RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air

advertisement
SINTESIS HASIL LITBANG
2010-2014
RPI 15
Pengelolaan Sumber
Daya Lahan dan Air
Pendukung Pengelolaan
DAS
Kementerian Kehutanan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
email : [email protected]
web : www.puskonser.or.id
RINGKASAN EKSEKUTIF
SINTESIS RPI 15
PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR
PENDUKUNG PENGELOLAAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI
KOORDINATOR:
PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc.
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
KEMENTERIAN KEHUTANAN
BOGOR 2014
RINGKASAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang
batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah
perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 Tahun 2004). Dengan
demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut juga dipengaruhi sifat yang
berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan terlarut dan terangkut lainnya.
Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu (pegunungan dan perbukitan) dengan hilir
(wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah siklus/daur hidrologi. Oleh karena itu, perubahan
penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk
fluktuasi debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di
dalamnya. Pengelolaan lahan dan air adalah vital dalam sistem pengelolaan DAS. Adanya
peningkatan jumlah penduduk maka akan meningkatkan kebutuhan akan sandang, pangan
dan papan serta energi. Akibatnya akan terjadi peningkatan pengurangan areal hutan untuk
keperluan lain. Peningkatan intensitas perubahan alih fungsi hutan ini akan berpengaruh
negatif terhadap kondisi hidrologis DAS seperti menurunnya resapan air ke dalam tanah,
meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, meningkatnya aliran permukaan,
banjir dan kekeringan. Pengelolaan lahan dan air merupakan suatu kegiatan yang menjaga
fungsi daya dukung lahan dan air bagi kehidupan flora ,fauna dan manusia. Pengelolaan
lahan dan air dilakukan antara lain dengan senantiasa menjaga penggunaan lahan dan air
yang disesuaikan atau tidak melebihi daya dukungnya agar sistem lahan dan air tidak rusak
dan jasa sistem tersebut optimal dan terus menerus (sustainable) bagi kesejahteraan
masyarakat. Di samping itu, untuk memperbaiki lahan-lahan yang terdegradasi terutama di
daerah hulu, dapat dilakukan dengan merehabilitasi lahan-lahan tersebut, agar kualitas
lingkungan di daerah hilir dapat menjadi lebih baik. Untuk itu diperlukan pengelolaan
sumberdaya lahan dan air di dalam DAS dari hulu sampai ke hilir yang dilakukan secara
terpadu oleh semua pihak dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial dan ekonomi.
Kata kunci: pengelolaan sumberdaya lahan dan air, pengelolaan DAS, rehabilitasi,
konservasi tanah dan air
i
KATA PENGANTAR
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK. 23/VIII-SET/2009 tentang
Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun 2010-2014,
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) mengemban tanggung jawab pelaksanaan 7
(tujuh) Rencana Penelitian Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI
sebagai komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI komponen dari Program Litbang
Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang Pengelolaan DAS. Setiap RPI dielaborasi
ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk menjawab tujuan (ultimate objectives), sasaran
(specific objectives) dan luaran (outputs) RPI yang telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang
utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya
untuk menghasilkan informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh.
Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun 2010-2014
(Revisi) adalah Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS. Sampai
akhir 2014, RPI tersebut telah menyelesaikan 92 kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan
menyediakan informasi dan teknologi tepat guna, untuk menunjang kelestarian pengelolaan
sumberdaya lahan dan air, khususnya yang terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi sehingga
dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora, fauna dan secara keseluruhan sebagai penyangga
kehidupan dengan sasaran meliputi teknik pengelolaan sumberdaya lahan dan air wilayah daratan,
gambut dan pantai. Kegiatan penelitian telah dilaksanakan oleh Puskonser, BBPD Samarinda, BPK
Aek Nauli, BPTKPDAS Solo, BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK
Makassar dan BPK Manokwari. Output dari kegiatan penelitian tersebut perlu disintesis untuk
melihat capaian kinerja RPI yang sesuai dengan tujuan dan sasaran RPI sampai akhir tahun 2014.
Dalam buku sintesis disajikan hasil-hasil penelitian penting di bidang pengelolaan sumber daya
lahan dan air pendukung pengelolaan DAS berdasarkan out put yang sudah direncanakan dalam
RPI. Hal ini perlu dilakukan mengingat kegiatan penelitian RPI ini spektrumnya sangat luas dan
variatif.
Sebagaimana ditetapkan dalam Renstra Kementerian Kehutanan 2010-2014, RPI ini lebih
difokuskan untuk menghasilkan teknik reklamasi lahan bekas tambang, maka sintesis ini lebih
banyak menyajikan informasi ilmiah dan teknik reklamasi lahan bekas tambang emas, teknik
reklamasi lahan bekas tambang batubara dan timah. Dengan demikian pada akhir 2014 telah
terpenuhi Indikator Kinerja Kegiatan berupa tersedianya teknik reklamasi lahan bekas tambang.
Sintesis akhir RPI Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS
tahun 2014 yang berkualitas dan dapat mendorong terwujudnya pengelolaan sumber daya lahan
dan air pendukung pengelolaan DAS yang berkelanjutan, khususnya reklamasi lahan bekas
tambang. Dari sintesis ini, kita dapat melihat berbagai output dalam bentuk penggunaan peta
perwilayahan sebaran jenis untuk kepentingan rehabilitasi hutan dan lahan, modeling optimalisasi
lahan di DAS bagian hulu dan demplot-demplot penanaman jenis lokal dan cepat tumbuh pada
areal tambang timah, emas dan lahan kritis lainnya sekitar DAS. Koordinator RPI beserta tim
penelitinya juga memperkaya sintesis antara ini dengan pool of knowledge yang ada.
Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Pengelolaan Sumber
Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS beserta tim penelitinya yang telah menunaikan
tugasnya dengan baik menyusun sintesis ini. Semoga sintesis ini bermanfaat bagi pihak yang
memerlukan dan menjadi baseline penyusunan rencana pengelolaan dalam bidang pengelolaan
sumber daya lahan dan air pendukung pengelolaan DAS secara berkelanjutan.
Kepala Pusat,
Ir. Adi Susmianto, M.Sc.
NIP. 19571221 198203 1 002
DAFTAR ISI
RINGKASAN ....................................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................vii
I.
PENDAHULUAN ................................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................................
1
1.2. Tujuan ...........................................................................................................
3
II.
PERMASALAHAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN
4
AIR .......................................................................................................................
III. UPAYA PENELITIAN DALAM MENJAWAB PERMASALAHAN ..................
5
3.1. Upaya Penelitian yang Telah Dilakukan .........................................................
5
3.2. Capaian Hasil Penelitian .................................................................................
5
IV. PENGEMBANGAN HASIL PENELITIAN DALAM MENDUKUNG
7
PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR ......................................
4.1. Relevansi hasil penelitian dengan kebijakan yang telah dibuat ........................
7
4.2. Pemanfaatan hasil penelitian untuk pengguna .................................................
8
4.3. Pengembangan hasil penelitian ke aplikasi lapangan skala luas .................................
8
V.
PENUTUP ............................................................................................................
12
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
13
LAMPIRAN .....................................................................................................................
14
iii
DAFTAR TABEL
Tabel
Hal.
1. Demplot Penelitian dalam RPI 15 ..........................................................................
6
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Hal.
1. Daftar Sintesa/Buku ..............................................................................................
14
vii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut
sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7
Tahun 2004). Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut
juga dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan
terlarut dan terangkut lainnya (Wardoyo, 2007). Suatu DAS terdiri atas dua bagian
utama yaitu daerah tadahan (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan
daerah kepala sungai, dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah
tadahan. Daerah penyaluran air dapat dibagi dua yaitu daerah tengah dan daerah hilir
(Notohadiprawiro, 1981). Dari definisi DAS tersebut maka wilayah DAS meliputi
wilayah pegunungan sampai dengan pantai. Faktor utama yang menghubungkan
bagian hulu (pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu
DAS adalah siklus/daur hidrologi (Wardoyo, 2007). Oleh karena, itu perubahan
penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam
bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan
terlarut di dalamnya.
Daerah Aliran Sungai dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa
stok dengan ragam kepemilikan (private, common, state property) dan berfungsi
sebagai penghasil barang dan jasa,baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat
maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak,
individu dan atau kelompok masyarakat (Kartodihardjo et al., 2004). Dengan
demikian, DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem, dimana dalam suatu DAS
terdapat berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lainnya. Oleh karena itu
perlu adanya pengelolaan yang holistik dan terpadu terhadap suatu DAS.
Komponen sumber daya alam yang terdapat dalam DAS antara lain hutan, lahan
dan air serta jasa-jasa lingkungan. Pengelolaan lahan dan air adalah vital dalam
sistem pengelolaan DAS. Oleh karena itu, lahan dan air merupakan komponen pokok
yang menunjang kehidupan yang berada di dalam sistem DAS tersebut. Kehidupan
dalam sistem DAS yang terdiri dari flora, fauna dan manusia sangat tergantung pada
jasa tanah dan air dalam sistem penunjang kehidupan. Oleh karena itu tanah,air dan
kehidupan tidak pernah dapat dipisah-pisahkan. Kehidupan dapat membentuk
komunitas flora dan fauna (hutan, tanah, lahan pertanian, dan sebagainya) dan
masyarakat manusia (desa, kota) dengan berbagai perangkatnya yang berada di
dalam sistem DAS. Komunitas flora dan fauna serta masyarakat manusia senantiasa
bergantung kehidupannya pada tanah dan air dalam sistem lahan. Oleh karena itu,
pengelolaan DAS tidak pernah dapat dipisahkan dengan pengelolaan lahan dan air.
Sintesis 2010-2014
|1
Karena DAS meliputi wilayah dari pegunungan sampai dengan pantai, maka DAS
meliputi wilayah daratan, pantai dan pegunungan.
Agar sistem DAS dapat berfungsi secara lestari maka pengelolaan DAS harus
ditunjang sepenuhnya oleh pengelolaan lahan dan air yang senantiasa
mempertimbangkan daya dukungnya.
Adanya peningkatan jumlah penduduk maka akan meningkatkan kebutuhan
akan sandang, pangan, papan dan energi. Akibatnya akan terjadi peningkatan
pengurangan areal hutan untuk pemenuhan kebutuhan di luar sektor kehutanan.
Peningkatan intensitas perubahan alih fungsi hutan ini akan berpengaruh negatif
terhadap kondisi hidrologis DAS seperti menurunnya resapan air ke dalam tanah,
meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, meningkatnya aliran
permukaan, banjir dan kekeringan.
Pembukaan tajuk hutan tropika basah seperti di Indonesia menyebabkan erosi
tanah yang akhirnya dapat menurunkan kualitas tanah baik sifat fisik maupun
kimianya. Akibat erosi ini adalah meluasnya lahan terdegradasi. Total lahan
terdegradasi di Indonesia tercatat seluas 100,5 juta ha yang terdiri dari 59 juta ha (di
dalam kawasan hutan) dan 41,5 juta ha (di luar kawasan hutan) (Departemen
Kehutanan, 2008). Lahan terdegradasi ini tersebar di berbagai tipe dan fungsi hutan.
Semakin luas lahan terdegradasi, semakin menyebabkan siklus air terganggu.
Penyebab meluasnya lahan terdegradasi, antara lain adalah: penebangan liar,
penyerobotan lahan hutan, kebakaran hutan, penambangan liar dan kebakaran hutan.
Akibatnya adalah hutan menjadi terdeforestasi. Laju deforestasi di Indonesia dari
tahun 1982-1990 diperkirakan sebesar 1,6-2 juta ha/th (Anonymous, 2000).
Kemudian periode tahun 1997-2000 menjadi 3,8 juta ha (Departemen Kehutanan,
2003). Sedangkan data terakhir menunjukkan bahwa dari tahun 2000-2005, laju
deforestasi untuk tujuh pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,
Papua, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tercatat rata-rata 1,09 juta ha/th (Departemen
Kehutanan, 2008).
Salah satu upaya untuk menghadapi degradasi hutan dan lahan terutama di
daerah hulu adalah dengan merehabilitasi lahan-lahan tersebut, agar kualitas
lingkungan di daerah hilir dapat menjadi lebih baik. Untuk itu diperlukan
pengelolaan sumberdaya lahan dan air di dalam DAS dari hulu sampai ke hilir yang
dilakukan secara terpadu oleh semua pihak dengan mempertimbangkan aspek
biofisik, sosial dan ekonomi.
Pentingnya posisi pengelolaan sumberdaya lahan dan air sebagai unit
perencanaan yang utuh memiliki tujuan untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan
sumberdaya hutan, tanah dan air dalam sistem DAS. Dalam upaya menciptakan
pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu
yang didukung oleh pengelolaan sumberdaya lahan dan air dari hulu sampai hilir.
Sintesis 2010-2014
|2
Pengelolaan lahan dan air merupakan suatu kegiatan yang menjaga fungsi daya
dukung lahan dan air bagi kehidupan flora,fauna dan manusia. Pengelolaan lahan dan
air dilakukan antara lain dengan senantiasa menjaga penggunaan lahan dan air yang
disesuaikan atau tidak melebihi daya dukungnya agar sistem lahan dan air tidak rusak
dan jasa sistem tersebut optimal dan terus menerus (sustainable) bagi kesejahteraan
masyarakat. Pengelolaan lahan dan air bertujuan untuk mengatur pemanfaatan
sumber daya lahan
secara optimal, mendapatkan hasil maksimal dan
mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan dan air itu sendiri.
Sebenarnya pengelolaan lahan dan air melalui kegiatan rehabilitasi telah banyak
dilakukan, namun keberhasilannya masih rendah. Di sisi lain, kemampuan
pemerintah untuk merehabilitasi hutan/lahan terdegradasi hanya berkisar 1-2 juta ha
per tahun, itu pun kalau semuanya dinilai berhasil untuk dapat menutupi lahan yang
terbuka (Rustam, 2003 dalam Darwo, 2007).
Rendahnya tingkat keberhasilan pengelolaan lahan antara lain adalah kurangnya
informasi mengenai teknologi untuk merehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi.
Disamping itu, sebagian besar masyarakat setempat yang dilibatkan dalam kegiatan
tersebut hanya sebagai kerja upahan dan tidak diajak berperan aktif dalam analisis
masalah dan pengambilan keputusan. Agar rehabilitasi hutan dan lahan dapat
berhasil dengan baik, juga diperlukan upaya yang seksama dalam menerapkan teknik
konservasi tanah dan air, serta pemilihan jenis pohon yang sesuai/dapat beradaptasi
dengan lingkungan yang kurang menguntungkan serta perbaikan kondisi fisik dan
kimia tanah sebelum revegetasi. Jika hal ini dapat dilakukan, maka diharapkan
pengelolaan sumberdaya lahan dan air dapat menunjang pengelolaan DAS sehingga
DAS dapat berfungsi secara lestari.
1.2. Tujuan
Sehubungan dengan latarbelakang tersebut di atas, maka Rencana Penelitian
Integratif mengenai ”Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Pendukung
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai” bertujuan untuk menyediakan informasi dan
teknologi tepat guna, untuk menunjang kelestarian pengelolaan sumberdaya lahan
dan air, khususnya yang terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi ,agar
sumberdaya lahan dan air yang terdegradasi dapat berfungsi kembali sebagai habitat
flora,fauna dan secara keseluruhan sebagai penyangga kehidupan, termasuk di
dalamnya dapat meningkatkan perekonomian rakyat dengan meningkatkan
partisipasi masyarakat dari mulai perencanaan, kegiatan pelaksanaan dan
pengelolaan pasca rehabilitasi lahan.
Sintesis 2010-2014
|3
II. PERMASALAHAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA
LAHAN DAN AIR
Masalah yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air adalah
rendahnya produktivitas lahan kawasan hutan dan adanya kemiskinan karena
kelebihan tenaga kerja di subsistem sosial. Atas dasar tersebut maka perlu
peningkatan produktivitas kawasan hutan, baik ditinjau dari aspek hasil hutan kayu
maupun non kayu, maupun untuk menjaga kelestarian dan perlindungan sumberdaya
alam serta lingkungan hidup.
Di lain pihak kemampuan daya dukung lahan relatif rendah, sehingga jika
pemanfaatan lahan melebihi kapasitas produksinya,maka yang terjadi adalah lahanlahan terdegradasi. Lahan terdegradasi banyak dijumpai baik pada wilayah darat,
gambut maupun pantai. Pada wilayah darat, lahan terdegradasi ini sebagian besar
akibat adanya kegiatan-kegiatan: penambangan yang tidak mengikuti aturan yang
ada, penebangan hutan secara illegal, perambahan kawasan hutan, bencana alam, dan
sebagainya. Sedangkan pada wilayah gambut degradasi lahan umumnya karena
adanya penebangan jenis-jenis kayu komersial yang melebihi kapasitas produksinya,
kebakaran hutan, kemampuan/daya dukung yang rendah dan spesifik terhadap
tumbuhan, dan sebagainya. Di wilayah pantai, degradasi lahan selain karena adanya
pemanfaatan wilayah pantai untuk bangunan dan tambak ikan/udang, juga
disebabkan karena adanya penebangan jenis-jenis kayu komersial. Meningkatnya
lahan terdegradasi ini menyebabkan fungsi hutan baik sebagai penghasil kayu/bukan
kayu dan pengatur siklus hidroorologi menjadi menurun. Untuk itu perlu dicari
upaya-upaya memperbaiki lahan yang terdegradasi.
Salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi lahan-lahan terdegradasi adalah
dengan merehabilitasi lahan tersebut, melalui berbagai pendekatan. Salah satu
caranya adalah mengkombinasikan teknik-teknik rehabilitasi lahan dan pengelolaan
tanah dan air yang sesuai dengan kondisi lahan dan merangsang partisipasi aktif
(peran serta) masyarakat di sekitar kawasan hutan. Agar masyarakat yakin bahwa
kegiatan tersebut memberi manfaat terhadap mereka,maka kegiatannya dapat
dilakukan dengan partisipasi aktif masyarakat sejak perencanaan sampai pelaksanaan
dan monitoringnya. Demonstrasi plot (demplot) perlu dibuat sebagai sarana untuk
mempermudah meyakinkan masyarakat.
Sintesis 2010-2014
|4
III. UPAYA PENELITIAN DALAM MENJAWAB
PERMASALAHAN
3.1. Upaya Penelitian yang Telah Dilakukan
Untuk menjawab permasalahan degradasi sumberdaya lahan dan air untuk
mendukung pengelolaan DAS diperlukan beberapa upaya antara lain melalui
penelitian yang dapat menjawab permasalahan tersebut.
Dalam rangka mendapatkan informasi “Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air
untuk Mendukung Pengelolaan DAS”, maka penelitian dikelompokkan kedalam 3
(tiga) kelompok yaitu:
- Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan;
- Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut; dan
- Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai.
Beberapa penelitian yang terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan
Air Wilayah Daratan meliputi:
 Kesesuaian Jenis Pohon untuk Rehabilitasi Lahan pada Unit DAS;
 Teknologi Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang (emas, batubara, timah);
 Model Rehabilitasi Lahan Partisipatif (termasuk penerapan mikrohidro dan
agroforestry);
 Teknik Mitigasi Tanah Longsor; dan
 Tataguna Lahan untuk Optimalisasi Tataair
Sedangkan untuk Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut
penelitian yang mendukung adalah Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air
Wilayah Gambut, khususnya yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan gambut
untuk pertanian.
Penelitian yang terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah
Pantai antara lain penelitian tentang pengelolaan lahan pantai baik itu pantai berpasir
maupun pantai berlumpur, khususnya mengenai pengelolaan wilayah pantai yang
dikaitkan dengan kerusakan lingkungan sekitar pantai serta upaya rehabilitasi pantaipantai yang terdegradasi dengan menerapkan beberapa teknologi.
3.2. Capaian Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh kemudian disusun dalam bentuk sintesis untuk
memudahkan para pengguna dan juga untuk mencari gaps antara kebijakankebijakan pemerintah terkait dengan pengelolaan sumberdaya lahan dan air dengan
kegiatan-kegiatan penelitian yang telah dilakukan yang menunjang kebijakankebijakan tersebut. Karena Daerah Aliran Sungai meliputi wilayah pantai sampai
dengan pegunungan, maka hasil penelitian dikelompokkan dalam tiga (3) kelompok,
yaitu:
Sintesis 2010-2014
|5
a. Wilayah Daratan, yang meliputi:
- Pengelolaan lahan bekas tambang (emas, timah, batubara)
- Sebaran Spasial Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon untuk
Mendukung Keberhasilan Rehabilatasi Hutan dan Lahan dalam Unit DAS di
Jawa
- Pola Penggunaan Lahan dalam Mendukung Kelestarian Tataair
- Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air
(mikrohidro, agroforestry)
- Pengelolaan lahan daerah rawan longsor
b. Wilayah Gambut
- Pengelolaan lahan gambut untuk usaha pertanian
c. Wilayah Pantai
- Pengelolaan lahan pantai berpasir
Dalam pembuatan sintesis hasil terdapat beberapa kegiatan yang belum bisa
dibuat sintesisnya karena penelitian masih belum memberikan hasil yang utuh,
sehingga hasil-hasil penelitian ini disajikan dalam kumpulan judul-judul penunjang.
Masing-masing capaian tersebut disajikan dalam Lampiran (Buku I,II,III,IV,V,VI,
dan VII).
Selain hasil sintesa tersebut di atas, penelitian-penelitian yang ada dalam lingkup
Rencana Penelitian Integratif ini juga menghasilkan demplot di beberapa daerah,
seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Demplot Penelitian dalam RPI 15
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Demplot kegiatan
Teknik Reklamasi Lahan Bekas
Tambang Timah
Teknik Reklamasi Lahan Bekas
Tambang Emas
Teknik Reklamasi Lahan Bekas
Tambang Batubara
Teknik Rehabilitasi Lahan dengan
Jenis Lokal
Teknik Rehabilitasi Lahan dengan
Pola Tanam Agroforestry
Model Perancangan RLKT Partisipatif
Teknik
Rehabilitasi
Lahan
Terdegradasi di Gunung Botak
Pola Pemanfaatan Lahan dengan
Sistem Agroforestry di Pertanaman
Kelapa
Sintesis 2010-2014
|6
Luas
2 ha
2 ha
Lokasi
Koba,
Bangka
Tengah
Pongkor, Jawa Barat
4 ha
Kalimantan Timur
2 ha
2 ha
Gunung Muria , Jawa
Tengah
NTT
2 ha
2 ha
Sulawesi Selatan
Papua
2 ha
Manado
IV. PENGEMBANGAN HASIL PENELITIAN DALAM
MENDUKUNG PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN
AIR
4.1. Relevansi hasil penelitian dengan kebijakan yang telah dibuat
Hasil-hasil penelitian sangat mendukung kebijakan yang telah dibuat seperti:
Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan, antara lain:
A. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan no. 146/1999 tentang Pedoman
reklamasi bekas tambang dalam kawasan hutan.
B. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman
penilaian keberhasilan reklamasi hutan. .
C. Peraturan Pemerintah RI no: 78/2010 tentang Reklamasi pasca tambang
D. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.39/Menhut-II/2010 tentang Pola umum,
kriteria, dan standar rehabilitasi dan reklamasi hutan
E. Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 2,3 dan 18
terkait dengan pengelolaan air
F. Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai antara lain:
A. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/Men/2002 tentang
pedoman umum perencanaan pengelolaan pesisir terpadu,
B. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:P.35/Menhut-II/2012
(PP No.35/Tahun 2010) tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan
No.32/Menhut II/ 2009 tentang tatacara penyusunan Teknik Rehabilitasi Hutan
dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS) pada ekosistem mangrove
dan sempadan pantai (seperti yang tercantum dalam Lampiran II PP
No.35/Tahun 2010)
C. UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya; UU no.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil
D. Peraturan Pemerintah RI No 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah.
Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut antara lain:
A. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
B. Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang Pengendalian kerusakan
tanah untuk produksi biomassa
C. Peraturan Pemerintah RI No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan
atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan
atau lahan
Sintesis 2010-2014
|7
D. Peraturan Menteri Pertanian No.14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman
pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit
E. Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK.3706/Menhut-VII/IPSDH/2014
tentang Penetapan peta indikatif penundaan izin baru pemanfaatan hutan,
penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal
penggunaan lain (Revisi VI)
F. Peraturan Pemerintah RI No. 24 tahun 2010 tentang Penggunaan kawasan hutan
yang dirubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 61 tahun 2012
4.2. Pemanfaatan hasil penelitian untuk pengguna
Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dan dibuat sintesanya sangat
bermanfaat bagi pengguna antara lain: informasi dan teknologi tepat guna, untuk
menunjang kelestarian pengelolaan sumberdaya lahan dan air, khususnya yang
terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi. Diharapkan informasi dan teknologi
yang diperoleh dapat dipakai dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air guna
mendukung pengelolaan DAS sehingga fungsi DAS menjadi lestari.
Informasi tersebut antara lain:
-
teknik rehabilitasi lahan bekas tambang (emas,timah, batubara);
informasi mengenai kesesuaian jenis pohon dalam unit DAS;
modelling tataguna lahan yang memberikan tataair optimal;
pengembangan model2 RLKTA di lahan-lahan terdegradasi dengan pendekatan
partisipatif;
teknik mitigasi longsor; dan
pengelolaan sumberdaya lahan dan air wilayah gambut dan pantai.
Hasil-hasil penelitian tersebut diharapkan dapat dipakai oleh pengguna dalam
rangka pengelolaan sumberdaya lahan dan air dalam suatu DAS khususnya di lahanlahan terdegradasi.
4.3. Pengembangan hasil penelitian ke aplikasi lapangan skala luas
Dengan diperolehnya beberapa informasi dan teknologi dari kegiatan-kegiatan
penelitian dalam Rencana Penelitian Integratif ini, maka diharapkan pengguna dapat
memanfaatkan hasil-hasil penelitian yang telah diperoleh.
Pemanfaatan hasil penelitian ini dapat dilakukan dengan mengembangkan
teknologi yang diperoleh tersebut dalam skala yang lebih luas.
1.Pengembangan Teknologi Reklamasi Lahan Bekas Tambang
a. Emas
Pemanfaatkan lumpur tailing dilakukan dengan memanipulasi sifat kimia
lumpur tailing yang bersifat racun dengan sistem chelate melalui penambahan
bahan organik. Caranya sangat sederhana, mudah diterapkan dan tidak memerlukan
Sintesis 2010-2014
|8
input biaya yang tinggi jika tersedia limbah tailing dan pupuk kandang/bahan
organik yang cukup.
Informasi mengenai pemanfaatan lumpur tailing dapat dikembangkan oleh
perusahaan sebagai filler dalam campuran media semai maupun media tanam.
Pemanfaatan lumpur tailing ini dapat mengurangi penggunaan top soil.
Pengetahuan mengenai jenis-jenis yang bertahan hidup dan mampu menyerap
unsur-unsur beracun seperti: Pb,Cu,Mn, Fe dan sebagainya sangat membantu dalam
upaya rehabilitasi daerah yang terdegradasi di sekitar penambangan emas tersebut.
Jenis-jenis tersebut antara lain manglid (Michelia montana), suren (Toona sureni)
dan sonokeling (Dalbergia latifolia) dapat dikembangkan dalam skala yang lebih
luas dengan memanfaatkan media tersebut.
b.
Timah
Permasalahan di lahan bekas tambang timah antara lain adalah adanya
banyaknya hamparan tailing kuarsa dan hamparan campuran bahan overburden.
Tailing kuarsa merupakan sisa-sisa pemrosesan pemisahan bijih timah dengan bahanbahan lainnya dan tersisa bahan/limbah berupa kuarsa. Sedangkan bahan campuran
overburden merupakan campuran bahan-bahan/material di atas bijih timah. Ke dua
hamparan ini tingkat kesuburannya sangat rendah, karena partikel liat dan bahan
organik rendah sehingga buffer capacity terhadap unsur-unsur hara rendah. Oleh
karena itu pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden sebagai
filler/pengisi media semai dan media tanam dengan menambah bahan ameliorant
berupa top soil dan bahan organik akan sangat membantu dalam mengatasi masalah
tersebut.
Pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden oleh pengguna
akan mengurangi penggunaan top soil, baik untuk penyediaan bibit maupun dalam
upaya mereklamasi lahan bekas tambang timah di kedua hamparan tersebut.
Jenis-jenis tumbuhan yang cocok untuk kedua hamparan tersebut yaitu:
Eucalyptus urophylla, Eugenia garcinaefolia, Enterolobium cyclocarpum dapat
dikembangkan dalam skala yang lebih luas di kedua hamparan tersebut dengan
memanfaatkan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden sebagai media semai
dan media tanam.
c.
Batubara
Permasalahan pada lahan bekas tambang batubara adalah kesuburan tanah
rendah dan beberapa tempat yang mengandung batuan pirit dan batuan pirit ini
terekspose maka akan terjadi oksidasi dan akan muncul fenomena air asam tambang.
Oleh karena itu hanya beberapa jenis tanaman yang mampu tumbuh dan berkembang
di daerah ini.
Hasil penelitian mengenai pemanfaatan arang kelapa sawit, kompos, dan asam
humat yang dapat dipakai sebagai bahan ameliorant baik di persemaian maupun di
Sintesis 2010-2014
|9
lapangan dapat dikembangkan dalam skala yang lebih luas. Demikian juga informas
mengenai jenis-jenis tanaman yang cocok di lahan bekas tambang batu bara seperti:
jenis-jenis pioner seperti: (waru gunung (Hibiscus sp.), gmelina (Gmelina arborea)
,trembesi (Samanea saman) ,johar (Cassia siamea), dan sengon (Paraserianthes
falcataria) dapat dipakai pada awal rehabilitasi dan jika telah tercipta iklim mikro
yang baik (sekitar 4 tahun) dapat dikembangkan jenis-jenis Dipterocarpa seperti:
Shorea artinervosa, S. agamii, S. balangeran, Parashorea smythiesii dan
Cotylelobium burkii. Jenis-jenis Dipterocarpa lain yang dapat dikembangkan antara
lain Drybalanops lanceolata, Shorea macrophylla dan Shorea smithiana. Jenis lokal
lainnya yang dapat dikembangkan di lahan bekas tambang batubara antara lain:
mahang (Macaranga sp.),pulai (Alstonia scholaris), laban (Vitex pinnata), nyawai
(Ficus variegate), puspa (Schima wallichii), Ficus sp., medang (Litsea sp.), dao
(Dracontomelon dao), salam (Syzygium sp.) dan terap (Artocarpus dadah).
2.Pengembangan dan pemanfaatan peta kesesuaian jenis pohon untuk rehabilitasi
hutan dan lahan dalam unit DAS
Peta mengenai kesesuaian jenis pohon untuk rehabilitasi hutan dan lahan dalam
unit DAS sangat membantu dalam pemilihan jenis-jenis pohon yang akan
dikembangkan dalam suatu wilayah. Informasi ini diharapkan dapat membantu
upaya rehabilitasi hutan dan lahan terutama di DAS yang termasuk dalam kategori
kritis.
3.Pola Pengelolaan Tataguna Lahan dalam Mendukung Optimalisasi Tataair
Informasi mengenai pola pengelolaan tata guna lahan dalam mendukung
optimalisasi tata air sangat ditentukan oleh dinamika/perubahan dinamis terkait
pertumbuhan penduduk, perubahan sosial ekonomi budaya dan perkembangan
teknologi. Informasi ini dapat dikembangkan terutama dalam pengelolaan DAS dari
hulu sampai dengan hilir dengan tetap memperhatikan faktor ekologi sebagai faktor
utama. Disamping itu informasi pemilihan jenis tegakan hutan tanaman yang tepat
untuk mendukung rehabilitasi hutan dan lahan dalam wilayah DAS yang
bersangkutan dapat dikembangkan agar tidak terjadi kekeringan.
4.Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut
Lahan gambut merupakan lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan
organik (C-org >18%) (USDA, 2010). Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah
gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols. Bahan organik penyusun tanah
gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena
kondisi jenuh air. Oleh karena itu lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa
belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus, 2012).
Lahan gambut merupakan salah satu lahan yang dianggap marginal dan sampai
dengan saat ini dijadikan tumpuan bagi perluasan lahan pertanian (Agus et al., 2012)
maupun perkebunan. Oleh karena itu lahan gambut banyak yang mengalami
Sintesis 2010-2014
| 10
degradasi sehingga upaya pengelolaannya sangat diperlukan. Permasalahan lain yang
sering muncul adalah adanya kebakaran hutan dan juga hilangnya fungsi gambut
sebagai penyimpan air saat musim kemarau.
Pengalaman pengelolaan oleh masyarakat berupa pengaturan drainase dengan
pembuatan saluran mikro, memperbaiki sistem drainase yang telah ada seperti
pembuatan kanal bloking diharapkan dapat meningkatkan fungsi hidrologis gambut.
Pengembangan teknologi berdasarkan pengalaman masyarakat tersebut dapat
dilakukan di lahan sekitarnya, sehingga kelestarian gambut dapat terjaga.
5.Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai Berpasir
Lahan pantai berpasir merupakan salah satu sumber daya lahan yang potensial
untuk dikembangkan baik untuk produksi pangan maupun sebagai area untuk
agroecoturisme. Namun demikian pengembangan lahan ini perlu mendapat perhatian
khusus, karena kesuburan tanah pada lahan ini relatif rendah sehingga perlu input
teknologi untuk meningkatkan produktivitasnya. Pengembangan teknologi yang
diperoleh dapat dilakukan di daerah lain dengan melibatkan masyarakat dengan
aturan-aturan yang mendukung.
Sintesis 2010-2014
| 11
V. PENUTUP
Daerah Aliran Sungai meliputi wilayah pantai sampai dengan pegunungan.
Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut juga
dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan
terlarut dan terangkut lainnya. Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu
(pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah
siklus/daur hidrologi. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan di daerah hulu
akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas
air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya.
Penggunaan lahan yang melebihi kapasitas produksi suatu lahan dalam DAS
akan mengakibatkan munculnya lahan terdegradasi. Oleh karena itu diperlukan
upaya pengelolaan lahan yang baik agar lahan terdegradasi dapat diperbaiki.
Teknologi yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh
pengguna sehingga pengelolaan DAS dapat berjalan dengan baik.
Sintesis 2010-2014
| 12
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2000. Combating Land Degradation in Indonesia. National Report on
the Implementation of United Nations Convention to Combat Desertification
(UNCCD). For submission at the fourth session of Conference of the Parties.
Bonn, Germany.
Darwo. 2007. Strategi Peningkatan Program Gerhan. (Studi Kasus Gerhan di Sekitar
Daerah Tangkapan Air Danau Toba).Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian:
Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan. Padang, 20 September 2006.
Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. p.249-258.
Departemen Kehutanan. 2003. Kebijakan Penyusunan Masterplan Rehabilitasi Hutan
dan Lahan. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan dan JICA.
Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2008.
Kehutanan. Jakarta. 204 p.
Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen
Kartodihardjo, H., K.Murtilaksono., dan U.Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (Konsep dan Pengantar Analisa Kebijakan). Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.
Notohadiprawiro, T. 1981. Pengelolaan DAS dan Program Penghijauan. Jurusan
Ilmu Tanah, Faperta, Universitas Gadjah Mada. 35 p.
UU No.7 Tahun 2004. Tentang Sumberddaya Air.
Wardoyo, W. 2007. Perlunya Penyamaan Persepsi dan Peningkatan Komitmen
dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Keynote Speech pada
Lokakarya Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan
Infrastuktur Data., F-MIPA – IPB dan CIFOR, 5 September 2007.
Sintesis 2010-2014
| 13
LAMPIRAN 1. Daftar Sintesa/Buku
Sintesa/
BUKU
I
II
III
IV
V
VI
Judul
Reklamasi Tambang
Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon Pada Unit DAS di Jawa
Modelling Tataguna Lahan untuk Optimalisasi Tataair
Pengelolaan Lahan Gambut untuk Usaha Pertanian
Pengelolaan Lahan Pantai Berpasir
Kegiatan Penunjang
- Pengelolaan Lahan Pantai Berlumpur
- Teknologi Hydroseeding
- Metode Penyediaan Bibit dengan Sistem Karpet Sabut Kelapa
- Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Lahan di DAS
Mahakam
- Rehabilitasi lahan dengan jenis lokal di Gunung Muria, Jawa
Tengah
- Teknik Rehabilitasi Lahan Kritis Secara Partisipatif
- Integrasi Kesesuaian Lahan dengan Tabel Volume
- Teknik Mitigasi Tanah Longsor
Sintesis 2010-2014
| 14
BUKU I
PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR
PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
(ASPEK: REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG)
PENYUSUN:
PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc.
DR. I WAYAN SUSI DHARMAWAN, M.Si.
BUDI HADI NARENDRA, S.Hut, M.Sc.
SEPTI ASIH WIDURI, S.Si.
BURHANUDIN ADMAN, S.Hut, M.Sc.
NILAMSARI, S.Hut.
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKEHUTANAN
KEMENTERIAN KEHUTANAN
BOGOR 2014
SUSUNAN TIM PENELITI
Koordinator
Tim Pelaksana
: Prof. Dr. Ir.Pratiwi, M.Sc.
: Dr. I Wayan Susi Dharmawan, M.Si.
Budi Hadi Narendra, S.Hut, M.Sc.
Septiasih Widuri, S.Si.
Burhannudin, S.Hut, M.Si.
Nilam Sari, S.Hut.
DAFTAR ISI
Hal.
DAFTAR ISI ........................................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
iii
I.
PENDAHULUAN ..................................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................
1
1.2. Tujuan ............................................................................................................
2
1.3. Luaran ............................................................................................................
2
II.
KEBIJAKAN
REKLAMASI
LAHAN
BEKAS
TAMBANG
DI
3
KEMENTERIAN KEHUTANAN ..........................................................................
2.1. Identifikasi regulasi yang ada ...........................................................................
3
2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ................................
4
2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan ....................................................
5
III. REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DAN PEMULIHANNYA
7
UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN ..........................................................
3.1. Bekas Tambang Emas ......................................................................................
7
3.2. Bekas Tambang Timah ....................................................................................
10
3.3. Bekas Tambang Batubara ................................................................................
15
IV. PENUTUP .............................................................................................................
20
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................
21
i
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Hal.
1.
Lumpur tailing tambang emas, Pongkor – Jawa Barat ............................................
7
2.
Pemanfaatan lumpur tailing sebagai media semai dan media tanam
tanaman manglid (Michelia montana) ....................................................................
10
3.
Hamparan tailing kuarsa dan hamparan campuran bahan overburden ....................
10
4.
Percobaan pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden di
persemaian ............................................................................................................
12
5.
Tanaman sengon buto dan ubak di hamparan tailing kuarsa (umur 5 bulan) ...........
13
6.
E.urophylla umur 5 bulan dan umur 15 bulan di hamparan overburden .................
14
7.
Perlakuan mikoriza pada beberapa jenis bibit tanaman ..........................................
15
8.
Tanah dan batuan disposal yang ditemukan di lahan bekas tambang
batubara ................................................................................................................
16
9.
Pemanfaatan kompos dan asam humat di persemaian Pentace sp ...........................
17
10. Pemanfaatan kelapa sawit untuk media tanam di lapangan .....................................
17
11. Tanaman waru gunung (Hibiscus sp.) sebagai tanaman pioneer di lahan
bekas tambang batubara .........................................................................................
18
12. Jenis-jenis Dipterocarpaceae yang dapat tumbuh bagus dengan
intensitas cahaya ....................................................................................................
19
iii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut
sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7
Tahun 2004). Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut
juga dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan
terlarut dan terangkut lainnya (Wardoyo, 2007). Suatu DAS terdiri atas dua bagian
utama yaitu daerah tadahan (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan
daerah kepala sungai, dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah
tadahan. Daerah penyaluran air dapat dibagi dua yaitu daerah tengah dan daerah hilir
(Notohadiprawiro, 1981). Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu
(pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah
siklus/daur hidrologi (Wardoyo, 2007). Oleh karena, itu perubahan penggunaan
lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi
debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya.
Salah satu perubahan penggunaan lahan adalah adanya perubahan penggunaan
lahan hutan menjadi areal penambangan. Areal penambangan tersebut antara lain
adalah areal-areal yang diambil tambangnya seperti emas, timah dan batubara yang
banyak terjadi di Indonesia. Adanya perubahan penggunaan lahan hutan ini
seringkali mengakibatkan lahan menjadi terdegradasi.
Degradasi lahan adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi
kegunaan lahan untuk mendukung kehidupan. Adanya degradasi lahan menyebabkan
menurunnya fungsi ekosistem lahan tersebut, dan akan berdampak baik bagi
manusia maupun makhluk hidup lainnya. Dampak tersebut antara lain: penurunan
produktivitas sehingga menyebabkan berkurangnya produksi bahan baku pangan,
sandang dan papan. Disamping itu hal yang sangat penting adalah hilangnya
keanekaragaman hayati karena rusaknya habitat dan ekosistem lainnya. Selain itu
degradasi lahan akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang
bergantung pada lahan sebagai sumber penghidupannya sehingga angka kemiskinan
akan meningkat (Barrow, 1991). Dengan demikian degradasi lahan merupakan
proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap
(Dariah et al., 2009). Di sisi lain dengan adanya lahan terdegradasi di dalam DAS
ini maka akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS seperti
menurunnya resapan air ke dalam tanah, meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit
antar musim, meningkatnya aliran permukaan, banjir dan kekeringan. Oleh karena
itu diperlukan beberapa upaya untuk mengatasi degradasi lahan, agar kualitas lahan
menjadi lebih baik.
Sintesis 2010-2014
|1
Salah satu upaya adalah dengan mereklamasi lahan-lahan bekas tambang
tersebut, dengan menerapkan teknologi yang ada. Menurut Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia No. P.04/Menhut-II/2011 tentang Pedoman
Reklamasi, reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan
kembali lahan dan vegetasi yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai
peruntukannya. Lingkup kegiatan reklamasi menurut Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral No.18 tahun 2008 meliputi: penatagunaan lahan, revegetasi,
pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, dan pekerjaan sipil (Permen
ESDM No. 18 tahun 2008).
Agar reklamasi lahan bekas tambang dapat berhasil dengan baik, juga
diperlukan upaya yang seksama dalam menerapkan teknik konservasi tanah dan air,
serta pemilihan jenis pohon yang sesuai/dapat beradaptasi dengan lingkungan yang
kurang menguntungkan serta perbaikan kondisi fisik dan kimia tanah sebelum
revegetasi. Jika hal ini dapat dilakukan, maka diharapkan pengelolaan lahan bekas
tambang dapat menunjang pengelolaan DAS sehingga DAS dapat berfungsi secara
lestari.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan informasi mengenai
teknologi reklamasi lahan bekas tambang termasuk informasi mengenai kebijakan
yang berkaitan dengan reklamasi tambang dan beberapa langkah yang diperlukan
agar lahan bekas tambang dapat berfungsi seperti semula. Oleh karena itu maka
pengelolaan lahan bekas tambang harus ditunjang sepenuhnya oleh beberapa
teknologi dan aturan-aturan yang mendukung.
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan sintesa yang terkait dengan reklamasi lahan bekas tambang
adalah menyediakan informasi dan teknologi tepat guna yang didasarkan pada
penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menunjang
keberhasilan reklamasi lahan bekas tambang agar lahan bekas tambang yang
terdegradasi dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora, fauna dan secara
keseluruhan sebagai penyangga kehidupan, termasuk di dalamnya dapat
meningkatkan perekonomian rakyat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat
dari mulai perencanaan, kegiatan pelaksanaan dan pengelolaan pasca rehabilitasi
lahan bekas tambang.
Sehubungan dengan tujuan tersebut di atas, maka untuk tahun 2010-2014,
teknologi yang disusun difokuskan pada tiga jenis lahan bekas tambang yaitu: emas,
timah dan batubara.
1.3. Luaran
Luaran kegiatan ini adalah informasi dan teknologi tepat guna, untuk menunjang
reklamasi lahan bekas tambang, khususnya tambang emas,timah dan batubara serta
beberapa informasi kebijakan reklamasi lahan bekas tambang.
Sintesis 2010-2014
|2
II. KEBIJAKAN REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DI
KEMENTERIAN KEHUTANAN
Sehubungan dengan kebijakan reklamasi lahan bekas tambang di Kementerian
Kehutanan, beberapa regulasi telah disusun. Namun demikian implementasi di
lapangan agaknya belum sepenuhnya dilaksanakan.
2.1. Identifikasi regulasi yang ada
Kementerian Kehutanan telah mengambil kebijakan reklamasi lahan bekas
tambang melalui berbagai Keputusan Menteri Kehutanan. Keputusan tersebut antara
lain:
A. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan no. 146/1999 tentang pedoman
reklamasi bekas tambang dalam kawasan hutan. Keputusan ini berisi tentang
kewajiban perusahaan untuk membuat perencanaan reklamasi dan melaksanakan
reklamasi kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan
dan energi dalam jangka waktu tertentu dan menyampaikan laporan kemajuannya
secara berkala.
B. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman
penilaian keberhasilan reklamasi hutan. Peraturan ini berisi tentang kriteria
keberhasilan reklamasi hutan yang meliputi aspek penataan lahan, pengendalian
erosi dan sedimentasi, serta revegetasi atau penanaman pohon. Selain itu juga
berisi tentang prosedur penilaian dan pihak-pihak yang terkait serta tata cara
pelaporan hasilnya.
C. Peraturan Pemerintah RI no: 78/2010 tentang Reklamasi pasca tambang yang
mengatur rencana reklamasi dan rencana pasca tambang baik pada tahap
eksplorasi dan tahap produksi. Diatur juga tentang jaminan reklamasi dan pasca
tambang serta sanksi administratif yang dapat dikenakan.
D. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.39/Menhut-II/2010 tentang Pola umum,
kriteria, dan standar rehabilitasi dan reklamasi hutan yang mengatur prinsipprinsip dasar bagi penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan serta reklamasi
hutan, meliputi :
1. Sistem penganggaran yang berkesinambungan (multi years);
2. Kejelasan kewenangan;
3. Pemahaman sistem tenurial;
4. Andil biaya (cost sharing);
5. Penerapan sistem insentif;
6. Pemberdayaan masyarakat dan kapasitas kelembagaan;
7. Pendekatan partisipatif; dan
8. Transparansi dan akuntabilitas.
Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan serta reklamasi hutan tersebut
dilaksanakan dengan pendekatan aspek politik, sosial, ekonomi, ekosistem, dan
Sintesis 2010-2014
|3
kelembagaan organisasi. Dalam melaksanakan reklamasi, harus menggunakan
kriteria dan standar antara lain:
a. Karakteristik lokasi kegiatan;
b. Jenis kegiatan;
c. Penataan lahan;
d. Pengendalian erosi dan limbah;
e. Revegetasi; dan
f. Pengembangan sosial ekonomi.
E.Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.04/Menhut-II/2011 tentang Pedoman
reklamasi hutan yang berisi acuan lebih detail bagi pelaksana dalam melakukan
kegiatan reklamasi hutan pada areal bekas penggunaan kawasan hutan. Hal-hal
yang diatur dalam peraturan ini meliputi:
a. Inventarisasi lokasi;
b. Penetapan lokasi;
c. Perencanaan;
d. Pelaksanaan;
e. Kelembagaan;
f. Pemantauan dan pembinaan teknis,
g. Mekanisme pelaporan pelaksanaan reklamasi hutan; dan
h. Sanksi.
2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi
Sesuai dengan yang diamanatkan dalam peraturan perundangan, kegiatan
reklamasi yang baik harus diawali dengan penyusunan rencana reklamasi. Untuk
menunjang perencanaan reklamasi tersebut, diperlukan kegiatan penelitian guna
menentukan:
a. Teknik pengendalian erosi dan sedimentasi yang tepat (pengaturan bentuk lahan,
jenis bangunan konservasi, jenis cover crop).
Kegiatan reklamasi merupakan kegiatan pasca tambang untuk mencapai kondisi
mendekati saat sebelum ditambang atau menjadi lahan yang produktif. Kegiatan
reklamasi ini diawali dengan pekerjaan sipil teknis untuk membenahi bentang
lahan seperti perataan, pengembalian top soil, pengaturan drainase agar lahan
mudah dikelola dan menerapkan teknik konservasi tanah untuk pengendalian
erosi, longsor, dan sedimentasi. Pemilihan teknik yang digunakan tergantung pada
kondisi setempat seperti cekdam, dam penahan, pengendali jurang, saluran
pembuangan air, bangunan terjunan air, dan penanaman cover crop. Pemilihan
jenis dan jumlah bangunan yang tepat akan memberi manfaat optimal dalam
konservasi tanah.
b. Jenis tanaman dan pola tanam yang sesuai untuk revegetasi meliputi jenis
tanaman perintis, jenis tanaman cepat tumbuh, jenis tanaman lokal
Pemilihan jenis tanaman didasarkan pada kondisi biofisik lahan, persyaratan
tumbuh tanaman, fungsi dan peruntukan kawasan. Untuk tahap awal, perlu
Sintesis 2010-2014
|4
dilakukan analisis jenis tanaman pionir dan jenis cepat tumbuh yang sesuai,
selanjutnya dapat digunakan tanaman unggulan lokal, tanaman eksotik, atau
tanaman serbaguna atau multi purpose trees species (MPTS) tergantung fungsi
dan peruntukan kawasan.
c. Teknik pengelolaan top soil dan perbaikan media tanam (jenis bahan dan
komposisinya).
Untuk mencapai persentase hidup dan kesehatan/pertumbuhan tanaman yang baik,
perlu diperhatikan kondisi fisik, kimia, dan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman
melalui pengelolaan top soil dan perlakuan media tanam. Mengingat bervariasinya
kondisi lahan pasca penambangan, perlu di lakukan penelitian formulasi yang
sesuai untuk setiap jenis tambang.
2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan
Sebenarnya berbagai peraturan dan kebijakan reklamasi telah disusun oleh
Kementerian Kehutanan, namun dalam pelaksanaannya masih banyak permasalahan
yang ditemukan di lapangan seperti:
a. Tambang timah:
a.1. Beberapa hasil penelitian telah menghasilkan teknologi reklamasi terutama
dalam pembenahan media tanam pada lahan bekas tambang timah. Namun
lahan bekas tambang timah yang telah berhasil direklamasi seringkali
mengalami kerusakan akibat adanya penambangan illegal/PETI yang
dilakukan oleh masyarakat pada lokasi reklamasi, karena masih adanya
potensi timah di lahan tersebut. Diperlukan strategi penanganan/peraturan
perundangan yang mencegah terjadinya hal demikian.
a.2. Adanya tailing kuarsa dan bahan campuran overburden yang di hamparkan di
lapangan masih belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal kedua bahan ini
dapat dimanfaatkan sebagai campuran media persemaian dan penanaman,
sehingga dapat mengurangi penggunaan top soil.
b. Tambang emas:
Kegiatan penelitian telah menghasilkan formulasi pemanfaatan tailing tambang
emas sebagai media tanam, namun volume tailing yang dihasilkan melebihi
pemanfaatannya sebagai media pengisi lubang tanam maupun media semai
sehingga daya tampung dam tailing seringkali tidak memadai. Diperlukan skala
pemanfaatan yang lebih besar dan jenis pemanfaatan lainnya agar dapat
mengimbangi timbunan tailing.
c. Tambang batubara
c.1.Teknologi reklamasi pada lahan bekas tambang batubara perlu terus
dikembangkan terutama dalam pencegahan dan penanganan air asam
tambang (AAT). Penanganan yang dilakukan masih dirasa kurang efektif dan
memerlukan biaya tinggi. Penelitian untuk menghasilkan teknologi
Sintesis 2010-2014
|5
pemanfaatan air asam tambang, diharapkan dapat mengubah limbah
pertambangan ini menjadi sesuatu yang bernilai guna dan mendatangkan
keuntungan finansial bagi perusahaan.
c.2. Pengembangan model agroforestri dalam reklamasi tambang batubara dapat
dijadikan alternatif model reklamasi yang efektif dan efisien.
Sintesis 2010-2014
|6
III. REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DAN
PEMULIHANNYA UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN
3.1. Bekas tambang emas
Permasalahan utama dalam tambang emas adalah hasil pemisahan bijih emas
dengan bahan-bahan lainnya menghasilkan lumpur yang memiliki kandungan logam
berat cukup tinggi dan beracun seperti: Pb,Cu,Zn dan Fe. Limbah ini ditampung di
dalam dam yang cukup luas yang disebut sebagai tailing dam. Persoalan lain yang
muncul adalah adanya beberapa tanah longsor di sekitar dam yang dikhawatirkan
akan menambah sedimentasi di dalam dam tersebut. Oleh karena itu diperlukan
upaya untuk mengurangi lumpur tailing tersebut dan merehabilitasi daerah-daerah
yang longsor di sekitar dam.
Penambangan merupakan salah satu contoh kegiatan yang dapat menyebabkan
kerusakan tanah dan tumbuhan secara ekstrem. Pemadatan tanah, penurunan unsur
hara, toksisitas lahan dan kemasaman lahan merupakan fenomena umum yang terjadi
pada tanah di tambang emas. Untuk mengatasi kerusakan akibat penambangan
diperlukan strategi pengelolaan lahan dengan cara mencari teknik atau pemilihan
jenis yang tahan hidup pada daerah tersebut, mencari sumber mikroba yang mampu
mengembalikan kesuburan tanah dan bahan organik yang mampu memperkaya
kandungan unsur hara pada lahan tersebut.
A. Pemanfaatan limbah/tailing sebagai pengisi media tanam
Limbah padat dalam bentuk lumpur tailing merupakan salah satu limbah yang
muncul pada proses penambangan emas (Gambar 1). Oleh karena tingginya
kandungan beberapa logam seperti Pb, Cu, Mn, dan Fe serta jumlah massa yang
sangat besar yang diendapkan di kolam atau dam, maka lumpur tailing berpotensi
menjadi polutan jika tidak dikelola secara benar.
Gambar 1. Lumpur tailing tambang emas, Pongkor – Jawa Barat (Foto: Siregar dan
Dharmawan)
Sintesis 2010-2014
|7
Manipulasi sifat kimia lumpur tailing dengan menekan aktivitas ion-ion logam
pada larutan tanah sehingga daya racunnya tertekan dapat merubah bahan ini menjadi
tanah yang tidak beracun. Salah satu teknik yang dapat diandalkan dalam meredam
aktivitas ion-ion logam dalam larutan tanah adalah melalui mekanisme atau proses
kelat (chelate) dimana gugus fungsional bahan organik bereaksi dengan ion-ion
logam tersebut.
Beberapa penelitian telah dilakukan di PT. Antam untuk
memformulasikan teknik manipulasi sifat kimia lumpur tailing yang bersifat racun
dengan memanfaatkan pupuk kandang dan arang untuk dijadikan media tanaman
dalam rangka memperbaiki sifat kimia dan fisik kesuburan media tanam.
Penambangan emas di PT. Antam, Pongkor menghasilkan limbah tailing dengan
kandungan Pb yang tinggi sebesar 110 ppm. Tingginya Pb tersebut karena PT.
Antam menggunakan sianida (CN) dalam memisahkan emas dan tanah tambang.
Unsur sianida tersebut dapat meningkatkan mobilitas ion logam Pb dalam media
tailing. Tingginya kandungan Pb dalam tailing juga dapat dilihat di lokasi lain yaitu
di penambangan emas Ma On Shan, Hongkong dengan kandungan Pb sebesar 151
ppm (Wong et. al., 1977) dan penambangan emas di Barraba, New South Wales,
Australia dengan kandungan Pb sebesar 100 ppm (Meyer, 1980). Menurut Balkema
(1997), tailing merupakan komposit mineral-mineral / logam-logam berat yang
berasal dari kegiatan penambangan, memiliki tekstur berpasir dan tidak bernilai
ekonomis. Namun demikian sebenarnya lumpur tailing sebagai hasil limbah
pengolahan emas dapat dijadikan sebagai filler/pengisi media tanam (Gambar 2).
Lumpur tailing tersebut harus dicampur dengan pupuk kandang atau bahan organik
lainnya untuk menekan kandungan logam berat Pb, Cu, Mn dan Fe. Komposisi
terbaik media tailing dengan bahan organik sebesar 1:1 (v/v) (Siregar dan
Dharmawan, 2010). Selanjutnya Widianto (1996) menambahkan bahwa pemanfaatan
tailing sebagai media dengan menambahkan bahan organik, dan penggunaan
cendawan endomikorhiza ke dalam media tailing dapat mengurangi kelarutan Pb.
Pupuk organik merupakan bahan organik yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah
sehingga tanah menjadi remah, mengurangi kelarutan ion-ion logam berat dalam
tanah dan merangsang hidupnya mikroba-mikroba dalam tanah sehingga tanah
menjadi lebih subur. Dengan adanya penambahan pupuk organik yang mengandung
berbagai macam mineral, vitamin, enzim, asam-asam organik seperti asam humat
dan sumber nutrisi lainnya, dapat merangsang hidupnya mikroba tanah seperti
mikorhiza maupun mikroba lainnya, mengikat ion-ion logam berat (sebagai chelating
agent), meningkatkan agregasi tanah dan memperbaiki struktur tanah (Russo, 1994 ;
Turk, 1995).
Pemanfaatan tailing sebagai media pertumbuhan tanaman Paraserianthes
falcataria telah dilakukan juga dengan cara penambahan pupuk organik dan
penggunaan cendawan endomikorhiza kedalam media tailing. Hasil pemanfaatan ini
menunjukkan bahwa komposisi media (tailing : pupuk organik kascing, rasio 1:1,
v/v) memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan tinggi, pertumbuhan diameter
Sintesis 2010-2014
|8
dan berat kering total masing-masing sebesar 15.7 cm, 0.5 cm dan 9.2 gr
(Dharmawan, 2007).
Penggunaan lumpur tailing sebagai filler media tanam dapat mengurangi
tekanan terhadap penggunaan topsoil untuk rehabilitasi lahan kritis baik itu lahan
kritis bekas penambangan maupun lahan kritis akibat gangguan lainnya.
B. Uji kesesuaian jenis-jenis pohon untuk rehabilitasi lahan bekas longsoran
di sekitar tailing dam tambang emas
Di sekitar tailing dam umumnya terdapat beberapa lahan terdegradasi antara lain
akibat longsoran. Jika hal ini dibiarkan, maka tanah akan tergerus dan
mengakibatkan sedimen hasil erosi tanah tersebut masuk ke dalam tailing dam.
Dikhawatirkan jika hal ini dibiarkan maka akan menimbulkan jebolnya dam. Untuk
menghindari hal tersebut maka perlu upaya rehabilitasi. Upaya rehabilitasi dapat
dilakukan dengan memanfaatkan tailing lumpur sebagai filler /pengisi media tanam.
Komposisi media yang telah ditemukan seperti yang tersebut di atas dapat
diterapkan dalam rehabilitasi lahan terdegradasi dengan beberapa tahapan. Tahapan
rehabilitasi tambang emas sangat sederhana, mudah diterapkan dan tidak
memerlukan input biaya yang tinggi jika tersedia limbah tailing dan pupuk
kandang/bahan organik yang cukup. Tahapannya sebagai berikut (Siregar dan
Dharmawan, 2010):
1) Pembuatan lubang tanaman dalam bentuk pot dengan ukuran
50cmx50cmx50cm ;
2) Pengisian media lumpur tailing dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 :1 ;
3) Lubang tanam dibiarkan seminggu agar media dapat beradaptasi ;
4) Penanaman semai tanaman dengan tinggi 50 cm dengan jarak tanam 3mx2m ;
dan
5) Pemeliharaan tanaman seperti pembersihan gulma dan pemupukan dasar NPK
tiap 3 bulan.
Pemilihan jenis harus menggunakan spesies lokal yang telah cocok dengan
kondisi iklim dan geografis setempat. Jenis manglid (Michelia montana) memiliki
pertumbuhan yang bagus dengan menggunakan media tailing : pupuk kandang (1:1,
v/v). Selain itu, jenis tanaman tersebut merupakan jenis lokal yang adaptif dengan
kondisi setempat. Jenis tanaman lain seperti: suren (Toona sureni) dan sonokeling
(Dalbergia latifolia) juga memberikan pertumbuhan cukup bagus dan mampu
menyerap logam berat Cu dan Pb secara optimal.
Sintesis 2010-2014
|9
Gambar 2. Pemanfaatan lumpur tailing sebagai media semai (kiri) dan media tanam
(kanan) tanaman manglid (Michelia montana)(Foto: Siregar dan Dharmawan)
3.2. Bekas tambang timah
Sistem pertambangan di Indonesia umumnya menerapkan teknik penambangan
permukaan (surface mining), seperti yang dilakukan di pertambangan timah.
Akibatnya adalah terjadi perubahan lanskap dan permukaan tanah, hilangnya lapisan
atas tanah serta berubahnya habitat flora dan fauna. Perubahan ini menyebabkan
sistem hidrologi dan kestabilan landskap berubah. Apabila lahan bekas tambang ini
tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan permasalahan lingkungan baik
di dalam areal pertambangan (on site) maupun di luar areal penambangan (off site).
Hal ini dapat diamati pada kegiatan pertambangan timah di Bangka (Djakamihardja
dan Noviardi, 2009; Herlina, 2004; Rahmawaty, 2002; Yani, 2005). Bekas
penambangan ini meninggalkan lahan-lahan berupa hamparan tailing pasir kuarsa
dan campuran bahan-bahan overburden (Gambar 3).
Hamparan tailing kuarsa
Hamparan overburden
Gambar 3. Hamparan tailing kuarsa (kiri) dan hamparan campuran bahan overburden
(kanan)(Foto: Pratiwi)
Tailing kuarsa merupakan hasil dari pemisahan bijih timah dengan bahan-bahan
lainnya. Permasalahan yang muncul adalah kualitas hamparan tailing kuarsa
memiliki pH rendah (4-5), kandungan mikroba dan unsur hara juga rendah sehingga
tingkat kesuburannya rendah. Rendahnya tingkat kesuburan ini karena tailing kuarsa
mengandung lebih dari 95 % pasir kuarsa, sedangkan partikel liat serta bahan
organiknya sangat rendah. Karena partikel liat dan bahan organik sangat rendah,
Sintesis 2010-2014
| 10
maka kapasitas sangga (buffer capacity) tailing ini menjadi sangat rendah (Pratiwi et
al., 2012). Oleh karena itu untuk memperbaiki kesuburan tanah ini perlu dilakukan
penambahan bahan liat dan bahan organik sebagai bahan pembenah (ameliorant) dan
bahan lain sebagai bahan pupuk seperti kapur.
Disamping itu bahan campuran overburden yang dihamparkan di beberapa area
juga menunjukkan tingkat kesuburan tanahnya yang rendah. Bahan campuran
overburden ini mempunyai pH 3,5 karena overburden mengandung bahan sulfidic
(mineral pirit/calco pirit) yang mengandung besi dan sulfida dalam kondisi reduksi.
Pada saat bahan ini menjadi kering (berkurang kadar airnya), bahan sulfidic
mengalami oksidasi yang melarutkan Fe+2 dan S2-. Ion-ion ini teroksidasi dan
terhidrolisis dan menghasilkan ion H+ dalam jumlah banyak (Pratiwi, 2012). Oleh
karena itu overburden ini mempunyai pH rendah dan diperlukan bahan ameliorant
untuk memperbaiki kesuburannya.
A. Pemanfaatan tailing kuarsa dan campuran bahan overburden sebagai media
tanam untuk perbaikan kualitas tanah bekas tambang timah
Tailing kuarsa dan bahan campuran overburden dapat dimanfaatkan untuk media
tanam dalam rangka perbaikan kualitas tanah bekas tambang timah dengan
menambahkan bahan organik, top soil, kapur, dan pupuk NPK.
Hasil penelitian Pratiwi et al., 2011 dan Pratiwi et al., 2012, menunjukkan
bahwa media tanam dengan komposisi:
1. Kombinasi 20% bahan organik + 20% top soil+ + 5% kapur + 1% NPK + 54%
tailing kuarsa, memberikan pertumbuhan yang bagus untuk tanaman Eucalyptus
urophylla, uba (Eugenia garcinaefolia), sengon buto (Enterolobium cyclocarpum)
dan trembesi (Samanea saman).
2. Kombinasi 20% bahan organik + 20% top soil + 10% kapur + 1% NPK + 49 %
bahan campuran overburden memberikan pertumbuhan yang bagus untuk
tanaman E. urophylla, uba (Eugenia garcinaefolia), dan sengon buto
(Enterolobium cyclocarpum)
Bahan organik dapat meningkatkan kesuburan baik fisik, kimia maupun biologi
tanah. Dengan penambahan bahan organik di dalam media tersebut, maka struktur
tanah menjadi lebih baik, daya simpan air meningkat, dan juga meningkatnya KTK
tanah (Soepardi, 1983; Hardjowigeno, 1992). Dengan meningkatnya KTK tanah
maka daya sangga (buffer capacity) terhadap unsur-unsur hara meningkat.
Disamping itu diversitas mikroorganisme di dalam tanah juga meningkat, sehingga
dapat membantu proses pelapukan bahan organik di dalam media tersebut. Di
samping itu pemberian top soil dalam media sangat bermanfaat, karena di dalam top
soil kandungan unsur-unsur haranya relatif masih tinggi dibandingkan dengan
lapisan tanah di bawahnya. Dengan demikian pemberian bahan organik (kompos)
dan top soil dapat meningkatkan kesuburan tanah, sehingga pertumbuhan tanaman
akan menjadi lebih bagus (Gambar 4).
Sintesis 2010-2014
| 11
Gambar 4. Percobaan pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden di
persemaian (Foto: Pratiwi)
Pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden untuk media
persemaian, dapat mengurangi pemakaian top soil. Hasil komposisi media tersebut
dapat diterapkan di lapangan khususnya di hamparan tailing kuarsa dan hamparan
bahan campuran overburden.
B. Uji kesesuaian jenis-jenis pohon untuk reklamasi lahan bekas tambang
timah
Komposisi media tailing kuarsa maupun bahan campuran overburden seperti
tersebut di atas dapat diterapkan di lapangan, yaitu untuk media tailing kuarsa
diterapkan di hamparan tailing kuarsa dan untuk komposisi media campuran bahan
overburden diterapkan di hamparan overburden (Pratiwi et al., 2011 dan Pratiwi et
al,, 2012) .
1.
2.
Tahapan penerapan di hamparan tailing kuarsa adalah sebagai berikut:
Pembuatan lubang tanaman dalam bentuk pot dengan ukuran
50cmx50cmx50cm ;
Pengisian lubang tanam dengan media campuran antara top soil dan bahan
organik masing-masing dengan perbandingan 20 %, kapur 5%, NPK 1% dan
54% tailing kuarsa;
Sintesis 2010-2014
| 12
3.
4.
5.
6.
1.
2.
3.
4.
5.
Lubang tanam dibiarkan seminggu agar media dapat beradaptasi ;
Penanaman semai tanaman dengan tinggi 50 cm dengan jarak tanam 3mx2m ;
dan
Pemeliharaan tanaman seperti pembersihan gulma dan pemupukan dasar NPK
tiap 3 bulan.
Pada hamparan tailing kuarsa sampai tanaman berumur 18 bulan, jenis-jenis
yang menunjukkan pertumbuhan cukup bagus adalah trembesi (Samanea
saman), uba (Eugenia garcinaefolia) dan sengon buto (Enterolobium
cyclocarpum)(Gambar 5).
Tahapan penerapan di hamparan overburden adalah sebagai berikut:
Pembuatan lubang tanaman dalam bentuk pot dengan ukuran
50cmx50cmx50cm ;
Pengisian lubang tanam dengan media campuran antara top soil dan bahan
organik masing-masing dengan perbandingan 20 %, kapur 10%, NPK 1% dan
49% tailing kuarsa;
Lubang tanam dibiarkan seminggu agar media dapat beradaptasi ;
Penanaman semai tanaman dengan tinggi 50 cm dengan jarak tanam 3mx2m ;
dan
Pemeliharaan tanaman seperti pembersihan gulma dan pemupukan dasar NPK
tiap 3 bulan. Pada hamparan overburden sampai tanaman berumur 18 bulan,
jenis-jenis yang menunjukkan pertumbuhan cukup bagus adalah E. urophylla ,
uba (Eugenia garcinaefolia) dan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum)
(Gambar 6).
Gambar 5. Tanaman sengon buto (kiri) dan ubak (kanan) di hamparan tailing kuarsa
(umur 5 bulan)
Sintesis 2010-2014
| 13
Gambar 6. E.urophylla umur 5 bulan (kiri) dan umur 15 bulan (kanan) di hamparan
overburden
C. Pemanfaatan mikoriza dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman
Kendala utama yang dihadapi dalam kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang
secara umum adalah rendahnya unsur hara, toksisitas aluminium, fiksasi P yang
tinggi, pH sangat asam, dan rendahnya bahan organik (Santoso et al, 2006). Unsur
Phosphat merupakan salah satu unsur esensial disamping N yang diperlukan dalam
fotosintesis dan perkembangan akar. Salah satu alternatif untuk meningkatkan
efisiensi penyerapan unsur P tersebut adalah dengan menggunakan mikoriza dalam
penyediaan bibitnya. Mikoriza ini berperan dalam penyerapan unsur Phosphor yang
tidak dapat diserap oleh tanaman karena diikat oleh Fe dan Al, melalui bantuan
enzim alkalin fosfat yang dihasilkan oleh Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian mikoriza memberikan
pertumbuhan yang lebih bagus dibandingkan tanpa mikoriza terhadap lima jenis
tanaman di persemaian yaitu: ekaliptus (Eucalyptus urophylla), jabon
(Anthocephalus cadamba), trembesi (Samanea saman), uba (Eugenia garcinaefolia)
dan sengon (Paraserianthes falcataria). Sedangkan hasil uji kompatibiliti
menunjukkan jenis mikoriza Glomus sp. memberikan pertumbuhan relatif bagus
dibandingkan tanpa perlakuan dan maupun dengan mikoriza Gigaspora sp. pada
tanaman jabon (Anthocephalus cadamba) dan balsa (Ochroma bicolor) (Gambar 7).
Sintesis 2010-2014
| 14
Dengan mikoriza
Dengan mikoriza
Tanpa mikoriza
Tanpa mikoriza
Gambar 7. Perlakuan mikoriza pada beberapa jenis bibit tanaman
3.3. Bekas tambang batubara
Teknik penambangan batubara dilakukan dengan teknik penambangan terbuka
(open pit mining) (Darmawan dan Irawan, 2009; Subandrio et al., 2009). Dengan
sistem ini maka terjadi pengupasan bagian yang ada di atas bahan tambang, dan
menghasilkan bahan-bahan bukan batubara dalam jumlah besar dan ditimbun di
tempat lain yang disebut sebagai overburden. Bahan-bahan tersebut terdiri dari
campuran tanah dan bahan induk tanah seperti batuliat (claystone), batu lanau
(siltstone), batu pasir (sandstone) atau tufa volkan, yang memiliki sifat fisik dan
kimia jelek, dan seringkali mengandung nsur-unsur beracun (Balai Penelitian Tanah,
2006) (Gambar 8). Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka akan
mengakibatkan degradasi lingkungan.
Sintesis 2010-2014
| 15
Tanah bekas
tambang
Batuan disposal
(Foto: Adman, 2010)
(Foto: Adman, 2010)
Batuan disposal
Hamparan overburden
(Foto: Pratiwi, 2009)
(Foto: Pratiwi, 2009)
Gambar 8. Tanah dan batuan disposal yang ditemukan di lahan bekas tambang
batubara
Persoalan lain yang muncul di lahan bekas tambang batubara khususnya di
daerah dengan overburden mengandung batuan pirit adalah adanya fenomena air
asam tambang (AMD-Acid Mined Drainage). Jika pirit ini teroksidasi, akan
menghasilkan Fe+3 dan SO4-2. SO4-2 ini bersifat masam dan mengakibatkan pH
menjadi sekitar 3. Akibatnya tanah menjadi masam (pH sekitar 3), dan kelarutan
unsur-unsur logam meningkat (Al, Fe, Mn, dan sebagainya). Kondisi ini akan
beracun bagi tumbuhan.
Dengan demikian secara umum permasalahan areal bekas tambang batubara
adalah bahwa produktivitas lahan sangat rendah, karena aktivitas penambangan tidak
mengikuti susunan tanah seperti semula dan juga di beberapa tempat muncul adanya
air asam tambang. Upaya rehabilitasi dapat dilakukan sepanjang kesuburan tanah
dari lahan bekas tambang tersebut mendukung pertumbuhan tanaman. Manipulasi
sifat fisik, kimia dan biologi tanah sangat diperlukan.
Sintesis 2010-2014
| 16
A. Peningkatan kualitas tanah bekas tambang batubara
Kualitas tanah bekas tambang batubara dapat ditingkatkan dengan
memanfaatkan kompos dan asam humat (di persemaian) dan arang kelapa sawit (di
lapangan).
Pemanfaatan kompos dan asam humat di persemaian dilakukan dengan
mencampurkan kompos dan tanah bekas tambang dengan perbandingan 1:2 dan
pemberian asam humat 100 ml per polibag (ukuran diameter 5 cm dan tinggi 10 cm)
yang menghasilkan pertumbuhan bagus terhadap tanaman Pentace sp. (Widuri,
2011) (Gambar 9).
Kontrol
Kompos + A.Humat
Gambar 9.Pemanfaatan kompos dan asam humat di persemaian Pentace sp.
(Widuri, 2011)
Pemanfaatan arang aktif kelapa sawit pada lubang tanam dilakukan dengan
menambahkan arang kelapa sawit sebanyak 1 sampai 3,5 liter per lubang tanam
berukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm. Dengan dosis ini, tanaman Ficus variegata
menghasilkan pertambahan tinggi, pertambahan diameter, dan kemampuan hidup
tanaman yang lebih baik dibanding kontrol/tanpa pemberian arang hayati kelapa
sawit (Widuri, 2011) (Gambar 10).
Gambar 10. Pemanfaatan kelapa sawit untuk media tanam di lapangan (Foto: Widuri,
2011)
Sintesis 2010-2014
| 17
B. Pemilihan jenis tanaman untuk rehabilitasi lahan bekas tambang batubara
Dalam pemilihan jenis tanaman untuk rehabilitasi lahan bekas tambang batubara
(di PT. Kitadin), pada fase awal seyogyanya menggunakan jenis pioner seperti: waru
gunung (Hibiscus sp.), gmelina (Gmelina arborea), trembesi (Samania saman), johar
(Cassia sp.) dan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum) (Iriansyah et al., 2008)
(Gambar 11). Setelah tanaman pelindung ini bertajuk cukup rindang, yaitu setelah
tanaman berumur sekitar 4 tahun, dimana iklim mikro telah mengalami perbaikan,
maka dapat dilakukan penanaman jenis-jenis Dipterocarpa seperti: Shorea
artinervosa, S. agamii, S. balangeran, Parashorea smythiesii dan Cotylelobium
burkii (Sari et al.,2011). Selanjutnya Sari (2014) menyatakan bahwa jenis-jenis
Dipterocarpaceae lain yang dapat tumbuh bagus di lahan bekas tambang batubara
dengan intensitas cahaya 95 % berturut-turut adalah Dryobalanops lanceolata,
Shorea macrophylla dan S.smithiana (Gambar 12).
Di PT. Jembayan Muarabara (Adman et al., 2011) jenis-jenis mahang
(Macaranga sp.), pulai (Alstonia sp.), laban (Vitex pinnata), nyawai (Ficus
variegata), puspa (Schima wallichi), Ficus sp., medang (Litsea sp.), dao/sengkuang
(Dracontomelon dao), dan salam (Syzygium sp.) yang ditanam di lahan bekas
tambang batubara dapat tumbuh dengan kemampuan hidup di atas 80%. Sedangkan
terap (Arthocarpus dadah) dapat tumbuh dengan kemampuan hidup diatas 75 %.
Jenis-jenis tersebut dapat direkomendasikan sebagai jenis lokal yang dapat
dikembangkan dalam rehabilitasi bekas tambang batubara. Selanjutnya disarankan
bahwa masalah pemadatan tanah perlu diatasi dengan penambahan bahan organik
tanah (pupuk kandang maupun mulsa) secara teratur untuk melindungi tanaman dari
kekeringan.
Gambar 11. Tanaman waru gunung (Hibiscus sp.) sebagai tanaman pioneer di lahan
bekas tambang batubara (Foto: Maming Iriansyah dan Amiril Saridan)
Sintesis 2010-2014
| 18
A
B
C
D
Gambar 12. Jenis-jenis Dipterocarpaceae yang tumbuh bagus dengan intensitas
cahaya 95% (A= Shorea macrophylla; B,D=Dryobalanops lanceolata; C=Shorea
smithiana) (Sumber: Sari, 2014)
Dari hasil yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengembangan tanaman waru gunung, gmelina, trembesi, johar, sengon buto,
terap, johar, nyatoh, mahang, pulai, nyawai, dao, medang, salam, Ficus sp., puspa,
dan laban sebagai tanaman pelindung sangat bermanfaat untuk mereklamasi lahan
bekas tambang batubara. Jika tanaman ini telah berkembang, maka iklim mikro
menjadi lebih baik, sehingga dapat menunjang pertumbuhan jenis-jenis lain yang
akan dikembangkan (Iriansyah et al., 2008; Adman, 2010). Jenis-jenis lain yang
bisa dikembangkan antara lain jenis-jenis Dipterocarpaceae (Sari et al., 2011).
2. Masalah pemadatan tanah perlu diatasi dengan penambahan bahan organik tanah
(pupuk kandang maupun mulsa) secara teratur untuk melindungi tanaman dari
kekeringan.
3. Perusahaan penambangan dalam melakukan praktek penambangan seharusnya
mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam Pedoman Reklamasi Lahan Bekas
Tambang. Penimbunan lahan bekas tambang harus mengikuti susunan tanah
semula. Operator perlu dilatih mengenal tanah lapisan atas (top soil), lapisan
bawah (sub soil) dan lapisan bahan induk. Selama ini tanah hasil pengupasan
(disposal) dicampur dengan bahan induk tanah yang berupa batuan, sehingga
terjadi pemadatan tanah.
Sintesis 2010-2014
| 19
IV. PENUTUP
Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lain seperti untuk
pertambangan, seringkali menyebabkan berbagai masalah seperti: perubahan
lanskap, permukaan tanah, hilangnya lapisan atas tanah serta berubahnya habitat
flora dan fauna. Perubahan ini menyebabkan sistem hidrologi dan kestabilan
landskap berubah. Apabila lahan bekas tambang ini tidak dikelola dengan baik, maka
akan menimbulkan permasalahan lingkungan baik di dalam areal pertambangan (on
site) maupun di luar areal penambangan (off site).
Upaya reklamasi lahan bekas tambang timah perlu dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi yang telah tersedia.
Agar kegiatan reklamasi lahan bekas tambang dilakukan oleh perusahaan
tambang, maka perlu dibuat aturan yang mengatur kegiatan tersebut. Beberapa aturan
yang telah ada seringkali tidak diterapkan oleh perusahaan tambang sehingga hasil
rehabilitasi masih jauh dari yang diharapkan.
Sintesis 2010-2014
| 20
DAFTAR PUSTAKA
Adman, B., A.W. Nugroho, Mujianto. 2010.Pemanfaatan jenis-jenis lokal untuk
rehabilitasi lahan bekas tambang batubara di Kalimantan Timur. Laporan Hasil
Penelitian. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.
Balai Penelitian Tanah, 2006. Bisakah lahan bekas tambang batubara untuk
pengembangan pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Vol.28.No.2.2006.
Barrow, C. J. 1991. Land degradation: Development and breakdown of terrestrial
environments. New York: Cambridge University Press.
Darmawan, A., dan M. A. Irawan. 2009. Reklamasi Lahan Bekas Tambang
Batubara PT Berau Coal, Kaltim. Prosiding Workshop IPTEK Penyelamatan
Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batubara. Balai Besar
Penelitian Dipterokarpa. Samarinda.
Dariah, A., A.Rachman dan U.Kurnia. 2009. Erosi dan Degradasi Lahan Kering di
Indonesia.
http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/buku/
lahankering/berlereng1.pdf. Diakses tanggal 5 Agustus 2012.
Djakamihardja, A.S., dan R.Noviardi. 2009. Rehabilitasi Lahan Paska Tambang
Timah di Kabupaten Bangka Barat: Alternatif Pemanfaatan Sampah Organik.
http://dspace.1pk.lipi.go.id/space/handle/123456789/450. Diakses tanggal 30
Januari 2010.
Dharmawan, I. W. S. 2007. Application of Endomycorrhizal Fungi and Organic
Matter in Tailing Media to Increase Paraserianthes falcataria Seedling
Growth. Journal of Widya Riset LIPI.
Dharmawan, I. W. S. dan Siregar, C. A. 2010. Uji coba jenis-jenis Dalbergia
latifolia, Maesopsis eminii, Podocarpus imbricatus dan Toona sureni pada
areal bekas penambangan emas. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Badan Litbang Kehutanan.
Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Divisi Buku Perguruan Tinggi. PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta. 360 halaman.
Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana Perkasa.
Jakarta. 233 halaman.
Herlina. 2004. Melongok Aktivitas Pertambangan Batu Bara Di Tabalong,
Reklamasi 100 Persen Mustahil. Banjarmasin Post: 24 Maret 2004,
Banjarmasin.
Sintesis 2010-2014
| 21
Meyer, D.R. 1980. Nutritional problems associated with the establishment of
vegetation on tailings from an asbestos mine. Mellanby, K. (Editor).
Environmental Pollution Vol. 23 No. 1. Applied Science Publishers Ltd.
London.
Notohadiprawiro, T. 1981. Pengelolaan DAS dan Program Penghijauan. Jurusan
Ilmu Tanah, Faperta, Universitas Gadjah Mada. 35 p.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. No. 18/2008 mengenai
reklamasi tambang dan penutupan tambang.
Pratiwi, E.Santoso, dan M.Turjaman. 2011. Teknik Rehabilitas Lahan Bekas
Tambang Timah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Konservas dan
Rehabilitasi. Bogor.
Pratiwi, E.Santoso., dan M.Turjaman. 2012. Penentuan dosis bahan ameliorant
untuk perbaikan tanah dari tailing pasir kuarsa sebagai media tumbuh tanaman.
Jurnal Hutan dan Konservasi Alam, in press.
Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Russo, R. O. 1994. Effects of a new humic-algal-vitamin biostimulant (Roots TM)
on vegetative growth of coffee seedlings. Dissertation abstract. Yale
University, School of Forestry and Environmental Studies. New Haven,
Connecticut.
Santoso, E., M.Turjaman dan R.S.B.Irianto. 2006. Aplikas mikoriza untuk
meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Prosiding
Ekspose Hasil-hasil Penelitian, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Sari, N., R.Handayani., S.Soegiharto., dan R.Felani. 2011. Teknologi Rehabilitasi
dan Restorasi Lahan Bekas Tambang Batubara. Laporan Tahunan. Pusat
Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.
Sari, N. 2014. Teknologi Rehabilitasi dan Restorasi Lahan Bekas Tambang
Batubara. Sintesis Hasil Penelitian.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Subandrio, A., Sukarman dan R. T. Tambunan. Pelaksanaan Reklamasi di PT Adaro
Indonesia. Prosiding Workshop IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui
Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batubara. Balai Besar Penelitian
Dipterokarpa. Samarinda.
UU No.7 Tahun 2004. Tentang Sumberdaya Air.
Sintesis 2010-2014
| 22
Wardoyo, W. 2007. Perlunya Penyamaan Persepsi dan Peningkatan Komitmen
dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Keynote Speech pada
Lokakarya Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan
Infrastuktur Data., F-MIPA – IPB dan CIFOR, 5 September 2007.
Widianto, R. 1996. Membuat stek, cangkok dan okulasi. P. T. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Wong, M. H. and F. Y. Tam. 1977. Soil and vegetation contamination by iron-ore
tailings. Mellanby, K. (Editor). Environmental Pollution Vol. 14 No. 1.
Applied Science Publishers Ltd. London.
Yani, M. 2005. Reklamasi lahan bekas tambang dengan penanaman jarak pagar.
Seminar Nasional Pengembangan JarakPagar (Jatropha curcas Linn) Untuk
Biodiesel dan Minyak Bakar, Bogor, 22 Desember 2005. Institut Pertanian
Bogor.
Sintesis 2010-2014
| 23
BUKU II
PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR
PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
(ASPEK: KESESUAIAN TEMPAT TUMBUH JENIS-JENIS
POHON PADA UNIT DAS)
PENYUSUN:
PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc.
BUDI HADI NARENDRA, S.Hut, M.Sc.
DR. I WAYAN SUSI DHARMAWAN, M.Si.
MANJELA EKO HARTOYO, G.S.Si
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN
REHABILITASI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
KEMENTERIAN KEHUTANAN
BOGOR 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .........................................................................................................
i
DAFTAR TABEL .................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
v
I.
PENDAHULUAN .................................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...............................................................................................
1
1.2. Tujuan ...........................................................................................................
1
1.3. Luaran ...........................................................................................................
1
II.
KEBIJAKAN
PENENTUAN
JENIS
POHON
DALAM
2
REHABILITASI LAHAN .....................................................................................
2.1. Identifikasi regulasi yang ada ..........................................................................
2
2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ...............................
2
2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan ...................................................
3
III. KESESUAIAN JENIS POHON PADA UNIT DAS ..............................................
4
3.1. DAS di Jawa Tengah ......................................................................................
5
3.2. DAS di Jawa Timur ........................................................................................
8
3.3. DAS di Jawa Barat .........................................................................................
14
IV. PENUTUP ............................................................................................................
19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
20
i
DAFTAR TABEL
Tabel
Hal.
1.
Kodefikasi jenis pohon untuk analisis kesesuaian tempat tumbuh ..........................
8
2.
Kode kesesuaian tempat tumbuh di DAS Citanduy ................................................
15
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Hal.
1.
Diagram alir analisis kesesuaian jenis tanaman ......................................................
4
2.
Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Bodri ...............................
5
3.
Legenda Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Bodri .................
5
4.
Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Juwana ............................
6
5.
Legenda Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Juwana .............
6
6.
Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Comal .............................
7
7.
Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Balong .............................
7
8.
Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Lesti ................................
10
9.
Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Marmoyo ............................
11
10.
Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Konto ..................................
12
11.
Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Widas .................................
13
12.
Peta kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Citanduy ......................
14
v
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Adanya penggunaan lahan dalam DAS yang melebihi daya dukungnya seringkali
menimbulkan berbagai masalah, seperti munculnya lahan-lahan kritis dalam DAS
tersebut. Upaya rehabilitasi lahan kritis sudah banyak dilakukan di Indonesia namun
hasilnya belum optimal, seperti pada pelaksanaan tahun 2003 yang menunjukkan
persentase keberhasilan tanaman secara nasional berdasarkan penilaian lembaga penilai
independen (LPI) sebesar 59,58% (Departemen Kehutanan, 2007). Banyak faktor yang
menyebabkan kegagalan rehabilitasi lahan kritis, salah satunya disebabkan oleh
karakteristik tanaman yang tidak sesuai dengan kondisi lahan. Oleh karena itu perlu
dilakukan pemilihan jenis pohon sebelum melakukan rehabilitasi di daerah tersebut.
Keputusan untuk menentukan suatu jenis yang akan dikembangkan tergantung pada
tiga prinsip utama, yaitu : tujuan penanaman, kemampuan jenis yang akan
dikembangkan dan persyaratan tempat tumbuhnya. Menurut Pratiwi (2003), rehabilitasi
lahan dapat diawali dengan penutupan lahan dengan tanaman yang disesuaikan dengan
kondisi lokal areal tersebut dan tujuan penanamannya. Tujuan penanaman ada berbagai
macam, seperti : 1) untuk konservasi tanah, air dan lingkungan secara umum, 2) sebagai
penghasil kayu dan non kayu atau produk lain dan 3) berkaitan dengan fungsi sosial
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dengan demikian tahapan penting dalam
awal rehabilitasi lahan adalah pemilihan jenis tumbuhan yang akan dikembangkan,
dimana hal ini akan sangat menentukan sistem silvikultur yang akan diterapkan dan juga
penggunaan serta pengelolaan tanaman tersebut.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini untuk memperoleh data dan informasi tentang jenis-jenis
pohon yang sesuai pada lahan-lahan kritis pada Suatu DAS yang dituangkan dalam peta
kesesuaian tempat tumbuh jenis pohon dengan pendekatan berdasarkan kondisi fisik
lahan kritis tersebut.
1.3. Luaran
Luaran penelitian ini berupa peta kesesuaian jenis pohon yang dapat dijadikan
pertimbangan dalam penentuan jenis yang akan dipilih pada kegiatan rehabilitasi lahan
kritis dalam suatu DAS
Sintesis 2010-2014
|1
II. KEBIJAKAN PENENTUAN JENIS POHON DALAM
REHABILITASI LAHAN
2.1. Identifikasi regulasi yang ada
 Peraturan Pemerintah RI No.76 TAHUN 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi
Hutan
Dalam peraturan ini, untuk menyelenggarakan rehabilitasi dan reklamasi hutan perlu
ditetapkan pola umum, kriteria, dan standar rehabilitasi dan reklamasi hutan. Salah
satu aspek dalam kriteria dan standar rehabilitasi hutan adalah aspek teknologi
meliputi penerapan teknologi yang ditentukan oleh kesesuaian lahan atau tapak
setempat, tingkat partisipasi masyarakat, dan penyediaan input yang cukup.
Pengaturan kesesuaian jenis tanaman yang dipilih hanya bersifat umum misalnya
dalan rehabilitasi hutan pada hutan konservasi harus memilih jenis tumbuhan asli
setempat dan sesuai keadaan habitat setempat.
 Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman teknis
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Dalam peraturan ini telah disebutkan bahwa pemilihan jenis tanaman untuk
rehabilitasi harus sesuai dengan rancangan yang telah disusun dan didasarkan pada
minat masyarakat, kesesuaian agroklimat serta permintaan pasar. Namun kesesuaian
ini lebih banyak menekankan pada kesesuaian peran pohon yang dipilih seperti
memiliki daur panjang, perakaran dalam, evapotranspirasi rendah, atau sesuai
sebagai penghasil kayu/getah/ kulit/buah.
 Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor P. 32/MENHUT-II/2009 tentang Tata cara
penyusunan rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan daerah aliran sungai
(RTkRHL-DAS)
Dalam keputusan ini, langkah-langkah yang diperlukan dalam Penyusunan
RTkRHL-DAS antara lain pengumpulan dan penyusunan data dan pemetaan
termasuk di dalamnya memetakan kesesuaian jenis tanaman (Zonasi tanaman).
2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi
Beberapa regulasi telah menyebutkan pentingnya pemilihan jenis tanaman yang
sesuai untuk kegiatan rehabilitasi. Namun demikian pedoman pemilihan kesesuaian
jenis tanaman belum tersedia sehingga melalui hasil penelitian ini dapat dikembangkan
suatu pedoman pemilihan jenis tanaman yang akan memudahkan pihak pengambil
keputusan dalam merencanakan jenis tanaman rehabilitasi sesuai kondisi lahannya.
Melalui penentuan jenis yang tepat, keberhasilan kegiatan rehabilitasi yang antara lain
ditunjukkan oleh kemampuan hidup tanaman akan meningkat.
Penelitian metode kesesuaian jenis tanaman ini masih harus terus dikembangkan
mengingat hanya sebagian kecil jenis tanaman hutan yang telah diketahui persyaratan
Sintesis 2010-2014
|2
tumbuhnya. Dengan mengetahui persyaratan tumbuh untuk tiap jenis tanaman hutan,
akan memudahkan dalam analisis kesesuaian dan hasilnya akan lebih akurat.
2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan
Permasalahan yang masih sering dijumpai di lapangan adalah pemilihan jenis yang
digunakan dalam kegiatan rehabilitasi meskipun telah sesuai dengan kondisi lahan,
namun belum tentu membawa keberhasilan kegiatan rehabilitasi tersebut. Hal ini antara
lain dikarenakan jenis tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau tidak
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Faktor lain adalah
ketersediaan benih atau bibit yang berkualitas sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu penentuan kesesuaian jenis hendaknya diikuti oleh
sosialisasi atau survey tentang kondisi masyarakat, dan didukung oleh penyediaan bibit
berkualitas.
Sintesis 2010-2014
|3
III. PETA KESESUAIAN JENIS POHON PADA UNIT DAS
Peta kesesuaian jenis pohon dihasilkan dari analisis spasial yang dilakukan dengan
teknik matching antara persyaratan tumbuh tiap jenis pohon dengan data karakteristik
tanah, curah hujan dan ketinggian tempat. Diagram alir metode penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 1.
Syarat
tumbuh
tanaman
Parameter
tanah
Peta sistem
lahan
Parameter
elevasi
Digital
elevation
model
Parameter
curah hujan
Survey lahan
Analisis
tanah
Pengolahan
data (input dan
matching)
Karakteristik
tanah
Curah
hujan
tahunan
Klasifikasi
Interpolasi
Klasifikasi
Kesesuaian
jenis tanaman
berdasarkan
karakteristik
tanah
Peta tingkat
kekritisan
lahan
Kesesuaian jenis
tanaman berdasarkan
curah hujan
Kesesuaian
jenis tanaman
berdasarkan
elevasi
Overlay
Peta batas
administrasi
kecamatan
Kesesuaian jenis tanaman
pada tiap tingkat
kekritisan lahan di tiap
kecamatan
Gambar 1. Diagram alir analisis kesesuaian jenis tanaman
Dalam kajian ini peta yang dihasilkan adalah Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh
untuk Jenis-jenis Pohon di DAS Kritis. Penuangan informasi ke dalam peta dilakukan
berdasarkan pada persyaratan tempat tumbuh bagi suatu jenis pohon berdasarkan
topografi, jenis tanah dan tipe iklim (curah hujan).
Sintesis 2010-2014
|4
3.1. DAS di Jawa Tengah
Penentuan kesesuaian jenis pohon di Jawa Tengah dilakukan pada DAS-DAS
utama yang tingkat kekritisannya tinggi, yaitu DAS Bodri, Juwana, Comal, dan Balong.
Hasil analisisnya masing-masing disajikan pada peta beserta legendanya.
Gambar 2. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Bodri
Gambar 3. Legenda Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Bodri
Sintesis 2010-2014
|5
Gambar 4. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Juwana
Gambar 5. Legenda Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Juwana
Sintesis 2010-2014
|6
Gambar 6. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Comal
Gambar 7. Kesesuaian tempat tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Balong
Sintesis 2010-2014
|7
3.2. DAS di Jawa Timur
Berbeda dengan di Jawa Tengah, analisis kesesuaian di Jawa Timur
dilakukan pada satu DAS Besar yaitu DAS Brantas. DAS ini memiliki 15 Sub
DAS dan fokus kajian dilakukan pada sub DAS yang dikategorikan kritis dan
sangat kritis yaitu Sub DAS Lesti, Marmoyo, Konto, dan Widas. Keempat Sub
DAS ini yang merupakan daerah kritis di DAS Brantas mengalirkan airnya ke
sungai utama yaitu Sungai Brantas.
Jenis pohon yang dianalisis mencapai 60 jenis sehingga diperlukan
pengkodean tiap jenis vegetasi guna memudahkan proses querying. Kode untuk
tiap jenis vegetasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kodefikasi jenis pohon untuk analisis kesesuaian tempat tumbuh
No
1
Kode
A1
2
A2
3
A3
4
B1
5
B2
6
B3
7
B4
8
B5
9
B6
10
C1
11
C2
12
C3
13
D1
14
D2
15
F1
16
G1
17
J1
Sintesis 2010-2014
Nama jenis
Alpukat
(Persea Americana)
Aren
(Arenga pinnata)
Asam
(Tamarindus indica)
Balsa
(Ochroma bicolor)
Bambu
(Bambusa bambos)
Bayur
(Pterospermum javanicum)
Benuang laki
(Duabanga moluccana)
Bungur
(Lagerstroemia speciosa)
Benuang bini
(Octomeles sumatrana)
Cemara gunung
(Casuarina junghuniana)
Cengkeh
(Eugenia aromatic)
Cermai
(Phyllanthus acidus)
Dadap
(Erythrina variegata)
Durian
(Durio zibenthinus)
Flamboyan
(Delonix regia)
Gamal
(Gliricidia sepium)
Jabon
(Anthocephalus chinensis)
|8
No
31
Kode
K11
32
L1
33
L2
34
L3
35
M1
36
M2
37
M3
38
M4
39
M5
40
M6
41
N1
42
N2
43
N3
44
P1
45
P2
46
P3
47
P4
Nama jenis
Kiacret
(Spathodea campanulata)
Lamtoro
(Leucaena leucocephala)
Lamtoro merah
(Acacia vilosa)
Lengkeng
(Dimocarpus longan)
Mahoni
(Swietenia macrophylla)
Mangga
(Mangifera indica)
Medang
(Litsea firma Hook)
Melur
(Podocarpus sp.)
Merbau
(Intsia palembanica)
Mindi
(Melia azedarach)
Nangka
(Artocarpus heterophyllus)
Nyatoh
(Palaquium sp.)
Nyawai
(Ficus variegata)
Pasang
(Lithocarpus sp.)
Pinus
(Pinus merkusii )
Pulai
(Alstonia scholaris)
Pasang2
(Quercus sp.)
No
18
Kode
J2
19
J3
20
J4
21
K1
22
K2
23
K3
24
K4
25
K5
26
K6
27
K7
28
K8
29
K9
30
K10
Nama jenis
Jati
(Tectona grandis)
Jati putih
(Gmelina arborea)
Johar
(Cassia siamea)
Kaliandra
(Callyandra calothyrsus)
Kapuk randu
(Ceiba petandra)
Kayu manis
(Cinnamomum burmanii)
Kecapi
(Sandoricum koetjape)
Kemiri
(Aleurites moluccana)
Kenari
(Canarium vulgare)
Keruing
(Dipterocarpus hasseltii)
Kesambi
(Schleicera oleosa)
Ketapang
(Terminalia catappa)
Khaya
(Khaya anthotheca)
No
48
Kode
S1
49
S2
50
S3
51
S4
52
S5
53
S6
54
S7
55
T1
56
T2
57
T3
58
T4
59
W1
60
W2
Nama jenis
Secang
(Caesalpinia sappan)
Sengon
(Paraserianthes falcataria)
Sengon buto
(Enterolobium cyclocarpum)
Sindur
(Sindora javanica)
Sonokeling
(Dalbergia latifolia)
Sukun
(Artocarpus altilis)
Suren
(Toona sureni)
Terap
(Artocarpus elasticus)
Tekik
(Albizia lebbeck)
Terentang
(Campnosperma coriaceum)
Trembesi
(Samanea saman)
Waru
(Hibiscus tiliaceus)
Waru gunung
(Hibiscus similis)
Sintesis 2010-2014
|9
Gambar 8. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Lesti
Sintesis 2010-2014
| 10
Gambar 9. Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Marmoyo
Sintesis 2010-2014
| 11
Gambar 10. Kesesuaian tempat tumbuh jJenis-jenis pohon di DAS Konto
Sintesis 2010-2014
| 12
Gambar 11. Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Widas
Sintesis 2010-2014
| 13
3.3. DAS di Jawa Barat
Analisis kesesuaian jenis pohon di Jawa Barat dilakukan pada unit DAS yang
merupakan DAS prioritas untuk direhabilitasi. Hasil analisis menghasilkan unitunit lahan yang memiliki beragam kombinasi jenis tanaman yang sesuai. Ada unit
lahan yang hanya sesuai untuk satu atau dua jenis pohon, namun ada juga unit
lahan yang sesuai untuk 36 jenis pohon. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi
lahan yang terdiri faktor tanah, curah hujan, dan ketinggian tempatnya. Jika pada
suatu unit lahan ketiga faktor tersebut berada pada kisaran yang baik bagi tanaman
maka akan lebih banyak jenis tanaman yang sesuai untuk tumbuh di unit lahan
tersebut. Sebaliknya pada kondisi-kondisi yang ekstrim, jenis tanaman yang
sesuai akan terbatas.
Gambar 12. Peta kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Citanduy
Sintesis 2010-2014
| 14
Peta tersebut berisi kode-kode unit lahan dimana tiap kode kesesuaian berisi
informasi kombinasi jenis-jenis pohon yang sesuai. Tiap jenis pohon dilambangkan
dengan kode sesuai pada Tabel 1. Informasi luasan tiap unit lahan dan jenis pohon yang
sesuai dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kode kesesuaian tempat tumbuh di DAS Citanduy
Kode
Kesesuaian
1
2
3
4
5
7
8
9
10
14
15
16
17
22
23
25
26
27
28
29
Luas
( Ha)
Kode Jenis Pohon
B1 B2 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M1M3 M5 N1 N2 N3
P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3
B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1
P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3
B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S1 S2 T1
B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S2 T1
B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K3 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2
N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3
B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S1
S2 T1
B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S2
T1
B1 B2 B3 C1C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M1M3 M5 N1 N2
N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3
B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1
P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3
A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S2
T1
A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1
P2 P3 S2 S5 S6 T1 T3
A1 B1 B2 F1G1J1 J3 K1 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1
P2 P3 S2 S5 T1T3
A1 B1 B2 F1G1J1 J3 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S2 T1
A1 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K2K11 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2
N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3
A1 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K5 K7 K8 K9 K10 M1
M3 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3
A1 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K5 K8 K9 K10 M1 M3 M5
N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3
A1 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K8 K9 K10 M1 M3 M5 N1
N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3
A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1
N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3
A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5
N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3
A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5
511.43
11,101.46
12.00
2.45
147.99
2.07
1.28
7.26
375.70
10,067.54
6.08
1,219.01
3,296.41
26.10
1.39
409.93
459.66
11,976.61
11,127.46
Sintesis 2010-2014
5.96
| 15
Kode
Kesesuaian
30
33
34
35
37
38
39
40
41
42
43
44
45
47
48
49
50
52
53
54
55
56
57
Kode Jenis Pohon
N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3
A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K7 K9 K10 M1 M3 M4 M5
N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3
A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2
N3 P1 P3 S2 T1
A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3
P1 P3 S1 S2 T1
A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3
P1 P3 S2 T1
A1 B1 B2 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K5 K8 K9 K10 M1 M3 M5 N1
N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3
A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K1 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3
P1 P2 P3 S2 S5 S6 T1 T3
A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K1 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3
P1 P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3
A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1
P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3
A1 B2 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K6 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1
A1 B2 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K6 K7 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1
A1 B2 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1
A1 B2 G1 J1 J2 J3 K2K11 K5 K6 K7 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1
B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K3 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1
N2 N3 P1
B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K5 K8 K9 K10 K11 M1 M3 M5
N1 N2 N3 P1
B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K8 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4
M5 N1 N2 N3 P1
B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K8 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M5
N1 N2 N3 P1
B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K8 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1
N2 N3 P1
B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5
N1 N2 N3 P1
B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2
N3 P1
B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1
B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4
M5 N1 N2 N3 P1
B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M5
N1 N2 N3 P1
B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1
N2 N3 P1
Sintesis 2010-2014
| 16
Luas
( Ha)
5,416.92
3,552.49
5,688.06
463.72
1.35
4,081.62
43.59
4,809.44
4,008.71
1,894.18
2,818.15
111.77
141.65
58.39
12.67
118.80
1,278.33
10,006.07
11,929.62
51,397.42
1,801.97
1,320.76
7,229.12
Kode
Kesesuaian
59
61
62
63
64
65
66
67
68
71
72
73
74
75
76
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
92
Luas
( Ha)
Kode Jenis Pohon
B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1
B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1 N2
N3 P1
B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1
B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1 N2 N3
P1
B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1
B1 B2 B3 F1 G1 J1 K2 K3 K6 K7 K10 M4 M5 N1 N2 N3
B1 B2 B3 F1 G1 J1 K2 K3 K6 K7 K10 M5 N1 N2 N3
B1 B2 B3 F1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1
B1 B2 B3 F1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1
B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N2 N3 P1
B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K7 K9 K10 K11 M5 N1 N2 N3
B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K7 K9 K10 K11 M5 N1 N2 N3 P1
B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K7 K10 M1 M5 N1 N2 N3 P1
B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M1 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3
S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3
B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M1 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3
S2 S5 S7 S6 T1 T3
B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1
S2 S5 S7 S6 T1 T3
B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2
S5 S7 S6 T1 T3
B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P2 P3 S1 S2
S5 S7 S6 T1 T3
B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P2P3 S2 S5 S7
S6 T1 T3
B1 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3
S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3
B1 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P2 P3 S1
S2S3S5 S7 S6 T1 T3
B1 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M1 M5 N1 N2 N3 P1 P2
P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3
B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K1 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2
N3 P1
B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1
B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2 N3
P1
B1 B3 F1 G1 J1 J3 J4 K2 K1 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2 N3
P1
B1 B3 F1 G1 J1 J3 J4 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1
B2 F1 G1 K1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N3 P1 S2 S5 T1
108.79
22.24
18.20
14,091.51
4,696.07
595.85
3,000.93
36.98
916.70
6,811.80
832.83
3,850.62
7.41
4,056.05
1,115.86
8,092.92
2,581.83
1,846.70
974.69
335.46
36.24
366.96
607.48
20,798.37
931.48
74.82
2,271.19
503.22
Sintesis 2010-2014| 17
Kode
Kesesuaian
93
94
95
96
97
98
99
100
101
103
104
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
118
121
124
125
126
127
128
129
131
132
134
135
136
137
139
140
142
146
147
148
Kode Jenis Pohon
B2 F1 G1 K1 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 S2 S5 T1 T3
B2 F1 G1 K1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N2 N3 P1 S2 S5 T1 T3
B2 F1 G1 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 S2 T1
B2 F1 G1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N2 N3 P1 S2 T1
B2 F1 G1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N3 P1 S2 T1
B2 F1 K2 M1 M4 M5 P1 S2 T1
B2 F1 K2 M1 M4 M5 P1 T1
B2 F1 M1 M4 M5 P1 T1
B2 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1
B2 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K7 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1
B2 M1 M4 M5 P1
B3 F1 G1 K2 K1 K10 M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1
B3 F1 G1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N2 N3 P1
B3 F1 G1 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1
B3 F1 G1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N3 P1
B3 F1 K2 M1 M4 M5 P1
B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1
B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K5 K6 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1
B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K6 K10 M1 M5 N1 N3 P1
B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K6 K7 K10 M1 M5 N1 N3 P1
B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K6 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1
B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K6 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1
B3 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1
B3 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1
C1 G1 M1
C1C2 G1 M1
C2 G1
C2 G1 M1
G1
G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M5 N1 N3
G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1
G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M5 N1 N3 P1
G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1
G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K9 K10 K11 M5 N1 N3
G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K9 K10 K11 M5 N1 N3 P1
G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1
G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K7 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1
G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P3 S2 S5 S6 T1
G1 M1
J1 J2 J3 K5 K6 K9 M5 N1 N3
J1 J2 J3 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P3 S2 S5 S6 T1
M1 M4 M5 P1
Sintesis 2010-2014
| 18
Luas
( Ha)
1,950.98
719.20
4,800.49
1,606.94
2,358.14
757.44
959.57
324.51
2,510.71
57.52
93.31
6.64
501.71
1,886.97
245.12
4.25
74.30
173.15
116.73
1,155.70
5.83
26.01
370.81
701.57
10,236.58
214.57
1,277.19
1,660.22
7,518.09
20,562.34
1,234.34
8,164.74
1,302.14
4,833.12
4,494.89
746.80
83.71
93.82
15,521.79
1.02
2.38
1.56
IV. PENUTUP
Peta hasil analisis kesesuaian tempat tumbuh dapat disajikan secara utuh untuk satu
DAS maupun secara terpisah untuk tiap sub DAS sesuai dengan kebutuhan atau
prioritas penanganan lahan kritis dalam suatu DAS. Peta kesesuaian ini diharapkan
dapat memberi arahan kepada pengelola hutan di lapangan. Dengan demikian
pemanfaatan sumber daya alam dalam DAS tersebut dapat dilaksanakan secara optimal.
Setiap jenis pohon, mempunyai persyaratan tempat tumbuh yang spesifik, dan hal
tersebut dicerminkan dari kondisi lingkungan dimana jenis pohon tersebut berada. Oleh
karena itu pengetahuan dan informasi mengenai kesesuaian tempat tumbuh bagi jenisjenis pohon yang akan dikembangkan sangat berarti dalam pengembangan jenis-jenis
pohon tersebut, terutama dalam menunjang program rehabilitasi hutan dan lahan. Jika
informasi ini telah diketahui, maka keberhasilan program rehabilitasi hutan dan lahan
secara teknis diharapkan dapat berhasil.
Sintesis 2010-2014| 19
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan. (2007). Resume data informasi rehabilitasi hutan dan lahan
Tahun 2007. Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Departemen
Kehutanan. http://www.dephut.go.id/uploads/files/Resume %20Data%20Informasi%20RHL_2007.pdf. Diakses 28 April 2014.
Direktorat Jenderal Planologi. (2010). Data spasial DAS. Kementerian Kehutanan,
Jakarta.
Pratiwi. (2003). Rehabilitasi lahan dan hutan dengan pendekatan partisipatif. Buletin
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Vol.4. No.2, 2003,99-109.
PROSEA. 1994. (1) Timber trees: Major commercial timbers. I. Soerianegara and
R.H.M.J. Lemmens (Eds.). Plant resources of South-East Asia No 5 (1).
PROSEA. 1994. (2) Timber trees: Minor commercial timbers. I. Soerianegara and
R.H.M.J. Lemmens (Eds.). Plant resources of South-East Asia No 5 (1).
PROSEA. 1994. (3) Timber trees: Lesser-known timbers. I. Soerianegara and R.H.M.J.
Lemmens (Eds.). Plant resources of South-East Asia No 5 (1).
Sintesis 2010-2014
| 20
BUKU III
PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR
PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN
SUNGAI
(ASPEK: MODELLING TATA GUNA LAHAN UNTUK
OPTIMALISASI TATA AIR)
PENYUSUN:
DR. I WAYAN SUSI DHARMAWAN, M.Si.
PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc.
DRS. UGRO HARI MURTIONO, M.Si.
DR. AGUNG BUDI SUPANGAT, M.Si.
IR. PURWANTO BUDI SANTOSO, M.Si.
DRS. RAHARDYAN ADI, M.Si.
IR. LA ODE ASIR, M.Si.
BUDI HADI NARENDRA, S.Hut, M.Sc.
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
KEMENTERIAN KEHUTANAN
BOGOR 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ................................................................................................. iii
I.
PENDAHULUAN ................................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................................
1
1.2. Tujuan dan Sasaran .......................................................................................
2
1.3. Luaran ...........................................................................................................
2
II.
KEBIJAKAN TERKAIT TATA AIR ...................................................................
4
2.1. Identifikasi regulasi yang ada .........................................................................
4
2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ...............................
5
2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan ..................................................
6
III. TATA
GUNA
LAHAN
DAN
PEMILIHAN
JENIS
DALAM
10
MENDUKUNG OPTIMALISASI FUNGSI TATA AIR .......................................
3.1. Tata Guna Lahan Dalam Mendukung Optimalisasi Tata Air ..........................
10
3.2. Pemilihan Jenis Dalam Mendukung Optimalisasi Tata Air .............................
15
IV. PENUTUP ............................................................................................................
22
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
23
i
DAFTAR TABEL
Tabel
Hal.
1.
Proporsi Grid berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Model Baseline di
10
DAS Cisadane bagian hulu ...............................................................................
2.
Perubahan Persentase Penutupan Lahan di DAS Cisadane bagian hulu .............
10
3.
Rekapitulasi Output Simulasi Skenario Model Sub DAS Cisadane Hulu ...........
11
4.
Proporsi Grid berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Model Baseline di
11
DAS Cisadane bagian tengah ............................................................................
5.
Perubahan Persentase Penutupan Lahan di DAS Cisadane bagian tengah
12
..........................................................................................................................
6.
Rekapitulasi Output Simulasi Skenario Model Sub DAS Cisadane
12
Bagian Tengah ..................................................................................................
7.
Analisis Sensitivitas Model di DAS Cisadane bagian tengah .............................
13
8.
Limpasan Permukaan (m3/ha) dan Erosi pada masing-masing plot
13
penelitian pada setiap kemiringan lereng ...........................................................
9.
Lolosan tajuk (througfall), aliran batang (stemflow) dan intersepsi hujan
17
pada masing-masing umur tanaman E. pellita di Riau .......................................
10. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman kayu putih terhadap 22 erosi dan
neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten 18
Gunung Kidul, DIY ..........................................................................................
11. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman sengon terhadap erosi dan neraca
air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Wonosobo, 18
Jawa Tengah .....................................................................................................
12. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman akasia terhadap erosi dan neraca
air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Wonogiri, 18
Jawa Tengah .....................................................................................................
13. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman mahoni terhadap erosi dan neraca 19
air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Ngawi, Jawa
Timur ...............................................................................................................
14. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman nyamplung terhadap erosi dan
neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten 19
Karanganyar, Jawa Tengah ...............................................................................
15. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman eukaliptus terhadap erosi dan
19
neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 ............................................
iii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Berbagai jenis pola penggunaan lahan secara langsung berpengaruh terhadap
karakteristik tanah dan tata air pada suatu bentang lahan tertentu (specific
landscape). Pada saat ini banyak dilakukan revisi tata ruang yang mengakibatkan
berubahnya tata guna lahan tidak sesuai dengan kemampuan lahan itu sendiri,
akibatnya kualitas tanah dan tata air menjadi turun. Selain itu, dampak dari adanya
perubahan iklim adalah terjadinya amplitudo debit air pada musim kering dan
musim penghujan yang sangat besar. Meskipun sampai saat ini belum diketahui
secara pasti apakah disebabkan oleh perubahan iklim atau tidak. Banyak kajian dan
studi yang menyatakan bahwa adanya pola penggunaan lahan yang berbeda
menyebabkan perubahan pola tata air. Untuk itu, diperlukan suatu penelitian dan
analisis mendalam tentang seberapa besar pengaruh perubahan lahan memberikan
tata air yang optimal.
Perubahan tata guna lahan akan mempengaruhi kelestarian DAS sehingga terjadi
perubahan terhadap keseimbangan tata air pada suatu unit lahan dengan
mempertimbangkan tingkat debit dan sedimentasi (Asdak, 2005). Untuk
mengurangi terjadinya erosi, sedimentasi dan banjir, optimasi pengelolaan lahan
merupakan hal yang sangat penting dalam prinsip konservasi yang diaplikasikan
untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan berkelanjutan.
Pengelolaan DAS adalah suatu usaha untuk mengatur sumberdaya alam utama
yaitu tanah dan air. Suatu pengelolaan DAS yang baik untuk penggunaan tanah dan
air seharusnya memperhitungkan prinsip konservasi untuk mencapai hasil yang
optimum. Pengelolaan DAS yang tidak tepat akan mengakibatkan banjir di musim
hujan dan kekeringan di musim kemarau. Tata guna lahan termasuk jenis dan
kerapatan tanaman merupakan komponen utama yang mempengaruhi kapasitas
tanah untuk menyerap air (Budi Indra, 1999). Kerapatan tanaman adalah hal yang
lebih penting dibandingkan jenis tanaman, dimana telah terbukti dengan
menurunnya laju dan kapasitas infiltrasi pada unit lahan yang mempunyai kerapatan
vegetasi rendah (Budi Indra, 1999).
Proses hidrologi menggambarkan suatu rantai fenomena alam yang
menghubungkan erosi, sedimentasi dan limpasan. Bagian dari siklus hidrologi yang
disebut hujan, kondisi tanah dan vegetasi mempunyai peranan penting dalam proses
erosi, sedimentasi dan limpasan. Erosi adalah peristiwa pindahnya tanah dari suatu
tempat ke tempat lain dengan media alam (Budi Indra, 1999; Arsyad, 2000).
Menurut Frevert et al. (1963), erosi tanah didefinisikan sebagai kehilangan tanah
lebih cepat dari proses erosi geologi. Menurut Baver et all. (1972) terjadinya erosi
tanah tergantung dari beberapa faktor yaitu karakteristik hujan, kemiringan lereng,
tanaman penutup dan kemampuan tanah untuk menyerap dan melepas air ke dalam
Sintesis 2010-2014| 1
lapisan tanah dangkal. Dampak dari erosi tanah dapat diklasifikasikan dalam dua
kategori : 1) menurunnya produktifitas lahan seiring dengan kehilangan lapisan
tanah bagian atas yang subur, dan 2) terjadi sedimentasi di sungai yang
menyebabkan kerusakan saluran dan berkurangnya kapasitas tampungan.
Kajian terkait erosi, limpasan permukaan dan evapotranspirasi dikaitkan dengan
neraca air sangatlah penting dilakukan untuk memperoleh hasil yang komprehensif.
Informasi ilmiah yang berkaitan dengan pengaruh beberapa jenis tegakan terhadap
hasil air (water yield) suatu kawasan belum merupakan faktor pendukung dalam
penentuan jenis tegakan hutan (pemilihan spesies) yang akan ditanam di kawasan
yang akan direboisasi. Lebih detil lagi, informasi tentang nilai evapotranspirasi dan
hasil air dari berbagai jenis tegakan hutan yang merupakan jenis tanaman prioritas
belum semuanya tersaji, baik pada tingkat tapak (site) maupun lingkungan
ekologinya. Aspek ekologis yang dimaksud adalah pengaruh dari jenis tegakan
tertentu terhadap tata air dalam suatu kawasan. Hal tersebut dimaksudkan untuk
mengetahui seberapa besar kebutuhan air yang diperlukan oleh jenis tanaman
tertentu untuk pertumbuhannya.
Kajian terkait tata air dan neraca air secara komprehensif sangat bermanfaat bagi
penentu kebijakan, khususnya dibidang kehutanan, yaitu dalam rangka menunjang
program pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (sustainable forest
management) serta penyediaan kebutuhan air bagi masyarakat sekitar
lokasi/kawasan pengembangan jenis tanaman tertentu.
1.2. Tujuan dan sasaran
Tujuan penulisan sintesa yang terkait dengan aspek tata air adalah:
a) Mengetahui pola-pola pengelolaan lahan yang dapat memberikan tata air optimal.
b) Mengetahui pengaruh beberapa jenis tegakan tanaman (kayu putih, eukaliptus,
akasia, sengon, mahoni dan nyamplung) terhadap hasil air (water yield)
Sasaran penulisan sintesa ini adalah :
a) Tersedianya informasi pola-pola pengelolaan lahan yang dapat memberikan tata
air optimal terhadap para pihak pengelola lahan hutan, agroforestry, pertanian dan
perkebunan.
b) Tersedianya data erosi, limpasan, evapotranspirasi dan neraca air pada suatu areal
yang ditanami jenis-jenis kayu putih, eukaliptus, akasia, sengon, mahoni dan
nyamplung.
1.3. Luaran
Luaran kegiatan ini adalah :
a) Pembangunan model pola tata guna lahan terhadap tata air yang optimal pada
DAS Cisadane.
Sintesis 2010-2014 | 2
b) Data dan informasi erosi, limpasan, evapotranspirasi dan neraca air pada suatu
areal yang ditanami jenis-jenis kayu putih, eukaliptus, akasia, sengon, mahoni dan
nyamplung.
Sintesis 2010-2014
|3
II. KEBIJAKAN TERKAIT TATA AIR
Pengelolaan lahan dan pemilihan jenis tegakan dalam suatu kawasan tidak
terlepas dari konsep pengelolaan DAS terpadu semua sektor dari hulu ke hilir.
Berbagai peraturan/regulasi telah dibuat terkait proses perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring-evaluasi pengelolaan DAS.
Kelestarian hutan dapat meningkatkan daya dukung DAS yang memberikan
manfaat selain kedalam kawasan hutan (hulu) juga kepada kawasan diluar hutan
(hilir) yang meliputi: pemasok air, pengendali banjir, pengendali erosi tanah,
pengurangan sedimentasi waduk/sungai/saluran air/bangunan air vital lainnya.
Kementerian Kehutanan telah menargetkan pembangunan hutan tanaman seluas
5 juta ha sampai dengan tahun 2010. Untuk menjawab target tersebut perlu
didukung dengan upaya-upaya penelitian melalui input teknologi yang tepat dalam
pemilihan jenis tanaman (Murtiono et al., 2012). Hal ini didasarkan pada
munculnya perdebatan di kalangan masyarakat bahwa pemilihan jenis tanaman cepat
tumbuh pada program pembangunan hutan tanaman bisa berpengaruh negatif
terhadap fungsi hidrologi/tata air di Daerah Aliran Sungai (DAS).
2.1. Identifikasi regulasi yang ada
Beberapa kebijakan terkait pola pengelolaan lahan dan kelestarian tata air antara
lain:
a. Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan pasal 2 menyebutkan bahwa
pemanfaatan sumber daya alam diselenggarakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan
hidup secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional.
Demikian juga sumber daya hutan yang merupakan modal pembangunan nasional
bagi kehidupan dan penghidupan bangsa, pengelolaannya diselenggarakan
berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan
dan keterpaduan.
b. Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan pasal 3 menyebutkan bahwa
penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
yang berkeadilan dan berkelanjutan melalui: a) menjamin keberadaan hutan
dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b) meningkatkan daya
dukung Daerah Aliran Sungai (DAS).
c. Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan pasal 18 menyebutkan bahwa
untuk menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran
proporsional maka pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan
luasan kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau
minimal 30% dengan sebaran proporsional. Konsekuensi pasal ini sebenarnya
mengarah kepada persentase luasan DAS ditentukan oleh kondisi iklim (curah
Sintesis 2010-2014 | 4
hujan), geologi, bentuk lahan, topografi, tanah dan sosial ekonomi masyarakat
sekitar.
d. Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang salah satunya
mengatur pentingnya meningkatkan pasokan air melalui kegiatan rehabilitasi
hutan dan lahan, pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam dan kawasan
pelestarian alam.
Pengelolaan tata air dalam suatu areal DAS sangat tergantung dari koordinasi
dan sinkronisasi semua pihak sehingga pemahaman bersama tentang pengelolaan
DAS sebagai One Watershed One Management dapat lebih meningkat dan tepat
sasaran.
2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi
Untuk menjawab amanat dari peraturan/regulasi tersebut, dari sisi ilmiah
diperlukan kegiatan-kegiatan penelitian terkait tata air sebagai berikut:
a. Pola penggunaan lahan yang memberikan tata air optimal pada tingkat DAS dari
bagian hulu, tengah dan hilir
Perubahan tata guna lahan akan mempengaruhi kelestarian DAS sehingga terjadi
perubahan terhadap keseimbangan tata air pada suatu unit lahan dengan
mempertimbangkan tingkat debit dan sedimentasi (Asdak, 2005)). Untuk
mengurangi terjadinya erosi, sedimentasi dan banjir, optimasi pengelolaan lahan
merupakan hal yang sangat penting dalam prinsip konservasi yang diaplikasikan
untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan berkelanjutan. Pengelolaan DAS
adalah suatu usaha untuk mengatur sumberdaya alam utama yaitu tanah dan air.
Suatu pengelolaan DAS yang baik untuk penggunaan tanah dan air seharusnya
memperhitungkan prinsip konservasi untuk mencapai hasil yang optimum.
Pengelolaan DAS yang tidak tepat akan mengakibatkan banjir di musim hujan dan
kekeringan di musim kemarau.
Berbagai model skenario pola penggunaan lahan yang memberikan tata air
optimal perlu diuji coba dan divalidasi di lapangan untuk mendapatkan hasil yang
reliable dan valid. Hal ini sesuai dengan sasaran pengelolaan DAS menurut
Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 yaitu untuk menciptakan kondisi
hidrologis yang optimal disertai dengan peningkatan produktivitas lahan dalam
rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.
b.
Kajian erosi dan evapotranspirasi dari berbagai jenis vegetasi sebagai dasar
pemodelan tata air
Penelitian ini sangat penting dilakukan untuk menjawab UU No. 7 tahun 2004
tentang Sumber Daya Air terutama aspek peningkatan pasokan air melalui
rehabilitasi hutan dan lahan. Dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan diperlukan
pemilihan jenis tanaman untuk mendukung tata air yang optimal. Aspek ekologis
yang dimaksud adalah pengaruh dari jenis tegakan tertentu terhadap tata air dalam
Sintesis 2010-2014
|5
suatu kawasan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar
kebutuhan air yang diperlukan oleh jenis tanaman tertentu untuk pertumbuhannya.
Kajian terkait tata air dan neraca air secara komprehensif sangat bermanfaat bagi
penentu kebijakan, khususnya dibidang kehutanan, yaitu dalam rangka menunjang
program pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (sustainable forest
management) serta penyediaan kebutuhan air bagi masyarakat sekitar
lokasi/kawasan pengembangan jenis tanaman tertentu.
2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan
Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar
sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di
DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa
lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS.
Pengelolaan DAS pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau
optimalisasi penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta
praktek lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator
kunci (ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran sungai pada titik
pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu DAS adalah adanya
keterkaitan biofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur hidrologi.
Implementasi pengelolaan DAS sebagai one watershed one management masih jauh
dari harapan. Pola koordinasi dan keterpaduan pengelolaan DAS dari hulu sampai
dengan hilir masih banyak menemui kendala dan konflik kepentingan antar pihak.
Untuk itu diperlukan kesadaran dan pemahaman bersama antar semua pihak dalam
merancang pola tata guna lahan yang dapat memberikan tata air optimal di wilayah
hulu sampai dengan hilir.
Faktor lain yang menyebabkan pengelolaan DAS belum berhasil dengan baik
adalah kurangnya keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan
pengelolaan DAS termasuk dalam hal pembiayaannya. Hal ini karena banyaknya
instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS seperti Departemen Kehutanan,
Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri,
Bakosurtanal dan Kementerian Lingkungan Hidup, perusahaan swasta dan
masyarakat.
Permasalahan serta tantangan dalam pengelolaan DAS kedepan terkait pola tata
guna lahan dan pemilihan jenis tanaman untuk meningkatkan pasokan air dalam
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan meliputi:
1.
Degradasi hutan dan lahan
Luas kawasan hutan pada tahun 2007 adalah sekitar 133,695 juta hektare (Badan
Planologi Kehutanan, tahun 2007) dan jumlah penduduk Indonesia lebih dari 220
juta. Degradasi hutan dan lahan semakin meluas sebagai akibat penambahan jumlah
penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang, pangan, papan dan energi.
Sintesis 2010-2014 | 6
Pengurangan areal hutan untuk pertanian dan konversi lahan pertanian untuk
bangunan akan menurunkan resapan air hujan dan meningkatkan aliran air
permukaan sehingga frekuensi bencana banjir dan tanah longsor semakin tinggi.
Degradasi hutan dan lahan terutama di hulu DAS harus bisa direhabilitasi dengan
adanya pengelolaan DAS yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak yang ada
pada DAS dengan memperhitungkan biofisik dan semua aspek sosial ekonomi.
Degradasi hutan dan lahan selama kurun waktu 2000-2005 sangat memprihatinkan
yaitu rata-rata 1,089 juta hektar per tahun. Degradasi di lahan pertanian terus terjadi
akibat erosi tanah yang tinggi sehingga memicu semakin luasnya lahan kritis dan
meningkatnya sedimentasi pada waduk-waduk yang akan berdampak pada
berkurangnya daya tampung dan pasokan air untuk irigasi serta Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA). Apabila tidak dilakukan upaya-upaya untuk mencegah
degradasi hutan dan lahan serta upaya untuk memulihkannya, maka DAS akan
semakin menurun kualitasnya. Karena itu pengelolaan DAS di masa yang akan
datang harus mampu mengkonservasi, merehabilitasi dan meningkatkan
produktivitas hutan dan lahan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk terhadap
barang dan jasa lingkungan yang semakin meningkat.
2.
Ketahanan pangan, energi dan air
Keberhasilan Pengelolaan DAS berdampak terhadap ketahanan pangan di masa
mendatang. Saat ini luas areal irigasi tanaman padi di Indonesia berjumlah ± 7,2 juta
hektar dan sebagian besar ada pada hilir DAS, banyak areal pertanian yang subur
dikonversi menjadi bangunan atau infrastuktur yang mengurangi lahan pangan
produktif dan menurunkan fungsi hidrologis DAS. Terjadinya banjir akibat
pengelolaan DAS yang tidak optimal akan menyebabkan daya tampung waduk
irigasi berkurang karena sedimentasi, dan pada musim hujan cenderung banjir
sehingga areal-areal irigasi pada hilir DAS akan tergenang yang pada gilirannya
menurunkan produksi beras nasional. Disamping itu kekeringan pada musim
kemarau menyebabkan areal irigasi yang dapat dialiri berkurang sehingga produksi
padi berkurang. Dengan semakin mahalnya energi minyak bumi, maka diperlukan
energi alternatif berupa energi yang bisa diperbaharui seperti kayu bakar, bio-disel,
pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Dengan bertambahnya penduduk dan
berkembangnya kegiatan ekonomi, maka kebutuhan air untuk berbagai kepentingan
seperti air baku, pertanian, perindustrian dan PLTA akan semakin besar. Karena itu
pengelolaan DAS dimasa yang akan datang seharusnya bisa mendukung ketersediaan
pangan, air dan energi alternatif tersebut baik melalui manajemen kawasan lindung
maupun kawasan budidaya.
3.
Kesadaran dan kemampuan para pihak
Pengelolaan DAS melibatkan banyak pihak mulai unsur pemerintahan, swasta,
dan masyarakat. Ada indikasi bahwa kesadaran dan kemampuan para pihak dalam
melestarikan ekosistem DAS masih rendah, misalya masih banyak lahan yang
Sintesis 2010-2014
|7
seharusnya berupa kawasan lindung atau resapan air masih digunakan untuk fungsi
budidaya yang diolah secara intensif atau dibangun untuk pemukiman baik secara
legal maupun illegal, sehingga meningkatkan resiko erosi, longsor dan banjir. Dalam
aliran sungai sendiri sering dijumpai sampah dan limbah dari berbagai sumber yang
menyebabkan pendangkalan, penyumbatan, dan pencemaran air sungai sehingga
kualitas air dan palung sungai menjadi rusak yang pada akhirnya merugikan
lingkungan dan kehidupan masyarakat. Rendahnya kesadaran, kemampuan dan
partisipasi para pihak dalam pengelolaan DAS menjadi tantangan bagi para
pengelola DAS dan unsur lain yang terkait dengan pendidikan, pelatihan dan
penyuluhan kepada masyarakat secara luas.
4.
Otonomi daerah
Era otonomi pemerintahan daerah bisa membuat masalah pengelolaan DAS
semakin kompleks karena tidak semua pemerintah daerah memahami konsep
pengelolaan DAS yang berbasis ekosistem dan lintas batas administrasi. Sikap
mementingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga akan menyebabkan konsep
pengelolaan DAS terpadu yang mementingkan pelestarian ekosistem akan terabaikan
karena penggunaan sumberdaya alam DAS yang tidak proporsional dan rasional.
Dengan demikian mendesak dibentuk Forum Pengelolaan DAS yang menjadi forum
kosultasi antar pihak untuk melakukan sinergitas dalam pemanfaatan sumberdaya
alam. Keterlibatan secara aktif para pihak (stakeholders) akan membangun rasa
memiliki, memanfaatkan secara arif, dan memelihara sumberdaya secara bersamasama.
5.
Kebijakan nasional
Pengelolaan DAS yang melibatkan banyak pihak dan lintas wilayah administrasi
dapat menyebabkan konflik kepentingan antar para pihak yang terlibat dalam
memanfaatkan sumberdaya alam dan jasa lingkungan DAS. Hal ini memerlukan
regulasi dan kebijakan pada berbagai tingkat baik pada tingkat nasional, propinsi
maupun tingkat kabupaten/kota bahkan kadang-kadang sampai tingkat desa. Karena
upaya penanganan permasalahan DAS memerlukan sumberdaya yang banyak dan
waktu yang panjang maka pengelolaan DAS harus dimasukkan sebagai salah satu
program nasional, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah
(RPJP dan RPJM). Dengan demikian program pengelolaan DAS tersebut menjadi
arus utama dalam kegiatan dan alokasi penganggaran di tingkat nasional, propinsi
dan kabupaten/kota.
6.
Isu lingkungan global
Peningkatan kegiatan pembangunan ekonomi global selama ini telah
menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sehingga terjadi
pemanasan global yang membawa dampak negatif terhadap ekosistem dan kehidupan
manusia. Kegiatan ekonomi yang pesat juga menyebabkan terjadinya degradasi lahan
dan penurunan keanekaragaman hayati di banyak tempat di Indonesia. Dengan
Sintesis 2010-2014 | 8
meningkatnya kejadian bencana yang terkait iklim seperti banjir, longsor dan
kekeringan maka pengelolaan DAS menjadi sangat penting sebagai upaya Adaptasi
menghadapi perubahan iklim tersebut. Selain itu pengelolaan DAS juga merupakan
upaya Mitigasi perubahan iklim dan isu global lainnya seperti konservasi hutan dan
vegetasi permanen lainnya, upaya rehabilitasi hutan dan lahan, penggunaan teknologi
pertanian tepat guna dan ramah lingkungan.
Sintesis 2010-2014
|9
III. TATA GUNA LAHAN DAN PEMILIHAN JENIS DALAM
MENDUKUNG OPTIMALISASI FUNGSI TATA AIR
3.1. Tata guna lahan dalam mendukung optimalisasi tata air
A.
Studi penelitian di DAS Cisadane (Jawa Barat)
A.1. DAS Cisadane bagian hulu
Kondisi DAS Cisadane Bagian Hulu (Sub DAS Cisadane Hulu dan Cipeucang)
sudah sangat kritis. Hal ini terlihat dari persentase penutupan lahannya yang
didominasi oleh ladang, perkebunan dan semak belukar (Tabel 1). Kondisi ini
meningkatkan limpasan dan besarnya erosi yang terjadi pada Sub DAS Cisadane
Hulu dan Cipeucang. Model pemanfaatan lahan untuk hutan (30%), kebun rakyat
(30%), sawah (30%) dan pemukiman (10%) memberikan tata air yang optimal di
DAS Cisadane Bagian Hulu yang terindikasi dari penurunan erosi dan sedimentasi.
Hal ini menjadi temuan signifikan dalam upaya meningkatkan kegiatan rehabilitasi
di daerah Sub DAS Cisadane Hulu dan Cipeucang.
Tabel 1. Proporsi Grid berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Model Baseline
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis Penutupan Lahan
Hutan
Kebun
Ladang
Pemukiman
Sawah
Semak
Persentase (%)
5,73
27,44
46,43
2,71
2,31
15,38
Perubahan luasan/persentase penggunaan lahan disajikan pada Tabel 2.
Rekapitulasi output simulasi skenario model Sub DAS Cisadane Hulu ditampilkan
pada Tabel 3.
Tabel 2. Perubahan Persentase Penutupan Lahan
No
Simulasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Baseline
Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
Skenario 4
Skenario 5
Skenario 6
Skenario 7
Hutan
Kebun
5,73
30,00
45,00
45,00
45,00
30,00
30,00
30,00
27,44
30,00
25,00
0,00
25,00
30,00
0,00
30,00
Persentase Penutupan Lahan (%)
PemuLadang
Sawah Semak Kampung
kiman
46,43
2,71
2,31
15,38
0,00
30,00
3,00
7,00
0,00
0,00
25,00
5,00
0,00
0,00
0,00
25,00
0,00
25,00
0,00
5,00
25,00
0,00
0,00
0,00
5,00
30,00
10,00
0,00
0,00
0,00
30,00
0,00
0,00
30,00
10,00
0,00
0,00
0,00
30,00
10,00
Sintesis 2010-2014 | 10
Tabel 3. Rekapitulasi Output Simulasi Skenario Model Sub DAS Cisadane Hulu
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Simulasi
Baseline
Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
Skenario 4
Skenario 5
Skenario 6
Skenario 7
Output Model
Limpasan
Erosi
(mm)
(kg/Ha)
2,812
4770
2,633
3161
2,735
2330
3,196
3570
2,135
3073
2,449
3000
2,977
2037
2,451
1889
Persentase
% Limpasan
% Erosi
0
6,366
2,738
-13,656
24,075
12,909
-5,868
12,838
0
33,732
51,153
25,157
35,577
37,107
57,296
60,398
Keterangan : tanda negatif (-) pada tabel, menandakan bahwa terdapat sejumlah kenaikan
pada output model bila dibandingkan dengan baselinenya. Persentase limpasan merupakan
perbandingan jumlah limpasan dengan jumlah curah hujan.
Pada dasarnya, penggunaan lahan yang optimal untuk mengurangi limpasan dan
erosi adalah penggunaan lahan yang memungkinkan air hujan terinfiltrasi ke dalam
tanah, dan menjaga permukaan tanah tidak mengalami pembongkaran.
A.2. DAS Cisadane bagian tengah
Kondisi Sub DAS Cisadane Bagian Tengah sudah sangat kritis. Hal ini terlihat
dari persentase penutupan lahannya yang mayoritas terdiri dari kebun dan
pemukiman penduduk (Tabel 4). Luasnya permukaan tanah yang tidak tertutup dan
sering diolah meningkatkan limpasan dan erosi yang terjadi.
Tabel 4. Proporsi Grid berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Model Baseline
No.
1.
2.
4.
5.
Jenis Penutupan Lahan
Agroforestri
Kebun
Pemukiman
Hutan Tanaman
Persentase (%)
13,3
48,3
22,7
16
Perubahan luasan/persentase penggunaan lahan disajikan pada Tabel 5.
Rekapitulasi output simulasi skenario model Sub DAS Cisadane Bagian ditampilkan
pada Tabel 6.
Sintesis 2010-2014
| 11
Tabel 5. Perubahan Persentase Penutupan Lahan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Skenario
Baseline
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
Agroforestry
13,3
15
30
30
30
30
20
15
Persentase Penutupan Lahan (%)
Hutan
Kebun
Pemukiman
Tanaman
48,3
22,7
16
30
40
15
15
55
15
40
30
40
30
40
30
40
30
30
30
20
30
30
25
Belukar
15
-
Tabel 6. Rekapitulasi Output Simulasi Skenario Model Sub DAS Cisadane Bagian
Tengah
Output Model
Persentasi
Limpasan
Erosi
% Limpasan
% Erosi
(mm)
(kg/Ha)
1.
Baseline
17,888
1289
32,95
0
2.
Skenario 1
18,047
1267
33,26
-1,70
3.
Skenario 2
18,286
1749
33,7
35,68
4.
Skenario 3
19,561
1576
36,0
-1,00
5.
Skenario 4
18,148
1779
33,4
38,01
6.
Skenario 5
17,935
1700
33,0
31,88
7.
Skenario 6
17,945
969
33,1
-24,82
8.
Skenario 7
18,044
1213
33,26
-5,97
9.
Skenario 8
17,970
1181
33,12
-8,38
Ket : * tanda negatif (-) didepan nilai erosi menandakan persen penambahan dibandingkan
dengan baseline. Persentase limpasan merupakan perbandingan jumlah limpasan dengan
jumlah curah hujan.
No.
Simulasi
Untuk mendukung Jabar Green Province maka Pemda Jabar membuat aturan
diperlukan minimal 45% KL (Kawasan Lindung) yang terdiri dari Kawasan Hutan
Konservasi dan Hutan Lindung sesuai dengan SK Menteri Kehutanan. Berdasarkan
analisis diprediksi pada tahun 2025 kebutuhan air di Jawa Barat adalah 28.179,26
juta m3/th, sementara itu pada tahun 2025 ketersediaan air sungai hanya mencapai
14.150,2 juta m3/th (hanya dapat memenuhi 50 % dari kebutuhan). Kondisi tersebut
diperparah lagi dengan jumlah 22 DAS (total 41 DAS) di Jawa Barat adalah sangat
kritis, kualitas air sungai di 7 DAS utama dengan nilai COD dan BOD yang melebihi
ambang batas serta perubahan tutupan lahan Jawa Barat 1994-2005 banyak yang
tidak sesuai dengan peruntukannya sehingga semakin menurunkan daya dukung
lahan pada unit DAS (Sudarna, 2012). Kebijakan luasan Kawasan Lindung seluas
45% di Jawa Barat diperlukan untuk: mengembalikan fungsi hidroorologis,
Sintesis 2010-2014 | 12
diorientasikan kepada kemampuan daya tampung wilayah, pertimbangan penurunan
daya dukung lingkungan, menjaga kestabilan tanah dan erosi, kemampuan daya
dukung sumber daya alam yang tersedia dan menjaga keseimbangan ekosistem antar
wilayah berbasis DAS.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane sebagai salah satu DAS sangat kritis di
Jawa Barat memiliki posisi strategis untuk mendukung pemenuhan kebutuhan air di
wilayah Bogor, Tangerang dan Depok. Model penggunaan lahan 30% untuk
agroforestri, 30% untuk hutan tanaman dan 40% untuk pemukiman merupakan
model yang ideal untuk diterapkan di wilayah DAS Cisadane Bagian Tengah karena
memberikan tingkat limpasan dan erosi yang paling kecil. Dengan menggunakan
model penggunaan lahan tersebut diharapkan produktivitas air akan semakin
meningkat pada wilayah DAS Cisadane Bagian Tengah sehingga kelestarian air tetap
terjamin untuk memenuhi konsumsi air bagi warga sekitar DAS Cisadane Bagian
Tengah.
A.3. Analisis sensitivitas model perubahan lahan dari hulu sampai hilir
Perubahan penutupan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu dan Cipeucang serta
DAS Cisadane bagian tengah semestinya menjadi perhatian serius para pemangku
kepentingan terutama Pemerintah Daerah setempat dalam mengatur penggunaan
lahan yang dapat meningkatkan daya dukung Sub DAS Cisadane Hulu dan
Cipeucang, serta DAS Cisadane bagian tengah. Upaya pengaturan penggunaan lahan
untuk meningkatkan daya dukung DAS telah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang
No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa Pemerintah
menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan minimal 30% dari
luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Regulasi ini mengamanahkan bahwa tataguna hutan harus mengusahakan keberadaan
dan keamanan kawasan hutan disetiap DAS minimal 30 % dari luas DAS. Upaya
pengelolaan hutan yang didasarkan pada Undang-Undang Kehutanan tersebut
mempersyaratkan bahwa untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari perlu
dibuat perencanaan hutan dengan melalui perencanaan tataguna hutan berdasarkan
peruntukan fungsinya dimana dalam pelaksanaannya mempertimbangkan DAS
sebagai unit analisis ekosistem (Rachman, 2010).
Peningkatan persentase penutupan lahan hutan menjadi 30% dan 45%
diharapkan dapat meningkatkan fungsi hidrologi Sub DAS Cisadane Hulu dan
Cipeucang yang terlihat dari menurunnya limpasan dan erosi yang terjadi. Sementara
itu, peningkatan areal hutan menjadi 25% sampai dengan 30% di DAS Cisadane
bagian tengah dapat meningkatkan fungsi hidrologis yang terlihat dari menurunnya
nilai limpasan dan erosi yang terjadi. Hasil analisis fleksibilitas model terhadap
perubahan lahan menunjukkan bahwa lahan hutan dan kebun rakyat merupakan dua
bentuk penggunaan lahan yang peruntukannya harus diprioritaskan dan
dipertahankan keberadaannya. Semakin kecil nilai S maka semakin memperlihatkan
Sintesis 2010-2014
| 13
semakin besarnya pengaruh parameter tersebut terhadap hasil ouput. Parameter
penutupan lahan mempunyai nilai S yang lebih kecil dibanding yang lainnnya yang
menunjukkan bahwa pengaruh parameter pengelolaan lebih berpengaruh terhadap
parameter sifat tanah (Tabel 7).
Tabel 7. Analisis Sensitivitas Model di DAS Cisadane bagian tengah
No.
Variabel
1.
Limpasan
2.
Erosi
Parameter Input
Tanah
Tata Guna Lahan
Tanah
Tata Guna Lahan
Output
Limpasan
12,34
12,44
704
831
Erosi
13,76
13,33
959
837
S
0,10
0,07
0,30
0,07
Pertimbangan aspek ekonomi dalam pengelolaan sumber daya lahan di DAS
Cisadane bagian tengah tetap perlu memperhatikan keseimbangan fungsi ekologis
terutama fungsi hidrologis DAS yang memberikan jaminan tata air yang masih
berfungsi secara optimal.
B.
Studi penelitian di Sub DAS Limboto dan Sub DAS Tondano bagian hulu
(Sulawesi Utara)
B.1. Sub DAS Limboto
Hasil analisis data pengamatan tinggi kadar sedimentasi terjebak dalam rorak
yang dipasang pada plot kontrol, menunjukkan bahwa besaran erosi rata-rata sebesar
16,54 ton/ha/tahun dengan curah hujan 1.095 mm/th, atau ekivalen dengan 1,2 mm
lapisan tanah. Besarnya erosi menurun jika dibandingkan pada tahun 2008 yaitu
sebesar 21,15 ton/ha/tahun dengan curah hujan sebesar 2.766 mm/tahun. Hal ini
kemungkinan tanaman ujicoba telah memberikan pengaruh terhadap sistem tata air di
lokasi kegiatan, dan secara visual telah muncul beberapa mata air di daerah bagian
bawah, namun untuk lebih memastikannya hal ini diperlukan penelitian lebih lanjut.
B.2. Sub DAS Tondano
Berdasarkan analisis data, besarnya limpasan yang terukur selama penelitian
pada masing-masing plot penelitian pada setiap kemiringan lereng dapat dilihat pada
Tabel 8 di bawah ini:
Tabel 8. Limpasan Permukaan (m3/ha) dan Erosi pada masing-masing plot
penelitian pada setiap kemiringan lereng
Perlakuan
CH
(mm)
P0
P1
P2
1.067
1.067
1.067
BI
Limp.Perm
(m3/ha)
248,571
268,753
234,145
Erosi
(ton/ha)
0,1048
0,1231
0,1056
B II
B III
Limp.Perm Erosi Limp.Perm Erosi
(m3/ha) (ton/ha) (m3/ha) (ton/ha)
403,546
0,1124
548,434
0,1564
334,750
0,1386
424,167
0,1452
221,545
0,1021
412,856
0,1234
Sintesis 2010-2014 | 14
Keterangan perlakuan:
P0
: Bedengan + bunga kol + jagung (kontrol/sesuai petani setempat)
P1
: Bedengan + mulsa vertikal + bunga kol + jagung
P2
: Bedengan + mahoni + cempaka + mulsa vertikal + bunga kol + jagung
B I : Kemiringan lereng 22 % sebagai wakil kemiringan lereng 15 - 30 %
B II : Kemiringan lereng 33 % sebagai wakil kemiringan lereng 30 - 45 %
B III : Kemiringan lereng 46 % sebagai wakil kemiringan lereng > 45 %
Berdasarkan Tabel 8 rata-rata limpasan pada masing-masing perlakuan yang
dicobakan (P0, P1 dan P2) tertinggi terjadi pada P0 yaitu 548,434 m3/ha. Sedangkan
limpasan terendah terjadi pada P2 sebesar 233,559 m3/ha.
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa limpasan permukaan paling kecil
terjadi pada P2 dibandingkan dengan dua perlakuan lainnya. Hal ini berarti bahwa
perlakuan yang dicobakan memberikan hasil yang baik dalam menekan limpasan
permukaan (run off) dalam meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah. Hal ini
diperkirakan adanya aplikasi mulsa dan perkembangan dari akar tanaman tahunan
yang ditanam di lokasi uji coba, sehingga jumlah curah hujan yang turun lebih
banyak menjadi air infiltrasi.
Dari hasil analisis, rata-rata erosi pada masing-masing perlakuan yang dicobakan
(P0 P1 dan P2) tertinggi terjadi pada perlakuan teknik konservasi tanah berupa
bedengan yaitu 0,1723 ton/ha. Sedangkan perlakuan teknik konservasi tanah
bedengan yang di kombinasi mulsa vertikal dan penanaman tanaman bunga kol,
jagung, cempaka dan mahoni menghasilkan erosi terendah sebesar 0,083 ton/ha.
3.2. Pemilihan jenis dalam mendukung optimalisasi tata air
A.
Kajian erosi dan neraca air pada berbagai jenis vegetasi sebagai basis
pemodelan tata air
Beberapa jenis tegakan hutan tanaman yang diujicoba dalam penelitian ini
adalah akasia, sengon, mahoni, kayu putih, nyamplung dan eukaliptus. Jenis-jenis
tersebut memiliki karakteristik vegetasi dan berpengaruh spesifik terhadap nilai
erosi, limpasan permukaan, evapotranspirasi dan neraca air dalam suatu kawasan.
A.1. Karakteristik vegetasi
Keberadaan vegetasi pada suatu wilayah akan memberikan dampak positif bagi
keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas antara lain dengan pengaturan
keseimbangan karbon dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia,
dan biologis tanah, pengaturan tata air kawasan, pengendalian erosi, dan sebagainya.
Berkaitan dengan fungsi pengaturan tata air dan pengendalian erosi, setiap tipe
vegetasi menunjukkan pengaruh yang berbeda karena struktur dan komposisinya
bervariasi. Pada umumnya peran tanaman dinilai positif terhadap kelestarian sumber
daya air kawasan baik kualitas maupun kuantitasnya.
Beberapa informasi
menunjukkan bahwa kelestarian sumber daya air tergantung dari kondisi hutan pada
kawasan tersebut. Pada saat hutan ditebang hasil air pada awalnya akan meningkat
Sintesis 2010-2014
| 15
karena berkurangnya evapotranspirasi, namun lama kelamaan hasil air tersebut akan
berkurang karena jumlah air yang tersimpan di dalam tanah juga berkurang. Hal ini
disebabkan karena air hujan yang jatuh pada areal hutan yang telah terbuka, sebagian
besar langsung menjadi aliran permukaan. Seyhan (1990) mengemukakan bahwa
penggunaan vegetasi penutup hutan akan dapat memperbaiki fluktuasi aliran air.
Banyaknya air hujan yang tidak langsung dapat mencapai permukaan tanah
tergantung pada karakteristik tanaman penutup yang meliputi bentuk dan ukuran
daun, bentuk dan kerapatan tajuk, kekasaran kulit batang dan kelurusan batang pohon
(Pramono, 2006 dalam Purwanto dan Rahardyan, 2011). Air yang dapat mencapai
permukaan tanah sebagian meresap ke dalam tanah dan sebagian akan mengisi
ledok ledok permukaan tanah (depression storage), dan sisanya akan mengalir
sebagai limpasan (runoff). Banyaknya air yang meresap ke dalam tanah tergantung
pada sifat sifat fisik tanah terutama tekstur dan stuktur tanah, keadaan topografi
permukaan dan keadaan relief mikro permukaan tanah.
A.1.1. Tanaman sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen)
Tanaman sengon memiliki peran yang sangat penting dalam mengatur tata air
atau neraca air dalam suatu areal hutan. Tanaman sengon memiliki tajuk berbentuk
seperti payung namun porous (lolos cahaya/angin/air) yang sangat baik untuk
pertumbuhan tanaman bawah karena bentuk tajuk tersebut masih memberi ruang
bagi jenis-jenis tumbuhan lain yang berada di bawahnya untuk bisa tumbuh, terlebih
ditunjang dengan peran tanaman sengon tersebut yang juga sebagai peningkat
kesuburan tanah. Penelitian hutan tanaman sengon umur 5-6 tahun di UbrugJatiluhur (Nambiar and Brown, 1997 dalam Sukresno et al., 2010) menunjukkan
bahwa besarnya air hujan yang jatuh yang diintersepsi oleh tajuk tanaman sengon
sebesar 18% atau air hujan yang lolos dari tajuk (throughfall) sebesar 82%.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa pada hutan tanaman sengon umur 8 tahun
(lebih tua) memiliki air yang diintersepsi sebesar 23% atau yang menjadi throughfall
sebesar 77% (Nambiar and Brown, 1997 dalam Sukresno et al., 2010). Dengan fakta
tersebut mengindikasikan bahwa semakin besar umur tanaman sengon, air lolos atau
throughfall semakin kecil sehingga selanjutnya dapat memperkecil air limpasan
permukaan. Tanaman sengon memiliki perkembangan akar yang banyak ke arah
horizontal sehingga memungkinkan terjadinya persaingan untuk memperoleh air
antar tanaman sengon dengan tanaman semusim yang dibudidayakan jika
ketersediaan air yang ada terbatas jumlahnya.
A.1.2. Tanaman akasia (Acacia mangium)
Salah satu komponen penting tanaman akasia terkait pengaturan tata air adalah
dihasilkannya serasah daun akasia dilantai hutan. Lapisan serasah pada lantai hutan
mampu mencegah jatuhnya air hujan langsung sebelum mencapai permukaan tanah.
Serasah dapat menghindari titik air hujan jatuh langsung ke permukaan tanah dan
Sintesis 2010-2014 | 16
mampu mengurangi aliran permukaan serta dapat meningkatkan infiltrasi ke dalam
tanah (Sukresno et al., 2010).
A.1.3. Tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum L.)
Tanaman nyamplung mudah dibudidayakan, tumbuh baik pada ketinggian 0-800
meter dpl seperti di hutan, pegunungan dan rawa-rawa, curah hujan antara 1000-5000
mm per tahun, pH tanah 4,0-7,4, tahan pada tanah tandus, daerah pantai yang kering
dan berpasir atau digenangi air laut.
A.1.4. Tanaman mahoni (Swietenia macrophylla)
Mahoni dapat tumbuh dengan subur di pasir payau dekat dengan pantai dan
menyukai tempat yang cukup sinar matahari langsung. Tanaman ini termasuk jenis
tanaman yang mampu bertahan hidup di tanah gersang sekalipun. Walaupun tidak
disirami selama berbulan-bulan, mahoni masih mampu untuk bertahan hidup. Syarat
lokasi untuk budidaya mahoni diantaranya adalah ketinggian lahan maksimum 1.500
meter dpl, curah hujan 1.524-5.085 mm/tahun, dan suhu udara 11-36OC.
A.1.5. Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi)
Keistimewaan tanaman kayu putih adalah mampu bertahan hidup di tempat yang
kering, di tanah yang berair, atau di daerah yang banyak memperoleh guncangan
angin atau sentuhan air laut. Tanaman ini tumbuh liar di daerah berhawa panas.
Tanaman kayu putih tidak memerlukan syarat tumbuh yang spesifik. Pohon kayu
putih dapat mencapai ketinggian 45 kaki. Dari ketinggian antara 5 - 450 m di atas
permukaan laut, terbukti bahwa tanaman yang satu ini memiliki toleransi yang cukup
baik untuk berkembang.
A.1.6. Tanaman eukaliptus (Eucalyptus pellita)
Tanaman eukaliptus yang memiliki karakteristik tajuk mengerucut dan daun
yang rapat menghasilkan aliran air throughfall, stemflow dan intersepsi sebagaimana
Tabel 9 berikut ini:
Tabel 9. Lolosan tajuk (througfall), aliran batang (stemflow) dan intersepsi hujan
pada masing-masing umur tanaman E. pellita di Riau (Supangat, 2012)
Umur
tanaman
2 th
3 th
4 th
5 th
6 th
Curah
Hujan
(mm)
1054
1008
797
824
765
n
45
40
43
46
44
Tf
(throughfall)
(mm) / (%)
847,4 (80,4)
783,6 (77,7)
633,9 (79,5)
684,6 (83,1)
634,6 (83,0)
Sf
(stemflow)
(mm) / (%)
39,3 (3,7)
36,1 (3,6)
32,5 (4,1)
32,5 (3,9)
28,3 (3,7)
I (intersepsi)
(mm) / (%)
167,4 (15,9)
188,3 (18,7)
130,6 (16,4)
106,9 (13,0)
102,1 (13,3)
Sintesis 2010-2014
| 17
A.2. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman terhadap erosi dan neraca air
Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman kayu putih, sengon, akasia, mahoni,
nyamplung dan eukaliptus terhadap erosi dan neraca air selama tahun 2008 sampai
dengan 2012 disajikan pada Tabel 10, Tabel 11, Tabel 12, Tabel 13, Tabel 14 dan
Tabel 15 sebagai berikut:
Tabel 10. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman kayu putih terhadap erosi dan
neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Gunung Kidul, DIY
No
Parameter
1.
2.
Curah Hujan (mm)
Evapotranspirasi
(mm)
Hasil Air (mm)
Koefisien aliran
3.
4.
Tahun
2009 2010
1982
-
2006
895
2007
1667
2008
775
505
798
370
554
501
0,56
650
0,39
418
0,54
971
0,49
9264
Rata
-rata
1544
787
3646
608
979
0,50
4193
2,82
699
0,47
2011
1976
2012
1969
-
632
-
674
0,34
Jmlh
Keterangan : Curah hujan th 2006 : mulai bulan April – Desember 2006
Tabel 11. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman sengon terhadap erosi dan neraca air
selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah
No
1.
2.
3.
4.
5.
Parameter
2006
2007
Curah Hujan (mm)
Evapotranspirasi
(mm)
Erosi (kg/ha)
Hasil Air (mm)
Koefisien aliran
2008
1254
467
Tahun
2009 2010
3292
938
18,47 28,64
448 1267
0,36 0,38
2011
3474
RataJmlh
rata
2012
2487 10507 2627
-
764
708
2877
-
37,96
1546
0,44
1454
0,58
85,07 28,35
4750 1179
1,76 0,44
719
Keterangan : Erosi th 2012 : dalam proses penyelesaian
Tabel 12. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman akasia terhadap erosi dan neraca air
selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah
No
1.
Parameter
Curah Hujan (mm)
Evapotranspirasi
2.
(mm)
3. Erosi (kg/ha)
4. Hasil Air (mm)
5. Koefisien Aliran
2006
2007
Tahun
2008 2009 2010
1994 1455
-
2011
1663
2012
2045
503
-
470
596
-
3,204
691
0,41
321
20,05 12,56
697
438
0,35 0,30
7157
Ratarata
1789
1890
472
Jmlh
35,814 11,93
894 2720 680
0,44
1,5
0,37
Keterangan : Erosi th 2012 : dalam proses penyelesaian
Sintesis 2010-2014 | 18
Tabel 13. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman mahoni terhadap erosi dan neraca
air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur
No
1.
2.
3.
4.
5.
Parameter
2006
2007
Curah Hujan (mm)
Evapotranspirasi
(mm)
Erosi (kg/ha)
Hasil Air (mm)
Koefisien Aliran
Tahun
2008 2009 2010
1218 2051
-
2011
2142
2012
1665
406
-
573
-
26,74
792
0,37
774
21,56 24,12
437
948
0,36 0,46
7076
Ratarata
1769
531
2284
571
393
0,59
72,42 24,14
2570 642
1,78 0,44
Jmlh
Keterangan : Erosi th 2012 : dalam proses penyelesaian
Tabel 14. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman nyamplung terhadap erosi dan
neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah
No
1.
2.
3.
Parameter
2006
2007
Curah Hujan (mm)
Evapotranspirasi
(mm)
Erosi (kg/ha)
2008
2686
859
Tahun
2009 2010
1192
572
27,84 18,72
2011
1955
2012
1983
-
542
442
-
15,98
-
7816
Ratarata
1954
2415
604
Jmlh
62,54 20,84
Keterangan : Erosi th 2012 :- dalam proses penyelesaian,
- tidak ada SPAS – data hasil air dan koefisien tidak ada .
Tabel 15. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman eukaliptus terhadap erosi dan
neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012
Parameter Neraca Air
Umur tanaman (th)
Curah hujan, P (mm)
Limpasan, Q (mm)
Evapotranspirasi, ET (mm)
% ET terhadap Hujan
2008
2
2.813
1.467,6
1.345,4
47,8
Tahun
2009
2010
3
4
2.679
2.783
1.245,9
948,7
1.433,1 1.834,3
53,5
65,9
2011
5
1.663
474,6
1.188,4
71,5
2012
2.219
1.134,1
1.084,9
48, 9
Jenis tanaman eukaliptus menghasilkan nilai evapotranspirasi paling tinggi yaitu
berkisar antara 1.084,9 mm sampai dengan 1.834,3 mm. Penanaman eukaliptus
harus hati-hati dengan mempertimbangkan ketersediaan air di dalam tanah untuk
mencegah kekurangan air. Eukaliptus hendaknya ditanam pada areal/wilayah yang
memiliki tingkat ketersediaan airnya tinggi untuk mengimbangi tingginya
evapotranspirasi. Tanaman akasia menghasilkan nilai rata-rata erosi paling kecil
yaitu 11,93 kg/ha. Hal ini disebabkan oleh timbunan serasah daun akasia yang cukup
tebal di lantai hutan sehingga dapat mengurangi aliran limpasan dan material tanah
Sintesis 2010-2014
| 19
yang terbawa oleh air. Rata-rata hasil air paling tinggi ditunjukkan pada jenis
tanaman sengon sebesar 1.179 mm. Dengan demikian, tanaman sengon ini dapat
ditanam pada lahan-lahan kritis untuk meningkatkan pasokan air kedalam tanah.
B. Kajian dampak penanaman jenis kayu pertukangan terhadap tata air
Dalam proses hidrologi, tidak semua masukan yang berupa curah hujan akan
langsung menjadi luaran berupa limpasan (runoff). Curah hujan yang turun pada
suatu kawasan akan melalui eberapa proses sebelum akhirnya menjadi limpasan
(runoff). Dalam proses hidrologi pada suatu kawasan tersebut, tidak semua masukan
yang berupa curah hujan akan langsung menjadi luaran berupa limpasan (runoff). Hal
ini disebabkan karena air hujan akan mengalami proses kehilangan air yang
disebabkan karena beberapa hal yaitu evaporasi, transpirasi, gabungan antara
evaporasi dan transpirasi atau yang sering disebut dengan evapotranspirasi dan
kebocoran pada sistem airtanah. Disamping itu dalam sistem siklus hidrologi terdapat
sebagian air yang tertahan sementara di dalam tanah dan baru akan dikeluarkan/
dilepaskan ke sistem sungai pada suatu waktu/rentang waktu tertentu. Besaran waktu
atau rentang waktu dilepaskannya air dari dalam tanah tergantung dari banyak hal,
antara lain jenis tanahnya, tekstur tanahnya, jenis batuan (kondisi geologi) dan
sebagainya. Dengan demikian pada umumnya dalam sistem siklus hidrologi besarnya
luaran akan selalu lebih kecil dari masukannya. Namun demikian dalam kasus
tertentu dimungkinkan volume luaran justru lebih besar dari masukannya, hal ini
mungkin saja terjadi pada wilayah-wilayah dengan kondisi geologi tertentu.
Kegiatan kajian dampak penanaman jenis kayu pertukangan terhadap tata air
difokuskan pada areal ujicoba SILIN (Silvikultur Intensif) pada 2 plot dengan
karakteristik plot sebagai berikut:
 Plot 1: Kemiringan 24,43o, tumbuhan bawah kurang, serasah tebal, penutupan
tajuk 16,7% (8-74 %), tinggi tanaman 3,9 m, diameter tanaman 3,4 cm dan lebar
tajuk 2,2 m.
 Plot 2: Kemiringan 19,28o, tumbuhan bawah alang-alang, serasah kurang,
penutupan tajuk 6 % (1-12%), tinggi tanaman 2,5 m, diameter tanaman 1,6 cm
dan lebar tajuk 1,6 m.
Hasil kajian pada kedua plot tersebut menunjukkan bahwa (Purwanto dan
Rahardyan, 2011):
 Erosi lahan pada plot 1 (vegetasi tanaman bawah tidak ada, seresah tebal) =
0,0804 Kg/ha/16 hari pengamatan sedangkan pada plot 2 (vegetasi tanaman
bawah alang-alang, tidak ada seresah) = 0,0226 kg/ha/16 hari pengamatan.
Sedangkan limpasan permukaan pada plot 1 = 37,10 m3/ha/16 hari pengamatan
sedangkan pada plot 2 limpasan permukaannya = 21,74 m3/ha/16 hari
pengamatan.
Sintesis 2010-2014 | 20
 Aliran batang pada Pohon A = 0,0069 mm/16 hari pengamatan, Pohon B = 0,0121
mm/ 16 hari pengamatan, dan Pohon C = 0,0076 mm/16 hari pengamatan.
Sedangkan besarnya air lolos pada Pohon A = 16,9 mm/16 hari pengamatan,
Pohon B = 24,54 mm/16 hari pengamatan, dan Pohon C = 28,10 mm/16 hari
pengamatan
 Curah Hujan di lokasi penelitian = 14,8 mm/16 hari pengamatan
 Debit aliran sungai Jupoi = 79,63 ltr/detik selama 16 hari pengamatan
Sintesis 2010-2014
| 21
IV. PENUTUP
Pola pengelolaan tata guna lahan dalam mendukung optimalisasi tata air sangat
ditentukan oleh dinamika/perubahan dinamis terkait pertumbuhan penduduk,
perubahan sosial ekonomi budaya dan perkembangan teknologi.
Konsep
pengelolaan DAS dari hulu sampai dengan hilir perlu memperhatikan prioritas
sensitivitas penggunaan lahan yang berbeda-beda dari tingkat hulu, tengah dan hilir
dengan tetap memperhatikan faktor ekologi sebagai faktor utama.
Pemilihan jenis tegakan hutan tanaman yang tepat untuk mendukung rehabilitasi
hutan dan lahan dalam wilayah DAS sangatlah penting dalam menjaga pasokan air
didalam tanah agar tidak terjadi kekeringan. Untuk itu kriteria jenis yang dipilih
adalah evapotranspirasi rendah, hasil air tinggi, erosi rendah dan aliran limpasan
rendah.
Sintesis 2010-2014 | 22
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Konservasi tanah dan air. IPB Press.
Asdak, C. 2005. Hidrologi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Badan Planologi Kehutanan. 2007. Statistik kehutanan. Departemen Kehutanan.
Jakarta.
Baver, L.D. 1972. Soil Physics. John Wiley and Son Inc. New York. Charles E.
Tuttle Company. Modern Asia Edition. Third Edition.
Frevert, R.K, G.O. Schwab, T.W. Edminster, and K.K. Barness. 1963. Soil and
Water Conservation Engineering (Third Edition) John Wiley and Son Inc.
New York.
Murtiono, U.H., Supangat, A.B., Sulasmiko, E. dan Budiono, A. 2012. Kajian erosi
dan neraca air pada berbagai jenis vegetasi sebagai basis pemodelan tata air.
Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai. Surakarta.
Purwanto, B.S. dan Rahardyan, A. 2011. Kajian dampak penanaman jenis kayu
pertukangan terhadap tata air. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.
Kalimantan Selatan.
Rachman, S. 2010. Kebijakan dan Upaya Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dari
Sektor Kehutanan. Bunga Rampai II Masyarakat Konservasi Tanah dan Air
Indonesia. Jakarta.
Setiawan, Budi Indra. 1999. Land Use Planning For Cigulung Maribaya Sub
Watershed Using ANSWERS Model. Proceeding of International Workshop
on Sustainable Resource Management for Cidanau Watershed. RUBRDUT/IPB. Bogor.
Seyhan, E., 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Sudarna, A. 2012. Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Puncak Dalam Perspektif
Kebijakan Tata Ruang Provinsi Jawa Barat . Bahan presentasi disampaikan
pada Acara Diskusi Kelompok Terbatas Arahan Pemanfaatan Ruang
Kawasan Puncak, Oktober 2012. Bogor.
Supangat, A.B. 2012. Neraca air hutan tanaman Eucalyptus pellita di Riau.
Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kuok. Riau.
Sukresno, Murtiono, U.H., Miardini, A., Sulasmiko, E., Sumardi dan Sugianto, A.
2010. Penelitian dampak hutan tanaman terhadap erosi, evapotranspirasi dan
hidrologi. Balai Penelitian Kehutanan Solo.
Sintesis 2010-2014
| 23
BUKU IV
PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR
PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
ASPEK : EVALUASI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
UNTUK USAHA TANI DI KALIMANTAN TENGAH
PENYUSUN:
BUDI HADI NARENDRA, S.Hut, M.Si, M.Sc.
Dr. I WAYAN SUSI DHARMAWAN, S.Hut, M.Si
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
KEMENTERIAN KEHUTANAN
BOGOR 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii
I.
PENDAHULUAN ................................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................................
1
1.2. Tujuan dan Sasaran .......................................................................................
2
1.3. Luaran ...........................................................................................................
2
II.
KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT ..........................................
3
2.1. Identifikasi regulasi yang ada .........................................................................
3
2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ...............................
4
2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan ..................................................
4
III. EVALUASI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT UNTUK USAHA
5
TANI ....................................................................................................................
3.1. Karakteristik Lahan Gambut Kalampangan ....................................................
5
3.2. Usaha tani masyarakat di lahan gambut ..........................................................
7
3.3. Kearifan lokal pengelolaan lahan gambut .......................................................
8
IV. PENUTUP ............................................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
11
i
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Hal.
1. Contoh tanah yang diambil dengan bor gambut (kiri) dan ring sampel
5
(kanan) .................................................................................................................
2. Beberapa komoditas pada pertanian intensif ..........................................................
8
3. Saluran drainase mikro (kiri) dan saluran drainase utama (kanan) .........................
10
iii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh
adanya akumulasi bahan organik yang berlangsung dalam kurun waktu
lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan
laju penimbunan bahan organik yang terdapat di lantai hutan lahan basah. Indonesia
merupakan negara dengan kawasan gambut tropika terluas di dunia, yaitu antara 13.5
– 26.5 juta ha, maka 50% gambut tropika dunia yang luasnya sekitar 40 juta ha
berada di Indonesia (Najiyati dkk., 2005).
Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam tata air suatu DAS karena mampu
menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Kerusakan ekosistem gambut
berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan
sekelilingnya (ex situ). Kejadian banjir di hilir DAS, kebakaran, hilangnya plasma
nutfah merupakan beberapa dampak dari rusaknya ekosistem gambut (Indriastuti,
2010).
Pemanfaatan lahan gambut dengan cara mempertahankannya sebagai habitat
ratusan species tanaman hutan, merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat.
Disamping kawasan gambut tetap mampu menyumbangkan fungsi ekonomi bagi
manusia di sekitarnya (produk kayu dan non kayu) secara berkelanjutan, fungsi
ekologi hutan rawa gambut sebagai pengendali suhu, kelembaban udara dan tata air
kawasan akan tetap berlangsung sebagai konsekuensi dari ekosistemnya tidak
berubah. Pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman pertanian, perkebunan, dan
kehutanan yang bukan dari jenis endemik tergolong sangat rawan, terutama jika
dilaksanakan pada gambut tebal di daerah pedalaman karena mengharuskan adanya
upaya menyesuaikan kondisi air lahan atau mengeringkan lahan dengan cara
membuat saluran drainase atau kanal (Limin, 2006). Pengelolaan yang terlanjur
salah pada areal ini, seperti adanya penebangan baik legal maupun illegal, adanya
pembukaan kanal/parit yang berlebihan, pola penguasaan kanal/parit, dan terjadinya
kebakaran menyebabkan turunnya fungsi penting areal ini yang pada akhirnya
berdampak pada kesejahteraan masyarakat sekitar.
Berbagai upaya rehabilitasi kerusakan lahan gambut telah banyak dilakukan,
namun tidak semuanya dapat berhasil. Menurut Barkah (2009), pelaksanaan
rehabilitasi perlu memperhatikan aspek tata guna lahan, aspek sosial ekonomi
masyarakat, aspek biofisik areal, dan aspek pengelolaan areal. Aspek fisik areal yang
harus dikuasai sebagai salah satu kunci keberhasilan rehabilitasi antara lain meliputi
tipe tutupan, penyebab degradasi, klasifikasi dan luasan areal degradasi, kondisi tata
air dan genangan, kemampuan regenerasi alam, karakteristik gambut, dan kesesuaian
lahan serta jenis tanaman yang akan digunakan, termasuk juga faktor ancaman
terhadap kelestarian hutan.
Sintesis 2010-2014
|1
1.2. Tujuan dan sasaran
Sintesis ini bertujuan menyajikan hasil kajian pengaruh pola pemanfaatan usaha
tani lahan gambut terhadap kondisi tanah dan tata air. Sasarannya adalah model
pengelolaan lahan gambut yang optimal pada berbagai kondisi lapisan gambut dan
tata airnya.
1.3. Luaran
Paket data dan informasi teknik pengelolaan lahan gambut untuk usaha tani yang
sesuai dengan kondisi lapisan gambut dan tata airnya.
Sintesis 2010-2014
|2
II. KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
Sehubungan dengan kebijakan di Kementerian Kehutanan mengenai pengelolaan
gambut, beberapa regulasi telah disusun. Namun demikian implementasi di lapangan
agaknya belum sepenuhnya dilaksanakan.
2.1. Identifikasi regulasi yang ada
 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Dalam UU ini ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi
kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan
iklim yang di dalamnya termasuk kriteria baku kerusakan gambut.
 Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang Pengendalian kerusakan
tanah untuk produksi biomassa
Peraturan Pemerintah ini antara lain mengatur kriteria baku kerusakan tanah di
lahan basah (gambut) dengan merinci parameter yang digunakan, ambang
kritisnya, metode pengukuran, dan peralatan yang digunakan.
 Peraturan Pemerintah RI No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan
atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan
atau lahan
Peraturan Pemerintah ini mengatur upaya pencegahan, penanggulangan, dan
pemulihan serta pengawasan terhadap pengendalian kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau
lahan termasuk di dalamnya yang terjadi pada lahan gambut.
 Peraturan Menteri Pertanian No.14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman
pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit
Pedoman ini mengatur pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit
sebagai upaya mewujudkan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan
dengan tetap memerhatikan kelestarian fungsi lingkungan, dengan tujuan
mengembangkan, memelihara kelestarian fungsi lahan gambut, dan meningkatkan
produksi dan pendapatan produsen kelapa sawit.
 Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK.3706/Menhut-VII/IPSDH/2014 tentang
Penetapan peta indikatif penundaan izin baru pemanfaatan hutan, penggunaan
kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan
lain (Revisi VI)
Keputusan ini mengatur tentang penggunaan kawasan hutan yang di dalamnya
juga terdapat lahan gambut
Sintesis 2010-2014
|3
 Peraturan Pemerintah RI No. 24 tahun 2010 tentang Penggunaan kawasan hutan
yang dirubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 61 tahun 2012
Peraturan ini mengatur penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan
peruntukan kawasan hutan tersebut dengan mempertimbangkan batasan luas dan
jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan
Undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut. Undangundang ini mengatur aspek teknis kriteria dan indikator dalam melakukan
pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut secara lestari dan berkelanjutan.
2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi
Untuk mendukung kelestarian pemanfaatan lahan gambut, kebijakan yang
diambil perlu didukung oleh hasil penelitian yang akurat. Beberapa aspek teknis
pengelolaan gambut dapat diformulasikan secara nasional namun aspek lainnya akan
bersifat spesifik tergantung kondisi lokasi lahan gambut. Penetapan aspek teknis
yang masih perlu mendapat dukungan data hasil penelitian antara lain:
- Karakteristik gambut yang sesuai untuk budidaya tanaman
- Tinggi muka air optimal untuk kelestarian produksi tiap jenis tanaman yang
diusahakan dan kelestarian fungsi ekosistem gambut
- Batasan kedalaman drainase lahan gambut untuk kegiatan budidaya yang tetap
memberikan tata air optimal, baik itu untuk tanaman perkebunan, pertanian
maupun hutan tanaman industri
- Metode penyiapan lahan yang sesuai
- Pengaruh pola pemanfaatan lahan gambut terhadap karakteristik gambut dan
fungsi tata air
2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan
Permasalahan yang masih sering dijumpai di lapangan adalah tidak
terkendalinya kejadian kebakaran hutan dan hilangnya fungsi gambut sebagai
penyimpan air di saat musim kemarau. Hal tersebut masih terjadi meskipun telah ada
pengaturan tinggi muka air melalui pembuatan pintu-pintu air namun kenyataannya
saat musim kemarau tinggi muka air di gambut sangat jauh dari permukaan bahkan
berada di bawah lapisan gambut. Hal ini mengakibatkan terjadinya kerusakan pada
karakteristik gambut dan sangat rentan terhadap kebakaran.
Sintesis 2010-2014
|4
III. EVALUASI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT UNTUK
USAHA TANI
3.1. Karakteristik Lahan Gambut Kalampangan
Lahan gambut ini terletak diantara dua sungai yaitu Sungai Kahayan dan Sungai
Sebangau. Bentuk lahannya berupa dataran alluvial dari endapan bahan-bahan
alluvial berupa liat, bahan organik, atau pasir dari sungai. Ketebalan gambut dapat
mencapai 12 m dengan lapisan di bawah gambut didominasi pasir kuarsa. Gambut di
Kalampangan termasuk tipe ombrogen oligotropik yang dicirikan oleh reaksi tanah
yang masam sampai sangat masam, kapasitas tukar kation yang tinggi dan rendahnya
unsur hara tersedia bagi tanaman. Tanah gambut ini diklasifikasikan ke dalam
tropohemist dengan bahan induk didominasi sisa-sisa vegetasi berupa kayu (Tim
Fakultas Pertanian IPB, 1986).
Analisis gambut di tiap titik pengamatan menunjukkan gambut di Kalampangan
termasuk gambut kategori dalam (200 – 300 cm) atau sangat dalam (> 300 cm)
sehingga sangat sulit memanfaatkannya sebagai lahan pertanian tanpa adanya saluran
drainase. Analisis contoh gambut yang dilakukan dengan bor gambut seperti tampak
di Gambar 2 pada kedalaman berjenjang tiap 50 cm menunjukkan berbagai variasi
warna gambut yang dijumpai mulai dari 2.5Y 2/1 (hitam) hingga 10YR 5/6 (coklat
kekuningan). Pada lahan-lahan pertanian, warna gambut yang lebih gelap umumnya
dijumpai pada lapisan permukaan, sedangkan pada tutupan hutan, warna gelap dapat
dijumpai secara bervariasi di lapisan atas, tengah, atau bawah.
Gambar 1. Contoh tanah yang diambil dengan bor gambut (kiri) dan ring sampel
(kanan)
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut digolongkan menjadi gambut
fibrik, hemik, dan saprik berturut-turut mulai dari tingkat kematangan rendah hingga
tinggi (Agus et.al., 2012). Pada lahan gambut pembanding yang berupa tutupan
hutan, masih dijumpai gambut fibrik (gambut mentah) yaitu pada lapisan 0-50 cm,
selebihnya didominasi jenis hemik. Pada lahan pertanian, lapisan 50 cm pertama
hingga kedua didominasi jenis saprik, selebihnya adalah jenis hemik kecuali pada
lokasi ketiga dan keenam, lapisan gambut terakhir meripakan jenis saprik.
Sintesis 2010-2014
|5
Analisis karakteristik kimia terhadap gambut di tiga macam penutupan lahan
telah dilakukan dan hasil analisis laboratorium menunjukkan pH gambut baik di
lokasi pertanian intensif, non intensif, maupun di hutan adalah sangat masam (< 4,5).
Adanya proses oksidasi dan penambahan bahan-bahan yang digunakan sebagai input
dalam pengolahan tanah hanya mampu sedikit meningkatkan pH tanah. Di lokasi
pertanian intensif, rata-rata pH yang diperoleh adalah 3,6 sedangkan pH pada lapisan
permukaan terukur sebesar 3,7. Nilai pH ini sesuai dengan ph pada hasil penelitian
Halim (1987) yang menunjukkan ph tanah gambut di lokasi pertanian ini berkisar
3,25 sampai 3,60. pH gambut berkaitan erat dengan keberadaan asam-asam organik
yaitu asam humat dan asam fulvat (Miller dan Donahue, 1990). Pada pengamatan di
lapangan, hingga dasar lapisan gambut tidak ditemukan adanya lapisan pirit.
Semakin tebal lapisan gambut, kandungan Ca, Mg, dan K menurun dan reaksi tanah
menjadi semakin masam. Kandungan basa-basa yang rendah disertai KTK yang
tinggi menyebabkan ketersediaan basa-basa menjadi rendah. Tingginya KTK di
gambut sebagian besar ditentukan oleh vegetasi penyusun gambut yang didominasi
kayu-kayuan dimana kandungan ligninnya dalam proses dekomposisinya akan
menghasilkan asam-asam fenolat (Stevenson, 1994).
Analisis karakteristik fisik terhadap contoh terusik menunjukkan beberapa
variabel pada lahan pertanian menunjukkan besaran yang berbeda nyata terhadap
kontrol (tutupan hutan). Pengolahan lahan gambut menjadi lahan pertanian secara
nyata telah meningkatkan bobot basah, bobot kering, bulk density, serta menurunkan
kandungan airnya. Pengeringan gambut pada lahan pertanian melalui drainase dan
adanya penambahan abu dan tanah mineral telah meningkatkan kepadatan (bulk
density) gambut. Perubahan kepadatan gambut ini berpengaruh terhadap kemampuan
gambut dalam menyerap dan memegang/menyimpan air (water holding capacity).
Dari selisih total gambut basah dengan total gambut kering dapat dihitung
kemampuan gambut memegang air. Gambut pada lahan pertanian dapat menyerap air
hingga delapan kali bobot keringnya sedangkan gambut dengan tutupan hutan
mampu hingga sembilan kali.
Karakteristik fisik tanah pada lapisan permukaan dilakukan dengan menganalisis
contoh tanah tak terusik yang diambil dengan ring sample menunjukkan pengolahan
gambut pada pertanian intensif secara nyata meningkatkan variabel bulk density dan
particle density serta menurunkan pori drainase cepat dan permeabilitas. Selain
peningkatan bulk density dan penurunan pori drainase, aktifitas di lahan pertanian
juga dapat mengakibatkan pemadatan gambut (Mustamo, et.al., 2013). Perubahanperubahan pada bagian lapisan permukaan gambut ini menyebabkan perubahan
serapan gambut terhadap air sehingga dalam skala yang luas akan mempengaruhi tata
air melalui penurunan simpanan air tanah dan meningkatkan limpasan permukaan
dan debit sungai. Hasil analisis ini sejalan dengan hasil penelitian hidrologi gambut
di DAS Sebangau, Palangkaraya (Delinom, et.al., 2003) yang menunjukkan bahwa
lahan gambut yang digunakan untuk pertanian intensif, secara nyata mengakibtkan
Sintesis 2010-2014
|6
turunnya laju infiltrasi. Sedangkan penggunaannya untuk kegiatan pertambangan
telah mengakibatkan lapisan gambut menjadi hampir kedap air. Gambut yang
didrainase secara berlebihan ditambah dengan terbakarnya lapisan permukaannya
mengakibatkan turunnya kemampuan gambut dalam menyimpan air sehingga
menimbulkan respon hidrologi yang komplek. Efeknya dapat dilihat dengan
meningkatnya limpasan permukaan yang akan disertai peningkatan erosi,
peningkatan debit puncak aliran dasar pada sungai. Dampak lainnya adalah
terjadinya subsidensi akibat pemampatan/pengkerutan gambut dan oksidasi gambut
di atas muka air tanah (Price, et.al.,2003). Volume gambut akan menyusut bila lahan
gambut diberi drainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden).
Selain karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena adanya proses
dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut diberi drainase,
laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6
cm/tahun tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase (Agus
et.al., 2012).
Penurunan fungsi hidrologis gambut juga ditunjukkan oleh menurunnya
konduktivitas hidrolik (hydraulic conductivity) gambut hasil pengukuran di lapangan
hingga 280 kali lipat. Penurunan ini berbanding terbalik dengan peningkatan
kepadatan tanah (bulk density) yang akibatnya akan memperlambat pergerakan air
dalam gambut baik secara vertikal maupun horisontal sehingga akan mempengaruhi
neraca air daerah gambut (Sarkkola et.al., 2010). Namun demikian seberapa besar
penurunan fungsi gambut terdrainase dalam neraca air suatu DAS masih sulit
ditentukan secara pasti mengingat penetapan volume (ketebalan gambut) tidak bisa
dibatasi berdasarkan topografi permukaan bumi (Whitfield et.al., 2009).
3.2. Usaha tani masyarakat di lahan gambut
Di Kalampangan, lahan pertanian gambut dibuka tahun 1979 sebagai bagian
program transmigrasi sebanyak 500 kepala keluarga. Sepuluh tahun pertama
merupakan masa-masa tersulit bagi para transmigran dalam mengolah lahannya.
Sebagian transmigran, di daerah asalnya merupakan petani namun dengan kondisi
lahan yang jauh berbeda dengan lahan gambut. Di lahan gambut tersebut awalnya
mereka berusaha menanam padi namun selalu gagal dan mulai beralih ke tanaman
sayuran atau hortikultura dan mencapai keberhasilan hingga saat ini.
Pada lahan pertanian intensif petani menggunakan lahannya sepanjang tahun
hingga empat kali penanaman. Jenis tanaman yang dibudidayakan antara lain bayam,
kangkung, sawi, salad, mentimun, kacang panjang, jagung, cabe, tomat, bawang
merah, nenas, jambu, dan belimbing. Pada musim kemarau tanaman disiram dari air
yang berasal dari sumur bor. Lahan pertanian non intensif merupakan lahan pertanian
yang ditanami hanya sekali setahun, atau lahan yang vakum pengolahan selama
beberapa tahun namun masih tetap akan digunakan sebagai bidang olah tanaman
pertanian.
Sintesis 2010-2014
|7
Gambar 2. Beberapa komoditas pada pertanian intensif
Panen tanaman biasanya dilakukan tiap kapling tanaman berukuran 20 x 30 m
atau dilakukan tiap jalur/bedeng tanam dimana satu kapling terdiri dari 30 jalur
tanam. Harga komoditas yang dipanen tergantung harga di pasar yang ditentukan
oleh kelimpahan produk serupa di pasaran. Jagung dapat menghasilkan panenan
seharga 25 juta/ha, cabe 50 juta/ha, seledri 600 ribu/jalur, sawi 300 ribu/jalur, terong
200 ribu/jalur.
3.3. Kearifan lokal pengelolaan gambut
Kendala yang dihadapi petani di lahan gambut umumnya berupa kemampuan
hidup tanaman yang rendah akibat rendahnya unsur hara dan adanya asam-asam
organik dari gambut. Selain itu secara fisik mereka terkendala dengan banyaknya
tunggak pohon yang masih menutupi permukaan lahan dan sifat fisik gambut
terdrainase yang cenderung kekurangan air saat kemarau. Untuk mengatasi hal ini
petani di Kalampangan mengumpulkan sisa-sisa kayu atau tunggak yang masih
tersisa di lahan. Kayu-kayu tersebut dikumpulkan bersama sisa-sisa tanaman dan
gulma selanjutnya dibakar untuk mendapatkan abu sebagai input sebelum
penanaman.
Abu adalah masukan yang paling utama untuk memperbaiki pH, kesuburan dan
menekan pengaruh racun dari gambut dan jumlah yang diperlukan sebagai
amandemen sangat besar maka diperlukan tehnologi yang efisien dalam membuat
Sintesis 2010-2014
|8
dan memanfaatkan abu bakar atau mencari alternatif penggantinya. Abu sebagai
salah satu input utama diperoleh dengan melalui pembakaran terkendali yang
biasanya dilakukan di atas lapisan tanah mineral sebagai alasnya. Hal ini dilakukan
untuk mencegah merambatnya api kearah samping atau bawah.
Kebutuhan abu untuk tiap kali tanam berbeda untuk tiap jenis tanaman seperti
pada jagung 16 ton/ha, seledri 117 ton/ha, bayam 93 ton/ha, sawi 18 ton/ha, dan
kangkung 43 ton/ha (Jentha, 2003). Selain input abu, mereka biasa menambahkan
kapur, pupuk kandang, tanah mineral, atau pupuk kimia berupa urea, TSP, dan KCl.
Dalam setahun kapur dapat ditambahkan sebanyak 0,5 ton/ha sedangkan pupuk
kandang dari kotoran sapi sebanyak 2,5 ton/ha. Urea diaplikasikan langsung pada
tanaman dengan dosis hingga 200 gram per tanaman tergantung jenis tanamannya
sedangkan pupuk P dan K diaplikasikan dengan menyemprotkan pada daun.
Pengolahan tanah dilakukan dengan pencangkulan hingga lapisan 30 cm.
Hasil analisis statistik menunjukkan pengelolaan lahan yang intensif telah secara
nyata memperbaiki kondisi gambut dengan mengingkatnya unsur P tersedia, K
tersedia, Ca, dan K. Beberapa unsur lain juga mengalami perubahan namun tidak
nyata perbedaannya terhadap kontrol (tutupan hutan). Penambahan abu tanaman
secara nyata dapat meningkatkan ketersediaan P. Meningkatnya kandungan basabasa dapat ditukar pada lahan pertanian juga dipengaruhi oleh pemupukan dan
pemberian abu (Lubis et.al., 1993).
Pembakaran untuk menghasilkan abu memiliki risiko terbakarnya lahan gambut
disekitarnya dan adanya kabut asap. Alternatif dari penggunaan abu telah
diformulasikannya Pupuk Khusus Lahan Gambut (PUGAS) sebagai penyubur tanah
sebelum diolah yakni campuran abu vulkanik dan pupuk KCL (Kalium Clorida) dan
Urea oleh peneliti BPPT. Selain itu, Balai Penelitian Tanah juga mengeluarkan
produk PUGAM-A dari yaitu pupuk slow release berbentuk granul yang berperan
untuk mensuplai hara tanaman, juga berfungsi sebagai amelioran untuk mengurangi
pengaruh buruk asam organik beracun, mengurangi pencucian hara P dan efektif
menekan menekan emisi CO2. Pugam efektif mengurangi pencucian P karena
memiliki sifat slow release dan membentuk tapak jerapan positif pada gambut
sehingga mampu menahan pencucian P.
Dalam pengaturan tata air, petani setempat menjaga kedalaman muka air tanah
pada kisaran 25 – 40 cm. Selain adanya saluran drainase utama berukuran besar
dengan lebar hingga 3 meter, petani juga membuat saluran drainase mikro selebar
30-50 cm seperti pada Gambar 3.
Sintesis 2010-2014
|9
Gambar 3. Saluran drainase mikro (kiri) dan saluran drainase utama (kanan)
Drainase mikro dibuat sekeliling petak lahan dilengkapi dengan penutup
saluran dengan tujuan menjaga muka air tanah dan mengumpulkan/mengendapkan
partikel tanah yang terangkut aliran permukaan.
Sintesis 2010-2014
| 10
IV. PENUTUP
Lahan gambut di Kalampangan yang diolah sebagai lahan pertanian merupakan
gambut pedalaman dengan ketebalan lebih dari 3 m dan dominansi gambut saprik
pada lapisan permukaan. Pengolahannya dilakukan dengan mengatur drainase
melalui pembuatan saluran mikro, penambahan input abu, pupuk, dan tanah mineral.
Adanya perubahan tutupan lahan dari hutan ke pertanian selain menghentikan suplai
bahan organik dari suatu tutupan hutan, juga akan mempengaruhi komponen
evapotranspirasi dalam neraca air. Saat musim kemarau muka air tanah akan jauh
dari permukaan lahan sehingga tanaman akan kekeringan dan mengakibatkan daerah
ini rentan bahaya kebakaran.
Pengelolaan lahan yang intensif secara nyata memperbaiki kesuburan gambut
dengan mengingkatnya pH, unsur P tersedia, K tersedia, dan unsur lainnya,
sebaliknya pengolahan tersebut secara nyata telah menurunkan fungsi hidrologis
gambut seperti ditunjukkan dengan meningkatkan bobot basah, bobot kering, bulk
density, menurunkan kandungan airnya dan konduktivitas hidrolik.
Upaya perbaikan kondisi lahan gambut kritis akibat praktek drainase yang
berlebihan atau akibat konversi tutupan lahan dapat dilakukan antara lain dengan
memperbaiki sistem drainase yang telah ada seperti pembuatan kanal bloking.
Pemanfaatan lahan yang akan difokuskan pada penggunaannya sebagai lahan usaha
tani hendaknya tetap mempertahankan sebagian tutupan lahannya sebagai vegetasi
hutan seperti penerapan teknologi agroforestri. Pada tahap awal, jenis pohon yang
dipilih hendaknya yang mudah beradaptasi dengan kondisi aktual gambut seperti
jenis-jenis pioneer atau jenis lokal (indigenuos tree species) yang tetap
memperhatikan aspek pemanfaatan atau nilai ekonominya. Penerapan teknologi ini
diharapkan dapat mengakomodir kepentingan ekonomi petani lokal dengan tetap
menjaga kelestarian lahan gambut.
Sintesis 2010-2014
| 11
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F, IGM Subiksa, dan Wahyunto. 2012. Pengelolaan lahan gambut dalam
Membangun kembali Aceh: Belajar dari hasil penelitian dan program
rehabilitasi Aceh pasca Tsunami. Kumpulan Hasil Penelitian, Pembelajaran
dan Rekomendasi untuk Kemajuan dan Rehabilitasi di Aceh Barat dan
Sekitarnya. Janudianto, Mulyoutami E, Moeis L, Juita R, Pribadi ARA, and
Roshetko JM (eds.). World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional
Office, Bogor.
Barkah, B.S. 2009. Panduan Teknis Penutupan Kanal (Canal Blocking) dan
pengelolaannya bersama masyarakat di areal Hutan Rawa Gambut MRPP
Kabupaten Musi Banyuasin. SOP No. 03. PSF Rehabilitation. Rev 0. MRPPGTZ. Palembang - Sumatera Selatan
Foth, H.D.1994. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Terjemahan: Adisoemarto, Soenartono.
Erlangga. Jakarta.
Halim, A. 1987. Pengaruh pencampuran tanah mineral dan basa dengan tanah
gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya tanaman kedelai.
Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian: suatu peluang
dan tantangan. Orasi ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian
IPB, Bogor.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi tanah dan pedogenesis. Akademika presindo.
Jakarta.
Indriastuti. 2010. Optimalisasi pengelolaan lahan dalam upaya menekan pemanasan
global mendukung pendidikan berbasis pembangunan berkelanjutan. Makalah
Semiloka Nasional. Medan, 12-13 Pebruari 2010.
Jentha. 2003. Pemanfaatan Abu sebagai Pupuk oleh Petani di Kalampangan. Laporan
Ketrampilan Profesi. Fakultas Pertanian. Universitas Palangka Raya
Limin, S.H. 2006. Pemanfaatan lahan gambut dan permasalahannya. Masukan
singkat dalam workshop gambut. Jakarta, 22 November 2006.
Lubis, A.M., Z.Abidin, dan A.Wahid. 1993. Pengaruh abu tanam-tanaman terhadap
padi sawah di tanah gambut. Prosiding Seminar Gambut II. Himpunan Gambut
Indonesia – BPPT. 14 – 15 Januari 1993. Jakarta.
Miller, M.H. dan R.L. Donahue. 1990. Soils. An introduction to soils and plant
growth. Prenticenhall Englewood cliffs. New Jersey.
Mustamo, P., M.Hyvarinen, A.Ronkanen, and B.Klove. 2013. Peat hydraulic
conductivity in different landuses. Geophysical Research Abstracts. Vol.15
EGU2013-4219.
Sintesis 2010-2014
| 12
Najiyati, S., L.Muslihat dan I N.N.Suryadiputra. 2005. Panduan pengelolaan lahan
gambut untuk pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and
Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor
Price, J.S., A.L.Heathwaite dan A.J.baird. 2003. Hydrological processes in
abandoned and restored peatland: An overview of management approaches.
Wetlands Ecology and Management 11:65-83.
Puja, I.N. 2008. Penuntun praktikum fisika tanah. Jurusan Tanah, Fak Pertanian
Universitas Udayana. Denpasar.
Stevenson, F.J. 1994. Humus chemistry. Genesis, composition, and reaction. John
wiley and sons inc. New York.
Tim Fakultas Pertanian IPB. 1986. Gambut pedalaman untuk lahan pertanian. Dinas
pertanian tanaman pangan Propinsi Dati I Kalimantan Tengah – Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.
Whitfield, P.H., A.S.Hilaire, and G.Kamp. 2009. Improving hydrological prediction
in peatlands. Canadian Water Resources Journal 34(4):467-478.
Sintesis 2010-2014
| 13
BUKU V
PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR
PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
(ASPEK:PENGELOLAAN LAHAN PANTAI BERPASIR)
PENYUSUN:
IR. BENNY HARYADI, M.Sc.
PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc.
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
KEMENTERIAN KEHUTANAN
BOGOR 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. v
I.
PENDAHULUAN ................................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...............................................................................................
1
1.2.Tujuan .............................................................................................................
2
1.3.Luaran .............................................................................................................
2
II
KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PANTAI (PESISIR) ............................
3
2.1. Identifikasi regulasi yang ada .........................................................................
3
2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ...............................
4
2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan ..................................................
4
III. PENGELOLAAN
LAHAN
PANTAI
BERPASIR
DAN
6
PEMULIHANNYA UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN .........................
3.1. Pengembangan tanaman cemara laut (Casuarina equisetifolia) sebagai
6
tanggul angin ................................................................................................
3.2. Rehabilitasi Lahan Pantai Berpasir .................................................................
7
3.3. Pengembangan Agroecotourism di Lahan Pantai Berpasir ..............................
9
IV. PENUTUP ............................................................................................................
11
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
12
i
DAFTAR TABEL
Tabel
Hal.
1. Kebutuhan untuk pengembangan tanaman cemara laut dan tanaman
8
semusim ................................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Hal.
1. Tanaman hortikultura yang ditanam di belakang tanaman tanggul angin ...............
10
2. Cemara laut hasil cangkok (A) dan cemara laut hasil dari bibit (B) ........................
10
v
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai
(DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut dengan
kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).
Menurut Bloom, 1979 kondisi pantai di Indonesia berdasarkan bentuk lahan
(landform) terdiri dari pantai berlumpur (muddy shores), pantai berpasir (sandy
shores), dan pantai berbatu karang atau andesit. Selanjutnya Harjadi et al., 2010
menyatakan bahwa khusus untuk pulau Jawa di daerah utara didominasi pantai
berlumpur sehingga di daerah utara ada intrusi air asin dari laut masuk pesisir,
sebaliknya untuk pantai pasir Selatan Jawa didominasi formasi batuan kapur
sehingga air di pesisir kondisinya tawar.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan No 10 th 2002, pantai
berpasir adalah pantai yang material penyusunnya terdiri dari pasir bercampur batu,
yang umumnya berasal dari daratan dibawa oleh aliran sungai ataupun yang berasal
dari hulu daratan. Material yang menyusun pantai ini dapat juga berasal dari berbagai
jenis biota laut seperti terumbu karang yang ada di daerah pantai itu sendiri.
Permasalahan lahan pantai di Indonesia meliputi pengurangan garis pantai akibat
abrasi, degradasi lahan akibat erosi angin, pendangkalan muara dan sedimentasi, dan
kerusakan lingkungan. Harjadi (2012) menyatakan bahwa kerusakan pantai meliputi:
erosi, abrasi, pendangkalan muara dan sedimentasi, kerusakan lingkungan
(pemukiman, pencemaran air laut, kerusakan terumbu karang, kerusakan hutan
mangrove, bangunan). Dengan permasalahan diatas akibatnya adalah lahan pantai
menjadi terdegradasi.
Degradasi lahan adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi
kegunaan lahan untuk mendukung kehidupan. Adanya degradasi lahan menyebabkan
menurunnya fungsi ekosistem lahan tersebut, dan akan berdampak baik bagi
manusia maupun makhluk hidup lainnya. Selain itu degradasi lahan akan berdampak
pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang bergantung pada lahan sebagai
sumber penghidupannya sehingga produktivitas lahan menurun dan angka
kemiskinan akan meningkat (Barrow, 1994). Permasalahan lahan terdegradasi ini
juga terjadi di lahan pantai berpasir. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan
lahan pantai berpasir agar fungsi lahan ini menjadi optimal dan lestari.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan informasi mengenai
pengelolaan lahan pantai berpasir termasuk informasi mengenai kebijakan yang
berkaitan dengan pengelolaan lahan pantai berpasir dan beberapa langkah yang
diperlukan agar lahan pantai berpasir dapat berfungsi kembali seperti semula. Oleh
karena itu maka pengelolaan lahan pantai berpasir harus ditunjang sepenuhnya oleh
beberapa teknologi dan aturan-aturan yang mendukung.
Sintesis 2010-2014
|1
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan sintesa yang terkait dengan pengelolaan lahan pantai berpasir
adalah menyediakan informasi dan teknologi tepat guna untuk pengelolaan lahan
pantai berpasir yang didasarkan pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan.
Diharapkan informasi hasil penelitian yang telah dilakukan dapat menunjang
pengelolaan lahan pantai berpasir, sehingga lahan pantai berpasir yang terdegradasi
dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora, fauna dan secara keseluruhan sebagai
penyangga kehidupan, termasuk di dalamnya dapat meningkatkan perekonomian
rakyat.
Sehubungan dengan tujuan tersebut di atas, maka sintesa hasil penelitian ini
disusun didasarkan pada penelitian-penelitian mengenai pengelolaan lahan pantai
berpasir yang difokuskan pada lahan pantai berpasir di daerah Jawa.
1.3. Luaran
Luaran kegiatan ini adalah informasi pengelolaan lahan pantai berpasir,
khususnya di daerah Jawa.
Sintesis 2010-2014
|2
II. KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PANTAI (PESISIR)
Sehubungan dengan kebijakan pengelolaan lahan pantai berpasir beberapa
regulasi telah disusun. Namun demikian implementasi di lapangan agaknya belum
sepenuhnya dilaksanakan.
2.1. Identifikasi regulasi yang ada
1. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/Men/2002 tentang
pedoman umum perencanaan pengelolaan pesisir terpadu, bahwa hendaknya
pemanfaatan lahan pantai berpasir dilakukan secara baik dan benar sehingga dapat
berfungsi ganda, yaitu untuk mengendalikan erosi (angin) dan untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat melalui usaha budidaya tanaman semusim yang sesuai dan
bernilai ekonomis.
2. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:P.35/Menhut-II/2012
(PP No.35/Tahun 2010) tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan
No.32/Menhut II/ 2009 tentang tatacara penyusunan Teknik Rehabilitasi Hutan
dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS) pada ekosistem mangrove dan
sempadan pantai (seperti yang tercantum dalam Lampiran II PP No.35/Tahun
2010): bahwa sasaran lokasi penyusunan RTk RHL DAS untuk mangrove dan
sempadan pantai dalam kawasan hutan adalah ekosistem mangrove dan/atau
sempadan pantai yang kritis (telah rusak dan/atau rusak berat, pada hutan lindung
, pada hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional dan hutan
produksi yang tidak dibebani hak dan tidak dicadangkan /diproses perizinan untuk
pembangunan hutan tanaman (HTI/HTR). Sedangkan sasaran di luar kawasan
hutan adalah ekosistem mangrove dan/atau sempadan pantai yang kritis.
3. UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya; menyatakan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam
hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
4. UU no.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-Pulau Kecil:
menyebutkan antara lain bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil dilaksanakan dengan tujuan melindungi, mengonservasi, merehabilitasi,
memanfaatkan, dan memperkaya Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta
sistem ekologisnya secara berkelanjutan.
5. Peraturan Pemerintah RI No 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah. PP ini
menyatakan bahwa lahan di kawasan pantai yang tidak dibebani hak milik,
dikuasai oleh negara dan digunakan sesuai peruntukan/fungsinya untuk
kemakmuran rakyat. Peralihan status lahan dari lahan negara menjadi lahan yang
dilekatkan hak yang bukan tanah negara ditempuh dengan proses pelepasan atau
pembebasan hak sebagaimana diatur dalam UU Pokok Agraria.
Sintesis 2010-2014| 3
2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi
Sesuai dengan yang diamanatkan dalam peraturan perundangan, kegiatan
pengelolaan lahan pantai berpasir yang baik harus diawali dengan penyusunan
rencana pengelolaannya. Untuk menunjang perencanaan pengelolaan tersebut,
diperlukan kegiatan penelitian guna menentukan:
a. Jenis-jenis yang dapat dikembangkan pada lahan pantai berpasir, untuk
rehabilitasi lahan-lahan pantai berpasir yang terdegradasi. Kondisi fisik lahan
pantai berpasir termasuk marginal sehingga tidak sesuai untuk usaha budidaya
tanaman tertentu .Hal ini disebabkan oleh perbedaan suhu yang ekstrim pada
siang dan malam hari, udara yang sangat kering, kencangnya hembusan angin,
kandungan unsur hara rendah dan uap air yang mengandung garam sehingga
mengganggu pertumbuhan tanaman.Oleh karena itu diperlukan informasi
mengenai jenis-jenis tanaman budidaya yang sesuai dan perbaikan sifat fisik
kimia tanahnya.
b. Lahan pantai berpasir merupakan ekosistem yang unik sehingga perlu didorong
untuk meningkatkan kawasan lahan pantai berpasir melalui pengembangan
agroecotourism. Dalam pengembangannya perlu melibatkan masyarakat serta
para tokoh agama dan tokoh masyarakat.
c. Adanya kegiatan penambangan pasir besi, clay vertisol atau bentonit diperlukan
upaya reklamasi lahan bekas penambangan tersebut. Untuk itu diperlukan
informasi jenis-jenis tanaman yang cocok untuk reklamasi.
d. Lahan pantai berpasir merupakan lahan marjinal yang sangat rendah tingkat
kesuburannya, untuk itu perlu diketahui cara meningkatkan kesuburan lahan
tersebut.
e. Peran masyarakat dalam memaksimalkan fungsi lahan pantai berpasir dengan
mengoptimalkan produktivitas lahan dan menurunkan degradasi lahan sangat
diperlukan. Oleh karena itu perlu keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap
kegiatan tersebut.
2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan
Sebenarnya berbagai peraturan dan kebijakan terkait dengan pengelolan lahan
pantai telah disusun oleh Kementerian Kehutanan dan Kementerian lain, namun
dalam pelaksanaannya masih banyak permasalahan yang ditemukan di lapangan.
Beberapa permasalahan tersebut antara lain:
a. Rehabilitasi lahan pantai berpasir
Beberapa hasil penelitian telah menghasilkan teknologi rehabilitasi lahan pantai
berpasir terutama dalam hal peningkatan produktivitas lahan tersebut. Namun
demikian masih banyak ditemukan lahan pantai berpasir yang terdegradasi akibat
ditelantarkan dan ditambang pasir besinya. Oleh karena itu diperlukan strategi
Sintesis 2010-2014
|4
penanganan/peraturan perundangan yang mendorong kegiatan rehabilitasi lahan
pantai berpasir.
b. Pengembangan tanaman tanggul angin
Secara umum lahan pantai berpasir memiliki kesuburan yang sangat rendah dan
tidak sesuai untuk budidaya tanaman. Hal ini disebabkan selain oleh rendahnya
bahan organik, kandungan liat dan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman juga
karena perbedaan suhu yang ekstrim pada siang dan malam hari, udara yang
sangat kering, kencangnya hembusan angin. Kandungan unsur hara yang rendah
dan uap air yang mengandung garam-garaman sangat mengganggu pertumbuhan
tanaman (Harjadi dan Miardini,2010). Oleh karena itu perlu dikembangkan jenis
tanaman khas pantai yang dapat menjadi tanaman penahan angin.
c. Ketersediaan air tanah sangat terbatas di lahan pantai berpasir karena suhu yang
ekstrim sehingga evapotranspirasi tinggi. Walaupun musim hujan namun pada
pagi hari tanaman harus disiram karena jika tidak disiram tanaman akan mati.
Hal ini disebabkan adanya suhu tinggi dari atas permukaan tanah yang masuk ke
dalam tanah melalui pori-pori tanah akan menyebabkan akar tanaman terbakar
sehingga mematikan tanaman. Oleh karena itu diperlukan sumur renteng untuk
mensuply air agar air menjadi berlebih sehingga uap air yang ada di sekitar
perakaran segera turun. Jika uap air turun maka suhu di daerah perakaran menjadi
normal kembali. Pembangunan sumur renteng perlu dilakukan untuk menjaga
ketersediaan air di lahan pantai berpasir yang ditanami tanaman baik pohon
maupun tanaman semusim (Haryadi dan Miardini, 2010)..
d. Persepsi masyarakat tentang pantai berpasir bahwa selama ini beranggapan lahan
pantai berpasir tidak produktif. Untuk meyakinkan masyarakat tidak mudah
sehingga perlu studi banding dengan melihat fakta di lapangan. Disamping itu
perlu pendampingan kelompok tani melalui pertemuan rutin minimal sebulan
sekali dan keterlibatan masyarakat pada saat penanaman. Dengan demikian perlu
upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar terlibat dalam pengelolaan
lahan pantai berpasir.
Sintesis 2010-2014| 5
III. PENGELOLAAN LAHAN PANTAI BERPASIR DAN
PEMULIHANNYA UNTUK LINGKUNGAN
3.1. Pengembangan tanaman cemara laut (Casuarina equisetifolia)
tanggul angin
sebagai
Lahan pantai berpasir memiliki kesuburan tanah yang rendah karena selain
kandungan bahan organik,liat dan unsur hara yang rendah, juga kondisi fisik lahan
pantai berpasir seperti suhu kurang mendukung pertumbuhan tanaman. Menurut
Harjadi dan Miardini (2010), perbedaan suhu yang ekstrim pada siang dan malam
hari, udara yang sangat kering,kencangnya hembusan angin, kandungan unsur hara
yang rendah dan uap air yang mengandung garam akan sangat mengganggu
pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu pengembangan jenis-jenis pohon yang dapat
tumbuh di daerah ini perlu dilakukan.
Salah satu jenis tanaman yang dapat dikembangkan di daerah ini selain untuk
meningkatkan kesuburan lahan pantai berpasir, juga dapat berfungsi sebagai tanggul
angin adalah cemara laut atau cemara udang. Pengalihan cemara laut dari nama
sebenarnya cemara udang merupakan strategi keamanan agar tanaman tidak dicuri
oleh masyarakat yang tahu bahwa cemara udang berfungsi sebagai tanaman hias.
Cemara laut merupakan jenis tanaman khas pantai yang potensial untuk rehabilitasi
lahan dan konservasi tanah (RLKT) pantai berpasir. Jenis ini mampu menahan angin
laut dan uap air. Dengan teknik rehabilitasi menggunakan cemara laut, lahan pantai
berpasir yang semula gersang, kering, tandus dan tidak dimanfaatkan, dapat
meningkat produktivitasnya sehingga mendatangkan keuntungan bagi masyarakat.
Penanaman tanaman cemara laut adalah salah satu teknik konservasi tanah
secara vegetatif dan bersifat permanen. Teknik ini berhasil diterapkan di Kebumen,
JawaTengah dengan partisipasi aktif Kelompok Tani Pasir Makmur mulai dari
perencanaan,pelaksanaan, pemeliharaan dan evaluasi (Haryadi dan Octavia, 2008).
Tanaman cemara laut yang dikembangkan berasal dari perbanyakan generatif.
Bibit dari perbanyakan generatif menghasilkan penampilan cemara laut dewasa yang
lebih kokoh dan tajuk yang indah dibandingkan bibit dari cangkok. Bibit cemara laut
yang dipakai adalah bibit yang berasal dari induk yang sehat, dengan kriteria
memiliki batang coklat, daun hijau gelap dan ukuran diameter batang ½ cm atau
keliling batang sekitar 2 cm dengan umur bibit sekitar 6 bulan sampai satu tahun.
Adanya cemara laut dapat meningkatkan infiltrasi karena dapat meningkatkan
granulasi dan infiltrasi tanah, memperbaiki unsur hara, dan mempertahankan kadar
air tanah di bawah tegakan. Perbaikan kondisi tanah dan iklim mikro tersebut
menyebabkan lahan pantai berpasir pada zona setelah tegakan cemara laut dapat
digunakan untuk budidaya tanaman semusim dan hortikultura.
Sintesis 2010-2014
|6
Disamping itu tegakan cemara laut yang rimbun dapat menciptakan suasana
yang sejuk sehingga dapat menambah daya tarik untuk wisata pantai. Menurut
Harjadi et al, 2009 tercatat selama 4 tahun telah terjadi peningkatan kunjungan
sebesar 21%. Hal tersebut terjadi karena setelah umur 4 tahun, tanaman cemara laut
dapat berfungsi sebagai tanaman peneduh sinar matahari bagi wisatawan yang
mengunjungi pantai tersebut.
Dalam aplikasinya, penanaman cemara laut dapat dilakukan dengan sistem strip
cropping, yaitu melakukan penanaman secara baris (larikan). Penanaman berbaris
tegak lurus terhadap arah aliran air atau arah angin dengan jarak 5 x 5 m setiap
jalurnya. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam pengembangan tanaman ini
agar upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air pada lahan pantai berpasir
dapat berhasil.
3.2. Rehabilitasi lahan pantai berpasir
Upaya rehabilitasi lahan pantai berpasir dilakukan untuk mengendalikan erosi
angin, memperbaiki iklim mikro dan meningkatkan produktivitas lahan. Untuk
melakukan rehabilitasi lahan pantai berpasir, tanaman yang ditanam pertama kali adalah
tanaman yang dapat mengendalikan erosi angin agar tanaman yang ada di belakangnya
dapat tumbuh dengan baik. Berdasarkan uji coba yang telah dilakukan oleh Haryadi
dan Octavia (2008), pada lahan pantai berpasir di Desa Karanggadung, Kecamatan
Petanahan, Kabupaten Kebumen tanaman yang tepat sebagai tanggul angin
permanen adalah cemara laut (Casuarina equisetifolia).
Cemara laut (Casuarina equisetifolia) sebagai tanaman tanggul angin permanen
dapat ditanam di tepian pantai dari jarak air pasang 50 m sepanjang 750 m searah
garis pantai dengan lebar 25 m. Tanaman tersebut berfungsi sebagai tanaman
penghijauan untuk melindungi tanaman budidaya yang ditanam di antara jalur
tanaman tanggul dari pengaruh erosi pasir, tiupan angin dan kadar garam. Metode
tanam tanaman tanggul tersebut dilakukan dengan jarak tanam 5 m x 5 m setiap
jalurnya, dengan model “nguntu walang“ (‘gigi belalang’) dengan 5 jalur tanam .
Penanaman cemara laut sebaiknya sore hari (jam 15.00- 18.00), agar tidak terjadi
layu akibat pengeringan mendadak setelah ditanam (Harjadi et al., 2009). .
Penanaman cemara laut paling cocok ditanam pada bulan Januari dan September
dimana suhu udara pada siang hari turun paling rendah mencapai 24 oC. Pada kedua
bulan tersebut juga ditunjang kondisi kecepatan angin tertinggi yang menyebabkan
suhu menurun yaitu pada bulan Januari 21 m/det dan bulan September 14 m/det.
Musim penghujan juga merupakan faktor pendukung penanaman dilakukan pada
kedua bulan tersebut yaitu bulan-bulan setelah penanaman curah hujan mengalami
peningkatan. Pada bulan Januari maka curah hujan akan mulai meningkat di bulan
Februari yang seblumnya pada saat awal tanaman stres kekurangan air. Begitu juga
pada bulan September akan diikuti bulan-bulan berikutnya dengan curah hujan yang
semakin meningkat sampai bulan Desember (Harjadi et al., 2009). Kebutuhan air
Sintesis 2010-2014| 7
musim kemarau dan musim penghujan berbeda dengan cara menghitung dari ukuran
gembor 5 liter dan diulang 3 kali setiap pagi dan sore, jadi kebutuhan air untuk
tanaman per 14 m2 adalah 5 dm3x 2 x 2 = 20 dm3 atau 30 liter atau setebal = 20/100
m3 : 14 m2 = 0,0014 m = 1,4 mm (Harjadi et al., 2009). Secara garis besar,
kebutuhan tanaman cemara laut dan tanaman semusim untuk pertumbuhannya
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan untuk pengembangan tanaman cemara laut dan tanaman semusim
No
1
Kebutuhan
Cemara laut
- Air /tanaman (disiram pagi dan sore)
- Jarak tanam
- Bulan penanaman
- Waktu penanaman
- Kecepatan angin
- Mikoriza
- Biomassa/Serasah
- Bahan organik/lobang tanam
- Pupuk kimia komposit
2.
Tanaman semusim
- Ameliorant/tanah liat
- Pupuk kimia ZA,Urea,KCl, TSP
Sumber: Beny et al., 2009
Keterangan
30 liter
5x5 m
Januari dan September
Sore hari (15.00-18.00)
14-21 m/detik
1 ember tanah di perakaran
1 ember (1 kg)
3 kg
200 kg/ha (1/2kg/tanaman)
20 ton/ha unt MT I
200 kg/ha
Ketersediaan air dalam rehabilitasi lahan pantai berpasir sangat menentukan
keberhasilan tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Mengingat kondisi iklim yang
ekstrim panas, curah hujan yang rendah, kondisi tanah yang kurang subur dan
ketersediaan air rendah perlu dilakukan upaya penyediaan air yang cukup bagi tanaman.
Adapun penyediaan air dengan sarana pengairan menggunakan bak tampung dari besi
beton yang dipasang secara berentengan. Sumur renteng tersebut dipakai untuk
persediaan cadangan air tawar sepanjang waktu, khususnya pada masa pertumbuhan
tanaman yang diperlukan penyiraman air tawar rutin sehari dua kali pagi dan sore.
Tanaman budidaya yang bisa dikembangkan di lahan pantai berpasir adalah
bawang merah, cabe merah, jagung, pepaya California dan semangka dengan
beberapa kombinasi.
Tanaman budidaya ini ditanam di antara jalur tanaman tanggul angin. Adapun
kebutuhan bibit per hektar dari masing-masing tanaman budidaya tersebut, yaitu: a)
Bawang merah sebanyak 200 kg, b) Cabe merah keriting sebanyak 50 pak (5 kg),
dan c) benih jagung 20 kg.
Dosis ameliorat pupuk kandang untuk meningkatkan produktivitas tanamantanaman budidaya tersebut sebanyak 20 t/ha untuk MT I, untuk dosis pupuk kimia per
hektar seperti ZA, urea, KCl, dan TSP masing-masing sebanyak 200 kg.
Sintesis 2010-2014
|8
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mengingat lahan pantai
berpasir memiliki kesuburan tanah yang rendah, kondisi lingkungan terutama
temperatur yang ekstrim dan kecepatan angin yang cukup tinggi maka perlu dicari
solusi pemecahannya untuk meningkatkan produktivitas lahan pantai berpasir
tersebut. Peningkatan produktivitas tersebut dapat dilakukan dengan pemberian
perlakuan penambahan bahan ameliorant seperti: pupuk kandang, top soil, NPK,
TSP, Urea, ZA, KCl. Untuk membantu penyerapan bahan nutrisi dalam tanah, maka
diperlukan bibit yang bermikoriza atau dengan cara mengambil tanah sekitar
perakaran tanaman yang sudah ada di pantai, misalnya pada tanaman pandan berduri
atau pada tanah sekitar tanaman gamal.
Pupuk kandang yang merupakan pupuk organik biasa digunakan dalam
pertanian sangat berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah dengan peningkatan
ketersediaan unsur hara, seperti nitrogen yang ditangkap bakteri dalam tanah.
Disamping itu dengan adanya pupuk kandang maka organisme yang lebih tinggi
dapat hidup dari jamur dan bakteri dalam rantai kehidupan yang membantu jaring
makanan tanah. Top soil sangat diperlukan karena top soil mengandung liat yang
cukup tinggi sehingga akan meninggatkan buffer capacity (kemampuan menyangga)
unsur hara tinggi sehingga hara akan tersedia dalam tanah tersebut. Pupuk kimia
sangat diperlukan terutama untuk ketersediaan hara-hara seperti: N,P,K.
Selain kebutuhan tersebut di atas, kebutuhan air juga sangat diperlukan dalam
rehabilitasi lahan pantai berpasir. Pemberian air pada lahan pantai berpasir harus
dilakukan setiap saat karena sebagai perawatan tanaman di pantai berpasir yang
sangat berperanan adalah ketersediaan air yang cukup. Tanaman yang ditanam di
pantai berpasir butuh penyiraman rutin sehari 2 kali pagi dan sore. Penyiraman harus
segera dilakukan sehabis turun hujan, sebab kalau tidak dilakukan penyiraman
sehabis hujan maka panas dari bawah tanah akan naik ke atas permukaan dan
menyebabkan akar terbakar dan daun-daun menjadi layu. Ketersediaan air dapat
dilakukan melalui pembangunan sumur berenteng.
Karena di lahan pantai berpasir tingkat evapotransirasi tinggi, maka perlu dijaga
kelembabannya. Salah satu caranya adalah dengan pemberian mulsa. Mulsa yang
berasal dari biomasa serasah daun-daun yang berguguran untuk menjaga kelembaban
tanah dan mengurangi evaporasi tanah, sehingga kondisi tanah berpasir tetap lembab
mengandung air. Pemberian mulsa ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim mikro
yang nyaman dan sejuk bagi pertumbuhan tanaman.
3.3. Pengembangan agroecotourism di lahan pantai berpasir
Pengembangan agroecotourism di lahan pantai berpasir mempunyai prospek
yang cukup menjanjikan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Harjadi dan Octavia
(2008) di desa petanahan kebumen menunjukkan bahwa dengan potensi alamnya
yang unik yaitu adanya sand dune (bukit pasir), yang terbentuk dari akumulasi pasir
yang terbawa oleh angin, daerah ini memiliki prospek yang cukup bagus untuk
Sintesis 2010-2014| 9
agroecotourism. Keindahan bukit ini tidak hanya bentuknya tetapi juga tekstur
permukaan yang unik akibat hembusan angin.
Pengembangan tanaman tanggul angin yaitu tanaman Casuarina equisetifolia di
lahan yang akan dijadikan obyek wisata sangat diperlukan. Tanaman ini berfungsi
sebagai filter terhadap percikan air garam, mengurangi kecepatan angin dan
memberikan dampak yang nyata dalam perbaikan iklim mikro daerah setempat.
Di belakang tanaman tanggul angin ini dapat ditanam beberapa tanaman
hortikultura seperti cabe, semangka, jagung, dan tanaman-tanaman lain (Gambar 1
dan 2). Sebenarnya lahan ini sangat marginal namun dengan pengolahan tanah yang
relatif intensif, ternyata dapat meningkatkan produktivitas lahannya. Perbaikan
kondisi biofisik lahan dilakukan dengan cara penambahan ameliorant, pupuk
kandang dan kompos yang pada akhirnya dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia
tanah (Tabel 1).
Gambar 1.Tanaman hortikultura yang ditanam di belakang tanaman tanggul angin
(Harjadi et al., 2009)
A
B
Gambar 2. Cemara laut hasil cangkok (A) dan cemara laut hasil dari bibit (B) (Foto:
Harjadi et al., 2009)
Sintesis 2010-2014
| 10
DAFTAR PUSTAKA
Bloom, A. L. 1979. Geomorphology: A Systematic Analysis of Late Cenozoic
Landforms. Prentice-Hall of India, ND 110001.
Barrow, C.J.1994..Land Degradation. Cambridge University Press. (2nd edition).316 p.
Harjadi, B. dan A.Miardini. 2009. Cemara laut, mengubah pantai berpasir yang
marginal menjadi potensial. Leaflet. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan
Pengelolaan DAS (BPTKPDAS) Solo.
Harjadi, B., dan A. Miardini. 2010. Penanaman Cemara Laut (Casuarina
equisetifolia LINN) Sebagai Upaya Pencegahan Abrasi di Pantai Berpasir
Harjadi, B., Purwanto., A.Miardini., Gunawan., Siswo., dan A.Budiono. 2009.
Pengembangan agroekosistem pada lahan pantai berpasir. Balai Penelitian
Kehutanan Solo. Surakarta.
Harjadi, B., dan Octavia, D., 2008. Penerapan teknik konservasi tanah di pantai
berpasir untuk agrowisata. Info Hutan Vol. V, No. 2, Tahun 2208. Dephut.,
Balitbanghut, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA). Bogor.
PP. No.10/Tahun 2002. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
Kep.10/Men/2002 Tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir
Terpadu. Jakarta 9 April 2009.
PP. No 16/Tahun 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2004, Tentang Penatagunaan Tanah.
PP. No. 35/Tahun 2010. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :
P. 35/Menhut-Ii/2010, Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.32/Menhut-Ii/2009 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS).
UU. No. 27/Tahun 2007. Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 27 Tahun
2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Andi Mattalatta).
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84.
Sintesis 2010-2014
| 12
BUKU VI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR
PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
(PENELITIAN PENUNJANG)
DAFTAR ISI
JUDUL / PENULIS
Hal.
1.
INTEGRASI KESESUAIAN LAHAN DAN TABEL VOLUME
TANAMAN JENIS ANDALAN SETEMPAT / DR. TYAS
MUTIARA BASUKI ..................................................................................... 1
2.
REHABILITASI LAHAN TERDEGRADASI DENGAN JENIS
LOKAL / GUNARDJO TJAKRAWARSA .................................................. 7
3.
TEKNIK
REHABILITASI
LAHAN
KRITIS
SECARA
PARTISIPATIF / Ir. NINING WAHYUNINGRUM, M.Sc .........................33
4.
SISTEM
MITIGASI
TANAH
LONGSOR
DALAM
PENGELOLAAN DAS / BENY HARJADI .................................................55
5.
PENGELOLAAN
SUMBERDAYA
LAHAN
DAN
AIR
PENDUKUNG / DEWI ALIMAH, S. Hut., RUSMANA, S. Hut.,
Drs. RAHARDYAN NUGRAHA ADI .........................................................63
6.
KAJIAN DAMPAK PENANAMAN JENIS PENGHASIL KAYU
TERHADAP TATA AIR / Drs. RAHARDYAN NUGROHO ADI,
DIAN CAHYO BUWONO ...........................................................................69
7.
TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT / BINA
SWASTA SITEPU, S.Hut .............................................................................77
8.
KAJIAN
KELAYAKAN
TEKNIK
AERIAL
SEEDING
(FORMULASI BAHAN PERLAKUAN BENIH UNTUK TEKNIK
AERIAL SEEDING) / Ir. HERMIN TIKUPADANG, MP ...........................85
9.
PENDEKATAN PARTISIPATIF DALAM PENGEMBANGAN
MODEL RKTA PADA DAS MIKRO JENEBERNG DAN
SADDANG / Ir. M. KUDENG SALLATA, M.Sc ........................................93
10.
Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Wilayah DAS Mahakam (2011) Strategi Peningkatan Partisipasi
Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Wilayah DAS
Mahakam (2012) Pembangunan Model Kemitraan Rehabilitasi Hutan
dan Lahan di KHDTK Samboja (2013-2014) / FAIQOTUL FALAH,
103
S.Hut, M.Si ....................................................................................................
JUDUL PENELITIAN : INTEGRASI KESESUAIAN LAHAN DAN TABEL
VOLUME TANAMAN JENIS ANDALAN SETEMPAT
PELAKSANA
: DR. TYAS MUTIARA BASUKI
INSTANSI
: BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelaksanaan pembangunan hutan dalam rangka rehabilitasi maupun penghijauan lahan
sering terkendala dengan adanya keengganan masyarakat pemilik lahan untuk berpartisipasi. Hal tersebut disebabkan oleh penanaman dengan tanaman kayu-kayuan menurut
mereka belum dapat memberikan hasil yang pasti. Kepastian hasil ini merupakan masalah
klasik dari kegiatan pembangunan hutan karena jangka waktu pemungutan hasilnya yang
relatif lebih lama dibandingkan dengan tanaman pertanian.
Ketidak pastian hasil ini salah satunya berkaitan dengan adanya kegagalan yang
diakibatkan oleh ketidaksesuaian jenis tanaman yang dikembangkan dengan kondisi setempat, maupun ketidak pastian berapa hasil kayu yang bisa dipungut. Pada umumnya
masyarakat menginginkan hasil yang pasti, yang dapat memberi manfaat untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Seorang petani pemilik lahan, dihadapkan pada masalah tentang
pemilihan jenis tanaman yang dibudidayakan sekaligus prediksi pendapatan yang dapat
diperoleh dari usaha tersebut.
Hasil penelitian Nathan (2009) menunjukkan bahwa jenis Gmelina arborea dan
Paraserienthes falcataria sangat baik pertumbuhannya pada seri tanah berpasir yang porus
dengan kelembaban tanah dan kapasitas tukar kation tingkat sedang. Dilain pihak, Manson
et al. (2013) mendapatkan bahwa Eucalyptus grandis dan Eucalyptus pellita memberikan
respon pertumbuhan yang kuat terhadap variasi rata-rata hari hujan tiap bulan. Untuk
mengetahui variabel atau parameter mana yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman, Martin et al. (2010) menggunakan stepwise analysis dalam penelitiannya.
Berdasarkan analisis regresi tersebut diperoleh bahwa indikator kualitas lahan mempunyai
pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tergantung speciesnya. namun demikian
posisi tegakan di dalam suatu lereng dan sifat-sifat tanah berpengaruh kuat terhadap enam
jenis tegakan yang diteliti
B. Tujuan
Tujuan penelitian adalah mengintegrasikan konsep kesesuaian lahan sebagai pengganti
bonita dengan tabel tegakan.
II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT JUDUL
PENELITIAN
A. Identifikasi Regulasi yang Ada
Upaya rehabilitasi dan reklamasi hutan telah ditetapkan dengan PP. 76 Tahun 2008.
Dalam Pasal 4 tentang pola umum rehabilitasi dan reklamasi hutan disebutkan bahwa
Sintesis 2010-2014 | 1
penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan harus memperhatikan ekosistem
setempat. Dalam penjelasan PP tersebut diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “aspek
ekosistem”, adalah bahwa dalam rangka pengelolaan DAS harus memperhatikan daya
dukung lahan (land capability) dan kesesuaian lahan (land suitability) serta memperhatikan
keanekaragaman jenis dan tingkat kerentanan terhadap hama penyakit. Selanjutnya dalam
buku Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai RTkRHL-DAS
(Peraturan Menetri Kehutanan RI No. P.32/Menhut-II/2010) disebutkan bahwa dalam
rangka rehabilitasi lahan kritis dan peningkatan produktivitas lahan perlu didukung dengan
analisis kemampuan dan kesesuaian penggunaan lahan serta memetakan kesesuaian jenis
tanaman.
B. Analisis Kebutuhan Penelitian
Pemilihan jenis tanaman dapat menggunakan informasi yang berkaitan dengan
kesesuaian lahan jenis-jenis tanaman tertentu seperti yang terdapat dalam buku Pedoman
Teknis Klasifikasi Kemampuan Penggunaan dan Kesesuaian Lahan (Wahyuningrum et al,
2003). Dari informasi tersebut diperoleh alternatif jenis-jenis yang dapat dikembangkan di
suatu lokasi dengan kondisi biofisik lahan tertentu. Namun demikian belum dapat diprediksi berapa hasilnya (volume) pada jangka waktu tertentu pada kondisi lahan tertentu.
Untuk memprediksi volume tegakan, dapat memanfaatkan tabel volume suatu jenis tanaman seperti pada buku Tabel Tegakan Sepuluh Jenis Kayu Industri (Herbagung, 2010; Puslitbang Hutan, 1993). Pada buku ini dapat diperoleh informasi tabel prediksi pertumbuhan
suatu jenis tanaman pada kelas bonita tertentu pada periode umur tanaman. Namun
demikian kelas bonita disini tidak menjelaskan dengan rinci kondisi biofisik lahannya.
Dalam aplikasi di lapangan tabel ini akan sulit diterapkan, karena indikator bonita ditentukan oleh peninggi tanaman, dengan demikian akan mustahil digunakan pada lokasi lahan
yang masih kosong tanpa tegakan.
Berdasarkan kelebihan dan kekurangan masing-masing metode tersebut, maka dalam
penelitian ini dilakukan pengintegrasian antara metode kesesuaian lahan dan metode kelas
bonita. Dalam pengintegrasian ini dianalisis pertumbuhan tegakan pada berbagai kondisi
biofisik yang berbeda, terutama sifat-sifat tanah, kondisi lahan secara umum (lereng,
fisiografi, dsb), dan kondisi iklim.
III. SINTESIS HASIL PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan pada tahun 2013-2017.
Lokasi. Kesesuaian lahan untuk tanaman Mahoni dilaksanakan di KPH Gundih, Kabupaten
Grobogan (DAS Tuntang) dan BKPH Candiroto, KPH Kedu Utara, Kabupaten Temanggung (DAS Serayu). Untuk jenis sengon penelitian dilakukan di KPH Kedu Selatan,
Kabupaten Wonosobo (DAS Serayu). Tegakan mahoni yang diteliti di BKPH Gundih
umur 13 sd 43 tahun, sedangkan di BKPH Candiroto umur 3 sd 61 tahun. Tanaman sengon
yang diteliti umur 1 s/d 11 tahun.
Sintesis 2010-2014 | 2
Rancangan Penelitian. Rancangan peneltian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Penentuan jenis-jenis andalan setempat yang banyak diusahakan dan menguntungkan.
b. Identifikasi penyebaran jenis-jenis yang diteliti pada berbagai kondisi biofisik yang
berbeda.
c. Penentuan lokasi prioritas yang diteliti.
Pada prinsipnya kegiatan evaluasi menentukan kelas kesesuaian lahan untuk jenis
tertentu merupakan kegiatan survei dan interpretasi dari kondisi iklim, lahan, tegakan dan
informasi lain yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman (Wahyuningrum,
2008). Kegiatan penelitian dilakukan dengan metode survei dengan pembuatan petak ukur.
Survei dilakukan dengan membuat petak ukur yang disesuaikan dengan kondisi di
lapangan pada lahan yang sudah ditumbuhi tanaman dan diketahui umurnya. Dalam petak
ukur tersebut dideskripsikan parameter lahan dan diukur parameter tegakan. Kelas kesesuaian lahan dinilai berdasarkan metode yang ada pada buku pedoman penilaian kelas
kesesuaian lahan oleh Lembaga Penelitian Tanah (CSR/FAO, 1983) dan disesuaikan dengan pedoman yang dibuat Wahyuningrum et al. (2003).
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang disampaikan saat ini merupakan hasil sementara karena penelitian baru mulai dilaksanakan pada tahun 2013.
1.
Tanaman Mahoni
Untuk mendapatkan variasi tempat tumbuh tanaman mahoni maka data dari BKPH
Candiroto dan dari BKPH Gundih diintegrasikan untuk membangun persamaan regresi.
Lokasi di BKPH candiroto mempunyai ketinggian 250 hingga 830 m dpl dan solum tanah
dalam (>120 cm), sedangkan di BKPH Gundih ketinggian tempat hanya berkisar antara 90
s/d 135 m dpl, dengan solum tanah yang dangkal mayoritas 20 s/d 30 cm.
Hasil analisis hubungan antara pertumbuhan tegakan dengan kondisi lahan tanpa
menyertakan informasi kondisi lereng dan iklim diperoleh kelas sesuai, sesuai marjinal,
dan tidak sesuai. Tiga kelas kesesuaian juga diperoleh pada waktu variabel lereng diintegrasikan dalam analisis. Selain kedua analisis di atas juga dilakukan analisis tegakan
dengan menyertakan variabel iklim tanpa mengikutkan lereng. Hasil yang diperoleh hanya
kelas sesuai marjinal dan tidak sesuai. Demikian juga pada waktu variabel lereng dan iklim
digunakan dalam analisis, hanya dua kelas kesesuaian yang diperoleh.
Konsistensi hasil, yakni pertumbuhan tertinggi dicapai pada kelas sesuai, diikuti sesuai
marjinal, dan tidak sesuai jika variabel kedalaman tanah, lereng, dan iklim diikut-sertakan
atau variabel kedalaman tanah dan iklim diikutkan dalam analisis. Dalam hal ini kemungkinan karena variabel lereng yang diukur adalah lereng makro, dan secara umum terlihat
adanya terasering sehingga bidang olah yang ditanamai mahoni sesungguhnya tidak begitu
miring dan tidak berpengaruh secara nyata pada pertumbuhan tanaman mahoni.
Kondisi lahan di KPH Gundih pada petak-petak ukur yang dijadikan penelitian
menunjukkan ketidak sesuaian untuk tanaman mahoni, terutama karena solum tanahnya
yang dangkal. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tegakan tersebut dapat
tumbuh dengan cukup baik sampai umur yang cukup tua, dalam penelitian ini 43 tahun.
Jika dibandingkan dengan tabel tegakan yang disusun oleh Pusat Litbang Hutan dalam
Sintesis 2010-2014 | 3
Herbagung (2010), terlihat bahwa pertumbuhan yang ada di KPH Gundih yang secara teoritis berdasarkan kriteria yang digunakan tergolong sesuai marginal dan tidak sesuai pada
beberapa plot yang diukur mempunyai pertumbuhan diameter yang menyerupai diameter
tegakan pada bonita II untuk pertumbuhan diameternya, namun pada pertambahan tinggi
hanya menyerupai sampai dengan umur kurang dari 20 tahun.
40
a
b
60
Tinggi total (m)
Diameter (cm)
80
40
Bonita I
20
Bonita II
30
20
Bonita I
10
Bonita II
Sesuai Marginal
Sesuai Marginal
0
0
0
20
40
Umur (tahun)
Gambar 1.
60
80
0
40
Umur (tahun)
60
80
Hubungan diameter (a) dan tinggi total (b) dengan umur tegakan mahoni pada
kelas lahan sesuai marginal, serta perbandingannya dengan tabel bonita.
80
40
a
60
Tinggi total (m)
Diameter (cm)
20
40
Bonita I
20
Bonita II
Tidak Sesuai
0
0
20
Gambar 2.
40
Umur (tahun)
60
80
b
30
20
Bonita I
10
Bonita II
Tidak Sesuai
0
0
20
40
Umur (tahun)
60
80
Hubungan diameter (a) dan tinggi total (b) dengan umur tegakan mahoni pada
kelas lahan tidak sesuai, serta perbandingannya dengan tabel bonita.
Hasil analisis kesesuaian lahan dengan data sekunder untuk DAS Tuntang menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil arealnya yang sesuai untuk tanaman mahoni. Pembatas
utama yang sering dijumpai adalah kombinasi antara drainase dan kemasaman tanah, pembatas berikutnya adalah kedalaman tanah. Oleh karena kenyataan di lapangan tanaman
mahoni tetap dapat tumbuh pada lahan-lahan yang tergolong marginal dengan solum yang
dangkal, maka kriteria kelas kesesuaian lahan untuk tanaman mahoni perlu dikaji ulang.
2.
Tanaman Sengon
Karakteristik lahan yang merupakan hambatan utama untuk pengembangan tanaman
sengon pada lokasi penelitian Wonosobo adalah lereng makro. Berdasarkan kriteria yang
digunakan, di lokasi penelitian dijumpai tiga kelas kesesuaian, yaitu sesuai, sesuai marjinal, dan tidak sesuai. Oleh karena faktor iklim dan sifat-sifat tanah bukan merupakan suatu
Sintesis 2010-2014 | 4
hambatan, maka dalam analisis kesemua variabel-variabel tersebut digunakan secara bersamaan.
Pertumbuhan diameter tegakan sengon pada kelas sesuai dan sesuai marginal terlihat
mirip dengan kelas bonita II (Gambar 3.) untuk pertambahan diameternya, sedangkan untuk total tinggi hanya sampai dengan umur sekitar tujuh tahun. Untuk kelas tidak sesuai
mempunyai pertumbuhan yang mirip dengan bonita II pada waktu umur kurang dari 4
tahun.
40
a
40
30
20
Sesuai dan sesuai
marginal
10
Tinggi total (m)
Diameter (cm)
50
b
30
20
Sesauai dan sesuai
marginal
10
Bonita II
Bonita II
0
0
0
5
10
15
0
Umur (tahun)
Gambar 3.
10
Umur (tahun)
15
Hubungan diameter (a) dan tinggi total (b) dengan umur tegakan sengon pada kelas lahan
sesuai dan sesuai marginal, serta perbandingannya dengan tabel bonita.
50
40
40
Tinggi total (m)
Diameter (cm)
5
30
20
Tidak sesuai
10
Gambar 4.
5
10
Umur (tahun)
20
10
Tidak sesuai
Bonita II
Bonita II
0
0
0
30
15
0
5
10
Umur (tahun)
15
Hubungan diameter (a) dan tinggi total (b) dengan umur tegakan sengon pada kelas
lahan tidak sesuai serta perbandingannya dengan tabel bonita.
Untuk kelas kesesuaian sengon di DAS Serayu hanya sebagian kecil lahannya yang
termasuk kelas sesuai, walau kenyataannya tanaman sengon tersebut banyak diusahakan di
DAS Serayu. Jenis faktor pembatas yang paling banyak didapati pada kelas sesuai marjinal
maupun tidak sesuai adalah kombinasi antara w (wetness), s (soil) dan sd (soil depth).
Faktor w merupakan kondisi drainase tanah, s dapat berupa kemiringan lahan, tekstur,
persentase batuan permukaan dan batuan singkapan, sedangkan sd merupakan kondisi
kedalaman tanah.
IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian yang bisa diterapkan nantinya adalah tabel kelas kesesuaian lahan dengan pertumbuhan tanaman sengon dan mahoni berdasarkan grafik yang dibuat. Namun
demikian penelitian ini masih memerlukan banyak informasi pertumbuhan tanaman yang
diteliti dengan berbagai variasi biofisik.
Sintesis 2010-2014 | 5
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Tanaman mahoni dan sengon yang diteliti tergolong baik pertumbuhannya, namun
lahan tempat tumbuhnya diklasifikasikan kedalam kelas tidak sesuai. Oleh karena itu perlu
dilakukan pencermatan kembali kriteria yang digunakan dalam klasifikasi kesesuaian
lahan. Dalam hal ini pembagian kedalaman solum, mengingat tanaman yang diusahakan
adalah tanaman tahunan yang pada waktu besar perakarannya dapat menembus lapisan
tanah yang dalam. Selain itu juga kemiringan lereng apakah yang dimasukan lereng makro
atau lereng dimana tanaman tumbuh pada bidang olah.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan. 2010. Rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan daerah aliran
sungai (RTkRHL-DAS.
CSR/FAO., 1983. Reconnaice land resources surveys 1:250000. Scale, Atlas Format
Procedures. Ministry of Agriculture and FAO/UNDP. Bogor, 106 p.
Herbagung, 2010. Teknik dan perangkat pengaturan hasil: Sintesa Hasil Penelitian
Kuantifikasi Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Manson, D.G., Schimdt, S., Bristow, M., Erskine, P.D., 2013. Species-site matching in
mixed species plantations of native trees in tropical Australia. Agroforestry
Systems 87 (1): 233 – 250.
Nathan, R., 2009. Species-site matching and growth prediction of three forest palntation
species Tawau, sabah, malaysia. MSc. Thesis. Faculty of Forestry, Universiti
Putra Malaysia.
Priyono, C.N.S., Savitri, E., 1999. Pedoman teknis kesesuaian lahan dan jenis-jenis HTI.
Pedoman Teknis. Balai Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan., 1993. Tabel tegakan sepuluh jenis kayu
industri. Cetakan kedua. Puslitbang Hutan, Bogor. 39 p.
Wahyuningrum, N., Priyono, C.N.S., Haryadi, B., Savitri, E., Sudimin, dan Sudirman.,
2003. Pedoman teknis klasifikasi kemampuan penggunaan lahan dan
kesesuaian lahan. Info DAS No.15:1-13.
Wahyuningrum, N., 2008. Evaluasi lahan: Kesesuaian dan kemampuan lahan. Prosiding
Gelar Teknologi: 34-40.
Sintesis 2010-2014 | 6
JUDUL PENELITIAN : REHABILITASI LAHANTERDEGRADASIDENGAN
JENIS LOKAL
PELAKSANA
: GUNARDJO TJAKRAWARSA
INSTANSI
: BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keterbatasan lahan, pertambahan penduduk dan konversi lahan hutan menjadi lahan
pertanian maupun peruntukan lain memicu penyusutan luas kawasan hutan. Di sisi lain
praktek pengolahan memperhatikan aspek-aspek konservasitanah menyebabkan degradasi
lahan yang berimplikasi pada bertambahnya lahan kritis.
Lahan terdegradasi adalah lahan yang telah mengalami penurunan atau kehilangan
seluruh kapasitas alami untuk menghasilkan tanaman yang sehat dan bergisi, kapasitas produktivitasnya atau potensi pengelolaan lingkungannya (Scherr dan Yadav, 1996) sebagai
akibat erosi, pembentukan lapisan padas (hardpan) dan akumulasi bahan kimia beracun
(toxic), disamping penurunan fungsi sebagai media tata air (Paimin, Sukresno dan Purwanto, 2010). Di Indonesia lahan terdegradasi disebabkan oleh erosi. Rehabilitasi lahan
merupakan solusi tepat dalam mengatasi masalah degradasi lahan. Rehabilitasi lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi lahan sehingga
daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan RI, luas lahan sangat kritis dan lahan
kritis pada akhir Pelita VI (awal tahun 1999/2000) seluas 23.242.881 ha terdiri dari 35%
dalam kawasan hutan dan 65 % luar kawasan hutan. Laju deforestasi Indonesia tahun 1985
– 1997 adalah sebesar 1,8 juta ha/th (FWI/GFW, 2001). Laju deforestasi Indonesia tahun
1997 – 2000 adalah sebesar 2,84 juta ha/th (Departemen Kehutanan Republik Indonesia,
2005). Laju deforestasi Indonesia tahun 2000-2009 adalah 1,51 juta ha/th (Forest Watch
Indonesia, 2011). Luas lahan kritis di Indonesia tahun 2012 adalah 27.294.842 ha (Statistik
Kehutanan Indonesia 2012).
Kawasan Gunung Muria menjadi sumber mata air sejumlah aliran sungai dan diharapkan mampu memainkan fungsi hidro-orologis, pengendali banjir, pencegah kekeringan,
pencegah erosi dan pertahankan kesuburan tanahyang menjadi andalan sumber kebutuhan
air bersih warga Kabupaten Kudus. Debit air kecil, warna air keruh, dan di sana-sini terjadi
pendangkalan aliran sungai yang disebabkan oleh kerusakan hutan di lereng Gunung Muria
(Sugita, 2010).
Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi degradasi lahan maka perlu dilakukan
kegiatan rehabilitasi lahan dengan memperhatikan aspek konservasi tanah. Rehabilitasi
lahan dalam bentuk penanaman jenis–jenis lokal yang diminati masyarakat, yang sesuai
dengan tempat tumbuhnya, dan sesuai kaidah teknik konservasi tanah dan air, berpotensi
mendukung keberhasilan rehabilitasi lahan. Dari kegiatan rehabilitasi lahan secara
Sintesis 2010-2014 | 7
vegetatif diharapkan fungsi lahan sebagai media tumbuh dan tata air serta keseimbangan
antara produktivitas, kelestarian, dan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.
B. Tujuan
Tujuan penelitian adalah:
1. Meningkatkan fungsi lingkungan dan ekonomi masyarakat melalui model rehabilitasi
lahan dan konservasi tanah dan air (RLKTA) berupa kombinasi teknik rehabilitasi lahan
vegetatif dan mekanis melalui pendekatan agroforestri.
2. Mengendalikan erosi dan memelihara kesuburan tanah melalui teknik rehabilitasi lahan
vegetatif.
3. Membangun kelembagaan kelompok tanin Konservasi Tanah dan Air sebagai
pendukung kegiatan agroforestri yang dikembangkan.
II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL
PENELITIAN
A. Identifikasi Regulasi yang Ada
Dalam Bab VI UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, tentang Penelitian dan
Pengembangan, Pendidikan dan Latihan serta Penyuluhan Kehutanan, bagian kedua
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pasal 53: angka (1) Penelitian dan pengembangan kehutanan dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan nasional serta budaya ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan; (2) Penelitian dan pengembang-an
kehutanan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengurusan hutan dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil hutan; dan (4)
Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung peningkatan kemampuan untuk menguasai, mengembangkan, dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan.
Penelitian rehabilitasi lahan terdegradasi dengan jenis lokal dilaksanakan untuk memenuhi amanat Undang-undang RI No. 41 tahun 1999 Pasal 40, 41 dan 53, serta PP RI No.
37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, pasal 39 huruf b. yang menekankan pentingnya penguasaan/kemampuan nasional pengurusan hutan khususnya teknologi pengelolaan DAS dalam hal rehabilitasi lahan terdegradasi.
Dalam Bab V UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pengelolaan Hutan
Bagian Keempat, tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Pasal 40 disebutkan bahwa
Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya
dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Pasal 41, ayat 1, menyebutkan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan: a) reboisasi,
b) penghijauan, c) pemeliharaan, d) pengayaan tanaman, atau e) penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.
Dalam pasal 40 ayat 1 PP RI No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai disebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan Pengelolaan DAS yang akan dipu-lihkan
daya dukungnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a, meliputi: a) optimalisasi
penggunaan lahan sesuai dengan fungsi dan daya dukung wilayah; b) penera-pan teknik
Sintesis 2010-2014 | 8
konservasi tanah dan air dilakukan dalam rangka pemeliharaan kelangsungan daerah
tangkapan air, menjaga kualitas, kuantitas, kontinuitas dan distribusi air; dan c)
pengelolaan vegetasi dilakukan dalam rangka pelestarian keanekaragaman hayati,
peningkatan produktivitas lahan, restorasi ekosistem, rehabilitas dan reklamasi lahan.
Sedangkan dalam Pasal 39 huruf b PP RI No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai disebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan Pengelolaan DAS yang
dipertahankan daya dukungnya meliputi: a) menjaga dan memelihara produktivitas dan
keutuhan ekosistem dalam DAS secara berkelanjutan; b) bimbingan teknis dan fasilitasi
dalam rangka penerapan teknik konservasi tanah dan air demi kelangsungan daerah
tangkapan air, untuk menjaga kualitas, kuantitas, kontinuitas dan distribusi air; c)
peningkatan koordinasi, inte-grasi, sinkronisasi dan sinergi antar sektor dan wilayah
administrasi dalam rangka memper-tahankan kelestarian vegetasi, keanekaragaman hayati
dan produktivitas lahan; dan/atau d) peningkatan kapasitas kelembagaan Pengelolaan DAS
untuk meningkatkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi lintas sektor dan
wilayah administrasi.
B. Analisis Kebutuhan Penelitian
Kegiatan rehabilitasi lahan yang bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan, dan
meningkatkan fungsi lahan telah banyak dilakukan. Penebangan hutan menurut Kusmana,
Istomo, Dahlan dan Onrizal (2004) dapat meningkatkan aliran permukaan antara 6-971 %,
yang berarti bahwa penambahan luas hutan akan mengurangi aliran air. Aliran air meningkat tajam segera setelah penebangan dan menurun setelah hutan tumbuh kembali. Di
daerah tropis peningkatan aliran air 4,5 mm/tahun akibat penguranan setiap 1 % pengurangan luas hutan. Hasil reboisasi di beberapa negara menunjukkan bahwa penurunan
aliran air bervariasi antara 28-197 %. Penghijauan yang hanya menanam pohon yang tinggi
tanpa memperhatikan adanya tumbuhan bawah dan serasah justru akan menaikkan erosi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penghijauan: 1) pohon yang ditanam mempunyai ujung penetes yang sempit, dan 2) ada tumbuhan bawah dan serasah, tumbuhan
bawah dapat berupa rumput. Kusmana et.all. (2004) menyatakan bahwa laju erosi pada
berbagai kondisi penutupan lahan di Indonesia adalah seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Laju erosi pada berbagai kondisi penutupan lahan di Indonesia
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Penutupan Lahan
Hutan lebat
Tanah berumput
Tanah gundul
Semak
Hutan tanaman
a. Pinus (umur 29 tahun
b. Tegakan Campuran
c. Pinus (umur 13 tahun)
d. Mahoni
e. Kayu Putih
f. Agathis
g. Puspa
Hutan Produksi
a. Jalan sarad
b. Jalan cabang
c. Bekas TPN
Laju Erosi (ton/ha/th)
0,02
0,54
514
2,09
Lokasi
Singaparna, Tasikmalaya
5,46
24,32
24,50
26,89
30,68
240,4
690,4
Singaparna, Tasikmalaya
Kulon Progo
Singaparna, Tasikmalaya
Kulon Progo
Kulon Progo
Gunung Walat
Gunung Walat
120,1
44,7
65,5
PT Sarang Sapta Putra
PT Sarang Sapta Putra
PT Sarang Sapta Putra
Sintesis 2010-2014 | 9
No.
d.
e.
f.
g.
h.
Penutupan Lahan
Bekas tebangan
Bekas ladang
Jalan utama
Lahan rehabilitasi
Hutan
Laju Erosi (ton/ha/th)
15,7
17,1
49,7
22,9
0,5
Lokasi
PT Sarang Sapta Putra
PT Sarang Sapta Putra
PT Sarang Sapta Putra
PT Sarang Sapta Putra
PT Sarang Sapta Putra
Keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan tersebut tergantung pada kesesuaian jenis
dengan lokasi, adoptabilitas masyarakat dan kemampuan teknik yang diterapkan dalam
menekan limpasan permukaan dan erosi. Untuk itu adalah penting menguji model yang
mengakomodasi ketiga aspek tersebut dalam menekan limpasan permukaan dan erosi serta
meningkatkan pendapatan masyarakat.
III. SINTESIS HASIL PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Waktu Penelitian. Waktu penelitian dari tahun 2011 sampai dengan Desember 2014.
Lokasi. Penelitian dilaksanakan di Blok Duren Bayi, Desa Gunungsari, Kecamatan
Tlogowungu, Kabupaten Pati. Lokasi penelitian termasuk kedalam Sub-sub DAS Gang
Wedi, Sub DAS Juwana. Luas plot penelitian 6 hektar yang melibatkan 13 petani pemilik
dan penggarap lahan.Lokasi penelitian termasuk kedalam Sub-sub DAS Gang Wadi, Sub
DAS Juwana.
Rancangan Penelitian. Rancangan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Bahan: bibit sengon, jabon, manggis, petai, manglid, randu, lamtoro, duku, dan
glerisidia.
b. Penelitian ini dilaksanakan untuk menguji model-model:
 Model A = Sengon + Manggis + Petai + Manglid + Randu + Lamtoro
 Model B = Jabon + Duku + Petai + Manglid + Randu + Glerisida
 Model C = Sengon + Jabon + Manggis + Duku + Petai + Manglid + Randu +
Lamtoro + Glerisidia.
 K
= kontrol
Jarak tanam tanaman pokok 4 x 4m dengan kemiringan lahan 40-45 %.Parameter
yang diamati: curah hujan, limpasan permukaan dan erosi, pH, kadar C organik,
Nitrogen total, Ca, Mg, K, Na, CEC, BS and C/N, diameter dan tinggi sengon dan
jabon. Sifat fisika tanah yang diamati adalah struktur, drainase, dan penutupan lahan.
Sedangkan pengambilan sampel tanah meliputi sampel tanah tidak terusik/dalam ring
guna analisis permeabilitas tanah di laboratorium dan sampel tanah terusik untuk
analisis kimia/kesuburan tanah. Limpasan permukaan dan erosi diukur dengan
menggunakan plot erosi berukuran 4 m x 22 m. Data limpasan permukaan, erosi dan
pertumbuhan tinggi dan diameter diolah mengunakan prosedur Paired-Sample t-Test.
Analisis data Sosial ekonomi kelembagaan untuk aspek peluang dan tantangan
pengembangan plot agroforestri konservasi tanah menggunakan SWOT (Strength
Weaknesses Opportunities Threats) yang didahului dengan identifikasi posisi plot
agroforestri konservasi tanah melalui evaluasi nilai faktor internal dan eksternal; aspek
Sintesis 2010-2014 | 10
penilaian alternatif produk agroforestri konservasi tanah menggunakan Model
Perbandingan Potensial (Marimin, 2004). Untuk menentukan strategi pengembangan
agroforestri berbasis konservasi tanah digunakan analisis SWOT. Analisis terhadap
tingkat adopsi dilakukan secara deskriptif. Untuk melihat potensi produk unggulan di
daerah penelitian yang dapat dikembangkan dengan menggunakan Model Perbandingan
Potensial (Marimin, 2004 dalam BPTKPDAS, 2012). Analisis data tingkat partisipasi
menggunakan metode besaran, seperti dirumuskan oleh Sugiyono dalam Manule, 2002.
Data yang terkumpul dianalisis dengan metode diskriptif kualitatif dan klasifikasi para
pihak dengan pendekatan power (kekuasaan/wewenang) dan interest (kepentingan)
menggunakan 4 klasifikasi Mintzberg (1999) dalam BPKSolo (2009.
B. Hasil Penelitian
1.
Curah Hujan dan Kelembaban Udara
Curah hujan yang turun selama tahun 2013 adalah sebesar 3.798,9 mm. Hari hujan
bulanan berkisar antara 2 sampai 26 hari, curah hujan maksimum berkisar antara 33,0 mm
(29 November) sampai 112,0 mm (31 Desember) sedangkan curah hujan minimum
berkisar antara 0,4 (9 Februari) sampai 6,5 mm (24 juli).
Kelembaban udara yang tercatat di lokasi penelitian berkisar antara 83% (2 Februari)
sampai dengan 99% yang terjadi pada tanggal 18 Mei.
2.
Limpasan Permukaan dan Erosi
Limpasan permukaan tertinggi selama periode Januari sampai dengan Desember 2013
terdapat pada Kontrol (Samadi) sebesar 232,1 mm dan terendah pada Model A
(Suparjo/12,2 mm). Tingkat erosi tertinggi juga pada Kontrol (Samadi) sebesar 18,033
ton/ha/th dan terendah pada Model A sebesar 0,172 ton/ha/th. Nilai erosi ini lebih rendah
dibandingkan dengan nilai erosi tegakan campuran di Kulon Progo sebesar 24,32 ton/ha/th
(Kusmana, Istomo, Dahlan dan Onrizal, 2004). Limpasan permukaan dan erosi
selengkapnya terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Limpasan permukaan dan erosi
Model
Curah hujan
A
B
C
K
3.798,9
Limpasan
(mm)
Erosi
(ton/ha/th)
12,204
105,028
72,492
232,121
0,172
7,024
17,206
18,033
Dari kontrol ke model
Penurunan
Penurunan erosi
limpasan (mm/th)
(ton/ha/th)
219,92
17,86
127,09
11,01
159,63
0,83
Model A adalah model terbaik karena mampu menurunkan limpasan permukaan dan
tingkat erosi tertinggi sebesar 219,92 mm/th (94,74%) dan 17,86 ton/ha/th (99,04%)
dibanding Kontrol. Tingkat erosi yang diukur menggunakan metode stik berkisar antara
9,067 ton (Kamat) sampai dengan 50,387 ton (Pomo). Sedangkan dengan menggunakan
metode rorak erosi yang terjadi berkisar antara 0,00 ton (Sutarji) dan tertinggi pada Sukawi
(261,76 ton ha). Hasil limpasan permukaan dan erosi tahun 2013 menunjukkan
kecenderungan yang sama dengan hasil tahun 2012 dimana limpasan permukaan dan
tingkat erosi model perlakuan A menunjukkan nilai terendah dibandingkan dengan kontrol.
Sintesis 2010-2014 | 11
Hasil uji statistik prosedur Paired-Sample t-Test pada limpasan permukaan
menunjukkan bahwa limpasan permukaan seluruh Model menunjukkan perbedaan pada
tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan hasil uji Paired sample T-test pada erosi antara
Model A dan C, antara Model B dan C, antara Model B dan Kontrol dan antara Model C
dan Kontrol menunjukkan perbedaan tidak nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil uji
statistik prosedur Paired-Sample t-Test pada erosi menunjukkan bahwa tingkat erosi antara
Model A dan B dan antara Model A dan Kontrol menunjukkan perbedaan yang nyata pada
tingkat kepercayaan 95%. Hasil uji statistik tahun 2013 ini menunjukkan perbedaan bila
dibandingkan dengan uji Paired-Sample t-Test tahun 2012 yang menunjukkan bahwa
limpasan permukaan dan tingkat erosi ketiga perlakuan Model A, B dan C tidak berbeda
nyata dengan Kontrol.
3.
Kesuburan Tanah
a.
pH, C org, N tot, P tsd, K tsd, KPK dan tekstur awal
Keasaman (pH tanah) Model A, B, C dan Kontrol berkisar antara 4,9 – 5,98 (rendahsedang). Kandungan C organik 0,74-1,39 (sangat rendah-rendah). Kandungan Nitrogen
total 0,04-0,11 (sangat rendah-rendah). P tersedia: 9,06-200,85 (rendah-tinggi). K tersedia
0,15-1,14 (rendah-tinggi). Kapasitas pertukaran kation: 5,18-10,91 (rendah). Tekstur
Model A: lempung berat–geluh lempungan, Model B: geluh lempungan-geluh pasiran,
Model C: geluh–lempung, Kontrol: geluh lempungan- lempung.
Karakteristik umum tanah awal sesuai ciri tanah ultisol yang dikemukakan oleh
Notohadiprawiro (1986) menyatakan bahwa pH tanah Ultisol masam dan kandungan bahan
C organik rendah (1,0-2,0%) dan Nitrogen total (0,1-0,2 %) yang menyebabkan kendala
bagi tanaman. Notohadiprawiro (1973) menyatakan bahwa kejenuhan basa rendah; kadar
bahan organik dan Nitrogen yang rendah tersebut teronggok dalam lapisan permukaan tipis
(horizon A), Daya simpan air terbatas; Derajat agresi rendah dan kemantapan agregat
lemah. Prasetyo dan Suriadikata (2006) menyatakan bahwa kendala pengelolaan ulisol
untuk dilakukan dengan penerapan teknologi seperti pengapuran, pemupukan, dan
pengelolaan bahan organik oleh petani.
b. Kemasaman (pH) Tanah
Kemasaman (pH) tanah pada seluruh model menunjukkan penurunan dari awal
penanaman sampai dengan akhir tahun kedua, kecuali Kontrol yang meningkat pada tahun
kedua. Sampai dengan akhir tahun pertama penurunan pH tertinggi terdapat pada kontrol
18,92 % dan terendah pada Model A (0,39 %). Penurunan pH ini diduga berkorelasi positif
dengan tingkat erosi yang terjadi pada kontrol sebesar 61,37 ton/ha dan terendah pada
Model A sebesar 0,379 ton/ha (November-Desember 2012) (BPTKPDAS, 2012). Namun
pada tahun kedua pH seluruh model yang diuji menunjukkan penurunan sedangkan kontrol
menunjukkan peningkatan. Penurunan tertinggi terdapat pada Model C 6,97 % dan
terendah Model A 3,33 %. Guna meningkatkan pH perlu dilakukan pengapuran sehingga
pH meningkat sehingga hara tanah dapat diserap oleh tanaman walaupun praktek ini akan
menimbulkan biaya mahal.
Sintesis 2010-2014 | 12
c.
Kadar C Organik
Kadar C organik seluruh model perlakuan dan kontrol menunjukkan kecenderungan
yang sama (meningkat dari awal penelitian sampai akhir tahun pertama dan menurun
sampai akhir tahun kedua) dengan kontrol, namun dengan besaran yang berbeda.
Peningkatan kadar C organik tertinggi pada tahun pertama terdapat pada Model A (82,8 %)
dan terendah pada Model C (22,76 %). Sedangkan penurunan kadar C organik pada tahun
kedua tertinggi terdapat pada kontrol (-71,73 %) dan terendah terjadi pada perlakuan B (64,46 %). Peningkatan kadar C organik tertinggi pada model A, diduga disebabkan sengon
(tanaman pokok Model A) menghasilkan serasah yang mudah terurai (mineralisasi)
dibandingkan dengan model-model lainnya. Selain itu proyeksi tutupan lahan Model A
menunjukkan terbaik dalam melindungi lahan dari proses erosi dan terbanyak dalam
memberikan sisa tanaman. Sedangkan penurunan kadar C organik tertinggi pada kontrol
diduga disebabkan pencucian akibat tingginya erosi pada kontrol. Tingkat erosi pada tahun
kedua kontrol 18,033 ton/ha/th, Model C 17,206 ton/ha/th, Model B 7,024 ton/ha/th dan
Model 0,172 ton/ha/th (BPKTKPDAS, 2013). Hal ini sesuai dengan pendapat Fließbach et
al. (2007) yang menyatakan bahwa penambahan bahan organik dalam tanah dalam bentuk
pupuk kandang atau limbah panen dapat meningkatkan kandungan N dan C dalam tanah.
d. Kadar Nitrogen Total
Sampai dengan akhir tahun pertama kadar Nitrogen total Model A dan B meningkat
masing-masing 28,57% dan 69,57%; Model C tetap, dan Kontrol menurun sebesar 39,39%.
Terlihat bahwa penurunan pH menyebabkan peningkatan N total. Hal ini sesuai dengan
pendapat gang Li (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan pH meningkatkan
mineralisasi Nitrogen yang berarti bahwa penurunan pH akan menurunkan N total. Hal
sama terlihat juga pada tahun kedua dimana tingginya kenaikan N total pada Model B
(220,51%) disebabkan oleh komulatif dari rendahnya dekomposisi serasah Model B dan
rendahnya penurunan pH.
Atmojo (2003) menyatakan bahwa Nitrogen adalah hasil proses mineralisasi bahan
organik yang relatif banyak dan dapat diserap oleh tanaman. Protein sebagai sumber
nitrogen pada mulanya akan mengalami proses aminisasi (peruraian menjadi asam-asam
amino), yang dilanjutkan dengan proses amonifikasi (penguraian oleh sejumlah besar
mikrobia heterotrofik menjadi ammonium). Amonifikasi ini dapat berlangsung hampir
pada setiap keadaan, sehingga amonium merupakan bentuk nitrogen anorganik (mineral)
yang utama dalam tanah (Tisdel dan Nelson, 1974). Nasib dari amonium ini antara lain
dapat secara langsung diserap dan digunakan tanaman untuk pertumbuhannya, atau oleh
mikroorganisme untuk segera dioksidasi menjadi nitrat yang disebut dengan proses
nitrifikasi. Nitrifikasi adalah proses bertahap yaitu proses nitritasi yang dilakukan oleh
bakteri Nitrosomonas dengan menghasilkan nitrit, yang segera diikuti oleh proses oksidasi
berikutnya menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri Nitrobacter yang disebut dengan
nitratasi. Nitrat merupakan hasil proses mineralisasi yang banyak disukai atau diserap oleh
sebagian besar tanaman budidaya. Namun nitrat ini mudah tercuci melalui air drainase dan
menguap ke atmosfer dalam bentuk gas (pada drainase buruk dan aerasi terbatas) (Killham,
1994 dalam Atmojo, 2003 ).
Sintesis 2010-2014 | 13
e.
Perbandingan Carbon Nitrogen (C/N)
Perbandingan C/N tiga model yang diuji menunjukkan penurunan sampai akhir tahun
pertama sedangkan Kontrol meningkat (7,18%). Penurunan tertinggi terdapat Model C
(20,13%) dan terrendah pada Model B (20,13%). Pada tahun kedua hanya Model B yang
menunjukkan perbandingan C/N yang menurun (35,18%) sedangkan perlakuan yang lain
menunjukkan peningkatan (tertinggi Model A 16,561%).
Rehabilitasi lahan vegetatif dimaksudkan untuk meningkatkan kesuburan tanah
melalui peningkatan kandungan bahan organik dan Nitrogen total dari dekomposisi serasah
yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Notohadiprawiro (1986) yang menyatakan
bahwa penambahan bahan organik ke dalam tanah lebih kuat pengaruhnya ke arah
perbaikan sifat-sifat tanah, khususnya untuk meningkatkan unsur hara di dalam tanah.
Pada tahun kedua secara alami kadar unsur-unsur Ca, Mg, K, Na, dan nilai KTK dan
KB pada lahan menunjukkan penurunan yang ditunjukkan nilai parameter Kontrol (seiring
dengan meningkatnya tingkat erosi). Kontrol adalah pengelolaan lahan yang ditanami ubi
kayu namun tidak menerapkan teknik konservasi tanah yang seharusnya.
Model A, B, C mampu meningkatkan kadar Ca dan KB, Model B dan C mampu
meningkatan kadar Mg, Model B untuk kadar Na. Namun semua Model tidak mampu
mengendalikan penurunan Nilai KTK. Peningkatan Ca, Mg, dan K tertinggi terdapat pada
Model C, sedangkan peningkatan Na dan KPK (tahun pertama) Model A, tahun kedua
Model B, serta peningkatan kejenuhan basa tertinggi terdapat pada Model C.
Atmojo (2003) menyatakan bahwa pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia
tanah antara lain terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH
tanah, daya sangga tanah dan terhadap keharaan tanah. Penambahan bahan organik akan
meningkatkan muatan negatif sehingga akan meningkatkan kapasitas pertukaran kation
(KPK). Bahan organik memberikan konstribusi yang nyata terhadap KPK tanah.
4.
Pertumbuhan Tanaman
a.
Persen Hidup Tanaman
Persen hidup tanaman pada umur satu bulan setelah tanam (bst) adalah 96% (tanaman
mati, layu dan patah sebesar 4,2%). Namun demikian 9,7% dari total tanaman terserang
hama (hama ulat pada jabon dan kutu putih pada sengon) yang cukup parah. Persen
tumbuh sengon dan jabon sampai enam bulan setelah tanam masing-masing menurun 0,96
dan 3,84% per bulan, tetapi relatif lebih stabil setelahnya sampai umur 18 bulan dengan
penurunan persen tumbuh masing-masing 0,27 dan 0,23% per bulan. Persen tumbuh umur
18 bulan adalah 88 dan 74% masing-masing untuk sengon dan jabon.
b. Pertumbuhan Tinggi dan Diameter
Pertumbuhan tinggi dan diameter adalah dua variabel yang umum digunakan dalam
menilai perkembangan tanaman (pohon). Hasil pengukuran tinggi dan diameter secara
lengkap disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Sintesis 2010-2014 | 14
Tabel 3. Rata-rata tinggi pohon (cm) umur satu, enam, dan 18 bulan setelah tanam.
Kombinasi perlakuan
Model A
Model C
Model B
Model C
Jenis
Sengon
Sengon
Jabon
Jabon
1 Bln
99,4±24,89
99,6±24,11
84,3±19,37
83,3±25,18
6 Bln
143,6±75,39
192,8±95,68
124,3±37,06
117,7±81,74
18 Bln
451,3±88,88
463,2±98,72
249,4±54,16
249,4±108,23
Tinggi rata-rata tanaman sengon Model A dan C sampai umur enam bulan setelah
tanaman masing-masing naik 8,84 dan 18,64 cm per bulan dan relatif seragam setelahnya
dengan pertumbuhan sampai 18 bulan sebesar 25,64 dan 22,53 cm/bulan. Sampai dengan
umur enam bulan setelah tanam Model C menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik
dibandingkan Model A, sedangkan sampai umur 18 bulan yang terjadi sebaliknya.
Pertumbuhan tinggi sampai 18 bulan tidak berbeda secara nyata dengan increment 20,70
dan 21,39 cm/bulan masing-masing untuk model A dan C.
Tinggi rata-rata tanaman jabon model B dan C sampai enam bulan setelah tanam
relatif sama masing-masing naik 8,00 dan 6,88 cm/bulan, demikian juga setelahnya dengan
pertumbuhan sampai 18 bulan sebesar 10,43 dan 10,98 cm/bulan. Rendahnya tinggi awal
pada umur satu bulan diduga menyebabkan rendahnya pertumbuhan tinggi jabon sampai
dengan umur enam bulan setelah tanam, walaupun pada pertumbuhan berikutnya
rendahnya tinggi awal dapat menunjukkan pertumbuhan tinggi yang lebih baik.
Pertumbuhan tinggi sampai 18 bulan berbeda nyata dengan increment 9,71 dan 9,77
cm/bulan masing-masing untuk model B dan C.
Tabel 4. Diameter pohon (mm) umur 1 (satu), 6 (enam) dan 18 (delapan belas) bulan setelah tanam
Kombinasi Perlakuan
Jenis
1 Bln
6 Bln
18 Bln
Model A
Model C
Model B
Model C
Sengon
Sengon
Jabon
Jabon
7,7±0,25
8,1±0,32
14,1±0,68
11,7±0,41
18,5±4,57
17,7±0,77
19,7±0,74
18,8±3,05
52,7±0,96
51,7±0,74
42,0±1,16
43,3±1,12
Diameter rata-rata tanaman sengon model A dan C sampai enam bulan setelah tanam
masing-masing naik 2,16 dan 1,92 mm/bulan dan relatif seragam setelahnya dengan
pertumbuhan sampai 18 bulan sebesar 2,85 dan 2,83 m/bulan. Pertumbuhan diameter
sampai 18 bulan tidak berbeda secara nyata dengan increment 2,65 dan 2,56 mm/bulan
masing-masing untuk model A dan C. Tinggi rendahnya diameter awal tidak secara
konsisten menentukan besarnya pertumbuhan diameter sengon sampai 6 dan 18 bulan
setelah tanam.
Diameter rata-rata tanaman jabon model B dan C sampai enam bulan setelah tanam
masing-masing naik 1,12 dan 1,42 mm/bulan, meningkat setelahnya dengan partumbuhan
sampai 18 bulan sebesar 1,86 dan 2,04 mm/bulan. Pertumbuhan tinggi sampai 18 bulan
tidak berbeda secara nyata dengan increment 1,64 dan 1,86 mm per bulan masing-masing
untuk model B dan C. Diameter awal diduga berpengaruh pada pertumbuh-an diameter
jabon sampai umur 6 bulan dan 18 bulan setelah tanam.
Dalam kaitan pertumbuhan Tisdale et al. (1985) mengemukakan bahwa pertumbuhan
tanaman dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara terutama nitrogen. Hal ini disebabkan
oleh fungsi nitrogen yang mendorong pertumbuhan merupakan pengatur penggunaan
Sintesis 2010-2014 | 15
kalium, fosfat dan penyusun lainnya. Apabila kekurangan N, tanaman tidak dapat
melakukan metabolisme dan pertumbuhan tinggi juga terhambat (tanaman bisa menjadi
kerdil). Tanaman harus memperoleh cukup N untuk dapat tumbuh baik dan membentuk
sel-sel baru.
c.
Hasil Analisis paired t-test
Hasil analisis paired t-test terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter sengon dan
jabon menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi dan diameter sengon Model A dan C tidak
berbeda nyata, sedangkan pertumbuhan tinggi jabon Model B dan C berbeda nyata pada
tingkat kepercayaan 95% dan pertumbuhan diameter jabon Model B dan C menunjukkan
tidak berbeda nyata. Hasil analisis paired t-test selengkapnya terdapat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisis paired t-test
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
t
df
Sig. (2tailed)
Lower
Upper
0.5867
0.8730
3.1915
3.464
151
0.001
21.8396
1.7714
1.7836
8.7835
2.983
151
0.003
-0.1047
2.4946
0.2051
-0.5100
0.3005 -0.511
147
0.61
-1.5237
13.0291
1.0710
-3.6402
0.5929 -1.423
147
0.157
Pair 1
TS – TSCamp
2.0322
7.2334
Pair 1
DS – DSCamp
5.2836
Pair 1
TJ – Tjcamp
Pair 1
DJ – Djcamp
5.
Sosial Ekonomi
a.
Dampak Sosial Ekonomi Degradasi Lahan
Degradasi lahan di Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Pati selama empat
tahun terakhir berdampak pada penurunan produksi ubikayu dengan kisaran antara 1- 2
ton/ha/th. Nilai penurunan produksi tersebut tertolong dengan meningkatnya harga ubikayu
per kilonya sehingga rata-rata pendapatan petani sebesar naik sebesar 2,35% sampai
dengan 13,29% (Tabel 6). Kenaikan pendapatan petani tersebut belum diperhitungkan
dengan nilai inflasi dan kenaikan harga sembako selama 4 tahun dan nilai ekonomi tanah
yang tererosi. Kecilnya kenaikan pendapatan petanin ini menyebabkan para petani mulai
menerapkan pola agroforestri yaitu menanam pohon sengon di antara ubikayu, walaupun
menanam ubikayu masih merupakan prioritas utama di desa Gunungsari.
Tabel 6. Rata-rata produksi ubikayu dan pendapatan petani di desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu Pati
Tahun
Produksi (ton/ha)
Pendapatan (Rp/ha)
2010
25, 40
6.351.000
2011
23, 02
2012
21, 98
2013
19, 09
Sumber: analisis data primer 2013
7.195.000
7.695.000
7.876.000
Sintesis 2010-2014 | 16
b. Pola Agroforestri untuk Ketahanan Pangan
Responden mengusahakan lahan pertanian dengan pola monokultur maupun polikultur
(mix-farming) seperti pola agroforestri. Tanaman monokultur yang banyak diusahakan
adalah ubikayu. Untuk pola agroforestri, yang dikembangkan dan diusahakan oleh
responden berpola: ubikayu + jagung (30,00%), kopi+ kayu + jagung (16,67%), kopi +
kayu (40,00%), dan ketela saja (13,33%). Seperti pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Pola agroforestri di lokasi penelitian
Pola agroforestri kopi + kayu paling banyak diusahakan. Tanaman kopi merupakan
tanaman perkebunan yang cocok di daerah penelitian dengan ketinggian 600 meter dpl.
Tanaman kopi membutuhkan naungan sehingga diperlukan tanaman kayu (pohon).
Tanaman kayu yang ditanam sebagai naungan kopi antara lain adalah sengon (Albizia
chinensis), jabon (Anthocephalus cadamba), lamtoro (Leucaena leucocephala). Sedangkan
tanaman gamal (Glericidia sepium), manggis (Garcinia mangostana L.), durian (Durio
zibethinus), duku (Lansium domesticum Corr) ditanam di antara tanaman jagung dan kopi,
atau ditanam sebagai tapal batas pemilikan tanah.
Tanaman: kopi, ubikayu, jagung, sengon, jabon, manggis dan duku cocok
pertumbuhan dan perkembangannya serta pasar terbuka lebar untuk produk-produk dari
tanaman ini. Tanaman ubikayu tetap dipertahankan karena mempunyai beberapa
keuntungan yaitu produksinya terserap pasar berapapun jumlahnya sebagai bahan baku
industri tapioka, untuk usahatani ubikayu tidak membutuhkan modal besar dan merupakan
keahlian turun temurun serta tidak membutuhkan perawatan yang intensif sehingga petani
masih memiliki waktu untuk berusahatani lainnya. Dari segi konservasi tanah, tanaman
ubikayu ini memacu terjadinya erosi karena ditanam pada lahan yang miring, terbuka dan
tanpa teras serta waktu panen pada musim penghujan dengan cara dicabut sehingga
merusak kepadatan tanah.
c.
Agroforestri Solusi Ketahanan Pangan Keluarga
Berkaitan dengan ketahanan pangan rumah tangga, pola agroforestri dapat
menghasilkan berbagai produk pangan selain kayu. Penggunaan produksi usahatani dan
potensi yang terkait dengan ketahanan pangan disajikan pada Tabel 7.
Pola agroforestri menghasilkan selain produk pangan untuk menjamin ketahanan
pangan, juga menghasilkan produk kayu yang dapat dijual sebagai tabungan keluarga.
Peningkatan pendapatan keluarga dapat meningkatkan daya beli rumah tangga petani
Sintesis 2010-2014 | 17
seperti untuk pengadaan sarana transportasi keluarga (sepeda motor) dan peralatan rumah
tangga. Kontribusi agroforestri terhadap pendapatan total rumah tangga petani dapat
diperiksa pada Tabel 8.
Tabel 7. Potensi produk usahatani untuk ketahanan pangan di Desa Gunungsari
No
Produk usahatani
Produksi (ton/th)
1
Padi
446
2
Jagung
121
3
Ubi kayu
24,715
4
Kacang tanah
46
Sumber: Kecamatan Tlogowungu Dalam Angka, 2011.
Penggunaan
Cadangan dan bahan pangan serta dijual
Cadangan pangan dan dijual
Dijual
Dijual
Tabel 8. Pendapatan dan kontribusi pola usahatani agroforestri
No
Pola usahatani
1
2
3
4
Ketela + jagung
Kopi + kayu + Jagung
Kopi + Kayu
Ketela
Rerata
Sumber: analisis data primer 2013
Pendapatan
(Rp/KK)
7.096.669
5.975.000
6.322.085
7.446.252
6.646.500
Kontribusi terhadap pendapatan total
(%/KK)
84,27
83,98
84,43
80,87
83,30
Rata-rata sumbangan pendapatan agroforestri terhadap pendapatan rumah tangga
petani sebesar Rp. 6.646.500,00/tahun atau sekitar 83,30% terhadap total pendapatan
rumah tangga. Tingginya kontribusi pendapatan agroforestri menunjukkan peran agroforestri terhadap ekonomi rumah tangga dan ketahanan pangan rumah tangga yang besar.
Pada saat ini pendapatan finansial dari polikultur (mix farming) ubikayu yang
dicampur dengan tanaman jagung memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan
dengan tanaman kayu dan tanaman pangan. Namun dengan berjalannya waktu, pendapatan
finansial dari tanaman kayu akan lebih tinggi dari tanaman pangan (ubikayu dan jagung).
Rata-rata seorang petani memiliki 30 tanaman sengon di lahannya. Harga satu tanaman
sengon di lahan, umur 5 tahun Rp 200.000,00 - 300.000,00 tergantung pertumbuhan
tanamannya. Sehingga pendapatan keluarga dari kayu antara Rp 6.000.000,00 9.000.000,00.
d. Peluang dan Tantangan Pengembangan Agroforestri Konservasi Tanah di Hulu
Sub DAS Gandusuwaduk, Pati – Jawa Tengah
1) Karakteristik Responden
Responden merupakan para petani pemilik lahan yang digunakan untuk plot
agroforestri konservasi tanah dan para petani pemilik lahan disekitar plot agroforestri
konservasi tanah di Desa Gunungsari. Responden merupakan para petani lahan kering
yang berusahatani tanaman ubi kayu monokultur yang belum menerapkan kaidah
konservasi tanah. Karakteristik responden dapat diperiksa pada Tabel 9.
Rerata usia responden adalah 46 tahun yang mengindikasikan berada pada usia
produktif. Pendidikan responden rata-rata sekolah dasar dengan tanggungan keluarga
sebesar 4 orang. Tingkat pendidikan formal petani yang masih rendah dapat diatasi
dengan menjadi anggota kelompok tani yang aktif, berdiskusi dengan penyuluh
pertanian-kehutanan pada saat pertemuan dan melakukan kunjungan pribadi atau
Sintesis 2010-2014 | 18
kelompok yang terkait dengan agroforestri, sehingga memiliki sikap inovatif.
Menurut Soekartawi (1998 dalam Edwina dan Maharani, 2010), petani yang berada
dalam pola hubungan yang kosmopolit, kebanyakan dari mereka lebih cepat
melakukan adopsi inovasi. Rerata luas hutan yang dikelola tiap responden 0,25 ha
yang merupakan hutan milik Perum Perhutani. Pola usahatani yang diterapkan adalah
pola agroforestri antara pinus dan kopi. Di Desa Gunungsari luas hutan milik Perum
Perhutani 1.000 hektar (Monografi Desa Gunungsari, 2012).
Tabel 9. Karakteristik responden di Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati
No
1
2
3
4
5
Uraian
Umur (tahun)
Pendidikan
Jumlah tanggungan (orang)
Luas lahan (Ha)
- Sawah
- Tegal
- Hutan
- Pekarangan
Rerata
46
Sekolah Dasar
4
Maksimum
70
Sekolah dasar
7
0,06
0,43
0,25
0,02
1,25
2,00
1,50
0,05
Minimum
30
Tidak sekolah
2
0
0,15
0
0,01
2) Partisipasi Petani Terhadap Teknologi Agroforestri Konservasi Tanah
Dalam upaya rehabilitasi lahan dengan plot agroforestri konservasi tanah maka
ditanam tanaman yang diminati masyarakat baik yang endemik maupun eksotik. Jenis
eksotik adalah tanaman jenis penghasil kayu dan telah beradaptasi dengan lingkungan:
adalah sengon dan jabon. Jenis endemik/lokaladalah cempaka (Mangleatia glauca).
Jenis eksotik penghasil HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) yang telah beradaptasi yaitu
petai, duku, manggis, dan randu. Penanaman pohon legum seperti lamtoro (Leucaena
leucocephala), gamal (Glericidia sepium), kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan
tanaman legum penutup tanah seperti koro benguk (Mucuna pruriens), kacang asu
(Colopogonium mucunoides) dan centro (Centrocema pubescens) berfungsi sebagai
pupuk hijau akan membantu pengembalian bahan organik ke dalam tanah dan
membantu meningkatkan pH tanah.
Hasil penelitian BPTKPDAS (2011-2012) menunjukkan bahwa pada tahap awal
pembangunan agroforestri konservasi tanah BPTKPDAS ditanggapi oleh para pemilik
lahan dengan sangat antusias karena adanya bantuan dan insentif yang diberikan untuk
pembangunan agroforestri tersebut. Pada tahun pertama (2011) pembangunan plot
agroforestri konservasi tanah belum terlihat pengaruh model penanaman terhadap
kecenderungan erosi tanah dan kesuburan tanah. Partisipasi masyarakat akan
agroforestri konservasi tanah dan kemauan untuk mengembangkan, tergantung pada
manfaat apa yang diperoleh petani, bagaimana dampak ekonomi dalam jangka pendek,
apa pilihan-pilihan peluang ekonomi yang tersedia dibandingkan dengan pola
monokultur ubikayu. Partisipasi masyarakat juga cukup positif yang ditunjukkan
dengan dipeliharanya agroforestri konservasi tanah oleh para petani pemilik lahan dan
masyarakat sekitarnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10.
Pada tahun pertama pengembangan plot agroforestri konservasi tanah, tingkat
partisipasi responden terhadap plot agroforestri konservasi tanah, dalam hal
perencanaan masih rendah (74,50%), pelaksanaan tingkat sedang (71,10%), penerima
Sintesis 2010-2014 | 19
manfaat tingkat tinggi (62,10%) dan monitoring evaluasi yang rendah (71,10%). Pada
tahun 2012, tingkat partisipasi terhadap plot agroforestri konservasi tanah dalam
perencanaan termasuk sedang (40,60%), dalam pelaksanaan masih tinggi (55,90%),
penerima manfaat tinggi (76,10%) dan monitoring evaluasi termasuk sedang (46,80%)
(BPTKPDAS, 2011, 2012). Dari Tabel 11 tersebut terlihat bahwa terjadi peningkatan
kualitas tingkat partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat terhadap kegiatan plot
agroforestri konservasi tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya tingkat rata-rata
partisipasi yang semakin menyebar, menunjukkan bahwa masyarakat telah
menanggapi pembangunan plot agroforestri konservasi tanah BPTKPDAS dengan
cukup baik.
Tabel 10. Perbandingan Tingkat Partisipasi Responden tahun 2011 dan 2012
No
Uraian
2011
2012
1
Perencanaan: tingkat rendah*)
74,50%
40,60%
2
Pelaksanaan: tingkat sedang*)
71,10%
55,90%
3
Penerimaan: tingkat tinggi*)
62,10%
76,10%
4
Monev: tingkat rendah*)
71,10%
46,80%
*) Tingkat partisipasi yang paling banyak nilainya pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2012
Tabel 11. Persepsi masyarakat terhadap plot agroforestri berdasarkan kontan
No
1
2
3
4
5
Uraian
Pemahaman konservasi tanah dan air (KTA)
- Tahu
- Tidak tahu
Sumber informasi KTA
- Penyuluh
- Tetangga
- Media informasi
- Sumber lain
Paham yang disampaikan penyuluh
- Paham
- Tidak paham
KTA yang dilakukan sekarang
- Saluran pembuangan air (SPA)
- Penguat teras
- Penanaman menurut kontur
- Agroforestri
- Teras gulud
Bantuan dalam penerapan KTA
- Bibit tanaman pohon/buah
- Tenaga kerja
- Pupuk anorganik
Persentase (%)
95
5
100
0
0
0
95
5
85
25
15
50
10
90
25
10
Ubikayu menjadi tanaman andalan, meskipun hasil uji kesuburan tanah
menunjukkan bahwa tanah pada demplot telah mengalami degradasi yang ditunjukkan
dengan rendahnya kandungan karbon C organik dan bahan organik (1-2%) serta
rendahnya kandungan N total tanah (< 0,1%). Selain itu KPK tanah juga rendah (5-11
me/100g) dan tanah sebagaian besar tergolong masam (BPTKPDAS, 2011). Pada
kondisi tersebut usaha tani ubikayu sudah tidak sesuai diusahakan apalagi pada lahan
miring. Meskipun petani memberi pupuk urea namun tidak membantu meningkatkan
produktivitas apabila tidak disertasi dengan pengembalian bahan organik ke tanah.
Sintesis 2010-2014 | 20
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang secara tunggal
maupun dikombinasikan dengan pupuk buatan/mineral akan lebih efektif
meningkatkan bahan organik tanah dibandingkan dengan hanya pupuk mineral saja
(Gong et al., 2009).
3) Analisis SWOT
Dari matriks evaluasi faktor internal (IFE) dan evaluasi faktor eksternal (EFE)
dapat diketahui bahwa posisi internal dan eksternal plot agroforestri konservasi tanah
dalam posisi kuadran I (pertama) dengan nilai 4,974 ; 5,060. Posisi kuadran I
menandakan bahwa situasi ini sangat menguntungkan, karena memiliki peluang dan
kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang diterapkan
adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Marimin, 2004).
Berbagai Peluang
Kuadran III
(mendukung
strategi turnaround)
Kuadran I
(4,974 ; 5,060)
(mendukung strategi
agresif)
Kelemahan
Internal
Kekuatan
Internal
Kuadran IV
(mendukung
strategi defensif)
Kuadran II
(mendukung strategi
diversifikasi)
Berbagai
Ancaman
Gambar 2. Gambar Posisi Plot Agroforestri Konservasi Tanah BPTKPDAS
Strategi yang harus di terapkan dalam mendukung kebijakan pertumbuhan yang
agresif adalah melakukan kerjasama atau kemitraan yang baik dengan para petani
melalui Kelompok Tani yang ada di Desa Gunungsari. Sebagai peluangnya adalah
meningkatkan sosialisasi agroforestri konservasi tanah bersama petugas Penyuluh
Pertanian dan Kehutanan dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati. Sebagai
tantangannya adalah memperluas pola agroforestri konservasi tanah BPTKPDAS di
lahan milik petani yang belum menerapkannya.
4) Penilaian Alternatif Produk Agroforestri Konservasi Tanah
Pola agroforestri konservasi tanah merupakan usahatani campuran antara pohon
dan ubikayu. Petani mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan pertumbuhan
tanaman pohon dan ubi kayu. Periksa Tabel 12 dan 13.
Tabel 12. Penilaian Alternatif Produk Agroforestri Tradisional di Gunungsari.
No
Kriteria
1
Potensi pasar
2
Kondisi bahan baku
3
Nilai tambah produk
4
Daya serap tenaga kerja
5
Teknologi yang sudah dipakai
6
Dampak terhadap lingkungan
7
Kondisi sosial budaya
Sumber: diolah dari data primer, 2013
Bobot
9
8
6
7
5
5
7
Pohon/kayu
8
7
7
7
6
8
6
Nilai Produk
Ubikayu Pakan Ternak
8
5
8
6
6
6
8
5
6
5
7
6
7
5
Sintesis 2010-2014 | 21
Tabel 13. Hasil Perhitungan Prioritas Produk Agroforestri Tradisional Potensial di Gunungsari
Prioritas
Alternatif pilihan
1
Ubikayu
2
Pohon/kayu
3
Pakan ternak
Sumber: diolah dari data primer, 2013
Nilai MPE
153.986.878
141.244.201
3.921.548
Tanaman ubi kayu tetap menjadi tanaman andalan, meskipun hasil uji kesuburan
tanah menunjukkan bahwa tanah pada demplot telah mengalami degradasi yang
ditunjukkan dengan rendahnya kandungan karbon C organik dan bahan organik (12%) serta rendahnya kandungan N total tanah (< 0,1%). Selain itu KPK tanah juga
rendah (5-11 me/100g) dan tanah sebagaian besar tergolong masam (BPTKPDAS,
2011). Kondisi lahan usaha tani ubi kayu sudah tidak sesuai untuk diusahakan apalagi
pada lahan dengan kemiringan antara 30% - 45%. Meskipun petani memberi pupuk
Urea dan pupuk organik (pupuk kandang) namun tidak membantu meningkatkan
produktivitas tanpa disertasi dengan usaha konservasi tanah.
Dilihat dari perkembangan kelembagaan berkaitan dengan persepsi dan adopsi
maka pada tahun pertama, partisipasi pemilik lahan sangat rendah. Pada tahun
berikutnya dibuat kelompok tani konservasi tanah dan air. Namun lembaga ini mati
suri dan tidak melakukan pertemuan rutin lagi. Petani berpersepsi bahwa yang
membutuhkan dan berkepentingan dengan plot agroforestri adalah peneliti dan
pembangun plot bukan petani sendiri. Persepsi ini menyebabkan kegiatan bulanan
kelompok tani tidak berjalan optimal. Beberapa penye-bab yang diidentifikasi antara
lain jumlah anggota sangat sedikit, domisili tersebar, memi-liki lahan garapan lain
yang lebih luas, jauh dari rumah, kegiatan yang tidak terkoordinir, tidak ada modal.
Laporan penelitian BPTKPDAS 2012 menyatakan bahwa gagal berkem-bangnya
kelompok tani tersebut karena jumlah anggota yang sedikit dan tersebar. Namun
pencermatan menunjukkan bahwa pemaksaan pembuatan organisasi baru dan tidak
ada rasa kebutuhan/nasib yang sama akan perlunya pembuatan kelompok tani
konservasi tanah yang membuat gagalnya lembaga ini. Keputusan yang dibuat
selanjutnya bersama peneliti adalah mengabungkan kelompok tani konservasi tanah
dan air dengan kelompok tani Wana Lestari yang beranggotakan 100 orang.
Kelompok tani tersebut memiliki pertemuan rutin setiap bulan dengan agenda arisan
dan penyuluhan dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati.
5) Adopsi Agroforestri Berkonservasi Tanah dan Air
Inovasi merupakan segala sesuatu baik berupa ide, cara ataupun obyek yang
dipersepsikan oleh seorang sebagai sesuatu yang baru. Pemahaman petani akan
inovasi teknologi tentu membutuhkan kesiapan mental sampai mengambil keputusan
untuk adopsi teknologi yang bermanfaat dan diterapkan melalui proses persepsi (Ishak
dan Afrizon, 2011). Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide
baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses
mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan
untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya (Suprapto dan
Fahrianoor, 2004).
Sintesis 2010-2014 | 22
Petani belum mengadopsi model plot agroforestri dalam usahataninya. Petani
menanam pohon di tengah-tengah lahan ubikayu tanpa jarak tanam dan jumlahnya
sedikit (kurang dari 20 batang dalam luasan 2000 m2). Petani berkepentingan terhadap
tanaman ubikayu, namun plot model agroforestri yang dikembangkan peneliti kurang
mengakomodir hal tersebut dan lebih mengedepankan upaya peningkatan kesuburan
lahan dan penurunan erosi.
Menurut Rogers (1983), tingkat adopsi dari suatu inovasi tergantung pada
persepsi adopter tentang karakteristik inovasi teknologi tersebut. Atribut yang
mendukung penjelas-an tingkat adopsi dari suatu inovasi meliputi: (1) keunggulan
relatif, (2) tingkat kesesuaian, (3) tingkat kerumitan, (4) dapat dicoba, dan (5) dapat
diamati. Inovasi teknologi agroforestri yang dikembangkan di plot dapat memenuhi
karakter inovasi teknologi yang dikemukakan oleh Rogers. Namun adopsi terhadap
agroforestri tergantung keputusan petani sebagai pengambil keputusan atas
usahataninya. Hal ini sesuai pendapat Siregar (2006) bahwa masyarakat sebagai
pengguna inovasi teknologi harus lebih selektif dalam memilih teknologi yang
digunakan karena berkaitan dengan biaya. Selain itu Gumbira dan Intan (2001)
menunjukkan bahwa penentuan jenis teknologi ditentukan oleh skala usaha, jenis,
biaya, sumberdaya manusia serta kebutuhan.
6) Peran Parapihak
Dalam menentukan suatu lembaga mempunyai kekuasaan/wewenang, perlu
dilakukan identifikasi dari indikator-indikator: pengaruh, kontrol terhadap sumberdaya
alam dan manusia, kepemilikan pengetahuan dan ketrampilan, keterlibatan dalam
strategi pelaksanaan dan kontrol terhadap lingkungan (Mintzberg,1999 dalam
BPKSolo, 2009). Berdasarkan hasil analisis para pihak, maka para pihak yang terlibat
dalam usahatani konservasi tanah dan air dapat dilihat dari matrik Mintzberg (1999)
di bawah ini.
Keep Statisfied
High
Level of
Power
Low
Key players
Pemerintah Desa Gunungsari
Pemerintah Kecamatan Tlogo
wungu.
Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Pati
Perum Perhutani KPH Regaloh- Pati
Minimal Effort
Keep Informed
Kelompok Masyarakat lainnya
(perkumpulan pedagang
pengumpul, persatuan tukang
ojek, kelompok buruh tani, dll)
Low
Kelompok Tani KTA
Lembaga Masyarakat Desa Hutan
Gabungan Kelompok Tani
(GAPOKTAN)
Level of Interest
High
Gambar 3. Matriks power dan enterest
Keep Informed. Keep Informed adalah parapihak yang mempunyai kepentingan besar
namun kekuasaan/wewenangnya kecil, atau merupakan pihak utamayang dipengaruhi
atau merasakan akibat dari kegiatan pihak lain. Lembaga ini mempunyai kepentingan
Sintesis 2010-2014 | 23
yang besar dalam mengajak anggotanya untuk menerapkan usahatani berbasis
konservasi tanah dan air dalam rangka mengurangi erosi di wilayahnya namun tidak
mempunyai wewenang dalam membuat kebijakan atau peraturan menuju kelestarian
hutan tanah dan air.
Key Players. Key Players mempunyai kekuasaan yang besar dan mempunyai
wewenang yang besar untuk melakukan sesuatu seperti membuat aturan atau
melaksanakan kegiatan membangun suatu kelompok tani berbasis konservasi tanah
dan air. Lembaga ini mempunyai kekuasaan atau kewenangan yang besar dalam
melestarikan sumberdaya alam melalui program atau kegiatan pelestarian hutan,
konservasi tanah dan air serta membina kelompok-kelompok tani sebagai mitra
kerjanya.
Keep Statisfied. Keep Statisfied adalah pihak yang mempunyai kepentingan kecil akan
tetapi wewenangnya besar. Lembaga ini mempunyai wewenang untuk membuat
kebijakan atau aturan-aturan untuk melaksanakan program atau kegiatan dari instansi
yang terkait dengan usahatani berbasis konservasi tanah dan air.
Minimal Effort. Minimal Effort adalah pihak yang mempunyai kepentingan kecil dan
wewenangnya kecil. Merupakan lembaga yang kurang atau tidak terkait dalam
usahatani konservasi tanah dan air.
Dengan demikian program parapihak yang termasuk dalam Key Players dapat
menyelaraskan program dari lembaga masyarakat yang telah ada di Desa Gunungsari.
Sehingga diperlukan kerjasama antar lembaga. Kemampuan lembaga-lembaga yang
terkait dengan pemberdayaan masyarakat harus ditingkatkan untuk lebih mendukung
pelaksanaan usahatani berbasis konservasi tanah dan air.
7) Lembaga yang Terkait Konservasi Tanah dan Air
Lembaga yang terkait dalam kegiatan usahatani konservasi tanah dan air di desa
Gunungsari, kecamatan Tlogowungu kabupaten Pati Jawa Tengah antara lain Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah BKPH Regaloh, Pemerintah Desa Gunungsari, Pemerintah Kecamatan Tlogowungu,
Kelompok Tani Wana Lestari, dll. Digambarkan melalui diagram Venn seperti pada
Gambar 4 dibawah ini.
Pemerintah
Kecamatan
Kel.TaniKontan
Pemerintah Desa
LMDH
Pedagang
Pengumpul
Kel. Tani
Wana
Lestari
masyarakat desa Gunungsari,
kec.Tlogowungu, kab.Pati – Jawa Tengah
Kel.Masy
Dinas
Pertanian
Kehutana
n
Per Bankan
BKPH
Regaloh
Gambar 4. Diagram Venn untuk lembaga yang terkait pengelolaan DAS di desa Gunungsari.
Sintesis 2010-2014 | 24
Bappeda
Pemerintah Desa digambarkan besar dan berada dalam lingkaran, yang berarti
mempunyai peran besar terhadap masyarakat dan dekat dengan masyarakat.
Pemerintah Desa merupakan motor dari pembangunan SDM di wilayahnya termasuk
menangani semua urusan kemasyarakatan warganya.
Pemerintah Kecamatan digambarkan jauh dan kecil, mempunyai arti pengaruh
dan peran di dalam pembangunan masyarakat desa Gunungsari lebih kecil dibandingkan pemerintah Desa. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) digambarkan
besar dan di dalam lingkaran, yang berarti lembaga ini dekat dengan masyarakat dan
berperan/berpengaruh besar terhadap pembangunan masyarakat. Pedagang pengumpul
digambarkan berada di lingkaran, yang berarti dekat dengan masyarakat dan diperlukan dalam menopang pembangunan SDM terutama dalam pemasaran hasil bumi.
Renternir atau tengkulak atau lintah darat; digambarkan ada di dalam lingkaran besar,
yang menunjukan kedekatan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara per-Bank-an
digambarkan di luar lingkaran masyarakat, yang berarti kurang dekat dengan
masyarakat, kurang dibutuhkan. Kelompok Tani Wana Lestari dan Kelompok Tani
Konservasi Tanah dan Air berada di dalam lingkaran masyarakat; namun berbeda
besarannya. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati digambarkan berada di
luar laingkaran masyarakat dan jaraknya dekat. Hal ini menunjukan bahwa kegiatan
instansi ini mendukung pembangunan bidang pertanian dan kehutanan di desa
Gunungsari, seperti kegiatan Gerakan penghijauan (Gerhan) dan Kebun Bibit Desa
(KBD). BKPH Regaloh digambarkan dekat dengan lingkaran masyarakat, menunjukan
bahwa keberadaannya dekat dengan masyarakat dan cukup berperan dalam menunjang
pembangunan LMDH di desa Gunungsari.
Peran aktif Kelompok Tani yang sudah terbentuk dibutuhkan oleh masyarakat
tani desa Gunungsari yang digunakan sebagai sarana untuk saling berbagi pengalaman
dan berbagi informasi, terutama informasi pemasaran hasil usahatani sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
8) Membangun Kelembagaan
Membangun kelembagaan merupakan proses jangka panjang, meski tidak
berurutan tetapi harus ada untuk sebuah proses membangun pemberdayaan masyarakat
(Awang, dkk. 2008). Membangun kelembagaan dalam hal ini kelompok konservasi
tanah dan air, diawali dengan pertemuan multi pihak di tingkat desa untuk menentukan
kriteria siapa pelaku atau anggota masyarakat yang lahannya akan digunakan untuk
lokasi penelitian usahatani berbasis konservasi tanah dan air. Lokasi penelitian ini
disamping sebagai plot percobaan juga sebagai plot percontohan bagi petani di
sekitarnya. Penentuan anggota masyarakat yang lahannya dijadikan plot penelitian
usahatani konservasi tanah dan air menggunakan kriteria yang telah disepakati
bersama. Penentuan lokasi penelitian tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak,
namun hal itu penting dirumuskan secara bersama, antara para peneliti Balai Peneltian
Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS) dengan petani
pemilik lahan. Oleh sebab itu proses pertama penentuan petani pemilik lahan untuk
bersedia lahannya dijadikan plot penelitian menjadi penting. Proses awal inilah yang
akan menentukan anggota masyarakat mana yang akan terlibat dalam proses-proses
Sintesis 2010-2014 | 25
selanjutnya. Menurut Awang,dkk (2008), metode Pendekatan Aksi Partisipatif (PAP)
berguna dalam proses memahami dan membangun kebersamaan. PAP menunjukkan
adanya hubungan aktif antara petani terpilih yang berjumlah 13 orang kepala keluarga
dengan para peneliti BPTKPDAS yang difasilitasi oleh ketua Kelompok Tani Wana
Lestari I bapak Ngarjono, untuk melakukan kegiatan usahatani konservasi tanah dan
air di masing-masing lahannya sesuai perlakuan penelitian yang telah ditentukan.
Kemudian dilanjutkan pada tahap merumuskan visi dan misi bersama. Hal ini
menunjukkan bahwa visi dan misi itu bukan bersifat angan-angan semata, namun
menjadi cita-cita bersama dan akan dicapai dengan tindakan bersama. Setelah
terbentuk sebuah kelompok tani pemilik lahan yang digunakan sebagai sarana
penelitian secara partisipatif, maka kelompok ini diberi nama: Kelompok Tani
Konservasi Tanah dan Air dengan Ketua bapak Ngarjono. Jumlah anggota 13 orang.
Langkah selanjutnya adalah penyusunan aturan internal yaitu berupa Anggaran Dasar
(AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) kelompok tani. Sebuah lembaga atau
kelompok tani di tingkat apapun pada bidang apapun membutuhkan AD dan ART
sebagai aturan yang disusun dan berlaku dalam lembaga/kelompok. Namun sebelum
AD dan ART kelompok tani tersusun, lembaga ini sudah mati suri, tidak ada
pertemuan rutin lagi. Kendala yang dihadapi kelompok tani ini, antara lain: jumlah
anggotanya sedikit, berdomisili tersebar, memiliki lahan garapan lain yang lebih luas
dan jauh dari rumahnya. Sehingga untuk berkumpul dan bertemu sebulan sekali terasa
sulit.
Kemudian diadakan pertemuan bersama antara anggota kelompok tani konservasi
tanah dan air dengan peneliti BPTKPDAS sebagai pendamping, maka diperoleh
kesepakat-an bahwa kelompok ini bubar dan anggotanya bergabung dengan kelompok
tani Wana Lestari yang jumlah anggotanya lebih banyak yaitu mencapai 100 orang.
Aset kelompok tani Wana Lestari sudah mencapai 100 juta lebih yang diperoleh dari
iuran anggota dan bantuan pemerintah, antara lain oleh Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten. Pengem-bangan ekonomi kelompok tani dirasa penting karena
kelompok tani membutuhkan dana untuk berbagai kegiatan. Sementara kelompok tani
konservasi tanah dan air belum memiliki dana untuk berbagai kegiatannya. Namun
kelompok tani Wana Lestari sudah memiliki kegiatan ekonomi antara lain simpan
pinjam uang anggota, menyewakan alat untuk prosesing kopi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Hindra (2006), bahwa peran pendamping dari
instansi sangat diperlukan untuk mendorong dan membimbing masyarakat agar
mampu bekerja-sama di bidang ekonomi secara berkelompok. Anggota kelompok
haruslah terdiri dari masyarakat yang saling mengenal, saling percaya dan mempunyai
kepentingan yang sama, sehingga akan tumbuh kerjasama yang kompak dan serasi.
Bantuan kemudahan diberikan oleh instansi pembina atau pihak lain untuk
menumbuhkan keswadayaan dan kemandirian kelompok.
Proses pembangunan kelembagaan konservasi tanah dan air memiliki peran yang
pen-ting dalam pengelolaan lahan lestari. Pengelolaan lahan lestari harus mengikuti
kaidah konservasi tanah dan air yang dilakukan melalui kerja bersama kelompok, hasil
dari musyawarah mufakat anggota kelompok untuk meningkatkan produksi.
Sintesis 2010-2014 | 26
IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN
Implikasi kebijakan yang dapat diambil adalah:
1. Degradasi lahan di kawasan Gunung Muria pada usaha tani ubikayu telah menurunkan
produksi selama empat tahun terakhir. Untuk itu maka model rehabilitasi lahan yang
dikembangkan perlu mempertimbangan kondisi biofisik lokasi target rehabilitasi lahan,
tingkat degradasi dan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan lahan (komoditi). Dari
ketiga kondisi tersebut disusun model agroforestri yang mampu menurunkan limpasan
permukaan dan erosi serta memberikan nilai tambah pendapatan bagi masyarakat.
2. Model A, kombinasi sengon + manggis + petai + manglid + randu + lamtoro adalah
model terbaik karena mampu menurunkan limpasan permukaan dan tingkat erosi
tertinggi sebesar 219,92 mm/th (94,74%) dan 17,86 ton/ha/th (99,04%) dibanding
Kontrol. Model ini merupakan alternatif penggunaan lahan dalam konteks pengelolaan
DAS Juwana. Diharapkan model agroforestri ini dapat berperan mendukung ketahanan
pangan. Kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan agroforestri tersebut antara
lain peningkatan pendidikan baik formal maupun non formal dan adopsi teknologi
pengelolaan DAS serta pemberdayaan kelompok tani untuk pengembangan agroforestri.
3. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap usahatani konservasi tanah dan
air, yang pada saat tingkat partisipasinya rendah sampai sedang, perlu pendampingan
oleh petugas lapangan Penyuluh Pertanian dan Kehutanan dalam pelibatan masyarakat
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat hingga monitoring evaluasi.
4. Teknik agroforestri berkonservasi tanah dan air yang dikembangkan telah memberi
persepsi pada petani akan pentingnya penerapan teknik konservasi tanah dan air pada
lahan usahataninya. Tingkat persepsi tersebut akan menentukan adopsi teknik agroforestri dan kemauan adopsinya tergantung pada manfaat apa yang dapat diperoleh petani,
dampak ekonomi terutama dalam jangka pendek, pilihan-pilihan peluang ekonomi yang
tersedia dibandingkan dengan plot agroforestri.
5. Proses membangun kelembagaan konservasi tanah dan air dilakukan melalui kerja
bersama antara instansi/lembaga kepada kelompok tani, kerjasama antar anggota dalam
kelompok tani dan kerjasama dengan masyarakat desa dalam pengelolaan lahan lestari
berbasis konservasi tanah dan air untuk meningkatkan produksi dan meningkatkan
pendapatan. Lembaga yang berperan penting dalam membangun kelembagaan tingkat
petani adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten lewat Petugas Penyuluh
Pertanian (PPL) sebagai pendamping kelompok tani dan Perum Perhutani KPH Regaloh
lewat Ketua RT merangkap Ketua Sub LMDH dan Kelompok Tani Wana Lestari lewat
para anggotanya, berperan dalam merencanakan, melaksanakan dan memonitor serta
mengevaluasi kegiatan konservasi tanah dan air di desa Gunungsari. Peran aktif Kelompok Tani Wana Lestari dibutuhkan sebagai tempat untuk saling berbagi pengalaman
dan berbagi informasi, terutama informasi pemasaran hasil usahatani sehingga dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Sintesis 2010-2014 | 27
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1. Dampak sosial ekonomi degradasi lahan di kawasan Gunung Muria pada usaha tani
ubikayu adalah penurunan produksi selama empat tahun terakhir.
2. Semua model perlakuan yang diuji mampu menurunkan limpasan dan erosi. Model
perlakuan terbaik adalah Model A karena mampu menurunkan limpasan permukaan
sebesar 219,92 mm/th (94,74%) dan tingkat erosi sebesar 17,86 ton/ha/th (99,04%).
3. Pertumbuhan tinggi sengon sampai umur 18 bulan model A 20,70 cm per bulan dengan
pertumbuhan diameter sengon model A sebesar 2,83 mm per bulan.
4. Sampai dengan tahun pertama Model A mampu meningkatkan kadar C organik dan
Nitrogen total tertinggi masing-masing sebesar 1,203% (45,29%) dan 0,02 % (22,22%)
namun semua model tidak mampu mengendalikan penurunan kadar C organik dan
Nitrogen total pada tahun kedua. Dari tahun pertama ke tahun kedua Model A juga
mampu meningkatkan kadar Ca (0,79 cmol/kg), Na (0,03 cmol/kg) dan Kejenuhan basa
(7,06%).
5. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap usahatani konservasi tanah dan air rendah
sampai sedang.Teknik agroforestri berkonservasi tanah dan air yang dikembangkan
telah memberi persepsi pada petani akan pentingnya penerapan teknik konservasi tanah
dan air pada lahan usahataninya. Tingkat persepsi tersebut akan menentukan adopsi
teknik agroforestri dan kemauan adopsinya tergantung pada manfaat apa yang dapat
diperoleh petani, dampak ekonomi terutama dalam jangka pendek, pilihan-pilihan
peluang ekonomi yang tersedia dibandingkan dengan plot agroforestri.
6. Proses membangun kelembagaan konservasi tanah dan air dilakukan melalui kerja
bersama antara instansi/lembaga kepada kelompok tani, kerjasama antar anggota dalam
kelompok tani dan kerjasama dengan masyarakat desa dalam pengelolaan lahan lestari
berbasis konservasi tanah dan air untuk meningkatkan produksi dan meningkatkan
pendapatan.
B. Saran
Sampai dengan tahun kedua Model A: kombinasi sengon+manggis+ petai+manglid+
randu+lamtoro+teras merupakan model terbaik yang dapat disarankan sebagai salah satu
alternatif teknik Konservasi Tanah dan Air di Kabupaten Pati. Penelitian pertumbuhan
sengon dan jabon yang menginjak tahun kedua ini perlu dilanjutkan sehingga dampak
Model A pada umur 5-6 tahun terhadap limpasan permukaan, erosi, kesuburan tanah dan
produksi agroforesti dapat diketahui.
Pengembangan agroforestri konservasi tanah di lokasi penelitian akan efektif apabila
dilakukan secara berkelompok untuk meningkatkan kesadaran bagi para petani akan
konservasi tanah dalam rangka mempertahankan kesuburan tanah. Pengembangan agroforestri konservasi tanah di lokasi penelitian dapat diakselerasi dengan peningkatan kerjasama dengan petani dan penyuluh, sosialisasi agroforestri yang lebih intensif, dan
koordinasi antar stakeholder dalam pengembangan agroforestri. Diperlukan pendampingan
oleh petugas lapangan dan diberikan insentif berupa pohon dan ternak kambing agar petani
lebih berpartisipatif melestarikan lingkungan pada umumnya dan konservasi tanah dan air
Sintesis 2010-2014 | 28
pada khususnya. Pembinaan kelompok yang sudah terbentuk perlu ditingkatkan dengan
pembobotan materi pertemuan lebih kearah teknik usahatani konservasi tanah dan air.
Kemampuan para pihak perlu ditingkatkan dan kegiatannya harus terpadu dengan kegiatan
masyarakat dalam mendukung pelaksanaan usahatani berbasis konservasi tanah dan air.
DAFTAR PUSTAKA
Abisono, F.G. 2002. Dinamika kebijakan pangan orde baru: otonomi negara vs pasar
global. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 5 (3): 271-294.
Awang, San Afri dkk.2008. Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan
(LMDH). CIFOR.Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati.
Balai Penelitian Kehutanan Solo. 2009. Kajian Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat
di Jawa Tengah. Laporan Hasil Penelitian. Surakarta.
Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. 2011.
Rehabilitasi lahan terdegradasi dengan jenis lokal. Laporan penelitian. Badan
Litbang Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Surakarta.
Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. 2012.
Rehabilitasi lahan terdegradasi dengan jenis lokal. Laporan penelitian. Badan
Litbang Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Surakarta.
Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. 2013.
Rehabilitasi lahan terdegradasi dengan jenis lokal. Laporan penelitian. Badan
Litbang Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Surakarta.
Badan Pusat Statistik. 2011. Kecamatan Tlogowungu dalam Angka. Monografi Desa
Gunungsari.Pati.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati. 2011. Kecamatan Tlogowungu dalam angka 2011.
BPS Kabupaten Pati. Pati.
Bentuk-bentuk_Partisipasi & Tipe_Partisipasi id.wikipedia.org/wiki/Partisipasi.Diunduh
tanggal 25 Januari 2012.
Billy Hindra.2006. Potensi dan Kelembagaan Hutan Rakyat .Prosiding Seminar Hasil
Litbang Hasil Hutan 2006 : 14-23
BPDAS Pemali Jeratun. 2008. Grand Design Rehabilitasi Kawasan Gunung Muria.Balai
Pengelolaan DAS. Departemen Kehutanan. Semarang.
Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2005. Rekalkulasi Penutupan Lahan
Indonesia tahun 2005. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan.
Jakarta. 204 p.
Edwina, S dan E. Maharani. 2010. Persepsi petani terhadap teknologi pengolahan pakan di
Kecamatan Kerinci Kanan Kabupaten Siak. Indonesian Journal of Agricultural
Economics, 2 (1): 169-183
Estu Suryowati. 2014. Tanpa Ada Pembenahan dari Hulu ke Hilir, Bencana Akan Terus
Habiskan Triliunan Rupiah. Kompas. 12 Pebruari 2014. Jakarta.
Fidi Mahendra.2009. Sistem Agroforestri dan Aplikasinya. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Sintesis 2010-2014 | 29
Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch, 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia.
Forest Watch Indonesia dan Washington DC: Global Forest Watch. Bogor.
Forest Watch Indonesia, 2005. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009. Edisi
Pertama. Forest Watch Indonesia. Bogor.
Gong, W., X. Yan, J. Wang, T. Hu dan Y. Gong. 2009. Long term manure and fertilizer
effects on soil organic matter fractions and microbes under a wheat-maize cropping
system in northern China. Geoderma 149: 318-319.
Gumbira, S dan A. H. Intan. 2001. Manajemen Agribisnis. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Irawan,E.2011. Analisis Ex Ante Partisipasi Petani dalam Proyek Hutan Rakyat untuk
Mitigasi Perubahan Iklim di Kabupaten Wonosobo. Prosiding Expose Hasil
Penelitian dan Pengembangan. Surakarta.
Ishak, A Afrizon. 2011. Persepsi dan tingkat adopsi petani padi terhadap penerapan system
of rice intensification (SRI) di Desa Bukit Peninjauan I, Kecamatan Sukaraja,
Kabupaten Seluma. Informatika Pertanian, Vol. 20 No.2, Desember 2011: 76-80.
Kementerian Kehutanann 2013. Statistik Kehutanan Indonesia 2012. Kementerian
Kehutanan. Jakarta.
Kementerian Pertanian.2008.Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16/Permentan/OT.140/2
/2008, tanggal 11 Pebruari 2008. Tentang Pedoman Umum Proyek Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP).
Manule, R.M. 2002. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Saddang Bagian Hilir di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Tesis S2. Unhas.
Tidak dipublikasikan. Makassar.
Mahendra, F. 2009. Sistem agroforestri dan aplikasinya. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Marimin. 2004. Teknik dan aplikasi pengambilan keputusan kriteria majemuk.
PT.Gramedia. Jakarta.
Nanang, M dan G. Simon Devung. 2004. Panduan Pengembangan Peran dan Partisipasi
Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. ISBN 4-88788-007-3.Institute for Global
Environmental Strategies (IGES). KABUPATEN KUTAI BARAT
Notohadiprawiro, T. 1986. Ultisol, Fakta dan Implikasi Pertaniannya. Bulletin Pusat
Penelitian Marihat. No. 6. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gajah mada (2006).
Paimin, Sukresno dan Purwanto, 2010. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sunia.
Pusat penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.
Pemerintahan Desa Gunungsari. 2012. Monografi Desa Gunungsari. Desa Gunungsari,
Kecamatan Tlogowungu. Pati. Tidak dipublikasikan.
Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 8 Tahun 2011 tentang RENCANA
PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KABUPATEN PATI
TAHUN 2005–2025. Lembaran Daerah Kabupaten Pati Tahun 2011 Nomor 8.
Pati. www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/KAB_PATI_5_2012.pdf
Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT Teknik membedah kasus bisnis. Gramedia. Jakarta.
Rogers, E.M. 1983. Diffution of Innovations. The Free Press, New York.
Singarimbun, M dan E. Sofian. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta.
Siregar, C. 2006. Analisis Sosiologi Terhadap Inovasi Teknologi. Jurnal Sosio Teknologi
Edisi 9 Tahun 5, Desember 2006.
Sintesis 2010-2014 | 30
Suprapto, T. dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek.
Arti Bumi Intaran. Yogyakarta.
Scherr, S.J. and S. Yadav. 1996. Land Degradationin the Developing World: Implications
for Food, Agriculture, and the Environment to 2020. International Food Policy
Research Institute. 1200 Seventeenth Street, N.W. Washington, D.C. 20036-3006
U.S.A. May 1996. Food, Agriculture, and the Environment Discussion Paper 14
Sudaryono, 2009. Tingkat Kesuburan Tanah Ultisol Pada Lahan Pertambangan Batubara
Sangatta, Kalimantan Timur. J. Tek. Ling Vol.10 No.3 Hal. 337 - 346 Jakarta, Sept
2009 ISSN 1441-318X.
Sugita. B. 2010. Ikon Baru Kota Kudus. Suara Merdeka.
Suntoro W. Atmojo. 2008. Peran Agroforestri dalam Menanggulangi Banjir dan Longsor
DAS. Seminar Nasional Pendidikan Agroforestry Sebagai Strategi Menghadapi
Pemanasan Global di Fakultas Pertanian, UNS. Solo.
Syahyuti. 2006. Partisipasi. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan
Pertanian. PT.Bina Rena Pariwara. Jakarta.
Yudi Lastiantoro.C dan S. Andy Cahyono. 2013. Peran Pengelolaan DAS dalam
Pengembangan Agribisnis untuk Mendukung Kedaulatan Pangan. Seminar Nasional Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Purwokerto.
Yudi Lastiantoro.C dan S.Andy Cahyono. 2013. Kontribusi Agroforestri terhadap
Ekonomi Rumah Tangga Petani dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Desa
Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati. Seminar Nasional
Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012. Tentang Pangan. Jakarta.
Wibowo,H.A.2005.Partisipasi Kelompok Petani Dalam Usaha Konservasi Tanah Di Desa
Medini Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial.
Universitas Negeri Semarang. www.pustakaskripsi.com/partisipasi-kelompokpetani-dalam-usaha-konservasi-tanah-di-desa-medini-kecamatan-undaankabupaten-kudus-2931.html diunduh tgl. 24 Juli 2012.
Wikipedia. 2014. Degradasi Lahan. Ensiklopedia bebas. http://id.wikipedia.org/wiki/
Degradasi_lahan. Diunduh tanggal 26-2-2014.
Sintesis 2010-2014 | 31
JUDUL PENELITIAN : TEKNIK REHABILITASI LAHAN KRITIS SECARA
PARTISIPATIF
PELAKSANA
: Ir. NINING WAHYUNINGRUM, M.Sc
INSTANSi
: BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN
PENGELOLAAN DAS
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Degradasi lahan di Indonesia umumnya diakibatkan erosi oleh air hujan (Dariah dkk.,
2004). Hal ini disebabkan oleh tingginya curah hujan yang jatuh pada lahan yang berlereng
curam dan kurangnya penerapan konservasi tanah. Lahan berlereng curam dan marjinal
masih banyak digunakan untuk budidaya tanaman semusim sebagai akibat kebutuhan penduduk untuk mencukupi kebutuhan pangan.
Erosi pada dasarnya merupakan proses penggerusan permukaan kulit bumi, yang
dimulai dari penghancuran agregat tanah, pengangkutan dan pengendapan partikel-partikel
tanah yang terlepas dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Di alam ada dua
penyebab utama yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air (Utomo, 1994). Menurut
Weischmeier dan Smith (1978), erosi dipengaruhi oleh faktor hujan, topografi, sifat fisik
tanah, penutupan dan pengelolaan lahan. Aktifitas manusia dapat mengendalikan erosi
dengan mengurangi pengaruh faktor topografi, sifat fisik tanah, penutupan dan pengelolaan
lahan dengan teknik konservasi tanah vegetatif maupun mekanis. Pengolahan lahan juga
berpengaruh pada erosi meskipun efeknya tidak secara cepat dapat dilihat seperti halnya
erosi oleh air dan angin (Oost dkk., 2006). Erosi oleh air menimbulkan masalah serius,
terutama pada lahan-lahan pertanian. Penutupan lahan oleh vegetasi mempunyai dampak
positif terhadap pengurangan erosi karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap tanah (Kefi dkk., 2011). Selain menyebabkan sedimentasi, erosi juga juga akan menyebabkan berkurangnya ketebalan tanah (solum) dan berkurangnya tingkat kesuburan tanah di
wilayah hulu (on site) (Sutrisno dkk., 2012).
Salah satu hulu DAS Bengawan Solo terletak di Kabupaten Wonogiri. Luas Kabupaten Wonogiri sekitar 182.232 hektar, dengan penutupan lahan yang dominan adalah tegal
(31,6%), diikuti oleh pekarangan (20,5%), sawah (16,9%). Sedangkan hutan negara dan
hutan rakyat mempunyai luas yang sama yaitu 8,9%. Sisanya merupakan penutupan lahan
lain-lain (13,1%). Jika dilihat dari topografi maka sebagian besar (65%) daerah Wonogiri
berbentuk perbukitan dengan lereng yang terjal, areal landai (30%) dan hanya 5%
merupakan areal datar (http://www.wonogiri.go.id/). Pada lereng yang terjal ini umumnya
digunakan untuk tanaman semusim yang rawan menyebabkan erosi.
Studi yang dilakukan oleh JICA (2007) menyebutkan bahwa sumber sedimentasi di
Waduk Gajahmungkur berasal dari erosi tanah pada pengolahan lahan tegalan dan kawasan
pemukiman. Erosi tanah yang tinggi disebabkan oleh konsekuensi pengelolaan lahan yang
buruk dan pengembangan usaha pertanian oleh petani setempat di lahan-lahan yang secara
topografis rentan terhadap degradasi karena pada lahan lereng gunung terjal. Pemanfaatan
lahan demikian sebagai akibat kemiskinan dan terbatasnya lapangan kerja di luar pertanian.
Sintesis 2010-2014 | 33
Sub DAS Keduang merupakan penyumbang sedimentasi terbesar (1.218.580 m3/tahun) ke
dalam Waduk Gajahmungkur dibanding Sub DAS – Sub DAS lainnya, sedangkan sumber
erosi terbesar berasal dari lahan tegalan (53%) dan lahan tegalan di kawasan pemukiman
(22%) (JICA, 2007).
Dari hal-hal tersebut di atas dapat diduga bahwa penyebab banjir dan tingginya
sedimentasi hasil adalah pemanfaatan lahan yang kurang sesuai dengan kemampuannya
terutama pada daerah-daerah dengan kemiringan terjal. Untuk mengatasi itu maka
pengembangan hutan tanaman sebagai tindakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah
(RLKT) metode vegetatif, merupakan salah satu alternatif yang direkomendasikan. Selain
untuk mengatasi banjir dan sedimentasi, pola hutan tanaman yang sesuai dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga lingkungan terjaga dan masyarakat
sejahtera.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari kegiatan ini adalah : a) Menemukan metode RLKT untuk mengurangi
besarnya erosi; dan b) Menemukan metode RLKT untuk mengendalikan banjir.
Tujuan ini mendukung tujuan RPI 15 (Teknologi Pengelolaan Sumber Daya Lahan
dan Air Pendukung Pengelolaan DAS) yaitu menyediakan informasi dan tekonologi tepat
guna untuk menunjang kelestarian pengelolaan sumber daya lahan, khususnya yang terkait
dengan rehabilitasi lahan terdegradasi agar sumberdaya lahan dan air yang terdegradasi
dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora, fauna dan secara keseluruhan sebagai
penyangga kehidupan termasuk didalamnya dapat meningkatkan perekonomian rakyat
dengan meningkatkan partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan, kegiatan pelaksanaan
dan pengelolaan pasca rehabilitasi lahan
II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL
PENELITIAN
A. Identifikasi Regulasi yang Ada
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (Anonymous, 2012)
B. Analisis Kebutuhan Penelitian
-III. SINTESIS HASIL PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Waktu Penelitian. Penelitian diselenggarakan pada tahun 2007 s/d tahun 2012.
Lokasi. Lokasi penelitian secara administratif terletak di Dusun Dungwot Desa Ngadipiro,
Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri dan secara geografis terletak pada 110o
59’52’’BT; 7o53’8’’LS. Lokasi penelitian ini dipilih karena merupakan lahan kering
berlerang curam dengan curah hujan rata-rata pertahun 1.976,6 mm dengan jumlah bulan
basah (Schmidt dan Fergusson, 1951) 6 bulan. Di lokasi yang terjal dan bersolum dangkal
ini kegiatan pertanian tanaman semusim masih dilakukan.
Sintesis 2010-2014 | 34
Rancangan Penelitian. Penelitian didahului dengan survey (tahun 2007) untuk menentukan batas Sub DAS dan melihat kondisi biofisik, yang meliputi kelerengan, jenis penutupan lahan, jenis konservasi tanah, kedalaman tanah, tekstur dan struktur tanah, drainase dan
permeabilitas tanah, pH tanah, jenis erosi, besarnya erosi (% luas). Parameter biofisik ini
digunakan untuk menentukan jenis tanaman yang sesuai dan jenis konservasi tanah.
Berdasarkan parameter biofisik, lahan dikelompokkan menjadi satuan-satuan lahan dengan
ciri-ciri yang relatif seragam. Selanjutnya Sub DAS ini disebut Sub DAS perlakuan. Pada
tahun 2009, telah dilakukan pengukuran dan survei biofisik Sub DAS baru sebagai pembanding dengan penutupan lahan dominan hutan (Gambar 1). Dengan demikian membentuk sub DAS berpasangan dengan luas masing-masing yaitu 10,82 ha dan 11,12 ha.
Gambar 1. Lokasi DAS mini perlakuan dan kontrol
Gambar 2. Lokasi pengambilan sampel tanah pada Sub DAS
Perlakuan dan Kontrol.
Sintesis 2010-2014 | 35
Analisis dilakukan dalam satuan lahan yang terbentuk berdasar kesamaan karakter
biofisik seperti jenis penutupan lahan, kedalaman tanah dan kelas lereng. Pembatasan DAS
dilakukan secara terestris dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Titik
koordinat yang tercatat diolah dengan ArcMap 9.2 (Crosier dkk., 2004) menjadi shape file,
yang merupakan peta digital dari penutupan lahan, kedalaman tanah dan kelas lereng.
Tumpang susun (overlay) peta-peta tersebut dilakukan untuk menentukan/mengelompokkan menjadi satuan lahan yang mempunyai ciri biofisik yang relatif seragam. Data
biofisik dikumpulkan melalui survei inventarisasi sumber daya lahan (Fletcher dan Gibb,
1990). Data yang dikumpulkan meliputi jenis penutupan lahan, jenis tanah, kedalaman
solum, tekstur tanah, kemiringan lahan. Selain itu dilakukan pengambilan sampel tanah.
Pengambilan sampel tanah dilakukan pada setiap satuan lahan pada kedalaman 0-20 cm.
Pengambilan sampel secara komposit, masing-masing satuan lahan diambil 3 sampel yang
dicampur menjadi satu.
Pengukuran tegakan dilakukan untuk mengetahui nilai index pengelolaan tanaman
(C). Pengukuran dilakukan dengan membuat petak ukur (PU) berjari-jari 16 m. Dengan
intensitas sampel lebih kurang 10%, PU dibuat secara purposive yaitu pada lokasi yang
ditumbuhi tanaman keras. Data yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman total, tinggi
bebas cabang, diameter batang, jari-jari tajuk, jumlah tanaman dan prosentase penutupan
tajuk. Dalam PU juga diamati secara visual persentase penutupan lahan oleh tanaman
semusim, semak, seresah dan kerikil permukaan.
Pengamatan erosi dan aliran permukaan dilakukan dengan membuat plot erosi berukuran 22 m x 4 m pada sub DAS perlakuan. Jenis perlakuan yang diterapkan meliputi :
1. Lahan pertanian tanaman semusim milik masyarakat
Plot A1: tanaman jati, mangga, dan jambu mete tanpa teras (lereng 39%)
Plot B1: tanaman jati, mangga, dan pete dengan teras bangku dengan batu terawat
dan penguat teras rumput (lereng 34%)
Plot C1: tanaman jati, mangga, mete, dan pete dengan teras bangku tak terawat
(lereng 39%). Tanaman jati, mangga, pete dan mete merupakan tanaman tahun 2008
dengan jarak tanam 4 m x 4 m
2. Tumpang sari di lahan hutan milik Perum Perhutani
Plot A4: tanaman jati, mangga, jambu mete dan penguat teras rumput gajah (lereng
34%)
Plot B4: tanaman jati, mangga, pete dengan teras bangku dengan penguat lamtoro
(lereng 39%)
Plot C4: tanaman jati, mangga, jambu mete, pete dengan teras bangku (lereng 39%)
3. Lahan hutan murni (tanpa tanaman semusim) (kontrol), lahan milik Perum Perhutani
Plot K1: Jati 5 th (lereng 31%)
Plot K2: Gmelina (lereng 34%)
Plot K3: Jati 10 th (lereng 37%)
Pengukuran erosi on site dilakukan pada plot erosi dengan Metode Pengendapan
Tanah Terangkut (Priono, 1996).
Sintesis 2010-2014 | 36
Untuk mengetahui pengaruh penutupan lahan terhadap tata air dilakukan dengan
memasang AWLR atau logger yang berfungsi mencatat fluktuasi tinggi muka air
(Sukresno dkk., 2003) pada masing-masing sub DAS.
Pengamatan partisipasi masyarakat kegiatan RLKT dilakukan dengan melakukan
focuse group discussion.
Analisis data dilakukan dengan:
Data hasil pengukuran erosi dan hasil air akan dianalisis metode deskriptif. Dengan
demikian akan diperoleh RLKT, baik teknik sipil maupun vegetatif yang efektif
mengendalikan erosi dan banjir. Erosi aktual ini juga dibandingkan dengan erosi hasil
prediksi dengan metode USLE.
Analisis Kemampuan Penggunaan Lahan (KPL) dilakukan dengan metode
(Wahyuningrum dkk., 2003) untuk mengetahui kesesuain penggunaan lahan aktual
dengan klas KPL
Analisis Fisika dan kimia tanah dilakukan untuk mengetahui dampak penggunaan lahan
dan erosi terhadap kesuburan tanah.
Analisis hidrograf pada beberapa kejadian banjir dan pada masing-masing subDAS.
Analisis dilakukan pada sub DAS yang dilengkapi peralatan pemantau TMA otomatis
(AWLR dan Logger), untuk melihat respon sub DAS terhadap banjir
Analisis tingkat partisipatis masyarakat dilakukan secara deskriptif
B. Hasil Penelitian
1.
Erosi dan Limpasan
a.
Lahan Pertanian Tanaman Semusim
Dari analisis data pada bulan Maret 2009, 2010 dan 2011 dengan intensitas hujan
tertentu, maka jumlah limpasan dan erosi pada masing-masing plot adalah seperti pada
Gambar 3 dan 4. Dengan intensitas hujan yang sama, diharapkan masing-masing plot akan
memberikan respon yang berbeda sesuai dengan perlakuan.
Pada lahan milik rakyat, plot B1, C1 dan A1, erosi terbesar banyak di temui pada plot
A1 yaitu Plot tanaman jati, mangga, dan jambu mete tanpa teras, diikuti oleh C1 (tanaman
jati, mangga, mete, dan pete dengan teras bangku tak terawat dan B1 (tanaman jati,
mangga, dan pete dengan teras bangku dengan batu terawat dan penguat teras rumput).
Pada plot C1 meskipun teras dalam kondisi tidak terawat, tetapi selama satu tahun dalam
kondisi bera (tidak ditanami) sehingga lebih banyak tertutup oleh semak maupun kerikil
permukaan (65%). Bulan Maret, adalah musim pengolahan lahan untuk ditanam menjadi
tanaman semusim. Dengan demikian akan dijumpai pada B1 mempunyai nilai erosi yang
lebih tinggi, karena pada plot B1 ada pengolahan lahan (Gambar 3).
Limpasan atau aliran permukaan merupakan media pembawa partikel tanah yang
sudah terpecah dari agregatnya, sehingga semakin besar aliran permukaan, semakin besar
erosi permukaan. Aliran air memberikan tenaga untuk memecah partikel tanah dan
membawanya ke dalam aliran (Gambar 4).
Sintesis 2010-2014 | 37
(a)
(b)
(c)
Gambar 3.
Erosi pada lahan pertanian tanaman semusim pada bulan Maret tahun 2009 (a), 2010 (b) dan
2011 (c) masing-masing pada intensitas hujan yang sama.
Sejalan dengan erosi, limpasan terbesar berturut-turut ditemui pada plot A1, C1 dan B1.
5000
6000
5000
4000
Limpasan (Runoff) (lt)
Limpasan (Runoff) (lt)
4500
3500
3000
2500
B1
2000
C1
1500
A1
1000
4000
B1
3000
C1
2000
A1
1000
500
0
0
7
16
25
51
64
6
hujan harian (daily rainfall) (mm)
10
12
72
2
57
hujan harian (daily rainfall) (mm)
(a)
(b)
5000
Limpasan (runoff) (lt)
4500
4000
3500
3000
2500
A1
2000
B1
1500
C1
1000
500
0
4
48
2
7
15
17
7
hujan harian (daily rainfall) (mm)
(c)
Gambar 4.
Limpasan pada pertanian tanaman semusim pada bulan Maret tahun 2009 (a), 2010 (b) dan
2011, masing-masing pada intensitas hujan yang sama.
Sintesis 2010-2014 | 38
b. Tumpang Sari di Lahan Hutan
Gambar 5. dan Gambar 6. memperlihatkan erosi dan limpasan pada lahan hutan yang
ditanami tanaman semusim (singkong, kacang tanah, jagung) dengan sistem tumpang sari.
Erosi dan limpasan terbesar terdapat pada plot C4 (tanaman jati, mangga, jambu mete,
pete dengan teras bangku tanpa penguat teras). Dari sini terlihat bahwa peranan penguat
teras sangat penting dalam mengendalikan erosi. Penguat teras lamtoro dan rumput gajah
memberi efek positif dalam mengendalikan erosi dan limpasan.
Pada Gambar 7. dapat dilihat kondisi teras pada plot A4 dan B4, yaitu penguat teras
lamtoro dan rumput gajah. Pada kedua plot ini nilai erosi dan limpasan relatif lebih kecil
daripada plot-plot lainnya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Prakosa dan Nugroho
(1996) dan Djaengsastro dkk (1999) yang menyatakan bahwa kombinasi sekat rumput dan
legume efektif dalam mengendalikan erosi dan penanaman tanaman strip rumput gajah,
efektif didalam rnengurangi laju erosi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wardojo
(1995) juga menunjukkan bahwa sekat rumput dengan jenis Setaria spacelata dapat
menurunkan erosi rata-rata 39% dan menurunkan aliran permukaan sebesar 32,5%.
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. Erosi pada tumpang sari di lahan hutan pada bulan Februari tahun 2009 (a), 2010 (b) dan 2011 (c)
masing-masing pada intensitas hujan yang sama
Sintesis 2010-2014 | 39
600
1600
500
1200
400
1000
800
A4
600
B4
400
C4
Limpasan (runoff) (lt)
Limpasan (runoff) (lt)
1400
200
0
A4
300
B4
200
C4
100
0
6
51
24
12
35
12
69
25
39
hujan harian (daily rainfall) (mm)
3
10
5
10
hujan harian (daily rainfall) (mm)
(a)
(b)
600
Limpasan (runoff) (lt)
500
400
A4
300
B4
200
C4
100
0
48
42
42
32
23
40
16
hujan hatian (daily rainfall) (mm)
(c)
Gambar 6. Limpasan pada tumpang sari di lahan hutan pada bulan Februari tahun 2009 (a), 2010 (b) dan
2011 (c) masing-masing pada intensitas hujan yang sama
(a)
(b)
Gambar 7. Penguat teras lamtoro (a) dan penguat teras rumput (b)
Tindakan konservasi tanah harus dilakukan secara simultan, seperti yang terlihat pada
plot C1, meskipun mempunyai teras bangku yang tidak terpelihara, tetapi menhasilkan
nilai erosi dan limpasan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan plot B1 yang berteras
batu dan berpenguat rumput. Hal ini disebabkan karena ada proses pengolahan lahan pada
plot B1 sedangkan plot C1 dalam kondisi bera. Pengolahan lahan berfungsi untuk
mempersiapkan lahan untuk ditanami benih, membasmi gulma, menstabilkan kondisi
Sintesis 2010-2014 | 40
permukaan tanah dengan meningkatkan infiltrasi dan mengontrol erosi, selain itu
pengolahan lahan juga dapat meningkatkan efek yang tidak diinginkan seperti pemadatan
tanah, percepatan dekomposisi bahan organik dan meningkatkan kepekaan tanah terhadap
erosi (Troeh dkk, 2004). Tumbuhan bawah dan materi penutupan lahan (kerikil), ikut
berperan juga dalam mengendalikan laju erosi dan limpasan permukaan. Prosentase
tumbuhan bawah dan kerikil permukaan pada plot C1 lebih besar dibandingkan dengan
prosentase pada plot B1. Pengolahan lahan mempengaruhi penutupan lahan ini. Lahan
menjadi terbuka, sehingga lebih peka terhadap erosi.
Banyaknya kerikil di permukaan dan tajuk tanaman keras juga berpengaruh terhadap
limpasan. Perbandingan limpasan pada lahan hutan (tumpang sari) dengan plot kontrol
(hutan murni), menunjukkan bahwa limpasan pada plot C4 memiliki nilai yang besar
dibandingkan dengan plot-plot yang lainnya. C4 adalah plot dengan tanaman jati, mangga ,
jambu mete dan pete dengan teras bangku, tanpa penguat teras (Gambar 6). Dari Tabel 1
terlihat bahwa dibandingkan dengan plot A4, B4, K1, K2 dan K3, plot C4 memiliki
penutupan oleh tanaman keras dan kerikil permukaan yang paling sedikit. Dari aspek erosi,
perbedaan tidak tampak menonjol antar lahan tumpang sari dengan kontrol.
Hasil analisis tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Supangat dkk (2002)
yang menyebutkan bahwa tanaman semusim yang ditanam di bawah tegakan hutan rakyat
sengon dan kopi dapat meningkatkan erosi namun demikian dengan konservasi tanah yang
sesuai erosi dapat ditekan. Selain itu, Triwilaida (2000) mengemukakan bahwa makin
tinggi penutupan tajuk oleh tanaman kayu-kayuan, nilai faktor C semakin kecil. Selain
penutupan lahan, hal lain yang menentukan besarnya nilai faktor C yaitu luasan tanah yang
terbuka tanpa perakaran halus (bare land), penutupan oleh tajuk tanarnan semusim dan
penutupan oleh batuan di permukaan. Dari Tabel 1 terlihat bahwa pada lahan tumpang sari
maupun kontrol (hutan murni) secara umum lahan relatif tertutup baik oleh tajuk tanamn
hutan, tumbuhan bawah maupun oleh kerikil permukaan. Triwilaida (2000) juga
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara nilai C dan prosen penutupan
tajuk. Hubungan antara erosi dengan penutupan vegetasi berbentuk “curvilinear”, ada
perbedaan erosi yang sangat sedikit pada penutupan 100% dan 60%, demikian pula halnya
dengan aliran permukaan.
450
Limpasan (runoff) (lt)
400
350
300
A4
250
B4
200
C4
150
K1
100
K2
50
K3
0
41
19
41
15
9
12
hujan harian (daily rainfall) (mm)
(a)
(b)
Gambar 8. Perbandingan erosi (a) dan limpasan (b) pada lahan umpangsari dan kontrol pada bulan Januari
2010, dengan intesitas hujan yang sama
Sintesis 2010-2014 | 41
Hasil pengukuran erosi aktual pada beberapa plot berbeda dengan hasil prediksi
dengan model USLE (Gambar 9). Hasil yang mirip diperoleh pada plot A4, B4 dan C4.
Pada plot B1 erosi actual sangat berbeda nyata karena pada plot ini selalu terdapat aliran
sub-surface dari teras yang ada diatasnya meskipun tidak ada hujan.
120
100
80
60
Erosi (USLE)
Erosi (aktual)
40
20
0
Plot
A1
Plot
B1
Plot
C1
Plot
A4
Plot
B4
Plot
C4
Plot Plot
K1
K2
Plot
K3
Gambar 9. Perbandingan erosi hasil prediksi dengan model USLE
dibandingkan dengan erosi aktual
2.
Nilai C
Peranan penutupan tajuk oleh tanaman keras terhadap erosi dapat dihitung
efektifitasnya. Efektifitas tajuk dalam mengendalikan erosi permukaan dapat dinyatakan
dalam factor tanaman (factor crop) atau C. Perhitungan nilai C untuk tanaman keras (kayukayuan) dihitung menurut prosedur yang dikemukakan Perhitungan nilai C tanaman keras
dengan rumus Dissmeyer dan Foster (1984).
Tabel 1. Perhitungan nilai C tanaman keras pada plot erosi
Plot
Tinggi
Tajuk (m)
BO
Plot A1
Plot B1
Plot C1
Plot A4
Plot B4
Plot C4
Plot K1
Plot K2
Plot K3
5,70
5,67
4,67
2,71
4,69
2,63
6,83
16,20
6,29
0,027
0,032
0,025
0,034
0,058
0,036
0,032
0,033
0,034
Tumbuhan
Bawah
(%)
85
30
55
80
80
80
70
60
30
Tanah
Terbuka
(%)
15
70
45
20
20
20
30
40
70
Rerata C
Luas
Tajuk
(m2)
12,56
12,56
12,56
0,79
0,79
13,85
40,69
36,30
22,89
Persen
Tajuk
(%)
14,27
14,27
14,27
0,89
0,89
15,74
46,24
41,25
26,01
SFPH
2,40
0,25
0,69
1,92
1,92
1,92
1,38
0,92
0,25
SFT
0,98
0,98
0,97
0,01
0,01
0,94
0,94
0,93
0,97
C
0,06
0,01
0,02
0,00
0,00
0,07
0,04
0,03
0,01
0,03
Keterangan : Tinggi Tajuk = tinggi tajuk tanaman keras; BO = Bahan Organik (%); Luas Tajuk = luas tajuk tanaman
keras (m2); Tanah Terbuka = tanah terbuka dengan perakaran halus (%); Persen Tajuk = persentase
perbandingan luas tajuk terhadap luas plot; SFPH = sub faktor perakaran halus; SFT = sub faktor tajuk.
Perhitungan faktor C pada plot dapat dilakukan dengan nilai tertimbang dari masingmasing jenis penutupan yang ditemui dalam plot tersebut.
Tabel 2. Nilai C pada masing-masing plot
Plot
Plot A1
Plot B1
Plot C1
Plot A4
Tumbuhan Bawah
85
30
55
80
Sintesis 2010-2014 | 42
C Tertimbang
0,0009
0,0003
0,0006
0,0008
Tanaman Keras
10
10
10
5
C Tertimbang
0,003
0,003
0,003
0,002
Total Nilai
0,004
0,003
0,004
0,002
Plot
Plot B4
Plot C4
Plot K1
Plot K2
Plot K3
Tumbuhan Bawah
C Tertimbang Tanaman Keras
80
0,0008
10
80
0,0008
10
70
0,0007
20
60
0,0006
70
30
0,0003
80
Rerata C (tanaman keras + tnaman bawah)
C Tertimbang
0,003
0,003
0,006
0,021
0,024
Total Nilai
0,004
0,004
0,007
0,022
0,024
0,008
Keterangan : Nilai C pada semak belukar = 0,01; pada serasah = 0,05; pada tanah terbuka = 1; pada tanaman keras = 0,03
3.
Sifat Fisika dan Kimia Tanah
Tanah di lokasi penelitian, secara umum mempunyai pH rendah (5,6-6,5) demikian
juga dengan P tersedia sangat rendah sampai dengan rendah (<7 dan 7-16 mg/kg)
(Lampiran 2). Unsur P banyak digunakan tanaman, terutama dalam sintesis protoplasma
(Mas'ud,1992). Kondisi kemasaman tanah akan mempengaruhi keterlarutan P. Kemasaman
(pH) tanah yang sangat rendah (<5,5) dapat mempengaruhi ketersediaan P (Mas'ud, 1992).
Pengapuran dengan dolomit dan batuan kapur dapat menaikkan pH, dengan demikian
dapat meningkatkan ketersediaan P. Pemupukan dengan bahan organik (Centrosema
pubescen) juga dapat meningkatkan pH dan ketersediaan P (Djuniwati dkk., 2007).
Unsur lain yang penting bagi pertumbuhan tanaman adalah K. Kalium berperan untuk
memberi ketahanan tanaman terhadap penyakit dan meningkatkan sistem perakaran selain
itu juga berperan dalam pembentukkan karbohidrat dan translokasi gula (Buckman dan
Brady, 1982). Kandungan K di lokasi kajian sangat rendah (<10 %) (Lampiran 2). Untuk
menanggulangi kekurangan K, salah satu cara adalah dengan menerapkan sistem multiple
cropping yang dapat meningkatkan penyerapan K dan secara cepat mengurangi kandungan
K tersedia dalam tanah (Mas'ud, 1992).
Unsur hara yang relatif banyak diambil setiap tahun melalui pemanenan adalah unsur
N. Selain itu, unsur ini mudah menguap dan jumlahnya dalam tanah amat sedikit
(Buckman dan Brady, 1982). Pada Tabel 7 terlihat bahwa kandungan N ada pada tingkat
sedang (86%) dan tinggi (8,5%). Erosi hanya sedikit berpengaruh terhadap kandungan N
dibandingkan dengan unsur P dan K.
Tabel 3. Kandungan N pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi tanah (N content
in different land cover types)
Penutupan Lahan
(Land cover)
Ut1
Ut2
Ut3
Ut4
Ut5
Ut6
Luas (Area) (%)
Kandungan N Total (Total N content)
S
T
(blank)
4,60
0,00
0,00
11,65
0,00
0,00
36,57
8,51
0,00
25,67
0,00
0,00
4,60
0,00
0,00
3,84
0,00
4,55
86,94
8,51
4,55
Luas (Area) (%)
4,60
11,65
45,08
25,67
4,60
8,39
100,00
Keterangan (Remarks) : S = sedang (moderate); T = tinggi (high).
Kandungan C organik yang tergolong rendah sebanyak 4,29% dan yang termasuk
kategori sangat tinggi sebesar 14,18% dijumpai pada penutupan lahan Ut3 (Tabel 8).
Karbon merupakan penyusun umum bahan organik. Sumber utama bahan organik tanah
adalah jaringan tumbuhan (Buckman dan Brady, 1982). Jaringan tumbuhan dapat berasal
Sintesis 2010-2014 | 43
dari akar pohon, semak-semak dan tumbuhan tingkat rendah lainnya. Selain jaringan
tanaman, hewan-hewan seperti cacing tanah juga dapat menghasilkan bahan organik.
Pengolahan lahan yang intensif dapat mempengaruhi unsur hara dan meningkatkan
kandungan bahan organik, terutama pada lereng bagian bawah (Oost dkk., 2006; Fucheng
dkk., 2012). Penurunan kandungan bahan organik tanah dapat mengakibatkan penurunan
makroporositas tanah. Apabila kondisi ini terjadi pada lahan miring dengan penutupan
lahan yang kurang rapat akan berpotensi meningkatkan limpasan permukaan dan erosi
(Hairiah dkk., 2012).
Pemberian pupuk hijau dengan koro benguk (Mucuna sp.) dapat meningkatkan
kandungan C organik (Prakosa dan Priyono, 1996). Selain itu dengan pemberian mulsa
dengan bahan-bahan dari bagian tanaman seperti daun dan ranting mampu untuk
memberikan tambahan unsur hara secara bertahap sejalan dengan proses dekomposisinya
(Basuki, 2002).
Tabel 4. Kandungan C organik pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi tanah (C
organic content in different land cover types).
Penutupan Lahan
(Land cover)
Ut1
Ut2
Ut3
Ut4
Ut5
Ut6
Luas (Area) (%)
R
0,00
4,29
0,00
0,00
0,00
4,29
Kandungan C organik (C organic content)
S
T
ST
(blank)
4,60
0,00
0,00
0,00
11,65
0,00
0,00
0,00
14,60
12,01
14,18
0,00
0,00
2567
0,00
0,00
4,60
0,00
0,00
0,00
3,84
0,00
0,00
4,55
39,31
37,68
14,18
4,55
Luas (Area)
(%)
4,60
11,65
45,08
25,67
4,60
8,39
100,00
Keterangan (Remarks) : R = rendah (low); S = sedang (moderate); T = tinggi (high); ST = sangat tinggi (very high).
Apabila kandungan bahan organik tanah tinggi maka akan mempunyai porositas
tinggi dengan demikian akan meningkatkan kapasitas infiltrasi (Hairiah dkk., 2012).
Siklus bahan organik berpengaruh terhadap erodibilitas tanah, kondisi ini sangat
dipengaruhi oleh karakter vegetasi penutup lahan dan fauna tanah (Bryan dkk., 1989).
Bahan organik yang berupa seresah, ranting dan sebagainya yang belum terdekomposisi
juga merupakan pelindung tanah dari daya rusak butiran hujan, sekaligus dapat
mengurangi aliran permukaan.
Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan nilai yang menunjukkan kemampuan atau
kapasitas koloid tanah untuk memegang kation. Kapasitas ini secara langsung tergantung
pada jumlah muatan negatif dari koloid tanah dan sangat ditentukan oleh tipe koloid yang
terdapat di dalam tanah. Semakin tinggi KTK tanah, semakin subur tanah tersebut
(Prakosa dan Priyono, 1996); sebaliknya semakin rendah KTK tanah, maka semakin
kurang subur tanahnya. Nilai KTK pada taraf sedang terdapat di hampir semua jenis
penutupan lahan seluas lebih kurang 58% (Tabel 9). Nilai KTK selain dipengaruhi oleh
kandungan clay juga dipengaruhi oleh kandungan bahan organik. Pada penutupan lahan
Ut3 kandungan bahan organik yang tergolong tinggi hingga sangat tinggi cukup luas,
sejalan dengan hal tersebut terlihat KTK pada lahan tersebut juga termasuk tinggi.
Peningkatan KTK dapat dilakukan dengan cara pemberian pupuk hijau seperti koro
benguk (Mucuna sp.) (Prakosa dan Priyono, 1996).
Sintesis 2010-2014 | 44
Tabel 5. Kapasitas Tukar Kation tanah pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi
tanah (Soil Cation Exchange Capacity in different land cover types).
Penutupan Lahan
(Land cover)
S
4,60
11,65
12,76
25,67
0,00
3,84
58,53
Ut1
Ut2
Ut3
Ut4
Ut5
Ut6
Luas (Area) (%)
Kapasitas Tukar Kation
(Cation exchange capacity)
T
(blank)
0,00
0,00
0,00
0,00
32,32
0,00
0,00
0,00
4,60
0,00
0,00
4,55
36,92
4,55
Luas (Area) (%)
4,60
11,65
45,08
25,67
4,60
8,39
100,00
Keterangan (Remarks) : S = sedang (moderate); T = tinggi (high).
Kejenuhan basa (KB) menunjukkan perbandingan jumlah kation basa dengan
jumlah seluruh kation yang terikat pada kation tanah dalam satuan persen. Kation basa
adalah unsur hara yang diperlukan tanaman dan sangat mudah tercuci oleh aliran air
sehingga tanah yang mempunyai kejenuhan basa yang tinggi menunjukkan ketersediaan
hara yang tinggi. Artinya, tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian. Setengah
(58,79%) dari DAS mikro yang diteliti mempunyai nilai KB pada tingkat sedang (Tabel 6)
dan hanya 28% pada tingkat tinggi.
Tabel 6. Kejenuhan Basa pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi tanah (Base
saturation in different land cover types)
Penutupan Lahan
(Land cover)
Ut1
Ut2
Ut3
Ut4
Ut5
Ut6
Jumlah (Total)
R
0,00
8,25
0,00
0,00
0,00
0,00
8,25
Kejenuhan basa (Base saturation)
S
T
(blank)
4,60
0,00
0,00
3,40
0,00
0,00
21,28
23,81
0,00
25,67
0,00
0,00
0,00
4,60
0,00
3,84
0,00
4,55
58,79
28.41
4,55
Jumlah (Total)
4,60
11,65
45,08
25,67
4,60
8,39
100,00
Keterangan (Remarks) : R = rendah (low); S = sedang (moderate); T = tinggi (high).
Walaupun di lokasi penelitian mempunyai lereng curam dan bersolum dangkal namun
sifat kimia dan fisik tanah masih tergolong baik. Tingkat erosi rendah disebabkan oleh
tekstur dan kandungan bahan organik serta penutupan lahan yang didominasi dengan
vegetasi permanen dan tumbuhan bawah.
4.
Evaluasi Kemampuan Penggunaan Lahan
Lahan sebagai sumber daya alam dengan jumlah yang sangat tebatas memerlukan
perencanaan yang matang dalam penggunaannya sehingga dapat digunakan secara lestari
ditinjau dari aspek lingkungan maupun ekonomi. Untuk dapat merencanakan penggunaan
lahan agar sesuai dengan kondisinya perlu dilakukan evaluasi karakter biofisiknya. Hal ini
dilakukan agar penggunaan lahan dapat disesuaikan dengan kondisi aktualnya sehingga
tidak memicu terjadinya degradasi lahan yang pada akhirnya akan menurunkan
produktifitasnya. Akibat dari ketidak sesuai penggunaan lahan akan berakibat pada
penurunan kualitas lahan misalnya perubahan pada lahan pertanian tanaman semusim
menjadi tanaman hutan dapat menyebabkan penurunan beberapa sifat fisika dan kimia
Sintesis 2010-2014 | 45
tanah, seperti hasil penelitian Mao dan Zeng (2010). Hasil penelitian mereka menyebutkan
bahwa ada penurunan sifat kimia tanah seperti kandungan C total, N total, mineralisasi
potensial N, dan penurunan bulk density akibat erosi. Sifat-sifat tersebut akan kembali
membaik seperti halnya lahan pertanian setelah umur tanaman Populus euramericana cv
berumur 15 tahun (Mao dan Zeng, 2010).
Selain itu penurunan produktifitas lahan dapat diakibatkan oleh adanya erosi dan
sedimentasi. Perubahan penggunaan akan berakibat pada erosi dan sedimentasi seperti
hasil penelitian Nunes dkk. (2011), yang menyatakan bahwa adanya dinamika
pertumbuhan vegetasi merupakan kunci dalam mengendalikan erosi sehingga erosi dapat
dikendalikan dengan merubah penggunaan lahan dengan meningkatkan penutupan lahan.
Selain itu Kefi dkk. (2011) mengemukakan tentang pentingnya vegetasi dalam melindungi
tanah dari erosi oleh air. Hairiah dkk. (2012) juga menyimpulkan bahwa perubahan lahan
hutan menjadi sistem agroforestri berbasis kopi meyebabkan perubahan sifat fisik tanah
yang akan berdampak pada erosi. Secara ekonomi erosi menyebabkan kerugian, seperti
yang dikemukakan oleh Rivera dkk. (2011) bahwa akibat dari erosi 40 ton/ha/th pada lahan
pertanian mengakibatkan kehilangan unsur hara senilai $1000/ha/th.
Oleh karena kondisi lahan secara alami sangat bervariasi, maka perlu dikelompok-kan
agar mudah disesuaikan dengan penggunaannya.Variasi kondisi lahan ini biasaya bersifat
sistematis, berdasar sifat fisik tertentu dapat dikelompokkan ke dalam area yang relatif
lebih seragam. Pengelompokkan karakter lahan ini akan memudahkan untuk penentuan
pemanfaatannya. Pengelompokan kedalam berbagai penggunaan lahan aktual ini dapat
dijadikan dasar untuk perencanaan jenis pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi
biofisik. Hasil evaluasi lahan juga dapat memperlihatkan faktor-faktor fisik yang ditengarai
menyebabkan penurunan fungsi lahan, dengan demikian dapat direncanakan tindakan
konservasi yang sesuai (FAO, 1976).
Analisis KPL menujukkan bahwa lebih kurang 50 % area Sub DAS Perlakuan
didominasi oleh Kelas VIIg (Tabel 7), sehingga penggunaan yang paling tepat adalah
untuk hutan produksi terbatas (Wahyuningrum dkk., 2003). Menurut Fletcher dan Gibb
(1990) pada klas VII, lahan tidak sesuai untuk kegiatan penananaman tanaman semusim
maupun agroforestri dan klas ini antara lain ditandai oleh kombinasi beberapa pembatas
fisik, yaitu kepekaan terhadap erosi berat seperti longsor atau pengaruh erosi berat pada
masa lampau dan lereng yang terjal (45-85%).
Kondisi aktual di lapangan menunjukkan penutupan lahan agroforestri yang
mengkombinasikan tanaman keras dengan tanaman semusim. Kondisi penggunaan lahan
yang tidak sesuai dengan klas KPL ini yang berpotensi mengakibatkan degradasi lahan
yang ditandai dengan nilai tingkat erosi berat dan sangat berat. Prediksi tingkat erosi sangat
berat (SB) paling luas terdapat pada Ut3 dan berat (B) pada Ut4 dengan kelas KPL VIIg
(Tabel 7).
Keberadaan tanaman keras sudah sesuai, namun dibeberapa lokasi masih dijumpai
kegiatan penanaman tanaman semusim meskipun pada lereng yang terjal yang merupakan
faktor pembatas dari klas VIIg. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan menerapkan teknik
konservasi tanah sipil teknis dan vegetatif. Konservasi tanah sipil teknis dengan pembuatan
teras yang lebih stabil sedangkan metode vegetatif dengan mengoptimalkan penutupan
lahan dan penanaman penguat teras. Seperti hasil penelitian yang dilakukan Donie (1995)
Sintesis 2010-2014 | 46
yang menyimpulkan bahwa faktor yang dominan mempengaruhi erosi adalah faktor lereng
dan pengelolaan (CP).
Tabel 7. Persentase luas lahan masing-masing KPL (The percentage area of each land capability classes)
Penutupan lahan
(Land cover)
Ut1
Ut2
Ut3
Ut4
Ut5
Ut6
Jumlah (Total)
Kelas kemampuan lahan (Land capability class) (KPL)
IIIc
IIIg
IVe
IVg
VIg
VIIg
VIIIs
4,60
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
3,40
8,25
0,0
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
3,8
1,28
20,27
19,25
0,30
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
25,67
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4,60
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
8,39
8,00
8,25
3,98
1,28
20,27
49,52
8,70
Jumlah (Total)
%
4,60
11,65
45,08
25,67
4,60
8,39
100,00
Prioritas penanganan lahan kritis diutamakan pada lokasi dengan nilai TBE tingkat B
dan SB. Kondisi solum yang tipis dengan erosi berat akan memperburuk kualitas lahan
apabila tidak ada tindakan perlindungan. Usaha perlindungan dilakukan melalui penurunan
laju erosi dengan cara mengelola faktor-faktor yang berpengaruh terhadap erosi yang
manageable tersebut. Dengan demikian maka perbaikan teras pada Ut3 (klas VIIg) perlu
dilakukan yaitu dengan memperbaiki teras batu dan teras tanah yang sudah ada. Batuan
keras mudah diperoleh di beberapa lokasi, dengan demikian teras batu lebih diprioritaskan
mengingat solum tanah di lokasi sudah dangkal. Bila tidak terdapat batuan, alternatif
penggunaan strip rumput dapat diaplikasikan, sekat rumput rumput terbukti efektif
mengendalikan erosi (Donie dan Sudradjat, 1996). Penggunaan sekat-sekat rumput dapat
aliran permukaan dan mengurangi erosi. Strip/sekat rumput gajah (Pennisetum purpureum)
dan vetiver (Vetivera zizanoides) efektif mengendalikan erosi (Donie dan Sudradjat, 1996;
Prakosa dan Priyono, 1996). Kombinasi strip rumput gajah dan temulawak juga efektif
mengedalikan erosi (Djaingsastro dkk., 1999). Penggunaan sekat tanaman juga dapar
mereduksi erosi sehingga tidak menimbulkan kerugian akibat kehilangan unsure hara
(Rivera dkk., 2011).
Hasil simulasi prediksi erosi dengan Rumus USLE yaitu dengan melakukan perubahan
nilai P menghasilkan penurunan TBE pada beberapa lokasi (Tabel 8). Koreksi nilai P
dilakukan dengan memperbaiki teras dari kondisi teras buruk, sehingga nilai P diubah
menjadi 0,04. Dengan demikian memberikan hasil perhitungan erosi yang lebih kecil,
sehingga TBE juga menurun (Tabel 8) Bila dibandingkan Tabel 7 dengan Tabel 8, terlihat
penurunan luas klas TBE berat dan sangat berat. Penurunan TBE ini sesuai dengan hasil
penelitian Munibah dkk.(2010) yang menyatakan bahwa dengan memodifikasi C dan P
dapat menurunkan erosi potensial.
Penggunaan lahan yang direkomendasikan untuk setiap jenis KPL menurut Fletcher
dan Gibb (1990) adalah, apabila Kelas I-IV maka sesuai untuk pertanian tanaman semusim
dengan teras dan akan meningkat pembatasnya bila tidak menggunakan teras, penanaman
rumput pakan ternak, agroforestry dan kehutanan. Untuk KPL kelas VI sesuai untuk
pertanian tanaman semusim bila kedalaman tanah, kedalaman regolith dan kelerengan
memungkinkan untuk pembuatan teras bangku. Kelas tersebut juga sesuai untuk
penanaman rumput pakan ternak, agroforestry dan kehutanan. Kelas VII tidak sesuai untuk
pertanian tanaman semusim maupun agroforestry, hanya sesuai untuk penanaman rumput
Sintesis 2010-2014 | 47
pakan ternak, dan kehutanan. Kegiatan pertanian tidak diperkenankan di lokasi ini sejalan
dengan hasil penelitian Oost dkk, (2006) yang menyimpulkan bahwa proses pengolahan
lahan dapat merubah sifat tanah dan siklus hara serta berpotensi menimbulkan erosi.
Tabel 8. Persentase luas area yang mengalami penurunan TBE akibat perbaikan teknik konservasi tanah (The
percentage area decreased in degree of erosion hazard resulted from development of soil
conservation measure).
Tingkat bahaya erosi
(Degree of erosion hazard)
S
B
SB
Jumlah (Total)
Tingkat bahaya erosi terkoreksi
(Corrected degree of erosion hazard)
S
B
SB
37,18
0,00
0,00
20,27
10,30
0,00
23,85
3,84
4,55
81,30
14,15
4,55
Gambaran umum lokasi penelitian yang didominasi oleh lereng terjal dan bersolum
dangkal, secara fisik tidak sesuai untuk kegiatan pertanian tanaman semusim, namun oleh
karena desakan kebutuhan petani, maka lahan milik dengan kondisi yang tidak
menguntungkan seperti tersebut di atas masih diolah untuk budidaya tanaman semusim.
Optimalisasi penggunaan lahan perlu dilakukan dengan pemilihan jenis tanaman keras dan
penentuan jarak tanam yang sesuai yang tidak menganggu tanaman semusim. Jenis
tanaman tahan naungan seperti empon-empon sangat direkomendasikan. Tanaman emponempon seperti kencur, mampu mengendalikan erosi 53,5 % dan mempunyai nilai jual
tinggi (Subandrio dkk., 1995).
5.
Banjir
Karakteristik banjir suatu DAS dicirikan oleh besarnya debit puncak, waktu mencapai
puncak dan waktu terjadinya aliran. Hidrograf adalah grafik yang menggambarkan
hubungan antara waktu dan debit aliran. Ada tiga faktor yang dilihat dari hidrograf untuk
mengetahui kondisi hidrologi suatu DAS yaitu debit puncak (qp) waktu mencapai puncak
(tp), dan waktu dasar (tb). Suatu DAS disebut baik atau sehat jika debit puncaknya rendah,
waktu puncaknya lama dan waktu dasarnya panjang demikian pula sebaliknya.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan konservasi tanah dan air serta penanaman di
Sub DAS Dungwot maka dilihat hidrografnya dari waktu ke waktu. Hidrograf yang
dibandingkan adalah hidrograf aliran langsung, dimana aliran dasarnya sudah dipisahkan.
Hidrograf aliran yang terjadi pada tanggal 7 Januari 2009 menunjukkan pola yang
cukup baik, dimana puncak banjirnya hanya sekitar 10 lt/dt dan waktu banjirnya juga
cukup lama yaitu sekitar 42 menit. Dari hidrograf aliran ini dibuat hidrograf satuannya,
hasilnya menunjukkan bahwa puncak hidrograf satuannya adalah 0,5 lt/dt ditempuh dalam
waktu 18 menit sedangkan waktu alirannya (time base) adalah 36,3 menit.
Pada Februari 2010 menunjukanbahwa kondisi hidrologi th 2009 masih lebih baik.
Hasil analisis hidrograf satuan th 2010 menunjukkan bahwa debit puncak mencapai 3,5
lt/dt ditempuh dalam waktu 18 menit sedangkan aliran dasar mencapai 36 menit.
Kondisi Sub DAS perlakuan pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2011
mengalami penurunan kualitas. Pada tahun 2011 ini terlihat dari hidrograf satuan bahwa
puncak banjir adalah 8,7 lt/dtk, yang dicapai dalam waktu 36 menit dan waktu aliran
Sintesis 2010-2014 | 48
dasarnya adalah tak terhingga. Hal ini dapat terjadi karena ketika tanah masih jenuh air,
masih diikuti oleh hujan. Pada tahun 2012, sub DAS perlakuan mengalami perbaikan yang
ditunjukkan penurunan Tp (21 menit) dan Tb (41 menit), namun demikian Qp mengalami
kenaikkan (Tabel 9).
Tabel 9. Perbandingan unsur-unsur hidrograf Sub DAS perlakuan dan Kontrol.
Unsur
Tp (menit)
Qp (lt/detik)
Tb (menit)
2009
18
0,5
36,3
Perlakuan
2010
2011
18
36
3,5
8,7
36
100
Kontrol
2012
21
48,48
41
2011
36
37,5
48
2012
20
15,39
36
Suatu DAS dikatakan mengalami perbaikan respon apabila :
- Tp makin lama: waktu mencapai puncak makin lama
- Qp makin kecil: debit puncak makin kecil
- Tb makin lama: waktu dasar makin lama
Dari Tabel 10 terlihat bahwa dari unsur Tp dan Tb Sub DAS perlakuan mengalami
perbaikan kualitas:
- Tp makin kecil (dari 18 ke 36 ke 21 menit): memburuk
- QP sedikit naik (dari 0.5 ke 8.7 ke 48.48 lt/dt): memburuk
- TB makin lambat (dari 36.3 ke tak terhingga ke 41): membaik
Dilihat dari parameter tersebut, Sub DAS kontrol mempunyai kualitas yang kurang
baik bila dibandingkan dengan Sub DAS Perlakuan. Pada Sub DAS kontrol waktu yang
diperlukan untuk mencapai debit puncak sebesar 37,5 lt/dtk adalah 36 menit, dan waktu
mencapai dasar adalah 48 menit. Keadaan ini pada tahun 2012 mengalami perbaikan
dilihat dari masing-masing unsur hidrograf (Tabel 9).
Efektifitas jenis penutupan lahan terhadap erosi dalam sub DAS Perlakuan dan Sub
DAS Kontrol menunjukkan bahwa nilai C tanaman keras pada sub DAS perlakuan (0.043)
lebih besar dari pada nilai C tanaman keras pada Sub DAS Kontrol (0,019). Hal ini berarti
bahwa tanaman keras pada sub DAS perlakuan kurang efektif dalam mengendalikan erosi
dibandingkan dengan sub DAS Kontrol. Kondisi ini dapat disebabkan oleh perbedaan
kondisi parameter tegakan seperti: diameter batang, tinggi, jari-jari dan luas tajuk.
Meskipun kerapatan tegakan pada sub DAS perlakuan lebih rapat dibanding sub DAS
Kontrol, tetapi rata-rata diameter, tinggi, jari-jari dan luas tajuk tanaman pada sub DAS
control relative lebih besar. (Lampiran 3).
6.
Aspek Sosial Ekonomi Kegiatan RLKT
Secara keseluruhan proses (identifikasi masalah, perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi) partisipasi dalam kegiatan RLKT ini tergolong partisipasi untuk
insentif (Partisipation for Material Incentives). Adapun partisipasi untuk Insentif
(Partisipation for Material Incentives) adalah partisipasi rakyat melalui dukungan berupa
sumber daya, misalnya tenaga kerja, dukungan pangan, pendapatan atau insentif material
lainnya. Petani menyediakan lahan dan tenaga, tetapi mereka dilibatkan dalam proses
percobaan-percobaan dan pembelajaran. Kelemahan dari model partisipasi ini adalah
Sintesis 2010-2014 | 49
apabila insentif habis maka teknologi yang digunakan dalam program juga tidak akan
berlanjut (Hobley,1996).
Kegiatan penanaman dengan jenis tanaman mangga, pete dan jambu mete sudah
banyak dilakukan oleh petani sebelumnya. Begitu juga kegiatan konservasi tanah seperti
pembuatan teras, bagi masyarakat sudah bukan merupakan hal baru lagi. Karena
sebelumnya pada tahun 1989/1990 pernah ada proyek bantuan terasering seluas 17 ha.
Sehingga sekarang petani tinggal meneruskan saja dan melakukan perbaikan. Apalagi di
lahan petani yaitu di lahan milik kemiringan lahannya tidak seterjal di lahan Perhutani
yang mempunyai kemiringan lebih dari 45%. Sehingga lahan milik masyarakat yang
cenderung landai tidak begitu memerlukan teras, hanya pengaturan guludan saja.
Merupakan hal baru bagi masyarakat adalah dalam pembuatan SPA (Saluran Pembuangan
Air). Dulu pernah ada tapi petani belum tahu manfaatnya dan cara pembuatannya. Bagi
mereka SPA di lahan Perhutani sangat bermanfaat dalam pengaturan air, karena air selalu
cepat turun kebawah, sehingga pernah menimbulkan banjir. (kapan?) Untuk tingkat adopsi
masyarakat sebenarnya sudah dalam taraf menerapkan (adoption), dimana petani sudah
melakukan kegiatan konservasi tanah, pembuatan penguatan teras, SPA dan penanaman
dengan menggunakan jarak yang lebih lebar mencontoh seperti demplot. Tetapi kegiatan
yang merupakan hal baru bagi petani adalah adanya pembuatan jarak tanam. Sehingga
petani bisa melakukan penanaman tumpang sari di bawah tegakan. Sebelumnya petani
melakukan penanaman tanpa menghiraukan jarak tanam. Mereka menanam di lahan
dengan jarak yang tidak beraturan.
Dari analisis finansial yang telah dilakukan, dengan discount rate 12%, diperoleh
bahwa teknik RLKT yang diterapkan tidak layak. Pada Plot A1 meskipun diperoleh NPV
positif, tetapi BCR negatif, dan IRR di bawah discount rate yang digunakan. Begitu juga
pada plot B1 dan C4. Sedangkan plot lainnya NPV dan BCR negatif, sedangkan IRR
dalam kondisi berapa pun ratenya tidak memberikan nilai yang layak. Sehingga kegiatan
RLKT ini hanya untuk meningkatkan nilai lingkungannya, karena secara finansial tidak
layak.
IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN
Pembangunan hutan tanaman dengan system agroforestri dapat menjadi solusi untuk
mengendalikan erosi dan banjir dalam suatu DAS, terutama di lahan kritis yaitu lahan
miring dan bersolum dangkal. Sistem agroforestri tersebut mengkombinasikan tanaman
semusim dengan tanaman keras seperti jati, mete, pete, mangga serta mengkombinasikan
teknik konservasi sipil teknis dan vegetatif. Pembuatan teras bangku perlu diperkuat
dengan tampingan teras berupa batu mapun rumput agar lebih efektif mengendalikan erosi.
Pembuatan strip-strip rumput dan mulsa sisa-sisa tanaman juga dapat memproteksi tanah
dari terpaan hujan serta mengendalikan laju aliran permukaan. Keberadaan vegetasi
permanen harus tetap dipertahankan, Karena dalam periode pengolahan tanah, sangat
rawan terhadap tenaga kinetik air hujan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Teras bangku lebih efektif mengendalikan erosi dan limpasan bila diberi penguat
Sintesis 2010-2014 | 50
teras (lamtoro/rumput)
2. Besarnya aliran permukaan dan erosi sangat tergantung pada kondisi penutup tanah
seperti tajuk tanaman keras, tanaman semusim, semak belukar, kerikil permukaan dan
seresah.
3. Pengolahan lahan untuk tanaman semusim dapat meningkatkan kepekaan erosi,
meskipun sudah dilakukan penterasan.
4. Konservasi tanah dilakukan secara simultan sehingga factor-faktor pemicu terjadinya
erosi dapat dikendalikan.
5. Meskipun didominasi oleh lereng terjal, erosi yang terjadi di lokasi penelitian masih
pada taraf sangat ringan hingga ringan (>50%). Hal ini dapat disebabkan oleh jenis
penutupan lahan yang berupa hutan jati dan gamal yang mempunyai nilai C rendah
(0,006).
6. Tingkat erosi ringan mempengaruhi kandungan P dan K dengan memberikan nilai
rendah-sangat rendah. Sedangkan untuk N, C organik, KTK dan KB tidak begitu
berpengaruh karena ada pada tingkat sedang-tinggi-sangat tinggi.
7. Penutupan lahan yang relatif banyak ditumbuhi vegetasi permanen merupakan sumber
bahan organik berupa seresah dan ranting-ranting tanaman.
8. Modifikasi faktor P (konservasi tanah) dapat menurunkan erosi dan tingkat bahaya
Erosi
9. Sub DAS perlakuan mengalami perbaikan kualitas dari unsur waktu dasar (TB):
- Tp makin kecil (dari 18 ke 36 ke 21 menit): memburuk
- QP sedikit naik (dari 0.5 ke 8.7 ke 48.48 lt/dt): memburuk
- TB makin lambat (dari 36.3 ke tak terhingga ke 41): membaik
10. Sub DAS Kontrol mempunyai unsur hidrograf yang lebih baik dibandingkan dengan
sub DAS Perlakuan. Hal ini disebabkan karena adanya efektifitas dari penutupan tajuk
pada sub DAS Kontrol yang lebih baik dibandingkan dengan Sub DAS perlakuan.
11. Secara keseluruhan proses partisipasi ini tergolong partisipasi untuk insentif
(Partisipation for Material Incentives). Adapun partisipasi untuk Insentif
(Partisipation for Material Incentives) adalah partisipasi rakyat melalui dukungan
berupa sumber daya, misalnya tenaga kerja, dukungan pangan, pendapatan atau
insentif material lainnya.
12. Tingkat adopsi masyarakat sudah dalam taraf menerapkan (adoption), dimana petani
sudah melakukan kegiatan konservasi tanah, dengan menggunakan jarak tanam yang
lebih lebar mencontoh seperti demplot.
13. Kegiatan RLKT ini hanya untuk meningkatkan nilai lingkungan, karena secara
finansial tidak layak.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. (2012). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Basuki, T.M., (2002), Penggunaan Mulsa Organik untuk Konservasi Tanah di Areal Hutan
Tanaman, InfoDAS Vol. 13.
Sintesis 2010-2014 | 51
Bryan, R.B., Scarborough G. Govers dan J. Poesen, L., (1989), The Concept of Soil
Erodibility and Some Problems of Assessment and Application, CATENA Vol. 16,
Hal. 393-412.
Buckman, H.O. & Brady, N.C., (1982), Ilmu Tanah. PT. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
Crosier, S., Booth, B. dkk, (2004), Arcis 9, Getting Started with ArcGis.
Dariah, A., Subagyo, H., Tafakresnanto, C. dan Marwanto, S., (2004), Kepekaan Tanah
Terhadap Erosi. Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Dissmeyer, G.E. dan Foster, G.R., (1984), A Guide for Predicting Sheet and Rill Erosion
on Forest Land. USDA, Forest Service, Southern Region Atlanta, Ga.
Djaingsastro, N., Prakosa, D. dan Triwilaida, (1999), Efektivitas Sekat Tanaman dalam
pengendalian Erosi di Lahan Pertanian: Studi Kasus di DTW Sermo, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Buletin Pengelolaan DAS Vol. Volume 1.
Djuniwati, S., Pulunggono, H.B. dan Suwarno, (2007), Pengaruh pemberian bahan organik
(Centrosema pubescens) dan fosfat alam terhadap aktivitas fosfatase dan fraksi P
tanah latosol di Darmaga, Bogor, Jurnal Tanah dan Lingkungan Vol. 9, Hal. 10-15.
Donie, S., (1995), Tingkat Erosi Beberapa Pola Usaha Tani Lahan Kering pada Kondisi
Lahan di Sub DAS Wuryantoro, Jurnal Pengelolaan DAS Vol. II No. 2, Hal. 27-44.
Donie, S. dan Sudradjat, R., (1996), Vetiver Grass as Erosion and Land Productivity
Control, Jurnal Pengelolaan DAS Vol. Volume II No. 3.
FAO, (1976), A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin FAO and Agriculture
Organization of the United Nations Rome.
Fletcher, J.R. dan Gibb, R.G., (1990), Land Resource Survey Handbook For Soil
Conservation Planning In Indonesia. Ministry of Forestry Directorate General
Reforestation and Land Rehabilitation Indonesia and Department of Scientific and
Industrial Research DSIR Land Resources Palmerston North New Zealand.
Fucheng, L., Jianhui, Z. dan Zhengan, S., (2012), Changes in SOC and Nutrients under
Intensive Tillage in Two Types of Slope Landscapes J. Mt. Sci. Vol. 9, Hal. 67-76.
Hairiah, K., Suprayogo, D. dkk, (2012), Alih Guna Lahan Hutan menjadi Lahan
Agroforestri Berbasis Kopi: Ketebalan Seresah, Populasi Cacing Tanah dan
Makroporositas Tanah, 29 Juni, 2012,
http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/files/book/BK0063-04/BK006304-9.pdf
JICA, (2007), Studi Penanganan Sedimentasi Waduk Serbaguna Wonogiri. Nippon Koei
and Yachiyo Engineering Co. Ltd., Jakarta.
Kefi, M., Yoshino, K. dkk, (2011), Assessment of the effects of vegetation on soil erosion
risk by water: a case of study of the Batta watershed in Tunisia, Environ Earth Sci
Vol. 64, Hal. 707-719.
Mao, R. dan Zeng, D.-H., (2010), Changes in Soil Particulate Organic Matter, Microbial
Biomass, and Activity Following Afforestation of Marginal Agricultural Lands in a
Semi-Arid Area of Northeast China, Environmental Management Vol. 46, Hal.
110-116.
Mas'ud, P., (1992), Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa, Bandung.
Sintesis 2010-2014 | 52
Munibah, K., Sitorus, S.R.P. dkk, (2010), Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Erosi di DAS Cidanau, Banten, Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 32, Hal.55-69.
Nunes, A.N., de Almeida, A.C. dan Coelho, C.O.A., (2011), Impacts of land use and cover
type on runoff and soil erosion in a marginal area of Portugal, Applied Geography
Vol. 31, Hal. 637-699.
Oost, K.V., Govers, G., Alba, S.d. dan Quine, T.A., (2006), Tillage erosion: a review of
controlling factors and implications for soil quality, Progress in Physical
Geography Vol. 30, Hal. 443-466.
Prakosa, D. dan Priyono, C.N.S., (1996), Pengaruh Sekat Rumput dan Tanaman Legume
terhadap Pengendalian Erosi dan Perubahan Sifat Tanam pada Lahan Bekas
Letusan Gunung Berapi, Jurnal Pengelolaan DAS Vol. Volume I No.3, Hal.
Priono, C.N.S., (1996), Pengukuran Erosi di Lahan Pertanian. Balai Teknologi Pengelolaan
DAS, Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan, Surakarta, pp. 1-20.
Rivera, S., Ferreira, O.I., Anguta, P.M.d. dan Espinal, F.M., (2011), Soil and Economic
Loss Evaluation on Small Hillside Farms in the Central Mountains of Honduras,
Journal of Sustainable Forestry Vol. 30, Hal. 57-78.
Schmidt, F.H.A. dan Fergusson, J.H.S., (1951), Rainfall Type Based on Wet and Dry
Periods of Ratios from Indonesia with Western New Guinea. Directorate
Meteorology and Geophysics, Jakarta.
Subandrio, B., Lastiantoro, Y. dan Kusnadi, D., (1995), Kajian Aspek Konservasi dan
Ekonomi Tanaman Empon-empon sebagai Tanaman Bawah pada Hutan Rakyat di
Madura, Jurnal Pengelolaan DAS Vol. Volume II No.l, Hal.
Sukresno, Supangat, A.B. dan Gunarti, (2003), Pedoman Teknis Pendayagunaan Stasiun
Pengamat Arus Sungai (SPAS) untuk Pemantauan dan Evaluasi Tata Air, Info DAS
Vol. No. 16, Hal. 1-26.
Sutrisno, J., Sanim, B., Saefuddin, A. dan Sitorus, S.R.P., (2012), Valuasi Ekonomi Erosi
Lahan Pertanian di Sub Daerah Aliran Sungai Keduang Kabupaten Wonogiri,
SEPA Vol. 8, Hal. 51-182.
Utomo, W.H., (1994), Erosi dan Konservasi Tanah. Penerbit IKIP Malang, Malang.
Wahyuningrum, N., Priyono, C.N.S. dkk, (2003), Pedoman Teknis Klasifikasi
Kemampuan dan Penggunaan Lahan, Info DAS Vol. 15, Hal. 1-103, Badan
Litbang Kehutanan, Puslit PHKA.
Weischmeier, W.H. dan Smith, D.D., (1978), Predicting Rainfall Erosion Losses; A Guide
to Conservation Planning. In: Agriculture, U.S.D.o. (Ed.), Agriculture Handbook.
Science and Education Administration.
Sintesis 2010-2014 | 53
Lampiran 1. Jenis Penutupan Lahan di Sub DAS Perlakuan
No
1
2
3
4
5
6
Simbol Penutupan Lahan
Luas (ha)
Keterangan (Remarks)
(Land cover symbols)
(Area) (ha)
Ut1
Tanaman jati (5 – 10 th) monokultur, teras diperkuat
0,50
dengan batu dan tidak terawat
Ut2
Tanaman jati (5 - 10 th)tumpangsari dengan
1,26
tanaman palawija, banyak teras yang tidak terawat)
Ut3
Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawija, 4,88
campuran antara teras batu dan tanah yang tidak
terawat.
Ut4
Tanaman Gliricidia monokultur, sebagian besar
2,78
tidak berteras
Ut5
Tanaman Gliricidia tumpangsari dengan tanaman
0,50
palawija, teras diperkuat dengan batu tetapi kurang
terawat.
Ut6
Tidak ada tanamannya, sebagian besar sejenis
0,91
lumut dan rumput liar.
Jumlah (Total)
10,82
%
4,60
11,65
45,08
25,67
4,60
8,39
100,00
Lampiran 2. Hasil Analisis Tanah
No.
SL
Tekst
ur*
N
Total
%
1
Gp
2
Gp
Saat ini sedang ditanami jati umur 8 – 15 tahun (monokultur) sehingga tidak dijadikan lokasi
model perlakuan
6,19
0,38
1,72
2,97
5,91
0,26
0,16
6,99
4,19
23,20
49,94
3
Gp
6,35
0,32
1,07
1,85
6,58
0,25
0,24
6,18
3,68
20,40
49,22
4
Gp
5,87
0,32
1,50
2,59
6,31
0,27
0,15
6,17
3,78
25,20
58,84
5
Gp
5,75
0,26
1,72
2,96
6,58
0,30
0,16
6,46
3,83
16,00
32,84
6
Gp
0,25
1,72
2,97
7,85
0,38
0,16
6,57
4,06
30,00
62,78
7
Gp
0,22
3,44
5,93
5,78
0,43
0,10
7,87
4,36
24,00
46,85
8
Gp
9
Gp
5,68
10
Gp
11
Gp
Saat ini berwujud hamparan tanaman gliricidea dan tanahnya sangat tipis , tidak dijadikan
lokasi model
5,48
0,45
2,79
4,81
6,51
0,44
0,15
6,46
4,00
19,60
43,64
12
Gp
Saat ini berwujud hamparan batuan tersingkap, tidak dijadikan lokasi model perlakuan
13
Gp
6,05
0,25
2,79
4,81
14
Gp
6,33
0,56
1,29
15
Gp
6,05
0,36
3,87
16
Gp
5,85
0,52
17
Gp
6,07
0,37
pH
6,21
C.
Org
%
BO
%
P Tsd
ppm
K
%
Na
%
Ca
%
Mg
%
KTK
%
KB
%
Saat ini berwujud hamparan batuan tersingkap, tidak dijadikan lokasi model perlakuan
0,46
2,57
4,44
7,85
0,15
4,85
4,16
26,00
63,71
7,13
0,39
0,25
6,14
4,22
28,15
60,19
2,22
5,71
0,33
0,17
6,61
4,09
29,60
62,20
6,68
11,26
0,26
0,19
6,18
3,44
26,00
61,26
6,01
10,36
5,24
0,25
0,15
6,24
3,88
24,00
56,16
2,36
4,08
6,18
0,24
0,15
6,42
4,16
28,00
60,19
Catatan (Remarks): Gp = Geluh pasiran (Sandy Loam)
Sintesis 2010-2014 | 54
0,27
JUDUL PENELITIAN : SISTEM MITIGASI TANAH LONGSOR DALAM
PENGELOLAAN DAS
PELAKSANA
: BENY HARJADI
INSTANSI
: BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bencana Longsor menurut Permen PU No. 22 tahun 2007 adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam berupa
tanah longsor. Berdasarkan tipologi kawasan rawan longsor maka zonasi bencana tanah
longsor dibagi menjadi 3 zona yaitu zona berpotensi longsor tipe A (lereng>40%), tipe B
(lereng 21-40%) dan tipe C (lereng<20%).
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada ujicoba teknologi pengendalian tanah berpotensi
longsor, khususnya pada lahan-lahan terdegradasi, dengan beberapa metode dan teknik
yang telah ada, seperti: 1) teknik penutupan retakan tanah dengan tanah liat, 2) teknik
pengendalian lereng secara mekanis, 3) teknik perbaikan sifat-sifat fisik tanah, 4) teknik
pengendalian aliran air permukaan, 5) teknik pengendalian rembesan air bawah
permukaan/drainase tanah, dan 6) teknik pengendalian lereng dengan metode vegetasi
dengan jenis yang sesuai (Abramson et.al., 1996).
II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL
PENELITIAN
A. Identifikasi Regulasi yang ada
Akhir-akhir ini kondisi sumberdaya hutan dan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS)
cenderung menurun, yang menimbulkan dampak negatif seperti banjir, kekeringan dan
tanah longsor yang terjadi di berbagai tempat di tanah air, sehingga peranannya sebagai
penyangga kehidupan kurang optimal.
Untuk memulihkan dan menjaga kelestarian fungsi hutan, Departemen Kehutanan
dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 22/Menhut-V/2007 Tanggal : 20 Juni
2007 telah menetapkan lima kebijakan prioritas, antara lain Rehabilitasi dan Konservasi
Sumber Daya Hutan. Dalam kerangka implementasinya, ditetapkan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (RHL) dalam Rencana Strategis dan Fokus Kegiatan Pembangunan Kehutanan.
B. Analisis Kebutuhan Penelitian
Penyimpangan iklim di Indonesia dengan meningkatnya besar intensitas curah hujan
menyebabkan peningkatan frekuensi kejadian bencana banjir-kekeringan dan tanah longsor
(Koesmaryono et. al.., 1999). Bencana alam tanah longsor ini makin sering terjadi, pada
periode 1997-2004 di Indonesia tercatat 219 kali kejadian, dengan korban jiwa 435 orang
Sintesis 2010-2014 | 55
meninggal dan kerugian harta benda lebih dari 30 miliyar rupiah (Bakornas, 2004 dalam
DPRRI, 2006). Dampak yang ditimbulkan tersebut tidak hanya berupa kerugian harta
benda yang berujud materiil namun juga korban jiwa manusia. Bencana tanah longsor
seperti yang terjadi di Desa Kemanukan, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo pada
tanggal 5 Oktober 2000 menewaskan 22 orang; di Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu,
Kabupaten Banjarnegara pada tanggal 4 Januari 2006 menewaskan 28 orang.
III. SINTESIS HASIL PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Waktu Penelitian. Penelitian dimulai sejak tahun 2006 dimulai saat terjadi bencana
longsor di Desa Sijeruk Banyarmangu Banjarnegara sampai tahun 2013.
Lokasi. Lokasi dipilih pada daerah yang berpotensi longsor karena daerah di sekitarnya
sering terjadi longsor yaitu di Karanganyar, Purworejo dan Banjarnegara. Mulai tahun
2013 Karanganyar di pindah ke Gombong, Kebumen (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi Penelitian Longsor di Banjarnegara (Sub DAS Merawu), Purworejo (Sub DAS
Gesing), dan di Gombong (Sub DAS Silengkong)
Rancangan Penelitian. Pelaksanaan kajian longsor sejak tahun 2006 dilakukan melalui
tahapan kegiatan sebagai berikut:
• Memberikan informasi kepada masyarakat tentang peringatan dini dari alat extensometer
jika terjadi rekahan tanah >15 cm (Siaga 1).
• Melakukan identifikasi penyebab masalah terjadinya bencana longsor, antara lain oleh
beberapa faktor seperti : bencana alam, faktor tetap dan faktor dinamis (Gambar 2).
• Mengindentifikasi faktor-faktor (biogeofisik) di daerah berpotensi longsor di Kabupaten
Purworejo, Banjarnegara, dan Gombong-Kebumen dengan menggunakan bantuan citra
Sintesis 2010-2014 | 56
satelit (landsat) untuk waktu yang berbeda dengan peta topografi dan peta daerah rawan
longsor/geologi sebagai peta dasar
• Memetakan kondisi biogeofisik (geologi, geomorfologi, tanah, kelerengan, kerapatan
drainase, dan penutupan lahan) dan hujan di lokasi rawan tanah longsor.
• Melakukan pemeliharaan dan pengamatan plot longsor berupa alat pemantau tingkat
gerakan tanah (metode inklinometer), pemeliharaan dan pengamatan tingkat kandungan
air bawah permukaan tanah (rembesan)
• Mengamati kondisi vegetasi (pertumbuhan tanaman) dari beberapa teknik vegetatif
(RLKT) yang diterapkan untuk pengendalian lereng pada tanah berpotensi longsor yang
sesuai dengan kondisi lokasi dan tingkat longsorannya.
Gambar 2. Diagram Alur Identifikasi Masalah di Lapangan dengan Pengumpulan Data Kondisi Biofisik
Lapangan untuk Kegiatan Mitigasi Longsor
Sintesis 2010-2014 | 57
B. Hasil Penelitian
Kondisi tingkat longsor untuk tiga lokasi berurutan dari yang tertinggi Banjarnegara
(3,8) dan Purworejo (3,6) yaitu dua lokasi mendekati agak tinggi (4) dan satu lokasi di
Gombong (3,0) termasuk sedang. Ketiga lokasi termasuk daerah dengan formasi geologi
sama dan sama-sama dilewati garis sesar, sehingga faktor yang berpengaruh terhadap
tingkat longsor antara lain: curah hujan dan kemiringan lereng serta penggunaan lahan.
Penggunaan lahan sebagian besar di tegal, pemukiman dan hutan lindung di Banjarnegara.
Sub DAS Gesing di Purworejo merupakan daerah yang berbukit dan lereng
didominasi dari miring sampai curam dengan penutupan lahan agroforestry (duren,
sengon, akasia), pekarangan dan persawahan. Sub DAS Merawu di Banjarnegara sebagian
besar tanah labil karena dilewati sesar dan sebagian besar lahan curam sampai terjal pada
hutan lindung. Penutupan lahan lainnya untuk kebun sayur, agroforestry (Kapulogo, Salak
dan Sengon) dan terbuka. Sub DAS Silengkong didominasi perbukitan dengan lereng
miring sampai curam, dengan dominasi penutupan lahan untuk tegalan, pemukiman dan
hutan pinus.
Kadar lengas tanah merupakan kandungan air (moisture) yang terdapat dalam pori
tanah. Kadar lengas dinyatakan dalam satuan persen berat atau persen volume. Kadar
lengas secara umum ada tiga jenis: (a) lengas tanah (soil moisture), bentuk campuran gas
(uap air) dan cairan; (b) air tanah (soil water), air dalam bentuk cair dalam tanah sampai
lapisan kedap air; (c) air tanah dalam (ground water), lapisan air tanah yang berada di
tanah bagian dalam (Handayani, 2009).
Kadar lengas di daerah longsor tertinggi di Banjarnegara, diikuti Purworejo dan
Gombong. Semakin tinggi kadar lengas seperti di Banjarnegara (82,49%) maka paling
berpotensi terjadinya longsor. Banjarnegara yang paling rawan terjadi longsor ditunjukkan
oleh kadar lengas untuk partikel tanah 2 mm dan 5 mm tertinggi yaitu 12,39%.
Di Indonesia banyak tanah marginal yang mempunyai kandungan pasir tinggi seperti
tanah vulkan berpasir kasar dan tanah berpasir pantai. Tanah berpasir seperti itu memiliki
struktur yang jelek, berbutir tunggal lepas, berat volumenya tinggi, serta kemampuan
menyerap dan menyimpan air rendah sehingga kurang mendukung dalam usaha bercocok
tanam. Disamping itu, tanah jenis ini peka terhadap pencucian unsur hara dan peka
terhadap erosi air maupun angin. Dalam kaitannya dengan daya menyimpan air, tanah
berpasir memiliki daya pengikatan terhadap lengas tanah yang relatif kecil karena
permukaan kontak antar tanah berpasir didominasi oleh pori-pori mikro. Oleh karena itu,
air yang jatuh ke tanah jenis ini akan segera mengalami perlokasi dalam air kapiler dan
mudah lepas karena evaporasi (Mukhid, 2007). Kadar lengas tanah yang yang rendah
seperti pada kondisi tanah pasir diatas relatif tahan terhadap erosi longsor.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kandungan lengas dalam tanah antara lain
perubahan cuaca, kandungan bahan organik, fraksi liat, topografi, dan adanya bahan
penutup tanah baik organik maupun anorganik (Walker and Paul, 2002). Bahan organik
bisa berfungsi dan memperbaiki sifat kimia, fisika, biologi tanah sehingga ada sebagian
ahli menyatakan bahwa bahan organik di dalam tanah memiliki fungsi yang tak tergantikan
(Sutanto, 2005). Tanah dengan kandungan bahan organik tinggi mempunyai kapasitas
penyangga yang rendah apabila basah. Kemampuan tanah untuk menyimpan air salah
Sintesis 2010-2014 | 58
satunya air hujan menentukan juga spesies apa yang tumbuh. Kadar lengas merupakan
salah satu sifat fisika tanah untuk mengetahui kemampuan penyerapan air dan ketersediaan
hara pada setiap jenis tanaman (Handayani, 2009).
Dari hasil penelitian longsor di tiga lokasi maka dapat disimpulkan, bahwa faktor yang
berpengaruh terhadap longsor antara lain: kondisi tanah, kemiringan lereng, arah lereng,
tekstur tanah, bobot isi, kemasaman tanah, kesuburan tanah, sesar, struktur, solum,
regolith, permeabilitas dan faktor luar terutama hujan dan gempa bumi.
Berkaitan dengan istilah air dalam tanah, secara umum dikenal 3 jenis, yaitu (a)
lengas tanah (soil moisture) adalah air dalam bentuk campuran gas (uap air) dan cairan;
(b) air tanah(soil water) yaitu air dalam bentuk cair dalam tanah, sampai lapisan kedap air,
(c) air tanah dalam (ground water) yaitu lapisan air tanah kontinu yang berada ditanah
bagian dalam (Handayani, 2009). Semakin tinggi kandungan liat dalam tanah akan banyak
menyerap air dan tanah menjadi berat dan mudah terjadi longsor. Begitu juga air tanah
yang tidak segera di drainase dakhil (penampang profil tanah) lewat perkolasi maka tanah
akan cepat jenuh akibat pori makro tanah yang sedikit. Pada daerah yang ada batuan padu
atau di dominasi batuan metamorf yang berbentuk lapis-lapis maka selain menjadi bidang
luncur juga tanah mudah jenuh akibat air yang tidak segera lolos kebawah.
Kondisi tanaman yang mendominasi pada penutupan lahan akan berpengaruh terhadap
mudah tidaknya tanah mengalami longsor. Misalnya pada daerah yang miring yang di
dominasi tanaman sayur-sayuran dan persawahan seperti di Banjarnegara akan berpotensi
terjadinya longsor. Masyarakat yang mengalami longsor dan telah di relokasi ke daerah
yang aman longor telah mengalihkan komoditi yang cocok untuk ke daerah rawan longsor
berupa salak dan kapologo, disamping itu kedua komoditi tersebut mudah dalam
pemasarannya. Tanaman sengon dan akasia yang ada di Purworejo (daerah berpotensi
longsor) sebaiknya diganti dengan komoditi lain terutama pada daerah yang sangat miring
sampai terjal. Gombong untuk daerah longsor yang selama ini ditanami sengon, singkong
dan pinus dengan tanaman bawah rumput-rumputan.
Kondisi iklim perlu diketahui untuk mendeteksi daerah berpotensi longsor atau tahan
terhadap longsor. Parameter iklim yang perlu dicatat di lapangan antara lain kelembaban
udara (rh), Suhu udara dan Suhu tanah. Suhu tanah diamati pada kedalaman yang berbeda
dari top soil (30 cm), solum (60 cm) dan regolith (150 cm). Pada daerah yang mengalami
fluktuasi yang tinggi untuk kelambaban dan suhu maka akan berpotensi terjadinya longsor.
Proses terjadinya longsor tersebut dikarenakan perubahan drastis suhu maupun
kelembaban akan menyebabkan tanah retak dan berptoensi terjadinya longsor, jika
didukung faktor longsor lainnya.
Mitigasi dimaksudkan untuk mengurangi korban jiwa akibat bencana longsor.
Sehingga dengan demikian masyarakat sekitar daerah yang berpotensi longsor faham akan
tanda-tanda tanah longsor. Hal-hal yang perlu diamati selain curah hujan yang tinggi
berturut-turut selama tiga hari, juga mencermati aliran sungai apabila tiba-tiba aliran air
sungai menjadi kecil, tidak seperti biasanya. Gejala ini menunjukkan kemungkinan aliran
air sungai terbendung/tertahan oleh timbunan tanah longsor pada palung sungai sehingga
aliran air mendadak surut. Jika hujan datang berlimpah lebih banyak lagi maka seperti
lahar dingin akan menjadi banjir bandang karena membawa material longsor dan barang/
benda-benda lain.
Sintesis 2010-2014 | 59
Disamping hal-hal diatas juga perlu diwaspadai jika aliran sungai lebih keruh dari
biasanya. Indikasi ini menunjukkan kemungkinan aliran air melewati timbunan tanah
longsor (over topping) yang menyumbat palung sungai dengan membawa sedimentasi hasil
gerusan pada sumbatan tersebut. Dengan demikian bila terjadi hujan lebat dan aliran air
semakin deras maka sumbatan dapat jebol dan menimbulkan banjir bandang di hilir.
Masyarakat yang pernah mengalami longsor mereka sudah faham akan tanda-tanda
terjadinya longsor, yaitu penyebab utama selain daerahnya sudah berpotensi juga hujan
yang deras berturut-turut lebih dari 3 hari curah hujan > 300 mm. Sebelum longsor terjadi,
tanah sering bergerak setiap kali ada hujan seperti di Banjarnegara, dan saat longsor datang
maka suara sangat gemuruh seperti lahar dingin. Longsor terjadi disaat hujan masih turun
dan biasanya pada malam hari karena tidak adanya evapotranspirasi sehingga tanah sangat
jenuh setelah hujan berturut-turut selama tiga hari.
Peta longsor dari peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) dengan analisis SIG (Sistem
Informasi Geografis) untuk ketiga lokasi longsor (Banjarnegara, Purworejo dan Gombong)
menunjukkan penyebaran tingkat longsor dari yang ringan sampai yang berat.
Dari peta kerawanan longsor di DAS Merawu termasuk dalam kategori tingkat
sedang, namun pengelolaan lahan dan konservasi tanah yang kurang tepat akan
memperbesar tingkat kerawanan longsor. Pada daerah yang tingkat kerawanannya agak
tinggi walaupun tidak terlalu luas perlu mewaspadai longsor yang datang secara tiba-tiba
yang akan menyebabkan korban jiwa.
IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN
A. Metode (Teknik, Prosedur, dll)
Teknik pengamatan longsor dapat dilakukan dengan cara sederhana dari menggunakan
tali klaim plastik, kemudian berkembang menjadi tali sling besi ukuran 3 mm, dan juga
dapat dengan alat pengamatan otomatis (extensometer). Alat pemantau longsor akan
memberi kabar lewat SMS pada aparat, pengamat, atau petugas jika rekahan lebih dari 10
cm (tergantung pengaturan kita). Tapi masyarakat lebih mudah dan murah dengan tali sling
dan bandul untuk mengetahui terjadinya longsor atau tidak. Untuk tanah yang bergerak
maka bandul akan naik dan jika tanah atas yang bergerak maka bandul akan menurun.
B. Input Kebijakan
Antisipasi daerah yang rawan longsor juga dilihat satu kesatuan sistem DAS untuk
diketahui masyarakat secara terpadu, holistik dan terintegrasi. Kondisi penggerusan tebing
atau erosi tebing sungai yang banyak meander dan aliran dendritik seperti cabang pohon
yang mudah dihantam oleh arus pada daerah kelokan merupakan daerah yang berpotensi
longsor sebagai streambank erosion. Penutupan lahan yang membebani tanah yang sudah
berpotensi longsor akan mempercepat terjadinya longsor misalnya tanaman yang tinggi
dan perkarannya tidak dalam dan tidak mempunyai banyak akar serabut, seperti Sengon
dan Akasia. Masyarakat di Banjarnegara sudah mengalihkan tanaman Salak dan Kapologo,
sedangkan di Gombong dengan tanaman Sengon, Kelapa dan Pinus, dan di Purworejo
dengan berbagai macam tanaman buah-bahan seperti durian, manggis. Perakaran vertikal
atau akar tunggang dari bibit yang berasal dari biji membantu kestabilan tanah.
Sintesis 2010-2014 | 60
Perbandingan volume akar dengan volume batang harus sebanding, sebab jika volume
batang lebih besar maka tanaman akan mudah tumbang.
Penguatan tanah dapat juga dilakukan untuk daerah longsor yang tidak dilewati sesar,
yaitu dengan sering menambahkan pupuk organik dan memperbanyak tanaman bawah.
Hal tersebut untuk memperkuat agregat struktur tanah,meningkatkan pori makro dan
mempercepat drainase dan aerasi tanah.
C. Produk (formula, dll)
Koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait harus sering dilakukan dari tingkat
kabupaten, kecamatan sampai ke desa. Di tingkat desa didirikan Pos Info untuk memberi
tahu kepada masyarakat jika terjadi longsor, dan juga perlu disosialisasikan kepada
masyarakat lewat pertemuan rutin bulanan. Disamping itu juga untuk pembelajaran kepada
masyarakat upaya mitigasi tanah longsor melalui pengetahuan informasi daerah yang
rawan longsor, dan tanda-tanda awal jika akan terjadi longsor juga upaya mengevakuasi
jika longsor datang secara tiba-tiba.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Metode dan teknik rehabilitasi lahan terdegradasi pada lahan berpotensi longsor yang
efektif dan efisien dengan memilih jenis tanaman yang perakarannya kuat dan menyebar
dan vigor tanaman tidak membebani lahan. Seperti misalnya di daerah Sijeruk
Banjarnegara sudah banyak yang beralih dari tanaman Sengon ke tanaman Salak dan
Empon-empon. Selanjutnya dari hasil penelitian ini disosialisasikan kepada masyarakat
lewat Pos Info yang sudah ditetapkan pada setiap lokasi dan juga telah berkoordinasi
dengan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) setempat yaitu di BPBD
Purworejo, BPBD Kebumen, dan BPBD Banjarnegara. BPBD banyak berharap dari
lembaga penelitian banyak melakukan kegiatan penelitian untuk mendeteksi daerah-daerah
yang berpotensi bencana (kebakaran, longsor, banjir, angin ribut dll). Info keberadaan
tanah berpotensi longsor dimaksudkan untuk mengurangi korban jiwa dan diinformasikan
pada masyarakat sejak awal, yaitu lewat pertemuan rutin warga atau dengan memasang
spanduk dan menunjuk salah satu rumah untuk dijadikan Pos Info (Pusat Informasi dan
Evakuasi).
Beberapa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap longsor antara lain : kondisi tanah,
kemiringan lereng, arah lereng, tekstur tanah, bobot isi, kemasaman tanah, kesuburan
tanah, sesar, struktur, solum, regolith, permeabilitas dan faktor luar terutama hujan dan
gempa bumi. Faktor-faktor yang berpengaruh untuk mitigasi daerah berpotensi longsor
disuatu DAS antara lain: Metode dan teknik rehabilitasi lahan terdegradasi pada lahan
berpotensi longsor yang efektif dengan penanaman jenis tanaman yang memiliki perakaran
kuat dan lebat serta memiliki akar tunjang. Pada lahan dengan regolit yang dalam > 2 m
pada lahan miring dengan dominasi tekstur liat dan kadar lengas tanah yang tinggi
diperlukan tanaman yang tidak berkayu dan membebani tanah seperti tanaman kapulogo,
empon-empon dan rumput gajah.
Dari ketiga lokasi yang berpotensi longsor berurutan dari yang paling berpotensi
adalah Banjarnegara (3,8=agak tinggi), Purworejo (3,6=agak tinggi), dan Gombong
Sintesis 2010-2014 | 61
(3,0=sedang). Namun ketiga lokasi ada juga kesamaan antara lain kemiringan lereng yang
curam dan kandungan liat tinggi, dan dilewati sesar.
DAFTAR PUSTAKA
Abramson, L.W., T.S. Lee, S. Sharma, and G.M. Boyce. 1996. Slope Stability and
Stabilization Method. John Wiley & Sons, Inc., NY., 629p
Brook, K.N., P. F. Ffolliott, H.M. Gregersen, and J.K. Thames. 1991. Hydrology and The
Management of Watersheds. Iowa State University Press, Ames, USA.
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2004. Peta Zona Kerentanan
Gerakan Tanah Jawa Bagian Tengah. Ditjen Geologi dan Sumberdaya Mineral,
Dep. Energi dan Sumberdaya Mineral, Bandung.
DPRRI. 2006. Naskah Akademik RUU Tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta.
Hirmawan, F. 1994. Pemahaman Sistem Dinamis Kestabilan Lereng untuk Mitigasi
Kebencanaan Longsor. Makalah Penunjang No. 17 Simposium Nasional
Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F-Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan
Bencana, Yogyakarta
Koesmaryono, Y., R. Boer, H. Pawitan, Yusmin dan I. Las. 1999. Pendekatan IPTEK
dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Prosiding Diskusi Panel Strategi
Antisipasi Menghadapi Gejala Alam La-Nina dan El-Nino untuk Pembangunan
Pertanian, PERHIMPI-FMIPA IPB-PPTA-ICSA, Bogor.
Murniati, 2010. Arsitektur Pohon, Distribusi perakaran dan Pendugaan Biomassa Pohon
dalam Sistem Agroforestry. Jurnal penelitian Hutan dan Konservasi Alam.
Baltibanghut.P3HKA, vol. VIII no.2 tahun 2010, Bogor.
Tjojudo, S. 1994. Teknik Penentuan Bidang Longsoran. Makalah Penunjang No. 13
Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F-Geografi UGMBakornas Penanggulangan Bencana, Yogyakarta.
Permen PU No.22/PRT/M/2007. Pedoman Penataan Ruang. Kawasan Rawan Bencana
Longsor. Departemen Pekerjaan Umum. Dirjen Penataan Ruang. Jakarta.
Permenhut P.22/Menhut-V/2007. PEDOMAN TEKNIS GERAKAN NASIONAL
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (GN-RHL/Gerhan). Departemen
Kehutanan dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 22/Menhut-V/2007
Tanggal : 20 Juni 2007.
Sintesis 2010-2014 | 62
JUDUL PENELITIAN : UJI COBA JENIS SPESIES TANAMAN DAN MEDIA
TANAM PEMBUNGKUS BENIH UNTUK
AEROSEEDING
PELAKSANA
: DEWI ALIMAH, S. Hut., RUSMANA, S. Hut., Drs.
RAHARDYAN NUGRAHA ADI
INSTANSI
: BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
ABSTRAK
Permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan aeroseeding dalam rangka rehabilitasi
lahan terdegradasi adalah tingkat keberhasilan tumbuh benih yang masih sangat rendah.
Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis spesies tanaman dan media pembawa benih yang
cocok digunakan sebagai materi rehabilitasi lahan rawa gambut terdegradasi pada metode
aeroseeding (simulasi), mengetahui pengaruh jenis spesies tanaman dan media pembawa
terhadap tingkat keberhasilan perkecambahan biji dan pertumbuhan anak semaitanaman,
dan mengetahui tingkat keberhasilan aeroseeding pada berbagai tipe vegetasi yang telah
dilakukan di Hutan Kota Palangkaraya (kerjasama dengan Tim Pokja Kalteng). Penelitian
ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 (dua) perlakuan, yaitu jenis
spesies tanaman endemik lahan rawa gambut dan media pembawa sebagai enkapsulat
benih. Jenis spesies tanaman yang diujicobakan yang terdiri atas 4 (taraf), yaitu jelutung
(Dyera lowii), mandarahan (Knema laurina), gerunggang (Cratoxylon spp.),dan belangeran
(Shorea belangeran) sedangkan media pembawa yang diujicobakan terdiri atas 5 (lima)
taraf, yaitu tanpa media pembawa (kontrol), jiffy pellet, tanah liat, tanah gambut, dan talk
dicampur fungisida. Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah daya berkecambah
benih, pertumbuhan tinggi, diameter batang, persentase hidup, kecepatan berkecambah,
dan kerapatan benih. Hasil menunjukkan bahwa pada penelitian ini belum diketahui jenis
spesies tanaman dan media pembawa yang cocok digunakan sebagai materi rehabilitasi
lahan rawa gambut terdegradasi pada metode aeroseeding (simulasi). Begitu pula dengan
pengaruh keduanya terhadap tingkat keberhasilan aeroseeding.
Kata kunci : aeroseeding, lahan gambut, rehabilitasi, enkapsulasi
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai upaya untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis telah dilakukan
pemerintah, salah satunya adalah dengan memanfaatkan teknologi aeroseeding/aerial
seeding. Percobaan aeroseeding merupakan teknologi yang terispirasi dari penyebaran
benih tumbuhan melalui udara dengan bantuan pesawat terbang itu kini terus diintensifkan.
Penggunaan teknologi ini juga dinilai bisa menjadi jalan keluar untuk rehabilitasi lahan di
remote area, yaitu lahan kritis yang sangat sulit dijangkau, terpencil, terisolir, kelerengan
sangat terjal dan lain-lain. Permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan aeroseeding ini
adalah keberhasilan tumbuh benih yang masih sangat rendah. Saat ini tingkat keberhasilan
tumbuh yang ditargetkan oleh Kementerian Kehutanan baru pada kisaran 20% saja. Hal ini
disebabkan terutama oleh kondisi tanah tandus pada lahan kritis yang menghambat proses
perkecambahan biji dan pertumbuhan anak semai tanaman. Keberhasilan aeroseeding
Sintesis 2010-2014 | 63
sangat bergantung pada beberapa faktor antara lain kualitas benih, sifat benih (rekalsitran
atau ortodok), dan kondisi lahan. Kondisi lahan yang bervegetasi rapat akan menyulitkan
benih jatuh sampai ke lantai hutan (tanah/gambut) dibanding dengan kondisi vegetasinya
jarang dan pendek (MKI, 2010).
Studi kelayakan aeroseeding di lahan gambut diharapkan dapat membantu mengatasi
masalah persentase tumbuh bijitanaman yang langsung ditanam pada tanah tandus dan
miskin hara. Studi ini dilakukan melalui suatu rangkaian kegiatan percobaan untuk
mengetahui pengaruh jenis spesies tanaman asli yang cocok sebagai materi rehabilitasi
lahan rawa gambut terdegradasi pada metode aeroseeding (simulasi) dan media tanam
sebagai pembungkus benih (enkapsulat) terhadap tingkat keberhasilan perkecambahan biji
dan pertumbuhan anak semai tanaman.
Pada penelitian ini direncanakan uji coba terhadap 4 (empat) jenis benih, yaitu
jelutung (Dyera lowii), mandarahan (Knema laurina), gerunggang (Cratoxylon spp.), dan
belangeran (Shorea belangeran). Jenis-jenis spesies tersebut merupakan jenis tanaman
berkayu yang endemik di areal hutan rawa gambut. Sementara itu, media tanam yang akan
diujicobakan terdiri atas 4 (empat) macam, yaitu jiffy pellet, tanah liat, tanah gambut, dan
talk. Benih dibungkus dengan media tanam yang dibentuk sedemikian rupa dan diberi
bekal nutrisi agar bisa tumbuh. Pembentukan media tanam ini dinilai cocok sebagai media
persemaian benih dan penambahan berat dari media tanam tersebut diyakini bisa
membawa benih yang disebar menerobos alang-alang yang biasanya tumbuh di lahan kritis
serta untuk mencegah serangan hama. Selain itu, penelitian tentang studi kelayakan
hydroseeding/aeroseeding di lahan gambut juga bekerjasama dengan Tim Pokja Kalteng
dalam melakukan pengamatan dan pendataan hasil aeroseeding yang telah dilakukan oleh
tim tersebut di Hutan Kota Palangkaraya.
B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui jenis spesies tanaman dan media tanam yang cocok digunakan
sebagai materi rehabilitasi lahan rawa gambut terdegradasi pada metode aeroseeding
(simulasi).
2. Untuk mengetahui pengaruh jenis spesies tanaman dan media tanam terhadap tingkat
keberhasilan perkecambahan biji dan pertumbuhan anak semai tanaman.
3. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan aeroseeding pada berbagai tipe vegetasi yang
telah dilakukan di Hutan Kota Palangkaraya (kerjasama dengan Tim Pokja aeroseeding
Palangkaraya).
Sasaran penelitian adalah:
1.
Diperoleh data dan informasi jenis spesies tanaman dan media tanam sebagai
pembungkus (enkapsulat) benih yang cocok digunakan sebagai materi rehabilitasi
lahan rawa gambut terdegradasi pada metode aeroseeding (simulasi).
2.
Diperoleh data dan informasi pengaruh jenis spesies tanaman dan media tanam
terhadap tingkat keberhasilan perkecambahan biji dan pertumbuhan anak semai
tanaman.
Sintesis 2010-2014 | 64
3.
Diperoleh data dan informasi tingkat keberhasilan aeroseeding pada berbagai tipe
vegetasi (kerjasama dengan Tim Pokja aeroseeding Palangkaraya)
II. METODE PENELITIAN
Orientasi dan Penetapan Lokasi. Lokasi plot penelitian yang dipilih dan menjadi
prioritas dalam penelitian ini adalah lahan rawa gambut terdegradasi berat yaitu
bervegetasi ringan (jarang) dan pendek (<2 m) yang didominasi oleh jenis pakis
(Nephrolepis bisserata) dan/atau kalakay (Stenochlaena polustris) dan lahan-lahan yang
sering terjadi kebakaran tahun sebelumnya dengan kondisi vegetasinya pendek atau tanpa
vegetasi.
Pengadaan dan Seleksi Benih (biji) Tanaman. Benih tanaman untuk uji coba teknik
aeroseeding diperoleh melalui pembelian benih kepada masyarakat atau pedagang dengan
syarat benih tersebut memiliki viabilitas tinggi (>70%). Benih diperoleh dalam bentuk
buah dan dilakukan ekstraksi sesuai karakter dan diseleksi berdasarkan kondisi fisiknya.
Benih yang bernas/berisi saja yang digunakan untuk uji coba ini sedangkan benih hampa
dan sampah benih (kulit, tangkai) dibuang.
Perlakuan Benih dan Simulasi Penyebaran. Benih dibungkus dengan media tanam
berupa jiffy pellet, tanah liat, tanah gambut, dan talk hingga berbentuk sedemikian rupa
seperti bola kecil berukuran diameter ± 2–3 cm dan kemudian dikeringkan (jika basah).
Simulasi penaburan dilakukan dengan cara dilempar pada lahan yang telah ditetapkan
sesuai perlakuan uji jenis.
Pengamatan dan Pengukuran. Pengamatan dan pengukuran dilakukan di lapangan dan di
laboratorium, yaitu sebagai berikut :
a. Pengamatan dan Pengukuran di Lapangan. Data dikumpulkan melalui pengamatan dan
pengukuran terhadap contoh uji pengamatan setiap perlakuan yang ditunjuk secara
random dengan luas 1 m x 1 m sebanyak 4 kali. Parameter yang diukur adalah daya
kecambah benih, pertumbuhan tinggi, diameter batang dan persentase hidup serta
kerapatan benih tumbuh yang ditebar.
b. Pengamatan dan Pengukuran di Laboratorium. Pengamatan dan pengukuran yang
dilakukan di laboratorium ini terdiri atas 2 (dua) pengujian, yaitu pengujian kadar air
benih dan pengujian daya perkecambahan.
Kajian Aeroseeding di Hutan Kota Palangkaraya. Kajian dilakukan terhadap
keberhasilan aeroseeding yang telah dilakukan oleh Tim Pokja Kalteng yang dikelola oleh
BUMS PT. Hutan Amanah Lestari, Universitas Hasanudin Makasar, Universitas
Palangkaraya, Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Balai Perbenihan Tanaman
Hutan (BPTH) Kalimantan, dan Pemerintah Kota Palangkaraya. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara diskusi dan mempelajari hasil laporan Tim Pokja tersebut.
III. HASIL YANG DICAPAI
Plot penelitian ini berlokasi di lahan milik penduduk Desa Tumbang Nusa, tepatnya di
Sintesis 2010-2014 | 65
tepi jalan raya antar provinsi Kalimantan Tengah – Kalimantan Selatan. Plot ini terdiri atas
6 petak dengan ukuran 50 x 40 m memanjang ke belakang seluas 1,2 ha. Di dalam plot
banyak dijumpai Acacia mangium dan beberapa tumbuhan bawah seperti pakis/kelakai,
karamunting, bejakah, dan purun.
Pada penelitian ini telah dilakukan pengamatan dan pengukuran di lapangan terhadap
ballseed (benih yang dibungkus media tanam) yang berumur 2 (dua) minggu sejak ditabur.
Hasil pengamatan persentase tumbuhpada uji jenis dan berbagai media tanam pembungkus
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Persentase tumbuh pada uji jenis dan berbagai media tanam pembungkus benih untuk eroseeding
umur 2 (dua) minggu
Jenis
Jelutung
Gerunggang
Mandarahan
Belangeran
Ulangan (N)
6
6
6
6
Gambut
0
0
-
Tanah Liat
0
0
-
Jiffy Pellet
-
Talk
0
0
-
Kontrol
0
0
-
Dari Tabel 1 di atas diketahui bahwa di plot aeroseeding umur 2 (dua) minggu
dihitung sejak penaburan belum dijumpai perkecambahan biji. Kondisi tersebut terjadi
pada biji jelutung dan gerunggang baik yang dibungkus dengan tanah gambut, tanah liat,
maupun talk. Begitu halnya dengan kontrol (biji tanpa pembungkus), dimana biji jelutung
dan gerunggang setelah dua minggu ditabur belum menunjukkan adanya perkecambahan.
Pada penelitian ini perlakuan pembungkusan biji dengan jiffy pellet tidak jadi
dilaksanakan. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya produk jiffy pellet di pasaran lokal
sehingga harus impor. Selain itu, harga produk dan biaya impor barang termasuk mahal.
Jadi, dapat dikatakan bahwa perlakuan pembungkusan biji dengan jiffy pellet ini cenderung
kurang ekonomis jika dilaksanakan. Begitu pula dengan biji untuk jenis mandarahan yang
tidak bisa diadakan. Dari hasil survei diketahui bahwa biji mandarahan ini sulit untuk
diperoleh karena pada tahun 2012, vegetasi jenis ini tidak mengalami musim buah.
Sementara itu, benih/biji belangeran yang diperoleh viabilitasnya sudah tidak bagus lagi
untuk ditanam sehingga tidak dilakukan penelitian pada aeroseeding di tahun 2012. Kadar
air biji jelutung dan gerunggang berturut-turut adalah sebesar 8,13% dan 12,48%.
Uji jenis dan formula pembungkus aeroseeding tim pokja Kalteng di Palangkaraya
dilakukan terhadap 9 (sembilan) jenis spesies tanaman yaitu pasir-pasir, asam-asam, tumih,
gerunggang, sengon, bungur, dan galam. Untuk formula pembungkusnya berupa tanah liat,
gambut, dan pupuk kandang.Persentase tumbuh benih aeroseeding yang telah dilakukan
oleh Tim Pokja Kalteng dapat dilihat pada Tabel 2.
Dari Tabel 2 diketahui bahwa biji galam memiliki persentase tumbuh paling tinggi
bila dibandingkan dengan spesies lainnya. Persentase tertinggi ini terutama dimiliki oleh
biji galam yang dibungkus dengan formula media tanam berupa pupuk kandang sebesar
71,8%. Namun secara kseseluruhan baik biji galam yang dibungkus dengan formula pupuk
kandang, tanah liat maupun gambut cenderung memberikan persentase tumbuh yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan biji dari jenis spesies lainnya.Sementara itu, persentase
Sintesis 2010-2014 | 66
tumbuh paling rendah dijumpai pada jenis pasir-pasir, asam-asam, dan sungkai, dimana
ketiganya memberikan persentase tumbuh biji sebanyak 0%.
Tabel 2. Persentase tumbuh uji jenis dan formula pembungkus hasil aeroseeding kerjasama tim pokja
kalteng di palangkaraya umur 8 (delapan) minggu
No.
Jenis
Jumlah
Biji
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pasir-pasir (stek)
Asam-asam (stek)
Sungkai (stek)
Tumih
Gerunggang
Sengon
Pulai
Bungur
Galam
500
500
600
500
500
500
500
500
500
Tanah Liat
Σ
%
0
0
0
0
0
0
3
0,6
8
1,6
3
0,6
19
3,8
9
1,8
94
18,8
Formula Pembungkus
Gambut
Pupuk Kandang
Σ
%
Σ
%
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0,4
1
0,2
11
2,2
1
0,2
20
4
4
0,8
8
1,6
16
3,2
6
1,2
3
0,6
57
11,4
359
71,8
Kontrol
Σ
0
0
0
2
7
17
0
8
10
%
0
0
0
0,4
1,4
3,4
0
1,6
2
Tingginya persentase pertumbuhan biji (perkecambahan biji) pada galam dikarenakan
oleh adanya sifat dari spesies itu sendiri yang sangat cocok tumbuh di lingkungan tanah
rawa gambut yang memiliki tingkat keasaman yang cukup tinggi. Diketahui pula bahwa
galam merupakan salah satu jenis tanaman berkayu yang endemik di areal hutan rawa
gambut. Adanya tambahan pupuk kandang sebagai media pembungkus biji menjadikan
persentase pertumbuhan biji galam semakin tinggi.Kandungan unsur haranya yang lengkap
seperti natrium (N), fosfor (P), dan kalium (K) membuat pupuk kandang cocok untuk
dijadikan sebagai media tanam.Unsur-unsur tersebut penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman.Selain itu, pupuk kandang memiliki kandungan mikroorganisme
yang diyakini mampu merombak bahan organik yang sulit dicerna tanaman menjadi
komponen yang lebih mudah untuk diserap oleh tanaman.
Sementara itu, untuk jenis biji seperti sengon, pulai, bungur, dan lainnya meskipun
memberikan persentase pertumbuhan, namun nilainya masih cukup rendah. Hal ini bisa
dikarenakan biji dari jenis di atas mempunyai struktur kulit biji yang keras sehingga
diperlukan pelunakan kulit biji (stratifikasi) sebelum dikecambahkan supaya air mudah
menembus kulit biji sehingga benih cepat berkecambah.Ketidaksesuaian lingkungan
tempat tumbuh juga mampu mempengaruhi rendahnya persentase pertumbuhan biji.
Seiring berjalannya waktu dimungkinkan pertumbuhan biji akan terus bertambah sehingga
perlu dilakukan monitoring dan evaluasi lebih lanjut.
IV. KESIMPULAN
Pada penelitian ini belum diketahui jenis spesies tanaman dan media tanam yang
cocok digunakan sebagai materi rehabilitasi lahan rawa gambut terdegradasi pada metode
aeroseeding (simulasi). Begitu pula dengan pengaruh keduanya terhadap tingkat
keberhasilan aeroseeding.
Pada kajian aeroseeding yang telah dilakukan oleh Tm Pokja Kalteng di Palangkaraya
diketahui bahwa benih galam memiliki persentase tumbuh paling tinggi bila dibandingkan
dengan spesies lainnya yaitu sebesar 71,8% dengan media tanam berupa pupuk kandang.
Sintesis 2010-2014 | 67
Lampiran
Gambar 1.
Plot Aeroseeding 201
Gambar 2.
Pengujian kadar air biji
gerunggang dan jelutung Plot
Aeroseeding 201
Gambar 3.
Formula dan hasil
pembungkusan benih dengan
media tanam
.
Gambar 4.
Pembuatan ballseed
Gambar 5.
Pengamatan aeroseeding
Sintesis 2010-2014 | 68
JUDUL PENELITIAN : KAJIAN DAMPAK PENANAMAN JENIS PENGHASIL
KAYU TERHADAP TATA AIR
PELAKSANA
: Drs. RAHARDYAN NUGROHO ADI, DIAN CAHYO
BUWONO
INSTANSI
: BALAI PENELITIAN KEHUTANAN BANJARBARU
KALIMANTAN SELATAN
ABSTRAK
Hutan tanaman berupa jenis-jenis tanaman penghasil kayu yang ditanam dalam skala
luas memiliki dampak terhadap lingkungan khususnya tata air. Dari aspek lingkungan,
hutan tanaman penghasil kayu akan meningkatkan penutupan lahan oleh tajuk tanaman
sehingga memperkecil resiko terjadinya erosi dan limpasan permukaan dan tajuk tanaman
juga berfungsi untuk menahan pukulan air hujan secara langsung ke permukaan tanah
melalui proses aliran batang (stemflow) dan intersepsi. Penelitian dampak penanaman jenis
penghasil kayu terhadap tata air, dilakukan pada jenis meranti dan atau tanaman kayu
pertukangan jenis nyawai. Pada tahun 2012 ini masih melanjutkan penelitian pada tahun
2012. Metode penelitian erosi dilakukan dengan plot erosi berukuran 22 x 4 meter dan
penelitian tata air (intersepsi, limpasan permukaan dan hasil air) menggunakan mikro DAS
dengan luasan ± 10 Ha yang dilakukan pada jenis meranti. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui kondisi tata air (limpasan permukaan, aliran batang, intersepsi,
evapotranspirasi, hasil air dan kualitas air) dan erosi tanah di bawah jenis tanaman
penghasil kayu jenis meranti.
Kata kunci : tata air, erosi tanah, tanaman peghasil kayu
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada saat ini sedang
mengembangkan beberapa jenis tanaman kayu-kayuan yang merupakan jenis prioritas dan
unggulan di wilayah Kalimantan Selatan. Tujuannya adalah untuk mendukung pelaksanaan
pembangunan hutan tanaman. Namun demikian beberapa jenis kayu yang dikembangkan
oleh BPK Banjarbaru, Kalimantan Selatan belum dilengkapi dengan penelitian yang
mengkaji tentang aspek ekologis dari jenis tanaman kayu tersebut. Lebih khusus lagi,
dalam pengembangan jenis kayu pertukangan perlu didukung dengan data intersepsi, erosi,
limpasan permukaan, evapotranspirasi dan hasil air. Hasil dari kajian ini diharapkan akan
menjadi informasi penting bagi penentu kebijakan, khususnya di bidang kehutanan, yaitu
dalam rangka menunjang program pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan
(sustainable forest management) serta terutama penyediaan kebutuhan air.
B. Tujuan Dan Sasaran
Tujuan penelitian adalah mendapatkan informasi besarnya nilai intersepsi, erosi,
limpasan permukaan, evapotranspirasi dan hasil air jenis tanaman penghasil kayu. Sasaran
kajian adalah tersedianya data intersepsi, erosi, limpasan permukaan, evapotranspirasi dan
hasil air jenis tanaman penghasil kayu.
Sintesis 2010-2014 | 69
II. METODE PENELITIAN
Untuk memudahkan pengamatan di lapangan, masing-masing parameter yang diamati,
plot pengamatannya ditempatkan pada lokasi yang sama atau paling tidak berdekatan satu
sama lain.
Untuk pengamatan intersepsi dilakukan pada tegakan meranti alam di lokasi
penelitian. Pengamatan dilakukan pada 3 (tiga) tegakan meranti alam yang telah dewasa
dan mempunyai diameter batang yang hampir sama dan dipilih secara purposif di lokasi
penelitian. Pengamatan aliran batang dilakukan dengan menampung aliran air dari batang
pada masing-masing tegakan. Kemudian untuk pengamatan air lolos dilakukan dengan
menampung air lolos tersebut dengan kolektor yang ditempatkan secara purposif di bawah
masing-masing tegakan. Disamping itu dilakukan juga deskripsi secara detail terhadap
tegakan yang diamati aliran batang dan air lolosnya.
Gambar 1. Plot Pengamatan Aliran Batang dan Air Lolos
Kemudian untuk pengamatan erosi dan limpasan permukaan dilakukan dengan
menggunakan plot erosi ukuran standar (22 x 4 meter) yang dilengkapi dengan bak
penampung. Penempatan plot erosi dilakukan pada jalur tanaman meranti yang ditanam
dengan metode silin. Plot erosi ditempatkan pada 2 jalur tanaman meranti yang ditanam
dengan metode silin dengan kemiringan lereng dan penutupan lantai hutan yang berbeda.
Petak ukur erosi :
22 x 4 m
Selang
plastik
Lubang
pembagi
Drum I
Lubang
pembuangan
Drum II
Lubang
pembuang
an
Gambar 2. Desain Pengkuran Erosi dan Limpasan Permukaan
Sintesis 2010-2014 | 70
Selanjutnya untuk pengamatan hasil air dilakukan dengan pendekatan mikro DAS
dengan luasan 10 - 20 ha. Pengamatan hasil air dilakukan dengan menggunakan stasiun
pengamat aliran sungai (SPAS) yang dilengkapi dengan AWLR (Automatic Water Level
Recorder). Tipe SPAS yang digunakan dalam pengamatan ini adalah V-Notch Wier
dengan sudut 90° yang dilengkapi dengan pemantau tinggi muka air otomatis berupa
logger.
Gambar 3. SPAS Tipe V-Notch Weir sudut 90°
Untuk pengamatan evapotranspirasi dilakukan dengan menggunakan lisismeter (4 x 4
x 2 meter). Lisimeter akan dibuat sebanyak 2 buah, 1 buah akan ditanami dengan jenis
meranti, dan 1 buah lagi akan dibiarkan kosong untuk kontrol. Parameter yang diamati
adalah curah hujan, tinggi muka air pada kolektor penampung limpasan permukaan, dan
tinggi muka air pada kolektor penampung aliran dasar.
Gambar 4. Lisimeter
Kemudian juga dilakukan pengambilan sampel tanah pada daerah tangkapan air sungai
Jupoi yang diamati hasil airnya. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara purposif
sebanyak delapan (8) sampel. Di samping itu juga dilakukan pengukuran infiltrasi dengan
menggunakan double ring infiltrometer pada jalur silin, di bawah tegakan meranti.
Selanjutnya untuk analisis parameter-parameter hidrologi yang akan diteliti dilakukan
dengan prosedur sebagai berikut :
1) Perhitungan volume aliran batang dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
Sfi = Vi/li ( cm) = Vi /li (cm) x 10 (mm)
..................................... (1)
Sintesis 2010-2014 | 71
Keterangan:
Sfi = tinggi aliran batang ke-i (mm)
Vi = volume aliran batang ke-i (cm3)
Li = Luas tajuk pohon ke-i (cm2) (Arrijani, 2006)
2) Volume curahan tajuk yang tertampung selanjutnya dikonversi ke dalam satuan mm
dengan persamaan sebagai berikut:
Sfi = Vi/li ( cm) = Vi /li (cm) x 10 (mm)
..................................... (2)
Keterangan:
Tfi = Tinggi curahan tajuk ke-i (mm)
Vi = Volume curahan tajuk ke-i (cm3)
Li = Luas penampungan ke-i (cm2) (Arrijani, 2006)
3) Pengukuran aliran permukaan :
Pengukuran limpasan permukaan dan dilakukan dengan mengukur ketinggian air yang
berada dalam drum kolektor dengan menggunakan meteran kayu dalam satuan cm.
Dari kedalaman air tersebut dapat diketahui volume airnya dengan persamaan :
V=AxD
............................... (3)
Keterangan :
V = volume air dalam drum (cm3)
D = kedalaman air dalam drum (cm)
A = luas penampang drum (cm2)
Volume air dalam drum II juga diukur seperti drum I, kemudian dari hasil pengukuran
akan diperoleh hasil berupa volume total dengan persamaan sebagai berikut :
Vt = V1 + ( n x V2) .............................. (4)
Keterangan :
Vt = volume air total
V1 = volume air pada drum I (pertama)
V2 = volume pada drum II (kedua)
n = jumlah lobang pada drum I (pertama) , sebanyak 12 buah
Hasil pengukuran aliran permukaan didapatkan volume total dan kemudian dikonversi
ke dalam satuan m3/ha/bulan.
4)
Pengukuran tanah yang tererosi
Penentuan berat tanah tererosi yang dilakukan dengan cara mengambil contoh air dari
drum I dan II untuk setiap perak ukur dengan terlebih dahulu mengaduk seluruh isi
drum sampai homogen, kemudian contoh air disaring dengan menggunakan kertas
saring yang telah diketahui berat keringnya. Kertas saring berserta endapannya
kemudian dioven pada suhu 105oC sampai konstan, kemudian ditimbang. Berat tanah
tererosi adalah:
Wtc = W1 + W2 ................................ (5)
Keterangan:
Wtc
= berat tanah tererosi (g)
W1
= berat tanah dalam drum I
W2
= berat tanah dalam drum II
W1 atau W2 = Vd / Vs x (Wkse – Wks)
Vd
= volume air dalam drum (liter)
Vs
= volume air yang tersaring (liter)
Wkse = berat kertas saring beserta endapan (g)
Wks
= berat kertas saring (g)
Sintesis 2010-2014 | 72
5) Pengukuran evapotranspirasi dilakukan dengan menggunakan lisimeter berukuran 4 x 4
x 2 meter. Prinsip menghitung evapotranspirasi dengan lisimeter adalah dengan
menghitung curah hujan dikurangi rembesan ke dasar ditambah air yang mengalir di
permukaan lisimeter, kelembaban tanah, dan evaporasi. Dalam bentuk matematis
ditulis sebagai berikut
E=I–O
S
Keterangan :
E = evapotranspirasi (mm)
I = inflow, adalah curah hujan (mm)
O = outflow, adalah air yang meresap dan air yang mengalir di permukaan Lisimeter (mm)
S = kelembaban tanah dalam lisimeter
Atau :
E = P – (R1 + R2)
S
Keterangan :
P = curah hujan (mm)
R1 = aliran diatas permukaan lisimeter (mm)
R2 = air yang meresap di dasar lisimeter (mm)
6) Pengukuran laju infiltrasi dilakukan dengan menggunakan double ring infiltrometer.
Infiltrasi yang diukur adalah laju infiltrasi rata-rata dalam satuan volume/luas/waktu
(ml/cm2/menit).
7) Sampel tanah yang diambil selanjutnya dianalisis di laboratorium untuk mengetahui
sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian.
III. HASIL YANG DICAPAI
A. Erosi dan Limpasan Permukaan
Tabel 1. Erosi tanah pada Plot I
No
1
2
3
4
5
6
7
Bulan
Desember 2011
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Berat Erosi Tanah
(kg/ha/bln)
0,01
0,09
0,09
0,16
0,21
0,12
0,03
Tabel 2. Erosi tanah pada Plot 2
No
1
2
3
4
5
6
7
Bulan
Desember 2011
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Berat Erosi Tanah
(kg/ha/bln)
0,03
0,06
0,07
0,08
0,09
0,03
0,03
B. Intersepsi
Tabel 3. Air lolos (Trough fall)
No.
1
2
3
4
5
6
7
Bulan
Desember 2011
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Paralon A
Rata-rata
Vol (cm3)
TF (mm)
746, 25
16,90
1.178,40
26,64
1.204,42
27,28
2.059,40
46,64
2.305,15
52,20
1.234,35
27,95
1.086,80
24,61
Paralon B
Rata-rata
Vol (cm3)
TF (mm)
1.083,75
24,25
1.508,75
34,17
1,273,25
28,84
2.491,25
56,42
2.615,00
59,22
1.341,25
30,38
1.228,75
27,83
Paralon C
Rata-rata
Vol (cm3)
TF (mm)
1.241,00
28,10
1.395,00
31,59
1.391,60
31,52
2.446,00
55,39
2.446,00
55,85
1.299,00
29,42
1.235,00
27,97
Sintesis 2010-2014 | 73
Tabel 4. Aliran batang (Stem flow)
No.
1
2
3
4
5
6
7
C.
Bulan
Desember 2011
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Paralon A
Rata-rata
Vol (cm3)
TF (mm)
8.470
0,02
8.510
0,02
8.750
0,02
22.055
0,04
28.750
0,62
7.575
0,02
10.170
0,02
Paralon B
Rata-rata
Vol (cm3)
TF (mm)
15.890
0,02
18.670
0,02
16.205
0,02
40.320
0,05
38.265
0,05
21.125
0,03
15.600
0,02
Paralon C
Rata-rata
Vol (cm3)
TF (mm)
7.369
0,01
9.615
0,02
8.595
0,02
36.350
0,07
36.310
0,08
13.590
0,03
12.275
0,02
Hasil Air
Tabel 5. SPAS Jupoi
No
1
2
3
4
5
6
7
Bulan
Desember 2011
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Debit (ltr/detik)
13,21
265,99
191,38
400,80
582,18
93,27
105,58
D. Evapotranspirasi
Untuk pengamatan evapotranspirasi baru dilaksanakan pada tahun anggaran 2013
sehingga hasil pada tahun 2012 adalah pembuatan sarana pengamatan (lysimeter) dan
penanaman jenis meranti di dalam lysimeter.
E. Infiltrasi
Titik
Sampel
Infiltrasi awal
(f0) (cm)
1
2
3
4
5
6
0,29
0,1
1,52
1
2
0,3
Infiltrasi
konstan (ft)
(cm)
0,29
0,10
1,52
1,00
2,00
0,03
W (menit
20
23
23
16
19
26
F. Sampel Tanah
Hasil analisis sampel tanah belum dapat disampaikan karena sampel belum selesai
dianalisis di laboratorium. Perkiraan hasil analisis sampel tanah selesai pada akhir
bulan januari 2013 sehingga hasil analisis sampel tanah baru akan disampaikan pada
laporan lengkap kegiatan penelitian.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Hasil sementara sampai dengan akhir kegiatan tahun 2012 adalah sebagai berikut :
-
Hasil perhitungan erosi dan limpasan permukaan di kedua plot pengamatan nilainya
relatif kecil namun demikian masih perlu dibandingkan dengan nilai erosi yang
Sintesis 2010-2014 | 74
diperkenankan di lokasi penelitian.
-
Beitu juga untuk hasil perhitungan intersepsi pada jenis meranti di lokasi penelitian
juga nilainya relative kecil.
-
Untuk perhitungan laju infiltrasi pada jalur silin belum dapat tersaji lengkap karena
perhitungan kapasitas infiltrasi belum dapat dilaksanakan karena hasil analisis
sampel tanah belum selesai dilakukan.
Sintesis 2010-2014 | 75
Sintesis 2010-2014 | 76
JUDUL PENELITIAN : TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
(Keberhasilan Pertumbuhan Tanaman di Areal
Rehabilitasi Lahan Gambut di Kalimantan Tengah,
Kondisi Biofisik Lahan Gambut Setelah Penabatan Kanal
di Taman Nasional Sebangau)
PELAKSANA
: BINA SWASTA SITEPU, S.Hut
INSTANSI
:
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengelolaan lahan gambut meliputi pemanfaatan dan perlindungan lahan gambut.
Setelah berlangsung sekian lama pemanfaatan lahan gambut ternyata menimbulkan
kerusakan pada ekosistem lahan gambut. Akibat pembukaan areal gambut dan pembuatan
saluran-saluran pada areal gambut, terjadi penurunan muka air tanah gambut dan
kedalaman gambut secara drastis dan menimbulkan dampak yang serius bagi daur
ekosistem yang selama ini sudah terjaga dan menjaga dengan baik (Suryadiputra et al.,
2005).
Kerusakan ekosistem lahan gambut tanpa disadari menimbulkan bahaya yang tidak
sedikit. Pelepasan gas rumah kaca, hilangnya sumberdaya hayati dan terganggunya sistem
hidrologi yang menyebabkan banjir merupakan beberapa akibat dari kerusakan lahan
gambut (Las et al., 2009). Sebagai upaya perbaikan lahan gambut terdegradasi dilakukan
kegiatan penanaman jenis-jenis tumbuhan asli lahan gambut dan penabatan
(pembendungan) saluran-saluran air buatan.
Lahan gambut yang memiliki karakteristik unik, akan membutuhkan perlakuan khusus
pada setiap sifat lahannya. Untuk kegiatan rehabilitasi di lahan gambut, ketebalan gambut
yang sangat bervariasi, kondisi dan kematangan gambut serta sistem hidrologi akan
memberikan perlakuan yang bermacam-macam dalam pemilihan jenis, teknik penyiapan
lahan serta teknik penanaman maupun pemeliharaannya (Daryono, 2005; Wibisono et al.,
2005). Selain itu, kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar lahan gambut juga dapat
memberikan kontribusi terhadap keberhasilan rehabilitasi (Subagyo et al., 2003).
Kegiatan rehabilitasi di lahan gambut yang telah dilaksanakan tercatat di Kalimantan
Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi (Rachmanadi et al., 2002, Wildlife Habitat Canada,
2004, Falah et al., 2004, , Dohong, 2006 ). Namun belum diketahui status keberhasilan dari
setiap lokasi rehabilitasi tersebut.
Salah satu upaya perbaikan ekosistem gambut yang dilakukan adalah penabatan
(pembendungan) kanal atau saluran air pada lahan gambut. Tujuan dari penabatan ini
adalah mencegah limpasan air secara langsung dari lahan gambut ke sungai atau badan air
alami lain yang menjadi tempat pengeluaran air. Diharapkan setelah kanal ditabat, tinggi
muka air permukaan di lahan gambut akan naik sehingga gambut tetap basah dan
mengurangi subsidensi.
Penabatan kanal di lahan gambut telah dilakukan di Sumatera dan Kalimantan
(Suryadiputra, et al, 2005). Salah satu areal yang di tabat adalah saluran eks HPH PT.
Sintesis 2010-2014 | 77
Sanitra Sebangau Indah (SSI), di Taman Nasional Sebangau. Namun masih minim sekali
didapatkan informasi biofisik lahan gambut di lokasi tersebut setelah kegiatan penabatan.
Di lokasi lain, kegiatan penabatan diketahui memberikan dampak positif terhadap tinggi
muka air permukaan dan kualitas air (Istomo, et al, 2007).
Untuk itu penelitian tentang pengelolaan lahan gambut, khususnya pada lahan gambut
terdegradasi dengan mengambil fokus pada keberhasilan petumbuhan tanaman rehabilitasi
dan kondisi biofisik lahan gambut setalah penabatan kanal perlu dilakukan untuk
mendukung managemen pengelolaan lahan gambut.
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi pengelolaan lahan
gambut, khususnya data keberhasilan pertumbuhan tanaman di lahan gambut dan informasi
kondisi biofisik lahan gambut setelah penabatan kanal.
II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL
PENELITIAN
A. Identifikasi Regulasi yang Ada
Instruksi Presiden RI No. 2 Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan
Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.
B. Analisis Kebutuhan Penelitian
----III. SINTESIS HASIL PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Waktu Penelitian. Penelitian dilaksanakan dari tahun 2011-2013
Lokasi. Penelitian dilaksanakan di Kalimantan Tengah, khususnya di daerah eks PLG 1
juta hektar ( Kab. Kapuas, Kab. Pulang Pisau, Taman Nasional Sebangau)
Rancangan Penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode survey di areal lahan
gambut terdegradasi. Untuk keberhasilan pertumbuhan tanaman dilakukan dengan metode
survei tanaman di areal rehabilitasi lahan gambut. Dibuat plot-plot pengamatan berukuran
20 m x 50 m pada areal rehabilitasi lahan gambut. Parameter yang diukur dari tanaman
adalah daya hidup dan kondisi pertumbuhan tanaman berupa diameter dan tinggi tanaman.
Untuk kondisi biofisik lahan gambut setelah penabatan, dibuat titik –titik pengamatan
tinggi muka air tanah, sifat fisik gambut dan penutupan vegetasi.
B. Hasil
1. Keberhasilan pertumbuhan tanaman di areal rehabilitasi lahan gambut
Dari 7 lokasi rehabilitasi lahan gambut, didapatkan hasil sebagai berikut :
No
Plot
1
Desa
Gohong
Sintesis 2010-2014 | 78
Jenis Tanaman
Penambahan
zat kimia
Perbaikan
Tapak
Persen
hidup
Shorea balangeran
Urea
Guludan
20.65
MAI
Diameter
(cm)
1.55
MAI
Tinggi
(m)
0.91
No
Plot
Desa
3
Sebangau
Permai
Lunuk Ramba 1
4
Lunuk Ramba 2
5
Tambun Raya
6
Pulau Kupang
7
Resort Mangkok
Taman Nasional
Sebangau
2
Jenis Tanaman
Penambahan
zat kimia
Perbaikan
Tapak
Persen
hidup
MAI
Diameter
(cm)
MAI
Tinggi
(m)
Shorea balangeran
Urea
Tidak ada
85.53
1.01
0.76
Dyera lowii
Dyera lowii,
Durio sp.,
Hevea Brasiliensis
Hevea brasilensis
Paraserianthes
falcataria
Kapur +
Guludan
91.31
Kapur
Gundukan
78.94
1.99
1.7
2.74
2.05
1.12
1.07
1.84
1.18
Kapur
Gundukan
45.47
1.98
1.75
Urea
Guludan
76.64
3.1
4.3
Urea
Tidak ada
74.37
0,53
0.92
0.50
0.90
Dyera lowii
Shorea balangeran
Dari data diatas terlihat bahwa lokasi di Gohong dan Tambun Raya memiliki persen
hidup yang paling rendah. Berdasarkan informasi dan pengamatan di lapangan, faktor
penyebab rendahnya nilai persen hidup tanaman Shorea balangeran di desa Gohong
adalah akibat kebakaran yang terjadi pada tahun 2009 akibat kelalaian masyarakat di
sekitar areal rehabilitasi lahan gambut yang membakar sampah tanpa membuat sekat atau
menjaga api agar tidak merambat. Akibat kelalaian ini, api yang membakar sampah
merambat hingga areal rehabilitasi lahan gambut dan membakar tanaman rehabilitasi.
Akibat kebakaran ini, ketebalan lapisan gambut yang sebelumnya mencapai 1 meter, pada
saat pengukuran hanya mencapai 30 cm, bahkan beberapa lokasi pengukuran tidak terdapat
lagi lapisan gambutnya.
Di desa Tambun Raya, rendahnya persen hidup tanaman Hevea brasiliensis
diperkirakan disebabkan oleh pengaruh kondisi asam dan tingginya tekanan dari tanaman
liar terutama Stenochlaena palustris yang mendominasi di areal lokasi. Pada lokasi ini
didapatkan kecenderungan bahwa tanaman yang menggunakan sistem gundukan dan
secara rutin dibersihkan dari tanaman liar menunjukkan persen hidup yang lebih baik.
Namun sebagian besar tanaman yang diamati tidak menggunakan gundukan dan tidak
adanya perlakuan pembersihan dari petani pemilik lahan, hal ini terlihat dari empat plot
yang diambil ada dua plot yang >80 % tanamannya mati semua dan memberikan nilai
persen hidup yang rendah untuk lokasi secara keseluruhan.
Di lima lokasi lainnya, diperoleh nilai persen hidup yang melebihi batas minimum
nilai persen hidup untuk evaluasi keberhasilan kegiatan rehabilitasi yaitu 70%. Kecuali di
Desa Sebangau Permai dan resort mangkok TNS, perlakuan penggunaan gundukan atau
galuran dan pembersihan areal rehabilitasi yang diterapkan memberikan efek postif untuk
nilai persen hidup. Dari wawancara dengan petani pemilik lahan, pembuatan gundukan
dilakukan sebelum dilakukan penanaman dan pembersihan dilakukan minimal 1 tahun
sekali dengan menggunakan sistem mekanis atau kimia.
Untuk desa Sebangau Permai dan Resort Mangkok, TNS, pemilihan jenis S.
balangeran yang asli tanaman rawa gambut memberikan daya tahan terhadap kondisi asam
dan periode banjir yang menjadi ciri khas lahan gambut. Selain itu, lokasi areal rehabilitasi
yang jauh dari pemukiman dan areal pertanian masyarakat menurunkan resiko kebakaran
Sintesis 2010-2014 | 79
yang disebabkan oleh kelalaian manusia, hal ini terlihat sejak tahun penanaman tidak ada
kebakaran yang terjadi di lokasi kegiatan.
Dari hasil pengamatan, didapatkan jenis Paraserianthes falcataria memiliki diameter
dan tinggi rata-rata tertinggi serta MAI terbesar walaupun umurnya baru 2 tahun tanam.
Hal ini sesuai dengan sifat jenis tersebut yang termasuk dalam kelompok jenis cepat
tumbuh. Nilai pertumbuhan ini juga masih lebih baik dibandingkan dengan hasil penelitian
Purwanto dkk (2003) di desa sungai Pantai, kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan
yang memiliki kondisi mirip pada umur 5 tahun, namun diameter rata-rata + 10 cm dan
tinggi 5,7 meter. Walaupun demikian, dari syarat tempat tumbuh yang ditetapkan bagi
sengon menurut Beccking (1944) dalam Alrasyid (1979), Sengon sebenarnya memiliki
keterbatasan pada areal yang memiliki permukaan air tanah dangkal atau tergenang dan
keasaman <5. Hal ini berlawanan dengan kondisi di lapangan yang memiliki periode banjir
dan tinggi muka air tanah yang dapat mencapai 0,1 cm dari permukaan tanah. Selain itu
pada beberapa lokasi di Kelurahan Pulau Kupang ditemukan kondisi keasaman tanah (pH)
kurang dari 5 (4, 80).
Jenis Hevea brasiliensis merupakan salah satu jenis tanaman pilihan masyarakat dalam
kegiatan rehabilitasi di lahan hak. Alasan pemilihan jenis ini dikarenakan manfaat getah
yang dapat disadap oleh petani pemilik lahan untuk pendapatan sehari-hari. Jenis ini di
tanam pada dua lokasi yaitu desa Tambun Raya dan desa Lunuk Ramba. Pertumbuhan
Hevea brasiliensis desa Tambun Raya lebih rendah dibandingkan dengan di desa Lunuk
Ramba. Seperti penjelasan pada persen hidup tanaman, kurangnya perawatan dan teknologi
yang berbeda menyebabkan adanya perbedaan tersebut. Di desa Lunuk Ramba, jenis
Hevea brasiliensis dicampur dengan Dyera lowii dan Durio zibethinus dalam satu
hamparan yang merupakan kegiatan penanaman tanaman model dari BPDAS Kahayan
dengan sistem gundukan atau guludan.
Untuk Jenis Durio zibethinus, informasi yang didapatkan dari petani pemilik lahan dan
petugas dari BPDAS Kahayan menyatakan pertumbuhan jenis ini sangat lambat jika
dibandingkan dengan jenis Hevea brasiliensis dan Dyera lowii dengan perlakuan
perawatan dan teknologi yang sama. Dari 371 individu di lokasi pengamatan, durian hanya
berjumlah 11 buah, dan menunjukkan kecenderungan pertumbuhan tinggi yang melambat
atau stagnan. Bahkan pada jalur tanaman Durio sp. lebih banyak disisip dengan tanaman
Hevea brasiliensis atau Dyera lowii pada awal tahun penanaman. Ketidak sesuaian kondisi
lahan yang masam dan sering tergenang diperkirakan menjadi penyebab rendahnya
pertumbuhan tanaman ini.
Di desa Lunuk Ramba, Nilai MAI diameter jenis Dyera Lowii antara 1,71-1,99 cm
pertahun sama dengan nilai pengamatan dari Bastoni dan Riyanto (1999) dalam Bastoni
dan Lukman (2005) 1,55-2,00 cm/tahun. Sebagai jenis asli di lahan rawa gambut, Dyera
lowii memiliki adaptasi yang baik, dengan kondisi keasaman tanah yang rendah dan
periode banjir tahunan di lahan rawa gambut juga dapat bertahan pada kondisi lahan
terbuka akibat penebangan atau kebakaran. Didesa lunuk ramba juga dilakukan perbaikan
tapak dengan cara membuat guludan pada jalur tanaman. Penggunaan sistem semi intensif
diperkirakan dapat menambah MAI diameter mencapai 2,5 cm/tahun. Namun di Resort
Mangkok, Taman Nasional Sebangau, MAI diameter Dyera lowii hanya mencapai 0.53 cm
pertahun. Hal ini diperkirakan disebabkan kondisi tapak rehabilitasi yang tidak diperbaiki
Sintesis 2010-2014 | 80
sehingga pada saat musim banjir yang lama di DAS Sebangau, tanaman menjadi terhambat
pertumbuhannya.
Pertumbuhan jenis Shorea balangeran pada Ketiga lokasi pengamatan yaitu desa
Gohong, Sebangau Permai dan Resort Mangkok, TNS, menunjukkan nilai MAI diameter
yang berbeda. Pengaruh ketebalan dan kematangan gambut diperkirakan memepengaruhi
perbedaan ini. Pada lahan Gambut yang dangkal dan telah matang, diketahui memiliki
unsur hara yang lebih banyak dibandingkan dengan lahan gambut yang tebal dan belum
matang (Wahyunto dkk, 2005). Ini ditunjukkan dengan MAI dan diameter rata-rata di desa
Gohong yang lebih besar daripada di desa Sebangau Permai dan Resort Mangkok, TNS,
yang memiliki kondisi lahan gambut lebih tebal.
2. Kondisi Biofisik lahan gambut setelah penabatan kanal.
Dari pengamatan kematangan gambut, secara umum areal gambut yang berada di
bagian bawah dan di atas tabat memiliki kamatangan hemik dan saprik. Namun di plot
pengamatan terakhir yang paling dekat dengan sungai sebanagau dan paling jauh dari
tabat, memiliki kamatangan gambut tingkat saprik. Ketiadaan lapisan humik yang
ditandakan dengan adanya material serasah atau bagian tumbuhan yang belum terurai
diduga disebabkan oleh minimnya tumbuhan yang hadir di plot pengamatan. Sehingga
material pengisi lapisan gambut juga cenderung sangat sedikit atau mudah terbawa air
pasang ke dan hanyut ke sungai dibandingkan tertahan di lahan gambut dan membentuk
lapisan baru diatas lapisan gambut yang terbakar.
Pengamatan tinggi muka air dilakukan mulai bulan September 2013. Areal bagian atas
tabat memiliki tinggi muka air tanah antara +6,6 s/d – 64,1 cm. Tinggi muka air areal
diatas tabat terpengaruh oleh tinggi rendah air di kanal yang bergantung pada kondisi air di
hulu kanal. Sedangkan bagian bawah tabat selain oleh air di hulu kanal, juga dipengaruhi
oleh kondisi air di sungai Sebangau. Pada bulan Desember, saat musim penghujan, kondisi
tinggi muka air di plot pengamatan yang paling dekat dengan sungai Sebangau mengalami
peningkatan tinggi muka air tanah mencapai + 66,33 cm dan paling rendah adalah -0.7 cm.
Berbeda dengan kondisi plot pengamatan di atas tabat, ketinggian muka air tanah antara
3.67 s/d 32.1 cm di bawah permukaan gambut.
Secara umum, vegetasi penutup areal lahan gambut di bagian atas dan bawah tabat
terlihat berbeda. Dari menara pengamatan di Camp Penelitian SSI, terlihat bahwa areal di
bagian atas tabat memiliki tutupan yang lebih luas dibandingkan di bagian bawah tabat.
Informasi dari Balai Taman Nasional Sebangau, pada awalnya hampir seluruh areal di
sekitar tabat adalah areal bekas kebakaran Tahun 2004. Setelah kebakaran, hanya tersisa
jenis Combretocarpus rotundatus dan Shorea balangeran, khususnya yang terletak di
dekat sungai Sebangau dan beberapa tegakan di tengah areal gambut yang terbakar.
Di atas tabat, hanya ditemui 2 individu tegakan tingkat pohon, yaitu Hopea sp. dan
Diospyros sp., lebih sedikit jika dibandingkan dengan areal di bawah tabat yang diisi oleh
15 individu Shorea balangeran dan 2 individu Combretocarpus rotundatus. Keberadaan
tegakan tingkat pohon yang berbeda ini dikaitkan dengan kondisi areal setelah kebakaran
pada tahun 2004. Shorea balangeran, Combretocarpus rotundatus adalah jenis yang
mampu bertahan hidup setelah kebakaran tahun 2004. Sedangkan di bagian atas tabat yang
jauh dari sungai kedua jenis ini sangat miskin, khususnya pada tingkat pohon. Tingkatan
Sintesis 2010-2014 | 81
tegakan yang mendominasi di areal lahan gambut bagian atas tabat adalah tingkatan
pancang dengan 26 jenis dan tiang dengan 12 jenis. Sedangkan di bawah tabat hanya
ditemukan 7 jenis tegakan tingkat pancang dan 2 jenis tegakan tingkat tiang. Keberadaan
habitat lahan gambut yang masih di belakang areal bekas kebakaran (+ 300 m dari tepi
kanal di atas tabat) juga memberikan pengaruh terhadap keragaman jenis, berbeda dengan
dibawah kanal yang relatif terbuka dan jauh dari areal lahan gambut yang masih baik.
IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN
A. Metode (Teknik, prosedur, dll)
Pemilihan jenis untuk kegiatan rehabilitasi di lahan gambut terdegradasi difokuskan
pada dua jenis yang telah diketahui memiliki persen hidup, MAI diameter dan tinggi
yang baik dalam kaitannnya dengan sifat fisik lahan gambut terdegradasi yang memiiki
banyak faktor pembatas, yaitu Shorea balangeran dan Dyera lowii.
Perbaikan tapak yang diimplementasikan melalui pembuatan guludan maupun
gundukan dapat dilakukan pada area rehabilitasi yang memiliki kedalaman gambut
dangkal dan jenis tanaman utama Dyera lowii. Pembuatan guludan/gundukan selain
untuk menghindari genangan pada tanaman pokok juga dapat dipergunakan untuk
tanaman semusim pada sistem rehabilitasi dengan pola agroforestry.
Pelaksanaan penabatan kanal diketahui memiliki pengaruh yang positif terhadap proses
revegetasi secara alami maupun buatan manusia.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian selama tiga tahun ( 2011 – 2013) dapat disimpulkan bahwa
pengelolaan lahan gambut, khususnya yang terdegradasi, dilakukan melalui rehabilitasi
lahan dan perbaikan kondisi fisik lahan gambut yang diimplementasikan melalui penabatan
kanal pada areal lahan gambut yang memiiliki kanal buatan. Ada dua jenis tumbuha asli
lahan gambut yang menunjukkan keberhasilan pertumbuhan yang baik dan dapat menjadi
jenis pilihan dalam kegiatan revegtasi lahan gambut secara buatan, yaitu Shorea
balangeran dan Dyera lowii. Penabatan kanal di lahan gambut juga memberikan dampak
yang baik untuk proses suksesi alami dibandingkan dengan suksesi pada lahan gambut
yang kanalnaya tidak ditabat. Untuk informasi kondisi fisik lahan gambut, masih akan
dilakukan pengamatan lanjutan hingga tahun 2014 ini untuk mendapatkan hasil
komperhensip selama setahun sebagai dasar penilaian pengaruh penabatan kanal terhadap
lahan gambut terdegradasi.
Dari hasil penelitian selama tiga tahun ini, disarankan untuk menggunakan dua jenis
yaitu Shorea balangeran dan Dyera lowii sebagai jenis pilihan dalam kegiatan rehabilitasi
lahan gambut. Perbaikan kondisi fisik lahan gambut terdegradasi melalui penabatan kanal
mutlak dilakukan dalam rangka perbaian kondisi lahan gambut dalam hal ini yang telah
teramati yaitu proses suksesi alami yang lebih baik dibandingkan dengan lahan gambut
yang kanalnya tidak ditabat.
Kegiatan penelitian lanjutan diarahkan pada pengelolaan lahan gambut terdegradasi
yang diusahakan oleh masyarakat meliputi konservasi tanah dan air pada lahan gambut
yang dikelola dan perlindungan lahan gambut dari kebakaran lahan.
Sintesis 2010-2014 | 82
DAFTAR PUSTAKA
Daryono, Herman. 2006. Pemanfaatan Lahan Secara Bijaksana dan Revegetasi dengan
Jenis Pohon Tepat Guna di Lahan Rawa Gambut Terdegradasi. Proseding
Seminar Hasil-Hasil Penelitian. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor
Dohong, Aloe. 2006. Laporan Akhir (Final report) Climate Change, forest and Peatland in
Indonesia. Proyek Climate Change, Forest and Peatland in Indonesia. Wetland
International-Indonesia Program. Bogor
Falah, Faiqotul, Wahyu Catur Adinugroho, Suhardi, Hari Hadiwibowo. 2004. Kajian
Teknologi dan Kelembagaan Rehabilitasi Lahan Gambut dengan Pola
Perhutanan Sosial di Kawasan Eks PLG, Kalimantan Tengah. Laporan Hasil
Penelitian. Loka Litbang Satwa Primata. Samboja.
Las, I. K. Nugroho, dan A. Hidayat, 2009. Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut untuk
Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. Majalah Pengembangan Inovasi
Pertanian. Bogor
Muslihat, L. dan Sri Najiyati. 2005. Seri Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut;
Mengenal Tipe Lahan Rawa Gambut. Wetlands International – Indonesia
Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor
Subagyo, H, dan Indra Arinal. 2003 Uji Coba Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Bekas
Kebakaran di Lokasi Taman Nasional Berbak Bersama Kelompok Masyarakat
Desa Pematang Raman. Prosiding lokakarya Pengelolaan Lahan Gambut
Berkelanjutan. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor
Suryadiputra, I N.N., A. Dohong, Roh, S.B. Waspodo, L. Muslihat, .I. R. Lubis, F
Hasudungan, dan I. T.C. Wibisono. 2005. Panduan Penyekatan Parit dan Saluran
di Lahan Gambut Bersama Masyarakat. Proyek Climate Change, Forests and
Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Wibisono, I.T.C., L. Siboro dan I N.N. Suryadiputra. 2005. Panduan Rehabilitasi dan
Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and
Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Wahyunto, S. Ritung, Suparto, H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan
Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and
Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Wildlife Habitat Canada. 2004. Annual Report April 2003 – March 2004 Workplan April
2004 – March 2005. Wildlife Habitat Canada. Canada
Sintesis 2010-2014 | 83
Sintesis 2010-2014 | 84
JUDUL PENELITIAN : KAJIAN KELAYAKAN TEKNIK AERIAL SEEDING
(FORMULASI BAHAN PERLAKUAN BENIH UNTUK
TEKNIK AERIAL SEEDING)
PELAKSANA
: Ir. HERMIN TIKUPADANG, MP.
INSTANSI
:
ABSTRAK
Setiap tahun lahan kritis meningkat 1,08 juta ha (Anonim, 2009). Jumlah DAS
prioritas meningkat sampai tahun 2009 ada 62 DAS yang masuk dalam ketegori DAS
prioritas. Salah satu kendala adalah tersebarnya lahan kritis pada topografi berat dan sulit
terjangkau (aksesibilitas rendah) sehingga upaya rehabilitasi konvensional susah dilakukan. Salah satu alternatif metode yang bisa diterapkan adalah teknik penanaman aerial
seeding. Selanjutnya salah satu faktor yang perlu dikaji dalam teknik penanaman aerial
seeding adalah perlakuan terhadap benih yang bertujuan untuk membantu sampainya benih
ke permukaan tanah, melindungi benih dan mendukung perkecambahannya. Jenis perlakuan benih yang diterapkan pada aerial seeding adalah pelapisan benih atau coating benih.
Kegiatan penelitian meliputi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan untuk formulasi
komposisi coating benih dan penelitian uji coba di lapangan berupa penaburan benih yang
telah dicoating dengan komposisi yang direkomendasikan dari tahap sebelumnya. Kegiatan
ini dilakukan untuk mensimulasi daya tembus benih/kemampuan benih sampai ke
permukaan tanah pada berbagai kerapatan penutupan dan peletakan benih pada permukaan
tanah pada berbagai kondisi lapisan permukaan. Dari hasil pengamatan yang dilakukan
diketahui coating benih yang tidak pecah adalah pada komposisi K1 dan K2, persentase
coating benih berkecambah tertinggi pada K1B1 yaitu 95%, persentase benih berkecambah
tertinggi pada K2B4 yaitu 56,6%. Coating benih yang ditabur dari atas pohon semuanya
sampai kepermukaan tanah dan persentase kecambah benih yang diletakkan tertinggi pada
rumput yaitu 10,89%.
Kata kunci: aerial seeding, coating benih, rehabilitasi, lahan kritis
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai lahan kritis yang luas. Data
terakhir menunjukkan bahwa dari 30 juta ha lahan kritis, 19,5 juta berada di dalam
kawasan dan 10,5 juta di luar kawasan hutan (Anonim, 2009a). Untuk menekan laju
perluasan lahan kritis, berbagai kegiatan rehabilitasi lahan baik berupa penanaman di
dalam kawasan hutan (reboisasi) maupun di luar kawasan hutan (penghijauan) dan
kegiatan konservasi tanah dan air telah dilakukan secara simultan sejak tahun 70’an
melalui kegiatan penyelamatan hutan, tanah dan air maupun yang sejak tahun 2003
digalakkan oleh pemerintah dalam bentuk gerakan masal GERHAN. Namun pada
kenyataannya kecepatan peningkatan lahan kritis lebih tinggi dari kemampuan pemerintah
dan masyarakat untuk merehabilitasi lahan ktiris yang sudah ada. Setiap tahunnya di
Indonesia luas lahan kritis meningkat 1,08 juta ha (anonim, 2009b). Jumlah DAS prioritas
yang mencerminkan kondisi wilayah yang kritis dari tahun ke tahun bukannya turun tetapi
Sintesis 2010-2014 | 85
malah meningkat. Pada tahun 1984 pemerintah menetapkan 22 DAS sebagai super
prioritas, sepuluh tahun kemudian 1994 menjadi 39 DAS dan tahun ini data tarakhir dari
website Departemen Kehutanan sejumlah 62 DAS termasuk dalam kategori DAS prioritas
I. Dari kondisi tersebut tercermin bahwa upaya sistematis yang dilakukan belum optimal
untuk menekan perluasan lahan kritis. Dari berbagai kendala yang ada, salah satu kendala
yang menonjol adalah tersebarnya lahan-lahan kritis pada daerah bertopografi berat dan
susah dijangkau (aksesibilitas rendah) sehingga upaya konvensional seperti penanaman
masal dan serempak menghadapi hambatan.
Terkait dengan kendala tersebut, dalam suatu kesempatan Wakil Presiden Jusuf Kalla
menyampaikan perlunya ada upaya rehabilitasi hutan dan lahan khususnya penanaman
dengan menerapkan metoda yang dapat menjangkau sasaran berskala luas dan serempak
guna mengimbangi cepatnya laju degradasi dan deforestasi yang terjadi, sekaligus sebagai
percepatan upaya konvensional yang telah dilaksanakan selama ini. Salah satu metode
yang memungkinkan adalah dengan menerapkan metoda penanaman aerial seeding, yaitu
penyebaran benih melalui udara.
B. Rumusan Masalah
Setiap tahunnya di Indonesia luas lahan kritis meningkat 1,08 juta ha (anonim, 2009b).
Jumlah DAS prioritas yang mencerminkan kondisi wilayah yang kritis dari tahun ke tahun
bukannya turun tetapi malah meningkat. Pada tahun 1984 pemerintah menetapkan 22 DAS
sebagai super prioritas, sepuluh tahun kemudian 1994 menjadi 39 DAS dan tahun ini data
tarakhir dari website Departemen Kehutanan sejumlah 62 DAS termasuk dalam kategori
DAS prioritas I. Dari kondisi tersebut tercermin bahwa upaya sistematis yang dilakukan
belum optimal untuk menekan perluasan lahan kritis. Dari berbagai kendala yang ada,
salah satu kendala yang menonjol adalah tersebarnya lahan-lahan kritis pada daerah
bertopografi berat dan susah dijangkau (aksesibilitas rendah) sehingga upaya konvensional
seperti penanaman masal dan serempak menghadapi hambatan.
Untuk itu perlu ada upaya rehabilitasi hutan dan lahan khususnya penanaman dengan
menerapkan metoda yang dapat menjangkau sasaran berskala luas dan serempak guna
mengimbangi cepatnya laju degradasi dan deforestasi yang terjadi, sekaligus sebagai
percepatan upaya konvensional yang telah dilaksanakan selama ini. Salah satu metode
yang memungkinkan adalah dengan menerapkan metoda penanaman aerial seeding, yaitu
penyebaran benih melalui udara. Pada teknik penanaman aerial seeding, salah satu faktor
yang perlu dikaji adalah perlakuan terhadap benih. Perlakuan benih bertujuan untuk
membantu sampainya benih di permukaan tanah, melindungi benih dan mendukung
perkecambahan. Salah satu perlakuan benih yang dapat diterapkan pada teknik aerial
seeding adalah dengan pelapisan benih (coating).
Coating benih bertujuan untuk meningkatkan perkecambahan, memfasilitasi
penyebaran udara yang akurat, dan meningkatkan efisiensi penanaman mekanis. Pelapisan
atau coating benih dilakukan dengan cara menutupi benih dengan suatu bahan sebelum
ditabur. Benih dapat dilapisi bahan yang mengandung perekat atau tanpa perekat. Benih
yang telah dilapis menjadi lebih besar, lebih berat dan ukuran lebih seragam sehingga
memudahkan penanganan. Bahan pelapis yang berfungsi untuk melindungi benih dan
mendorong perkecambahan dapat digunakan dalam pelapisan benih, misalnya: pupuk, zat
Sintesis 2010-2014 | 86
pengatur tumbuh, fungisida dan insektisida, pencegah tikus dan burung dan mikrosimbion
(mikoriza, rhizobia dan frankia).
Dengan demikian pada coating benih diperlukan komposisi tepat untuk setiap bahan
penyusunnya. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian mengenai formulasi bahan
coating benih perlu dilakukan sehingga diperoleh formula yang tepat dan memberikan
hasil seperti yang diharapkan. Pada akhirnya hasil penelitian ini dapat mendukung
keberhasilan teknik penanaman denga metode aerial seeding.
C.
Tujuan dan Sasaran
Tujuan adalah untuk mendapatkan formula bahan coating benih untuk teknik aerial
seeding. Sasarannya adalah tersedianya data persen tumbuh benih yang diperlakukan
dengan coating.
II. METODOLOGI
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan di Rumah Kaca Balai
Penelitian Kehutanan Makassar untuk percobaan pendahuluan dan untuk percobaan di
lapangan dilakukan di KHDTK Mengkendek Kabupaten Tana Toraja. Penelitian
dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Desember 2013.
B. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih sengon laut, isolat
rhizobium, isolat FMA, tanah liat, kompos/pupuk kandang, fungisida, bak plastik, sarung
tangan, timbangan digital, GPS, altimeter, parang, sprayer, bambu, buku dan alat tulis.
C. Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan melalui 2 tahap, yiatu:
1.
Uji pendahuluan formulasi coating benih
Benih yang digunakan adalah benih tanaman legum yaitu sengon laut (Paraserianthes
falcataria), berkuran kecil (jumlah per kilo lebih dari 5000 benih) dan bertipe ortodoks.
Perlakuan coating benih berupa presentase peningkatan berat benih dan komposisi coating
benih. Perlakuan presentase peningkatan berat benih teridiri: 4.000 – 7.000% dari berat
benih asli (ditentukan berdasarkan hasil yang didapatkan dari percobaan pendahuluan
tahun 2012). Komposisi coating benih berbahan dasar tanah liat dan gipsum yang
diterapkan adalah seperti pada Tabel 1. Pengamatan dilakukan terhadap coating benih yang
rusak dan jumlah benih yang tumbuh atau berkecambah.
Tabel 1. Perlakuan komposisi coating benih berbahan dasar tanah liat, gipsum dan kompos
Komposisi
Tanah liat
Gipsum
Kompos
mikoriza+rhizobium
Fungisida+Pestisida
Persentase (%)
K1
6
35
4
1
K2
65
30
4
1
K3
K4
50
45
4
1
45
50
4
1
Sintesis 2010-2014 | 87
Tabel 2. Persentase penambahan terhadap berat benih
Persentase penambahan berat
(%)
4000
5000
6000
7000
Simbol
B1
B2
B3
B4
Kombinasi perlakuan yang diterapkan berjumlah 4 x 4 = 16 kombinasi perlakuan,
dengan ulangan masing-masing adalah 20 buah. Dengan demikian jumlah unit
percobaannya adalah 320 buah. Dalam tiap coating diisi dengan 3 buah benih sengon laut.
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah coating benih yang pecah setelah coating kering
dan persen kecambah benih.
2.
Uji coba di lapangan
Kegiatan uji coba di lapangan bertujuan untuk menguji komposisi coating benih yang
merupakan hasil seleksi pada tahap penelitian pendahuluan. Kegiatan ini meliputi dua
percobaan yaitu:
a.
Simulasi penaburan benih
Penaburan benih akan dilakukan secara manual, yaitu benih dilempar atau ditabur dari
ketinggian tertentu pada berbagai tingkat tutupan vegetasi (terbuka, jarang dan rapat). Ada
dua komposisi coating benih yang dicoba yaitu K1B1 dan K1B2. Kombinasi perlakuan
yang dicoba berjumlah 2 x 3 = 6 kombinasi perlakuan dengan ulangan masing-masing tiga
dan jumlah coating yang ditabur pada setiap ulangan adalah 60 buah. Pengamatan
dilakukan terhadap jumlah coating benih benih yang sampai permukaan tanah dan yang
tinggal dalam plot berukuran 10 x 10 meter.
b.
Peletakan benih
Kegiatan bertujuan untuk mengetahui kemampuan tumbuh/persen kecambah benih
apabila sudah sampai permukaan tanah. Peletakan benih merupakan pendekatan untuk
mengasumsi bahwa benih sudah mampu menembus tutupan tajuk atau tumbuhan bawah
dan sampai kepermukaan tanah. Benih yang telah diperlakukan dengan beberapa
komposisi coating hasil uji pendahuluan (formulasi) dipilih satu komposisi yaitu K1B1
(salah satu dari komposisi yang telah dicoba untuk simulasi penaburan), diletakkan secara
langsung pada berbagai karakter lapisan permukaan tanah (berbatuan, seresah, rumput dan
tanah). Pengamatan dilakukan terhadap jumlah benih yang tumbuh/kecambah.
III. HASIL PENELITIAN
Hasil pengamatan sifat fisik coating benih dan perkecambahan benih dalam coating
tersaji dalam Tabel 3.
Tabel 3. Persen coating benih yang pecah dan persen benih yang berkecambah
Komposisi
K1
% Peningkatan
Berat Benih
B1
B2
B3
Sintesis 2010-2014 | 88
% coating benih
yg pecah
0
5
0
% coating benih
yg berkecambah
95
85
60
% kecambah
benih sengon laut
51,67
51,67
33,33
Komposisi
K2
K3
K4
K5
K6
% Peningkatan
Berat Benih
B4
B1
B2
B3
B4
B1
B2
B3
B4
B1
B2
B3
B4
B1
B2
B3
B4
B1
B2
B3
B4
% coating benih
yg pecah
0
0
0
0
0
25
30
15
20
30
15
20
10
-
% coating benih
yg berkecambah
65
55
80
75
80
0
5
0
0
0
0
0
0
35
35
40
40
5
40
20
20
% kecambah
benih sengon laut
40
30
46,67
46,67
56,67
0
1,67
0
0
0
0
0
0
15
13,3
13,33
13,33
1,67
16,67
8,33
6,67
Hasil pengamatan terhadap penaburan coating benih yang sampai di tanah adalah 100%
sedang yang tinggal dalam plot 10 x 10 m disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Persen coating benih yang tinggal dalam plot 10 x 10 m
Jlh coating
benih yang
ditabur
60
60
60
60
60
60
Tingkat
penutupan
Komposisi
Terbuka
Jarang
Rapat
Terbuka
Jarang
Rapat
K1B1
K1B2
Rata-rata
coating yg ada
dalam plot
55
53,33
55
53,67
54,67
56,33
% coating yg
ada dalam plot
91,67
88,89
91,67
89,44
91,11
93,89
Hasil pengamatan persen kecambah benih yang diletakkan pada empat karakteristik lapisan
tanah disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Persen kecambah benih yang diletakkan pada empat karakter lapisan tanah
Karakter
lapisan
tanah
Tanah
Rumput
Serasah
Berbatu
Rerata persen kecambah benih hari ke (%)
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
1,56
0,67
4,89
0,22
16,22
14,89
1,11
3,56
12,44
9,11
1,11
6,00
12,44
9,11
0
5,56
1,11
9,11
0
5,33
1,33
4,89
0
3,56
1,11
3,56
0
2,44
0,89
3,33
0
2,22
1,56
6,22
0
4,00
1,56
5,78
0
4,00
1,56
5,78
0
4,00
1,78
8
0
4,00
1,78
8
0
4,00
2,00
10,89
0
4,00
Sintesis 2010-2014 | 89
IV. KESIMPULAN
1. Coating benih yang tidak pecah adalah pada komposisi K1 (tanah liat 60% + kompos 35% +
mikoriza dan rhizobium 4% + fungisida dan pestisida 1%) dan K2 (tanah liat 65% + kompos
30% + mikoriza dan rhizobium 4% + fungisida dan pestisida 1%).
2. Persentase coating benih berkecambah tertinggi adalah pada K1B1 yaitu 95% dan terendah pada
K3 (gipsum 50% + kompos 45% + mikoriza dan rhizobium 4% + fungisida dan pestisida 1%)
dan K4 (gipsum 45% + kompos 50% + mikoriza dan rhizobium 4% + fungisida dan pestisida
1%) dan persentase benih berkecambah tertinggi pada K2B4 yaitu 56,67%.
3. Coating benih yang ditabur dari atas pohon 100% jatuh di permukaan tanah, tetapi yang ada
dalam plot 10 x 10 m adalah 88,89 – 93,89%.
4. Persentase benih berkecambah yang diletakkan setelah empat minggu tertinggi pada rumput
yaitu 10,89% dan terendah pada serasah yaitu 0%.
Sintesis 2010-2014 | 90
LAMPIRAN
Kegiatan penaburan coating benih
dari atas pohon
Coating benih yang jatuh di atas
serasah pinus
Peletakan benih (coating benih) pada
tempat berbatu
Coating benih yang mulai hancur di
atas serasah setelah hujan
Benih sengon laut yang
tumbuh/berkecambah pada
tempat berbatu
Sintesis 2010-2014 | 91
JUDUL PENELITIAN : PENDEKATAN
PARTISIPATIF
DALAM
PENGEMBANGAN MODEL RKTA PADA DAS
MIKRO JENEBERNG DAN SADDANG
PELAKSANA
: Ir. M. KUDENG SALLATA, M.Sc
INSTANSi
: BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MAKASSAR
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rendahnya tingkat keberhasilan RKTA disebabkan antara lain adalah kurangnya
informasi teknologi dan pendekatan yang kurang holistik terhadap masyarakat sasaran.
Masyarakat sasaran hanya dilibatkan sebagai pekerja upahan dan tidak diajak berperan
aktif dalam analisis masalah dan pengambilan keputusan untuk melaksanakan RKTA pada
lahan miliknya dan lahan tergradasi yang berada disekitarnya. Dampak yang lebih parah
lagi adalah munculnya emage masyarakat terhadap program RKTA hanya suatu proyek
pemerintah saja sebagai tempat mendapat upah/uang, akibatnya selesai proyek selesai pula
kegiatannya tanpa mereka peduli terhadap tujuan utama yaitu untuk rehabilitasi lahan kritis
sehingga kembali berfungsi melestarikan ekosistem DAS secara keseluruhan. Partisipasi
masyarakat dapat digiatkan apabila secara mental, emosional dan juga secara fisik
masyarakat terlibat dalam kegiatan RLKTA. Pelibatan masyarakat niscaya dapat terlaksana
apabila msayarakat mampu melihat, memahami dan merasakan manfaat dan resiko dalam
melakukan kegiatan RLKTA tidak hanya pada saat kegiatan dilaksanakan namun juga
sampai bertahun-tahun kedepan (Yudono dan Sallata, 2012).
Tanpa adanya pendekatan sosial,ekonomi, budaya dan kelembagaan, kegiatan RKTA
yang selama ini diprogramkan tidak akan berhasil mencapai tujuan lestari. Oleh karena itu
penelitian penerapan teknik RKTA dengan pendekatan partisipatif dari masyarakat sangat
dibutuhkan untuk menjaga penggunaan lahan tidak melebihi daya dukungnya dengan
mempertimbangkan aspek biofisik, sosial dan ekonomi serta budaya terutama di DAS
mikro. Model perancangan penerapan teknik RKTA partisitif perlu dibangun bersama
masyarakat. Metode PRA,RRA dan PAR (Participased Action Researh) digunakan untuk
pendekatan kepada masyarakat sasaran, setelah diperoleh kesepakatan ditentukan lokasi
yang menjadi areal demontrasi plot (demplot) RKTA untuk dibangun bersama.
Untuk menguji dan mengetahui sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat melalui
model perancangan RKTA maka sejak 2010 telah dilakukan pembangunan plot
demonstrasi dengan melibatkan masyarakat secara langsung di Datara, Kelurahan Garassi,
Kecamatan Tinggi Moncong, Kab. Gowa seluas 2 ha dan pada tahun 2011 dibangun di
Mararin, Lembang Pakala, Kecamatan Mengkendek, Kab. Tana Toraja Provinsi Sulawesi
Selatan seluas 2,5 ha. Kegiatan penelitian tahun 2013 merupakan kelanjutan dari penelitian
tahun sebelumnya pada kedua lokasi tersebut terus diadakan pemantauan, pengamatan,
pemeliharaan, pendampingan dan penambahan serta introduksi teknologi RKTA yang
dibutuhkan untuk terbentuknya plot RKTA yang lestari.
Sintesis 2010-2014 | 93
B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan penelitian adalah menyusun model perancangan teknik RKTA partisipatif pada
wilayah DAS mikro dengan membangun demonstrasi plot. Sasaran penelitian adalah:
a. Aplikasi tehnik-tehnik RKTA partisipatif pada demplot wilayah DAS mikro
b. Tersedianya data dan informasi indikator biofisik dan social-ekonomi
C. Luaran
Luaran penelitian adalah :
a. Draf Model perancangan teknik RKTA partisipatif pada DAS mikro
b. Demplot pola-pola RKTA pendektan partisipatif
c. Paket data dan informasi indikator teknik RKTA partisipatif
II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL
PENELITIAN
A. Identifikasi Regulasi yang melatarbelakangi Sbb:
Peraturan perundangan yang digunakan sebagai penuntun penelitian adalah Undangundang no. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No.3888; dalam pasal 2 diamanatkan pemanfaatan SDA sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup secara
seimbang yang pengelolaannya berazaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan,
kebersamaan, keterbukaan,dan keterpaduan. Dalam praktek pengelolaan hutan tidak hanya
berorientasi hasil kayu dan bukan kayu saja tetapi berorientasi pada seluruh potensi hutan
berbasis pada pemberdyaan masyarakat. Ps 3 disampaikan meningkatkan dayadukung
DAS yang meliputi semua aspek baik biopfisik maupun hidrologi.Undang-Undang No.7
Tahun 2004 tentang sumberdaya air, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
4377 yang antara lain mengamanatkan: rehabilitasi hutan dan lahan, dan pelestarian hutan
lindung, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Undang-undang 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.12.
Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daera Kabupaten/Kota; dalam
pelaksanaannya masih cenderung mementingkan kebutuhan sektoral masing-masing yang
membuat pengelolaan DAS semakin carut-marut. Peraturan Pemerintah No.76 Tahun 2008
tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan;Peraturan Pemerintah no. 44 tahun 2004 tentang
perencanaan kehutanan;Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2008 tentang pengelolaan
Sumber daya air; Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2012, tentang Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Tambahan lembaran negara no.5292.Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No.52/Kpts-II/2011 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan;
Keputusan Menteri Kehutanan RI No. Sk.163/Menhut-II/2009 tentang Roadmap Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025. Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor
SK.323/Menhut-II/2009 tentang penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dalam
rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah(RPJM) Tahun 2010-2014.
Sintesis 2010-2014 | 94
B. Analisis Kebutuhan Penelitian
Upaya mewujudkan pengelolaan DAS yang tepat terutama untuk menekan erosi dan
mengurangi sedimentasi serta pemenuhan kebutuhan air, maka peraturan perundangan
tersebut diatas perlu ditindaklanjuti didalam bidang penelitian dan pengembangan untuk
menemukan teknologi yang dapat mendukung khususnya teknologi konservasi tanah dan
air yang sesuai dengan kondisi biofisik wilayah yang efektif, efisien dan dapat diterima
oleh masyarakat sekitarnya.Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya,
saat ini banyak terjadi akibat desakan kebutuhan masyarakat yang semakin padat akan
meningkatkan kerusakan lingkungan. Sehubungan dengan itu rancangan penelitian perlu
mengakomodasi perioritas kebutuhan masyarakat baik jangka pendek maupun jangka
panjang dengan mempertimbangkan karakteristik lingkungan yang ada. Dengan
keterbatasan dana dan daya maka kebijakan kementerian kehutanan telah mengatur skala
perioritas baik lokasi DAS berdasarkan tingkat kekritisan maupun kegiatan penelitian
berdasarkan kebutuhan teknologi dalam raodmap penelitian. DAS mikro yang menjadi
lokasi penelitian merupakan unit terkecil dalam pengelolaan DAS namun sampai saat ini
belum ada standar pengelolaan yang baik.
III. SINTESIS HASIL PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Waktu Penelitian. Kegiatan Penelitian ini direncanakan untuk dilakukan lima tahun
(multiyears) yang dimulai 2010 sampai 2014.
Lokasi. Tempat pelaksanaan penelitian tahun 2010 berlokasi pada DAS Mikro Datara
termasuk Sub DAS Jeneberang Kabupaten Gowa dan pada tahun 2011 dibangun di DAS
Mikro Mararin bagian dari SubDAS Saddang Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi
Selatan.
Rancangan Penelitian. Untuk merumuskan teknologi dan kelembagaan Rehabilitasi dan
konservasi tanah dan air (RKTA) dengan pendekatan partisipatif maka dibutuhkan
pengetahuan mengenai : 1) karakter penduduk, 2) karakter tanah, 3) karakter iklim dan
altitude, 4) karakter topografi, 5) karakter fungsi lahan, 6) karakter kelembagaan, 7)
karakter kebijakakan, 8) karakter pasar. Metode participatory rural appraisal (PRA), rapid
rural appraisal (RRA) digunakan untuk pendekatan kepada masyarakat sasaran. Untuk
membimbing kelompok, teknik RKTA telah dibangun secara partsipatif dalam demplot
seluas 2 ha pada DAS mikro Datara (Sub Das Jeneberang) dan 2,5 ha pada DAS mikro
Mararin (SubDas Saddang).
B. Hasil Penelitian
Untuk menguji dan mengetahui sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat melalui
model perancangan RKTA maka telah dilakukan pembangunan plot demonstrasi
(DEMPLOT) pada 2010 di Datara. Rancangam model RKTA yang diujicoba-kan terdiri
atas komponen partisipasi masyarakat, tanaman kayu-kayuan, tanaman kebutuhan pakan
ternak, dan kebutuhan pangan sehari-hari.
Sintesis 2010-2014 | 95
Hasil komunikasi dengan masyarakat terbentuk kelompok tani turbin sipakainga’
dengan anggota 48 KK. Terdapat 6 KK yang secara sukarela memberi lahannya untuk
dijadikan lokasi DEMPLOT. Berdasarkan hasil kesepakatan dalam rapat kelompok untuk
kebutuhan kayu disepakati dan telah ditanam 197 bibit Mahoni (Switenia mahagoni) dan
300 bibit Suren (Taona sinensis) serta 800 bibit rumput untuk kebutuhan pakan ternak.
Selain itu mereka tetap memelihara tanaman kopi dan kakao yang telah ditanam
sebelumnya. Lahan pada kelerengan dalam demplot secara bertahap dibangun teras gulut.
Perkembangan tingkat partisipasi masyarakat pada awalnya tidak 100%, untuk semua
kegiatan dalam demplottetapi sesuai kemampuan dan tidak merasa rugi baik tenaga
maupun lahan untuk demplot atau tahap “co-operative” (Syahyuti, 2006). Untuk
meningkatkan partisipasi lebih tinggi diperlukan faktor pemicu yang lebih tinggi
manfaatnya bagi masyarakat yaitu listrik mikrohidro. “Figur yang dihormat”i sangat
diperlukan untuk memicuh keaktifan kelompok.
Pengolahan lahan pada musim hujan dapat meningkatkan laju sedimentasi dari 55%80% di saluran air (Gullyplug) yang lebih lanjut akan masuk ke sungai utama DAS.
Disarankan tidak membangun terasering pada musim hujan karena dapat meningkatkan
sedimentasi pada sungai-sungai.
Pada tahun 2011 selain melanjutkan kegiatan demplot di DAS Mikro Datara juga
membangun Demplot di DAS mikro Mararin dengan hasil yaitu tingkat partisipasi
masyarakat yang muncul bervariasi dari sedang sampai tinggi (60%-95%) pada kedua
lokasi.
Partisipasi nampaknya banyak dipengaruhi oleh besarnya manfaat yang akan diperoleh
dari hasil kegiatan. Teknik Konservasi tanah berupa bangunan teras dan tanaman rumput
serta tanaman pohon-pohonan secara bertahap mempengaruhi runoff dan erosi ditunjukkan
oleh ketebalan sedimentasi pada gullyplug semakin berkurang dan debit aliran fuktuasinya
semakin stabil. Untuk meningkatkan partisipasi yang lebih tinggi diperlukan pemicu yang
lebih tinggi manfaat bagi masyarakat misalnya listrik mikrohidro dan wibawa figur ketua
kelompok.
Hasil penelitian tahun 2012 pada tingkat partisipasi masyarakat yang muncul belum
juga 100 % bahkan ada kegiatan yang menurun partisipasinya mencapai tingkat rendah
yaitu penglolahan lahan. Untuk kedua lokasi tingkat partisipasi muncul mulai dari tingkat
rendah, sedang sampai tinggi. Tingkat partisipasi yang tergolong tinggi adalah partisipasi
perseorangan pada kegiatan pemeliharaan rumput pada bibir teras karena didorong oleh
kebutuhan pakan ternak. Terjadi kesan “kejenuhan” atau “kebingungan” pada anggota
kelompok dalam melakukan kegiatan dalam kebunnya masing-masing. Sangat terbukti
listrik mikrohidro sebagai faktor pendorong yang tinggi karena dalam tahun 2012 ada
beberapa bulan Turbin tidak jalan akibat faktor teknis.
Tingkat perkembangan tanaman pohon semakin tinggi untuk tanaman suren telah
mencapai tinggi rata-rata 108,35 cm dengan diameter rata-rata 17,32 mm serta lebar tajuk
rata-rata 91,7 cm dan untuk tanaman mahoni mencapai tinggi rata-rata 108,10 cm dengan
diameter 18,94 mm serta lebar tajuk 74,25 cm. Demikian juga tingkat penutupan lahan
secara bertahap berpengaruh terhadap erosi dan limpasan permukaan dengan angka stabil.
Sintesis 2010-2014 | 96
Hasil penelitian sampai tahun 2013 sebagai berikut:
Tingkat partisipasi yang muncul ternyata memberikan respon berbeda dari masyarakat
sasaran. Hal tersebut terutama dipengaruhi oleh kebiasaan lokal masyarakat yang pada
umumnya menjadi patokan atau pegangan dalam memutuskan kegiatan baik kelompok
maupun perorangan. Tingkat partisipasi masyarakat yang muncul masih tetap bervariasi
dari rendah, sedang sampai tinggi pada kedua lokasi. Hanya 40% partisipasi individu
dalam demplot di datara dan partisipasi kelompok turun menjadi 60% sedang di Mararin
partisipasi indvidu dalam demplot 50% sedang kelompok hanya 30% sepanjang 2013.
Partisipasi nampaknya banyak dipengaruhi oleh besarnya manfaat yang akan diperoleh dari
hasil kegiatan yang dilaksanakan.
Teknik Konservasi tanah berupa bangunan teras dan tanaman rumput serta tanaman
pohon-pohonan secara bertahap telah mempengaruhi runoff dan erosi ditunjukkan oleh
ketebalan sedimentasi pada gullyplug dan bak penampung semakin berkurang dan debit
aliran fuktuasinya semakin stabil. Rata-rata penurunan petambahan lapisan sedimen
dibandingkan tahun sebelumnya bervariasi 45–65 %. Pelaksanaan kegiatan dalam demplot
merupakan hasil kegiatan kelompok yang terbentuk, sehingga perkembangan tanaman dan
kegiatan secara keseluruhan dalam demplot dapat menggambarkan perilaku anggota
kelompok.
Untuk meningkatkan partisipasi yang lebih tinggi diperlukan pemicu yang lebih tinggi
manfaat bagi masyarakat misalnya listrik mikrohidro. Menurut Syahyuti (2006), bahwa
yang dimaksud “partisipasi” adalah proses tumbuhnya kesadaran terhadap kesalinghubungan di antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat yaitu antara kelompokkelompok sosial dan komunitas dengan pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga jasa
lain.
Sehubungan dengan itu maka yang dimaksud penelitian “Perancangan Model RKTA
Partisipatif” disini yaitu proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh
keputusan subtansial yang berkenaan dengan kehidupan mereka. Jadi, dalam partisipasi,
siapapun yang terlibat didalam kegiatan dapat memainkan peranan secara aktif, memiliki
control terhadap kehidupannya sendiri, mengambil peran dalam kegiatan yang disepakati
serta menjadi lebih terlibat dalam kegiatan model RKTA partisipatif yang sedang
dilaksanakan. Tujuan akhir dari seluruh rangkaian penelitian “Perancangan Model RKTA
Partisipatif” adalah adanya perubahan perilaku dari masyarakat yang dilibatkan terutama
pada tiga aspek yaitu pengetahuan (aspek kognitif), sikap (sikap afektif) dan keterampilan
(aspek psikomotorik). Dengan kata lain bertambahnya perbendaharaan informasi,
tumbuhnya keterampilan serta timbulnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai
dengan yang dikehendaki (Yustina dan Sudrajat.2003).
Berdasarkan pengamatan berjalannya proses penelitian pada kedua lokasi yaitu
“Datara” dan “Mararin” terdapat hal-hal penting yang merupakan faktor penentu
munculnya partisipasi pada masyarakat yang dilibatkan yaitu:
1. Perlu faktor pendorong; partisipasi masyarakat akan tumbuh cepat apabila terdapat
faktor/unsur yang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka misalnya listrik bersumber
dari pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH), bibit tanaman yang mereka harapkan
memberi manfaat yang besar. Hal ini berdasarkan pengamatan pada kedua lokasi
Sintesis 2010-2014 | 97
demplot. Keaktifan kelompok sangat dipengaruhi oleh adanya pasokan listrik mikro
hidro, apabila turbin berjalan baik maka keaktifan kelompok juga berjalan baik dan
sebaliknya turbin rusak akan mempengaruhi keaktifan kelompok.Demikan juga jenis
tanaman yang ditanam baik didemplot maupun yang dibagikan kepada anggota
kelompok ,ternyata dapat menggairahkan semangat mereka apabila diberi jenis
tanaman sesuai yang diharapkan mereka.
2. Perlu figur yang disegani anggota; partisipasi masyarakat akan tumbuh dan
berkelanjutan apabila terdapat figur dalam kelompok yang mempunyai charisma,
disegani dan dihormati serta berperan mendorong terjadinya kerjasama misalnya kerjagotongroyong, hadiri pertemuan kelompok. Adanya figur ketua kelompok (Dg jarum)
di Datara yang dapat mendorong keaktifan anggota kelompok, sebaliknya tidak adanya
figur di Mararin yang menjadi panutan sehingga anggota kelompok menjadi malas
bertemu karena figur yang pernah menjadi pendorong pindah tugas karena menjadi
PNS (peawai negeri sipil) di Lembang lain dan yang menggantikan ternyata tidak
mempunyai kapasitas seperti figure sebelumnya.
3. Perlu insentif baik berupa jasa maupun modal; partisipasi masyarakat akan tumbuh
baik apabila mereka mendapat jasa dan modal kerja yang cukup misalnya jasa listrik
dari Turbin PLMH, modal bibit tanaman yang dibutuhkan, dan teknologi pembuatan
pupuk kompos. Mereka tetap berharap adanya dukungan dari pemerintah berupa jasa
maupun modal dalam menggerakkan segala aktivitasnya.
4. Membuat terasering pada musim hujan meningkatkan sedimentasi; berasarkan hasil
pengamatan pada gullyplug dan V-notche wier yang dipasang bagian bawah daerah
tangkapan (Catchment area) dapat diketahui peningkatan ketebalan sedimentasi dalam
sungai akibat erosi yang terjadi pada bagian hulu yang sementara dibangun terasering.
Dapat dimengerti karena partikel tanah terlepas mudah dibawa oleh aliran permukaan
seperti yang terjadi di Datara awal pembentukan demplot 2010 karena kegiatan dipacuh
meskipun saat itu musim hujan untuk memenuhi target.
5. Pembuatan teras gulud (contour terrace) pada kemiringan lereng > 45% efektif
mengurangi erosi apabila ditanami rumput pakan ternak pada bibir teras, dari
pengamatan dapat diketahui bahwa teras pematang yang sederhana yang ditanami
pakan ternak berupa rumput gajah pada bibir teras dapat mengurangi erosi tanah pada
kemiringan lereng > 45 %. Hasil pengamatan pada kedua demplot dapat memberikan
gambaran bahwa sedimen yang terjadi pada gullyplug menjadi menurun karena adanya
pertumbuhan rumput yang cepat menutup teras.
6. Masyarakat sasaran harus menjadi subjek dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.
Partisipasi masyarakat mempunyai semangat kerja yang tinggi apabila dalam
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan mereka dilibatkan dan mengakomodir semua
kepentingannya, namun sesuai dengan kondisi lingkungannya.
7. Masyarakat membutuhkan hasil sebagai bukti kegiatan. Terbagunnya teras pematang
yang sederhana,efisien, efektif, hemat tenaga dan ditumbuhi rumput pakan ternak
dengan biaya yang murah terbukti dapat mengurangi erosi dan runoff dibandingkan
Sintesis 2010-2014 | 98
teras bangku yang selama ini diwajibkan dibangun pada kemiringan lereng > 30% yang
membutuhkan biaya tinggi. Mereka dapat menjawab berapa hasil yang telah didapatkan
walaupun mereka tidak merasakan berapa modal yang dimasukkan.
8. Masyarakat masih membutuhkan pendampingan yang secara kontinyu. Masyarakat
sangat mudah terombang-ambing dengan issu kegiatan yang datang ke desanya
sehingga sangat mudah berubah pola pikirnya, oleh karena itu diperlukan pendamping
yang dapat memberi pengertian untuk tidak mudah berubah terutama dalam
melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan oleh kelompok.
IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN
A. Metode (Tehnik, procedure, dll)
Tehnik pendekatan dalam implementasi hasil penelitian RKTA untuk membangun
pastisipasi masyarakat sasaran dengan mengikuti prosedur yang telah dilaksanakan dalam
penelitian ini yaitu: memperkenalkan teknologi KTA yang akan digunakan dengan hasil
yang akan dicapai melalui metode PRA dan RRA baik kepada aparat pemerintah setempat
maupun masyarakat tani yang menjadi sasaran.Apabila masyarakat sasaran telah sepakat
dan setuju untuk menerima dan melibatkan diri dalam kegiatan RKTA.
Untuk mempermudah komunikasi disarankan membentuk kelompok, kalau belum ada
atau menggabungkan program kedalam program kelompok yang telah ada sebelumnya.
Prosedur yang digunakan dalam implementasi hasil penelitian RKTA adalah melalui
kelompok tani yang telah terbentuk disesepakati dan diputuskan untuk melaksanakan
teknik konservasi tanah dan air secara vegetatif dan mekanik. Melakukan teknik koservasi
tanah dan air secara vegetatif menurut hasil penelitian ini adalah menanam jenis Mahoni
dan Suren (sesuai kebutuhan masyarakat dan kesesuaian lahan) sebagai penghasil kayu
bangunan, menanam rumput untuk penghasil pakan ternak, menanam tanaman pangan dan
kopi kakao (jenis tanam perkebunan) untuk kebutuhan harian dan ekonomi berupa uang
belanja harian.
Untuk teknik konservasi tanah dan air secara mekanis dibagun teras gulud mengikuti
garis kontour pada lahan miring untuk mengendalikan aliran permukaan dan erosi tanah,
membuat saluran pembuangan air (SPA).Pemanfaatan bahan dari materi sederhana yang
banyak tersedia disekitar lokasi misalnya batang bambu dan batang gamal seperti dalam
penelitian ini untuk tulang teras dan SPA. Pemanfaatan rumput hasil pembersihan dan
semak belukar yang telah ditebas menjadi potong-potongan pendek sebagai mulsa untuk
menambah bahan organik tanah. Membangun bendungan kecil (gullyplug) dalam saluran
air sebagai pengendali sedimen dengan memasang stik besi yang berskala pada bagian
genangan untuk mengetahui dampak kegiatan pengelolaan lahan pada sedimentasi. Untuk
menjadi bahan monitoring petani (self monitoring) pengelola hanya dengan melihat
ketebalan sedimen dalam bendungan maka mereka mengetahui langsung dampak
kegiatannya terhadap sedimentasi.
B. Input Kebijakan
Penerapan teknik konsevasi tanah dan air yang dilaksanakan dengan mengikuti DAS
Prioritas sesuai Keputusan Menteri Kehutanan RI No.SK.323/Menhut-II/2009 belum
Sintesis 2010-2014 | 99
sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat karena lemahnya
kelembagaan pengelola DAS mikro. Pemanfaatan DAS mikro sebagai unit terkecil dalam
hierarki pengelolaan DAS perlu diperjelas kelembagaannya melalui kebijakan pemerintah
sehingga penerapan teknik konservasi tanah dan air lebih mendekati kepada kondisi
biofisik dan sosial ekonomi masyarakat.
C. Produk (formula dll)
Model Partisipatif RLKTA pada DAS Mikro Jeneberang dan Saddang yang didasari
oleh 8 (delapan) karakter yaitu kondisi penduduk termasuk kebutuhannnya, kondisi
topographi, kondisi iklim termasuk ketinggian tempat, jenis tanaman, fungsi lahan,
kebijakan, pasar dan kelembagaan masyarakat untuk menemukan paling tidak 5 (lima)
kesesuaian lahan, kesesuaian jenis tanaman, kesesuaian sosial-budaya, kesesuaian pasar,
dan kesesuaian kelembagaan. Model yang telah terbangun dapat diimplementasi didaerah
yang membutuhkan hanya ada penyesuaian jenis tanaman dan kebutuhan masyarakat.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pengamatan berjalannya proses penelitian pada kedua lokasi yaitu
“Datara” dan “Mararin” terdapat hal-hal penting yang merupakan faktor penentu
munculnya partisipasi pada masyarakat yang dilibatkan yaitu:
a. Perlu faktor pendorong; partisipasi masyarakat akan tumbuh cepat apabila terdapat
faktor/unsur yang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka misalnya listrik bersumber
dari pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH), bibit tanaman yang mereka harapkan
memberi manfaat yang besar.
b. Perlu figur yang disegani anggota; partisipasi masyarakat akan tumbuh dan
berkelanjutan apabila terdapat figur dalam kelompok yang mempunyai charisma,
disegani dan dihormati serta berperan mendorong terjadinya kerjasama misalnya kerjagotongroyong, hadiri pertemuan kelompok.
c. Perlu insentif baik berupa jasa maupun modal; partisipasi masyarakat akan tumbuh baik
apabila mereka mendapat jasa dan modal kerja yang cukup misalnya jasa listrik dari
Turbin PLMH, modal bibit tanaman yang dibutuhkan, dan teknologi pembuatan pupuk
kompos. Mereka tetap berharap adanya dukungan dari pemerintah berupa jasa maupun
modal dalam menggerakkan segala aktivitasnya.
d. Membuat terasering pada musim hujan meningkatkan sedimentasi; berasarkan hasil
pengamatan pada gullyplug dan V-notche wier yang dipasang bagian bawah daerah
tangkapan (Catchment area) dapat diketahui peningkatan ketebalan sedimentasi dalam
sungai akibat erosi yang terjadi pada bagian hulu yang sementara dibangun terasering.
e. Pembuatan teras gulud (contour terrace) pada kemiringan lereng > 45% efektif
mengurangi erosi apabila ditanami rumput pakan ternak pada bibir teras, dari
pengamatan dapat diketahui bahwa teras pematang yang sederhana yang ditanami pakan
ternak berupa rumput gajah pada bibir teras dapat mengurangi erosi tanah pada
kemiringan lereng > 45 %.
f. Masyarakat sasaran harus menjadi subjek dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.
Partisipasi masyarakat mempunyai semangat kerja yang tinggi apabila dalam
Sintesis 2010-2014 | 100
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan mereka dilibatkan dan mengakomodir semua
kepentingannya, namun sesuai dengan kondisi lingkungannya.
g. Masyarakat membutuhkan hasil sebagai bukti kegiatan. Terbagunnya teras pematang
yang sederhana,efisien, efektif, hemat tenaga dan ditumbuhi rumput pakan ternak
dengan biaya yang murah terbukti dapat mengurangi erosi dan runoff dibandingkan
teras bangku yang selama ini diwajibkan dibangun pada kemiringan lereng > 30 % yang
membutuhkan biaya tinggi. Mereka dapat menjawab berapa hasil yang telah didapatkan
walaupun mereka tidak merasakan berapa modal yang dimasukkan.
h. Masyarakat masih membutuhkan pendampingan yang secara kontinyu. Masyarakat
sangat mudah terombang-ambing dengan issu kegiatan yang datang ke desanya
sehingga sangat mudah berubah pola pikirnya, oleh karena itu diperlukan pendamping
yang dapat memberi pengertian untuk tidak mudah berubah terutama dalam
melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan oleh kelompok.
KESESUAIAN LAHAN
UNTUK KONSERVASI
TANAH TERTENTU
KARAKTER
PENDUDUK
POTENSI MEKANIK
TANAH
ANALISIS BENTUK,
PANJANG DAN
KEMIRINGAN LERENG
KARAKTER IKLIM
DAN ALTITUDE
KARAKTER
TOPOGRAFI
ANALISIS CH
FUNGSI BUDIDAYA
ANALISIS MEKANIK
TANAH
ANALISIS
KEPENDUDUKAN
ANALISIS
PENDAPATAN
ANALISIS SUHU
KARAKTER TANAH
ANALISIS KONSUMSI
DASAR
ANALISIS SOSIAL
BUDAYA/ ADAT
ISTIADAT
PREDIKSI
KEPENTINGAN
FUNGSI LINDUNG
ANALISIS
KECEPATAN ANGIN
ANALISIS FISIKA,
BIOLOGI DAN
KIMIA TANAH
ALTITUDE
POTENSI FISIKA,
BIOLOGI DAN
KIMIA TANAH
KESESUAIAN LAHAN
UNTUK TANAMAN
TERTENTU
KARAKTER
FUNGSI LAHAN
PREDIKSI KEBUTUHAN
ATURAN
PERUNDANGAN
KESESUAIAN SOSIAL
BUDAYA/
KEPENTINGAN/ DAN
KEBUTUHAN
KOMODITAS
UNGGULAN
KARAKTER
KEBIJAKAN
TATA RUANG
RLKTA PARTISIPATIF
KESESUAIAN PASAR
UNTUK TANAMAN
TERTENTU
PERMINTAAN/
PENYEDIAAN
KOMODITAS
POTENSIAL
KESESUAIAN
KELEMBAGAAN
UNTUK KEGIATAN
TERTENTU
KARAKTER
KELEMBAGAAN
KARAKTER
PASAR
HARGA-HARGA
Pedekatan partsipatif dalam penerapan model RKTA pada DAS Mikro.
Sintesis 2010-2014 | 101
DAFTAR PUSTAKA
Yudono, H.SHN .2010. Perancangan Model RLKT dengan Pendekatan Sosial Forestry di
Gowa (Sulawesi Selatan) dan Mamasa (Sulawesi Barat). Prosiding Hasil-Hasil
Litbang Mendukung Rehabilitasi dan Konservasi Hutan Untuk Kesejahteraan
Masyarakat, Makassar 22 Juni 2010. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.
Bogor.
Suyuthi. 2006. Tiga puluh (30) konsep dalam pembangunan pedesaan dan pertanian,
konsep, istilah dan indikator serta variabel. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.
Sintesis 2010-2014 | 102
JUDUL PENELITIAN : Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi
Hutan dan Lahan Wilayah DAS Mahakam (2011)
Strategi Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Wilayah DAS Mahakam
(2012) Pembangunan Model Kemitraan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan di KHDTK Samboja (2013-2014)
PELAKSANA
: FAIQOTUL FALAH, S.Hut, M.Si
INSTANSi
: BALAI PENELITIAN KEHUTANAN SAMBOJA
I.
PENDAHULUAN
A. Identifikasi Regulasi yang ada
No
Peraturan
1. Peraturan Presiden RI No 89/2003
2. Peraturan Pemerintah No 76 Tahun 2008
3. Permenhut RI No P.70/Menhut-II/2008
diubah dengan Permenhut RI No
P.26/Menhut-II/2010
4. Permenhut RI No P.32/Menhut-II/2009
diubah dengan Permenhut RI No
P.35/Menhut-II/2010
5. Permenhut RI No P.37/Menhut-II/2010
6.
Permenhut RI No P.39/Menhut-II/2010
7.
8.
9.
Permenhut RI No P.12/Menhut-II/2011
Permenhut RI No P.61/Menhut-II/2011
Permenhut RI No P.42/Menhut-II/2012
10. Permenhut RI No P.46/Menhut-II/2012
11. Permenhut RI No P.3/Menhut-II/2012
12. Permenhut RI No P.14/Menhut-II/2012
13. Permenhut RI No .14/Menhut-II/2012
14. Permenhut No P.18/Menhut-II/2012
Perihal
Gerakan Nasional RHL
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
Pedoman Teknis RHL
Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik RHL
DAS
Tata Cara Penyusunan Rencana Rehabilitasi
dan Reklamasi Lahan
Pola Umum, Kriteria, dan Standar
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
Pedoman Penyelenggaraan RHL tahun 2011
Panduan Penanaman Satu Miliar Pohon
Penyuluh Kehutanan Swasta dan Penyuluh
Kehutanan Swadaya Masyarakat
Metode dan Materi Penyuluhan Masyarakat
Rencana Kerja pada Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat
Pedoman Penyelenggaraan RHL 2012
Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat
Ganti Rugi Hasil RHL
B. Analisis Kebutuhan Penelitian
1.
2.
3.
Kajian Kebijakan Teknis Penyelenggaraan RHL yang Bersumber dari Dana
Pemerintah di Lahan Milik ( Perencanaan, Penanaman, Pemeliharaan, Evaluasi, dan
Monitoring)
Kajian Kebijakan Tata Niaga Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu Hutan Tanaman
Rakyat
Analisis Kebutuhan Bimbingan Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Sintesis 2010-2014 | 103
II. KEBIJAKAN
PENELITIAN
KEMENTERIAN
KEHUTANAN
TERKAIT
JUDUL
A. Identifikasi Regulasi yang ada
No
Peraturan
1. Permenhut RI No P.70/MenhutII/2008
diubah dengan Permenhut RI No
P.26/Menhut-II/2010
2. Permenhut RI No P.32/MenhutII/2009
diubah dengan Permenhut RI No
P.35/Menhut-II/2010
3. Permenhut RI No P.37/MenhutII/2010
4.
Permenhut RI No P.39/MenhutII/2010
5.
6.
7.
Permenhut RI No P.12/MenhutII/2011
Permenhut RI No P.61/MenhutII/2011
Permenhut RI No P.42/MenhutII/2012
8.
9.
Permenhut RI No P.46/MenhutII/2012
Permenhut RI No P.3/Menhut-II/2012
10. Permenhut RI No P.14/MenhutII/2012
11. Permenhut RI No .14/Menhut-II/2012
12. Permenhut RI No P.70/MenhutII/2008
diubah dengan Permenhut RI No
P.26/Menhut-II/2010
Perihal
Pedoman Teknis RHL
Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik RHL DAS
Tata Cara Penyusunan Rencana Rehabilitasi dan
Reklamasi Lahan
Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi
dan Reklamasi Hutan
Pedoman Penyelenggaraan RHL tahun 2011
Panduan Penanaman Satu Miliar Pohon
Penyuluh Kehutanan Swasta dan Penyuluh
Kehutanan Swadaya Masyarakat
Metode dan Materi Penyuluhan Masyarakat
Rencana Kerja pada Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat
Pedoman Penyelenggaraan RHL 2012
Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat
Pedoman Teknis RHL
B. Analisis Kebutuhan Penelitian (Rancangan Penelitian)
Topik
Metode
Kajian Kebijakan Teknis Penyelenggaraan
RHL yang Bersumber dari Dana Pemerintah di
Lahan Milik
Kajian Kebijakan Tata Niaga Hasil Hutan
Kayu dan Non Kayu Hutan Tanaman Rakyat
Studi pustaka, wawancara parapihak untuk
mengetahui kesenjangan implementasi,
penyusunan strategi dengan SWOT, AHP
Studi pustaka, wawancara parapihak mengenai
kesenjangan implementasi dan jalur tata niaga,
penyusunan strategi dengan SWOT, AHP
Studi pustaka, wawancara parapihak mengenai
kebutuhan metode, materi dan jumlah penyuluh,
penyusunan strategi dengan SWOT, AHP
Analisis Kebutuhan Bimbingan Teknis
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
III. KEBIJAKAN
PENELITIAN
KEMENTERIAN
KEHUTANAN
TERKAIT
A. Identifikasi Regulasi yang ada
No
Peraturan
1. Permenhut RI No P.70/MenhutII/2008
diubah dengan Permenhut RI No
P.26/Menhut-II/2010
Sintesis 2010-2014 | 104
Perihal
Pedoman Teknis RHL
JUDUL
No
Peraturan
2. Permenhut RI No P.32/MenhutII/2009
diubah dengan Permenhut RI No
P.35/Menhut-II/2010
3. Permenhut RI No P.37/MenhutII/2010
4.
Permenhut RI No P.39/MenhutII/2010
5.
6.
7.
Permenhut RI No P.12/MenhutII/2011
Permenhut RI No P.61/MenhutII/2011
Permenhut RI No P.42/MenhutII/2012
8.
9.
Permenhut RI No P.46/MenhutII/2012
Permenhut RI No P.3/Menhut-II/2012
10. Permenhut RI No P.14/MenhutII/2012
11. Permenhut RI No .14/Menhut-II/2012
12. Permenhut RI No P.70/MenhutII/2008
diubah dengan Permenhut RI No
P.26/Menhut-II/2010
Perihal
Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik RHL
DAS
Tata Cara Penyusunan Rencana Rehabilitasi
dan Reklamasi Lahan
Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi
dan Reklamasi Hutan
Pedoman Penyelenggaraan RHL tahun 2011
Panduan Penanaman Satu Miliar Pohon
Penyuluh Kehutanan Swasta dan Penyuluh
Kehutanan Swadaya Masyarakat
Metode dan Materi Penyuluhan Masyarakat
Rencana Kerja pada Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat
Pedoman Penyelenggaraan RHL 2012
Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat
Pedoman Teknis RHL
B. Analisis Kebutuhan Penelitian (Rancangan Penelitian)
Topik
Metode
Kajian Kebijakan Teknis
Penyelenggaraan RHL yang Bersumber
dari Dana Pemerintah di Lahan Milik
Kajian Kebijakan Tata Niaga Hasil Hutan
Kayu dan Non Kayu Hutan Tanaman
Rakyat
Analisis Kebutuhan Bimbingan Teknis
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Studi pustaka, wawancara parapihak untuk
mengetahui kesenjangan implementasi, penyusunan
strategi dengan SWOT, AHP
Studi pustaka, wawancara parapihak mengenai
kesenjangan implementasi dan jalur tata niaga,
penyusunan strategi dengan SWOT, AHP
Studi pustaka, wawancara parapihak mengenai
kebutuhan metode, materi dan jumlah penyuluh,
penyusunan strategi dengan SWOT, AHP
IV. SINTESIS HASIL PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Waktu Penelitian
2011
2012
Lokasi Penelitian
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai
Timur, Kabupaten Kutai Barat
Rancangan
Penelitian
Survey persepsi
parapihak mengenai
RHL yang telah
dilaksanakan untuk
mengetahui tingkat
partisipasi dan faktorfaktor yang
berpengaruh
Wawancara
persepsi parapihak
mengenai opsi jenis,
pola tanam, lokasi
tanam, bimbingan
teknis, dan perjanjian
kemitraan
2013
Desa Semoi Dua
Kec. Sepaku Kab.
Penajam Paser Utara
Pembangunan model
kemitraan rehabilitasi
hutan dengan masyarakat di KHDTK
Samboja
Sintesis 2010-2014 | 105
V. HASIL PENELITIAN
A. Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Wilayah
DAS Mahakam (2011)
Berdasarkan tahapan yang diikuti, tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL
di wilayah DAS Mahakam merupakan partisipasi fungsional (berpartisipasi tidak dalam
seluruh tahapan), yaitu tinggi pada tahap perencanaan lokasi, penanaman, pemeliharaan,
dan pemanfaatan hasil, bertingkat sedang untuk perencanaan jenis, pola dan jarak tanam,
rendah pada tahap perencanaan anggaran, serta monitoring dan evaluasi kegiatan.
Berdasarkan jenis pendekatan termasuk dalam induced participation (partisipasi dengan
dorongan/arahan dan berdasarkan iming-iming/imbalan). Sementara strategi partisipasi
yang digunakan selama ini cenderung pada strategi kekuasaan
Faktor-faktor internal seperti usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan luas
lahan ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap keberhasilan RHL. Faktor-faktor internal
yang berpengaruh terhadap keberhasilan RHL antara lain : 1) nilai budaya bertani yang
dianut (budaya mengolah tanh, menanam dan memelihara tanaman secara intensif, budaya
pemanfaaatan lahan kososng serta budaya produktif/pemanfaatan waktu luang); 2)
pengetahuan tentang fungsi dan teknik RHL; dan 3) adanya nilai/tradisi memelihara
sumber air dengan jalan memelihara hutan. Faktor eksternal yang berpengaruh adalah : 1)
kondisi internal kelompok tani; 2) adanya bimbingan; dan 3) kebijakan tata ruang
pemerintah daerah setempat.
Sebagian responden (94,9%) melaksanakan kegiatan RHL karena motif ekonomi,
hanya 5,1% yang bermotifasi melestarikan hutan/sumber air.
Hasil penelitian di atas mengenai faktor tingkat pendidikan dan pendapatan yang tidak
signifikan mempengaruhi keberhasilan RHL ternyata tidak sesuai dengan pendapat
Sastropoetro (1988) dan Pangesti (1995) yang diacu oleh Setyowati (2010). Namun
Sastropoetro (1988) juga menyatakan bahwa program pembangunan pemerintah
menentukan keberlanjutan partisipasi masyarakat. Sementara Pangesti (1995) juga
menyatakan bahwa kegiatan penyuluhan mempengaruhi partisipasi masyarakat
Perlu mengubah strategi peningkatan partisipasi menjadi strategi fasilitas dan edukasi
sesuai dengan strategi pemberdayaan masyarakat menurut Harper (1995 dalam Trison
2005).
B. Strategi Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan
Lahan Wilayah DAS Mahakam (2012)
Strategi fasilitasi dan edukasi memerlukan fasilitator lokal, materi bimbingan meliputi
penguatan kelompok, teknik penanaman, pemeliharaan, pemanenan, budidaya, dan
pemasaran, metode lisan dan tertulis, 30% teori dan 70 % praktek, ada plot percontohan
Pola tanam yang paling diminati adalah jenis karet sebagai tanaman pokok dan
tanaman kayu dan buah-buahan sebagai tanaman tepi, dengan prioritas lokasi RHL pada
lahan sepanjang tepi sungai dan berlereng curam
Ketentuan kerja sama: a) volume target adalah jumlah tanaman yang tumbuh setelah
tiga tahun tanam b) jumlah anggota kelompok tani 5-10 orang; c) berada pada lokasi lahan
kritis, ada bukti penguasaan lahan, biaya ganti rugi tanam tumbuh apabila terjadi alih
Sintesis 2010-2014 | 106
fungsi lahan; d) jangka waktu bantuan minimal 4 tahun; e) bantuan swakelola, besarnya
dana swadaya masyarakat minimal 40% anggaran; f) monitoring dan evaluasi setiap 6
bulan selama masa pemeliharaan; g) hasil penanaman 100% untuk petani
C. Pembangunan Model Kemitraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di KHDTK
Samboja (2013-2014)
Dalam proses pembangunan model kemitraan rehabililitasi hutan di KHDTK Hutan
Penelitian Samboja, proses pendekatan ke masyarakat mengalami hambatan karena
tekanan sosial yang tinggi akibat konflik perambahan, sement[ara target luasan dan waktu
tetap harus dipenuhi (sebagai proyek pemerintah). Dilaksanakan penanaman KHDTK
Hutan Penelitian Samboja yang telah dirambah seluas 10 hektar. Jenis-jenis yang ditanam
pada areal model adalah kesepakatan tim peneliti Balitek KSDA KSDA dan anggota
kelompok tani yaitu jenis yang bisa diambil manfaat non kayunya (karet, lai, kemiri), jenisjenis tanaman kayu (ulin, gaharu, dan agathis), dengan tanaman sela padi gunung
Surat Perjanjian Kemitraan ditandatangani oleh Kepala Balitek KSDA, sedang Pihak
Kedua adalah petani warga Desa Semoi Dua (perorangan), antara lain berisi kesepakatan
berikut : a) Tujuan kerja sama adalah menjalin mitra kerja untuk merehabilitasi dan
memelihara, serta melindungi kawasan hutan sekaligus meingkatkan penghasilan
masyarakat serta produktivitas kawasan hutan; b) Lokasi lahan rehabilitasi berada di
wilayah KHDTK Hutan Penelitian Samboja, seluas 1 (satu) sampai 1,5 hektar. Pihak
Kedua telah membuka lahan tersebut untuk berladang sebelum kegiatan penelitian
dilakukan. Lahan tetap dalam status hukum semula, dan Pihak Kedua dilarang memperluas
pembukaan lahan di KHDTK Samboja
Hasil analisis finansial menunjukkan potensi pendapatan dari hasil hutan non kayu
sebesar Rp 3.196.869.820 per hektar selama 25 tahun, dengan biaya pembangunan model
untuk bahan lapangan dan tenaga kerja serta bimbingan teknis selama 4 tahun sebesar Rp
14.608.000/hektar.
VI. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN
1.
Metode : pembangunan model kemitraan rehabilitasi hutan dan lahan di lahan milik
maupun lahan negara (dalam proses), dengan model agroforestry karet dengan jenisjenis tanaman asli Kalimantan.
2.
Input kebijakan : perlunya revisi kebijakan mengenai target proyek RHL dari luasan
tertanam (ekstensif) menjadi jumlah tanaman yang hidup (intensif), serta kebijakan
teknis metode dan materi penyuluhan/bimbingan RHL.
3.
Produk : demo plot seluas 10 hektar, surat perjanjian kemitraan, dan karya tulis
ilmiah
DAFTAR PUSTAKA
Arnstein, S.R. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Institute
of Planners Vol 35 No 4: 216-224.
Sintesis 2010-2014 | 107
Murniati. 2007. Rehabilitasi Hutan dan Lahan : Sejarah, Karakteristik, dan Upaya
Mencapai Kegiatan Berkelanjutan. Makalah pada Ekspose dan Gelar Teknologi
Hasil-Hasil Penelitian ”IPTEK untuk mendukung Pembangunan Daerah dan
Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Kalimantan Barat”. Pontianak. 11-13 Desember
2007.
Setyowati, E. 2010. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Desa
Surodadi, Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB.
Bogor
Trison, S. 2005. Pengembangan Partisipasi masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan.
Tesis Program pascasarjana IPB. Bogor
Sintesis 2010-2014 | 108
Download