Prinsip Kehati-hatian.....Kompas.11.09.03

advertisement
Prinsip Kehati-hatian Bank Dalam Kegiatan Reksadana1
Dr. Agus Sugiarto2
Perkembangan penjualan reksadana yang sangat pesat dalam kurun waktu dua tahun
terakhir ini tidak terlepas dari besarnya peran perbankan beserta jaringan kantornya di seluruh
Indonesia. Dari total Rp68,35 triliun reksadana yang terjual sampai dengan Juni 2003,
diperkirakan sekitar 85% atau Rp58 triliun penjualannya dilakukan melalui jalur distribusi
perbankan, yang melibatkan sekitar 15 bank. Apabila dilihat dari angka penjualan reksadana
tersebut maka distribusi penjualan reksadana yang dilakukan lembaga lain baik itu manajer
investasi, perusahaan asuransi maupun lembaga lain tidak begitu besar. Mengingat cukup
besarnya peran perbankan dalam mendukung pertumbuhan industri reksadana di tanah air
maka tidaklah berlebihan apabila industri perbankan nsional khususnya bagi bank-bank yang
terlibat dalam distribusi penjualan reksadana perlu memperhatikan beberapa aspek kehatihatian (prudential) yang berkaitan dengan bank itu sendiri. Aspek prudential yang perlu
dilihat disini bukanlah yang terkait dengan fungsi bank sebagai
custodian bank (bank
penyimpan/penata usaha surat-surat berharga), melainkan fungsi bank sebagai agent of sales
dari produk reksadana itu sendiri. Dalam Tabel 1 terlihat bagaimana mekanisme penjualan
reksadana tersebut melibatkan bank sebagai agen penjual reksadana.
Walaupun pengaturan reksadana sepenuhnya merupakan kewenangan Bapepam
mengingat reksadana tersebut merupakan suatu instrumen investasi jangka panjang, namun
bank yang bertindak sebagai agent of sales dari reksadana tetap perlu harus memperhatikan
beberapa prinsip kehati-hatian yang berhubungan dengan penyelenggaraan reksadana. Bank
Indonesia sendiri, meskipun bukan lembaga yang berwenang untuk mengatur dan mengawasi
penyelenggaraan
reksadana,
tetap
saja
memiliki
keterkaitan
yang
erat
apabila
penyelenggaraan reksadana tersebut melibatkan bank-bank. Bank-bank yang ikut terlibat
dalam penjualan reksadana sedikit banyak akan memiliki risk exposures yang berasal dari
reksadana tersebut, apakah itu risiko reputasi, risiko hukum maupun risiko-risiko lainnya.
Oleh karena itu, bagi bank-bank yang menjadi agent of sales reksadana harus senantiasa
menjunjung tinggi prinsip-prinsip kehati-hatian dalam kegiatan operasional reksadana
sebagaimana prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha bank yang yang telah digariskan
oleh Bank Indonesia. Keterlibatan Bank Indonesia tersebut sejalan dengan amanat Undang1
2
Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas, 11 September 2003.
Peneliti Bank Senior, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia.
2
Undang Perbankan No.10 tahun 1998 pasal 29 dan pasal 30 yang menegaskan fungsi dan
peran Bank Indonesia sebagai lembaga pembina dan pengawas perbankan di Indonesia. Di
dalam Tabel 2, terdapat beberapa kewenangan Bank Indonesia yang menyangkut aspek
prudential yang harus diperhatikan oleh bank sebagai agen penjual reksadana, serta aspekaspek reksadana lainnya yang menjadi kewenangan Bapepam.
Tabel 1. Mekanisme penjualan reksadana yang melibatkan bank.
Menyampaikan
order
Nasabah
Bank
Membeli
reksadana
Manajer
Investasi
Konfirmasi
Mentransfer
uang
Bank
Kustodian
Tujuan prinsip kehati-hatian
Perlunya bank-bank memegang prinsip kehati-hatian dalam penjualan reksadana
adalah untuk memastikan bahwa peran bank sebagai agent of sales reksadana tersebut tidak
mengganggu operasional kegiatan usaha perbankan yang dilakukan oleh bank itu sendiri.
Jangan sampai fungsi bank yang terbatas sebagai agent of sales reksadana tersebut dapat
merusak citra bank sendiri atau bank justeru memperoleh risiko-risiko baru yang tidak dapat
dikontrol oleh bank tersebut. Selain dari pada itu, perlunya bank menerapkan prinsip kehatihatian adalah untuk melindungi investor yang membeli produk reksadana tersebut, terlepas
apakah investor tersebut adalah nasabah bank yang bersangkutan atau bukan. Nasabah
pembeli reksadana perlu dilindungi hak-haknya dan mengingat bank bertindak sebagai agen
penjual reksadana maka nasabah tersebut akan selalu berkomunkasi dengan bank penjualnya
3
bukan dengan manajer investasi sebagai pihak yang mengelola portofolio reksadana.
Hubungan antara bank dengan investor reksadana bukan hanya terjadi pada saat pembelian
reksadana melainkan sampai investor melakukan redemption (penagihan) dari reksadana
yang telah dibelinya.
Tabel 2. Kewenangan Bapepam dan Bank Indonesia yang terkait dengan bank
sebagai agent of sales reksadana
KEWENANGAN BAPEPAM
KEWENANGAN BI
Antara lain :
Antara lain :
?? Code of conduct reksadana
?? Mekanisme transaksi
?? Hubungan manajer investasi dan
bank kustodian
?? Aspek prudential manajer
investasi
?? Bentuk dan jenis kontrak
?? Persyaratan dan prosedur
?? Bentuk dan jenis portofolio
?? Bank sebagai sponsor
?? Batas tanggung jawab bank
?? Larangan bank sebagai penjamin
reksadana
?? Larangan bank sebagai stand-by
buyer
?? Masalah liquidity back-up
?? Konsolidasi risiko apabila manajer
investasi bagian dari bank
Jenis reksadana yang dijual oleh bank
Reksadana yang dijual melalui distribusi perbankan biasanya dilakukan dalam dua
bentuk. Bentuk pertama, bank menjual produk reksadana yang bersifat independen yang juga
dijual sendiri oleh manajer investasi atau melalui agen penjual lain. Dalam bentuk seperti ini
tidak ada exclusif product yang khusus hanya boleh dijual oleh bank tersebut sehingga pada
umumnya bank penjual reksadana tersebut tidak ikut serta menjadi sponsor dalam penerbitan
reksadana. Dengan demikian, bank hanya mendapatkan komisi dari manajer investasi sebesar
jumlah yang berhasil dijual oleh bank tersebut. Bentuk yang kedua adalah reksadana yang
dijual secara khusus oleh bank tersebut (exclusif product) sehingga investor yang ingin
membeli produk reksadana tersebut harus melalui bank yang menerbitkannya. Produk
reksadana yang bersifat khusus tersebut, pada umumnya memiliki features tersendiri, antara
lain biasanya memakai nama bank dalam reksadana tersebut, portofolio reksadana yang dijual
4
menggunakan obligasi rekap yang dimiliki atau atau dijual oleh bank, bank ikut serta sebagai
sponsor dan dalam beberapa kasus produk reksadana tersebut dicampur menjadi produk
invetasi yang dikeluarkan oleh bank (product mix).
Sponsor
Sesuai dengan ketentuan Bapepam, dalam hal penerbitan produk reksadana baru, bank
dimungkinkan untuk menjadi sponsor reksadana minimal 1% dari total nilai reksadana yang
akan diterbitkan. Apabila bank bertindak sebagai sponsor berarti bank harus memperhatikan
faktor kecukupan modalnya karena bank harus menyediakan dana tunai guna disetorkan
dalam portofolio reksadana yang dibentuk oleh manajer investasi tersebut. Semakin besar
nilai obligasi yang akan diterbitkan, semakin besar pula dana yang harus disetorkan untuk
sponsor, sehingga bagi bank-bank kecil atau mereka yang memiliki modal nominal kecil
harus benar-benar memperhitungkan faktor kecukupan modalnya agar tetap memiliki capital
adequacy ratio (CAR) diatas 8%. Selain faktor kecukupan modal, bank juga tidak
diperbolehkan untuk menjadi sponsor produk reksadana yang underlying assets-nya berupa
saham karena sampai saat ini Bank Indonesia masih melarang bank untuk melakukan
transaksi jual beli saham.
Tidak ada jaminan “return” tertentu
Semangat investasi pada reksadana adalah market-based retun yang berarti
mekanisme pasarlah yang akan menentukan besar kecilnya rate of return yang akan diperoleh
oleh seorang investor. Investor harus sadar dan mengetahui bahwa investasi yang
ditanamkannya pada reksadana akan berfluktuasi sesuai dengan perkembangan pasar
sehingga uang yang telah disetorkan tersebut juga dapat berkurang. Perubahan suku bunga
atau perubahan nilai tukar yang terjadi dapat mempengaruhi rate of return yang akan
diperoleh oleh investor. Apabila underlying assets dari reksadana tersebut berupa obligasi
dengan suku bunga tetap, maka penurunan suku bunga akan menaikkan rate of return yang
diterima investor dan begitu juga sebaliknya apabila suku bunga mengalami kenaikan maka
keuntungan yang diperoleh menjadi berkurang.
Dengan mekanisme seperti ini reksadana tidak bisa dipastikan berapa rate of return–
nya
dan oleh karenanya bank-bank yang menjual reksadana juga dilarang memberikan
5
jaminan rate of return tertentu kepada investor yang membelinya. Apabila reksadana ingin
memberikan rate of return yang bersifat tetap maka hal tersebut harus didasarkan atas
struktur portofolionya, kalau
rate of return dari portofolio tersebut bersifat market
mechanism maka hasil yang diperoleh juga didasarkan atas market return. Saat ini kita masih
belum memiliki pasar dan instrumen derivatif yang bagus sehingga dapat menunjang
tersedianya reksadana dengan guaranted rate of return seperti halnya di Hongkong. Dengan
melihat kondisi seperti ini bank akan menghadapi kesulitan apabila ikut serta menjamin rate
of return yang akan diberikan kepada investor pembeli reksadana. Sebagai contoh, apabila
bank menjamin rate of return pada level tertentu untuk reksadana berbasis obligasi dengan
bunga tetap, katankanlah 12% dan ternyata kemudian suku bunga mengalami kenaikan yang
cukup besar, maka rate of return dari reksadana tersebut akan menurun dan bisa dibawah
12%. Konsekuensinya, bank harus mampu membayar selisihnya sesuai dengan rate of return
yang telah dijanjikan kepada investor reksadana. Dengan cara seperti ini, bank tidak hanya
terekspos dengan market risk yang cukup besar tetapi juga dapat mengalami liquidity risk
yang membahayakan kondisi keuangan bank tersebut.
Larangan buy-back portofolio reksadana
Sebagian besar obligasi rekap yang dipergunakan sebagai underlying assets untuk
portofolio reksadana ternyata hampir seluruhnya berasal dari bank-bank yang menjadi agen
penjualnya, khususnya bank-bank rekap. Bank rekap sebagai pemilik obligasi rekap harus
menjual secara putus (outright) obligasi tersebut kepada manajer investasi tanpa ada
kewajiban membeli kembali oleh bank penjualnya pada saat terjadi penarikan (redemption)
reksadana atau pada saat obligasi tersebut jatuh waktu (maturity). Dengan kondisi seperti ini
berarti bank juga tidak boleh menjadi stand-by buyer yang bersifat mandatory untuk membeli
portofolio aset reksadana.
Alasan bank tidak diperkenankan membeli kembali portofolio aset reksadana
khususnya obligasi rekap adalah bank yang terikat untuk melakukan buy back akan memiliki
liquidity risk yang sangat tinggi dalam hal terjadi redemption besar-besaran yang terjadi
secara bersamaan. Apabila bank wajib menjadi stand-by buyer berarti bank harus
menyediakan dana yang cukup besar setiap saat yang akan dialokasikan untuk membeli
kembali obligasi yang dijual oleh manajer investasi. Keadaan seperti ini akan membahayakan
likuiditas bank yang bersangkutan, karena apabila tidak mampu bank tersebut harus mencari
6
pinjaman lain untuk menutup kekurangannya. Namun demikian, bank memiliki hak untuk
membeli kembali obligasi rekap yang dijualnya kepada manajer investasi sesuai dengan
mekanisme pasar seperti halnya dengan pembeli-pembeli lainnya. Dengan demikian apabila
terjadi redemption, manajer investasi dapat menjual portofolio aset reksadana tersebut kepada
siapa saja tanpa adanya kewajiban dari bank penjualnya untuk membeli kembali.
Tranparansi dan kejelasan
Transparansi dan kejelasan kepada calon investor reksadana yang umumnya nasabah
bank itu sendiri harus dijunjung tinggi. Nasabah perlu dijelaskan bahwa produk reksadana
tersebut bukan merupakan produk bank melainkan suatu produk investasi yang diatur dengan
ketentuan pasar modal. Satu hal penting yang perlu disampaikan kepada calon investor
reksadana yang membeli lewat bank adalah reksadana tidak sama dengan simpanan deposito.
Investasi yang dilakukan oleh nasabah dengan membeli reksadana tidak termasuk dalam
program penjaminan pemerintah (blanket guarantee) sebagaimana yang diberikan oleh
pemerintah
untuk simpanan pihak ketiga di bank. Selain itu, bank dalam melakukan
penjualan reksadana kepada nasabahnya harus jelas-jelas menegaskan bahwa risiko dalam
berinvestasi pada reksadana tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh investor sendiri.
Peran bank hanya sebagai penjual saja dan sebaliknya peran manajer investasi hanya sebagai
pengelola portofolio aset reksadana. Naik turunnya rate of return akan sesuai dengan
mekanisme pasar (market risk) sehingga bank tidak bertanggung jawa dan tidak memberikan
jaminan berapa tingkat pengembalian yang akan diterima oleh investor nantinya. Oleh karena
itu edukasi kepada calon investor reksadana mutlak harus diberikan oleh petugas bank yang
menjualnya sehingga bank akan terhindar dari risiko reputasi (reputational risk) maupun
risiko hukum (legal risk) apabila tejadi tuntutan dari investor kepada bank di kemudian hari.
Hubungan bank dengan manajer investasi
Mekanisme penjualan reksadana yang melibatkan bank sebagai agen penjual telah
memunculkan hubungan baru antara perbankan dengan para manajer investasi. Untuk itu
bank harus melakukan seleksi (due diligence) untuk memilih manajer investasi yang bagus
dari sisi kinerja maupun reputasinya sehingga
kerjasama antara bank dengan manajer
7
investasi tersebut tidak akan merugikan bank penjual reksadana. Dalam hal manajer investasi
itu adalah anak perusahaan (subsidiary atau affiliated party) dari bank penjual reksadana
maka kerjasama diantara mereka harus transparan. Dalam praktek sering dijumpai bank
sebagai penjual reksadana melakukan penjualan reksadana yang bersifat exclusif (exclusif
product) dengan manajer investasi yang merupakan pihak terkait dari bank tersebut.
Reksadana yang bersifat exclusif dan diterbitkan oleh subsidiary bank tersebut biasanya
menggunakan obligasi rekap sebagai underlying assets-nya. Dengan demikian, penjualan
obligasi rekap dari bank kepada manajer investasi yang merupakan anak perusahaan dari
bank tersebut tetap harus dilakukan secara transparan. Transparansi penjualan obligasi rekap
diantara mereka harus didasarkan pada prinsip marked-to-market sehingga dapat dihindari
pembentukan harga jual obligasi rekap yang merugikan atau menguntungkan salah satu
pihak. Keadaan ini kemungkinan dapat terjadi dengan menurunkan harga obligasi rekap
sehingga akan menguntungkan manajer investasi sebagai pembeli.
Konsolidasi risiko
Pengelolaan reksadana yang dilakukan oleh manajer investasi dapat menghasilkan
suatu keuntungan atau kerugian bagi manajer investasi tersebut sebagaimana dengan kegiatan
usaha yang dilakukan oleh suatu badan usaha lain. Kerugian atau risiko yang dialami oleh
manajer investasi yang merupakan affiliated party dari bank penjual reksadana nantinya akan
menjadi tanggungan perusahaan induknya. Oleh karena itu, bank yang melakukan penjualan
reksadana yang dikelola oleh anak perusahaannya sebagai manajer investasi harus
memperhatikan segala faktor risiko yang dihadapi oleh anak perusahaan tersebut. Dengan
demikian, bagi bank yang melibatkan anak perusahaan sebagai manajer investasi dalam
penjualan reksadana maka bank tersebut harus memperhatikan konsolidasi risiko keseluruhan
baik risiko dari bank itu sendiri maupun risiko yang dihadapi subsidiary. Dalam praktek,
bank yang melakukan penjualan reksadana yang berasal dari anak perusahaannya harus
dilakukan secara berhati-hati sesuai dengan kemampuan bank tersebut mengendalikan risiko
yang mungkin terjadi. Pendek kata, liquidity management untuk bank maupun subsidiary
tersebut harus benar-benar diperhatikan dan dikelola dengan baik. Bank tidak seharusnya
menjual reksadana terlalu ekspansif apabila nantinya tidak mampu mengontrol risiko yang
akan terjadi pada anak perusahaan yang bertindak sebagai manajer investasi. Misalnya saja
karena suatu sebab tertentu terjadi penarikan (redemption) reksadana secara besar-besaran
8
dalam waktu bersamaan, maka manajer investasi harus mampu menjual portofolio aset
reksadana secara cepat untuk mendapatkan uang tunai guna membayar redemption tersebut.
Apabila tidak ada pembeli yang mampu menyerap penjualan seluruh aset reksadana tersebut
maka bank sebagai induk perusahaan dari manajer investasi harus ikut campur tangan untuk
membeli aset-aset reksadana. Untuk itu, bank harus benar-benar memperhatikan kondisi dan
kemampuan bank itu sendiri maupun subsidiary–nya khususnya dalam mengelola risiko
apabila subsidiary tersebut bertindak sebagai manajer investasi.
Download