KEMENANGAN SBY – BOEDIONO

advertisement
“MEMBONGKAR” KEMENANGAN SBY – BOEDIONO
(Perspektif Political Marketing)
Arif Sugiono
Dosen Jurusan Administrasi Bisnis FISIP Unila
Email: [email protected]
Abstrak
SBY’s decision to choose Boedione as the Vice President obtained many critics
from various groups of people. However, the General Election said differently.
SBY-Bodieono won easily. This paper discusses about SBY-Boediono victory from
Political Marketing perspective which focuses on the process of the Political
Marketing. It shows that SBY-Boediono can utilize the process of Political
Marketing effectively.
Keywords : Politics, marketing, victory
Pendahuluan
(enam) figur yang ikut bertanding (
baca : SBY-Boediono ; Mega-Prabowo ;
JK-Wiranto),
empat
merupakan
wajah-wajah lama dan figur yang
pernah bertanding pada Pilpres 2004
(baca : SBY, Mega, JK dan Wiranto)
dan hanya dua yang merupakan
pendatang baru, yaitu Boediono dan
Prabowo.
Apabila kita tarik ingatan kita ke
belakang, saat menjelang pemilihan
presiden tahun 2009, ketika SBY
memilih Boediono, banyak pihak yang
mengkritik keras dan kaget atas
keputusan yang diambil SBY tersebut.
Beberapa tokoh politik dan kelompok
masyarakat diantaranya, berbagai
elemen kelompok mahasiswa, Kwiek
Kian Gie,
Amien Rais, Drajad
Wibowo, Zulkifli Hasan dan berbagai
tokoh lainnya merasa kecewa dengan
dipilihnya Boediono mendampingi SBY.
Beberapa
alasannya
diantaranya
bukan berasal dari partai politik,
kepanjangan
tangan
dari
neoliberalisme, dan yang lebih
menarik lagi adalah karena Boediono
tidak mewakili pasangan jawa dan
luar jawa, yang selama ini selalu
menjadi pakem. Pendapat Drajad
Wibowo berkaitan dengan Pencalonan
SBY-Boediono juga kurang lebih sama,
Pada saat tulisan ini dibuat,
proses persiapan gugatan sengketa
hasil pemilu Presiden dan Wakil
Presiden RI 2009 dari kubu JK-Wiranto
dan Mega-Prabowo akan diajukan ke
Mahkamah
Konstitusi/MK. Terlepas
dari berbagai pro dan kontra tersebut,
KPU telah menetapkan Pasangan SBYBoediono sebagai pemenang pemilihan
Presiden RI tahun 2009. Dalam Sebuah
persaingan pasti ada yang kalah dan
menang. Namun apabila persaingan
tersebut berlangsung dalam kerangka
pesta demokrasi, yang menang adalah
seluruh rakyat, karena demokrasi
pada dasarnya adalah pemerintahan
dari rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat.
Pemilihan
Presiden
secara
langsung pertama kali digelar pada
tahun 2004 yang diikuti 5 (lima)
pasang calon diantaranya MegaHasyim, SBY-JK, Amin Rais-Siswono
Yudo
Husodo,
Wiranto-Solahudin
Wahid dan Hamzah Haz- Agum
Gumelar. Apabila dilihat dari figurfigur yang muncul dalam Pilpres RI
tahun
2009,
sebetulnya
masih
didominasi oleh
pemain-pemain
lama. Hal itu bisa dilihat dari 6
644
645 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember 2009
Drajad mengatakan, SBY-Boediono
tidak menunjukan sebagai pasangan
yang mewakili Jawa dan luar Jawa.
"Selain itu, keterwakilan umat Islam
juga hilang dari sosok Boediono dan
ini
akan
menimbulkan
kembali
dikotomi nasionalis lawan Islam yang
telah hilang. Pernyataan saya ini sama
dengan Pak Amien Saat kita rapat
tadi," (dalam artikel
“Amien Rais
Kecewa Pasangan SBY-Boediono” yang
di diakses tanggal 18 Juli 2009 dari
www.
inilah.com/berita/politik/2009/05/13
/106600/amien-rais-kecewa-sbyboediono). Namun hasil pemilu
mengatakan
lain,
SBY-Boediono,
sesuai dengan prediksi beberapa
Lembaga Riset yang selama ini gencar
melakukan riset, telah berhasil
dengan
mudah
memenangkan
persaingan dengan cukup satu kali
putaran saja.
Tulisan ini membahas Mengapa
SBY-Boediono
bisa
memenangkan
Pemilu dengan mudah terutama dari
proses political marketing. Pemilihan
presiden RI yang semakin demokratis,
memberikan peluang kajian political
marketing menjadi relevan. Penelitipeneliti yang fokus pada kajian
political marketing diantaranya :
Newman (2002 ), Vercic (2002), Wring
(2002), Huggins (20002), Hannenberg
(2002),
O”Saughnessy
(2002)
Marshment (2003), Firmanzah (2003),
Arif Sugiono (2005) dan beberapa
peneliti lainnya.
Pembahasan
Niffenegger dalam Wring (2002
:175), mengembangkan model proses
political marketing. Berdasarkan pada
model tersebut, proses dari political
marketing terdiri dari 4 bagian, yang
terdiri
dari
:
(i).
Partai/kandidat/organisas;
(ii).
Lingkungan; (iii). Strategic mix dan
(iv). Market. Pada bahasan ini, lebih
terfokus
pada
market
dan
marketing/strategic
Mix.
Lebih
jelasnya model tersebut dapat dilihat
dalam gambar berikut :
Gambar 1.
Proses Political Marketing
Partai/Organisasi/
Kandidat
Market Research
Environment
Environment Analysis
Marketing Mix
Product :
(Partai Image, Leader
Image, Manifest)
Political Market
Promotion :
(Advertising, Broadcast, PR,
Direct Mail)
Supporters
Strategy
Place :
(Local Work, Canvassing,
Leader Tour)
Floating Voters
Opponents
Price :
(Economic,
Psychological,National)
Sumber : Niffenegger (1990) dalam Wring, 2002. Conceptualising Political
Marketing : A FrameWork for Election-Campaign Analysis.
ADMINISTRATIO
ISSN : 1410-8429
Arif Sugiono; Membongkar Kemenangan SBY-Boediono 646
Political Market
Berdasarkan pada apa yang
dikatakan
Schumpeter
(1943)
“democracy is primarily concerned
with parties” “Competitive struggle
for the people”s vote”. Berkaitan
dengan itu, Gamble dalam Wrings
(2002) mengatakan bahwa, ada 3
komponen utama dalam modern
political market diantaranya : (i).the
existence of a mass electorate, (ii).
Competiton between two or more
parties for the votes of this
electorate, dan (iii). A set of rules
governing this competition. Maka
kaitannya dengan political market,
hubungan kunci harus didasarkan pada
konsep inti dari teori pemasaran, yang
pada umumnya disebut pertukaran
antara pembeli dan penjual. Sebagai
Produsen/penjual
adalah
partai
politik atau kontestan individu yang
menjadi pihak penghasil produk
politik. Sedangkan pembeli adalah
masyarakat.
Interaksi,
proses
pertukaran inilah yang pada akhirnya
akan membentuk pasar politik. Karena
pada saat sesorang memberikan
suaranya, tentunya pemilih tersebut
mempunyai
ekspektasi,
akan
memperoleh sesuatu secara tidak
langsung maupun langsung melalui
kebijakan-kebijakan
yang
akan
dikeluarkan
ketika
pilihannya
memenangkan pemilihan kelak.
Marketing Mix.
Bahasan marketing mix memiliki
kekhasan tersendiri dengan bauran
pemasaran pada umumnya. Pertama,
Produk
yang
pada
umumnya
ditawarkan oleh partai politik atau
seorang kandidat pada dasarnya
adalah sebuah kebijakan yang akan
diterapkan ketika sebuah partai
politik
/kandidat
memenangkan
pemilihan.
O”saughnessy
dalam
Firmanzah (2007 :205) menjelaskan
ADMINISTRATIO
beberapa karakteristik tentang produk
politik, diantaranya : Partai politik
menjual
produknya
tidak
nyata/intangible
product,
sangat
terkait dengan system nilai (value
laden), didalamnya melekat janji dan
harapan
akan
masa
depan,
didalamnya terdapat visi yang bersifat
atraktif, kepuasan yang dijanjikan
tidaklah segera dicapai, tapi hasilnya
lebih bisa dinikmati dalam jangka
panjang, tidak pasti dan dapat
ditafsirkan
macam-macam.
Kemenangan SBY-Boediono tidak lepas
dari keberhasilannya menciptakan
produk-produk melalui kebijakankebijakan yang bisa memberi rasa
puas
kepada
pemilih,
sehingga
loyalitas pemilih bisa terjaga dari
pemilu 2004 samapai pemilu 2009.
Produk-produk tersebut diantaranya,
program Bantuan Langsung Tunai,
Sertifikasi Guru dan Dosen, Jaminan
Kesehatan bagi keluarga miskin,
pemberantasan korupsi,
Keamanan
yang
semakin
kondusif
dengan
selesainya beberapa kasus konflik
dibeberapa daerah. Produk-produk
tersebut dapat memenuhi harapan
bagi para pemilih dan sudah mulai
dapat dirasakan. Sebagai contoh,
dengan adanya pengesahan UU Guru
dan Dosen dan kemudian dilanjutkan
program sertifikassi, Kedamaian yang
tercipta di Aceh, yang menjadikan
terhentinya segala bentuk pertikaian
adalah
merupakan
pencapaian
kepuasan yang dijanjikan walaupun
membutuhkan proses yang panjang.
Kedua, Promotion, Berkaitan
dengan promotion, Butler & Collins
(2001) mengingatkan bahwa tidak
jarang sebuah partai politik/kandidat
hanya terjebak pada masa-masa
menjelang kampanye saja. Padahal
promotion akan berjalan efektif
apabila
dilaksanakan
dengan
konsisten. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan ketika melakukan
promosi adalah pemilihan media, jam
ISSN : 1410-8429
647 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember 2009
tayang promosi dan penetrasi media.
Kesinambungan promotion sangat
diperlukan
dikarenakan
akan
berimplikasi pada brand awareness
yang akan terus tercipta di benak para
pemilih. Apa yang dilakukan Prabowo
yang
relatif
konsisten
dengan
melakukan promotion melalui HKTInya
akhirnya membuahkan hasil, dengan
perolehan
partai
Gerindra
dan
Pilpresnya
yang
relatif
cukup
mengembirakan,
bagi
seorang
Prabowo yang merupakan pendatang
baru. Hal ini berbeda dengan strategi
Promosi yang dilakukan SBY. Sebagai
seorang Incumbent dan memiliki
tingkat Popularitas dan elektabilitas
yang relatif tinggi dibanding caloncalon yang lain, menjadikan SBY lebih
leluasa dalam melakukan promosi. Hal
itu bisa dilihat dari Promosi yang
melibatkan beberapa menteri dari
beberapa departemen (Mendiknas
dengan iklan sekolah Gratis, Menkes
dengan iklan Jamkesnasnya, Mentan
dengan swasembada berasnya dan
beberapa
iklan
menteri-menteri
lainnya) ditambah dengan iklan-iklan
pasangan SBY-Boediono yang cukup
artikulatif dan komunikatif serta masif
pada saat-saat kampanye.
Riset yang dilakukan AGB Nielsen
Media,
menggunakan
Metodologi
Pengukuran Kepemirsaan Televisi
(TAM) di 10 kota besar di Indonesia,
yaitu di Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta,
Surabaya,
Denpasar,
Makassar, Banjarmasin, Palembang,
dan Medan. Jumlah panel yang
digunakan sebanyak 2.123 buah yang
mewakili 15.753.325 keluarga atau
46.719.470 individu di 10 kota
tersebut. Margin of error survei lima
persen dengan tingkat kepercayaan 95
persen. Cara mengukurnya adalah
dengan memasang alat pengukuran
TVM5 yang telah dipasang pada
responden selama dua tahun terakhir,
dengan catatan riset ini tidak
mewakili suara nasional menunjukkan
bahwa, sejak tayang dari bulan Mei
sampai 13 Juni, 95 persen dari
ADMINISTRATIO
populasi televisi usia 20 tahun ke atas
di 10 kota besar yang berjumlah 31,6
juta individu menonton iklan SBYBoediono
minimal
1
kali.
Hasil ini terkait dengan jumlah spot
iklan di 10 stasiun TV swasta pada
periode itu mencapai 1.765. Jauh
lebih tinggi daripada dua capres lain.
Lebih lanjut hasil riset menunjukkan,
untuk iklan pasangan JK-Wiranto
tingkat keterjangkauannya pada usia
pemilih 20 tahun ke atas mencapai 92
persen dengan 969 spot, sedangkan
pasangan Megawati-Prabowo hanya 73
persen dengan 189 spot. Yang
menarik, dari hasil riset ini, walaupun
jumlah spot iklan SBY-Boediono jauh
lebih banyak (1.765) daripada jumlah
spot iklan JK-Wiranto (969), tetapi
tingkat presentasi penonton iklan usia
20 tahun ke atas yang menonton iklan
minimal 1 kali tidak jauh berbeda.
Iklan SBY-Boediono ditonton 95
persen, sedangkan JK-Wiranto 92
persen
(http://nasional.kompas.com/read/x
ml/2009/06/23/12125638/iklan)
Ketiga, Price/Harga. Setidaktidaknya ada tiga komponen dalam
perspektif political marketing yang
berkaitan dengan harga. Niffeneeger
dalam
Firmanzah
(2007:208)
mengatakan
bahwa
ada
tiga
komponen inti selain komponenkomponen lain dalam harga. Mulai
dari harga ekonomi, psikologis sampai
nasional. Harga ekonomi mencakup
semua biaya yang dikeluarkan institusi
politik selama periode kampanye.
Mulai dari biaya iklan,publikasi,rapat
akbar, sampai ke biaya administrasi
pengorganisasian
tim
kampanye.
Harga Psikologis mengacu pada harga
persepsi psikologis, misalnya apakah
pemilih merasa nyaman dengan latar
belakang etnis, agama,pendidikan,
pekerjaan dan lain-lain seorang
kandidat
presiden.Harga
image
nasional berkaitan dengan apakah
pemilih merasa kandidat presiden
tersebut bisa menjadikan citra positif
ISSN : 1410-8429
Arif Sugiono; Membongkar Kemenangan SBY-Boediono 648
suatu bangsa Negara dan bisa menjadi
kebanggaan nasional atau tidak.
Realitas yang terjadi pada
umumya adalah setiap institusi politik
atau seorang kandidat selalu berusaha
untuk meminimalisasi harga produk
politik
mereka
dan
berusaha
meningkatkan (maksimalisasi) harga
produk
politik
lawan
(ekonomi,psikologis
sampai
citra
nasional).
Selama
Pilpres
2009
penggunaan
strategi
ini
relatif
dominan. Karena cara ini relatif lebih
mudah untuk mempengaruhi pemilih
untuk memilih pasangan/kontestan
yang memiliki risiko/harga yang
relatif paling kecil. (Lebih jelasnya
lihat table berikut)
Tabel 1.
Upaya-Upaya Maksimalisasi harga produk politik bagi setiap pasangan selama
menjelang PILPRES 2009.
Upaya-Upaya Maksimalisasi
(Pada Umumnya Berasal dari Lawan Politik/PihakNo
Pasangan
pihak yang merasa tidak senang/puas tehadap
pasangan, atau merupakan rekayasa pihak-pihak
tertentu sebagai upaya awal untuk melakukan politik
melankolis)
1 Megawati1. Prabowo dengan kasus Trisakti/Pelanggaran HAM
Prabowo
2. Megawati yang kadar intelektualitasnya diragukan
2 SBY-Boediono
1. Boediono penganut Paham Neolib
2. Boediono penganut Islam Kejawen
3. Istri Boediono Non Muslim
4. SBY yang peragu / lamban dlm mengambil kebijakan
5. Sama-sama berasal dari Jawa Timur, sehingga
seperti Pilkada bukan Pilpres.
6. Istri-Istri yang tidak memakai Jilbab, sangat
disayangkan untuk Negara yang mayoritas muslim.
3 JK-Wiranto
1. JK yang berasal dari luar jawa.
2. Keterkaitan JK dengan Ahmadiyah.
3. Kasus Korupsi beberapa kepala daerah dari Golkar.
4. JK yang pengusaha.
5. Kekayaan JK yang banyak.
6. Wiranto dengan kasus pelanggaran HAM TimurTimor.
Sumber: Dihimpun dari Berbagai Media Masa.
Upaya-upaya
maksimalisasi
dengan
menciptakan
dan
mengembangkan isu-isu di atas cukup
mendapat apresiasi diberbagai media
masa maupun elektronik.
Upayaupaya tersebut dimaksudkan agar
supaya harga psikologis dan citra
nasional
masing-masing
pasangan
menjadi sangat tinggi, yang pada
akhirnya,
diharapkan
dijadikan
referensi bagi para pemilih untuk
memilih
partai/kontestan
yang
memiliki resiko atau harga yang paling
tinggi. Pasangan SBY-Boediono adalah
ADMINISTRATIO
pasangan
yang
paling
banyak
mendapatkan
upaya-upaya
maksimalisasi, agar supaya apabila
voters memilih pasangan ini, pemilih
akan mendapatkan risiko atau harga
yang relatif tinggi. Kemudian disusul
pasangan JK-Wiranto
Upaya-upaya Counter attack
dengan
melakukan
minimalisasi
terhadap upaya-upaya di ataspun
dilakukan. Untuk menanggapi
isu
kalau Boediono seorang penganut
Neolib,
maka
dalam
pidato
pengukuhan pasangan calon presiden
ISSN : 1410-8429
649 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember 2009
dan wakil presiden, Boedionopun
membantahnya. Tak lama kemudian
Boediono mengeluarkan Buku yang
berbicara tentang arah perekonomian
Indonesia, yang memuat pemikiranpemikiran Boediono di bidang ekonomi
sekaligus menjawab tudingan yang
diarahkan
kepadanya.
Berkaitan
dengan penganut Islam Kejawen, Tak
lama setelah isu itu muncul, Boediono
tampil di muka umum, pada saat dia
akan melaksanakan Sholat Jum”at.
Demikian juga, seolah ingin menangkis
isu non muslim yang dialamatkan
kepada Istri Boediono, akhirnya istri
Boediono pun tampil di muka umum
dalam rangka sholat berjamaah
dengan kader-kader PKS. Demikian
juga pasangan-pasangan yang lain,
selalu berusaha untuk menangkis
setiap upaya-upaya maksimalisasi
harga politiknya.
Bahasan yang menarik yang
selalu mengikuti upaya-upaya dalam
rangka counter attack adalah politik
“melan kolis”. Istilah melan kolis
dalam Pilpres sebetulnya sudah ada
sejak Pemilihan Presiden pada saat
awal orde baru, di mana kemenangan
PDI-P
akibat
munculnya
sosok
Megawati yang selalu teraniaya pada
masa orde baru, sehingga pada
Pemiliu 1999, Megawati dan PDI-P
tampil sebagai pemenang. Demikian
juga pada saat Pilpres 2004, SBY
tampil sebagai sosok yang “seolaholah teraniaya” dari pihak penguasa,
dengan istilah “Jendral kanak-kanak”
yang akhirnya memenangkan Pipres
2004. Sugiono (2009) menegaskan
bahwa
sosok
yang
tertindas
berkontribusi
cukup
dominant
terhadap pilihan voters kepada sosok
tertindas tersebut.
Politik
“melankolis”
juga
mengiringi dalam Pilpres 2009 ini.
Kontroversi seputar Semakin di tindas
semakin
popular
itulah
yang
barangkali merupakan ungkapan yang
dapat mengambarkan pasangan SBYBoediono pada Pilpres 2009. Apa yang
terjadi di atas secara tidak langsung
ADMINISTRATIO
merupakan penguatan pencitraan
terhadap pasangan ini, yaitu pasangan
yang santun, sabar dalam menghadapi
segala tudingan, teraniaya yang pada
akhirnya mengantarkan mereka untuk
memenangkan Pilpres dengan mudah.
Namun beberapa kalangan menilai,
justru upaya-upaya itu diciptakan oleh
pihak-pihak tertentu yang ingin
menerapkan politik melan kolis atau
politik belas kasihan untuk menarik
simpati pemilih.
Menurut Yudy
Chrisnandi berkaitan dengan politik
melankolis Dia menilai, strategi SBY
tidak berbeda dengan strategi yang
dijalankannya pada Pilpres 2004. Dia
sengaja menciptakan situasi tertekan
sehingga dengan mudah mengundang
simpati masyarakat. "Seharusnya SBY
bersaing
dan
berdebat
dalam
penyampaian visi, misi, dan program
sebagai capres. Bukannya malah
membuat dirinya seolah-oleh orang
yang perlu dikasihani," katanya. Lebih
lanjut Amir Santoso
mengatakan,
Memang strategi melankolis tersebut,
menurut Amir, masih efektif dengan
perilaku dan budaya masyarakat
Indonesia. "Masyarakat kita orang yang
pengasihan dan lebih mengedepankan
perasaan daripada melihat suatu
relaita. Dan ini yang dimanfaatkan
SBY," katanya (Suara Karya 16 Juni
2009).
Keempat, Place/Penempatan.
Niffenegger dalam Firmanzah
(2007:210)
menjelaskan
bahwa
penempatan/place berkaitan erat
dengan cara hadir atau distribusi
sebuah
institusi
politik
dan
kemampuannya dalam berkomunikasi
dengan para pemilih atau calon
pemilih. Kampanye politik memang
harus bisa menyentuh segenap lapisan
masyarakat. Hal ini bisa dilakukan
dengan segmentasi publik. Berbagai
metode segmentasi telah ditawarkan
oleh banyak peneliti, namun kesemua
metode tersebut berangkat dari
sebuah dasar bahwa setiap individu
cenderung untuk berinteraksi dan
ISSN : 1410-8429
Arif Sugiono; Membongkar Kemenangan SBY-Boediono 650
berhubungan dengan orang-orang yang
berbagi karakteristik sama. Kotler et
al (1972) menawarkan Berbagai
metode
segmentasi
diantaranya
geografis,
demografi,
Psikografi,
Perilaku, sosial budaya dan sebab
akibat. Indonesia dengan geografis
yang sangat luas, dan jumlah pemilih
yang mendekati 180 juta pemilih,
tersebar di 33 provinsi menjadikan
metode segmentasi menjadi alat yang
cukup efektif dan efesien dalam
menempatkan
pasangan/institusi
politik kedalam benak 180 juta
pemilih. Apa yang dilakukan SBYBoediono adalah bentuk teknik
segmentasi yang efektif, dengan
ditambah iklan yang komunikatif.
Untuk menyapa berbagai segmen
pemilih yang ada, kubu SBY-Boediono
menggunakan berbagai versi iklan
diantaranya Iklan versi Jingle Indomie
dan Iklan versi terima kasih . Kedua
iklan itu adalah media yang cukup
efektif menempatkan SBY-Boediono di
semua segmen yang ada. Iklan SBYBoediono
versi
Indomie
yang
melakukan segmentasi atas dasar
geografis, dari Sabang sampai Rote
dimana semua pemudanya telah
bertekad untuk menjadikan SBY
sebagai presiden. Iklan ini secara
tidak langsung mengkomunikasikan
bahwa SBY telah hadir dan berada di
seluruh belahan nusantara, di dukung
dengan jingle iklan Indomie yang
sudah cukup populer di masyarakat.
Iklan
lainnya
yang
tak
kalah
menariknya adalah iklan versi adalah
SBY-Boediono melakukan segmentasi
didasarkan atas pekerjaan pemilih,
ada yang berprofesi guru, petani,
nelayan.
Dengan
menceritakan
dampak dari kebijakan SBY terhadap
kesejahteraan
masyarakat
dari
berbagai latar belakang pekerjaan
yang ada. Nelayan kesejahteraan
meningkat
dengan
BBM
yang
bersubsidi dan penurunan BBM, Guru
semakin sejahtera dengan berbagai
tunjangan dan adanya sertifikasi, dan
berbagai
cerita
peningkatan
ADMINISTRATIO
kesejahteraan dari berbagai profesi
lainnya.
Iklan
tersebut,setidaktidaknya ingin mengkomunikasikan
bahwa segenap masyarakat yang
terdiri dari berbagai profesi telah
merasakan kesejahteraan hidup akibat
berbagai kebijakan yang diambil SBY.
Selain itu, Iklan ini juga ingin
mengkomunikasikan bahwa SBY telah
hadir di seluruh elemen masyarakat,
mulai dari Guru, Petani, Buruh,
Nelayan dan berbagai profesi lainnya.
Penutup
Political Marketing process
telah hadir sebagai tool untuk
menghasilkan
strategi
untuk
memenangkan Pemilihan umum. Pada
Pilpres 2009, pasangan SBY dengan
konsultan poltik FoX Indonesia telah
menggunakan political marketing
process sebagi instrument untuk
menyusun strategi yang efektif, yang
akhirnya
dapat
memenangkan
persaingan.
Tulisan
ini
hanya
membahas tentang bagaimana SBYBoediono memanfaatkan Marketing
mix dalam upaya memenangkan
persaingan. Peneliti-peneliti lain bisa
mengembangkan
kajian
dengan
meneliti sejauh mana efektifitas dari
strategi-strategi yang dipakai SBYBoediono.Atau
bahkan
mengembangkan
kajian
tentang
perilaku pemilih.
Daftar Pustaka.
Butler, P & Collins, N, 2001. Payment
on
Delivery
:
Recognizing
Constituency services as Political
Marketing. European Journal of
Marketing. P. 1167-1170.
Burton, Jhon Michel, 2008. Political
Marketing Matters : Identifying
the
Effect
of
Candidate
Positioning
in
Congressional
Elections. Journal of Political
ISSN : 1410-8429
651 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember 2009
Marketing, Volume 6, Issue 4
January , pages 33 – 50.
Bruce, I Newman, 2002. The Role Of
Markeing In Politics. Journal Of
Political Marketing. Volume 1,
Issue 1 January 2002 , pages 1 – 5.
--------------------------,
2002.
The
Merging Of Public Relations and
Political Marketing. Journal Of
Political Marketing. Volume 1,
Issue 2 Pages 1-7.
Firmanzah. 2007. Marketing Politik :
Antara Pemahaman dan Realitas.
YOI.Jakarta.
Hannenberg,
Stepan
C.M.2002.
Understanding Political Marketing.
Preager Publishing. USA. Pages 93170.
Huggins, Richard and Barrie Axford.
.20002. Political Marketing and
The Aestheticisation of Politic :
Modern Politic and Postmodern
Trends. Preager Publishing. USA
Pages 187-2008.
Kotler,
P.
1984.
Marketing
Management : Analysis, Planning
and control, 5 edition, London.
Prentice Hall.
Kotlet,P, et al.1972 Broadening the
concept of marketing.Journal of
Marketing.(33).1. P.10-15.
Kotler, P, Brown,L, Adams, S,
Armstrong, G. 2004. Marketing.
Prentice Hall. International
Edition.
Marshment,
Jennifer Lees, 2003.
Political Marketing
: How to
Reach That Pot of Gold. Journal
Of Political Marketing. Volume 2,
Issue 1 Pages 1-32.
Newman, B.I.1994. The Marketing of
The President : Political Marketing
as Campaign Strategy. London
Sage
O”Saughnessy, Nicholas J. 2002. The
Marketing of Political Marketing.
Preager Publishing. USA. Pages
209-220.
ADMINISTRATIO
Schumpeter, J. 1943.
Socialism
and
Loundon, Unwin.
Capitalism,
Democracy.
Sugiono,
Arif,2005.
Faktor-faktor
Eksternal yang mempengaruhi
Perilaku Pemilih dalam Pilkada
Langsung : Sebuah Kajian dari
Perspektif Political Marketing.
Jurnal
Manajemen
Ushawan.
NoXXVI Mei. LMFEUI. Jakarta.
----------------,
2009.
Pengaruh
Faktoreksternal
terhadap
Keputusan Memilih : Survey
dikalangan Pemilih di Desa Woro,
Kecamatan Kepohbaru, Kabupaten
Bojonegoro
dari
Perspektif
Political
Marketing.
Jurnal
Administratio. Edisi Januari 2009.
Laboratorium Administrasi Publik.
FISIP Unila.Bandar Lampung.
Versic, Dejan, 2002. From Marketing
Warfare to Warfare Marketing.
Journal Of Political Marketing.
Volume 1, Issue 4 Pages 115-116.
Wring, Dominic. 2002. Conceptualising
Political Marketing : A Framework
for Election-Campaign Analysis.
Preager Publishing. USA. Pages
171-186
Sumber Internet :
www.inilah.com/berita/politik/2009/
05/13/106600/amien-rais-kecewasby-boediono diakses 18 Agustus
2009
http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=229230,
Politik Melankolis Tidak Mendidik.
diakses 18 Agustus 2009
http://nasional.kompas.com/read/xm
l/2009/06/23/12125638/iklan,sbyboediono.paling.banyak.jangkau.u
sia.pemilih.
(diakses
tanggal
18Agustus 2009)
ISSN : 1410-8429
Download