hak dan kewajiban pelaku tindak pidana menurut

advertisement
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Oleh
FAIZAH
NIM: 0045119421
PROGRAM STUDI PIDANA ISLAM
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1427 H/2006 M
PERSETUJUAN PEMBIMBING
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU TINDAK PIDANA
MENURUT HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi
Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah Dan Hukum
Oleh
FAIZAH
0045119421
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I,
Pembimbing II,
H. Zubair Laini, SH.
NIP: 150 009 273
Drs. H. Mas’udi
NIP: 150 018 331
PROGRAM STUDI PIDANA ISLAM
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1427 H/2006 M
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU TINDAK PIDANA
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Oleh
FAIZAH
NIM: 0045119421
KONSENTRASI PIDANA ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYAHTULLAH
JAKARTA
1248 H/2007 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Hak Dan Kewajiban Pelaku Tindak Pidana
Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif” telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Juli 2006. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program
Strata 1 (S-1) pada jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Pidana Islam.
Jakarta, 06 Desember 2007
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA.
MM
NIP. 150 210 422
Ketua
: Asmawi, M.Ag
NIP. 150 282 394
(
)
Sekretaris
: Sri Hidayati, M.Ag
NIP. 150 282 430
(
)
(
)
Pembimbing I : H. Zoebir Laini, SH
NIP. 150 009 273
Pembimbing II : Drs. H. Mas’udi
)
NIP. 150 019 331
(
Penguji I
(
: Drs. H. Odjo Kusnara N. M.Ag
)
NIP. 150 060 388
Penguji II
: Drs. Abu Thamrin, SH. M.Hum
NIP. 150 274 761
(
)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT. yang tak terhingga
limpahan
rahmat
dan
karunia-Nya,
berhat
taufik
dan
hidayah-Nya
alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sempat terbersit putus
asa tatkala melihat satu persatu teman seperjuangan meninggalkan bangku
kuliah dengan menggunakan toga, tapi dengan semangat dan motibvasi yang
diberikan oleh keluarga dan teman-teman penulis dapat segera menyelesaikan
skripsi ini. Penulis sadar, skripsi ini tidak akan rampung tanpa adanya
pertolongan dan hidayah dari Allah SWT. karena Dia-lah yang telah
memberikan akal untuk berpikir dan ilmu bagi penulis.
Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW. yang telah membawa manusia kepada kesempurnaan akhlak dari zaman
jahilayah ke zaman yang diridhoi Allah SWT, tak lupa juga shalawat serta
salam penulis sampaikan kepada keluarganya, para sahabat dan para pengikut
beliau dari masa erdahulu hingga masa yang akan datang.
Dalam upaya penyusunan skripsi ini, penulis menyadari akan kekurangan dan
keterbatasan kemampua, namun berkat adanya bantuan dan saran dari
berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Maka
dalam kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah turut serta membantu,
ucapan terima kasih ini penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Prof. Muhammad Amin Suma, MA. MM, selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………… i
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………….1
B. Perumusan Masalah……………………………………………….4
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan……………………………………
5
D. Metode Pembahasan Dan Teknik Penulisan……………………..
5
E. Sistematika Penulisan……………………………………………..7
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
A. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Islam……………….
8
1. Pengertian Jarimah/Jinayat…………………………………….
8
2. Unsur-Unsur Jarimah………………………………………….
10
B.
Pengertian
……………….
Tindak
Pidana
Menurut
Hukum
Positif
15
1. Pengertian Tindak Pidana……………………………………..
15
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana…………………………………...
17
C. Beberapa Sebab Terjadinya Tindak Pidana………………………
27
BAB III KEDUDUKAN PELAKU TINDAK PIDANA……………………
35
A. Hak Dan Kewajiban Pelaku Tindak Pidana……………………..
35
1. Tinjauan Hukum Islam Tentang Pertanggungjawaban Pelaku
Tindak Pidana…………………………………………………35
2. Tinjauan Hukum Positif Tentang Pertanggungjawaban Pelaku
Tindak Pidana………………………………………………….
38
B. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana………………………………..
41
1. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Islam…...
41
2. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Positif…..
43
BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU TINDAK PIDANA
A. Hak Dan Kewajiban Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum
Islam……………………………………………………………...
45
B. Hak Dan Kewajiaban Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum
Positif…………………………………………………………….56
C. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Islam………………………
69
1. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Islam…………………..
69
2. Tujuan Pemidaan Menurut Hukum Positif……………………
72
BAB V
PENUTUP…………………………………………………………..78
A. Kesimpulan……………………………………………………….78
B. Saran-Saran……………………………………………………….81
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..83
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR…………………………………………………….
DAFTAR ISI
BAB I
i
…………………………………………………….
vi
PENDAHULUAN ……………………………………………
1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………
1
B. Pembahasan Dan Perumusan Masalah……………………… 4
C. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan …………………………
5
D. Metode Pembahasan Dan Teknik Penulisan………………
6
E. Sistematika Penulisan………………………………………
7
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA……….8
A. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Islam………… 8
1. Pengertian Jarimah ………………………………………
8
2. Unsur-Unsur Jarimah……………………………………… 10
B. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Positif…………15
1. Pengertian Tindak Pidana………………………………… 15
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana………………………………. 17
C. Beberapa Sebab Terjadinya Tindak Pidana………………… 27
BAB III KEDUDUKAN PELAKU TINDAK PIDANA …………….
36
A. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana………………. 38
1. Tinjauan Hukum Islam Tentang Pertanggungjawaban Pelaku
Tindak Pidana……………………………………............... 38
2. Tinjauan Hukum Positif Tentang Pertanggungjawaban Pelaku
Tindak Pidana…………………………………………..... 38
B. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana………………………… 41
1. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Islam …
41
2. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Positif ...
43
BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU TINDAK PIDANA…. 45
A. Hak Dan Kewajiban Tindak Pidana Menurut Hukum Islam …
45
B. Hak Dan Kewajiban Pelaku Tindak Pidana Menurut
Hukum Positif……………………………………………… 56
C. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Islam Dan Hukum
Positif………………………………………………………. 73
1. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Islam………………..73
2. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Positif……………….76
BAB V PENUTUP ………………………………………………………
80
A. Kesimpulan…………………………………………………… 80
B. Saran-Saran…………………………………………………… 83
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang dimuliakan
oleh Allah SWT.
sehingga dengan kekuasaan-Nya, diberikanlah manusia ruh, nafsu dan
akal agar dapat hidup di muka bumi sebagai khalifah. Konsekwensi
manusia disebut sebagai khalifah berarti dibebani suatu amanah untuk
melaksanakan kewajiban. Dalam definisi hukum bahwa hukum itu selain
memberikan kewajiban kepada manusia, juga memberikan beberapa hak
dan sekaligus menjadi obyek hukum karena ia mempunyai kewajiban. Hak
dan kewajiban itu timbul dari hubungan manusia dengan sesamanya dalam
pergaulan hidup sehari-hari dan juga hubungan manusia sebagai makhluk
yang memiliki kewajiban kepada Tuhannya sang Pencipta.
Kalau kita cermati akhir-akhir ini, banyak sekali kejahatan yang
terjadi dimana-mana dan banyak sekali tersangka atau pelaku kejahatan
yang ditangkap karena perbuatannya itu. Tetapi ironisnya bila pelaku
kejahatan itu adalah orang miskin atau orang kecil, ia diperlakukan
sewenang-wenang oleh aparat hukum. Bahkan untuk mendapatkan bantuan
hukum pun sangat sulit yang dikarenakan mereka tidak sanggup
membayar para pengacara itu.
Banyak sekali seorang pelaku tindak pidana yang diperlakukan
secara tidak wajar, seperti main hakim sendiri, pemeriksaan yang lambat
dan tidak bebasnya pelaku tindak pidana dalam memberikan keterangan
yang disebabkan kebanyakan dari mereka merasa tertekan. Sedangkan
dalam KUHAP sendiri memuat hak-hak tersangka antara lain yang termuat
dalam pasal 52 yang berbunyi “Dalam pemeriksaan pada tingkat
penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan
keterangan secara bebas kepada penyidik.”
Melihat pasal 52 tersebut di atas, menunjukkan bahwa dalam
KUHAP diatur tentang adanya hak dari tersangka atau terdakwa untuk
diberitahukan untuk apa ia diperiksa sejak mulai diadakan pemeriksaan,
pemberitahuan penangkapan itu harus dapat dimengerti oleh orang yang
diperiksa kenapa dia ditangkap dan atas dasar apa dia ditangkap. Setelah
tersangka atau terdakwa memahami tentang penangkapan itu, maka
pemberitahuan itu harus dapat dimengerti oleh orang yang diperiksa
(tersangka atau terdakwa). Setelah tersangka atau terdakwa memahami
pemberitahuan dan pernyataan pemeriksaan, ia masih diberikan hak untuk
memberikan keterangan-keterangan secara bebas. Tapi yang terjadi justru
sebaliknya, para pelaku tindak pidana (tersangka atau terdakwa) merasa
tertekan dan tidak punya kebebasan dalam menjawab pertanyaanpertanyaan dari penyidik ataupun hakim. Seperti dalam pemeriksaan
seorang tersangka atau terdakwa
dipaksa untuk mengakui perbuatan
kejahatannya dengan cara disiksa secara pisik (dipukul, ditendang dan
dengan kekerasan lainnya) dan mental (ancaman atau kata-kata yang
membuat takut/tertekan para tersangka atau terdakwa) sehingga dengan
siksaan yang bertubi-tubi itu tersangka tidak kuat lagi menahan rasa sakit
ataupun merasa takut dengan ancaman-ancaman itu sehingga ia mengakui
perbuatannya.
Padahal pelaku tindak pidana berhak untuk segera mendapatkan
pemeriksaan, segera diadili atau memberikan keterangan secara bebas
kepada penyidik atau hakim, juga berhak mendapatkan bantuan hukum
secara cuma-cuma.
Hal yang demikian sebenarnya tidak perlu terjadi kalau saja hakhak pelaku tindak pidana itu mendapat perhatian dan perlindungan yang
proporsional. Ada kesan bahwa nasib dan hak-hak pelaku tindak pidana
kurang mendapat perhatian, dalam sistem hukum pidana di Indonesia, kita
akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan hak-hak pelaku tindak
pidana.
Hal ini dirasa sangat penting di tengah semakin gencarnya
persoalan Hak Asasi Manusia (HAM), persamaan derajat di muka hukum.
Maka perhatian dan perlindungan terhadap hak-hak pelaku tindak pidana
mutlak perlu, sebab mereka adalah manusia yang memeliki kedudukan
yang sama.
Oleh karena itu, dengan adanya perhatian dan perlindungan kepada
pelaku tindak pidana, kiranya apa yang menjadi harapan kriminologi
untuk dapat menunjang pelaksanaan hukum pidana dan menyelaraskan
undang-undang
yang
berlaku
agar
sesuai
dengan
perubahan
dan
perkembangan masyarakat. Hal tersebut juga didorong oleh pikiran untuk
menumbuhkan masyarakat yang mewujudkan iklim keadilan sosial, yang
nantinya dapat mengurangi terjadinya kesenjangan dan ketimpangan
sosial.
Sebagai
manusia,
pelaku
tindak
pidana
perlu
mandapatkan
perlindungan hukum, kesamaan hak dan kewajiban yang sesuai dengan
norma-norma hukum yang berlaku. Adanya pengaturan masalah hak-hak
pelaku tindak pidana ini dirasa perlu, melihat besarnya relevansi dengan
masa sekarang. Berlatar belakang pemikiran di atas, penulis terdorong
untuk menelaah dan mengkaji permasalahan tersebut dalam pembahasan
karya ilmiah ini. Adapun judul yang penulis tetapkan adalah: “HAK DAN
KEWAJIBAN PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF.”
B. Perumusan Masalah
Dari gambaran latar belakang pemikiran di atas, setidaknya ada
empat pokok permasalahan yang akan dicari dan ditemukan jawabannya
dalam skripsi ini. Empat pokok permasalahan tersebut, dapat penulis
rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan pelaku tindak pidana dan apa kriteria pelaku
tindak pidana yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana?
2. Apakah ada perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana?
3. Apa tangapan para aparat hukum mengenai perlindungan hukum
terhadap pelaku tindak pidana?
4. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan hukum
positif terhadap hak dan kewajiban pelaku tindak pidana?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Mengetahui kedudukan pelaku tindak pidana dan kriterianya yang
dapat dituntut pertanggungjawaban pidana.
2. Untuk mengatahui perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana.
3. Megetahui tanggapan para aparat hukum mengenai perlindungan
hukum terhadap pelaku tindak pidana.
4. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan
hukum positif terhadap hak dan kewajiban pelaku tindak pidana..
Kegunaan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan satu kajian
tentang tinjauan terhadap hak dan kewajiban pelaku tindak pidana
menurut hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.
D. Metode Pembahasan dan Tehnik Penulisan
Jenis penelitian yang digunakan penyusunan skripsi ini adalah
Library Research dengan mengacu kepada:
1. Sumber Data
Yaitu yang bersumber dari studi kepustakaan, memilih literatur dan
referensi kepustakaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini.
2. Tehnik Pengumpulan Data
Penggunaan bahan dilapangan seperti buku, dokumen dan sebagainya
dengan cara dibaca, dikaji dan dikelompokkan sesuai dengan pokok
masalah yang terdapat dalam skripsi ini.
3. Pengolahan dan Analisa data
Setelah data tersebut diolah dengan cara dikumpulkan, dibaca, dikaji
dan dikelompokkan, lalu penulis menganalisanya dengan metode
sebagai berikut:
a. Metode induktif, yaitu suatu cara dalam menganalisa data yang
bertitik tolak dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik atau
diambil kesimpulan yang bersifat umum.
b. Dalam penulisan arti ayat al-Qur’an, hadits dan qaidah fiqih ditulis
miring dan spasinya satu.
Sedangkan tehnik yang digunakan dalam menyusun skripsi ini,
penulis memakai acuan dari “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan
Disertasi” yang diterbitkan oleh UIN SARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2002.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang terdiri dari subsub sebagai berikut:
BAB I
:
Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembahasan dan perumusan masalah, tujuan dan
kegunaan
penulisan,
metode
pembahasan
penulisan serta sistematika penulisan.
dan
tehnik
BAB II
:
Gambaran umum tentang tindak pidana yang terdiri dari
unsur-unsur tindak pidana serta beberapa sebab terjadinya
tindak pidana.
BAB III :
Berisi tentang kedudukan pelaku tindak pidana, hukum yang
terdiri
dari
unsur-unsur
pelaku
tindak
pidana,
pertanggungjawaban tindak pidana serta kedudukan pelaku
tindak pidana.
BAB IV :
Tujuan terhadap hak dan kewajiban pelaku tindak pidana
menurut hukum Islam dan hukum positif yang meliputi hak
dan kewajiban pelaku tindak pidana menurut hukum Islam,
hak dan kewajiban pelaku tindak pidana menurut hukum
positif serta tujuan pemidanaan menurut hukum Islam dan
hukum positif.
BAB V
:
Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
A. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Jarimah/Jinayat
Sebelum kita membahas pengertian tindak pidana menurut
hukum Islam dan hukum positif penulis akan menguraikan terlebih
dahulu pengertian tindak pidana menurut bahasa. Tindak pidana
menurut bahasa terdiri dari dua kata yaitu; tindak dan pidana. “tindak
adalah melakukan perbuatan" 1, sedangkan “Pidana adalah kejahatan.” 2
Jadi pengertian tindak pidana menurut bahasa adalah melakukan
perbuatan kejahatan.
Setelah kita mengetahui pengertian tindak pidana menurut
bahasa, maka penulis sekarang akan membahas atau menguraikan
pengertian tindak pidana menurut hukum Islam atau yang disebut juga
dengan istilah jarimah atau jinayah.
Dalam hukum Islam, mengenal hukum pidana di mana hukum
pidana
1
mempunyai
arti
kumpulan
aturan
yang
mengatur
cara
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1987)Cet. Ke-4 , h. 1074
2
Ibid., h. 750
melindungi dan menjaga keselamatan hak-hak dan kepentingan
masyarakat (negara) dan anggota-anggotanya dari perbuatan yang tidak
dibenarkan.
Para Fuqaha Islam membicarakan hukum pidana Islam dalam
bab jinayah atau jarimah:
‫اﻟﺠﺮ اﺋﻢ ﻓﻰ اﻟﺸﺮ ﻳﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺑﺄﻧﻬﺎ ﻣﺤﻈﻮرات‬
3
‫ﺷﺮﻋﻴﺔ زﺟﺮ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﺑﺤﺪ أوﺗﻌﺰ ﻳﺮ‬
Artinya: “Jarimah menurut syari’at Islam adalah Larangan-larangan
syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau
ta’zir”
Dalam hukum Islam pengertian tindak pidana dikenal dengan
istilah “Jinayah”. Mengenai istilah jarimah Abdul – Qadir ‘Audah
menerangkan sebagai berikut:
‫اﺳﻢ ﻟﻔﻌﻞ ﻣﺤﺮم ﺷﺮﻋﺎ ﺳﻮاء وﻗﻊ اﻟﻔﻌﻞ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺲ أو ﻣﺎل‬
4
‫أو ﻏﻴﺮ ذﻟﻚ‬
Artinya: “Perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu
terhadap jiwa, harta ataupun yang lainnya”.
Larangan-larangan tersebut adakalanya mengerjakan perbuatanperbuatan yang dilarang oleh Allah atau meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan. Suatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang
oleh syara’.
3
Abdul Qodir Audah, At-Tasyri al-Jinai al-ISlami, (Kairo : Maktabah darul Urubah, 1960)
Juz 1, hl. 66
4
Ibid., h. 66
Sedangkan para fuqaha lebih sering memakai kata jinayah untuk
jarimah, dikalangan fuqaha yang dimaksud dengan kata jinayah adalah
‘segala tindakan atau perbuatan yang dilarang oleh hukum syara’.
Perbuatan yang dilarang ialah setiap perbuatan yang dilarang oleh
syara’ dan harus dihindari, karena perbuatan itu menimbulkan bahaya
yang nyata terhadap agama, jiwa, akal, harga diri dan harta benda. 5
Akan tetapi kebanyakan fuqaha memakai kata-kata jinayah
hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa atau anggota badan saja
seperti, membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan
sebagainya. Adapula segolongan fuqaha yang membatasi pemakaian
kata jarimah hudud dan qishash.
Terlepas dari perbedaan istilah jarimah dan jinayah, namun
keduanya mempunyai maksud yang sama yaitu perbuatan yang
dilarang oleh syara’. Jadi, suatu perbuatan baru dianggap sebagai
jarimah atau jinayah apabila telah dilarang oleh syara. Berbuat atau
tidak berbuat tidak dianggap sebagai jarimah atau jinayah, kecuali
diancam dengan hukuman atau sanksi.
2. Unsur-unsur Jarimah
Sebagaimana disebutkan di atas, pengertian jarimah adalah
larangan syara’ yang diancam dengan hukuman had atau hukuman
5
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1990), h. 7
ta’zir, larangan syara’ adakalanya berupa perbuatan yang dilanggar
atau meninggalkan yang diperintahkan.
Berbuat jarimah atau tindak pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh syara’ dimana larangan-larangan tersebut berasal dari
nash al-Qur’an dan sunnah yang hanya ditujukan kepada orang yang
berakal sehat, karena memahami maksud ketentuan tersebut dan
sanggup menerimanya. Hal ini pada hakekatnya perintah atau larangan
merupakan suatu beban sehingga penerima beban harus memahami dan
menyanggupinya. Orang yang tidak mengerti isi perintah (tidak
paham) dan orang-orang yang tidak kuasa memikul beban (tidak
sanggup) karena suatu sebab, tidak mungkin menerima beban tadi,
misalnya orang-orang yang hilang ingatan dan anak-anak yang tidak
terpanggil oleh larangan-larangan syara’.
Dalam hal ini Abdul – Qadir ‘Audah berkata:
“Bahwasanya syari’at Islam tidak membebani, kecuali terhadap
orang-orang yang mampu memahami dalil (paham isi perintah dan
dianggap mengetahui aturan) serta dapat menerima atau memikul
beban, tidak pula syari’at membebani seseorang kecuali bila
diasumsikan beban itu dapat dipikulnya dan orang tersebut dianggap
mengetahui dan dapat mentaatinya.” 6
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk dianggap atau
dikategorikan sebagai jarimah atau tindak pidana dalam syariat Islam
suatu perbuatan harus memiliki beberapa persyaratan atau terdapat
6
Abdul – Qadir ‘Audah, op. cit. h. 66
unsur-unsur tindak pidana (jarimah) yaitu unsur-unsur umum yang
terdiri dari :
a. Unsur Syar’i (unsur formil)
Yang dimaksud dengan unsur syar’i adalah adanya ketentuan
syara’ atau nash yang mengatakan bahwa perbuatan yang oleh
hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya
nash
yang
mengancam
hukuman
terhadap
perbuatan
yang
dimaksud. Ketentuan tersebut harus datang (sudah ada) sebelum
perbuatan dilakukan dan bukan sebaliknya. Seandainya aturan
tersebut datang setelah perbuatan terjadi, ketentuan tersebut tidak
dapat diterapkan dan dalam hal ini berlakulah kaidah:
‫اﻷﺻﻞ ﻓﻰ اﻷ ﺷﻴﺎء اﻹﺑﺎﺣﺔ‬
“Pada dasarnya sesuatu itu boleh”.
b. Unsur Maddi (unsur materiil)
Yang dimaksud dengan unsur maddi adalah adanya perilaku yang
membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat,
atau adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dalam
hukum positif, perilaku tersebut di sebut sebagai unsur obyektif
yaitu perilaku yang bersifat melawan hukum.
c. Unsur Adabi (unsur moril)
Unsur adabi disebut juga dengan al-Mas’uliya al-Jina’i atau
pertanggungjawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah
atau
pembuat
tindak
pidana
haruslah
orang
yang
dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu pembuat
jarimah haruslah orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi
beban dan sanggup menerima beban tersebut. Orang yang
diasumsikan
memiliki
kriteria
tersebut
adalah
orang-orang
mukallaf, sebab hanya merekalah yang terkena khitab atau taklif.
Ketiga unsur yang disebutkan di atas adalah merupakan unsurunsur umum atau dasar, yang harus terdapat pada setiap perbuatan
untuk dapat digolongkan kepada perbuatan jarimah. Artinya unsurunsur tersebut adalah yang sama dan berlaku bagi setiap macam
jarimah. Jadi pada jarimah apapun ketiga unsur tersebut harus
dipenuhi.
Di samping ada unsur yang bersifat umum ada pula unsur-unsur
yang bersifat khusus. Unsur-unsur khusus dari setiap jarimah
berbeda-beda sesuai dengan berbedanya sifat jarimah, untuk dapat
dikenakan hukuman suatu jarimah dapat memiliki unsur khusus
yang tidak ada pada jarimah lainnya. Sebagai contoh; unsur
“pengambilan dengan diam-diam” harta benda orang lain hanya ada
pada jarimah pencurian, dan unsur “menghilangkan nyawa orang
lain” hanya ada pada jarimah pembunuhan.
Perbedaan pada unsur umum dan unsur khusus ialah kalau unsur
umum satu macamnya pada semua jarimah, maka pada unsur
khusus dapat berbeda-beda macamnya menurut perbedaan jarimah.
Dikalangan fuqaha biasanya membicarakan tentang kedua unsur
tersebut dipersatukan, yaitu ketika membicarakan satu persatu
jarimah. 7
Dalam hal ini hukum pidana Islam mempunyai kaidah-kaidah
pokok yang menyatakan bahwa, tidaklah dapat dianggap suatu
tindak pidana bagi orang yang melakukan perbuatan selama tidak
ada nash yang jelas, oleh sebab itu tidak dikenakan hukuman
kecuali ada dasar hukuman yang menyatakannya, sesuai dengan
kaidah:
‫ﻻﺟﺮﻳﻤﺔ وﻻ ﻋﻘﻮﺑﺔ اﻻﺑﻨﺺ‬
“Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali adanya nash.”
Selain itu ada juga kaidah yang lain:
‫ﻻﻳﻜﻠﻒ ﺷﺮﻋﺎ اﻻﻣﻦ آﺎن ﻗﺎدرا ﻋﻠﻰ ﻓﻬﻢ اﻟﺪﻟﻴﻞ‬
‫اﻟﺘﻜﻴﻔﻰ أهﻼ ﻟﻤﺎ ﻳﻜﻠﻒ ﺑﻪ وﻻﻳﻜﻠﻒ ﺷﺮﻋﺎ اﻻ‬
‫ﺑﻔﻌﻞ ﻣﻤﻜﻦ ﻣﻘﺪو راﻟﻠﻤﻜﻒ ﻣﻌﻠﻮم ﻟﻪ ﻋﻠﻤﺎ ﻳﺤﻤﻠﻪ‬
‫ﻋﻠﻰ اﻣﺘﺜﺎﻟﻪ‬
Artinya: “Agama tidak membebani kecuali pada orang yang mampu
atau kuasa untuk memahami dalil, dapat menerima apa
yang ditaklifkan kepadanya, dan tidak pula agama itu
menjadi beban bagi seseorang kecualai dengan beban
yang mungkin dilakukan dan mungkin diketahui, sehingga
orang tersebut dapat mentaatinya.”
7
Ibid., h. 13
Dari kaidah di atas mengandung pengertian keharusan untuk
memenuhi
syarat
bagi
dipertanggungjawabkan
seorang
perbuatannya,
mukallaf
agar
di
syarat-syarat
antara
dapat
tersebut antara lain:
1) Hendaknya orang tersebut harus memahami taklif, harus mampu
memahami dalil nash syari’at yang menunjukkan hukum, karena
orang yang tidak dapat memahami hukum tidak dapat mentaati
apa yang dibebankan kepadanya.
2) Hendaknya orang tersebut dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya dan dapat dikenakan sanksi kepadanya. 8
B. Menurut Hukum Positif
1. Pengertian Tindak Pidana
Mengenai istilah atau pengertian tindak pidana masih belum
ditemukan suatu keseragaman di antara para sarjana hukum ada yang
menggunakan istilah tindak pidana, peristiwa pidana, pelanggaran
pidana dan delik.
Satu hal yang menyebabkan ketidakseragaman istilah tersebut di
atas oleh para ahli hukum semata-mata dikarenakan ketidaksepakatan
mereka dalam mengalih bahasakan strafbaar feit yang berasal dari
8
Praja S. Juhaya, Delik Agama Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Angkasa,
1987), h. 75
bahasa
Belanda.
Namun
demikian
perbedaan
tersebut
tidaklah
mempunyai arti yang mendasar, pada hakekatnya yang terjadi hanyalah
perbedaan pemakaian kata, sementara maksudnya satu sama lain tidak
berbeda.
Dalam hukum positif tindak pidana di sebut dengan istilah
delict atau strafbaar feit yang diambil dari hukum pidana Belanda
yang artinya suatu “perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum
pidana.” 9
Untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan beberapa
pendapat diantaranya:
a. Simon berpendapat, tindak pidana (strafbaar feit) adalah suatu
tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan
oleh
seseorang
yang
dapat
dipertanggungjawabkan
atas
tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.
b. Van Hamal berpendapat, tindak pidana (strafbaar feit) adalah
kelakuan orang (meselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet,
yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana (straaf
waarding) dan dilakukan dengan kesalahan. 10
c. R. Susilo berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan
yang melanggar dan bertentangan dengan Undang-undang yang
9
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung : PT. Erisco,
1986), Cet. Ke-6 h. 55
10
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987) Cet. Ke 4, h. 56
dilakukan
dengan
kesalahan
oleh
orang
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. 11
Maka dari pengertian di atas dapat dipahami, bahwa tindak
pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum dilakukan
oleh orang yang bertanggung jawab serta adanya kesalahan dan
bagi pelakunya dapat dikenakan hukuman. Jadi apabila dilihat dari
segi unsur tindak pidana antara hukum Islam dan hukum positif
mempunyai kesamaan yaitu sebagai perbuatan yang melanggar
perintah atau larangan yang sudah ditentukan.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Uraian tentang pengertian tindak pidana dari para sarjana
hukum bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang bertentangan
dengan
Undang-undang
dimana
pelakunya
dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Unsur-unsur tindak pidana
dapat dibedakan setidaknya dari 2 (dua) sudut pandang, yaitu; (1) Dari
sudut teoritis dan (2) dari sudut Undang-undang. Yang dimaksudkan
dari sudut teoritis adalah yang didasarkan pada pendapat para ahli
hukum yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan dari sudut
Undang-undang adalah sebagaimana tindak pidana itu dirumuskan
menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundangundangan yang ada.
11
R. Susilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum, (bogor : Polite, 1984), h. 31
Unsur-unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis:
a. Unsur tindak pidana menurut Moeljatno adalah:
1) Perbuatan (manusia).
2) Perbuatan itu dilarang oleh suatu aturan hukum.
3) Larangan itu disertai ancaman.
4) Larangan itu dilanggar oleh manusia. 12
Jadi, menurut Moeljatno unsur tindak pidana adalah unsur
perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan apabila larangan
tersebut dilanggar baik sengaja maupun tidak
pelakunya
sengaja maka
dapat diancam pidana atau mendapat sanksi menurut
perbuatannya. Ancaman dengan pidana menggambarkan bahwa
tidak
mesti
perbuatan
itu
dalam
kenyataannya
benar-benar
dipidana, dan juga perbuatan itu harus melawan hukum yaitu harus
betul-betul dirasakan oleh mayarakat sebagai perbuatan yang tidak
boleh atau tidak patut dilakukan.
b. Unsur tindak pidana menurut R. Tresna
1) Perbuatan atau rangkaian perbuatan (manusia).
2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3) Diadakan tindakan penghukuman. 13
12
13
Moeljatno, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, h. 79
Ibid. h. 80
Dari unsur yang ketiga, diadakan tindakan penghukuman terdapat
pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu
selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan).
c. Unsur tindak pidana menurut Simon:
1) Suatu perbuatan manusia (menselijk handelingen) dengan
handelingen
dimaksudkan
tidak
saja
“een
deen”
(perbuatan/sengaja opzet), akan tetapi juga “een nalaten”
(mengabaikan/culpa).
2) Perbuatan itu (yaitu perbuatan dan mengabdikan) diancam dan
dilarang dengan hukuman oleh Undang-undang.
3) Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena
melakukan perbuatan tersebut. 14
Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang
bertentangan dengan Undang-undang
selalu diikuti dengan pidana,
namun dalam unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat
(subyektif) pada orangnya untuk dapat dijatuhkan pidana.
Jadi, meskipun perbuatan itu memenuhi perumusan perundangundangan tetapi apabila perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum
atau tidak bertentangan dengan hukum, maka perbuatan itu bukan
merupakan tindak pidana. Misalnya seorang Ayah memukul anaknya
14
Satochid Kartanegera, Hukum Pidana Bagian, (Balai Lektur Mahasiswa), h. 65
yang bandel dalam rangka pendidikan , yaitu agar anak itu menjadi
baik, kalau kita lihat memang perbuatan Ayah itu sesuai dengan pasal
351 KUHP tentang penganiayaan. Tetapi perbuatan seorang Ayah itu
dibenarkan oleh masyarakat, sehingga perbuatan tersebut tidak
dikatakan sebagai perbuatan yang melawan atau bertentangan dengan
hukum. Jadi, perbuatan seorang Ayah itu bukan merupakan tindak
pidana. 15
Maka dari itu untuk menentukan perbuatan seseorang, apakah
termasuk tindak pidana atau tidak, dalam hal ini maka perlu
mengetahui rumusannya, untuk itu Undang-undang merumuskan
bahwa tiap-tiap tindak pidana terdapat unsur-unsur yaitu unsur
subyektif dan unsur obyektif. 16
Yang di maksud dengan unsur subyektif adalah unsur yang
terdapat dalam diri si pelaku tindak pidana yang terdiri dari hal yang
dapat dipertanggungjawabkan (toerkeneing suatbarheid) dan kesalahan
apakah
seseorang
dapat
dipersalahkan
sehingga
akan
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. 17
Disamping itu juga banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik
sekitar mengenai obyek kejahatan maupun perbuatan secara khusus
15
Sufyan Sastawidjaja, Hukum Pidana 1, (Bandung : Amrico, 1990), h. 116
Syahruddin Husain dan Ratna Asih, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Medan : Fakultas
Hukum USU, 1977), h. 114-115
17
Syahruddin Husain dan Ratna Asih, Ibid. h. 115
16
untuk rumusan tertentu. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu
dalam KUPH itu, maka dapat diketahui adanya delapan unsur tindak
pidana yaitu :
1) Unsur tingkah laku
2) Unsur melawan hukum
3) Unsur kesalahan
4) Unsur akibat konstitutif
5) Unsur keadaan yang menyertai
6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana
7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana
8) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya di pidana. 18
Dari delapan unsur tersebut, maka unsur kesalahan dan melawan
hukum adalah termasuk unsur subyektif, sedangkan selebihnya adalah
berupa unsur obyektif.
Pada umumnya tindak pidana yang diatur di dalam perundangundangan unsur-unsurnya terdiri dari unsur lahir atau unsur obyektif,
karena apapun yang tejadi yang tampak adalah unsur lahir seperti apa
yang ditulis oleh Prof. Moeljatno, SH. bahwa perbuatan yang
mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan adalah suatu
kejadian dalam alam lahir.
1) Unsur Tingkah Laku
18
Moeljatno, op. Cit., h. 80
Unsur tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Tingkah
laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif/positif
(handelen), juga dapat di sebut perbuatan materil (matereel feit)
dan tingkah laku pasif/negatif (nalaten).
Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk bentuk tingkah laku yang
untuk mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud
perbuatan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh,
misalnya mengambil atau mencuri yang terdapat dalam pasal 362.
sedangkan
tingkah
laku
pasif
adalah
berupa
tingkah
laku
membiarkan (nalaten) suatu bentuk tingkah laku yang tidak
melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian tubuh, tidak
memberikan pertolongan (pasal 531).
2) Unsur Melawan Hukum
Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya
dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada
Undang-undang (melawan hukum formil/formale wederrechtelijk)
dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materil)
karena bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, maka
sifat tercela itu tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu
perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti; perbuatan
menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan (pasal 339).
Pasal 339 ini mempunyai bentuk paralel dengan pasal 365 KUHP
tentang
pencurian
dengan
menggunakan
kekerasan,
bedanya
disamping maksud delict, terletak pada akibat dari perbuatan
tersebut. Pada pasal 339 KUHP matinya seseorang adalah dimaksud
dalam perbuatan, tetapi tidak direncanakan dan dalam pasal 365
ayat (3) KUHP matinya seseorang adalah merupakan akibat dari
perbuatan.
Perbuatan menghilangkan nyawa atau membunuh
adalah suatu
perbuatan yang tercela sekaligus merugikan orang lain dan juga
perbuatan
pembunuhan
dilarang
baik
oleh
Undang-undang,
masyarakat maupun dalam hukum Islam. Perbuatan tindak pidana
adalah perumusan dari hukum pidana yang memuat ancaman
hukuman pidana atas pelanggaran norma-norma hukum yang ada di
bidang hukum lain. Jadi dalam setiap tindak pidana harus ada sifat
melawan hukum.
3) Unsur Kesalahan
Unsur kesalahan itu berhubungan langsung dengan kebatinan si
pelaku yaitu hal yang berhubungan dengan kesalahan si pelaku
tindak pidana, karena hanya dengan hubungan batin ini perbuatan
yang dilarang dapat dipertanggungjawabkan pada diri si pelaku
tindak pidana, dan dalam hal itu harus ditegaskan bahwa si pelaku
tindak pidana tahu betul bahwa perbuatan yang dilakukan adalah
perbuatan yang dilarang oleh hukum. Seperti yang dikemukakan
oleh Prof. Satochid Kartanegara menurutnya, kesalahan (schuld)
yang dalam arti sosial ethis adalah suatu hubungan jiwa seseorang
yaitu
yang
melakukan
perbuatan
dengan
perbuatannya
dan
hubungan jiwa itu sedemikian rupa, sehingga perbuatannya atau
akibatnya berdasarkan pada jiwa si pelaku dan dapat dipersalahkan
kepadanya. 19 Maksudnya adalah keadaan si pelaku tersebut dalam
keadaan sehat dan tidak terganggu jiwanya, karena jika si pelaku
itu
gila
maka
perbuatan
yang
dilakukannya
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan.
Jadi, kesadaran orang sebelum ia melakukan suatu perbuatan
tersebut harus menjadi pertimbangan terhadap kesalahan seseorang.
Hakim telah menuntut setiap orang untuk menyadari akibat-akibat
yang mungkin terjadi pada perbuatan yang akan dilakukannya. Jadi,
tidak cukup suatu ketentuan bahwa seseorang tidak menyadari
perbuatannya,
sehingga
dengan
demikian
dia
tidak
mampu
bertanggung jawab.
Misalnya: “Ada seorang yang mabuk lalu dia mencuri HP.
seseorang pada waktu dia mencuri orang itu dalam keadaan mabuk,
maka sering orang berpendapat adanya pengaruh alkohol dalam
darah orang itu yang menyebabkan orang itu tidak sadar dalam
melakukan perbuatannya. Maka orang mabuk dianggap tidak
mampu bertanggung jawab.”
19
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana I, (Balai Lektur Mahasiswa), h. 289
Dalam hal ini, yang terpenting dari diri orang itu (yang mabuk)
adalah dengan melihat niat untuk melakukan tindak pidana untuk
sampai kepada perbuatan tersebut ia meminum minuman keras,
maka
jelaslah
bahwa
ia
dapat
dipertanggungjawabkan
atas
perbuatannya. Orang tersebut harus menyadari apa akibat yang
mungkin terjadi apabila ia meminum-minuman keras. Maka harus
ada unsur kesalahan dari pelaku tindak pidana, kesalahan ini berupa
dua macam, yaitu; kesatu, kesengajaan (opzet), dan kedua, kurang
berhati-hati (culpa).
4) Unsur Akibat Konstitutif
Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada:
(a) Tindak pidana materiil (matereel delicten) atau dimana akibat
menjadi syarat selesainya tindak pidana.
(b) Tindak pidan yang mengandung unsur akibat sebagai syarat
pembuat pidana, dan
(c) Tindak pidana di mana akibat merupakan syarat dipidananya
pembuat.
Unsur akibat konstitutif pada tindak pidana materiil adalah
unsur pokok tindak pidana, artinya kalau unsur ini tidak timbul
maka tindak pidana tidak terjadi yang terjadi hanyalah
percobaannya. Sedangkan unsur akibat sebagai pemberat pidana
karena bukan merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya
jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan
terjadinya tindak pidana selesai.
Misalnya, pada pasal 288 ayat (2) yang berbunyi “Jika
perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana
paling lama 8 (delapan) tahun penjara. 20
5) Unsur Keadaan yang Menyertai
Unsur keadaan yang menyertai adalah tindak pidana yang berupa
semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan
dilakukan seperti:
(a) Mengenai cara melakukan perbuatan, seperti dalam pasal 285,
289 dan 365 (kekerasan dan ancaman kekerasan)
(b) Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan, seperti
dalam pasal 363 ayat (1) sub 5 (penggelapan)
(c) Mengenai obyek tindak pidana, seperti dalam pasal 362
(pencurian)
(d) Mengenai subyek tindak pidana, seperti dalam pasal 342
(seorang ibu)
(e) Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana, seperti dalam
pasal 363 ayat (1) sub ke 3
20
15
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta : Bumi Aksara) Cet. Ke 20, h.
(f) Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana, seperti dalam
pasal 363 (1).
6) Unsur Syarat Tambahan untuk dapatnya dituntut pidana
Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan, yaitu tindak
pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan
dari yang berhak mengadu dan dalam hal ini yang berhak mengadu
adalah korban kejahatan atau wakilnya yang sah, seperti yang
tercantum dalam pasal 72 ayat (1) yang berbunyi :
“Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya dituntut atas
pengaduan, belum enam belas tahun dan juga belum cukup
umur/orang yang dibawah pengampunan karena suatu sebab
lainnya keborosan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya
yang sah dalam perkara perdata.”
Dan untuk dapatnya dituntut pada tindak pidana aduan diperlukan
syarat adanya pengaduan dari yang berhak atau korban kejahatan
itu sendiri, jadi kalau aduan itu berasal bukan dari yang berhak
artinya orang lain selain korban kajahatan atau walinya yang sah,
maka aduannya tidak dapat dituntut.
7) Unsur Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana
Unsur ini adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan
bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak
pidana sebagaimana pada tindak pidana materil. Unsur syarat
tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur
pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana
tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini. Misalnya pada
penganiayan berat (354), kejahatan ini dapat terjadi (ayat 1),
walaupun akibat luka berat tidak terjadi (ayat 2). Luka berat
hanyalah sekedar syarat saja untuk dapat diperberatnya pidana.
8) Unsur Syarat Tambahan untuk dapatnya Dipidana
Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah berupa
unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan
dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan.
Walaupun unsur ini sama dengan unsur akibat konstitutif dalam hal
timbulnya tapi berbeda secara prinsip, pada unsur akibat konstitutif
harus ada hubungan kausal antara perbuatan yang menjadi larangan
dengan akibatanya, sedangkan pada unsur syarat tambahan untuk
dapatnya dipidana tidak memerlukan hubungan kausal yang
demikian.
Perbedaan yang lain ialah, apabila akibat konstitutif tidak timbul
setelah dilakukannya perbuatan, maka tindak pidana tidak terjadi
yang terjadi hanyalah percobaannya. Misalnya niat membunuh
dengan
telah
membacok
batang
leher
korban,
tetapi
tidak
menimbulkan akibat kematian, maka pembunuhan tidak terjadi
yang terjadi adalah percobaan pembunuhan (pasal 338 job 53).
Contoh lain unsur ini dalam rumusan tindak pidana, ialah; bila
orang yang tidak ditolong itu meninggal (531), kalau orang itu jadi
bunuh diri (334).
C. Beberapa Sebab Terjadinya Tindak Pidana
Setelah kita membahas mengenai unsur-unsur tindak pidana,
penulis
akan
menguraikan
sebab-sebab
atau
faktor-faktor
yang
menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana/kejahatan, seperti yang
telah penulis jabarkan di atas tentang tindak pidana yang diambil dari
bahasa Belanda “strafbaar feit” yang artinya melakukan perbuatan
kejahatan atau suatu perbuatan yang melanggar hukum dilakukan oleh
orang yang bertanggung jawab serta adanya kesalahan dan bagi pelakunya
dapat dilakukan penghukuman. Dengan demikian perbuatan manusia yang
dianggap sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana tentunya berdasarkan
sifat dari perbuatan tersebut yang mengandung unsur-unsur yang
merugikan dan menjengkelkan atau membuat resah masyarakat .
Akan tetapi sebagai norma hukum berlakunya dibatasi oleh ruang
dan waktu, artinya suatu tindakan kadang-kadang sesuai dengan tuntutan
masyarakat dan kadang-kadang juga bertentangan dengan masyarakat
lainnya. begitu juga pada suatu waktu masyarakat menerimanya dan
terkadang sebaliknya, ketidakcocokan ini disebabkan oleh faktor waktu
dan tempat. Ini berarti tindak pidana dapat berubah dengan waktu dan
tempat, sehingga pada suatu saat tertentu perbuatan tersebut dianggap
sebagai suatu tindak pidana dan pada saat yang lain tidak dianggap
sebagai suatu tindak pidana.
Kemudian
timbulnya
suatu
tindak
pidana
dipengaruhi
oleh
beberapa faktor tergantung situasi dan kondisi masyarakat di mana tindak
pidana itu dilakukan dan setiap ahli hukum mempunyai rumusan yang
berbeda-beda
dalam
membahas
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
seseorang untuk melakukan tindak pidana.
Disini
penulis
akan
menguraikan
beberapa
faktor
yang
menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana, faktor-faktor itu adalah
sebagai berikut:
1. Faktor lingkungan sosial
2. Faktor keluarga
3. Faktor ekonomi
4. Faktor penyakit jiwa. 21
Berikut ini uraian mengenai faktor-faktor yang ditulis di atas:
1. Faktor Lingkungan Sosial
Dalam hal ini penulis ingin mengemukakan latar belakang secara
umum dari kejahatan dewasa ini, ditinjau dari segi perkembangan
sosial kemasyarakatan yang menyebabkan perkembangan di bidang
21
Andi Hamzah, Bunga RampaiHukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986) cet. Ke 1, h. 54
tindak pidana atau yang sering kita sebut kejahatan, berlangsung
tindak pidana, kekerasan merupakan prilaku sosial yang tidak dapat
dipisahkan dari sejarah dan struktur sosial, faktor-faktor interaksi,
faktor-faktor sosial lainnya yang terdapat dalam masyarakat.
Sehubungan dengan itu Edwin H. Sutherland dan Dohaid R.
Cressey dalam bukunya “Principlies of Criminology” yang disadur
oleh Maman Marta Sapatra, SH., mengemukakan bahwa proses seorang
bertingkah laku tertentu berdasarkan pada 22 :
a. Tingkah laku kriminal itu dipelajari dalam hubungan antara
manusia dengan manusia lainnya dalam suatu proses berhubungan.
b. Bagian yang terpenting dari tingkah laku kriminal itu dipelajari
dalam keluarga pergaulan intim.
c. Bila tingkah laku kriminal itu dipelajari, maka pelajaran tersebut
meliputi: cara melakukan kejahatan, baik yang sukar maupun yang
sederhana, serta motif fikiran-fikiran dan sikap-sikap untuk
melakukan kejahatan yang spesifik.
d. Lingkungan pergaulan yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan
dapat bervariasi (berubah-ubah) dan perubahan tersebut tergantung
pula pada frekwensi (keseringan) duration (jangka waktu) dan
intensity (intensitas).
22
Edwin H. Sutherland dan Donaid Cressey, Asas-asas Kriminologi (Principlies of
Criminology) di sadur oleh Maman Saputra, SH., (Bandung : Alumni, 1973), h. 118
e. Proses mempelajari tingkah laku kriminal secara bervariasi dengan
pola-pola
kriminal
dan
anti
kriminal
meliputi
didalamnya
sebagaimana kita mempelajari segala sesuatu.
2. Faktor Keluarga
Keluarga adalah awal dari kehidupan manusia, di mana manusia
dalam lingkungan keluarga dibentuk dan dididik. Keluarga adalah
masyarakat terkecil dalam suatu masyarakat. Di mana tingkah laku
anak sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi dalam suatu keluarga.
Hubungan yang harmonis antara orang tua dengan anak serta semua
yang ada didalamnya sangat memainkan peranan dalam pembentukan
jiwa anak. Bekaitan dengan hal tersebut R.S. Cavan dalam bukunya
“Criminology” yang disadur oleh G.W. Bawengan mengemukakan
bahwa kondisi keluarga dijadikan salah satu penyebab terjadinya
tindak pidana karena :
a. Lingkungan keluarga merupakan suatu keluarga masyarakat yang
pertama dihadapi oleh setiap anak-anak, oleh karena itu lingkungan
tersebut sangat memegang peranan utama sebagai pengalaman
untuk menghadapi masyarakat yang lebih luas lagi.
b. Bahwa
keluarga
merupakan
suatu
lembaga
yang
bertugas
menyiapkan kepentingan sehari-hari dan sebagai tempat kontrol
terhadap tingkah laku anak-anak.
c. Bahwa lingkungan keluarga merupakan keluarga pertama yang
dihadapi oleh anak-anak itu, ia menerima pengaruh-pengaruh
emosional dari lingkungan tersebut. Kepuasan, kekecewaan, rasa
cinta, rasa benci akan mempengaruhi watak anak mulai dibina
dalam lingkungan itu dan akan bersifat menentukan untuk masa
depan. 23
Maman Marta Saputra mengemukakan dalam bukunya “Asas-asas
Kriminologi” bahwa rumah tangga yang sering menghasilkan anakanak nakal disebabkan oleh kondisi keluarga sebagai berikut :
a. Anggota keluarga yang lainnya juga penjahat, pemabuk , immoral.
b. Tidak adanya salah satu orang tua atau kedua-keduanya karena
kematian, perceraian.
c. Kurangnya pengawasan orang tua, karena masa bodoh, cacat
inderanya atau sakit.
d. Ketidakserasian karena adanya yang masih kuasa sendiri, iri hati,
cemburu, terlalu pada anggota keluarga, pihak lain yang turut
campur.
e. Perbedaan rasial dan agama ataupun perbedaan adat istiadat.
f. Tekanan ekonomi, seperti pengangguran, kurangnya penghasilan,
ibu yang bekerja di luar.
23
G.W. Bawengan, Masalah Kejahatan dengan Sebab dan Akibatnya, (Jakarta : Pradya
Paramita, 1977), h. 90
Dalam keluarga anak-anak mudah sekali terpengaruhi oleh
pengalaman-pengalaman yang dapat membentuk kepribadiannya, jika
pengalaman yang didapat buruk, maka berdampak buruk pula bagi
anak-anak.
Dengan demikian jelaslah, bahwa situasi dan kondisi rumah tangga
sangat berperan di dalam pembentukan dan perkembangan jiwa anak.
Dan orang tualah yang sangat berperan di dalam menciptakan anak
yang terbebas dari kejahatan.
3. Faktor Ekonomi
Perekonomian
sebagai
pemenuhan
kebutuhan
sehari-hari
merupakan suatu kesatuan yang erat sekali kaitannya dengan kejahatan
dan tidak dapat dipisahkan. Seperti pada saat sekarang ini, di mana
harga kebutuhan pokok semakin melambung tinggi dan juga harga
kebutuhan-kebutahan lainnya yang semakin lama rasanya semakin
mencekik saja, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia
tidak segan-segan melakukan apa saja bahkan ada yang tidak malu
melakukan perbuatan yang menjurus kepada tindak pidana (kejahatan).
Mulyana
W.
Kusuma
mengutip
pendapat
seorang
ahli
kriminologi yang mengatakan bahwa “kejahatan adalah respon-respon
rasional terhadap bekerjanya sistem ekonomi dominan yang ditandai
oleh persaingan serta berbagai bentuk ketidakmerataan”. 24
4. Penyakit Jiwa
Banyak dokter ahli jiwa mengatakan bahwa tindak pidana itu
selalu disebabkan oleh beberapa ciri atau sifat-sifat dari seseorang
yang merupakan suatu pembawaan dari penyakit jiwa. Bahkan
beberapa dokter mengatakan bahwa hampir semua penjahat menderita
penyakit jiwa dan sebagian lagi mengatakan bahwa 10% atau kurang
dari penjahat adalah penjahat yang berpenyakit jiwa. 25
Seseorang yang menderita neorosis, juga cenderung untuk
melakukan kejahatan. Hal ini disebabkan karena yang bersangkutan
mengalami
hambatan
perkembangan
jiwa,
yang
mengakibatkan
terjadinya kebingungan, keragu-raguan dan kesedihan. 26
Dalam kenyataan, sebagaimana kita perhatikan sehari-hari,
selamanya bahwa setiap tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang
yang menderita penyakit jiwa atau tidak berarti bahwa penyakit jiwa
itu penyebab umum dari setiap tindak pidana, karena tidak semua
orang yang melakukan tindak pidana/kejahatan dan tidak setiap tindak
pidana dilakukan oleh orang yang berpenyakit jiwa. Jelaslah bahwa
24
Maman Marta Saputra, op. cit., h.55
Edwin H. Sutherland dan Donald R. Creesey, h. 177
26
Soerjono Soekanto, Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum, (Bandung, Alummni,
1979), h. 42
25
penyebab seseorang melakukan tindak pidana/kejahatan, disamping
karena faktor kejiwaan, juga terdapat pula faktor lainnya yang saling
berkaitan yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan.
BAB III
KEDUDUKAN PELAKU TINDAK PIDANA
A. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana
1. Tinjauan Hukum Islam tentang pertanggungjawaban pelaku
tindak pidana
Menurut hukum Islam, pengertian pertanggungjawaban sering
disebut
juga
dengan
istilah
al-Mas’uliya
al-Jinaiyyah
ialah
pembebasan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan atau tidak ada
perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauannya sendiri, dimana ia
mengetahui maksud dan akibat dari perbuatan itu. 27
Pengertian pertanggungjawaban pidana yang dikemukakan oleh
Abdul Qodir Audah adalah:
‫اﻟﻤﺴﺆﻟﻴﻪ اﻟﺠﻨﺎﺋﻴﻪ ﻓﻰ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ أن ﻳﺘﺤﻤﻞ اﻹﻧﺴﺎن‬
‫ﻧﺘﺎﺋﺞ اﻷﻓﻌﺎل اﻟﻤﺤﺮﻣﺔ اﻟﺘﻰ ﻳﺄﺗﻴﻬﺎ ﻣﺨﺘﺎراوهﻮ‬
‫ﻣﺪرك ﻣﻌﺎﻧﻴﻬﺎوﻧﺘﺎﺋﺠﻬﺎ‬
Artinya: “Pertanggungjawaban dalam hukum Islam, adalah seseroang
yang bertanggung jawab atas perbuatan yang terlarang yang
dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri padahal dia
27
h. 154
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), Cet. Ke 1,
sadar akan maksud serta akibat-akibat dari perbuatannya
itu.” 28
Dari dua definisi di atas dapatlah dipahami, bahwa
pertanggungjawaban pidana ditegakkan atas 3 (tiga) hal, yaitu:
a. Melakukan perbuatan yang dilarang
Yaitu melakukan perbuatan yang benar-benar dilarang oleh nash,
sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa tidak ada kejahatan dan
pertanggungjawaban jika tidak adanya larangan nash baik alQur’an maupun hadist. Sebagaimana kaidah fiqih yang berbunyi:
‫اﻟﻤﺴﺆﻟﻴﻪ اﻟﺠﻨﺎﺋﻴﻪ ﻓﻰ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ أن ﻳﺘﺤﻤﻞ‬
‫اﻹﻧﺴﺎن ﻧﺘﺎﺋﺞ اﻷﻓﻌﺎل اﻟﻤﺤﺮﻣﺔ اﻟﺘﻰ ﻳﺄﺗﻴﻬﺎ‬
‫ﻣﺨﺘﺎرا وهﻮ ﻣﺪرك ﻣﻌﺎﻧﻴﻬﺎوﻧﺘﺎﺋﺠﻬﺎ‬
“Tidak ada hukuman bagi orang-orang yang berakal sebelum
turunnya nash.”
b. Dikerjakan dengan kemauan sendiri
Yaitu perbuatan itu benar-benar dilakukan atas kehendak sendiri
bukan suruhan ataupun paksaan.
c. Pelakunya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.
Bahwa pelaku benar-benar mengetahui akibat dari perbuatan yang
telah dilakukan dan siap menanggung akibatnya. 29
Maka yang menjadi faktor adanya pertanggungjawaban pidana
dalam hukum Islam ialah perbuatan maksiat (perbuatan melawan
28
29
Abdu- Qodir ‘Audah, op.cit., h. 392
Abdul Qodir Audah, op. cit., Cet. Ke 11 h. 467, Juz. 1
hukum). Meskipun perbuatan melawan hukum itu menjadi sebab
adanya pertanggungjawaban pidana, namun diperlukan syarat-syarat
idrak (mengetahui) dan ikhtiar (pilihan).
Berdasarkan syarat-syarat tersebut di atas, maka yang dapat
dibebani pertanggungjawaban pidana adalah manusia yang berakal
sehat, dewasa dan berkemauan sendiri. Kalau tidak demikian, maka
tidak ada pertanggungjawaban atas pelaku tindak pidana, karena orang
yang tidak memiliki akal sehat atau sempurna bukanlah orang yang
mengetahui (idrak) dan bukan pula orang yang mempunyai pilihan
(ikhtiar). Termasuk kategori ini adalah anak-anak, orang gila, orang
yang sedang tidur. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. bersabda
sebagai berikut:
‫ﻋﻦ ﻋﻠﻲ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠ ﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬
‫ رﻓﻊ اﻟﻘﻠ ﻢ ﻋﻦ ﺛﻼﺛﺔ ﻋﻦ اﻟﻨﺎﺋﻢ ﺣﺘﻰ‬: ‫وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
‫ﻳﺴﺘﻴﻘﻆ وﻋﻦ اﻟﺼﺒﻲ ﺣﺘﻰ ﻳﺤﺘﻠﻢ وﻋﻦ اﻟﻤﺠﻨﻮن ﺣﺘﻰ‬
30
(‫ ) رواﻩ أﺑﻮ داود واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬. ‫ﻳﻌﻘﻞ أو ﻳﻔﻴﻖ‬
Artinya: “Tiga golongan orang yang dibebaskan dari tanggung jawab
yaitu anak-anak sampai ia dewasa, orang tidur sampai ia
bangun, orang gila sampai ia sadar.”
Secara umum dapatlah dikatakan bahwa syarat-syarat orang
yang melakukan suatu perbuatan pidana (tindak pidana) yang dapat
30
h. 453
Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mesir : Mustofa Albabi al Halabi, 1952) Cet. Ke 1, Juz.11,
dipertanggungjawaban apabila jiwanya sehat, dewasa dan kemauan
sendiri.
2. Tinjauan Hukum Positif tentang Pertanggungjawaban Pelaku
Tindak Pidana
Dalam
hukum
positif
yang
menjadi
faktor
adanya
pertanggunjawaban pidana adalah unsur perbuatan salah. Hal ini sesuai
dengan azas pertanggungjawaban pidana adalah “tidak dipidana jika
tidak ada kesalahan”. 31 Mengenai asas ini tidak terdapat dalam hukum
tertulis, tetapi termasuk kepada hukum yang tidak tertulis yang hidup
dalam masyarakat dan tidak kurang mutlak berlakunya dari asas yang
tertulis dalam perundang-undangan di Indonesia.
Berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pelaku tindak
pidana, Ruslan Saleh mengemukakan sebagai berikut:
“Orang yang mampu bertanggung jawab dalam tindak pidana harus
memenuhi syarat-syarat yaitu menginsyafi bahwa perbuatannya itu
tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat, dapat
menginsyafi senyatanya dari perbuatan dan mampu menentukan niat
atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.” 32
Jadi,
dapat
dikatakan
bahwa
untuk
menentukan
adanya
kemampuan bertanggung jawab itu ada dua faktor yaitu faktor akal dan
faktor kehendak. Dengan akal seseorang dapat membedakan antara
perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Begitu
31
Moeljatno, op. cit., h. 153
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggunjawaban Pidana, (Jakarta : Aksara Bani,
1983) Cet. Ke 3, h. 80
32
pula dengan kehendak seseorang dapat menyesuaikan tingkah lakunya
dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak
diperbolehkan.
Mengenai keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan
pidana merupakan masalah kemampuan bertanggung jawab, ini adalah
dasar penting untuk adanya kesalahan, sebab bagaimanapun keadaan
jiwa pelaku tindak pidana harus dikatakan sehat atau normal, karena
kalau keadaan jiwanya tidak normal maka pelaku tindak pidana itu
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dijelaskan dalam pasal 44
KUHP sebagai berikut:
“(1) Barang Siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana.” 33
Begitu juga seseorang baru dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan yang dilakukannya, apabila pelaku tersebut dapat memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut:
a. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat
mengerti akan nilai dari pada perbuatannya dan dengan demikian ia
juga dapat mengerti akan nilai akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatannya.
33
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar
Harapan 1983), h. 30.
b. Keadaan jiwa orang itu haruslah sedemikian rupa, sehingga ia dapat
menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
c. Orang itu harus sadar, bahwa perbuatan yang dilakukannya itu
adalah perbuatan yang terlarang, baik dilihat dari segi hukum, dari
segi sudut kemasyarakatan atau dari segi tata susila. 34
Sesuai dengan yang diuraikan di atas, maka dapatlah dikatakan
bahwa orang yang dapat dipertanggungjawabkan
perbuatannya itu
adalah orang yang bisa mengetahui bahwa perbuatannya salah atau
dilarang oleh Undang-undang, sehingga anak kecil yang belum
mengerti akan perbuatannya sudah tentu tidak bisa dimintakan
pertanggungjawaban kepadanya. Seorang pelaku itu harus ada dalam
keadaan sadar, kalau dia sedang mabuk atau gila, maka tidak pula bisa
dituntut.
Kembali kepada soal kemampuan bertanggung jawab, dalam
merumuskannya pada perundang-undangan orang dapat menempuh
beberapa jalan/cara. Perumusan tersebut mempunyai akibat bahwa
dalam
pelaksanaannya
selalu
ada
beberapa
cara
pula
dalam
menentukan apakah seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana
akan dipandang mampu atau tidak mampu bertanggu jawab.
Dapat dikatakan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan
bertanggung jawab itu ada dua faktor, yaitu faktor akal dan faktor
34
P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, (Bandung : Tarsino, 1979), h. 30
kehendak. Dengan akal seseorang dapat membedakan antara perbuatan
yang dibolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Begitu pula dengan
kehendak seseorang dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan
keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak
diperbolehkan.
B. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana
1. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Islam
Seperti penulis bahas dalam bab sebelumnya yaitu bab I
Pembahasan, dimana Islam menghapuskan diskriminasi di kalangan
umatnya sendiri, untuk itu Islam tidak membedakan antara orang yang
mulia dengan orang yang hina, orang kaya dengan orang miskin, orang
kuat dengan orang lemah, orang besar dengan anak kecil dan laki-laki
dengan perempuan, semuanya menurut Islam sama. Hanya dalam bab
ini yang menjadi perbedaan kedudukan adalah dari segi kafir atau
Islamnya seseorang, kemerdekaan atau kehambaan seseorang dalam
melakukan tindak pidana. Di sini penulis akan mengambil contoh
kedudukan pelaku tindak pidana pembunuhan.
Menurut hukum Islam ketika terjadi pembunuhan antara yang
melakukan pembunuhan dengan yang dibunuh sederajat, kesamaan
derajat ini terletak pada bidang agama dan kemerdekaan. 35 Maka
apabila orang Islam membunuh orang kafir atau orang merdeka
membunuh hamba sahaya tidak dikenakan qishash, karena dalam hal
ini tidak ada kesamaan derajat antara yang membunuh dengan yang
dibunuh. Lain halnya apabila orang kafir membunuh orang Islam atau
hamba sahaya membunuh orang merdeka, keduanya di qishahs karena
melakukan pembunuhan tersebut.
Seandainya orang Islam membunuh orang kafir atau orang
merdeka membunuh hamba sahaya, pembunuhan terhadap salah satu
dari keduanya tidak menuntut hukum qishash. Hal ini berdasarkan
hadis Nabi SAW. sebagai berikut:
‫وﻋﻦ ﻋﻤﺮوﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ أﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ أن اﻟﻨﺒﻲ‬
.‫ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﻀﻰ أن ﻻ ﻳﻘﺘﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﺑﻜﺎﻓﺮ‬
(‫)رواﻩ أﺣﻤﺪ واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ واﻟﺘﺮﻣﺬى‬
Artinya: “Dari Amir bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya bahwa
sesungguhnya Nabi SAW. pernah memutuskan “Hendaknya
seorang muslim tidak dibunuh sebab (membunuh orang
kafir).” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi)
Dari hadist di atas menunjukkan, bahwa seorang muslim tidak
di qishash sebab membunuh orang kafir. Kalau kafirnya itu kafir harbi,
maka ulama telah sepakat atas tidak wajib di qishash. Adapun
kaitannya dengan kafir zimmi dan kafir mu’ahad di kalangan ahli fiqh
35
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bairut: Darul Fikri, 1983), Jilid 11, h. 445
terdapat perbedaan pendapat, menurut Ibnu Taimiyah, bahwa tidak
dihukum bunuh, seorang muslim membunuh orang zimmi, kecuali
dibunuh secara rahasia dengan tujuan untuk mengambil hartanya.
Sedangkan
menurut
kalangan
jumhur,
bahwa
seorang
muslim
andaikata membunuh orang kafir zimmi atau kafir mu’ahad tanpa hak,
maka muslim dihukum mati oleh karenanya. Mengenai hal ini Imam
Malik dan al-Lais mengatakan: “Orang Islam tidak di qishash, karena
membunuh kafir zimmi, kecuali ia membunuhnya secara licik.” Yang
dimaksud secara licik yaitu pembunuhan yang dilakukannya terlebih
dahulu kemudian membunuhnya dengan tujuan mengambil hartanya.
Sedangkan dalam tindak pidana atau jarimah lainnya Islam
tidak memandang atau membedakan warna kulit (ras), kaya atau
miskin, pejabat maupun rakyat biasa semua sama, apabila dia
melanggar hukum maka dia harus di hukum.
2. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Positif
Di
dalam
menjelaskan,
Undang-undang
bahwa
negara
Dasar
Indonesia
1945
dengan
berdasarkan
tegas
hukum
(rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).
Hal ini berarti bahwa negara R.I adalah negara hukum yang demokratis
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya
didalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Mengenai pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
tercermin dalam hukum acara pidana KUHAP ialah asas perlakuan
yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak
membedakan perlakuan.
Oleh
karena
KUHAP
tidak
mengenal
adanya
forum
privilegiantum, yang berarti terdakwa atau pelaku tindak pidana
berdasarkan kedudukan atau pangkatnya harus menghadap hakim yang
lebih tinggi dari pada menurut ketentuan-ketentuan biasa dari
peraturan susunan kehakiman.
Dalam
KUHAP
dijelaskan
juga
bahwa
pengadilan
tidak
membedakan warna kulit (ras), agama atau keyakinan, kaya atau
miskin, pejabat atau rakyat biasa dan sebagainya semuanya orang
adalah sama dimuka hukum.
Dalam hal ini baik hukum Islam maupun hukum positif
mempunyai kesamaan di depan hukum. Kecuali bagi pelaku tindak
pidana pembunuhan hukum Islam membedakan anatar orang Islam
dengan orang kafir, sedangkan dalam hukum positif kedudukan
keduanya sama dimuka hukum tidak ada perbedaan.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU TINDAK PIDANA
A. Hak dan Kewajiban Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Islam
Pengertian hak menurut bahasa yaitu: “1) Kebenaran; 2) Kekuasaan
yang benar atas sesuatu untuk menuntut sesuatu; 3) kekuasaan untuk
berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh aturan, undang-undang dan
sebagainya. 36
Sedangkan dalam bahasa Inggris hak disebut juga Right dan dalam
bahasa Belanda recht human right, jadi hak adalah kebebasan untuk
melakukan sesuatu berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, kekuasaan
yang benar atas sesuatu atau berdasar sesuatu. 37 Jadi sudah jelas bahwa
hak adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu, sedangkan kata kewajiban
berasal dari kata wajib yang mendapat awalan ke dan akhiran an, artinya
sesuatu yang wajib dilakukan atau perintah yang harus dilakukan. 38
Adapun pengertian wajib menurut ketentuan hukum Islam adalah
ketentuan syar’i yang menuntut para mukallaf untuk melakukannya
36
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987),
cet. Ke-2, h. 339
37
Zainul Bahry, Kamus Umum Khususnya Bidang Hukum dan Politik, (Bandung: Angkasa,
1996), cet. Ke-1, h. 85
38
Ibid, hal. 1145
dengan tuntutan yang mengikat serta diberi imbalan pahala bagi yang
melakukannya dan ancaman dosa bagi yang meninggalkannya 39.
Pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan dalam hukum Islam
memberi jaminan bagi terdakwa sebagai berikut: 40
1. Hak untuk membela diri
Hak ini merupakan hak yang sangat penting, dengan hak ini terdakwa
dapat menyangkal tuduhan terhadap dirinya baik melalui bantahan
terhadap bukti yang memberatkan atau mengajukan bukti untuk
pembebasan (seperti suatu alibi). Hak-hak yang berkaitan dengan hak
ini adalah:
a. Tersangka harus diberi informasi tentang tuduhan terhadapnya dan
bukti-bukti yang ada dalam kasus itu, baik yang membuktikan atau
yang membebaskan.
b. Terdakwa harus mampu untuk membela dirinya sendiri. Hanafi
berpendapat bahwa pelaku kejahatan yang bisu tidak boleh dijatuhi
hukuman hudud bahkan apabila bukti secara kesimpulan lengkap
membuktikan kesalahannya.
c. Terdakwa memiliki hak untuk menyewa seorang pengacara untuk
membantunya dalam pembelaan.
39
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994), cetakan kedua h. 11
40
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syamil & Grafika, 2000),
Cet. Ke-1, h. 127
2. Hak pemeriksaan pengadilan
Dengan tujuan untuk mengamankan dan melindungi hak-hak individu
terhadap penyalahgunaan dari bagian kekuasaan eksekutif, Islam telah
meletakkan hak di mana terdakwa diadili di muka pengadilan
dan
diadili secara terbuka.
3. Hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak
Islam menaruh tekanan yang besar dalam mewujudkan keadilan dan
kesamaan di antara manusia dalam semua segi kehidupan, khususnya
dihadapan mereka yang memutuskan perkara.
4. Hak untuk penggantian kerugian karena putusan yang salah
Jika seorang hakim menjatuhkan suatu putusan yang salah secara tidak
sengaja,
terhukum
berhak
atas
kompensasi
dari
baitul
maal
(perbendaharaan negara).
5. Keyakinan sebagai dasar dari terbuktinya kejahatan
Hukum Islam meletakkan asas praduga tak bersalah sebagai landasan
dari aturan-aturan pidana substantive prosedural.
Dalam Islam hak-hak yang paling utama yang dijamin oleh Islam itu
sendiri adalah hak hidup, hak kepemilikan, hak pemeliharaan kehormatan,
hak kemerdekaan, hak persamaan dimuka hukum, dan hak menuntut ilmu
pengetahuan 41.
41
Sayid Sabiq, Fiqih Sunah 10, (Bandung : PT. Al-Ma’arif ), Cet. Ke-10, h. 9
Hak-hak tersebut merupakan hak milik manusia secara mutlak
berdasarkan peninjauan dari sisi manusiawi tanpa mempertimbangkan
warna kulit, agama, bangsa, negara dan posisinya dalam masyarakat.
Dalam pembahasan pada bab ini penulis akan mengambil contoh hak
dan kewajiban pelaku tindak pembunuhan. Dalam hukum Islam seseorang
yang melakukan tindak pidana pembunuhan dihadapkan pada tiga hak,
yaitu:
1. Hak Allah
2. Hak ahli waris korban
3. Hak korban itu sendiri 42
Ketentuan untuk hak Allah berdasarkan surat An-Nisa ayat 93 yaitu
َ‫وَﻣَﻦْ ﻳَﻘْﺘُﻞْ ﻣُﺆْﻣِﻨًﺎ ﻣﺘَﻌَﻤﺪًاﻓَﺠَﺰَاؤُﻩُ ﺟَﻬَﻨﻢُ ﺧَﺎﻟِﺪًاﻓِﻴْﻬَﺎ وَﻏَﻀِﺐ‬
(٩٣ : ‫ )اﻟﻨﺴﺎء‬.‫اﷲُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ وَﻟَﻌَﻨَﻪُ وَأَﻋَﺪ ﻟَﻪُ ﻋَﺬَاﺑًﺎ ﻋَﻈِﻴْﻤًﺎ‬
Artinya:”Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja, maka balasannya ialah neraka jahannam kekal ia
didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan adzab yang pedih baginya.” (an-Nisa ayat 93)
Ayat ini menegaskan bahwa balasan terhadap orang yang melakukan
pembunuhan adalah siksaan yang teramat pedih nanti di akhirat, di mana
ia berada kekal di dalam neraka jahanam, dan dimurkai serta dikutuk oleh
Allah dan siksa yang pedih dan besar menimpanya.
42
41
Noorwahidah Hafez Anshari, Pidana Mati Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1982), h.
Karena pembunuhan merupakan tindak pidana yang sangat dicela alQuran dan merupakan dosa besar, maka untuk menjaga keamanan dan
ketentraman masyarakat, Allah memberikan balasan yang setimpal kepada
pelakunya. Balasan itu akan menimpa di akhirat kelak berupa siksa neraka
jahanam yang sangat pedih dan ketentuan ini berlaku untuk tindak
pembunuhan sengaja yang belum bertaubat.
Sedangkan untuk ketentuan hak ahli waris korban pembunuhan dapat
memilih di antara tiga kemungkinan hukuman. Hukuman itu yaitu:
1. Melakukan qishash terhadap pembunuhnya.
2. Memaafkan dengan menerima pembayaran diyat.
3. Memaafkan tanpa menerima diyat (disedekahkan) 43
Untuk ketentuan hak korban itu sendiri, Allah berfirman dalam surat
al-Maidah ayat 45 sebagai berikut :
٤٥ : ‫)اﻟﻤﺎﺋﺪﻩ‬. ... ‫وآﺘﺒﻨﺎﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﻴﻬﺎان اﻟﻨﻔﺲ ﺑﺎﻟﻨﻔﺲ‬
(
Artinya: ”Dan Kami telah menetapkan kepada mereka didalamnya
(Taurat) bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa …” (al-Maidah
ayat 45)
Apabila pembunuh bertaubat (dengan membayar kafarat dan tidak
melakukan lagi pembunuhan) serta menyerahkan diri kepada ahli waris
korban, kemudian menerima dengan ikhlas keputusan ahli waris maka
hapuslah hak Allah dan ahli waris tersebut.
43
Noorwahidah Hafez Anshari, op. cit, h. 42
Jika kita amati, tidaklah setiap tindak pidana pembunuhan itu
membawa konsekuensi hukum qishash. Hukuman ini hanya berlaku untuk
pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja saja, dengan demikian apabila
ahli waris korban memaafkan pembunuh tersebut, maka pembunuh
tersebut tidak lagi wajib di qishash, tetapi wajib membayar diyat kepada
ahli waris korban dengan hartanya sendiri. Dalam pembunuhan sengaja,
maka pembunuhan dikenakan hukuman qishash, berarti pembunuh itu
wajib dibunuh pula, kecuali ahli waris memberi maaf kepada pelaku
pembunuhan, kewajiban qishash berdasarkan surat al-Baqarah ayat 178,
yaitu:
... َ‫ﻳَﺂﻳﻬَﺎاﻟﺬِﻳْﻦَ ءَاﻣَﻨُﻮْا آُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ اْﻟﻘِﺼَﺎصُ ﻓﻲِ اْﻟﻘَﺘْﻠﻰ‬
(١٧٨: ‫) اﻟﺒﻘﺮة‬.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishashh
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh …. (Q.S. AlBaqarah ayat 178)
Sanksi (qishash) semacam ini ditetapkan pula dalam syari’at-syari’at
Allah di masa lalu. Dalam syari’at injil Nabi Musa misalnya dijelaskan
dalam kitab keluaran pasal 21:
“Barang siapa membunuh manusia dengan memukulnya maka ia dihukum
mati. Dan bilamana seorang lelaki berlaku aniaya terhadap lelaki lain
hingga ia membunuhnya secara licik, maka engkau harus mengambil
orang itu dari mezbah-Ku pastilah ia dihukum mati. Bilamana terjadi
penganiayaan, maka balaslah jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, gigi
dengan gigi, tangan dengan tangan, kaki dengan kaki, luka dengan luka
dan rela dibalas dengan kerelaan.”
Hukuman qishash tidak diwajibkan kecuali apabila terpenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
1. Orang yang terbunuh terlindungi darahnya
2. Pelaku pembunuhan sudah baligh dan berakal
3. Pembunuh dalam kekadaan bebas memilih, sebab seandainya ia
dipaksa maka hak memilihnya
tercabut, tanggung jawab tidak
dibebankan terhadap orang yang hilang hak memilihnya.
4. Pembunuh bukan orang tua dari si terbunuh, orang tua tidak di qishash
sebab membunuh anaknya atau cucunya dan seterusnya sekalipun
disengaja.
5. Ketika terjadi pembunuhan yang terbunuh dan yang membunuhan
sederajat.
6. Tidak ada orang lain yang ikut membantu membunuh diantara orangorang yang tidak wajib di qishash. 44
Bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja yang telah dimaafkan
oleh ahli waris korban, maka pelakunya diwajibkan membayar diyat
secara
tunai, jumlah diyat
tersebut adalah 100 ekor unta betina,
sedangkan perinciannya sebagai berikut:
a. 30 ekor hiqqah (unta yang telah berumur 3 tahun)
b. 30 ekor unta jaza’ah (unta yang berumur 4 tahun)
c. 40 ekor unta khalifah (unta yang sedang bunting) 45
44
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bairut: Darul al-Fikri, 1983), Jilid 11
Ketentuan
membayar
diyat
untuk
pelaku
pembunuhan
sengaja
berdasarkan hadist Nabi SAW. sebagai berikut:
‫ﻋﻦ ﻋﻤﺮ وﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ أﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ‬
‫ ﻻ ﻳﻘﺘﻞ ﻣﺆﻣﻦ ﺑﻜﺎﻓﺮ وﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﻣﺆﻣﻨﺎ‬: ‫ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
‫ﻣﺘﻌﻤﺪا دﻓﻊ اﻟﻰ أوﻟﻴﺎء اﻟﻤﻘﺘﻮل ﻓﺎن ﺷﺎﺋﻮا ﻗﺘﻠﻮا وإن‬
46
(‫ )روﻩ اﺑﻮ داود‬. ‫ﺷﺎﺋﻮااﺧﺬوا اﻟﺪﻳﺔ‬
Artinya : ”Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya dari nabi
SAW., telah bersabda : orang mukmin tidak di bunuh dengan
sebab ia membunuh orang kafir, dan barang siapa membunuh
orang dengan sengaja, ia diserahkan kepada keluarga terbunuh,
mereka boleh membunuh/menarik diyat”. (HR. Abu Daud)
Jika diyat tidak dapat dibayar dengan unta, menurut sebagian ulama
boleh dibayar dengan uang seharga unta tersebut.
Bagi pelaku tindak pidana pembunuhan serupa sengaja tidak diancam
dengan hukuman qishash, tapi hanya diwajibkan membayar diyat berat
yang dibebankan kepada keluarganya dan dapat diangsur selama tiga
tahun. Ketentuan membayar diyat ini sama dengan diyat bagi pembunuhan
sengaja yang telah dimaafkan oleh ahli waris korban. Sedangkan
perbedaannya
dengan
pembunuhan
sengaja
hanyalah
pada
waktu
pembayaran dan yang wajib atau yang dibebani mambayar, untuk
pembunuhan sengaja dibayar tunai oleh pembunuh, sedangkan untuk
45
Moh. Anwar, Fiqih Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1979), Cet. Ke- 1, h. 154
Abu Daud Syu’aib bin As-As bin Ishak, Sunan Abi Daud, (Semarang : CV. AsSyifa), juz 2, h. 839
46
pembunuhan serupa sengaja ini dapat diangsur serta kewajiban membayar
diyat dibebankan kepada keluarga pembunuh.
Adanya suatu ketentuan membayar diyat bagi pembunuhan serupa
sengaja berdasarkan hadist NAbi SAW :
‫رﺳﻮل اﷲ‬
‫ﻣﺜﻞ ﻗﺘﻞ‬
‫دﻣﺎء ﺑﻴﻦ‬
‫ )رواﻩ‬.
‫ ﻗﺎل‬:‫ﻋﻦ ﻋﻤﺮوﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ أﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﻗﺎل‬
‫ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺘﻞ ﺳﺒﻪ اﻟﻌﻤﺒﺪﻣﻐﻠﻂ‬
‫اﻟﻌﻤﺪوﻻ ﻳﻘﺘﻞ وذ ﻟﻚ أن ﻳﺰر اﻟﺸﻴﻄﺎن ﻓﺘﻜﻮن‬
‫اﻟﻨﺎس ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﺿﻐﻴﻨﻪ وﻻﺣﻤﻞ ﺳﻼح‬
47
(‫اﻟﺪارﻗﻄﻨﻰ‬
Artinya: “Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya berkata :
Rasulullah SAW bersabda: “Diyat membunuh serupa sengaja
diberatkan sama dengan diyatnya membunuh sengaja, akan
tetapi pelakunya tidak di hukum mati”. Demikian itu supaya
syetan menyingkir dari kalangan manusia, sehingga peristiwa
pembunuhan tersebut dapat diselesaikan dengan kepala dingin
tanpa dendam/mengangkat sengaja”. (HR. Daruqutni)
Bagi pelaku tindak pidana pembunuhan tersalah tidak berlaku
hukuman qishash, namun pembunuhan semacam ini dapat mengakibatkan
dua konsekwensi, yaitu:
1. Dikenakan diyat ringan yang dibebankan kepada keluarga pembunuh
dan diyatnya boleh diangsur selama tiga tahun.
2. Berkewajiban membayar kafarat yaitu memerdekakan hamba sahaya
atau diwajibkan puasa selama 2 bulan berturut-turut.
47
252
Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subulus Salam, (Bandung : Dahlan, 1988), juz III, h.
Mengenai jumlah diyat ringan harus dibayarkan kepada ahli waris
korban (keluarga terbunuh) adalah 100 ekor unta. Perincian diyat ringan
ini berdasarkan hadit Nabi SAW. sebagai berikut:
‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫ دﻳﺔ اﻟﺨﻄﺄ أﺧﻤﺎﺳﺎ ﻋﺸﺮون ﺣﻘﺔ وﻋﺸﺮون ﺟﺰﻋﺔ‬:‫ﻗﺎل‬
‫وﻋﺸﺮون ﺑﻨﺎت ﻣﺨﺎض وﻋﺸﺮون ﺑﻨﺎت ﻟﺒﻮن وﻋﺸﺮون‬
48
(‫) رواﻩ اﻟﺪار ﻗﻄﻨﻰ‬.‫إﺑﻦ اﻟﺒﻮن‬
Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud RA., Rasulullah SAW bersabda : “Diyat
pembunuhan tersalah dibagi 5 macam : 20 ekor unta hiqqah, 20
ekor unta jaza’ah, 20 ekor unta bintu makhad, 20 ekor unta
bintu labun, 20 ekor unta ibnu labun”. (HR. Ad-Daruqutni)
Dinamakan unta hiqqah (yaitu unta yang berumur 3 tahun), unta
zaja’ah (unta yang berumur 4 tahun), unta bintu makhod (unta yang
berumur 1 tahun lebih), unta bintu labun (unta betina berumur lebih daru
2 tahun), unta ibnu labun (unta jantan berumur lebih dari 2 tahun).
Selain adanya konsekwensi untuk membayar diyat, pelaku tersalah
juga dibebani kewajiban membayar kafarat. Dengan dibayar diyat berarti
gugurlah hak ahli waris dan hak terbunuh, tapi hak Allah belum gugur.
Oleh karena itu pelaku tindak pidana pembunuhan tersalah berkewajiban
mambayar kifarat kepada ahli waris korban.
Kifarat merupakan denda untuk menebus dosa kepada Tuhan dalam
semua bentuk pembunuhan, kecuali pembunuhan yang menjalani hukuman
48
Ibid., h. 248
qishash, kifarat tersebut adalah memerdekakan hamba sahaya mukmin.
Bila tidak bisa diwajibkan puasa
2 bulan berturut-turut. Hal ini
berdasarkan firman Allah dalam Surat an-Nisa ayat 92 sebagai berikut:
‫وَﻣَﺎآَﺎنَ ﻟِﻤُﺆْﻣِﻦٍ َانْ ﻳَﻘْﺘُﻞَ ﻣُﺆْﻣِﻨًﺎاِﻻﺧَﻄَﺌًﺎوَﻣَﻦْ ﻗَﺘَﻞَ ﻣُﺆْﻣِﻨًﺎ‬
ْ‫ﺧَﻄَﺌًﺎ ﻓَﺘَﺤْﺮِﻳْﺮُ رَﻗَﺒَﺔٍ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔٍ وَدِﻳَﺔٌ ﻣﺴَﻠَﻤَﺔٌ اِﻟﻰَ اَهْﻠِﻪِ اِﻻ اَن‬
ُ‫َﻳﺼﺪَﻗُﻮْا ﻓَﺎِنْ آَﺎنَ ﻣِﻦْ ﻗَﻮْمٍ ﻋَﺪُوﻟٍَﻜُﻢْ وَهُﻮَﻣُﺆْﻣِﻦٌ ﻓَﺘَﺤْﺮِﻳْﺮ‬
ٌ‫رَﻗَﺒَﺔٍﻣُﺆْﻣِﻨَﺔٍ وَاِنْ آَﺎنَ ﻣِﻦْ ﻗَﻮْمٍ َﺑﻴْﻨَﻜُﻢْ وَﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﻣِﻴْﺜَﺎقٌ ﻓَﺪِﻳَﺔ‬
ُ‫ﻣﺴَﻠﻤَﺔٌ اِﻟَﻰ اَهْﻠِﻪِ وَﺗَﺤْﺮِﻳْﺮُ رَﻗَﺒَﺔٍ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔٍ ﻓَﻤَﻦْ ﻟﻢ ْﻳَﺠِﺪْﻓَﺼِﻴَﺎم‬
.‫َﺷْﻬَﺮﻳْﻦِ ﻣُﺘَﺘَﺎﺑِﻌَﻴْﻦِ ﺗَﻮْﺑَﺔً ﻣِﻦَ اﷲِ وَآَﺎنَ اﷲُ ﻋَﻠِﻴْﻤًﺎ ﺣَﻜِﻴْﻤًﺎ‬
(٩٢: ‫)اﻟﻨﺴﺎء‬
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang
mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh bersedekah). Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang
memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh)
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan
jika ia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka dengan kamu maka (si pembunuh) keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan
taubat dari pada Allah SWT. Dan Allah SWT maha mengetahui
lagi maha bijaksana.” (Qs. An-Nisa ayat 92)
Jadi, jelaslah bahwa masalah pembunuhan ini ada yang menyangkut
hak Allah SWT. dan hak manusia. Untuk hak Allah SWT. pelaku
pembunuhan tersalah diwajibkan membayar kifarat yaitu dengan cara
memerdekakan hamba sahaya mukmin atau melaksanakan puasa dua bulan
berturut-turut. Membayar kifarat merupakan hukuman pokok yang
dibebankan kepada pembunuh, sedangkan puasa merupakan hukuman
pengganti apabila hukuman pokok tidak bisa dilaksanakan.
Jika kita melihat realita sekarang ini, maka pelaksanaan kifarat dengan
cara memerdekakan hamba sahaya atau budak sangat sulit diterapkan,
khususnya di negara yang tidak ada hamba sahayanya. Apalagi kehidupan
masyarakat modern menuntut dihapuskannya sistem perbudakan di
permukaan bumi ini. Dengan demikian hukuman pokok tidak bisa
dilaksanakan karena tidak ada hamba sahaya dan sebagai penggantinya
yaitu melaksanakan puasa saja.
Untuk merealisasikan kewajiban puasa yang dibebankan kepada pelaku
tindak pidana pembunuhan tersalah memerlukan suatu penanganan secara
khusus. Hal ini karena sanksi/hukuman puasa dua bulan berturut-turut
merupakan suatu pekerjaan yang amat berat dan memerlukan keimanan
yang mantap. Apabila pembunuh telah menyadari atas kesalahan yang
diperbuatnya, tentu ia akan melaksanakan kewajiban puasa dengan
konsekwen.
B. Hak dan Kewajiban Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Positif
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hak dan kewajiban
pelaku tindak pidana, penulis terlebih dahulu akan membahas pengertian
ataupun sebutan bagi pelaku tindak pidana. Sebutan pelaku tindak pidana
ditemukan istilah tertuduh dalam ketentuan pasal 16 UU. No. 14 tahun
1970, sedangkan istilah tersangka, terdakwa dan terpidana menurut
KUHAP dalam penjelasan umumnya menyebutkan bahwa:
a. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak
pidana.
b. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut atau diperiksa dan
diadili di sidang pengadilan.
c. Terpidana
adalah
seorang
yang
dipidana
berdasarkan
putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 49
Istilah tersangka, terdakwa dan terpidana pada hakekatnya memiliki
kesamaan istilah untuk sebutan pelaku tindak pidana, yang berbeda
hanyalah dalam penggunaan istilah menurut ruang dan waktu atau
keadaan, dengan demikian ketika pelaku tindak pidana sedang berada
dalam tahap pemeriksaan permulaan atau awal disebut dengan istilah
tersangka. Begitu pula ketika pelaku tindak pidana dalam tahap
pemeriksaan dimuka hakim disebut dengan istilah terdakwa, sedangkan
istilah terpidana yaitu ketika pelaku tindak pidana setelah menerima
putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Setelah mengenal istilah-istilah yang dipergunakan untuk sebutan
pelaku tindak pidana yang sesuai dengan situasi dan kondisi di mana
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, No. 8/1981 (KUHAP), (Jakarta: PT. Pradya
Paramita, 1990), Cet. Ke-3, h. 7
49
pelaku tersebut berada. Maka kiranya kita mengetahui hak-hak apa saja
yang dapat diperoleh untuk pelaku tindak pidana dari tahap penyidikan
sampai ke tahap persidangan.
Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP dari Departemen Kehakiman
yang
membahas
hak-hak
tersangka,
terdakwa
dan
atau
terpidana
ditegaskan antara lain: “Salah satu asas terpenting dalam hukum acara
pidana ialah: “Asas Praduga tak bersalah” 50 Asas tersebut dimuat dalam
pasal 8 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970.
Atas dasar asas ini memberi kejelasan pada kita, bahwa setiap orang yang
diperiksa pada tingkat penyidikan belumlah dapat dianggap bersalah. Oleh
karenanya ia dihadapkan ke pengadilan dengan tujuan untuk didengar
keterangannya, sehubungan dengan tindak pidana yang terjadi untuk
mendapat bukti kebenaran.
Bersumber pada asas tersebut, maka diatur proses ketentuan dalam
proses peradilan pidana yang menjamin hak-hak tersangka atau terdakwa
yaitu harus dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan
dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sebagai konsekwensi asas praduga tidak bersalah terhadap pelaku tindak
pidana, maka pelaku tersebut harus dijamin dan dilindungi hak-haknya
Hak yang dikutif dalam “Black Law Dictonary” yang membahas
tentang hak yang diartikan: Hak adalah “keadilan, kebenaran secara etika
50
Ibid, h. 257
atau sesuai dengan kepastian hukum atau dengan prinsip moral
pengertian atau kumpulan dari prinsip moral yang membentuk sifat
keadilan pada semua hukum yang berlaku, atau memberikan kadar etika
dan prinsip-prinsip peraturan dalam hukum yang berlaku.” Dalam arti
yang lebih sempit adalah “kepentingan atau hak kepemilikan atas suatu
obyek, hak yang benar dan sah untuk memiliki, menggunakan atau
mengalihkannya sebagaimana yang diinginkan.” 51 Adapun hak-hak yang
dimiliki oleh pelaku tindak pidana dijelaskan dalam KUHAP sebagai
berikut:
1. Hak untuk segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik (pasal 50 (1))
Bahkan bagi pelaku tindak pidana yang ditahan dalam waktu satu kali
duapuluh empat jam harus mulai diperiksa oleh penyidik, sesuai
dengan pasal 122 KUHAP.
2. Hak segera diadili oleh pengadilan (pasal 50 (3))
Alasan diberikannya hak kepada tersangka atau terdakwa dalam pasal
50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) ini adalah untuk mencegah
kemungkinan terkatung-katungnya nasib seorang yang disangka telah
melakukan tindak pidana, terutama bagi yang dikenakan penahanan,
jangan sampai terlalu lama tidak mendapat pemeriksaan, sehingga
dirasa tidak adanya kepastian hukum, adanya perlakuan sewenang51
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I.,
Analisis Dan Evaluasi Hukum Tentang Hak-hak Tersangka atau Terdakwa Dalam KUHAP, (Jakarta:
2002), h. 66
wenang dan tidak wajar. Selain itu juga untuk mewujudkan peradilan
yang dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
3. Hak untuk mempersiapkan pembelaan (pasal 51 a KUHAP)
Dengan diketahui serta dimengerti oleh orang disangka melakukan
tindak pidana tentang perbuatan apa yang sebenarnya disangka telah
dilakukan olehnya, maka dengan hak ini tersangka atau terdakwa akan
merasa terjamin kepentingannya untuk mempersiapkan dalam usaha
pembelaan.
4. Hak untuk diberitahukan dengan jelas tentang apa yang didakwakan
atau disangkakan kepadanya (pasal 51 b)
Tujuannya adalah untuk melindungi kemungkinan, seorang tersangka
atau terdakwa diperiksa serta diadili di sidang pengadilan atas suatu
yang disangkakan atau didakwakan kepadanya, tidak dimengerti atau
diketahui olehnya. Sidang pengadilan adalah tempat terpenting bagi
terdakwa untuk membela diri, sebab disanalah pelaku atau tersangka
dengan bebas dapat mengemukakan sesuatu bagi pembelaannya, maka
untuk kepentingan tersebut pengadilan mengadakan juru bahasa bagi
terdakwa yang berkebangsaan asing atau orang yang tidak mengerti
bahasa Indonesia (pasal 53 KUHAP).
5. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan
penuntut umum (pasal 52 KUHAP)
Hak ini memberikan kepada tersangka atau terdakwa pada tingkat
penyidikan
atau
pengadilan
harus
dapat
dijamin
memberikan
keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. Tujuan dari hak
ini adalah supaya pemeriksaan tidak menyimpang dari tujuan
sebenarnya. Oleh karena itu tersangka atau terdakwa harus dijauhkan
dari rasa takut, untuk itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan
terhadap tersangka atau terdakwa.
6. Hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penterjemah dalam hal bisu
dan tuli (pasal 53 (2) KUHAP)
Bagi tersangka atau terdakwa yang bisu dan tuli, maka ia berhak
mendapatkan bantuan dari orang yang mengerti akan bahasa orang
yang bisu dan tuli tersebut.
7. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum pada
setiap tingkat pemeriksaan (pasal 54,55 KUHAP)
Tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hakum dari
seorang atau lebih penasehat hukumnya, selama dalam waktu dan pada
setiap tingkat pemeriksaan.
8. Hak untuk ditunjuk pembela dalam hal dakwaan dengan ancaman
hukuman mati (pasal 56 KUHAP)
Tujuan hak ini bagi tersangka atau terdakwa yang disangka atau
didakwa telah melakukan tindak pidana yang diancam dengan
hukuman mati, atau pidana penjara 15 (lima belas) tahun atau lebih
dan bagi yang tidak mampu, yang diancam pidana 5 tahun atau lebih
dan tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, maka pejabat yang
bersangkutan yaitu penyidik wajib menunjuk penasehat hukum bagi
mereka dengan cuma-cuma.
9. Hak untuk menghubungi penasehat hukumnya (pasal 57 (1) KUHAP)
Tujuannya adalah bagi tersangka atau terdakwa yang dikenakan
penahanan. Berhak menghubungi penasehat hukumnya sewaktu-waktu
kapanpun yang diinginkannya.
10. Hak untuk menghubungi perwakilan negaranya atau penasehat hukum
bagi orang yang berkebangsaan asing (pasal 57 (2) KUHAP)
Hak ini ditujukan kepada tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan
asing yang ditahan, berhak menghubungi dan berbicara dengan
perwakilan atau perwalian negaranya dalam menghadapi perkara.
11. Hak untuk menghubungi atau menerima kunjungan dokter pribadi
(pasal 58 KUHAP)
Tujuannya apabila tersangka atau terdakwa sakit dan ia sudah terbiasa
diobati oleh dokter pribadinya itu maka tersangka atau terdakwa
berhak untuk menghubungi dokternya itu.
12. Hak untuk diberitahu tentang penahanannya kepada sanak keluarganya
(pasal 59 KUHAP)
13. Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya
(pasal 60, 61 KUHAP)
14. Hak untuk mengirim dan menerima surat dari penasehat hukum dan
sanak keluarganya (pasal 62 KUHAP).
15. Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (pasal
63 KUHAP)
16. Hak untuk diadili dalam sidang yang terbuka untuk umum (pasal 64
KUHAP)
Tersangka atau terdakwa berhak untuk diadili dalam sidang pengadilan
yang terbuka untuk umum, kecuali dalam hal tersangka atau terdakwa
didakwa melakukan tindak pidana di bidang kesusilaan atau dalam hal
terdakwanya masih anak-anak/masih dibawah umur).
17. Hak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi ahli dan atau seorang
yang memiliki keahlian khusus (pasal 65 KUHAP)
18. Hak untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP)
19. Hak untuk minta banding (pasal 67 KUHAP)
Kecuali terhadap putusan pengadilan negeri yang membebaskan dari
segala tuduhan atau melepaskan dari segala tuntutan hukum atau
terhadap putusan pengadilan dalam pengadilan acara cepat.
20. Hak untuk mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi (pasal 68 KUHAP)
Bagi tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian karena
ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
21. Hak untuk mendapatkan salinan dari semua berkas atau surat-surat
perkara (pasal 72 KUHAP). 52
22. Hak untuk segera menerima atau menolak putusan pengadilan. 53
23. Hak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap
putusan pengadilan yang telah diperoleh kekuatan hukum tetap.
Kecuali putusan bebas /lepas dari segala tuntutan hukum.
24. Hak untuk memperoleh pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan.
Demi tegaknya proses peradilan dalam suatu negara, maka hukum
positif yang berlaku di Indonesia memberikan jaminan perlindungan Hak
Asasi Manusia terhadap pelaku tindak pidana (tersangka, terdakwa dan
atau terpidana) yaitu dengan memberikan beberapa hak yang telah
disebutkan di atas. Hal ini dinyatakan dalam pedoman pelaksanaan
KUHAP sebagai berikut: ”Sesuai dengan tujuan KUHAP yang lebih baik,
yang memberi perlindungan kepada hak-hak asasi manusia dalam
keseimbangan dengan kepentingan umum, maka dalam KUHAP ini
terdapat
perbedaan
fundamental
dengan
HIR,
terutama
mengenai
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.” 54
Perlu ditegaskan lagi bahwa tujuan dari hukum acara pidana adalah
untuk
52
mencari
dan
mendapatkan
atau
setidak-tidaknya
mendekati
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) No. 8 tahun 1981, (Jakarta: PT.
Pradya Paramita, 1990), Cet ke-3, h. 7
53
Darwan Print, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djembatan, 1989), h. 21
54
Djoko Prakoso, Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaaan Tersangka Pada Tahap
Penyidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), Cet. Ke-1, h. 87
kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari
suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana
secara jujur dan tepat. Seperti yang sudah dijelaskan dengan tegas oleh
Undang-undang Dasar 1945, bahwa negara Indonesia berdasarkan atas
hukum
(Rechtsstaat)
tidak
berdasarkan
atas
kekuasaan
belaka
(machtsstaat). Hal ini berarti bahwa R.I adalah negara hukum yang
demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi hakhak
asasi
manusia
dan
menjamin
segala
warga
negara
bersama
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 55
Berkaitan dengan hak pelaku tindak pidana, maka dalam hukum
positif ada aturan yang berhubungan dengan hak absolut, seperti hak
pribadi manusia, hak mutlak keluarga, hak kebendaan dan lain-lain.
Adanya
tindak
pidana/kejahatan
yang
dilakukan
seseorang
menyebabkan pelakunya diancam dan dikenakan pidana atau hukuman
sebagaimana ditetapkan dalam pasal 10 KUHP hukuman dibagi menjadi
dua bagian yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. 56 Hukuman
pokok diperinci lagi menjadi empat macam dan hukuman tambahan
menjadi tiga macam. Uraiannya adalah sebagai berikut:
55
Djoko Prakoso, Peradilan In Absensia Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Cet.
Ke-1, h. 67
56
Prof. Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Jakarta : Bumi Aksara,
1999), Cet. Ke-20, h. 5
a. Pidana Pokok
1) Pidana mati (pasal 11)
2) Pidana penjara (pasal 12 ayat (1), (2), (3), (4), pasal 13, dan pasal
14.
3) Pidana kurungan (pasal 21)
4) Pidana denda (pasal 30 (1) dan pasal 403)
b. Hukuman Tambahan
1) Pencabutan hak-hak tertentu (pasal 35)
2) Perampasan barang-barang tertentu (pasal 39 ayat (1), (2), dan (3).
3) Pengumuman putusan hakim (pasal 43, 67, 128, 206, 361, 377,
395,405)
Apabila melihat pidana yang diatur dalam KUHAP, pelaku tindak
pidana
dapat
dikenakan
hukuman,
seperti
pelaku
tindak
pidana
pembunuhan yang terdapat dalam ketentuan pasal 338, pasal 339, pasal
340 dan pasal 359 ada yang dikenakan pidana mati, pidana penjara dan
pidana kurungan. Sebagaimana dalam rumusan pasal 338 pelaku tindak
pembunuhan dikenakan hukuman penjara maksimal 15 tahun. begitu juga
dengan pelaku tindak pencurian atau tindak pidana lainnya hukumannya
diberikan berbeda-beda.
Mengenai putusan pemidanaan dalam pasal 193 ayat (1) yang
bunyinya sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka
pengadilan menjatuhkan pidana.” 57
Sedangkan pada Peradilan In Absensia pada perkara pelanggaran
maka untuk tidak mengurangi hak asasi si terdakwa dalam putusan verstek
(putusan pengadilan tanpa hadirnya terdakwa), kepada terdakwa diberikan
hak untuk mengadakan perlawanan (verzet) atas putusan pengadilan
tersebut yang harus disampaikan dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah
putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa. 58 Sehingga dengan
adanya perlawanan dari terdakwa ini, maka putusan diluar hadirnya
terdakwa
menjadi
diajukannya
gugur,
perlawanan
walaupun
berupa
juga
pidana
apabila
putusan
perampasan
setelah
kemerdekaan,
terhadap putusan tersebut terdakwa dapat mengajukan banding (pasal 214
KUHAP ayat (4), (5), (6) dan (8).
Apabila hakim telah menjatuhkan ponis terhadap pelaku tindak
pidana (terdakwa), maka pelaku tersebut harus diberitahukan apa saja
yang menjadi haknya. Hal ini diatur dalam pasal 193 ayat (3) KUHAP
sebagai berikut:
“Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua
sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang apa saja yang
menjadi haknya” yaitu:
57
58
KUHAP. op. cit., h 76
Djoko Prakoso, op. cit., h. 68
a. Hak segera menerima atau menolak putusan.
b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak
putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang
ini.
c. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu
yang ditentukan oleh undang-undang untuk mengajukan grasi, dalam
hal ia menerima putusan.
d. Hak untuk minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ini
menolak putusan.
e. Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud huruf a dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. 59
Seorang pelaku tindak pidana disamping dia memiliki hak-hak yang
harus
dijamin
dan
kewajiban-kewajiban
dilindungi
yang
keberadaannya,
harus
ditunaikan.
dia
juga
memiliki
Kewajiban-kewajiban
tersebut adalah:
1. Tersangka wajib memenuhi panggilan untuk diperiksa oleh penyidik
(polisi) atau diperiksa di muka persidangan (pengadilan atau hakim).
2. Tersangka wajib mentaati perintah penangkapan oleh penyidik,
perintah penahanan oleh penyidik atau oleh jaksa atau oleh hakim. 60
59
Ibid., h. 77
3. Terhukum wajib melaksanakan kewajiban eksekusi sesuai dengan
aturan plinologi (lapas)
Disamping kewajiban yang telah disebutkan di atas, seorang pelaku
tindak pidana yang telah dijatuhi hukuman penjara wajib menjalankan
segala pekerjaan yang dibebankan kepadanya berdasarkan ketentuan
pelaksanaan pasal 29. 61
Pada zaman sekarang, waktu kerja yang diberikan kepada terpidana
penjara banyak dipergunakan untuk memberi pendidikan, pembinaan dan
hiburan kepada terpidana dengan tujuan untuk memperbaiki akhlak
mereka, juga untuk memberi keterampilan supaya ketika mereka keluar
(bebas) dari penjara, mereka bisa berloka karya dengan keterampilan yang
mereka dapat selama di dalam penjara. Disamping itu mereka diberi
kebebasan untuk menjalankan kewajibannya dalam beribadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan mereka masing-masing.
C. Tinjauan Pemidaan (hukuman) Menurut Hukum Islam dan Hukum
Positif
1. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Islam
60
Proyek Penerangan Hukum Bagian ‘POSKUMDU’ Apa yang Harus Diketahui Jika Terjadi
Kejahatan (Pelanggaran Hukum), (Jakarta: 1994/1995), h. 3
61
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
(jakarta: Sinar harapan, 1983), h. 16
Dalam hukum Islam tujuan pokok dari pemidanaan atau hukuman
bagi pelaku tindak pidana/kejahatan menurut syari’at Islam adalah
pertama, sebagai pencegahan serta balasan dan kedua, pengajaran. 62
Pengertian pencegahan ialah menahan pembuat kejahatan/pelaku
kejahatan agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia
tidak terus menerus memperbuatnya, disamping pencegahan terhadap
orang lain selain pembuat agar ia tidak memperbuat jarimah, sebab ia
mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan terhadap orang yang
memperbuat pula perbuatan yang sama. 63 Dengan demikian, maka
kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan terhadap
pembuat sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya dan menahan
orang lain untuk tidak melakukannya pula dan menjauhkan diri dari
lingkungan jarimah/kejahatan.
Oleh karena tujuan pemidanaan adalah pencegahan, maka besarnya
pidana atau hukuman harus setimpal, tidak boleh kurang atau lebih
dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian terdapat prinsip
keadilan akan tercapai apabila hakim yang mengadili pelaku tindak
pidana dapat berlaku adil, sebagaimana kita ketahui bahwa seorang
hakim salah satu syaratnya adalah adil. Sebab hakim adalah pemegang
62
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. ke-1, h. 83
Ahmad Hanafi, MA., Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), Cet.
Ke5, h. 255
63
amanah Allah SWT. dan manusia pencari keadilan. Dalam hal ini
Allah SWT. menjelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 58 yaitu:
‫اِن اﷲَ ﻳَﺎْﻣُﺮُآُﻢْ اَنْ ﺗُﺆَدوااْﻻﻣﻨﺖ اِﻟَﻰ اَهْﻠِﻬَﺎ‬
َ‫وَاِذَاﺣَﻜَﻤْﺘُﻢْ ﺑَﻴْﻦَ اﻟﻨﺎسِ اَنْ ﺗَﺤْﻜُﻤُﻮْاﺑِﺎﻟْﻌَﺪْلِ اِن اﷲ‬
‫ )اﻟﻨﺴﺎء‬.‫ﻧِﻌِﻤﺎﻳَﻌِﻈُﻜُﻢْ ﺑِﻪِ اِن اﷲَ آَﺎنَ ﺳَﻤِﻴْﻌًﺎﺑَﺼِﻴْﺮًا‬
(۵٨:
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah adalah maha
mendengar lagi maha melihat.” (Qs. An-Nisa ayat 58)
Yang dimaksud adil di sini mengandung dua segi, segi pertama
ditujukan kepada mereka yang wajib menetapkan keadilan, dan segi
yang kedua ditujukan kepada mereka yang berhak mendapat keadilan.
Dengan demikian di dalam kata adil terdapat kewajiban dan hak.
Sedangkan sebagai perbaikan atau pendidikan dan pemaksaan,
pemidanaan dimaksudkan untuk memberi pelajaran dengan cara paksa
supaya pelaku tindak pidana bersedia mengubah perilaku jahatnya
kepada perbuatan yang baik dan benar.
Sesuai dengan ajaran al-Qur’an, maka dalam hukum pidana Islam
terdapat dua macam ancaman pemidanaan/hukuman bagi pelaku
kejahatan yaitu:
1) Hukuman duniawi adalah hukuman yang diputuskan oleh hakim
dan dilaksanakan hukumannya di dunia, hukuman duniawi ada dua,
ada yang berdasarkan nash dan ada yang tidak berdasarkan nash.
2) Hukuman akhirat adalah sebagaimana yang dicantumkan di dalam
al-Qur’an, adanya ancaman akhirat ini mempunyai arti penting
dalam pembinaan kesadaran hukum, karena dengan itu sebagai
seorang muslim menyakini kendatipun ia bisa lepas dari hukuman
di dunia, tetapi ia tidak akan bisa terhindar dari hukuman di akhirat
nanti. 64
Dari kedua tujuan pemidanaan tersebut di atas dapat dijabarkan
menjadi beberapa tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam:
1) Memelihara masyarakat, yaitu sebagai upaya menyelamatkan
masyarakat dari perbuatan kejahatan yang dilakukan, walaupun
pelaku sendiri sebenarnya bagian dari masyarakat, tetapi demi
kebaikan masyarakat yang banyak, maka kepentingan perseorangan
dapat dikorbankan, karena kalau tidak demikian masyarakat akan
terancam oleh perbuatan perseorangan tersebut, sebagaiman kaidah
fiqih yang berbunyi:
‫اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻌﺎﻣﺔ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺼﻠﺤﺔ اﻟﺨﺎﺻﺔ‬
64
h. 226
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. Ke-2,
Artinya
:”Kemaslahatan
umum
didahulukan
dari
kemaslahatan
khusus”.
2) Sebagai upaya pencegahan atau prevensi khusus bagi pelaku tindak
pidana diharapkan dengan hukuman, maka orang tidak melakukan
kejahatan, karena telah mengetahui akibat yang akan ditanggung
apabila melakukan jarimah/kejahatan.
3) Sebagai upaya pendidikan dan pengajaran (ta’dib dan tahdzib)
karena diharapkan setelah mendapat hukuman pelaku kejahatan
akan berubah menjadi orang yang baik.
4) Sebagai balasan atas perbuatan, sebagaimana menurut Abdul-Qodir
‘Audah
dalam
kitabnya
at-Tasyri
al-Jina’i
al-Islami
yang
menyatakan: “Menjadi suatu kepantasan bagi setiap perbuatan
dibalas dengan perbuatan lain yang sepadan, perbuatan baik dibalas
dengan kebaikan, perbuatan jahat dibalas dengan kejahatan pula.” 65
2. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Positif
Tujuan penjatuhan hukuman mengalami perkembangan dari tujuan
pembalasan (revenge) atau untuk memuaskan pihak yang dendam atau
merasa dirugikan baik masyarakat itu sendiri maupun pihak yang
dirugikan (menjadi korban). Tujuan yang dipandang paling kuno ialah
65
Abdul-Qodir ‘Audah, at-Tasyri al-Jina’I al-Islami, (Bairut: Dar al-Fikri al-maktab, 1992),
Cet. Ke-11 h. 75 juz 1
penghapusan dosa atau retribusi, yaitu melepaskan pelanggar hukum
dari perbuatan jahat atau menciptakan balasan antara yang hak dan
yang bathil.
Selain uraian di atas, kiranya perlu dikemukakan S.R. Sianturi yang
menyatakan tentang alasan dan maksud pemidanaan, yang dibedakan
atas tiga golongan yaitu teori pembalasan, teori tujuan, dan teori
gabungan sebagai berikut: 66
1. Teori
pembalasan
(absolute
theory)
yang
membenarkan
pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana
mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana, tanpa
mempersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Di sini
dikenal pernyataan mata ganti mata, gigi ganti gigi. Teori ini
terbagi atas lima bagian yaitu:
a) Pembalasan
berdasarkan
tuntutan
mutlak
dari
etika
(moraalphilosofie) oleh Immanuel Kant. Mereka berpendapat
walaupun dunia besok akan kiamat, namun penjahat terakhir
harus menjalani pidananya.
b) Pembalasan bersambut (dielectiche vergelding) yaitu teorinya
Hegal, yang menyatakan bahwa untuk mempertahankan hukum
yang merupakan perwujudan dari kemerdekaan dan keadilan,
66
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni
AHM-PTHM, 1996), h 58
kejahatan
secara
mutlak
harus
dilenyapkan
dengan
cara
memberikan “ketidakadilan” kepada penjahat.
c) Pembalasan demi keindahan/kepuasan (easthetische vergelding)
oleh
Herbat
penjahat,
yang
menyatakan
ketidakpuasan
bahwa
masyarakat
dengan
atau
rasa
memidana
keindahan
masyarakat terpulihkan kembali.
d) Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan yang dikemukakan oleh
Stahl, Gewin dan Thomas Aquino. Kejahatan merupakan
pelanggaran terhadap perikeadilan Tuhan kepada penguasa
negara.
e) Pembalasan sebagai kehendak manusia dikemukakan oleh para
penganut madzhab hukum alam yang memandang negara
sebagai hasil kehendak manusia. Mereka berpendapat bahwa
merupakan tuntutan alam, siapapun yang melakukan kejahatan
akan menerima sesuatu yang jahat. Para tokohnya antara lain
J.J. Rousell, Hugo de Groot, dan Beccaricca.
2. Teori tujuan (relative theory), teori perbaikan yang menyatakan
bahwa
diancamkan
dan
dijatuhkannya
suatu
pidana
dimaksudkannya untuk menakut-nakuti calon penjahat ataupun
pelaku
kejahatan,
untuk
memperbaiki
ketertiban hukum/prevensi hukum.
penjahat,
manjamin
3. Teori gabungan (veriniging theory) yang dikemukakan oleh
Binding sebagai reaksi terhadap adanya kelemahan atau kekurangan
pada masing-masing teori pembalasan dan teori tujuan. Dengan
demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan
baik hakim maupun kepada penjahat itu sendiri, disamping kepada
masyarakat.
Dalam ayat (2) Rancangan KUHP Nasional dikatakan bahwa
pemidanaan
tidak
dimaksudkan
untuk
menderitakan
dan
tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Mengenai pemidanaan atau penjatuhan hukuman, Prof Sudarto
berpendapat, menurutnya “Pemidanaan apapun coraknya pidana yang
dikenakan merupakan suatu penderitaan yang tidak mengenakkan, dan
pidana bukan saja tidak enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi
sesudah itu masih merasakan akibatnya yang berupa “cap” oleh
masyarakat bahwa ia pernah berbuat jahat.” 67
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka hakekat pemidanaan
oleh Prof. Sudarto dibagi menjadi tiga pokok permasalahan, yaitu:
Perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan dan pidana yang
diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. 68
68
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), Cet. Ke-1, h. 82.
Apabila melihat dari tujuan pemidanaan, maka hakim dalam
menjatuhkan
pidana
terhadap
pelaku
tindak
pidana
haruslah
memperhatikan kepentingan masyarakat umum tanpa mengabaikan
kepentingan terhukum (pelakunya). Dengan demikian maka hakim
sebelum menjatuhkan hukumannya harus memperhatikan bukti-bukti
yang didapatinya selama dalam persidangan, sehingga berdasarkan
bukti-bukti tersebut seorang hakim harus mempunyai kenyakinan yang
mantap dengan kata lain tidak ada keragu-raguan dalam mengambil
keputusan bahwa memang benar terdakwa telah melakukan perbuatan
kejahatan/tindak pidana sebagaimana yang telah dituduhkan oleh jaksa
kepadanya.
Dalam garis besarnya ada 3 (tiga) tujuan yang harus diperhatikan
seorang hakim dalam menjatuhkan hukuman yaitu:
1) Koreksi oleh hukuman yang diarahkan kepada manusia yang secara
normal bertanggung jawab, dan dalam kejadian tertentu telah
melakukan suatu kesalahan.
2) Rasionalisasi adalah agar pelaku tindak pidana memiliki daya
tahan, sehingga tidak mengulangi lagi kejahatannya.
3) Pengayoman dari kehidupan bersama oleh untuk pelaku tindak
pidana berat dan harus ditakuti agar tidak jahat lagi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dalam bab-bab yang telah lalu mengenai tinjauan Syari’at
Islam terhadap tujuan hukuman dalam hukum positif, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Yang dimaksud hukuman dalam hukum positif adalah menjatuhkan
menjatuhkan suatu perbuatan yang tidak enak dirasakan, atau siksaan
bagi si pelanggar peraturan hukum, yang semua merupakan suatu
pembalasan
bagi
orang
yang
melanggar
hukum
demi
untuk
terpeliharanya ketertiban di masyarakat.
2. Hukum positif dalam menetapkan hukuman, pada hakikatnya bertujuan
untuk
pencegahan
terhadap
dilakukannya
tindak
pidana,
memasyarakatkan kembali terpidana pada lingkungannya, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat dengan
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana serta
membebaskan rasa bersalah pada terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3. Dalam pandangan Syari’at Islam, beberapa tujuan yang hendak dicapai
dari diterapkannya hukuman dalam hukum positif dapat dibenarkan,
karena adanya kesesuaian antara pointer-pointer tujuan hukuman yang
hendak dicapai oleh hukum positif dengan tujuan pensyari’atan hukum
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT melalui firman-firman-Nya.
4. Meski demikian, terdapat perbedaan antara keduanya, yaitu di mana
Syari’at Islam selain mengedepankan tujuan hukuman yang bersifat
duniawi juga mengutamakan yang ukhrawi, hal ini disebabkan karena
hukum-hukum syari’at ditegakkan atas dasar agama.
5. Islam sebagai suatu ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya serta mengatur hubungan manusia dengan sesamanya. Jelas
memperinci tujuan hukuman yang hendak dicapai yakni memelihara
kemaslahatan umat yang berarti pula memelihara agama.
6. Persoalan ukhrawi ini tidak mendapat perhatian utama pada hukum –
pidana– positif, karena hukum ini tidak didasarkan atas agama
melainkan ditegakkan atas kehidupan nyata dan adapt-adat serta tradisi
yang berlaku di kalangan masyarakat.
7. Walaupun telah dipertegas lagi dengan lahirnya pasal 51 yang terdapat
dalam nasran KUHP, tujuan hukuman belum mencapai bentuk yang
diinginkan
sepenuhnya
oleh
Syari’at
Islam.
Terlebih
point
“pembalasan” (jaza) –meskipun bukan yang utama– ditiadakan,hal itu
makin memposisikan hukum positif dalam ketertinggalan dalam
pandangan Syari’at Islam.
B. Saran-saran
1. Negara Indonesia yang percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
hendaknya melalui peran eksekutif dan legislatif –memiliki kehendak
untuk
berusaha
mencari
dan
menggali
sumber-sumber
hukum
khususnya pidana– yang terdapat dalam ajaran-ajaran agama yang ada,
dalam hal ini adalah ajaran agama Islam, mengingat Islam selaku
agama mayoritas.
2. Guna meminimalisir angka kejahatan, tentunya sosialisasi tentang
konsekuensi dari perbuatan pidana tersebut –dalam hal ini adalah
hukuman–
hendaknya
pemerintahan
atau
makin
para
ditingkatkan,
akdemisi
atau
baik
melalui
bahkan
oleh
aparat
para
ulama/agamawan. Yang terakhir ini telah terbukti efektif, karena
ternyata ajaran moral lebih mudah dicerna umat dibanding pamfletpamflet atau pengadaan seminar semata.
3. Bagi para pengambil keputusan hendaknya memahami betul lahir
batin/kondisi obyektif pelaku dan korban kejahatan, dengan demikian
hukuman yang diambil tepat sasaran. Tidak mengabaikan dan
menguntungkan salah satu pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama,
Surabaya, 2002
Al-Qur’an
Dan
Terjemahan,
Surabaya:
Mekar
Anwar, Muhammad, Fiqh Islam, Bandung: PT. Al-Maa’rif, 1979, Cet ke-1
‘Audah, Abdul-Qodir, At-Tasyri al-Jina’i al-Islamy, Kairo: MAktabah alUrubah, 1960, Juz 1
Anshari, Noorwahidah Hafez, Pidana Mati Menurut Islam, Surabaya: Al-Ihkhlas, 1982
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), Jakarta: Sinar Harapan, 1983
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia R.I, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Hak-hak
Tersangka/Terdakwa Dalam KUHAP, Jakarta, 2002
Bawengan, G.W, Masalah Kejahatan Dengan Sebab dan Akibatnya, Jakarta:
Pradya Paramitha, 1977
Bonger, W.A, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia
Bahry, Zainul, S.H, Kamus Umum Khususnya Bidang Hukum dan Politik,
Bandung: Angkasa, 1996, Cet ke-1
Chazami, Adami, Drs., SH., Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2002
Hamzah, Andi, DR., Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Bandung:
Alumni, 1992
___________, Bunga Rampai Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Pradya
Paramitha, 1993, Cet ke-2
___________, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia Dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana, Bandung: Bina Cipta, 1986, Cet ke-1
Husain, Syahruddin, dan Ratna Asih, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia,
Medan: Fakultas Hukum USU,1977
Hanafi, Ahmad, M.A, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1993, Cet ke-1
Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, Cet
ke- 1
Juhana, Praja, S., Delik Agama Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung:
Angkasa, 1987
Kartanegara, Satochid, Prof, SH., Hukum Pidana (Kumpulan Kuliah Bagian
I), Balai Lektur Mahasiswa
Kahlani Al-, Mohammad bin Ismail, Subulus Salam, Bandung: Dahlan, 1988,
Juz 111
Lamintang, P.A.F., Delik-Delik Khusus, Bandung: Tarsito, 1979
Moeljatno, Prof., SH., Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineke Cipta,
2002 Cet ke-7
____________, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi
Aksara, Cet ke-20
Pradjodikuro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung:
Erisco, 1986, Cet ke-6
Prints, Darwan,
Djembatan, 1989
Hukum
Acara
Pidana
(Suatu
Pengantar),
Jakarta:
Prakoso, Djoko, Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada
Tahap Penyidikan, Jakarta: Ghalia indonesia, 1986, Cet. Ke-1
___________, Peradilan In Absensia Di Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985, Cet. Ke-1
Proyek Penerangan, Hukum Bagian ‘POSKUMDU’ Apa Yang Harus
Dilakukan Jika Terjadi Kejahatan (Pelanggaran Hukum), Jakarta:
1994/1995
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1987, Cet. Ke-4
Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1994, Cet. Ke-11
Saleh, Ruslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana,
Jakarta: Aksara Bani, 1983, Cet. Ke-3
Saputra, Maman Marta, Asas Kriminologi(Principlies of Criminolog,
Bandung Alumni, 1973
Susilo, R., Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum, Bogor: Polite,
1984
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990, Cet. Ke-10
Sutherland, Edwin H.,
dan Donal Cressy, Asas-Asas Kriminologi
(Principleis Of Criminologi), Disadur Oleh Maman Saputra, SH.,
Bandung: Alumni, 1973
Soekanto Soejono Dr. SH. MA., Beberapa Catatan Tentang Psikologi
Hukum, Bandung: Alumni, 1979
Syah, Muhammad Ismail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar
Baru, 1983, Cet. Ke-1
__________, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981, Cet. Ke1
Santoso, Topo, SH., MH., Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung: AsySyamil & Grafika, 2000, Cet. Ke-1
Download