“MEMBONGKAR” KEMENANGAN SBY – BOEDIONO (Perspektif Political Marketing) Arif Sugiono Dosen Jurusan Administrasi Bisnis FISIP Unila Email: [email protected] Abstrak SBY’s decision to choose Boedione as the Vice President obtained many critics from various groups of people. However, the General Election said differently. SBY-Bodieono won easily. This paper discusses about SBY-Boediono victory from Political Marketing perspective which focuses on the process of the Political Marketing. It shows that SBY-Boediono can utilize the process of Political Marketing effectively. Keywords : Politics, marketing, victory Pendahuluan (enam) figur yang ikut bertanding ( baca : SBY-Boediono ; Mega-Prabowo ; JK-Wiranto), empat merupakan wajah-wajah lama dan figur yang pernah bertanding pada Pilpres 2004 (baca : SBY, Mega, JK dan Wiranto) dan hanya dua yang merupakan pendatang baru, yaitu Boediono dan Prabowo. Apabila kita tarik ingatan kita ke belakang, saat menjelang pemilihan presiden tahun 2009, ketika SBY memilih Boediono, banyak pihak yang mengkritik keras dan kaget atas keputusan yang diambil SBY tersebut. Beberapa tokoh politik dan kelompok masyarakat diantaranya, berbagai elemen kelompok mahasiswa, Kwiek Kian Gie, Amien Rais, Drajad Wibowo, Zulkifli Hasan dan berbagai tokoh lainnya merasa kecewa dengan dipilihnya Boediono mendampingi SBY. Beberapa alasannya diantaranya bukan berasal dari partai politik, kepanjangan tangan dari neoliberalisme, dan yang lebih menarik lagi adalah karena Boediono tidak mewakili pasangan jawa dan luar jawa, yang selama ini selalu menjadi pakem. Pendapat Drajad Wibowo berkaitan dengan Pencalonan SBY-Boediono juga kurang lebih sama, Pada saat tulisan ini dibuat, proses persiapan gugatan sengketa hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI 2009 dari kubu JK-Wiranto dan Mega-Prabowo akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi/MK. Terlepas dari berbagai pro dan kontra tersebut, KPU telah menetapkan Pasangan SBYBoediono sebagai pemenang pemilihan Presiden RI tahun 2009. Dalam Sebuah persaingan pasti ada yang kalah dan menang. Namun apabila persaingan tersebut berlangsung dalam kerangka pesta demokrasi, yang menang adalah seluruh rakyat, karena demokrasi pada dasarnya adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemilihan Presiden secara langsung pertama kali digelar pada tahun 2004 yang diikuti 5 (lima) pasang calon diantaranya MegaHasyim, SBY-JK, Amin Rais-Siswono Yudo Husodo, Wiranto-Solahudin Wahid dan Hamzah Haz- Agum Gumelar. Apabila dilihat dari figurfigur yang muncul dalam Pilpres RI tahun 2009, sebetulnya masih didominasi oleh pemain-pemain lama. Hal itu bisa dilihat dari 6 644 645 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember 2009 Drajad mengatakan, SBY-Boediono tidak menunjukan sebagai pasangan yang mewakili Jawa dan luar Jawa. "Selain itu, keterwakilan umat Islam juga hilang dari sosok Boediono dan ini akan menimbulkan kembali dikotomi nasionalis lawan Islam yang telah hilang. Pernyataan saya ini sama dengan Pak Amien Saat kita rapat tadi," (dalam artikel “Amien Rais Kecewa Pasangan SBY-Boediono” yang di diakses tanggal 18 Juli 2009 dari www. inilah.com/berita/politik/2009/05/13 /106600/amien-rais-kecewa-sbyboediono). Namun hasil pemilu mengatakan lain, SBY-Boediono, sesuai dengan prediksi beberapa Lembaga Riset yang selama ini gencar melakukan riset, telah berhasil dengan mudah memenangkan persaingan dengan cukup satu kali putaran saja. Tulisan ini membahas Mengapa SBY-Boediono bisa memenangkan Pemilu dengan mudah terutama dari proses political marketing. Pemilihan presiden RI yang semakin demokratis, memberikan peluang kajian political marketing menjadi relevan. Penelitipeneliti yang fokus pada kajian political marketing diantaranya : Newman (2002 ), Vercic (2002), Wring (2002), Huggins (20002), Hannenberg (2002), O”Saughnessy (2002) Marshment (2003), Firmanzah (2003), Arif Sugiono (2005) dan beberapa peneliti lainnya. Pembahasan Niffenegger dalam Wring (2002 :175), mengembangkan model proses political marketing. Berdasarkan pada model tersebut, proses dari political marketing terdiri dari 4 bagian, yang terdiri dari : (i). Partai/kandidat/organisas; (ii). Lingkungan; (iii). Strategic mix dan (iv). Market. Pada bahasan ini, lebih terfokus pada market dan marketing/strategic Mix. Lebih jelasnya model tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut : Gambar 1. Proses Political Marketing Partai/Organisasi/ Kandidat Market Research Environment Environment Analysis Marketing Mix Product : (Partai Image, Leader Image, Manifest) Political Market Promotion : (Advertising, Broadcast, PR, Direct Mail) Supporters Strategy Place : (Local Work, Canvassing, Leader Tour) Floating Voters Opponents Price : (Economic, Psychological,National) Sumber : Niffenegger (1990) dalam Wring, 2002. Conceptualising Political Marketing : A FrameWork for Election-Campaign Analysis. ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429 Arif Sugiono; Membongkar Kemenangan SBY-Boediono 646 Political Market Berdasarkan pada apa yang dikatakan Schumpeter (1943) “democracy is primarily concerned with parties” “Competitive struggle for the people”s vote”. Berkaitan dengan itu, Gamble dalam Wrings (2002) mengatakan bahwa, ada 3 komponen utama dalam modern political market diantaranya : (i).the existence of a mass electorate, (ii). Competiton between two or more parties for the votes of this electorate, dan (iii). A set of rules governing this competition. Maka kaitannya dengan political market, hubungan kunci harus didasarkan pada konsep inti dari teori pemasaran, yang pada umumnya disebut pertukaran antara pembeli dan penjual. Sebagai Produsen/penjual adalah partai politik atau kontestan individu yang menjadi pihak penghasil produk politik. Sedangkan pembeli adalah masyarakat. Interaksi, proses pertukaran inilah yang pada akhirnya akan membentuk pasar politik. Karena pada saat sesorang memberikan suaranya, tentunya pemilih tersebut mempunyai ekspektasi, akan memperoleh sesuatu secara tidak langsung maupun langsung melalui kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan ketika pilihannya memenangkan pemilihan kelak. Marketing Mix. Bahasan marketing mix memiliki kekhasan tersendiri dengan bauran pemasaran pada umumnya. Pertama, Produk yang pada umumnya ditawarkan oleh partai politik atau seorang kandidat pada dasarnya adalah sebuah kebijakan yang akan diterapkan ketika sebuah partai politik /kandidat memenangkan pemilihan. O”saughnessy dalam Firmanzah (2007 :205) menjelaskan ADMINISTRATIO beberapa karakteristik tentang produk politik, diantaranya : Partai politik menjual produknya tidak nyata/intangible product, sangat terkait dengan system nilai (value laden), didalamnya melekat janji dan harapan akan masa depan, didalamnya terdapat visi yang bersifat atraktif, kepuasan yang dijanjikan tidaklah segera dicapai, tapi hasilnya lebih bisa dinikmati dalam jangka panjang, tidak pasti dan dapat ditafsirkan macam-macam. Kemenangan SBY-Boediono tidak lepas dari keberhasilannya menciptakan produk-produk melalui kebijakankebijakan yang bisa memberi rasa puas kepada pemilih, sehingga loyalitas pemilih bisa terjaga dari pemilu 2004 samapai pemilu 2009. Produk-produk tersebut diantaranya, program Bantuan Langsung Tunai, Sertifikasi Guru dan Dosen, Jaminan Kesehatan bagi keluarga miskin, pemberantasan korupsi, Keamanan yang semakin kondusif dengan selesainya beberapa kasus konflik dibeberapa daerah. Produk-produk tersebut dapat memenuhi harapan bagi para pemilih dan sudah mulai dapat dirasakan. Sebagai contoh, dengan adanya pengesahan UU Guru dan Dosen dan kemudian dilanjutkan program sertifikassi, Kedamaian yang tercipta di Aceh, yang menjadikan terhentinya segala bentuk pertikaian adalah merupakan pencapaian kepuasan yang dijanjikan walaupun membutuhkan proses yang panjang. Kedua, Promotion, Berkaitan dengan promotion, Butler & Collins (2001) mengingatkan bahwa tidak jarang sebuah partai politik/kandidat hanya terjebak pada masa-masa menjelang kampanye saja. Padahal promotion akan berjalan efektif apabila dilaksanakan dengan konsisten. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan ketika melakukan promosi adalah pemilihan media, jam ISSN : 1410-8429 647 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember 2009 tayang promosi dan penetrasi media. Kesinambungan promotion sangat diperlukan dikarenakan akan berimplikasi pada brand awareness yang akan terus tercipta di benak para pemilih. Apa yang dilakukan Prabowo yang relatif konsisten dengan melakukan promotion melalui HKTInya akhirnya membuahkan hasil, dengan perolehan partai Gerindra dan Pilpresnya yang relatif cukup mengembirakan, bagi seorang Prabowo yang merupakan pendatang baru. Hal ini berbeda dengan strategi Promosi yang dilakukan SBY. Sebagai seorang Incumbent dan memiliki tingkat Popularitas dan elektabilitas yang relatif tinggi dibanding caloncalon yang lain, menjadikan SBY lebih leluasa dalam melakukan promosi. Hal itu bisa dilihat dari Promosi yang melibatkan beberapa menteri dari beberapa departemen (Mendiknas dengan iklan sekolah Gratis, Menkes dengan iklan Jamkesnasnya, Mentan dengan swasembada berasnya dan beberapa iklan menteri-menteri lainnya) ditambah dengan iklan-iklan pasangan SBY-Boediono yang cukup artikulatif dan komunikatif serta masif pada saat-saat kampanye. Riset yang dilakukan AGB Nielsen Media, menggunakan Metodologi Pengukuran Kepemirsaan Televisi (TAM) di 10 kota besar di Indonesia, yaitu di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, Banjarmasin, Palembang, dan Medan. Jumlah panel yang digunakan sebanyak 2.123 buah yang mewakili 15.753.325 keluarga atau 46.719.470 individu di 10 kota tersebut. Margin of error survei lima persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Cara mengukurnya adalah dengan memasang alat pengukuran TVM5 yang telah dipasang pada responden selama dua tahun terakhir, dengan catatan riset ini tidak mewakili suara nasional menunjukkan bahwa, sejak tayang dari bulan Mei sampai 13 Juni, 95 persen dari ADMINISTRATIO populasi televisi usia 20 tahun ke atas di 10 kota besar yang berjumlah 31,6 juta individu menonton iklan SBYBoediono minimal 1 kali. Hasil ini terkait dengan jumlah spot iklan di 10 stasiun TV swasta pada periode itu mencapai 1.765. Jauh lebih tinggi daripada dua capres lain. Lebih lanjut hasil riset menunjukkan, untuk iklan pasangan JK-Wiranto tingkat keterjangkauannya pada usia pemilih 20 tahun ke atas mencapai 92 persen dengan 969 spot, sedangkan pasangan Megawati-Prabowo hanya 73 persen dengan 189 spot. Yang menarik, dari hasil riset ini, walaupun jumlah spot iklan SBY-Boediono jauh lebih banyak (1.765) daripada jumlah spot iklan JK-Wiranto (969), tetapi tingkat presentasi penonton iklan usia 20 tahun ke atas yang menonton iklan minimal 1 kali tidak jauh berbeda. Iklan SBY-Boediono ditonton 95 persen, sedangkan JK-Wiranto 92 persen (http://nasional.kompas.com/read/x ml/2009/06/23/12125638/iklan) Ketiga, Price/Harga. Setidaktidaknya ada tiga komponen dalam perspektif political marketing yang berkaitan dengan harga. Niffeneeger dalam Firmanzah (2007:208) mengatakan bahwa ada tiga komponen inti selain komponenkomponen lain dalam harga. Mulai dari harga ekonomi, psikologis sampai nasional. Harga ekonomi mencakup semua biaya yang dikeluarkan institusi politik selama periode kampanye. Mulai dari biaya iklan,publikasi,rapat akbar, sampai ke biaya administrasi pengorganisasian tim kampanye. Harga Psikologis mengacu pada harga persepsi psikologis, misalnya apakah pemilih merasa nyaman dengan latar belakang etnis, agama,pendidikan, pekerjaan dan lain-lain seorang kandidat presiden.Harga image nasional berkaitan dengan apakah pemilih merasa kandidat presiden tersebut bisa menjadikan citra positif ISSN : 1410-8429 Arif Sugiono; Membongkar Kemenangan SBY-Boediono 648 suatu bangsa Negara dan bisa menjadi kebanggaan nasional atau tidak. Realitas yang terjadi pada umumya adalah setiap institusi politik atau seorang kandidat selalu berusaha untuk meminimalisasi harga produk politik mereka dan berusaha meningkatkan (maksimalisasi) harga produk politik lawan (ekonomi,psikologis sampai citra nasional). Selama Pilpres 2009 penggunaan strategi ini relatif dominan. Karena cara ini relatif lebih mudah untuk mempengaruhi pemilih untuk memilih pasangan/kontestan yang memiliki risiko/harga yang relatif paling kecil. (Lebih jelasnya lihat table berikut) Tabel 1. Upaya-Upaya Maksimalisasi harga produk politik bagi setiap pasangan selama menjelang PILPRES 2009. Upaya-Upaya Maksimalisasi (Pada Umumnya Berasal dari Lawan Politik/PihakNo Pasangan pihak yang merasa tidak senang/puas tehadap pasangan, atau merupakan rekayasa pihak-pihak tertentu sebagai upaya awal untuk melakukan politik melankolis) 1 Megawati1. Prabowo dengan kasus Trisakti/Pelanggaran HAM Prabowo 2. Megawati yang kadar intelektualitasnya diragukan 2 SBY-Boediono 1. Boediono penganut Paham Neolib 2. Boediono penganut Islam Kejawen 3. Istri Boediono Non Muslim 4. SBY yang peragu / lamban dlm mengambil kebijakan 5. Sama-sama berasal dari Jawa Timur, sehingga seperti Pilkada bukan Pilpres. 6. Istri-Istri yang tidak memakai Jilbab, sangat disayangkan untuk Negara yang mayoritas muslim. 3 JK-Wiranto 1. JK yang berasal dari luar jawa. 2. Keterkaitan JK dengan Ahmadiyah. 3. Kasus Korupsi beberapa kepala daerah dari Golkar. 4. JK yang pengusaha. 5. Kekayaan JK yang banyak. 6. Wiranto dengan kasus pelanggaran HAM TimurTimor. Sumber: Dihimpun dari Berbagai Media Masa. Upaya-upaya maksimalisasi dengan menciptakan dan mengembangkan isu-isu di atas cukup mendapat apresiasi diberbagai media masa maupun elektronik. Upayaupaya tersebut dimaksudkan agar supaya harga psikologis dan citra nasional masing-masing pasangan menjadi sangat tinggi, yang pada akhirnya, diharapkan dijadikan referensi bagi para pemilih untuk memilih partai/kontestan yang memiliki resiko atau harga yang paling tinggi. Pasangan SBY-Boediono adalah ADMINISTRATIO pasangan yang paling banyak mendapatkan upaya-upaya maksimalisasi, agar supaya apabila voters memilih pasangan ini, pemilih akan mendapatkan risiko atau harga yang relatif tinggi. Kemudian disusul pasangan JK-Wiranto Upaya-upaya Counter attack dengan melakukan minimalisasi terhadap upaya-upaya di ataspun dilakukan. Untuk menanggapi isu kalau Boediono seorang penganut Neolib, maka dalam pidato pengukuhan pasangan calon presiden ISSN : 1410-8429 649 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember 2009 dan wakil presiden, Boedionopun membantahnya. Tak lama kemudian Boediono mengeluarkan Buku yang berbicara tentang arah perekonomian Indonesia, yang memuat pemikiranpemikiran Boediono di bidang ekonomi sekaligus menjawab tudingan yang diarahkan kepadanya. Berkaitan dengan penganut Islam Kejawen, Tak lama setelah isu itu muncul, Boediono tampil di muka umum, pada saat dia akan melaksanakan Sholat Jum”at. Demikian juga, seolah ingin menangkis isu non muslim yang dialamatkan kepada Istri Boediono, akhirnya istri Boediono pun tampil di muka umum dalam rangka sholat berjamaah dengan kader-kader PKS. Demikian juga pasangan-pasangan yang lain, selalu berusaha untuk menangkis setiap upaya-upaya maksimalisasi harga politiknya. Bahasan yang menarik yang selalu mengikuti upaya-upaya dalam rangka counter attack adalah politik “melan kolis”. Istilah melan kolis dalam Pilpres sebetulnya sudah ada sejak Pemilihan Presiden pada saat awal orde baru, di mana kemenangan PDI-P akibat munculnya sosok Megawati yang selalu teraniaya pada masa orde baru, sehingga pada Pemiliu 1999, Megawati dan PDI-P tampil sebagai pemenang. Demikian juga pada saat Pilpres 2004, SBY tampil sebagai sosok yang “seolaholah teraniaya” dari pihak penguasa, dengan istilah “Jendral kanak-kanak” yang akhirnya memenangkan Pipres 2004. Sugiono (2009) menegaskan bahwa sosok yang tertindas berkontribusi cukup dominant terhadap pilihan voters kepada sosok tertindas tersebut. Politik “melankolis” juga mengiringi dalam Pilpres 2009 ini. Kontroversi seputar Semakin di tindas semakin popular itulah yang barangkali merupakan ungkapan yang dapat mengambarkan pasangan SBYBoediono pada Pilpres 2009. Apa yang terjadi di atas secara tidak langsung ADMINISTRATIO merupakan penguatan pencitraan terhadap pasangan ini, yaitu pasangan yang santun, sabar dalam menghadapi segala tudingan, teraniaya yang pada akhirnya mengantarkan mereka untuk memenangkan Pilpres dengan mudah. Namun beberapa kalangan menilai, justru upaya-upaya itu diciptakan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menerapkan politik melan kolis atau politik belas kasihan untuk menarik simpati pemilih. Menurut Yudy Chrisnandi berkaitan dengan politik melankolis Dia menilai, strategi SBY tidak berbeda dengan strategi yang dijalankannya pada Pilpres 2004. Dia sengaja menciptakan situasi tertekan sehingga dengan mudah mengundang simpati masyarakat. "Seharusnya SBY bersaing dan berdebat dalam penyampaian visi, misi, dan program sebagai capres. Bukannya malah membuat dirinya seolah-oleh orang yang perlu dikasihani," katanya. Lebih lanjut Amir Santoso mengatakan, Memang strategi melankolis tersebut, menurut Amir, masih efektif dengan perilaku dan budaya masyarakat Indonesia. "Masyarakat kita orang yang pengasihan dan lebih mengedepankan perasaan daripada melihat suatu relaita. Dan ini yang dimanfaatkan SBY," katanya (Suara Karya 16 Juni 2009). Keempat, Place/Penempatan. Niffenegger dalam Firmanzah (2007:210) menjelaskan bahwa penempatan/place berkaitan erat dengan cara hadir atau distribusi sebuah institusi politik dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih atau calon pemilih. Kampanye politik memang harus bisa menyentuh segenap lapisan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan segmentasi publik. Berbagai metode segmentasi telah ditawarkan oleh banyak peneliti, namun kesemua metode tersebut berangkat dari sebuah dasar bahwa setiap individu cenderung untuk berinteraksi dan ISSN : 1410-8429 Arif Sugiono; Membongkar Kemenangan SBY-Boediono 650 berhubungan dengan orang-orang yang berbagi karakteristik sama. Kotler et al (1972) menawarkan Berbagai metode segmentasi diantaranya geografis, demografi, Psikografi, Perilaku, sosial budaya dan sebab akibat. Indonesia dengan geografis yang sangat luas, dan jumlah pemilih yang mendekati 180 juta pemilih, tersebar di 33 provinsi menjadikan metode segmentasi menjadi alat yang cukup efektif dan efesien dalam menempatkan pasangan/institusi politik kedalam benak 180 juta pemilih. Apa yang dilakukan SBYBoediono adalah bentuk teknik segmentasi yang efektif, dengan ditambah iklan yang komunikatif. Untuk menyapa berbagai segmen pemilih yang ada, kubu SBY-Boediono menggunakan berbagai versi iklan diantaranya Iklan versi Jingle Indomie dan Iklan versi terima kasih . Kedua iklan itu adalah media yang cukup efektif menempatkan SBY-Boediono di semua segmen yang ada. Iklan SBYBoediono versi Indomie yang melakukan segmentasi atas dasar geografis, dari Sabang sampai Rote dimana semua pemudanya telah bertekad untuk menjadikan SBY sebagai presiden. Iklan ini secara tidak langsung mengkomunikasikan bahwa SBY telah hadir dan berada di seluruh belahan nusantara, di dukung dengan jingle iklan Indomie yang sudah cukup populer di masyarakat. Iklan lainnya yang tak kalah menariknya adalah iklan versi adalah SBY-Boediono melakukan segmentasi didasarkan atas pekerjaan pemilih, ada yang berprofesi guru, petani, nelayan. Dengan menceritakan dampak dari kebijakan SBY terhadap kesejahteraan masyarakat dari berbagai latar belakang pekerjaan yang ada. Nelayan kesejahteraan meningkat dengan BBM yang bersubsidi dan penurunan BBM, Guru semakin sejahtera dengan berbagai tunjangan dan adanya sertifikasi, dan berbagai cerita peningkatan ADMINISTRATIO kesejahteraan dari berbagai profesi lainnya. Iklan tersebut,setidaktidaknya ingin mengkomunikasikan bahwa segenap masyarakat yang terdiri dari berbagai profesi telah merasakan kesejahteraan hidup akibat berbagai kebijakan yang diambil SBY. Selain itu, Iklan ini juga ingin mengkomunikasikan bahwa SBY telah hadir di seluruh elemen masyarakat, mulai dari Guru, Petani, Buruh, Nelayan dan berbagai profesi lainnya. Penutup Political Marketing process telah hadir sebagai tool untuk menghasilkan strategi untuk memenangkan Pemilihan umum. Pada Pilpres 2009, pasangan SBY dengan konsultan poltik FoX Indonesia telah menggunakan political marketing process sebagi instrument untuk menyusun strategi yang efektif, yang akhirnya dapat memenangkan persaingan. Tulisan ini hanya membahas tentang bagaimana SBYBoediono memanfaatkan Marketing mix dalam upaya memenangkan persaingan. Peneliti-peneliti lain bisa mengembangkan kajian dengan meneliti sejauh mana efektifitas dari strategi-strategi yang dipakai SBYBoediono.Atau bahkan mengembangkan kajian tentang perilaku pemilih. Daftar Pustaka. Butler, P & Collins, N, 2001. Payment on Delivery : Recognizing Constituency services as Political Marketing. European Journal of Marketing. P. 1167-1170. Burton, Jhon Michel, 2008. Political Marketing Matters : Identifying the Effect of Candidate Positioning in Congressional Elections. Journal of Political ISSN : 1410-8429 651 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember 2009 Marketing, Volume 6, Issue 4 January , pages 33 – 50. Bruce, I Newman, 2002. The Role Of Markeing In Politics. Journal Of Political Marketing. Volume 1, Issue 1 January 2002 , pages 1 – 5. --------------------------, 2002. The Merging Of Public Relations and Political Marketing. Journal Of Political Marketing. Volume 1, Issue 2 Pages 1-7. Firmanzah. 2007. Marketing Politik : Antara Pemahaman dan Realitas. YOI.Jakarta. Hannenberg, Stepan C.M.2002. Understanding Political Marketing. Preager Publishing. USA. Pages 93170. Huggins, Richard and Barrie Axford. .20002. Political Marketing and The Aestheticisation of Politic : Modern Politic and Postmodern Trends. Preager Publishing. USA Pages 187-2008. Kotler, P. 1984. Marketing Management : Analysis, Planning and control, 5 edition, London. Prentice Hall. Kotlet,P, et al.1972 Broadening the concept of marketing.Journal of Marketing.(33).1. P.10-15. Kotler, P, Brown,L, Adams, S, Armstrong, G. 2004. Marketing. Prentice Hall. International Edition. Marshment, Jennifer Lees, 2003. Political Marketing : How to Reach That Pot of Gold. Journal Of Political Marketing. Volume 2, Issue 1 Pages 1-32. Newman, B.I.1994. The Marketing of The President : Political Marketing as Campaign Strategy. London Sage O”Saughnessy, Nicholas J. 2002. The Marketing of Political Marketing. Preager Publishing. USA. Pages 209-220. ADMINISTRATIO Schumpeter, J. 1943. Socialism and Loundon, Unwin. Capitalism, Democracy. Sugiono, Arif,2005. Faktor-faktor Eksternal yang mempengaruhi Perilaku Pemilih dalam Pilkada Langsung : Sebuah Kajian dari Perspektif Political Marketing. Jurnal Manajemen Ushawan. NoXXVI Mei. LMFEUI. Jakarta. ----------------, 2009. Pengaruh Faktoreksternal terhadap Keputusan Memilih : Survey dikalangan Pemilih di Desa Woro, Kecamatan Kepohbaru, Kabupaten Bojonegoro dari Perspektif Political Marketing. Jurnal Administratio. Edisi Januari 2009. Laboratorium Administrasi Publik. FISIP Unila.Bandar Lampung. Versic, Dejan, 2002. From Marketing Warfare to Warfare Marketing. Journal Of Political Marketing. Volume 1, Issue 4 Pages 115-116. Wring, Dominic. 2002. Conceptualising Political Marketing : A Framework for Election-Campaign Analysis. Preager Publishing. USA. Pages 171-186 Sumber Internet : www.inilah.com/berita/politik/2009/ 05/13/106600/amien-rais-kecewasby-boediono diakses 18 Agustus 2009 http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=229230, Politik Melankolis Tidak Mendidik. diakses 18 Agustus 2009 http://nasional.kompas.com/read/xm l/2009/06/23/12125638/iklan,sbyboediono.paling.banyak.jangkau.u sia.pemilih. (diakses tanggal 18Agustus 2009) ISSN : 1410-8429