bab i. pendahuluan

advertisement
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam situasi krisis yang terjadi antara tahun 1997-1998, pemerintah Indonesia
terpaksa mengikuti saran World Bank untuk membuka pintu bagi investasi asing dan saran
IMF (International Monetary Fund)
untuk menerapkan SAPs (Structutal Adjustment
Packages). Kebijakan tentang penetapan harga beras di pasar dalam negeri dihentikan dan
BULOG (Badan Urusan Logistik) dicabut haknya memonopoli impor beras. Berdasarkan
fondasi teoritis yang mereka bangun, kebijakan liberalisasi pasar beras dilakukan agar harga
beras menjadi rendah dan kemiskinan dapat berkurang karena lapangan kerja baru di luar
sektor pertanian akan tercipta. Pada gilirannya, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan
terjadi.
Pasca krisis ekonomi kebijakan beras mengalami perubahan-perubahan mendasar
yang lebih menekankan pada penguatan pasar. Pemerintah Indonesia mengadakan perjanjian
dengan IMF yang mensyaratkan bahwa semua subsidi pertanian dan penetapan harga beras
dan gabah oleh pemerintah dihapuskan dan sejak tahun 1998-2000, harga pupuk diserahkan
pada mekanisme pasar. Resep untuk menyembuhkan krisis ekonomi dikenal sebagai SAPs.
Paket penyesuaian struktural ini menyangkut pembenahan struktur ekonomi makro,
liberalisasi pasar, pembenahan kebijakan moneter dan pembenahan sektor fiskal dan.
(Winarno, 2010:127-132). Implikasi dari kesepakatan antara IMF dengan Indonesia tahun
1998, kemudian terjadi perubahan kebijakan perberasan yang mendasar yaitu. (Setiawan,
2001:2):
1.
2.
3.
4.
5.
Liberalisasi pasar beras dalam negeri.
Pencabutan STE (State Trading Enterprice) BULOG.
Pembebasan bea masuk beras impor.
Pencabutan subsidi sarana produksi terutama pupuk dan benih.
Liberalisasi tataniaga pupuk.
Kegagalan pemerintah Orde Baru dalam melakukan pemulihan ekonomi memicu
munculnya gerakan demokratisasi yang didukung oleh kekuatan mahasiswa dan berhasil
memaksa pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan menuju masyarakat yang
demokratis. Setelah tatanan politik demokrasi diterapkan, partai-partai politik dan kelompokkelompok kepentingan berkembang secara bebas. Partai-partai politik dalam jumlah yang
sangat banyak lahir sehingga terjadi fragmentasi politik. UU No 31 Tahun 2002 menetapkan sepanjang memenuhi ketentuan teknis administratif - siapapun bisa mendirikan parpol.
Sejumlah 48 parpol yang lolos seleksi dan bertarung dalam Pemilu 1999 dan 24 partai yang
lolos seleksi menjadi kontestan Pemilu 2004. (Kompas, 22/05/2004). Kehadiran parpol
„sempalan“ juga mewarnai persiapan menuju Pemilu 2009. Jumlah partai baru yang terdaftar
di Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia hingga awal Mei 2007 sudah mencapai 52
partai. (Kompas, Kamis, 24/5/2007). Dengan diterapkan otonomi daerah juga telah muncul
aktor-aktor baru seperti Bupati dan Gubernur yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pada level masyarakat sipil, bersamaan dengan menjamurnya partai politik, juga lahir
berbagai organisasi-organisasi petani dan NGOs (Non-Governmental Organizations) seperti,
FSPI (Federasi Serikat Petani Indonesia) yang dideklarasikan tanggal 8 Juli 1998, AGRA
(Aliansi Gerakan Reforma Agraria), DTI (Dewan Tani Indonesia) didirikan pada tanggal 30
Desember 2005, API (Aliansi Petani Indonesia) yang berdiri sejak tahun 2001, Petani
Mandiri didirikan pada tanggal 8 Maret 2004, WAMTI (Wahana Masyarakat Tani dan
Nelayan) Indonesia
berdiri tanggal 24 September 2004, KRKP (Komite Rakyat untuk
Kedaulatan Pangan) dibentuk pada bulan Februari 2003, KPA (Konsorsium Pembangunan
Agraria), IGJ (Institute Global Justice) dan masih banyak lagi.
Organisasi-organisasi petani
dan NGOs pada masa reformasi sering melakukan
gerakan-gerakan anti-liberalisasi pasar beras domestik dan impor yang dilakukan melalui
saluran media masa dan demonstrasi. Dan pada tingkat pemerintahan di daerah, Gubernur
dan Bupati lahir menjadi aktor baru dalam perpolitikan di Indonesia. Dalam kasus impor dan
liberalisasi pasar beras domestik aktor-aktor ini sering melakukan tekanan-tekanan kepada
Pemerintah untuk menghentikan impor beras demi untuk melindungi kepentingan petani
produsen. Para Gubernur di seluruh Indonesia memiliki asosiasi yang disebut APPSI
(Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia) yang pada masa Pemerintahan Periode I
SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)
juga mengadakan tekanan-tekanan politik terhadap
kebijakan impor beras.
Setelah pergantian rezim otoriter ke rezim demokrasi proses liberalisasi pertanian
mulai mendapatkan tanggapan yang negatif dari organisasi-organisasi petani, kepala-kepala
daerah dan partai-partai politik. Mereka mulai mempermasalahkan segi negatif kebijakan
impor dan liberalisasi pasar beras domestik sehingga, pemerintah Gus Dur mulai
mengendalikan kebijakan liberalisasi pasar beras dengan menetapkan tarif spesifik sebesar
Rp 430/kilogram (kg) yang diberlakukan sejak Januari 2000. Akan tetapi dalam
perkembangannya penetapan tarif itu tidak dapat mengendalikan laju peningkatan impor
beras. Pada masa Pemerintahan Megawati impor beras meningkat kembali. Pada tahun 2001
sekitar 1,384,000 ton, tahun 2002 meningkat menjadi
3.707.000 ton, dan tahun 2003
sebanyak 2.750.000 ton.
Isu yang berkembang dalam masa Pemerintahan Megawati adalah bagaimana
mengatasi dampak negatif impor beras, yakni tingginya harga beras di pasar, anjloknya harga
gabah dan semakin lemahnya ketahanan pangan. Disparitas harga gabah dan beras yang
tinggi dengan harga gabah terlampau rendah, sementara harga beras terlampau tinggi
mengindikasikan bahwa dalam pasar beeras domestik telah terjadi oligolopi. Sebagai
akibatnya, disparitas harga beras domestik yang lebih tinggi dari harga beras internasional
memberikan insentif bagi importir untuk memasukkan beras dari luar negeri. Sebagai
akibatnya, volume impor beras meningkat secara fantastis.
Kalangan petani dan pengamat selalu merisaukan makin tingginya impor pangan.
Dari data itu mereka berkesimpulan ketahanan pangan Indonesia bermasalah. (Kompas, 10/
2000). Megawati memutuskan beberapa kebijakan yakni, pengendalian tataniaga beras
domestik Inpres No 9 2002, memberlakukan kembali subsidi input pertanian dan mengatur
tataniaganya S.K. Menperindag No. 356/MPP/KEP/5/2004, dan yang terakhir S.K. No.
9/MPP/Kep/1/2004 menghentikan impor beras yang berlaku sampai dengan tahun 2007. Pada
bulan Januari 2004 pemerintah Megawati menutup import beras.
Sejak saat diberlakukan pembatasan impor beras wewenang monopoli impor kembali
dipegang oleh BULOG. Jumlah impor hanya dibatasi untuk menutup kesenjangan produksi
dan konsumsi domestik. Akan tetapi, kebijakan larangan impor tidak dipertahankan oleh
pemerintah baru di bawah pimpinan SBY walaupun mendapat tekanan-tekanan yang kuat
dari organisasi-organisasi petani, Bupati, Gubernur, partai politik, dan organisasi mahasiswa.
Pada akhir tahun 2005, pemerintah berusaha untuk membuka kran impor kembali dengan
mengijinkan impor beras sebanyak 189.617 ton. Impor beras terus meningkat menjadi
210.000 ton pada tahun 2006, dan mencapai puncaknya menjadi 1.5 juta ton pada tahun 2007.
(BPS, 2007, dalam SPI:9).
Pada umumnya, para pendukung ideologi ekonomi liberal seperti Eropa Barat,
Amerika Serikat, dan Jepang menjustifikasi kebijakan campur tangan negara yang kuat
terhadap pasar produk pertanaian. Teori liberal menghadapi masalah jika diterapkan dalam
sektor produk pertanian. Ciri pokok produk pertanian adalah tergantung pada alam yang tidak
menentu, sehingga goncangan-goncangan terhadap keseimbangan harga pasar sering terjadi.
Produksi sektor pertanian selalu menghadapi fluktuasi-fluktuasi jangka pendek karena
produksi pertanian tergantung pada alam seperti keadaan tanah, iklim, cuaca, dan serangan
hama tanaman. Hasil-hasil produk pertanian tidak menentu karena fluktuasi-fluktuasi
produksi biasa terjadi dan tidak bisa diramalkan. Sebagai akibatnya, supplai produk pertanian
dalam jangka pendek tidak responsif terhadap perubahan-perubahan kondisi pasar.
Produksi sektor pertanian sangat berbeda dengan sektor industri dimana fluktuasifluktuasi produksi yang disebabkan perubahan alam seperti curah hujan dan serangan hama
tanaman tidak terjadi. Produk sektor industri relatif tahan menghadapi kondisi perubahan
alam seperti itu. Sektor industri akan mengalami goncangan harga akibat external shock yang
luar biasa seperti bencana alam yang massif yang tak terduga atau perang yang
berkepanjangan. Akibat dari perbedaan khas itu, pertumbuhan ekonomi sektor industri lebih
cepat dibandingkan dengan sektor pertanian. Sehingga, pendapatan sektor industri tidak dapat
dikejar oleh orang-orang yang berkerja pada sektor pertanian. Inilah alasan kedua mengapa
produksi sektor pertanian diperlukan kehadiran negara dalam pasar. Di samping semua semua
alasan itu, kemandirian sektor pangan juga menentukan masalah keamanan nasional. Oleh
sebab itu, dengan berbagai alasan yang telah dijelaskan, produksi pertanian pada umumnya
diperlakukan sebagai public goods yang tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar bebas.
Seharusnya, demokratisasi politik dibarengi dengan demokratisasi ekonomi pada
sektor pertanian agar dapat mengurangi penderitaan kaum petani dan penduduk miskin yang
lemah dan terpinggirkan sebagai akibat dari liberalisasi dan globalisasi. Akan tetapi, kasus
yang terjadi di Indonesia justeru sebaliknya. Dalam era demokratisasi dan kebijakan otonomi
daerah berbagai organisasi petani, NGOs, dan aktor-aktor baru yang lain seperti parpol,
Gubernur dan Bupati melakukan tekanan-tekanan terhadap kebijakan impor beras dan
dampak negatif liberalisasi pasar beras domestik dan membanjirnya aliran impor beras yang
merugikan kepentingan petani. Konflik kepentingan antara kelompok pro-liberalisasi dan
anti-liberalisasi telah mengakibatkan pembentukan dua kutub pola koalisi kekuatan politik.
Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa dalam era Pemerintahan SBY tidak pernah ada
perubahan-perubahan kebijakan dalam sektor beras secara mendasar. Pasar beras domestik
tetap liberal, kebijakan impor beras terus berlangsung, dan perubahan kebijakan menuju
perlindungan terhadap kepentingan petani tidak terjadi. Kecuali, pada masa Gus Dur dan
akhir Pemerintahan Megawati euphoria perubahan politik masa reformasi masih dapat
menyatukan partai-partai politik reformis untuk menentang impor beras.
Kajian ini menjelaskan tarik ulur kepentingan antara aktor-aktor pendukung
liberalisasi dengan aktor-aktor pendukung kebijakan proteksi pada sektor perberasan setelah
rezim politik demokratis menggantikan rezim Orde Baru; dan mengidentifikasi aktor-aktor
yang terlibat didalamnya dan menemukan bagaimana pola koalisi kekuatan yang terbentuk.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas hal yang perlu
dipertanyakan adalah:
1. Mengapa setelah demokratisasi yang diikuti dengan lahirnya partai-partai politik,
kepala-kepala daerah yang otonom, dan ormas-organisasi petani dan NGOs,
kebijakan de-liberalisasi terbatas era reformasi pada sektor peberasan merugikan
kepentingan petani produsen dan konsumen miskin ?
2. Bagaimana interaksi antar aktor yang terlibat dalam kebijakan beras setelah rezim
politik demokratis masa reformasi lahir ?
3. Sejauh mana pengaruh tekanan-tekanan politik dari organisasi-organisasi petani
dan NGOs yang mendapat dukungan dari kepala-kepala daerah dan partai-partai
politik pendukung kebijakan proteksi terhadap perubahan-perubahan kebijakan
Pemerintah ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk melacak sejauh mana interaksi politik antara aktoraktor pendukung liberalisasi dan proteksi berlangsung; dan sejauh mana pengaruh tekanantekanan politik terhadap aktor-aktor pendukung kebijakan impor beras, dan kemana
organisasi-organisasi petani dan NGOs merepresentasikan kepentingan mereka. Tahap-tahap
penelitian yang akan ditempuh adalah, pertama, mengidentifikasi seberapa jauh partisipasi
politik elemen-elemen kekuatan politik reformis seperti partai-partai politik dan kelompokkelompok kepentingan masyarakat sipil petani yaitu organisasi-organisasi petani dan NGOs
yang telah mulai berkembang ketika partisipasi politik tidak lagi dibatasi oleh rezim politik
otoriter yang dikendalikan oleh birokrasi dan militer. Dengan kapasitas politik yang terbatas
sejauh mana elemen-elemen kekuatan reformis itu mampu menghadapi kekuatan oligarki
politik patrimonial sisa Orde Baru dalam memengaruhi kebijakan perberasan. Mengingat
partai-partai politik reformis mengalami keterbatasan sumber-sumber yang dimiliki dan
menghadapi persaingan antar parpol yang tajam dalam memperebutkan karier politik, apakah
mereka cenderung mengikuti langkah oligarki politik masa Orde Baru dengan melakukan
tindakan-tindakan koruptif atau bersikap konsisten dan tetap mampu mempertahankan
kesatuan kekuatan kubu reformis dan berfihak pada kepentingan kolektif.
Kedua, mengidentifikasi kemungkinan perubahan orientasi kebijakan. Dalam sisitim
politik demokratis terbuka kemungkinan bahwa agen-agen kekuatan politik baik baru
maupun lama mengalami perubahan orientasi politik dalam sektor kebijakan beras,
mendukung liberalisasi atau proteksi. Seberapa jauh kekuatan politik reformis dalam
menghadapi kekuatan politik lama, kemungkinannya dapat diidentifikasi. Pada awal
reformasi kekuatan oligarchi politik baru tidak mampu mengendalikan sepenuhnya tingkah
laku politik oligarki politik lama karena keterbatasan sumber-sumber. Sehingga, sebagian
besar partai politik reformis berkoalisi dengan kakuatan oligarki politik lama. Sebagai
akibatnya, partai-partai politik reformis menjadi kekaatan politik yang sedang akan tetapi
koruptif. Walaupun demikian, kekuatan oligarki politik baru tidak lenyap karena tidak semua
partai politik memilih jalan pragmatis. Sebaliknya, elemen-elemen kekuatan politik
peninggalan rezim Orde Baru secara bertahap juga bisa berubah menjadi kekuatan-kekuatan
politik reformis ketika mereka tidak mendapatkan dukungan konstituen dalam mencapai
karier politik. Jika hal ini terjadi dan oligarki politik baru konsisten secara ideologis maka
mempunyai kapasitas untuk melawan oligarki politik lama.
D. Konsepsi Judul
Konsep liberalisme telah berkembang dari aliran Klasik, Neo-Klasik, Keynesian, dan
Neo-Liberalisme. Munculnya aliran Neo-Liberalism adalah kembali ditekankannya prinsipprinsip liberalisme klasik dan neo-Klasik yang bercirikan pada minimalisasi peran negara
dalam ekonomi pasar. Bahkan beberapa ekonom dari aliran ini sering mengemukakan
pandangan yang lebih extrim dalam arti bahwa mereka lebih bersifat minimalist jika
dibandingkan dengan Adam Smith sendiri sebagai bapak dari ekonomi pasar bebas. (Khorn
1995:28).
Konsep proteksi bertentangan dengan liberalisasi. Proteksionisme menunjuk pada
kebijakan-kebijakan yang melindungi bisnis dan pekerja dalam suatu negara dengan
membatasi atau mengatur perdagangan dengan negara-negara lain dari luar. Ada berbagai
cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan proteksi yakni, import quotas,
administrative barriers (berhubungan dengan keamanan makanan, standard lingkungan
dsb.), anti-dumping legislation, subsidi-subsidi langsung, subsidi export, manipulasi nilai
tukar mata uang.
Sedangkan istilah deprivasi terkait dengan konsep eksklusi sosial (sosial exclusion)
yang dijelaskan melalui dua cara. Pertama, memandang bahwa eksklusi sosial adalah konsep
multi-dimensional. Konsep itu memusatkan perhatian pada multi-dimensionalitas deprivasi.
Fakta yang dapat dilihat adalah bahwa orang sering terdeprivasi dalam berbagai hal yang
berbeda pada saat yang bersamaan. Konsep itu menunjuk pada eksklusi (deprivasi) dalam
bidang ekonomi sosial dan politik. Cara yang kedua menjelaskan sosial exclusion
memusatkan perhatian pada hubungan dan proses yang menyebabkan deprivasi. Orang dapat
dieksklusi oleh berbagai kelompok pada saat yang sama; tuan tanah mengeksklusi orang dari
akses terhadap tanah atau perumahan; kelompok elite politik mengekslusi kelompok lain
untuk mendapatkan hak-haknya secara legal; dan seterusnya. Eksklusi terjadi dalam setiap
lapisan masyarakat. (Haan, 2001:27).
Deprivasi (deprivasi relatif) adalah pengalaman menjadi orang yang terdeprivasi dari
sesuatu yang orang yakini mempunyai hak untuk memiliki sesuatu itu. Konsep itu menunjuk
pada orang/kelompok yang tidak puas yang dirasakannya ketika mereka membandingkan
posisi mereka dengan orang/kelompok lain dan sadar bahwa mereka telah mendapatkan
sesuatu yang lebih kecil daripada yang mereka miliki. Schaefer mendefinisikannya sebagai
"the conscious experience of a negative discrepancy between legitimate expectations and
present actualities.”
Organisasi adalah tempat atau wadah dimana orang-orang berkumpul, bekerjasama
secara rasional dan sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin dan terkendali, untuk
mencapai tujuan organisasi. Upaya untuk mencapai tujuan organisasi dapat diistilahkan
sebagai perjuangan yang didalamnya individu/kelompok melakukan berbagai cara yang
terstruktur dalam strategi dan taktik yang diciptakan untuk mencapai tujuan-tujuan. Dalam
tatanan politik demokratis organisasi dapat berbentuk partai politik atau kelompok
kepentingan yang mewakili kepentingan kelompok masyarakat tertentu.
Mc.Keon et. al. mengatakan asosiasi petani sebagai civic organizations yang menjadi
bagian dari apa yang Upholf (1993) katakan sebagai “collective action sector”. Gramsci
menjelaskan, terdapat batas yang jelas antara organisasi masyarakat dengan publik dan
privat, hubungan dan batas antara masyarakat sipil dan ekonomi politik, terutama negara.
Masyarakat sipil sering dihubungkan dengan populisme. Asosiasi mewakili kekuatan rakyat
dan, sebagaimana dimengerti oleh Gramsci populisme adalah seperangkat ide yang
kontradiktif yang terintegrasi dalam kelompok yang sedang berkuasa. (McKeon, Watts dan
Wolford, 2004:3-4). Istilah Petani (Leith et.al, SMERU Institute, 2005:29) menunjuk pada :
1. Agricultural employees—Agricultural workers who do not own land
[Rumahtangga buruh tani]
2. Small farmers—Agricultural workers with land < 0.5 ha [Rumahtangga petani
gurem (yang memiliki lahan pertanian < 0.5 ha)]
3. Medium farmers—Agricultural workers with land 0.5 ~ 1 ha [Rumahtangga
pengusaha pertanian (yang memiliki lahan 0.5 ~ 1 ha)]
4. Large farmers—Agricultural workers with land >1 ha [Rumahtangga pengusaha
pertanian (yang memiliki lahan >1 ha)].
Paasch, et.al. berpandangan secara lebih terperinci (Paasch et.al., 2007:106-107) :
1. Petani pemilik - menggarap lahan sendiri atau lahan mereka digarap petani lain.
2. Petani pemilik penggarap dengan luas lahan kurang dari 0.5 ha – mereka
menanami sendiri lahan miliknya, juga menggarap lahan orang lain dengan sistem
gadai atau maro
3. Petani penggarap – menggarap lahan orang lain dengan sistem gadai, bagi hasil
atau sewa.
4. Buruh tani – menggantungkan tenaga sebagai sumber penghidupan.
E. Review Pustaka
Kajian suparmin (2005) menjelaskan bahwa BULOG hanya berperan secara
signifikan dalam stabilisasi harga gabah pada periode isolasi pasar masa Orde Baru, tapi tidak
berperan secara signifikan dalam stabilisasi harga beras, baik pada periode isolasi pasar,
”pasar bebas” masa reformasi, maupun pada pasar terbuka terkendali. Pertama, berdasarkan
perkembangan tingkat stabilitas harga gabah dan beras, tingkat kesetabilan harga pada level
konsumen relatif lebih tinggi daripada harga gabah pada tingkat petani baik pada saat
kepemimpinan Orde Baru (data 1975-1988) maupun masa kepemimpinan reformasi (19992003). Kebijakan stabilisasi harga beras nasional selama lebih dari tiga dekade lebih
memfokuskan pada stabilisasi harga beras di tingkat konsumen sebagai alat untuk
mengendalikan inflasi. Kedua, BULOG hanya berperan dalam stabilisasi harga gabah di
tingkat petani produsen dalam masa Pemerintahan Orde Baru. Begitu juga, Kebijakan
Operasi Pasar (pembelian gabah di tingkat petani) hanya effektif dijalankan Pemerintahan
ORBA. Sedangkan pada masa pemerintahan reformasi BULOG tidak efektif dalam
melakukan stabilisasi harga gabah di tingkat petani produsen. (Suparmin, 2005).
Selama kurun waktu liberalisasi di Indonesia yang dimulai tahun 1995 swasembada
pangan turun dan ketergantungan impor meningkat. Petani padi telah menderita sebagai
akibat dari turunnya harga padi, tingginya harga input pertanian karena pengurangan subsidi.
Sebagian besar petani kecil dan keluarganya hidup kurang dari US$ 1 per orang per hari.
(Paasch dkk., 2007, hal. 126). Reorganisasi BULOG menjadi BUMN telah menimbulkan
masalah tentang peran BULOG dalam menyangga ketahanan pangan dan menimbulkan
perdebatan tentang kebijakan pangan pemerintah. Kebijakan pangan dan perberasan
terutama, telah berubah secara cepat dan sering perubahan-perubahan itu tidak didasarkan
pada analisis yang matang atau bahkan tanpa mempertimbangkan implikasi sosial-ekonomi
dan politik. Keputusan yang asal-asalan untuk membuat reformasi kebijakan telah
memperlemah kapabilitas kelembagaan pemerintah dalam mencapai tujuan-tujuan kebijakan
pangan nasional. Kebijakan perdagangan komoditi pertanian sering mengalami perubahan
dan tidak ada kepastian bagi petani produsen dan konsumen pangan. (Sidik, 2004).
Kesimpulan Suparmin, Paasch et. al., dan Sidik menarik untuk dicermati karena
terdapat perbedaan yang menyolok antara manajemen kebijakan perberasan pada masa Orde
Baru dengan masa reformasi. Pada masa Orde Baru sebelum krisis ekonomi kebijakan beras
dilakukan secara hati-hati dan selalu mempertimbangkan stabilisasi harga gabah di tingkat
petani dan beras di tingkat konsumen, dan sebaliknya pada masa reformasi. Arifin
menemukan bahwa disparitas harga beras dan gabah menjadi semakin tinggi sehingga petani
produsen dan konsumen sama-sama dirugikan. Fluktuasi harga beras atau gabah cenderung
merugikan petani dan konsumen. Kalaupun ada manfaatnya, yang menikmati adalah
distributor, pedagang dan penggilingan padi. (Kompas 6/3/2008, Paasch et.al., 2007). Sifat
pasar beras di dalam negeri memiliki struktur yang bersifat asimetris dan tidak sehat karena
pelaku pasar yang mempunyai kekuatan besar menekan pelaku di bawahnya. (Arifin,
2007:67; Pulungan, dalam detik.com, 1 Januari 2007). Pedagang dan distributor gabah dan
beras domestik mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan mengorbankan
kepentingan petani dan konsumen. Sedangkan importir mendapatkan insentif yang lebih
besar karena disparitas harga beras domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga beras
internasional sejak liberalisasi.
Hasil penelitian Suparmin, Paasch et.al., Arifin, dan Sidik memfokuskan pada studi
ekonomi perberasan sehingga tidak membahas tentang interaksi politik antar kepompokkelompok kepentingan, partai-partai politik, dan kekuatan ekonomi dan politik global yang
terlibat dalam kebijakan beras pada masa reformasi. Sementara itu, studi ekomomi-politik
pada sektor kebijakan perberasan belum ada yang meneliti. Oleh sebab itu, penulis berusaha
untuk melakukan studi pada kasus itu dengan mengunakan menggunakan perspektif
ekonomi-politik.
Penelitian dari perspektif ekonomi-politik yang dapat ditemukan bersifat umum
menyangkut semua sektor kebijakan. Aliran pemikiran Neo-Marxis, Robinson dan Hadiz,
menjelaskan bahwa sistem politik Indonesia masa setelah Suharto masih bersifat eksklusif
seperti halnya pada masa Orde Baru, terlepas dari adanya fakta bahwa sistem politik pada
masa ini telah menjadi semakin demokratis dan terdesentralisasi. Pada masa Suharto sistem
politik didominasi oleh birokrat-politik yang menduduki aparat-aparat kenegaraan, sektor
bisnis, dan figur-figur kriminal yang mempunyai hubungan dekat dengan individu-individu
itu. Walaupun negara telah menjadi terbuka dan aksesible, liberalisasi politik telah
memberikan peluang bagi elit politik lama dan baru untuk menguasai lembaga-lembaga baru.
Sebagai akibatnya, mereka dapat mempertahankan kekuasaan mereka dan mendapatkan
pengaruh politik dan ekonomi. Rezim Orde Baru dikendalikan oleh oligarki politik yang
terdiri dari, birokrat-politik, konglomerat, tehnokrat yang diperkuat oleh IMF, Bank Dunia
dan negara-negara Barat, dan modal asing yang menyediakan bantuan untuk pembangunan
ekonomi.
Liberalisasi politik telah menghasilkan perbedaan sifat oligarki peninggalan Orde
Baru yang telah muncul kembali pada masa reformasi politik dalam bentuknya yang sudah
berubah. Sementara dalam masa Orde Baru oligarki bersifat solid dan tunggal, oligarki baru
setelah reformasi menjadi lebih tersebar yang ditambah dengan aktor-aktor politik yang baru
muncul. (Robison and Hadiz, 2004, dalam Pratikno dan Kurniawan, 2007). Pada level
nasional elit-elit politik berusaha untuk memanfaatkan partai-partai politik yang sudah ada
pada masa Orde Baru atau membentuk partai-partai politik baru. Hal ini terlihat dengan
masih bertahannya partai politik lama GOLKAR dan munculnya berbagai partai politik baru
pada masa reformasi. Lebih jauh, di dalam partai-partai politik baik yang lama maupun yang
baru telah timbul persaingan antar elit politik mengakibatkan lahirnya partai-partai politik
sempalan. (Imawan, dalam TEMPO, Edisi. 44/XXXII/29 Desember - 04 Januari 2004).
Aktor-aktor politik masa Orde Baru itu tetap bertahan dalam sistem politik yang baru
karena, mampu mengatur diri mereka sendiri dengan membentuk aliansi-aliansi yang baru
dan memanfaatkan kendaraan politik baru yang terbentuk pada masa reformasi. Dalam
pandangan paradigma Neo-Marxist, elemen-elemen kekuatan politik yang terpinggirkan pada
masa Suharto seperti masyarakat miskin dan NGOs kelas menengah yang menjadi
pendukungnya tetap terekslusi dari proses pengambilan keputusan1. (Hadiz 2003:593, dalam
Rosser et. al., 2007:1). Dari sudut pandang kaum Marxis, sukses kelompok-kelompok
kepentingan yang kaya dan kegagalan aktor-aktor yang miskin disebabkan oleh dominasi
kelas kapitalis. Kelompok-kelompok kepentingan kelas borjuis dapat memaksa kebijakan
Pemerintah karena mereka terikat dalam struktur kekuatan kelas kapitalis.
Indonesianists seperti Asspinal, Weber dan, Rosser, mengambil jalan tengah dalam
arti bahwa mereka tidak menolak pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Robinson
dan Hadiz yang menjelaskan bahwa rezim plitik reformasi masih didominasi oleh oligarki
politik patrimonial masa Orde Baru. Akan tetapi, mereka memandang bahwa proses
demokratisasi di Indonesia tidak sesuram yang mereka katakan. Asspinall menekankan pada
analisis terhadap kekuatan masyarakat sipil yang terjadi sejak masa Orde Lama hingga masa
setelah hancurnya rezim Orde Baru. Menurut Asspinall, terlepas dari adanya fakta bahwa elit
politik lama telah mampu untuk memanfaatkan lembaga-lembaga politik masa reformasi dan
mampu mempertahankan oligarki politik, era setelah jatuhnya rezim Suharto ditandai oleh
semakin kuatnya aktivitas organisasi masyarakat sipil sebagai kelanjutan dari kecenderungan
menguatnya organisasi masyarakat pada masa akhir Orde Baru. (Asspinall, 2007).
Memang dapat dibenarkan bahwa proses demokratisasi di Indonesia menanggung
beban warisan sejarah masa Suharto yakni, warisan sejarah politik patrimonial yang didukung
oleh kelompok-kelompok kepentingan politik, bisnis, militer dan birokrasi yang kuat yang
telah berakar dalam masa Orde Baru yang termanifestasi dalam bentuk korupsi yang massif.
Akan tetapi menurut Weber, walaupun proses konsolidasi demokrasi di Indonesia masih
diwarnai oleh adanya keberlanjutan politik patrimonial, perlu dipertanyakan apakah politik
patrimonial itu dapat bertahan secara tidak terbatas dalam situasi politik yang demokratis
pasca-Suharto dimana para politisi telah secara teratur mengejar karier politik untuk terpilih
kembali dalam pemilu. Weber mensitir pandangan Crouch yang menyatakan bahwa
kelanggengan fungsi politik patrimonial memerlukan persaingan politik yang hanya dibatasi
pada tingkat elit politik dan tekanan terhadap tindakan politik massa. (Crouch, dalam Weber,
2005:20). Pada akhir tulisannya Weber sampai pada suatu kesimpulan bahwa sebahagian
besar masyarakat pemilih di Indonesia memberikan dukungan yang kuat pada kekuatankekuatan yang berorientasi pada reformasi sehingga prospek ke depan menuju demokratisasi
1
Pada masa Reformasi Roser et. al. menjelaskan bahwa tuntutan kelompok miskin yang didukung oleh Organisasi Petani
dan NGOs, dan Parpol Reformis berhasil merubah kebijakan pemerintah dalam masalah tuntutan hak atas tanah yang
telah dirampas pemerintah pada masa Orde Baru. Bahriadi dalam penelitian yang sama juga menjelaskan keberhasilan
tuntutan kelompok miskin di daerah Jawa Barat. Mereka membatah temuan penelitian Robinson dan Hadiz yang
menyatakan bahwa pada awal masa Reformasi kelompok miskin tereksklusi dari proses pengambilan keputusan.
akan mampu untuk melenyapkan politik patrimonial warisan rzim Orde Baru. (Weber,
2005:20).
Sejalan dengan pemikiran Weber, Asspinall dan Rosser et. al. berargumen bahwa
sistem politik Indonesia masa setelah Suharto telah menjadi semakin inklusif. Jatuhnya rezim
Suharto dan proses konsolidasi demokrasi yang mengikutinya telah mampu menghilangkan
kendala-kendala utama bagi organisasi-organisasi masyarakat sipil yang dibentuk oleh
masyarakat miskin yang kurang bernasib baik yang mendapatkan dukungan dari NGOs,
sehingga telah membuat mereka semakin mudah dalam melakukan tindakan kolektif yang
ditujukan untuk memperoleh perubahan-perubahan kebijakan yang berfihak pada masyarakat
miskin. Karena, untuk mencapai posisi politik politisi-politisi parpol tergantung pada
dukungan suara publik, dimana banyak dari mereka berasal dari kaum miskin dan tidak
beruntung. Perkembangan politik itu juga telah menciptakan insentif bagi para politisi untuk
mengejar perubahan kebijakan yang berfihak pada kepentingan-kepentingan masyarakat
miskin. Akibatnya, kelompok masyarakat miskin yang terpinggirkan akan mendapatkan
pengaruh yang relatif lebih besar terhadap proses pembuatan keputusan publik. (Rosser et.al,
2004:227).
Optimisme ketiga pemerhati masalah politik Indonesia itu didasarkan pada suatu
keyakinan bahwa sistem politik demokratis partai-partai politik yang lahir pada masa
reformasi mempunyai kemampuan untuk dapat menghapuskan pengaruh oligarki politik lama
dengan dukungan dari konstituen masyarakat pemilih. Mereka juga percaya bahwa kekuatan
politik pada level masyarakat sipil mampu mempengaruhi proses pengambilan kebijakan
publik pada level pemerintah atau masyarakat politik. Pada dasarnya berdasarkan keyakinan
itu mereka bertahan pada suatu pandangan bahwa proses konsolidasi demokrasi di Indonesia
telah berhasil, walaupun masih mendapatkan kendala politik patrimonial warisan masa Orde
Baru. Menurut Asspinal dan Rosser et.al. rezim politik reformasi yang baru setelah jatuhnya
Suharto ditandai oleh semakin kuatnya aktivitas organisasi masyarakat sipil.
Kemampuan partisipasi masyarakat sipil dalam mempengaruhi proses pengambilan
kebijakan pemerintah dapat ditunjukkan melalui beberapa fenomena yang telah terjadi di
tingkat pusat dan berbagai daerah. Dalam masa reformasi telah terjadi perubahan-perubahan
yang signifikan dalam masyarakat sipil dan interaksi mereka dengan negara. Di Tapos, Jawa
Barat dimana ratusan ribu hektar tanah telah dikuasai petani di seluruh Indonesia setelah
mundurnya Suharto. (Asspinall, 2003). Setelah jatuhnya Suharto juga telah terjadi ledakan
jumlah serikat-serikat sekerja yang mewakili pekerja-pekerja. Di luar FSPSI (Federasi Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia) yang dibentuk pada masa Orde Baru, hingga tahun 2002 telah
terbentuk 62 federasi serikat sekerja nasional yang terdaftar dalam Departemen Tenaga Kerja.
Jumlah organisasi-organisasi yang mewakili petani dan organisasi-organisasi sosial yang lain
juga mengalami pertumbuhan yang pesat. Sejak tahun 1988 telah lahir ratusan organisasi
petani. Asosiasi Petani Lampung didirikan pada pertemuan 12 ribu petani pada bulan Maret
2001. (Kompas, Augustus 20, 2001). Pertengahan tahun 2002 Serikat Petani Pasundan yang
berkedudukan di Jawa Barat mengklaim beranggotakan kira-kira 200.000 orang. Organisasi
petani yang mempunyai jaringan dengan organisasi-organisasi petani lain yang paling banyak
adalah Federasi Serikat Petani Indonesia. Bekerjasama dengan organisasi-organisasi petani
itu adalah NGOs baik lokal maupun nasional. Diantara mereka yang paling terkenal adalah
konsorsium Pembaharuan Agraria yang didirikan pada pertengahan tahun 1990-an dan
sekarang mempunyai lebih kurang 200 anggota organisasi. (Tuong Vu, 2005).
Organisasi-organisasi itu sangat aktif dalam mengadakan demonstrasi, melakukan
lobi dengan pejabat-pejabat pemerintah dan perwakilan-perwakilan politik, ikut serta dalam
debat menentukan kebijakan publik, dan melakukan berbagai bentuk tindakan kolektif yang
ditujukan untuk mendapatkan kebijakan publik sesuai dengan kepentingan mereka. (Lucas
and Warren 2003; Antlov 2003; Sen 1999; Blackburn 2001; Porter 2001, dalam Rosser et.
al.). Pada bulan September 2001, sekitar sepuluh ribu petani yang diorganisir oleh Aliansi
Petani Indonesia dihalang-halangi oleh perangkat keamanan agar tidak memasuki ibukota
propinsi Jawa Barat, Bandung, dimana dimana anggota-anggota DPR sedang mendiskusikan
draft tentang keputusan reformasi agraria. (Kompas, September 15, 2002). Pada masa
Pemerintahan Gus Dur dan Megawati organisasi-organisasi petani dan NGOs mengadakan
tuntutan untuk meninggalkan kebijakan perberasan yang liberal dan merugikan petani dan
Pemerintah mengikutinya dengan melakukan kebijakan de-liberalisasi.
Di tingkat lokal anggota-anggota SPP di Garut bersama-sama dengan kelompok
mahasiswa menuntut pembebasan petani dan buruh yang telah ditahan oleh aparat
Pemerintah. Operasi ini didukung oleh NGOs yang bermarkas di Bandung dan Jakarta
dengan membentuk sebuah koalisi sementara yang disebut Solidaritas Anti Kekerasan
Terhadap Petani (SAKTI) (Fauzi, 2003:2). Hingga 2006 SPP telah mampu menduduki tanah
lebih dari 150 daerah tanah negara yang telah dialokasikan untuk agro-industri skala besar
dan berinisial sebagai hutan negara. (Bachriadi, 2009:11). Di daerah Bengkulu juga terjadi
peristiwa yang sama. Pada awalnya gerakan ini mengorganisir pendududukan tanah yang
tidak aktif dan perkebunan yang ditinggalkan pemiliknya. Setelah itu kelompok ini
memperluas gerakan untuk mendapatkan kekuatan politik yang lebih besar memotivasi
anggota-anggota STaB atau kelompok-kelompok lokal untuk menduduki tanah hutan milik
negara. (Bachriadi, 2009:18-19).
Argumen ketiga Indonesianist itu dapat dijelaskan dengan melalui analisis Pluralis.
Dahl dan Pluralist yang lain menjelaskan bahwa Amerika Serikat sebagai negara demokrasi
dengan kekuasaan dan wewenang yang menyebar secara luas diantara pejabat-pejabat
pemerintah, individu-individu privat, dan kelompok-kelompok kepentingan. Struktur
kekuatan tersegmentasi, dan tidak terorganisir ke dalam pola hirarki yang jelas. Karakteristik
sistim demokrasi itu adalah merupakan kesempatan menikmati kebebasan berfikir,
membentuk konsensus, dissension, dan partisipasi politik. (Chilcote, 1981:353). Dengan kata
lain, Dahl mencoba menjelaskan bahwa masyarakat terdiri dari serangkaian kelompok
memiliki kekuasaan dan pengaruh dalam struktur hukum. (Stupak, et.al, 1977:56). Untuk
menjelaskan proses penyebaran kekuasaan dan wewenang dari kelompok-kelompok
kepentingan Dahl mengambil studi politik di New Heaven. Dalam penelitiannya menjelaskan
bahwa pada awalnya politik di new Heaven didominasi oleh pendatang baru atau immigran
dari Inggris. Mereka memiliki wewenang dan kekuasaan dalam bidang sosial, keagamaan,
dan ekonomi. Akan tetapi setelah kira-kira tahun 1850 kekuasaan mulai bergeser dari para
immigran ke tangan para wiraswastawan atau industrialis. Kelompok baru ini kebanyakan
immigran dari Eropa yang dikenal dengan nama ‘ex-plebes” oleh Dahl. Dengan munculnya
kelompok ini asas perbedaan antar inividu dihapus. Hal ini merupakan permulaan dari bentuk
Pemerintahan pluralis. (Stupak, et.al, 1977:57).
Perubahan tatanan politik setelah krisis ekonomi yang diikuti dengan kasus
pendudukan tanah negara yang dikuasai oleh para konglomerat seolah-olah mengindikasikan
bahwa proses pergeseran pengaruh dari para konglomerat yang mendapat dukungan
Pemerintah Orde Baru ke tangan masyarakat sipil pada masa awal reformasi telah terjadi.
Memang dapat diakui bahwa proses pergeseran itu sedang berjalan secara gradual. Akan
tetapi pengaruh kekuatan masyarakat sipil sebenarnya masih dalam masa pertumbuhan dan
lemah sehingga, kekuasaan dan wewenang belum meyebar secara luas diantara pejabatpejabat pemerintah, individu-individu privat, dan kelompok-kelompok kepentingan.
Optimisme yang berlebihan terhadap masa depan demokrassi di Indonesia itu wajar
karena mereka melakukan studi pada awal rezim reformasi berjalan dimana euphoria
perubahan politik masa reformasi masih dapat menyatukan partai-partai politik reformis
untuk mendukung atau paling tidak membiarkan pendudukan tanah oleh masyarakat yang
telah dikuasai oleh para konglomerat pada masa rezim Orde Baru seperti kasus Tapos, Garut,
dan Bengkulu.
Dengan mempertimbangkan fenomena politik yang terjadi sesudahnya, optimisme
yang berlebihan itu dapat diperdebatkan walaupun dapat dibenarkan bahwa pada masa yang
akan datang proses penentuan kebijakan itu mungkin dapat mengalami perubahan menuju
keberpihakan pada kepentingan petani dan penduduk miskin. Dalam sistem politik demokrasi
dimana tidak ada pembatasan partisipasi politik massa, terbuka kemungkinan terjadinya
perubahan pergantian pemerintahan. Oligarki politik lama dan baru dapat saling bersaing
untuk memperebutkan posisi pemerintahan dengan dukungan politik masyarakat konstituen.
Pada sektor kebijakan beras organisasi-organisasi petani dan NGOs mulai
bermunculan setelah reformasi. Di samping itu partai-partai politik dan kepala-kepala daerah
menjadi aktor yang independen. Walaupun demikian, dalam sisitim politik demokrasi yang
baru organisasi-organisasi petani dan NGOs memiliki pengaruh signifikan terhadap
Pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan publik hanya ketika mendapatkan dukungan
dari parpol pendukung kebijakan proteksi yang sedang memegang kekuasaan pemerintahan.
Pada masa awal transisi demokrasi, perubahan-perubahan kebijakan yang tunduk pada
kepentingan kolektif pada sektor kebijakan beras terjadi ketika organisasi-organisasi petani,
NGOs dan kepala-kepala daerah mendapat dukungan dari parpol reformis yang sedang
berkuasa. Gejala ini menunjukkan bahwa pengaruh kelompok-kelompok kepentingan itu
masih terbatas dan tergantung pada elemen-elemen kekuatan politik reformis yang
merupakan oligarki politik pendatang baru.
Walaupun pada level masyarakat sipil kelompok-kelompok kepentingan petani dan
penduduk miskin sudah berkembang, akan tetapi belum memiliki kemampuan mempengaruhi
proses pengambilan kebijakan publik yang setara dengan pengaruh pemerintah pada level
masyarakat politik. Hal ini disebabkan karena elemen-elemen kekuatan masyarakat sipil
selama hampir tiga puluh tahun telah mendapatkan tekanan dari rezim politik korporatis masa
Suharto. Di samping itu, dalam sistem politik multi-parpol, partai-partai politik cenderung
pragmatis dan menjadi penghalang partisipasi politik bagi kelompok-kelompok kepentingan
masyarakat petani. Konsekwensinya, proses pengambilan kebijakan publik pada sektor beras
menuju keberpihakan pada kepentingan petani dan penduduk miskin bergantung pada sejauh
mana kekuatan dan konsistensi ideologi nasionalisme ekonomi yang dimiliki oleh oligarki
politik pendatang baru. Proses pengambilan keputusan bukan ditentukan oleh tarik-menarik
diantara kelompok-kelompok kepentingan akan tetapi lebih ditentukan oleh tarik-menarik
antara kepentingan oligarki politik lama dengan oligarki politik baru.
Terbukti, ketika organisasi-organisasi petani dan NGOs mendapatkan dukungan dari
parpol reformis pada masa rezim Gus Dur dan Megawati, kebijakan de-liberalisasi pasar
beras domestik dan impor secara perlahan dapat terwujud walaupun hanya bersifat moderat.
Dan sebaliknya, ketika sebagian besar parpol reformis menentukan pilihan politik untuk
bergabung dengan oligarki politik lama pada masa Pemerintahan SBY. Ketika sebagian besar
partai-partai politik reformis memiliki perbedaan kepentingan dengan oligarki politik baru,
dan kemudian meninggalkan dukungan politiknya terhadap kepentingan petani dan penduduk
miskin maka, berakibat pada semakin melemahnya kekuatan oligarki politik baru tersebut.
Persaingan yang ketat antar parpol dalam memperebutkan karier politik pada masa reformasi
memaksa mereka memilih tindakan politik yang pragmatis. Dalam kasus yang terjadi pada
masa Pemerintahan SBY, hanya PDIP yang merupakan satu-satunya parpol yang menentukan
pilihan menjadi kekuatan politik oposisi.
Problem terbesar yang dihadapi rezim reformasi adalah lahirnya banyak parpol
sehingga, menimbulkan fragmentasi politik tinggi. Dalam sistem politik seperti ini partaipartai politik terpaksa harus saling bersaing untuk memperebutkan suara konstituen, sehingga
membuka kesempatan untuk memanfaatkan sumber-sumber yang dimiliki negara yang dapat
dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan konstituen. Kecenderungan yang terjadi adalah
sebahagian besar parpol memilih berkoalisi dengan Parpol/Kandidat Presiden dan Wakil yang
berpotensi menjadi pemenang dalam pemilu, dan menolak untuk menjadi parpol oposan.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kecil politisi lebih mementingkan
komitmen ideologis ketimbang karier politik. Akan tetapi politisi semacam itu memiliki
probabilitas yang lebih kecil dalam memperoleh jabatan politik dalam pemerintahan jika
dibandingkan dengan politisi yang pragmatis. Kasus yang terjadi di Indonesia setelah Pemilu
2004, hanya PDIP dan kemudian Gerakan Rakyat Indonesia Raya (Gerindra) yang memilih
jalan oposisi itu. PDIP sebagai elemen kekuatan oligarki politik baru menjadi semakin tidak
berdaya dalam melawan oligarki politik sisa Orde Baru. Dominasi oligarki politik lama
semakin menguat setelah kemenangan SBY sebagai Presiden yang didukung oleh koalisi
parpol reformis dan non-reformis.
Dengan menekankan pada perilaku politik parpol, teori MPE dapat memperkuat
argumen neo-Marxis dan Public Choise untuk menjelaskan dominasi oligarki politik lama
dalam proses pengambilan kebijakan publik pada sektor beras. Upaya untuk mempertahankan
eksistensi partai-partai politik dan para anggotanya telah memaksa mereka saling bersaing
dalam suatu sistem politik multi-partai dimana jumlah kontestan politik banyak dan secara
ideologis bervariasi. Dalam sistem politik yang demikian setiap parti politik senantiasa selalu
menghadapi masalah eksistensi sebab, dalam persaingan yang tinggi antar partai politik
eksistensi mereka selalu dalam taruhan. Sehingga, jati diri partai politik yang seharusnya
berfungsi sebagai pelayan kepentingan publik diabaikan dan larut dalam kelompok-kelompok
kepentingan bisnis yang merugikan kekayan negara. Partai-partai politik menjadi penghalang
bagi kelompok-kelompok kepentingan pada level masyarakat sipil. Dengan demikian,
perilaku politik partai-partai politik menjadi kontra produktif dengan tujuan utama
demokrasi.
Segi negatif dari sistem multi-partai yang diadopsi rezim politik reformis adalah
bahwa persaingan yang sangat ketat antar parpol untuk memperebutkan simpati konstituen
dan kecenderungan mereka untuk memperoleh jabatan politik yang lebih tinggi pada level
lembaga Eksekutif telah berdampak buruk pada manajemen pemerintahan rezim reformasi.
Kebijakan sektor beras bukan mengarah pada pemenuhan kepentingan kolektif karena, telah
terjadi praktek-praktek rent-seeking dan menguras sumber-sumber yang dimiliki negara yang
melibatkan hampir semua partai politik sehingga, tidak memberikan pelayanan publik
sebagaimana mestinya. Dilihat dari sudut pandang pendekatan MPE, dapat dibenarkan bahwa
kecenderungan terjadinya korupsi yang massif di Indonesia bukan semata-mata hanya
disebabkan oleh oligarki patrimonial peninggalan Orde Baru, karena, tindakan korupsi telah
meluas dan meliputi politisi-politisi bukan hanya berasal dari partai-partai politik tradisional
peninggalan Orde Baru seperti GOLKAR dan sempalan-sempalannya akan tetapi juga parpol
reformis.
F. Kerangka Konseptual
1. Kerangka Dasar Teori
Secara teoritis sektor pertanian umumnya dan perberasan khususnya pada dasarnya
tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar bebas karena hanya akan merugikan petani
produsen. Untuk menjelaskan pertanyaan pertama yakni, mengapa setelah demokratisasi
kebijakan sektor peberasan merugikan kepentingan petani produsen dan konsumen miskin,
tidak terlepas dari dominasi elemen-elemen kekuatan oligarki politik peninggalam rezim
Orde Baru yang diuntungkan oleh kebijakan liberalisasi yakni, pedagang dan distributor
beras, importir/konglomerat, birokrat, tehnokrat, dan politisi-politisi parpol yang mendapat
dukungan IMF, Bank Dunia dan negara-negara Barat.
Intervensi pemerintah yang kuat terhadap produk sektor pertanian sangat diperlukan.
Pada umumnya di negara-negara demokrasi dan industri maju sektor pertanian diperlakukan
secara khusus karena adanya pertimbangan-pertimbangan strategis dan sosial. Mereka
melakukan intervensi dalam sektor pertanian untuk mengatur produksi dan perdagangan
komoditi pertanian. Justifikasi intervensi pemerintah berdasarkan pada prinsip bahwa suatu
struktur kelembagaan akan menggerakkan sektor pertanian sesuai dengan tujuan-tujuan yang
dikehendaki jika dibandingkan dengan aplikasi pasar bebas. Tujuan utama intervensi
pemerintah adalah sebagai berikut. (Hitiris, 1988:158).
1. Mempertahankan kebutuhan produk pertanian yang cukup untuk kebutuhan sendiri karena
adanya resiko pembatasan supplai di pasar internasional.
2. Menghemat devisa negara karena dengan produksi dalam negeri yang cukup tidak perlu
melakukan impor dan bahkan jika mengalami surplus produksi dapat mengekspor.
3. Stabilisasi harga pada tingkat yang masuk akal baik untuk konsumen dan produsen
diperlukan untuk mengatasi musim paceklik dan cuaca yang tidak menentu. Di samping
itu kebijakan stabilisasi harga ditujukan untuk merangsang investasi dan pertumbuhan
dalam sektor pertanian.
4. Keinginan untuk memperbaiki efisiensi dan produktifitas dalam sektor pertanian
dimaksudkan untuk meningkatkan tarap pendapatan petani.
Untuk mencapai tujuan-tujuan itu pemerintah biasanya membuat kebijakan penetapan
harga dasar produk pertanian. Instrumen yang digunakan untuk melakukan stabilisasi harga
adalah dengan membeli produk pertanian pada tingkat harga garansi minimum sampai harga
pasar berada di atas tingkat itu. Dan instrumen pendukung yang lain adalah pembatasan tarif
dan import. Sebagai negara yang sudah mencapai tahap demokratisasi dan industrialisasi
tingkat tinggi, Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat, menetapkan harga dasar produk
pertanian yang tinggi dan penetapan tarif impor untuk melindungi petani dari serangan impor
dari luar negeri. Sebagai contoh, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa menerapkan
BM (Bea Masuk) beras sebesar 211 Euro per metrik ton (MT) atau sekitar Rp 2.000 per
kilogram dengan asumsi kurs rupiah Rp 9.500 per satu Euro. Jepang menerapkan BM Beras
sebesar 402 yen per kilogram atau Rp 30.150 per kilogram, dengan asumsi kurs rupiah Rp 75
per yen. Amerika Serikat (AS) menerapkan BM beras sebesar 2,1 dollar AS per kilogram
atau senilai Rp 18.900 per kilogram, dengan asumsi kurs rupiah Rp 9.000 per satu dollar AS.
Sebagai perbandingan, Indonesia hanya menerapkan BM beras sebesar Rp 430 per kilogram.
(Kompas, 27/2/2003). Bertentangan dengan kasus yang terjadi di negara-negara demokrasi
maju, di bawah tekanan IMF dan aktor-aktor pendukungnya pemerintah Indonesia justeru
melakukan kebijakan liberalisasi sektor perberasan yang telah dimulai sejak masa akhir
pemerintahan Orde Baru.
Pada masa pemerintahan rezim politik reformasi, Gus Dur dan Megawati berusaha
untuk mengubah kebijakan dengan melakukan de-liberalisasi yakni, menetapkan tariff,
mengubah manajemen tata kelola perdagangan gabah dan beras domestik, melarang
kebijakan impor beras dan mensubsidi kembali input pertanian. Akan tetapi, setelah
kekalahan Megawati dalam pemilu yang kemudian digantikan oleh pemerintahan SBY
kebijakan liberalisasi dibangkitkan kembali dengan cara membatalkan kebijakan larangan
impor beras.
Secara teoritik, faham liberalisme memandang masyarakat sipil sebagai wilayah
dimana terjadi egoisme universal dimana seorang individu dapat memperlakukan orang lain
sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. (Avineri, 1972:134, dalam
Caporazo dan Levine, 1992). Akan tetapi bukan berarti bahwa egoisme ini berdampak buruk
pada individu lain. Dalam interaksi antara ego akan berakhir pada hubungan sukarela yang
saling menguntungkan. Setiap Individu akan bertindak rasional dan berusaha untuk
memaksimalkan atau atau memuaskan nilai-nilai tertentu dengan biaya yang seminimal
mungkin.
Premis fundamental liberalisme adalah bahwa konsumen, perusahaan, atau rumah
tangga adalah basis dari masyarakat. Individu akan bertindak rasional dan berusaha untuk
memaksimalkan atau atau memuaskan nilai-nilai tertentu dengan biaya yang seminimal
mungkin. Kaum liberal mengemukakan argumen bahwa individu akan mencapai tujuan
hingga suatu equiilibrium pasar tercapai, yakni, biaya-biaya yang berhubungan dengan
pencapaian tujuan itu sepadan dengan keuntungan-keuntungan yang diperoleh. Liberalisme
menganggap bahwa suatu pasar ada dalam yang mana individu-individu melakukan transaksi
jual-beli untuk memenuhi kebutuhannya memiliki informasi yang lengkap dan oleh
karenanya dapat memilih tindakan yang paling menguntungkan. Produsen dan konsumen
akan senantiasa bersikap responsif terhadap sinyal-sinyal harga. Setiap perubahan harga akan
mengakibatkan perubahan pola produksi, konsumsi, dan lembaga-lembaga ekonomi. (Davis
dan North, 1971, dalam Gilpin, 1987:28).
Dalam teori Neo-Klasik, ada hubungan yang pasti antara ekonomi yang sepenuhnya
kompetitif dan ekonomi yang secara optimal efisien. Pandangan Adam Smith diingat kembali
dalam ekonomi Neo-Klasik: tiap-tiap individu yang mempunyai kekuatan (kebebasan) untuk
bertindak untuk mencapai kepentingannya sendiri seolah-olah diatur oleh “tangan yang tidak
kelihatan” (pasar yang benar-benar kompetitif) yang akan menghasilkan kesejahteraan
maksimal (efisiensi) untuk masyarakat individu. (Gilpin,1987:89).
Pareto memperkenalkan konsep efisiensi kolektifitas yang dinikmati oleh setiap orang
baik sebagai konsumen maupun produsen yang disebut sebagai Pareto optimality. Pareto
mengemukakan argumen bahwa para ahli ekonomi dapat menilai satu distribusi lebih baik
daripada yang lain jika distribusi ini memperbaiki mayoritas banyak orang tanpa
mengorbankan kondisi siapapun. Klaim intinya adalah bahwa suatu alokasi kolektif itu
bersifat optimal jika sumber-sumber tidak dapat diatur kembali untuk membuat siapaun
keadaannya menjadi lebih baik tanpa mengorbankan yang lain. (Caporazo dan Levine, 1992).
Dalam pasar yang sempurna dimana jumlah pelakunya banyak maka dalam kondisi tertentu
tiap-tiap barang akan memiliki harga yang memungkinkan untuk menimbulkan peningkatan
kesejahteraan ketika barang itu diperjual-belikan.
Liberalisme menganggap bahwa ekonomi pasar ditentukan oleh hukum permintaan
dan penawaran. Orang akan membeli barang dengan jumlah yang banyak jika harga barang
itu rendah, dan membeli sedikit barang jika harganya tinggi. Pada sisi penawaran ekonomi
liberal menganggap bahwa individu-individu mencapai kepentingan-kepentingan mereka
sesuai dengan keterbatasan-keterbatasan sumber-sumber. Ekonomi pasar akan menghasilkan
suatu kecenderungan kuat terhadap equilibrium dan stabilitas inheren. Konsep ini dinamakan
sebagai equilibrium self-operating dan self-correcting yang dicapai oleh suatu keseimbangan
kekuatan-kekuatan dalam suatu dunia yang rasional. Jika pasar tidak equilibrium oleh sebab
adanya beberapa faktor eksogen, misalnya kepuasan konsumen atau tehnologi produksi,
jalannya pasar akan sedikit demi sedikit kembali pada keadaan equilibrium baru.
(Gilpin,1987:89).
Konsep-konsep equilibrium, self-operating, self-correcting, dan external shock,
menjadi konsep-konsep kunci dalam teori keseimbangan yang dikembangkan oleh teori
liberal. Ketiga konsep itu akan beroperasi secara otomatis dalam sistem pasar dimana penjual
dan pembeli melakukan transaksi secara sukarela dan saling menguntungkan, dengan asumsi
bahwa di luar sistim keseimbangan itu tidak terjadi external shock.
Berdasarkan argumen ini, teori liberal akan menghadapi masalah jika diterapkan
dalam sektor produk pertanian karena ciri pokok produk pertanian adalah tergantung pada
alam yang tidak menentu, sehingga goncangan-goncangan terhadap keseimbangan harga
pasar sering terjadi. Produksi sektor pertanian selalu menghadapi fluktuasi-fluktuasi jangka
pendek karena tergantung pada alam seperti keadaan tanah, iklim dan cuaca, kadang-kadang
serangan hama tanaman. Hasil produk pertanian tidak menentu dan goncangan-goncangaan
keseimbangan pasar bebas yang menentukan tingkat harga menjadi terganggu. Fluktuasifluktuasi biasa terjadi dan tidak bisa diramalkan. Supplai produk pertanian dalam jangka
pendek tidak responsif terhadap perubahan-perubahan kondisi pasar. (Hitiris, 1988:160).
Lebih jauh El-Agraa menjelaskan bahwa ketika produksi yang dihasilkan
menyimpang dari output yang direncanakan semula oleh petani, fluktuas-fluktuasi harga akan
mengakibatkan dua kemungkinan. Jika produksi berlebih atau surplus akan menurunkan
harga. Tapi jika pruduksi lebih kecil dari rencana semula harga akan naik. Rentang fluktuasi
harga akan ditentukan oleh elatisitas harga permintaan. Semakin elastis harga yang diminta
konsumen semakin kecil/sempit batas fluktuasi harga. Sebaliknya, semakin tidak elastis harga
yang diminta konsumen semakin besar batas fluktuasi harga. Lebih-lebih sepanjang tidak ada
kesatuan elastisitas maka pendapatan petani akan berfluktuasi dari tingkat harga yang semula
direncanakan. Jika tingkat harga yang diminta konsumen elastis pada masa paceklik panen
akan menurunkan pendapatan petani, sedangkan masa panen raya akan meningkatkan
pendapatan petani. Tetapi jika harga yang diminta konsumen tidak elastis maka masa
paceklik panen akan meningkatkan pendapatan petani dan panen raya akan menurunkan
pendapatan petani. (El-Agraa, 1990:192).
Dengan demikian penerapan teori liberal dalam pasar produk pertanian tidak dapat
memastikan bahwa pasar bebas akan dapat menjamin seberapa banyak manfaat yang
diperoleh petani produsen dan konsumen miskin. Karena fluktuasi harga yang tercipta dalam
mekanisme pasar tidak dapat menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara
petani produsen dan konsumen, sebagaimana yang diasumsikan teori liberal. Rentang
fluktuasi-fluktuasi harga yang terjadi tidak pasti, sehingga manfaat yang diterima petanipun
juga tidak pasti. Hal yang lebih buruk akan menimpa petani ketika terjadi serangan hama
tanaman dan cuaca tak terduga yang mengakibatkan produksi turun drastis dari rencana
semula. Oleh sebab itu bisnis produk pertanian dianggap sebagai bisnis yang beresiko tinggi.
Untuk menghilangkan resiko inilah maka negara-negara liberal berusaha untuk melindungi
petani dengan melakukan intervensi terhadap pasar produk pertanian.
Penelitian empiris membuktikan bahwa hubungan antara harga produksi pertanian di
tingkat konsumen dan di tingkat produsen petani bersifat asimetris. (Simatupang, 1989;
Khudhori, 2008; Paasch, 2007; Natawijaya, 2001). Sejak jatuhnya rezim Suharto disparitas
harga gabah dan beras semakin melebar. Disparitas harga beras dan gabah menunjukkan
kesenjangan yang buruk dalam arti nilai pengolahan dan perdagangan beras tidak dinikmati
petani dan konsumen, tetapi lebih banyak oleh pedagang. (Arifin, 2007:238).
Kondisi pasar beras domestik yang asimetris semacam ini menekan produsen petani.
Di samping itu keluarga kelas menengah, dan penduduk miskin baik di pedesaan maupun di
perkotaan juga menderita kerugian dari struktur pasar yang tidak sehat. Tekanan impor beras
yang terjadi dalam struktur pasar yang tidak elastis hanya memperparah keadaan ekonomi
petani pedesaan. Kondisi pasar beras domestik yang asimetri yang diperparah oleh tekanan
harga beras internasional mengakibatkan baik petani produsen maupun konsumen miskin di
pedesaan dan perkotaan mengalami tekanan ekonomi yang serius sehingga menimbulkan
kemiskinan.
Impor beras mengakibatkan permasalahan perberasan dalam negeri semakin
kompleks. Bahkan tanpa beras impor posisi tawar petani Indonesia sangat lemah. (Paasch,
dkk., 2007:99). Tekanan impor beras yang terjadi dalam struktur pasar yang tidak elastis
hanya akan memperparah keadaan ekonomi mereka. Hal yang menjadi ancaman lebih besar
adalah harga beras internasional lebih kompetitif jika dibandingkan dengan pasar beras
domestik karena kebanyakan negara-negara pengekspor melakukan perlindungan terhadap
petani mereka. (Sawit, 2007:196). Lebih dari itu, pasar beras dunia bersifat monopolistis dan
dikuasai oleh beberapa perusahaan dagang internasional sehingga merugikan negara-negara
importir beras dan menguntungkan perusahan dagang internasional. Indonesia dirugikan
secara tidak adil apabila terus-menerus mengimpor beras. (Simatupang, dkk., 2006:18).
Dalam kasus kebijakan perberasan di Indonesia, kegagalan teori liberal bukan saja
berhubungan dengan karakteristik dasar sektor produk pertanian yang tergantung pada alam
yang sudah umun dijumpai, akan tetapi juga menyangkut irasionalitas petani produsen dalam
menentukan tindakan ekonomi yang disebabkan oleh tekanan ekonomi dan kelemahan dalam
berorganisasi. Masyarakat petani tidak dapat menentukan tindakan rasional yang
menguntungkan mereka ketika mengadakan transaksi dagang dengan para tengkulak dan
pedagang. Keinginan petani menjual hasil panen secepatnya saat panen sangat tinggi karena
volume surplus kecil, krisis likwiditas, dan sarana penyimpanan terbatas. (Simatupang, dkk.,
2006:18). Petani kecil lebih banyak menjual gabah dalam bentuk GKP daripada GKG
ataupun beras. Karena petani ingin mendapatkan uang tunai secepatnya manajemen
pascapanen petani seperti perontokan padi tidak sesuai dan panen yang terlalu dini; dan juga
sistem penjualan melalui ijon dan tebasan ke tengkulak. (Pratiwi, 2008:104).
Liberalisasi
juga
menghendaki
individu-individu
yang
responsif
terhadap
perkembangan harga pasar. Dalam kenyataannya persyaratan seperti ini tidak dapat terpenuhi
di dalam masyarakat petani di Indonesia. Kebanyakan petani Indonesia tidak responsif
terhadap perkembangan harga pasar. Para pedagang berhasil menekan harga di tingkat petani
tetap rendah, bahkan meskipun kebijakan pemerintah sudah berubah dari kebijakan pasar
terbuka menjadi kebijakan intervensi semenjak tahun 2001 pada masa kepemimpinan
Megawati, dan terlepas pula dari adanya kelangkaan beras setelah tahun 2004. Salah satu
penyebab rendahnya harga gabah di tingkat petani adalah ancaman berlanjutnya impor beras
murah, terlepas apakah impor sesungguhnya terjadi atau hanya gossip. (Paasch, et.al.,
2007:111). Liberalisasi menghendaki indididu-individu yang mampu memperhitungkan
untung rugi dalam transaksi jual-beli, sehingga tercipta hubungan suka rela yang saling
menguntungkan antara kedua belah fihak.
Kemampuan petani untuk mengorganisir diri mereka sendiri juga tidak ada. Mereka
tidak mempunyai keinginan membentuk organisasi seperti koperasi atau bentuk organisasi
yang lain yang dapat digunakan sebagai sarana menampung hasil produksi pasca panen
sebelum dijual ke pasar sehingga dapat meningkatkan nilai tambah produksi pertanian yang
mereka panen. Organisasi-organisasi petani yang lahir sejak akhir tahun 1980-an dipimpin
oleh warga kelas menengah perkotaan dan bukan petani sendiri. Organisasi-organisasi petani
itu juga lemah karena tidak mampu menolong petani membentuk organisasi-organisasi yang
dapat digunakan untuk mengangkat nilai tawar petani dalam berhadapan dengan pedagang.
Oleh sebab itu tata kelola perdagangan gabah dan beras cenderung merugikan petani.
Dalam kondisi masyarakat petani yang demikian teori liberal tidak dapat berfungsi
secara normal. Liberalisasi menghendaki indididu-individu yang mampu memperhitungkan
untung rugi dalam transaksi jual-beli, sehingga tercipta hubungan suka rela yang saling
menguntungkan antara kedua belah fihak. Karena keterbatasan kemampuan ekonomi petani
produsen transaksi jual-beli antara pedagang dan petani produsen bersifat timpang dan lebih
menguntungkan pedagang. Ini berarti prinsip hubungan suka rela dan saling menguntungkan
tidak dapat terwujud sebagaimana diyakini oleh teori liberal. Petani telah bertindak tidak
rasional dalam menentukan pilihan karena adanya tekanan ekonomi. Pareto mengemukakan
argumen bahwa para ahli ekonomi dapat menilai satu distribusi lebih baik daripada yang lain
jika distribusi ini memperbaiki mayoritas banyak orang tanpa mengorbankan kondisi
siapapun. (Caporazo dan Levine, 1992).
Untuk menjelaskan permasalaham kedua dan ketiga yakni, bagaimana interaksi antar
aktor yang terlibat dalam kebijakan beras setelah rezim politik demokratis masa reformasi
lahir, dan sejauh mana pengaruh tekanan-tekanan politik dari organisasi-organisasi petani
dan NGOs yang mendapat dukungan dari kepala-kepala daerah dan partai-partai politik
pendukung kebijakan proteksi terhadap perubahan-perubahan kebijakan pemerintah, teori
kooptasi dapat membantu menjelaskan dominasi aktor-aktor pro-liberalisasi dalam policy
making process dari sudut pandang empat pendekatan yang digunakan untuk menganalisis
permasalahan yang telah dirumuskan.
Teori kooptasi menjelaskan bahwa kekuatan pengaruh suatu organisasi akan
ditentukan oleh kemampuannya untuk menolak kooptasi yang memperlemah organisasi.
Aktivis-aktivis organisasi masyarakat miskin dapat membuat tumpul militansi gerakan
mereka, dan dengan demikian melenyapkan kekuatan dari orang-orang yang mereka wakili.
Mereka tidak melihat organisasi-organisasi itu per se yang menjadi otomatis kontraproduktif.
Organisasi-organisasi yang bermasalah itu adalah mereka yang membirokrastisasi,
mengikatkan diri dalam sistem, dan menjadi lesu/malas. Bahaya kooptasi dimengerti sebagai
semua proses melalui yang mana hubungan dekat dengan negara melenyapkan efektifitas
organisasi. (Piven and Cloward, 1979). Semakin mudah kelompok organisasi dikooptasi
semakin lemah militansi mereka. Organisasi-organisasi petani miskin sarat dengan tekanan
yang halus (subtle oppression) dan kooptasi yang disengaja atau hanya bersifat aksidental
yang membiarkan mereka tidak berdaya.
Dalam penelitian ini teori kooptasi membantu menjelaskan kelemahan organisasiorganisasi petani dan NGOs dalam menghadapi koalisi parpol pemerintah pendukung
liberalisasi pasar beras domestik dan impor bukan hanya disebabkan karena kesulitan dalam
mengorganisasi akan tetapi juga karena adanya kooptasi yang dilakukan pemerintah.
Kooptasi Pemerintah bukan hanya dilakukan terhadap organisasi-organisasi petani dan
NGOs, akan tetapi juga terhadap partai-partai politik yang ragu-ragu dalam mendukung
kebijakan liberalisasi pada level lembaga Legislatif. Untuk menjelaskan tiga permasalahan
dalam penelitian ini digunakan empat perspektif pendekatan, Neo-Marxis, Public Choise,
Modern Political Economy (MPE), dan Group Theory.
Ekonomi politik radikal memandang negara sebagai alat kapitalis dan berargumen
bahwa perjuangan ekonomi dan politik adalah pertentangan antara pekerja melawan borjuis.
Pendekatan Marxis menekankan analisis pada tingkat makro untuk menjelaskan gejala sosial
dengan menerapkan konsep-konsep seperti ‘kelas’ dan ‘negara’. Bahkan yang paling ekstrim
teori World Modern System yang dijelaskan Wallerstein menganggap individu hanya
mempunyai peranan yang kecil atau bahkan tidak ada peran sama sekali. (Busch and Juska,
1997; Gilpin, 1989). Kaum neo-Marxis membagi sistem internasional berdasarkan kelas-kelas
menghasilkan negara Core, Semipheriphery, dan Pheriphery. (Jackson & Sorensen,
1999:239). Dominasi kelas kapitalis tidak dapat diubah karena dalam sistem ekonomi
kapitalis sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh kelas kapitalis. Resep pembangunan
ekonomi yang diajukan adalah pemutusan hubungan dengan kekuatan kapitalisme global dan
berusaha untuk membangun ekonomi secara mandiri. (Spero,1985).
Kasus di Indonesia, asal usul hubungan instrumental negara-kapital era Orde Baru
berasal dari sifat ketergantungan ekonomi Indonesia yang sudah lama menjadi negara
pinggiran dan tergantung. Karena Indonesia tidak mempunyai banyak kaum borjuis yang
kuat, maka negara menggantungkan pada kapitalis asing dan warga etnis China untuk
menyediakan modal dan tehnologi untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. (Robinson
1978, Mortimer, 1973, dalam Rosser, 2002:27). Pendekatan neo-Marxis yang digunakan
Robinson masih dipertahankan dalam analisis rezim politik reformasi.
Argumen sentral Robinson dan Hadiz adalah bahwa individu-individu yang kaya pada
masa Orde Baru bukan hanya telah berhasil dalam melindungi kekayaan mereka tetapi juga
mampu mempertahankan posisi politik di era transisi demokrasi. (Robinson and Hadiz,
2004). Hubungan kekuasaan di Indonesia hanya semata-mata direorganisir dan tidak berubah.
Rezim Suharto didominasi oleh para birokrat-politik yang menduduki aparat-aparat negara
dan figur-figur bisnis dan kriminal yang mempunyai hubungan dekat dengan dengan para
birokrat-politik. Elemen-elemen yang ada pada masa Suharto tetap langgeng dan telah
mendapatkan cara untuk berkuasa kembali melalui aliansi-aliansi dan kendaraan-kendaraan
politik baru. (Robinson and Hadiz 2004; Hadiz and Robison 2003; Hadiz 2003; Hadiz 2003,
dalam Rosser et. al 2007:1). Dengan pendekatan yang sama, Winters berargumen bahwa
politik mempertahankan kekayaan di Indonesia sedang dalam proses perubahan dari oligarki
kasultanan menuju “untamed ruling oligarchy” dalam yang mana uang adalah inti perjuangan
politik. (Pepinsky 2013:16).
Stuktur kekuatan kapitalis baik global maupun lokal yang mulai dibentuk sejak rezim
Orde Baru dapat bertahan dalam situasi politik demokrasi yang baru. Pada tingkat nasional
dapat dilihat bagaimana proses politik telah didominasi oleh elit-elit lama dan baru. Setelah
menjadi pilar-pilar Orde Baru, birokrat, pejabat-pejabat militer, dan politisi, pada masa
reformasi telah mereorganisasi kekuatan politik dan ekonomi mereka dalam sistem yang
baru. Partai-partai politik besar dan lembaga-lembaga pemerintahan yang baru sebagian besar
tetap dikuasai oleh politisi-politisi lama yang telah menjadi bagian dari jaringan patronase2
yang luas masa Orde Baru. (Hadiz and Robison, 2005:232, 233; Suryadinata, 2007:352).
Koalisi-koalisi antara pemerintah dan kepentingan bisnis telah mampu untuk
mempertahankan kendali terhadap aparat-aparat negara dan memanfaatkannya demi untuk
kepentingan pribadi. (Klinken, 2009; Luebke, 2009). Sebagai akibatnya proses pengambilan
kebijakan ditentukan oleh aktor-aktor peninggalan rezim Orde Baru yang kini menjadi
semakin kuat; dan kelompok petani dan buruh tetap terekseklusi dari proses pengambilan
2
Patronage denotes a general mode of social and economic exchange, which has attracted interdisciplinary scholarly
interest stretching back to the early part of the 20th century and is defined authoritatively by Eisenstadt and Roninger
(1980) as ‘a distinct mode of regulating crucial aspects of institutional order: the structuring of the flow of resources,
exchange and power relations and their legitimation in society’ (p. 49). In all of its forms, patronage is based on
particularistic dyadic ties between patrons and clients. These combine to form pyramidal structures that are designed for
the acquisition, maintenance and expansion of power, especially by elected officials and administrators—‘over a country,
a government, an organization, a party, or a faction’ (Grindle, 2010, p. 3). The pyramidal structures of patronage comprise
informal contractual relations between patrons and clients, in which jobs and other public goods are distributed
downwards and outwards by patrons in return for deference and loyalty and commissions that flow upwards from clients
(e.g. Scott, 1972). (dalam Peter Blunt et.al, 2012).
keputusan. Argumen Robinson dan Hadiz dapat membantu menjelaskan dominasi elemenelemen kekuatan politik Orde Baru dan mengidentifikasi aktor-aktor politik yang yang
terlibat didalamnya yang terdiri dari konglomerat/importir beras domestik dan eksportir dari
luar negeri, birokrat politik, modal asing, tehnokrat, lembaga-lembaga internasional dan
negara-nagara Barat, dan politisi-politisi parpol.
Perspektif teori Public Choise secara metodologis jauh berbeda dengan neo-Marxis.
Pendekatan ini berusaha mengaplikasikan metode Ilmu Ekonomi dalam Ilmu Politik. Premis
fundamental Public Choice adalah bahwa para pengambil keputusan (pemilih, politisi,
birokrat) dan pengambil keputusan privat (konsonsumen, broker, produsen) bertindak dengan
cara yang sama: mereka semua mengikuti kepentingan pribadi yang bersifat
rasional.
(Ekelund dan Tollison, dalam Caporazo dan Levine , 1992:21). Politisi-politisi dan birokrat
mempunyai karakter yang sama seperti konsumen yang berbelanja di pasar. Politisi adalah
penyedia kebijakan-kebijakan dan pelayanan-pelayanan dalam menjalankan pemerintahan.
Politisi menjual jasa-jasa mereka demi untuk mendapatkan dukungan politik. Dalam proses
politik dimana individu-individu menduduki peran-peran yang bebeda, bagaimanapun juga
digerakkan oleh kepentingan pribadi dan siap melakukan transaksi lebih lanjut demi
kepentingan pribadi. (Caporazo and Levine , 1992:139).
Dalam menganalisis kelompok kepentingan Mancur Olson mengajukan masalah
tindakan kolektif. Dalam argumennya, Olson menentang baik aliran Pluralis maupun Marxis.
Kaum Pluralis yakin bahwa organisasi kelompok kepentingan adalah ekspresi alamiah dari
kepentingan-kepentingan yang dipegang secara kolektif. Sedangkan kaum Marxis
mengatakan bahwa transisi dari kepentingan bersama menuju organisasi kelas dan mobilisasi
bersifat spontan. Berbeda dengan mereka, Olson berargumen bahwa tidak rasional bagi
individu-individu memberikan sumbangan pada kepentingan kolektif. (Caporazo and Levine
, 1992:141). Menurut Olson individu-individu ikut dalam kelompok kepentingan karena
mereka dipaksa, karena mereka mengharapkan insentif-insentif.
Kelompok-kelompok yang besar mungkin meraih kesuksesan lebih kecil dari pada
kelompok yang kecil dan terkonsentrasi. Logika tindakan kolektif bermuara kesimpulan
bahwa kepentingan-kepentingan rakyat kecil tidak akan memengaruhi proses pembuatan
kebijakan, karena mereka kurang dapat mengorganisir diri mereka sendiri untuk menyatakan
kepentingan mereka secara efektif. Kelompok-kelompok yang berukuran kecil dan mampu
mengorganisasikan dirinya dengan baik mampu menekan kebijakan-kebijakan yang sesuai
dengan kepentingan mereka daripada kelompok-kelompok yang lebih besar karena dalam
kelompok-kelompok yang kecil anggota-anggota dapat mengetahui apakah mereka
memberikan sumbangan dan dapat menghukum mereka yang hanya menjadi free rider.
(Geddes dalam Freiden et. al, 2000:88).
Berdasarkan argumen Olson distribusi kekuatan kelompok-kelompok kepentingan
lebih ditentukan oleh kekuatan individu yang menjadi anggota kelompok. Kelompok
kepentingan yang kecil tapi beranggotakan individu-individu yang kaya akan sumber-sumber
lebih efektif dalam memengaruhi policy making process daripada kelompok yang besar dan
mempuyai jangkauan wilayah yang luas. Oleh sebab itu dalam interaksi antara kelompokkelompok kepentingan dengan pemerintah, kelompok-kelompok kepentingan kecil tapi kaya
dapat memaksakan kebijakan pemerintah untuk memenuhi tujuan-tujuan yang sempit
sehingga, aktor-aktor yang miskin seperti buruh akan terpinggirkan karena keterbataan
sumber-sumber kekayaan dan masalah free raider (pembonceng gratis) yang mendapatkan
manfaat tanpa mengeluarkan biaya.
Pendekatan neo-Marxis dan Public Choise dapat menjelaskan dominasi oligarki
politik Orde Baru dalam menentukan kebijakan perberasan. Kelemahan dari kedua
pendekatan itu bukan hanya mengecilkan peran politik dari kekuatan aktor-aktor individu
yang lemah seperti organisasi-organisasi petani dan NGOs akan tetapi juga perubahan
perilaku politik parpol yang berpengaruh terhadap proses pengambilan kebijakan pada sektor
beras. Berdasarkan pendekatan MPE, perubahan-perubahan perilaku politik parpol yang
berusaha untuk mencapai karier politik bisa besifat positif terhadap kepentingan publik atau
sebaliknya.
Pada sektor kebijakan beras, apabila partai-partai politik tidak berperilaku pragmatis
dalam menentukan pilihan politik maka, dapat memberikan ruang partisipasi politik bagi
organisasi-organisasi petani dan NGOs untuk mendukung parpol yang mempunyai orientasi
kebijakan protektif terhadap petani. Mereka mampu menghambat jalannya kebijakan impor
ketika koalisi parpol itu sedang berkuasa menjalankan Pemerintahan. Di samping itu, dengan
adanya UU Otonomi daerah yang mengatur pilihan Bupati dan Gubernur secara langsung
oleh rakyat, kepala-kepala daerah juga menghendaki dukungan konstituen petani konsumen
miskin untuk mencapai karier politik di daerahnya. Tekanan-tekanan politik ormas petani,
NGOs, dan kepala-kepala daerah yang didukung oleh oligarki politik baru yang sedang
berkuasa berpengaruh positif terhadap kesejahteraan petani dan penduduk miskin. Kelemahan
dari pendekatan Neo-Marxis dan Public Choise dapat dijelaskan pendekatan Modern Political
Economy (MPE) dan Pluralisme.
Pada masa Pemerintahan Gus Dur dan Megawati koalisi partai-partai politik reformis
berusaha untuk mengendalikan liberalisasi sektor perberasan yang telah dimulai sejak
pemerintahan oligarki politik patrimonial Orde Baru. Pendekatan Pluralis dan MPE dapat
menjelaskan perubahan kebijakan yang didominasi oleh oligarki politik lama pada masa
reformasi dalam yang mana partai-partai politik reformis dan kelompok-kelompok
kepentingan petani dan penduduk miskin tidak lagi mendapatkan halangan dalam partisipasi
politik. Esensi pendekatan Pluralisme adalah sebuah konsepsi politik sebagai persaingan
diantara kelompok-kelompok penekan yang mewakili berbagai kepentingan dalam
masyarakat. (Pepinsky 2013:4). Sistem politik demokratis terdiri dari kelompok-kelompok
kepentingan yang saling bersaing untuk memperebutkan pengaruh dalam policy making
process. Teori kelompok memandang bahwa interaksi antar kelompok adalah merupakan
fakta yang terpenting dalam politik. (David B. Truman, dalam Dye, 1978:23). Politik adalah
perjuangan antara kelompok-kelompok kepentingan untuk memengaruhi proses pengambilan
keputusan.
Dahl dan kaum Pluralis yang lain menentang pendapat teori elit yang diajukan oleh
Robert Mitchels, C. Wright Mills, dan Harold Lasswell. Teori elit yakin bahwa masyarakat
didominasi dan dikendalikan oleh elit sosial dan ekonomi. Baik Pluralis maupun Elitist
sependapat bahwa elit (Senator, anggota Kongress, atau Walikota) bertindak sebagai
distributor kekuasaan legal. Perbedaan mendasar antara Teori elit dan pluralisme terletak
pada konsepsi pengaruh. Teori elit percaya bahwa orang-orang yang memegang kekuasaan
itu juga mengendalikan pengaruh. Sedangkan Dahl dan Pluralis yang lain yakin bahwa
pengaruh itu pada dasarnya tersebar secara berbeda-beda dan luas meliputi seluruh
masyarakat. Dahl percaya bahwa bentuk demokrasi yang terbaik adalah polyarchy, atau
sistem Pemerintahan yang diwarnai oleh derajat persaingan dan partisipasi politik yang
tinggi. (Stupak, et.al, 1977:56). Dalam sistem politik demokrasi distribusi kekuatan dari
kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakt sipil menjadi semakin tersebar dan oleh
karenanya terjadi kecenderungan terbentuknya sistem Pemerintahan yang polyarchis.
Proses penguatan pengaruh kelompok kepentingan masyarakat sipil petani pada masa
reformasi semakin meluas dengan lahirnya organisasi-organisasi petani dan NGOs. Indikator
yang dapat dilihat adalah bahwa tuntutan-tuntuan ormas sipil petani dan NGOs tidak hanya
terbatas pada tuntutan-tuntutan pembebasan tanah di Tapos dan Garut di Jawa Barat, dan
Cilacap di Jawa Tengah, akan tetapi juga tuntutan-tuntutan terhadap penghentian impor beras
yang memukul kesejahteraan petani. Berdasarkan kerangka berfikir pendekatan Pluralis, pada
kasus kebijakan beras indikasi penyebaran pengaruh kekuatan kelompok pada masa reformasi
bukan hanya ditandai oleh munculnya organisasi-organisasi petani dan NGOs, tetapi juga
kelahiran aktor baru kepala-kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Aktor-aktor itu
berusaha untuk melawan kekuatan global Neo-Liberalisme yang merugikan kepentingan
petani dan kelompok miskin. Koalisi Parpol pendukung proteksi yang diperkuat aktor-aktor
organisasi masyarakat sipil petani dan penduduk miskin mampu menghambat dominasi aktoraktor pendukung liberalisasi pasar beras domestik dan impor. Memang dapat dimengerti
bahwa oligarki politik pada masa Orde Baru mempunyai posisi yang dominan dalam
menentukan kebijakan publik. Akan tetapi, ketika rezim politik militer korporatis berubah
menjadi demokratis dan kelompok-kelompok kepentingan masyarakat sipiltidak ada yang
membatasi dalam partisipasi politik maka, proses pengambilan keputusan bukan semata-mata
ditentukan oleh mereka.
Pada masa transisi demokrasi, dominasi oligarki politik Orde Baru mampu bertahan
dalam menentukan proses pengambilan kebijakan publik karena, kelompok-kelompok
kepentingan masyarakat sipil masih dalam masa pertumbuhan dan lemah. Walaupun
demikian, kebebasan yang lebih besar dalam partisipasi politik mampu menghambat
dominasi oligarki politik kekuatan lama. Pada sektor kebijakan beras kelompok-kelompok
kepentingan seperti organisasi-organisasi petani dan NGOs yang didukung oleh kepalakepala daerah dan parpol reformis telah melakukan tuntutan-tuntutan untuk menghentikan
kebijakan impor dan menata kembali pasar beras domestik dan berhasil.
Dipandang dari pendekatan Pluralis, partai-partai politik dan kelompok-kelompok
kepentingan pendukung kebijakan proteksi memiliki kekuatan saling mempengaruhi. Di satu
fihak partai-partai politik pendukung proteksi menghendaki dukungan politik dari kelompok
masyarakat sipil petani dan NGOs yang menguasai suara konstituen petani produsen dan
kelompok miskin. Di lain pihak, kelompok masyarakat sipil petani dan NGOs menghendaki
agar kesejahteraan konstituen petani produsen dan kelompok miskin diperhatikan. Hubungan
saling mempengaruhi ini juga terjadi antara organisasi-organisasi petani dan NGOs dengan
kepala-kepala daerah. Oleh sebab itu, pada saat parpol reformis memegang kendali
Pemerintahan berpengaruh relatif lebih besar terhadap proses pengambilan kebijakan
perberasan.
Pada masa transisi demokrasi partai-partai politik reformis masih dapat bersatu dan
konsisten dalam membuat kebijakan-kebijakan publik yang berpihak pada kelompok
kepentingan petani dan penduduk miskin. Mereka belum menyadari bahwa kebijakankebijakan yang mereka buat tidak berpengaruh signifikan terhadap dukungan konstituen demi
peningkatan karier politik. Pada masa Gus Dur dan akhir Pemerintahan Megawati euphoria
perubahan politik masa reformasi masih dapat menyatukan partai-partai politik reformis
untuk menentang impor beras. Akan tetapi, ketika dalam pemilu berikutnya tidak dapat
meningkatkan dukungan konstituen, mereka baru menyadari bahwa kebijakan-kebijakan
populis seperti pemutusan hubungan dengan IMF, mensubsidi kembali input pertanian seperti
pupuk, benih, dan obat tanaman, tidak berpengaruh terhadap peningkatan dukungan
masyarakat pemilih. Sadar akan adanya gejala ini, partai-partai politik reformis setelah
kemenangan SBY kemudian terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang pertama terdiri dari
partai-partai politik Islam yang telah merubah orientasi kebijakan yang semula cenderung
ideologis menjadi pragmatis. Oleh sebab itu, partai-partai politik reformis menentukan
pilihan politik berkoalisi dengan Pemerintah dimana elemen-elemen kekuatan oligarki politik
peninggalan Orde Baru masuk di dalamnya. Sementara itu, PDIP (Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan) cenderung berorientasi ideologis dan menentukan pilihan politik
sebagai parpol oposisi.
Hal yang perlu dicermati adalah bahwa elemen-elemen kekuatan masyarakat sipil
petani dan penduduk miskin lebih menggantungkan diri pada elemen-elemen kekuatan
kekuatan politik reformis daripada oligarki politik lama yang sejak awal telah terikat dengan
kepentingan kapitalisme global. Kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat sipil
petani dan penduduk miskin hanya dapat menyalurkan kepentingan mereka melalui
Pemerintah yang dipimpin oleh parpol reformis PDIP yang didukung oleh parpol reformis
Islam. Fenomena ini mengindikasikan pada masa reformasi PDIP bersama-sama dengan
partai-partai politik reformis yang lain telah muncul sebagai oligarki politik pendatang baru.
Hal ini disebabkan karena elemen-elemen kekuatan masyarakat sipil petani dan penduduk
miskin masih dalam masa kebangkitan kembali dan dalam posisi tidak berdaya setelah
mendapatkan tekanan dari rezim politik korporatis Pemerintahan Orde Baru.
Potensi terhadap munculnya elemen-elemen struktur kekuatan oligarki politik baru
dapat diidentifikasi gejalanya ketika PDIP dan partai-partai politik reformis pendatang baru
berusaha untuk secara gradual menentang dominasi kekuatan struktur oligarki politik
patrimonial Orde Baru dengan memperkenalkan peraturan-peraturan kebijakan yang lebih
protektif terhadap petani dan penduduk miskin. Oleh sebab itu, gerakan masyarakat sipil
petani dan penduduk miskin untuk menuntut perubahan-perubahan kebijakan mendapatkan
ruang yang disediakan oleh struktur kekuatan oligarki politik reformis baru yang terdiri dari
politisi-politisi reformis.
Pemerintah Gus Dur dan Megawati terdiri dari gabungan dari semua parpol baik
reformis maupun kekuatan politik lama. Parpol reformis hanya berhasil menghambat
kepentingan oligarki politik lama dengan cara menjalankan kebijakan de-liberalisasi secara
gradual. Dalam kasus kebijakan liberalisasi pasar beras dan impor tuntutan kelompok-
kelompok kepentingan masyarakat sipil seperti, organisasi-organisasi petani, NGOs, tidak
banyak berpengaruh positif terhadap sikap politik elite-elite politik oligarki lama. Karena,
oligarki politik lama terikat dengan kepentingan pemburu rente kelas bisnis importir,
pedagang dan distributor beras, lembaga-lembaga internasional dan negara-negara Barat. Hal
ini membuktikan bahwa proses pengambilan kebijakan pada sektor beras telah melibatkan
tarik-menarik antara kepentingan oligarki politik baru dan lama. Dan kelompok-kelompok
kepentingan tersegmentasi menjadi dua bagian yakni, pendukung kebijakan proteksi dan
pendukung kebijakan pemburu rente. Proses peminggiran petani dan penduduk miskin
menjadi semakin parah pada masa Pemerintahan SBY jilid 1 dan 2. Pasar beras domestik
tetap dipertahankan liberal dan impor beras terus mengalami peningkatan secara signifikan.
Menurut teori kelompok, kebijakan publik pada suatu masa adalah merupakan
equilibrium yang dicapai dalam perjuangan kelompok. Equilibrium ditentukan oleh pengaruh
relatif dari kelompok-kelompok kepentingan. Perubahan dalam pengaruh relatif dari
kelompok-kelompok kepentingan tertentu akan menyebabkan perubahan-perubahan dalam
kebijakan publik. Kebijakan publik akan bergerak menuju arah yang diinginkan oleh
kelompok-kelompok yang mendapatkan pengaruh yang lebih besar dan menjauh dari
keinginan kelompok-kelompok yang pengaruhnya lebih kecil. Model kelompok digambarkan
sebagai berikut.
Gambar 1 : Model Kelompok
Pengaruh Kelompok B Posisi Kebijakan Alternatif Pengaruh Kelompok A Perubahan Kebijakan Equilibrium Sumber : Thomas R. Dye, halaman 23
Berdasarkan Gambar 1, pada masa awal reformasi cenderung terjadi penguatan
kelompok-kelompok kepentingan anti-impor beras yang direpresentasikan oleh organisasiorganisasi petani dan NGOs. Sebagai kepala daerah, Gubernur dan Bupati yang mayoritas
penduduknya petani juga memerlukan dukungan petani. Hal ini berpengaruh terhadap
perubahan-perubahan kebijakan Pemerintah yang mengarah pada pemenuhan kepentingan
kelompok anti-impor beras. Dengan menggunakan model kelompok di atas dapat dilihat
perbedaan pergeseran kebijakan dari masa Gus Dur hingga Pemerintahan SBY Periode 1.
Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa pada masa Pemerintahan Megawati,
ketika koalisi partai-partai politik pendukung kebijakan proteksi memegang kendali
kekuasaan Pemerintah dan didukung oleh organisasi-organisasi petani, NGOs, dan Kepalakepala Daerah, perubahan-perubahan kebijakan yang berpihak pada kepentingan petani
menjadi lebih signifikan. Sebaliknya, ketika parpol reformis mengalami kekalahan dan
sebahagian besar dari kekuatan politik reformis itu berkolalisi dengan kekuatan lama,
perubahan-perubahan kebijakan menuju proteksi terhadap petani dan penduduk miskin tidak
terjadi. Untuk menjelaskan fenomena ini berbagai pendekatan perlu digunakan.
Berdasarkan Teori Public Choise, Neo-Marxis, MPE dan Kelompok dapat dijelaskan
bahwa pada masa Pemerintahan Gus Dur dan Megawati, partai-partai politik mampu
mengendalikan proses liberalisasi sektor beras. Walaupun mendapatkan tantangan kuat dari
oligarki politik Orde Baru dan lembaga-lembaga internasional dan negara-negara Barat,
tetapi proses de-liberalisasi dapat berjalan secara moderat. Hal ini disebabkan karena partaipartai politik reformis belum berubah menjadi pragmatis. Sehingga, dapat memberikan ruang
bagi kekuatan masyarakat sipil dan kepala-kepala daerah untuk mengartikulasikan
kepentingan kelompok miskin. Menurut cara pandang kaum Pluralism, penyebaran pengaruh
dari kekuatan kelompok-kelompok masyarkat sipil pada masa awal reformasi berpengaruh
positif terhadap perubahan kebijakan menuju nasionalisme ekonomi sektor kebijakan
perberasan. Oleh sebab itu, policy making process tidak hanya ditentukan oleh oligarki politik
Orde Baru akan tetapi juga elemen-elemen kekuatan reformis yang terstruktur dalam
kekuatan oligarki politik pendatang baru yang dijelaskan pada Gambar 2 di bawah. Pada
Gambar itu menjelaskan bahwa walaupun elemen-elemen kekuatan lama mempunyai
kapasitas untuk mendominasi proses pengambilan kebijakan publik, akan tetapi dapat
dikendalikan oleh kekuatan oligarki politik pendatang baru yang sedang memegang
kekuasaan Pemerintahan.
Gambar 2. Model Dominasi Oligarki Politik Patrimonial Terkendali
PATRIMONIAL TERKENDALI
DOMINASI OLIGARCHI POLITIK
Neo‐Marxis: Oligarchi politik patrimonial
masa Orde Baru bukan hanya
telah berhasil dalam
melindungi kekayaan mereka
tetapi juga mampu
mempertahankan posisi politik
di era transisi demokrasi.
Birokrat-politik, Technokrat,
dan Konglomerat tetap dapat
bertahan dan dapat mengusai
lembaga-lembaga demokrasi.
Public Choise:
Tekanan dari luar negeri dan
lembaga-lembaga politik
domestik bersama-sama
dengan kelompok-kelompok
kepentingan yang kaya
mempunyai posisi dominan
dalam proses pengambilan
kebijakan publik sehingga,
kelompok-kelompok
kepentingan Masyarakat Sipil
petani dan penduduk miskin
terekslusi.
Teori MPE:
Dominasi oligarchi politik
patrimonial dapat dikendalikan
oligarchi politik baru yang
terdiri dari Parpol Reformis
yang dapat menciptakan
keseimbangan antara tujuan
mencapai karier dengan
pemenuhan kepentingan
kolektif (ideologis) dan sedang
memegang kekuasaan
Pemerintahan.
DOMINASI OLIGARKI
POLITIK PATRIMONIAL
TERKENDALI
Teori Kelompok:
Dominasi oligarchi politik
patrimonial dapat terkendali
jika distribusi pengaruh
kelompok-kelompok
kepentingan petani dan
kelompok miskin semakin
meluas dan didukung oleh
oligarchi politik baru yang
sedang berkuasa dalam
Pemerintahan.
Setelah kemenangan SBY tahun 2004, parpol reformis berubah sikap dan menempuh
jalan politik pragmatis. Sehingga, kekuatan ormas sipil dan kepala daerah tidak mampu
menembus pengaruh mereka ketika partai-partai politik reformis berkoalisi dalam
Pemerintahan. Sebagaimana dijelaskan kemudian melalui pendekatan MPE, persaingan antar
parpol untuk memperebutkan karier politik sangat ketat sehingga mereka melupakan
kepentingan kolektif demi mempertahankan karier politik. Dalam perkembangannya, oligarki
politik baru terpecah menjadi dua kubu dan sebahagian besar memilih berkoalisi dengan
oligarki politik Orde Baru. Sebagian besar partai-partai politik reformis telah berubah
menjadi pragmatis dan lebih mementingkan karier politik daripada kepentingan kolektif.
Hanya PDIP satu-satunya parpol yang menentukan pilihan untuk menjadi partai oposisi.
Kekuatan politik oligarki lama menjadi semakin besar ketika SBY berhasil memenangkan
Pemilu tahun 2004. Sebagai akibat dari menguatnya oligarki politik Orde Baru, kepentingan
elemen-elemen kekuatan masyarakat sipil petani dan penduduk miskin semakin tereksklusi
dari proses pengambilan kebijakan sektor perberasan. Akan tetapi bukan berarti bahwa
elemen-elemen kekuatan oligarki politik reformis baru mengalami kematian.
Perubahan orientasi politik parpol reformis berpengaruh besar terhadap perubahan
kebijakan Pemerintah SBY. Walaupun koalisi partai-partai politik reformis dan tradisional
memiliki kapasitas untuk memengaruhi kebijakan publik, mereka terperangkap dalam
kepentingan-kepentingan sektor bisnis yang memanfaatkan sumber-sumber yang dimiliki
negara, dan oleh karena itu pemerintah koalisi menolak reformasi kebijakan. Sehingga,
perubahan kebijakan yang tunduk pada kepentingan kolektif tidak terwujud. Pada masa
Pemerintahan SBY sikap pragmatisme parpol reformis sangat jelas terlihat.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terikat dalam koalisi Pemerintah, baik pada level
Pemerintah maupun Parlemen PKS berusaha menentang kebijakan impor beras bersamasama dengan partai oposisi PDIP, tetapi gagal. Pada awal masa Pemerintahan SBY I, koalisi
PDIP dan PKS yang didukung oleh organisasi-organisasi petani, NGOs, dan kepala-kepala
daerah tidak mampu melawan Partai Demokrat (PD) dan Golongan Karya (Golkar) yang
didukung oleh parpol reformis seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP).
Kebijakan larangan impor beras mulai direvisi sehingga dalam masa-masa berikutnya volume
impor beras menjadi semakin meningkat.
Kerangka analisis MPE menjelaskan fenomena penguatan oligarki politik lama. Unit
analisis MPE tidak berbeda dengan Public Choise yakni, aktor/individu atau organisasi yang
dianggap individu. Perbedaan kedua pendekatan itu teletak pada perumusan asumsi. Public
choise beranggapan bahwa individu-individu yang menempati lembaga-lembaga negara
termasuk di dalamnya adalah partai-partai politik, lebih mementingkan peningkatan
pendapatan. Pendekatan Public Choise tidak membedakan antara aktor-aktor yang berusaha
mengedepankan peningkatkan pendapatan dengan karier. Sebagai akibatnya, semua aktor
yang bekerja baik di sektor swasta maupun publik dianggap mempunyai tujuan yang sama.
Politisi dan birokrat seperti halnya konsumen, masyarakat pemilih, atau produsen pada
dasarnya hanya mementingkan pendapatan. Oleh sebab itu, tujuan pendekatan Public Choise
dengan MPE memiliki perbedaan yang mendasar. Di satu fihak pendekatan MPE berusaha
untuk mengidentifikasi cara-cara dalam yang mana pemerintah dapat melakukan campur
tangan terhadap pasar dan meminimalisasi pemburuan-rente. Di lain fihak pendekatan Public
Choise berakhir dengan visceral distate (rasa benci yang mendalam) terhadap pemerintah.
Mereka mengabaikan kegagalan pasar dan tidak memberikan jalan keluar yang dapat
membenarkan peran negara yang lebih intervensionis. (Freiden et. al, 2000: xvii).
Ada dua asumsi dalam kerangka analisis MPE. Asumsi yang pertama adalah bahwa
aktor-aktor berusaha untuk memaksimalkan kepuasan atau kebahagiaan (maximazing
utilities) dan bertindak secara rasional. Individu mencoba untuk mencapai tujuan apapun
yang mereka ingin capai dengan cara-cara yang terbaik menurut mereka. Sebagai contoh,
politisi berusaha untuk terpilih kembali dalam pemilu, Bank Dunia, World Trade
Organization (WTO), dan IMF, berusaha untuk mempertahankan pasar bebas. Maksimalisasi
pendapatan cenderung menentukan preferensi kebijakan, akan tetapi hal ini tidak inheren
dalam asumsi rasionalitas. Artinya, belum tentu prefrensi kebijakan suatu aktor selalu
didasarkan pada kepentingan meningkatkan pendapatan. Oleh sebab itu berdasarkan argumen
itu asumsi kedua perlu ditambahkan, maximazing incomes. (Freiden et. al, 2000:37-38).
Pekerja-pekerja, broker, dan perusahaan-perusahaan berusaha untuk memaksimalkan
pendapatan.
Barbara Geddes menjelaskan bahwa argumen-argumen pilihan rasional tentang politik
demokrasi tidak mengkonseptualisasikan aktor-aktor politisi sebagai homo economicus.
Politisi mempunyai tujuan untuk terpilih kembali, kelanggengan sebagai politisi dan
peningkatan karier. Di beberapa negara, peningkatan karier politik merupakan jalan untuk
menumpuk kekayaan, akan tetapi yang paling umum, pemegang jabatan politik dapat
mendapatkan uang dengan mengerjakan pekerjaan di luar karier politik. (Geddes dalam
Freiden et. al, 2000:83).
Pendekatan MPE berasumsi bahwa politisi dan birokrat adalah individu-individu
rasional yang berusaha untuk memperoleh kesuksesan karier. (Geddes, 1994:7). Pemimpinpemimpin partai politik berusaha untuk mencapai sukses karier dengan memaksimalkan
kekuatan partai dan kekuatannya sendiri dalam partai itu. Karier anggota Parlemen
tergantung pada suara konstituen. Tujuan utama birokrat adalah mengamankan posisi
kariernya menjadi pejabat. Tujuan untuk mendapatkan keuntungan material adalah
merupakan pilihan tindakan yang kedua. Sedangkan kelompok-kelompok kepentingan
berusaha untuk meningkatkan pendapatan. (Geddes, 1994:13). Tingkah laku manusia dalam
setting pemerintahan digerakkan oleh kekuatan-kekutan kepentingan individu (self-interested
forces) yang mengarahkan tingkah laku manusia dalam pemenuhan kepentingan kolektif.
Pendekatan itu mengarah pada penjelasan bahwa otonomi negara bersumber pada tingkah
laku individu: pejabat-pejabat publik dan politisi-politisi akan bertindak menurut cara-cara
mereka yang menyebabkan terciptanya otonomi negara ketika negara memberikan
kesempatan bagi mereka untuk mencapai karier. Ketika kepentingan mereka dapat dicapai
dengan mewakili kepentingan kolektif masyarakat tertentu mereka akan melakukannya.
(Geddes, 1994:8).
Secara ideal apabila partai-partai politik tertentu yang berkoalisi dan menang dalam
pemilihan Legislatif atau Presiden maka akan mempunyai kapasitas untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan kepentingan kolektif dalam menjalankan Pemerintahan sehingga, mencapai
pada suatu titik ekwilirium dimana terjadi konvergensi kepentingan antara kelompokkelompok kepentingan yang berusaha untuk meningkatkan pendapatan dengan politisipolitisi yang berusaha mencapai karier politik.
Pada sektor kebijakan beras titik konvergensi kepentingan itu tercapai ketika
perusahaan penggilingan padi, pedagang dan distributor beras yang direpresentasikan oleh
Persatuan Perusahaan Penggilingan dan Perdagangan Padi (PERPPADI), importir, petani
produsen dan kelompok penduduk miskin yang terwakili oleh organisasi petani dan NGOs,
dan konsumen, sama-sama mendapatkan keuntungan; dan lembaga-lembaga Finansial
Internasional dan negara-negara Barat atau aktor-aktor bisnis internasional yang berafiliasi,
tidak punya kemampuan untuk menguras sumber-sumber yang dimiliki negara. Di lain fihak,
politisi-politisi parpol koalisi Pemerintah dapat memenuhi tugasnya dalam membuat
kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik; dan melalui lembaga-lembaga
birokrasi pemerintah mampu mengimplementasikan kebijakan-kebijakan itu, sehingga,
politisi-politisi parpol mempunyai kapasitas untuk mempertahankan karier politik. Secara
teoritis jika titik konvergensi kepentingan itu tidak tercapai dalam semua sektor kebijakan
dan semakin memburuk maka dalam jangka panjang kemungkinan akan muncul intervensi
politik yang berasal dari luar sistem politik demokratis yang ada. Berdasarkan proposisiproposisi itu dapat dirumuskan sebuah teori keseimbangan yang dapat dijelaskan dalam
Gambar 3 yang diaplikasikan dalam sektor kebijakan beras.
Gambar 3. Modern Political Economy Approach (diterapkan dalam kasus kebijakan
perberasan)
Fragmentasi
Partai politik
Rezim Demokrasi
Konstituen
pemilih
Pemilihan Umum
Partai-partai politik Reformis dan
Tradisional (mengejar karier
politik dan pendapatan)
Kepala-kepala daerah
(mengejar karier politik)
Koalisi antar Partai-partai
politik
Produsen beras dan importir
luar negeri
(mengejar pendapatan)
Penentu Kebijakan
DPR dan Pemerintah
(mengejar karier
politik dan pendapatan)
Organisasi-Organisasi
Petani dan NGOs
(mengejar pendapatan)
Birokrasi
(mengejar karier dan
pendapatan)
Distributor beras dan impotir
domestik
(mengejar pendapatan)
Global Capitalism: IMF, World Bank,
WTO, Govt. of the West
(melanggengkan sistim kapitalisme
global mempertahankan tingkat
pendapatan nasional yang tinggi)
Merujuk pada rumusan teori itu, pada sektor kebijakan beras, jika titik konvergensi
antara pelayanan barang publik dengan privat itu tidak tercapai maka, dua kenderungan dapat
diidentifikasi. Pertama, pasar beras domestik menjadi tidak sempurna sehingga hanya
menguntungkan beberapa aktor dan perlu diselesaikan melalui campur tangan negara yang
lebih kuat dalam pasar. Kedua, di dalam birokrasi pemerintah muncul kecenderungan rentseeking yang merugikan salah satu atau beberapa aktor. “Penyakit” ini hanya dapat
disembuhkan dengan cara reformasi birokrasi agar lembaga-lembaga birokrasi bersifat netral
dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan publik. Kapasitas untuk melaksanakan kebijakan
yang dipilih oleh negara/pemerintah tergantung pada ada atau tidaknya lembaga birokrasi
yang efektif. Jika orang hendak mengetahui aktor-aktor negara, orang harus dapat
mengetahui apa itu isi perut dari lembaga-lembaga birokrasi pemerintah yang bertugas
menjalankan keputusan-keputusan yang telah dibuat. (Geddes, 1994: 14).
Dalam pemikiran yang ideal, tatanan politik demokrasi dimana persaingan antar
parpol berjalan secara normal maka, dapat menjamin bahwa manajemen kekuatan politik
sistem demokrasi mampu menciptakan tatanan politik demokrasi yang sehat sehingga,
pelayanan barang-barang publik tidak menjadi masalah. Manajemen pasar beras domestik
melalui intervensi pemerintah dalam pasar beras dalam negeri dan pengendalian impor beras
dapat dikategorikan sebagai bentuk pelayanan barang publik karena, sektor perberasan
khususnya dan pertanian pada umumnya tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar bebas.
Oleh sebab itu seharusnya, jika tatanan demokrasi normal, intervensi Pemerintah terhadap
pasar beras domestik dan kebijakan pengendalian impor beras dari luar negeri, menjadi
tekanan utama. Dengan berbagai alasan, mereka menjustifikasi intervensi Pemerintah
terhadap pasar dalam negeri hasil produksi sektor pertanian. Akan tetapi menurut Geddes
kondisi demokrasi yang sehat itu tidak selalu dapat terwujud. Sistim kepartaian yang dianut
oleh suatu negara demokrasi itu menentukan perilaku politik politisi-politisi parpol yang ada
di dalamnya. Untuk menjelaskannya, Geddes membedakan antara sistim dwi-partai dengan
multi-partai. Dalam kasus yang terjadi di Brasil, sistim politik multi-parpol perilaku politik
partai-partai politik cenderung pragmatis dan tidak memikirkan kepentingan sebagian besar
konstituen pemilih.
Antony Down berargumen bahwa perilaku pemilih dapat diarahkan oleh legislator
menuju median voter yang ada di dalam masyarakat pemilih.3 Sistem perwakilan Single
Member District dimana pengambilan suara akan menentukan kemenangan suara mutlak
parpol yang mendapatkan suara terbanyak (winner- takes-all vote) maka, dengan sendirinya
akan membagi pelaku-pelaku politik menjadi dua parpol. Para pemilih akan terbagi-bagi ke
dalam rentangan yang berkisar mulai dari Liberal sampai ke Konservatif. Partai-partai politik
mencoba memformulasikan paket-paket kebijakan yang dapat menarik simpati konstituen
yang digunakan sebagai instrumen untuk mendapatkan jabatan publik.
Dengan kondisi-kondisi awal yang terjadi, Down dapat memperlihatkan bahwa kedua
partai politik yang berkompetisi akan bergerak menuju rentang tengah Liberal-Konservatif,
atau ke titik median para pemilih. Semua strategi lainnya tidak rasional karena tidak dapat
memengkan pemilu. Argumen Down digambarkan sebagai berikut.
3
Penjelasan Antony Down ini dikutip dari buku yang berjulul Theories of Political Economy karya James A Caporaso dan
David P. Levine, 1992:139-141.
Gambar 4. Political Parties and The Median Voters.
X=Median
X+2
Conservative
Liberal
Pada gambar 2 di atas, para pemilih terletak di sepanjang rentang Konservatif sampai
Liberal. Median pemilih terletak pada titik X, yang membagi setengah dari semua pemilih
berhaluan Konservatif dan setengah yang lainnya Liberal. Jika partai politik A membuat
program-program agar dapat menarik simpati konstituen Partai Liberal, maka yang harus
dilakukan partai B agar dapat menang adalah merancang program-programnya dengan cara
menarik sisanya yaitu mulai dari titik C sampai dengan X+2 yang lebih luas bidangnya. Titik
median merupakan acuan untuk mendapat kemenangan. Kemenangan dapat diperoleh ketika,
minimal sebuah Partai politik harus mendapatkan X+1 (dari titik tertentu yaitu dari sebelah
kiri yakni Konservatif atau sebelah kanan yaitu Liberal).
Dalam kenyataanya kebijakan publik tidak selalu dapat mencerminkan preferensi
sebahagian besar (rata-rata) masyarakat pemilih. Kebenaran argumen yang menjelaskan
bahwa kebijakan Pemerintah itu dapat mencerminkan harapan median voter banyak
diperdebatkan. Kebenaran argumen bahwa preferensi kebijakan Pemerintah mencerminkan
kepentingan median voter telah dikembangkan dalam sistem demokrasi dimana perilaku
politik konstituen hanya dibatasi oleh dua pilihan parpol sehingga, konstituen hanya dapat
memilih satu opsi sebagaimana sistem demokrasi yang diterapkan di Amerika Serikat. Oleh
sebab itu, kebenaran argumen itu dipertanyakan ketika tatanan demokrasi menganut sistem
multi-partai dimana partai-partai polititk saling bersaing memperebutkan pengaruh konstituen
untuk mendapatkan karier politik seperti yang terjadi di Indonesia. Dalam sistem multipartai
konstituen pemilih cenderung bergerak keluar menjauh dari median voter. Sehingga,
mengakibatkan baik pelayanan barang publik maupun privat akan tersedia untuk kelompokkelompok kepentingan yang tidak termasuk dalam median voter. (Geddes, 1994:39).
Dalam sistem politik dwi-partai masyarakat pemilih tidak akan kesulitan untuk
mengidentifikasi program-program parpol karena pilihan terhadap program-program itu
hanya dibatasi dua partai politik. Merujuk pada teori Down, program-program pembangunan
yang ditawarkan baik oleh partai Konservatif maupun Liberal dapat dipahami oleh konstituen
pemilih secara detail dengan anggapan bahwa setiap parpol mampu menjelaskan programprogram yang ditawarkan pada konstituen. Sehingga, masyarakat pemilih dapat mengambil
berbagai manfaat yang bakal mereka terima jika parpol itu terpilih. Dengan cara menjabarkan
program-program pembangunan pada setiap sektor kebijakan, konstituen pemilih dapat
menilai bahwa program-program yang mereka tawarkan menguntungkan konstituen. Dengan
demikian dapat diketahui arah kecenderungan perilaku politik dari median voter. Sedangkan,
performance parpol incumbent dapat dinilai konstituen melalui prestasi parpol yang kasat
mata dalam menjalankan program-program pembangunan di semua sektor yang sebelumnya
ditawarkan. Pendapat konstituen terhadap baik parpol incumbent maupun oposisi dapat
diketahui melalui survai di lapangan. Perilaku pemilih dapat diibaratkan sebagai cuaca alam
yang yang dapat mengalami perubahan-perubahan setiap saat dan kecenderungan perilaku
pemilih dapat diramalkan oleh para peneliti atau parpol yang secara terus menerus memonitor
perubahan-perubahan perilaku politik konstituen.
Dengan demikian, keberhasilan parpol pemerintah yang berkuasa tidak hanya dinilai
berdasarkan parameter-parameter yang umum seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi,
pengangguran dan sebagainya. Indikator-indikator keberhasilan pembangunan yang bersifat
sangat umum itu mengandung cacat yang serius, karena politisi-politisi hanya mampu
menyediakan keuntungan-keuntungan tertentu tanpa melaksanakan preferensi-preferensi
kebijakan yang diterima masyarakat, dan juga karena prestasi Pemerintah yang bersifat
umum itu disebabkan oleh berbagai faktor yang ada di luar kemampuan politisi-politisi itu.
(Geddes, 1994:39).
Dalam sistem politik multi-parpol, para aktivis parpol mempunyai preferensi
kebijakan yang berbeda dengan pemilih rata-rata karena masyarakat pada umumnya tidak
dapat memonitor prestasi kebijakan politisi-politisi. Sehingga, mesin elektoral menjadi alat
essensial untuk memobilisasi suara konstituen. Mereka mendistribusikan keuntungan yang
dapat memengaruhi keputusan banyak orang untuk agar dapat memilih mereka dalam pemilu.
Kentungan-keuntungan individu meliputi bantuan makanan, kupon, yang memenuhi syarat
bagi wanita hamil untuk mendapatkan susu, atau anak sekolah untuk mendapakan makan
siang gratis, dan bentuk pelayanan Pemerintah yang lain yang mana klien memiliki klaim
yang legal tetapi akses menjadi tertutup
1994:40).
tanpa adanya pertolongan politik. (Geddes,
Di Indonesia, bentuk bantuan semacam itu juga berkembang luas seperti penyaluran
RASKIN, pembuatan jaringan jalan desa yang dapat terwujud melalui campur tangan partai
politik tertentu. Bahkan tidak jarang kandidat-kandidat parpol tertentu memberikan
rangsangan berupa hadiah-hadiah melalui berbagai macam lomba yang diadakan di dalam
masyarakat pedesaan atau secara vulgar, tapi tidak dapat dijerat hokum, memberikan uang
sogok pada konstituen menjelang pemilu demi untuk menarik simpati mereka. Sangat ironis
bahwa bantuan Beras Miskin (RASKIN) dan pembuatan jaringan jalan desa hanya
memberikan fasilitas bagi agen-agen kekuatan global seperti importir, pedagang, dan
distributor beras untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dari kondisi pasar beras
yang oligopolis dan memukul kesejahteraan petani dan penduduk miskin. Tanpa RASKIN
tingkat kesejahteraan kehidupan petani desa dan penduduk miskin bisa lebih baik apabila
liberalisasi sektor beras khususnya dan Pertanian umumnya dapat dikendalikan melalui
campur tangan Pemerintah.
Untuk mendapatkan suara konstituen yang sebanyak-banyaknya, dengan hadiahhadiah yang diberikan secara individual, politisi-politisi memerlukan mesin-mesin politik
yang besar yang diperkerjakan oleh para aktivis parpol dan pekerja-pekerja partai.
Kemampuan politisi-politisi untuk menyalurkan bantuan-bantuan itu tergantung pada apakah
anggota-anggota parpol itu menduduki posisi sebagai pejabat dalam birokrasi pemerintah.
(Geddes, 1994:40). Disebabkan karena perlu “membayar” pekerja-pekerja partai, para aktivis
Parpol tidak mempunyai independensi sama sekali dalam menentukan preferensi kebijakan
dan hanya peduli agar terpilih kembali dalam pemilu. Mereka mempunyai alasan yang masuk
akal untuk membelanjakan sumber-sumber yang wewenang mereka untuk didistribusikan
pada individu-individu berupa hadiah untuk mennopang karier mereka daripada memberikan
pelayanan publik yang hanya menguntungkan konstituen dari luar lingkungannya. (Geddes,
1994:41).
Kasus di Brasil individu-individu yang menentukan keputusan bertentangan dengan
kepentingan kolektif manakala tindakan itu tidak sesuai dengan kepentingan mencapai karier
politik. Politisi-politisi mempunyai hubungan pertukaran dengan klien-klien yang mereka
miliki yang diistilahkan sebagai Cabos Eleitorais, (“electoral corporals”), yang bertindak
sebagai penghubung yang menjanjikan dukungan suara konstituen, sebagai imbalan dari
hadiah-hadiah yang mereka berikan, termasuk jabatan dalam birokrasi pemerintah. (Geddes,
1994:88). Sebagai akibatnya, perilaku rent-seeking dalam lembaga-lembaga politik demikrasi
yakni, parpol, birokrasi pemerintah, dan Parlemen menjadi berkembang luas. Parpol tidak
lagi peduli terhadap kepentingan rakyat karena terikat dengan kepentingan klien dalam
mencapai karier politik.
Berdasarkan argumen itu dapat dibenarkan bahwa kecenderungan terjadinya korupsi
yang massif di Indonesia bukan hanya disebabkan oleh oligarki politik patrimonial
peninggalan Orde Baru. Tindakan korupsi telah meluas dan meliputi politisi-politisi bukan
hanya yang berasal dari partai-partai politik tradisional peninggalan Orde Baru seperti
GOLKAR dan sempalan-sempalannya akan tetapi juga parpol reformis pragmatis4. Dalam
rezim politik reformasi kelompok-kelompok kepentingan petani dan kaum miskin telah
dikorbankan sebagai akibat dari persaingan antar parpol untuk memperebutkan kedudukan
politik.
Dengan demikian, argumen yang dikembangkan oleh pendekatan MPE, Public
Choise, dan Pluralis mencapai titik konvergensi dengan argumen pendekatan neo-Marxis.
Dengan kata lain, empat pendekatan itu dapat disintesakan. Jika dalam masa Orde Baru rezim
militer telah menciptakan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang korporatis yang
sengaja dibentuk pemerintah untuk menghilangkan pengaruh kekuatan elemen-elemen
kekuatan masyarakt sipil maka, pada masa reformasi kompetisi antar parpol untuk
memperebutkan pengaruh konstituen telah menciptakan kendala yang serius bagi ormas sipil
petani dan penduduk miskin yang sedang tumbuh untuk mengartikulasikan kepentingan
mereka terhadap Pemerintah. Karena, dalam sistem multi-partai dimana persaingan antar
parpol menjadi sangat intensif dan perilaku partai-partai politik menjadi pragmatis dan lebih
mementingkan karier politik daripada memenuhi kepentingan kolektif. Sebagai akibatnya,
oligarki politik patrimonial peninggalan Orde Baru dapat bertahan dengan menguasai
lembaga-lembaga demokrasi masa reformasi bersama-sama dengan politisi-politisi reformis.
Oleh karena itu, komunikasi politik antara kelompok-kelompok kepentingan masyarakat sipil
petani dan penduduk miskin dengan masyarakat politik atau Pemerintah menghadapi kendala.
Pada level Masyarakat Politik elemen-elemen kekuatan oligarki politik lama yang didukung
oleh partai-partai politik reformis pragmatis menjadi semakin dominan dalam proses
pembuatan kebijakan publik.
Pendekatan Kooptasi dapat membantu menjelaskan dominasi aktor-aktor pendukung
liberalisasi. Untuk memperkuat posisi politik mereka, Pemerintah yang berkuasa (oligarki
4
Partai-partai Politik Reformis pragmatis didefinisikan sebagai elemen-elemen kekuatan politik reformis termasuk parpol
yang sudah terbentuk sebelum terjadi Reformasi politik yang berusaha untuk merubah sistim politik otoriter Orde Baru
menjadi demokratis dan tidak setuju terhadap dominasi oligarchi politik lama yang tetap mempertahankan praktek-praktek
pemburuan rente dan bekerjasama dengan kepentingan kapitalisme global, akan tetapi berubah menjadi pragmatis ketika
menghadapi masalah kelanggengan karier politik politisi-politisi dan existensi Parpol.
politik lama) tidak hanya dapat mengkooptasi politisi-politisi partai politik reformis yang
ragu-ragu dalam menentukan pilihan politik dengan cara paksaan atau rayuan halus untuk
memperlemah militansi mereka, akan tetapi juga mengkooptasi organisasi-organisasi
masyarakat sipildengan cara membirokratisasai mereka dalam birokrasi pemerintahan.
Gambar 5 di bawah menjelaskan bahwa ketika orientasi politik parpol reformis
berubah menjadi pragmatis dengan meninggalkan ideologi nasionalisme ekonomi dan
berkoalisi dengan elemen-elemen kekuatan oligarki politik rezim Orde Baru maka, mereka
menjadi kendala yang serius bagi kakuatan kelompok-kelompok kepentingan masyarakat
sipil petani dan penduduk miskin, dan kepala-kepala daerah untuk mengartikulasikan
kepentingan mereka pada Pemerintah. Pemerintah yang berkuasa bukan hanya mengkooptasi
kelompok kepentingan masyarakat sipilakan tetapi juga elemen-lemen kekuatan parpol
reformis yang menentang kebijakan impor beras.
Dalam mempertahankan eksistensi mereka, parpol reformis lebih mementingkan
karier daripada kepentingan kolektif dan parpol tradisional hendak tetap bertahan dalam
sistem politik yang demokratis. Konvergensi kepentingan antara keduanya telah
mengakibatkan kemacetan bagi kelompok kepentingan miskin, kepala-kepala daerah, dan
parpol yang berhaluan nasionalisme untuk mengartikulasikan kepentingan kaum petani dan
kelompok miskin. Karena itu, yang terjadi adalah proses liberalisasi yang memukul
kesejahteraan mereka. Kebijakan liberalisasi pasar beras domestik tetap berjalan dan volume
impor beras terus mengalami peningkatan. Walaupun elemen-elemen kekuatan politik
masyarakat sipil semakin berkembang dan demonstrasi publik menuntut dihentikannya impor
beras semakin meluas, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap perubahan-perubahan
kebijakan. Kecenderungan ini terjadi pada masa Pemerintahan SBY ketika partai-partai
politik reformis ikut serta dalam Kabinet Pemerintahan oligarki politik lama.
Gambar 5. Model Dominasi Oligarki Politik Patrimonial Tak Terkendali
DOMINASI OLIGARkI POLITIK
PATRIMONIAL TAK
TERKENDALI
Teori Kooptasi:
Organisasi-organisasi yang
bermasalah itu adalah mereka yang
membirokrastisasi, mengikatkan
diri dalam sistim kekuasaan
Pemerintahan, dan menjadi
lesu/malas. Bahaya kooptasi
dimengerti sebagai semua proses
melalui yang mana hubungan dekat
dengan negara melenyapkan
efektifitas organisasi. Dominasi Parpol
Reformis dan
Tradisional
Neo‐Marxis: Individu-individu yang kaya
(oligarchi politik) pada masa
Orde Baru bukan hanya telah
berhasil dalam melindungi
kekayaan mereka tetapi juga
mampu mempertahankan posisi
politik di era transisi demokrasi.
Birokrat-politik, Technokrat, dan
Konglomerat tetap dapat bertahan
dan dapat mengusai lembagalembaga demokrasi.
MPE: Kompetisi politik yang tinggi
dalam sistim politik multi-partai
memaksa Parpol lebih
menekankan kepentingan karier
dan mengabaikan kepentingan
kolektif (pragmatis) dan
berkoalisi dg. oligarchi politik
lama sehingga, oligarchi politik
baru menjadi melemah. Parpol
pragmatis menjadi barrier bagi
Masyarakat Sipil miskin untuk
mengartikulasikan kepentingan
mereka pada level Pemerintah.
Group Theory: Distribusi kekuatan dari kelompokkelompok kepentingan dalam
Masyarakat Sipil menjadi semakin
tersebar dan Kepala-kepala Daerah
independen, tetapi Parpol Reformis
dan Tradisional yang pragmatis dan
sedang berkuasa (oligarchi politik
lama) menjadi kendala artikulasi
politik kelompok kepentingan miskin
dan Kepala-kepala Daerah. Public Choise:
Sama dengan Neo-Marxis,
kelompok-kelompok kepentingan
dapat memaksakan kebijakan
pemerintah untuk memenuhi
tujuan-tujuan yang sempit,
walaupun menyalahkan aktoraktor miskin. Tekanan dari luar
negeri dan lembaga-lembaga
domestik bersama-sama dengan
kelompok-kelompok kepentingan
mempengaruhi kebijakan publik.
Dalam sistem politik multi-partai dimana persaingan antar parpol untuk
memperebutkan karier politik sangat tinggi, tidak dapat dijamin bahwa politisi-politisi yang
menentukan keputusan itu bertindak sesuai dengan kepentingan kolektif jika bertentangan
dengan tujuan mencapai karier politik. Ketika politisi harus bersaing dengan politisi lain,
mereka harus menentukan pilihan-pilihan yang saling bertentangan dalam menggunakan
sumber-sumber yang terbatas yang menjadi wewenangnya. Dalam setiap keputusan untuk
memberikan keuntungan bagi individu yang satu dengan yang lain, politisi senantiasa
menghadapi dilemma antara apakah sumber-sumber itu digunakan untuk memperbesar
kemungkinan terpilih kembali dalam pemilu atau digunakan untuk kepentingan kolektif
memenuhi program-program pembangunan ekonomi. Jika mereka dapat memenuhi dua
tujuan itu sekaligus politisi akan dengan mudah menentukan pilihan, akan tetapi sangat
jarang terjadi koidensi antara kedua tujuan itu. (Geddes, 1994:88).
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kecil politisi lebih mementingkan
komitmen ideologis ketimbang karier politik. Akan tetapi politisi semacam itu memiliki
probabilitas yang lebih kecil dalam memperoleh jabatan politik jika dibandingkan dengan
politisi yang pragmatis. (Geddes, 1994:87). Pada kasus kebijakan beras di Indonesia, partai
politik PDIP sebagai inti dari kekuatan oligarki politik reformis pendatang baru menentukan
pilihan politik untuk menjadi kekuatan politik oposisi melawan Pemeritahan oligarki politik
lama periode I dan II di bawah kepemimpinan SBY.
Pendekatan MPE meminjam elemen-elemen teori Public Choice. Seperti halnya kaum
Marxis, pendukung teori Public Choice berpendapat bahwa kelompok-kelompok kepentingan
dapat memaksakan kebijakan Pemerintah untuk memenuhi tujuan-tujuan yang sempit,
walaupun mereka cenderung menyalahkan aktor-aktor yang miskin, seperti buruh. Pandangan
ini menjadi mengemuka ketika banyak pendukung MPE menambahkan perspektif Public
Choise dengan menjelaskan bagaimana tekanan dari luar negeri dan lembaga-lembaga politik
domestik bersama-sama dengan kelompok-kelompok kepentingan memengaruhi kebijakan
publik. (Freiden et. al, 2000: xvi). Merujuk pada pendapat itu, pada kasus kebijakan beras
tekanan-tekanan lembaga-lembaga internasional IMF, Bank Dunia, WTO dan negara-negara
Barat yang didukung oleh politisi-politisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan bisnis berpengaruh besar terhadap
kebijakan liberalisasi pasar beras dan gabah domestik dan impor. Koalisi pendukung
liberalisasi sektor beras itu hanya berakibat pada peminggiran kepentingan kelompok petani
desa dan penduduk miskin baik di daerah-daerah pedesaan maupun perkotaan. Pahahal, pada
dasarnya tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar bebas.
Gejala menguatnya kembali oligarki politik reformis baru mulai dapat dilihat ketika
PDIP berhasil memenangkan Pemilu Legislatif tahun 2014 yang diikuti dengan pencalonan
Jokowi sebagai Presiden yang didukung oleh parpol baru Nasional Demokrat (Nasdem), Hati
Nurani Rakyat (Hanura), PKB, dan PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia). Sejak
masa pemerintahan Gus Dur dan Megawati tarik menarik antara oligarki politik lama dengan
reformis terus berlangsung hingga Pemerintahan SBY. Oleh sebab itu, pertentangan antara
kubu Prabowo dalam yang mana seluruhnya merupakan bagian dari elemen-elemen kekuatan
oligarki politik lama dan kubu Jokowi dalam yang mana sebagian besar merupakan bagian
dari elemen-elemen kekuatan oligarki pendatang baru, tidak akan hanya berhenti setelah
pemilihan Presiden-Wakil selesai. Sebagaimana pada masa Pemerintahan Gus Dur dan
Megawati, oligarki politik lama akan menjadi kendala bagi Pemerintah oligarki politik
reformis baru dalam menjalankan fungsi pelayanan publik.
Untuk menjelaskan kelemahan organisasi-organisasi petani dan NGOs dalam
menghadapi pemerintah reformasai teori Logika Tindakan Kolektif (Logic of Collective
Actions),
Kooptasi dan teori James Scott dapat dijadikan sebagai acuan utama. Dalam
menganalisis kelompok kepentingan Mancur Olson mengajukan masalah Tindakan Kolektif.
Kelompok-kelompok yang besar mungkin meraih kesuksesan lebih kecil dari pada
kelompok yang kecil dan terkonsentrasi. Logika tindakan kolektif bermuara kesimpulan
bahwa kepentingan-kepentingan rakyat kecil tidak akan memengaruhi proses pembuatan
kebijakan, karena mereka kurang dapat mengorganisir diri mereka. Kelompok-kelompok
yang berukuran kecil dan mampu mengorganisasikan dirinya dengan baik mampu menekan
kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kepentingan mereka daripada kelompok-kelompok
yang lebih besar karena dalam kelompok-kelompok yang kecil anggota-anggota dapat
mengetahui apakah mereka memberikan sumbangan dan dapat menghukum mereka yang
hanya menjadi free rider. (Geddes dalam Freiden et. al, 2000:88).
Berdasarkan argumen Olson distribusi kekuatan kelompok-kelompok kepentingan
lebih ditentukan oleh kekuatan individu yang menjadi anggota kelompok. Kelompokkelompok yang berukuran kecil dan mampu mengorganisasikan dirinya dengan baik mampu
menekan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kepentingan mereka daripada kelompokkelompok yang lebih besar karena dalam kelompok-kelompok yang kecil anggota-anggota
dapat mengetahui apakah mereka memberikan sumbangan dan dapat menghukum mereka
yang hanya menjadi free rider. (Geddes dalam Freiden et. al, 2000:88).
Berdasarkan teori itu, pada kasus kebijakan beras di Indonesia dapat diduga bahwa
kelompok-kelompok kepentingan petani dan penduduk miskin semakin terpinggirkan. Bagi
kelompok petani dan penduduk miskin mengalami kesulitan dalam mangorganisir kelompok
kepentingan karena jangkauan wilayah yang sangat luas dan ukuran kelompok yang besar.
Kelompok-kelompok kepentingan yang memiliki sumber-sumber kekayaan seperti pedagang
dan distributor beras, importir yang akan menang dalam persaingan memperebutkan
pengaruh. Kasus di Afrika mengungkapkan hubungan antara ukuran kelompok dan
kemampuan untuk mengorganisir dijelaskan oleh Bates yang meneliti kebijakan penetapan
harga produk pertanian di Afrika relatif menguntungkan sejumlah kecil konsumen daerah
perkotaan karena, harga produk pertanian yang rendah dapat mengurangi tuntutan kenaikan
gaji dengan mengorbankan sejumlah besar petani pedesaan. (Bates, 1988).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya teori kooptasi menjelaskan bahwa
kekuatan pengaruh suatu organisasi akan ditentukan oleh kemampuannya untuk menolak
kooptasi yang memperlemah organisasi. Teori itu memperingatkan pada para peneliti akan
bahaya yang dihadapi oleh semua gerakan kaum miskin baik di perkotaan maupun di
pedesaan, dalam masyarakat industri atau agraris.
Sedangkan James C. Scott menjelaskan bahwa gerakan kaum tani selalu timbul
karena mediasi dari kelas-kelas bukan petani. (Scott, 1981, dalam Firmansyah et.al, 1999:180).
Karakteristik petani yang mengarah pada gaya hidup fatalisme inilah yang menyebabkan
mereka selalu bergantung pada perlindungan dari luar masyarakat petani itu sendiri. Dengan
gaya hidup fatalisme ini barangkali sulit diharapkan bahwa petani bisa bangkit untuk
melawan kemiskinan.
2. Metode Analisis
Metode analisis pendekatan MPE dilakukan melalui beberapa langkah. Dalam
menganalisis interaksi antar aktor terlebih dahulu perlu diidentifikasi preferensi kebijakan
aktor-aktor. Dalam kasus kebijakan impor beras sebagian dari aktor-aktor mungkin memilih
untuk berkoalisi dengan kekuatan kapitalisme global dan sebagian yang lain menolaknya.
Pilihan tindakan aktor-aktor tergantung pada bagaimana mereka memperhitungkan
keuntungan yang diperoleh dan kerugian yang diderita jika memilih tindakan politik tertentu.
Oleh sebab itu pilihan tindakan aktor-aktor akan bervariasi.
Dalam konteks kebijakan beras, bagi Pemerintah yang berkuasa, terdapat dua pilihan
yang relevan. Apakah akan melanjutkan kebijakan liberalisasi pasar domestik dan impor
beras atau mengendalikannya. Dengan asumsi bahwa Pemerintah akan melaksanakan
pengendalian liberalisasi pasar beras domestik dan impor seberapa jauh yang akan
dilakukannya. Aktor-aktor bisnis swasta nasional dan internasional, organisasi petani, NGOs,
partai politik, birokrat, Gubernur dan Bupati, IMF, Bank Dunia, WTO, mempunyai preferensi
kebijakan yang berbeda-beda.
Bagi aktor bisnis preferensi kebijakan aktor didasarkan pada kepemilikan aset.
pedagang penggilingan padi mempunyai preferensi kebijakan liberalisasi pasar beras
domestik dan impor beras karena dengan adanya liberalisasi pasar domestik dan impor akan
memberikan kebebasan bagi mereka untuk memaksimalkan pendapatan. Di lain fihak
organisasi-organisasi petani/produsen beras, lebih suka dengan kebijakan yang protektif
karena kebijakan semacam itu akan dapat melindungi mereka dari serangan cuaca, musim,
dan hama penyakit tanaman. Kebijakan liberalisasi mengancam petani karena ciri khas dari
pertanian adalah tergantung pada alam yang tak menentu. Bagi petani perlu adanya instrumen
pengendali harga dan impor dan hal itu hanya bisa dilakukan melalui intervensi Pemerintah.
Para eksportir yang berasal dari luar negeri seperti Thailand, Vietnam, Amerika Serikat,
India dan lain-lain juga mempunyai kepentingan yang besar untuk mengekspor beras ke
Indonesia. Mereka mempunyai ikatan yang kuat dengan para politisi dan birokrat-politik pada
masa Pemerintahan Suharto.
Dalam sistem politik yang demokratis pelaku-pelaku bisnis baik importir domestik
maupun eksportir internasional berpihak pada salah satu kekuatan yang menguntungkan.
Dalam hal ini mereka berusaha untuk mendekati Pemerintah yang berkuasa, partai-partai
politik dan lembaga-lembaga birokrasi pemerintah untuk mendorong agar kebijakan proliberalisasi dilakukan. Pada dasarnya aktor-aktor yang memiliki asset berusaha memperoleh
pendapatan.
Walaupun demikian, aktor-aktor tidak semata-mata mengejar kepuasan material.
Misalnya IMF, WTO, dan Bank Dunia, partai politik, Gubernur dan Bupati mempunyai
tujuan yang bervariasi. Organisasi internasional seperti IMF, Bank Dunia, WTO, memiliki
preferensi yang berbeda. Tiga lembaga internasional (IMF, Bank Dunia, dan WTO) sejak
awal dimaksudkan untuk menyangga sistem perdagangan bebas dunia. lembaga-lembaga
internasional IMF, Bank Dunia, dan WTO dibentuk oleh negara-negara Barat dan Jepang
untuk mengakhiri kebijakan devaluasi kompetitif mata uang mereka yang mengarah pada
pelambatan perdagangan internasional.
IMF mempunyai peran yang sentral dalam memberikan hutang pada negara-negara
yang mengalami defisit Balance of Payments. Dalam kasus Indonesia, Pemerintah negaranegara Barat dan lembaga-lembaga Internasional IMF dan Bank Dunia memberikan bantuan
finansial untuk rekoveri krisis ekonomi pada masa Pemerintahan Reformasi. Sebagai
imbalannya, mereka meminta bahwa Pemerintahan Indonesia melakukan liberalisasi
ekonomi. Pemerintah reformasi mendapatkan kesulitan dalam menghadapi kendala struktural
dari lembaga-lembaga internasional. Di satu fihak, pemerintah mendapatkan tekanan untuk
mengadopsi kebijakan-kebijakan liberalisasi yang dikehendaki mereka, terutama agar dapat
mengamankan bantuan finansial yang dibutuhkan. Di lain fihak, organisasi-organisasi
internasional itu dalam berbagai kesempatan dapat memaksakan kehendak mereka dengan
menggunakan kekuatan struktual yang mereka punyai agar dapat memaksa Pemerintah
melakukan kebijakan-kebijakan yang mereka inginkan.
Partai-partai politik memiliki preferensi kebijakan yang bervariasi karena memiliki
logika rasionalitas yang berbeda-beda. Di satu fihak beberapa partai politik memilih
kebijakan protektif karena untuk mempertahankan posisi politik dapat diperoleh dengan cara
memperluas dukungan rakyat pemilih di pedesaan yang merupakan mayoritas. Di lain fihak
beberapa partai politik yang lain lebih suka memilih kebijakan yang liberal karena kerjasama
dengan korporasi bisnis, birokrat, dan lembaga-lembaga internasional dapat memperkuat
kondisi finansial partai politik. Bagi mereka, untuk memperoleh dukungan masyarakat publik
dapat dilakukan dengan cara-cara yang lain. Pada level Propinsi dan Kabupaten, Gubernur
dan Bupati lebih suka menolak impor beras karena sistem pemilihan pada masa reformasi
dilakukan secara langsung. Harapan untuk terpilih kembali menyebabkan Kepala-kepala
Daerah mempunyai pilihan kebijakan yang pro-petani mengingat jumlah petani di daerahnya
adalah mayoritas. Seperti halnya partai politik Kepala-kepala Daerah mempunyai preferensi
kebijakan yang bervariasi tergantung kepentingan-kepentingan yang hendak dicapai.
Kecenderungan birokrat adalah mendukung kebijakan impor karena sejak masa
kepemimpinan Orde Baru mempunyai hubungan dekat dengan sektor bisnis. Lembaga
birokrasi di Indonesia dekenal sebagai birokrasi pemburu rente.
Kepala-kepala Daerah tidak dapat mengabaikan konstituen masyarakat petani yang
merupakan mayoritas di pedesaan. Sikap politik yang mendukung kepentingan petani
diperlukan. Sebagai akibatnya Kepala-kepala Daerah yang mayoritas penduduknya petani
berkoalisi dengan partai-partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan yang menolak
liberalisasi pasar beras domestik dan impor. Dalam sistem Pemerintahan yang otonom
dimana Kepala-kepala Daerah mempunyai kebebasan yang luas dan tidak tergantung pada
lingkungan kekuasaan di tingkat pusat, maka mereka menjadi relatif lebih independen dalam
menentukan tindakan-tindakan politik. Preferensi aktor-aktor dapat digambarkan sebagai
berikut:
Tabel 1. Preferensi Kebijakan Aktor-aktor
No
Aktor
1
2
3
4
5
6
8
9
10
11
12
13
14
15
IMF
Bank Dunia
WTO
Pemerintah Negara-negara Barat
Importir/konglomerat
Pedagang dan Distributor
Pedagang Penggilingan Padi Menengah
Pedagang danPenggilingan Padi Kecil
Tengkulak
BULOG
Organisasi Petani dan NGOs
Birokrat
Parpol
Tehnokrat
16
17
Gubernur
Bupati
Preferensi Kebijakan
Pro-liberalisasi dan
Anti-Liberalisasi dan
impor
Impor
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
Setelah identifikasi aktor-aktor dan preferensi kebijakan langkah kedua adalah
memperhitungkan kemungkinan pembentukan koalisi. Aktor-aktor yang terlibat dalam
pengambilan keputusan akan bersatu dan membentuk koalisi dengan maksud agar tekanantekanan yang dilakukan pada pembuat kebijakan effektif. Sejauh mana kelompok-kelompok
itu bersatu dan membentuk koalisi.
Ada dua alat komplementer yang dapat digunakan untuk memprediksi bagaimana
aktor-aktor sosio-ekonomi bersatu dalam arena politik. (Freiden, 2000:34). Pertama, individu
dan perusahaan dapat disatukan berdasarkan pada kesamaan asset. Importir, distributor beras,
dan
pedagang dan penggilingan padi membentuk koalisi melawan organisasi-organisasi
petani dan NGOs. Kedua koalisi yang berlawanan ini mempunyai aset yang sama yakni, aset
yang tidak mudah dipindah-pindahkan ke tempat lain sehingga, mempunyai kepedulian yang
tinggi terhadap perubahan-perubahan kebijakan. Koalisi yang terbentuk antara importir,
pedagang dan penggilingan padi dan distributor beras mendapat dukungan dari Lembagalembaga Internasional dan negara-negara Barat, birokrat dan sebagian besar partai-partai
politik yang mempunyai ikatan dengan oligarki politik masa Orde Baru karena sama-sama
berorientasi liberal. Sedangkan organisasi petani dan NGOs mendapat dukungan dari Kepalakepala daerah dan partai-partai politik yang memilih opsi kebijakan proteksi karena sebagian
besar konstituen mereka adalah petani.
Kedua, untuk menentukan kelompok macam apa yang dapat saling melekat dan
terpadu adalah logika tindakan kolektif. (Freiden et. al, 2000:40). Literatur Tindakan
Kolektif menjelaskan bahwa kohesi akan bergantung pada faktor-faktor seperti ukuran
kelompok (semakin kecil kelompok, semakin mudah mengawasi keanggotaannya) dan
kemampuannya untuk menyediakan keuntungan yang selektif kepada para anggota. (Freiden
et. al, 2000:40). Hal ini menjelaskan kenapa kelompok-kelompok kepentingan tertentu sering
lebih efektif dalam arena kebijakan bahkan ketika sebagian besar masyarakat tidak setuju
dengan mereka.
Teori tindakan kolektif dapat menjelaskan kemampuan aktor-aktor dalam
mengadakan tekanan-tekanan politik dalam proses pengambilan kebijakan. Importir,
pedagang dan distributor beras effektif dalam melakukan tekanan-tekanan politik terhadap
penentu kebijakan karena dengan organisasi yang kecil tetapi kaya akan sumber-sumber
mampu memengaruhi penentu kebijakan. Sedangkan organisasi-organisasi petani dan NGOs,
walaupun mendapat dukungan dari parpol dan kepala-kepala daerah, kesulitan untuk
menciptakan perubahan-perubahan kebijakan karena ukuran kelompok organisasi yang besar
menyulitkan untuk koordinasi antar anggota.
Dalam sistem politik yang demokratis hubungan saling menguntungkan antara agen
penentu kebijakan dengan kelompok kepentingan yang diuntungkan oleh kebijakan impor
beras yang didukung oleh politisi-politisi, birokrat dan lembaga-lembaga internasional yang
menghendaki liberalisasi. Sedangkan koalisi yang terdiri dari organisasi-organisasi petani,
NGOs, partai politik, Kepala Daerah yang tidak setuju terhadap opsi kebijakan liberal yang
merugikan petani yang menjadi konstituennya saling berinteraksi dalam menuntut perubahanperubahan kebijakan. Politisi parpol dan kepala-kepala daerah mempunyai preferensi
kebijakan yang berbeda-beda. Tindakan rasional mereka tergantung pada sejauh mana petani
desa dan penduduk miskin dapat mendukung mereka mencapai kedudukan karier politik.
Baik elit politik parpol maupun Kepala-kepala Daerah mempunyai kepentingan yang sama
yakni, mempertahankan posisi politik. Dalam sistem politik yang demokratis partai-partai
politik berusaha untuk mempertahankan posisi politik. (Geddes, dalam Freidden, 2000: 83,
Weber, 2003). Untuk mencapai tujuan kelanggengan posisi politik itu, partai-partai politik
dihadapkan pada dua pilihan yakni, bekerjasama dengan kelompok bisnis atau menekankan
pada pendekatan dengan konstituen petani. Sedangkan bagi kepala-kepala daerah yang
sebagian besar konstituennya adalah petani cenderung memilih kebijakan anti-liberalisasi dan
impor beras. Oleh sebab itu lahirnya kedua aktor baru itu cenderung mempersulit posisi agenagen penentu kebijakan yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang liberal.
Tekanan-tekanan politik yang dilakukan oleh ormas petani, NGOs, dan Kepala-kepala
Daerah yang didukung oleh partai-partai politik yang terikat dalam kekuatan oligarki politik
pendatang baru mampu melakukan perubahan-perubahan kebijakan yang berpihak pada
kepentingan petani dan masyarakat miskin di daerah perkotaan. Dalam kasus kebijakan beras
pada masa reformasi, Pemerintah Megawati yang mendapat dukungan parpol reformis Islam,
organisasi petani dan NGOs, dan sebagian kecil kepala-kepala daerah mampu menghindar
dari pengaruh liberalisasi total dengan memutuskan hubungan dengan IMF, menghidupkan
kembali kebijakan subsidi pupuk, dan larangan impor beras.
Walaupun demikian, resistensi dari aktor-aktor oligarki politik patrimonial Orde Baru
terhadap perubahan-perubahan kebijakan protektif terhadap petani sangat kuat. Sehingga,
liberalisasi tetap berjalan dengan modifikasi-modifikasi kecil, dan tidak dapat memecahkan
persoalan sebenarnya. Pada level masyarakat sipil petani dan penduduk miskin, partisipasi
politik kelompok-kelompok kepentingan petani dan penduduk miskin dalam mepengaruhi
kebijakan publik mendapatkan tiga kendala yakni, Pemerintah reformasi mendapatkan
tekanan-tekanan dari lembaga-lembaga internasional dan negara-negara Barat; technokrat,
birokrat-politik, dan konglomerat (oligarki politik lama) masih mempunyai kedudukan yang
kuat dalam politik Indonesia pada masa reformasi; dan kebebasan yang lebih luas kelompok
petani untuk berpartisipasi dalam memengaruhi kebijakan publik pada masa reformasi tidak
disertai dengan kapasitas organisasional yang mereka miliki. (Rosser et. al, 2007).
Setelah rezim politik reformasi lahir, hubungan bisnis pemburu rente antara
konglomerat, politisi, dan birokrat-politik tidak pernah lenyap karena proses demokratisasi di
Indonesia berjalan secara evolusioner dan tidak menghilangkan sisa-sisa warisan oligarki
politik patrimonial masa Orde Baru yang meduduki posisi sebagai anggota parpol, Parlemen
dan lembaga birokrasi. Oleh sebab itu kebijakan perberasan pada masa setelah krisis menjadi
tidak menentu, cenderung liberal, dan semakin merugikan petani pedesaan dan konsumen
miskin daerah perkotaan. Lebih dari itu, kekuatan-kekuatan struktural pada level
internasional seperti Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, WTO, negara-negara Barat
dan aktor-aktor bisnis internasional tetap memiliki pengaruh yang kuat dalam mengarahkan
kebijakan pangan terutama beras menuju liberalisasi. Pelaku bisnis seperti pedagang dan
penggilingan padi, dan importir domestik dan asing juga mempunyai hubungan bisnis yang
melibatkan Politisi dan Birokrat.
G. Definisi Operasional Konsep
Konsep liberalisme menunjuk pada pemenuhan kebutuhan individu tanpa adanya
campur tangan Pemerintah. Liberalisme yakin bahwa kompetisi pasar bebas akan
mengakibatkan keseimbangan harga yang menguntungkan perodusen dan konsumen. Prinsip
dasar hubungan trnsaksional antara konsumen dan produsen adalah dijalankan dengan sukarela dan saling menguntungkan tanpa merugikan kedua belah fihak. Teori ekonomi liberal
menekankan pada komitmen yang kuat terhadap pasar bebas dan intervensi minimal dari
suatu negara. Sedangkan teori politik liberal bercirikan pada komitmen yang kuat terhadap
kebebasan dan persamaan individu. Perspektif liberal dalam ekonomi-politik terwujud dalam
disiplin ilmu ekonomi yang berkembang di Inggris, Amerika Serikat dan Eropa Barat. Dari
Adam Smith hingga para pendukungnya, pemikir-pemikir liberal telah menghasilkan
seperangkat asumsi dan kepercayaan yang koheren tentang sifat alamiah manusia,
masyarakat dan tingkah laku ekonomi. Secara historis dalam perkembangannya liberalisme
telah berjalan dalam berbagai bentuk – klasik, neo-klasik, Keynesian, Monetarist, Neo-liberal
dan sebagainya. Perbedaaan dari masing-masing aliran itu terletak pada seberapa jauh peran
negara yang harus dijalankan dalam mempengaruhi ekonomi pasar bebas. Akan tetapi, semua
bentuk liberalisme itu mempunyai ciri yang sama yaitu adanya komitmen yang tinggi
terhadap pasar dan mekanisme harga sebagai suatu cara untuk mengorganisir hubungan
ekonomi baik domestik maupun internasional.
Liberalisme dapat didefinisikan sebagai suatu doktrin dan seperangkat prinsip-prinsip
untuk mengorganisasi dan menangani ekonomi pasar agar supaya dapat mencapai efisiensi,
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan individu secara maksimal. Pemikiran rasional dari
sistem pasar adalah bahwa sistem itu dapat meningkatkan efisiensi, memaksimalkan
pertumbuhan ekonomi, dan oleh karena itu dapat memaksimalkan kesejahteraan umat
manusia. Tujuan utama dari aktivitas ekonomi adalah untuk mencapai keuntungan yang
sebanyak-banyaknya bagi konsumen. Peningkatan kekuatan nasional dan keamanan hanyalah
merupakan akibat dari tercapainya tujuan itu (Gilpin, 1987:28).
Maximazing utilities dan income maximation adalah dua konsep yang berbeda. Politisi
mempunyai tujuan untuk terpilih kembali. Sedangkan manusia bisnis berusaha untuk
memaksimalkan pendapatan. Oleh sebab itu maksimalisasi pendapatan yang ada pada aktor
tidak bersifat inheren. Artinya tidak semua aktor berusaha mengejarnya. Oleh sebab itu
Freiden menambahkan asumsi yang kedua, income maximation. Setiap aktor berusaha untuk
memaksimalkan pendapatan. Politisi seperti Gubernur dan Bupati atau partai politik tertentu
yang mempunyai kepentingan utama untuk tepilih kembali sebagai politisi. Di lain fihak
manusia bisnis, buruh, petani dan mereka yang tidak mempunyai karakter kelas, mempunyai
kepentingan material.
Aliansi dan Koalisi adalah persekutuan antara dua atau lebih organisasi yang terikat
oleh pandangan yang sama dan mempunyai tujuan jangka panjang. Sedangkan koalisi adalah
persekutuan antara dua atau lebih organisasi yang bersifat sementara dan tidak harus terikat
dalam suatu pandangan yang sama. Omas sipil petani biasanya membentuk aliansi-aliansi
dengan sesama ormas petani, dengan ormas sipil yang lain dan parpol. Kasus di Indonesia
ormas sipil petani belum melakukan aliansi dengan parpol. Oleh sebab itu koalisi antara
Ormas petani dengan parpol dalam memengaruhi proses kebijakan publik tidak solid. Situasi
politik yang frgmentatif mengakibatkan ormas petani masih enggan untuk melakukan aliansi
dengan salah satu parpol. Koalisi yang bersifat cair yang mungkin terjadi.
Kooptasi dimengerti sebagai semua proses melalui yang mana hubungan dekat
dengan negara melenyapkan efektifitas organisasi. Kooptasi yang disengaja terjadi ketika
aktor-aktor negara berusaha untuk melenyapkan kekuatan sebuah organisasi. Pemerintah atau
parpol memberikan bantuan/fasilitas bagi organisasi sosial dengan maksud mengurangi
militansi organisasi.
Literatur tentang tindakan kolektif menjelaskan bahwa kohesi akan bergantung pada
faktor-faktor seperti ukuran kelompok (semakin kecil kelompok, semakin mudah mengawasi
keanggotaannya) dan kemampuannya untuk menyediakan keuntungan yang selektif kepada
para anggota kelompok importir
yang keanggotaannya kecil dan kuat lebih effektif
pengaruhnya daripada kelompok petani yang besar tapi anggota-anggotanya lemah.
H. Argumen Utama
Secara teoritis sektor pertanian umumnya dan perberasan khususnya pada dasarnya
tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar bebas karena hanya akan merugikan petani
produsen. Justifikasi intervensi pemerintah berdasarkan pada prinsip bahwa suatu struktur
kelembagaan akan menggerakkan sektor pertanian sesuai dengan tujuan-tujuan yang
dikehendaki pemerintah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan strategis dan sosial.
(Hitiris, 1988:158; El-Agraa, 1990:192). Untuk mencapai tujuan-tujuan itu pemerintah
membuat kebijakan penetapan harga dasar produk pertanian. Instrumen yang digunakan
untuk melakukan stabilisasi harga adalah dengan membeli produk pertanian pada tingkat
harga garansi minimum sampai harga pasar berada di atas tingkat itu. Instrumen pendukung
lain adalah pembatasan tarif dan import. Sebagai negara yang sudah mencapai tahap
demokratisasi dan industrialisasi tingkat tinggi, Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat,
menetapkan harga dasar produk pertanian yang tinggi dan penetapan tarif impor untuk
melindungi petani dari serangan impor dari luar negeri. (Kompas, 27/3/2003).
Dilihat dari perspektif Neo-Marxis, pada era pemerintahan reformasi, resistensi
terhadap kebijakan de-liberalisasi disebabkan karena elemen-elemen kekuatan oligarki
politik Orde Baru yang terikat dalam kelas kapital menguasai jaringan bisnis patronase yang
melibatkan aktor-aktor bisnis, tehnokrat, birokrat-politik, lembaga-lembaga finansial
internasional IMF, Bank Dunia, WTO, dan negara-negara Barat. Aliansi bisnis patronase ini
sudah berkembang sejak rezim Orde Baru dan dapat bertahan pada era reformasi. (Pepinsky
2013:16; Hadiz 2003:593; Robison and Hadiz, 2004; Hadiz and Robison, 2005:232, 233;
Suryadinata, 2007:352). Seperti halnya kaum Marxis, pendukung
teori public choice
berpendapat bahwa kelompok-kelompok kepentingan dapat memaksakan kebijakan
Pemerintah untuk memenuhi tujuan-tujuan yang sempit, walaupun mereka cenderung
menyalahkan aktor-aktor yang miskin, seperti buruh dan petani. Pandangan ini menjadi lebih
mengemuka ketika banyak pendukung MPE menambahkan perspektif Public Choise
menjelaskan bagaimana tekanan dari luar negeri dan lembaga-lembaga politik domestik
bersama-sama dengan kelompok-kelompok kepentingan memengaruhi kebijakan publik.
(Freiden et. al, 2000: xvi).
Walaupun demikian, pada era pemerintahan reformasi, perubahan kebijakan dalam
sektor beras tidak semata-mata ditentukan oleh aktor-aktor pendukung liberalisasi yang
terikat dalam oligarki politik patrimonial masa Pemerintahan Rezim Orde Baru akan tetapi
juga oligarki politik pendatang baru yang terdiri dari parpol reformis. Di satu fihak, oligarki
politik lama berhasil menyesuaikan diri dalam rezim politik reformasi dengan menguasai
lembaga-lembaga politik demokrasi baru, di lain pihak elemen elemen kekuatan politik
pendatang baru yang terdiri dari parpol reformis telah membentuk oligarki politik baru untuk
melawan dominasi potitik oligarki politik lama. Oleh sebab itu proses pengambilan kebijakan
publik telah melibatkan tarik menarik kepentingan politik dan ekonomi antara oligarki politik
lama dengan baru.
Besar kecilnya perubahan menuju kebijakan proteksi pada sektor beras tergantung
pada sejauh mana oligarki politik baru yang didukung oleh ormas petani dan NGOs bertindak
konsisten dalam mengejar perubahan-perubahan kebijakan menuju kepentingan petani dan
kelompok miskin; dan seberapa besar sumber-sumber kekuatan yang mereka miliki. Apabila
partai-partai politik reformis yang bermitra dengan ormas petani dan NGOs, dan kepalakepala daerah yang terikat dalam struktur oligarki politik baru dapat menguasai kabinet
Pemerintahan dan DPR, perubahan kebijakan menuju proteksi yang dihasilkannya akan
terwujud walaupun perubahan itu tidak terlalu signifikan karena oligarki politik warisan Orde
Baru masih dominan. Teori yang menjadi dasar argumen ini adalah teori Pluralisme atau
Kelompok (Stupak, et.al, 1977:56; Truman, dalam Dye, 1978:23) yang mampu menjelaskan
kelompok-kelompok kepentingan masyarakat sipil petani yang direpresentasikan oleh
organisasi-organisasi petani dan NGOs masih dalam masa pertumbuhan dan lemah sehingga,
mereka tidak dapat menentukan proses politik pengambilan keputusan dan tergantung pada
elemen-elemen perilaku kekuatan oligarki politik lama dan baru.
Pada masa pemerintahan Gus Dur dan Megawati partai-partai politik reformis yang
terikat secara longgar dalam oligarki politik baru relatif masih dapat bersatu melawan oligarki
politik lama dan sedang memegang kekuasaan, mereka mampu menghambat jalannya
liberalisasi sektor beras. Akan tetapi ketika kekuatan oligarki baru menjadi terpecah dan
lemah liberalisasi sektor beras tidak menghadapi hambatan. Pada masa Pemerintahan SBY
partai-partai politik reformis mulai berubah menjadi pragmatis dan berkoalisi dengan oligarki
politik lama sehingga, kekuatan oligarki politik baru menjadi semakin melemah dan proses
pengambilan kebijakan publik didominasi oleh oligarki politik lama. Dominasi pengaruh
kekuatan politik liberalis dalam policy making process pada masa pemerintahan SBY bukan
hanya disebabkan dominasi pengaruh oligarki politik peninggalan rezim Orde Baru akan
tetapi juga partai-partai politik reformis yang berubah pragmatis dan berkoalisi dengan
oligarki politik lama. Sebagai akibatnya, kepentingan petani dan penduduk miskin manjadi
semakin terpinggirkan.
Perubahan perilaku parpol reformis yang menentukan tindakan politik yang pragmatis
dapat dijelaskan melalui kerangka analisis MPE (Modern Political Economy). Dalam sistem
politik multi-partai persaingan antar parpol sangat tinggi, politisi-politisi parpol reformis
berusaha untuk mempertahankan eksistensi dan kelanggengan karier politik dengan cara
membentuk koalisi dengan parpol pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber milik
negara dengan mengabaikan kepentingan kolektif. (Freiden et. al, 2000:37-38; Geddes dalam
Freiden et. al, 2000:83; Geddes, 1994:40). Baik politisi-politisi parpol reformis maupun
beberapa organisasi petani dan NGOs dikooptasi pemerintah untuk mendukung kebijakan
liberal sehingga, mereka tidak mampu melawan dominasi aktor-aktor pendukung liberalisasi.
(Piven and Cloward, 1979).
Untuk menjelaskan kelemahan organisasi-organisasi petani dan NGOs dalam
menghadapi pemerintah reformasai teori Logika Tindakan Kolektif (Logic of Collective
Actions), Kooptasi dan teori James Scott dapat dijadikan sebagai acuan utama. Logika
tindakan kolektif bermuara pada kesimpulan bahwa kepentingan-kepentingan rakyat kecil
tidak akan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, karena mereka kurang dapat
mengorganisir diri mereka sendiri. (Geddes dalam Freiden et. al, 2000:88).
Kekuatan pengaruh suatu organisasi juga ditentukan oleh kemampuannya untuk
menolak kooptasi yang memperlemah organisasi. Bahaya kooptasi dimengerti sebagai semua
proses melalui yang mana hubungan dekat dengan negara melenyapkan efektifitas organisasi.
(Piven and Cloward, 1979). Semakin mudah kelompok organisasi dikooptasi semakin lemah
militansi mereka.
Gerakan kaum tani selalu timbul karena mediasi dari kelas-kelas bukan petani. (Scott,
1981, dalam Firmansyah et.al, 1999:180). Karakteristik petani yang mengarah pada gaya hidup
fatalisme inilah yang menyebabkan mereka selalu bergantung pada perlindungan dari luar
masyarakat petani itu sendiri. Masyarakat petani baru bergerak setelah masyarakat kelas
menengah dari daerah perkotaan ikut serta dalam menggerakkan organisasi petani.
I. Metode Penelitian
Dengan berkembangnya studi politik maka metode penelitian tidak terbatas pada cara
berfikir yang positivistik dan dengan kwantifikasi data secara kaku. Pada umumnya
metodologi positivis menganut pandangan yang sangat instrumental mengenai teori dan
konsep. Di lain fihak, dengan menyadari bahwa dalam ilmu sosial tidak ada teori umum yang
dapat menjelaskan hubungan antara berbagai aktor dalam masyarakat, metodologi interpretif
tidak sependapat dengan kaum positivis. Menurut para pendukung metodologi intepretif yang
penting bagi ilmuwan yang mengkonsentrasikan pada studi ilmu politik dapat menguraikan
secara lebih luas dan kaya dan menjelaskan signifikansi politik dari berbagai hubungan
sosial.
Para peneliti kwalitatif berpendapat bahwa metode positivis adalah hanya salah satu
cara menjelaskan cerita tentang kehidupan masyarakat atau dunia sosial. Mereka hanya
mengatakan macam atau jenis peristiwa yang berbeda. Riset kwalitatif ini menunjukkan pada
proses dan pemberian arti yang tidak secara kaku diteliti dan diukur secara kwantitatif.
Peneliti kwalitatif telah memulai penelitiannya dengan etnografi, wawancara yang tidak
terstruktur, analisis tekstual, dan studi tentang sejarah. Dalam riset ini lebih menekankan pada
sifat realitas yang terkonstruksi secara sosial, hubungan yang dekat antara peneliti dengan
studi yang diteliti, dan kendala-kendala situasional yang membentuk pertanyaan atau
permasalahan. Mereka berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menekankan
bagaimana pengalaman sosial itu diciptakan dan diberi arti. (Denzin, 1994).
Para peneliti kwalitatif percaya bahwa diskripsi yang kaya tentang dunia sosial itu
sangat berharga. Baik peneliti kwalitatif maupun peneliti kwantitatif menekankan perhatian
pada pandangan individu. Akan tetapi, para peneliti kwalitatif akan memperoleh pengetahuan
dengan melaui pendekatan terhadap aktor yang diteliti melalui interview dan observasi secara
detail. Para peneliti kwalitatif mempunyai komitmen yang kuat terhadap posisi yang emic,
idiografis, dan didasarkan pada kasus, yang memusatkan perhatiannya pada kasus-kasus
tertentu yang spesifik.
Dalam penelitian ini data dikumpulkan dari berbagai sumber, dokumen-dokumen
resmi Pemerintah, wawancara dengan orang-orang kunci dalam kelompok-kelompok
kepentingan yang direpresentasikan oleh lembaga-lembaga politik pada level domestik,
wawancara dengan pejabat-pejabat Pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi
dan perdagangan, dan hasil analisis dari berbagai ahli serta konfirmasi dengan para analis
melalui wawancara.
Sebagai analisis kasus, penelitian ini bertumpu pada data primer yang diperoleh dari
hasil wawancara tidak terstruktur terhadap sampel yang menjadi sasaran. Data sekunder yang
diperoleh dari BPS, BULOG, dan TRR yang disajikan dalam bentuk kwantitatif yang
diintepretasikan secara kwalitatif; dan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan.
Untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan digunakan metode analisis
deskriptif kualitatif. Data kwantitatif yang disajikan dalam bentuk tabel angka
diintepretasikan dalam bentuk pernyataan-pernyataan secara kwalitatif. Sedangkan, data
primer melalui wawancara dan data sekunder yang didapatkan dari studi pustaka disajikan
dalam bentuk rumusan kata-kata atau kalimat.
J. ORGANISASI PENULISAN
BAB I.
PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, kerangka teori
metode analisis, argumen utama, dan metode penelitian.
BAB II.
KEGAGALAN PEMERINTAH REFORMASI DALAM KEBIJAKAN DELIBERALISASI
Bab. Ini menjelaskan perubahan tataniaga beras dan gabah sesuai dengan kesepakatan
Pemerintah Indonesia dengan IMF. Dalam kesepakatan ini Pemerintah Indonesia harus
melaksanakan kebijakan liberalisasi sebagai imbalan dari bantuan IMF dalam rekoveri
ekonomi. Dalam pemberlakuannya, tataniaga beras dan gabah tidak mengalami perubahan
yang signifikan. Oleh sebab itu kebijakan liberalisasi pada dasarnya tetap berjalan terus
walaupun menimbulkan anomali pasar yang merugikan petani. Kebijakan liberalisasi pasar
beras domestik telah mengakibatkan hubungan transaksional jual beli gabah dan beras yang
timpang dan tidak saling menguntungkan. Kondisi pasar beras dan gabah menjadi tidak sehat
sehingga baik produsen petani maupun konsumen dirugikan. Ketimpangan ini terjadi setelah
BULOG mengurangi volume pengadaan beras dan gabah dan BULOG tidak langsung
membeli gabah dan beras dari petani dan Pemerintah menetapkan tingkat HPP (Harga
Pembelian Pemerintah) yang rendah. Dalam Bab ini juga dijelaskan bahwa serangan impor
beras dari luar negeri semakin mengacaukan pasar beras dan gabah domestik dan
memperparah ekonomi petani pedesaan. Bab ini membuktikan bahwa kegagalan dalam
mengendalikan kebijakan liberal telah merugikan petani dan penduduk miskin. Hal ini
disebabkan karena aktor-aktor politik pendukung liberalisasi seperti, pedagang dan distributor
beras, importir/konglomerat, birokrat, dan politisi parpol mendapatkan keuntungan dari
kebijakan liberalisasi perberasan. Kasus ini dijelaskan dalam BAB III.
BAB III. PENETAPAN TARIF MASA GUS DUR, LARANGAN IMPOR MASA
MEGAWATI, DAN PEMBUKAAN KEMBALI LARANGAN IMPOR
MASA SBY PERIODE I
Bab ini menjelaskan bagaiman upaya Gus Dur dan Megawati dalam mengendalikan
aliran impor beras yang membanjiri pasar beras di Indonesia melalui kebijakan tarif dan
larangan impor beras. Dalam Bab ini dijelaskan bagaimana Gus Dur dan Megawati merasa
kesulitan dalam mengendalikan impor beras karena mendapatkan halangan dari IMF,
Birokrat-politik, dan Partai politik yang tidak mendukung perubahan kebijakan. Sehingga
poada akhirnya Pemerintah memberlakukan kebijakan larangan impor menjelang akhir masa
jabatan Megawati. Selanjutnya menjelaskan bahwa kebijakan larangan impor yang dilakukan
Megawati dipermasalahkan kembali baik di kalangan kabinet Pemerintahan maupun lembaga
legislatif. Tarik ulur anntara koalisi anti liberalisasi dengan pro-liberalisasi akhirnya
dimenangkan oleh kelompok koalisi pro-liberalisasi sehingga kebijakan impor beras bangkit
kembali dan semakin meningkat.
BAB IV. PENGARUH POLA KOALISI ANTAR AKTOR TERHADAP
PERUBAHAN KEBIJAKAN PASAR BERAS DOMESTIK DAN IMPOR
Bab ini menjelaskan tentang bagaimana aktor-aktor pendukung liberalisasi berusaha
untuk tetap mempertahankan kebijakan yang liberal dengan menguasai pos-pos kementrian
strategis yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Selanjutnya dijelaskan
pembentukan pola koalisi antar aktor-aktor yang terjadi ketika rezim politik demokrasi
diterapkan. Bab ini juga menjelaskan sekilas prediksi berdasarkan hasil penelitian.
BAB V. KELEMAHAN ORGANISASI PETANI DAN NGOs DALAM
MENGHADAPI PEMERINTAH
Bab ini menjelaskan bagaimana tingkah laku politik petani pedesaan bergantung pada
kelompok kelas menengah di perkotaan. Petani tidak mampu mengorganisasi diri mereka
dalam mempertahan kepentinganya. Kelas menengah yang membela kepentingan petani
memang muncul sejak tahun 1980-an. Akan tetapi dalam perkembangannya mereka
menghadapi perpecahan dari dalam. Sehingga, tidak effektif dalam melakukan tekanantekanan politik terhadap Pemerintah.
BAB VI. KESIMPULAN
Menjelaskan temuan-temuan dalam penelitian, preskripsi, dan prediksi terhadap
kecenderungan demokratisasi di Indonesia.
Download