 2010-2014 | 4 hambatan, maka dalam analisis kesemua variabel-variabel tersebut digunakan secara bersamaan. Pertumbuhan diameter tegakan sengon pada kelas sesuai dan sesuai marginal terlihat mirip dengan kelas bonita II (Gambar 3.) untuk pertambahan diameternya, sedangkan untuk total tinggi hanya sampai dengan umur sekitar tujuh tahun. Untuk kelas tidak sesuai mempunyai pertumbuhan yang mirip dengan bonita II pada waktu umur kurang dari 4 tahun. 40 a 40 30 20 Sesuai dan sesuai marginal 10 Tinggi total (m) Diameter (cm) 50 b 30 20 Sesauai dan sesuai marginal 10 Bonita II Bonita II 0 0 0 5 10 15 0 Umur (tahun) Gambar 3. 10 Umur (tahun) 15 Hubungan diameter (a) dan tinggi total (b) dengan umur tegakan sengon pada kelas lahan sesuai dan sesuai marginal, serta perbandingannya dengan tabel bonita. 50 40 40 Tinggi total (m) Diameter (cm) 5 30 20 Tidak sesuai 10 Gambar 4. 5 10 Umur (tahun) 20 10 Tidak sesuai Bonita II Bonita II 0 0 0 30 15 0 5 10 Umur (tahun) 15 Hubungan diameter (a) dan tinggi total (b) dengan umur tegakan sengon pada kelas lahan tidak sesuai serta perbandingannya dengan tabel bonita. Untuk kelas kesesuaian sengon di DAS Serayu hanya sebagian kecil lahannya yang termasuk kelas sesuai, walau kenyataannya tanaman sengon tersebut banyak diusahakan di DAS Serayu. Jenis faktor pembatas yang paling banyak didapati pada kelas sesuai marjinal maupun tidak sesuai adalah kombinasi antara w (wetness), s (soil) dan sd (soil depth). Faktor w merupakan kondisi drainase tanah, s dapat berupa kemiringan lahan, tekstur, persentase batuan permukaan dan batuan singkapan, sedangkan sd merupakan kondisi kedalaman tanah. IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN Hasil penelitian yang bisa diterapkan nantinya adalah tabel kelas kesesuaian lahan dengan pertumbuhan tanaman sengon dan mahoni berdasarkan grafik yang dibuat. Namun demikian penelitian ini masih memerlukan banyak informasi pertumbuhan tanaman yang diteliti dengan berbagai variasi biofisik. Sintesis 2010-2014 | 5 V. KESIMPULAN DAN SARAN Tanaman mahoni dan sengon yang diteliti tergolong baik pertumbuhannya, namun lahan tempat tumbuhnya diklasifikasikan kedalam kelas tidak sesuai. Oleh karena itu perlu dilakukan pencermatan kembali kriteria yang digunakan dalam klasifikasi kesesuaian lahan. Dalam hal ini pembagian kedalaman solum, mengingat tanaman yang diusahakan adalah tanaman tahunan yang pada waktu besar perakarannya dapat menembus lapisan tanah yang dalam. Selain itu juga kemiringan lereng apakah yang dimasukan lereng makro atau lereng dimana tanaman tumbuh pada bidang olah. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan. 2010. Rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan daerah aliran sungai (RTkRHL-DAS. CSR/FAO., 1983. Reconnaice land resources surveys 1:250000. Scale, Atlas Format Procedures. Ministry of Agriculture and FAO/UNDP. Bogor, 106 p. Herbagung, 2010. Teknik dan perangkat pengaturan hasil: Sintesa Hasil Penelitian Kuantifikasi Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Manson, D.G., Schimdt, S., Bristow, M., Erskine, P.D., 2013. Species-site matching in mixed species plantations of native trees in tropical Australia. Agroforestry Systems 87 (1): 233 – 250. Nathan, R., 2009. Species-site matching and growth prediction of three forest palntation species Tawau, sabah, malaysia. MSc. Thesis. Faculty of Forestry, Universiti Putra Malaysia. Priyono, C.N.S., Savitri, E., 1999. Pedoman teknis kesesuaian lahan dan jenis-jenis HTI. Pedoman Teknis. Balai Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan., 1993. Tabel tegakan sepuluh jenis kayu industri. Cetakan kedua. Puslitbang Hutan, Bogor. 39 p. Wahyuningrum, N., Priyono, C.N.S., Haryadi, B., Savitri, E., Sudimin, dan Sudirman., 2003. Pedoman teknis klasifikasi kemampuan penggunaan lahan dan kesesuaian lahan. Info DAS No.15:1-13. Wahyuningrum, N., 2008. Evaluasi lahan: Kesesuaian dan kemampuan lahan. Prosiding Gelar Teknologi: 34-40. Sintesis 2010-2014 | 6 JUDUL PENELITIAN : REHABILITASI LAHANTERDEGRADASIDENGAN JENIS LOKAL PELAKSANA : GUNARDJO TJAKRAWARSA INSTANSI : BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keterbatasan lahan, pertambahan penduduk dan konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian maupun peruntukan lain memicu penyusutan luas kawasan hutan. Di sisi lain praktek pengolahan memperhatikan aspek-aspek konservasitanah menyebabkan degradasi lahan yang berimplikasi pada bertambahnya lahan kritis. Lahan terdegradasi adalah lahan yang telah mengalami penurunan atau kehilangan seluruh kapasitas alami untuk menghasilkan tanaman yang sehat dan bergisi, kapasitas produktivitasnya atau potensi pengelolaan lingkungannya (Scherr dan Yadav, 1996) sebagai akibat erosi, pembentukan lapisan padas (hardpan) dan akumulasi bahan kimia beracun (toxic), disamping penurunan fungsi sebagai media tata air (Paimin, Sukresno dan Purwanto, 2010). Di Indonesia lahan terdegradasi disebabkan oleh erosi. Rehabilitasi lahan merupakan solusi tepat dalam mengatasi masalah degradasi lahan. Rehabilitasi lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan RI, luas lahan sangat kritis dan lahan kritis pada akhir Pelita VI (awal tahun 1999/2000) seluas 23.242.881 ha terdiri dari 35% dalam kawasan hutan dan 65 % luar kawasan hutan. Laju deforestasi Indonesia tahun 1985 – 1997 adalah sebesar 1,8 juta ha/th (FWI/GFW, 2001). Laju deforestasi Indonesia tahun 1997 – 2000 adalah sebesar 2,84 juta ha/th (Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2005). Laju deforestasi Indonesia tahun 2000-2009 adalah 1,51 juta ha/th (Forest Watch Indonesia, 2011). Luas lahan kritis di Indonesia tahun 2012 adalah 27.294.842 ha (Statistik Kehutanan Indonesia 2012). Kawasan Gunung Muria menjadi sumber mata air sejumlah aliran sungai dan diharapkan mampu memainkan fungsi hidro-orologis, pengendali banjir, pencegah kekeringan, pencegah erosi dan pertahankan kesuburan tanahyang menjadi andalan sumber kebutuhan air bersih warga Kabupaten Kudus. Debit air kecil, warna air keruh, dan di sana-sini terjadi pendangkalan aliran sungai yang disebabkan oleh kerusakan hutan di lereng Gunung Muria (Sugita, 2010). Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi degradasi lahan maka perlu dilakukan kegiatan rehabilitasi lahan dengan memperhatikan aspek konservasi tanah. Rehabilitasi lahan dalam bentuk penanaman jenis–jenis lokal yang diminati masyarakat, yang sesuai dengan tempat tumbuhnya, dan sesuai kaidah teknik konservasi tanah dan air, berpotensi mendukung keberhasilan rehabilitasi lahan. Dari kegiatan rehabilitasi lahan secara Sintesis 2010-2014 | 7 vegetatif diharapkan fungsi lahan sebagai media tumbuh dan tata air serta keseimbangan antara produktivitas, kelestarian, dan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan. B. Tujuan Tujuan penelitian adalah: 1. Meningkatkan fungsi lingkungan dan ekonomi masyarakat melalui model rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air (RLKTA) berupa kombinasi teknik rehabilitasi lahan vegetatif dan mekanis melalui pendekatan agroforestri. 2. Mengendalikan erosi dan memelihara kesuburan tanah melalui teknik rehabilitasi lahan vegetatif. 3. Membangun kelembagaan kelompok tanin Konservasi Tanah dan Air sebagai pendukung kegiatan agroforestri yang dikembangkan. II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL PENELITIAN A. Identifikasi Regulasi yang Ada Dalam Bab VI UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, tentang Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan serta Penyuluhan Kehutanan, bagian kedua Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pasal 53: angka (1) Penelitian dan pengembangan kehutanan dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan nasional serta budaya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan; (2) Penelitian dan pengembang-an kehutanan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengurusan hutan dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil hutan; dan (4) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung peningkatan kemampuan untuk menguasai, mengembangkan, dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan. Penelitian rehabilitasi lahan terdegradasi dengan jenis lokal dilaksanakan untuk memenuhi amanat Undang-undang RI No. 41 tahun 1999 Pasal 40, 41 dan 53, serta PP RI No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, pasal 39 huruf b. yang menekankan pentingnya penguasaan/kemampuan nasional pengurusan hutan khususnya teknologi pengelolaan DAS dalam hal rehabilitasi lahan terdegradasi. Dalam Bab V UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pengelolaan Hutan Bagian Keempat, tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Pasal 40 disebutkan bahwa Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Pasal 41, ayat 1, menyebutkan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan: a) reboisasi, b) penghijauan, c) pemeliharaan, d) pengayaan tanaman, atau e) penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif. Dalam pasal 40 ayat 1 PP RI No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai disebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan Pengelolaan DAS yang akan dipu-lihkan daya dukungnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a, meliputi: a) optimalisasi penggunaan lahan sesuai dengan fungsi dan daya dukung wilayah; b) penera-pan teknik Sintesis 2010-2014 | 8 konservasi tanah dan air dilakukan dalam rangka pemeliharaan kelangsungan daerah tangkapan air, menjaga kualitas, kuantitas, kontinuitas dan distribusi air; dan c) pengelolaan vegetasi dilakukan dalam rangka pelestarian keanekaragaman hayati, peningkatan produktivitas lahan, restorasi ekosistem, rehabilitas dan reklamasi lahan. Sedangkan dalam Pasal 39 huruf b PP RI No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai disebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan Pengelolaan DAS yang dipertahankan daya dukungnya meliputi: a) menjaga dan memelihara produktivitas dan keutuhan ekosistem dalam DAS secara berkelanjutan; b) bimbingan teknis dan fasilitasi dalam rangka penerapan teknik konservasi tanah dan air demi kelangsungan daerah tangkapan air, untuk menjaga kualitas, kuantitas, kontinuitas dan distribusi air; c) peningkatan koordinasi, inte-grasi, sinkronisasi dan sinergi antar sektor dan wilayah administrasi dalam rangka memper-tahankan kelestarian vegetasi, keanekaragaman hayati dan produktivitas lahan; dan/atau d) peningkatan kapasitas kelembagaan Pengelolaan DAS untuk meningkatkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi lintas sektor dan wilayah administrasi. B. Analisis Kebutuhan Penelitian Kegiatan rehabilitasi lahan yang bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi lahan telah banyak dilakukan. Penebangan hutan menurut Kusmana, Istomo, Dahlan dan Onrizal (2004) dapat meningkatkan aliran permukaan antara 6-971 %, yang berarti bahwa penambahan luas hutan akan mengurangi aliran air. Aliran air meningkat tajam segera setelah penebangan dan menurun setelah hutan tumbuh kembali. Di daerah tropis peningkatan aliran air 4,5 mm/tahun akibat penguranan setiap 1 % pengurangan luas hutan. Hasil reboisasi di beberapa negara menunjukkan bahwa penurunan aliran air bervariasi antara 28-197 %. Penghijauan yang hanya menanam pohon yang tinggi tanpa memperhatikan adanya tumbuhan bawah dan serasah justru akan menaikkan erosi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penghijauan: 1) pohon yang ditanam mempunyai ujung penetes yang sempit, dan 2) ada tumbuhan bawah dan serasah, tumbuhan bawah dapat berupa rumput. Kusmana et.all. (2004) menyatakan bahwa laju erosi pada berbagai kondisi penutupan lahan di Indonesia adalah seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Laju erosi pada berbagai kondisi penutupan lahan di Indonesia No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Penutupan Lahan Hutan lebat Tanah berumput Tanah gundul Semak Hutan tanaman a. Pinus (umur 29 tahun b. Tegakan Campuran c. Pinus (umur 13 tahun) d. Mahoni e. Kayu Putih f. Agathis g. Puspa Hutan Produksi a. Jalan sarad b. Jalan cabang c. Bekas TPN Laju Erosi (ton/ha/th) 0,02 0,54 514 2,09 Lokasi Singaparna, Tasikmalaya 5,46 24,32 24,50 26,89 30,68 240,4 690,4 Singaparna, Tasikmalaya Kulon Progo Singaparna, Tasikmalaya Kulon Progo Kulon Progo Gunung Walat Gunung Walat 120,1 44,7 65,5 PT Sarang Sapta Putra PT Sarang Sapta Putra PT Sarang Sapta Putra Sintesis 2010-2014 | 9 No. d. e. f. g. h. Penutupan Lahan Bekas tebangan Bekas ladang Jalan utama Lahan rehabilitasi Hutan Laju Erosi (ton/ha/th) 15,7 17,1 49,7 22,9 0,5 Lokasi PT Sarang Sapta Putra PT Sarang Sapta Putra PT Sarang Sapta Putra PT Sarang Sapta Putra PT Sarang Sapta Putra Keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan tersebut tergantung pada kesesuaian jenis dengan lokasi, adoptabilitas masyarakat dan kemampuan teknik yang diterapkan dalam menekan limpasan permukaan dan erosi. Untuk itu adalah penting menguji model yang mengakomodasi ketiga aspek tersebut dalam menekan limpasan permukaan dan erosi serta meningkatkan pendapatan masyarakat. III. SINTESIS HASIL PENELITIAN A. Metode Penelitian Waktu Penelitian. Waktu penelitian dari tahun 2011 sampai dengan Desember 2014. Lokasi. Penelitian dilaksanakan di Blok Duren Bayi, Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati. Lokasi penelitian termasuk kedalam Sub-sub DAS Gang Wedi, Sub DAS Juwana. Luas plot penelitian 6 hektar yang melibatkan 13 petani pemilik dan penggarap lahan.Lokasi penelitian termasuk kedalam Sub-sub DAS Gang Wadi, Sub DAS Juwana. Rancangan Penelitian. Rancangan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Bahan: bibit sengon, jabon, manggis, petai, manglid, randu, lamtoro, duku, dan glerisidia. b. Penelitian ini dilaksanakan untuk menguji model-model: Model A = Sengon + Manggis + Petai + Manglid + Randu + Lamtoro Model B = Jabon + Duku + Petai + Manglid + Randu + Glerisida Model C = Sengon + Jabon + Manggis + Duku + Petai + Manglid + Randu + Lamtoro + Glerisidia. K = kontrol Jarak tanam tanaman pokok 4 x 4m dengan kemiringan lahan 40-45 %.Parameter yang diamati: curah hujan, limpasan permukaan dan erosi, pH, kadar C organik, Nitrogen total, Ca, Mg, K, Na, CEC, BS and C/N, diameter dan tinggi sengon dan jabon. Sifat fisika tanah yang diamati adalah struktur, drainase, dan penutupan lahan. Sedangkan pengambilan sampel tanah meliputi sampel tanah tidak terusik/dalam ring guna analisis permeabilitas tanah di laboratorium dan sampel tanah terusik untuk analisis kimia/kesuburan tanah. Limpasan permukaan dan erosi diukur dengan menggunakan plot erosi berukuran 4 m x 22 m. Data limpasan permukaan, erosi dan pertumbuhan tinggi dan diameter diolah mengunakan prosedur Paired-Sample t-Test. Analisis data Sosial ekonomi kelembagaan untuk aspek peluang dan tantangan pengembangan plot agroforestri konservasi tanah menggunakan SWOT (Strength Weaknesses Opportunities Threats) yang didahului dengan identifikasi posisi plot agroforestri konservasi tanah melalui evaluasi nilai faktor internal dan eksternal; aspek Sintesis 2010-2014 | 10 penilaian alternatif produk agroforestri konservasi tanah menggunakan Model Perbandingan Potensial (Marimin, 2004). Untuk menentukan strategi pengembangan agroforestri berbasis konservasi tanah digunakan analisis SWOT. Analisis terhadap tingkat adopsi dilakukan secara deskriptif. Untuk melihat potensi produk unggulan di daerah penelitian yang dapat dikembangkan dengan menggunakan Model Perbandingan Potensial (Marimin, 2004 dalam BPTKPDAS, 2012). Analisis data tingkat partisipasi menggunakan metode besaran, seperti dirumuskan oleh Sugiyono dalam Manule, 2002. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode diskriptif kualitatif dan klasifikasi para pihak dengan pendekatan power (kekuasaan/wewenang) dan interest (kepentingan) menggunakan 4 klasifikasi Mintzberg (1999) dalam BPKSolo (2009. B. Hasil Penelitian 1. Curah Hujan dan Kelembaban Udara Curah hujan yang turun selama tahun 2013 adalah sebesar 3.798,9 mm. Hari hujan bulanan berkisar antara 2 sampai 26 hari, curah hujan maksimum berkisar antara 33,0 mm (29 November) sampai 112,0 mm (31 Desember) sedangkan curah hujan minimum berkisar antara 0,4 (9 Februari) sampai 6,5 mm (24 juli). Kelembaban udara yang tercatat di lokasi penelitian berkisar antara 83% (2 Februari) sampai dengan 99% yang terjadi pada tanggal 18 Mei. 2. Limpasan Permukaan dan Erosi Limpasan permukaan tertinggi selama periode Januari sampai dengan Desember 2013 terdapat pada Kontrol (Samadi) sebesar 232,1 mm dan terendah pada Model A (Suparjo/12,2 mm). Tingkat erosi tertinggi juga pada Kontrol (Samadi) sebesar 18,033 ton/ha/th dan terendah pada Model A sebesar 0,172 ton/ha/th. Nilai erosi ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai erosi tegakan campuran di Kulon Progo sebesar 24,32 ton/ha/th (Kusmana, Istomo, Dahlan dan Onrizal, 2004). Limpasan permukaan dan erosi selengkapnya terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Limpasan permukaan dan erosi Model Curah hujan A B C K 3.798,9 Limpasan (mm) Erosi (ton/ha/th) 12,204 105,028 72,492 232,121 0,172 7,024 17,206 18,033 Dari kontrol ke model Penurunan Penurunan erosi limpasan (mm/th) (ton/ha/th) 219,92 17,86 127,09 11,01 159,63 0,83 Model A adalah model terbaik karena mampu menurunkan limpasan permukaan dan tingkat erosi tertinggi sebesar 219,92 mm/th (94,74%) dan 17,86 ton/ha/th (99,04%) dibanding Kontrol. Tingkat erosi yang diukur menggunakan metode stik berkisar antara 9,067 ton (Kamat) sampai dengan 50,387 ton (Pomo). Sedangkan dengan menggunakan metode rorak erosi yang terjadi berkisar antara 0,00 ton (Sutarji) dan tertinggi pada Sukawi (261,76 ton ha). Hasil limpasan permukaan dan erosi tahun 2013 menunjukkan kecenderungan yang sama dengan hasil tahun 2012 dimana limpasan permukaan dan tingkat erosi model perlakuan A menunjukkan nilai terendah dibandingkan dengan kontrol. Sintesis 2010-2014 | 11 Hasil uji statistik prosedur Paired-Sample t-Test pada limpasan permukaan menunjukkan bahwa limpasan permukaan seluruh Model menunjukkan perbedaan pada tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan hasil uji Paired sample T-test pada erosi antara Model A dan C, antara Model B dan C, antara Model B dan Kontrol dan antara Model C dan Kontrol menunjukkan perbedaan tidak nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil uji statistik prosedur Paired-Sample t-Test pada erosi menunjukkan bahwa tingkat erosi antara Model A dan B dan antara Model A dan Kontrol menunjukkan perbedaan yang nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil uji statistik tahun 2013 ini menunjukkan perbedaan bila dibandingkan dengan uji Paired-Sample t-Test tahun 2012 yang menunjukkan bahwa limpasan permukaan dan tingkat erosi ketiga perlakuan Model A, B dan C tidak berbeda nyata dengan Kontrol. 3. Kesuburan Tanah a. pH, C org, N tot, P tsd, K tsd, KPK dan tekstur awal Keasaman (pH tanah) Model A, B, C dan Kontrol berkisar antara 4,9 – 5,98 (rendahsedang). Kandungan C organik 0,74-1,39 (sangat rendah-rendah). Kandungan Nitrogen total 0,04-0,11 (sangat rendah-rendah). P tersedia: 9,06-200,85 (rendah-tinggi). K tersedia 0,15-1,14 (rendah-tinggi). Kapasitas pertukaran kation: 5,18-10,91 (rendah). Tekstur Model A: lempung berat–geluh lempungan, Model B: geluh lempungan-geluh pasiran, Model C: geluh–lempung, Kontrol: geluh lempungan- lempung. Karakteristik umum tanah awal sesuai ciri tanah ultisol yang dikemukakan oleh Notohadiprawiro (1986) menyatakan bahwa pH tanah Ultisol masam dan kandungan bahan C organik rendah (1,0-2,0%) dan Nitrogen total (0,1-0,2 %) yang menyebabkan kendala bagi tanaman. Notohadiprawiro (1973) menyatakan bahwa kejenuhan basa rendah; kadar bahan organik dan Nitrogen yang rendah tersebut teronggok dalam lapisan permukaan tipis (horizon A), Daya simpan air terbatas; Derajat agresi rendah dan kemantapan agregat lemah. Prasetyo dan Suriadikata (2006) menyatakan bahwa kendala pengelolaan ulisol untuk dilakukan dengan penerapan teknologi seperti pengapuran, pemupukan, dan pengelolaan bahan organik oleh petani. b. Kemasaman (pH) Tanah Kemasaman (pH) tanah pada seluruh model menunjukkan penurunan dari awal penanaman sampai dengan akhir tahun kedua, kecuali Kontrol yang meningkat pada tahun kedua. Sampai dengan akhir tahun pertama penurunan pH tertinggi terdapat pada kontrol 18,92 % dan terendah pada Model A (0,39 %). Penurunan pH ini diduga berkorelasi positif dengan tingkat erosi yang terjadi pada kontrol sebesar 61,37 ton/ha dan terendah pada Model A sebesar 0,379 ton/ha (November-Desember 2012) (BPTKPDAS, 2012). Namun pada tahun kedua pH seluruh model yang diuji menunjukkan penurunan sedangkan kontrol menunjukkan peningkatan. Penurunan tertinggi terdapat pada Model C 6,97 % dan terendah Model A 3,33 %. Guna meningkatkan pH perlu dilakukan pengapuran sehingga pH meningkat sehingga hara tanah dapat diserap oleh tanaman walaupun praktek ini akan menimbulkan biaya mahal. Sintesis 2010-2014 | 12 c. Kadar C Organik Kadar C organik seluruh model perlakuan dan kontrol menunjukkan kecenderungan yang sama (meningkat dari awal penelitian sampai akhir tahun pertama dan menurun sampai akhir tahun kedua) dengan kontrol, namun dengan besaran yang berbeda. Peningkatan kadar C organik tertinggi pada tahun pertama terdapat pada Model A (82,8 %) dan terendah pada Model C (22,76 %). Sedangkan penurunan kadar C organik pada tahun kedua tertinggi terdapat pada kontrol (-71,73 %) dan terendah terjadi pada perlakuan B (64,46 %). Peningkatan kadar C organik tertinggi pada model A, diduga disebabkan sengon (tanaman pokok Model A) menghasilkan serasah yang mudah terurai (mineralisasi) dibandingkan dengan model-model lainnya. Selain itu proyeksi tutupan lahan Model A menunjukkan terbaik dalam melindungi lahan dari proses erosi dan terbanyak dalam memberikan sisa tanaman. Sedangkan penurunan kadar C organik tertinggi pada kontrol diduga disebabkan pencucian akibat tingginya erosi pada kontrol. Tingkat erosi pada tahun kedua kontrol 18,033 ton/ha/th, Model C 17,206 ton/ha/th, Model B 7,024 ton/ha/th dan Model 0,172 ton/ha/th (BPKTKPDAS, 2013). Hal ini sesuai dengan pendapat Fließbach et al. (2007) yang menyatakan bahwa penambahan bahan organik dalam tanah dalam bentuk pupuk kandang atau limbah panen dapat meningkatkan kandungan N dan C dalam tanah. d. Kadar Nitrogen Total Sampai dengan akhir tahun pertama kadar Nitrogen total Model A dan B meningkat masing-masing 28,57% dan 69,57%; Model C tetap, dan Kontrol menurun sebesar 39,39%. Terlihat bahwa penurunan pH menyebabkan peningkatan N total. Hal ini sesuai dengan pendapat gang Li (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan pH meningkatkan mineralisasi Nitrogen yang berarti bahwa penurunan pH akan menurunkan N total. Hal sama terlihat juga pada tahun kedua dimana tingginya kenaikan N total pada Model B (220,51%) disebabkan oleh komulatif dari rendahnya dekomposisi serasah Model B dan rendahnya penurunan pH. Atmojo (2003) menyatakan bahwa Nitrogen adalah hasil proses mineralisasi bahan organik yang relatif banyak dan dapat diserap oleh tanaman. Protein sebagai sumber nitrogen pada mulanya akan mengalami proses aminisasi (peruraian menjadi asam-asam amino), yang dilanjutkan dengan proses amonifikasi (penguraian oleh sejumlah besar mikrobia heterotrofik menjadi ammonium). Amonifikasi ini dapat berlangsung hampir pada setiap keadaan, sehingga amonium merupakan bentuk nitrogen anorganik (mineral) yang utama dalam tanah (Tisdel dan Nelson, 1974). Nasib dari amonium ini antara lain dapat secara langsung diserap dan digunakan tanaman untuk pertumbuhannya, atau oleh mikroorganisme untuk segera dioksidasi menjadi nitrat yang disebut dengan proses nitrifikasi. Nitrifikasi adalah proses bertahap yaitu proses nitritasi yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas dengan menghasilkan nitrit, yang segera diikuti oleh proses oksidasi berikutnya menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri Nitrobacter yang disebut dengan nitratasi. Nitrat merupakan hasil proses mineralisasi yang banyak disukai atau diserap oleh sebagian besar tanaman budidaya. Namun nitrat ini mudah tercuci melalui air drainase dan menguap ke atmosfer dalam bentuk gas (pada drainase buruk dan aerasi terbatas) (Killham, 1994 dalam Atmojo, 2003 ). Sintesis 2010-2014 | 13 e. Perbandingan Carbon Nitrogen (C/N) Perbandingan C/N tiga model yang diuji menunjukkan penurunan sampai akhir tahun pertama sedangkan Kontrol meningkat (7,18%). Penurunan tertinggi terdapat Model C (20,13%) dan terrendah pada Model B (20,13%). Pada tahun kedua hanya Model B yang menunjukkan perbandingan C/N yang menurun (35,18%) sedangkan perlakuan yang lain menunjukkan peningkatan (tertinggi Model A 16,561%). Rehabilitasi lahan vegetatif dimaksudkan untuk meningkatkan kesuburan tanah melalui peningkatan kandungan bahan organik dan Nitrogen total dari dekomposisi serasah yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Notohadiprawiro (1986) yang menyatakan bahwa penambahan bahan organik ke dalam tanah lebih kuat pengaruhnya ke arah perbaikan sifat-sifat tanah, khususnya untuk meningkatkan unsur hara di dalam tanah. Pada tahun kedua secara alami kadar unsur-unsur Ca, Mg, K, Na, dan nilai KTK dan KB pada lahan menunjukkan penurunan yang ditunjukkan nilai parameter Kontrol (seiring dengan meningkatnya tingkat erosi). Kontrol adalah pengelolaan lahan yang ditanami ubi kayu namun tidak menerapkan teknik konservasi tanah yang seharusnya. Model A, B, C mampu meningkatkan kadar Ca dan KB, Model B dan C mampu meningkatan kadar Mg, Model B untuk kadar Na. Namun semua Model tidak mampu mengendalikan penurunan Nilai KTK. Peningkatan Ca, Mg, dan K tertinggi terdapat pada Model C, sedangkan peningkatan Na dan KPK (tahun pertama) Model A, tahun kedua Model B, serta peningkatan kejenuhan basa tertinggi terdapat pada Model C. Atmojo (2003) menyatakan bahwa pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah antara lain terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah, daya sangga tanah dan terhadap keharaan tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan muatan negatif sehingga akan meningkatkan kapasitas pertukaran kation (KPK). Bahan organik memberikan konstribusi yang nyata terhadap KPK tanah. 4. Pertumbuhan Tanaman a. Persen Hidup Tanaman Persen hidup tanaman pada umur satu bulan setelah tanam (bst) adalah 96% (tanaman mati, layu dan patah sebesar 4,2%). Namun demikian 9,7% dari total tanaman terserang hama (hama ulat pada jabon dan kutu putih pada sengon) yang cukup parah. Persen tumbuh sengon dan jabon sampai enam bulan setelah tanam masing-masing menurun 0,96 dan 3,84% per bulan, tetapi relatif lebih stabil setelahnya sampai umur 18 bulan dengan penurunan persen tumbuh masing-masing 0,27 dan 0,23% per bulan. Persen tumbuh umur 18 bulan adalah 88 dan 74% masing-masing untuk sengon dan jabon. b. Pertumbuhan Tinggi dan Diameter Pertumbuhan tinggi dan diameter adalah dua variabel yang umum digunakan dalam menilai perkembangan tanaman (pohon). Hasil pengukuran tinggi dan diameter secara lengkap disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Sintesis 2010-2014 | 14 Tabel 3. Rata-rata tinggi pohon (cm) umur satu, enam, dan 18 bulan setelah tanam. Kombinasi perlakuan Model A Model C Model B Model C Jenis Sengon Sengon Jabon Jabon 1 Bln 99,4±24,89 99,6±24,11 84,3±19,37 83,3±25,18 6 Bln 143,6±75,39 192,8±95,68 124,3±37,06 117,7±81,74 18 Bln 451,3±88,88 463,2±98,72 249,4±54,16 249,4±108,23 Tinggi rata-rata tanaman sengon Model A dan C sampai umur enam bulan setelah tanaman masing-masing naik 8,84 dan 18,64 cm per bulan dan relatif seragam setelahnya dengan pertumbuhan sampai 18 bulan sebesar 25,64 dan 22,53 cm/bulan. Sampai dengan umur enam bulan setelah tanam Model C menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan Model A, sedangkan sampai umur 18 bulan yang terjadi sebaliknya. Pertumbuhan tinggi sampai 18 bulan tidak berbeda secara nyata dengan increment 20,70 dan 21,39 cm/bulan masing-masing untuk model A dan C. Tinggi rata-rata tanaman jabon model B dan C sampai enam bulan setelah tanam relatif sama masing-masing naik 8,00 dan 6,88 cm/bulan, demikian juga setelahnya dengan pertumbuhan sampai 18 bulan sebesar 10,43 dan 10,98 cm/bulan. Rendahnya tinggi awal pada umur satu bulan diduga menyebabkan rendahnya pertumbuhan tinggi jabon sampai dengan umur enam bulan setelah tanam, walaupun pada pertumbuhan berikutnya rendahnya tinggi awal dapat menunjukkan pertumbuhan tinggi yang lebih baik. Pertumbuhan tinggi sampai 18 bulan berbeda nyata dengan increment 9,71 dan 9,77 cm/bulan masing-masing untuk model B dan C. Tabel 4. Diameter pohon (mm) umur 1 (satu), 6 (enam) dan 18 (delapan belas) bulan setelah tanam Kombinasi Perlakuan Jenis 1 Bln 6 Bln 18 Bln Model A Model C Model B Model C Sengon Sengon Jabon Jabon 7,7±0,25 8,1±0,32 14,1±0,68 11,7±0,41 18,5±4,57 17,7±0,77 19,7±0,74 18,8±3,05 52,7±0,96 51,7±0,74 42,0±1,16 43,3±1,12 Diameter rata-rata tanaman sengon model A dan C sampai enam bulan setelah tanam masing-masing naik 2,16 dan 1,92 mm/bulan dan relatif seragam setelahnya dengan pertumbuhan sampai 18 bulan sebesar 2,85 dan 2,83 m/bulan. Pertumbuhan diameter sampai 18 bulan tidak berbeda secara nyata dengan increment 2,65 dan 2,56 mm/bulan masing-masing untuk model A dan C. Tinggi rendahnya diameter awal tidak secara konsisten menentukan besarnya pertumbuhan diameter sengon sampai 6 dan 18 bulan setelah tanam. Diameter rata-rata tanaman jabon model B dan C sampai enam bulan setelah tanam masing-masing naik 1,12 dan 1,42 mm/bulan, meningkat setelahnya dengan partumbuhan sampai 18 bulan sebesar 1,86 dan 2,04 mm/bulan. Pertumbuhan tinggi sampai 18 bulan tidak berbeda secara nyata dengan increment 1,64 dan 1,86 mm per bulan masing-masing untuk model B dan C. Diameter awal diduga berpengaruh pada pertumbuh-an diameter jabon sampai umur 6 bulan dan 18 bulan setelah tanam. Dalam kaitan pertumbuhan Tisdale et al. (1985) mengemukakan bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara terutama nitrogen. Hal ini disebabkan oleh fungsi nitrogen yang mendorong pertumbuhan merupakan pengatur penggunaan Sintesis 2010-2014 | 15 kalium, fosfat dan penyusun lainnya. Apabila kekurangan N, tanaman tidak dapat melakukan metabolisme dan pertumbuhan tinggi juga terhambat (tanaman bisa menjadi kerdil). Tanaman harus memperoleh cukup N untuk dapat tumbuh baik dan membentuk sel-sel baru. c. Hasil Analisis paired t-test Hasil analisis paired t-test terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter sengon dan jabon menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi dan diameter sengon Model A dan C tidak berbeda nyata, sedangkan pertumbuhan tinggi jabon Model B dan C berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% dan pertumbuhan diameter jabon Model B dan C menunjukkan tidak berbeda nyata. Hasil analisis paired t-test selengkapnya terdapat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil analisis paired t-test Paired Samples Test Paired Differences Mean Std. Std. Error Deviation Mean 95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2tailed) Lower Upper 0.5867 0.8730 3.1915 3.464 151 0.001 21.8396 1.7714 1.7836 8.7835 2.983 151 0.003 -0.1047 2.4946 0.2051 -0.5100 0.3005 -0.511 147 0.61 -1.5237 13.0291 1.0710 -3.6402 0.5929 -1.423 147 0.157 Pair 1 TS – TSCamp 2.0322 7.2334 Pair 1 DS – DSCamp 5.2836 Pair 1 TJ – Tjcamp Pair 1 DJ – Djcamp 5. Sosial Ekonomi a. Dampak Sosial Ekonomi Degradasi Lahan Degradasi lahan di Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Pati selama empat tahun terakhir berdampak pada penurunan produksi ubikayu dengan kisaran antara 1- 2 ton/ha/th. Nilai penurunan produksi tersebut tertolong dengan meningkatnya harga ubikayu per kilonya sehingga rata-rata pendapatan petani sebesar naik sebesar 2,35% sampai dengan 13,29% (Tabel 6). Kenaikan pendapatan petani tersebut belum diperhitungkan dengan nilai inflasi dan kenaikan harga sembako selama 4 tahun dan nilai ekonomi tanah yang tererosi. Kecilnya kenaikan pendapatan petanin ini menyebabkan para petani mulai menerapkan pola agroforestri yaitu menanam pohon sengon di antara ubikayu, walaupun menanam ubikayu masih merupakan prioritas utama di desa Gunungsari. Tabel 6. Rata-rata produksi ubikayu dan pendapatan petani di desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu Pati Tahun Produksi (ton/ha) Pendapatan (Rp/ha) 2010 25, 40 6.351.000 2011 23, 02 2012 21, 98 2013 19, 09 Sumber: analisis data primer 2013 7.195.000 7.695.000 7.876.000 Sintesis 2010-2014 | 16 b. Pola Agroforestri untuk Ketahanan Pangan Responden mengusahakan lahan pertanian dengan pola monokultur maupun polikultur (mix-farming) seperti pola agroforestri. Tanaman monokultur yang banyak diusahakan adalah ubikayu. Untuk pola agroforestri, yang dikembangkan dan diusahakan oleh responden berpola: ubikayu + jagung (30,00%), kopi+ kayu + jagung (16,67%), kopi + kayu (40,00%), dan ketela saja (13,33%). Seperti pada Gambar 1 di bawah ini. Gambar 1. Pola agroforestri di lokasi penelitian Pola agroforestri kopi + kayu paling banyak diusahakan. Tanaman kopi merupakan tanaman perkebunan yang cocok di daerah penelitian dengan ketinggian 600 meter dpl. Tanaman kopi membutuhkan naungan sehingga diperlukan tanaman kayu (pohon). Tanaman kayu yang ditanam sebagai naungan kopi antara lain adalah sengon (Albizia chinensis), jabon (Anthocephalus cadamba), lamtoro (Leucaena leucocephala). Sedangkan tanaman gamal (Glericidia sepium), manggis (Garcinia mangostana L.), durian (Durio zibethinus), duku (Lansium domesticum Corr) ditanam di antara tanaman jagung dan kopi, atau ditanam sebagai tapal batas pemilikan tanah. Tanaman: kopi, ubikayu, jagung, sengon, jabon, manggis dan duku cocok pertumbuhan dan perkembangannya serta pasar terbuka lebar untuk produk-produk dari tanaman ini. Tanaman ubikayu tetap dipertahankan karena mempunyai beberapa keuntungan yaitu produksinya terserap pasar berapapun jumlahnya sebagai bahan baku industri tapioka, untuk usahatani ubikayu tidak membutuhkan modal besar dan merupakan keahlian turun temurun serta tidak membutuhkan perawatan yang intensif sehingga petani masih memiliki waktu untuk berusahatani lainnya. Dari segi konservasi tanah, tanaman ubikayu ini memacu terjadinya erosi karena ditanam pada lahan yang miring, terbuka dan tanpa teras serta waktu panen pada musim penghujan dengan cara dicabut sehingga merusak kepadatan tanah. c. Agroforestri Solusi Ketahanan Pangan Keluarga Berkaitan dengan ketahanan pangan rumah tangga, pola agroforestri dapat menghasilkan berbagai produk pangan selain kayu. Penggunaan produksi usahatani dan potensi yang terkait dengan ketahanan pangan disajikan pada Tabel 7. Pola agroforestri menghasilkan selain produk pangan untuk menjamin ketahanan pangan, juga menghasilkan produk kayu yang dapat dijual sebagai tabungan keluarga. Peningkatan pendapatan keluarga dapat meningkatkan daya beli rumah tangga petani Sintesis 2010-2014 | 17 seperti untuk pengadaan sarana transportasi keluarga (sepeda motor) dan peralatan rumah tangga. Kontribusi agroforestri terhadap pendapatan total rumah tangga petani dapat diperiksa pada Tabel 8. Tabel 7. Potensi produk usahatani untuk ketahanan pangan di Desa Gunungsari No Produk usahatani Produksi (ton/th) 1 Padi 446 2 Jagung 121 3 Ubi kayu 24,715 4 Kacang tanah 46 Sumber: Kecamatan Tlogowungu Dalam Angka, 2011. Penggunaan Cadangan dan bahan pangan serta dijual Cadangan pangan dan dijual Dijual Dijual Tabel 8. Pendapatan dan kontribusi pola usahatani agroforestri No Pola usahatani 1 2 3 4 Ketela + jagung Kopi + kayu + Jagung Kopi + Kayu Ketela Rerata Sumber: analisis data primer 2013 Pendapatan (Rp/KK) 7.096.669 5.975.000 6.322.085 7.446.252 6.646.500 Kontribusi terhadap pendapatan total (%/KK) 84,27 83,98 84,43 80,87 83,30 Rata-rata sumbangan pendapatan agroforestri terhadap pendapatan rumah tangga petani sebesar Rp. 6.646.500,00/tahun atau sekitar 83,30% terhadap total pendapatan rumah tangga. Tingginya kontribusi pendapatan agroforestri menunjukkan peran agroforestri terhadap ekonomi rumah tangga dan ketahanan pangan rumah tangga yang besar. Pada saat ini pendapatan finansial dari polikultur (mix farming) ubikayu yang dicampur dengan tanaman jagung memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan tanaman kayu dan tanaman pangan. Namun dengan berjalannya waktu, pendapatan finansial dari tanaman kayu akan lebih tinggi dari tanaman pangan (ubikayu dan jagung). Rata-rata seorang petani memiliki 30 tanaman sengon di lahannya. Harga satu tanaman sengon di lahan, umur 5 tahun Rp 200.000,00 - 300.000,00 tergantung pertumbuhan tanamannya. Sehingga pendapatan keluarga dari kayu antara Rp 6.000.000,00 9.000.000,00. d. Peluang dan Tantangan Pengembangan Agroforestri Konservasi Tanah di Hulu Sub DAS Gandusuwaduk, Pati – Jawa Tengah 1) Karakteristik Responden Responden merupakan para petani pemilik lahan yang digunakan untuk plot agroforestri konservasi tanah dan para petani pemilik lahan disekitar plot agroforestri konservasi tanah di Desa Gunungsari. Responden merupakan para petani lahan kering yang berusahatani tanaman ubi kayu monokultur yang belum menerapkan kaidah konservasi tanah. Karakteristik responden dapat diperiksa pada Tabel 9. Rerata usia responden adalah 46 tahun yang mengindikasikan berada pada usia produktif. Pendidikan responden rata-rata sekolah dasar dengan tanggungan keluarga sebesar 4 orang. Tingkat pendidikan formal petani yang masih rendah dapat diatasi dengan menjadi anggota kelompok tani yang aktif, berdiskusi dengan penyuluh pertanian-kehutanan pada saat pertemuan dan melakukan kunjungan pribadi atau Sintesis 2010-2014 | 18 kelompok yang terkait dengan agroforestri, sehingga memiliki sikap inovatif. Menurut Soekartawi (1998 dalam Edwina dan Maharani, 2010), petani yang berada dalam pola hubungan yang kosmopolit, kebanyakan dari mereka lebih cepat melakukan adopsi inovasi. Rerata luas hutan yang dikelola tiap responden 0,25 ha yang merupakan hutan milik Perum Perhutani. Pola usahatani yang diterapkan adalah pola agroforestri antara pinus dan kopi. Di Desa Gunungsari luas hutan milik Perum Perhutani 1.000 hektar (Monografi Desa Gunungsari, 2012). Tabel 9. Karakteristik responden di Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati No 1 2 3 4 5 Uraian Umur (tahun) Pendidikan Jumlah tanggungan (orang) Luas lahan (Ha) - Sawah - Tegal - Hutan - Pekarangan Rerata 46 Sekolah Dasar 4 Maksimum 70 Sekolah dasar 7 0,06 0,43 0,25 0,02 1,25 2,00 1,50 0,05 Minimum 30 Tidak sekolah 2 0 0,15 0 0,01 2) Partisipasi Petani Terhadap Teknologi Agroforestri Konservasi Tanah Dalam upaya rehabilitasi lahan dengan plot agroforestri konservasi tanah maka ditanam tanaman yang diminati masyarakat baik yang endemik maupun eksotik. Jenis eksotik adalah tanaman jenis penghasil kayu dan telah beradaptasi dengan lingkungan: adalah sengon dan jabon. Jenis endemik/lokaladalah cempaka (Mangleatia glauca). Jenis eksotik penghasil HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) yang telah beradaptasi yaitu petai, duku, manggis, dan randu. Penanaman pohon legum seperti lamtoro (Leucaena leucocephala), gamal (Glericidia sepium), kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan tanaman legum penutup tanah seperti koro benguk (Mucuna pruriens), kacang asu (Colopogonium mucunoides) dan centro (Centrocema pubescens) berfungsi sebagai pupuk hijau akan membantu pengembalian bahan organik ke dalam tanah dan membantu meningkatkan pH tanah. Hasil penelitian BPTKPDAS (2011-2012) menunjukkan bahwa pada tahap awal pembangunan agroforestri konservasi tanah BPTKPDAS ditanggapi oleh para pemilik lahan dengan sangat antusias karena adanya bantuan dan insentif yang diberikan untuk pembangunan agroforestri tersebut. Pada tahun pertama (2011) pembangunan plot agroforestri konservasi tanah belum terlihat pengaruh model penanaman terhadap kecenderungan erosi tanah dan kesuburan tanah. Partisipasi masyarakat akan agroforestri konservasi tanah dan kemauan untuk mengembangkan, tergantung pada manfaat apa yang diperoleh petani, bagaimana dampak ekonomi dalam jangka pendek, apa pilihan-pilihan peluang ekonomi yang tersedia dibandingkan dengan pola monokultur ubikayu. Partisipasi masyarakat juga cukup positif yang ditunjukkan dengan dipeliharanya agroforestri konservasi tanah oleh para petani pemilik lahan dan masyarakat sekitarnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10. Pada tahun pertama pengembangan plot agroforestri konservasi tanah, tingkat partisipasi responden terhadap plot agroforestri konservasi tanah, dalam hal perencanaan masih rendah (74,50%), pelaksanaan tingkat sedang (71,10%), penerima Sintesis 2010-2014 | 19 manfaat tingkat tinggi (62,10%) dan monitoring evaluasi yang rendah (71,10%). Pada tahun 2012, tingkat partisipasi terhadap plot agroforestri konservasi tanah dalam perencanaan termasuk sedang (40,60%), dalam pelaksanaan masih tinggi (55,90%), penerima manfaat tinggi (76,10%) dan monitoring evaluasi termasuk sedang (46,80%) (BPTKPDAS, 2011, 2012). Dari Tabel 11 tersebut terlihat bahwa terjadi peningkatan kualitas tingkat partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat terhadap kegiatan plot agroforestri konservasi tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya tingkat rata-rata partisipasi yang semakin menyebar, menunjukkan bahwa masyarakat telah menanggapi pembangunan plot agroforestri konservasi tanah BPTKPDAS dengan cukup baik. Tabel 10. Perbandingan Tingkat Partisipasi Responden tahun 2011 dan 2012 No Uraian 2011 2012 1 Perencanaan: tingkat rendah*) 74,50% 40,60% 2 Pelaksanaan: tingkat sedang*) 71,10% 55,90% 3 Penerimaan: tingkat tinggi*) 62,10% 76,10% 4 Monev: tingkat rendah*) 71,10% 46,80% *) Tingkat partisipasi yang paling banyak nilainya pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2012 Tabel 11. Persepsi masyarakat terhadap plot agroforestri berdasarkan kontan No 1 2 3 4 5 Uraian Pemahaman konservasi tanah dan air (KTA) - Tahu - Tidak tahu Sumber informasi KTA - Penyuluh - Tetangga - Media informasi - Sumber lain Paham yang disampaikan penyuluh - Paham - Tidak paham KTA yang dilakukan sekarang - Saluran pembuangan air (SPA) - Penguat teras - Penanaman menurut kontur - Agroforestri - Teras gulud Bantuan dalam penerapan KTA - Bibit tanaman pohon/buah - Tenaga kerja - Pupuk anorganik Persentase (%) 95 5 100 0 0 0 95 5 85 25 15 50 10 90 25 10 Ubikayu menjadi tanaman andalan, meskipun hasil uji kesuburan tanah menunjukkan bahwa tanah pada demplot telah mengalami degradasi yang ditunjukkan dengan rendahnya kandungan karbon C organik dan bahan organik (1-2%) serta rendahnya kandungan N total tanah (< 0,1%). Selain itu KPK tanah juga rendah (5-11 me/100g) dan tanah sebagaian besar tergolong masam (BPTKPDAS, 2011). Pada kondisi tersebut usaha tani ubikayu sudah tidak sesuai diusahakan apalagi pada lahan miring. Meskipun petani memberi pupuk urea namun tidak membantu meningkatkan produktivitas apabila tidak disertasi dengan pengembalian bahan organik ke tanah. Sintesis 2010-2014 | 20 Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang secara tunggal maupun dikombinasikan dengan pupuk buatan/mineral akan lebih efektif meningkatkan bahan organik tanah dibandingkan dengan hanya pupuk mineral saja (Gong et al., 2009). 3) Analisis SWOT Dari matriks evaluasi faktor internal (IFE) dan evaluasi faktor eksternal (EFE) dapat diketahui bahwa posisi internal dan eksternal plot agroforestri konservasi tanah dalam posisi kuadran I (pertama) dengan nilai 4,974 ; 5,060. Posisi kuadran I menandakan bahwa situasi ini sangat menguntungkan, karena memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang diterapkan adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Marimin, 2004). Berbagai Peluang Kuadran III (mendukung strategi turnaround) Kuadran I (4,974 ; 5,060) (mendukung strategi agresif) Kelemahan Internal Kekuatan Internal Kuadran IV (mendukung strategi defensif) Kuadran II (mendukung strategi diversifikasi) Berbagai Ancaman Gambar 2. Gambar Posisi Plot Agroforestri Konservasi Tanah BPTKPDAS Strategi yang harus di terapkan dalam mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif adalah melakukan kerjasama atau kemitraan yang baik dengan para petani melalui Kelompok Tani yang ada di Desa Gunungsari. Sebagai peluangnya adalah meningkatkan sosialisasi agroforestri konservasi tanah bersama petugas Penyuluh Pertanian dan Kehutanan dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati. Sebagai tantangannya adalah memperluas pola agroforestri konservasi tanah BPTKPDAS di lahan milik petani yang belum menerapkannya. 4) Penilaian Alternatif Produk Agroforestri Konservasi Tanah Pola agroforestri konservasi tanah merupakan usahatani campuran antara pohon dan ubikayu. Petani mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman pohon dan ubi kayu. Periksa Tabel 12 dan 13. Tabel 12. Penilaian Alternatif Produk Agroforestri Tradisional di Gunungsari. No Kriteria 1 Potensi pasar 2 Kondisi bahan baku 3 Nilai tambah produk 4 Daya serap tenaga kerja 5 Teknologi yang sudah dipakai 6 Dampak terhadap lingkungan 7 Kondisi sosial budaya Sumber: diolah dari data primer, 2013 Bobot 9 8 6 7 5 5 7 Pohon/kayu 8 7 7 7 6 8 6 Nilai Produk Ubikayu Pakan Ternak 8 5 8 6 6 6 8 5 6 5 7 6 7 5 Sintesis 2010-2014 | 21 Tabel 13. Hasil Perhitungan Prioritas Produk Agroforestri Tradisional Potensial di Gunungsari Prioritas Alternatif pilihan 1 Ubikayu 2 Pohon/kayu 3 Pakan ternak Sumber: diolah dari data primer, 2013 Nilai MPE 153.986.878 141.244.201 3.921.548 Tanaman ubi kayu tetap menjadi tanaman andalan, meskipun hasil uji kesuburan tanah menunjukkan bahwa tanah pada demplot telah mengalami degradasi yang ditunjukkan dengan rendahnya kandungan karbon C organik dan bahan organik (12%) serta rendahnya kandungan N total tanah (< 0,1%). Selain itu KPK tanah juga rendah (5-11 me/100g) dan tanah sebagaian besar tergolong masam (BPTKPDAS, 2011). Kondisi lahan usaha tani ubi kayu sudah tidak sesuai untuk diusahakan apalagi pada lahan dengan kemiringan antara 30% - 45%. Meskipun petani memberi pupuk Urea dan pupuk organik (pupuk kandang) namun tidak membantu meningkatkan produktivitas tanpa disertasi dengan usaha konservasi tanah. Dilihat dari perkembangan kelembagaan berkaitan dengan persepsi dan adopsi maka pada tahun pertama, partisipasi pemilik lahan sangat rendah. Pada tahun berikutnya dibuat kelompok tani konservasi tanah dan air. Namun lembaga ini mati suri dan tidak melakukan pertemuan rutin lagi. Petani berpersepsi bahwa yang membutuhkan dan berkepentingan dengan plot agroforestri adalah peneliti dan pembangun plot bukan petani sendiri. Persepsi ini menyebabkan kegiatan bulanan kelompok tani tidak berjalan optimal. Beberapa penye-bab yang diidentifikasi antara lain jumlah anggota sangat sedikit, domisili tersebar, memi-liki lahan garapan lain yang lebih luas, jauh dari rumah, kegiatan yang tidak terkoordinir, tidak ada modal. Laporan penelitian BPTKPDAS 2012 menyatakan bahwa gagal berkem-bangnya kelompok tani tersebut karena jumlah anggota yang sedikit dan tersebar. Namun pencermatan menunjukkan bahwa pemaksaan pembuatan organisasi baru dan tidak ada rasa kebutuhan/nasib yang sama akan perlunya pembuatan kelompok tani konservasi tanah yang membuat gagalnya lembaga ini. Keputusan yang dibuat selanjutnya bersama peneliti adalah mengabungkan kelompok tani konservasi tanah dan air dengan kelompok tani Wana Lestari yang beranggotakan 100 orang. Kelompok tani tersebut memiliki pertemuan rutin setiap bulan dengan agenda arisan dan penyuluhan dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati. 5) Adopsi Agroforestri Berkonservasi Tanah dan Air Inovasi merupakan segala sesuatu baik berupa ide, cara ataupun obyek yang dipersepsikan oleh seorang sebagai sesuatu yang baru. Pemahaman petani akan inovasi teknologi tentu membutuhkan kesiapan mental sampai mengambil keputusan untuk adopsi teknologi yang bermanfaat dan diterapkan melalui proses persepsi (Ishak dan Afrizon, 2011). Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya (Suprapto dan Fahrianoor, 2004). Sintesis 2010-2014 | 22 Petani belum mengadopsi model plot agroforestri dalam usahataninya. Petani menanam pohon di tengah-tengah lahan ubikayu tanpa jarak tanam dan jumlahnya sedikit (kurang dari 20 batang dalam luasan 2000 m2). Petani berkepentingan terhadap tanaman ubikayu, namun plot model agroforestri yang dikembangkan peneliti kurang mengakomodir hal tersebut dan lebih mengedepankan upaya peningkatan kesuburan lahan dan penurunan erosi. Menurut Rogers (1983), tingkat adopsi dari suatu inovasi tergantung pada persepsi adopter tentang karakteristik inovasi teknologi tersebut. Atribut yang mendukung penjelas-an tingkat adopsi dari suatu inovasi meliputi: (1) keunggulan relatif, (2) tingkat kesesuaian, (3) tingkat kerumitan, (4) dapat dicoba, dan (5) dapat diamati. Inovasi teknologi agroforestri yang dikembangkan di plot dapat memenuhi karakter inovasi teknologi yang dikemukakan oleh Rogers. Namun adopsi terhadap agroforestri tergantung keputusan petani sebagai pengambil keputusan atas usahataninya. Hal ini sesuai pendapat Siregar (2006) bahwa masyarakat sebagai pengguna inovasi teknologi harus lebih selektif dalam memilih teknologi yang digunakan karena berkaitan dengan biaya. Selain itu Gumbira dan Intan (2001) menunjukkan bahwa penentuan jenis teknologi ditentukan oleh skala usaha, jenis, biaya, sumberdaya manusia serta kebutuhan. 6) Peran Parapihak Dalam menentukan suatu lembaga mempunyai kekuasaan/wewenang, perlu dilakukan identifikasi dari indikator-indikator: pengaruh, kontrol terhadap sumberdaya alam dan manusia, kepemilikan pengetahuan dan ketrampilan, keterlibatan dalam strategi pelaksanaan dan kontrol terhadap lingkungan (Mintzberg,1999 dalam BPKSolo, 2009). Berdasarkan hasil analisis para pihak, maka para pihak yang terlibat dalam usahatani konservasi tanah dan air dapat dilihat dari matrik Mintzberg (1999) di bawah ini. Keep Statisfied High Level of Power Low Key players Pemerintah Desa Gunungsari Pemerintah Kecamatan Tlogo wungu. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati Perum Perhutani KPH Regaloh- Pati Minimal Effort Keep Informed Kelompok Masyarakat lainnya (perkumpulan pedagang pengumpul, persatuan tukang ojek, kelompok buruh tani, dll) Low Kelompok Tani KTA Lembaga Masyarakat Desa Hutan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) Level of Interest High Gambar 3. Matriks power dan enterest Keep Informed. Keep Informed adalah parapihak yang mempunyai kepentingan besar namun kekuasaan/wewenangnya kecil, atau merupakan pihak utamayang dipengaruhi atau merasakan akibat dari kegiatan pihak lain. Lembaga ini mempunyai kepentingan Sintesis 2010-2014 | 23 yang besar dalam mengajak anggotanya untuk menerapkan usahatani berbasis konservasi tanah dan air dalam rangka mengurangi erosi di wilayahnya namun tidak mempunyai wewenang dalam membuat kebijakan atau peraturan menuju kelestarian hutan tanah dan air. Key Players. Key Players mempunyai kekuasaan yang besar dan mempunyai wewenang yang besar untuk melakukan sesuatu seperti membuat aturan atau melaksanakan kegiatan membangun suatu kelompok tani berbasis konservasi tanah dan air. Lembaga ini mempunyai kekuasaan atau kewenangan yang besar dalam melestarikan sumberdaya alam melalui program atau kegiatan pelestarian hutan, konservasi tanah dan air serta membina kelompok-kelompok tani sebagai mitra kerjanya. Keep Statisfied. Keep Statisfied adalah pihak yang mempunyai kepentingan kecil akan tetapi wewenangnya besar. Lembaga ini mempunyai wewenang untuk membuat kebijakan atau aturan-aturan untuk melaksanakan program atau kegiatan dari instansi yang terkait dengan usahatani berbasis konservasi tanah dan air. Minimal Effort. Minimal Effort adalah pihak yang mempunyai kepentingan kecil dan wewenangnya kecil. Merupakan lembaga yang kurang atau tidak terkait dalam usahatani konservasi tanah dan air. Dengan demikian program parapihak yang termasuk dalam Key Players dapat menyelaraskan program dari lembaga masyarakat yang telah ada di Desa Gunungsari. Sehingga diperlukan kerjasama antar lembaga. Kemampuan lembaga-lembaga yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat harus ditingkatkan untuk lebih mendukung pelaksanaan usahatani berbasis konservasi tanah dan air. 7) Lembaga yang Terkait Konservasi Tanah dan Air Lembaga yang terkait dalam kegiatan usahatani konservasi tanah dan air di desa Gunungsari, kecamatan Tlogowungu kabupaten Pati Jawa Tengah antara lain Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah BKPH Regaloh, Pemerintah Desa Gunungsari, Pemerintah Kecamatan Tlogowungu, Kelompok Tani Wana Lestari, dll. Digambarkan melalui diagram Venn seperti pada Gambar 4 dibawah ini. Pemerintah Kecamatan Kel.TaniKontan Pemerintah Desa LMDH Pedagang Pengumpul Kel. Tani Wana Lestari masyarakat desa Gunungsari, kec.Tlogowungu, kab.Pati – Jawa Tengah Kel.Masy Dinas Pertanian Kehutana n Per Bankan BKPH Regaloh Gambar 4. Diagram Venn untuk lembaga yang terkait pengelolaan DAS di desa Gunungsari. Sintesis 2010-2014 | 24 Bappeda Pemerintah Desa digambarkan besar dan berada dalam lingkaran, yang berarti mempunyai peran besar terhadap masyarakat dan dekat dengan masyarakat. Pemerintah Desa merupakan motor dari pembangunan SDM di wilayahnya termasuk menangani semua urusan kemasyarakatan warganya. Pemerintah Kecamatan digambarkan jauh dan kecil, mempunyai arti pengaruh dan peran di dalam pembangunan masyarakat desa Gunungsari lebih kecil dibandingkan pemerintah Desa. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) digambarkan besar dan di dalam lingkaran, yang berarti lembaga ini dekat dengan masyarakat dan berperan/berpengaruh besar terhadap pembangunan masyarakat. Pedagang pengumpul digambarkan berada di lingkaran, yang berarti dekat dengan masyarakat dan diperlukan dalam menopang pembangunan SDM terutama dalam pemasaran hasil bumi. Renternir atau tengkulak atau lintah darat; digambarkan ada di dalam lingkaran besar, yang menunjukan kedekatan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara per-Bank-an digambarkan di luar lingkaran masyarakat, yang berarti kurang dekat dengan masyarakat, kurang dibutuhkan. Kelompok Tani Wana Lestari dan Kelompok Tani Konservasi Tanah dan Air berada di dalam lingkaran masyarakat; namun berbeda besarannya. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati digambarkan berada di luar laingkaran masyarakat dan jaraknya dekat. Hal ini menunjukan bahwa kegiatan instansi ini mendukung pembangunan bidang pertanian dan kehutanan di desa Gunungsari, seperti kegiatan Gerakan penghijauan (Gerhan) dan Kebun Bibit Desa (KBD). BKPH Regaloh digambarkan dekat dengan lingkaran masyarakat, menunjukan bahwa keberadaannya dekat dengan masyarakat dan cukup berperan dalam menunjang pembangunan LMDH di desa Gunungsari. Peran aktif Kelompok Tani yang sudah terbentuk dibutuhkan oleh masyarakat tani desa Gunungsari yang digunakan sebagai sarana untuk saling berbagi pengalaman dan berbagi informasi, terutama informasi pemasaran hasil usahatani sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 8) Membangun Kelembagaan Membangun kelembagaan merupakan proses jangka panjang, meski tidak berurutan tetapi harus ada untuk sebuah proses membangun pemberdayaan masyarakat (Awang, dkk. 2008). Membangun kelembagaan dalam hal ini kelompok konservasi tanah dan air, diawali dengan pertemuan multi pihak di tingkat desa untuk menentukan kriteria siapa pelaku atau anggota masyarakat yang lahannya akan digunakan untuk lokasi penelitian usahatani berbasis konservasi tanah dan air. Lokasi penelitian ini disamping sebagai plot percobaan juga sebagai plot percontohan bagi petani di sekitarnya. Penentuan anggota masyarakat yang lahannya dijadikan plot penelitian usahatani konservasi tanah dan air menggunakan kriteria yang telah disepakati bersama. Penentuan lokasi penelitian tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak, namun hal itu penting dirumuskan secara bersama, antara para peneliti Balai Peneltian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS) dengan petani pemilik lahan. Oleh sebab itu proses pertama penentuan petani pemilik lahan untuk bersedia lahannya dijadikan plot penelitian menjadi penting. Proses awal inilah yang akan menentukan anggota masyarakat mana yang akan terlibat dalam proses-proses Sintesis 2010-2014 | 25 selanjutnya. Menurut Awang,dkk (2008), metode Pendekatan Aksi Partisipatif (PAP) berguna dalam proses memahami dan membangun kebersamaan. PAP menunjukkan adanya hubungan aktif antara petani terpilih yang berjumlah 13 orang kepala keluarga dengan para peneliti BPTKPDAS yang difasilitasi oleh ketua Kelompok Tani Wana Lestari I bapak Ngarjono, untuk melakukan kegiatan usahatani konservasi tanah dan air di masing-masing lahannya sesuai perlakuan penelitian yang telah ditentukan. Kemudian dilanjutkan pada tahap merumuskan visi dan misi bersama. Hal ini menunjukkan bahwa visi dan misi itu bukan bersifat angan-angan semata, namun menjadi cita-cita bersama dan akan dicapai dengan tindakan bersama. Setelah terbentuk sebuah kelompok tani pemilik lahan yang digunakan sebagai sarana penelitian secara partisipatif, maka kelompok ini diberi nama: Kelompok Tani Konservasi Tanah dan Air dengan Ketua bapak Ngarjono. Jumlah anggota 13 orang. Langkah selanjutnya adalah penyusunan aturan internal yaitu berupa Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) kelompok tani. Sebuah lembaga atau kelompok tani di tingkat apapun pada bidang apapun membutuhkan AD dan ART sebagai aturan yang disusun dan berlaku dalam lembaga/kelompok. Namun sebelum AD dan ART kelompok tani tersusun, lembaga ini sudah mati suri, tidak ada pertemuan rutin lagi. Kendala yang dihadapi kelompok tani ini, antara lain: jumlah anggotanya sedikit, berdomisili tersebar, memiliki lahan garapan lain yang lebih luas dan jauh dari rumahnya. Sehingga untuk berkumpul dan bertemu sebulan sekali terasa sulit. Kemudian diadakan pertemuan bersama antara anggota kelompok tani konservasi tanah dan air dengan peneliti BPTKPDAS sebagai pendamping, maka diperoleh kesepakat-an bahwa kelompok ini bubar dan anggotanya bergabung dengan kelompok tani Wana Lestari yang jumlah anggotanya lebih banyak yaitu mencapai 100 orang. Aset kelompok tani Wana Lestari sudah mencapai 100 juta lebih yang diperoleh dari iuran anggota dan bantuan pemerintah, antara lain oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten. Pengem-bangan ekonomi kelompok tani dirasa penting karena kelompok tani membutuhkan dana untuk berbagai kegiatan. Sementara kelompok tani konservasi tanah dan air belum memiliki dana untuk berbagai kegiatannya. Namun kelompok tani Wana Lestari sudah memiliki kegiatan ekonomi antara lain simpan pinjam uang anggota, menyewakan alat untuk prosesing kopi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hindra (2006), bahwa peran pendamping dari instansi sangat diperlukan untuk mendorong dan membimbing masyarakat agar mampu bekerja-sama di bidang ekonomi secara berkelompok. Anggota kelompok haruslah terdiri dari masyarakat yang saling mengenal, saling percaya dan mempunyai kepentingan yang sama, sehingga akan tumbuh kerjasama yang kompak dan serasi. Bantuan kemudahan diberikan oleh instansi pembina atau pihak lain untuk menumbuhkan keswadayaan dan kemandirian kelompok. Proses pembangunan kelembagaan konservasi tanah dan air memiliki peran yang pen-ting dalam pengelolaan lahan lestari. Pengelolaan lahan lestari harus mengikuti kaidah konservasi tanah dan air yang dilakukan melalui kerja bersama kelompok, hasil dari musyawarah mufakat anggota kelompok untuk meningkatkan produksi. Sintesis 2010-2014 | 26 IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN Implikasi kebijakan yang dapat diambil adalah: 1. Degradasi lahan di kawasan Gunung Muria pada usaha tani ubikayu telah menurunkan produksi selama empat tahun terakhir. Untuk itu maka model rehabilitasi lahan yang dikembangkan perlu mempertimbangan kondisi biofisik lokasi target rehabilitasi lahan, tingkat degradasi dan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan lahan (komoditi). Dari ketiga kondisi tersebut disusun model agroforestri yang mampu menurunkan limpasan permukaan dan erosi serta memberikan nilai tambah pendapatan bagi masyarakat. 2. Model A, kombinasi sengon + manggis + petai + manglid + randu + lamtoro adalah model terbaik karena mampu menurunkan limpasan permukaan dan tingkat erosi tertinggi sebesar 219,92 mm/th (94,74%) dan 17,86 ton/ha/th (99,04%) dibanding Kontrol. Model ini merupakan alternatif penggunaan lahan dalam konteks pengelolaan DAS Juwana. Diharapkan model agroforestri ini dapat berperan mendukung ketahanan pangan. Kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan agroforestri tersebut antara lain peningkatan pendidikan baik formal maupun non formal dan adopsi teknologi pengelolaan DAS serta pemberdayaan kelompok tani untuk pengembangan agroforestri. 3. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap usahatani konservasi tanah dan air, yang pada saat tingkat partisipasinya rendah sampai sedang, perlu pendampingan oleh petugas lapangan Penyuluh Pertanian dan Kehutanan dalam pelibatan masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat hingga monitoring evaluasi. 4. Teknik agroforestri berkonservasi tanah dan air yang dikembangkan telah memberi persepsi pada petani akan pentingnya penerapan teknik konservasi tanah dan air pada lahan usahataninya. Tingkat persepsi tersebut akan menentukan adopsi teknik agroforestri dan kemauan adopsinya tergantung pada manfaat apa yang dapat diperoleh petani, dampak ekonomi terutama dalam jangka pendek, pilihan-pilihan peluang ekonomi yang tersedia dibandingkan dengan plot agroforestri. 5. Proses membangun kelembagaan konservasi tanah dan air dilakukan melalui kerja bersama antara instansi/lembaga kepada kelompok tani, kerjasama antar anggota dalam kelompok tani dan kerjasama dengan masyarakat desa dalam pengelolaan lahan lestari berbasis konservasi tanah dan air untuk meningkatkan produksi dan meningkatkan pendapatan. Lembaga yang berperan penting dalam membangun kelembagaan tingkat petani adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten lewat Petugas Penyuluh Pertanian (PPL) sebagai pendamping kelompok tani dan Perum Perhutani KPH Regaloh lewat Ketua RT merangkap Ketua Sub LMDH dan Kelompok Tani Wana Lestari lewat para anggotanya, berperan dalam merencanakan, melaksanakan dan memonitor serta mengevaluasi kegiatan konservasi tanah dan air di desa Gunungsari. Peran aktif Kelompok Tani Wana Lestari dibutuhkan sebagai tempat untuk saling berbagi pengalaman dan berbagi informasi, terutama informasi pemasaran hasil usahatani sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Sintesis 2010-2014 | 27 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Dampak sosial ekonomi degradasi lahan di kawasan Gunung Muria pada usaha tani ubikayu adalah penurunan produksi selama empat tahun terakhir. 2. Semua model perlakuan yang diuji mampu menurunkan limpasan dan erosi. Model perlakuan terbaik adalah Model A karena mampu menurunkan limpasan permukaan sebesar 219,92 mm/th (94,74%) dan tingkat erosi sebesar 17,86 ton/ha/th (99,04%). 3. Pertumbuhan tinggi sengon sampai umur 18 bulan model A 20,70 cm per bulan dengan pertumbuhan diameter sengon model A sebesar 2,83 mm per bulan. 4. Sampai dengan tahun pertama Model A mampu meningkatkan kadar C organik dan Nitrogen total tertinggi masing-masing sebesar 1,203% (45,29%) dan 0,02 % (22,22%) namun semua model tidak mampu mengendalikan penurunan kadar C organik dan Nitrogen total pada tahun kedua. Dari tahun pertama ke tahun kedua Model A juga mampu meningkatkan kadar Ca (0,79 cmol/kg), Na (0,03 cmol/kg) dan Kejenuhan basa (7,06%). 5. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap usahatani konservasi tanah dan air rendah sampai sedang.Teknik agroforestri berkonservasi tanah dan air yang dikembangkan telah memberi persepsi pada petani akan pentingnya penerapan teknik konservasi tanah dan air pada lahan usahataninya. Tingkat persepsi tersebut akan menentukan adopsi teknik agroforestri dan kemauan adopsinya tergantung pada manfaat apa yang dapat diperoleh petani, dampak ekonomi terutama dalam jangka pendek, pilihan-pilihan peluang ekonomi yang tersedia dibandingkan dengan plot agroforestri. 6. Proses membangun kelembagaan konservasi tanah dan air dilakukan melalui kerja bersama antara instansi/lembaga kepada kelompok tani, kerjasama antar anggota dalam kelompok tani dan kerjasama dengan masyarakat desa dalam pengelolaan lahan lestari berbasis konservasi tanah dan air untuk meningkatkan produksi dan meningkatkan pendapatan. B. Saran Sampai dengan tahun kedua Model A: kombinasi sengon+manggis+ petai+manglid+ randu+lamtoro+teras merupakan model terbaik yang dapat disarankan sebagai salah satu alternatif teknik Konservasi Tanah dan Air di Kabupaten Pati. Penelitian pertumbuhan sengon dan jabon yang menginjak tahun kedua ini perlu dilanjutkan sehingga dampak Model A pada umur 5-6 tahun terhadap limpasan permukaan, erosi, kesuburan tanah dan produksi agroforesti dapat diketahui. Pengembangan agroforestri konservasi tanah di lokasi penelitian akan efektif apabila dilakukan secara berkelompok untuk meningkatkan kesadaran bagi para petani akan konservasi tanah dalam rangka mempertahankan kesuburan tanah. Pengembangan agroforestri konservasi tanah di lokasi penelitian dapat diakselerasi dengan peningkatan kerjasama dengan petani dan penyuluh, sosialisasi agroforestri yang lebih intensif, dan koordinasi antar stakeholder dalam pengembangan agroforestri. Diperlukan pendampingan oleh petugas lapangan dan diberikan insentif berupa pohon dan ternak kambing agar petani lebih berpartisipatif melestarikan lingkungan pada umumnya dan konservasi tanah dan air Sintesis 2010-2014 | 28 pada khususnya. Pembinaan kelompok yang sudah terbentuk perlu ditingkatkan dengan pembobotan materi pertemuan lebih kearah teknik usahatani konservasi tanah dan air. Kemampuan para pihak perlu ditingkatkan dan kegiatannya harus terpadu dengan kegiatan masyarakat dalam mendukung pelaksanaan usahatani berbasis konservasi tanah dan air. DAFTAR PUSTAKA Abisono, F.G. 2002. Dinamika kebijakan pangan orde baru: otonomi negara vs pasar global. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 5 (3): 271-294. Awang, San Afri dkk.2008. Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). CIFOR.Bogor. Badan Pusat Statistik. 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati. Balai Penelitian Kehutanan Solo. 2009. Kajian Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat di Jawa Tengah. Laporan Hasil Penelitian. Surakarta. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. 2011. Rehabilitasi lahan terdegradasi dengan jenis lokal. Laporan penelitian. Badan Litbang Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Surakarta. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. 2012. Rehabilitasi lahan terdegradasi dengan jenis lokal. Laporan penelitian. Badan Litbang Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Surakarta. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. 2013. Rehabilitasi lahan terdegradasi dengan jenis lokal. Laporan penelitian. Badan Litbang Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Surakarta. Badan Pusat Statistik. 2011. Kecamatan Tlogowungu dalam Angka. Monografi Desa Gunungsari.Pati. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati. 2011. Kecamatan Tlogowungu dalam angka 2011. BPS Kabupaten Pati. Pati. Bentuk-bentuk_Partisipasi & Tipe_Partisipasi id.wikipedia.org/wiki/Partisipasi.Diunduh tanggal 25 Januari 2012. Billy Hindra.2006. Potensi dan Kelembagaan Hutan Rakyat .Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 14-23 BPDAS Pemali Jeratun. 2008. Grand Design Rehabilitasi Kawasan Gunung Muria.Balai Pengelolaan DAS. Departemen Kehutanan. Semarang. Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2005. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia tahun 2005. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta. 204 p. Edwina, S dan E. Maharani. 2010. Persepsi petani terhadap teknologi pengolahan pakan di Kecamatan Kerinci Kanan Kabupaten Siak. Indonesian Journal of Agricultural Economics, 2 (1): 169-183 Estu Suryowati. 2014. Tanpa Ada Pembenahan dari Hulu ke Hilir, Bencana Akan Terus Habiskan Triliunan Rupiah. Kompas. 12 Pebruari 2014. Jakarta. Fidi Mahendra.2009. Sistem Agroforestri dan Aplikasinya. Graha Ilmu. Yogyakarta. Sintesis 2010-2014 | 29 Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch, 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia dan Washington DC: Global Forest Watch. Bogor. Forest Watch Indonesia, 2005. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009. Edisi Pertama. Forest Watch Indonesia. Bogor. Gong, W., X. Yan, J. Wang, T. Hu dan Y. Gong. 2009. Long term manure and fertilizer effects on soil organic matter fractions and microbes under a wheat-maize cropping system in northern China. Geoderma 149: 318-319. Gumbira, S dan A. H. Intan. 2001. Manajemen Agribisnis. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta. Irawan,E.2011. Analisis Ex Ante Partisipasi Petani dalam Proyek Hutan Rakyat untuk Mitigasi Perubahan Iklim di Kabupaten Wonosobo. Prosiding Expose Hasil Penelitian dan Pengembangan. Surakarta. Ishak, A Afrizon. 2011. Persepsi dan tingkat adopsi petani padi terhadap penerapan system of rice intensification (SRI) di Desa Bukit Peninjauan I, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Seluma. Informatika Pertanian, Vol. 20 No.2, Desember 2011: 76-80. Kementerian Kehutanann 2013. Statistik Kehutanan Indonesia 2012. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Kementerian Pertanian.2008.Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16/Permentan/OT.140/2 /2008, tanggal 11 Pebruari 2008. Tentang Pedoman Umum Proyek Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Manule, R.M. 2002. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Saddang Bagian Hilir di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Tesis S2. Unhas. Tidak dipublikasikan. Makassar. Mahendra, F. 2009. Sistem agroforestri dan aplikasinya. Graha Ilmu. Yogyakarta. Marimin. 2004. Teknik dan aplikasi pengambilan keputusan kriteria majemuk. PT.Gramedia. Jakarta. Nanang, M dan G. Simon Devung. 2004. Panduan Pengembangan Peran dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. ISBN 4-88788-007-3.Institute for Global Environmental Strategies (IGES). KABUPATEN KUTAI BARAT Notohadiprawiro, T. 1986. Ultisol, Fakta dan Implikasi Pertaniannya. Bulletin Pusat Penelitian Marihat. No. 6. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gajah mada (2006). Paimin, Sukresno dan Purwanto, 2010. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sunia. Pusat penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Pemerintahan Desa Gunungsari. 2012. Monografi Desa Gunungsari. Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu. Pati. Tidak dipublikasikan. Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 8 Tahun 2011 tentang RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KABUPATEN PATI TAHUN 2005–2025. Lembaran Daerah Kabupaten Pati Tahun 2011 Nomor 8. Pati. www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/KAB_PATI_5_2012.pdf Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT Teknik membedah kasus bisnis. Gramedia. Jakarta. Rogers, E.M. 1983. Diffution of Innovations. The Free Press, New York. Singarimbun, M dan E. Sofian. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta. Siregar, C. 2006. Analisis Sosiologi Terhadap Inovasi Teknologi. Jurnal Sosio Teknologi Edisi 9 Tahun 5, Desember 2006. Sintesis 2010-2014 | 30 Suprapto, T. dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek. Arti Bumi Intaran. Yogyakarta. Scherr, S.J. and S. Yadav. 1996. Land Degradationin the Developing World: Implications for Food, Agriculture, and the Environment to 2020. International Food Policy Research Institute. 1200 Seventeenth Street, N.W. Washington, D.C. 20036-3006 U.S.A. May 1996. Food, Agriculture, and the Environment Discussion Paper 14 Sudaryono, 2009. Tingkat Kesuburan Tanah Ultisol Pada Lahan Pertambangan Batubara Sangatta, Kalimantan Timur. J. Tek. Ling Vol.10 No.3 Hal. 337 - 346 Jakarta, Sept 2009 ISSN 1441-318X. Sugita. B. 2010. Ikon Baru Kota Kudus. Suara Merdeka. Suntoro W. Atmojo. 2008. Peran Agroforestri dalam Menanggulangi Banjir dan Longsor DAS. Seminar Nasional Pendidikan Agroforestry Sebagai Strategi Menghadapi Pemanasan Global di Fakultas Pertanian, UNS. Solo. Syahyuti. 2006. Partisipasi. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT.Bina Rena Pariwara. Jakarta. Yudi Lastiantoro.C dan S. Andy Cahyono. 2013. Peran Pengelolaan DAS dalam Pengembangan Agribisnis untuk Mendukung Kedaulatan Pangan. Seminar Nasional Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Purwokerto. Yudi Lastiantoro.C dan S.Andy Cahyono. 2013. Kontribusi Agroforestri terhadap Ekonomi Rumah Tangga Petani dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati. Seminar Nasional Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012. Tentang Pangan. Jakarta. Wibowo,H.A.2005.Partisipasi Kelompok Petani Dalam Usaha Konservasi Tanah Di Desa Medini Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. www.pustakaskripsi.com/partisipasi-kelompokpetani-dalam-usaha-konservasi-tanah-di-desa-medini-kecamatan-undaankabupaten-kudus-2931.html diunduh tgl. 24 Juli 2012. Wikipedia. 2014. Degradasi Lahan. Ensiklopedia bebas. http://id.wikipedia.org/wiki/ Degradasi_lahan. Diunduh tanggal 26-2-2014. Sintesis 2010-2014 | 31 JUDUL PENELITIAN : TEKNIK REHABILITASI LAHAN KRITIS SECARA PARTISIPATIF PELAKSANA : Ir. NINING WAHYUNINGRUM, M.Sc INSTANSi : BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN PENGELOLAAN DAS I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Degradasi lahan di Indonesia umumnya diakibatkan erosi oleh air hujan (Dariah dkk., 2004). Hal ini disebabkan oleh tingginya curah hujan yang jatuh pada lahan yang berlereng curam dan kurangnya penerapan konservasi tanah. Lahan berlereng curam dan marjinal masih banyak digunakan untuk budidaya tanaman semusim sebagai akibat kebutuhan penduduk untuk mencukupi kebutuhan pangan. Erosi pada dasarnya merupakan proses penggerusan permukaan kulit bumi, yang dimulai dari penghancuran agregat tanah, pengangkutan dan pengendapan partikel-partikel tanah yang terlepas dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Di alam ada dua penyebab utama yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air (Utomo, 1994). Menurut Weischmeier dan Smith (1978), erosi dipengaruhi oleh faktor hujan, topografi, sifat fisik tanah, penutupan dan pengelolaan lahan. Aktifitas manusia dapat mengendalikan erosi dengan mengurangi pengaruh faktor topografi, sifat fisik tanah, penutupan dan pengelolaan lahan dengan teknik konservasi tanah vegetatif maupun mekanis. Pengolahan lahan juga berpengaruh pada erosi meskipun efeknya tidak secara cepat dapat dilihat seperti halnya erosi oleh air dan angin (Oost dkk., 2006). Erosi oleh air menimbulkan masalah serius, terutama pada lahan-lahan pertanian. Penutupan lahan oleh vegetasi mempunyai dampak positif terhadap pengurangan erosi karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap tanah (Kefi dkk., 2011). Selain menyebabkan sedimentasi, erosi juga juga akan menyebabkan berkurangnya ketebalan tanah (solum) dan berkurangnya tingkat kesuburan tanah di wilayah hulu (on site) (Sutrisno dkk., 2012). Salah satu hulu DAS Bengawan Solo terletak di Kabupaten Wonogiri. Luas Kabupaten Wonogiri sekitar 182.232 hektar, dengan penutupan lahan yang dominan adalah tegal (31,6%), diikuti oleh pekarangan (20,5%), sawah (16,9%). Sedangkan hutan negara dan hutan rakyat mempunyai luas yang sama yaitu 8,9%. Sisanya merupakan penutupan lahan lain-lain (13,1%). Jika dilihat dari topografi maka sebagian besar (65%) daerah Wonogiri berbentuk perbukitan dengan lereng yang terjal, areal landai (30%) dan hanya 5% merupakan areal datar (http://www.wonogiri.go.id/). Pada lereng yang terjal ini umumnya digunakan untuk tanaman semusim yang rawan menyebabkan erosi. Studi yang dilakukan oleh JICA (2007) menyebutkan bahwa sumber sedimentasi di Waduk Gajahmungkur berasal dari erosi tanah pada pengolahan lahan tegalan dan kawasan pemukiman. Erosi tanah yang tinggi disebabkan oleh konsekuensi pengelolaan lahan yang buruk dan pengembangan usaha pertanian oleh petani setempat di lahan-lahan yang secara topografis rentan terhadap degradasi karena pada lahan lereng gunung terjal. Pemanfaatan lahan demikian sebagai akibat kemiskinan dan terbatasnya lapangan kerja di luar pertanian. Sintesis 2010-2014 | 33 Sub DAS Keduang merupakan penyumbang sedimentasi terbesar (1.218.580 m3/tahun) ke dalam Waduk Gajahmungkur dibanding Sub DAS – Sub DAS lainnya, sedangkan sumber erosi terbesar berasal dari lahan tegalan (53%) dan lahan tegalan di kawasan pemukiman (22%) (JICA, 2007). Dari hal-hal tersebut di atas dapat diduga bahwa penyebab banjir dan tingginya sedimentasi hasil adalah pemanfaatan lahan yang kurang sesuai dengan kemampuannya terutama pada daerah-daerah dengan kemiringan terjal. Untuk mengatasi itu maka pengembangan hutan tanaman sebagai tindakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) metode vegetatif, merupakan salah satu alternatif yang direkomendasikan. Selain untuk mengatasi banjir dan sedimentasi, pola hutan tanaman yang sesuai dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga lingkungan terjaga dan masyarakat sejahtera. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari kegiatan ini adalah : a) Menemukan metode RLKT untuk mengurangi besarnya erosi; dan b) Menemukan metode RLKT untuk mengendalikan banjir. Tujuan ini mendukung tujuan RPI 15 (Teknologi Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS) yaitu menyediakan informasi dan tekonologi tepat guna untuk menunjang kelestarian pengelolaan sumber daya lahan, khususnya yang terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi agar sumberdaya lahan dan air yang terdegradasi dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora, fauna dan secara keseluruhan sebagai penyangga kehidupan termasuk didalamnya dapat meningkatkan perekonomian rakyat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan, kegiatan pelaksanaan dan pengelolaan pasca rehabilitasi lahan II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL PENELITIAN A. Identifikasi Regulasi yang Ada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Anonymous, 2012) B. Analisis Kebutuhan Penelitian -III. SINTESIS HASIL PENELITIAN A. Metode Penelitian Waktu Penelitian. Penelitian diselenggarakan pada tahun 2007 s/d tahun 2012. Lokasi. Lokasi penelitian secara administratif terletak di Dusun Dungwot Desa Ngadipiro, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri dan secara geografis terletak pada 110o 59’52’’BT; 7o53’8’’LS. Lokasi penelitian ini dipilih karena merupakan lahan kering berlerang curam dengan curah hujan rata-rata pertahun 1.976,6 mm dengan jumlah bulan basah (Schmidt dan Fergusson, 1951) 6 bulan. Di lokasi yang terjal dan bersolum dangkal ini kegiatan pertanian tanaman semusim masih dilakukan. Sintesis 2010-2014 | 34 Rancangan Penelitian. Penelitian didahului dengan survey (tahun 2007) untuk menentukan batas Sub DAS dan melihat kondisi biofisik, yang meliputi kelerengan, jenis penutupan lahan, jenis konservasi tanah, kedalaman tanah, tekstur dan struktur tanah, drainase dan permeabilitas tanah, pH tanah, jenis erosi, besarnya erosi (% luas). Parameter biofisik ini digunakan untuk menentukan jenis tanaman yang sesuai dan jenis konservasi tanah. Berdasarkan parameter biofisik, lahan dikelompokkan menjadi satuan-satuan lahan dengan ciri-ciri yang relatif seragam. Selanjutnya Sub DAS ini disebut Sub DAS perlakuan. Pada tahun 2009, telah dilakukan pengukuran dan survei biofisik Sub DAS baru sebagai pembanding dengan penutupan lahan dominan hutan (Gambar 1). Dengan demikian membentuk sub DAS berpasangan dengan luas masing-masing yaitu 10,82 ha dan 11,12 ha. Gambar 1. Lokasi DAS mini perlakuan dan kontrol Gambar 2. Lokasi pengambilan sampel tanah pada Sub DAS Perlakuan dan Kontrol. Sintesis 2010-2014 | 35 Analisis dilakukan dalam satuan lahan yang terbentuk berdasar kesamaan karakter biofisik seperti jenis penutupan lahan, kedalaman tanah dan kelas lereng. Pembatasan DAS dilakukan secara terestris dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Titik koordinat yang tercatat diolah dengan ArcMap 9.2 (Crosier dkk., 2004) menjadi shape file, yang merupakan peta digital dari penutupan lahan, kedalaman tanah dan kelas lereng. Tumpang susun (overlay) peta-peta tersebut dilakukan untuk menentukan/mengelompokkan menjadi satuan lahan yang mempunyai ciri biofisik yang relatif seragam. Data biofisik dikumpulkan melalui survei inventarisasi sumber daya lahan (Fletcher dan Gibb, 1990). Data yang dikumpulkan meliputi jenis penutupan lahan, jenis tanah, kedalaman solum, tekstur tanah, kemiringan lahan. Selain itu dilakukan pengambilan sampel tanah. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada setiap satuan lahan pada kedalaman 0-20 cm. Pengambilan sampel secara komposit, masing-masing satuan lahan diambil 3 sampel yang dicampur menjadi satu. Pengukuran tegakan dilakukan untuk mengetahui nilai index pengelolaan tanaman (C). Pengukuran dilakukan dengan membuat petak ukur (PU) berjari-jari 16 m. Dengan intensitas sampel lebih kurang 10%, PU dibuat secara purposive yaitu pada lokasi yang ditumbuhi tanaman keras. Data yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman total, tinggi bebas cabang, diameter batang, jari-jari tajuk, jumlah tanaman dan prosentase penutupan tajuk. Dalam PU juga diamati secara visual persentase penutupan lahan oleh tanaman semusim, semak, seresah dan kerikil permukaan. Pengamatan erosi dan aliran permukaan dilakukan dengan membuat plot erosi berukuran 22 m x 4 m pada sub DAS perlakuan. Jenis perlakuan yang diterapkan meliputi : 1. Lahan pertanian tanaman semusim milik masyarakat Plot A1: tanaman jati, mangga, dan jambu mete tanpa teras (lereng 39%) Plot B1: tanaman jati, mangga, dan pete dengan teras bangku dengan batu terawat dan penguat teras rumput (lereng 34%) Plot C1: tanaman jati, mangga, mete, dan pete dengan teras bangku tak terawat (lereng 39%). Tanaman jati, mangga, pete dan mete merupakan tanaman tahun 2008 dengan jarak tanam 4 m x 4 m 2. Tumpang sari di lahan hutan milik Perum Perhutani Plot A4: tanaman jati, mangga, jambu mete dan penguat teras rumput gajah (lereng 34%) Plot B4: tanaman jati, mangga, pete dengan teras bangku dengan penguat lamtoro (lereng 39%) Plot C4: tanaman jati, mangga, jambu mete, pete dengan teras bangku (lereng 39%) 3. Lahan hutan murni (tanpa tanaman semusim) (kontrol), lahan milik Perum Perhutani Plot K1: Jati 5 th (lereng 31%) Plot K2: Gmelina (lereng 34%) Plot K3: Jati 10 th (lereng 37%) Pengukuran erosi on site dilakukan pada plot erosi dengan Metode Pengendapan Tanah Terangkut (Priono, 1996). Sintesis 2010-2014 | 36 Untuk mengetahui pengaruh penutupan lahan terhadap tata air dilakukan dengan memasang AWLR atau logger yang berfungsi mencatat fluktuasi tinggi muka air (Sukresno dkk., 2003) pada masing-masing sub DAS. Pengamatan partisipasi masyarakat kegiatan RLKT dilakukan dengan melakukan focuse group discussion. Analisis data dilakukan dengan: Data hasil pengukuran erosi dan hasil air akan dianalisis metode deskriptif. Dengan demikian akan diperoleh RLKT, baik teknik sipil maupun vegetatif yang efektif mengendalikan erosi dan banjir. Erosi aktual ini juga dibandingkan dengan erosi hasil prediksi dengan metode USLE. Analisis Kemampuan Penggunaan Lahan (KPL) dilakukan dengan metode (Wahyuningrum dkk., 2003) untuk mengetahui kesesuain penggunaan lahan aktual dengan klas KPL Analisis Fisika dan kimia tanah dilakukan untuk mengetahui dampak penggunaan lahan dan erosi terhadap kesuburan tanah. Analisis hidrograf pada beberapa kejadian banjir dan pada masing-masing subDAS. Analisis dilakukan pada sub DAS yang dilengkapi peralatan pemantau TMA otomatis (AWLR dan Logger), untuk melihat respon sub DAS terhadap banjir Analisis tingkat partisipatis masyarakat dilakukan secara deskriptif B. Hasil Penelitian 1. Erosi dan Limpasan a. Lahan Pertanian Tanaman Semusim Dari analisis data pada bulan Maret 2009, 2010 dan 2011 dengan intensitas hujan tertentu, maka jumlah limpasan dan erosi pada masing-masing plot adalah seperti pada Gambar 3 dan 4. Dengan intensitas hujan yang sama, diharapkan masing-masing plot akan memberikan respon yang berbeda sesuai dengan perlakuan. Pada lahan milik rakyat, plot B1, C1 dan A1, erosi terbesar banyak di temui pada plot A1 yaitu Plot tanaman jati, mangga, dan jambu mete tanpa teras, diikuti oleh C1 (tanaman jati, mangga, mete, dan pete dengan teras bangku tak terawat dan B1 (tanaman jati, mangga, dan pete dengan teras bangku dengan batu terawat dan penguat teras rumput). Pada plot C1 meskipun teras dalam kondisi tidak terawat, tetapi selama satu tahun dalam kondisi bera (tidak ditanami) sehingga lebih banyak tertutup oleh semak maupun kerikil permukaan (65%). Bulan Maret, adalah musim pengolahan lahan untuk ditanam menjadi tanaman semusim. Dengan demikian akan dijumpai pada B1 mempunyai nilai erosi yang lebih tinggi, karena pada plot B1 ada pengolahan lahan (Gambar 3). Limpasan atau aliran permukaan merupakan media pembawa partikel tanah yang sudah terpecah dari agregatnya, sehingga semakin besar aliran permukaan, semakin besar erosi permukaan. Aliran air memberikan tenaga untuk memecah partikel tanah dan membawanya ke dalam aliran (Gambar 4). Sintesis 2010-2014 | 37 (a) (b) (c) Gambar 3. Erosi pada lahan pertanian tanaman semusim pada bulan Maret tahun 2009 (a), 2010 (b) dan 2011 (c) masing-masing pada intensitas hujan yang sama. Sejalan dengan erosi, limpasan terbesar berturut-turut ditemui pada plot A1, C1 dan B1. 5000 6000 5000 4000 Limpasan (Runoff) (lt) Limpasan (Runoff) (lt) 4500 3500 3000 2500 B1 2000 C1 1500 A1 1000 4000 B1 3000 C1 2000 A1 1000 500 0 0 7 16 25 51 64 6 hujan harian (daily rainfall) (mm) 10 12 72 2 57 hujan harian (daily rainfall) (mm) (a) (b) 5000 Limpasan (runoff) (lt) 4500 4000 3500 3000 2500 A1 2000 B1 1500 C1 1000 500 0 4 48 2 7 15 17 7 hujan harian (daily rainfall) (mm) (c) Gambar 4. Limpasan pada pertanian tanaman semusim pada bulan Maret tahun 2009 (a), 2010 (b) dan 2011, masing-masing pada intensitas hujan yang sama. Sintesis 2010-2014 | 38 b. Tumpang Sari di Lahan Hutan Gambar 5. dan Gambar 6. memperlihatkan erosi dan limpasan pada lahan hutan yang ditanami tanaman semusim (singkong, kacang tanah, jagung) dengan sistem tumpang sari. Erosi dan limpasan terbesar terdapat pada plot C4 (tanaman jati, mangga, jambu mete, pete dengan teras bangku tanpa penguat teras). Dari sini terlihat bahwa peranan penguat teras sangat penting dalam mengendalikan erosi. Penguat teras lamtoro dan rumput gajah memberi efek positif dalam mengendalikan erosi dan limpasan. Pada Gambar 7. dapat dilihat kondisi teras pada plot A4 dan B4, yaitu penguat teras lamtoro dan rumput gajah. Pada kedua plot ini nilai erosi dan limpasan relatif lebih kecil daripada plot-plot lainnya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Prakosa dan Nugroho (1996) dan Djaengsastro dkk (1999) yang menyatakan bahwa kombinasi sekat rumput dan legume efektif dalam mengendalikan erosi dan penanaman tanaman strip rumput gajah, efektif didalam rnengurangi laju erosi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wardojo (1995) juga menunjukkan bahwa sekat rumput dengan jenis Setaria spacelata dapat menurunkan erosi rata-rata 39% dan menurunkan aliran permukaan sebesar 32,5%. (a) (b) (c) Gambar 5. Erosi pada tumpang sari di lahan hutan pada bulan Februari tahun 2009 (a), 2010 (b) dan 2011 (c) masing-masing pada intensitas hujan yang sama Sintesis 2010-2014 | 39 600 1600 500 1200 400 1000 800 A4 600 B4 400 C4 Limpasan (runoff) (lt) Limpasan (runoff) (lt) 1400 200 0 A4 300 B4 200 C4 100 0 6 51 24 12 35 12 69 25 39 hujan harian (daily rainfall) (mm) 3 10 5 10 hujan harian (daily rainfall) (mm) (a) (b) 600 Limpasan (runoff) (lt) 500 400 A4 300 B4 200 C4 100 0 48 42 42 32 23 40 16 hujan hatian (daily rainfall) (mm) (c) Gambar 6. Limpasan pada tumpang sari di lahan hutan pada bulan Februari tahun 2009 (a), 2010 (b) dan 2011 (c) masing-masing pada intensitas hujan yang sama (a) (b) Gambar 7. Penguat teras lamtoro (a) dan penguat teras rumput (b) Tindakan konservasi tanah harus dilakukan secara simultan, seperti yang terlihat pada plot C1, meskipun mempunyai teras bangku yang tidak terpelihara, tetapi menhasilkan nilai erosi dan limpasan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan plot B1 yang berteras batu dan berpenguat rumput. Hal ini disebabkan karena ada proses pengolahan lahan pada plot B1 sedangkan plot C1 dalam kondisi bera. Pengolahan lahan berfungsi untuk mempersiapkan lahan untuk ditanami benih, membasmi gulma, menstabilkan kondisi Sintesis 2010-2014 | 40 permukaan tanah dengan meningkatkan infiltrasi dan mengontrol erosi, selain itu pengolahan lahan juga dapat meningkatkan efek yang tidak diinginkan seperti pemadatan tanah, percepatan dekomposisi bahan organik dan meningkatkan kepekaan tanah terhadap erosi (Troeh dkk, 2004). Tumbuhan bawah dan materi penutupan lahan (kerikil), ikut berperan juga dalam mengendalikan laju erosi dan limpasan permukaan. Prosentase tumbuhan bawah dan kerikil permukaan pada plot C1 lebih besar dibandingkan dengan prosentase pada plot B1. Pengolahan lahan mempengaruhi penutupan lahan ini. Lahan menjadi terbuka, sehingga lebih peka terhadap erosi. Banyaknya kerikil di permukaan dan tajuk tanaman keras juga berpengaruh terhadap limpasan. Perbandingan limpasan pada lahan hutan (tumpang sari) dengan plot kontrol (hutan murni), menunjukkan bahwa limpasan pada plot C4 memiliki nilai yang besar dibandingkan dengan plot-plot yang lainnya. C4 adalah plot dengan tanaman jati, mangga , jambu mete dan pete dengan teras bangku, tanpa penguat teras (Gambar 6). Dari Tabel 1 terlihat bahwa dibandingkan dengan plot A4, B4, K1, K2 dan K3, plot C4 memiliki penutupan oleh tanaman keras dan kerikil permukaan yang paling sedikit. Dari aspek erosi, perbedaan tidak tampak menonjol antar lahan tumpang sari dengan kontrol. Hasil analisis tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Supangat dkk (2002) yang menyebutkan bahwa tanaman semusim yang ditanam di bawah tegakan hutan rakyat sengon dan kopi dapat meningkatkan erosi namun demikian dengan konservasi tanah yang sesuai erosi dapat ditekan. Selain itu, Triwilaida (2000) mengemukakan bahwa makin tinggi penutupan tajuk oleh tanaman kayu-kayuan, nilai faktor C semakin kecil. Selain penutupan lahan, hal lain yang menentukan besarnya nilai faktor C yaitu luasan tanah yang terbuka tanpa perakaran halus (bare land), penutupan oleh tajuk tanarnan semusim dan penutupan oleh batuan di permukaan. Dari Tabel 1 terlihat bahwa pada lahan tumpang sari maupun kontrol (hutan murni) secara umum lahan relatif tertutup baik oleh tajuk tanamn hutan, tumbuhan bawah maupun oleh kerikil permukaan. Triwilaida (2000) juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara nilai C dan prosen penutupan tajuk. Hubungan antara erosi dengan penutupan vegetasi berbentuk “curvilinear”, ada perbedaan erosi yang sangat sedikit pada penutupan 100% dan 60%, demikian pula halnya dengan aliran permukaan. 450 Limpasan (runoff) (lt) 400 350 300 A4 250 B4 200 C4 150 K1 100 K2 50 K3 0 41 19 41 15 9 12 hujan harian (daily rainfall) (mm) (a) (b) Gambar 8. Perbandingan erosi (a) dan limpasan (b) pada lahan umpangsari dan kontrol pada bulan Januari 2010, dengan intesitas hujan yang sama Sintesis 2010-2014 | 41 Hasil pengukuran erosi aktual pada beberapa plot berbeda dengan hasil prediksi dengan model USLE (Gambar 9). Hasil yang mirip diperoleh pada plot A4, B4 dan C4. Pada plot B1 erosi actual sangat berbeda nyata karena pada plot ini selalu terdapat aliran sub-surface dari teras yang ada diatasnya meskipun tidak ada hujan. 120 100 80 60 Erosi (USLE) Erosi (aktual) 40 20 0 Plot A1 Plot B1 Plot C1 Plot A4 Plot B4 Plot C4 Plot Plot K1 K2 Plot K3 Gambar 9. Perbandingan erosi hasil prediksi dengan model USLE dibandingkan dengan erosi aktual 2. Nilai C Peranan penutupan tajuk oleh tanaman keras terhadap erosi dapat dihitung efektifitasnya. Efektifitas tajuk dalam mengendalikan erosi permukaan dapat dinyatakan dalam factor tanaman (factor crop) atau C. Perhitungan nilai C untuk tanaman keras (kayukayuan) dihitung menurut prosedur yang dikemukakan Perhitungan nilai C tanaman keras dengan rumus Dissmeyer dan Foster (1984). Tabel 1. Perhitungan nilai C tanaman keras pada plot erosi Plot Tinggi Tajuk (m) BO Plot A1 Plot B1 Plot C1 Plot A4 Plot B4 Plot C4 Plot K1 Plot K2 Plot K3 5,70 5,67 4,67 2,71 4,69 2,63 6,83 16,20 6,29 0,027 0,032 0,025 0,034 0,058 0,036 0,032 0,033 0,034 Tumbuhan Bawah (%) 85 30 55 80 80 80 70 60 30 Tanah Terbuka (%) 15 70 45 20 20 20 30 40 70 Rerata C Luas Tajuk (m2) 12,56 12,56 12,56 0,79 0,79 13,85 40,69 36,30 22,89 Persen Tajuk (%) 14,27 14,27 14,27 0,89 0,89 15,74 46,24 41,25 26,01 SFPH 2,40 0,25 0,69 1,92 1,92 1,92 1,38 0,92 0,25 SFT 0,98 0,98 0,97 0,01 0,01 0,94 0,94 0,93 0,97 C 0,06 0,01 0,02 0,00 0,00 0,07 0,04 0,03 0,01 0,03 Keterangan : Tinggi Tajuk = tinggi tajuk tanaman keras; BO = Bahan Organik (%); Luas Tajuk = luas tajuk tanaman keras (m2); Tanah Terbuka = tanah terbuka dengan perakaran halus (%); Persen Tajuk = persentase perbandingan luas tajuk terhadap luas plot; SFPH = sub faktor perakaran halus; SFT = sub faktor tajuk. Perhitungan faktor C pada plot dapat dilakukan dengan nilai tertimbang dari masingmasing jenis penutupan yang ditemui dalam plot tersebut. Tabel 2. Nilai C pada masing-masing plot Plot Plot A1 Plot B1 Plot C1 Plot A4 Tumbuhan Bawah 85 30 55 80 Sintesis 2010-2014 | 42 C Tertimbang 0,0009 0,0003 0,0006 0,0008 Tanaman Keras 10 10 10 5 C Tertimbang 0,003 0,003 0,003 0,002 Total Nilai 0,004 0,003 0,004 0,002 Plot Plot B4 Plot C4 Plot K1 Plot K2 Plot K3 Tumbuhan Bawah C Tertimbang Tanaman Keras 80 0,0008 10 80 0,0008 10 70 0,0007 20 60 0,0006 70 30 0,0003 80 Rerata C (tanaman keras + tnaman bawah) C Tertimbang 0,003 0,003 0,006 0,021 0,024 Total Nilai 0,004 0,004 0,007 0,022 0,024 0,008 Keterangan : Nilai C pada semak belukar = 0,01; pada serasah = 0,05; pada tanah terbuka = 1; pada tanaman keras = 0,03 3. Sifat Fisika dan Kimia Tanah Tanah di lokasi penelitian, secara umum mempunyai pH rendah (5,6-6,5) demikian juga dengan P tersedia sangat rendah sampai dengan rendah (<7 dan 7-16 mg/kg) (Lampiran 2). Unsur P banyak digunakan tanaman, terutama dalam sintesis protoplasma (Mas'ud,1992). Kondisi kemasaman tanah akan mempengaruhi keterlarutan P. Kemasaman (pH) tanah yang sangat rendah (<5,5) dapat mempengaruhi ketersediaan P (Mas'ud, 1992). Pengapuran dengan dolomit dan batuan kapur dapat menaikkan pH, dengan demikian dapat meningkatkan ketersediaan P. Pemupukan dengan bahan organik (Centrosema pubescen) juga dapat meningkatkan pH dan ketersediaan P (Djuniwati dkk., 2007). Unsur lain yang penting bagi pertumbuhan tanaman adalah K. Kalium berperan untuk memberi ketahanan tanaman terhadap penyakit dan meningkatkan sistem perakaran selain itu juga berperan dalam pembentukkan karbohidrat dan translokasi gula (Buckman dan Brady, 1982). Kandungan K di lokasi kajian sangat rendah (<10 %) (Lampiran 2). Untuk menanggulangi kekurangan K, salah satu cara adalah dengan menerapkan sistem multiple cropping yang dapat meningkatkan penyerapan K dan secara cepat mengurangi kandungan K tersedia dalam tanah (Mas'ud, 1992). Unsur hara yang relatif banyak diambil setiap tahun melalui pemanenan adalah unsur N. Selain itu, unsur ini mudah menguap dan jumlahnya dalam tanah amat sedikit (Buckman dan Brady, 1982). Pada Tabel 7 terlihat bahwa kandungan N ada pada tingkat sedang (86%) dan tinggi (8,5%). Erosi hanya sedikit berpengaruh terhadap kandungan N dibandingkan dengan unsur P dan K. Tabel 3. Kandungan N pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi tanah (N content in different land cover types) Penutupan Lahan (Land cover) Ut1 Ut2 Ut3 Ut4 Ut5 Ut6 Luas (Area) (%) Kandungan N Total (Total N content) S T (blank) 4,60 0,00 0,00 11,65 0,00 0,00 36,57 8,51 0,00 25,67 0,00 0,00 4,60 0,00 0,00 3,84 0,00 4,55 86,94 8,51 4,55 Luas (Area) (%) 4,60 11,65 45,08 25,67 4,60 8,39 100,00 Keterangan (Remarks) : S = sedang (moderate); T = tinggi (high). Kandungan C organik yang tergolong rendah sebanyak 4,29% dan yang termasuk kategori sangat tinggi sebesar 14,18% dijumpai pada penutupan lahan Ut3 (Tabel 8). Karbon merupakan penyusun umum bahan organik. Sumber utama bahan organik tanah adalah jaringan tumbuhan (Buckman dan Brady, 1982). Jaringan tumbuhan dapat berasal Sintesis 2010-2014 | 43 dari akar pohon, semak-semak dan tumbuhan tingkat rendah lainnya. Selain jaringan tanaman, hewan-hewan seperti cacing tanah juga dapat menghasilkan bahan organik. Pengolahan lahan yang intensif dapat mempengaruhi unsur hara dan meningkatkan kandungan bahan organik, terutama pada lereng bagian bawah (Oost dkk., 2006; Fucheng dkk., 2012). Penurunan kandungan bahan organik tanah dapat mengakibatkan penurunan makroporositas tanah. Apabila kondisi ini terjadi pada lahan miring dengan penutupan lahan yang kurang rapat akan berpotensi meningkatkan limpasan permukaan dan erosi (Hairiah dkk., 2012). Pemberian pupuk hijau dengan koro benguk (Mucuna sp.) dapat meningkatkan kandungan C organik (Prakosa dan Priyono, 1996). Selain itu dengan pemberian mulsa dengan bahan-bahan dari bagian tanaman seperti daun dan ranting mampu untuk memberikan tambahan unsur hara secara bertahap sejalan dengan proses dekomposisinya (Basuki, 2002). Tabel 4. Kandungan C organik pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi tanah (C organic content in different land cover types). Penutupan Lahan (Land cover) Ut1 Ut2 Ut3 Ut4 Ut5 Ut6 Luas (Area) (%) R 0,00 4,29 0,00 0,00 0,00 4,29 Kandungan C organik (C organic content) S T ST (blank) 4,60 0,00 0,00 0,00 11,65 0,00 0,00 0,00 14,60 12,01 14,18 0,00 0,00 2567 0,00 0,00 4,60 0,00 0,00 0,00 3,84 0,00 0,00 4,55 39,31 37,68 14,18 4,55 Luas (Area) (%) 4,60 11,65 45,08 25,67 4,60 8,39 100,00 Keterangan (Remarks) : R = rendah (low); S = sedang (moderate); T = tinggi (high); ST = sangat tinggi (very high). Apabila kandungan bahan organik tanah tinggi maka akan mempunyai porositas tinggi dengan demikian akan meningkatkan kapasitas infiltrasi (Hairiah dkk., 2012). Siklus bahan organik berpengaruh terhadap erodibilitas tanah, kondisi ini sangat dipengaruhi oleh karakter vegetasi penutup lahan dan fauna tanah (Bryan dkk., 1989). Bahan organik yang berupa seresah, ranting dan sebagainya yang belum terdekomposisi juga merupakan pelindung tanah dari daya rusak butiran hujan, sekaligus dapat mengurangi aliran permukaan. Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan nilai yang menunjukkan kemampuan atau kapasitas koloid tanah untuk memegang kation. Kapasitas ini secara langsung tergantung pada jumlah muatan negatif dari koloid tanah dan sangat ditentukan oleh tipe koloid yang terdapat di dalam tanah. Semakin tinggi KTK tanah, semakin subur tanah tersebut (Prakosa dan Priyono, 1996); sebaliknya semakin rendah KTK tanah, maka semakin kurang subur tanahnya. Nilai KTK pada taraf sedang terdapat di hampir semua jenis penutupan lahan seluas lebih kurang 58% (Tabel 9). Nilai KTK selain dipengaruhi oleh kandungan clay juga dipengaruhi oleh kandungan bahan organik. Pada penutupan lahan Ut3 kandungan bahan organik yang tergolong tinggi hingga sangat tinggi cukup luas, sejalan dengan hal tersebut terlihat KTK pada lahan tersebut juga termasuk tinggi. Peningkatan KTK dapat dilakukan dengan cara pemberian pupuk hijau seperti koro benguk (Mucuna sp.) (Prakosa dan Priyono, 1996). Sintesis 2010-2014 | 44 Tabel 5. Kapasitas Tukar Kation tanah pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi tanah (Soil Cation Exchange Capacity in different land cover types). Penutupan Lahan (Land cover) S 4,60 11,65 12,76 25,67 0,00 3,84 58,53 Ut1 Ut2 Ut3 Ut4 Ut5 Ut6 Luas (Area) (%) Kapasitas Tukar Kation (Cation exchange capacity) T (blank) 0,00 0,00 0,00 0,00 32,32 0,00 0,00 0,00 4,60 0,00 0,00 4,55 36,92 4,55 Luas (Area) (%) 4,60 11,65 45,08 25,67 4,60 8,39 100,00 Keterangan (Remarks) : S = sedang (moderate); T = tinggi (high). Kejenuhan basa (KB) menunjukkan perbandingan jumlah kation basa dengan jumlah seluruh kation yang terikat pada kation tanah dalam satuan persen. Kation basa adalah unsur hara yang diperlukan tanaman dan sangat mudah tercuci oleh aliran air sehingga tanah yang mempunyai kejenuhan basa yang tinggi menunjukkan ketersediaan hara yang tinggi. Artinya, tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian. Setengah (58,79%) dari DAS mikro yang diteliti mempunyai nilai KB pada tingkat sedang (Tabel 6) dan hanya 28% pada tingkat tinggi. Tabel 6. Kejenuhan Basa pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi tanah (Base saturation in different land cover types) Penutupan Lahan (Land cover) Ut1 Ut2 Ut3 Ut4 Ut5 Ut6 Jumlah (Total) R 0,00 8,25 0,00 0,00 0,00 0,00 8,25 Kejenuhan basa (Base saturation) S T (blank) 4,60 0,00 0,00 3,40 0,00 0,00 21,28 23,81 0,00 25,67 0,00 0,00 0,00 4,60 0,00 3,84 0,00 4,55 58,79 28.41 4,55 Jumlah (Total) 4,60 11,65 45,08 25,67 4,60 8,39 100,00 Keterangan (Remarks) : R = rendah (low); S = sedang (moderate); T = tinggi (high). Walaupun di lokasi penelitian mempunyai lereng curam dan bersolum dangkal namun sifat kimia dan fisik tanah masih tergolong baik. Tingkat erosi rendah disebabkan oleh tekstur dan kandungan bahan organik serta penutupan lahan yang didominasi dengan vegetasi permanen dan tumbuhan bawah. 4. Evaluasi Kemampuan Penggunaan Lahan Lahan sebagai sumber daya alam dengan jumlah yang sangat tebatas memerlukan perencanaan yang matang dalam penggunaannya sehingga dapat digunakan secara lestari ditinjau dari aspek lingkungan maupun ekonomi. Untuk dapat merencanakan penggunaan lahan agar sesuai dengan kondisinya perlu dilakukan evaluasi karakter biofisiknya. Hal ini dilakukan agar penggunaan lahan dapat disesuaikan dengan kondisi aktualnya sehingga tidak memicu terjadinya degradasi lahan yang pada akhirnya akan menurunkan produktifitasnya. Akibat dari ketidak sesuai penggunaan lahan akan berakibat pada penurunan kualitas lahan misalnya perubahan pada lahan pertanian tanaman semusim menjadi tanaman hutan dapat menyebabkan penurunan beberapa sifat fisika dan kimia Sintesis 2010-2014 | 45 tanah, seperti hasil penelitian Mao dan Zeng (2010). Hasil penelitian mereka menyebutkan bahwa ada penurunan sifat kimia tanah seperti kandungan C total, N total, mineralisasi potensial N, dan penurunan bulk density akibat erosi. Sifat-sifat tersebut akan kembali membaik seperti halnya lahan pertanian setelah umur tanaman Populus euramericana cv berumur 15 tahun (Mao dan Zeng, 2010). Selain itu penurunan produktifitas lahan dapat diakibatkan oleh adanya erosi dan sedimentasi. Perubahan penggunaan akan berakibat pada erosi dan sedimentasi seperti hasil penelitian Nunes dkk. (2011), yang menyatakan bahwa adanya dinamika pertumbuhan vegetasi merupakan kunci dalam mengendalikan erosi sehingga erosi dapat dikendalikan dengan merubah penggunaan lahan dengan meningkatkan penutupan lahan. Selain itu Kefi dkk. (2011) mengemukakan tentang pentingnya vegetasi dalam melindungi tanah dari erosi oleh air. Hairiah dkk. (2012) juga menyimpulkan bahwa perubahan lahan hutan menjadi sistem agroforestri berbasis kopi meyebabkan perubahan sifat fisik tanah yang akan berdampak pada erosi. Secara ekonomi erosi menyebabkan kerugian, seperti yang dikemukakan oleh Rivera dkk. (2011) bahwa akibat dari erosi 40 ton/ha/th pada lahan pertanian mengakibatkan kehilangan unsur hara senilai $1000/ha/th. Oleh karena kondisi lahan secara alami sangat bervariasi, maka perlu dikelompok-kan agar mudah disesuaikan dengan penggunaannya.Variasi kondisi lahan ini biasaya bersifat sistematis, berdasar sifat fisik tertentu dapat dikelompokkan ke dalam area yang relatif lebih seragam. Pengelompokkan karakter lahan ini akan memudahkan untuk penentuan pemanfaatannya. Pengelompokan kedalam berbagai penggunaan lahan aktual ini dapat dijadikan dasar untuk perencanaan jenis pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi biofisik. Hasil evaluasi lahan juga dapat memperlihatkan faktor-faktor fisik yang ditengarai menyebabkan penurunan fungsi lahan, dengan demikian dapat direncanakan tindakan konservasi yang sesuai (FAO, 1976). Analisis KPL menujukkan bahwa lebih kurang 50 % area Sub DAS Perlakuan didominasi oleh Kelas VIIg (Tabel 7), sehingga penggunaan yang paling tepat adalah untuk hutan produksi terbatas (Wahyuningrum dkk., 2003). Menurut Fletcher dan Gibb (1990) pada klas VII, lahan tidak sesuai untuk kegiatan penananaman tanaman semusim maupun agroforestri dan klas ini antara lain ditandai oleh kombinasi beberapa pembatas fisik, yaitu kepekaan terhadap erosi berat seperti longsor atau pengaruh erosi berat pada masa lampau dan lereng yang terjal (45-85%). Kondisi aktual di lapangan menunjukkan penutupan lahan agroforestri yang mengkombinasikan tanaman keras dengan tanaman semusim. Kondisi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan klas KPL ini yang berpotensi mengakibatkan degradasi lahan yang ditandai dengan nilai tingkat erosi berat dan sangat berat. Prediksi tingkat erosi sangat berat (SB) paling luas terdapat pada Ut3 dan berat (B) pada Ut4 dengan kelas KPL VIIg (Tabel 7). Keberadaan tanaman keras sudah sesuai, namun dibeberapa lokasi masih dijumpai kegiatan penanaman tanaman semusim meskipun pada lereng yang terjal yang merupakan faktor pembatas dari klas VIIg. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan menerapkan teknik konservasi tanah sipil teknis dan vegetatif. Konservasi tanah sipil teknis dengan pembuatan teras yang lebih stabil sedangkan metode vegetatif dengan mengoptimalkan penutupan lahan dan penanaman penguat teras. Seperti hasil penelitian yang dilakukan Donie (1995) Sintesis 2010-2014 | 46 yang menyimpulkan bahwa faktor yang dominan mempengaruhi erosi adalah faktor lereng dan pengelolaan (CP). Tabel 7. Persentase luas lahan masing-masing KPL (The percentage area of each land capability classes) Penutupan lahan (Land cover) Ut1 Ut2 Ut3 Ut4 Ut5 Ut6 Jumlah (Total) Kelas kemampuan lahan (Land capability class) (KPL) IIIc IIIg IVe IVg VIg VIIg VIIIs 4,60 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3,40 8,25 0,0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3,8 1,28 20,27 19,25 0,30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 25,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,60 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8,39 8,00 8,25 3,98 1,28 20,27 49,52 8,70 Jumlah (Total) % 4,60 11,65 45,08 25,67 4,60 8,39 100,00 Prioritas penanganan lahan kritis diutamakan pada lokasi dengan nilai TBE tingkat B dan SB. Kondisi solum yang tipis dengan erosi berat akan memperburuk kualitas lahan apabila tidak ada tindakan perlindungan. Usaha perlindungan dilakukan melalui penurunan laju erosi dengan cara mengelola faktor-faktor yang berpengaruh terhadap erosi yang manageable tersebut. Dengan demikian maka perbaikan teras pada Ut3 (klas VIIg) perlu dilakukan yaitu dengan memperbaiki teras batu dan teras tanah yang sudah ada. Batuan keras mudah diperoleh di beberapa lokasi, dengan demikian teras batu lebih diprioritaskan mengingat solum tanah di lokasi sudah dangkal. Bila tidak terdapat batuan, alternatif penggunaan strip rumput dapat diaplikasikan, sekat rumput rumput terbukti efektif mengendalikan erosi (Donie dan Sudradjat, 1996). Penggunaan sekat-sekat rumput dapat aliran permukaan dan mengurangi erosi. Strip/sekat rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan vetiver (Vetivera zizanoides) efektif mengendalikan erosi (Donie dan Sudradjat, 1996; Prakosa dan Priyono, 1996). Kombinasi strip rumput gajah dan temulawak juga efektif mengedalikan erosi (Djaingsastro dkk., 1999). Penggunaan sekat tanaman juga dapar mereduksi erosi sehingga tidak menimbulkan kerugian akibat kehilangan unsure hara (Rivera dkk., 2011). Hasil simulasi prediksi erosi dengan Rumus USLE yaitu dengan melakukan perubahan nilai P menghasilkan penurunan TBE pada beberapa lokasi (Tabel 8). Koreksi nilai P dilakukan dengan memperbaiki teras dari kondisi teras buruk, sehingga nilai P diubah menjadi 0,04. Dengan demikian memberikan hasil perhitungan erosi yang lebih kecil, sehingga TBE juga menurun (Tabel 8) Bila dibandingkan Tabel 7 dengan Tabel 8, terlihat penurunan luas klas TBE berat dan sangat berat. Penurunan TBE ini sesuai dengan hasil penelitian Munibah dkk.(2010) yang menyatakan bahwa dengan memodifikasi C dan P dapat menurunkan erosi potensial. Penggunaan lahan yang direkomendasikan untuk setiap jenis KPL menurut Fletcher dan Gibb (1990) adalah, apabila Kelas I-IV maka sesuai untuk pertanian tanaman semusim dengan teras dan akan meningkat pembatasnya bila tidak menggunakan teras, penanaman rumput pakan ternak, agroforestry dan kehutanan. Untuk KPL kelas VI sesuai untuk pertanian tanaman semusim bila kedalaman tanah, kedalaman regolith dan kelerengan memungkinkan untuk pembuatan teras bangku. Kelas tersebut juga sesuai untuk penanaman rumput pakan ternak, agroforestry dan kehutanan. Kelas VII tidak sesuai untuk pertanian tanaman semusim maupun agroforestry, hanya sesuai untuk penanaman rumput Sintesis 2010-2014 | 47 pakan ternak, dan kehutanan. Kegiatan pertanian tidak diperkenankan di lokasi ini sejalan dengan hasil penelitian Oost dkk, (2006) yang menyimpulkan bahwa proses pengolahan lahan dapat merubah sifat tanah dan siklus hara serta berpotensi menimbulkan erosi. Tabel 8. Persentase luas area yang mengalami penurunan TBE akibat perbaikan teknik konservasi tanah (The percentage area decreased in degree of erosion hazard resulted from development of soil conservation measure). Tingkat bahaya erosi (Degree of erosion hazard) S B SB Jumlah (Total) Tingkat bahaya erosi terkoreksi (Corrected degree of erosion hazard) S B SB 37,18 0,00 0,00 20,27 10,30 0,00 23,85 3,84 4,55 81,30 14,15 4,55 Gambaran umum lokasi penelitian yang didominasi oleh lereng terjal dan bersolum dangkal, secara fisik tidak sesuai untuk kegiatan pertanian tanaman semusim, namun oleh karena desakan kebutuhan petani, maka lahan milik dengan kondisi yang tidak menguntungkan seperti tersebut di atas masih diolah untuk budidaya tanaman semusim. Optimalisasi penggunaan lahan perlu dilakukan dengan pemilihan jenis tanaman keras dan penentuan jarak tanam yang sesuai yang tidak menganggu tanaman semusim. Jenis tanaman tahan naungan seperti empon-empon sangat direkomendasikan. Tanaman emponempon seperti kencur, mampu mengendalikan erosi 53,5 % dan mempunyai nilai jual tinggi (Subandrio dkk., 1995). 5. Banjir Karakteristik banjir suatu DAS dicirikan oleh besarnya debit puncak, waktu mencapai puncak dan waktu terjadinya aliran. Hidrograf adalah grafik yang menggambarkan hubungan antara waktu dan debit aliran. Ada tiga faktor yang dilihat dari hidrograf untuk mengetahui kondisi hidrologi suatu DAS yaitu debit puncak (qp) waktu mencapai puncak (tp), dan waktu dasar (tb). Suatu DAS disebut baik atau sehat jika debit puncaknya rendah, waktu puncaknya lama dan waktu dasarnya panjang demikian pula sebaliknya. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan konservasi tanah dan air serta penanaman di Sub DAS Dungwot maka dilihat hidrografnya dari waktu ke waktu. Hidrograf yang dibandingkan adalah hidrograf aliran langsung, dimana aliran dasarnya sudah dipisahkan. Hidrograf aliran yang terjadi pada tanggal 7 Januari 2009 menunjukkan pola yang cukup baik, dimana puncak banjirnya hanya sekitar 10 lt/dt dan waktu banjirnya juga cukup lama yaitu sekitar 42 menit. Dari hidrograf aliran ini dibuat hidrograf satuannya, hasilnya menunjukkan bahwa puncak hidrograf satuannya adalah 0,5 lt/dt ditempuh dalam waktu 18 menit sedangkan waktu alirannya (time base) adalah 36,3 menit. Pada Februari 2010 menunjukanbahwa kondisi hidrologi th 2009 masih lebih baik. Hasil analisis hidrograf satuan th 2010 menunjukkan bahwa debit puncak mencapai 3,5 lt/dt ditempuh dalam waktu 18 menit sedangkan aliran dasar mencapai 36 menit. Kondisi Sub DAS perlakuan pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2011 mengalami penurunan kualitas. Pada tahun 2011 ini terlihat dari hidrograf satuan bahwa puncak banjir adalah 8,7 lt/dtk, yang dicapai dalam waktu 36 menit dan waktu aliran Sintesis 2010-2014 | 48 dasarnya adalah tak terhingga. Hal ini dapat terjadi karena ketika tanah masih jenuh air, masih diikuti oleh hujan. Pada tahun 2012, sub DAS perlakuan mengalami perbaikan yang ditunjukkan penurunan Tp (21 menit) dan Tb (41 menit), namun demikian Qp mengalami kenaikkan (Tabel 9). Tabel 9. Perbandingan unsur-unsur hidrograf Sub DAS perlakuan dan Kontrol. Unsur Tp (menit) Qp (lt/detik) Tb (menit) 2009 18 0,5 36,3 Perlakuan 2010 2011 18 36 3,5 8,7 36 100 Kontrol 2012 21 48,48 41 2011 36 37,5 48 2012 20 15,39 36 Suatu DAS dikatakan mengalami perbaikan respon apabila : - Tp makin lama: waktu mencapai puncak makin lama - Qp makin kecil: debit puncak makin kecil - Tb makin lama: waktu dasar makin lama Dari Tabel 10 terlihat bahwa dari unsur Tp dan Tb Sub DAS perlakuan mengalami perbaikan kualitas: - Tp makin kecil (dari 18 ke 36 ke 21 menit): memburuk - QP sedikit naik (dari 0.5 ke 8.7 ke 48.48 lt/dt): memburuk - TB makin lambat (dari 36.3 ke tak terhingga ke 41): membaik Dilihat dari parameter tersebut, Sub DAS kontrol mempunyai kualitas yang kurang baik bila dibandingkan dengan Sub DAS Perlakuan. Pada Sub DAS kontrol waktu yang diperlukan untuk mencapai debit puncak sebesar 37,5 lt/dtk adalah 36 menit, dan waktu mencapai dasar adalah 48 menit. Keadaan ini pada tahun 2012 mengalami perbaikan dilihat dari masing-masing unsur hidrograf (Tabel 9). Efektifitas jenis penutupan lahan terhadap erosi dalam sub DAS Perlakuan dan Sub DAS Kontrol menunjukkan bahwa nilai C tanaman keras pada sub DAS perlakuan (0.043) lebih besar dari pada nilai C tanaman keras pada Sub DAS Kontrol (0,019). Hal ini berarti bahwa tanaman keras pada sub DAS perlakuan kurang efektif dalam mengendalikan erosi dibandingkan dengan sub DAS Kontrol. Kondisi ini dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi parameter tegakan seperti: diameter batang, tinggi, jari-jari dan luas tajuk. Meskipun kerapatan tegakan pada sub DAS perlakuan lebih rapat dibanding sub DAS Kontrol, tetapi rata-rata diameter, tinggi, jari-jari dan luas tajuk tanaman pada sub DAS control relative lebih besar. (Lampiran 3). 6. Aspek Sosial Ekonomi Kegiatan RLKT Secara keseluruhan proses (identifikasi masalah, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi) partisipasi dalam kegiatan RLKT ini tergolong partisipasi untuk insentif (Partisipation for Material Incentives). Adapun partisipasi untuk Insentif (Partisipation for Material Incentives) adalah partisipasi rakyat melalui dukungan berupa sumber daya, misalnya tenaga kerja, dukungan pangan, pendapatan atau insentif material lainnya. Petani menyediakan lahan dan tenaga, tetapi mereka dilibatkan dalam proses percobaan-percobaan dan pembelajaran. Kelemahan dari model partisipasi ini adalah Sintesis 2010-2014 | 49 apabila insentif habis maka teknologi yang digunakan dalam program juga tidak akan berlanjut (Hobley,1996). Kegiatan penanaman dengan jenis tanaman mangga, pete dan jambu mete sudah banyak dilakukan oleh petani sebelumnya. Begitu juga kegiatan konservasi tanah seperti pembuatan teras, bagi masyarakat sudah bukan merupakan hal baru lagi. Karena sebelumnya pada tahun 1989/1990 pernah ada proyek bantuan terasering seluas 17 ha. Sehingga sekarang petani tinggal meneruskan saja dan melakukan perbaikan. Apalagi di lahan petani yaitu di lahan milik kemiringan lahannya tidak seterjal di lahan Perhutani yang mempunyai kemiringan lebih dari 45%. Sehingga lahan milik masyarakat yang cenderung landai tidak begitu memerlukan teras, hanya pengaturan guludan saja. Merupakan hal baru bagi masyarakat adalah dalam pembuatan SPA (Saluran Pembuangan Air). Dulu pernah ada tapi petani belum tahu manfaatnya dan cara pembuatannya. Bagi mereka SPA di lahan Perhutani sangat bermanfaat dalam pengaturan air, karena air selalu cepat turun kebawah, sehingga pernah menimbulkan banjir. (kapan?) Untuk tingkat adopsi masyarakat sebenarnya sudah dalam taraf menerapkan (adoption), dimana petani sudah melakukan kegiatan konservasi tanah, pembuatan penguatan teras, SPA dan penanaman dengan menggunakan jarak yang lebih lebar mencontoh seperti demplot. Tetapi kegiatan yang merupakan hal baru bagi petani adalah adanya pembuatan jarak tanam. Sehingga petani bisa melakukan penanaman tumpang sari di bawah tegakan. Sebelumnya petani melakukan penanaman tanpa menghiraukan jarak tanam. Mereka menanam di lahan dengan jarak yang tidak beraturan. Dari analisis finansial yang telah dilakukan, dengan discount rate 12%, diperoleh bahwa teknik RLKT yang diterapkan tidak layak. Pada Plot A1 meskipun diperoleh NPV positif, tetapi BCR negatif, dan IRR di bawah discount rate yang digunakan. Begitu juga pada plot B1 dan C4. Sedangkan plot lainnya NPV dan BCR negatif, sedangkan IRR dalam kondisi berapa pun ratenya tidak memberikan nilai yang layak. Sehingga kegiatan RLKT ini hanya untuk meningkatkan nilai lingkungannya, karena secara finansial tidak layak. IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN Pembangunan hutan tanaman dengan system agroforestri dapat menjadi solusi untuk mengendalikan erosi dan banjir dalam suatu DAS, terutama di lahan kritis yaitu lahan miring dan bersolum dangkal. Sistem agroforestri tersebut mengkombinasikan tanaman semusim dengan tanaman keras seperti jati, mete, pete, mangga serta mengkombinasikan teknik konservasi sipil teknis dan vegetatif. Pembuatan teras bangku perlu diperkuat dengan tampingan teras berupa batu mapun rumput agar lebih efektif mengendalikan erosi. Pembuatan strip-strip rumput dan mulsa sisa-sisa tanaman juga dapat memproteksi tanah dari terpaan hujan serta mengendalikan laju aliran permukaan. Keberadaan vegetasi permanen harus tetap dipertahankan, Karena dalam periode pengolahan tanah, sangat rawan terhadap tenaga kinetik air hujan. V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Teras bangku lebih efektif mengendalikan erosi dan limpasan bila diberi penguat Sintesis 2010-2014 | 50 teras (lamtoro/rumput) 2. Besarnya aliran permukaan dan erosi sangat tergantung pada kondisi penutup tanah seperti tajuk tanaman keras, tanaman semusim, semak belukar, kerikil permukaan dan seresah. 3. Pengolahan lahan untuk tanaman semusim dapat meningkatkan kepekaan erosi, meskipun sudah dilakukan penterasan. 4. Konservasi tanah dilakukan secara simultan sehingga factor-faktor pemicu terjadinya erosi dapat dikendalikan. 5. Meskipun didominasi oleh lereng terjal, erosi yang terjadi di lokasi penelitian masih pada taraf sangat ringan hingga ringan (>50%). Hal ini dapat disebabkan oleh jenis penutupan lahan yang berupa hutan jati dan gamal yang mempunyai nilai C rendah (0,006). 6. Tingkat erosi ringan mempengaruhi kandungan P dan K dengan memberikan nilai rendah-sangat rendah. Sedangkan untuk N, C organik, KTK dan KB tidak begitu berpengaruh karena ada pada tingkat sedang-tinggi-sangat tinggi. 7. Penutupan lahan yang relatif banyak ditumbuhi vegetasi permanen merupakan sumber bahan organik berupa seresah dan ranting-ranting tanaman. 8. Modifikasi faktor P (konservasi tanah) dapat menurunkan erosi dan tingkat bahaya Erosi 9. Sub DAS perlakuan mengalami perbaikan kualitas dari unsur waktu dasar (TB): - Tp makin kecil (dari 18 ke 36 ke 21 menit): memburuk - QP sedikit naik (dari 0.5 ke 8.7 ke 48.48 lt/dt): memburuk - TB makin lambat (dari 36.3 ke tak terhingga ke 41): membaik 10. Sub DAS Kontrol mempunyai unsur hidrograf yang lebih baik dibandingkan dengan sub DAS Perlakuan. Hal ini disebabkan karena adanya efektifitas dari penutupan tajuk pada sub DAS Kontrol yang lebih baik dibandingkan dengan Sub DAS perlakuan. 11. Secara keseluruhan proses partisipasi ini tergolong partisipasi untuk insentif (Partisipation for Material Incentives). Adapun partisipasi untuk Insentif (Partisipation for Material Incentives) adalah partisipasi rakyat melalui dukungan berupa sumber daya, misalnya tenaga kerja, dukungan pangan, pendapatan atau insentif material lainnya. 12. Tingkat adopsi masyarakat sudah dalam taraf menerapkan (adoption), dimana petani sudah melakukan kegiatan konservasi tanah, dengan menggunakan jarak tanam yang lebih lebar mencontoh seperti demplot. 13. Kegiatan RLKT ini hanya untuk meningkatkan nilai lingkungan, karena secara finansial tidak layak. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. (2012). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Basuki, T.M., (2002), Penggunaan Mulsa Organik untuk Konservasi Tanah di Areal Hutan Tanaman, InfoDAS Vol. 13. Sintesis 2010-2014 | 51 Bryan, R.B., Scarborough G. Govers dan J. Poesen, L., (1989), The Concept of Soil Erodibility and Some Problems of Assessment and Application, CATENA Vol. 16, Hal. 393-412. Buckman, H.O. & Brady, N.C., (1982), Ilmu Tanah. PT. Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Crosier, S., Booth, B. dkk, (2004), Arcis 9, Getting Started with ArcGis. Dariah, A., Subagyo, H., Tafakresnanto, C. dan Marwanto, S., (2004), Kepekaan Tanah Terhadap Erosi. Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Dissmeyer, G.E. dan Foster, G.R., (1984), A Guide for Predicting Sheet and Rill Erosion on Forest Land. USDA, Forest Service, Southern Region Atlanta, Ga. Djaingsastro, N., Prakosa, D. dan Triwilaida, (1999), Efektivitas Sekat Tanaman dalam pengendalian Erosi di Lahan Pertanian: Studi Kasus di DTW Sermo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Buletin Pengelolaan DAS Vol. Volume 1. Djuniwati, S., Pulunggono, H.B. dan Suwarno, (2007), Pengaruh pemberian bahan organik (Centrosema pubescens) dan fosfat alam terhadap aktivitas fosfatase dan fraksi P tanah latosol di Darmaga, Bogor, Jurnal Tanah dan Lingkungan Vol. 9, Hal. 10-15. Donie, S., (1995), Tingkat Erosi Beberapa Pola Usaha Tani Lahan Kering pada Kondisi Lahan di Sub DAS Wuryantoro, Jurnal Pengelolaan DAS Vol. II No. 2, Hal. 27-44. Donie, S. dan Sudradjat, R., (1996), Vetiver Grass as Erosion and Land Productivity Control, Jurnal Pengelolaan DAS Vol. Volume II No. 3. FAO, (1976), A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin FAO and Agriculture Organization of the United Nations Rome. Fletcher, J.R. dan Gibb, R.G., (1990), Land Resource Survey Handbook For Soil Conservation Planning In Indonesia. Ministry of Forestry Directorate General Reforestation and Land Rehabilitation Indonesia and Department of Scientific and Industrial Research DSIR Land Resources Palmerston North New Zealand. Fucheng, L., Jianhui, Z. dan Zhengan, S., (2012), Changes in SOC and Nutrients under Intensive Tillage in Two Types of Slope Landscapes J. Mt. Sci. Vol. 9, Hal. 67-76. Hairiah, K., Suprayogo, D. dkk, (2012), Alih Guna Lahan Hutan menjadi Lahan Agroforestri Berbasis Kopi: Ketebalan Seresah, Populasi Cacing Tanah dan Makroporositas Tanah, 29 Juni, 2012, http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/files/book/BK0063-04/BK006304-9.pdf JICA, (2007), Studi Penanganan Sedimentasi Waduk Serbaguna Wonogiri. Nippon Koei and Yachiyo Engineering Co. Ltd., Jakarta. Kefi, M., Yoshino, K. dkk, (2011), Assessment of the effects of vegetation on soil erosion risk by water: a case of study of the Batta watershed in Tunisia, Environ Earth Sci Vol. 64, Hal. 707-719. Mao, R. dan Zeng, D.-H., (2010), Changes in Soil Particulate Organic Matter, Microbial Biomass, and Activity Following Afforestation of Marginal Agricultural Lands in a Semi-Arid Area of Northeast China, Environmental Management Vol. 46, Hal. 110-116. Mas'ud, P., (1992), Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa, Bandung. Sintesis 2010-2014 | 52 Munibah, K., Sitorus, S.R.P. dkk, (2010), Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Erosi di DAS Cidanau, Banten, Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 32, Hal.55-69. Nunes, A.N., de Almeida, A.C. dan Coelho, C.O.A., (2011), Impacts of land use and cover type on runoff and soil erosion in a marginal area of Portugal, Applied Geography Vol. 31, Hal. 637-699. Oost, K.V., Govers, G., Alba, S.d. dan Quine, T.A., (2006), Tillage erosion: a review of controlling factors and implications for soil quality, Progress in Physical Geography Vol. 30, Hal. 443-466. Prakosa, D. dan Priyono, C.N.S., (1996), Pengaruh Sekat Rumput dan Tanaman Legume terhadap Pengendalian Erosi dan Perubahan Sifat Tanam pada Lahan Bekas Letusan Gunung Berapi, Jurnal Pengelolaan DAS Vol. Volume I No.3, Hal. Priono, C.N.S., (1996), Pengukuran Erosi di Lahan Pertanian. Balai Teknologi Pengelolaan DAS, Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan, Surakarta, pp. 1-20. Rivera, S., Ferreira, O.I., Anguta, P.M.d. dan Espinal, F.M., (2011), Soil and Economic Loss Evaluation on Small Hillside Farms in the Central Mountains of Honduras, Journal of Sustainable Forestry Vol. 30, Hal. 57-78. Schmidt, F.H.A. dan Fergusson, J.H.S., (1951), Rainfall Type Based on Wet and Dry Periods of Ratios from Indonesia with Western New Guinea. Directorate Meteorology and Geophysics, Jakarta. Subandrio, B., Lastiantoro, Y. dan Kusnadi, D., (1995), Kajian Aspek Konservasi dan Ekonomi Tanaman Empon-empon sebagai Tanaman Bawah pada Hutan Rakyat di Madura, Jurnal Pengelolaan DAS Vol. Volume II No.l, Hal. Sukresno, Supangat, A.B. dan Gunarti, (2003), Pedoman Teknis Pendayagunaan Stasiun Pengamat Arus Sungai (SPAS) untuk Pemantauan dan Evaluasi Tata Air, Info DAS Vol. No. 16, Hal. 1-26. Sutrisno, J., Sanim, B., Saefuddin, A. dan Sitorus, S.R.P., (2012), Valuasi Ekonomi Erosi Lahan Pertanian di Sub Daerah Aliran Sungai Keduang Kabupaten Wonogiri, SEPA Vol. 8, Hal. 51-182. Utomo, W.H., (1994), Erosi dan Konservasi Tanah. Penerbit IKIP Malang, Malang. Wahyuningrum, N., Priyono, C.N.S. dkk, (2003), Pedoman Teknis Klasifikasi Kemampuan dan Penggunaan Lahan, Info DAS Vol. 15, Hal. 1-103, Badan Litbang Kehutanan, Puslit PHKA. Weischmeier, W.H. dan Smith, D.D., (1978), Predicting Rainfall Erosion Losses; A Guide to Conservation Planning. In: Agriculture, U.S.D.o. (Ed.), Agriculture Handbook. Science and Education Administration. Sintesis 2010-2014 | 53 Lampiran 1. Jenis Penutupan Lahan di Sub DAS Perlakuan No 1 2 3 4 5 6 Simbol Penutupan Lahan Luas (ha) Keterangan (Remarks) (Land cover symbols) (Area) (ha) Ut1 Tanaman jati (5 – 10 th) monokultur, teras diperkuat 0,50 dengan batu dan tidak terawat Ut2 Tanaman jati (5 - 10 th)tumpangsari dengan 1,26 tanaman palawija, banyak teras yang tidak terawat) Ut3 Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawija, 4,88 campuran antara teras batu dan tanah yang tidak terawat. Ut4 Tanaman Gliricidia monokultur, sebagian besar 2,78 tidak berteras Ut5 Tanaman Gliricidia tumpangsari dengan tanaman 0,50 palawija, teras diperkuat dengan batu tetapi kurang terawat. Ut6 Tidak ada tanamannya, sebagian besar sejenis 0,91 lumut dan rumput liar. Jumlah (Total) 10,82 % 4,60 11,65 45,08 25,67 4,60 8,39 100,00 Lampiran 2. Hasil Analisis Tanah No. SL Tekst ur* N Total % 1 Gp 2 Gp Saat ini sedang ditanami jati umur 8 – 15 tahun (monokultur) sehingga tidak dijadikan lokasi model perlakuan 6,19 0,38 1,72 2,97 5,91 0,26 0,16 6,99 4,19 23,20 49,94 3 Gp 6,35 0,32 1,07 1,85 6,58 0,25 0,24 6,18 3,68 20,40 49,22 4 Gp 5,87 0,32 1,50 2,59 6,31 0,27 0,15 6,17 3,78 25,20 58,84 5 Gp 5,75 0,26 1,72 2,96 6,58 0,30 0,16 6,46 3,83 16,00 32,84 6 Gp 0,25 1,72 2,97 7,85 0,38 0,16 6,57 4,06 30,00 62,78 7 Gp 0,22 3,44 5,93 5,78 0,43 0,10 7,87 4,36 24,00 46,85 8 Gp 9 Gp 5,68 10 Gp 11 Gp Saat ini berwujud hamparan tanaman gliricidea dan tanahnya sangat tipis , tidak dijadikan lokasi model 5,48 0,45 2,79 4,81 6,51 0,44 0,15 6,46 4,00 19,60 43,64 12 Gp Saat ini berwujud hamparan batuan tersingkap, tidak dijadikan lokasi model perlakuan 13 Gp 6,05 0,25 2,79 4,81 14 Gp 6,33 0,56 1,29 15 Gp 6,05 0,36 3,87 16 Gp 5,85 0,52 17 Gp 6,07 0,37 pH 6,21 C. Org % BO % P Tsd ppm K % Na % Ca % Mg % KTK % KB % Saat ini berwujud hamparan batuan tersingkap, tidak dijadikan lokasi model perlakuan 0,46 2,57 4,44 7,85 0,15 4,85 4,16 26,00 63,71 7,13 0,39 0,25 6,14 4,22 28,15 60,19 2,22 5,71 0,33 0,17 6,61 4,09 29,60 62,20 6,68 11,26 0,26 0,19 6,18 3,44 26,00 61,26 6,01 10,36 5,24 0,25 0,15 6,24 3,88 24,00 56,16 2,36 4,08 6,18 0,24 0,15 6,42 4,16 28,00 60,19 Catatan (Remarks): Gp = Geluh pasiran (Sandy Loam) Sintesis 2010-2014 | 54 0,27 JUDUL PENELITIAN : SISTEM MITIGASI TANAH LONGSOR DALAM PENGELOLAAN DAS PELAKSANA : BENY HARJADI INSTANSI : BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana Longsor menurut Permen PU No. 22 tahun 2007 adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam berupa tanah longsor. Berdasarkan tipologi kawasan rawan longsor maka zonasi bencana tanah longsor dibagi menjadi 3 zona yaitu zona berpotensi longsor tipe A (lereng>40%), tipe B (lereng 21-40%) dan tipe C (lereng<20%). B. Tujuan Penelitian Penelitian ini difokuskan pada ujicoba teknologi pengendalian tanah berpotensi longsor, khususnya pada lahan-lahan terdegradasi, dengan beberapa metode dan teknik yang telah ada, seperti: 1) teknik penutupan retakan tanah dengan tanah liat, 2) teknik pengendalian lereng secara mekanis, 3) teknik perbaikan sifat-sifat fisik tanah, 4) teknik pengendalian aliran air permukaan, 5) teknik pengendalian rembesan air bawah permukaan/drainase tanah, dan 6) teknik pengendalian lereng dengan metode vegetasi dengan jenis yang sesuai (Abramson et.al., 1996). II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL PENELITIAN A. Identifikasi Regulasi yang ada Akhir-akhir ini kondisi sumberdaya hutan dan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) cenderung menurun, yang menimbulkan dampak negatif seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor yang terjadi di berbagai tempat di tanah air, sehingga peranannya sebagai penyangga kehidupan kurang optimal. Untuk memulihkan dan menjaga kelestarian fungsi hutan, Departemen Kehutanan dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 22/Menhut-V/2007 Tanggal : 20 Juni 2007 telah menetapkan lima kebijakan prioritas, antara lain Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan. Dalam kerangka implementasinya, ditetapkan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dalam Rencana Strategis dan Fokus Kegiatan Pembangunan Kehutanan. B. Analisis Kebutuhan Penelitian Penyimpangan iklim di Indonesia dengan meningkatnya besar intensitas curah hujan menyebabkan peningkatan frekuensi kejadian bencana banjir-kekeringan dan tanah longsor (Koesmaryono et. al.., 1999). Bencana alam tanah longsor ini makin sering terjadi, pada periode 1997-2004 di Indonesia tercatat 219 kali kejadian, dengan korban jiwa 435 orang Sintesis 2010-2014 | 55 meninggal dan kerugian harta benda lebih dari 30 miliyar rupiah (Bakornas, 2004 dalam DPRRI, 2006). Dampak yang ditimbulkan tersebut tidak hanya berupa kerugian harta benda yang berujud materiil namun juga korban jiwa manusia. Bencana tanah longsor seperti yang terjadi di Desa Kemanukan, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo pada tanggal 5 Oktober 2000 menewaskan 22 orang; di Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara pada tanggal 4 Januari 2006 menewaskan 28 orang. III. SINTESIS HASIL PENELITIAN A. Metode Penelitian Waktu Penelitian. Penelitian dimulai sejak tahun 2006 dimulai saat terjadi bencana longsor di Desa Sijeruk Banyarmangu Banjarnegara sampai tahun 2013. Lokasi. Lokasi dipilih pada daerah yang berpotensi longsor karena daerah di sekitarnya sering terjadi longsor yaitu di Karanganyar, Purworejo dan Banjarnegara. Mulai tahun 2013 Karanganyar di pindah ke Gombong, Kebumen (Gambar 1). Gambar 1. Lokasi Penelitian Longsor di Banjarnegara (Sub DAS Merawu), Purworejo (Sub DAS Gesing), dan di Gombong (Sub DAS Silengkong) Rancangan Penelitian. Pelaksanaan kajian longsor sejak tahun 2006 dilakukan melalui tahapan kegiatan sebagai berikut: • Memberikan informasi kepada masyarakat tentang peringatan dini dari alat extensometer jika terjadi rekahan tanah >15 cm (Siaga 1). • Melakukan identifikasi penyebab masalah terjadinya bencana longsor, antara lain oleh beberapa faktor seperti : bencana alam, faktor tetap dan faktor dinamis (Gambar 2). • Mengindentifikasi faktor-faktor (biogeofisik) di daerah berpotensi longsor di Kabupaten Purworejo, Banjarnegara, dan Gombong-Kebumen dengan menggunakan bantuan citra Sintesis 2010-2014 | 56 satelit (landsat) untuk waktu yang berbeda dengan peta topografi dan peta daerah rawan longsor/geologi sebagai peta dasar • Memetakan kondisi biogeofisik (geologi, geomorfologi, tanah, kelerengan, kerapatan drainase, dan penutupan lahan) dan hujan di lokasi rawan tanah longsor. • Melakukan pemeliharaan dan pengamatan plot longsor berupa alat pemantau tingkat gerakan tanah (metode inklinometer), pemeliharaan dan pengamatan tingkat kandungan air bawah permukaan tanah (rembesan) • Mengamati kondisi vegetasi (pertumbuhan tanaman) dari beberapa teknik vegetatif (RLKT) yang diterapkan untuk pengendalian lereng pada tanah berpotensi longsor yang sesuai dengan kondisi lokasi dan tingkat longsorannya. Gambar 2. Diagram Alur Identifikasi Masalah di Lapangan dengan Pengumpulan Data Kondisi Biofisik Lapangan untuk Kegiatan Mitigasi Longsor Sintesis 2010-2014 | 57 B. Hasil Penelitian Kondisi tingkat longsor untuk tiga lokasi berurutan dari yang tertinggi Banjarnegara (3,8) dan Purworejo (3,6) yaitu dua lokasi mendekati agak tinggi (4) dan satu lokasi di Gombong (3,0) termasuk sedang. Ketiga lokasi termasuk daerah dengan formasi geologi sama dan sama-sama dilewati garis sesar, sehingga faktor yang berpengaruh terhadap tingkat longsor antara lain: curah hujan dan kemiringan lereng serta penggunaan lahan. Penggunaan lahan sebagian besar di tegal, pemukiman dan hutan lindung di Banjarnegara. Sub DAS Gesing di Purworejo merupakan daerah yang berbukit dan lereng didominasi dari miring sampai curam dengan penutupan lahan agroforestry (duren, sengon, akasia), pekarangan dan persawahan. Sub DAS Merawu di Banjarnegara sebagian besar tanah labil karena dilewati sesar dan sebagian besar lahan curam sampai terjal pada hutan lindung. Penutupan lahan lainnya untuk kebun sayur, agroforestry (Kapulogo, Salak dan Sengon) dan terbuka. Sub DAS Silengkong didominasi perbukitan dengan lereng miring sampai curam, dengan dominasi penutupan lahan untuk tegalan, pemukiman dan hutan pinus. Kadar lengas tanah merupakan kandungan air (moisture) yang terdapat dalam pori tanah. Kadar lengas dinyatakan dalam satuan persen berat atau persen volume. Kadar lengas secara umum ada tiga jenis: (a) lengas tanah (soil moisture), bentuk campuran gas (uap air) dan cairan; (b) air tanah (soil water), air dalam bentuk cair dalam tanah sampai lapisan kedap air; (c) air tanah dalam (ground water), lapisan air tanah yang berada di tanah bagian dalam (Handayani, 2009). Kadar lengas di daerah longsor tertinggi di Banjarnegara, diikuti Purworejo dan Gombong. Semakin tinggi kadar lengas seperti di Banjarnegara (82,49%) maka paling berpotensi terjadinya longsor. Banjarnegara yang paling rawan terjadi longsor ditunjukkan oleh kadar lengas untuk partikel tanah 2 mm dan 5 mm tertinggi yaitu 12,39%. Di Indonesia banyak tanah marginal yang mempunyai kandungan pasir tinggi seperti tanah vulkan berpasir kasar dan tanah berpasir pantai. Tanah berpasir seperti itu memiliki struktur yang jelek, berbutir tunggal lepas, berat volumenya tinggi, serta kemampuan menyerap dan menyimpan air rendah sehingga kurang mendukung dalam usaha bercocok tanam. Disamping itu, tanah jenis ini peka terhadap pencucian unsur hara dan peka terhadap erosi air maupun angin. Dalam kaitannya dengan daya menyimpan air, tanah berpasir memiliki daya pengikatan terhadap lengas tanah yang relatif kecil karena permukaan kontak antar tanah berpasir didominasi oleh pori-pori mikro. Oleh karena itu, air yang jatuh ke tanah jenis ini akan segera mengalami perlokasi dalam air kapiler dan mudah lepas karena evaporasi (Mukhid, 2007). Kadar lengas tanah yang yang rendah seperti pada kondisi tanah pasir diatas relatif tahan terhadap erosi longsor. Beberapa faktor yang mempengaruhi kandungan lengas dalam tanah antara lain perubahan cuaca, kandungan bahan organik, fraksi liat, topografi, dan adanya bahan penutup tanah baik organik maupun anorganik (Walker and Paul, 2002). Bahan organik bisa berfungsi dan memperbaiki sifat kimia, fisika, biologi tanah sehingga ada sebagian ahli menyatakan bahwa bahan organik di dalam tanah memiliki fungsi yang tak tergantikan (Sutanto, 2005). Tanah dengan kandungan bahan organik tinggi mempunyai kapasitas penyangga yang rendah apabila basah. Kemampuan tanah untuk menyimpan air salah Sintesis 2010-2014 | 58 satunya air hujan menentukan juga spesies apa yang tumbuh. Kadar lengas merupakan salah satu sifat fisika tanah untuk mengetahui kemampuan penyerapan air dan ketersediaan hara pada setiap jenis tanaman (Handayani, 2009). Dari hasil penelitian longsor di tiga lokasi maka dapat disimpulkan, bahwa faktor yang berpengaruh terhadap longsor antara lain: kondisi tanah, kemiringan lereng, arah lereng, tekstur tanah, bobot isi, kemasaman tanah, kesuburan tanah, sesar, struktur, solum, regolith, permeabilitas dan faktor luar terutama hujan dan gempa bumi. Berkaitan dengan istilah air dalam tanah, secara umum dikenal 3 jenis, yaitu (a) lengas tanah (soil moisture) adalah air dalam bentuk campuran gas (uap air) dan cairan; (b) air tanah(soil water) yaitu air dalam bentuk cair dalam tanah, sampai lapisan kedap air, (c) air tanah dalam (ground water) yaitu lapisan air tanah kontinu yang berada ditanah bagian dalam (Handayani, 2009). Semakin tinggi kandungan liat dalam tanah akan banyak menyerap air dan tanah menjadi berat dan mudah terjadi longsor. Begitu juga air tanah yang tidak segera di drainase dakhil (penampang profil tanah) lewat perkolasi maka tanah akan cepat jenuh akibat pori makro tanah yang sedikit. Pada daerah yang ada batuan padu atau di dominasi batuan metamorf yang berbentuk lapis-lapis maka selain menjadi bidang luncur juga tanah mudah jenuh akibat air yang tidak segera lolos kebawah. Kondisi tanaman yang mendominasi pada penutupan lahan akan berpengaruh terhadap mudah tidaknya tanah mengalami longsor. Misalnya pada daerah yang miring yang di dominasi tanaman sayur-sayuran dan persawahan seperti di Banjarnegara akan berpotensi terjadinya longsor. Masyarakat yang mengalami longsor dan telah di relokasi ke daerah yang aman longor telah mengalihkan komoditi yang cocok untuk ke daerah rawan longsor berupa salak dan kapologo, disamping itu kedua komoditi tersebut mudah dalam pemasarannya. Tanaman sengon dan akasia yang ada di Purworejo (daerah berpotensi longsor) sebaiknya diganti dengan komoditi lain terutama pada daerah yang sangat miring sampai terjal. Gombong untuk daerah longsor yang selama ini ditanami sengon, singkong dan pinus dengan tanaman bawah rumput-rumputan. Kondisi iklim perlu diketahui untuk mendeteksi daerah berpotensi longsor atau tahan terhadap longsor. Parameter iklim yang perlu dicatat di lapangan antara lain kelembaban udara (rh), Suhu udara dan Suhu tanah. Suhu tanah diamati pada kedalaman yang berbeda dari top soil (30 cm), solum (60 cm) dan regolith (150 cm). Pada daerah yang mengalami fluktuasi yang tinggi untuk kelambaban dan suhu maka akan berpotensi terjadinya longsor. Proses terjadinya longsor tersebut dikarenakan perubahan drastis suhu maupun kelembaban akan menyebabkan tanah retak dan berptoensi terjadinya longsor, jika didukung faktor longsor lainnya. Mitigasi dimaksudkan untuk mengurangi korban jiwa akibat bencana longsor. Sehingga dengan demikian masyarakat sekitar daerah yang berpotensi longsor faham akan tanda-tanda tanah longsor. Hal-hal yang perlu diamati selain curah hujan yang tinggi berturut-turut selama tiga hari, juga mencermati aliran sungai apabila tiba-tiba aliran air sungai menjadi kecil, tidak seperti biasanya. Gejala ini menunjukkan kemungkinan aliran air sungai terbendung/tertahan oleh timbunan tanah longsor pada palung sungai sehingga aliran air mendadak surut. Jika hujan datang berlimpah lebih banyak lagi maka seperti lahar dingin akan menjadi banjir bandang karena membawa material longsor dan barang/ benda-benda lain. Sintesis 2010-2014 | 59 Disamping hal-hal diatas juga perlu diwaspadai jika aliran sungai lebih keruh dari biasanya. Indikasi ini menunjukkan kemungkinan aliran air melewati timbunan tanah longsor (over topping) yang menyumbat palung sungai dengan membawa sedimentasi hasil gerusan pada sumbatan tersebut. Dengan demikian bila terjadi hujan lebat dan aliran air semakin deras maka sumbatan dapat jebol dan menimbulkan banjir bandang di hilir. Masyarakat yang pernah mengalami longsor mereka sudah faham akan tanda-tanda terjadinya longsor, yaitu penyebab utama selain daerahnya sudah berpotensi juga hujan yang deras berturut-turut lebih dari 3 hari curah hujan > 300 mm. Sebelum longsor terjadi, tanah sering bergerak setiap kali ada hujan seperti di Banjarnegara, dan saat longsor datang maka suara sangat gemuruh seperti lahar dingin. Longsor terjadi disaat hujan masih turun dan biasanya pada malam hari karena tidak adanya evapotranspirasi sehingga tanah sangat jenuh setelah hujan berturut-turut selama tiga hari. Peta longsor dari peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) dengan analisis SIG (Sistem Informasi Geografis) untuk ketiga lokasi longsor (Banjarnegara, Purworejo dan Gombong) menunjukkan penyebaran tingkat longsor dari yang ringan sampai yang berat. Dari peta kerawanan longsor di DAS Merawu termasuk dalam kategori tingkat sedang, namun pengelolaan lahan dan konservasi tanah yang kurang tepat akan memperbesar tingkat kerawanan longsor. Pada daerah yang tingkat kerawanannya agak tinggi walaupun tidak terlalu luas perlu mewaspadai longsor yang datang secara tiba-tiba yang akan menyebabkan korban jiwa. IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN A. Metode (Teknik, Prosedur, dll) Teknik pengamatan longsor dapat dilakukan dengan cara sederhana dari menggunakan tali klaim plastik, kemudian berkembang menjadi tali sling besi ukuran 3 mm, dan juga dapat dengan alat pengamatan otomatis (extensometer). Alat pemantau longsor akan memberi kabar lewat SMS pada aparat, pengamat, atau petugas jika rekahan lebih dari 10 cm (tergantung pengaturan kita). Tapi masyarakat lebih mudah dan murah dengan tali sling dan bandul untuk mengetahui terjadinya longsor atau tidak. Untuk tanah yang bergerak maka bandul akan naik dan jika tanah atas yang bergerak maka bandul akan menurun. B. Input Kebijakan Antisipasi daerah yang rawan longsor juga dilihat satu kesatuan sistem DAS untuk diketahui masyarakat secara terpadu, holistik dan terintegrasi. Kondisi penggerusan tebing atau erosi tebing sungai yang banyak meander dan aliran dendritik seperti cabang pohon yang mudah dihantam oleh arus pada daerah kelokan merupakan daerah yang berpotensi longsor sebagai streambank erosion. Penutupan lahan yang membebani tanah yang sudah berpotensi longsor akan mempercepat terjadinya longsor misalnya tanaman yang tinggi dan perkarannya tidak dalam dan tidak mempunyai banyak akar serabut, seperti Sengon dan Akasia. Masyarakat di Banjarnegara sudah mengalihkan tanaman Salak dan Kapologo, sedangkan di Gombong dengan tanaman Sengon, Kelapa dan Pinus, dan di Purworejo dengan berbagai macam tanaman buah-bahan seperti durian, manggis. Perakaran vertikal atau akar tunggang dari bibit yang berasal dari biji membantu kestabilan tanah. Sintesis 2010-2014 | 60 Perbandingan volume akar dengan volume batang harus sebanding, sebab jika volume batang lebih besar maka tanaman akan mudah tumbang. Penguatan tanah dapat juga dilakukan untuk daerah longsor yang tidak dilewati sesar, yaitu dengan sering menambahkan pupuk organik dan memperbanyak tanaman bawah. Hal tersebut untuk memperkuat agregat struktur tanah,meningkatkan pori makro dan mempercepat drainase dan aerasi tanah. C. Produk (formula, dll) Koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait harus sering dilakukan dari tingkat kabupaten, kecamatan sampai ke desa. Di tingkat desa didirikan Pos Info untuk memberi tahu kepada masyarakat jika terjadi longsor, dan juga perlu disosialisasikan kepada masyarakat lewat pertemuan rutin bulanan. Disamping itu juga untuk pembelajaran kepada masyarakat upaya mitigasi tanah longsor melalui pengetahuan informasi daerah yang rawan longsor, dan tanda-tanda awal jika akan terjadi longsor juga upaya mengevakuasi jika longsor datang secara tiba-tiba. V. KESIMPULAN DAN SARAN Metode dan teknik rehabilitasi lahan terdegradasi pada lahan berpotensi longsor yang efektif dan efisien dengan memilih jenis tanaman yang perakarannya kuat dan menyebar dan vigor tanaman tidak membebani lahan. Seperti misalnya di daerah Sijeruk Banjarnegara sudah banyak yang beralih dari tanaman Sengon ke tanaman Salak dan Empon-empon. Selanjutnya dari hasil penelitian ini disosialisasikan kepada masyarakat lewat Pos Info yang sudah ditetapkan pada setiap lokasi dan juga telah berkoordinasi dengan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) setempat yaitu di BPBD Purworejo, BPBD Kebumen, dan BPBD Banjarnegara. BPBD banyak berharap dari lembaga penelitian banyak melakukan kegiatan penelitian untuk mendeteksi daerah-daerah yang berpotensi bencana (kebakaran, longsor, banjir, angin ribut dll). Info keberadaan tanah berpotensi longsor dimaksudkan untuk mengurangi korban jiwa dan diinformasikan pada masyarakat sejak awal, yaitu lewat pertemuan rutin warga atau dengan memasang spanduk dan menunjuk salah satu rumah untuk dijadikan Pos Info (Pusat Informasi dan Evakuasi). Beberapa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap longsor antara lain : kondisi tanah, kemiringan lereng, arah lereng, tekstur tanah, bobot isi, kemasaman tanah, kesuburan tanah, sesar, struktur, solum, regolith, permeabilitas dan faktor luar terutama hujan dan gempa bumi. Faktor-faktor yang berpengaruh untuk mitigasi daerah berpotensi longsor disuatu DAS antara lain: Metode dan teknik rehabilitasi lahan terdegradasi pada lahan berpotensi longsor yang efektif dengan penanaman jenis tanaman yang memiliki perakaran kuat dan lebat serta memiliki akar tunjang. Pada lahan dengan regolit yang dalam > 2 m pada lahan miring dengan dominasi tekstur liat dan kadar lengas tanah yang tinggi diperlukan tanaman yang tidak berkayu dan membebani tanah seperti tanaman kapulogo, empon-empon dan rumput gajah. Dari ketiga lokasi yang berpotensi longsor berurutan dari yang paling berpotensi adalah Banjarnegara (3,8=agak tinggi), Purworejo (3,6=agak tinggi), dan Gombong Sintesis 2010-2014 | 61 (3,0=sedang). Namun ketiga lokasi ada juga kesamaan antara lain kemiringan lereng yang curam dan kandungan liat tinggi, dan dilewati sesar. DAFTAR PUSTAKA Abramson, L.W., T.S. Lee, S. Sharma, and G.M. Boyce. 1996. Slope Stability and Stabilization Method. John Wiley & Sons, Inc., NY., 629p Brook, K.N., P. F. Ffolliott, H.M. Gregersen, and J.K. Thames. 1991. Hydrology and The Management of Watersheds. Iowa State University Press, Ames, USA. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2004. Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah Jawa Bagian Tengah. Ditjen Geologi dan Sumberdaya Mineral, Dep. Energi dan Sumberdaya Mineral, Bandung. DPRRI. 2006. Naskah Akademik RUU Tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta. Hirmawan, F. 1994. Pemahaman Sistem Dinamis Kestabilan Lereng untuk Mitigasi Kebencanaan Longsor. Makalah Penunjang No. 17 Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F-Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan Bencana, Yogyakarta Koesmaryono, Y., R. Boer, H. Pawitan, Yusmin dan I. Las. 1999. Pendekatan IPTEK dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Prosiding Diskusi Panel Strategi Antisipasi Menghadapi Gejala Alam La-Nina dan El-Nino untuk Pembangunan Pertanian, PERHIMPI-FMIPA IPB-PPTA-ICSA, Bogor. Murniati, 2010. Arsitektur Pohon, Distribusi perakaran dan Pendugaan Biomassa Pohon dalam Sistem Agroforestry. Jurnal penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Baltibanghut.P3HKA, vol. VIII no.2 tahun 2010, Bogor. Tjojudo, S. 1994. Teknik Penentuan Bidang Longsoran. Makalah Penunjang No. 13 Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F-Geografi UGMBakornas Penanggulangan Bencana, Yogyakarta. Permen PU No.22/PRT/M/2007. Pedoman Penataan Ruang. Kawasan Rawan Bencana Longsor. Departemen Pekerjaan Umum. Dirjen Penataan Ruang. Jakarta. Permenhut P.22/Menhut-V/2007. PEDOMAN TEKNIS GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (GN-RHL/Gerhan). Departemen Kehutanan dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 22/Menhut-V/2007 Tanggal : 20 Juni 2007. Sintesis 2010-2014 | 62 JUDUL PENELITIAN : UJI COBA JENIS SPESIES TANAMAN DAN MEDIA TANAM PEMBUNGKUS BENIH UNTUK AEROSEEDING PELAKSANA : DEWI ALIMAH, S. Hut., RUSMANA, S. Hut., Drs. RAHARDYAN NUGRAHA ADI INSTANSI : BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI ABSTRAK Permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan aeroseeding dalam rangka rehabilitasi lahan terdegradasi adalah tingkat keberhasilan tumbuh benih yang masih sangat rendah. Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis spesies tanaman dan media pembawa benih yang cocok digunakan sebagai materi rehabilitasi lahan rawa gambut terdegradasi pada metode aeroseeding (simulasi), mengetahui pengaruh jenis spesies tanaman dan media pembawa terhadap tingkat keberhasilan perkecambahan biji dan pertumbuhan anak semaitanaman, dan mengetahui tingkat keberhasilan aeroseeding pada berbagai tipe vegetasi yang telah dilakukan di Hutan Kota Palangkaraya (kerjasama dengan Tim Pokja Kalteng). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 (dua) perlakuan, yaitu jenis spesies tanaman endemik lahan rawa gambut dan media pembawa sebagai enkapsulat benih. Jenis spesies tanaman yang diujicobakan yang terdiri atas 4 (taraf), yaitu jelutung (Dyera lowii), mandarahan (Knema laurina), gerunggang (Cratoxylon spp.),dan belangeran (Shorea belangeran) sedangkan media pembawa yang diujicobakan terdiri atas 5 (lima) taraf, yaitu tanpa media pembawa (kontrol), jiffy pellet, tanah liat, tanah gambut, dan talk dicampur fungisida. Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah daya berkecambah benih, pertumbuhan tinggi, diameter batang, persentase hidup, kecepatan berkecambah, dan kerapatan benih. Hasil menunjukkan bahwa pada penelitian ini belum diketahui jenis spesies tanaman dan media pembawa yang cocok digunakan sebagai materi rehabilitasi lahan rawa gambut terdegradasi pada metode aeroseeding (simulasi). Begitu pula dengan pengaruh keduanya terhadap tingkat keberhasilan aeroseeding. Kata kunci : aeroseeding, lahan gambut, rehabilitasi, enkapsulasi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai upaya untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis telah dilakukan pemerintah, salah satunya adalah dengan memanfaatkan teknologi aeroseeding/aerial seeding. Percobaan aeroseeding merupakan teknologi yang terispirasi dari penyebaran benih tumbuhan melalui udara dengan bantuan pesawat terbang itu kini terus diintensifkan. Penggunaan teknologi ini juga dinilai bisa menjadi jalan keluar untuk rehabilitasi lahan di remote area, yaitu lahan kritis yang sangat sulit dijangkau, terpencil, terisolir, kelerengan sangat terjal dan lain-lain. Permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan aeroseeding ini adalah keberhasilan tumbuh benih yang masih sangat rendah. Saat ini tingkat keberhasilan tumbuh yang ditargetkan oleh Kementerian Kehutanan baru pada kisaran 20% saja. Hal ini disebabkan terutama oleh kondisi tanah tandus pada lahan kritis yang menghambat proses perkecambahan biji dan pertumbuhan anak semai tanaman. Keberhasilan aeroseeding Sintesis 2010-2014 | 63 sangat bergantung pada beberapa faktor antara lain kualitas benih, sifat benih (rekalsitran atau ortodok), dan kondisi lahan. Kondisi lahan yang bervegetasi rapat akan menyulitkan benih jatuh sampai ke lantai hutan (tanah/gambut) dibanding dengan kondisi vegetasinya jarang dan pendek (MKI, 2010). Studi kelayakan aeroseeding di lahan gambut diharapkan dapat membantu mengatasi masalah persentase tumbuh bijitanaman yang langsung ditanam pada tanah tandus dan miskin hara. Studi ini dilakukan melalui suatu rangkaian kegiatan percobaan untuk mengetahui pengaruh jenis spesies tanaman asli yang cocok sebagai materi rehabilitasi lahan rawa gambut terdegradasi pada metode aeroseeding (simulasi) dan media tanam sebagai pembungkus benih (enkapsulat) terhadap tingkat keberhasilan perkecambahan biji dan pertumbuhan anak semai tanaman. Pada penelitian ini direncanakan uji coba terhadap 4 (empat) jenis benih, yaitu jelutung (Dyera lowii), mandarahan (Knema laurina), gerunggang (Cratoxylon spp.), dan belangeran (Shorea belangeran). Jenis-jenis spesies tersebut merupakan jenis tanaman berkayu yang endemik di areal hutan rawa gambut. Sementara itu, media tanam yang akan diujicobakan terdiri atas 4 (empat) macam, yaitu jiffy pellet, tanah liat, tanah gambut, dan talk. Benih dibungkus dengan media tanam yang dibentuk sedemikian rupa dan diberi bekal nutrisi agar bisa tumbuh. Pembentukan media tanam ini dinilai cocok sebagai media persemaian benih dan penambahan berat dari media tanam tersebut diyakini bisa membawa benih yang disebar menerobos alang-alang yang biasanya tumbuh di lahan kritis serta untuk mencegah serangan hama. Selain itu, penelitian tentang studi kelayakan hydroseeding/aeroseeding di lahan gambut juga bekerjasama dengan Tim Pokja Kalteng dalam melakukan pengamatan dan pendataan hasil aeroseeding yang telah dilakukan oleh tim tersebut di Hutan Kota Palangkaraya. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah: 1. Untuk mengetahui jenis spesies tanaman dan media tanam yang cocok digunakan sebagai materi rehabilitasi lahan rawa gambut terdegradasi pada metode aeroseeding (simulasi). 2. Untuk mengetahui pengaruh jenis spesies tanaman dan media tanam terhadap tingkat keberhasilan perkecambahan biji dan pertumbuhan anak semai tanaman. 3. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan aeroseeding pada berbagai tipe vegetasi yang telah dilakukan di Hutan Kota Palangkaraya (kerjasama dengan Tim Pokja aeroseeding Palangkaraya). Sasaran penelitian adalah: 1. Diperoleh data dan informasi jenis spesies tanaman dan media tanam sebagai pembungkus (enkapsulat) benih yang cocok digunakan sebagai materi rehabilitasi lahan rawa gambut terdegradasi pada metode aeroseeding (simulasi). 2. Diperoleh data dan informasi pengaruh jenis spesies tanaman dan media tanam terhadap tingkat keberhasilan perkecambahan biji dan pertumbuhan anak semai tanaman. Sintesis 2010-2014 | 64 3. Diperoleh data dan informasi tingkat keberhasilan aeroseeding pada berbagai tipe vegetasi (kerjasama dengan Tim Pokja aeroseeding Palangkaraya) II. METODE PENELITIAN Orientasi dan Penetapan Lokasi. Lokasi plot penelitian yang dipilih dan menjadi prioritas dalam penelitian ini adalah lahan rawa gambut terdegradasi berat yaitu bervegetasi ringan (jarang) dan pendek (<2 m) yang didominasi oleh jenis pakis (Nephrolepis bisserata) dan/atau kalakay (Stenochlaena polustris) dan lahan-lahan yang sering terjadi kebakaran tahun sebelumnya dengan kondisi vegetasinya pendek atau tanpa vegetasi. Pengadaan dan Seleksi Benih (biji) Tanaman. Benih tanaman untuk uji coba teknik aeroseeding diperoleh melalui pembelian benih kepada masyarakat atau pedagang dengan syarat benih tersebut memiliki viabilitas tinggi (>70%). Benih diperoleh dalam bentuk buah dan dilakukan ekstraksi sesuai karakter dan diseleksi berdasarkan kondisi fisiknya. Benih yang bernas/berisi saja yang digunakan untuk uji coba ini sedangkan benih hampa dan sampah benih (kulit, tangkai) dibuang. Perlakuan Benih dan Simulasi Penyebaran. Benih dibungkus dengan media tanam berupa jiffy pellet, tanah liat, tanah gambut, dan talk hingga berbentuk sedemikian rupa seperti bola kecil berukuran diameter ± 2–3 cm dan kemudian dikeringkan (jika basah). Simulasi penaburan dilakukan dengan cara dilempar pada lahan yang telah ditetapkan sesuai perlakuan uji jenis. Pengamatan dan Pengukuran. Pengamatan dan pengukuran dilakukan di lapangan dan di laboratorium, yaitu sebagai berikut : a. Pengamatan dan Pengukuran di Lapangan. Data dikumpulkan melalui pengamatan dan pengukuran terhadap contoh uji pengamatan setiap perlakuan yang ditunjuk secara random dengan luas 1 m x 1 m sebanyak 4 kali. Parameter yang diukur adalah daya kecambah benih, pertumbuhan tinggi, diameter batang dan persentase hidup serta kerapatan benih tumbuh yang ditebar. b. Pengamatan dan Pengukuran di Laboratorium. Pengamatan dan pengukuran yang dilakukan di laboratorium ini terdiri atas 2 (dua) pengujian, yaitu pengujian kadar air benih dan pengujian daya perkecambahan. Kajian Aeroseeding di Hutan Kota Palangkaraya. Kajian dilakukan terhadap keberhasilan aeroseeding yang telah dilakukan oleh Tim Pokja Kalteng yang dikelola oleh BUMS PT. Hutan Amanah Lestari, Universitas Hasanudin Makasar, Universitas Palangkaraya, Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Kalimantan, dan Pemerintah Kota Palangkaraya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara diskusi dan mempelajari hasil laporan Tim Pokja tersebut. III. HASIL YANG DICAPAI Plot penelitian ini berlokasi di lahan milik penduduk Desa Tumbang Nusa, tepatnya di Sintesis 2010-2014 | 65 tepi jalan raya antar provinsi Kalimantan Tengah – Kalimantan Selatan. Plot ini terdiri atas 6 petak dengan ukuran 50 x 40 m memanjang ke belakang seluas 1,2 ha. Di dalam plot banyak dijumpai Acacia mangium dan beberapa tumbuhan bawah seperti pakis/kelakai, karamunting, bejakah, dan purun. Pada penelitian ini telah dilakukan pengamatan dan pengukuran di lapangan terhadap ballseed (benih yang dibungkus media tanam) yang berumur 2 (dua) minggu sejak ditabur. Hasil pengamatan persentase tumbuhpada uji jenis dan berbagai media tanam pembungkus dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persentase tumbuh pada uji jenis dan berbagai media tanam pembungkus benih untuk eroseeding umur 2 (dua) minggu Jenis Jelutung Gerunggang Mandarahan Belangeran Ulangan (N) 6 6 6 6 Gambut 0 0 - Tanah Liat 0 0 - Jiffy Pellet - Talk 0 0 - Kontrol 0 0 - Dari Tabel 1 di atas diketahui bahwa di plot aeroseeding umur 2 (dua) minggu dihitung sejak penaburan belum dijumpai perkecambahan biji. Kondisi tersebut terjadi pada biji jelutung dan gerunggang baik yang dibungkus dengan tanah gambut, tanah liat, maupun talk. Begitu halnya dengan kontrol (biji tanpa pembungkus), dimana biji jelutung dan gerunggang setelah dua minggu ditabur belum menunjukkan adanya perkecambahan. Pada penelitian ini perlakuan pembungkusan biji dengan jiffy pellet tidak jadi dilaksanakan. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya produk jiffy pellet di pasaran lokal sehingga harus impor. Selain itu, harga produk dan biaya impor barang termasuk mahal. Jadi, dapat dikatakan bahwa perlakuan pembungkusan biji dengan jiffy pellet ini cenderung kurang ekonomis jika dilaksanakan. Begitu pula dengan biji untuk jenis mandarahan yang tidak bisa diadakan. Dari hasil survei diketahui bahwa biji mandarahan ini sulit untuk diperoleh karena pada tahun 2012, vegetasi jenis ini tidak mengalami musim buah. Sementara itu, benih/biji belangeran yang diperoleh viabilitasnya sudah tidak bagus lagi untuk ditanam sehingga tidak dilakukan penelitian pada aeroseeding di tahun 2012. Kadar air biji jelutung dan gerunggang berturut-turut adalah sebesar 8,13% dan 12,48%. Uji jenis dan formula pembungkus aeroseeding tim pokja Kalteng di Palangkaraya dilakukan terhadap 9 (sembilan) jenis spesies tanaman yaitu pasir-pasir, asam-asam, tumih, gerunggang, sengon, bungur, dan galam. Untuk formula pembungkusnya berupa tanah liat, gambut, dan pupuk kandang.Persentase tumbuh benih aeroseeding yang telah dilakukan oleh Tim Pokja Kalteng dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 diketahui bahwa biji galam memiliki persentase tumbuh paling tinggi bila dibandingkan dengan spesies lainnya. Persentase tertinggi ini terutama dimiliki oleh biji galam yang dibungkus dengan formula media tanam berupa pupuk kandang sebesar 71,8%. Namun secara kseseluruhan baik biji galam yang dibungkus dengan formula pupuk kandang, tanah liat maupun gambut cenderung memberikan persentase tumbuh yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan biji dari jenis spesies lainnya.Sementara itu, persentase Sintesis 2010-2014 | 66 tumbuh paling rendah dijumpai pada jenis pasir-pasir, asam-asam, dan sungkai, dimana ketiganya memberikan persentase tumbuh biji sebanyak 0%. Tabel 2. Persentase tumbuh uji jenis dan formula pembungkus hasil aeroseeding kerjasama tim pokja kalteng di palangkaraya umur 8 (delapan) minggu No. Jenis Jumlah Biji 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pasir-pasir (stek) Asam-asam (stek) Sungkai (stek) Tumih Gerunggang Sengon Pulai Bungur Galam 500 500 600 500 500 500 500 500 500 Tanah Liat Σ % 0 0 0 0 0 0 3 0,6 8 1,6 3 0,6 19 3,8 9 1,8 94 18,8 Formula Pembungkus Gambut Pupuk Kandang Σ % Σ % 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0,4 1 0,2 11 2,2 1 0,2 20 4 4 0,8 8 1,6 16 3,2 6 1,2 3 0,6 57 11,4 359 71,8 Kontrol Σ 0 0 0 2 7 17 0 8 10 % 0 0 0 0,4 1,4 3,4 0 1,6 2 Tingginya persentase pertumbuhan biji (perkecambahan biji) pada galam dikarenakan oleh adanya sifat dari spesies itu sendiri yang sangat cocok tumbuh di lingkungan tanah rawa gambut yang memiliki tingkat keasaman yang cukup tinggi. Diketahui pula bahwa galam merupakan salah satu jenis tanaman berkayu yang endemik di areal hutan rawa gambut. Adanya tambahan pupuk kandang sebagai media pembungkus biji menjadikan persentase pertumbuhan biji galam semakin tinggi.Kandungan unsur haranya yang lengkap seperti natrium (N), fosfor (P), dan kalium (K) membuat pupuk kandang cocok untuk dijadikan sebagai media tanam.Unsur-unsur tersebut penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.Selain itu, pupuk kandang memiliki kandungan mikroorganisme yang diyakini mampu merombak bahan organik yang sulit dicerna tanaman menjadi komponen yang lebih mudah untuk diserap oleh tanaman. Sementara itu, untuk jenis biji seperti sengon, pulai, bungur, dan lainnya meskipun memberikan persentase pertumbuhan, namun nilainya masih cukup rendah. Hal ini bisa dikarenakan biji dari jenis di atas mempunyai struktur kulit biji yang keras sehingga diperlukan pelunakan kulit biji (stratifikasi) sebelum dikecambahkan supaya air mudah menembus kulit biji sehingga benih cepat berkecambah.Ketidaksesuaian lingkungan tempat tumbuh juga mampu mempengaruhi rendahnya persentase pertumbuhan biji. Seiring berjalannya waktu dimungkinkan pertumbuhan biji akan terus bertambah sehingga perlu dilakukan monitoring dan evaluasi lebih lanjut. IV. KESIMPULAN Pada penelitian ini belum diketahui jenis spesies tanaman dan media tanam yang cocok digunakan sebagai materi rehabilitasi lahan rawa gambut terdegradasi pada metode aeroseeding (simulasi). Begitu pula dengan pengaruh keduanya terhadap tingkat keberhasilan aeroseeding. Pada kajian aeroseeding yang telah dilakukan oleh Tm Pokja Kalteng di Palangkaraya diketahui bahwa benih galam memiliki persentase tumbuh paling tinggi bila dibandingkan dengan spesies lainnya yaitu sebesar 71,8% dengan media tanam berupa pupuk kandang. Sintesis 2010-2014 | 67 Lampiran Gambar 1. Plot Aeroseeding 201 Gambar 2. Pengujian kadar air biji gerunggang dan jelutung Plot Aeroseeding 201 Gambar 3. Formula dan hasil pembungkusan benih dengan media tanam . Gambar 4. Pembuatan ballseed Gambar 5. Pengamatan aeroseeding Sintesis 2010-2014 | 68 JUDUL PENELITIAN : KAJIAN DAMPAK PENANAMAN JENIS PENGHASIL KAYU TERHADAP TATA AIR PELAKSANA : Drs. RAHARDYAN NUGROHO ADI, DIAN CAHYO BUWONO INSTANSI : BALAI PENELITIAN KEHUTANAN BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN ABSTRAK Hutan tanaman berupa jenis-jenis tanaman penghasil kayu yang ditanam dalam skala luas memiliki dampak terhadap lingkungan khususnya tata air. Dari aspek lingkungan, hutan tanaman penghasil kayu akan meningkatkan penutupan lahan oleh tajuk tanaman sehingga memperkecil resiko terjadinya erosi dan limpasan permukaan dan tajuk tanaman juga berfungsi untuk menahan pukulan air hujan secara langsung ke permukaan tanah melalui proses aliran batang (stemflow) dan intersepsi. Penelitian dampak penanaman jenis penghasil kayu terhadap tata air, dilakukan pada jenis meranti dan atau tanaman kayu pertukangan jenis nyawai. Pada tahun 2012 ini masih melanjutkan penelitian pada tahun 2012. Metode penelitian erosi dilakukan dengan plot erosi berukuran 22 x 4 meter dan penelitian tata air (intersepsi, limpasan permukaan dan hasil air) menggunakan mikro DAS dengan luasan ± 10 Ha yang dilakukan pada jenis meranti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi tata air (limpasan permukaan, aliran batang, intersepsi, evapotranspirasi, hasil air dan kualitas air) dan erosi tanah di bawah jenis tanaman penghasil kayu jenis meranti. Kata kunci : tata air, erosi tanah, tanaman peghasil kayu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada saat ini sedang mengembangkan beberapa jenis tanaman kayu-kayuan yang merupakan jenis prioritas dan unggulan di wilayah Kalimantan Selatan. Tujuannya adalah untuk mendukung pelaksanaan pembangunan hutan tanaman. Namun demikian beberapa jenis kayu yang dikembangkan oleh BPK Banjarbaru, Kalimantan Selatan belum dilengkapi dengan penelitian yang mengkaji tentang aspek ekologis dari jenis tanaman kayu tersebut. Lebih khusus lagi, dalam pengembangan jenis kayu pertukangan perlu didukung dengan data intersepsi, erosi, limpasan permukaan, evapotranspirasi dan hasil air. Hasil dari kajian ini diharapkan akan menjadi informasi penting bagi penentu kebijakan, khususnya di bidang kehutanan, yaitu dalam rangka menunjang program pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management) serta terutama penyediaan kebutuhan air. B. Tujuan Dan Sasaran Tujuan penelitian adalah mendapatkan informasi besarnya nilai intersepsi, erosi, limpasan permukaan, evapotranspirasi dan hasil air jenis tanaman penghasil kayu. Sasaran kajian adalah tersedianya data intersepsi, erosi, limpasan permukaan, evapotranspirasi dan hasil air jenis tanaman penghasil kayu. Sintesis 2010-2014 | 69 II. METODE PENELITIAN Untuk memudahkan pengamatan di lapangan, masing-masing parameter yang diamati, plot pengamatannya ditempatkan pada lokasi yang sama atau paling tidak berdekatan satu sama lain. Untuk pengamatan intersepsi dilakukan pada tegakan meranti alam di lokasi penelitian. Pengamatan dilakukan pada 3 (tiga) tegakan meranti alam yang telah dewasa dan mempunyai diameter batang yang hampir sama dan dipilih secara purposif di lokasi penelitian. Pengamatan aliran batang dilakukan dengan menampung aliran air dari batang pada masing-masing tegakan. Kemudian untuk pengamatan air lolos dilakukan dengan menampung air lolos tersebut dengan kolektor yang ditempatkan secara purposif di bawah masing-masing tegakan. Disamping itu dilakukan juga deskripsi secara detail terhadap tegakan yang diamati aliran batang dan air lolosnya. Gambar 1. Plot Pengamatan Aliran Batang dan Air Lolos Kemudian untuk pengamatan erosi dan limpasan permukaan dilakukan dengan menggunakan plot erosi ukuran standar (22 x 4 meter) yang dilengkapi dengan bak penampung. Penempatan plot erosi dilakukan pada jalur tanaman meranti yang ditanam dengan metode silin. Plot erosi ditempatkan pada 2 jalur tanaman meranti yang ditanam dengan metode silin dengan kemiringan lereng dan penutupan lantai hutan yang berbeda. Petak ukur erosi : 22 x 4 m Selang plastik Lubang pembagi Drum I Lubang pembuangan Drum II Lubang pembuang an Gambar 2. Desain Pengkuran Erosi dan Limpasan Permukaan Sintesis 2010-2014 | 70 Selanjutnya untuk pengamatan hasil air dilakukan dengan pendekatan mikro DAS dengan luasan 10 - 20 ha. Pengamatan hasil air dilakukan dengan menggunakan stasiun pengamat aliran sungai (SPAS) yang dilengkapi dengan AWLR (Automatic Water Level Recorder). Tipe SPAS yang digunakan dalam pengamatan ini adalah V-Notch Wier dengan sudut 90° yang dilengkapi dengan pemantau tinggi muka air otomatis berupa logger. Gambar 3. SPAS Tipe V-Notch Weir sudut 90° Untuk pengamatan evapotranspirasi dilakukan dengan menggunakan lisismeter (4 x 4 x 2 meter). Lisimeter akan dibuat sebanyak 2 buah, 1 buah akan ditanami dengan jenis meranti, dan 1 buah lagi akan dibiarkan kosong untuk kontrol. Parameter yang diamati adalah curah hujan, tinggi muka air pada kolektor penampung limpasan permukaan, dan tinggi muka air pada kolektor penampung aliran dasar. Gambar 4. Lisimeter Kemudian juga dilakukan pengambilan sampel tanah pada daerah tangkapan air sungai Jupoi yang diamati hasil airnya. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara purposif sebanyak delapan (8) sampel. Di samping itu juga dilakukan pengukuran infiltrasi dengan menggunakan double ring infiltrometer pada jalur silin, di bawah tegakan meranti. Selanjutnya untuk analisis parameter-parameter hidrologi yang akan diteliti dilakukan dengan prosedur sebagai berikut : 1) Perhitungan volume aliran batang dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Sfi = Vi/li ( cm) = Vi /li (cm) x 10 (mm) ..................................... (1) Sintesis 2010-2014 | 71 Keterangan: Sfi = tinggi aliran batang ke-i (mm) Vi = volume aliran batang ke-i (cm3) Li = Luas tajuk pohon ke-i (cm2) (Arrijani, 2006) 2) Volume curahan tajuk yang tertampung selanjutnya dikonversi ke dalam satuan mm dengan persamaan sebagai berikut: Sfi = Vi/li ( cm) = Vi /li (cm) x 10 (mm) ..................................... (2) Keterangan: Tfi = Tinggi curahan tajuk ke-i (mm) Vi = Volume curahan tajuk ke-i (cm3) Li = Luas penampungan ke-i (cm2) (Arrijani, 2006) 3) Pengukuran aliran permukaan : Pengukuran limpasan permukaan dan dilakukan dengan mengukur ketinggian air yang berada dalam drum kolektor dengan menggunakan meteran kayu dalam satuan cm. Dari kedalaman air tersebut dapat diketahui volume airnya dengan persamaan : V=AxD ............................... (3) Keterangan : V = volume air dalam drum (cm3) D = kedalaman air dalam drum (cm) A = luas penampang drum (cm2) Volume air dalam drum II juga diukur seperti drum I, kemudian dari hasil pengukuran akan diperoleh hasil berupa volume total dengan persamaan sebagai berikut : Vt = V1 + ( n x V2) .............................. (4) Keterangan : Vt = volume air total V1 = volume air pada drum I (pertama) V2 = volume pada drum II (kedua) n = jumlah lobang pada drum I (pertama) , sebanyak 12 buah Hasil pengukuran aliran permukaan didapatkan volume total dan kemudian dikonversi ke dalam satuan m3/ha/bulan. 4) Pengukuran tanah yang tererosi Penentuan berat tanah tererosi yang dilakukan dengan cara mengambil contoh air dari drum I dan II untuk setiap perak ukur dengan terlebih dahulu mengaduk seluruh isi drum sampai homogen, kemudian contoh air disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui berat keringnya. Kertas saring berserta endapannya kemudian dioven pada suhu 105oC sampai konstan, kemudian ditimbang. Berat tanah tererosi adalah: Wtc = W1 + W2 ................................ (5) Keterangan: Wtc = berat tanah tererosi (g) W1 = berat tanah dalam drum I W2 = berat tanah dalam drum II W1 atau W2 = Vd / Vs x (Wkse – Wks) Vd = volume air dalam drum (liter) Vs = volume air yang tersaring (liter) Wkse = berat kertas saring beserta endapan (g) Wks = berat kertas saring (g) Sintesis 2010-2014 | 72 5) Pengukuran evapotranspirasi dilakukan dengan menggunakan lisimeter berukuran 4 x 4 x 2 meter. Prinsip menghitung evapotranspirasi dengan lisimeter adalah dengan menghitung curah hujan dikurangi rembesan ke dasar ditambah air yang mengalir di permukaan lisimeter, kelembaban tanah, dan evaporasi. Dalam bentuk matematis ditulis sebagai berikut E=I–O S Keterangan : E = evapotranspirasi (mm) I = inflow, adalah curah hujan (mm) O = outflow, adalah air yang meresap dan air yang mengalir di permukaan Lisimeter (mm) S = kelembaban tanah dalam lisimeter Atau : E = P – (R1 + R2) S Keterangan : P = curah hujan (mm) R1 = aliran diatas permukaan lisimeter (mm) R2 = air yang meresap di dasar lisimeter (mm) 6) Pengukuran laju infiltrasi dilakukan dengan menggunakan double ring infiltrometer. Infiltrasi yang diukur adalah laju infiltrasi rata-rata dalam satuan volume/luas/waktu (ml/cm2/menit). 7) Sampel tanah yang diambil selanjutnya dianalisis di laboratorium untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian. III. HASIL YANG DICAPAI A. Erosi dan Limpasan Permukaan Tabel 1. Erosi tanah pada Plot I No 1 2 3 4 5 6 7 Bulan Desember 2011 Januari Februari Maret April Mei Juni Berat Erosi Tanah (kg/ha/bln) 0,01 0,09 0,09 0,16 0,21 0,12 0,03 Tabel 2. Erosi tanah pada Plot 2 No 1 2 3 4 5 6 7 Bulan Desember 2011 Januari Februari Maret April Mei Juni Berat Erosi Tanah (kg/ha/bln) 0,03 0,06 0,07 0,08 0,09 0,03 0,03 B. Intersepsi Tabel 3. Air lolos (Trough fall) No. 1 2 3 4 5 6 7 Bulan Desember 2011 Januari Februari Maret April Mei Juni Paralon A Rata-rata Vol (cm3) TF (mm) 746, 25 16,90 1.178,40 26,64 1.204,42 27,28 2.059,40 46,64 2.305,15 52,20 1.234,35 27,95 1.086,80 24,61 Paralon B Rata-rata Vol (cm3) TF (mm) 1.083,75 24,25 1.508,75 34,17 1,273,25 28,84 2.491,25 56,42 2.615,00 59,22 1.341,25 30,38 1.228,75 27,83 Paralon C Rata-rata Vol (cm3) TF (mm) 1.241,00 28,10 1.395,00 31,59 1.391,60 31,52 2.446,00 55,39 2.446,00 55,85 1.299,00 29,42 1.235,00 27,97 Sintesis 2010-2014 | 73 Tabel 4. Aliran batang (Stem flow) No. 1 2 3 4 5 6 7 C. Bulan Desember 2011 Januari Februari Maret April Mei Juni Paralon A Rata-rata Vol (cm3) TF (mm) 8.470 0,02 8.510 0,02 8.750 0,02 22.055 0,04 28.750 0,62 7.575 0,02 10.170 0,02 Paralon B Rata-rata Vol (cm3) TF (mm) 15.890 0,02 18.670 0,02 16.205 0,02 40.320 0,05 38.265 0,05 21.125 0,03 15.600 0,02 Paralon C Rata-rata Vol (cm3) TF (mm) 7.369 0,01 9.615 0,02 8.595 0,02 36.350 0,07 36.310 0,08 13.590 0,03 12.275 0,02 Hasil Air Tabel 5. SPAS Jupoi No 1 2 3 4 5 6 7 Bulan Desember 2011 Januari Februari Maret April Mei Juni Debit (ltr/detik) 13,21 265,99 191,38 400,80 582,18 93,27 105,58 D. Evapotranspirasi Untuk pengamatan evapotranspirasi baru dilaksanakan pada tahun anggaran 2013 sehingga hasil pada tahun 2012 adalah pembuatan sarana pengamatan (lysimeter) dan penanaman jenis meranti di dalam lysimeter. E. Infiltrasi Titik Sampel Infiltrasi awal (f0) (cm) 1 2 3 4 5 6 0,29 0,1 1,52 1 2 0,3 Infiltrasi konstan (ft) (cm) 0,29 0,10 1,52 1,00 2,00 0,03 W (menit 20 23 23 16 19 26 F. Sampel Tanah Hasil analisis sampel tanah belum dapat disampaikan karena sampel belum selesai dianalisis di laboratorium. Perkiraan hasil analisis sampel tanah selesai pada akhir bulan januari 2013 sehingga hasil analisis sampel tanah baru akan disampaikan pada laporan lengkap kegiatan penelitian. IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Hasil sementara sampai dengan akhir kegiatan tahun 2012 adalah sebagai berikut : - Hasil perhitungan erosi dan limpasan permukaan di kedua plot pengamatan nilainya relatif kecil namun demikian masih perlu dibandingkan dengan nilai erosi yang Sintesis 2010-2014 | 74 diperkenankan di lokasi penelitian. - Beitu juga untuk hasil perhitungan intersepsi pada jenis meranti di lokasi penelitian juga nilainya relative kecil. - Untuk perhitungan laju infiltrasi pada jalur silin belum dapat tersaji lengkap karena perhitungan kapasitas infiltrasi belum dapat dilaksanakan karena hasil analisis sampel tanah belum selesai dilakukan. Sintesis 2010-2014 | 75 Sintesis 2010-2014 | 76 JUDUL PENELITIAN : TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT (Keberhasilan Pertumbuhan Tanaman di Areal Rehabilitasi Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, Kondisi Biofisik Lahan Gambut Setelah Penabatan Kanal di Taman Nasional Sebangau) PELAKSANA : BINA SWASTA SITEPU, S.Hut INSTANSI : I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan lahan gambut meliputi pemanfaatan dan perlindungan lahan gambut. Setelah berlangsung sekian lama pemanfaatan lahan gambut ternyata menimbulkan kerusakan pada ekosistem lahan gambut. Akibat pembukaan areal gambut dan pembuatan saluran-saluran pada areal gambut, terjadi penurunan muka air tanah gambut dan kedalaman gambut secara drastis dan menimbulkan dampak yang serius bagi daur ekosistem yang selama ini sudah terjaga dan menjaga dengan baik (Suryadiputra et al., 2005). Kerusakan ekosistem lahan gambut tanpa disadari menimbulkan bahaya yang tidak sedikit. Pelepasan gas rumah kaca, hilangnya sumberdaya hayati dan terganggunya sistem hidrologi yang menyebabkan banjir merupakan beberapa akibat dari kerusakan lahan gambut (Las et al., 2009). Sebagai upaya perbaikan lahan gambut terdegradasi dilakukan kegiatan penanaman jenis-jenis tumbuhan asli lahan gambut dan penabatan (pembendungan) saluran-saluran air buatan. Lahan gambut yang memiliki karakteristik unik, akan membutuhkan perlakuan khusus pada setiap sifat lahannya. Untuk kegiatan rehabilitasi di lahan gambut, ketebalan gambut yang sangat bervariasi, kondisi dan kematangan gambut serta sistem hidrologi akan memberikan perlakuan yang bermacam-macam dalam pemilihan jenis, teknik penyiapan lahan serta teknik penanaman maupun pemeliharaannya (Daryono, 2005; Wibisono et al., 2005). Selain itu, kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar lahan gambut juga dapat memberikan kontribusi terhadap keberhasilan rehabilitasi (Subagyo et al., 2003). Kegiatan rehabilitasi di lahan gambut yang telah dilaksanakan tercatat di Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi (Rachmanadi et al., 2002, Wildlife Habitat Canada, 2004, Falah et al., 2004, , Dohong, 2006 ). Namun belum diketahui status keberhasilan dari setiap lokasi rehabilitasi tersebut. Salah satu upaya perbaikan ekosistem gambut yang dilakukan adalah penabatan (pembendungan) kanal atau saluran air pada lahan gambut. Tujuan dari penabatan ini adalah mencegah limpasan air secara langsung dari lahan gambut ke sungai atau badan air alami lain yang menjadi tempat pengeluaran air. Diharapkan setelah kanal ditabat, tinggi muka air permukaan di lahan gambut akan naik sehingga gambut tetap basah dan mengurangi subsidensi. Penabatan kanal di lahan gambut telah dilakukan di Sumatera dan Kalimantan (Suryadiputra, et al, 2005). Salah satu areal yang di tabat adalah saluran eks HPH PT. Sintesis 2010-2014 | 77 Sanitra Sebangau Indah (SSI), di Taman Nasional Sebangau. Namun masih minim sekali didapatkan informasi biofisik lahan gambut di lokasi tersebut setelah kegiatan penabatan. Di lokasi lain, kegiatan penabatan diketahui memberikan dampak positif terhadap tinggi muka air permukaan dan kualitas air (Istomo, et al, 2007). Untuk itu penelitian tentang pengelolaan lahan gambut, khususnya pada lahan gambut terdegradasi dengan mengambil fokus pada keberhasilan petumbuhan tanaman rehabilitasi dan kondisi biofisik lahan gambut setalah penabatan kanal perlu dilakukan untuk mendukung managemen pengelolaan lahan gambut. B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi pengelolaan lahan gambut, khususnya data keberhasilan pertumbuhan tanaman di lahan gambut dan informasi kondisi biofisik lahan gambut setelah penabatan kanal. II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL PENELITIAN A. Identifikasi Regulasi yang Ada Instruksi Presiden RI No. 2 Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. B. Analisis Kebutuhan Penelitian ----III. SINTESIS HASIL PENELITIAN A. Metode Penelitian Waktu Penelitian. Penelitian dilaksanakan dari tahun 2011-2013 Lokasi. Penelitian dilaksanakan di Kalimantan Tengah, khususnya di daerah eks PLG 1 juta hektar ( Kab. Kapuas, Kab. Pulang Pisau, Taman Nasional Sebangau) Rancangan Penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode survey di areal lahan gambut terdegradasi. Untuk keberhasilan pertumbuhan tanaman dilakukan dengan metode survei tanaman di areal rehabilitasi lahan gambut. Dibuat plot-plot pengamatan berukuran 20 m x 50 m pada areal rehabilitasi lahan gambut. Parameter yang diukur dari tanaman adalah daya hidup dan kondisi pertumbuhan tanaman berupa diameter dan tinggi tanaman. Untuk kondisi biofisik lahan gambut setelah penabatan, dibuat titik –titik pengamatan tinggi muka air tanah, sifat fisik gambut dan penutupan vegetasi. B. Hasil 1. Keberhasilan pertumbuhan tanaman di areal rehabilitasi lahan gambut Dari 7 lokasi rehabilitasi lahan gambut, didapatkan hasil sebagai berikut : No Plot 1 Desa Gohong Sintesis 2010-2014 | 78 Jenis Tanaman Penambahan zat kimia Perbaikan Tapak Persen hidup Shorea balangeran Urea Guludan 20.65 MAI Diameter (cm) 1.55 MAI Tinggi (m) 0.91 No Plot Desa 3 Sebangau Permai Lunuk Ramba 1 4 Lunuk Ramba 2 5 Tambun Raya 6 Pulau Kupang 7 Resort Mangkok Taman Nasional Sebangau 2 Jenis Tanaman Penambahan zat kimia Perbaikan Tapak Persen hidup MAI Diameter (cm) MAI Tinggi (m) Shorea balangeran Urea Tidak ada 85.53 1.01 0.76 Dyera lowii Dyera lowii, Durio sp., Hevea Brasiliensis Hevea brasilensis Paraserianthes falcataria Kapur + Guludan 91.31 Kapur Gundukan 78.94 1.99 1.7 2.74 2.05 1.12 1.07 1.84 1.18 Kapur Gundukan 45.47 1.98 1.75 Urea Guludan 76.64 3.1 4.3 Urea Tidak ada 74.37 0,53 0.92 0.50 0.90 Dyera lowii Shorea balangeran Dari data diatas terlihat bahwa lokasi di Gohong dan Tambun Raya memiliki persen hidup yang paling rendah. Berdasarkan informasi dan pengamatan di lapangan, faktor penyebab rendahnya nilai persen hidup tanaman Shorea balangeran di desa Gohong adalah akibat kebakaran yang terjadi pada tahun 2009 akibat kelalaian masyarakat di sekitar areal rehabilitasi lahan gambut yang membakar sampah tanpa membuat sekat atau menjaga api agar tidak merambat. Akibat kelalaian ini, api yang membakar sampah merambat hingga areal rehabilitasi lahan gambut dan membakar tanaman rehabilitasi. Akibat kebakaran ini, ketebalan lapisan gambut yang sebelumnya mencapai 1 meter, pada saat pengukuran hanya mencapai 30 cm, bahkan beberapa lokasi pengukuran tidak terdapat lagi lapisan gambutnya. Di desa Tambun Raya, rendahnya persen hidup tanaman Hevea brasiliensis diperkirakan disebabkan oleh pengaruh kondisi asam dan tingginya tekanan dari tanaman liar terutama Stenochlaena palustris yang mendominasi di areal lokasi. Pada lokasi ini didapatkan kecenderungan bahwa tanaman yang menggunakan sistem gundukan dan secara rutin dibersihkan dari tanaman liar menunjukkan persen hidup yang lebih baik. Namun sebagian besar tanaman yang diamati tidak menggunakan gundukan dan tidak adanya perlakuan pembersihan dari petani pemilik lahan, hal ini terlihat dari empat plot yang diambil ada dua plot yang >80 % tanamannya mati semua dan memberikan nilai persen hidup yang rendah untuk lokasi secara keseluruhan. Di lima lokasi lainnya, diperoleh nilai persen hidup yang melebihi batas minimum nilai persen hidup untuk evaluasi keberhasilan kegiatan rehabilitasi yaitu 70%. Kecuali di Desa Sebangau Permai dan resort mangkok TNS, perlakuan penggunaan gundukan atau galuran dan pembersihan areal rehabilitasi yang diterapkan memberikan efek postif untuk nilai persen hidup. Dari wawancara dengan petani pemilik lahan, pembuatan gundukan dilakukan sebelum dilakukan penanaman dan pembersihan dilakukan minimal 1 tahun sekali dengan menggunakan sistem mekanis atau kimia. Untuk desa Sebangau Permai dan Resort Mangkok, TNS, pemilihan jenis S. balangeran yang asli tanaman rawa gambut memberikan daya tahan terhadap kondisi asam dan periode banjir yang menjadi ciri khas lahan gambut. Selain itu, lokasi areal rehabilitasi yang jauh dari pemukiman dan areal pertanian masyarakat menurunkan resiko kebakaran Sintesis 2010-2014 | 79 yang disebabkan oleh kelalaian manusia, hal ini terlihat sejak tahun penanaman tidak ada kebakaran yang terjadi di lokasi kegiatan. Dari hasil pengamatan, didapatkan jenis Paraserianthes falcataria memiliki diameter dan tinggi rata-rata tertinggi serta MAI terbesar walaupun umurnya baru 2 tahun tanam. Hal ini sesuai dengan sifat jenis tersebut yang termasuk dalam kelompok jenis cepat tumbuh. Nilai pertumbuhan ini juga masih lebih baik dibandingkan dengan hasil penelitian Purwanto dkk (2003) di desa sungai Pantai, kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan yang memiliki kondisi mirip pada umur 5 tahun, namun diameter rata-rata + 10 cm dan tinggi 5,7 meter. Walaupun demikian, dari syarat tempat tumbuh yang ditetapkan bagi sengon menurut Beccking (1944) dalam Alrasyid (1979), Sengon sebenarnya memiliki keterbatasan pada areal yang memiliki permukaan air tanah dangkal atau tergenang dan keasaman <5. Hal ini berlawanan dengan kondisi di lapangan yang memiliki periode banjir dan tinggi muka air tanah yang dapat mencapai 0,1 cm dari permukaan tanah. Selain itu pada beberapa lokasi di Kelurahan Pulau Kupang ditemukan kondisi keasaman tanah (pH) kurang dari 5 (4, 80). Jenis Hevea brasiliensis merupakan salah satu jenis tanaman pilihan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi di lahan hak. Alasan pemilihan jenis ini dikarenakan manfaat getah yang dapat disadap oleh petani pemilik lahan untuk pendapatan sehari-hari. Jenis ini di tanam pada dua lokasi yaitu desa Tambun Raya dan desa Lunuk Ramba. Pertumbuhan Hevea brasiliensis desa Tambun Raya lebih rendah dibandingkan dengan di desa Lunuk Ramba. Seperti penjelasan pada persen hidup tanaman, kurangnya perawatan dan teknologi yang berbeda menyebabkan adanya perbedaan tersebut. Di desa Lunuk Ramba, jenis Hevea brasiliensis dicampur dengan Dyera lowii dan Durio zibethinus dalam satu hamparan yang merupakan kegiatan penanaman tanaman model dari BPDAS Kahayan dengan sistem gundukan atau guludan. Untuk Jenis Durio zibethinus, informasi yang didapatkan dari petani pemilik lahan dan petugas dari BPDAS Kahayan menyatakan pertumbuhan jenis ini sangat lambat jika dibandingkan dengan jenis Hevea brasiliensis dan Dyera lowii dengan perlakuan perawatan dan teknologi yang sama. Dari 371 individu di lokasi pengamatan, durian hanya berjumlah 11 buah, dan menunjukkan kecenderungan pertumbuhan tinggi yang melambat atau stagnan. Bahkan pada jalur tanaman Durio sp. lebih banyak disisip dengan tanaman Hevea brasiliensis atau Dyera lowii pada awal tahun penanaman. Ketidak sesuaian kondisi lahan yang masam dan sering tergenang diperkirakan menjadi penyebab rendahnya pertumbuhan tanaman ini. Di desa Lunuk Ramba, Nilai MAI diameter jenis Dyera Lowii antara 1,71-1,99 cm pertahun sama dengan nilai pengamatan dari Bastoni dan Riyanto (1999) dalam Bastoni dan Lukman (2005) 1,55-2,00 cm/tahun. Sebagai jenis asli di lahan rawa gambut, Dyera lowii memiliki adaptasi yang baik, dengan kondisi keasaman tanah yang rendah dan periode banjir tahunan di lahan rawa gambut juga dapat bertahan pada kondisi lahan terbuka akibat penebangan atau kebakaran. Didesa lunuk ramba juga dilakukan perbaikan tapak dengan cara membuat guludan pada jalur tanaman. Penggunaan sistem semi intensif diperkirakan dapat menambah MAI diameter mencapai 2,5 cm/tahun. Namun di Resort Mangkok, Taman Nasional Sebangau, MAI diameter Dyera lowii hanya mencapai 0.53 cm pertahun. Hal ini diperkirakan disebabkan kondisi tapak rehabilitasi yang tidak diperbaiki Sintesis 2010-2014 | 80 sehingga pada saat musim banjir yang lama di DAS Sebangau, tanaman menjadi terhambat pertumbuhannya. Pertumbuhan jenis Shorea balangeran pada Ketiga lokasi pengamatan yaitu desa Gohong, Sebangau Permai dan Resort Mangkok, TNS, menunjukkan nilai MAI diameter yang berbeda. Pengaruh ketebalan dan kematangan gambut diperkirakan memepengaruhi perbedaan ini. Pada lahan Gambut yang dangkal dan telah matang, diketahui memiliki unsur hara yang lebih banyak dibandingkan dengan lahan gambut yang tebal dan belum matang (Wahyunto dkk, 2005). Ini ditunjukkan dengan MAI dan diameter rata-rata di desa Gohong yang lebih besar daripada di desa Sebangau Permai dan Resort Mangkok, TNS, yang memiliki kondisi lahan gambut lebih tebal. 2. Kondisi Biofisik lahan gambut setelah penabatan kanal. Dari pengamatan kematangan gambut, secara umum areal gambut yang berada di bagian bawah dan di atas tabat memiliki kamatangan hemik dan saprik. Namun di plot pengamatan terakhir yang paling dekat dengan sungai sebanagau dan paling jauh dari tabat, memiliki kamatangan gambut tingkat saprik. Ketiadaan lapisan humik yang ditandakan dengan adanya material serasah atau bagian tumbuhan yang belum terurai diduga disebabkan oleh minimnya tumbuhan yang hadir di plot pengamatan. Sehingga material pengisi lapisan gambut juga cenderung sangat sedikit atau mudah terbawa air pasang ke dan hanyut ke sungai dibandingkan tertahan di lahan gambut dan membentuk lapisan baru diatas lapisan gambut yang terbakar. Pengamatan tinggi muka air dilakukan mulai bulan September 2013. Areal bagian atas tabat memiliki tinggi muka air tanah antara +6,6 s/d – 64,1 cm. Tinggi muka air areal diatas tabat terpengaruh oleh tinggi rendah air di kanal yang bergantung pada kondisi air di hulu kanal. Sedangkan bagian bawah tabat selain oleh air di hulu kanal, juga dipengaruhi oleh kondisi air di sungai Sebangau. Pada bulan Desember, saat musim penghujan, kondisi tinggi muka air di plot pengamatan yang paling dekat dengan sungai Sebangau mengalami peningkatan tinggi muka air tanah mencapai + 66,33 cm dan paling rendah adalah -0.7 cm. Berbeda dengan kondisi plot pengamatan di atas tabat, ketinggian muka air tanah antara 3.67 s/d 32.1 cm di bawah permukaan gambut. Secara umum, vegetasi penutup areal lahan gambut di bagian atas dan bawah tabat terlihat berbeda. Dari menara pengamatan di Camp Penelitian SSI, terlihat bahwa areal di bagian atas tabat memiliki tutupan yang lebih luas dibandingkan di bagian bawah tabat. Informasi dari Balai Taman Nasional Sebangau, pada awalnya hampir seluruh areal di sekitar tabat adalah areal bekas kebakaran Tahun 2004. Setelah kebakaran, hanya tersisa jenis Combretocarpus rotundatus dan Shorea balangeran, khususnya yang terletak di dekat sungai Sebangau dan beberapa tegakan di tengah areal gambut yang terbakar. Di atas tabat, hanya ditemui 2 individu tegakan tingkat pohon, yaitu Hopea sp. dan Diospyros sp., lebih sedikit jika dibandingkan dengan areal di bawah tabat yang diisi oleh 15 individu Shorea balangeran dan 2 individu Combretocarpus rotundatus. Keberadaan tegakan tingkat pohon yang berbeda ini dikaitkan dengan kondisi areal setelah kebakaran pada tahun 2004. Shorea balangeran, Combretocarpus rotundatus adalah jenis yang mampu bertahan hidup setelah kebakaran tahun 2004. Sedangkan di bagian atas tabat yang jauh dari sungai kedua jenis ini sangat miskin, khususnya pada tingkat pohon. Tingkatan Sintesis 2010-2014 | 81 tegakan yang mendominasi di areal lahan gambut bagian atas tabat adalah tingkatan pancang dengan 26 jenis dan tiang dengan 12 jenis. Sedangkan di bawah tabat hanya ditemukan 7 jenis tegakan tingkat pancang dan 2 jenis tegakan tingkat tiang. Keberadaan habitat lahan gambut yang masih di belakang areal bekas kebakaran (+ 300 m dari tepi kanal di atas tabat) juga memberikan pengaruh terhadap keragaman jenis, berbeda dengan dibawah kanal yang relatif terbuka dan jauh dari areal lahan gambut yang masih baik. IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN A. Metode (Teknik, prosedur, dll) Pemilihan jenis untuk kegiatan rehabilitasi di lahan gambut terdegradasi difokuskan pada dua jenis yang telah diketahui memiliki persen hidup, MAI diameter dan tinggi yang baik dalam kaitannnya dengan sifat fisik lahan gambut terdegradasi yang memiiki banyak faktor pembatas, yaitu Shorea balangeran dan Dyera lowii. Perbaikan tapak yang diimplementasikan melalui pembuatan guludan maupun gundukan dapat dilakukan pada area rehabilitasi yang memiliki kedalaman gambut dangkal dan jenis tanaman utama Dyera lowii. Pembuatan guludan/gundukan selain untuk menghindari genangan pada tanaman pokok juga dapat dipergunakan untuk tanaman semusim pada sistem rehabilitasi dengan pola agroforestry. Pelaksanaan penabatan kanal diketahui memiliki pengaruh yang positif terhadap proses revegetasi secara alami maupun buatan manusia. V. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian selama tiga tahun ( 2011 – 2013) dapat disimpulkan bahwa pengelolaan lahan gambut, khususnya yang terdegradasi, dilakukan melalui rehabilitasi lahan dan perbaikan kondisi fisik lahan gambut yang diimplementasikan melalui penabatan kanal pada areal lahan gambut yang memiiliki kanal buatan. Ada dua jenis tumbuha asli lahan gambut yang menunjukkan keberhasilan pertumbuhan yang baik dan dapat menjadi jenis pilihan dalam kegiatan revegtasi lahan gambut secara buatan, yaitu Shorea balangeran dan Dyera lowii. Penabatan kanal di lahan gambut juga memberikan dampak yang baik untuk proses suksesi alami dibandingkan dengan suksesi pada lahan gambut yang kanalnaya tidak ditabat. Untuk informasi kondisi fisik lahan gambut, masih akan dilakukan pengamatan lanjutan hingga tahun 2014 ini untuk mendapatkan hasil komperhensip selama setahun sebagai dasar penilaian pengaruh penabatan kanal terhadap lahan gambut terdegradasi. Dari hasil penelitian selama tiga tahun ini, disarankan untuk menggunakan dua jenis yaitu Shorea balangeran dan Dyera lowii sebagai jenis pilihan dalam kegiatan rehabilitasi lahan gambut. Perbaikan kondisi fisik lahan gambut terdegradasi melalui penabatan kanal mutlak dilakukan dalam rangka perbaian kondisi lahan gambut dalam hal ini yang telah teramati yaitu proses suksesi alami yang lebih baik dibandingkan dengan lahan gambut yang kanalnya tidak ditabat. Kegiatan penelitian lanjutan diarahkan pada pengelolaan lahan gambut terdegradasi yang diusahakan oleh masyarakat meliputi konservasi tanah dan air pada lahan gambut yang dikelola dan perlindungan lahan gambut dari kebakaran lahan. Sintesis 2010-2014 | 82 DAFTAR PUSTAKA Daryono, Herman. 2006. Pemanfaatan Lahan Secara Bijaksana dan Revegetasi dengan Jenis Pohon Tepat Guna di Lahan Rawa Gambut Terdegradasi. Proseding Seminar Hasil-Hasil Penelitian. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Dohong, Aloe. 2006. Laporan Akhir (Final report) Climate Change, forest and Peatland in Indonesia. Proyek Climate Change, Forest and Peatland in Indonesia. Wetland International-Indonesia Program. Bogor Falah, Faiqotul, Wahyu Catur Adinugroho, Suhardi, Hari Hadiwibowo. 2004. Kajian Teknologi dan Kelembagaan Rehabilitasi Lahan Gambut dengan Pola Perhutanan Sosial di Kawasan Eks PLG, Kalimantan Tengah. Laporan Hasil Penelitian. Loka Litbang Satwa Primata. Samboja. Las, I. K. Nugroho, dan A. Hidayat, 2009. Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. Majalah Pengembangan Inovasi Pertanian. Bogor Muslihat, L. dan Sri Najiyati. 2005. Seri Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut; Mengenal Tipe Lahan Rawa Gambut. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor Subagyo, H, dan Indra Arinal. 2003 Uji Coba Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Bekas Kebakaran di Lokasi Taman Nasional Berbak Bersama Kelompok Masyarakat Desa Pematang Raman. Prosiding lokakarya Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor Suryadiputra, I N.N., A. Dohong, Roh, S.B. Waspodo, L. Muslihat, .I. R. Lubis, F Hasudungan, dan I. T.C. Wibisono. 2005. Panduan Penyekatan Parit dan Saluran di Lahan Gambut Bersama Masyarakat. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Wibisono, I.T.C., L. Siboro dan I N.N. Suryadiputra. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Wahyunto, S. Ritung, Suparto, H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Wildlife Habitat Canada. 2004. Annual Report April 2003 – March 2004 Workplan April 2004 – March 2005. Wildlife Habitat Canada. Canada Sintesis 2010-2014 | 83 Sintesis 2010-2014 | 84 JUDUL PENELITIAN : KAJIAN KELAYAKAN TEKNIK AERIAL SEEDING (FORMULASI BAHAN PERLAKUAN BENIH UNTUK TEKNIK AERIAL SEEDING) PELAKSANA : Ir. HERMIN TIKUPADANG, MP. INSTANSI : ABSTRAK Setiap tahun lahan kritis meningkat 1,08 juta ha (Anonim, 2009). Jumlah DAS prioritas meningkat sampai tahun 2009 ada 62 DAS yang masuk dalam ketegori DAS prioritas. Salah satu kendala adalah tersebarnya lahan kritis pada topografi berat dan sulit terjangkau (aksesibilitas rendah) sehingga upaya rehabilitasi konvensional susah dilakukan. Salah satu alternatif metode yang bisa diterapkan adalah teknik penanaman aerial seeding. Selanjutnya salah satu faktor yang perlu dikaji dalam teknik penanaman aerial seeding adalah perlakuan terhadap benih yang bertujuan untuk membantu sampainya benih ke permukaan tanah, melindungi benih dan mendukung perkecambahannya. Jenis perlakuan benih yang diterapkan pada aerial seeding adalah pelapisan benih atau coating benih. Kegiatan penelitian meliputi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan untuk formulasi komposisi coating benih dan penelitian uji coba di lapangan berupa penaburan benih yang telah dicoating dengan komposisi yang direkomendasikan dari tahap sebelumnya. Kegiatan ini dilakukan untuk mensimulasi daya tembus benih/kemampuan benih sampai ke permukaan tanah pada berbagai kerapatan penutupan dan peletakan benih pada permukaan tanah pada berbagai kondisi lapisan permukaan. Dari hasil pengamatan yang dilakukan diketahui coating benih yang tidak pecah adalah pada komposisi K1 dan K2, persentase coating benih berkecambah tertinggi pada K1B1 yaitu 95%, persentase benih berkecambah tertinggi pada K2B4 yaitu 56,6%. Coating benih yang ditabur dari atas pohon semuanya sampai kepermukaan tanah dan persentase kecambah benih yang diletakkan tertinggi pada rumput yaitu 10,89%. Kata kunci: aerial seeding, coating benih, rehabilitasi, lahan kritis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai lahan kritis yang luas. Data terakhir menunjukkan bahwa dari 30 juta ha lahan kritis, 19,5 juta berada di dalam kawasan dan 10,5 juta di luar kawasan hutan (Anonim, 2009a). Untuk menekan laju perluasan lahan kritis, berbagai kegiatan rehabilitasi lahan baik berupa penanaman di dalam kawasan hutan (reboisasi) maupun di luar kawasan hutan (penghijauan) dan kegiatan konservasi tanah dan air telah dilakukan secara simultan sejak tahun 70’an melalui kegiatan penyelamatan hutan, tanah dan air maupun yang sejak tahun 2003 digalakkan oleh pemerintah dalam bentuk gerakan masal GERHAN. Namun pada kenyataannya kecepatan peningkatan lahan kritis lebih tinggi dari kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk merehabilitasi lahan ktiris yang sudah ada. Setiap tahunnya di Indonesia luas lahan kritis meningkat 1,08 juta ha (anonim, 2009b). Jumlah DAS prioritas yang mencerminkan kondisi wilayah yang kritis dari tahun ke tahun bukannya turun tetapi Sintesis 2010-2014 | 85 malah meningkat. Pada tahun 1984 pemerintah menetapkan 22 DAS sebagai super prioritas, sepuluh tahun kemudian 1994 menjadi 39 DAS dan tahun ini data tarakhir dari website Departemen Kehutanan sejumlah 62 DAS termasuk dalam kategori DAS prioritas I. Dari kondisi tersebut tercermin bahwa upaya sistematis yang dilakukan belum optimal untuk menekan perluasan lahan kritis. Dari berbagai kendala yang ada, salah satu kendala yang menonjol adalah tersebarnya lahan-lahan kritis pada daerah bertopografi berat dan susah dijangkau (aksesibilitas rendah) sehingga upaya konvensional seperti penanaman masal dan serempak menghadapi hambatan. Terkait dengan kendala tersebut, dalam suatu kesempatan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan perlunya ada upaya rehabilitasi hutan dan lahan khususnya penanaman dengan menerapkan metoda yang dapat menjangkau sasaran berskala luas dan serempak guna mengimbangi cepatnya laju degradasi dan deforestasi yang terjadi, sekaligus sebagai percepatan upaya konvensional yang telah dilaksanakan selama ini. Salah satu metode yang memungkinkan adalah dengan menerapkan metoda penanaman aerial seeding, yaitu penyebaran benih melalui udara. B. Rumusan Masalah Setiap tahunnya di Indonesia luas lahan kritis meningkat 1,08 juta ha (anonim, 2009b). Jumlah DAS prioritas yang mencerminkan kondisi wilayah yang kritis dari tahun ke tahun bukannya turun tetapi malah meningkat. Pada tahun 1984 pemerintah menetapkan 22 DAS sebagai super prioritas, sepuluh tahun kemudian 1994 menjadi 39 DAS dan tahun ini data tarakhir dari website Departemen Kehutanan sejumlah 62 DAS termasuk dalam kategori DAS prioritas I. Dari kondisi tersebut tercermin bahwa upaya sistematis yang dilakukan belum optimal untuk menekan perluasan lahan kritis. Dari berbagai kendala yang ada, salah satu kendala yang menonjol adalah tersebarnya lahan-lahan kritis pada daerah bertopografi berat dan susah dijangkau (aksesibilitas rendah) sehingga upaya konvensional seperti penanaman masal dan serempak menghadapi hambatan. Untuk itu perlu ada upaya rehabilitasi hutan dan lahan khususnya penanaman dengan menerapkan metoda yang dapat menjangkau sasaran berskala luas dan serempak guna mengimbangi cepatnya laju degradasi dan deforestasi yang terjadi, sekaligus sebagai percepatan upaya konvensional yang telah dilaksanakan selama ini. Salah satu metode yang memungkinkan adalah dengan menerapkan metoda penanaman aerial seeding, yaitu penyebaran benih melalui udara. Pada teknik penanaman aerial seeding, salah satu faktor yang perlu dikaji adalah perlakuan terhadap benih. Perlakuan benih bertujuan untuk membantu sampainya benih di permukaan tanah, melindungi benih dan mendukung perkecambahan. Salah satu perlakuan benih yang dapat diterapkan pada teknik aerial seeding adalah dengan pelapisan benih (coating). Coating benih bertujuan untuk meningkatkan perkecambahan, memfasilitasi penyebaran udara yang akurat, dan meningkatkan efisiensi penanaman mekanis. Pelapisan atau coating benih dilakukan dengan cara menutupi benih dengan suatu bahan sebelum ditabur. Benih dapat dilapisi bahan yang mengandung perekat atau tanpa perekat. Benih yang telah dilapis menjadi lebih besar, lebih berat dan ukuran lebih seragam sehingga memudahkan penanganan. Bahan pelapis yang berfungsi untuk melindungi benih dan mendorong perkecambahan dapat digunakan dalam pelapisan benih, misalnya: pupuk, zat Sintesis 2010-2014 | 86 pengatur tumbuh, fungisida dan insektisida, pencegah tikus dan burung dan mikrosimbion (mikoriza, rhizobia dan frankia). Dengan demikian pada coating benih diperlukan komposisi tepat untuk setiap bahan penyusunnya. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian mengenai formulasi bahan coating benih perlu dilakukan sehingga diperoleh formula yang tepat dan memberikan hasil seperti yang diharapkan. Pada akhirnya hasil penelitian ini dapat mendukung keberhasilan teknik penanaman denga metode aerial seeding. C. Tujuan dan Sasaran Tujuan adalah untuk mendapatkan formula bahan coating benih untuk teknik aerial seeding. Sasarannya adalah tersedianya data persen tumbuh benih yang diperlakukan dengan coating. II. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan di Rumah Kaca Balai Penelitian Kehutanan Makassar untuk percobaan pendahuluan dan untuk percobaan di lapangan dilakukan di KHDTK Mengkendek Kabupaten Tana Toraja. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Desember 2013. B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih sengon laut, isolat rhizobium, isolat FMA, tanah liat, kompos/pupuk kandang, fungisida, bak plastik, sarung tangan, timbangan digital, GPS, altimeter, parang, sprayer, bambu, buku dan alat tulis. C. Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan melalui 2 tahap, yiatu: 1. Uji pendahuluan formulasi coating benih Benih yang digunakan adalah benih tanaman legum yaitu sengon laut (Paraserianthes falcataria), berkuran kecil (jumlah per kilo lebih dari 5000 benih) dan bertipe ortodoks. Perlakuan coating benih berupa presentase peningkatan berat benih dan komposisi coating benih. Perlakuan presentase peningkatan berat benih teridiri: 4.000 – 7.000% dari berat benih asli (ditentukan berdasarkan hasil yang didapatkan dari percobaan pendahuluan tahun 2012). Komposisi coating benih berbahan dasar tanah liat dan gipsum yang diterapkan adalah seperti pada Tabel 1. Pengamatan dilakukan terhadap coating benih yang rusak dan jumlah benih yang tumbuh atau berkecambah. Tabel 1. Perlakuan komposisi coating benih berbahan dasar tanah liat, gipsum dan kompos Komposisi Tanah liat Gipsum Kompos mikoriza+rhizobium Fungisida+Pestisida Persentase (%) K1 6 35 4 1 K2 65 30 4 1 K3 K4 50 45 4 1 45 50 4 1 Sintesis 2010-2014 | 87 Tabel 2. Persentase penambahan terhadap berat benih Persentase penambahan berat (%) 4000 5000 6000 7000 Simbol B1 B2 B3 B4 Kombinasi perlakuan yang diterapkan berjumlah 4 x 4 = 16 kombinasi perlakuan, dengan ulangan masing-masing adalah 20 buah. Dengan demikian jumlah unit percobaannya adalah 320 buah. Dalam tiap coating diisi dengan 3 buah benih sengon laut. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah coating benih yang pecah setelah coating kering dan persen kecambah benih. 2. Uji coba di lapangan Kegiatan uji coba di lapangan bertujuan untuk menguji komposisi coating benih yang merupakan hasil seleksi pada tahap penelitian pendahuluan. Kegiatan ini meliputi dua percobaan yaitu: a. Simulasi penaburan benih Penaburan benih akan dilakukan secara manual, yaitu benih dilempar atau ditabur dari ketinggian tertentu pada berbagai tingkat tutupan vegetasi (terbuka, jarang dan rapat). Ada dua komposisi coating benih yang dicoba yaitu K1B1 dan K1B2. Kombinasi perlakuan yang dicoba berjumlah 2 x 3 = 6 kombinasi perlakuan dengan ulangan masing-masing tiga dan jumlah coating yang ditabur pada setiap ulangan adalah 60 buah. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah coating benih benih yang sampai permukaan tanah dan yang tinggal dalam plot berukuran 10 x 10 meter. b. Peletakan benih Kegiatan bertujuan untuk mengetahui kemampuan tumbuh/persen kecambah benih apabila sudah sampai permukaan tanah. Peletakan benih merupakan pendekatan untuk mengasumsi bahwa benih sudah mampu menembus tutupan tajuk atau tumbuhan bawah dan sampai kepermukaan tanah. Benih yang telah diperlakukan dengan beberapa komposisi coating hasil uji pendahuluan (formulasi) dipilih satu komposisi yaitu K1B1 (salah satu dari komposisi yang telah dicoba untuk simulasi penaburan), diletakkan secara langsung pada berbagai karakter lapisan permukaan tanah (berbatuan, seresah, rumput dan tanah). Pengamatan dilakukan terhadap jumlah benih yang tumbuh/kecambah. III. HASIL PENELITIAN Hasil pengamatan sifat fisik coating benih dan perkecambahan benih dalam coating tersaji dalam Tabel 3. Tabel 3. Persen coating benih yang pecah dan persen benih yang berkecambah Komposisi K1 % Peningkatan Berat Benih B1 B2 B3 Sintesis 2010-2014 | 88 % coating benih yg pecah 0 5 0 % coating benih yg berkecambah 95 85 60 % kecambah benih sengon laut 51,67 51,67 33,33 Komposisi K2 K3 K4 K5 K6 % Peningkatan Berat Benih B4 B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 % coating benih yg pecah 0 0 0 0 0 25 30 15 20 30 15 20 10 - % coating benih yg berkecambah 65 55 80 75 80 0 5 0 0 0 0 0 0 35 35 40 40 5 40 20 20 % kecambah benih sengon laut 40 30 46,67 46,67 56,67 0 1,67 0 0 0 0 0 0 15 13,3 13,33 13,33 1,67 16,67 8,33 6,67 Hasil pengamatan terhadap penaburan coating benih yang sampai di tanah adalah 100% sedang yang tinggal dalam plot 10 x 10 m disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Persen coating benih yang tinggal dalam plot 10 x 10 m Jlh coating benih yang ditabur 60 60 60 60 60 60 Tingkat penutupan Komposisi Terbuka Jarang Rapat Terbuka Jarang Rapat K1B1 K1B2 Rata-rata coating yg ada dalam plot 55 53,33 55 53,67 54,67 56,33 % coating yg ada dalam plot 91,67 88,89 91,67 89,44 91,11 93,89 Hasil pengamatan persen kecambah benih yang diletakkan pada empat karakteristik lapisan tanah disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Persen kecambah benih yang diletakkan pada empat karakter lapisan tanah Karakter lapisan tanah Tanah Rumput Serasah Berbatu Rerata persen kecambah benih hari ke (%) 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 1,56 0,67 4,89 0,22 16,22 14,89 1,11 3,56 12,44 9,11 1,11 6,00 12,44 9,11 0 5,56 1,11 9,11 0 5,33 1,33 4,89 0 3,56 1,11 3,56 0 2,44 0,89 3,33 0 2,22 1,56 6,22 0 4,00 1,56 5,78 0 4,00 1,56 5,78 0 4,00 1,78 8 0 4,00 1,78 8 0 4,00 2,00 10,89 0 4,00 Sintesis 2010-2014 | 89 IV. KESIMPULAN 1. Coating benih yang tidak pecah adalah pada komposisi K1 (tanah liat 60% + kompos 35% + mikoriza dan rhizobium 4% + fungisida dan pestisida 1%) dan K2 (tanah liat 65% + kompos 30% + mikoriza dan rhizobium 4% + fungisida dan pestisida 1%). 2. Persentase coating benih berkecambah tertinggi adalah pada K1B1 yaitu 95% dan terendah pada K3 (gipsum 50% + kompos 45% + mikoriza dan rhizobium 4% + fungisida dan pestisida 1%) dan K4 (gipsum 45% + kompos 50% + mikoriza dan rhizobium 4% + fungisida dan pestisida 1%) dan persentase benih berkecambah tertinggi pada K2B4 yaitu 56,67%. 3. Coating benih yang ditabur dari atas pohon 100% jatuh di permukaan tanah, tetapi yang ada dalam plot 10 x 10 m adalah 88,89 – 93,89%. 4. Persentase benih berkecambah yang diletakkan setelah empat minggu tertinggi pada rumput yaitu 10,89% dan terendah pada serasah yaitu 0%. Sintesis 2010-2014 | 90 LAMPIRAN Kegiatan penaburan coating benih dari atas pohon Coating benih yang jatuh di atas serasah pinus Peletakan benih (coating benih) pada tempat berbatu Coating benih yang mulai hancur di atas serasah setelah hujan Benih sengon laut yang tumbuh/berkecambah pada tempat berbatu Sintesis 2010-2014 | 91 JUDUL PENELITIAN : PENDEKATAN PARTISIPATIF DALAM PENGEMBANGAN MODEL RKTA PADA DAS MIKRO JENEBERNG DAN SADDANG PELAKSANA : Ir. M. KUDENG SALLATA, M.Sc INSTANSi : BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MAKASSAR I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rendahnya tingkat keberhasilan RKTA disebabkan antara lain adalah kurangnya informasi teknologi dan pendekatan yang kurang holistik terhadap masyarakat sasaran. Masyarakat sasaran hanya dilibatkan sebagai pekerja upahan dan tidak diajak berperan aktif dalam analisis masalah dan pengambilan keputusan untuk melaksanakan RKTA pada lahan miliknya dan lahan tergradasi yang berada disekitarnya. Dampak yang lebih parah lagi adalah munculnya emage masyarakat terhadap program RKTA hanya suatu proyek pemerintah saja sebagai tempat mendapat upah/uang, akibatnya selesai proyek selesai pula kegiatannya tanpa mereka peduli terhadap tujuan utama yaitu untuk rehabilitasi lahan kritis sehingga kembali berfungsi melestarikan ekosistem DAS secara keseluruhan. Partisipasi masyarakat dapat digiatkan apabila secara mental, emosional dan juga secara fisik masyarakat terlibat dalam kegiatan RLKTA. Pelibatan masyarakat niscaya dapat terlaksana apabila msayarakat mampu melihat, memahami dan merasakan manfaat dan resiko dalam melakukan kegiatan RLKTA tidak hanya pada saat kegiatan dilaksanakan namun juga sampai bertahun-tahun kedepan (Yudono dan Sallata, 2012). Tanpa adanya pendekatan sosial,ekonomi, budaya dan kelembagaan, kegiatan RKTA yang selama ini diprogramkan tidak akan berhasil mencapai tujuan lestari. Oleh karena itu penelitian penerapan teknik RKTA dengan pendekatan partisipatif dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjaga penggunaan lahan tidak melebihi daya dukungnya dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial dan ekonomi serta budaya terutama di DAS mikro. Model perancangan penerapan teknik RKTA partisitif perlu dibangun bersama masyarakat. Metode PRA,RRA dan PAR (Participased Action Researh) digunakan untuk pendekatan kepada masyarakat sasaran, setelah diperoleh kesepakatan ditentukan lokasi yang menjadi areal demontrasi plot (demplot) RKTA untuk dibangun bersama. Untuk menguji dan mengetahui sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat melalui model perancangan RKTA maka sejak 2010 telah dilakukan pembangunan plot demonstrasi dengan melibatkan masyarakat secara langsung di Datara, Kelurahan Garassi, Kecamatan Tinggi Moncong, Kab. Gowa seluas 2 ha dan pada tahun 2011 dibangun di Mararin, Lembang Pakala, Kecamatan Mengkendek, Kab. Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan seluas 2,5 ha. Kegiatan penelitian tahun 2013 merupakan kelanjutan dari penelitian tahun sebelumnya pada kedua lokasi tersebut terus diadakan pemantauan, pengamatan, pemeliharaan, pendampingan dan penambahan serta introduksi teknologi RKTA yang dibutuhkan untuk terbentuknya plot RKTA yang lestari. Sintesis 2010-2014 | 93 B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah menyusun model perancangan teknik RKTA partisipatif pada wilayah DAS mikro dengan membangun demonstrasi plot. Sasaran penelitian adalah: a. Aplikasi tehnik-tehnik RKTA partisipatif pada demplot wilayah DAS mikro b. Tersedianya data dan informasi indikator biofisik dan social-ekonomi C. Luaran Luaran penelitian adalah : a. Draf Model perancangan teknik RKTA partisipatif pada DAS mikro b. Demplot pola-pola RKTA pendektan partisipatif c. Paket data dan informasi indikator teknik RKTA partisipatif II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL PENELITIAN A. Identifikasi Regulasi yang melatarbelakangi Sbb: Peraturan perundangan yang digunakan sebagai penuntun penelitian adalah Undangundang no. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3888; dalam pasal 2 diamanatkan pemanfaatan SDA sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup secara seimbang yang pengelolaannya berazaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan,dan keterpaduan. Dalam praktek pengelolaan hutan tidak hanya berorientasi hasil kayu dan bukan kayu saja tetapi berorientasi pada seluruh potensi hutan berbasis pada pemberdyaan masyarakat. Ps 3 disampaikan meningkatkan dayadukung DAS yang meliputi semua aspek baik biopfisik maupun hidrologi.Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4377 yang antara lain mengamanatkan: rehabilitasi hutan dan lahan, dan pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.12. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daera Kabupaten/Kota; dalam pelaksanaannya masih cenderung mementingkan kebutuhan sektoral masing-masing yang membuat pengelolaan DAS semakin carut-marut. Peraturan Pemerintah No.76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan;Peraturan Pemerintah no. 44 tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan;Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2008 tentang pengelolaan Sumber daya air; Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2012, tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Tambahan lembaran negara no.5292.Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.52/Kpts-II/2011 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan; Keputusan Menteri Kehutanan RI No. Sk.163/Menhut-II/2009 tentang Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025. Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.323/Menhut-II/2009 tentang penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah(RPJM) Tahun 2010-2014. Sintesis 2010-2014 | 94 B. Analisis Kebutuhan Penelitian Upaya mewujudkan pengelolaan DAS yang tepat terutama untuk menekan erosi dan mengurangi sedimentasi serta pemenuhan kebutuhan air, maka peraturan perundangan tersebut diatas perlu ditindaklanjuti didalam bidang penelitian dan pengembangan untuk menemukan teknologi yang dapat mendukung khususnya teknologi konservasi tanah dan air yang sesuai dengan kondisi biofisik wilayah yang efektif, efisien dan dapat diterima oleh masyarakat sekitarnya.Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya, saat ini banyak terjadi akibat desakan kebutuhan masyarakat yang semakin padat akan meningkatkan kerusakan lingkungan. Sehubungan dengan itu rancangan penelitian perlu mengakomodasi perioritas kebutuhan masyarakat baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan mempertimbangkan karakteristik lingkungan yang ada. Dengan keterbatasan dana dan daya maka kebijakan kementerian kehutanan telah mengatur skala perioritas baik lokasi DAS berdasarkan tingkat kekritisan maupun kegiatan penelitian berdasarkan kebutuhan teknologi dalam raodmap penelitian. DAS mikro yang menjadi lokasi penelitian merupakan unit terkecil dalam pengelolaan DAS namun sampai saat ini belum ada standar pengelolaan yang baik. III. SINTESIS HASIL PENELITIAN A. Metode Penelitian Waktu Penelitian. Kegiatan Penelitian ini direncanakan untuk dilakukan lima tahun (multiyears) yang dimulai 2010 sampai 2014. Lokasi. Tempat pelaksanaan penelitian tahun 2010 berlokasi pada DAS Mikro Datara termasuk Sub DAS Jeneberang Kabupaten Gowa dan pada tahun 2011 dibangun di DAS Mikro Mararin bagian dari SubDAS Saddang Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan. Rancangan Penelitian. Untuk merumuskan teknologi dan kelembagaan Rehabilitasi dan konservasi tanah dan air (RKTA) dengan pendekatan partisipatif maka dibutuhkan pengetahuan mengenai : 1) karakter penduduk, 2) karakter tanah, 3) karakter iklim dan altitude, 4) karakter topografi, 5) karakter fungsi lahan, 6) karakter kelembagaan, 7) karakter kebijakakan, 8) karakter pasar. Metode participatory rural appraisal (PRA), rapid rural appraisal (RRA) digunakan untuk pendekatan kepada masyarakat sasaran. Untuk membimbing kelompok, teknik RKTA telah dibangun secara partsipatif dalam demplot seluas 2 ha pada DAS mikro Datara (Sub Das Jeneberang) dan 2,5 ha pada DAS mikro Mararin (SubDas Saddang). B. Hasil Penelitian Untuk menguji dan mengetahui sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat melalui model perancangan RKTA maka telah dilakukan pembangunan plot demonstrasi (DEMPLOT) pada 2010 di Datara. Rancangam model RKTA yang diujicoba-kan terdiri atas komponen partisipasi masyarakat, tanaman kayu-kayuan, tanaman kebutuhan pakan ternak, dan kebutuhan pangan sehari-hari. Sintesis 2010-2014 | 95 Hasil komunikasi dengan masyarakat terbentuk kelompok tani turbin sipakainga’ dengan anggota 48 KK. Terdapat 6 KK yang secara sukarela memberi lahannya untuk dijadikan lokasi DEMPLOT. Berdasarkan hasil kesepakatan dalam rapat kelompok untuk kebutuhan kayu disepakati dan telah ditanam 197 bibit Mahoni (Switenia mahagoni) dan 300 bibit Suren (Taona sinensis) serta 800 bibit rumput untuk kebutuhan pakan ternak. Selain itu mereka tetap memelihara tanaman kopi dan kakao yang telah ditanam sebelumnya. Lahan pada kelerengan dalam demplot secara bertahap dibangun teras gulut. Perkembangan tingkat partisipasi masyarakat pada awalnya tidak 100%, untuk semua kegiatan dalam demplottetapi sesuai kemampuan dan tidak merasa rugi baik tenaga maupun lahan untuk demplot atau tahap “co-operative” (Syahyuti, 2006). Untuk meningkatkan partisipasi lebih tinggi diperlukan faktor pemicu yang lebih tinggi manfaatnya bagi masyarakat yaitu listrik mikrohidro. “Figur yang dihormat”i sangat diperlukan untuk memicuh keaktifan kelompok. Pengolahan lahan pada musim hujan dapat meningkatkan laju sedimentasi dari 55%80% di saluran air (Gullyplug) yang lebih lanjut akan masuk ke sungai utama DAS. Disarankan tidak membangun terasering pada musim hujan karena dapat meningkatkan sedimentasi pada sungai-sungai. Pada tahun 2011 selain melanjutkan kegiatan demplot di DAS Mikro Datara juga membangun Demplot di DAS mikro Mararin dengan hasil yaitu tingkat partisipasi masyarakat yang muncul bervariasi dari sedang sampai tinggi (60%-95%) pada kedua lokasi. Partisipasi nampaknya banyak dipengaruhi oleh besarnya manfaat yang akan diperoleh dari hasil kegiatan. Teknik Konservasi tanah berupa bangunan teras dan tanaman rumput serta tanaman pohon-pohonan secara bertahap mempengaruhi runoff dan erosi ditunjukkan oleh ketebalan sedimentasi pada gullyplug semakin berkurang dan debit aliran fuktuasinya semakin stabil. Untuk meningkatkan partisipasi yang lebih tinggi diperlukan pemicu yang lebih tinggi manfaat bagi masyarakat misalnya listrik mikrohidro dan wibawa figur ketua kelompok. Hasil penelitian tahun 2012 pada tingkat partisipasi masyarakat yang muncul belum juga 100 % bahkan ada kegiatan yang menurun partisipasinya mencapai tingkat rendah yaitu penglolahan lahan. Untuk kedua lokasi tingkat partisipasi muncul mulai dari tingkat rendah, sedang sampai tinggi. Tingkat partisipasi yang tergolong tinggi adalah partisipasi perseorangan pada kegiatan pemeliharaan rumput pada bibir teras karena didorong oleh kebutuhan pakan ternak. Terjadi kesan “kejenuhan” atau “kebingungan” pada anggota kelompok dalam melakukan kegiatan dalam kebunnya masing-masing. Sangat terbukti listrik mikrohidro sebagai faktor pendorong yang tinggi karena dalam tahun 2012 ada beberapa bulan Turbin tidak jalan akibat faktor teknis. Tingkat perkembangan tanaman pohon semakin tinggi untuk tanaman suren telah mencapai tinggi rata-rata 108,35 cm dengan diameter rata-rata 17,32 mm serta lebar tajuk rata-rata 91,7 cm dan untuk tanaman mahoni mencapai tinggi rata-rata 108,10 cm dengan diameter 18,94 mm serta lebar tajuk 74,25 cm. Demikian juga tingkat penutupan lahan secara bertahap berpengaruh terhadap erosi dan limpasan permukaan dengan angka stabil. Sintesis 2010-2014 | 96 Hasil penelitian sampai tahun 2013 sebagai berikut: Tingkat partisipasi yang muncul ternyata memberikan respon berbeda dari masyarakat sasaran. Hal tersebut terutama dipengaruhi oleh kebiasaan lokal masyarakat yang pada umumnya menjadi patokan atau pegangan dalam memutuskan kegiatan baik kelompok maupun perorangan. Tingkat partisipasi masyarakat yang muncul masih tetap bervariasi dari rendah, sedang sampai tinggi pada kedua lokasi. Hanya 40% partisipasi individu dalam demplot di datara dan partisipasi kelompok turun menjadi 60% sedang di Mararin partisipasi indvidu dalam demplot 50% sedang kelompok hanya 30% sepanjang 2013. Partisipasi nampaknya banyak dipengaruhi oleh besarnya manfaat yang akan diperoleh dari hasil kegiatan yang dilaksanakan. Teknik Konservasi tanah berupa bangunan teras dan tanaman rumput serta tanaman pohon-pohonan secara bertahap telah mempengaruhi runoff dan erosi ditunjukkan oleh ketebalan sedimentasi pada gullyplug dan bak penampung semakin berkurang dan debit aliran fuktuasinya semakin stabil. Rata-rata penurunan petambahan lapisan sedimen dibandingkan tahun sebelumnya bervariasi 45–65 %. Pelaksanaan kegiatan dalam demplot merupakan hasil kegiatan kelompok yang terbentuk, sehingga perkembangan tanaman dan kegiatan secara keseluruhan dalam demplot dapat menggambarkan perilaku anggota kelompok. Untuk meningkatkan partisipasi yang lebih tinggi diperlukan pemicu yang lebih tinggi manfaat bagi masyarakat misalnya listrik mikrohidro. Menurut Syahyuti (2006), bahwa yang dimaksud “partisipasi” adalah proses tumbuhnya kesadaran terhadap kesalinghubungan di antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat yaitu antara kelompokkelompok sosial dan komunitas dengan pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga jasa lain. Sehubungan dengan itu maka yang dimaksud penelitian “Perancangan Model RKTA Partisipatif” disini yaitu proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan subtansial yang berkenaan dengan kehidupan mereka. Jadi, dalam partisipasi, siapapun yang terlibat didalam kegiatan dapat memainkan peranan secara aktif, memiliki control terhadap kehidupannya sendiri, mengambil peran dalam kegiatan yang disepakati serta menjadi lebih terlibat dalam kegiatan model RKTA partisipatif yang sedang dilaksanakan. Tujuan akhir dari seluruh rangkaian penelitian “Perancangan Model RKTA Partisipatif” adalah adanya perubahan perilaku dari masyarakat yang dilibatkan terutama pada tiga aspek yaitu pengetahuan (aspek kognitif), sikap (sikap afektif) dan keterampilan (aspek psikomotorik). Dengan kata lain bertambahnya perbendaharaan informasi, tumbuhnya keterampilan serta timbulnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendaki (Yustina dan Sudrajat.2003). Berdasarkan pengamatan berjalannya proses penelitian pada kedua lokasi yaitu “Datara” dan “Mararin” terdapat hal-hal penting yang merupakan faktor penentu munculnya partisipasi pada masyarakat yang dilibatkan yaitu: 1. Perlu faktor pendorong; partisipasi masyarakat akan tumbuh cepat apabila terdapat faktor/unsur yang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka misalnya listrik bersumber dari pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH), bibit tanaman yang mereka harapkan memberi manfaat yang besar. Hal ini berdasarkan pengamatan pada kedua lokasi Sintesis 2010-2014 | 97 demplot. Keaktifan kelompok sangat dipengaruhi oleh adanya pasokan listrik mikro hidro, apabila turbin berjalan baik maka keaktifan kelompok juga berjalan baik dan sebaliknya turbin rusak akan mempengaruhi keaktifan kelompok.Demikan juga jenis tanaman yang ditanam baik didemplot maupun yang dibagikan kepada anggota kelompok ,ternyata dapat menggairahkan semangat mereka apabila diberi jenis tanaman sesuai yang diharapkan mereka. 2. Perlu figur yang disegani anggota; partisipasi masyarakat akan tumbuh dan berkelanjutan apabila terdapat figur dalam kelompok yang mempunyai charisma, disegani dan dihormati serta berperan mendorong terjadinya kerjasama misalnya kerjagotongroyong, hadiri pertemuan kelompok. Adanya figur ketua kelompok (Dg jarum) di Datara yang dapat mendorong keaktifan anggota kelompok, sebaliknya tidak adanya figur di Mararin yang menjadi panutan sehingga anggota kelompok menjadi malas bertemu karena figur yang pernah menjadi pendorong pindah tugas karena menjadi PNS (peawai negeri sipil) di Lembang lain dan yang menggantikan ternyata tidak mempunyai kapasitas seperti figure sebelumnya. 3. Perlu insentif baik berupa jasa maupun modal; partisipasi masyarakat akan tumbuh baik apabila mereka mendapat jasa dan modal kerja yang cukup misalnya jasa listrik dari Turbin PLMH, modal bibit tanaman yang dibutuhkan, dan teknologi pembuatan pupuk kompos. Mereka tetap berharap adanya dukungan dari pemerintah berupa jasa maupun modal dalam menggerakkan segala aktivitasnya. 4. Membuat terasering pada musim hujan meningkatkan sedimentasi; berasarkan hasil pengamatan pada gullyplug dan V-notche wier yang dipasang bagian bawah daerah tangkapan (Catchment area) dapat diketahui peningkatan ketebalan sedimentasi dalam sungai akibat erosi yang terjadi pada bagian hulu yang sementara dibangun terasering. Dapat dimengerti karena partikel tanah terlepas mudah dibawa oleh aliran permukaan seperti yang terjadi di Datara awal pembentukan demplot 2010 karena kegiatan dipacuh meskipun saat itu musim hujan untuk memenuhi target. 5. Pembuatan teras gulud (contour terrace) pada kemiringan lereng > 45% efektif mengurangi erosi apabila ditanami rumput pakan ternak pada bibir teras, dari pengamatan dapat diketahui bahwa teras pematang yang sederhana yang ditanami pakan ternak berupa rumput gajah pada bibir teras dapat mengurangi erosi tanah pada kemiringan lereng > 45 %. Hasil pengamatan pada kedua demplot dapat memberikan gambaran bahwa sedimen yang terjadi pada gullyplug menjadi menurun karena adanya pertumbuhan rumput yang cepat menutup teras. 6. Masyarakat sasaran harus menjadi subjek dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. Partisipasi masyarakat mempunyai semangat kerja yang tinggi apabila dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan mereka dilibatkan dan mengakomodir semua kepentingannya, namun sesuai dengan kondisi lingkungannya. 7. Masyarakat membutuhkan hasil sebagai bukti kegiatan. Terbagunnya teras pematang yang sederhana,efisien, efektif, hemat tenaga dan ditumbuhi rumput pakan ternak dengan biaya yang murah terbukti dapat mengurangi erosi dan runoff dibandingkan Sintesis 2010-2014 | 98 teras bangku yang selama ini diwajibkan dibangun pada kemiringan lereng > 30% yang membutuhkan biaya tinggi. Mereka dapat menjawab berapa hasil yang telah didapatkan walaupun mereka tidak merasakan berapa modal yang dimasukkan. 8. Masyarakat masih membutuhkan pendampingan yang secara kontinyu. Masyarakat sangat mudah terombang-ambing dengan issu kegiatan yang datang ke desanya sehingga sangat mudah berubah pola pikirnya, oleh karena itu diperlukan pendamping yang dapat memberi pengertian untuk tidak mudah berubah terutama dalam melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan oleh kelompok. IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN A. Metode (Tehnik, procedure, dll) Tehnik pendekatan dalam implementasi hasil penelitian RKTA untuk membangun pastisipasi masyarakat sasaran dengan mengikuti prosedur yang telah dilaksanakan dalam penelitian ini yaitu: memperkenalkan teknologi KTA yang akan digunakan dengan hasil yang akan dicapai melalui metode PRA dan RRA baik kepada aparat pemerintah setempat maupun masyarakat tani yang menjadi sasaran.Apabila masyarakat sasaran telah sepakat dan setuju untuk menerima dan melibatkan diri dalam kegiatan RKTA. Untuk mempermudah komunikasi disarankan membentuk kelompok, kalau belum ada atau menggabungkan program kedalam program kelompok yang telah ada sebelumnya. Prosedur yang digunakan dalam implementasi hasil penelitian RKTA adalah melalui kelompok tani yang telah terbentuk disesepakati dan diputuskan untuk melaksanakan teknik konservasi tanah dan air secara vegetatif dan mekanik. Melakukan teknik koservasi tanah dan air secara vegetatif menurut hasil penelitian ini adalah menanam jenis Mahoni dan Suren (sesuai kebutuhan masyarakat dan kesesuaian lahan) sebagai penghasil kayu bangunan, menanam rumput untuk penghasil pakan ternak, menanam tanaman pangan dan kopi kakao (jenis tanam perkebunan) untuk kebutuhan harian dan ekonomi berupa uang belanja harian. Untuk teknik konservasi tanah dan air secara mekanis dibagun teras gulud mengikuti garis kontour pada lahan miring untuk mengendalikan aliran permukaan dan erosi tanah, membuat saluran pembuangan air (SPA).Pemanfaatan bahan dari materi sederhana yang banyak tersedia disekitar lokasi misalnya batang bambu dan batang gamal seperti dalam penelitian ini untuk tulang teras dan SPA. Pemanfaatan rumput hasil pembersihan dan semak belukar yang telah ditebas menjadi potong-potongan pendek sebagai mulsa untuk menambah bahan organik tanah. Membangun bendungan kecil (gullyplug) dalam saluran air sebagai pengendali sedimen dengan memasang stik besi yang berskala pada bagian genangan untuk mengetahui dampak kegiatan pengelolaan lahan pada sedimentasi. Untuk menjadi bahan monitoring petani (self monitoring) pengelola hanya dengan melihat ketebalan sedimen dalam bendungan maka mereka mengetahui langsung dampak kegiatannya terhadap sedimentasi. B. Input Kebijakan Penerapan teknik konsevasi tanah dan air yang dilaksanakan dengan mengikuti DAS Prioritas sesuai Keputusan Menteri Kehutanan RI No.SK.323/Menhut-II/2009 belum Sintesis 2010-2014 | 99 sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat karena lemahnya kelembagaan pengelola DAS mikro. Pemanfaatan DAS mikro sebagai unit terkecil dalam hierarki pengelolaan DAS perlu diperjelas kelembagaannya melalui kebijakan pemerintah sehingga penerapan teknik konservasi tanah dan air lebih mendekati kepada kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat. C. Produk (formula dll) Model Partisipatif RLKTA pada DAS Mikro Jeneberang dan Saddang yang didasari oleh 8 (delapan) karakter yaitu kondisi penduduk termasuk kebutuhannnya, kondisi topographi, kondisi iklim termasuk ketinggian tempat, jenis tanaman, fungsi lahan, kebijakan, pasar dan kelembagaan masyarakat untuk menemukan paling tidak 5 (lima) kesesuaian lahan, kesesuaian jenis tanaman, kesesuaian sosial-budaya, kesesuaian pasar, dan kesesuaian kelembagaan. Model yang telah terbangun dapat diimplementasi didaerah yang membutuhkan hanya ada penyesuaian jenis tanaman dan kebutuhan masyarakat. V. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pengamatan berjalannya proses penelitian pada kedua lokasi yaitu “Datara” dan “Mararin” terdapat hal-hal penting yang merupakan faktor penentu munculnya partisipasi pada masyarakat yang dilibatkan yaitu: a. Perlu faktor pendorong; partisipasi masyarakat akan tumbuh cepat apabila terdapat faktor/unsur yang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka misalnya listrik bersumber dari pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH), bibit tanaman yang mereka harapkan memberi manfaat yang besar. b. Perlu figur yang disegani anggota; partisipasi masyarakat akan tumbuh dan berkelanjutan apabila terdapat figur dalam kelompok yang mempunyai charisma, disegani dan dihormati serta berperan mendorong terjadinya kerjasama misalnya kerjagotongroyong, hadiri pertemuan kelompok. c. Perlu insentif baik berupa jasa maupun modal; partisipasi masyarakat akan tumbuh baik apabila mereka mendapat jasa dan modal kerja yang cukup misalnya jasa listrik dari Turbin PLMH, modal bibit tanaman yang dibutuhkan, dan teknologi pembuatan pupuk kompos. Mereka tetap berharap adanya dukungan dari pemerintah berupa jasa maupun modal dalam menggerakkan segala aktivitasnya. d. Membuat terasering pada musim hujan meningkatkan sedimentasi; berasarkan hasil pengamatan pada gullyplug dan V-notche wier yang dipasang bagian bawah daerah tangkapan (Catchment area) dapat diketahui peningkatan ketebalan sedimentasi dalam sungai akibat erosi yang terjadi pada bagian hulu yang sementara dibangun terasering. e. Pembuatan teras gulud (contour terrace) pada kemiringan lereng > 45% efektif mengurangi erosi apabila ditanami rumput pakan ternak pada bibir teras, dari pengamatan dapat diketahui bahwa teras pematang yang sederhana yang ditanami pakan ternak berupa rumput gajah pada bibir teras dapat mengurangi erosi tanah pada kemiringan lereng > 45 %. f. Masyarakat sasaran harus menjadi subjek dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. Partisipasi masyarakat mempunyai semangat kerja yang tinggi apabila dalam Sintesis 2010-2014 | 100 perencanaan dan pelaksanaan kegiatan mereka dilibatkan dan mengakomodir semua kepentingannya, namun sesuai dengan kondisi lingkungannya. g. Masyarakat membutuhkan hasil sebagai bukti kegiatan. Terbagunnya teras pematang yang sederhana,efisien, efektif, hemat tenaga dan ditumbuhi rumput pakan ternak dengan biaya yang murah terbukti dapat mengurangi erosi dan runoff dibandingkan teras bangku yang selama ini diwajibkan dibangun pada kemiringan lereng > 30 % yang membutuhkan biaya tinggi. Mereka dapat menjawab berapa hasil yang telah didapatkan walaupun mereka tidak merasakan berapa modal yang dimasukkan. h. Masyarakat masih membutuhkan pendampingan yang secara kontinyu. Masyarakat sangat mudah terombang-ambing dengan issu kegiatan yang datang ke desanya sehingga sangat mudah berubah pola pikirnya, oleh karena itu diperlukan pendamping yang dapat memberi pengertian untuk tidak mudah berubah terutama dalam melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan oleh kelompok. KESESUAIAN LAHAN UNTUK KONSERVASI TANAH TERTENTU KARAKTER PENDUDUK POTENSI MEKANIK TANAH ANALISIS BENTUK, PANJANG DAN KEMIRINGAN LERENG KARAKTER IKLIM DAN ALTITUDE KARAKTER TOPOGRAFI ANALISIS CH FUNGSI BUDIDAYA ANALISIS MEKANIK TANAH ANALISIS KEPENDUDUKAN ANALISIS PENDAPATAN ANALISIS SUHU KARAKTER TANAH ANALISIS KONSUMSI DASAR ANALISIS SOSIAL BUDAYA/ ADAT ISTIADAT PREDIKSI KEPENTINGAN FUNGSI LINDUNG ANALISIS KECEPATAN ANGIN ANALISIS FISIKA, BIOLOGI DAN KIMIA TANAH ALTITUDE POTENSI FISIKA, BIOLOGI DAN KIMIA TANAH KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN TERTENTU KARAKTER FUNGSI LAHAN PREDIKSI KEBUTUHAN ATURAN PERUNDANGAN KESESUAIAN SOSIAL BUDAYA/ KEPENTINGAN/ DAN KEBUTUHAN KOMODITAS UNGGULAN KARAKTER KEBIJAKAN TATA RUANG RLKTA PARTISIPATIF KESESUAIAN PASAR UNTUK TANAMAN TERTENTU PERMINTAAN/ PENYEDIAAN KOMODITAS POTENSIAL KESESUAIAN KELEMBAGAAN UNTUK KEGIATAN TERTENTU KARAKTER KELEMBAGAAN KARAKTER PASAR HARGA-HARGA Pedekatan partsipatif dalam penerapan model RKTA pada DAS Mikro. Sintesis 2010-2014 | 101 DAFTAR PUSTAKA Yudono, H.SHN .2010. Perancangan Model RLKT dengan Pendekatan Sosial Forestry di Gowa (Sulawesi Selatan) dan Mamasa (Sulawesi Barat). Prosiding Hasil-Hasil Litbang Mendukung Rehabilitasi dan Konservasi Hutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat, Makassar 22 Juni 2010. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Suyuthi. 2006. Tiga puluh (30) konsep dalam pembangunan pedesaan dan pertanian, konsep, istilah dan indikator serta variabel. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara. Sintesis 2010-2014 | 102 JUDUL PENELITIAN : Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Wilayah DAS Mahakam (2011) Strategi Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Wilayah DAS Mahakam (2012) Pembangunan Model Kemitraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di KHDTK Samboja (2013-2014) PELAKSANA : FAIQOTUL FALAH, S.Hut, M.Si INSTANSi : BALAI PENELITIAN KEHUTANAN SAMBOJA I. PENDAHULUAN A. Identifikasi Regulasi yang ada No Peraturan 1. Peraturan Presiden RI No 89/2003 2. Peraturan Pemerintah No 76 Tahun 2008 3. Permenhut RI No P.70/Menhut-II/2008 diubah dengan Permenhut RI No P.26/Menhut-II/2010 4. Permenhut RI No P.32/Menhut-II/2009 diubah dengan Permenhut RI No P.35/Menhut-II/2010 5. Permenhut RI No P.37/Menhut-II/2010 6. Permenhut RI No P.39/Menhut-II/2010 7. 8. 9. Permenhut RI No P.12/Menhut-II/2011 Permenhut RI No P.61/Menhut-II/2011 Permenhut RI No P.42/Menhut-II/2012 10. Permenhut RI No P.46/Menhut-II/2012 11. Permenhut RI No P.3/Menhut-II/2012 12. Permenhut RI No P.14/Menhut-II/2012 13. Permenhut RI No .14/Menhut-II/2012 14. Permenhut No P.18/Menhut-II/2012 Perihal Gerakan Nasional RHL Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan Pedoman Teknis RHL Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik RHL DAS Tata Cara Penyusunan Rencana Rehabilitasi dan Reklamasi Lahan Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan Pedoman Penyelenggaraan RHL tahun 2011 Panduan Penanaman Satu Miliar Pohon Penyuluh Kehutanan Swasta dan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat Metode dan Materi Penyuluhan Masyarakat Rencana Kerja pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat Pedoman Penyelenggaraan RHL 2012 Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat Ganti Rugi Hasil RHL B. Analisis Kebutuhan Penelitian 1. 2. 3. Kajian Kebijakan Teknis Penyelenggaraan RHL yang Bersumber dari Dana Pemerintah di Lahan Milik ( Perencanaan, Penanaman, Pemeliharaan, Evaluasi, dan Monitoring) Kajian Kebijakan Tata Niaga Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu Hutan Tanaman Rakyat Analisis Kebutuhan Bimbingan Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan Sintesis 2010-2014 | 103 II. KEBIJAKAN PENELITIAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT JUDUL A. Identifikasi Regulasi yang ada No Peraturan 1. Permenhut RI No P.70/MenhutII/2008 diubah dengan Permenhut RI No P.26/Menhut-II/2010 2. Permenhut RI No P.32/MenhutII/2009 diubah dengan Permenhut RI No P.35/Menhut-II/2010 3. Permenhut RI No P.37/MenhutII/2010 4. Permenhut RI No P.39/MenhutII/2010 5. 6. 7. Permenhut RI No P.12/MenhutII/2011 Permenhut RI No P.61/MenhutII/2011 Permenhut RI No P.42/MenhutII/2012 8. 9. Permenhut RI No P.46/MenhutII/2012 Permenhut RI No P.3/Menhut-II/2012 10. Permenhut RI No P.14/MenhutII/2012 11. Permenhut RI No .14/Menhut-II/2012 12. Permenhut RI No P.70/MenhutII/2008 diubah dengan Permenhut RI No P.26/Menhut-II/2010 Perihal Pedoman Teknis RHL Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik RHL DAS Tata Cara Penyusunan Rencana Rehabilitasi dan Reklamasi Lahan Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan Pedoman Penyelenggaraan RHL tahun 2011 Panduan Penanaman Satu Miliar Pohon Penyuluh Kehutanan Swasta dan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat Metode dan Materi Penyuluhan Masyarakat Rencana Kerja pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat Pedoman Penyelenggaraan RHL 2012 Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat Pedoman Teknis RHL B. Analisis Kebutuhan Penelitian (Rancangan Penelitian) Topik Metode Kajian Kebijakan Teknis Penyelenggaraan RHL yang Bersumber dari Dana Pemerintah di Lahan Milik Kajian Kebijakan Tata Niaga Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu Hutan Tanaman Rakyat Studi pustaka, wawancara parapihak untuk mengetahui kesenjangan implementasi, penyusunan strategi dengan SWOT, AHP Studi pustaka, wawancara parapihak mengenai kesenjangan implementasi dan jalur tata niaga, penyusunan strategi dengan SWOT, AHP Studi pustaka, wawancara parapihak mengenai kebutuhan metode, materi dan jumlah penyuluh, penyusunan strategi dengan SWOT, AHP Analisis Kebutuhan Bimbingan Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan III. KEBIJAKAN PENELITIAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT A. Identifikasi Regulasi yang ada No Peraturan 1. Permenhut RI No P.70/MenhutII/2008 diubah dengan Permenhut RI No P.26/Menhut-II/2010 Sintesis 2010-2014 | 104 Perihal Pedoman Teknis RHL JUDUL No Peraturan 2. Permenhut RI No P.32/MenhutII/2009 diubah dengan Permenhut RI No P.35/Menhut-II/2010 3. Permenhut RI No P.37/MenhutII/2010 4. Permenhut RI No P.39/MenhutII/2010 5. 6. 7. Permenhut RI No P.12/MenhutII/2011 Permenhut RI No P.61/MenhutII/2011 Permenhut RI No P.42/MenhutII/2012 8. 9. Permenhut RI No P.46/MenhutII/2012 Permenhut RI No P.3/Menhut-II/2012 10. Permenhut RI No P.14/MenhutII/2012 11. Permenhut RI No .14/Menhut-II/2012 12. Permenhut RI No P.70/MenhutII/2008 diubah dengan Permenhut RI No P.26/Menhut-II/2010 Perihal Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik RHL DAS Tata Cara Penyusunan Rencana Rehabilitasi dan Reklamasi Lahan Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan Pedoman Penyelenggaraan RHL tahun 2011 Panduan Penanaman Satu Miliar Pohon Penyuluh Kehutanan Swasta dan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat Metode dan Materi Penyuluhan Masyarakat Rencana Kerja pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat Pedoman Penyelenggaraan RHL 2012 Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat Pedoman Teknis RHL B. Analisis Kebutuhan Penelitian (Rancangan Penelitian) Topik Metode Kajian Kebijakan Teknis Penyelenggaraan RHL yang Bersumber dari Dana Pemerintah di Lahan Milik Kajian Kebijakan Tata Niaga Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu Hutan Tanaman Rakyat Analisis Kebutuhan Bimbingan Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan Studi pustaka, wawancara parapihak untuk mengetahui kesenjangan implementasi, penyusunan strategi dengan SWOT, AHP Studi pustaka, wawancara parapihak mengenai kesenjangan implementasi dan jalur tata niaga, penyusunan strategi dengan SWOT, AHP Studi pustaka, wawancara parapihak mengenai kebutuhan metode, materi dan jumlah penyuluh, penyusunan strategi dengan SWOT, AHP IV. SINTESIS HASIL PENELITIAN A. Metode Penelitian Waktu Penelitian 2011 2012 Lokasi Penelitian Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat Rancangan Penelitian Survey persepsi parapihak mengenai RHL yang telah dilaksanakan untuk mengetahui tingkat partisipasi dan faktorfaktor yang berpengaruh Wawancara persepsi parapihak mengenai opsi jenis, pola tanam, lokasi tanam, bimbingan teknis, dan perjanjian kemitraan 2013 Desa Semoi Dua Kec. Sepaku Kab. Penajam Paser Utara Pembangunan model kemitraan rehabilitasi hutan dengan masyarakat di KHDTK Samboja Sintesis 2010-2014 | 105 V. HASIL PENELITIAN A. Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Wilayah DAS Mahakam (2011) Berdasarkan tahapan yang diikuti, tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di wilayah DAS Mahakam merupakan partisipasi fungsional (berpartisipasi tidak dalam seluruh tahapan), yaitu tinggi pada tahap perencanaan lokasi, penanaman, pemeliharaan, dan pemanfaatan hasil, bertingkat sedang untuk perencanaan jenis, pola dan jarak tanam, rendah pada tahap perencanaan anggaran, serta monitoring dan evaluasi kegiatan. Berdasarkan jenis pendekatan termasuk dalam induced participation (partisipasi dengan dorongan/arahan dan berdasarkan iming-iming/imbalan). Sementara strategi partisipasi yang digunakan selama ini cenderung pada strategi kekuasaan Faktor-faktor internal seperti usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan luas lahan ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap keberhasilan RHL. Faktor-faktor internal yang berpengaruh terhadap keberhasilan RHL antara lain : 1) nilai budaya bertani yang dianut (budaya mengolah tanh, menanam dan memelihara tanaman secara intensif, budaya pemanfaaatan lahan kososng serta budaya produktif/pemanfaatan waktu luang); 2) pengetahuan tentang fungsi dan teknik RHL; dan 3) adanya nilai/tradisi memelihara sumber air dengan jalan memelihara hutan. Faktor eksternal yang berpengaruh adalah : 1) kondisi internal kelompok tani; 2) adanya bimbingan; dan 3) kebijakan tata ruang pemerintah daerah setempat. Sebagian responden (94,9%) melaksanakan kegiatan RHL karena motif ekonomi, hanya 5,1% yang bermotifasi melestarikan hutan/sumber air. Hasil penelitian di atas mengenai faktor tingkat pendidikan dan pendapatan yang tidak signifikan mempengaruhi keberhasilan RHL ternyata tidak sesuai dengan pendapat Sastropoetro (1988) dan Pangesti (1995) yang diacu oleh Setyowati (2010). Namun Sastropoetro (1988) juga menyatakan bahwa program pembangunan pemerintah menentukan keberlanjutan partisipasi masyarakat. Sementara Pangesti (1995) juga menyatakan bahwa kegiatan penyuluhan mempengaruhi partisipasi masyarakat Perlu mengubah strategi peningkatan partisipasi menjadi strategi fasilitas dan edukasi sesuai dengan strategi pemberdayaan masyarakat menurut Harper (1995 dalam Trison 2005). B. Strategi Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Wilayah DAS Mahakam (2012) Strategi fasilitasi dan edukasi memerlukan fasilitator lokal, materi bimbingan meliputi penguatan kelompok, teknik penanaman, pemeliharaan, pemanenan, budidaya, dan pemasaran, metode lisan dan tertulis, 30% teori dan 70 % praktek, ada plot percontohan Pola tanam yang paling diminati adalah jenis karet sebagai tanaman pokok dan tanaman kayu dan buah-buahan sebagai tanaman tepi, dengan prioritas lokasi RHL pada lahan sepanjang tepi sungai dan berlereng curam Ketentuan kerja sama: a) volume target adalah jumlah tanaman yang tumbuh setelah tiga tahun tanam b) jumlah anggota kelompok tani 5-10 orang; c) berada pada lokasi lahan kritis, ada bukti penguasaan lahan, biaya ganti rugi tanam tumbuh apabila terjadi alih Sintesis 2010-2014 | 106 fungsi lahan; d) jangka waktu bantuan minimal 4 tahun; e) bantuan swakelola, besarnya dana swadaya masyarakat minimal 40% anggaran; f) monitoring dan evaluasi setiap 6 bulan selama masa pemeliharaan; g) hasil penanaman 100% untuk petani C. Pembangunan Model Kemitraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di KHDTK Samboja (2013-2014) Dalam proses pembangunan model kemitraan rehabililitasi hutan di KHDTK Hutan Penelitian Samboja, proses pendekatan ke masyarakat mengalami hambatan karena tekanan sosial yang tinggi akibat konflik perambahan, sement[ara target luasan dan waktu tetap harus dipenuhi (sebagai proyek pemerintah). Dilaksanakan penanaman KHDTK Hutan Penelitian Samboja yang telah dirambah seluas 10 hektar. Jenis-jenis yang ditanam pada areal model adalah kesepakatan tim peneliti Balitek KSDA KSDA dan anggota kelompok tani yaitu jenis yang bisa diambil manfaat non kayunya (karet, lai, kemiri), jenisjenis tanaman kayu (ulin, gaharu, dan agathis), dengan tanaman sela padi gunung Surat Perjanjian Kemitraan ditandatangani oleh Kepala Balitek KSDA, sedang Pihak Kedua adalah petani warga Desa Semoi Dua (perorangan), antara lain berisi kesepakatan berikut : a) Tujuan kerja sama adalah menjalin mitra kerja untuk merehabilitasi dan memelihara, serta melindungi kawasan hutan sekaligus meingkatkan penghasilan masyarakat serta produktivitas kawasan hutan; b) Lokasi lahan rehabilitasi berada di wilayah KHDTK Hutan Penelitian Samboja, seluas 1 (satu) sampai 1,5 hektar. Pihak Kedua telah membuka lahan tersebut untuk berladang sebelum kegiatan penelitian dilakukan. Lahan tetap dalam status hukum semula, dan Pihak Kedua dilarang memperluas pembukaan lahan di KHDTK Samboja Hasil analisis finansial menunjukkan potensi pendapatan dari hasil hutan non kayu sebesar Rp 3.196.869.820 per hektar selama 25 tahun, dengan biaya pembangunan model untuk bahan lapangan dan tenaga kerja serta bimbingan teknis selama 4 tahun sebesar Rp 14.608.000/hektar. VI. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN 1. Metode : pembangunan model kemitraan rehabilitasi hutan dan lahan di lahan milik maupun lahan negara (dalam proses), dengan model agroforestry karet dengan jenisjenis tanaman asli Kalimantan. 2. Input kebijakan : perlunya revisi kebijakan mengenai target proyek RHL dari luasan tertanam (ekstensif) menjadi jumlah tanaman yang hidup (intensif), serta kebijakan teknis metode dan materi penyuluhan/bimbingan RHL. 3. Produk : demo plot seluas 10 hektar, surat perjanjian kemitraan, dan karya tulis ilmiah DAFTAR PUSTAKA Arnstein, S.R. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Institute of Planners Vol 35 No 4: 216-224. Sintesis 2010-2014 | 107 Murniati. 2007. Rehabilitasi Hutan dan Lahan : Sejarah, Karakteristik, dan Upaya Mencapai Kegiatan Berkelanjutan. Makalah pada Ekspose dan Gelar Teknologi Hasil-Hasil Penelitian ”IPTEK untuk mendukung Pembangunan Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Kalimantan Barat”. Pontianak. 11-13 Desember 2007. Setyowati, E. 2010. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Desa Surodadi, Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Trison, S. 2005. Pengembangan Partisipasi masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan. Tesis Program pascasarjana IPB. Bogor Sintesis 2010-2014 | 108