RINGKASAN U’um Qomariyah. 2010. Pandangan Umar Kayam dalam Sri Sumarah: Tinjauan Sosiologi Sastra. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Model pemahaman terhadap kehidupan yang biasa digunakan manusia adalah membangun miniature kehidupan, dan salah satunya adalah dalam wujud sebuah karya sastra. Para sastrawan membuat imaji dan menciptakan rekaan sebuah dunia kehidupan karena ia ingin menghayati kehidupan itu secara lebih intens. Penelitian ini berusaha untuk melihat bagaimana pandangan Umar Kayam sebagai pengarang yang terefleksi dalam karyanya. Dalam jagad kesusastraan Indonesia, nama Umar Kayam bukanlah sosok asing. Ia mempunyai karya yang sampai sekarang dianggap fenomenal karena mempunyai gaya tersendiri; diantaranya novelet Sri Sumarah. Dalam noveletnya Sri Sumarah, Umar Kayam ibaratnya ingin memuntahkan semua “unek-unek”. Umar Kayam berusaha untuk memahami peristiwa dahsyat yang melanda bangsa Indonesia di tahun 1965_yang melahirkan mereka yang “harus” dan “tidak harus” menjadi korban_, kekejaman pada waktu itu, jadilah novelet Sri Sumarah sebagai salah satu perwujudan dari “kata hati” si pengarang tersebut. Untuk selanjutnya, analisis ini ingin membedah “apa yang ada di unek-unek itu” melalui kajian sosiologi sastra. Hasil analisis dapat diidentifikasi sebagai berikut. Konsep pembagian kelas, hegemoni, sampai pandangan dunia mewarnai alur cerita dalam novelet ini yang lebih bernada simbolis Jawa. Pembagian kelas yang didasarkan pada teori sosiologi sastra dapat dianalisis berdasarkan tipikalisasi tokoh-tokohnya yakni tokoh yang bertipikal feodal,sosialis, proletar, dan pribumi. Dalam novelet Sri Sumarah, konsep hegemoni sangat nyata. Hal itu dapat dilihat dari tokoh utama perempuan, Sri yang dari awal cerita sampai akhir cerita dipaparkan sebagai perempuan yang memang sudah digodok (dibentuk) untuk menjadi perempuan Jawa yang njawani. Proses pembentukan perempuan Jawa yang njawani inilah masuk konsep hegemoni, baik dari nenek Sri maupun Sri sendiri. Konsep humanisme Umar kayam sebagai pandangan dunia yang kental melatarbelakangi penciptaan novelet Sri Sumarah dan karya-karya lainnya yang dilandasi oleh kebingungan Umar Kayam, kegalaunannya, atas peristiwa tahun 1965 tersebut. Kekurangmengertian dalam memandang hubungan kultural dan politik masyarakat pada masa itu yang terkesan tidak terbuka dan subordinatif. Berdasar hal tersebut, realitas sosial yang ingin ditunjukkan Umar Kayam dalam novelnya diantaranya masalah pertentangan kelas sosial, kemiskinan, pendidikan, politik, dan kemanusiaan Kata Kunci: pandangan dunia, hegemoni, tipikalisasi tokoh, sosiologi sastra 1 PENDAHULUAN Model pemahaman terhadap kehidupan yang biasa digunakan manusia adalah membangun miniature kehidupan, dan salah satunya adalah dalam wujud sebuah karya sastra. Para sastrawan membuat imaji dan menciptakan rekaan sebuah dunia kehidupan karena ia ingin menghayati kehidupan itu secara lebih intens. Dengan membangun sebuah miniature kehidupan melalui sebuah fiksi dan menjelaskan dimensi lain dari kehidupan itu, maka akan terjadi pemahaman yang lebih kaya akan model dan dimensi kehidupan (Kayam, 1988: 124) Pada dasarnya, karya sastra adalah sebuah proses dialog. Berbagai persoalan dan perenungan yang dimiliki pengarang akan dituangkan dalam bentuk yang estetis yaitu tulisan. Tulisan itu merupakan wujud responsnya atas segala sesuatu yang menjadi renungan atau pemikiran. Hasil renungan tiap-tiap orang tentulah tidak sama. Untuk suatu hal yang serupa seringkali hasil olahan tiap-tiap pengarang menjadi sangat variatif, meskipun bercerita tentang hal yang sama, misalnya kekerasan, Putu Wijaya dan Seno Gumira Ajidarma memiliki tipologi masing-masing. Umar kayam dan Kuntowijoyo sangat berbeda bila disejajarkan meskipun cerita-cerita yang dibuat oleh mereka mengambil obyek kelompok masyarakat yang sama. Pengalaman hidup dan pola penghayatan yang berbeda, juga visi terhadap suatu persoalan tertentu itulah yang membuat seorang pengarang berbeda di dalam mengungkapkan ide-idenya dengan pengarang lain. Dari pendekatan tertentu, membicarakan sebuah karya sastra artinya juga membicarakan sastrawan yang berdiri di belakang karya itu. Tidaklah mungkin membicarakan suatu karya sastra begitu saja sebagai sebuah realitas yang independent tanpa melakukan kajian terhadap pertarungan konsep, ideologi, dan atau, filsafat dalam pikiran pengarangnya. Oleh karena itu, keperpihakan seniman terhadap sesuatu hal, yang diperbincangkan di dalam karyanya itu, membicarakan sebuah karya sastra berarti membicarakan gagasan-gagasan yang muncul pada manusia yang ada di balik penciptaan suatu karya tersebut. 2 Penelitian ini berusaha untuk melihat bagaimana pandangan seorang Umar Kayam yang terefleksi dalam karyanya. Dalam jagad kesusastraan Indonesia, nama Umar Kayam bukanlah sosok asing. Ia mempunyai karya yang sampai sekarang dianggap fenomenal karena mempunyai gaya tersendiri yang tentu saja berbeda dengan gaya pengarang lain. Menurut Ashadi Sirehar dan Faruk HT (2005), Umar Kayam merupakan salah satu tokoh yang luar biasa. Pertama, Umar Kayam adalah sosok yang banyak melakukan terobosan dalam banyak bidang kehidupan yang melibatkan dirinya. Kedua, dalam berbagai tulisan dan ceramahceramahnya serta bahkan aktvitasnya, Umar Kayam dikenal sebagai seorang yang cenderung menggunakan perspektif dialogis dalam memandang dan menyikapi berbagai persoalan. Dia tidak hanya mempertemukan kesenian tradisional dengan kesenian modern, melainkan mempertemukan studi estetik dalam kesenian dengan studi sosiokultural yang lebih luas. Ketiga, diakui oleh banyak orang bahwa Umar Kayam adalah pribadi yang menarik yang dapat bergaul dengan siapa saja, lapisan apa saja. Dalam noveletnya Sri Sumarah, Umar Kayam ibaratnya ingin memuntahkan “unek-unek” serta kata hatinya lewat novelet tersebut. Umar Kayam berusaha untuk memahami peristiwa dahsyat yang melanda bangsa Indonesia di tahun 1965_yang melahirkan mereka yang “harus” dan “tidak harus” menjadi korban_, kekejaman pada waktu itu, jadilah novelet Sri Sumarah sebagai salah satu perwujudan dari “kata hati” si pengarang tersebut. Untuk selanjutnya, analisis ini ingin membedah “apa yang ada di unek-unek itu” melalui kajian sosiologi sastra. Pembedahan difokuskan pada bagaimana pandangan Umar Kayam sebagai pengarang yang dituangkan dalam novelet Sri Sumarah. Bertolak dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini secara umum menyangkut pandangan Umar Kayam yang tertuang dalam noveletnya, Sri Sumarah. Secara lebih rinci, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Tipikalisasi tokoh dalam novel Sri Sumarah karya Umar Kayam (2) Hegemoni dalam Sri Sumarah Karya Umar Kayam (3) Pandangan Umar Kayam dalam Sri Sumarah 3 Sosiologi merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga sosial dan proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan terbentuk, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat bertahan hidup melalui penelitian yang ketat mengenai lembaga-lambaga sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga yang bersama-sama membentuk struktur sosial, sebuah gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan dan ditentukan oleh masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan dan menerima peran tertentu dalam struktur sosial. Aspek sosiologi di atas berhubungan dengan konsep stabilitas sosial, kontinuitas yang terbentuk dalam hubungan dengan masyarakat yang berbeda, cara-cara yang dengannya individu-individu menerima lembaga-lembaga sosial yang utama sebagai suatu hal yang diperlukan dan benar. Di samping itu, sosiologi juga berurusan dengan proses perubahan-perubahan sosial baik yang terjadi secara berangsur maupun secara revolusioner, dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut (Swingewood, 1972: 11-12). Lebih lanjut Sapardi djoko damono mengemukakan beberapa pendapat mengenai aneka ragam pendekatan terhadap karya sastra seperti yang dikemukakan Wolff di atas. Dari Wellek dan Werren ia menemukan setidaknya tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial dan yang lainlain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri, dan sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Berdasar hal di atas, penelitian ini difokuskan pada pendekatan sosiologi pengarang dengan menggunakan teori strukturalisme genetic Lucien Goldman. Alasan pemilihan pendekatan dan teori ini karena fokus dari penelitian ini yang bertolak pada pengarang. Untuk mengetahui bagaimana pandangan pengarang 4 dalam karyanya maka pendekatan sosiologi pengarang lebih cocok untuk digunakan. METODE Dalam sebuah penelitian sastra, obyek yang digunakan adalah karya sastra. Tentu saja hal ini menyangkut suatu objek penelitian suatu humaniora, yang didalamnya terkait dengan pemaknaan dan pemberian interpretasi sehingga memerlukan intensitas dan pendalaman. Di awal pembahasan metode penelitian, akan dibahas terlebih dahulu mengenahi objek penelitian. Secara garis besar, penelitian ini terdiri dari objek material dan formal. Objek material dari penelitian ini adalah novelet Sri Sumarah karya Umar Kayam. Sedangkan objek formal penelitian ini adalah pandangan Umar Kayam yang tertuang dalam novelnya Sri Sumarah yang diungkap melalui teori sosiologi sastra. Metode penelitian ini bersifat kualitatif dengan melihat subtansi (sifat) penelitian. Permasalahan penelitaian ini mengungkap pandangan pengarang dalam novelet Sri Sumarah. Pembicaraan mengenahi pandnagan berarti menyangkut pembicaraan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran manusia. Dengan kata lain menyangkut ide, pikiran, cita-cita, dan tentu saja sikap. Untuk mengetahui pikiran tersebut maka digunakan indikator-indikator yang dituangkan dalam bentuk kata, frase, atau kalimat. Dengan alasan sebagaimana paparan tersebut, maka metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Selanjutnya, penelitian ini dilaksanakan dengan teknik yang sesuai dengan langkah atau tahapan pelaksanaan penelitian. Tahapan-tahapan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: pengumpulan data penelitian berupa kata, frase atau kalimat yang terdapat dalam novelet Sri Sumarah. pengklasifikasian data sesuai dengan kepentingan masalah yang dibahas, analisis data dan pemberian interpretasi, pembuatan generalisasi dan simpulan, dan penyusunan laporan penelitian. 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Tipikalisasi Kelas Sosial Tokoh Konsep pembagian kelas, hegemoni, sampai pandangan dunia mewarnai alur cerita dalam novelet ini yang lebih bernada simbolis Jawa. Pembagian kelas yang didasarkan pada teori marxism dapat dianalisis berdasarkan tipikalisasi tokoh-tokohnya. Pada novelet Sri Sumarah, yang merepresentasikan kelas sosialis adalah Tun (anak Sri Sumarah), Yos (menantu Sri Sumarah), Pak Camat serta beberapa tokoh lain yang tidak teridentifikasi namanya. Berikut ini kutipan yang dapat menunjukkan bahwa tokoh tersebut di atas merepresentasikan kelas sosialis. “Aksi-aksi kita sukses. Ini tes permulaan. Ini percobaan adu otot. Aah, ternyata mereka betul-betul macan kertas...tanah mertua saya itu umpamanya. Separo telah dikangkangi oleh seorang tuan tanah yang bernama Mohammad. Dia itu diketahui sebagai simpatisan DI, dulu. Sekarang dia mengangkangi tanah-tanah petani miskin, antara lain mertua saya itu. Ooh, waktu aksi kita gerakkan, gemetaran dia.” (SS: 218) Selain itu, kaum sosialis juga menyatakan ketidaksetujuannya pada hal-hal yang dianggap berbau agama, tuhan dan religiusitas. Hal itu dipertegas dengan ungkapan Yos yang memberikan label Pak Mohammad dengan mantan simpatisan DI. Penganut paham sosialis yang berhaluan kiri menganggap agama sebagai candu dan konsep agama itu dianggap semakin mengukuhkan nilai-nilai feodalisme. Seseorang yang terbuai oleh kebenaran agama dianggap tidak akan pernah maju dan akan selalu terbelakang. Selain ungkapan Yos yang membenci para tuan tanah, Yos sebagai seorang berhaluan kiri juga membenci para raja-raja Jawa yang dianggap sebagai antek-anteknya feodal. Sosialis memang sangat bertentangan dengan apa yang dinamakan kebudayaan. Seperti yang diungkapkan oleh Gramsci bahwa konsep kebudayaan serupa itu sungguh-sungguh berbahaya, khususnya bagi proletariat. Ia hanya berfungsi sebagai alat untuk menciptakan masyarakat yang tidak bisa 6 menyesuaikan diri,....( Faruk 2005: 65). Maka dari itulah, menjadi hal lumrah ketika Yos dan teman-temannya sengaja mempermainkan raja-raja Jawa (dalam cerita wayang) dan mengolok-oloknya. Sepertinya raja-raja Jawa tersebut bukan sesuatu hal yang harus dihormati, sebaliknya kebudayaan semacam itu harus dimusnahkan. Kebudayaan tersebut dapat membuat masyarakat, terutama masyarakat kecil, terbuai sehingga menjadi penghalang antara diri mereka dengan orang lain. Kelas sosialis juga direpresentasikan oleh Tun, seperti terlihat dalam kutipan berikut. Si Ginuk sudah mulai berjalan, si Tun sekarang mulai aktif dalam Gerwani, pastilah kehadiran Sri akan sangat tepat dibutuhkan, demikian bujuk Yos (SS: 213) Dalam kutipan tersebut, Tun sebagai seorang yang berpaham sosialis dikemukakan secara eksplisit. Gerwani merupakan gerakan wanita partai komunis PKI yang saat itu bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Selain Yos dan Tun, Pak camat juga ikut merepresentasikan kaum sosialis. Pada akhirnya kelas sosialis Yos dan Tun terlihat dari usaha pemerintah untuk menangkap mereka yang dinilai melawan pemerintah. Sampai akhirnya Yos yang dianggap sebagai kakapnya, terbunuh dalam pengejaran itu. Berdasarkan kutipan-kutipan di atas terlihat jelas bahwa Yos, Tun, dan Pak Camat merepresentasikan kelas sosialis. Hal itu semakin diperkuat dengan kematian Yos yang bernasib tragis dan Tun yang sedikit lebih baik dengan hanya menjalani hukuman penjara. Sebuah akhir bagi seorang sosialis sejati yang pahamnya terlarang pada masa itu. Semua itu berkat usaha Sri dalam membujuk Pak RT. Kelas feodal dalam novelet Sri Sumarah direpresentasikan tokoh Pak Mohammad. Kelas feodal ini merupakan kelas pemilik tuan tanah. Adapun yang termasuk kelas proletar dalam novelet ini juga menjadi bagian dari kelas kapital (pemilik modal). Dalam novelet Sri Sumarah tersebut yang merepresentasikan kelas proletar yakni Pak Martokusumo (Suami Sri), Pak RT, Pak Carik. Masing7 masing tokoh tersebut dalam teori hegemoni merupakan kaum intelektual. Kaum intelektual dipahami sebagai suatu strata sosial yang menyeluruh yang menjalankan suatu fungsi organisasional dalam pengertian yang luas-entah dalam lapangan produksi, kebudayaan, ataupun dalam administrasi politik. Mereka meliputi kelompok-kelompok misalnya dari pegawai yunior dalam ketentaraan sampai dengan pegawai yang pangkatnya lebih tinggi (Faruk 2005: 75). Lebih jauh, di samping tipikalisasi kelas yang berdasar pada sosial masyarakat, dalam novelet Sri Sumarah tersebut, pengarang sepertinya ingin mengutarakan dunia Jawa yang sarat dengan pembagian kelas (undakan klas) antara kaum priyayi dengan wong cilik (abangan). Hal ini seperti terlihat pada bagian-bagian awal yang merupakan kilas balik dari alasan Sri dipanggil bu guru pijat. Di situ dipaparkan dengan jelas bahwa pada mulanya sebelum Sri mendapat julukan Bu guru pijat, ia mempunyai nama asli Sri Sumarah sampai ia bersuamikan Pak Martokusumo sehingga dipanggil Bu Marto. Dari nama Martokusumo inilah terlihat bahwa nama menunjukkan status sosial tertentu. Ketika berbicara mengenai siapa yang dominan (menang) dalam ketiga kelas sosial di atas, maka analisis dapat diberikan pada tokoh yang masing-masing merepresentasikan kelas tertentu. Sri Sumarah yang merepresentasikan kelas pribumi, Yos dan Tun yang merepresentasikan kelas sosialis, dan Pak Mohammad yang merepresentasikan kelas feodal kapitalis. Masing-masing adalah tokoh yang dominan pada kelas-kelas sosial tertentu. Dalam cerita tersebut dinyatakan bahwa Yos yang merepresentasikan kelas sosialis ternyata terbunuh oleh aparatur ideologi (tentara, polisi) dalam usaha pembasmian antek-antek sosialis yang mencoba merongrong wibawa negara. Begitu juga dengan Tun yang akhir ceritanya dipenjara. Nasib yang sedikit lebih baik dibandingkan mati tertembak seperti suaminya, Yos.Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kelas sosialis kalah. Selanjutnya, kelas feodal yang diwakili oleh Pak Mohammad. Sepertinya Pak Muhammad juga tidak bernasib mujur. Pada masa perkembangan gerakan 8 komunis, Pak Muhammad yang berhubungan dengan Sri berkaitan dengan sawah, mendapatkan ancaman dari Yos yang merepresentasikan kelas sosialis dan Pak Mohammad takut. Kemudian Sri Sumarah yang pikirannya terhegemoni dengan pandanganpandangan wong cilik (pribumi), pada akhirnya dia bisa menentukan pilihannya sendiri terlepas dari pengaruh orang lain. Meskipun pada awal cerita sepertinya Sri terkungkung dan didekte oleh jaman namun pada akhirnya Sri memilih. Kebebasan Sri dalam menentukan pilihannya (untuk tidur dengan pelanggan mudanya) adalah bentuk dari kemenangan Sri atas dirinya sendiri. Bahkan dia menyadari sepenuhnya atas pilihan yang telah dia jalani. Kemenangan Sri yang merepresentasikan kelas pribumi adalah kemenangan kelas pribumi itu sendiri. 4.2 Konsep Hegemoni dalam Sri Sumarah Definisi dari hegemoni itu sendiri dipaparkan oleh Faruk yakni sifat kompleks dari hubungan antara massa rakyat dengan kelompok-kelompok pemimpin masyarakat: suatu hubungan yang tidak hanya politis dalam pengertian yang sempit, tetapi juga persoalan mengenai gagasan-gagasan atau kesadaran (2005: 70). Pada dasarnya hegemoni adalah kekuasaan melalui kesadaran. Jadi seseorang melakukan sesuatu bukan karena dipaksa tetapi karena kesadaran sendiri dan kekuasaan secara hegemoni itu lebih lama bertahan daripada kekuasaan melalui dominasi. Dalam novelet Sri Sumarah, konsep hegemoni sangat nyata. Hal itu dapat dilihat dari tokoh utama perempuan, Sri yang dari awal cerita sampai akhir cerita dipaparkan sedemikian rupa, sebagai perempuan yang memang sudah digodok (dibentuk) untuk menjadi perempuan Jawa yang njawani. Proses pembentukan perempuan Jawa yang njawani inilah masuk konsep hegemoni, baik dari nenek Sri maupun Sri sendiri. 9 Selanjutnya nenek Sri mengatakan bahwa untuk mencegah agar suami tidak lemah dan tidak berkembang kelemahannya, seorang istri mestilah sanggup memencilkan dan mengecilkannya lewat berbagai jalan. Rumah itu mestilah tenteram sehingga suami itu kerasan dekat istrinya. “Nah itu bisa dicapai lewat dapur, tempat tidur, sikap, dan omonganmu shari-hari, nDuk,” (187-188) Berdasarkan percakapan di atas, terlihat jelas bahwa dunia perempuan sudah dibentuk sedemikian rupa untuk menjadi yang “terbaik” bagi suaminya. Jika hal ini dikaitkan dengan kaum feminis, maka konsep ini bertentangan sekali. Kaum feminis tidak menginginkan seorang perempuan hanya menjadi “budak” kaum laki-laki tanpa bisa berbuat banyak untuk dirinya sendiri. Kaum feminis menginginkan perempuan bisa berjuang untuk dirinya sendiri tanpa harus takut dengan laki-laki, meskipun laki-laki itu adalah suaminya sendiri. Namun, dalam konsep hegemoni, karena kekuasaan --kekuasaan jawa-- sudah di bentuk sedemikian rupa, perempuan hanya bisa pasrah dan menerima dengan ikhlas tanpa tuntutan. Bahkan mereka melakukannya dengan senang hati. Konsep kejawaan yang telah menghegemoni mereka membuat para perempuan itu melakukan suatu perbuatan atas inisiatif sendiri tanpa tekanan dari orang lain Perempuan merasa bahwa itu memang sudah menjadi tugas dan kewajiban mereka untuk menyenangkan suami-suami mereka, sehingga tanpa diminta atau bahkan disuruh mereka sudah melakukannya sendiri. Disinilah konsep hegemoni yang sebenarnaya. Tanpa dipaksa, perempuan akan dengan senang hati menerima “kewajiban dan tugas” yang dibebankan oleh mereka. Sri Sumarah, bisa dikatakan merupakan simbol sisa-sisa kaum feodal. Kaum feodal yang direpresentasikan melalui “kaum priyayi” mencoba untuk mengukuhkan nilai-nilai Jawa untuk memperkuat ideologi mereka. Mereka tidak ingin kaum perempuan berpikir lebih tentang diri-diri mereka sendiri, perempuan harus seperti apa adanya sekarang; perempuan hanya bisa di dapur, sumur, dan kasur, selebihnya tidak. Sisa-sisa kaum feodalis ini megitu kuat mengakar dalam diri perempuan. 10 Anehnya, perempuan tidak merasa bahwa diri-diri mereka “dipaksa” untuk melakukan sesuatu, karena pikiran mereka sudah terhegemoni oleh ideologi tertentu. Bahkan tidak melakukan suatu “pandangan ideologi” yang sudah menghegemoni merupakan hal yang tidak layak dilakukan, bahkan dianggap salah dan layak menerima akibatnya. Akibat itu akan ditanggung oleh perempun sendiri yang tidak mau dengan sadar melakukan apa yang sudah menjadi “kewajiban mereka”. Pendeknya, hegemoni itu terlihat jelas dalam konsep Sri Sumarah dalam mempertahankan falsafah hidup terutama falsafah hidup perempuan, bagaimana perempuan seharusnya berbuat, seharusnya bertindak ketika sudah bersuami, ketika mempunyai anak, atau bahkan ketika suami-suami mereka meninggalkan mereka. Falsafah hidup “kejawaan” itu terus dipegang oleh Sri Sumarah dengan teguh dan itupun nantinya ingin diteruskan pada Tun. Meskipun disini Tun mempunyai ideologi lain yang berbeda dengan ideologi yang dianut ibunya, Sri Sumarah. Konsep hegemoni ini bahkan sampai sekarang masih dianut oleh kebanyakan perempuan di Indonesia. Bagi perempuan terutama oleh istri, hidup adalah utnuk mengabdi pada suami dan keluarga, selebihnya tidak. Dengan demikian konsep hegemoni tentang falsafah perempuan Jawa sudah benar-benar mengakar sampai sekarang. Pendeknya, konsep hegemoni tentang perempuan itu sampai sekarang masih terus melahirkan “Sri Sumarah-Sri Sumarah” baru 4.3 Pandangan Dunia Pengarang Dua cerita Umar kayam yaitu, Sri Sumarah dan Bawuk adalah novelet: cerita panjang yang tak lagi mendedahkan sketsa tentang tokoh dan peristiwa. Ditampilkannya riwayat hidup tokoh sebagai bagian dari sejarah yang lebih besar. Seakan pengarang ingin mencoba: adakah karakter yang mampu keluar dari kemelut badai, seperti peristiwa gestapu, dan tetap tegak sebagai pribadi. Dan sang pengesah menyurukkan kita lebih jauh ke dunia Jawa: dunia kaum priyayi. 11 Seakan ia ingin menguji pula apakah lapisan sosial ini mampu menjelmakan diri kedunia modern. Jalan hidup Sri Sumarah sudah di tentukan sejak ia dinamai Sumarah, yang berarti pasrah, menyerah, tabah. Janda pak guru Martokusumo ini menjadi penjahit dan pembuat kue ketika suaminya meninggal karena wabah eltor. Ketika ia harus menggadaikan sawah dan rumahnya kepada pak Muhammad, dan ketika ia terpaksa mengawinkan putri tunggalnya, Tun, dengan seorang aktifis CGMI. Pengarang sedang menghadapkan Sri Sumarah yang priyayi rendah itu, dengan sang santri dari sang abangan. Namun kepasrahanpun menjadi kesaktian: ketika sang menantu tertembak mati dan sang putri ditahan, Sri bertahan hidup dengan mengasuh cucunya dengan menjadi juru pijit atas wisik (bisik gaib) almarhum suaminya. Memijit adalah mengelus-elus, melemaskan urat-urat yang semula tegang. Dan jika pelanggan Sri adalah kaum lelaki tidak begitu sulit kita berpendapat bahwa sosoknya dalam novel dibentuk oleh mata lelaki. Sejenis erotisme halus membayang sepanjang kisah, tetapi Sri tetap tinggal dalam kesuciannya, seperti Kunti, Pandawa, dan seperti Sembadra, salah satu istri Arjuna, ia tetap setia kepada almarhum suami dan keluarga. Ia suri tauladan yang sakti. Ketika ia tergadai oleh seorang pemuda jakarta yang dipijatnya, sehingga mereka berpeluk sepanjang malam, alangkah luar biasa, ia berhasil mengelakkan persetubuhan sungguh sang pengarang tidak mengijinkan Sri menjadi manusia darah dan daging yang bisa berdosa. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa novelet ini hadir karena ada “unek-unek” yang ingin dikeluarkan oleh pengarangnya Ahimsa (salam ed.1998: 43). Ada keterkaitan yang erat dalam proses penulisan Sri Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi. Ketiga cerita di atas merupakan cerita yang bersambung dan saling berhubungan. Pengetahuan tentang alasan proses kreatif Umar Kayam itu dilakukan Ahimsa untuk mendapatkan interpretasi terhadap novelet tersebut. Interpretasi ini memungkinkan untuk membuat gambaran yang jelas mengenai 12 “apa yang ada di balik” cerita tersebut. “Latar belakang” penulisan novelet yang yang ditulis Umar Kayam di majalah Basis ini sangat berharga. Demikian bunyi tulisan tersebut. Pada tahun 1966 saya diangkat menjadi direktur jendral radio, televisi dan film. Pada tahun 1969 saya dipersilahkan meninggalkan jabatan itu. Tahun-tahun itu adalah tahun-tahun yang penuh pesona petualangan, akan tetapi sekaligus juga kebingungan, ketegangan dan kebimbangan. Pada usia relatif masih muda, 34 tahun, saya telah mendapatkan beban kekuasaan yang besar. Dengan kegairahan seorang anak muda yang percaya pada suatu komitmen terhadap datangnya suatu orde yang baru yang mesti menggantikan orde yang lapuk, saya bekerja membersihkan lingkungan kerja saya dari semua unsur orde lapuk itu. Akan tetapi bersamaan dengan ini saya juga melihat korban-korban berjatuhan. Korban yang seharusnya menjadi korban. Korban yang saharusnya tidak menjadi korban. Siapakan yang menentukan harus dan tidak harus menajadi koraban itu? Dalam kebimbangan di Kurusetra, Arjuna masih sempat bertanya pada Kresna. Dalam kebimbangan dan ketidakmengertian saya, saya tidak mempunyai seorang Kresna. Kebimbangan dan ketidakmengertian saya, saya coba pertanyakan dalam cerita. Maka musim gugur kembali di Conecticut dan bawuk saya tulis dalam periode itu. Nasib sial yang harus dialami tono, sang protaginis dari musim gugur..., dan konsekwensi tragis yang harus dipikul oleh bawuk dalam bawuk, adalah upaya saya untuk memahami siapa yang harus dan yang tidak harus menjadi korban. Saya tidak tahu dengan pasti apakah dengan penulisan dua cerita itu saya telah memahami dengan baik masalah itu.... Selanjutnya Umar Kayam juga mengatakan bahwa dua cerita diatas kemudian disusun oleh dua cerita yang lain, yaitu Kimono Biru dan Sri Sumarah ternyata proses penulisan dua cerita ini juga tidak terlepas dari proses penulisan dua cerita sebelumnya. Cerita-cerita itu (Kimono Biru dan Sri Sumara) saya kira masih melanjutklan usaha pemahaman saya tentang peristiwa besar dan dahsyat tahun 65 itu... 13 Berdasarkan kutipan ditas, dapat diratrik suatu kesimpulan yang jelas bahwa Umar Kayam mempunyai pandangan dunia humanisme yang memaparkan tentang aspek sosial kemasyarakat terutama masyarakat Jawa. Umar Kayam ingin melihat bahwa dunia sosial masyarakat pada waktu itu sangat kompleks sehingga ia pun merasakan kebingungan yang luar biasa untuk bisa memahai apa makna semua itu. Kemudian ia menyalurkan “unek-unek”-nya, kebingungan, itu lewat tulisannya, salah satunya lewat novelet Sri Sumarah. Pandangan dunia humanisme dan sosial memang sudah terlihat dari beberapa tulisan Umar Kayam. Umar Kayam banyak mengambil tentang dunia humanisme “priyayi” Jawa. Konsep-konsep pemikiran Jawa inilah yang menjadi ciri khas dari Umar Kayam. Konsep humanisme Umar kayam sebagai pandangan dunia yang kental melatarbelakangi penciptaan novelet Sri Sumarah dan karya-karya lainnya yang dilandasi oleh kebingungan Umar Kayam, kegalaunannya, atas peristiwa tahun 1965 tersebut. Kekurangmengertian dalam memandang hubungan kultural dan politik masyarakat pada masa itu yang terkesan tidak terbuka dan subordinatif. Melalui pandangan dunianya yaitu menganggap bahwa semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk bisa hidup berbahagia dan terlepas dari segala macam “hukuman” jika seseorang itu tidak pernah melakukanya. Seperti pembelaanya pada Sri Sumarah dan Tun yang memang mereka sebenarnya adalah korban-korban dari nasib, korban dari ketidakberuntungan mereka, ketidakmengertian mereka akan perubahan zaman yang terlalu cepat untuk mereka pahami. Oleh Umar Kayam dalam dunia karyanya; kedua tokoh tersebut tidak menjadi korban. 4.3.1 Realitas Sosial dalam Novelet Sri Sumarah Sastra mencerminkan kondisi masyarakat. Didalamnya terrdapat faktafakta sosial yang dapat diungkap ke permukaan lalu dianalisis. Setelah itu akan dapat diperoleh ide-ide yang tersirat, ide-ide yang dimaksud atau tujuan dari 14 pengarang. Dalam hal ini terkait dengan kritik masalah sosial dan masyarakat yang terjadi pada saat karya tersebut ditulis. Sri Sumarah adalah potret peristiwa yang terjadi pada diri Umar Kayam dan masyarakat yang dituangkan oleh Umar Kayam sendiri dan kemudian ditulisnya kembali. Umar Kayam memunculkan permasalahan-permasalah yang terjadi serta mereka semua itu dalam benaknya. Sri Sumarah menjadi gambaran keadaan masyarakat pada saat itu yakni masa meletusnya pemberontakan PKI dan sesudahnya. Beberapa realitas sosial yang dapat diungkap dalam novelet itu sebagai berikut. (1) masalah pertentangan kelas sosial. Dalam novelet tersebut, kelas masyarakat itu dibagi menjadi kelas kaum priyayi (kelas proletar) dan kelas wong cilik (pribumi), dan juga kelas kaum kiri (sosialis). Masalah kelas sosial inilah yang sepertinya menjadi masalah utama (inti) dalam novelet ini. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsep yang melatar belakangi Umar Kayam menulis novel ini adalah konsep ketidakmengertiannya tentang siapa yang harus dan tidak harus menjadi korban. (2) Masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan ini juga masih berkaitan dengan masalah kelas sosial. Kaum wong cilik yang pada akhirnya direpresentasikan oleh Sumarah. Karena ketidakberdayaan dia dalam menghadapi krisis moneter (inflasi) menyebabkan dia harus bekerja lebih keras dan berpikir, menyebabkan Sri Sumarah terjebak dalam kemiskinan yang selama ini sudah dianggap menghilang, semenjak ia menikah dengan suaminya dari kalangan Priyayi. Kemiskinan itu juga terlihat dalam realitas sosial masyarakat pada waktu itu yang merasa hidupnya sangat sulit dan bisa dikatakan berada dalam garis kemiskinan. Penduduk pada masa itu banyak menghadapi berbagai macam gejolak yang meneyebabakan ketidakmenentuan harga-harga kebutuhan pokok. Pendeknya, ketika berbicara masalah kelas wong cilik maka tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang sepertinya ibarat lingkaran setan yang selalu menjerat wong cilik. 15 (3) Masalah Pendidikan. Masalah pendidikan itu dipaparkan dengan jelas pada masa kelahiran Tun dan niat Sumarah untuk memberikan pendidikan yang terbaik buat anaknya. Sumarah sadar bahwa untuk anak jaman sekarang, pendidikan memegang peranan penting. Jika anak disekolahkan sampai tinggi maka anak bisa berkembang dan mempunyai banyak pengalaman serta pengetahuan. (4) Masalah politik. Masalah politik ini jelas menjadi masalah kunci yang sangat berperan. Jika dikaitkan dengan alasan Kayam menulis novel ini, maka pristiwa politik bisa dijadikan acuan sebagai realitas sosial yang tidak bisa ditinggalkan. Umar Kayam sangat tidak mengerti atas peristiwa yang terjadi pada masa itu, pada peristiwa politik masa pemberontakan PKI. Realitas sosial politik ini membawa alur yang jelas bahwa novelet ini ditulis pada masa 1965-an. Masa ketika bangsa Indonesia harus menghadapi perlawanan dari bangsanya sendiri karena perbedaan ideologi yang dianut. Masamasa itu bisa dikatakan sulit sampai Umar Kayam tidak bisa memahaminya. Peristiwa politik itu cukup berpengaruh dalam mewarnai nuansa masalah dalam cerita ini. Pendeknya, indikasi adanya realitas sosial ini dapat dilihat dalam latar waktu dan paparan tokoh-tokoh novel di atas. (5) Masalah Kemanusiaan. Masalah-masalah kemanusiaan merupakan persoalan-persoalan mengenai kehidupan manusia baik manusia secara individual maupun secara sosial. Dalam perspektif individu, manusia memiliki keinginan atau pengharapan untuk hidup bebas. Bebas dalam pengertian hidup merdeka tanpa tekanan ataupun dominasi dari orang lain. Dalam perspektif sosial, hal tersebut tidak selamanya dapat terpenuhi karena berbenturan dengan kepentingankepentingan individu lain. Dalam Sri Sumarah, masalah kebebasan hidup dan kebersamaan merupakan permasalahan kemanusiaan yang cukup dominan digambarkan. Kebebasan itu terlihat jelas dalam tokoh Sumarah ketika menghadapi anaknya yang menginjak remaja. Anaknya tidak diberi tekanan atau aturan seperti Sumarah 16 dahulu pernah mendapatkan dari orang tuanya. Tun, anak Sumarah dibiarkan untuk memilih apa yang menjadi kehendak hatinya bahkan sampai memilih jodoh. Maupun memilih ideologi yang menjadi pandangan hidupnya, Sumarah membiarkan Tun terbang dan menapaki keinginannya sendiri tanpa ada intervensi darinya. PENUTUP Berdasar analisis diatas, simpulan yang diambil sebagai berikut. (1) Konsep pembagian kelas, hegemoni, sampai pandangan dunia mewarnai alur cerita dalam novelet ini yang lebih bernada simbolis Jawa. Pembagian kelas yang didasarkan pada teori sosiologi sastra dapat dianalisis berdasarkan tipikalisasi tokoh-tokohnya yakni tokoh yang bertipikal feodal,sosialis, proletar, dan pribumi. (2) Dalam novelet Sri Sumarah, konsep hegemoni sangat nyata. Hal itu dapat dilihat dari tokoh utama perempuan, Sri yang dari awal cerita sampai akhir cerita dipaparkan sebagai perempuan yang memang sudah digodok (dibentuk) untuk menjadi perempuan Jawa yang njawani. Proses pembentukan perempuan Jawa yang njawani inilah masuk konsep hegemoni, baik dari nenek Sri maupun Sri sendiri. (3) Konsep humanisme Umar kayam sebagai pandangan dunia yang kental melatarbelakangi penciptaan novelet Sri Sumarah dan karya-karya lainnya yang dilandasi oleh kebingungan Umar Kayam, kegalaunannya, atas peristiwa tahun 1965 tersebut. Kekurangmengertian dalam memandang hubungan kultural dan politik masyarakat pada masa itu yang terkesan tidak terbuka dan subordinatif. Berdasar hal tersebut, realitas sosial yang ingin ditunjukkan Umar Kayam dalam novelnya diantaranya masalah pertentangan kelas sosial, kemiskinan, pendidikan, politik, dan kemanusiaan 17 DAFTAR PUSTAKA Ahimsa, Heddy Shri. 1998. ”Levi-Strauss, Orang-Orang PKI, Nalar Jawa, dan Sosok Umar Kayam_Telaah struktural-Hermeneutik Dongeng Etnografis dari Umar Kayam”. Dalam Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Salam, Aprinus (ed.) Yogyakarta: Pustaka pelajar. Chudori, Leila. 1998. ”Sepucuk Surat untuk Umar Kayam (Konsep Ibu dalam Cerita-Cerita Umar Kayam” dalam Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Salam, Aprinus (ed.) Yogyakarta: Pustaka pelajar. Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Faruk. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Heraty, Toeti. 1998. Feminisme Ala Kayam” dalam Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Salam, Aprinus (ed.) Yogyakarta: Pustaka pelajar. Kayam,Umar. 1988. “Memahami Roman Indonesia Modern sebagai Pencerminan Ekspresi dan Masyarakat dan Budaya Indonesia. Suatu Refleksi” dalam Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan. Bandung: Angkasa. Kayam, Umar. 2003. Seribu Kunang-Kunang di Manhattan Kumpulan Novelet Umar Kayam. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Siregar, Ashadi dan Faruk. 2005. Umar Kayam Luar Dalam dalam Siregar dan Faruk (penyunting). Yogyakarta: Pinus. Swingwood, Alan dan Diana Laurenson. 1972. Sosiology of Literature. Paladin: London. Wellek, Renne dan Austin Warren. 1981. Teori Kesusastraan (Terj. Melani Budianta). Jakarta: Gramedia. 18