ilmu kesehatan masyarakat: belajar dari lapangan

advertisement
ILMU KESEHATAN MASYARAK AT:
BELAJAR DARI LAPANGAN
Robby Kayame, Arry Pongtiku
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT:
BELAJAR DARI LAPANGAN
Penulis: Robby Kayame, Arry Pongtiku
Desain cover dan tata letak oleh Nulisbuku.com
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin ter tulis dari para penulis.
Diterbitkan melalui
Nulisbuku.com
ISBN: 978-602744-346-4
Jakarta - Indonesia
2016
Buku ini dipersembahkan bagi masyarakat, mahasiswa Kesehatan
Masyarakat, mahasiswa Kedokteran, dokter, perawat, bidan, pemerhati
sosial, budaya dan kemanusiaan.
Untuk istri dan anak-anak Penulis
*Tience Pigome, anak Julex, Ken, Ron, Silvia dan Bren
**Yulan, anak Bella, Abby, Lachlan
Ucapan terima kasih kepada Bapak Bupati Paniai, Dekan FKM Uncen, Dekan
Kedokteran Uncen, Direktur Poltekes, Direktur Stikes, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Papua, para dosen, dr. Agus (direktur RS Paniai) dan tim mobile Dinas
Kesehatan Kabupaten Paniai, Penerbit Nulisbuku.com, dan mereka yang tak
dapat kami sebutkan satu persatu sehingga buku ini ter wujud, semoga Tuhan
Yang Maha Besar dan Tak Terbatas itu membalasnya.
Prolog
Buku ini ditulis dengan kerinduan bagaimana ilmu pegetahuan antara teori
dan praktek bisa menjadi mudah dan membumi. Dasar-dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat ditulis dalam bab-bab awal yang mengetengahkan bagaimana
epidemiologi melihat distribusi penyakit berdasarkan orang, tempat dan waktu.
Bagaimana pemikiran dasar Public Health mengungkapkan penyakit, mengenal
masalah dan melakukan pengendalian untuk itu. Bab berikutnya mengetengahkan
beberapa Kejadian Luar Biasa bagaimana melakukan investigasi dan
melaporkannya ser ta melakukan pengendalian. Kematian dan kesakitan yang
dialami oleh masyarakat merupakan pengalaman yang mahal dan pegetahuan
yang tak ternilai harganya, maka kita belajar dari lapangan. Buku ini memberikan
contoh nyata yang terjadi di kabupaten Paniai.Tidak sedikit masalah kesehatan
dibatasi karena ketidaktahuan masyarakat (ignorancy), kepercayaan masyarakat
(belief ) atau budaya (culture), karena keterisolasian masyarakat tinggal di tempat
yang jauh, dan harus menggunakan pesawat untuk mencapai daerah-daerah
tersebut. Petugas kesehatan yang tidak tersedia, Perang antarsuku masih sering
terjadi. Disisi yang lain faktor keamanan juga dirasakan. Tidak jarang faktor alam
yang ekstrim seperti musim penghujan membawa timbulnya penyakit diare dan
kelaparan karena tanaman umbi-umbian masyarakat membusuk. Namun dengan
beriringan waktu dan komitmen pemerintah yang makin kuat pro rakyat, beberapa
faktor-faktor tersebut sudah mulai lebih baik.
Kalau ingin perubahan maka caranya juga harus berbeda atau diubah dari
kebiasaan, tidak ada hasil yang berbeda dengan cara yang sama. Dibutuhkan
pemikiran out of box. Buku ini meringkas Teori Proactive Health Seeking Behaviour,
membuat pandangan yang berbeda dimana mencari pertolongan kesehatan
umumnya hanya melihat dari sisi pasien atau masyarakat, namun tulisan ini juga
melihat sisi provider atau pelayanan kesehatan. Bagaimana kedua kutub antara
pasien dan pelayanan kesehatan digerakkan dan dipertemukan. Petugas jangan
hanya melayanai di puskesmas harus bergerak menjangkau masyarakat dan
mengerakkan masyarakat untuk terlibat dengan menggunakan kearifan lokal.
Beberapa hasil penelitian terkini tentang Hepatitis, Avian Influenza dan Survei
Terpadu Biologis Prilaku melengkapi buku ini. Tulisan ini dapat dibaca oleh
masyarakat, mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat, mahasiswa Kedokteran,
dapat menjadi sumber bacaan dan penelitian berikutnya. Lebih daripada itu penulis
ingin agar kita dapat menghargai suatu budaya disaat budaya itu tengah memasuki
proses perubahan karena adanya perkembangan baru dalam masyarakat,
kompetisi penduduk dan sebab-sebab lainnya.
Tak ada laut yang tak berombak begitu pula tak ada gading yang tak retak,
Kritikan saran dan masukan untuk penyempurnaan tulisan ini akan penulis terima
dengan senang hati dan untuk itu penulis mengucapkan terimakasih. Semoga
Tuhan memberkati kita semua. Koyaooo.
Enarotali, April 2016
Penulis,
Robby Kayame & Arry Pongtiku
Sambutan Bupati Paniai
Shaloom,
Pemerintah Kabupaten Paniai sampai saat ini telah membangun dengan
menyediakan sarana dan prasarana pembangunan kesehatan, dengan tujuanya itu
mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, mudah dijangkau, biaya
murah dan waktu yang singkat menjadikan puskesmas ujung tombak pelayanan
kesehatan terdepan.
Beberapa tahun sebelumnya, pasien-pasien yang berobat ke pelayanan
kesehatan tingkat dasar dalam hal ini puskesmas belum ter tangani dengan baik
dan kekurangan tenaga kesehatan, sarana, dana dan kurangnya sentuhan layanan
telah berdampak besar terhadap derajat kesehatan penduduk. Pesan-pesan
kesehatan yang menyangkut prilaku hidup dan sehat belum sepenuhnya dipahami
oleh masyarakat, yang berdampak pada masih tingginya berbagai penyakit
menular seperti diare, malaria, ISPA, TBC, kusta dan HIV/AIDS. Tidak jarang
penyakit-penyakit menyebabkan Kejadian Luar Biasa (wabah). Ketidaktahuan
masyarakat dan perubahan iklim tidak jarang menyebabkan masyarakat jatuh
sakit. Pemerintah terus berkomitmen untuk meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat, menjangkau bagi mereka yang belum terjangkau
yang merupakan bagian dari pada usaha pengetasan Kemiskinan, meningkatkan
Indeks Pembangunan Manusia (HDI) dan Sustainable Development Goals.
Saya selaku Kepala Daerah di wilayah ini, menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan yang tinggi pada saudara Robby Kayame dan Arry
Pongtiku atas terbitnya sebuah buku yang lahir dari pengalaman panjang dalam
bergulat memperjuangkan hak hidup masyarakat, membuka lembaran-lembaran
dengan berani sebagai pembelajaran dan menginvestasikan pengetahuan ini
untuk mahasiswa dan generasi muda. Akhirnya saya selaku pribadi dan Kepala
Daerah Paniai mengucapkan selamat sukses dan besar harapan buku ini menjadi
pelajaran yang berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Semoga Tuhan
Yang MahaKuasa memberkati kita sekalian.
Enarotali, April 2016
Bupati Paniai,
Hengki Kayame, SH. MH
Sambutan Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Cenderawasih
Puji dan syukur kepada Tuhan atas terbitnya buku dengan judul: Ilmu
Kesehatan Masyarakat: Belajar dari Lapangan. Merupakan salah satu bentuk
pemikiran ilmiah melalui data analisis dan pengalaman penulis selama bekerja
di kesehatan masyarakat (public health). Buku ini membahas dasar-dasar
Ilmu Kesehatan Masyarakat yang harus diketahui (must know), bagaimana
mengidentifikasikan masalah dan memecahkan masalah tersebut. Konsep sehatsakit dan konsep pencegahan dibicarakan dengan pemikiran teoritis yang mudah
dipahami. Buku ini memberikan laporan dan pengalaman Kejadian Luar Biasa (KLB)
yang cukup unik seperti KLB lipan, KLB Malaria di pegunungan, KLB Kelaparan,
KLB Diare khususnya yang terjadi di Kabupaten Paniai, serta memberikan
informasi terkini hasil-hasil penelitian yang merupakan masukan bagi pemerintah
dalam pengambilan kebijakan berdasarkan bukti dalam rangka meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Buku ini sangat dibutuhkan sebagai referensi
maupun wacana bagi semua kalangan, khususnya perawat, bidan, mahasiswa
kedokteran, mahasiswa Kesehatan Masyarakat, Manajemen Kesehatan dan bagi
mereka yang bergerak di sosial budaya. Juga bagi mahasiswa yang mengambil
S2 dan S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat sebagai bahan renungan.
Selamat membaca.
Jayapura, April 2016
Prof. Dr. A.L. Rantetampang, MKes
Daftar Isi
Bagian 1. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Must Know........................................... 2
Bagian 2. Membuat Mapping dan Pengambilan Keputusan ............................ 15
Bagian 3. KLB LIPAN ...................................................................................... 24
Bagian 5. KLB KOLERA ................................................................................. 61
Bagian 6. KLB Kelaparan................................................................................. 72
Bagian 7. Sebuah Studi Awal tentang Hepatitis, HIV, .................................... 96
dan Avian Influenza di Paniai........................................................... 96
Bagian 8. Pendekatan Proaktif Berbasis Budaya Lokal ................................. 101
Bagian 9. Hal-hal baru Pengendalian HIV/AIDS ............................................ 122
Bagian 10. Memahami Budaya (kualitatif)..................................................... 126
Bagian 11. Meningitis di Sugapa .................................................................... 143
Bagian 12. Penyakit Kusta (Laporan Singkat) ............................................... 170
Discere et servite
humanitatis Infinitum
Belajar dan mengabdi pada
kemanusiaan sepanjang hajat
1
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Bagian 1. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Must Know
Dalam belajar ada beberapa hal yang harus kita ketahui (must know) misalnya
dalam suatu pelatihan jika peserta tidak dapat menyebutkan hal-hal mendasar
maka materi pelatihan tersebut tidak berhasil. Ada yang sekedar anda perlu
ketahui (should know) dan ada pula yang tidak terlalu diperlukan tapi jika kita tahu
sudah melebihi daripada harapan (nice to know). Pada bab 1 dan bab 2 akan
menerangkan must know atau hal-hal Ilmu Kesehatan masyarakat yang harus
diketahui.
Perbedaan Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Klinik
Pada tahap awal perkembangan epidemiologi, masalah kesehatan dimaksudkan
hanyalah penyakit infeksi dan menular saja. Adanya pembatasan yang seperti ini
mudah dipahami, karena pada waktu itu pengetahuan tentang masalah kesehatan
masih terbatas, Pada waktu itu ada anggapan bahwa masalah kesehatan yang
dapat berada dalam frekuensi yang tinggi dan menyebar secara meluas di
masyarakat hanyalah penyakit infeksi dan penyakit menular saja.
Pada tahap selanjutnya pembatasan seperti itu mulai ditinggalkan. Dari berbagai
penelitian akhirnya diketahui bahwa penyakit yang tidak bersifat infeksi atau
menular dapat pula berada dalam frekuensi yang tinggi serta menyebar secara
meluas di masyarakat, contoh hipertensi, kegemukan, penyakit jantung koroner,
diabetes.
Epidemiogi seperti ilmu kedokteran klinik juga mempelajari masalah kesehatan
yang berupa penyakit. Perbedaannya epidemiologi lebih memusatkan perhatiannya
pada penyakit yang ada di masyarakat, sedangkan ilmu kedokteran klinik lebih
memperhatikan penyakit yang diderita oleh orang per orang. Perbedaan yang
seperti ini merupakan perbedaan yang amat pokok, yang menjadi salah satu ciri
utama dari pekerjaan epidemiologi. Seorang epidemiologist dalam mempelajari
masalah kesehatan berupa penyakit mencoba memanfaatkan data dari kajian
terhadap sekelompok manusia.Cara yang ditempuh bukan dengan menganalisa
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
2
hasil pemeriksaan medis orang per orang, melainkan menganalisa data tentang
frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan tersebut yang ada di masyarakat.
Untuk kemudian sesuai dengan penyebab yang ditemukan, disusunlah upaya
untuk menanggulanginya.
Apa yang dimaksud Epidemiologi?
Epidemiologi berarti ilmu yang mepelajari tentang penduduk (bahasa Yunani, epi
= pada atau tentang, demos = penduduk, logos = ilmu. Jadi epidemiologi diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan penyebaran masalah
kesehatan pada sekelompok manusia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Dari batasan yang diberikan terlihat bahwa pengertian epidemiologi terdapat tiga
hal yang bersifat pokok yakni:
1. Frekuensi masalah kesehatan
Frekuensi yang dimaksudkan disini menunjukkan besarnya masalah
kesehatan yang terdapat pada sekelompok manusia. Untuk dapat mengetahui
frekuensi suatu masalah kesehatan dengan tepat ada dua hal pokok yang
harus dilakukan yakni menemukan masalah kesehatan yang dimaksud
untuk kemudian dilanjutkan dengan melakukan pengukuran atas masalah
kesehatan yang ditemu-kan tersebut.
2. Penyebaran masalah kesehatan
Yang dimaksud penyebaran masalah kesehatan disini menunjukkan kepada
pengelompokan masalah kesehatan menurut suatu keadaan tertentu.
Keadaan tertentu yang dimaksudkan yaitu menurut ciri-ciri manusia (man)
seperti distribusi umur, jenis kelamin; menurut tempat (place) dan menurut
waktu (time)
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Yang dimaksud dengan faktor-faktor yang mempengaruhi disini menunjukkan kepada faktor penyebab dari suatu masalah kesehatan, baik yang
menerangkan frekuensi, penyebaran dan ataupun yang menerangkan
penyebab munculnya masalah kesehatan itu sendiri. Untuk itu ada tiga
langkah pokok yang lazim dilakukan yakni merumuskan hipotesis tentang
3
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
penyebab dimaksud, melakukan pengujian terhadap rumusan hipotesa yang
telah disusun dan setelah itu menarik kesimpulan terhadapnya.
Dalam batasan epidemiologi disimak lebih mendalam terbagi atas dua macam
yakni:
a. Epidemiologi deskriptif, apabila hanya mempelajari tentang frekuensi dan
penyebaran suatu masalah kesehatan, tanpa memandang perlu mencarikan
jawaban terhadap faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi frekuensi,
penyebaran atau munculnya masalah kesehatan tersebut. Besarnya masalah
didistribusikan berdasarkan ciri-ciri manusia (man), tempat (place) dan
waktu (time). Pekerjaan epidemiologi deskriptif hanya menjawab pertanyaan
siapa (who), dimana (where) dan apabila / kapan (when) dari timbulnya
suatu masalah kesehatan, tetapi tidak menjawab pertanyaan kenapa (why)
timbulnya masalah kesehatan tersebut. Contoh: Kita ingin mengetahui
frekuensi penderita penyakit kusta di Kota Jayapura di tahun 2015. Untuk
masalah ini dikumpulkan data dari unit pelayanan kesehatan (puskesmas)
tentang penderita kusta yang ada di daerah tersebut.
b. Epidemiologi analitik, apabila telah mencakup pencarian jawaban terhadap
penyebab terjadinya frekuensi, penyebaran serta munculnya suatu masalah
kesehatan. Disini diupayakan tersedianya jawaban terhadap faktor-faktor
penyebab yang dimaksud (why) untuk kemudian dianalisa hubungannya
dengan akibat yang ditimbulkannya. Contoh: Ingin mengetahui pengaruh
rokok terhadap timbulnya penyakit kanker paru. Untuk itu dilakukan perbandingan antara kelompok orang yang merokok, kemudian dilihat jumlah orang
tidak merokok, kemudian dilihat jumlah penderita penyakit kanker paru untuk
masing-masing kelompok. Dari perbedaan yang ada dapat disimpulkan
ada atau tidaknya pengaruh rokok terhadap penyakit kanker paru tersebut.
Contoh lain: ingin melihat pengaruh sirkumsisi (sunat) terhadap kejadian HIV
dan Infeksi Menular Seksual (IMS). Pada waktu sur vei dilakukan pengambilan
data laki-laki disirkumsisi dan tidak disirkumsisi terhadap positif HIV maupun
IMS. Dari perbedaan ini apakah ada pengaruh tindakan sirkumsisi masingmasing kelompok terhadap kejadian HIV dan IMS atau tidak di suatu wilayah.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
4
Definisi Sehat
Semula sehat diartikan sehat secara fisik, jiwa dan sosial, sebagaimana yang
terkandung dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1960, yang dimaksud dengan
kesehatan adalah meliputi kesehatan badan, rohani (mental) dan sosial dan bukan
hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan.Seiring dengan
perkembangan dan perbaikan kualitas hidup maka Undang-Undang Kesehatan
Nomor 23 tahun 1992 dan dipertegas kembali Undang-Undang Kesehatan No:
36 tahun 2009 memberikan batasan Sehat adalah, suatu keadaan kesejahteraan
dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara sosial dan ekonomi. Tetapi batasan ini dikritik karena bayi yang sehat dan
aktif menurut undang-undang ini dikatakan tidak sehat karena tidak produktif.
maka makna produktif beralih menjadi “dinamis”. Menurut epidemiologi, sehat itu
definiskan banyak cara, sebab sehat menggambarkan suatu kondisi yang abstrak
WHO memberikan definisi sehat sebagai berikut:
“from a philosophical point of view at least, is intended to express an
ultimate goal that is worthy of pursuit. This definition maintains that health
is a state of complete physical, social, and mental wellbeing and not just
the absence of disease”
Terjadi penyakit atau jatuh sakit
Pada mulanya konsep terjadinya penyakit didasarkan pada adanya gangguan
mahluk halus atau karena kemurkaan dari yang maha pencipta. Berkembangnya
ilmu pengetahuan turut memberikan andil terhadap perkembangan teori-teori
terjadinya penyakit (Heru Subaris Kasjono, Heldhi B.Kristiawan, 2009):
1. Teori Contagion: mengemukakan bahwa untuk terjadinya penyakit
diperlukan kontak antara satu orang dengan orang lainnya.
2. Teori Hippocrates: bahwa penyakit timbul karena pengaruh lingkungan
terutama: air, udara, tanah, cuaca, (tidak dijelaskan kedudukan manusia
dalam lingkungan).
5
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
3. Teori Humoral: dikatakan bahwa penyakit timbul karena gangguan
kesimbangan cairan dalam tubuh manusia.
4. Teori Miasma: penyakit timbul karena sisa-sisa makhluk hidup yang
mengalami pembusukan, sehingga meninggalkan pengotoran udara dan
lingkungan. Pengaruh angin malam, bahkan berbagai hal bahwa penyakit
dapat diusir melalui bunyi-bunyian seperti lonceng, gong dll.
5. Teori Jasad renik (teori Germ): teori ini berkembang setelah ditemukan
mikroskop, sehingga konsep penyebab beralih ke jasad renik (mikroorganisme). Pada teori ini kuman dianggap sebagai penyebab tunggal
penyakit.
6. Teori nutrisi dan resistensi: merupakan hasil pelbagai pengamatan
epidemiologis
7. Teori Ekologi Lingkungan: bahwa penyakit timbul karena manusia
berinteraksi dengan berbagai faktor penyebab dalam lingkungan tertentu
dan pada keadaan tertentu
8. Teori penyebab majemuk: telah banyak bukti empirik dan keyakinan teoritik
bahwa pada umumnya penyakit lebih dari satu penyebab, bukan bersifat
tunggal.
Penyebab seseorang menjadi sakit bukanlah faktor yang berdiri sendiri , setidaknya
terdapat empat faktor yang saling berinteraksi secara dinamis yang mengakibatkan
terjadinya penyakit. Empat faktor itu menurut HL.Bloem (1974) adalah:
1.
Faktor Genetika (bawaan)
2.
3.
4.
Faktor Agen penyakit
Faktor Perilaku
Faktor Lingkungan
Faktor genetika sering kali disebut sebagai faktor bawaan. Kontribusi faktor
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
6
genetika dalam menyebabkan sakit dibandingkan dengan faktor penyebab
lainnya berkisar 30%-50%. Ada ciri-ciri genetik tertentu yang membuat sesorang
lebih rentan untuk menderita penyakit tertentu jika dibandingkan dengan orang
lain. Cara sederhana untuk melihat kerentanan itu dengan membuat pohon atau
silsilah keluarga. Misalnya penyakit diabetes dapat diperlihatkan ada penyakit itu
diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Cara pembuatan pohon keluarga
minimal melibatkan tiga generasi. Dengan kata lain, pohon keluarga mencakup
kakek / nenek, ayah / ibu, dan anak dan terakhir adalah cucu. Alergi Sulfa
(dapsone) lebih sering terjadi pada suku Papua daripada suku-suku lainnya di
Indonesia hal ini perlu diteliti kelainan genetikanya.
Faktor agen penyakit bahwa agen dalam bentuk apapun dapat merusak
kesimbangan fungsi-fungsi tubuh. Kerusakan tersebut pada akhirnya dapat
menyebabkan timbulnya penyakit. Beberapa agen diantaranya mikroorganisme
seperti virus , bakteri, jamur, cacing, protozoa. Zat-zat kimia yang dapat merusak
seperti asap rokok,asap kendaraan motor, racun pestisida, zat pewarna), nutrisi
berlebihan, radiasi sinar rontgen, radiasi nuklir, pencemaran merkuri atau logam
berat.
Faktor perilaku atau sekelompok dapat membuat agen penyakit berinteraksi
dengan tubuh seseorang. Apabila dilakukan sering maka dapat mengganggu
keseimbangan fungsi tubuh. Faktor prilaku yang tidak bagus seperti seks bebas,
minum beralkohol, kurang berolahraga. Faktor prilaku ini merupakan faktor yang
sangat kuat mempengaruhi orang menjadi sehat atau sakit. Tidak jarang prilaku
dibentuk karena kurangnya pengetahuan atau memiliki budaya atau adat tertentu.
Ada orang yang mengetahui bahwa olah raga penting, makan berlebihan tidak
baik tetapi tidak kuasa melawan godaan itu, mereka dengan mudah terkena
penyakit hipertensi atau diabetes. Ada pula orang atau masyarakat karena
ketidaktahuannya maka mereka menjadi sakit (ignorancy). Misalnya makan daging
yang kurang masak maka dapat terjangkit penyakit kecacingan seperti cacing
pita/cystecircosis. Prilaku modern selalu menggunakan kendaraan bermotor dan
selalu menggunakan lift menyebabkan orang kurang bergerak. Kebiasaan anakanak selalu bermain games dapat menggangu kesehatan mata, mental maupun
kontak sosial.
7
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Faktor lingkungan merupakan kondisi lingkungan dimana individu berinteraksi
secara intens dengan agen penyebab sakit. Beberapa percobaan menunjukkan
bahwa pencahayaan yang kurang baik menyebabkan mata cepat lelah. Cat warna
yang sejuk pada dinding ruangan dan musik dapat mempengaruhi kinerja atau
sebaliknya polusi yang tinggi seperti polusi suara, asap dapat menyebabkan
gangguan kesehatan pada pendengaran maupun sistem pernapasan. Tidak
jarang orang mudah menjadi sakit jika memiliki rumah yang lembab dan kurang
pencahayaan yang masuk. Lingkungan yang terdapat persawahan dan genangan
air dapat menjadi tempat yang baik bagi nyamuk berkembang biak (breeding
place) sehingga daerah itu penduduk gampang terkena malaria.Konsep sehat dan
sakit juga diperkenalkan oleh teori John Gordon (1970). Ia mengemukakan model
segitiga epidemiologi yang menggambarkan interaksi tiga komponen penyakit
yaitu: manusia, pejamu (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment).
John Gordon memodelkan terjadinya penyakit sebagai sebatang pengungkit yang
titik tumpu di tengah-tengah, pada kedua ujung batang tadi terdapat pemberat yakni
Agent (bibit penyakit), Host (pejamu) dan tumpuannya Environment (lingkungan).
Model tersebut mengemukakan bahwa Pejamu, Bibit Penyakit dan Lingkungan
saling berperan terhadap terjadinya keadaan sehat maupun sakit
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
8
Web of Cause
Menurut teori Web of Cause, sesuatu akan terjadi karena hukum sebab akibat. Akibat
dikenal sebagai kondisi yang tidak menyenangkan setiap orang, di dunia kesehatan
disebut sakit atau penyakit.Misalnya penyakit tuberculosis tidak disebabkan
oleh baksil tuberculosis saja, melainkan banyak faktor lain yang berkontribusi
seperti imunisasi, status gizi, kepadatan. Hal ini menjelaskan tidak semua baksil
tuberculosis yang masuk ke dalam tubuh menyebabkan seseorang menderita
sakit tuberculosis. Pada gambar di bawah ini, menjelaskan hubungan exposure
dengan outcome. Peran studi epidemiologi sangat penting mengidentifikasi faktor
resiko sehingga dapat digunakan dalam penyusunan perencanaan program
kesehatan masyarakat secara utuh dan benar, program pencegahan (preventive
programs) dan program pengawasan dan monitoring (controlling programs) dalam
rangka mereduksi, eliminasi maupun eradikasi penyebab permasalahan untuk
mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat seutuhnya,
dikutip dalam Soeharyo Hadisaputro dkk, 2011.
Hal yang sama kalau kita pelajari pada penyakit kusta yang merupakan salah satu
penyakit menular yang paling sulit menular. Penyakit ini sangat ditentukan dari
daya tahan tubuh host yaitu imunitas selular. Hidup serumah, kontak yang erat
dan lama dengan penderita kusta yang belum pernah diobati memberikan resiko
9
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
terkena kusta. Imunisasi BCG memberikan pengaruh postif mengurangi resiko
terhadap penyakit kusta.Selain itu faktor yang lain adalah gizi, kebersihan diri dan
sanitasi (imunitas humoral). Kalau sudah diberi pengobatan MDT paling sedikit 2
minggu maka tidak terjadi penularan karena kuman-kuman yang pecah walau
pengobatan kusta harus diteruskan 6-9 bulan kusta Pausi Bacillary / tipe kering
dan 12-18 bulan kusta Mutibacillary / tipe basah.
Perjalanan Penyakit
Jika ditinjau proses yang terjadi pada orang sehat, menderita penyakit dan
terhentinya penyakit tersebut dikenal sebagai riwayat alamiah perjalanan penyakit
(natural history of diseases), terutama untuk penyakit infeksi proses yang ditemukan
secara umum dapat dibedakan atas lima tahap yakni :
1. Tahap prepatogenesis
2. Tahap Inkubasi
3. Tahap penyakit dini
4. Tahap penyakit lanjut
5. Tahap akhir penyakit: Karier, Kronis, Meninggal dunia
Tahap prepatogenesa, pada tahap ini sebenarnya telah terjadi interaksi antara
pejamu dan bibit penyakit. Tetapi interaksi ini masih berada di luar tubuh, dalam arti
bibit penyakit belum masuk ke dalam tubuh pejamu. Keadaan seperti ini disebut
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
10
sehat. Tahap inkubasi jika bibit penyakit telah masuk ke dalam tubuh pejamu,
tetapi gejala penyakit belum tampak.
Masa inkubasi suatu penyakit berbeda dengan penyakit lainnya
ada yang
beberapa jam dan adapula yang bertahun-tahun.Penyakit malaria masa inkubasi
10-12 hari, penyakit polio mempunyai masa inkubasi anatara 7 sampai 14 hari.
Penyakit kusta inkubasinya 2-5 tahun. Garis yang membatasi antara tampak atau
tidak tampaknya gejala penyakit dinamakan horizon klinik. Masuknya bibit penyakit
ke dalam tubuh sangat tergantung dari daya tahan tubuh, jumlah kuman atau virus
dan pintu masuk (port de entry).
Tahap penyakit dini, dihitung mulai dari munculnya gejala penyakit. Pada tahap
ini sekalipun penjamu telah jatuh sakit, tetpi sifatnya masih ringan. Umumnya
penderita masih dapat melakukan pekerjaan sehari-hari. Tahap penyakit dini
sering menjadi masalah besar jika tingkat pendidikan penduduk belum sempurna
dan juga kurang promosi kesehatan. Selain itu budaya dan konsep sakit dari
masyarakat berbeda-beda. Di Papua pada daerah pedalaman yang disebut sakit
apabila sudah tidak dapat berdiri atau tidak dapat makan.
Tahap penyakit lanjut, pabila penyakit makin bertambah hebat,penyakit masuk
dalam tahap penyakit lanjut banyak organ tubuh telah rusak akibat diserang
bibit penyakit bakteri atau virus. Pada tahap lanjut ini penderita tidak dapat lagi
melakukan pekerjaannya. Pada tahap lanjut biasanya penyakit sudah susah
disembuhkan, bisa disembuhkan tetapi harus mendapat pengobatan yang lama.
Pada tahap lanjut bisa timbul keadaan klinis yang parah yaitu kecacatan maupun
kondisi yang menyedihkan.Pada penyakit menular kronis menjadi sumber
penularan bagi masyarakat disekitarnya.
Tahap akhir penyakit dapat berupa sembuh sempurna artinya bentuk dan
fungsi tubuh kembali kepada keadaan sebelum menderita penyakit. Dapat pula
sembuh dengan cacat. Cacat fisik yang dilihat melalui mata tetapi juga bisa cacat
fungsional, mental dan cacat sosial. Tahap akhir penyakit bisa pasien itu hidup
tetapi menjadi karier yaitu tetap membawa penyakit sehingga dapat menularkan
bagi orang sekitarnya. Dapat pula menjadi kronis yaitu keadaan dimana penderita
11
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
tetap menjadi sakit ataupun meninggal dunia. Keadaan meninggal bukanlah tujuan
dari setiap tindakan kedokteran.
Belajar dari tahap-tahap ini, upaya manusia dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi berusaha mempertahankan manusia yang sehat tetap menjadi sehat
dan juga melakukan tindakan-tindakan pencegahan yaitu pemberian imunisasi
dan pemberian chemoprofilaksis untuk memotong penyakit yang masuk sebelum
ada tanda klinis. Banyak penelitian saat ini bekerja di level ini dengan belajar
biomolekuler dan genetika.
Level dan Clark mengadopsi dan memodifikasi beberapa tahapan yang disebut
levels of prevention:
a. Primary Prevention: a) Health Promotion misalnya perbaikan gizi, sanitasi
olahraga, dll. b) Specific Protection meliputi imunisasi, pemberian vitamin A
dan suplemen.
b. Secondary Prevention: a) Early diagnosis and prompt treatment yaitu
diagnosis dini dan pemberian pengobatan.
c. Tertiary prevention: a) Disability limitation yaitu mencegah kecacatan, b)
Rehabilitation: jika terjadi kecacatan dilakukan rehabilitasi baik fisik, psikis
maupun sosial.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
12
Berdasarkan konsep spectrum epidemiologi dibagi 2 kelompok besar yaitu focus
clinical dan subclinical. Focus clinical peran kedokteran dan subclinical peran
epidemiologi. Peran epidemiologi lebih besar pada tahapan persepsi masyarakat
mengenai sakit sehingga lebih berarti bagaimana mengidentifikasi faktor resiko
dan resiko yang akan terjadi terhadap status kesehatan masyarakat, tahapan
ini dinamakan prepathogenesis dan pathogenesis. Kemudian tahapan clinical
response bagaimana mendeteksi resiko dengan upaya diagnosis dini melalui
skrining. Pada tahapan ini fokusnya mencegah dan menghambat progres suatu
penyakit. Misalnya hepatitis B dan C jika tidak ditanggulangi dengan baik akan
beresiko terjadi kanker hati. Contoh lain misalnya diabetes militus peran ahli
epidemiologi mendeteksi resiko tinggi yang berpengaruh secara signifikan.
Kepustakaan:
1. Soeharyo Hadisaputro, Muhamad Niz ar, Agus Suwandono, Epidemiologi Managerial:
Tiori dan A plikasi, 2011. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
2. Yusuf Alam Romadhon, 2014. Pembajak Kesehat an, Metagraf, Solo
3. Heru Subaris Kasjono, Heldi B.K ristiawan, 2009. Intisari Epidemiologi, Mitra Cendikia
Press, Jogjakarta
4. A zrul Anwar, Pengantar Epidemiologi, Binarupa Aksara Publisher, Jakarta.
13
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Tentang Ilmu:
Pelajarilah ilmu,
Barang siapa mempelajari ilmu
karena Allah, itu taqwa
Menuntutnya, itu ibadah
Mengulang-ulangnya, itu tasbih
Membahasnya, itu jihad
Mengajarkannya kepada
orang yang tidak tahu, itu sedekah
Memberikannya kepada ahlinya,
itu mendekatkan diri kepada Tuhan
(Prof.Salladin)
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
14
Bagian 2. MEMBUAT MAPPING DAN PENGAMBILAN
KEPUTUSAN
Membuat peta untuk mengambarkan besaran masalah adalah suatu hal yang
penting karena kita mempunyai keterbatasan sumber daya yaitu biaya, waktu
maupun tenaga. Mapping penting untuk menentukan prioritas. Cerita klasik dr. John
Snow pada tahun 1849 berhasil membuktikan adanya hubungan antara timbulnya
penyakit kolera dengan sumber air minum penduduk dan menjelaskan dalam suatu
peta (mapping). John Snow menganalisa penggunaan air minum yang dikelola
oleh dua perusahaan air minum di kota London yakni Lambeth Company dan
Southwark & Vauxhall Company. Kedua perusahaan air minum ini mempergunakan
sumber air yang sama yakni sungai Thames, tetapi derajat pencemarannya oleh
tinja manusia agak berbeda. Perusahaan Lambeth mempergunakan sumber air
yang kurang tercemar dari pada perusahaan Southwark & Vauxhall. Hasil kajian
John Snow, bapak epidemiologi modern terlihat sebagai berikut:
Hasil perhitungan John Snow membuktikan bahwa kasus yang ditemukan berbeda
secara bermakna. Dari hasil perhitungan ini dikemukakan kesimpulan bahwa air
minum yang tercemar dengan tinja manusia adalah penyebab timbulnya penyakit
kolera. Kesimpulan ini diambil tanpa mengetahui adanya kuman kolera,karena
pengetahuan tentang kuman ini baru kemudian muncul dikutip dalam Azrul
Anwar, Pengantar epidemiologi.
15
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Gambaran Success Story: pompa air minum dan kematian karena kolera yang
digambar oleh John Snow (Cholera and the pumb on Broad Street, The life &
legacy of John Snow by Laura Ball, diunduh melalui google.com, 9 April 2016).
Kematian akibat kolera diperlihatkan melalui titik-titik hitam dan sumber airnya
pada bulatan besar (pump).
Membuat Mapping Sederhana:
- Gambar peta kabupaten dengan pembagian kecamatan
- Cantumkan semua kasus 5 tahun terakhir ke dalam peta
- Identifikasi kecamatan atau wilayah kerja puskesmas dengan total kasus
baru tertinggi dalam 5 tahun terakhir
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
16
KABUPATEN ‘X’
Dibagi dalam Kecamatan, dengan Puskesmas,
Danau, Sungai dan jalan
= Puskesma s
= Air
= Jala n
Isilah peta tersebut berdasarkan kasus yang terjadi pada kecamatan pada tahun
berjalan misalnya pada tahun 2003 terdapat 5 kasus. Warnai kasus tersebut
dengan warna ungu
KABUPATEN ‘X’
= Puskesmas
= 1 kasus ba ru di tahun 2003
17
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
total: 5
Isilah kasus-kasus pada pada tahun 2004 dengan total kasus 8 warnai dengan
hijau
KABUPATEN ‘X’
= Pus kesmas
= 1 kasus baru di tahun 2003
total: 5
= 1 kasus baru di tahun 2004
total: 8
Isilah kasus-kasus yang terjadi pada tahun 2005 dengan total kasus 8, warnai
dengan kuning
KABUPATEN ‘X’
= Puskesmas
= 1 kasus baru di tahun 2003
total: 5
= 1 kasus baru di tahun 2004
total: 8
= 1 kasus baru di tahun 2005
total: 8
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
18
Isilah kasus-kasus yang terjadi pada tahun 2006 dan warnai dengan biru
KABUPATEN ‘X’
= Puskesmas
= 1 kasus baru di tahun 2003
total: 5
= 1 kasus baru di tahun 2004
total: 8
= 1 kasus baru di tahun 2005
total: 8
= 1 kasus baru di tahun 2006
total: 6
Manakah kecamatan yang paling bermasalah? Kita dapat menghitung jumlah
kasus pada masing–masing kecamatan dan warnai seperti traffic lights yaitu yang
paling bermasalah dengan warna merah, kemudian kuning hati-hati dan hijau
artinya aman atau kurang bermasalah. Dapat pula menggunakan warna-warna
yang lain dengan memberi keterangan.
19
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
KABUPATEN ‘X’
= Puskes mas
= 0 kasus dalam 5 tahun terakhir
= 1 – 3 kasus dalam 5 tahun terakhir 1 – 5
= 4 – 6 kasus dalam 5 tahun terakhir 6 – 9
= 7 – 9 kasus dalam 5 tahun terakhir 10 – 19
>= 10 kasus dalam 5 tahun terakhir
>= 2 0
Cara lain yang paling sederhana adalah membuat tabel, buatlah kasus-kasus
yang terjadi pada tahun 2007 sampai 2011 misalnya puskesmas Merpati, Mawar
dan Ujung. Kemudian pada akhirnya kita menjumlahkan kasus-kasusnya. Pada
latihan ini jumlah total kasus puskesmas Merpati: 22, puskesmas Mawar: 38
dan Puskesmas Ujung: 55. Jadi puskesmas yang paling bermasalah adalah
Puskesmas Ujung. Selain itu dalam pemilihan daerah yang akan kita pilih juga
mempertimbangkan beberapa hal praktis seperti tenaga di puskesmas tersebut,
biaya, transport dan waktu termasuk komitmen atau antusiasme petugas di tempat
tersebut.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
20
Dari pembuatan mapping, maka kita bisa membuat suatu perencanaan dan
keputusan manajemen. Data dari lapangan / based evidence yaitu waktu, orang
dan tempat ---- data diolah menggunakan tabel dan grafik yang memberikan
makna --- sehingga memberikan informasi yang tepat. Informasi ini digunakan
untuk pengambilan keputusan (decision making).
Bagaimana memilih prioritas jalan keluar? Karena alternatif pemecahan masalah
cukup banyak. Kita perlu mempertimbangkan: 1) Terdapat relevansi antara hasil
alternative dan tujuan pemecahan masalah, 2) Efektifitas, Relatif cost—biaya,
3) Technical feasibility – kemampuan teknis, 4) Ketersediaan Sumberdaya, 5)
Keuntungan yang dimiliki suatu alternative dibandingkan alternative yang lain,
7) Kerugian yang mungkin timbul akibat pemeilihan suatu alternative dan 8)
melakukan uji lapangan (Pilot Project).
Secara umum perencanaan yang berbasis manajemen epidemiologi diperlihatkan
pada bagan di bawah. Bagaimana hubungan Analisis situasi yang dihubungkan
dengan orang, waktu dan tempat, merumuskan masalah, menentukan prioritas,
tujuan dan aksi. Ditentukan indikator-indikator yang yang akan dicapai / dinilai
kemudian dilaksanakan. Dalam pelaksanaan dibuatlah monitoring melalui
supervisi sehingga ada koreksi –koreksi serta akhirnya dibuat evaluasi apakah
telah mencapai tujuan maupun indikator-indikator yang telah ditetapkan.
21
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Adapun Siklus Perencanaan Kesehatan tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Mengenali masalah
2. Menilai kelebihan kita
3. Tetapkan apa yang ingin dicapai
4. Putuskan tindakan yang akan dilakukan
5. Siapkan rencana kerja dan anggaran
6. Rencana pemantauan dan evaluasi
7. Melakukan program
8. Evaluasi
Membuat perencanaan memerlukan waktu dan dilakukan tidak terburu-buru
Bagwan Shree Rajneesh mengungkapkan “Don’t just do something sit there”.
Membuat perencanaan lebih baik bersama dengan tim.
Ucapan terima kasih:
dr. Christina Widaningrum, MKes (Kemenkes RI) yang mengajar Mapping
Sederhana
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
22
Doa Santo Fransiskus dari Asisi
Tuhan jadikanlah Aku
alat pembawa Damai-Mu
Penabur cinta ditengah kebencian
Maaf ditengah kepedihan hati terluka
Iman ditengah kebimbangan
Harapan ditengah keputusasaan
Terang ditengah kegelapan
Gembira ditengah kesedihan
Guru Ilahi bantulah
agar aku lebih banyak
Menghibur daripada minta dihibur
Mengerti daripada minta dimengerti
Mencintai daripada dicintai
Sebab dengan memberi
kita akan menerima
Dengan memaafkan kita diampuni
Dan dengan kematian
kita akan dilahirkan
Ke dalam kehidupan abadi
(diterjemahkan oleh Frans Seda)
23
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Bagian 3. KLB LIPAN
A. CHILOPODA (Scolopendra Sp) / LIPAN / KELABANG
1. Mortofologi
Tubuhnya memanjang, pipih dorsoventral dengan kepala dan badan beruasruas. Pada tiap segmen terdapat sepasang kaki. Pada kepala terdapat satu
pasang antenna dan poison claw.
2. Gejala Klinis
Gigitannya menimbulkan rasa nyeri dan eritema karena toksinnya. Juga
menyebabkan perdarahan dan nekrosis.
3. Habitat
Di bawah batu dan kayu.
4. Terapi
Proksimal dari sengatan dipasang turniket. Diberi obat golongan barbiturat,
kortikosteroid dan antihistamin. Pemberian anti racun sangat bermanfaat.
B. KELABANG
Kelabang (Scolopendra spp. atau 484) juga tersebar luas di seluruh dunia, tetapi
hanya jenis besar yang terdapat di daerah tropis dan subtropis, dapat menimbulkan
gigitan yang berbahaya. Racun yang disalurkan melalui capit yang terbentuk dari
pasangan kaki yang pertama, menyebabkan lesi nekrosis setempat.
Sumber :
1. Prof. Dr. dr. Pinardi Hadidjaja MPH & dr. Srisasi Gandahusada, Atlas
Parasitologi Kedokteran Gramedia pusaka utama Edisi 5 Jakarta
2. Tony Hart MB BS BSc PhD Frcpath Atlas berwarna mikrobiologi
Kedokterant EGC Edisi 2 1997 Jakarta
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
24
SURVEY DAN INVESTIGASI KEMATIAN AKIBAT GIGITAN LIPAN / KAKI
SERIBU DI DISTRIK BIANDOGA
1. Dasar Survey dan investigasi
Berdasarkan isu masyarakat Mbiandoga yang dilaporkan oleh Sekretaris Distrik
Bugalaga Bapak Jarius Agimbau pada tanggal 20 Pebruari 2008 menyebutkan
bahwa telah terjadi kematian akibat gigitan binatang lipan / kaki seribu sebanyak
14 orang.
Berdasarkan laporan tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Paniai Bapak
Yunus Gobay, S.Sos telah membentuk Tim untuk melakukan investigasi isu
tersebut.
Tim terdiri dari dokter Agus, Anselmus Pekey, Musa Gobay yang diketuai oleh
Agustinus Bagau.
2. Prosedur Pelaksanaan Investigasi
a. Pada tanggal 20 Pebruari 2008 tim bersama Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten Paniai Bapak Yunus Gobay, S.Sos turun ke Nabire untuk
melengkapi alat, obat-obatan dan bahan makanan.
b. Tim tiba di lokasi tanggal 21 Pebruari 2008 pukul 10.00 WIT dengan pesawat
Susi Air. Setelah tiba tim langsung menginstruksikan kepada kepala distrik
dan kepala puskesmas untuk mengumpulkan masyarakat yang memerlukan
perawatan segera akibat gigitan lipan. Kemudian tim melakukan cross
check daftar nama-nama kematian yang dilaporkan dengan informasiinformasi yang diperoleh dari Kepala Distrik Biandoga, Tokoh Agama, Tokoh
masyarakat, tokoh pemuda, Kepala Suku Bugalaga, Kepala Suku Kelawa
serta masyarakat disekitar.
c. Setelah mendapat informasi yang lengkap lalu tim dibagi menjadi 3 kelompok
untuk melakukan pelacakan pada nama-nama korban sampai pada tempat
kuburannya. Tim I (Agustinus Bagau, dr. Agus), Tim II (Musa Gobay,
Anselmus Pekey) dan Tim III (Thomas Nagapa, Zebulon Kobogau, Daniel
Belau). Dimana ini dilakukan selama 3 hari (tanggal 21-23 Pebruari 2008) di
Kampung Bugalaga.
25
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
3. Tujuan Pelaksanaan Investigasi
a. Mencari kebenaran data
b. Mengkaji beberapa pandangan masyarakat Mbiandoga terhadap Kematian
akibat Sengatan Lipan
c. Mengkaji Cara Penaganan Sengatan Kaki seribu/Lipan oleh masyarakat
Mbiandoga.
4. Langkah-langkah Pelaksanaan Investigasi
a. Mencari kebenaran data berupa:
1) Data lengkap korban (Identitas Pasien, dan Tempat kuburan)
2) Kematian akibat gigitan lipan / kaki seribu yang diklasifikasikan dalam
kelompok tempat tinggal, jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan,
penye-bab kematiannya, waktu meninggalnya setelah digigit.
3) Mencari / menangkap sampel binatang lipan / kaki seribu untuk diperiksa
secara klinis dan laboratorium.
b. Pendapat masyarakat Mbiandoga terhadap Kematian akibat Sengatan
Lipan sebagai berikut:
1) Pandangan dari Tokoh Agama (Pdt. Saul Holombau)
Kehidupan masyarakat Mbiandoga sangat jahat mereka melakukan hal-hal
yang tidak berkenang dihadapan Tuhan, yaitu membunuh orang sembarang
serta menyakiti hati hamba-hamba Tuhan yang melayani di Mbiandoga.
2) Pendangan dari Tokoh adat / Budaya (Bapak H Widigipa)
Sebelum misionaris masuk di daerah Mbiandoga kasus ini jarang terjadi
dan kebanyakan terjadi didaerah bagian utara (Kigitadi, Maolagi, Elataga
dan Moendoga, tetapi sekarang terjadi didaerah ini karena mereka masuk
di daerah Uagimama masuk daerah-daerah terlarang dan mengambil
makanan dan buah-buahan dengan sembarangan (NAGETAU JAMBAIA)
Artinya membawa setan suruan.
3) Pandangan dari Pemerintah (Jarius Agimbau),
Pendapat dari Sekretaris Distrik Mbiandoga bahwa kematian akibat Gigitan
lipan/kaki seribu diakibatkan karena musiman setiap tahun.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
26
c. Cara Penanganan Sengatan Kaki seribu / Lipan oleh masyarakat
Mbiandoga.
Apabila pasien disengat oleh Lipan/ kaki, masyarakat langsung mengiris
pada daerah yang disengat oleh lipan/kaki seribu dengan menggunakan
pisau, bambu, parang langsung dipakai untuk mengiris tubuhnya dengan
tujuan agar bisa / racun yang masuk dalam tubuh dapat keluar. Apabila
volume darah yang keluar kurang, tubuhnya diiris terus sampai darah keluar
sesuai yang diharapkan banyak.Biasanya ditutupi dengan daun-daun (Daun
Dagoga / Mologa) dan ditutupi dengan plastik / kain-kainan yang kotor.
5. Analisis Kasus
Julus numerensis adalah nama Latin dari lipan / kaki seribu / kelabang. Dalam
banyak literatur disebutkan bahwa gigitan binatang ini berbahaya tapi tidak pernah
dilaporkan dapat menimbulkan kematian. Bisa (racun) lipan ini dalam beberapa
literatur dan internet adalah bersifat kardiotoksik. Antivenom lipan belum tersedia
sampai sekarang ini karena tidak cukup uji klinisnya.
Keluhan yang timbul akibat gigitan lipan adalah terasa nyeri pada tempat gigitan,
bengkak dan merah serta pada beberapa kasus pasien juga ada yang sampai
menggigil (demam), tapi setelah minum obat analgetik dan antibiotik akan sembuh
dengan sendirinya dalam beberapa hari. Kalau pun mati karena septikemia (infeksi
kuman dalam darah) setelah beberapa hari digigit karena tidak cepat diatasi ke
sarana pelayanan kesehatan terdekat seperti Puskesmas, dokter, RSUD, dll.
Menurut kepercayaan dan adat budaya masyarakat Biandoga berkaitan dengan
kasus gigitan lipan/kaki seribu bahwa lipan ini adalah roh jahat, dan orang yang
mendapat gigitan roh jahat ini akan segera meninggal bila tidak dibelah untuk
mengeluarkan racunnya serta mencegah racunnya tidak menyebar kedalam
tubuh (jantung). Berdasarkan cerita orang-orang tua di Mbiandoga bahwa dulu
ada orang barat yang pernah digigit lipan lalu untuk mengatasinya dibelah bagian
atas tubuh dari gigitan dan orangnya sembuh. Maka hingga sekarang masyarakat
masih percaya bahwa ketika digigit lipan harus segera dibelah dan semakin banyak
belahan / sayatan serta semakin banyak darah yang keluar maka racunnya juga
keluar.
27
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Ditinjau dari aspek medis adat masyarakat Mbiandoga yang suka belah-belah
ini bisa disimpulkan bahwa penyebab kematian utama akibat gigitan lipan di
Mbiandoga ini adalah karena perdarahan hebat serta septikemia bukan karena
bisa atau racun lipan/kaki seribu.
Definisi dari perdarahan adalah kehilangan akut volume peredaran darah. Walau
dapat bervariasi, volume darah orang dewasa normal adalah kira-kira 7% dari
berat badan. Contoh laki-laki dengan berat badan 70 kg mempunyai volume darah
yang beredar kira-kira 5 liter. Hampir 70% seluruh volume darah berada dalam
sirkuit vena. Sehingga bila vena dipotong maka akan terjadi kehilangan darah yang
hebat sehingga bisa terjadi syok yang bila tidak cepat diatasi dapat menimbulkan
kematian hanya dalam beberapa jam saja.
Septikemia adalah infeksi akibat masuknya kuman-kuman dan kotoran dalam
peredaran darah. Ini bisa terjadi karena pada waktu digigit langsung dibelahbelah mungkin menggunakan pisau, parang, silet, bambu, serta lainnya yang
kurang steril. Dan juga mereka setelah dibelah-belah sering mereka tutupi dengan
daun-daun pada tempat luka, dimana daun-daun ini mereka petik di hutan yang
kebersihan sangat diragukan. Sehingga juga dapat menimbulkan kematian dalam
beberapa hari bila tidak mendapatkan perawatan luka dan obat antibiotik.
6. INDIKATOR PEMERIKSAAN
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
28
7. PROSEDUR PENANGANAN LUKA AKIBAT GIGITAN LIPAN
1. Setelah digigit lipan segera lakukan bebat proksimal (diikat bagian atas
daripada gigitan).
2. Dilakukan insisi kecil dengan silet/scapel steril pada luka gigitan.
3. Kemudian debridement luka (cuci luka) dengan cairan sabun, H2O2 kemudian
dibilas dengan cairan NaCl 0,9% sampai bersih buang semua jaringan mati
dan kotoran yang ada.
4. Luka dibersihkan lagi dengan kassa steril dan larutan povidone iodine
(betadine).
5. Berikan obat analgetik dan antibiotik.
6. Pasien diobservasi 1 hari di puskesmas.
Perhatikan vital sign (TD, ND, RR, T) dan bila ada keluhan berikan obat
secara simptomatik (sesuai dengan keluhannya). BILA PERLU PASANG
INFUS.
Catatan:
Walau sudah ada prosedur seperti di atas, pengalaman Robby Kayame bahwa
salah satu masalah serius gigitan lipan adalah rasa sakit sehingga korban
berteriak-teriak. Cara penanganan dilakukan disinfeksi daerah gigitan misalnya
digigit daerah jari maka dilakukan anatesi lokal sekitar jari dengan menggunakan
lidokain yang tanpa adrenalin . Suntik beberapa kali sekitar itu maksudnya untuk
memblok rasa nyeri yang menjalar ke atas, niscaya kesakitan itu akan hilang
seperti disulap.
29
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
IV HASIL INVESTIGASI
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
30
Berdasarkan Jumlah kematian akibat sengatan/gigitan lipan/kaki seribu sebanyak
14 kasus diuraikan dalam beberapa jenis Variabel berdasarkan hasil Investigasi
sebagai berikut:
Berdasarkan tempat Kejadian Kampong Bugalaga Dan Mbiandoga Berjumlah
Masing-Masing empat kasus diikuti oleh Kalawa danggatadi sedangkan Janei
tidak dilaporkan
Tabel 3.
Jumlah kematian berdasarkan jenis kelamin adalah sebagai berikut:
31
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Jadi jumlah kematian akibat gigitan lipan di distrik Biandoga adalah sebanyak 5
orang laki-laki dan 9 orang perempuan.
Tabel 4.
Jumlah kematian berdasarkan kelompok umur adalah sbb:
Jadi jumlah kematian akibat gigitan lipan di distrik Biandoga adalah sebanyak 1
kaus terjadi pada kelompok di bawah 1 tahun 6 kasus terjadi pada kelompok umur
(15-29 thn), 3 kasus terjadi pada umur (30-49 tahun) dan diatas 50 tahun sebanyak
4 kasus sehingga ada 13 orang yang masuk usia produktif ( usia kerja ).
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
32
33
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
34
Tabel 7. Waktu terjadinya Kejadian adalah sebagai berikut:
Berdasarkan waktu kematian adalah 1 hari setelah gigitan akibat perdarahan
hebat, terjadi awal tahun 2008 kasus yang ditemui sebanyak 10 kasus sedangkan
4 kasus terjadi akhir tahun 2007. Kematian berdasarkan pekerjaan semuanya
adalah petani.Dimana mereka rata-rata digigit pada waktu mereka kerja di kebun
misalnya: membabat/cabut rumput, gali ubi, memanen tebu, dll.Jumlah kematian
berdasarkan pendidikan adalah 2 tamat SD (1 dari Bugalaga dan 1 dari Biandoga),
sisanya 12 orang tidak sekolah.Berdasarkan penyebab kematian akibat gigitan
lipan adalah karena perdarahan hebat akibat luka sayat/belah biasanya 10-15
belahan menurut adat kebiasaan mereka dengan tujuan mengeluarkan racun dan
darah kotor.
Pasien yang digigit lipan dan telah mendapatkan pengobatan di Puskesmas adalah
sebanyak 60 kasus. (data terlampir)
Pengobatan masal yang dilakukan selama 3 hari sebanyak 130 pasien.
35
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa gigitan binatang ini berbahaya tapi
tidak pernah dilaporkan dapat menimbulkan kematian. Bisa (racun) lipan ini
dalam beberapa literatur dan internet adalah bersifat kardiotoksik. Antivenom
lipan belum tersedia sampai sekarang ini karena tidak cukup uji klinisnya.
b. Menurut Pandangan budaya masyarakat Biandoga berkaitan dengan kasus
gigitan lipan/kaki seribu bahwa lipan ini adalah roh jahat, dan orang yang
mendapat gigitan roh jahat ini akan segera meninggal bila tidak dibelah untuk
mengeluarkan racunnya serta mencegah racunnya tidak menyebar kedalam
tubuh (jantung). Ditinjau dari aspek medis adat masyarakat Mbiandoga yang
suka belah-belah ini bisa disimpulkan bahwa penyebab kematian utama
akibat gigitan lipan di Mbiandoga ini adalah karena perdarahan hebat serta
septikemia bukan karena bisa atau racun lipan/kaki seribu. Sehingga bila
vena dipotong maka akan terjadi kehilangan darah yang hebat sehingga bisa
terjadi syok yang bila tidak cepat diatasi dapat menimbulkan kematian hanya
dalam beberapa jam saja.
c. Jumlah kematian berdasarkan tempat kejadian Kampung Bugalaga terdiri
dari 4 kasus dan Mbiandoga terdiri dari 4 kasus. dan dari 6 Kampung
perempuan lebih banyak dari pada Laki-laki. Jadi jumlah kematian akibat
gigitan lipan di distrik Biandoga adalah sebanyak 6 orang (15-24 thn), 7
orang (35-55 thn). Jadi ada 13 orang yang masuk usia produktif (usia kerja).
jenis pekerjaan semuanya adalah sebagai petanidimana mereka rata-rata
digigit pada waktu mereka kerja di kebun misalnya: membabat/cabut rumput,
gali ubi, memanen tebu, dll. latar belakang pendidikan mereka rata-rata tidak
sekolah.
d. Berdasarkan penyebab kematian akibat gigitan lipan adalah karena
perdarahan hebat akibat luka sayat/belah biasanya 10-15 belahan menurut
adat kebiasaan mereka.Serta septikemia dalam beberapa hari karena racun
dan kuman yang masuk ke peredaran darah bila tidak segera mendapatkan
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
36
perawatan dan pengobatan. dan waktu kematian adalah 1 hari setelah
gigitan akibat perdarahan hebat.
e. Pasien yang digigit lipan dan telah mendapatkan pengobatan di Puskesmas
adalah sebanyak 60 kasus. (data terlampir)
f. Pengobatan masal yang dilakukan selama 3 hari sebanyak 130 pasien.
2. Saran dan Rekomentasi
a. Diharapkan agar Dinas Kesehatan Kabupaten Paniai segera mengeluarkan
PANDUAN KHUSUS Metode Penanganan Sebelum dan sesudah Sengatan
lipan dan bagaimana perlindungan diri terhadap sengatan binatang tersebut.
b. Segera memberikan pembinaan khusus (PELATIHAN) KEPADA PETUGAS
PUSKESMAS Mbiandoga tentang prosedur serta penatalaksanaan akibat
Sengatan Lipan/kaki seribu.
c. Dinas Kesehatan, Pemerintah Distrik serta Petugas Kesehatan (Puskesmas
Mbiandoga) perlu melakukan SOSIALISASI bahwa kebiasaan masyarakat
Mbiandoga yang suka belah-belah ini bisa penyebab kematian karena
perdarahan hebat serta septikemia bukan karena bisa atau racun lipan/kaki
seribu.
d. Pemerintah Distrik perlu melakukan SOSIALISASI tentang pandangan
budaya, agama adat terhadap penanganan kasus sengatan lipan/kaki seribu
yang memungkinkan terjadinya kematian
e. Pemerintah daerah dan Dinas Kesehatan perlu MELAKUKAN RISET lebih
dalam untuk mengetahui sejauh mana sengantan lipan/kaki seribu di daerah
Mbiandoga.
f. Sering terjadinya Kegawatan Kesehatan di Daerah ini, maka Pemerintah
segera membentuk Health Crisis Central (HCC) untuk mengantisipasi
terjadinya kejadian diluar dugaan.
3. LAMPIRAN DOKUMENTASI
Tim Survey dan Investigasi Issu Kematian akibat
Lipan /kaki seribu di Distrik Mbiandoga
Kab. Paniai, tanggal 21 Februari 2008
37
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Ilmu Kesehatan Mas ya raka t: Be lajar d ari Lap angan
38
39
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
FOTO-FOTO LUKA SAYATAN YANG DIBUAT OLEH MASYARAKT
AKIBAT SENGATAN LIPAN/KAKI SERIBU
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
40
FOTO KUBURAN KEMATIAN AKIBAT SENGATAN LIPAN/KAKI SERIBU
DISTRIK MBIANDOGA KAB. PANIAI
41
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
FOTO KUBURAN KEMATIAN AKIBAT SENGATAN LIPAN/KAKI SERIBU
DISTRIK MBIANDOGA KAB. PANIAI
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
42
SUASANA TIM MELAKUKAN PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
HASIL SURVEY INVESTIGASI DISTRIK MBIANDOGA
43
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
SUASANA SAAT MENYAMPAIKAN MAKSUD KEDATANGAN TIM DI
DISTRIK MBIANDOGA KAB. PANIAI
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
44
SITUASI TIM MELAKUKAN PENGUMPULAN DATA KEPADA TOKOH
AGAMA MASYARAKAT,TOKOH ADAT, TOKOH BUDAYA DISTRIK DI
MBIANDOGA KAB. PANIAI
45
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
PETA KABUPATEN PANIAI
DAERAH TERJADINYA KLB
(KEJADIAN LUAR BIASA)
DISTRIK MBOANDOGA
47
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
46
Pidato Pelatikan
“Jangan tanya apa yang bisa
Dilakukan negara untukmu;
Tanyalah apa yang bisa kamu
Berikan untuk negaramu…”
(John F Kennedy, Washington
20 Januari 1961)
Bagian 4. MALARIA PEGUNUNGAN
KLB (Kejadian Luar Biasa) Malaria yang terjadi di pegunungan merupakan kasus
yang jarang terjadi, tetapi beberapa negara sudah pernah melaporkan adanya
KLB dan peningkatan kasus malaria seperti di Tibet (Song dkk,2009),Filipina
(Emer dalam Google.com akses 18/5/2010),Dataran Tinggi Afrika (Lindblade
dkk,2000). Kasus malaria pegunungan dilaporkan terjadi pada ketinggian sekitar
700-2100 dpl. Distrik Pogapa, kabupaten Intan Jaya merupakan bagian dari
dataran pegunungan tengah di Papua dengan ketinggian sekitar 2000 meter
dari permukaan laut dan suhu pada bulan Mei-Juni 2010 berkisar 19-25 derajat
Celcius. Berdasarkan data kunjungan di puskesmas Homeyo,malaria klinis sangat
jarang dilaporkan. Angka ini meningkat dengan tajam morbiditas dan mortalitas
pada bulan Maret-April-Mei-Juni 2010.
Grafik 1.Distribusi Kematian KLB malaria di distrik Homeyo
Kematian akibat penyakit malaria dilaporkan minggu ke 14 hingga minggu ke 26,
dan mencapai puncaknya pada minggu ke 17 (akhir bulan April 2010).
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
48
Gbr 1. Hasil pemeriksaan malaria menggunakan RDT
Gbr 2. Pemeriksaan oleh tim medis
49
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Gbr.3. Kuburan baru
Selain informasi dari masyarakat tentang kematian , dilakukan pemeriksaan kuburkubur baru untuk memastikan jumlah kematian.
” ....waktu saya diminta memimpin tim dalam investigasi di Homeo, saya
sebenarnya sudah lama tidak menangani outbreak/bencana terakhir waktu
saya masih tugas di Sulawesi Tengah tahun 1995. Tetapi saya mengerti
dasar epidemiologi bahwa penyakit masyarakat harus bisa dijelaskan
distribusinya berdasar place (tempat), person(orang) dan time (waktu).
Saya hanya tanya dimana di laporkan orang pertama meninggal ternyata
3 orang wanita yang menggali kolam ikan. Syukur kami dapat jawabannya
dengan menemukan jentik nyamuk anopheles”
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
50
Diagnostik Malaria
Diagnosis malaria ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan mikroskopik.
Umumnya penderita dewasa mempunyai keluhan klinis berupa panas dan sakit
kepala setiap hari, disertai mengigil serta merasa badan lemah. Pemeriksaan
mikroskopik menggunakan RDT (Rapid Diagnostic Test) dan pemeriksaan slide
dengan alat mikroskop Hanya dilakukan pada Tim I, II dan III oleh Irenius Sireyei di
periksa ulang ibu Nenny Mulyani (Dinas Kesehatan Propinsi Papua) dan Sumardi
(Litbangkes Jakarta).
Data pada tabel di bawah ini menunjukkan dengan sample sebesar 670 dan slide
positif sebesar 258 maka Slide Positive Rate adalah 38,5%. Sedangkan proporsi
malaria falciparum (plasmodium falciparum dan mixed infections) di antara slide
positif adalah 89%. Malaria Tropika sering menyebabkan komplikasi serta kematian.
Proporsi Kasus anak (< 9 tahun) sebesar 26% ( Sumber data dari tim I, II dan III)
telah menunjukkan endemisitas malaria di wilayah tersebut. Pembesaran limpa
tidak bermakna pada kejadian outbreak ini menujukkan adanya serangan akut
dimana penyakit malaria baru nampak dipermukaan pada bulan-bulan terakhir ini.
Tabel 1.Data Epidemiologi KLB malaria
51
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
* Slide yang diambil seluruh anak (<9 thn), orang dewasa yang menunjukkan tanda
klinis.
** Data belum didapatkan karena masih dalam proses pemeriksaan Secara
Mikroskop
Ditemukkannya vektor nyamuk anopheles serta positif gamet yang tinggi: 49 di
antara 142 slide positif (34%)**menunjukkan transmisi/proses penularan sedang
berlangsung dan potensi outbreaks (Zucker,1996).Kesakitan dan kematian yang
tinggi dapat terjadi karena masyarakat tidak mempunyai imunitas terhadap malaria.
Beberapa kampung yang belum di sur vey tetapi sudah memberitakan kematian
suspek malaria melalui masyarakat akan diinvestigasi lebih lanjut.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
52
Faktor yang mempengaruhi Ledakan Kasus di distrik Homeyo
a. Breeding places
Gbr.4. Tempat perindukan nyamuk yang potensial di Bamba
Terjadi peningkatan breading places atau tempat perindukan nyamuk malaria
dipicu dengan pembuatan kolam –kolam ikan pada Program Respek yang dimulai
pada awal tahun ini dimana kolam-kolam tergenang belum diisi ikan. Curah hujan
yang cukup tinggi pada pada bulan Januari-Februari 2010 kemudian diikuti musim
kemarau pada bulan Maret,April dan Mei 2010, memungkin nyamuk anopheles
dapat berkembang biak dengan baik. Larva nyamuk ditemukan dan nyamuk
dewasa telah diidentifikasikan adalah jenis anopheles farauti.
b. Mobilisasi Penduduk
Telah terjadi konsentrasi massa pada bulan Januari 2010 di kampung Bilai-Bamba,
lebih dari 1000 orang yang berasal dari desa-desa sekitar serta masyarakat
dari Timika, Nabire dan Jayapura menghadiri Mupas (Musyawarah Pastoral dan
perayaan hari jadi Intan Jaya di Sugapa yang juga dihadiri masyarakat distrik
Homeyo, diasumsikan memberikan resiko terjangkitnya dan meledaknya penyakit
malaria, dimana masyarakat yang datang dapat sebagai carrier malaria. Nyamuk
53
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
anopheles secara alamiah telah hidup di tempat tersebut.
c. Perubahan Suhu dan Kelembaban
Perubahan suhu akibat pemanasan global,penebangan hutan ser ta perubahan
curah hujan dipercaya ikut mempengaruhi resiko penularan penyakit malaria.
Kisaran temperatur di distrik Homeyo pada 3 bulan terakhir tahun 2010 berkisar 1925 derajat Celcius dan bahkan pada siang hari bisa mencapai 26 derajat Celcius
yang merupakan suhu potensial bagi nyamuk.Banyak literature mengacu pada
perubahan cuaca dimana suhu lebih panas dan lembab menjadi keadaan potensial
bagi nyamuk anopheles (Zucker,1996). Lokasi desa yang melaporkan terjadinya
peningkatan kematian berada pada sisi lereng bukit dan ketinggian berkisar 1500
dpl, dipercaya akan mempengaruhi potensial perkembangan nyamuk.
d. Jangkauan Pelayanan Kesehatan
Banyak kampung yang sulit dijangkau oleh petugas puskesmas Homeyo dan
keterbatasan jumlah tenaga sehingga penanganan kasus malaria ataupun
surveillance mengalami kesulitan. Jarak satu kampung dengan kampung yang
lain berkisar ±3-4 jam dengan pendakian 60-70 derajat dan harus menyeberang
sungaidengan jembatan kurang memadai. Diasumsikan makin jauh dari pusat
pelayanan tentukan morbiditas dan mortalitas akan meningkat sehingga perlu
ditelusuri.
e. Imunitas
Walaupun malaria adalah penyakit endemis di Papua, namun penyakit ini jarang
dijumpai di tempat ketinggian. Namun karena faktor-faktor di atas ada seperti
tempat perindukan yaitu kolam-kolam yang tidak diisi ikan sehingga nyamuk dapat
berkembangbiak, mobilasasi penduduk, perubahan suhu dan kelembapan yang
menunjang berkembangnya nyamuk, lokasi yang jauh sehingga susah diakses
banyak korban berjatuhan, tetapi juga karena tidak ada imunitas /kekebalan
terhadap malaria. Orang yang baru pertama kena malaria sangatlah menderita
dan bisa segera menuju kematian, karena sel-sel darah merah pecah atau
lisis sehingga mereka bisa anemia, gangguan ginjal bahkan gangguan otak dan
meninggal.. Banyak tentara jaman perang korban dan bahkan kalah perang bukan
karena diserang musuh tetapi karena terkena malaria, transmigran banyak
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
54
menjadi korban waktu membuka lahan, mereka berasal dari daerah non endemis
malaria ke daerah endemis malaria. Penempatan penduduk dari daerah ketinggian
ke dataran rendah (realokasi) juga memberi korban kematian malaria. Penduduk
seperti suku di Korowai menghindari nyamuk dengan membuat rumah tinggi di
atas pohon yang merupakan kearifan lokal.
Penanganan yang telah diberikan
•
Diagnostik dan pengobatan malaria menggunakan obat arterakine,
khusus ibu hamil diberi Kina Sulfat sesuai pedoman.
• Survei entemologi yaitu mencari tempat perindukan nyamuk serta
penangkapan nyamuk
• Fogging / pengasapan dilakukan bersama masyarakat (Degisiga,
Bamba dan Pogapa).
Fogging ditujukan untuk membunuh nyamuk dewasa, tetapi dengan lokasi yang
luas, hutan dan berbukit-bukit mungkin kurang efektif. Namun Fogging lebih
ditujukan untuk mengurangi kecemasan masyarakat.
Gbr.5. Pengasapan/fogging
55
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
•
Penyebaran Ikan Kepala timah pada kolam kolam yang belum diisi
ikan.
•
Penyuluhan kesehatan serta diskusi bersama masyarakat. Masyarakat
perlu mengenal gejala penyakit malaria serta mengenal dan mengurangi
tempat potensial perindukan nyamuk.
Gbr.6. penyuluhan oleh dr Arr y
Gbr.7. Tim dibantu koramil dalam mendata hasil Lab.
•
On the job training bagi petugas puskesmas.
•
Pelayanan kesehatan secara umum
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
56
Kesulitan yang dihadapi
Medan di daerah Intan Jaya sangat terjal harus mendakit dan memanjat,
menurun gunung dan memasuki daerah yang licin dan lembab, selain itu harus
menyeberangi sungai-sungai dengan jembatan rotan yang sangat berbahaya dan
jauh dari keselamatan. Masyarakat tersebar di gunung-gunung jadi selain di sekitar
kampung yang jumlah penduduknya banyak ,tim juga menyusuri jalan-jalan dan
mencari rumah penduduk di lereng gunung. Sebaiknya dalam penanganan seperti
ini tim harus diantar dengan helicopter ke kampung yang strategis kemudian
menjangkau kampung-kampung.
KESIMPULAN
• Telah terjadi Kejadian Luar Biasa (outbreaks) malaria di 10 kampung dengan
total kematian suspek malaria sebanyak 55 orang dari populasi 3488 (CDR=1.6%),
serta ditemukannya vektor nyamuk anopheles dengan dominan kasus plasmodium
falciparum.
•
Adanya Peningkatan kematian Suspek malaria dari 6 kampung per
tanggal
14 Juni 2010 (CDR 1.4%) menjadi 9 kampung per tanggal 18 Juni 2010(CDR
1.6%) hal ini karena ada penambahan data kematian pada daerah atau
kampung yang baru pertama kali di survey serta mobiltas penduduk yang
tinggi.
•
•
Adanya angka kematian tertinggi di kampung Mapa-Dusun Menewamba
pada minggu ke 23 (6 orang) Hal ini menunjukkan adanya kematian pada
daerah tersebut karena baru pertama kali dilakukan Sur vey penanggulangan
KLB Malaria dari tim 4. Sedangkan Berdasarkan hasil Outopsi Verbal dan
Observasi oleh Tim 4 pada 25 -29 Juni 2010 di daerah/kampung (Degesiga,
Nggagemba, Jobai, dan Sanepa-Egalusiga) yang pernah dilakukan Upaya
pelayanan Penanggulangan KLB tidak adanya peningkatan kematian
disebabkan Malaria.
Adanya sejumlah sedian dengan positif Gamet dan rendah
presentasi
57
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
pembesaran limpa ( hanya 3 kasus pembesaran limpa dari 160 kasus yang
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
58
ditangani) menunjukkan adanya penularan akut penyakit malaria.
•
•
Peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat malaria di distrik Homeyo
dipengaruhi oleh karena bertambahnya tempat perindukan nyamuk
anopheles yang potensial seperti pembuatan kolam-kolam pada kampung
yang melaporkan kematian kasus malaria, konsenterasi massa pada bulan
Januari di kampung Bilai-Bamba, terjadi perubahan suhu dan kelembaban
pada tahun 2010 dan juga pergantian dari musim penghujan ke musim
kemarau.
Pihak Puskesmas belum berani memberikan Larvaticid (Sumalarv) karena
takut akan timbulnya masalah baru di masyarakat (keracunan).
Ucapan Terimakasih:
Tim Investigasi dan Penanggulangan KLB di Distrik Homeyo
• Tim I (13 -17 Mei 2010)
Yermias Kobogau, A.MK, Ishaq Pawennari, S.KM,dr. Rehatta Linda
Elisabeth, Yosep Tipagau, S.Kep, Irenius Siriyei, Ishak Zapagau
• Tim II (26 Mei-7 Juni 2010)
dr. Tulus Parpunguan, Ishak Zapagau, Irenius Siriyei, Jehezkiel Zagani
• Tim III (9-15 Juni 2010)
Dr. dr. Arry Pongtiku, MHM (Ketua Investigasi)., Paminto, SKM., I Made Gafar,
SE., Nenny Mulyani., Wimbadi Sigit, SKM, Mkes., (Dinas Kesehatan Propinsi
Papua), Ishaq Pawenari, SKM., dr. Rehatta Linda Elisabeth., Jehezkiel Zagani
(Dinas Kesehatan Kabupaten Intan Jaya). Pada tim III di lapangan dibantu
oleh Puskesmas Homeyo (Yakop Jagani, Pergius Baguban, Martha Belau),
Koramil Homeo (Letda. Inf. M. Beru Lavi, Serda Idrus), LSM Primari (Thomas
Ara Kian, Dino Bastian, Agus Budi Prasetyo, Sudur dan Agus Korisano) dan
Sumardi (melakukan crosscheck slide malaria dari Jakarta)
59
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
• Tim Gabungan (Puskesmas, Primari dan koramil) (15- 18 juni 2010)
Puskesmas Homeo (Yakop Jagani, Pergius Baguban, Martha Belau), Koramil
Homeo (Letda.Inf.M.Beru Lavi,Serda Idrus), LSM Primari (Thomas Ara Kian,
Dino Bastian, Agus Budi Prasetyo,Sudur dan Agus Korisano)
• Tim 4 Sanepa (24- 29 juni 2010)
dr.Rehatta Linda Elisabeth (ketua tim), Nico, Depi, Almelek, Dibantu 2 staff
koramil dan staf yang menangani Puskesmas (Bpk Jacob, Pergius, Ibu
Martha).
• Tim 4 Mapa (24 – 29 Juni 2010)
dr. Maria Magdalena Kasimat (Ketua Tim), Irenius Siriyei, Yehezkiel Jagani,
Medina, Esau Bagau. Berangkat di Distrik Wandai survey menyusuri
kampung Mapa-menewamba, Mapa-solomomba, dan Mapa
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
60
“Saya harus membiasakan
melakukan yang benar,
Saya bukan membenarkan
yang biasa.”
(Aloysius Giyai, Kadinkes Papua)
61
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Bagian 5. KLB KOLERA
Kejadian Luar Biasa (KLB) diare tersangka penyakit vibrio kolera dapat dilaporkan
pertama oleh masyarakat Kabupaten Dogiyai kampung Ekemanida dan sekitarnya
pada tanggal 6 April 2008, menggingat tingginya mobilitas penduduk dari dan ke
Kabupaten Paniai, tidak menutup kemungkinan penyebaran ke wilayah ini, untuk
itu pihak Dinas Kesehatan telah membentuk Tim Siaga KLB Kabupaten yang di
Ketuai Kasubdin P2PL Dinas Kesehatan dengan beranggotakan 3 dokter dan 5
perawat, yang dilengkapi dengan obat-obatan dan peralatan seadanya.
Dugaan penyebaran ke wilayah Paniai akhirnya terbukti ketika warga masyarakat
Kampung Wotai di gemparkan oleh kematian tiga orang dalam semalam.
Investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) ke Lokasi
Kasus diare Paniai dilaporkan pertama oleh masyarakat Kampung Wotai Distrik
Yatamo pada tanggal 18 Mei 2008, ketika 3 orang meninggal akibat muntah
berak, seterima laporan tersebut, pihak Dinas Kesehatan memberangkatkan Tim
Siaga KLB ke lokasi kejadian pada tanggal yang sama jam 10.30 wit dengan
mengunakan perahu motor dengan jarak tempuh 15 menit dari kota Kabupaten,
kami di jemput masyarakat dengan antusias dan penuh harapan.
Setibanya di lokasi kejadian kami mengumpulkan masyarakat menjelaskan maksud
dan tujuan pelaksanaan investigasi ke kampungnya. Adapun langka-langka yang
diambil oleh tim investigasi adalah sebagai berikut: Pencarian Kasus Aktif baru;
Pengobatan dan Perawatan yang sakit; Desinfektan mayat dan peralatan korban;
Evakuasi penderita yang berat ke Rumah Sakit; Penyuluhan dan Kaporisasi
Sumber Air Minum Warga; Pembentukan posko bencana dan mendorong peran
serta masyarakat.
Kesakitan dan kematian yang menimpa keluarga Derek Boma (40) tahun adalah
sebagai berikut; yaitu pada tanggal 15 Mei 2008, mengunjungi saudaranya Aplena
Keiya (38) yang sakit munta,menceret dirawat di Rumah Sakit Enarotali, setelah
mengunjungi adiknya Marike Keiya (25) yang meninggal di Kampung Ekemanida
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
62
di Kabupaten Dogiyai.
Setibanya di rumah, istri Derek Boma (Ance Keiya) merasa perut sakit, mules,mual
dan menceret, 5-6 kali dalam sehari tiga hari berturut-turut, dengan menularkan
pada tiga orang dalam keluarga yaitu nene Marta Adii (48), dan anak Mer y Boma
(6) dan Maria Mote (18); akhirnya pada tanggal 18 Mei 2008, tiga diantaranya
meninggal dunia sementara Maria Mote di evakuasi ke Rumah Sakit Enarotali
oleh Tim Medis.
Tim Investigasi melakukan active case faunding, dari rumah ke rumah, sambil
melakukan kaporisasi sumber air minum, penyuluhan dan pengobatan yang sakit,
dan pembentukan posko penanggulangan yang dikordinir oleh seorang dokter
selama satu bulan, sambil melakukan evaluasi berkala tentang perkembangan
dari kasus ini.
Menginggat tingginya mobilitas penduduk antar wilayah maka kami mengadakan
pelacakan kasus aktif ke distrik-distrik, maupun kampung-kampung yang
berbatasan lansung dengan Kabupaten Dogiyai, yaitu ke distrik Obano dan
distrik Ayatei Tigi Barat, untuk Distrik Paniai Barat Kampung Pakagekebo telah
ditemukan seorang ibu Keiyaimouda (35) meninggal akibat diare, muntah-muntah
pada tanggal 19 Mei 2008; dan di kampung Beko dan Okaitadi, penyebaran
kasus ini bermula dari seorang anggota keluarga menghadiri pesta duka atas
kematian keluarga istri Petrus Pigome (kampung Beko) dan saudara Paulus Tebay
(Okaitadi) di Keluarga Dumopa kampung Idakebo Kabupaten Dogiyai, seusai
acara tersebut mereka membawa daging babi bakarbatu ke keluarganya di Beko
dan Okaitadi distrik Paniai barat (Obano), setibanya mereka bersama keluarga
masak dan makan bersama, tidak lama kemudian mereka yang makan, makanan
tersebut mulai mual, mules, muntah dan menceret, informasi kejadian ini dikirim
via hendpon oleh seorang guru ke Posko KLB Enarotali, pada malam jam 11.30
pada tanggal 20 Mei 2008, tim gerak cepat ke lokasi kejadian untuk melakukan
pelacakan kasus penanggulangan kasus serta evakuasi yang berat, dari kasus
ini 14 kasus di evakuasi ke Rumah Sakit, 8 kasus di layani di tempat dan 8 orang
meninggal dunia.
63
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Pada tanggal 22 Mei 2008, ibu Yakomina Nawipa dari Okaitadi ke Kampung
Pasir Puti Disktik Ekadide,setelah sehari jatuh sakit dengan gejala perut sakit,
mules, muntah dan menceret, setelah satu minggu sakit, iapun meninggal dunia
pada tanggal 31 Mei 2008, belum ada informasi riwayat pengobatan selama
sakit, berimbas dari kasus ini di distrik Ekadide 16 kasus yang dirawat dan 5
diantaranya meninggal dunia, Mar tha Yogipun hadir menyaksikan kematian
saudaranya, seusai pemakanan , iapun pulang ke kampung Awabutu Distrik
Enarotali selang 3 hari, ibu ini mengalami sakit yang sama seperti yang di alami
ibu Yakomina, kemudian Ibu Martha Yogi (27) dilarikan ke Rumah Sakit Umum
Enarotali, dilakukan pemeriksaan diantaranya rectal swab hasilnya di laporkan
vibrio kolera positif.
Pada tanggal 29 Juli 2008, seorang anak berumur 2 tahun dilaporkan meninggal
dunia akibat dehidrasi berat oleh dokter Puskesmas Kebo 1, menurut keterangan
ibunya bahwa telah mendapatkan pengobatan sebelumnya di Rumah Sakit
Enarotali,namun tidak ada perubahan, di daerah ini telah terjadi trasmisi penyakit
yang luar biasa, dengan jumlah kasus 111 kasus dan 62 orang diantaranya
meninggal dunia, tingginya kasus kematian didaerah ini disebabkan karena
lambatnya laporan kejadian oleh masyarakat kepada petugas kesehatan setempat
dan issue penyebab kematian menyimpang alias karena racun.
Penyebaran kasus diare di Distrik Tigi Barat yaitu Ayatei, Gakokebo, Debei,
Piyamatadi adalah tidak berkaitan dengan penyebaran kasus di beberapa distrik
sebelumnya, kasus di daerah ini berjumlah 52 kasus, 11 diantaranya meninggal
dunia, kejadian kasus ini terjadi pada minggu ke 45, 46 pada bulan Nopember
3 s/17 Nopember 2008, untuk mengatasi kasus ini telah kami turunkan tim gerak
cepat Dinas Kesehatan kabupaten Paniai.
Laporan terkini dan terakhir bahwa pada minggu ke 47, 48, dan 49 dan 50 tanggal
24 Nopember-15 Desember 2008, masih terjadi peningkatan kasus sebanyak
75 kasus dan 34 orang diantaranya meninggal, di desa Dagouto, Uwamani,
Badauwo, Toko, dan Eduda, dari total kasus tersebut 28 orang kasus berat
diantaranya telah dievakuasi ke Rumah Sakit Enarotali, dua diataranya di rawat
dirumah penduduk di Enarotali. Kasus kejadian dan krologis penyebaran penyakit
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
64
diare tersangka vibrio kolera yang terjadi belakangan ini muncul secara sporadis
(hilang muncul) sehingga dapat mempersulit menganalisa peta penularan dalam
rangka pemutusan mata rantai penularan, namun pera petugas di Puskesmas dan
Tim Kerja Dinas Kesehatan masih di siagakan, untuk mengantisipasi kemungkinan
ledakan kasus sewaktu-waktu.
1. Waktu Kejadian
Tabel 1.
Sumber : Data Investigasi KLB 2008 Dinkes Paniai
2. Golongan Umur
Tabel 2. DATA KASUS KOLERA BERDASARKAN GOLONGAN
TAHUN 2008
65
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
3. Tempat Kejadian
Tabel.3.DATA KASUS KOLERA BERDASARKAN TEMPAT KEJADIAN
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
66
Analisis Situasi dan Data
Analisis situasi dan permasalahan dari kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) di
Kabupaten Dogiyai, 6 April 2008, maka untuk Kabupaten Paniai bermula dari
ibu Aplena Keiya ke Ekemanida Moanemani untuk menegok adiknya Marike
Keiya yang sakit muntaber pada tanggal 15 Mei 2008, dari tiga hari sebelumnya,
akibat kurangnya pelayanan kesehatan di Puskesmas Moanemani, maka diambil
keputusan untuk pergi berobat ke Rumah Sakit Umum Enarotali, sejak saat itu
kasus diare dan muntah mewabah ke wilayah Kabupaten Paniai.
Tingginya keakrabatan/ solitnya kekeluargaan dari warga masyarakat dan tingginya
mobilitas penduduk dari dan ke kabupaten tersebut, dalam rangka bisnis,sekolah,
acara keluarga,acara adat, gereja dan lain sebagainya, dengan cepat kasus
tersebut merambat ke Paniai.
Dari data diatas ini menunjukan bahwa sejak kasus diare dan muntah
berak, masuk wilayah Paniai, pada tanggal 15 Mei 2008 atau minggu ke 23,
34, 25 terjadi 21 kasus, 11 meninggal dunia,di Kampung,Wotai, Kotomoma,
Enarotali; pada minggu ke 28,29, kasus 9 dan 8 meninggal di kampung, Beko dan
Okaitadi Distrik Paniai Barat (Obano), tingginya angka kematian pada beberapa
kampung ini dapat di sebabkan oleh lambatnya informasi yang di berikan, awal
kejadian kasus tersebut pada malam hari sehingga persiapan dana, obat-obatan
serta transportasi lambat.Dari grafik diatas menunjukan bahwa kasus pada
minggu ke 36 s/d 50 terjadi peningkatan kasus dan kematian di kampung kebo,
Yagai, Paiyogei, Pasir Puti,Uwamanai, dan Awabutu Paniai, Dagouto, Uwamani,
Badauwo, Toko dan Eduda karna infomasi lambat, tidak ada dana dan petugas
lambat penangganannya, lagipula masyarakat tidak percaya pada petugas
kesehatan yang ada.
Pada Tabel 2 diatas menunjukan bahwa kasus pada anak-anak lebih tinggi
di dibanding pada kelompok umur dewasa dan orang tua, hal ini dapat disebabkan
karena daya tahan tubuh anak sangat rentan, sementara status gizi bayi dan balita
sangat menyedikan (dapat dilihat pada gambar terlampir).Sementara kasus pada
table 3 dapat dianalisis bahwa di Distrik, Paniai Timur, Kebo, Obano dan Tigi Barat
lebih tinggi dibandingkan kasus di Distrik Yatamo, Ekadide, serta daerah lain, hal
67
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
ini dapat disebabkan karena daerah tersebut berbatasan langsung Kabupaten
Dogiyai, dan Distrik Kebo merupakan tempat dimana dilaksanakannya acara
pekan pemuda gereja, yang datang dari berbagai daerah di Paniai, Dogiyai,
sehingga dapat tertular (transmisi) kuman ke sumber air, manusia, dan alam
sekitarnya.selain itu masyarakat belum tahun, dan belum dlakukan sosialisasi
tentang cara-cara pencegahan dan bagaimana cara pencaharian pertolongan bila
mereka sakit.
Hasil pemeriksaan laboratorium yang diambil pada saat penanggulangan
kasus ini di Enarotali dan Obano oleh Tim Departemen Kesehatan di laporkan
bahwa penyebab kasus muntah-berak (diare) adalah kuman Vibrio Kolera Positif,
yang jalur penyebarannya men to men (orang ke orang), di benarkan hal ini karena
pada kenyataannya bila seorang sakit, dapat ditolong oleh anggota keluarganya
tanpa perlindungan, atau cuci tangan sebelum makan atau mengurusi, anak,
selain itu ada kebiasaan pesta ibadah syukuran tiga malam, yang melibatkan
tetangga dan kerabat dekat dari keluarga korban, makan makanan dan minuman
pada acara tersebut yang kurang bersih.
Pembiayaan pelayanan kesehatan sangat mahal, bila seorang di bawah
ke Rumah Sakit misalnya dari Obano atau Kebo, Ayatei masyarakat harus
mengeluarkan biaya,Rp 200.000 -Rp.300.000 /kasus /orang regular transpor,
itupun kalau ada sarana (perahu,mobil) ,harga carter lebih mahal, menginggat
kondisi ekonomi masyarakat yang sangat sulit, tidak mungkin semua kasus akses
sarana pelayanan kesehatan.
Keadaan yang diuraikan diatas adalah sebagian dari perbagai persoalan
yang seharusnya dianalisis pada tulisan ini, sekiranya menjadi persoalan utama
dalam pemicu tingginya angka kesakitan dan kematian, untuk itu Attack Rate =
391/33.575 x 100 = 1,165%
Upaya dan Strategi dalam Mengatasi KLB Paniai
Adapun langka-langka yang ditempuh dalam rangka pemutusan mata
rantai penularan peningkatan kasus tersangka Vibrio Kolera adalah
1. Pembentukan Tim Gerak Cepat Penanggulangan KLB di Kabupaten
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
68
2. Inverstigasi dan Pelacakan Kasus ke lokasi kejadian
3. Penemuan kasus, pengobatan, perawatan dan rujukan kasus berat dan
penyuluhan.
4. Pemeriksaan sarana air bersih (koporisasi) dan jamban keluarga.
5. Kerja sama dengan masyarakat dan lembaga agama (Gereja) dalam hal
penyebaran informasi tentang penanggulangan kasus diare dan muntah
berak.
6. Pembentukan Posko Diare masing-masing kampung selama masa
penularan.
7. Membangun kerja sama dengan LSM dan Masyarakat.
Permasalahan dan Kendala
Adapun menjadi permasalahan dan kendala dalam penanggulangan
Kejadian Luar Biasa (KLB) Vibrio Kolera adalah :
1) Dana kurang / tidak tersedia dalam distribusi logistik, kirim tenaga ke lokasi
wabah dan merujuk penderita berat ke Rumah Sakit Umum.
2) Tenaga kurang, kemampuannya sangat terbatas sementara penyebaran
kasus, sangat luas hampir semua distrik Kabupaten Paniai.
3) Obat-obatan sangat kurang, pada GFK Paniai, sehingga pengeluaran
obatpun banyak perhitungan.
4) Hampir 80% masyarakat di Kabupaten Paniai tidak memiliki sarana air bersih
dan jamban keluaga.
5) Tingkat keakrabatan yang tinggi di masyarakat menjadi pemicu meluasnya
penyakit masyarakat
6) Kesadaran masyarakat kurang dan mobilitas masyarakat yang tinggi,.
7) Akses masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan yang rendah
Peran TIM Penanggulangan KLB Paniai di Kabupaten Dogiyai.
Mengatasi peningkatan kasus penyakit diare / kolera di Kabupaten Dogiyai/
Nabire, maka kami melakukan melakukan tindakan pertolongan adalah sebagai
berikut:
1. Mengirim Petugas Dinkes Paniai ke Moanemani untuk mempelari jalur
peluran terjadi di lembah Kammu dan sekitarnya.
2. Mengirim obata-obatan dan tenaga, Distrik Ikrar dan dan kampung-kampung
69
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
sekitarnya.
3. Mengingat sangat serius, penyebarannya, maka Kab Paniai, menghubungi
pihak NGO Internasional (MSF, Oxpam, PT Freeport) turun ke Kabupaten
Nabire, Moanemani)
4. Menyiapkan RS Enarotali sebagai bagi Rujukan penderita,
Mitra Kerja Penanggulangan KLB Diare tersangka Kolera Paniai
1) Dinas Kesehatan Prov Papua
2) Yayasan Mewado
3) Yayasan Primeri dan Medecins Du Monde (MDM) Papua
Pesan dan Saran
Sejak munculnya kejadian luar biasa diare pada pertegahan bulan Mei
2008, maka Pemerintah Kabupaten Paniai cq Dinas Kesehatan telah mengadakan
banyak upaya dalam rangka pemutusan mata rantai penularan ke kampong
dan desa lain, dari kegiatan ini telah kami tanggani 255 kasus diare namun 136
diataranya telah meninggal dunia, hal ini disebabkan oleh terbatasnya sumber daya
(dana,tenaga,sarana termasuk obat), sulitnya medan serta dukungan masyarakat
yang rendah dalam memberikan informasi.
Peningkatan kasus secara sporadis masih saja terjadi, di kampung-kampung
sebagaimana yang dilaporkan oleh petugas dan masyarakat, hal ini dibenarkan
oleh tim siaga KLB karena pemutusan mata rantai penularan tidak sepenuhnya
dilaksanakan hal ini disebabkan karena tingginya mobilitas penduduk, antara
kampung, distrik, terbatasnya dana, tenaga dan sulitnya geografis serta prilaku
kehidupan masyarakat tidak menunjang merupakan faktor pemicu dalam
meluasnya kasus tersebut.
Berkaitan beberapa hal tersebut diatas maka peningkatan kasus diare sewaktuwaktu dapat terjadi untuk itu perlu kewaspadaan dini melalui siaga, tenaga,
dana, sarana termasuk obat-obatan serta dukungan pemerintah dan masyarakat
terutama dalam memberikan data, informasi tentang kejadian kasus.
Dalam rangka perubahan pola pikir masyarakat, sosialisasi berkelanjutan tentang
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
70
hidup bersih melalui, pemuka agama,adat,perempuan, masyarakat atau kepala
keluarga pada setiap kampung itu penting dan harus dilaksanakan. Bila kegiatan ini
dapat dilaksanakan secara serius dan kesungguhan, maka mata rantai penularan
penyakit tersebut dapat diatasi, sehingga pada gilirannya dapat dilaporkan secara
resmi bahwa Kabupaten Paniai bebas dan tuntas Kejadian Luar Biasa diare
tersangka kolera.
LAMPIRAN FOTO PENANGGULANGAN KLB KOLERA Paniai Dokter
memeriksa penderita di Obano ; Gali kubur, Kematian Kel Derek Boma
di Wotai
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
70
“Tidak selamanya
daun coklat jatuh duluan,
Banyak juga daun hijau berguguran
coba anda lihat waktu menyapu”
(Elia Laopati, himbauan hidup sehat,
Upacara Lingkungan PNS di Jayapura,
4 April 2016)
71
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Bagian 6. KLB Kelaparan
A. KRONOLOGIS TERJADINYA PERISTIWA KELAPARAN DI DUMA DAMA
Informasi Terjadinya kelaparan di Distrik Dumadama, Distrik ini memiliki dua
Kampung yaitu Kampung DUMA dengan Kampung DOGOMO. Menurut salah
satu satu tokoh masyarakat yang dijumpai (key informant) adalah:
1. Pada tanggal 20 September 2006 terjadi perang saudara lokal antara marga
Hanau dengan Wamuni selama ± dua bulan. Peristiwa perang saudara itu
terjadi hanya masalah Persangkahan pemerkosaan seorang Istri dari marga
Hanau yang dicurigai diperkosa oleh salah satu pemuda dari marga Wamuni.
Terjadilah pertikaian antara kedua marga ini hingga terjadi perang saudara,
dan suasana ini semakin tegang sampai masyarakat tidak melakukan
aktivitas berkebun, karena takut diserang.
2. Ironisnya pada bulan juni terjadi perang suku antara suku Dani dengan Suku
Amugme di Kabupaten Mimika. Disana ada salah satu suku Duma dama
marga Diwitau terkena panah lalu orang tersebut meninggal dunia. Maka
saudara-saudara yang ada di Distrik Duma dama sebagian ke Timika jalan
kaki selama5 hari untuk membantu perang, pihak Amugme karena hubungan
antara suku Amugme di Timika dengan Masyarakat di Distrik Duma dama
sangat erat berdasarkan kehidupan menek moyang kedua Suku tersebut.
3. Saat Pertikaian terjadi di Distrik Duma dama dan Timika, terjadilah musim
hujan kira-kira ± 1 bulan lamanya, di Distrik Duma dama sehingga terjadi
banjir yang sangat besar. Karena masyarakat Duma dama berkebun
di pinggir-pinggir sungai maka kebun mereka ikut terhanyut. Penduduk
setempat berada dilereng-lereng gunung. Sehingga pilihan mereka satusatunya tempat bercocok tanam adalah di pinggir-pinggir sungai. Maka
terjadi kesulitan mendapatkan makanan yang mengakibatkan kelaparan
yang tak berujung yang memungkinkan kematian.
4. Sungguh menyedihkan saat ini juga terjadi perang suku di Kampung di
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
72
Tembagapura di Kampung Bandi dan Kampung Waa. Dan saat ini banyak
masyarakat Duma telah meninggalkan Kampung Duma untuk berperang di
Tembagapura, karena 2 Warga Kampung Duma dibunuh disana.
B. LAPORAN INVESTIGASI KEMATIAN DI DISTRIK DUMADAMA
1. Alasan dilakukannya investigasi
Berdasarkan isu masyarakat Duma dama yang dilaporkan oleh Community
Welfare Development Fondation yang di buat oleh Direktur YAPKEMA Hanok
Horion Pigay, SE pada tanggal 15 November 2007 menyebutkan bahwa telah
terjadi kematian akibat kelaparan di Duma dama sebanyak 18 orang.
Berdasarkan laporan tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Paniai Bapak
Yunus Gobay, S.Sos telah membentuk Tim untuk melakukan investigasi isu
tersebut.
2. Tujuan Investigasi
a. Mencari kebenaran data berupa
• Data lengkap korban (Identitas Pasien, dan Tempat kuburan)
•
Penyebab kematian yang diklasifikasikan dalam tiga kelompok:
1. Kematian disebabkan oleh murni kelaparan.
2. Kematian disebabkan oleh penyakit kronis yang diperburuk kelaparan.
3. Kematian disebabkan oleh perang saudara dan perang suku.
• Waktu kematian diklasifikasikan menjadi 2 kelompok:
1. Kematian sebelum perang suku/saudara (November 2006).
2. kematian paska perang suku (Desember 2006-sekarang).
• Tempat/alamat korban.
3. Prosedur Pelaksanaan Investigasi
a. Setelah tim tiba di lokasi tanggal 03 Desember 2007 pukul 10-00 WIT
langsung dilakukan cross cek daftar nama-nama kematian yang dilaporkan
dengan informasi-informasi yang diperoleh dari Kepala Distrik Duma dama,
Tokoh Agama, Tokoh masyarakat, tokoh pemuda, Kepala Suku Dama,
Kepala Suku Duma serta masyarakat disekitar. Dimana ada penambahan 6
kasus menjadi 24 kasus.
73
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
b. Setelah mendapat informasi yang lengkap lalu tim dibagi menjadi 2 kelompok
untuk melakukan pelacakan pada nama-nama korban sampai pada tempat
kuburannya. Dimana ini dikakukan selama 3 hari (tanggal 3 – 5 Desember
2007) di Kampung Dogomo dan Kampung Duma.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
74
C. ANALISA HASIL INVESTIGASI
a. Berdasarkan Penyebab Kematianya:
Dari Total 24 kasus yang dilacak didapatkan hasil sebagai berikut :
• Kematian yang disebabkan murni kelaparan sebanyak 6 kasus.
• Kematian yang disebabkan penyakit kronis diperburuk oleh
kelaparan
sebanyak 13 kasus.
• Kematian yang disebabkan perang suku tidak ditemukan.
• Kematian yang tidak masuk investigasi sebanyak 5 kasus.
Jadi jumlah kematian akibat musibah kelaparan yang ditemukan 19 kasus.
b. Berdasarkan Waktu Kematiannya:
Dari total 24 kasus yang dilacak didapatkan hasilnya sebagai berikut :
• Kematian sebelum perang suku November 2006 sebanyak 4 kasus.
• Kematian pasca perang suku ( Desember 2006 sampai sekarang )
sebanyak
19 kasus.
• Kematian yang tidak diketahui waktunya ( tanpa keterangan ) sebanyak
1
kasus.
Jadi jumlah paska perang suku yang disebabkan musibah kelaparan ditemukan
sebanyak 19 kasus.
c. Berdasarkan Usianya:
Dari 19 kasus kematian akibat musibah kelaparan Duma dama didapatkan :
• Anak ( 1 – 10 thn ) sebanyak 6 kasus.vvv
•
•
Remaja - Dewasa ( 10 – 30 thn ) sebanyak 8 kasus.
Orang tua ( 30 thn keatas ) sebanyak 5 kasus.
d. Berdasarkan Tempat korban.
Distrik Duma dama terdidri dari 2 Kampung. Dari 19 kasus kematian akibat
musibah kelaparan Duma dama :
• Kampung Dogomo sebanyak 14 kasus.
•
75
Kampung Duma sebanyak 5 kasus.
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
D. MASALAH KERAWANAN PANGAN DAN GIZI DI DISTRIK DUMADAMA
Setelah terjadinya perang suku (paska perang suku) masyarakat tidak
melaksanakan aktivitas berkebun selama beberapa bulan karena, takut diserang
antara kedua bela pihak, maka terjadinya kelaparan di Distrik duma dama yang
mengakibatkan kekurangan gizi terhadap bayi dan balita (Busung Lapar).
Data terlampir.
Berdasarkan data yang dijumpai di lapangan di dapat kasus, sebanyak 7 anak
dengan (GIZI BURUK) diagnosa klinis Kwasiorkor dan marasmus. Sehingga Tim
telah mengevakuasi untuk penanganan selanjutnya di RSUD Paniai.
Berdasarkan hasil sur vei dilapangan tidak terlihat aktivitas jual beli hasil tamam di
pasar/tempat berjualan disebabkan karena masyarakat tidak berkebun.
Dalam hal ini Tim telah disepakati bahwa penanganan kasus (masalah gizi) kepada
anak berdasarkan beberapa klasifikasi yaitu :
1. Klasifikasi KKP sedang dan ringan.
Penanganan dilakukan puskesmas Dumadama, lewat bantuan makanan
tambahan dalam bentuk kacang hijau, susu, gula dan telur yang disuplaikan
ke lokasi bencana kelaparan oleh subdin KESGA (Kesehatan keluarga)
Dinas Kesehatan Kabupaten Paniai.
2. Klasifikasi KKP berat tim telah merujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Kabupaten Paniai sebanyak 7 orang anak (Daftar Nama Terlampir
pada tabel).
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
76
Proses penanganan kasus Gizi buruk di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Kabupaten Paniai khususnya bantuan makanan tambahan selama di Rumah Sakit
dalam jangka waktu tertentu akan ditanggung oleh Dinas Kesehatan lewat Subdi
KESGA, PEMDA Kabupaten Paniai dan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Paniai.
KESIMPULAN SARAN/REKOMENDASI
A. KESIMPULAN
1. Paskah perang suku Duma dama bulan November 2006 masyarakat masih
merasa takut / was- was untuk bercocok tanam / berkebun dan diperburuk
dengan hujan terus menerus yang menyebabkan banjir sehingga masyarakat
Dumadama dilanda musim kelaparan yang tak berujung.
2. Akibat musim kelaparan yang tak berujung itu meyebabkan masyarakat
Dumadama menjadi kurang gizi sehingga mudah terserang penyakit seperti.
77
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Malaria, TBC, Diare ISPA dan lain-lain. Kondisi kesehatan masyarakatpun
sangat memprihatinkan dimana tidak mendapat pelayanan kesehatan yang
memadai serta diperburuk dengan musim kelaparan yang melanda sehingga
meyebabkan banyak kasus kematian terjadi.
3. Jumlah kematian akibat musibah kelaparan di Dumadama sebanyak 19
kasus , murni kelaparan 6 kasus, serta 13 kasus akibat penyakit kronis yang
diperburuk oleh musibah kelaparan.
4. Berdasarkan usia yang meninggal anak-anak (1-10 Tahun) sebanyak 6 kasus,
remaja-dewasa (>10-30 Tahun) sebanyak 8 kasus, usia tua (>55 tahun) 5
kasus.
5. Berdasarkan tempat kejadian Kampung Dogomo yang meninggal sebanyak
14 kasus, kampung Duma yang meninggal sebanyak 5 kasus.
6. Penanganan masalah Gizi di Dumadama telah didapatkan 7 orang anak
usia (1-10 tahun) yang masuk klasifikasi Marasmus – Kwasiorkor sedang
dan berat yang mana telah dilakukan rujukan ke RSUD Paniai untuk
mendapatkan perawatan, pengobatan serta perbaikan Gizi.
7. Sedangkan yang masuk dalam klasifikasi Marasmus-kwasiorkor ringan
dan sedang ditangani oleh Puskesmas Dumadama lewat pendistribusian
makanan tambahan berupa susu, bubur kacang hijau, gula dan telur yang
telah disuplaikan oleh Subdin KESGA Dinas Kesehatan Kabupaten Paniai.
B. SARAN DAN REKOMENDASI
1. Dilihat secara geografis distrik Dumadama merupakan daerah perbatasan
Paniai dengan Timika yang sangat susah dijangkau dengan transportasi,
baik udara maupun darat sehingga diperlukan pembuatan lapangan terbang
minimal pesawat cesna / Pilatus, dengan jadwal penerbangan ritun, minimal
1 kali dalam 1 minggu melayani rute Enarotali – Dumadama atau dari
Dumadama ke rute yang lain.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
78
2. Demi keamanan dan ketertiban masyarakat supaya tidak perang terus
menerus, perlu adanya pos keamanan seperti polsek di setiap distrik.
3. Dari instansi terkait seperti, Dinas Sosial, Pertanian, Kehutanan, Pendidikan
dan Dinas Kesehatan agar lebih memerhatikan daerah ini sesuai keadaan
geografi, kekayaan alam sosial budaya setempat, misalnya:
• pembangunan sekolah misalnya; SD, pendistribusian tenaga
guru.
• sosialisasi cara bercocok tanam yang sesuai dengan kondisi alam
dan iklim di Dumadama, karena masyarakat sering bercocok tanam di
pinggir- pinggir kali yang rawan longsor dan terkena banjir.
•
pembangunan pemukiman yang layak, sehat dan bersih bagi
masyarakat.
•
pembangunan Puskesmas dengan fasilitas yang memadai, dan
penempatan
petugas minimal 5 orang.
4. Demi kelancaran dalam menjalankan roda pemerintahan di Distrik Dumadama
perlu adanya penambahan tenaga / staf distrik PNS. (Minimal 10 Orang)
5. Perlu dilengkapi dengan fasilitas pendukung seperti ;
SSB (Radio Antar Penduduk), Aki Besar, Mesin Diesel 5000 KvH, Bahan
Bakar Solar, Bensin, oli supaya lancer tiap bulan, Solar sel (tenaga surya),
Laptop, DAN Hp (Satelit). Sekiranya perlu adanya perhatian dari Pemda
Paniai untuk kelengkapan fasilitas tersebut demi kelancaran tugas kita
bersama dan membangun Kabupaten Paniai
79
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
DOKUMENTASI KORBAN AKIBAT MUSIBAH
KELAPARAN
1. NAMA KORBAN
: TELIANUS DWITAU (22 Tahun)
ALAMAT
: JIMBASIGA/DOGOMO
DIAGNOSA
: MURNI KELAPARAN
TANGGAL WAFAT : BULAN SEPTEMBER 2007
KETERANGAN : KEMATIAN DISEBABKAN OLEH MURNI KELAPARAN
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
80
3. NAMA KORBAN
ALAMAT
DIAGNOSA
TANGGAL WAFAT
KETERANGAN
4. NAMA KORBAN
ALAMAT
DIAGNOSA
TANGGAL WAFAT
KETERANGAN
81
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
: ENOS DWITAU (15 Tahun)
: JIMBASIGA/DOGOMO
: MURNI KELAPARAN
: BULAN JUNI 2007
: KEMATIAN DISEBABKAN OLEH MURNI KELAPARAN
: NORPINUS WANDAGAU ( 3 Tahun )
: JEPESIGA/DOG0MO
: MURNI KELAPARAN
:NOVEMBER 2007
: KEMATIAN DISEBABKAN OLEH MURNI KELAPARAN
5. NAMA KORBAN
ALAMAT
DIAGNOSA
TANGGAL WAFAT
KETERANGAN
6. NAMA KORBAN
ALAMAT
DIAGNOSA
TANGGAL WAFAT
KETERANGAN
: HERINA BUKALENG ( 2 Tahun )
: JEPESIGA/DOG0MO
: MURNI KELAPARAN
:NOVEMBER 2007
: KEMATIAN DISEBABKAN OLEH MURNI KELAPARAN
: MIANUS HANOU ( 26 Tahun )
: JEPESIGA/DOG0MO
: MURNI KELAPARAN
: NOVEMBER 2007
: KEMATIAN DISEBABKAN OLEH MURNI KELAPARAN
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
82
DOKUMENTASI GIZI BURUK
1. NAMA
ALAMAT
KLASIFIKASI
Keterangan
1. NAMA
ALAMAT
KLASIFIKASI
Keterangan
83
: LASARUS DWITAU ( 2 Thn)
: DOGOMO
: GIZI BURUK
: Pasien dalam Pengobatan dan Perawatan di RSUD Paniai
:YUSTINUS DIMBAU ( 3 Thn)
: DOGOMO
: GIZI BURUK
: Pasien dalam Pengobatan dan Perawatan di RSUD Paniai
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
1. NAMA
ALAMAT
KLASIFIKASI
Keterangan
: SELIANA DIMBAU (2 Th)
: DOGOMO
: GIZI BURUK
: Pasien dalam Pengobatan dan Perawatan di RSUD Paniai
1. NAMA
ALAMAT
KLASIFIKASI
Keterangan
: YULIANUS DIMBAU (6 bin)
: DOGOMO
: GIZI BURUK
: Perawatan di RSUD Paniai
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
84
1. NAMA
ALAMAT
KLASIFIKASI
Keterangan
1.
85
NAMA
ALAMAT
KLASIFIKASI
Keterangan
: DESTIANA DWITAU (4 TH)
: DOGOMO
: GIZI BURUK
: Pengobatan dan Perawatan di RSUD Paniai
: ELANO BUKALENG ( 4 Thn)
: DOGOMO
: GIZI BURUK
: Perawatan di RSUD Paniai
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
7. NAMA
ALAMAT
KLASIFIKASI
Keterangan
: OPINUS HANOU (2 TH)
: DOGOMO
: GIZI BURUK
: Perawatan di RSUD Paniai
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
86
SURVEI ANAK GIZI BURUK DI DUMA DAMA
KABUPATEN PANIAI
PENERBANGAN DALAM RANGKA EVAKUASI
KORBAN GIZI BURUK DI DISTRIK DUMA DAMA
KABUPATEN PANIAI.
ANAK-ANAK DUMA DAMA YANG SEDANG MENUNGGU
PERTOLONGAN KESEHATAN, PENDIDIKAN DE MI MASA DEPAN
MEREKA.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
88
SUASANA PENANGANAN KASUS GIZI BURUK DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN
PANIAI.
KUNJUNGAN KEPALA DINAS KESEHATAN
DI BANGSAL ANAK RSUD KABUPATEN PANIAI
KEPALA DINAS KESEHATAN MEMELUK SALAH SEORANG ANAK GIZI BURUK DARI
DISTRIK DUMA DAMA DI RSUD PANIAI.
KABUPATEN PANIAI
87
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Ibu Yohana Dimbau(duduk) dan anaknya Saliana Dimbau (2 tahun)
bersama Team Investigasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Paniai.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Paniai, Bpk Yunus Gobay (Kanan)
dan Dokter yang mendampingi Team; Dokter Daniel (menggendong
Sariana/kiri)
Ibu Yohana Dimbau Dan Anaknya, Sariana Mendapat Perawatan
Intensif Di Rumah Sakit Umum Daerah ( RSUD )Kabupaten Paniai,
setelah dikirim dari Tim Investigasi dari Distrik Duma Dama, ke
Enarotali. (foto/Team)
SUASANA RUANG PERAWATAN, ANAK GIZI BURUK
KORBAN MUSIBAH KELAPARAN DISTRIK DUMA DAMA
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANIAI
89
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Ibu Anamilka Dimbau dan anak, Yustinus Dimbau (2 Tahun) :
Terharu: “ Anak Saya yang Pertama dipanggil oleh Tuhan, ketika Kami sedang bersiapsiap hendak meninggalkan rumah menuju ke Enarotali”
Ibu Anamilka Dimbau bersama anaknya, Yustinus Dimbau, di Evakuasi dari Distrik Duma
Dama ke Enarotali, dan akhirnya dirawat sacara intensif di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Kabupaten Paniai.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
90
PELAYANAN PENGOBATAN MASSAL Di lokasi MUSIBAH
KELAPARANDI DUMA DAMA.
SUASANA DALAM KEGIATAN PEMBAGIAN
KAPSUL VIT. A DAN PIRANTEL PAMOAT PADA ANAK-ANAK
DI DISTRIK DUMA DAMA OLEH TIM INVESTIGASI
DINKES KABUPATEN PANIAI
91
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
SUASANA PENJAJAKAN ISU KEMATIAN AKIBAT KELAPARAN DENGAN
TOKOH AGAMA
TOKOH MASYARAKAT, TOKOH PEMUDA DAN KEPALA SUKU UNTUK
CROSS CEK DATA DALAM RANGKA SURVEI DAN INVESTIGASI DI
LOKASI KEJADIAN
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
92
KUNJUNGAN BUPATI KABUPATEN PANIAI
DI DISTRIK DUMA DAMA
93
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
94
“Berbahagialah orang
Yang miskin di hadapan Allah,
Karena merekalah
Yang empunya Kerajaan Sorga”
(Khotbah di bukit, Matius 5-7)
95
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Bagian 7. Sebuah Studi Awal tentang Hepatitis, HIV,
dan Avian Influenza di Paniai
Jumlah total sampel yang terkumpul untuk studi Hepatitis yaitu 172 sampel.
Sampel diperoleh dari Puskesmas yaitu 128 sampel dan RSUD Paniai 44 sampel.
Sedangkan untuk studi Avian Influenza jumlah sampel dari Puskesmas yaitu 97,
RSUD Paniai 41, dan pasien HIV 14, tahun 2014 kerjasama dengan Institute of
Tropical Disease, Universitas Airlangga & Indonesia-Japan.
a. Hasil pemeriksaan serologi terhadap Virus Hepatitis
1. Prevalensi anti-HAV di Enarotali 99,4%, sedangkan di daerah lain di
Indonesia 40%. Hal ini menandakan lebih dari 90% sampel pernah terinfeksi
virus hepatitis A (VHA) dan memiliki antibody terhadap virus tsb. Penularan
VHA terjadi melalui fekal-oral yaitu melalui makanan, atau air yang terinfeksi
VHA.
2. Prevalensi HBsAg positif di Enarotali 12,8%, sedangkan di daerah lain di
Indonesia 4,4%. Menurut WHO prevalensi virus hepatitis B (VHB) dinyatakan
tinggi apabila prevalensi >8%. Hal ini menandakan bahwa prevalensi VHB
pada sampel tergolong tinggi. Penularan VHB terjadi melalui kontak dengan
darah yang terinfeksi VHB misalnya:melalui jarum suntik yang tidak steril,
donor darah yang terinfeksi VHB, dari ibu hamil kepada bayi, dan hubungan
seksual.
3. Prevalensi anti-HBc di Enarotali 59%, sedangkan di daerah lain 32%. AntiHBc merupakan penanda bahwa seseorang dengan anti-HBc positif pernah
terinfeksi VHB, atau dalam masa penyembuhan dari infeksi VHB. Hasil
tersebut menandakan lebih dari 50% sampel pernah terinfeksi VHB atau
sedang dalam masa penyembuhan infeksi VHB.
4. Prevalensi anti-HCV di Enarotali 1,3%, sedangkan didaerah lain 3%. Hal
ini menandakan bahwa prevalensi virus hepatitis C (VHC) masih tergolong
rendah. Namun, harus terus diwaspadai karena cara penularan VHB, VHC
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
96
sama dengan HIV.
5. Prevalensi anti-HEV di Enarotali 63,5%, sedangkan di daerah lain 11,6%. Hal
ini menandakan 63,5% sampel pernah terinfeksi virus hepatitis E (VHE) dan
memiliki antibody terhadap VHE. Penularan VHE terjadi melalui makanan
dan minuman yang tidak matang, kontak dengan hewan seperti babi yang
terinfeksi VHE, atau makan daging babi yang tidak matang.
6. Dari 16 sampel pasien yang telah terinfeksi HIV (HIV positif) didapat: 4
sampel dengan HBsAg positif, dan tidak ada sampel yang terinfeksi VHC.
Hal ini menandakan 4 sampel pasien HIV positif memiliki koinfeksi dengan
VHB.
b. Hasil Pemeriksaan serologi terhadap Avian Influenza (AI):
Pada Serum HA Inhibition Activity:
• H1pdm/2011 memiliki arti: virus H1 isolat yang pernah
menyebabkan
pandemic di dunia pada tahun 2011.
• H1 USSR/1976 memiliki arti: virus H1 isolat dari Rusia tahun 1976.
•
•
•
H3 Ud/1972 memiliki arti: virus H3 isolat dari Hongkong tahun 1972.
H5 Fedik/2010 memilik iarti: virus H5 isolat dari Indonesia tahun 2010.
% Sero protection: serum sampel memiliki antibody terhadap virus AI.
•
Average HI Titer: Kadar Titer pada serum dari antibody terhadap virus AI.
1. Pada Serum HA Inhibition Activity (% Sero protection) didapat:
1.1. Pada sampel dari Puskesmas: Prevalensi seroproteksi terhadap H1 lebih
dari 60%. Prevalensi seroproteksi terhadap H1 USSR berkisar 5-10%.
Prevalensi seroproteksi terhadap H3 Ud ±19%. Sedangkan prevalensi
seroproteksi terhadap H5 0%. Hal ini menandakan tidak ada satupun sampel
yang memiliki antibody terhadap H5 yang justru saat ini sedang menyebar
dan menjadi masalah di dunia.
1.2. Pada sampel dari RSUD: Prevalensi seroproteksi terhadap H1 lebih dari
60%. Prevalensi seroproteksi terhadap H1 USSR 0%. Prevalensi seroproteksi
terhadap H3 ±14%. Prevalensi seroproteksi terhadap H5 0%.
97
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
1.3. Pada sampel dari pasien dengan HIV positif: Prevalensi seroproteksi
terhadap H1 adalah 100%. Prevalensi seroproteksi H1 USSR ±15%.
Prevalensi seroproteksi terhadap H3 100%, dan Prevalensi seroproteksi
terhadap H5 adalah ±58%. Hasil prevalensi seroproteksi pada pasien HIV
cukup mengejutkan karena sangat berbeda dengan sampel dari Puskesmas
dan RSUD yang tidak terinfeksi HIV. Dari hasil tsb diduga sampel dengan
HIV positif pernah terinfeksi H5 yang saat ini menjadi masalah di dunia.
Kesimpulan dan Saran dari hasil studi ini:
1. Sampai saat ini belum ada studi /data terhadap hepatitis dan Avian Influenza
yang mewakili propinsi Papua. Studi ini merupakan studi awal terhadap Virus
Hepatitis dan Avian Influenza yang akan mewakili Propinsi Papua.
Saran: Dibutuhkan jumlah sampel yang lebih banyak lagi agar dapat mewakili
kondisi dari populasi di Kabupaten Paniai. Tim Peneliti berharap dapat
mengambil sampel yang lebih banyak lagi dari populasi di Paniai sehingga
didapatkan data yang lebih akurat.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan serologi terhadap VHA dan VHE didapatkan
hasil prevalensi yang cukup tinggi dibandingkan dengan daerah lain di
Indonesia sehingga diduga sanitasi atau pola hidup (makan dan minum)
masyarakat sangat rendah. Hewan jenis babi merupakan salah satu reservoir
VHE. Sehingga apabila seseorang mengkonsumsi daging babi setengah
matang maka dapat terinfeksi VHE.
Saran: Tim Peneliti membutuhkan sampel dari babi dan ayam yang ada di
Paniai dengan metode swab rongga mulut hewan tsb untuk dapat mengisolasi
VHE dan Virus Avian Influenza (AI). Hal ini untuk dapat melihat apakah ada
keterkaitan VHE dengan hewan jenis babi dan ayam yang ada. Selain itu
Virus AI hanya dapat diisolasi dari hewan yang terinfeksi bukan dari serum
manusia.
3. Dari hasil pemeriksaan seroproteksi terhadap virus AI didapatkan angka yang
cukup tinggi. Hal tsb menandakan sampel banyak yang pernah terinfeksi
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
98
VAI. Hal ini cukup mengejutkan Tim Peneliti karena Papua diperkirakan
hanya daerah dengan endemik malaria bukan Avian Influenza.
Saran:
• Diperlukan sosialisasi kepada Tenaga Kesehatan di lapangan untuk dapat
membedakan seseorang yang terinfeksi AI dengan yang terinfeksi malaria,
sehingga dapat diberikan terapi yang tepat. Karena baik pasien dengan
malaria atau AI dapat memberikan gejala klinis yang hampir sama.
•
Prevalensi seroproteksi terhadap H5 0% pada sampel dengan HIV
negative menandakan bahwa sampel tidak memiliki antibody terhadap virus
H5. Sedangkan sampel dari HIV positifl ebih dari 50% pernah terinfeksi H5.
Hal tsb harus diwaspadai karena suatu waktu virus H5 dapat menjadi
endemik di Enarotali atau Paniai karena dapat menular sedangkan
masyarakat belum memiliki antibody terhadap virus H5.
4. Tim Peneliti ingin mengambil sampel dari pasien dengan HIV positif lebih
banyak lagi selain dari RSUD dan Puskesmas juga dari kelompok-kelompok
khusus misalnya: PSK (pekerja seks komersil) dan kelompok transgender
(apabila ada).
5. Saat ini studi pada hepatitis masih dilanjutkan dengan pemeriksaan molekuler
untuk mendeteksi Genotipe dari VHB dan VHC pada sampel dengan HBsAg
positif, atau anti-VHC positif. Namun masih memerlukan waktu beberapa
bulan lagi karena tingkat pemeriksaan yang lebih kompleks.
6. Pencegahan terhadap penularan VHB, VHC dan HIV perlu dilakukan begitu
juga dengan sosialisasi di masyarakat, karena ke-3 virus tsb memiliki metode
penularan yang sama.
7. RSUD diharapkan memiliki pemeriksaan lanjutan terhadap VHB-VHC-HIV
seperti pemeriksaan viral load dan perlu disediakan obat-obatan sehingga
pasien dapat diberikan terapi.
99
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Rindu Ketentraman
Aku benci kekerasan
Aku benci pertengkaran
Aku tidak suka permusuhan
Aku tidak suka perselisihan
Aku rindu kasih sayang
Aku rindu saling menolong
Aku ingin kedamaian
Aku mendambakan tindakan santun
Seperti yang aku kenal
Masyarakat Indonesia
Dahulu, kini dan selamanya
(Anonym)
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
100
Bagian 8. Pendekatan Proaktif Berbasis Budaya Lokal
A.Latar Belakang
Kesehatan merupakan bagian dari kehidupan manusia sehingga setiap individu
dan masyarakat harus berupaya peningkatan derajat kehidupannya secara
optimal. Kesehatan juga merupakan hak paling utama yang mempunyai kedudukan
yang sama terhadap seluruh umat manusia sehingga dalam pelayananpun tetap
memperhatikan hak-hak sesama manusia dalam pemerataan, keadilan, antara
mayoritas dan minoritas, stratasosial tinggi dan rendah, antara masyarakat
pedalaman dan perkotaan.
Penyakit HIV AIDS adalah masalah global yang membawa dampak yang sangat
luas dalam sendi-sendi kehidupan manusia, untuk memberikan respons pada
epidemi ini masing-masing negara memiliki strategi yang berbeda–beda sesuai
dengan jumlah kasus dan sumber daya yang dimilikinya. Indonesia yang memiliki
berbagai provinsi dan kabupaten tentunya memilki kebijakan yang berbeda sesuai
kasus dan sumber daya yang dimilikinya.
Peta epidemi HIV di Indonesia menunjukkan bahwa HIV-AIDS sudah ada di
semua provinsi di Indonesia. Berdasarkan estimasi yang dilakukan pada tahun
2012, diperkirakan terdapat 591.823 ODHA. Tingkat epidemi HIV di Indonesia
adalah epidemi terkonsentrasi dimana prevalensi HIV tinggi di beberapa provinsi
dan pada beberapa populasi kunci. Sementara itu di Tanah Papua, epidemi HIV
nya adalah epidemi meluas (generalized epidemic), prevalensi HIV sudah tinggi
di populasi umum. Terlihat disini bahwa ODHA cukup banyak di pulau Jawa dan
Tanah Papua (Kemenkes RI, 2013).
Peningkatan penyebaran dan penularan penyakit HIV/AIDS di Provinsi Papua
50 kali lebih tinggi dibandingkan propinsi lain di Indonesia (Kompas, 2007), hal
ini dapat dibuktikan dengan data hasil analisis Survei Terpadu HIV dan Prilaku
(STHP) pada tahun 2006, menunjukan bahwa prevalensi HIV di Tanah Papua
adalah 2,4%, pada semua kelompok usia, angka ini lebih tinggi dari pada semua
101
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
daerah di Indonesia, berdasarkan topografi perkembangan penyakit ini sangat
bervariasi, berdasarkan survei ini kasus yang dilaporkan adalah daratan tinggi
2,9%. Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua bahwa untuk data HIV / AIDS
provinsi sampai tahun 2012 adalah berjumlah 12.187 kasus (Profil Kesehatan
Papua 2012).
Data kasus sampai dengan akhir Januari 2013 di Kabupaten Paniai, berjumlah
2.557 kasus yang terdiri dari 1.191 kasus HIV dan 1.366 kasus AIDS dengan
komulatif kematian yang tercatat sebanyak 260 (10%), sementara yang
memperoleh Antiretroviral (ARV) hanya 115 orang atau 4,5% dari total kasus HIV
AIDS di Kabupaten Paniai. Data diatas diartikan 95,5%, belum terakses ARV,
rendahnya ODHA yang menerima layanan ARV di Rumah Sakit dan Puskesmas
dapat berpeluang besar menurunkan kualitas hidup ODHA (DinkesPaniai, 2012).
Beberapa faktor yang berpengaruh tingginya kasus HIV / AIDS dan rendahnya
akses ARV adalah faktor resiko tingginya kasus ini melalui sex bebas sebanyak
82% dan 18% lain belum jelas faktor resiko. Sebagai bahan bakar terjadinya sex
bebas karena adanya budaya emaida, tegauwa ser ta sedang tergesernya nilai,
norma budaya asli akibat pengaruh otonomi daerah serta penambangan emas
mendorong peredaranuang yang tinggi di masyarakat (Leslie Butt, dkk, 2010)
dan rendahnya akses ARV adalah karena geografis, transportasi dan komunikasi,
rendahnya kemampuan pembiayaan serta faktor sosial budaya lain (Amibor PO
gunrotifa AB, 2012). Kurangnya dukungan, rendahnya pelayanan kesehatan
dan yang rasis, kurangnya informasi, semuanya membatasi orang untuk akses
hak, semuanya itu merupakan pemicu stigma informasi dipegunungan Papua
(LeslieButt, Jack Morin, dkk, 2010).
Berdasarkan pengamatan peneliti bahwa kondisi nyata yang dialami pada
masyarakat Mee Papua, sangat berbeda yaitu komunikasi pemberi dan penerima
layanan rendah. Layanan tidak mengunakan bahasa lokal, ruangan perawatan
yang dingin terutama penderita ketika diminta untuk rawat inap di Rumah Sakit
atau Puskesmas Perawatan (tak mampu menahan suhu dingin, karena masyarakat
terbiasa tidur dekat api di honai). Hampir 85% wilayah Kabupaten Paniai berupa
pegunungan sedangkan kemiringan tanah antara 0–8% dan beriklim dingin
dimana terdapat dua musim yaitu musim hujan dan kemarau rata-rata 90–129
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
102
hari pertahun. Keadaan iklimnya, tidak berbeda jauh dengan di Papua lainnya.
Suhurata-tara 23,3–31,6 derajat Celcius dan kelembaban nisbi rata-rata 84% serta
tekanan udara rata-rata 15,83 MBS. Kecepatan angin rata-rata 3,8 mperdetik.
Letak Kabupaten Paniai berada pada daerah Pegunungan Tengah pulau Papua,
ketinggian 1.800 kaki dari permukaan air laut.
Ketidakmampuan penderita dan keluarga dalam adaptasi dengan keadaan diunit
layanan (terutama bila penderita tersebut rawat tinggal). Hal ini dapat diperkuat
dengan perilaku yang menyimpang dari tenaga kesehatan, pelayanan yang
tidak sesuai standar, kondisi yang terjadi diluar pelayanan kesehatan, penilaian
yang negatif dari tenaga kesehatan pada ODHA, fasilitas yang kurang, trauma
sebelumnya, nilai, karakter hal ini berkaitan dengan ketidakmampuan, masyarakat
yang hidup dalam ketakutan yang berkepanjangan dan komitmen petugas
semuanya terjadi sebagai pemicu terjadinya stigma (Aty Uleng Hamid, 2011).
Adanya daerah operasi militer (DOM) yang berkepanjangan sehingga sulit bagi
keluarga dan penderita kembali keunit layanan untuk ambil obat lagi, adalah
beberapa faktor rendahnya akses layanan.
Berdasarkan hasil penelitian di SubSahara-Afrika (Norma C. Ware, Jhon Idoko, dkk
2011) mengatakan bahwa peran bantuan sosial sangat besar dalam meningkatkan
kepatuhan sukses terapi anti retroviral, melalui penelitian ini menunjukan bahwa
orang yang memakai ARV rutin setiap hari mengatasi hambatan ekonomi,
dengan strategi bahwa kepatuhan adalah prioritas, selain itu dukungan sosial
yang diberikan dosis yang diminum, dukungan (dorongan), perhatian sentuhan
komunikasi, bantuan makanan, perumahan, bantuan transportasi, akan
meningkatkan cakupan layanan ARV di Afrika-Uganda (Agnes Binagwaho dan
Niloo Ratnayake, 2004). WHO (1999) menerbitkan buku “Removing Obstacles to
Healthy Development” melaporkan beberapa Success Stories yaitu keberhasilan
menurunkan prevalensi HIV di Uganda dengan pendekatan pendidikan seks,
promosi kondom telah menurunkan penyakit menular seksual di antara Pekerja
Seks Komersial di India, promosikondom telah menurunkan kejadian HIV pada
tentara di Thailand. Di Negara Sub-Saharan seperti Zambia yang mengalami
dual epidemik HIV dan TB dengan keterbatasan sumber ekonomi maka pada
akhir tahun 1980, Zambia berhasil memperkenalkan program “home based
103
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
care”. Pada tahun 1998 diprakarsai Ndola Catholic Diocese, melalui Copperbelt
program atau program home care ini telah menjangkau 23 kota dengan total
populasi 400,000. Kesuksesan d iprogram ini didukung oleh 500 sukarelawan
yang hampir semua adalah wanita. HIV/AIDS dan TB karena telah menjangkiti
keluarga, tetangga, sahabat mereka dan bagian dari kehidupan sehari-hari mereka
(G&A Williams, dkk, 1999). Keberhasilan CHBC (Community Home Based Care)
dilaporkan oleh Emily Browning (2008) di Botswana yang pada tahun 2005 telah
mengikutsertakan 2.577 pasien dalam program CHBC tersebut. Seperti dikutip
dalam Browning (2008), Ogden dkk tahun 2004 mengatakan pembentukan
pelayanan kesehatan dan dukungan program untuk penderita HIV/AIDS masih
lebih bersifat reaktif daripada respon yang proaktif. Tantangan pendekatan HIV/
AIDS ke depan tentunya mengarah kekegiatan proaktif yang memperbaiki akses,
mencegah penularan penyakit, memperbaiki kualitas hidup orang menderita HIV/
AIDS dan keluarganya. Pemahaman tentang prilaku kesehatan sangat dibutuhkan
dalam memperbaiki pelayanan HIV/AIDS yang menjamin ketersedian (availability),
kemudahan jangkauan (affordability), kemudahan akses (accessibility) dan
penerimaan (accepatability) (O’Sullivan dkk,2003). Lebih jauh Susana HausmannMueladkk. (2003) dalam paper: “Health–seeking behavior and the health system
response” menyatakan memahami prilaku manusia merupakan syarat utama
perubahan prilaku dan memperbaiki pelayanan kesehatan. Model prilaku
mencari pertolongan kesehatan (Health-Seeking Behaviour Models) telah banyak
digunakan dalam penelitaian HIV/AIDS seperti: a) The Health Belief Model (HBM)
dari Sheeran dan Abraham (1995); b) The Theor y of Reasoned Action (Fisbein
& Ajzen) dan The Theory of Planned Behaviour (Conners&Sparks,1995); c)The
Health Care Utilisation Model (Andersen & Newman, 1973) kemudian dimodifikasi
oleh Kroeger tahun 1983; d)Thefour As; e) Pathway models dari Good(1987) dan
f)Ethnografic decision– making models, mengalami beberapa kritik antara lain:
Studi prilaku mencari pertolongan kesehatan telah mendapatkan karakteristik
untuk menjelaskan prilaku manusia yang pada penerapan kesehatan masyarakat
berupa: alasan keterlambatan penemuan dalam pengobatan, ketidakpatuhan
pengobatan dan tidak menggunakan pelayanan yang diberikan, namun modelmodel ini kurang memperhatikan dari segi petugas kesehatan yang banyak
menuduh ketidakmampuan prilaku mencari pertolongan kesehatan semata-mata
karena individu / pasien. Umumnya health-seeking behavior models berasumsi
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
104
bahwa individu / pasien ingin mendapatkan pelayanan maksimal sehingga
bagaimana mendapatkan keuntungan pelayanan setinggi-tinggi, namun kurang
memperhatikan aspek emosional maupun non rasional dari prilaku masyarakat.
Selanjutnyamodel-modeltersebut berusaha memahami faktor-faktor utamadanyang
memberatkan prilaku,tetapikenyataannya faktor-faktor utama, (key factors) itu
tidak dapat dipungkiri sangat tergantung konteks dimana masyarakat berada,
tergantung musim, tingginya pekerjaan, pengertian dari pengobatan tradisional,
konfliksosial dimana orang atau keluarga terlibat di dalamnya.Studi prilaku mencari
pertolongan kesehatan banyak mengfokuskan pada ketidaksetaraan pelayanan
gender. Kenyataannya ketidaksetaraan (inequalities) dapat terjadi dalam konteks
sosial dan tingkat sosial manapun, walaupun diasumsikan di negara berkembang
dan negara miskin banyak mengenai kesehatan perempuan.
Hak hidup dan hak mendapat pelayanan kesehatan yang baik adalah tujuan dan
harapan semua manusia, untuk itu semua manusia mempunyai cara berbeda
dalam rangka mempertahankan kehidupannya lebih baik. Berkaitan dengan
hal ini khusus suku Mee Paniai Papua, mencari solusi agar keluarganya dapat
perawatan yang baik dan nyaman. Masyarakat di daerah ini memiliki kesadaran
yang baik untuk mendapatkan layanan pada fasilitas kesehatan yang disiapkan
namun karena berbagai faktor dapat mempengaruhi aksesnya, sehingga praktek
pelayanan di rumah menjadi pilihan bagi suku Mee Paniai Papua, bila hal ini terus
berlanjut tanpa solusi maka angka putus obat tentu akan terus bertambah, untuk
itu perlu upaya menaikan angka cakupan akses ARV bagi ODHA di masyarakat
Papua melalui jejaringan kolaborasi antara petugas kesehatan, keluarga, gereja
dan masyarakat.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, fenomena nyata memperlihatkan besaran
masalah HIV/AIDS di Tanah Papua khususnya daerah pengunungan adalah
tingginya kasus HIV/AIDS dan rendahnya akses ARVdi daerah Paniai. Suku
Mee masih merasakan kesukaran mengakses layanan kesehatan pemerintah.
Pendekatan penanggulangan HIV/AIDS didunia telah berhasil dilakukan dengan
berbagai metode seperti penggunaan kondom, pendidikan seks dan home
care (WHO (1999); G&A Williams, dkk (1999), Emily Browning (2008)).Berapa
teori Health Seeking Behaviour Model telah dikembangkan dan diterapkan
105
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
untuk memperbaiki akses pelayanan kesehatan namun masih memberikan
keterbatasan (Susana Hausman- Muela dkk ,2003). Pertanyaan penelitian yang
diajukan: (1) Bagaimana membuat dan memahami suatu model pelayanan
kesehatan yang dapat memperbaiki akses kesehatan yang dapat diterima oleh
masyarakat Mee dan pelayanan kesehatan pemerintah? (2) Bagaimana model
pendekatan komprehensif yang proaktif sebagai inisiatif memperbaiki akses
kesehatan bagi yang mengalami HIV/AIDS dan keluarganya dapat efektif dan
berkesinambungan? Signifikansi: penanggulangan dan penelitian HIV/AIDS
sebelumnya masih banyakmenggunakan satu cara atau dua cara saja (parsial).
Kebaharuan penelitian ini akan menggunakan beberapa pendekatan pelayanan
kesehatan yang proaktif (comprehensively proactive approaches) pada suku Mee
dan pemerintah (provider) dengan mengangkat isu lokal spesifik dan kearifan
lokal dalam pengembangan strategi penanggulangan HIV/AIDS, memperbaiki
Akses Pelayanan Kesehatan dan digunakan dalam pembuatan teori baru Health
Seeking Behaviour. Asumsi teori-teori Health Seeking Behaviour yang ada masih
paradigm Barat, mungkin berbeda dengan paradigm masyarakat di belahan
Timur dunia khususnya pedalaman. Semangat desentraliasasi daerah dan
tindakan Affirmative Action dalam agenda otonomi khusus Papua menjembatani
mencari strategi penanggulangan HIV/AIDS yang lebih baik dengan slogan klasik
“think globally and act locally”.
I. Hasil dan Analisa Kualitatif.
1. Memo, merupakan teori yang kita buat dan ditulis dalam bentuk naratif
sehingga hubungan antara kategori inti atau variabel-variabel dapat
diterangkan. Untuk memudahkan memo ini dibuat gambar dan bagaimana
teori ini bekerja.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
106
PROACTIVE HEALTH SEEKING BEHAVIOUR
Energi 2
8.Wa jib Periksa
7. Nilai dan Norma
9.Pelayanan yang
6. Penget ahuan
dirasakan
10. Dukungan masyarakat /
Stakeholders
Proaktif,Inovatif,Comprehensif
3. Sikap Pemimpin
5. Sikap Petugas
4.Kearifan Lokal
Penentu
Regulasi (Otsus)
1. Isu (polit ik,
Kemanusiaan)
Berkesinambungan
Terus menerus
Pasien
Pendekatan
Sosial Budaya
Provider
2. Fakt a
Energi 1
Gambar 1. Model Prilaku Mencari Pertolongan KesehatanProaktif ( Proactive
Health Seeking Behaviour /dikembangkan peneliti)
Memo
Mencari pertolongan kesehatan proaktif artinya menempatkan pasien
/ masyarakat dan petugas kesehatan / provider secara interaktif untuk
mendapatkan pertolongan yang efektif, efisien dan berkesinambungan.
Proaktif dapat dimulai dari energy satu yaitu dari Pemberi Pelayanan
kesehatan (provider) bergerak proaktif didorong oleh Isu (Politik,
Keamanan), Fakta (Data Kesehatan), Sikap Pemimpin (Yang berani
melakukan inisiatif perubahan), Kearifan lokal yang ada di masyarakat
dapat digunakan sebagai senjata pendekatan sosial budaya untuk
mencairkan kebekuan antara masyarakat dan petugas Kesehatan.
Sikap pemimpin paling menentukan untuk memulai suatu perubahan.
Lokal situasi seperti regulasi atau otonomi khusus memberikan ruang
107
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
untuk pemimpin melakukan suatu perubahan berdasarkan situasi
lokal. Energi Dua mendorong pasien dan masyarakat untuk mencari
pertolongan kepada petugas kesehatan melalui meningkatnya
pengetahuan, norma dan nilai budaya lokal yang mendukung. Dengan
pengetahuan yang cukup dan kesadaran wajib periksa dapat dilakukan
tanpa unsur paksaaan. Pelayanan yang menyentuh masyarakat telah
membangkitkan kesadaran dan kepercayaan untuk mau datang
dan berobat ke sarana pelayanan kesehatan. Akhirnya dukungan
masyarakat dan stakeholder akan mendorong masyarakat untuk
terciptanya perubahan prilaku hidup sehat dan meningkatkan partisipasi
dalam program pelayanan kesehatan. Usaha yang terus menerus
dan berkesinambungan menjamin perubahan sikap masyarakat dan
petugas kesehatan menjadi proaktif. Pemberian pelayanan yang
paripurna (komprehensif) dan kegiatan yang inovatif sangat diperlukan
dalam membuat perubahan-perubahan itu. Dua kubu antara Penerima
Kesehatan dan Pemberi Pelayanan Kesehatan harus kawin dalam
membuat perubahan, percepatan pelayanan kesehatan di Papua.
2. Berdasarkan konteks lokal Suku Mee di Kabupaten Paniai maka terbentuk teori
baru yang diberi nama Teori Prilaku Mencari Pertolongan Kesehatan Proaktif
(Proactive Health Seeking Behaviour Theory).
Teori Prilaku Mencari Pertolongan Kesehatan Proaktif (Proactive Health Seeking
Behaviour Theory) mempunyai 10 variabel yaitu Isu (Issue), Fakta (Facts), Sikap
Pemimpin (Leader attitudes), Kearifan lokal (Local Wisdom), Sikap Petugas
Kesehatan (Health Provider Attitutes), Pengetahuan Masyarakat (Knowledge of
community), Nilai & Norma Masyarakat (Values & Norms), Wajib Periksa (mandatory
/ Regular Examination), Pelayanan yang dirasakan (Service Satisfaction) dan
Dukungan Masyarakat / Stakeholder (Community / Stakeholders supports)
Proposisi:
1. Perubahan Prilaku Kesehatan dapat terjadi dengan cepat melalui pendekatan
Proaktif yang menjembatani antara Pemberi Pelayanan Kesehatan (Provider)
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
108
maupun Penerima Pelayanan Kesehatan (Resepien) yaitu penderita atau
masyarakat.
2. Perubahan Prilaku Kesehatan dapat terjadi dengan cepat apabila keinginan
dan sikap Pemberi dan Penerima dapat menyatu melalui pendekatan sosial
budaya dan usaha yang terus menerus.
3. Perubahan prilaku proaktif mencari pertolongan kesehatan digerakkan oleh
Pemberi Pelayanan karena Sikap Pemimpin, Isu, Fakta, Kearifan Lokal, dan
Sikap Petugas. Sedangkan Penerima Pelayan digerakkan oleh Pengetahuan,
Nilai dan Norma, Wajib Periksa, Pelayanan yang dirasakan dan Dukungan
Masyarakat / Stakeholders.
4. Makin kuat faktor-faktor dorongan proaktif Pemberi Pelayanan Kesehatan
dan Proaktif Penerima Pelayanan Kesehatan maka makin cepat perubahan
atau percepatan pembangunan kesehatan dapat terjadi.
Asumsi
Penerapannya teori ini pada suatu wilayah dapat dilakukan apabila pemimpin
yang bagus, punya hati yang peduli dan berani serta didukung oleh sumber daya
serta nilai dan norma yang mendukung. Situasi daerah yang aman , tanpa tekanan
dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah atau pemberi pelayanan relatif
cukup.
2. Hasil dan Analisa Kuantitatif
Data kuantitatif berupa statistik deskriptif digunakan untuk mendukung data
kualitatif atau teori yang sudah terbentuk. Pembuktian bahwa sebelum dilakukan
intervensi dan sesudah dilakukan intervensi (Experemintal) telah membuktikan
terjadi perubahan penerapan pendekatan ini. Data terkini tentang situasi HIV/
AIDS 2013 dikumpulkan dari KPA Paniai dan RSU Paniai.
109
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Angka Te sting dan Reaktif Tahun 201 3
Testing
2001
Reaktif
485
487
373
180
2 5 3 2 13
Jan
Feb
176
Mar
46
108
94
12
Apr
7
5
Mei
Jun
5722
Jul
108
27
Agust
25
Sep
16
Okt
22
Nov
160
12
Des
Total
Catata n
Bulan desembe r Te rliha t rendah ka rena , hanya data RSUD saja , dan RSUD lakukan tutup buku
pelaporan pada tanggal 13 desembe r 2013, sebelum a khi r pe riode pelaporan yang biasanya
di tutup pada tanggal 25 setiap bulan.
Grafik 2. Cakupan dan Angka positif Kasus HIV di Paniai 2013
Grafik ini menunjukkan dari bulan Januari – Juli 2013 cakupan program sebelum
dilakukan inter vensi jumlah orang yang melakukan test HIV sebanyak : 368 orang
atau rata-rata orang dilakukan test selama 7 bulan adalah 6 orang setiap bulan.
Hasil yang reaktif (positif) sebanyak :58 orang. Pada tanggal 1 Agustus 2013,
Bupati Kabupaten Paniai melakukan Launching Pemeriksaan HIV masal.Sejak
bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 nampak kencenderungan terjadi
peningkatan. Total cakupan pada 5 bulan terakhir adalah: 1633 orang dan kasus
yang reaktif sebanyak 102 orang. Pada bulan desember data belum semua
lengkap karena hanya berasal dari RSU Paniai. Rata-rata orang diperiksa setiap
bulan pada 5 bulan terakhir sebesar 323 orang. Jadi jika dibandingkan rata-rata
perbulan pre dan post intervensi terjadi peningkatan cakupan sebanyak 53 kali
lipat.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
110
Fanding Rate Tahun 2013
Testing
Fanding Rate
2001
Reaktif
39%
35%
26%
15%
14%
12%
485
7%
373
5%
487
8%
7%
5%
3%
180
108
94
253
213
17 6
46
12
7
5
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
5722
Jul
108
27
25
16
22
12
Agust Sep
Okt
Nov
Des
160
Total
Grafik 3. Proporsi Penemuan Kasus di Kabupaten Paniai 2013
Berdasarkan data 2013 ini dari total cakupan dalam satu tahun adalah 2001 orang
dan total kasus reaktif sebanyak 160 orang, maka proporsi kasus reaktif (positif)
HIV/AIDS sebanyak 8% , hal ini menunjukkan kurang lebih 3x lipat lebih tinggi dari
data Prevalensi HIV di Tanah Papua sebesar 2,4% berdasarkan Survei Terpadu
HIV & Prilaku (STHP) pada tahun 2006. Dapat pula diartikan ada 8 di antara
100 orang usia produktif di Paniai diperkirakan beresiko menderita HIV/AIDS.
Pada penelitian ini, tidak menampilkan usia tetapi hal ini penting untuk melihat
trend penularan pada usia yang lebih muda dari tahun ke tahun.Data ini juga
tidak menampilkan data gender yang penting untuk menilai aksesibilitas terhadap
pelayanan kesehatan dan juga penularan HIV di antara perempuan muda dan ibu
rumah tangga.
111
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Cascade Layanan CST di Kab Paniai
HIV Positif
Kasus baru mendapat Kotri
Kasus baru Yang memulai ART
Kasus baru masuk Perawatan
Kasus baru memenuhi syarat ART
27
25 25 25 25
93%
25
88%
22
21
22 22
22
16
14 14 14
50%
12
11 11 11
38%
32%
7
6
Agus
Sept
Okt
Nov
8
9
8
6
Dess
Grafik 4. Layanan CST di Kabupaten Paniai 2013
Pada grafik di atas memberi gambaran kualitas pelayanan program HIV di
RSU Paniai melalui kegiatan CST (Care, Support and Treatment) merupakan
tindak lanjut dari program VCT yaitu penanganan pasien HIV ditambah dengan
memberikan dukungan perawatan dan pengobatan .CST merupakan perawatan
komprehensif (menyeluruh dan berkesinambungan). Dari 5 bulan terakhir, pasien
HIV /AIDS berjumlah 102 orang , dimana 80 orang telah memenuhi syarat diberi
ARV namun hanya 60 orang saja yang sempat diberikan pengobatan ARV
(82.5%). Ada 80 orang menerima kotrimoksasol sebagai pencegahan terhadap
infeksi oportunistik. Dari data ini berarti akses terhadap obat ARV sudah lebih baik
daripada data tahun-tahun sebelumnya hanya 4,5%.
I. Diskusi dan Temuan Baru
Peneltian ini telah menunjukkan bahwa hasil kualitatif terbentuknya teori Mencari
Pertolongan Kesehatan Proaktif (Proactive Health Seeking Behaviour) sejalan atau
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
112
didukung oleh hasil kuantitatif terjadi perubahan yang signifikan antara sebelum
dilakukan inter vensi dan sesudah dilakukan inter vensi yaitu setelah dilakukan
launching pemeriksaan HIV masal oleh Bupati Paniai pada tanggal 1 Agustus
2013.
Temuan dalam penelitian cukup signifikan terhadap kontribusi teori health seeking
behavior yang mana, teori –teori besar Prilaku Kesehatan sebelumnya lebih
mengfokuskan kepada penderita oleh masyarakat seperti : a) The Health Belief
Model (HBM) dari Sheeran dan Abraham (1995) ; b) The Theory of Reasoned
Action (Fisbein & Ajzen) dan The Theory of Planned Behaviour (Conners & Sparks,
1995); c) The Health Care Utilisation Model (Andersen & Newman,1973) kemudian
dimodifikasi oleh Kroeger tahun 1983; d) The Four As; e) Pathway models dari
Good (1987) dan f) Ethnografic decision-making model (Garro,1998 dan Weller,
1997) seperti dikutip Susana Hausmann Muella dkk (2003). Pada penelitian ini telah
menyatukan antara penerima pelayanan (resepien) yaitu penderita dan masyarakat
terhadap pemberi pelayan (provider) yaitu petugas kesehatan atau pemerintah/
swasta. Situasi dua arah yang mengawinkan menjadi satu untuk bekerjasama
melakukan suatu perubahan ataupun percepatan. Memberikan akses sebesarbesarnya dan menjadi universal access dalam pelayanan khususnya dalam
pemeriksaan,perawatan dan pengobatan ODHA dan memberikan dukungan
kepada mereka.
Teori-teori Prilaku kesehatan banyak mendiskusikan faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan seperti variabel yang biasa kita kenal adalah : fakta, sikap
petugas, pengetahuan masyarakat, nilai dan norma yang ada dalam masyarakat
dan dukungan masyarakat / stakeholder. Namun dalam teori baru “Mencari
Pertolongan Kesehatan Proaktif“ didapatkan variabel-variabel yang baru muncul
dalam konteks lokal khususnya suku Mee di Paniai yaitu : Isu politik / keamanan,
kearifan lokal, sikap pemimpin dan wajib periksa. Teori ini memunculkan kekuatan
pendekatan sosial budaya yang hidup dalam masyarakat yang kita kenal sebagai
nilai dan norma budaya, dipakai sebagai suatu kearifan lokal oleh provider dalam
kampanye dan usaha mendekatkan pemberi pelayanan dan penerima pelayanan,
sebut saja jargon: Itano bokaine dana wadona bokaine artinya hari ini juga mau
mati besok juga mau mati, berkaitan dengan hal ini pemeriksaan kesehatan
113
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
atau test HIV jangan takut. Masyarakat Mee menganggap kematian itu suatu hal
yang biasa dialami oleh semua makhluk sehingga pemeriksaan HIV masal tidak
dianggap sebagai masalah. Akiyaa Akikida Doutow artinya tubuh anda sendirilah
yang jaga. Umur panjang di bumi ditangan anda sendiri, masyarakat tidak boleh
takut memeriksakan diri. Lebih jauh hal ini juga sejalan dengan paradigm baru
kesehatan yaitu kita perlu rajin memeriksakan diri maupun berolah raga dan
mengubah gaya hidup kita lebih sehat. Sehat itu adalah pilihan (Health is a choice).
Wajib periksa disini walaupun mempunyai arti keharusan namun bukan suatu
paksaan, masyarakat dengan pengetahuan yang bertambah maka timbullah suatu
kesadaran untuk memeriksakan dirinya. Dalam suatu laporan pemeriksaan masal
HIV/AIDS ditulis. “Suatu pandangan yang luar biasa, masyarakat memberikan
tangan mereka untuk diambil darahnya ,tidak ada yang takut diperiksa, kemudian
di ruang konseling, pasien dan dokter membuka amplop yang berisi hasil.Mereka
dengan muka yang bersinar, bangga dan senang, tahu akan statusnya. Dokter
bilang saya punya hasil [email protected] senang@saya tidak kena HIV, saya
diminta datang 3 bulan untuk periksa lagi di Rumah sakit atau di puskesmas“.
Selain itu budaya ebamukai sebagai solusi kebersamaan, saling tolong menolong
dalam menghadapi permasalahan keterbatasan ekonomi dalam keluarga atau
masyarakat. Budaya Oweda pemanfaat pekarangan rumah. Nilai dan dan norma
yang ada di masayarakat ini dapat dipergunakan untuk mengurangi stigma. Variabel
lain yang sangat menentukan dan mengerakan adalah sikap pemimpin yang
peduli dan berani untuk membuka gagasan pemeriksaan masal HIV. Pemimpin
dipandang sebagai panutan, Bupati dan jajarannya serta tokoh-tokoh agama dan
masyarakat memberi darahnya untuk diperiksa. Sikap pemimpin yang proaktif
untuk membuat pembaharuan karena didukung oleh regulasi / Otonomi khusus
yaitu Affirmative Actions dapat mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan
untuk menolong masyarakat. Otonomi khusus memberikan perlindungan khusus
bagi orang asli Papua. Isu-isu yang berkembang selama ini adalah isu pembiaran
dan kepunahan asli orang Papua. Secara manajemen fakta yang radikal seperti
tingginya kasus HIV dan kematian akibat penyakit ini harus ditindak secara ekstrim
pula. Tindakan yang biasa-biasa hasilnya akan biasa-biasa pula. Tindakan yang
luar biasa atau dilakukan tidak seperti biasa diharapkan bisa membuat suatu
perubahan dan menyelamatkan manusia Papua.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
114
Fenomena pendekatan proaktif secara bertahap mengurangi konsep sakit
orang Papua. Sakit menurut pandangan orang Mee bila seorang tidak dapat
makan atau tidak dapat minum ser ta tidak dapat berjalan. Konsep sakit seperti
ini diduga membuat orang Papua tidak memeriksa kesehatannya secara teratur
atau datang dalam keadaan sakit yang telah parah atau terlambat (delay of
presentation). Data HIV/AIDS di Papua menunjukkan kasus yang sudah lanjut
menjadi AIDS dan membutuhkan terapi cukup banyak. Proaktif dalam hal ini dapat
diartikan bahwa memberikan pengobatan ARV pada penderita HIV sesegera
mungkin dengan memberikan konseling dan pendampingan yang adekuat. Ada
beberapa alasan mendasar pemberian ARV tanpa memandang kadar CD4 atau
melihat stadium klinis berdasarkan criteria WHO karena belum ada penelitian
melihat perbandingan penurunan daya tahan tubuh orang Papua terhadap
HIV. Berdasarkan pengalaman yang ada proses masuk ke dalam stadium AIDS
cukup cepat karena masyarakat khususnya suku Mee makan sehari-hari sangat
sederhana alias masih banyak makan kurang bergizi dan hanya minum air putih,
dan akan lebih kurang asupannya kalau mereka sakit atau tidak bekerja. Konsep
sakit yang melekat dalam diri orang Mee membuka peluang melakukan hubungan
seks bukan dengan pasangan sehingga dapat terjadi penularan. Masyarakat
belum menganggap dirinya sakit kalau mereka masih bisa jalan atau masih bisa
makan.
Gambar 5. Virus HIV dan pemberian ARV
115
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Secara teoritis seperti diperlihatkan pada gambar di atas dengan memberikan
ARV maka jumlah virus akan sangat kecil sehingga paling tidak akan mengurangi
resiko penularan. Lebih lanjut hal ini akan mengurangi isu pembiaran yang sering
memberikan efek politis. Masyarakat Mee dan daerah pegunungan lainnya
mengalami suhu lingkungan ekstrim daya tahan tubuh cepat turun dalam keadaan
sakit.Asumsi lain jika diberikan ARV terlambat maka banyak sistem organ yang
telah rusak jika pasien diberi obat pada keadaan demikian maka efek samping
obat sangat besar dirasakan pasien. Pemberian ARV lebih awal akan secara
perlahan akan mengurangi stigma, bahwa HIV itu akan memberikan dampak klinis
yang mengerikan. Rendahnya akses ARV di Papua juga mungkin disebabkan
ketidakmampuan petugas dalam menentukan kapan diberikan obat ARV menurut
stadium WHO dan tidak tersedianya pemeriksaan CD4. Pengamatan peneliti bahwa
ada petugas kesehatan (dokter) yang takut atau tidak tahu memberikan obat ARV
dan juga masih ada petugas yang sifatnya menunggu compliance menggunakan
obat kotrimoksasol, sehingga tidak jarang walau pasien telah ditangani di rumah
sakit atau sudah diketahui status HIV cukup lama meninggal karena terlambat
pemberian ARV. Oleh karena alasan –alasan di atas pentingnya pelatihan –
pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas kesehatan
baik dokter maupun perawat dalam mendiagnosa dan memberikan terapi, serta
mutu pemeriksaan laboratorium sebagai penunjang diagnosis. Alat serta bahan
pemeriksaan juga dibutuhkan. Tim konseling dibutuhkan dalam mengarahkan
dan menyiapkan clien untuk mengetahui statusnya, supaya taat berobat untuk
mencegah resistensi obat dan konseling diharapkan akan mengubah prilaku pasien
dan keluarganya. Ketersedian obat adalah mutlak, untuk mengurangi beban biaya
disarankan menggunakan obat generik. Mendekatkan obat dan pelayanan HIV
sedekat mungkin kepada masyarakat dengan membuka VCT mobile, puskesmas
dapat melakukan tes dan diagnosis serta rumah singgah (Home based Care).
Rumah singgah disini dapat digunakan sebagai tempat komunikasi antara petugas
dan masyarakat dan mendapat pelayananan menggunakan bahasa lokal.
Penelitian ini juga mengamati pendekatan yang komprehensif seperti ditemukan
dalam wawancara psikologis penderita atau masyarakat diperhatikan, masalah
akses jarak, pelayanan kesehatan di puskesmas baik dalam gedung maupun
pelayan VCT bergerak. Rumah sakit telah mengadopsi CST (Care Support and
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
116
Treatment) telah memberikan pelayanan pemeriksaan, perawatan, pengobatan
dan dukungan bagi ODHA. Beberapa CST akan terus dikembangkan . Penyakit
HIV/AIDS dibuat tidak eksklusif (dikhususkan) tetapi menjadi inklusif dianggap
sebagai penyakit biasa seperti halnya penyakit jantung, penyakit diabetes
dan penyakit hipertensi yang harus menelan obat seumur hidup. Untuk lebih
mendekatkan pelayanan ke masyarakat maka dikembangkan HomeBased Care
dalam hal ini berupa Rumah Singgah. Konsep Rumah Singgah dikembangkan
dari nilai dan norma budaya owada oeda yang memandang rumah sebagai
harga diri (keselamatan). Karena masyarakat Mee menganggap Firman Tuhan
ada disitu maka harus pulang ke rumah, karena surga ada di rumah. Rumah
ada di kampung yang merupakan rumah leluhur.Tidak heran kalau masyarakat
sakit berat mereka justru pulang ke kampung, doa adat dan meninggal di sana.
Peneliti mengembangkan konsep proaktif dan komprehensif sebagai jawaban
atas permasalahan yang ada, membuat suatu perubahan.
Pendekatan Reaktif dan Komprehenshif Proaktif
Provider
Yankes
Pendekatan
Reaktif
Puskesmas
Mult i
pihak
Respons
Masyarakat
Program
Layanan
sosialisai
HIV/AIDS
VCT /PIVTC
Rumah Sakit
Akses Layanan
Alternatif solusi
LSM Peduli
HIV
Program
Sosialisasi
,VCT,PICT
HIV/AIDS
Pendekatan
Komprehensip
Proaktif
Kepatuhan
Berobat
Kualitas
Hidup ODHA
Jejaring
Kolaboratif
Layanan Testing
HIV/AIDS Masal
dan Deteksi Dini
Nilai ,Norma
Budaya:
Owada,Ebamukai
, Ajii, Akiya ma
Akikida Doutou,
Akse s
Layanan ?
Lay a n an
Kampung dan
Rumah Adat (Layanan O d a a
O w a d a)
Kepatuhan
Telan Oba t?
Gambar 6. Pendekatan Reaktif vs Pendekatan Proaktif
117
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Ringkasan konsep yang telah diskusikan sebelumnya disarikan dalam diagram
ini. Pendekatan yang lama disebut sebagai pendekatan reaktif yang sifatnya
menunggu sedangkan pendekatan baru adalah pendekatan proaktif sebagai
alternatif solusi. Pendekatan Proaktif dilakukan seperti: program sosialisasi HIV/
AIDS, VCT, PICT, layanan testing HIV/AIDS masal dan deteksi dini, jejaring
kolaboratif/kerjasama,menggunakan nilai dan budaya yang ada sebagai kearifan
lokal:Owada, Ebamukai, Ajii, Akiyama, Akikida Doutou, layanan rumah,rumah adat
sehingga diharapkan kualitas hidup ODHA lebih baik serta kepatuhan menelan
obat akan terjadi ,baik kegiatan promotif,preventif dan rehabilitative dan terjadi
pemutusan mata rantai penularan.
II. PENUTUP
Kesimpulan
Penelitian ini telah menghasilkan teori baru Prilaku Mencari Pertolongan Kesehatan
Proaktif yang dikembangkan dari konteks lokal Suku Mee di Paniai Pegunungan
Tengah Papua. Adapun Proposisi teori adalah sebagai berikut:
1. Perubahan Prilaku Kesehatan dapat terjadi dengan cepat melalui pendekatan
Proaktif yang menjembatani antara Pemberi Pelayanan Kesehatan (Provider)
maupun Penerima Pelayanan Kesehatan (Resepien) yaitu penderita atau
masyarakat.
2. Perubahan Prilaku Kesehatan dapat terjadi dengan cepat apabila keinginan
dan sikap Pemberi dan Penerima dapat menyatu melalui pendekatan sosial
budaya dan usaha yang terus menerus.
3. Perubahan prilaku proaktif mencari pertolongan kesehatan digerakkan oleh
Pemberi Pelayanan karena Sikap Pemimpin, Isu,Fakta, Kearifan Lokal,dan
Sikap Petugas. Sedangkan Penerima Pelayan digerakkan oleh Pengetahuan,
Nilai dan Norma, Wajib Periksa, Pelayanan yang dirasakan dan Dukungan
Masyarakat/Stakeholders.
4. Makin kuat faktor-faktor dorongan proaktif Pemberi Pelayanan Kesehatan
dan Proaktif Penerima Pelayanan Kesehatan maka makin cepat perubahan
atau percepatan pembangunan kesehatan dapat terjadi.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
118
Penelitian ini juga mendapatkan data kuantitatif melalui pendekatan Proaktif
dan komprehensif telah terjadi peningkatan signifikan cakupan pemeriksaan
HIV sebanyak 53 kali lipat dibandingkan cakupan sebelum inter vensi, serta
penangganan penderita HIV/AIDS lebih baik.
SARAN
Ada 3 harapan dari penulis yaitu : a) Tidak ada orang Mee yang terjangkit infeksi
baru HIV, b) Tidak ada orang Mee yang dikucilkan oleh keluarga dan masyarakat
karena HIV/AIDS, c) Tidak ada orang Mee yang meninggal karena penyakit HIV/
AIDS. Oleh karena itu beberapa saran diberikan adalah sebagai berikut:
1. Pada situasi HIV/AIDS sudah sangat tinggi di Papua , cara-cara yang sifatnya
menunggu reaktif dapat digantikan dengan cara pendekatan proaktif dengan
tetap mengikuti standar-standar program kesehatan.
2.Teori/ Model Mencari Pertolongan Kesehatan Proaktif dan pelayanan
Komprehensif melalui sosial budaya dapat dijadikan solusi alternatif dalam
hal ini akan meningkatkan cakupan penemuan kasus, menemukan penderita
HIV/AIDS sedini mungkin sehingga dapat mencegah penularan dan kematian
dini akibat terjangkit HIV/AIDS serta mengurangi stigma bagi orang yang
mengalami HIV/AIDS beserta keluarganya.
3. Teori Mencari Pertolongan Kesehatan Proaktif dapat diaplikasikan untuk
mengurangi stigma dan secara perlahan mengubah konsep sakit sehingga
tidak terjadi keterlambatan.Penanganan HIV/AIDS atau penyakit lainnya
perlu memahami konsep sakit orang Papua.
4. Proaktif dalam pengobatan disarankan pemberian ARV sedini mungkin untuk
mengurangi resiko penularan, efek samping obat, memberikan kesempatan
konseling serta mengurangi dampak politis yaitu isu pembiaran. Obat ARV
yang generik diberikan untuk mengurangi biaya.
5. Home Based Care/Rumah singgah menjadi media komunikasi antara
119
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
petugas dan masyarakat. Penggunaan bahasa lokal dapat mempererat
hubungan serta memudahkan masyarakat memahami HIV/AIDS ini.
KEPUSTAKAAN
Robby Kayame, 2014, Pendekatan Proaktif Berbasis Budaya lokal Dalam
Penanggulangan HIV/AIDS,pada suku Mee Pegunungan Tengah Papua (Disertasi
Doktoral, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin)
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
120
Sahabatku
Papa,
Sebelum pesta berlangsung
Izinkan aku menengok ke belakang
Disana sahabatku yang miskin
Hidup dengan berjualan Koran
Papa,
Dia teman sekelasku
Juga lulus dalam ujian
Nilainya yang tinggi
Sangat kusayangi
Kini,
Aku minta kesediaan papa
Menyerahkan biaya pestaku
Untuk meringankan ongkos
Masuk sahabatku di SMA
(Soekri St)
121
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Bagian 9. Hal-hal baru Pengendalian HIV/AIDS
Hasil survey dan penelitian telah mengubah beberapa strategi penanganan
HIV/AIDS. Di bawah ini ringkasan hasil penelitian Survei Terpadu Biologis
Prilaku merupakan sur vey besar yang dilakukan di tanah Papua dan menjadi
masukan dalam memperkuat kebijakan dan strategi penanggulangan HIV/AIDS.
Kemudian untuk pengendalian HIV khusus di Tanah Papua, pada September
2014 Kementerian Kesehatan menginstruksikan pemberian ARV (Anti Retro Viral)
sedini mungkin sebagai strategi pengobatan adalah pencegahan (treatment as
prevention). Penelitian Robby Kayame, 2013 mendorong test masal HIV dengan
dukungan pemimpin dan stakeholder sebagai tindakan yang proaktif dengan
memperhatikan kearifan lokal untuk menurunkan angka kematian dan pemutusan
rantai penularan HIV/AIDS serta pemberian ARV sedini mungkin.
Ringkasan Utama Hasil STBP tahun 2013
Survei ini menggunakan sampel 5.861 laki-laki dan perempuan umur 15-49 tahun
yang tinggal di Tanah Papua. Survei dilaksanakan pada Januari – September
2013. Responden laki-laki dan perempuan diwawancarai dengan kuesioner
standar tentang karakteristik demografi, perilaku hubungan seks dan penggunaan
narkoba, dan paparan terhadap cara-cara pencegahan infeksi HIV. Sembilan
puluh tujuh persen dari responden, atau 5.698 orang bersedia diambil darahnya
untuk pemeriksaan HIV dan Sifilis.
• Proporsi penduduk yang memiliki pengetahuan komprehensif HIV di
Tanah
Papua masih rendah, 9,2% dari penduduk.
•
Berdasarkan topografi, proporsi penduduk yang memiliki pengetahuan
komprehensif HIV lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di dataran rendah
akses mudah dibandingkan penduduk yang tinggal di dataran rendah akses
sulit dan dataran tinggi.
•
Proporsi laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan seks di
luar
nikah dalam 12 bulan terakhir tidak berbeda antara tahun 2006 dan 2013.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
122
•
Penggunaan kondom pada hubungan seks berbayar terakhir meningkat di
tahun 2013, tetapi penggunaan kondom konsisten pada hubungan seks di
luar nikah dalam 12 bulan terakhir tidak berbeda antara tahun 2006 dan
2013.
•
Tingkat partisipasi responden pada survei ini tinggi. Cakupan
responden
untuk kuesioner perilaku sekita 90% dan untuk darah sekitar 87%.
•
Prevalensi HIV pada populasi umum di Tanah Papua adalah 2,3%,
masih
sama dengan prevalensi HIV tahun 2006.
•
Tidak ada perbedaan prevalensi HIV pada laki-laki & perempuan, 2,3%
pada
laki-laki & 2,2%pada perempuan.
•
Prevalensi HIV lebih tinggi pada suku Papua, 2,9 % dibandingkan
bukan
Papua, 0,4 %.
•
Prevalensi HIV jauh lebih tinggi pada laki-laki yang tidak disunat,
2,9%
dibandingkan dengan laki-laki yang disunat, 0,1%.
•
Prevalensi Sifilis aktif pada populasi umum di Tanah Papua adalah 4,5%
dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, maupun
berdasarkan umur.
•
Prevalensi Sifilis aktif lebih tinggi pada suku Papua, 5,7% dibandingkan
dengan bukan Papua, 0,4%.
•
Prevalensi Sifilis aktif juga lebih tinggi pada laki-laki yang tidak disunat,
4,8%
123
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
dibandingkan laki-laki yang disunat, 1,1%.
Survei ini merupak an k erja sama antara Kementrian Kesehatan Indonesia, Dinas Kesehatan
Propinsi Papua Barat, Dinas Kesehatan Propinsi Papua, Dinas Kesehatan Kabupaten /
Kota yang terpilih sebagai sampel, Laborat otium Kesehatan Regional P apua, B adan Pus at
Statistik dan Family Health I nternational 360. Dana pelak sanaan dan duk ungan tek nis
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
124
berasal dari K ementrian Kesehatan Indonesia, United States Agency for I nternational
Development (USAID), A ustralia Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT), the
World Health Organization (W HO), the World Bank (WB) dan Family Healt h International
360.
Catatan : Saat ini KPA Provinsi Papua terus mendorong sirkumsisi pria sukarela
merupakan salah satu strategi untuk mengurangi resiko terjangkit HIV dan IMS
(infeksi menular seksual)
Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2014 tentang Indikasi Pemberian ARV
khusus di Tanah Papua yang berbeda dengan provinsi lainnya
• Inisiasi ART (pemberian ARV) tanpa melihat stadium klinis WHO dan
berapapun jumlah CD4
• Pengobatan TB harus dimulai dahulu, kemudian obat ARV diberikan
dalam 2-8minggu sejak mulai obat TB.
• Pada ODHA dengan CD4 <50 sel/mm3, ARV dimulai 2 minggu setelah
pengobatan TB
• Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus ARV dimulai 5 minggu
setelah pengobatan kriptokokus
• Bayi umur <18 bulan yang terdiagnosis HIV, segera mendapat ARV
125
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
“Jika Anda ingin tahu teori
dan metodologi revolusi,
Anda harus ambil bagian
dalam gerakan revolusi.
Pengetahuan sejati hanya bisa
diperoleh dengan
pengalaman langsung.”
(Mao Tse Tung, 1893-1976,
pendiri Republik Rakyat China)
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
126
Bagian 10. Memahami Budaya (kualitatif)
Si burung besi pesawat Susi Air terbang tanggal 22 April 2015 dari
Enarotali menuju Youtadi yang merupakan distrik baru Kabupaten Paniai.
Pesawat Susi Air yang dikemudikan seorang pilot berkebangsaan New Zealand
dengan 6 penumpang melewati sela-sela kabut dan gunung- gunung, berapa kali
ada gocangan karena angin dan juga harus naik lebih tinggi melampaui awan.
Penerbangan yang sulit karena perlu manuver-manuver di sela-sela gunung dan
kabut tersebut , seorang di antara kami yang masih jarang terbang mengatakan
seperti jantungnya mau copot. Hanya dalam waktu waktu 15 menit kami sudah
melihat lapangan rumput di Youtadi. Kalau berjalan kaki dari Enaro ke Youtadi
oleh masyarakat asli dilakukan selama 2 hari 2 malam, dekat di mata , jauh di
kaki. Saya teringat perjalanan saya beberapa tahun lalu di Pogapa Intan Jaya
dan Korowai yang kelihatan di peta sangat dekat atau dari pesawat terlihat
dekat namun jalannya dari pagi sampai malam. HeeeengSheeeeng .ummmmm,
S.ummmm pesawat berbaling-baling satu landing dengan mulus, masyarakat
ternyata sudah menunggu. Hampir semua tempat yang saya pernah kunjungi di
pedalaman kedatangan pesawat atau kapal merupakan hiburan tersendiri bagi
masyarakat. Mereka menari-nari mulai maju kemudian mundur, menjadi satu
kelompok Skemudian beberapa orang pria dan wanita mulai berputar-putar dan
setengah lari, mulai menari-nariS.saya tidak melihat mereka menggunakan tifa
seperti orang Papua di pesisirS. tapi suara mereka waeSwoSShem heeS
hee waeSwooo heemm hee sangat harmonis seperti koor dengan suara satu
dua tiga dan empatSsesekali dengar lengkingan tinggi dan gemercing antara
panah dan busur. Tim yang terdiri dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Paniai
Dr.Robby Kayame,SKM,MKes, Dr.dr.Arr y Pongtiku,MHM (konsultan kesehatan
dan pemerhati masyarakat pedalaman), Ilham (tenaga Laboratorium), Pak Samuel
E.Kobepa (Kepala Distrik Youtadi yang baru ditunjuk), Yulianus Kadepa (Kepala
Puskesmas Youtadi juga yang baru ditugaskan) serta Mr.Fitus (wartawan dari
Jayapura). Kami di terima oleh masyarakat dan tua-tua kampung termasuk oleh
2 orang gembala dari gereja Kemah Injil Papua (Kingmi) dan Gerja Kemah Injil
Indonesia . Syukur yang berlimpah kepada Tuhan karena kami bisa sampai dengan
selamat dan bertemu dengan masyarakat. Youtadi sebenarnya suatu kampung tua
127
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
yang pernah dimasuki penginjil karena ada gereja di sana namun sudah sekian
lama tidak pernah mendapat kunjungan. Bupati ganti bupati baru kali ini mendapat
kunjungan dari pemerintah dalam hal ini kepemimpinan Bapak Bupati Hengki
Kayame,SH,MH. Kampung Youtadi didiami oleh 3 suku yaitu suku Mee, suku
Moni dan suku Wolani. Mereka menggunakan 4 bahasa dalam kehidupan seharihari yaitu bahasa Mee, Moni, Wolani dan bahasa Indonesia (masih terbatas).
Saya berapa kali bicara dengan masyarakat dan juga pakai bahasa mimik dan
mata menunjukkan masyarakat yang sangat ramah. Masyarakat sebagian besar
memakai baju, ada yang masih menggunakan baju tradisional dengan rok dari
rumbai-rumbai serta beberapa laki-laki memakai koteka.
Gbr 1. Masyarakat di kampung Youtadi
Distrik Youtadi adalah distrik baru dengan jumlah 13 kampung yaitu :
Youtadi lama, Yaimano, Tibudide, Pogalubauda, Tangkitadja, Lilataka, Dauwotadi,
Waneuwowado, Dawlea, Ebeidotadi, Youtadi II, Mpadobatadi dan Yuwaweapa,
hanya kampung Youtadi yang merupakan kampung lama yang memiliki lapangan
rumput yang dapat mendarat pesawat kecil. Distrik Youtadi terletak di sebelah
Timur berbatasan dengan distrik Wandae- Intan Jaya, Sebelah Utara berbatasan
dengan Biandoga- Intan Jaya, sebelah Selatan berbatasan denagan distrik
Aradide dan sebelah Barat berbatasan dengan Bogabaida dan perwakilan Baya
Biru. Jumlah penduduk distrik tersebut adalah 35.000 jiwa. Sedangkan kampung
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
128
Youtadi sendiri ada 1238 jiwa. Daerah ini masih merupakan aliran sungai yang
kaya akan emas dengan hulunya di Puncak Greesberg. Kampung Youtadi
berdiri di atas gunung dan butuh sedikit waktu ke bawah di aliran sungai. Dalam
pembicaraan masyarakat dapat emas sekitar 4 toples tapi mereka belum mau
mendulang karena belum berdoa, mereka takut alam akan marah kalau belum
didoakan atau mendapat ijin, tapi sepertinya masyarakat tidak terlalu peduli tentang
hal itu. Masyarakat umumnya berkebun dan berburu. Beberapa daerah seperti
Baya Biru, Daerah 99, daerah 81 dan daerah 45 yang marak dengan pendulangan
emas. Daerah-daerah penambangan seperti pembicaraan orang setiap hari bisa
dikunjungi beberapa helicopter bahkan bisa 15 kali bolak-balik dari Nabire. Daerahdaerah pendulangan umum seperti ada gula ada semut, banyak orang datang dan
tidak jarang diselipi dengan penjaja seks sehingga Dinas Kesehatan perlu selalu
memantau hal tersebut. Ada satu dokter bercerita digedor pintunya pada malam
hari ditanya perlu selimut hangatkah?, ada yang sudah siap jadi selimutnya nih.
Gbr 2.Dr.Robby Kayame (Kadinkes Pania) bersama
masyarakat Youtadi
129
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Sosial dan Budaya
Masyarakat kampung Youtadi merupakan campuran suku Mee, suku
Moni dan suku Wolani. Mereka hidup rukun, ada 2 gereja kecil Kigmi Papua dan
GKII dengan masing-masing gembalanya. Suatu hal sedikit lucu jika masyarakat
menyapa orang yang datang dengan bahasa Mee bukan berarti mereka itu
orang Mee tetapi mereka adalah orang Moni atau Wolani sebaliknya kalau
mereka menyapa dengan bahasa Moni sebenarnya mereka adalah orang Mee
dan Wolani, seperti terbolak-balik begitu. Koyau (bahasa Mee) dan Amakane
(bahasa Moni), Aba / Amanoe. (bahasa Wolani) merupakan sapaan yang hangat
dalam mengucapkan salam. Saya teringat 25 tahun lalu waktu saya masih
kuliah di kedokteran Unsrat Manado, datang 2 orang Profesor dari Jepang dan
makan di kantin kampus pada saat itu mereka kesulitan mau makan apa, tidak
ada yang dapat berkomunikasi dengan mereka. Saya kemudian bicara dengan
bahasa Inggris menerangkan menu makan dan pesanan mereka. Cukup banyak
makanan di atas meja yang dipesan, saya hanya makan nasi campur duduk
semeja dan melakukan percakapan dengan professor Jepang. Namanya anak
kost, saya tunggu, kapan nih dapat ajak makan makanan di meja professor.
Suatu saat tanpa sengaja saya mengucapkan Arigato Gozaimashita (terima kasih
banyak) hanya itu bahasa Jepang yang saya ingat. Professor itu langsung berdiri
dan kemudian membungkuk mempersilahkan (please) untuk makan makanan
yang ada di meja. Saya juga pernah ketemu sepasang turis di Nabire berasal dari
Rusia, waktu di penginapan saya katakan kepada pasangan itu “istrimu cantik
seperti Maria Sarapova”, pemain tenis terkenal dari Negara Beruang Merah itu
dan saya mengucapkan kata “Spasiba” (seperti yang saya hafal dalam buku
catatan sejarah pada masa UNTEA bagaimana bung Karno mengucapkannya
terimakasihnya kepada Duta Besar Rusia). Kami berkenalan dan menjadi akrap
beberapa hari. Saya pernah menyaksikan dr Agus sekarang Direktur RS Paniai,
orang Palembang dalam penyampaiannya dan percakapan menyisipi bahasa
Mee. Bupati Pania Hengki Kayame, SH,MH pada satu pertemuan tersanjung dan
menyatakan dr Agus adalah anak Paniai... hmm suatu yang patut dibanggakan.
Saya waktu ujian doktoral di Universitas Brawijaya (Malang) tahun 2010 diminta
menari Papua oleh Ketua Program Prof. Ubud Salim dan saya lakukan menari
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
130
dengan gaya Papua yang licah dan Prof Kambuaya (Rektor Uncen pada saat itu)
yang datang menjadi salah satu penguji tamu mengatakan “saya adalah anak
Papua”. Pa Robby Kepala Dinas Kesehatan kadang keceplosan bicara sesekali
pakai bahasa Mee dengan saya, walaupun saya tidak paham he..he..he tapi saya
mengerti bahwa berbicara dalam bahasa daerah mempunyai arti yang mendalam
kadang sulit dijelaskan padanan bahasa Indonesia dan rasa persahabatan. Saya
belum tahu pasti apakah ungkapan sapa terbalik seperti dilakukan masyarakat
di distrik Youtadi sama dengan belahan dunia lainnya? lebih mau menunjukkan
rasa hormat kepada orang yang ditemui, menghormati karena di daerah itu
berdiam tiga suku atau mungkin untuk mengaburkan identitasnya. Tapi saya
sendiri sangat percaya bahwa masyarakat menutur terbalik untuk menunjukkan
toleransi yang tinggi kepada saudara-saudaranya. Daerah sekitar distrik Youtadi
juga punya pengalaman perang suku atau bertengkar karena ambil babi, masalah
perempuan, masalah mas kawin sehingga lari atau mengungsi ke satu tempat
kadang mereka merubah namanya atau marganya sehingga tidak dikenal oleh
musuh seperti menjadi Kadepa, Monipa padahal nama marga/atau fam mereka
bukan itu aslinya.
Masyarakat di sini sudah kawin campur antar tiga suku ,” Sebenarnya seperti
orang Mee dan Moni tidak boleh saling kawin karena seperti kakak dan adik , tapi
anak sekarang malas stau , begitu pula ada fam-fam yang masih sekeluarga dalam
adat suku Mee tidak boleh kawin antar mereka, pamali kata orang tua-tua“ tutur
Pa Robby Kayame. Mbubumbaba tempat asal nenek moyang suku Moni dan Mee
mereka percaya bahwa kedua suku adalah saudara kandung, kakak dan adik S
mereka percaya salah satu dari mereka pasti mati jika kawin hal ini dipegang teguh
oleh masyarakat hingga tahun 1980-an, tetapi akhir-akhir ini karena kemajuan
tidak jarang masyarakat Moni dan Mee kawin seperti contoh terjadi di Youtadi.
Saya sebagai peneliti merasakan suatu hal yang berbeda yang saya temukan di
Youtadi apakah karena percampuran tersebut sehingga masyarakat begitu ramah,
sehingga menarik nilai-nilai positif rasa bersahabat dan saling menghormati.
Mereka menari dari pagi hingga malam, dan begitu juga waktu mengantar kami
hingga kami terbang. Pa Robby, what does it mean people danced very much and
they repeated it again and again? Ya dr Arr y mereka sangat gembira dan menerima
kita dengan sepenuh hati tapi lebih dari pada itu mereka mau mendukung apa
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
130
yang sudah kita bicarakan. Ya, benar, beberapa kali masyarakat mengajak dialog
dengan masyarakat menari (manawegai mewei) juga berarti mari kita berbicara,
setelah berbicara mereka kembali lagi waita. Tidak jarang terjadi ada masyarakat
yang hebat melakukan wainai yaitu protes atau kritik hal ini perlu didengar
suara mereka. Perlu semua setuju atau sepakat dan terakhir dinyatakan waita
(menari lagi)S menyelesaikan suatu pekerjaan semua menjadi satuS Saya ingat
bagaimana dalam manajemen orang Jepang mengambil keputusan tidak mudah
,prosesnya panjang dan bisa berbantah-bantahan untuk mencapai concensus
tetapi jika mereka sudah sepakat sangat mudah menyelesaikan karena dari
bawah sampai ke atas semua sudah setuju, laju menyelesaikan pekerjaan seperti
luncuran roket, dipanaskan sampai asapnya keluar dan dilepaskan dan meluncur
cepat menembus angkasa karena semua telah setuju. Saya yakin masalah Pilkada
sistem Noken yang sering diperdebatkan di koran-koran sebenarnya tidak perlu
terjadi jika kita melihat sosial kultur masyarakat yang mencari konsesus seperti
diperlihatkan di Youtadi atau tempat lain saya pernah kunjungi di Dadou (Paniai) dan
Mumugu (Asmat) memperlihatkan komunikasi yang terbuka di tengah masyarakat.
Saya melihat bagaimana proses bakar batu dibuat oleh masyarakat mulai mencari
kayu, menyusun batu-batu, membakar batu sampai panas, menangkap babi dan
memanah dan membersihkannya, serta menumpuk dedaunan, sayur-sayuran
dan membiarkannya hingga matangS sambil menunggu proses pematang daging
bakar batu (barapen) masyarakat menyanyi dan menari. Rok rumbai-rumbai
bergoyang ke kiri dan ke kanan seperti burung. Begitu juga laki-laki dengan koteka
serta anak panah kelihatan sangat gagah, serta ada yang menggunakan topi dari
burung cenderawasih, burung kasuari berlari-lari dengan lincah.
Di kampung Youtadi tidak ada satupun kios (warung) atau orang berjualan
maupun orang pendatang, saya melihat kalau ada masyarakat yang bawa nota
(ubi jalar) maupun keladi dengan cepat mereka bagikan dengan yang lain.
Kamipun tak habis disodori nota dan jagung bakar. Siang hari setelah pelayanan
kesehatan ada bapa yang bertanya apakah di antara kami ada yang tidak makan
daging babi, dan seorang teman beragama Islam akan dicarikan ayam. Beberapa
waktu kemudian seorang ibu memperlihatkan ayam, saya lihat beberapa meter
ayam kepalanya sudah turun. Wah sore hari kami disajikan ayam rebus dengan
campur sayur, ubi jalar dan keladi bakar rasanya enak sekali, tapi waktu malam
131
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
kami ngobrol-ngobrol ternyata teman kami Ilham hanya makan nota sajaS. wah
ternyata ayam itu hanya diputar / diplintir leher. Mungkin Ilham ngak mau makan
karena itu tapi kami tidak konfirmasi. Kebiasaan seperti itu juga tidak hanya milik
masyarakat di sana, sebagian orang Toraja juga ada yang kalelok diputar lehernya
dan cabut bulunya serta bulu halusnya dibakar kemudian baru dimasak seperti
biasanya. Beberapa tempat di pedalaman yang saya kunjungi dimana tidak ada
pendatang gampang sekali masyarakat mau bantu mengangkat barang atau
bekerja, tetapi kalau ada pendatang dan tinggal sekian lama 5-8 tahun di daerah
itu seperti mereka mencari gaharu atau kayu lainnya, masyarakat agak susah
berpartisipasi. Tapi perubahan sosial ini masih perlu dilihat lebih jauh ,mungkin
belum dapat digeneralisasi.
Gbr 3. Proses Bakar Batu (menumpuk batu panas)
Puji Tuhan dalam perjalanan saya dari Nabire ke Jayapura di atas pesawat Wings
Air saya bersebelahan dengan bapa Philipus Wandagau (Kasubag Kelembagaan
Sekda Intan Jaya) saya dapat melakukan triangulasi dari data yang saya dapat di
lapangan terutama tentang budaya.Pada suatu ketika saya menanyakan kepada
Pa Robby “ Pa, dulu di Dadou dan sekarang di Youtadi, bapa meminta bakar
batu ,apa hubungannya dengan pelayanan kesehatan?”. Ya , dr Arr y sebenarnya
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
132
yang saya lakukan di daerah yang tidak pernah ada pelayanan kesehatan , untuk
meminta masyarakat dapat berpartisipasi. Kita buat acara bakar batu dan makan
bersama . Sebenarnya bukan hal yang berlebihan. Masyarakat merasa senang
dan diharapkan mereka bisa berpartisipasi dalam pembangunan kesehatan.Kita
mau mendengarkan apa kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Gbr 4. Bersama masyarakat Youtadi
O, ya banyak pejabat sekarang takut dan enggan bertemu dengan masyarakat
mereka mungkin berpikir masyarakat hanya mau minta uang atau bantuan,
padahal kita perlu saling mendengar dan membicarakan dengan masyarakat,
kalau memang kita tidak dapat membantu ya kita perlu katakan pula. Masyarakat
butuh komunikasi dan sekali lagi didengar.
Kesehatan masyarakat
Dalam pelayanan kesehatan di daerah terpencil dilakukan secara integrasi sehingga
kita dapat memberi pelayanan yang lebih komprehensif. Sering pelayanan ke
pedalaman kurang dihargai orang, katanya pelayanan yang mubasir dan tidak
dapat berkesinambungan dan mahal. Tapi kalau kita renungkan bukankah kita
harus mengutamakan human rights (isu kemanuasian ) dan equity (pemerataan)
133
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
dan aksesibiltas bagaimana masyarakat dapat dijangkau ?.Dalam pertemuan
NTD’s Cross cutting workshop di Utrech -Belanda bulan Januari 2015, kebetulan
saya ikuti beberapa professor mengatakan menempatkan kualitas yang utama
dalam penanganan dan pemberantasan penyakit-penyakit terabaikan (neglected
tropical diseases). Saya mengingatkan bahwa faktanya penyakit-penyakit
terabaikan (NTD) kusta, kaki gajah, frambusia dan kecacingan terdapat di ujung
–ujung jalan , daerah pedalaman, daerah miskin, daerah infrastruktur yang lemah
dan petugas tidak ada, sebaiknya jangan menepatkan kualitas sebagai hal utama .
Jika menempatkan kualitas nomor satu pasti daerah-daerah tidak akan dikunjungi
karena berbagai keterbatasan, tetapi jika menempatkan isu kemanusian dan
pemerataan kita akan terdorong untuk mencapainya secara perlahan-lahan
kualitas yang diposisi ke 4 dan ke 5 kita perbaiki sehingga berjalan program
yang berkualitas. Daerah –daerah pedalaman membutuhkan biaya yang mahal
, Robby Kayame mengomentari bahwa “ uang bisa dicari, manusia tidak bisa
dibeli, memperpanjang usia manusia biar hanya seditik , manusia berharga di
mata Tuhan. Ada uang tapi tidak menjangkau masyarakat adalah salah. Uang
juga seperti pisau tajam untuk memotong masalah”. Di lain pihak Kepala Dinas
Paniai juga menyatakan Sumber Daya Manusia adalah sangat penting untuk
membangun daerah ini. Beberapa angkatan keperawatan sudah diluluskan oleh
Stikes Paniai dan juga ke depan akan merekrut 60 anak untuk didik sebagai bidan
kerjasama dengan Poltekes Jayapura. Seperti banyak tempat di pedalaman Papua
ada gedung sekolah tetapi ,tidak ada guru. Masih banyak orang yang butu huruf
(ilitrasi) perlu mendapat perhatian.
Di daerah pedalaman persis teori Roberth Malthus tentang piramida
kependudukan bahwa gambaran daerah yang tertinggal adalah jumlah anak yang
begitu banyak (usia muda), banyak yang lahir dan juga banyak yang yang mati
seperti seleksi alam dan hukumnya untuk bagaimana manusia bisa terus bertahan
di muka bumi ini. Anak-anak di Youtadi umumnya lebih baik gizinya daripada di
pedalaman lainnya karena orang tua mereka rajin menanam dan berburu. Hanya
beberapa anak kelihatan perut besar karena kecacingan karena banyak anakanak telanjang kaki, WC juga masih terbatas walau ada beberapa WC cubluk yang
masyarakat buat. Hewan anjing cukup banyak sedangkan babi–babi bebas di luar
pekarangan. Masyarakat memagar sehingga babi tidak masuk pekarangan dekat
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
134
rumah. Anak-anak umumnya tidak mandi, walau air gunung tersedia tetapi agak
jauh. Anak dengan ingus meleleh merupakan pemandangan yang sangat normal,
anak-anak seperti memamerkan angka 11 dengan ingus meleleh. Saya selalu
bawa tissue basah dalam perjalanan saya , siapa tahu emergency dan tidak ada
air maka tissue basah bisa digunakan. Saya mendekati anak-anak dan menyeka
ingus anak-anak sambil mungkin dilihat ibunya. Saya tidak tahu pasti ,tapi saya
percaya begitulah mengajari ibu atau bapanya untuk menjaga kebersihan anaknya.
Promosi Kesehatan tidak selalu berdiri di depan dan memberikan penyuluhan.
Kasus frambusia atau luka borok yang selalu dihubungkan dengan akses air
ditemukan 3 anak. Saya meminta kepada mantri Yulianus Kadepa untuk menyuntik
dengan Benzantin Peniniccilin. Saya terlebih dahulu mengajarkan tetang dosis
pemberian serta tehnik menyuntik karena menyuntik dengan Benzantin Penecillin
harus cepat kalau tidak tersumbat.
Gbr 5.Frambusia mereflesikan hegiene yang masih rendah,
akses air buruk dan kemiskinan
Seorang anak muda Yosias menderita kusta dengan luka yang membusuk
dikakinya dia berjalan kaki cukup jauh 2 hari lalu, pernah diberi pengobatan di
Enaro beberapa papan saja sehingga saya minta harus dilanjutkan pengobatan
MDT sampai selesai serta saya mengajarkan perawatan luka (Self Care).
Merawat luka kusta yaitu dengan merendam kaki dan tangan dengan air biasa
kemudian mengolesnya dengan minyak kelapa. Kalau luka yang sudah bernanah
atau membusuk seperti yang dialami Yosias, kita bisa tambah air dengan garam
sehingga dengan daya osmosis , kotoran pada luka dapat tertarik keluar.
135
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Gbr 6. Yosias yang menderita kusta
Yosias juga baru memotong jari tangannya karena orang tuanya meninggal dan
lukanya belum sembuh. Saya sangat sedih dan menyayangkan praktek/budaya
potong jari karena dapat menggangu produktifitas dan mencari nafkah maupun
daya survival/juang di medan yang berat. Jari-jari penting untuk kemampuan
memegang dan mengengam (grasping).
Gbr.7 Pemberian imunisasi campak dan DPT-HB
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
136
13 kampung yang ada di distrik Youtadi tidak pernah di kunjungi oleh
petugas kesehatan karena jauh dan berbagai alasan lainnya.Anak-anak dilakukan
imunisasi dari sekian anak-anak yang hadir 52 anak-anak ditetesi polio, Campak
29, DPT-HB 17. Perlu pemberian imunisasi secara berkelanjutan yang diberikan
setiap bulan serta penyuluhan kesehatan bagi ibu-ibu. Telah banyak tulisan
perubahan dimulai dari perempuan karena mereka yang dapat mendidik anakanaknya dan memberi pengetahuan dasar. Pemberian imunisasi dasar sangat
penting karena kita menuju eradikasi polio serta masih sering di Papua kita
mengalami KLB (Kejadian Luar Biasa) Campak. Imunisasi adalah seperti payung,
memberikan kekebalan tubuh bagi beberapa penyakit yang mematikan buat anakanak.
Daerah – daerah pedalaman dapat juga dilakukan pemeriksaaan laboratorium
untuk menemukan besaran masalah kesehatan misalnya dengan Rapid Test (test
cepat) kita dapat mendiagnosa HIV, malaria, sifilis, frambusia dan hepatitis. Dari
hasil pemeriksaan laboratorium dengan jumlah 75 orang dewasa yang diperiksa
terdapat positif sifilis 20 orang, hepatitis (HbSAg ) 15 orang positif sedangkan HIV
semuanya negatif. Pentingnya sur veilans (system pengawasan) karena dengan
banyak mobilasasi penduduk maupun perbaikan transportasi maka kemungkinan
penyakit-penyakit baru bisa masuk ke suatu daerah yang belum pernah terlaporkan.
Penyakit hepatitis B sebanyak 20% , sifilis sebesar 27% pada orang dewasa perlu
diselidiki lebih lanjut. Beberapa anak –anak ditubuhnya terdapat tumor kulit kecil
(moluscom contagiosum).
Gbr 8. Pemeriksaan darah HIV, Sifilis dan Hepatitis
137
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Kami juga meminta Mantri Yulianus yang menjadi Kepala Puskesmas untuk
memberikan semua anak-anak obat cacing. Mantri Yulianus berharap gedung
puskesmas segera didirikan serta mengirim tenaga tambahan, tapi dia minta
tenaga terampil karena daerah ini jauh serta peralatan medis lainnya. Saya ingat
seorang muda dengan rambut yang dililit yang menjadi penterjemah mengatakan
kampung Youtadi andaikan perempuan, siapa yang mau melamar mereka apakah
kabupaten Paniai kah atau kabupaten Intan Jaya, kami menunggu pembangunan
dan perubahan kami masih sangat tertinggal. Kami tidur di Pos Obat Kampung
Youtadi yang jauh dari sederhana, yang isinya hanya tempat perapian , tikar dan
kami bisa tidur. Saya minta kepada Mantri Yulianus untuk melayani di gedung
sekolah atau di alam terbuka di bawah pohon juga baik seperti banyak dilakukan
di Afrika dan India (services under the tree).
Gbr 9. Pos Pengobatan sementara Kampung Youtadi
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
138
Pa Robby, Kepala Dinas Kesehatan Paniai meminta mantri Yulianus bisa melayani
sore hari dan pagi hari bisa mengajar anak-anak untuk membaca dan berhitung.
Pa Yulianus adalah perawat yang lincah dan berpengalaman . Yulianus adalah
petugas kesehatan yang berani dia sendiri yang membuat proposal dan minta ke
Kepala Dinas untuk mau masuk ke Youtadi, semoga tekadnya untuk membangun
kesehatan di Youtadi dan menjangkau 12 kampung lainnya akan terus tanpa
mundur. Saya sangat yakin di tempat yang baru, perubahan kalau dibuatkan
grafik : dari tidak ada menjadi ada akan nampak signifikan kenaikannya dibanding
pencapaian di kota yang kadang, lebih sulit terlihat karena mempunyai fenomena
hard rock.
Gbr 10. Kami tidur bersama masyarakat di Honai
Setelah 2 hari di Youtadi kami kembali dijemput dengan pesawat Susi Air,
masyarakat mengantar kami berbondong-bondong dan terus menari. Saya lihat
ibu-ibu membawa anak, bahkan anak kecil mengendong adiknya, ada ibu yang
bawa kayu yang besar dengan entengnya, sedangkan kami berjalan sudah ngosngosan menuju lapangan tumput. Sambil menunggu para pemuda bermain bola.
Saya katakan kepada pa Robby kalau ke pedalaman kita harus menghadiahkan
masyarakat bola dan juga net bola volley. Orang Papua yang postur tubuh atletis
dan kuat sudah terbentuk secara alamaiah harus perlu dikembangkan olah raga.
139
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Gbr 11. Tim dan pesawat kecil yang membawa pulang dari Youtadi
Saya bisa mencatat beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti yaitu :
1. Membangun Puskesmas dan memberi tambahan tenaga kesehatan, dan
bisa mengakses kampung-kampung lainnya .
2. Memberikan peralatan kesehatan dan obat-obatan.
3. Memberikan SSB supaya dapat berkomunikasi dengan Enarotali, bantuan
Solar sell dan Televisi serta Parabola.
4. Menempatkan cold chain untuk bisa menyediakan vaksin untuk imunisasi
5. Menempatkan pelayanan program dokter kaki telanjang di distrik Youtadi.
6. Mengajar masyarakat membaca dan meminta tenaga guru.
7. Mengatur kunjungan Bupati Paniai ke kampung Youtadi untuk berbicara
dengan masyarakat.
8. Memasang pipa aliran air dari gunung menuju kampung.
9. Memberikan subsidi untuk penerbangan dari Enaro ke Youtadi.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
140
Apa yang dilakukan tim saat ini bagai suatu perjalanan yang jauh dan masih
panjang, yang harus dimulai dari sekarang tidak boleh ditunda lagi, kita mengambil
langkah pertama untuk membuat perubahan (A journey a thousand miles begin
with a single step). Selamat (Proficiat).
Ucapan terimaksih:
Pemerintah Kabupaten Paniai yang memberikan perhatian dan dukungan dana,
drg Alosius Giyai, MKes (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua), dr.Beeri Wopari
(Kabid PMK, Dinas Kesehatan Provinsi Papua) mendorong pelayanan dokter kaki
telanjang, Netherlands Leprosy Relief dukungan pelayanan terintegrasi.
141
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
“Berikan aku 1000 orang tua,
niscaya akan kucabut Semeru dari
akarnya, berikan aku
1 pemuda niscaya akan
kuguncangkan dunia...”
Ir Soekarno (1901-1970), presiden
pertama Republik Indonesia
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
142
Bagian 11. MENINGITIS DI SUGAPA
A. LETAK GEOGRAFI DAN BATAS ADMINISTRASI
Geografis Wilayah Distrik Sugapa berada dijalur Pegunungan Tengah Kabupaten
Paniai.
Adapun batas Wilayah Distrik Sugapa adalah sebagai berikut:
• Sebelah Utara berbatasan dengan Distrik Agisiga Kabupaten Paniai.
•
•
•
Sebelah Selatan berbatasan dengan Tembagapura Kabupaten Mimika.
Sebelah Timur berbatasan dengan Distrik Hitadipa Kabupaten Paniai.
Sebelah Barat berbatasan dengan Distrik Pogapa Kabupaten Paniai.
Wilayah kerja Distrik Sugapa ± 14.000 (km2). Dengan suhu udara 15-25 °C.
Transportasi yang digunakan pesawat terbang dengan waktu 20 menit dan berjalan
kaki dari Ibukota Kabupaten ± 4 hari lamanya. Sistem lahan Wilayah Geografis
yang memiliki sifat khas pada bentuk lahan, struktur batuan dan tanah, serta iklim
tropis.
Jumlah manusia sangat kecil dibandingkan dengan luas wilayah/kawasan, maka
dapat diartikan bahwa pemanfaatan lahan belum banyak bervariasi sesuai dengan
Pemanfaatan lahan di Wilayah Distrik Sugapa secara produktif.
B. SARANA DAN PRASARANA PUSKESMAS BILOGAI
Wilayah kerja Puskesmas Bilogai ± 14.000 (km2) memiliki 11 Desa/Kampung
yaitu, Kampung Bilogai, Kampung Yokatapa, Kampung Puyagia, Kampung
Jalay, Kampung Mamba, Kampung Joparu, Kampung Egnemba, Kampung Titigi,
Kampung Mindou, Kampung Egmondi dan Kampung Ugimba. Puskesmasa
Bilogai saat ini telah memiliki 1 buah Puskesmas Pembantu (Pustu), 7 buah Pos
Obat Desa (POD), 1 buah Polindes ser ta 7 buah Posyandu.
Jumlah tenaga yang dimiliki sat ini adalah 4 orang perawat, 1 orang tenaga honorer
dan 3 orang bidan.
143
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
PROFIL PUSKESMAS BILOGAI
2.1 KEADAAN UMUM
A. Geografi
Puskesmas Bilogai merupakan sarana kesehatan yang terletak di distrik Sugapa
yang wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah dengan luas 14.000 km2 yang
berbatasan dengan:
• Sebelah Utara berbatasan dengan Distrik Agisiga Kabupaten Paniai.
•
•
•
Sebelah Selatan berbatasan dengan Tembagapura Kabupaten Mimika.
Sebelah Timur berbatasan dengan Distrik Hitadipa Kabupaten Paniai.
Sebelah Barat berbatasan dengan Distrik Pogapa Kabupaten Paniai.
B. DEMOGRAFI
Berdasarkan data tahun 2006/2007 Puskesmas Bilogai didukung oleh sarana dan
prasarana, yaitu:
1. Penduduk
: 15.001 orang
a. Laki-laki
: 7.084 orang
b. Perempuan
: 7.917 orang
Rumah
Kepala Keluarga
: 3.110 buah
: 3.110 KK
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
144
Bayi
Balita
Lansia
PUS
WUS
a. Gakin
: 2.810 KK
b. Non Gakin
: 300 KK
: 280 orang
: 1.560 orang
: Tidak ada data
: 2.700 orang
: 3.300 orang
2. Sarana dan Prasarana Kesehatan
Puskesmas
: 1 buah
Puskesmas Pembantu
: 1 buah
Praktek Dokter Umum
: Tidak ada
Praktek Dokter Spesialis : Tidak ada
Praktek Bidan
: 3 orang
Klinik
: 1 buah
Posyandu
: 7 buah
3. Sarana Kesehatan Lingkungan
Rumah
: 3.110 buah
Jamban Keluarga : 300 KK
Sumber air bersih
a. PDAM
b. Sumur gali
: Tidak ada
: 25 buah
c. Tong air hujan
: 225 buah
4. Sarana Pendidikan
Taman kanak-kanak ( TK )
a. Negeri
: Tidak ada
b. Swasta
: 2 buah
Sekolah Dasar ( SD )
a. Negeri
: 5 buah
b. Swasta
: 3 buah
SLTP
a. Negeri
: 1 buah
145
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
b. Swasta
: Tidak ada
a. Negeri
b. Swasta
: 1 buah
: Tidak ada
SMU
5. Sarana Ibadah
a. Masjid
: 1 buah b.
Gereja
: 22 buah
c. Pura
d. Vihara
: Tidak ada
: Tidak ada
6. Tempat Umum
a. Kantor
2.2
: 3 buah
b. Hotel
c. Toko/kios
: 2 buah
: 35 buah
d. Warung makan
e. Salon
f. Pasar
: Tidak ada
: Tidak ada
: 1 buah
DATA DASAR PUSKESMAS
1. Luas wilayah
2. Jumlah penduduk
3. Jumlah Gakin
4. Jumlah Keluarga
5. Luas tanah Puskesmas
6. Luas bangunanPuskesmas
7. Jarak Puskesmas ke RSUD
8. Data Tenaga Puskesmas
a. Dokter umum
b. Dokter Gigi
c. SKM
d. Akper
e. Perawat
: 14.000 km2
: 15.001 orang
: 2.810 KK
: 3.110 KK
: 5.000 m2
: 600 m2
: 120 km
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
: 1 orang
: 4 orang
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
146
f.
Bidan
: 3 orang
g.
h.
i.
j.
k.
Perawat Gigi
Sanitarian
Asisten Apoteker
TU
Analis
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
LAPORAN SURVEY DAN INVESTIGASI KEMATIAN DI DISTRIK SUGAPA
A. DASAR SURVEI DAN INVESTIGASI
Menindaklanjuti penelitian periode tahun 2006-2007 melalui penemuan
kasus aktif oleh Departemen Kesehatan, Pusat Kesehatan Masyarakat, Freeport
melalui International SOS, dan MSF, maka beberapa program telah disiapkan,
antara lain:
1. Keputusan untuk melanjutkan program surveilans, aktifitas KIE, dan
pelacakan kontak serta profilaksis
2. Program deteksi dini harus semakin ditingkatkan, dimana proses penyediaan
alat seperti formulr dan alat untuk pelaporan yang harus terus ditindaklanjuti
3. Follow up dan tracing kontak
4. MSF untuk sementara tidak menyarankan imunisasi meningitis massal
sebelum mengambil bukti secara langsung dan mengakses terhadap
berbagai faktor yang berbeda . Namun apabila ditemukan peningkatan
jumlah kasus, imunisasi merupakan strategi yang direkomendasikan.
Kemudian pada tanggal 7 Mei 2008, MSF menerima Laporan dari dr. Pasi
Penttinen, seorang advisor teknis International SOS dari Freeport mengenai
adanya 24 kematian dalam waktu 2 bulan di Distrik Bilogai, Sugapa. Data diakui
didapatkan dari para tetua suku dan data gereja. Dari data pasien ini, tampak
kematian sebagian besar terkait dengan sindrom gejala panas tinggi dan sakit
kepala, namun demikian terdapat pula sebagian kematian lain dengan gejala
panas, diare dan muntah. Tidak didapatkan data tentang rekaman kematian
sebelumnya.
147
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Setelah itu, didapatkan berita bawah seorang pasien wanita dievakuasi
dari Distrik Bilogai, Sugappa ke RSMM pada tanggal 5 Mei 2008 dengan gejala
suspek meningitis. Hasil pemeriksaan Laboratorium pendahuluan konsisten
dengan infeksi meningococcal, akan tetapi kultur konfirmasi masih dikerjakan.
Pada tanggal 20 mei 2008 kultur selesai dilakukan, dan hasil kultur : (-)
Tim Evaluasi dari International SOS (yang dikirim oleh Freeport)n dikirim ke
Bilogai pada hari kamis, 8 Mei 2008 dan sampai saat ini hasil evaluasi oleh SOS
belum dipublikasikan.
Sementara itu pada tanggal 9 Mei 2008, MSF mengontak Tn. Moses Belau
( Public Health Malaria Control Profesional di Freeport). Beliau mengatakan telah
mengontak Pastor Justinus Rahangiar di Bilogai. Dikatakan bahwa sejak April
– Mei 2008, terdapat 15 orang meninggal, di mana 5 orang meninggal karena
sakit dalam jangka waktu lama, akan tetapi 10 orang meninggal dalam waktu 1-2
minggu setelah pasien sakit.
Gejala dari pasien-pasien tersebut : panas tinggi dan sakit kepala yang amat
sangat. Saat ini, semakin banyak penduduk yang sakit, di mana salah satunya
telah dikirim ke RSMM Timika dengan kasus Neisseria Meningitidis (terkonfirmasi
dengan kultur). Nama pasien tersebut adalah Juliana Bagau.
Tn. Robby Kayame (Kasubdin P2M / CDC Dinas Kesehatan Kabupaten
Paniai) telah dikontak pada tanggal 12 Mei 2008. Beliau telah menyadari kondisi
ini setelah diberitahu oleh Tn. Moses Belau. Staf kesehatan dari Puskesmas
Bilogai, Sugapa telah diinstruksikan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut
tentang kondisi ini. Namun lebih lanjut, Pihak Puskesmas Sugapa menunggu hasil
pemeriksaan dari Internasional SOS dan pada saat yang sama, menunggu dana
untuk transport dan kebutuhan operasional penyelidikan. Berdasarkan laporan
tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Paniai Bapak Yunus Gobay, S.Sos
Tanggal 24 Mei 2008 telah membentuk Tim untuk melakukan investigasi issu
tersebut. Tim terdiri dari dokter Agus, dokter Dian yang diketuai oleh Bapak Yosias
Yeimo, AMK.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
148
B. PROSEDUR PELAKSANAAN
a) Setelah tim tiba di lokasi tanggal 24 Mei 2008 pukul 8.30 WIT langsung
dilakukan cross cek daftar nama-nama kematian yang dilaporkan dengan
informasi-informasi yang diperoleh dari Distrik Sugapa, Tokoh Agama,
Tokoh masyarakat, tokoh pemuda, Kapolsek Sugapa, Danramil Sugapa
serta masyarakat disekitar. Dimana ada 21 kasus.
b) Setelah mendapat informasi yang lengkap lalu tim dibagi menjadi 3 kelompok
untuk melakukan pelacakan pada nama-nama korban sampai pada tempat
kuburannya dan pelaksanaan mobile klinik serta pemeriksaan lumbal punksi
pada pasien yang tersangka meningitis. Dimana ini dilakukan selama 6 hari
(24 – 29 Mei 2008) di Kampung Bilogai, Kampung Yokatapa, Kampung
Puyagia, Kampung Jalay, Kampung Mamba, Kampung Joparu, Kampung
Egnemba dan Kampung Titigi distrik Sugapa.
C. TUJUAN PELAKSANAAN
1. Keputusan untuk melanjutkan program surveilans, aktifitas KIE, dan
pelacakan kontak serta profilaksis.
2. Program deteksi dini harus semakin ditingkatkan, dimana proses penyediaan
alat seperti formulir dan alat untuk pelaporan yang harus terus ditindaklanjuti.
3. Follow up dan tracing kontak.
4. MSF dan Dinas Kesehatan Kabupaten Paniai untuk sementara tidak
menyarankan imunisasi meningitis massal sebelum mengambil bukti secara
langsung dan mengakses terhadap berbagai faktor yang berbeda. Namun
apabila ditemukan peningkatan jumlah kasus, imunisasi merupakan strategi
yang direkomendasikan.
5. Mencari kebenaran data berupa:
• Data lengkap korban Data lengkap korban ( Identitas Pasien,
anggota
keluarga dan Tempat kuburan ).
• Penyebab kematian yang diklasifikasikan dalam 2 ( dua ) kelompok:
1. Kematian disebabkan oleh Meningitidis.
2. Kematian disebabkan oleh penyakit kronis lainnya.
• Waktu kematian.
149
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
• Tempat/alamat korban.
6. Jika ternyata ada yang positif meningitis, maka yang perlu adalah pencegahan
dan pengobatan sebagai berikut:
• Orang yang tinggal satu rumah dengan yang sakit, termasuk mereka yang
datang dan bermalam dalam 10 hari terakhir sebelum pasien mulai sakit
hingga pasien diobati.
• Orang yang tidur bersama dengan orang sakit.
•
Orang yang tinggal bersama dengan orang sakit dalam honai, barak,
asrama, atau penginapan.
• Orang yang mendapat penularan langsung melalui hidung atau mulut
dengan ludah dan ingus pasien (misalnya, berciuman, merokok rokok
yang sama, minum dengan gelas/botol yang sama).
• Anak-anak, guru dan pegawai di sekolah tempat pasien bersekolah.
• Petugas kesehatan: suster, pastor, mantri, bidan, dokter yang mengangani
orang sakit tersebut.
D. ANALISIS KASUS
Dalam investigasi kematian dilihatn beberapa kemungkinan penyebabnya.
Di bawah ini banyak didiskusikan mengenai meningitis dan malaria.
Kasus Meningitis sangat jarang sekali terjadi di Indonesia khususnya
Papua terlebih lagi di Kabupaten Paniai. Meningitis adalah radang pada selaput
otak, ruang sub aracnoid otak dan sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh
kuman piogenik dan langsung menyebar dari infeksi saluran nafas atas, melalui
udara seperti: seperti bersin dan batuk serta hanya bisa ditularkan dari manusia
ke manusia bukan dari binatang/hewan ke manusia. Penyebab utama pada umur
0 – 2 bulan (Echerichia coli, Streptococcus grup B), 3 bulan – 9 tahun (Hemophilus
influenza tipe B, Streptococcus pneumoniae), 9 – 18 tahun (Streptococcus
pneumoniae, Neisseria meningitidis). Dasar diagnosis nya adalah pada orang
dewasa dan anak lebih dari 1 tahun: demam atau panas tinggi mendadak dan
ada gejala lain seperti leher kaku, mulai tidak sadar, ada bercak-bercak /bintik
merah pada kulit dan kejang. Anak kurang dari setahun: demam atau panas tinggi,
ubun-ubun menonjol, malas minum, dan bisa ada bercak-bercak /bintik merah
pada kulit dan kejang. Dipastikan dengan lumbal punksi didapatkan LCS yang
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
150
keruh dan jumlah sel lebih 500/mm3 dengan lekosit segmen predominan. Sel <
500/mm3 aatau PMN tidak predominan, ulangi lumbal punksi setelah 48 -72 jam.
Sehingga kadang orang salah menilai gejala meningitis ini karena memiliki gejala
yang hampir sama dengan malaria serebral.
Di Indonesia, malaria sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Angka kesakitan malaria masih tinggi terutama di Papua dan
khususnya di kabupaten Paniai yang secara geografisnya berada di Pegunungan
Tengah, yang mana masih sering terjadi letusan wabah malaria yang menimbulkan
banyak kematian.
Malaria adalah penyakit infeksi akut maupun kronis yang disebabkan
oleh salah satu atau lebih protozoa genus Plasmodium, yang ditandai dengan
panas, anemia dan hepatosplenomegali. Terdapat 4 ( empat ) spesies dari
genus Plasmodium yang dapat menyerang manusia, yaitu Plasmodium vivax
( menyebabkan malaria tertiana ), Plasmodium Falciparum ( menyebabkan
malaria tropika ), Plasmodium malariae ( menyebabkan malaria malariae ), dan
Plasmodium ovale ( menyebabkan malaria ovale ). Malaria dapat ditularkan
melalui 2 ( dua ) cara yaitu alamiah dan bukan alamiah. Penularan secara alamiah
adalah melalui gigitan nyamuk Anopeles betina, sedangkan bukan alamiah adalah
melalui plasenta dan tali pusat ( pada malaria kongenital ) serta melalui tranfusi
darah atau jarum suntik.
Untuk dapat melakukan penatalaksanaan malaria maka perlu menegakkan
diagnosis secara cepat dan tepat dengan mengetahui gambaran klinis dan
laboratoriumnya. Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien nonimun terdiri atas beberapa serangan demam dengan inter val tertentu ( paroksimal
) yang diselingi oleh suatu periode bebas demam ( periode laten ). Serangan
demam dapat terus-menerus terjadi pada pasien dengan infeksi campuran lebih
dari satu jenis plasmodium, atau oleh satu jenis plasmodium tetapi infeksi berulang
dalam waktu berbeda.
Pada daerah endemis diagnosis malaria tidak sulit, biasanya diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala serta tanda klinis ( gejala trias yaitu demam,
151
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
anemia dan hepatosplenomegali ). Perlu diingat bahwa diagnosis malaria
merupakan hasil pertimbangan klinis dan tidak selalu disertai hasil laboratorium
oleh karena beberapa kendala pada pemeriksaan laboratorium. Ditemukannya
beberapa parasit dalam sediaan darah seorang anak penduduk asli yang semiimun menunjukan adanya infeksi, tetapi anak tersebut tidak selalu harus sakit
malaria; mungkin parasit ditemukan secara tidak sengaja pada saat anak berobat
untuk penyakit lain. Dan di lain pihak, tidak selalu dapat ditemukan parasit malaria
pada pemeriksaan darah anak yang sedang menderita sakit malaria.
Manifestasi gejala dan tanda klinis yang dapat ditemukan pada penyakit
malaria adalah demam, hepatosplenomegali, anemia dan ikterus. Demam periodik
yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang. Serangan demam yang
pertama didahului oleh masa inkubasi. Masa inkubasi bervariasi antara 9-30 hari
tergantung pada spesies parasit, paling pendek Plasmodium Falciparum dan yang
paling panjang pada Plasmodium malariae. Masa inkubasi ini juga tergantung
pada intensitas infeksi, pengobatan yang didapat sebelumnya dan derajat imunitas
pejamu. Pada malaria tertiana (P. Vivax dan P. Ovale), pematangan skizon tiap 48
jam maka periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan malaria kuartana
(P. Malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya setiap 4
(empat) hari. Tiap serangannya ditandai dengan beberapa serangan demam
periodik. Demam khas malaria terdiri atas 3 (tiga) stadium, yaitu menggigil/dingin
(15 menit-1 jam), puncak demam (2-6 jam), dan berkeringat (2-4 jam). Demam
akan mereda secara bertahap karena tubuh dapat beradaptasi terhadap parasit
dalam tubuh dan ada respon imun. Pada anak di bawah umur lima tahun stadium
dingin sering kali bermanifestasi senagai kejang. Hepatosplenomegali merupakan
gejala khas malaria kronik dimana limpa mengalami kongesti, menghitam, dan
menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat yang
bertambah. Derajat anemia tergantung spesies penyebab, yang paling berat
adalah anemia karena P. Falciparum karena disebabkan adanya penghancuran
eritrosit yang berlebihan, eritosit normal tidak dapt hidup lama serta adanya
gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum
tulang. Sedangkan ikterus karena hemolisis dan gangguan hati.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
152
Kematian yang disebabkan infeksi akut oleh Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale, Plasmodium malariae, sangat jarang terjadi dan sebaliknya
infeksi Plasmodium Falciparum sangat potensial untuk menjadi kasus yang
mematikan. Malaria tertiana (Plasmodium vivax) prognosis umumnya baik, tidak
menyebabkan kematian walaupun bila tidak diobati infeksi dapat berlangsung
sampai 3 bulan atau lebih lama karena mempunyai sifat relaps. Malaria tropika
(Plasmodium Falciparum) tanpa penyulit dapat berlangsung sampai 1 tahun
sedangkan Malaria tropika (Plasmodium Falciparum) prognosis buruk disertai
komplikasi dan menyebabkan kematian bila tidak ditanggulangi secara cepat,
terutama pada penderita gizi buruk.
Gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria tropika yang
disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit bentuk tropozoit dan skizon
untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh tertentu seperti otak, hati
dan ginjal sehingga menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah organ-organ
tubuh tersebut. Gejala mungkin berupa koma, kejang sampai ganguan fungsi
ginjal. Malaria berat menurut WHO (1990) adalah malaria yang disebabkan oleh
Plasmodium Falciparum stadium aseksual disertai salah satu atau lebih komplikasi
sebagai berikut: penurunan kesadaran, anemia berat, gagal ginjal, edema paru
akut, kecenderungan perdarahan, hipoglikemia berat, syok, hemoglobinuria
(Black Water Fever), hiperpireksia, ikterus, kejang berulang, hiperparasitemia,
serta gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa.
Berdasarkan hasil investigasi tim yang mana 21 orang yang meninggal
tersebut sebagian besar didahului dengan gejala awal demam yang kadang diikuti
gejala kurang spesifik seperti nyeri kepala, batuk, nyeri otot, rasa tidak enak di
perut, anoreksia, mual muntah, diare, badan terasa lesu dan lemah serta nyeri
punggung. Selang berapa hari, para pasien dewasa mengalami perburukan klinis
seperti tubuh tampak pucat kekuningan, peningkatan frekuensi nafas (sesak/nafas
cepat) yang mana akibat edema paru akan terjadi hipoksia yang mengakibatkan
kejang, penurunan kesadaran bahkan kematian. Begitu juga pada pasien anakanak di bawah tiga tahun dengan gejala yang lebih ringan seperti berkeringat, kulit
teraba dingin dan lembab serta nafas yang tidak teratur yang diikuti kejang berulang
lalu meninggal. Ada juga yang suhu tubuhnya meningkat diatas 40⁰ C
sehingga
153
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
anaknya menjadi gelisah, penurunan kesadaran dan kejang lalu meninggal. Tim
mengambil kesimpulan bahwa penyebab kematian di Kampung Mamba distrik
Sugapa dalam kurun waktu 4 bulan ( Pebruari-Mei 2008 ) adalah akibat suspek
Malaria, dan mengalami perburukan menjadi malaria serebral karena selama sakit
tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan yang semestinya serta suspek
Meningitis TBC.
Selama tim berada di Kampung Bilogai, Kampung Yokatapa, Kampung
Puyagia, Kampung Jalay, Kampung Mamba, Kampung Joparu, Kampung
Egnemba dan Kampung Titigi juga dilakukan pelayanan pengobatan terhadap
masyarakat kurang lebih sebanyak 1.000 orang. Selama 6 hari mobile klinik kita
melaksanakan pemeriksaan dan pengobatan sebanyak 701 orang, sekalian kita
melakukan skrining pasien tersangka meningitis. Kita mendapatkan 3 pasien
tersangka meningitis, tetapi setelah kita follow up yang memenuhi syarat untuk
dilakukan lumbal punksi hanya 1 orang. Hasil lumbal punksi pada pasien suspek
meningitis tersebut ternyata hasilnya adalah LCS nya jernih dan pemeriksaan
menggunakan Pastorex adalah negatif. Kita telah melacak keluarga dari Juliana
Bagau yang positif meningitis sebanyak 98 orang dan mereka semua telah
mendapatkan profilaksis Ciproflosacin 500mg ( dosis tunggal ). Sepuluh besar
penyakit yang ada selama kita pelayanan mobile klinik adalah ISPA menduduki
peringkat tertinggi sebanyak 147 kasus, diikuti rematik sebanyak 133 kasus,
kemudian diare sebanyak 99 kasus, kecacingan sebanyak 76 kasus, malaria
klinis sebanyak 71 kasus, gastritis kronis sebanyak 60 kasus, lalu penyakit gigi
38 kasus, penyakit mata 36 kasus, penyakit kulit 23 kasus dan terakhir penyakit
telinga sebanyak 17 kasus, dan beberapa kasus penyakit lainnya. Pasien malaria
klinis tersebut dilakukan Pemeriksaan Rapid Diagnostic Test ( RDT ) dilakukan
ditempat menggunakan Parascreen, dimana RDT ini hanya bisa mendeteksi
malaria falciparum dan non-falciparum saja, didapatkan kebanyakan atau hampir
seluruhnya menunjukan positif mix malaria.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
154
E. HASIL INVESTIGASI
TABEL 1. DAFTAR NAMA KEMATIAN
DI KAMPUNG MAMBA DISTRIK SUGAPA
155
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Berdasarkan Jumlah kematian sebanyak 21 kasus diuraikan dalam beberapa
jenis Variabel berdasarkan hasil Investigasi sebagai berikut:
TABEL 2. JUMLAH KEMATIAN BERDASARKAN TEMPAT KEJADIAN
Jumlah kematian berdasarkan tempat kejadian adalah desa Mamba yang terbanyak
sebanyak 13 kasus diikuti desa Taylai sebanyak 5 kasus, desa Anamama sebanyak
2 kasus serta desa Wokeitokapa sebanyak 1 kasus.
TABEL 3. JUMLAH KEMATIAN BERDASARKAN JENIS KELAMIN
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
156
Jumlah kematian berdasarkan jenis kelamin adalah 15 orang laki-laki dan 6 orang
perempuan.
TABEL 4. JUMLAH KEMATIAN BERDASARKAN KELOMPOK UMUR
Jumlah kematian berdasarkan kelompok umur adalah 3 orang < 1 tahun, 2-5 tahun
sebanyak 2 orang, 6-10 tahun sebanyak 4 orang, 11-25 tahun sebanyak 4 orang
dan tertinggi pada kelompok umur > 25 tahun sebanyak 8 orang.
TABEL 5. JUMLAH KEMATIAN BERDASARKAN WAKTU (BULAN)
Jumlah kematian berdasarkan bulan adalah mulai bulan Pebruari terdapat lonjakan
kematian sebanyak 9 kasus diikuti bulan Maret sebanyak 7 kasus, bulan April
sebanyak 2 kasus dan bulan Mei sebanyak 3 kasus.
TABEL 6. 10 BESAR PENYAKIT MOBILE KLINIK
157
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Selama 6 hari mobile klinik kita pemeriksaan dana pengobatan sebanyak 701 orang,
sekalian kita melakukan skrining pasien tersangka meningitis. Kita mendapatkan
3 pasien tersangka meningitis, tetapi setelah kita follouw up yang memenuhi
syarat untuk dilakukan lumbal punksi hanya 1 orang. Sepuluh besar penyakit
yang ada selama kita pelayanan mobile klinik adalah ISPA menduduki peringkat
tertinggi sebanyak 147 kasus, diikuti rematik sebanyak 133 kasus, kemudian diare
sebanyak 99 kasus, kecacingan sebanyak 76 kasus, malaria klinis sebanyak 71
kasus, gastritis kronis sebanyak 60 kasus, lalu penyakit gigi 38 kasus, penyakit
mata 36 kasus, penyakit kulit 23 kasus dan terakhir penyakit telinga sebanyak 17
kasus.
JUMLAH KEMATIAN BERDASARKAN JENIS KELAMIN
159
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
158
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Telah terjadi kematian di kampung Mamba distrik Sugapa dengan angka
kematian 21 ( dua puluh satu ) orang.
2. Penyebab kematian di Kampung Mamba distrik Sugapa dalam kurun waktu
4 bulan ( Pebruari - Mei 2008 ) adalah akibat suspek Malaria, dan mengalami
perburukan menjadi malaria serebral karena selama sakit tidak mendapatkan
pengobatan dan perawatan yang semestinya serta suspek Meningitis TBC.
3. Jumlah kematian berdasarkan tempat kejadian adalah desa Mamba yang
terbanyak sebanyak 13 kasus diikuti desa Taylai sebanyak 5 kasus, desa
Anamama sebanyak 2 kasus serta desa Wokeitokapa sebanyak 1 kasus.
4. Jumlah kematian berdasarkan jenis kelamin adalah 15 orang laki-laki dan 6
orang perempuan.
5. Jumlah kematian berdasarkan kelompok umur adalah 3 orang < 1 tahun,
2-5 tahun sebanyak 2 orang, 6-10 tahun sebanyak 4 orang, 11-25 tahun
sebanyak 4 orang dan tertinggi pada kelompok umur > 25 tahun sebanyak
8 orang.
6. Jumlah kematian berdasarkan bulan adalah mulai bulan Pebruari terdapat
lonjakan kematian sebanyak 9 kasus diikuti bulan Maret sebanyak 7 kasus,
bulan April sebanyak 2 kasus dan bulan Mei sebanyak 3 kasus.
7. Kita telah melacak keluarga dari Juliana Bagau yang positif meningitis
sebanyak 98 orang dan mereka semua telah mendapatkan profilaksis
Ciproflosacin 500mg ( dosis tunggal ). Data terlampir.
8. Kita mendapatkan 3 pasien tersangka meningitis, tetapi setelah kita follouw
up yang memenuhi syarat untuk dilakukan lumbal punksi hanya 1 orang.
Hasil lumbal punksi pada pasien suspek meningitis tersebut ternyata hasilnya
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
160
adalah LCS nya jernih dan pemeriksaan menggunakan Pastorex adalah
negatif.
9. Sepuluh besar penyakit yang ada adalah ISPA menduduki peringkat tertinggi
sebanyak 147 kasus, diikuti rematik sebanyak 133 kasus, kemudian diare
sebanyak 99 kasus, kecacingan sebanyak 76 kasus, malaria klinis sebanyak
71 kasus, gastritis kronis sebanyak 60 kasus, lalu penyakit gigi 38 kasus,
penyakit mata 36 kasus, penyakit kulit 23 kasus dan terakhir penyakit telinga
sebanyak 17 kasus, dan beberapa kasus penyakit lainnya.
10. Pemeriksaan Rapid Diagnostic Test ( RDT ) pada pasien malaria klinis
menggunakan Parascreen didapatkan kebanyakan atau hampir seluruhnya
menunjukan positif mix malaria.
11. Pelayanan dan pengobatan kita lakukan di 8 kampung yaitu Kampung
Bilogai, Kampung Yokatapa, Kampung Puyagia, Kampung Jalay, Kampung
Mamba, Kampung Joparu, Kampung Egnemba dan Kampung Titigi distrik
Sugapa.
12. Surveilans epidemiologi baik di tingkat Puskesmas maupun di Pustu,
termasuk pencatatan masih jauh dari yang diharapkan.
B. SARAN DAN REKOMENDASI
1. Kita harus tetap waspada oleh karena penyakit ini mungkin masih berlangsung
dan kemungkinan keluarga pasien yang telah diobati masih bisa mungkin
kambuh, maka disarankan agar pengamatan dan pengobatan dilakukan
secara intensif oleh Pustu dan Puskesmas.
2. Sehubungan dengan point pertama di atas, maka disarankan pula agar
petugas kesehatan selalu ada di lokasi, dan apabila tenaga yang bertugas di
Pustu dan Puskesmas berhalangan maka sebaiknya digantikan oleh petugas
lain dari Puskesmas.
161
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
3. Perlu adanya untuk melakukan sistem pengamatan epidemiologi yang intensif,
termasuk monitoring oleh Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten secara
terkoordinir. Dengan kata lain perlu adanya BINTEK ataupun SUPERVISI.
4. Sosialisasi dan Penyuluhan kesehatan masyarakat tentang informasi yang
benar berkaitan dengan penyakit tersebut di atas berkaitan dengan definisi,
cara penularan, tanda dan gejala ser ta cara pencegahannya, sehingga
masyarakat tidak menjadi resah dan takut.
5. Perlunya melengkapi saran dan prasaran serta fasilitas Puskesmas. Disertai
dengan peningkatan kualitas dokter, perawat, bidan dengan pelatihanpelatihan berkaitan dengan penyakit tersebut di atas.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
162
LAMPIRAN DAN DOKUMENTASI
A. DAFTAR KELUARGA JULIANA BAGAU
1. Katilina Sondegau (48 tahun)
2. Alila Bagau (38 tahun)
3. Marten bagau (25 tahun)
4. Bertinus Bagau (20 tahun)
5. Alinus Bagau (19 tahun)
6. Donny Bagau (8 tahun)
7. Donna Bagau ( 6 tahun)
8. Ina Ugipa (40 tahun)
9. Yanyus Bagau (15 thn)
10. Alius Bagau ( 8 thn)
11. Soleman Bagau ( 7 thn)
12. Tonius Bagau ( 6 thn)
13. Delince Bagau (1 thn)
14. Emeliana Japugau (38 thn)
15. Regina Bagau ( 11 thn)
16. Lince Bagau (10 thn)
17. Yance Bagau (2 thn)
18. Debora Janamabani (35 thn)
19. Yumiana bagau (12 thn)
20. Melianus Bagau (3 thn)
21. Dominika Nambagani
(sudah meninggal)
22. Yuliana Bagau ( 19 thn)
23. Apeliana Bagau (6 thn)
24. Yuniana Bagau ( 5 thn)
25. Agustinus Bagau (23 thn)
26. Seprianus Bagau (20 thn)
27. Agustina Bagau (24 thn)
28. Yustinus Bagau ( 7 thn)
29. Sepriana Bagau ( 12 thn)
30. Clara Bagau ( 26 thn)
163
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
31. Pariana Bagau ( 30 thn)
32. Yuliana Bagau (30 thn)
33. Omiana Bagau ( 5 thn)
34. Ananias Bagau (38 thn)
35. Gerson Bagau (5 thn)
36. Yan bagau ( 28 thn)
37. Sapira Bagau (26 thn)
38. Paula Bagaui ( 50 thn)
39. Agustina Bagau ( 8 thn)
40. Tabetati Bagau ( 58 thn)
41. Antonia Sani ( 42 thn)
42. Apelianus Bagai ( 8 thn)
43. Apeliana Bagau ( 5 thn)
44. Ananias Bagau ( 32 thn)
45. Yuli Selegani ( 28 thn)
46. Nim Bagau ( 33 thn)
47. Ema Bagau ( 40 thn)
48. Kristina Bagau ( 17 thn)
49. Sepeliana Bagaui ( 12 thn)
50. Epiana Bagau ( 7 thn)
51. Nopiana Bagau ( 5 thn)
52. Anataou Bagau ( 1 thn)
53. Willem Bagau ( 39 thn)
54. Andowina Sondegau (32 thn)
55. Selpina Bagau ( 22 thn)
56. Usuajangga Bagau ( 12 thn)
57. Sandiana Bagau ( 3 thn)
58. Santigau Bagau ( 8 thn)
59. Elisabeth Sani (32 thn)
60. Mekianus Bagau ( 7 thn)
61. Yupiliana Bagau 9 6 thn)
62. Meilana Bagau 9 30 thn)
63. Tabias bagau ( 38 thn)
64. Makalena Bagau ( 32 thn)
65. Yubelina Bagau ( 8 thn)
66. Dewi Bagau ( 1 thn)
67. Paulus Sani ( 35 thn)
68. Mariam Sani (32 thn)
69. Yan Sani (23 thn)
70. Oliana Sani ( 21 thn)
71. Januarius Sani (19 thn)
72. Oktopina Sani ( 12 thn)
73. Alinus Sani (3 thn)
74. Nataniel Sani (33 thn)
75. Rupina Sani ( 29 thn)
76. ONace Sani ( 12 thn)
77. Japanus Sani ( 7 thn)
78. Markus Sani ( 35 thn)
79. Agustina Bagubau ( 30 thn)
80. Oscar Sani ( 7 thn)
81. Selpina Sani ( 3 thn)
82. Selina Sani ( 3 bulan)
83. Anakleus Sani ( 38 thn)
84. Lina Nambagani ( 36 thn)
85. Dominic Mbuligau ( 32 thn)
86. Anton Bagau ( 12 thn)
87. Emi Sani (32 thn)
88. Peliana Sani ( 29 thn)
89. Marta Sani ( 33 thn)
90. Paskalina Sani ( 8 thn)
91. Serpianus Tigau ( 28 thn)
92. Siska Tigau ( 1 thn)
Keluarga Angkat
1. Abraham Sondegau ( 30 thn)
2. Yulitina Bagau ( 26 thn)
3. Epianus Sondegau (9 thn)
4. Alince Sondegau (1 thn)
5. Yohanes Sondegau (73 thn)
6. Andariana Sondegau (70 thn)
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
164
B. DOKUMENTASI
Gambar 1. MOBILE KLINIK
Gambar 2. MOBILE KLINIK
165
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Gambar 3. PEMBAGIAN VIT A & OBAT CACING
Gambar 4. PROFILAKSIS KELUARGA JULIANA BAGAU
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
166
Gambar 5. PERTEMUAN TIM DENGAN DISTRIK DLL
Gambar 6. TRACING CONTACT
167
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Gambar 7. KUBURAN Kematian
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
168
“Kasih itu sabar,
kasih itu murah hati,
ia tidak cemburu. Ia tidak
memegahkan diri dan tidak
sombong. Ia tidak melakukan
yang tidak sopan dan tidak
mencari keuntungan diri
sendiri. Ia tidak pemarah dan
tidak menyimpan kesalahan
orang lain. Ia tidak bersukacita
karena ketidakadilan, tetapi
karena kebenaran. Ia menutupi
segala sesuatu, percaya segala
sesuatu, mengharapkan segala
sesuatu, sabar menanggung
segala sesuatu.”
1 Korintus 13:4-7
169
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Bagian 12. Penyakit Kusta (Laporan Singkat)
Laporan singkat 20 April 2011
Paniai merupakan salah satu kabupaten di Pegunungan Tengah yang melaporkan
kasus kusta selain kabupaten Tolikara. Kasus kusta umumnya di daerah pesisir
Papua. Kabupaten Paniai mempunyai penduduk 152,000 jiwa. Kasus kusta terdaftar
adalah PB 9 dan MB 23 atau jumlah total 38 kasus. Dari kegiatan survey cepat
di Pasir Putih ditemukan 4 kasus baru dan ada 2 diantaranya telah mengalami
cacat tingkat 2 atau cacat fisik.. Sedangkan puskesmas Kebo diperiksa sekitar 200
orang ditemukan 8 kasus baru dimana 3 orang sudah mengalami cacat tingkat 2.
Denny dengan reaksi kusta tipe ENL
Cacat menunjukkan keterlambatan penemuan kasus. Kami juga melakukan
penyuluhan ke masyarakat dengan menggunakan pasien sebagai contoh serta
bantuan penterjemah. Stigma kusta relatif rendah di kabupaten Paniai artinya tidak
ada pemisahan tempat tinggal atau mengisolasikan orang yang mengalami kusta.
Daerah Kebo beberapa tahun terkhir tidak dikunjungi karena alasan keamanan.
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
170
Kasus baru dengan kecacatan
On the job training bagi wasor.wakil supervisor kusta
171
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Penyuluhan dengan bahasa lokal. Koyao : salam
Kasus baru dengan bercak mati rasa yang jelas
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
172
Pemeriksaan pasien kusta sebaiknya tidak perlu
menggunakan sarung tangan
Kecuali merawat luka karena angka kesakitan HIV cukup tinggi
Reaksi kusta di Kebo. Reaksi jika tidak ditangani dapat menjadi cacat
173
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Julianus Ogetai dijauhi oleh masyarakat t ahun 2008- 2009
dan Setelah diberi obat MDT, Dia sembuh sempurna tanpa cacat.
Selain pemeriksaan kusta, biasanya dilakukan screening HIV.
Julianus Ogetai, saat ini terpilih anggota KPU dari bagian Obano
Ilmu Keseha tan Mas yara ka t: Belajar dari Lapanga n
174
Perawatan luka (Self Care), bapak Yohanes Kayame mengajarkan
merendam,menggosok bagian pinggir luka yang tebal dan meminyaki.
Kasih, dedikasi sangat diperlukan pada petugas melayani kusta
Bekerja di level masyarakat atau akar rumput (community level / grass root)
sangatlah penting untuk menemukan kasus baru kusta. Pemeriksaan kontak
serumah dan melakukan kegiatan penyisiran dari rumah ke rumah dalam rangka
percepatan eliminasi kusta. Indikator Elimininasi semu dapat terjadi jika kita tidak
aktif mencarinya karena masih banyak kasus-kasus yang tersembunyi. Eliminasi
dicapai apabila prevalensi < 1 /10,000 penduduk. Pada daerah yang jauh dan
tidak ada petugas kesehatan obat kusta dapat dititipkan kepada kader kesehatan
ataupun guru SD atau SMP di tempat tersebut untuk mengawasi minum obat,
strategi pemberian obat ini disebut accompanied MDT. Penyakit kusta dapat
disembuhkan (curable).
175
Robb y Ka yame, Arry Pong ti ku
Download