Fenomena Melek Politik Masyarakat Klungkung

advertisement
LAPORAN PENELITIAN
FENOMENA MELEK POLITIK MASYARAKAT KLUNGKUNG
PADA PEMILU 2014 DAN PEMILUKADA 2013
Penelitian ini merupakan bagian dari riset partisipasi masyarakat dalam pemilu
KERJASAMA ANTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS UDAYANA
DENGAN
KOMISI PEMILIHAN UMUM KLUNGKUNG
DENPASAR 2015
1
SUSUNAN TIM PENELITI
Penasehat
: I Made Kariada SE SH
Penanggungjawab
: Dr. Drs. I GPB Suka Arjawa M.Si
Tim Peneliti
: Dr. Ni Made Ras Amanda Gelgel S.Sos M.Si
Ni Kadek Dwita Apriani S.IP M.P
2
ABSTRAK
Pemilu atau pemilihan umum berperan penting sebagai ujung tombak kehidupan
berdemokrasi di Indonesia. Dalam mewujudkan pemilu yang demokratis, maka memerlukan
keterlibatan dari segala sektor, baik pemerintah dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum,
Aktor Politik, hingga Partisipan Pemilih. Meningkatnya tingkat melek politik seyogyanya
akan meningkatkan angka partisipasi politik. Klungkung memiliki catatan di mana partisipasi
politiknya cukup tinggi. Namun tingginya angka partisipasi politik ini dapat juga akibat
adanya mobilisasi pemilih yang digerakkan oleh pihak-pihak tertentu. Untuk itu penelitian ini
akan melihat apakah partisipasi ini autonom atau hanya dimobilisasi. Metode dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif di mana menggunakan teknik pengumpulan data focus
group discussion, dengan didukung oleh data-data sekunder seperti hasil penelitian. Dari
hasil penelitian diketahui bahwa pemilih di Klungkung masih cenderung tradisional dan
memilih berdasarkan pengaruh psikologis dan pragmatism. Untuk itu cara yang dinilai paling
efektif dalam meningkatkan tingkat melek politik di Klungkung adalah dengan member
pengarahan atau sosialisasi secara langsung kepada masyarakat. Pihak penyelenggara pun
sebaiknya melakukan pendekatan dengan simpul-simpul informasi seperti Bendesa adat
maupun prajuru adat lainnya agar tidak dijadikan alat maupun aktor dalam penggiringan
massa dan suara.
Kata kunci : Melek politik, partisipasi pemilu, Klungkung,
3
DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Susunan Tim Peneliti
Abstrak
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Permasalahan
C. Tujuan
D. Manfaat Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Studi Literatur
B. Teori dan Konsep
Partisipasi Politik
Pemilih Rasional
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
B. Bentuk Keluaran
C. Pelaksanaan dan Pengorganisasian
D. Waktu Pelaksanaan
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pandangan Masyarakat Terhadap Politik
B. Pandangan Masyarakat Terhadap Money Politics
C. Perilaku Memilih
D. Vote Buying/ Money Politics
E. Political Literacy
F. Political Voluntary
BAB V PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran/ Rekomendasi Kebijakan
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 1 DAFTAR INFORMAN FOCUS GROUP DISCUSSION
Hal
i
Ii
iii
iv
iv
vi
1
1
2
2
3
4
4
5
5
5
7
7
7
8
9
10
10
14
17
26
27
29
22
22
23
24
26
4
DAFTAR GAMBAR
Hal
11
Gambar 4.1.
Grafik Atas Pertanyaan “Apakah Anda Merasa Dekat Dengan
Salah Satu Partai Politik?”
Gambar 4.2.
Grafik Atas Pertanyaan “Apakah Memilih Siapa Yang Menjadi
Anggota Legislatif Merupakan Sesuatu Yang Penting Bagi
Kehidupan Sehari-Hari?
11
Gambar 4.3.
Grafik Atas Pertanyaan “Apakah Memilih Siapa Yang Menjadi
Anggota Legislatif Berpengaruh Langsung Pada Kehidupan
Keluarga?”
12
Gambar 4.4.
Grafik Atas Pertanyaan “Jika Ada Caleg Yang Memberi Uang,
Apakah Anda Menerima?”
14
Gambar 4.5.
Grafik Atas Pertanyaan “ Jika Menerima, Apakah Anda Akan
Memilih/Tidak Caleg Yang Memberi Uang?”
15
Gambar 4.6.
Grafik Atas Pertanyaan Jika Menerima, Yang Mana Yang Anda
Pilih Antara Yang Lebih Dulu Atau Lebih Banyak Memberi
Uang?
15
Gambar 4.7.
Sifat Wakil Rakyat Yang Diinginkan
17
Gambar 4.8.
Latar Belakang Wakil Rakyat Yang Diinginkan
17
Gambar 4.9.
Faktor Asal Daerah Dalam Pilihan Politik
17
Gambar 4.10.
Faktor Asal Calon Bupati
19
Gambar 4.11.
Faktor Figur atau Parpol yang Lebih Penting dalam Memilih Caleg 21
5
DAFTAR TABEL
Tabel
Tabel 3.1.
Tabel 3.2.
Tabel 4.1.
Tabel 4.2.
Pembagian Peran KPU
Waktu Pelaksanaan
Konsumsi Media
Tabel Silang Daerah asal dengan Pilihan Bupati
Hal
8
9
13
19
6
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Partisipasi pemilih sejak pemilu 1999 sampai dengan pemilu 2014 bergerak fluktuatif.
Pada pemilu legislatif, penurunan partisipasi pemilih sekitar 10 persen konsisten terjadi
sampai pada Pemilu 2009. Sementara pada pemilu 2014, angka partisipasinya naik
sebesar 5%. Pada kasus pilpres, tercatat dalam pemilu 2014 pertama kalinya dalam
sejarah angka partisipasinya lebih rendah dibandingkan pemilu legislatif. Hal ini
menimbulkan pertanyaan bagaimana dan apa yang menyebabkan angka partisipasi pemilu
cenderung fluktuaatif. Oleh karena itu diperlukan sebuah riset pemilu.
Riset pemilu merupakan salah satu elemen strategis dalam manajemen pemilu. Riset tidak
hanya memberikan rasionalitas akademik mengenai suatu substansi pemilu. Riset lebih
jauh memberikan pijakan empirik mengenai persoalan atas hal yang menjadi perdebatan.
Hasil riset memastikan program dan kebijakan kepemiluan tidak dibangun atas postulat
spekulatif, tetapi dikonstruksi berlandaskan pada argumen empirik dan rasional dengan
proses yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam negara demokrasi, partisipasi pemilih menjadi elemen penting demokrasi
perwakilan. Ia adalah fondasi praktik demokrasi perwakilan. Persoalannya, terdapat
sejumlah masalah menyangkut partisipasi pemilih yang terus menggelayut dalam setiap
pelaksanaan pemilu. Sayangnya, persoalan itu tidak banyak diungkap dan sebagian
menjadi ruang gelap yang terus menyisakan pertanyaan.
Beberapa persoalan terkait dengan partisipasi dalam pemilu diantaranya adalah fluktuasi
kehadiran pemilih ke TPS, suara tidak sah yang tinggi, gejala politik uang, misteri derajat
melek politik warga, dan langkanya kesukarelaan politik.
Masalah tersebut perlu dibedah sedemikian rupa untuk diketahui akar masalah dan dicari
jalan keluarnya. Harapannya, partisipasi dalam pemilu berada pada idealitas yang
diimajinasikan. Oleh karena itu, program riset menjadi aktivitas yang tidak terhindarkan
7
dalam manajemen pemilu.
Berbicara mengenai riset partisipasi dalam pemilu, tentu kekhasan daerah menjadi suatu
yang amat penting sebagai pijakan pelaksanaan riset. Kabupaten Klungkung merupakan
kabupaten yang memiliki ciri unik dibanding kabupaten lainnya di Bali. Jumlah pemilih
di Gumi Serombotan ini paling kecil di Bali. Berdasarkan daftar pemilih tetap yang dirilis
KPUD Klungkung pada bulan November 2013, jumlah pemilih di kabupaten ini hanya
153.487 orang atau setara dengan 5,1% dari total pemilih Bali yang menapai angka tiga
juta jiwa. Klungkung juga memiliki kekhasan dibanding wilayah lain di Bali, yakni warna
politik puri (aristokrasi lokal) yang kental dan wilayahnya yang terbagi menjadi dua
bagian utama yaitu Klungkung daratan dan kepulauan Nusa yang terdiri atas Nusa
Penida; Lembongan dan Ceningan. Kekhasan geografis di kabupaten ini menyebabkan
masih ada wilayah-wilayah yang sulit dijangkau, sehingga akses informasi dari dan ke
wilayah itu juga relatif terhambat. Namun demikian, jika dilihat melalui tolok ukur angka
partisipasi di wilayah yang sulit di jangkau itu, tingkat partisipasinya menunjukkan angka
yang cenderung tinggi.
Hal tersebut di atas akhirnya memunculkan pertanyaan besar mengenai model partisipasi
pemilih di wilayah itu, apakah partisipasi pemilihnya adalah partisipasi autonom yang
didasarkan pada tingkat melek politik yang baik ataukah partisipasi yang dimobilisasi
melalui beberapa cara.
B. Permasalahan
Adapun pertanyaan permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat melek politik masyarakat Klungkung dalam pemilukada
2013 dan pemilu 2014?
2. Apakah partisipasi politik masyarakat klungkung merupakan partisipasi yang
autonom atau termobilisasi?
3. Cara apa yang paling efektif untuk meningkatkan tingkat melek politik di
Klungkung?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tingkat melek politik masyarakat Klungkung dalam pemilukada
8
2013 dan pemilu 2014
2. Mengetahui model partisipasi politik masyarakat klungkung.
3. Mengetahui cara apa yang paling efektif untuk meningkatkan tingkat melek
politik di Klungkung.
D. Manfaat Penelitian:
1. Mentradisikan kebijakan berbasis riset atas persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan manajemen pemilu.
2. Bahan penyusunan kebijakan untuk meningkatkan dan memperkuat partisipasi
warga dalam pemilu dan setelahnya.
3. Menemukan akar masalah atas persoalan-persoalan yang terkait dengan
partisipasi dalam pemilu
4. Terumuskannya rekomendasi kebijakan atas permasalahan yang dihadapi
dalam kaitannya dengan partisipasi dalam pemilu
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Studi Literatur
Studi pemilu memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejarahnya berkaitan dengan
keberhasilan gerakan demokrasi pada abad ke-19. Menyebarnya demokrasi juga berati
menyebarnya pemilu ke berbagai negara. Sejak itu juga hasil pemilu dapat dilihat dalam
statistik resmi. Statistik resmi hasil pemilu inilah yang menjadi dasar analisa studi pemilu
pertama. Beberapa kajian di Jerman yang dianggap sebagai tonggak awal dari studi ini, antara
lain hasil studi Eugen Wuzburger (1907) yang meneliti secara mendalam alasan-alasan
golput (Roth,2008:11). Ia menemukan bahwa penyebab utama golput yaitu pemegang hak
suara yang berhalangan hadir pada saat hari pemilu.
Studi yang lebih kontemporer di Amerika Serikat menunjukkan 50% masyarakat
Amerika berpendapat bahwa orang yang tidak peduli dengan hasil pemilu, sah untuk tidak
menggunakan hak pilihnya. Hanya 41% warga Amerika pada pemilu nasional 1996 yang
berpendapat bahwa partisipasi dalam memilih merupakan kewajiban warga negara, sekalipun
ia tak peduli dengan hasil akhir dari pemilu tersebut. (James W. Dkk, 2014; 519). Kampanye
di Amerika Serikat dikatakan tidak diarahkan untuk meningkatkan jumlah orang yang
memberikan suara karena jumlah pemberi suara akan mencapai tingkat tertentu.
Hal lain yang menarik dalam studi pemilu di Amerika Serikat dan negara-negara
Eropa Barat, ditemukan bahwa minat dan kepedulian orang Amerika terhadap politik dan
urusan-urusan publik berada pada level yang sama dengan negara-negara yang tingkat
partisipasinya jauh lebih tinggi. Artinya tingkat partisipasi dalam pemilu tidak selalu
berbanding lurus dengan minat dan kepedulian masyarakat terhadap urusan publik dan
politik. Sangat mungkin tingkat partisipasi yang tinggi tidak didasari oleh tingkat melek
politik yang baik, melainkan karena mobilisasi.
Tingkat partisipasi yang tinggi tidak menjamin kualitas demokrasi di suatu negaraDi
negara-negara yang memiliki kecenderungan otoriter, umumnya tingkat partisipasinya tinggi,
tetapi partisipasinya dimobilisasi, bukan autonom.Di negara yang demokrasinya sudah
10
terkonsolidasi, angka golput terlihat lebih tinggi, namun dinamika partisipasi dalam bentuk
lain misalnya dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan pun lebih terasa.
B. Teori dan Konsep
Partisipasi Politik
Partisipasi politik menurut Herbert McClosky adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari
warga masyarakat, melalui mana mereka mengambil bagian dlm proses pemilihan penguasa
dan secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Penggunaan hak pilih dalam pemilu termasuk kegiatan partisipasi politik karena aktivitas
tersebut mempengaruhi siapa yang duduk sebagai pengambil kebijakan yang secara tidak
langsung mempengaruhi kebijakan yang diambil. Partisipasi politik itu sendiri digolongkan
menjadi dua jenis, yaitu partisipasi autonom dan partisipasi yang dimobilisasi.
Mobilisasi terkoordinasi dipandang penting karena ia memberi dampak besar pada
kehadiran pemilih di TPS. Namun demikian, aktivitas kampanye calon dalam berbagai
pemilihan sangat sedikit diarahkan untuk tujuan mendatangkan emilih ke TPS. Penelitian di
10 negara bagian di Amerika menunjukkan hanya 10% dana kampanye yang digunakan
untuk menyadarkan pemilih datang ke TPS, sedangkan lebih dari 25% dana kampanye
peruntukannya adalah iklan di media.
Kegiatan pemberian suara dalam pemilu (memilih) pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan kegiatan memilih yang biasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti
misalnya memilih barang (Evans,2004:3). Tetapi ada satu hal yang harus dicatat dari pilihan
tersebut, Ia tidak hanya berimbas pada individu, melainkan memiliki efek kolektif. Inilah
menjadi pembeda dasar antara voting dan choice. Jika kita memilih barang di pasar untuk kita
beli dan bawa pulang, lalu kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan, maka efeknya akan kita
nikmati sendiri. Hal yang demikian tidak terjadi dalam voting.
Pemilih Rasional
Pemilih dalam pemilu sering kali digolongkan dalam dua jenis yakni pemilih
tradisional dan pemilih rasional. Pemilih rasional biasanya merupakan pemilih yang
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai pemilu, kandidat dan isu. Untuk
melihat tipologi pemilih ini biasanya digunakan pendekatan pilihan rasional.
11
Titik tekan dalam pendekatan pilihan rasional adalah pada pertimbangan untung rugi
dari individu pemilih (Evans,2004:69). Terkait dengan itu, Evans menyebutkan adanya
beberapa kriteria seorang pemilih untuk dapat dikatakan sebagai pemilih rasional. Setidaknya
ada lima kriteria yang ia kemukakan, seperti di bawah ini:
1. Membuat keputusan jika disodorkan beberapa alternatif
2. Mampu membuat urutan preferensi
3. Urutan preferensi individu tidak selalu sama antara individu satu dengan yang
lainnya
4. Menjatuhkan pilihan pada sesuatu yang berada di urutan pertama preferensinya
5. Ketika dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama atau seimbang sehingga ia
tak mungkin membuat urutan preferensi, maka individu itu akan cenderung
menjatuhkan pilihan pada alternatif yang pernah ia pilih sebelumnya.
Jadi perbedaan utama dari pemilih rasional dan yang bukan terletak pada informasi
yang dikumpulkan oleh pemilih untuk kemudian dipergunakan sebagai dasar pertimbangan
dalam menetukan pilihan. Di akhir dari rangkaian itu, pemilih rasional biasanya
mempertimbangkan untung rugi dari pilihannya itu. Dari kriteria tersebut, ada juga penulis
yang mengatakan bahwa pemilih rasional itu sejatinya tidak pernah ada karena pemilih
cenderung menerima informasi secara pasif dan lebih mudah mencerna informasi mengenai
personal kandidat dibandingkan fakta mengenai isu tertentu (Shenkman,2008:43). Sehingga
informasi yang dikumpulkan pemilih tidak ada yang sepenuhnya lengkap.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan teknik Focus Group Discussion dan menggunakan sumber-sumber sekunder
seperti hasil penelitian kuantitatif dari beberapa lembaga survei yang menyelenggarakan riset
prapemilukada dan prapemilu legislatif 2014. Metode tersebut dirasa paling tepat untuk
mengumpulkan data mengenai masalah yang telah dipaparkan di bagian terdahulu, karena
tidak semua orang dapat memahami dan menjelaskan secara baik mengenai tingkat melek
politik dari masyarakat Klungkung, oleh sebab itu metode kuantitaif tidak dapat
dipergunakan pada penelitian ini dan pemilihan nara sumber berdasarkan kemampuannya
menjelaskan permasalahan tersebut dianggap metode yang paling tepat. Selain itu, metode
kualitatif memungkinkan peneliti untuk menggali lebih dalam mengenai permasalahan yang
diangkat (Harrison,2009:104).
Pengumpulan data dengan cara FGD ini sedianya akan dilakukan dengan 15 orang
narasumber yang dapat memberikan informasi mengenai masalah yang diangkat dalam
penelitian ini, antara lain: tokoh masyarakat; pemuka agama; aktivis; tokoh LSM; unsur
MMDP; unsur partai politik peserta pemilu; tim pemenangan calon; tokoh pemuda; dan unsur
Panwaslu.
A. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian mencakup seluruh kecamatan di Kabupaten Klungkung
B. Bentuk Keluaran
Secara umum, topik riset menghasilkan keluaran (out put) dalam bentuk (1) Laporan
Hasil Riset, dan (2) Publikasi buku hasil riset. Secara khusus hasil akhir dari riset ini adalah
dipetakannya akar persoalan atau peta masalah serta adanya rekomendasi atas persoalan dari
setiap topik riset. Semua hasil akhir riset tersebut dibuat dalam bentuk hard file dan soft file
baik format word maupun pdf, kemudian dikirimkan ke KPU, melalui alamat email :
[email protected]
13
C. Pelaksanaan dan Pengorganisasian
Riset dapat dilaksanakan dengan cara swa-kelola atau dengan melibatkan pihak ketiga,
baik perorangan/tim/lembaga yang mempunyai pengalaman pekerjaan dalam bidang
riset.KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bertanggungjawab memastikan
pelaksanaan riset dan hasilnya berjalan dengan baik. Berkaitan dengan itu maka setiap
jenjang KPU dilakukan pembagian tugas sebagai berikut ini:
Tabel 3.1: Pembagian Peran KPU
PELAKSANA
KPU
TUGAS
1. Melaksanakan riset tingkat nasional
2. Melakukan supervisi pelaksanaan riset KPU/KIP Kab/Kota
3. Publikasi hasil riset di website KPU
4. Menyusun buku hasil riset
KPU PROVINSI
1. Membagi tema riset untuk setiap KPU/KIP Kab/Kota dalam
lingkup provinsi
2. Mengkoordinasikan dan mengumpulkan laporan pelaksanaan
riset di KPU/KIP Kab/Kota dalam lingkup provinsi
3. Melaporkan rekap pelaksanaan kegiatan riset di KPU/KIP
Kab/Kota dalam lingkup provinsi kepada KPU
KPU KAB/KOTA
1. Melakukan koordinasi dengan KPU Provinsi/KIP Aceh terkait
tema riset
2. Melaksanakan riset tingkat kab/kota
3. Menyampaikan laporan pelaksanaan riset kepada KPU
Provinsi/KIP Aceh dan KPU*
4. Publikasi hasil riset di website KPU/KIP Kab/Kota
* KPU/KIP Kabupaten/Kota dapat menyampaikan laporan pelaksanaan riset kepada KPU
melalui alamat email : [email protected]
14
D. Waktu Pelaksanaan
Kegiatan riset pemilu di KPU Kabupaten/Kota dilaksanakan pada rentang waktu antara
April s.d. Juli 2015.
Tabel 3.2: Waktu Pelaksanaan
No.
1.
Agenda
Persiapan dan
KPU
KPU Kab/Kota
Maret s.d. Juli 2015
April s.d. Juli 2015
Agustus s.d. November
Agustus s.d. November
2015
2015
pelaksanaan Riset
2.
Publikasi hasil riset
15
BAB IV
PEMBAHASAN
Penelitian ini membahas mengenai bagaimana fenomena melek politik pada
masyarakat di Kabupaten Klungkung, Bali. Adapun penelitian ini menggunakan metode
pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif. Di mana menggunakan teknik triangulasi yakni
meneguhkan hasil penelitian berbasiskan kuantifikasi dengan data-data kualitatif yang
didapatkan melalui metode focus group discussion.
Membahas mengenai political literacy atau melek politik maka tidak dapat
terpisahkan dari perilaku memilih. Dalam teori perilaku memilih terdapat tiga pendekatan
yaitu pendekatan sosiologis atau sosial struktural; pendekatan psikologis dan pendekatan
pilihan rasional.
Tingkat partisipasi pemilih di Kabupaten Klungkung memiliki kecenderungan
mengalami peningkatan dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Angka ini seringkali
dijadikan tolak ukur dan cerminan tingkat melek politik masyarakatnya. Untuk itu akan
menarik untuk mengetahui apa fenomena yang mendorong terjaadinya peningkatan angka
partisipasi pemilu di Klungkung, Bali. Asumsi positif dari peningkatan ini adalah
meningkatnya angka melek politik pada masyarakat di Klungkung Bali.
Terdapat beberapa indikator yang dapat menyingkap lebih lanjut mengenai fenomena
ini. Pertama adalah melalui pandangan masyarakat terhadap politik, pandangan masyarakat
terhadap money politics, dan perilaku memilih. Seluruh indikator ini yang akan dibahas
dalam bab analisa data ini satu per satu.
A. Pandangan Masyarakat Terhadap Politik
Tingginya angka partisipasi politik di Kabupaten Klungkung, ternyata tidak sejalan
dengan kedekatan masyarakatnya dengan partai politik.Data Lab. Politik Universitas
Udayana pada tahun 2013 menyatakan bahwa hanya 11 persen dari masyarakat Klungkung
yang merasa memiliki kedekatan dengan partai politik, sedangkan sisanya merasa tidak
memiliki kedekatan dengan partai politik manapun. Hal ini terlihat dalam grafik di bawah ini:
16
GAMBAR 4.1. GRAFIK ATAS PERTANYAAN
APAKAH ANDA MERASA DEKAT DENGAN SALAH SATU PARTAI POLITIK?
Sumber : Lab Politik UNUD, 2013
Dari data yang sama juga diketahui ternyata, terdapat
terdapat 16,6 persen responden yang menilai
tidak penting untuk memilih anggota legislative,, sedangkan 9,5 persennya menyatakan
kurang penting. Hanya 30,4 persen yang menyatakan sangat penting. Hal ini terlihat dalam
grafik di bawah ini:
GAMBAR 4.2. GRAFIK ATAS PERTANYAAN “APAKAH
“APAKAH MEMILIH SIAPA YANG MENJADI ANGGOTA
LEGISLATIF MERUPAKAN SESUATU YANG PENTING BAGI KEHIDUPAN SEHARISEHARI-HARI?
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Walau angka kesadaran memilih itu penting cukup tinggi, namun sebagian besar responden
menilai
enilai bahwa memilih anggota 17egislative tifak akan berpengaruh pada kehidupan
keluarga mereka. Dan hanya 45 persen saja yang menilai bahwa memilih anggota legislative
berpengaruh pada kehidupan keluarga. Hal ini terlihat dalam gambar grafik di bawah ini:
GAMBAR 4.3. GRAFIK ATAS PERTANYAAN APAKAH MEMILIH SIAPA YANG MENJADI ANGGOTA
LEGISLATIF BERPENGARUH LANGSUNG PADA KEHIDUPAN KELUARGA?
17
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Salah satu kegiatan yang kerap kali menjadi wadah komunikasi antara pemilih den
dengan aktor
politik di Klungkung adalah kegiatan simakrama. Simakrama adalah salah satu warisan
kearifan lokal di Bali yang merupakan wadah di mana konstituen dapat bertemu muka dan
berbagi pendapat dengan pihak pemerintah atau aktor politik lainnya. Namun dalam
d
perkembangannya, ajang simakrama ini kerap kali dijadikan wadah di mana terjadi perjanjian
atau transaksi politik antara konstituen dengan aktor politik. Ironisnya perjanjian atau
transaksi politik ini berada dalam bentuk yang negatif di mana terjadi perjanjian vote buying,
mobilisasi suara dan bentuk-bentuk
bentuk lain dari vote buying. Hal ini pun terjadi di Klungkung
Bali, di mana simakrama dijadikan ajang untuk perjanjian transaksi politik antara calon
dengan masyarakat.
“adat sebaiknya kritis apabila terindikasi
terindikasi simakrama diarahakan untuk
menggiring ke satu calon.. hal itu dapat mendistorsi lembaga (adat
(adatred)nya sebagai alat politik”
I Nyoman Suastika (Partai Hanura)
“Di muslim ada melalui silahturahmi, pakai kelompok pengajian,
melalui remaja. Di muslim juga ada praktik ini ini bukan tradisional tapi
pragmatism ini yang lebih berbahaya. Dan jadi apatis. Harus ada
sosialisasi lebih tepat.”
Klungkung)
Mustafit Amna (Ketua MUI Klu
Dewa Made Tirta juga menambahkan seringkali masyarakat juga berpikir praktis di mana
belum tentu masyarakat memilih calon yang telah menjanjikan uang atau bantuan yang lain.
“Setiap ada simakrama pasti akan mendapatkan sesuatu. Kehadirannya
tergantung
tung dari orang yang akan mendapat sesuatu dari simakrama
tersebut tapi sekarang sudah bergeser, (calon) kena olok-olok..
.. siapapun
yang datang pasti didukung tapi pada hari h belum tentu..”
18
Dewa Made Tirta (Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung)
Untuk itu diperlukan peraturan atau himbauan yang dapat mereduksi penyimpangan vote
buying melalui ajang simakrama ini. Salah satu langkah yang harus dilakukan di antaranya
perlunya fasilitasi Komisi Pemilihan Umum Kabupaten dalam penyelenggaraan simakrama
ini. Dewa Made Tirta juga menambahkan perlunya pemahaman dari para prajuru adat agar
adat tidak tertarik masuk dalam permainan politik yang kotor seperti ini.
“Penegakan hukum untuk simakrama ini masih lemah…”
I Komang Artawan (Mantan Panwaslu Klungkung)
“Maka KPU sebagai penyelenggara kalau bisa simakrama ini dijadikan
pilar sosialisasi yang terdepan artinya tidak saja calon yang aktif tapi
KPU yang mendesain agar tidak hanya dihadiri satu calon saja tapi
beberapa calon.. sehingga masyarakat juga menjadi cerdas .”
I Nyoman Suastika (Partai Hanura)
Selain simakrama bentuk komunikasi lainnya antara calon dan pemilihnya dapat melalui
bentuk komunikasi luar ruang maupun melalui media massa. Media massa terutama televisi
tercatat masih merupakan media favorit yang dikonsumsi oleh masyarakat di Klungkung.
Berdasarkan data Lab Politik FISIP Udayana tahun 2013, 81 persen responden menyatakan
menonton televisi setiap hari. Sedangkan media yang paling jarang dikonsumsi adalah
Internet, di mana 79,8 persen responden menyatakan tidak pernah mengakses internet. Hal ini
terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 4.1. Konsumsi Media
Pola Konsumsi Media
Setiap
hari
3-4 hari Minimal
dalam seminggu
seminggu sekali
12,5
2,2
Jarang
Tidak
Pernah
TT/TM
24,6
49,2
2,4
A. Membaca Koran
9,2
B. Menonton Televisi
81,0
6,3
,2
11,2
,8
,5
C. Mendengarkan Radio
14,2
5,8
,8
23,2
52,7
3,2
D. Mengakses Internet
5,6
1,2
,3
7,8
79,8
5,3
Namun diakui kampanye melalui media massa terutama televisi tidaklah murah, maka bentuk
sosialisasi atau kampanye yang dapat digunakan antara lain adalah melalui komunikasi luar
luar atau alat peraga seperti banner, spanduk, baliho, stiker hingga baju. Namun ada beberapa
pihak yang menyatakan bahwa bentuk apapun tentu saja membutuhkan dana yang cukup
19
besar, dan dikhawatirkan modal yang telah dikeluarkan nantinya akan diharapkan kembali
pada saat menjabat.
“Saat saya mau dikirim baliho dan lain-lain,
lain
saya menolak baliho dan
baju karena kesulitan memasang dan belum tentu baju itu cukup dan
butuh banyak uang nanti ingin kembali.. saya sarankan balihonya
terbatas saja tidak perlu menghabiskan uang.”
Nengah Setar, Tokoh Masyarakat Nusa Penida
Kesadaran pemilih akan politik
olitik dan pemilu memang penting dalam alam demokrasi.
Komunikasi politik untuk memupuk kesadaran ini juga penting untuk terus dijaga agar tetap
pada esensinya. Namun apabila dalam prosesnya telah dinodai dengan praktik-praktik
praktik praktik money
politics maka kesadarann yang terbangun pun hanyalah kesadaran semu berbasis pragmatism.
B. Pandangan Masyarakat Terhadap Money Politics
Vote buying atau money politics menjadi salah satu tolak ukur dari melek politiknya
seseorang atau masyarakat. Masyarakat yang telah memiliki kemelekan dalam berpolitik
maka akan memiliki kecenderungan untuk tidak menerima praktik
praktik-praktik
praktik vote buying. Dari
data lab politik Universitas Udayana pada tahun 2013, ada beberapa fakta menarik. Pertama,
ternyata 30 persen masyarakat Klungkung menilai akan
akan menerima uang apabila ada calon
legislatif yang menawarkan uang untuk memilih. Hal ini tergambar dalam grafik di bawah
ini:
GAMBAR 4.4. GRAFIK ATAS PERTANYAAN “JIKA
“JIKA ADA CALEG YANG MEMBERI UANG,
APAKAH ANDA MENERIMA?”
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana,
Udayan 2013
Namun alasan responden menerima uang yang ditawarkan pun lebih cenderung
pragmatis, di mana hanya 15 persen saja yang memiliki komitmen untuk memilih kandidat
20
yang memberi uang, sedangkan 85 persen lainnya mengatakan walau menerima uang,
responden belum tentu akan memilih calon yang telah memberi responden uang. Hal ini
terlihat dalam gambar grafik di bawah ini:
GAMBAR 4.5. GRAFIK ATAS PERTANYAAN “ JIKA MENERIMA, APAKAH ANDA AKAN
MEMILIH/TIDAK CALEG YANG MEMBERI UANG?”
UANG?
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Data ini cukup menarik untuk ditelusuri lebih lanjut mengenai komitmen responden
itu sendiri terkait dengan pemenuhan janji responden dalam memilih kandidat yang
memberikan uang. Pada pertanyaan berikut yakni siapa yang akan dipilih apakah
apakah kandidat
yang memberikan uang terlebih dahulu ataukah memilih kandidat yang memberi uang lebih
banyak. Data menunjukkan bahwa terdapat 56 persen yang menyatakan akan memilih
kandidat yang memberi uang lebih besar. Selengkapnya dalam gambar di bawah ini:
i
GAMBAR 4.6. GRAFIK ATAS PERTANYAAN JIKA MENERIMA, YANG MANA YANG ANDA
PILIH ANTARA YANG LEBIH DULU ATAU LEBIH BANYAK MEMBERI UANG?
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
21
Bentuk vote buying pun beragam, tidak hanya berbentuk pemberian uang, namun juga
dapat berbentuk pengerahan massa hingga iming-iming fasilitas gratis yang membantu
pemilih memilih dari salah satu kandidat. Hal ini dinyatakan telah terjadi pada saat
pemilukada Klungkung 2013 lalu. Adapun bentuk vote buying adalah dengan melalui sarana
adat hingga fasilitasi prasarana dan sarana menuju Tempat Pemungutan Suara.
“karena ada calon yang menyediakan persiapan fasilitas gratis, kendaraan
dan lain-lain. Ada nuansa adat yang dikatakan mengiring suara ke salah
satu calon, ada perarem yang di buat, bahkan ada orang yang diluar wilayah
berbondong2 ke tps. Ini harus diperhatikan pemerintah yang berkewajiban
menyiapkan prasarana ini bukan calon. Ini bukan demokrasi, tapi apabila
disiapkan fasilitas mau tidak mau mereka memilih yang menyiapkan
fasilitas tersebut.”
Wayan Sutena, MADP Klungkung
Sutena menambahkan praktik ini terjadi dan menjadi tanggung jawab tidak hanya pemilih
namun juga kandidat. Bahkan Sutena menilai sudah tidak terdapat etika politik pada
pemilukada. Sutena menambahkan pentingnya pendidikan politik untuk masyarakat.
“Calon nya jug asudah tidak ada etika dan moral di mana menghalalkan segala
cara untuk kemenangan. Uang di lihat bukan kualitasnya”
Wayan Sutena, MADP Klungkung
Temuan yang perlu diperhatikan lebih lanjut antara lain adalah adanya praktik politik
uang yang telah memasuki ranah adat. Di mana setiap warga wajib memilih apabila tidak
memilih maka akan dikenakan sanksi.
“Di Nusa Penida ada perarem, atau “ancaman” kena sanksi adat ……. 40
ribu pemilih di Nusa Penida 20 rb tinggal di luar Nusa Penida. Ini diadakan
untuk meningkatkan partisipasi namun meungkin melanggar hukum”
I Ketut Pesta, Tokoh Masyarakat Nusa Penida
Praktik-praktik ini ternyata dianggap dapat merusak tatanan demokrasi, di mana
masyarakat terutama menengah ke bawah hanya akan memandang pemilu adalah ajang bagibagi uang dan masyarakat tidak mendapatkan perubahan apapun dari pesta demokrasi ini.
Menurut tokoh masyarakat Nusa Penida, Setar mengatakan bahwa apa yang dijalankan
sekarang telah melenceng.
22
“Oknum
Oknum dalam menjalankan politik yang rusak. masyarakat Nusa Penida
enida pada
ujung-ujungnya
nya uang saja. Pejabat hanya memajukan pribadinya saja. Jangan
hanya ngomong saja bisa disuap.
disuap. Saat ini banyak yang main uang saja.. pasti
ada fasilitasi memobilisasi.”
memobilisasi.
Setar, Tokoh Masyarakat Nusa Penida
C. Perilaku Memilih
Penentuan pilihan pemilih pun dapat dijadikan indikator dari tingkat melek politik
seseorang atau masyarakat. Secara teori terdapat beberapa pendekatan/ alasan penentuan
memilih kandidat, seperti pemilih rasional, pemilih tradisional maupun pendekatan
sosiologis. Berdasarkan data Lab Politik Unud tahun 2013, 41,2 persen menyatakan
menginginkan wakil rakyat yang memiliki sifat merakyat. Adapun sifat lain yang diinginkan
adalah jujur dan bersih dari korupsi. Hal ini terlihat dalam gambar di bawah ini:
GAMBAR 4.7.
7. SIFAT WAKIL RAKYAT YANG DIINGINKAN
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Latar belakang yang diinginkan dari kandidat pun mencerminkan tingkat melek
politik masyarakat. Berdasarkan data yang dirilis Lab Politik Udayana tahun 2013, latar
belakang yang diinginkan adalah beragam ada yang berbasis merit seperti professional,
maupun latar belakang lainnya seperti tokoh
tokoh puri, parpol hingga akademisi. Selengkapnya
dalam gambar grafik di bawah ini:
23
GAMBAR 4.8. LATAR BELAKANG WAKIL RAKYAT YANG DIINGINKAN
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Indikator berikutnya adalah apakah daerah asal kandidat menjadi salah satu dasar
dalam menentukan pilihannya dalam pemilu. Di Klungkung indikator ini hampir seimbang di
mana responden yang menilai asal daerah tidak menjadi masalah sama besarnya dengan
responden yang menilai akan memilih caleg yang asal daerahnya sama. Hal ini
ini terlihat dalam
grafik di bawah ini:
GAMBAR 4.9. FAKTOR ASAL DAERAH DALAM PILIHAN POLITIK
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
24
Pada level yang berbeda yakni pada level pemilihan bupati, faktor asal kandidat
cukup berpengaruh dan menjadi pertimbangan dalam memilih. 56,2 persen menyatakan
responden tidak masalah akan dipimpin oleh kandidat dari daratan atau pulau. Hal ini terlihat
dalam data di bawah ini:
GAMBAR 4.10.
4.
FAKTOR ASAL CALON BUPATI
Dipimpin oleh kandidat dari…
56.2
Ya, pilih kandidat yang dari…
11.7
Ya, pilih kandidat yang dari daratan
8.6
Tidak Jawab
23.4
0
20
40
60
80
100
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Namun data di atas ternyata apabila ditelusuri lebih lanjut didapatkan bahwa responden yang
berasal dari Nusa Penida lebih banyak yang memutuskan untuk memilih kandidat bupati yang
berasal dari Nusa Penida saja, walau sebagian besar yakni 57,4 persen menilai
menilai sama saja asal
kandidat yang akan menjadi bupati. Hal ini menunjukkan bahwa fanatisme masyarakat di
Nusa Penida lebih besar dibandingkan masyarakat di daratan. Hal ini terlihat dalam tabel di
bawah ini:
Tabel 4.2 Tabel Silang Daerah asal dengan Pilihan Bupati
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Grafik-grafik
grafik di atas menggambarkan bahwa karakteristik dan pengelompokan sosial masih
cenderung menjadi hal yang mempengaruhi masyarakat dalam memilih wakilnya. Perilaku
25
pemilih seseorang berkenaan dengan kelompok sosial dari mana individu itu berasal
(Roth,2008:25). Hal itu berarti karakteristik sosial menentukan kecenderungan politik
seseorang. Pengelompokan sosial yang dimaksud disini adalah usia, jenis kelamin, agama,
pekerjaan, kelas sosial ekonomi, kedaerahan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan
dalam kelompok-kelompok formal dan informal. Kelompok-kelompok sosial ini dipandang
berpengaruh besar dalam keputusan memilih karena kelompok-kelompok tersebut berperan
dalam pembentukan sikap, persepsi dan orientasi seseorang.
Di Klungkung faktor kedaerahan menjadi faktor yang cukup berpengaruh dalam
perilaku pemilih. Hal ini ditegaskan oleh I Wayan Sukasta, di mana ia menegaskan bahwa
pemilih di Klungkung masih cenderung Tradisional.
“Masih tradisional karena berbaasiskan kewilayahan. Pemilih cenderung
memilih karena ada kesamaan wilayah”
I Wayan Sukasta (Nusa Penida)
Namun pemilih tradisional ini dinilai lebih banyak di Nusa Penida dibandingkan di Daratan.
Hal ini dinyatakan oleh I Komang Artawan.
“Ada perbedaan, di daratan klungkung lebih rasional, di mana mereka juga
memilih dari yang bukan hanya satu wilayah”
I Komang Artawan (Mantan Panwaslu Klungkung)
Majelis Adat Desa Pakraman Klungkung, Wayan Sutena menilai perbedaan faktor
kedaerahan ini juga tergantung dari pada tingkat pemilihannya.
“Pemilukada ada nuansa tingkat partisipasi lebih tinggi di mana ada
fanatisme wilayah”
Wayan Sutena, MADP Klungkung
Faktor fanatisme kedaerahan menjadi faktor penting dalam pemilukada Klungkung lalu.
Dewa Made Tirta dari Majelis Madya Desa Pakraman menilai kedekatan calon dengan
pemilihnya tetap yang terpenting. Ia juga menilai ejekan yang berkembang di masyarakat pun
menyebabkan fanatisme kedaerahan menjadi lebih besar.
“nak uling ditu kal jadi keto? Ini mengugah fanatisme. Ini merubah dari
tradisional ke rasional maupun sebaliknya. Ada rasa jengah..”
Dewa Made Tirta (Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung)
26
Selain pendekatan sosiologis, pendekatan lainnya adalah pendekatan psikologis. Hal ini
tercermin salah satunya dari alasan memilih yang berdasarkan kedekatan psikologis di mana
saat memilih pemilih menjadi akan selalu memilih kandidat atau partai yang sama tiap kali
pemilu dilaksanakan. Berdasarkan data Lab Politik Unud 2013, masyarakat Klungkung lebih
mementingkan faktor figur dibandingkan faktor parpol dalam memilih calon legislative. 91,2
persen responden menilai figur menjadi lebih penting dibandingkan partai politik. Hal ini
terlihat dalam gambar grafik di bawah ini:
GAMBAR 4.11. FAKTOR FIGUR ATAU PARPOL YANG LEBIH PENTING DALAM MEMILIH CALEG?
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Dengan kata lain pemilih memiliki pilihan yang menetap tanpa dipengaruhi
dipengaruhi oleh sosialisasi
dan komunikasi politik. Kavanagh menjelaskan konsep identifikasi partai sebagai semacam
kedekatan psikologis seseorang dengan satu partai tertentu. Ia menambahkan, konsep
identifikasi partai ini mirip dengan loyalitas partai atau kkesetiaan
esetiaan seorang pemilih terhadap
partai tertentu (Kavagh,1983:88).
27
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Partisipasi politik masyarakat Klungkung dalam pemilu maupun pemilukada dapat
dikatakan unik. Kabupaten ini memiliki wilayah yang diperkirakan mengalami keterbatasan
dalam akses informasi, oleh karenanya diasumsikan tingkat melek politiknya rendah. Setelah
penelitian dilakukan ternyata diketahui bahwa daerah yang akses informasinya sulit, memiliki
kecenderungan untuk mengandalkan tokoh masyarakat dan tokoh adat setempat sebagai
sumber informasi politik, sehingga forum-forum bernuansa adat seperti simakrama
dipandang lebih efektif untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait dengan hal-hal
yang berkaitan dengan pemilu atau pemilukada. Tidak terbukti bahwa tingkat konsumsi
media yang rendah menyebabkan tingkat melek politik yang rendah, sebab ada sumber
informasi politik alternatif.
Data dalam penelitian inipun memperlihatkan model partisipasi politik masyarakat
Klungkung belum sepenuhnya partisipasi autonom. Di beberapa wilayah seperti Kecamatan
Nusa Penida kerap terjadi mobilisasi pemilih. Keberadaan money politics dan vote buying
diakui oleh masyarakat melalui survei dan tokoh-tokoh masyarakat melalui metode FGD.
Masih eksisnya praktik money politics menjadi indikator untuk menyatakan bahwa pemilih
belum dapat dikatakan autonom ataupun rasional. Pemilih rasional umumnya menentukan
pilihan berdasarkan pertimbangan untung rugi kolektif, bukan untung rugi pribadi/kelompok
atau pertimbangan pragmatis.
Sebagian pemilih di Klungkung dapat dikategorikan sebagai pemilih tradisional sebab
mereka memperlihatkan kecenderungan lebih memilih kandidat berdasarkan kesamaan asal
wilayah; arahan tokoh adat; afiliasi puri dari kandidat; dan identifikasi dengan partai politik
tertentu. Namun demikian, jumlah mereka yang menyatakan bahwa asal wilayah kandidat
bukan pertimbangan utama juga tidak sedikit. Pemilih tipe ini lebih mementingkan citra figur,
misalnya melihat figur sebagai sosok yang merakyat dan jujur.
Terkait dengan sosialisasi politik, masyarakat Klungkung bukan masyarakat pembaca koran
atau pengguna internet. Mereka yang menggunakan internet dan membaca koran setiap hari,
jumlahnya kurang dari 10%. Beberapa narasumber dalam FGD juga menyebutkan bahwa
28
kampanye via sosial media cukup efektif, namun jika dibandingkan dengan efek kampanye
melalui simakrama, jauh lebih efektif simakrama. Hanya saja perlu menjadi catatan bahwa
forum simakrama sering kali menjadi momentum kandidat untuk melakukan vote buying. Tak
jarang mereka yang datang ke sebuah acara simakrama justru menanti “sesuatu” yang akan
dibagikan dalam acara tersebut.
B. Saran/ Rekomendasi Kebijakan
Dalam mengahadapi pemilu dan pemilukada yang akan datang, Klungkung perlu menjadi
salah satu kabupaten yang mendapat perhatian khusus terkait mobilisasi pemilih berkedok
memfasilitasi pemilih sampai di TPS. Mempermudah akses ke TPS, misalnya menyediakan
angkutan gratis menjadi salah satu pilihan cara menekan partisipasi yang termobilisasi. Usaha
lainnya dapat dilakukan dengan mengatur mengenai penyediaan angkutan oleh calon pada
hari pemilihan. Usaha lain yang dapat dilakukan adalah membuat kebijakan di mana pemilih
dapat dipermudah untuk melakukan pencoblosan tanpa harus kembali ke daerah asalnya yang
cenderung terlalu jauh dari dia bermukim/bekerja.
Sosialisasi menjadi hal yang masih sangat penting bagi pemilih Klungkung dalam
menghadapi pemilihan. Proses sosialisasi selama ini harus dievaluasi dan diperbaiki karena
belum maksimal. Sosialisasi melalui forum-forum simakrama dan menggunakan kelihan
banjar atau bendesa sebagai agen komunikasi dipandang sebagai cara untuk meningkatkan
melek politik warga utamanya di wilayah dengan akses informasi terbatas. Namun forum ini
pun perlu diawasi lebih lanjut agar forum simakrama tidak digunakan oleh aktor politik
dijadikan wadah transaksi politik dengan desa adat.
29
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ananta, Aris et.al., 2004 Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective,
Singapore: ISEAS
Bone, Hugh A dan Austin Ranney, 1981, Politics and Voters, USA: McGraw-Hill
Cambell, Angus et. al., 1966 The American Voter USA: Jhon Wiley and Sons, Inc
Clarke, Harold D. et.al., 2004Political Choice in Britain, New York: Oxford University Press
Evans, Jocelyn A. J., 2004, Voting and Voters: An Introduction, London: SAGE Publications
Gaffar, Afan, 1992 Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party
System, Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Harison, Lisa, 2009, Metode Penelitian Politik, terj. Jakarta: Kencana
Kavanagh, Denis, 1983, Political Science and Political Behaviour, London: George Allen &
Unwin
King, Dwight Y., 2003, Half Harted Reform: Electoral Institution and Strugle for Democracy
in Indonesia, USA: Praeger Publishers
Henk Schulte Nordholt, 2010,Bali: Benteng Terbuka 1995-2005 (terj.), Jakarta: KITLV
Nursal, Adman, 2004, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta Gramedia
Nuryanti, Sri, 2006, “Pilkada Langsung Memperkuat Demokrasi Lokal?,” Pusat Penelitian
Politik: Year Book 2006
Roth, Dieter, 2008, Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori, Instrumen, dan Metode, terj.
Jakarta: Friedrich-Naumann Stiftung fur die Freiheit
Shenkman, Rick, 2008, Just How Stupid Are We?: Facing the Truth about American Voter,
New Yosrk: Basic Book
Upe, Ambo, 2008, Sosiologi Politik Kontemporer: Kajian Tentang Rasionalitas Perilaku
Politik Pemilih diEra Otondomi Daerah, Jakarta: Prestasi Pustaka
30
Jurnal
Eriyanto et.al., “Mesin Partai atau Popularitas Kandidat?”, dalam Kajian Bulanan Lingkaran
Survei Indonesia, No 12, (April 2008)
Ikeda, Ken’ichi et.al, “Dynamics of interpersonal Political Environment and Party
Identificatin: Longitudinal Studies of Voting in Japan and New Zeland”, dalam
Political Psycology, Vol 26 No 4, (Aug. 2005)
Kaspin, Deborah, “The Politics of Ethnicity in Malawi’s Democratic Transition”, dalam
Journal of Modern Afrikan Studies, Vol. 33 No. 4 (Desember, 1995)
Kinzo,Maria D’Alva Gin, “The 1989 Presidential Election: Electoral Behaviour in Brazilian
City”, dalam Journal of Latin American Studies, Vol. 25 No. 3 (May, 1993)
Liddle, R.William dan Saiful Mujani,“Leaderships, Party,and Religion: Explaining Voting
Behavior In Indonesia” dalam Journal Of Democrcy,Vol. 21 No. 2 (April 2010)
Rood, Steven, “Perspective on the Electorals Behaviour of Baguio City (Philipines) Voters in
Transition Era”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 22 No. 1, (Maret 1991)
Tesis
Agusmawanda, Perilaku Memilih Masyarakat Adat Ternate dalam Pemilihan Legislatif Kota
Ternate 2009, Tesis Magister, (Jakarta: FISIP UI, 2011)
Adnyana, Yudistira, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Memilih dalam Pilkada
Badung 2005, Tesis Magister, (Jakarta: FISIP UI, 2006)
Toruan, Jhonsar L., Perilaku Memilih Pada Pemilihan Kepala Daerah 2005: Studi Kasus
Kemenangan Mardin Sihombing/Marganti Manullang Sebagai Bupati/Wakil Bupati
Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatra Utara, Tesis Magister, (Jakarta:
FISIP UI, 2006)
31
LAMPIRAN 1. DAFTAR INFORMAN FOCUS GROUP DISCUSSION
NO
1
2
3
4
5
I Nyoman Suastika
I Wy Wira Adnyana
Dewa Made Tirta
I Gd Kusuma
Ni Wayan Mariarti
I Made Kariada
6
I Wayan Mariarta
7
8
Wy. Sutena
I Km Artawan
9
Purwatiningsih
10
A.A. Gde Anom
11
Mustafit Amna
12
I Nengah Setar
13
I Wayan Sukasta
14
I Nyoman Suarta
15
Ketut Pesta
16
I Wy Supartawan
32
Download