Bab II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kecenderungan Depresi 1. Definisi Kecenderungan Depresi Kecenderungan depresi merupakan tinggi rendahnya kemungkinan seseorang mengalami gangguan perasaan yang ditandai dengan adanya kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan, sehingga menimbulkan menurunnya harga diri, hilangnya semangat, melambatnya proses berpikir dan tidak dapat menilai realitas (Purnamasari, 2012). Atkinson (1996) menjelaskan bahwa depresi merupakan respon yang normal terhadap berbagai stres kehidupan. Depresi dikatakan tidak normal bila depresi tersebut melebihi proporsi dalam merespon terhadap suatu kejadian dan terus berlanjut melebihi batas dimana kebanyakan orang sudah pulih kembali. Depresi diartikan sebagai suatu bentuk emosional yang bercirikan kesedihan yang hebat, merasa akan kegagalan dan ketidakberhargaan, dan penarikan diri dari orang lain (Sue dkk, 1986). Trisna (dalam Hadi, 2004) juga mengatakan bahwa depresi adalah suatu perasaan sendu atau sedih yang biasanya disertai dengan diperlambatnya gerak dan fungsi tubuh, mulai perasaan murung sedikit sampai keadaan tidak berdaya. Lewinshon (dalam Aditomo, 2004) mendefinisikan depresi sebagai periode sedih atau ”down” secara mendalam yang dialami oleh hampir semua orang namun dalam derajat yang lebih intens, bertahan lama dan secara signifikan mengganggu efektifitas kehidupan sehari-hari. Menurut Emery dan Oltmanns (2000), depresi berbeda dengan perasaan sedih biasa yang bersifat universal sebagai respon dari keadaan yang secara 7 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 8 subjektif tidak menyenangkan. Depresi dapat mengacu pada simtom (perasaan sedih yang subjektif), mood (kekecewaan dan kehampaan yang berlarut-larut), atau pada sindroma klinis (keberadaan depresi disertai dengan adanya simtom emosional, kognitif, dan tingkah laku. Beck (dalam Kring dkk., 2007) mengemukakan bahwa depresi dapat terjadi karena seseorang secara terus menerus memikirkan segala sesuatu dengan cara yang negative. Pemikiran negatif ini muncul tanpa disadari, dan pada kasus depresi yang lebih ekstrem, pikiran negatif ini menyebabkan kesulitan berkonsentrasi dan menjalani aktivitas sehari-hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa depresi merupakan perasaan sedih yang mendalam dan dialami secara terus-menerus oleh individu sehingga menyebabkan kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. 2. Faktor- faktor penyebab depresi Depresi diduga disebabkan oleh berbagai hal mulai dari faktor biologis, seperti pengaruh gen dan proses biokimia dalam tubuh, sampai faktor sosiokultural Kesley dalam Duffy & Atwater (dalam Kring, 2007). Kring dkk. (2007) disebutkan bahwa depresi disebabkan oleh beberapa faktor, dari faktor neurobiologis sampai faktor psikososial, dan dapat juga disebabkan dari kombinasi dari beberapa faktor tersebut. Menurut pandangan sosial, munculnya gangguan depresi dipicu oleh hal-hal seperti kehilangan, kekecewaan, dan perpisahan. Inti dari pandangan sosial adalah depresi terjadi karena dipengaruhi berbagai kejadian pemicu stress yang dialami setiap orang, mulai dari kehilangan orang-orang yang disayangi melalui perpisahan atau kematian, kehilangan peran yang dianggap penting (seperti dipecat dari pekerjaan), kegagalan mendapatkan sesuatu yang diinginkan, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 9 adanya permasalahan dalam hubungan interpersonal, dan sebagainya (Emery & Oltmanns, 2000). Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara kejadian pemicu stress dengan depresi tidak hanya terjadi satu arah, namun dapat terjadi akibat dari hadirnya kejadian pemicu stress, sekaligus dapat pula menjadi sebab dari berbagai kejadian pemicu stress (Emery & Oltmanns, 2000). Faktor biologis juga berperan dalam depresi. Menurut pandangan biologis, faktor biologis dapat mempengaruhi regulasi mood (Emery & Oltmanns, 2000). Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, faktor genetis atau hormone berhubungan dengan munculnya depresi. Para tokoh aliran kognitif menekankan bahwa depresi terjadi karena manusia bukan hanya seorang makhluk sosial, tetapi juga makhluk pemikir, dan cara manusia berpikir serta mempersepsikan dunianya mempengaruhi apa yang mereka rasakan (Emery & Oltmanns, 2000). 3. Simtom-simtom depresi Menurut Beck (dalam Kring dkk., 2007). Simtom utama depresi adalah kesedihan yang sangat mendalam dan atau ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu. Hal ini turut dipengaruhi oleh penghayatan kognitif subjek mengenai segala sesuatu. Seringkali individu yang menderita depresi tidak dapat menjelaskan mengenai apa yang ia rasakan meskipun mereka dapat menyatakannya sebagai perasaan yang tidak menyenangkan atau menyedihkan (Suwantara, Lubis, & Rusli, 2005). Menurut Beck (dalam Kring, 2007), secara umum, depresi memiliki beberapa simtom yang lebih dari sekedar perasaan sedih. Simtom-simtom tersebut terbagi atas simtom afektif, motivasional, simtom kognitif, simtom tingkah laku, dan simtom fisiologis. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 10 4. Dimensi – dimensi depresi Menurut Zung (1997), depresi terbagi atas dua dimensi besar yaitu dimensi kognitif dan dimensi non-kognitif. Kedua dimensi ini memiliki simtom – simtom yang mencerminkan depresi. a. Dimensi kognitif memiliki simtom antara lain kesedihan (sadness), pesimistik (pessimism), kesalahan masa lalu (past failure), perasaan bersalah (guilty feelings), perasaan dihukum (punishment feeling), ketidaksukaan pada diri (self – dislike), perasaan tidak puas akan diri sendiri (self – criticalness), keinginan bunuh diri (suicidal thoughtsor wishes), dan perasaan tidak berharga (worthlessness). b. Dimensi non-kognitif yaitu kehilangan rasa kebahagian (loss of pleasure), menangis (crying), agitasi (agitation), kehilangan rasa ketertarikan pada sesuatu (loss of interest), sulit mengambil keputusan (indecisiveness), kehilangan energi (loss of energy), perubahan pola tidur (changes in sleeping pattern), kehilangan nafsu makan (changes in appetite), kesulitan berkonsentrasi (concentration difficulty), dan kehilangan ketertarikan dalam sex (loss of interest in sex). B. Emosi dan Kematangan Emosi 1. Definisi Kematangan Emosi Sulitnya mendefinisikan emosi karena mencakup penjelasan berbagai aspek, seperti perasaan, ekspresi tubuh, ekspresi wajah, dan motivasi. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Morgan, Kring, Weisz, & John (1979) bahwa emosi merupakan suatu perasaan subjektif yang dapat mempengaruhi persepsi, berpikir, dan tingkah laku; biasanya disertai dengan ekspresi tubuh dan wajah; yang seringkali mempengaruhi motivasi. Walaupun demikian, para ahli sependapat bahwa emosi http://digilib.mercubuana.ac.id/ 11 memiliki pengaruh yang besar, baik terhadap diri sendiri maupun dalam hubungan dengan orang lain (Smith & Lazarus (1990). Smith & Lazarus (1990) mengatakan emosi merupakan suatu fenomena psikologis yang penting. Emosi memberi warna pada hampir semua kejadian yang berarti dalam hidup, misalnya rasa bangga ketika mendapat promosi, marah ketika kecurian, dan sebagainya. Goleman (1995) menganggap emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan kecenderungan untuk bertindak Menurut Smitson (Gorlow & Katkovsky, 1976) individu memiliki pengalaman yang berfluktuasi dalam bidang emosional dan hubungan interpersonal. Pada situasi tertentu dapat bereaksi secara matang sedangkan pada situasi lain bereaksi kurang matang. Walaupun begitu reaksi emosional seseorang tetap memiliki pola-pola dan kecenderungan tertentu yang didasari tingkat reaksi yang dimilikinya. Untuk menjelaskan taraf reaksi emosi seseorang, beberapa ahli menggunakan istilah tingkat kematangan emosi. Istilah kematangan menunjukkan adanya proses menjadi (becoming). Hal ini tidak berarti bahwa orang dengan tingkat kematangan emosi yang tinggi akan selalu bertindak berdasarkan penilaian emosi yang baik dan bertanggung jawab, namun lebih menjelaskan bahwa gaya hidup mereka cenderung lebih banyak merefleksikan perilaku yang matang daripada perilaku yang kurang matang. Konsep kematangan itu sendiri tidak menunjuk pada suatu kondisi yang statis (Lugo & Hershey, 1979). Kematangan emosi merupakan suatu proses di mana kepribadian terus menerus barusaha untuk mencapai tingkat emosi yang sehat, secara intrafisik http://digilib.mercubuana.ac.id/ 12 maupun interpersonal. Karena itu Dean (1966) berpendapat, kematangan emosi merupakan konsep sentral yang penting dalam hubungan antar manusia. Kematangan emosi tidak terjadi begitu saja, tetapi ada langkah-langkah atau tahap-tahap yang harus dilaluinya secara berkesinambungan. Jadi berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kematangan emosi adalah suatu proses dimana individu berusaha untuk mengendalikan emosi dan perilakunya untuk selalu bertindak berdasarkan penilaian emosi yang baik dan bertanggung jawab. 2. Karakteristik Kematangan Emosi Untuk melihat tingkat kematangan emosi terdapat beberapa karakteristik yang menjadi patokan. Berdasarkan konsep kematangan emosi bebrapa ahli, Dean (1966) mengembangkan skala pengukuran kematangan emosi dengan tujuan membuat instrumen yang empiris untuk menggantikan penilaian subyektif. Instrumen tersebut juga dipakai sebagai alat untuk mengukur kematangan emosi dalam penelitian ini. Dimensi kematangan emosi, yaitu: a. Kemampuan mengatasi stres Dapat mentoleransi stres berderajat normal yang muncul dalam kehidupan sehari-hari tanpa merasa tertekan secara berlebihan. b. Kemampuan mengendalikan kemarahan Dapat menangani frustasi dan rasa marah dalam cara yang dianggap sesuai oleh masyarakat. c. Hubungan dengan tokoh otoritas Dapat menerima otoritas ketika diperlukan tapi tidak bergantung padanya. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 13 d. Integrasi Dimensi ini berhubungan dengan falsafah hidup seseorang, yang mencakup cara berpikir menyeluruh, yaitu memperhatikan arti fakta-fakta tertentu secara tersendiri dan menggabungkannya untuk melihat arti keseluruhan yang muncul. Seseorang dapat dikatakan tidak matang bila hal-hal didalam dirinya membatasi sudut pandangnya (misal keinginan dan ambisi pribadi, prasangka, suasana hati). Hal tersebut membuat mereka bertindak atas dasar hubungan sebab-akibat yang terbatas dan dangkal. e. Kontrol diri. 1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kematangan Emosi a. Usia Kematangan emosi merupakan suatu proses yang memerlukan waktu, sehingga dapat dikatakan bahwa usia adalah indeks kasar dari kematangan (Blood & Blood, 1978). Penting bagi individu untuk menampilkan emosi sesuai dengan tingkat perkembangannya. Proses perubahan dipengaruhi oleh faktor genetik dan terjadi dalam urutan yang pasti disebut dengan maturation/pematangan (Breger dalam Matindas, 1993). Maturation adalah murni proses biologis dan tidak dipengaruhi proses belajar. Maturation ini penting karena merupakan prasyarat walau tidak dapat menjamin perkembangan (Loevinger dalam Matindas, 1993). Pertambahan usia membuat semakin baik kemampuan seseorang serta semakin luas perspektifnya dalam memandang suatu masalah. Pertambahan usia juga menyebabkan emosi semakin terdiferensiasi dan ekspresi emosi semakin terkontrol (Jersild, 1978). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 14 Kematangan menunjukkan kemampuan untuk mengatasi masalahmasalah kehidupan, meningkatkan efektivitas strategi perencanaan/membuat perencanaan yang lebih efektif, lebih peka terhadap lingkungan. Kematangan bukanlah suatu kesatuan konsep. Artinya bisa saja seseorang dikatakan matang secara sosial tetapi tidak secara emosional. Usia tidak menjamin kematangan (Turner & Helms, 1995). Belum tentu orang yang sudah tua lebih matang daripada yang lebih muda usianya. Kematangan memerlukan usaha yang sungguhsungguh disadari, tergantung pada individu itu sendiri, bukan pada usianya. b. Pengalaman Untuk sebagian orang kematangan tumbuh secara otomatis dengan kedewasaan atau faktor usia. Hal tersebut juga dapat dihasilkan dari sosialisasi, salah satu contohnya kencan atau pacaran (Blood, 1969). Beberapa ahli mengatakan bahwa kematangan merupakan hasil belajar yang hanya dapat dicapai melalui pelatihan, disiplin, dan pengalaman. Agar matang secara emosional, seseorang harus dapat mengalami langsung berbagai peristiwa yang merangsang bangkitnya emosi (Jersild, 1978). Demikian pula seperti yang dikatakan Blood & Blood (1978) bahwa kematangan emosi dapat dicapai setelah individu mengalami cukup banyak krisis dan perubahan serta belajar mengatasinya. Kematangan emosi bergantung pada perkembangan toleransi terhadap frustasi yang terjadi dalam hubungan interpersonal, misalnya perasaan luka dan penolakan. Allport (dalam Santrock, 2003) menjelaskan bahwa dalam mencapai kematangan, individu berada dalam http://digilib.mercubuana.ac.id/ 15 proses di mana ia mengalami sejumlah “keberhasilan”. Maksud “keberhasilan” di sini adalah keberhasilan dalam mengatasi rintanganrintangan yang dihadapi dalam hidup, yang melibatkan kemampuan untuk menetapkan tujuan dan menambil keputusan. Dengan demikian individu belajar menerima frustasi dan kegagalan hidup, juga kemenangan dan kesuksesan. Individu yang belajar menerima hal ini tanpa merasa terus menerus terganggu dapat dikatakan telah matang. C. Pernikahan Remaja Berdasarkan tahap perkembangan, pernikahan terjadi pada tahap dewasa awal, tetapi fenomena yang terjadi belakangan ini pernikahan terjadi di usia remaja. Pernikahan tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya setempat dimana sepasang individu menikah. Pengertian menurut UU Perkawinan No 1 Pasal 1 tahun 1974 di Indonesia, perkawinan atau pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di negara-negara barat, istilah remaja dikenal dengan “adolesence” yang berasal dari kata dalam bahasa latin “adolescere” (kata bendanya adolencentia = remaja), yang berarti tumbuhmenjadi dewasa atau dalam perkembangan masa dewasa (Desmita, 2009). Menurut Hurlock (dalam Ali & Asrori, 2005), adolesence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, sosial, dan fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi kedalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau http://digilib.mercubuana.ac.id/ 16 paling tidak sejajar. Menurut Dariyo (dalam Papalia, 2009) remaja (adolesence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. 1. Perkembangan Remaja Menurut Santrock (2003) salah satu aspek psikolgis dari perubahan fisik memperhatikan dimasa tubuh remaja mereka adalah dan remaja membangun menjadi citranya amat sendiri mengenai bagaimana tubuh mereka tampaknya. Hamburg & Wright (dalam Santrock, 2003) mengatakan perhatian yang berlebihan terhadap citra tubuh sendiri, amat kuat pada masa remaja, terutama amat mencolok selama masa pubertas, saat remaja lebih tidak puas akan keadaan tubuhnya dibandingkan dengan akhir dengan akhir masa remaja. a. Perkembangan Kognitif Remaja Menurut Piaget (dalam Santrock, 2003) menekankan bahwa remaja terdotong untuk memahami dunianya karena ketindakannya itu merupakan penyesuaian diri biologis. Dalam pandangan Piaget, remaja membangun dunia kognitifnya sendiri. Informasi tidak hanya tercurah dalam benak mereka dari lingkungan. Untuk memahami dunianya, remaja mengorganisasikan pengalaman mereka. Mereka memisahkan gagasan yang penting dari yang kurang penting. Mereka mngaitkan satu gagasan dengan yang lainnya. Mereka bukan hanyan mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman mereka, tetapi juga menyesuaikan cara pikir mereka untuk menyertakan gagasan baru http://digilib.mercubuana.ac.id/ 17 karena informasi tambahan membuat pemahaman lebih dalam. Piaget percaya bahwa remaja menyesuaikan diri dengan dua cara, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi (assimilation) terjadi ketika sesorang menggabungkan informasi baru kedalam pengetahuan yang sudah dimilikinya. Akomodasi (accommodation) terjadi ketika seseorang menyesuaikan dirinya terhadap informasi baru. b. Perkembangan Psikososial Remaja Menurut Papalia et al (2009), masa remaja adalah waktu dimana berbagai kesempatan sekaligus resiko datang. Remaja berada dalam ambang cinta, pekerjaan untuk menghidupi dirinya, dan keikutsertaan dalam lingkungan orang dewasa. Akan tetapi, masa remaja juga masa dimana beberapa remaja terlibat perilaku yang menutup berbagai pilihan dan membatasi peluang mereka. Menurut Eriksen (dalam Papalia et al, 2009), tugas utama dari masa remaja adalah menghadapi krisis dari identitas versus kekacauan identitas atau identitas versus kekacauan perasn untuk menjadi orang dewasa yang unik dengan pemahaman diri sendiri yang koheren dan memiliki peran yang bernilai dalam masyarakat. Menurut Ali & Asrori (2005) hubungan sosial dimulai dari lingkungan rumah sendiri kemudian berkembang lebih luas lagi ke lingkungan sekolah, dan dilanjutkan kepada lingkungan yang lebih luas lagi yaitu tempat berkumpulnya teman sebaya. Keluarga merupakan peletak dasar hubungan sosial anak, dan yang terpenting adalah pola asuh orang tua terhadap anak. Dalam lingkungan keluarga, anak mengembangkan pemikiran tersendiri yang merupakan pengukuhan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 18 dasar emosional dan optimisme sosial melalui frekuensi dan kualitas interaksi dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Dalam lingkungan sekolah, anak belajar membina hubungan dengan teman-teman sekolahnya yang datang dari berbagai keluarga dengan status dan warna sosial yang berbeda. Dalam lingkungan masyarakat, anak dihadapkan dengan berbagai situasi dan masalah kemasyarakatanya. Dalam perkembangan sosial, anak juga dengan sendirinya mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya. Perkemabangan sosial individu sangat tergantung pada kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta keterampilan mengatasi masalah yang dihadapinya. 2. Tugas- Tugas Remaja Tugas perkembangan remaja bertujuan untuk meninggalkan perilaku anak- anak dan berusaha berperilaku dewasa. Adapun tugas – tugas perkembangan remaja menurut Ali & Asrori (2008), yaitu: a. Mampu menerima keadaan fisiknya b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis. d. Mencapai kemandirian emosional.. e. Memahami dan menginternalisasikan nilai- nilai orang dewasa dan orang tua. f. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan. g.Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 19 D. Kerangka Berpikir Kematangan Emosi Remaja yang menikah Kecenderungan Depresi Gambar 2.1 Kerangka Berpikir E. Hipotesis Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan kecenderungan depresi pada remaja yang menikah (Ho : diterima). Ha : Ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan kecenderungan depresi pada remaja yang menikah (Ha : ditolak). http://digilib.mercubuana.ac.id/