BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah integrasi nasional merupakan tantangan bagi hampir semua negara dalam mempertahankan kedaulatan bangsa. Salah satu bentuk umum dari masalah ini adalah keberadaan satu atau lebih kelompok yang ingin memerdekakan diri dari wilayah negara jika tuntutan mereka tidak dipenuhi oleh pemerintah. Dalam konteks ini, masalah integrasi menjadi penting untuk dibahas mengingat kelompok-kelompok dengan kepentingan yang tidak diakomodasi cenderung akan membuat pergerakan yang mengancam stabilitas politik domestik. Situasi ini dialami oleh banyak negara, termasuk Kolombia. Negara nomor ketiga terbesar dalam perdagangan narkoba di Amerika Latin1 ini memiliki kasus perlawanan/pemberontakan tertua di dunia yang belum selesai hingga kini: FARC-EP (Furerzas Amardas Revolucionarias de Colombia – Ejercito del Pueblo). Pemerintah belum berhasil mengintegrasikan FARC-EP, yang juga kelompok revolusioner terkuat di negeri itu, ke dalam konteks kebangsaan Kolombia secara luas. Kemunculan FARC-EP tidak bisa dilepaskan dari perang saudara dan intensitas kekerasan yang tinggi di Kolombia. Kasus perlawanan FARC-EP bermula dari konflik yang terjadi sekitar tahun 1940-an hingga 1950-an, kerap disebut La Violencia, yang melibatkan dua partai politik besar (Partai Liberal dan Partai Konservatif).2 La Violencia kemudian menyisakan perseteruan antara pemerintah dan kelompok paramiliter3 yang disebabkan oleh pembagian kekuasaan lahan yang tidak merata antara kota dan desa.4 Proses eskalasi berkembang dengan munculnya kelompok-kelompok anti pemerintah yang membuat otoritas pemerintah semakin melemah, termasuk kelompok bersenjata sosialis-komunis FARC-EP. Kelompok gerilya yang berasal dari petani dan buruh ini didirikan pada tahun 1 „The Drug War Across Borders: U.S. Drug Policy and Latin America,‟ Breaking The Chains Community (daring), <http://www.drugpolicy.org/docUploads/fact_sheet_borders.pdf>, diakses 3 Mei 2013. 2 La Violencia merujuk pada perseteruan antara Partai Konservatif dan Partai Liberal Kolombia yang dipicu oleh pembunuhan kandidat presiden Liberal Jorge Eliecer Gaitan pada 9 April 1948. Konflik ini kemudian menyebar ke seluruh penjuru negeri dan menewaskan lebih dari 200.000 warga akibat perebutan wilayah kekuasaan dan sengketa lahan. 3 Paramiliter adalah kelompok-kelompok bersenjata yang terbentuk secara formal pada akhir masa La Violencia. Mereka menentang pemerintah karena kecewa terhadap pembagian kekuasaan di masa itu. 4 „Fuerzas Amardas Revolucionarias de Colombia,‟ Insightcrime (daring), <http://www.insightcrime.org/groups-colombia/FARC-EP>, diakses 31 April 2013. 1 1964 oleh Partai Komunis Kolombia dengan tujuan untuk mempertahankan daerah-daerah otonom yang dikontrol oleh kekuatan komunis.5 Daerah otonom tersebut sebagian besar berada di wilayah selatan Kolombia, yakni di Florencia, ibukota Provinsi Caqueta. 6 Sebelum itu, pada tahun 1960 terbentuk kelompok revolusioner sayap kiri Ejercitode Liberalicion Nacional (ELN) yang berorientasi pada Kuba. Setahun setelah pembentukan FARC-EP kelompok gerilya Kolombia juga mendirikan Ejercito de Liberalicion Popular (ELP). Kelompok-kelompok gerilya tersebut pada dasarnya memperjuangkan persamaan hak bagi kaum menengah ke bawah, seperti kaum petani dan buruh. Dalam perkembangan kemudian FARC-EP menjadi kelompok terkuat di Kolombia yang melawan kebijakan pemerintah. Tujuan utama dari FARC-EP adalah untuk mendapatkan bagian dari kekuasaan yang pernah dijanjikan oleh pemerintah Kolombia, terutama dalam hal pembebasan lahan petani yang akhirnya tidak ditepati. Hal ini menyebabkan kekecewaan mendalam sehingga para kelompok petani dan buruh yang mendirikan FARC-EP semakin mempertahankan ideologi sosialis-komunis mereka dan memperjuangkan bagian dari kekuasaan yang pernah dijanjikan oleh pemerintah. Seiring dengan perkembangan jumlah milisi dan bertambahnya penguasaan wilayah di bagian selatan, FARC-EP membutuhkan biaya semakin besar untuk memenuhi kebutuhan persenjataan dan logistik. Semula FARC-EP menghidupi organisasi dengan melakukan penculikan untuk kemudian meminta tembusan dan memeras keluarga korban.7 Namun, setelah tuntutan akan pemenuhan kebutuhan dalam mengkader anggota bertambah, akhirnya FARC-EP mulai masuk ke dalam bisnis obat bius yang memperoleh keuntungan lebih besar. United Nations Office on Drug and Crime (UNODC) memperkirakan Kolombia menguasai lebih dari 66% perdagangan obat bius internasional. Lebih dari 90% peredaran obat bius di Amerika Serikat berasal dari Kolombia yang dikuasai oleh FARC-EP.8 Sumber dana baru ini tidak dengan sendirinya menghentikan tindakan penculikan yang dilakukan FARC-EP. Untuk menambah penghasilan, FARC-EP masih melakukan penculikan dengan meminta tebusan yang sangat tinggi. Selain terhadap 5 J. Pike, „Revolutionary Armed Forces of Colombia‟, Intelligence Resource Program (daring), 18 June 2008, <http://www.fas.org/irp/world/para/FARC-EP.htm>, diakses5 Mei 2013. 6 W. Avilés, „Paramilitarism and Colombia's Low-Intensity Democracy‟, Journal of Latin American Studies, vol. 38, no. 2, May 2006, pp. 379-408. 7 „Fuerzas Amardas Revolucionarias de Colombia‟. 8 United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention, Global Illicit Drugs Trends, Vienna, 2000, p. 44. 2 warga asing, mereka juga melakukan penculikan bahkan pembunuhan terhadap polisi, jaksa, hakim maupun aparatur negara lainnya yang kebijakannya dianggap bertentangan dengan kepentingan FARC-EP.9 Berbagai perlawanan/pemberontakan yang dilakukan oleh FARC-EP terhadap negara membuat pemerintah Kolombia melakukan upaya-upaya integrasi nasional. Partai LiberalKonservatif, misalnya, pada tahun 1968 pernah berusaha untuk membentuk pemerintahan koalisi dengan mengajak FARC-EP guna mengusahakan kemajuan bagi Kolombia. Namun, tawaran tersebut ditolak oleh FARC-EP yang memandang bahwa hak petani miskin belum dapat dipenuhi. FARC-EP memilih untuk melanjutkan aktivitas perjuangan para milisi petani hingga tuntutan mereka dipenuhi.10 Akhirnya selama beberapa dekade pemerintah Kolombia cenderung melakukan pertahanan diri melalui serangan senjata ke markas FARCEP dan pengawasan ketat terhadap perdagangan obat bius untuk meredam pemberontakan.11 Pada tahun 1966, pemerintahan Guillermo Leon Valencia pernah menjalankan Operasi Marquetallia untuk menghilangkan kantong-kantong komunisme, terutama di wilayah Kolombia selatan. Setelah berusaha menghancurkan wilayah FARC-EP, pemerintah melaksanakan reformasi agraria untuk mensejahterakan rakyat. Namun demikian, kelompok FARC-EP justru pindah ke daerah rural dan mengokupasi wilayah yang dihuni oleh kaum migran. Kaum migran kemudian dipaksa oleh FARC-EP untuk menanam daun koka demi memenuhi kebutuhan mereka.12 Upaya signifikan untuk meredam aksi FARC-EP dilakukan saat Kolombia dipimpin oleh Presiden Andres Pastrana (1998-2002). Pastrana menginisiasi Colombia Plan13 pada tahun 1999 untuk menghadapi konfrontasi situasi politik domestik melalui pembatasan penyelundupan narkoba dan memerangi pemberontakan FARC-EP. Langkah yang diambil oleh Pastrana ialah melumpuhkan pendapatan utama dari FARC-EP, yakni melalui adopsi kebijakan War on Drugs melalui kerjasama dengan Amerika Serikat (AS) dalam menekan perdagangan narkoba ilegal dan peningkatan armada militer domestik. Pengganti Pastrana, 9 „Fuerzas Amardas Revolucionarias de Colombia‟. A. Rabasa, et.al, From Insurgency to Stability, Counterinsurgency Transition Case Study: Colombia,RAND National Defense Research Institute, Santa Monica, 2011, pp. 45-47. 11 T. Saunois, „War and Crisis‟, Socialistworld (daring), 9 September 2001, <http://www.socialistworld.net/eng/2001/09/09.html>, diakses 23 Mei 2013. 12 „Fuerzas Amardas Revolucionarias de Colombia‟. 13 U.S. Department of State, „United States Support for Colombia’, <http://www.state.gov/www/regions/wha/colombia/fs_000328_plancolombia.html>, diakses 5 Mei 2013. 10 3 Presiden Alvaro Uribe, membuat kebijakan Policy for the Consolidation of Democratic Security (PCDS) di tahun 2007 yang berusaha untuk membangun kembali kontrol negara atas wilayah yang terimbas kegiatan kelompok-kelompok bersenjata ilegal dan perdagangan narkoba. Kebijakan ini memiliki lima tujuan strategis yang dimanifestasikan menjadi 28 rencana.14 Inti tujuan kebijakan ini adalah untuk menciptakan kualitas pertahanan guna meningkatkan keamanan dan kepercayaan yang berimplikasi pada peningkatan perekonomian domestik. Upaya Uribe setidaknya dapat menekan keagresifan FARC-EP dalam mengokupasi hak warga sipil, misalnya pada pemaksaan para imigran untuk menanam koka demi memenuhi kebutuhan FARC-EP. Setelah Uribe, Presiden Juan Manuel Santos (2010-2014) juga melakukan tindakan yang signifikan dalam mengintegrasikan FARC-EP. Salah satunya berupa kebijakan Reformasi Tanah yang telah disepakati bersama pada 26 Mei 2013 di Havana, Kuba.15 Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kolombia ini belum memberikan hasil yang memuaskan karena FARC-EP tetap melakukan perlawanan hingga kini. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji upaya-upaya tersebut dalam penelitian ini. 2. Pertanyaan penelitian Berdasarkan uraian di atas, penulis mengajukan dua pertanyaan penelitian berikut: 1. Bagaimana pemerintah Kolombia menjalankan upaya integrasi nasional terhadap FARC- EP? 2. Apa saja permasalahan yang mengalangi proses integrasi nasional yang dilakukan oleh pemerintah Kolombia terhadap FARC-EP? 14 Kelima tujuan strategis itu adalah:“(1) to consolidate territorial control and strengthen the rule of law in the entire national territory; (2) to protect the public and hold on to the strategic initiative against all threats to citizen security; (3) to drastically raise the cost of trafficking drugs in Colombia; (4) to keep the public security forces modern and effective, with a high level of legitimacy based on public confidence and support; and (5) to maintain the downward trend in all crime rates in the country’s urban centers.” Lihat PCSD: Policy for the Consolidation of democratic Security, Ministry of National Defence of Republic of Colombia, 2007, pp. 29-45. 15 „Pemberontak-Pemerintah Kolombia Capai Perjanjian Reformasi Tanah‟, Antaranews (daring), 27 Mei 2013, <http://www.antaranews.com/berita/376811/pemberontak-pemerintah-kolombia-capai-perjanjian-reformasi-tanah>, diakses 28 Mei 2013. 4 3. Kerangka Konseptual Untuk menjawab kedua pertanyaan penelitian diatas, penulis akan memberikan batasan tentang konsep integrasi nasional, diikuti oleh Political Opportunity Structure (POS) yang umum ditemui di Amerika Latin. Integrasi nasional Integrasi nasional secara sederhana dapat diartikan sebagai proses membentuk bagian-bagian dari suatu bangsa menjadi satu kesatuan. Sejumlah definisi yang lebih luas dapat diperoleh dari berbagai sumber. Misalnya, Vocabularies Philosophique Lalande mendefinisikan integrasi sebagai dibangunnya interdependensi yang lebih rapat antara bagian-bagian dari organisme hidup atau antara anggota-anggota dalam masyarakat. Integrasi nasional merupakan usaha dan wujud mempersatukan masyarakat. 16 Dalam uraiannya mengenai integrasi politik dan pembangunan politik, Myron Weiner mengemukakan bahwa integrasi merujuk kepada proses penyatuan berbagai kelompok sosial ke dalam satu kesatuan wilayah dan pembentukan suatu identitas nasional.17 Sementara itu, Anthony Birch mendefinisikan integrasi nasional sebagai sebuah proses penyatuan komunitas-komunitas yang memiliki identitas berbeda menjadi satu komunitas besar melalui berbagai perkembangan ekonomi, sosial, dan politik pada tingkat nasional. Integrasi nasional juga merupakan doktrin guna mencapai nasionalisme yang dilakukan oleh pemerintahan yang berdaulat kepada kelompok-kelompok masyarakat.18 Untuk menangani masalah integrasi nasional, pemerintah dapat menerapkan strategi melalui pembuatan kebijakan sesuai dengan situasi atau keadaan masyarakat yang dihadapi. State-building (pembangunan negara) salah satu strateginya. State-building merupakan aksi dari sebuah pengembangan kapasitas, institusi, dan legitimasi dari negara yang berhubungan dengan proses politik demi memenuhi tuntutan kelompok masyarakat.19 State building juga kerap disebut sebagai tindakan yang dilakukan oleh aktor-aktor nasional atau internasional untuk membangun negara dengan melibatkan masyarakat melalui proses politik. 16 D. Maurice, Sosiologi Policies, edisi Bahasa Indonesia Sosiologi Politik, diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae, Rajawali Press, Jakarta, 1982, p. 340. 17 M. Weiner, „Integrasi Politik dan Pembangunan Politik‟, dalam Y. Muhaimin & C. MacAndrews, MasalahMasalah Pembangunan Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1978, p. 41. 18 A.H. Birch, Nationalism and National Integration, Unwin Hyman, London, 1989, p. 8. 19 C.T. Call, & E.M. Cousens, „Ending Wars and Building Peace‟, dalam OECD, Concept of Dillemas of State Building in Fragile Situations: From Fragility to Resilience, OECD Press, French, 2008, p. 13. 5 Pembangunan ini mengacu pada strategi yang dilakukan oleh elit untuk membentuk identitas nasional baik melalui etnis, budaya, sejarah atau akar politik.20 Indikator pembangunan negara dapat dilihat dari tiga hal, yakni: kesepakatan politik (elite-masyarakat), prioritas kebijakan pusat, dan pemenuhan tuntutan masyarakat. Dalam studi upaya pembangunan negara, perang atau kelompok pemberontak kerap kali dianggap mengganggu fungsi kelembagaan di negara. Sehingga diperlukan program pembangunan dan pelayanan publik yang dilaksanakan dengan transparan dan akuntabel oleh institusi pemerintah. Hukum harus ditegakkan dan masyarakat diberikan ruang lebih untuk turut serta dalam pembangunan daerah dan menikmati hasil pembangunan secara merata.21 Proses pembangunan negara dilakukan dengan meformasi lembaga-lembaga politik/pemerintahan meliputi struktur dan fungsi. Higgins mengemukan bahwa statebuilding merupakan salah satu cara untuk mencapai integrasi nasional, sedikitnya terdapat lima poin,22 yakni: (1) integrasi nasional merujuk pada proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam satu kesatuan wilayah dan pembentukan identitas nasional; (2) pembangunan negara sebagai bentuk wewenang kekuasaan nasional atas unit-unit politik yang lebih kecil yang beranggotakan kelompok sosial tertentu, (3) pembangunan negara digunakan oleh elite dan masa dalam berkoordinasi untuk menyatukan perbedaan-perbedaan dan nilai yang dianut kedua belah pihak; (4) integrasi nasional digunakan untuk menunjukan adanya konsensus dalam memelihara ketertiban sosial, pemenuhan tuntutan masyarakat, dan penyelesaian konflik; (5) integrasi nasional dijadikan sebuah sikap dan perilaku integrasi warga negara yang mempunyai kapasitas untuk melaksanakan tujuan-tujuan bersama. Berdasarkan poin diatas, integrasi nasional kaitannya dengan state-building memiliki 2 dimensi yakni, dimensi vertikal dan horizontal. Integrasi vertikal merupakan integrasi yang mencakup masalah–masalah yang ada pada elite dan masa dan bertujuan untuk menjembatani perbedaan keduanya. Dalam konteks pembangunan negara, integrasi ini digunakan sebagai proses politik sehingga disebut integrasi politik. Integrasi horizontal 20 J. Dobbins, „Beginner‟s Guide to Nation Building‟, dalam OECD, Concept of Dillemas of State Building in Fragile Situations: From Fragility to Resilience, OECD Press, French, 2008, p. 15. 21 22 J. Dobbins, p. 17. C.T. Call, & E.M. Cousens, p. 20. 6 merupakan integrasi yang mencakup masalah–masalah antar golongan dan budaya kedaerahan dalam rangka proses penciptaan masyarakat yang homogen.23 Dalam konteks ini, penulis menggunakan state-building dalam menganalisis upaya integrasi pemerintah Kolombia terhadap FARC-EP. Pembangunan yang dilakukan pemerintah Kolombia mengacu pada strategi/pendekatan motif politik dan dimensi vertikal. Bentuk integrasi nasional yang dilakukan pemerintah ialah pembentukan kebijakan ekonomi, keamanan, dan sosial-politik untuk mengakomodasi kepentingan FARC-EP. Pembentukan kebijakan pembangunan negara dilakukan oleh tiga era pemerintahan, yakni Andres Pastrana (1998-2002), Alvaro Uribe (2002-2010), dan Juan Manuel Santos (20102014). Pada era pemerintahan Pastrana dilakukan upaya integrasi nasional melalui pembentukan kebijakan Colombia Plan yang diterapkan dari ranah nasional ke daerah. Kebijakan Colombia Plan ini merupakan kebijakan berbasis ekonomi di mana tujuannya untuk memberantas perdagangan narkoba yang dilakukan oleh FARC-EP guna melumpuhkan pendapatan utama mereka. Di masa pemerintahan Uribe diterapkan kebijakan Policy for the Consolidation of Democratic Security sebagai kebijakan keamanan untuk memperkuat kontrol wilayah di Kolombia guna menekan aktifitas FARC-EP. Sedangkan era pemerintahan Santos lebih menerapkan kebijakan sosial-politik yakni Reformasi Tanah guna mengakomodasi tuntutan pembebasan lahan yang diajukan FARC-EP. Ketiga pemerintahan menerapkan integrasi nasional melalui kebijakan berbasis pembangunan negara berbasis dimensi vertikal, yakni dilakukannya proses politik untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Namun demikian, pemerintah era Pastrana dan Uribe memiliki strategi dan berusaha menggantikan motif politik FARC-EP melalui kebijakan-kebijakan keras untuk memperkecil pencapaian tujuan FARC-EP. Sedangkan era Uribe lebih mengakomodasi pencapaian tujuan berdirinya FARC-EP, yakni pembebasan lahan. Singkatnya, proses penyamarataan motif politik dilakukan oleh pemerintah Kolombia melalui kebijakan ekonomi, keamanan dan sosial-politik yang dianggap memiliki peran signifikan dalam mencapai integrasi nasional. Sehingga state-building diimplementasikan melalui bentuk kebijakan berdasarkan tujuan pemerintah Kolombia dan FARC-EP untuk mencapai integrasi nasional sebagai bagian dari proses politik. 23 J.S. Coleman & C.G. Rosberg, Political Parties and National Integration in Tropical Africa. California Press, Los Angeles, 1964, p. 9. 7 Political Opportunity Structure (POS) Hanspeter Kriesi mendefinisikan Political Opportunity Structure (POS) sebagai struktur politik yang dalam hal tertentu memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan suatu gerakan sosial. Dalam konteks ini, POS menjadi ruang multidimensi bagi gerakan sosial dan tindakannya dapat dimudahkan atau dihambat oleh situasi politik di sebuah negara.24 Secara umum, hambatan atau kesempatan politik bagi gerakan sosial terdiri dari dua kategori, yakni pola hubungan tertutup dan terbuka. Pola hubungan tertutup lebih menciptakan hambatan bagi gerakan sosial karena kesempatan politik dibatasi, sedangkan pola hubungan terbuka akan membuka kesempatan bagi munculnya gerakan karena situasi politik antara elite, partai politik, dan kelompok kepentingan cenderung lebih kompetitif.25 Semakin terbuka iklim politik,26 semakin besar kesempatan untuk muncul dan berkembangnya gerakan sosial, begitu pun sebaliknya. Menurut sosiolog David Snow, kondisi struktur politik belum cukup untuk memobilisasi suatu gerakan sosial sehingga dibutuhkan ideologi yang dapat diterima oleh berbagai pihak atau disebut collective action frames. Frame ini merupakan kerangka yang terdiri atas skema interpretasi dari beliefs and meanings yang cenderung berorientasi pada aksi yang menginspirasi dan sah dari sebuah gerakan sosial. Tujuannya ialah memberikan makna dan menginterpretasi kejadian atau kondisi tertentu untuk memobilisasi masa dan mendapatkan dukungan berbagai pihak.27 Berkaitan dengan proses framing, sosiolog lainnya Robert Benford bersama dengan Snow menyebutkan tiga hal core framing tasks yang menjadi perhatian utama. Pertama, diagnostic framing, yakni proses yang dikonstruksikan dalam sebuah gerakan sosial guna memberikan pemahaman mengenai situasi dan kondisi yang sifatnya problematik. Kondisi problematik yang dimaksud adalah mengenai apa atau siapa yang disalahkan sehingga membutuhkan perubahan. Kedua, 24 P. E. Oliver & D. J. Mayers, Diffusion Models of Cycles of Protest as a Theory of Social Movements, risalah yang dipresentasikan pada Congress of the International Sosiological Association di Montreal, July1998, , University of Notre Dame (daring), July 1998, <http://www3.nd.edu/~dmyers/cbsm/vol3/olmy.pdf>, diakses 28 Mei 2013. 25 H. Kriesi, „Political Context and Opportunity‟, dalam D.A. Snow, S.A. Soule & H. Kriesi (eds.), The Blackwell Companion to Social Movement, Blackwell Publishing, Massachusetts, 2004, pp.68-70. 26 Maksud dari iklim politik yang terbuka dan tertutup adalah akses sistem politik yang ada secara insitusional. Semakin mudah diakses suatu sistem politik, maka semakin terbuka iklim politiknya, dan sebaliknya. Lihat Kriesi, pp.69-72. 27 D.A. Snow,„Framing Process, Ideology and Discursive Fields‟, dalam D.A. Snow, S.A. Soule & H. Kriesi (eds.), The Blackwell Companion to Social Movement, Blackwell Publishing, Massachusetts, 2004, pp.381-412. 8 prognostic framing, yaitu artikulasi solusi yang ditawarkan bagi permasalahanpermasalahan yang telah diidentifikasi sebelumnya. Ketiga, motivational framing, yaitu elaborasi pergerakan atau dasar untuk terlibat demi memperbaiki keadaan melalui tindakan kolektif. Framing ini akan digunakan penulis untuk meneliti sejauh mana pergerakan FARC-EP sehingga upaya integrasi pemerintah Kolombia hingga saat ini belum berhasil.28 Dalam konteks Amerika Latin, struktur politik yang diterapkan oleh sebagian besar negara di kawasan ini sejak 1930-an ialah otoriter-birokratik (Argentina,Chile,Peru), oligarki (Bolivia, Argentina, Brazil), dan atau national-statism (Meksiko, Paraguay, Chile, Kolombia, Kuba). Struktur masyarakat Amerika Latin cenderung berbasis pada sosialis dan sangat menolak pengkotak-kotakan kelas sosial. Hal ini disebabkan oleh pengembangan industrialisasi beberapa negara di Amerika Latin pasca Perang Dunia I. Berdasarkan letak geografis, yang terdiri atas daratan dan tanah subur, negara-negara Amerika Latin cenderung berorientasi pertanian sehingga ketika hak lahan penduduk diganggu untuk mengembangkan industri, maka akan timbul aksi protes dan pemberontakan dalam negara.29 Namun demikian, pada tahun 1985 terjadi pergeseran struktur politik negara-negara Amerika Latin yang cenderung mengarah ke transisi demokrasi, misalnya di Brazil. Struktur politik yang berpola terbuka cenderung meningkatkan aktivitas kesempatan politik bagi warga negara sehingga berbagai partisipasi dan keterlibatan aktif dalam setiap kebijakan muncul secara perlahan. Pola inilah yang kemudian menimbulkan pergerakan sosial, seperti di awal tahun 1980-an muncul Movimento dos Trabalhandores Rurais Sem Terra (MST). Kelompok ini merupakan sebuah gerakan sosial sayap kiri yang memperjuangkan akses lahan bagi rakyat miskin, terutama kaum buruh yang tidak memiliki tanah, melalui reformasi agraria di Brazil. Pada saat yang sama, terjadi pengkotak-kotakan kelas dalam masyarakat hingga hadirlah Dom sebagai tokoh agama dalam menengahi persoalan ketidakadilan.30 Salah satu upaya MST ialah bekerjasama dengan Dom untuk memuluskan tujuan mereka guna menjembatani dialog politik dengan pemerintah. Hal yang dilakukan Dom dan MST untuk mengurangi kesenjangan kelas sosial ialah bekerja sama dengan Gereja Katolik dan serikat buruh untuk menggalang masa dalam 28 R. Bedford &D.A. Snow, „Framing Processes and Social Movements: An Overview and Assessment‟, Annual Review of Sociology, vol. 26, no. 2, 2000, pp.611-639. 29 R. Munck, Contemporary America Latin, Palgrave Macmillan, New York, 2003, pp. 23-37. 30 B. Healy, „Dom Hélder Camara and Brazil‟s church of the poor‟, International journal of socialist renewal (daring), <http://links.org.au/node/1151>, diakses pada 28 Mei 2013. 9 mendukung program perumahan bagi kaum miskin. Dom kemudian melakukan pendekatan terhadap pemerintah dalam rangka memajukan programnya. Pengaruh politik Dom semakin nyata ketika ia menjadi salah satu penasihat politik Presiden Juscelino Kubitschek (19651971). Kubitschek mencanangkan industrialisasi yang cepat melalui investasi modal asing, reformasi birokrasi dan memindahkan ibu kota negara dari Rio ke Brasilia. Dom menyatukan Gereja Katolik untuk mendukung program Kubitschek dengan asumsi program perumahan dapat disetujui oleh Kubitschek melalui Conferencia Nacional dos Bispos do Brazil (CNBB).31 Singkatnya, MST sukses memperjuangkan keadilan lahan pertanian; pembentukan struktur organisasi sayap kiri yang terdiri dari Gereja Katolik, serikat buruh, dan partai komunis; serta menggalang jaringan dan dukungan internasional dalam memperjuangkan persamaan hak kaum buruh.32 Akhirnya MST sebagai serikat buruh tak berlahan mendapatkan lahan yang diinginkan melalui kerja sama dengan serikat buruh lainnya dan Dom. Di sini terjadi kesempatan struktur politik yang dimiliki oleh MST sebagai gerakan sosial. Dampak positifnya adalah muncul dialog politik terbuka yang dilakukan oleh pemerintah dan MST dalam proses identifikasi permasalahan dan alternatif solusi yang dipilih. Terdapatnya struktur terbuka dan partisipasi aktif dari warga dalam mengembangkan pergerakan sosial telah berhasil dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam menyelesaikan kasus sengketa lahan. Sedikit berbeda adalah Meksiko, yang walaupun memiliki struktur politik terbuka, namun gaya sebagian besar pemimpin negara ini cenderung diktator. Di Meksiko muncul pergerakan sosial berbasis kelompok kiri revolusioner EZLN (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional) di Chiapas, Meksiko bagian selatan. Sejak tahun 1994, kelompok ini telah menyatakan perang terhadap pemerintah. Tujuan pergerakan ini ialah untuk menentang neo-liberal dan mencari kontrol adat atas sumber daya lokal, terutama pembebasan lahan melalui slogan tierra y libertad yang artinya “tanah dan kebebasan” bagi rakyat. Dukungan dari kelompok petani dan buruh serta internasional digalang melalui kampanye internet dan penyebaran informasi mengenai penderitaan mereka selama ini. Ini adalah representasi lanjut dari revolusi Meksiko di tahun 1910 yang menentang neo-liberalisme ala pemerintah 31 The Origin of MST, Department of Development Sociology, Cornell University (daring), <http://devsoc.cals.cornell.edu/cals/devsoc/research/research-projects/the-origins-of-the-mst.cfm>, diakses pada 29 Mei 2013. 32 The Origin of MST. 10 Porfirio Diaz. Rakyat yang menentang Diaz kemudian mengintegrasikan diri mereka sebagai bagian dari EZLN hingga saat ini.33 Walaupun Meksiko memiliki struktur politik terbuka, baik pemerintah dan EZLN belum berhasil memanfaatkan proses dari kesempatan struktur politik ini guna mencapai kesepakatan bersama. Dialog politik yang terbuka ternyata belum memberikan jaminan atas keberhasilan penyelesaian kasus sengketa lahan dan akomodasi tuntutan di Meksiko. Fenomena keberhasilan atau kegagalan negara Amerika Latin dalam menyelesaikan konflik internal dan mengintegrasikan para pemberontak di wilayah masing-masing terjadi karena perbedaan kesempatan yang telah dimanfaatkan oleh kedua pihak. Brazil berhasil membuka dialog dan membuat kesepakatan politik dengan MST. Meksiko belum berhasil memanfaatkan struktur kesempatan politik yang terbuka karena tidak tercapainya kesepakatan politik dengan EZLN. Dalam konteks ini Kolombia mengalami situasi yang mirip dengan Meksiko, di mana pemerintah belum mampu memastikan sebuah kesepakatan politik dengan FARC-EP. Di sini penulis akan menganalisis belum berhasilnya upaya integrasi nasional Kolombia dengan konsep struktur kesempatan politik melalui Metode Mill, yaitu metode-metode kesepakatan dan perbedaan.34 Metode kesepakatan Mill dapat mengidentifikasi penyebab dari sebuah fenomena dan mencari kesepakatan dengan memetakan alur kejadian sebelumnya. Metode ini akan digunakan oleh penulis untuk memahami perjanjian/kesepakatan apa saja yang telah diupayakan oleh pemerintah Kolombia dalam mengintegasikan FARC-EP melalui struktur kesempatan politik yang tersedia. Sementara itu, metode perbedaan Mill akan digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan pandangan antara pemerintah dan FARC-EP yang menyebabkan belum tercapainya integrasi nasional di Kolombia hingga saat ini. 4. Argumentasi Utama 1. Upaya integrasi nasional terhadap FARC-EP telah dijalankan oleh pemerintah Kolombia melalui berbagai kebijakan berbasis strategi state-building dengan dimensi vertikal. Strategi pembangunan negara di era Presiden Pastrana dan Uribe lebih bersifat ekonomi dan keamanan melalui pembentukan Colombia Plan dan PCDS ke ranah nasional untuk 33 34 Munck, pp.168-169. J.S. Mill, A System of Logic: Two Methods of Comparison, Harper & Row, New York, 1888, pp. 279-283. 11 menekan pencapaian tujuan politik FARC-EP sebagai kelompok sosialis. Di era Presiden Santos dilakukan strategi pembangunan negara berbasis kebijakan sosialpolitik melalui Reformasi Tanah tanpa menghapus identitas FARC-EP sebagai buruh dan petani sosialis dalam mengelola lahan. 2. Upaya integrasi nasional pemerintah Kolombia belum berhasil hingga saat ini karena terdapat beberapa perbedaan motif politik diantara kedua pihak sehingga kesepakatan politik belum dicapai. Tujuan FARC-EP sebagai kelompok sosialis menginginkan pembebasan lahan dan menentang munculnya kelas sosial, sedangkan pemerintah Kolombia belum mampu memenuhi janji pembebasan lahan dan justru menerapkan sistem pembangunan ekonomi berbasis liberalisasi. 5. Struktur Penulisan Skripsi ini akan terdiri dari lima bab. Setelah Bab Pertama ini, di Bab Kedua penulis akan menerangkan kasus yang menjadi pokok konflik antara pemerintah Kolombia dan FARC-EP, khususnya sejarah konflik hingga dampak yang diakibatkan oleh pemberontakan yang dilakukan oleh FARC-EP. Bab Ketiga dalam skripsi ini akan menunjukan apa saja upaya integrasi nasional yang telah dilakukan oleh pemerintah Kolombia terhadap FARC-EP. Bahasan akan difokuskan pada tiga era pemerintahan, yakni pemerintahan Andres Pastrana melalui Colombia Plan tahun 1999 untuk mencapai nota kesepakatan perdamaian dengan FARC-EP, pemerintahan Alvaro Uribe melalui kebijakan PCDS di tahun 2007 mengenai penguatan kontrol wilayah, dan pemerintahan Juan Santos dengan kesepakatan Reformasi Tanah 26 Mei 2013. Di Bab Keempat, penulis akan menganalisis apa yang mengalangi upaya integrasi nasional oleh Pemerintah Kolombia terhadap FARC-EP sehingga belum berhasil hingga saat ini dengan melihat pengalaman negara-negara Amerika Latin dalam integrasi nasional melalui political opportunity structure. Secara khusus, Metode Mill akan digunakan penulis untuk melihat seberapa jauh perbedaan dan persamaan pandangan diantara pemerintah Kolombia dan FARC-EP dalam hal integrasi nasional. Skripsi ini akan ditutup oleh Bab Kelima, yang berisikan kesimpulan dan inferens dari hasil penelitian. 12