BAB II KARAKTERISTIK JURIDIS DARI SUATU KREDIT A. Pengertian dan Unsur-unsur Perkreditan 1. Pengertian Kredit Saat ini di dalam kehidupan masyarakat istilah kredit bukanlah hal yang asing lagi, karena sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari yang melakukan kegiatan jual beli barang secara kredit, artinya jual beli itu tidak dengan pembayaran tunai melainkan dengan sistem angsuran. Selain itu banyak anggota masyarakat yang menerima kredit dari koperasi guna kebutuhan hidupnya. Jadi mereka mengartikan kredit sebagai hutang sebab jika telah sampai pada waktu tertentu mereka harus membayar hutang tersebut hingga lunas. Kara “kredit” berasal dari bahasa Latin “creditus” yang merupakan bentuk past participle dari kata “credere” yang berarti to trust 6. Kata trust itu sendiri berarti “kepercayaan” 7. Dengan demikian, sungguhpun kata “kredit” sudah berkembang kemanamana, tetapi dalam tahap apapun dan kemanapun arah perkembangannya, dalam setiap kata “kredit” tetap mengandung unsur “kepercayaan” walaupun sebenarnya kredit itu tidak hanya sekedar kepercayaan. Muchdarsyah Sinungan memberikan pendapat tentang arti kredit bahwa kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan 6 7 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, Hal. 5. dikutip dari Noah Webster, 1972, Hal. 28. Ibid, dikutip dari John M., Echols, 1988, Hal. 605. Universitas Sumatera Utara dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan datang disertai dengan suatu kontra prestasi berupa bunga 8. Bunga yang diharapkan oleh pihak bank atau kreditur sebagai perusahaan atau individu adalah keuntungan. Dalam KUH Perdata Pasal 1765 diperbolehkan dalam perjanjian pinjam mengganti. Thomas Suyatno dalam bukunya “Dasar-dasar Perkreditan” menyatakan seseorang atau suatu badan yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) pada masa yang akan datang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan. 9 Dari pendapat Thomas Suyatno dapat dilihat bahwa kepercayaan merupakan tiang transaksi karena bank percaya bahwa peminjam melaksanakan kewajibannya sebagaimana masyarakat juga memberikan kepercayaan kepada bank dalam hal penyimpanan uangnya yang sewaktu-waktu dan atau bila jangka waktunya tiba dapat diambil kembali. Jadi tanpa adanya kepercayaan tidak mungkin terjadi peminjaman uang antara bank sebagai kredit dan nasabah sebagai debitur. Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 memberikan pengertian kredit sebagai berikut : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang 8 9 Thomas dkk, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta, 1990, Hal. 11. Hasanuddin Rahman, Aspek-aspek Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, Hal. 106. Universitas Sumatera Utara mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Dari rumusan yang diberikan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dapat dilihat bahwa kredit merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur. Dalam hal ini bank sebagai pihak yang memberikan kredit percaya kepada nasabah bahwa dalam waktu yang telah disepakati pinjaman akan dikembalikan atau dibayar lunas. O.P. Simorangkir memberikan defenisi kredit sebagai berikut : Kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang atau barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan modern adalah prestasi uang, maka transaksi kredit yang menyangkut uang sebagai alat kredit yang menjadi pembahasan. Kredit berfungsi koperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan menanggung resiko. Singkatnya kredit dalam arti luas didasarkan atas komponenkomponen kepercayaan, resiko dan pertukaran-pertukaran ekonomi di masa datang. 10 2. Unsur-unsur perkreditan Dari pengertian-pengertian kredit seperti tersebut di atas dapat dilihat beberapa unsur kredit sebagai berikut : c. Adanya kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditur dengan debitur yang disebut dengan perjanjian kredit; 10 O.P. Simorangkir, Kredit Perbankan Di Indonesia, Jakarta, 2005 Universitas Sumatera Utara d. Adanya para pihak yaitu pihak “kreditur” sebagai pihak yang memberikan pinjaman, seperti bank dan pihak “debitur” yang merupakan pihak yang membutuhkan uang pinjaman/barang atau jasa; e. Adanya unsur kepercayaan dari kreditur bahwa pihak debitur mau dan mampu membayar/mencicil kreditnya; f. Adanya kesanggupan dan janji membayar hutang dari pihak debitur; g. Adanya pemberian sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak kreditur kepada pihak debitur; h. Adanya pembayaran kembali sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak debitur kepada kreditur, disertai dengan pemberian imbalan/bunga atau pembagian keuntungan; i. Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit oleh kreditur dengan pengembalian kredit oleh debitur; j. Adanya resiko tertentu yang diakibatkan karena adanya perbedaan waktu tadi. Semakin jauh tenggang waktu pengembalian semakin besar pula resiko tidak terlaksananya pembayaran kembali suatu kredit. B. Dasar Hukum Suatu Kredit Apapun bentuknya, suatu kegiatan dalam lalu lintas bisnis tentunya memerlukan suatu topangan juridis yang menjadi dasar hukumnya. Hal ini sebagai konsekuensi dari suatu prinsip bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Terlebih lagi sistem negara kita sebagai suatu negara yang tergolong ke dalam sistem Eropah kontinental dimana peraturan perundang-undangan menduduki urutan yang sangat penting sebagai sumber hukum. Demikian juga terhadap suatu perbuatan hukum pemberian kredit, tentunya memerlukan Universitas Sumatera Utara suatu basis hukum yang kuat. Untuk dasar hukum pemberian kredit oleh bank dapat dirinci sebagai berikut : 1. Undang-undang sebagai dasar hukum Di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropah Kontinental, kedudukan Undangundang sebagai sumber hukum sangat penting. Sungguhpun Undang-undang itu sendiri harus mendasari dirinya kepada sumber perundang-undangan yang lebih tinggi seperti Pancasila dan UUD 1945. Di Indonesia Undang-undang yang khusus mengatur tentang perbankan adalah Undangundang No. 10 Tahun 1998. Undang-undang ini menggantikan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Pokok-pokok perbankan. Dalam kedua Undang-undang ini ditegaskan bahwa pemberian kredit merupakan kegiatan yang sangat pokok dan sangat konvensional dari suatu bank. Selain kedua Undang-undang tersebut di atas, Undang-undang lain yang juga mengatur tentang perbankan, yaitu Undang-undang No. 3 Tahun 2004 mengenai Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Dalam Undang-undang ini diatur kedudukan dan wewenang dari Bank Indonesia sebagai pengawas di bidang perbankan. Termasuk juga pengawasan di bidang perkreditan, antara lain pada Pasal 11 menentukan bahwa Bank Indonesia dapat meberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prisip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank yang bersangkutan. Dan pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang berkaulitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Universitas Sumatera Utara Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi yang membuatnya. Dengan ketentuan dalam Pasal 1338 ayat 1 ini berlaku sahihnya setiap perjanjian yang dibuat secara sah bahkan kekuatannya sama dengan kekuatan Undang-undang. Demikian pula dengan bidang perkreditan, khususnya kredit bank yang diawali oleh suatu perjanjian yang sering disebut perjanjian kredit dan umumnya dilakukan dalam bentuk tertulis. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata maka seluruh pasal yang ada dalam suatu perjanjian kredit secara hukum mengikat kedua belah pihak, yakni pihak kreditur dan pihak debitur. Asal saja pasal-pasal tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Keterikatan yang sama juga berlaku bagi perjanjian pendukung lainnya seperti perjanjian jaminan hutang, tehnik pelaksanaan pembayaran, yang biasanya merupakan lampiran dari perjanjian kredit yang bersangkutan. a. Peraturan Pemerintah Perundang-undangan yang levelnya di bawah Undang-undang yang mengatur juga tentang perkreditan dapat diklarifikasikan sebagai berikut : a) PP No. 70 tahun 1992 tentang Bank Umum b) PP No. 71 tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat c) PP No. 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil b. Peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan Banyak juga dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan untuk mengatur masalah perkreditan sebab Menteri Keuangan menurut peraturan termasuk salah satu unsur Dewan Moneter. Peraturan tersebut antara lain : Universitas Sumatera Utara Keputusan Menkeu No. KEP 792/MK/IV/12/1970 tanggal 7 Desember 1970 tentang Lembaga Keuangan yang telah diubah dan ditambah dengan Keputusan Menkeu No. KEP 38/MK/IV/1/1972 tanggal 18 Januari 1972 dan No. KEP 562/KMK-011/1982 tanggal 1 September 1982. c. Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia a) Berdasarkan fungsinya yang mengawasi kegiatan perbankan, termasuk masalah pengawasan kredit maka Bank Indonesia mengeluarkan petunjuk pelaksanaan, dalam bentuk Keputusan Direksi BI, Peraturan BI, SE BI, dan lain-lain antara lain : b) SK Direksi BI No. 21/50/KEP/DIR, tanggal 27 Oktober 1988 tentang BMPK (batas maksimum pemberian kredit) kepada debitur atau debitur group. c) SE kepada semua bank dan lembaga keuangan bukan bank di Indonesia No. 21/110/BPPP, tanggal 27 Oktober 1988 perihal BMPK kepada debitur atau debitur group. d. Peraturan Perundang-undangan lain Selain dari peraturan perundang-undangan tersebut di atas masih ada berbagai peraturan perundang-undangan yang disana-sini mengatur tentang perkreditan seperti Keppres, Peraturan atau SK Pejabat tertentu. 3. Yurisprudensi sebagai dasar hukum Di samping peraturan perundang-undangan yang dipakai sebagai dasar hukum untuk kegiatan perkreditan, maka yurisprudensi dapat juga menjadi dasar hukum misalnya Keputusan Mahkamah Agung No. 2826K/pdt/1984, tanggal 27 Februari 1986 dalam kasus antara PT. Indokaya Nissan Motors dan Marubeni Corporation. Hal yang senada dengan itu yaitu Keputusan Mahkamah Agung No. 1313K/Pdt/1985, tanggal 9 Desember 1987 dalam kasus PT. Starlight dan Bank of America. 4. Kebiasaan perbankan sebagai dasar hukum Dalam ilmu hukum diajarkan bahwa kebiasaan dapat juga menjadi suatu sumber hukum. Demikian juga dalam bidang perkreditan, kebiasaan dan praktek perbankan dapat juga Universitas Sumatera Utara menjadi suatu dasar hukum. Banyak hal yang lazim dilaksanakan dalam praktek tetapi belum mendapat pengaturan dalam perundang-undangan. Hal seperti ini tentu sah-sah saja dilakukan oleh perbankan asal tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1992, bank dapat melakukan kegiatan lain selain dari yang diperinci oleh pasal 6, jika hal tersebut merupakan kelaziman dalam dunia perbankan vide pasal 6 huruf n. 5. Peraturan terkait lainnya Di samping peraturan perundang-undangan bidang perbankan, terkadang dalam hal pemberian dan atau pelaksanaan suatu kredit berlaku juga peraturan perundangundangan lainnya misalnya : a) KUH Perdata Buku III tentang perikatan karena kredit pada hakekatnya merupakan perjanjian. b) Ketentuan mengenai hipotik dalam KUH Perdata. c) Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996. d) Ketentuan HIR tentang eksekusi hipotik dan surat pengakuan hutang. e) Ketentuan hukum tanah dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 beserta peraturan pelaksananya. 6. Jenis-Jenis Kredit Dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992 tidak disinggung sama sekali tentang macam-macam kredit tetapi dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1967, serta faktor-faktor dan unsur-unsur yang ada dalam penggunaan kredit, maka kredit bank dapat dibedakan atas beberapa penggolongan antara lain : 3) Berdasarkan jangka waktu a) Kredit jangka pendek yakni kredit yang waktunya tidak lebih dari satu tahun. b) Kredit jangka menengah yakni kredit yang mempunyai jangka waktu 1 sampai 3 tahun. c) Kredit jangka panjang yakni kredit yang mempunyai jangka waktu di atas 3 tahun. 4) Berdasarkan dokumentasi : Universitas Sumatera Utara a) Kredit dengan perjanjian secara tertulis b) Kredit tanpa surat perjanjian dibagi atas : a) Kredit lisan b) Kredit dengan instrumen surat berharga c) Kredit cerukan c) Berdasarkan kolektibilitas : a) Kredit lancar b) Kredit kurang lancar c) Kredit diragukan d) Kredit macet d) Berdasarkan objek yang ditransfer : a) Kredit uang dimana pemberian dan pengembalian kredit dilakukan dalam bentuk uang. b) Kredit bukan uang, dimana kredit diberikan dalam bentuk barang dan jasa dan pengembaliannya dilakukan dalam bentuk uang. e) Berdasarkan waktu pencairannya : a) Kredit tunai, dimana pencairan kredit dilakukan dengan tunai atau pemindahbukuan ke dalam rekening debitur. b) Kredit tidak tunai, dimana kredit tidak dibayar pada saat pinjaman dibuat. f) Berdasarkan pihak krediturnya : a) Kredit terorganisasi yaitu kredit yang diberikan oleh kredit yang terorganisasi secara legal dan berwenang memberikan kredit. Universitas Sumatera Utara b) Kredit tidak terorganisasi, diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang ataupun badan yang tidak resmi memberikan kredit. g) Berdasarkan negara asal kreditur : a) Kredit domestik, merupakan kredit yang kreditur atau kreditur utamanya berasal dari dalam negeri. b) Kredit luar negeri, kreditur atau kreditur utamanya berasal dari luar negeri. h) Berdasarkan jumlah kreditur : a) Kredit dengan kreditur tunggal merupakan kredit yang krediturnya satu orang atau satu badan saja. b) Kredit sindikasi merupakan kredit dimana pihak krediturnya terdiri dari beberapa badan hukum dan biasanya salah satu diantaranya bertindak sebagai lead creditor. 7. Prinsip-prinsip Perkreditan Peluncuran kredit oleh suatu bank mestilah dilakukan dengan berpegang pada beberapa prinsip yaitu : 3. Prinsip kepercayaan Sesuai dengan kata-katanya kredit berarti kepercayaan, maka setiap pemberian kredit harus dibarengi kepercayaan. Yakni kepercayaan dari kreditur akan bermanfaatnya kredit bagi debitur sekaligus kepercayaan oleh kreditur bahwa debitur dapat membayar kembali kredit. 4. Prinsip kehati-hatian Untuk bisa memenuhi unsur kepercayaan, oleh kreditur mesti melihat apakah calon debitur memenuhi berbagai kriteria yang biasanya dilakukan terhadap pemberian suatu kredit. Prinsip kehati-hatian dilakukan melalui berbagai usaha antara lain : Universitas Sumatera Utara a) Pengawasan baik oleh bank itu sendiri maupun oleh pihak luar misalnya Bank Sentral. Pasal 29 ayat 2 Undang-undang No. 13 Tahun 1968 dengan tegas menyebutkan Bank Sentral yaitu Bank Indonesia wajib mengadakan pengawasan terhadap urusan kredit, maka berdasarkan itu BI menetapkan batas maksimum pemberian kredit terhadap orang atau kegiatan atau kelompok peminjam tertentu sesuai dengan pasal 11 Undang-undang No. 7 tahun 1992. b) Keharusan adanya jaminan hutang dalam pemberian kredit, menurut penjelasan pasal 8 Undang-undang No. 7 Tahun 1992 agunan hanya merupakan salah satu unsur dalam pemberian kredit, jadi jika unsur-unsur lain telah memberikan keyakinan maka agunan tetap diwajibkan tetapi dapat berbentuk barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai oleh kredit dengan yang bersangkutan. Agunan berupa barang, proyek dan tagihan yang dibiayai oleh kredit yang bersangkutan sering dikenal dengan agunan tambahan. 5. Prinsip penilaian terhadap kepribadian debitur Penilaian terhadap karakter kepribadian dari calon debitur perlu karena watak yang jelek akan menimbulkan perilaku yang jelek pula, perilaku ini termasuk tidak membayar hutang karena itu sebelum kredit diluncurkan harus terlebih dahulu ditinjau apakah calon debitur berkelakuan baik, tidak terlibat tindakan kriminal, bukan merupakan penjudi, pemabuk. 6. Prinsip penilaian terhadap kemampuan bisnis debitur Seorang calon debitur harus mempunyai kemampuan bisnis, sehingga dapat diprediksikan kemampuan untuk melunasi hutang. 7. Prinsip penilaian terhadap modal debitur Permodalan dari suatu kreditur juga merupakan hal yang penting diketahui oleh calon kreditur karena permodalan dan kemampuan keuangan dari seorang debitur akan Universitas Sumatera Utara mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan membayar kredit dapat diketahui lewat laporan keuangan perusahaan debitur. 8. Prinsip penilaian terhadap kondisi perekonomian Kondisi perekonomian secara makro dan mikro merupakan faktor penting pula untuk dianalisa sebelum suatu kredit diberikan, terutama yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitur. Misalnya jika bisnis debitur adalah di bidang bisnis yang selama in diproteksikan atau diberikan hak monopoli oleh pemerintah mendapat perubahan dimana pemerintah mencabut proteksi tersebut maka pemberian kredit terhadap perusahaan tersebut mesti ekstra hati-hati. 9. Prinsip pengawasan terhadap penggunaan kredit Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang benar-benar dapat menaikkan income perusahaan, dan harus pula diawasi agar kredit tersebut benarbenar diperuntukkan untuk tujuan seperti di perjanjian dalam suatu perjanjian kredit. 10. Prinsip penilaian terhadap kemampuan membayar debitur Harus diperhatikan apakah sumber pembayaran kredit dari calon debitur cukup tersedia dan cukup aman sehingga diharapkan bahwa kredit yang akan diberikan dapat dibayar kembali oleh debitur yang bersangkutan. 11. Prinsip proteksi Harus diperhatikan apakah sumber pembayaran kredit dari calon debitur cukup tersedia dan cukup aman sehingga diharapkan bahwa kredit yang akan diberikan dapat dibayar kembali oleh debitur yang bersangkutan. 12. Prinsip persamaan valuta Penggunaan dana yang didapat dari suatu kredit sedapat-dapatnya harus digunakan untuk membiayai atau investasi dalam mata uang yang sama sehingga resiko gejolak nilai valuta dapat dihindari, meskipun untuk masalah seperti itu tersedia apa yang disebut dengan currency hedging. 8. Hakekat Perjanjian Kredit Menurut Ilmu hukum perjanjian, perjanjian kredit pada hakekatnya tergolong dalam beberapa golongan perjanjian. Untuk itu dapat ditinjau penggolongan-penggolongan tersebut : Universitas Sumatera Utara 1. Apakah perjanjian kredit merupakan perjanjian bernama. Menurut sistem perjanjian kita, yang berlandaskan pada KUH Perdata khususnya Buku III maka perjanjian dapat dikategorikan ke dalam 2 bagian : a. Perjanjian bernama Yang dimaksud dengan perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dengan memakai nama tertentu dan tunduk kepada salah satu nama perjanjian yang diatur secara khusus dalam KUH Perdata. Artinya ketentuan-ketentuan khusus tentang perjanjian bernama bersangkutan berlaku terhadap perjanjian yang dibuat oleh para pihak. KUH Perdata mengenal 15 perjanjian yang dikategorikan ke dalam perjanjian bernama. b. Perjanjian Umum Yang dimaksud dengan perjanjian umum yaitu perjanjian yang tidak termasuk salah satu jenis yang disebut dalam Buku III KUH Perdata, maka ini berarti terhadap perjanjian yang bersangkutan hanya berlaku ketentuan-ketentuan umum yang diatur juga dalam Buku III KUH Perdata, disamping berlaku ketentuan-ketentuan yang diatur sendiri oleh para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan ditambah kebiasaan-kebiasaan dan yurisprudensi yang berlaku untuk hal itu. Dalam perjanjian kredit ada pendapat yang menggolongkan perjanjian kredit sebagai perjanjian bernama jadi bukan perjanjian umum. Perjanjian bernama tersebut adalah perjanjian habis pakai yang diatur dalam Bab XIII KUH Perdata. Pendapat ini dianut oleh Guru Besar Fakultas Hukum USU yaitu Mariam Darus Badrulzaman, Beliau mengatakan bahwa dalam hubungan dengan perjanjian kredit “apabila uang diserahkan pada pihak peminjam lahirlah perjanjian pinjam mengganti dalam pengertian Undang-undang menurut Bab XII KUH Perdata” 11. Terhadap perjanjian kredit yang pada saat perjanjian kredit disepakati barang atau uang yang merupakan objek pinjaman belum diserahkan maka perjanjian kredit merupakan perjanjian obligatoir atau perjanjian pendahuluan untuk melakukan perjanjian pinjam pakai habis (beliau menggunakan istilah pinjam mengganti). 11 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, Hal. 5. Universitas Sumatera Utara Namun Munir Fuady, tidak sependapat dengan alur pemikiran tersebut di atas sebab menurut beliau sesuai dengan bunyi Pasal 1755 KUH Perdata pendapat para ahli maka perjanjian pinjam pakai habis tergolong ke dalam bentuk perjanjian riil. Artinya perjanjian pinjam pakai habis baru ada setelah barang benar-benar diserahkan oleh kreditur kepada debitur, karena itu apabila perjanjian kredit dianggap sebagai perjanjian pinjam pakai habis bagaimana status hukum jika ada perjanjian pakai habis seperti perjanjian kredit, tetapi pada saat perjanjian dibuat barang belum diserahkan apakah perjanjian kredit tersebut sudah ada atau belum. Selanjutnya Munir Fuady, mengatakan bahwa perjanjian pinjam pakai habis yang diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata adalah perjanjian riil dan sepihak dengan prestasi hanya diberikan oleh sepihak saja, maka akan bertentangan jika dibuat pengikat atau perjanjian pendahuluan untuk perjanjian sepihak dalam hal ini perjanjian dalam pinjam pakai habis. 2. Perjanjian kredit seringkali merupakan perjanjian baku Seringkali perjanjian kredit merupakan perjanjian baku dengan disana-sini diadakan penyesuaian seperlunya. Biasanya pihak bank telah mempunyai bentuk tersendiri dimana para pihak tinggal mengisi data pribadi dan kredit yang diambil. Yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah : “Perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja misalnya menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lain yang spesifik dari objek yang diperjanjikan dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausula-klausulanya” 12. Banyak masalah yang bisa timbul dalam hubungan dengan perjanjian baku ini antara lain : d) Legalitas Perjanjian Ada pendapat yang mengatakan perjanjian baku sulit untuk diterima keabsahannya karena : 1) Kedudukan pihak pembuat kontrak dalam transaksi yang bersangkutan sama seperti pembuat Undang-undang swasta. 2) Perjanjian baku tidak lain dari perwujudan suatu perjanjian paksa. 12 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, Hal. 66. Universitas Sumatera Utara 3) Di negara-negara Common law mengajarkan bahwa hakim dapat menyampingkan suatu kontrak jika kontrak tersebut seyogianya tidak mungkin dibuat atau tidak diterima oleh orang jujur dan adil sebab klausula seperti itu dianggap menindas dan tidak adil. e) Klausula yang memberatkan dalam perjanjian baku Dalam suatu perjanjian baku sering terdapat klausula-klausula yang memberatkan suatu pihak yakni pihak yang kepadanya disodorkan perjanjian baku. Contoh dari klausula berat sebelah dalam suatu perjanjian kredit misalnya diberikannya hak kepada kreditur untuk memutuskan perjanjian pengadilan. Klausula yang memberatkan salah satu pihak ini dikenal dengan klausula eksemsi yaitu klausula dalam suatu kontrak yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lain padahal yang bersangkutan telah melakukan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan dan tidak dalam keadaan force majeure. KUH Perdata tidak klausula eksemsi sebagai masalah asal syarat-syarat sahnya perjanjian dipenuhi misalnya jika telah dipenuhi unsur kesepakatan kehendak sesuai dengan Pasal 1330. Dimana dalam kontrak tersebut tidak ada unsur memaksa atau menipu dan tidak melanggar kebiasaan atau itikad baik. Selama hal-hal tersebut dipenuhi maka KUH Perdata tidak melarang klausula eksemsi. 3. Sifat perjanjian kredit Di dalam berbagai literatur terdapat berbagai versi pendapat tentang bagaimanakah sifat perjanjian tersebut : 6. Windscheid Menurut ajaran ini, perjanjian kredit merupakan perjanjian dengan syarat tangguh. Dalam hal ini pemenuhan syarat tangguh itu semata-mata bergantung kepada si peminjam apakah dia mau mengambil kredit atau tidak. 7. Goudeket Menurut ajaran ini perjanjian kredit (pinjam uang) bukan perjanjian riil tetapi merupakan perjanjian yang bersifat konsensual, obligatoir dan bersifat timbal balik. 8. Losecaat Vermeer Universitas Sumatera Utara Ajaran ini mengajarkan bahwa dalam perjanjian kredit ada 2 macam perjanjian yaitu perjanjian untuk meminjam uang dimana setelah uang diserahkan maka perjanjian tersebut berubah wujud menjadi perjanjian uang. 9. Asser-Kleyn Dalam hal ini dalam sebuah perjanjian kredit terdapat 2 perjanjian yaitu perjanjian pendahuluan yakni perjanjian kredit dan perjanjian pinjam uang. 13 10. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit a. Hak kreditur Dalam perjanjian kredit apa yang menjadi hak dari kreditur (bank) dapat diketahui dari ketentuan pasal 1 butir 12 UU Perbankan No. 7 / 1992 dan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kredit. Hak-hak tersebut adalah: 1) Meminta dan menerima pengembalian pinjaman yang telah diberikan beserta bunganya dari si penerima kredit. 2) Secara sepihak dan sewaktu-waktu tanpa terlebih dahulu memberitahu atau menegur penerima kredit dan tanpa mengingat jangka waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kredit dapat memutuskan perjanjian kredit, dalam hal pemohon kredit dianggap oleh bank tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam perjanjian kredit. 3) Meminta pengembalian kredit yang telah disalurkan oleh bank, semenjak putusnya perjanjian kredit tanpa mengingat waktu pengembalian kredit. 4) Meminta laporan dan memeriksa perkembangan proyek yang dibiayai oleh bank. 5) Memeriksa pembukuan perusahaan pemohon kredit. b. Kewajiban kreditur Dalam perjanjian kredit apa yang menjadi kewajiban dari bank dapat disimpulkan dari isi ketentuan Pasal 1 ayat 12 UU No. 7 / 1992 dan ketentuan yang terdapat dalam 13 Mariam Darus, op.cit, hal. 30. Universitas Sumatera Utara perjanjian kredit yaitu Kewajiban bank adalah menyediakan kredit sejumlah dan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit untuk digunakan sesuai dengan tujuan kredit. Kewajiban bank tersebut tidak mutlak, karena kewajiban tersebut dapat disimpangi oleh bank dalam hal penerimaan kredit tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian kredit. Penyimpangan tersebut merupakan hak yang dimiliki oleh bank. c. Hak debitur Dalam perjanjian kredit apa yang menjadi hak dari penerima kredit dapat kita lihat dalam formulir perjanjian kredit hak itu adalah : Menerima dan mengagunkan kredit sejumlah dan dalam batas waktu yang ditentukan serta menggunakan sesuai dengan tujuan yang terdapat dalam perjanjian kredit. d. Kewajiban debitur Dalam perjanjian kredit, kewajiban penerima kredit ditentukan dalam Pasal 1 ayat 12 UU No. 7 / 1992 dan juga dapat kita lihat dalam perjanjian kredit antara lain adalah : 1) Melunasi pinjaman yang berupa kredit setelah jangka waktu yang ditentukan dan jumlah bunga yang telah ditetapkan. 2) Memberi laporan kepada bank tentang perkembangan usahanya dibiayai dengan kredit yang diperoleh tersebut. 3) Memberi laporan kepada bank tentang perkembangan usahanya yang dibiayai dengan kredit yang diperoleh tersebut. 4) Tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank. 5) Membayar biaya-biaya yang ditentukan seperti bea materai, privisi, biaya pembuatan akta serta sertifikat hipotik, biaya notaris, premi asuransi barang jaminan dan premi asuransi pelunasan kredit. Universitas Sumatera Utara