6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infark Miokard Akut Non Elevasi Segmen ST SKA adalah suatu definisi operasional yang menggambarkan spektrum kondisi terjadinya iskemia dan atau infark miokard yang disebabkan penurunan aliran darah koroner yang bersifat tiba-tiba (Amsterdam, 2014). Berdasarkan pedoman tatalaksana SKA yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Kardiologi Indonesia (PERKI) tahun 2015 diagnosis SKANEST ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa adanya elevasi segmen ST yang persisten pada dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan. IMANEST dan APTS dibedakan berdasarkan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi IMANEST. Pada SKA, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas. Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥ 0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥ 0,1 mV di sadapan lainnya. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 0,2 mV mempunyai spesifisitas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG nondiagnostik (Irmalita, 2015). Beberapa kondisi lain dapat menyebabkan peningkatan enzim jantung. Kondisi tersebut antara lain takiaritmia, gagal jantung, hipertensi emergensi, penyakit kritis (sepsis/syok/luka bakar), myocarditis, kardiomiopati Tako-Tsubo, stenosis aorta, emboli paru, hipertensi pulmonal, gangguan ginjal, spasme koroner, kejadian neurologi akut (stroke, perdarahan subaraknoid), prosedur bedah jantung, Universitas Sumatera Utara 7 hipotiroid dan hipertiroid, penyakit jaringan ikat (amiloidosis, sarkoidosis, scleroderma, hemokromatosis), dan rabdomiolisis (Roffi, 2015). 2.2. Komplikasi IMANEST Walaupun berada dalam satu kelompok diagnosa, namun IMANEST dan APTS memiliki prognosis yang jauh berbeda. Risiko kematian jangka pendek pada APTS sebesar 1,5-2,0% sedangkan pasien dengan IMANEST dan IMAEST memiliki risiko yang hampir sama yakni 3-5% (Braunwald, 2012). Komplikasi dari IMA sendiri mencakup (Topol, 2007): 1. Kegagalan pompa jantung (baik ventrikel kiri maupun kanan) yang menjadi penyebab utama kematian pada perawatan 2. Aritmia 3. Aneurisma ventrikel kiri 4. Emboli sistemik 5. Infark ulangan (perluasan infark) 6. Iskemia berulang 7. Ruptur miokard (dinding bebas, dinding septum, dan muskulus papilaris) 8. Efusi perikard 9. Perikarditis (sindrom Dressler) Gambar 2.1. Skema komplikasi IMA (Topol, 2007) Universitas Sumatera Utara 8 2.2.1. Syok Kardiogenik pada IMANEST Jika iskemia dan infark yang terjadi meliputi area yang cukup luas, maka kontraktilitas miokard dapat terganggu. Ketika luas infark lebih dari 40% dari massa ventrikel kiri maka kemungkinan besar pasien akan jatuh ke kondisi syok kardiogenik (Lilly, 2011). Syok kardiogenik adalah suatu kondisi hipoperfusi di organ target dikarenakan penurunan curah jantung sistemik pada kondisi dimana volume intravaskular memadai (Hasdai, 2002; Reynolds, 2008). Parameter hemodinamik untuk mendiagnosis syok kardiogenik mencakup: 1. Hipotensi yang persisten (TDS <80-90 mmHg atau tekanan darah rerata 30 mmHg lebih rendah dibandingkan TD awal) dengan penurunan parah dari cardiac index (<1.8 L.min-1. m-2 tanpa pemberian pengobatan pendukung hemodinamik atau <2.0-2.2 L.min-1. m-2 pada pemberian pengobatan pendukung hemodinamik) (Reynolds, 2008). 2. Adanya tekanan pengisian yang cukup atau berlebih yakni tekanan ventrikel kiri pada akhir pengisian diastolik (left ventricular end-diastolic pressure) yang > 18 mmHg, atau tekanan ventrikel kanan pada akhir pengisian diastolik (right ventricular end-diastolic pressure) > 10-15 mmHg. Diagnosis ini biasanya menggunakan kateterisasi arteri pulmonal secara invasif (Giannuzzi, 1994; Reynolds, 2008). 3. Hipoperfusi dapat dilihat dari manifestasi klinis berupa akral dingin, penurunan volume urin, dan atau perubahan status mental (Reynolds, 2008). Syok kardiogenik dapat ditegakkan dengan menggunakan beberapa parameter di atas namun penggunaan ini sangat rumit dan membutuhkan pemeriksaan invasif, sehingga syok kardiogenik dapat didiagnosa berdasarkan penemuan klinis saja, yakni penurunan tekanan darah yang disangkakan akibat penurunan kemampuan pompa jantung yang disertai dengan tanda hipoperfusi (Hasdai, 2002). Seketika syok kardiogenik didiagnosa pada pasien IMA maka prognosis menjadi suram dan tidak dipengaruhi adanya elevasi segmen ST. Pada penelitian Global Use of Strategies to Open Occluded Coronary Arteries in Acute Coronary Syndromes IIb (GUSTO IIb) sebanyak 72.5% kematian terjadi pada populasi Universitas Sumatera Utara 9 IMANEST dibandingkan 63% pada populasi IMAEST. Pada penelitian Should We Emergently Revascularize Occluded Coronaries for Cardiogenic Shock (SHOCK), angka kematian juga tinggi dimana 62.5% pada populasi IMANEST dan 60.4% pada kelompok IMAEST (p=0.649) (GUSTO IIb Investigators, 1996; Hasdai, 2002; Hochman, 1996). Pada penelitian Anderson dkk, angka kematian pada IMANEST dengan syok juga terlihat lebih tinggi (Anderson, 2013). Gambar 2.2. Angka kematian pada kelompok IMAEST dan IMANEST dengan dan tanpa syok kardiogenik (Anderson, 2013) Pada penelitian SHOCK, pasien IMANEST yang mengalami syok berada pada kondisi awal yang berisiko tinggi termasuk usia lebih tua, memiliki riwayat IMA sebelumnya, riwayat gagal jantung kongestif, gagal ginjal, dan riwayat operasi bedah pintas koroner (seluruh nilai p <0.001) (Hasdai, 2002; Hochman, 1995). Perbedaan lain yang dijumpai antara syok kardiogenik pada pasien IMAEST dan IMANEST adalah (Hasdai, 2002): 1. Syok kardiogenik terjadi lebih belakangan pada pasien IMANEST. 2. Kejadian iskemia dan infark berulang lebih sering pada kelompok IMANEST. 3. Kelompok pasien IMANEST memiliki kejadian oklusi pembuluh darah di tiga tempat yang lebih sering. Hal ini menyebabkan pasien IMANEST lebih sering menjalani operasi bedah pintas arteri koroner yang selanjutnya meningkatkan risiko mortalitas sesuai dengan risiko operasi tersebut (Anderson, 2013). 4. Pada pasien IMAEST, sekitar 84% pasien dengan syok kardiogenik akan mendapatkan terapi revaskularisasi, berbanding hanya sekitar 35% pasien Universitas Sumatera Utara 10 IMANEST yang mengalami syok kardiogenik yang kemudian menjalani terapi revaskularisasi (Anderson, 2013). 5. Ukuran infark yang dinilai dengan peningkatan enzim creatine kinase lebih rendah pada kelompok IMANEST. 6. FEVK lebih rendah pada pasien pada populasi IMANEST yang mengalami syok. Tabel 2.1. Perbedaan terapi dan prosedur pada pasien syok kardiogenik dengan SKA pada kelompok IMAEST dan IMANEST (Anderson, 2013) Syok kardiogenik bersifat memperparah kondisi dirinya sendiri. Hal ini dijelaskan dimana depresi miokard menyebabkan hipotensi, kemudian hipotensi yang terjadi semakin memperparah perfusi koroner, yang memperparah dampak iskemia jaringan, sementara di sisi lain penurunan volume sekuncup akan meningkatkan ukuran ventrikel kiri dan meningkatkan kebutuhan oksigen. Hal ini dapat dilihat pada gambar 7 dan 8 di bawah ini. Paradigma klasik memprediksi bahwa mekanisme kompensasi vasokonstriksi sistemik yang menyebabkan peningkatan resistensi vaskular perifer seharusnya terjadi pada kondisi dimana curah jantung menurun signifikan (Hochman, 2003; Lilly, 2011) Universitas Sumatera Utara 11 Gambar 2.3. Komplikasi IMA (Lilly, 2011) Gambar 2.4. Paradigma klasik syok (Hochman, 2003) Jika penyebab syok tidak diatasi, maka kejadian syok akan berlanjut ke fase lebih progresif dimana terjadi hipoksia jaringan yang sangat luas. Metabolisme aerobik akan berubah menjadi anaerobik melalui glikolisis dengan produksi asam Universitas Sumatera Utara 12 laktat yang berlebihan. Kelebihan asam laktat akan membawa kepada kondisi asidosis metabolik dimana akan menurunkan pH jaringan dan menurunkan respon vasomotor di jaringan perifer dan vasodilatasi arteriol yang menyebabkan darah mulai menumpuk di sirkulasi kapiler. Kondisi ini tidak hanya semakin menurunkan curah jantung namun juga menempatkan pasien pada kondisi cedera anoksia jaringan di sel endotel dan selanjutnya berkembang menjadi disseminated intravaskular coagulation (DIC). Ketika iskemia terjadi di usus, maka hal ini akan menyebabkan flora normal usus berpindah ke sirkulasi, yang kemudian menyebabkan syok endotoksik yang memperparah syok kardiogenik. Pada suatu titik, pasien mengalami hipoksia berat yang terjadi di organ-organ vital dan menyebabkan gagal multi organ. Pada tahap ini, upaya apapun sangat sulit untuk menyembuhkan pasien dan kebanyakan pasien mengalami kematian (Kumar, 2005). 2.3. Stratifikasi Risiko pada IMANEST SKANEST memiliki spektrum klinis dan risiko yang amat lebar maka proses stratifikasi risiko harus dilakukan sesegera mungkin. Stratifikasi risiko awal memiliki peranan penting dalam menentukan prognosis dan strategi pengobatan yang akan dilakukan. Stratifikasi risiko adalah suatu proses berkelanjutan hingga pasien dipulangkan dari rumah sakit dan proses ini dapat mengubah berbagai strategi pengobatan setiap waktunya. Bahkan setelah pasien dipulangkan, pasien masih dapat berada dalam risiko tinggi untuk terjadinya KKvM (Hamm, 2011). Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk SKA. Beberapa stratifikasi risiko yang paling sering digunakan adalah skor TIMI dan GRACE. Kekurangan dari skor TIMI adalah ketidakmampuannya untuk mendiskriminasi risiko secara lebih rinci. Skor GRACE merupakan skor paling mutakhir namun lebih rumit dan membutuhkan penggunaan aplikasi komputer dalam penghitungannya. Satu skor lagi yang tidak terlalu sering digunakan adalah skor PURSUIT (Platelet glycoprotein IIb/IIIa in Unstable angina: Receptor Suppression Using Integrilin Therapy). Pada suatu penelitian oleh Goncalves dkk yang meneliti penggunaan skor GRACE, TIMI, dan PURSUIT pada populasi yang sama di suatu pusat kesehatan pada 460 pasien. Hasilnya terlihat bahwa skor Universitas Sumatera Utara 13 GRACE merupakan yang terbaik dalam menilai risiko kematian atau infark miokard dalam 1 tahun (De Araujo Goncalves, 2005). Hal ini sejalan dengan penelitian Aragam dkk yang melihat bahwa daya diskriminasi skor GRACE lebih baik dibandingkan TIMI (Aragam, 2009). Masing-masing variabel pada sistem skor sebenarnya memiiki kemampuan prognosis tersendiri. Terdapat 7 variabel pada skor TIMI dan 8 variabel pada skor GRACE yang masing-masing memiliki nilai prediktor independen. Variabel pada skor TIMI adalah usia ≥ 65 tahun, setidaknya tiga faktor risiko klasik PJK, adanya riwayat stenosis koroner yang signifikan, deviasi segmen ST, angina yang berat (kejadian angina ≥ 2 kali dalam 24 jam terakhir), penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir, dan peningkatan enzim jantung (Antman, 2000). Sedangkan pada skor GRACE terdapat delapan variabel yakni usia (semakin tinggi semakin buruk), laju denyut jantung, tekanan darah sistolik, kelas Killip, kadar kreratinin serum, kejadian henti jantung saat tiba di rumah sakit, deviasi segmen ST dan peningkatan enzim jantung (Granger, 2003) 2.3.1. Prediksi Syok Kardiogenik Mengingat beratnya komplikasi yang akan terjadi bila pasien jatuh ke syok kardiogenik, maka kemampuan untuk memprediksi terjadinya syok kardiogenik sangat penting dalam membantu identifikasi kegawatdaruratan dan menentukan strategi terapi. Apalagi pada pasien IMANEST dimana kejadian syok kardiogenik akan terjadi belakangan setelah kejadian awal IMA (Hasdai, 2002). Terdapat kondisi yang meragukan dimana pasien sudah jatuh dalam keadaan curah jantung yang menurun, namun kompensasi tubuh masih mampu mempertahankan tekanan darah. Kompensasi yang dimaksud biasanya berupa aktivasi simpatis yang meningkatkan resistensi perifer total dan laju denyut nadi. Keadaan ini disebut sebagai pre-syok dan berkontribusi terhadap 46% kematian. Keadaan ini biasanya ditandai dengan takikardia dan penurunan produksi urin (Hochman, 1999; Topol, 2007). Pada kondisi inilah perlu dilakukan antisipasi sebelum pasien jatuh ke dalam kondisi syok. Penelitian Hasdai dkk (Hasdai, 2000) pada studi PURSUIT mengidentifikasi beberapa faktor yang berhubungan dengan perkembangan Universitas Sumatera Utara 14 terjadinya syok, yakni usia lebih tua, adanya depresi segmen ST >0.5 mm, TDS yang lebih rendah, angina, laju denyut jantung yang lebih tinggi, tingi badan, riwayat IMA, dan penemuan ronki basah basal di lapangan paru. Hasdai dkk kemudian mengembangkan suatu algoritme untuk prediksi syok seperti terlihat pada gambar 9 di bawah ini. Peningkatan indeks syok sendiri dinilai dapat menggambarkan identifikasi pasien yang akan mengalami perburukan hemodinamik atau syok kardiogenik (Bilkova, 2011). Gambar 2.5. Algoritma skor prediksi syok kardiogenik pada IMANEST (Hasdai, 2002) Universitas Sumatera Utara 15 2.4. Indeks Syok 2.4.1. Fisiologi Tekanan Darah Istilah tekanan darah (TD) berarti tekanan darah di arteri pada sirkulasi sistemik yang dinyatakan dengan satuan milimeter air raksa (mmHg). TD maksimum terjadi di aorta selama fase ejeksi, disebut sebagai tekanan darah sistolik (TDS), dan tekanan darah minimum terjadi pada fase kontraksi isovolumetrik (ketika katup aorta tertutup) dan ini disebut tekanan darah diastolik (TDD) (Despopoulos, 2003). Tekanan darah dihasilkan dari curah jantung dan resistensi perifer total. Sedangkan curah jantung adalah produk dari volume sekuncup jantung dan denyut jantung. Volume sekuncup jantung ditentukan oleh tiga hal yakni kontraktilitas jantung, volume aliran darah balik (preload), dan resistensi yang dihadapi ventrikel kiri untuk mengeluarkan darah ke aorta (afterload) (Lilly, 2011). Gambar 2.6. Siklus jantung (Despopoulos, 2003) Universitas Sumatera Utara 16 TD = Curah Jantung x Resistensi Perifer Total Gambar 2.7. Rumus fisiologi tekanan darah Gambar 2.8. Rumus fisiologi curah jantung (Lilly, 2011). Gambar 2.9. Pengaturan tekanan darah. Panah kecil menunjukkan arah stimulasi (↑) atau inhibisi (↓) terhadap parameter yang disebutkan di kotak. (Lilly, 2011) Universitas Sumatera Utara 17 Terdapat setidaknya empat sistem yang terlibat langsung dalam pengaturan tekanan darah (Lilly, 2011): 1. Jantung, yang berfungsi menghasilkan tekanan pemompaan 2. Tonus pembuluh darah, yang menentukan resistensi perifer di sirkulasi sistemik 3. Ginjal, yang mengatur volume intravaskular 4. Hormon, yang mengatur interaksi ketiga sistem di atas 2.4.2. Tekanan Darah dan Laju Denyut Jantung pada Komplikasi Infark Miokard Akut IMA akan menyebabkan kehancuran sel miokard yang kemudian menyebabkan gangguan kontraktilitas miokard (disfungsi sistolik). Hal ini akan menyebabkan penurunan curah jantung dikarenakan kontraksi sinkron menghilang. Beberapa istilah digunakan untuk menjelaskan berbagai tipe gangguan kontraktilitas yang terjadi. Suatu penurunan kontraktilitas lokal dari suatu daerah miokard disebut sebagai hipokinetik, suatu segmen miokard yang tidak berkontraksi sama sekali disebut akinetik, dan suatu daerah yang bergerak ke arah luar pada saat sistolik disebut sebagai diskinetik. Selama periode SKA juga terjadi gangguan diastolik, dimana iskemia dan atau infark akan mengganggu relaksasi ventrikel kiri pada saat diastol (suatu proses yang bergantung pada energi), yang kemudian menurunkan komplians ventrikel kiri dan meningkatkan tekanan pengisian (Lilly, 2011). Beberapa kompensasi neurohormonal akan teraktivasi pada keadaan penurunan curah jantung ini. Tiga yang penting adalah sistem saraf adrenergik (simpatis), sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan peningkatan produksi hormon antidiuretik. Ketiga mekanisme ini bekerja untuk meningkatkan resistensi perifer sistemik yang membantu mempertahankan perfusi arteri ke berbagai organ penting. Peningkatan resistensi perifer total kemudian akan mengimbangi penurunan curah jantung, dan pada kondisi dimana gagal jantung yang terjadi tidak terlalu berat, maka kompensasi ini mencukupi untuk mengatasi gagal jantung. Aktivasi neurohormonal kemudian juga akan menyebabkan retensi garam dan air, sehingga meningkatkan volume intravaskular dan kemudian meningkatkan preload dan meningkatkan volume sekuncup melalui mekanisme Frank–Starling (Lilly, 2011). Universitas Sumatera Utara 18 Khusus pada sistem saraf adrenergik, penurunan curah jantung akan dideteksi di baroreceptor di sinus karotis dan lengkung aorta yang kemudian menurunkan laju letupan listrik di reseptor ini. Penurunan ini akan ditransmisikan ke nervus kranialis IX dan X kepada pusat kendali kardiovaskular di medula serebri. Respon berikutnya adalah peningkatan stimulasi simpatis ke jantung dan sirkulasi perifer, dan tonus parasimpatis menghilang. Terdapat tiga konsekuensi dari aktivasi ini yakni peningkatan laju denyut jantung, peningkatan kontraktilitas ventrikel, dan vasokonstriksi perifer baik arteri dan vena (Lilly, 2011). Gambar 2.10. Mekanisme kompensasi neurohormonal yang terjadi sebagai respon terhadap penurunan curah jantung (Lilly, 2011). Universitas Sumatera Utara 19 Penurunan tekanan darah meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular pada pasien IMA. Beberapa mekanisme mungkin dapat menjelaskan hal tersebut. Tekanan darah rendah mengganggu aliran darah ke organ target termasuk perfusi aliran koroner yang semakin mengganggu keseimbangan oksigen di miokard. Tekanan darah rendah juga terkait dengan penyakit kronik yang mendasari (contoh: keparahan gagal jantung) dan tentunya berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas (Bangalore, 2009). Penelitian Bangalore dkk pada 139.194 pasien penelitian Can Rapid Risk Stratification of Unstable Angina Patients Suppress Adverse Outcomes with Early Implementation of the American College of Cardiology/American Heart Association Guidelines (CRUSADE) menunjukkan paradoks tekanan darah pada pasien dengan SKANEST. Pada populasi umum, risiko kardiovaskular memiliki hubungan linear dengan peningkatan tekanan darah. (Lewington S 2002) Pada populasi dengan penyakit jantung koroner (PJK), terjadi hal yang berbeda dimana hubungan antara tekanan darah dengan komplikasi kardiovaskular membentuk distribusi bimodal dengan bentuk kurva J. Hal ini berarti bahwa pasien dengan tekanan darah sistolik sangat rendah dan sangat tinggi memiliki kemungkinan komplikasi yang lebih tinggi. Pada situasi akut, hubungan tekanan darah terlihat berbeda lagi. Penelitian Bangalore dkk, didukung pula dengan penelitian PURSUIT dan GRACE menunjukkan hubungan yang terbalik, dimana semakin rendah tekanan darah maka semakin tinggi kemungkinan komplikasi yang terjadi, dalam studi ini yakni kematian oleh segala penyebab dan infark ulangan. Pada penelitian Bangalore dkk, batas tekanan darah yang dihasilkan adalah 120 mmHg, dimana pasien dengan TD <120 mmHg pada saat awal masuk rumah sakit memiliki prognosis lebih buruk. Hal ini baik pada pasien dengan fungsi sistolik menurun maupun pada yang normal (Bangalore, 2009). Laju denyut jantung saat istirahat merupakan penanda mayor terhadap konsumsi oksigen dan kebutuhan metabolisme. Penurunan laju denyut jantung bermanfaat pada pasien dengan PJK (Bangalore, 2010). Beberapa penelitian sebelumnya memperlihatkan adanya hubungan linear antara peningkatan laju denyut jantung saat awal tiba di rumah sakit dengan kematian selama perawatan dan sesudah perawatan. Dijumpai total kematian 15% Universitas Sumatera Utara 20 pada pasien dengan laju denyut jantung 50-60 kali per menit dibandingkan dengan 41% dan 48% pada laju denyut jantung 90 kali per menit dan 110 kali per menit (Bangalore, 2010). Hal ini terlihat sama pada beberapa skor prediksi SKA seperti GRACE (Granger, 2003) dan PURSUIT (Boersma, 2000). Hal ini berbeda pada penelitian Bangalore dkk yang menunjukkan bentuk kurva J antara laju denyut jantung dengan kejadian luaran primer (kematian, infark ulangan, dan stroke) selama perawatan pada pasien IMANEST. Pasien dengan laju denyut nadi 60-69 kali per menit memiliki risiko paling rendah untuk kematian selama perawatan. Risiko paling tinggi dijumpai pada pasien dengan laju denyut jantung sangat rendah dan lebih tinggi. Untuk pasien dengan laju denyut jantung >69 kali per menit, risiko kematian meningkat 2.2 kali lipat (Bangalore, 2010). Risiko kematian meningkat dua kali lipat pada pasien dengan laju denyut jantung < 50 kali per menit. (Cook, 2010). Penelitian Bangalore ini memiliki ukuran sampel yang lebih banyak dibandingkan GRACE ataupun PURSUIT (Bangalore, 2010). Gambar 2.11. Risiko luaran primer terhadap laju denyut jantung (Bangalore, 2010) Laju denyut jantung juga memiliki interpretasi klinis pada pasien usia lanjut. Pada pasien lanjut usia memiliki cadangan sistem kardiovaskular terbatas dengan Universitas Sumatera Utara 21 kemampuan kompensasi tubuh yang terbatas pula, terutama denyut jantung, dalam menghadapi IMA (Kobayashi, 2016). Intervensi farmakologis yang menurunkan laju denyut jantung seperti penyekat beta dan penghambat nodus sinoatrial telah menunjukkan penurunan mortalitas dan memperbaiki luaran klinis (Bangalore, 2010; Yusuf, 1985). Pada penelitian Bangalore dkk dijumpai sebanyak 17.5% pasien tidak dengan penggunaan obat penyekat beta secara rutin. Risiko primer dan sekunder pada penelitian ini tidak terpengaruh dengan pemberian obat tersebut (Bangalore, 2010). Bahkan bila dibandingkan pada kelompok dengan laju denyut jantung 5060 kali per menit dengan atau tanpa pemberian obat penyekat beta maka kematian lebih rendah pada kelompok tanpa penggunaan penyekat beta. Risiko kematian meningkat sebanyak 2 kali lipat pada kelompok dengan penggunaan penyekat beta. Ini merupakan hal penting yang menggambarkan suatu kenyataan bahwa denyut jantung lambat pada jantung normal memberikan sinyal alami bahwa kondisi jantung pasien tersebut lebih sehat (Cook, 2010). Gambar 2.12. Risiko kematian terhadap laju denyut jantung pada penggunaan dan tanpa penggunaan penyekat beta (Bangalore, 2010) Universitas Sumatera Utara 22 Pada penelitian Morbidity-Mortality Evaluation of the if inhibitor ivabradine in patients with coronary disease and left ventricular dysfunction study (BEAUTIFUL) menunjukkan pada pasien PJK stabil dengan laju denyut jantung awal 70 kali per menit, penurunan laju denyut jantung akan mengurangi kejadian perawatan berulang untuk IMA fatal dan tidak fatal serta kebutuhan untuk dilakukannya tindakan revaskularisasi. Akan tetapi, belum diketahui apakah hal ini berlaku pula pada situasi kejadian akut dan apakah laju denyut jantung yang rendah tetap memiliki efek proteksi terhadap jantung (Bangalore, 2010; Fox, 2008). 2.4.3. Indeks Syok Allgower dam Burri pertama kali memperkenalkan konsep indeks syok pada tahun 1967 sebagai suatu parameter yang sederhana dan efektif dalam menentukan derajat keparahan hypovolemia pada pasien syok hemoragik dan infeksius (Allgower, 1967; Huang, 2014). Penelitian eksperimental selanjutnya menunjukkan bahwa indeks syok ini berhubungan terbalik dengan parameter fisiologis yakni cardiac indeks, volume sekuncup, left ventricular stroke work, and tekanan darah rerata (mean arterial pressure) (Rady, 1992; Huang, 2016). Saat ini, indeks syok digunakan pada berbagai kondisi gawat darurat dan intensif, naik untuk menilai keparahan, monitor terapi, dan identifikasi untuk terapi lebih agresif, dan pada berbagai kondisi kritis termasuk kasus trauma, emboli paru, sepsis, dan infeksi berat (Huang, 2014) Indeks syok adalah perbandingan antara laju denyut jantung dengan TDS, dengan rentang normal berkisar 0.5-07 pada dewasa sehat (Allgower, 1967; Huang, 2014). Indeks syok meningkat pada kondisi dimana laju denyut jantung meningkat dan tekanan darah sistolik menurun seperti pada kondisi hypovolemia dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (Rady, 1992; Huang, 2014) Indeks syok dihitung dari pembagian laju denyut jantung terhadap tekanan darah sistolik pada saat awal pasien tiba di rumah sakit (Bilkova, 2011). Indeks syok mengintegrasikan dua parameter hemodinamik yang sangat penting (Kobayashi, 2016). Adapun indeks syok hanya menggunakan dua parameter yakni tekanan darah sistolik dan laju denyut jantung dan tidak mempertimbangkan tekanan darah Universitas Sumatera Utara 23 diastolik. Terdapat satu jenis indeks lagi yang memasukkan variabel tekanan darah diastolik, yakni indeks syok modifikasi, dengan rumus laju denyut jantung dibagi tekanan darah rerata (mean arterial pressure). Tekanan darah rerata didapatkan dari penjumlahan tekanan darah sistolik ditambah dua kali tekanan darah diastolik kemudian dibagi tiga. Akan tetapi pada penelitian Shagguan dkk menunjukkan kedua indeks memiliki kemampuan prediksi kematian dan KKvM pada pasien IMAEST. Kedua indeks ini merupakan prediktor independen. Walaupun indeks syok modifikasi lebih akurat, namun pengukuran indeks syok dinilai lebih sederhana (Shangguan, 2015). 2.4.4. Indeks Syok pada IMANEST Pada situasi IMA, terutama dengan komplikasi syok kardiogenik, parameter terkait fungsi pompa jantung akan menurun, dan berbagai reaksi neurohormonal terjadi untuk mengkompensasi. Aktivasi sistem simpatis merupakan respon yang paling signifikan (Graham, 2004; Huang, 2014). Pada pasien dengan IMA ini, terdapat juga bukti bahwa terjadi aktivitas berlebihan dari sistem simpatis. Aktivitas berlebihan ini juga berhubungan dengan derajat keparahan disfungsi ventrikel kiri dan luaran klinis (Graham, 2004; Reinstadler, 2016). Terkait dengan peningkatan pelepasan katekolamin tersebut, maka akan terjadi peningkatan tekanan darah dan laju denyut jantung sebagai kompensasi (Ceremuzynski, 1981; Huang, 2014). Oleh karena itu, pada situasi IMA, laju denyut jantung dan tekanan darah menggambarkan fungsi yang berhubungan dan terintegrasi satu sama lain (Allgower, 1967; Reinstadler, 2016). Indeks syok yang menghubungkan TD dan laju denyut jantung pada IMA dinilai dapat menggambarkan fungsi integral dari sistem kardiovaskular dan neuroendokrin. Beberapa skor risiko sebelumnya telah pula memperlihatkan kedua parameter hemodinamik tersebut masuk ke dalam sistem skor yang hari ini lazim digunakan (Granger, 2003; Huang, 2014; Morrow, 2000). Indeks syok yang merupakan fungsi integral dari dua parameter penting, dinilai merupakan indikator sensitif terhadap adanya disfungsi ventrikel kiri dan telah terlihat lebih unggul dibandingkan TDS atau denyut jantung saja. (Huang, 2014; Zarzaur, 2008) Beberapa peneliti telah menyatakan penggunaan indeks syok Universitas Sumatera Utara 24 mungkin lebih baik dalam menilai stabilitas hemodinamik dibandingkan dengan TDS atau laju denyut nadi saja (Reinstadler, 2016). Bahkan pada kondisi dimana TDS dan laju denyut jantung dalam rentang normal, indeks syok terlihat menjadi penanda kejadian hypovolemia akut dan peningkatan indeks syok yang berkepanjangan meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada kondisi kegagalan sirkulasi akut (Huang, 2014; Rady, 1992). Takikardia pada pasien dengan IMA dapat dicetuskan oleh beberapa faktor, yakni nyeri dan ansietas, gagal jantung, kekurangan volume, dan pemberian obat kronotropik positif (Lilly, 2011). Indeks syok juga terbukti independen terhadap nyeri dan ansietas (Huang, 2014; Keller, 2010). Pada IMA juga dapat terjadi blok atrioventrikular dengan berbagai derajat. Kejadian blok AV yang serius adalah pada blok AV derajat dua dan tiga. Kejadian ini menyebabkan penurunan curah jantung akibat menurunnya laju denyut nadi. Oleh karena itu, kompensasi simpatis tidak tersalurkan dengan baik ke ventrikel dikarenakan blok ini (Lilli, 2011; Topol, 2007). Pengukuran indeks syok tidak menggambarkan respon simpatis yang sebenarnya pada pasien dengan blok AV derajat dua dan tiga. Hasil-hasil di atas menunjukkan bahwa nilai prediksi indeks syok saat awal tiba di rumah sakit dapat memprediksi komplikasi jangka pendek pada pasien dengan IMANEST, yang merupakan hasil pengamatan yang sensitif terhadap kondisi hemodinamik pasien. Metode perhitungan yang mudah membuatnya menjadi algoritma sederhana yang dapat digunakan luas (Huang, 2014). Berbagai studi sebelumnya menunjukkan nilai prognostik indeks syok dengan nilai ambang batas yang berbeda-beda untuk memprediksi kematian. Penelitian tersebut antara lain: 1. Penelitian Bilkova dkk di Cardiocenter, Praha merupakan penelitian pertama yang menilai kemampuan prognostik dari indeks syok pada pasien IMA. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif terhadap 644 pasien dengan IMAEST pada tahun 2000-2001. Hasilnya menunjukkan indeks syok merupakan prediktor independen terhadap kematian selama perawatan dengan nilai odds ratio (OR) 81.26; 95% confidence interval [CI], 9.76-676.51; p< 0.001). Sebanyak 20.3% kematian terjadi pada kelompok dengan indeks syok ≥ Universitas Sumatera Utara 25 0.8 berbanding 4% pada kelompok dengan indeks syok < 0.8. Hasil lainnya adalah pada kelompok dengan indeks syok > 0.8 memiliki rerata denyut jantung yang lebih tinggi dan tekanan darah lebih rendah. Penelitian ini menyarankan agar pasien dengan nilai indeks syok tinggi dikategorikan menjadi risiko tinggi. Indeks syok juga berkorelasi dengan klasifikasi Killip (Bilkova, 2011). Gambar 2.13. Korelasi antara kematian dengan indeks syok (Bilkova, 2011) 2. Penelitian Spyridopoulos dkk merupakan penelitian prospektif terhadap 3.049 pasien IMAEST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) pada waktu antara Maret 2008 hingga Desember 2011 di Freeman Hospital, Newcastle, Inggris. Hasilnya menunjukkan bahwa pemeriksaan indeks syok secara invasif sebelum tindakan intervensi perkutan koroner (IKP) primer merupakan prediktor independen terkuat dalam memprediksi prognosis jangka panjang pasien dengan usia tua (> 75 tahun). Pada penelitian ini, nilai ambang batas indeks syok yang digunakan adalah 1. Pada penelitian ini menyarankan untuk menghindari pemberian penyekat beta dan penghambat enzim pengkonversi angiotensin pada manajemen awal pasien dengan profil risiko tinggi dengan hipotensi relatif dan takikardia dalam rangka pencegahan syok iatrogenik. Penghitungan dan interpretasi indeks syok mungkin sangat berguna untuk identifikasi pasien seperti ini (Spyridopoulos, 2015). Universitas Sumatera Utara 26 3. Penelitian Huang dkk pada 7.187 pasien dengan IMAEST yang dirawat pada tahun 2001-2004 dari 247 rumah sakit di Cina menemukan nilai ambang batas indeks syok yang paling baik adalah 0.7 melalui kurva receiver operating characteristic (ROC), dimana sensitivitas 59% dan spesifisitas 74.4%. untuk prediksi kematian dalam 7 hari. Pada analisis multivariat juga menunjukkan bahwa indeks syok ≥ 0.7 merupakan prediktor independen terhadap kematian dalam 7 hari dengan hazard ratio (HR) 2.21, 95% CI 1.71-2.86, p <0.001), terhadap KKvM (gagal jantung, syok kardiogenik, aritmia fatal, henti jantung, dan kematian) dengan HR 1.63 (95% CI 1.36 to 1.95, p <0.001) dan kematian dalam 30 hari (HR 1.94, 95% CI 1.54-2.44, p <0.001). Nilai statistik C pada indeks syok lebih tinggi dibandingkan TDS maupun laju denyut jantung. Pada penelitian ini juga memperlihatkan pasien dengan peningkatan indeks syok memiliki lebih banyak penyakit penyerta, lebih sering dengan IMAEST anterior, dan memiliki skor TIMI lebih tinggi (Huang, 2014). 4. Penelitian Kashour pada GULF-RACE-2 dengan sampel sejumlah 7.929 orang di beberapa negara Arab menunjukkan peran indeks syok sebagai prediktor terkini yang independen dan terkuat dalam memprediksi mortalitas pasien SKA baik mortalitas selama perawatan maupun untuk 30 hari. Mortalitas tertinggi terlihat pada pasien dengan indeks syok ≥0.79. Hal ini terlihat sama baik pada grup IMAEST maupun IMANEST. (TS 2014) Indeks syok juga menjadi prediktor independent terhadap kematian selama perawatan (OR 3.7 CI= 2.26.2 P< 0.01) dan untuk 30 hari (OR 4.5, CI= 3.0-6.7, P< 0.01), serta untuk kematian 1 tahun (OR 3.1 CI= 2.1-4.5, P<0.01) (Kashour, 2014). 5. Penelitian oleh Reinstadler dkk menunjukkan hubungan antara indeks syok dengan luas infark yang terjadi yang diukur dengan alat cardiac magnetic resonance (CMR). Pasien dengan peningkatan indeks syok (≥0.62) memiliki area berisiko lebih besar, area infark lebih besar, indeks myocardial salvage lebih rendah, derajat obstruksi mikrovaskular lebih berat, FEVK lebih rendah. Ketika nilai batas indeks syok diubah menjadi 0.7, hasil di atas tetap sama. Penelitian ini kemudian menyimpulkan bahwa peningkatan indeks syok menggambarkan nekrosis miokard dan kerusakan mikrovaskular yang lebih berat. Pada penelitian ini kemudian membandingkan indeks syok dengan skor Universitas Sumatera Utara 27 TIMI dalam kemampuan prediksi dan terlihat kesamaan antara keduanya (Reinstadler, 2016). 6. Penelitian Kobayashi dkk merupakan penelitian pertama pada populasi IMANEST. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif terhadap 481 pasien IMANEST yang dirawat sejak Januari 2013 hingga Juni 2014. Hasilnya adalah indeks syok ≥0.7 berhubungan dengan peningkatan kejadian mortalitas selama perawatan, fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK) yang lebih rendah, dan kejadian syok kardiogenik yang lebih sering. Pada penelitian Kobayashi dkk menunjukkan indeks syok memiliki nilai prognostik baik pada grup dengan atau tanpa syok kardiogenik (Kobayashi, 2016). 2.5.Kerangka Teori Gambar 2.14. Diagram kerangka teori Universitas Sumatera Utara 28 2.6.Kerangka Konsep Gambar 2.15. Diagram kerangka konsep Universitas Sumatera Utara