I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim membawa

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan iklim membawa dampak pada hampir semua aspek kehidupan
dan aktivitas ekonomi. Dampak yang dirasakan ada yang bersifat langsung seperti
pada sektor pertanian maupun tidak langsung. Dampak negatif perubahan iklim
yang dialami negara berkembang diperkirakan lebih besar dibandingkan negara
maju (IPCC 2001). Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang rawan
terhadap dampak negatif dari perubahan perilaku iklim (Yohe and Tol 2002, Stern
et al. 2006).
Di Indonesia, salah satu sektor yang cukup rentan terhadap perubahan
iklim adalah sektor pertanian. Usaha pertanian memiliki karakteristik usaha
berisiko tinggi terhadap perubahan iklim. Di sisi lain, sektor pertanian merupakan
sektor andalan bagi perekonomian Indonesia yang memiliki peran penting dan
startegis. Menurut Sanim (2009) sektor pertanian menyumbang 14.02% terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) (posisi semester II 2009) dan merupakan sumber
PDB terbesar ketiga setelah sektor industri pengolahan dan konstruksi. Selain itu
berdasarkan data BPS 2006-2007 tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor
pertanian cukup tinggi, rata-rata melebihi 40% terhadap total tenaga kerja.
Risiko iklim yang cukup dominan terkait dengan sistim usaha tani berbasis
padi adalah akibat kekeringan. Sistim usahatani padi yang sangat mengandalkan
air akan terkena dampaknya ketika pasokan air baik melalui hujan maupun irigasi
mengalami defisit dari kebutuhan yang seharusnya. Selain itu usahatani padi ini
masih dominan dalam memasok kebutuhan pangan di Indonesia, sehingga
goncangan terhadap usahatani akibat kejadian iklim ekstrim yang pada umumnya
berupa banjir dan kekeringan tentu berdampak besar terhadap ketahanan pangan.
Kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan menempati urutan pertama
sebagai penyebab gagal panen yang menyebabkan akumulasi defisit/hutang dalam
jumlah besar sehingga kebutuhan konsumsi keluarga petani dan kebutuhan
investasi selanjutnya (usahatani, dan lain-lain) terancam tidak terpenuhi secara
normal (Hadi 2000). Pasaribu (2010) juga menyatakan bahwa meningkatnya
frekuensi banjir dan kekeringan karena kerusakan alam dan perubahan iklim di
2
berbagai sentra produksi padi hendaknya merupakan peringatan bagi para
pengambil keputusan untuk melindungi kepentingan petani.
Berdasarkan pengamatan terhadap data hujan musim kemarau selama 100
tahun, secara rata-rata penurunan hujan dari normal akibat terjadinya El-Nino
dapat mencapai 80 mm per bulan, sedangkan peningkatan hujan dari normal
akibat terjadinya La-Nina tidak lebih dari 40 mm. Hal ini menunjukkan bahwa
bencana yang ditimbulkan kejadian El-Nino lebih serius dibanding La-Nina (Boer
2002). Artinya kekeringan yang seringkali merupakan akibat dari kejadian ElNino membawa dampak yang relatif lebih besar dibandingkan dengan banjir
sebagai salah satu wujud fenomena La-Nina. Fakta lain juga dikemukakan oleh
Ditlin (2009) yang menyatakan bahwa kerusakan tanaman padi akibat kekeringan
lebih parah dibandingkan banjir karena berlangsung pada daerah yang lebih luas
dan waktu yang lebih lama, sementara banjir mempunyai karakterisik kejadian
yang lebih lokal dengan waktu kejadian yang lebih pendek. Kekeringan
merupakan proses yang berlangsung secara perlahan sehingga seringkali tidak
disadari kejadiannya, dan begitu diketahui atau dirasakan maka kejadiannya sudah
cukup parah sehingga sulit ditangani. Oleh karena itu, kekeringan perlu mendapat
porsi perhatian yang lebih untuk dikaji dan diteliti, tanpa mengabaikan kejadian
banjir maupun bencana lainnya.
Menurut Irianto (2005) kekeringan merupakan salah satu dampak negatif
langsung dari model pendayagunaan sumberdaya iklim dan air yang tidak
berkelanjutan, serta merupakan masalah sistemik, menahun dan selalu berulang.
Meningkatnya kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan secara langsung
menyebabkan kerusakan tanaman, penciutan luas area tanam/panen yang pada
akhirnya akan menurunkan produksi. Secara tidak langsung, kondisi ini
menyebabkan kurang optimalnya atau rusaknya jaringan irigasi, jalan, dan
prasarana pertanian lainnya. Jadi secara langsung maupun tidak langsung, hal ini
telah menyebabkan areal yang terancam puso meningkat. Dampaknya adalah
terancamnya masa depan ketahanan pangan serta kesejahteraan petani. Semakin
besar bencana yang ditimbulkan akibat perubahan iklim berupa meningkatnya
kejadian iklim ekstrim, maka risiko dan ketidakpastian yang harus dihadapi dalam
usahatani juga semakin besar. Dalam hal ini risiko yang terkait dengan kejadian
3
iklim ekstrim adalah risiko yang bersifat katastropik atau bencana yang
menyebabkan kerusakan hebat sehingga terjadi kegagalan panen seperti
kekeringan.
Petani sebagai pelaku budidaya pertanian menerima dampak yang paling
besar akibat perubahan iklim. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa
sebagian besar petani di Indonesia kepemilikan lahannya kurang dari 0.5 Ha
(Ilham et al. 2007). Beberapa strategi yang diterapkan petani dalam mengatasi
risiko iklim dirasakan belum cukup. Meskipun keragaman iklim saat ini bisa
diperkirakan atau diprediksi namun pengelolaan tanaman masih belum
memanfaatkan informasi iklim ini (Hidayati et al. 2011). Terkait dengan masalah
tersebut, maka diperlukan upaya untuk membantu petani mengatasi kesulitan
karena risiko yang harus ditanggung akibat kekeringan. Salah satu bentuk adaptasi
yang bisa dilakukan petani adalah melalui asuransi indeks iklim.
Asuransi indeks iklim untuk usahatani padi merupakan alat manajemen
risiko iklim yang relatif baru. Asuransi indeks iklim adalah asuransi yang
dihubungkan dengan indeks ilmiah (scientific index) seperti curah hujan, suhu,
kelembaban atau hasil panen, bukan kerugian aktual. Indeks iklim sering
digunakan untuk pertanian karena adanya korelasi yang tinggi antara kejadian
iklim dengan kehilangan hasil tanaman. Korelasi yang tinggi dapat diketahui
dengan melakukan analisis dan evaluasi terhadap beberapa model yang
menghubungkan kejadian iklim yang direpresentasikan melalui curah hujan
dengan hasil tanaman. Indeks iklim yang dihasilkan merupakan masukan penting
dalam pengembangan model asuransi indeks iklim. Dipilihnya padi karena sistim
agribisnis padi masih memegang peran penting dalam perekonomian nasional
(Simatupang dan Rusastra 2004).
Terkait dengan asuransi pertanian, pemerintah (dalam hal ini Kementerian
Pertanian) telah membentuk Kelompok Kerja (POKJA) Persiapan dan
Pengembangan Asuransi Panen dengan SK Menteri Pertanian tahun 1982, 1984
dan 1985. Kemudian pada tahun 1999 dibentuk Tim Pengembangan Asuransi
Pertanian
berdasarkan
Surat
Penunjukan
Menteri
Pertanian
nomor
KP.440/178/Mentan/VI/99 tanggal 10 Juni 1999, namun belum berjalan efektif
(Hadi 2000). Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa Kementerian Pertanian
4
telah membentuk Pokja Asuransi Komoditas Pertanian melalui surat keputusan
nomor 1136/Kpts/OT.160/4/2012. Pokja ini mempunyai tugas melakukan: 1)
identifikasi permasalahan dan upaya pemecahannya dalam asuransi komoditas
pertanian, 2) perumusan model asuransi komoditas pertanian, serta 3) pemantauan
dan evaluasi atas pelaksanaan perlindungan usaha komoditas pertanian. Pokja
yang sudah terbentuk ini perlu diperkuat dengan hasil-hasil penelitian terkait
seperti asuransi indeks iklim ini.
Penelitian ini dirancang dengan beberapa tujuan yang dicapai secara
bertahap. Penelitian di lakukan di Kabupaten Indramayu yang merupakan salah
satu sentra padi di Propinsi Jawa Barat dan sangat rentan terhadap perubahan
iklim. Kabupaten Indramayu juga termasuk kriteria salah satu kabupaten yang
sangat rawan terhadap kekeringan (Diperta Jawa Barat 2006). Tujuan utama
penelitian ini adalah menyusun model asuransi indeks iklim pada sisitim usahatani
berbasis padi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan dan
diaplikasikan di lapang dalam rangka meningkatkan ketahanan petani padi
terhadap perubahan iklim.
1.2. Perumusan Masalah
Salah satu bukti adanya perubahan iklim ditunjukkan oleh meningkatnya
kejadian iklim ekstrim. Kejadian iklim ekstrim terutama kekeringan merupakan
bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Frekuensi kejadian kemarau
panjang atau kekeringan semakin meningkat. Selain itu wilayah yang terkena
bencana iklim juga semakin luas dengan tingkat kehilangan produksi yang
semakin tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa bencana kekeringan ini akan terus
berulang terjadi dan tentu akan membawa dampak yang merugikan pada usahatani
padi.
Dampak kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan sangat dirasakan oleh
sektor pertanian tanaman pangan khususnya padi. Kekeringan seringkali menjadi
penyebab utama turunnya produksi pangan di Indonesia. Pada musim kemarau
1994, luas wilayah di pulau Jawa yang terkena kekeringan mencapai 290,457 ha
dan propinsi Jawa Barat berada pada urutan yang pertama kemudian diikuti oleh
propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Kahar 1995). Hal ini diduga karena
5
tingkat kewaspadaan petani terhadap bahaya kekeringan terutama terhadap risiko
menanam padi pada musim gadu masih kurang, terutama pada sawah yang
sebagian besar diairi oleh irigasi teknis, sehingga kurang memperhatikan pola dan
perilaku curah hujan serta informasi iklim lainnya.
Petani sebagai pelaku budidaya tanam di lapangan merasakan dampak
yang paling besar akibat kekeringan. Hal ini sangat terkait dengan ketidakpastian
hasil yang diperoleh akibat kejadian kekeringan baik dari aspek luas lahan yang
terkena kekeringan maupun intensitas kejadian. Untuk mengatasi masalah ini
petani telah menerapkan berbagai cara atau strategi walaupun dalam kenyataannya
risiko dan ketidakpastian itu tidak dapat dihilangkan sepenuhnya. Secara teoritis
sikap petani adalah ingin menghindari risiko (risk-averse behavior). Namun cara
yang diterapkan petani untuk menghindari risiko belum cukup dan perlu sistem
proteksi formal dan sistimatis dalam bentuk asuransi.
Di Indonesia, asuransi pertanian untuk usaha pertanian rakyat belum
berjalan lancar. Sejak tahun 1982 – 1998 telah tiga kali (1982, 1984, dan 1985)
dibentuk Kelompok Kerja (POKJA) “Persiapan Pengembangan Asuransi Panen”,
tetapi tidak berlanjut. Tahun 1999 upaya untuk mengembangkan asuransi
pertanian dicanangkan kembali. Berbagai pembahasan yang lebih serius telah
dilakukan, akan tetapi untuk melangkah ke tahap implementasi masih
memerlukan sejumlah pertimbangan yang sangat matang. Perlu masukan
informasi lain untuk merumuskan kebijakan, program, perintisan, dan berbagai
instrumen kelembagaan yang sesuai dengan strategi pengembangan. Belum
lancarnya program asuransi pertanian ini disebabkan oleh : 1) program asuransi
masih bersifat baru bagi petani, 2) model asuransi masih konvensional sehingga
sulit untuk merumuskan pembayaran premi, serta 3) masih kurangnya dukungan
regulasi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang mendalam tentang model
asuransi iklim yang merupakan produk asuransi pertanian berbasis indeks iklim
sebagai salah satu opsi adaptasi terhadap perubahan iklim.
6
1.3. Kerangka Pemikiran
Bencana kekeringan yang melanda kawasan pertanian semakin sering
terjadi dan cakupan wilayah yang terkena cenderung semakin luas. Bencana ini
sering mengakibatkan kerugian bagi petani. Berkurangnya luas tanam dan panen
akibat puso dan terkena kekeringan menyebabkan hasil yang dipanenpun
berkurang dan bahkan tidak ada sama sekali. Berdasarkan data runut waktu yang
cukup panjang, kejadian bencana terkait iklim seperti kekeringan dapat
diidentifikasi serta didelineasi tingkat risikonya untuk mengetahui wilayah mana
yang memiliki risiko iklim tinggi dan wilayah mana yang relatif aman. Informasi
ini penting untuk menentukan wilayah prioritas penanganan bencana akibat
kejadian iklim ekstrim seperti kekeringan.
Petani sebagai pelaku kegiatan usahatani menerima dampak yang cukup
besar akibat kekeringan. Pada kenyataannya petani telah menerapkan berbagai
strategi walaupun dalam kenyataannya risiko dan ketidakpastian itu tidak dapat
dihilangkan sepenuhnya. Sehubungan dengan itu untuk menghindari risiko, petani
menerapkan beberapa cara, salah satunya adalah dengan kredit informal. Namun
cara ini belum cukup. Kenyataannya, petani tetap mengalami kesulitan ketika
bencana yang terkait iklim tersebut datang. Petani masih terus dihadapkan pada
risiko yang harus ditanggung akibat bencana yang terjadi. Oleh karena itu perlu
adanya suatu opsi untuk membantu petani meminimalkan dampak perubahan
iklim.
Salah satu bentuk adaptasi yang berpeluang untuk diterapkan adalah
dengan asuransi pertanian. Di Indonesia, asuransi pertanian telah beberapa kali di
coba untuk diterapkan, namun belum berhasil (Hadi 2000). Asuransi iklim yang
merupakan salah satu produk asuransi pertanian yang berbasis indeks iklim
menawarkan suatu bentuk baru yang diharapkan dapat membantu petani dalam
mempercepat penerimaan terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi
prakiraan musim/iklim untuk membuat keputusan. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian aplikasi yang menghubungkan antara aspek iklim/cuaca
dengan asuransi pertanian yang berbasis usaha tani padi melalui pengembangan
model Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance).
7
Asuransi indeks iklim ini merupakan penelitian yang baru dan berpeluang
untuk dikembangkan di Indonesia (Hadi 2000, Nurmanaf 2007 dan Pasaribu
2009). Hasil penelitian Hadi et al. (2000) tentang identifikasi faktor-faktor
mengindikasikan bahwa asuransi pertanian untuk usahatani padi sangat
dibutuhkan. Pertanian (padi) layak untuk didukung dengan asuransi pertanian
(Nurmanaf 2007). Hasil penelitian Pasaribu (2009) dengan studi kasus di
Sumatera Utara dan Bali menunjukkan bahwa prospek pengembangan asuransi di
Indonesia cukup besar, hal ini ditunjukkan oleh respon petani yang menyambut
baik rencana tersebut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka asuransi iklim
berpeluang untuk dikembangkan di Indonesia.
Penggunaan indeks iklim ini sering digunakan untuk pertanian karena
adanya korelasi yang tinggi antara peristiwa iklim dan kerugian tanaman. Oleh
karena itu, hasil penelitian tentang indeks iklim yang ditetapkan berdasarkan
korelasi yang kuat antara parameter iklim (dalam hal ini curah hujan) dan hasil
padi menjadi salah satu dasar penetapan indeks iklim yang merupakan parameter
utama dalam asuransi indeks iklim. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
membantu baik dari sisi petani, pemerintah maupun pihak swasta dalam
mengaplikasikan asuransi iklim di Indonesia. Dari sisi petani, tujuan utama
asuransi pertanian adalah memberikan proteksi terhadap kerugian ekonomi yang
dialami petani sebagai pemegang polis asuransi pertanian karena suatu kejadian
berisiko, sedangkan di sisi lain pihak asuransi juga perlu diyakinkan berdasarkan
hasil identifikasi dan evaluasi tentang dampak dari risiko iklim serta hasil analisis
sehingga secara ekonomi fisibel bagi perusahaan asuransi itu sendiri.
8
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan akhir dari penelitian ini adalah dihasilkannya suatu model asuransi
indeks iklim pada sistim usahatani berbasis padi. Secara spesifik ada 5 tujuan
yang akan dicapai , yaitu :
(1)
Menyusun peta endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim.
(2)
Menyusun peta cakupan wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim.
(3)
Mengkaji usahatani berbasis padi untuk pengembangan asuransi indeks
iklim.
(4)
Mengkaji hubungan antara curah hujan dan produksi padi untuk penyusunan
indeks iklim.
(5)
Menyusun rekomendasi model pengembangan asuransi indeks iklim pada
sistim usaha tani berbasis padi.
1.5. Manfaat Penelitian
Peta endemik kekeringan dapat dimanfaatkan untuk mengetahui
penyebaran wilayah endemik kekeringan berdasarkan luas dan frekuensi kejadian
kekeringan. Data dan informasi ini penting untuk membantu dalam penentuan
wilayah prioritas penanganan bencana kekeringan
Peta cakupan wilayah indeks dapat digunakan untuk menentukan stasiun
pewakil terutama di wilayah-wilayah yang tidak ada stasiun hujannya.
Manfaat lain dari penelitian ini adalah dihasilkannya indeks iklim. Indeks
iklim merupakan kunci penting untuk aplikasi Asuransi Indeks Iklim (Climate
Index Insurance). Asuransi indeks iklim ini merupakan salah satu bentuk adaptasi
terhadap perubahan iklim yang berpotensi dikembangkan di Indonesia.
Keberhasilan penerapan asuransi berdasarkan indeks iklim akan sangat
membantu petani dalam mengurangi risiko akibat kejadian iklim ekstrim serta
mempercepat adopsi teknologi terkait iklim bagi usaha tani padi yang dikelolanya
khususnya terhadap bencana kekeringan.
9
1.6. Kebaruan (Novelty)
Penelitian asuransi indeks iklim untuk usahatani padi merupakan
penelitian baru di bidang aplikasi klimatologi dan belum pernah dilakukan di
Indonesia. Pengembangan asuransi indeks iklim yang telah dilakukan di Indonesia
masih terbatas pada komoditas jagung di beberapa lokasi saja. Oleh karena itu
penelitian ini merupakan penelitian pertama dalam bidang klimatologi terkait
dengan aspek asuransi.
Metode analisis dan delineasi wilayah endemik kekerirngan dengan
klasifikasi berdasarkan luas dan frekuensi kejadian kekeringan merupakan
keluaran baru dan bersifat sederhana sehingga mudah dipahami oleh para
pengguna khususnya pemerintah daerah untuk membantu pengelolaan risiko
iklim.
Metode Fuzzy Similarity yang digunakan untuk menentukan wilayah
cakupan indeks iklim ini merupakan keluaran baru untuk aplikasi di bidang
klimatologi.
1.7. Ruang Lingkup dan Kerangka Kerja Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Indramayu sebagai salah satu
pusat produksi padi di Jawa Barat dan sangat rentan terhadap variabilitas iklim.
Untuk mencapai tujuan penelitian, maka akan dilakukan berbagai kegiatan seperti
pengumpulan data lapang untuk melengkapi dan memperbarui data sebelumnya
serta konsultasi dan diskusi dengan instansi terkait baik di tingkat pusat maupun
daerah.
Data yang dikumpulkan antara lain : data iklim harian (curah hujan harian,
suhu udara, radiasi matahari, kecepatan angin, dll), data kekeringan (terkena dan
puso), data sifat fisik dan kimia tanah, data tanaman, data sosial ekonomi yang
terkait dengan sistim usaha tani padi, serta peta-peta dan data pendukung lainnya.
Selain itu dilakukan juga pengumpulan data melalui questioner yang dilakukan
dengan wawancara ke beberapa pihak, yaitu petani, pemerintah daerah dan Bank
lokal di daerah.
Konsultasi dan diskusi dengan pemerintah daerah (PEMDA) serta instansi
terkait lainnya akan dilakukan untuk menghimpun data dan informasi lapang,
10
seperti dengan Dinas Pertanian, Dinas Sumberdaya Air, Pertambangan dan Energi
dan Badan Ketahanan Pangan. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada 8 titik
pewakil berdasarkan sebaran jenis tanahnya. Data tanah ini digunakan untuk
simulasi tanaman dengan model Decision Support System for Agrotechnology
Transfer (DSSAT). Survey lapang dan wawancara petani dilakukan untuk
menghimpun data tentang karakteristik petani, kelayakan usahatani padi dan
kesediaan membayar (Willingness to Pay, WTP). Data dan informasi usahatani
padi ini digunakan untuk penghitungan indeks iklim. Keterkaitan antar bab secara
keseluruhan disajikan dalam pembahasan umum, potensi dan tantangan serta
diakhiri dengan simpulan, saran dan rekomendasi pengembangan asuransi indeks
iklim pada sistim usahatani berbasis padi.
Analisis dibagi dalam beberapa tahap untuk mencapai setiap tujuan.
Analisis yang akan dilakukan antara lain : 1) identifikasi dan pemetaan wilayah
endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim, 2) penetapkan cakupan
wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim, 3) analisis usahatani berbasis padi
untuk pengembangan asuransi indeks iklim, 4) analisis hubungan antara iklim dan
produksi padi untuk penyusunan indeks iklim, dan 5) identifikasi potensi dan
tantangan serta penyusunan rekomendasi pengembangan asuransi indeks iklim
pada sistim usaha tani berbasis padi (Gambar 1).
11
Data
kekeringan
Data tanah
Data iklim/
curah hujan
Data
tanaman
hujan
Pembangkitan
data dgn
CLIMGEN
Klasifikasi
tingkat
endemik
kekeringan
Peta
administrasi
kecamatan
Simulasi tanaman
DSSAT
Estimasi produksi
padi pada beberapa
skenario tanggal
tanam
Peta sebaran
wilayah
endemik
kekeringan
Analisis
cakupan
wilayah indeks
dgn metode
Fuzzy
Similarity
Peta cakupan
wilayah indeks
iklim
Pola hubungan
curah hujan dan
produksi padi
Penentuan
trigger curah
hujan
Penyusunan indeks
iklim untuk
pengembangan
asuransi iklim
Desain premi dan
klaim asuransi
indeks iklim
Potensi dan tantangan pengembangan
asuransi indeks iklim
Rekomendasi pengembangan asuransi
indeks iklim pada sistim usahatani
berbasis padi
Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian
Data hasil survey
dan wawancara
petani
Identifikasi
dan
karakteristik
petani dan
usahatani padi
Analisis usahatani
padi (R/C) dan WTP
Penentuan
threshold
produksi padi
12
1.8. Sistimatika Penulisan
Disertasi ini disusun dalam beberapa bab. Bab 1 merupakan pendahuluan
yang berisi antara lain : latar belakang, kerangka pemikiran, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, kebaruan (novelty), ruang lingkup dan sistimatika penulisan.
Bab 2 berisi tinjauan pustaka. Untuk Bab 3 sampai dengan Bab 7 merupakan
rangkaian bab yang saling terkait dimana didalamnya masing-masing memuat
pendahuluan, tujuan, metodologi dan simpulan. Bab 3 tentang analisis dan
delineasi wilayah endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim. Bab 4
tentang penetapan cakupan wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim. Bab 5
tentang analisis usahatani berbasis padi untuk pengembangan asuransi indeks
iklim. Bab 6 membahas tentang hubungan antara curah hujan dan produksi padi
untuk menyusun indeks iklim. Bab 7 berisi pembahasan umum yang difokuskan
tentang potensi dan tantangan pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim
usahatani berbasis padi. Simpulan, saran dan rekomendasi disajikan dalam Bab 8.
Setiap bab yang disusun memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Bab 1
menyajikan secara umum latar belakang penelitian, perumusan masalah, kerangka
pemikiran, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kebaruan (novelty), ruang
lingkup dan kerangkan kerja penelitian serta sistimatika penulisan. Didukung
dengan tinjauan pustaka pada bab 2 yang merupakan sintesa dari hasil-hasil
penelitian yang terkait dengan topik disertasi. Selain itu juga menyajikan
perkembangan terkini tentang penelitian-penelitian yang dapat dijadikan masukan
dalam penulisan disertasi. Bab 3 menyajikan tentang analisis dan delineasi
wilayah endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim. Hasil analisis yang
tertuang dalam Bab 3 ini digunakan sebagai dasar dalam penentuan wilayah
prioritas pengelolaan risiko iklim terkait dengan pengembangan asuransi indeks
iklim. Selain itu, dalam aplikasi asuransi indeks iklim, diperlukan hasil penelitian
tentang penetapan cakupan wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim. Hal
ini dimaksudkan untuk mengetahui pada luasan sejauh mana suatu indeks iklim
bisa digunakan. Topik ini akan disajikan dalam Bab 4. Hasil penelitian yang
disajikan dalam Bab 4 ini menjadi masukan yang penting dalam pembahasan
umum pada Bab 7. Analisis usahatani berbasis padi untuk pengembangan asuransi
indeks iklim disajikan dalam Bab 5. Hasil dari Bab 5 merupakan masukan penting
13
untuk melakukan analisis hubungan antara parameter iklim khususnya curah hujan
dan produksi padi untuk penyusunan indeks iklim yang disajikan pada Bab 6.
Selanjutnya keseluruhan hasil analisis tersebut di atas dikemas dalam Bab 7 yang
berisi tentang pembahasan umum pengembangan asuransi indeks iklim pada
sistim usaha tani berbasis padi : potensi dan tantangan. Bab 8 merupakan
simpulan keseluruhan hasil, saran dan rekomendasi. Keterkaitan antar bab tersebut
secara sederhana disajikan dalam diagram alir Gambar 2.
Bab. 1
Bab. 2
Bab. 3
Bab. 5
Bab. 6
Bab. 4
Bab. 7
Bab. 8
Gambar 2. Diagram alir keterkaitan antar bab.
Keterangan :
Bab 1 :
Bab 2 :
Bab 3 :
Bab 4 :
Bab 5 :
Bab 6 :
Bab 7 :
Bab 8 :
bB
Pendahuluan
Tinjauan pustaka
Analisis dan delineasi wilayah endemik kekeringan untuk pengelolaan
risiko iklim
Penetapan cakupan wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim
Analisis usahatani berbasis padi untuk pengembangan asuransi indeks
iklim
Analisis hubungan antara curah hujan dan produksi padi untuk
penyusunan indeks iklim
Pembahasan umum pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim
usaha tani berbasis padi : potensi dan tantangan
Simpulan, saran dan rekomendasi
Download