BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Suhu tubuh didefinisikan sebagai keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas dari tubuh (Ganong, 2008). Manusia memilki batas toleransi suhu tubuh atau yang biasa disebut dengan titik tetap (set point) pada suhu 37°C. Suhu tubuh pada manusia cenderung berfluktuasi yang dapat dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor personal dan faktor lingkungan (Parsons, 2003). Faktor personal meliputi aktivitas fisik dan pakaian, sedangkan faktor lingkungan meliputi temperatur lingkungan, kelembaban udara, sirkulasi udara dan temperatur radiasi. Tingginya temperatur tubuh pada seseorang setelah melakukan pekerjaan di lingkungan yang panas dengan intensitas panas yang tinggi disertai kondisi lingkungan yang ekstrem dapat menimbulkan potensi terjadinya penyakit akibat panas dan heat strain (Millard and Withey, 1998). OSHA (2014) mendefinisikan heat strain sebagai dampak akut atau kronis yang disebabkan oleh paparan panas yang dialami oleh seseorang dari aspek fisik maupun mental. Kondisi temperatur panas yang dirasakan oleh seseorang secara terus menerus dapat mengakibatkan seseorang mengalami gangguan kesehatan seperti kulit kering, sakit kepala, iritasi, dehidrasi, gagal jantung dan kematian. Keadaan tersebut dapat diperparah dari faktor masing-masing setiap individu yang berbeda-beda seperti umur, jenis kelamin, berat badan, jumlah konsumsi obatobatan dan alkohol (Fadhilah, 2014). Salah satu cara menurunkan risiko timbulnya heat strain adalah dengan menerapkan teknik cooling. Banyak penelitian sebelumnya yang telah memanfaatkan teknik cooling dalam mengurangi risiko heat strain. Teknik cooling dapat dilakukan sebelum melakukan aktivitas (precooling) ataupun setelah melakukan aktivitas (postactivity cooling). Beberapa penelitian menggunakan teknik precooling telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh teknik cooling dalam menurunkan suhu inti tubuh dan meningkatkan performansi (Marsh et al, 1999). Belum banyak dilakukan kajian terkait dengan pemanfaatan teknik post-activity cooling dalam 1 2 menurunkan suhu inti. Diperlukan suatau analisis terkait dengan pemanfaatan teknik post-activity cooling untuk melihat efektivitasnya dalam menurunkan temperatur inti tubuh dan meminimalisir timbulnya heat strain. Post-activity cooling merupakan salah satu teknik menurunkan suhu tubuh yang dilakukan setelah melakukan aktivitas fisik. Dalam berolahraga biasanya atlet akan melakukan pendinginan setelah melakukan olahraga, hal tersebut akan mengurangi rasa sakit dan tegang akibat aktivitas yang dilakukan saat berolahraga (Barwood et al., 2009). Untuk mendukung teknik post-activity cooling, saat ini sedang dikembangkan cooling device berbahan dasar minyak nabati sebagai phase change material (PCM) yang dipasangkan pada protective clothing ketika melakukan aktivitas fisik di lingkungan panas (Afyudin 2015, Zain 2015). Zain (2015) melakukan penelitian dengan memanfaatkan penggunaan minyak kelapa sebagai bio-based PCM untuk teknik precooling terhadap respon fisiologis dan subjektif seseorang. Pemanfaatan cooling device berbahan dasar minyak kelapa dan minyak sawit merupakan salah satu usaha dikembangkannya jenis material PCM yang ekonomis dan mudah diperoleh. Dari sejumlah penelitian terkait teknik cooling yang telah dilakukan sebelumnya, sebagian besar penelitian menggunakan teknik precooling dibandingkan teknik post-activity cooling. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Afyudin (2015) dan Zain (2015) yang memanfaatkan teknik precooling untuk melihat pengaruh penggunaan PCM berdasarkan penempatan PCM. Minimnya penelitian yang menggunakan teknik post-activity cooling mendorong dilakukannya penelitian dengan menggunakan teknik post-activity cooling untuk melihat pengaruh dari penggunaan PCM. Minyak kelapa dan minyak sawit merupakan hasil produk pertanian Indonesia yang memiliki jumlah cukup banyak di Indonesia. Karena jumlahnya yang berlimpah, biasanya minyak kelapa dan minyak sawit banyak dimanfaatkan sebagai minyak goreng. Produksi minyak kelapa di Indonesia sebesar 33 juta Mega Ton pada tahun 2015 (Indexmundi, 2016a), sedangkan untuk minyak sawit sebesar 994 Mega Ton (Indexmundi, 2016b). Minyak kelapa dan minyak sawit memiliki potensi yang cukup baik sebagai bahan dasar PCM yang digunakan dalam teknik cooling karena memiliki titik lebur yang tergolong sedang dengan panas pembentukan berkisar antara 153-182 Kj/Kg. Pada fase padat, minyak 3 kelapa dan minyak sawit dapat bertahan dengan jangka waktu yang cukup lama. Atas dasar hal tersebut, minyak kelapa dan minyak sawit dianggap cocok sebagai bahan dasar PCM khususnya pada penggunaan clothing karena aman digunakan, tidak beracun, harga terjangkau dan mudah diperoleh (Mondal, 2007). Dengan potensi minyak kelapa dan minyak sawit yang cukup besar, pemanfaatan minyak kelapa dan minyak sawit sebagai bio-based PCM diharapkan dapat memberikan potensi baru material PCM yang dapat diperoleh dengan mudah dengan biaya yang ekonomis. Atas dasar tersebut, penelitian ini mengangkat judul “Analisis Pengaruh Penggunaan Phase Change Material Berbahan Minyak Kelapa dan Minyak Sawit sebagai Personal Cooling Device terhadap Respon Fisiologis dan Psikologis setelah Melakukan Aktivitas Fisik di Lingkungan Panas.” 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah yang diangkat dalam tugas akhir ini adalah bagaimana pengaruh penggunaan minyak kelapa dan minyak sawit sebagai phase change material untuk teknik post-activity cooling terhadap respon fisiologis dan psikologis setelah melakukan aktivitas fisik di lingkungan panas. 1.3 Asumsi dan Batasan Penelitian Agar pemecahan masalah lebih jelas dan terarah maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan asumsi-asumsi: 1. Kondisi cuaca di luar ruangan tidak berpengaruh terhadap kondisi ruang penelitian. 2. Pencahayaan ruangan dianggap sama. 3. Tingkat aklimatisasi responden terhadap lingkungan termal, faktor asupan dan pola makan sama. Dan dengan batasan-batasan: 1. Penelitian ini dilakukan di laboratorium dengan pengaturan suhu udara 33°C35°C dan kelembaban udara 80% RH. 2. Subyek penelitian adalah mahasiswa. 4 3. Aktivitas fisik yang dilakukan oleh subyek adalah lari di treadmill dengan beban 65% HRmax. 4. Protective Clothing yang dikenakan oleh subjek adalah protective clothing yang biasa dikenakan oleh pekerja migas baik onshore maupun offshore berbahan Nomex buatan DuPont. 5. Material yang digunakan untuk teknik post-activity cooling adalah PCM dengan bahan minyak kelapa dan PCM berbahan minyak sawit untuk body cooling. 6. Fokus dari penelitian adalah kajian pengaruh penggunaan material untuk post-activity cooling, bukan ke analisis komponen kimia dari PCM yang digunakan. 1.4 Tujuan Penelitian yang dilakukan oleh peneliti memiliki tujuan: a. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan PCM berbahan minyak kelapa dan minyak sawit untuk teknik post-activity cooling terhadap respon fisiologis dan psikologis setelah beraktivitas di lingkungan panas. b. Untuk mengetahui perbandingan pengaruh bio-based berbahan minyak kelapa dan minyak sawit untuk teknik post-activity cooling terhadap respon fisiologis dan psikologis setelah beraktivitas di lingkungan panas. 1.5 Manfaat Penelitian yang dilakukan dapat memberikan manfaat antara lain: a. Bagi Pekerja yang Terpapar Panas 1. Memberikan rekomendasi material PCM yang murah dan mudah diperoleh untuk teknik pendinginan tubuh ketika bekerja di lingkungan panas. 2. Memberikan rekomendasi pendinginan tubuh dengan teknik postactivity cooling dalam menurunkan suhu inti tubuh dan meminimalisir timbulnya heat strain. 5 b. Bagi Ilmu Pengetahuan 1. Mengembangkan potensi minyak kelapa dan minyak sawit sebagai bio-based PCM untuk teknik post-activity cooling. 2. Mengetahui potensi material yang cocok untuk teknik post-activity cooling dalam menurunkan suhu inti tubuh dan meminimalisir timbulnya heat strain.