Ecodemica, Vol. No. April 2016 - E

advertisement
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017
Kritik Sosial Pada Media Sosial
(Analisis Semiotika Pada Youtube “TV, Jasamu
Tiada…”)
Maylanny Christin1, Lenggawati Rahayu2
Universitas Telkom, [email protected]
2
Universitas Telkom, [email protected]
1
ABSTRAK
Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau
berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem atau proses masyarakat. Salah
satu channel youtube yang bernama Remotivi mengunggah salah satu video yang
berjudul “Tv, Jasamu Tiada…”. Video ini berangkat dari kekecewaan masyarakat
terhadap tayangan televisi saat ini. Peneliti ingin meneliti bagaimanakah bentuk kritik
sosial yang disampaikan oleh video tersebut dengan menggunakan analisis semiotika dari
John Fiske. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan analisis
semiotika. Paradigma yang digunakan adalah kritis dengan teknik pengumpulan data
menggunakan kajian dokumentasi dengan menganalisa langsung melalui tayangan video
youtube “Tv, Jasamu Tiada…”. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
dilakukan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh John Fiske tentang “The Codes Of
Television”. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa: petama, level realitas
terdapat dua bidang kritik sosial yang dikritiki yaitu ditujukan kepada dunia pertelevisian
dan dunia pendidikan. Kedua, pada level representasi hal yang paling terlihat adalah pada
bagian lirik lagu, serta teknik pengambilan gambar. Ketiga, level ideologi terdapat dua
jenis yaitu ideologi kapitalisme untuk pihak televisi yang menyajikan tayangan dan
ideologi kepatuhan untuk anak-anak yang menonton tayangan tersebut.
Kata Kunci : Kritik Sosial, Semiotika John Fiske, Video Youtube “Tv, Jasamu
Tiada…”.
ABSTRACT
Social criticism is a form of communication in a society that aims or functioning as the
control over the operations of a system or community processes. One Youtube channel
named Remotivi uploaded one video titled "Tv, Jasamu Tiada...". This video goes from
the disappointment of communities against the today’s tv footage. Researchers want to
examine how form of social criticism presented by the video using semiotics analysis of
John Fiske. This research used qualitative descriptive approach with a semiotics
analysis. The techniques of data collection using the study documentation by analyze
directly thr
ough the Youtube video of "Tv, Jasamu Tiada...". Data analysis
techniques used in this research was conducted based on the theory by John Fiske about
"The Codes of Television". The results of this research reveal that: first, on the reality
level; there are two areas of social criticism that are being criticized, which dedicated to
the world of television and the world of education. Second, on the level of representation,
the most visible thing is on the part of the lyrics, as well as the shooting technique. Third,
there are two types of ideological level, namely the ideology of capitalism for the
television that serves display and ideological adherence to children who watch the
footage.
Keywords: Social Criticism, Semiotics John Fiske, A Youtube Video "Tv, Jasamu
Tiada...".
ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika
36
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017
PENDAHULUAN
Kritik sosial merupakan sebuah
tindakan yang ingin mengungkapkan
sesuatu yang dianggap tidak sesuai
dengan diri pengeritik. Saat ini banyak
bermunculan berbagai kritikan yang
bertujuan
untuk
membangun,
meyadarkan, dan sebagai salah satu
bentuk perihatin atas apa yang terjadi di
lingkungan sekitar. Banyak kritikan yang
bermuculan melalui akun–akun media
sosial baik secara individu atau
kelompok.
Youtube merupakan situs video
online yang paling popular dan paling
diminati oleh berbagai kalangan untuk
menonton, mengunggah, mendownload
video sesuka hati penggunanya. Mereka
mengutamakan unsur audio dan visual
dalam setiap tampilan videonya. Salah
satu akun channel youtube yang bernama
Remotivi mengunggah salah satu video
yang berjudul “Tv, Jasamu Tiada…”.
Video ini berangkat dari kekecewaan
masyarakat terhadap tayangan televisi
saat ini. Pihak Remotivi merupakan salah
satu lembaga studi pemantauan media
dan komunikasi yang berasal dari
Indonesia.
Mereka
menyampaikan
kekecewaannya terhadap dunia program
acara Indonesia yang ada saat ini.
Tayangan yang saat ini banyak disukai
oleh kebanyakan masyarakat adalah
tayangan
yang
sebenarnya
tidak
mendidik terutama untuk anak – anak
karena biasanya seorang anak yang ada
di rumah akan mengikuti tontonan
seorang ibunya seperti lebih sering
menonton sinetron atau infotainment.
Anak yang notabennya masih tidak tahu
apa–apa atau polos sehingga segala
informasi yang mereka dapat dari
tontonannya akan langsung ditelan dan
dianggap bahwa itu adalah informasi atau
suatu contoh yang benar tanpa
mengetahui kebenaran yang sebenarnya
bagaimana. Kritikan sosial melalui video
ini telah berhasil menjadi viral diberbagai
media sosial. Reaksi yang muncul dapat
dilihat melalui like, dislike, share,
subscribe, dan viewers video ini.
Lirik yang mereka gunakan dalam “TV,
Jasamu Tiada…” ini merupakan saduran
atau adopsi dari lagu yang berjudul
“Jasamu Guru” yang mereka ubah
liriknya menjadi sindiran kepada insan
pertelevisian
Indonesia
terutama
penggunaan dalam kata “guru” yang
berubah menjadi “televisi” dalam setiap
bait liriknya. Sosok televisilah yang
sudah menggantikan profesional guru
saat ini. Lirik akhirnya yang sebenarnya
adalah “Guru bak pelita penerang dalam
gulita, jasamu tiada tara” menjadi “Tivi
bak pelita membuat gelap gulita, jasamu
tiada”. Video ini juga disajikan sebagai
sebuah kritikan yang menampilkan
representasi dari seorang guru yang telah
memiliki pergeseran fungsi guru yang
berasal dari seorang pendidik bagi anak
sekolah dasar namun sudah tergantikan
oleh sosok televisi yang ada saat ini.
Dalam video ini yang berjudul “TV,
Jasamu Tiada…” sudah sangat terlihat
jelas melalui judulnya bahwa pihak
pengeritik berasumsi bahwa televisi tidak
memiliki jasa sama sekali. Mereka hanya
melihat dari satu sisi tayangan televisi
yang hanya menampilkan siaran sinetron
yang tidak ada unsur mendidik di
dalamnya atau suguhan infotainment
yang hanya membicarakan kehidupan
dari beberapa sosok artis. Jika dilihat
secara keseluruhan program acara di
televisi Indonesia sebenarnya masih ada
yang tetap berkualitas dan mengadung
unsur yang mendidik dan pantas
mendapatkan apresiasi.
Pada bulan Oktober 2016 peneliti
melakukan sebuah mini observasi untuk
mengetahui apakah benar jasa televisi
saat ini sudah tidak ada sama sekali
seperti yang dijelaskan dalam video
tersebut? Maka berikut ini adalah data
klasifikasi program acara yang bersifat
mengedukasi dan tidak mengedukasi dari
berbagai program acara di Indonesia.
1. Jumlah program acara
=
220
acara
2. Jumlah acara mendidik
=
164
acara
3. Jumlah acara tidak mendidik
= 56 acara
ISSN: 2355-0287
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika
37
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017
Maka :
1. Jumlah acara mendidik
2. Jumlah
=
acara
tidak
=
mendidik
Sehingga dapat ditarik kesimpulan
bahwa televisi saat ini masih memiliki
jasa yang besar untuk khalayaknya.
Terbukti dari hasil pengklasifikasian data
diatas menunjukkan bahwa jumlah acara
mendidik jauh lebih besar dibandingkan
jumlah acara tidak mendidik.
Dalam
rangka
menghargai
atau
mengapresiasi program acara televisi di
Indonesia ada sebuah ajang penghargaan
yang sudah berlangsung 19 tahun hingga
2016 ini yang dilaksanakan rutin setiap
tahunnya yaitu Panasonic Gobel Award.
Program ini merupakan penghargaan
tahunan yang diberikan kepada insan
pertelevisian di Indonesia. Televisi
diibaratkan sebagai sebuah pisau yang
bermata dua. Dimana dalam pisau
tersebut kita mendapatkan dua sisi,
seperti halnya televisi yang dapat
memberikan fungsi positif yang berguna
bagi siapapun yang menontonnya, serta
sisi negatif yang dapat mengubah aspek
sosial,
ekonomi,
politik
dalam
masyarakat. Televisi merupakan media
hiburan serta tontonan yang murah
meriah. Saat ini disetiap rumah sudah
memiliki minimal satu buah televisi. Kita
sebagai pengguna yang aktif harus
mampu memilah dan memilih program
mana yang sesuai dan tidak sesuai untuk
ditonton.
Berdasarkan data tersebut dapat terlihat
bahwa jasa-jasa televisi sampai saat ini
masih ada bahkan banyak yang tetap
menjadikan televisi sebagai media utama
mereka
dalam
menonton
atau
mendapatkan informasi. Sudah hampir di
setiap rumah memiliki minimal satu
televisi dan biasanya setiap harinya pasti
akan dinyalakan untuk tujuannya
masing-masing bisa jadi sebagai media
hiburan, informasi atau kolaborasi antara
keduanya.
Berhubungan dengan video yang sarat
akan simbol dan tanda, maka yang akan
menjadi perhatian penulis disini adalah
dari kajian semiotiknya. Melalui
semiotika John Fiske peneliti akan
menganalisis kode-kode yang berupa
tanda-tanda yang akan diolah menjadi
suatu makna mengenai kritik sosial untuk
tayangan televisi. Menurut John Fiske,
tiga bidang studi utama yaitu pertama,
tanda itu sendiri; kedua, kode atau sistem
yang mengorganisasikan tanda; dan yang
ketiga kebudayaan tempat tanda dank
kode
bekerja.
John
Fiske
mengungkapkan kode – kode televisi
(Television Code) atau yang biasa
didebut kode-kode yang digunakan
dalam dunia pertelevisian. Menurut
Fiske, kode-kode yang muncul atau yang
digunakan dalam acara televisi tersebut
saling berhubungan sehingga terbentuk
sebuah makna. Tanda tanda yang sering
digunakan dalam program televisi atau
Television Code John Fiske, dapat
dikategorikan menjadi tiga level yaitu
Level Realitas, Level Representasi, dan
Level Ideologi. Maka berdasarkan
beberapa data dan fakta diatas penulis
tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Kritik Sosial pada Video
Youtube “Tv, Jasamu Tiada…” (Analisis
Semiotika John Fiske Mengenai Kritik
Sosial pada Video Youtube “Tv, Jasamu
Tiada…”.
KAJIAN LITERATUR
1. Kritik Sosial
Ahmad Zaidi Akbar pada M. Mas’oed,
1999: 47-49 (Eryanty, 2012) “Kritik
sosial adalah salah satu bentuk
komunikasi dalam masyarakat yang
bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol
terhadap jalannya sebuah sistem atau
proses masyarakat.” Kritik sosial
seringkali muncul ketika masyarakat
menginginkan suasana baru yang lebih
baik, yang lebih maju, atau lebih politis,
suasana yang lebih demokratis dan
terbuka. Kaum kritis atau struktualis
melihat bahwa kritik sosial adalah
wahana komunikasi untuk satu tujuan
yang mengarah pada perubahan sosial.
ISSN: 2355-0287
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika
38
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017
Dapat dikatakan pula bahwa kritik sosial
merupakan salah satu manfaat media
dalam menjalankan fungsi kontrol sosial
terhadap
berjalannya
proses
pemerintahan. Masyarakat mengawasi
dan mengontrol kinerja pemerintahan
melalui media.
2. Media Sosial
Media sosial dengan media lainnya di
internet tentu saja pasti memiliki
perbedaan. Media sosial saat ini sudah
semakin melesat keberadaannya karena
media sosial saat ini lebih bersifat
interaktif dan bisa digunakan oleh siapa
saja, diamana saja, serta kapan saja.
Berikut ini adalah definisi dari media
sosial yang berasal dari berbagai
literature penelitian:
1) Mandibergh (2012), media sosial
adalah media yang mewadahi
kerjasama di antara pengguna yang
meghasilkan konten (user generated
content) (Nasrullah: 2015)
2) Shirky (2008), media sosial dan
perangkat lunak sosial merupakan
alat untuk meningkatkan kemampuan
pengguna untuk berbagi (to share),
bekerjasama
(to
co-orporate)
diantara pengguna dan melakukan
tindakan secara kolektif yang
semuanya berada diluar kerangka
institusional maupun organisasi.
(Nasrullah: 2015, 11)
3. Sinematografi
Sinematografi atau cinematography
terdiri dari dua suku kata yaitu cinema
dan graphy yang berasal dari bahasa
Yunani yaitu kinema yang berarti
gerakan dan graphoo yang berarti
menulis. Jadi, sinematografi bisa
diartikan menulis dengan gambar yang
bergerak (Nugroho, 2014: 11).
4. Semiotika
Semiotika adalah studi mengenai
pertandaan dan makna dari system tanda;
ilmu tentang tanda, bagaimana makna
dibangun dalam “teks” media; atau studi
tentang bagaimana tanda dari jenis karya
apapun
dalam
masyarakat
yang
mengkonsumsi makna (Fiske, 2004).
John Fiske mengungkapkan kode – kode
televisi (Television Code) atau yang biasa
didebut kode – kode yang digunakan
dalam dunia pertelevisian. Menurut
Fiske, kode – kode yang muncul atau
yang digunakan dalam acara televisi
tersebut saling berhubungan sehingga
terbentuk sebuah makna. Dalam hal ini
film yang peneliti kaji merupakan media
penyampaian pesan yang bersifat audio
visual, sama halnya dengan televisi.
Tanda tanda yang sering digunakan
dalam program televisi atau Television
Code John Fiske, dapat dikategorikan
menjadi tiga level yaitu sebagai berikut:
1) Level Realitas
Kode kode sosial yang termasuk
dalam level pertama ini yakni
meliputi appearance (penampilan),
dress (kostum), make up (riasan),
environment (lingkungan), behavior
(perilaku), speech (gaya bicara),
gesture
(gerakan),
expression
(ekspresi).
2) Level Representasi
Kode kode yang termasuk dalam
level kedua ini berkaitan dengan
kode kode teknik, seperti camera
(kamera), lighting (pencahayaan),
editing (pertelevisian), music (musik)
dan sound (suara) mencakup kode
kode representasi seperti narrative
(narasi), conflict (konflik), character
(karakter), action (aksi), dialogue
(dialog), setting (latar), dan casting
(pemeran).
3) Level Ideologi
Terorganisir
dalam penerimaan
hubungan sosial oleh kode kode
ideologi
seperti:
individualis,
patriaki, ras, kelas, materialisme,
kapitalisme, dan lain-lain (Fiske,
2004).
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian
adalah kualitatif deskriptif. Dengan
berbagai kritik khas yang dimiliki,
penelitian kualitatif memiliki keunikan
tersendiri sehingga berbeda dengan
penelitian
kuantitatif.
Peneliti
menggunakan metode semiotika. Dimana
semiotika adalah studi mengenai
pertandaan dan makna dari system tanda;
ilmu tentang tanda, bagaimana makna
dibangun dalam “teks” media; atau studi
tentang bagaimana tanda dari jenis karya
apapun
dalam
masyarakat
yang
ISSN: 2355-0287
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika
39
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017
mengkonsumsi makna” (Fiske, 2004).
Penelitian ini menggunakan paradigma
kritis. Media dianggap sebagai alat yang
kuat dari ideologi yang dominan, media
juga
memiliki
potensi
untuk
membangkitkan kesadaran masyarakat
tentang
masalah-masalah
kelas,
kekuasaan, dan dominasi (Ardianto,
2009). Begitu juga dengan media saat ini
yang menuntut kita untuk terus
melakukan kontrol
sosial melalui
kritikan – kritikan yang membangun
sehingga diharapkan adanya sebuah
tayangan media khususnya televisi untuk
lebih bisa memberikan edukasi yang
tidak hanya mementingkan rating namun
tetap memperhatikan dan menyajikan
konten yang lebih berbobot untuk
ditampilkan.
Subjek dari penelitian ini adalah video
pada channel youtube remotivi “TV,
Jasamu Tiada…”. Sedangkan objek dari
penelitian ini adalah Kritik sosial pada
video channel youtube remotivi “TV,
Jasamu Tiada…”. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan
kajian dokumentasi. Peneliti akan
memfokuskan
pada
pengumpulan
dokumen yang memiliki kaitan dengan
video “TV, Jasamu Tiada…”. Teknik
analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini dilakukan berdasarkan teori
yang dikemukakan oleh John Fiske
tentang “The Codes Of Television”
dalam Tiga Level yaitu Level Realitas,
Level Representasi, dan Level Ideologi.
Teknik ini digunakan untuk menunjukan
bagaimana kritik sosial yang ditampilkan
oleh video “TV, Jasamu Tiada…”.
PEMBAHASAN
Dapat
dikatakan
bahwa
kritikus
melakukan generalisasi kepada semua
tayangan atau program yang disajikan
oleh televisi. Mereka mengganggap
bahwa jika kita menonton televisi maka
kita telah melakukan kegiatan yang tidak
ada gunanya. Judul mengenai tidak
adanya jasa televisi ini merupakan
sebuah sindiran keras kepada dunia
pertelevisian yang mereka perlihatkan
melalui kritikan-kritikan sosial yang
terkandung dalam videonya. Tidak
adanya jasa dari televisi dalam video ini
peneliti melihat bahwa mereka hanya
melihat dari satu sisi tayangan televisi
yaitu yang dijadikan media hiburannya
saja khususnya untuk tayangan sinetron
dan infotainment. Sehingga kritikus
memandag bahwa tayangan tersebut
tidak ada faedahnya sama sekali. Namun
jika dilihat dari tayangan yang lain
sebenarnya televisi masih memiliki jasa
yang sangat besar terutama untuk siaran
berita.
Fiske dalam bukunya telah memberikan
pernyataan bahwa “realitas dapat
dikodekan” yang bisa diartikan bahwa
sajian audio visual yang ada merupakan
salah satu bagian realitas yang diolah
menjadi sebuah kode. Cerita yang ada
dalam video tersebut merupakan sebuah
realitas yang ada di Indonesia, dimana
tayangan televisi yang lebih dimati
adalah sinetron dan infotainment,
sehingga secara gari besar telah terlihat
bahwa video tersebut bermakna untuk
mengkritik kedua jenis program siaran
tersebut.
1. Level Realitas
Level realitas dari keseluruhan sequence
dalam video tersebut menunjukkan
banyak makna yang terdapat di
dalamnya. Hal pertama menjadi realitas
adalah pakaian seragam yang mereka
gunakan. Pakaian merupakan sistem
tanda yang saling terkait dengan sistemsistem tanda lainnya dalam masyarakat
dan dapat mengirimkan pesan tentang
sikap, status sosial, kepercayaan politik
dan seterusnya (Danesi, 2010).
Tokoh murid SD dalam video tersebut
menggunakan pakaian yang berupa
seragam SD yaitu Putih dan Merah.
Berdasarkan kepada pengertian pakaian
diatas maka dapat dilihat melalui pakaian
seragam putih merah yang digunakan
oleh semua murid SD tersebut telah
menyampaikan bahwa sikap yang
mereka tunjukkan harus sesuai dengan
umurnya yaitu masih kanak-kanak
sehingga tidak seharusnya mereka
bersikap seperti orang dewasa seperti
yang digambarkan dalam tayangan
televisi khususnya dalam siaran sinetron.
Kemudian status sosial, dalam hal ini
murid SD memiliki status sosial yang ada
di bawah naungan atau bagian dunia
ISSN: 2355-0287
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika
40
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017
pendidikan. Tugas utama dari seorang
anak-anak pada usianya hanyalah belajar.
Belajar
dapat
diartikan
sebagai
menambah ilmu pengetahuan di jalan
yang benar. Kritikus menyampaikan
kritikannya bahwa fenomena yang ada
data ini telah beralih fungi dimana anakanak lebih banyak menonton tv dan tv
sudah mereka jadikan sebagai contoh
gaya hidup mereka yang meleset dari
kehidupan yang sebenarnya.
Dalam sisi kostum mereka menggunakan
seragam SD yang telah ditentukan
pemakaiannya untuk Sekolah Dasar
Negeri. Hal ini tercantum dalam
Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014
tentang Pakaian Seragam Sekolah.
Sebagai murid SD yang mematuhi aturan
maka murid-murid di sekolah ini telah
mengikuti aturan yang tertera dalam
peraturan yang telah ditetapkan oleh
Negara. Hal ini menggambarkan bahwa
mereka dalam sisi fisik telah mengikuti
segala yang telah diperintahkan namun,
dalam sisi jiwa mereka ada sebuah
kejanggalan yang merasakan akan media
hiburan mereka yang masih belum
mengikuti aturan yang ada dalam kode
etik pertelevisian. Negara sampai saat ini
peneliti rasa masih belum banyak
bertindak karena masih terlihat acaraacara sinetron yang masih minim sekali
unsur pendidikannya.
Peneliti mencurigai bahwa anak SD
disini seolah telah dijadikan sebuah
“boneka” untuk mengasupi budayabudaya yang tidak sesuai sebenanya
dengan budaya yang ada di Indonesia.
Secara tidak langsung gaya hidup yang
mereka percayai lewat sinetron ini sudah
menjadi panutan untuk anak-anak.
Mereka beranggapan bahwa “saya harus
bisa menjadi seperti mereka (dalam
sinetron) yang sudah bisa berpacaran
bahkan ciuman di seusianya” yang
sebenarnya kehidupan itu sangatlah tidak
pantas. Karena pada hakikatnya realitas
adalah peristiwa yang ditandakan. Dari
tanda-tanda inlah kita bisa melihat
bagaimana realitas yang ditandakan
melalui video ini.
Penggunaan kostum yang selanjutnya
adalah kostum dari sosok guru yang
akhirnya bisa terlihat mukanya pada
bagian akhir video yang bermuka tabung
televisi. Sosok guru ini merupakan guru
laki-laki krena terlihat dari model kostum
yang dia gunakan bermodel untuk lakilaki. Kostum yang digunakan sosok
bapak guru ini seperti yang telah dibahas
dibagian atas, dia menggunakan kostum
guru yang jaman dahulu yaitu masih
menggunakan pakaian yang atasan dan
bawahan seragam sama warna serta
bahannya. Sedangkan jika kita lihat
dalam keseharian sekarang bahwa guru
saat ini sudah memiliki pakaian yang
lebih modis seperti menggunakan atasan
dan
bawahan
berbeda
warna,
menggunakan dasi, bahkan ada yang
menggunakan jas. Peneliti menemukan
bahwa dalam video ini selain mengkritiki
dunia siaran tv yang semakin minim
edukasinya, mereka juga mengkritiki
dunia pendidikan yang saat ini ada
diantaranya yang masih ketinggalan
perkembangan dalam sisi teknologi.
Seperti halnya guru tersebut di jaman
yang sudah modern ini dia ingin
menyampaikan bahwa ada diantaranya
yang masih kekurangan akan fasiltas
yang dia gambarkan melalui penggunaan
baju yang masih jaman dahulu di era
jama sekarang ini.
Kemudian, level realitas selanjutnya
terlihat dari ekspresi yang bisa terlihat
dalam
wajah
mereka.
Mereka
menunjukkan
ekspresi
keluguhan,
kepasrahan, kegelisahan akan keadaan
yang mereka alami sekarang mengenai
tayangan televisi yang sebagai media
hiburan yang murah namun sudah tidak
memiliki jasa sama sekali.
Melihat dari pernyataan diatas maka
dapat kita lihat bahwa ekpresi
kepasrahan, keluguhan, kegelisahan yang
diperlihatkan oleh murid-murid SD
tersebut adalah panggilan dari hati
mereka yang ingin mereka sampaikan
lewat ekspresi yang mereka tunjukkan
apa adanya. Mereka ingin menyampaikan
bahwa keadaan itulah sesuangguhnya
yang terjadi. Mereka merupakan
sekumpulan orang yang masih polos,
yang masih menerima apa kata orang lain
tanpa tahu apa yang sebenarnya, yang
masih apa adanya. Menurut peneliti, anak
kecil merupakan sosok orang yang paling
ISSN: 2355-0287
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika
41
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017
jujur karena jika mereka merasa sakit
mereka akan mengatakan sakit, jika
mereka bahagia maka mereka akan
menunujukkan kebahagiannya lewat
ekpresi bahkan gerak tubuhnya. Peneliti
berasumsi seperti ini dikarenakan hasil
dari pengalaman yang peneliti alami saat
berinteraksi langsung dengan anak kecil.
Bahasa nonverbal merupakan bahasa
paling jujur. Peneliti mencurigai bahwa
apa yang mereka sampaikan lewat
wajahnya merupakan sebuah realitas atau
keadaan sebenarnya yang mereka
rasakan pada fenomena saat ini yang
lebih sedikit tontonan untuk anak, semua
tontonan didominasi untuk segmen
dewasa yang tidak sesuai dengan segmen
atau umur mereka.
Kode realitas selanjutnya yang bisa
dimaknai adalah dalam sisi penampilan.
Dimana dalam video ini murid-murid SD
menampilkan penampilan yang apa
adanya selayaknya anak SD pada
kehidupan
nyata.
Mereka
ingin
menampilkan bahwa merekalah sosoksosok anak SD yang masih belum
terpengaruh oleh tayangan yang ada di
televisi. Walaupun mereka diumurnya
yang masih belia yaitu sekitar Sembilan
sampai sepuluh tahun yang sudah tahu
pacaran, ciuman, dandan, lebay tapi
mereka tetaplah anak SD yang tidak
mengikuti apa yang ada tv. Mereka ingin
menyampaikan prinsip mereka yang
tetap menjadi anak SD yang masih
berusia belia dan tugas utama mereka
hanyalah belajar.
2. Level Representasi
Pada level representasi dari keseluruhan
sequence yang diteliti dari video “Tv,
Jasamu Tiada…” dapat dilihat dalam
video tersebut memiliki kode-kode yang
syarat akan makna. Level representasi
dari keseluruhan sequence dalam video
tersebut
menunjukkan
banyak
keterkurungan, keterpaksaaan, sehingga
yang mereka lakukan hanyalah bisa
pasrah, patuh pada keadaan namun tetap
mengharapkan sebuah perubahan untuk
kelayakan tontonan mereka agar tetap
bisa mendapatkan manfaat setelah
menonton tayangan dalam sebuah
televisi.
Pada level ini unsur representasi yang
pertama terlihat kuat adalah dari kodekode narasi yang terkandung dalam lirik
yang dinyanyikan oleh anak-anak SD
tersebut, yaitu :
1. Kita jadi bisa pacaran dan ciuman
karena siapa?
2. Kita jadi tahu masalah artis cerai
karena siapa?
3. Kita pintar dandan dibimbing TV
4. Kita jadi lebay dididik TV
5. TV bak pelita, pembuat gelap gulita
6. Jasamu tiada...
Dalam alunan lirik tersebut dapat terlihat
bahwa saat ini murid SD di usianya yang
masih belia mereka sudah mengetahui
pacaran, ciuman, artis cerai, pintar
berdandan, dan lebay berkat dari hasil
mereka menonton televisi. Semua
kegiatan yang mereka lakukan diatas
sebenarnya tidak layak dilakukan oleh
seorang murid SD karena kegiatan
tersebut merupakan kegiatan yang baru
bisa dilakukan oleh orang dewasa.
Namun televisi pada saat ini banyak
menyajikan tayangan yang demikian
yang pada dasarnya tidaklah cocok untuk
orang yang masih dibawah umur.
Tayangan tersebut banyak terdapat pada
sinetron, ftv, drama yang kebanyakan
bahkan tayangan-tayangan itu memiliki
rating yang tinggi sehingga tayangan
seperti itu masih tetap bisa bertahan
sampai sekarang.
Representasi
merupakan
sebuah
gambaran yang mewakili realitas
kehidupan yang sebenarnya. Para murid
dalam video ini telah memperlihatkan
secara tulus bahwa apa yang mereka
rasakan akan kegelisahan mereka kepada
dunia pertelevisian yang semakin
memburuk kualitasnya bahkan telah
digeneralisasi oleh mereka bahwa televisi
tidak memiliki jasa sama sekali. Mereka
menyamaratakan tayangan yang lainnya
seperti berita yang pada fungsinya
sebagai media yang pasti memberikan
jasa
yang
sangat
besar
untuk
mendapatkan informasi yang berharga
dalam memperoleh berita yang up to date
yang telah diverifikasi terlebih dahulu
oleh orang-orang didalamnya. Mereka
memberikan anggapan bahwa tv tetap
tidak memiliki jasa sama sekali. Hal ini
ISSN: 2355-0287
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika
42
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017
peneliti duga karena mereka telah
merasakan kegelisahan yang sangat
mendalam terhadap sinetron yang telah
mendominasi kehidupan dan tontonan
mereka selama ini. Sinetron yang terus
dikemas dengan cerita yang selalu
mengangkat percintaan yang tidak sesuai
dengan usia mereka. Mereka terus
disuapi dengan siaran-siaran yang tidak
memiliki manfaat untuk contoh yang
baik dalam kehidupan mereka seharihari.
Teknik pengambilan gambar selanjutnya
yang terlihat dalam video ini adalah
teknik close-up pada pengambilan
gambar lonceng yang dijadikan tanda
masuk oleh guru tersebut untuk
memanggil
anak-anaknya.
Peneliti
melihat bahwa lonceng ini bukan hanya
pemanggil biasa tapi sebagai sebuah
panggilan alam yang mengharuskan
mereka untuk segeralah melakukan
perubahan untuk kehidupan yang lebih
baik. Jika bukan kita yang melakukan
perubahan maka siapa lagi pihak kritis
yang masih tetap berani untuk melakukan
kritikan yang membangun.
Kemudian unsur representasi selanjutnya
adalah dari sisi pengambilan kamera
yang mengarah pada setiap tokohnya.
Peneliti menemukan bahwa dalam video
ini direpresentasikan sosok guru yang
pada awalnya menjadi seseorang yang
selalu dihormati, mendidik, membimbing
para murid nya. Namun profesionalisme
guru tersebut sudah digantikan oleh
sosok televisi. Gambaran ini terlihat dari
sosok badan guru yang lengkap dengan
baju
seragamnya
tapi
kepalanya
digantikan dengan sebuah tabung televisi
yang dari awal sampai akhir sosok itulah
yang menjadi komando dari muridmuridnya. Disinilah profesionalitas guru
telah tergantikan. Dimanakah mereka
selama ini, apakah jasa mereka sudah
bisa digantikan oleh sosok televisi yang
ditonton para muridnya setiap hari.
Jumlah seluruh peserta nyanyian dalam
video ini berjumlah sepuluh murid SD
dengan satu sosok guru yang telah
berubah wajahnya menjadi televisi.
Angka sepuluh merupakan sebuah
perpaduan antara angka nol (0) dan
angka satu (1). Angka nol tidak akan
memiliki nilai apapun jika tidak ada
angka didepannya selain nol. Kode ini
menggambarkan
bahwa
walaupun
banyaknya orang yang merasakan
ketidaknyamanan akan suatu hal namun
tidak
ada
penggeraknya
maka
ketidaknyamanan itu tidak akan pernah
bisa
berubah
menjadi
sebuah
kenyamanan.
3. Level Ideologi
Pada level ideologi dari keseluruhan
sequence yang diteliti dari video “Tv,
Jasamu Tiada…” memiliki kode yang
syarat akan makna yang kemudian
melahirkan
ideologi-ideologi
yang
terkandung di dalam yang telah direduksi
oleh peneliti.
Pada sequence satu sampai tiga, telah
diperlihatkan
permasalahan
yang
dihadapi oleh tokoh utama. Berdasarkan
hasil analisis yang dilakukan oleh
peneliti dari ketiga sequence tersebut
maka peneliti menemukan dua ideologi
di dalam video tersebut. Pertama,
ideologi kapitalisme untuk pihak media
yang menyiarkan tayangan; kedua,
ideologi kepatuhan yang dianut oleh
murid-murid
SD
tersebut
dalam
kehidupannya. Kedua ideologi tersebut
diperkuat oleh sejumlah adegan-adegan
yang ditayangkan serta narasi yang
terkandung di dalam video tersebut yang
berupa kritikan keras untuk dunia
pertelevisian Indonesia.
Stasium televisi komersil semakin
berkembang
kepada
kepentingan
industrial besar karena dibandingkan
dengan media lain, televisi merupakan
pihak yang paling bergantung kepada
iklan. Para pengiklan ini menjadi sesuatu
hal yang menentukan karena kendatipun
selera khalayak adalah sesuatu yang
menentukkan popularitas program yang
ditawarkan
oleh
stasiun
televisi
(Armando, 2016).
Berdasarkan kepada pernyataan diatas,
dapat dilihat bahwa stasiun televisi
sampai saat ini masih mempertahankan
siaran-siaran yang tidak memiliki jasa
untuk mendidik dikarenakan pada
tayangan tersebut sampai saat ini masih
banyak pihak pengiklan yang memasang
iklan dalam tayangan tersebut. Mereka
kurang memperhatikan akan nilai
ISSN: 2355-0287
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika
43
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017
edukasi didalamnya. Pihak pemilik
modal hanya melihat nilai material yang
bisa dihasilkan sebesar-besarnya melalui
tayangan tersebut.
Diperkuatnya melalui pernyataan diatas,
saat ini semakin berkurangnya pihak
kritis
yang
bermunculan
untuk
mengkritiki para pihak yang memiliki
kepetingan modal. Nilai yang mereka
lihat hanyalak nilai komersil. Video ini
merupakan salah satu bentuk kritik untuk
pihak media yang sampai saat ini terus
menerus menayangkan tayangan yang
tidak mementingkan nilai manfaat untuk
ditonton oleh anak-anak khususnya. Jika
peneliti lihat diberbagai sinetron yang
ada di Indonesia, dalam tayangan
tersebut memang sangat banyak sekali
iklan didalamnya. Sehingga benar bahwa
mereka tidak kritis dikarenakan adanya
tekanan dari para pemilik modal untuk
tetap menyangkan tayangan yang
demikian karena menguntungkan pihak
pemilik modal.
Kemudian, ideologi selanjutnya yang
terkandung dalam video tersebut adalah
ideologi kepatuhan untuk pihak muridmurid SD yang ada dalam video tersebut.
Mereka dalam video tersebut masih
menampilkan bahwa mereka masih pihak
yang patuh dalam dirinya kepada prinsip
anak SD yang patuh akan aturan.
Walaupun pikiran mereka sudah diasupi
oleh pikiran-pikiran sinetron yang
membuat mereka tahu akan pacaran,
ciuman, berdandan, lebay, kehidupan
artis yang cerai, namun mereka tetap
menampilkan bahwa mereka masih anak
yang belia, yang memiliki tugas belajar.
Hal ini terlihat akan kepatuhan mereka
yang mereka tampilkan melalui adegan
untuk tetap memperhatikan pihak
didepannya yaitu seorang guru yang
mereka jadikan panutan. Namun saat ini
sosok tersebut sudah berganti menjadi
sosok televisi. Mereka bisa dikatakan
berani telah melakukan kritik didepan
orang yang mereka tuju, yaitu televisi
yang diwakili oleh guru tersebut yang
sudah berubah menjadi televisi.
Murid-murid SD tersebut secara terus
menerus diasupi oleh asupan tayangan
yang tidak mendidik melalui sinetron
sehingga lama kelamaan mereka yang
awalnya patuh bisa saja jika tidak kuat
landasannya akan kepatuhan hidup maka
mereka bisa goyah menjadi seorang anak
SD yang digambarkan melalui video
tersebut. Lama – kelamaan mereka bisa
mempraktekan pacaran, ciuman yang
sebenarnya perilaku ini hanya bisa
dilakukan oleh orang yang sudah
memiliki hubungan yang sah antara lakilaki dan perempuan secara agama dan
hokum yang berlaku di Indonesia. Moral
anak SD yang patuh akan semaki
tergerus oleh tayangan-tayang televisi
yang demikian.
PENUTUP
Setah melakukan analisis dari setiap
sequence yang ada dalam video “Tv,
Jasamu Tiada…” peneliti dapat menarik
kesimpulan bahwa mengenai kritik sosial
mengenai jasa pertelevisian dalam iklan
tersebut mengambil alasan menggunakan
murid-murid SD sebagai tokoh utamanya
karena ada maksud tertentu yang bisa
dimaknai dalam semiotika John Fiske.
Bagaimana penggambaran kritik sosial
tersebut bisa dilihat dalam setiap kodekode dalam tiga level “The Codes Of
Television” yaitu :
1. Level Realitas
Pada level ini bisa terlihat dari
pemilihan kostum anak SD dan
kostum Guru tv yang digunakan
yang telah mencerminkan kesesuaian
dengan kenyataan yang ada. Ekspresi
kepolosan dan kegelisahan yang
diperlihatkan oleh murid-murid
tersebut menyiratkan sejuta makna
akan sebuah pengharapan besar
untuk perubahan kualitas tayangan.
Kritik yang mereka lakukan benarbenar telah dan sedang mereka
rasakan karena terlihat dari alunan
bicara, dan bahasa nonverbal lainnya
yang mereka gunakan. Jika dilihat
dari sisi kostum maka peneliti
menemukan dua buah bidang
kritikan yang video ini kritisi, yaitu
kritikan terhadap televisi, dan juga
kritikan terhadap dunia pendidikan.
2. Level Representasi
Level representasi yang paling
terlihat dalam video ini adalah
melalui narasi atau lirik yang mereka
ISSN: 2355-0287
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika
44
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017
lontarkan dalam nyanyiannya. Lirik
tersebut menyimpan sejuta makna
yang berupa kritikan kelar untuk
televisi serta televisi sudah dianggap
tidak memiliki jasa sama sekali
untuk para penontonnya. Kemudian,
teknik pengambilan gambar yang
dilakukan oleh mereka dilakukan
secara beragam tujuannya untuk
mempertegas objek yang mereka
ambil sebagai focus utama yang
ingin dilihat oleh penontonnya.
3. Level Ideologi
Dalam level ideologi peneliti melihat
ada dua buah ideologi yang
terkandung dalam video tersebut
yaitu ideologi kapitalisme untuk
media televisi saat ini dan ideologi
kepatuhan untuk murid-murid SD
dalam video tersebut.
Saran Bidang Praktis
1. Untuk membuat siaran yang tetap
berkulitas
sebaiknya
lebih
diperhatikan untuk pendidikan agar
setiap orang yang menonton
tayangan tersebut bisa mendapatkan
manfaat yang bisa mereka terapkan
dalam kehidupan.
2. Jika melakukan kritikan sebaiknya
dilihat dari berbagai sudut pandang.
3. Pilihlah sebuah siaran yang benarbenar bermanfaat.
4. Jika terdapat aduan, keluahan
mengenai acara maka segera
sampaikanlah kepada pihak yang
berwajib agar ditegur dan ditindak
sebagaimana mestinya.
Saran Bidang Akademis
1. Untuk
penelitian
selanjutnya
diharapkan
ada
pengembangan
penelitian dalam kritik sosial di
media sosial.
2. Diharapkan bisa meneliti dengan
menggunakan metode lain yaitu
selain teknik analisis menggunakan
John Fiske. Bisa menggunakan
semiotika menurut pendapat tokoh
lain atau mengganti analisis yang
digunakan.
REFERENSI
Ardianto,
Elvinaro
&
Q-Anees,
Bambang. (2007). Filsafat Ilmu
Komunikasi. Bandung:
Rekatama Media.
Simbiosa
Armando,
Ade.
(2016).
Televisi
Indonesia di Bawah Kapitalisme
Global. Jakarta: Kompas.
Danesi, Marcel. (2010). Pengantar
Memahami
Semiotika
Media.
Yogyakarta: Jalasutra
Diani, Amanda. (2015). Representasi
Feminisme dalam Film Maleficent
(Analisis Semiotika John Fiske
mengenai Feminisme dalam Film
Maleficent yang diperankan oleh
Angelina Jolie). Skripsi pada
Universitas
Telkom:
Tidak
Diterbitkan
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana:
Pengantar Analisis Teks Media.
Yogyakarta: LKiS.
Eryanty, Novy. (2012). Peran Media
Baru Dalam Mengkonstruksikan
Kritik Sosial Terhadap Kinerja
Pemerintah Dengan Pendekatan
Humor. Skripsi pada Universitas
Indonesia: Tidak Diterbitkan
Fiske, John. (1987). Television Culture:
Popular Pleasures and Politics.
Printed in Great Britain by TJ
International
Ltd,
Padstow,
Cornwall.
Fiske, John. (2004). Cultural and
Communication Studies: Sebuah
Pengantar Paling Komprehensif.
Penerjemah : Yosal Iriantara dan Idi
Subandy Ibrahim. Bandung ;
Jakarta.
Fiske, John. (2012). Pengantar Ilmu
Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers.
M. Mas'oed, M. (1999). Kritik Sosial
dalam Wacana Pembangunan.
Yogyakarta: UII Press.
Nasrullah, Rulli. (2015). Media Sosial:
Prosedur,
Tren,
dan
Etika.
Bandung:
Simbiosa
Rekatama
Media.
ISSN: 2355-0287
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika
45
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017
Nugroho, Sarwo. (2014). Teknik Dasar
Videografi. Yogyakarta: CV Andi
Offset.
BIODATA PENULIS
Maylanny Christin. Beliau dilahirkan di
Bandung, tanggal 11 Mei 1981. Beliau
merupakan salah satu dosen tetap di
Telkom University tepatnya di jurusan
Ilmu Komunikasi. Untuk menghubungi
beliau
bisa
melalui
no
hp.
081809977678/ 081224388033
Lenggawati Rahayu. Beliau dilahirkan
di Sumedang, tanggal 19 Agustus 1995.
Beliau merupakan lulusan baru Ilmu
Komunikasi, Telkom University tahun
2017 ini. Untuk menghubungi beliau bisa
melalui
no
hp.
089671531457/
081394955659.
ISSN: 2355-0287
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika
46
Download