TELAAH IKLAN POLITIK SBY PADA PEMILIHAN - Stikosa-AWS

advertisement
TELAAH IKLAN POLITIK SBY PADA PEMILIHAN PRESIDEN
LANGSUNG 2009 DALAM PERSPEKTIF MULTIKULTURALISME
Putri Aisyiyah R.D1
Abstract
Presidential Election 2009 in Indonesia was won by Susilo Bambang Yudhoyono.
The win is believed to be the result of SBY imaging in its various forms, including
political advertising. In this study, the author focuses on SBY advertising that
carries the theme of "multiculturalism". The author tries to examine the contents
of the message or image that is formed through an ad and compare how the
reality of SBY as a candidate for president who is also incumbent. This is by Jon
Simons called imagologi.
Key Words:
Political advertising, multiculturalism, imagology
Abstrak
Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia dimenangkan oleh Susilo Bambang
Yudhoyono. Kemenangan itu diyakini merupakan hasil dari pencitraan SBY
dalam berbagai bentuk, termasuk iklan politik. Dalam studi ini, penulis berfokus
pada iklan SBY yang mengusung tema "multikulturalisme". Penulis mencoba
memeriksa isi dari pesan atau gambar yang terbentuk melalui iklan dan
membandingkan bagaimana realitas SBY sebagai calon presiden yang juga
incumbent. Ini yang oleh Jon Simons disebut imagologi.
Kata Kunci:
Iklan Politik, Multikulturalisme, Imagologi
Pendahuluan
Telaah ini berangkat dari ketertarikan penulis akan berbagai iklan politik
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang diputar pada masa kampanye
Pemilihan Presiden 2009. Sejumlah ahli komunikasi politik negeri ini
1
Putri Aisyiyah Rachma Dewi adalah Dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Sekolah
Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
menganggap bahwa keberhasilan SBY memenangi Pemilihan Presiden 2009 tidak
lebih dari keberhasilan dunia periklanan semata, melalui pencitraan yang mereka
lakukan. Sehingga, penulis ingin melakukan pengamatan lebih lanjut antara citra
SBY dalam iklan dengan realitas kepemimpinan SBY yang tercermin melalui
berbagai produk kebijakan selama menjadi Presiden Indonesia periode 20042009, terutama berkaitan dengan isu multikultural.
Multikulturalisme adalah salah satu wacana yang diusung SBY dalam
kampanye-kampanye politiknya. Beragam iklan politik SBY mencitrakan SBY
sebagai sosok yang inklusif dan dapat diterima oleh semua golongan. Salah satu
iklan yang menarik perhatian publik adalah iklan ala Indomie2 “SBY Presidenku”.
Dalam iklan ini, SBY digambarkan sebagai sosok Bapak Bangsa yang diterima
oleh semua golongan dan suku bangsa di Indonesia. Sekalipun demikian, menjadi
paradoks apabila dikaitkan dengan sejumlah kebijakan kontra multikultur yang
dihasilkan selama masa kepemimpin SBY di tahun 2004-20093.
Fokus Penelitian
Tulisan ini berfokus pada iklan politik SBY versi “SBY Presidenku” untuk
melihat apakah benar-benar telah mencerminkan multikulturalisme atau
sebaliknya hanya sekedar citra. Sekaligus menguji apakah sejumlah kebijakan
SBY telah menjamin terwujudnya multikulturalisme di Indonesia.
Pembahasan
Iklan Politik
Iklan identik dengan kegiatan pemasaran sebuah produk. Melalui iklan
seorang pemasar bisa menyebarluaskan informasi produk yang ia miliki kepada
khalayak luas. Menurut Lee & Johnson, iklan adalah bentuk komunikasi yang
2
Salah Satu Brand Mie Instan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menuduh iklan SBY
melakukan plagiat terhadap Indomie, tetapi agar pembaca mengetahui secara persis mana iklan
yang dimaksud oleh penulis, sebab iklan mie instan dengan konsep “selera nusantara” tersebut
lebih dahulu muncul dan lebih diingat oleh khalayak
3
SBY adalah incumbent, yang pada Pilpres 2009 menggandeng sosok Boediono sebagai
Calon Wakil Presidennya. Pasangan SBY-Boediono ini diusung oleh Partai Demokrat, Partai yang
juga mengantarkan keberhasilan SBY memenangi Pilpres sebelumnya di tahun 2004.
bersifat komersil dan non personal (mass) tentang sebuah organisasi dan produkproduknya ke suatu target khalayak melalui media massa dan media lain baik
indoor maupun outdoor.
Dalam perkembangannya, iklan tidak hanya digunakan untuk memasarkan
produk-produk komersil belaka, tetapi periklanan merambah pada pemasaran ideide sosial (social products) dan juga untuk kepentingan politis. Pada konteks ini,
konsep produk yang diiklankan meluas tak hanya sekedar yang tampak (tangible
products) namun juga meliputi yang tak tampak/ tanraba (intangible products)
yaitu ide-ide.
Di Indonesia, persinggungan periklanan komersil dengan dunia politik
terjadi sejak Pemilihan Umum 1999, yaitu Pemilu pertama yang diselenggarakan
Pasca Pemerintahan Orde Baru. Kala itu, banyak partai politik pendatang baru,
sehingga baik partai lama (PPP, PDI, Golkar) maupun partai-partai baru merasa
perlu untuk melakukan positioning –yang menjadi pembeda antara partai satu
dengan yang lain-untuk kemudian mengkomunikasikannya kepada khalayak.
Kegiatan kampanye yang dahulu hanya diisi oleh orasi politik, pemasangan
bendera di jalan-jalan, pawai keliling kota, arak-arakan motor, penyebaran
pamvlet dan pemasangan baliho, mulai tahun 1999 semakin meriah dengan
kehadiran iklan-iklan politik.
Elite politik
pun tak segan menggandeng advertising agencies selain
konsultan politik, untuk menangani kegiatan kampanye mereka maupun calon
yang mereka usung. Yang dimaksud dengan iklan politik adalah iklan dengan
content yang berkaitan dengan kegiatan politik suatu institusi maupun
perseorangan, berupa ajakan untuk mendukung atau memilih figur tertentu yang
diiklankan. Pendek kata iklan politik adalah sebuah sarana pencitraan, untuk
mendongkrak dan mempopulerkan seoarang calon.
Imagologi
Secara leksikal, pencitraan atau imagologi berasal dari dua kata, yaitu
“imago” yang berarti imaji; citra dan “logos” yang berarti logika; pengetahuan,
atau dengan kata lain imagologi adalah ilmu tentang citra atau imaji serta peran
teknologi pencitraan dalam membentuknya. Imagologi merujuk pada Society of
The Spectacle. Yaitu masyarakat yang menganggap sentral peran citra dalam
membentuk relasi sosialnya ketimbang teks atau oral.4
Dalam hal ini Plato, sebagaimana yang dikutip oleh Yasraf A. Pilliang,
berbicara tentang fungsi citra (eidelon) dalam membentuk dunia realitas dengan
membedakan dua jenis citra. Pertama, sesuatu yang menyerupai yang asli,
reproduksi secara persis (copy) dari yang ada sebelumnya, yang disebut
keserupaan (eikon).
Kedua, yang tidak merupakan reproduksi sepenuhnya dari orisinal, akan
tetapi melibatkan elemen-elemen penipuan ilusi, image yang kira-kira serupa
dengan aslinya, yang mempunyai tingkat kenyataan yang rendah, seperti seuatu
yang bersifat khayalan (phantom) atau maya (virtual), yang disebut kemiripan
(semblance) atau fantasma.
Jenis citra yang pertama, lebih pada tanda-tanda yang menyerupai atau
secara fisik memiliki kemiripan dengan yang diwakilinya, seperti foto, patung,
lukisan diri, dan lain sebagainya. Sementara, pada pengertian kedua citra khayalan
atau citra ilusif yang belum tentu merepresentasikan objek yang diwakilinya.
Pada konteks politik, istilah imagologi politik cenderung pada citra yang
kedua, dimana pencitraan yang dilakukan lebih pada pengaburan realitas itu
sendiri demi kepentingan-kepentingan politik tertentu. Dengan kata lain, politik
pencitraan lebih mengutamakan pembentukan image daripada realitas yang ada,
lebih mengutamakan pada kebijakan-kebijakan politik yang membentuk citra diri
positif dari masyarakat ketimbang menghasilkan kebijakan unpopulis yang
membuat mereka dikecam rakyat. Citra ini dibentuk melalui medium yaitu media
massa, melalui iklan-iklan komersil dalam berbagai bentuknya.
...have created their own language, their formulas, their aesthetics… their idea of
the right life-style, which they cultivate, disseminate, and force upon their
unfortunate peoples… Imagologues create systems of ideals and anti-ideals, systems
of short duration… but that influence our behavior, our political opinions and
aesthetic tastes, the color of carpets and the selection of books, just as in the past we
have been ruled by the systems of ideologues” (Jon Simons: 82).
4
Yasraf A. Piliang; Resistensi Gaya Hidup; 2006; Jalasutra: Jogjakarta (hal. 76)
Selama ini terjadi kerancuan istilah antara citra politik dan indentitas
politik, padahal dua konsep tersebut berbeda meski berkaitan antara satu dengan
yang lain. Citra merupakan visualisasi dari atribut yang diberikan dan
dipersepsikan oleh pihak luar tentang suatu partai politik, bisa berupa reputasi,
dan kredibilitas partai politik yang dipersepsikan masyarakat luas. Sementara,
identitas politik memiliki fungsi sebagai penanda yang membedakan antara partai
politik satu dengan partai politik yang lain, dan juga sebagai alat pemersatu orangorang yang berbagi paham ideologi yang sama.5
Iklan Politik “SBY Presidenku”
Kampanye SBY-Boediono selama masa Pilpres 2009 ditangani oleh Bravo
Media Centre/Fox Indonesia, dengan Direktur Eksekutifnya Choel Mallarangeng.
Fox Indonesia selaku konsultan sekaligus event organizer yang meng-handle
kegiatan kampanye politik pasangan ini(mulai dari deklarasi, content iklan,
hingga kampanye).
Ada beberapa rangkaian iklan politik SBY-Boediono yang diputar pada
masa kampanye Pemilihan Presiden 2009. Diantaranya yaitu iklan versi “SBY
Presidenku”; “dari Rakyat Untuk Rakyat”; dan “Tulus”. Iklan yang banyak
mengudang kontroversi adalah “SBY Presidenku” karena dianggap menjiplak
konsep iklan produk mie instan yang lebih dahulu populer dengan jingle “Selera
Nusantara”, namun terlepas dari stigma negatifnya jingle iklan ini ternyata banyak
disuarakan pada masa kampanye Pilpres 2009.
Iklan “SBY Presidenku” memiliki kekuatan pada visualisasi dan
musikalisasi yang ditampilkan. Visual iklan diawali oleh Mike6 dengan baju adat
batak sedang menyanyi di pinggir pantai, kemudian disusul slide-slide visual
pegunungan, lautan, anak muda dengan setting kota, kehidupan desa, anak-anak
yang membawa bendera merah putih melintasi pantai, perkampungan nelayan,
orang membawa tarian sumatera, dan tarian bali, kemudian closing iklan
menampilkan layar hitam dan tulisan yang menjadi slogan SBY, “Lanjutkan”.
5
Firmansyah; Marketing Politik; 2008; Yayasan Obor: Jakarta (hal. 253)
Finalis “Indonesian Idol” ajang pencarian bakat yang diselenggarana oleh salah stau
televisi swasta nasional
6
Iklan dengan visualisasi demikian jelas menyampaikan sebuah pesan
bahwa Indonesia adalah sebuah negara dengan beragam suku budaya. Dalam
heterogenitas budaya yang ada, tentu mereka membutuhkan sosok pemimpin yang
mampu merangkul semua golongan (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan)
yang ada di Indonesia. Dan jawaban akan kebutuhan tersebut, ada pada diri SBY
yang merupakan sosok yang inklusif dan multikultur. Pesan demikian dipertegas
dengan teks jingle iklan sebagai berikut:
Dari Sabang Sampai Merauke/
Dari Miangas sampai Pulau Rote/
Pilihan Partai Boleh Berbeda/
Presiden Tetap SBY/
SBY..SBY Presidenku/
SBY dari dan bagi Indonesia/
SBY...Presidenku//
Dari teks jingle di atas, dapat dilihat secara eksplisit bahwa SBY ingin merangkul
semua golongan, dan bahwa SBY adalah jawaban dari tantangan pemimpin yang
mampu merangkul seluruh kelompok di Indonesia, bahwa selama masa
Pemerintahan SBY sebelumnya, rakyat Indonesia dari Sabang hingga Merauke
semua telah terangkul dan terayomi dengan baik, sehingga kinerja yang baik
tersebut harus dilanjutkan dengan sekali lagi memilih SBY pada Pilpres 2009.
Pemilihan Presiden 2009
Pesta demokrasi Pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia pada awalnya
ditujukan hanya untuk memilih anggota legislatif atau lembaga perwakilan, yaitu
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat
UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang
semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat
sehingga pilpres pun dimasukkan sebagai bagian dari Pemilu.
Pemilihan Presiden langsung sebagai bagian dari wujud pelaksanaan
demokrasi di negara Indonesia diadakan pertama kali pada Pemilu 2004.
Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang
dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan
pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf
Kalla-Wiranto.
Pada Pilpres 2009 yang diadakan pada 8 Juli 2009 Presiden SBY dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla ternyata tidak lagi berpasangan, dan masing-masing
mengajukan diri menjadi Calon Presiden 2009. SBY menggandeng Boediono
sebagai calon Wapres yang mendampingi, dan Jusuf Kalla menggandeng Wiranto
sebagai calon Wapres, sementara calon lain yang juga maju adalah Megawati dan
Prabowo.
Indikasi kemenangan pasangan SBY-Boediono sudah tampak pada
berbagai survai. Seperti yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia pada
periode Juni 2009. Dari hasil survai yang dilakukan diketahui bahwa pasangan ini
unggul hampir di seluruh kelompok masyarakat, baik kelompok agama maupun
berdasarkan regional pemilih.
Dari kelompok muslim dan non muslim, SBY-Boediono dapat diterima
oleh kelompok beragama manapun. Sementara, ditinjau dari pemilih berdasarkan
suku bangsa dan kedaerahan ternyata pasangan yang keduanya berasal dari Jawa
ini juga mendapat dukungan lebih dari 50% hampir di seluruh wilayah dan suku,
termasuk di wilayah-wilayah yang selama ini dikenalk sebagai kantung-kantung
massa partai pengusung kedua pasangan calon lainnya.
Dukungan Kelompok Agama
kepada Capres-Cawapres pada Pilpres 2009 di Indonesia
Survey LSI Periode: Juni 2009
Pasangan
Distribusi
Distribusi
Capres -Cawapres
Pemilih Muslim
Pemilih Non Muslim
SBY - Boediono
67 %
65%
Mega - Pro
15%
28%
JK – Win
9%
3%
Belum Tahu
8%
4%
Dukungan Kelompok Masyarakat berdasar Wilayah
kepada Capres-Cawapres pada Pilpres 2009 di Indonesia
Survey LSI Periode: Juni 2009
Pasangan
Sumatra
Banten
Jawa
Jateng
Jatim
Kali –
Sulawesi
NT,
Capres –
DKI
Barat
Cawapres
–
–
Jogja
Bali
mantan
Papua,
Maluku
78
65
71
57
67
63
50
73
12
13
17
25
20
24
3
7
JK – Win
5
9
6
5
6
5
41
13
Belum
5
13
6
13
7
7
5
7
SBY –
Boedi
Mega –
Pro
tahu
Survey LSI Periode: Juni 2009
Salah satu temuan dalam riset ini bahwa keunggulan SBY-Boediono
didukung persepsi publik yang masih positif terhadap berbagai kondisi makro,
misalkan: Arah negara benar, keamanan dan ketertiban dinilai baik, penegakan
hukum baik, dan yang utama kondisi ekonomi yang juga mendapat nilai positif
dari masyarakat.
Paradigma Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah paham
yang menekankan pada
kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak
dan eksistensi budaya lain. Hal ini sangat penting kita pahami bersama dalam
kehidupan masyarakat yang multikultural seperti di Indonesia ini. Sebab
bagaimana pun secara riil, bangsa Indonesia memiliki keragaman bahasa, sosial,
agama, budaya dan sebagainya. Keragaman tersebut amat kondusif bagi
munculnya konflik dalam berbagai dimensi kehidupan.7
Dalam konsep negara, multikulturalisme mengacu pada berbagai
kebijakan negara (state) yang diwakili oleh aparatusnya, dimana kebijakan
tersebut pro pada keberadaan tiap-tiap cultural group yang dinaunginya dengan
menghargai setiap perbedaan kultural kelompok-kelompok tersebut. Sehingga,
multikulturalisme bukanlah memaksakan keseragaman diantara kelompokkelompok untuk mencapai persatuan, tetapi persatuan dicapai melalui kerukunan
7
Choirul Mahfud; Pendidikan Multikultural, 2008; Pusataka Pelajar: Jogjakarta (hal. 8)
dan penghargaan perbedaan. Seringkali istilah society (masyarakat) dirancukan
dengan kata nation (bangsa). Bangsa adalah sekumpulan orang yang terorganisir
dalam sebuah pemerintahan yang mandiri, dan hanya salah satu dari bentuk
masyarakat. Sementara, istilah masyarakat juga diidentikkan dengan cultural
group yang memiliki
peradaban yang sama atau pemilik budaya tertentu.
Keduanya, baik nation maupun cultural group adalah bentuk dari masyarakat atau
society.8
Pada masa Soeharto berkuasa dengan rezim Orde Baru-nya, kebijakan
yang mereka lakukan mengarah pada penyeragaman budaya demi terwujudnya
konsep nation-state atau negara-bangsa Indonesia. Konsep nation menafikan
heterogenitas atau kemajemukan dari kelompok-kelompok budaya yang ada
diberbagai daerah di Indonesia. Proses ini disebut dengan homogenisasi
masyarakat. Terjadi pemaksaan budaya Jawa terhadap budaya-budaya lain.
Konsep “nagari” di Sumatera, “banjar” di masyarakat Bali, dihilangkan dan
diseragamkan menjadi konsep “desa” seperti di daerah Jawa.
Proses homogenisasi ini menjadi permasalahan serius, karena telah terjadi
ketimpangan dalam proses penyelenggaraan negara. Telah terjadi peminggiran
atau marjinalisasi kelompok-kelompok tertentu sementara kelompok lain
mendapatkan keutamaan dan hak-hak istimewa tertentu dalam berbagai sektor
pembangunan.
Distribusi perekonomian yang timpang antara Jawa dan Luar Jawa,
berdampak pada pembangunan infrastruktur daerah yang tidak merata, yang
akhirnya berdampak pada kesulitan daerah-daerah lain akan akses kesehatan,
pendidikan, hiburan, dan pemerintahan. Maka, pemahaman tentang Indonesia
mengalami penyempitan menjadi pemahaman akan Pulau Jawa saja, dan Jakarta
pada khususnya.
Penyeragaman tak hanya terjadi pada konteks kultural kemasyarakatan,
tetapi juga pada level keagamaan. Kebijakan mengkotakkan antara agama dan
8
Charles A. Ellwood; Sociology & Modern Social Problem ; 2004; Ebook produced by
Julie Barkley, Charles Franks, and The Online Distributed Proofreading Team (hal. 4)
masyarakat adalah sebuah kebijakan yang menafikan kekayaan agama masyarakat
Indonesia. Hanya ada lima agama yang diakui sebagai agama resmi negara
Indonesia dan tercantum dalam identitas resmi penduduk Indonesia. Semnetaram
yang lain-lain hanya disebut sebagai aliran kepercayaan, dan tak ada pengakuan
negara terhadap eksistensi mereka. Hegemoni negara pun masuk pada ranah
religiusitas penduduknya,
Apa yang dilakukan oleh Soeharto dijelaskan oleh Hefner dalam
“Multiculturalism Politics” tentang praktik demokrasi dan multikulturalisme
beserta tantangan-tantangannya di Indonesia. Hefner mencoba menjelaskan awal
muncul multikulturalisme dan mengapa bukan saja harus ditebarkan melalui
pendidikan tetapi juga melalui institusi politik. Menurut Hefner institusi politik
diyakini mampu membuat perubahan secara signifikan. Lembaga politik selain
sebagai instrumen demokrasi juga memiliki kekuatan untuk membuat kebijakan
yang memihak kepada rakyat dan kebaikan- kebaikan untuk bangsa ini.
Tetapi, tentu bukan perkara mudah menjadikan multikulturalisme sebagai
isu politik. Menjadi kelemahan dari sebuah lembaga untuk menangani isu
perubahan penduduk, perpecahan, ketidakpercayaan dan bahkan kebencian antar
golongan. Isu tersebut tidak pernah menarik untuk dibicarakan secara eksplisit,
karena bukanlah sebuah isu aman. Tidak seperti isu kesehatan, pertumbuhan
ekonomi, pembangunan infrastruktur, atau pendidikan, isu multikultural akan
membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu yang boleh jadi tidak disukai oleh
sebagian golongan masyarakat.
Sebagian besar politisi lebih suka menghindari fakta adanya kebencian
antar kelompok, mereka menggunakan kata-kata bahasa-bahasa yabg lemah lebut
yang menunjukkan inklusivitas dan kohesi, meskipun mereka adalah partai yang
nampak rasis dipermukaan. Berurusan dengan keragaman dianggap sebagai
ladang ranjau, dan membahayakan nyawa ketika bersinggungan dengannya.
Muncul anggapan bahwa hanyalah politisi yang andal yang bisa membangun
sebuah karir melalui isu-isu interaksi antar ras9.
9
Phil Wood & Charles Landry, The Intercultural City: Planning For Diversity Advantage;
2008; Earthscan: London (hal 6)
Berbagai konflik lokal mucul seiring dengan tumbangnya rezim Soeharto.
Berbagai gerakan separatis yang dahulu dibungkam melalui aparatus militer
dengan cara-cara represif, pasca Soeharto kembali membangun kekuatan dan
kepercayaan diri untuk menunjukkan eksistensinya. Lepasnya Timor-timur dari
Indonesia, separatisme Aceh, separatisme Papua, separatisme Maluku, kelompokkelompok religius yang ingin mengubah negara Indonesia menjadi negara religius
dengan pengakuan satu agama, belum lagi problem-problem pemekaran daerah.
Kesemuanya muncul silih berganti dan mengancam integritas bangsa Indonesia.
Wacana dan Kuasa
Foucault (1926-1984) merupakan salah satu pemikir terkemuka dalam
dunia ilmu sosial dan filsafat. Karya-karya hasil pemikirannya di kemudian hari
bahkan sempat menjadi grand theory yang mendunia dalam kancah teori sosial.
Salah satu pemikiran Foucault yang fenomenal adalah cara ia memahami
keterkaitan antara bahasa dan kuasa.
Bagi Foucault, bahasa sebagai wacana tidaklah pernah netral atau berdiri
sendiri. Bahasa adalah sebuah wacana yang berkait dengan aturan, hak-hak
istimewa untuk kelompok tertentu yang diberikan oleh pemegang kuasaLewat
teori-teori yang dikemukakannya Foucault menyadarkan dunia bahwa bahasa
sebagai alat melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu, “language as a
discourse is never neutral and is always laden with rules, privileging a particular
group while excluding other”10.
Telaah Kritis Terhadap Iklan Politik “SBY Presidenku”
Iklan ”SBY Presidenku” adalah sebuah bentuk pengejewantahan
imagologi politik di Indonesia. Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono untuk
kedua kalinya pada Pemilihan Presiden 2009 adalah hasil dari perjalanan panjang
pencitraan yang dilakukan oleh tim mereka sejak Pemilihan Presiden 2004.
Berbagai aktifitas pencitraan mereka lakukan tak hanya dalam konteks iklan
komersil belaka, tetapai hampir diseluruh aktifitas politik yang dilakukan oleh
10
Yasraf A. Piliang; Resistensi Gaya Hidup; 2006; Jalasutra: Jogjakarta
SBY. Pada kegiatan kepresidenan, seperti kunjungan ke berbagai daerah, dialog,
press conference, pidato kepresidenan, dan lain sebagainya tampak bagaimana
SBY sangat mengatur komunikasi verbal dan non verbal yang ia lakukan. Bahkan
ia melibatkan dua fotografer profesional yang leluasa mengatur gerak-gerik sang
Presiden agar tampak fotogenic dan mendapatkan citra yang diinginkan.
Pada Kampanye Pemilihan Presiden 2009, SBY banyak menggunakan
klaim-klaim keberhasilan pemerintahannya di tahun 2004-2009 sebagai isu
kampanye, seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas keamanan, penegakan hukum,
yang mana semuanya merangkum premis bahwa negara berada dalam arah
pembangunan berkelanjutan yang benar. Karena itu, kepemimpinan SBY perlu
untuk dilanjutkan satu periode lagi pada 2009-2014 untuk meneruskan kerja
cemerlang sang incumbent, itu sebabnya slogan yang mereka usung adalah
”Lanjutkan!”.
Survey LSI pada Juni 2009 yang menunjukkan bahwa SBY adalah sosok
pemimpin yang ternyata diterima oleh hampir seluruh golongan yang ada, baik
diferensiasi berdasar keagamaan, wilayah, suku bangsa, maupun partai politik.
Survey ini menyatakan bahwa SBY unggul bahkan di kantung-kantung yang
dianggap basis massa dari calon pasangan Capres – Cawapres lain. Misalkan
Sulawesi, yang itu merupakan daerah asal dari Capres Jusuf Kalla, ternyata
mayoritas responden di sana memilih SBY. Atau Bali, yang selalu menjadi daerah
pendulang suara terbesar bagi PDI Perjuangan, ketika Megawati maju lagi untuk
menjadi Presiden, responden di daerah sana hanya 20% yang memilih pasangan
Mega-Prabowo, sementara SBY dipilih oleh 67% responden. Dari kelompok
agama, baik kelompok muslim dan non muslim lebih dari 50% memilih SBY.
Sungguh sebuah fakta menarik apabila kemudian dikaitkan dengan realitas
pasangan tersebut pada perspektif multikultur. Benarkah SBY adalah sosok yang
inklusif yang mampu merangkul semua pihak dan membawa Indonesia menjadi
negara yang rukun dan damai, dan apakah SBY adalah sosok multikultur yang
mampu memberikan penghargaan dan apresiasi terhadap keberadaan kelompokkelompok minoritas di Indonesia.
Ternyata pada rezim kekuasaannya, ada kebijakan-kebijakan yang tidak
sepenuhnya mencerminkan inklusvitas dan multikulturalisme seperti yang ia
citrakan di berbagai kesempatan. Salah satunya adalah pembubaran Jemaah
Ahmadiyah karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang ada. Kebebasan
warga negara untuk
menentukan
agama
maupun kepercayaannya
dan
menjalankan ritual keagamaan sesuai yang diyakininya sebenarnya dijamin dalam
Undang-Undang negara. Akan tetapi, pembubaran tersebut telah memasung
kebebasan warga negara untuk menentukan pilihan agama dan aliran
kepercayaan. Artinya, ada pelanggaran konstitusi yang dilakukan yaitu pasal 28
UUD 1945 mengenai kebebasan berpendapat dan berekspresi serta pasal 29 UUD
1945 mengenai kebebasan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keberadaan Jama’ah Ahmadiyah maupun kelompok “Lia Eden” adalah
salah satu cara warga negara mengekspresikan keyakinan mereka. Meskipun, apa
yang mereka lakukan itu meresahkan kelompok mayoritas Muslim, karena
dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang diyakini oleh sebagian besar rakyat
Indonesia. Sehingga, di berbagai daerah kehadiran kelompok ini dimusuhi dan
dilawan oleh penduduk sekitar. Banyak sekali masjid-masjid Ahmadiyah dibakar
dan pengikutnya diusir dari wilayah yang bersangkutan. Lia, pemimpin kelompok
“Eden” yang menganggap dirinya sebagai Nabi pun ditangkap oleh Polisi karena
dianggap mengajarkan ajaran sesat.
Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan mengusulkan kepada
Pemerintah agar Ahmadiyah dibubarkan bila tak menghentikan kegiatannya.
Badan ini terdiri dari perwakilan kejaksaan, kepolisian, TNI, Badan Intelegen
Negara, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, dan Departemen Agama.
Meskipun, akhirnya penangkapan pemimpin kelompok-kelompok tersebut
tidak sampai pada ranah hukum, dan hanya diberikan bimbingan moral dari
Departemen Agama agar kembali pada “jalan yang benar”, namun dua peristiwa
tersebut merupakan preseden buruk yang mencoreng praktik multikulturalisme di
Indonesia.
Tampak bahwa pemerintah –dalam kepemimpinan SBY- masih enggan
mengambil kebijakan yang tidak populer, yaitu kebijakan yang akan memantik
kontra atau perlawanan dari kelompok mayoritas di masyarakat. Pembubaran
Ahmadiyah dan “Eden” akan membuat FPI (Front Pembela Islam) dan kelompok
Islam mayoritas bersorak-sorak karena dua kelompok tersebut menjadi devian
dalam kehidupan beragama di Indonesia. Namun, pembubaran tersebut
merupakan pengkhiatan terhadap semangat inklusif yang digembar-gemborkan
pemerintahan SBY.
Hal lain yang patut dikritisi adalah pemenuhan hak-hak warga Papua.
Papua adalah daerah yang selama ini di-dzalimi oleh pemerintah, baik pada masa
Soeharto maupun SBY. Pemerintah tidak pernah menganggap mereka adalah
subyek pembangunan yang juga harus dihargai dan didengar suara mereka.
Seperti kasus yang terjadi di suku Amungme, Papua.
Suku Amungme adalah salah satu yang berdiam di Papua Barat bersama
dengan puluhan suku-suku kecil lain. Suku Amung memiliki sebuah tanah
keramat yang berkaitan dengan keyakinan mereka yaitu Ersberg, salah satu
gunung dari rangkaian pegunungan Jaya Wijaya. Selama puluhan tahun tanah
keramatnya dikeruk oleh PT Freeport. Ersberg, salah satu gunung keramat
mereka, kini berubah menjadi lubang raksasa dengan kedalaman ratusan meter.
Gunug Grasberg, tetangganya, segera menyusul. Sungai-sungai di kawasan bawah
juga dicemari. Lebih dari 1,2 miliar ton limbah tailing PT Freeport telah dibuang
ke lingkungan sekitar, terus bertambah sedikitnya 200.000 ton tiap hari. Para
pemimpin negara ini tak mampu melindungi suku-suku penghuni pegunungan
tengah Papua dari ”kejahatan” PT Freeport. Para pemimpin lokal Papua juga
rontok
satu
persatu
karena
kekerasan
dan
konflik
bersenjata11.
Di bawah kepemimpinan SBY, pembangunan di Papua justru mengancam
keselamatan warganya. Itulah yang membuat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) mendesak didatangkannya pelapor khusus PBB guna mengetahui situasi
HAM dan hak atas pangan ke Papua Barat. Hal itu disampaikan AMAN di depan
11
Siti Maemunah dalam artikelnya “Avatar, Papua, dan SBY” dimuat di harian Kompas,
Kamis 29 April 2010
sidang forum permanen PBB untuk isu-isu masyarakat adat di New York,
bertepatan dengan penghargaan yang diterima SBY. AMAN mengkhawatirkan
rencana proyek industri pangan Merauke Integrated Food and Energy Estate
(MIFEE), yang berpotensi melahirkan genosida struktural dan sistematis.
Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari tulisan ini adallah:
1. Bahwa iklan “SBY Presidenku” membentuk image SBY sebagai sosok
yang inklusif dan multikultural
2.
Iklan “SBY Presidenku” adalah bentuk dari politik pencitraan yang
dilakukan oleh SBY dan tim
3. Pada masa pemerintahan SBY tahun 2004-2009, ada beberapa kebijakan
pemerintah yang justru kontra terhadap inklusivitas dan multikulturalisme
4. Sehingga, pesan multikultural dan inklusif dalam iklan hanyalah
imagologi
politik
yang
menampilkan
ilusi
belaka
alih-alih
merepresentasikan realitas yang sebenarnya
DAFTAR PUSTAKA
Firmansyah. 2008. Marketing Politik; Yayasan Obor: Jakarta
Choirul Mahfud. 2008. Pendidikan Multikultural, Pustaka Pelajar: Jogjakarta
Charles A. Ellwood. 2004. Sociology & Modern Social Problem, E-book
produced by Julie Barkley, Charles Franks, and The Online Distributed
Proofreading Team.
Phil Wood & Charles Landry. 2008. The Intercultural City: Planning For
Diversity Advantage, Earthscan: London.
Siti Maemunah dalam artikelnya “Avatar, Papua, dan SBY” dimuat di harian
Kompas, Kamis 29 April 2010.
Yasraf A. Piliang. 2006. Resistensi Gaya Hidup, Jalasutra: Jogjakarta.
Download