BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam situasi krisis yang terjadi antara tahun 1997-1998, pemerintah Indonesia terpaksa mengikuti saran World Bank untuk membuka pintu bagi investasi asing dan saran IMF (International Monetary Fund) untuk menerapkan SAPs (Structutal Adjustment Packages). Kebijakan tentang penetapan harga beras di pasar dalam negeri dihentikan dan BULOG (Badan Urusan Logistik) dicabut haknya memonopoli impor beras. Berdasarkan fondasi teoritis yang mereka bangun, kebijakan liberalisasi pasar beras dilakukan agar harga beras menjadi rendah dan kemiskinan dapat berkurang karena lapangan kerja baru di luar sektor pertanian akan tercipta. Pada gilirannya, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan terjadi. Pasca krisis ekonomi kebijakan beras mengalami perubahan-perubahan mendasar yang lebih menekankan pada penguatan pasar. Pemerintah Indonesia mengadakan perjanjian dengan IMF yang mensyaratkan bahwa semua subsidi pertanian dan penetapan harga beras dan gabah oleh pemerintah dihapuskan dan sejak tahun 1998-2000, harga pupuk diserahkan pada mekanisme pasar. Resep untuk menyembuhkan krisis ekonomi dikenal sebagai SAPs. Paket penyesuaian struktural ini menyangkut pembenahan struktur ekonomi makro, liberalisasi pasar, pembenahan kebijakan moneter dan pembenahan sektor fiskal dan. (Winarno, 2010:127-132). Implikasi dari kesepakatan antara IMF dengan Indonesia tahun 1998, kemudian terjadi perubahan kebijakan perberasan yang mendasar yaitu. (Setiawan, 2001:2): 1. 2. 3. 4. 5. Liberalisasi pasar beras dalam negeri. Pencabutan STE (State Trading Enterprice) BULOG. Pembebasan bea masuk beras impor. Pencabutan subsidi sarana produksi terutama pupuk dan benih. Liberalisasi tataniaga pupuk. Kegagalan pemerintah Orde Baru dalam melakukan pemulihan ekonomi memicu munculnya gerakan demokratisasi yang didukung oleh kekuatan mahasiswa dan berhasil memaksa pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan menuju masyarakat yang demokratis. Setelah tatanan politik demokrasi diterapkan, partai-partai politik dan kelompokkelompok kepentingan berkembang secara bebas. Partai-partai politik dalam jumlah yang sangat banyak lahir sehingga terjadi fragmentasi politik. UU No 31 Tahun 2002 menetapkan sepanjang memenuhi ketentuan teknis administratif - siapapun bisa mendirikan parpol. Sejumlah 48 parpol yang lolos seleksi dan bertarung dalam Pemilu 1999 dan 24 partai yang lolos seleksi menjadi kontestan Pemilu 2004. (Kompas, 22/05/2004). Kehadiran parpol „sempalan“ juga mewarnai persiapan menuju Pemilu 2009. Jumlah partai baru yang terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia hingga awal Mei 2007 sudah mencapai 52 partai. (Kompas, Kamis, 24/5/2007). Dengan diterapkan otonomi daerah juga telah muncul aktor-aktor baru seperti Bupati dan Gubernur yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pada level masyarakat sipil, bersamaan dengan menjamurnya partai politik, juga lahir berbagai organisasi-organisasi petani dan NGOs (Non-Governmental Organizations) seperti, FSPI (Federasi Serikat Petani Indonesia) yang dideklarasikan tanggal 8 Juli 1998, AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria), DTI (Dewan Tani Indonesia) didirikan pada tanggal 30 Desember 2005, API (Aliansi Petani Indonesia) yang berdiri sejak tahun 2001, Petani Mandiri didirikan pada tanggal 8 Maret 2004, WAMTI (Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan) Indonesia berdiri tanggal 24 September 2004, KRKP (Komite Rakyat untuk Kedaulatan Pangan) dibentuk pada bulan Februari 2003, KPA (Konsorsium Pembangunan Agraria), IGJ (Institute Global Justice) dan masih banyak lagi. Organisasi-organisasi petani dan NGOs pada masa reformasi sering melakukan gerakan-gerakan anti-liberalisasi pasar beras domestik dan impor yang dilakukan melalui saluran media masa dan demonstrasi. Dan pada tingkat pemerintahan di daerah, Gubernur dan Bupati lahir menjadi aktor baru dalam perpolitikan di Indonesia. Dalam kasus impor dan liberalisasi pasar beras domestik aktor-aktor ini sering melakukan tekanan-tekanan kepada Pemerintah untuk menghentikan impor beras demi untuk melindungi kepentingan petani produsen. Para Gubernur di seluruh Indonesia memiliki asosiasi yang disebut APPSI (Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia) yang pada masa Pemerintahan Periode I SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) juga mengadakan tekanan-tekanan politik terhadap kebijakan impor beras. Setelah pergantian rezim otoriter ke rezim demokrasi proses liberalisasi pertanian mulai mendapatkan tanggapan yang negatif dari organisasi-organisasi petani, kepala-kepala daerah dan partai-partai politik. Mereka mulai mempermasalahkan segi negatif kebijakan impor dan liberalisasi pasar beras domestik sehingga, pemerintah Gus Dur mulai mengendalikan kebijakan liberalisasi pasar beras dengan menetapkan tarif spesifik sebesar Rp 430/kilogram (kg) yang diberlakukan sejak Januari 2000. Akan tetapi dalam perkembangannya penetapan tarif itu tidak dapat mengendalikan laju peningkatan impor beras. Pada masa Pemerintahan Megawati impor beras meningkat kembali. Pada tahun 2001 sekitar 1,384,000 ton, tahun 2002 meningkat menjadi 3.707.000 ton, dan tahun 2003 sebanyak 2.750.000 ton. Isu yang berkembang dalam masa Pemerintahan Megawati adalah bagaimana mengatasi dampak negatif impor beras, yakni tingginya harga beras di pasar, anjloknya harga gabah dan semakin lemahnya ketahanan pangan. Disparitas harga gabah dan beras yang tinggi dengan harga gabah terlampau rendah, sementara harga beras terlampau tinggi mengindikasikan bahwa dalam pasar beeras domestik telah terjadi oligolopi. Sebagai akibatnya, disparitas harga beras domestik yang lebih tinggi dari harga beras internasional memberikan insentif bagi importir untuk memasukkan beras dari luar negeri. Sebagai akibatnya, volume impor beras meningkat secara fantastis. Kalangan petani dan pengamat selalu merisaukan makin tingginya impor pangan. Dari data itu mereka berkesimpulan ketahanan pangan Indonesia bermasalah. (Kompas, 10/ 2000). Megawati memutuskan beberapa kebijakan yakni, pengendalian tataniaga beras domestik Inpres No 9 2002, memberlakukan kembali subsidi input pertanian dan mengatur tataniaganya S.K. Menperindag No. 356/MPP/KEP/5/2004, dan yang terakhir S.K. No. 9/MPP/Kep/1/2004 menghentikan impor beras yang berlaku sampai dengan tahun 2007. Pada bulan Januari 2004 pemerintah Megawati menutup import beras. Sejak saat diberlakukan pembatasan impor beras wewenang monopoli impor kembali dipegang oleh BULOG. Jumlah impor hanya dibatasi untuk menutup kesenjangan produksi dan konsumsi domestik. Akan tetapi, kebijakan larangan impor tidak dipertahankan oleh pemerintah baru di bawah pimpinan SBY walaupun mendapat tekanan-tekanan yang kuat dari organisasi-organisasi petani, Bupati, Gubernur, partai politik, dan organisasi mahasiswa. Pada akhir tahun 2005, pemerintah berusaha untuk membuka kran impor kembali dengan mengijinkan impor beras sebanyak 189.617 ton. Impor beras terus meningkat menjadi 210.000 ton pada tahun 2006, dan mencapai puncaknya menjadi 1.5 juta ton pada tahun 2007. (BPS, 2007, dalam SPI:9). Pada umumnya, para pendukung ideologi ekonomi liberal seperti Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Jepang menjustifikasi kebijakan campur tangan negara yang kuat terhadap pasar produk pertanaian. Teori liberal menghadapi masalah jika diterapkan dalam sektor produk pertanian. Ciri pokok produk pertanian adalah tergantung pada alam yang tidak menentu, sehingga goncangan-goncangan terhadap keseimbangan harga pasar sering terjadi. Produksi sektor pertanian selalu menghadapi fluktuasi-fluktuasi jangka pendek karena produksi pertanian tergantung pada alam seperti keadaan tanah, iklim, cuaca, dan serangan hama tanaman. Hasil-hasil produk pertanian tidak menentu karena fluktuasi-fluktuasi produksi biasa terjadi dan tidak bisa diramalkan. Sebagai akibatnya, supplai produk pertanian dalam jangka pendek tidak responsif terhadap perubahan-perubahan kondisi pasar. Produksi sektor pertanian sangat berbeda dengan sektor industri dimana fluktuasifluktuasi produksi yang disebabkan perubahan alam seperti curah hujan dan serangan hama tanaman tidak terjadi. Produk sektor industri relatif tahan menghadapi kondisi perubahan alam seperti itu. Sektor industri akan mengalami goncangan harga akibat external shock yang luar biasa seperti bencana alam yang massif yang tak terduga atau perang yang berkepanjangan. Akibat dari perbedaan khas itu, pertumbuhan ekonomi sektor industri lebih cepat dibandingkan dengan sektor pertanian. Sehingga, pendapatan sektor industri tidak dapat dikejar oleh orang-orang yang berkerja pada sektor pertanian. Inilah alasan kedua mengapa produksi sektor pertanian diperlukan kehadiran negara dalam pasar. Di samping semua semua alasan itu, kemandirian sektor pangan juga menentukan masalah keamanan nasional. Oleh sebab itu, dengan berbagai alasan yang telah dijelaskan, produksi pertanian pada umumnya diperlakukan sebagai public goods yang tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Seharusnya, demokratisasi politik dibarengi dengan demokratisasi ekonomi pada sektor pertanian agar dapat mengurangi penderitaan kaum petani dan penduduk miskin yang lemah dan terpinggirkan sebagai akibat dari liberalisasi dan globalisasi. Akan tetapi, kasus yang terjadi di Indonesia justeru sebaliknya. Dalam era demokratisasi dan kebijakan otonomi daerah berbagai organisasi petani, NGOs, dan aktor-aktor baru yang lain seperti parpol, Gubernur dan Bupati melakukan tekanan-tekanan terhadap kebijakan impor beras dan dampak negatif liberalisasi pasar beras domestik dan membanjirnya aliran impor beras yang merugikan kepentingan petani. Konflik kepentingan antara kelompok pro-liberalisasi dan anti-liberalisasi telah mengakibatkan pembentukan dua kutub pola koalisi kekuatan politik. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa dalam era Pemerintahan SBY tidak pernah ada perubahan-perubahan kebijakan dalam sektor beras secara mendasar. Pasar beras domestik tetap liberal, kebijakan impor beras terus berlangsung, dan perubahan kebijakan menuju perlindungan terhadap kepentingan petani tidak terjadi. Kecuali, pada masa Gus Dur dan akhir Pemerintahan Megawati euphoria perubahan politik masa reformasi masih dapat menyatukan partai-partai politik reformis untuk menentang impor beras. Kajian ini menjelaskan tarik ulur kepentingan antara aktor-aktor pendukung liberalisasi dengan aktor-aktor pendukung kebijakan proteksi pada sektor perberasan setelah rezim politik demokratis menggantikan rezim Orde Baru; dan mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat didalamnya dan menemukan bagaimana pola koalisi kekuatan yang terbentuk. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas hal yang perlu dipertanyakan adalah: 1. Mengapa setelah demokratisasi yang diikuti dengan lahirnya partai-partai politik, kepala-kepala daerah yang otonom, dan ormas-organisasi petani dan NGOs, kebijakan de-liberalisasi terbatas era reformasi pada sektor peberasan merugikan kepentingan petani produsen dan konsumen miskin ? 2. Bagaimana interaksi antar aktor yang terlibat dalam kebijakan beras setelah rezim politik demokratis masa reformasi lahir ? 3. Sejauh mana pengaruh tekanan-tekanan politik dari organisasi-organisasi petani dan NGOs yang mendapat dukungan dari kepala-kepala daerah dan partai-partai politik pendukung kebijakan proteksi terhadap perubahan-perubahan kebijakan Pemerintah ? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk melacak sejauh mana interaksi politik antara aktoraktor pendukung liberalisasi dan proteksi berlangsung; dan sejauh mana pengaruh tekanantekanan politik terhadap aktor-aktor pendukung kebijakan impor beras, dan kemana organisasi-organisasi petani dan NGOs merepresentasikan kepentingan mereka. Tahap-tahap penelitian yang akan ditempuh adalah, pertama, mengidentifikasi seberapa jauh partisipasi politik elemen-elemen kekuatan politik reformis seperti partai-partai politik dan kelompokkelompok kepentingan masyarakat sipil petani yaitu organisasi-organisasi petani dan NGOs yang telah mulai berkembang ketika partisipasi politik tidak lagi dibatasi oleh rezim politik otoriter yang dikendalikan oleh birokrasi dan militer. Dengan kapasitas politik yang terbatas sejauh mana elemen-elemen kekuatan reformis itu mampu menghadapi kekuatan oligarki politik patrimonial sisa Orde Baru dalam memengaruhi kebijakan perberasan. Mengingat partai-partai politik reformis mengalami keterbatasan sumber-sumber yang dimiliki dan menghadapi persaingan antar parpol yang tajam dalam memperebutkan karier politik, apakah mereka cenderung mengikuti langkah oligarki politik masa Orde Baru dengan melakukan tindakan-tindakan koruptif atau bersikap konsisten dan tetap mampu mempertahankan kesatuan kekuatan kubu reformis dan berfihak pada kepentingan kolektif. Kedua, mengidentifikasi kemungkinan perubahan orientasi kebijakan. Dalam sisitim politik demokratis terbuka kemungkinan bahwa agen-agen kekuatan politik baik baru maupun lama mengalami perubahan orientasi politik dalam sektor kebijakan beras, mendukung liberalisasi atau proteksi. Seberapa jauh kekuatan politik reformis dalam menghadapi kekuatan politik lama, kemungkinannya dapat diidentifikasi. Pada awal reformasi kekuatan oligarchi politik baru tidak mampu mengendalikan sepenuhnya tingkah laku politik oligarki politik lama karena keterbatasan sumber-sumber. Sehingga, sebagian besar partai politik reformis berkoalisi dengan kakuatan oligarki politik lama. Sebagai akibatnya, partai-partai politik reformis menjadi kekaatan politik yang sedang akan tetapi koruptif. Walaupun demikian, kekuatan oligarki politik baru tidak lenyap karena tidak semua partai politik memilih jalan pragmatis. Sebaliknya, elemen-elemen kekuatan politik peninggalan rezim Orde Baru secara bertahap juga bisa berubah menjadi kekuatan-kekuatan politik reformis ketika mereka tidak mendapatkan dukungan konstituen dalam mencapai karier politik. Jika hal ini terjadi dan oligarki politik baru konsisten secara ideologis maka mempunyai kapasitas untuk melawan oligarki politik lama. D. Konsepsi Judul Konsep liberalisme telah berkembang dari aliran Klasik, Neo-Klasik, Keynesian, dan Neo-Liberalisme. Munculnya aliran Neo-Liberalism adalah kembali ditekankannya prinsipprinsip liberalisme klasik dan neo-Klasik yang bercirikan pada minimalisasi peran negara dalam ekonomi pasar. Bahkan beberapa ekonom dari aliran ini sering mengemukakan pandangan yang lebih extrim dalam arti bahwa mereka lebih bersifat minimalist jika dibandingkan dengan Adam Smith sendiri sebagai bapak dari ekonomi pasar bebas. (Khorn 1995:28). Konsep proteksi bertentangan dengan liberalisasi. Proteksionisme menunjuk pada kebijakan-kebijakan yang melindungi bisnis dan pekerja dalam suatu negara dengan membatasi atau mengatur perdagangan dengan negara-negara lain dari luar. Ada berbagai cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan proteksi yakni, import quotas, administrative barriers (berhubungan dengan keamanan makanan, standard lingkungan dsb.), anti-dumping legislation, subsidi-subsidi langsung, subsidi export, manipulasi nilai tukar mata uang. Sedangkan istilah deprivasi terkait dengan konsep eksklusi sosial (sosial exclusion) yang dijelaskan melalui dua cara. Pertama, memandang bahwa eksklusi sosial adalah konsep multi-dimensional. Konsep itu memusatkan perhatian pada multi-dimensionalitas deprivasi. Fakta yang dapat dilihat adalah bahwa orang sering terdeprivasi dalam berbagai hal yang berbeda pada saat yang bersamaan. Konsep itu menunjuk pada eksklusi (deprivasi) dalam bidang ekonomi sosial dan politik. Cara yang kedua menjelaskan sosial exclusion memusatkan perhatian pada hubungan dan proses yang menyebabkan deprivasi. Orang dapat dieksklusi oleh berbagai kelompok pada saat yang sama; tuan tanah mengeksklusi orang dari akses terhadap tanah atau perumahan; kelompok elite politik mengekslusi kelompok lain untuk mendapatkan hak-haknya secara legal; dan seterusnya. Eksklusi terjadi dalam setiap lapisan masyarakat. (Haan, 2001:27). Deprivasi (deprivasi relatif) adalah pengalaman menjadi orang yang terdeprivasi dari sesuatu yang orang yakini mempunyai hak untuk memiliki sesuatu itu. Konsep itu menunjuk pada orang/kelompok yang tidak puas yang dirasakannya ketika mereka membandingkan posisi mereka dengan orang/kelompok lain dan sadar bahwa mereka telah mendapatkan sesuatu yang lebih kecil daripada yang mereka miliki. Schaefer mendefinisikannya sebagai "the conscious experience of a negative discrepancy between legitimate expectations and present actualities.” Organisasi adalah tempat atau wadah dimana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin dan terkendali, untuk mencapai tujuan organisasi. Upaya untuk mencapai tujuan organisasi dapat diistilahkan sebagai perjuangan yang didalamnya individu/kelompok melakukan berbagai cara yang terstruktur dalam strategi dan taktik yang diciptakan untuk mencapai tujuan-tujuan. Dalam tatanan politik demokratis organisasi dapat berbentuk partai politik atau kelompok kepentingan yang mewakili kepentingan kelompok masyarakat tertentu. Mc.Keon et. al. mengatakan asosiasi petani sebagai civic organizations yang menjadi bagian dari apa yang Upholf (1993) katakan sebagai “collective action sector”. Gramsci menjelaskan, terdapat batas yang jelas antara organisasi masyarakat dengan publik dan privat, hubungan dan batas antara masyarakat sipil dan ekonomi politik, terutama negara. Masyarakat sipil sering dihubungkan dengan populisme. Asosiasi mewakili kekuatan rakyat dan, sebagaimana dimengerti oleh Gramsci populisme adalah seperangkat ide yang kontradiktif yang terintegrasi dalam kelompok yang sedang berkuasa. (McKeon, Watts dan Wolford, 2004:3-4). Istilah Petani (Leith et.al, SMERU Institute, 2005:29) menunjuk pada : 1. Agricultural employees—Agricultural workers who do not own land [Rumahtangga buruh tani] 2. Small farmers—Agricultural workers with land < 0.5 ha [Rumahtangga petani gurem (yang memiliki lahan pertanian < 0.5 ha)] 3. Medium farmers—Agricultural workers with land 0.5 ~ 1 ha [Rumahtangga pengusaha pertanian (yang memiliki lahan 0.5 ~ 1 ha)] 4. Large farmers—Agricultural workers with land >1 ha [Rumahtangga pengusaha pertanian (yang memiliki lahan >1 ha)]. Paasch, et.al. berpandangan secara lebih terperinci (Paasch et.al., 2007:106-107) : 1. Petani pemilik - menggarap lahan sendiri atau lahan mereka digarap petani lain. 2. Petani pemilik penggarap dengan luas lahan kurang dari 0.5 ha – mereka menanami sendiri lahan miliknya, juga menggarap lahan orang lain dengan sistem gadai atau maro 3. Petani penggarap – menggarap lahan orang lain dengan sistem gadai, bagi hasil atau sewa. 4. Buruh tani – menggantungkan tenaga sebagai sumber penghidupan. E. Review Pustaka Kajian suparmin (2005) menjelaskan bahwa BULOG hanya berperan secara signifikan dalam stabilisasi harga gabah pada periode isolasi pasar masa Orde Baru, tapi tidak berperan secara signifikan dalam stabilisasi harga beras, baik pada periode isolasi pasar, ”pasar bebas” masa reformasi, maupun pada pasar terbuka terkendali. Pertama, berdasarkan perkembangan tingkat stabilitas harga gabah dan beras, tingkat kesetabilan harga pada level konsumen relatif lebih tinggi daripada harga gabah pada tingkat petani baik pada saat kepemimpinan Orde Baru (data 1975-1988) maupun masa kepemimpinan reformasi (19992003). Kebijakan stabilisasi harga beras nasional selama lebih dari tiga dekade lebih memfokuskan pada stabilisasi harga beras di tingkat konsumen sebagai alat untuk mengendalikan inflasi. Kedua, BULOG hanya berperan dalam stabilisasi harga gabah di tingkat petani produsen dalam masa Pemerintahan Orde Baru. Begitu juga, Kebijakan Operasi Pasar (pembelian gabah di tingkat petani) hanya effektif dijalankan Pemerintahan ORBA. Sedangkan pada masa pemerintahan reformasi BULOG tidak efektif dalam melakukan stabilisasi harga gabah di tingkat petani produsen. (Suparmin, 2005). Selama kurun waktu liberalisasi di Indonesia yang dimulai tahun 1995 swasembada pangan turun dan ketergantungan impor meningkat. Petani padi telah menderita sebagai akibat dari turunnya harga padi, tingginya harga input pertanian karena pengurangan subsidi. Sebagian besar petani kecil dan keluarganya hidup kurang dari US$ 1 per orang per hari. (Paasch dkk., 2007, hal. 126). Reorganisasi BULOG menjadi BUMN telah menimbulkan masalah tentang peran BULOG dalam menyangga ketahanan pangan dan menimbulkan perdebatan tentang kebijakan pangan pemerintah. Kebijakan pangan dan perberasan terutama, telah berubah secara cepat dan sering perubahan-perubahan itu tidak didasarkan pada analisis yang matang atau bahkan tanpa mempertimbangkan implikasi sosial-ekonomi dan politik. Keputusan yang asal-asalan untuk membuat reformasi kebijakan telah memperlemah kapabilitas kelembagaan pemerintah dalam mencapai tujuan-tujuan kebijakan pangan nasional. Kebijakan perdagangan komoditi pertanian sering mengalami perubahan dan tidak ada kepastian bagi petani produsen dan konsumen pangan. (Sidik, 2004). Kesimpulan Suparmin, Paasch et. al., dan Sidik menarik untuk dicermati karena terdapat perbedaan yang menyolok antara manajemen kebijakan perberasan pada masa Orde Baru dengan masa reformasi. Pada masa Orde Baru sebelum krisis ekonomi kebijakan beras dilakukan secara hati-hati dan selalu mempertimbangkan stabilisasi harga gabah di tingkat petani dan beras di tingkat konsumen, dan sebaliknya pada masa reformasi. Arifin menemukan bahwa disparitas harga beras dan gabah menjadi semakin tinggi sehingga petani produsen dan konsumen sama-sama dirugikan. Fluktuasi harga beras atau gabah cenderung merugikan petani dan konsumen. Kalaupun ada manfaatnya, yang menikmati adalah distributor, pedagang dan penggilingan padi. (Kompas 6/3/2008, Paasch et.al., 2007). Sifat pasar beras di dalam negeri memiliki struktur yang bersifat asimetris dan tidak sehat karena pelaku pasar yang mempunyai kekuatan besar menekan pelaku di bawahnya. (Arifin, 2007:67; Pulungan, dalam detik.com, 1 Januari 2007). Pedagang dan distributor gabah dan beras domestik mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan mengorbankan kepentingan petani dan konsumen. Sedangkan importir mendapatkan insentif yang lebih besar karena disparitas harga beras domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga beras internasional sejak liberalisasi. Hasil penelitian Suparmin, Paasch et.al., Arifin, dan Sidik memfokuskan pada studi ekonomi perberasan sehingga tidak membahas tentang interaksi politik antar kepompokkelompok kepentingan, partai-partai politik, dan kekuatan ekonomi dan politik global yang terlibat dalam kebijakan beras pada masa reformasi. Sementara itu, studi ekomomi-politik pada sektor kebijakan perberasan belum ada yang meneliti. Oleh sebab itu, penulis berusaha untuk melakukan studi pada kasus itu dengan mengunakan menggunakan perspektif ekonomi-politik. Penelitian dari perspektif ekonomi-politik yang dapat ditemukan bersifat umum menyangkut semua sektor kebijakan. Aliran pemikiran Neo-Marxis, Robinson dan Hadiz, menjelaskan bahwa sistem politik Indonesia masa setelah Suharto masih bersifat eksklusif seperti halnya pada masa Orde Baru, terlepas dari adanya fakta bahwa sistem politik pada masa ini telah menjadi semakin demokratis dan terdesentralisasi. Pada masa Suharto sistem politik didominasi oleh birokrat-politik yang menduduki aparat-aparat kenegaraan, sektor bisnis, dan figur-figur kriminal yang mempunyai hubungan dekat dengan individu-individu itu. Walaupun negara telah menjadi terbuka dan aksesible, liberalisasi politik telah memberikan peluang bagi elit politik lama dan baru untuk menguasai lembaga-lembaga baru. Sebagai akibatnya, mereka dapat mempertahankan kekuasaan mereka dan mendapatkan pengaruh politik dan ekonomi. Rezim Orde Baru dikendalikan oleh oligarki politik yang terdiri dari, birokrat-politik, konglomerat, tehnokrat yang diperkuat oleh IMF, Bank Dunia dan negara-negara Barat, dan modal asing yang menyediakan bantuan untuk pembangunan ekonomi. Liberalisasi politik telah menghasilkan perbedaan sifat oligarki peninggalan Orde Baru yang telah muncul kembali pada masa reformasi politik dalam bentuknya yang sudah berubah. Sementara dalam masa Orde Baru oligarki bersifat solid dan tunggal, oligarki baru setelah reformasi menjadi lebih tersebar yang ditambah dengan aktor-aktor politik yang baru muncul. (Robison and Hadiz, 2004, dalam Pratikno dan Kurniawan, 2007). Pada level nasional elit-elit politik berusaha untuk memanfaatkan partai-partai politik yang sudah ada pada masa Orde Baru atau membentuk partai-partai politik baru. Hal ini terlihat dengan masih bertahannya partai politik lama GOLKAR dan munculnya berbagai partai politik baru pada masa reformasi. Lebih jauh, di dalam partai-partai politik baik yang lama maupun yang baru telah timbul persaingan antar elit politik mengakibatkan lahirnya partai-partai politik sempalan. (Imawan, dalam TEMPO, Edisi. 44/XXXII/29 Desember - 04 Januari 2004). Aktor-aktor politik masa Orde Baru itu tetap bertahan dalam sistem politik yang baru karena, mampu mengatur diri mereka sendiri dengan membentuk aliansi-aliansi yang baru dan memanfaatkan kendaraan politik baru yang terbentuk pada masa reformasi. Dalam pandangan paradigma Neo-Marxist, elemen-elemen kekuatan politik yang terpinggirkan pada masa Suharto seperti masyarakat miskin dan NGOs kelas menengah yang menjadi pendukungnya tetap terekslusi dari proses pengambilan keputusan1. (Hadiz 2003:593, dalam Rosser et. al., 2007:1). Dari sudut pandang kaum Marxis, sukses kelompok-kelompok kepentingan yang kaya dan kegagalan aktor-aktor yang miskin disebabkan oleh dominasi kelas kapitalis. Kelompok-kelompok kepentingan kelas borjuis dapat memaksa kebijakan Pemerintah karena mereka terikat dalam struktur kekuatan kelas kapitalis. Indonesianists seperti Asspinal, Weber dan, Rosser, mengambil jalan tengah dalam arti bahwa mereka tidak menolak pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Robinson dan Hadiz yang menjelaskan bahwa rezim plitik reformasi masih didominasi oleh oligarki politik patrimonial masa Orde Baru. Akan tetapi, mereka memandang bahwa proses demokratisasi di Indonesia tidak sesuram yang mereka katakan. Asspinall menekankan pada analisis terhadap kekuatan masyarakat sipil yang terjadi sejak masa Orde Lama hingga masa setelah hancurnya rezim Orde Baru. Menurut Asspinall, terlepas dari adanya fakta bahwa elit politik lama telah mampu untuk memanfaatkan lembaga-lembaga politik masa reformasi dan mampu mempertahankan oligarki politik, era setelah jatuhnya rezim Suharto ditandai oleh semakin kuatnya aktivitas organisasi masyarakat sipil sebagai kelanjutan dari kecenderungan menguatnya organisasi masyarakat pada masa akhir Orde Baru. (Asspinall, 2007). Memang dapat dibenarkan bahwa proses demokratisasi di Indonesia menanggung beban warisan sejarah masa Suharto yakni, warisan sejarah politik patrimonial yang didukung oleh kelompok-kelompok kepentingan politik, bisnis, militer dan birokrasi yang kuat yang telah berakar dalam masa Orde Baru yang termanifestasi dalam bentuk korupsi yang massif. Akan tetapi menurut Weber, walaupun proses konsolidasi demokrasi di Indonesia masih diwarnai oleh adanya keberlanjutan politik patrimonial, perlu dipertanyakan apakah politik patrimonial itu dapat bertahan secara tidak terbatas dalam situasi politik yang demokratis pasca-Suharto dimana para politisi telah secara teratur mengejar karier politik untuk terpilih kembali dalam pemilu. Weber mensitir pandangan Crouch yang menyatakan bahwa kelanggengan fungsi politik patrimonial memerlukan persaingan politik yang hanya dibatasi pada tingkat elit politik dan tekanan terhadap tindakan politik massa. (Crouch, dalam Weber, 2005:20). Pada akhir tulisannya Weber sampai pada suatu kesimpulan bahwa sebahagian besar masyarakat pemilih di Indonesia memberikan dukungan yang kuat pada kekuatankekuatan yang berorientasi pada reformasi sehingga prospek ke depan menuju demokratisasi 1 Pada masa Reformasi Roser et. al. menjelaskan bahwa tuntutan kelompok miskin yang didukung oleh Organisasi Petani dan NGOs, dan Parpol Reformis berhasil merubah kebijakan pemerintah dalam masalah tuntutan hak atas tanah yang telah dirampas pemerintah pada masa Orde Baru. Bahriadi dalam penelitian yang sama juga menjelaskan keberhasilan tuntutan kelompok miskin di daerah Jawa Barat. Mereka membatah temuan penelitian Robinson dan Hadiz yang menyatakan bahwa pada awal masa Reformasi kelompok miskin tereksklusi dari proses pengambilan keputusan. akan mampu untuk melenyapkan politik patrimonial warisan rzim Orde Baru. (Weber, 2005:20). Sejalan dengan pemikiran Weber, Asspinall dan Rosser et. al. berargumen bahwa sistem politik Indonesia masa setelah Suharto telah menjadi semakin inklusif. Jatuhnya rezim Suharto dan proses konsolidasi demokrasi yang mengikutinya telah mampu menghilangkan kendala-kendala utama bagi organisasi-organisasi masyarakat sipil yang dibentuk oleh masyarakat miskin yang kurang bernasib baik yang mendapatkan dukungan dari NGOs, sehingga telah membuat mereka semakin mudah dalam melakukan tindakan kolektif yang ditujukan untuk memperoleh perubahan-perubahan kebijakan yang berfihak pada masyarakat miskin. Karena, untuk mencapai posisi politik politisi-politisi parpol tergantung pada dukungan suara publik, dimana banyak dari mereka berasal dari kaum miskin dan tidak beruntung. Perkembangan politik itu juga telah menciptakan insentif bagi para politisi untuk mengejar perubahan kebijakan yang berfihak pada kepentingan-kepentingan masyarakat miskin. Akibatnya, kelompok masyarakat miskin yang terpinggirkan akan mendapatkan pengaruh yang relatif lebih besar terhadap proses pembuatan keputusan publik. (Rosser et.al, 2004:227). Optimisme ketiga pemerhati masalah politik Indonesia itu didasarkan pada suatu keyakinan bahwa sistem politik demokratis partai-partai politik yang lahir pada masa reformasi mempunyai kemampuan untuk dapat menghapuskan pengaruh oligarki politik lama dengan dukungan dari konstituen masyarakat pemilih. Mereka juga percaya bahwa kekuatan politik pada level masyarakat sipil mampu mempengaruhi proses pengambilan kebijakan publik pada level pemerintah atau masyarakat politik. Pada dasarnya berdasarkan keyakinan itu mereka bertahan pada suatu pandangan bahwa proses konsolidasi demokrasi di Indonesia telah berhasil, walaupun masih mendapatkan kendala politik patrimonial warisan masa Orde Baru. Menurut Asspinal dan Rosser et.al. rezim politik reformasi yang baru setelah jatuhnya Suharto ditandai oleh semakin kuatnya aktivitas organisasi masyarakat sipil. Kemampuan partisipasi masyarakat sipil dalam mempengaruhi proses pengambilan kebijakan pemerintah dapat ditunjukkan melalui beberapa fenomena yang telah terjadi di tingkat pusat dan berbagai daerah. Dalam masa reformasi telah terjadi perubahan-perubahan yang signifikan dalam masyarakat sipil dan interaksi mereka dengan negara. Di Tapos, Jawa Barat dimana ratusan ribu hektar tanah telah dikuasai petani di seluruh Indonesia setelah mundurnya Suharto. (Asspinall, 2003). Setelah jatuhnya Suharto juga telah terjadi ledakan jumlah serikat-serikat sekerja yang mewakili pekerja-pekerja. Di luar FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) yang dibentuk pada masa Orde Baru, hingga tahun 2002 telah terbentuk 62 federasi serikat sekerja nasional yang terdaftar dalam Departemen Tenaga Kerja. Jumlah organisasi-organisasi yang mewakili petani dan organisasi-organisasi sosial yang lain juga mengalami pertumbuhan yang pesat. Sejak tahun 1988 telah lahir ratusan organisasi petani. Asosiasi Petani Lampung didirikan pada pertemuan 12 ribu petani pada bulan Maret 2001. (Kompas, Augustus 20, 2001). Pertengahan tahun 2002 Serikat Petani Pasundan yang berkedudukan di Jawa Barat mengklaim beranggotakan kira-kira 200.000 orang. Organisasi petani yang mempunyai jaringan dengan organisasi-organisasi petani lain yang paling banyak adalah Federasi Serikat Petani Indonesia. Bekerjasama dengan organisasi-organisasi petani itu adalah NGOs baik lokal maupun nasional. Diantara mereka yang paling terkenal adalah konsorsium Pembaharuan Agraria yang didirikan pada pertengahan tahun 1990-an dan sekarang mempunyai lebih kurang 200 anggota organisasi. (Tuong Vu, 2005). Organisasi-organisasi itu sangat aktif dalam mengadakan demonstrasi, melakukan lobi dengan pejabat-pejabat pemerintah dan perwakilan-perwakilan politik, ikut serta dalam debat menentukan kebijakan publik, dan melakukan berbagai bentuk tindakan kolektif yang ditujukan untuk mendapatkan kebijakan publik sesuai dengan kepentingan mereka. (Lucas and Warren 2003; Antlov 2003; Sen 1999; Blackburn 2001; Porter 2001, dalam Rosser et. al.). Pada bulan September 2001, sekitar sepuluh ribu petani yang diorganisir oleh Aliansi Petani Indonesia dihalang-halangi oleh perangkat keamanan agar tidak memasuki ibukota propinsi Jawa Barat, Bandung, dimana dimana anggota-anggota DPR sedang mendiskusikan draft tentang keputusan reformasi agraria. (Kompas, September 15, 2002). Pada masa Pemerintahan Gus Dur dan Megawati organisasi-organisasi petani dan NGOs mengadakan tuntutan untuk meninggalkan kebijakan perberasan yang liberal dan merugikan petani dan Pemerintah mengikutinya dengan melakukan kebijakan de-liberalisasi. Di tingkat lokal anggota-anggota SPP di Garut bersama-sama dengan kelompok mahasiswa menuntut pembebasan petani dan buruh yang telah ditahan oleh aparat Pemerintah. Operasi ini didukung oleh NGOs yang bermarkas di Bandung dan Jakarta dengan membentuk sebuah koalisi sementara yang disebut Solidaritas Anti Kekerasan Terhadap Petani (SAKTI) (Fauzi, 2003:2). Hingga 2006 SPP telah mampu menduduki tanah lebih dari 150 daerah tanah negara yang telah dialokasikan untuk agro-industri skala besar dan berinisial sebagai hutan negara. (Bachriadi, 2009:11). Di daerah Bengkulu juga terjadi peristiwa yang sama. Pada awalnya gerakan ini mengorganisir pendududukan tanah yang tidak aktif dan perkebunan yang ditinggalkan pemiliknya. Setelah itu kelompok ini memperluas gerakan untuk mendapatkan kekuatan politik yang lebih besar memotivasi anggota-anggota STaB atau kelompok-kelompok lokal untuk menduduki tanah hutan milik negara. (Bachriadi, 2009:18-19). Argumen ketiga Indonesianist itu dapat dijelaskan dengan melalui analisis Pluralis. Dahl dan Pluralist yang lain menjelaskan bahwa Amerika Serikat sebagai negara demokrasi dengan kekuasaan dan wewenang yang menyebar secara luas diantara pejabat-pejabat pemerintah, individu-individu privat, dan kelompok-kelompok kepentingan. Struktur kekuatan tersegmentasi, dan tidak terorganisir ke dalam pola hirarki yang jelas. Karakteristik sistim demokrasi itu adalah merupakan kesempatan menikmati kebebasan berfikir, membentuk konsensus, dissension, dan partisipasi politik. (Chilcote, 1981:353). Dengan kata lain, Dahl mencoba menjelaskan bahwa masyarakat terdiri dari serangkaian kelompok memiliki kekuasaan dan pengaruh dalam struktur hukum. (Stupak, et.al, 1977:56). Untuk menjelaskan proses penyebaran kekuasaan dan wewenang dari kelompok-kelompok kepentingan Dahl mengambil studi politik di New Heaven. Dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pada awalnya politik di new Heaven didominasi oleh pendatang baru atau immigran dari Inggris. Mereka memiliki wewenang dan kekuasaan dalam bidang sosial, keagamaan, dan ekonomi. Akan tetapi setelah kira-kira tahun 1850 kekuasaan mulai bergeser dari para immigran ke tangan para wiraswastawan atau industrialis. Kelompok baru ini kebanyakan immigran dari Eropa yang dikenal dengan nama ‘ex-plebes” oleh Dahl. Dengan munculnya kelompok ini asas perbedaan antar inividu dihapus. Hal ini merupakan permulaan dari bentuk Pemerintahan pluralis. (Stupak, et.al, 1977:57). Perubahan tatanan politik setelah krisis ekonomi yang diikuti dengan kasus pendudukan tanah negara yang dikuasai oleh para konglomerat seolah-olah mengindikasikan bahwa proses pergeseran pengaruh dari para konglomerat yang mendapat dukungan Pemerintah Orde Baru ke tangan masyarakat sipil pada masa awal reformasi telah terjadi. Memang dapat diakui bahwa proses pergeseran itu sedang berjalan secara gradual. Akan tetapi pengaruh kekuatan masyarakat sipil sebenarnya masih dalam masa pertumbuhan dan lemah sehingga, kekuasaan dan wewenang belum meyebar secara luas diantara pejabatpejabat pemerintah, individu-individu privat, dan kelompok-kelompok kepentingan. Optimisme yang berlebihan terhadap masa depan demokrassi di Indonesia itu wajar karena mereka melakukan studi pada awal rezim reformasi berjalan dimana euphoria perubahan politik masa reformasi masih dapat menyatukan partai-partai politik reformis untuk mendukung atau paling tidak membiarkan pendudukan tanah oleh masyarakat yang telah dikuasai oleh para konglomerat pada masa rezim Orde Baru seperti kasus Tapos, Garut, dan Bengkulu. Dengan mempertimbangkan fenomena politik yang terjadi sesudahnya, optimisme yang berlebihan itu dapat diperdebatkan walaupun dapat dibenarkan bahwa pada masa yang akan datang proses penentuan kebijakan itu mungkin dapat mengalami perubahan menuju keberpihakan pada kepentingan petani dan penduduk miskin. Dalam sistem politik demokrasi dimana tidak ada pembatasan partisipasi politik massa, terbuka kemungkinan terjadinya perubahan pergantian pemerintahan. Oligarki politik lama dan baru dapat saling bersaing untuk memperebutkan posisi pemerintahan dengan dukungan politik masyarakat konstituen. Pada sektor kebijakan beras organisasi-organisasi petani dan NGOs mulai bermunculan setelah reformasi. Di samping itu partai-partai politik dan kepala-kepala daerah menjadi aktor yang independen. Walaupun demikian, dalam sisitim politik demokrasi yang baru organisasi-organisasi petani dan NGOs memiliki pengaruh signifikan terhadap Pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan publik hanya ketika mendapatkan dukungan dari parpol pendukung kebijakan proteksi yang sedang memegang kekuasaan pemerintahan. Pada masa awal transisi demokrasi, perubahan-perubahan kebijakan yang tunduk pada kepentingan kolektif pada sektor kebijakan beras terjadi ketika organisasi-organisasi petani, NGOs dan kepala-kepala daerah mendapat dukungan dari parpol reformis yang sedang berkuasa. Gejala ini menunjukkan bahwa pengaruh kelompok-kelompok kepentingan itu masih terbatas dan tergantung pada elemen-elemen kekuatan politik reformis yang merupakan oligarki politik pendatang baru. Walaupun pada level masyarakat sipil kelompok-kelompok kepentingan petani dan penduduk miskin sudah berkembang, akan tetapi belum memiliki kemampuan mempengaruhi proses pengambilan kebijakan publik yang setara dengan pengaruh pemerintah pada level masyarakat politik. Hal ini disebabkan karena elemen-elemen kekuatan masyarakat sipil selama hampir tiga puluh tahun telah mendapatkan tekanan dari rezim politik korporatis masa Suharto. Di samping itu, dalam sistem politik multi-parpol, partai-partai politik cenderung pragmatis dan menjadi penghalang partisipasi politik bagi kelompok-kelompok kepentingan masyarakat petani. Konsekwensinya, proses pengambilan kebijakan publik pada sektor beras menuju keberpihakan pada kepentingan petani dan penduduk miskin bergantung pada sejauh mana kekuatan dan konsistensi ideologi nasionalisme ekonomi yang dimiliki oleh oligarki politik pendatang baru. Proses pengambilan keputusan bukan ditentukan oleh tarik-menarik diantara kelompok-kelompok kepentingan akan tetapi lebih ditentukan oleh tarik-menarik antara kepentingan oligarki politik lama dengan oligarki politik baru. Terbukti, ketika organisasi-organisasi petani dan NGOs mendapatkan dukungan dari parpol reformis pada masa rezim Gus Dur dan Megawati, kebijakan de-liberalisasi pasar beras domestik dan impor secara perlahan dapat terwujud walaupun hanya bersifat moderat. Dan sebaliknya, ketika sebagian besar parpol reformis menentukan pilihan politik untuk bergabung dengan oligarki politik lama pada masa Pemerintahan SBY. Ketika sebagian besar partai-partai politik reformis memiliki perbedaan kepentingan dengan oligarki politik baru, dan kemudian meninggalkan dukungan politiknya terhadap kepentingan petani dan penduduk miskin maka, berakibat pada semakin melemahnya kekuatan oligarki politik baru tersebut. Persaingan yang ketat antar parpol dalam memperebutkan karier politik pada masa reformasi memaksa mereka memilih tindakan politik yang pragmatis. Dalam kasus yang terjadi pada masa Pemerintahan SBY, hanya PDIP yang merupakan satu-satunya parpol yang menentukan pilihan menjadi kekuatan politik oposisi. Problem terbesar yang dihadapi rezim reformasi adalah lahirnya banyak parpol sehingga, menimbulkan fragmentasi politik tinggi. Dalam sistem politik seperti ini partaipartai politik terpaksa harus saling bersaing untuk memperebutkan suara konstituen, sehingga membuka kesempatan untuk memanfaatkan sumber-sumber yang dimiliki negara yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan konstituen. Kecenderungan yang terjadi adalah sebahagian besar parpol memilih berkoalisi dengan Parpol/Kandidat Presiden dan Wakil yang berpotensi menjadi pemenang dalam pemilu, dan menolak untuk menjadi parpol oposan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kecil politisi lebih mementingkan komitmen ideologis ketimbang karier politik. Akan tetapi politisi semacam itu memiliki probabilitas yang lebih kecil dalam memperoleh jabatan politik dalam pemerintahan jika dibandingkan dengan politisi yang pragmatis. Kasus yang terjadi di Indonesia setelah Pemilu 2004, hanya PDIP dan kemudian Gerakan Rakyat Indonesia Raya (Gerindra) yang memilih jalan oposisi itu. PDIP sebagai elemen kekuatan oligarki politik baru menjadi semakin tidak berdaya dalam melawan oligarki politik sisa Orde Baru. Dominasi oligarki politik lama semakin menguat setelah kemenangan SBY sebagai Presiden yang didukung oleh koalisi parpol reformis dan non-reformis. Dengan menekankan pada perilaku politik parpol, teori MPE dapat memperkuat argumen neo-Marxis dan Public Choise untuk menjelaskan dominasi oligarki politik lama dalam proses pengambilan kebijakan publik pada sektor beras. Upaya untuk mempertahankan eksistensi partai-partai politik dan para anggotanya telah memaksa mereka saling bersaing dalam suatu sistem politik multi-partai dimana jumlah kontestan politik banyak dan secara ideologis bervariasi. Dalam sistem politik yang demikian setiap parti politik senantiasa selalu menghadapi masalah eksistensi sebab, dalam persaingan yang tinggi antar partai politik eksistensi mereka selalu dalam taruhan. Sehingga, jati diri partai politik yang seharusnya berfungsi sebagai pelayan kepentingan publik diabaikan dan larut dalam kelompok-kelompok kepentingan bisnis yang merugikan kekayan negara. Partai-partai politik menjadi penghalang bagi kelompok-kelompok kepentingan pada level masyarakat sipil. Dengan demikian, perilaku politik partai-partai politik menjadi kontra produktif dengan tujuan utama demokrasi. Segi negatif dari sistem multi-partai yang diadopsi rezim politik reformis adalah bahwa persaingan yang sangat ketat antar parpol untuk memperebutkan simpati konstituen dan kecenderungan mereka untuk memperoleh jabatan politik yang lebih tinggi pada level lembaga Eksekutif telah berdampak buruk pada manajemen pemerintahan rezim reformasi. Kebijakan sektor beras bukan mengarah pada pemenuhan kepentingan kolektif karena, telah terjadi praktek-praktek rent-seeking dan menguras sumber-sumber yang dimiliki negara yang melibatkan hampir semua partai politik sehingga, tidak memberikan pelayanan publik sebagaimana mestinya. Dilihat dari sudut pandang pendekatan MPE, dapat dibenarkan bahwa kecenderungan terjadinya korupsi yang massif di Indonesia bukan semata-mata hanya disebabkan oleh oligarki patrimonial peninggalan Orde Baru, karena, tindakan korupsi telah meluas dan meliputi politisi-politisi bukan hanya berasal dari partai-partai politik tradisional peninggalan Orde Baru seperti GOLKAR dan sempalan-sempalannya akan tetapi juga parpol reformis. F. Kerangka Konseptual 1. Kerangka Dasar Teori Secara teoritis sektor pertanian umumnya dan perberasan khususnya pada dasarnya tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar bebas karena hanya akan merugikan petani produsen. Untuk menjelaskan pertanyaan pertama yakni, mengapa setelah demokratisasi kebijakan sektor peberasan merugikan kepentingan petani produsen dan konsumen miskin, tidak terlepas dari dominasi elemen-elemen kekuatan oligarki politik peninggalam rezim Orde Baru yang diuntungkan oleh kebijakan liberalisasi yakni, pedagang dan distributor beras, importir/konglomerat, birokrat, tehnokrat, dan politisi-politisi parpol yang mendapat dukungan IMF, Bank Dunia dan negara-negara Barat. Intervensi pemerintah yang kuat terhadap produk sektor pertanian sangat diperlukan. Pada umumnya di negara-negara demokrasi dan industri maju sektor pertanian diperlakukan secara khusus karena adanya pertimbangan-pertimbangan strategis dan sosial. Mereka melakukan intervensi dalam sektor pertanian untuk mengatur produksi dan perdagangan komoditi pertanian. Justifikasi intervensi pemerintah berdasarkan pada prinsip bahwa suatu struktur kelembagaan akan menggerakkan sektor pertanian sesuai dengan tujuan-tujuan yang dikehendaki jika dibandingkan dengan aplikasi pasar bebas. Tujuan utama intervensi pemerintah adalah sebagai berikut. (Hitiris, 1988:158). 1. Mempertahankan kebutuhan produk pertanian yang cukup untuk kebutuhan sendiri karena adanya resiko pembatasan supplai di pasar internasional. 2. Menghemat devisa negara karena dengan produksi dalam negeri yang cukup tidak perlu melakukan impor dan bahkan jika mengalami surplus produksi dapat mengekspor. 3. Stabilisasi harga pada tingkat yang masuk akal baik untuk konsumen dan produsen diperlukan untuk mengatasi musim paceklik dan cuaca yang tidak menentu. Di samping itu kebijakan stabilisasi harga ditujukan untuk merangsang investasi dan pertumbuhan dalam sektor pertanian. 4. Keinginan untuk memperbaiki efisiensi dan produktifitas dalam sektor pertanian dimaksudkan untuk meningkatkan tarap pendapatan petani. Untuk mencapai tujuan-tujuan itu pemerintah biasanya membuat kebijakan penetapan harga dasar produk pertanian. Instrumen yang digunakan untuk melakukan stabilisasi harga adalah dengan membeli produk pertanian pada tingkat harga garansi minimum sampai harga pasar berada di atas tingkat itu. Dan instrumen pendukung yang lain adalah pembatasan tarif dan import. Sebagai negara yang sudah mencapai tahap demokratisasi dan industrialisasi tingkat tinggi, Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat, menetapkan harga dasar produk pertanian yang tinggi dan penetapan tarif impor untuk melindungi petani dari serangan impor dari luar negeri. Sebagai contoh, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa menerapkan BM (Bea Masuk) beras sebesar 211 Euro per metrik ton (MT) atau sekitar Rp 2.000 per kilogram dengan asumsi kurs rupiah Rp 9.500 per satu Euro. Jepang menerapkan BM Beras sebesar 402 yen per kilogram atau Rp 30.150 per kilogram, dengan asumsi kurs rupiah Rp 75 per yen. Amerika Serikat (AS) menerapkan BM beras sebesar 2,1 dollar AS per kilogram atau senilai Rp 18.900 per kilogram, dengan asumsi kurs rupiah Rp 9.000 per satu dollar AS. Sebagai perbandingan, Indonesia hanya menerapkan BM beras sebesar Rp 430 per kilogram. (Kompas, 27/2/2003). Bertentangan dengan kasus yang terjadi di negara-negara demokrasi maju, di bawah tekanan IMF dan aktor-aktor pendukungnya pemerintah Indonesia justeru melakukan kebijakan liberalisasi sektor perberasan yang telah dimulai sejak masa akhir pemerintahan Orde Baru. Pada masa pemerintahan rezim politik reformasi, Gus Dur dan Megawati berusaha untuk mengubah kebijakan dengan melakukan de-liberalisasi yakni, menetapkan tariff, mengubah manajemen tata kelola perdagangan gabah dan beras domestik, melarang kebijakan impor beras dan mensubsidi kembali input pertanian. Akan tetapi, setelah kekalahan Megawati dalam pemilu yang kemudian digantikan oleh pemerintahan SBY kebijakan liberalisasi dibangkitkan kembali dengan cara membatalkan kebijakan larangan impor beras. Secara teoritik, faham liberalisme memandang masyarakat sipil sebagai wilayah dimana terjadi egoisme universal dimana seorang individu dapat memperlakukan orang lain sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. (Avineri, 1972:134, dalam Caporazo dan Levine, 1992). Akan tetapi bukan berarti bahwa egoisme ini berdampak buruk pada individu lain. Dalam interaksi antara ego akan berakhir pada hubungan sukarela yang saling menguntungkan. Setiap Individu akan bertindak rasional dan berusaha untuk memaksimalkan atau atau memuaskan nilai-nilai tertentu dengan biaya yang seminimal mungkin. Premis fundamental liberalisme adalah bahwa konsumen, perusahaan, atau rumah tangga adalah basis dari masyarakat. Individu akan bertindak rasional dan berusaha untuk memaksimalkan atau atau memuaskan nilai-nilai tertentu dengan biaya yang seminimal mungkin. Kaum liberal mengemukakan argumen bahwa individu akan mencapai tujuan hingga suatu equiilibrium pasar tercapai, yakni, biaya-biaya yang berhubungan dengan pencapaian tujuan itu sepadan dengan keuntungan-keuntungan yang diperoleh. Liberalisme menganggap bahwa suatu pasar ada dalam yang mana individu-individu melakukan transaksi jual-beli untuk memenuhi kebutuhannya memiliki informasi yang lengkap dan oleh karenanya dapat memilih tindakan yang paling menguntungkan. Produsen dan konsumen akan senantiasa bersikap responsif terhadap sinyal-sinyal harga. Setiap perubahan harga akan mengakibatkan perubahan pola produksi, konsumsi, dan lembaga-lembaga ekonomi. (Davis dan North, 1971, dalam Gilpin, 1987:28). Dalam teori Neo-Klasik, ada hubungan yang pasti antara ekonomi yang sepenuhnya kompetitif dan ekonomi yang secara optimal efisien. Pandangan Adam Smith diingat kembali dalam ekonomi Neo-Klasik: tiap-tiap individu yang mempunyai kekuatan (kebebasan) untuk bertindak untuk mencapai kepentingannya sendiri seolah-olah diatur oleh “tangan yang tidak kelihatan” (pasar yang benar-benar kompetitif) yang akan menghasilkan kesejahteraan maksimal (efisiensi) untuk masyarakat individu. (Gilpin,1987:89). Pareto memperkenalkan konsep efisiensi kolektifitas yang dinikmati oleh setiap orang baik sebagai konsumen maupun produsen yang disebut sebagai Pareto optimality. Pareto mengemukakan argumen bahwa para ahli ekonomi dapat menilai satu distribusi lebih baik daripada yang lain jika distribusi ini memperbaiki mayoritas banyak orang tanpa mengorbankan kondisi siapapun. Klaim intinya adalah bahwa suatu alokasi kolektif itu bersifat optimal jika sumber-sumber tidak dapat diatur kembali untuk membuat siapaun keadaannya menjadi lebih baik tanpa mengorbankan yang lain. (Caporazo dan Levine, 1992). Dalam pasar yang sempurna dimana jumlah pelakunya banyak maka dalam kondisi tertentu tiap-tiap barang akan memiliki harga yang memungkinkan untuk menimbulkan peningkatan kesejahteraan ketika barang itu diperjual-belikan. Liberalisme menganggap bahwa ekonomi pasar ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Orang akan membeli barang dengan jumlah yang banyak jika harga barang itu rendah, dan membeli sedikit barang jika harganya tinggi. Pada sisi penawaran ekonomi liberal menganggap bahwa individu-individu mencapai kepentingan-kepentingan mereka sesuai dengan keterbatasan-keterbatasan sumber-sumber. Ekonomi pasar akan menghasilkan suatu kecenderungan kuat terhadap equilibrium dan stabilitas inheren. Konsep ini dinamakan sebagai equilibrium self-operating dan self-correcting yang dicapai oleh suatu keseimbangan kekuatan-kekuatan dalam suatu dunia yang rasional. Jika pasar tidak equilibrium oleh sebab adanya beberapa faktor eksogen, misalnya kepuasan konsumen atau tehnologi produksi, jalannya pasar akan sedikit demi sedikit kembali pada keadaan equilibrium baru. (Gilpin,1987:89). Konsep-konsep equilibrium, self-operating, self-correcting, dan external shock, menjadi konsep-konsep kunci dalam teori keseimbangan yang dikembangkan oleh teori liberal. Ketiga konsep itu akan beroperasi secara otomatis dalam sistem pasar dimana penjual dan pembeli melakukan transaksi secara sukarela dan saling menguntungkan, dengan asumsi bahwa di luar sistim keseimbangan itu tidak terjadi external shock. Berdasarkan argumen ini, teori liberal akan menghadapi masalah jika diterapkan dalam sektor produk pertanian karena ciri pokok produk pertanian adalah tergantung pada alam yang tidak menentu, sehingga goncangan-goncangan terhadap keseimbangan harga pasar sering terjadi. Produksi sektor pertanian selalu menghadapi fluktuasi-fluktuasi jangka pendek karena tergantung pada alam seperti keadaan tanah, iklim dan cuaca, kadang-kadang serangan hama tanaman. Hasil produk pertanian tidak menentu dan goncangan-goncangaan keseimbangan pasar bebas yang menentukan tingkat harga menjadi terganggu. Fluktuasifluktuasi biasa terjadi dan tidak bisa diramalkan. Supplai produk pertanian dalam jangka pendek tidak responsif terhadap perubahan-perubahan kondisi pasar. (Hitiris, 1988:160). Lebih jauh El-Agraa menjelaskan bahwa ketika produksi yang dihasilkan menyimpang dari output yang direncanakan semula oleh petani, fluktuas-fluktuasi harga akan mengakibatkan dua kemungkinan. Jika produksi berlebih atau surplus akan menurunkan harga. Tapi jika pruduksi lebih kecil dari rencana semula harga akan naik. Rentang fluktuasi harga akan ditentukan oleh elatisitas harga permintaan. Semakin elastis harga yang diminta konsumen semakin kecil/sempit batas fluktuasi harga. Sebaliknya, semakin tidak elastis harga yang diminta konsumen semakin besar batas fluktuasi harga. Lebih-lebih sepanjang tidak ada kesatuan elastisitas maka pendapatan petani akan berfluktuasi dari tingkat harga yang semula direncanakan. Jika tingkat harga yang diminta konsumen elastis pada masa paceklik panen akan menurunkan pendapatan petani, sedangkan masa panen raya akan meningkatkan pendapatan petani. Tetapi jika harga yang diminta konsumen tidak elastis maka masa paceklik panen akan meningkatkan pendapatan petani dan panen raya akan menurunkan pendapatan petani. (El-Agraa, 1990:192). Dengan demikian penerapan teori liberal dalam pasar produk pertanian tidak dapat memastikan bahwa pasar bebas akan dapat menjamin seberapa banyak manfaat yang diperoleh petani produsen dan konsumen miskin. Karena fluktuasi harga yang tercipta dalam mekanisme pasar tidak dapat menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara petani produsen dan konsumen, sebagaimana yang diasumsikan teori liberal. Rentang fluktuasi-fluktuasi harga yang terjadi tidak pasti, sehingga manfaat yang diterima petanipun juga tidak pasti. Hal yang lebih buruk akan menimpa petani ketika terjadi serangan hama tanaman dan cuaca tak terduga yang mengakibatkan produksi turun drastis dari rencana semula. Oleh sebab itu bisnis produk pertanian dianggap sebagai bisnis yang beresiko tinggi. Untuk menghilangkan resiko inilah maka negara-negara liberal berusaha untuk melindungi petani dengan melakukan intervensi terhadap pasar produk pertanian. Penelitian empiris membuktikan bahwa hubungan antara harga produksi pertanian di tingkat konsumen dan di tingkat produsen petani bersifat asimetris. (Simatupang, 1989; Khudhori, 2008; Paasch, 2007; Natawijaya, 2001). Sejak jatuhnya rezim Suharto disparitas harga gabah dan beras semakin melebar. Disparitas harga beras dan gabah menunjukkan kesenjangan yang buruk dalam arti nilai pengolahan dan perdagangan beras tidak dinikmati petani dan konsumen, tetapi lebih banyak oleh pedagang. (Arifin, 2007:238). Kondisi pasar beras domestik yang asimetris semacam ini menekan produsen petani. Di samping itu keluarga kelas menengah, dan penduduk miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan juga menderita kerugian dari struktur pasar yang tidak sehat. Tekanan impor beras yang terjadi dalam struktur pasar yang tidak elastis hanya memperparah keadaan ekonomi petani pedesaan. Kondisi pasar beras domestik yang asimetri yang diperparah oleh tekanan harga beras internasional mengakibatkan baik petani produsen maupun konsumen miskin di pedesaan dan perkotaan mengalami tekanan ekonomi yang serius sehingga menimbulkan kemiskinan. Impor beras mengakibatkan permasalahan perberasan dalam negeri semakin kompleks. Bahkan tanpa beras impor posisi tawar petani Indonesia sangat lemah. (Paasch, dkk., 2007:99). Tekanan impor beras yang terjadi dalam struktur pasar yang tidak elastis hanya akan memperparah keadaan ekonomi mereka. Hal yang menjadi ancaman lebih besar adalah harga beras internasional lebih kompetitif jika dibandingkan dengan pasar beras domestik karena kebanyakan negara-negara pengekspor melakukan perlindungan terhadap petani mereka. (Sawit, 2007:196). Lebih dari itu, pasar beras dunia bersifat monopolistis dan dikuasai oleh beberapa perusahaan dagang internasional sehingga merugikan negara-negara importir beras dan menguntungkan perusahan dagang internasional. Indonesia dirugikan secara tidak adil apabila terus-menerus mengimpor beras. (Simatupang, dkk., 2006:18). Dalam kasus kebijakan perberasan di Indonesia, kegagalan teori liberal bukan saja berhubungan dengan karakteristik dasar sektor produk pertanian yang tergantung pada alam yang sudah umun dijumpai, akan tetapi juga menyangkut irasionalitas petani produsen dalam menentukan tindakan ekonomi yang disebabkan oleh tekanan ekonomi dan kelemahan dalam berorganisasi. Masyarakat petani tidak dapat menentukan tindakan rasional yang menguntungkan mereka ketika mengadakan transaksi dagang dengan para tengkulak dan pedagang. Keinginan petani menjual hasil panen secepatnya saat panen sangat tinggi karena volume surplus kecil, krisis likwiditas, dan sarana penyimpanan terbatas. (Simatupang, dkk., 2006:18). Petani kecil lebih banyak menjual gabah dalam bentuk GKP daripada GKG ataupun beras. Karena petani ingin mendapatkan uang tunai secepatnya manajemen pascapanen petani seperti perontokan padi tidak sesuai dan panen yang terlalu dini; dan juga sistem penjualan melalui ijon dan tebasan ke tengkulak. (Pratiwi, 2008:104). Liberalisasi juga menghendaki individu-individu yang responsif terhadap perkembangan harga pasar. Dalam kenyataannya persyaratan seperti ini tidak dapat terpenuhi di dalam masyarakat petani di Indonesia. Kebanyakan petani Indonesia tidak responsif terhadap perkembangan harga pasar. Para pedagang berhasil menekan harga di tingkat petani tetap rendah, bahkan meskipun kebijakan pemerintah sudah berubah dari kebijakan pasar terbuka menjadi kebijakan intervensi semenjak tahun 2001 pada masa kepemimpinan Megawati, dan terlepas pula dari adanya kelangkaan beras setelah tahun 2004. Salah satu penyebab rendahnya harga gabah di tingkat petani adalah ancaman berlanjutnya impor beras murah, terlepas apakah impor sesungguhnya terjadi atau hanya gossip. (Paasch, et.al., 2007:111). Liberalisasi menghendaki indididu-individu yang mampu memperhitungkan untung rugi dalam transaksi jual-beli, sehingga tercipta hubungan suka rela yang saling menguntungkan antara kedua belah fihak. Kemampuan petani untuk mengorganisir diri mereka sendiri juga tidak ada. Mereka tidak mempunyai keinginan membentuk organisasi seperti koperasi atau bentuk organisasi yang lain yang dapat digunakan sebagai sarana menampung hasil produksi pasca panen sebelum dijual ke pasar sehingga dapat meningkatkan nilai tambah produksi pertanian yang mereka panen. Organisasi-organisasi petani yang lahir sejak akhir tahun 1980-an dipimpin oleh warga kelas menengah perkotaan dan bukan petani sendiri. Organisasi-organisasi petani itu juga lemah karena tidak mampu menolong petani membentuk organisasi-organisasi yang dapat digunakan untuk mengangkat nilai tawar petani dalam berhadapan dengan pedagang. Oleh sebab itu tata kelola perdagangan gabah dan beras cenderung merugikan petani. Dalam kondisi masyarakat petani yang demikian teori liberal tidak dapat berfungsi secara normal. Liberalisasi menghendaki indididu-individu yang mampu memperhitungkan untung rugi dalam transaksi jual-beli, sehingga tercipta hubungan suka rela yang saling menguntungkan antara kedua belah fihak. Karena keterbatasan kemampuan ekonomi petani produsen transaksi jual-beli antara pedagang dan petani produsen bersifat timpang dan lebih menguntungkan pedagang. Ini berarti prinsip hubungan suka rela dan saling menguntungkan tidak dapat terwujud sebagaimana diyakini oleh teori liberal. Petani telah bertindak tidak rasional dalam menentukan pilihan karena adanya tekanan ekonomi. Pareto mengemukakan argumen bahwa para ahli ekonomi dapat menilai satu distribusi lebih baik daripada yang lain jika distribusi ini memperbaiki mayoritas banyak orang tanpa mengorbankan kondisi siapapun. (Caporazo dan Levine, 1992). Untuk menjelaskan permasalaham kedua dan ketiga yakni, bagaimana interaksi antar aktor yang terlibat dalam kebijakan beras setelah rezim politik demokratis masa reformasi lahir, dan sejauh mana pengaruh tekanan-tekanan politik dari organisasi-organisasi petani dan NGOs yang mendapat dukungan dari kepala-kepala daerah dan partai-partai politik pendukung kebijakan proteksi terhadap perubahan-perubahan kebijakan pemerintah, teori kooptasi dapat membantu menjelaskan dominasi aktor-aktor pro-liberalisasi dalam policy making process dari sudut pandang empat pendekatan yang digunakan untuk menganalisis permasalahan yang telah dirumuskan. Teori kooptasi menjelaskan bahwa kekuatan pengaruh suatu organisasi akan ditentukan oleh kemampuannya untuk menolak kooptasi yang memperlemah organisasi. Aktivis-aktivis organisasi masyarakat miskin dapat membuat tumpul militansi gerakan mereka, dan dengan demikian melenyapkan kekuatan dari orang-orang yang mereka wakili. Mereka tidak melihat organisasi-organisasi itu per se yang menjadi otomatis kontraproduktif. Organisasi-organisasi yang bermasalah itu adalah mereka yang membirokrastisasi, mengikatkan diri dalam sistem, dan menjadi lesu/malas. Bahaya kooptasi dimengerti sebagai semua proses melalui yang mana hubungan dekat dengan negara melenyapkan efektifitas organisasi. (Piven and Cloward, 1979). Semakin mudah kelompok organisasi dikooptasi semakin lemah militansi mereka. Organisasi-organisasi petani miskin sarat dengan tekanan yang halus (subtle oppression) dan kooptasi yang disengaja atau hanya bersifat aksidental yang membiarkan mereka tidak berdaya. Dalam penelitian ini teori kooptasi membantu menjelaskan kelemahan organisasiorganisasi petani dan NGOs dalam menghadapi koalisi parpol pemerintah pendukung liberalisasi pasar beras domestik dan impor bukan hanya disebabkan karena kesulitan dalam mengorganisasi akan tetapi juga karena adanya kooptasi yang dilakukan pemerintah. Kooptasi Pemerintah bukan hanya dilakukan terhadap organisasi-organisasi petani dan NGOs, akan tetapi juga terhadap partai-partai politik yang ragu-ragu dalam mendukung kebijakan liberalisasi pada level lembaga Legislatif. Untuk menjelaskan tiga permasalahan dalam penelitian ini digunakan empat perspektif pendekatan, Neo-Marxis, Public Choise, Modern Political Economy (MPE), dan Group Theory. Ekonomi politik radikal memandang negara sebagai alat kapitalis dan berargumen bahwa perjuangan ekonomi dan politik adalah pertentangan antara pekerja melawan borjuis. Pendekatan Marxis menekankan analisis pada tingkat makro untuk menjelaskan gejala sosial dengan menerapkan konsep-konsep seperti ‘kelas’ dan ‘negara’. Bahkan yang paling ekstrim teori World Modern System yang dijelaskan Wallerstein menganggap individu hanya mempunyai peranan yang kecil atau bahkan tidak ada peran sama sekali. (Busch and Juska, 1997; Gilpin, 1989). Kaum neo-Marxis membagi sistem internasional berdasarkan kelas-kelas menghasilkan negara Core, Semipheriphery, dan Pheriphery. (Jackson & Sorensen, 1999:239). Dominasi kelas kapitalis tidak dapat diubah karena dalam sistem ekonomi kapitalis sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh kelas kapitalis. Resep pembangunan ekonomi yang diajukan adalah pemutusan hubungan dengan kekuatan kapitalisme global dan berusaha untuk membangun ekonomi secara mandiri. (Spero,1985). Kasus di Indonesia, asal usul hubungan instrumental negara-kapital era Orde Baru berasal dari sifat ketergantungan ekonomi Indonesia yang sudah lama menjadi negara pinggiran dan tergantung. Karena Indonesia tidak mempunyai banyak kaum borjuis yang kuat, maka negara menggantungkan pada kapitalis asing dan warga etnis China untuk menyediakan modal dan tehnologi untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. (Robinson 1978, Mortimer, 1973, dalam Rosser, 2002:27). Pendekatan neo-Marxis yang digunakan Robinson masih dipertahankan dalam analisis rezim politik reformasi. Argumen sentral Robinson dan Hadiz adalah bahwa individu-individu yang kaya pada masa Orde Baru bukan hanya telah berhasil dalam melindungi kekayaan mereka tetapi juga mampu mempertahankan posisi politik di era transisi demokrasi. (Robinson and Hadiz, 2004). Hubungan kekuasaan di Indonesia hanya semata-mata direorganisir dan tidak berubah. Rezim Suharto didominasi oleh para birokrat-politik yang menduduki aparat-aparat negara dan figur-figur bisnis dan kriminal yang mempunyai hubungan dekat dengan dengan para birokrat-politik. Elemen-elemen yang ada pada masa Suharto tetap langgeng dan telah mendapatkan cara untuk berkuasa kembali melalui aliansi-aliansi dan kendaraan-kendaraan politik baru. (Robinson and Hadiz 2004; Hadiz and Robison 2003; Hadiz 2003; Hadiz 2003, dalam Rosser et. al 2007:1). Dengan pendekatan yang sama, Winters berargumen bahwa politik mempertahankan kekayaan di Indonesia sedang dalam proses perubahan dari oligarki kasultanan menuju “untamed ruling oligarchy” dalam yang mana uang adalah inti perjuangan politik. (Pepinsky 2013:16). Stuktur kekuatan kapitalis baik global maupun lokal yang mulai dibentuk sejak rezim Orde Baru dapat bertahan dalam situasi politik demokrasi yang baru. Pada tingkat nasional dapat dilihat bagaimana proses politik telah didominasi oleh elit-elit lama dan baru. Setelah menjadi pilar-pilar Orde Baru, birokrat, pejabat-pejabat militer, dan politisi, pada masa reformasi telah mereorganisasi kekuatan politik dan ekonomi mereka dalam sistem yang baru. Partai-partai politik besar dan lembaga-lembaga pemerintahan yang baru sebagian besar tetap dikuasai oleh politisi-politisi lama yang telah menjadi bagian dari jaringan patronase2 yang luas masa Orde Baru. (Hadiz and Robison, 2005:232, 233; Suryadinata, 2007:352). Koalisi-koalisi antara pemerintah dan kepentingan bisnis telah mampu untuk mempertahankan kendali terhadap aparat-aparat negara dan memanfaatkannya demi untuk kepentingan pribadi. (Klinken, 2009; Luebke, 2009). Sebagai akibatnya proses pengambilan kebijakan ditentukan oleh aktor-aktor peninggalan rezim Orde Baru yang kini menjadi semakin kuat; dan kelompok petani dan buruh tetap terekseklusi dari proses pengambilan 2 Patronage denotes a general mode of social and economic exchange, which has attracted interdisciplinary scholarly interest stretching back to the early part of the 20th century and is defined authoritatively by Eisenstadt and Roninger (1980) as ‘a distinct mode of regulating crucial aspects of institutional order: the structuring of the flow of resources, exchange and power relations and their legitimation in society’ (p. 49). In all of its forms, patronage is based on particularistic dyadic ties between patrons and clients. These combine to form pyramidal structures that are designed for the acquisition, maintenance and expansion of power, especially by elected officials and administrators—‘over a country, a government, an organization, a party, or a faction’ (Grindle, 2010, p. 3). The pyramidal structures of patronage comprise informal contractual relations between patrons and clients, in which jobs and other public goods are distributed downwards and outwards by patrons in return for deference and loyalty and commissions that flow upwards from clients (e.g. Scott, 1972). (dalam Peter Blunt et.al, 2012). keputusan. Argumen Robinson dan Hadiz dapat membantu menjelaskan dominasi elemenelemen kekuatan politik Orde Baru dan mengidentifikasi aktor-aktor politik yang yang terlibat didalamnya yang terdiri dari konglomerat/importir beras domestik dan eksportir dari luar negeri, birokrat politik, modal asing, tehnokrat, lembaga-lembaga internasional dan negara-nagara Barat, dan politisi-politisi parpol. Perspektif teori Public Choise secara metodologis jauh berbeda dengan neo-Marxis. Pendekatan ini berusaha mengaplikasikan metode Ilmu Ekonomi dalam Ilmu Politik. Premis fundamental Public Choice adalah bahwa para pengambil keputusan (pemilih, politisi, birokrat) dan pengambil keputusan privat (konsonsumen, broker, produsen) bertindak dengan cara yang sama: mereka semua mengikuti kepentingan pribadi yang bersifat rasional. (Ekelund dan Tollison, dalam Caporazo dan Levine , 1992:21). Politisi-politisi dan birokrat mempunyai karakter yang sama seperti konsumen yang berbelanja di pasar. Politisi adalah penyedia kebijakan-kebijakan dan pelayanan-pelayanan dalam menjalankan pemerintahan. Politisi menjual jasa-jasa mereka demi untuk mendapatkan dukungan politik. Dalam proses politik dimana individu-individu menduduki peran-peran yang bebeda, bagaimanapun juga digerakkan oleh kepentingan pribadi dan siap melakukan transaksi lebih lanjut demi kepentingan pribadi. (Caporazo and Levine , 1992:139). Dalam menganalisis kelompok kepentingan Mancur Olson mengajukan masalah tindakan kolektif. Dalam argumennya, Olson menentang baik aliran Pluralis maupun Marxis. Kaum Pluralis yakin bahwa organisasi kelompok kepentingan adalah ekspresi alamiah dari kepentingan-kepentingan yang dipegang secara kolektif. Sedangkan kaum Marxis mengatakan bahwa transisi dari kepentingan bersama menuju organisasi kelas dan mobilisasi bersifat spontan. Berbeda dengan mereka, Olson berargumen bahwa tidak rasional bagi individu-individu memberikan sumbangan pada kepentingan kolektif. (Caporazo and Levine , 1992:141). Menurut Olson individu-individu ikut dalam kelompok kepentingan karena mereka dipaksa, karena mereka mengharapkan insentif-insentif. Kelompok-kelompok yang besar mungkin meraih kesuksesan lebih kecil dari pada kelompok yang kecil dan terkonsentrasi. Logika tindakan kolektif bermuara kesimpulan bahwa kepentingan-kepentingan rakyat kecil tidak akan memengaruhi proses pembuatan kebijakan, karena mereka kurang dapat mengorganisir diri mereka sendiri untuk menyatakan kepentingan mereka secara efektif. Kelompok-kelompok yang berukuran kecil dan mampu mengorganisasikan dirinya dengan baik mampu menekan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kepentingan mereka daripada kelompok-kelompok yang lebih besar karena dalam kelompok-kelompok yang kecil anggota-anggota dapat mengetahui apakah mereka memberikan sumbangan dan dapat menghukum mereka yang hanya menjadi free rider. (Geddes dalam Freiden et. al, 2000:88). Berdasarkan argumen Olson distribusi kekuatan kelompok-kelompok kepentingan lebih ditentukan oleh kekuatan individu yang menjadi anggota kelompok. Kelompok kepentingan yang kecil tapi beranggotakan individu-individu yang kaya akan sumber-sumber lebih efektif dalam memengaruhi policy making process daripada kelompok yang besar dan mempuyai jangkauan wilayah yang luas. Oleh sebab itu dalam interaksi antara kelompokkelompok kepentingan dengan pemerintah, kelompok-kelompok kepentingan kecil tapi kaya dapat memaksakan kebijakan pemerintah untuk memenuhi tujuan-tujuan yang sempit sehingga, aktor-aktor yang miskin seperti buruh akan terpinggirkan karena keterbataan sumber-sumber kekayaan dan masalah free raider (pembonceng gratis) yang mendapatkan manfaat tanpa mengeluarkan biaya. Pendekatan neo-Marxis dan Public Choise dapat menjelaskan dominasi oligarki politik Orde Baru dalam menentukan kebijakan perberasan. Kelemahan dari kedua pendekatan itu bukan hanya mengecilkan peran politik dari kekuatan aktor-aktor individu yang lemah seperti organisasi-organisasi petani dan NGOs akan tetapi juga perubahan perilaku politik parpol yang berpengaruh terhadap proses pengambilan kebijakan pada sektor beras. Berdasarkan pendekatan MPE, perubahan-perubahan perilaku politik parpol yang berusaha untuk mencapai karier politik bisa besifat positif terhadap kepentingan publik atau sebaliknya. Pada sektor kebijakan beras, apabila partai-partai politik tidak berperilaku pragmatis dalam menentukan pilihan politik maka, dapat memberikan ruang partisipasi politik bagi organisasi-organisasi petani dan NGOs untuk mendukung parpol yang mempunyai orientasi kebijakan protektif terhadap petani. Mereka mampu menghambat jalannya kebijakan impor ketika koalisi parpol itu sedang berkuasa menjalankan Pemerintahan. Di samping itu, dengan adanya UU Otonomi daerah yang mengatur pilihan Bupati dan Gubernur secara langsung oleh rakyat, kepala-kepala daerah juga menghendaki dukungan konstituen petani konsumen miskin untuk mencapai karier politik di daerahnya. Tekanan-tekanan politik ormas petani, NGOs, dan kepala-kepala daerah yang didukung oleh oligarki politik baru yang sedang berkuasa berpengaruh positif terhadap kesejahteraan petani dan penduduk miskin. Kelemahan dari pendekatan Neo-Marxis dan Public Choise dapat dijelaskan pendekatan Modern Political Economy (MPE) dan Pluralisme. Pada masa Pemerintahan Gus Dur dan Megawati koalisi partai-partai politik reformis berusaha untuk mengendalikan liberalisasi sektor perberasan yang telah dimulai sejak pemerintahan oligarki politik patrimonial Orde Baru. Pendekatan Pluralis dan MPE dapat menjelaskan perubahan kebijakan yang didominasi oleh oligarki politik lama pada masa reformasi dalam yang mana partai-partai politik reformis dan kelompok-kelompok kepentingan petani dan penduduk miskin tidak lagi mendapatkan halangan dalam partisipasi politik. Esensi pendekatan Pluralisme adalah sebuah konsepsi politik sebagai persaingan diantara kelompok-kelompok penekan yang mewakili berbagai kepentingan dalam masyarakat. (Pepinsky 2013:4). Sistem politik demokratis terdiri dari kelompok-kelompok kepentingan yang saling bersaing untuk memperebutkan pengaruh dalam policy making process. Teori kelompok memandang bahwa interaksi antar kelompok adalah merupakan fakta yang terpenting dalam politik. (David B. Truman, dalam Dye, 1978:23). Politik adalah perjuangan antara kelompok-kelompok kepentingan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan. Dahl dan kaum Pluralis yang lain menentang pendapat teori elit yang diajukan oleh Robert Mitchels, C. Wright Mills, dan Harold Lasswell. Teori elit yakin bahwa masyarakat didominasi dan dikendalikan oleh elit sosial dan ekonomi. Baik Pluralis maupun Elitist sependapat bahwa elit (Senator, anggota Kongress, atau Walikota) bertindak sebagai distributor kekuasaan legal. Perbedaan mendasar antara Teori elit dan pluralisme terletak pada konsepsi pengaruh. Teori elit percaya bahwa orang-orang yang memegang kekuasaan itu juga mengendalikan pengaruh. Sedangkan Dahl dan Pluralis yang lain yakin bahwa pengaruh itu pada dasarnya tersebar secara berbeda-beda dan luas meliputi seluruh masyarakat. Dahl percaya bahwa bentuk demokrasi yang terbaik adalah polyarchy, atau sistem Pemerintahan yang diwarnai oleh derajat persaingan dan partisipasi politik yang tinggi. (Stupak, et.al, 1977:56). Dalam sistem politik demokrasi distribusi kekuatan dari kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakt sipil menjadi semakin tersebar dan oleh karenanya terjadi kecenderungan terbentuknya sistem Pemerintahan yang polyarchis. Proses penguatan pengaruh kelompok kepentingan masyarakat sipil petani pada masa reformasi semakin meluas dengan lahirnya organisasi-organisasi petani dan NGOs. Indikator yang dapat dilihat adalah bahwa tuntutan-tuntuan ormas sipil petani dan NGOs tidak hanya terbatas pada tuntutan-tuntutan pembebasan tanah di Tapos dan Garut di Jawa Barat, dan Cilacap di Jawa Tengah, akan tetapi juga tuntutan-tuntutan terhadap penghentian impor beras yang memukul kesejahteraan petani. Berdasarkan kerangka berfikir pendekatan Pluralis, pada kasus kebijakan beras indikasi penyebaran pengaruh kekuatan kelompok pada masa reformasi bukan hanya ditandai oleh munculnya organisasi-organisasi petani dan NGOs, tetapi juga kelahiran aktor baru kepala-kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Aktor-aktor itu berusaha untuk melawan kekuatan global Neo-Liberalisme yang merugikan kepentingan petani dan kelompok miskin. Koalisi Parpol pendukung proteksi yang diperkuat aktor-aktor organisasi masyarakat sipil petani dan penduduk miskin mampu menghambat dominasi aktoraktor pendukung liberalisasi pasar beras domestik dan impor. Memang dapat dimengerti bahwa oligarki politik pada masa Orde Baru mempunyai posisi yang dominan dalam menentukan kebijakan publik. Akan tetapi, ketika rezim politik militer korporatis berubah menjadi demokratis dan kelompok-kelompok kepentingan masyarakat sipiltidak ada yang membatasi dalam partisipasi politik maka, proses pengambilan keputusan bukan semata-mata ditentukan oleh mereka. Pada masa transisi demokrasi, dominasi oligarki politik Orde Baru mampu bertahan dalam menentukan proses pengambilan kebijakan publik karena, kelompok-kelompok kepentingan masyarakat sipil masih dalam masa pertumbuhan dan lemah. Walaupun demikian, kebebasan yang lebih besar dalam partisipasi politik mampu menghambat dominasi oligarki politik kekuatan lama. Pada sektor kebijakan beras kelompok-kelompok kepentingan seperti organisasi-organisasi petani dan NGOs yang didukung oleh kepalakepala daerah dan parpol reformis telah melakukan tuntutan-tuntutan untuk menghentikan kebijakan impor dan menata kembali pasar beras domestik dan berhasil. Dipandang dari pendekatan Pluralis, partai-partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan pendukung kebijakan proteksi memiliki kekuatan saling mempengaruhi. Di satu fihak partai-partai politik pendukung proteksi menghendaki dukungan politik dari kelompok masyarakat sipil petani dan NGOs yang menguasai suara konstituen petani produsen dan kelompok miskin. Di lain pihak, kelompok masyarakat sipil petani dan NGOs menghendaki agar kesejahteraan konstituen petani produsen dan kelompok miskin diperhatikan. Hubungan saling mempengaruhi ini juga terjadi antara organisasi-organisasi petani dan NGOs dengan kepala-kepala daerah. Oleh sebab itu, pada saat parpol reformis memegang kendali Pemerintahan berpengaruh relatif lebih besar terhadap proses pengambilan kebijakan perberasan. Pada masa transisi demokrasi partai-partai politik reformis masih dapat bersatu dan konsisten dalam membuat kebijakan-kebijakan publik yang berpihak pada kelompok kepentingan petani dan penduduk miskin. Mereka belum menyadari bahwa kebijakankebijakan yang mereka buat tidak berpengaruh signifikan terhadap dukungan konstituen demi peningkatan karier politik. Pada masa Gus Dur dan akhir Pemerintahan Megawati euphoria perubahan politik masa reformasi masih dapat menyatukan partai-partai politik reformis untuk menentang impor beras. Akan tetapi, ketika dalam pemilu berikutnya tidak dapat meningkatkan dukungan konstituen, mereka baru menyadari bahwa kebijakan-kebijakan populis seperti pemutusan hubungan dengan IMF, mensubsidi kembali input pertanian seperti pupuk, benih, dan obat tanaman, tidak berpengaruh terhadap peningkatan dukungan masyarakat pemilih. Sadar akan adanya gejala ini, partai-partai politik reformis setelah kemenangan SBY kemudian terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang pertama terdiri dari partai-partai politik Islam yang telah merubah orientasi kebijakan yang semula cenderung ideologis menjadi pragmatis. Oleh sebab itu, partai-partai politik reformis menentukan pilihan politik berkoalisi dengan Pemerintah dimana elemen-elemen kekuatan oligarki politik peninggalan Orde Baru masuk di dalamnya. Sementara itu, PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) cenderung berorientasi ideologis dan menentukan pilihan politik sebagai parpol oposisi. Hal yang perlu dicermati adalah bahwa elemen-elemen kekuatan masyarakat sipil petani dan penduduk miskin lebih menggantungkan diri pada elemen-elemen kekuatan kekuatan politik reformis daripada oligarki politik lama yang sejak awal telah terikat dengan kepentingan kapitalisme global. Kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat sipil petani dan penduduk miskin hanya dapat menyalurkan kepentingan mereka melalui Pemerintah yang dipimpin oleh parpol reformis PDIP yang didukung oleh parpol reformis Islam. Fenomena ini mengindikasikan pada masa reformasi PDIP bersama-sama dengan partai-partai politik reformis yang lain telah muncul sebagai oligarki politik pendatang baru. Hal ini disebabkan karena elemen-elemen kekuatan masyarakat sipil petani dan penduduk miskin masih dalam masa kebangkitan kembali dan dalam posisi tidak berdaya setelah mendapatkan tekanan dari rezim politik korporatis Pemerintahan Orde Baru. Potensi terhadap munculnya elemen-elemen struktur kekuatan oligarki politik baru dapat diidentifikasi gejalanya ketika PDIP dan partai-partai politik reformis pendatang baru berusaha untuk secara gradual menentang dominasi kekuatan struktur oligarki politik patrimonial Orde Baru dengan memperkenalkan peraturan-peraturan kebijakan yang lebih protektif terhadap petani dan penduduk miskin. Oleh sebab itu, gerakan masyarakat sipil petani dan penduduk miskin untuk menuntut perubahan-perubahan kebijakan mendapatkan ruang yang disediakan oleh struktur kekuatan oligarki politik reformis baru yang terdiri dari politisi-politisi reformis. Pemerintah Gus Dur dan Megawati terdiri dari gabungan dari semua parpol baik reformis maupun kekuatan politik lama. Parpol reformis hanya berhasil menghambat kepentingan oligarki politik lama dengan cara menjalankan kebijakan de-liberalisasi secara gradual. Dalam kasus kebijakan liberalisasi pasar beras dan impor tuntutan kelompok- kelompok kepentingan masyarakat sipil seperti, organisasi-organisasi petani, NGOs, tidak banyak berpengaruh positif terhadap sikap politik elite-elite politik oligarki lama. Karena, oligarki politik lama terikat dengan kepentingan pemburu rente kelas bisnis importir, pedagang dan distributor beras, lembaga-lembaga internasional dan negara-negara Barat. Hal ini membuktikan bahwa proses pengambilan kebijakan pada sektor beras telah melibatkan tarik-menarik antara kepentingan oligarki politik baru dan lama. Dan kelompok-kelompok kepentingan tersegmentasi menjadi dua bagian yakni, pendukung kebijakan proteksi dan pendukung kebijakan pemburu rente. Proses peminggiran petani dan penduduk miskin menjadi semakin parah pada masa Pemerintahan SBY jilid 1 dan 2. Pasar beras domestik tetap dipertahankan liberal dan impor beras terus mengalami peningkatan secara signifikan. Menurut teori kelompok, kebijakan publik pada suatu masa adalah merupakan equilibrium yang dicapai dalam perjuangan kelompok. Equilibrium ditentukan oleh pengaruh relatif dari kelompok-kelompok kepentingan. Perubahan dalam pengaruh relatif dari kelompok-kelompok kepentingan tertentu akan menyebabkan perubahan-perubahan dalam kebijakan publik. Kebijakan publik akan bergerak menuju arah yang diinginkan oleh kelompok-kelompok yang mendapatkan pengaruh yang lebih besar dan menjauh dari keinginan kelompok-kelompok yang pengaruhnya lebih kecil. Model kelompok digambarkan sebagai berikut. Gambar 1 : Model Kelompok Pengaruh Kelompok B Posisi Kebijakan Alternatif Pengaruh Kelompok A Perubahan Kebijakan Equilibrium Sumber : Thomas R. Dye, halaman 23 Berdasarkan Gambar 1, pada masa awal reformasi cenderung terjadi penguatan kelompok-kelompok kepentingan anti-impor beras yang direpresentasikan oleh organisasiorganisasi petani dan NGOs. Sebagai kepala daerah, Gubernur dan Bupati yang mayoritas penduduknya petani juga memerlukan dukungan petani. Hal ini berpengaruh terhadap perubahan-perubahan kebijakan Pemerintah yang mengarah pada pemenuhan kepentingan kelompok anti-impor beras. Dengan menggunakan model kelompok di atas dapat dilihat perbedaan pergeseran kebijakan dari masa Gus Dur hingga Pemerintahan SBY Periode 1. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa pada masa Pemerintahan Megawati, ketika koalisi partai-partai politik pendukung kebijakan proteksi memegang kendali kekuasaan Pemerintah dan didukung oleh organisasi-organisasi petani, NGOs, dan Kepalakepala Daerah, perubahan-perubahan kebijakan yang berpihak pada kepentingan petani menjadi lebih signifikan. Sebaliknya, ketika parpol reformis mengalami kekalahan dan sebahagian besar dari kekuatan politik reformis itu berkolalisi dengan kekuatan lama, perubahan-perubahan kebijakan menuju proteksi terhadap petani dan penduduk miskin tidak terjadi. Untuk menjelaskan fenomena ini berbagai pendekatan perlu digunakan. Berdasarkan Teori Public Choise, Neo-Marxis, MPE dan Kelompok dapat dijelaskan bahwa pada masa Pemerintahan Gus Dur dan Megawati, partai-partai politik mampu mengendalikan proses liberalisasi sektor beras. Walaupun mendapatkan tantangan kuat dari oligarki politik Orde Baru dan lembaga-lembaga internasional dan negara-negara Barat, tetapi proses de-liberalisasi dapat berjalan secara moderat. Hal ini disebabkan karena partaipartai politik reformis belum berubah menjadi pragmatis. Sehingga, dapat memberikan ruang bagi kekuatan masyarakat sipil dan kepala-kepala daerah untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok miskin. Menurut cara pandang kaum Pluralism, penyebaran pengaruh dari kekuatan kelompok-kelompok masyarkat sipil pada masa awal reformasi berpengaruh positif terhadap perubahan kebijakan menuju nasionalisme ekonomi sektor kebijakan perberasan. Oleh sebab itu, policy making process tidak hanya ditentukan oleh oligarki politik Orde Baru akan tetapi juga elemen-elemen kekuatan reformis yang terstruktur dalam kekuatan oligarki politik pendatang baru yang dijelaskan pada Gambar 2 di bawah. Pada Gambar itu menjelaskan bahwa walaupun elemen-elemen kekuatan lama mempunyai kapasitas untuk mendominasi proses pengambilan kebijakan publik, akan tetapi dapat dikendalikan oleh kekuatan oligarki politik pendatang baru yang sedang memegang kekuasaan Pemerintahan. Gambar 2. Model Dominasi Oligarki Politik Patrimonial Terkendali PATRIMONIAL TERKENDALI DOMINASI OLIGARCHI POLITIK Neo‐Marxis: Oligarchi politik patrimonial masa Orde Baru bukan hanya telah berhasil dalam melindungi kekayaan mereka tetapi juga mampu mempertahankan posisi politik di era transisi demokrasi. Birokrat-politik, Technokrat, dan Konglomerat tetap dapat bertahan dan dapat mengusai lembaga-lembaga demokrasi. Public Choise: Tekanan dari luar negeri dan lembaga-lembaga politik domestik bersama-sama dengan kelompok-kelompok kepentingan yang kaya mempunyai posisi dominan dalam proses pengambilan kebijakan publik sehingga, kelompok-kelompok kepentingan Masyarakat Sipil petani dan penduduk miskin terekslusi. Teori MPE: Dominasi oligarchi politik patrimonial dapat dikendalikan oligarchi politik baru yang terdiri dari Parpol Reformis yang dapat menciptakan keseimbangan antara tujuan mencapai karier dengan pemenuhan kepentingan kolektif (ideologis) dan sedang memegang kekuasaan Pemerintahan. DOMINASI OLIGARKI POLITIK PATRIMONIAL TERKENDALI Teori Kelompok: Dominasi oligarchi politik patrimonial dapat terkendali jika distribusi pengaruh kelompok-kelompok kepentingan petani dan kelompok miskin semakin meluas dan didukung oleh oligarchi politik baru yang sedang berkuasa dalam Pemerintahan. Setelah kemenangan SBY tahun 2004, parpol reformis berubah sikap dan menempuh jalan politik pragmatis. Sehingga, kekuatan ormas sipil dan kepala daerah tidak mampu menembus pengaruh mereka ketika partai-partai politik reformis berkoalisi dalam Pemerintahan. Sebagaimana dijelaskan kemudian melalui pendekatan MPE, persaingan antar parpol untuk memperebutkan karier politik sangat ketat sehingga mereka melupakan kepentingan kolektif demi mempertahankan karier politik. Dalam perkembangannya, oligarki politik baru terpecah menjadi dua kubu dan sebahagian besar memilih berkoalisi dengan oligarki politik Orde Baru. Sebagian besar partai-partai politik reformis telah berubah menjadi pragmatis dan lebih mementingkan karier politik daripada kepentingan kolektif. Hanya PDIP satu-satunya parpol yang menentukan pilihan untuk menjadi partai oposisi. Kekuatan politik oligarki lama menjadi semakin besar ketika SBY berhasil memenangkan Pemilu tahun 2004. Sebagai akibat dari menguatnya oligarki politik Orde Baru, kepentingan elemen-elemen kekuatan masyarakat sipil petani dan penduduk miskin semakin tereksklusi dari proses pengambilan kebijakan sektor perberasan. Akan tetapi bukan berarti bahwa elemen-elemen kekuatan oligarki politik reformis baru mengalami kematian. Perubahan orientasi politik parpol reformis berpengaruh besar terhadap perubahan kebijakan Pemerintah SBY. Walaupun koalisi partai-partai politik reformis dan tradisional memiliki kapasitas untuk memengaruhi kebijakan publik, mereka terperangkap dalam kepentingan-kepentingan sektor bisnis yang memanfaatkan sumber-sumber yang dimiliki negara, dan oleh karena itu pemerintah koalisi menolak reformasi kebijakan. Sehingga, perubahan kebijakan yang tunduk pada kepentingan kolektif tidak terwujud. Pada masa Pemerintahan SBY sikap pragmatisme parpol reformis sangat jelas terlihat. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terikat dalam koalisi Pemerintah, baik pada level Pemerintah maupun Parlemen PKS berusaha menentang kebijakan impor beras bersamasama dengan partai oposisi PDIP, tetapi gagal. Pada awal masa Pemerintahan SBY I, koalisi PDIP dan PKS yang didukung oleh organisasi-organisasi petani, NGOs, dan kepala-kepala daerah tidak mampu melawan Partai Demokrat (PD) dan Golongan Karya (Golkar) yang didukung oleh parpol reformis seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP). Kebijakan larangan impor beras mulai direvisi sehingga dalam masa-masa berikutnya volume impor beras menjadi semakin meningkat. Kerangka analisis MPE menjelaskan fenomena penguatan oligarki politik lama. Unit analisis MPE tidak berbeda dengan Public Choise yakni, aktor/individu atau organisasi yang dianggap individu. Perbedaan kedua pendekatan itu teletak pada perumusan asumsi. Public choise beranggapan bahwa individu-individu yang menempati lembaga-lembaga negara termasuk di dalamnya adalah partai-partai politik, lebih mementingkan peningkatan pendapatan. Pendekatan Public Choise tidak membedakan antara aktor-aktor yang berusaha mengedepankan peningkatkan pendapatan dengan karier. Sebagai akibatnya, semua aktor yang bekerja baik di sektor swasta maupun publik dianggap mempunyai tujuan yang sama. Politisi dan birokrat seperti halnya konsumen, masyarakat pemilih, atau produsen pada dasarnya hanya mementingkan pendapatan. Oleh sebab itu, tujuan pendekatan Public Choise dengan MPE memiliki perbedaan yang mendasar. Di satu fihak pendekatan MPE berusaha untuk mengidentifikasi cara-cara dalam yang mana pemerintah dapat melakukan campur tangan terhadap pasar dan meminimalisasi pemburuan-rente. Di lain fihak pendekatan Public Choise berakhir dengan visceral distate (rasa benci yang mendalam) terhadap pemerintah. Mereka mengabaikan kegagalan pasar dan tidak memberikan jalan keluar yang dapat membenarkan peran negara yang lebih intervensionis. (Freiden et. al, 2000: xvii). Ada dua asumsi dalam kerangka analisis MPE. Asumsi yang pertama adalah bahwa aktor-aktor berusaha untuk memaksimalkan kepuasan atau kebahagiaan (maximazing utilities) dan bertindak secara rasional. Individu mencoba untuk mencapai tujuan apapun yang mereka ingin capai dengan cara-cara yang terbaik menurut mereka. Sebagai contoh, politisi berusaha untuk terpilih kembali dalam pemilu, Bank Dunia, World Trade Organization (WTO), dan IMF, berusaha untuk mempertahankan pasar bebas. Maksimalisasi pendapatan cenderung menentukan preferensi kebijakan, akan tetapi hal ini tidak inheren dalam asumsi rasionalitas. Artinya, belum tentu prefrensi kebijakan suatu aktor selalu didasarkan pada kepentingan meningkatkan pendapatan. Oleh sebab itu berdasarkan argumen itu asumsi kedua perlu ditambahkan, maximazing incomes. (Freiden et. al, 2000:37-38). Pekerja-pekerja, broker, dan perusahaan-perusahaan berusaha untuk memaksimalkan pendapatan. Barbara Geddes menjelaskan bahwa argumen-argumen pilihan rasional tentang politik demokrasi tidak mengkonseptualisasikan aktor-aktor politisi sebagai homo economicus. Politisi mempunyai tujuan untuk terpilih kembali, kelanggengan sebagai politisi dan peningkatan karier. Di beberapa negara, peningkatan karier politik merupakan jalan untuk menumpuk kekayaan, akan tetapi yang paling umum, pemegang jabatan politik dapat mendapatkan uang dengan mengerjakan pekerjaan di luar karier politik. (Geddes dalam Freiden et. al, 2000:83). Pendekatan MPE berasumsi bahwa politisi dan birokrat adalah individu-individu rasional yang berusaha untuk memperoleh kesuksesan karier. (Geddes, 1994:7). Pemimpinpemimpin partai politik berusaha untuk mencapai sukses karier dengan memaksimalkan kekuatan partai dan kekuatannya sendiri dalam partai itu. Karier anggota Parlemen tergantung pada suara konstituen. Tujuan utama birokrat adalah mengamankan posisi kariernya menjadi pejabat. Tujuan untuk mendapatkan keuntungan material adalah merupakan pilihan tindakan yang kedua. Sedangkan kelompok-kelompok kepentingan berusaha untuk meningkatkan pendapatan. (Geddes, 1994:13). Tingkah laku manusia dalam setting pemerintahan digerakkan oleh kekuatan-kekutan kepentingan individu (self-interested forces) yang mengarahkan tingkah laku manusia dalam pemenuhan kepentingan kolektif. Pendekatan itu mengarah pada penjelasan bahwa otonomi negara bersumber pada tingkah laku individu: pejabat-pejabat publik dan politisi-politisi akan bertindak menurut cara-cara mereka yang menyebabkan terciptanya otonomi negara ketika negara memberikan kesempatan bagi mereka untuk mencapai karier. Ketika kepentingan mereka dapat dicapai dengan mewakili kepentingan kolektif masyarakat tertentu mereka akan melakukannya. (Geddes, 1994:8). Secara ideal apabila partai-partai politik tertentu yang berkoalisi dan menang dalam pemilihan Legislatif atau Presiden maka akan mempunyai kapasitas untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kepentingan kolektif dalam menjalankan Pemerintahan sehingga, mencapai pada suatu titik ekwilirium dimana terjadi konvergensi kepentingan antara kelompokkelompok kepentingan yang berusaha untuk meningkatkan pendapatan dengan politisipolitisi yang berusaha mencapai karier politik. Pada sektor kebijakan beras titik konvergensi kepentingan itu tercapai ketika perusahaan penggilingan padi, pedagang dan distributor beras yang direpresentasikan oleh Persatuan Perusahaan Penggilingan dan Perdagangan Padi (PERPPADI), importir, petani produsen dan kelompok penduduk miskin yang terwakili oleh organisasi petani dan NGOs, dan konsumen, sama-sama mendapatkan keuntungan; dan lembaga-lembaga Finansial Internasional dan negara-negara Barat atau aktor-aktor bisnis internasional yang berafiliasi, tidak punya kemampuan untuk menguras sumber-sumber yang dimiliki negara. Di lain fihak, politisi-politisi parpol koalisi Pemerintah dapat memenuhi tugasnya dalam membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik; dan melalui lembaga-lembaga birokrasi pemerintah mampu mengimplementasikan kebijakan-kebijakan itu, sehingga, politisi-politisi parpol mempunyai kapasitas untuk mempertahankan karier politik. Secara teoritis jika titik konvergensi kepentingan itu tidak tercapai dalam semua sektor kebijakan dan semakin memburuk maka dalam jangka panjang kemungkinan akan muncul intervensi politik yang berasal dari luar sistem politik demokratis yang ada. Berdasarkan proposisiproposisi itu dapat dirumuskan sebuah teori keseimbangan yang dapat dijelaskan dalam Gambar 3 yang diaplikasikan dalam sektor kebijakan beras. Gambar 3. Modern Political Economy Approach (diterapkan dalam kasus kebijakan perberasan) Fragmentasi Partai politik Rezim Demokrasi Konstituen pemilih Pemilihan Umum Partai-partai politik Reformis dan Tradisional (mengejar karier politik dan pendapatan) Kepala-kepala daerah (mengejar karier politik) Koalisi antar Partai-partai politik Produsen beras dan importir luar negeri (mengejar pendapatan) Penentu Kebijakan DPR dan Pemerintah (mengejar karier politik dan pendapatan) Organisasi-Organisasi Petani dan NGOs (mengejar pendapatan) Birokrasi (mengejar karier dan pendapatan) Distributor beras dan impotir domestik (mengejar pendapatan) Global Capitalism: IMF, World Bank, WTO, Govt. of the West (melanggengkan sistim kapitalisme global mempertahankan tingkat pendapatan nasional yang tinggi) Merujuk pada rumusan teori itu, pada sektor kebijakan beras, jika titik konvergensi antara pelayanan barang publik dengan privat itu tidak tercapai maka, dua kenderungan dapat diidentifikasi. Pertama, pasar beras domestik menjadi tidak sempurna sehingga hanya menguntungkan beberapa aktor dan perlu diselesaikan melalui campur tangan negara yang lebih kuat dalam pasar. Kedua, di dalam birokrasi pemerintah muncul kecenderungan rentseeking yang merugikan salah satu atau beberapa aktor. “Penyakit” ini hanya dapat disembuhkan dengan cara reformasi birokrasi agar lembaga-lembaga birokrasi bersifat netral dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan publik. Kapasitas untuk melaksanakan kebijakan yang dipilih oleh negara/pemerintah tergantung pada ada atau tidaknya lembaga birokrasi yang efektif. Jika orang hendak mengetahui aktor-aktor negara, orang harus dapat mengetahui apa itu isi perut dari lembaga-lembaga birokrasi pemerintah yang bertugas menjalankan keputusan-keputusan yang telah dibuat. (Geddes, 1994: 14). Dalam pemikiran yang ideal, tatanan politik demokrasi dimana persaingan antar parpol berjalan secara normal maka, dapat menjamin bahwa manajemen kekuatan politik sistem demokrasi mampu menciptakan tatanan politik demokrasi yang sehat sehingga, pelayanan barang-barang publik tidak menjadi masalah. Manajemen pasar beras domestik melalui intervensi pemerintah dalam pasar beras dalam negeri dan pengendalian impor beras dapat dikategorikan sebagai bentuk pelayanan barang publik karena, sektor perberasan khususnya dan pertanian pada umumnya tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Oleh sebab itu seharusnya, jika tatanan demokrasi normal, intervensi Pemerintah terhadap pasar beras domestik dan kebijakan pengendalian impor beras dari luar negeri, menjadi tekanan utama. Dengan berbagai alasan, mereka menjustifikasi intervensi Pemerintah terhadap pasar dalam negeri hasil produksi sektor pertanian. Akan tetapi menurut Geddes kondisi demokrasi yang sehat itu tidak selalu dapat terwujud. Sistim kepartaian yang dianut oleh suatu negara demokrasi itu menentukan perilaku politik politisi-politisi parpol yang ada di dalamnya. Untuk menjelaskannya, Geddes membedakan antara sistim dwi-partai dengan multi-partai. Dalam kasus yang terjadi di Brasil, sistim politik multi-parpol perilaku politik partai-partai politik cenderung pragmatis dan tidak memikirkan kepentingan sebagian besar konstituen pemilih. Antony Down berargumen bahwa perilaku pemilih dapat diarahkan oleh legislator menuju median voter yang ada di dalam masyarakat pemilih.3 Sistem perwakilan Single Member District dimana pengambilan suara akan menentukan kemenangan suara mutlak parpol yang mendapatkan suara terbanyak (winner- takes-all vote) maka, dengan sendirinya akan membagi pelaku-pelaku politik menjadi dua parpol. Para pemilih akan terbagi-bagi ke dalam rentangan yang berkisar mulai dari Liberal sampai ke Konservatif. Partai-partai politik mencoba memformulasikan paket-paket kebijakan yang dapat menarik simpati konstituen yang digunakan sebagai instrumen untuk mendapatkan jabatan publik. Dengan kondisi-kondisi awal yang terjadi, Down dapat memperlihatkan bahwa kedua partai politik yang berkompetisi akan bergerak menuju rentang tengah Liberal-Konservatif, atau ke titik median para pemilih. Semua strategi lainnya tidak rasional karena tidak dapat memengkan pemilu. Argumen Down digambarkan sebagai berikut. 3 Penjelasan Antony Down ini dikutip dari buku yang berjulul Theories of Political Economy karya James A Caporaso dan David P. Levine, 1992:139-141. Gambar 4. Political Parties and The Median Voters. X=Median X+2 Conservative Liberal Pada gambar 2 di atas, para pemilih terletak di sepanjang rentang Konservatif sampai Liberal. Median pemilih terletak pada titik X, yang membagi setengah dari semua pemilih berhaluan Konservatif dan setengah yang lainnya Liberal. Jika partai politik A membuat program-program agar dapat menarik simpati konstituen Partai Liberal, maka yang harus dilakukan partai B agar dapat menang adalah merancang program-programnya dengan cara menarik sisanya yaitu mulai dari titik C sampai dengan X+2 yang lebih luas bidangnya. Titik median merupakan acuan untuk mendapat kemenangan. Kemenangan dapat diperoleh ketika, minimal sebuah Partai politik harus mendapatkan X+1 (dari titik tertentu yaitu dari sebelah kiri yakni Konservatif atau sebelah kanan yaitu Liberal). Dalam kenyataanya kebijakan publik tidak selalu dapat mencerminkan preferensi sebahagian besar (rata-rata) masyarakat pemilih. Kebenaran argumen yang menjelaskan bahwa kebijakan Pemerintah itu dapat mencerminkan harapan median voter banyak diperdebatkan. Kebenaran argumen bahwa preferensi kebijakan Pemerintah mencerminkan kepentingan median voter telah dikembangkan dalam sistem demokrasi dimana perilaku politik konstituen hanya dibatasi oleh dua pilihan parpol sehingga, konstituen hanya dapat memilih satu opsi sebagaimana sistem demokrasi yang diterapkan di Amerika Serikat. Oleh sebab itu, kebenaran argumen itu dipertanyakan ketika tatanan demokrasi menganut sistem multi-partai dimana partai-partai polititk saling bersaing memperebutkan pengaruh konstituen untuk mendapatkan karier politik seperti yang terjadi di Indonesia. Dalam sistem multipartai konstituen pemilih cenderung bergerak keluar menjauh dari median voter. Sehingga, mengakibatkan baik pelayanan barang publik maupun privat akan tersedia untuk kelompokkelompok kepentingan yang tidak termasuk dalam median voter. (Geddes, 1994:39). Dalam sistem politik dwi-partai masyarakat pemilih tidak akan kesulitan untuk mengidentifikasi program-program parpol karena pilihan terhadap program-program itu hanya dibatasi dua partai politik. Merujuk pada teori Down, program-program pembangunan yang ditawarkan baik oleh partai Konservatif maupun Liberal dapat dipahami oleh konstituen pemilih secara detail dengan anggapan bahwa setiap parpol mampu menjelaskan programprogram yang ditawarkan pada konstituen. Sehingga, masyarakat pemilih dapat mengambil berbagai manfaat yang bakal mereka terima jika parpol itu terpilih. Dengan cara menjabarkan program-program pembangunan pada setiap sektor kebijakan, konstituen pemilih dapat menilai bahwa program-program yang mereka tawarkan menguntungkan konstituen. Dengan demikian dapat diketahui arah kecenderungan perilaku politik dari median voter. Sedangkan, performance parpol incumbent dapat dinilai konstituen melalui prestasi parpol yang kasat mata dalam menjalankan program-program pembangunan di semua sektor yang sebelumnya ditawarkan. Pendapat konstituen terhadap baik parpol incumbent maupun oposisi dapat diketahui melalui survai di lapangan. Perilaku pemilih dapat diibaratkan sebagai cuaca alam yang yang dapat mengalami perubahan-perubahan setiap saat dan kecenderungan perilaku pemilih dapat diramalkan oleh para peneliti atau parpol yang secara terus menerus memonitor perubahan-perubahan perilaku politik konstituen. Dengan demikian, keberhasilan parpol pemerintah yang berkuasa tidak hanya dinilai berdasarkan parameter-parameter yang umum seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran dan sebagainya. Indikator-indikator keberhasilan pembangunan yang bersifat sangat umum itu mengandung cacat yang serius, karena politisi-politisi hanya mampu menyediakan keuntungan-keuntungan tertentu tanpa melaksanakan preferensi-preferensi kebijakan yang diterima masyarakat, dan juga karena prestasi Pemerintah yang bersifat umum itu disebabkan oleh berbagai faktor yang ada di luar kemampuan politisi-politisi itu. (Geddes, 1994:39). Dalam sistem politik multi-parpol, para aktivis parpol mempunyai preferensi kebijakan yang berbeda dengan pemilih rata-rata karena masyarakat pada umumnya tidak dapat memonitor prestasi kebijakan politisi-politisi. Sehingga, mesin elektoral menjadi alat essensial untuk memobilisasi suara konstituen. Mereka mendistribusikan keuntungan yang dapat memengaruhi keputusan banyak orang untuk agar dapat memilih mereka dalam pemilu. Kentungan-keuntungan individu meliputi bantuan makanan, kupon, yang memenuhi syarat bagi wanita hamil untuk mendapatkan susu, atau anak sekolah untuk mendapakan makan siang gratis, dan bentuk pelayanan Pemerintah yang lain yang mana klien memiliki klaim yang legal tetapi akses menjadi tertutup 1994:40). tanpa adanya pertolongan politik. (Geddes, Di Indonesia, bentuk bantuan semacam itu juga berkembang luas seperti penyaluran RASKIN, pembuatan jaringan jalan desa yang dapat terwujud melalui campur tangan partai politik tertentu. Bahkan tidak jarang kandidat-kandidat parpol tertentu memberikan rangsangan berupa hadiah-hadiah melalui berbagai macam lomba yang diadakan di dalam masyarakat pedesaan atau secara vulgar, tapi tidak dapat dijerat hokum, memberikan uang sogok pada konstituen menjelang pemilu demi untuk menarik simpati mereka. Sangat ironis bahwa bantuan Beras Miskin (RASKIN) dan pembuatan jaringan jalan desa hanya memberikan fasilitas bagi agen-agen kekuatan global seperti importir, pedagang, dan distributor beras untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dari kondisi pasar beras yang oligopolis dan memukul kesejahteraan petani dan penduduk miskin. Tanpa RASKIN tingkat kesejahteraan kehidupan petani desa dan penduduk miskin bisa lebih baik apabila liberalisasi sektor beras khususnya dan Pertanian umumnya dapat dikendalikan melalui campur tangan Pemerintah. Untuk mendapatkan suara konstituen yang sebanyak-banyaknya, dengan hadiahhadiah yang diberikan secara individual, politisi-politisi memerlukan mesin-mesin politik yang besar yang diperkerjakan oleh para aktivis parpol dan pekerja-pekerja partai. Kemampuan politisi-politisi untuk menyalurkan bantuan-bantuan itu tergantung pada apakah anggota-anggota parpol itu menduduki posisi sebagai pejabat dalam birokrasi pemerintah. (Geddes, 1994:40). Disebabkan karena perlu “membayar” pekerja-pekerja partai, para aktivis Parpol tidak mempunyai independensi sama sekali dalam menentukan preferensi kebijakan dan hanya peduli agar terpilih kembali dalam pemilu. Mereka mempunyai alasan yang masuk akal untuk membelanjakan sumber-sumber yang wewenang mereka untuk didistribusikan pada individu-individu berupa hadiah untuk mennopang karier mereka daripada memberikan pelayanan publik yang hanya menguntungkan konstituen dari luar lingkungannya. (Geddes, 1994:41). Kasus di Brasil individu-individu yang menentukan keputusan bertentangan dengan kepentingan kolektif manakala tindakan itu tidak sesuai dengan kepentingan mencapai karier politik. Politisi-politisi mempunyai hubungan pertukaran dengan klien-klien yang mereka miliki yang diistilahkan sebagai Cabos Eleitorais, (“electoral corporals”), yang bertindak sebagai penghubung yang menjanjikan dukungan suara konstituen, sebagai imbalan dari hadiah-hadiah yang mereka berikan, termasuk jabatan dalam birokrasi pemerintah. (Geddes, 1994:88). Sebagai akibatnya, perilaku rent-seeking dalam lembaga-lembaga politik demikrasi yakni, parpol, birokrasi pemerintah, dan Parlemen menjadi berkembang luas. Parpol tidak lagi peduli terhadap kepentingan rakyat karena terikat dengan kepentingan klien dalam mencapai karier politik. Berdasarkan argumen itu dapat dibenarkan bahwa kecenderungan terjadinya korupsi yang massif di Indonesia bukan hanya disebabkan oleh oligarki politik patrimonial peninggalan Orde Baru. Tindakan korupsi telah meluas dan meliputi politisi-politisi bukan hanya yang berasal dari partai-partai politik tradisional peninggalan Orde Baru seperti GOLKAR dan sempalan-sempalannya akan tetapi juga parpol reformis pragmatis4. Dalam rezim politik reformasi kelompok-kelompok kepentingan petani dan kaum miskin telah dikorbankan sebagai akibat dari persaingan antar parpol untuk memperebutkan kedudukan politik. Dengan demikian, argumen yang dikembangkan oleh pendekatan MPE, Public Choise, dan Pluralis mencapai titik konvergensi dengan argumen pendekatan neo-Marxis. Dengan kata lain, empat pendekatan itu dapat disintesakan. Jika dalam masa Orde Baru rezim militer telah menciptakan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang korporatis yang sengaja dibentuk pemerintah untuk menghilangkan pengaruh kekuatan elemen-elemen kekuatan masyarakt sipil maka, pada masa reformasi kompetisi antar parpol untuk memperebutkan pengaruh konstituen telah menciptakan kendala yang serius bagi ormas sipil petani dan penduduk miskin yang sedang tumbuh untuk mengartikulasikan kepentingan mereka terhadap Pemerintah. Karena, dalam sistem multi-partai dimana persaingan antar parpol menjadi sangat intensif dan perilaku partai-partai politik menjadi pragmatis dan lebih mementingkan karier politik daripada memenuhi kepentingan kolektif. Sebagai akibatnya, oligarki politik patrimonial peninggalan Orde Baru dapat bertahan dengan menguasai lembaga-lembaga demokrasi masa reformasi bersama-sama dengan politisi-politisi reformis. Oleh karena itu, komunikasi politik antara kelompok-kelompok kepentingan masyarakat sipil petani dan penduduk miskin dengan masyarakat politik atau Pemerintah menghadapi kendala. Pada level Masyarakat Politik elemen-elemen kekuatan oligarki politik lama yang didukung oleh partai-partai politik reformis pragmatis menjadi semakin dominan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Pendekatan Kooptasi dapat membantu menjelaskan dominasi aktor-aktor pendukung liberalisasi. Untuk memperkuat posisi politik mereka, Pemerintah yang berkuasa (oligarki 4 Partai-partai Politik Reformis pragmatis didefinisikan sebagai elemen-elemen kekuatan politik reformis termasuk parpol yang sudah terbentuk sebelum terjadi Reformasi politik yang berusaha untuk merubah sistim politik otoriter Orde Baru menjadi demokratis dan tidak setuju terhadap dominasi oligarchi politik lama yang tetap mempertahankan praktek-praktek pemburuan rente dan bekerjasama dengan kepentingan kapitalisme global, akan tetapi berubah menjadi pragmatis ketika menghadapi masalah kelanggengan karier politik politisi-politisi dan existensi Parpol. politik lama) tidak hanya dapat mengkooptasi politisi-politisi partai politik reformis yang ragu-ragu dalam menentukan pilihan politik dengan cara paksaan atau rayuan halus untuk memperlemah militansi mereka, akan tetapi juga mengkooptasi organisasi-organisasi masyarakat sipildengan cara membirokratisasai mereka dalam birokrasi pemerintahan. Gambar 5 di bawah menjelaskan bahwa ketika orientasi politik parpol reformis berubah menjadi pragmatis dengan meninggalkan ideologi nasionalisme ekonomi dan berkoalisi dengan elemen-elemen kekuatan oligarki politik rezim Orde Baru maka, mereka menjadi kendala yang serius bagi kakuatan kelompok-kelompok kepentingan masyarakat sipil petani dan penduduk miskin, dan kepala-kepala daerah untuk mengartikulasikan kepentingan mereka pada Pemerintah. Pemerintah yang berkuasa bukan hanya mengkooptasi kelompok kepentingan masyarakat sipilakan tetapi juga elemen-lemen kekuatan parpol reformis yang menentang kebijakan impor beras. Dalam mempertahankan eksistensi mereka, parpol reformis lebih mementingkan karier daripada kepentingan kolektif dan parpol tradisional hendak tetap bertahan dalam sistem politik yang demokratis. Konvergensi kepentingan antara keduanya telah mengakibatkan kemacetan bagi kelompok kepentingan miskin, kepala-kepala daerah, dan parpol yang berhaluan nasionalisme untuk mengartikulasikan kepentingan kaum petani dan kelompok miskin. Karena itu, yang terjadi adalah proses liberalisasi yang memukul kesejahteraan mereka. Kebijakan liberalisasi pasar beras domestik tetap berjalan dan volume impor beras terus mengalami peningkatan. Walaupun elemen-elemen kekuatan politik masyarakat sipil semakin berkembang dan demonstrasi publik menuntut dihentikannya impor beras semakin meluas, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap perubahan-perubahan kebijakan. Kecenderungan ini terjadi pada masa Pemerintahan SBY ketika partai-partai politik reformis ikut serta dalam Kabinet Pemerintahan oligarki politik lama. Gambar 5. Model Dominasi Oligarki Politik Patrimonial Tak Terkendali DOMINASI OLIGARkI POLITIK PATRIMONIAL TAK TERKENDALI Teori Kooptasi: Organisasi-organisasi yang bermasalah itu adalah mereka yang membirokrastisasi, mengikatkan diri dalam sistim kekuasaan Pemerintahan, dan menjadi lesu/malas. Bahaya kooptasi dimengerti sebagai semua proses melalui yang mana hubungan dekat dengan negara melenyapkan efektifitas organisasi. Dominasi Parpol Reformis dan Tradisional Neo‐Marxis: Individu-individu yang kaya (oligarchi politik) pada masa Orde Baru bukan hanya telah berhasil dalam melindungi kekayaan mereka tetapi juga mampu mempertahankan posisi politik di era transisi demokrasi. Birokrat-politik, Technokrat, dan Konglomerat tetap dapat bertahan dan dapat mengusai lembagalembaga demokrasi. MPE: Kompetisi politik yang tinggi dalam sistim politik multi-partai memaksa Parpol lebih menekankan kepentingan karier dan mengabaikan kepentingan kolektif (pragmatis) dan berkoalisi dg. oligarchi politik lama sehingga, oligarchi politik baru menjadi melemah. Parpol pragmatis menjadi barrier bagi Masyarakat Sipil miskin untuk mengartikulasikan kepentingan mereka pada level Pemerintah. Group Theory: Distribusi kekuatan dari kelompokkelompok kepentingan dalam Masyarakat Sipil menjadi semakin tersebar dan Kepala-kepala Daerah independen, tetapi Parpol Reformis dan Tradisional yang pragmatis dan sedang berkuasa (oligarchi politik lama) menjadi kendala artikulasi politik kelompok kepentingan miskin dan Kepala-kepala Daerah. Public Choise: Sama dengan Neo-Marxis, kelompok-kelompok kepentingan dapat memaksakan kebijakan pemerintah untuk memenuhi tujuan-tujuan yang sempit, walaupun menyalahkan aktoraktor miskin. Tekanan dari luar negeri dan lembaga-lembaga domestik bersama-sama dengan kelompok-kelompok kepentingan mempengaruhi kebijakan publik. Dalam sistem politik multi-partai dimana persaingan antar parpol untuk memperebutkan karier politik sangat tinggi, tidak dapat dijamin bahwa politisi-politisi yang menentukan keputusan itu bertindak sesuai dengan kepentingan kolektif jika bertentangan dengan tujuan mencapai karier politik. Ketika politisi harus bersaing dengan politisi lain, mereka harus menentukan pilihan-pilihan yang saling bertentangan dalam menggunakan sumber-sumber yang terbatas yang menjadi wewenangnya. Dalam setiap keputusan untuk memberikan keuntungan bagi individu yang satu dengan yang lain, politisi senantiasa menghadapi dilemma antara apakah sumber-sumber itu digunakan untuk memperbesar kemungkinan terpilih kembali dalam pemilu atau digunakan untuk kepentingan kolektif memenuhi program-program pembangunan ekonomi. Jika mereka dapat memenuhi dua tujuan itu sekaligus politisi akan dengan mudah menentukan pilihan, akan tetapi sangat jarang terjadi koidensi antara kedua tujuan itu. (Geddes, 1994:88). Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kecil politisi lebih mementingkan komitmen ideologis ketimbang karier politik. Akan tetapi politisi semacam itu memiliki probabilitas yang lebih kecil dalam memperoleh jabatan politik jika dibandingkan dengan politisi yang pragmatis. (Geddes, 1994:87). Pada kasus kebijakan beras di Indonesia, partai politik PDIP sebagai inti dari kekuatan oligarki politik reformis pendatang baru menentukan pilihan politik untuk menjadi kekuatan politik oposisi melawan Pemeritahan oligarki politik lama periode I dan II di bawah kepemimpinan SBY. Pendekatan MPE meminjam elemen-elemen teori Public Choice. Seperti halnya kaum Marxis, pendukung teori Public Choice berpendapat bahwa kelompok-kelompok kepentingan dapat memaksakan kebijakan Pemerintah untuk memenuhi tujuan-tujuan yang sempit, walaupun mereka cenderung menyalahkan aktor-aktor yang miskin, seperti buruh. Pandangan ini menjadi mengemuka ketika banyak pendukung MPE menambahkan perspektif Public Choise dengan menjelaskan bagaimana tekanan dari luar negeri dan lembaga-lembaga politik domestik bersama-sama dengan kelompok-kelompok kepentingan memengaruhi kebijakan publik. (Freiden et. al, 2000: xvi). Merujuk pada pendapat itu, pada kasus kebijakan beras tekanan-tekanan lembaga-lembaga internasional IMF, Bank Dunia, WTO dan negara-negara Barat yang didukung oleh politisi-politisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan bisnis berpengaruh besar terhadap kebijakan liberalisasi pasar beras dan gabah domestik dan impor. Koalisi pendukung liberalisasi sektor beras itu hanya berakibat pada peminggiran kepentingan kelompok petani desa dan penduduk miskin baik di daerah-daerah pedesaan maupun perkotaan. Pahahal, pada dasarnya tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Gejala menguatnya kembali oligarki politik reformis baru mulai dapat dilihat ketika PDIP berhasil memenangkan Pemilu Legislatif tahun 2014 yang diikuti dengan pencalonan Jokowi sebagai Presiden yang didukung oleh parpol baru Nasional Demokrat (Nasdem), Hati Nurani Rakyat (Hanura), PKB, dan PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia). Sejak masa pemerintahan Gus Dur dan Megawati tarik menarik antara oligarki politik lama dengan reformis terus berlangsung hingga Pemerintahan SBY. Oleh sebab itu, pertentangan antara kubu Prabowo dalam yang mana seluruhnya merupakan bagian dari elemen-elemen kekuatan oligarki politik lama dan kubu Jokowi dalam yang mana sebagian besar merupakan bagian dari elemen-elemen kekuatan oligarki pendatang baru, tidak akan hanya berhenti setelah pemilihan Presiden-Wakil selesai. Sebagaimana pada masa Pemerintahan Gus Dur dan Megawati, oligarki politik lama akan menjadi kendala bagi Pemerintah oligarki politik reformis baru dalam menjalankan fungsi pelayanan publik. Untuk menjelaskan kelemahan organisasi-organisasi petani dan NGOs dalam menghadapi pemerintah reformasai teori Logika Tindakan Kolektif (Logic of Collective Actions), Kooptasi dan teori James Scott dapat dijadikan sebagai acuan utama. Dalam menganalisis kelompok kepentingan Mancur Olson mengajukan masalah Tindakan Kolektif. Kelompok-kelompok yang besar mungkin meraih kesuksesan lebih kecil dari pada kelompok yang kecil dan terkonsentrasi. Logika tindakan kolektif bermuara kesimpulan bahwa kepentingan-kepentingan rakyat kecil tidak akan memengaruhi proses pembuatan kebijakan, karena mereka kurang dapat mengorganisir diri mereka. Kelompok-kelompok yang berukuran kecil dan mampu mengorganisasikan dirinya dengan baik mampu menekan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kepentingan mereka daripada kelompok-kelompok yang lebih besar karena dalam kelompok-kelompok yang kecil anggota-anggota dapat mengetahui apakah mereka memberikan sumbangan dan dapat menghukum mereka yang hanya menjadi free rider. (Geddes dalam Freiden et. al, 2000:88). Berdasarkan argumen Olson distribusi kekuatan kelompok-kelompok kepentingan lebih ditentukan oleh kekuatan individu yang menjadi anggota kelompok. Kelompokkelompok yang berukuran kecil dan mampu mengorganisasikan dirinya dengan baik mampu menekan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kepentingan mereka daripada kelompokkelompok yang lebih besar karena dalam kelompok-kelompok yang kecil anggota-anggota dapat mengetahui apakah mereka memberikan sumbangan dan dapat menghukum mereka yang hanya menjadi free rider. (Geddes dalam Freiden et. al, 2000:88). Berdasarkan teori itu, pada kasus kebijakan beras di Indonesia dapat diduga bahwa kelompok-kelompok kepentingan petani dan penduduk miskin semakin terpinggirkan. Bagi kelompok petani dan penduduk miskin mengalami kesulitan dalam mangorganisir kelompok kepentingan karena jangkauan wilayah yang sangat luas dan ukuran kelompok yang besar. Kelompok-kelompok kepentingan yang memiliki sumber-sumber kekayaan seperti pedagang dan distributor beras, importir yang akan menang dalam persaingan memperebutkan pengaruh. Kasus di Afrika mengungkapkan hubungan antara ukuran kelompok dan kemampuan untuk mengorganisir dijelaskan oleh Bates yang meneliti kebijakan penetapan harga produk pertanian di Afrika relatif menguntungkan sejumlah kecil konsumen daerah perkotaan karena, harga produk pertanian yang rendah dapat mengurangi tuntutan kenaikan gaji dengan mengorbankan sejumlah besar petani pedesaan. (Bates, 1988). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya teori kooptasi menjelaskan bahwa kekuatan pengaruh suatu organisasi akan ditentukan oleh kemampuannya untuk menolak kooptasi yang memperlemah organisasi. Teori itu memperingatkan pada para peneliti akan bahaya yang dihadapi oleh semua gerakan kaum miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan, dalam masyarakat industri atau agraris. Sedangkan James C. Scott menjelaskan bahwa gerakan kaum tani selalu timbul karena mediasi dari kelas-kelas bukan petani. (Scott, 1981, dalam Firmansyah et.al, 1999:180). Karakteristik petani yang mengarah pada gaya hidup fatalisme inilah yang menyebabkan mereka selalu bergantung pada perlindungan dari luar masyarakat petani itu sendiri. Dengan gaya hidup fatalisme ini barangkali sulit diharapkan bahwa petani bisa bangkit untuk melawan kemiskinan. 2. Metode Analisis Metode analisis pendekatan MPE dilakukan melalui beberapa langkah. Dalam menganalisis interaksi antar aktor terlebih dahulu perlu diidentifikasi preferensi kebijakan aktor-aktor. Dalam kasus kebijakan impor beras sebagian dari aktor-aktor mungkin memilih untuk berkoalisi dengan kekuatan kapitalisme global dan sebagian yang lain menolaknya. Pilihan tindakan aktor-aktor tergantung pada bagaimana mereka memperhitungkan keuntungan yang diperoleh dan kerugian yang diderita jika memilih tindakan politik tertentu. Oleh sebab itu pilihan tindakan aktor-aktor akan bervariasi. Dalam konteks kebijakan beras, bagi Pemerintah yang berkuasa, terdapat dua pilihan yang relevan. Apakah akan melanjutkan kebijakan liberalisasi pasar domestik dan impor beras atau mengendalikannya. Dengan asumsi bahwa Pemerintah akan melaksanakan pengendalian liberalisasi pasar beras domestik dan impor seberapa jauh yang akan dilakukannya. Aktor-aktor bisnis swasta nasional dan internasional, organisasi petani, NGOs, partai politik, birokrat, Gubernur dan Bupati, IMF, Bank Dunia, WTO, mempunyai preferensi kebijakan yang berbeda-beda. Bagi aktor bisnis preferensi kebijakan aktor didasarkan pada kepemilikan aset. pedagang penggilingan padi mempunyai preferensi kebijakan liberalisasi pasar beras domestik dan impor beras karena dengan adanya liberalisasi pasar domestik dan impor akan memberikan kebebasan bagi mereka untuk memaksimalkan pendapatan. Di lain fihak organisasi-organisasi petani/produsen beras, lebih suka dengan kebijakan yang protektif karena kebijakan semacam itu akan dapat melindungi mereka dari serangan cuaca, musim, dan hama penyakit tanaman. Kebijakan liberalisasi mengancam petani karena ciri khas dari pertanian adalah tergantung pada alam yang tak menentu. Bagi petani perlu adanya instrumen pengendali harga dan impor dan hal itu hanya bisa dilakukan melalui intervensi Pemerintah. Para eksportir yang berasal dari luar negeri seperti Thailand, Vietnam, Amerika Serikat, India dan lain-lain juga mempunyai kepentingan yang besar untuk mengekspor beras ke Indonesia. Mereka mempunyai ikatan yang kuat dengan para politisi dan birokrat-politik pada masa Pemerintahan Suharto. Dalam sistem politik yang demokratis pelaku-pelaku bisnis baik importir domestik maupun eksportir internasional berpihak pada salah satu kekuatan yang menguntungkan. Dalam hal ini mereka berusaha untuk mendekati Pemerintah yang berkuasa, partai-partai politik dan lembaga-lembaga birokrasi pemerintah untuk mendorong agar kebijakan proliberalisasi dilakukan. Pada dasarnya aktor-aktor yang memiliki asset berusaha memperoleh pendapatan. Walaupun demikian, aktor-aktor tidak semata-mata mengejar kepuasan material. Misalnya IMF, WTO, dan Bank Dunia, partai politik, Gubernur dan Bupati mempunyai tujuan yang bervariasi. Organisasi internasional seperti IMF, Bank Dunia, WTO, memiliki preferensi yang berbeda. Tiga lembaga internasional (IMF, Bank Dunia, dan WTO) sejak awal dimaksudkan untuk menyangga sistem perdagangan bebas dunia. lembaga-lembaga internasional IMF, Bank Dunia, dan WTO dibentuk oleh negara-negara Barat dan Jepang untuk mengakhiri kebijakan devaluasi kompetitif mata uang mereka yang mengarah pada pelambatan perdagangan internasional. IMF mempunyai peran yang sentral dalam memberikan hutang pada negara-negara yang mengalami defisit Balance of Payments. Dalam kasus Indonesia, Pemerintah negaranegara Barat dan lembaga-lembaga Internasional IMF dan Bank Dunia memberikan bantuan finansial untuk rekoveri krisis ekonomi pada masa Pemerintahan Reformasi. Sebagai imbalannya, mereka meminta bahwa Pemerintahan Indonesia melakukan liberalisasi ekonomi. Pemerintah reformasi mendapatkan kesulitan dalam menghadapi kendala struktural dari lembaga-lembaga internasional. Di satu fihak, pemerintah mendapatkan tekanan untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan liberalisasi yang dikehendaki mereka, terutama agar dapat mengamankan bantuan finansial yang dibutuhkan. Di lain fihak, organisasi-organisasi internasional itu dalam berbagai kesempatan dapat memaksakan kehendak mereka dengan menggunakan kekuatan struktual yang mereka punyai agar dapat memaksa Pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan yang mereka inginkan. Partai-partai politik memiliki preferensi kebijakan yang bervariasi karena memiliki logika rasionalitas yang berbeda-beda. Di satu fihak beberapa partai politik memilih kebijakan protektif karena untuk mempertahankan posisi politik dapat diperoleh dengan cara memperluas dukungan rakyat pemilih di pedesaan yang merupakan mayoritas. Di lain fihak beberapa partai politik yang lain lebih suka memilih kebijakan yang liberal karena kerjasama dengan korporasi bisnis, birokrat, dan lembaga-lembaga internasional dapat memperkuat kondisi finansial partai politik. Bagi mereka, untuk memperoleh dukungan masyarakat publik dapat dilakukan dengan cara-cara yang lain. Pada level Propinsi dan Kabupaten, Gubernur dan Bupati lebih suka menolak impor beras karena sistem pemilihan pada masa reformasi dilakukan secara langsung. Harapan untuk terpilih kembali menyebabkan Kepala-kepala Daerah mempunyai pilihan kebijakan yang pro-petani mengingat jumlah petani di daerahnya adalah mayoritas. Seperti halnya partai politik Kepala-kepala Daerah mempunyai preferensi kebijakan yang bervariasi tergantung kepentingan-kepentingan yang hendak dicapai. Kecenderungan birokrat adalah mendukung kebijakan impor karena sejak masa kepemimpinan Orde Baru mempunyai hubungan dekat dengan sektor bisnis. Lembaga birokrasi di Indonesia dekenal sebagai birokrasi pemburu rente. Kepala-kepala Daerah tidak dapat mengabaikan konstituen masyarakat petani yang merupakan mayoritas di pedesaan. Sikap politik yang mendukung kepentingan petani diperlukan. Sebagai akibatnya Kepala-kepala Daerah yang mayoritas penduduknya petani berkoalisi dengan partai-partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan yang menolak liberalisasi pasar beras domestik dan impor. Dalam sistem Pemerintahan yang otonom dimana Kepala-kepala Daerah mempunyai kebebasan yang luas dan tidak tergantung pada lingkungan kekuasaan di tingkat pusat, maka mereka menjadi relatif lebih independen dalam menentukan tindakan-tindakan politik. Preferensi aktor-aktor dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 1. Preferensi Kebijakan Aktor-aktor No Aktor 1 2 3 4 5 6 8 9 10 11 12 13 14 15 IMF Bank Dunia WTO Pemerintah Negara-negara Barat Importir/konglomerat Pedagang dan Distributor Pedagang Penggilingan Padi Menengah Pedagang danPenggilingan Padi Kecil Tengkulak BULOG Organisasi Petani dan NGOs Birokrat Parpol Tehnokrat 16 17 Gubernur Bupati Preferensi Kebijakan Pro-liberalisasi dan Anti-Liberalisasi dan impor Impor V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V Setelah identifikasi aktor-aktor dan preferensi kebijakan langkah kedua adalah memperhitungkan kemungkinan pembentukan koalisi. Aktor-aktor yang terlibat dalam pengambilan keputusan akan bersatu dan membentuk koalisi dengan maksud agar tekanantekanan yang dilakukan pada pembuat kebijakan effektif. Sejauh mana kelompok-kelompok itu bersatu dan membentuk koalisi. Ada dua alat komplementer yang dapat digunakan untuk memprediksi bagaimana aktor-aktor sosio-ekonomi bersatu dalam arena politik. (Freiden, 2000:34). Pertama, individu dan perusahaan dapat disatukan berdasarkan pada kesamaan asset. Importir, distributor beras, dan pedagang dan penggilingan padi membentuk koalisi melawan organisasi-organisasi petani dan NGOs. Kedua koalisi yang berlawanan ini mempunyai aset yang sama yakni, aset yang tidak mudah dipindah-pindahkan ke tempat lain sehingga, mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap perubahan-perubahan kebijakan. Koalisi yang terbentuk antara importir, pedagang dan penggilingan padi dan distributor beras mendapat dukungan dari Lembagalembaga Internasional dan negara-negara Barat, birokrat dan sebagian besar partai-partai politik yang mempunyai ikatan dengan oligarki politik masa Orde Baru karena sama-sama berorientasi liberal. Sedangkan organisasi petani dan NGOs mendapat dukungan dari Kepalakepala daerah dan partai-partai politik yang memilih opsi kebijakan proteksi karena sebagian besar konstituen mereka adalah petani. Kedua, untuk menentukan kelompok macam apa yang dapat saling melekat dan terpadu adalah logika tindakan kolektif. (Freiden et. al, 2000:40). Literatur Tindakan Kolektif menjelaskan bahwa kohesi akan bergantung pada faktor-faktor seperti ukuran kelompok (semakin kecil kelompok, semakin mudah mengawasi keanggotaannya) dan kemampuannya untuk menyediakan keuntungan yang selektif kepada para anggota. (Freiden et. al, 2000:40). Hal ini menjelaskan kenapa kelompok-kelompok kepentingan tertentu sering lebih efektif dalam arena kebijakan bahkan ketika sebagian besar masyarakat tidak setuju dengan mereka. Teori tindakan kolektif dapat menjelaskan kemampuan aktor-aktor dalam mengadakan tekanan-tekanan politik dalam proses pengambilan kebijakan. Importir, pedagang dan distributor beras effektif dalam melakukan tekanan-tekanan politik terhadap penentu kebijakan karena dengan organisasi yang kecil tetapi kaya akan sumber-sumber mampu memengaruhi penentu kebijakan. Sedangkan organisasi-organisasi petani dan NGOs, walaupun mendapat dukungan dari parpol dan kepala-kepala daerah, kesulitan untuk menciptakan perubahan-perubahan kebijakan karena ukuran kelompok organisasi yang besar menyulitkan untuk koordinasi antar anggota. Dalam sistem politik yang demokratis hubungan saling menguntungkan antara agen penentu kebijakan dengan kelompok kepentingan yang diuntungkan oleh kebijakan impor beras yang didukung oleh politisi-politisi, birokrat dan lembaga-lembaga internasional yang menghendaki liberalisasi. Sedangkan koalisi yang terdiri dari organisasi-organisasi petani, NGOs, partai politik, Kepala Daerah yang tidak setuju terhadap opsi kebijakan liberal yang merugikan petani yang menjadi konstituennya saling berinteraksi dalam menuntut perubahanperubahan kebijakan. Politisi parpol dan kepala-kepala daerah mempunyai preferensi kebijakan yang berbeda-beda. Tindakan rasional mereka tergantung pada sejauh mana petani desa dan penduduk miskin dapat mendukung mereka mencapai kedudukan karier politik. Baik elit politik parpol maupun Kepala-kepala Daerah mempunyai kepentingan yang sama yakni, mempertahankan posisi politik. Dalam sistem politik yang demokratis partai-partai politik berusaha untuk mempertahankan posisi politik. (Geddes, dalam Freidden, 2000: 83, Weber, 2003). Untuk mencapai tujuan kelanggengan posisi politik itu, partai-partai politik dihadapkan pada dua pilihan yakni, bekerjasama dengan kelompok bisnis atau menekankan pada pendekatan dengan konstituen petani. Sedangkan bagi kepala-kepala daerah yang sebagian besar konstituennya adalah petani cenderung memilih kebijakan anti-liberalisasi dan impor beras. Oleh sebab itu lahirnya kedua aktor baru itu cenderung mempersulit posisi agenagen penentu kebijakan yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang liberal. Tekanan-tekanan politik yang dilakukan oleh ormas petani, NGOs, dan Kepala-kepala Daerah yang didukung oleh partai-partai politik yang terikat dalam kekuatan oligarki politik pendatang baru mampu melakukan perubahan-perubahan kebijakan yang berpihak pada kepentingan petani dan masyarakat miskin di daerah perkotaan. Dalam kasus kebijakan beras pada masa reformasi, Pemerintah Megawati yang mendapat dukungan parpol reformis Islam, organisasi petani dan NGOs, dan sebagian kecil kepala-kepala daerah mampu menghindar dari pengaruh liberalisasi total dengan memutuskan hubungan dengan IMF, menghidupkan kembali kebijakan subsidi pupuk, dan larangan impor beras. Walaupun demikian, resistensi dari aktor-aktor oligarki politik patrimonial Orde Baru terhadap perubahan-perubahan kebijakan protektif terhadap petani sangat kuat. Sehingga, liberalisasi tetap berjalan dengan modifikasi-modifikasi kecil, dan tidak dapat memecahkan persoalan sebenarnya. Pada level masyarakat sipil petani dan penduduk miskin, partisipasi politik kelompok-kelompok kepentingan petani dan penduduk miskin dalam mepengaruhi kebijakan publik mendapatkan tiga kendala yakni, Pemerintah reformasi mendapatkan tekanan-tekanan dari lembaga-lembaga internasional dan negara-negara Barat; technokrat, birokrat-politik, dan konglomerat (oligarki politik lama) masih mempunyai kedudukan yang kuat dalam politik Indonesia pada masa reformasi; dan kebebasan yang lebih luas kelompok petani untuk berpartisipasi dalam memengaruhi kebijakan publik pada masa reformasi tidak disertai dengan kapasitas organisasional yang mereka miliki. (Rosser et. al, 2007). Setelah rezim politik reformasi lahir, hubungan bisnis pemburu rente antara konglomerat, politisi, dan birokrat-politik tidak pernah lenyap karena proses demokratisasi di Indonesia berjalan secara evolusioner dan tidak menghilangkan sisa-sisa warisan oligarki politik patrimonial masa Orde Baru yang meduduki posisi sebagai anggota parpol, Parlemen dan lembaga birokrasi. Oleh sebab itu kebijakan perberasan pada masa setelah krisis menjadi tidak menentu, cenderung liberal, dan semakin merugikan petani pedesaan dan konsumen miskin daerah perkotaan. Lebih dari itu, kekuatan-kekuatan struktural pada level internasional seperti Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, WTO, negara-negara Barat dan aktor-aktor bisnis internasional tetap memiliki pengaruh yang kuat dalam mengarahkan kebijakan pangan terutama beras menuju liberalisasi. Pelaku bisnis seperti pedagang dan penggilingan padi, dan importir domestik dan asing juga mempunyai hubungan bisnis yang melibatkan Politisi dan Birokrat. G. Definisi Operasional Konsep Konsep liberalisme menunjuk pada pemenuhan kebutuhan individu tanpa adanya campur tangan Pemerintah. Liberalisme yakin bahwa kompetisi pasar bebas akan mengakibatkan keseimbangan harga yang menguntungkan perodusen dan konsumen. Prinsip dasar hubungan trnsaksional antara konsumen dan produsen adalah dijalankan dengan sukarela dan saling menguntungkan tanpa merugikan kedua belah fihak. Teori ekonomi liberal menekankan pada komitmen yang kuat terhadap pasar bebas dan intervensi minimal dari suatu negara. Sedangkan teori politik liberal bercirikan pada komitmen yang kuat terhadap kebebasan dan persamaan individu. Perspektif liberal dalam ekonomi-politik terwujud dalam disiplin ilmu ekonomi yang berkembang di Inggris, Amerika Serikat dan Eropa Barat. Dari Adam Smith hingga para pendukungnya, pemikir-pemikir liberal telah menghasilkan seperangkat asumsi dan kepercayaan yang koheren tentang sifat alamiah manusia, masyarakat dan tingkah laku ekonomi. Secara historis dalam perkembangannya liberalisme telah berjalan dalam berbagai bentuk – klasik, neo-klasik, Keynesian, Monetarist, Neo-liberal dan sebagainya. Perbedaaan dari masing-masing aliran itu terletak pada seberapa jauh peran negara yang harus dijalankan dalam mempengaruhi ekonomi pasar bebas. Akan tetapi, semua bentuk liberalisme itu mempunyai ciri yang sama yaitu adanya komitmen yang tinggi terhadap pasar dan mekanisme harga sebagai suatu cara untuk mengorganisir hubungan ekonomi baik domestik maupun internasional. Liberalisme dapat didefinisikan sebagai suatu doktrin dan seperangkat prinsip-prinsip untuk mengorganisasi dan menangani ekonomi pasar agar supaya dapat mencapai efisiensi, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan individu secara maksimal. Pemikiran rasional dari sistem pasar adalah bahwa sistem itu dapat meningkatkan efisiensi, memaksimalkan pertumbuhan ekonomi, dan oleh karena itu dapat memaksimalkan kesejahteraan umat manusia. Tujuan utama dari aktivitas ekonomi adalah untuk mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya bagi konsumen. Peningkatan kekuatan nasional dan keamanan hanyalah merupakan akibat dari tercapainya tujuan itu (Gilpin, 1987:28). Maximazing utilities dan income maximation adalah dua konsep yang berbeda. Politisi mempunyai tujuan untuk terpilih kembali. Sedangkan manusia bisnis berusaha untuk memaksimalkan pendapatan. Oleh sebab itu maksimalisasi pendapatan yang ada pada aktor tidak bersifat inheren. Artinya tidak semua aktor berusaha mengejarnya. Oleh sebab itu Freiden menambahkan asumsi yang kedua, income maximation. Setiap aktor berusaha untuk memaksimalkan pendapatan. Politisi seperti Gubernur dan Bupati atau partai politik tertentu yang mempunyai kepentingan utama untuk tepilih kembali sebagai politisi. Di lain fihak manusia bisnis, buruh, petani dan mereka yang tidak mempunyai karakter kelas, mempunyai kepentingan material. Aliansi dan Koalisi adalah persekutuan antara dua atau lebih organisasi yang terikat oleh pandangan yang sama dan mempunyai tujuan jangka panjang. Sedangkan koalisi adalah persekutuan antara dua atau lebih organisasi yang bersifat sementara dan tidak harus terikat dalam suatu pandangan yang sama. Omas sipil petani biasanya membentuk aliansi-aliansi dengan sesama ormas petani, dengan ormas sipil yang lain dan parpol. Kasus di Indonesia ormas sipil petani belum melakukan aliansi dengan parpol. Oleh sebab itu koalisi antara Ormas petani dengan parpol dalam memengaruhi proses kebijakan publik tidak solid. Situasi politik yang frgmentatif mengakibatkan ormas petani masih enggan untuk melakukan aliansi dengan salah satu parpol. Koalisi yang bersifat cair yang mungkin terjadi. Kooptasi dimengerti sebagai semua proses melalui yang mana hubungan dekat dengan negara melenyapkan efektifitas organisasi. Kooptasi yang disengaja terjadi ketika aktor-aktor negara berusaha untuk melenyapkan kekuatan sebuah organisasi. Pemerintah atau parpol memberikan bantuan/fasilitas bagi organisasi sosial dengan maksud mengurangi militansi organisasi. Literatur tentang tindakan kolektif menjelaskan bahwa kohesi akan bergantung pada faktor-faktor seperti ukuran kelompok (semakin kecil kelompok, semakin mudah mengawasi keanggotaannya) dan kemampuannya untuk menyediakan keuntungan yang selektif kepada para anggota kelompok importir yang keanggotaannya kecil dan kuat lebih effektif pengaruhnya daripada kelompok petani yang besar tapi anggota-anggotanya lemah. H. Argumen Utama Secara teoritis sektor pertanian umumnya dan perberasan khususnya pada dasarnya tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar bebas karena hanya akan merugikan petani produsen. Justifikasi intervensi pemerintah berdasarkan pada prinsip bahwa suatu struktur kelembagaan akan menggerakkan sektor pertanian sesuai dengan tujuan-tujuan yang dikehendaki pemerintah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan strategis dan sosial. (Hitiris, 1988:158; El-Agraa, 1990:192). Untuk mencapai tujuan-tujuan itu pemerintah membuat kebijakan penetapan harga dasar produk pertanian. Instrumen yang digunakan untuk melakukan stabilisasi harga adalah dengan membeli produk pertanian pada tingkat harga garansi minimum sampai harga pasar berada di atas tingkat itu. Instrumen pendukung lain adalah pembatasan tarif dan import. Sebagai negara yang sudah mencapai tahap demokratisasi dan industrialisasi tingkat tinggi, Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat, menetapkan harga dasar produk pertanian yang tinggi dan penetapan tarif impor untuk melindungi petani dari serangan impor dari luar negeri. (Kompas, 27/3/2003). Dilihat dari perspektif Neo-Marxis, pada era pemerintahan reformasi, resistensi terhadap kebijakan de-liberalisasi disebabkan karena elemen-elemen kekuatan oligarki politik Orde Baru yang terikat dalam kelas kapital menguasai jaringan bisnis patronase yang melibatkan aktor-aktor bisnis, tehnokrat, birokrat-politik, lembaga-lembaga finansial internasional IMF, Bank Dunia, WTO, dan negara-negara Barat. Aliansi bisnis patronase ini sudah berkembang sejak rezim Orde Baru dan dapat bertahan pada era reformasi. (Pepinsky 2013:16; Hadiz 2003:593; Robison and Hadiz, 2004; Hadiz and Robison, 2005:232, 233; Suryadinata, 2007:352). Seperti halnya kaum Marxis, pendukung teori public choice berpendapat bahwa kelompok-kelompok kepentingan dapat memaksakan kebijakan Pemerintah untuk memenuhi tujuan-tujuan yang sempit, walaupun mereka cenderung menyalahkan aktor-aktor yang miskin, seperti buruh dan petani. Pandangan ini menjadi lebih mengemuka ketika banyak pendukung MPE menambahkan perspektif Public Choise menjelaskan bagaimana tekanan dari luar negeri dan lembaga-lembaga politik domestik bersama-sama dengan kelompok-kelompok kepentingan memengaruhi kebijakan publik. (Freiden et. al, 2000: xvi). Walaupun demikian, pada era pemerintahan reformasi, perubahan kebijakan dalam sektor beras tidak semata-mata ditentukan oleh aktor-aktor pendukung liberalisasi yang terikat dalam oligarki politik patrimonial masa Pemerintahan Rezim Orde Baru akan tetapi juga oligarki politik pendatang baru yang terdiri dari parpol reformis. Di satu fihak, oligarki politik lama berhasil menyesuaikan diri dalam rezim politik reformasi dengan menguasai lembaga-lembaga politik demokrasi baru, di lain pihak elemen elemen kekuatan politik pendatang baru yang terdiri dari parpol reformis telah membentuk oligarki politik baru untuk melawan dominasi potitik oligarki politik lama. Oleh sebab itu proses pengambilan kebijakan publik telah melibatkan tarik menarik kepentingan politik dan ekonomi antara oligarki politik lama dengan baru. Besar kecilnya perubahan menuju kebijakan proteksi pada sektor beras tergantung pada sejauh mana oligarki politik baru yang didukung oleh ormas petani dan NGOs bertindak konsisten dalam mengejar perubahan-perubahan kebijakan menuju kepentingan petani dan kelompok miskin; dan seberapa besar sumber-sumber kekuatan yang mereka miliki. Apabila partai-partai politik reformis yang bermitra dengan ormas petani dan NGOs, dan kepalakepala daerah yang terikat dalam struktur oligarki politik baru dapat menguasai kabinet Pemerintahan dan DPR, perubahan kebijakan menuju proteksi yang dihasilkannya akan terwujud walaupun perubahan itu tidak terlalu signifikan karena oligarki politik warisan Orde Baru masih dominan. Teori yang menjadi dasar argumen ini adalah teori Pluralisme atau Kelompok (Stupak, et.al, 1977:56; Truman, dalam Dye, 1978:23) yang mampu menjelaskan kelompok-kelompok kepentingan masyarakat sipil petani yang direpresentasikan oleh organisasi-organisasi petani dan NGOs masih dalam masa pertumbuhan dan lemah sehingga, mereka tidak dapat menentukan proses politik pengambilan keputusan dan tergantung pada elemen-elemen perilaku kekuatan oligarki politik lama dan baru. Pada masa pemerintahan Gus Dur dan Megawati partai-partai politik reformis yang terikat secara longgar dalam oligarki politik baru relatif masih dapat bersatu melawan oligarki politik lama dan sedang memegang kekuasaan, mereka mampu menghambat jalannya liberalisasi sektor beras. Akan tetapi ketika kekuatan oligarki baru menjadi terpecah dan lemah liberalisasi sektor beras tidak menghadapi hambatan. Pada masa Pemerintahan SBY partai-partai politik reformis mulai berubah menjadi pragmatis dan berkoalisi dengan oligarki politik lama sehingga, kekuatan oligarki politik baru menjadi semakin melemah dan proses pengambilan kebijakan publik didominasi oleh oligarki politik lama. Dominasi pengaruh kekuatan politik liberalis dalam policy making process pada masa pemerintahan SBY bukan hanya disebabkan dominasi pengaruh oligarki politik peninggalan rezim Orde Baru akan tetapi juga partai-partai politik reformis yang berubah pragmatis dan berkoalisi dengan oligarki politik lama. Sebagai akibatnya, kepentingan petani dan penduduk miskin manjadi semakin terpinggirkan. Perubahan perilaku parpol reformis yang menentukan tindakan politik yang pragmatis dapat dijelaskan melalui kerangka analisis MPE (Modern Political Economy). Dalam sistem politik multi-partai persaingan antar parpol sangat tinggi, politisi-politisi parpol reformis berusaha untuk mempertahankan eksistensi dan kelanggengan karier politik dengan cara membentuk koalisi dengan parpol pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber milik negara dengan mengabaikan kepentingan kolektif. (Freiden et. al, 2000:37-38; Geddes dalam Freiden et. al, 2000:83; Geddes, 1994:40). Baik politisi-politisi parpol reformis maupun beberapa organisasi petani dan NGOs dikooptasi pemerintah untuk mendukung kebijakan liberal sehingga, mereka tidak mampu melawan dominasi aktor-aktor pendukung liberalisasi. (Piven and Cloward, 1979). Untuk menjelaskan kelemahan organisasi-organisasi petani dan NGOs dalam menghadapi pemerintah reformasai teori Logika Tindakan Kolektif (Logic of Collective Actions), Kooptasi dan teori James Scott dapat dijadikan sebagai acuan utama. Logika tindakan kolektif bermuara pada kesimpulan bahwa kepentingan-kepentingan rakyat kecil tidak akan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, karena mereka kurang dapat mengorganisir diri mereka sendiri. (Geddes dalam Freiden et. al, 2000:88). Kekuatan pengaruh suatu organisasi juga ditentukan oleh kemampuannya untuk menolak kooptasi yang memperlemah organisasi. Bahaya kooptasi dimengerti sebagai semua proses melalui yang mana hubungan dekat dengan negara melenyapkan efektifitas organisasi. (Piven and Cloward, 1979). Semakin mudah kelompok organisasi dikooptasi semakin lemah militansi mereka. Gerakan kaum tani selalu timbul karena mediasi dari kelas-kelas bukan petani. (Scott, 1981, dalam Firmansyah et.al, 1999:180). Karakteristik petani yang mengarah pada gaya hidup fatalisme inilah yang menyebabkan mereka selalu bergantung pada perlindungan dari luar masyarakat petani itu sendiri. Masyarakat petani baru bergerak setelah masyarakat kelas menengah dari daerah perkotaan ikut serta dalam menggerakkan organisasi petani. I. Metode Penelitian Dengan berkembangnya studi politik maka metode penelitian tidak terbatas pada cara berfikir yang positivistik dan dengan kwantifikasi data secara kaku. Pada umumnya metodologi positivis menganut pandangan yang sangat instrumental mengenai teori dan konsep. Di lain fihak, dengan menyadari bahwa dalam ilmu sosial tidak ada teori umum yang dapat menjelaskan hubungan antara berbagai aktor dalam masyarakat, metodologi interpretif tidak sependapat dengan kaum positivis. Menurut para pendukung metodologi intepretif yang penting bagi ilmuwan yang mengkonsentrasikan pada studi ilmu politik dapat menguraikan secara lebih luas dan kaya dan menjelaskan signifikansi politik dari berbagai hubungan sosial. Para peneliti kwalitatif berpendapat bahwa metode positivis adalah hanya salah satu cara menjelaskan cerita tentang kehidupan masyarakat atau dunia sosial. Mereka hanya mengatakan macam atau jenis peristiwa yang berbeda. Riset kwalitatif ini menunjukkan pada proses dan pemberian arti yang tidak secara kaku diteliti dan diukur secara kwantitatif. Peneliti kwalitatif telah memulai penelitiannya dengan etnografi, wawancara yang tidak terstruktur, analisis tekstual, dan studi tentang sejarah. Dalam riset ini lebih menekankan pada sifat realitas yang terkonstruksi secara sosial, hubungan yang dekat antara peneliti dengan studi yang diteliti, dan kendala-kendala situasional yang membentuk pertanyaan atau permasalahan. Mereka berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menekankan bagaimana pengalaman sosial itu diciptakan dan diberi arti. (Denzin, 1994). Para peneliti kwalitatif percaya bahwa diskripsi yang kaya tentang dunia sosial itu sangat berharga. Baik peneliti kwalitatif maupun peneliti kwantitatif menekankan perhatian pada pandangan individu. Akan tetapi, para peneliti kwalitatif akan memperoleh pengetahuan dengan melaui pendekatan terhadap aktor yang diteliti melalui interview dan observasi secara detail. Para peneliti kwalitatif mempunyai komitmen yang kuat terhadap posisi yang emic, idiografis, dan didasarkan pada kasus, yang memusatkan perhatiannya pada kasus-kasus tertentu yang spesifik. Dalam penelitian ini data dikumpulkan dari berbagai sumber, dokumen-dokumen resmi Pemerintah, wawancara dengan orang-orang kunci dalam kelompok-kelompok kepentingan yang direpresentasikan oleh lembaga-lembaga politik pada level domestik, wawancara dengan pejabat-pejabat Pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi dan perdagangan, dan hasil analisis dari berbagai ahli serta konfirmasi dengan para analis melalui wawancara. Sebagai analisis kasus, penelitian ini bertumpu pada data primer yang diperoleh dari hasil wawancara tidak terstruktur terhadap sampel yang menjadi sasaran. Data sekunder yang diperoleh dari BPS, BULOG, dan TRR yang disajikan dalam bentuk kwantitatif yang diintepretasikan secara kwalitatif; dan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan. Untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan digunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Data kwantitatif yang disajikan dalam bentuk tabel angka diintepretasikan dalam bentuk pernyataan-pernyataan secara kwalitatif. Sedangkan, data primer melalui wawancara dan data sekunder yang didapatkan dari studi pustaka disajikan dalam bentuk rumusan kata-kata atau kalimat. J. ORGANISASI PENULISAN BAB I. PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, kerangka teori metode analisis, argumen utama, dan metode penelitian. BAB II. KEGAGALAN PEMERINTAH REFORMASI DALAM KEBIJAKAN DELIBERALISASI Bab. Ini menjelaskan perubahan tataniaga beras dan gabah sesuai dengan kesepakatan Pemerintah Indonesia dengan IMF. Dalam kesepakatan ini Pemerintah Indonesia harus melaksanakan kebijakan liberalisasi sebagai imbalan dari bantuan IMF dalam rekoveri ekonomi. Dalam pemberlakuannya, tataniaga beras dan gabah tidak mengalami perubahan yang signifikan. Oleh sebab itu kebijakan liberalisasi pada dasarnya tetap berjalan terus walaupun menimbulkan anomali pasar yang merugikan petani. Kebijakan liberalisasi pasar beras domestik telah mengakibatkan hubungan transaksional jual beli gabah dan beras yang timpang dan tidak saling menguntungkan. Kondisi pasar beras dan gabah menjadi tidak sehat sehingga baik produsen petani maupun konsumen dirugikan. Ketimpangan ini terjadi setelah BULOG mengurangi volume pengadaan beras dan gabah dan BULOG tidak langsung membeli gabah dan beras dari petani dan Pemerintah menetapkan tingkat HPP (Harga Pembelian Pemerintah) yang rendah. Dalam Bab ini juga dijelaskan bahwa serangan impor beras dari luar negeri semakin mengacaukan pasar beras dan gabah domestik dan memperparah ekonomi petani pedesaan. Bab ini membuktikan bahwa kegagalan dalam mengendalikan kebijakan liberal telah merugikan petani dan penduduk miskin. Hal ini disebabkan karena aktor-aktor politik pendukung liberalisasi seperti, pedagang dan distributor beras, importir/konglomerat, birokrat, dan politisi parpol mendapatkan keuntungan dari kebijakan liberalisasi perberasan. Kasus ini dijelaskan dalam BAB III. BAB III. PENETAPAN TARIF MASA GUS DUR, LARANGAN IMPOR MASA MEGAWATI, DAN PEMBUKAAN KEMBALI LARANGAN IMPOR MASA SBY PERIODE I Bab ini menjelaskan bagaiman upaya Gus Dur dan Megawati dalam mengendalikan aliran impor beras yang membanjiri pasar beras di Indonesia melalui kebijakan tarif dan larangan impor beras. Dalam Bab ini dijelaskan bagaimana Gus Dur dan Megawati merasa kesulitan dalam mengendalikan impor beras karena mendapatkan halangan dari IMF, Birokrat-politik, dan Partai politik yang tidak mendukung perubahan kebijakan. Sehingga poada akhirnya Pemerintah memberlakukan kebijakan larangan impor menjelang akhir masa jabatan Megawati. Selanjutnya menjelaskan bahwa kebijakan larangan impor yang dilakukan Megawati dipermasalahkan kembali baik di kalangan kabinet Pemerintahan maupun lembaga legislatif. Tarik ulur anntara koalisi anti liberalisasi dengan pro-liberalisasi akhirnya dimenangkan oleh kelompok koalisi pro-liberalisasi sehingga kebijakan impor beras bangkit kembali dan semakin meningkat. BAB IV. PENGARUH POLA KOALISI ANTAR AKTOR TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN PASAR BERAS DOMESTIK DAN IMPOR Bab ini menjelaskan tentang bagaimana aktor-aktor pendukung liberalisasi berusaha untuk tetap mempertahankan kebijakan yang liberal dengan menguasai pos-pos kementrian strategis yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Selanjutnya dijelaskan pembentukan pola koalisi antar aktor-aktor yang terjadi ketika rezim politik demokrasi diterapkan. Bab ini juga menjelaskan sekilas prediksi berdasarkan hasil penelitian. BAB V. KELEMAHAN ORGANISASI PETANI DAN NGOs DALAM MENGHADAPI PEMERINTAH Bab ini menjelaskan bagaimana tingkah laku politik petani pedesaan bergantung pada kelompok kelas menengah di perkotaan. Petani tidak mampu mengorganisasi diri mereka dalam mempertahan kepentinganya. Kelas menengah yang membela kepentingan petani memang muncul sejak tahun 1980-an. Akan tetapi dalam perkembangannya mereka menghadapi perpecahan dari dalam. Sehingga, tidak effektif dalam melakukan tekanantekanan politik terhadap Pemerintah. BAB VI. KESIMPULAN Menjelaskan temuan-temuan dalam penelitian, preskripsi, dan prediksi terhadap kecenderungan demokratisasi di Indonesia.