II. TINJAUAN PUSTAKA A. Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri non motil, gram positif, berbentuk bulat, dan biasanya bergerombol seperti anggur dalam bentuk tidak teratur, berpasangan, maupun tunggal. Bakteri ini berdiameter 0.5 to 1.0 µm pada perbesaran mikroskop 1000x (Breemer et al., 2004). Staphylococcus aureus bersifat katalase positif, anaerob fakultatif, dan membentuk koloni yang licin, bulat dan cembung pada media agar. Bakteri ini biasanya memproduksi enzim koagulase, memfermentasi manitol, termonuklease positif dan memfermentasi bermacam jenis gula dan membentuk asam tetapi tidak membentuk gas (Jay, 2000). Gambar Staphylococcus aureus di bawah mikroskop pada perbesaran 1000x disajikan dalam Gambar 1. Gambar 1. Penampakan Staphylococcus aureus di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x (Ray dan Bhunia, 2008) Karekteristik penting dari Staphylococcus aureus adalah pembentukan pigmen koloni yang umumnya berwarna kuning keemasan, dan betahemolisis positif pada blood agar. Namun, kedua karekter tersebut juga diasosiasikan dengan strain dari Staphylococcus epidermidis (Parker, 1963). Karakter yang membedakan Staphylococcus aureus dengan Staphylococcus epidermidis adalah kemampuannya memproduksi nuklease tahan panas. Enzim ini sangat unik sehingga dapat membedakan nuklease yang diproduksi oleh Staphylococcus epidermidis. Pada media BHI agar Staphylococcus aureus berkilauan dengan warna bervariasi dari krem hingga orange sebagai hasil dari pigmentasi karotenoid pada membran sel. Koloni akan menjadi gelap setelah inkubasi selama beberapa hari pada suhu 30°C atau pada suhu ruang (Ash, 2000). Koloni Staphylococcus aureus pada media Baird Parker Agar (BPA) berbentuk bulat, licin, halus, cembung, lembab, berdiameter 2-3 mm, berwarna abu-abu hingga hitam pekat, dikelilingi batas berwarna terang, serta dikelilingi zona keruh dengan batas luar berupa zona jernih (Tatini et al., 1984) dan Bennett (1984b). Ciri lain Staphylococcus aureus adalah kemampuan tidak hanya menghasilkan enzim ekstraselular koagulase, tetapi juga bermacam enzim ekstraselular lain dan enterotoxin. 3 Enterotoksin adalah protein globuler dengan berat molekul 28.000-35.000 dalton. Enterotoksin ini bersifat toksik bagi manusia dan hewan (Minor et al., 1976). Toksin yang dihasilkan sangat tahan terhadap pemanasan. Oleh karenanya, meskipun bakterinya telah mati karena pemanasan (pemanasan pada suhu 66°C selama 10 menit), toksinnya masih dapat bertahan pada suhu 100°C selama 30 menit (Gaman dan Sherington, 1992). B. KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus Pada umumnya, Staphylococcus aureus tumbuh pada kisaran suhu 7-47°C dengan suhu optimum untuk pertumbuhan 30-37 °C. Enterotoksin dihasilkan pada suhu 10 dan 46°C, dengan suhu optimum 35-45°C. Produksi enterotoksin dapat berkurang pada suhu 20-25°C. Produksi enterotoksin tidak akan terjadi pada suhu di bawah 10°C . Staphylococcus aureus tumbuh pada kisaran pH yang luas dari 4,2-9,3 dengan pertumbuhan optimal dan produksi enterotoksin terjadi pada pH 6-7 dan dipengaruhi oleh kondisi atmosfer, sumber karbon, sumber nitrogen dan kadar garam. Pengurangan aw lebih menghambat sintesis enterotoksin daripada pertumbuhannya. Pertumbuhan optimum Staphylococcus aureus dan pembentukan enterotoksin terjadi pada aw > 0,99. Produksi toksin dilaporkan terjadi pada aw terendah yaitu sebesar 0,86 (Breemer et al., 2004). Bakteri ini memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap konsentrasi garam. Bakteri ini dapat tumbuh pada media yang mengandung NaCl 5-7%. Beberapa strain Staphylococcus aureus lainnya mampu bertahan pada media dengan konsentrasi garam hingga 20% (Adams dan Moss, 2005). Tabel 1. menyajikan data parameter faktor pembatas pertumbuhan Staphylococcus aureus. Tabel 1. Parameter fisik faktor pembatas pertumbuhan Staphylococcus aureus Pertumbuhan Produksi Enterotoksin Faktor Pembatas Optimum Kisaran Optimum Kisaran Suhu (°C) 35-37 7 -48 pH 6.0-7.0 4.0-9.8 35-40 10-45 Enterotoksin A. 4.8-9.0 5.3-6.8 Enterotoksin lain 6-7 Konsentrasi NaCl 0.5-4.0% 0-20% 0.5% 0-20% Aktivitas air (aw) 0.98-0.99 0.83-0.99 > 0.99 0.86-0.99 Kondisi Atmosfer Aerob Aerob- 5-20% DO2 Aerob- Anaerob Anaerob (Adams dan Moss, 2005) Staphylococcus aureus mengalami penurunan viabilitas pada suhu rendah antara 10°C-0°C. Bakteri ini sangat resisten terhadap pembekuan dan thawing dan masih hidup pada makanan yang disimpan pada suhu ≤ -20°C (ICMF, 1996). Perlakuan pemanasan dapat memperpanjang fasa lag Staphylococcus aureus (Tabel 2.). Pemanasan pada suhu 50°C selama 30 menit tidak mengubah panjang fasa lag. Namun, pemanasan pada suhu 55°C-62,5°C selama 30 menit memperpanjang fase lag 2-4 jam (Batish et al., 1990). Pada suhu 100°C terjadi waktu lag yang panjang yaitu lebih dari 20 jam dan saat pertumbuhan dimulai, kecepatannya sangat lamban. 4 Tabel 2. Pengaruh suhu terhadap waktu lag Staphylococcus aureus Suhu (°C) Waktu lag (jam) 11 140 15 47 20 18 25 6 30 4 27 3 42 3 44 3 46 7 (Adair et al., 1989) Staphylococcus aureus mempunyai ketahanan yang cukup tinggi pada kondisi pembekuan, pengeringan dan pemanasan (www.fooddoctors.com). Bakteri ini tahan pada lingkungan beku sampai beberapa tahun dan tahan pengeringan selama beberapa minggu. Sel vegetatif Staphylococcus aureus dapat diinaktivasi pada suhu > 46°C namum sporanya masih mampu bertahan pada pemanasan 100-120°C (Tabel 3.). Tabel 3. Ketahanan Staphylococcus aureus terhadap pembekuan, pengeringan dan pemanasan Ketahanan Lama daya tahan Produk beku Produk kering Bertahun-tahun Seminggu sampai sebulan Ketahanan terhadap pemanasan D50.0 (buffer fosfat 0.1 M) 9.5 – 42.2 menit D55.0 (buffer fosfat 0.1 M) 3 menit D62,8 (buffer fosfat 0.1 M) 0.4 – 1.1 menit Ketahanan toxin selama pemanasan D100 70 menit D110 26 menit D120 9,4 menit (www.fooddoctors.com) Staphylococcus aureus memerlukan komponen organik sebagai sumber nutrisinya. Nutrisi yang dibutuhkan antara lain asam amino sebagai sumber nitrogen, tiamin dan asam nikotinat sebagai sumber vitamin B. Monosodium Glutamat (MSG) berperan sebagai sumber C, N, dan sumber energi dalam kondisi pertumbuhan aerob pembentukan enterotoksin (Jay, 2000). Staphylococcus aureus mempunyai toleransi yang tinggi terhadap telurit, merkuri klorida, neomisin, polimiksin, dan sodium azid. Staphylococcus aureus dapat dibedakan dari stapphylococci lainnya dengan melihat ketahanannya terhadap akrilflavin. Staphylococcus aureus sensitif terhadap borat dan tidak tahan terhadap novobiosin (Jay, 1996). 5 Secara umum, Staphylococcus aureus tidak kuat bersaing dengan mikroorganisme lainnya sehingga bakteri ini tidak mempunyai peran yang berarti pada bahan pangan yang tidak dimasak. Akan tetapi, dalam bahan pangan yang telah dimasak atau diasinkan, dimana mikroorganisme yang lain telah rusak selama pemanasan atau pertumbuhannya terhambat oleh konsentrasi garam, sel Staphylococcus aureus dapat terus berkembang mencapai tingkat yang membahayakan. Keracunan bahan pangan yang tercemar Staphylococcus aureus umumnya berhubungan dengan produk pangan yang telah dimasak terutama daging dan ayam (Jay, 1996). Sumber utama kontaminasi makanan oleh Staphylococcus aureus adalah dari manusia. Kebanyakan Staphylococcus aureus terdapat pada tangan pekerja sebagai komponen mikroflora endogen, dan juga terdapat pada saluran hidung dan tenggorokan (Eley, 1992). Staphylococcus aureus juga mungkin ada di udara, debu, air, susu, pangan, peralatan pangan, dan permukaan lingkungan (USDA, 2001). Menurut Deshpande (2002), Staphylococcus aureus dapat berpindah lewat bersin, batuk, kontak jari, kontak bibir, gigitan, dan sapu tangan. Selain itu beberapa strain Staphylococcus aureus juga dapat membentuk koloni pada peralatan dan lingkungan tempat pengolahan makanan (Blackburn dan Mc Clure, 2002). C. KERACUNAN Staphylococcus aureus Istilah keracunan pangan merujuk pada tiga istilah yaitu infeksi, intoksikasi, dan toksikoinfeksi. Keracunan pangan melalui infeksi terjadi karena konsumsi pangan atau minuman yang mengandung bakteri enteropatogenik atau virus. Sel bakteri patogen masuk kedalam saluran pencernaan lalu tumbuh dan menggandakan diri kemudian mengakibatkan keracunan. Contoh mikroorganisme yang menyebabkan keracunan melalui infeksi adalah Salmonella dan virus Hepatitis A. Intoksikasikasi adalah tertelannya toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen pada pangan ke dalam saluran pencernaan. Dalam hal ini tidak diperlukan sel vegetatif selama konsumsi untuk terjadinya keracunan. Contoh mikroorganisme penyebab intoksikasi adalah Staphylococcus aureus. Toksikoinfeksi disebabkan tertelannya sel vegetatif bakteri patogen yang mengontaminasi pangan dan minuman ke dalam saluran pencernaan. Umumnya, sel bakteri bersporulasi atau mati kemudian menghasilkan toksin penyebab keracunan. Clostridium perfringens adalah salah satu contoh bakteri penyebab keracunan melalui toksikoinfeksi (Ray dan Bhunia, 2008) Ada berbagai macam penyebab kasus keracunan pangan (Tabel 4.). Pertama, keracunan pangan disebabkan karena penggunaan suhu yang kurang cukup baik selama pemanasan, pendinginan, ataupun penyimpanan. Pemanasan dan pendinginan yang tepat bertujuan mereduksi jumlah mikroba sampai 6 siklus log, dan tidak memberikan kondisi yang mendukung untuk germinasi spora dan produksi toksin. Kedua, keracunan makanan disebabkan rendahnya praktik hygiene. Terakhir, keracunan pangan karena kontaminasi silang dari bahan mentah, pangan olahan, ataupun peralatan pengolahan pangan (Forsythe, 2000). Keracunan pangan karena Staphylococcus aureus terjadi melalui intoksikasi. Keracunan pada manusia disebabkan oleh konsumsi enterotoksin yang dihasilkan oleh beberapa strain Staphylococcus aureus di dalam makanan, biasanya karena makanan tersebut tidak disimpan pada suhu yang cukup tinggi (>60°C) atau cukup dingin (<7.2°C) (Ray dan Bhunia, 2008). Kemampuan strain Staphylococcus aureus untuk tumbuh dan memproduksi enterotoksin pada kisaran kondisi lingkungan yang luas, ketahanan panas toksin, dan penanganan yang salah menjadi penyebab utama kasus keracunan pangan di berbagai dunia (Ray dan Bhunia, 2008). 6 Tabel 4. Faktor yang berkontribusi pada kasus keracunan pangan Faktor Persentase Faktor yang berhubungan dengan pertumbuhan mikroba Penyimpanan makanan pada suhu ruang 43 Suhu pembekuan yang tidak tepat 32 Penyiapan makanan yang terlalu lama saat penyajian 41 Holding pada suhu panas yang tidak cukup 12 Thawing yang tidak tepat 4 Penyajian makanan dalam jumlah yang terlalu banyak 22 Faktor yang berhubungan dengan ketahanan mikroba Pemanasan ulang yang tidak tepat 17 Pemanasan yang tidak cukup 13 Faktor yang berhubungan dengan kontaminasi Pekerja/ karyawan 12 Kontaminasi pangan olahan nonkaleng 19 Kontaminasi bahan pangan mentah 7 Kontaminasi silang 11 Pembersihan Peralatan pengolahan yang tidak tepat 7 Sumber yang tidak aman 5 Kontaminasi makanan kaleng 2 (Forsythe, 2000) Staphylococcus aureus menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan gastroenteritis. Jumlah sel yang diperlukan oleh Staphylococcus aureus untuk menghasilkan racun yang cukup sehingga bersifat meracuni adalah 106 CFU/g (Buckle et al., 1987; Jay, 2000). Shapton dan Shapton (1993) menyatakan bahwa populasi Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk menghasilkan toksin beracun adalah 5x106 CFU/g dimana toksin yang dihasilkan bersifat tahan panas. Oleh karena itu, walaupun bakterinya sudah mati karena pemanasan kemungkinan toksinnya masih tetap dapat bertahan. Menurut Ray dan Bhunia (2008) keracunan Staphylococcus aureus disebakan karena terkonsumsinya toksin dalam jumlah 100-200 ng yang dihasilkan oleh 106-107 CFU/ml atau CFU/gr dalam 30 gr/ml makanan. USDA (2001) menyatakan bahwa jumlah toksin Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk menyebabkan keracunan pangan sebesar 1,0 µg. Pada level ini dicapai jumlah bakteri sebanyak 1,0x105 CFU/gr atau CFU/ml. Staphylococcus aureus bisa mengkontaminasi makanan yang mengandung protein tinggi. Makanan yang berhubungan dengan kontaminasi Staphylococcus aureus antara lain; produk unggas dan produk telur olahan; produk salad seperti salad tuna, salad ayam, salad kentang, dan salad makaroni; produk bakery seperti cream-filled pastries, cream pies, and chocolate eclairs; sandwich filling; susu serta produk olahan susu (USDA, 2001). Pada tahun 1989 di Starkville, Mississippi, terjadi kasus keracunan pangan Staphylococcus aureus yang disebabkan karena konsumsi jamur kaleng (CDC, 1989). Sebanyak 22 orang mengalami gastroenteris selama beberapa jam setelah memakan makanan di cafetaria kampus. Gejala keracunan pangan meliputi mual-mual, muntah, diare, dan kejang perut. 7 Sebanyak sembilan orang korbannya dilarikan ke rumah sakit. Setelah diidentifikasi, ditemukan adanya enterotoksin A pada sampel jamur dalam omlet bar. Ham juga terlibat pada kasus keracunan di sebuah rumah sakit di Puerto Rico. Sebanyak 25 % dokter, perawat, dan pegawai sakit setelah makan siang di rumah sakit tersebut. Ham disiapkan oleh sebuah jasa katering pada hari yang sama. Pada ham yang tersisa, muntahan pasien, serta hidung dan tenggorokan pasien ditemukan Staphylococcus aureus (Bergdoll, 1992) Pada bulan September 1997, terjadi kasus keracunan pangan di Florida (USA) karena konsumsi ham yang terkontaminasi toksin Staphylococcus aureus (www.fooddoctors.com). Sebanyak 31 orang dari 125 orang yang mengikuti pesta mengalami keracunan. Gejala keracunan yang terlihat meliputi mual (94%), muntah (89%), diare (72%), berkeringat (61 %), menggigil (44 %), lesu (39 %), kram otot (28 %), pusing kepala (11%) dan demam (11 %). Gejala keracunan berlangsung selama 3-6 jam setelah mengkonsumsi ham dan berakhir setelah 24 jam. Ternyata, sehari sebelum pesta, sebanyak 8 kg ham mentah dan packed ham dipanggang selama 1,5 jam pada suhu 204 °C. Setelah dipanggang, ham diiris dengan slicer yang tidak bersih. Ham yang telah dipotong ditempatkan di wadah plastik yang dilapisi alumunium foil, dan disimpan selama 6 jam dalam lemari pendingin. Di hari selanjutnya ham disajikan dalam keadaan dingin. Kemungkinan ham terkontaminasi Staphylococcus aureus selama pemotongan dengan slicer. Pada tahun 1996, di Institut Robert Koch, Wernigerode, Jerman dilaporkan terjadi kasus keracunan pangan yang disebabkan oleh konsumsi Schwarzwalder Schinken (www.fooddoctors.com). Produk ham (sekurang-kurangnya pada 6 batch berbeda) diketahui terkontaminasi oleh enterotoksin Staphylococcus aureus. Investigasi lebih lanjut memberikan beberapa kesimpulan: 1. Kontaminasi terjadi karena rendahnya praktik hygiene pada area produksi; 2. Produk ham terkontaminasi Staphylococcus aureus dalam jumlah yang cukup tinggi; 3. Hampir semua isolat yang diuji menghasilkan enterotoksin; Akhir Juni tahun 2000, konsumen minuman susu di Jepang mengalami keracunan akibat Staphylococcus aureus . Pada 30 juni 2000, sebanyak 1.152 pasien dilaporkan mengalami muntah-muntah, mual, dan diare. Pada tanggal 6 Juli jumlah pasien meningkat sampai 10.780 dan 159 diantaranya dilarikan ke rumah sakit. Setelah 7 Juli, laporan jumlah pasien mengalami peningkatan kembali menjadi 12.929 dan tanggal 11 Juli pasien mencapai 14.000 pasien. Total, sebanyak 14.555 orang dilaporkan sakit. Badan Penelitian Epidemiologi Jepang menyatakan bahwa susu dari Snow Brand Food Co Ltd, perusahaan olahan susu terbesar di Jepang, terkontaminasi enterotoksin Staphylococcus aureus. Kontaminasi terjadi karena perusahaan tersebut tidak menggunakan sistem pembersih dan disinfeksi otomatis. Staphylococcus aureus dalam jumlah besar terdeteksi di bagian pipa pengolahan. Hal ini terjadi karena pipa pengolahan tidak dibersihkan selama 3 minggu (www.fooddoctors.com). Bulan Maret dan April tahun 2002, kasus keracunan pangan akibat Staphylococcus aureus terjadi di Australia. Kasus ini mengakibatkan sebanyak 250 orang menjadi korban. Sekitar 600 orang berpartisipasi dalam kegiatan di Imam Ali Islamic Centre, Victoria. Pada tempat tersebut disajikan makanan yang terdiri atas nasi, kentang, dan daging. Beberapa orang langsung mengkonsumsi makanan tersebut dan sebagian lainnya membawa makanannya ke rumah. Beberapa orang yang memakan makanannya di rumah mengalami keracunan. Lebih dari 100 pasien dilarikan ke rumah sakit (www.fooddoctors.com). Beberapa penelitian tentang keberadaan Staphylococcus aureus telah dipelajari sebelumnya (Tabel 5). Harmayani et al. (1996) menyebutkan bahwa karkas ayam yang digunakan 8 untuk membuat bakso maupun sup telah tercemar Staphylococcus aureus sebesar 5,15 log CFU/gr. Hartini (2001) dan Ruslan (2003) menyelidiki keberadaan Staphylococcus aureus dalam pangan olahan industri jasa boga. Pangan yang diuji mengandung cemaran Staphylococcus aureus berkisar antara 1,74-5,81 log CFU/gr. Sari (2010) menunjukkan bahwa sampel ayam goreng, ayam kecap, ayam balado, dan ayam opor mengandung cemaran Staphylococcus aureus sebanyak 2,36-3,66 log CFU/gr. Tabel 5. Data cemaran Staphylococcus aureus pada beberapa bahan pangan Jenis Pangan Jumlah Staphylococcus aureus (log CFU/gr) Baksoa 1,74 Gado-gadoa Mie Ayam 3,72 a 1,78 a Nasi Rames 3,21 Siomaya 2,43 Soto Ayam a 1,65 a Taoge Goreng 5,10 a Gado-gado 5,81 b Kacang panjang rebus 5,61 b 5,15 Kol Rebus b Wortel rebus 5,23 b Tauge Rebus Karkas Ayam 4,74 c 5,15 d 2,64 Ayam Goreng Ayam Kecapd Ayam Opor d 3,66 d Ayam Balado a 3,22 2,36 (Hartini, 2001), b (Ruslan, 2003), c (Harmayani et al., 1996), d(Sari, 2010). D. KETAHANAN PANAS MIKROBA Ketahanan panas mikroba berbeda-beda satu sama lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan panas mikroba meliputi, karakteristik pertumbuhan mikroba, kandungan nutrisi medium pemanas, dan jenis makanan dimana mikroba yang telah dipanaskan dibiarkan tumbuh (Fardiaz, 1992). Menurut Jay (2006) efektifitas pemanasan dalam membunuh mikroba dan spora tergantung dari banyak faktor. Beberapa faktor berkaitan dengan karakteristik bahan pangan, sedangkan yang lainnya berkaitan dengan karakteristik mikroorganisme dan proses pengolahan. Faktor karakteristik bahan pangan berhubungan dengan nutrisi, aw (kelembaban), pH, dan zat antimikroba (alami atau ditambahkan) dalam bahan pangan. Adanya nutrisi berupa karbohidrat, protein, lemak, dan total padatan terlarut memberikan efek perlindungan terhadap mikroba. Semakin tinggi konsentrasi nutrisi berarti semakin tinggi pula ketahanan panas bakteri. Mikroba dalam makanan yang mengandung partikel berukuran kecil tersuspensi dalam cairan lebih mudah mengalami kerusakan karena panas daripada dalam makanan berbentuk padat atau 9 gumpalan. Selain itu, mikroorganisme mudah rusak jika bahan pangan memiliki pH dan aw rendah. Dalam makanan yang memiliki pH rendah, pemanasan mengakibatkan kematian mikroorganisme. Kehadiran antimikroba juga berperan sama yaitu mempercepat kematian mikroba (Jay, 2006). Sifat mikroorganisme yang mempengaruhi ketahanan panas antara lain, jenis spesies atau strain, fase pertumbuhan, paparan panas pendahuluan, dan jumlah awal mikroba. Secara umum, sel vegetatif, yeast, kapang dan bakteri lebih sensitif panas daripada spora. Sel kapang, yeast, kebanyakan bakteri (kecuali bakteri termofilik dan termodurik), dan virus dapat dihancurkan pada suhu 65°C selama 10 menit. Hampir semua bakteri termofilik dan termodurik hancur melalui pemanasan pada suhu 75-80°C selama 5-10 menit. Spora yeast dan kapang hancur pada 65-70°C dalam beberapa menit, tetapi beberapa spora kapang dapat bertahan pada suhu setinggi 90°C selama 4-5 jam. Spora bakteri bervariasi dalam hal ketahanan panas. Umumnya pemanasan 80-85°C selama 30 menit tidak menghancurkan spora tersebut. Kebanyakan spora rusak dengan pemanasan 100°C selama 30 menit. Akan tetapi ada juga spora bakteri yang tidak rusak selama pemanasan pada suhu 100°C selama 24 jam. Semua spora mati pada pemanasan 121°C selama 15 menit (Jay, 2006). Strain atau spesies dari mikroba yang berbeda juga memiliki sensitifitas panas berbeda. Strain A dari spesies yang sama dengan strain B tidak selalu memiliki ketahanan panas yang sama. Dalam hal fase pertumbuhan, mikroba dalam fase eksponensial lebih mudah direduksi dengan pamanasan daripada mikroba pada fase stasioner. Jumlah awal mikroba yang lebih tinggi membutuhkan waktu pemanasan yang lebih lama untuk menghancurkannya (Jay, 2006). Paparan panas pendahuluan mempengaruhi sensitifitas panas mikroba. Sel yang mendapat paparan panas pendahuluan pada suhu rendah menjadi lebih tahan panas pada pemanasan pada suhu yang lebih tinggi. Sebagai contoh, pemanasan 45-50°C selama waktu yang singkat dimana volume makanan sangat banyak dapat menginduksi sintesis heat shock protein. Keberadaan protein ini mengakibatkan sel mikroba dapat berkembang menjadi lebih resisten pada pemanasan selanjutnya pada suhu yang lebih tinggi (Jay, 2006). E. MEKANISME ADAPTASI MIKROBA TERHADAP STRESS Lingkungan yang kurang mendukung pertumbuhan bakteri, menyebabkan bakteri memproduksi shock protein atau stress protein. Beberapa shock protein bersifat spesifik dan yang lainnya bersifat nonspesifik. Shock protein yang bersifat spesifik diekspresikan ketika mendapatkan satu faktor tekanan dari luar sedangkan shock protein nonspesifik dilepaskan ketika melawan lebih dari satu faktor gangguan. Shock protein ini memberikan perlindungan pada struktur bakteri seperti DNA, dan beberapa enzim penting. Sintesis shock protein dalam jumlah besar diinduksi oleh kondisi lingkungan yang kurang mendukung untuk pertumbuhan. Namun, bila bakteri berada pada lingkungan yang mendukung untuk tumbuh, protein tersebut dihasilkan dalam jumlah sedikit (Ray dan Bhunia, 2008). Ekspresi gen yang berhubungan dengan stress dari luar diinisiasi oleh polipeptida spesifik atau faktor sigma (σ) yang disintesin oleh gen spesifik. Gen tersebut antara lain σB atau σ37 (dikode oleh gen B) yang membantu ketika bakteri gram positif mengalami tekanan yang bersifat general (nonspesifik), σ32 (disandi oleh gen rpoH) dan σ24 (disandi oleh gen rpoE) yang berperan ketika bakteri gram positif mendapatkan gangguan pemanasan. Gen σ38 (disandi oleh gen rpoS) berperan ketika bakteri negatif mengalami tekanan yang bersifat general (nonspesifik). Mekanisme adaptasinya dimulai ketika bakteri mendapatkan tekanan dari luar. Di bawah kondisi stress rpoH menjadi aktif untuk mensintesis RpoH atau protein σ32 dalam jumlah 10 banyak. Sigma faktor ini (regulon) kemudian bergabung dengan core RNA polimerase (terdiri atas 4 subunit αα1ßß1) membentuk enzim RNA polimerase atau holoenzim. Holoenzim ini kemudian mengikat promoter dari gen heat-shock dan terjadilah sintesis protein heat-shock. Heat shock protein inilah yang melindungi unit fungsinal dan struktural bakteri dari tekanan sel akibat panas (Ray dan Bhunia, 2008). Holoenzim juga dapat melawan stress karena faktor lain seperti pendinginan, pH rendah, etanol, dan UV (Moat dan Foster, 1988). Mekanisme pembentukan heat shock protein disajikan dalam Gambar 2. Regulon RNA Poly (Core) Gen σ38 RNA Poly (Holo) Heat shock gene family Promoter Heat shock protein Perlindungan terhadap stress Gambar 2. Mekanisme pembentukan heat shock protein (Ray dan Bhunia, 2008) F. PARAMETER INAKTIVASI MIKROBA 1. Nilai D Apabila suspensi mikroba dipanaskan pada suhu konstan, maka penurunan jumlah mikroba akan mengikuti reaksi ordo pertama. Penurunan jumlah mikroba megikuti pola logaritmik sebagai fungsi dari waktu (Toledo, 1991). Pada suhu tertentu, laju inaktivasi mikroba selama waktu pemanasan pada suhu tertentu dapat dinyatakan sebagai berikut: dN/dT = - kN (1) Apabila persamaan (1) diintegrasikan, maka diperoleh persamaan (2) berikut: Ln (N/ N0) = -kt (2) dimana N adalah jumlah mikroba sisa yang masih hidup setelah waktu pemanasan t, N0 adalah jumlah awal mikroba, t adalah waktu pemanasan (menit), D adalah waktu penurunan desimal (menit), dan nilai k adalah laju reaksi. Persamaan (2) menunjukkan plot kurva semilogaritma dari N terhadap t. Persamaan tersebut dapat diubah menjadi lebih sederhana (persamaan 3): 2,303 log (N/ N0) = -kt atau log (N/ N0) = -kt/2,303 (3) 11 Nilai slope 2,303/k sering dinyatakan dengan nilai D, sehingga: log (N/ N0) = -t/D (4) Nilai D adalah waktu dalam menit dimana populasi mikroba tertentu (spora/sel) pada pemanasan dengan suhu tertentu direduksi 90% atau sebesar satu siklus log (Jay, 1996). Oleh karena itu, waktu atau dosis yang dibutuhkan untuk mereduksi 1000 sel mikroba menjadi 100 sel adalah nilai D. Semakin besar nilai D pada suhu tertentu maka semakin tinggi pula ketahanan panas mikroba tersebut pada suhu tertentu. Nilai D dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu maka nilai D semakin kecil. Artinya, semakin tinggi suhu pemanasan, maka waktu yang diperlukan untuk menginaktivasi mikroba akan semakin pendek. Gambar 3. memperlihatkan kurva hubungan antara jumlah mikroba (sumbu Y) dan waktu pada suhu pemanasan tertentu (sumbu X). Kurva ini sering disebut dengan kurva semi-logaritma ketahanan panas mikroba. Kurva ini berbentuk linier dengan nilai slopenya adalah -1/D. Log jumlah mikroba awal N0 Log N= log N0- t/D Gambar 3. Kurva penurunan logaritma jumlah mikroba terhadap pemanasan (Cowan dan Talaro, 2009) 2. NILAI Z Nilai D dari setiap mikroba memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap perubahan suhu. Sensitivitas nilai D terhadap suhu sering dinyatakan dengan nilai Z, yaitu perubahan suhu yang diperlukan untuk merubah nilai D sebesar 90% atau 1 siklus (Toledo, 1991). Gambar 4. menunjukkan kurva semilogaritma hubungan nilai D dengan suhu. Nilai Z diperoleh dari kebalikan nilai slope kurva. Kurva semilogaritma yang menghubugkan suhu (sumbu X) dan nilai D (sumbu Y) akan menghasilkan slope berupa -1/Z. Nilai Z secara matematis dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: Log (D/DT) = -(T-Tref)/ Z (5) atau DT = D0. 10T-Tref/ Z 12 dimana DT adalah nilai D pada suhu tertentu, Do adalah nilai D pada suhu standar, T adalah suhu pemanasan (0C atau 0F) dan Tref adalah suhu standar yang digunakan untuk D0. Z-value Gambar 4. Kurva nilai Z (Toledo, 1991) G. KETAHANAN PANAS Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri mesofilik nonspora dan beberapa galurnya bersifat tahan panas. Ketahanan panas lebih tinggi terutama pada pangan dengan aktivitas air tinggi (Stewart, 2003). Jika dibandingkan dengan bakteri lainnya Staphylococcus aureus memiliki ketahanan panas yang cukup tinggi pada suhu 62,8 °C. Staphylococcus aureus lebih tahan terhadap pemanasan pada heating menstruum susu dengan suhu 62,8 °C jika dibandingkan dengan bakteri nonspora lainnya seperti, E. coli, Campylobacter jejuni, S. faecalis, dan Lactobacillus lactis. Akan tetapi, Staphylococcus aureus tidak lebih tahan panas dibandingkan dengan spora bakteri seperti spora Bacillus cereus, dan Clostridium. botulinum (Tabel 6.) Thomas et al. (1966) meneliti ketahanan panas dua isolat Staphylococcus aureus yaitu isolat MS 149 dan isolat 196E dengan heating menstruum susu skim yang telah dipasteurisasi. Perlakuan panas yang diberikan berkisar antara 60-68,3°C dengan jumlah mikroba awal 1,0x107-1,0x108 CFU/ml. Dari penelitian ini diketahui bahwa Staphylococcus aureus MS 149 memiliki D60 sebesar 3,28 menit dan D65,6 sebesar 0,39 menit. Nilai Z yang dihasilkan sebesar 6,04°C. Sedangkan Staphylococcus aureus 196E mempunyai D60 sebesar 3,44 menit dan D65,6 sebesar 0,28 menit. Nilai Z yang diperoleh sebesar 5,10°C. Dari percobaan ini, diketahhui bahwa bakteri ini bisa direduksi dengan pasteurisasi pada suhu 63°C selama 15 menit. Walker dan Harmon (1966) juga menyelidiki ketahanan panas strain Staphylococcus aureus pada susu murni, susu skim, whey keju ceddar, dan fosfat buffer. Strain yang diujikan dalam penelitian ini meliputi isolat 161-C, S-1, B-120, dan S-18. Isolat B-120, dan S-18 hanya diujikan pada heating menstruum fosfat dan susu murni. Suhu perlakuan dalam percobaan berkisar antara 52-62°C. Nilai D hasil percobaan Walker dan Harmon berkisar antara 0,20-3,50 menit untuk isolat 161-C. Kisaran D-value untuk isolat S-1, B-120, dan S-18 berturutturut sebesar 0,15-3,0 menit, 0,40-1,50 menit, dan 0,50-2,55 menit. Dari Tabel 8. terlihat bahwa ketahanan panas isolat yang diuji lebih tinggi pada heating menstruum whey keju cedar dan susu skim dibandingkan dengan menstruum buffer fosfat dan susu murni. 13 Tabel 6. Ketahanan panas beberapa bakteri pada suhu 62,8°C dan nilai Z beberapa bakteri pada heating menstruum berbeda D62,8 Mikroorganisme Heating Menstruum Nilai Z (°C) (menit) Psycotroph Listeria monocynogenes Susu 0,215 6,6 Listeria monocynogenes Susu skim 1,82 6,5 Yersinia enterocolitica Susu 0,01-0,3 - Pseudomonas fragi Susu 0,45 10-12 Pseudomonas fragi Susu skim 0,50 10-12 1,5-4,5 4,0-5,2 1100-1950 18-19 Bakteri nonspora Salmonella (6 spp.) Susu Salmonella (2 spp.) Susu cokelat Staphylococcus aureus Susu 7-30 5,0-5,2 Campylobacter jejuni Susu 0,05-0,08 6-8 Eschericia coli Susu skim 0,13 4,6 Streptococcus faecalis Susu skim 2,6 - Lactobacillus lactis Whey, pH 4,6 0,32 7,3 Bakteri pembentuk spora Spora Bacillus cereus Susu 49694 9,4-9,7 Spora tipe A C. botulinum Buffer fosfat pH 7,0 60441 7-12 Spora tipe B C. botulinum Buffer fosfat pH 7,0 7859472161355 7-8 (Walstra et al., 1999) Eden et al. (1977) mempelajari ketahanan panas strain Staphylococcus aureus yang diisolasi dari susu mentah dengan metode tabung kapiler. Heating menstruum yang digunakan adalah susu skim dengan jumlah mikroba awal 1,0x109 CFU/ml. Pemanasan dilakukan pada kisaran suhu 50-75oC. Nilai Z Staphylococcus aureus sebesar 9.4oC. Nilai D yang dihasilkan dari percobaan Eden et al. (1977) berkisar antara 0,02-9,96 menit. Ketahanan Staphylococcus aureus dalam susu kambing dipelajari oleh Parente dan Mazzatura (1991). Dalam percobaan ini digunakan isolat BP3 dan isolat 237. Metode percobaan menggunakan metode tabung kapiler dengan jumlah mikroba awal >1,0x109 CFU/ml. Suhu yang digunakan berkisar antara 55-68 oC. Nilai D isolat BP3 berkisar antara 0,03-3,30 menit sedangkan isolat 237 memiliki D-value sekitar 0,01-10,60 menit. Nilai Z sebesar 4,83±0,06 untuk isolat BP3 dan 4,50±0,05 untuk isolat 237. El-Banna et al. (1983) menunjukkan bahwa strain Staphylococcus aureus yang tumbuh di bawah kondisi stress memilki ketahanan panas lebih tinggi dibandingkan dengan yang tumbuh pada lingkungan yang mendukung pertumbuhannya. Nilai D kultur Staphylococcus aureus yang tumbuh pada suhu 37oC memiliki D60 sebesar 2.73 menit, sebaliknya yang tumbuh pada suhu 45 oC memiliki D60 sebesar 12,6 menit. Kennedy et al. (2005) selanjutnya menyelidi tentang ketahanan panas Staphylococcus aureus yang diisolasi dari refrigerator. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui 14 pengaruh pembekuan terhadap ketahanan panas Staphylococcus aureus. Isolat Staphylococcus aureus positif koagulase diujikan pada media pemanas TSB kemudian dicawankan pada media Baird Parker Agar (BPA), dan media campuran antara Tryptose Soy Agar (TSA) dengan media BPA. Dua perlakuan diujikan pada isolat. Perlakuan pertama, isolat diuji ketahanan panasnya secara langsung. Perlakuan kedua, isolat terlebih dahulu diberi perlakuan pendinginan kemudian dipanaskan. Hasil dari dua perlakuan kemudian dibandingkan untuk mengetahuai pengaruh perlakuan pendinginan awal terhadap ketahanan panas. Berdasarkan percobaan Kennedy diperoleh ksimpulan bahwa perlakuan pembekuan pendahuluan tidak menghasilkan nilai yang berbeda secara signifikan. Tabel 7. menyajikan Nilai D beberapa isolat Staphylococcus aureus pada berbagai heating menstruum yang berbeda. 15 Tabel 7. Nilai D beberapa isolat Staphylococcus aureus pada berbagai heating menstruum yang berbeda Isolat MS 149a 196Ea 161-Cb S-1b B-120b S-18b Nilai D (menit) 58 59 60 3,28 3,44 1,80 1,20 0,6 1,85 0,75 3,50 1,30 62 0,35 0,20 63 - 65 - 65,6 0,39 0,28 - 68 - 70 - 75 - Nilai Z (°C) 6,04 5,10 4,19 5.53 5,99 - 2,70 - 1,33 0,75 - - - - - - 7,19 0,6 - 0,15 0,55 0,70 - - - - - - - - - - 4,35 9,9 6,49 1,75 - 0,75 - - - - - - - - - - 6,64 - 1,00 0,70 - 2,55 - 0,40 0,40 - 1,75 1,60 1,00 1,25 0,43 0,50 - - - - - - - 6,97 10,10 5,41 3,95 50 - 52 - 53 - 54 - 55 - 56 - 57 - - - - - - - - 2,70 - 2,10 1,40 2,90 1,55 - 1,12 1,25 1,55 - - 3,00 - - - 1,50 1,00 - FirstenbegEdenc Susu skim 9,96 - - - 3,11 - - - - 0,87 - - - - 0,17 0,10 0,02 9.4 BP3d Susu kambing - - - - 3,30 - - - - 0,36 - 0,07 0,03 - - - - 4,83 237d Susu kambing TSB TSB - - - - 10,6 - - - - 0,67 - 0,15 0,05 - 0,01 - - 4,50 94,3 97,1 - - - 13,0 21,7 - - - - 4,8 5,2 - - - - - - - 7,7 8,0 Campurane1 Campurane2 a Medium pemanas susu skim susu skim Fosfat bufer Susu murni Susu Skim Whey keju cheddar Fosfat bufer Susu murni Susu Skim Whey keju cheddar Fosfat bufer Susu murni Fosfat bufer Susu murni (Thomas et al., 1966), b (Walker dan Harmon, 1966), c(Eden et al., 1977), d(Parente dan Mazzatura, 1991), e (Kennedy et al., 2005) 16