BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lansia
2.1.1 Definisi
Usia lanjut adalah suatu tahap akhir dari siklus kehidupan manusia dan
merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan
dialami oleh setiap individu. Berdasarkan kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO)
membagi batasan usia lansia menjadi: kelompok usia 45 – 59 tahun sebagai usia
pertengahan (middle elderly), kelompok usia 60 – 74 tahun disebut lansia (elderly),
kelompok usia 75 – 90 tahun disebut tua (old), dan usia di atas 90 tahun disebut
sangat tua (very old). Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1998 menyatakan bahwa
lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Rohana,
2011).
Perubahan struktur anatomi dan penurunan fungsi organ pada orang sehat,
perubahan anatomi fisiologi tersebut merupakan bagian dari proses menua. Usia
Ianjut bukanlah merupakan penyakit, tetapi merupakan tahap lanjut dari suatu
kehidupan yang ditandai dengan menurunnya kemampuan tubuh untuk beradaptasi
terhadap stres atau pengaruh lingkungan. Proses menua melandasi berbagai kondisi
yang terjadi pada usia lanjut (Kumar et al, 1992).
8
9
Kemunduran fungsi tubuh disebabkan oleh proses menua dan bukan
disebabkan oleh penyakit yang menyertai proses menua, ada 4 kriteria yang harus
dipenuhi (Widjayakusumah, 1992) :
1. Kemunduran fungsi dan kemampuan tubuh tadi harus bersifat universal, artinya
umum terjadi pada setiap orang.
2. Proses menua disebabkan oleh faktor intrinsik, yang berarti perubahan fungsi
sel dan jaringan disebabkan oleh penyimpangan yang terjadi di dalam sel dan
bukan oleh faktor luar.
3. Proses menua terjadi secara progresif, berkelanjutan, berangsur lambat dan
tidak dapat berbalik lagi.
4. Proses menua bersifat proses kemunduran atau kerusakan (injury).
2.2
Pernafasan
2.2.1 Definisi Pernafasan
Pernafasan secara umum berarti pergerakan oksigen (O2) dari atmosfer
menuju ke sel dan keluarnya karbondioksida (CO2) dari sel ke udara bebas.
Pemakaian O2 dan pengeluaran CO2 diperlukan untuk menjalankan fungsi normal
sel dalam tubuh. Proses pernafasan terdiri dari beberapa langkah dan terdapat
peranan yang sangat penting dari sistem pernafasan, sistem saraf pusat, serta
sistem kardiovaskular. Pada dasarnya, sistem pernafasan terdiri dari suatu
rangkaian saluran udara yang menghantarkan udara luar agar bersentuhan dengan
10
membran kapiler alveoli, yaitu pemisah antara sistem pernafasan dengan sistem
kardiovaskular (Price dan Wilson, 2006).
Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring,
trakea, dan paru. Pada pernafasan yang melalui paru-paru atau pernafasan
external, oksigen di hirup melalui hidung dan mulut. Kemudian oksigen masuk
melalui trakea dan pipa bronkhial ke alveoli dan erat hubungannya dengan darah
di dalam kapiler pulmonaris. Terdapat membran alveoli yang memisahkan
oksigen dan darah oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin
sel darah merah dibawa ke jantung. Kemudian akan dipompa ke dalam arteri di
semua bagian tubuh (Pearce, 2002). Adanya tekanan antara udara luar dan udara
dalam paru-paru menyebabkan udara dapat masuk ataupun keluar. Perbedaan
tekanan terjadi akibat perubahan besar kecilnya rongga dada, rongga perut, dan
rongga alveolus. Perubahan besarnya rongga ini terjadi karena pekerjaan otot-otot
pernafasan, yaitu otot antara tulang rusuk dan otot pernafasan tersebut (Kus
Irianto, 2008). Pernafasan dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1.
Pernafasan Dada
Pernafasan dada adalah pernafasan yang menggunakan gerakan-gerakan otot
antar tulang rusuk. Adanya kontraksi otot-otot yang terdapat diantara tulangtulang rusuk menyebabkan tulang dada dan tulang rusuk terangkat sehingga
rongga dada membesar.
11
2. Pernafasan Perut
Pernafasan perut adalah pernapasan yang menggunakan otot-otot diafragma.
Otot-otot sekat rongga dada berkontraksi sehingga diafragma yang semula
cembung menjadi agak rata, dengan demikian paru-paru dapat mengembang
ke arah perut.
2.2.2 Anatomi Paru
Paru-paru merupakan organ pernafasan yang dibentuk oleh strukturstruktur yang ada di dalam tubuh, seperti: arteri pulmonaris, vena pulmonaris,
bronkhus, arteri bronkhailis, vena bronkhailis, pembuluh limfe dan kelenjar limfe
(Guyton & Hall, 2008). Paru-paru terbagi menjadi dua bagian yaitu paru kanan
yang terdiri dari tiga lobus sedangkan paru kiri terdiri dari dua lobus. Setiap paruparu terbagi lagi menjadi beberapa sub bagian menjadi sekitar sepuluh unit
terkecil yang disebut bronchopulmonary segments. Paru kanan dan kiri dipisahkan
oleh ruang yang disebut mediastinum. Dimana jantung, aorta, vena cava,
pembuluh paru-paru, esofagus, bagian dari trakea dan bronkhus, serta kelenjar
timus terdapat pada mediastinum (Irman Somantri, 2008). Selaput yang
membungkus paru disebut pleura. Ada 2 macam pleura yaitu pleura parietalis dan
pleura viseralis. Pleura parietalis melapisi toraks atau rongga dada sedangkan
pleura viseralis melapisi paru- paru. Kedua pleura ini bersatu pada hilus paru
(Price dan Wilson, 2006). Pada pleura mengandung sejumlah kecil cairan yang
melicinkan permukaan dan memungkinkan paru bergerak secara bebas saat
12
bernafas, cairan ini dinamakan cairan pleura. Jumlah normal cairan pleura adalah
10-20 cc (Guyton & Hall, 2008).
Dalam paru terdapat bronkiolus bercabang-cabang halus dengan diameter
± 1 mm, dindingnya makin menipis dibandingkan dengan bronkus. Bronkiolus
tidak mempunyai tulang rawan, mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai
epitelium berbentuk kubus bersilia. Bronkiolus berakhir pada kantong udara yang
disebut dengan alveolus. Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiulus berupa
kantong kecil yang salah satu sisinya terbuka sehingga menyerupai busa atau
mirip sarang tawon. Alveolus berselaput tipis dan terdapat banyak muara kapiler
darah sehingga memungkinkan adanya difusi gas pernafasan didalamnya. Dinding
alveolus terdiri dari satu lapisan sel alveolus tipe I, sedangkan epitel alveolus
mengandung sel alveolus tipe II yang mengeluarkan surfaktan sehingga
mempermudah pengembangan paru. Surfaktan penting untuk mengatasi pengaruh
tegangan permukaan yang menyebabkan paru mengempis sehingga memberikan
keuntungan yaitu meningkatkan compliance paru dan menurunkan kecendrungan
paru menciut sehingga paru tidak mudah kolaps (Guyton & Hall, 2008). Di dalam
lumen kantung udara juga terdapat makrofag alveolus untuk pertahanan tubuh. Di
dinding alveolus terdapat pori-pori kohn berukuran kecil yang memungkinkan
aliran udara antara alveolus yang berdekatan, suatu proses yang dikenal sebagai
ventilasi kolateral. Saluran-saluran ini penting untuk mengalirkan udara segar ke
suatu alveolus yang salurannya tersumbat akibat penyakit (Sherwood, 2001).
13
Gambar 2.1 Anatomi Organ Paru
(Sumber: Frank H. Netter, 2006)
2.2.3 Fisiologi Pernafasan
Fungsi paru adalah tempat pertukaran gas oksigen dan karbondioksida pada
pernafasan melalui paru melalui pernafasan eksterna. Tubuh melakukan usaha
memenuhi kebutuhan O2 untuk proses metabolisme dan mengeluarkan CO2
sebagai hasil metabolisme dengan perantara organ paru dan saluran napas
bersama kardiovaskuler sehingga dihasilkan darah yang kaya oksigen (Syaifuddin,
2006). Terdapat 3 tahapan dalam proses respirasi, yaitu :
1. Ventilasi
Proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta keluarnya CO2 dari
alveoli ke udara luar. Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat
mengempis penuh karena masih adanya udara yang tersisa didalam alveoli
yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan ekspirasi kuat. Volume udara
yang tersisa ini disebut dengan volume residu. Volume ini penting karena
14
menyediakan O2 dalam alveoli untuk menghasilkan darah (Guyton & Hall,
2008).
2. Difusi
Proses berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah, serta keluarnya
karbondioksida dari darah ke alveoli. Dalam keadaan beristirahan normal,
difusi dan keseimbangan antara O2 di kapiler darah paru dan alveolus
berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal
ini menimbulkan kesan bahwa paru normal memiliki cukup cadangan waktu
difusi (Price dan Wilson, 2006).
3. Perfusi
Yaitu distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru untuk dialirkan
ke seluruh tubuh (Siregar & Amalia, 2004).
2.2.4 Otot-otot Pernafasan
Menurut kegunaannya, otot-otot pernafasan dibedakan menjadi otot untuk
inspirasi, dimana otot inspirasi terbagi menjadi otot inspirasi utama dan tambahan,
serta otot untuk ekspirasi tambahan (Djojodibroto, 2009) :
1) Otot inspirasi utama (principal) yaitu:
a. Musculus intercostalis externa
b. Musculus intercartilaginus parasternal
c. Otot diafragma.
2) Otot inspirasi tambahan (accessory respiratory muscle) sering juga disebut
sebagai otot bantu nafas terdiri dari:
15
a. Musculus sternocleidomastoideus
b. Musculus scalenus anterior
c. Musculus scalenus medius
d. Musculus scalenus posterior
Saat pernafasan biasa (quiet breathing), untuk ekspirasi tidak diperlukan
kegiatan otot, cukup dengan daya elastis paru saja udara di dalam paru akan keluar
saat ekspirasi berlangsung. Namun, ketika seseorang mengalami serangan asma,
seringkali diperlukan active breathing, dimana dalam keadaan ini untuk ekspirasi
diperlukan kontribusi kerja otot-otot sebagai berikut (Djojodibroto, 2009) :
1) Musculus intercostalis interna
2) Musculus intercartilagius parasternal
3) Musculus rectus abdominis
4) Musculus oblique abdominus externus
Otot-otot untuk ekspirasi juga berperan untuk mengatur pernafasan saat
berbicara, menyanyi, batuk, bersin, dan untuk mengedan saat buang air besar serta
saat persalinan.
16
Gambar 2.2 Otot-otot Pernafasan
(Sumber: Anonim, 2015)
2.2.5 Mekanisme Pernafasan
Bernapas berarti melakukan inspirasi dan ekspirasi secara bergantian,
teratur, berirama dan terus menerus. Bernapas merupakan gerak reflek yang terjadi
pada otot-otot pernapasan. Reflek bernapas ini diatur oleh pusat pernapasan yang
terletak di dalam sumsum penyambung (medulla oblongata). Oleh karena itu
seseorang dapat menahan, memperlambat atau mempercepat napasnya, ini berarti
bahwa reflek napas juga di bawah pengaruh korteks serebri. Pusat pernapasan
sangat peka terhadap kelebihan kadar karbondioksida dalam darah dan kekurangan
oksigen dalam darah (Syaifuddin, 2006). Menurut Kus Irianto (2008), mekanisme
terjadinya pernapasan terbagi dua yaitu:
a. Inspirasi
Sebelum menarik napas atau inspirasi kedudukan diafragma melengkung ke
arah rongga dada, dan otot-otot dalam keadaan mengendur. Bila otot diafragma
17
berkontraksi, maka diafragma akan mendatar. Pada waktu inspirasi maksimum,
otot antar tulang rusuk berkontraksi sehingga tulang rusuk terangkat. Keadaan
ini
menambah
besarnya
rongga
dada.
Mendatarnya
diafragma
dan
terangkatnya tulang rusuk, menyebabkan rongga dada bertambah besar, diikuti
mengembangnya paru-paru, sehingga udara luar melalui hidung, melalui
batang tenggorok (bronkus), kemudian masuk ke paru-paru.
b. Ekspirasi
Ekspirasi merupakan proses pasif yang tidak memerlukan kontraksi otot untuk
menurunkan intratorakal. Proses ekspirasi terjadi apabila otot antar tulang
rusuk dan otot diafragma mengendur, maka diafragma akan melengkung ke
arah rongga dada lagi, dan tulang rusuk akan kembali ke posisi semula. Kedua
hal tersebut menyebabkan rongga dada mengecil, sehingga udara dalam paruparu terdorong ke luar. Inilah yang disebut mekanisme ekspirasi.
Gambar 2.3 Mekanisme Inspirasi dan Ekspirasi
(Sumber: Anonim, 2011)
18
2.2.6 Volume Paru
Volume paru akan berubah-ubah ketika proses pernapasan berlangsung. Saat
inspirasi akan mengembang dan saat ekspirasi akan mengempis. Pada keadaan
normal, pernapasan terjadi secara pasif dan berlangsung tanpa disadari (Mengkidi,
2006). Volume udara di paru-paru selama proses pernafasan tidak tetap. Salah
satu faktor penyebabnya adalah cara bernafas. Beberapa parameter yang
menggambarkan volume paru adalah (Guyton & Hall, 2008) :
1. Volume Tidal (Tidal Volume = TV)
Volume tidal adalah volume udara hasil inspirasi atau ekspirasi pada setiap
kali bernapas normal. Volume udara tidal bervariasi tergantung pada tingkat
kegiatan seseorang. Pada kondisi tubuh istirahat, volume tidal sebanyak kirakira 500 mililiter pada rata-rata orang dewasa muda, dan besarnya akan
meningkat bila kegiatan tubuh meningkat.
2. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume = IRV)
Volume cadangan inspirasi adalah udara yang masih dapat dihirup setelah
inspirasi biasa sampai mencapai inspirasi maksimal. Volume cadangan
inspirasi juga disebut udara komplementer. Umumnya pada laki-laki sebesar
3.300 mililiter dan pada wanita sebesar 1.900 mililiter.
3. Volume Cadangan Ekspirasi (Expiratory Reserve Volume = ERV)
Volume cadangan ekspirasi adalah udara yang masih dapat dikeluarkan
setelah melakukan ekspirasi biasa sampai mencapai ekspirasi maksimal.
19
Volume cadangan ekspirasi juga disebut udara suplementer. Pada laki-laki
1.000 ml, sedangkan perempuan 700 ml.
4. Volume Residu (Residual Volume =RV)
Volume residu adalah volume gas dalam paru yang masih tertinggal saat akhir
ekspirasi maksimal, dengan kata lain volume residu adalah kapasitas paru total
dikurangi kapasitas vital. Udara yang masih tersisa didalam paru sesudah
ekspirasi maksimal sekitar 1100ml.
Gambar 2.4 Grafik Volume Udara Pernafasan
(Sumber: Guyton and Hall, 2008)
2.2.7 Kapasitas Vital Paru
Menurut Guyton & Hall (2008), kapasitas vital paru adalah volume
cadangan inspirasi ditambah volume tidal dan volume cadangan ekspirasi,
20
volume ini merupakan jumlah maksimum yang dapat dikeluarkan seseorang dari
paru setelah terlebih dahulu penghisapan secara maksimum. Kapasitas vital ratarata pada pria muda dewasa kira- kira 4,6 liter, dan pada wanita muda dewasa
kira- kira 3,1 liter. Meskipun nilai itu jauh lebih besar pada beberapa orang
dengan berat badan yang sama pada orang lain. Orang yang memiliki postur
tubuh yang tinggi dan kurus biasanya mempunyai kapasitas paru yang lebih
besar daripada orang yang gemuk dan seorang atlet yang terlatih baik, mungkin
mempunyai kapasitas vital 30 - 40 % diatas normal yaitu 6 - 7 liter.
UMUR
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
Tabel 2.1
Nilai Standar Kapasitas Vital Paru
LAKI-LAKI
700
850
1070
1300
1500
1700
1950
2200
2540
2900
3250
3600
3900
4100
4200
4300
4320
4320
4300
4280
4250
4220
4200
4180
PEREMPUAN
600
800
890
1150
1350
1550
1740
1950
2150
2350
2480
2700
2700
2750
2800
2800
2800
2800
2800
2790
2780
2770
2760
2740
21
28
4150
29
4120
30
4100
31-35
3990
36-40
3800
41-45
3600
46-50
3410
51-55
3240
56-60
3100
61-65
2970
(Sumber : Herry Koesyanto & Eram TP, 2005)
2720
2710
2700
2640
2520
2390
2250
2160
2060
1960
Menurut Rahmah (2008), kapasitas paru-paru dapat dibedakan sebagai
berikut:
a. Kapasitas Vital (Vital Capacity/VC) : Volume udara yang dapat dikeluarkan
dengan ekspirasi maksimum setelah inspirasi maksimum. Atau jumlah udara
maksimum pada seseorang yang berpindah pada satu tarikan napas. Kapasitas
ini mencakup VT, IRV,dan ERV. Nilainya diukur dengan menyuruh individu
melakukan inspirasi maksimum kemudian menghembuskan sebanyak
mungkin udara di dalam parunya ke alat pengukur.
b. Kapasitas Inspirasi (Inspiratory Capacity/IC) : Volume udara yang dapat
diinspirasi setelah akhir ekspirasi normal. Besarnya sama dengan jumlah VT
dengan IRV.
c. Kapasitas Residu Fungsional (Functional Residual Capacity/FRC) : Kapasitas
residu fungsional adalah jumlah udara yang masih tetap berada dalam paru
setelah ekspirasi normal. Besar FRC sama dengan jumlah dari RV dengan
ERV.
22
d. Kapasitas Vital Paksa (Forced Expiratory Capacity/FVC) : Jumlah udara
yang dapat dikeluarkan secara paksa setelah inspirasi secara maksimal, diukur
dalam liter.
e. Kapasitas Vital Paksa 1 detik (Forced Expiratory Capacity in One
Second/FEV1) : Jumlah udara yang dapat dikeluarkan dalam waktu 1 detik,
diukur dalam liter. Bersama dengan FVC merupakan indikator utama fungsi
paru-paru. FEV1/FVC merupakan rasio FEV1/FVC. Pada orang dewasa sehat
nilainya sekitar 75% - 80%.
2.2.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Vital Paru
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kapasitas vital paru seseorang
yaitu:
1. Usia
Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru dapat menampung sebanyak ± 5
liter. Saat ekspirasi terjadi, di dalam paru-paru masih tertinggal ± 3 liter udara.
Pada waktu bernafas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2600 cc (2,5
liter) jumlah pernafasan. Dalam keadaan normal orang dewasa memilki frekuensi
pernafasan sekitar 16-18 kali per menit. Pada anak-anak 24 kali per menit dan
pada bayi kira-kira 30 kali per menit (Syaifudin, 1997).
Walaupun pada pernapasan pada orang dewasa lebih sedikit daripada anakanak dan bayi, akan tetapi kapasitas vital paru orang dewasa lebih besar
dibandingkan dengan anak-anak dan bayi. Dalam keadaan tertentu dapat berubah
misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah cepat atau
23
sebaliknya (Trisnawati, 2007). Umur merupakan variabel yang penting dalam hal
terjadinya gangguan fungsi paru. Semakin bertambahnya umur, terutama yang
disertai dengan kondisi lingkungan yang buruk serta kemungkinan terkena suatu
penyakit, maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru dapat terjadi lebih
besar. Seiring dengan pertambahan umur, kapasitas paru juga akan menurun.
Kapasitas paru orang berumur 30 tahun ke atas rata-rata 3.000 ml sampai 3.500
ml, dan pada orang yang berusia 50 tahunan kapasitas paru kurang dari 3.000 ml
(Guyton & Hall, 2008).
Secara fisiologis dengan bertambahnya umur maka kemampuan organ-organ
tubuh akan mengalami penurunan secara alamiah tidak terkecuali gangguan fungsi
paru dalam hal ini kapasitas vital paru. Kondisi seperti ini akan bertambah buruk
dengan keadaan lingkungan yang berdebu atau faktor-faktor lain seperti kebiasaan
merokok serta kebiasaan olahraga/aktivitas fisik yang rendah. Rata-rata pada usia
30 – 40 tahun seseorang akan mengalami penurunan fungsi paru yang dengan
semakin bertambah umur semakin bertambah pula gangguan yang terjadi (Guyton
& Hall, 2008).
2. Jenis kelamin
Kapasitas vital paru berpengaruh terhadap jenis kelamin seseorang. Volume
dan kapasitas paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25 % lebih kecil dari pada pria
(Guyton & Hall, 2008). Kapasitas paru pada pria lebih besar yaitu 4,8 L
dibandingkan pada wanita yaitu 3,1 L (Tambayong, 2001).
24
3. Status gizi
Status gizi seseorang dapat mempengaruhi kapasitas vital paru. Seseorang
dengan kategori kurus dan tinggi biasanya kapasitas vitalnya lebih besar dari
orang gemuk pendek. Indeks standar untuk menilai perkembangan gizi adalah BB
terhadap TB yang dapat dibedakan menjadi status gizi kurang, status gizi baik
atau normal, dan status gizi lebih sehingga orang yang memiliki status gizi buruk
akan menyebabkan imunitas menurun dan mudah terserang infeksi seperti batuk,
pilek (Murray & Lopez, 2006).
Jenis
Kelamin
Pria
Wanita
Tabel 2.2
Kategori IMT Berdasarkan DEPKES RI
Kategori IMT (kg/m2 )
Kurus
Normal
<18 kg/m2 18-25 kg/m2
<17 kg/m2 17-23 kg/m2
Kegemukan
Tingkat Ringan
Tingkat Berat
>25-27 kg/m2
> 27 kg/m2
>23-27 kg/m2
> 27 kg/m2
4. Kondisi kesehatan
Kondisi kesehatan dapat mempengaruhi kapasitas vital paru seseorang.
Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit. Gangguan kesehatan
yang terjadi pada seseorang yang diakibatkan karena infeksi pada saluran
pernafasan dapat mengakibatkan penurunan fungsi paru (Pearce, 2002).
5. Riwayat penyakit
Dari hasil penelitian Soedjono (2002) dan Nugraheni (2008) diperoleh hasil
bahwa pekerja yang mempunyai riwayat penyakit paru mempunyai risiko 2 kali
lebih besar untuk mengalami gangguan fungsi paru. Seseorang yang pernah
25
mengidap penyakit paru cenderung akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga
alveolus akan sedikit mengalami pertukaran udara (Suma’mur P.K., 1996).
6. Riwayat pekerjaan
Riwayat pekerjaan dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit akibat kerja.
Hubungan antara penyakit dengan pekerjaan dapat diduga dengan adanya riwayat
perbaikan keluhan pada akhir minggu atau hari libur diikuti peningkatan keluhan
untuk kembali bekerja, setelah bekerja ditempat yang baru atau setelah digunakan
bahan baru di tempat kerja (Mukhtar Ikhsan, 2002).
7. Kebiasaan merokok
Menurut Depkes RI (2003) merokok menyebabkan perubahan struktur dan
fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru-paru. Akibat perubahan anatomi
saluran napas, pada perokok akan timbul perubahan fungsi paru-paru dan segala
macam perubahan klinisnya. Hal ini menjadi dasar utama terjadinya penyakit
obstruksi paru menahun. Kebiasaan merokok dan akan mempercepat penurunan
faal paru (Joko Suyono, 1995).
8. Kebiasaan olahraga
Olahraga atau latihan fisik yang dilakukan secara teratur akan menyebabkan
peningkatan kesegaran dan ketahanan fisik yang optimal, pada saat latihan terjadi
kerja sama berbagai otot, kelenturan otot, kecepatan reaksi, ketangkasan,
koordinasi gerakan dan daya tahan sistem kardiorespirasi. Kapasitas vital paru dan
olahraga mempunyai hubungan yang timbal balik, gangguan kapasitas vital paru
dapat mempengaruhi kemampuan olahraga. Sebaliknya latihan fisik yang teratur
26
atau olahraga dapat meningkatkan kapasitas vital paru. Kebiasaan olahraga akan
meningkatkan kapasitas paru 30-40% (Guyton & Hall, 2008).
2.2.9 Penurunan Sistem Pernapasan Pada Lansia
Perubahan paru baik secara anatomi dan fisiologi akan menurun akibat
penambahan usia secara perlahan dan bertahap pada individu sehat setelah usia 25
tahun. Perubahan ini akan berakibat dalam perubahan struktur pernafasan
termasuk paru-paru, dinding dada, otot pernafasan, serta pada pusat pernafasan
sehingga akan terjadi perlambatan secara signifikan pada proses pertukaran gas
pada lansia. Paru-paru yang normal memiliki kapasitas cadangan yang besar yang
dapat memenuhi kebutuhan ventilasi bahkan selama latihan maksimal. Kapasitas
cadangan ini mulai berkurang setelah usia 30 dan kemudian semakin cepat setelah
usia 60 tahun (Brooks et al, 2000).
Penuaan menyebabkan
mekanisme intrinsik dan ekstrinsik
yang
mempengaruhi sistem pernapasan. Mekanisme ekstrinsik berhubungan dengan
dinding dada dan ventilasi mekanik sedangkan mekanisme intrinsik meliputi
jaringan paru-paru dan sirkulasi paru. Perubahan dinding dada akibat penuaan
seperti kalsifikasi pada bronchial dan cartilage costa, kekakuaan costovertebra,
rigiditas dari dinding dada menyebabkan kemampuan dada untuk meningkatkan
volume, memungkinkan pengembangan tekanan negatif intratoraks selama
inspirasi menjadi berkurang (Webster & Kadah 1991).
Kekuatan otot dan sendi sangat menentukan ukuran gerakan dalam
pernafasan. Pada orang tua, otot-otot menjadi kurang efisien karena perubahan
27
morfologi dan sendi menjadi kaku, sehingga otot pernafasan pada orang tua akan
lebih rentan mengalami kelelahan daripada orang dewasa saat terjadi peningkatan
kerja pernafasan meningkat misalnya saat melakukan latihan fisik. Atropi pada
beberapa otot pernafasan terutama pada otot tipe I (slow-twitch fibers) seperti otot
bahu yang menjadi otot bantu dalam pernafasan. Kyphosis sering meningkat
karena aktivitas otot postural semakin menurun fungsinya atau patah tulang pada
vertebral akibat osteoporosis sehingga potensi untuk pengembangan dada untuk
meningkatkan volume dada bersama dengan elevasi rusuk berkurang. Meningkat
kyphosis dan hilangnya lordosis lumbal yang terjadi pada orang tua menyebabkan
penekanan pada diafragma. Hal ini menghambat pergerakan diafragma yang
selanjutnya mengurangi efisiensi mekanik pernapasan (Dyer & Stockley 1999).
Perubahan paru akibat penuaan juga dikontribusi oleh inhalasi polusi
lingkungan yang memberikan efek pada paru membuatnya sulit untuk
mengidentifikasi efek sebenarnya dari usia. Penuaan paru-paru harus dilihat dalam
hubungannya dengan pekerjaan seseorang, diet dan di mana mereka tinggal
selama periode kehidupan mereka. Patologi paru juga akan mengganggu ventilasi
di setiap kelompok umur tetapi dengan penuaan kemungkinan beberapa
perubahan paru secara patologis akan lebih meningkat. Perubahan fisiologis pada
paru-paru dari orang tua termasuk menurunnya elastisitas jaringan paru yang
mengurangi pengembangan paru saat bernafas, jadi meskipun volume paru total
dianggap tidak perubahan, tetapi volume inspirasi berkurang karena elastisitas
28
paru-paru menurun, kekakuan dinding dada dan kelemahan otot, dan ada
peningkatan volume residu (Dyer & Stockley 1999).
Ductus alveolus dan bronkiolus respirasi akan membesar sedangkan
alveolus menjadi lebih dangkal dan lebih mendatar dengan hilangnya septal tissue
(yang membentuk dinding pemisah di antara alveolus) akan menyebabkan luas
permukaan dimana pertukaran gas akan berkurang pada alveolus dan meningkat
pada ductus alveolus. Transportasi oksigen ke dalam darah menurun karena
alveolus
menjadi
lebih
datar
dan
dangkal
sehingga
akan
terjadi
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi meningkat pada lanjut usia. Dinding arteri
paru akan menebal karena fibrosis dan deposisi kolagen menyebabkan hilangnya
elastisitas arteri. Surfactan yang merupakan cairan untuk menurunkan tegangan
permukaan alveolus produksinya akan terganggu akibat penuaan, sehingga akan
mempermudah
alveolus
menjadi
kolaps.
Hal
ini
menjelaskan
bahwa
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi yang menyebabkan tekanan oksigen arteri
berkurang dan saturasi akibat penuaan. Penuaan menyebabkan adanya
pengurangan respon ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnia. Perubahan lain
yang terjadi akibat penuaan pada paru-paru termasuk penurunan kemampuan
pembersihan mukosiliar yang dapat meningkatkan kerentanan orang tua terhadap
infeksi (Dyer & Stockley 1999).
Perubahan pada pusat pernafasan yaitu medulla oblongata dan pons
menyebabkan perubahan intrinsik kontrol saraf seperti penurunan persepsi sensorik
dari PCO2, pH, dan tekanan parsial oksigen (PO2) sehingga menimbulkan
29
hilangnya sinkronisasi diantara input SSP. Perubahan faktor mekanis seperti
kekakuan dinding dada mengurangi kompetensi neuromuscular dan respon
terhadap masukan saraf seperti respon terhadap hiperkapnia (peningkatan PCO2)
dan hipoksia (penurunan PO2) yang berkurang 50% pada beberapa orang usia
lanjut dibandingkan dengan orang yang lebih muda (Dyer & Stockley 1999).
2.3
Deep Breathing Exercise
Deep breathing exercise merupakan latihan pernapasan dengan teknik
bernapas secara perlahan dan dalam menggunakan otot diafragma, sehingga
memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh
(Smeltzer, et al., 2008). Tujuan deep breathing exercise yaitu untuk mencapai
ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi kerja pernapasan,
meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan menghilangkan
ansietas, mencegah pola aktivitas otot pernapasan yang tidak berguna,
melambatkan frekuensi pernapasan, mengurangi udara yang terperangkap serta
mengurangi kerja bernapas (Smeltzer, et al., 2008).
Latihan
pernapasan
dengan
teknik
deep
breathing
membantu
meningkatkan compliance paru untuk melatih kembali otot pernapasan berfungsi
dengan baik serta mencegah distress pernapasan (Ignatavicius, et al, 2006).
Pemulihan kemampuan otot pernapasan akan meningkatkan compliance paru
sehingga membantu ventilasi lebih adequat sehingga menunjang oksigenasi
jaringan (Westerdahl, et al., 2005). Latihan deep breathing dapat meningkatkan
30
volume paru, meningkatkan dan redistribusi ventilasi, mempertahankan alveolus
tetap mengembang, meningkatkan oksigenasi, membantu membersihkan sekresi,
mobilisasi torak dan meningkatkan kekuatan dan daya tahan serta efisiensi dari
otot-otot pernapasan (Nurbasuki, 2008).
2.3.1 Mekanisme Fisiologi Deep Breathing Exercise
Selama metode inspirasi dengan deep breathing berlangsung, akan
menyebabkan abdomen dan rongga dada terisi penuh mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan intratoraks di paru. Inspirasi dalam akan efektif untuk
membuka pori-pori kecil antara sel epitel alveolus (kohn) dan menimbulkan
ventilasi kolateral ke dalam alveolus di sebelahnya
yang mengalami
penyumbatan. Dengan demikian kolaps akibat absorpsi gas ke dalam alveolus
yang tersumbat dapat dicegah. Dalam keadaan normal absorpsi gas ke dalam
darah lebih mudah karena tekanan parsial total gas-gas darah sedikit lebih rendah
daripada tekanan atmosfer akibat lebih banyaknya O2 yang diabsorpsi ke dalam
jaringan daripada CO2 yang diekskresikan. Selama ekspirasi, pori-pori kecil antara
sel epitel alveolus (kohn) menutup, akibatnya tekanan di dalam alveolus yang
tersumbat meningkat sehingga membantu pengeluaran sumbatan mucus, bahkan
dapat dihasilkan gaya ekspirasi yang lebih besar, yaitu sesudah bernafas dalam
(Smeltzer et al, 2008). Latihan deep breathing akan menyebabkan terjadinya
peregangan alveolus. Peregangan alveolus ini akan merangsang pengeluaran
surfaktan yang disekresikan oleh sel-sel alveolus tipe II yang mengakibatkan
tegangan permukaan alveolus dapat diturunkan. Menurunkan tegangan permukaan
31
alveolus, memberikan keuntungan untuk meningkatkan compliance paru dan
menurunkan paru menciut sehingga paru tidak mudah kolaps (Sherwood, 2001).
Deep breathing mengakibatkan meningkatnya aktifitas beta adrenergik saluran
pernafasan yang menyebabkan terjadinya dilatasi bronkus dan menghambat
sekresi mukus, sehingga paru dapat memasukkan dan mengeluarkan udara dengan
lebih baik. Deep breathing juga mengurangi reaksi simpatis tetapi tidak merubah
aktivitas parasimpatis secara signifikan untuk meningkatkan fungsi pernafasan,
mengurangi stress, dan kecemasan. Hal ini dapat memperbaiki ritme dan frekuensi
pernafasan yang berguna menjaga kelangsungan aktifitas pernafasan secara terus
menerus (Yadav, 2009).
Penelitian eksperimen Weiner (2006) menunjukkan bahwa inspirator muscle
training berdampak sifnifikan terhadap penurunan keluhan sesak, meningkatkan
FVC dan mengurangi berbagai gejala gangguan paru. Deep breathing exercise
terbukti meningkatkan kemampuan otot inspirator yang akan meningkatkan
compliance paru dan mencegah atelektasis ( Westerdahl, et al, 2005). Compliance
dada yang baik memungkinkan ventilasi oksigen adekuat sehingga tidak mudah
atelektasis.
Padula dan Yeaw (2006) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa melatih otot
inspirator dapat membantu meningkatkan kapasitas vital paru. Latihan pernafasan
dapat meningkatkan kapasitas vital paru paru melalui pengukuran nilai FEV1 dan
FVC. Terlatihnya otot inspirator akan meningkatkan kemampuan paru untuk
menampung udara, sehingga nilai FEV1 akan mengalami peningkatan.
32
Hasil penelitian Priyanto (2010) tentang peningkatan fungsi ventilasi paru
dengan intervensi deep breathing yang sangat efektif untuk memperbaiki pola
pernafasan pada hari ke-4 dan ke-5. Latihan menghirup dan menghembuskan
udara secara perlahan dan dalam yang dilakukan secara terus menerus merupakan
kegiatan yang terpola antara control pusat pernafasan dengan kombinasi
kemampuan kinerja otot pernafasan, compliance paru dan struktur rangka dada
yang dapat menghasilkan adaptasi terhadap ritme dan kecepatan pernafasan.
2.3.2 Pelatihan Deep Breathing Exercise
Gambar 2.5 Deep Breathing Exercise
(Sumber : Anonim, 2015)
a.
Posisi tidur atau duduk dengan meletakkan satu tangan responden di atas
abdomen (tepat di bawah iga) dan tangan lainnya pada tengah dada untuk
merasakan gerakan dada dan abdomen saat bernapas;
b.
Menarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan
abdomen terasa terangkat maksimal, jaga mulut tetap tertutup selama
inspirasi, tahan napas selama 2 detik;
c.
Menghembuskan napas melalui bibir yang sedikit terbuka sambil
mengontraksikan otot- otot abdomen dalam 4 detik;
33
d.
Melakukan pengulangan selama 1 menit dengan jeda 2 detik setiap
pengulangan, mengikuti dengan periode istirahat 2 menit;
e.
Melakukan latihan dalam 5 siklus selama 30 menit;
f.
Dilakukan setiap 3 kali seminggu selama kurun waktu 6 minggu.
2.4 Diaphragmatic Breathing Exercise
Diaphragmatic Breathing Exercise merupakan teknik pernafasan yang
dilakukan dengan mengkontraksikan otot diafragma. Latihan diaphragmatic
breathing bertujuan mengembangkan pernapasan abdominal, mengkontraksikan
otot-otot pernapasan utama yaitu otot diafragma, sehingga otot-otot bantu
pernapasan tidak terlibat pada pernapasan ini yang akan berakibat penurunan kerja
pernapasannya. Latihan pernafasan ini bertujuan meningkatkan volume alur
napas, menurunkan frekuensi respirasi dan residu fungsional, memperbaiki
ventilasi dan memobilisasi sekresi mukus pada saat drainase postural (Vijai,
2008). Pengembangan rongga thorax dan paru saat inspirasi serta otot-otot
ekspirasi (otot-otot abdomen) berkontraksi secara aktif sehingga mempermudah
pengeluaran CO2 dari rongga thorax kemudian mengurangi kerja bernafas dan
peningkatan ventilasi sehingga terjadi peningkatan perfusi juga perbaikan kinerja
alveoli untuk mengefektifkan pertukaran gas sehingga kadar CO2 dalam arteri
berkurang (Semara, 2012).
34
2.4.1 Mekanisme Fisiologi Diaphragmatic Breathing Exercise
Selama inspirasi otot diafragma kontraksi ke bagian bawah, rongga perut
akan mengembang, saat kontraksi otot diafragma otot-otot bantu pernapasan tidak
terlibat pada pernapasan ini dan dapat menurunkan kerja pernapasan. Pernapasan
diafragma melibatkan ekspansi dan kontraksi perut serta ekspansi dan kontraksi
dari tulang rusuk bagian bawah saat inspirasi sehingga terjadi pengembangan
rongga perut dan saat otot-otot ekspirasi berkontraksi secara aktif sehingga
mempermudah pengeluaran CO2 dari rongga thoraks yang akan meningkatkan
ventilasi-perfusi yang akan memperbaiki kinerja alveoli untuk mengefektifkan
pertukaran gas sehingga kadar CO2 dalam arteri berkurang (Nurbasuki, 2008).
Pada Diaphragmatic Breathing memusatkan perhatian pada gerakan perut
yang akan berpengaruh pada organ dalam, seperti gerakan diafragma dan otot-otot
perut akan merangsang organ dalam. Ketika organ dalam yang ditekan dan dipijat
dengan diafragma dan otot-otot perut maka darah, getah bening dan saraf juga
terangsang, dan O2 akan disampaikan ke setiap sudut tubuh (Joseph, 2004),
menyebabkan mengalirnya darah kembali (venous return) secara optimal ke arah
jantung. Sehingga menimbulkan efek yaitu melancarkan sistem peredaran darah
yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan sistem biologis tubuh secara
keseluruhan. Meningkatnya daya tahan tubuh seiring optimalnya peredaran darah.
Membantu mencegah terjadinya infeksi pada paru-paru dan jaringan dalam tubuh
lainnya. Menstimulasi pengeluaran hormon endorfin yang memiliki efek
35
menenangkan tubuh, sehingga dapat membantu meredakan stress, panik atau
gugup (Singh, 2009).
Hasil penelitian Nurhayati (2013) yaitu peningkatan kapasitas inspirasi dengan
intervensi diaphragmatic breathing dengan responden sebanyak 24 orang dengan
rata-rata sebelum perlakuan 2035,83 ml dan sesudah perlakuan 2188,33 ml.
Diaphragmatic breathing dapat melatih otot-otot utama pernafasan yaitu otot
diafragma yang bekerja saat inspirasi dan ekspirasi sehingga merupakan
komponen terpenting dari pompa respirasi dan harus berfungsi dengan baik untuk
menghasilkan ventilasi yang efektif (Iswita, 2013).
Hasil penelitian Anggita (2013) tentang pemberian diaphragmatic breathing
terhadap peningkatan arus puncak ekspirasi, dimana diaphragmatic breathing
akan menyebabkan terjadinya pengembangan rongga thorax dan paru saat
inspirasi
serta
otot-otot
ekspirasi
berkontraksi
secara
aktif
sehingga
mempermudah pengeluaran CO2 dari rongga thorax kemudian mengurangi kerja
pernafasan dan peningkatan ventilasi sehingga terjadi peningkatan perfusi juga
perbaikan kinerja alveoli untuk mengefektifkan pertukaran gas sehingga kadar
CO2 dalam arteri berkurang (Semara, 2012).
Hasil penelitian Iswita (2013) tentang pemberian diaphragmatic breathing
dalam meningkatkan arus puncak ekspirasi pada perokok aktif, dimana saat
pemberian diaphragmatic breathing lebih mengoptimalkan gerakan abdomen, dan
untuk gerakan dada lebih dibatasi sehingga otot-otot abdomen disini sangat
36
berperan penting dan memungkinkan mempengaruhi peningkatan kerja otot-otot
abdomen yang berperan pada proses ekspirasi (Chark, 1993).
2.4.2 Pelatihan Diaphragmatic Breathing Exercise
Gambar 2.6 Diaphragmatic Breathing Exercise
(Sumber : Anonim, 2015)
a.
Posisi tidur atau duduk dengan meletakkan satu tangan responden di atas
abdomen (tepat di bawah iga) untuk merasakan gerakan abdomen saat
bernapas dan satu tangan di dada untuk menghindari pergerakan dada;
b.
Menarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai abdomen terasa
terangkat maksimal jaga agar tidak sampai dada ikut terangkat, jaga mulut
tetap tertutup selama inspirasi, tahan napas selama 2 detik;
c.
Menghembuskan napas melalui bibir yang sedikit terbuka sambil
mengontraksikan otot- otot abdomen dalam 4 detik;
37
d.
Melakukan pengulangan selama 1 menit dengan jeda 2 detik setiap
pengulangan, mengikuti dengan periode istirahat 2 menit;
e.
Melakukan latihan dalam 5 siklus selama 30 menit;
f.
Dilakukan setiap 3 kali seminggu selama kurun waktu 6 minggu.
2.5
Spirometri
Spirometri (pengukuran nafas) adalah pemeriksaan yang bertujuan untuk
mengetahui adanya gangguan di paru-paru dan saluran pernapasan. Alat yang
digunakan untuk pengukuran spirometri disebut dengan spirometer. Spirometer
adalah suatu alat sederhana yang dilengkapi pompa atau bel yang akan bergeser
pada waktu pasien bernafas kedalamnya melalui sebuah katup dan tabung
penghubung. Pada waktu menggunakan spirometer, grafik akan terekam pada
sebuah drum yang dapat berputar dengan sebuah pena pencatat. Pengukuran
volume paru statis dalam praktik digunakan untuk mencerminkan elastisitas paru
dan toraks. Pengukuran yang paling berguna adalah VC, TLC, FRC, dan RV.
Penyakit yang membatasi pengembangan paru (gangguan restriktif) akan
mengurangi volume-volume ini. Sebaliknya, penyakit yang menyumbat saluran
nafas hampir selalu dapat meningkatkan FRC dan RV akibat hiperinflasi paru
(Price dan Wilson, 2006).
Pemeriksaan spirometri sering dianggap sebagai pemeriksaan sederhana
namun sebenarnya merupakan pemeriksaan yang sangat kompleks. Variabilitas
hasil pemeriksaan spirometri lebih besar daripada pemeriksaan lain karena tidak
38
konsistennya usaha subyek. Karena itu sangat diperlukan pemahaman, koordinasi
dan kerjasama yang baik antara teknisi dan subyek agar didapatkan hasil yang
optimal. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan hasil pemeriksaan spirometri
adalah peralatan yang akurat, prosedur pemeriksaan yang baik, program
pengendalian mutu berkelanjutan, nilai acuan yang tepat, dan algoritma
interpretasi hasil yang baik (Anonim, 2013).
2.5.1 Interpretasi Spirometri
Interpretasi dari hasil spirometri biasanya langsung dapat dibaca dari print
out setelah hasil yang didapat dibandingkan dengan nilai prediksi sesuai dengan
tinggi badan, umur, dan berat badan yang datanya telah terlebih dahulu
dimasukkan ke dalam spirometer sebelum pemeriksaan dimulai.
Gambar 2.7 Interpretasi Spirometri
(Sumber: Benditt, 2008)
39
Interpretasi hasil pemeriksaan spirometri dapat dikategorikan menjadi dua
yaitu nilai restriktif dan nilai obstruktif, kriterianya seperti pada tabel berikut:
Tabel 2.3
Kriteria untuk Menentukan Derajat
Restriktif dan Obstruktif
Derajat Kerusakan
Restriktif
VC
0
Normal
>80%
I
Ringan
60-80%
II
Sedang
50-60%
III
Berat
35-50%
IV
Sangat Berat
<35%
Sumber: Lulu, Djoko (1981)
FEV1
>75%
>75%
>75%
>75%
N/v
Obstruktif
VC
>80%
>80%
>80%
V
Vv
FEV1
>75%
60-75%
40-60%
<40%
<40%
Keterangan:
a. Vital Capacity (VC) = nilai VC Prediksi
b. v = menurun
c. vv = menurun sekali
Menurut Budiono (2007), volume udara FVC dalam keadaan normal
nilainya kurang lebih sama dengan kapasitas vital. Pada penderita obstruktif
saluran nafas akan mengalami pengurangan yang jelas karena penutupan pengatur
saluran nafas. Dalam melakukan kapasitas vital paksa tekniknya mula-mula orang
tersebut inspirasi maksimal sampai kapasitas paru total, kemudian ekspirasi ke
dalam spirometer dengan ekspirasi maksimal paksa secepatnya dan sesempurna
mungkin. Kapasitas vital kuat hampir sama, hanya terdapat perbedaan pada
volume dasar paru antara orang normal dan penderita obstruktif. Sebaliknya
terdapat pebedaan besar pada kecepatan aliran maksimal yang dapat dikeluarkan
40
seseorang terutama selama detik pertama. Oleh karena itu biasanya merekam
volume ekspirasi paksa selama detik pertama (FEV1) dan membandingkan
antara yang normal dan abnormal. Pada orang normal persentase kapasitas vital
kuat yang dikeluarkan pada detik pertama (FEV1/FVC%) adalah 80%. Pada
obstruksi saluran nafas yang serius, yang sering terjadi pada asma akut,
kapasitas ini dapat berkurang menjadi kurang dari 20%.
Download