AGEN PERUBAHAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT: BELAJAR DARI PENGEMBANGAN KAYU BAWANG DI WILAYAH PROPINSI BENGKULU Oleh : Efendi Agus Waluyo dan Ari Nurlia Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang ABSTRAK Pengembangan hutan rakyat kayu bawang di Propinsi Bengkulu telah dilakukan secara tradisional dan turun menurun di wilayah penyebaran alaminya. Sedangkan untuk wilayah di luar penyebaran alaminya dibutuhkan usaha dan proses yang terus menerus. Hal ini terlihat dari adanya perbedaan status pengembangan hutan rakyat kayu bawang yang berbeda disetiap kabupaten, padahal program yang digulirkan pemerintah adalah program yang sama. Agen perubahan (agent of change) ditengarai sebagai salah satu faktor yang berpengaruh nyata dalam pengembangan hutan rakyat kayu bawang di luar penyebaran aslinya. Agen perubahan tersebut tidak hanya memberi contoh nyata kepada masyarakat tapi juga memberi informasi yang berkesinambungan dan juga menyadarkan masyarakat akan pentingnya menanam kayu di kebun mereka. Dengan contoh yang nyata diharapkan adanya perubahan sosial di masyarakat terutama dalam pengembangan kayu bawang. Kata kunci: hutan rakyat, agen perubahan, kayu bawang I. PENDAHULUAN Budidaya tanaman berkayu telah lama dilakukan oleh masyarakat terutama di Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. Mereka mengembangkan jenis kayu lokal yaitu kayu bawang secara tradisional turun temurun dengan pola agroforestry. Di wilayah ini hampir semua masyarakat petani mengembangkan kayu bawang di kebunnya pada saat memulai kebun yang baru. Hasil Penelitian yang dilakukan Martin dan Galle (2009) mengenai perkembangan budidaya kayu bawang di masyarakat mengungkapkan bahwa kayu bawang bagi masyarakat di Kabupaten Bengkulu Utara merupakan tanaman tradisional warisan orang tua mereka dan mulai sengaja ditanam pada dekade tahun 1950-60an di kebun atau bekas ladang. Kayu ini banyak ditanam karena mempunyai mutu baik dan budidayanya relatif mudah. Meskipun mutu kayu bawang tergolong baik dan budidaya mudah, kayu bawang tidak akan dapat menyebar begitu saja keluar dari 1 wilayah sebaran aslinya. Ada beberapa faktor dari dalam dan luar masyarakat berpengaruh dalam adopsi teknologi agroforestry (Mercer, 2004) Agen perubahan (agent of change) adalah orang yang bertugas mempengaruhi orang atau masyarakat agar mau menerima inovasi sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh pengusaha pembaharuan (change agency). Dalam teori difusi inovasi, pada dasarnya dijelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Rogers (2003) menjelaskan bahwa inovasi sebagai suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan yang berupa gagasan baru. Sehingga dengan suatu inovasi baru diharapkan mendorong suatu perubahan sosial di masyarakat. Agen perubahan adalah salah satu faktor kunci yang telah menarik perhatian ilmuwan sosial dalam melakukan perubahan sosial, termasuk penggunaan teknologi di masyarakat (Sztopmka, 2011). Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan peran agen perubahan dalam keberhasilan pengembangan hutan rakyat terutama hutan rakyat kayu bawang di luar wilayah aslinya yang diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pembuatan kebijakan oleh pemerintah terutama yang terkait dengan pengembangan hutan rakyat di wilayahnya. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga kabupaten yang bukan merupakan wilayah sebaran asli kayu bawang di Propinsi Bengkulu. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan informasi yang diperoleh dari BP DAS Ketahun, dimana ketiga kabupaten tersebut merupakan kabupaten dengan permintaan bibit kayu bawang terbanyak sehingga diduga penyebaran kayu bawang di lokasi tersebut cukup meluas. Kabupaten yang terpilih sebagai lokasi penelitian adalah Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Seluma. Penelitian mengenai adanya agen perubahan dalam penyebaran hutan rakyat kayu bawang dilakukan pada bulan April sampai dengan September 2013, Namun pengamatan mengenai fenomena ini sudah dilakukan sejak tahun 2012. 2 B. Pengumpulan Data dan Analisis Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah. Penelitian kualitatif bertitik tolak dari paradigma fenomenologis yang objektivisnya dibangun atas situasi tertentu sebagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu dan relevan dengan tujuan dari penelitian itu (Sugiyono, 2005). Data primer diperoleh dari partisipan yang merupakan subjek penelitian. Subjek penelitian disebut partisipan karena partisipan tidak hanya merespon pertanyaan atau memilih jawaban dari pertanyaan yang di ajukan peneliti seperti halnya pada responden. Partisipan diperlakukan sebagai subjek karena memiliki peran aktif dalam memberikan informasinya. Partisipan sering juga disebut sebagai informan. Informan dipilih dengan menggunakan metode bola salju (Snowball sampling) yaitu dipilih berdasarkan informasi dari instansi pemerintah yaitu Dinas Kehutanan dan masyarakat setempat. Informan yang terpilih adalah informan yang merupakan tokoh kunci dalam penelitian yaitu orang-orang yang mampu mempengaruhi masyarakat agar mau menerima inovasi sesuai dengan tujuan yang diinginkan, dalam hal ini mampu mempengaruhi masyarakat untuk menanam kayu bawang di kebun mereka, sehingga informan tersebut dapat disebut sebagai agen perubahan. Data primer yang mendukung penelitian diperoleh dari instansi pemerintahan anatara lain BPDAS Ketahun, Dinas Kehutanana dan BPS baik tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten. Analisis dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan status pengembangan hutan rakyat di kabupaten-kabupaten yang terpilih sebagai lokasi penelitian. C. Kerangka Fikir Konseptual ADOPSI INOVASI Adams (1988) menyatakan, an innovation is an idea or object perceived as new by an individual. Dalam perspektif pemasaran, Simamora (2003) menyatakan bahwa inovasi adalah suatu ide, praktek, atau produk yang dianggap baru oleh 3 individu atau grup yang relevan. Sedangkan Kotler (2003) mengartikan inovasi sebagai barang, jasa, ide yang dianggap baru oleh seseorang. Usaha pengembangan tanaman berkayu di Propinsi Bengkulu sudah lama dilakukan tetapi hanya lingkup lokal di wilayah asli penyebarannya. Mengingat kayu bawang yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang bagus dan kualitas kayu yang baik maka dilakukan uji coba pengembangan di luar daerah sebaran alaminya. Ada beberapa orang yang berusaha mengembangkan dan mengenalkan kayu bawang tersebut di daerahnya. Mereka mencontoh cara-cara yang telah lama dilakukan secara tradisional oleh masyarakat yang telah lama mengembangkan kayu bawang. Mereka mencoba membuat di lahan-lahan pribadi dengan harapan kalo berhasil dapat dicontoh/diadopsi oleh masyarakat setempat. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi salah satunya adalah sifat dari inovasi itu sendiri. Inovasi yang akan di introduksikan harus mempunyai kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada dalam masyarakat penerima (adopter) tersebut. Jadi inovasi yang ditawarkan tersebut hendaknya inovasi yang tepat guna. Soekartawi (1988) menambahkkan bahwa jika teknologi baru yang ditawarkan akan memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dari nilai yang dihasilkan oleh teknologi lama, maka kecepatan adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat. Untuk menemukan inovasi kriteria seperti ini dapat dilakukan dengan cara; bandingkan teknologi introduksi dengan teknologi yang sudah ada, kemudian identifikasi teknologi dengan biaya rendah atau teknologi yang produksinya tinggi. Rogers (2003) mengemukakan, ada pengelompokan penerima inovasi, yaitu (1) Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi yang mempunyai ciri petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi, (2) Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Perintis ini biasanya para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi, (3) Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal. Ciri pengikut yaitu penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi, (4) Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Biasanya mereka yang tergolong dalam kelompok ini skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati, (5) 4 Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Yang termasuk dalam kelompok ini biasanya tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders, sumberdaya terbatas. Akan tetapi berdasarkan perkembangan sekarang ini, ada juga termasuk kelompok ini itu mempunyai pendidikan tinggi dan wawasan luas namun tidak terbuka dalam pemikirannya. Mereka biasanya merasa paling benar dan kurang bisa menerima pendapat dari orang lain. AGEN PERUBAHAN Agen perubahan menurut Havelock (1973) adalah orang yang membantu terlaksananya perubahan sosial atau suatu inovasi berencana agar kehidupan masyarakat yang bersangkutan akan mengalami kemajuan. Agen perubahan juga selalu menanamkan sikap optimis demi terciptanya perubahan yang diharapkan. Cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu dinamakan rekayasa sosial (social engineering) atau sering pula dinamakan perencanaan sosial (social planning) (Soekanto, 1990). Fungsi utama agen perubahan adalah sebagai penghubung antara pengusaha pembaharuan (change agency) dengan klien, tujuannya agar inovasi dapat diterima atau diterapkan oleh klien sesuai dengan keinginan pengusaha pembaharuan. Kunci keberhasilan diterimanya inovasi oleh klien terutama terletak pada komunikasi antara agen pembaharu dengan klien. Jika komunikasi lancar dan efektif proses penerimaan inovasi akan lebih cepat dan makin mendekati tercapainya tujuan yang diinginkan. Sebaliknya jika komunikasi terhambat makin tipis harapan diterimanya inovasi. Oleh karena tugas utama yang harus dilakukan agen pembaharu adalah memantapkan hubungan dengan klien. Dalam hal pengembangan kayu bawang di wilayah Provinsi Bengkulu, agen perubahan yang mengenalkan dan menyampaikan suatu gagasan pengembangan kayu tersebut adalah orang-orang yang berasal dari daerah setempat, mereka adalah para pegawai teknis kehutanan setempat. Meskipun jabatan utamanya bukan penyuluh tetapi mereka berfungsi selain sebagai pegawai teknis kehutanan dilapangan juga merangkap sebagai penyuluh. 5 III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penyebaran Hutan Rakyat Kayu Bawang di luar wilayah sebaran aslinya Informasi mengenai kekuatan dan keawetan kayu bawang dan keberhasilan hutan rakyat kayu bawang dalam memberikan kontribusi ekonomi pada pendapatan rumah tangga di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah menyebabkan mulai menyebarnya kayu bawang ke kabupatenkabupaten lainnya di Propinsi Bengkulu antara lain di Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Seluma. Sejauh mana kayu bawang mulai menyebar di kabupaten-kabupaten yang bukan wilayah asli penyebaran kayu bawang dapat dilihat dari karakteristik hutan rakyat kayu bawang di setiap kabupaten sebagaimana yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Hutan Rakyat Kayu Bawang di Lokasi Penelitian Kab. Mukomuko Uraian Ds. Sido Makmur N=34 Kayu bawang di kebun - Tanam - Tidak Tanam Ds. Lalang Luas N=31 Kab. Rejang Lebong Ds. Ds. Bandung Taba Marga Tinggi N=30 N=39 91,2 8,8 48,4 51,6 10,0 90,0 35,5 28,6 0,0 6,5 0,0 0,0 35,5 57,1 0,0 - Dari teman/kerabat 6,5 14,3 - Pembibitan sendiri 16,1 59,0 41,0 Kab. Seluma Ds. Babatan N=30 Ds. Bakal Dalam N=30 63,3 36,7 100,0 0,0 4,3 0,0 100,0 30,4 36,8 0,0 4,3 10,5 0,0 100,0 52,2 52,6 0,0 0,0 0,0 8,7 0,0 0,0 100,0 100,0 33,3 100,0 94,7 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 5,3 0,0 0,0 0,0 66,7 0,0 0,0 0,0 2 ha 3,3 ha 2,1 ha 3,1 ha 2,2 ha 2 ha 29 btg 14 btg 500 btg 41 btg 13 btg 87 btg Kopi Karet Asal Bibit - Bantuan - Beli - Cabutan alam Pola Tanam - Campuran - Monokultur - Campuran dan Monokultur Luas lahan ratarata/KK Jml rata-rata batang/KK Sawit Sawit & & Karet Karet Sumber : Diolah dari data primer, 2013 Tanaman Utama Karet & Sawit Karet 6 Walaupun tingkat penyebaran kayu bawang di semua kabupaten tidak merata pada setiap desanya, namun rata-rata tingkat penyebaran kayu bawang di Kabupaten Seluma lebih tinggi dibanding Kabupaten Mukomuko dan Kabupaten Rejang Lebong, Di Desa Bakal Dalam Kabupaten Seluma, kayu bawang sudah ditanam disetiap rumah tangga sejak tahun 2003 dengan rata-rata jumlah kepemilikan kayu bawang sebanyak 87 batang/KK, namun hal ini berbeda dengan Desa Babatan yang masih berada dalam satu kabupaten namun hanya memiliki jumlah rata-rata kepemillikan kayu bawang sebesar 13 batang/KK. Penyebaran kayu bawang di Desa Bakal Dalam terjadi tidak lepas dari peran aktif kepala desa dalam mendapatkan program bantuan bibit kayu bawang dari pemerintah. Sedangkan di Desa Babatan, sebagian besar masyarakat mendapatkan bibit kayu bawang dari hasil membelinya sendiri atau dari teman dan kerabatnya. Kayu bawang mulai menyebar di kabupaten-kabupaten lainnya di Propinsi Bengkulu melalui Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada tahun 2003 dan program Kebun Bibit Rakyat (KBR) pada tahun 2010. Walaupun menyebar melalui program yang sama, namun pengembangan hutan rakyat kayu bawang di setiap kabupaten memiliki status yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil pengamatan, salah satu faktor yang berpengaruh nyata terhadap keberhasilan pengembangan hutan rakyat kayu bawang adalah adanya faktor pembawa atau yang disebut sebagai agen perubahan. Di beberapa daerah yang tidak memiliki agen perubahan, pengembangan kayu bawang tidak sesignifikan pada daerah yang memiliki agen perubahan. Adapun status pengembangan kayu bawang di kabupaten-kabupaten yang terpilih sebagai lokasi penelitian adalah sebagai berikut B. Status Pengembangan Kayu Bawang di Kabupaten Mukomuko Berdasarkan informasi dari Kepala Bidang Kehutanan pada Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan, Pengembangan kayu bawang di kabupaten Mukomuko dimulai pada tahun 2005 yang diinisiasi dari pemerintah. Jenis-jenis yang dikembangkan tidak hanya kayu bawang tetapi juga jenis-jenis yang lain termasuk karet dan sengon. Pengembangan ini dilaksanakan di beberapa tempat, antara lain di desa Bukit Makmur Kecamatan Penarik seluas 100 Ha. Namun karena tidak adanya perhatian khusus dan perawatan, 7 pengembangan tanaman tersebut tidak berhasil. Pada tahun 2007 di Desa Tunggang Kecamatan Pondok Suguh, dikembangkan juga tanaman kombinasi antara kayu bawang dan tanaman karet. Namun, kondisinya tidak jauh berbeda dengan di daerah lainnya dimana hanya karet yang dapat tumbuh dengan baik sementara kayu bawangnya tidak tumbuh. Tidak tumbuhnya kayu bawang bukan dikarenakan adanya ketidaksesuaian lahan, melainkan dari masyarakat sendiri yang memilih untuk mematikan kayu bawang karena dianggap dapat mempengaruhi hasil karetnya. Ketidaktahuan masyarakat karena tidak adanya informasi yang benar ditengarai sebagai salah satu penyebabnya. Berbeda dengan kedua desa sebelumnya, kayu bawang di Desa Sido Makmur Kecamatan Terawang Jaya dan Desa Lalang Luas Kecamatan V Koto relatif tumbuh dengan baik namun penyebaran kayu bawang di hutan rakyat tidak merata dan relatif sedikit. Hal ini disebabkan masyarakat di wilayah ini lebih tertarik melakukan budidaya sawit dan tanaman perkebunan lainnya karena dapat lebih cepat menghasilkan. Kayu bawang di desa ini menyebar melalui program pemerintah, namun kegiatan yang ada hanyalah sebatas program tanpa adanya pengawasan. Belum adanya orang yang berfungsi sebagai agen perubahan yang secara serius dan konsentrasi mengembangkan kayu bawang di wilayah ini menyebabkan pengembangan hutan rakyat kayu bawang di wilayah ini tergolong kurang. C. Status Pengembangan Kayu Bawang di Kabupaten Seluma Lokasi penelitian yang terpilih pada kabupaten ini adalah Desa Bakal Dalam Kecamatan Talo Kecil, Desa Gunung Agung Kecamatan Lubuk Sandi dan Desa Babatan Kecamatan Sukaraja. Pemilihan lokasi didasarkan pada hasil diskusi dengan pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Seluma dimana salah satu persyaratannya adalah adanya sebaran kayu bawang dalam jumlah yang relatif banyak. Hasil Penelitian menunjukkan, di Desa Bakal Dalam Kecamatan Talo Kecil, sebaran kayu bawang relatif seragam dimana hampir setiap rumah tangga memiliki kayu bawang dikebunnya dengan jumlah lebih dari 50 batang. Penyebaran kayu bawang di desa ini tidak terlepas dari peran Bapak Indraidin 8 yang merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan kayu bawang ke masyarakat. Bapak Indraidin merupakan Staf di Dinas Kehutanan Sumatera Selatan yang kemudian pindah ke Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu pada saat Bengkulu mulai ditetapkan sebagai Provinsi Tersendiri. Namun, sejak tahun 1999 beliau terpilih menjadi Kepala Desa di Desa Bakal Dalam. Dengan pengalamannya di bidang kehutanan, beliau mengetahui informasi mengenai kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Utara dan beliau menyadari akan potensi pengembangan kayu bawang di wilayahnya. Dengan informasi yang dimilikinya beliau mulai memperkenalkan kayu bawang kepada masyarakat di desanya dengan terlebih dahulu menanam kayu bawang di kebun miliknya yang bibitnya di bawa dari Kabupaten Bengkulu Utara. Dengan adanya percontohan tersebut, masyarakat mulai berminat menanam kayu bawang di kebun-kebun mereka, namun kayu bawang saat itu belum cukup berkembang dikarenakan kurangnya bibit. Pada tahun 2003 beliau berhasil mendapatkan program bantuan kayu bawang dari Dinas Kehutanan, sehingga penyebaran kayu bawang di Desa Bakal Dalam semakin luas dan semakin berkembang. Hingga saat ini nama Bapak Indraidin begitu dikenal baik di lingkungan desa maupun di lingkungan Dinas Kehutanan Kabupaten Seluma, sebagai tokoh yang pertama kali mengembangkan kayu bawang di wilayahnya. Desa Gunung Agung dan Desa Babatan merupakan desa yang terletak tidak jauh dari perbatasan Kota Bengkulu. Di desa ini, penyebaran kayu bawang juga dibawa oleh orang-orang dari dinas kehutanan yang telah mengetahui informasi mengenai kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Utara. Bapak Sarkawi merupakan salah satu tokoh yang memperkenalkan kayu bawang di Desa ini dengan membangun kebun kayu bawang secara monokultur yang terletak di pinggir jalan utama Desa Gunung Agung. Dikarenakan lokasi kebun yang terletak di pinggir jalan, masyarakat bisa secara langsung melihat pertumbuhan dan penampakkan kayu bawang secara kasat mata. Bibit kayu bawang yang ditanam di kebun Bapak Sarkawi berasal dari Kabupaten Bengkulu Utara. Di desa ini minat masyarakat untuk menanam kayu bawang relatif tinggi, namun penyebaran kayu bawang masih belum terlalu banyak. Hal ini dikarenakan orang-orang yang memiliki kebun kayu bawang tidak bertempat tinggal di wilayah tersebut, bahkan 9 sebagian dari mereka bertempat tinggal di Kota Bengkulu. Kurangnya informasi menyebabkan perkembangan hutan rakyat kayu bawang di daerah ini belum terlalu meluas seperti halnya di Desa Bakal Dalam. Setiap rumah tangga di Desa ini hanya memiliki sedikit kayu bawang di kebun mereka. D. Status Pengembangan Kayu Bawang di Kabupaten Rejang Lebong Kabupaten Rejang Lebong merupakan wilayah dengan ketinggian yang bervariasi dari 200 – 1000 mdpl. Variasi ketinggian diduga menjadi salah satu pembatas penyebaran kayu bawang di Kabupaten ini. Pengamatan dilakukan ke berbagai lokasi dengan ketinggian yang berbeda antara lain Desa Taba Tinggi dan Desa Tanjung Sanai, Kecamatan Padang Ulak Tanding yang mewakili daerah dengan ketinggian dibawah 300 mdpl dan Desa Bandung Marga, Kecamatan Bermani Ulu Raya yang mewakili daerah dengan ketinggian lebih dari 500 mdpl. Di Desa Bandung Marga pertumbuhan kayu bawang tergolong lambat, sehingga tidak banyak masyarakat yang mengembangkan kayu bawang. Di Desa ini hanya sedikit masyarakat yang menanam kayu bawang itupun dengan jumlah yang relatif sedikit walaupun ditemukan pula beberapa masyarakat yang menanam kayu bawang dengan jumlah ratusan batang. Sebagian besar masyarakat belum menanam kayu bawang, mereka lebih memilih menanam sengon putih atau sengon merah karena pertumbuhannya yang lebih cepat dibanding kayu bawang. Tidak menyebarnya kayu bawang di daerah ini dimungkinkan karena kondisi lahan yang tidak sesuai sehingga tidak ada agen pembawa yang mengembangkan kayu bawang di wilayah ini. Wilayah yang memiliki sebaran kayu bawang yang tergolong luas dan merata adalah di Desa Taba Tinggi dan Desa Tanjung Sanai Kecamatan Padang Ulak Tanding. Agen pembawa di Desa ini adalah Bapak Sepaan yang merupakan staf teknis di Dinas Kehutanan Kabupaten Rejang Lebong. Beliau mulai memperkenalkan kayu bawang kepada masyarakat sejak tahun 2004 melalui program pemerintah. Minat masyarakat dalam menanam kayu bawang di desa ini tergolong tinggi dimana sebagian masyarakat menanam kayu bawang dalam jumlah yang besar, seperti Bapak Iwan yang bertempat tinggal di Desa Taba Tinggi yang memiliki kayu bawang di kebunnya hingga 1.200 batang. 10 Berdasarkan hasil pengamatan, kayu bawang di Desa Taba Tinggi dan Desa Tanjung Sanai memiliki pertumbuhan yang relatif cepat dibandingkan kayu bawang di Desa lain di Kabupaten Rejang Lebong. Hampir semua Kayu bawang di Desa Taba Tinggi dengan umur lebih dari 8 (delapan) tahun sudah mulai belajar berbuah. Buah-buah dari kayu bawang pun mudah sekali ditemukan di setiap hamparan lahan dimana terdapat kayu bawang di dalamnya. Masyarakat di Desa Taba Tinggi menanam kayu bawang dengan pola campuran dari yang menggunakan jarak tanam hingga yang tidak menggunakan jarak tanam, bahkan ada pula yang menanam kayu bawang di pembatas kebun sawitnya. Penyebaran kayu bawang di desa ini tergolong merata, dimana sebagian besar masyarakat memiliki kayu bawang dilahannya. Selain dari adanya agen pembawa yang memberikan informasi yang berkesinambungan kepada masyarakat mengenai pentingnya menanam kayu, kesesuaian lahan seperti faktor ketinggian diduga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penyebaran kayu bawang di Kabupaten Rejang Lebong. Kayu bawang diduga memiliki pertumbuhan lebih cepat pada ketinggian dibawah 300 mdpl dan mulai melambat di ketinggian lebih dari 300 mdpl. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Secara umum penyebaran kayu bawang terbanyak terdapat di Kabupaten Seluma, di ikuti Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Mukomuko. Penyebaran dan Pengembangan hutan rakyat kayu bawang tidak terlepas dari peran agen perubahan dalam mengubah kebiasaan masyarakat yang tidak terbiasa menanam jenis kayu kehutanan terutama kayu bawang menjadi masyarakat yang mulai memiliki budaya menanam. Merubah kebiasaan masyarakat tidaklah mudah, diperlukan suatu usaha yang panjang dan berkesinambungan. Agen perubahan merupakan orang-orang yang konsisten memperkenalkan dan memberikan informasi secara berkesinambungan kepada masyarakat dengan cara memberikan contoh berupa plot-plot serta memberikan penyuluhan guna menyadarkan masyarakat akan pentingnya menanam kayu di kebun mereka. 11 Agen perubahan merupakan hal yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah dalam pembuatan kebijakan khususnya yang berkaitan dengan pengembangan hutan rakyat di wilayahnya. Sehingga kebijakan yang dibuat tidak hanya bersifat sementara dan proyek semata namun juga berkesinambungan dengan menempatkan orang-orang yang dapat merangkul masyarakat dan konsisten terhadap keberhasilan program masa kini dan masa mendatang. V. DAFTAR PUSTAKA Adams, M.E. 1988. Agriculturan Extension in Developin Countries. 1st Edition. Longman Singapore Publisher Pte Ltd. Singapore. Havelock, R.G. 1973. The Change Agent’s Guide to Innovation in Education. Educational Technology Publications, Inc., Englewood Cliffs. New Jersey. Kotler, P. 2003. Marketing Management, 11th ed., Pearson Education, New York. Martin, E. dan F.B. Gale. 2009. Motivasi dan karakteristik social ekonomi rumah tangga penanam pohon penghasil kayu pertukangan: Kasus tradisi menanam kayu bawang (Disoxylum molliscimum BL) oleh masyarakat kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol.6 No.2. Hal. 117-134 Mercer, D.E. 2004. Adoption of agroforestry innovation in the tropics: A review. Agroforestry System Vol 61-62 (1-3) 311-328 p Rogers, M.E. 2003. Diffusion of Innovation. Fifth Edition. Simon & Schuster. New York. Soekanto, S. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar: Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta. Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Aztompka, P. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada Media Group. Jakarta. 12