Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 Kritik Sosial Pada Media Sosial (Analisis Semiotika Pada Youtube “TV, Jasamu Tiada…”) Maylanny Christin1, Lenggawati Rahayu2 Universitas Telkom, [email protected] 2 Universitas Telkom, [email protected] 1 ABSTRAK Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem atau proses masyarakat. Salah satu channel youtube yang bernama Remotivi mengunggah salah satu video yang berjudul “Tv, Jasamu Tiada…”. Video ini berangkat dari kekecewaan masyarakat terhadap tayangan televisi saat ini. Peneliti ingin meneliti bagaimanakah bentuk kritik sosial yang disampaikan oleh video tersebut dengan menggunakan analisis semiotika dari John Fiske. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika. Paradigma yang digunakan adalah kritis dengan teknik pengumpulan data menggunakan kajian dokumentasi dengan menganalisa langsung melalui tayangan video youtube “Tv, Jasamu Tiada…”. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh John Fiske tentang “The Codes Of Television”. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa: petama, level realitas terdapat dua bidang kritik sosial yang dikritiki yaitu ditujukan kepada dunia pertelevisian dan dunia pendidikan. Kedua, pada level representasi hal yang paling terlihat adalah pada bagian lirik lagu, serta teknik pengambilan gambar. Ketiga, level ideologi terdapat dua jenis yaitu ideologi kapitalisme untuk pihak televisi yang menyajikan tayangan dan ideologi kepatuhan untuk anak-anak yang menonton tayangan tersebut. Kata Kunci : Kritik Sosial, Semiotika John Fiske, Video Youtube “Tv, Jasamu Tiada…”. ABSTRACT Social criticism is a form of communication in a society that aims or functioning as the control over the operations of a system or community processes. One Youtube channel named Remotivi uploaded one video titled "Tv, Jasamu Tiada...". This video goes from the disappointment of communities against the today’s tv footage. Researchers want to examine how form of social criticism presented by the video using semiotics analysis of John Fiske. This research used qualitative descriptive approach with a semiotics analysis. The techniques of data collection using the study documentation by analyze directly thr ough the Youtube video of "Tv, Jasamu Tiada...". Data analysis techniques used in this research was conducted based on the theory by John Fiske about "The Codes of Television". The results of this research reveal that: first, on the reality level; there are two areas of social criticism that are being criticized, which dedicated to the world of television and the world of education. Second, on the level of representation, the most visible thing is on the part of the lyrics, as well as the shooting technique. Third, there are two types of ideological level, namely the ideology of capitalism for the television that serves display and ideological adherence to children who watch the footage. Keywords: Social Criticism, Semiotics John Fiske, A Youtube Video "Tv, Jasamu Tiada...". ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 36 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 PENDAHULUAN Kritik sosial merupakan sebuah tindakan yang ingin mengungkapkan sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan diri pengeritik. Saat ini banyak bermunculan berbagai kritikan yang bertujuan untuk membangun, meyadarkan, dan sebagai salah satu bentuk perihatin atas apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Banyak kritikan yang bermuculan melalui akun–akun media sosial baik secara individu atau kelompok. Youtube merupakan situs video online yang paling popular dan paling diminati oleh berbagai kalangan untuk menonton, mengunggah, mendownload video sesuka hati penggunanya. Mereka mengutamakan unsur audio dan visual dalam setiap tampilan videonya. Salah satu akun channel youtube yang bernama Remotivi mengunggah salah satu video yang berjudul “Tv, Jasamu Tiada…”. Video ini berangkat dari kekecewaan masyarakat terhadap tayangan televisi saat ini. Pihak Remotivi merupakan salah satu lembaga studi pemantauan media dan komunikasi yang berasal dari Indonesia. Mereka menyampaikan kekecewaannya terhadap dunia program acara Indonesia yang ada saat ini. Tayangan yang saat ini banyak disukai oleh kebanyakan masyarakat adalah tayangan yang sebenarnya tidak mendidik terutama untuk anak – anak karena biasanya seorang anak yang ada di rumah akan mengikuti tontonan seorang ibunya seperti lebih sering menonton sinetron atau infotainment. Anak yang notabennya masih tidak tahu apa–apa atau polos sehingga segala informasi yang mereka dapat dari tontonannya akan langsung ditelan dan dianggap bahwa itu adalah informasi atau suatu contoh yang benar tanpa mengetahui kebenaran yang sebenarnya bagaimana. Kritikan sosial melalui video ini telah berhasil menjadi viral diberbagai media sosial. Reaksi yang muncul dapat dilihat melalui like, dislike, share, subscribe, dan viewers video ini. Lirik yang mereka gunakan dalam “TV, Jasamu Tiada…” ini merupakan saduran atau adopsi dari lagu yang berjudul “Jasamu Guru” yang mereka ubah liriknya menjadi sindiran kepada insan pertelevisian Indonesia terutama penggunaan dalam kata “guru” yang berubah menjadi “televisi” dalam setiap bait liriknya. Sosok televisilah yang sudah menggantikan profesional guru saat ini. Lirik akhirnya yang sebenarnya adalah “Guru bak pelita penerang dalam gulita, jasamu tiada tara” menjadi “Tivi bak pelita membuat gelap gulita, jasamu tiada”. Video ini juga disajikan sebagai sebuah kritikan yang menampilkan representasi dari seorang guru yang telah memiliki pergeseran fungsi guru yang berasal dari seorang pendidik bagi anak sekolah dasar namun sudah tergantikan oleh sosok televisi yang ada saat ini. Dalam video ini yang berjudul “TV, Jasamu Tiada…” sudah sangat terlihat jelas melalui judulnya bahwa pihak pengeritik berasumsi bahwa televisi tidak memiliki jasa sama sekali. Mereka hanya melihat dari satu sisi tayangan televisi yang hanya menampilkan siaran sinetron yang tidak ada unsur mendidik di dalamnya atau suguhan infotainment yang hanya membicarakan kehidupan dari beberapa sosok artis. Jika dilihat secara keseluruhan program acara di televisi Indonesia sebenarnya masih ada yang tetap berkualitas dan mengadung unsur yang mendidik dan pantas mendapatkan apresiasi. Pada bulan Oktober 2016 peneliti melakukan sebuah mini observasi untuk mengetahui apakah benar jasa televisi saat ini sudah tidak ada sama sekali seperti yang dijelaskan dalam video tersebut? Maka berikut ini adalah data klasifikasi program acara yang bersifat mengedukasi dan tidak mengedukasi dari berbagai program acara di Indonesia. 1. Jumlah program acara = 220 acara 2. Jumlah acara mendidik = 164 acara 3. Jumlah acara tidak mendidik = 56 acara ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 37 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 Maka : 1. Jumlah acara mendidik 2. Jumlah = acara tidak = mendidik Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa televisi saat ini masih memiliki jasa yang besar untuk khalayaknya. Terbukti dari hasil pengklasifikasian data diatas menunjukkan bahwa jumlah acara mendidik jauh lebih besar dibandingkan jumlah acara tidak mendidik. Dalam rangka menghargai atau mengapresiasi program acara televisi di Indonesia ada sebuah ajang penghargaan yang sudah berlangsung 19 tahun hingga 2016 ini yang dilaksanakan rutin setiap tahunnya yaitu Panasonic Gobel Award. Program ini merupakan penghargaan tahunan yang diberikan kepada insan pertelevisian di Indonesia. Televisi diibaratkan sebagai sebuah pisau yang bermata dua. Dimana dalam pisau tersebut kita mendapatkan dua sisi, seperti halnya televisi yang dapat memberikan fungsi positif yang berguna bagi siapapun yang menontonnya, serta sisi negatif yang dapat mengubah aspek sosial, ekonomi, politik dalam masyarakat. Televisi merupakan media hiburan serta tontonan yang murah meriah. Saat ini disetiap rumah sudah memiliki minimal satu buah televisi. Kita sebagai pengguna yang aktif harus mampu memilah dan memilih program mana yang sesuai dan tidak sesuai untuk ditonton. Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa jasa-jasa televisi sampai saat ini masih ada bahkan banyak yang tetap menjadikan televisi sebagai media utama mereka dalam menonton atau mendapatkan informasi. Sudah hampir di setiap rumah memiliki minimal satu televisi dan biasanya setiap harinya pasti akan dinyalakan untuk tujuannya masing-masing bisa jadi sebagai media hiburan, informasi atau kolaborasi antara keduanya. Berhubungan dengan video yang sarat akan simbol dan tanda, maka yang akan menjadi perhatian penulis disini adalah dari kajian semiotiknya. Melalui semiotika John Fiske peneliti akan menganalisis kode-kode yang berupa tanda-tanda yang akan diolah menjadi suatu makna mengenai kritik sosial untuk tayangan televisi. Menurut John Fiske, tiga bidang studi utama yaitu pertama, tanda itu sendiri; kedua, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda; dan yang ketiga kebudayaan tempat tanda dank kode bekerja. John Fiske mengungkapkan kode – kode televisi (Television Code) atau yang biasa didebut kode-kode yang digunakan dalam dunia pertelevisian. Menurut Fiske, kode-kode yang muncul atau yang digunakan dalam acara televisi tersebut saling berhubungan sehingga terbentuk sebuah makna. Tanda tanda yang sering digunakan dalam program televisi atau Television Code John Fiske, dapat dikategorikan menjadi tiga level yaitu Level Realitas, Level Representasi, dan Level Ideologi. Maka berdasarkan beberapa data dan fakta diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Kritik Sosial pada Video Youtube “Tv, Jasamu Tiada…” (Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Kritik Sosial pada Video Youtube “Tv, Jasamu Tiada…”. KAJIAN LITERATUR 1. Kritik Sosial Ahmad Zaidi Akbar pada M. Mas’oed, 1999: 47-49 (Eryanty, 2012) “Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem atau proses masyarakat.” Kritik sosial seringkali muncul ketika masyarakat menginginkan suasana baru yang lebih baik, yang lebih maju, atau lebih politis, suasana yang lebih demokratis dan terbuka. Kaum kritis atau struktualis melihat bahwa kritik sosial adalah wahana komunikasi untuk satu tujuan yang mengarah pada perubahan sosial. ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 38 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 Dapat dikatakan pula bahwa kritik sosial merupakan salah satu manfaat media dalam menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap berjalannya proses pemerintahan. Masyarakat mengawasi dan mengontrol kinerja pemerintahan melalui media. 2. Media Sosial Media sosial dengan media lainnya di internet tentu saja pasti memiliki perbedaan. Media sosial saat ini sudah semakin melesat keberadaannya karena media sosial saat ini lebih bersifat interaktif dan bisa digunakan oleh siapa saja, diamana saja, serta kapan saja. Berikut ini adalah definisi dari media sosial yang berasal dari berbagai literature penelitian: 1) Mandibergh (2012), media sosial adalah media yang mewadahi kerjasama di antara pengguna yang meghasilkan konten (user generated content) (Nasrullah: 2015) 2) Shirky (2008), media sosial dan perangkat lunak sosial merupakan alat untuk meningkatkan kemampuan pengguna untuk berbagi (to share), bekerjasama (to co-orporate) diantara pengguna dan melakukan tindakan secara kolektif yang semuanya berada diluar kerangka institusional maupun organisasi. (Nasrullah: 2015, 11) 3. Sinematografi Sinematografi atau cinematography terdiri dari dua suku kata yaitu cinema dan graphy yang berasal dari bahasa Yunani yaitu kinema yang berarti gerakan dan graphoo yang berarti menulis. Jadi, sinematografi bisa diartikan menulis dengan gambar yang bergerak (Nugroho, 2014: 11). 4. Semiotika Semiotika adalah studi mengenai pertandaan dan makna dari system tanda; ilmu tentang tanda, bagaimana makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi makna (Fiske, 2004). John Fiske mengungkapkan kode – kode televisi (Television Code) atau yang biasa didebut kode – kode yang digunakan dalam dunia pertelevisian. Menurut Fiske, kode – kode yang muncul atau yang digunakan dalam acara televisi tersebut saling berhubungan sehingga terbentuk sebuah makna. Dalam hal ini film yang peneliti kaji merupakan media penyampaian pesan yang bersifat audio visual, sama halnya dengan televisi. Tanda tanda yang sering digunakan dalam program televisi atau Television Code John Fiske, dapat dikategorikan menjadi tiga level yaitu sebagai berikut: 1) Level Realitas Kode kode sosial yang termasuk dalam level pertama ini yakni meliputi appearance (penampilan), dress (kostum), make up (riasan), environment (lingkungan), behavior (perilaku), speech (gaya bicara), gesture (gerakan), expression (ekspresi). 2) Level Representasi Kode kode yang termasuk dalam level kedua ini berkaitan dengan kode kode teknik, seperti camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (pertelevisian), music (musik) dan sound (suara) mencakup kode kode representasi seperti narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), setting (latar), dan casting (pemeran). 3) Level Ideologi Terorganisir dalam penerimaan hubungan sosial oleh kode kode ideologi seperti: individualis, patriaki, ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dan lain-lain (Fiske, 2004). METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif deskriptif. Dengan berbagai kritik khas yang dimiliki, penelitian kualitatif memiliki keunikan tersendiri sehingga berbeda dengan penelitian kuantitatif. Peneliti menggunakan metode semiotika. Dimana semiotika adalah studi mengenai pertandaan dan makna dari system tanda; ilmu tentang tanda, bagaimana makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 39 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 mengkonsumsi makna” (Fiske, 2004). Penelitian ini menggunakan paradigma kritis. Media dianggap sebagai alat yang kuat dari ideologi yang dominan, media juga memiliki potensi untuk membangkitkan kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah kelas, kekuasaan, dan dominasi (Ardianto, 2009). Begitu juga dengan media saat ini yang menuntut kita untuk terus melakukan kontrol sosial melalui kritikan – kritikan yang membangun sehingga diharapkan adanya sebuah tayangan media khususnya televisi untuk lebih bisa memberikan edukasi yang tidak hanya mementingkan rating namun tetap memperhatikan dan menyajikan konten yang lebih berbobot untuk ditampilkan. Subjek dari penelitian ini adalah video pada channel youtube remotivi “TV, Jasamu Tiada…”. Sedangkan objek dari penelitian ini adalah Kritik sosial pada video channel youtube remotivi “TV, Jasamu Tiada…”. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kajian dokumentasi. Peneliti akan memfokuskan pada pengumpulan dokumen yang memiliki kaitan dengan video “TV, Jasamu Tiada…”. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh John Fiske tentang “The Codes Of Television” dalam Tiga Level yaitu Level Realitas, Level Representasi, dan Level Ideologi. Teknik ini digunakan untuk menunjukan bagaimana kritik sosial yang ditampilkan oleh video “TV, Jasamu Tiada…”. PEMBAHASAN Dapat dikatakan bahwa kritikus melakukan generalisasi kepada semua tayangan atau program yang disajikan oleh televisi. Mereka mengganggap bahwa jika kita menonton televisi maka kita telah melakukan kegiatan yang tidak ada gunanya. Judul mengenai tidak adanya jasa televisi ini merupakan sebuah sindiran keras kepada dunia pertelevisian yang mereka perlihatkan melalui kritikan-kritikan sosial yang terkandung dalam videonya. Tidak adanya jasa dari televisi dalam video ini peneliti melihat bahwa mereka hanya melihat dari satu sisi tayangan televisi yaitu yang dijadikan media hiburannya saja khususnya untuk tayangan sinetron dan infotainment. Sehingga kritikus memandag bahwa tayangan tersebut tidak ada faedahnya sama sekali. Namun jika dilihat dari tayangan yang lain sebenarnya televisi masih memiliki jasa yang sangat besar terutama untuk siaran berita. Fiske dalam bukunya telah memberikan pernyataan bahwa “realitas dapat dikodekan” yang bisa diartikan bahwa sajian audio visual yang ada merupakan salah satu bagian realitas yang diolah menjadi sebuah kode. Cerita yang ada dalam video tersebut merupakan sebuah realitas yang ada di Indonesia, dimana tayangan televisi yang lebih dimati adalah sinetron dan infotainment, sehingga secara gari besar telah terlihat bahwa video tersebut bermakna untuk mengkritik kedua jenis program siaran tersebut. 1. Level Realitas Level realitas dari keseluruhan sequence dalam video tersebut menunjukkan banyak makna yang terdapat di dalamnya. Hal pertama menjadi realitas adalah pakaian seragam yang mereka gunakan. Pakaian merupakan sistem tanda yang saling terkait dengan sistemsistem tanda lainnya dalam masyarakat dan dapat mengirimkan pesan tentang sikap, status sosial, kepercayaan politik dan seterusnya (Danesi, 2010). Tokoh murid SD dalam video tersebut menggunakan pakaian yang berupa seragam SD yaitu Putih dan Merah. Berdasarkan kepada pengertian pakaian diatas maka dapat dilihat melalui pakaian seragam putih merah yang digunakan oleh semua murid SD tersebut telah menyampaikan bahwa sikap yang mereka tunjukkan harus sesuai dengan umurnya yaitu masih kanak-kanak sehingga tidak seharusnya mereka bersikap seperti orang dewasa seperti yang digambarkan dalam tayangan televisi khususnya dalam siaran sinetron. Kemudian status sosial, dalam hal ini murid SD memiliki status sosial yang ada di bawah naungan atau bagian dunia ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 40 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 pendidikan. Tugas utama dari seorang anak-anak pada usianya hanyalah belajar. Belajar dapat diartikan sebagai menambah ilmu pengetahuan di jalan yang benar. Kritikus menyampaikan kritikannya bahwa fenomena yang ada data ini telah beralih fungi dimana anakanak lebih banyak menonton tv dan tv sudah mereka jadikan sebagai contoh gaya hidup mereka yang meleset dari kehidupan yang sebenarnya. Dalam sisi kostum mereka menggunakan seragam SD yang telah ditentukan pemakaiannya untuk Sekolah Dasar Negeri. Hal ini tercantum dalam Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah. Sebagai murid SD yang mematuhi aturan maka murid-murid di sekolah ini telah mengikuti aturan yang tertera dalam peraturan yang telah ditetapkan oleh Negara. Hal ini menggambarkan bahwa mereka dalam sisi fisik telah mengikuti segala yang telah diperintahkan namun, dalam sisi jiwa mereka ada sebuah kejanggalan yang merasakan akan media hiburan mereka yang masih belum mengikuti aturan yang ada dalam kode etik pertelevisian. Negara sampai saat ini peneliti rasa masih belum banyak bertindak karena masih terlihat acaraacara sinetron yang masih minim sekali unsur pendidikannya. Peneliti mencurigai bahwa anak SD disini seolah telah dijadikan sebuah “boneka” untuk mengasupi budayabudaya yang tidak sesuai sebenanya dengan budaya yang ada di Indonesia. Secara tidak langsung gaya hidup yang mereka percayai lewat sinetron ini sudah menjadi panutan untuk anak-anak. Mereka beranggapan bahwa “saya harus bisa menjadi seperti mereka (dalam sinetron) yang sudah bisa berpacaran bahkan ciuman di seusianya” yang sebenarnya kehidupan itu sangatlah tidak pantas. Karena pada hakikatnya realitas adalah peristiwa yang ditandakan. Dari tanda-tanda inlah kita bisa melihat bagaimana realitas yang ditandakan melalui video ini. Penggunaan kostum yang selanjutnya adalah kostum dari sosok guru yang akhirnya bisa terlihat mukanya pada bagian akhir video yang bermuka tabung televisi. Sosok guru ini merupakan guru laki-laki krena terlihat dari model kostum yang dia gunakan bermodel untuk lakilaki. Kostum yang digunakan sosok bapak guru ini seperti yang telah dibahas dibagian atas, dia menggunakan kostum guru yang jaman dahulu yaitu masih menggunakan pakaian yang atasan dan bawahan seragam sama warna serta bahannya. Sedangkan jika kita lihat dalam keseharian sekarang bahwa guru saat ini sudah memiliki pakaian yang lebih modis seperti menggunakan atasan dan bawahan berbeda warna, menggunakan dasi, bahkan ada yang menggunakan jas. Peneliti menemukan bahwa dalam video ini selain mengkritiki dunia siaran tv yang semakin minim edukasinya, mereka juga mengkritiki dunia pendidikan yang saat ini ada diantaranya yang masih ketinggalan perkembangan dalam sisi teknologi. Seperti halnya guru tersebut di jaman yang sudah modern ini dia ingin menyampaikan bahwa ada diantaranya yang masih kekurangan akan fasiltas yang dia gambarkan melalui penggunaan baju yang masih jaman dahulu di era jama sekarang ini. Kemudian, level realitas selanjutnya terlihat dari ekspresi yang bisa terlihat dalam wajah mereka. Mereka menunjukkan ekspresi keluguhan, kepasrahan, kegelisahan akan keadaan yang mereka alami sekarang mengenai tayangan televisi yang sebagai media hiburan yang murah namun sudah tidak memiliki jasa sama sekali. Melihat dari pernyataan diatas maka dapat kita lihat bahwa ekpresi kepasrahan, keluguhan, kegelisahan yang diperlihatkan oleh murid-murid SD tersebut adalah panggilan dari hati mereka yang ingin mereka sampaikan lewat ekspresi yang mereka tunjukkan apa adanya. Mereka ingin menyampaikan bahwa keadaan itulah sesuangguhnya yang terjadi. Mereka merupakan sekumpulan orang yang masih polos, yang masih menerima apa kata orang lain tanpa tahu apa yang sebenarnya, yang masih apa adanya. Menurut peneliti, anak kecil merupakan sosok orang yang paling ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 41 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 jujur karena jika mereka merasa sakit mereka akan mengatakan sakit, jika mereka bahagia maka mereka akan menunujukkan kebahagiannya lewat ekpresi bahkan gerak tubuhnya. Peneliti berasumsi seperti ini dikarenakan hasil dari pengalaman yang peneliti alami saat berinteraksi langsung dengan anak kecil. Bahasa nonverbal merupakan bahasa paling jujur. Peneliti mencurigai bahwa apa yang mereka sampaikan lewat wajahnya merupakan sebuah realitas atau keadaan sebenarnya yang mereka rasakan pada fenomena saat ini yang lebih sedikit tontonan untuk anak, semua tontonan didominasi untuk segmen dewasa yang tidak sesuai dengan segmen atau umur mereka. Kode realitas selanjutnya yang bisa dimaknai adalah dalam sisi penampilan. Dimana dalam video ini murid-murid SD menampilkan penampilan yang apa adanya selayaknya anak SD pada kehidupan nyata. Mereka ingin menampilkan bahwa merekalah sosoksosok anak SD yang masih belum terpengaruh oleh tayangan yang ada di televisi. Walaupun mereka diumurnya yang masih belia yaitu sekitar Sembilan sampai sepuluh tahun yang sudah tahu pacaran, ciuman, dandan, lebay tapi mereka tetaplah anak SD yang tidak mengikuti apa yang ada tv. Mereka ingin menyampaikan prinsip mereka yang tetap menjadi anak SD yang masih berusia belia dan tugas utama mereka hanyalah belajar. 2. Level Representasi Pada level representasi dari keseluruhan sequence yang diteliti dari video “Tv, Jasamu Tiada…” dapat dilihat dalam video tersebut memiliki kode-kode yang syarat akan makna. Level representasi dari keseluruhan sequence dalam video tersebut menunjukkan banyak keterkurungan, keterpaksaaan, sehingga yang mereka lakukan hanyalah bisa pasrah, patuh pada keadaan namun tetap mengharapkan sebuah perubahan untuk kelayakan tontonan mereka agar tetap bisa mendapatkan manfaat setelah menonton tayangan dalam sebuah televisi. Pada level ini unsur representasi yang pertama terlihat kuat adalah dari kodekode narasi yang terkandung dalam lirik yang dinyanyikan oleh anak-anak SD tersebut, yaitu : 1. Kita jadi bisa pacaran dan ciuman karena siapa? 2. Kita jadi tahu masalah artis cerai karena siapa? 3. Kita pintar dandan dibimbing TV 4. Kita jadi lebay dididik TV 5. TV bak pelita, pembuat gelap gulita 6. Jasamu tiada... Dalam alunan lirik tersebut dapat terlihat bahwa saat ini murid SD di usianya yang masih belia mereka sudah mengetahui pacaran, ciuman, artis cerai, pintar berdandan, dan lebay berkat dari hasil mereka menonton televisi. Semua kegiatan yang mereka lakukan diatas sebenarnya tidak layak dilakukan oleh seorang murid SD karena kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang baru bisa dilakukan oleh orang dewasa. Namun televisi pada saat ini banyak menyajikan tayangan yang demikian yang pada dasarnya tidaklah cocok untuk orang yang masih dibawah umur. Tayangan tersebut banyak terdapat pada sinetron, ftv, drama yang kebanyakan bahkan tayangan-tayangan itu memiliki rating yang tinggi sehingga tayangan seperti itu masih tetap bisa bertahan sampai sekarang. Representasi merupakan sebuah gambaran yang mewakili realitas kehidupan yang sebenarnya. Para murid dalam video ini telah memperlihatkan secara tulus bahwa apa yang mereka rasakan akan kegelisahan mereka kepada dunia pertelevisian yang semakin memburuk kualitasnya bahkan telah digeneralisasi oleh mereka bahwa televisi tidak memiliki jasa sama sekali. Mereka menyamaratakan tayangan yang lainnya seperti berita yang pada fungsinya sebagai media yang pasti memberikan jasa yang sangat besar untuk mendapatkan informasi yang berharga dalam memperoleh berita yang up to date yang telah diverifikasi terlebih dahulu oleh orang-orang didalamnya. Mereka memberikan anggapan bahwa tv tetap tidak memiliki jasa sama sekali. Hal ini ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 42 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 peneliti duga karena mereka telah merasakan kegelisahan yang sangat mendalam terhadap sinetron yang telah mendominasi kehidupan dan tontonan mereka selama ini. Sinetron yang terus dikemas dengan cerita yang selalu mengangkat percintaan yang tidak sesuai dengan usia mereka. Mereka terus disuapi dengan siaran-siaran yang tidak memiliki manfaat untuk contoh yang baik dalam kehidupan mereka seharihari. Teknik pengambilan gambar selanjutnya yang terlihat dalam video ini adalah teknik close-up pada pengambilan gambar lonceng yang dijadikan tanda masuk oleh guru tersebut untuk memanggil anak-anaknya. Peneliti melihat bahwa lonceng ini bukan hanya pemanggil biasa tapi sebagai sebuah panggilan alam yang mengharuskan mereka untuk segeralah melakukan perubahan untuk kehidupan yang lebih baik. Jika bukan kita yang melakukan perubahan maka siapa lagi pihak kritis yang masih tetap berani untuk melakukan kritikan yang membangun. Kemudian unsur representasi selanjutnya adalah dari sisi pengambilan kamera yang mengarah pada setiap tokohnya. Peneliti menemukan bahwa dalam video ini direpresentasikan sosok guru yang pada awalnya menjadi seseorang yang selalu dihormati, mendidik, membimbing para murid nya. Namun profesionalisme guru tersebut sudah digantikan oleh sosok televisi. Gambaran ini terlihat dari sosok badan guru yang lengkap dengan baju seragamnya tapi kepalanya digantikan dengan sebuah tabung televisi yang dari awal sampai akhir sosok itulah yang menjadi komando dari muridmuridnya. Disinilah profesionalitas guru telah tergantikan. Dimanakah mereka selama ini, apakah jasa mereka sudah bisa digantikan oleh sosok televisi yang ditonton para muridnya setiap hari. Jumlah seluruh peserta nyanyian dalam video ini berjumlah sepuluh murid SD dengan satu sosok guru yang telah berubah wajahnya menjadi televisi. Angka sepuluh merupakan sebuah perpaduan antara angka nol (0) dan angka satu (1). Angka nol tidak akan memiliki nilai apapun jika tidak ada angka didepannya selain nol. Kode ini menggambarkan bahwa walaupun banyaknya orang yang merasakan ketidaknyamanan akan suatu hal namun tidak ada penggeraknya maka ketidaknyamanan itu tidak akan pernah bisa berubah menjadi sebuah kenyamanan. 3. Level Ideologi Pada level ideologi dari keseluruhan sequence yang diteliti dari video “Tv, Jasamu Tiada…” memiliki kode yang syarat akan makna yang kemudian melahirkan ideologi-ideologi yang terkandung di dalam yang telah direduksi oleh peneliti. Pada sequence satu sampai tiga, telah diperlihatkan permasalahan yang dihadapi oleh tokoh utama. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh peneliti dari ketiga sequence tersebut maka peneliti menemukan dua ideologi di dalam video tersebut. Pertama, ideologi kapitalisme untuk pihak media yang menyiarkan tayangan; kedua, ideologi kepatuhan yang dianut oleh murid-murid SD tersebut dalam kehidupannya. Kedua ideologi tersebut diperkuat oleh sejumlah adegan-adegan yang ditayangkan serta narasi yang terkandung di dalam video tersebut yang berupa kritikan keras untuk dunia pertelevisian Indonesia. Stasium televisi komersil semakin berkembang kepada kepentingan industrial besar karena dibandingkan dengan media lain, televisi merupakan pihak yang paling bergantung kepada iklan. Para pengiklan ini menjadi sesuatu hal yang menentukan karena kendatipun selera khalayak adalah sesuatu yang menentukkan popularitas program yang ditawarkan oleh stasiun televisi (Armando, 2016). Berdasarkan kepada pernyataan diatas, dapat dilihat bahwa stasiun televisi sampai saat ini masih mempertahankan siaran-siaran yang tidak memiliki jasa untuk mendidik dikarenakan pada tayangan tersebut sampai saat ini masih banyak pihak pengiklan yang memasang iklan dalam tayangan tersebut. Mereka kurang memperhatikan akan nilai ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 43 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 edukasi didalamnya. Pihak pemilik modal hanya melihat nilai material yang bisa dihasilkan sebesar-besarnya melalui tayangan tersebut. Diperkuatnya melalui pernyataan diatas, saat ini semakin berkurangnya pihak kritis yang bermunculan untuk mengkritiki para pihak yang memiliki kepetingan modal. Nilai yang mereka lihat hanyalak nilai komersil. Video ini merupakan salah satu bentuk kritik untuk pihak media yang sampai saat ini terus menerus menayangkan tayangan yang tidak mementingkan nilai manfaat untuk ditonton oleh anak-anak khususnya. Jika peneliti lihat diberbagai sinetron yang ada di Indonesia, dalam tayangan tersebut memang sangat banyak sekali iklan didalamnya. Sehingga benar bahwa mereka tidak kritis dikarenakan adanya tekanan dari para pemilik modal untuk tetap menyangkan tayangan yang demikian karena menguntungkan pihak pemilik modal. Kemudian, ideologi selanjutnya yang terkandung dalam video tersebut adalah ideologi kepatuhan untuk pihak muridmurid SD yang ada dalam video tersebut. Mereka dalam video tersebut masih menampilkan bahwa mereka masih pihak yang patuh dalam dirinya kepada prinsip anak SD yang patuh akan aturan. Walaupun pikiran mereka sudah diasupi oleh pikiran-pikiran sinetron yang membuat mereka tahu akan pacaran, ciuman, berdandan, lebay, kehidupan artis yang cerai, namun mereka tetap menampilkan bahwa mereka masih anak yang belia, yang memiliki tugas belajar. Hal ini terlihat akan kepatuhan mereka yang mereka tampilkan melalui adegan untuk tetap memperhatikan pihak didepannya yaitu seorang guru yang mereka jadikan panutan. Namun saat ini sosok tersebut sudah berganti menjadi sosok televisi. Mereka bisa dikatakan berani telah melakukan kritik didepan orang yang mereka tuju, yaitu televisi yang diwakili oleh guru tersebut yang sudah berubah menjadi televisi. Murid-murid SD tersebut secara terus menerus diasupi oleh asupan tayangan yang tidak mendidik melalui sinetron sehingga lama kelamaan mereka yang awalnya patuh bisa saja jika tidak kuat landasannya akan kepatuhan hidup maka mereka bisa goyah menjadi seorang anak SD yang digambarkan melalui video tersebut. Lama – kelamaan mereka bisa mempraktekan pacaran, ciuman yang sebenarnya perilaku ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah memiliki hubungan yang sah antara lakilaki dan perempuan secara agama dan hokum yang berlaku di Indonesia. Moral anak SD yang patuh akan semaki tergerus oleh tayangan-tayang televisi yang demikian. PENUTUP Setah melakukan analisis dari setiap sequence yang ada dalam video “Tv, Jasamu Tiada…” peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa mengenai kritik sosial mengenai jasa pertelevisian dalam iklan tersebut mengambil alasan menggunakan murid-murid SD sebagai tokoh utamanya karena ada maksud tertentu yang bisa dimaknai dalam semiotika John Fiske. Bagaimana penggambaran kritik sosial tersebut bisa dilihat dalam setiap kodekode dalam tiga level “The Codes Of Television” yaitu : 1. Level Realitas Pada level ini bisa terlihat dari pemilihan kostum anak SD dan kostum Guru tv yang digunakan yang telah mencerminkan kesesuaian dengan kenyataan yang ada. Ekspresi kepolosan dan kegelisahan yang diperlihatkan oleh murid-murid tersebut menyiratkan sejuta makna akan sebuah pengharapan besar untuk perubahan kualitas tayangan. Kritik yang mereka lakukan benarbenar telah dan sedang mereka rasakan karena terlihat dari alunan bicara, dan bahasa nonverbal lainnya yang mereka gunakan. Jika dilihat dari sisi kostum maka peneliti menemukan dua buah bidang kritikan yang video ini kritisi, yaitu kritikan terhadap televisi, dan juga kritikan terhadap dunia pendidikan. 2. Level Representasi Level representasi yang paling terlihat dalam video ini adalah melalui narasi atau lirik yang mereka ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 44 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 lontarkan dalam nyanyiannya. Lirik tersebut menyimpan sejuta makna yang berupa kritikan kelar untuk televisi serta televisi sudah dianggap tidak memiliki jasa sama sekali untuk para penontonnya. Kemudian, teknik pengambilan gambar yang dilakukan oleh mereka dilakukan secara beragam tujuannya untuk mempertegas objek yang mereka ambil sebagai focus utama yang ingin dilihat oleh penontonnya. 3. Level Ideologi Dalam level ideologi peneliti melihat ada dua buah ideologi yang terkandung dalam video tersebut yaitu ideologi kapitalisme untuk media televisi saat ini dan ideologi kepatuhan untuk murid-murid SD dalam video tersebut. Saran Bidang Praktis 1. Untuk membuat siaran yang tetap berkulitas sebaiknya lebih diperhatikan untuk pendidikan agar setiap orang yang menonton tayangan tersebut bisa mendapatkan manfaat yang bisa mereka terapkan dalam kehidupan. 2. Jika melakukan kritikan sebaiknya dilihat dari berbagai sudut pandang. 3. Pilihlah sebuah siaran yang benarbenar bermanfaat. 4. Jika terdapat aduan, keluahan mengenai acara maka segera sampaikanlah kepada pihak yang berwajib agar ditegur dan ditindak sebagaimana mestinya. Saran Bidang Akademis 1. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan ada pengembangan penelitian dalam kritik sosial di media sosial. 2. Diharapkan bisa meneliti dengan menggunakan metode lain yaitu selain teknik analisis menggunakan John Fiske. Bisa menggunakan semiotika menurut pendapat tokoh lain atau mengganti analisis yang digunakan. REFERENSI Ardianto, Elvinaro & Q-Anees, Bambang. (2007). Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Rekatama Media. Simbiosa Armando, Ade. (2016). Televisi Indonesia di Bawah Kapitalisme Global. Jakarta: Kompas. Danesi, Marcel. (2010). Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra Diani, Amanda. (2015). Representasi Feminisme dalam Film Maleficent (Analisis Semiotika John Fiske mengenai Feminisme dalam Film Maleficent yang diperankan oleh Angelina Jolie). Skripsi pada Universitas Telkom: Tidak Diterbitkan Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Eryanty, Novy. (2012). Peran Media Baru Dalam Mengkonstruksikan Kritik Sosial Terhadap Kinerja Pemerintah Dengan Pendekatan Humor. Skripsi pada Universitas Indonesia: Tidak Diterbitkan Fiske, John. (1987). Television Culture: Popular Pleasures and Politics. Printed in Great Britain by TJ International Ltd, Padstow, Cornwall. Fiske, John. (2004). Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Penerjemah : Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim. Bandung ; Jakarta. Fiske, John. (2012). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers. M. Mas'oed, M. (1999). Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press. Nasrullah, Rulli. (2015). Media Sosial: Prosedur, Tren, dan Etika. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 45 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 Nugroho, Sarwo. (2014). Teknik Dasar Videografi. Yogyakarta: CV Andi Offset. BIODATA PENULIS Maylanny Christin. Beliau dilahirkan di Bandung, tanggal 11 Mei 1981. Beliau merupakan salah satu dosen tetap di Telkom University tepatnya di jurusan Ilmu Komunikasi. Untuk menghubungi beliau bisa melalui no hp. 081809977678/ 081224388033 Lenggawati Rahayu. Beliau dilahirkan di Sumedang, tanggal 19 Agustus 1995. Beliau merupakan lulusan baru Ilmu Komunikasi, Telkom University tahun 2017 ini. Untuk menghubungi beliau bisa melalui no hp. 089671531457/ 081394955659. ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 46