abstrak - Repositori Tugas Akhir Universitas Maritim Raja Ali Haji

advertisement
Analisis Faktor Biotik Abiotik Pada Ekosistem Lamun dan Rekomendasi Pengelolaannya di
Desa Berakit Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan
Khusnul Khatimah
Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH, [email protected]
Andi Zulpikar
Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH.
Linda Waty Zen
Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi sebenarnya dari faktor
abiotik dan biotik di ekositem lamun di Desa Berakit, merumuskan rekomendasi pengelolaan
ekosistem lamun yang tepat di perairan Desa Berakit. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari
2016. Jenis penelitian ini dilakukan dengan teknik survey lapangan secara lansung dan pengukuran
(insitu) di kawasan perairan Desa Berakit Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan dan (eksitu)
di Laboratorium FIKP UMRAH.
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahawa pada ekosistem lamun di
kawasan daerah perlindungan lamun desa Berakit sebanyak 35 titik yang tersebar secara acak di
jumpai 4 jenis lamun. Kondisi abiotik yang terdiri dari 10 parameter (fisika dan kimia) rata-rata
berkisar nilai suhu 30 0C, salinitas 30 ppt, keceptan arus 0,10 m/dtk, DO 7,7 mg/1/ pH 8,14, nitrat
1,28 mg/1, posfat 0,61 mg/1 kekeruhan 2,64 NTU, kedalaman 1,03 m dan subtrat pasir berkerikil .
Sedangkan untuk kondisi biotiknya terdiri dari tutupan lamun, keanekaragaman lamun dan
kerapatan lamun. Untuk rata-rata tutupan lamun E. Acorides 12,25% T. Hempirichii 26,72%,, C.
Rotundata 14,08% dan H.Ovalis 0,59%. Untuk nilai indeks keanekaragaman sebesar 1,527981 dan
indeks maksimal sebesar 2,0000 yang berarti ≤ H’ ≤ 3 = Keanekaragaman sedang dengan jumlah
individu tiap spesies tidak seragam tapi tidak ada dominan. Untuk kerapatan lamun rata-rata E.
Acoroides 9,11 tegakan , T. Hempirichii 45,29 tegakan, C. Rotundata 39,14 tegakan dan H.Ovalis
4,97 tegakan.
Berdasarkan analisis statistik deskriptif, metode PCA dan Cluster mendapatkan 3 kriteria
kawasan ekosistem lamun yaitu kawasan ekosistem lamun yang sehat di jadikan sebagai zona inti,
kawasan eksosistem lamun yang kurang sehat di jadikan perlindungan, kawasan eksositem lamun
yang rusak di jadikan zona pemanfaatan.
Kata Kunci : Lamun, abiotik dan biotik, PCA
Analysis of Biotic Abiotic Factors on Seagrass Ecosystems and Their Management
Recommendations in the Village District of Sebong Bay Berakit Districts Bintan
Khusnul Khatimah
Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH, [email protected]
Andi Zulpikar
Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH.
Linda Waty Zen
Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the actual conditions of abiotic and biotic
factors in seagrass ecosystems in the village Berakit, formulate recommendations seagrass proper
management in the waters Berakit village. The experiment was conducted in February 2016. This
type of research was done by using field surveys and measurements in directly (in situ) in the area
of the village water rafting Sebong Teluk Bintan regency and (eksitu) Laboratory FIKP UMRAH.
From the results of research and discussion can be concluded THAT on seagrass in the
area of protection of seagrass village Berakit as many as 35 points scattered randomly in 4 types of
seagrass encountered. Abiotic conditions consisting of 10 parameters (physics and chemistry)
average range of temperature value 30 0C, 30 ppt salinity, keceptan flow of 0.10 m / sec, DO 7.7
mg / 1 / 8.14 pH, nitrate 1, 28 mg / 1, phosphate 0.61 mg / 1 turbidity of 2.64 NTU, a depth of 1.03
m and pebbly sand substrate. As for the condition biotiknya consists of cover seagrass, seagrass
diversity and density of seagrass. For the average cover of seagrass E. T. Hempirichii Acorides
12.25% 26.72% ,, C. Rotundata H.Ovalis 14.08% and 0.59%. To value diversity index of
1.527981 and the maximum index of 2.0000, which means ≤ H '≤ 3 = Diversity was the number of
individuals of each species are not uniform but no dominant. For the average density of seagrass E.
acoroides 9.11 stands, stands 45.29 Hempirichii T., C. Rotundata 39.14 4.97 H.Ovalis stands and
stands.
Based on the descriptive statistical analysis, PCA and Cluster get three criteria, namely
seagrass ecosystem healthy seagrass area in use as the core zone, region seagrass ecosystems
unhealthy made in the protection, the damaged area of seagrass ecosystem made in the utilization
zone.
Keywords: Seagrass, abiotic and biotic, PCA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bintan
memiliki
potensi
pembangunan ekonomi kelautan dan
perikanan yang sangat besar dan
beragam.Mulai dari sumberdaya yang dapat
diperbaharui seperti perikanan, terumbu
karang,
rumput
laut,
dan
hutan
mangrove.Kondisi ini juga ditunjang
dengan posisi geografis yang berada di
pertemuan antara Laut Natuna dengan laut
pedalaman Indonesia (Laut Jawa dan Selat
Malaka).Selat Malaka merupakan salah satu
laut yang mempunyai produktivitas primer
yang tinggi.Sebagai suatu daerah kepulauan
di Propinsi Kepulauan Riau dengan jumlah
pulau sekitar 241 pulau, Kabupaten Bintan
memiliki rentang wilayah pantai yang
panjang yaitu sekitar 966,54Km garis
pantai serta wilayah laut yang sangat luas
yaitu 86.398,33 km2 atau 98,51% dari total
wilayah
Kabupaten
Bintan.
Secara
geografis wilayah Kabupaten Bintan
terletak antara 0o06’17”-1o34’52” Lintang
Utara dan 104o12’47” Bujur Timur di
sebelah Barat 108o 02’27” Bujur Timur di
sebelah Timur(DKP Bintan, 2011)
A.
Bappeda Kabupaten Bintan (2010)
menyatakan salah satu ekosistem terluas
yang ada di kawasan konservasi laut daerah
(KKLD)
Kabupaten
BintanAdalah
ekosistem lamun (2,918.36 Ha). Padang
lamun di Pesisir Timur Bintan telah dipilih
menjadi salah satu lokasi demonstrasi
pengelolan
lamun
dalam
proyek
UNEP/GEF Laut Cina Selatan. Padang
lamun di KKLD Kabupaten Bintan telah
memberikan kontribusi secara ekonomi dan
jasa lingkungan yang besar pada
lingkungan sekitar. Komposisi jenis lamun
di KKLD Bintan diketahui mempunyai
keragaman tertinggi di Indonesia, yaitu ada
11 spesies dari 13 spesies yang ditemukan
di Indonesia.
Menurut Nontji (2010), kurangnya
perhatian kepada padang lamun antara lain
disebabkan padang lamun sering disalah
pahami sebagai lingkungan yang tidak ada
gunanya, tidak memberikan manfaat bagi
kehidupan manusia. Ekosistem Lamun
selama ini dipandang sebagai kawasan
dengan menitik beratkan pada fungsi
ekologinya semata, padahal di dalam
ekosistem Lamun tersebut juga memiliki
nilai teknologi yang perlu diperhatikan
(Arifin, 2007).
Oleh sebab itu Desa Berakit
memiliki potensi padang lamun cukup luas
dan cukup kompeten untuk di kembangkan
dan dimanfaatkan secara berkelanjutan
namun masih kurang perhatian dan
pengetahuan masyarakat di sekitar perairan
ekositem lamun Desa Berakit tersebut,
maka dari itu perlu ada tindakan untuk
menganalisis
faktor
biotik
abiotik
ekosistem lamun tersebut dan mencari cara
rekomendasi pengelolaannya yang tepat.
METODOLOGI
Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan
pada Bulan Januari 2016 di Daerah
Perlindungan Laut (DPL) Desa Berakit
Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten
Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
Lokasi penelitian disajikan pada Gambar.
A.
Sumber : Base Map Bintan
B.
Penentuan Titik Sampling
Penentuan titik sampling dalam
penelitian ini menggunakan metode random
atau secara acak, metode dalam penelitian
ini di gunakan atas pertimbangan untuk
memilih sampel berdasarkan populasi
dengan cara pemilihan secara acak sehingga
setiap anggota populasi mempunyai
peluang yang sama besar untuk diambil
sebagai sampel Menurut Fachrul (2007)
dalam Sarah (2015).
Dari luasan ekosistem padang lamun
di perairan yang di jadikan tempat
pengamatan penelitian di dapatkan total
titik koordinat pengamatan sebanyak 35
titik yang tersebar secara acak.
C. Sampling sampel untuk vegetasi
lamun
Pengambilan sampel, menggunakan
transek kuadrat yang berukuran 50 cm x 50
cm pada interval/jarak samayang masih
dibagi-bagi lagi menjadi 25 sub petak,
berukuran 10 cm x 10 cm. (KEPMEN LH
No : 200 Tahun 2004). Parameterparameter yang terkait dengan kondisi
lingkungan tempat lamun hidup dicatat
pada tiap stasiun pengamatan (misalnya
kecerahan perairan, kedalaman, kecepatan
arus). Nilai persentase tutupan lamun (tiap
jenis/populasi) yang terdapat di dalam
transek kuadrat dicatat ke dalam data sheet.
(English dkk., 1994).
Sumber : KEPMEN LH No: 200 Tahun 2004
Tabel .Luas area penutupan lamun berdasar
kelas kehadiran jenis.
Kelas
Luas Area
Penutupan
5
4
3
2
1
0
½ penuh
¼-1/2
1/8 - ¼
1/16-1/8
1/16
Tidak ada
%
Penutupan
Area
50-100
25-50
12,5-25
6,25-12,5
6,25
0
% Titik
Tengah
(M)
75
37,5
18,75
9,38
3,13
0
Sumber :KEPMEN LH No: 200 Tahun 2004
Tabel. Status Padang Lamun
Kondisi
Penutupan %
Baik
Baik Kaya
≥ 60
Sehat
Rusak
Kurang Kaya/ 30-59,9
Kurang Sehat
Miskin
≤ 29,9
Sumber :KEPMEN LH No: 200 Tahun 2004
D.
Analisis Data
Adapun data yang di peroleh dari
pengamatan penelitian di perairan desa
Berakit Kabupaten Bintan,akan di analisis
dan di olah untuk mendapatkan hasil dari
beberapa vegetasi ekosistem lamun :
1.
Analisis persentase total tutupan
lamun
Adapun penghitungan penutupan jenis
lamun tertentu pada masing- masing petak
dilakukan dengan menggunakan rumus
(KEPMEN LH No.200 Tahun 2004):
C = ∑(Mi x fi)
∑f
Ketrangan:
C= presentase penutupan jenis lamun i,
Mi=presentase titik tengah dari kelas
kehadiran jenis lamun i,
f = Banyaknya sub petak dimana kelas
kehadiran jenis lamun i sama.
2. Indeks Keanekaragaman (H’)
Untuk
melihat
Indeks
Keanekaragaman
digunakan
metode
Shannon – Wiener dalam Krebs (1997)
yaitu :
H’ = -∑ ni/N Log2ni/N
H’ = -∑ pi Log2 pi
Dimana :
N = Jumlah total Individu
ni = Jumlah Individu dalam setiap spesies
pi = Jumlah individu dalam setiap pesies
Jumlah total individu Bila :
H’< 1 = Keanekaragaman rendah dengan
jumlah individu tidak seragam dan salah
satu spesiesnya ada yang dominan. 1 ≤ H’≤
3 = Keanekaragaman sedang dengan jumlah
individu tiap spesies tidak seragam tapi
tidak ada yang dominan H’> 3
=
Keanekaragaman tinggi dengan jumlah
individu setiap spesies seragam dan tidak
ada yang dominan.
3. Kerapatan
Kerapatan jenis lamun dihitung
menggunakan rumus Odum (1998) dalam
Hardiyanti et al (2011):
B. Di = Ni / A
Keterangan:
Di = Kerapatan jenis (individu/m2)
Ni
=
Jumlah total tegakan species
(tegakan)
A = Luas daerah yang disampling (m2)
Jumlah tunas (tegakan) dari jenis
lamun yang sama dihitung dari contoh yang
diambil dari petak contoh ukuran 10 x 10
cm pada interval/jarak samayang masih
dibagi-bagi lagi menjadi 25 sub petak
dengan luasan 50 cm x 50 cm.
4.
Kualitas Air
Data kualitas air yang diperoleh
dianalisis
secara
deskriptif
dan
dibandingkan denganKeputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 51
Tahun 2004 tentang Baku MutuAir Laut
untuk Biota Laut. Kemudian untuk melihat
keterkaitan antara karakteristiklingkungan
biofisik-kimia perairan dengan masingmasing
lokasi
digunakan
pendekatananalisis statistik multivariabel
PCA (Principal Component Analysis)
(Arifin, 2007).
1. Analisis PCA dan CLUSTER
Analisis data pada pendekatan statistik
dilakukan untuk melihat korelasi antar
parameter kualitas perairan yaitu dengan
analisis komponen utama (principal
component analysis / PCA) adalah teknik
yang digunakan untuk menyederhanakan
suatu data, dengancara mentransformasi
linier sehingga terbentuk sistem koordinat
baru dengan variansmaksimum. PCA dapat
digunakan untuk mereduksi dimensi suatu
data tanpa mengurangikarakteristik data
tersebut secara signifikan (Andi, 2011).
Keuntungan
penggunaan
Principal
Component Analysis (PCA) dibandingkan
metode lain:
1) Dapat menghilangkan korelasi secara
bersih (korelasi = 0)
2) Dapat digunakan untuk segala kondisi
data / penelitian
3) Dapat dipergunakan tanpa mengurangi
jumlah variabel asal
4) Walaupun metode Regresi dengan PCA
ini memiliki tingkat kesulitan yang
tinggiakan tetapi kesimpulan yang
diberikan lebih akurat dibandingkan
denganpengunaan metode lain.
Analisis cluster adalah teknik
multivariat yang mempunyai tujuan utama
untuk mengelompokkan objek-objek/cases
berdasarkan karakteristik yang dimilikinya.
Analisis cluster mengklasifikasi objek
sehingga setiap objek yang memiliki sifat
yang mirip (paling dekat kesamaannya)
akan mengelompok kedalam satu cluster
(kelompok) yang sama.
Secara logika, cluster yang baik adalah
cluster yang mempunyai:
1) Homogenitas (kesamaan) yang tinggi
antar anggota dalam satu cluster
(within-cluster).
2) Heterogenitas (perbedaan) yang tinggi
antar cluster yang satu dengan cluster
yang lainnya (between-cluster).
A.
Kondisi Abiotik dan Biotik Pada
Ekosistem Lamun
Secara umum di pesisir kawasan DPL di
Desa Berakit dijumpai beberapa jenis
lamun yang tersebar secara luas di setiap
titik sampling yaitu Enhalus acoroides,
Thalassia
hemprichii,
Cymodocea
rotundata, Halophilla ovalis.
1.
Kondisi abiotik yang terdapat di
kawasan DPL desa Berakit
Adapun kondisi abiotik yang di hitung pada
kawasan DPL Desa Berakit terdiri dari 10
parameter ( parameter fisika dan kimia).
Parameter
Satuan
Suhu
Salinitas
Kecepatan
arus
DO
pH
Nitrat
Posfat
Kedalaman
Kekeruhan
Substrat
0
C
Ppt
m/s
mg/l
mg/l
mg/l
M
NTU
-
Kisaran di
lapangan
29-30
29-31
0,8-0,12
Hasil
rata-rata
30
30
0,10
7,2-8,2
8,05-8,24
1,00-1,60
0,00-1,48
0,70-1,30
1,24-5,01
Pasir
berkerikil
7,75
8,14
1,28
0,61
2,64
1,03
Pasir
berkerikil
Sumber : Data primer
Berdasarkan hasil kondisi abiotik
yang ada di kawasan DPL Desa Berakit
dalam Tabel 9, ini akan dijelaskan satu
persatu sebagai berikut :
a. Suhu0C
Berdasarkan hasil
pengukuran
suhu di kawasan DPL desa Berakit
didapatkan hasil keseluruhan ( lampiran 02)
untuk nilai suhu di kawasan DPL desa
Berakit masing-masing berkisar antara 29 30 0C setiap titiknya, ini masih dalam
keadaan normal untuk pertumbuhan lamun,
karena kisaran suhu optimal bagi spesies
lamun untuk perkembangan adalah 28°C30°C, sedangkan untuk fotosintesis lamun
membutuhkan suhu optimum antara 25°C35°C dan pada saat cahaya penuh. Pengaruh
suhu bagi lamun sangat besar, suhu
mempengaruhi proses-proses fisiologi yaitu
fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan
reproduksi. Proses-proses fisiologi tersebut
akan menurun tajam apabila suhu perairan
berada diluar kisaran tersebut (Berwick,
1983)
2.
Salinitas (ppt)
Berdasarkan hasil
pengukuran
salinitas di kawasan DPL desa Berakit
didapatkan hasil keseluruhan ( lampiran 02)
untuk nilai salinitas di kawasan DPL Desa
Berakit masing-masing berkisar antara 29 –
31 ppt setiap titiknya, dengan nilai salinitas
tersebut masih normal untuk pertumbuhan
lamun pada umumnya.Spesies padang
lamun mempunyai toleransi yang berbedabeda, namun sebagaian besar memiliki
kisaran yang lebar yaitu 10 ppt – 40 ppt.
Nilai optimum toleransi lamun terhadap
salinitas air laut pada nilai 35 ppt (Dahuri et
al,. 1996).
a.
Kecepatan Arus (m/s)
Berdasarkan hasil
pengukuran
kecepatan arus di kawasan DPL desa
Berakit didapatkan hasil keseluruhan
(lampiran 02) untuk nilai kecepatan arus di
kawasan DPL Desa Berakit masing-masing
berkisar antara 0,08 m/s – 0,12 m/s setiap
titiknya, dengan nilai kecepatan arus
tersebut jauh dari kecepatan arus maksimal
dan ini tidak sesuai untuk produktifitas
lamun. Karena kecepatan arus peraiaran
berpengaruh pada produktifitas padang
lamun. Turtle grass dapat menghasilkan
hasil tetap (standing crop) maksimal pada
kecepatan arus 0.5m/s (Dahuri et al., 1996).
Arus tidak mempengaruhi penetrasi cahaya,
kacuali jika ia mengangkat sedimen
sehingga mengurangi penetrasi cahaya.Aksi
menguntungkan
dari
arus
terhadap
organisme terletak pada transport bahan
makanantambahan bagi peorganisme dan
dalam halpengangkutan buangan. (Moore,
1958).
b. DO (mg/l)
Berdasarkan hasil pengukuran DO
di kawasan DPL desa Berakit didapatkan
hasil keseluruhan (lampiran 02) untuk nilai
DO di kawasan DPL Desa Berakit masingmasing berkisar antara 7,2 mg/ l – 8,2 mg/l
setiap titiknya, dengan nilai DO tersebut
sangat sesuai untuk produktivitas lamun
karena tidak kurang dari 5 mg/l.Menurut
Effendi(2000)
perairan
yang
diperuntukkan bagi kepentingan perikanan
sebaikknya memilih kadar oksigen tidak
kurang dari 5mg/l. Kadar oksigen terlarut
kurang dari 4 mg/l mengakibatkan efek
yang kurang menguntungkna bagi hampir
semuaorganisme akuatik. Sumber oksigen
terlarut bisa berasal dari difusi oksigen
yang terdapat di atmosfer sekitar 35% dan
aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air
dan fitoplankton (Novonty dan Olem, 1994
dalam Effendi ,2000).
c. pH
Berdasarkan hasil pengukuran pH di
kawasan DPL desa Berakit didapatkan hasil
keseluran ( lampiran 02) untuk nilai pH di
kawasan DPL Desa Berakit masing-masing
berkisar antara 8,05 – 8,24 setiap titiknya,
dengan nilai pH tersebut lamun sangat
optimal untuk pertumbuhan lamun.Menurut
Nybakken (1992), kisaran pH yang optimal
untuk air laut antara 7,5-8,5. Kisaran pH
yang baik untuk lamun ialah pada saat pH
air laut 7,5-8,5 , karena pada saat kondisi
pH berada dikisaran tersebut maka ion
bikarbonat yang dibutuhkan oleh lamun
untuk fotosintesis dalam keadaan melimpah
(Phillip dan Menez, 1988).
d.
Nitrat (mg/l)
Berdasarkan hasil pengukuran nitrat
di kawasan DPL desa Berakit didapatkan
hasil keseluran (lampiran 02) untuk nilai
nitrat di kawasan DPL Desa Berakit
masing-masing berkisar antara 1,00 mg/l –
1,60 mg/l setiap titiknya, dengan nilai nitrat
tersebut sangat tidak sesuai untuk
produktivitas lamun dikarenakan jauh dari
nilai ambang batas yaitu 0,008 mg/l (
KEPMEN LH. No 51 Tahun 2004). Nilai
nitrit yang ada di kawasan penelitiaan ini
cukup tinggi dan dapat menurunkan
produktivitas dan pertumbuhan lamun.
e. Posfat (mg/l)
Berdasarkan hasil
pengukuran
posfat di kawasan DPL desa Berakit
didapatkan hasil keseluran ( lampiran 02)
untuk nilai Posfat di kawasan DPL Desa
Berakit masing-masing berkisar antara 0,00
mg/l – 1,48 mg/l setiap titiknya, dengan
nilai posfat tersebut hanya beberapa titik
saja yang di bawah nilai ambang batas (
titik 7, 25, 34, 35), titik yang lainnya
sangattidak sesuai untuk produktivitas
lamun dikarenakan jauh dari nilai ambang
batas yaitu 0,015 mg/l
( KEPMEN LH. No 51 Tahun 2004). Nilai
posfat di beberapa titik yang ada di
kawasan penelitiaan ini cukup tinggi dan
dapat menurunkan produktivitas dan
pertumbuhan lamun.
f. Kedalaman (m)
Berdasarkan hasil
pengukuran
kedalaman di kawasan DPL desa Berakit
didapatkan hasil keseluruhan (lampiran 02)
nilai kedalaman di kawasan DPL Desa
Berakit masing-masing berkisar antara 0,70
m – 1,30 m setiap titiknya, zona intertidal
dicirikan oleh tumbuhan pionir yang
didominasi
oleh
Halophila
ovalis,
Cymodocea rotundata dan Holodule
pinifolia(Hutomo 1997). Namun yang
dijumpai di kawasan zona intertidal hanya
Halophila ovalis dan Cymodocea rotundata
dengan kedalaman 1,10 m-1,20 m.Selain
itu, kedalaman perairan juga berpengaruh
terhadap kerapatan dan pertumbuhan
lamun.Brouns
dan
Heijs
(1986)
mendapatkan
pertumbuhan
tertinggi
Enhalus
acoroidesdan
Thalassia
hemprichiipada lokasi yang dangkal dengan
suhu tinggi.
g. Kekeruhan (NTU)
Berdasarkan
hasil
pengukurankekeruhan di kawasan DPL
desa Berakit didapatkan hasil keseluruhan (
lampiran 02) untuk nilai kekeruhan di
kawasan DPL Desa Berakit masing-masing
berkisar antara 1,24 NTU – 5,01 NTU
setiap titiknya, baku mutu untuk kekeruhan
<5 (KEPMEN LH No 51 Tahun 2004) ini
menyatakan di kawasan DPL memiliki
beberapa titik yang kekeruhan di atas
ambang batas, tetapi dominan nilai
kekeruhan di bawah ambang batas dan
tergolong sesuai untuk pertumbuhan lamun
seperti yang di gambarkan pada gambar 15.
Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya
partikel-partikel tersuspensi, baik oleh
partikel-partikel hidup seperti plankton
maupun partikel-partikel mati seperti
bahan-bahan
organik,
sedimen
dan
sebagainya.Pada perairan pantai yang
keruh, maka cahaya merupakan faktor
pembatas pertumbuhan dan produksi lamun
(Hutomo 1997).
h. Substrat
Untuk pengukuran hasil substrat
yang ada di kawasan DPL desa Berakit
dengan hasil keseluruhan (lampiran 03)
menggunakn metode pengukuran segitiga
Sephard yang disajikan pada gambar 6
sebagai berikut :
Sumber : Data primer, 2016 (
program GRADISTAT v8)
Jenis substrat di kawasan DPL
Desa Berakit masing-masing dengan jenis
yang sama yaitu jenis pasir berkrikil
(Gravelly sand)
di setiap titiknya.
Tumbuhan lamun membutuhkan dasar yang
lunak untuk ditembus oleh akar-akar dan
rimpangya guna menyokong tumbuhan
ditempatnya (Mc Roy dan Barsdate,1970).
Namun jenis substrat yang ada di kawasan
DPL ini pasir berkrikil yang di dominasi
oleh jenis lamunEnhalusacoroidesdan
Thalassia Hemprichi.
3. Kondisi Biotik yang Terdapat di
Kawasan DPL Desa Berakit
Adapun kondisi biotik yang di
hitung pada kawasan DPL Desa Berakit
terdiri dari Tutupan lamun, Keanekaragamn
lamun dan Kerapatan lamun yang akan
disajikan sebagai berikut.
a. Tutupan Lamun
Tabel 10. Kondisi tutupan lamun di
lapangan
No
Jenis lamun
1
2
Enhalus Acoroides
Thalassia
Hemprichii
Cymodocea
Rotundata
Halophilla Ovalis
Total
3
4
Kondisi tutupan (%)
lamun di lapangan
12,25
26,72
14,08
0,59
53,65
Sumber : Data primer, 2016
Nilai tutupan lamun yang terdapat
di kawasan DPL Desa Berakit yaitu ratarata untuk E. Acoroides 12,25% , T.
Hemprichii 26,72 % , C. Rotundata 14,08
% dan H. Ovalis 0,59 %. Namun untuk
setiap titiknya nilai persentase tutupan
lamun berkisar 0,38 % – 75 %. Menurut
KEPMEN LH No 200 Tahun 2004, Status
padang lamun terdiri dari tiga kondisi yaitu
sehat dengan nilai tutupan ≥ 60, kurang
sehat dengan nilai tutupan 30 – 59,9 dan
yang rusak dengan nilai tutupan ≤ 29,9.
Dengan jumlah total tutupan lamun yaitu
53,65 % yang mana dengan status padang
lamun berada di kondisi kurang sehat.
b. Keanekaragaman Lamun
Jenis keanekaragaman yang terdapat
di daerah perlindungan lamun Desa Berakit
terdiri dari 4 jenis lamun yang di sajikan
keseluruhan pada ( lampiran 07), nilai
keanekaragaman yang terdapat di kawasan
DPL Desa Berakit ini mempunyai nilai
indeks keanekaragaman sebesar 1,527981
dan indeks keanekaragaman maksimal
sebesar 2,0000. Menurut
Shannon –
Wiener dalam Krebs (1997) yang berarti 1
≤ H’≤ 3 = Keanekaragaman sedang dengan
jumlah individu tiap spesies tidak seragam
tapi tidak ada yang dominan.
c. Kerapatan Lamun
Nilai kerapatan yang terdapat di
kawasan DPL Desa Berakit yang disajikan
dalam gambar 19sebagai berikut.
No
Jenis lamun
1
Enhalus
Acoroides
Thalassia
Hemprichii
Cymodocea
Rotundata
Halophilla Ovalis
Total
Rata-rata
2
3
4
Kondisi kerapatan
lamun (tegakan/m2) di
lapangan
309 tegakan/m2
1585 tegakan/m2
1370 tegakan/m2
174 tegakan/m2
3438 tegakan/m2
98,23 tegakan/m2
Sumber : Data primer, 2016
Nilai kerapatan yang terdapat di
kawasan DPL Desa Berakit total rata- rata
untuk E. Acoroides 9,11 tegakan , T.
Hemprichii 45,29 tegakan , C. Rotundata
39,14 tegakan dan H. Ovalis 4,97 tegakan.
B. Pengelolaan Lamun
Rekomendasi pengelolaan lamun
menggunakan
analisis
Multivariate
(Komponen utama dan kelompok) untuk
analisis pengelolaan eksosistem lamun di
kawasan DPL desa Berakit menggunakan
metode PCA dan Cluster (Kelompok)
adalah sebagai berikut :
1. Analisis kelompok utama (PCA)
Analisis kelompok utama (PCA)
terdiri dari Confidence ellipse, individual
factor map dan variable factor map adalah
sebagai berikut :
a.
Confidence ellipses
Confidence ellipses adalah bagian
dari analisis kelompok utama untuk metode
PCA, berdasarkan gambar diatas dijelaskan
pembagian ekosistem Lamun terdiri dari
tiga kriteria yaitu rusak, kurang sehat dan
sehat. Bagian lamun yang rusak ditandai
dengan titik warna merah, untuk bagian
lamun yang kurang sehat ditandai dengan
titik warna hitam dan untuk lamun yang
sehat ditandai dengan titik warna hijau.
Menurut confidence ellipses untuk kriteria
rusak terdapat di T1, T14, T28, T30 yang
dilingkari bagian bawah kategori kurang
sehat. Untuk kategori yang kurang sehat
tersebar di seluruh bagian confidence
ellipses yaitu di T5, T7, T9, T10, T11, T13,
T15, T17, T22, T23, T24, T25, T26, T27,
T29, T31, T34, T35.Dari dua kategori rusak
dan kurang sehat saling berhubungan di
bagian kiri bawah. Untuk kategori sehat
tersebar di 3 bagian tetapi 2 bagian yang
dominan di penuhi titik berkategori sehat
yaitu di T2, T3, T4, T6, T8, T16, T18, T19,
T20, T32, T33 yang saling berhubungan
satu bagian di kategori kurang sehat.
b. Individuals factor map (PCA)
Individual factor map merupakan
bagian dari analisis kelompok utama juga
sama seperti confidence ellipses yang
terdiri dari 4 (empat) bagian, untuk kategori
dan titiknya sama dengan confidence
ellipses, untuk perbedaannya kategori tidak
di jelaskan sesuai kelompok melainkan
hanya individu dari titik-titik yang terdapat
dalam peta tersebut.
c.
Variables Factor Map (PCA)
Keterangan :
K_Cr = Kerapatan Cymodocea rotundataKed
Ked
= Kedalaman
T_Cr = Tutupan Cymodocea rotundata
Kec_arus
= Kecepatan arus
K_Cr = Kerapatan Enhalus acoroides
Kek
= Kekeruhan
T_Ea = Tutupan Enhalus acoroides
Salt
= Salinitas
K_Th
= Kerapatan Thalassia hemprichii
DO
= Oksigen terlarut
T_Th = Tutupan Thalassia hemprichii
Suhu
= Suhu
K_Ho = Kerapatan Halophilla ovalis
Nitrat
= Nitrat
T_Ho = Tutupan Halophilla ovalis
Posfat
= Posfat
JJ
= Jumlah jenis
pH
=
Derajat
keasaman
Korelasi antara kualitas perairan
berdasarkan parameter fisika, kimia, jumlah
jenis, tutupan lamun dan kerapatan lamun
dapat diketahui dengan menggunakan
metode PCA yang tersebar sebanyak 35
titik secara acak. Parameter perairan yang
digunakan dalam Analisis ini adalah Suhu,
Salinitas, pH, DO, Nitrat, Fosfat,
Kecerahan, Kedalaman dan Kecepatan
Arus. Berdasarkan gambar 9 tersebut
terlihat bahwa informasi penting pada dim
1, dim 2, dim 3 dan dim 4. Untuk korelasi
pada dim 1 jika kedalaman tinggi maka
kekeruhan posfat K_Th dan T_Th rendah
dan sebaliknya, untuk K_Th dan T_Th
saling tegak lurus dan searah yang mana
jika K_Th tinggi maka T_Th tinggi dan
sebaliknya. pada dim 2 K_Cr T_Cr pH
Kec_Arus Salinitas Jumlah jenis K_Ho
T_Ho Tot tutupan tinggi maka DO Nitrat
Suhu T_Ea K_Ea menjadi rendah, untuk
dim 2 dimana variablenya sangat
mendominasi, untuk K_Cr dan T_Cr pada
dim 2 saling tegak lurus dan searah dimana
yang artinya jika K_Cr tinggi maka T_Cr
tinggi dan sebaliknya yang mana saling
berhubungan dengan korelasi tinggi.
Sedangkan untuk dim 3 kebalikan dari dim
1 yang mana dim 3 K_Th dan T_Th saling
berhubungan dan tegak lurus. Dan untuk
dim 4 kebalikan dari dim 2 yang mana
T_Ea dan K_ea disini tidak saling tegak
lurus T_Ea tinggi dan K_Ea rendah.
2. Kelompok (cluster)
Analisis kelompok terdiri dari
hierarchical clustering dan factor map yang
dijelaskan sebagai berikut :
a. Hierarchical Clustering
Clustering hirarkhi membangun
sebuah hirarkhi cluster atau dengan kata
lain sebuahpohon cluster, yang juga dikenal
sebagai dendrogram. Setiap node cluster
mengandung cluster anak; cluster-cluster
saudara yang membagi point yang ditutupi
oleh induk mereka. Metode-metode
clustering hirarkhi dikategorikan kedalam
agglomerative (bawah-atas) danidivisive
(atas-bawah).(Jain &Dubes, 1988; Kaufman
&Russeeuw, 1990).
Berdasarkan analisis PCA cluster
dendogram dapat di jelaskan kondisi lamun
yang sehat untuk kelompok sehat terdapat
di T 22, T33, T19, T10, T13. Selanjutnya
dari kelompok sehat membagikan anakan 1
dan 2, untuk anakan 1 terdapat di T20,
untuk anakan 2 terdapat di T12, T21, T4,
T2, T18, T7, T16, T6, T17, T35.
Selanjutnya untuk kondisi lamun yang
kurang sehat dari kelompok 1 dan 2, untuk
kelompok 1 terdapat di T25, T27, T23,
untuk kelompok 2 terdapat anakan 1 dan 2,
yang mana anakan 1 terdapat di T30, T1,
anakan 2 terdapat di T26, T15, T29, T28,
T24, T31. Selanjutnya unruk kondisi lamun
yang rusak dari kelompok 1 dan 2, untuk
kelompok 1 terdapat di T14, untuk
kelompok 2 terdapat di T9, T5, T11, T32,
T3, T8, T34.
b. Factor Map
Dari analisis PCA yang terdapat di
factor map di jelaskan terdapat 3 kriteria
lamun yaitu titik yang berwarna hijau
adalah
lamun yang sehat, titik yang
berwarna hitam adalah lamun yang kurang
sehat dan untuk titik bewarna merah adalah
lamun yang rusak. Dari jenis-jenis kriteria
ini akan di jelaskan dalam dalam Tabel di
lampiran 13, 14 dan 15.
3.
Rekomendasi Pengelolaan
Berdasarkan hasil PCA dan Cluster
didapatkan 3 kelompok kriteria, untuk
kelompok 1 (lamun sehat) terdapat pada T2,
T4, T6, T7, T10, T12, T13, T16, T17, T18,
T19, T20, T21, T22, T33, T35, untuk
kelompok 2 (lamun yang kurang sehat)
terdapat pada T1, T15, T23, T24, T25, T26,
T27, T28, T29, T30, T31, dan untuk
kelompok 3 (lamun yang rusak) terdapat
pada T3, T5, T8, T9, T11, T14, T32, T34.
Adapun penjelasan 3kelompok kawasan
ekositem lamun tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Kawasan Ekosistem Lamun yang
Sehat
Berdasarkan
analisis
statistik
deskriptif kuantitatif yang digambarkan
dalam (lampiran 13) dengan jumlah 16 titik
lamun ini di katakan sehat karena pengaruh
dari faktor abiotik dan biotik yang terdapat
di kawasan ekosistem lamun tersebut.
kategori total tupan lamun rata-rata >67,1
% dan kriteria tutupan lamun mengatakan
sehat, untuk jumlah jenis dengan rata-rata
>2 jenis, untuk kerapatan/ jumlah tegakan
setiap jenis-jenis lamun rata-rata untuk
Enhalus acoroides berjumlah 8 tegakan ( 8
titik yang ada enhalus acoroides), rata-rata
untuk Thalassia hemprichii berjumlah 97
tegakan ( 16 titik penuh), rata-rata untuk
Cymodocea rotundata berjumlah 9 tegakan
( 4 titik yang ada Cymodocea rotundata)
dan rata-rata Halophilla ovalis berjumlah 8
tegakan ( 2 titik yang ada Halophilla
ovalis). Untuk parameter kimia dan fisika
perairan rata-rata masih di bawah ambang
batas baku mutu, hanya nitrat dan posfat
saja yang di atas ambang baku mutu yaitu
rata-rata 1,3 mg/ l (nitrat) dan 0,7
mg/l.Menurut KEPMEN LH No. 51 Tahun
2004 untuk baku mutu nitrat 0,008 mg/l dan
untuk
baku
mutu
posfat
0,015
mg/l.Kawasan lamun kelompok 1 mungkin
layak untuk dijadikan zona inti di daerah
perlindungan
desa
Berakit
karena
berdasarkan hasil lapangan dan analisis
pengelolaan lamun menggunakan PCA dan
Cluster yang di peroleh untuk produktivitas
lamun di 16 titik yang tersebar di setiap
koordinat ini letaknya cukup jauh dari
pantai dan masih terjaga kualitas air
maupun kualitas ekosistem lamun tersebut.
Rekomendasi untuk daerah kelompok 1
adalah : menetapkan peraturan perikanan
kawasan konservasi (KKP) yang sah,
melibatkan masyrakat setempat dalam
pembentukan
zonasi-zonasi,
adanya
penjagaan di kawasan konservasi ekosistem
lamun tersebut, penyuluhan kepada
masyrakat tentang pentingnya ekosistem
lamun.
b. Kawasan Ekosistem Lamun yang
Kurang Sehat
Berdasarkan
analisis
statistik
deskriptif kuantitatif yang digambarkan
dalam (lampiran 14) dengan jumlah 11 titik
lamun ini di katakan kurang sehat karena
pengaruh dari faktor abiotik dan biotik yang
terdapat di kawasan ekosistem lamun
tersebut. kategori total tupan lamun ratarata 31,7 % dan kriteria tutupan lamun
mengatakan kurang sehat, untuk jumlah
jenis dengan rata-rata 1 jenis, untuk
kerapatan/ jumlah tegakan setiap jenis-jenis
lamun rata-rata untuk Enhalus acoroides
berjumlah 16 tegakan (11 titik penuh), ratarata untuk Thalassia hemprichii berjumlah
0 tegakan (tidak ada), rata-rata untuk
Cymodocea rotundata berjumlah 0 tegakan
(tidak ada) dan rata-rata Halophilla ovalis
berjumlah 0 tegakan (tidak ada). Untuk
parameter kimia dan fisika perairan ratarata masih di bawah ambang batas baku
mutu, hanya nitrat dan posfat saja yang di
atas ambang baku mutu yaitu rata-rata 1,3
mg/ l (nitrat) dan 0,4 mg/l.Menurut
KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004 untuk
baku mutu nitrat 0,008 mg/l dan untuk baku
mutu posfat 0,015 mg/l. Namun untuk
produktivitas lamun di 11 titik ini masih
kurang terjaga karena kerapatan/tegakan di
setiap jenis hanya Enhalus acoroides saja
yang ada rata-rata 16 tegakan setiap titiknya
sedangkan untuk kerapatan jenis Thalassia
hemprichii,
Cymodocea
rotundata,
Halophilla ovalis tidak ada di jumpai.
Kawasan lamun kelompok 2 mungkin layak
dijadikan zona perikanan berkelanjutan di
daerah perlindungan desa Berakit karena
berdasarkan hasil lapangan dan analisis
pengelolaan lamun menggunakan PCA dan
Cluster yang di peroleh untuk produktivitas
lamun di 11 titik yang tersebar di setiap
koordinat ini letaknya saling berhubungan
dan berdekatan antara lamun kriteria sehat
dengan kriteria lamun rusak dan untuk
kualitas airnya rata-rata masih di bawah
baku mutu sama dengan kelompok
ekosistem lamun sehat, namun untuk
ekosistem lamunnya tidak tersebar secara
merata dan dominan dijumpai hanya 1 jenis
saja yaitu Enhalus acoroides.Rekomendasi
untuk daerah kelompok 2 yang mana
dijadikan zona perlindungan adalah :
menetapkan peraturan perikanan kawasan
konservasi perairan (KKP) yang sah,
penyuluhan kepada masyarakat nelayan
terutama tentang pembagian zonasi,
mempunyai data spasial (peta).
c. Kawasan Ekositem Lamun yang
Rusak
Berdasarkan
analisis
statistik
deskriptif kuantitatif yang digambarkan
dalam (lampiran 15) dengan jumlah 8 titik
lamun ini di katakan kurang sehat karena
pengaruh dari faktor abiotik dan biotik yang
terdapat di kawasan ekosistem lamun
tersebut. Kategori total tutupan lamun ratarata 57,0 % dan kriteria tutupan lamun
mengatakan kurang sehat, untuk jumlah
jenis dengan rata-rata 2 jenis, untuk
kerapatan/ jumlah tegakan setiap jenis-jenis
lamun rata-rata untuk Enhalus acoroides
berjumlah 2 tegakan (4 titik penuh, 4
kosong),
rata-rata
untuk
Thalassia
hemprichii berjumlah 6 tegakan (4 titik
penuh, 4 kosong), rata-rata untuk
Cymodocea rotundata berjumlah 153
tegakan (7 titik penuh, 1 kosong) dan ratarata Halophilla ovalis berjumlah 0,3
tegakan (1 titik saja yang terisi 2 tegakan, 7
kosong). Untuk parameter kimia dan fisika
perairan rata-rata masih di bawah ambang
batas baku mutu, hanya nitrat dan posfat
saja yang di atas ambang baku mutu yaitu
rata-rata 1,3 mg/ l (nitrat) dan 0,4 mg/l.
Menurut KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004
untuk baku mutu nitrat 0,008 mg/l dan
untuk baku mutu posfat 0,015 mg/l. Namun
untuk produktivitas lamun di 8 titik ini
masih
kurang
terjaga
karena
kerapatan/tegakan di setiap jenis hanya
Cymodocea rotundata saja yang tinggi ratarata 153 tegakan setiap titiknya sedangkan
untuk kerapatan jenis Thalassia hemprichii,
Enhalus acoroides, Halophilla ovalis ratarata< 5 tegakan di 8 titik tersebut. Kawasan
lamun kelompok 3 mungkin layak dijadikan
zona pemanfaatan di daerah perlindungan
desa Berakit karena berdasarkan hasil
lapangan dan analisis pengelolaan lamun
menggunakan PCA dan Cluster yang di
peroleh untuk produktivitas lamun di 8 titik
yang tersebar di setiap koordinat ini
letaknya
saling
berhubungan
dan
berdekatan antara lamun kriteria kurang
sehat dengan kriteria lamun rusak dan
untuk kualitas airnya rata-rata masih di
bawah baku mutu namun masih bagus
kualitas air dengan kelompok ekosistem
lamun sehat, namun untuk ekosistem
lamunnya tidak tersebar secara merata dan
dominan dijumpai hanya 1 jenis saja yaitu
Cymodocea rotundata, untuk 3 jenis lamun
yang lain dijumpai namun tegakannya jauh
di bawah rata-rata dari Cymodocea
rotundata.Rekomendasi
untuk
daerah
kelompok 3 yang mana dijadikan zona
pemanfaatan adalah : mempunyai KKP
yang sah di kawasan Desa Berakit,
menetapkan rencana zonasi, mempunyai
informasi dan data spasial (peta),
meminimalkan tumpahan minyak di
kawasan konservasi perairan (KKP).
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penelitian
ini adalah :
1.
Kondisi abiotik rata-rata berkisar
untuk suhu 30 0C, salinitas 30 ppt,
kecepatan arus 0,10 m/dtk, DO 7,7
mg/l, pH 8,14, nitrat 1,28 mg/l,
posfat 0,61 mg/l, kekeruhan 2,64
NTU, kedalaman 1,03 m dan
substrat pasir berkerikil Sedangkan
untuk kondisi biotiknya untuk ratarata tutupan lamun E. Acoroides
12,25%, T. Hemprichii 26,72%, C.
Rotundata 14,08 % dan H.Ovalis
0,59%.
Untuk
nilai
indeks
keanekaragaman sebesar 1,527981
dan indeks maksimal sebesar 2,0000
dan untuk kerapatan lamun rata- rata
E. Acoroides 9,11 tegakan , T.
Hemprichii 45,29 tegakan , C.
Rotundata 39,14 tegakan dan H.
Ovalis 4,97 tegakan.
2. Rekomendasi
dari
pengelolaan
ekosistem lamun di desa berakit untuk
kelompok sehat yaitu menetapkan
peraturan
perikanan
kawasan
konservasi
(KKP)
yamg
sah,
melibatkan masyrakat setempat jika
pembentukan
zonasi,
adanya
penjagaan konservasi
kawasan
ekositem lamun. Kelompok yang
kurang sehat yaitu penyuluhan kepada
masyrakat nelayan, mempunyai data
spasial (peta). Kelompok kawasan
ekositem lamun yang rusak yaitu
menetapkan
rencana
zonasi,
meminimalkan tumpahan minyak di
kawasan konservasi perairan (KKP).
B. Saran
Perlunya
pengawasan terhadap
ekositem lamun tersebut dan memberi
penyuluhan tentang pentingnya ekosistem
lamun untuk generasi ke generasi,
membuat data spasial (peta) dan cara
rekomendasi
pengelolaan
ini
bisa
diterapkan sebagai analisis awal ekositem
lamun di desa Berakit dan bisa diterapkan
di kawasan ekositem yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Andi dan MADCOMS. 2011. Aplikasi Web
Database dengan Dreamweaver
dan PHP-MYSQL. Yogyakarta .
Arifin, 2001. Ekosistem Padang Lamun
Jurusan Ilmu Kelautan FIKP.
Universitas Hasanudin Makasar.
Arifin,
2007. Indeks Keberlanjutan
Ekologi-Teknologi
Ekosistem
Terumbu Karang Di Selat Lembeh
Kota Bitung. Jurnal Oseanologi
dan Limnologi di Indonesia (2007)
33: 307 - 323. ISSN 0125 - 9830.
Azkab, M.H. 1988. Pertumbuhan dan
Produksi
Lamun,
Enhalus
acoroides di Rataan Terumbu di
Pari Pulau Seribu. P3O-LIPI,
Teluk Jakarta: Biologi, Budidaya,
Osenografi,Geologi dan Perairan.
Balai Penelitian Biologi Laut,
Pusat
Penelitian
Dan
Pengembangan Oseanologi-LIPI,
Jakarta: 11-6.
Bappeda Kabupaten Bintan. 2010, Dinas
Bapedda : Tanjungpinang.
Berwick, N.L. 1983. Guidelines for
Analysis of Biophysical Impact to
Tropical
Coastal
Marine
Resources. The bombay natural
history society centenary seminar
conservation
in
developing
countries-problems and prospects,
Bombay: 6-10 December 1983.
Bengen. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya
Alam
Pesisir.Pusat
Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Sipnosis. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Brouns
JJWM.1986. Production and
Biomassa of Seagress Enhalus
Acoroides (LF) Royle and its
Ephypytes. Aquat. Bot.25 : 21-45
Dahuri, R. et al, 1996. Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu. PT. Pramadya
Paramita, Jakarta.
Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air
Bagi Pengelolaan Sumberdaya
Dan
Lingkungan Perairan .
Kanisius. Yogyakarta.
English et al, 1994. Survey Manual For
Tropical
Marine
Resources.
Australian Institute of Marine
Science. Townsilve.
Fachrul, MF. 2007. Metode Sampling
Bioekologi. Jakarta : Penerbit
Bumi Askara.
Ginsburg, R, and H,A, lowestan 1958, The
Influence of Marine Bottom
Communities on the Depositional
Environments of Sediment,
j,
Geol. 66 (3): 310-318.
MCROY, cp and R.J. Barsdate 1970.
Phosphate Absorbtion in Ellgrass.
Limnol. Oceanogr.
Hardiyanti, S, Muh. Ruslan U dan Dody P.
2011. Analisis Vegetasi Lamun di
Perairan Pantai Mara’ Bombang
Kabupaten Pinrang, E-Journal
FMIPA Universitas Hasanuddin,
Makasar.
Mintane. 1998. Kondisi Komunitas Lamun
Pada Ekosistem Padang Lamun di
Perairan Lombok Selatan, Nusa
Tenggara
Barat.
Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Bogor.
Hutabarat
dan evans. 1986. Kunci
identifikasi plankton. Jakarta :
Universitas Indonesia.
M. Lindsay, 2002. The Management and
Control of Quality. 5th ed.ohi:
South-Western.
Hutomo, H, 1997. Padang Lamun Indonesia
Salah Satu Ekosistem Laut
Dangkal yang Belum Banyak
dikenal. Puslitbang OseanologiLIPI. Jakarta.
Moore, H.B.1958. Marine Ecology, John
Willey Andsos, New York.
Ismail
Nontji, Anugerah., 2005. Laut Nusantara.
Cetakan
Keempat.
Djambatan.
Jakarta.
Muhamad
Sakarudin.
2011,
Komposisi Jenis, Kerapatan Persen
Penutupan & Luas Penutupan
Lamun di Perairan Pulau Panjang
Tahun
1990-2010,
Institut
Pertanian Bogor : Bogor.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 200 Tahun 2004
Tentang Kriteria Baku Kerusakan
dan Pedoman Penentuan Status
Padang Lamun.
Kikuchi,T. anfd J.M. Peres. 1977.
Consumer ecology of seagraa
beds. dalam: Azkab,M.H. 1999.
Pedoman Invetarisasi Lamun.
Oseana 1: 1-16.
Krebs,1978. Ecology.The Experimental
Analysis of Distribut ion and
Abundance.Third Edition.Harper
and Row Distribution.New York
Laporan Dinas Kelautan Perikanan Bintan.
2011, Profil DKP Bintan :
Bintan
Mackentum, K.M. 1969. The Practice of
Water
Pollution
Control
Administration. Division
of
Technical Support 411P.
Nontji, Anugrah., 1993. Laut Nusantara.
Cetakan Kedua. Djambatan. Jakarta.
Nontji, Anugerah., 2010. Laut Nusantara.
Cetakan
Kelima.
Djambatan.
Jakarta.
Nybakken. J.W, 1992. Biologi Laut Suatu
Pendekatan
Ekologis.
PT.
Gramedia: Jakarta.
Phillips, C.R. and E.G. Menez. 1988.
Seagrass.
Smith
Sonian
Institutions. Press. WasingtonDC.
Supriharyono, 2009. Konservasi Ekosistem
Sumberdaya Hayati. Penerbit
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Supriyadi. 2003. Produktivitas Lamun
Enhalus acoroides (LINN. F)
Royle dan Thalassia hemprichii
(EHRENB.) Ascherson di Pulau
Barang Lompo Makasar. Institut
Pertanian Bogor : Bogor.
Thayer, C. W., Adams, S. M., LaCroix, M.
L.
(1975).
Structural
and
functional aspects of a recently
established
Zostera
marina
community. In: Cronin. L. E. (ed.)
Estuarine
research,Vol.
1.
Academic Press.NewYork, p. 517540.
Wardoyo, S.T.H. 1975. Pengelolaan
Kualitas Air. Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Welch, P.S. 1980. Ecological Effect of
Water. Cambridge University
Press. Sidney.
Yanti, Marlina. 2015. Struktur Komunitas
Lamun Pantai Sakera Kecamatan
Bintan Utara Kabupaten Bintan,
Skripsi. Tanjungpinang : Jurusan
Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu
Kelautan
dan
Perikanan,
Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Download