Bab 3 Analisis Data Dalam Shichifukujin, terdapat dewa-dewa yang merupakan dewa yang berasal dari dewa Buddha dan Hindu. Dewa-dewa Buddha dan Hindu sangat berpengaruh terhadap proses terbentuknya Shichifukujin dalam Shinto. Dewa-dewa Buddha dan Hindu masuk ke Jepang dan bergabung bersama membentuk Shichifukujin merupakan hasil dari suatu proses asimilasi budaya. Menurut Koentjaraningrat (1990 : 248), asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Faktor yang mempengaruhi terjadinya asimilasi antara Shinto, sebagai kepercayaan asli masyarakat Jepang, dengan Buddha dan Hindu yaitu sikap terbuka orang Jepang terhadap agama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soekanto (1990 : 90) yang mengatakan bahwa salah satu faktor pendorong terjadinya asimilasi adalah toleransi di antara sesama kelompok yang berbeda kebudayaan serta menghargai dan menghormati orang asing bersama dengan kebudayaan yang dibawanya. Hal tersebut terbukti dengan sikap orang Jepang terhadap agama. Sikap orang Jepang setia terhadap ritual tradisi agamanya aslinya (Shinto) seperti orang lain di dunia. Di sisi lain, sebagian masyarakat tidak pernah menganggap bahwa jika tidak mengunjungi kuil pada saat tahun baru atau melanggar apa yang telah diajarkan 27 agamanya, mereka akan dianggap sebagai mushinsha (kafir). Salah satu contohnya yaitu kunjungan ke kuil Shinto pada tahun baru, pergi ke kuil Buddha pada musim semi dan musim gugur untuk mengunjungi kuburan keluarga, serta kebiasaan membuat kue dan hadiah pada saat hari Natal. Pada perayaan Shichi Go San, masyarakat Jepang pergi ke kuil Shinto setempat, pada upacara pernikahan dilaksanakan di gereja Kristen, dan pada upacara pemakaman, kebanyakan dilakukan dalam upacara agama Buddha. Salah satu faktor lain yang mendorong terjadinya proses asimilasi yaitu masyarakat Jepang juga memiliki kepercayaan yang sama yaitu percaya kepada dewa-dewa. Oleh karena itu dewa-dewa dalam agama lain pun dapat dengan baik membaur menjadi satu. Sikap terbuka masyarakat Jepang terhadap agama Buddha dimulai ketika Pangeran Shotoku menerima gambaran Buddha dari raja di Korea untuk menciptakan perdamaian diantara dua kerajaan. Kemudian Pangeran Shotoku memerintahkan pendeta-pendeta untuk pergi ke Cina mempelajari agama Buddha. Lalu pada awal abad kedelapan, pendeta Buddha Cina banyak mendirikan Buddha Cina di Jepang (Alldrit, 2005 : 7-8). Proses asimilasi budaya yang terjadi antara dewa Buddha (Budai) yang kemudian membentuk Shichifukujin dalam Shinto dibawa pada saat masuknya agama Buddha dari Cina ke Jepang melalui Korea pada abad keenam. Conze (2008 : 52) juga mengatakan bahwa Buddha menyebar dari India ke Cina sampai pada akhir Dinasti Han. Setelah masuk ke Cina, barulah Buddha masuk ke Korea pada abad ketiga dan menjadi perantara masuknya Buddha ke Jepang. Sedangkan proses asimilasi antara dewa-dewa Hindu yang masuk ke Jepang terjadi secara tidak langsung yaitu melalui agama Buddha. Thakur (1992 : 28) yang mengatakan bahwa ketika mengadopsi Buddha sebagai kepercayaannya, orang Cina membawa ide dan pikiran agama Buddha India secara murni. Buddha Cina pada 28 dasarnya mengikuti prosedur yang sama seperti yang telah ditentukan dalam teks India mengenai pemujaan dan gambarannya. Dewa-dewa dalam Hindu diterima dalam Buddha India dan secara alami menyebar ke Cina sebagai bagian dari agama Buddha. Berikut ini, peneliti akan menganalisis pengaruh dewa Buddha: Budai dan dewadewa Hindu: Daikokuten, Benzaiten dan Bishamonten terhadap dewa-dewa dalam Shichifukujin dalam kepercayaan Shinto yang merupakan kepercayaan asli masyarakat Jepang. Gambar 3.1 : Dewa-dewa Shichifukujin Sedang Menaiki Takarabune(宝船) Sumber : http://japanvisitor.blogspot.com/2006/03/shichifukujin.html 3.1 Analisis Pengaruh Dewa Buddha Budai Pada Hotei Dalam Shichifukujin Salah satu pengaruh dewa Buddha dari Cina yang termasuk dalam dewa Shichifukujin yaitu Budai atau Kaishi. Budai merupakan wujud manusia asli. Meskipun tanggal lahirnya tidak diketahui, tetapi waktu kematiannya diketahui yaitu pada bulan Maret tahun 916. Meskipun Budai merupakan seorang pendeta Zen, penampilannya sangat berlawanan. Dia terlihat seperti penjahat dan tidak punya tempat tinggal untuk dapat tidur dan menetap. Suatu waktu, dia tidur di tempat terbuka pada saat terjadi badai salju dan orang-orang kagum ketika melihat dia tidak merasa kedinginan. Karena 29 tubuhnya yang gemuk besar dengan perutnya yang selalu menonjol, maka orang Cina mulai menyebutnya dengan panggilan Cho-Tei-Shi atau Ho-Tei-Shi, yang berarti kantong kain tua (Chiba, 1996 : 21). Takemitsu ( 2005 : 137) mengatakan: 布袋は九世紀末から一〇世紀はじめ(後梁代)に中国で活躍した禅僧である。 彼は楽天的な性格でつねに微笑しており、周囲の人々に親切であった。その ため彼の没後に、布袋和尚を弥勒菩薩の化身とする考えが広がり、福徳円満 の相をもつ和尚が福の神とされて。 Hotei adalah pendeta Zen di Cina yang dikenal mulai akhir abad kesembilan (awal abad kesepuluh). Hotei selalu tersenyum dan ramah kepada orang-orang di sekitarnya. Setelah kematiannya, tersebar pemikiran bahwa dia adalah reinkarnasi dari Miroku Bosatsu (Maitreya) dan Hotei adalah pendeta Buddha yang memiliki aspek kebahagiaan, keberuntungan dan kebaikan. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan penjelasan Chiba (1995 : 24) yang mengatakan bahwa kepercayaan orang Jepang pada Hotei dimulai pada saat zaman Edo. Alasan orang Jepang menghormati Hotei, karena menurut legenda, sebelum Zen masuk ke Jepang, pengampunan dalam kepercayaan Buddha akan dibawa oleh seseorang pendeta yang pada kenyataannya merupakan penjelmaan dari Buddha Miroku atau dalam bahasa Sansekerta disebut Maitreya. Dewa Budai yang membentuk Shichifukujin dalam Shinto dibawa pada saat masuknya agama Buddha dari Cina ke Jepang melalui Korea pada abad keenam. Dimulai saat periode Nara pada abad kedelapan, biksu Cina mendirikan banyak sekolah Buddha ke Jepang. Biarawan Jepang mendapat perlindungan dari pemerintah dan mereka juga bekerja dalam bidang administrasi dan menjalankan peran lainnya dalam pemerintahan. Ketika kekuasaan politik dipindahkan kepada para prajurit samurai pada akhir abad kedua belas, agama Buddha terus diperlakukan dengan baik oleh 30 pemerintahan baru untuk beberapa abad. Selama periode ini, sangat jelas bahwa agama Buddha Jepang muncul. Gambar 3.2 : Budai Gambar 3.3 : Hotei Sumber : http://www.historum.com/showthread.php?p=268563 http://matsumo-web.hp.infoseek.co.jp/1fukujin/e-pageczo.htm Berdasarkan gambar di atas, penulis dapat menjelaskan dengan tabel persamaan dan perbedaan antara Budai dan Hotei berikut ini. Tabel 3.1 Persamaan dan Perbedaan Budai - Hotei Persamaan Perbedaan Budai Fisik dan Atribut Budai dan Hotei memiliki: - Kepala botak - Perut besar - Wajah tersenyum - Membawa tas kain keberuntungan Sifat Hotei dan Budai merupakan dewa kesenangan dan kebahagiaan. Hotei Budai membawa kalung tasbih. Hotei membawa kipas atau oogi. Tidak ada Sumber: Hotei Oshouzou 31 3.1.1 Analisis Fisik dan Atribut Budai - Hotei Dalam Shichifukujin, ciri-ciri Hotei yaitu memiliki kepala botak, memiliki jambang, memiliki dahi yang sempit, wajah yang tersenyum dan memiliki perut yang besar sehingga perutnya selalu terlihat menonjol dan setengah telanjang dengan pakaian pendeta yang dia kenakan. Hotei membawa tas kain besar yang dipercaya membawa keberuntungan bagi siapa saja yang percaya kepadanya (Chiba, 1996 : 21). Akan tetapi, setelah masuk dalam Shichifukujin, Hotei tidaklah lagi menjadi dewa Buddha seperti Budai, melainkan sudah menjadi dewa keberuntungan dalam Shinto. Dalam Buddha, Budai juga memiliki ciri fisik yang sama dengan Hotei. Menurut analisis penulis, yang membedakan antara Hotei dan Budai yaitu atributnya. Hotei membawa kipas atau oogi yang dipercaya dapat membeikan keberuntungan. Schumacher (1995) menjelaskan bahwa dahulu jenis kipas yang dibawa oleh Hotei dipercaya merupakan kipas yang digunakan oleh kaum bangsawan di masa lalu untuk menunjukkan kepada pengikut bahwa permintaan mereka akan dikabulkan. Orang Jepang percaya bahwa pegangan kipas bagian atas merupakan awal kehidupan dan pergi ke segala jalan kehidupan untuk membawa nasib baik dan kebahagiaan. Selain itu, kipas juga digunakan kaum bangsawan untuk menyejukkan udara (Borade, 2010). Selain untuk menyejukkan udara, kipas juga melambangkan kecantikan, royalti dan status sosial (Alexander, 2008). Sedangkan Budai membawa kalung tasbih yang menandakannya sebagai pendeta Buddha. Hal ini sesuai dengan penjelasan Alldritt (2005 : 87) yang mengatakan bahwa kalung tasbih dalam agama Buddha melambangkan 108 nafsu manusia atau keinginan duniawi. 32 3.1.2 Analisis Sifat Budai - Hotei Sedangkan mengenai sifatnya, menurut analisis peneliti, Budai dalam agama Buddha dan Hotei dalam Shichifukujin memiliki sifat yang sama yaitu sebagai dewa kesenangan dan kebahagiaan. Dengan tas kain yang dibawanya, dipercaya dapat memberikan keberuntungan bagi orang yang percaya. Teeuwen dan Rambelli (2003 : 7) mengatakan bahwa selama fase pertama dari Buddha di Jepang, dewa-dewa Buddha dipuja sebagai “dewa asing” (adashikuni no kami). Perbedaannya dengan kami Jepang hanya pada asal dan praktek ritual saja, bukan pada karakter atau sifanya. Sifat Buddha sangat sama dengan kami asli Jepang. Dengan pernyataan tersebut, menurut analisis penulis, Shinto dan Buddha memang memiliki hubungan persamaan dalam hal karakter dan sifat dewa-dewanya, termasuk dewa Buddha dalam Shichifukujin, yaitu Hotei. 3.2 Analisis Pengaruh Dewa Hindu Mahakala Pada Daikokuten Dalam Shichifukujin Salah satu dewa Hindu yang memberikan pengaruh pada salah satu dewa dalam Shichifukujin yaitu Mahakala, yang merupakan dewa kekayaan dalam agama Hindu. Kekayaan merupakan salah satu unsur dalam tujuan hidup manusia dalam pemikiran Hindu (Rinehart, 2004 : 156). Dalam Shichifukujin, Mahakala disebut Daikoku(大黒) atau Daikokuten(大黒天), yang juga merupakan dewa kekayaan dalam Shichifukujin. Thakur (1992 : 29) mengatakan bahwa salah satu dewa-dewa Hindu yang dipuja oleh masyarakat Jepang antara lain Mahakala (Daikoku-ten). Nama Daikokuten terdiri dari kata Dai(大) yang berarti besar, Koku(黒)yang berarti hitam, dan Ten(天)yang 33 berarti dewa. Jadi, secara literatur Daikokuten berarti “the great black deva” atau Dewa Hitam Besar. Chiba (1996 : 28) mengatakan bahwa dari semua dewa-dewa yang ada di Jepang, yang menarik dan paling aneh adalah Daikoku. Beberapa ahli mengatakan bahwa Daikoku merupakan dewa di India yaitu Mahakala, yang kemudian menjadi dewa perang dan keberuntungan. Proses asimilasi budaya yang terjadi antara dewa Mahakala yang kemudian membentuk Shichifukujin dibawa melalui agama Buddha. Setelah itu barulah dewa Hindu tersebut yang sudah berasimilasi dalam agama Buddha tersebut masuk ke Jepang melalui Korea pada abad keenam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Thakur (1992 : 28) yang mengatakan bahwa ketika mengadopsi Buddha sebagai kepercayaannya, orang Cina membawa ide dan pikiran agama Buddha India secara murni. Buddha Cina pada dasarnya mengikuti prosedur yang sama seperti yang telah ditentukan dalam teks India mengenai pemujaan dan gambarannya. Dewa-dewa dalam Hindu diterima dalam Buddha India dan secara alami menyebar ke Cina sebagai bagian dari agama Buddha. Dengan demikian, karakter dan sifat Buddha yang didasarkan pada dewa-dewa Hindu, yang masuk ke Jepang dari Cina sedikit berubah. Karena masyarakat Jepang juga memiliki kepercayaan yang sama yaitu percaya kepada dewa-dewa, maka dewa-dewa dalam agama lain pun dapat membaur menjadi satu. Walaupun Mahakala berasal dari luar Jepang, masyarakat Jepang tetap bersikap terbuka. Ketika masuk ke Jepang, Mahakala sudah menjadi pelindung dewa Buddha. Mahakala dalam Buddha disebut Daheitian. 34 Gambar 3.4 : Mahakala Gambar 3.5 : Daikokuten Sumber :http://imageserver.himalayanart.org/fif=fpx/65729.fpx&obj=uv,1.0&pa ge=image.html&rect=0,0,1,1&hei=500 http://matsumo-web.hp.infoseek.co.jp/1fukujin/e-pageczo.htm Berdasarkan gambar di atas, penulis dapat menjelaskan dengan tabel persamaan dan perbedaan antara Mahakala dan Daikokuten dilihat dari bentuk fisik atau atribut serta sifatnya berikut ini. Tabel 3.2 Persamaan dan Perbedaan Mahakala - Daikokuten Persamaan Perbedaan Fisik dan Atribut Tidak ada Mahakala Daikokuten Mahakala memiliki: - Enam tangan - Warna tubuh hitam - Tiga mata Daikokuten memiliki: - Tubuh gemuk - Kaki pendek - Janggut Mahakala membawa: - Mangkuk tengkorak - Batu permata - Tongkat - Drum tangan (Damaru) Daikokuten membawa: - Palu kecil (Uchide no Kozuchi) - Penutup kepala (Daikoku Zukin) 35 Sifat Mahakala dan Tidak ada Daikokuten merupakan dewa kekayaan. Sumber: Mahakala: Marcel Nies Oriental Arts The Seven Lucky Gods of Japan 3.2.1 Analisis Fisik dan Atribut Mahakala - Daikokuten Perbedaan yang sangat menyolok antara Daikokuten dalam Shichifukujin dan Mahakala dalam Hindu yaitu bentuk fisiknya. Walaupun nama Daikokuten secara harafiah berarti “hitam besar”, namun Daikokuten tidak memiliki tubuh hitam dan enam tangan seperti Mahakala. Makna warna hitam pada Mahakala yaitu untuk menghindari segala rintangan menuju jalan pencerahan. Mahakala berdiri di atas teratai yang melambangkan kemurnian. Ketiga matanya melambangkan sebagai pengetahuan akan masa lalu dan masa depan. Mahakala berdiri dengan menginjakkan kakinya kepada Ganapati sebagai lambang kekuatannya. Keenam tangannya melambangkan kemurahan hati, kesabaran moralitas, ketekunan, meditasi dan kebijaksanaan. Mahakala memegang mangkuk tengkorang yang berisi darah yang melambangkan penaklukan atas roh jahat. Batu permata yang dipegangnya melambangkan kekayaan. Tongkat dan drum tangan (Damaru) yang dibawanya melambangkan kekuatan, kalung yang dipakai melambangkan kegiatan spiritual, dan tali yang digunakan untuk mengikat mereka yang telah melanggar peraturan. Dalam Shichifukujin, Daikokuten digambarkan sedang membawa sebuah palu kecil yang disebut Uchide no Kozuchi yang dipercaya dapat memberikan kekayaan dan keberuntungan bagi orang yang percaya. Daikokuten memakai penutup kepala yang menyerupai topi yang disebut Daikoku Zukin. Daikokuten juga digambarkan mempunyai wajah yang tersenyum, memiliki janggut, kaki yang pendek dan gemuk, 36 serta memakai pakaian Cina kuno. Daikokuten membawa karung besar yang penuh dengan barang berharga yang melambangkan kemakmuran dan kekayaan (Chiba, 1996 : 28). Schumacher (1995) menjelaskan bahwa palu yang dibawa oleh Daikokuten dipercaya dapat mengabulkan permintaan ketika diayunkan. Beberapa orang Jepang mengatakan bahwa saat palu diayunkan akan keluar uang-uang koin. Sementara yang lain mengatakan bahwa keinginan dapat terkabulkan setelah palu diketuk ke tanah tiga kali dan kemudian membuat permintaan. 3.2.2 Analisis Sifat Mahakala - Daikokuten Mahakala yang merupakan salah satu dewa dalam agama Hindu bergabung bersama dengan dewa Ebisu, Hotei, Benzaiten, Bishamonten, Juroujin dan Fukurokuju membentuk Shichifukujin yang menjadi kepercayaan dalam Shinto. Mahakala juga memiliki sifat yang menurut orang Jepang merupakan aspek keberuntungan yaitu sebagai dewa kekayaan, yang dapat dilihat dengan adanya simbol musang yang memuntahkan berlian dari mulutnya sebagai lambang kekayaan. Selain itu, arti nama Daikokuten dan Mahakala memiliki arti yang sama yaitu “hitam besar”. Oleh karena itu, menurut analisis penulis, Daikokuten dalam Shichifukujin mendapat pengaruh dari dewa dalam agama Hindu yaitu Mahakala yang merupakan dewa kekayaan dalam agama Hindu. 3.3 Analisis Pengaruh Dewa Hindu Sarasvati Pada Benzaiten Dalam Shichifukujin Sarasvati merupakan dewi dalam agama Hindu yang mempengaruhi salah satu dewa dalam Shichifukujin, yaitu Benten ( 弁 天 ) atau Benzaiten ( 弁 財 天 ) . Benzaiten 37 merupakan satu-satunya dewa dalam Shichifukujin yang berkelamin wanita, yang merupakan dewi seni dan musik dalam Shichifukujin. Benzaiten mudah dikenali dengan alat musik yang digunakannya, yaitu biwa atau kecapi Jepang (Chiba, 1996 : 13). Sama halnya seperti Daikokuten, Benzaiten yang merupakan dewi yang mendapat pengaruh dari dewi Sarasvati di India juga datang ke Jepang sebagai pelindung Buddha melalui Cina. Hal itu sesuai dengan pernyataan Chiba (1996 : 13) mengatakan bahwa di India, Benten dihormati sebagai dewi keberuntungan, tetapi ketika datang ke Jepang, sifat alaminya sedikit berubah untuk menyesuaikan dengan perangai atau watak orang Jepang. Dalam agama Hindu di India, Benzaiten bernama Sarasvati, yang secara literatur berarti “air yang mengalir”, yang merupakan sebuah sungai di India. Oleh karena itu, di India, Sarasvati disebut sebagai dewi sungai. Thakur (1992 : 29) juga mengatakan bahwa dari berbagai dewa-dewa dalam Hindu yang dipuja di Jepang salah satunya adalah Sarasvati (Benzaiten). Yang perlu diketahui adalah dewa tersebut (Benzaiten) sudah menjadi pelindung Buddha ketika masuk ke Jepang. Dalam Buddha, Benzaiten disebut Biancaitian. Gambar 3.6 : Sarasvati Gambar 3.7 : Benzaiten 38 Sumber : http://www.tags-search.com/sarasvati/tag.html http://matsumo-web.hp.infoseek.co.jp/1fukujin/e-pageczo.htm Berdasarkan gambar di atas, penulis dapat menjelaskan dengan tabel persamaan dan perbedaan antara Budai dan Hotei berikut ini. Tabel 3.3 Persamaan dan Perbedaan Sarasvati - Benzaiten Persamaan Perbedaan Sarasvati Fisik dan Atribut Sarazvati dan Benzaiten sama-sama berkelamin wanita. Sarasvati dan Benzaiten membawa alat musik (Sarasvati – veena, Benzaiten - biwa). Sifat Benzaiten Benzaiten hanya memiliki dua tangan. Sarasvati memiliki empat tangan dan duduk di atas teratai putih. Sarasvati membawa: - Kalung kristal - Buku suci Hindu Sarasvati dan Benzaiten merupakan dewi seni dan musik. Tidak ada Sumber: Sarasvati, The Goddess of Learning Handbook of Japanese Mythology 3.3.1 Analisis Fisik dan Atribut Sarasvati – Benzaiten Perbedaan yang terlihat antara Benzaiten dan Sarasvati dalam Shichifukujin yaitu jumlah tangannya. Sarasvati memiliki empat tangan, sedangkan Benzaiten hanya memiliki dua tangan. Dalam agama Hindu, dewa dengan tangan lebih dari satu biasanya melambangkan kekuasaan dan kekuatan (Robinson, 2004 : 71). Sarasvati duduk di atas bunga lotus putih yang melambangkan kebenaran absolut. Sarasvati dengan keempat tangannya memegang kalung kristal yang melambangkan kekuatan 39 spiritual, buku suci Hindu yang melambangkan pengetahuan dan alat musik (Veena) yang melambangkan Sarasvati sebagai dewi seni dan musik. Di Jepang, Benzaiten memiliki dua bentuk, yaitu Benzaiten (Shichifukujin Shinto) yang sedang memegang biwa atau kecapi Jepang dengan kedua tangannya sebagai dewi seni dan musik sama seperti Sasrasvati, dan Benzaiten (Buddha) dengan delapan tangan memegang peralatan bela diri yang menandakan peran Benzaiten sebagai pelindung Buddha dari malapetaka. Benzaiten yang memiliki delapan tangan disebut dengan Happi Benzaiten(八臂弁財天). Gambar 3.8 : Happi Benzaiten Sumber : http://www.onmarkproductions.com/html/benzaiten.shtm 3.3.2 Analisis Sifat Sarasvati – Benzaiten Pengaruh dewa Hindu terhadap proses terbentuknya Shichifukujin, yaitu Sarasvati yang merupakan salah satu dewa seni dan musik dalam agama Hindu bergabung bersama dengan dewa Ebisu, Hotei, Daikokuten, Bishamonten, Juroujin dan Fukurokuju membentuk Shichifukujin yang menjadi kepercayaan dalam Shinto dengan nama Benzaiten. Menurut analisis penulis, Benzaiten yang mendapat pengaruh dari dewi Sarasvati, dalam Shinto tidak lagi menjadi pelindung Budha, melainkan menjadi salah satu dewa dalam Shichifukujin. 40 Walaupun pengaruh Hindu India tidak secara langsung masuk ke Jepang, tetapi tetap memiliki karakter serta sifat yang sama. Benzaiten dalam Shichifukujin memiliki sifat dari Sarasvati dalam agama Hindu, yaitu sebagai dewa seni dan musik. Menurut analisis penulis, Sarasvati memiliki sifat atau peran yang menurut orang Jepang sama dengan kepercayaan Shinto yaitu sebagai dewa seni dan musik, dimana baik dalam ritual Shinto maupun Hindu, musik atau nyanyian-nyanyian suci digunakan untuk memberikan persembahan kepada para dewa. Hal ini sesuai dengan penjelasan Williams (2005 : 60) yang mengataakan bahwa Shinto juga memiliki nyanyian-nyanyian suci dalam ritual yang biasanya dilakukan dalam suatu festival kepada dewa-dewa. Sebagai dewi seni dan musik, Sarasvati mambawa veena, yang merupakan alat musik dan Benzaiten membawa alat musik Jepang yaitu biwa. Veena merupakan jenis alat musik petik yang sudah ada di India sejak abad kelimabelas. Sedangkan biwa berasal dari alat musik dari Cina yang disebut pyiba atau pipa dan masuk ke Jepang pada periode Nara. Musik merupakan salah satu bagian penting dalam Hindu dimana terdapat kumpulan lagu-lagu pujian kepada dewa-dewa yang disebut Rigveda. 3.4 Analisis Pengaruh Dewa Hindu Kuvera Pada Bishamonten Dalam Shichifukujin Kuvera merupakan dewa kekayaan dalam agama Hindu yang mempengaruhi salah satu dewa dalam Shichifukujin. Kekayaan merupakan salah satu unsur dalam tujuan manusia dalam pemikiran Hindu (Rinehart, 2004 : 156). Dalam Shichifukujin, Kuvera biasa disebut dengan Bishamon(毘沙門)atau Bishamonten(毘沙門天). Bishamon 41 juga merupakan pengawal Buddha yang termasuk dalam Shitenno(四天王)yang secara literatur berarti “the four kings of heaven” atau “empat raja surga”. Dalam Shitenno, Bishamon disebut dengan nama Tamonten(多聞天)dan merupakan dewa yang paling berkuasa diantara keempat dewa dalam Shitenno. Bishamonten seringkali dikenali sebagai dewa perang, padahal, sesungguhnya merupakan pengawal Buddha. Selain sebagai dewa perang, Bishamon juga dikenal sebagai dewa kekayaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Takemitsu (2005 : 137) yang mengatakan bahwa: 毘沙門天は、仏の周囲をまもる四天王の中の一つで、本来は、武神であった。 しかし、北方の守護神である毘沙門天には人々に福徳を与える力があるとさ れていた。 Bishamonten merupakan salah satu anggota dalam Shitenno, yang melindungi Buddha. Dahulu merupakan dewa perang. Akan tetapi, Bishamonten yang merupakan dewa pelindung bagian utara, memberikan kebahagiaan dan kebaikan kepada orang-orang. Bishamonten merupakan dewa yang disebut dengan nama Vaishravana (Buddha) dan dikenal sebagai dewa keberuntungan, harta karun dan kebahagiaan. Sedangkan di Jepang, Bishamon dikenal sebagai dewa pembawa keberuntungan dan pelindung dari kejahatan (Chiba, 1996 : 25). Dalam Shichifukujin, Bishamonten diibaratkan sebagai seorang polisi yang bertugas sebagai pengawal dan pelindung. Oleh karena itu, Bishamonten dengan menggunakan senjata tombak dapat dimasukkan sebagai pelindung dalam Shichifukujin, dimana Shichifukujin tidak hanya memberikan keberuntungan tetapi juga perlindungan dari segala kejahatan bagi orang yang mempercayainya. Selain itu, Bishamonten juga sebagai dewa penyembuh dari penyakit yang datang dari kejahatan. Dalam Shitenno dan sebagai pengawal Buddha, senjata dan pakaian perang yang dipakai Bishamonten digunakan untuk melawan kejahatan di dunia. 42 Thakur (1992 : 29) mengatakan bahwa dari berbagai dewa-dewa dalam Hindu yang dipuja di Jepang salah satunya adalah Vaishravana atau Kuvera (Bishamonten). Lebih dalam, McArthur (2004 : 131) menjelaskan bahwa Vaishravana (Bishamonten) sangat erat kaitannya dengan dewa kekayaan, Kuvera, yang dianggap sebagai bentuk penjelmaannya. Vaishravana merupakan bentuk dewa Buddha yang berasal dari dewa Hindu sebelumnya yaitu Kuvera. Menurut legenda Hindu, Kuvera menunjukkan kesederhanaan selama beratus-ratus tahun dan kemudian diberikan penghargaan oleh dewa pencipta yaitu Brahma, sebagai dewa kekayaan dan pengawal harta di bumi. Gambar 3.9 : Kuvera Gambar 3.10 : Bishamonten Sumber : http://www.eprarthana.com/deityofday/others/kubera.asp?deityId=24 http://matsumo-web.hp.infoseek.co.jp/1fukujin/e-pageczo.htm Tabel 3.4 Persamaan dan Perbedaan Kuvera - Bishamonten Persamaan Perbedaan Kuvera Fisik dan Atribut Tidak ada Bishamonten Kuvera membawa: Bishamonten - Batu mutiara membawa: - Luwak yang - Tombak mengeluarkan - Pagoda baru permata dari mulutnya 43 Sifat Kuvera dan Bishamonten merupakan dewa kekayaan. Tidak ada Sumber: Kuvera The Hindu God of Wealth Shichifukujin: seven Lucky Gods of Japan 3.4.1 Analisis Fisik dan Atribut Kuvera - Bishamonten Menurut analisis penulis, perubahan yang terjadi dari dewa Hindu Kuvera yang memberikan pengaruh pada dewa Bishamonten terletak pada bentuk fisik serta atribut yang digunakan. Kuvera biasanya digambarkan sedang duduk sambil memegang mutiara di tangan kanannya dan memegang luwak atau musang yang sedang memuntahkan batu permata di tangan kirinya untuk memberikan petunjuk agar kita mengikuti praktek ritual atau memujanya untuk kekayaan berlimpah. Luwak merupakan musuh dari ular yang melambangkan ketamakan dan kebencian. Selain itu, bentuk tubuhnya pendek, gemuk, kuat dan memiliki wajah yang arogan. Wajah yang arogan ingin memberikan pelajaran kepada kita jika kita ingin mendapat kekayaan dengan arogan, maka sebaliknya akan menjadi melarat. Sedangkan Bishamonten dalam Shichifukujin memiliki ciri-ciri jenggot yang tebal, dan memakai pakaian perang sambil membawa sebuah tombak kerajaan dengan satu tangan. Oleh karena itu, seringkali Bishamonten dikenali sebagai dewa perang, walaupun sebenarnya bukan. Selain itu, di tangan kanannya, Bishamonten membawa sebuah pagoda bernama Houtou (宝塔)yang secara literatur berarti pagoda harta karun. Pagoda tersebut melambangkan benteng kepercayaan dan sebagai simbol kekayaan. 44 3.4.2 Analisis Sifat Kuvera - Bishamonten Bishamonten memiliki sifat atau karakter dari kedua dewa sebelumnya dari Hindu (Kuvera) dan Buddha (Vaishravana). Bishamonten dan Kuvera (Hindu) memiliki sifat yang sama yaitu sebagai dewa kekayaan. Sedangkan Bishamonten dan Vaishravana (Buddha) memang memiliki sifat yang sama, yaitu sebagai pelindung, Vaishravana sebagai pelindung Buddha dan Bishamonten dalam Shichifukujin sebagai pelindung kejahatan. Sebagai dewa kakayaan, Bishamonten membawa pagoda yang merupakan simbol kekayaan dan elemen-elemen alam semesta (Ashkenazi, 2003 : 128). Sedangkan Kuvera membawa mutiara sebagai lambang kekayaan. Dari penjelasan tersebut, peneliti menganalisis bahwa Kuvera atau Vaishravana berasimilasi sebagai dewa kekayaan dan pelindung dalam Shichifukujin yang merupakan tujuh dewa keberuntungan di Jepang dengan nama Bishamonten. Kuvera masuk ke Jepang dan bergabung bersama membentuk Shichifukujin karena merupakan suatu proses asimilasi budaya. Unsur atau sifat dari Kuvera dan Vaishravana yang diterima oleh masyarakat Jepang ke dalam kepercayaan aslinya (Shinto) merupakan wujud diterimanya budaya atau dewa-dewa asing (Hindu) ke dalam kepercayaan Jepang sehingga terbentuk Shichifukujin. Dengan demikian, menurut analisis peneliti, Daikokuten merupakan bentuk dari Kuvera dalam agama Hindu dimana masuk ke dalam Shichifukujin dengan memiliki sifat yang sama yaitu sebagai dewa kekayaan Proses asimilasi budaya yang terjadi antara dewa Hindu (Kuvera) yang kemudian membentuk Shichifukujin, dibawa melalui agama Buddha dengan nama Vaishravana. Setelah itu barulah dewa Buddha Cina yang berasal dari dewa Hindu 45 India tersebut masuk ke Jepang melalui Korea pada abad keenam. Masyarakat Jepang memiliki kepercayaan yang sama yaitu percaya kepada dewa-dewa, sehingga dewa-dewa dalam agama lain pun dapat membaur menjadi satu. Jadi, walaupun Kuvera berasal dari luar Jepang yang kemudian masuk ke dalam kepercayaan asli, masyarakat Jepang tetap bersikap terbuka terhadap agama kepercayaan lain. Hal itulah yang mendorong terjadinya proses asimilasi. 46