A. Pengertian hukum acara peradilan agama dan

advertisement
A. Pengertian hukum acara peradilan agama dan hubungannya dengan hukum
materiil
Rumusan hukum acara peradilan agama yaitu segala peraturan baik
yang
bersumber dari peraturan perundang - undangan Negara maupun dari syariat islam yang
mengatur bagaimana cara orang bertindak ke muka pengadilan agama dan juga mengatur
bagaimana cara pengadilan
agama tersebut menyelesaikan
perkaranya,
untuk
mewujudkan hukum materiil islam yang menjadi kekuasaan pengadilan agama.
Hukum Acara disebut juga dengan hukum formil, yaitu : “Hukum yang
mengatur cara menyelesaikan perkara melalui Pengadilan sejak diajukan gugatan sampai
dengan pelaksanaan putusan (eksekusi)”.
Hukum Acara Perdata (Formal Civil Law) : “Peraturan hukum yang berfungsi
untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata”.
Peradilan Agama : “Salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas memeriksa,
memutus dan menyelesaikan (melaksanakan putusan) perkara perdata tertentu bagi orang
Islam”
Hukum Acara Peradilan Agama : “Hukum yang mengatur bagaimana cara
melaksanakan hukum perdata bagi orang Islam”.
Hukum Perdata atau Pidana disebut juga dengan Hukum Materiil : “Hukum
yang mengatur bagaimana seseorang harus bertindak terhadap orang lain, apa yang boleh
dilakukan dan apa yang dilarang untuk dilakukan serta sangsi apa yang harus diterima
bagi orang yang melanggarnya”.
B. Sumber sumber hukum acara peradilan agama
Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelsaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum keadadilan), maka peradilan
agama dahulunya mempergunakan acara yang terserak-serak dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, bahkan juga acara dalam hukum tidak tertulis (maksdunya hukum
formal islam yang belum di wujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan
Negara indonesia). Namun kini, setelah terbitnya UU No. 7 tahun 1989, yang mulai
berlakusejak tanggal di undangkan (29 desember 1989), maka hukum acara peradilan
agama menjadi konkrit. Pasal 54 dari UU tersebut berbunyi :
“hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama
adalah hukum acara perdata yang beralaku dalam lingkungan perdilan umum, kecuali
yang telah di atur secara khusus dalam undang-undang ini.”
Menurut pasal di atas, hukum acara peradilan agama sekarang bersumber (garis
besarnya) kepada dua peraturan umum, yaitu : (1) yang bterdapat dalam UU Nomer 7
Tahun 1989, dan (2) yang berlaku di lingkungan peradilan umum.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti hukum acara perdata peradilan
umum, antara lain :
1. HIR (Het Herzine Inlandsche Reglement) atau di sebut juga RIB (Reglemen
Indonesia yang di baharui).
2. RBg (Rechts Reglement Buitengewesten) atau di sebut juga Reglement untuk
daerah sekarang, maksdunya untuk luar jawa-madura.
3. Rsv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan belanda
dahulu berlaku untuk Raad van Jusitie.
4. BW (Burgerlijke Wetboek) atau di sebut kitab undang-undang hukum perdata
eropa.
5. UU Nomer 2 tahun 1986, tentang peradilan umum.
Peraturan perundang-undangan tentang acara perdata yang sama – sama berlaku
bagi lingkungan peradilan umum dan peradilan agama, adalah sebagai berikut :
1. UU Nomer 14 tahun 1970, tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman.
2. UU Nomer 14 tahun 1985, tentang mahkamah agung.
3. UU No. 1 tahun 1974 dan PP Nomer 9 tahun 1875, tentang perkawinan dan
pelaksanaannya.
Hukum Acara yang berlaku bagi lingkungan Peradilan Agama :
1. UU Nomor 7 tahun 1987, diubah dengan UU Nomor 3 tahun 2006, tentang
Peradilan Agama;
2. SK,SE Mahkamah Agung;
3. Kitab-kitab fiqih
Jika demikian halnya, maka peradilan agama dalam hukum acaranya minimal
harus memperhatikan UU Nomer 7 1989, di tambah dengan 8 macam peraturan
perundang-undangan yang tadi telah di sebutkan. Selain dari itu, menurut penulis, pada
suatu ketika peradilan agama masih harus memperhatikan hukum proses menurut islam.
Kesemuanya inilah yang di namakan sumber hukum acara peradilan agama.
C. Macam Macam perkara Peradilan Agama
Perkara perdata yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan (damai), tidak
boleh diselesaikan dengan cara main hakim sendiri (eigenrichting) tetapi harus
diselesaikan melalui pengadilan. Pihak yg merasa dirugikan hak perdatanya dapat
mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sebagaimana
mestinya, yakni dengan menyampaikan gugatan terhadap pihak dirasa merugikan.
Perkara peradilan agama ada 2 yaitu :
1. Perkara contentiosa (gugatan)
yaitu perkara yang di dalamnya terdapat sengketa 2 pihak atau lebih yang
sering disebut dengan istilah gugatan perdata. Artinya ada konflik yang harus
diselesaikan dan harus diputus pengadilan, apakah berakhir dengan kalah memang
atau damai tergantung pada proses hukumnya. Misalnya sengketa hak milik, warisan,
dll.
Penjelasan lebih lanjut :
 Hakim memeriksa dan memutus terbatas pada apa yang digugat;
 Hakim menerapkan perundang-undangan yang berlaku;
 Putusan hakim hanya mengikat bagi pihak-pihak yang bersengketa
 Produk hukumnya berupa menghukum pihak yang kalah ( Condemnatoire ) yaitu
memerintahkan untuk melakukan atau meninggalkan.
 Putusan hakim dapat dilakukan upaya hukum ( banding, kasasi atau peninjauan
kembali).
2. Perkara voluntaria (permohonan)
yaitu yang didalamnya tidak terdapat sengketa atau perselisihan tapi hanya
semata-mata untuk kepentingan pemohon dan bersifat sepihak (ex-parte). Disebut
juga gugatan permohonan. Contoh meminta penetapan bagian masing-masing
warisan, mengubah nama, pengangkatan anak, wali, pengampu, perbaikan akta
catatan sipil, dll.
Menurut
Yahya
Harahap
gugatan
permohonan
(voluntair)
adalah
permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani
pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada ketua pengadilan.
Penjelasan lebih lanjut :
 Hakim dapat menetapkan lebih dari apa yang dimohon;
 Hakim lebih bebas menggunakan kebijakan;
 Ketepan hakim dapat mengikat pada orang lain;
 Produk hukumnya berupa penetapan (Diclarataoire)yaitu pernyataan hukum;
 Penetapan hakim tidak bisa dilakukan upaya hukum
D. Asas asas peradilan agama
1. Asas umum lembaga peraadilan agama
a.
Asas Bebas Merdeka
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia.
Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal
1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan
“Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya
kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara
lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari
pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”
b. Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah
peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara
menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
c. Asas Ketuhanan
Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada
sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan
harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
d.
Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57
(3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib
membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi
segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan
tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak
penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas
yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.
Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus
cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan
persolan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang
selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala
sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali
majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka
persidangan yang terbuka untuk umum.
Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis,
rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan
para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para
pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
e.
Asas Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam
UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud akan dipidana.
f.
Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membedabedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama.
Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam
dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan
dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan
Agama tidak terabaikan.
Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan
sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang
dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus
berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di
persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus
berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus
menurut kehendak dan kemauan hukum.
2. Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
a.
Asas Personalitas Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan
agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas
ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU
Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia
ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan
peradilan agama.
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas
personalitas ke-islaman adalah :
1) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
2) Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
3) Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena
itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran
menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku
pada
waktu
pernikahan
dilangsungkan.
Sehingga
apabila
seseorang
melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan,
perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah
satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri,
tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat
perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa
perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan
berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa.
Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya
hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan
pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan.
Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas
personalitas
ke-Islaman.
Faktanya
dapat
ditemukan
dari
KTP,
sensus
kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas
personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan
oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak
sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi
keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara
penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
b.
Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1
Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989
yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo.
Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui
pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk
menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan,
pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
c.
Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989
yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal
19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004.
Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk
umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan
penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa
pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding
tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus
dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan
permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989
yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).
d.
Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak
dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif”
baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun
patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap
penyelesaian perkara dipersidangan adalah :
1) Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan
atau “equal before the law”.
2) Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”
3) Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under
the law”.
e.
Asas “Aktif” memberi bantuan
Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada
proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur
dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54
UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
f.
Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding
kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undangundang menentukan lain.
g.
Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan
kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali
undang-undang menentukan lain.
h.
Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihakpihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan
dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat
dilakukan peninjauan kembali.
i.
Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
E. Kedudukan dan kewenangan peradilan agama
1. Kedudukan peradilan agama (PA)
PA adalah peradilan tingkat pertama yang berkedudukan di Kota/Kabupaten.
Sedangkan PTA adalah peradilan tingkat banding yang berkedudukan Ibu Kota
Provinsi.
2. Kewenangan relative
Kekuasaan relative di artikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu
tingkatan, dalam perbeadaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama tingkatan
lainya.
Pasal 4 ayat 1, Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu
kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.
Jadi, tiap tiap pengadilan agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau di
katakan mempunyai “yurisdikasi relative” tertentu, dalam hal ini meliputi satu
kotamadya atau satu kabupaten atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian,
mungkin lebih atau kurang. Contoh : di kabupaten riau kepulauan terdapat empat
pengadilan agama, karena kondisi transportasi sulit.
Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara sesuai dengan wilayah

kekuasaannya (Kabupaten/Kota)
Pengadilan Tinggi Agama berwenang mengadili perkara sesuai dengan

wilayah kekuasaannya (provinsi)
(UUPA No.3/2006, ps. 4.
Apabila terjadi sengketa mengenai kewenangan relatif antar PA dalam

satu wilayah PTA, penyelesaiannya menjadi wewenang PTA
Apabila terjadi sengketa mengenai kewenangan relatif antar PA dalam

wilayah kekuasaan PTA yang berbeda, penyelesaiannya menjadi wewenang MA
Apabilla terjadi sengketa mengenai kewenangan relatif antar PTA yang

berbeda, penyelesaiannya menjadi wewenang MA.
3. Kewenangan absolute (mutlak)
Kewenangan absolute artinya ialah kekuasaan pengadilan yang berhubungan
dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam
perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan
lainnya.

Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara sesuai dengan jenis
perkara yang telah diberikan oleh undang-undang ( perkara yang terjadi antara
orang-orang Islam dalam perkara perdata tertentu).UUPA No. 3/2006 ps. 2.

Jenis perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama ialah :
Perkawinan; kewarisan/hibah/wasiat; wakaf; zakat/shodaqah/infak; dan ekonomi
syari’ah (UUPA No. 3/2006, ps 49 beserta penjelasannya)

Apabila terjasi sengketa mengenai kewenangan mutlak antara PA dengan
pengadilan lainnya, penyelesasiannya menjadi wewenang M A.

Apabila terjadi sengketa kewenangan menenai perbedaan domisili pihah-
pihak yang berperkara, maka yang menjadi dasar ialah domisili pihak istri dalam
perkara perceraian; domosili tergugat dalam perkara selain perkawinan; domisili
penggugat apabila tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya; tempat objek
sengeketa apabila menyangkut tanah; domisili tempat pernikahan apabila pihak
yang berperkara berada diluar negeri.

Dalam menyelasaikan perkara PA, sumber hukum materiil yang dipakai
antara lain :
a. Perkawinan (UUP No. 1/1974, PP No.9/1975; UUPA No.7/1089;
KHI;Peraturan-2 yang terkait dan Kitab-kitab fiqh)
b. Wakaf (KHI; UUW No.41/2004; PP No.28/1977;Peraturan-2 yang terkait
dan Kitab-kitab fiqh).
c. Waris,hibah wasiat ( KHI, peraturan-2 yang terkait dan kitab-kitab fiqh).
d. Zakat/shadaqah/Infak ( UUZ No. 38/1999; peraturan-2 yang terkait dan
kitab-kitab fiqh).
e. Ekonomi Syari’ah ( KHES; Perundang-an perbankan, Ekonomi/Bank
Syari’ah dan kitab-kitan fiqh).
F. Pendaftaran perkara gugatan / permohonan
1. Prosedur Pendaftaran Perkara Perdata Untuk Gugatan/ Permohonan :
a.
Pihak berperkara datang ke Pengadilan Negeri dengan membawa surat
gugatan atau permohonan.
b.
Pihak berperkara menghadap petugas Meja Pertama dan menyerahkan
surat gugatan atau permohonan, 4 (empat) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah
sejumlah Tergugat.
c.
Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap
perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya perkara
yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya
panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan
perkara tersebut, didasarkan pada pasal 182 ayat (1) HIR.
Catatan :
 Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (Cuma
cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat
keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisasi oleh
Camat.
 Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,00 dan ditulis
dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), didasarkan pasal 237 – 245
HIR.
 Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau berperkara secara
prodeo. Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan
bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat
gugatan atau permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk
berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.
d.
Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau
permohonan kepada pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).
e.
Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat
gugatan atau permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
f.
Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)
kepada pihak berperkara sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank.
g.
Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip
penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai
dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), seperti nomor urut, dan besarnya
biaya penyetoran. Kemudian pihak berperkara menyerahkan slip bank yang telah
diisi dan menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut.
h.
Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi dari
petugas layanan bank, pihak berperkara menunjukkan slip bank tersebut dan
menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pemegang kas.
i.
Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali
kepada pihak berperkara. Pemegang kas kemudian memberi tanda lunas dalam
Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan menyerahkan kembali kepada pihak
berperkara asli dan tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)
serta surat gugatan atau permohonan yang bersangkutan.
j.
Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas Meja Kedua surat gugatan
atau permohonan sebanyak jumlah tergugat ditambah 2 (dua) rangkap serta
tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
k.
Petugas Meja Kedua mendaftar/mencatat surat gugatan atau permohonan
dalam register bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan
atau permohonan tersebut yang diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan
oleh pemegang kas.
l.
Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan
atau permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak berperkara.
m.
Pihak/ pihak-pihak berperkara akan dipanggil oleh jurusita/ jurusita
pengganti untuk menghadap ke persidangan setelah ditetapkan Susunan Majelis
Hakim (PMH) dan hari sidang pemeriksaan perkaranya (PHS).
2. Membuat Surat Gugatan/Permohonan :
a.
Dibuat secara tertulis
b.
Isi surat gugatan/permohonan meliputi:
 Tanggal Surat Gugatan/permohonan
 Alamat kepada Ketua Pengadilan Agama ........
 Identitas penggugat/Pemohon : Nama asli dan orang tua, umur, alamat
rumah/tinggal, agama, pekerjaan
 Keterangan : Sebagai PENGGUGAT/PEMOHON
 Kata : MELAWAN
 Identitas tergugat/termohon : Nama asli dan orang tua, umur, alamat
rumah/tinggal, agama, pekerjaan
 Keterangan : Sebagai TERGUGAT/TERMOHON
 Posita/positum (fondamental petendi), meliputi :

-
Uraian singkat kronologis kejadian/peristiwa hubungan hukum
-
Uraian dasar hukum ( rechts grounden)
Petitum/tuntutan/permohonan, meliputi :
-
Mengabulkan gugatan/permohonan (formal)
-
Tuntutan utama ( primer )
-
Tuntutan Tambahan ( subsider )

Tanda tangan dan nama terang di atas meterai.
c.
Pihak-pihak dalam perkara : pihak-pihak yang terlibat (subyek hukum),
baik posisinya sebagai penggugat/pemohon maupun tergugat/termohon, bisa
terdiri
 Publik ( pemerintah dll)
 Privat ( PT, CV, dll)
 Perseorangan
 Pihak ketiga ( turut serta ).
d.
Komulasi Gugatan. Komulasi gugatan terjadi dalam bentuk :
 Gugatan Komulasi Subyektif
 Gugatan Komulasi Obyektif
 Keduanya harus dalam kesatuan Hukum Acara dan dalam kesatuan
wewenang pengadilan.
e.
Gugatan perwakilan kelompok (Class Action), dapat dilakukan dengan
syarat :
 Gugatan oleh satu orang mewekili sejumlah orang yang banyak;
 Terdapat kesamaan fakta dan dasar hukum serta jenis tuntutan;
 Wakil kelompok memiliki kejujuran untuk mewakili.
3. Mendaftarkan Permohonan/Gugatan:
a.
Pendaftaran perkara melalui bagian kepaniteraan (Meja I) perkara
gugatan/permohonan
b.
Membayar uang panjar (verskot) atau prodeo dibagian Kasir sesuai
tertera dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang telah dibuat oleh
bagian Kepaniteraan.
c.
Bagian Kepaniteraan (Meja II) mencatan dalam Buku Register perkara
sesuai dengan nomor perkara, kemudian memasukkan kedalam Map berkas
perkara untuk disampaikan kepada Panitera.
d.
Panitera menyampaikan Map berkas perkara kepada Ketua PA untuk
ditetapkan susunan Majelis Sidang(PMH).
e.
Ketua Majelis Sidang menetapkan hari sidang (PHS)dalam surat
ketetapan.
f.
Panitera menetapkan Panitera Pengganti yang akan mendampingi sidang
majelis.
g.
Panitera, melalui Juru Sita/Juru SitaPengganti, melalukan panggilan
sidang, dengan ketentuan :
1) Surat panggilan sidang dilakukan secara resmi dan patut. Resmi artinya
disampaikan langsung kepada masing-masings pemohon/penggugat dan
termohon/tergugat dan patut artinya sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja
sebelum hari sidang.
2) Surat Panggilan Sidang kepada Termohon/tergugat dilampiri surat
permohonan/gugatan dari pemohon / penggugat
3) Penerimaan surat panggilan dibuktikan dengan Relas Panggilan dari
masing-masing pihak yang berperkara.
4) Apabila pihak yang berperkara tidak dapat ditemui di tempat, surat
panggilan disampaikan melalui Kepala Desa/Kelurahan setempat dengan
dibuktikan Relas Panggilan.
5) Apabila pihak Termohon/Tergugat tidak diketahui alamat tempat
tinggalnya, panggilan dilakukan melalui media papan
pengumuman/cetak/elektronik dalam jangka waktu 3 x 1 bulan.
6) Apabila Termohon/tergugat berada di luar Negeri, panggilan sidang
dilakukan melalui kedudataan yang bersamgkutan.
G. Pemeriksaan perkara dalam siding
Mekanisme pemeriksaan perkara perdata peradilan agama yang dilakukan di
depan sidang pengadilan secara sistemik harus mulai babarapa tahap berikut ini, yakni:
1. Pertama, Melakukan perdamaian. Pada siding upaya perdamaian inisiatif
perdamaian dapat timbul dari hakim, penggugat/ tergugat atau pemohon/ termohon.
Hakim harus secara aktif dan sungguh-sungguh untuk mendamaikn para pihak.
Apabila upaya damai tidak berhasil, maka sidang dapat dilanjutkan pada tahapan
berikutnya.
2. Kedua, Pembacaan surat gugatan. Pada tahap ini pihak penggugat / pemohon
berhak meneliti ulang apakah seluruh materi (dalil gugat dan petitum) sudah benar
dan lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam surat gugat itulah yang menjadi acuan
(obyek) pemeriksaan dan pemeriksaan tidak boleh keluar dari ruang lingkup yang
termuat dalam surat gugatan.
3. Ketiga, Jawaban tergugat / termohon. Pihak tergugat / termohon diberi
kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap
penggugat / pemohon melalui majelis hakim dalam persidangan.
4. Keempat, Replik dari penggugat / pemohon. Penggugat / pemohon dapat
menegaskan kembali gugatannya / permohonannya yang disangkal oleh tergugat /
termohon dan juga mempertahankan diri atas serangan – serangan tergugat /
termohon.
5. Kelima, Duplik dari tergugat / termohon. Tergugat / termohon menjelaskan
kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat. Replik dan duplik dapat
diulang-ulang sehingga hakim memandang cukup atas replik dan duplik tersebut.
6. Keenam, Tahap pembuktian. Penggugat / pemohon mengajukan semua alat bukti
untuk mendukung dalil-dalil gugat. Demikian juga tergugat / termohon mengajukan
alat-alat bukti untuk mendukung jawabannya (sanggahannya). Masing-masing pihak
berhak menilai alat bukti pihak lawan.
7. Ketujuh, Tahap kesimpulan. Masing-masing pihak baik penggugat / pemohon
maupun tergugat / termohon mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan.
8. Kedelapan, Tahap putusan. Hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang
perkara itu dan menyimpulkannya dalam amar putusan, sebagai akhir persengketaan.
Beberapa kemungkinan pemeriksaan perkara di muka persidangan Pengadilan
Agama, yakni:
1. Persidangan Pertama :
a.
Sidang perkara dimulai pukul 09.00, kecuali ada pertimbangan lain, dapat
diajukan atau ditunda.
b.
Sebelum sidang dibuka, Majelis Hakim bersama Panitera Pengganti
masuk ruang sidang yang telah ditentukan.
c.
Panitera Pengganti mempersilahkan kepada Pemohon/penggugat dan
termohon/tergugat untuk memasuki ruang sidang.
d.
Hakim Ketua memimpin dan membuka sidang dengan membaca
Bismillah...., dan sidang dinyatakan terbuka untuk umum.
e.
Hakim Ketua Majelis memeriksa identitas masing-masing pihak yang
berperkara, kemudian menyarankan untuk menyelesaikan secara damai.
f.
Hakim Ketua Majelis menunda sidang dan menyarankan kepada para
pihak untuk menyelesaikan perdamaian melalui Mediator yang telah ditujuk.
2. Persidangan Kedua :
a.
Hakim Ketua Majelis memeriksa laporan Mediator dari hasil upaya
mediasi.
b.
Apabila telah berhasil, Hakim Majelis membuat ketetapan penyelesaian
damai yang ditanda tangani oleh para pihak yang berperkara dan disahkan oleh
Hakim Majelis;dan apabila tidak diperoleh kesepakatan damai, Hakim Ketua
Majelis melanjutkan pemeriksaan perkara.
c.
Hakim Ketua Majelis menanyakan kesiapan kepada termohon/tergugat
untuk memberi jawaban atas gugatan.
d.
Hakim Ketua Majelis memberi kesempatan kepada para pihak untuk
membuat :
 Replik : Jawaban penggugat atas jawaban tergugat
 Duplik : Jawaban tergugat atas jawaban penggugat
 Hakim Ketua Majelis membuat putusan sela apabila dipandang perlu.
3. Persidangan Ketiga dan seterusnya :
a.
Hakim Ketua Majelis memberi kesempatan untuk menyampaikan Replik –
Duplik.
b.
Apabila telah dianggap cukup, Hakim Ketua Majelis memeriksan bukti-
bukti yang ada dan mempersilahkan untuk menghadirkan saksi-saksi yang telah
ditentukan.
c.
Apabila pemeriksaan perkara sudah lengkap, Hakim Ketua Majelis
menyampaikan dan menawarkan kepada para pihak untuk membuat kesimpilan.
d.
Hakim Majelis melakukan musyawarah untuk membuat putusan sidang.
e.
Putusan Sidang Majelis dapat berbentuk :
 Menolak atau menerima permohonan/gugatan (formil)
 Mengabulkan semua atau sebagian tuntutan penggugat (gugatan konpensi
tau rekonpensi).
f.
Hakim Ketua Majelis membacakan putusan dalam sidang terbuka.
4. Sidang terakhir
Pembacaan putusan .Isi Putusan :
a.
Kepala Putusan : Judul dan Nomor perkara, kalimat Bismillah..., Demi
Keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa, Pengadilan ......
b.
Identitas para pihak yang berperkara ( penggugat dan tergugat )
c.
Pertimbangan Hukum : Duduk perkara, hubungan hukum dan dasar
hukum).
d.
Amar putusan :
•
Mengabulkan atau menolak permohonan/gugatan ( formil).
•
Merima seluruhnya atau sebagian tuntutan penggugat ( gugatan konpensi
atau rekonpensi).
e.
Penutup : Pernyataan pembacaan putusan dihadiri/tidak dihadiri oleh
penggugat dan tergugat, tanda tangan dan nama Hakim Majelis, serta Panitera
Pengganti.
Beberapa hal perlu diketahui :
1. Perubahan dan atau pencabutan Surat Gugatan :
a.
Sebelum persidangan dilangsungkan, Surat Gugatan boleh dilakukan
perubahan atau pencabutan;
b.
Apabila persidangan telah dilaksanakan, perubahan atau pencabutan surat
gugatan harus sepengetahuan tergugat.
c.
Apabila pemeriksaan perkara sudah hampir selesai, perubahan atau
pencabutan surat gugatan tidak diperbolehkan.
2. Pembuktian :
a.
Pengajuan alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang
memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa
yang dikemukakan.
b.
Pembuktian dibebankan kepada pihak yang menyatakan dengan positif
( bukan negatif/penolakan ).
c.
Macam-macam alat bukti :
1) Tulisan :
a)
Tulisan : Segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
bisa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu.
b)
Alat bukti tulisan dapat berbentuk Akta Outentik atau Akta di
bawah tangan dan dapat pula berbentuk tulisan lainnya.
c)
Kekuatan alat bukti tulis outentik :
 Mempunyai kekuatan pembuktian formal
 Mempunyai kekuatan pembuktian Materiil ( benar-benar terjadi ).
 Mempunyai kekuatan pembuktian lahir ( berlaku bagi pihak-pihak
lain).
d)
Kekuatan alat bukti tulis dibawah tangan atau lainnya
bersifat bebas. Hakim bebas untuk memakai atau tidak.
e)
Bukti tulisan berupa foto kopi harus dibubuhi materai.
•
Condemnatoir : Menghukum untuk menlaksanakan atau meningglkan
•
Constitutif : Me
RESUME MATERI KULIAH HUKUM ACARA PERADILAN
AGAMA
RESUME
Diajukan untuk memenuhi mata kuliah
“Hukum Acara Peradilan Agama”
Disusun Oleh,
Arief Choiruddin (C01208056)
Dosen pembimbing,
Bpk. Zayyin Khudori
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010
Download