BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siwak

advertisement
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Siwak ( Salvadora persica.L )
2.1.1 Klasifikasi siwak
Karakteristik, taksonomi, morfologi Salvadora persica.L sudah digunakan
penduduk Babilonia semenjak
awal abad
3500
SM. Bangsa Arab
lebih
mengenalnya sebagai siwak, arak, miswak, dalam bahasa Prancis lebih dikenal
dengan sebutan arbre a cure- dents. Bahasa Jepang siwak disebut Koyoji,
sedangkan
dalam bahasa Inggris disebut chewing stick dan toothbrush tree.
(Kusumasari, 2012)
Gambar 2.1 Tanaman Siwak (Salvadora persica L.). (Kusumasari, 2012)
Klasifikasi tanaman siwak (S. persica.L) di dalam Tjitrosoepomo (1998)
adalah :
TESIS
Divisio
: Embryophyta
Sub Divisio
: Spermatophyta
Class
: Dicotyledons
6
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sub Class
: Eudicotiledons
Ordo
: Brassicales
Family
: Salvadoraceae
Genus
: Salvadora
Spesies
: Salvadora persica Linn
7
Gambar 2.2 Batang kunyah tanaman siwak (Salvadora persica.L).
(Kusumasari, 2012)
2.1.2 Morfologi siwak
Batang utama siwak diselimuti oleh cabang-cabang yang sangat lebat.
Pertumbuhan tanaman ini menuju ke segala arah, sampai cabang-cabangnya
menyentuh tanah. Daunnya berbentuk oblongeliptic (seperti telur) sampai bulat
dengan ukuran 3x7 cm, berwarna hijau gelap, agak tebal, bagian apeksnya
meruncing sampai membulat, mengecil tajam, bagian basis umumnya menyempit,
terdapat batas daun yang jelas, tulang daun memiliki panjang sampai 10 mm
dan tersusun berlawanan berpasangan. Bunga berwarna kehijauan sampai
kekuningan, sangat kecil, mudah lepas dari batang dan terdapat mulai dari bagian
aksial sampai ujung panikel (batang dengan cabang bunga yang banyak)
sepanjang 10 cm. Buah berbentuk bola, berdaging, memiliki diameter 5-10 mm,
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8
berwarna merah muda sampai ungu dan semi transparan ketika sudah matang.
Siwak yang digunakan biasanya diambil dari akar dan ranting tanaman S.
persica.L yang berdiameter antara 0,1 sampai 5 cm.( Pratama, 2005 ; Sher et al.,
2010)
2.1.3 Kandungan kimiawi siwak
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui kelebihan kayu
siwak sehubungan dengan kebersihan dan kesehatan rongga mulut. Manfaat
siwak terhadap kebersihan dan kesehatan rongga mulut tidak hanya diperoleh dari
komponen mekanik yang berupa serat-serat dari batang siwak, akan tetapi juga
didapatkan dari komponen kimia yang terkandung di dalamnya. (Mahanani,
2007; Sihotang, 2013)
Siwak
mengandung
trimetilamin,
benzylisothio-cyanate,
klorida,
fluorida, silika, sulfur, klorin, vitamin C, resin, tannin, saponin, flavonoid,
alkaloid yang disebut salvadorini, herbal steroid yang disebut 1-sitostreol,
sterol dan
berkembang,
sejumlah
besar mineral. Semakin
banyak
penelitian
yang
maka semakin banyak ditemukan berbagai macam kandungan
kimia bermanfaat yang ada pada siwak. (Mahanani, 2007)
2.1.4
Manfaat siwak
Manfaat siwak sudah digunakan berabad- abad yang lalu
pada masa
kekaisaran Yunani dan Romawi. Siwak semakin dikenal di wilayah Timur
Tengah dan Amerika Selatan, dan sekarang siwak sudah digunakan oleh
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
9
penduduk Afrika, Asia, Mediterania, Amerika Selatan dan diberbagai negara lain.
(Almas et al., 2004 ; Endarti dkk, 2007)
Manfaat dari tanaman ini tidak hanya di dapatkan dari batang, akar, dan
ranting. Akan tetapi daun, buah, bunga, dan bijinya pun dapat di manfaatkan pula.
Buahnya yang memiliki cita rasa manis bisa dimakan, dimasak dan sering
digunakan untuk minuman. Daun biasanya digunakan untuk bahan pembuat saus
dan dapat dimakan sebagai salad. Selain itu daun juga bisa digunakan untuk
mengobati berbagai macam penyakit seperti skabies,
leukoderma,
dan
sebagainya. Bijinya yang memiliki rasa pahit dapat digunakan sebagai diuretik
dan bisa dioleskan pada permukaan kulit pada daerah yang mengalami rematik.
(Khatak et al., 2010)
Manfaat kandungan siwak dalam bidang kedokteran gigi dapat dijabarkan
sebagai berikut (Kusumasari, 2012):
1. Sebagai antibakteri, astringen, abrasif dan detergen yang berfungsi
untuk membunuh bakteri, mencegah infeksi, serta dapat menghentikan
perdarahan gusi. Pada penggunaan kayu siwak segar untuk pertama
kali sering terasa agak pedas karena terdapat kandungan serupa mustard
yang merupakan substansi antibakteri.
2. Zat anti pembusukan
menurunkan
jumlah
bertindak
sebagai penisilin yang
bakteri dalam rongga mulut dan
dapat
mencegah
terjadinya proses pembusukan. Menurut Lewis (1982) , penelitian yang
bertujuan
untuk mengetahui kandungan Salvadora persica.L sudah
dilakukan semenjak abad ke-19, dan ditemukan sejumlah besar klorida,
fluor, trimetilamin dan resin.
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
10
Hasil penelitian Farooqi dan Srivastave (1990) ditemukan bahwa batang
siwak juga mengandung silika, sulfur dan vitamin C. Kandungan kimia
tersebut sangat berpengaruh dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut dimana
trimetilamin dan vitamin C membantu penyembuhan dan perbaikan jaringan
gusi.
Vitamin C juga diketahui dapat menimbulkan lingkungan yang tidak
menguntungkan pada pertumbuhan bakteri, salah satunya Porphyromonas
gingivalis, dimana vitamin C memiliki sifat kemotaktik sehingga meransang sel
darah putih untuk menuju sel radang dan melawan bakteri yang ada sehingga baik
untuk penyembuhan jaringan periodontal. Kandungan nitrat pada siwak juga
diketahui sebagai bahan anionik alami yang dapat berpengaruh pada proses
transport aktif bakteri Escherichia Coli dan juga berpengaruh dalam menghambat
fosforilasi oksidatif dan intake oksigen bakteri Staphylococcus aureus dan
Pseudomonas aeruginosa. Adanya kandungan klorida pada siwak bermanfaat
untuk menghilangkan noda dan kalkulus pada gigi, sedangkan silika dapat
bereaksi sebagai penggosok. Adanya sulfur memberikan rasa yang hangat dan
aroma yang khas, adapun florida berguna sebagai pencegah karies dengan cara
memperkuat lapisan email dan mengurangi larutnya terhadap
asam yang
dihasilkan dari metabolisme bakteri. Kandungan salvadorine sebagai salah satu
jenis alkaloid spesifik pada siwak diketahui dapat menghambat kerja enzim yang
dihasilkan bakteri untuk mensintesis protein dan menjalankan proses metabolik
sehingga energi yang dihasilkan bakteri untuk bertahan hidup tidak mencukupi.
(Dwiandari, 2006; Kusumasari, 2012)
Di dalam siwak terdapat kandungan bikarbonat yang berfungsi sebagai
komponen
TESIS
untuk mempertahankan sistem bufer dalam rongga mulut. Sistem
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
bufer tersebut turut merangsang
11
produksi saliva, dimana saliva merupakan
organik mulut yang berfungsi melindungi dan membersihkan mulut dari sisa-sisa
makanan dan
bakteri oral. Tanaman siwak mengandung zat-zat antibakteri.
Selain itu bahan antimikrobial dan
efek
pembersih
pada siwak
telah
ditunjukkan oleh variasi kandungan kimiawi yang terdeteksi pada ekstraknya.
Efek ini dipercaya berhubungan dengan tingginya kandungan sodium klorida dan
potassium klorida seperti salvadourea, salvadorine, saponin, tannin, vitamin C,
silika dan resin, serta sianogenik
glikosida dan
benzylsothio-cyanate.
Benzylsothio-cyanate diketahui memiliki mekanisme antibakteri pada bakteri
anaerob maupun aerob, terutama bakteri gram negatif yang berbentuk batang
secara kuat. Kandungan benzylsothio-cyanate juga diketahui memiliki efektivitas
sebagai antimikroba pada jamur Candida albicans serta bakteri S. mutans dan S.
aureus. Kajian yang ada sebelumnya juga menjelaskan bahwa tubuh manusia akan
memproduksi thiosianat secara alami dan saat mengkonsumsi sayuran tertentu
akan terinduksi menjadi benzylsothio-cyanate. Oleh karena itu, kandungan ini
berpotensi menjadi bahan aktif antibakteri yang dapat dicerna secara alami oleh
tubuh tanpa menyebabkan terjadinya toksisitas pada sel manusia, bahkan dapat
menjadi bahan potensial antikarsinogenik. (El Rahman et al., 2002; Sofrata, 2010;
Kusumasari, 2012; Naseem et al., 2014)
Disisi lain benzylisothio-cyanate bersama trimetilamin dapat menghambat
pembentukan asam yang didapatkan dari hasil metabolisme bakteri, sehingga
dapat menghambat perkembangan
bakteri tersebut. Melalui penelitian yang
dilakukan Tennovo (2000), ditemukan bahwa ekstrak siwak dapat menghambat
pembentukan asam oleh bakteri S. mutans dalam plak gigi secara in vitro,
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12
karena adanya kandungan benzylisothio-cyanate di dalam ekstrak siwak tersebut.
benzylisothio-cyanate dapat bereaksi terhadap gugus sulfidril dalam enzim yang
dihasilkan oleh bakteri sehingga menyebabkan kematian sel pada bakteri.
Sedangkan sejumlah kecil flavonoid pada siwak dapat berikatan dengan protein
ekstraseluler bakteri dan melarutkannya serta merusak dinding sel bakteri
tersebut. Kandungan siwak berupa herbal steroid, yaitu sterol, juga berpengaruh
sebagai antibakteri dengan cara mengurangi penumpukan plak yang berpotensi
dalam pembentukan koloni awal biofilm. (Darout et al., 2000 ; Dutta, 2012;
Kusumasari, 2012; Idris, 2013).
Salvadorine merupakan alkaloid spesifik dalam bentuk subtansi organik
yang terkandung dalam siwak. Salvadorine mengadung ion klorida yang sangat
penting dalam memberikan efek antibakteri dan stimulasi gingiva. Salvadorine
menghambat kerja enzim yang dihasilkan bakteri untuk mensitesis protein,
menghambat sintesis dinding sel sehingga lapisan dinding sel bakteri tidak
terbentuk secara utuh, menjalankan proses metabolik dan menghasilkan anionik
organik serta menyebabkan tidak stabilnya membran sel bakteri sehingga terjadi
lisis dan kematian sel. (Darout et al., 2000)
Tanin ( asam tanan ) yang terkandung di dalam siwak dapat mengurangi
perlekatan
bakteri pada permukaan
gigi yang menjadi biofilm dan plak.
Mekanisme tannin dalam menghambat dan mengurangi terbentuknya plak dan
menyembuhkan gingivitis adalah dengan cara menghambat enzim glukosil
transferase yang diproduksi oleh S. mutans. Apabila enzim glukosil transferase
berikatan
dengan permukaan sel bakteri, maka lapisan bakteri tersebut akan
menghasilkan glukan yang tidak larut dalam air. Pada bakteri golongan
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
13
Streptococci, glukan ini berperan dalam menimbulkan koloni bakteri pada
permukaan gigi. Tannin juga diketahui memiliki efektivitas sebagai antiseptik
karena adanya gugus ptirogalol dan gugus galoil yang merupakan senyawa fenol.
(Darout et al., 2000 ; Dutta, 2012; Idris, 2013).
Beberapa penelitian
melaporkan
bahwa siwak
mengandung
bahan
antibakterial yang memiliki efek terhadap bakteri karies dan bakteri periodontal
yang patogen. Penelitian secara in vitro yang dilakukan menyebutkan bahwa
siwak
dapat menghambat pertumbuhan
dilakukan
oleh
S. mutans, dan
Abdelrahman (2000) tentang
efek
penelitian
yang
larutan ekstrak siwak
terhadap bakteri patogen mulut juga menunjukkan adanya aktivitas antimikrobial
pada larutan siwak. Pada konsentrasi 50%, ekstrak siwak diketahui dapat
menghambat pertumbuhan bakteri S. mutans. (Darout et al., 2000)
Sedangkan hasil penelitian yang lain secara in vitro dari ekstrak siwak
sebagai bahan irigasi saluran akar, ternyata memiliki efek antimikrobial terhadap
bakteri baik aerob maupun anaerob yang dihasilkan pada gigi nekrosis. Hasil
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa 15% ekstrak alkhohol dari siwak
menunjukkan efek anti mikrobial yang tidak secara signifikan berbeda dengan
cairan antiseptik sodium hipoklorit namun berbeda secara signifikan dari normal
saline dan chlorhexidine 0,1%, sedangkan ekstrak siwak 50% dilaporkan
memiliki efektivitas yang sama besar dengan chlorhexidine 0,2% dalam
melindungi dentin dan bahkan lebih baik dalam menghilangkan smear layer. Hal
ini dapat disebabkan karena adanya sejumlah kecil saponin pada siwak yang
bekerja serupa detergen. Saponin diketahui memiliki kemampuan sebagai foaming
agent yang dapat mereduksi permukaan membran sel dan substrat dalam
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
14
mempertahankan biofilm bakteri. Chlorhexidine merupakan derivat biguanidin
yang umumnya digunakan dalam bentuk glukonat. Chlorhexidine bekerja dengan
cara melekat dan kemudian merusak membran sitoplasma sel bakteri sehingga
kandungan intraselular keluar dari dalam sel. Melalui mekanisme tersebut
chlorhexidine menjadi zat antibakteri dengan spektrum luas, yaitu cukup efektif
terhadap bakteri Gram positif dan juga pada sedikit Gram negatif. Seperti halnya
chlorhexidine, kandungan alkaloid pada siwak dilaporkan memiliki daya
antibakteri terhadap bakteri Gram negatif fakultatif anaerob. (Al-Sabawi, 2007).
Chlorhexidine memiliki efek anti plak dan bersifat tidak hanya
bakteriostatik tetapi juga mempunyai daya lekat yang lama pada permukaan gigi
sehingga memungkinkan efek bakterisid . Penelitian yang dilakukan oleh Batwa
(2009) tentang penggunaan siwak sebagai penghilang plak, menunjukan hasil
bahwa siwak juga sama efektifnya dengan
sikat gigi konvensional untuk
mengurangi plak pada permukaan bukal gigi. Pemberian ekstrak siwak dengan
berbagai konsentrasi, menunjukkan efektivitas dalam menghambat pembentukan
plak gigi pada konsentrasi 25%. (Batwa et al., 2009; Paramitha, 2011).
Sebuah penelitian lain tentang perbandingan tekstur permukaan dentin
setelah diberikan larutan ekstrak siwak dengan pelarut saline, akuades, dan
alkohol, menyimpulkan bahwa larutan ekstrak siwak dengan pelarut alkohol dapat
lebih banyak menghilangkan smear layer yang ada pada permukaan dentin.
Larutan ekstrak ini diberikan dalam konsentrasi 5%, 10%, dan 25% dalam
waktu 120 detik. Pemberian ekstrak siwak dengan pelarut normal saline selama
60 detik maupun akuades selama 120 detik tidak dapat menghilangkan smear
layer secara sempurna, sedangkan pemberian ekstrak siwak dengan pelarut
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
15
alkohol dapat menjadikan permukaan dentin bebas dari smear layer sehingga
koagregasi bersama bakteri untuk mendukung pembentukan biofilm pembentuk
plak terhambat. (Almas, 2010).
2.2
Mikroorganisme patogen pada kasus endodontik
Mikroorganisme adalah organisme yang berukuran mikroskopik yang
hidup sebagai sel tunggal atau dalam bentuk koloni sel, meliputi virus yang
terkecil berukuran 20 nm, bakteri, fungi, algae, hingga protozoa terbesar yang
berukuran 5 mm. Organisme mempunyai peranan yang sangat beranekaragam,
mulai dari penyebab penyakit hingga peranan pentingnya dalam meningkatkan
kualitas kehidupan dan kesejahteraan manusia, serta penentu kelangsungan hidup
dalam biosfer. (Hidayati, 2011)
Patogenitas pada mikroorganisme, menjadi hal yang sangat penting
diketahui dalam menangani kasus endodontik. Faktor-faktor virulensi yang
menyebabkannya, antara lain berupa eksotoksin yang dikeluarkan oleh bakteri.
Selain itu terdapat endotoksin, antara lain berupa lipopolisakarida (LPS), yang
menjadi bagian integral pada dinding sel bakteri, khususnya bakteri Gram negatif.
LPS dapat meningkatkan immunosurveilance bakteri pada pulpa. Peptidoglikan
pada bakteri Gram positif maupun Gram negatif yang juga menjadi komponen
utama penyusun dinding sel yang dapat bereaksi dengan sistem imun dan
menyebabkan sel pulpa mengalami lisis dan menginduksi makrofag. Pada bakteri
Gram positif terdapat Lipoteichoic acid (LTA) tersusun atas teichoic acid dan
lipid, yang ada pada dinding sel bakteri mampu melakukan mekanisme
patogenitas bersama LPS menuju sel target dan berinteraksi dengan melawan
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
16
antibodi sehingga menyebabkan kerusakan sel target. Fimbriae yang ditemukan
pada permukaan bakteri Gram negatif juga terlibat dalam proses adesi permukaan
pada substrat dan menginduksi interaksi dengan bakteri yang lain. Kapsul
polisakarida juga menjadi faktor virulensi dengan cara melindungi bakteri dari
terjadinya kekeringan sel, fagositosis, dan material hidrofobik yang toksik seperti
detergen. Vesikel ekstraselular pada bakteri Gram negatif juga memiliki
mekanisme patogenitas dengan mengeluarkan lipid dan protein di lingkungan
ekstraselular. Protein ekstraselular tersebut memiliki aktivitas proteolitik yang
meningkatkan adesi bakteri. Protein ekstraselular berupa enzim juga dapat
menyebabkan terjadinya disintegrasi jaringan target dan menyebabkan infeksi.
(Narayanan et al., 2010)
Menurut Neidhardt terdapat tiga masalah utama yang dihadapi
mikroorganisme, termasuk mikroorganisme patogen penyebab kasus endodontik,
pada situasi habitat alamiahnya , yaitu:
1.
Starvasi dan deplesi nutrien esensial yang berpengaruh langsung
terhadap aktivitas metabolismenya.
2. Kompetisi untuk mendapatkan sisi permukaan substrat sebagai tempat
melekat.
3. Paparan dari senyawa kimia berbahaya, baik dari lingkungan maupun
yang dihasilkan oleh mikroba itu sendiri.
Kenyataan ini mendorong munculnya terapi endodontik yang mengacu
pada ketiga hal tersebut. Terapi endodontik menjadi populer dengan adanya
prediksi semakin meningkatnya kesuksesan prosedur endodontik terhadap pasien.
Hal ini mendorong adanya pemahaman lebih lanjut mengenai patologi
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
17
endodontik. Hal yang penting dari terjadinya infeksi endodontik adalah adanya
infeksi pada sistem saluran akar gigi dan hal ini menjadi agen etiologi mayor dari
terjadinya kasus periodontitis apikalis. Dalam proses terjadinya infeksi
endodontik, terdapat banyak mikroba yang terlibat didalamnya dengan bakteri
anaerob obligat mendominasi pada infeksi primernya. (Siqueira & Rocas, 2008).
Tabel 2.1 : Bakteri penyebab infeksi endodontik
(Siqueira & Rocas, 2008)
Diantara banyak jenis bakteri, E. faecalis merupakan bakteri anaerob
Gram positif berbentuk kokus. Bakteri ini banyak terlibat pada infeksi endodontik.
E. faecalis dapat meningkatkan aktivitas lebih lanjut dan menyebabkan infeksi
yang lebih dalam lagi sehingga dijumpai pada saluran akar yang sebelumnya telah
dilakukan perawatan. (Narayanan et al., 2010)
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.3
18
Bakteri Enterococcus faecalis
2.3.1 Klasifikasi bakteri Enterococcus faecalis
Klasifikasi bakteri E. faecalis adalah sebagai berikut (Fisher & Philips,
2009):
Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Firmicutes
Class
: Bacilli
Ordo
: Lactobacillales
Family
: Enterococcaceae
Genus
: Enterococcus
Species
: Enterococcus faecalis
2.3.2
Karakteristik dan morfologi Enterococcus faecalis
Nama “Enterocoque” pertama kali digunakan oleh Thiercelin pada surat
kabar di Prancis pada tahun 1899 untuk mengidentifikasi organisme pada saluran
intestinal.
Pada
tahun
1930,
Lancefield
mengelompokkan enterococci sebagai streptococci grup D. Kemudian pada tahun
1937, Sherman mengajukan skema klasifikasi dimana nama enterococci hanya
digunakan untuk streptococci yang dapat tumbuh pada 100◦C dan 450◦C, pH 9,6
serta dalam 6,5% NaCl dapat bertahan pada suhu 600◦C selama 30 menit.
Akhirnya
pada
periode
tahun
1980,
berdasarkan
perbedaan
genetik, enterococci dipindahkan dari genus Streptococcus dan ditempatkan
digenusnya sendiri yaitu Enterococcus. (Rocas et al., 2004)
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
19
E. faecalis merupakan flora normal pada manusia yang biasanya terdapat
pada
rongga
mulut,
saluran
gastrointestinal,
dan
saluran
vagina.
E.
faecalis merupakan bakteri yang tidak membentuk spora, tidak bergerak,
metabolisme fermentatif (karbohidrat menjadi asam laktat), fakultatif anaerob,
kokus
gram
positif
dan
tidak
menghasilkan
reaksi
katalase
dengan
hidrogenperoksida. Bakteri ini berbentuk ovoid dengan diameter 0,5-1 μm dan
terdiri dari rantai pendek, berpasangan atau bahkan tunggal. (Rocas et al., 2004)
Gambar 2.3: Gambaran mikroskopik Enterococcus faecalis
(Awawdeh et al., 2009)
2.3.3
Patofisiologi Enterococcus faecalis
E. faecalis adalah salah satu spesies bakteri Gram positif dari golongan
spesies Enterococci yang dapat diisolasi dari saluran akar. E. faecalis merupakan
mikoorganisme yang paling resistan pada penderita infeksi endodontik.
E.
faecalis sangat resisten terhadap medikasi selama perawatan saluran akar dan
menyebabkan kegagalan perawatan saluran akar dalam kasus endodontik. Bakteri
ini resisten terhadap antibakteri seperti aminoglikosid, aztreonam, sefalosporin,
klindamisin, penisilin semi sintetik serta trimetoprimsulfametoksasol. E. faecalis
mempunyai
kemampuan
penetrasi
ke
dalam
tubuli
dentin
sehingga
memungkinkan bakteri tersebut terhindar dari instrumentasi alat preparasi dan
bahan irigasi yang digunakan. (Siqueira, 2002; Rezaei, 2011)
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
20
Bakteri ini sembilan kali lebih banyak terdapat pada infeksi pasca
perawatan saluran akar dibandingkan pada infeksi primer . E. faecalis mampu
mengkatabolisme sumber energi dan mampu bertahan hidup dalam berbagai
lingkungan termasuk pH alkali yang ekstrim maupun pada berbagai suhu. Pada
beberapa kasus ditemukan E. faecalis adalah satu-satunya bakteri yang ada pada
saluran akar yang sudah diobturasi dengan lesi periradikuler.
Kemampuan
bertahan hidup dan virulensi dari E.faecalis berasal dari enzim litik, sitolisin,
senyawa substansi agregasi, feromon, peptidoglikan dan LTA. Peptidoglikan dan
LTA tersebut terdapat pada dinding sel E. faecalis. Peptidoglikan berperan untuk
mempertahankan bentuk sel dan menjadi lapisan pelindung terhadap kerusakan
oleh tekanan osmotik internal yang tinggi, sedangkan LTA berfungsi untuk
menjaga membran sel dan pertahanan permeabilitas eksternal bakteri. Feromon
pada E. faecalis juga mampu meningkatkan resistensi dengan menginduksi
produksi superoxide dan sekresi enzim lisosom sehingga menyebabkan apoptosis
sel osteoblas, osteoklas dan jaringan periodontal sehingga menyebabkan lesi
periradikular. E. faecalis juga dapat menghasilkan secreted exotoxin berupa
serinprotease dan gelatinase yang berperan dalam proses adesi permukaan.
E.faecalis mampu menekan aksi limfosit yang mempunyai potensi untuk
berkontribusi dalam kegagalan endodontik. (Pinheiro et al., 2003; Stuart et al.,
2006).
2.4
Biofilm
Pada habitat alamiahnya, mikroba memiliki dua bentuk kehidupan, yaitu
planktonik dan sesil. Sesil terbentuk dengan cara melekatnya mikroba pada
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
permukaan
substrat
sebagai
suatu
struktur
kompleks
21
yang
disebut
dengan biofilm. Biofilm dibentuk oleh suatu agregat mikroba sejenis maupun
berbeda jenis yang melekat pada permukaan substrat biologis maupun non
biologis, dimana satu sel dengan sel yang lainnya saling terikat dan melekat pada
substrat dengan perantaraan suatu matriks extracellular polymeric substances
(EPS) atau disebut juga exopolysaccharide. Disebutkan pula bahwa biofilm
terbentuk oleh koloni sel-sel mikroba dan melekat pada permukaan substrat,
berada dalam keadaan diam, dan tidak mudah terlepas. Biofilm dapat terbentuk
pada kondisi sel bakteri penyusunnya hidup dan mati. Suatu bakteri dapat tumbuh
membentuk biofilm ketika sudah tidak dapat tumbuh dalam bentuk planktonik.
Kebanyakan dari biofilm terbentuk oleh sel dari spesies yang sama dibawah
kondisi tertentu. (Hall-Stoodley, 2004; Madigan et al., 2010; Skogman, 2012).
Daerah permukaan substrat merupakan habitat yang penting bagi mikroba.
Lingkungan mikro pada daerah permukaan memiliki jumlah nutrien yang
melimpah dibandingkan bagian bawah substrat. Hal ini berdampak langsung pada
laju metabolisme dimana aktivitas mikroba daerah permukaan substrat akan lebih
tinggi dibandingkan pada bagian bawah substrat. (Hoffman et al., 2005; Karatan
& Watnick, 2009).
Biofilm dapat dibentuk oleh satu jenis spesies mikroba, maupun lebih dari
satu jenis mikroba, termasuk bakteri. Selama dalam biofilm, populasi mengalami
mekanisme
kompleks
termasuk
adanya
berbagai
reaksi
biokimia
dan
menghasilkan substrat yang spesifik. Dari segi fisiologi, pada jenis mikroba yang
sama, koloni sel yang tumbuh membentuk biofilm memiliki perbedaan dengan
sel planktonik. Sel planktonik bersifat mengambang (floating) dan berenang pada
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
22
medium cair, sedangkan sel dalam biofilm harus dapat merespon berbagai faktor,
termasuk mengenal sisi perlekatan spesifik atau non spesifik yang ada pada
substrat mikroba. Substrat yang terorganisasi dalam biofilm dapat menghasilkan
substansi yang spesifik yang tidak dapat dihasilkan secara individual, sehingga
mampu membuat mikroba bertahan hidup pada lingkungan ekstrim, serta resisten
terhadap antibiotik, desinfektan, fagosit dan sistem imun. (Hoffman et al., 2005;
Karatan & Watnick, 2009)
Biofilm dapat ditemukan pada permukaan substrat padat yang bersifat
biotik maupun abiotik yang terbenam air dan lembab. Substrat biotik misalnya
daun dan batang tumbuhan air, daerah perakaran, kulit dan gigi hewan air, serta
usus
manusia.
Substrat
abiotik
misalnya jaringan
implan,
peralatan
medis, partikel tanah, batu-batuan, pipa saluran air, bagian bawah galangan kapal,
serta substrat lain yang tergenang air. Biofilm dapat tumbuh pada lingkungan
ekstrim mulai dari lingkungan yang sangat asam sampai alkalin, sumber air panas,
air asin, sampai ke daerah yang sangat dingin seperti di Antartika. (Karatan &
Watnick, 2009).
2.5
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan biofilm dan mekanismenya
Secara umum, faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan
biofilm antara lain adalah laju penetrasi nutrien, kelembaban lingkungan
(terutama daerah permukaan substrat), temperatur, konsentrasi oksigen, pH,
aerobisitas area dalam biofilm, tegangan permukaan, serta tingkat heterogen dan
homogen populasi. Faktor-faktor tersebut menginduksi perlekatan mikroba pada
permukaan substrat. Namun jenis material substrat yang digunakan mempunyai
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
23
efek yang sangat kecil terhadap pembentukan biofilm, dimana kemampuan bakteri
dalam menghasilkan berbagai jenis enzim, dalam hal ini ektoenzim dan eksternal
enzim, merupakan faktor yang sangat penting dalam menginisiasi terbentuknya
interaksi antara sel dan substrat (Beech et al., 2005; Nester et al., 2007).
Gambar 2.4 . Faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan biofilm
(Beech et al., 2005)
Berbagai jenis bakteri sebagai salah satu jenis mikroorganisme memiliki
faktor adhesin yaitu makromolekul khusus yang berfungsi untuk mengikatkan
diri pada reseptor permukaan substrat. Fili dan fimbriae adalah salah satu contoh
dari faktor adhesi tersebut. Hidrofobisitas dinding sel juga penting dalam
meningkatkan afinitas sel terhadap permukaan substrat. Dengan mengubah
komposisi lemak dan protein pada bagian luar membran, maka akan terjadi
perubahan muatan dan hidrofobisitas sehingga dinding sel menjadi lebih
hidrofobik. Namun, selain itu, adhesi bakteri pada permukaan substrat terutama
dapat dimediasi oleh struktur lain berupa matriks mucopolysaccharide yang
diekskresikan oleh koloni yang juga disebut sebagai extracellular polymeric
substances. (Perklemm, 2000; Donlan, 2002; El Sharoud, 2007)
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
24
EPS dapat berupa kapsul sebagai bagian integral dari matriks biofilm,
yang kemudian dilepaskan ke lingkungan (media cair) sebagai suatu sel
planktonik atau disebut juga sebagai free EPS. Pada umumnya, EPS yang
dihasilkan oleh mikroba merupakan campuran makromolekul kompleks seperti
protein yang berasosiasi terhadap pembentukan biofilm (biofilm associated
protein), polisakarida yang dihasilkan sel, serta sejumlah lipid, dan asam nukleat,
dimana komposisinya berbeda pada masing-masing jenis mikroba, status fisiologi
sel, dan berbagai faktor lingkungan lain. EPS sangat penting bagi kehidupan
biofilm. EPS dapat menyediakan makanan bagi biofilm, terlibat dalam mekanisme
pertahanan inang, dan membantu dalam agregasi dan pelekatan permukaan.
Perlindungan EPS menyebabkan biofilm dapat bertahan pada kondisi dimana sel
planktonik sudah tidak mampu bertahan hidup. (Wingender et al., 2011).
Polisakarida yang menyusun EPS bersifat netral atau disebut polyanionic,
khususnya EPS pada bakteri gram negatif. Kehadiran asam uronat (seperti DGlukoronat, D-Galaktonat, Asam Manuronat) atau keton yang terikat pada
piruvat, dapat membentuk bagian anionik. Bagian ini merupakan bagian yang
penting karena merupakan jalur asosiasi dari ion-ion seperti kalsium, magnesium,
yang terlihat melintas berikatan dengan polimer dan menyediakan ikatan yang
kuat
yang
terbentuk
pada
biofilm.
Pada
bakteri
Gram
positif,
seperti Staphylococcus, komposisi kimia dari EPS terlihat cukup berbeda,
utamanya pada ion kation dimana endapan koagulasi bakteri terdiri dari
asam teichioc yang tercampur pada protein dalam kadar yang rendah. (Sanjaya,
2010)
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
25
EPS memiliki daya hidrasi yang tinggi karena dapat mengabsorbsi air
dalam jumlah yang besar kedalam struktur ikatan hidrogen. EPS sebagian besar
bersifat hidrofobik, meskipun ada EPS yang memiliki sifat hidrofilik. EPS dapat
menjadi efek penanda pada biofilm, yaitu, komposisi dan struktur dari
polisakarida yang mengindikasikan konformasi utama mereka. Sebagai contoh,
beberapa bakteri memiliki EPS dengan ikatan residu 1,3-β-heksosa atau 1,4-βheksosa sehingga cenderung lebih kaku dan pada kasus-kasus tertentu sulit
terlarut atau tidak dapat larut. Produksi EPS itu sendiri diketahui berasal dari
kondisi nutrien pada medium pertumbuhan, dimana adanya karbon, nitrogen,
potasium atau fosfat dapat menghambat sintesis EPS tersebut. (Aparna & Yadav,
2008; Sanjaya, 2010)
2.6
Proses pembentukan biofilm bakteri
Terdapat lima tahap pembentukan biofilm bakteri pada substrat. Pada
tahap pertama : terjadi perlekatan awal. Pada tahap ini terbentuknya biofilm
dimulai dengan perlekatan sel planktonik pada permukaan substrat. Jarak antara
sel dan substrat sebesar 50 nm telah mampu menciptakan perlekatan yang
dimediasi oleh adanya interaksi elektrostastik dan ikatan van der waals. Sel-sel
pada tahap perlekatan awal tidak melekat dengan kuat karena hanya
mengandalkan kekuatan ikatan van der waals, sehingga disebut sebagai
perlekatan reversibel. Setelah itu, koloni akan berusaha mengikatkan diri lebih
kuat pada permukaan dengan menggunakan fili sebagai faktor adhesi. Selama
tahap ini, sel bakteri mengalami pertumbuhan secara logaritmik. Perkembangan
dan integritas struktur biofilm pada tahap ini sangat tergantung pada quorum –
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
sensing,
26
yaitu molekul ekstraseluler yang dapat meningkatkan komunikasi
diantara bakteri. (Kus et al., 2004; Aparna & Yadav, 2008)
Gambar 2.5 A) Perkembangan biofilm pada substrat. B) Foto mikroskopik perkembangan biofilm.
(http://xnet.rrc.mb.ca/davidb/biofilms.htm)
Selanjutnya pada tahap kedua terjadi perlekatan yang permanen melalui
faktor adhesin tersebut sehingga disebut sebagai perlekaan irreversible, dimana
bakteri
mengalami multiplikasi dan mengeluarkan sinyal kimia untuk
berkomunikasi secara internal.
Substansi EPS mulai bekerja berdasarkan
mekanisme genetik dan mikroorganisme dapat melekat dengan bantuan substansi
tersebut. (Monroe, 2007; Aparna & Yadav, 2008)
Pada tahap ketiga terjadi proses maturasi ke I dimana biofilm mengalami
maturasi sehingga terus tumbuh sejalan dengan pertumbuhan koloni. Terjadi
pertambahan ukuran dan perubahan bentuk. Pada tahap ini, ketebalan biofilm
lebih dari 10 µm. (Aparna & Yadav, 2008).
Pada tahap keempat mulai terjadi maturasi yang ke II dan agregasi bakteri.
Pada tahap ini ketebalan lapisan biofilm mencapai lebih dari 100 mm dimana
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
27
agregasi mikroorganisme planktonik siap untuk menyebar dan siap menuju tahap
proses yang terakhir. (Monroe, 2007; Aparna & Yadav, 2008)
Pada tahap kelima ini terjadi proses dispersi, dimana biofilm akan
memasuki tahap kelima beberapa hari setelah tahap keempat. Pada tahap ini
.terjadi dispersi sel sehingga memungkinkan beberapa bakteri meninggalkan
biofilm untuk berkembang kembali menjadi sel planktonik dan menyebar serta
berkolonisasi di tempat lain. Pada tahap ini sel-sel dalam koloni akan terlepas
sendiri atau bersama sebagian komponen matriks. Matriks ekstraseluler biofilm
akan didegradasi oleh enzim dispersin B dan deoxyribonuclease . Enzim tersebut
dapat dimanfaatkan sebagai agen anti-biofilm. Pada P. aeruginosa dan C.
albicans, asam lemak cis-2-decenoic acid diketahui mampu menginduksi dispersi
dan menghambat pertumbuhan koloni biofilm. (Kaplan et al., 2004; Xavier et al.,
2005; Monroe, 2007; Izano et al., 2008; Davies et al., 2009).
2.7
Mekanisme Resistensi bakteri dan biofilmnya
Terdapat perbedaan signifikan pada spesies mikroba yang sama, antara
yang hidup dalam biofilm dengan yang hidup dalam bentuk planktonik. Biofilm
membantu mikroba dalam meningkatkan daya resistensinya. Sel-sel mikroba sesil
tersebut melepaskan antigen yang dapat menstimulasi antibodi host, namun
antibodi tersebut tidak efektif membunuh biofilm meskipun pada host yang
memiliki reaksi imunseluler dan humoral yang berkembang dengan baik. Sejalan
dengan itu,
populasi dalam biofilm dapat mengembangkan kemampuan
resistensinya bahkan dapat meningkat 10 -1000 kali lipat dibandingkan dalam
keadaan planktonik. Matriks biofilm melindunginya dari pengaruh senyawa kimia
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
28
merugikan sehingga mereka lebih kooperatif dan dapat berinteraksi dengan
lingkungan. (Stewart & Costerton, 2001; Monroe,2007, Aparna & Yadav, 2008)
Gambar 2.6 : Mekanisme biofilm bakteri untuk meningkatkan resistensi
(Kishen, 2012)
Biofilm adalah suatu bentuk mekanisme pertahanan sel. Berdasarkan studi
in vitro, biofilm dapat menghindari serangan sel inang. Sebagai contoh, sel fagosit
sulit untuk menelan bakteri dalam bentuk biofilm. Biofilm juga lebih resisten
dibandingkan dengan sel planktonik terhadap agen antibakteri. Contohnya,
khlorinasi biofilm sering tidak berhasil sebab bahan antibakteri hanya membunuh
bakteri pada lapisan luar biofilm, dan tidak mampu berpenetrasi ke dalam lapisan
biofilm sedangkan bakteri bagian dalam tetap hidup dan biofilm dapat
berkembang, dimana persister cell yang ada memiliki resistensi yang lebih
kuat. Antibakteri juga dapat dirusak oleh enzim yang dikeluarkan oleh matriks
biofilm. Penggunaan ulang agen antibakteri dapat meningkatkan resistensi biofilm
tersebut melalui mekanisme quorum-sensing dan ekspresi gen penyebab resistensi
yang spesifik. (Sanjaya, 2010; Kishen, 2012)
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
29
Namun tidak semua jenis mikroba biofilm mempunyai resistensi yang
kuat terhadap senyawa antimikroba. Contohnya, pada bakteri P. aeruginosa,
bentuk biofilmnya tidak lebih resisten bila dibandingkan dengan bentuk sel
planktoniknya pada fase stasioner, meskipun biofilm lebih resisten dibandingkan
dengan sel planktonik pada fase logaritmik. Kemampuan resistensi sel bakteri
dalam bentuk planktonik pada fase stasioner dan biofilm pada fase logaritmik
dikarenakan adanya sel-sel yang memang menjadi lebih resisten saat memasuki
fase tersebut atau bahkan sel tersebut memang bersifat resisten pada awal
terbentuk. Resistensi biofilm bakteri terhadap antibakteri juga dipengaruhi oleh
ketebalannya. Semakin tebal biofilm, maka akan semakin sulit antibakteri
berpenetrasi kedalam biofilm tersebut (Hojo et al., 2009; Spoering & Lewis,
2001; Mah & O’tolle, 2001)
Zat
antibakteri
dapat
melakukan
resistensi bakteri tersebut melalui
aktivitas untuk melawan bentuk
beberapa mekanisme. Mekanisme yang
pertama dilakukan dengan mengganggu sintesis dinding sel. Sintesis dinding sel
bakteri dapat diganggu zat antibakteri, sehingga dinding sel yang terbentuk
menjadi tidak sempurna dan tidak tahan terhadap tekanan osmotis, sehingga
menyebabkan pecahnya sel. Sintesis molekul lipoprotein membran sel bakteri
akan terganggu, sehingga membran menjadi lebih permeable yang menyebabkan
keluarnya zat-zat penting dari sel. Zat antibakteri juga dapat berperan sebagai
antagonis ringan, sehingga dapat bersaing dengan zat-zat yang diperlukan
untuk proses metabolisme bakteri, sehingga proses tersebut terhenti. (Idris, 2013)
Dalam melawan resistensi bakteri, juga dapat dilakukan upaya untuk
mengganggu sintesis protein sel, dimana zat antibakteri dapat berikatan dengan
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
30
sub unit ribosom bakteri, sehingga menghambat sintesis asam-asam amino dan
menghasilkan protein yang inaktif. Selain itu, zat antibakteri dapat mengganggu
sintesis asam nukleat pada bakteri. Hal ini disebabkan karena kelangsungan hidup
sel sangat tergantung pada molekul-molekul protein dan asam nukleat tersebut.
Gangguan apapun yang terjadi pada pembentukan atau fungsi zat-zat tersebut
dapat mendenaturasi sel bakteri. Sel bakteri dapat rusak tanpa dapat diperbaiki
lebih lanjut. (Idris, 2013)
Tingkat ketahanan mikroba dalam biofilm terhadap berbagai antibiotik
sebagai salah satu bentuk zat antibakteri yang diujikan dapat dilihat dari beberapa
hasil penelitian sebelumnya. A. pyogenes, S. aureus, S. hyicus, S. agalactiae, C.
renale, atau C. pseudotuberculosis yang terorganisasi dalam biofilm, tidak dapat
terbunuh oleh antibiotik yang diujikan, namun bentuk planktoniknya sensitif
antibiotik pada konsentrasi rendah. S. dysgalactiae baik dalam bentuk biofilm
maupun planktonik tetap sensitif terhadap penicillin, ceftiofur, cloxacillin,
ampicillin, dan oxytetracyclin, sedangkan E. coli dalam bentuk planktonik
sensitif terhadap enrofloxacin, gentamicin, oxytetracycline dan trimethoprim,
sulfadoxine. Enrofloxacin dan gentamicin efektif terhadap E. coli dalam bentuk
biofilm. Penelitian sebelumnya juga menjelaskan bahwa bakteri Salmonella spp.
dan
P.
Aeruginosa
dalam
bentuk
planktonik
diketahui
sensitif
dengan enrofloxacin, gentamicin, ampicillin, oxytetracycline, dan trimethoprim,
sulfadoxine, namun dalam bentuk biofilm, bakteri tersebut hanya sensitif
terhadap enrofloxacin. (Merle et al., 2002)
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.8
31
Biofilm Endodontik
Mikroorganisme yang dapat hidup dalam cakupan biofilm endodontik
harus memiliki kemampuan untuk membentuk dirinya sendiri (autopoeisis),
melakukan homeostasis, menjadi lebih efektif saat berasosiasi daripada saat
diisolasi, dan dapat merespon perubahan lingkungan sebagai suatu kesatuan unit
biofilm dibandingkan sebagai planktonik individual ( bersifat communality).
(Narayanan et al., 2010)
Tiga
komponen utama pembentukan biofilm, termasuk biofilm
endodontik adalah sel bakteri, permukaan solid, serta medium cair yang
mengandung nutrisi. Biofilm endodontik memiliki kategori sebagai berikut
(Narayanan et al., 2010) :
1. Intracanal biofilm, yang dibentuk pada dentin saluran akar gigi yang terinfeksi
2. Extraradicular biofilm, yang dibentuk pada permukaan sementum akar gigi
yang terinfeksi
3. Periapical biofilm, yang dibentuk pada jaringan periapikal gigi
4. Biomaterial centered biofilm, yang terbentuk pada material obturasi saluran
akar yang pernah dirawat.
Biofilm bakteri yang terbentuk pada regio periapikal memiliki kemampuan
untuk mempertahankan mekanisme host dan menginduksi infeksi periapikal yang
lebih lanjut. Mekanisme resistensi utama dari biofilm bakteri endodontik terhadap
agen antimikroba diantaranya berupa resistensi yang berasosiasi dengan matriks
eksopolisakarida yang disebut sebagai extracellular polymeric substances (EPS),
tingkat pertumbuhan dan ketersediaan nutrisi, serta adanya adopsi fenotip faktor
resistensi. EPS yang ada pada biofilm bakteri terbentuk dari layer-layer multipel
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
32
yang ditanam oleh bakteri, dimana EPS tersebut memiliki potensi untuk
memodifikasi respon bakteri terhadap antimikroba dengan bersandiwara sebagai
“diffusion shield” atau tameng dan menjadi penetralisir efek kimiawi dari anti
antimikroba tersebut. Resistensi biofilm endodontik ini juga berkaitan dengan
lambatnya pertumbuhan dan proses starvasi dari bakteri yang tersisa di biofilm
sehingga
memperlambat
pengenalan
bakteri
terhadap
antimikroba
dan
menghasilkan banyak persister cell. (Narayanan et al., 2010; Kishen, 2012).
Tujuh bakteri patogen endodontik yang memiliki kemampuan untuk
berpenetrasi pada tubuli dentin saluran akar secara in vitro, antara lain, P.
endodontalis, P. gingivalis, F. nucleatum, A. israelli, P. acaes, C.albicans,
golongan Streptococcus, dan terutama E. faecalis. Ketika bakteri tersebut hadir
sebagai sel planktonik di saluran akar, maka masih mudah untuk dieliminasi oleh
instrumen saluran akar serta substansi yang terkait dengan terapi endodontik.
Namun ketika terorganisir menjadi biofilm, baik dalam bentuk monospesies
maupun multispesies, maka bakteri tersebut akan melekat dengan baik di dinding
saluran akar maupun pada penghubung lateral antara saluran akar dengan tubuli
dentin. Bagian tersebut menjadi bagian yang sulit diatasi dan membutuhkan
strategi terapi yang baik untuk mengatasinya. (Siqueira & Rocas, 2008).
Bahan irigasi saluran akar seperti NaOCl, EDTA, Carsodyl®, Iodine, SDS
(Sodium Dodecyl Sulphate) dan CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide)
yang diberikan selama 1,5 – 10 menit dapat berpengaruh terhadap terjadinya
pelepasan sel. Berdasarkan pengelompokan jenis bakteri, spesies bakteri Gram
positif lebih resisten terhadap terjadinya pelepasan agregasi sel dibandingkan
bakteri Gram negatif. Melalui confocal laser scanning microscopy dapat juga
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
33
dilihat terganggunya pembentukan biofilm bakteri didapatkan dari pemberian
NaOCl. Disamping itu, iodine hanya dapat membunuh bakteri tersebut tanpa
menghambat dan menganggu pembentukan biofilm. Sedangkan CTAB dan SDS
dapat melakukan keduanya , baik menghambat pembentukan biofilm maupun
membunuh bakteri planktoniknya ( disrupting and killing method). Penelitian
membuktikan bahwa bahan irigasi chlorhexidine juga dapat mereduksi perlekatan
bakteri E. faecalis yang merupakan bakteri Gram positif hingga 72%. (Siqueira &
Rocas, 2008, Bryce et al., 2008)
E. faecalis merupakan bakteri yang sangat erat kaitannya dengan
kegagalan perawatan saluran akar, dimana diketahui struktur biofilmnya dapat
memberikan pertahanan terhadap host maupun medikamen saluran akar yang
digunakan. Biofilm dapat beradaptasi dalam lingkungan yang buruk dan dapat
melakukan metabolism secara aktif walaupun dalam kondisi kekurangan nutrisi.
Terapi antimikroba dapat mengeliminasi mikroba bebas atau yang disebut sebagai
planktonik , namun tidak dapat sepenuhnya menghilangkan sel-sel yang terikat
pada biofilm sehingga menimbulkan infeksi yang berulang. (Athanassiadis, 2010)
Strategi terapi infeksi endodontik dengan biofilm sebagai sasarannya dapat
dilakukan dengan metode menginaktivasi residen bakteri pada struktur biofilm,
melakukan pemecahan struktur biofilm dan matriksnya, melakukan destruksi
perlahan pada struktur biofilm, melakukan destruksi pada persister cell dan
menganggu proses quorum-sensing pada biofilm, melakukan difusi ke dalam
struktur biofilm dan membunuh bakteri penyusun yang ada didalamnya. (Siqueira
& Rocas, 2008)
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.9
34
Patofosiologi biofilm Enterococcus faecalis
E. faecalis mempunyai protein serin, gelatinase, dan protein pengikat
kolagen yang membantu perlekatannya pada substrat dentin. Sebagian kecil dari
koloni E. faecalis akan menginvasi dan bertahan di tubulus dentin. Kelebihan dari
E.faecalis adalah kemampuannya untuk bertahan hidup tanpa makanan sampai
memperoleh nutrisi yang adekuat. Di dalam tubulus dentin, bakteri ini dapat
bertahan dari medikamen intrakanal CaOH2 sampai lebih dari dari 10 hari. Dalam
kondisi tersebut, E. faecalis mampu membentuk biofilm, dan kemampuannya
dalam membuat biofilm tersebut dapat meningkatkan pertahanan terhadap
terjadinya dekstruksi. (Pinheiro et al., 2003 ; Stuart et al., 2006).
Pada bakteri E. faecalis, faktor virulensi yang berpengaruh, diantaranya
berupa substansi agregasi yang membentuk struktur intraselular multilayer
sebagai syarat pembentukan biofilm. LTA yang
diproduksi E. faecalis juga
berfungsi untuk menjaga membran sel dan pertahanan permeabilitas eksternal
bakteri, sedangkan peptidoglikan yang dihasilkan juga berperan dalam
mempertahankan bentuk sel melalui dinding sel bakteri. Selain itu, feromon pada
E. faecalis mampu meningkatkan resistensi dengan menginduksi produksi
superoxide dan menyebabkan apoptosis jaringan. (Pinheiro et al., 2003 ; Stuart et
al., 2006).
Pada E. faecalis juga ditemukan gen yang berperan sebagai protein yang
spesifik terhadap perlekatan pada permukaan substrat,yaitu Enterococcal Surface
Protein (Esp). Protein tersebut berperan penting dalam pembentukan biofilm.
Biofilm yang dibentuk mampu menghambat toleransi terhadap antibiotik
vancomycin dan teicoplanin. Dasar pembentukan biofilm pada bakteri ini
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
35
sebenarnya belum diketahui pasti, namun studi terbaru lainnya yang menyebutkan
bahwa gelatinase (GelE) sebagai suatu matriks metalloproteinase, mampu
menginduksi produksi matriks polimer ekstraselular sehingga meningkatkan
transduksi dan meregulasi respon pembentukan dan adesi pada biofilm. GelE
dapat meningkatkan produksi peptida yang memberikan sinyal ekstraselullar
melalui sekresi prekursor peptida yang tidak aktif menjadi aktif sehingga
mempercepat proses pematangan biofilm. GelE juga diketahui terlibat dalam
proses separasi sel
pada pembentukan dan pematangan biofilm. Dengan
kemampuannya menghasilkan biofilm, E. faecalis menjadi 100 kali lipat lebih
resisten terhadap fagositosis, antibodi, dan antimikroba dibandingkan organisme
lain yang tidak membentuk biofilm. (Kristich et al., 2004; Portnier, et al., 2003;
Wang et al., 2011).
GelE merupakan metalloprotease ekstraseluler yang dapat menghidrolisis
gelatin, kolagen, dan kasein. GelE juga memecah fibrin sekaligus menghasilkan
autolisin dari permukaan sel bakteri sehingga memungkinkan terjadinya
kolonisasi bakteri yang melekat pada matriks. Proses autolisin tersebut terjadi
dalam kondisi hidrofobik sehingga hidrofobisitas permukaan sel meningkat
sehingga proses terbentuknya biofilm juga meningkat.
GelE bersama sedikit
substansi SprE (serin protease) menjadi operon, yaitu gen yang berada dalam
suatu unit transkripsi yang mampu menciptakan adanya quorum-sensing pada
bakteri. Mekanisme quorum-sensing yang dihasilkan GelE, Esp, dan SprE pada
proses pembentukan biofilm bakteri e. faecalis ini disebabkan oleh adanya fsr
locus. Fsr menyandi sistem komponen sinyal transduksi dan menghasilkan gen
fsrA, fsrB, dan fsrC. FsrB menghasilkan peptide autoinduksi yang disebut sebagai
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
36
gelatinase biosynthesis activating pheromone (GBAP) yang ketika terakumulasi
pada masa transisi menuju fase stasioner dapat menginduksi GelE, sprE dan Esp
tersebut. Aktivitas gelatinase tersebut dapat membangun kerangka yang solid
dalam pembentukan awal biofilm. Operon yang dihasilkan dari mekanisme
tersebut bersama fsr memiliki fungsi intrinsik dalam menjadi antagonis bahan
antimikroba. ( Carniol & Gilmore, 2004; Duggan & Sedgley, 2007; Mohamed &
Huang, 2007; Archer, 2011; Skogman et al., 2012; Gupta, 2015)
TESIS
EFEKTIVITA EKSTRA SIWAK …
IKA RHISTY CENDANA SARI
Download