5 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR 2.1 KAJIAN TEORI 2.1.1 Pengertian Suku Bangsa Istilah suku bangsa mulai banyak dipakai di Indonesia sejak tahun enam puluhan, terutama untuk melengkapi istilah “suku” yang digunakan untuk menyebut kesatuan hidup dengan ciri – ciri kebudayaan tertentu. Istilah ini menjadi penting artinya untuk menutupi ruang kosong yang ditinggalkan oleh kesatuan – kesatuan hidup yang semula dikenal sebagai “bangsa”, yaitu banga Indonesia muncul sebagai suatu kesatuan hidup pengisi negara Indonesia. Dengan demikian posisi bangsa yang semula dimiliki oleh orang aceh, batak, minang kabau, jawa, sunda, bali, bugis, ambon dan sebagainya beralih menjadi “paroh – paroh bangsa” atau lebih tepat lagi “suku – suku bangsa” di Indonesia. Istilah suku bangsa menurut Zulyani Hidayah (1998:xxi) bahwa “suku bangsa lebih tepat dipakai dalam rangka melihat bangsa Indonesia dari sudut pandang kebangsaan yang melatar belakangi perkembangan kebudayaan, dan yang menyebabkan adanya paroh – paroh (suku – suku) bangsa”. Suku bangsa menurut Koentjaraningrat (dalam Zulyani Hidayah, 1998:22), merupakan kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai system interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki system kepemimpinan sendiri. 6 Mattulada (dalam Zulyani Hidayah, 1998:23) seorang ahli antropologi yang mendalami masalah suku kaili Sulawesi Tengah, mengajukan lima ciri pengelompokan pada suku bangsa ini. Pertama, adanya komunikasi antara sesama mereka,yaitu bahasa atau dialek yang memlihara keakraban dan kebersamaan diantara mereka. Kedua, pola – pola sosial kebudayaan yang menumbuhkan prilaku yang dinilai sebagai bagian dari kehidupan adat istiadat (termasuk cita – cita dan ideologi) yang dihormati bersama. Ketiga, adanya perasaan ketertarikan antara satu dengan yang lainnya sebagai suatu kelompok, dan yang menimbulkan rasa kebersamaan diantara mereka. Keempat, adanya kecenderungan menggolongkan diri ke dalam kelompok asli, terutama dalam menghadapi kelompok lain pada berbagai kejadian sosial – kebudayaan. Kelima, adanya perasaan ketertarikan dalam kelompok karena hubungan kekeranatan, genealogis dan ikatan kesadaran teritorial diantara mereka. Suku bangsa harus dilihat sebagian dari sistem sosial yang besar. Didalam interaksi antara kelompok masyarakat disitulah mereka melihat perbedaan dan kesamaan identitas suku bangsanya dengan suku bangsa lain. Identitas kesukubangsaan itu dapat dicirikan oleh adanya unsur – unsur antara lain, hubungan darah, kesamaan bahasa, kesamaan adat istiadat dan kesamaan kepercayaan (religi). Menurut Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati (2007:124) Beberapa persamaan kehidupan kelompok masyarakat suku bangsa di Indonesia (1); Adanya semangat persatuan dan kesatuan dalam satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air Indonesia sehingga tidak ada satu kelompok suku bangsa yang ingin memisahkan diri dari negara kesatuan republic Indonesia (2); Adanya jiwa dan semangat gotong royong yang kuat, rasa solidaritas, dan toleransi keagamaan yang tinggi sehingga memudahkan terwujudnya kerukunan antar umat beragama (3); Adanya kepribadian dan pandangan hidup kebangsaan yang sama, yaitu pancasila (4); Adanya persamaan nasib akibat penjajahan dan (5), Adanya penggunaan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memilik banyak suku – suku yang berbeda – beda. tetapi sekalipun banyak perbedaan yang terdapat pada bangsa Indonesia tetap memiliki persamaan dan dari persamaan tersebut bangsa Indonesia 7 bersatu dan dapat hidup rukun. Seperti makna bhineka tunggal ika yang berarti berbeda – beda tetapi tetap satu. Seprti itulah gambaran bangsa Indonesia. Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati (2007:127) ada persamaan, pasti ada juga yang namanya perbedaan. Dalam kehidupan masyarakat multikultural, seperti Indonesia antara kelompok suku bangsa yang satu dengan yang lain terdapat peerbedaan - perbedaan yang khas, perbedaan tersebut mencakup hal – hal sebagai berikut: (1); Perbedaan tata susunan dan kekerabatan, misalnya patrilinear, matrilinear, dan parental (2); Perbedaan seni bangunan rumah, peralatan kerja, dan pakaian – pakaian adat (3); Perbedaan kesenian daerah, misalnya tarian, musik, seni lukis, dan seni pahat (4); Perbedaan adat istiadat dalam perkawinan, upacara ritual, hukum adat dan (5), Perbedaan bahasa daerah, misalnya bahasa jawa, sunda, Madura, bali, batak, papua, makassar dan minagkabau. Perbedaan yang ada pada bangsa Indonesia dikarenakan oleh banyaknya suku – suku, adat istiadat, agama dan lain – lain. Namun bangsa Indonesia adalah bangsa yang dapat menerima perbedaan yang ada, sehingga di Indonesia terdapat banyak kebudayaan yang memperkaya bangsa Indonesia dan kebudayaan – kebudayaan tersebut yang membuat bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa – bangsa lain. 2.2 Masyarakat Koentjaraningrat (1998:119) Masyarakat berasal dari kata arab yakni syaraka, yang artinya ikut serta, berperanserta. Dalam istilah bahasa inggris disebut society (berasal dari kata latin socius yang berarti kawan). Istilah masyarakat yang lazim dipakai ada istilah – istilah khusus untuk menyebut kesatuan – kesatuan khususnya dalam masyarakat yaitu kategori sosial, golongan sosial, komunitas, kelompok dan perkumpulan. 8 Hassan Shadily (1998:50) mengatakan bahwa masyarakat adalah suatu kesatuan yang selalu berubah, yang hidup karena proses masyarakat yang menyebabkan perubahan itu. Dalam zaman biasa masyarakat mengenal kehidupan yang teratur dan aman, disebabkan oleh karena pengorbanan sebagian kemerdekaan dari anggota – anggotanya, baik dengan paksa maupun dengan sukarela. Linton (dalam Usman Pelly dan Asti Menanti, 1994:28) mengemukakan bahwa “ masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah cukup lama bekeja sama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya sebagai salah satu kesatuan sosial dengan batas – batas tertentu”. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama cukup lama, Yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut, suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Adanya pengalaman hidup bersama dalam jangka waktu cukup lama dan adanya kerjasama diantara anggota kelompok, memiliki pikiran atau perasaan menjadi bagian dari satu kesatuan kelompoknya. Pengalaman hidup bersama menimbulkan kerja sama, adaptasi terhadap organisasi dan pola tingkah laku anggota – anggota. Faktor waktu sangat memegang peranan penting, sebab setelah hidup bersama dalam waktu yang cukup lama, maka akan terjadi proses adaptasi terhadap kesadaran berkelompok. Suatu masyarakat adalah kesatuan manusia yang termasuk golongan sosial, yaitu yang disebut lapisan atau kelas sosial. Dizaman dahulu kita kenal lapisan kaum bangsawan, lapisan orang bangsawan, lapisan orang biasa, lapisan budak, dan 9 sebagainya. Dan sekarang ada lapisan petani, lapisan buruh, lapisan pegawai, lapisan pegawai tinggi, lapisan cendekiawan, lapisan usahawan, dan sebagainya. Lapisan atau golongan sosial semacam itu terjadi karena orang – orang yang dikelaskan ke dalamnya mempunyai suatu gaya hidup yang khas, sehingga mereka dipandang oleh orang lain sebagai orang – orang yang menduduki suatu lapisan tertentu dalam masyarakat. Penyebabnya karena keduanya tidak memiliki syarat pengikat masyarakat, yaitu prasarana yang khusus untuk melakukan interaksi sosial. 2.3 Masyarakat Multikultural Comte (dalam prof. Dr. Usman Pelly dan Dra. Asih Menanti, M.S, 1994:142) mengatakan bahwa “masyarakat seperti organisme hidup. Ini dapat diartikan bahwa didalam dinamika hidup, tumbuh dan berkembangnya masyarakat itu berlaku konsep sistem sehingga masyarakat itu terus berlangsung dan dapat bertahan sebagaimana kelangsungan hidup organisme”. Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas beragam suku bangsa dan budaya. Masyarakat Indonesia tergolong masyarakat multikultural, karena masyarakatnya sangat majemuk dalam suku bangsa, ras, klan, agama, mata pencaharian, adat istiadat, golongan politik, dan sebagainya. Walaupun masyarakat Indonesia sangat majemuk, tetapi hidup bersatu secara damai dan berdampingan dalam wilayah negara republik Indonesia. Usman Pelly dan Asih Menanti (1994:18) mengatakan bahwa “masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai jenis bahasa, agama, 10 dan keadaan geografis, serta majemuk secara vertikal seperti dalam pendidikan dan tingkat ekonomi”. Letak Indonesia berada pada posisi saling menimbulkan kemajemukan. Kemajemukan tersebut mengandung arti Bhineka Tunggal Ika (berbeda – beda tetapi tetap satu). Didalam kemacamragamannya bangsa Indonesia diikat oleh pandangan hidup, ini mengikat manusia sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat. Pancasila sebagai nilai dasar kebudayaan bangsa Indonesia menekankan pentingnya keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam berbagai peran manusia. Multikultural merupakan suatu tantangan yang mengedepankan majemuknya nilai – nilai, kelompok sosial, dan struktur sosial. Dalam kesadaran pluralisme, manusia dihadapkan pada proses pembelajaran yang terus menerus bergulir sepanjang hidupnya terhadap sesuatu diluar pribadi dan identitas monokulturnya. Dalam kedua konteks itu (manusia dan multikultural), banyak benturan yang bisa terjadi. Tetapi, itu tidak bisa dihindari karena yang dicirikan manusia sebagai realitas – realitas human being, manusia sebagai yang berakal budi. Konsep multikultural saat ini menjadi kerinduan sosiologis ketika globalisme begitu deras mendera semua bangsa dan Negara. Menjadi harapan ketika banyak bangsa mengalami krisis identitas dan perpecahan, menjadi alternatif ditengah ketidakpaksaan hidup. Kita merupakan dari situasi yang mencoba merekatkan krisis identitas itu. Ketika multikultur menjadi bagian dari isu global, maka sebagai manusia yang merindukan tatanan nilai harmoni, multikultural menjadi harapan baru dalam membangun reidentifikasi keindonesiaan kita. 11 Multikultural sesungguhnya merupakan bagian dari fakta sejarah manusia. Kondisi geografis, agraris, dan maritim menemukan sikretismenya dalam prilaku budaya profetis, moral dan prilaku pergaulan dalam persatuan nusantara. Fakta sejarah membuktikan bahwa kebersamaan dan keberagaman itu telah lama terjalin dalam bingkai semangat kemanusiaan sebagai bagian yang utuh dari hidup penuh nilai dan keberbedaan. Secara sosiologis, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang memiliki keanekaragaman budaya, keanekaragaman itu bias berkenan dengan suku, agama, ras, golongan, atau gender. Multikultural berakar pada paham multikulturalisme, yang menghendaki adanya perlakuan yang sama terhadap berbagai komunitas beragam budaya. Masyarakat multikultural merupakan masyarakat beragam budaya yang khas. Saptono dan Bambang Suteng S. (2007:123) Istilah multikultural merupakan istilah yang relatif baru. Sebelum muncul istilah masyarakat multikultural, yang lebih sering digunakan adalah istilah masyarakat plural (majemuk) serta masyarakat beragam budaya. Dengan demikian ada tiga istilah kunci, yaitu pluralitas (plurality, keberagaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga istilah tersebut sesungguhnya memiliki penekanan berbeda. Pluralitas lebih menekankan pada adanya hal – hal yang lebih dari satu (many). Keberagaman menekankan bahwa hal – hal yang lebih dari satu itu satu sama lain berbeda (heterogen). Multikultural tidak sekedar menekankan kenyataan pluralitas dan keberagaman, tetapi lebih pada bahwa yang plural dan beragam itu hakikatnya adalah setara sehingga seterusnya diperlakukan sama. Ketika isu multikultur merebak sebagai alternatif untuk membenang merahi kesadaran hidup dalam keberagaman hidup etnis dan budaya, maka sesungguhnya itu bukanlah hal baru bagi bangsa Indonesia. Multikultur tidak hanya menempatkan 12 keberagaman dalam konteks sikretisme fisik, melainkan telah tertanam dalam relasi – relasi rohani. Multikultur bagi mereka adalah kesadaran yang memahami satu sama lain sebagai bagian utuh dari rasa kemanusiaan, bagian utuh dari tatanan yang meletakkan satu dengan yang lain memperkaya bangunan kebudayaan secara menyeluruh. Dalam Hubungan konteks kekinian, multikultur bukanlah suatu nilai dan tatanan baru di negeri ini, karena ia adlah realitass sejarah bangsa Indonesia. Dalam membangun rasa keindonesiaan ini, kita semua sangat membutuhkan kesadaran sejarah itu, bahwa ditengah krisis identitas, multikultur sangat perlu dikembalikan saat ini guna mendapat keharmonisan tatanan kehidupan ditengah keberagaman. Menurut Pierre L. Van den Berghe (dalam Nurseno, 2009:184) masyarakat multikultural memiliki karakteristik umum,sebagai berikut: (1); Terjadinya segmentasi dalam bentuk kelompok – kelompok yang sering kali memiliki sub – kebudayaan yang satu sama lain berbeda (2); Memiliki struktur sosial yang tebagi – bagi kedalam lembaga – lembaga yang bersifat nonkomplementer (3); Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai – nilai yang bersifat dasar (4); Secara relative, sering kali mengalami konflik – konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya (5); Secara relatif, integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan ketergantungan didalam bidang ekonomi dan (6), Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain. Masyarakat multikultural merupakan masyarakat beragam budaya yang khas. Kekhasan tersebut terletak dalam hal cara menyikapi keberagaman budaya. Keragaman budaya disikapi dengan mengedepankan kesetaraan antara kelompok budaya yang ada diperlakukan secara sama, dalam arti tidak ada diskriminasi terhadap kelompok budaya yang ada dalam masyarakat. 13 Furnivall (dalam Nurseno, 2009:184) adalah suatu masyarakat dengan sistem nilai yang dianut berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian – bagiannya sedemikian rupa sehingga anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat secara keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, bahkan kurang memiliki dasar – dasar untuk saling memahami satu sama lain. Kehidupan masyarakat multikultural terdapat berbagai kelompok sosial berdasarkan ras, suku bangsa, agama, klan, dan profesi yang hidup berdampingan sehingga sering kali dapat mendatangkan konflik. 2.4 Interaksi Sosial Interaksi sosial merupakan intisari kehidupan sosial, artinya kehidupan sosial tampak secara konkret dalam berbagai bentuk pergaulan seseorang dengan orang lain. Selanjutnya, interaksi sosial merupakan bentuk pelaksanaan kedudukan manusia sebagai mahluk sosial. Artinya, berbagai bentuk pergaulan sosial merupakan bukti betapa manusia membutuhkan kebersamaan dengan orang lain. Kimball Young dan Raymon W. Mack (dalam Idianto Muin, 2006:71) “interaksi sosial adalah hubungan – hubungan sosial yang dinamis dan menyangkut hubungan antara individu, antara individu dengan kelompok, maupun antara kelompok dengan kelompok lainnya”. Kegiatan belajar mengajar dalam kelas, mahasiswa berdemonstrasi,sampai suasan ramai kampanye pemilu adalah salah satu contoh kecil interaksi social. Sejak manusia hadir didunia, manusia telah melakukan interaksi dengan sesamanya. interaksi sosial erat kaitannya dengan naluri manusia untuk selalu hidup bersama 14 dengan orang lain, dan ingin bersatu dengan lingkungan sosialnya. interaksi sosial terwujud dalam aksi dan reaksi. Interaksi berawal dari tindakan seseorang. Tindakan itu mengundang orang lain untuk menanggapi. Interaksi sosial bersifat langsung, misalnya upaya untuk membentuk sebuah organisasi multilateral atau bilateral akan terhalang oleh adanya kesukaran melakukan interaksi langsung antar negara yang bersangkutan. Soerjono Soekanto (dalam Idianto Muin, (2006:72) terdapat empat faktor yang menjadi dasar proses interaksi sosial, yakni : a. Imitasi Imitasi adalah tindakan sosial meniru sikap, tindakan, tingkah laku, atau penampilan fisik seseorang secara berlebihan. Sebagai suatu proses, imitasi berdampak positif bila yang ditiru adalah individu yang baik dimata masyarakat. Sebaliknya, imitasi menjadi negatif bila yang ditiru adalah hal negatif pula. Imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah dan nilai yang berlaku. Akan tetapi, imitasi yang berlebihan dapat pula melemahkan perkembangan daya nalar dan daya kreasi seseorang. b. Sugesti Sugesti adalah pemberian pengaruh atau pandangan dari satu pihak kepada pihak lain. Akibatnya, pihak yang dipengaruhi akan tergerak mengikuti pengaruh/pandangan itu dan menerimanya secara sadar maupun tidak sadar tanpa berpikir panjang. Sugesti biasanya dilakukan dari orang – orang yang berwibawa dan berpengaruh besar dilingkungan sosialnya, dari kelompok besar (mayoritas) terhadap kelompok kecil (minoritas), ataupun orang dewasa terhadap anak – anak. Cepat atau lambatnya proses sugesti sangat tergantung pada usia, kepribadian, kemampuan intelektual, dan keadaan fisik seseorang. c. Identifikasi Identifikasi adalah kecendeerungan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain. Identifikasi dinamakan idola (kata idol berasal dari sosok yang dipuja). Identifikasi merupakan bentuk lebih lanjut dari proses imitasi dan proses sugesti yang pengaruhnya telah amat kuat. 15 d. Simpati Simpati adalah suatu proses seseorang merasa tertarik dengan orang lain. Rasa tertarik ini disadari oleh keinginan untuk mengerti pihak lain demi memahami perasaannya ataupun bekerja sama dengannya. Interaksi sosial bersifat suatu pendekatan terhadap pihak lain. Dalam interaksi tersebut pihak lain juga melakukan tindakan yang sama. Interaksi sosial tidak mengalami halangan – halangan atau pembatasan – pembatasan. Halangan atau pembatasan itu seperti halangan untuk melakukan perkawinan campuran. 2.5 Pengertian kebudayaan Yad Mulyadi (1999:20) “secara harfiah budaya berasal dari bahasa sangsekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal – hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa inggris, kebudayaan di sebut culture, yang berasal dari kata latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Kebudayaan adalah suatu system norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan masyarakat tersebut”. E. B. Taylor (dalam Prof. Harsojo,1999:92) “bahwa kebudayaan itu adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Defenisi lain tentang kebudayaan dikemukakan oleh R. Linton (dalam Prof. Harsojo,1999:20) bahwa “kebudayaan adalah konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku, yang unsur terbentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu”. Koentjaraningrat (1998:19) Umumnya, bagi orang berbahasa Indonesia, kebudayaan adalah “kesenian”, yang bila dirumuskan, bunyinya sebagai 16 berikut: “kebudayaan (dalam arti kesenian) adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional,estetis dan indah, sehigga ia dapat dinikmati dengan pancainderanya (yaitu penglihat, penghidu, pengecap, perasa, dan pendengar). Edwar Tylor (1999:58) “kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota masyarakat”. Kebudayaan itu sendiri mengalami perubahan. Perubahan kebudayaan adalah ketidaksesuaian terhadap unsur – unsur kebudayaan yang berbeda. Perubahan kebudayaan mengarah pada perubahan dalam kebudayaan masyarakat. Kecenderungan perubahan kebudayaan dalam masyarakat yakni, setiap kebudayaan cenderung bertahan, Pada prinsipnya setiap kebudayaan juga mempunyai kecenderungan untuk berubah karena kenyataan yang dihadapi menusia sehari – hari bukan merupakan keteraturan yang kuat dan hidup dalam masyarakat itu selalu terbuka untuk mengadakan peerubahan dan perbaikan. Nurseno (2011:191) Kebudayaan itu dapat terbentuk karena berbagai faktor, antara lain: (1); Manusia dengan cipta rasa dan karsa (2); Lingkungan alam (3); Kontak antar bangsa atau disebut pula dengan kultur kontak dan (4), Keyakinan kepercayaan dan peranannyadalam pembentukan kebudayaan. Kebudayaan dan manusia adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena tanpa manusia kebudayaan itu tidak akan ada, dan manusialah yang menciptakan kebudayaan tersebut serta manusia yang menjadi pelaku dalam kebudayaan itu sendiri. Budaya diciptakan oleh manusia sepanjang hidupnya. Nurseno (2011:191) faktor yang mendorong dan mempengaruhi perubahan kebudayaan adalah: (1); Perubahan lingkungan alam, seperti musim, iklim, dan penggunaan lahan (2); Perubahan kependudukan, seperti jumlah, 17 persebaran, dan kerapatan penduduk (3); Perubahan struktur sosial, seperti organisasi pemerintah, politik Negara, dan hubungan internasional dan (4), Perubahan nilai dan sikap, seperti sikap mental penduduk, kedisiplinan masyarakat, dan kejujuran para pemimpin. Kenyataannya kebudayaan itu dapat berubah. Seperti yang ada pada penjelasan diatas, perubahan lingkungan alam, bertambahnya penduduk dapat mempengaruhi perubahan sosial. Semua itu dikarenakan setiap orang (masyarakat) menginginkan perubahan dalam kehidupan mereka, sekalipun budaya yang dimilikinya adalah warisan dari nenek moyannya, perubahan itu diperlukan untuk kelangsungan hidup. Nuseno (2011:194) macam – macam perubahan budaya: a. Akulturasi Akulturasi (kontak budaya) pertemuan dua kebudayaan dari bangsa yang berbeda sehingga satu sama lain saling mempengaruhi dan terjadi perpaduan kebudayaan yang prosesnya berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan terus menerus sehingga mengakibatkan adanya perubahan – perubahan dari pola budaya semula. Pertemuan antara budaya yang satu dengan budaya yang lain, dapat menyebabkan penyatuan antara budaya tersebut. Karena antara kedua budaya itu bertemu secara terus – menerus, sehingga terjadi perpaduan antara kesua budaya tersebut. b. Sinkretisme Perubahan kebudayaan dimasyarakat secara damai, tidak ada pertentangan karena kedua kebudayaan yang terpadu singkron arahnya. Kemungkinan juga terjadi penyimpangan, tetapi keduanya tidak saling mengancam terjadinya konflik yang berat. Suatu kebudayaan akan terjaga dengan baik, apabila pelaku kebudayaan tersebut (manusia) menjalani hidup dengan rukun, tidak menciptakan konflik. 18 c. Milenarisme Milenarisme atau mesianisme adalah perubahan kebudayaan dimasyarakat yang sudah dinantikan bersamaan dengan munculnya pemimpin yang dianggap bijaksana, wibawa, dan adil. Setiap manusia menginginkan yang namanya perubahan dalam hidupnya. Tidak menutupi kemungkinan bahwa manusia tersebut juga menginginkan kebudayaan yang ada juga berubah salah satunya dengan adanya pemimpin yang dipercaya memiliki kepemimpinan yang baik. d. Asimilasi Adalah proses sosial dua kebudayaan yang berbeda secara berangsur – angsur sehingga berkembang dan melahirkan kebudayaan baru. Perpaduan antara budaya yang satu dengan budaya lainnya akan menimbulkan budaya yang baru, karena antara kedua budaya bertemu dan berkembang secara bersama – sama. Dari sinilah akan lahir budaya yang baru. Prof. Harsojo (1991;194) managatakan bahwa Kemampuan manusia untuk berbudaya yang tidak ada pada mahluk lain yang bukan manusia adalah: (1); Manusia dapat membebaskan diri dari respon yang otomatis terhadap lingkungannya (2); Manusia mempunyai potensi yang plastis untuk mengembangkan intelegensinya yang kompleks. Dengan perkataan lain, manusia dapat di didik (3); Manusia dapat mengembangkan kemampuannya untuk berpikir simbolis, yaitu menggunakan berbagai pengertian yang abstrak dengan alat bahasa (5); Manusia dapat berbicara dan (6), Menusia dapat mengembangkan kapasitasnya untuk inovasi, yaitu menemukan sesuatu yang baru, menerapkan penemuan baru itu, dengan menyebarkan penemuan itu ke masyarakat. Kebudayaan hanya dimiliki oleh mahluk manusia, bahwa kebudayaan mulamula hanya merupakan satu aspek saja dari proses evolusi manusia, yang menyebabkan manusia dapat melepaskan diri dari alam kehidupan mahluk primat lainnya. 19 Kebudayaan tercipta karena keberadan manusia. Manusialah yang telah menciptakan kebudayaan dan manusia pula yang menjadi pemakainya, sehingga kebudayaan akan selalu ada sepanjang keberadaan manusia. Kebudayaan dan masyarakat tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. 2.6 Integrasi Sosial Abu Ahmadi (dalam Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati,2007:118) “adalah kerja sama dari seluruh anggota masyarakat mulai dari individu, keluarga, lembaga, dan masyarakat secara keseluruhan sehingga menghasilkan persenyawaan – persenyawaan berupa konsensus nilai yang sama – sama dijunjung tinggi”. Integrasi berarti pembaruan hingga menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. Sedangkan sosial berkaitan tentang masyarakat. Jadi integrasi sosial adalah proses menyatunya berbagai elemen atau unsur yang ada dalam masyarakat yang dilandasi oleh semangat persatuan, kesatuan, dan kebersamaan untuk mencapai tujuan yang sama. Abdul syani (dalam Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati, 2007:118) menjelaskan bahwa “integrasi sosial tidak cukup dapat diukur dengan kriteria berkumpul atau bersatu dalam arti fisik, melainkan integrasi juga merupakan pengembangan sikap solidaritas dan perasaan manusiawi. Pengembangan sikap dan perasaan manusiawi merupakan suatu dasar dari derajat keselarasan dalam suatu kelompok atau masyarakat. Jadi, integrasi menghubungkan individu dengan individu lainnya sehingga terbentuk menjadi masyarakat”. Hakikat dari integrasi sosial adalah suatu proses menyatukan unsur atau elemen yang ada didalam masyarakat dalam suatu kesatuan. Integrasi sosial tidak 20 dapat seketika terbentuk, tetapi melalui proses dan membutuhkan waktu yang panjang. Integrasi memerlukan kerjasama antara kelompok masyarakat, individu, keluarga, dan lembaga masyarakat. Keanekaragaman bangsa Indonesia meliputi kelompok atas dasar ras, suku bangsa, agama, adat istiadat, dan bahasa, pada hakekatnya merupakan satu atau tunggal yang tergabung dalam satu rumpun bangsa melayu dengan induk kebudayaan yang tunggal. Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati (2007:121) Adapun faktor yang mempengaruhi integrasi sosial adalah sebagai berikut: (1); Homogenitas kelompok sosial (2); Besar kecilnya kelompok sosial (3); Perpindahan fisik dan (4), Efesiensi dan komunikasi. Dan faktor pendorong integrasi sosial adalah: (a); Faktor intern: (1); kesadaran diri sebagai mahluk sosial (2); Tuntutan kebutuhan (3), jiwa dan semangat bergotong royong, (b.); Faktor ekstern: (1); tuntutan perkembangan zaman (2); persamaan kebudayaan (3); terbukanya kesempatan (4); Persamaan visi, misi, dan tujuan (5); sikap menghargai atau toleransi (6); adanya konsensus nilai – nilai dalam kelompok sosial dan (7), adanya tantangan. Integrasi sosial tercipta karena adanya kelompok – kelompok sosial yang berinteraksi satu sama lain. Dan interaksi ini berlangsung disebabkan oleh adanya kepentingan – kepentingan diantara kelompok sosial yang saling membutuhkan dan memiliki kesadaran persamaan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati (2007:121) mengatakan bahwa “faktor pendukung integrasi: (1); Suku bangsa dan (2), agama”. Suku bangsa dan agama adalah faktor pendukung terjadinya integrasi sosial, karena setiap masyarakat memiliki suku – suku yang berbeda. Dari perbedaan tersebut akan tercipta integrasi sosial. Seperti halnya suku bangsa, agama juga 21 menjadi faktor pendukung terjadinya integrasi sosial, karena setiap manusia memiliki keyakinan dan kepercayaan yang berbeda. Pada integrasi sosial akan timbul yang namanya konflik. Konflik tersebut dapat terjadi karena setiap kelompok menganggap dirinya yang paling sempurna, paling benar dan paling baik. Demikian juga timbulnya pertentangan antara kelompok sosial satu dengan kelompok sosial lain karena adanya kepentingan yang sama. Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati (2007:121) faktor penyebab konflik antar kelompok sosial: (1); Adanya perbedaan antara anggota kelompok sosial, secara fisik maupun mental, atau perbedaan kemampuan, pendirian dan perasaan sehingga menimbulkan pertikaian atau bentrok diantara mereka (2); Perbedaan pola kebudayaan seperti perbedaan adat istiadat, suku bangsa, agama, paham politik, pandangan hidup, dan budaya daerah sehingga mendorong timbulnya persaingan dan pertentangan, bahkan bentrokan diantara anggota kelompok sosial tersebut (3); Perbedaan mayoritas dan minoritas yang dapat menimbulkan kesenjangan sosial diantara kelompok sosial tersebut dan (4), Perbedaan kepentingan antar kelompok sosial, seperti perbedaan kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, dan sejenisnya merupaka faktor penyebab timbulnya konflik. Setiap perbedaan – perbedaan yang ada, pasti akan menimbulkan yang namanya konflik. Namun, jika setiap kelompok – kelompok sosial(masyarakat) dapat saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada pasti konflik dapat dihindari. Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati (2007:128) Setiap masalah ada cara mengatasi permasalahan, dan cara untuk mengatasi konflik ialah sebagai berikut: (1); sikap yang tidak diskriminatif. Yakni perbedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (2); rasional (3); persaingan yang sehat dan (4), dialogis. Konflik dapat diatasi dengan cara menghargai dan menghormati setiap perbedaan yang ada. Sekalipun berbeda tetapi tidak membeda – bedakan antara yang 22 satu dengan yang lain. Dengan cara ini, dapat dipastikan kehidupan yang berlangsung akan rukun, aman dan damai. 2.7 Kerangka berpikir Kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah mengenai integrasi sosial suku ta’ dengan masyarakat multi etnik di kecamatan Toili. Suatu peneltian yang diadakan di kecamatan Toili kabupaten Banggai provinsi Sulawesi Tengah. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa integrasi sosial yang dilakukan oleh suku ta’ dengan masyarakat multi etnik di kecamatan Toili berjalan dengan baik, karena antara suku ta’ dengan masyarakat multi etnik dapat saling menghargai perbedaan yang ada. Kesejahteraan suku ta’ sangat terlihat, sekalipun suku ta’ adalah suku yang pertama penempati kecamatan Toili, mereka tidak pernah memonopoli kecamatan toili. Mereka hidup berdampingan, rukun , aman, tentram dan damai. 23 Kerangka berpikir yang telah diuraikan diatas dapat dilihat dalam diagram berikut ini: Integrasi Sosial Suku Ta’a Etnik Lain Kesejahteraan Masyarakat